Upload
shelly-lavenia
View
78
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Seorang laki-laki, umur 30 tahun, saat menonton sepakbola, dikeroyok
oleh suporter kesebelasan lawan. Laki-laki tersebut kemudian dibawa ke UGD RS
Dokter Muwardi. Pasien tiba di RS Dokter Muwardi kira-kira 1 jam setelah
kejadian. Pasien mengeluh nyeri terutama di bagian perut kanan atas, dia merasa
telah ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan sekali di punggung
kiri saat dikeroyok. Pasien masih dalam keadaan sadar (compos mentis) tapi
merasa lemas.
Perawat melakukan pemeriksaan vital sign dan hasilnya:
Nadi 130x per menit, tekanan nadi kecil. Respiration rate: 32x per menit, Tensi:
80/40 mmHg, Suhu: 36,5°C.
Hasil pemeriksaan dokter IGD:
AIRWAY (A):
Bebas
Dokter memberikan oksigen 10-12 L/menit dengan masker (Non rebreathing
mask), pasang collar brace.
BREATHING (B):
RR 32x/menit
Thorax: jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra, pengembangan hemithorax
sinistra tertinggal, perkusi hemithorax sinistra bagian bawah redup (mulai costa
8-9, dibawahnya timpani), auskultasi suara vesikuler menurun pada bagian bawah
hemithorax sinistra (mulai costa 8-9, dibawahnya bising usus). Kesan hemothorax
sinistra.
Dokter merencanakan pemeriksaan thorax foto (pada adjunct primary survey).
Dilakukan persiapan pemasangan WSD. Sementara menunggu persiapan, maka
dokter melakukan pemeriksaan pada circulation (secara simultan).
Setelah WSD terpasang, keluar darah 75 cc dan RR tetap 32x/menit.
CIRCULATION (C):
1
Nadi 130x/menit, tekanan nadi kecil, tensi: 80/40 mmHg, suhu: 36°C, akralnya
dingin dan lembab.
Pada abdomen terlihat distended, luka di bagian perut kanan atas sudah tidak
mengeluarkan darah, bising usus menurun, pekak hepar (+), defans muskuler (-),
perut teraba tegang, test undulasi (+), dan pekak beralih (+). Kesan terdapat
perdarahan internal (abdomen). Bagian pelvis dan femur tak terdapat keluhan
maupun jejas.
Pemeriksaan rectal toucher: Sarung tangang lendir darah (-), lain-lain normal.
Dokter segera melakukan pemasangan infus 2 jalur, dengan jarum no 16 (jarum
besar), RL hangat digrojok, dan melakukan crossmatch.
Selanjutnya dokter memasang kateter untuk monitoring, dimana urin yang
pertama keluar harus dibuang karena tidak mencerminkan kondisi perfusi jaringan
pasien. Hasil 100 cc dan jernih.
2
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
Jump 1
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario.
1. RL hangat digrojok: pemberian Ringer Laktat yang bertujuan untuk rehidrasi cairan sesuai dengan suhu tubuh (36,5°C) karena membantu proses pembekuan darah yang diberikan dalam kasus hipovolemia/anemia berat.
2. Crossmatch: uji golongan darah meliputi eritrosit, antibodi IgG dan IgM.3. Infus 2 jalur: pemberian infus melalui 2 jalur (dapat keduanya RL atau RL
dan serum plasma).4. Abdomen distended: terjadi penegangan pada abdomen.5. Perdarahan internal: perdarahan yang tidak terlihat dari luar, bisa masuk ke
dalam cavum pleura, cavum abdomen, atau cavum plevis.6. Disruption: Keadaan yang terpisah secara abnormal.7. Foto cervical lateral cross table: Teknik untuk rontgen dimana arah sinar
horizontal.8. Tes undulasi: tes untuk menilai ada/tidaknya ascites.9. Capillary refill time: tes yang dilakukan cepat dengan menekan dasar kuku
untuk menilai dehidrasi dan aliran darah (normal: <2 detik).
