Upload
naim-muhammad
View
372
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)
sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
Muhammad Naim Program Megister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin
A B S T R A K Reformasi di bidang keuangan menuntut peningkatan kinerja tata kelola
keuangan daerah yang akuntabel dan transparan sebagai salah satu
indikator ketercapaian good governance, kriterianya adalah ketepatan dan
keakuratan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah melalui
penerapan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD). Namun, sisi
lemahnya pada pembenahan sumber daya aparatur pengelola keuangan,
komitmen pemerintah daerah, dan teknologi informasi yang terintegrasi
(e-government). Makalah ini menyajikan informasi berdasarkan
pertimbangan; keterdesakan, keterpenuhan, keterlibatan, dan
keberhasilan dalam meningkatkan kinerja keuangan daerah melalui
implementasi SIKD. Dan melalui beberapa studi kasus dan hasil
penelitian lintas sektor publik dan sektor privat disajikan untuk
mengetahui lebih dalam variabel-variabel yang memberi pengaruh
(positif-negatif) terhadap implementasi SIKD.
Kata kunci : kinerja keuangan daerah, akuntabilitas, transparansi,
implementasi SIKD.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kualitas pemerintahan daerah yang baik (good governance) tidak hanya
ditentukan oleh akuntabilitas, transparansi, partisipasi masyarakat dan supremasi
hukum. Namun, kualitas pemerintahan yang baik juga ditentukan oleh faktor lain
seperti responsiveness, consessus orientation, equity efficiency, effectiviness dan strategic
vision. Hal ini sesuai dengan karakteristik pelaksanaan pemerintahan yang
menurut UNDP dan World Bank.
Dalam reformasi kelembagaan, lembaga keuangan memiliki konsekuensi
penting bagi kinerja belanja pemerintah, baik dari segi tingkat pengeluaran,
komposisi belanja, dan tingkat defisit dan utang. Hal ini menunjukkan bahwa
desain kelembagaan yang tepat dapat membantu mengurangi masalah, divergensi
antara preferensi publik dan apa yang sektor publik berikan, serta pemborosan
fiskal. (Hagen, 2002)1.
Hal penting dalam peningkatan kinerja pemerintah daerah adalah
pelaksanaan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah, kenyataannya
mekanisme akuntabilitas keuangan daerah tidak berjalan dengan baik terutama
kepada masyarakat. Akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan pemerintah
daerah tidak begitu dipahami oleh masyarakat sebagai user/pemakai. Sebagian
besar masyarakat tidak dalam asumsi memiliki pengetahuan yang memadai
1 Lihat, Hagen, Jurgen Von. 2002. Fical Rules, Fiscal Institutions, and Fiscal Performance. The Economic and
Social Review, Vol. 33, No. 3, Winter, 2002, pp. 263-284.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
2
tentang aktivitas pemerintahan dalam pengelolaan keuangan, aset daerah dan
akuntansi. (Idhar, 2006)2.
Disisi lain Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) secara rasional
diperlukan dalam penyediaan informasi keuangan daerah yang komprehensif
kepada masyarakat luas serta dasar bagi para pejabat pembuat kebijakan fiskal
dalam membuat keputusan. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah
terhadap seluruh hasil pembangunan. Dalam UU No. 14 tahun 2008 dan PP No. 61
tahun 2010, menegaskan hak penerimaan dan penyebarluasan informasi publik
secara terbuka berdasarkan ketentuan perundangan oleh setiap pengguna
informasi publik. Informasi publik yang dimaksud adalah informasi yang
dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik
yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara/badan publik
lainnya sesuai yang diperundang-undangkan, dalam hal ini termasuk informasi
keuangan daerah.
Fakta menunjukkan bahwa dari jumlah 524 pemda, sebanyak 361 atau 68,89%
pemda telah menggunakan sistem informasi keuangan, dan 163 pemda (31,11%)
belum diketahui secara pasti sistem yang digunakan dalam pengeloaan keuangan
daerah. Data per Oktober 2012 memberikan gambaran pengelolaan keuangan
daerah yang digunakan oleh pemda juga masih tidak seragam. Sebanyak 223
pemda menggunakan SIMDA, 68 pemda menggunakan SIPKD, 123 pemda
menggunakan sistem lain, dan 110 pemda tidak menggunakan sistem informasi
(Ditjen Perimbangan Keuangan, 2012; Eko 2013)3.
Keberadaan sejumlah institusi daerah (SKPD) yang tidak menggunakan
sistem informasi keuangan merupakan salah satu kendala peningkatan kinerja
pada pengelolaan keuangan yang menuntut ketepatan dan keakuratan penyajian
laporan keuangan pemerintah daerah untuk mewujudkan pengelolaan keuangan
yang transparan dan akuntabel.
Apabila dikaitkan dengan teori institusi dan hubungannya dengan perilaku
korupsi maka dapat kita melihat hubungan yang serius bahwa pendekatan
organisasional terkait korupsi merupakan hal penting dengan beberapa alasan
yaitu; pertama, sebuah organisasi merupakan unit dasar terjadinya praktik korupsi.
Kedua, organisasi bertanggung jawab untuk mengetahui penyebab sulitnya
memberantas korupsi pada organisasi tersebut. Ketiga, organisasi merupakan
jendela untuk melihat tingkat korupsi pada sebuah negara. Keempat, mengetahui
dampak terjadinya korupsi pada level organisasi merupakan hal yang penting.
Korupsi akan menghambat kinerja organisasi dan menambah cost yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan. (Luo, 2005; Yudha Aryo Sudibyo, Sun Jianfu, dan
Icuk Rangga Bawono; 2014)4.
Terkait korupsi, Asia merupakan wilayah yang potensial untuk dilakukan
penelitian berkaitan dengan isu-isu di bidang korupsi (Luo, 2002). Transparency
2 Lihat, Yahya, Idhar. 2006. Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal Sistem
Teknik Industri Volume 7, No. 4. FE. USU. 3 Lihat, Budiriyanto, Eko. 2013. Kajian Legal Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD); Disharmonisasi
Peraturan Perundangan. Kementerian Republik Indonesia. 4 Lihat, Aryo Sudibyo Yudha, Sun Jianfu, Icuk Rangga Bawono. 2014. Teori Institusi dan Korupsi: Studi
Empiris pada Organisasi Sektor Publik di Cina dan Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII. Lombok:
Ikatan Akuntansi Indonesia.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
3
International (2013) menunjukkan tingkat korupsi pada organisasi sektor publik
dengan menggunakan Corruption Perceptions Index (CPI) untuk 34 negara di Asia,
hanya Singapura, Hongkong SAR dan Jepang yang mempunyai nilai cukup tinggi
secara berurutan yaitu 86, 75 dan 74. Sedangkan, Uni Emirat Arab, Qatar, Buthan,
Taiwan, Brunei, Korea Selatan dan Malaysia mempunyai skor antara 50 sampai
dengan 70. Negara sisanya mempunyai skor dibawah 50, yang mengindikasikan
adanya korupsi dengan tingkatan yang serius5.
