Upload
tkustiasari
View
189
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Sistem Sosial pada Dewasa Madya
PENDAHULUAN
Dewasa Madya melalui tinjauan Sistem Sosial
Berjalannya kehidupan masyarakat dapat disebut sebagai sistem sosial di mana
kehidupan masyarakat dan perilakunya dipengaruhi dan mempengaruhi sistem tersebut.
Dalam ilmu sosial, sistem dipelajari melalui dua kategori yaitu sistem makro dan sistem
mikro. Sistem makro melihat pada perilaku kelompok besar serta prosesnya yang menjadi
bagian dari masyarakat. Sedangkan sistem mikro melihat pada dampak dari kelompok besar
tersebut terhadap perilaku individu-individu.
Kelompok dewasa madya merupakan salah satu bagian dari masyarakat serta sistem
sosial yang memiliki peran untuk membangun keluarga serta kehidupan sosial ekonominya.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai dewasa madya melalui
tinjauan sistem sosial yang erat kaitannya dengan kondisi sosial dan ekonomi yang mencakup
kemiskinan, pengangguran, dan kondisi sosial dalam keluarga.
PEMBAHASAN MATERI
Kemiskinan merupakan hal yang erat kaitannya dengan kondisi ekonomi dan sosial.
Dalam pembahasan kali ini yaitu sistem sosial pada dewasa madya, kemiskinan dapat
menjadi satu penyebab munculnya masalah pada masa ini termasuk pada keluarga. Oleh
karena itu akan dijabarkan penjelasan mengenai kemiskinan yang akan dilanjutkan dengan
implikasinya terhadap sistem dalam keluarga.
Kemiskinan
Kemiskinan cenderung terjadi pada masyarakat yang memiliki karakteristik seperti:
1. One-Parent Families
Sebagian besar menjadi orang tua tunggal sering terjadi terhadap perempuan, seperti
single mother. Single mother selalu mendapat diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan
yaitu pada gender atau jenis kelamin. Pada umumnya seorang wanita sulit mencari pekerjaan
dibandingkan kaum laki-laki, hal ini dikarenakan wanita sering dipandang sebelah mata
bahwa wanita adalah kaum yang lemah, tidak dapat berpikir secara rasional dan lebih banyak
menggunakan perasaan dalam bertindak atau memutuskan suatu hal. Hal yang serupa juga
terjadi di Indonesia seperti banyaknya kasus perceraian yang mengakibatkan seorang ibu
harus berjuang untuk memenuhi kehidupan anak-anaknya, tidak jarang wanita yang hidup
sebagai single mother dipandang buruk oleh sebagian masyarakat karena mereka dianggap
tidak mampu menjaga dan menjalankan sebuah keluarga yang utuh. Namun pada masa
sekarang ini banyak single mother yang bangga akan statusnya, karena mereka menganggap
mampu menghidupi dan memenuhi segala kebutuhan keluarga dan anak-anaknya tanpa
adanya seorang pendamping di sisinya yaitu suami.
2. Children
Di Indonesia, banyak anak-anak yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan
penghidupan dan pendidikan yang layak bagi dirinya. Sehingga sejak kecil mereka memang
diajarkan oleh orang tuanya untuk mencari uang dengan cara bekerja atau menjadi pengemis
dan pengamen jalanan. Karena semakin berkurangnya perhatian dari pemerintah terhadap
kasus ini maka jumlah anak-anak yang miskin semakin bertambah setiap tahunnya di
Indonesia.
3. The Elderly
Dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, sebagian besar kaum lanjut usia atau lansia
bergantung kepada jaminan dana pensiun dihari tua atau bentuk-bentuk usaha pribadi yang
dapat membantu dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kondisi yang terjadi di
Indonesia adalah, umumnya orang-orang yang berusia lanjut mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga mereka harus terus bekerja ataupun
masuk kedalam panti-panti jompo yang bersedia menampung mereka, dibandingkan jika
mereka harus tinggal di jalanan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Banyak juga
lansia-lansia yang sudah merencanakan kehidupannya di hari tua, sehingga ketika mereka
menghadapi hari tuanya, mereka tidak akan mengalami stress (tekanan) karena kurangnya
pemasukan dalam keluarga. Biasanya mereka lebih memilih untuk membuka usaha pribadi
seperti membuka warung makan, atau usaha-usaha yang berhubungan dengan hobi atau
kegemarannya.
4. Large-Size Families
Ukuran keluarga yang besar juga dapat tergolong yang menyebabkan kemiskinan. Hal
ini dikarenakan dengan jumlah keluarga yang besar maka dibutuhkan pula pemasukan atau
pendapatan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga.
5. Minorities
Diskriminasi ras merupakan salah satu penyebab mengapa banyak kelompok-
kelompok minoritas rasial yang menderita kemiskinan. Hal ini dapat terjadi karena kaum
minoritas tidak terhindar dari kemungkinan diskriminasi dalam kehidupan sosial.
6. The Homeless (Tuna Wisma)
Salah satu gejala dari kemiskinan adalah orang-orang tidak memiliki sumber
penghasilan dalam kehidupannya untuk mendapatkan sebuah tempat tinggal. Homeless di
sini termasuk juga mereka yang mengalami masalah-masalah dalam ekonomi seperti
pengangguran, mereka yang memiliki masalah-masalah pribadi (seperti perceraian, kekerasan
domestik, atau masalah yang berhubungan dengan kesehatan), dan juga mereka yang
tergolong sebagai orang yang memiliki penyakit mental yang kronis. Kategori-kategori ini
ditemukan pada orang-orang yang terusir dari tempat tinggal atau kediamannya karena tidak
memiliki biaya untuk membayarnya, pembentukan mental yang lebih tidak sabar, kehilangan
masa mudanya serta pengangguran.