Rumusan masalah:1. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis?2. Bagaimana interpretasi A, B, C, D, E, adjunct primary survey dan
secondary survey pada pasien?3. Apa saja jenis-jenis trauma?4. Bagaimana trauma abdomen, pelvis, dan spinal dapat terjadi?
Jump 2
1. Trauma Thorax
Trauma thoraks merupakan trauma yang sering kita dapatkan sehari-
hari setelah trauma tulang. Insidensi trauma thoraks adalah adalah 1 dari 4
kasus trauma. Mortalitas yang diakibatkan oleh trauma thoraks adalah 10%
dan biasanya terjadi di rumah sakit. Hal ini salat terjadi karena manajemen
yang kurang tepat dalam menangani kasus trauma thoraks (Hanafiah, 2012).
Dalam menangani kasus trauma thoraks, kita harus mengingat kembali
anatomi dan fisiologi dari thoraks meliputi anatomi rongga dada, otot yang
3
terdapat di rongga dada dan bagaimana peranan tulang dan otot tersebut
dalam proses respirasi serta fisiologis dari proses pernafasan itu sendiri
(Hanafiah, 2012).
Anatomi rongga thoraks terdiri atas : costa, vertebrae, sternum,
diagfragma dan pernafasan.
Pleura terbagi atas pleura visceral yang melapisi paru dan pleura
parietal yang melapisi rongga thoraks dari dalam. Antara keduanya
dipisahkan oleh suatu rongga yang dikenal sebagai rongga pleura yang
terdapat sedikit cairan serous yang berfungsi sebagai pelumas dan berperan
dalam proses ekspansinya paru. Jika dalam rongga tersebut didapatkan
adanya udara disebut pneumothorax, jika didapatkan adanya darah disebut
hematothorax, dan jika didapatkan adanya cairan yang berlebihan efusi
pleura (Hanafiah, 2012).
Fisiologi pernafasan berlangsung proses perubahan tekanan yang
terjadi akibat aliran vena yang kembali ke jantung dan pompa darah dari
jantung ke dalam sirkulasi sistemik. Pas saat inspirasi; otot diagfragma akan
kontraksi dan berbentuk flat (turun ke bawah). Otot-otot intercostalis
kontraksi sehingga antar costae lebih luas dan meningkatnya volume rongga
thoraks yang mengakibatkan per essay tekanan antara rongga thoraks dan
keadaan dimana tekanan rongga thoraks lebih rendah sehingga udara akan
mengalir dan masuk ke dalam paru. Begitu juga sebaliknya dengan proses
ekspirasi; otot-otot pernafasan mengalami relaksasi, otot diagfragma dan
intercostalis kembali ke posisi normal, dan tekanan intra thoracal lebih tinggi
dari atmosfir sehingga udara akan keluar dari paru (Hanafiah, 2012).
Berdasarkan kegawatdaruratan, trauma thoraks dibagi atas yang
mengancam jiwa dan potensial mengancam jiwa.
1. Secepatnya mengancam jiwa : Airway obstruction, tension
pneumothorax, open pneumothorax "sucking chest wound",
massive hemothorax, flail chest, cardiac tamponade.
2. Potensial jiwa :Pulmonary contusion, myocardial contusion,
traumatic aortic rupture, traumatic diagphragmatic rupture,
4
tracheobronchial tree injury (larynx, trachea, bronchus),
esophageal trauma.(Hanafiah, 2012)
Pengelompokan ini berguna dalam memahami dan menangani
kegawatdaruratan dari kasus trauma thoraks. Dalam menangani kasus trauma
thoraks kita dokter berpedoman pada metode ABC (airway, breathing,
circulation).
Airway :
Menilai patency jalan nafas dan pertukaran udara melalui mulut dan
hidung dan menilai ada tidaknya sumbatan jalan nafas.
Breathing :
Menilai gerakan dinding dada dan kualitas pernafasan.