1.2. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang makalah, maka pokok masalah dapat dikemukakan
bahwa upaya peningkatan kinerja pada pengelolaan keuangan daerah tidak
didukung oleh sistem informasi keuangan daerah yang memadai sehingga
melemahkan mekanisme akuntabilitas dan transparansi keuangan daerah.
2. KERANGKA TEORITIS
2.1. Konsep Dasar Sistem Informasi
Sistem informasi dalam suatu pemahaman yang sederhana dapat
didefinisikan sebagai satu sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi
bagi beberapa pemakai dengan kebutuhan yang serupa. Para pemakai biasanya
tergabung dalam suatu entitas organisasi formal, seperti Departemen atau
Lembaga suatu Instansi Pemerintahan yang dapat dijabarkan menjadi Direktorat,
Bidang, Bagian sampai pada unit terkecil dibawahnya. Informasi menjelaskan
mengenai organisasi atau salah satu sistem utamanya mengenai apa yang telah
terjadi di masa lalu, apa yang sedang terjadi sekarang dan apa yang mungkin akan
terjadi dimasa yang akan datang tentang organisasi tersebut.
Sistem informasi memuat berbagai informasi penting mengenai orang, tempat,
dan segala sesuatu yang ada di dalam atau di lingkungan sekitar organisasi.
Informasi sendiri mengandung suatu arti yaitu data yang telah diolah ke dalam
suatu bentuk yang lebih memiliki arti dan dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan. Data sendiri merupakan fakta-fakta yang mewakili suatu keadaan,
kondisi, atau peristiwa yang terjadi atau ada di dalam atau di lingkungan fisik
organisasi. Informasi harus dikelola dengan baik dan memadai agar memberikan
manfaat yang maksimal. Penerapan sistem informasi di dalam suatu organisasi
dimaksudkan untuk memberikan dukungan informasi yang dibutuhkan,
khususnya oleh para pengguna informasi dari berbagai tingkatan manajemen.
Sistem informasi yang digunakan oleh para pengguna dari berbagai tingkatan
manajemen ini biasa disebut sebagai Sistem Informasi Manajemen.
Sistem informasi mengandung tiga aktivitas dasar di dalamnya, yaitu;
aktivitas masukan (input), pemrosesan (processing), dan keluaran (output). Tiga
aktivitas dasar ini menghasilkan informasi yang dibutuhkan organisasi untuk
pengambilan keputusan, pengendalian operasi, analisis permasalahan, dan
menciptakan produk atau jasa baru. Masukan berperan di dalam pengumpulan
bahan mentah (raw data), baik yang diperoleh dari dalam maupun dari lingkungan
sekitar organisasi.
5
Ibid.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
4
Pemrosesan berperan untuk mengkonversi bahan mentah menjadi bentuk
yang lebih memiliki arti. Sedangkan, keluaran dimaksudkan untuk mentransfer
informasi yang diproses kepada pihak-pihak atau aktivitasaktivitas yang akan
menggunakan. Sistem informasi juga membutuhkan umpan balik (feedback), yaitu
untuk dasar evaluasi dan perbaikan di tahap input berikutnya.
Dewasa ini, sistem informasi yang digunakan lebih berfokus pada sistem
informasi berbasis komputer (computer-based information system). Harapan yang
ingin diperoleh adalah bahwa dengan penggunaan teknologi informasi atau sistem
informasi berbasis komputer, informasi yang dihasilkan dapat lebih akurat,
berkualitas, dan tepat waktu, sehingga pengambilan keputusan dapat lebih efektif
dan efisien.
a. Model Dasar Kesuksesan Sistem Teknologi Informasi
Menurut Jogiyanto (2007), model yang baik adalah model yang lengkap
tetapi sederhana. Model semacam ini disebut dengan model parsimoni yang
kemudian dikembangkan dan diberi nama model kesuksesan sistem informasi
DeLone & McLean (D&M IS Success Model). Model ini merefleksikan enam
pengukuran kesuksesan informasi, sebagai berikut;
1) Kualitas sistem (system quality),
2) Kualitas informasi (information quality),
3) Penggunaan (use),
4) Kepuasan pemakai (user satisfaction),
5) Dampak individual (individual impact), dan
6) Dampak organisasi (organization impact).
Model kesuksesan ini didasarkan pada proses dan hubungan kausalitas
(sebab-akibat) dari dimensi-dimensi model. Model ini tidak mengukur ke
enam dimensi secara independen tetapi mengukurnya secara keseluruhan
satu mempengaruhi yang lainnya.
Terkait dengan model tersebut di atas, juga terdapat model proses dan
model varian yang menjelaskan bahwa kualitas sistem (system quality) dan
kualitas informasi (information quality) secara mandiri dan bersama-sama
mempengaruhi baik pengguna (use) dan kepuasan pemakai (user satisfaction).
Besarnya pengguna (use) dapat mempengaruhi kepuasan pemakai (use
satisfaction) secara positif atau negatif. Pengguna (use) dan kepuasan pemakai
(use satisfaction) mempengaruhi dampak individual (individual impact) dan
selanjutnya mempengaruhi dampak organisasional (organizational impact)6.
b. Kerentanan dan Gangguan terhadap Sistem Informasi
BPKP (2007a), dari pengalaman berbagai organisasi dalam pemanfaatan
sistem informasi, salah satu hal yang dibutuhkan adalah bagaimana setiap
organisasi dapat memastikan bahwa sistem informasi yang ada memiliki
sistem pengamanan dan pengendalian yang memadai. Penggunaan sistem
informasi di organisasi bukannya tanpa risiko. Penggunaan atau akses yang
tidak sah, perangkat lunak yang tidak berfungsi, kerusakan pada perangkat
keras, gangguan dalam komunikasi, bencana alam, dan kesalahan yang
dilakukan oleh petugas merupakan beberapa contoh betapa rentannya sistem
6 Lihat, Jogiyanto. 2007a. Model Kesuksesan Sistem Teknologi Informasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
5
informasi menghadapi berbagai risiko dan potensi risiko yang kemungkinan
timbul dari penggunaan sistem informasi yang ada. Beberapa hal yang
menjadi tantangan manajemen menghadapi berbagai risiko dalam
penggunaan sistem informasi yaitu;
a. Bagaimana merancang sistem yang tidak mengakibatkan terjadinya
pengendalian yang berlebih (overcontrolling) atau pengendalian yang
terlalu lemah (undercontrolling).
b. Bagaimana pemenuhan standar jaminan kualitas (quality assurance) dalam
aplikasi sistem informasi.
c. Kesenjangan Digital
Kesenjangan digital (digital inequality) merupakan kesenjangan akses dan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi antara individual-individual
(DiMaggio et al. 2004: Jogiyanto, 2007). Internet, atau disebut juga dengan
nama information superhighway, dikenal sebagai sesuatu yang strategik untuk
membangun ekonomi nasional meliputi; potensi ekonomi individual,
organisasi, dan negara dalam bentuk produktivitas dan kemampuan untuk
berkompetisi di pasar-pasar global. Internet juga mempunyai kesempatan
yang dijanjikan untuk meningkatkan nilai sumber daya manusia, mengukur
struktur sosial dan ekonomi, memperkuat keterlibatan masyaraat, dan
meningkatkan efisiensi pemerintahan (United States Advisory Councl on the
National Information Infrastructure, 1996: Jogiyanto, 2007).