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Educational: Tidak tercapainya pendidikan wajib sembilan tahun memberikan
prediksi bahwa kedepannya orang tersebut akan berada dalam kemiskinan. Namun
dengan memiliki pendidikan sampai pada tingkat SMA juga tidak dapat menjamin
seseorang akan memiliki penghasilan yang mencukupi serta mencegah dari
kemiskinan.
Employment: Menjadi seorang yang pengangguran tentu saja memiliki hubungan
dengan kemiskinan. Bagaimanapun juga, walaupun seseorang memiliki suatu
pekerjaan dan hal ini juga tidak dapat menjamin seseorang terhindar dari kemiskinan
karena seseorang yang bekerja belum tentu bisa memenuhi kebutuhan dasar dari
pendapatannya.
Place of Resident: Sebagian besar orang yang tinggal di rural area lebih berpotensi
menjadi miskin dibandingkan dengan orang yang tinggal di urban area. Hal yang
menyebabkan mengapa di pedesaan berpotensi menderita kemiskinan, karena pada
umumnya gaji atau pendapatannya di desa lebih sedikit dibandingkan di perkotaan
serta ketesediaan lapangan kerja di desa juga sedikit. Selain itu orang yang tinggal di
perkotaan yang berada pada perkampungan kumuh juga merupakan kelompok yang
berpotensi menderita kemiskinan. Hal ini dikarenakan masyarakat urban yang miskin
kurang memiliki skill atau pendidikan sehingga tidak sanggup untuk berrsaing dalam
pasar kerja dengan yang lain.
Kemiskinan: dalam beberapa Perspektif
Perspektif Fungsionalis
Fungsionalis melihat kemiskinan disebabkan oleh adanya disfungsi dalam
perekonomian. Salah satu contoh disfungsi perekonomian adalah adalah adanya proses
industrialisasi yang pesat menyebabkan pada orang yang tidak memiliki keterampilan kerja
dipaksa untuk kerja kasar dengan upah yang rendah. Dalam hal ini, kaum miskin terjadi
disfungsi karena tidak menerima upah yang layak, namun di sisi lain, bagi kaum pemilik
modal berfungsi untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi. Oleh karena itu, banyak
fungsionalis yang melihat beberapa kesenjangan ekonomi (kemiskianan) sebagai hal yang
fungsional. Karena orang miskin berada pada stratifikasi bawah, maka mereka yang pada
stratifikasi atas lebih mendapatkan atau menerima beberapa penghargaan material dan sosial
dalam masyarakat. Pemerintah pun sulit rasanya untuk mengubah aturan dalam rangka
memberikan bantuan pada para kaum miskin.
Perspektif Konflik
Teori konflik menyatakan bahwa kemiskinan ada karena struktur kekuasaan yang
menginginkan kemiskinan itu ada. Para pekerja dari golongan miskin dieksploitasi, dengan
cara mereka dibayar dengan upah yang rendah sehingga membuat majikan mereka meraih
keuntungan yang besar. Selain itu para pengangguran juga dipandang sebgai korban dari
struktur kekuasaan. Teori konflik tidak melihat kemiskinan sebagai hal yang baik atau
fungsional. Perspektif ini melihat kemiskinan merupakan masalah sosial dari kelompok yang
merasa adanya distribusi sumber daya dan sosial yang tidak merata. Teori konflik percaya
bahwa kemiskinan dapat ditangani dengan baik oleh masyarakat miskin yang menjadi sadar
politik dan dapat mengorganisisr untuk mengurangi kesenjangan melalui tindakan
pemerintah.
Perspektif Interaksionis
Perspektif interaksionis melihat kemiskinan sebagai hal yang subjektif dan sebagai hal
yang seharusnya dapat dibagi. Masyarakat miskin dianggap tidak baik oleh pengaruh
beberapa kelompok. Kelompok tersebut adalah objek yang memberikan tanda kepada orang
miskin untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan oleh kelompok tersebut. Jadi ada
maksud tertentu dari kelompok tersebut. Selanjutnya perspektif interaksionis memandang
kemiskinan tidak hanya dari hal ketimpangan ekonomi saja, melainkan juga dari konsep diri
seseorang. Untuk mengatasi masalah kemiskinan, interaksionis mendesak stigma dan asosiasi
definisi negatif dengan kemiskinan yang harus dihilangkan. Perubahan positif dalam
kemiskinan tidak akan terjadi sampai orang miskin diyakinkan bahwa mereka tidak akan
lama ditakdirkan untuk hidup dalam kemiskinan. Belenggu kemiskinan dapat dibentuk
dengan memperbaiki program pertolongan publik yang membawa orang miskin dapat naik
pada standar hidup yang lebih tinggi dan lebih baik. Program demikian juga dapat
dikombinasikan dengan program yang membuka kesempatan bagi orang miskin untuk
meningkatkan kehidupan sosial ekonominya.
Permasalahan Dalam Aturan Pekerjaan
Bekerja merupakan suatu fokus yang pokok dalam hidup. Dengan bekerja, seseorang
tidak hanya mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya tetapi juga dapat memberikan
perasaan mengenai rasa harga diri, memberikan banyak kolega dan teman, serta menjadi
sumber untuk pemenuhan diri. Persaingan dalam bekerja dapat membantu seseorang untuk
lebih meningkatkan dirinya dalam berbagai hal seperti intelektual, psikologi, dan sosialnya.