Circulation :
Menilai pulsasi (kualitas, rate, dan regular). Menilai akral, suhu dan
refil test serta menilai vena jugularis.
Patofisiologi trauma thoraks
Pada kasus trauma thoraks pasien akan mengalami keluhan rasa sesak
dan juga rasa nyeri saat bernafas. Proses awal akibat kejadian tersebut adalah
adanya gangguan dalam proses respirasi terutama proses ventilasi dan proses
difusi (perubahan tekanan intrathorakal) yang dapat diikuti oleh kegagalan
sirkulasi yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik. Hal ini dapat
menyebabkan inadequate delivery oksigen ke jaringan sehingga jaringan
mengalami hipoksia. Sehingga pada pemeriksaan akan didapat adanya
hiperkarbia, asidosis respiratorik dan asidosis metabolik (Hanafiah, 2012).
Manajemen Hematothorax
Hematothorax adalah adanya akumulasi darah dalam rongga pleura.
Darah ini dapat berasal dari laserasi pembuluh darah dalam rongga thoraks,
dari parenkim paru dan dari segmen iga yang mengalami fraktur (Hanafiah,
2012).
Pemeriksaan fisik akan didapat pasien yang mengalami sesak dan
cemas, takikardi, froty sputum,suara nafas yang menurun bahkan hilang pada
sisi yang sakit dan evaluasi tanda-tanda syok. Dari hasil pemeriksaan
5
radiologi akan didapatkan opasitas yang meningkat di bagian basal paru dan
sudut costophrenicus tumpul (Hanafiah, 2012).
Manajemen :
Pemberian oksigen yang adequate dan atasi tanda-tanda syok jika ada
dan dapat dilanjutkan dengan pemasangan chest tube.
Manajemen Kontusio Paru
Kontusio paru merupakan salah satu trauma thoraks yang potensial
mengancam jiwa. Pada kontusio, parenkim paru mengalami injuri tanpa
adanya laserasi. Biasa disertai trauma tumpul thoraks dan fraktur costae. 50%
kasus kontusio paru timbul gejala hemoptisis (Hanafiah, 2012).
Simptom dari kontusio paru : dyspnea, nyeri saat bernafas, suara nafas
melemah, krepitasi, dan hipoventilasi (Hanafiah, 2012).
Manajemen :
Pemberian oksigen yang ade kuat
Fisioterapi nafas
Pembatasan cairan
Pemberian diuretic
Hindari berkembangnya ke arah pneumonia maupun ARDS
meskipun 50% kasus tetap
mengalami pneumonia meski sudah dalam terapi
2. Syok
Syok adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Pada pasien trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh
hipovolemia.
Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis : Hipotensi, takhikardia,
takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya pengisian
kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine.
Jenis-jenis syok :
Syok hemoragik (hemorrhagic)
6
Perdarahan (hemorrhage) adalah penyebab syok yang paling umum
setelah trauma, dan hampir semua penderita dengan trauma multipel ada
komponen hipovolemia, harus diingat bahwa walaupun syok bukan
disebabkan perdarahan, namun akan memberi respon sedikit atau singkat
terhadap resusitasi cairan. Karena itu, bila terdapat tanda-tanda syok, maka
syok itu dianggap disebabkan karena hipovolemia. Namun, dalam melakukan
terapi, harus diketahui bahwa sejumlah kecil penderita mempunya etiologi
syok yang lain (misalnya, penderita mungkin mempunyai kondisi sekunder
seperti tamponade jantung, cedera saraf tulang belakang, atau trauma tumpul
jantung yang akan merumitkan syok hipovolemia itu).