Walaupun investasi yang besar telah dilakukan baik dalam bentuk
deregulasi telekomunikasi dan usaha untuk mempromosikan teknologi
internet, beberapa isu masih tetap terjadi. Banyak orang masih belum percaya
bahwa kesenjangan digital dapat dipecahkan lewat akses teknologi. Negara
Amerika Serikat yang terkenal sebagai negara yang maju dalam akses
teknologi dan informasi, kenyataannya masih terjadi kesenjangan digital
dalam akses internet oleh masyarakatnya.7
Di sisi lain keterlibatan aktif masyarakat sipil dapat mengakses informasi,
menghasilkan analisis dan meminta pertanggungjawaban pemerintah, hal
tersebut nampak pada menguatnya gerakan masyarakat sipil yang melembaga
secara internasional, mempromosikan anggaran kerja masyarakat sipil dengan
mendorong berbagi informasi jaringan dan yang paling sukses adalah inisiatif
yang melibatkan pengembangan jaringan (Norton Andy and Diane Elson,
2002)8.
d. Kendala Informasi yang Relevan dan Andal
Tanjung (2011), kendala informasi akuntansi dan laporan keuangan
adalah setiap keadaan yang tidak memungkinkan terwujudnya kondisi ideal
dalam mewujudkan informasi akuntansi dan laporan keuangan (relevan dan
andal) akibat keterbatasan (limitations) atau karena alasan-alasan kepraktisan.
Terdapat tiga hal yang menimbulkan kendala dalam informasi akuntansi dan
laporan keuangan pemerintah adalah;
7 Lihat, Jogiyanto. 2007b. Sistem Informasi Keperilakuan. Edisi Revisi. Bulaksumur: CV. Andi Offset.
8 Lihat, Norton Andy, Diane Elson. 2002. What’s behind the budget? Politics, rights and accountability in the
budget process. Overseas Development Institute.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
6
a. Materialitas. Informasi yang dipandang materialitas apabila kelalaian
untuk mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut
dapat mempengrauhi keputusan ekonomi pengguna yang diambil atas
dasar laporan keuangan;
b. Pertimbangan Biaya dan Manfaat. Manfaat yang dihasilkan seharusnya
melebihi biaya penyusunannya, berdasarkan evaluasi biaya dan manfaat
merupakan proses pertimbangan yang substansial, dan;
c. Keseimbangan antar karakteristik kualitatif. Hal ini dibutuhkan untuk
mencapai keseimbangan yang tepat di antara berbagai tujuan normatif
yang diharapkan dipenuhi oleh laporan keuangan pemerintah.
Menjadi catatan penting bahwa informasi yang relevan dan handal
berpengaruh positif dan signifikan terhadap transparansi dan akuntabilitas
laporan keuangan, yang berarti informasi yang relevan dan andal dapat
mendukung transparansi dan akuntabilitas terhadap laporan keuangan9.
2.2. Sistem Informasi Keuangan pada Pemerintah Daerah
a. SIKD (Sistem Informasi Keuangan Daerah)
Sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 56 tahun 2005 pasal 1 angka 15,
dan disebutkan pengertian yang sama pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 04/PMK.07/2011 pasal 1 angka 11, bahwa Sistem Informasi Keuangan
Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah “suatu sistem yang
mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan
keuangan daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada
masyarakat dan sebagai lahan pengembilan keputusan dalam rangka perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban pemerintah daerah.”
b. SIPKD (Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah)
Dalam penjelasan PP No. 56 tahun 2005 pasa 13 huruf a, dinyatakan
bahwa; yang dimaksud dengan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan
Daerah adalah serangkaian proses dan prosedur yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan anggaran, pelaksanaan
anggaran dan pelaporan keuangan daerah.
2.3. Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang menyebutkan defenisi; “Keuangan
daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam kerangka
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal 1 angka 1).”
9 Informasi yang relevan dan andal merupakan kriteria karakterisitik laporan keuangan pemerintah yang
dipersyaratkan dalam PP. No. 24 Tahun 2005. Sebuah penelitian yang berjudul “Pengaruh Karakteristik Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah terhadap Transparansi dan Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Maros”, bertujuan untuk mengetahui seberapa besar karakteristik laporan keuangan yang berupa informasi
yang relevan, andal, dapat dibandingkan dan dapat dipahami berpengaruh terhadap transparansi dan akuntabilitas
laporan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Maros.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
7
Penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah; “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang
dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat
dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut”.
Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan
bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan yang dilaksanakan dengan berpedoman pada Sistem Pengendalian
Interen Pemerintah (SPIP). Tujuan SPIP tersebut memberikan keyakinan yang
memadai bagi tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara,
keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan.10
Aktivitas keuangan daerah harus dilaporkan berdasarkan Standar Akuntansi
Pemerintahahan, yang selanjutnya disingkat SAP, sebagai prinsip-prinsip
akuntansi yang diterapkan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan
pemerintah.11
2.4. Paradigma Hukum Keuangan Daerah
Dimensi politik hukum pemerintahan daerah telah dibarengi dengan
paradigma baru yang lebih menitikberatkan pada desentralisasi dan
pengembangan otonomi daerah dalam rangka mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat, dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia (vide: Menimbang UU Nomor 32 Tahun
2004). Artinya, pemaknaan di dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (5): “Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya”, haruslah berada dalam kerangka
penyejahteraan rakyat.
Tentu, paradigma ini tidaklah cukup ditafsir dan dipahami sekadar sebagai
teks suatu hukum, melainkan lebih dari itu, tatanan konstitutionalitas
(constitutional order) menjadi sangat berarti melihat sejauh mana implementasi
politik hukum otonomi atau desentralisasi tersebut. Dalam urusan keuangan
daerah, paradigma penyejahteraan rakyat (social welfare paradigm) juga menjadi
bagian tidak terpisahkan, sebagaimana mandat dalam UUD 1945 pasal 18A ayat
(2): “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”
(Wiratraman, tanpa tahun)
Untuk memantapkan konsep otonomi daerah yang dimunculkan melalui UU
No. 22/1999 memiliki substansi otonomi yang lebih jelas di dalam kerangka negara
yang demokratis dengan pokok-pokok pikiran berupa; a) redistribusi kekuasaan,
b) pemberdayaan komunitas dan pemerintah daerah, dan c) efektifitas dan
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan12. Demikian juga untuk melanggengkan
10 Lihat, Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Interen Pemerintah.
11 Lihat, Peraturan Pemerintah RI Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
12 Lihat, Rasyid, Ryaas. 2005. Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya: dalam Syamsuddin
Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2005: 3.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
8
pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri diperlukan reformasi kelembagaan
(Institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform)
secara lebih nyata. Salah satu reformasi manajemen sektor publik yang terpenting
adalah reformasi pengelolaan keuangan daerah, yang salah satu unsurnya adalah
reformasi penganggaran. Reformasi pengelolaan keuangan daerah merupakan
konsekuensi meningkatnya tuntutan agar pengelolaan uang rakyat (public money)
dilakukan secara transparan dengan mendasarkan konsep value for money (efektif,
efisien, dan ekonomis); sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability)
yang lebih baik daripada sebelum pelaksanaan otonomi13.
