Upload
bien-grunch
View
428
Download
67
Embed Size (px)
Citation preview
DURASI PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK
MOZART TERHADAP TINGKAT KECEMASAN
PADA ANAK
SKRIPSI
Oleh:
ANJAR MAHANANI
G1D008020
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2013
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Anjar Mahanani
NIM : G1D008020
Tempat, tanggal lahir : Karawang, 02 Februari 1990
Alamat : Ds. Purwasari RT 01 RW 03 no.83. Kecamatan Purwasari.
Kabupaten karawang, Jabar 41373
Email : [email protected]/ [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri 1 Purwasari (2002)
2. SMP Negeri 2 Cikampek (2005)
3. SMA Negeri 5 Karawang (2008)
4. Mahasiswa FKIK, Jurusan Keperawatan, Universitas
Jenderal Soedirman
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Pertama dan utama untuk Allah swt, atas segala Karunia dan nikmatNya
Ibuku tercinta Sri Suhartati yang telah membimbing, menjaga, memberikan motivasi
dan memberikan kasih sayang yang tulus, for me ”You are my everything”
Kakak saya tercinta Wina Kusnia yang selalu memberikan dukungan, motivasi,
bimbingan dan support untuk saya
Kakak-kakakku yang selalu aku sayangi (Yuda, Mima, Kania, Tantri, Mei, Jajat
Muzizat, Ari, Sigit, Bayu) terimakasih atas support, kasih sayang dan
bimbingannya
Untuk Ibu Aris Fitriyani dan Ibu Dian Ramawati terimakasih atas bimbingannya
dalam penyusunan skripsi ini, dan terimakasih untuk Ibu Desiyani Nani selaku
penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk menyempurnakan
skripsi ini
Sahabat-sahabat terbaikku (Lia, Lintang, Dani, Retno, Nunu)
Teman-teman kelompok KKN yang selalu mendukungku (Bagus, Nabila, Mas
Anam & Andri)
Teman-teman seperjuangan A1
Dosen pengajar & staff jurusan keperawatan
Almamaterku Universitas Jenderal Soedirman
PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa dalam karya tulis ilmiah ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan atau
kesarjanaan lain di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar
pustaka.
Purwokerto, Agustus 2013
Anjar Mahanani
G1D008020
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian
berjudul “Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat
Kecemasan Pada Anak” Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
untuk mendapat gelar sarjana pada Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam
penyusunan usulan penelitian ini, penulis banyak mendapat bantuan dari banyak
pihak, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan
terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Retno Widiastusi, MS, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-
Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.
2. Made Sumarwati, MN, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Universitas
Jenderal Soedirman.
3. Aris Fitriyani S. Kep., Ns., MM., selaku dosen pembimbing I yang telah
bersedia memberikan bimbingan sejak awal sampai akhir penyusunan
usulan penelitian ini.
4. Dian Ramawati, M. Kep., Ns., selaku dosen pembimbing II yang telah
bersedia memberikan bimbingan sejak awal sampai akhir penyusunan
usulan penelitian ini.
5. Desiyani Nani, S. Kep., Ns., M.Sc., selaku dosen penguji yang telah
berkenan memberikan pengarahan demi kesempurnaan usulan penelitian
ini.
6. Dr. Muh. Basalamah, SpA selaku pembimbing di RSUD Banyumas yang
telah berkenan memberikan bimbingan selama penelitian di RSUD
Banyumas.
7. Erma Dwi K. S.Kep., Ns., Kusriyati. AMK., dan seluruh perawat di ruang
Kanthil RSUD Banyumas yang telah berkenan memberikan bimbingan
dan motivasi selama penelitian di ruang Kanthil.
8. Keluarga yang telah memberikan dukungan moral dan material guna
terselesaikannya usulan penelitian ini.
9. Teman-teman keperawatan angkatan 2008 yang telah memberikan
dukungan serta bantuan hingga usulan penelitian ini dapat terselesaikan.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan
moral maupun material dalam penulisan usulan penelitian ini.
Penulis menyadari masih banyak ketidaksempurnaan dalam penyusunan
usulan penelitian ilmiah ini, oleh karena itu diharapkan kritik maupun saran yang
bersifat membangun demi hasil yang lebih baik. Semoga penelitian ini mendapat
ridho dari Alloh SWT dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Purwokerto, Agustus 2013
Anjar Mahanani
G1D008020
Jurusan Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2013
DURASI PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP
TINGKAT KECEMASAN PADA ANAK
Anjar Mahanani1, Aris Fitriyani, S.Kep., Ns., MM
2, Dian Ramawati, M. Kep., Ns
3
ABSTRAK
Latar belakang: Hospitalisasi merupakan suatu proses oleh suatu alasan yang
terencana atau darurat, sehingga anak harus dirawat di rumah sakit yang dapat
menyebabkan anak mengalami kecemasan. Untuk mengatasi kecemasan dapat
diberikan penatalaksanaan psikoterapi, salah satunya adalah dengan musik klasik
Mozart.
Tujuan: Penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh durasi
pemberian terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang
mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD
Banyumas.
Metode: Jenis penelitian Quasy Experiment dengan pendekatan pretest-posttest
with control group design. Menggunakan teknik purposive sampling, yang
berjumlah 30 anak dan dianalisis dengan Mann-Whitney dan Wilcoxon.
Hasil: Hasil analisis didapatkan p value sebesar 0,025, nilai p value < α
(0,025<0,05). Sehingga terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi
musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami
hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik
Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi saat
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas.
Kata kunci: Hospitalisasi, Kecemasan anak, Musik Klasik Mozart.
Nursing Department
Faculty of Medicine and Health Scineces
University of Jenderal Soedirman
Purwokerto
2013
DURATION OF MOZART CLASSICAL MUSIC THERAPY FOR
REDUCING CHILDREN'S ANXIETY LEVEL
Anjar Mahanani1, Aris Fitriyani, S.Kep., Ns., MM
2, Dian Ramawati, M. Kep., Ns
3
ABSTRACT
Background: Hospitalization is a process by which a planned or emergency
reasons, so the children being hospitalized and it cause children to experience
anxiety. In order to reduce the anxiety can be given psychotherapy. The music
therapy is a form of psychotherapy , one of which is Mozart classical music.
Purpose: The research was to determine the differences effect of duration Mozart
classical music therapy in reducing anxiety level of hospitalized children during
examination of vital signs in RSUD Banyumas.
Methods: The type of research was quasy experiment with pretest-posttest with
control group design approach. Using a purposive sampling technique, whose
sample of 30 children and were analyzed with Mann-Whitney and Wilcoxon. Result: Result of analysis obtained p value of 0,025, so p value < α
(0,025<0,05), so that there was different effect of duration Mozart classical music
therapy of 45 minutes in reducing anxiety level of hospitalized children during
examination of vital signs in RSUD Banyumas.
Conclusion: There was a different effect of duration Mozart classical music
therapy in reducing anxiety level of hospitalized children during examination of
vital signs in RSUD Banyumas.
Keywords: Children’s anxiety, Hospitalization, Mozart classical music therapy.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………… . iii
PERSEMBAHAN………………………………………………………… iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN……………... v
PRAKATA .......................................................................................... ........ vi
ABSTRAK................................................................................................... viii
ABSTRACT................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN............................................................................. xviii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian...................................................................... 7
D.Manfaat Penelitian.................................................................... 8
E. Keaslian Penelitian ................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ......................................................................... 12
1. Terapi Musik .................................................................... 12
a. Pengertian Musik .......................................................... 12
b. Musik Klasik ................................................................ 13
c. Pengertian Terapi Musik .............................................. 14
d. Pengertian Terapi Musik Klasik Mozart ...................... 14
e. Cara Kerja Terapi Musik .............................................. 15
f. Tata Cara Pemberian Terapi Musik .............................. 16
2. Kecemasan ........................................................................ 17
a. Pengertian Kecemasan ................................................. 17
b. Tanda dan Gejala Kecemasan.................................. .... 18
c. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan ..... ..... 20
d. Teori Tentang Kecemasan ............................................ 21
e. Faktor Presipitasi Kecemasan ...................... ................ 23
f. Tingkat Kecemasan ...................................................... 24
g. Rentang Respon Kecemasan..................................... ... 25
h. Gangguan Kecemasan Menurut DSM-IV................ .... 26
i. Penatalaksanaan Kecemasan ........................................ 29
j. Akibat Kecemasan......................................................... 30
k. Instrumen Pengukuran Kecemasan................................ 31
3. Hospitalisasi........................................................................ 36
a. Pengertian Hospitalisasi................................................. 36
b. Dampak Hospitalisasi.................................................... 37
c. Kecemasan Hospitalisasi................................................ 38
d. Reaksi Anak Terhadap Sakit dan Hospitalisasi.............. 38
B. Kerangka Teori... ...................................................................... 51
C. Kerangka Konsep ..................................................................... 52
D. Hipotesa Penelitian .................................................................. 53
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ...................................................................... 54
1. Jenis Penelitian…………………………………............... . 54
2. Lokasi Penelitian………………………………................ . 55
B. Populasi dan Sampel ................................................................ 55
C. Variabel Penelitian .................................................................. 57
D. Definisi Operasional ................................................................. 58
E. Instrumen Penelitian ................................................................. 60
F. Validitas dan Reliabilitas ......................................................... 61
G. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 62
H. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 64
I. Etika Penelitian ........................................................................ 67
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil……………………………………………………….. ... 69
1. Karakteristik Responden……………………………........... 69
2. Tingkat kecemasan Akibat Hospitalisasi………………... 71
3. Perbedaan Tingkat Kecemasan Anak Sebelum Terapi
Musik Klasik Mozart Pada Kelompok 30 menit dan 45
Menit.................................................................................. 75
4. Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart
Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Yang
Mengalami Hospitalisasi Pada Kelompok Terapi 30
Menit dan Kelompok Terapi 45 Menit.............................. 77
5. Tingkat Kecemasan Anak Sesudah Terapi Musik Klasik
Mozart Pada Kelompok 30 Menit dan 45 Menit................ 79
B. Pembahasan…………………………………………………... 80
1. Karakteristik Responden…………………………...... ...... 80
2. Tingkat Kecemasan Responden…………………… .. ...... 85
C. Kelemahan Penelitian…………………………………......... .. 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………….................... 95
B. Saran………………………………………………………..... . 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1. Definisi Operasional………..………………………………….......... 59
4.1. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD
Banyumas……………………………………………………........... 69
4.2. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Usia……………........... 70
4.3. Distribusi jumlah responden berdasarkan penyakitnya…………….. 71
4.4. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada
anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas sebelum
diberikan terapi……………………………………………………... 72
4.5. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada
anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas setelah
diberikan terapi………………………………………….................. 73
4.6. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok
terapi 30 menit dan kelompok terapi 45 menit sebelum dilakukan
pemberian terapi musik klasik Mozart……………………………... 76
4.7. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan
setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok
terapi 30 menit (n=15)………………………………………............ 78
4.8. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan
sesudah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok
terapi 45 menit (n=15)……………………………………………… 79
4.9. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok
terapi 30 menit dan kelompok terapi 45 menit sesudah dilakukan
pemberian terapi musik klasik Mozart…………………………....... 80
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Kerangka teori...... …………..………………………………..……
2.2 Kerangka Konsep…………………………………………………..
51
52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden
Lampiran 3. Lembar Data Demografi Responden
Lampiran 4. McMurtry Anxiety Scale
Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED
Untuk Direktur RSUD Banyumas
Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED
Untuk Kepala Diklit RSUD Banyumas
Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED
Untuk Kepala BAPPEDA Kabupaten Banyumas
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian Dari Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED
Untuk Kepala Bakesbangpolinmas Kabupaten Banyumas
Lampiran 9. Surat Rekomendasi Penelitian Dari Bakesbangpolinmas Kabupaten
Banyumas
Lampiran 10. Surat Ijin Penelitian Dari BAPPEDA Kabupaten Banyumas
Lampiran 11. Surat Keterangan Penelitian Dari RSUD Banyumas
Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian
Lampiran 13. Blangko Bimbingan
Lampiran 14. Rekap Hasil Penelitian
DAFTAR SINGKATAN
ACTH : Ardenal Corticotropin Hormon
BOR : Bed Occupancy Rate
DF : Dengue Fever
DSM-IV : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
4th Edition
DSS : Dengue Syock Syndrom
F : Febris
F, SE : Febris dengan suspek epilepsi
GABA : Aminobutirik-gamma neuroregulator
GNA : Glomerulo Nefritis Akut
HRS-A : Hamilton Rating Scale for Anxiety
KD : Kejang Demam
PJB ; Penyakit Jantung Bawaan
RCMAS : Revised Children’s Manifest Anxiety Scale
SCAS : Spence Children’s Anxiety Scale
SCAS Preschool : Spence Children’s Anxiety Scale Preschool
SN : Sindrom Nefrotiis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa kanak-kanak dalam disiplin ilmu psikologi merupakan rentang yang
cukup panjang yaitu antara usia 2 tahun sampai dengan 11 atau 12 tahun. Dengan
mempertimbangkan karakteristik dan tugas perkembangan yang berbeda, masa
anak terbagi menjadi dua periode yaitu periode anak awal dan anak akhir. Periode
anak awal berkisar dari usia dua sampai dengan enam tahun (2-6 tahun) dan
periode anak akhir dari usia enam sampai dengan tibanya masa kematangan secara
seksual, yaitu masa pubertas. Pengklasifikasian anak awal dan anak akhir
mengacu pula pada usia dimana anak awal merupakan usia prasekolah dan anak
akhir merupakan usia sekolah dasar (Maslihah, 2006).
Anak usia prasekolah dan usia sekolah rentan terkena penyakit, sehingga
banyak anak pada usia tersebut yang harus dirawat di rumah sakit dan
menyebabkan populasi anak yang dirawat di rumah sakit mengalami peningkatan
yang sangat dramatis (Wong , 2009). Di Indonesia 30% dari 180 anak antara 3
sampai 12 tahun mempunyai pengalaman dengan rumah sakit (Smetz cit Luthfi,
2007). Rata-rata anak mendapat perawatan selama enam hari. Selain
membutuhkan perawatan yang spesial dibanding pasien lain, anak sakit juga
mempunyai keistimewaan dan karakteristik tersendiri karena anak-anak bukanlah
miniatur dari orang dewasa atau dewasa kecil. Dan waktu yang dibutuhkan untuk
merawat penderita anak-anak 20-45% lebih banyak daripada waktu untuk
merawat orang dewasa (Aidar, 2011).
Umumnya anak yang sudah agak besar jika dirawat di rumah sakit akan
timbul rasa takut baik pada dokter ataupun perawat, apalagi jika anak telah
mempunyai pengalamanan mendapatkan imunisasi. Dalam bayangannya, perawat
atau dokter akan menyakiti dengan cara menyuntik. Selain itu anak akan merasa
terganggu hubungannya dengan orang tua atau saudaranya. Lingkungan di rumah
tentu berbeda bentuk dan suasananya dengan alat-alat yang ada di ruang
perawatan. Reaksi pertama selain ketakutan juga pasien kurang nafsu makan
bahkan anak yang masih kecil menangis, tidak mau minum susu atau makan
makanan yang diberikan (Ngastiyah, 2005).
Reaksi tersebut terjadi karena perawatan anak di rumah sakit merupakan
pengalaman yang penuh dengan stres, baik bagi anak maupun orang tua.
Lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stres dan kecemasan
pada anak. Pada anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit akan muncul
tantangan-tantangan yang harus dihadapinya seperti mengatasi suatu perpisahan,
penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya, penyesuaian dengan banyak
orang yang mengurusinya, dan kerapkali harus berhubungan dan bergaul dengan
anak-anak yang sakit serta pengalaman mengikuti terapi yang menyakitkan
(Supartini, 2004).
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak
pada anak. Jika seseorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan
mudah mengalami krisis karena : (1) Anak mengalami stres akibat perubahan
terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari,
dan (2) Anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk
mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Reaksi anak
akan mengatasi krisis tersebut dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia,
pengalaman sebelumnya terhadap proses akibat sakit dan dirawat, sistem
dukungan (support system) yang tersedia, serta ketrampilan koping dalam
menangani stres (Nursalam, 2005).
Seorang anak bila menghadapi lingkungan yang baru dikenal akan
mengalami perasaan takut dan cemas apalagi bila harus menjalani rawat inap atau
hospitalisasi (Aidar, 2011). Hospitalisasi merupakan suatu proses oleh karena
suatu alasan yang terencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di
rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah. Anak yang sakit dan harus dirawat dirumah sakit akan mengalami masa
sulit karena tidak dapat melakukan kebiasaan seperti biasanya. Lingkungan dan
orang-orang asing, perawatan dan berbagai prosedur yang dijalani oleh anak
merupakan sumber utama stresor, kecewa dan cemas, terutama untuk anak yang
pertama kali dirawat dirumah sakit (Elfira, 2011).
Hospitalisasi bagi anak dan keluarga adalah suatu pengalaman yang
mengancam dan stresor, keduanya dapat menimbulkan krisis bagi anak dan
keluarga. Umumnya orangtua yang anaknya mengalami hospitalisasi akan
bersikap penolakan, ketidakpercayaan akan penyakit anaknya, marah, dan rasa
bersalah karena tidak mampu merawat anaknya, rasa takut, cemas, frustasi, dan
depresi. Reaksi terhadap penyakit atau masalah diri yang dialami anak seperti
perpisahan, tidak mengenal lingkungan atau lingkungan yang asing, kehilangan
kontrol, menarik diri, serta lebih peka dan pasif seperti menolak makan (Hidayat,
2005). Tidaklah mengejutkan bila masuk rumah sakit dikaitkan dengan
kecemasan dan ketakutan. Bukan hanya pada orang dewasa, pada anak-anak pun
mereka mempunyai rasa takut terhadap penyakit yang pada akhirnya berhubungan
dengan ketakutan dan kecemasan akan rumah sakit. Bahkan untuk anak yang
masih kecil kecemasan dan kegelisahan orang tua dapat dengan mudah
mempengaruhinya (Aidar, 2011).
Kecemasan merupakan suatu keadaan perasaan kepribadian, rasa gelisah,
ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual
yang tidak diketahui atau dikenal (Laraia & Stuart, 2007). Kecemasan merupakan
suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang
mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi
ancaman, untuk mengatasi kecemasan dapat diberikan penatalaksanaan
psikoterapi, salah satu bentuk dari psikoterapi adalah terapi musik (Kaplan &
Sadock, 2002).
Musik digunakan sebagai salah satu terapi pegobatan untuk menurunkan
kecemasan terutama pada pasien dalam kondisi kritis. Implementasi dari terapi
musik dapat mengurangi kecemasan yang akhirnya berkaitan dengan proses
pemulihan yang lebih cepat. Musik yang memiliki tempo lambat dan
menenangkan bisa menjadi terapi yang dapat diartikan sebagai pengobatan. Musik
memiliki aspek terapeutik, sehingga musik banyak digunakan untuk
penyembuhan, menenangkan, dan memperbaiki kondisi fisik dan fisiologis pasien
maupun tenaga kesehatan, karena berdasarkan penelitian ditemukan bahwa saraf
penerus musik dan saraf penerus rasa sakit adalah sama, sehingga para dokter
menggunakan musik sebagai terapi (Musbikin, 2009).