Syok non-hemoragik
1. Syok kardiogenik
Disfusi miokardial dapat terjadi dari trauma tumpul jantung,
tamponade jantung, emboli udara, atau yang agak jarang infark miokard
yang berhubungan dengan cedera penderita. Bila mekanisme cedera
pada toraks merupakan deselerasi, harus dicurigai cedera tumpul jantung
(blunf). Semua penderita dengan trauma tumpul tumpul memerlukan
pemantauan EKG terus-menerus untuk mengetahui pola cedera dan
disritmia
2. Tension Pneumothorax
Tension pneumotoraks merupakan keadaan gawat darurat bedah
yang memerlukan diagnosisdan penanganan segera. Tension
pneumotoraks terjadi bila ada udara yang masuk kerongga pleura tetapi
karena suatu mekanisme ventil (katup-ayun/flapvalve) mencegah aliran
keluarnya. Tekanan intrapleural menigkat dan menyebabkan paru-paru
kolaps total dan terjadi penggeseran dari mediastinum ke
sisiseberangnya diikuti terganggunya aliran darah balik ke jantung
(veneus return) dan penurunan output jantung. Adanya gangguan
pernafasan yang akut, emfisema subkutanmenghilangnya suara nafas
pada auskultasi, hipersonor pada perkusidan pergeseran trakea
mendukung dianosis dari tension pneumotoraks dan menuntut
7
dilakukannya dekompresi toraksdengan segera tanpa menunggu
konfirmasi foto ronsen untuk diagnosisnya.
3. Syok Neurogenik
Cedera intrakarnial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan syok.
Adanya syok pada penderita dengan cedera kepala harus dicari penyebab
syok yang lain. Cedera syaraf tulang belakang yang mungkin
mengakibatkan hipotensi karena hilangnya tonus simpatis pada kapiler.
Ingat, kehilangan tonus simpatis pada kapiler memperberat efek
fisiologis dari hipovolemia, sebaliknya hipovolemia akan memperberat
efek-efek fisiologis denervasi simpatis. Gambaran klasik dari syok
neurogonik adalah hipotensi tanpa takikardiaatau vasokonstriksi kulit.
Tekanan nadi yang mengecil tidak terlihat dalam syok neurogenik.
Penderita yang menderita cedera tulang belakang sering kali mengalami
trauma didaerah tubuh lainnya. Karena itu, penderita yang diduga atau
diketahui mempunyai syok neurogenik pada awalnya harus dirawat
untuk hipovolemia. Kegagalan dalam pemulihan perfusi organ denga
resusitasi cairan menandakan perdarahan masih berlanjut atau syok
neurogenik. Memantau tekanan vena sentral (CVP) mungkin membantu
dalam masalah yang kadang-kadang rumit.
4. Syok Septik
Syok karena infeksi yang timbul segera setelah trauma jarang
terjadi. Namun, kalau kedatanagan penderita di fasilitas gwat-darurat
tertunda untuk beberapa jam, masalah ini mungkin terjadi pada penderita
dengan cedera perut yang tembus pada kontaminasi rongga peritoneal
dengan isi usus. Penderita septik yang hipotensif dan afebril secara klinis
sukar dibedakan dari yang terkena syok hipovolemik, karena kedua
kelompok ini dapat menunjukan takikardia, vasokontriksi kulit, produksi
urine menurun, tekanan sistolik yang menurun, dan tekanan nadi yang
mengecil. Penderita dengan syok septik yang dini mungkin mempunyai
peredaran volume yang normal, takikardia yang sedang, kulit berwarna
8
merah jambu yang hangat, tekanan sistolik mendekati normal, dan
tekanan nadi yang lebar.
3. Trauma Pelvis
Fraktur Pelvis
Sebuah pemahaman tentang pola fraktur dan mekanisme cedera
sangatlah penting. Young and Burgess menggambarkan klasifikasi
berdasarkan mekanisme cedera. Sistem ini dibuat untuk memberikan
traumatologis dapat memperkirakan cedera berat lain yang menyertai pada
pelvis dan abdomen. Terdapat 3 mekanisme cedera mayor menurut Young
and Burgess, yaitu :
1. Cedera kompresi lateral.
Tabrakan dari arah lateral dapat mengakibatkan berbagai macam
cedera, tergantung dari kekuatan tabrakan yang terjadi.