2.5. Pengelola Keuangan Daerah
BPKP (2007b). Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh pemegang
kekuasaan pengelola keuangan daerah. Kepala daerah selaku kepala pemerintah
daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kepala
daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu dan para bendahara untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan daerah. Para pengelola keuangan daerah
tersebut adalah;
a. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD);
b. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD);
c. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB);
d. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK);
e. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD);
f. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.
Contoh Pengelolaan Keuangan yang Melibatkan Kebijakan Pengelola
Keuangan Daerah pada Penyajian Laporan Arus Kas
a. Pengertian Laporan Arus Kas
Lampiran I Permendagri No. 64/2013 menjelaskan bahwa Laporan Arus Kas
menyajikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara
kas selama satu periode akuntansi, dan saldo kas dan setara kas pada tanggal
pelaporan. Arus masuk dan keluar kas diklasifikasikan berdasarkan aktivitas
operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris.
Laporan arus kas hanya disusun oleh Bendahara Umum Daerah (BUD) untuk
seluruh transaksi di tingkat pemerintah daerah. Laporan arus kas dipandang
sebagai laporan yang menjelaskan perubahan posisi kas di neraca, sehingga saldo
akhir kas di neraca tentu harus sama dengan saldo akhir kas menurut laporan arus
kas. Penyajian Laporan Arus Kas dan pengungkapan yang berhubungan dengan
arus kas diatur dalam PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas.14
Untuk kepentingan penyusunan Laporan Arus Kas ini, nilai-nilai yang
ditampilkan adalah yang ada di buku kas, baik yang ada di SKPD maupun di
13
Lihat, Jumiati, Ipah Ema. _____. Pengelolaan Keuangan Negara dalam Mekanisme Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Jakarta: Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 14
Lihat, Hadi Marmah, Margono, Andy P Hamsah. 2010. Penggunaan Program Excel untuk Akuntansi
Keuangan Daerah. Tangerang: STAN Press.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
9
PPKD, yang terdiri atas seluruh penerimaan kas yang meliputi; pendapatan,
penerimaan pembiayaan, dan transaksi transitoris. Juga ditampilkan nilai-nilai
dari seluruh pengeluaran kas, yang meliputi: belanja, pengeluaran pembiayaan,
dan transaksi transitoris15.
Yang dimaksud dengan transaksi transitoris di sini adalah transaksi yang
dilakukan Pemda tetapi uangnya bukan hak Pemda, melainkan hak pihak ketiga,
sehingga Pemda di sini sifatnya hanya perantara. Contoh transaksi transitoris
adalah pemotongan pajak yang dilakukan Pemda, seperti pemotongan pajak, IWP,
Taperum, dan lainnya yang serupa.16
b. Bentuk/Metode Penyajian Laporan Arus Kas
Terdapat dua bentuk penyajian laporan arus kas, yang pertama metode
langsung dan yang kedua metode tidak langsung. Perbedaan antara kedua metode
terletak pada penyajian arus kas berasal dari kegiatan operasi. Dengan metode
langsung, arus kas dari kegiatan operasional dirinci menjadi arus kas masuk dan
arus kas keluar. Arus kas masuk dan keluar dirinci lebih lanjut dalam beberapa
jenis penerimaan atau pengeluaran kas. Sementara itu dengan metode tidak
langsung, arus kas dari opersional ditentukan dengan cara mengoreksi laba bersih
yang dilaporkan di laporan laba rugi dengan beberapa hal seperti biaya
penyusutan, kenaikan harta lancar dan utang lancar serta laba/rugi karena
pelepasan investasi. Berikut ini diberikan contoh bentuk laporan arus kas dengan
metode langsung dan metode tidak langsung.
Dalam sebuah penelitian dikemukakan bahwa arus kas operasi yang diwakili
oleh rasio kecukupan arus kas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap keputusan investasi (Ratmawati dan Lailatul, 2013)17. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan investasi, antara lain tingkat pengembalian yang
diharapkan oleh perusahaan, biaya investasi, pengaruh nilai tukar (kurs mata
uang asing), tingkat suku bunga, tingkat inflasi, pengaruh infrastruktur, kebijakan
pajak, atau faktor-faktor external yang lain.
2.6. Isu Sistem Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
a. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
Sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan pada prinsipnya dipegang
oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan (vide Psl 6 UU 17/2003). Kekuasaan
tersebut, kemudian dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola
fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan dan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang dipimpinnya.
Untuk daerah, kekuasaan tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/
Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan
daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan.
15
Lihat. Pusat Pengembangan Keuangan dan Ekonomi Daerah. 2014. Modul Akuntansi Keuangan Pemda.
Makassar: UNHAS – Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI. 16
Lihat, Pemerintah Kabupaten Bandung. Manual Sistem Prosedur Akuntansi Pelaporan Keuangan Daerah. 17
Lihat, Ratmawati, Ana dan Lailatul Amanah. 2013. Pengaruh Arus Kas dan Kebijakan Pendanaan terhadap
Keputusan Investasi. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Volume 1 No.1.)
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
10
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut dilaksanakan oleh;
1) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)
2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.
b. Permasalahan (Mala)praktik Manajemen Keuangan Negara/Daerah
Fachturrahman (2011), mengemukakan tiga masalah pokok tata kelola
keuangan pemerintahan yang dinilai perlu komitmen pembenahan oleh para
pemangku kebijakan, yaitu; Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana
ditunjukkan rasio antara belanja modal (pembangunan) dan belanja aparatur
(rutin). Hanya sekitar 20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan
masyarakat dan sisa terbesarnya untuk membiayai birokrasi.
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana
APBN kita beredar di daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal
dari dana dekonsentrasi, medebewind dan dana sektoral).
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar
memberitakan problem ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni
administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak saja menyangkut
problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi
mencerminkan politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di
daerah.
Ketika merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk
dalam kualitas pengelolaan dan laporan keuangan. Data (2009) menunjukan,
hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan wajar tanpa pengecualian,
249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus disclaimer (tak
memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).