Studi pendahuluan dilakukan oleh peneliti melalui observasi pada pasien
anak di ruang Kanthil RSUD Banyumas, buku registrasi pasien masuk dan
wawancara dengan perawat yang bertugas di ruangan tersebut. Berdasarkan data
yang diperoleh melalui buku registrasi pasien masuk didapatkan data bahwa
jumlah pasien anak pada bulan Januari-Mei 2012 berjumlah 541 anak, sedangkan
pada bulan Mei 2012 pasien anak di ruang Kanthil berjumlah 133 anak, dengan
jumlah 5 penyakit teratas adalah penyakit diare cair akut (37 pasien anak), kejang
demam (15 pasien anak), febris (12 pasien anak), broncho phneumoni (10 pasien
anak) dan abdomen pain (5 pasien anak).
Selama bulan Januari–Desember 2011 rata-rata Bed Occupancy Rate
(BOR) di ruang Kanthil adalah 58,3% dengan demikian apabila dibandingkan
dengan standar nasional 75-85% maka pemakaian tempat tidur yang tersedia di
ruang Kanthil pada bulan Januari–Desember 2011 belum efisien. Sedangkan rata-
rata Bed Occupancy Rate (BOR) untuk 3 bulan terakhir (bulan April–Juni 2012)
adalah 56,08% dengan jumlah rata-rata pasien perhari adalah 18 orang. Ketika
dilakukan observasi terdapat 12 pasien anak yang sedang dirawat di ruang
tersebut, 9 diantaranya tidak kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang
diberikan dan mengalami kecemasan yang ditandai dengan anak mengeluarkan
respon menangis jika ada perawat datang, meronta-ronta, memeluk ibunya dan
sikap acuh terhadap orang lain.
Hasil wawancara dengan perawat, perawat di ruang Kanthil mengatakan
sebagian besar anak tidak kooperatif dan mengalami kecemasan terhadap tindakan
keperawatan yang diberikan dan perawat lebih banyak bekerja sama dengan orang
tua saat melakukan tindakan keperawatan, dan mahasiswa profesi yang bertugas
di ruang Kanthil mengatakan bahwa banyak pasien anak yang menangis ketika
didekati oleh perawat. Berdasarkan kasus di atas perlu dilakukan tindakan untuk
mengurangi kecemasan pada pasien anak tersebut, salah satu tindakan yang dapat
dilakukan untuk mengurangi tingkat kecemasan pada anak adalah dengan
diberikannya terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi. Terapi non-
farmakologi diantaranya adalah terapi musik klasik, sedangkan di RSUD
Banyumas belum menyediakan terapi musik dalam pemberian asuhan
keperawatan pada anak untuk mengurangi tingkat kecemasan anak saat dilakukan
hospitalisasi.
B. Perumusan Masalah
Hospitalisasi dan lingkungan rumah sakit merupakan penyebab stress dan
kecemasan pada anak (Supartini, 2004). Dampak yang dapat ditimbulkan akibat
kecemasan karena hospitalisasi adalah anak akan merasa ketakutan, menangis,
tidak mau makan dan minum (Ngastiyah, 2005). Kurangnya pengetahuan tentang
rutinitas dan pengobatan di rumah sakit seperti rutinitas pemeriksaan tanda-tanda
vital menjadi salah satu hal yang membuat anak takut dan sulit beradaptasi
sehingga menyebabkan bertambahnya kecemasan pada anak (Rudolf, 2004).
Beberapa cara relaksasi bisa digunakan untuk menurunkan kadar hormon
penyebab stres dan kecemasan, misalnya dengan meditasi ataupun dengan
terapimusik. Tetapi cara paling efektif untuk menurunkan kadar hormon stres
adalah dengan mendengarkan musik klasik (Musbikin, 2009).
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
pada penelitian ini yaitu “Adakah perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi
musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami
hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Pengaruh Durasi
Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Pada
Anak Usia 5 sampai 10 Tahun Yang Mengalami Hospitalisasi di RSUD
Banyumas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik anak yang mengalami hospitalisasi di
ruang Kanthil RSUD Banyumas (usia, jenis kelamin dan jenis penyakit).
b. Mengetahui tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia 5
sampai 10 tahun saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di ruang
Kanthil RSUD Banyumas sebelum diberikan terapi musik klasik Mozart.
c. Mengetahui tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada anak usia 5
sampai 10 tahun saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda di ruang Kanthil
RSUD Banyumas sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart.
d. Mengetahui perbedaan skor penurunan tingkat kecemasan akibat
hospitalisasi pada kelompok perlakuan 30 menit dan kelompok 45 menit
saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di ruang Kanthil RSUD
Banyumas sebelum dan sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart.
D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penulisan
yang hendak dicapai, maka manfaat yang dapat diharapakan dari penelitian ini
adalah :
1. Bagi institusi Rumah Sakit
Dapat diterapkan sebagai asuhan keperawatan dalam pemberian terapi musik
klasik Mozart untuk menurunkan tingkat kecemasan pada pasien anak selama
hospitalisasi, dan dapat diterapkan sebagai asuhan keperawatan dalam
kegiatan perawatan sehari-hari.
2. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu literatur di
keperawatan anak dan menjadi tambahan informasi yang berguna bagi para
pembaca untuk meningkatkan mutu pendidikan keperawatan anak, khususnya
dalam penanganan kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi.
3. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam memberikan asuhan
keperawatan berupa pemberian terapi musik klasik Mozart untuk menurunkan
kecemasan akibat hospitalisasi pada anak dan memberikan pengetahuan
bahwa terapi musik klasik Mozart perlu dilaksanakan untuk mendukung
proses penyembuhan.
4. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai data untuk penelitian selanjutnya, dan
menambah literatur tentang terapi musik klasik Mozart terhadap kecemasan
akibat hospitalisasi pada anak di ruang perawatan anak.
5. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan baru dalam memberikan asuhan keperawatan untuk
menurunkan tingkat kecemasan pasien anak saat hospitalisasi dengan cara
pemberian terapi musik klasik.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pustaka, beberapa riset penelitian yang sejenis
yaitu oleh Rahayu (2011) dengan judul Pengaruh Mendongeng Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia (6-8 tahun)
Sekolah di Ruang Aster RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian One Group Pra-Post Test Design,
dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling dan uji analisis yang
digunakan pada penelitian ini adalah adalah analisis statistik uji Wilcoxon. Hasil
yang diperoleh sebelum dilakukan perlakuan mendongeng sebanyak 63,2%
mengalami kecemasan berat dan 36,8% mengalami kecemasan sedang.
Sedangkan setelah dilakukan perlakuan mendongeng sebanyak 5,3 % mengalami
kecemasan ringan, 89,5% mengalami kecemasan sedang dan 5,3% tetap
mengalami kecemasan berat. Hasil uji Wilcoxon, dengan z hitung sebesar 3,728
dan Aasym sig nya sebesar 0,000 (nilai p). Hal ini menunjukan bahwa nilai p
value<0,05, yang berarti ada pengaruh yang sangat signifikan antara sebelum dan
sesudah anak diberikan terapi mendongeng. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan stres hospitalisasi pada pasien anak
usia 6-8 tahun setelah dilakukan terapi mendongeng. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada persamaan uji
statistiknya yaitu uji Wilcoxon, variabel terikatnya yaitu tingkat kecemasan anak
akibat hospitalisasi dan perbedaannya terletak pada variabel bebasnya.
Penelitian Farida (2010) dengan judul Efektifitas Terapi Musik Terhadap
Penurunan Nyeri Post Operasi Pada Anak Usia Sekolah Di RSUP Haji Adam
Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen, dengan
jumlah sampel 14 orang yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok intervensi
dan kelompok kontrol, dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data
dapat dikumpulkan dengan menggunakan Face Pain Rating Scale. Data yang
sudah dikumpulkan di analisa dengan uji t (t-test) dengan tingkat kemaknaan 5%
(α= 0,05). Pada kelompok kontrol, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh
terapi musik terhadap intensitas nyeri paska operasi tidak bermakna yaitu 0,200
(p>0,05). Sedangkan pada kelompok intervensi terapi musik mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap intensitas nyeri yaitu 0,000 (p<0,05). Sehingga
dapat diketahui bahwa terapi musik dapat memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap intensitas nyeri paska operasi pada anak. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada persamaan teknik
pengambilan sampel yaitu purposive sampling, variabel bebasnya yaitu terapi
musik dan perbedaannya terletak pada variabel terikatnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Terapi Musik
a. Pengertian Musik
Menurut Campbell (2001) musik merupakan suatu bentuk seni
yang menyangkut organisasi atau kombinasi dari suara atau bunyi dan
keadaan diam yang dapat menggambarkan keindahan dan ekspresi dari
emosi dalam alur waktu dan ruang tertentu. Musik dapat menyebabkan
terjadinya kepuasan estetis melalui indera pendengaran dan memiliki
hubungan waktu untuk menghasilkan komposisi yang memiliki kesatuan
dan kesinambungan. Musik didefinisikan sebagai suara dan diam yang
terorganisir melalui waktu yang mengalir (dalam ruang), beberapa
kesimpulan sementara dan pertanyaan yang muncul adalah musik berasal
dari suara, suara berasal dari vibrasi dan vibrasi adalah esensi dari segala
sesuatu (Eagle cit Amsila, 2011).
Musik adalah bunyi atau nada yang menyenangkan untuk didengar.
Musik dapat keras, ribut, dan lembut yang membuat orang senang
mendengarnya. Orang cenderung untuk mengatakan indah terhadap musik
yang disukainya. Musik ialah bunyi yang diterima oleh individu dan
berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang
(Willougnby 1996 cit Farida 2010).
Melalui musik juga seseorang dapat berusaha untuk menemukan
harmoni internal (inner harmony). Jadi, musik adalah alat yang bermanfaat
bagi seseorang untuk menemukan harmoni di dalam dirinya. Hal ini
dirasakan perlu, karena dengan adanya harmoni di dalam diri seseorang, ia
akan lebih mudah mengatasi stres, ketegangan, rasa sakit, dan berbagai
gangguan atau gejolak emosi negatif yang dialaminya. Selain itu musik
melalui suaranya dapat mengubah frekuensi yang tidak harmonis tersebut
kembali ke vibrasi yang normal, sehat, dan dengan demikian memulihkan
kembali keadaan yang normal (Merrit, 2003).
b. Musik Klasik
Musik klasik merupakan sebuah musik yang dibuat dan
ditampilkan oleh orang yang terlatih secara profesional melalui pendidikan
musik. Musik klasik juga merupakan suatu tradisi dalam menulis musik,
yaitu ditulis dalam bentuk notasi musik dan dimainkan sesuai dengan
notasi yang ditulis. Musik klasik adalah musik yang komposisinya lahir
dari budaya Eropa dan digolongkan melalui periodisasi tertentu (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2008). Sebuah penampilan musik klasik memiliki
atmosfir yang serius. Penonton diharapkan untuk diam dan tidak banyak
bergerak agar tiap nada dalam komposisi yang dimainkan dapat terdengar
dengan jelas. Penampil musik klasik diharuskan untuk berbusana formal
dan terlibat secara langsung dengan penonton. Pada musik klasik,
improvisasi dilakukan dalam bentuk interpretasi. Improvisasi sering
dilakukan pada periode baraque, terutama oleh J.S Bach. Pemain dapat
mengimprovisasi chord maupun melodi (Kamien, 2004).
c. Pengertian Terapi Musik
Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan
musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki
kondisi fisik, emosi, kognitif, dan sosial bagi individu dari berbagai
kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah materi yang mampu
mempengaruhi kondisi seseorang baik fisik maupun mental. Musik
memberikan rangsangan pertumbuhan fungsi-fungsi otak seperti fungsi
ingatan, belajar, mendengar, berbicara, serta analisi intelek dan fungsi
kesadaran (Satiadarma, 2004).
d. Terapi Musik Klasik Mozart
Musik klasik Mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun
yang lalu. Diciptakan oleh Wolgang Amadeus Mozart. Musik klasik
Mozart memberikan ketenangan, memperbaiki persepsi spasial dan
memungkinkan pasien untuk berkomunikasi baik dengan hati maupun
pikiran. Musik klasik Mozart juga memiliki irama, melodi, dan frekuensi
tinggi yang dapat merangsang dan menguatkan wilayah kreatif dan
motivasi di otak. Musik klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki
komposer lain. Musik klasik Mozart memiliki kekuatan yang
membebaskan, mengobati dan dan menyembuhkan (Musbikin, 2009).
e. Cara Kerja Terapi Musik
Musik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan. Salah satu
alasannya karena musik menghasilkan rangsangan ritmis yang kemudian
ditangkap melalui organ pendengaran dan diolah di dalam sistem saraf
tubuh dan kelenjar pada otak yang selanjutnya mereorganisasi interpretasi
bunyi ke dalam ritme internal pendengarnya. Ritme internal ini
mempengaruhi metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya
berlangsung dengan lebih baik. Dengan metabolisme yang lebih baik,
tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan yang lebih baik, dan
dengan sistem kekebalan yang lebih baik tubuh menjadi lebih tangguh
terhadap kemungkinan serangan penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian
besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem
neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis
dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007).
Hipotalamus juga dinamakan pusat stres otak karena fungsi
gandanya dalam keadaan darurat. Fungsi pertamanya adalah mengaktifkan
cabang simpatis dan sistem saraf otonom. Hipotalamus menghantarkan
impuls saraf ke nukleus-nukleus di batang otak yang mengendalikan
fungsi sistem saraf otonom. Cabang simpatis dari sistem saraf otonom
bereaksi langsung pada otot polos dan organ internal untuk menghasilkan
beberapa perubahan tubuh seperti peningkatan denyut jantung dan
peningkatan tekanan darah. Sistem simpatis juga menstimulasi medula
adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin
ke dalam pembuluh darah, sehingga berdampak meningkatkan denyut
jantung dan tekanan darah, dan norepinefrin secara tidak langsung melalui
aksinya pada kelenjar hipofisis melepaskan gula dari hati. Ardenal
Corticotropin Hormon (ACTH) menstimulasi lapisan luar kelenjar adrenal
(korteks adrenal) yang menyebabkan pelepasan hormon (salah satu yang
utama adalah kortisol) yang meregulasi kadar glukosa dan mineral tertentu
(Atkinson cit Primadita, 2011).
Salah satu manfaat musik sebagai terapi adalah self-mastery yaitu
kemampuan untuk mengendalikan diri. Musik mengandung vibrasi energi,
vibrasi ini juga mengaktifkan sel-sel di dalam diri seseorang, sehingga
dengan aktifnya sel-sel tersebut sistem kekebalan tubuh seseorang lebih
berpeluang untuk aktif dan meningkat fungsinya. Selain itu, musik dapat
meningkatkan serotonin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya
dengan menurunkan hormon ACTH (Satiadarma, 2002). Pemberian
intervensi terapi musik klasik membuat seseorang menjadi rileks,
menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan
sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stres, sehingga dapat
menyebabkan penurunan kecemasan (Musbikin, 2009). Hal tersebut terjadi
karena adanya penurunan Ardenal Corticotropin Hormon (ACTH) yang
merupakan hormon stres (Djohan, 2005).
f. Tata Cara Pemberian Terapi Musik
Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam
pemberian terapi musik. Seringkali durasi yang diberikan dalam
pemberian terapi musik adalah selama 20-35 menit, tetapi untuk masalah
kesehatan yang lebih spesifik terapi musik diberikan dengan durasi 30
sampai 45 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien berbaring
dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit lebih lambat,
50 - 70 ketukan/menit, menggunakan irama yang tenang (Schou, 2007).
2. Kecemasan
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak
didukung oleh situasi. Kecemasan merupakan alat peringatan internal yang
memberikan tanda bahaya kepada individu (Videbeck, 2008). Cemas
merupakan suatu keadaan yang wajar, karena seseorang pasti
menginginkan segala sesuatu dalam kehidupannya dapat berjalan dengan
lancar dan terhindar dari segala marabahaya atau kegagalan serta sesuai
dengan harapannya. Banyak hal yang harus dicemaskan, salah satunya
adalah kesehatan, yaitu pada saat dirawat di rumah sakit (Nevid, 2005).
Gangguan kecemasan dapat ditandai hanya dengan rasa cemas,
atau juga dapat memperlihatkan seperti fobia atau obsesif dan kecemasan
muncul bila gejala utama tersebut dilawan. Kecemasan diperantarai oleh
suatu sistem kompleks yang melibatkan (sedikitnya) sistem limbik
(amigdala, hipokampus), thalamus, korteks frontal secara anatomis dan
norepinefrin (lokus seruleus), serotonin dan aminobutirik-gamma
neuroregulator (GABA), reseptor GABA berpasangan dengan reseptor
benzodiazepin pada sistem neurokimia. Hingga saat ini belum diketahui
jelas bagaimana kerja bagian-bagian tersebut dalam menimbulkan
kecemasan (Tomb, 2004).
Kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang
spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas berbeda dengan
rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang
berbahaya. Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut
(Stuart, 2001). Kecemasan memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan
aspek membahayakan, yang bergantung pada tingkat kecemasan, lama
kecemasan dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping
terhadap kecemasan. Kecemasan dapat dilihat dalam rentang ringan,
sedang, berat sampai panik. Setiap tingkat menyebabkan perubahan
fisiologis dan emosional pada individu (Videbeck, 2008).
Pada anak usia sekolah ketakutan dan kecemasan dapat
ditunjukkan secara langsung melalui tingkah laku, contohnya watak
pemarah. Sumber ketakutan dan kecemasan pada anak sekolah tahun
pertama dapat berupa bayangan atau ancaman yang tidak berbentuk,
misalnya kegelapan. Kecemasan anak usia sekolah lebih terpusat pada hal
yang nyata, misalnya cedera tubuh atau bahaya alam. Selama masa
sekolah akhir sampai remaja, prestasi di sekolah dan hubungan sosial
menjadi sumber kekhawatiran utama (Aidar, 2011).
b. Tanda dan Gejala Kecemasan
Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan
oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang
dirasakan oleh idividu tersebut (Hawari, 2004). Keluhan yang sering
dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum
menurut Hawari (2004), antara lain adalah sebagai berikut: (1) Gejala
psikologis : pernyataan cemas, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri,
mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, dan mudah
terkejut; (2) Gangguan pola tidur dan mimpi-mimpi yang menegangkan,
(3) Gangguan konsentrasi dan daya ingat; dan (4) Gejala somatik : rasa
sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan terasa dingin dan
lembab, dan lain sebagainya.
