Upload
agung-nugroho-wijayanto
View
183
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
PRAKTIK MENGAJAR GURU MADRASAH DINIYAH AL-HIDAYAH
(Analisa Fenomenologi di Madrasah Diniyah Al-Hidayah
Kecamatan Lawang Kabupaten Malang)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Minat Utama
Sosiologi Pembangunan
Oleh: Agung Nugroho Wijayanto
0710010045
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2012
i
PRAKTIK MENGAJAR GURU MADRASAH DINIYAH AL-HIDAYAH
(Analisa Fenomenologi di Madrasah Diniyah Al-Hidayah
Kecamatan Lawang Kabupaten Malang)
SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Minat Utama Sosiologi Pembangunan
Oleh: Agung Nugroho Wijayanto
0710010045
JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2012
ii
ABSTRAK
Agung Nugroho Wijayanto (2012). Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Malang. Praktik Sosial Tindakan Mengajar Guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah. Arief Budi Nugraha , danMondry.
Pendidikan agama merupakan salah satu indikator penting dalam pembangunan SDM Indonesia, dapat dibuktikan dengan ditempatkannya agama dalam Pancasila, UUD 1945 dan GBHN. Namun pentingnya pendidikan agama tersebut tidak sama dengan kenyataan yang menunjukkan kondisi madrasah di Indonesia, salah satunya adalah MAdrasah Diniyah Al-Hidayah yang ad di Kecamata Lawang, Kabupaten Malang. Kondisi termarjinalkannya madrasah berdampak pada kesejahteraan guru di madrasah tersebut.meskipun demikian guru madrasah tersebut tidak banyak menuntut seperti fenomena guru kebanyakan yang yang menuntut kesejahteraan mereka, bahkan guru di madrasah tersebut untuk bisa mencukupi kebutuhan mereka, mereka melakukan pekerjaan lain, seperti berjualan di pasar dan menjadi buruh di pabrik. Fenomena guru di madrasah tersebutlah yang menjadi pembahasan dalam penelitian “Praktik Mengajar Guru Madrasah Diniyah Al-Hidaya h” yang berlokasi di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.
Penelitian Praktik Mengajar Guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah menggunakan teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens untuk menganalisa kondisi yanng menyebabkan keterulangan Praktik Mengajar Guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipan dan interview dengan satu informan kunci dan lima informan utama.
Kesadaran guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah Dalam Melakukan Praktik Mengajar Di Madrasah merupakan dominasi dari struktur yang bersifat mengekang kebebasan bertindak namun sekaligus memberdayakan guru madrasah tersebut untuk melakukan aktivitas sosial. Struktur yang terbentuk merupakan hasil dari relasi sosial yang terwujud dalam aktivitas belajar antara guru informan dan informan itu sendiri . Struktur tersebut merupakan usaha monitoring refleksif guru informan kepada informan yang dirupakan dalam aktivitas belajar. Setiap aktivitas monitoring refleksif seorang guru kepada murid dalam upayanya menanamkan struktur , dipengaruhi pula oleh struktur yang sudah tertanam pada diri guru tersebut. Struktur tersebut bercirikan sebuah wacana keagamaan. Pembentukan ulang relasi sosial yang dirupakan dalam praktik mengajar yang merentang melintas ruang-waktu merupakan hasil sekaligus sarana dari rutinisasi aktivitas mengajar yang dicirikan oleh suatu aturan dan sumber daya yang bersifat dominasi wacana dalam bentuk peraturan-perturan yang terdapat pada teks keagamaan.
Kata Kunci: Praktik Sosial Tindakan Mengajar di Madrasah, Strukturasi, Agen , dan Kesadaran
iii
ABSTRACT
Agung Nugroho Wijayanto (2012). Department of Sociology, Faculty of Social Science Politics, UB Malang. Social Practice Teaching Action Teacher Madrasah Diniyah Al-Hidayah. Budi Arief Nugraha, danMondry.
Religion education is one important indicator of human resources development in Indonesia, can be proved by religion placed in the Pancasila, the 1945 Constitution and the Guidelines of State Policy. But the importance of religious education is not the same as the fact that shows the condition of madrasah in Indonesia, one of which is the Madrasah Al-Hidayah Diniyah the ad in Kecamata Lawang, Malang regency. The condition affects the welfare of madrassa teachers at the school .Even madrassa teachers are not so demanding as a phenomenon that most teachers are demanding their welfare, even the teachers at the school is to bias mncukupi their needs, they do other work, such as selling in the market and a laborer in a factory. The phenomenon of teachers at the school is exactly what a discussion of the research "Social Action Practice Teaching diniyah al-madrasah teacher guidance" is located in District Lawang, Malang regency.
Social Action Research Practice Teacher Teaches Diniyah Madrasah Al-Hidayah using structuration theory put forward by Anthony Giddens to analyze the practice of Social Action Mnegajar Diniyah Guru Madrasah Al-Hidayah. research methods used in this study is a qualitative method with a phenomenological approach. Data collection techniques used were participant observation and interviews with key informants and one of five especial informants.
The results showed that teachers in conducting action has three motifs. The first act of teaching with low pay is one way to help her husband. Second, low-paid tindakanmengajar an attempt to continue the mandate of their teachers. Third, the act of teaching is a requirement Diniyah Madrasah Al-Hidayah to fill the position of professor at the madrasa. Action to teach them is a reproduction of their teachers had ever done before. The act of teaching with a low willingness to pay an unintended consequence of the structure to curb them, which they see themselves got when they were still studying at the madrassa.
Keywords: social practice teaching in madrasah, structuration, agent, and awareness
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala berkat,
rahmat dan hidayahnya yang telah dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini.
Proposal ini dapat terselesaikan dengan adanya kemauan, ketekunan dan kerja keras penulis dan di dukung adanya bantuan serta bimbingan dari semua pihak maka semua hambatan dapat diatasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Darsono Wisadirana, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
2. Arief Budi Nugroho, M. Si selaku dosen pembimbing I. 3. Mondry, M. Sos selaku dosen pembimbing II 4. Prof. Dr. Ir. Sanggar Kanto , MS selaku penguji I. 5. Indhar Wahyu Wira Harjo, MA selaku penguji II 6. Pak Supriyono selaku pemberi izin survey di Madrasah Diniyah Al-
Hidayah Lawang, Kabupaten Malang. 7. Guru madrasah tersebut yang memberikan bantuan informasi selama
survey di madrasah tersebut. Penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari sempurna sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Harapan penulis semoga laporan proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya sosiologi pendidikan.
Malang, Agustus 2012
Penulis
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv DAFTAR TABEL .......................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Penelitian ........................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 9 2.1 Penelitian Terdahulu ................................................................................ 9 2.2 Pengertian Dan Jenis Madrasah ....................................................................... 13 2.3 Perkembangan Madrasah Di Indonesia ..................................................... 16 2.4 Pengertian Motif Sosial ............................................................................. 23 2.5 Teori Motif Sosial McClelland ................................................................. 24 2.6 Pentingnya Motivasi Dalam Melakukan Profesi ...................................... 28 2.7 Konsep Guru dan Murid dalam Lingkungan Sosial Pendidikan ............... 29 2.8 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 31 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 32 3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................... 32 3.2 Tipe Penelitian ........................................................................................... 32 3.3 Pendekatan Penelitian ................................................................................ 33 3.4 Lokasi Penelitian ........................................................................................ 34 3.5 Fokus Penelitian ......................................................................................... 35 3.6 Teknik Penentuan Informan ....................................................................... 35 3.7 Sumber dan Jenis Data ............................................................................... 36 3.8 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 37 3.9 Teknik Analisa Data ................................................................................... 40 3.10 Keabsahan Data ........................................................................................ 41 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .......................... 46 4.1 Gambaran Umum Madrasah Diniyah Al-Hidayah .................................... 46
vi
4.1.1 Visi dan Misi Madrasah Diniyah Al-Hidayah ........................................ 48 4.1.2 Kondisi Fisik Madrasah Diniyah Al-Hidayah ........................................ 49
4.2 Gambaran Umum Informan Madrasah Diniyah Al-Hidayah ..................... 51 4.2.1 Gambaran Umum Kesejahteraan Guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah ......................................................................................................... 56
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................. 57 7.1 Kesadaran Guru Dalam Melakukan Praktik Sosial Tindakan Mengajar Di
Madrasah. ......................................................................................................... 57 7.2 Dinamika Guru, murid, dan Madrasah Dalam Praktik Sosial Tindakan
Mengajar ........................................................................................................... 63 7.3 Pemahaman Strukturasi Atas Praktik Sosial Pengajar Dalam Melakukan
Tindakan Mengajar Di Madrasah Diniyah Al-Hidayah. .................................. 70 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 72 6.1 Kesimpulan ................................................................................................. 72 6.3 Saran .......................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... vi LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Intensitas Interaksi Guru dan Siswa ......................................................... 29 Gambar 2. Kerangka Berpikir ................................................................................... 31 Gambar 3. Madrasah dari depan samping kanan ....................................................... 49 Gambar 4. Madrasah dari depan samping kiri ........................................................... 49 Gambar 5. Kelas 1dari luar ........................................................................................ 49 Gambar 6. Kelas 1 dari dalam .................................................................................... 49 Gambar 7. Kelas 2 dari luar. ...................................................................................... 49 Gambar 8. Kelas 2 dari dalam samping kanan ........................................................... 49 Gambar 9. Kelas 2 dari dalam samping kiri. .............................................................. 49 Gambar 10 Kelas 3 dari luar. ..................................................................................... 49 Gambar 11 Kelas 3 dari dalam. .................................................................................. 50 Gambar 12 Kelas 4 dari dalam ................................................................................... 50 Gambar 13 Kelas 5 dari dalam ................................................................................... 50 Gambar 14 Kelas 6 dari dalam ................................................................................... 50 Gambar 15 Tiga Tingkatan Kesadaran Agen ............................................................. 57 Gambar 16 Dualitas Struktur ..................................................................................... 66 Gambar 17.Konsepsi Madrasah Sebagai Sarana Praktik Sosial Tindakan Mengajar 68 Gambar 18 Pemahaman Strukturasi ........................................................................... 70
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan Kondisi Pendidikan Agama di India, Eropa, dan Afrika .......................................................................................................... 5 Tabel 2. Perbedaan Dan Kesamaan Penelitian Terdahulu Dan Penelitian Yang Akan Dilakukan ....................................................................... 12 Tabel 3. Data Informan ..................................................................................... 51 Tabel 4. Data Kesejehateraan Pengajar Madrasah Diniyah Al-Hidayah .......... 56
ix
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Royani Muhammad. 2009. Dampak Motivasi Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen Kecamatan Karangan Kabupaten Trenggalek. Skripsi Universitas Islam Negeri Malang
Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Anis , Ibrahim, et-al. 1972. Al-Mu’jam al-Wasit. Kairo.
Dasuki, Abdul Hafizh. 1974. The Pondok Pesantren an Account of its Development in Independent Indonesia., Montreal: Mc Gill University.
Fiona, Teguh. 2010. Upaya Kepala Madrasah dalam Meningkatkan Motivasi Mengajar Guru Pendidikan Agama Islam Honorer di MTs. Hamid Rusydi Malang. Skripsi Universitas Islam Negeri Malang.
Gibb , HA.R. and Krammers , H. 1981. Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden.
Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy.J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT.Remaja Rosdakarya.
Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Methods. London: Sage
Publication.
Nasution, S. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nawawi, H. Hadari. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia (Untuk Bisnis Yang Kompetitif. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Nazir. 1988. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:Balai Pustaka.
Nurastuti, Wiji. Metodologi Penelitian. 2007. Yogyakarta: Ardana Media.
Priyono, Henry. B. 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
x
Salim,Agus. 2005. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta:Tiara Wacana.
Suharsimi, Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975, pasal 1.
Sarwono, Sarlito. 2002. Psikologi Sosial Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Agus. 2008. Pengantar Sosiologi Mikro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV. Rajawali.
Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Zuhdi, Muhammad. 2005. The 1975 Three- Minister Decree And The Modernization Of Indonesian Islamic Schools. Greenwich: American Educational History Journal Vol. 32, Edisi 1
Wahidmurni. 2008. Cara Mudah Menuis Proposal Dan Laporan Penelitian. Malang:
UM Press. Kindberg, Mikael. 2010. From Jesus and God to Muhammad and Allah, and back
again – Kenyan Christian and Islamic religious education in Nairobi.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan adalah bagian dari manusia yang tidak bisa dipisahkan satu dengan
yang lain. Pendidikan merupakan satu bagian kehidupan manusia disadari maupun tidak
manusia sepanjang hidupnya melangsungkan hal tersebut. Suhartono (2007: 79-80)
menyebutkan pendidikan secara luas bermakna segala kegiatan pembelajaran yang
berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kehidupan. Pendidikan berlangsung
di segala jenis, bentuk, dan tingkat lingkugan hidup, yang kemudian mendorong
pertumbuhan segala potensi yang ada di dalam diri individu.
Menurut Nasution (2004: 21-22) pendidikan bisa memiliki daya pengubah
bahkan memperbarui masyarakat. Demikian pentingnya arti dan tujuan pendidikan
sehingga mencakup ke segala aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah
aspek pendidikan agama.
Betapa pentingnya kedudukan pendidikan agama dalam pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya, dapat dibuktikan dengan ditempatkannya unsur agama dalam
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama dalam Pancasila adalah
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan makna bahwa bangsa kita adalah
bangsa yang beragama. Pendidikan agama ditempatkan pada posisi yang strategis dan
tak dapat dipisahkan dalam sistem pendidikan nasional kita.
Keterkaitan antara agama dengan sistem pendidikan nasional, jelas disebutkan
dalam rumusan tujuan pendidikan nasional kita, baik dalam Undang Undang Sistem
2
Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 maupun dalam Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) 1993. Dalam Undang-Undang Sistem PendidikanNasional (UUSPN)
disebutkan bahwa : “Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap
dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Sedangkan dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa : “Pendidikan Nasional
bertujuan untuk meningkatkan kulaitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa , berbudi luhur, berkpribadian, mandiri,
maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, tanggung
jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani”.
Kedua rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, diawali dengan sebutan
manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Begitu
pentingnya unsur beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini, sehingga
GBHN menjadikan asas pertama dari asas-asas pembangunan nasional. Dengan asas
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dimaksudkan bahwa : “segala
usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang
menjadi landasan spiritual, moral, dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila”, karena itu GBHN memerintahkan agar : “diupayakan terus
3
bertambah sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk sarana pendidikan agama pada
semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah, yang pelaksanaannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Untuk mewujudkan cita-cita ini, baik UUSPN No.20 Tahun 2003 maupun
GBHN 1993 mewajibkan pendidikan agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Pasal 39 UUSPN ayat 2 menyebutkan bahwa: isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan wajib memuat : a) Pendidikan Pancasila, b) Pendidikan Agama, c)
Pendidikan Kewarganegaraan. Hal yang senada juga disebutkan dalam GBHN Bab IV
bidang pendidikan bahwa : “Kurikulum dan isi pendidikan yang memuat : Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan terus ditingkatkan dan
dikembangkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan nasional”.