Setelah memperoleh kembali otonomi dan independensinya dalam UU
No. 15 Tahun 2006, ada enam bentuk inisiatif yang telah dilakukan oleh BPK
untuk mempercepat pembangunan sistem keuangan negara agar sesuai
dengan jiwa, semangat transparansi dan akuntabilitas dalam UU Tahun 2003-
2004. Inisiatif pertama adalah untuk memperluas objek pemeriksaannya, baik
pada sisi pendapatan maupun pengeluaran negara. Selama masa
pemerintahan Orde Baru, BPK hanya dapat memeriksa sebahagian saja dari
pengeluaran negara. Misalnya, laporan keuangan instansi penegak hukum
dan keamanan, seperti Dephan, TNI/POLRI, berbagai BUMN/BUMD strategis,
seperti Pertamina dan bank-bank negara adalah diluar jangkauan
pemeriksaan BPK. Hal ini juga terjadi disisi penerimaan negara seperti pajak,
berbagai jenis PNBP, penjualan aset negara termasuk privatisasi
BUMN/BUMD, serta penerimaan negara dari hibah maupun hutang.18
c. Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
Menurut Nugroho (2008), reformasi pengelolaan keuangan dilatar
belakangi oleh kebutuhan penggantian peraturan perundang-undangan
keuangan yang masih mengacu pada peninggalan pemerintah kolonial. Hal
itu senada dengan makin besarnya belanja negara yang dikelola oleh
18
Lihat, http://ovy19.wordpress.com
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
11
pemerintah sehingga diperlukan suatu metode pengawasan yang memadai
selain pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
Bentuk pengawasan diperlukan baik secara internal melalui Satuan Kerja
Pengawasan maupun secara eksternal melalui pelibatan masyarakat dan
pemangku-kepentingan/stakeholders lainnya. Keterlibatan masyarakat dalam
pengawasan pengelolaan keuangan pemerintah seiring dengan semakin
berkurang dan terbatasnya sumberdaya alam sebagai salah satu sumber
pendapatan utama sehingga pajak dari masyarakat ditempatkan sebagai porsi
unggulan/sumber utama penerimaan menggantikan sumberdaya alam dalam
mendanai penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembangunan. Agar
masyarakat tidak merasa dirugikan, maka diperlukan pertanggungjawaban
pemerintah secara transparan atas penggunaan pajak dari masyarakat.
Berkenaan dengan perubahan paradigma sistem pemerintahan dan
tuntutan masyarakat tersebut diatas, maka reformasi di bidang keuangan
sebagai perangkat pendukung terlaksananya penerapan good governance
dilakukan dengan cara;
1) Penataan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum;
2) Penataan kelembagaan;
3) Penataan sistem pengelolaan keuangan negara; dan
4) Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan.
Jembrana-Bali, merupakan daerah yang berhasil menerapkan desain
pengelolaan di bidang keuangan yang efektif dan efisien (Owner Estimate/OE)
sehingga memberi dampak terhadap peningkatan kinerja keuangananya. Hal
tersebut dilakukan dengan mendesain kembali Sistem Perencanaan Anggaran,
Pemanfaatan atau Pendayagunaan Anggaran, Manajemen Kontrol atas
Pemanfaatan Anggaran, serta Sistem dan Mekanisme Alur Uang/Dana yang
harus dikelola, sehingga memudahkan kontrol dan pelaporannya.19
2.7. Hasil Penelitian pada Pengelolaan Keuangan (Sektor Publik)
a. Evana (2007), dalam Rancang Bangun Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan
Daerah “Studi Kasus pada SKPD Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
Kabupaten Kepulauan Sangihe”, Israel 2012.
Hasil Penelitian:
Penelitian tentang analisis sistem dan prosedur akuntansi keuangan daerah,
penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk
membandingkan antara pelaksanaan pada objek penelitian berdasarkan
aturan dan teori. Hasil penelitian pada SKPD Pendapatan Daerah Lampung tidak
melaksanakan aturan yang tersirat pada Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
perlakuan akuntansi yang akuntabilitas. Kelemahan dari implementasi aturan adalah
pada kemampuan sumber daya manusia menggunakan teknologi untuk melakukan
standar akuntansi keuangan.
19
Lihat, Loka, Cahya. _____. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Reformasi Pemerintahan
Kabupaten Jembrana-Bali: Studi Kasus Kesuksesan Pemeirntah Kabupaten Jembrana dalam Menyediakan Pelayanan
Publik yang Terjangkau dan Gratis.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
12
b. Tuasikal (2008), dalam Rancang Bangun Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan
Daerah “Studi Kasus pada SKPD Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
Kabupaten Kepulauan Sangihe”, Israel 2012
Hasil Penelitian:
Penelitian tentang Pengelolaan Keuangan terhadap Kinerja Unit SKPD,
dengan variabel independen adalah pemahaman sistem akuntansi keuangan
daerah dan pengelolaan keuangan daerah, sedangkan variabel dependen
adalah kinerja unit satuan kerja pemerintah daerah, Penelitian ini
menyimpulkan bahwa baik secara simultan maupun parsial pemahaman mengenai
sistem akuntansi dan pengelolaan keuangan berpengaruh terhadap kinerja satuan
kerja pemerintah daerah, artinya bila pengelolaan keuangan daerah dikelola sesuai
mekanisme yang berlaku dan didukung oleh peningkatan pemahaman tentang
akuntansi keuangan daerah maka dapat mendorong kinerja masing-masing satuan
kerja pemerintah daerah.
c. Rohman (2009), dalam Rancang Bangun Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan
Daerah “Studi Kasus pada SKPD Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
Kabupaten Kepulauan Sangihe”, Israel 2012.
Hasil Penelitian:
Penelitian tentang pengelolaan keuangan daerah terhadap fungsi
Pengawasan dan Kinerja Pemerintah Daerah, metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Analisis Path. Berdasarkan hasil uji hipotesis
dengan menggunakan Analisis Path menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem
akuntansi pemerintah, pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah dan fungsi
pengendalian internal berpengaruh terhadap kinerja pemerintah.
d. Mustofa (2012), dalam Rancang Bangun Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan
Daerah “Studi Kasus pada SKPD Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
Kabupaten Kepulauan Sangihe”, Israel 2012.
Hasil Penelitian:
Penelitian tentang pengaruh penyajian dan aksesibilitas laporan keuangan
terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah oleh para pengguna
Laporan keuangan. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive
sampling. Metode analisis data yang digunakan dalam pengujian hipotesis
berupa beberapa uji statistik. Hasil dari pengujian hipotesis menunjukkan
bahwa;
1) Penyajian laporan keuangan daerah berpengaruh signifikan secara positif
terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah;
2) Aksesibilitas laporan keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah; dan
3) Penyajian laporan keuangan daerah dan aksesibilitas laporan keuangan secara
bersama-sama berpengaruh dan signifikan terhadap akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
13
e. Fontanella, Amy dan Hilda Raossieta (2014).
“Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Kinerja terhadap Akuntabilitas Pelaporan
Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia”
Hasil Penelitian :
Penelitian ini menginvestigasi secara empiris pengaruh Desentralisasi
Fiskal dan Kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah terhadap
kemungkinan tingginya Akuntabilitas Pelaporan Keuangan pemerintah
daerah. Selain sebagai Variabel independen, penelitian ini juga menguji secara
empiris peran Kinerja sebagai Variabel Moderasi dalam konteks tersebut.