Menurut Stuart (2001) pada orang yang cemas akan muncul
beberapa respon yang meliputi : (1) Respon fisiologis diantaranya: (a)
Kardiovaskular : palpitasi, tekanan darah meningkat, tekanan darah
menurun, dan denyut nadi menurun; (b) Pernafasan : nafas cepat dan
pendek, nafas dangkal dan terengah-engah; (c) Gastrointestinal : nafsu
makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual dan diare; (d)
Neuromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing; (e) Traktus
urinarius : sering berkemih; (f) Kulit : keringat dingin, gatal, dan wajah
kemerahan; (2) Respon perilaku: respon perilaku yang muncul adalah
gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi terkejut, gugup, bicara cepat,
menghindar, kurang kooordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal
dan melarikan diri dari masalah; (3) Respon kognitif: respon kognitif yang
muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam memberikan
penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu
berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan
persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada
gambaran visual dan takut cedera atau kematian; dan (4) Respon afektif:
respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu, tidak sabar,
gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah dan
malu.
c. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Stuart dan Sundeen
(1998) adalah:
1) Usia atau tingkatan perkembangan
Semakin tua usia seseorang, tingkat kecemasan dan kekuatan
seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap
masalah yang dihadapi.
2) Jenis kelamin
Menurut jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi kecemasannya
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dibuktikan dari hasil
pemeriksaan asam lemak bebas menunjukan nilai yang tinggi pada
laki-laki dibandingkan dengan wanita.
3) Pengalaman individu
Pengalaman individu sangat mempengaruhi respon kecemasan karena
pengalaman dapat dijadikan suatu pembelajaran dalam menghadapi
suatu stressor atau masalah. Jika respon kecemasan yang semakin
berkurang bila dibandingkan dengan seseorang yang baru pertama kali
menghadapi masalah tersebut.
d. Beberapa Teori Tentang Kecemasan
Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor
etiologi dalam pengembangan kecemasan. Menurut Stuart & Laraia
(2007) teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
1) Teori Psikoanalitik
Pandangan psikoanalitik menyatakan kecemasan adalah konflik
emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan
superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang,
sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan
dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi
menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi
kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
2) Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan
takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik.
Individu dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan
kecemasan yang berat.
3) Teori Perilaku
Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi
yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor tersebut bekerja menghambat
usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan kenyamanan.
4) Teori Keluarga
Teori keluarga menunjukkan bahwa kecemasan merupakan hal yang
biasa ditemui dalam suatu keluarga. Kecemasan ini terkait dengan
tugas perkembangan individu dalam keluarga. Anak yang akan dirawat
di rumah sakit merasa tugas perkembangannya dalam keluarga akan
terganggu sehingga dapat menimbulkan kecemasan.
5) Teori Biologis
Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus
untuk benzodiazepin. Reseptor ini mungkin membantu mengatur
kecemasan. Penghambat asam (GABA) juga mungkin memainkan
peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan
kecemasan. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum
seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap
kecemasan. Kecemasan mungkin disertai gangguan fisik dan
selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor.
e. Faktor Presipitasi Kecemasan
Stuart (2001) mengatakan bahwa faktor presipitasi/stresor pencetus
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :
1) Ancaman Terhadap Integritas Fisik
Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup
sehari-hari. Kejadian ini menyebabkan kecemasan dimana timbul
akibat kekhawatiran terhadap tindakan pemasangan infus yang
mempengaruhi integritas tubuh secara keseluruhan. Pada anak yang
dirawat di rumah sakit timbul kecemasan karena ketidakmampuan
fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-
hari, seperti bermain, belajar bagi anak usia sekolah, dan lain
sebagainya.
2) Ancaman Terhadap Rasa Aman
Ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang dapat menyebabkan
terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap sistem diri seseorang
yang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial
seseorang. Ancaman ini dapat terjadi pada anak yang akan dilakukan
tindakan pemasangan infus dan bisa juga terjadi pada orang tua.
Ancaman yang terjadi pada orang tua dapat disebabkan karena orang
tua merasa bahwa anak mereka akan menerima pengobatan yang
membuat anak bertambah sakit atau nyeri.
f. Tingkat Kecemasan
Peplau (1963) dikutip oleh Stuart (2001), mengidentifikasi
kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap
tingkatan. Setiap tindakan memiliki karakteristik lahan persepsi yang
berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menerima informasi/
pengetahuan mengenai kondisi yang ada dari dalam dirinya maupun dari
lingkungannya.
Tingkat kecemasan menurut Peplau (1963) yang dikutip oleh
Stuart (2001) itu dapat dibagi menjadi empat meliputi :
1) Cemas Ringan
Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan
dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan
seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya,
seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam lebih kuat.
Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreativitas.
2) Cemas Sedang
Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
yang penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu
yang lebih terarah. Kecemasan ini mempersempit lapang presepsi
individu, seperti penglihatan, pendengaran, dan gerakan menggenggam
berkurang.
3) Cemas Berat
Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik
dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan
untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak
pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
4) Panik
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian
terpecah dari proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak
mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan hal itu
dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan
kehilangan pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi
kepribadian. Individu yang mengalami panik juga tidak dapat
berkomunikasi secara efektif. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan
dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus menerus dalam waktu
yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.
g. Rentang Respon Kecemasan
Rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon
adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah
antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas
yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah
panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas
yang dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik, perilaku maupun
kognitif (Stuart, 2001).
Seseorang berespon adaptif terhadap kecemasannya maka tingkat
kecemasan yang dialaminya ringan, semakin maladaptif respon seseorang
terhadap kecemasan maka semakin berat pula tingkat kecemasan yang
dialaminya, seperti gambar dibawah ini:
Respon adaptif Respon maladaptif
Ringan Sedang Berat Berat sekali
h. Gangguan Kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV)
DSM-IV menuliskan gangguan kecemasan berikut ini:
1) Gangguan panik dan agorafobia
Gangguan panik adalah episode ketakutan yang sangat sering terjadi
yang memiliki banyak tanda-tanda fisik dan gejala. Agoraphobia
adalah ketakutan yang tidak masuk akal yaitu takut pada orang
banyak. Ketakutan agorafobia biasanya melibatkan karakteristik
kelompok situasi yang termasuk berada di luar rumah sendirian, berada
di antara orang banyak atau berdiri dalam antrian, berada di jembatan,
dan perjalanan di bus, kereta, mobil, atau pesawat (Chandler, 2008).
2) Fobia sosial
Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan
penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas atau situasi yang
ditakuti. Fobia sosial disebut juga gangguan kecemasan sosial, ditandai
dengan ketakutan yang berlebihan tehadap penghinaan dan rasa
memalukan di dalam berbagai lingkungan sosial. Tipe umum fobia
sosial seringkali keadaan yang kronis dan menimbulkan
ketidakberdayaan yang ditandai oleh penghindaran fobik terhadap
sebagian besar situasi sosial (Kaplan & Sadock, 2002).
3) Gangguan obsesif- kompulsif
Obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu.
Kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan, dan
rekuren, seperti menghitung, memeriksa atau menghindari. Obsesi
meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan kompulsi menurunkan
kecemasan seseorang. Tetapi jika seseorang memaksa untuk suatu
kompulsi, kecemasan akan meningkat. Seseorang dengan gangguan
obsesi-kompulsif biasanya menyadari irasionalitas dari obsesi dan
merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik.
Gangguan obsesi-kompulsif dapat merupakan gangguan yang
menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesi dapat menghabiskan
waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas normal
seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya, atau
hubungan dengan teman dan anggota keluarga (Kaplan & Sadock,
2002).
4) Gangguan stress paska traumatik
Rasa takut yang wajar setelah beberapa hal yang benar-benar
mengerikan terjadi pada seseorang di masa lalu terus menyebabkan
kesulitan, meskipun trauma mengerikan telah selesai (Chandler, 2008).
5) Kecemasan pemisahan
Ketakutan yang tidak masuk akal terpisahkan dari orang tua atau
pengasuh. Ini adalah kekhawatiran tentang menjadi jauh dari rumah
atau jauh dari orang tua yang tidak dipengaruhi oleh usia anak, budaya,
dan gaya hidup. Contoh dari kecemasan pemisahan adalah sebagai
berikut: anak yang lebih muda akan mengamuk ketika ibunya mulai
melakukan pekerjaannya atau pada anak yang lebih tua akan mulai
terjadi gejala panik apabila dalam waktu 2 jam ibunya tidak kembali,
dan yang paling umum adalah mimpi bahwa orang tuanya
mendapatkan kecelakaan mobil, rumah terbakar, hilang di mal,
sekolah, toko dan tersesat di perjalanan berkemah. Semua tanda-tanda
serangan panik dapat terjadi ketika orangtua meninggalkan anak.
Biasanya timbul sakit kepala berat, mual, muntah, sesak nafas tepat
sebelum sekolah atau sebelum orang tuanya pergi bekerja (Chandler,
2008).
6) Kecemasan umum
Setiap orang memiliki teman atau tetangga dengan masalah ini. Pada
anak-anak ketakutan tergantung pada tahap perkembangan, tetapi
mereka semua memiliki karakteristik tertentu. Sepanjang hari anak-
anak menemukan sesuatu yang mereka takuti di setiap kesempatan.
Kecemasan dan kekhawatiran yang terkait dengan tiga (atau lebih) dari
enam gejala berikut dengan setidaknya beberapa gejala hadir dalam
beberapa hari dan selama 6 bulan terakhir (catatan: hanya satu item
yang diperlukan pada anak). Gejala tersebut diantaranya: kegelisahan
atau perasaan tegang, mudah lelah, sulit berkonsentrasi/pikiran
kosong, mudah tersinggung, ketegangan otot dan gangguan tidur
(kesulitan untuk tertidur atau tidur tidak memuaskan dan gelisah).
Fokus dari kecemasan dan kekhawatiran tidak berhubungan dengan
beberapa gangguan kejiwaan lainnya. Kecemasan, khawatir atau gejala
fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
penurunan bidang penting sosial, pekerjaan, atau gangguan fungsi.
Kecemasan itu timbul bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu
obat, obat lain atau penyakit medis(Chandler, 2008).
i. Penatalaksanaan Kecemasan
Menurut Kaplan & Sadock (2002) penatalaksanaan yang paling
efektif untuk pasien dengan gangguan kecemasan adalah sebagai berikut:
1) Psikoterapi
Pendekatan psikoterapetik utama untuk gangguan kecemasan adalah
kognitif-perilaku, suportif, dan berorientasi tilikan. Teknik terapi
kognitif-perilaku memliki kemanjuran jangka panjang dan jangka
pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab distorsi
kognitif pasien, dan pendekatan perilaku menjawab keluhan somatik.
Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan perilaku adalah
relaksasi dan biofeedback. Teknik relaksasi yang dapat diberikan
antara lain adalah terapi musik, nafas dalam, dan guidance imagenary.
Psikoterapi berorientasi-tilikan memusatkan untuk mengungkapkan
konflik bawah sadar dan kekuatan ego. Terapi suportif menawarkan
ketentraman dan kenyamanan pada pasien.
2) Farmakoterapi
Dua jenis obat utama yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan
gangguan kecemasan adalah buspirone dan benzodiazepin. Obat lain
yang mungkin berguna adalah obat trisiklik (imipramin), anti
histamine, dan antagonis adrenergik beta (propanol).
j. Akibat Kecemasan
Akibat dari kecemasan adalah timbulnya ketegangan motorik,
hiperaktivitas otonomik, dan kewaspadaan kognitif. Ketegangan motorik
paling sering dimanifestasikan sebagai gemetaran¸ kegelisahan dan nyeri
kepala. Hiperaktivitas seringkali dimanfestasikan oleh sesak nafas,
keringat berlebih, palpitasi, dan berbagai gejala gastrointestinal.
Kewaspadaan kognitif ditandai oleh sifat lekas tersinggung dan mudahnya
pasien dikejutkan (Kaplan & Sadock, 2002).
k. Instrumen Pengukuran Kecemasan Pada Anak
Untuk mengukur tingkat kecemasan anak terdapat beberapa
instrumen pengukuran kecemasan anak, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur
(instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for
Anxiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-
masing kelompok di rinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik
(Hawari, 2004). Menurut Hawari (2004) gejala-gejala yang lebih
spesfik adalah sebagai berikut:
a) Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri
dan mudah tersinggung.
b) Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan
tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.
c) Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada
binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan
orang banyak.
d) Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari,
tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi
buruk dan mimpi yang menakutkan.
e) Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun
dan daya ingat buruk.
f) Perasaan depresi (murung) : hilangnya minat, berkurangnya
kesenangan pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan
perasaan berubah-ubah sepanjang hari.
g) Gejala somatik/fisik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan
otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.
h) Gejala somatik/fisik (sensorik) : tinnitus (telinga berdenging),
penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan
perasaan ditusuk-tusuk.
i) Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) : takikardi
(denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi
mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan dan detak jantung
menghilang/berhenti sekejap.
j) Gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sepit di dada,
rasa tercekik, sering menarik nafas dan nafas pendek/ sesak.
k) Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit,
gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan
terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, BAB
konsistensinya lembek, sukar BAB (konstipasi) dan kehilangan
berat badan.
l) Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) : sering buang air
kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat
haid), darah haid berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid
berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa kali
dalam sebulan, menjadi dingin (frigid, ejakulasi dini, ereksi
melemah, ereksi hilang dan impotensi).
m) Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat,
kepala pusing kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu
berdiri.
n) Tingkah laku/sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar,
kening/dahi berkerut, wajah tegang, otot tegang/mengeras, nafas
pendek dan cepar serta wajah merah.
Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor) antara
0-4, dengan penilaian sebagai berikut :
Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan)
Nilai 1 =gejala ringan
Nilai 2 = gejala sedang
Nilai 3 = gejala berat
Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik
Masing-masing nilai angka (skor) dari ke 14 kelompok gejala tersebut
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui
derajat kecemasan seseorang, yaitu : total nilai (skor) : kurang dari 14
= tidak ada kecemasan, 14-20 = kecemasan ringan, 21-27 = kecemasan
sedang, 28-41= kecemasan berat, 42-56 = kecemasan berat sekali
(Hawari, 2004).
2) Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) adalah instrumen kecemasan
untuk mengukur kecemasan pada anak usia sekolah. Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecemasan
Spence Children's Anxiety Scale (SCAS) yang telah dimodifikasi oleh
Wedyana (2009) dan digunakan sebagai instrument dalam
peneltiannya yang berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap
Tingkat Kecemasan Anak Usia Sekolah Yang Menjalani Rawat Inap di
RSUD. Prof. Dr. Margono. Instrumen ini terdiri dari 32 pertanyaan,
yang memiliki total skor 96. Responden diminta untuk menunjukkan
frekuensi setiap gejala yang terjadi pada empat skala poin mulai dari
tidak pernah (skor 0) sampai poin selalu (skor 3). Hasil kuesioner akan
menjadi kriteria tingkat kecemasan anak: ringan (skor <16), sedang
(skor 17-32), berat (skor 33-48), dan berat sekali/panik (skor >49).
3) Spence Children’s Anxiety Scale (SCAS) preschool adalah instrumen
kecemasan untuk mengukur kecemasan pada anak usia prasekolah.
Skala ini terdiri dari 28 pertanyaan kecemasan, Skala ini dilengkapi
dengan meminta orang tua untuk mengikuti petunjuk pada lembar
instrumen. Jumlah skor maksimal pada skala kecemasan SCAS
Preschool adalah 112. 28 item kecemasan tersebut memberikan
ukuran keseluruhan kecemasan, selain nilai pada enam sub-skala
masing-masing menekankan aspek tertentu dari kecemasan anak, yaitu
kecemasan umum, kecemasan sosial, gangguan obsesif kompulsif,
ketakutan cedera fisik dan kecemasan pemisahan (Spence, 2011). Hasil
total skor kuesioner akan menjadi kriteria tingkat kecemasan anak,
dengan rentang skor kecemasan sebagai berikut: ringan (skor < 28),
sedang (skor 28-56), berat (skor 57-84), dan sangat berat/panik (skor
>85). Jumlah pertanyaan dalam instrumen ini terdiri dari 6 sub-skala
kecemasan dan pada item pertanyaan sebagai berikut:
a) Kecemasan umum (1, 4, 8, 14 dan 28)
b) Kecemasan sosial (2, 5, 11, 15, 19 dan 23)
c) Gangguan obsesif kompulsif (3, 9, 18, 21 dan 27)
d) Ketakutan cedera fisik (7, 10, 13, 17, 20, 24 dan 26)
e) Kecemasan pemisahan (6, 12, 16, 22 dan 25)
4) Faces anxiety scale for children dikembangkan oleh McMurtry
(2010) untuk mengukur kecemasan/rasa takut pada pasien anak di unit
perawatan intensif. Anak-anak sering diminta untuk melaporkan
kecemasan / ketakutan sebelum dan selama prosedur medis yang
menyakitkan, sebelumnya dilakukan penyelidikan awal dari sifat
psikometri dari skala kecemasan wajah. Faces anxiety scale for
children menunjukkan berbagai tingkat kecemasan. Skor 0
memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama sekali, skor 1
(menggambarkan lebih sedikit kecemasan), skor 2 (menggambarkan
sedikit kecemasan), skor 3 (menggambarkan kecemasan) dan skor 4
(menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada anak).
3. Hospitalisasi
a. Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi adalah proses karena suatu alasan yang terencana atau
darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit. Menjalani terapi
dan perawatan sampai dipulangkan kembali ke rumah. Di rawat di rumah
sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas,
bagi anak. Dampak hospitalisasi yang dialami bagi anak dan keluarga akan
menimbulkan stres dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stres
tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit
dan pengobatan (Supartini, 2004).
Hospitalisasi adalah kondisi yang dapat menyebabkan krisis pada
anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak
berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru bagi anak yaitu
rumah sakit, sehingga kondisi tersebut dapat menjadi faktor penyebab stres
baik terhadap anak maupun keluarga (Wong, 2009).
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi
individu karena faktor penyebab stres yang dihadapi dapat menimbulkan
perasaan tidak aman, seperti : lingkungan asing, berpisah dengan orang
yang berarti, kurang informasi, kehilangan kebebasan dan kemandirian,
pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan perilaku
petugas rumah sakit. Semakin sering berhubungan dengan rumah sakit,
maka bentuk kecemasan semakin kecil atau sebaliknya (Elfira, 2011).
b. Dampak Hospitalisasi
Anak akan cenderung lebih manja, minta perhatian lebih pada
orang tua serta bersikap cuek pada perawat yang akan merawatnya karena
anak belum dapat beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit. Stres yang
umumnya terjadi berhubungan dengan hospitalisasi adalah takut akan
unfamiliarity, lingkungan rumah sakit yang menakutkan, rutinitas rumah
sakit, prosedur yang menyakitkan, dan takut akan kematian. Reaksi
emosional pada anak sering ditunjukkan dengan menangis, marah dan
berduka sebagai bentuk yang sehat dalam mengatasi stres karena
hospitalisasi (Elfira, 2011).