Bekerja secara tidak langsung juga menentukan posisinya dalam struktur sosial. Begitu
pentingnya bekerja terlihat dalam sebuah penelitian yang menunjukkan lebih dari 80%
masyarakat memilih untuk tetap bekerja meskipun telah memiliki uang yang cukup untuk
memenuhi hidupnya tanpa bekerja.
Walaupun demikian ternyata bekerja juga tidak selalu merupakan suatu hal yang
mulia. Misalnya pada bangsa Yunani Kuno, mereka melihat bekerja sebagai sebuah kutukan
yang membebankan umat melalui Dewa-Dewa. Begitu pula halnya seperti yang diungkapkan
oleh Weber mengenai asketisme, yaitu cara hidup bermatiraga (berpuasa) untuk memperoleh
keselamatan setelah mati. Asketisme ini misalnya dapat berupa mengurangi makan yaitu
cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori saja yang tidak lebih dan tidak kurang, mengurangi
kenikmatan, menggunakan pakaian yang perlu saja. Asketisme tidak hanya dilakukan pada
kurun waktu tertentu saja melainkan menjadi gaya hidup seseorang. Dalam The Protestant
Ethic and The Spirit of Capitalism, Weber memaparkan mengenai bagaimana Etika Protestan
dapat mempegaruhi kapitalisme. Para penganut Calvinis mengurangi kecemasan akan
takdirnya setelah mati dengan melakukan perbuatan baik seperti tidak hidup konsumtif, hidup
hemat, dan bekerja keras. Hal tersebutlah yang kemudian mengakibatkan timbulnya semangat
kapitalisme.
Selain itu sebuah laporan pemerintah Work In America (1979), mengungkapkan
bahwa mereka yang berada pada status pekerjaan yang rendah pada umumnya tidak mampu
untuk membentuk sebuah identitas yang memuaskan dari pekerjaannya. Dengan begitu
menunjukkan bahwa dalam menilai pekerjaan tidak hanya dengan melihat berapa banyak
upah yang didapat dari pekerjaan tersebut tetapi juga bagaimana persaingan dalam pekerjaan
tersebut dapat menarik, memuaskan, dan membantu untuk mengembangkan dirinya. Setelah
melihat uraian di atas, lalu terdapat dua masalah penting yang terdapat dalam aturan
pekerjaan yaitu pengangguran dan mempelajari untuk dapat bertahan dalam suatu sistem
birokrasi.
Pengangguran (unemployment)
Pengangguran dapat mengakibatkan berbagai dampak buruk seperti mengurangi
pendapatan baik diri sendiri maupun keluarga. Pengangguran jangka pendek mungkin tidak
terlalu besar terlihat dampak buruknya, tetapi pengangguran dalam jangka waktu yang lama
dapat menimbulkan banyak dampak yang merugikan. Hal tersebut diungkapkan oleh
beberapa ahli. Misalnya Wilensky (1966:129) mengungkapkan bahwa pengangguran jangka
panjang dapat mengakibatkan dirinya kehilangan ikatan kerjanya, semakin jarang bertemu
dengan teman-temannya, kehilangan partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan
semakin terisolasi dari masyarakat. Braginsky dan Braginsky (1975:70) mengungkapkan
bahwa pengangguran jangka panjang menyebabkan perubahan sikap yang terus bertahan
meskipun sudah menjadi pekerja kembali.
Semakin hari tingkat pengangguran di dunia semakin meningkat. Pengangguran
dengan tingkat yang tinggi meliputi orang-orang minoritas, remaja, perempuan, pekerja yang
sudah tua, mereka yang tidak memiliki keahlian (unskilled), dan semiskilled. Pengangguran
yang berada pada ras atau kelompok yang minoritas seringkali mengalami diskriminasi untuk
mendapatkan pekerjaan. Tingginya pengangguran di kalangan perempuan juga merupakan
bagian dari diskriminasi. Banyak para pekerja (sebagian besar laki-laki) masih cenderung
lebih mendahulukan memperkerjakan laki-laki daripada pemerpuan. Selain itu perempuan
seringkali disosialisasikan pada pekerjaan dengan upah yang rendah, dianggap tidak mampu
bersaing dengan laki-laki, dan adanya kepercayaan bahwa tempat perempuan adalah di rumah
dan bukan untuk kerja.
Adanya berbagai mitos yang mengatakan bahwa pekerja yang berusia tua, yaitu
sekitar empat puluh tahun ke atas, dapat semakin sulit untuk mendapatkan sebuah pekerjaan
baru jika mereka menjadi pengangguran. Mereka dianggap sudah kurang produktif, lebih
sulit untuk dapat bekerja sama, sulit untuk diberi pelatihan, kesehatannya sudah menurun,
dan sebagainya. Sedangkan remaja juga merupakan bagian yang sulit jika untuk
pengangguran karena sebagian besar perusahaan menerima pekerja yang sudah memilki
pengalaman dan belum mampu untuk mendapatkan kemampuan latihan bekerjanya.
Berbagai pekerjaan terkadang memperkerjakan orang-orang yang tidak memiliki
keahlian (unskilled) untuk pekerjaan-pekerjaan yang mudah dan bentuknya berulang-ulang.
Akan tetapi mereka yang unskilled tersebut juga akan sulit bersaing dengan orang-orang yang
telah memiliki keahlian tertentu. Dengan begitu akan dapat mudah untuk menggantikan
tempat orang-orang yang tidak memiliki keahlian tersebut.