Dalam penjelasan pasal 37 ayat 2 UUSPN tersebut, disebutkan pendidikan
agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta didik yang bersangkutan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Dalam
hal ini madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan
pendidikan agama dalam proses pembelajarannya.
Menurut catatan sejarah bangsa Indonesia sekolah berbasis agama terutama
sekolah berbasis islam atau lebih sering disebut madrasah sudah sangat lama sekali ada
4
di Indonesia seiring dengan datangnya para pedagang dari Gujarat yang menyebarkan
Islam ke Indonesia. Tetapi perjalanan perkembangan madrasah di Indonesia tidaklah
mulus, banyak halangan seiring perkembangan bangsa ini ke arah kebutuhan persiapan
akan modernitas. Zuhdi menyebutkan:
...Since of early development in Indonesia, the co- existence of Islamic and secular schools has been part of the national educatiton scene. It began a long time before the country’s independence. While they co-existed, islamic schools were marginalized from the national education system until the early 1970s. This was because Islamic schoos mainly belonged to private institutions and they were run for religious reasons. Although their number was less than the non denominational schools, their role in educating young Indonesian people, especialy in rural areas, was quite significant. The problem was that Isamic schools did not prepare students to be involved in the future development of the country as a modern nation...
(sejak awal perkembangan Negara Indonesia, keberadaan Sekolah
Islam dan keagamaan telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Itu sudah berlangsung lama sejak Negara Indonesia belum merdeka. Saat itu keberadaan Sekolah Islam masih terkucilkan hingga tahun 1970. ini disebabkan Sekolah Islam dimiliki oleh instansi pribadi dan dijalankan atas prinsip religiusitas. Meskipun jumlahnya sedikit daripada sekolah formal, di desa sekolah ini sangat dihargai. Masalahnya adalah sekolah Islam tidak melibatkan muridnya ke dalam kemajuan bangsa) (Zuhdi, 2005: 36).
Zuhdi (2005: 36) menambahkan, sekolah berbasis Islam atau madrasah
menjadi bagian perkembangan bangsa ini bersama dengan sekolah umum lainnya. Akan
tetapi madrasah termarjinalisasi karena sebagian besar di miliki swasta atau pribadi
dengan alasan keagamaan. Karena alasan itu madrasah dianggap belum mempersiapkan
anak didiknya untuk menjawab tantangan jaman dan modernisasi.
5
Kondisi pendidikan berlatar belakang agama yang demikian tidak sama halnya
dengan negara lain seperti : Eropa, Amerika, dan India. Berikut adalah tabel sebagai
ilustrasi perbandingan kondisi pendidikan berlatar belakang agama.
Tabel 1. Perbandingan Kondisi Pendidikan Agama di India, Eropa, dan Afrika NO NEGARA KONDISI PENDIDIKAN BERLATAR
BELAKANG AGAMA 1 Eropa Utara Looking at the religious education in schools
Europe, there are three way to deal with religion. Either you have : 1. No religious education at all, 2. Confessional religious education, or 3. Non-confesional religious education. (Melihat pendidikan agama di sekolah-sekolah Eropa, ada tiga cara untuk mendeskripsikannya. : 1. Tidak ada pendidikan agama sama sekali, 2. Confessional pendidikan agama, atau 3. Non-confesional pendidikan agama).
2 Afrika Religious education in Kenya is not a mandatory subject in secondary school, the pupils can choose among Christian, Islamic, and Hindu Religious Education. Many students attend classes in religious education with the opinion that it is an easy ‘ boost- subject’ giving them higher grade. (Pendidikan agama di Kenya bukan merupakan subjek wajib di sekolah menengah, siswa dapat memilih antara Kristen, Islam, dan Hindu Pendidikan Agama. Banyak siswa yang menghadiri kelas-kelas dalam pendidikan agama dengan pendapat bahwa itu adalah'dorongan-subjek memberi mereka kelas yang lebih tinggi).
3 India India is a secular democratic state, which means that all religions shhould be respected, and the Indian state does not give any religion preference. It is important that the schools teach all pupils respect for all peopel no matter their religious belief. (India adalah negara demokrasi sekuler, yang berarti bahwa semua agama harus dihormati, dan negara India tidak memberikan preferensi agama. Adalah penting bahwa sekolah mengajarkan
6
segala hormat untuk semua murid peopel tidak peduli keyakinan agama mereka).
Sumber: Kindberg (2007)
Di Eropa sekolah berbasis religi tidak mendapatkan tempat bahkan di negara
maju seperti Perancis, pendidikan berbasis agama tidak mendapatkan pengakuan.
Menurut Mikhael Kindberg, nasib pendidikan agama di eropa dikelompokkan menjadi
tiga : 1. Tidak ada pendidikan agama sama sekali, 2. Diakuinya pendidikan berbasis
agama, dan 3. Tidak diakuinya pendidikan berbasis agama.
Berbeda dengan Afrika dalam hal ini adalah negara Kenya menurut Mikhael
Kindberg, pendidikan agama di Kenya bukanlah subjek wajib di sekolah menengah,
para murid dapat memilih antara Kristen, Islam, dan Hindu. Banyak siswa menghadiri
kelas-kelas dalam pendidikan agama dengan pendapat bahwa adalah mudah
‘meningkatkan-subjek’ memberi mereka lebih tinggi tingkatnya.
Sedangkan di India menurut Mikhael, india adalah negara demokrasi sekuler,
yang berarti bahwa semua agama harus dihormati, dan negara India tidak memberikan
preferensi agama. Adalah penting bahwa sekolah mengajarkan segala hormat murid
untuk semua orang tidak peduli keyakinan agama mereka.
Posisi madrasah di Indonesia yang termarjinalkan berdampak kepada
kesejahteraan para pengurus serta pengajar di madrasah-madrasah Indonesia. Fakta ini
disepakati oleh beberapa pengurus serta pengajar madrasah. Menurut penuturan
Supriyono, pengurus Madrasah Diniyah Al-Hidayah Lawang:
“gaji dari mengajar saja tidak cukup mas buat kebutuhan kami sehari-hari, untuk mencukupinya ya kami cari sambilan lain, bahkan beberapa madrasah di Lawang ini sudah banyak yang bangkrut gara-gara tidak bisa
7
menggaji ustadnya, kami adalah salah satu yang tertua dan masih bertahan”(wawancara tanggal 22 November 2011).
Madrasah Diniyah Al-Hidayah yang ada di Kecamatan Lawang Kabupaten
Malang merupakan satu dari sekian banyak madrasah di Indonesia yang termarjinalkan.
Posisi Madrasah Diniyah Al-Hidayah yang termarjinalkan berdampak pada
kesejahteraan para pengajar serta pengurus Madrasah tersebut. Kesejahteraan para
pengurus serta pengajar di madrasah diniyah Al-Hidayah malang sangat jauh dari
cukup. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka harus melakukan pekerjaan
lain. Mereka tidak bisa mengandalkan gaji sebagai pengurus atau pengajar madrasah
untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Beberapa dari mereka juga bekerja di
pasar atau menjadi buruh pabrik.
Secara umum tindakan ini berbeda dengan tindakan para pengajar pada
umumnya, dimana mereka pasti mempermasalahkan gaji atau kesejahteraan mereka.
Fenomena pengajar yang mempermasalahkan kesejahteraan atau gaji sering dijumpai di
berbagai media. Tempo (2011) salah satu contoh adalah fenomena yang terjadi di
Jambi, dimana para guru melakukukan demo untuk menuntut tunjangan sertifikasi.
Selain hal tersebut keunikan yang ditampilkan madrasah ini adalah eksistensi
madrasah tersebut dibandingkan madrasah disekitarnya yang ada di lawang. Madrasah
Diniyah Al-Hidayah merupakan satu diantara sekian madrasah yang ada di Lawang
yang masih bertahan dalam keadaan yang serba terbatas. Berikut adalah data tentang
madrasah diniyah yang ada di kecamatan Lawang.: Madrasah Diniyah Al-Hidayah
8
Pilang, Madrasah Diniyah Boro, Madrasah Diniyah Klosod, Madrasah Diniyah
Kalianyar, dan Madrasah Diniyah Krajan (Sumber: Surat Keterangan No. 138/42/ 421.371.010/
2012)
Menurut penuturan kepala desa lima madrasah diniyah tersebut, empat
diantaranya sudah tutup karena keterbatasan dana dan kemampuan mengelola madrasah.
Dari kelima madrasah tersebut Madrasah Diniyah Al-Hidayah merupakan madrasah
diniyah yang masih bertahan dalam keterbatasan keuangan ataupun pengelolaan
(Suheriyanto, wawancara tanggal 10 Juni 2012).
Selain itu, Suheriyanto juga menambahkan dalam diri pengurus ataupun guru
ada keseriusan untuk mengabdikan diri sebagai tiang peendidikan terutama para guru
madrasah (Suheriyanto, wawancara tanggal 10 juni 2012).Supriyono menambahkan ada
semacam keseriusan baik dari pengurus ataupun guru madrasah untuk keberlangsungan
pendidikan di Kecamatan Lawang, khususnya di Pilang. Dalam diri guru tersebut ada
semacam suatu kesadaran untuk mengabdikan diri sebagai pengajar (Supriyono,
wawancara tanggal 10 juni 2012).
Dalam kajian sosiologi, kesadaran merupakan suatu bagian internal dari aktor
yang terbentuk karena suatu reproduksi sosial yang terjadi melalui rentang ruang dan
waktu yang beragam. Dalam reproduksi tersebut ada satu kondisi yang mengatur
keterulangan praktik mengajar guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah. Kondisi yang
mengatur keterulangan praktik sosial dalam kajian sosiologi disebut sebagai strukturasi.
Teori strukturasi yang dikemukakan oleh Giddens merupakan satu teori dalam sosiologi
yang mampu untuk mendeskripsikan bagaimana kondisi reproduksi sosial berlangsung,
9
dalam penelitian ini adalah kondisi yang mengatur keterulangan praktik mengajar dari
guru Madrasah Diniyah Al- Hidayah .
Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui Bagaimana deskripsi
praktik mengajar yang terdapat di Madrasah Diniyah Al-Hidayah melalui analisa
strukturasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, sehingga dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Kondisi apa yang mengatur keterulangan praktik mengajar yang
terdapat di Madrasah Diniyah Al-Hidayah serta bagaimana deskripsi dari
kondisi tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menemukan kondisi yang menyebabkan keterulangan praktik mengajar
Guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah, serta deskripsi dari kondisi
tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi perkembangan kajian sosiologi dan issue tentang kegiatan
pendidikan terlebih khusis dalam bidang sosiologi pendidikan .
10
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan wawasan kepada masyarakat, pemerintah dan lembaga pendidikan
terutama dalam upaya mempertahankan kelangsungan kegiatan
pendidikan dalam keadaan serba terbatas dan serba tidak tercukupi.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang hampir sama dengan pembahasan dalam
penelitian ini adalah penelitian dari Muhammad Anwar Royani, mahasiswa
Universitas Islam Negeri Malang tahun 2009, dengan judul “Dampak Motivasi
Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen
Kecamatan Karangan KAbupaten Trenggalek” membahas tentang upaya untuk
mengetahui bagaimana dampak motivasi guru terhadap prestasi belajar siswa
Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen Kecamatan Karangan KAbupaten Trenggalek
serta mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dalam memotivasi prestasi
belajar siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen Kecamatan Karangan KAbupaten
Trenggalek juga mengetahui upaya guru dalam memotivasi terhadap prestasi belajar
siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen Kecamatan Karangan KAbupaten
Trenggalek.
Penelitian ini mengacu pada penelitian kualitatif yang menggunakan
pendekatan naturalistik dengan alasan ingin mencari dan menemukan fenomena yang
memiliki latar belakang konteks tertentu, adapun prosedur pengumpulan datanya
dengan menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi.
Sedangkan untuk memeriksa keabsahan data yang telah diperoleh, peneliti
mengandalkan teknik triangulasi dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
primer untuk keperluan pengecekan keabsahan data sekaligus sebagai bahan
pembanding terhadap data yang telah didapatkan.
10
Sebagai alat analisisnya, penulis menggunakan teknik analisis induksi
dengan mengkomparasikan buku-buku yang membahas tentang motivasi guru
terhadap prestasi belajar siswa.
Penelitian yang kedua yang pembahasannya hampir mirip dengan penelitian
Muh. Anwar. Royani dan peneliti adalah penelitian dari Fiona Teguh mahasiswa
Universitas Islam Negeri Malang tahun 2010 yang berjudul ”Upaya Kepala
Madrasah dalam Meningkatkan Motivasi Mengajar Guru Pendidikan Agama Islam
Honorer di MTs. Hamid Rusydi Malang”. Penelitian dari Fiona Teguh ini membahas
tentang pendeskripsian bagaimana motivasi guru Pendidikan Agama Islam honorer
dalam mengajar di MTs. Hamid Rusydi Malang”, faktor apa saja yang mempengaruhi
motivasi guru Pendidikan Agama Islam honorer dalam mengajar di MTs. Hamid
Rusydi Malang, dan upaya apa saja yang dilakukan kepala madrasah untuk
memotivasi guru Pendidikan Agama Islam honorer dalam mengajar di MTs. Hamid
Rusydi Malang.
Dalam penelitian Fiona Teguh mengumpulkan data melalui wawancara,
observasi, dan dokumentasi dengan informannya adalah kepala madrasah dan empat
orang guru Pendidikan Agama Islam honorer di Mts. Hamid Rusydi Malang,
sedangkan untuk menganalisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif,
penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat ini berlaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi guru Pendidikan Agama
Islam honorer di MTs. Hamid Rusydi Malang bisa dikatakan cukup baik dari segi,
ekspresi, ketika mengajar dan juga dari hasil wawancara. Hal ini salah satunya adalah
karena adanya upaya untuk memotivasi para guru Pendidikan Agama Islam honorer
dari kepala madrasah. Motivasi guru Pendidikan Agama Islam honorer dipengaruhi
11
oleh faktor internal seperti, adanya motivasi dari dalam diri sendiri untuk
mengamalkan ilmu dan adanya rasa kepuasan setelah berhasil mencerdaskan siswa.
Kemudian faktor eksternal seperti , adanya motivasi yang diberikan oleh kepala
madrasah dalam memotivasi guru Pendidikan Agama Islam honorer di MTs. Hamid
Rusydi Malang ini diwujudkan dengan memberikan imbalan kepada semua guru yang
memiliki motivasi tinggi dalam mengajar, honorarium ditingkatkan tiap tahun,
evaluasi diadakan para guru tiap tiga atau empat bulan sekali.
Berikut tabel atau matriks dari penelitian terdahulu dan penelitian yang
sedang dilangsungkan :
12
Tabel 2. Perbedaan Dan Kesamaan Penelitian Terdahulu Dan Penelitian Yang Akan Dilakukan
NO NAMA PENELITI
JUDUL PENELITIAN
FOKUS PENELITIAN METODE PENELITIAN
1 Muh.Anwar Royani
Dampak Motivasi Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen Kecamatan Karangan Kabupaten Trenggalek.