Sesuai hipotesa, secara umum ditemukan bahwa;
1) Desentralisasi Fiskal dalam bentuk Tingkat Kemandirian Daerah dan Kinerja
penyelenggaraan pemerintah berpengaruh positif terhadap kemungkinan
tingginya Akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah daerah;
2) Secara parsial, terkait peran moderasi Kinerja, ditemukan bahwa Kinerja
penyelenggaraan pemerintah daerah memperlemah pengaruh negatif tingkat
Ketergantungan pada Pemerintah Pusat terhadap kemungkinan tingginya
Akuntabilitas pelaporan keuangan dalam bentuk opini audit yang baik.
f. Verawaty (2014)
“Analisis Komparasi Indeks Internet Financial Reporting Pemerintah Daerah di
Indonesia”
Hasil Penelitian :
Seperti sektor privat, sektor publik pun telah menggunakan internet. Pada
semua level dan adopsinya dalam bentuk e-government, internet berperan
signifikan dalam administrasi publik, terutama dalam pelaporan keuangan
sektor publik. Melalui e-government, pegawai pemerintah dapat menyediakan
informasi dan melakukan pelayanan kepada stakeholder internal dan eksternal
melalui website. Fokus penelitian ini, pemerintah daerah tingkat provinsi dan
kota di Indonesia, tentunya bukan pengecualian untuk tren ini.
Penelitian ini berusaha membandingkan kualitas pengungkapan
pelaporan keuangan atau IFR (Internet Financial Reporting) pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Indonesia dengan menggunakan
indeks pengungkapan yang dikembangkan oleh Cheng et al. (2000)
berdasarkan komponen content, timeliness, technology dan user support.
Dengan hasil survei, yaitu 78,79% e-government pemerintah kota dalam
status online, sisanya 9,09% e-government yang dimiliki dalam status error
(kemungkinan dalam status under maintenance) dan 12,12% pemerintah kota
bahkan belum memiliki e-government. Hasil survei juga menunjukkan adanya
disparitas praktek pengungkapan informasi keuangan melalui e-government
dan masih sedikitnya pemerintah daerah memanfaatkan penggunaan
teknologi internet. Dari total 90,91% e-government pemerintah provinsi, hanya
56,67% yang melakukan IFR. Adapun dari total hanya 78,79% e-government
pemerintah kota, hanya 42,31% yang melakukan IFR. Kualitas pengungkapan
dilakukan oleh kedua kelompok sampel sangat bervariasi.
Berdasarkan hasil pengujian dengan Mann Whitney Test, semua
komponen tidak signifikan. Artinya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ;
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
14
“tidak terdapat perbedaaan antara kualitas pengungkapan pelaporan keuangan atau
IFR (Internet Financial Reporting) pemerintah provinsi dan pemerintah kota di
Indonesia dengan menggunakan indeks pengungkapan yang menilai empat komponen
sekaligus, yaitu content (isi), timeliness (ketepatwaktuan), technology
(pemanfaatan teknologi), dan user support (dukungan bagi pengguna) yang
dikembangkan oleh Cheng et al (2000), (Verawaty, 2014)”
Adapun berdasarkan hasil wawancara, permasalahan di lapangan tentang
kurangnya optimalisasi terhadap penggunaan e-government untuk bidang
akuntansi sektor publik (keuangan daerah) antara lain adalah mengenai
regulasi-regulasi yang relevan tentang penggunan teknologi informasi di
pemerintahan, yaitu tentang bagaimana standardisasi content yang
menyangkut akuntansi keuangan daerah yang masih belum bersifat
mandatory. Pelimpahan kewajiban diseminasi kinerja keuangan pemerintah
daerah untuk komponen timeliness adalah kepada pihak BPK. Hal ini
setidaknya bisa diakomodir melalui optimalisasi hiperlink dari e-government
pemerintah daerah tersebut ke website BPK jika tidak ingin didesiminasikan ke
dalam e-government yang dimiliki.
Adapun jika menyangkut technology dan user support, untuk mengatasi
hambatan langkanya SDM yang handal, maka perlu dilakukan pendidikan
dan pelatihan SDM di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang
terintegrasi. Keberhasilan pelaksanaan e-government bukan terletak pada
teknologinya tetapi bergantung pada kemampuan manusia yang
mengelolanya.
g. Almilia, Luciana Spica dan Irmaya Briliantien. (tanpa tahun).
“Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sistem Informasi Akuntansi pada Bank
Umum Pemerintah Di Wilayah Surabaya dan Sidoarjo”.
Hasil penelitian :
Bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara faktor keterlibatan
pemakai dalam proses pengembangan sistem informasi dengan kinerja sistem
informasi akuntansi baik dari segi kepuasan pemakai atau pemakaian sistem. Hasil ini
terjadi karena pemakai sistem informasi kurang dilibatkan dalam pemakaian
sistem itu sendiri sehingga pemakai merasa tidak puas.
2.8. Hasil Penelitian pada Pengelolaan Keuangan (Sektor Privat)
a. Suhartati, Titi dan Setyo Hari Wijanto (2014).
“Pengaruh Penerapan Sistem Informasi Akuntansi dan Kualitas Audit terhadap
Penentuan Opini Audit”
Hasil Penelitian :
1) Diungkapkan bahwa sistem informasi akuntansi secara statistik tidak
berpengaruh terhadap opini audit.
2) Sedangkan kualitas audit secara statistik signifikan berpengaruh terhadap
penentuan opinin audit.
Hasil ini berlawanan dengan pendapat (Noviari, 2009) bahwa
perkembangan akuntansi yang menyangkut SIA berbasis komputer dalam
menghasilkan laporan keuangan akan mempengaruhi praktik pengauditan.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
15
Perubahan proses akuntansi akan mempengaruhi proses audit karena audit
merupakan suatu bidang praktik yang menggunakan laporan keuangan
(produk akuntansi) sebagai objeknya.
Kemajuan TI juga mempengaruhi perkembangan proses audit. Kemajuan
software audit memfasilitasi pendekatan audit berbasis komputer, selanjutnya
praktik auditing bertujuan untuk memberikan opini terhadap kewajaran
penyajian laporan keuangan yang dihasilkan oleh SIA, dengan adanya
kemajuan yang telah dicapai dalam bidang akuntansi yang menyangkut SIA
berbasis komputer dalam menghasilkan laporan keuangan. Perbedaan hasil
ini kemungkinan karena pendekatan yang berbeda terhadap sistem informasi
akuntansi.
b. Bastian, Elvin dan Ewing Yuvisa Ibrani. 2014.
“Tingkat Integrasi Sistem Akuntansi dan Dampaknya Pada Keputusan Manajemen;
Studi pada Perusahaan Manufaktur di Provinsi Banten.”
Hasil penelitian :
Menunjukan bahwa tingkat integrasi sistem akuntansi tidak berpengaruh
signifikan terhadap kualitas output controllership. Pada praktiknya di
perusahaan integrasi sistem akuntansi terjadi sebagian (integrasi parsial).
Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Weiβenberger and
Angelkort, (2011) dan Joseph, et.al (1996) yang menemukan integrasi dalam
sistem data dan pelaporan, namun manajer masih mengandalkan informasi
akuntansi internal (perencanaan dan penganggaran dan pengukuran kinerja)
untuk pengambilan keputusan dan pengendalian.
Tingkat integrasi sistem akuntansi berpengaruh positif terhadap
consistency of financial language. Hubungan antara pelaporan keuangan
eksternal, akuntansi internal dan pengambilan keputusan dihubungkan
dengan tiga faktor berikut yaitu: peraturan eksternal dan penggunaan
kebijakan laporan keuangan, sistem akuntansi internal dan pengambilan
keputusan dan pengaruh auditor eksternal Joseph, et.al (1996: Elvin dan
Ewing, 2014).
c. Yurano, Ispon Asep dan Sitti Nurwahyu Harahap. (2014).
“Persepsi Pengguna Laporan Keuangan di Indonesia terhadap Internet Financial
Reporting (IFR).
Hasil penelitian:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi
manfaat dan kemudahan penggunaan yang dipersepsikan oleh pengguna
laporan keuangan terhadap praktek Internet Financial Reporting (IFR) yang ada
saat ini.
Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengguna laporan
keuangan Indonesia memiliki persepsi yang kurang baik untuk manfaat IFR ini,
dimana pengguna laporan keuangan di Indonesia masih memerlukan sumber
informasi keuangan lain selain IFR, informasi yang tersedia dalam IFR masih kurang
untuk pengambilan keputusan, dan pengguna laporan keuangan belum dapat
mengandalkan informasi dalam IFR untuk pengambilan keputusan.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
16
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Khaldoon et al. (2011),
dimana pengguna laporan di Jordania juga belum yakin dengan penggunaan
informasi IFR sebagai satu-satunya sumber informasi untuk pembuatan
keputusan dan masih mengandalkan laporan keuangan dalam bentuk hard
copy.
Namun, meskipun pengguna laporan keuangan belum yakin sepenuhnya
dengan informasi yang ada dalam IFR untuk pengambilan keputusan,
pengguna laporan keuangan di Indonesia menilai bahwa format IFR telah
memungkinkan mereka untuk mengumpulkan informasi yang cukup
meskipun jumlah informasi tersebut masih kurang jika digunakan untuk
pengambilan keputusan.
d. Nur DP, Emrinaldi dan Okki Fitrian. (2014)
“Evaluasi Empiris Transparansi dan Visibilitas Praktek Pelaporan Keuangan
Perbankan Basis Internet (Internet Financial Reporting)”
Hasil penelitian:
Terdapat beberapa argumentasi yang mendasar hubungan ukuran
perusahaan dengan tingkat pengungkapan. Pertama, perusahaan besar
cenderung memiliki sumber daya untuk menghasilkan lebih banyak informasi
dalam sistem informasi pelaporannya, perusahaan besar memiliki insentif
untuk menyajikan pengungkapan sukarela, karena perusahaan besar
dihadapkan pada tekanan politik yang lebih tinggi. Kedua, perusahaan kecil
cenderung untuk menyembunyikan informasi penting dikarenakan competitive
disadvantage. (Emrinaldi dan Okki, 2014)
2.9. Contoh Kasus Kegagalan Internet Financial Reporting (IFR) di Negara
Berkembang
Berdasarkan studi yang dilakukan World Bank (2011)20, mengemukakan
beberapa contoh kasus Internet Financial Reporting (IFR), sebagai berikut;
a. Albania
Proyek di Albania berlangsung dari tahun 2000 dengan biaya 8,8 juta
dollar, dimana 5,2 juta dollar dihabiskan pada pengembangan sistem
keuangan (ICT) yang dijadikan desain proyek percontohan pelaksanaan
sistem keuangan ditingkat daerah. Namun karena sistem keuangan tidak
sepenuhnya termanfaatkan disebabkan oleh minimnya sumber daya, teknik
operasional dan kurangnya komitmen pemerintah untuk memberdayakan
sistem tersebut sehingga ICT selesai pada bulan Desember 2006. Proyek
tersebut dianggap gagal dengan faktor;
1) Kurangnya persiapan teknis;
2) Proses pengadaan yang relatif panjang dan berbelit/birokrasi;
3) Kebijakan politis lebih berpengaruh ketimbang kebijakan ekonomi;
4) Tidak adanya kejelasan tugas dalam tim.
20
Lihat, Dener, Cem. Joanna Alexandra Watkins, William Leslie Dorotinsky. 2011. Financial Management
Information System: 25 Years of World Experience on What Works and What Doesn’t. World Bank Studies.
Washington, D.C.: The World Bank.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
17
b. Pakistan
Proyek aktif senilai 93 juta dollar, dan 18,4 juta dollar digunakan untuk
program perbaikan komponen FMIS ICT. Diselesaikan tahun 2005. Hal yang
memotivasi dan tujuan program adalah;
1) Memodernisasi kelembagaan anggaran, pembukuan, memperkuat praktik
pengelolaan kelembagaan anggaran, pembukuan, dan Memperketat
internal kontrol untuk mengurangi terjadinya kesalahan dan
penyimpangan;
2) Memperkenalkan sistem otomatis modern untuk mendukung proses
penganggaran dan akuntansi;
3) Membangun kapasitas laporan agar selesai tepat waktu, dan dapat
diandalkan;
4) Memodernisasi sistem audit pemerintah, prosedur dan mengadopsi
standar audit internasional.
Adapun yang menghambat keberhasilan proyek tersebut adalah;
1) Masalah ekonomi politik yang labil/tidak menentu;
2) Kelemahan tenaga teknisi dan manajemen proyek;
3) Adanya desakan untuk memisahkan tugas dan fungsi akuntansi dan
audit.
3. KESIMPULAN
Kesenjangan sistem informasi dalam pengelolaan keuangan daerah harus
disadari kemudian menegaskan komitmen penyelenggara pemerintahan untuk
melaksanakan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Mengingat kebutuhan atas keterbukaan informasi publik, desakan para pengguna
informasi dan pemangku kepentingan untuk merumuskan arah kebijakan
strategis, maka tidak ada pilihan untuk tidak menyelenggarakan pengelolaan
keuangan daerah yang berbasis teknologi, informasi, komunikasi yang terintegrasi
(e-government).
Menjadi tugas penting untuk mewujudkan good governance sebagai instrumen
pengelolaan organisasi yang modern, meski disadari lemahnya kualitas sumber
daya pengelola keuangan, pembangunan infrastrukur di bidang informasi dan
teknologi yang terhambat oleh investasi yang cukup besar menjadi pekerjaan berat
pemerintah di masa mendatang. Namun tantangan tersebut masih dapat dijawab
dengan optimisasi di semua tingkatan pemerintahan, dengan merumuskan
langkah-langkah, sebagai berikut;
a. Meningkatkan efisiensi pemerintahan untuk investasi infrastruktur jaringan
(teknologi, informasi, dan komunikasi);
b. Peningkatan kesadaran masyarakat dan penyelenggara pemerintahan untuk
mempersempit kesenjangan (gap) digital melalui akses teknologi;
c. Merubah paradigma hukum dan implementasinya atas keuangan daerah yang
lebih berorientasi pada penyejahteraan rakyat;
d. Reformasi pengelolaan dan pengawasan keuangan daerah, berangkat dari
penataan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum dan
penataan kelembagaan;
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
18
e. Penataan sistem pengelolaan keuangan negara, berangkat dari redesain sistem
perencanaan anggaran, pemanfaatan dan pendayagunaan anggaran,
manajemen kontrol dan mekanisme penyaluran dana;
f. Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
19
DAFTAR BACAAN :
1. ______. 5 Januari 2010.