Kaitannya dengan Sistem Keluarga: Masalah-masalah
Empty-Shell Marriages
Dalam keadaan ini pasangan telah tidak merasakan ikatan yang kuat lagi antara satu
sama lain. Mereka tetap bersama dikarenakan adanya tekanan dari luar, misalnya dikarenakan
alasan bisnis, investasi, dan demi menunjukkan hubungan baik kepada masyarakat. Selain itu,
pasangan memiliki keyakinan bahwa dengan berakhirnya perkawinan akan melukai perasaan
anak mereka. Disamping itu, mereka juga yakin bahwa secara moral adanya perceraian
merupakan suatu kesalahan.
John F. Cuber dan Peggy B. Harrof (1971) mengidentifikasi tiga tipe dari empty-shell
marriages, yaitu devitalized relationship, conflict-abituated relationship, dan passive-
congenial relationship. Dalam devitalized relationship, suami dan istri merasakan
berkurangangnya ketertarikan terhadap pasangan atau pernikahan mereka. Kebosanan dan
apatis terhadap satu sama lain merupakan karakteristik dari hubungan ini. Sedangkan dalam
conflict-abituated relationship, sering terjadi perselisihan diantara kedua pasangan. Ciri-ciri
dalam hubungan ini ialah adanya konflik, ketegangan, dan kebencian. Dalam passive-
congenial relationship, kedua pasangan tidak merasa bahagia. Hal ini karena masing-masing
pasangan memiliki kontribusi yang sedikit dalam memuaskan satu sama lain. Dalam tipe
hubungan ini konflik jarang terjadi.
Kehidupan dalam empty-shell marriages biasanya tanpa adanya banyak kegembiraan.
Masing-masing pasangan tidak membagi atau mendiskusikan permasalahan dan pengalaman
mereka. Komunikasi yang tejalin antara keduanya pun sangat minim. Dalam hal ini, jarang
adanya ekspresi spontan dalam kasih sayang atau berbagi pengalaman pribadi. Anak dalam
keluarga seperti ini pun akan merasakan haus akan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Selain itu, dalam empty-shell marriages aktivitas yang dilakukan bersama sangat jarang,
termasuk dalam berhubungan seksual.
Divorce
Little (1982) menyatakan bahwa alasan utama terjadinya perceraian ialah adanya
kekecewaan terhadap satu sama lain, dimana apa yang dilakukan oleh pasangan mereka tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Disamping itu, terdapat berbagai hal lainnya yang
menyebabkan terjadinya perceraian, diantaranya ialah masalah ekonomi yang muncul karena
pengangguran atau gangguan keuangan, sudah tidak adanya kecocokan diantara kedua
pasangan, ketidaksetiaan, kecemburuan, kekerasan fisik atau verbal, dan campur tangan
terhadap pernikahan yang dilakukan oleh keluarga atau teman. Alasan lain yang
menyebabkan perceraian ialah ketidakinginan dari beberapa pria untuk menerima perubahan
status yang dialami oleh perempuan. Banyak pria lebih memilih pada pernikahan tradisional,
dimana suami lebih mendominasi, sedangkan istri hanya menjalankan perannya sebagai
pendukung, seperti menjaga anak dan membersihkan rumah.
Selain itu, perceraian dapat terjadi apabila masing-masing pasangan bersifat
individulis dan hanya memikirkan diri mereka sendiri untuk bahagia, mengembangkan
kepentingan dan kapasitas diri mereka, dan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
pribadi saja. Akibatnya ialah kepentingan individu berada diatas kepentingan keluarga.
Sebaliknya, dalam masyarakat tradisional telah disosialisasikan untuk mendahulukan
kepentingan kelompok terlebih dahulu. Dalam keluarga luas pun seperti demikian, individual
menjadi prioritas yang kedua.
Alasan perceraian lainnya ialah diterimanya perceraian di tengah-tengah masyarakat
seakan perceraian bukanlah suatu hal yang tabu atau aib dalam menjalankan pernikahan.
Dengan adanya anggapan tersebut, banyak orang yang apabila merasa tidak bahagia dengan
pernikahan mereka, akhirnya memilih untuk menyelesaikan pernikahan tersebut, atau dengan
kata lain ialah bercerai. Alasan tradisional yang menyebabkan perceraian adalah bahwa
keluarga modern sudah tidak lagi memiliki fungsi yang sama sebagaimana keluarga
tradisional. Pendidikan, produksi pangan, hiburan, dan berbagai fungsi lainnya yang
seharusnya dapat dipenuhi melalui keluarga, saat ini telah dipenuhi oleh pihak-pihak luar.
Perceraian menyebabkan terjadinya perubahan perilaku, bahkan terkadang mengarah
pada perilaku negative, misalnya ialah stress karena harus beradaptasi dengan sesuatu yang
baru yang belum pernah mereka hadapi. Disamping itu, setelah terjadi perceraian, perasaan
seseorang akan menjadi lebih kuat. Mereka akan cenderung lebih mudah marah dan gelisah.
Segala sesuatu yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hal
ini menyebabkan mereka mudah berpikiran bahkan semua ini tidak adil dan akhirnya
menyalahkan diri mereka sendiri atau pasangan mereka sebagai penyebab semua kegagalan
ini.
Bagi seorang perempuan, perceraian menimbulkan permasalahan serius bagi standar
kehidupan mereka. Mereka harus membiayai kehidupan diri sendiri serta anaknya. Pada
dasarnya, suami harus memberikan tunjangan bagi anaknya, namun pada kenyataannya tidak
dapat dipungkiri bahwa masih ada saja yang mengabaikan hal tersebut. Akibatnya,
pemasukan bagi sang istri menjadi tidak stabil dan cenderung mengarah pada level
kemiskinan.