a. Tipe AI (impaksi sakral dengan fraktur ramus pubis sisi yang sama
(ipsilateral)—cedera yang stabil.
b. Tipe AII (impaksi sakral dengan fraktur iliac wing ipsilateral atau
terbukanya SI joint posterior dan fraktur ramus pubis)
c. Tipe AIII (sama dengan tipe An dengan tambahan cedera
rotasional eksterna dengan SI joint kontralateral dan fraktur ramus
pubis
2. Kompresi anteroposterior, yang dihasilkan oleh gaya dari anterior ke
posterior yang mengakibatkan terbukanya pelvis.
a. Tipe BI (diastasis simfisis <2,5 cm dengan sisi posterior yang
intak)—cedera yang stabil
b. Tipe BII (Diastasis simfisis >2,5 cm dengan terbukanya SI joint
tapi tidak terdapat instabilitas vertikal)
c. Tipe BIII(Disrupsi komplit dari anterior dan posterior pelvis
dengan kemungkinan adanya pergeseran vertikal)
3. Vertically unstable atau shear injury, Hemipelvis yang tidak stabil atau
disebut juga dengan fraktur malgaigne.
9
Susunan anatomi yang sedemikian rupa dari ateri dan vena
menjelaskan frekuensi dan besarnya perdarahan yang terjadi pada fraktur
pelvis. Tanpa melakukan angiografi, tidak mungkin untuk mengetahui
secara klinis apakah perdarahan retroperitoneal disebabkan kerusakan
arteri, vena ataupun kapiler. Kebanyakan dari hematoma pada pelvis,
biasanya berasal dari sistem vena dan tertahan oleh peritoneum yang intak.
Mekanisme hemostatik normal menyebabkan terjadinya hematoma,
walaupun sebagian terus meluas dan menyebabkan syok hemorhagik,
mungkin juga pada perdarahan akibat kerusakan arteri.Hematom arteri
atau vena dari retroperitoneal dapat mengimbibisi ke mesenterium
intestinal dan membuat gejala klinik akut abdomen. Hematom
retroperitoneal juga bisa robek melalui peritoneum menuju rongga
abdomen, yang menghilangkan efek tamponade. Pasien fraktur pelvis
dengan hipotensi mempunyai angka mortalitas 50%. Perdarahan dari
fraktur pelvis yang berasal dari laserasi dari vaskularisasi pelvis dan
terkumpul pada rongga retroperitoneal, tapi terlihat sebagai perdarahan
dapat terjadi dari sumsum tulang yang fraktur (terutama pada orang tua
dengan tulang yang rapuh). Koagulopati adalah salah satu sebab dari
perdarahan retroperitoneal dan harus selalu dipertimbangkan bila pasien
tidak memeberikan respon dengan resusitasi.
Penatalaksanaan
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra
rumah-sakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama
pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara
melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah
untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan.
Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal.
Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi,
lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera
APC.
10
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik
dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal
pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat
membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien,
menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola
(misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi
fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi
cedera pelvis “open book” mengarah pada peningkatan tekanan
retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena.
Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk
mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis
posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur
yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus
dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan
secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini.
Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati
persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk
mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus
dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio
trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal
anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk
mencapai hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena
yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah
trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti
dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien
yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan
fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan
11
balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam
mengontrol perdarahan arteri.
Sistem Genitourinarius yang Terlibat dalam Trauma Pelvis
Komponen mayor dari sistem genitourinarius yang terlibat dalam
trauma pelvis adalah kandung kemih dan urethra. Kandung kemih terletak
di superior dari dasar pelvis (otot coccygeal dan levator ani). Otot ini
terletak di atas ligamentum. Fascia dari lantai pelvis mobile dan jarang.
