Upload
akbarsp1
View
51
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni saat
detak jantung dan pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai teknik
ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun pasien
telah mati, sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai
hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru. Ilmuwan, pemuka
agama, pekerja kesehatan, bahkan masyarakat umum secara luas telah menyetujui
bahwa seseorang dapat dikatakan meninggal apabila terjadi kematian otak. Di
Amerika Serikat, kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis1.
Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan oleh
cedera kepala berat meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30%
lainnya diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor
dan infeksi. Di Amerika, penyebab utama kematian otak adalah cedera kepala dan
perdarahan subarachnoid . Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer
ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen supratentorial atau
infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau integritas struktur otak.
Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks daripada batang otak2,3 .
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun
1959, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” atau
koma ireversibel, untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang
1
berada dalam kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi,
serta menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1968, komite
ad hoc di Harvard Medical School meninjau ulang definisi kematian otak dan
mendefinisikan koma ireversibel, atau kematian otak, sebagai tidak adanya respon
dan reseptivitas, pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya
koma yang penyebabnya telah diidentifikasi. Pada tahun 1976, The Conference of
Medical Royal Colleges di Inggris menyatakan bahwa kematian otak adalah
hilangnya fungsi batang otak yang komplet dan ireversibel. Pada tahun 1981,
President’s Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and
Biomedical and Behavioral Research mempublikasikan panduan berkaitan dengan
kematian otak.4,5
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.18 tahun 1981 tentang bedah mayat
klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia,
meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang
telah berhenti. Batasan mati mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti
jantung (cardiac arrest) , fungsi otak, pernapasan dan jantung telah berhenti
namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena pasien masih
mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-
kata “denyut jantung telah berhenti“ maka ini justru kurang menguntungkan untuk
transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya
akan mengurangi viabilitas jaringan atau organ. Diagnosis mati batang otak
(MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosa
2
MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan
prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang otak.6
I.2 Tujuan
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang hal tersebut maka penulis
mencoba memaparkan tentang mati batang otak yang penulis dapatkan dari
berbagai sumber. Penulisan makalah tinjauan pustaka ini bertujuan untuk
memberikan informasi mengenai mati batang otak secara singkat.
I.3 Manfaat
Pada penulisan makalah ini penulis berharap dapat memberikan
pengetahuan pada pembaca mengenai mati batang otak secara lebih mendalam.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Mati
Mati klinis adalah henti napas (tidak ada gerakan napas spontan) ditambah
henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak
ireversibel. Pada masa sekarang kematian inilah, permulaan resusitasi dapat
diikuti dengan pemulihan semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak nomal,
asal diberikan terapi yang optimal.1,2
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila
tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan.
Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan
neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti
oleh jantung, ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam
atau hari.3
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel serebrum,
terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral
ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan
batang otak.2,3
Mati sosial (status vegetatif yang menetatap, sidroma apalika) merupakan
kerusakan berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif,
tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang
4
utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang hasil EEG nya tenang dan dari
mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua reflek saraf otak dan upaya napas
spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat siklus sadar – tidur.3
II.2. Definisi Mati Batang Otak
Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan
kematian otak dalam kata-kata adalah sulit. Pada panduan Australian and New
Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993,
kematian otak didefinisikan sebagai berikut: “Istilah kematian otak harus
digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel.
Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan
hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara
ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel”.7
Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak
didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi
lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon
terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-
refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji
penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya
deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks
faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua
adalah data konfirmasi yakni EEG yang isoelektris. Kedua tes tersebut diulang 24
jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu < 32,2o C) atau pemberian
5
depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan
oleh seorang dokter. 2,7
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan oleh
National Conference of Commissioners on Uniform State Laws, President’s
Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and
Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1)
terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan (2) terhentinya
semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel.
Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung
dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak
dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa
absennya refleks - refleks.8
Menurut panduan yang digunakan di Amerika Serikat, kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk
batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya
refleks batang otak, dan apnea.7,8
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan
refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila
temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau
pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak
tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan.9
II.3. Etiologi
6
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks
batang otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan
kedokteran pada tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran
pada dekade berikutnya pada bidang trauma klinis yang spesifik. Kebanyakan
kasus kematian dapat didiagnosis di tempat tidur pasien.2,4,10
Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial,
hipoksia, overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan
dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut
sebagai penyebab kematian otak.10
II.4. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat
tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK
meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral
(TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak
terjadi.11
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-
rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh
otak, yang kira-kira beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840
ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan
hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena
tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung
menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk
tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel.
7
Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap
pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon
dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan
konsentrasi karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran
darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan
aliran.12,13
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran
oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu
secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran
darah otak dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (normal
55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di
atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran
darah otak di bawah 8 - 9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung
lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 - 23 ml/100
mg/menit.12,14
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak tersumbat secara parsial,
maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen.
Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan
perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi
dan pengaturan vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk
menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal.
Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan
vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan
8
dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh
mekanisme autoregulasi dan pengaturan vasomotor. Di situ akan berkembang
proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah di bagian pusat daerah
iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis.
Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah
bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah
iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan
serabut saraf dan selubung mielinnya (edema serebri) merupakan reaksi
degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit.
Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai
dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark.14
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.
Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai
mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat
dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan
Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas
mitokondria.15
II.5. Kriteria Mati Batang Otak
9
Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de
passé (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan
hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil
elektroensefalogram (EEG) yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite Ad
hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak
dan kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak
adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks
batang otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut
menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam.2,7,16
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang
otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi
perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di
Kerajaan Inggris pada tahun 1976, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai
diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi
batang otak secara lengkap dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan pedoman
yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian
pada batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada
kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam
kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya.
Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi
durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24
jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok
sebagai syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini, Akademi
10
Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan
adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik
mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes
konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek.17
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode
terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa
diantaranya1,2,3,10:
a. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria
Harvard”, kunci diagnosis tersebut adalah2,10:
Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive
coma).
Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang
kurangnya 24 jam kemudian.
b. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan
mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou
mengusulkan “Kriteria Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkan
11
dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG
karena masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi,
elemen kunci kriteria Minnesota adalah3:
Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye
movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya
refleks tonus leher.
Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam
Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai
berikut18:
1) Hilangnya fungsi serebral
2) Hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan
3) Bersifat ireversibel.
Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan
berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual,
pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak
lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence
(ECS), yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar
apabila tidak ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali
30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon
12
serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya
dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-
obatan hipnotik-sedatif.19
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi
pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vestibulo-ocular,
orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksius
dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea
absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha
untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes
akhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama beberapa menit untuk
memastikan bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang
pernapasan spontan.20
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang,
maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa
keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif
yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi
selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas
walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan
terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya
kematian otak.21
II.6. Langkah Penetapan Diagnosis Kematian Batang Otak
13
Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan
kematian otak dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia.
Pemeriksaan pasien yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan
dengan teliti. Deklarasi tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya
tes neurologis namun juga identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi
ireversibel, penyingkiran tanda neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kebingungan, interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan
dilakukannya tes laboratorium tambahan yang dianggap perlu.15,16
Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes
lain yang perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi
kedua tes refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas.
Apabila tidak ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang
konsisten dengan kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan.17
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah
mengalami kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan
berikut dipenuhi18:
1) Penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis,
khususnya gangguan elektrolit, asam – basa, atau endokrin.
2) Tidak adanya hipotermia parah, didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih
kurang atau sama dengan 32oC.
3) Tidak adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat
neuromuskuler.
14
Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang
mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United
Kingdom dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum
mempertimbangkan diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi
serta kriteria eksklusi.17
Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten
dengan proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan
pencitraan otak). Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien
diakibatkan oleh kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis
dari kelainan yang dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan
jelas. Diagnosis tersebut dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian
intrakranial primer seperti cedera kepala berat, perdarahan intrakranial spontan,
atau setelah pembedahan otak. Namun, saat kondisi pasien disebabkan oleh henti
jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi yang berat tanpa periode anoksia
serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami embolisme udara atau lemak otak
maka penegakan diagnosis akan memakan waktu lebih lama.16,17
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan
diagnosis kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan
ventilator. Pasien tidak responsif dan tidak bernafas secara spontan. Obat
penyekat neuromuskuler atau lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi
tersebut.
Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau
racun. Riwayat penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode
15
observasi tergantung pada farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang
digunakan, dan fungsi hepar serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan
urin serta level serum dilakukan. Bila ada keraguan tentang adanya efek dari
opioid atau benzodiazepine, maka obat antagonis yang tepat harus diberikan.
Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk mengkonfirmasi intak tidaknya
konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan obat pelemas otot (muscle
relaxant).18
Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien direkomendasikan
harus di atas 35 oC sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu, harus
disingkirkan juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta hipotensi arteri.
Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal
berikut19:
1. Evaluasi kasus koma
2. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien
3. Penilaian klinis awal refleks batang otak
4. Periode interval observasi
a. Sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
b. Usia lebih dari 2 bulan - < 1 tahun, periode interval observasi 24 jam
c. Usia lebih dari 1 tahun - < 18 tahun, periode interval observasi 12 jam
d. Usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
5. Penilaian klinis ulang refleks batang otak
6. Tes apnea
16
7. Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi
8. Persiapan akomodasi yang sesuai
9. Sertifikasi kematian batang otak
10. Penghentian penyokong kardiorespirasi
Evaluasi kasus koma
Penentuan kematian batang otak memerlukan identifikasi kasus koma
ireversibel beserta penyebab koma yang paling mungkin. Cedera kepala
berat, perdarahan intraserebral hipertensif, perdarahan subarachnoid, jejas otak
hipoksik-iskemik, dan kegagalan hepatik fulminan adalah merupakan penyebab
potensial hilangnya fungsi otak yang bersifat ireversibel. Dokter perlu menilai
tingkat dan reversibilitas koma, serta potensi berbagai kerusakan organ.17,18
Dokter juga harus menyingkirkan berbagai faktor perancu, seperti intoksikasi
obat, blokade neuromuskular, hipotermia, atau kelainan metabolik lain yang
dapat menyebabkan koma namun masih berpotensi reversible.
Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik terhadap stimulus
nyeri yang standar, seperti penekanan nervus supraorbita, sendi
temporomandibuler, atau bantalan kuku pada jari Koma dalam adalah tidak
adanya respon motorik cerebral terhadap rangsang nyeri pada seluruh
ekstremitas (nail-bed pressure) dan penekanan di supraorbital.19
Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah kemungkinan adanya respon
motorik “Lazarus sign” yang dapat terjadi secara spontan selama tes apnea,
seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan berasal dari spinal.
17
Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan kelemahan motorik yang
cukup lama.20
Gambar 1. Tes Rangsang Nyeri
Penilaian klinis refleks batang otak
Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran jalur refleks pada
mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian otak, pasien
kehilangan refleks dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla oblongata adalah
bagian terakhir dari otak yang berhenti berfungsi. Beberapa jam dibutuhkan untuk
terjadinya kerusakan batang otak secara menyeluruh, dan selama periode tersebut,
mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada kasus yang jarang dimana terdapat
fungsi medula oblongata yang tetap ada, ditemukan tekanan darah normal, respon
batuk setelah suction trakhea, dan takhikardia setelah pemberian 1 mg
atropine.20,21
Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh
minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam.
Tiga temuan penting pada kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya
seluruh refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara
khas dilakukan setelah evaluasi refleks batang otak yang kedua.21
18
Hilangnya refleks batang otak19,20,21
Pupil:
a. Tidak terdapat respon terhadap cahaya atau refleks cahaya negatif
b. Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm)
Gerakan bola mata /gerakan okular:
a. Refleks oculocephalic negatif
Pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata tidak terdapat retak
atau ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii.
b. Tidak terdapat penyimpangan atau deviasi gerakan bola mata terhadap
irigasi 50 ml air dingin pada setiap telinga. Membrana timpani harus tetap
utuh; pengamatan 1 menit setelah suntikan, dengan interval tiap telinga
minimal 5 menit.