Fokus penelitian dari penelitian Muh. Anwar Royani adalah pada motivasi mengajar guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kayen Kecamatan Karangan Kabupaten Trenggalek dan prestasi belajar para siswa
Penelitian ini mengacu pada penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan naturalistik dengan alasan ingin mencari dan menemukan fenomena yang memiliki latar belakang konteks tertentu,. Sedangkan untuk memeriksa keabsahan data yang telah diperoleh mengandalkan teknik triangulasi dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data primer untuk keperluan pengecekan keabsahan data sekaligus. Sebagai alat analisisnya, penulis menggunakan teknik analisis induksi dengan mengkomparasikan buku-buku yang membahas tentang motivasi guru terhadap prestasi belajar siswa.
2 Fiona Teguh
Upaya Kepala Madrasah dalam Meningkatkan Motivasi Mengajar Guru Pendidikan Agama Islam Honorer di MTs. Hamid Rusydi Malang.
Penelitian fiona berfokus pada dua hal yaitu: Motivasi guru honorer Mts. Hamid Rusydi Malang dan, Upaya kepala Madrasah Mts. Hamid Rusydi
. Dalam penelitian Fiona Teguh mengumpulkan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi dengan informannya adalah kepala madrasah dan empat orang guru Pendidikan Agama Islam honorer di Mts. Hamid Rusydi Malang, sedangkan untuk menganalisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang saat ini berlaku
3 Agung Nugroho
Praktik mengajar guru Madrasah Diniyah Awaliyah Al-Hidayah .
Strukturasi praktik mengajar guru Madrasah Diniyah Awaliyah Al-Hidayah.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Hal ini dikarenakan fenomena yang diteliti adalah pada latar belakang informan yang lebih bersifat menyajikan dunia sosial berupa relasi manusia dalam segi konsep manusia yang terus berkembang. Pendekartan yang digunakan adalah fenomenologi, karena dengan pendekatan fenomenologi maka setiap aktivitas diaggap sebagai sesuatu yang bebas dari kekangan teori yang ada. Segala aktivitas yang agen kerjakan dikarenakan aplikasi dari teori yang agen miliki sendiri.
Sumber: Royani (2009) dan Teguh (2010)
Kesamaan pada definisi konsep pada penelitian Royani dan Teguh dalam
penelitian ini digunakan sebagai referensi tambahan untuk lebih memperjelas
definisi konsep yang ada pada penelitian ini.
13
2.2 Pengertian dan Perkembangan Madrasah di Indonesia
Anis (1972: 280) menyatakan perkataan madrasah berasal dari bahasa
Arab yang artinya tempat belajar. Sedangkan Krammer (1981: 300 ) menyebutkan
padanan kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, lebih dikhususkan
lagi sekolah-sekolah agama Islam.
Menurut Daulay (2001: 60) perkataan madrasah di tanah Arab ditujukan
untuk semua sekolah secara umum, tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolah-
sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam.
Masih menurut Daulay (2001: 60) di dunia pesantren terkenal adanya
unsur-unsur pokok dari suatu pesantren, yaitu kyai, santri, pondok, masjid, dan
pengajaran mata pelajaran agama Islam. Pada sistem madrasah tidak harus ada
pondok, masjid, dan pengajian kitab-kitab klasik. Unsur-unsur yang diutamakan
di madrasah adalah pimpinan, guru, siswa, perangkat keras, perangkat lunak, dan
pengajaran mata pelajaran agama Islam.
Dasuki (1965, 30), mengemukakan perbedaan antara madrasah dan
pesantren adalah:
....it is the madrasa, rather than in the pondok pesantren, that the more modern ideas on education and schooling have generally had the most influence. The madrasa is more like the western – style school than is the pondok – pesantren with its dormitory arrangement and ttraditional, unregulated way of study.(...adalah madrasah jauh lebih baik dari pondok pesantren, madrasah lebih modern dan lebih banyak dipengaruhi dari sekolah . Madrasah seperti style sekolah barat daripada pondok pesantren dengan asrama dan cara belajar tradisionalnya ).
14
Depatemen Agama RI (Daulay, 2001: 60-61), merumuskan pengertian
madrasah sebagai berikut:
1. Menurut Peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946 dan
Peraturan Menteri Agama RI No. 7 Tahun 1950, madrasah
mengandung makna:
a. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat
pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam, menjadi pokok
pengajaran.
b. Pondok dan pesantren yang memberi pendidikan setingkat
dengan madrasah.
2. Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Tahun 1975,
menjelaskan pengertian madrasah adalah : Lembaga Pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar
yang diberikan sekurang-kurangnya 30 persen disamping mata
pelajaran umum.
3. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan PP 28 dan 29
Tahun 1990 serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Pengajaran No. 0489/U/ 1992 dan Surat Keputusan Menteri Agama
No. 373 Tahun 1993, madrasah adalah sekolah yang berciri khas agam
Islam.
Dari beberapa penjelasan di atas, menurut Daulay (2001: 61) dapat
dikemukakan beberapa ciri madrasah sebagai berikut:
15
1. Lembaga pendidikan yang mempunyai tata cara yang sama dengan
sekolah.
2. Mata pelajaran agama Islam di madrasah dijadikan mata pelajaran
pokok, disamping diberikan mata pelajaran umum.
3. Sekolah yang berciri khas agama Islam.
Ditinjau dari segi jenis madrasah berdasarkan kurikulumnya, menurut
Daulay (2001: 61) dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, Madrasah Diniyah.
Kedua, Madrasah dan ketiga, Madrasah Keagamaan.
Madrasah Diniyah adalah suatu bentuk madrasah yang hanya
mengajarakan ilmu-ilmu agama (diniyah). Madrasah ini di maksudkan sebagai
lembaga pendidikan agama yang disediakan bagi siswa yang belajar disekolah
umum.
Menurut Daulay (2001: 61) madrasah ini dibentuk dengan Keputusan
Menteri Agama Tahun 1964, materi yang diajarkan seluruhnya adalah ilmu-ilmu
agama. Madrasah ini merupakan sekolah tambahan bagi siswa yang bersekolah di
sekolah umum. Para orang tua memasukkan anaknya ke madrasah ini agar
anaknya mendapat tambahan pendidikan agama, karena di sekolah umum
dirasakan masih sangat kurang.
Menurut Daulay (2001: 61) ijazah madrasah ini tidak memiliki civil
effect, karena itu orang tua murid maupun pelajar sendiri tidak begitu
mementingkannya. Jam belajarnya dilaksanakan pada sore hari bagi siswa sekolah
umum yang belajar diwaktu pagi hari, dan belajar pagi hari untuk mereka yang
sekolah umum pada sore hari.
16
Menurut Daulay (2001: 61) madrasah jenis kedua adalah madrasah,
sekolah yang berciri khas agama islam. Madrasah ini terdiri dari tingkatan
Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Progamnya sama dengan sekolah,
hanya saja diberikan bobot pendidikan agama yang lebih banyak dibanding
dengan sekolah negeri.
Madrasah jenis ketiga adalah Madrasah Keagamaan, yakni madrasah
pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan penguasaan pengetahuan
khusus siswa tentang ajaran agama yang bersangkutan (Daulay, 2001: 61).
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran
dikalangan umat Islam. Di permulaan abad ke-20 timbul beberapa perubahan
pemikiran bagi umat Islam Indonesia dengan masuknya ide-ide pembaruan
(Daulay, 2001: 63) .
Menurut Steenbrink (Daulay, 2001: 63) beberapa faktor pendorong
timbulnya ide-ide pembaruan tersebut adalah:
a. Adanya kecenderungan umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Kecenderungan itu dijadikan titik tolak dalam menilai
kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada.
b. Timbulnya dorongan perlawanan nasional terhadap penguasaan
kolonial Belanda.
c. Dorongan ketiga adalah usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk
memperkuat organisasinya di bidang sosial-ekonomi, baik untuk
kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat.
17
d. Dorongan keempat berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Karena
cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode
tradisional dalam memperlajari Al-Qur’an dan studi agama. Pribadi-
pribadi dan organsasi Islam pada awal abad ke-20 berusaha
memperbaiki pendidikan Islam baik dari segi metode maupun isi.
Sumardi (Daulay 2001: 64) khusus mengenai timbulnya dorongan
pembaruan dalam bidang pendidikan adalah : pertama, pada penghujung abad ke-
19 dan awal abad ke-20 alumnus Timur Tengah (Kairo, Mekkah) telah banyak
yang kembali ke Indonesia. Mereka yang kembali itu sesampainya di tanah air
memiliki posisi-posisi penting dalam bidang pendidikan agama. Atas dasar upaya-
upaya mereka timbullah perubahan-perubahan dalam sistem dan isi pendidikan
Islam. Kedua, ingin mencontoh sistem pendidikan Belanda di kala itu jauh lebih
maju daripada sistem pendidikan Islam. Kaum kolonialis Belanda telah memiliki
sistem yang digolongkan modern kala itu, telah memakai sistem klasikal,
dilengkapi dengan alat-alat pengajaran dan metode mengajarnya pun telah
tergolong modern.
Sumardi (Daulay, 2001: 65) menyatakan diantara para ulama yang telah
berjasa dalam pengembangan madrasah di Indonesia ialah Syaikh Abdullah
Ahmad, yang mendirikan Madrasah Adabiyah di Padang, pada tahun 1909. Pada
tahun 1915 madrasah ini menjadi HIS Adabiyah yang tetap mengajarkan agama.
Yunus (Daulay 2001: 64) pada tahun 1910 Syaikh M. Thaib Umar
mendirikan Madrasah School di Batu Sangkar. Tiga tahun kemudian madrasah
itu ditutup dan baru pada tahun 1918 dibuka kembali oleh Mahmud Yunus. Pada
18
tahun 1923 madrasah ini bertukar nama dengan Diniyah School, selanjutnya tahun
1931 diubah lagi namanya dengan Al-Jami’ah Islamiyah.
Menurut Daulay (2001: 64), Zainudin Labai al-Yunusi, pada tahun 1915
mendirikan Diniyah School (Madrasah Diniyah) di Padang Panjang, madrasah ini
mendapat perhatian besar dari masyarakat Minangkabau. Pada tahun 1923
Rahmah El Yunusian mendirikan Diniyah Putri di Padang Panjang.
Masih menurut Daulay (2001: 64) di tempat-tempat lain di luar Sumatera
Barat juga berdiri madrasah-madrasah. K.H.A. Wahab Hasbullah dan K.H. Mas
Mansur mendirikan madrasah Taswirul Afkar. K.H.A. Hasyim Asy’ari, pendiri
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, pada tahun 1919 mendirikan Madrsah
Salafiyah.
Daulay (2001: 64-65) menyebutkan di Surakarta, pada tahun 1905 berdiri
Madrasah Mamba’ul Ulum, tetapi karena sistem pengajarannya belum berbentuk
klasikal, jadi belum bisa digolongkan kepada madrasah dalam arti yang
sesungguhnya, baru pada tahun 1916 Mamba’ul Ulum diatur sesuai dengan aturan
madrasah.
Di Sulawesi Selatan, tepatnya di Watampone Bone, berdiri Madrasah
Amirah Islamiyah (Amir Islam School). Di Palu Sulawesi Tengah pada tahun
1930, berdiri Madrasah Al-Khairat. Demikianlah hampir setiap daerah di
Indonesia pada permulaan abad ke dua puluh, telah mendirikan madrasah-
madrasah (Daulay, 2001: 65).
19
Depag (Daulay, 2001: 65) menyebutkan, sesuai dengan ide pembaruan
yang masuk ke Indonesia, maka setelah tahun 1930-an telah banyak madrasah
yang memasukkan mata pelajaran umum ke dalam rencana pelajaran mereka.
Noer (Daulay, 2001: 69) menyatakan di kalangan organisasi Islam saat
itu giat melaksanakan pembaruan dalam bidang pendidikan dengan melaksanakan
sistem madrasah, diantarannya yang termahsyur adalah Muhammadiyah, didirikan
di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912.
Menurut Noer (Daulay, 2001: 69) Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada
tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak dari K.H. Abu Bakar bin Kyai
Sulaiman. Ia pergi ke Mekkah pada tahun 1890, di sana ia belajar lebih kurang
setahun dan pada tahun 1903 ia mengunjungi kembali tanah suci dan menetap di
sana lebih kurang dua tahun lamanya. Dahlan telah menghayati cita-cita
pembaruan sekembalinya dari hajinya yang pertama.
Menurut Daulay (2001: 69) Muhammadiyah sebagai salah satu
organisasi Islam yang banyak bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Salah
satu bidang garapannya yang banyak mendapat perhatian adalah bidang
pendidikan. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah memakai sistem
persekolahan modern waktu itu, dan dalam bidang ini mendapat perhatian yang
luar biasa .
Depag RI (Daulay, 2001: 71) organisasi lainnya adalah Al-Irsyad,
didirikan di Jakarta pada 1913. Lembaga ini mengasuh sekolah-sekolah umum
dan agama, memiliki Madrasah Awaliyah (3 tahun), Madrasah Ibtidaiyah (4
20
tahun), Madrasah Tajhiziyah (2 tahun), Madrasah Mu’allimin (4 tahun), dan
Madrasah Takhassus (2 tahun).
Di Majalengka, Jawa Barat, menurut Depag RI (Daulay, 2001: 71)
berdiri organisasi Perhimpunan Umat Islam (PUI), didirikan K.H.A. Halim pada
tahun 1917. Halim lahir di Cibereng Majalengka pada tahun 1887, orang tuanya
berasal dari keluarga yang taat beragama. Halim pergi ke Mekkah untuk
melanjutkan pelajarannya pada usia 22 tahun.
Pada tahun 1932 menurut Depag RI (Daulay, 2001: 71) dalam satu
Kongres Persyerikatan Ulama di Majalengka, Halim mengusulkan agar didirikan
sebuah lembaga pendidikan yang akan mengajarkan ilmu agama dan pengetahuan
umum, dan juga dilengkapi dengan pekerjaan tangan, perdagangan, dan pertanian,
sesuai dengan bakat masing-masing.
Untuk merealisasi keputusan kongres tersebut menurut menurut Depag
RI (Daulay, 2001: 71) maka didirikanlah suatu lembaga pendidikan yang bernama
Santi Asrama, dibagi tiga bagian, tingkat permulaan, dasar, dan lanjutan. Mata
pelajaran yang diajarkan di sini disamping mata pelajaran agama dan umum, juga
diajarkan keterampilan seperti pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu). Dari
sini jelaslah ide Halim yang tidak menghendaki seorang muslim mengejar Akhirat
saja dengan mengabaikan dunia.
Menurut Depag RI (Daulay, 2001: 71) dua organisasi masyarakat Arab
Indonesia, Jami’at Khair dan Al-Irsyad, keduanya didirikan di Jakarta, juga aktif
bergerak dalam bidang pendidikan. Di Sumatera Barat pada tahun 1928 berdiri
Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), dipelopori oleh Sulaiman Ar-Rasuli,
21
pemilik surau di Candung. Diperkirakan pada tahun 1942 sudah terdapat 300
sekolah Perti dengan 45000 orang murid.
Menurut Sumardi (Daulay, 2001: 72) di Sumatera Utara khususnya di
Kota Medan, atas prakarsa guru-guru dan pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli pada
tahun 1930 didirikanlah organisasi Al-Jami’atul Washliyah. Organisasi ini juga
banyak bergerak dalam bidang pendidikan. Tiga orang yang merupakan
pendorong paling penting dalam perkumpulan ini yaitu: Abdur Rahman Syihab,
Udin Syamsudin, dan Arsyad Thalib Lubis.
Masih menurut Sumardi (Daulay, 2001: 72) seperti halnya
Muhammadiyah, organisasi ini juga mendirikan dua sistem pendidikan, di satu
pihak mendirikan sekolah-sekolah memakai sistem pendidikan Gubermemen
(disamping mengajarkan mata pelajaran umum juga menagajarkan mata pelajaran
agama). Selain itu juga didirikan madrasah yang khusus menitik beratkan mata
pelajaran agama. Madrasah-madrasah ini dapat diklasifikasikan atas beberapa
tingkatan : Tajhiziyah (2 tahun), Ibtidaiyah (4 tahun), Tsanawiyah (2 tahun),
Qismul Ali (3 tahun) dan Takhassus (2tahun).
Daulay (2001: 72) menyebutkan organisasi berikutnya yang juga besar
peranannya dalam bidang pendidikan Islam di Sumatera Utara ialah al-Ittihadiyah.
Organisasi ini didirikan pada tahun 1932, mengasuh sejumlah sekolah, mulai dari
tingkat dasar, menengah pertama, dan atas, banyak tersebar di Kotamadya Medan,
KAbupaten Deli Serdang dan KAbupaten lainnya di Sumatera Utara.
Daulay (2001: 73) menyatakan Nahdatul Ulama yang didirikan pada
tahun 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari, juga mendirikan madrasah dengan susunan
22
sebagai berikut : Madrasah Awaliyah (2 tahun), Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun),
Madrasah Tsanawiyah (3 tahun), Madrasah Mu’allimin ‘Ulya (3 tahun).
Masih menurut Daulay (2001: 73) di Bandung (Jawa Barat ), didirikan
Persatuan Islam (Persis) pada permulaan tahun 1920. Tokoh termahsyhur dari
organisasi ini adalah Ahmad Hasan dilahirkan di Singapura pada tahun 1887,
berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Tokoh lainnya adalah
Mohammad Natsir, lahir di Alahan Panjang (Sumatera Barat) pada 17 Juli 1908.
Atas upaya Natsir didirikan sebuah lembaga pendidikan yang mengasuh Sekolah
Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO, dan sebuah Sekolah Guru. Disamping
sekolah-sekolah di atas, PERSIS juga mendirikan sebuah pesantren di Bandung
pada bulan Maret 1936. Kemudian pesantren ini dipindahkan ke Bangil (Jawa
Timur).
Menurut Daulay (2001: 73) madrasah-madrasah yang disebutkan di atas,
baik yang dikelola oleh organisasi maupun pribadi, belum menunjukkan
keseragaman dalam berbagai hal seperti lamanya belajar, jenjang pelajaran dan
kurikulum. Dalam perbandingan antara bobot mata pelajaran agama dan umum,
juga berbeda antara satu madrasah dengan madrasah lainnya, ada yang
mencantumkan perbandingan 30:70, 40:60, 50:50, 60:40, dan 70:30 dalam
persentase.
Daulay (2001: 73) menyatakan setelah Indonesia merdeka, maka salah
satu departemen yang dibentuk oleh pemerintah adalah Departemen Agama
sebagai perwujudan dari falsafah hidup bangsa Indonesia yang religius.
Departemen Agama didirikan pada tanggal 3 Januari 1946. Salah satu bidang
23
garapannya adalah masalah pendidikan agama, seperti madrasah, pesantren, dan
mengurus pendidikan agama di sekolah umum.
2.3 Teori Strukturasi Anthonny Giddens
Teori yang digunakan dalam menganalisa fenomena tindakan pengajar
madrasah tersebut adalah teori strukturasi Giddens, elemen-elemen teori
strukturasi antara lain adalah agen, motivasi, tindakan, kesadaran, struktur,
dualitas, keterkaitan ruang-waktu, dan penguasaan atas barang atau hal
penguasaan atas orang (Ritzer, 2003: 506).
Giddens meneliti sejumlah teori dari teori yang berorientasi individual
atau agen (interaksi simbolik ), maupun masyarakat atau struktur (fungsionalisme
struktural). Bidang mendasar studi ilmu sosial menurut teori strukturasi adalah
reproduksi praktik sosial yang diatur melintasi ruang dan waktu (Ritzer, 2003:
507).
Priyono (2000: 19) menegaskan terdapat dua tema sentral yang
dijadikannya gagasan teoritis oleh Giddens, yaitu hubungan pelaku-struktur dan
sentralitas waktu- ruang. Hubungan pelaku dan struktur dimana pelaku sebagai
sesuatu yang menunjuk pada individu konkrit dalam arus kontinu tindakan dan
peristiwa di dunia.
Giddens berpendapat orang tidak sepenuhnya bebas untuk memilih
tindakan mereka sendiri, pengetahuan mereka terbatas, mereka merupakan agen
yang mereproduksi struktur sosial. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam
proses dimana struktur sosial merupakan hasil dan sekaligus praktik sosial.
24
Giddens menyatakan sentralitas waktu dan ruang bukanlah arena tindakan,
melainkan unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian masyarakat.
Pengajar tersebut tidak sepenuhnya bebas untuk memilih tindakan
mereka sendiri, karena mereka sebagai bagian dari struktur intitusi. Dalam
melakukan aktivitas sosialnya agen banyak dilandasi oleh aturan-aturan yang
bersifat menghambat sekaligus memberdayakan aktivitas tersebut.
Strukturasi adalah teori yang menganalisis hubungan antara pelaku
tindakan dan sruktur yang berupa relasi dualitas. Dualitas terjadi pada praktik
sosial yang berulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu. Praktik sosial
inilah yang seharusnya menjadi objek utama ilmu-ilmu sosial, praktik sosial bisa
berupa kebiasaan. Tujuan dari teori strukturasi adalah menjelaskan hubungan
dialektis dan saling mempengaruhi antara agen dan struktur (2010: 30). Dengan
demikian teori strukturasi dalam penelitian praktik mengajar guru Madrasah
Diniyah Al-Hidayah digunakan untuk menjelaskan hubungan dialektis antara guru
madrasah dan struktur yang ada dalam diri guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah
tersebut.
2.3.1 Struktur dan Agen
Struktur adalah aturan dan sumber daya yang terbentuk dari dan
membentuk keterulangan praktik sosial. Hubungan antara struktur dan tindakan
adalah sebuah elemen fundamental bagi teori sosial, struktur dan keagenan adalah
dualitas yang tidak dapat dipahami terpisah satu sama lain. Argumen utama
Giddens terkandung dalam ungkapan dualitas struktur. Pada tingkat dasar, orang
25
membuat struktur masyarakat sebagai praktik sosial, tetapi pada saat yang sama,
mereka dibatasi oleh struktur tersebut (Priyono, 2000: 21).
Tindakan adalah aliran tiada henti dari pengalaman yang diresapi,
kategorisasinya pada sektor atau pengalaman khas tertentu bergantung pada
sebuah proses perhatian reflektif atau berhubungan dengan yang lain (Giddens.
2010: 93-94). Agar sebuah perilaku bisa dianggap sebagai sebuah tindakan, siapa
pun yang melakukannya harus bermaksud melakukan tindakan, jika tidak maka
perilaku tersebut hanya dianggap sebagai respon reaktif semata (Giddens, 2010:
12). Guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah dalam melakukan tindakan mengajar
selalu berproses terus menerus, sehingga pengalaman akan menjadikannya
sebagai pembelajaran untuk mengantarkan dirinya sebagai seorang guru
madrasah.
Elemen atau segmen tindakan teridentifikasi sebagai perbuatan, dimana
tindakan atau agensi digunakan untuk membedakan proses perilaku sehari-hari
yang dijalani. Menurut Giddens (2008: 333), konsep tindakan secara logis terkait
dengan kekuasaan. Tindakan secara intrinsik melibatkan pencapaian alat untuk
mencapai hasil yang diwujudkan melalui intervensi langsung seorang aktor dalam
sebuah rangkaian peristiwa, tindakan sengaja menjadi sub-kelas dari apa yang
dilakukan oleh aktor atau pengulangan atas apa yang dilakukan.
Tindakan dan struktur tidak dapat dianalisis secara terpisah, seperti
struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan. Sedangkan
tindakan bermakna, diberi bentuk hanya melalui latar belakang struktur, yaitu
garis kausalitas yang berjalan di dua arah sehingga tidak mungkin menentukan
26
siapa yang mengubah apa. Giddens mendefinisikan struktur terdiri dari aturan
dan sumber daya yang melibatkan tindakan manusia, yaitu aturan yang membatasi
tindakan.
Rasionalisasi tindakan adalah para aktor yang secara rutin
mempertahankan terus menerus tentang landasan aktivitas mereka. Harapan para
agen kompeten adalah mampu menjelaskan sebagian besar tindakan mereka jika
diminta (Giddens, 2010: 8).
Dunia agensi manusia bersifat terbatas, manusia mereproduksi
masyarakat, meskipun mereka melakukannya sebagai aktor yang berada dalam
sejarah dan tidak dibawah kondisi pilihan mereka sendiri (Giddens, 2010: 239).
Yang berarti bahwa reproduksi tindakan aktor juga dipengaruhi oleh dominasi
dari sesuatu diluar kontrol aktor yang berasal dari struktur yang aktor bawa.
Agensi mengacu pada kemampuan dalam melakukan sesuatu, karena itu
agen mengandung kuasa. Menurut Giddens (2010: 14) menjadi seorang agen
harus mampu menggunakan sejumlah kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi
kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Seorang agen jika tidak mampu
berperan mempengaruhi keadaan atau peristiwa yang telah ada, maka dia
kehilangan kemampuan untuk mempengaruhi salah satu jenis kekuasaan.
Kekuasaan seseorang itu dibatasi oleh sederet keadaan tertentu (Giddens, 2004:
195). Dengan demikian diperlukan suatu penyelidikan untuk menganalisa suatu
agensi agen.
Penyelidikan atas perbuatan agen dilakukan guna menembus alasan dan
motif apa yang dilakukan, dan pastinya melibatkan maksud dari yang agen
27
lakukan sebelumnya (Giddens, 2010: 104). Seorang agen mampu mengawasi
aktivitas mereka sebagai beragam aliran yang terjadi bersamaan, sebagian
besarnya dibangun dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi disadari oleh aktor,
dalam pengertian bahwa dia bisa mengulangi kembali aktivitas itu saat relevan
dengan situasi atau kejadian yang muncul tiba-tiba (Giddens, 2004: 107).
2.3.2 Sistem dan Struktur
Giddens membedakan antara sistem dan struktur. Sistem menampilkan
susunan struktural, tetapi tidak struktur dari mereka sendiri. Sistem diartikan
sebagai kegiatan yang didasarkan pada agen-agen manusia dan berpola hubungan
sosial yang melampaui ruang dan waktu. Proses sistem yang mereproduksi
struktur disebut strukturasi. Struktur dapat bertindak sebagai kendala tindakan,
tetapi juga memungkinkan tindakan dengan menyediakan kerangka makna.
Struktur pada umumnya cukup stabil, tetapi dapat diubah. Struktur dapat diubah
melalui konsekuensi tindakan yang diharapkan, ketika orang mulai mengabaikan
mereka , menggantikan mereka, atau mereproduksi mereka secara berbeda
(Giddens, 2010: 37).
Struktur dalam gagasan Giddens juga bersifat memberdayakan,
maksudnya memungkinkan berlangsungnya praktik sosial. Struktur ada di luar
ruang dan waktu, dan harus diperlakukan untuk tujuan analisis secara khusus yang
bersifat impersonal. Struktur ada sebagai perilaku aktor tersituasi yang
direproduksi dengan kesengajaan dan kepentingan tertentu .
28
Sistem sosial menunjukkan sifat struktural, struktur selalu mengatasi
ruang dan waktu, struktur ada hanya dalam perwujudan seketika dalam sistem
sosial dan memiliki jejak ingatan bagi orientasi perilaku manusia.
Dengan demikian, aktor menerapkan aturan sosial yang sesuai dengan
budaya mereka yang telah dipelajari melalui jejak ingatan. Aturan bersama
dengan sumber daya digunakan dalam interaksi sosial. Aturan dan sumber daya
yang digunakan tidak deterministik, tetapi diterapkan secara refleks oleh aktor
berpengatahuan. Dengan demikian, hasil dari tindakan tidak sepenuhnya dapat
diperediksi.
2.3.3 Motivasi dan Kesadaran
Berusaha mencari tahu motif seseorang untuk bertindak ketika dia
melakukannya kemungkinan adalah mencari elemen dalam perilakunya yang
tidak disadari sepenuhnya oleh aktor. Motivasi yang mengacu pada keinginan
yang mungkin disadari atau tidak disadari oleh aktor, atau mungkin hanya
disadarinya beberapa saat setelah dia melakukan tindakan yang dihubungkan pada
motif tertentu (Giddens, 2010: 161). Motivasi disini dimaksudkan dengan apa
yang mendorong tindakan mengajar guru madrasah tersebut.
Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang
jarang dipertanyakan. Giddens (2010: 21) membedakan tiga dimensi internal
pelaku, yaitu: motivasi tidak sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif.
Motivasi tidak sadar mencakup keinginan atau kebutuhan yang berpotensi
mengarah pada tindakan. Kesadaran diskursif mengacu pada kapasitas
merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan. Kesadaran praktis
29
menunjuk pada gugusan pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai.
Kesadaran praktis merupakan kunci untuk memahami strukturasi.
Kesadaran praktis adalah sesuatu yang diketahui oleh para aktor tentang
kondisi sosial, terutama meliputi aksi mereka sendiri, namun tidak dapat
dungkapkan secara diskursif, bahkan tidak ada jeruji represi yang bisa melindungi
kesadaran praktis seperti halnya alam tidak sadar (Giddens, 2010: 588).
Kesadaran tentang aturan sosial terungkap dalam kesadaran praktis,
kesadaran praktis adalah jantung dari pengetahuan sebagai sifat seseorang agen.
Sebagai para aktor sosial seluruh manusia sangatlah terdidik dari sisi pengetahuan
yang dimiliki, diterapkan dalam produksi dan reproduksi kehidupan sehari-hari
(Giddens, 2010: 34-35).
Kesadaran diskursif adalah bentuk dari tindakan yang dapat
diekspresikan secara verbal oleh aktor. Kesadaran diskursif adalah perkataan yang
mampu diucapkan oleh para aktor atau memberikan ekspresi verbal tentang
kondisi-kondisi sosial, terutama meliputi kondisi aksi mereka sendiri (Giddens,
2010: 586).