Pada laki-laki, prostat berada antara kandung kemih dan lantai pelvis dan
ditutupi oleh membran yang cukup tebal. Urethra melalui prostat dan
keluar dibawah lantai pelvis. Arteri, vena dan nervus pudendal (S2-4)
berhubungan dengan pasase urethra menembus difragma urogenitale, dan
nervus otonom pelvis (S2-4) yang bertanggung jawab pada mekanisme
ereksi pada laki-laki. Perbatasan antara prostat dan lantai pelvis sangat
kuat seperti juga urethra pars membranosa. Titik lemah pada area ini
adalah urethra dibawah diafragma pelvis dalam pars bulbosa. Ketika
kandung kemih dalam keadaan penuh dan ditekan dengan kekuatan yang
besar, dapat terjadi ruptur urethra pada laki-laki ( paling sering pada pars
bulbosa) dibawah lantai pelvis. Kadang-kadang, dapat juga terjadi ruptur
urethra pars membranacea di atas lantai pelvis.
Pada wanita, cedera urethra terjadi paling sering terjadi dekat bladder
neck. Kontinensi urine tergantung pada sfingter eksterna (otot lurik) pada
urethra pars membranaceus (midurethra pada perempuan) dan pada
bladder neck (otot polos) pada laki-laki dan perempuan. Pemahaman
tentang anatomi pelvis akan meningkatkan kewaspadaan dalam mengenali
perdarahan retroperitoneal, juga cedera yang mengenai sistem
genitourinarius dan gastrointestinal.
4. Resusitasi Sirkulasi
12
Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan.
Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan
merupakan prioritas .
1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang.
Gunakan kanula besar (14 - 16 G). Dalam keadaan khusus
mungkin perlu vena sectie
2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh
karena hipotermia dapat menyababkan gangguan pembekuan
darah.
3. Hindari cairan yang mengandung glukose.
4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang
golongan darah.
Urin
Produksi urin menggambarkan normal atau tidaknya fungsi
sirkulasi jumlah seharusnya adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak
sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang kateter urine.
Transfusi darah
Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko
ketidaksesuaian golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko
penularan penyakit juga ada meski donornya adalah keluarga sendiri.
Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil
meskipun telah mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah
donor yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan darah golongan O
(sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif. Transfusi harus diberikan jika
Hb dibawah 7g / dl jika pasien masih terus berdarah.
5. Peta Konsep
13
1 jam setelah kejadian tiba di RS Moewardi
Mengluh nyeri terutama di bagian perut kanan (kesadaran masih compos
mentis) tapi lemas
Dikeroyok merasa ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan
sekali di punggung
Laki-laki, 30 tahun
6. Pembahasan
Berdasarkan hasil anamnesis diketahui bahwa seorang laki – laki
usia 30 tahun, saat menonton sepak bola dikeroyok supporter kesebelasan
lawan. Laki – laki tersebut dibawa ke UGD RS Dokter Muwardi.Pasien
tiba di RS Dokter Muwardi kira – kira 1 jam setelah kejadian. Waktu
disini sangat penting ditekankan karena dalam penanganan trauma waktu
merupakan hal penting dalam mencegah kematian dan kecacatan, makin
cepat dalam penanganan pasien trauma maka akan menghasilkan
prognosis yang semakin baik. Dalam manajemen trauma terdapat golden
periode yaitu selang waktu terjadinya trauma sampai ruang operasi / terapi
definitif,bukan waktu sampai Unit Gawat Darurat atau bukan waktu
selama di Unit Gawat Darurat. Masa golden periode untuk kasus trauma
adalah sekitar 6 - 8 jam, pada kasus yang terdapat pada skenario pasien
masih digolongkan masuk kedalam masa golden periode. Pasien pada
skenario mengeluhkan nyeri terutama di bagian perut kanan atas, dia
merasa telah ditusuk benda tajam 2 kali di bagian perut kanan atas dan
sekali di punggung kiri.Perut kita adalah organ yang berongga, jadi
didalamnya terdapat bermacam-macam organ yang terletak pada posisinya
masing-masing, pada perut sebelah kanan dibagian atas terdapat organ
Hati, Kandung Empedu, Ginjal, Usus kecil dan Usus Besar, sedangkan
pada punggung kiri terdapat organ paru – paru. Rasa nyeri yang terjadi
pada pasien tersebut diakibatkan karena adanya trauma tajam yang
menyebabkan terjadinya robekan atau perforasi lapisan dinding abdomen
sehingga dapat menekan syaraf bermyelin tipe C, hal ini kemudian akan
diteruskan ke medulla spinalis yang selanjutkan jaras akan dilanjutkan ke
susunan syaraf pusat di thalamokortikal dan kemudian persepsi nyeri
dapat dirasakan.