Respon motorik facial dan sensorik facial:
a. Refleks kornea negatif
b. Jaw reflex negatif (optional)
c. Tidak terdapat respon menyeringai terhadap rangsang tekanan dalam
pada kuku, supraorbita, atau temporomandibular joint.
Refleks trakea dan faring:
a. Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior
b. Tidak terdapat respon terhadap pengisapan trakeobronkial
(tracheobronchial suctioning).
19
Gambar 2. Pemeriksaan Refleks Batang OtakPenilaian klinis terhadap refleks batang otak dikerjakan secara menyeluruh. Nervus cranialis yang diperiksa ditunjukkan dengan angka romawi; garis panah utuh menunjukkan jaras aferen; garis panah terputus menunjukkan jaras eferen. Hilangnya respon menyeringai atau mata tidak membuka terhadap rangsang tekanan dalam pada kedua condyles setinggi temporomandibular joint (afferent n. V dan efferent n. VII), hilangnya refleks kornea terhadap rangsang sentuhan tepi kornea mata (n. V dan n. VII), hilangnya refleks cahaya (n. II dan n. III), hilangnya respon oculovestibular ke arah sisi stimulus dingin oleh air es (n. VIII dan n. III dan n. VI), hilangnya refleks batuk terhadap rangsangan pengisapan yang dalam pada trachea (n. IX dan n. X).
Tes Apnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak
yang kedua dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat
terpenuhi, yaitu18,19:
a. Suhu tubuh ≥ 36,5 °C atau 97,7 °F
b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO2 normal (PaCO2 arterial ≥ 40 mmHg)
d. PaO2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO2 arterial ≥ 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan
langkah-langkah sebagai berikut20:
a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
20
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul
setinggi carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada
atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
d. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO2 ≥ 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil
tes apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian
batang otak).
f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif
(tidak mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) .
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik
turun sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal
sesuai usia pada pasien < 18 tahun), atau pulse-oxymeter
mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang bermakna, atau
terjadi aritmia kardial.
Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.
Apabila PaCO2 ≥ 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 ≥ 20
mmHg di atas nilai dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.
Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg di
atas nilai dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan
perlu dilakukan tes konfirmasi
21
Gambar 3. Tes ApneuDiskoneksi ventilator dan penggunaan oksigenasi apneik difusi (apneic diffusion oxygenation) memerlukan syarat tertentu. Suhu tubuh harus ≥ 36.5 °C, tekanan darah sistolik harus ≥ 90 mmHg, dan balans cairan harus positif selama enam jam. Setelah preoksigenasi (fraksi oksigen insprasi harus 1.0 selama 10 menit), tingkat ventilasi harus dikurangi. Ventilator harus diputus apabila PaO2 arterial mencapai ≥ 200 mmHg, atau apabila PaCO2 arterial mencapai ≥ 40 mmHg. Pipa oksigen harus berada pada carina (menghantarkan oksigen 6 liter per menit). Dokter harus mengamati dinding dada dan abdomen untuk mengamati adanya gerakan pernafasan selama 8-10 menit, dan harus mengawasi pasien terhadap adanya perubahan fungsi vital. Apabila PaO2 arterial ≥ 60 mmHg, atau terdapat peningkatan > 20 mmHg dari nilai dasar yang normal, maka tes apnea dinyatakan positif.
Faktor Perancu
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang
otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan
pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini
pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan21:
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pupil sebelumnya
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan
trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen
blokade neuromuskular
d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis
CO2
22
Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan
sebagai bukti fungsi batang otak18,19 :
a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi
patologis
b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan
punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)
c. Berkeringat, kemerahan, takikardi
d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau
peningkatan mendadak tekanan darah
e. Tidak-adanya diabetes insipidus
f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi triple
g. Refleks Babinski
Pemeriksaan Konfirmatif Apabila Terdapat Indikasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan refleks batang
otak dan tes apnea dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan
kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas
kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan
klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes
konfirmatif.20
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada
pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang
mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain21:
23
a. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic
resonance, dan radionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi
bifurkasio karotis atau sirkulus Willisi
b. Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit
c. Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau vasculature,
bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon)
b. Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan
apabila tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus
medianus
c. Transcranial doppler ultrasonography : kematian batang otak ditegakkan
oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal
sistolik tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow,
mengindikasikan adanya resistensi yang sangat tinggi (very high
vascular resistance) terkait adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
besar.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
24
Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan
pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang
definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan
paru, dimana kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis.