Anak sering menganggap sakit merupakan hukuman untuk
perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan
tentang dunia di sekitar mereka. Anak juga mempunyai kesulitan dalam
pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan temannya,
mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga membuat mereka harus pergi
ke rumah sakit dan harus mengalami hospitalisasi. Reaksi anak tentang
hukuman yang diterimanya dapat bersifat pasif, kooperatif, membantu atau
anak mencoba menghindar dari orang tua, dan anak menjadi marah.
Sehingga anak kehilangan fungsi dan kontrol sehubungan terganggunya
fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak,
sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai dapat terhambat. Hal ini
membuat anak menjadi regresi; ngompol lagi, suka menghisap jari dan
menolak untuk makan. Anak cenderung mengalami pengekangan yang
dapat menimbulkan kecemasan pada anak sehingga anak merasa tidak
nyaman akan perubahan yang terjadi pada dirinya (Elfira, 2011).
c. Kecemasan Hospitalisasi
Umumnya reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena
perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Pada anak yang
mengalami perawatan di rumah sakit biasanya timbul reaksi, antara lain:
menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan, dan tidak kooperatif
terhadap petugas kesehatan. Sehingga perawatan di rumah sakit menjadi
kehilangan kontrol dan pembatasan aktivitas. Seringkali hospitalisasi
dipersepsikan oleh anak sebagai hukuman, sehingga ada perasaan malu,
takut sehingga menimbulkan reaksi agresif, marah, berontak, dan tidak
mau bekerja sama dengan perawat (Rahayu, 2011).
d. Reaksi Anak Terhadap Sakit dan Hospitalisasi
Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit
dan dirawat di rumah sakit sehingga anak harus beradaptasi dengan
lingkungan rumah sakit (Wong, 2009). Reaksi hospitalisasi pada anak
bersifat individual dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan
anak. Pengalaman sebelumnya di rumah sakit, sistem pendukung yang
tersedia dan kemampuan koping yang dimiliki anak (Supartini, 2004).
Menurut Supartini (2004) reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi di
pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1) Perkembangan anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat
perkembangan anak. Berkaitan dengan umur anak, semakin muda anak
maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan
pengalaman di rumah sakit.
2) Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya
Apabila anak pernah mengalami tidak menyenangkan saat dirawat di
rumah sakit sebelumnya, akan menyebabkan anak takut dan trauma,
sebaliknya apabila saat dirawat di rumah sakit anak mendapatkan
perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih
kooperatif pada perawat dan dokter.
3) Dukungan keluarga
Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk
melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya
akan meminta dukungan kepada orang terdekat dengannya contohnya
orang tua atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan
permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit,
didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat
merasa takut dan cemas bahkan sangat merasa ketakutan.
4) Perkembangan koping dalam menangani stresor
Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima keadaan bahwa
dia harus di rawat di rumah sakit maka akan lebih kooperatif anak
tersebut dalam menjalani perawatan di rumah sakit.
Proses perawatan yang seringkali butuh waktu lama akhirnya
menjadikan anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam
menghadapi penyakit yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu
cara yang dikembangkan anak untuk beradaptasi terhadap penyakitnya.
Menurut Aidar (2011), beberapa perilaku itu antara lain :
1) Penolakan (avoidance)
Perilaku dimana anak berusaha menghindar dari situasi yang
membuatnya tertekan. Anak berusaha menolak treatment yang
diberikan, seperti tidak mau disuntik, tidak mau dipasang infus,
menolak minum obat, bersikap tidak kooperatif kepada petugas medis.
2) Mengalihkan perhatian
Anak berusaha mengalihkan perhatian dari pikiran atau sumber yang
membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak misalnya
membaca buku cerita saat di rumah sakit, menonton televisi (TV) saat
dipasang infus, atau bermain mainan yang disukai.
3) Berupaya aktif (active)
Anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara
aktif. Perilaku yang sering dilakukan misalnya menanyakan tentang
kondisi sakitnya kepada tenaga medis atau orang tuanya, bersikap
kooperatif terhadap petugas medis, minum obat teratur, beristirahat
sesuai dengan peraturan yang diberikan.
4) Mencari dukungan (support seeking)
Anak mencari dukungan dari orang lain untuk melepaskan tekanan
akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan
kepada orang yang dekat dengannya, misalnya dengan permintaan
anak untuk ditunggui selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat
dilakukan treatment padanya, dan minta dipeluk atau dielus saat
merasa kesakitan.
Reaksi anak terhadap hospitalisasi menurut golongan umur dibagi menjadi
2, yaitu:
1) Reaksi Anak Pra-Sekolah terhadap Hospitalisasi
Usia prasekolah merupakan kelompok usia tiga sampai enam tahun.
Penyakit yang sering ditemukan pada anak usia prasekolah yaitu
penyakit menular atau infeksi seperti cacar air (varicella), parotitis
(mumps), konjungtivitis, stomatitis, dan penyakit parasit pada usus.
Beberapa kondisi penyakit menyebabkan anak harus dirawat di rumah
sakit dan mendapatkan prosedur invasif (Hockenberry & Wilson,
2007).
Anak usia prasekolah juga mengalami stres apabila
mendapatkan perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) sebagaimana
kelompok anak usia lain. Perawatan anak prasekolah di rumah sakit
memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya
aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan
rumah, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004).
Anak usia prasekolah menganggap hospitalisasi merupakan
pengalaman baru dan sering membingungkan yang dapat membawa
dampak negatif terhadap perkembangan normal. Hospitalisasi
membuat anak masuk dalam lingkungan yang asing, dimana mereka
biasanya dipaksa untuk menerima prosedur yang menakutkan, nyeri
tubuh dan ketidaknyamanan (Wong, 2009).
Perawatan di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol
terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit juga mengharuskan adanya
pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan
diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak
prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu,
bersalah, atau takut (Supartini, 2004). Respon anak untuk memahami
nyeri yang diakibatkan oleh prosedur invasif yang menyakitkan bagi
anak tergantung pada usia anak, tingkat perkembangan anak, dan
faktor situasi lainnya (Hockenberry & Wilson, 2007).
Karakteristik anak usia prasekolah dalam berespon terhadap
nyeri diantaranya dengan menangis keras atau berteriak;
mengungkapkan secara verbal ”aaow” ”uh”, ”sakit”; memukul tangan
atau kaki; mendorong hal yang menyebabkan nyeri; kurang kooperatif;
membutuhkan restrain; meminta untuk mengakhiri tindakan yang
menyebabkan nyeri; menempel atau berpegangan pada orangtua,
perawat atau yang lain; membutuhkan dukungan emosi seperti
pelukan; melemah; dan antisipasi terhadap nyeri aktual (Hockenberry
& Wilson, 2007).
Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia
prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis
walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak
menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas
tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan
berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak
mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orangtua
(Supartini, 2004). Anak prasekolah akan mendorong orang yang akan
melakukan prosedur yang menyakitkan agar menjauh, mencoba
mengamankan peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang
aman (Wong, 2009).
2) Reaksi anak usia sekolah (6-12 tahun) terhadap hospitalisasi
Anak usia sekolah stresor yang dihadapi anak yang dirawat di
rumah sakit adalah lingkungan baru dan asing, pengalaman yang
menyakitkan dengan petugas, prosedur tindakan keperawatan,
diagnotik dan terapi, berpisah dengan orang tua dalam arti semetara.
Kondisi ini akan menyebabkan anak mengalami kecemasan (Rasmun,
2004). Anak usia sekolah membayangkan dirawat di rumah sakit
merupakan hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan
kemandiriannya terlambat. Mereka menjadi ingin tahu dan bingung,
anak bertanya kenapa orang itu, mengapa berada di rumah sakit,
bermacam pertanyaan dilontarkan karena anak tidak mengetahui yang
sedang terjadi (Wong & Whaley, 2007).
Kecemasan pada anak usia sekolah adalah kecemasan karena
perpisahan dengan kelompok, mengalami luka pada tubuh dan nyeri
dan kehilangan kontrol juga dapat menimbulkan kecemasan (Wong &
whaley, 2007). Menurut Wong & whaley (2007) kecemasan yang
terjadi pada usia sekolah selama hospitalisasi dapat disebabkan karena:
a) Cemas karena perpisahan
Anak usia sekolah memiliki koping yang lebih baik terhadap
perpisahan, namun keadaan sakit akan meningkatkan keinginan
mereka untuk selalu ditemani oleh orang tua. Anak usia sekolah
lebih merasa cemas karena berpisah dengan sekolah dan aktivitas
sehari-hari mereka dibandingkan cemas karena berpisah dengan
orang tua. Reaksi yang umum terjadi pada anak usia sekolah
karena perpisahan adalah merasa sendiri, bosan, merasa terisolasi,
dan depresi.
b) Kehilangan kontrol (Loss Of Control)
Anak usia sekolah, aktivitas yang dibatasi seperti bed rest,
penggunaan kursi roda, kehilangan privasi serta rutin di rumah
sakit akan menghilangkan kekuatan diri dan identitas dari anak.
Reaksi yang mungkin muncul pada anak adalah perasaan depresi,
menunjukkan rasa permusuhan dan frustasi.
c) Luka pada tubuh dan rasa sakit atau nyeri
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak berpisah dengan
lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga terutama kelompok
sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol juga
terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan
aktivitas.
Anak usia sekolah telah mampu mengkomunikasikan rasa sakit
yang mereka alami dan menunjukkan lokasi nyeri tersebut. Respon
terhadap nyeri yang ditunjukkan diantaranya: melihat perilaku dari
anak lain yang lebih kecil terutama saat dilakukan prosedur tindakan
yang menyebabkan nyeri, perilaku mengulur waktu dengan berkata
“tunggu sebentar” atau “saya belum siap”, menggigit bibir dan
memegang sesuatu dengan erat (Aidar, 2011).
Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran
dalam keluarga, akan kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa
melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut
mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlakuan atau rasa
nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun non
verbal. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika
merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan atau menggigit dan
memegang sesuatu dengan erat (Wong & Whaley,2007).
4. Tanda Vital
a. Pengertian Tanda Vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital adalah sebuah proses dari seorang ahli
medis ataupun praktisi kesehatan memeriksa tubuh pasien untuk
menemukan tanda klinis penyakit. Pengukuran yang paling sering dilakukan
oleh praktisi kesehatan adalah pengukuran suhu, nadi, tekanan darah,
frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen. Sebagai indikator dari status
kesehatan, ukuran-ukuran ini menandakan keefektifan sirkulasi, respirasi,
fungsi neural dan endokrin tubuh. Karena sangat penting, maka disebut
dengan tanda vital. Banyak faktor seperti suhu lingkungan, latihan fisik, dan
efek sakit yang menyebabkan perubahan tanda vital, kadang-kadang di luar
batas normal. Pengukuran tanda vital memberikan data untuk menentukan
status kesehatan klien yang lazim (data dasar), seperti respon terhadap stres
fisik dan psikologis, terapi medis dan keperawatan, perubahan tanda vital,
dan menandakan perubahan fungsi fisiologis.Perubahan pada tanda vital
dapat juga menandakan kebutuhan dilakukannya intervensi keperawatan dan
medis. Tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien untuk memantau
kondisi klien atau mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi respon klien
terhadap intervensi. Teknik dasar inspeksi, palpasi dan auskultasi digunakan
untuk menentukan tanda vital (Potter & Perry, 2005).
b. Cara Pengukuran Tanda-tanda Vital Pada Anak
Menurut Potter & Perry (2005) pedoman berikut ini adalah pedoman
cara pengukuran tanda-tanda vital pada anak.
1) Langkah-langkah mengukur tekanan darah :
a) Saat diperiksa, pasien duduk dengan santai, sebaiknya pengukuran
dilakukan beberapa menit setelah mulai duduk dan dalam ruangan
yang tenang.
b) Lengan yang diukur harus dalam keadaan bebas (tidak tertutup
pakaian yang ketat di bagian lengan), sehingga manset dapat terlilit
dengan baik.
c) Memilih manset yang baik, yaitu manset yang dapat melilit 40%
lengan atas bagian tengah. Pemakaian manset berukuran standar pada
lengan yang berukuran besar dapat mempengaruhi pembacaan tekanan
darah. Sehingga sebaiknya jangan memaksakan manset pada lengan
yang berukuran besar.
d) Lilitkan manset pada tengah lengan ke atas dengan bola manset berada
di tengah arteri brachialis, dan batas bawah manset dengan siku
kurang lebih 1 inci (sekitar 2,5 cm) di atas lipat siku.
e) Pastikan manset sejajar dengan posisi jantung.
f) Pompa tensimeter sampai manset mengembang dan catat tekanan saat
bunyi denyut nadi terdengar jelas. Pompa kembali sampai kurang
lebih 30 mmHg diatas tekanan ini.
g) Lepaskan pompa dan tunggu sekitar 30 detik kemudian memompa
kembali sampai denyut terdengar lagi.
h) Catat hasil tekanan darah sistolik dan diastolik. Untuk pembacaan
sistolik, catat di mana denyut terdengar sebanyak 2 kali secara
berurutan untuk pertama kali setelah pompa dilepaskan. Untuk
pembacaan diastolik, catat saat denyut menghilang (tidak terdengar
lagi).
i) Tunggu 30 detik untuk mengulangi prosedur ini pada lengan yang
sama.
Ukuran-ukuran manset:
a) Usia 0-12 bulan : Lebar manset 2 inci (5 cm)
b) Usia 1-5 tahun : Lebar manset 3 inci (7.5 cm)
c) Usia 6-12 tahun : Lebar manset 4 inci (10 cm)
d) Usia > 12 tahun : Lebar manset 5 inci (12.5 cm)
Pasanglah manset melingkari lengan atas atau tungkai atas, dengan batas
bawah lebih kurang dari 3 cm dari siku.
2) Cara Mengukur Denyut Nadi
a) Dengan menggunakan 2 jari yaitu telunjuk dan jari tengah, atau 3 jari,
telunjuk, jari tengah dan jari manis jika kita kesulitan menggunakan 2
jari.
b) Temukan titik nadi ( daerah yang denyutannya paling keras ), yaitu
nadi karotis di cekungan bagian pinggir leher kira-kira 2 cm di
kiri/kanan garis tengah leher ( kira-kira 2 cm disamping jakun pada
laki-laki ), nadi radialis di pergelangan tangan di sisi ibu jari.
c) Pada bayi dan anak d bawah 2 tahun laju nadi dihitung dengan meraba
arteri brakialis atau arteri femoralis.
d) Nadi dapat pula di raba di tempat- tempat lain yang letak arteriny
superficial seperti arteri temporalis, arteri carotis dan arteri dorsalis
pedis.
3) Laju Pernafasan
Penghitungan laju pernapasan pada bayi dan anak paling tepat bila
dilakukan pada waktu tidur. Laju pernapasan dapat dihitung dengan
beberapa cara:
a) cara inspeksi : pemeriksa melihat gerakan nafas dan menghitung
frekuensinya. Cara ini tifdak praktis dan tidak di anjurkan karena
pemeriksa harus melihat gerakan nafas dan detik jarum jam sekaligus.
b) Cara palpasi : tangan pemeriksa diletakkan pada dinding abdomenatau
dinding dada pasien kemudian dihitung gerakan pernapasan yang
terasa pada tangan tersebut, sementara pemeriksa memperhatikan
jarum jam.
c) Cara auskultasi: stetoskop didengarkan dan dihitung bunyi
pernapasan.
d) Semua perhitungan harus dilakukan selama satu menit penuh.
c. Nilai Normal Tanda-tanda Vital Pada Anak
Pengukuran fisiolgis, elemen kunci dalam mengevaluasi status fisik
fungsi vital anak, mencakup suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernapasan
dan tekanan darah. Bandingkan setiap catatan fisiologis dengan nilai normal
untuk kelompok usia tersebut, selain itu bandingkan nilai yang diperoleh
pada kunjungan sebelumnya dengan catatan yang ada saat ini. Seperti pada
sebagian besar prosedur yang dilakukan pada anak, anak yang lebih besar
dan remaja diperlakukan hampir sama dengan orang dewasa (Muscari,
2005). Adapun nilai normal tanda-tanda vital pada anak adalah sebagai
berikut:
1) Tekanan Darah
Rentang sistolik normal anak usai 1-7 tahun (usia dalam tahun + 90) dan
usia 8-18 tahun (2x usia dalam tahun + 83). Sedangkan rentang diastolik
normal anak usia 1-5 tahun (56 mmhg) dan usia 6-18 tahun (usia dalam
tahun + 52) (Muscari, 2005).
2) Denyut Nadi
Rentang denyut nadi normal pada anak usia 2-10 tahun saat istirahat dan
terbangun adalah 70-110 kali/menit dan usia 10 tahun-dewasa adalah 55-
90 kali/menit (Muscari, 2005).
3) Frekuensi Pernapasan
Frekuensi pernapasan normal pada anak usia 6 bulan-2 tahun adalah 20-
30 kali/menit, anak usia 3-10 tahun adalah 20-28 kali/menit dan anak
usia 10-18 tahun adalah 12-20 kali/menit (muscari, 2005).
4) Suhu
Rentang suhu normal anak sama dengan suhu orang dewasa (36,5-37,5
derajat celcius) (Muscari, 2005).
B. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan oleh Aidar (2011), Djohan
(2005), Kaplan & Sadock (2007), Musbikin (2009), Satiadarma (2002), Stuart &
Sundeen (1998), Stuart & Laraia (2007) dan Wong & Whaley (2007), maka
dibentuk kerangka teori penelitian yang dapat dijelaskan melalui Gambar 2.1
sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian
Reaksi anak:
1. Melakukan penolakan
(penolakan pemeriksaan
TTV)
2. Mengalihkan perhatian
3. Berupaya aktif
4. Mencari dukungan
Hospitalisasi Pada Anak
Menyebabkan anak
mengalami:
1.Perpisahan
2.Kehilangan control
3.Luka pada tubuh dan nyeri
Rileks, rasa aman & sejahtera,
melepaskan rasa gembira &
sedih, melepaskan rasa sakit &
menurunkan tingkat stres
Meningkatkan serotonin
dan menurunkan hormon
ACTH
Terapi musik klasik
mozart untuk mengatasi
kecemasan
Kecemasan akibat
hospitalisasi
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pengalaman individu Penurunan tingkat kecemasan
pada anak
Non-farmakologi
Teori-teori tentang
kecemasan:
1.Teori psikoanalitik
2.Teori interpersonal
3.Teori perilaku
4.Teori keluarga
5.Teori biologis
Farmakologi
Penatalaksanaan kecemasan
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan fokus penelitian yang akan diteliti, kerangka konsep
ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent).