Dari pemeriksaan didapatkan juga bahwa pasien dalam keadaan
sadar tapi merasa lemas. Lemas yang dialami pasien pada kasus ini dapat
disebabkan karena perdarahan yang timbul akibat trauma yang dialami
14
pasien.Setelah dilakukan pemeriksaan vital sign, didapatkan hasil nadi
pasien 130x per menit,tekanan nadi kecil, respiration rate 32x per
menit,tensi 80/40 mmHg, dan suhu 36,50 C. Pasien mengalami takipneu,
takikardia dan hipotensi. Perdarahan yang dialami pasien dapat
menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output) sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan.Bila terjadi gangguan perfusi jaringan maka
mekanisme kompensasi yang dilakukan tubuh adalah melalui
vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak, dan otot
skelet serta menurunkan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor
humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan
volume darah dengan konservasi air.Ventilasi meningkat untuk mengatasi
adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase
kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung
untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar.
Pada hasil pemeriksaan primary survey didapatkan jalan nafas
pasien bebas, pasien diberikan oksigen 10 – 12 liter/menit dengan masker
(Non Rebreathing Mask). Tujuan terapi oksigen adalah untuk
menanggulangi hipoksia jaringan yang terjadi karena penurunan tekanan
oksigen arteri dan agar oksigenasi seluruh tubuh pasien adekuat.Pasien
juga dilakukan pemasangan collar brace yang bertujuan untuk
immobilisasi dan mencegah adanya fraktur vertebra cervical.Selanjutnya
dari hasil pemeriksaan breathing, ditemukan jejas ekskoriasi pada
hemithorax sinistra dan pengembangan hemithorax sinistra tertinggal.Hal
ini menandakan bahwa pada hemithorak sinistra pasien mengalami trauma
sehingga menggangu fungsi dari paru – paru kiri pasien.Setelah dilakukan
perkusi terdengar suara redup di costa 8 – 9 di hemithorax sinistra, suara
redup pada kasus di skenario ini dapat diakibatkan oleh adanya cairan atau
darah didalam cavum pleura pasien. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan
auskultasi yang menunjukkan bahwa suara vesikuler pada bagian bawah
hemithorax sinistra (mulai costa 8 – 9) menurun. Pasien kemudian
15
dilakukan WSD atas indikasi hematothorax, hal ini bertujuan untuk
mengeluarkan darah dari cavum pleura pasien .
Pemasangan infus 2 jalur agar cepat memasukkan cairan pengganti
darah berupa kristaloid seperti ringer laktat (RL) dengan jarum ukuran
besar yaitu ukuran 16. RL digrojog untuk resusitasi pasien dalam keadaan
hanggat yaitu dengan suhu sesuai suhu tubuh yaitu 37,5˚C. Dilakukan
crossmatch yaitu reaksi silang secara in vitro antara darah pasien dengan
darah donornya yang akan ditransfusikan. Tujuan crossmatch adalah
melihat apakah darah yang ditransfusikan cocok atau tidak, untuk
konfirmasi golongan darah dan adanya reaksi perlawanan oleh serum
pasien dalam tubuhnya. Selanjutnya dokter melakukan pemasangan kateter
untuk monitoring dimana urin yang pertama dibuang karena tidak
mencerminkan kondisi perfusi jaringan pasien. Hasil 100 cc dan jernih.