Terkait dengan perceraian, seringkali anaklah yang menjadi korban. Anak dari orang
tua yang mengalami perceraian biasanya akan merasakan perubahan situasi di rumah mereka,
dimana frekuensi berada di rumah tidak sebaik yang lain. Isu lainnya ialah mereka
menggunakan hak asuh yang diberikan kepada salah satu orang tuanya sebagai upaya untuk
mendapatkan kenyamanan.
Banyak kasus dimana hak asuh anak jatuh kepada ibunya, sehingga kemudian mereka
mengalami proses yang sulit dalam mengambil alih peran ayah. Selain itu, trauma yang
terjadi pasca perceraian tidak hanya dialami oleh orang tua saja, tetapi juga dialami oleh
anak-anak mereka. Anak-anak lebih menunjukkan reaksinya terhadap perceraian yang
dialami oleh orang tua mereka daripada apa yang mereka tunjukkan pada saat orang tuanya
meninggal. Asumsi dari kenyataan yang ada, anak korban perceraian seringkali terlibat dalam
masalah yang berkaitan dengan hukum dibandingkan anak-anak yang ditinggal mati oleh
orang tuanya.
Pada saat terjadi perceraian, anak cenderung untuk takut menghadapi masa depan.
Mereka merasa bersalah atas anggapan bahwa mereka menyebabkan perceraian, marah
terhadap kedua orang tuanya dan merasa ditolak oleh orang tua yang keluar dari rumah.
Mereka menjadi lebih emosional, sering mengalami kecelakaan, depresi, cenderung
bermusuhan, menjadi pengacau, hingga melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu, mereka
tidak menunjukkan keinginan untuk bersekolah, bekerja, atau berkehidupan dalam
lingkungan socialnya.
Reaksi anak terhadap perceraian orang tua disebabkan oleh beberapa factor, termasuk
umur dan sex, lamanya perselisihan yang terjadi, dan lamanya jarak antara perpisahan hingga
menjadi perceraian yang formal. Trauma yang terjadi pada anak dipengaruhi oleh bagaimana
orang tua menjelaskan perceraian yang terjadi untuk menjawab keprihatian, ketakutan,
pertanyaan, dan kegelisahan anak. Trauma akan terjadi lebih jauh apabila orang tua tidak
menjelaskan bahwa perceraian bukanlah kesalahan anak. Selain itu, trauma berkelanjutan
terjadi apabila salah satu orang tua mengarahkan anak untuk untuk membenci orang tua yang
lainnya serta mengalihkan kemarahan dan kekecewaan karena perceraian kepada anak.
Papalia and Olds (1989) menjelaskan bahwa anak melalui enam isu untuk membangun
emosi positif, yaitu: (1) Anak menerima kenyataan bahwa pernikahan orang tuanya telah
berakhir, mereka harus mengerti bahwa kedua orantuanya tak lagi bersama dan akses mereka
kepada salah satu atau keduanya mengalami perubahan. (2) anak harus menarik diri dari
segala macam konflik yang dihadapi oleh orantua mereka dan tetap bertahan dalam
kehidupan dan aktivitas mereka sehari-hari. (3) anak harus menanggulangi kehilangan
mereka, yaitu kehilangan kontak trehadap orang tua, situasi rumah, aturan dan rutinitas
keluarga. (4) Anak harus diajarkan untuk mengatasi kemarahan dan menyalahkan diri mereka
sendiri, serta melupakan segala kondisi mengenai perceraian dan tetap bertahan untuk saat ini
dan masa depan. (5) Anak harus mengetahui situasi perceraian ini secara permanen, dimana
mereka mengesampingkan mimpi-mimpi kalau suatu saat orang tuanya akan bersama lagi.
(6) Anak harus membangun kepercayaan hubungan yang akan dijalin dengan orang lain.
Mereka harus mengerti dan menerima bukan karena orang tuanya bercerai berarti hubungan
dengan orang lain akan gagal.
Pada akhirnya, hal terbaik yang bisa orang tua lakukan ialah membuka kepada anak
mereka mengenai kenyataan mengapa pernikahan yang dilakukan mengalami kegagalan.
Anak jangan dibuat merasa bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kesalahan mereka. Orang tua
harus menjelaskan dan bertanggung jawab dalam keputusan mereka untuk berpisah. Pada
akhirnya, orang tua harus melanjutkan dukungan mereka kepada anak dan mengerti bahwa
anak merasakan penderitaan dan kehilangan, anak butuh didengar, mereka ingin bisa
mengekspresikan kemarahan, ketidaksenangan, serta keterkejutan yang dialaim. Semua
anggota keluarga harus memulai untuk menerima situasi yang baru dan melanjutkan hidup
kedepan.
Sehubungan dengan empty-shell marriage dan perceraian, terdapat layanan social
yang dapat diberikan bagi seseorang yang mengalami perceraian atau empty-shell marriage,
yaitu ialah konsultan pernikahan. Konsultan pernikahan menyediakan berbagai professional,
misalnya pekerja social, psikolog, pembimbing, psikiatri, dan anggota dari kependetaan. Pada
dasarnya dalam menyelesaikan masalah, mereka menggunakan beberapa pendekatan, yaitu
mengidentifikasi masalah, memberikan solusi alternative, menguji kelebihan dan kekurangan
dari alternative yang ada, klien memilih satu atau beberapa alternatif tersebut, dan
memberikan alternative pilihan penyelesaian masalah.