Kematian otak kebanyakan diakibatkan oleh cedera kepala berat dan perdarahan
intrakranial.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian
otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel,
termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma,
hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada pasien, harus diperiksa kondisi-
kondisi serta kriteria eksklusi. Harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang
konsisten dengan proses terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan,
dan hasil yang negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang otak.
Saat ini masih banyak kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak,
karena masih kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.
Jika kematian otak telah didiagnosis berdasarkan kriteria klinis dasar di
atas, dokter dan keluarga harus sadar bahwa kematian otak sama dengan kematian
pasien. Masalah yang penting dipertimbangkan bagi keluarga pasien saat itu
adalah penyerahan organ, pemeriksaan otopsi dan pemakaman pasien. Alat bantu
hidup harus disingkirkan kecuali donasi organ telah dipertimbangkan. Jika terjadi
perpecahan sehubungan dengan diagnosis kematian otak dan hal tersebut tidak
dapat dipecahkan oleh dokter dan keluarga di tempat tidur pasien, maka petugas
yang bertugas memastikan kematian pasien dapat dipanggil untuk mengevaluasi
25
masalah tersebut dan mungkin akan melengkapi sertifikat kematian.
III.2. Saran
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi
klinis diharapkan dapat memahami keadaan mati batang otak dan dapat
menegakkan diagnosis mati batang otak secara tepat sehingga diharapkan
nantinya bila kita menemukan kasus ini kita dapat memberikan penanganan yang
tepat kepada penderita.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Wijdicks. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J Med,
2001, 344 (16)
2. Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of
Critical Care Medicine, journal of the Royal College of Physicians of
London 1995, 29:381-2.
3. RM, Schapiro R, eds. The definition of death: contemporary controversies,
Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1999
4. New York State Department of Health. Guidelines for Determining
Brain Death, Department of Health, New York, 2005
5. Quality Standards Subcommittee of the American Academy of
Neurology,. Practice parameters for determining brain death in adults
(summary statement), Neurology, 1995, 45(5):1012-4
6. Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI
No.231/PB.A.4/07/90
7. So Hing-Yu, Fanzca Ficanzcafhkam, Update Article Brain Death, Hong
Kong Practitioner 16 (II) November 1994.
8. Neil M.Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24. Brain
Death. C MAJ Mar 20,2001;164 (6).
9. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2004.hal.280.
10. Guyton AC, Hall JE. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan
metabolisme otak. Dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996.hal.975-83.
11. Walton JN. Brains Diseases of the nervous system. 8th ed. New York:
Oxford University Press; 1977.p.1169-70.
12. Wilson LM. Sistem saraf dalam Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit edisi kedua. Jakarta: EGC;1994. hal.902.
13. Adams RD, Victor M. Principles of neurology. 3rd ed. New York:
McGraw-Hill Book Company; 1985.p.258-9.
27
14. Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl J Med 2001 ;
344: 1215-1221
15. Suh SW, Gum ET, Hamby AM, Chan PH, Swanson RA. Hypoglycemic
neuronal death is triggered by glucose reperfusion and activation of
neuronal NADPH oxidase [online] 2007 Jan 30, [cited 2007 Apr 30];
Available from URL: http://www.jci.org/cgi/content/full/117/4/910
16. Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosis of brain death , review articles, N
Engl J Med 2001;344 (16) : 1 - 10.
17. Christopher James Doig MD, Brain death: resoving inconsistencies in
ethical declaration of death, Can J Anesth 2003;50(7):725-731.
18. Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi :FKUI/RSCM ,2006.
19. Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief
Review: History, Concept And Controversies In The Neurological
Determination Of Death. Can J Anesth 2006;53(6):602-608.
20. G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary
Tests In The Neurological Determination Of Death. Can J Anesth
2006;53(6) : 620-627.
21. Taveras JM, Wood EH. Diagnostic neuroradiology volume II. 2nd ed.
Baltimore : The William & Wilkins Company; 1977.p.650-1.
28