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Kelompok
kontrol
Terapi musik
klasik Mozart
selama 30
menit
Penurunan tingkat
kecemasan anak
yang mengalami
hospitalisasi
Pretest
(kecemasan anak
hospitalisasi saat
pemeriksaan TTV)
Dengan menggunakan
McMurtry Faces
Anxiety scale
Pretest
(kecemasan anak
hospitalisasi saat
pemeriksaan TTV)
Dengan menggunakan
McMurtry Faces
Anxiety scale
Post-test
(kecemasan anak
hospitalisasi saat
pemeriksaan TTV)
Dengan menggunakan
McMurtry Faces
Anxiety scale
Kelompok
perlakuan
Terapi musik
klasik Mozart
selama 45
menit
Post-test
(kecemasan anak
hospitalisasi)
Dengan
menggunakan
SCAS
Post-test
(kecemasan anak
hospitalisasi saat
pemeriksaan TTV)
Dengan menggunakan
McMurtry Faces
Anxiety scale
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Jenir penyakit
4. Pengalaman
individu
D. Hipotesa Penelitian
Ada dua hipotesis yaitu hipotesis statistik atau disebut juga hipotesis nol (Ho) dan
hipotesis kerja (Ha) disebut juga dengan hipotesis alternatif. Hipotesa penelitian
adalah jawaban sementara penelitian atau dalil sementara yang sebenarnya akan
dibuktikan dalam penelitian (Notoatmojo, 2002). Hipotesis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
Ha : Ada perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart
selama 30 menit dan 45 menit terhadap tingkat kecemasan pada anak yang
mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD
Banyumas.
Ho : Tidak ada perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart
selama 30 menit dan 45 menit terhadap tingkat kecemasan pada anak yang
mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD
Banyumas.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, Jenis penelitian
ini menggunakan penelitian Quasi eksperimental dengan rancangan penelitian
pretest-posttest with control group design, dengan pendekatan pretest-posttest
with control group design pengukuran dilakukan pada kedua kelompok,
sebelum (01 dan 03) dan setelah periode perlakuan (02 dan 04), sehingga
diperoleh 4 hasil pengukuran (Saryono, 2011). Kelompok perlakuan diberikan
terapi musik klasik Mozart selama 45 menit dan kelompok kontrol selama 30
menit.
01 >---------------- (X) ---------------- 02
03 >----------------- (X) --------------- 04
Keterangan :
(X) = Pemberian terapi musik klasik Mozart
01 = Pengamatan/test sebelum dilakukan perlakuan 30 menit
02 = Pengamatan/test setelah diberikan terapi musik klasik Mozart 30 menit
03 = Pengamatan/test sebelum dilakukan perlakuan 45 menit
04 = Pengamatan/test setelah diberikan terapi musik klasik Mozart 45 menit
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD Banyumas selama 3 bulan pada 17
Januari 2013 - 20 April 2013.
B. Populasi dan Sample
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam
suatu penelitian (Saryono,2011). Populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas : obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang diterapkan peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiono, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien
anak rawat inap di RSUD Banyumas, dalam satu bulan terakhir yaitu bulan
Mei 2012 jumlah pasien anak yang dirawat di ruang Kanthil sebanyak 133
pasien .
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili populasi tersebut
(Saryono,2011). Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2007). Teknik pengambilan sampel
yang digunakan pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik
non probability sampling dengan cara purposive sampling yaitu pengambilan
sampel yang didasarkan pada pertimbangan tertentu seperti waktu, biaya, dan
tenaga (Saryono, 2011).
Keterangan:
n = Besar sampel
N = Besar populasi
= Standar deviasi normal untuk α= 0.10 (1,64)
d = Tingkat kesalahan yang dipilih (d=10% atau 0,1)
p = Proporsi target populasi yaitu 50%
q = Proporsi tanpa atribut 1-P (1-0,5)
Berdasarkan rumus diatas maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:
n = 44,88
n = 45
Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut di atas diperoleh besar
sampel dalam penelitian ini sebanyak 45 pasien anak, yang dibagi
dalam 2 kelompok perlakuan.
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Anak usia 5-10 tahun.
2) Anak yang telah mengalami perawatan selama 2 hari.
3) Anak yang mengalami kecemasan ringan dan sedang akibat
hospitalisasi.
4) Tingkat kesadaran compos mentis.
5) Tidak menderita gangguan pendengaran.
6) Anak yang ditunggu oleh orang tuanya selama dirawat di
Rumah Sakit.
7) Orang tua setuju anaknya menjadi responden.
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Anak dengan kebutuhan khusus ( anak dengan autism, anak
dengan hiperaktif, anak dengan tunagrahita, anak yang berada
di ruang isolasi).
2) Pasien yang mengkonsumsi obat-obatan anti ansietas.
C. Variable Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang bervariasi (Saryono, 2011).
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent) dan
variabel terikat (dependent).
1. Variabel bebas (Independent Variable) adalah variabel yang merangsang atau
menstimulasi variabel target (Saryono, 2011). Variabel bebas adalah variabel
yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2003). Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah terapi musik klasik Mozart.
2. Variabel terikat (Dependent Variable) adalah variabel yang timbul akibat dari
efek penelitian (Saryono, 2011). Variabel terikat adalah variabel yang
dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Hidayat, 2007).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kecemasan anak yang
mengalami hospitalisasi di ruang Kanthil RSUD Banyumas.
3. Variabel pengganggu (confounding)
Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, jenis
penyakit dan pengalaman individu.
D. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data dan
menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup variabel
(Saryono, 2011). Setiap variabel harus dirumuskan secara operasional untuk
memudahkan pemahaman dan pengukuran setiap variabel yang ada dalam
penelitian. Adapun definisi operasional dari penelitian ini sebagai berikut:
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional
Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Variabel bebas :
Terapi musik
klasik Mozart
Terapi musik klasik
Mozart yang
diperdengarkan
pada anak pra
sekolah untuk
mengurangi tingkat
kecemasan, musik
yang dipilih untuk
terapi adalah musik
klasik Mozart yang
berjudul Mozart
Wombsong Musical
Soup. Diberikan
dengan durasi 30
menit pada
kelompok kontrol
dan 45 menit pada
kelompok
perlakuan
menggunakan
headset. Terapi
musik diberikan
pada pagi hari
setelah anak selesai
mandi dan sarapan.
1. Diberikan
terapi musik
klasik Mozart
selama 30
menit
2. Diberikan
terapi musik
klasik Mozart
selama 45
menit
Nominal
2. Tingkat
kecemasan anak
yang mengalami
hospitalisasi
Kecemasan yang
timbul pada anak
yang dirawat di
rumah sakit setelah
hari ke-2
hospitalisasi dan
diukur pada hari ke-
3
Faces
anxiety
scale for
children
Skor 0 (tidak
ada
kecemasan
sama sekali),
skor 1 (lebih
sedikit
kecemasan),
skor 2 (sedikit
kecemasan),
skor 3
(kecemasan)
skor 4
(kecemasan
ordinal
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
baik sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2011). Instrumen penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah faces anxiety scale for children
dikembangkan oleh McMurtry (2010) untuk mengukur kecemasan/rasa takut pada
pasien anak di unit perawatan intensif. Anak-anak sering diminta untuk
melaporkan kecemasan/ketakutan sebelum dan selama prosedur medis yang
menyakitkan, sebelumnya dilakukan penyelidikan awal dari sifat psikometri dari
skala kecemasan wajah. Faces anxiety scale for children menunjukkan berbagai
tingkat kecemasan. Skor 0 memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama
sekali, skor 1 (menggambarkan lebih sedikit kecemasan), skor 2 (menggambarkan
sedikit kecemasan), skor 3 (menggambarkan kecemasan) dan skor 4
(menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada anak).
yang ekstrim)
3. Jenis kelamin Klasifikasi jenis
seksual yang
dimiliki oleh anak
Kuesioner Perempuan: 1
Laki-laki: 2 nominal
4. Usia .Lamanya waktu
hidup responden dari
sejak lahir sampai
dengan terakhir pada
saat penelitian
dilakukan (dalam
tahun)
Kuesioner,
wawancara
usia responden
dalam tahun
rasio
F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Uji Validitas
Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu
benar-benar mengukur apa yang diukur (Saryono, 2011). Pengukuran validitas
kuisioner dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan dan kecermatan alat
ukur untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Notoatmojdo, 2003).
Penelitian ini tidak melakukan uji validitas lagi, karena instrumen yang
digunakan untuk penilaian dalam penelitian ini merupakan instrumen baku
yang biasa digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan. Adapun nilai uji
validitas yang telah didapatkan oleh McMurtry bahwa r hitung lebih besar dari
r tabel, dengan nilai r hitung adalah sebesar 0.78.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukan sejauh mana suatu
alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Saryono, 2011). Hal
ini berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama, dengan pertimbangan reliabilitas harus dilakukan
pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah memiliki validitas (Notoatmojdo,
2003). Penelitian ini tidak melakukan uji reliabilitas lagi, karena instrument
yang digunakan untuk penilaian dalam penelitian ini merupakan instrument
baku yang biasa digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan. Berdasarkan
uji reliabilitas yang telah dilakukan oleh McMurtry didapatkan bahwa
berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach
diperoleh nilai r alpha lebih besar dari nila r table dengan hasil reliabilitas
yaitu sebesar 0,77 yang artinya reliable dan dapat digunakan dalam penelitian.
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Cara Pengumpulan Data
a. Pengumpulan data dilakukan di RSUD Banyumas setelah mendapat ijin
dari Direktur RSUD Banyumas, Kepala instalasi rawat inap dan Kepala
ruang rawat Kanthil.
b. Memilih data responden yang memenuhi kriteria inklusi untuk dipilih
menjadi sampel.
c. Memberikan penjelasan kepada responden dan orang tua tentang tujuan
dari terapi musik.
d. Memberikan lembar informed consent sebagai bentuk persetujuan dengan
orang tua responden, dan meminta orang tua responden untuk memberikan
tanda tangannya pada lembar persetujuannya tersebut.
e. Melakukan pengukuran kecemasan anak sebelum diberikan terapi musik
klasik Mozart saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital menggunakan
faces anxiety scale for children.
f. Memberikan terapi musik pada responden.
g. Melakukan pengukuran kecemasan anak setelah diberikan terapi musik
klasik Mozart saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital menggunakan
faces anxiety scale for children.
2. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer disebut juga data tangan pertama. Data primer diperoleh
langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran
atau alat pengambilan data, langsung pada subyek sebagai sumber
informasi yang dicari (Saryono, 2011). Data primer dalam penelitian ini
diperoleh oleh peneliti secara langsung dari hasil wawancara dengan
menggunakan kuesioner dan hasil pengamatan langsung di lapangan
(ruang Kanthil RSUD Banyumas).
b. Data Sekunder
Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data
yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subyek penelitian (Saryono, 2011). Data sekunder digunakan untuk
melengkapi dan mendukung data primer. Data sekunder dalam penelitian
ini diperoleh oleh peneliti dari pihak RSUD Banyumas. Data yang
diperoleh berupa: jumlah pasien rawat inap anak, usia pasien, jenis
penyakit, lama rawat pasien dan nama pasien.
H. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan data
Menurut Saryono (2011) langkah-langkah dalam memproses data terdiri
dari:
a. Editing
Data yang terkumpul selanjutnya disusun. Editing adalah memeriksa
daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data.
Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada di
daftar pertanyaan.
b. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden ke
dalam kategori. Klasifikasi data merupakan usaha untuk
menggolongkan, mengelompokkan dan memilah data berdasarkan
klasifikasi tertentu. Kegiatan ini akan memudahkan dalam menguji
hipotesis.
c. Encoding, scoring dan membuat isian data
Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu
diberi penilaian atau skor.
d. Tabulating: menghasilkan rangkuman data.
Tabulating adalah pekerjaa membuat tabel. Jawaban-jawaban yang
telah diberi kode kemudian dimasukkan ke dalam tabel. Langkah
terakhir dari penelitian ini adalah melakukan analisa data. Selanjutnya
data dimasukkan ke komputer dan dianalisis secara statistik.
2. Analisa Data
Setelah data terkumpul maka dilakukan analisa data dengan
perhitungan statistik dengan cara:
a. Analisa Univariat
Analisa univariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap
variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa ini hanya
menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel
(Notoatmodjo, 2003). Pada penelitian ini akan diketahui distribusi
frekuensi mengenai karakteristik umur responden, jenis kelamin
responden, dan lama hari rawat responden.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo,
2003). Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat
kecemasan anak dengan melihat pre test dan post test. Analisis ini
menggunakan uji statistik Uji Mann-Whitney dan Wilcoxon. Uji Mann-
Whitney merupakan uji non-parametrik yang digunakan untuk
membandingkan dua mean populasi yang berasal dari populasi yang
sama. Uji Mann-Whitney juga digunakan untuk menguji apakah dua
mean populasi sama atau tidak. Untuk menghitung nilai statistik uji
Mann-Whitney, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
U = Nilai uji Mann-Whitney
N1= sampel 1
N2= sampel 2
Ri = Ranking ukuran sampel
Uji statistik Wilxocon merupakan uji dua sampel berhubungan
(dependen), dimana terdapat tahap sebelum (pretest) dan sesudah
(posttest) perlakuan pada masing-masing kelompok. Uji statistik
Wilxocon dipilih dalam penelitian ini karena skala data yang
digunakan adalah ordinal dan pelaksanaan penelitiannya dilakukan
dengan adanya hubungan yaitu tahap pretest dan posttest (Saryono,
2011). Dalam penelitian ini, uji statistik Wilcoxon digunakan untuk
mengetahui pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat
kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi sebelum-sesudah
diberikan terapi pada kelompok responden yang diberi perlakuan
terapi musik klasik Mozart 30 menit dan sebelum-sesudah diberikan
terapi pada kelompok yang diberi terapi musik klasik Mozart selama
45 menit. Adapun rumus uji statistik Wilcoxon yaitu:
th =
Se=
Keterangan:
D =deviasi/selisih antara nilai sesudah dengan nilai sebelum (Xssd-Xsbl)
= rata-rata deviasi
Se= standard error nilai deviasi
SD= standard deviasi
n = banyak data.
I. Etika Penelitian
Etika adalah prinsip moral yang memengaruhi tindakan (Saryono, 2011). Etika
penelitian menurut Hidayat (2007), terdiri dari 3 macam yaitu:
1. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
responden, dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan diberikan
sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti. Lembar ini dilengkapi
dengan judul penelitian dan manfaat penelitian, sehingga subjek mengerti
maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak boleh
memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak subjek.
2. Anonimity
Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode
pengganti nama responden.
3. Confidentiality
Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin kerahasiaanya
oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk pengembangan ilmu.
Penelitian ini mencantumkan semua nama dan sumber kutipan yang
diambil peneliti, baik dari buku, skripsi maupun jurnal. Dalam penelitian ini
responden bersedia secara sukarela sebagai responden. Penelitian ini
memperhatikan kerahasiaan, sehingga menggunakan inisial saja dan menjamin
semua informasi yang dikumpulkan dalam penelitian tidak dibuka di depan
publik, kecuali data ilmiah yang dijadikan variabel dalam penelitian ini. Sebelum
penelitian dilakukan, terlebih dahulu peneliti memberikan lembar persetujuan
kepada setiap responden, sehingga responden dapat memutuskan bersedia ataupun
menolak untuk menjadi sampel penelitian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah 15 orang pada kelompok
yang diberi perlakuan terapi musik klasik Mozart selama 30 menit dan 15
orang pada kelompok yang diberi perlakuan terapi musik klasik Mozart
selama 45 menit, sehingga jumlah responden seluruhnya adalah 30 orang,
dengan karakteristik yang terdiri dari jenis kelamin, usia anak dan tanda-tanda
vital.
a. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di
RSUD Banyumas
No Jenis kelamin Kelompok Jumlah Presentase (%)
30 menit 45 menit
1 Laki-laki 6 7 13 43,3
2 Perempuan 9 8 17 56,7
Total 15 15 30 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa responden yang
terbanyak pada kedua kelompok adalah berjenis kelamin perempuan,
dengan rincian pada kelompok 30 menit sebanyak 9 orang dan pada
kelompok 45 sebanyak 8 orang, dengan jumlah presentase keselurahan
sebesar 56,7%.
b. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Usia
Responden dalam penelitian ini berusia antara 5 sampai 10 tahun.
Distribusi jumlah responden berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Usia
No Umur
(tahun)
Kelompok Jumlah
Presentase
(%) 30 menit 45 menit
1 5 7 2 9 30
2 6 5 2 7 23,3
3 7 0 4 4 13,3
4 8 2 1 3 10
5 9 0 1 1 3,4
6 10 1 5 6 20
Total 15 15 30 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.5. dapat diketahui bahwa responden yang
terbanyak pada kelompok 30 menit adalah berusia 5 tahun yaitu sebanyak
7 orang, sedangkan pada kelompok 45 menit adalah berusia 10 tahun
sebanyak 5 orang.
c. Distribusi Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Penyakit
Responden dalam penelitian ini menderita berbagai macam
penyakit. Distribusi jumlah responden berdasarkan penyakitnya dapat
dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi jumlah responden berdasarkan penyakitnya
No Nama penyakit Kelompok
Jumlah Presentase
(%) 30 menit 45 menit
1 Febris 5 5 10 33,3
2 PJB (Penyakit
Jantung Bawaan) 1 0 1 3,3
3 Vomitus 1 0 1 3,3
4 DSS (Dengue
Syock Syndrom) 1 0 1 3,3
5 KD (Kejang
Demam) 2 1 3 10
6 Retensi urine 1 0 1 3,3
7 SN (Sindrom
Nefrotis) 2 1 3 10
8 VSR 1 0 1 3,3
9 Thypoid 1 0 1 3,3
10 HSP 0 1 1 3,3
11 Gizi buruk 0 1 1 3,3
12 GNA (Glomerulo
Nefritis Akut) 0 3 3 10
13 DF (Dengue
Fever) 0 1 1 3,3
14
F, SE (Febris
dengan suspec
epilepsi)
0 2 2 6,7
Total 15 15 30 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.3. dapat diketahui bahwa jenis penyakit yang
terbanyak diderita oleh responden pada kedua kelompok adalah febris (F),
dengan rincian pada kelompok 30 menit sebanyak 5 orang, sedangkan
pada kelompok 45 menit sebanyak 5 orang.
2. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi
a. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada anak
akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas sebelum diberikan
terapi.
Responden dalam penelitian ini mengalami tingkat kecemasan yang
berbeda-beda akibat hospitalisasi sebelum diberikan terapi musik klasik
Mozart. Distribusi jumlah tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi (5-
10 tahun) di RSUD Banyumas sebelum diberikan terapi dapat dilihat pada
tabel 4.4.
Tabel 4.4. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan
pada anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas
sebelum diberikan terapi.
No Tingkat
Kecemasan
Kelompok
Jumlah Presentase
30
menit %
45
menit %
1 Tidak ada
kecemasan
- - - - - -
2 Lebih sedikit
kecemasan
8 26,7 9 30 17 56,7
3 Sedikit
kecemasan
7 23,3 5 16,7 12 40
4 Mengalami
kecemasan
- - 1 3,3 1 3,3
5 Kecemasan
ekstrim
- - - - - -
Total 15 15 30 100
Sumber: Data Primer. N=30. Tahun 2013.