Permasalahan yang dihadapi oleh pasangan yang telah menikah sangat luas, mulai
dari masalah seksual, keuangan, komunikasi, masalah dengan keluarga, konflik kepentingan,
ketidaksetiaan, konflik bagaimana untuk menjaga dan mendisiplinkan anak, serta masalah
penyalahgunaan obat-obatan. Konsultan pernikahan mencoba untuk mengidentifikasi
permasalahan yang ada dan berusaha untuk memberikan jalan keluar bagi masalah tersebut.
Walaupun seringkali perceraian merupakan pilihan yang terbaik.
Konsultan pernikahan mencoba untuk melihat kedua pasangan secara bersamaan
selama sesi pertemuan. Prakteknya, segala konflik yang terjadi dapat diselesaikan apabila
kedua pasangan dapat bekerja sama untuk mencari jalan keluar dalam menyelesaikan
masalah yang terjadi. Melalui hal tersebut, konsultan dapat menjadi fasilitator komunikasi
antara kedua pasangan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Single-Parent Family
Anak dengan single parent dianggap akan lebih mengalami masalah dibandingkan
dengan anak dengan two parents. Hal ini dikarenakan secara idealnya adalah keluarga dengan
two parents di mana ayah dan ibu saling bertanggung jawab bersama untuk mengasuh
anaknya. Berbeda dengan keluarga single parent di mana ayah atau ibu saja menjalankan
tanggung jawabnya sendiri. Anak dengan single parent akan kehilangan figur ayahnya atau
ibunya yang berdampak pada pandangan masyarakat secara kultural. Selain itu keluarga two
parents lebih berpeluang untuk high-income dibandingkan dengan keluarga single parents.
Blended Family
Blended family dapat dikatakan sebagai keluarga campuran di mana dalam keluarga
muncul istilah “his, hers, and theirs” – kepunyaannya atau anaknya. Blended family
merupakan keluarga yang dibentuk dari sepasang suami istri yang salah satunya adalah duda
atau janda atau juga keduanya yang kemudian tinggal bersama anak-anak yang walaupun
secara biologis bukan anaknya (dua keluarga). Dalam blended family juga muncul istilah ibu
tiri atau ayah tiri. Blended family tidak terhindar dari kemungkinan masalah yang akan
muncul seperti sifat iri antara anak tiri dan anak kandung serta sulitnya penanaman gagasan
nilai dan aturan yang dimiliki orang tua tiri yang berbeda.
Mother Working Outside of the Home
Berkarirnya ibu di luar rumah akan menjadikan ibu memiliki tekanan pekerjaannya
dan cenderung kurang memperhatikan keluarganya. Terlebih lagi, ibu merupakan pihak yang
penting dalam perkembangan anak. Bekerjanya ibu di luar rumah akan mengurangi waktu
bersama keluarga dan tidak jarang menimbulkan masalah seperti berkurangnya pemenuhan
kebutuhan anak untuk perkembangan sosial dan emosionalnya.
DESKRIPSI KASUS
Sebut saja namanya Aryati. Perempuan berusia 33 tahun itu sekilas tampak seperti
perempuan biasa. Siapa sangka wanita beranak tiga ini menafkahi keluarganya dari
menjajakan diri pada sesama kaum Hawa. Perempuan yang kini tinggal di rumah kontrakan
berukuran tiga kali dua meter di bilangan Pondok Kelapa ini terpaksa melakukan apa pun
agar dapat menyekolahkan tiga anaknya yang menginjak usia remaja.
Sambil mengisap rokok, Aryati bercerita kepada VHR mengenai sulitnya mencari
nafkah di Ibu Kota. “Kalau dari lubuk hati, sedih ya. Tapi nanti, nggak tahulah. Pokoknya,
untuk biaya anak, besarkan anak, supaya anak punya pendidikanlah. Itu saja,” tuturnya.
Aryati menjadi orang tua tunggal sejak bercerai dari suaminya pada tahun 1999. Celakanya,
sejak itu pula mantan suaminya tak pernah lagi menafkahi ketiga anaknya. Perempuan cantik
bertinggi badan 165 centimeter ini pun telah berulang-kali melamar pekerjaan, tapi tak satu
pun surat lamarannya yang mendapat jawaban positif. Akhirnya, dia terpaksa menjadi pekerja
seks komersial untuk sesama jenisnya.
“Karena suami saya selingkuh, main perempuan, terus saya ditinggal. Anak saya ada
tiga. Untuk menghidupinya kan sangat berat. Terpaksa, ya sudah saya jalani saja,” Aryati
bercerita latar belakang menggeluti pekerjaan ini. “Kalau sama laki-laki, risikonya bisa
hamil. Terus, nggak bisa bebas. Misalkan nanti kita bercinta, nanti tetangga pada omong.
Apalagi saya seorang janda, kan pasti digunjingin orang,” tambahnya. Bagi ibu muda asal
Surabaya ini, bercinta dengan sesama jenis sebenarnya bukanlah hal yang ia senangi. Ia
mengaku mengalami tekanan batin jika harus melakukan hal itu. Ia bercerita betapa berat
pertama kali terpaksa memuaskan seorang pengacara wanita. “Ya, pertama awalnya jijik!
Soalnya kan itu perempuan sama perempuan. Tapi, karena, mungkin hidup ini begitu kejam,
ya... saya tutup mata aja, deh. Yang penting saya bisa menghidupi anak...” kisahnya pilu.
Karena merasa malu, Aryati mencoba menutup rapat-rapat profesinya sebagai penjaja
seks bagi kalangan wanita. Ia bersama perempuan lain satu profesi, sebut saja Tina, Lisa, dan
Nina, terpaksa berpura-pura mencintai sesama jenis dan akhirnya melayani semua kemauan
pelanggan. “Waktu itu saya kenal sama temen saya. Yang dia tahu perkumpulannya anak-
anak lesbi, gitu. Terus, saya dikenali. Ya... saya pura-pura saja seneng sama dia. Dunia ini
kan panggung sandiwara....” tambahnya. Selanjutnya terjadilah transaksi demi transaksi.