Sistem Transparansi dan Akuntabilitas terhadap Keuangan Negara.
(Online), (http://ovy9.wordpress.com, diakses 2 Oktober 2014).
2. Almilia, Luciana Spica dan Irmaya Briliantien. ______.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sistem Informasi Akuntansi pada Bank Umum
Pemerintah DI Wilayah Surabaya dan Sidoarjo.
Surabaya: STIE PERBANAS.
3. Aryo Sudibyo Yudha, Sun Jianfu, Icuk Rangga Bawono. 2014.
Teori Institusi dan Korupsi: Studi Empiris pada Organisasi Sektor Publik di Cina dan Indonesia.
Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII.
Lombok: Ikatan Akuntansi Indonesia.
4. Bastian, Elvin dan Ewing Yuvisa Ibrani. 2014.
Tingkat Integrasi Sistem Akuntansi dan Dampaknya Pada Keputusan Manajemen; Studi pada
Perisahaan Manufaktur di Provinsi Banten).
Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII. Lombok: IAI.
5. Budiriyanto, Eko. 2013.
Kajian Legal Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD); Disharmonisasi peraturan perundangan.
Kementerian Republik Indonesia.
6. Dener, Cem. Joanna Alexandra Watkins, William Leslie Dorotinsky. 2011.
Financial Management Information Systems : 25 Years of World Experience on What Works
and What Doesn’t.
World Bank Studies. Washington, D.C. : The World Bank.
7. Fachturahman, Turiman Nur. Mei 2011.
13 Masalah Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah.
(Online), (http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com, diakses tanggal 2 Oktober 2014).
8. Fontanella, Amy dan Hilda Raossieta. 2014.
Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Kinerja terhadap Akuntabilitas Pelaporan Keuangan Pemerintah
Daerah di Indonesia.
Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII. Lombok: IAI.
9. Hadi Marmah, Margono, Andy P Hamsah. 2010.
Penggunaan Program Excel untuk Akuntansi Keuangan Daerah.
Tangerang: STAN Press.
10. Hagen, Jurgen Von. 2002.
Fical Rules, Fiscal Institutions, and Fiscal Performance.
The Economic and Social Review, Vol. 33, No. 3, Winter, 2002, pp. 263-284.
11. Israel, Ella Helmy. 2012.
Rancang Bangun Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah: Studi Kasus pada SKPD Dinas
Energi dan Sumber Daya Mineal Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
12. Jogiyanto. 2007a.
Model Kesuksesan Sistem Teknologi Informasi.
Yogyakarta: Penerbit CV. Andi Offset.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
20
13. Jogiyanto. 2007b.
Sistem Informasi Keperilakuan.
Edisi Revisi. Bulaksumur: CV. Andi Offset.
14. Jumiati, Ipah Ema. _____.
Pengelolaan Keuangan Negara dalam Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Jakarta: Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
15. Loka, Cahya. _____.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Reformasi Pemerintahan Kabupaten Jembrana-Bali:
Studi Kasus Kesuksesan Pemeirntah Kabupaten Jembrana dalam Menyediakan Pelayanan Publik
yang Terjangkau dan Gratis.
16. Norton Andy, Diane Elson. 2002.
What’s behind the budget? Political, rights and accountability in the budget process.
Overseas Development Institute.
17. Nugroho, adam. Prayudha Wijaya, Utoro Shindubilowo, Aries P. Gunawan. 2008.
Panduan Membentuk Organisasi Pengelola Keuangan dan Aset Daerah.
Seri Manajemen Pelayanan Publik. USAID-LGSP.
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang
Penetapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah.
2013. Jakarta: Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.
19. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.07/2011 tentang Tata Cara
Penyampaian Informasi Keuangan Daerah.
2011. Jakarta: Menteri Keuangan Republik Indonesia.
20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah.
2005. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Interen Pemerintah.
2008. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
2010. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
23. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
2010. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
24. Peratutan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
2010. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
25. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
2000. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
21
26. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan. 2007a.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II (Diklat Pembentukan AuditorAhli).
Modul Edisi Keenam.
Bogor: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
27. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan. 2007b.
Sistem Informasi Manajemen (Diklat Penjenjangan Auditor Ketua Tim).
Modul Edisi Keempat.
Bogor: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
28. Pusat Pengembangan Keuangan dan Ekonomi Daerah. 2014.
Modul Akuntansi Keuangan Pemda.
Makassar: UNHAS – Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI.
29. Rasyid, Ryaas. 2005.
Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Harris (ed.)
Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Jakarta: LIPI Press, 2005: 3.
30. Ratmawati, Ana dan Lailatul Amanah. 2013.
Pengaruh Arus Kas dan Kebijakan Pendanaan terhadap Keputusan Investasi.
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Volume 1 No.1.).
31. Suhartati, Titi dan Setyo Hari Wijanto. 2014.
Pengaruh Penerapan Sistem Informasi Akuntansi dan Kualitas Audit terhadap Penentuan Opini
Audit.
Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII.
Lombok: IAI.
32. Tanjung, Abdul Hafiz. 2011.
Akuntansi Pemerintahan Daerah Berbasis Akrual, Pendekatan Teknis sesuai PP No. 71/2010.
Bandung: Alfabeta.
33. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik.
2008. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
34. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2003. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia
35. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2004. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
36. Verawaty. 2014.
Analisis Komparasi Indeks Internet Financial Reporting Pemerintah Daerah di Indonesia.
Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII.
Lombok: IAI.
37. Windrastuti Indah, H. Rahardjo Adisasmita, R.A. Damayanti. 2013.
Pengaruh Karakteristik Laporan Keuangan Pemerintah Daerah terhadap Transparansi dan
Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Maros.
Staf Badan Pengelola Keuanagn Daerah Kabupaten Maros – Staf Pengajar FEB UNHAS
Makassar.
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai Sarana Akuntabilitas dan Transparansi Keuangan Daerah
22
38. Wiratraman, R. Erlambang Perdana. ______.
Paradigma Hukum dan Demokratisasi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.
39. Yahya, Idhar. 2006.
Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah.
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 4 Oktober 2006.
FE. USU.
40. Yurano, Ispon Asep dan Sitti Nurwahyu Harahap. 2014.
Persepsi Pengguna Laporan Keuangan di Indonesia terhadap Internet Financial Reporting (IFR).
Simposium Nasional Akuntansi (SNA) XVII.
Lombok: IAI.