Pada pasien ini tidak diketahui urin sebanyak 100 cc itu ditampung selama
berapa menit oleh karena itu tidak dapat dinilai kondisi perfusi jaringgan
pasien. Sedangkan kondisi urin yang jernih menandakan bahwa tidak ada
kelainan pada sistem urologi pasien yaitu ginjal, ureter, vesica urinaria,
dan uretra.
Tindakan dokter selanjutnya adalah konsul pada dokter berdah
mengenai perdarahan abdomen dan melakukan pemasangan WSD.
Pemasanggan WSD bertujuan untuk mengeluarkan darah atau cairan serta
udara dalam rongga pleura atau thorax, mengembaliakan tekanan negatif
rongga pleura, menggembalikan paru yang kolaps, dan mencegah reflux
drainase kembali ke rongga thorax. Resusitasi cairan diteruskan hingga
penilaian akhir pasien dalam keadaan baik. Kemudian dokter melakukan
persiapan operasi dan evaluasi kondisi sirkulasi dengan menilai tensi, nadi,
akral dan urin per jam untuk menilai syok serta capillary refill time untuk
menilai kondisi perfusi jaringan.
Hasil Glasgow Coma Scale (GCS) pada pasien adalah 15, hal ini
menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan sadar penuh (compos mentis).
16
Pupil pasien terlihat isokor yang berarti tidak menunjukkan adanya
peningkatan tekanan intrakranial ataupun kelainan visus.
Pakaian pasien dibuka semua dengan tujuan menilai apakah ada
tanda-tanda bahaya lain yang mengancam jiwa. Setelah itu, pasien
diselimuti agar tetap hangat dan mencegah terjadinya hipotermy.
Hasil foto cervical lateral cross table dan thorax (AP)
menunjukkan hasil yang normal atau tidak terdapat fraktur/ kelainan
lainnya. Namun, hasil foto pelvis (AP) terdapat fractur di os simphysys
pubis dan disruption sacro iliac pada bagian kanan. Hal ini dapat terjadi
akibat multitrauma, baik benturan langsung ataupun akibat penekanan
vertebra akibat kecelakaan.
Pada secondary survey, pemeriksaan kepala leher, thorax, abdomen
atas, dan anggota gerak dalam batas yang normal/ tidak ada kelainan.
Dokter melakukan konsul pada dokter spesialis bedah (orthopedi, digestif,
dan urologi) dengan tujuan agar pasien mendapat penanganan yang lebih
lanjut baik trauma yang mengakibatkan fraktur tulang/ perdarahan pada
organ dalam.
17
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Pasien mengalami komplikasi yang cukup berat.
2. Perlunya pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan keadaan pasien.
3. Penanganan pada pasien harus segera dilaksanakan dengan cepat dan
tepat.
4. Tindakan dokter umum dalam skenario sudah tepat dalam mengatasi
pasien trauma
B. SARAN
Selama diskusi tutorial mahasiswa aktif dalam membahas keseluruhan
materi namun ada beberapa yang belum dikupas tuntas untuk skenario ini hal
tersebut bukanlah kendala yang cukup berarti, hanya memerlukan sumber
sumber yang lebih terbaru dan mempersiapkan materi secara matang.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2012). Primary Trama Care.
http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_IND
O.pdftrauma (diakses 27 Mei 2012).
Hak, David J., Wade R. Smith, MD , Takashi Suzuki, MD. 2009. Manajemen
Perdarahan pada Fraktur Pelvis yang Mengancam-Jiwa. Jurnal
Ortopedi.
Hanafiah M (2012). Manajement Trauma Thorax.
www.rumahsakitmitrakemayoran.com/ managemen t- trauma - thoraks /
(diakses 27 Mei 2012).
Meidi, Unedo. 2008. Trauma Pelvis. Bagian Orthopaedi Dan Traumatologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung.
19