Kesenangan atau kepuasan itu pun dihargai.
“Dia seperti seorang laki-laki saja, menafkahi, memberi apa yang saya maulah,
mencukupi. Tapi, saya tidak satu saja, saya ada banyak, saya nggak mau terikat. Jadi, kan
saya lebih bebas.Terus saya juga ada pemasukan. Sekarang, yang dicari kan uang. Kalau dia
nggak kasih, saya tinggal,” tambahnya.
Di mata Tita, anak sulung Aryati, pekerjaan ibunya sangat memalukan. Setiap kali
berbicara mengenai aktivitas ibunya dalam mencari nafkah, guratan kesedihan terpancar di
wajah siswi kelas II SMP ini. Tita sadar, ibunya bekerja untuk membantu dia meraih cita-cita
sebagai seorang arsitek, tapi sisi kesadaran lainnya tetap memunculkan perasaan malu dan
marah atas pengorbanan sang ibu. “Awalnya, sih kaget. Tapi, pas negur Mama, Mama cuma
bisa marah. Abis itu, Mama bilang, kalau gak kayak gitu, aku sekolah dari mana? Nanti aku
tinggal di mana? Papa juga gak ngirimin uang...” tutur Tita lirih.
Upaya Aryati untuk menutup-nutupi profesinya pun tidak juga berhasil. Sepandai-
pandai ia menyembunyikan rahasia, tetangganya akhirnya tahu profesi dia sebenarnya.
Padahal, Aryati baru tiga bulan tinggal di rumah kontrakan barunya, tapi kini ia sudah
menjadi buah bibir para tetangga. Nining, tetangga dekat Aryati bercerita bahwa Aryati
adalah sosok tetangga yang baik, namun dia tetap tidak bisa memahami mengapa Aryati mau
bermesraan dengan sesama perempuan. “Orangnya baik, bersosialisasi. Pokoknya, dia
bertetanggalah. Tapi, kadang-kadang, saya perpikir, kok tidak selayaknya dengan seorang
temen bermesraan,” keluh Nining.
Sumber: http://vhrmedia.net/home/index.php?id=print&aid=2224&cid=2&lang
ANALISA
Melihat kasus Aryati tersebut memang sangat ironi dengan nilai-nilai yang ada pada
budaya bangsa kita. Aryati merupakan satu contoh keluarga one parent family, yang memiliki
banyak permasalahan sosial dalam hidupnya. Ia mengalami perceraian (divorce) dengan
suaminya akibat perilaku suaminya yang selingkuh dan lepas tanggung jawab terhadap
keluarganya. Perceraian yang dialaminya membuat ia menjadi seorang single mother yang
harus bekerja ganda yaitu sebagai seorang ibu sekaligus pencari nafkah demi menghidupi
ketiga anaknya yang tengah beranjak remaja. Sehingga dapat dilihat bahwa kemiskinan yang
terjadi pada Aryati adalah karena pekerjaan (employment). Faktor employment menunjukkan
bahwa Aryati tidak mampu bersaing dalam pasar kerja yang menjadikannya akhirnya
memilih untuk bekerja sebagai PSK. Aryati telah berusaha mencari pekerjaan dengan
mengirimkan surat lamaran ke berbagai tempat tetapi hasilnya tidak satu pun yang
menerimanya bekerja. Sulitnya Aryati memperoleh pekerjaan mungkin saja disebabkan
karena kurangnya kemampuan dan pendidikan yang dimiliki oleh Aryati. Kondisi seperti ini
juga menunjukkan bahwa terdapat faktor educational yang juga mempengaruhi keadaan
Aryati sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan akhirnya sulit juga untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya sebagai single parent.
Masalah yang dialami oleh Aryati memang seringkali dialami oleh kaum perempuan
yang menjadi single mother, di mana terdapat kecenderungan bahwa pasca mereka
mengalami perceraian terjadi perubahan standar hidup. Hal ini sesuai dengan yang terjadi
oleh Aryati yang sebelum perceraian ia tidak bekerja dan hanya bergantung pada penghasilan
suami untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hingga pada akhirnya, Aryati terpaksa harus
bekerja untuk menghidupi dirinya dan anaknya. Hidup semakin sulit bagi Aryati karena
mantan suaminya tidak memberikan tunjangan hidup bagi sang anak. Keadaan mendesak
Aryati untuk bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya
menggantikan peran yang seharusnya dilakukan oleh suami selaku kepala keluarga. Dalam
istem keluarganya, Aryati menggantikan suaminya sebagai single parent mengalami
perubahan peran dan tanggung jawab untuk membangun ekonomi sosial dalam keluarganya.
Seperti kita ketahui bahwa perempuan mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi
untuk mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan laki-laki. Semakin sulitnya mencari
pekerjaan dan ketatnya persaingan di Indonesia khususnya di Jakarta membuat banyak orang
menghalalkan segala cara demi kelangsungan hidupnya. Aryati pun mengambil pilihan
pekerjaan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh setiap perempuan, yaitu sebagai pekerja
seks komersil (PSK) untuk kaum lesbi. Mendengar seseorang dengan pekerjaan sebagai PSK
saja sudah menjadi hal yang dipandang buruk oleh masyarakat, apalagi ditambah dengan
PSK untuk para lesbi yang secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang ada pada
masyarakat Indonesia. Hal ini juga terlihat bahwa perempuan juga termasuk salah satu
kelompok yang memiliki tingkat pengangguran (unemployment). Adanya berbagai
pandangan terhadap perempuan membuat perempuan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan
dengan upah yang layak. Begitu pula yang dialami Aryati ketika ditinggal begitu saja oleh
suaminya tanpa memberikan nafkah untuk membesarkan ketiga anak hasil pernikahannya
tersebut.
