Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NASKAH PUBLIKASI
SISTEM BAGI HASIL PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG USAHA
PERTAMBANGAN
TESIS
OLEH:
JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU 097005075
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
Universitas Sumatera Utara
SISTEM BAGI HASIL PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG USAHA
PERTAMBANGAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh:
JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU 097005075
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : SISTEM BAGI HASIL PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG USAHA
PERTAMBANGAN
Nama Mahasiswa : JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU
Nomor Pokok : 097005075
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
K e t u a (Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH)
A n g g o t a (Prof. Dr. Sumarni, SH. M.Hum)
A n g g o t a (Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum)
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
NIP. 196207131988031003 (Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH)
Dekan
NIP. 19561110 198503 1 022 (Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum.)
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada
Tanggal 20 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Sumarni, SH. M.Hum
2. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum
3. Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum
4. Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
Nama : JULIANDI HASUDUNGAN DOLOK SARIBU
Tempat / Tgl. Lahir : Muara Bungo, 20 Juli 1986
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Lorong Hikmah RT 005/002
Sungai Pinang, Bungo Dani - Jambi
Pendidikan :
- SD Negeri 286 Muara Bungo Jambi,
Lulus Tahun 1998
- SMP Negeri 4 Muara Bungo Jambi,
Lulus Tahun 2001
- SMA Negeri 1 Muara Bungo Jambi,
Lulus Tahun 2004
- S-1 Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen,
Lulus Tahun 2008
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Medan,
Lulus Tahun 2014
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRAK
Bidang usaha pertambangan merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang berdasarkan UU Pasal 33 1945 dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga harus dikelola secara maksimal untuk memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi memberikan kepada pemerintah daerah kekuasaan yang besar dalam mengelola daerahnya termasuk dalam bidang usaha pertambangan. Sektor Pertambangan yang berlansung di berbagai pemerintahan daerah berdampak positif dalam meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Dana Bagi Hasil (DBH).
Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan gambaran tentang mengapa sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dalam bidang usaha pertambangan, bagaimana ketentuan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan, apakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan. . Metode penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normative yang bersifat kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan cara penelitian studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak era reformasi, gagasan otonomi daerah terus bergulir, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik atau top-down dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah. Melalui pembagian dan alokasi dana bagi hasil antara pusat dan daerah penghasil tambang telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Walaupun demikian daerah-daerah penghasil tambang di Indonesia beberapa kali mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap Dana Bagi Hasil karena dirasa sangat diskriminatif, dan tidak adil bagi pemerintah daerah yang mendapatkan porsi penerimaan pertambangan yang lebih kecil dibandingkan pemerintah pusat kendati sebagai wilayah penghasil, begitu juga akan ketidakjelasan pembagian hasil dan waktu pendistribusian hasil dari Negara atas eksplorasi tambang di daerah. Keluhan tersebut datang dari pemerintah daerah yang merasa bahwa pembagian hasil dirasa kurang bagi daerah hal ini disebabkan dana bagi hasil (DBH) perimbangan keuangan pusat (pemerintah pusat) dan daerah (pemda) atas hasil pertambangan bukan hanya masalah manajemen pembagiannya, juga bukan sekadar soal kebijakan pilihan bidang pertambangan yang dibagihasilkan dan persentase pembagiannya, melainkan amat terkait dengan substansi kebijakan pengelolaan pertambangan dalam hubungannya dengan para pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Universitas Sumatera Utara
ii
Disarankan agar dilakukan perumusan kembali/ulang atau revisi terhadap Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal alokasi dana perimbangan yang dirasa tidak adil bagi daerah penghasil tambang. Sehingga tersalurkannya Dana Bagi Hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang adil untuk mengurangi kesenjangan fiskal pusat-daerah karena pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonomi termasuk sumber pendapatan dalam bidang usaha pertambangan. Substansi dari otonomi daerah menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional, kemanfaatan, untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan pertambangan yang baik.
Kata Kunci : Bagi Hasil, Pertambangan
Universitas Sumatera Utara
iii
ABSTRACT
Businesses mining is natural resources strategic non renewable that based on constitution 33 1945 controlled by the state and is vital commodities that dominate his life the people and had an important role in the national economy so that should be managed optimally to provide prosperity and the people's welfare. System change of government from centralization to decentralization give to local government great dominion in managing its territory included in businesses mining. The Mining sector was conducted in various governance areas impacted positively in increasing the acceptance of the original Regional Revenue (PAD) through the Fund for the results (DBH). This research mean to get picture of contribution of execution in system profit sharing central government and regional government in other businesses mining, government role central and regional realize in funding for the results on society and implementation funding for results.
The method of this research is conducted by the method of normative legal research is qualitative. Qualitative analysis of secondary data (legal materials) that was collected by using the means of research studies library.
The result showed that since reformation era, idea of regional autonomy, continue thus causing the occurrence of paradigm shift.The paradigm is sentralistik or top-down and just focused on economic growth paradigm shift to development which based on the basic principles of democracy, equality, and justice in the form of autonomous region. Through the distribution and allocation of funds for intermediate results-producing mines and the Centre has been set up in positive law in Indonesia, namely Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization, law No. 32 of 2004. However the mine-producing regions in Indonesia several times expressed their dissatisfaction against funds for the results because both feel very discriminatory and unfair to local governments that get a portion of the revenues of the smaller mining although the Central Government as compared to regions, so too will the obscurity of Division results and time distribution of the results of the country's top mining exploration in the area. The complaints came from the local government who feel that the division's results proved less for area this is due to funding for the results (DBH) Equalization Financial Center (Central Government) and regional (regional government) of the result mining Management Division is not only a problem, nor is it merely a question of policy options the been distributed and mining Division, but the percentage is related to the substance of the mining management policies in relation to the parties of the Central Government and local governments.
It is recommended that do back/formulation or revision of Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization between the Central Government and local governments, in terms of the allocation of equalization funds which is considered unfair to the producers mine. So the channeled funds for the result between the Central Government and local governments that are fair to reduce fiscal disparities
Universitas Sumatera Utara
iv
Center-region since the implementation of regional autonomy, local governments must have adequate financial resources to finance the implementation of autonomy including the income source in the field of mining enterprises. The substance of the autonomous region is using a new policy direction that accommodate mining principles of national interest, the benefit, to the community, the guarantee sought, decentralized management of mining which is good.
Keyword : For the Result, Mining
Universitas Sumatera Utara
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar
Sarjana Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatra Utara.
Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : “Analisis Hukum Bagi Hasil
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang Usaha Pertambangan”. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan
penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak untuk
penyempurnaannya dikemudian hari.
Pada kesempatan ini, dengan segala hormat penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K)
selaku Rektor Universitas Sumatra Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahmat Matondang, M.S.I.E. selaku Direktur Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi
Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
Universitas Sumatera Utara
vi
4. Ibu Prof Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing yang
dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang
sangat membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian, dan
dukungan yang tiada henti- hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat
pada waktunya.
6. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji.
7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji
8. Para Dosen Penulis pada Sekolah Pasca Sarjana USU yang telah banyak
memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan
bermanfaat dikemudian hari.
9. Orangtuaku tercinta, Ayahanda T. Dolok Saribu dan Ibunda R. Butar-Butar
yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-
putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anaknya dan Saudara-Saudariku
serta segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada Penulis
untuk menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini
10. Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Reguler Program Studi Ilmu Hukum
USU Angkatan Tahun 2009, atas dukungan dan kebersamaanya.
11. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum USU atas segala
bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya
Tuhan jualah yang membalas semua kebaikannya.
Universitas Sumatera Utara
vii
Akhirnya Penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang
dan saran pemikiran mengenai “Analisis Hukum Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah di bidang Usaha Pertambangan”. Semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin
Medan, Agustus 2014
Penulis
Juliandi Hasudungan Dolok Saribu
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP ABSTRAK .................................................................................................... i ABSTRACT .................................................................................................... iii KATA PENGANTAR .................................................................................. v DAFTAR ISI ................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................. 3 C. Tujuan Penelitian .................................................................. 4 D. Manfaat Penelitian ............................................................... 4 E. Keaslian Penelitian ................................................................ 5 F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ........................ 5 1. Kerangka Teori .............................................................. 6 2. Landasan Konsepsional .................................................. 8 G. Metode Penelitian ................................................................ 8 1. Jenis dan Sifat Penelitian ............................................... 9 2. Sumber Data ................................................................... 10 3. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 11 4. Analisis Data .................................................................. 12
BAB II ALASAN – ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN ..................... 14 A. Penguasaan Negara atas Kekayaan Alam yang Terkandung di
bawah Tanah .................................................................................. 14 1.Pengertian dan Konsep Penguasaan Negara ......................... 14
2.Tujuan Penguasaan Negara ................................................... 15 3. Kedudukan Pemerintah Daerah dalam Penguasaan Negara 15 B. Alasan dari Segi Hukum Pertimbangan Bagi HasilAntara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan ................................................................................ 16
C. Alasan lain Pentingnya Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan ........................................................................... 16 1. Pertimbangan Politik ............................................................ 17
2.Pertimbangan Ekonomi ......................................................... 17 3.Pertimbangan Sosiologi ........................................................ 17
Universitas Sumatera Utara
ix
BAB III SISTEM BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN ................................................................................ 19 A. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusatdan Pemerintah
Daerah ...................................................................................... 19 1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ......................... 19 2. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ............... 19 B. Pengaturan Usaha Pertambangan di Indonesia ...................... 20
1. Landasan Konstitusi ........................................................... 20 2. Asas Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara ........... 21
3. Peraturan Perundang-undangan ......................................... 21 a. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam
Bidang Usaha Pertambangan Menurut UU NO 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah ................................... 22
b. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut UU NO 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara ..... 22
c. Kewenangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan .................................. 22
C. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan ............................ 22 1. Ruang Lingkup Bagi Hasil ................................................ 22 2. Penataan Bagi Hasil ........................................................... 23 3. Sistem Bagi Hasil ............................................................. 24
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM BAGI HASIL ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN ..................... 26 A. Hambatan Dari Segi Hukum .................................................... 26 B. Hambatan Dari Luar Hukum .................................................... 26
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 28
A. Kesimpulan .............................................................................. 28 B. Saran ......................................................................................... 32
DAFTARPUSTAKA ...................................................................................... 34
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRAK
Bidang usaha pertambangan merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang berdasarkan UU Pasal 33 1945 dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga harus dikelola secara maksimal untuk memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi memberikan kepada pemerintah daerah kekuasaan yang besar dalam mengelola daerahnya termasuk dalam bidang usaha pertambangan. Sektor Pertambangan yang berlansung di berbagai pemerintahan daerah berdampak positif dalam meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Dana Bagi Hasil (DBH).
Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan gambaran tentang mengapa sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan dalam bidang usaha pertambangan, bagaimana ketentuan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan, apakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan. . Metode penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normative yang bersifat kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan cara penelitian studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak era reformasi, gagasan otonomi daerah terus bergulir, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik atau top-down dan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi bergeser ke paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan dalam bentuk otonomi daerah. Melalui pembagian dan alokasi dana bagi hasil antara pusat dan daerah penghasil tambang telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Walaupun demikian daerah-daerah penghasil tambang di Indonesia beberapa kali mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap Dana Bagi Hasil karena dirasa sangat diskriminatif, dan tidak adil bagi pemerintah daerah yang mendapatkan porsi penerimaan pertambangan yang lebih kecil dibandingkan pemerintah pusat kendati sebagai wilayah penghasil, begitu juga akan ketidakjelasan pembagian hasil dan waktu pendistribusian hasil dari Negara atas eksplorasi tambang di daerah. Keluhan tersebut datang dari pemerintah daerah yang merasa bahwa pembagian hasil dirasa kurang bagi daerah hal ini disebabkan dana bagi hasil (DBH) perimbangan keuangan pusat (pemerintah pusat) dan daerah (pemda) atas hasil pertambangan bukan hanya masalah manajemen pembagiannya, juga bukan sekadar soal kebijakan pilihan bidang pertambangan yang dibagihasilkan dan persentase pembagiannya, melainkan amat terkait dengan substansi kebijakan pengelolaan pertambangan dalam hubungannya dengan para pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Universitas Sumatera Utara
ii
Disarankan agar dilakukan perumusan kembali/ulang atau revisi terhadap Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam hal alokasi dana perimbangan yang dirasa tidak adil bagi daerah penghasil tambang. Sehingga tersalurkannya Dana Bagi Hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang adil untuk mengurangi kesenjangan fiskal pusat-daerah karena pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonomi termasuk sumber pendapatan dalam bidang usaha pertambangan. Substansi dari otonomi daerah menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional, kemanfaatan, untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan pertambangan yang baik.
Kata Kunci : Bagi Hasil, Pertambangan
Universitas Sumatera Utara
iii
ABSTRACT
Businesses mining is natural resources strategic non renewable that based on constitution 33 1945 controlled by the state and is vital commodities that dominate his life the people and had an important role in the national economy so that should be managed optimally to provide prosperity and the people's welfare. System change of government from centralization to decentralization give to local government great dominion in managing its territory included in businesses mining. The Mining sector was conducted in various governance areas impacted positively in increasing the acceptance of the original Regional Revenue (PAD) through the Fund for the results (DBH). This research mean to get picture of contribution of execution in system profit sharing central government and regional government in other businesses mining, government role central and regional realize in funding for the results on society and implementation funding for results.
The method of this research is conducted by the method of normative legal research is qualitative. Qualitative analysis of secondary data (legal materials) that was collected by using the means of research studies library.
The result showed that since reformation era, idea of regional autonomy, continue thus causing the occurrence of paradigm shift.The paradigm is sentralistik or top-down and just focused on economic growth paradigm shift to development which based on the basic principles of democracy, equality, and justice in the form of autonomous region. Through the distribution and allocation of funds for intermediate results-producing mines and the Centre has been set up in positive law in Indonesia, namely Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization, law No. 32 of 2004. However the mine-producing regions in Indonesia several times expressed their dissatisfaction against funds for the results because both feel very discriminatory and unfair to local governments that get a portion of the revenues of the smaller mining although the Central Government as compared to regions, so too will the obscurity of Division results and time distribution of the results of the country's top mining exploration in the area. The complaints came from the local government who feel that the division's results proved less for area this is due to funding for the results (DBH) Equalization Financial Center (Central Government) and regional (regional government) of the result mining Management Division is not only a problem, nor is it merely a question of policy options the been distributed and mining Division, but the percentage is related to the substance of the mining management policies in relation to the parties of the Central Government and local governments.
It is recommended that do back/formulation or revision of Act No. 33 of 2004 concerning the Financial Equalization between the Central Government and local governments, in terms of the allocation of equalization funds which is considered unfair to the producers mine. So the channeled funds for the result between the Central Government and local governments that are fair to reduce fiscal disparities
Universitas Sumatera Utara
iv
Center-region since the implementation of regional autonomy, local governments must have adequate financial resources to finance the implementation of autonomy including the income source in the field of mining enterprises. The substance of the autonomous region is using a new policy direction that accommodate mining principles of national interest, the benefit, to the community, the guarantee sought, decentralized management of mining which is good.
Keyword : For the Result, Mining
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang terkandung di
dalam bumi dan di dalam air. Di dalam bumi diartikan sebagai dipermukaan atau
dibawah bumi. Di dalam air diartikan berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah
bumi yang berair (sungai, danau, laut dan rawa). Bahan galian tambang untuk
sebagian didapati di atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang berada
di bawah air. Oleh karena itu pengertian bahan galian harus diartikan baik yang
diperoleh dengan menggali maupun dengan cara-cara mengambil di bagian
permukaan bumi termasuk permukaan bumi yang ada di bawah air.1
1 Deddy Supriadi Bratakusumah, Kompetensi Aparatur Dalam Pelaksanaan Desentralisasi
dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Jurnal Administrasi Publik Studi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, 2002), hal. 40
Di dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria telah
disebutkan bahwa pelaksanaan penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dapat dikuasakan kepada daerah. Walaupun ketentuan
ini memungkinkan daerah turut serta menyelenggarakan hak menguasai oleh Negara
atas bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya, tetapi tidak cukup jelas terutama
mengenai makna dikuasakan. Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk
diterapkannya otonomi daerah merupakan konteks yang melatarbelakangi lahirnya
sejumlah perubahan dalam UU No. 4 Tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
2
substansi UU No.4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan
pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national
interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies).
Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat
konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point yang maju meski disertai dengan
cukup banyaknya klausula yang masih membutuhkan klarifikasi. Sejak berlakunya
pemberian otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota secara luas telah
dipersepsikan secara keliru bahwa semua kewenangan pertambangan secara otomatis
menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan dan urusan
pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah daerah secara. Tugas-
tugas pengelolaan di bidang pertambangan bukanlah tugas yang bersifat kedaerahan,
sehingga tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Urusan yang dapat
diserahkan kepada daerah adalah urusan yang bersifat lokal, artinya mempunyai nilai
yang bersifat kedaerahan, sesuai dengan kondisi daerah dan tidak menyangkut
kepentingan nasional.2
Hal yang perlu untuk diperhatikan adalah bahwa pemberian otonomi kepada
daerah tidak mengalami distorsi tujuan. Otonomi tidak semata-mata hanya
dipersepsikan sebagai kewenangan saja tetapi juga tanggung jawab yang harus
dijalankan. Untuk itu penataan kelembagaan dan kinerja lembaga (structure) dalam
2 Akhmad Subagya, Mekanisme dan Implementasi Otonomi Daerah, ( Bantul: Makalah untuk
kabupaten bantul, 2002), hal. 7
Universitas Sumatera Utara
3
pemerintahan daerah, pembenahan regulasi (substance) termaksud juga di bidang
usaha pertambangan, sebaiknya dilakukan secara terpadu (integrated) walaupun
bertahap (incremental). Di samping itu pemahaman HPN terhadap pertambangan
perlu dijadikan referensi untuk meluruskan permasalahan yang sering terjadi di
lapangan antara masyrakat melawan pemerintah atau juga kepada pengelola usaha
pertambangan seperti masalah primordialisme terhadap masyarakat sekitar tempat
usaha tambang di laksanakan, corporate social responsibility perseroan, masalah
analisis dampak lingkungan atau amdal sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial
dan konflik deprivasi relatif atau rasa kehilangan memiliki oleh kelompok masyrakat
lama terhadap munculnya kelompok baru yaitu pengelola usaha tambang, maka perlu
di jaga dan di tumbuhkan budaya hukum (legal culture) antara pemerintah pusat dan
daerah juga kepada pengelola usaha tambang dan masyrakat sekitar usaha tambang
berlangsung yang mencerminkan NKRI.3
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dalam bentuk karya ilmiah dengan fokus judul adalah “Analisis
Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini
adalah sebagai berikut, bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu
dilakukan dalam bidang usaha pertambangan, bagaimana cara bagi hasil antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan dan yang
menjadi hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan bagi hasil pemerintah pusat
dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan.
3 Anonimous, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan
atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta:Erlanga, 2005), hal.50
Universitas Sumatera Utara
4
Hukum Bagi Hasil Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang Usaha
Pertambangan”
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
perlu dilakukan dalam bidang usaha pertambangan?
2. Bagaimana ketentuan sistem bagi hasil antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan?
3. Apakah yang menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi
hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha
pertambangan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang mendasari perlunya
sistem bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha
pertambangan.
2. Untuk mengetahui pengaturan sistem bagi hasil pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
5
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalampelaksanaan sistem bagi hasil
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yaitu baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni tentang :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan sebagai bahan
pertimbangan yang penting dalam mengambil suatu kebijakan dalam pengelolaan
perusahaan, serta diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang hukum bisnis
terutama dalam perkembangan hukum pertambangan.
2. Secara praktis
a. Sebagai pedoman dan masukkan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam
upaya pembaharuan dan pengembangan hukum nasional ke arah pengaturan
kebijakan dalam pengelolaan perusahaan pertambangan dan bagi hasil dari
pendapatan perusahaan pertambangan.
b. Sebagai informasi bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengetahui
pengaturan mengenai kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam
pengawasan dan pengelolaanpertambangan.
c. Sebagai bahan referensi atau rujukan untuk dikaji kembali bagi para peneliti
lebih lanjut untuk menambah wawasan hukum bisnis terutama yang
membahas tentang bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah dalam usaha
pertambangan dengan mengambil poin-poin tertentu.
Universitas Sumatera Utara
6
d. Sebagai informasi untuk membuka inspirasi bagi pelaku bisnis pertambangan
bahkan investor agar mampu memahami ruang lingkup perusahaan
pertambangan.
E. Keaslian Penelitian
Kerangka Teori dan Konsepsional
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penelitian di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara (USU) diketahui bahwa penelitian mengenai “ Bagi Hasil
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Usaha Pertambangan ”, belum
pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama sebelumnya,
walaupun ada beberapa topik penelitian ilmiah ini dilakukan sesuai dengan asas-asas
keilmuan, yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-
saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah
dalam penelitian ini.
1. Kerangka Teori
Untuk mengkaji mengenai Sistem Bagi Hasil Pusat dan Daerah di Bidang
Usaha Pertambangan, terdapat beberapa teori antara lain :
1. Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan
pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik
pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian
Universitas Sumatera Utara
7
dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya
adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan
sejahtera, setiap orang biasa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena
memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.4
B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai proses melakukan
pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan terdapatnya
pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan dan pembagian
kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat diisyaratkan untuk menyerahkan
kekuasaan kepada Pemerintah Daerah sebagai wujud pelaksanaan
desentralisasi.
5
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan
desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam sistem
pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi,
kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam
tangan pemerintahan pusat.
6
4 Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999, (Bandung : Makalah Falsafah Sains, 2002), hal.10. 5 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,
2006), hal.20 6 Soetijo, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Jakarta:PT Rineka
Ripta,1990), hal. 55
Universitas Sumatera Utara
8
2. Keadilan
Keadilan merupakan tujuan hidup manusia, tanpa terkecuali mereka yang
menganut agama tertentu, bahkan di orang yang tidak beragama pun mengharapkan
keadilan yang sesungguhnya. Di seluruh di Negara manapun telah sedang mempunyai
persoalan yang sama, yaitu keadilan Sosial. Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris
adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga
macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil
atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan
hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman
(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan
persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist,
magistrate).7
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain
sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan
sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan sama hak dan
kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya. Orang dapat
menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan
mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa
didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang
dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat
tentang dunia secara umum.
7 http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 1 juli 2014
Universitas Sumatera Utara
9
2. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional atau kontruksi secara internal pada pembaca berguna
untuk mendapat stimulasi atau dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan
kepustakaan. Kerangka konsepsional dibuat untuk menghindari pemahaman dan
penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini
dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul
dalam penelitian sebagai berikut :
1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang.8
2. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta pasca tambang.
9
3. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang
memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan
8 Konsep Pemisahan Menurut UUPT (Poinetrs For Discussion), disampaikan pada acara
“Sosialisasi UU tentang PT” yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI), 22 Agustus 2007 di Jakarta, hal.10
9 Ibid. hal.12
Universitas Sumatera Utara
10
administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang
nasional.10
4. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
11
5. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
12
6. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
13
7. Dana Bagi Hasil selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber dan
pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
14
F. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari kata Yunani “methods” yang berarti cara atau jalan.
Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja.
yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti cara sistematis dan cara
10 http://peranap. riaucoding. com/2009/07/reformasi-rasionalisasi-restrukturisasi. html 11 http://id. wikipedia.org/wiki/Perseroan_Terbatas 12 http://id.wikipedia.org/wiki/aset 13 http://rahasia akuntansi. blogspot. com/2010/03/defenisi-aktiva-pasiva.htm 14 Kontjaranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka,
1977), hal.16.
Universitas Sumatera Utara
11
terpikir secara baik untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu sebagai sebuah penelitian
ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian mulai dari pengumpulan data sampai pada
analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaedah - kaedah penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan tesis ini adalah
metode penelitian hukum normatif. Metode penelitan hukum normatif adalah
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutkan metode
penelitian tersebut juga sebagian penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu
penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book,
maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.15
a. Analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori,
konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang
tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan
Dalam menggunakan penelitian hukum normatif dalam penyusunan tesis ini
akan difokuskan kepada penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Untuk itu
yang menjadi alasan adalah sebagai berikut:
b. Data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda
antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.16
15 Ronal Dworkin sebagaimana dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif
dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Febuari 2003, hal. 1.
16 Ibid, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
12
2. Sumber Data
Sumber data digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin,
pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terlebih dahulu yang berhubungan
dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan,
buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.
Sebagai penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada penelitian
kepustakaan dan berdasarkan data sekunder, maka bahan kepustakaan yang
digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik dalam bentuk perundang-
undangan ataupun peraturan perundang-undangan lainnya dalam hal ini antara
lain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer berupa buku-buku, makalah-makalah seminar, majalah, surat
kabar dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berisikan pendapatt praktisi
hukum dalam hal ini yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti
dan juga putusan pengadilan tentang masalah yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara
13
c. Bahan hukum tertier, yaitu hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum,
ensiklopedia dan berbagai kamus lain yang relevan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Seluruh
data sekunder dikumpulkan dengan mempergunakan studi dokumen atau studi
pustaka (library reseach) untuk mendapatkan data sekunder berupa buku-buku
pustaka, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan yang ada didalam media cetak dan dokumen-
dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan. Data yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna
memperoleh Pasal-Pasal (di dalam UU Perseroan Terbatas, UU Pemerintahan
Daerah, UU Pertambangan) yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian
dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan
sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam
penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif
kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah
dalam penelitian ini dapat dijawab.17
4. Analisis Data
Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam
rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis data
dilakukan terlebih dahulu diadakan pengumuman data, kemudian dianalisis secara
17 Bambang Sunggono, Methode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : PT.Raja
Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
Universitas Sumatera Utara
14
kualitatif dan ditafsirkan secar logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan
induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta
konseptual dengan produser dan tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
asas-asas yang berlaku umum dalam perundang-undangan.
Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan-bahan hukum pada
hakekat adalah kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut
untuk memudahkan dalam penelitian, kegiatan yang dimaksud dalam hal ini
diantaranya memilih bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang berisi peraturan
perundang-undangan serta kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan
dengan bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam usaha
pertambangan serta menemukan prinsip-prinsip hukum lainnya secara sistematis,
sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu yang terbagi atasa penyebab terjadi bagi
hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam usaha pertambangan, proses
pelaksanaan bagi hasil pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam suatu
perusahaan pertambangan, dan akibat hukum dari bagi hasil pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Kemudian menemukan dan mengarahkan hubungan antara prinsip-prinsip
hukum dan klasifikasi dengan menggunakan kerangka teoritis yang ada sebagai
analisis. Selanjutnya menarik kesimpulan dari hasi penelitian yang diperoleh dengan
menggunakan logika berpikir deduktif dan induktif.
Universitas Sumatera Utara
15
BAB II
ALASAN – ALASAN PERLUNYA BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
BIDANG USAHA PERTAMBANGAN
A. Penguasaan Negara Atas Kekayaan Alam yang Terkandung di Bawah Tanah
1. Pengertian dan Konsep Penguasaan Negara
Konsep penguasaan negara atau lebih dikenal dengan asas domein mengandung
pengertian kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu
memiliki segala wewenang melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan
(eigensdaad).18
Dari ketentuan UUD 1945 terdapat kerancuan istilah dikuasai oleh negara antara
Pasal 33 ayat (2) dengan Pasal 33 ayat (3). Menurut Pasal 33 ayat (2) bahwa cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Istilah dikuasai oleh negara dalam pasal ini berarti dimiliki dan
dikelola oleh negara secara langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN.
Sementara makna dikuasai oleh negara dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dijelaskan
oleh Pasal 2 UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, sebagai hak menguasai negara,
yang sesuai dengan penjelasan umum UU pokok agraria, istilah dikuasai dalam pasal
ini tidak berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang
kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu. Akibat dari
kerancuan makna dikuasai oleh negara seperti dimuat dalam UUD 1945 dan UU
Pokok Agraria itu, sering timbul salah faham bagi para penyelenggara negara, yang
18Adiproj, Fungsi dan Peran Pemerintah Daerah, (Jakarta:PT.Madju jaya, 2011), hal.28
Universitas Sumatera Utara
16
memandang bahwa hak menguasai negara atas tanah sama dengan hak negara atas
cabang produksi yang diurus oleh badan usaha milik negara, yakni diartikan sebagai
milik negara, yang kemudian disebut dengan istilah tanah negara.19
2. Tujuan Penguasaan Negara
Penguasaan sumber daya alam oleh negara dalam konteks di atas adalah
penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran
rakyat. Otoritas negara dalam penguasaan sumber daya alam bersumber dari Undang-
undang Dasar atau konstitusi Negara. Pengertian yang secara normatif diakui dalam
ilmu hukum adalah bahwa masyarakat secara sukarela menyerahkan sebagian dari
hak-hak kemerdekaannya untuk diatur oleh Negara dan dikembalikan lagi kepada
masyarakat untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan kemakmuran rakyat.
Negara atau Pemerintah harus memiliki sense of public service, sedangkan
masyarakat harus memiliki the duty of public obedience.20
3. Kedudukan Pemerintah Daerah dalam Penguasaan Negara
Dalam konsep otonomi daerah, pembangunan daerah merupakan bagian integral
dari pembangunan negara. Terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 merupakan jawaban atas tuntutan dan desakan desentralisasi
19Astuti Sri Wahyuni, Dampak Pemasaran Jasa Rumah Sakit Terhadap Nilai, Kepuasan Dan
Loyalitas Pasien, Penelitian Pada Pasien Inap Rumah Sakit Umum Di Tiga Ibukota Propinsi Dipulau Jawa, (Surabaya:Pascasarjana Universitas Airlangga, 2001), hal.6
20 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung, PT. Alumni, 2006, hal.9
Universitas Sumatera Utara
17
pemerintahan dari pusat ke daerah. Sebagai daerah otonom, pemerintah provinsi, dan
kabupaten/kota mempunyai kewenangan dan tanggungjawab untuk
menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan,
menggerakkan partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.21
B. Alasan dari Segi Hukum Pentingnya bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Usaha Pertambangan
Dengan demikian, otonomi daerah mengkonsepkan daerah mempunyai keleluasan
untuk mengatur dan mengelola wilayahnya sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
daerah dengan tetap memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan
partisipasi masyarakat, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Substansi UU No.4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan
pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national
interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining practies).
Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat
konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup
banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi.22
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba)
dapat dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan.
Sebagian ruang bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi
21 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
Pelayanan Publik, (Bandung: Nuansa: 2009), hlm. 12. 22 F.Due, John, Rudi Sitompul, Government Finance, (Jakarta: Erlangga, 2001), hal.17
Universitas Sumatera Utara
18
dalam undang-undang ini. Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar
pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No.32 tahun 2004
yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009.
C. Alasan Lain Pentingnya Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan
1. Pertimbangan Politik
Mengingat bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia begitu luas
dan dibagi dalam daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang
penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya menganut asas desentralisasi, asas
dekonsentrasi dan asas tugas perbantuan, maka pembagian kewenangan tersebut
dilakukan demi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan
dimaksudkan untuk memberi peluang yang lebih besar bagi daerah-daerah untuk
berkembang lebih cepat dan mandiri dalam mencapai pemakmuran rakyat.23
2. Pertimbangan Ekonomi
Salah satu tujuan Negara sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan
UUD 45 adalah : “memajukan kesejahteraan umum”, yang merupakan landasan
yuridis bagi tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintahan negara untuk
menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia agar terlepas dari belenggu
kemiskinan setelah dijajah selama 350 tahun. Dalam rangka mewujudkan
23 Ferdinand, Metode Penelitian Manajemen. Pedoman Penelitian untuk penulisan Tesis dan
Disertasi ilmu manajemen, (Semarang: Edisi pertama, Badan penerbit Universitas Diponegoro,2006), hal.17
Universitas Sumatera Utara
19
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat maka pemerintah melaksanakan
pembangunan di segala bidang khususnya bidang ekonomi.
3. Pertimbangan Sosiologis
Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang dibuat ditaati oleh masyarakat.
Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam
masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 dapat dikaji menurut
tinjauan landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 2009 bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral
dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi,
minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan
nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan
daerah secara berkelanjutan.24
24Sirait, Industri Pertambangan Indonesia, Papua dan PT Freeport Indonesia
,(Jakarta:Radjawali Press, 2000), hal. 21
Universitas Sumatera Utara
20
BAB III
SISTEM, BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM BIDANG USAHA PERTAMBANGAN BERDASARKANPERUNDANG –
UNDANGAN
A. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah pusat selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Menurut Aim Abdul Karim pemerintahan adalah segala urusan yang
dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dan
kepentingan negara. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 angka 5
memberikan definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada
definisi normatif dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka unsur otonomi daerah adalah
hak, wewenang kewajiban daerah otonom. Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk
mengatur dan mengurus sendiri, urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 25
25 Halim, Abdul., Ibnu Mujib, Problem Desentralisasi Dan Perimbangan Keuangan
Pemerintahan Pusat-Daerah-Peluang Dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Daerah, (Yogyakarta:Sekolah Pascasarjana UGM, 2008), hal.55.
Universitas Sumatera Utara
21
2. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Pada dasarnya substansi hubungan Pusat-Daerah akan dibekali dengan
berbagai konsep, teori dan praktik hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah yang meliputi hubungan dalam bidang kewenangan,
keorganisasian, keuangan, pelayanan publik, penyelenggaraan pembangunan, dan
dalam bidang pengawasan. Pengertian dan Model-Model Hubungan Pusat-Daerah
a. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Kewenangan
b. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Kelembagaan
c. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Keuangan
d. Hubungan Pusat- Daerah Bidang Pengawasan 26
B. Pengaturan Usaha Pertambangan Di Indonesia
1. Landasan Konstitusi
Suatu negara yang baik adalah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan
berkedaulatan hukum”, adapun ciri negara yang berkonstitusi adalah: "Pemerintahan
yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang
sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi. Oleh karena itu
perumusan peraturan yang, baik dalam bentuk Undang-Undang haruslah mengacu
kepada konsep pemerintahan konstitusional (Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945) sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Karena memang sudah menjadi aspirasi dari perjuangan
kemerdekaan bangsa. Begitu juga pengaturan dalam bidang usaha pertambangan,
26Ibid, hal.42.
Universitas Sumatera Utara
22
adapun landasan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang
pertambangan (migas dan tambang umum) di Negara kita adalah Konstitusi UUD
1945, khususnya Pasal 33 ayat 3 dan ayat 2. Pasal 33 ayat 3 menyatakan, “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sedangkan ayat 2
menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Frase kunci dari kedua
ayat ini dalam hal sistem pengelolaan pertambangan adalah “dikuasai oleh Negara”
dan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
2. Asas-asas Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara
Dalam pasal 2 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan
mineral dan batubara telah ditentukan asas-asas hukum pertambangan mineral dan
batubara. Ada tujuh asas hukum pertambangan mineral dan batubara. Ketujuh asas itu
meliputi :
1) Manfaat
2) Keadilan
3) Keseimbangan
4) Keberpihakan kepada kepentingan bangsa
5) Partisipatif
6) Transparansi
7) Akuntabilitas
8) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
Universitas Sumatera Utara
23
3. Peraturan Perundang - Undangan
a. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Bidang Usaha
Pertambangan Menurut UU NO. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terdapat pada Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5)
meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian.
b. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnyadan
c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
d. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainn yang menjadi
kewenangan daerah.
e. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumberdaya
lainnya antar pemerintahan daerah dan Pengelolaan perizinan bersama dalam
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.27
b. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Bidang Usaha Pertambangan Menurut UU NO. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
c. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Bidang Usaha
Pertambangan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
27 Ibid, hal.49.
Universitas Sumatera Utara
24
Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara baru ada setelah Menteri ESDM menetapkan WP, WUP, dan WIUP seperti
diatur dalam UU Minerba jo PP No. 22 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah No. 22
Tahun 2010 (PP 22/2010) tentang Wilayah Pertambangan telah ditetapkan pada
tanggal 1 Februari 2010 sebagai pelaksanaan ketentuan pasal 12, 19, 25, 33 dan 89.28
C. Sistem Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Bidang Pertambangan
1. Ruang Lingkup Bagi Hasil
Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan:
a. Golongan bahan galian strategis.
b. Golongan bahan galian vital.
c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b. 29
(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
Menurut Pasal 128 UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, membagi jenis pendapatan Negara dan daerah dari sektor pertambangan
mineral dan batubara adalah sebagai berikut :
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan
daerah.
(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan
pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
28 Mardiasmo, Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah,
(Bandung;Mandar Madju, 2006), hal.101. 29Ibid, hal.41.
Universitas Sumatera Utara
25
a. Pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan
b. Bea masuk dan cukai.
(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Iuran Tetap
b. Iuran eksplorasi
c. Iuran Produksi
d. Kompensasi Data Informasi
2. Penataan Bagi Hasil
Penyaluran dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas bumi ke daerah harus
dievaluasi kembali untuk memberikan keadilan kepada daerah penghasil. Bila perlu,
Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) juga ikut terlibat dalam evaluasi tersebut.Wakil
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo
mengungkapkan selama ini belum ada transparansi pembagian DBH migas ke daerah,
sehingga menimbulkan berbagai persoalan dan kecemburuan di tingkat daerah. Dia
menuturkan dana bagi hasil migas untuk pemerintah itu sangat besar, yakni 85% dan
kontraktornya 15%, tetapi kenyataan daerah penghasil selalu mengeluhkan karena
mendapat bagian yang dinilai sedikit.
Harus ada evaluasi dan transparansi penyaluran DBH ini, sehingga jelas
duitnya kemana aja. Selain itu pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi ke
pemerintah daerah seharusnya tidak hanya sampai di tingkat kabupaten, tetapi juga
dialokasikan ke tingkat kecamatan.Berdasarkan Undang-undang No.33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dana bagi
Universitas Sumatera Utara
26
hasil minyak bumi kepada pemerintah daerah sebesar 15,5% dan pemerintah pusat
sebesar 84,5%. Sementara itu, dana bagi hasil gas bumi untuk pemerintah daerah
30,5% dan pemerintah pusat 69,5%.
3. Sistem Bagi Hasil
Sebenarnya masalah pembagian dan alokasi dana bagi hasil antara pusat dan
daerah penghasil migas telah diatur dalam hukum positif di Indonesia, yaitu Pasal 19
ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
(selanjutnya disebut UU Perimbangan Keuangan. Selain itu di dalam Pasal 20 ayat
(2) ditetapkan pembagian lain ke daerah yaitu sebanyak 0,5 % dari hasil
pertambangan migas dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Dari
keterangan di atas terlihat bahwa ketentuan yang mengatur jumlah alokasi dana bagi
hasil yang menjadi hak daerah penghasil migas dan waktu pendistribusiannya
sebenarnya telah ada, namun belum dapat dijalankan sebagaimana mestinya.30
30Sumodiningrat, Gunawan, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat,
(Pengelolaan Keuangan Daerah: Mendukung Pemberian Otonomi Daerah), (Jakarta:Bina Rena Parawira, Edisi Kedua, 2009), hal.49.
Universitas Sumatera Utara
27
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM BAGI HASIL ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
BIDANG USAHA PERTAMBANGAN
A. Hambatan Dari Segi Hukum
Walaupun pada dasarnya kontrak pertambangan harus dihormati, namun dalam
suasana reformasi dan otonomi daerah sekarang ini aspirasi masyarakat tentang perlu
adanya perubahan isi kontrak pertambangan, bahkan peraturan di bidang energi dan
sumber daya mineral perlu pula mendapat perhatian. Semua hal tersebut dapat
diwacanakan melalui koridor yang benar dan komunikasi intensif dari para
stakeholders. Dengan demikian permasalahan tersebut dapat dipecahkan berdasarkan
makna kepastian hukum secara adil, baik dan benar. Termasuk dalam kontek ini
adalah pemecahan masalah pertambangan tanpa izin (PETI) baik secara hukum
maupun sosial-ekonomi.31
Pemerintah daerah, masyarakat kabupaten /kota, masyarakat yang bertempat
tinggal di sekitar lokasi tambang migas merupakan pihak yang potensial menerima
dampak langsung atau tidak langsung dari kegiatan operasi industri ekstraktif migas
yang berada di wilayahnya. Kegiatan operasi industri ekstraktif Migas tentu
diharapkan akan membawa dampak ekonomi maupun sosial yang signifikan bagi
masyarakat di daerah, baik berupa peningkatan penerimaan, penciptaan lapangan
B. Hambatan di Luar Hukum
31 Dhakidae, Profil Daerah Kabupaten dan Kota, (Jakarta: Kompas Group,2001), hal.3.
Universitas Sumatera Utara
28
kerja, peningkatan kegiatan ekonomi daerah, maupun peningkatan kegiatan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dan sebagainya. Namun demikian,
lingkungan (baik lingkungan sosial maupun hayati) juga menerima dampak
eksternalitas yang tidak sedikit. Sebut saja misalnya alih fungsi lahan pertanian yang
dapat berimbas pada beralihnya mata pencaharian sebagian masyarakat, kerusakan
jalan yang sering dikeluhkan warga karena penggunaan alat angkut berat industri,
maupun perubahan rona lingkungan (baik secara fisika maupun biologis) serta resiko
kejadian kecelakaan Migas seperti gas kick, tumpahan minyak, kebakaran pipa
ataupun mud flow seperti kasus lumpur Lapindo. Sering kali berbagai dampak baik
positif maupun negatif tersebut kurang dapat dikelola dengan baik. Dampak positif
seperti naiknya penerimaan daerah dan peningkatan kegiatan ekonomi lokal, tidak
dianggap sebagai dampak ketika masyarakat tidak mengetahui berapa besar
penerimaan tersebut dan digunakan untuk apa bagi pembangunan di daerah.
Sehingga, masyarakat (terutama masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi
tambang) hanya akan melihat bahwa kegiatan tersebut berdampak pada rusaknya
jalan di pemukiman akibat alat angkut kendaraan berat. Di lain sisi, perusahaan
terkadang merasa bahwa dengan mengeluarkan anggaran untuk kegiatan CSR/
Comdev, dianggap telah menyelesaikan masalah- tanpa harus berkoordinasi dengan
Pemerintah Daerah. Sebaliknya jika di sebuah desa telah mendapat alokasi dana
CSR/Comdev dari perusahaan, Pemda cenderung menyerahkan Kepentingan Daerah
dalam Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. 32
32Tumakaka, Wahyu. 2004. Upaya daerah meningkatkan pajak dan retribusi dan dampaknya,
(Jakarta:BaIlmu, 2004), hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
29
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan Pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka kesimpulan
dalam penelitian ini adalah :
1. Alasan dari segi hukum pertimbangan sistem bagi hasil antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam bidang usaha pertambangan. Substansi
UU No. 4 Tahun 2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan
pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional
(national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha,
desentralisasi pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good
mining practies). Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam
terjemahannya pada tingkat konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point
maju meski disertai dengan cukup banyaknya klausul yang masih
membutuhkan klarifikasi. Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No. 4
Tahun 2009 (UU Minerba) dapat dikatakan sebagai langkah maju, tetapi
masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah
(provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-undang ini.
Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan
daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No. 32 tahun 2004 yang menjadi
landasan dalam penyusunan UU No. 4 tahun 2009.Sektor pertambangan yang
Universitas Sumatera Utara
30
berlangsung di berbagai daerah di Indonesia berdampak positif dalam
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Potensi
sumberdaya alam yang dimiliki yaitu kandungan bahan galian tambangnya
diharapkan memberikan kontribusi optimal bagi penerimaan asli daerah,
namun kontribusi sektor pertambangan kepada daerah belum optimal. Hal ini
disebabkan jenis pajak dan retribusi yang menjadi kewenangan daerah
terbatas, penerimaan daerah seperti pajak dan retribusi yang berpotensi
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah kurang maksimal, mekanisme
pengawasan dan pemberian sanksi hukuman terhadap subjek pajak belum
berjalan. Aktivitas pertambangan yang beroperasi tersebut seharusnya
berpotensi besar sebagai penyumbang penerimaan daerah dari tambang
mineral dan batubara tersebut oleh karena itu, dibutuhkan suatu analisis untuk
meningkatkan kontribusi sektor pertambangan kedalam pendapatan asli
daerah yang harus melibatkan berbagai stakeholder yang dianggap berperan
yaitu Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD), Dinas Pertambangan,
Badan Perencana Daerah (Bappeda), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), pengusaha pertambangan, dan akademisi. Acuan dasar pertimbangan
dalam perumusan kebijakan dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah
dimasa yang akan datang sebagai usaha meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan
pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat
adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan bagi hasil kurang
Universitas Sumatera Utara
31
memperhatikan kepentingan daerah. Menurut pakar Hukum Tata Negara Prof
Saldi Isra menilai Pasal 14 huruf e dan f UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memberikan lorong gelap yang merugikan daerah penghasil minyak dan gas
bumi.Kerugian itu disebabkan adanya frasa pungutan lainnya dalam pasal itu
sebelum dilakukan pembagian dengan daerah penghasil pertambangan migas.
Frasa pungutan lain dapat saja digunakan sebagai cara untuk mengurangi
pembagian daerah yang telah diatur dengan angka atau prosentase yang sangat
kecil, sangat masuk akal jika Pasal 14 huruf e dan f UU No 33 Tahunn 2004
dikatakan bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945 yang menyatakan
pemanfaatan sumber daya alam diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras. “Sulit dibantah jika Pasal 14 huruf e dan f tidak bertentangan dengan
Pasal 18A UUD 1945. Karena itu, Pasal 14 huruf e dan f itu juga bertentangan
dengan 18 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
karena terjadi perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan diskriminatif
terhadap sejumlah daerah penghasil sumber daya alam (migas, red) kaya atau
melimpah.
2. Bagi hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang usaha
Pertambangan menghadapi berupa hambatan yaitu :
1) Hambatan dari Segi Hukum.
Hambatan regulasi dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, di mana dalam Pasal 37 izin pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah
Universitas Sumatera Utara
32
dan pemerintah daerah. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berpotensi menghambat
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan terkait larangan terhadap kegiatan pertambangan
terbuka di hutan lindung. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang memasukkan alat-alat berat dan
alat-alat besar yang masih menjadi obyek pajak. UU No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, di
mana setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang
menambang pasir, minyak dan gas, dan mineral apabila menimbulkan
kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau
merugikan masyarakat sekitar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam UU mineral batubara sendiri, di mana penerbitan izin usaha
pertambangan bisa terhambat lantaran pemerintah masih menunggu
kejelasan RUU Tata Ruang. Perlu dipikirkan untuk penciptaan
regulasi
2) Hambatan dari Luar Hukum
a. Keterlibatan pemerintah daerah dalam proses penentuan dan
penawaran Wilayah Kerja (blok) Migas dan rencana
pengembangan lapangan (plan of development). Ketentuan
dalam (penjelasan) Pasal 12 dan Pasal 21 undang-undang ini
masih mewajibkan di level Provinsi, sementara sebagian besar
Wilayah Kerja (WK) Migas saat ini berada di level
Universitas Sumatera Utara
33
kabupaten/kota, akomodasi kepentingan masyarakat kabupaten
seharusnya lebih diakomodasi mengingat masyarakat di tingkat
inilah yang paling merasakan dampak dari kegiatan industri
Migas.
b. Pada prakteknya, Pemda dan masyarakat sekitar tambang sulit
mengakses infromasi mengenai kegiatan pertambangan, baik
informasi produksi dan perhitungan penerimaan dari sektor
Migas maupun informasi lingkungan seperti dokumen
AMDAL atau RKA/KL dari kegiatan operasi pertambangan,
serta pelaksanaan kegiatan pasca tambang. Hal ini juga terkait
dengan minimnya akses informasi, sosialisasi dampak
lingkungan dan simulasi keadaan darurat (contingency plan)
bagi masyarakat sekitar tambang.
c. Pada beberapa daerah WK Migas, dirasakan minim koordinasi
antara perusahaan dengan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR)
dan pengembangan masyarakat sekitar, akibatnya program
CSR-Comdev terkesan tidak sesuai dengan program
pembangunan daerah.
d. Terkait dengan hak penyertaan modal daerah (participating
interest), selama ini masih diberlakukan untuk penawaran
Blok-Blok Migas baru, sementara pada Blok Perpanjangan-
penyertaan modal daerah ini tidak diperhatikan/cenderung
Universitas Sumatera Utara
34
diabaikan. Hal ini juga didukung oleh persoalan lemahnya
kapasitas modal daerah dalam penyertaan modal di industri
Migas yang harus dicarikan jalan keluarnya. Terkait dengan
beberapa hal tersebut, dalam hal akomodasi kepentingan
masyarakat di daerah.
B. Saran
Adapun saran yang dikehendaki peneliti di dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada pemerintah baik pusat dan daerah tingkat I dan II yang
menangani masalah pertambangan ini agar bagi hasil antara pemerintah pusat
dan daerah perlu dicermati sesuai dengan peraturan yang telah ada.
2. Bahwa perlu diatur secara tegas mengenai bagi hasil antara pemerintah pusat
dan begitu juga pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang telah ada agar
dapat di gunakan untuk pembangunan wilayah dan rakyat.
3. Pentingnya bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah perlu dilaksanakan
serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan yang
telah ada agar dapat di gunakan untuk pembangunan wilayah, kemakmuran
rakyat dan bukan untuk kepentingan kelompok dan pribadi pejabat sehingga
tidak terjadi kecemburuan sosial
Universitas Sumatera Utara
35
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Adi, Priyo Hari, Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Kritis. Salatiga, Universitas Kristen Satya Wacana, 2000.
Astuti, Sri Wahyuni, Dampak Pemasaran Jasa Rumah Sakit Terhadap Nilai, Kepuasan Dan Loyalitas Pasien : Penelitian Padas Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Umum Di Tiga Ibukota Propinsi Di Pulau Jawa, Surabaya, Pascasarjana Universitas Airlangga, 2001
F.Due, John, Rudi Sitompul, Government Finance, Jakarta, Erlangga, 2001.
Ferdinand, Metode Penelitian Manajemen. Pedoman Penelitian untuk penulisan Tesis dan Disertasi ilmu manajemen, Semarang:Edisi pertama, Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2006.
Halim, Abdul, Akuntansi sektor publik Akuntansi Keuangan daerah, Jakarta, Salemba Empat, 2003.
Konsep Pemisahan Menurut UUPT (Poinetrs For Discussion), disampaikan pada acara “Sosialisasi UU tentang PT” yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI), 22 Agustus 2007 di Jakarta.
Kontjaranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia Pustaka, 1977
Mardiasmo, Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, Bandung, Mandar Madju, 2006.
Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Bandung, Makalah Falsafah Sains, 2002.
Ronal Dworkin sebagaimana dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Febuari 2003.
Sunggono, Bambang, Methode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2001.
Soetijo, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta, PT Rineka Ripta, 1990.
Universitas Sumatera Utara
36
Sumodiningrat, Gunawan, 1997, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, (Pengelolaan Keuangan Daerah: Mendukung Pemberian Otonomi Daerah), Jakarta, Bina Rena Parawira, Edisi Kedua, 2009.
Tumakaka, Wahyu, Upaya daerah meningkatkan pajak dan retribusi dan dampaknya, Jakarta, BaIlmu, 2004.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
C. Internet
http://peranap. riaucoding. com/2009/07/reformasi-rasionalisasi-restrukturisasi. html http://id. wikipedia.org/wiki/Perseroan_Terbatas http://id.wikipedia.org/wiki/aset http://rahasia akuntansi. blogspot. com/2010/03/defenisi-aktiva-pasiva.htm
Universitas Sumatera Utara