Berdasarkan tabel 4.4. diperoleh bahwa tingkat kecemasan anak
akibat hospitalisasi di RUSD Banyumas sebelum diberikan terapi dibagi
dalam beberapa kategori tingkat kecemasan,pada hasil penelitian ini
tingkat kecemasan responden lebih banyak terdapat pada kategori tingkat
lebih sedikit kecemasan, hal itu dapat terlihat dari presentase yang
diperoleh yaitu 26,7% pada kelompok perlakuan terapi musik klasik
Mozart selama 30 menit dan 30% pada kelompok perlakuan terapi musik
klasik Mozart selama 45 menit.
b. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan pada anak
akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD Banyumas setelah diberikan
terapi.
Responden dalam penelitian ini mengalami tingkat kecemasan yang
berbeda-beda akibat hospitalisasi setelah diberikan terapi musik klasik
Mozart. Distribusi jumlah tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi (5-
10 tahun) di RSUD Banyumas setelah diberikan terapi dapat dilihat pada
tabel 4.5.
Tabel 4.5. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat kecemasan
pada anak akibat hospitalisasi (5-10 tahun) di RSUD
Banyumas setelah diberikan terapi.
No Tingkat
Kecemasan
Kelompok
Jumlah Presentase
30
menit %
45
menit %
1 Tidak ada
kecemasan
2 6,7 5 16,6 7 23,3
2 Lebih sedikit
kecemasan
8 26,7 10 33,3 18 60
3 Sedikit
kecemasan
3 10 - - 3 10
4 Mengalami
kecemasan
2 6,7 - - 2 6,7
5 Kecemasan
ekstrim
- - - - - -
Total 15 15 30 100
Sumber: Data Primer. N=30. Tahun 2013.
Berdasarkan tabel 4.5. diperoleh bahwa tingkat kecemasan anak
akibat hospitalisasi di RUSD Banyumas setelah diberikan terapi dibagi
dalam beberapa kategori tingkat kecemasan, pada hasil penelitian ini
tingkat kecemasan responden lebih banyak terdapat pada kategori tingkat
lebih sedikit kecemasan, hal itu dapat terlihat dari presentase yang
diperoleh yaitu 26,7% pada kelompok perlakuan terapi musik klasik
Mozart selama 30 menit dan 33% pada kelompok perlakuan terapi musik
klasik Mozart selama 45 menit.
Kelompok 30 menit sebelum diberikan terapi musik klasik Mozart
jumlah responden yang mengalami lebih sedikit kecemasan sebanyak 8
orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart jumlah pasien
yang tidak mengalami perubahan (tetap pada tingkat lebih sedikit
kecemasan) sebanyak 5 orang, 1 orang responden mengalami peningkatan
kecemasan menjadi cemas dan 2 orang responden lainnya menjadi tidak
mengalami kecemasan. Sedangkan jumlah pasien yang mengalami sedikit
kecemasan sebelum dilakukan terapi musik klasik Mozart berjumlah 7
orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart jumlah
responden yang tidak mengalami perubahan (tetap pada tingkat sedikit
kecemasan) sebanyak 3 orang, responden yang mengalami penurunan
tingkat kecemasan menjadi lebih sedikit kecemasan sebanyak 3 orang dan
1 orang mengalami peningkatan kecemasan menjadi cemas. Perubahan
tingkat kecemasan pada kelompok 30 menit ini dapat dilihat pada lampiran
data kecemasan responden.
Kelompok 45 menit sebelum diberikan terapi musik klasik Mozart
jumlah responden yang mengalami lebih sedikit kecemasan sebanyak 9
orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart jumlah pasien
yang tidak mengalami perubahan (tetap pada tingkat lebih sedikit
kecemasan) sebanyak dan 2 orang responden lainnya menjadi tidak
mengalami kecemasan. Sedangkan jumlah pasien yang mengalami sedikit
kecemasan sebelum dilakukan terapi musik klasik Mozart berjumlah 5
orang, tetapi setelah diberikan terapi musik klasik Mozart semua
responden mengalami perubahan tingkat kecemasan, 3 orang mengalami
penurunan kecemasan menjadi lebih sedikit kecemasan, dan 2 orang
mengalami penurunan menjadi tidak cemas. Sebelum diberikan terapi
musik klasik Mozart 1 orang responden mengalami kecemasan, tetapi
setelah diberikan terapi responden menjadi tidak cemas. Adapun pada
kelompok 45 menit ini terdapat responden yang tertidur ketika diberikan
terapi musik klasik Mozart. Perubahan tingkat kecemasan pada kelompok
30 menit ini dapat dilihat pada lampiran data kecemasan responden.
3. Perbedaan Tingkat Kecemasan Anak Sebelum Terapi Musik Klasik
Mozart Pada Kelompok 30 Menit dan 45 Menit
Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi berbeda-beda, namun
sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut dan pemberian perlakuan berupa
terapi musik klasik Mozart pada responden, peneliti melakukan penilaian
tentang tingkat kecemasan awal pada responden kelompok terapi 30 menit dan
kelompok terapi 45 menit dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney.
Uji statistik Mann-Whitney digunakan untuk menguji dua sampel tidak
berhubungan (independen), dengan syarat datanya skala ordinal. Uji statistik
ini digunakan untuk mengetahui tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi
sebelum dilakukan terapi musik klasik Mozart pada kelompok terapi 30 menit
dan terapi 45 menit, serta untuk mengetahui perkembangan tingkat kecemasan
akibat hospitalisasi sesudah dilakukan terapi musik klasik Mozart pada
kelompok terapi 30 menit dan terapi 45 menit.
Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok terapi 30
menit dan kelompok terapi 45 menit sebelum dilakukan pemberian terapi
musik klasik Mozart dari hasil analisis uji Mann-Whitney dapat dilihat pada
tabel 4.6.
Tabel 4.6. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok terapi
30 menit dan kelompok terapi 45 menit sebelum dilakukan
pemberian terapi musik klasik Mozart.
Sebelum
Kelompok n Z test p Value
30 menit 15 -0,328 0,743
45 menit 15
Total 30
Berdasarkan Tabel 4.6. diketahui bahwa hasil analisis dari uji statistik
Mann-Whitney pada saat sebelum terapi diperoleh nilai p value sebesar 0,743
dengan α=0,05. Karena nilai p value>0,05, maka Ho diterima yang berarti
tidak ada perbedaan tingkat kecemasan pasien yang mengalami hospitalisasi
pada kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit, dengan kata lain kelompok
30 menit dan kelompok 45 menit memiliki tingkat kecemasan yang sama
sebelum dilakukan pemberian terapi musik klasik Mozart.
4. Pengaruh Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Tingkat
Kecemasan Pada Anak Yang Mengalami Hospitalisasi Pada Kelompok
Terapi 30 Menit dan Kelompok Terapi 45 Menit.
Sesuai dengan hasil analisis uji statistik Mann-Whitney diatas yang
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecemasan pasien yang
mengalami hospitalisasi pada kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit,
maka dapat dilanjutkan dengan pemberian perlakuan berupa pemberian terapi
musik klasik Mozart pada responden kelompok 30 menit dengan pemberian
terapi musik klasik Mozart selama 30 menit dan pemberian terapi musik
klasik Mozart pada responden kelompok 45 menit dengan pemberian terapi
musik klasik Mozart selama 45 menit. Untuk melihat pengaruhnya terhadap
tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan sesudah pemberian terapi
musik klasik Mozart pada kedua kelompok responden maka digunakan uji
statistik Wilcoxon. Uji statistik Wilcoxon digunakan untuk menguji dua sampel
yang berhubungan, dimana terdapat tahap pretest dan posttest perlakuan pada
masing-masing kelompok. Tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada
masing-masing kelompok dengan menggunakan uji Wilcoxon, dapat dilihat
pada tabel 4.7. dan tabel 4.8.
a. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan Setelah
Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok Terapi 30 Menit
(n=15).
Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisas sebelum dan
setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada responden kelompok
30 menit dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan
setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok
terapi 30 menit (n=15)
Variabel N Mean Z test p Value
Tingkat kecemasan
anak sebelum terapi
30 menit
15 4.00
-1,134 0,257 Tingkat kecemasan
anak sesudah terapi
30 menit
15 4.00
Sumber: Data Primer. n=15. Tahun 2013.
Berdasarkan tabel 4.7. hasil analisis menggunakan uji statistik
Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh nilai p
value adalah 0,257 dengan demikian p value > α (0,257 >0,05), maka Ho
diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat
kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 30 menit.
b. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan Setelah
Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok Terapi 45 Menit
(n=15).
Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisas sebelum dan
setelah pemberian terapi musik klasik Mozart pada responden kelompok
30 menit dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8. Perubahan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi sebelum dan
sesudah pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok
terapi 45 menit (n=15).
Variabel N Mean Z test p Value
Tingkat kecemasan
anak sebelum terapi
45 menit
15 0,00
-2,724 0,006
Tingkat kecemasan
anak sesudah terapi
45 menit
15 5,00
Sumber: Data Primer. n=15. Tahun 2013.
Berdasarkan tabel 4.8. hasil analisis menggunakan uji statistik
Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil
uji ini, didapatkan nilai p value adalah 0,006 dengan demikian p value < α
(0,006<0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap
tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45
menit.
5. Tingkat Kecemasan Anak Sesudah Terapi Musik Klasik Mozart Pada
Kelompok 30 Menit dan 45 Menit
Uji statistik yang selanjutnya digunakan adalah uji statistik Mann-
Whitney. Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon yang menyatakan bahwa
terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan
anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45 menit, maka perlu dilakukan uji
untuk mengetahui perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik
Mozart terhadap tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada kelompok 30
menit dan 45 menit dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney.
Tabel 4.9. Tingkat kecemasan anak akibat hospitalisasi antara kelompok terapi
30 menit dan kelompok terapi 45 menit sesudah dilakukan
pemberian terapi musik klasik Mozart.
Sesudah
Kelompok n Z test p Value
30 menit 15
-2,246 0,025 45 menit 15
Total 30
Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa hasil analisis dari uji statistik
Mann-Whitney pada saat sesudah perlakuan diperoleh nilai p value sebesar
0,025 dengan α=0,05. Karena nilai p value < 0,05 (0,025<0,05) maka Ho
ditolak yang berarti terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi
musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami
hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD
Banyumas pada kelompok terapi 30 menit dan 45 menit sesudah diberikan
terapi musik klasik Mozart, dengan kata lain antara kelompok 30 menit dan 45
menit memiliki tingkat kecemasan yang berbeda setelah dilakukan pemberian
terapi musik klasik Mozart.
B. Pembahasan
1. Karakteristik Responden Di RSUD Banyumas
a. Jenis Kelamin
Jumlah penduduk anak Indonesia pada rentang usia 5-12 tahun
menurut hasil Sensus Penduduk 2010 adalah 18.680 juta anak laki-laki dan
17.714 juta anak perempuan (Profil Anak Indonesia, 2012). Jumlah pasien
anak usia 5-10 tahun di ruang Kanthil selama penelitian adalah 37 orang
anak perempuan dan 49 orang anak laki-laki (buku register ruang kanthil,
2013). Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah responden terbanyak
berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan pada kelompok 30 menit
sebanyak 9 orang dan pada kelompok 45 menit sebanyak 8 orang, dengan
jumlah presentase keseluruhan sebesar 56,7%. Karena usia responden
dalam penelitian ini mempunyai rentang antara usia 5 tahun sampai
dengan 10 tahun, hal itu sesuai dengan pernyataan Monks, Knoers, dan
Rahayu (2006), bahwa anak usia sekolah mengalami kecemasan dan
kecakapan verbal lebih banyak pada anak perempuan. Sedangkan agresi,
aktifitas, dominasi, impulsifitas, kecakapan pengamatan ruang dan
kecakapan kuantitatif lebih banyak pada laki-laki. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti juga sesuai dengan penelitian Sari dan Sulisno
(2012) bahwa anak perempuan lebih cemas daripada anak laki-laki karena
anak perempuan lebih sensitif dan mendapat stressor lebih intensif
daripada anak laki-laki yang eksploratif.
Hasil penelitian tidak sesuai dengan pendapat Wong (2007) yang
menyatakan anak perempuan pada umumnya lebih adaptif terhadap
stressor dibanding anak laki-laki. Stimuli yang mengawali atau
mencetuskan perubahan disebut stressor. Stressor menunjukkan suatu
kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja
kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan,
spiritual, atau kebutuhan kultural (Potter & Perry, 2005). Selama
hospitalisasi anak-anak mengalami stress akan kebutuhan psikologis
seperti perhatian dari orang tua dan keluarga, kebutuhan sosial seperti
bertemu dengan teman-temannya, kebutuhan lingkungan seperti anak
ingin berada di lingkungan rumahnya dan kebutuhan perkembangan
seperti bermain dengan teman sebaya. Anak laki-laki merupakan salah
satu faktor risiko yang membuat anak-anak tertentu lebih mudah
tersinggung dibandingkan anak lain dalam kondisi stress saat hospitalisasi
(Wong, 2007).
b. Usia
Berdasarkan buku register di ruang Kanthil diketahui bahwa
selama penelitian jumlah pasien anak usia 5 tahun adalah sebanyak 24
anak, usia 6 tahun sebanyak 14 anak, usia 7 tahun sebanyak 12 anak, usia
8 tahun sebanyak 16 anak, usia 9 tahun sebanyak 4 anak dan usia 10 tahun
sebanyak 16 anak. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti diketahui bahwa responden yang terbanyak pada kelompok 30
menit adalah responden berusia 5 tahun yaitu sebanyak 7 orang, dan pada
kelompok 45 menit jumlah responden terbanyak adalah responden berusia
10 tahun yaitu sebanyak 5 orang. Masa kanak-kanak dalam disiplin ilmu
psikologi merupakan rentang yang cukup panjang yaitu antara usia 2 tahun
sampai dengan 11 atau 12 tahun. Dengan mempertimbangkan karakteristik
dan tugas perkembangan yang berbeda, masa anak terbagi menjadi dua
periode yaitu periode anak awal dan anak akhir. Periode anak awal
berkisar dari usia dua sampai dengan enam tahun (2-6 tahun) dan periode
anak akhir dari usia enam sampai dengan tibanya masa kematangan secara
seksual, yaitu masa pubertas. Pengklasifikasian anak awal dan anak akhir
mengacu pula pada usia dimana anak awal merupakan usia prasekolah dan
anak akhir merupakan usia sekolah dasar (Maslihah, 2006).
Apabila dilihat dari klasifikasi pembagian kelompok usia, maka
jumlah responden terbanyak ada pada kelompok anak usia prasekolah
yaitu berjumlah 16 orang (usia 5-6 tahun), dan sisanya berjumlah 14 orang
berada pada kelompok anak usia sekolah. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa jumlah mayoritas anak yang mengalami kecemasan
akibat hospitalisasi adalah anak usia prasekolah dengan jumlah 16 orang.
Umumnya anak usia pra sekolah jika dirawat di rumah sakit akan timbul
rasa takut baik pada dokter ataupun perawat, apalagi jika anak telah
mempunyai pengalamanan mendapatkan imunisasi. Dalam bayangannya,
perawat atau dokter akan menyakiti dengan cara menyuntik. Selain itu
anak akan merasa terganggu hubungannya dengan orang tua atau
saudaranya. Lingkungan di rumah tentu berbeda bentuk dan suasananya
dengan alat-alat yang ada di ruang perawatan. Reaksi pertama selain
ketakutan juga pasien kurang nafsu makan bahkan anak yang masih kecil
menangis, tidak mau minum susu atau makan makanan yang diberikan
(Ngastiyah, 2005). Kecemasan pada anak usia sekolah adalah kecemasan
karena perpisahan dengan kelompok, mengalami luka pada tubuh dan
nyeri dan kehilangan kontrol juga dapat menimbulkan kecemasan (Wong
& whaley, 2007).
Dampak hospitalisasi pada anak yaitu anak akan cenderung lebih
manja, minta perhatian lebih pada orang tua serta bersikap cuek pada
perawat yang akan merawatnya karena anak belum dapat beradaptasi
dengan lingkungan rumah sakit. Stres yang umumnya terjadi berhubungan
dengan hospitalisasi adalah takut akan unfamiliarity, lingkungan rumah
sakit yang menakutkan, rutinitas rumah sakit, prosedur yang menyakitkan,
dan takut akan kematian. Reaksi emosional pada anak sering ditunjukkan
dengan menangis, marah dan berduka sebagai bentuk yang sehat dalam
mengatasi stres karena hospitalisasi (Elfira, 2011).
c. Jenis Penyakit
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diketahui
bahwa jenis penyakit yang terbanyak diderita oleh kedua kelompok adalah
febris (F), dengan rincian pada kelompok 30 menit sebanyak 5 orang,
sedangkan pada kelompok 45 menit sebanyak 5 orang. Febris (demam)
adalah kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 380C) dan sebagai respon
normal tubuh terhadap infeksi, infeksi merupakan penyebab demam
terbanyak pada anak-anak. Suhu tubuh dikendalikan oleh suatu bagian dari
otak yang disebut hipotalamus. Hipotalamus berusaha agar suhu tubuh
tetap hangat (36,5-37,50C) meskipun lingkungan luar tubuh berubah-ubah.
Hipotalamus mengatur suhu dengan cara menyeimbangkan antara
produksi panas pada otot dan hati, dan pengeluaran panas pada kulit dan
paru-paru. Ketikaa terjadi infeksi, sistem kekebalan tubuh meresponnya
dengan melepaskan zat kimia dalam aliran darah. Zat kimia tersebut akan
merangsang hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh dan akhirnya akan
menambah jumlah sel darah putih yang berguna dalam melawan kuman
(FKUI, 2007). Pada penelitian ini mayoritas responden mengalami febris,
karena febris merupakan tanda dan gejala dari penyakit lainnya sehingga
perlu dilakukan observasi lebih lanjut agar tidak terjadi komplikasi
lanjutan dan merupakan kebijakan rumah sakit.
2. Tingkat Kecemasan Responden
a. Perbedaan Tingkat Kecemasan Anak Sebelum Terapi Musik Klasik
Mozart Pada Kelompok 30 Menit dan 45 Menit
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada awalnya tingkat
kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi di RSUD Banyumas tidak
memiliki perbedaan antara kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit.
Hal itu terlihat pada tabel 4.6. dimana diperoleh nilai p value sebesar 0,743
dengan α=0,05. Karena nilai p value>0,05, yang berarti tidak ada
perbedaan tingkat kecemasan pasien yang mengalami hospitalisasi pada
kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit, dengan kata lain kelompok 30
menit dan kelompok 45 menit memiliki tingkat kecemasan yang sama
sebelum dilakukan pemberian terapi musik klasik Mozart, hal ini
merupakan syarat baik dilakukannya penelitian eksperimental.