Dari kasus tersebut terlihat bahwa dalam mengambil pekerjaan tersebut ia mengalami
konflik internal atau konflik batin. Di satu sisi ia tidak menginginkan pekerjaan yang
dianggap hina tersebut, akan tetapi di sisi lain ia terpaksa harus mengambil pekerjaan tersebut
karena ia sudah merasa menyerah dengan keadaan yang ada. Yang ada dipikirannya hanyalah
bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya, terlepas dari berbagai resiko
yang akan diterimanya dengan pekerjaannya tersebut. Tidak hanya Aryati yang harus
menanggung malu atas pekerjaannya tersebut, tetapi anak-anaknya juga harus dapat menahan
emosinya yang mengetahui bahwa ibunya bekerja sebagai PSK untuk menghidupinya. Selain
itu, konsekuensi dalam single parent family ini adalah kehilangan salah satu figure dari orang
tuanya, yang dalam kasus ini adalah ayahnya. Meskipun Aryati telah berusaha melakukan
perannya sebagai orang tua tunggal yang sekaligus menggantikan peran suaminya, tetap saja
ia tidak dapat menggantikan figure seorang ayah bagi anak-anaknya. Dengan begitu anak-
anaknya dapat beresiko memiliki pandangan yang negatif tentang figure seorang ayah yang
dapat berdampak pada trauma.
Melihat kasus yang dialami oleh Aryati, maka dapat dilihat dari perspektif
interksionis, yaitu melihat kemiskinan sebagai hal yang subjektif dan dapat dibagi. Aryati
adalah seseorang yang bukan berasal dari keluarga menengah atas atau berada pada
stratifikasi kelas atas, dari hal tersebut saja sudah dapat membuat masyarakat memandangnya
sebagai orang yang berada pada kelas bawah. Pekerjaan sebagai pekerja seks komersil
sesame jenis pun didapatnya dari tawaran seorang temannya. Temannya tersebut tentu saja
memilih-milih orang yang pantas untuk ditawarka pekerjaan tersebut, ia tidak mungkin
menawarkan pekerjaan tersebut kepada mereka yang memiliki stratifikasi kelas atas. Dari hal
tersebut terlihat bahwa adanya pandangan serta definisi negatif terhadap Aryati, yang dalam
hal ini adalah sebagai orang miskin.
Dalam perspektif interaksionis ini juga memandang bahwa kemiskinan tidak hanya
dilihat dari hal ketimpangan ekonomi saja, melainkan juga dari konsep diri seseorang. Ketika
seseorang selalu dipandang sebagai orang yang miskin maka ia akan terus merasa bahwa ia
adalah orang miskin. Jika sudah demikian maka akan sulit baginya untuk dapat keluar dari
kemiskinan tersebut. Begitu pula yang dialami oleh Aryati, ketika ia menyerah karena telah
berusaha mencari pekerjaan yang baik tetapi tidak diterima, maka ia akan semakin merasa
bahwa kemampuannya sebagai orang yang bukan berasal dari stratifikasi kelas atas
membuatnya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Akan tetapi seharusnya ia
tidak boleh menyerah begitu saja. Ia seharusnya dapat keluar dari stigma dan definisi negatif
tentang dirinya tersebut sehingga ia dapat menunjukkan kemampuannya pada masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan
Aryati merupakan salah satu contoh kasus seseorang yang terpaksa menjadi seorang
pekerja seks komersial untuk lesbian. Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan ia
memilih pekerjaan yang brtentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia, yang
salah satunya adalah karena kemiskinan. Aryati mengalami konflik keluarga dengan
suaminya yang berakibat pada perceraian (divorce) dan menjadikannya sebagai seorang
single parent untuk ketiga anaknya. Pekerjaannya tersebut dipilihnya karena ia telah
menyerah dengan keadaan di Ibu Kota yang begitu sulit untuk mendapatkan pekerjaan,
sementara ia harus dapat terus bertahan hidup serta memenuhi kebutuhan hidup anak-
anaknya termasuk pendidikannya.
Saran
Melihat banyaknya jumlah perempuan yang memilih pekerjaan sebagai pekerja seks
komersil, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan hal tersebut. Meskipun sulit untuk
mengatasinya, setidaknya pemerintah dapat melakukan berbagai upaya pencegahan agar
dapat mengurangi jumlah PSK di Indonesia. Kasus PSK ini memang seharusnya ditangani
dalam skala jangka panjang, artinya pemerintah harus dapat menyiapkan lapangan pekerjaan
untuk menampung para PSK tersebut. Akan tetapi mengutip dari pernyataan anggota Komisi
Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, Tati Krisnawaty,
bahwa penanganan masalah PSK yang diakibatkan dari kemiskinan tidak dapat ditangani
secara sektoral, atau istilahnya menangani dari hilir hingga ke hulunya. Oleh sebab itu
pemberdayaan masyarakat harus menjadi hal yang diprioritaskan. Pemberdayaan masyarakat
tersebut dapat dimulai dari pendidikan. Program-program tentang pendidikan agar lebih
direalisasikan sehingga seluruh masyarakat dapat benar-benar merasakannya.