Menurut Giddens perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi.
Perubahan terjadi ketika kapasitas menggejala secara luas sehingga berlangsung
de-rutinisasi. De-rutinisasi mencakup pada proses dimana skemata yang selama
ini menjadi aturan dan sumber daya tidak lagi memadai sebagai prinsip
pengorganisasian berbagai praktik sosial, atau yang sedang diperjuangkan agar
menjadi praktik sosial baru. Sistem sosial merupakan institusionalisasi dan
regulasi praktik sosial (Priyono, 2002: 21).
30
Istilah kekuasaan harus dibedakan dengan dominasi, dominasi mengacu
pada skemata asimetri hubungan pada tataran struktural, sedang kekuasaan
menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada praktik sosial
atau interaksi. Bagi giddens, kekuasaan adalah kapasitas yang inheren pada aktor,
karena selalu menyangkut kapasitas transformatif. Penguasaan terjadi lewat
mobilisasi struktur dominasi. Ada dua sumber daya yang membentuk skemata
dominasi, yaitu penguasaan alokatif atas barang dan otoritatif atas orang.
Kekuasaan akan tampak sebagai kekuasaan ketika kekuasaan itu dipakai
dalam struktur. Kekuasaan merupakan sarana untuk mewujudkan segala sesuatu,
dengan fungsi tersebut diterapkan secara langsung dalam perbuatan manusia.
Kontrol adalah kemampuan yang dimiliki oleh beberapa aktor, atau kelompok
aktor dalam mempengaruhi lingkungan atau kondisi aksi orang lain sepenuhnya
(Giddens, 2010: 440).
Sumber daya (resources) merupakan media kekuasaan dilaksanakan dan
sekaligus sebagai media struktur dominasi direproduksikan. Giddens mengatakan
resource merupakan faktor sentral bagi agensi dalam menjelmakan kekuasaannya.
Resource juga menjadi tempat yang vital, karena merupakan elemen dalam
struktur yang mengikat dan memampukan agensi. Sarana atau sumber daya
merupakan kelengkapan yang terstruktur dari sitem sosial, diproduksi dan di
reproduksi oleh para agen cendekia selama terjadinya interaksi.
2.3.4 Ruang dan Waktu
Menurut Giddens waktu dan ruang secara integral membentuk kegiatan
sosial, waktu menurut Giddens adalah mungkin merupakan ciri dari pengalaman
31
manusia, namun juga ciri nyata dan biasa dari kehidupan manusia hari demi hari.
Dalam konteks ruang dan waktu tindakan manusia dipandang sebagai suatu
proses, dengan kata lain tindakan manusia dilihat sebagai duree, yaitu sebagai
aliran tindakan yang terus menerus, tapi bukan sebagai kumpulan tindakan.
Waktu sebagai konfigurasi peristiwa dan tindakan manusia bukan hanya
mengisi waktu dan ruang, tetapi manusia meruang dan mewaktu. Pengalaman
manusia mewaktu dan meruang adalah sebagai sapaan terhadap waktu dan ruang
(Giddens, 2008: 364). Ruang adalah Madrasah Diniyah Al-Hidayah, dimana relasi
sosial antar agen yang diwujudkan berupa aktivitas belajar terjadi. Dalam aktivitas
belajar tersebut guru menggunakan kuasanya kepada murid, dengan kata lain
madrasah merupakan wadah kuasa yang melahirkan tubuh yang patuh (Giddens,
2010: 209). Sedangkan waktu adalah perulangan praktik mengajar di madrasah
yang berupa pengalaman yang dirupakan dalam bentuk rangkaian peristiwa
aktivitas mengajar guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah .
2.4 Konsep Guru dan Murid dalam Lingkungan Sosial Pendidikan
Peristiwa interaksi belajar siswa dan guru berlangsung dalam proses
kegiatan belajar. Interaksi ini dilandasi filosofi yang melibatkan dimensi
akademis, profesional, dimensi sosial, dan dimensi etika-moralitas. Dalam
pendidikan sekolah interaksi siswa dan guru adalah hubungan duaan (diad)
(Salim, 2008: 198).
32
Sumber: Salim (2008: 206).
Gambar 1. Intensitas Interaksi Guru dan Siswa
Hubungan yang terjadi dalam lingkungan kelas menjadi basis
keberhasilan siswa dan guru dalam proses pendidikan. Hubungan relasional,
memuat interaksi sosial menengarai adanya proses dialogis antara guru dan siswa.
Proses dialog terjadi dengan “mempertukarkan” nilai akademis guru dengan nilai
etika dan moral dari siswa. Artinya bahwa guru membawa sejumlah pengetahuan
akademis mengajak siswa untuk menekuni proses interaksi dengan kesungguhan
daya kritis, dan nalar inovatif. Semisal sejumlah materi akademis berhasil
dipahami dengan sikap tekun dan perilaku khusus, akan diserap siswa dengan
nilai moral dan etika yang dipahami. Bahkan sejumlah materi akademis harus
disampaikan dengan proses dialog yang kuat untuk membentuk pemahaman
terhadap konsep akademis (Salim, 2008: 211).
Intensitas Interaksi Guru dan Siswa menentukan medan interaksi sosial yang dibangun dari kedekatan jarak dan membuahkan
keintiman aktor-aktor sosial
Guru Siswa
34
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Menurut Jane Richie (Moleong, 2007: 06), penelitian kualitatif adalah
upaya untuk menyajikan dunia sosial dan prespektifnya dari segi konsep, perilaku,
konsep dan persoalan tentang manusia yang diteliti. Sesuai dengan fungsinya
yaitu meneliti latar belakang fenomena yang tidak dapat diteliti melalui penelitian
kuantitatif dan digunakan untuk meneliti hal-hal yang berkaitan dengan latar
belakang subyek penelitian.
Dalam pengertian yang lain Kirk dan Miller dalam (Nurastuti, 2007: 90)
mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasa dan peristilahannya.
Penelitian kualitatif digunakan karena fenomena yang akan diteliti dalam
penelitian ini adalah praktik mengajar guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah serta
menemukan bagaimana strukturasi mampu menjelaskan praktik sosial tersebut
terbentuk pada guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah. Untuk meneliti praktik sosial
tidak bisa menggunakan jenis penelitian kuantitatif karena data praktik sosial
tersebut lebih berdasar pada latar belakang informan yang lebih bersifat
menyajikan dunia sosial berupa relasi manusia dalam segi konsep manusia yang
terus berkembang bukan pada data statistik informan yang hanya bisa menyajikan
konsep mati. Dengan demikian data kualitatif lebih bersifat dinamis, tidak statis,
dan data yang tersaji bebas dari pengaruh peneliti.
35
3.2 Tipe Penelitian
Tipe penelitian diskriptif menurut Singarimbun (Moleong, 2007: 20)
adalah penelitian yang berusaha menggambarkan realitas sosial yang lebih
kompleks dengan menerapkan konsep-konsep teori yang dikemukakan oleh
ilmuwan. Data-data berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video
tape, dokumen pribadi, catatan atau memo, atau dokumen resmi lainnya. Pada
penulisan laporan, peneliti akan menganalisis data yang sangat kaya dan sejauh
mungkin dalam bentuk aslinya. Pertanyaan dengan kata mengapa, alasan apa dan
bagaimana terjadinya akan senantiasa dimanfaatkan oleh peneliti. Dengan
demikian peneliti tidak akan memandang sesuatu itu demikian keadaannya.
Dengan menggunakan tipe tersebut diperoleh laporan data berupa
realitas praktik mengajar guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah yang sangat kaya
dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya yang membantu untuk dideskripsikan
secara strukturasi. Dengan demikian praktik sosial tersebut bisa digali lebih dalam
lagi dan bebas dari pengaruh kepentingan peneliti. Data lebih bersifat alami.
3.3 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi. Prespektif
fenomenologi (phenomenology) beranjak dari filsafat sebagaimana yang
dicetuskan filsuf Jerman Edmund Husserl (1859-1983). Menurut Husserl
fenomenologi berawal dari adanya asumsi- asumsi: sikap alami, penggolongan,
kesadaran, dan kecenderungan (Audifax, 2008: 206).
Fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap
individu- individu yang terlibat dalam situasi tertentu. Peneliti berusaha masuk ke
dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga peneliti
36
mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar
peristiwa dalam kehidupan sehari-harinya. Individu memiliki berbagai cara untuk
menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan individu lain, dan
pengalaman individulah yang membentuk kenyataan bagi individu tersebut
(Audifax, 2008: 210).
Alfred Schutz berpendapat bahwa pendekatan fenomenologi yaitu cara
peneliti mengonstruksikan makna- makna yang berada di luar arus utama
pengalaman ialah melalui tipifikasi. Hubungan- hubungan makna diorganisir
secara bersama, melalui stock of knowledge. Suatu kumpulan pengetahuan yang
bersifat praktis dari dunia tempat individu tinggal, lebih dari sekedar pengetahuan
tentang dunia (Audifax, 2008: 211).
Sedangkan, pendekatan fenomenologi menurut Peter Berger lebih
menekankan pada interaksi antar-individu dalam kehidupan sehari- hari, upaya
masyarakat mengorganisir pengalamannya, dan secara khusus tentang dunia
sosialnya. Aktivitas manusia harus dipahami sebagai sesuatu yang bermakna bagi
aktor dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap aktivitas harus diinterpretasikan
(Audifax, 2008: 215).
Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan
fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Peneliti fenomenologi juga tidak
berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang
diteliti.
Dari penjelasan tentang pendekatan fenomenologi tersebut maka peneliti
berupaya untuk mendapatkan data atau informasi yang berupa strukturasi dari
37
praktik mengajar di madrasah tersebut, fenomenologi merupakan pendekatan
yang tepat karena dengan pendekatan fenomenologi maka setiap aktivitas diaggap
sebagai sesuatu yang bebas dari kekangan teori yang ada. Segala aktivitas yang
agen kerjakan dikarenakan aplikasi dari teori yang agen miliki sendiri.
3.4 Lokasi Penelitian
Menurut Moleong (Wahidmurni, 2008: 32) pemilihan lokasi penelitian
dan subyek penelitian didasarkan atas pertimbangan kemenarikan, keunikan, dan
kesesuaian dengan topik yang dipilih.
Penelitian berlokasi di Madrasah Diniyah Al-Hidayah Kecamatan
Lawang Kabupaten Malang. Lokasi ini dipilih karena pertimbangan keunikan
Madrasah Diniyah Al-Hidayah Kecamatan Lawang Kabupaten Malang yang
merupakan salah satu madrasah yang masih bertahan dalam keterbatasan sarana
dan prasarana. diantara sekian madrasah diniyah yang ada di Kecamatan Lawang
3.5 Fokus Penelitian
Menurut Moleong (2007: 04) penentuan fokus suatu penelitian memiliki
dua tujuan. Pertama, penentuan fokus membatasi studi yang berarti bahwa dengan
adanya fokus, penentuan tempat penelitian menjadi lebih layak. Kedua, penetapan
fokus berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau kriteria masuk-
keluar (inclusion-exclusion criteria) suatu informasi yang baru diperoleh di
lapangan.
Untuk melacak masalah sekaligus membatasi permasalahan dalam
penelitian ini, maka fokus penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Strukturasi praktik mengajar guru madrasah yang terdapat di
Madrasah Diniyah Al-Hidayah .
38
3.6 Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive, yaitu peneliti
menggunakan pertimbangannya sendiri untuk memilih anggota-anggota sebagai
informan. Dalam pengambilan teknik secara purposive , peneliti berperan penting
dalam menentukan kriteria informan yang akan diambil. Seorang informan
diambil sebagai informan, karena peneliti menganggap bahwa seorang informan
tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Informan
merupakan orang yang memberi informasi mengenai data penelitian yang diambil
oleh peneliti.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka penelitian ini menggunakan
teknik penentuan informan dengan cara purposive yang menentukan informan
dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data strukturasi
praktik mengajar guru madrasah di Madrasah Diniyah Al-Hidayah . Dalam suatu
penelitian kualitatif informan terbagi menjadi dua.
Menurut Arikunto (2006: 16) informan terdiri dari dua kriteria . Dua
kriteria tersebut adalah:
1. Informan Kunci merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki
berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan
kunci dalam penelitian ini adalah ketua pengurus madrasah tersebut.
2. Informan Utama merupakan mereka yang terlibat langsung dalam
interaksi sosial yang diteliti. Informan utama dalam penelitian ini adalah
guru madrasah tersebut.
39
3.7 Sumber dan Jenis Data
Sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh. Dalam penelitian,
data yang digunakan diperoleh dari dua sumber yaitu:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang langsung didapat dan dikumpulkan
oleh peneliti dari sumber pertamanya. Sumber pertama dalam data primer
ini berasal dari pihak-pihak yang terkait dengan penelitian, yang data-
datanya langsung didapat dari interview dan observasi.
b. Data Sekunder
Selain data primer, data sekunder juga dibutuhkan dalam penelitian. Data
sekunder tersusun dalam bentuk dokumentasi, misalnya data mengenai
keadaan demografis suatu daerah, data mengenai pendapatan suatu
daerah, dan lain-lain (Suryabrata, 1983: 93).
Dalam penelitian ini, data primer diambil langsung dengan pihak terkait
yaitu guru madrasah tersebut. Data primer ini didapat dengan cara wawancara
atau interview langsung dengan pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan
tersebut. Selain itu, data primer juga didapat dengan cara observasi langsung di
madrasah tersebut.
Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
data-data yang didapat dari dokumen-dokumen historis dan catatan-catatan
penting dari instansi terkait (Pemerintah Kota Malang) yang menunjang penelitian
ini, maupun dokumen yang berbentuk majalah, surat kabar, artikel-artikel dalam
website serta buku yang berkaitan dengan penelitian.
40
3.8 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah langkah yang sangat penting dalam metode
ilmiah karena data yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk memecahkan
masalah. Dalam penelitian ini proses pengumpulan data terbagi dalam tiga tahap
yakni:
1. Memasuki Lokasi Penelitian (Getting-in)
Dalam proses ini terdapat dua kegiatan yang dilakukan pada awal
memasuki lapangan yaitu: Pertama, peneliti berusaha melakukan
pendekatan kepada sumber data di lapangan dengan maksud
mendapatkan suasana keintiman atau suasana yang kondusif agar
keberadaan peneliti segera dapat menyatu dengan lingkungan
penelitian sekaligus mempermudah peneliti menangkap suasana
dan makna-makna tertentu dari fenomena yang akan diteliti. Lebih
dari itu, peneliti juga secara sederhana melakukan pemetaan sosial
(social mapping) dan analisa sosial (social analysis) untuk
memahami secara lebih utuh kehidupan sosial para pengajar
Madrasah Diniyah Al-Hidayah Lawang dan setting/latar
penelitiannya. Kedua, peneliti merancang strategi untuk mengatur
kehadiran peneliti di situs penelitian. Kesempatan ini dipakai untuk
menetapkan kerangka acuan informan yang akan digunakan yaitu
menentukan siapa yang akan menjadi informan kunci, informan
utama, dan informan pelengkap. Frame ini akan berubah sesuai
dengan kondisi, situasi, dan kebutuhan di lapangan.
41
2. Ketika Berada di Lapangan (Getting a Long)
Peneliti berusaha menjalin komunikasi dengan guru Madrasah
tersebut, pihak-pihak yang terkait dengan pengajar dan madrasah
tersebut. Hal ini bertujuan untuk menangkap makna dan intisari
dari informan tentang tindakan mengajar guru Madrasah tersebut.
3. Pengumpulan Data (Logging the Data)
Setelah peneliti berada di lapangan prosedur yang berikutnya yang
dilakukan peneliti adalah mengumpulkan data. Berikut beberapa
teknik pengumpulan data yang dilakukan, yaitu antara lain:
a. Pengamatan/Observasi (Observation)
Observasi adalah cara untuk memperoleh data yang
dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung
maupun tidak langsung serta melihat keadaan obyek yang
diteliti secara dekat langsung ke lokasi penelitian.
Observasi dilakukan atas obyek-obyek antara lain: Sikap
dan perilaku yang dilakukan oleh pengajar madrasah
tersebut serta interaksi atau hubungan yang terjalin antara
pengajar dan siswa madrasah tersebut.
b. Wawancara (Interview)
Interview adalah cara memperoleh data di lapangan
melalui tanya jawab secara langsung dengan responden, di
mana peneliti menggunakan alat bantu berupa panduan
wawancara (interview guide) agar wawancara terarah pada
fokus penelitian (Nazir, 1988: 234).
42
c. Dokumentasi (Documentation)
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara
mencatat kejadian yang ada di lapangan dengan
memanfaatkan data sekunder yang ada. Data yang
diperlukan untuk menunjang pemahaman dan penggalian
data dalam penelitian ini berupa arsip madrasah tersebut.
3.9 Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis data fenomenologi yang terdiri dari :
1. Horizonalizing the data and statement; Mendata secara mendetail
informasi yang diperoleh dari pengamatan objek penelitian (setiap
pernyataan dari objek penelitian) berupa transkrip data.
2. Reduction and elimination; menguji dan mengecek ulang apakah ada
pernyataan yang saling tumpang tindih. Data yang telah diperoleh berupa
data transkrip kemudian di periksa ulang dan data yang mengalami
perulangan dapat dihilangkan, untuk menghilangkan data yang dobel.
3. Thematic Potrayal; mengumpulkan hasil horizon yang telah
ditranskripkan ke dalam tema-tema yang sesuai, dan dapat digunakan
sama ke seluruh subjek penelitian.
4. Individual Textural Description; mentranskrip data penelitian yang masih
polos, merupakan pendapat dan pernyataan dari masing-masing subjek
penelitian.
5. Individual Structural Description; data transkrip asli yang berisi
pernyataan asli objek penelitian dirubah secara structural dengan
43
menggunakan bahasa peneliti dari tiap subjek penelitian, dikumpulkan per
tiap subjek individu.
6. Composite Textural Description; data berupa transkrip dari keseluruhan
subjek penelitian dikumpulkan jadi satu, digabungkan.
7. Composite Structural Description; data transkrip asli yang berisi
pernyataan asli objek penelitian dirubah secara structural dengan
menggunakan bahasa peneliti, digabungkan menjadi satu
8. Imaginative variation; proses berpikir, menganalisis dengan menggunakan
kerangka teori, apakah hasil penelitian yang didapat sesuai dengan
kerangka teori yang diungkapkan di bab II dan apabila terdapat
ketidaksesuaian dengan teori yang dipakai bisa memunculkan teori baru.
9. Sintesis; kesimpulan dari hasil penelitian secara keseluruhan yang telah
dianalisis menurut kerangka teori yang menggambarkan fenomena yang
diteliti (Moustakas, 1994: 122).
3.10 Keabsahan Data
Menurut Moleong (2006: 320) yang dimaksud dengan keabsahan data
adalah bahwa setiap keadaan harus memenuhi:
1. Mendeskripsikan nilai yang benar,
2. Menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan, dan
3. Memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang
konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan
keputusan-keputusannya.
44
Isu dasar dari hubungan keabsahan data pada dasarnya adalah sederhana.
Bagaimana peneliti membujuk agar pesertanya (termasuk dirinya) bahwa temuan-
temuan penelitian dapat dipercaya, atau dapat di pertimbangkan.
Untuk menetapkan keabsahaan data diperlukan teknik pemeriksaan.
Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas jumlah kriteria tertentu. Ada 4
kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan,
dan kepastian (Moleong, 2006: 324).
Agar tujuan tersebut tercapai, penelitian ini menggunakan teknik
pemeriksaan keabsahan data triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong,
2006: 330). Jadi dengan kata lain bahwa ketika peneliti menggunakan teknik
pemerikasaan keabsahan data trianggulasi, maka peneliti dapat kembali
mencocokkan kembali temuaanya dengan berbagai sumber, metode atau teori.
Moleong(2006: 332) untuk itu maka peneliti dapat melakukan
pengecekan tersebut dengan jalan:
1. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan.
2. Mengeceknya dengan berbagai sumber data.
3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data
dapat dilakukan.
46
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Madrasah Diniyah Al-Hidayah
Madrasah Diniyah Al-Hidayah termasuk ke dalam jenis madrasah yang
hampir semua pelajaran dari guru kepada siswanya adalah pelajaran Agama Islam,
yang berarti tidak ada pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Matematika,
Ilmu Pengetahuan Alam, atau Ilmu Pengetahuan Sosial, dsb.
Jika meninjau kembali apa yang dikatakan oleh Daulay (2001: 61),
Madrasah Diniyah Al-Hidayah termasuk ke dalam jenis madrasah pertama yaitu
jenis madrasah yang kurikulumnya berisi pengetahuan Agama Islam semua.
Dalam perkembangannya Madrasah ini tidak berkembang seperti yang
dikatakan Daulay ( 2001: 63) bahwa perkembangan madrasah di Indonesia di latar
belakangi oleh perkembangan pergerakan organisasi Islam. Madrasah ini sama
sekali tidak ada kaitannya dengan pergerakan organisasi keislaman.
Madrasah Diniyah Al-Hidayah terletak di Kabupaten Malang,
Kecamatan Lawang, Desa Sidodadi, beralamat di Jl. Sumber Waras Timur Rt. 01
Rw. 14 Dusun Pilang. Madrasah ini didirikan oleh Yayasan Pendidikan dan
Pengajaran Agama Islam Al-Hidayah pada tanggal 8 Februari 1994 di atas tanah
wakaf seluas 15 kali 23 meter. Madrasah ini memiliki 6 lokal (kelas) dengan
tambahan 1 kantor dan 1kamar kecil.
Sesuai dengan akta pendirian nomor 13, maksud dan tujuan pendirian
madrasah adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan pendidikan dan kerampilan anak.
47
2. Membangun akhlak dan mental manusia.
3. Membantu terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat
yang lebih beriman dan bertaqwa.
Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, madrasah ini menyusun
kurikulum pelajaran yang semuanya berisi pelajaran pengetahuan agama Islam
seperti: Joro’, Imla’, Pego, Fasholatan, Tahsin, Akhlaq, Tarekh, Hadits, Bahasa
Arab, Al-Qur’an Tajwid,Fiqih Tauhid.
Selain pelajaran tersebut, madrasah ini juga memiliki kegiatan madrasah
yang dilaksanakan oleh santriwan dan santriwati. Adapun kegiatan yang
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan rutin
Kegiatan ini dilakukan setiap minggu, yaitu pada hari sabtu dan
diikuti oleh santriwati yaitu: Istighosah, Rotibul Hadad, Yasin, Dan
Tahlil. Kegiatan rutin ini bertujuan untuk mempertebal keimanan
santriwati dan juga sebagai sarana untuk membiasakan mengaji.
2. Kegiatan akhir tahun
Kegiatan ini dilaksanakan setiap akhir tahun ajaran, yaitu dua
minggu sebelum memasuki Bulan Suci Ramdhan, karena tahun
ajaran didasarkan pada bulan Syawal hingga Sya’ban.
Kegiatan ini disebut Imtihan dimana betujuan untuk menunjukkan
rasa syukur kepada Allah SWT atas kenaikan kelas serta kelulusan.
48
4.1.1 Visi Dan Misi Madrasah Diniyah Al-Hidayah
Seperti halnya organisasi pada umumnya yang memiliki visi dan misi,
Madrasah Diniyah Al-Hidayah juga memiliki visi dan misi. Berikut adalah visi
dan misi madrasah tersebut:
Visi madrasah:
1. Unggul dalam prestasi yang berakar pada agama dan budaya
bangsa.
Misi madrasah:
1. Meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki nilai dan muatan
imtaq amal dan ikhlasiyah.
2. Meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat
dan perkembangan IPTEK melalui kegiatan proses pembelajaran dan
bimbingan.
3. Meningkatkan prestasi dalam bidang ekstrakurikuler sesuai dengan
prestasi yang dimiliki.
4. Menciptakan pola hidup lingkungan yang bersih, indah, sehat, dan
menyenangkan.
5. Menyelenggarakan program yang senantiasa berakar pada nilai peduli
terutama pada dhuafa sebagai warga sekolah.
Visi dan misi ini diciptakan sesuai dengan tujuan dari didirikannya
madrasah sesuai dengan akta pendirian.
49
4.1.2 Kondisi Fisik Madrasah Diniyah Al-Hidayah.
Sebagai pelengkap mengenai informasi gambaran umum madrasah
berikut peneliti berikan photo kondisi fisik madrasah tersebut. Madrasah tersebut
terdiri dari 6 ruangan kelas.
Gambar 3. Madrasah dari depan samping kanan. Gambar 4. Madrasah dari depan samping kiri.
Gambar 5. Kelas 1dari luar. Gambar 6. Kelas 1 dari dalam.
Gambar 7. Kelas 2 dari luar. Gambar 8. Kelas 2 dari dalam samping kanan.
50
Gambar 9. Kelas 2 dari dalam samping kiri. Gambar 10. Kelas 3 dari luar.
Gambar 11. Kelas 3 dari dalam. Gambar 12. Kelas 4 dari dalam.
Gambar 13. Kelas 5 dari dalam. Gambar 14. Kelas 6 dari dalam.
Jumlah siswa di madrasah tersebut terdiri dari seratus tujuh anak, yang
terbagi menjadi lima puluh tiga anak adalah siswa laki-laki dan sisanya, lima
puluh empat anak adalah siswa perempuan. Siswa kelas satu terdiri dari sembilan
belas anak. Siswa kelas dua terdiri dari tiga puluh anak. Siswa kelas tiga terdiri
dari dua puluh anak. Siswa kelas empat terdiri dari dua belas anak. Siswa kelas
51
liam terdiri dari empat belas anak. Dan siswa kelas enam terdiri dari dua belas
anak.
4.2 Gambaran Umum Informan Madrasah Diniyah Al-Hidayah
Informan dalam penelitian ini adalah seorang yang memiliki informasi
serta terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti sehingga dapat
diperoleh data yang dapat digunakan untuk menjawab rumusan masalah
penelitian. Informan yang akan diteliti adalah pengajar madrasah tersebut sebagai
informan utama, sekretaris madrasah sebagai informan kunci, dan beberapa
pengurus yang lain sebagai informan tambahan. Berikut adalah data informan.
Tabel 3. Data Informan
NO NAMA ALAMAT NO.TELP KEDUDUKAN LAMA
MANJABAT
PENDIDIKAN
TERAKHIR
6 Supriyono Pilang-
Sidodadi-
Lawang
085755520521 Sekretaris 18 tahun SMA
1 Bakdiyah
Pilang-
Sidodadi-
Lawang
085646361261
Kepala
Madrasah
merangkap guru
kelas 4
18 tahun SD
2
Siti Nur
Hidayatul
Chusna
Pilang-
Sidodadi-
Lawang
081805092668 Guru kelas 2 3 bulan SMA
3 Puriyanto
Pilang-
Sidodadi-
Lawang
081555613342 Guru kelas 6 9 tahun SMK
52
Lanjutan tabel 3.
4 Suliyani
Pilang-
Sidodadi-
Lawang
085791323646 Guru kelas 5 13 tahun SMA
5 Angga Dwi
Oktaviani
Pilang –
Sidodadi-
Lawang
085755891239 Guru kelas 3 9 tahun SMA
Sumber: Observasi 1 Mei 2012
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa rata-rata lama menjabat
sebagai pengurus ataupun pengajar adalah kurang lebih 18 tahun. Dengan
demikian lama menjabat sama dengan lama berdiri madrasah tersebut. Dan untuk
tingkat pendidikan dari tabel tersebut bisa dikatakan bahwa SMA merupakan rata-
rata tingkat pendidikan terakhir dari pengurus ataupun pengajar madrasah
tersebut.
1. Supriyono
Bapak Supriyono adalah sekretaris madrasah di dalam
kepengurusan Madrsah Diniyah Al-Hidayah. Beliau adalah salah satu
anak dari saah satu perintis berdirinya madrasah tersebut. Sebagai
seorang anak beliau memegang pesan dari orang tuannya untuk
menjaga keberlangsungan pendidikan agama di madrasah tersebut.
Bentuk tanggung jawab beliau terhadap pesan dari orang tua beliau
ditunjukkan dengan keterlibatan penuh beliau dalam mengurusi
segala urusan di madarasah tersebut. Termasuk salah satunya adalah
menerima peneliti di madrasah tersebut serta memberikan informasi
yang peneliti butuhkan.
53
Dalam penelitian ini Pak Supriyono sebagai informan kunci
mengenai praktik sosial tindakan mengajar di madrasah tersebut.
2. Badikyah
Badikyah adalah kepala sekolah yang merangkap sebagai
guru kelas empat. Hal tersebut dilakukan karena di madrasah
tersebut kekurangan guru. Dengan bekal ilmu agama dari hasil
beliau sekolah di madrasah waktu kecil dan niat mengabdi yang
serius, beliau isi posisi guru yang kosong tersebut.
Beliau adalah guru tertua dan terlama di madrasah tersebut.
Karena hal tersebut, beliau dipilih menjadi kepala sekolah madrasah
tersebut. Dalam penelitian ini beliau sebagai informan utama.
3. Siti Nur Hidayatul Chusna
Siti Nur Hidayatul Chusna adalah guru kelas dua. Siti adalah
guru baru di madrasah tersebut, kurang lebih sekitar tiga bulan.
Dengan bekal ilmu agama dari hasil beliau sekolah agama waktu
kecil di madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan pondok
pesantren setelah lulus aliyah serta niat mengabdi yang serius,
beliau memutuskan untuk mengajar di madrasah tersebut..
Perjalanan mengajar beliau penuh dengan masalah, selain
masalah gaji juga ada masalah keluarga. Beliau memiliki suami yang
bekerja sebagai buruh di pabrik dan satu anak. Suami beliau tidak
mau kewajiban sebagai istri untuk merawat anak dan suami
terlupakan atau tidak dapat terpenuhi karena kesibukan beliau
54
mengajar di madrasah. Namun dengan menuruti saran dari Badikyah
untuk bisa mengatur waktu untuk suami, anak, dan diri sendiri
masalah keluarga tersebut teratasi dan kini Siti tetap mengajar di
madrasah tersebut. Siti dalam penelitian ini sebagai informan utama
yang memberikan data mengenai praktik sosial tindakan mengajar di
madrasah tersebut.
4. Puriyanto
Puriyanto adalah guru kelas enam. Puriyanto adalah guru di
madrasah tersebut, kurang lebih sekitar sembilan tahun. Dengan
bekal ilmu agama dari hasil beliau sekolah agama waktu kecil di
madrasah serta niat mengabdi yang serius, beliau memutuskan
untuk mengajar di madrasah tersebut. Selain itu beliau adalah salah
satu alumnus dari madrasah tersebut, tahun angkatan 2003.
Selain mengajar beliau juga bekerja sebagai buruh pabrik di
dekat madrasah tersebut. Pekerjaan tersebut beliau lakukan untuk bisa
mencukupi biaya pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari. Puriyanto
dalam penelitian ini sebagai informan utama yang memberikan data
mengenai praktik sosial tindakan mengajar di madrasah tersebut.
5. Angga Dwi Oktaviani
Dwi adalah guru kelas tiga. Dwi adalah guru di madrasah
tersebut, kurang lebih sekitar sembilan tahun. Dengan bekal ilmu
agama dari hasil beliau sekolah agama waktu kecil di madrasah serta
niat mengabdi yang serius, beliau memutuskan untuk mengajar di
55
madrasah tersebut. Selain itu beliau adalah salah satu alumnus dari
madrasah tersebut, tahun angkatan 2003.
Beliau adalah istri Puriyanto. Dwi dalam penelitian ini
sebagai informan utama yang memberikan data mengenai praktik
sosial tindakan mengajar di madrasah tersebut.
6. Suliyani
Suliyani adalah guru kelas lima. Suliyani adalah guru lama
di madrasah tersebut, kurang lebih sekitar tiga belas tahun. Dengan
bekal ilmu agama dari hasil beliau sekolah agama waktu kecil di
madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan pondok pesantren
setelah lulus aliyah serta niat mengabdi yang serius, beliau
memutuskan untuk mengajar di madrasah tersebut..
Perjalanan mengajar beliau penuh dengan masalah, selain
masalah gaji juga ada masalah keluarga. Beliau memiliki suami yang
tidak memiliki pekerjaan tetap dan satu anak. Suami Suliyani yang
tidak memiliki pekerjaan tetap tidak bisa menjadi sumber
pembiayaan belanja keluaga yang kurang lebih lima ratus ribu
rupiah. Selain masalah tersebut Suliyani juga memiliki masalah
pendengaran. Suliyani kurang bisa mendengar dengan baik, karena
itu untuk mewawancarai Suliyani, peneliti dibantu Badikyah sebagai
pihak ke tiga yang menjelaskan maksud dari peneliti dan
menjelaskan maksud Suliyani. Suliyani dalam penelitian ini sebagai
56
informan utama yang memberikan data mengenai praktik sosial
tindakan mengajar di madrasah tersebut.
4.2.1 Gambaran Umum Kesejahteraan Guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah.
Tidak seperti pada umumnya organisasi dimana pengurus mendapatkan
gaji dari hasil kerjanya. Di madrasah tersebut pengurus tidak mendapatkan gaij
dari hasil kerja, meskipun pengurus merupakan orang yang memegang peranan
penting dalam mengembangkan serta mempertahankan madarasah tersebut.
Hanya pengajar yang mendapatkan gaji dari hasil kerja mengajarnya.
Berikut saya sajikan data kesejahteraan pengajar madrasah tersebut yang
saya susun dalam bentuk tabel.
Tabel 4. Data Kesejehateraan Pengajar Madrasah Diniyah Al-Hidayah
NO NAMA GAJI PENGELUARAN BULANAN
1 Badikyah 150.000 750.000
2 Siti Nur Hidayatul C. 100.000 700.000
3 Puriyanto 130.000 850.000
4 Suliyani 110.000 500.000
5 Angga Dwi Ok 110.000 800.000
Sumber: Observasi 1 Mei 2012
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata gaji pengajar
madrasah tersebut adalah 100.000 sedangkan untuk rata-rata pengeluaran adalah
700.000.
Gaji para guru tersebut didapatkan dari pembayaran iuran bulanan para
siswa, namun siswa sendiri sering telat membayar sedangkan gaji tersebut harus
dibayarkan setiap awal bulan, untuk mencukupi kekurangan gaji tersebut
pengurus yang mencukupi dengan mengambil dari kekayaan pribadinya.
57
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Kesadaran Guru Dalam Melakukan Praktik Mengajar Di Madrasah.
Kesadaran adalah keadaan seseorang dimana ia tahu atau mengerti dengan
jelas apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa diartikan dalam banyak
makna, seperti ingatan, hasil berpikir, akal, gagasan ataupun maksud dan niat. Dalam
menjalankan praktik sosial mengajar seorang agen mengaplikasikan kesadaran dalam
melaksanakan program mengajar di madrasah tersebut.
Penting bagi setiap individu agar memiliki kesadaran, dimana kesadaran
sendiri terbagi atas tiga hal yaitu motivasi tak sadar, kesadaran diskursif, dan kesadaran
praktis (Priyono, 2002: 29).
Agen
Motif tidak sadar
Kesadaran
Diskursif
Kesadaran Praktis
Sumber: Priyono,2002:30
Gambar 17. Tiga Tingkatan Kesadaran Agen
58
Penyelidikan atas perbuatan agen dilakukan guna menembus alasan dan motif
atas apa yang dilakukan. Beberapa informan menyatakan bahwa motif menjadi seorang
pengajar karena kesadaran Masyarakat akan minat pendidikan agama, lingkungan yang
memaksa sehingga mau tidak mau orang-orang tersebut harus melakukan kegiatan
pendidikan agama, dan sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut adalah terpilihnya
beberapa warga untuk menjadi pengajar di lembaga yang menjadi wadah kegiatan
pendidikana agama tersebut. Secara tidak langsung kesadaran pengajar menjadi
pengajar bukanlah karena keinginan pegajar sendiri dalam hal ini melainkan karena
desakan masyarakat yang memiliki kebutuhan beberapa pengajar madrasah.
Menariknya kebutuhan masayarakat akan guru madrasah, tidak sebanding dengan
kebutuhan pengajar sendiri diantaranya , kebutuhan untuk membantu suami, dan
kebutuhan untuk menindak lanjuti amanah dari gurunya yang terdahulu. Berikut adalah
pernyataan Badikyah tentang antusias masyarakat akan kebutuhan pendidikan agama
yang tidak sebanding dengan jumlah guru yang tersedia:
“Awal pendirian madrasah ini belum siap mas, jumlah guru yang tersedia tidak seimbang dengan jumlah murid yang antusias. Saat itulah saya ditunjuk untuk mengisi posisi guru yang dibutuhkan di madrasah ini, bahkan saat itu saya merangkap posisi dua guru” (wawancara tanggal 12 juni 2012)
Dari hal tersebutlah maka madrasah menunjuk beberapa guru untuk mengisi
posisi yang dibutuhkan. Guru yang dibutuhkan diutamakan yang memiliki wawasan dan
pengalaman mengajar di madrasah. Berikut adalah pernyataan Badikyah:
“Saya ditunjuk karena dari sekian banyak warga di Pilang, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mendidik anak di madrasah adalah saya, meskipun semua Warga Pilang memiliki pengetahuan agama tapi itu hanya bersifat masih dasar saja dari pelajaran agama yang mereka dapatkan waktu mereka sekolah dulu mas, selain itu mereka juga tidak memiliki pengalaman mengajar,
59
karena itu mas, saya disuruh ngajar di madrasah ini mas”. (wawancara tanggal 12 juni 2012)
Pernyataan Badikyah didukung oleh pernyataan Siti sebagai berikut:
“Selain karena kemauan saya sendiri saya mangajar karena ditunjuk oleh Madrasah untuk mengisi posisi guru yang dibutuhkan. Saya ditunjuk karena memiliki pengetahuan dan pengalaman mendidik anak di madrasah, mungkin saya rasa itulah yang menjadi pertimbangan dalam madrasah memilih saya sebagai guru di madrasah tersebut.” (wawancara tanggal 13 juni 2012)
Hampir sama dengan pernyataan Siti, Suliyani juga menyatakan hal yang
serupa sebagai berikut:
“Selain karena kemauan saya sendiri saya mangajar karena ditunjuk oleh Madrasah untuk mengisi posisi guru yang dibutuhkan. Saya ditunjuk karena memiliki pengetahuan Islam yang luas dan yang mau mengajar di madrasah tersebut.” (wawancara tanggal 14 juni 2012)
Puriyanto dan Angga juga menyatakan hal yang serupa bahwa dirinya ditunjuk
oleh madrasah karena wawasan Islam dan pengalamannya mengajar di madrasah.
Berikut adalah pernyataan Puriyanto yang disusul kemudian pernyataan Angga:
“karena madrasah melihat latar belakang pendidikan saya pernah belajar di madrasah serta wawasan saya tentang dunia Islam luas, saya ditunjuk oleh madrasah, bukan mengajukan diri sebagai guru di madrasah” (wawancara tanggal 15 juni 2012)
“Selain karena kemauan saya sendiri saya mangajar
karena ditunjuk oleh Madrasah untuk mengisi posisi guru yang dibuthkan. Saya ditunjuk karena memiliki pengetahuan dan pengalaman mendidik anak di madrasah, mungkin saya rasa itulah yang menjadi pertimbangan dalam madrasah memilih saya sebagai guru di madrasah tersebut.” (wawancara tanggal 16 juni 2012)
60
Selanjutnya informan menyatakan bahwa motif lain dari melakukan tindakan
tersebut adalah karena keinginan membantu suami. Berikut adalah pernyataan Angga:
“Saya mengajar karena keinginan saya untuk bisa membantu suami mencari uang untuk bisa memenuhi kebutuhan belanja keperluan rumah tangga saya mas.” (wawancara tanggal 15 juni 2012)
Suliyani dan Siti menyatakan hal yang sama bahwa salah satu motif dari
kemuannya mengajar meski mendapatkan bayaran sedikit adalah suatu upaya
untuk membantu suami mencukupi pendanaan untuk kebutuhan keluarga. Berikut
adalah penyataan Siti yang disusul berikutnya oleh pernyataan Suliyani:
“Saya mengajar karena keinginan saya untuk bisa membantu suami mencari uang untuk bisa memenuhi kebutuhan belanja keperluan rumah tangga saya mas, tidak bisa kalau hanya mengandalkan dari suami yang tidak punya pekerjaan tetap.” (wawancara tanggal 14 juni 2012)
“Saya mengajar karena keinginan saya untuk bisa membantu suami mencari uang untuk bisa memenuhi kebutuhan belanja keperluan rumah tangga saya mas.” (wawancara tanggal 13 juni 2012)
Selanjutnya semua informan utama dalam penelitian ini menyatakan bahwa
motif dari melakukan tindakan tersebut karena menindak lanjuti amanah dari gurunya.
Berikut adalah berturut-turut pernyataan Badikyah, Siti, Suliyani, Puriyanto, dan Angga
Dwi:
“Itu awal saya mengajar mas, kalau ditanya sekarang ya beda lagi, meskipun masyarakat masih membutuhkan pengetahuan tentang agama antusias mereka tidak seperti dulu lagi, belum lagi himpitan ekonomi yang membuat orang tua murid susah untuk lebih antusias lagi ditambah lagi dengan keadaan madrasah yang jauh dibandingkan dengan status sekolah formal. Orang tua murid ebih antusias untuk meyekolahkan anaknya di sekolah formal mas, tapi tekad saya sudah bulat karena ini amanah dari guru saya yang
61
dulu mas, meskipun sulit tetap saya mengajar, saya niatkan untuk tabungan di akhirat nanti mas.” (wawancara tanggal 12 juni 2012)
,hal yang serupa juga disampaikan oleh Siti. Berikut penuturan Siti:
“Selain itu mas, saya mengajar itu sangat bersyukur karena dengan begini saya bisa meneruskan serta menjaga amanah dari guru-guru saya yang dulu mengajarkan ilmunya ke saya. Itu saja mas saya rasa, gak ada lagi kok” (wawancara tanggal 13 juni 2012)
Suliyani juga menyatakan hal yang serupa dengan Badikyah.
Berikut penuturan Suliyani:
“selain itu mas, saya mengajar itu sangat bersyukur karena dengan begini saya bisa meneruskan serta menjaga amanah dari guru-guru saya yang dulu mengajarkan ilmunya ke saya.” (wawancara tanggal 14 juni 2012)
Hal yang serupa juga disampaikan Puiyanto dalam pernyataannya
sebagai berikut:
“selain itu mas, saya mengajar itu sangat bersyukur karena dengan begini saya bisa meneruskan serta menjaga amanah dari guru-guru saya yang dulu mengajarkan ilmunya ke saya. Itu saja mas saya rasa, selebihnya saya rasa sudah tidak ada lagi.” (wawancara tanggal 15 juni 2012)
Hal yang serupa juga disampaikan Angga dalam pernyataannya sebagai
berikut:
“selain itu mas, saya mengajar itu sangat bersyukur karena dengan begini saya bisa menjaga amanah dari guru-guru saya yang dulu mengajarkan ilmunya ke saya. Itu saja mas saya rasa, gak ada lagi kok” (wawancara tanggal 15 juni 2012)
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan dengan kata lain agen
memiliki motivasi tak sadar menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi
mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri (Priyono, 2002 : 28).
62
Secara tidak sengaja motif itu menjadi kesadaran praktis dan diskursif bagi
para pengajar. Kesadaran praktis adalah sesuatu yang diketahui oleh para aktor tentang
kondisi sosial, terutama meliputi aksi mereka sendiri, namun tidak dapat diungkapkan
secara diskursif, bahkan tidak ada jeruji represi yang bisa melindungi kesadaran praktis,
kesadaran praktis adalah jantung dari daya pengetahuan sebagai sifat seorang agen
(Giddens, 2010: 34-35). Kerelaan mengajar dengan gaji yang tidak banyak merupakan
bentuk kesadaran praktis guru madrasah tersebut.
Kesadaran diskursif adalah mengacu pada kita merefleksikan dan memberikan
penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita (Priyono,2002: 28). Priyono (2002: 29)
menambahkan kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami proses
bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita lambat-laun menjadi struktur, dan
bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan/ praktik sosial kita.
Reproduksi sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial kita. Melalui
fenomenologi dengan wawancara mendalam didapatkan temuan berupa latar belakang
dari tindakan mengajar di madrasah tersebut.
Sebagai para aktor sosial, para pengajar sangatlah terdidik dari sisi
pengetahuan yang dimiliki mengenai pentingnya ilmu pengatahuan terutama agama dan
diterapkanlah ilmu tersebut. Kesadaran praktis para agen diwujudkan dengan pengajar
yang tertarik dengan menjadi pengajar di madrasah tersebut. Dengan pengetahuannya
tentang mengajar dan pentingnya pendidikan ,agen berusaha untuk mengajar sebaik
mungkin, dalam penelitian ini upaya praktis agen ditunjukkan dengan kerelaan untuk
mengajar meskipun dibayar dengan gaji murah
63
5.2 Dinamika Guru, murid, dan Madrasah Dalam Praktik Sosial Tindakan Mengajar
. Di setiap kegiatan belajar terjadi suatu interaksi antara guru dan murid di dalam
ruang dan waktu. Interaksi yang berjalan di dalam ruang dan waktu tersebut menjadikan
suasana akrab antara keduanya, dan ini menjadikan keduanya saling kenal dan saling
paham, bahkan guru menjadi contoh bagi murid.
Interaksi antara guru dan murid terwujud dalam tindakan mengajar dan belajar
antara guru dan murid. Seperti yang sudah disebutkan di atas tindakan dari guru
menjadi contoh bagi murid, dengan kata lain apa yang dilakukan guru diulangi oleh
murid, yang berarti produksi tindakan mengajar dari guru di reproduksi ulang oleh
murid. Berikut pernyataan Angga Dwi yang menyatakan bahwa berawal dari
ketertarikan dengan profesi ayahnya sebagai guru, Angga mencoba-coba untuk ikut
ayahnya mengajar:
“Kalau masalah pengalaman mengajar saya belajar mengajar ikut orang tua mengajari anak-anak di mushola setelah magriban mas.” (wawancara tanggal 15 juni 2012)
Hampir sama dengan Angga Dwi, Puriyanto, istri Angga Dwi memiliki
ketertarikan yang serupa dikarenakan gurunya. Berikut pernyataan Puriyanto:
“dari situlah mas saya mulai suka mengajar, mulai suka membantu orang lain, dan dari kegiatan ikut-ikut tersebut saya mulai memutuskan untuk mengajar.” (wawancara tanggal 15 juni 2012)
Seperti yang disampaikan oleh Giddens bahwa Praktik Sosial merupakan
keterulangan yang terpola dalam lintas ruang dan waktu (2010: 30). Giddens
menambahkan praktik sosial bisa berupa kebiasaan (2010:30). Dalam penelitian ini
peneliti setuju dengan pernyataan Giddens melihat dari hasil wawancara tersebut.
64
Praktik sosial tindakan mengajar di Madrasah Diniyah Al-Hidayah merupakan
kebiasaan dari ketika para informan masih belajar di madrasah. Madrasah dimana
mereka belajar menyediakan program belajar bersama. Program ini merupakan suatu
upaya madrasah agar ilmu yang di dapatkan tidak mudah dilupakan begitu saja. Berikut
adalah pernyataan Suliyani tentang kebiasaan mengajari adik kelas:
“Kalau masalah pengalaman mengajar saya belajar mengajar waktu dulu saya masih belajar di madrasah. Saya disuruh untuk ikut kegiatan yang diadakan oleh madrasah. Ya kegiatan belajar bersama setelah salat magrib itu mas. Ustad saya menyarankan agar ilmu yang didapatkan dari beliau tidak mudah lupa, coba untuk mengulangi lagi pada adik kelas”. (wawancara tanggal 12 juni 2012).
Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh dua informan lain yaitu, Badikyah
dan Siti. Badikyah menyatakan tujuan dari program atau kegiatan belajar bersama
adalah sebagai upaya agar ilmu yang didapatkan tidak mudah terlupakan begitu saja.
Berikut adalah pernyataan Badikyah dari hasil wawancara dengan peneliti:
“Ustad saya menyarankan agar ilmu yang didapatkan dari beliau tidak mudah lupa, coba untuk mengulangi lagi pada adik kelas .” (wawancara tanggal 12 juni 2012).
Pernyataan Badikyah juga didukung oleh Siti, bahwa dengan mengikuti kegiatan
yang diadakan oleh madrasah maka ilmu bisa tersalurkan kembali kepada adik kelas.
Berikut adalah pernyataan Siti:
“Ustad saya menyarankan agar ilmu yang didapatkan dari beliau tidak mudah lupa, coba untuk mengulangi lagi pada adik kelas pada kegiatan belajar bersama.” (wawancara tanggal 13 juni 2012)
Giddens menyatakan struktur merupakan wadah sekaligus sarana bagi suatu
tindakan. Dengan demikian struktur merupakan suatu wadah yang sekaligus menjadi
65
sarana bagi agen untuk mengenalkan suatu agensi. Dari wawancara tersebut didapatkan
bahwa madrasah digunakan oleh guru tersebut mengenalkan tindakannya melalui kuasa
berupa mengajar, dan kegiatan madrasah yang berupa mengajar ketika guru tersebut
diakui oleh struktur, dalam hal ini adalah Madrasah, maka guru pun diresmikan sebagai
guru madrasah. Kemudian di madrasah tersebut mulai terjadi interaksi duaan antara
guru dan murid yang kemuadian menjadikan akrab keduanya, terbukti dengan guru
menjadi contoh bagi murid. Dan sekarang murid tersebut menjadi guru madrasah.
Dengan demikian tindakan mengajar guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah merupakan
tindakan mengajar guru mereka sebelumnya.
Dari hasil wawancara, 2 informan menyatakan madrasah tempat mereka belajar
tidak memiliki program belajar bersama adik kelas namun disarankan untuk mengikuti
gurunya mengajar di tempat lain dalam waktu yang lain. Dengan demikian aturan ini
tidak bersifat mengikat. Berikut adalah pernyataan Puriyanto dan Angga Dwi:
“Kalau masalah pengalaman mengajar saya belajar mengajar ikut orang tua mengajari anak-anak di mushola setelah magriban mas.” (wawancara tanggal 15 juni 2012).
Puriyanto juga menyatakan pernyataan yang serupa. Berikut adalah pernyataan
Puriyanto:
“dari kegiatan ikut-ikut tersebut saya mulai memutuskan untuk mengajar.” (wawancara tanggal 14 juni 2012).
Hal ini serupa dalam pernyataan Giddens dalam Priyono bahwa dimana dalam
waktu yang lain agen membuat praktik sosial sebagai struktur, namun di saat yang
bersamaan struktur membatasi praktik sosial, hal ini disebut oleh Giddens sebagai
dualitas struktur.
66
Agen Struktur
Sumber: Priyono,2002:35
Gambar 16. Dualitas Struktur
Madrasah sebagai struktur yang menjadi sarana praktik sosial. Tindakan dan
praktik sosial berkomunikasi selalu mengandaikan signifikasi tertentu , misalnya tata
bahasa, penguasaan atas barang (ekonomi) dan orang (politik) melibatkan skemata
dominasi, sebagaimana penerapan sanksi mengandaikan skemata legitimasi. Demikian
pula sebaliknya, struktur sebagai hasil (outcome) dari praktik sosial (Giddens, 2010:
46), Giddens melihat tiga gugus besar struktur, yaitu:
1. Struktur signifikasi (signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan,
dan wacana.
67
Dalam penelitian ini signifikasi dimaksudkan dari praktik-praktik madrasah
sebagai lembaga pendidikan, madrasah memiliki beberapa program baik
akademis maupun non akademis yang menyangkut kegiatan belajar mengajar
yang bertujuan untuk menciptakan kegiatan menyukai belajar mengajar.
2. Struktur dominasi (domination) yang menyangkut skemata penguasaan atas
orang (politik) dan barang (ekonomi).
Dominasi madrasah terhadap guru dan murid sangat mendominasi sekali,
sehingga sebagai agen, baik guru ataupun murid harus mengikuti sistem yang
digunakan oleh madrasah, meskipun demikian hal ini tidak bersifat kaku.
3. Struktur legitimasi (legitimation) menyangkut skemata peraturan normatif yang
terungkap dalam tata hukum berdasarkan peraturan yang telah disepakati oleh
baik struktur ataupun agen.
Struktur legitimasi dalam peraturan mengenai kegiatan belajar mengajar bagi
murid dan guru madrasah dan juga peraturan dan sanksi yang telah ditetapkan
oleh madrasah.
68
Madrasah
Signifikasi LegitimasiDominasi
Interpretasi PengaturanPenguasaan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Otoritas
Peraturan
Sumber: Pengolahan Data Lapangan
Gambar 17..Konsepsi Madrasah Sebagai Sarana Praktik Sosial Tindakan
Mengajar
Pada dasarnya struktur cukup stabil tetapi dapat diubah. Struktur dapat diubah
melalui konsekuensi tindakan yang diharapkan atau mereproduksi mereka secara
berbeda (2010: 33). Dalam penelitian ini struktur madrasah menunjukkan tindakan
mengajar di madrasah dapat dilakukan secara berbeda. Tindakan mengajar di
madrasah dilakukan dengan memberikan kebebasan pada agen tanpa adanya paksaan
untuk memilih ikut mengajar atau tidak. Seperti yang disampaikan oleh Angga dan
Puriyonto. Di madrasah tempat mereka belajar tidak sama dengan di madrasah tempat
tiga informan lain (Badikyah, Siti, dan Suliyani) belajar. Di madrasah Angga dan
Puriyanto untuk mengajarkan kembali ilmu yang didapatkan, guru mereka menyarankan
69
untuk bebas memilih ikut guru mereka mengajar atau tidak. Berikut adalah pernyataan
Puriyanto dan Angga:
“tidak ada mas kegiatan seperti itu, saya memang menyukai kagiatan mengajari orang lain agar bisa. Selain itu ini jug merupakan upaya saya untuk menindak lanjuti amanah dari guru saya yang dulu-dulu, bahwa agar ilmu yang kita dapat tidak berhenti di kita saja salurkan ke orang lain, katanya mas supaya ilmu kita bisa berguna.” (wawancara tanggal 15 juni 2012).
“Kalau masalah pengalaman mengajar saya belajar mengajar ikut orang tua mengajari anak-anak di mushola setelah magriban mas.” (wawancara tanggal 15 juni 2012).
Menurut Giddens waktu dan ruang membentuk kegiatan sosial, waktu menurut
Giddens adalah mungkin merupakan ciri dari pengalaman manusia namun juga ciri
nyata dari kehidupan manusia hari demi hari. Dalam konteks ruang dan waktu tindakan
manusia dipandang sebagai sesuatu proses, dengan kata lain tindakan manusia dilihat
sebagai duree, yaitu sebagai aliran tindakan yang terus menerus tetapi bukan kumpulan
tindakan.
Tindakan mengajar guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah merupakan suatu aliran
tindakan terus menerus dari tindakan mengajar sebelumnya. Tindakan mengajar guru
madrasah yang sekarang merupakan suatu terusan tindakan mengajar sebelumnya yang
mereka lakukan sejak dari ketika mereka belajar sebagai murid di madrasah.
70
5.3 Pemahaman Strukturasi Atas Praktik Sosial Pengajar Dalam Melakukan
Tindakan Mengajar Di Madrasah Diniyah Al-Hidayah.
Agen Struktur
Motif tidak
sadar
Kesadaran
Diskursif
Kesadaran
Praktis
Sumber: Priyono,2002:40
Gambar 18. Pemahaman Strukturasi
Praktik sosial pengajar dalam melakukan tindakan mengajar di Madrasah
Diniyah Al-Hidayah merupakan suatu struktur yang dibentuk dan dibentuk ulang oleh
agen. Dari dua sub-bab pembahasan di atas diketahui bahwa tindakan mengajar guru
madrasah tersebut yang terwujud dalam kesadaran praktis berupa kerelaan mengajar
dengan bayaran rendah yang kemudian ditelusuri melalui kesadaran diskursif dengan
metode dan analisa fenomenologi guna menemukan penjelasan yang rasional, yang bisa
71
menjelaskan mengenai praktik sosial mengajar tesebut, didapatkanlah sejumlah data
yang menjelaskan bahwa praktik sosial tindakan mengajar di Madrasah Diniyah Al-
Hidayah merupakan suatu produksi baru dari hasil praktik sosial sebelumnya. Yang
mana pada praktik sosial sebelumnya para agen (guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah)
telah ditanamkan kecintaan untuk mengajar, mereka mencari sarana untuk menyalurkan
hasrat tersebut, yaitu melalui menjadi pengajar di Madrasah Diniyah Al-Hidayah
tersebut.
Dengan demikian temuan ini menjelaskan kerelaan mengajar dengan bayaran
rendah tidak terdapat pada praktik sosial sebelumnya. Kerelaan mengajar dengan
bayaran rendah merupakan suatu konsekuensi tidak sadar dari tindakan agen yang
didorong oleh struktur yang mengekang agen melalui pengetahuan dan pengalaman
agen yang didapatkan agen dari hasil belajar sebelumya.
72
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Untuk bisa memahami mengenai strukturasi pada praktik mengajar guru
madrasah di Madrasah Diniyah Al-Hidayah , peneliti mendapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kesadaran guru Madrasah Diniyah Al-Hidayah Dalam Melakukan
Praktik Mengajar Di Madrasah merupakan dominasi dari struktur yang
bersifat mengekang subjektivitas agen namun sekaligus memberdayakan
guru madrasah tersebut untuk melakukan aktivitas sosial. Struktur yang
terbentuk merupakan hasil dari relasi sosial yang terwujud dalam
aktivitas belajar antara guru informan dan informan itu sendiri yang
ditandai tanpa kehadiran subjek atau sebagai jejak ingatan. Struktur
tersebut merupakan usaha monitoring refleksif guru informan kepada
informan yang dirupakan dalam aktivitas belajar. Setiap aktivitas
monitoring refleksif seorang guru kepada murid dalam upayanya
menanamkan struktur , dipengaruhi pula oleh struktur yang sudah
tertanam pada diri guru tersebut. Struktur tersebut bercirikan sebuah
wacana keagamaan. Pembentukan ulang relasi sosial yang dirupakan
dalam praktik mengajar yang merentang melintas ruang-waktu
merupakan hasil sekaligus sarana dari rutinisasi aktivitas mengajar yang
dicirikan oleh suatu aturan dan sumber daya yang bersifat dominasi
73
wacana dalam bentuk peraturan-perturan yang terdapat pada teks
keagamaan.
6.2 Saran
Dari penelitian yang telah peneliti lakukan. Peneliti memiliki beberapa saran
untuk para pengajar dan penelitian selanjutnya guna penyempurnaan penelitian
praktiksosialtindakan mengajar di madrasah . Beberapa saran tersebut adalah:
Saran Akademis:
1. Peneliti menyadari dalam penelitian ini peneliti masih malakukan banyak
kesalahan. Diharapkan adapenyempurnaanpada penelitian berikutnya.
Saran Praktis:
1. Diperlukan suatu wacana selain wacana yang berupa interpretasi dari teks
keagamaan agar aktivitas agen tidak hanya dilandasi oleh wacana
keagamaan tersebut melainkan ada wacana lain, misal wacana spirit
kapitalisme.