Pendekatan riset eksperimental membandingkan 2 kelompok yang
homogen, seperti contoh subjek responden yang memiliki nyeri angina
ringan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama sebagai kelompok
eksperimental dan kelompok lainnya sebagai kelompok kontrol, pada awal
perlakuan kedua kelompok tersebut memiliki tingkat nyeri angina yang
sama, kemudian diberikan perlakuan pada kelompok eksperimental untuk
melihat apakah ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok
tersebut (Demsey P.A & Demsey A. D., 2002). Sesuai dengan tinjauan
pustaka diatas maka pada pendekatan eksperimental kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan memiliki kesetaraan (homogen), sehingga
eksperiment dapat dilakukan untuk melihat perubahan pada kedua
kelompok untuk melihat hasil signifikan setelah eksperiment. Peneliti
melakukan pengukuran terlebih dahulu tentang tingkat kecemasan anak
yang mengalami hospitalisasi untuk memastikan perubahan tingkat
kecemasan setelah diberikan terapi musik klasik Mozart.
b. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan
Sesudah Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok
Terapi 30 Menit
Berdasarkan tabel 4.7. menunjukan bahwa pada kelompok 30
menit tidak menunjukan perubahan tingkat kecemasan yang signifikan
pada saat sebelum dan sesudah terapi. Hasil analisis menggunakan uji
statistik Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) diperoleh
nilai p value adalah 0,257 dengan demikian p value > α (0,257 >0,05),
maka Ho diterima. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat
kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 30 menit. Hal ini
dapat disebabkan karena ketika diberikan terapi musik klasik Mozart
responden juga mendapat tindakan invasif yang menimbulkan rasa sakit
sehingga meningkatkan kecemasan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Miller & Bornstein cit
Schou (2008) dalam perbandingan beberapa metode yang dilakukan oleh
Miller dan Bornstein didapatkan hasil bahwa pemberian terapi musik
selama 30 menit tidak memiliki efek meningkatkan relaksasi. Sehingga
mereka menyarankan untuk menambah durasi pemberian terapi musik
yang lebih lama, hal ini diharapkan akan memberikan hasil yang lebih
baik. Tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan dengan hasil penelitian
Suhartini (2008) Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang
menggunakan musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau
memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif, dan sosial bagi individu dari
berbagai kalangan usia. Pemberian terapi musik selama 30 menit efektif
untuk menurunkan perubahan respon fisiologis terhadap kecemasan yang
dirawat diruang ICU-ICCU. Dan hasil penelitian ini juga tidak sejalan
dengan hasil penelitian Arslan, Ozer, & Ozyurt (2008). Pemberian durasi
musik selama 30 menit penggunaan terapi musik bermanfaat sebagai
intervensi keperawatan mandiri untuk mengelola kecemasan pra operasi
pada pasien yang menjalani operasi urogenital. Mendengarkan musik yang
dipilih sendiri selama periode pra operasi secara efektif dapat mengurangi
tingkat kecemasan dan harus menjadi alat yang berguna ketika sesi pra
operasi.
c. Perubahan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Sebelum Dan
Sesudah Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart Pada Kelompok
Terapi 45 Menit
Berdasarkan tabel 4.8. hasil analisis menggunakan uji statistik
Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan hasil
uji ini, didapatkan nilai p value adalah 0,006 dengan demikian p value < α
(0,006<0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap
tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45
menit.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sendelbach & Halm cit
Arslan, Ozer & Ozyurt (2007) Tingkat kecemasan pada kelompok musik
secara statistik signifikan lebih rendah pada post test setelah diberikan
terapi musik selama 45 menit dibandingkan pada kelompok kontrol. Studi
eksperimental menyelidiki efek fisiologis dan psikologis musik pada
pasien yang menjalani operasi jantung menemukan penurunan tingkat
kecemasan kelompok musik. Studi yang menyelidiki efek musik pada
pasien yang lebih tua yang menjalani operasi jantung, tingkat kecemasan
kelompok yang diberi terapi musik lebih rendah daripada kelompok
kontrol. Setelah terapi musik selama 45 menit pada pasien operasi jantung
ditemukan bahwa musik menjadi lebih bermanfaat untuk relaksasi dan
menunjukkan ada perbedaan dalam kelompok, yaitu menunjukkan
penurunan kecemasan pada semua kelompok setelah sesi pra operasi dan
sesi pasca operasi . Pengaruh yang signifikan ditemukan ketika
membandingkan tindakan dilakukan setelah sesi pra operasi dan setelah
sesi pasca operasi antara sesi hari ke tiga dan empat, dan perbedaan
signifikan yang diidentifikasi dalam efek antar kelompok (Schou, 2008).
d. Tingkat Kecemasan Anak Sesudah Terapi Musik Klasik Mozart Pada
Kelompok 30 Menit dan 45 Menit
Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa hasil analisis dari uji
statistik Mann-Whitney pada saat sesudah perlakuan diperoleh nilai p value
sebesar 0,025 dengan α=0,05. Karena nilai p value < 0,05 (0,025<0,05)
maka Ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan pengaruh durasi
pemberian terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada
anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-
tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok terapi 30 menit dan 45
menit sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart, dengan kata lain
antara kelompok 30 menit dan 45 menit memiliki tingkat kecemasan yang
berbeda setelah dilakukan pemberian terapi musik klasik Mozart.
Perubahan tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi
antara kelompok yang diberi terapi musik klasik Mozart selama 30 menit
dan 45 menit mengalami perbedaan. Berdasarkan hasil penelitian,
menunjukan bahwa tingkat kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi
sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart pada kelompok 30 menit
tidak mengalami perubahan yang signifikan jika dilihat dari hasil p value,
sedangkan pada kelompok 45 menit mengalami perubahan yang signifikan
jika dilihat dari hasil p value.
Perubahan pada kelompok 45 menit dapat terjadi karena adanya
pengaruh durasi yang lebih lama yaitu selama 45 menit pada saat
pemberian terapi musik klasik Mozart, dan pada kelompok 30 menit
sebelumnya terdapat beberapa masalah, diantaranya ketika diberikan terapi
musik terdapat peningkatan kecemasan yang dialami responden akibat
prosedur invasif. Pada kelompok 45 menit ada responden yang tertidur
saat diberikan terapi, tetapi pada kelompok 30 menit tidak ada responden
yang tertidur. Peneliti menggunakan musik klasik Mozart untuk anak
dengan judul Mozart Wombsong Musical Soup, dengan tempo yang
lambat. Hal ini sejalan bahwa musik klasik Mozart memberikan
ketenangan, memperbaiki persepsi spasial dan memungkinkan pasien
untuk berkomunikasi baik dengan hati maupun pikiran. Musik klasik
Mozart juga memiliki irama, melodi, dan frekuensi tinggi yang dapat
merangsang dan menguatkan wilayah kreatif dan motivasi di otak. Musik
klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki komposer lain. Musik
klasik Mozart memiliki kekuatan yang membebaskan, mengobati dan dan
menyembuhkan (Musbikin, 2009).
e. Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart
Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Yang Mengalami
Hospitalisasi Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
Perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart
terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi dapat
dilihat dari penilaian melalui face anxiety scale for children yang diujikan
sebelum dan setelah pemberian terapi pada kedua kelompok. Data
dianalisa dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney dan Wilcoxon.
Dari uji statistik Mann-Whitney diperoleh nilai p value sebesar 0,025
dengan α=0,05; nilai p value<0,05 pada saat sesudah perlakuan, maka Ho
ditolak yang berarti terdapat perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi
musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak yang
mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada
kelompok 30 menit dan 45 menit. Sedangkan hasil uji menggunakan uji
statistik Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) didapatkan
nilai p value adalah 0,006 dengan demikian p value < α (0,006<0,05),
maka Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan
anak yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-
tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok 45 menit.
Penelitian Soeparmin, Suarjaya dan Tyas (2008) mengenai
pengaruh musik klasik terhadap kecemasan anak saat perawatan gigi
menunjukkan kecemasan anak berkurang pada perawatan gigi dengan
menggunakan fasilitas musik, dan penurunan kecemasan pada anak
perempuan lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Anak yang mengalami
penurunan kecemasan lebih banyak dibandingkan anak yang mengalami
peningkatan kecemasan saat perawatan gigi dengan menggunakan fasilitas
musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik memilki efek menguntungkan
yang signifikan dalam menanggulangi dan menurunkan tingkat kecemasan
pasien anak selama perawatan gigi berlangsung.
Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang
terorganisir yang terdiri dari melodi, ritme dan harmoni. Melodi
mempengaruhi tubuh, ritme atau irama mempengaruhi jiwa, sedangkan
harmoni mempengaruhi roh. Banyak dari proses kehidupan kita yang
berakar dari irama, sebagai contoh, irama detak jantung, pernafasan,
sampai berbagai aktivitas otak. Musik dalam bidang kedokteran memiliki
hubungan sejarah yang erat dan panjang. Sejak zaman Yunani kuno musik
digunakan sebagai sarana untuk meringankan penyakit dan membantu
pasien dalam mengatasi emosi yang menyakitkan seperti kecemasan,
kesedihan, dan kemarahan. Ketika musik diaplikasikan sebagai salah satu
cara distraksi untuk mengurangi kecemasan, musik dapat memberikan
kenyamanan dan relaksasi yang merupakan salah satu cara menurunkan
`kecemasan psikologis dan prilaku individual yang menunggu perawatan
ataupun yang sedang dalam perawatan. Pada saat music diperdengarkan,
musik mampu merangsang pengeluaran gamma amino butric acid
(GABA), enkephalin, beta endorphin. Zat-zat tersebut dapat menimbulkan
efek analgesia sehingga dapat mengurangi tingkat kecemasan pasien
(Soeparmin, Suarjaya dan Tyas, 2008).
Musik sebagai gelombang suara dapat meningkatkan suatu respon
seperti peningkatan endorphin yang dapat mempengaruhi suasana hati dan
dapat menurunkan kecemasan pasien. Musik memiliki sifat yang universal
dan sangat mudah diterima oleh organ pendengaran dan tidak dibatasi pula
oleh fungsi intelektual. Musik klasik memiliki kejernihan keanggunan, dan
kebeningan, musik ini mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan, dan
persepsi. Pada dasarnya semua jenis musik sebenarnya dapat digunakan
dalam usaha menurunkan kecemasan anak. Seringkali dianjurkan memilih
musik relaksasi dengan tempo sekitar 60 ketukan/menit, sehingga
didapatkan keadaan istirahat yang optimal. Musik klasik sering menjadi
acuan karena berirama tenang dan mengalun lembut. Pemilihan musik
klasik lebih didasarkan pada keyakinan banyak ahli bahwa irama dan
tempo kebanyakan musik klasik mengikuti kecepatan detak jantung
manusia yaitu sekitar 60 detak/menit. Terapi musik sangat efektif
digunakan untuk mengurangi kecemasan pada pasien yang akan menjalani
prosedur medik termasuk pasien anak(Soeparmin, Suarjaya dan Tyas,
2008).
C. Kelemahan Penelitian
Kelemahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Objek penelitian yang hanya dilakukan pada satu institusi rumah sakit saja.
Akan lebih baik bila penelitian serupa dilakukan di beberapa rumah sakit dan
di lingkungan yang lebih tepat dalam lingkup yang lebih besar serta dilakukan
dalam waktu yang lebih lama.
2. Adanya faktor confounding yang tidak dikendalikan pada penelitian ini yaitu:
jenis penyakit yang diderita oleh responden, dilakukan tindakan invasif saat
yang dilakukan bersamaan dengan terapi musik, pangaruh pengalaman
hospitalisasi sebelumnya, dan tidak ada pemisahan kategori kronik maupun
kategori akut pada responden.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan mengenai perbedaan pengaruh
durasi pemberian terapi musik klasik Mozart pada anak yang mengalami
hospitalisasi di RSUD Banyumas pada saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik responden dalam penelitian pada kelompok 30 menit adalah
berusia 5 tahun, jenis kelamin perempuan dengan penyakit febris. Sedangkan
pada kelompok 45 menit berusia 10 tahun, perempuan dan dengan penyakit
febris.
2. Tingkat kecemasan anak sebelum terapi musik klasik Mozart pada kelompok
30 menit dan 45 menit menunjukkan tidak memiliki perbedaan.
3. Tingkat kecemasan anak sebelum dan sesudah terapi musik klasik Mozart
pada kelompok 30 menit tidak menunjukan perubahan.
4. Tingkat kecemasan anak sebelum dan sesudah terapi musik klasik Mozart
pada kelompok 45 menit menunjukan pengaruh terhadap tingkat kecemasan
anak yang mengalami hospitalisasi.
5. Tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi di RSUD
Banyumas sesudah dilakukan terapi musik klasik Mozart antara kelompok 30
menit dan kelompok 45 menit menunjukan adanya perbedaan, dengan kata
lain antara kelompok 30 menit dan kelompok 45 menit memiliki tingkat
kecemasan yang berbeda sesudah diberikan terapi musik klasik Mozart.
6. Ada perbedaan pengaruh durasi pemberian terapi musik klasik Mozart
terhadap tingkat kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi saat
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di RSUD Banyumas pada kelompok
45 menit.
B. Saran
Berdasarkan penelitian dan pembahasan mengenai perbedaan pengaruh durasi
pemberian terapi musik klasik Mozart terhadap tingkat kecemasan pada anak
yang mengalami hospitalisasi saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di
RSUD Banyumas, peneliti ingin menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Bagi institusi Rumah Sakit
Bagi institusi Rumah Sakit diharapkan dapat mempertimbangkan
untuk diterapkannya sebagai asuhan keperawatan dengan pemberian terapi
musik klasik Mozart untuk menurunkan tingkat kecemasan pada pasien anak
selama hospitalisasi dan terapi yang diberikan selama minimal 45 menit.
2. Penelitian keperawatan
Bagi penelitian keperawatan diharapkan dapat dilakukan penelitian
lanjutan mengenai pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap perubahan
tanda-tanda vital pada pasien yang mengalami hospitalisasi dan tindakan
invasif, dengan pemberian terapi lebih dari sekali selama anak mengalami
hospitalisasi.
3. Bagi Masyarakat/orangtua
Bagi masyarakat khususnya orangtua dapat mempertimbangkan
memberikan terapi mendengarkan musik pada anak yang mengalami
kecemasan baik di rumah maupun di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Aidar, N. (2011). Hubungan peran keluarga dengan tingkat kecemasan anak usia
sekolah (6-12 tahun) yang mengalami hospitalisasi di ruang III Rumah
Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/handle /123456789/27095.
Amsila, N. (2011). Pengaruh musik klasik dan pop terhadap kemampuan
pemecahan masalah spasial ditinjau dari dimensi kepribadian ekstrovert
dan introver. Skripsi, Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/26497.
Arslan, Sevban., Ozer, Nadiye., & Ozyurt, Funda. (2008). Effect of music on
preoperative anxiety in men undergoing urogenital surgery. Australian
Journal of Advanced Nursing, Volume 26, Number 2, 2008.
Campbell, D. (2001). Efek mozart, memanfaatkan kekuatan musik untuk
mempertajam pikiran, meningkatkan kreativitas, dan menyehatkan tubuh.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chandler, J. (2008). Anxiety disorders in children and adolescents.
http://www.jameschandlermd.com/anxiety/anxiety_disorder.pdf.
Demsey, P. A., & Demsey, A. D. (2002). Riset keperawatan edisi 4. Jakarta:
EGC.
Djohan. (2009). Psikologi musik. Yogyakarta: Best Publisher.
Elfira, E. (2011). Pengaruh terapi bermain dengan tehnik bercerita terhadap
kecemasan akibat hospitalisasi pada anak pra sekolah di ruang perawatan
anak di RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi, Universitas Sumatera
Utara. http://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/24484.
Farida, A. (2010). Efektifitas terapi musik terhadap penurunan nyeri post operasi
pada anak usia sekolah di RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi,
Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20095.
Febriani, L. (2011). Efektifitas terapi musik klasik untuk mengurangi kecemasan
pada ibu bersalin seksio sesarea di RSUD DR. Pirngadi Medan. Skripsi,
Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27165.
FKUI. (2007). Ilmu kesehatan anak 2. Editor: Hassan, Ruspeno. & Alatas,
Husein. Jakarta: FK UI.
Hawari, D. (2004). Manajemen stress, cemas dan depresi. Jakarta: FK UI.
Hidayat, A. A. (2005). Pengantar ilmu keperawatan anak 1. Jakarta: Salemba
Medika.
_____________. (2007). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data.
Jakarta: Salemba Medika.
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2007). Wong’s nursing care of infants and
children (8th ed.). St. Louis: Mosby Elsevier.
Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa (Indonesia). (2008).
Kamus besar bahasa indonesia pusat bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kamien, R. (2004). Music: an appreciation (4th ed). New York : McGraw-Hill.
Kanthil, R. (2013). Buku register ruang kanthil 2013. Banyumas: Ruang Kanthil
RSUD Banyumas.
Kaplan, H.I & Sadock, B. J. (2002). Sinopsis psikiatri jilid 2. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (KPP & PA).
(2012). Profil anak indonesia 2012. Jakarta: CV. Miftahur Rizky.
Lutfhi, A. (2007). Pengaruh terapi bermain terhadap kecemasan anak pre-sekolah
yang dirawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit Sarila Husada Sragen.
Skripsi, Universitas Muhamadiyah Surakarta.
http://etd.eprints.ums.ac.id/16625/.
Maslihah, S. (2006). Perkembangan anak usia prasekolah. Materi disampaikan
pada pelatihan training for trainer (tft) tingkat nasional lembaga
pendidikan prasekolah raudhoh. Bandung: Bumi Kitri.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/197007262003122-
SRI_MASLIHAH/MAKALAH_PELATIHAN.pdf
McMurtry, C.M., Noel, M., Chambers, C.T., McGrath, P.J. (2011). Children’s
fear during procedural pain: Preliminary investigation of the Children’s
Fear Scale. Health Psychology, Advanced Access Online.
Merritt, S. (2003). Simfoni otak. Bandung : Kaifa.
Monks, F. J., Knoers AMP., & Hadinoto, S. R. (2006). Psikologi perkembangan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Musbikin, I. (2009). Kehebatan musik untuk mengasah kecerdasan anak.
Jogjakarta: Power Books (IHDINA).
Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit edisi 2. Jakarta: EGC.
Nevid, J. S. (2005). Psikologi abnormal edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Notoatmodjo. (2003). Metodologi penelitian kesehatan edisi ke 2. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nursalam.(2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
_________. (2005). Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta : Salemba
Medika.
Primadita, A. (2011). Efektifitas intervensi terapi musik klasik terhadap stress
dalam menyusun skripsi pada mahasiswa PSIK UNDIP Semarang. Skripsi,
Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id .
Potter & Perry. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan volume 1, Edisi 4.
Jakarta: EGC.
Prabowo, H. & Regina, H.S. (2007). Tritmen meta musik untuk menurunkan stres.
http://repository.gunadarma.ac.id.
Purba, M. & Pasaribu, B. M. (2006). Musik populer. Jakarta : Pendidikan Seni
Nusantara.
Rahayu, I. (2011). Pengaruh mendongeng terhadap penurunan tingkat kecemasan
akibat hospitalisasi pada anak usia (6-8 tahun) sekolah di ruang Aster
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Skripsi, Universitas
jenderal Soedirman.
Rasmun, (2004). Stres, koping dan adaptasi. Jakarta : Sagung Seto.
Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Purwokerto: UPT.
Percetakan dan Penerbitan UNSOED.
Sari, F. S., & Sulisno, Madya. (2012). Hubungan kecemasan ibu dengan
kecemasan anak saat hospitalisasi anak. Journal Nursing Study. Volume 1,
Nomor 1, Tahun 2012. Hal 51-59.
Satiadarma, M.(2002). Terapi musik, Cetakan Pertama. Jakarta: Milenia Populer.
Satiadarma, M. P & Zahra. (2004), Cerdas dengan musik. Jakarta: Puspa Suara.
Schou, K. (2008). Music therapy for post operative cardiac patients, a randomized
controlled trial evaluating guided relaxation with music and music
listening on anxiety, pain, and mood. Dissertation Thesis. Department of
Communication: Aalborg University.
http://www.mt-phd.aau.dk/digitalAssets/6/6484_karin_schou_thesis.pdf.
Soeparmin,Soesilo., Suarjaya, I. Kt., & Tyas, M.P. (2008). Peranan musik dalam
mengurangi kecemasan anak selama perawatan gigi. Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Spence, S.H., Rapee, R., McDonald, C., & Ingram, M. (2001). The structure of
anxiety symptoms among preschoolers. Behaviour research and therapy,
39, 1293 - 1316.
Spence, S. H., Barrett, P. M., Turner, C. M. (2003). Psychometric properties of
the spence children’s anxiety scale with young adolescents. Journal of
Anxiety Disorders, 17 (2003) 605–625.
Sulistiyani, E. (2009). Pengaruh pemberian kompres es batu terhadap penurunan
tingkat nyeri pada anak prasekolah yang dilakukan prosedur pemasangan
infus di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Thesis, Universitas
Indonesia. www.lontar.ui.ac.id .
Supartini, Y. (2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak, Cetakan 1.
Jakarta: EGC.
Stuart, G.W & Sundeen, S.J. (1998). Keperawatan jiwa, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. (2001). Buku saku keperawatan jiwa (edisi ketiga). Jakarta: EGC.
Stuart, G. W & Laraia, M. T. (2007). Principles and practice of psychiatric
nursing 8 th edition. Mosby: Elsevier Mosby.
Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suhartini. (2008). Effectiveness of music therapy toward reducing patient’s
anxiety in intensive care unit. Media Ners, Volume 2, Nomor 1, Mei 2008,
hlm 1-44. http://ejournal.undip.ac.id.
Tomb, D. A. (2004). Buku saku psikiatri edisi keenam. Jakarta: EGC.
Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta : EGC.
Wedyana D, A. A, (2009). Hubungan pola asuh orang tua terhadap tingkat
kecemasan anak usia sekolah yang menjalani rawat inap di RSUD Prof.
Dr. Margono. Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman.
Wong dan Whaley’s. (2007). Nursing care of infants and children, 8th edition. St
Louis: Mosby.
Wong, D. L., Eaton, M. H., Wilson, D., Winkelstein, M. L., Schwartz, P. (2009).
Buku ajar keperawatan pediatrik, Volume 2. Jakarta : EGC.
Lampiran 1. Permohonan menjadi responden
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth.
Orang Tua Responden
Di Ruang Kanthil RSUD Banyumas
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini dengan:
Nama : Anjar Mahanani
NIM : GID008020
Alamat : Kp. Kalijurang RT 01 RW 03 no. 83 Kec. Purwasari, Kab. Karawang.
Jawa Barat. 41373
Adalah mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Jendral Soedirman Purwokerto Akan mengadakan
penelitian dengan judul “ Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik
Klasik Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Anak Yang Mengalami Hospitalisasi
Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-tanda Vital di RSUD Banyumas”.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi
siapapun. Kerahasiaan seluruh informasi akan dijaga dan hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian. Tidak ada paksaan dalam keikutsertaan anak menjadi
responden penelitian. Untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk
menjadikan anaknya sebagai responden dalam penelitian ini, jika Bapak/Ibu
bersedia anaknya menjadi responden saya mohon Bapak/Ibu menandatangani
lembar persetujuan dan menjawab pernyataan-pernyataan pada lembar kuesioner
yang telah disediakan. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu selaku orang tua
anak saya ucapkan terima kasih.
Peneliti
Anjar Mahanani
Lampiran 2. Persetujuan menjadi Responden
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Setelah mendapat penjelasan dan saya memahami bahwa penelitian yang
berjudul “Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik
Mozart Terhadap Tingkat Kecemasan Anak yang Mengalami Hospitalisasi
Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-tanda Vital di RSUD Banyumas” ini
tidak merugikan saya dan anak saya serta telah dijelaskan secara jelas tentang tujuan
penelitian, cara pengisian kuesioner dan kerahasiaan data. Oleh karena itu, saya yang
bertanda tangan dibawah ini:
Nama Orang Tua :
Nama Anak :
Usia Anak :
Alamat :
Menyatakan bersedia turut berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang
akan dilakukan oleh Anjar Mahanani, Mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Demikian lembar persetujuan ini saya isi dengan sebenar-benarnya agar dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Purwokerto,........................................
Orang Tua Responden
(.....................................)
Lampiran 3. Data Demografi Responden
DATA DEMOGRAFI RESPONDEN
Perbedaan Pengaruh Durasi Pemberian Terapi Musik Klasik Mozart
Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak yang Mengalami Hospitalisasi
Saat Dilakukan Pemeriksaan Tanda-tanda Vital di RSUD Banyumas
Data ini harap diisi sesuai dengan kondisi yang ada, peneliti akan menjaga
kerahasiaannya dan menggunakan data ini sesuai dengan tujuan penelitian.
Identitas Responden
1. Nama Orang Tua :
2. Nama Anak :
3. Usia Anak :
4. Jenis Kelamin Anak :
5. Hasil Pemeriksaan TTV :
Pre Test Post Test
Tekanan Darah
Suhu
Nadi
Pernapasan
PERLAKUAN 30 MENIT
NO KODE Jenis
kelamin usia diagnosa
TTV PRE TTV POST FACES
ANXIETY KET
SUHU NADI RR TD SUHU NADI RR TD PRE POST
1 A1 L 6 F 36 92 28 100/70 36,4 97 30 100/70 1 3 ↑
2 A2 L 8 F 37 115 24 90/60 36, 5 106 24 90/60 1 1 ↔
3 A3 L 5 SN 35,9 92 26 100/60 35,8 90 25 100/60 2 1 ↓
4 A4 P 5 thypoid 37,3 130 27 100/60 36, 9 90 24 90/60 2 2 ↔
5 A5 L 6 VSD 36 100 40 90/60 36,5 120 50 90/40 2 3 ↑
6 A6 P 10 SN 35, 6 90 36 100/70 35, 6 90 35 100/70 1 0 ↓
7 A7 L 6 Retensi
urine 36,2 110 28 100/70 35,9 110 28 100/60 1 1 ↔
8 A8 L 6 KD 36,9 105 26 100/70 36,8 108 26 100/60 1 0 ↓
9 A9 P 5 F 38,4 120 29 110/70 38,4 120 30 110/70 2 2 ↔
10 A10 L 5 KD 37,8 104 28 100/60 36, 6 110 27 90/60 1 1 ↔
11 A11 P 5 F 36 100 25 90/70 35, 6 100 27 90/60 2 1 ↓
12 A12 L 5 DSS 38 124 29 110/70 38,4 112 29 110/70 2 2 ↔
13 A13 P 6 F 37,3 100 27 100/70 36,3 100 26 100/60 1 1 ↔
14 A14 P 5 vomitus 37,3 100 26 100/60 37 100 27 100/60 1 1 ↔
15 A15 L 8 PJB 36,2 115 29 110/70 36,9 116 28 110/70 2 1 ↓
PERLAKUAN 45 MENIT
NO KODE Jenis
kelamin usia diagnosa
TTV PRE TTV POST FACES
KET
SUHU NADI RR TD SUHU NADI RR TD PRE POST
1 F1 P 10 HSP 36,4 80 27 100/70 36,3 96 28 110/90 1 0 ↓
2 F2 P 10 Gizi
buruk 36,8 84 22 100/60 36,7 96 24 110/60 2 0 ↓
3 F3 L 10 F, SE 36,1 88 24 100/70 36 87 22 100/70 1 1 ↔
4 F4 P 10 F 36,2 112 24 100/60 36 108 23 100/60 1 1 ↔
5 F5 P 6 F 35, 6 98 27 90/60 36 99 28 90/60 1 0 ↓
6 F6 L 7 F 37,1 110 26 100/60 36,8 110 27 100/60 1 1 ↔
7 F7 P 7 F, SE 36,9 100 27 110/70 37 100 27 100/70 3 0 ↓
8 F8 L 10 SN 36,3 110 27 100/60 36, 5 110 27 100/60 1 1 ↔
9 F9 L 6 GNA 36,4 115 28 110/70 36, 6 113 26 100/70 1 1 ↔
10 F10 L 9 GNA 36 104 26 100/70 36,8 100 27 100/70 1 1 ↔
11 F11 L 8 F 37,2 100 27 100/60 36,8 100 27 110/70 2 1 ↓
12 F12 P 5 KD 36 110 27 90/70 36, 5 106 28 90/60 2 0 ↓
13 F13 P 5 DF 36,3 100 26 90/60 36,3 100 26 90/60 2 1 ↓
14 F14 L 7 GNA 35,6 112 27 90/70 35,2 120 28 100/70 1 1 ↔
15 F15 L 7 F 37, 5 110 26 100/70 36, 5 110 26 90/70 2 1 ↓
Keterangan:
Skor 0 = tidak ada kecemasan sama sekali
Skor 1 = lebih sedikit kecemasan
Skor 2 = sedikit kecemasan
Skor 3 = mengalami kecemasan
Skor 4 = kecemasan ekstrim
↑ = Peningkatan tingkat kecemasan
↓ = Penurunan tingkat kecemasan
↔ = Tetap/tidak berubah
NPar Tests
Wilcoxon Signed Ranks Test
NPar Tests
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
5a 4.00 20.00
2b 4.00 8.00
8c
15
Negativ e Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Pos Perlakuan 30 Menit -
Pre Perlakuan 30 Menit
N Mean Rank Sum of Ranks
Pos Perlakuan 30 Menit < Pre Perlakuan 30 Menita.
Pos Perlakuan 30 Menit > Pre Perlakuan 30 Menitb.
Pos Perlakuan 30 Menit = Pre Perlakuan 30 Menitc.
Test Statisticsb
-1.134a
.257
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Pos
Perlakuan 30
Menit - Pre
Perlakuan 30
Menit
Based on positive ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Ranks
9a 5.00 45.00
0b .00 .00
6c
15
Negativ e Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Pos Perlakuan 45 Menit -
Pre Perlakuan 45 Menit
N Mean Rank Sum of Ranks
Pos Perlakuan 45 Menit < Pre Perlakuan 45 Menita.
Pos Perlakuan 45 Menit > Pre Perlakuan 45 Menitb.
Pos Perlakuan 45 Menit = Pre Perlakuan 45 Menitc.
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Test Statisticsb
-2.724a
.006
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Pos
Perlakuan 45
Menit - Pre
Perlakuan 45
Menit
Based on positive ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Ranks
15 15.03 225.50
15 15.97 239.50
30
Kelompok
30 Menit
45 Menit
Total
Pre Perlakuan
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
105.500
225.500
-.328
.743
.775a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Pre Perlakuan
Not corrected f or ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
15 18.67 280.00
15 12.33 185.00
30
Kelompok
30 Menit
45 Menit
Total
Pos Perlakuan
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
65.000
185.000
-2.246
.025
.050a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed
Sig.)]
Pos
Perlakuan
Not corrected f or ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
TTV PRE PERLAKUAN 30 MENIT
Frequencies
Frequency Table
Jenis kelamin
6 40.0 40.0 40.0
9 60.0 60.0 100.0
15 100.0 100.0
Laki-laki
Perempuan
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Usia
7 46.7 46.7 46.7
5 33.3 33.3 80.0
2 13.3 13.3 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
5
6
8
10
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu (oC)
1 6.7 6.7 6.7
1 6.7 6.7 13.3
3 20.0 20.0 33.3
2 13.3 13.3 46.7
1 6.7 6.7 53.3
1 6.7 6.7 60.0
3 20.0 20.0 80.0
1 6.7 6.7 86.7
1 6.7 6.7 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
35.6
35.9
36.0
36.2
36.9
37.0
37.3
37.8
38.0
38.4
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu
5 33.3 33.3 33.3
10 66.7 66.7 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Nadi (kali /menit)
1 6.7 6.7 6.7
2 13.3 13.3 20.0
4 26.7 26.7 46.7
1 6.7 6.7 53.3
1 6.7 6.7 60.0
1 6.7 6.7 66.7
2 13.3 13.3 80.0
1 6.7 6.7 86.7
1 6.7 6.7 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
90
92
100
104
105
110
115
120
124
130
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Nadi
10 66.7 66.7 66.7
5 33.3 33.3 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
RR (kali/menit)
1 6.7 6.7 6.7
1 6.7 6.7 13.3
3 20.0 20.0 33.3
2 13.3 13.3 46.7
3 20.0 20.0 66.7
3 20.0 20.0 86.7
1 6.7 6.7 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
24
25
26
27
28
29
36
40
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
RR
10 66.7 66.7 66.7
5 33.3 33.3 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Sistol
3 20.0 20.0 20.0
12 80.0 80.0 100.0
15 100.0 100.0
90
100
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
TTV POS PERLAKUAN 30 MENIT
Frequencies
Frequency Table
Diastol
6 40.0 40.0 40.0
9 60.0 60.0 100.0
15 100.0 100.0
60
70
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu (oC)
2 13.3 13.3 13.3
1 6.7 6.7 20.0
1 6.7 6.7 26.7
1 6.7 6.7 33.3
1 6.7 6.7 40.0
2 13.3 13.3 53.3
1 6.7 6.7 60.0
1 6.7 6.7 66.7
2 13.3 13.3 80.0
1 6.7 6.7 86.7
2 13.3 13.3 100.0
15 100.0 100.0
35.6
35.8
35.9
36.3
36.4
36.5
36.6
36.8
36.9
37.0
38.4
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu
7 46.7 46.7 46.7
8 53.3 53.3 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Nadi (kali /menit)
3 20.0 20.0 20.0
1 6.7 6.7 26.7
3 20.0 20.0 46.7
1 6.7 6.7 53.3
1 6.7 6.7 60.0
2 13.3 13.3 73.3
1 6.7 6.7 80.0
1 6.7 6.7 86.7
2 13.3 13.3 100.0
15 100.0 100.0
90
97
100
106
108
110
112
116
120
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Nadi
11 73.3 73.3 73.3
4 26.7 26.7 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
RR (kali/menit)
2 13.3 13.3 13.3
1 6.7 6.7 20.0
2 13.3 13.3 33.3
3 20.0 20.0 53.3
2 13.3 13.3 66.7
1 6.7 6.7 73.3
2 13.3 13.3 86.7
1 6.7 6.7 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
24
25
26
27
28
29
30
35
50
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
RR
10 66.7 66.7 66.7
5 33.3 33.3 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Sistol
5 33.3 33.3 33.3
10 66.7 66.7 100.0
15 100.0 100.0
90
100
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Diastol
1 6.7 6.7 6.7
9 60.0 60.0 66.7
5 33.3 33.3 100.0
15 100.0 100.0
40
60
70
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
TTV PRE PERLAKUAN 45 MENIT
Frequencies
Frequency Table
Jenis kelamin
7 46.7 46.7 46.7
8 53.3 53.3 100.0
15 100.0 100.0
Laki-laki
Perempuan
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Usia
2 13.3 13.3 13.3
2 13.3 13.3 26.7
4 26.7 26.7 53.3
1 6.7 6.7 60.0
1 6.7 6.7 66.7
5 33.3 33.3 100.0
15 100.0 100.0
5
6
7
8
9
10
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu (oC)
2 13.3 13.3 13.3
2 13.3 13.3 26.7
1 6.7 6.7 33.3
1 6.7 6.7 40.0
2 13.3 13.3 53.3
2 13.3 13.3 66.7
1 6.7 6.7 73.3
1 6.7 6.7 80.0
1 6.7 6.7 86.7
1 6.7 6.7 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
35.6
36.0
36.1
36.2
36.3
36.4
36.8
36.9
37.1
37.2
37.5
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu
5 33.3 33.3 33.3
10 66.7 66.7 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Nadi (kali /menit)
1 6.7 6.7 6.7
1 6.7 6.7 13.3
1 6.7 6.7 20.0
1 6.7 6.7 26.7
3 20.0 20.0 46.7
1 6.7 6.7 53.3
4 26.7 26.7 80.0
2 13.3 13.3 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
80
84
88
98
100
104
110
112
115
Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Nadi
12 80.0 80.0 80.0
3 20.0 20.0 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
RR (kali/menit)
1 6.7 6.7 6.7
2 13.3 13.3 20.0
4 26.7 26.7 46.7
7 46.7 46.7 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
22
24
26
27
28
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
RR
15 100.0 100.0 100.0NormalValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Sistol
4 26.7 26.7 26.7
9 60.0 60.0 86.7
2 13.3 13.3 100.0
15 100.0 100.0
90
100
110
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
TTV POS PERLAKUAN 45 MENIT
Frequencies
Frequency Table
Diastol
7 46.7 46.7 46.7
8 53.3 53.3 100.0
15 100.0 100.0
60
70
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu (oC)
1 6.7 6.7 6.7
3 20.0 20.0 26.7
2 13.3 13.3 40.0
3 20.0 20.0 60.0
1 6.7 6.7 66.7
1 6.7 6.7 73.3
3 20.0 20.0 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
35.2
36.0
36.3
36.5
36.6
36.7
36.8
37.0
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Suhu
9 60.0 60.0 60.0
6 40.0 40.0 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Nadi (kali /menit)
1 6.7 6.7 6.7
2 13.3 13.3 20.0
1 6.7 6.7 26.7
4 26.7 26.7 53.3
1 6.7 6.7 60.0
1 6.7 6.7 66.7
3 20.0 20.0 86.7
1 6.7 6.7 93.3
1 6.7 6.7 100.0
15 100.0 100.0
87
96
99
100
106
108
110
113
120
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
Nadi
13 86.7 86.7 86.7
2 13.3 13.3 100.0
15 100.0 100.0
Normal
Tidak Normal
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
RR (kali/menit)
1 6.7 6.7 6.7
1 6.7 6.7 13.3
1 6.7 6.7 20.0
3 20.0 20.0 40.0
5 33.3 33.3 73.3
4 26.7 26.7 100.0
15 100.0 100.0
22
23
24
26
27
28
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
RR
15 100.0 100.0 100.0NormalValid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent