Upload
dinhdiep
View
277
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
ISOLASI Salmonella spp. PADA SAYURAN SEGAR DI WILAYAH
BOGOR DAN EVALUASI PENGARUH PERLAKUAN PENCUCIAN
DENGAN SANITAISER KOMERSIAL
Oleh :
RAJA OLOAN IHOTMA SIAHAAN
F24052255
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ISOLASI Salmonella spp. PADA SAYURAN SEGAR DI WILAYAH
BOGOR DAN EVALUASI PENGARUH PERLAKUAN PENCUCIAN
DENGAN SANITAISER KOMERSIAL
Oleh :
RAJA OLOAN IHOTMA SIAHAAN
F24052255
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Isolasi Salmonella spp. Pada Sayuran Segar di Wilayah Bogor
dan Evaluasi Pengaruh Perlakuan Pencucian dengan Sanitaiser
Komersial
Nama : Raja Oloan Ihotma Siahaan
NIM : F24052255
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Dr. Suliantari, MS) (Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum)
NIP: 19500928 198003 2 001 NIP: 19640502 199303 2 004
Mengetahui:
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah)
NIP: 19650814 199002 1 001
Tanggal Lulus:
RAJA OLOAN IHOTMA SIAHAAN. F24052255. Isolasi Salmonella spp. Pada
Sayuran Segar di Wilayah Bogor dan Evaluasi Pengaruh Perlakuan Pencucian
dengan Sanitaiser Komersial. Di bawah bimbingan Dr. Suliantari, MS dan Dr. Ir.
Harsi D. Kusumaningrum.
RINGKASAN
Sayuran dan buah-buahan banyak mengandung vitamin dan mineral yang
sangat dibutuhkan oleh tubuh. Namun, kandungan vitamin dan mineral tersebut
dapat menurun jika sayuran dan buah-buahan tersebut mengalami pengolahan.
Oleh sebab itu, sebagian masyarakat di Indonesia lebih suka untuk mengonsumsi
sayuran dalam keadaan segar tanpa proses pengolahan yang kita kenal sebagai
lalapan. Sayuran segar tanpa pengolahan dapat juga terkontaminasi oleh bakteri
patogen berbahaya. Hal ini dapat terjadi karena perlakuan sayuran segar yang
kurang baik saat di tingkat petani sampai tingkat pedagang sehingga sering terjadi
kontaminasi saat pemanenan, pengangkutan, atau pemasaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran Salmonella spp.
pada beberapa jenis sayuran segar di kota Bogor serta mengevaluasi efektivitas
pencucian dalam menurunkan kadar cemaran Salmonella pada sayuran segar
terutama pada selada. Penelitian ini terdiri dari dua tahap, pada tahap pertama
dilakukan isolasi Salmonella spp. dari sayuran segar yang terdiri dari proses
pengambilan sampel, persiapan sampel, analisis total mikroba, isolasi dan
identifikasi. Sampel sayuran segar terdiri dari selada, pohpohan, dan tauge yang
berasal dari supermarket dan pasar tradisional. Pada tahap kedua dilakukan
evaluasi efektivitas perlakuan pencucian dengan air matang dan larutan sanitaiser
komersial terhadap salah satu jenis sayuran yaitu selada yang telah dikontaminasi
Salmonella spp. sebesar 3 log CFU/g dengan menganalisis kandungan Salmonella
dan total mikroba setelah perlakuan pencucian.
Hasil analisis total mikroba menunjukkan bahwa rata-rata total mikroba
pada sampel selada adalah 7,3 log CFU/g, pada sampel pohpohan adalah 7,2 log
CFU/g, dan pada tauge adalah 8,0 log CFU/g. Hasil isolasi Salmonella
menunjukkan bahwa dari 30 sampel sayuran yang dianalisis dengan uji API 20E
terdapat 2 sampel (6,7%) yang mengandung Salmonella. Penurunan kandungan
Salmonella spp. pada selada setelah dicuci dengan air matang adalah 0,4 log
CFU/g atau setara dengan 36%, sedangkan larutan sanitaiser komersial dapat
menurunkan hingga 0,9 log CFU/g yang setara dengan 81%. Penurunan
kandungan total mikroba pada selada setelah dicuci dengan air matang adalah 0,1
log CFU/g atau setara dengan 9%, sedangkan larutan sanitaiser komersial dapat
menurukan 0,9 log CFU/g yang setara dengan 81%. Hasil Uji T menunjukkan
bahwa penurunan total Salmonella dan total mikroba yang dicuci dengan air
matang dan larutan sanitaiser komersial tidak memberikan perbedaan yang nyata
(P>0,05). Pencucian selada dengan air matang maupun larutan sanitaiser
komersial hanya menurunkan kandungan Salmonella dan total mikroba tidak lebih
dari 1,0 log CFU/g.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 21 Agustus
1987. Penulis adalah anak pertama dari empat
bersaudara, dari pasangan Hotang Siahaan, SH, MM dan
Iriani Pakpahan. Penulis menyelesaikan pendidikan
dasar pada tahun 1999 di SD Santo Bellarminus
Menteng, Jakarta Pusat kemudian melanjutkan
pendidikan menengah pertama di SMP Santo
Bellarminus Menteng, Jakarta Pusat hingga tahun 2002. Penulis menamatkan
pendidikan menengah atas di SMAN 68 Jakarta pada tahun 2005. Pada tahun
2005, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui
jalur USMI.
Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi
asisten praktikum Mikrobiologi Pangan pada semester ganjil tahun 2009/2010 dan
asisten mata kuliah Agama Kristen pada semester ganjil tahun 2008/2009. Penulis
juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan kemahasiswaan, seperti staff Divisi
Kewirausahaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FATETA periode 2006/2007,
koordinator acara pada kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen ITP “BAUR”
tahun 2007, koordinator bidang Fermentasi Food Processing Club HIMITEPA
tahun 2008, dan Ketua Panitia Retreat Angkatan PMK IPB tahun 2009. Penulis
juga turut aktif dalam Komisi Kesenian PMK IPB.
Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Isolasi
Salmonella spp. pada Sayuran Segar di Wilayah Bogor dan Evaluasi
Pengaruh Perlakuan Pencucian dengan Sanitaiser Komersial” di bawah
bimbingan Dr. Suliantari, MS dan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum.
i
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan pertolongan-Nya dalam penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penyusunan skripsi yang berjudul “Isolasi Salmonella
spp. Pada Sayuran Segar di Wilayah Bogor dan Evaluasi Pengaruh Perlakuan
Pencucian dengan Sanitaiser Komersial” ini didasarkan pada penelitian yang telah
dilaksanakan sejak Nopember 2008 hingga Nopember 2009 di Laboratorium
Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga banyak sekali mendapatkan bantuan, bimbingan, saran, kritik,
dan motivasi dari berbagai pihak selama penelitian dan saat menyelesaikan skripsi
ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan ucapan terima
kasih kepada:
1. Dr. Suliantari, MS atas segala bimbingan, perhatian dan motivasi yang
diberikan selama masa studi di IPB.
2. Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum atas bimbingan, bantuan dana penelitian
dan segala saran yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan
karya ilmiah ini.
3. Antung Sima Firlieyanti, STP, MSc selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan kritik dalam penyempurnaan penulisan karya
ilmiah ini.
4. Orang tua Bapak Hotang Siahaan, SH, MM dan Ibu Iriani B.U. Pakpahan
serta adik-adik Mario Reinaldo Siahaan, Devi Natalia Siahaan dan
Ronaldo Junior Siahaan atas segala doa dan dukungan baik secara moril
maupun materil.
5. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian antara lain: Tjan, Nina S.R.,
Ikhwan, Khrisia, Abigail atas segala bantuan dan semangat yang
diberikan.
ii
6. Teman-teman pejuang STP ITP 42 atas warna-warni persahabatan yang
kalian berikan.
7. Seluruh laboran dan teknisi ITP spesial untuk Mas Edi, Mbak Ari, Pak
Sidik, Pak Rojak dan Mas Aldi atas segala bantuan yang diberikan kepada
penulis selama penelitian.
8. Sahabat-sahabat di kamar asrama 235 (termasuk penghuni gelapnya)
antara lain Frizt M. L. Aritonang, SIK, Alessandro E. Ginting, SE dan
Dolly Robertho Sinaga, STP atas segala doa dan semangat yang kalian
berikan.
9. Penghuni Pondok Joglo spesial untuk Adit, Deni, Tegar, Niko, Bakur &
Andros, Hafiz, Bang Felix, Sahrul dan Dmitry atas segala kebersamaan
yang kalian berikan.
10. Teman-teman Komisi Kesenian angkatan 42 atas segala doa dan sukacita
yang diberikan selama studi di IPB.
11. Teman-teman Komisi Pelayanan Anak angkatan 42 spesial untuk Natalia
Puspasari, S.Pi dan Astrid Rahayu Kristi, S.KPm atas segala cinta kasih,
doa dan motivasi yang kalian berikan.
12. Iqbal Suhaemi Gultom, SIK dan Ikfina Chairani Nasution sebagai
konsultan dalam pengujian statistika pada penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................... 3
C. MANFAAT PENELITIAN ........................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
A. SALMONELLA .............................................................................................. 4
B. SALMONELLOSIS ....................................................................................... 10
C. SAYURAN SEGAR .................................................................................... 11
D. SELADA (Lactuca sativa L.) ...................................................................... 12
E. POHPOHAN (Pilea melastomoides (Poir.) Wedd.) .................................... 14
F. TAUGE (Vigna radiate (L.) Wilczek)......................................................... 15
G. PENCUCIAN SAYURAN .......................................................................... 17
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 20
A. BAHAN DAN ALAT .................................................................................. 20
1. Bahan Baku ............................................................................................. 20
2. Media ...................................................................................................... 20
3. Kultur ...................................................................................................... 20
4. Bahan kimia ............................................................................................ 20
5. Alat .......................................................................................................... 20
B. METODE PENELITIAN ............................................................................ 21
1. Isolasi dan Identifikasi Salmonella spp. pada Sayuran Segar ................. 22
2. Evaluasi Pengaruh Perlakuan Pencucian ................................................ 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 33
A. Total Mikroba dan Cemaran Salmonella spp. pada Sayuran Segar ............. 33
1. Karakteristik Sampel ............................................................................... 33
iv
2. Total Mikroba ......................................................................................... 34
3. Cemaran Salmonella spp. pada Sampel Selada, Pohpohan dan Tauge... 40
B. Efektivitas Pencucian Terhadap Kandungan Bakteri Salmonella spp. dan
Total Mikroba pada Selada .......................................................................... 49
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 55
A. KESIMPULAN ........................................................................................... 55
B. SARAN ........................................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56
LAMPIRAN .......................................................................................................... 62
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kandungan nutrisi dalam 100 g selada ................................................... 13
Tabel 2. Kandungan gizi berbagai jenis tauge ...................................................... 16
Tabel 3. Data jumlah sampel sayuran segar .......................................................... 22
Tabel 4. Kondisi penyimpanan sampel sayuran segar di pasar supermarket dan
pasar tradisional ...................................................................................... 33
Tabel 5. Jumlah koloni yang diduga Salmonella setelah uji konfirmasi biokimia
pada media TSIA dan LIA ...................................................................... 44
Tabel 6. Hubungan hasil API 20E dan kombinasi hasil tes biokimia pada media
TSIA, LIA, dan Urea broth .................................................................... 48
Tabel 7. Persentase Salmonella yang dapat diisolasi dari sampel ........................ 49
Tabel 8. Total mikroba pada daun selada selama perlakuan pencucian dengan air
matang dan pencucian dengan larutan sanitaiser komersial ................... 50
Tabel 9. Total Salmonella pada daun selada selama perlakuan pencucian dengan
air matang dan pencucian dengan larutan sanitaiser komersial .............. 51
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pertumbuhan Salmonella pada media HEA (A), XLDA (B), dan BSA
(C) (Difco and BBL Manual, 2003) ...................................................... 8
Gambar 2. Pertumbuhan Salmonella pada media TSIA dan LIA (Difco and BBL
Manual, 2003) ...................................................................................... 10
Gambar 3. Selada (Lactuca sativa L.) ................................................................... 13
Gambar 4. Pohpohan (Pilea melastomoides (Poir.) Wedd.) ................................. 14
Gambar 5. Tauge (Vigna radiate (L.) Wilczek) .................................................... 16
Gambar 6. Diagram alir penelitian Tahap II (evaluasi pengaruh pencucian) ....... 21
Gambar 7. Total mikroba pada selada................................................................... 35
Gambar 8. Total mikroba pada pohpohan ............................................................. 35
Gambar 9. Total mikroba pada tauge .................................................................... 36
Gambar 10. Hasil positif Salmonella pada media LB ........................................... 41
Gambar 11. Hasil positif Salmonella pada media RV (A) dan TTB (B) .............. 41
Gambar 12. Pertumbuhan koloni tipikal Salmonella pada media HEA (A), XLDA
(B), dan BSA (C) ............................................................................... 42
Gambar 13. Pertumbuhan koloni atipikal Salmonella pada media HEA .............. 42
Gambar 14. Hasil konfirmasi biokomia pada media TSIA dan LIA .................... 42
Gambar 15. Hasil positif pada Urea broth ............................................................ 43
Gambar 16. Persentase koloni yang diduga Salmonella setelah uji konfirmasi
biokimia pada media TSIA dan LIA terhadap jumlah koloni yang
diisolasi dari media HEA, XLDA, dan BSA ..................................... 44
Gambar 17. Hasil indentifikasi Salmonella dengan API 20E ............................... 46
Gambar 18. Hasil indentifikasi non-Salmonella dengan API 20E ........................ 47
Gambar 19. Penurunan kandungan Salmonella spp. dan total mikroba pada selada
setelah perlakuan pencucian .............................................................. 52
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi dan reaksi tiap tube pada API 20E ................................. 62
Lampiran 2. Blanko hasil API 20E ....................................................................... 63
Lampiran 3. Penentuan fase II serologi Salmonella (Balai Penelitian Veteriner,
1985) ................................................................................................. 64
Lampiran 4. Hasil serotipe Salmonella berdasarkan skema Kauffmann-White ... 65
Lampiran 5. Data analisis total mikroba pada 10 sampel selada .......................... 66
Lampiran 6. Hasil Uji T perbedaan rata-rata total mikroba selada dari supermarket
dengan pasar tradisional .................................................................... 67
Lampiran 7. Data analisis total mikroba pada 10 sampel pohpohan .................... 68
Lampiran 8. Hasil Uji T perbedaan rata-rata total mikroba pohpohan dari
supermarket dengan pasar tradisional ............................................... 69
Lampiran 9. Data analisis total mikroba pada 10 sampel tauge ............................ 70
Lampiran 10. Hasil Uji T perbedaan rata-rata total mikroba tauge dari
supermarket dengan pasar tradisional ............................................. 71
Lampiran 11. Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel selada ........................... 72
Lampiran 12. Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel pohpohan ..................... 76
Lampiran 13. Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel tauge ............................ 80
Lampiran 14. Hasil identifikasi API 20E .............................................................. 83
Lampiran 15. Data analisis total mikroba selama perlakuan pencucian dengan
akuades streril ................................................................................. 85
Lampiran 16. Data analisis total mikroba selama perlakuan pencucian dengan
larutan sanitaiser komersial ............................................................. 86
Lampiran 17. Data analisis total Salmonella selama perlakuan pencucian dengan
akuades streril ................................................................................. 87
Lampiran 18. Data analisis total Salmonella selama perlakuan pencucian dengan
larutan sanitaiser komersial ............................................................ 88
Lampiran 19. Hasil Uji T perbedaan hasil pencucian menggunakan air matang
dengan pencucian menggunakan sanitaiser komersial terhadap rata-
rata total mikroba ............................................................................ 89
viii
Lampiran 20. Hasil Uji T perbedaan hasil pencucian menggunakan air matang
dengan pencucian menggunakan sanitaiser komersial terhadap rata-
rata total Salmonella ........................................................................ 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat saat ini cukup mengenal bahwa keseimbangan pola
konsumsi sangat diperlukan. Keseimbangan pola konsumsi dapat terjadi jika
masyarakat tidak hanya mengonsumsi makanan pokok dan lauk-pauk,
melainkan juga mengonsumsi sayuran dan buah-buahan. Menurut data dari
Badan Pusat Statistik (2009), rata-rata konsumsi kalori per kapita per hari
untuk sayur-sayuran mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2002 sebesar
37,44 kal dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 46,39 kal. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran masayarakat untuk mengonsumsi buah-
buahan dan sayur-sayuran segar semakin tinggi.
Keadaan alam Indonesia memungkinkan dilakukannya pembudi-
dayaan berbagai jenis sayuran, baik yang lokal maupun yang berasal dari luar
negeri. Ditinjau dari aspek agroklimatologis, Indonesia sangat potensial untuk
pembudidayaan sayur-sayuran. Selain itu, aspek teknis, ekonomis, dan sosial
juga mendukung pengusahaan sayuran di Indonesia (Haryanto et al., 2003).
Sayuran dan buah-buahan banyak mengandung vitamin dan mineral
yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan vitamin dan mineral tersebut
akan mengalami penurunan jika sayuran dan buah-buahan tersebut
mengalami pengolahan. Oleh sebab itu, saat ini banyak masyarakat yang
lebih suka untuk mengonsumsi sayuran dan buah-buahan dalam keadaan
segar.
Di negara-negara Eropa dan Amerika, sayuran segar sering
dikonsumsi dalam bentuk salad. Di Indonesia, masyarakat juga sering
mengonsumsi sayuran segar tanpa proses pengolahan yang dikenal sebagai
lalapan dan jenis sayuran yang sering dijadikan lalapan adalah selada, kol,
pohpohan, kemangi dan mentimun. Buah-buahan dan sayuran mentah
memiliki potensi terkontaminasi mikroba termasuk juga mikroba patogen
pada manusia (James, 2006). Hal ini dapat terjadi karena perlakuan sayuran
2
segar yang kurang baik saat di tingkat petani sampai tingkat pedagang
sehingga sering terjadi kontaminasi saat pemanenan, pengangkutan, atau
pemasaran.
Menurut Ayres et al. (1980), mikroorganisme yang mencemari
sayuran di Amerika Serikat umumnya adalah Salmonella, Shigella, dan
Entamoeba histolytica. Selain itu, pada tahun 2002 dilaporkan bahwa terdapat
dua kasus keracunan yang besar di London, yaitu 174 orang sakit dan 1 orang
meninggal akibat terinfeksi Salmonella Typhimurium DT 104 dan 140 orang
terinfeksi Salmonella Typhimurium DT 204b setelah mengonsumsi selada
(Sagoo et al., 2003). Beberapa hasil penelitian di Indonesia juga melaporkan
adanya cemaran bakteri patogen pada sayuran segar. Menurut Isyanti (2001),
pada daun kemangi dan daun pohpohan yang dijual di pasar tradisional
daerah Bogor ditemukan adanya bakteri Salmonella Paratyphi A. Susilawati
(2002) menemukan adanya Salmonella pada sayuran segar (kol, wortel, dan
kacang panjang) yang diperoleh di tingkat petani dan tauge di tingkat
pedagang. Menurut Agustin (2004), dari lima puluh sampel daun selada yang
diteliti, dua diantaranya atau sekitar 4% mengandung Salmonella
Weltevreden.
Penanganan sayuran segar dengan pengolahan yang minimal atau
bahkan tanpa pengolahan perlu mendapat perhatian yang lebih. Perlakuan
paling minimal pada sayuran segar yang diketahui masyarakat awam adalah
pencucian. Pencucian diduga dapat menghilangkan kotoran dan kontaminan
lainnya serta menurunkan potensi bahaya mikroorganisme. Oleh sebab itu,
masyarakat perlu mengetahui efektivitas pengaruh proses pencucian tersebut
terhadap cemaran bakteri patogen, khususnya Salmonella. Salmonella di
dalam makanan perlu mendapatkan perhatian karena umumnya terdapat
dalam jumlah kecil, tetapi jumlah tersebut cukup untuk menimbulkan gejala
sakit (Jenie dan Fardiaz, 1989). Diharapkan dari penelitian ini kasus-kasus
keracunan makanan akibat kontaminasi bakteri patogen terhadap sayuran
segar dapat dikurangi. Selain itu dapat menumbuhkan kembali rasa aman bagi
masyarakat untuk tetap mengonsumsi sayuran segar.
3
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini selain bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran
Salmonella pada sayuran segar juga bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas
pencucian dengan air dan sanitaiser komersial dalam menurunkan kadar
cemaran Salmonella pada sayuran segar khususnya pada selada.
C. MANFAAT PENELITIAN
Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan dalam memberikan rekomendasi perbaikan pengendalian
cemaran Salmonella pada sayuran segar. Selain itu diharapkan dapat
membantu dalam penanganan produk pangan sayuran segar.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SALMONELLA
Studi mengenai Salmonella diawali pertama kali oleh penemuan Karl
Joseph Ebert pada tahun 1880 tentang basil yang menyebabkan demam tipus
pada manusia (sekarang dikenal sebagai Salmonella Typhi) dan kemudian
isolasi berikutnya dilanjutkan oleh Georg Theodor August Gaffky. Daniel
Elmer Salmon juga mengisolasi Salmonella Typhi dan pada awalnya
menduga bahwa bakteri tersebut yang menjadi agen penyakit kolera pada
babi. Genus ini kemudian dinamai Salmonella oleh Ligniéres pada tahun
1900 untuk menghormati Daniel Elmer Salmon (Le Minor, 1991 di dalam
Anderson dan Ziprin, 2001).
Genus Salmonella terdapat dalam famili Enterobacteriaceae,
merupakan bakteri anaerob fakultatif, gram negatif, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dan biasanya dapat dikultur dari bagian usus vertebrata
(Troller, 1976; Pawsey, 2002; Bell dan Kyriakides, 2003). Bakteri ini
memproduksi H2S, memproduksi asam dari glukosa, maltosa, manitol, dan
sorbitol, menggunakan sitrat, tetapi tidak memfermentasi salisin, sukrosa, dan
laktosa (Troller, 1976; Frazier dan Westhoff, 1988), namun ada beberapa
serovar dapat memfermentasi laktosa (Jay et al., 2005). Troller (1976) juga
menyatakan bahwa Salmonella termasuk indol negatif dan dapat mengubah
nitrat menjadi nitrit. Seperti kebanyakan grup enterobacter, Salmonella
menghasilkan koloni berlendir, terutama jika diinkubasi pada temperatur
rendah. Salmonella berukuran kecil (0,7−1,5 × 2,0−5,0 µm) dan biasanya
motil dengan flagela peritrikus (Troller, 1976; Bell dan Kyriakides, 2003).
Namun, menurut D’Aoust (2000) ada pula jenis yang tidak motil yaitu S.
Gallinarum dan S. Pullorum, karena tidak mempunyai flagella.
Salmonella dapat tumbuh pada kisaran suhu 5−47°C dengan suhu
optimum pertumbuhannya adalah 37°C (Troller, 1976) dan maksimum pada
suhu 45,6°C (Frazier dan Westhoff, 1988; Jay et al., 2005). Kisaran pH untuk
5
tumbuh Salmonella adalah pada pH 4,1 sampai 9,0. Nilai aw terendah untuk
tumbuh beragam tergantung makanan dan bervariasi antara 0,93–0,95
(Frazier dan Westhoff, 1978).
Adanya Salmonella pada makanan dalam jumlah yang cukup besar
tidak akan menyebabkan perubahan baik dalam penampakan, bau atau rasa
(Frazier dan Westhoff, 1978). Salmonella resisten terhadap pengeringan dan
dapat hidup di dalam debu dalam jangka waktu yang lama, bahkan bertahun-
tahun, tetapi hal ini bukanlah merupakan sumber utama kontaminasi bakteri
tersebut ke makanan (Jay, 1978; Hu dan Kopecko, 2003).
Salmonella dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama,
bahkan dalam kondisi penyimpanan dengan suhu dan keasaman yang tidak
cocok atau merugikan serta aw<0,2 (misalnya dalam makanan yang
dikeringkan). Organisme ini umumnya tumbuh baik walaupun terdapat NaCl
0,4–4%. Salmonella sensitif terhadap panas dan mati pada suhu 70°C
sehingga pemasakan dengan suhu 70°C atau lebih sudah cukup untuk
mematikan Salmonella pada seluruh bagian makanan yang sedang dimasak
(Hu dan Kopecko, 2003).
Habitat utama Salmonella adalah saluran usus binatang dan manusia.
Selain itu, bakteri ini dapat diisolasi dari sampel feses, makanan, dan sampel
dari lingkungan. Beberapa contoh makanan yang pernah ditemukan
terkontaminasi Salmonella diantaranya adalah makanan terbuat dari kelapa,
salad dressing, mayonaise, susu, selada, adas, dan tauge (Jay, 2000; Lund et
al., 2000). Jay et al. (2005) juga menyatakan bahwa Salmonella merupakan
bakteri yang sering mengontaminasi makanan seperti telur dan hasil
olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, serta susu
dan hasil olahannya seperti es krim dan keju.
Sebelum tahun 1987, genus Salmonella dibedakan menjadi tiga
spesies yaitu S. typhi, S. choleraesuis, dan S. enteritica. Berdasarkan
antigennya (seperti yang digambarkan skema Kauffmann-White), spesies-
spesies ini dibedakan ke dalam serotipe yang diidentifikasi melalui antigen O
(somatic) dan antigen H (flagellar) yang sangat spesifik. Tiap serotipe dari
Salmonella dapat dibagi lagi ke dalam beberapa phagetype berdasarkan atas
6
reaktivitasnya terhadap bakteriofag. Pada tahun 1987, genus Salmonella
dibagi ke dalam dua spesies, yaitu S. enterica dan S. bongori. S. enterica
dapat dibagi lagi menjadi enam subspesies, yang ditandai dengan angka
Romawi, yaitu: enterica (I), salamae (II), arizonae (IIIa), diarizonae (IIIb),
houtenae (IV), dan indica (VI). Secara historis, subspesies V adalah bongori,
yang kini digolongkan sebagai spesies yang terpisah (D’Aoust, 2001;
Anderson dan Ziprin, 2001; Hanes, 2003; Hu dan Kopecko, 2003).
Saat ini nama-nama serotipe dari bakteri Salmonella dituliskan dengan
huruf tegak dan bukan penulisan miring. Sebagai contoh, serotipe yang
sebelumnya ditulis sebagai Salmonella choleraesuis lebih tepat jika ditulis
sebagai S. enterica subspesies enterica serotipe (ser.) Choleraesuis dan
dengan singkat dapat ditulis sebagai Salmonella (ser.) Choleraesuis atau
Salmonella Choleraesuis (Anderson dan Ziprin, 2001; Hu dan Kopecko,
2003).
Analisis Salmonella terdiri dari beberapa tahapan, antara lain: pra-
pengkayaan, pengkayaan selektif, isolasi dengan agar selektif, tes biokimia,
dan identifikasi serta uji serologi. Bakteri Salmonella tidak dapat
berkompetisi secara baik dengan bakteri-bakteri yang umum terdapat di
dalam bahan makanan (Ray, 2001). Oleh sebab itu, tahap pra-pengkayaan
dengan media Lactose broth (LB) dibutuhkan untuk membantu memperbaiki
sel yang rusak, melarutkan zat toksik atau zat penghambat, dan juga
menyediakan keuntungan nutrisi khususnya bagi Salmonella (Vanderzant dan
Splittstoesser, 1992). Lactose broth digunakan untuk mendeteksi koliform,
sebagai media pra-pengkayaan untuk Salmonella, dan untuk keperluan studi
fermentasi laktosa bakteri secara umum (Difco and BBL Manual, 2003).
Laktosa tersebut akan difermentasi oleh sebagian besar bakteri non-
Salmonella sehingga menyebabkan penurunan pH media. Penurunan pH
media akan menghambat pertumbuhan bakteri non-Salmonella, sementara
bakteri Salmonella dapat tetap tumbuh. Pada tahap ini inkubasi dilakukan
pada suhu 37°C karena menurut Troller (1976) Salmonella tumbuh dengan
baik jika diinkubasi pada suhu 37°C, dan hasil dianggap positif bila terjadi
kekeruhan pada media LB tersebut.
7
Media pengkayaan selektif Rappaport-Vassiliadis medium (RV)
mengandung senyawa selektif seperti malachite green dan magnesium
klorida yang dikombinasikan dengan pH rendah (5,2 ± 2) akan menghambat
pertumbuhan mikroba alami yang berasal dari saluran pencernaan selain
Salmonella (D’Aoust, 1989). Selain itu, pertumbuhan Salmonella juga
didukung dengan adanya soy peptone pada media RV yang berfungsi sebagai
sumber nitrogen, karbon, dan asam amino bagi Salmonella (Oxoid Manual,
1995). Namun, kombinasi faktor-faktor penghambat dari media RV
(malachite green, magnesium klorida, dan pH rendah) dapat menghambat
Salmonella tertentu, seperti S. typhi dan S. choleraesuis. Oleh sebab itu,
teknik isolasi harus menggunakan media pengkayaan dan media isolasi yang
bervariasi (Difco and BBL Manual, 2003).
Sedangkan pada media TTB, terdapat senyawa selektif berupa garam
empedu yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif. Selain itu
terdapat pula senyawa selektif seperti natrium tiosulfat dan tetrationat yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri koliform. Tetrationat terbentuk di
dalam media dengan adanya penambahan iodin dan kalium iodida (I2-KI).
Salmonella dapat tumbuh pada media TTB karena memiliki enzim tetrationat
reduktase. Dengan adanya enzim tersebut, Salmonella dapat bertahan
terhadap efek toksik dari tetrationat (S4O62-
) selama pengkayaan (Oxoid
Manual, 1995).
Media yang digunakan saat tahap isolasi terdiri dari tiga jenis agar
selektif antara lain: Hektoen enteric agar (HEA), Xylose lysine desoxycholate
agar (XLDA), dan Bismuth sulfite agar (BSA). Media HEA bersifat selektif
karena mengandung garam empedu. Media tersebut juga menggunakan tiga
jenis karbohidrat, yaitu laktosa, sukrosa, dan salisin untuk diferensiasi
patogen enterik yang optimal yang ditunjukkan melalui warna koloni dan
warna area media di sekitar koloni. Ferric ammonium citrate dan sodium
thiosulfate yang terkandung di dalam media HEA juga memungkinkan
deteksi produksi hidrogen sulfida (H2S) sehingga membantu dalam proses
diferensiasi karena menghasilkan koloni dengan titik hitam di bagian
tengahnya. Selain itu, indikator bromthymol blue dan acid fuchsin
8
mempunyai toksisitas yang lebih rendah sehingga meningkatkan kemampuan
untuk memperoleh patogen enterik (Difco and BBL Manual, 2003).
Media XLDA selain mengandung xylose juga mengandung lysine
yang memungkinkan koloni Salmonella terdiferensiasi karena bakteri tersebut
juga akan mendekarboksilasi lysine sehingga pH akan basa. Media XLDA
juga mengandung indikator H2S yang terdiri dari sodium thiosulfate dan
ferric ammonium citrate sehingga ketika hidrogen sulfida terbentuk akan
dihasilkan koloni dengan warna hitam di bagian tengahnya. Non-patogen
yang juga menghasilkan H2S tidak mendekarboksilasi lysine sehingga reaksi
asam yang diproduksi bakteri-bakteri tersebut mencegah munculnya warna
hitam pada koloni. Media XLDA juga mengandung sodium desoxycholate
sebagai agen selektifnya yang dapat menghambat mikroorganisme gram
positif. Dengan demikian media XLDA merupakan media yang selektif dan
juga diferensial (Difco and BBL Manual, 2003).
Media BSA selain mengandung ekstrak daging sapi dan pepton
sebagai sumber nitrogen, vitamin, dan mineral, juga mengandung dekstrosa
sebagai sumber energi. Media ini menggunakan dinatrium fosfat sebagai
buffering agent serta menggunakan bismuth sulfite indicator dan brilliant
green sebagai penghambat bakteri gram positif dan koliform. Ferrous sulfate
yang terdapat pada media BSA berguna untuk mendeteksi H2S dimana ketika
H2S dihasilkan senyawa besi akan mengendap dan koloni positif akan
menghasilkan karakteristik warna coklat hingga kehitaman dengan kilau
metalik (Difco and BBL Manual, 2003).
Gambar 1. Pertumbuhan Salmonella pada media HEA (A), XLDA (B), dan
BSA (C) (Difco and BBL Manual, 2003)
A B C
9
Media Triple sugar iron agar (TSIA) mengandung tiga jenis gula
(dekstrosa, laktosa, dan sukrosa) dan fenol merah untuk mendeteksi
fermentasi karbohidrat serta ferrous ammonium sulfate untuk mendeteksi
produksi hidrogen sulfida (ditunjukkan oleh warna hitam pada dasar tabung).
Ketika fermentasi karbohidrat terjadi, produksi asam akan dideteksi oleh
indikator pH fenol merah. Kondisi basa (merah) pada bagian agar miring dan
asam (kuning) pada bagian dasar tabung menunjukkan hanya terjadi
fermentasi dekstrosa. Kondisi asam (kuning) pada bagian agar miring
maupun dasar tabung menunjukkan terjadinya fermentasi pada dekstrosa,
laktosa dan sukrosa. Kondisi basa (merah) pada bagian agar miring maupun
dasar tabung menunjukkan tidak terjadi fermentasi apapun. Adanya retakan,
belahan, atau gelembung pada media mengindikasikan terjadinya produksi
gas, sedangkan endapan hitam di dasar tabung menunjukkan produksi H2S
(Difco and BBL Manual, 2003).
Media Lysine iron agar (LIA) mengandung dekstrosa sebagai sumber
karbohidrat untuk fermentasi; indikator pH bromcresol purple yang berubah
menjadi warna kuning pada pH 5,2 atau lebih rendah dan warna ungu pada
pH 6.8 atau lebih tinggi; ammonium citrate dan sodium thiosulfate sebagai
indikator pembentukan hidrogen sulfida; serta lisin sebagai substrat yang
digunakan untuk mendeteksi enzim pendekarboksilasi dan pendeaminasi
lisin. Deaminasi lisin merupakan proses aerobik yang terjadi pada bagian agar
miring LIA, sedangkan dekarboksilasi lisin merupakan proses anaerobik yang
terjadi pada bagian dasar tabung. Proses dekarboksilasi lisin akan
menghasilkan produk akhir amina yang kemudian bereaksi dengan indikator
pH membentuk warna ungu pada bagian dasar tabung sedangkan reaksi netral
(tidak ada reaksi dekarboksilasi) akan membentuk warna kuning. Jika yang
terjadi proses deaminasi lisin, maka ammonia yang dihasilkan akan bereaksi
dengan ferric ammonium citrate membentuk warna merah gelap pada bagian
agar miring dalam tabung dan endapan hitam di dasar tabung menunjukkan
adanya produksi H2S (Difco and BBL Manual, 2003).
10
Keterangan:
A: TSIA tanpa inokulasi D: LIA tanpa inokulasi
B: TSIA hasil positif Salmonella E: LIA hasil positif Salmonella
C: TSIA hasil negatif Salmonella F: LIA hasil negatif Salmonella
Gambar 2. Pertumbuhan Salmonella pada media TSIA dan LIA (Difco and
BBL Manual, 2003)
B. SALMONELLOSIS
Salmonellosis disebabkan karena menelan sel-sel hidup bakteri yang
merupakan anggota genus Salmonella (Frazier dan Westhoff, 1978). Menurut
Del-Portillo (2000) penyakit yang diakibatkan oleh Salmonella dibagi
menjadi dua grup besar yaitu nontyphoid salmonellosis atau gastroenteritis
dan typhoid salmonellosis atau demam enterik. Pada gastroenteritis infeksi
bakteri terbatas pada epitelium usus sedangkan pada demam enterik infeksi
bakteri terjadi pada keseluruhan sistem. Menurut Frazier dan Westhoff
(1978), beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
gastrointestinal Salmonella: (1) makanan harus mengandung atau
terkontaminasi bakteri Salmonella; (2) bakteri ini harus ada dalam jumlah
cukup.
Gejala awal dari salmonellosis yang nontyphoid terjadi dengan cepat
yaitu berkisar sekitar 12 jam hingga beberapa hari setelah mengonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi Salmonella spp. dengan gejala-
gejala seperti diare (dapat berlendir atau berdarah), nyeri perut, mual, muntah,
sakit kepala, menggigil, myalgia (nyeri otot), dan demam ringan (Ziprin dan
Hume, 2001). Pada kasus yang ringan penyakit ini biasanya dapat sembuh
dalam waktu 48 jam, namun pada beberapa kasus salmonellosis dapat
A B C D E F
11
berlangsung selama 10 sampai 14 hari dengan diare dan demam ringan. Pada
kasus yang parah, dehidrasi akibat diare tersebut dapat mengakibatkan
hipotensi, kram, oliguria (penurunan produksi urin), dan uremia (kadar urea
tinggi dalam darah) (Hanes, 2003).
Typhoid salmonellosis (demam tipus) memiliki gejala awal yang agak
berbeda dan jauh lebih lambat daripada nontyphoid salmonellosis, yaitu
gangguan pencernaan singkat selama satu sampai dua hari setelah menelan S.
Typhi, kemudian diikuti dengan masa inkubasi sebelum munculnya gejala
yang lebih serius yaitu demam. Demam tipus akan mengalami peningkatan
secara bertahap setiap harinya dan seringkali muncul bintik merah pada kulit.
Penderita mungkin mengalami perforasi dan perdarahan usus, koma,
delirium, dan kejang. Jika tidak diobati, demam dapat berlangsung dua
minggu atau bahkan lebih dan hal ini dapat menyebabkan kematian. Penderita
yang telah sembuh sering kali menjadi asymptomatic carriers S. Typhi dan
organisme ini tetap ada dalam kantong empedu dan usus (Ziprin dan Hume,
2001).
Selain dipengaruhi oleh umur, timbulnya gejala infeksi oleh
Salmonella juga bergantung pada spesies dan strain mikroba tersebut, serta
jumlah mikroba yang tertelan. Salmonella dapat melakukan penetrasi pada
saluran usus terutama pada ileum dan sedikit usus besar, sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi. Sel-sel Salmonella kadang-kadang dapat
menembus sistem pertahanan mukosal dan limpatik, dan dapat mencapai
saluran darah sehingga dapat menyebabkan bakterimia atau abses (Supardi
dan Sukamto, 1999).
C. SAYURAN SEGAR
Sayuran termasuk ke dalam kelompok tanaman hortikultura bersama
dengan buah-buahan dan bunga (Apandi, 1984). Menurut Muchtadi (2000),
sayuran segar merupakan tanaman atau bagian tanaman yang dapat
dikonsumsi dalam bentuk mentah sebagai pelengkap atau sekadar pembangkit
selera. Sayuran merupakan bahan pangan yang penting untuk memperoleh
12
keseimbangan dalam mengonsumsi makanan karena mengandung zat gizi
seperti pro-vitamin A dan vitamin C, kalsium dan zat besi, sedikit kalori, serta
sumber serta pangan dan antioksidan alami.
Di Indonesia, pengangkutan sayuran segar pada umumnya masih
dilakukan dengan cara sederhana (tidak menggunakan wadah khusus) dan
tidak menggunakan alas sehingga dapat menyebabkan kerusakan mekanis
pada sayuran dan akan meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi
mikrobiologi (Siregar, 2000). Menurut Frazier dan Westhoff (1978), selain
kapang dan khamir, mikroflora alami yang terdapat pada permukaan sayuran
hijau dan buah pada umumnya adalah dari genus Bacillus, Pesudomonas,
Alcaligenes, Flavobacterium, Micrococcus, koliform dan bakteri asam laktat
termasuk Lactobacillus brevis, L. plantarum, Leuconostoc mesenteroides , L.
dextranicum, Streptococcus faecium dan S. faecalis.
Menurut Keputusan Ditjen POM No. 03726/B/SK/VII/1989, standar
kandungan mikrobiologi sayuran segar untuk dikonsumsi mentah ialah
Escherichia coli maksimum 102 CFU/g dan tidak boleh mengandung
Salmonella. Sedangkan menurut ICMSF di dalam Harrigan dan McCance
(1976), kandungan E. coli harus kurang dari 103 CFU/g, dan Salmonella
harus nol dalam 25 gram sampel. Berdasarkan ICMSF (1996) standar TPC
(Total Plate Count) sayuran yang akan dimakan mentah adalah n = 5, c = 3,
m = 105, dan M = 10
6, artinya maksimal 3 sampel dari 5 sampel yang
dianalisis boleh mengandung total mikroba 105−10
6 CFU/g.
D. SELADA (Lactuca sativa L.)
Selada merupakan salah satu jenis sayuran yang sangat dikenal di
kalangan konsumen karena rasanya yang mudah diterima masyarakat. Pada
awalnya, banyak orang mengimpor selada dari luar negeri karena selada
bukanlah tanaman asli Indonesia. Namun, saat ini sudah banyak petani yang
membudidayakan selada terutama di daerah dataran tinggi.
Di Indonesia, selada sering digunakan dalam berbagai jenis makanan
baik sebagai bahan pokok maupun sebagai pelengkap. Menurut Haryanto et
13
al. (2003), selada yang umum dibudidayakan saat ini dapat dikelompokkan
menjadi 4 macam tipe, yaitu: selada krop atau selada telur, selada rapuh,
selada daun dan selada batang. Sedangkan di Amerika Serikat terdapat 4 tipe
selada, yaitu: crisphead, romaine (cos), leave dan butterhead. Keempatnya
bervariasi dalam ukuran, bentuk, tekstur, warna, nilai nutrisi dan rasa (Ryder,
1997).
Gambar 3. Selada (Lactuca sativa L.)
Selain itu, tanaman selada juga dapat tumbuh baik pada tanah yang
mengandung pasir dan lumpur. Tanaman selada tidak tahan terhadap sinar
matahari yang terlalu panas. Pada musim kemarau, tanaman ini memerlukan
penyiraman yang cukup teratur. Hanya jenis selada daun dan selada batang
saja yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada udara yang panas
dan terbuka (Haryanto et al., 2003). Kandungan nutrisi yang terdapat dalam
100 g selada dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi dalam 100 g selada
Zat gizi Nilai
Ca (mg) 68
P (mg) 25
Fe (mg) 1,4
Na (mg) 9
K (mg) 264
Vitamin A (IU) 1.900
Vitamin C (mg) 18
Air (%) 94
Serat (gram) 0,7
Sumber: Ryder (1997)
14
Mitchell (1993) menyebutkan bahwa selada memiliki resiko yang
tinggi bila dimakan mentah karena sayuran ini tumbuh dekat dengan tanah.
Hasil penelitian Lund et al. (2000), menyatakan bahwa Salmonella, Listeria
monocytogenes, dan E.coli ditemukan pada tanaman selada. Selain itu,
Beuchat (1996) juga telah mengisolasi E. Coli O157:H7 dari tanaman ini.
Kontaminasi pada sayuran kebanyakan berasal dari tanah, air, dan debu.
Tingkat kontaminasi ini memegang peranan penting terhadap jumlah dan
jenis mikroba yang ada (Weiser et al., 1971).
E. POHPOHAN (Pilea melastomoides (Poir.) Wedd.)
Pohpohan merupakan salah satu sayuran hijau yang cukup dikenal
sebagai sayuran untuk lalapan. Di Jawa Barat, pohpohan umum ditemukan di
pasar bahkan supermarket. Daun pohpohan sangat lunak, berbau harum, dan
memiliki aroma yang kuat dan segar. Oleh sebab itu, daun pohpohan digemari
untuk dikonsumsi sebagai lalapan (Anonim, 1980). Pohpohan atau
Melastomoides (Poir.) Wedd. atau Pilea trinervia (Roxb.) Wight dapat
ditemukan mulai dari India dan Srilanka sampai ke Taiwan, Jepang, Filipina
dan Indonesia (Mahyar, 1994; Rignanese, 2006; USDA, ARS, National
Genetic Resources Program, 2009).
Gambar 4. Pohpohan (Pilea melastomoides (Poir.) Wedd.)
15
Tanaman pohpohan memiliki daun yang berbentuk bulat telur atau
lebar memanjang, dengan permukaan atas bebulu halus, mempunyai urat
sejajar yang sangat jelas (Anonim, 1980). Pohpohan tumbuh liar di Indonesia
pada ketinggian 500−2500 m, di daerah yang lembab dan agak gelap seperti
hutan, perbatasan hutan, jurang, dan pinggiran perairan. Pohpohan dapat
diperbanyak dengan setek atau cabang-cabang lateral yang berakar, atau
dengan benih (Mahyar, 1994).
Kasus salmonellosis akibat mengonsumsi daun pohpohan belum
pernah dilaporkan di Indonesia. Isyanti (2001) menyebutkan bahwa bakteri
Salmonella Paratyphi A ditemukan pada daun pohpohan yang dijual di pasar
tradisional daerah Bogor.
F. TAUGE (Vigna radiate (L.) Wilczek)
Tauge merupakan jenis sayuran hasil olahan dari kacang kedelai,
kacang hijau, atau kacang tunggak yang sengaja dibuat bertunas atau
berkecambah. Tauge yang dikenal di pasaran terdapat beberapa jenis, antara
lain tauge kedelai yang berasal dari kacang kedelai, tauge kulup (tauge lalap)
yang berasal dari kacang hijau, dan tauge pendek yang juga berasal dari
kacang hijau tetapi tunasnya lebih pendek (Novary, 1999). Kacang hijau atau
Vigna radiata (L.) Wilczek mempunyai beberapa nama sinonim lain yaitu
Phaseolus aureus Roxb. dan Phaseolus radiatus L. (Kay, 1979).
Menurut Kay (1979), kacang hijau banyak diproduksi menjadi tauge
terutama di Asia Tenggara dan Afrika Timur. Tauge dibuat pertama-tama
dengan merendam biji tanaman kacang hijau selama satu malam atau selama
4 jam dalam air. Kemudian biji kacang hijau tersebut diletakkan dalam wadah
penampung yang terbuat dari kayu atau porselin, ditutupi untuk mencegah
cahaya dan dibiarkan berkecambah (selama 4−5 hari). Kemudian tauge
tersebut siap untuk dimakan, setelah dicuci dan dibersihkan.
16
Gambar 5. Tauge (Vigna radiate (L.) Wilczek)
Tauge dapat dihidangkan dalam bentuk segar misalnya lalapan, dan
dapat pula dalam bentuk yang sudah dimasak lebih dahulu misalnya
campuran sayur tahu, campuran mie baso, gado-gado, ataupun tauge goreng.
Tauge secara luas dikonsumsi terutama di Asia Tenggara dan Afrika Timur
sebagai sayuran yang bernilai gizi tinggi (Novary, 1999). Kandungan gizi
berbagai jenis tauge dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi berbagai jenis tauge
Jenis Tauge Kalori
(kkal)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Karbohidrat
(g)
Air
(g)
Tauge kacang hijau 23 2.9 0.2 4.1 92.4
Tauge kacang tunggak 35 5 0.2 5.8 88.0
Tauge kedelai 67 9 2.6 6.4 81.0
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI, 1981
Kasus salmonellosis akibat konsumsi tauge pernah terjadi di Swedia
dan Finlandia pada tahun 1994 (Lund et al., 2000). D’Aoust (2000)
menyatakan bahwa Salmonella ditemukan pada kecambah kacang-kacangan
di Malaysia (1993) dan di Thailand (1990). Pada tahun 1998, di Arizona dan
California terjadi kasus keracunan yang disebabkan mengonsumsi tauge
alfalfa yang terkontaminasi S. havana dan S. cubana (Lang et al., 2000).
17
G. PENCUCIAN SAYURAN
Menurut Novary (1999) tujuan pencucian adalah untuk membuang
kotoran dan mengurangi residu pestisida yang mungkin tertinggal pada
sayuran. Winarno (1997) menyatakan bahwa air merupakan media untuk
pencucian bahan makanan dan peralatan. Air yang dipakai harus bebas dari
mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan. Terdapat
beberapa penyakit yang dapat disebarkan melalui air, antara lain: kolera,
tipus, paratipus, disentri basiler, serta disentri amuba.
Pencucian sayuran segar dapat menurunkan potensi bahaya akibat
mikroorganisme. Pencucian atau pembilasan sayuran dapat menghilangkan
kotoran dan kontaminan lainnya. Pencucian dapat dilakukan dengan air,
deterjen, larutan bakterisidal seperti klorin, dan lainnya (Codex Alimentarius
Comission, 2000).
Menurut Hayes (1995), sanitaiser adalah senyawa yang dapat
menurunkan jumlah mikroorganisme ke level yang dapat diterima. Tujuan
penggunaan sanitaiser adalah untuk mereduksi jumlah mikroorganisme
patogen dan perusak di dalam proses pengolahan pangan serta pada fasilitas
dan perlengkapan pangan.
Beberapa jenis sanitaiser utama yang sudah dikenal adalah senyawa
fenol dan fenolik, alkohol, halogen, logam berat, zat warna, detergen,
senyawa amonium kuarterner, asam, alkali serta kemosterilaiser gas. Faktor-
faktor yang mempengaruhi efektivitas penggunaan sanitaiser adalah waktu
kontak, suhu, konsentrasi sanitaiser, pH, kesadahan air, jumlah dan tipe
mikroba (Beuchat et al., 2001). Berbagai jenis bahan kimia telah ditemukan
bersifat sanitaiser tetapi tidak ada satu jenis sanitaiser pun yang ideal untuk
semua tujuan penggunaan. Hal ini disebabkan beragamnya kondisi bahan
yang akan disanitasi, perbedan cara kerja, serta kuantitas sel mikroba yang
akan dihancurkan (Jenie, 1988).
Menurut Jenie (1988), sanitaiser yang ideal harus mempunyai sifat-
sifat sebagai berikut: (1) sifat-sifat destruksi mikroba; (2) ketahanan terhadap
lingkungan; (3) sifat-sifat membersihkan yang baik; (4) tidak beracun dan
18
tidak menyebabkan iritasi; (5) larut dalam air dengan berbagai perbandingan;
(6) bau dapat diterima atau tidak berbau; (7) stabil dalam larutan pekat dan
encer; (8) mudah digunakan; (9) banyak tersedia; (10) murah; dan (11) mudah
diukur dalam larutan yang telah digunakan. Menurut Naidu dan Khanna
(2000), diantara berbagai jenis sanitaiser yang dipakai di industri, seperti
garam amonium kuarterner, ozon, iodofor, gluteraldehid, dan etilen oksida,
senyawa klorin memiliki pangsa pasar yang terbesar. Klorin telah banyak
digunakan sebagai desinfektan untuk air sejak tahun 1896. Selain sebagai
desinfektan, klorin juga berfungsi untuk kontrol terhadap ganggang dan
bakteri pembentuk lendir (Jenie, 1988).
Davidson dan Branen (1993) menyatakan bahwa klorin dalam
berbagai bentuknya merupakan sanitaiser kimia yang paling luas digunakan
dalam industri makanan. Senyawa klorin yang berfungsi sebagai sanitaiser
dapat dikelompokkan menjadi klorin cair, hipoklorit, kloramin anorganik,
kloramin organik, dan klorin dioksida. Dari beberapa senyawa klorin yang
tersedia, hipoklorit merupakan senyawa klorin yang paling sering digunakan
dalam industri makanan.
Naidu dan Khanna (2000) menyatakan bahwa mencuci buah atau
sayur segar secara keseluruhan dengan cara merendam buah atau sayuran
tersebut di dalam larutan yang mengandung klorin memiliki efek sanitasi
walaupun penurunan populasi mikroba sifatnya minimal dan kurang dari 100
kali. Untuk tujuan sanitasi sayur atau buah segar, klorin biasa digunakan pada
konsentrasi 50−200 ppm dengan waktu kontak 1−2 menit.
Beberapa produk sanitaiser komersial (sabun pencuci piring cair)
mengklaim bahwa bahan tersebut aman digunakan dan dapat menurunkan
jumlah mikroba pada sayuran dan buah-buahan. Produk sanitaiser komersial
(sabun cair pencuci piring) pada umumnya menggunakan bahan-bahan dasar
tertentu yaitu (1) surfaktan atau agen aktif permukaan yaitu bahan utama
dalam cairan pencuci piring. Seringkali kombinasi dari beberapa surfaktan
digunakan untuk menghasilkan kemampuan mengangkat lemak dan kotoran
yang lebih baik, kelembutan di dalam air dengan berbagai derajat kekerasan,
serta tingkat busa yang tinggi dan stabil. Semua surfaktan yang ada dalam
19
deterjen ini biodegradable; (2) stability and dispensing aids yang berfungsi
untuk menjaga produk tetap homogen di berbagai kondisi penyimpanan dan
untuk menyediakan karakteristik dispensing yang diinginkan. Alkohol,
hydrotropes, dan garam sering digunakan; (3) pengharum dan pewarna yang
ada dalam jumlah yang sangat kecil tetapi cukup penting; (4) mildness
additives yaitu termasuk agen pelembab, minyak dan emollients tertentu,
senyawa protein tertentu, atau penetralisir lainnya; (5) Pengawet yang
ditambahkan untuk membantu mencegah pertumbuhan mikroba dalam
produk yang dapat menyebabkan perubahan warna atau bau, kinerja yang
buruk dan pemisahan bahan; dan (6) agen antibakteri yang kadang-kadang
ditambahkan untuk memberikan perlindungan antibakteri bagi tangan (SDA,
2000).
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan adalah sayuran segar yang terdiri dari
tiga jenis, yaitu selada, pohpohan, dan tauge. Ketiga jenis bahan baku
tersebut diperoleh dari supermarket dan pasar tradisional yang tersebar di
wilayah Bogor.
2. Media
Media-media yang digunakan untuk analisis adalah Nutrien agar
(NA), Plate count agar (PCA), Lactose broth (LB), Rappaport-Vassiliadis
medium (RV), Tetrathionate broth (TTB), Hektoen enteric agar (HEA),
Xylose lysine desoxycholate agar (XLDA), Bismuth sulfite agar (BSA),
Triple sugar iron agar (TSIA), Lysine iron agar (LIA), Urea broth, Bacto
heart infusion (BHI), dan API 20E test kit.
3. Kultur
Kultur yang digunakan sebagai bakteri kontaminan dalam
penelitian ini adalah Salmonella Typhimurium ATCC 14028.
4. Bahan kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu KH2PO4 (buffer fosfat)
sebagai larutan pengencer, NaOH, akuades, larutan I2–KI sebagai bahan
tambahan untuk media TTB, alkohol 70 %, spiritus, parafin cair (mineral
oil) steril, serta reagen atau pereaksi API 20E.
5. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, oven, inkubator 35°C
dan 42°C, neraca analitik, stomacher, vorteks, mikropipet dan tipnya,
21
timbangan, tabung reaksi, tabung reaksi bertutup, rak tabung reaksi, cawan
petri, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, pipet Mohr, bulb, botol semprot,
sudip, batang pengaduk, bunsen, ose lurus, ose bermata bulat, pisau,
pinset, plastik HDPE steril, kapas, dan alumunium foil.
B. METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap.
Pada penelitian Tahap I dilakukan isolasi dan identifikasi Salmonella dari
sayuran segar yang terdiri dari tahapan pengambilan sampel, persiapan
sampel, analisis total mikroba (BAM, 2001), dan isolasi Salmonella (BAM,
2007) yang dilanjutkan dengan identifikasi menggunakan API 20E.
Penelitian Tahap II adalah evaluasi pengaruh perlakuan pencucian yang
hanya diterapkan terhadap salah satu jenis sayuran, yaitu selada. Pada tahap
ini akan dilihat efektivitas pencucian dengan air matang dan larutan sanitaiser
komersial terhadap kandungan bakteri Salmonella (Gambar 6).
Gambar 6. Diagram alir penelitian Tahap II (evaluasi pengaruh pencucian)
Sayuran (Selada)
Kontaminasi dengan kultur murni Salmonella spp.
sebanyak 3 log CFU/g dengan masa kontak 30 menit
Analisis Total Mikroba
dan Total Salmonella
Pemotongan bonggol dan pencucian
dengan air mengalir untuk menghilangkan
kotoran fisik
Pencucian dengan perendaman
dalam larutan sanitaiser komersial
pada suhu ruang selama 30 detik
Pencucian dengan perendaman
dalam air matang pada suhu
ruang selama 30 detik
22
1. Isolasi dan Identifikasi Salmonella spp. pada Sayuran Segar
1.1. Pengambilan Sampel
Sampel yang diteliti adalah sayuran segar yang terdiri dari tiga
jenis, yaitu selada, pohpohan, dan tauge (Tabel 3). Ketiga jenis sayur
tersebut diambil dari supermarket dan pasar tradisional yang tersebar di
wilayah Bogor berdasarkan metode purposive sampling. Purposive
sampling merupakan salah satu non-probability sampling (non-random
sample) yang tidak menghiraukan prinsip-prinsip probability. Pemilihan
sampel tidak dilakukan secara random tetapi dilakukan hanya atas dasar
beberapa pertimbangan yang menganggap unsur-unsur yang dikehendaki
telah ada dalam anggota sampel yang diambil. Sehingga, hasil yang
diharapkan dapat menjadi gambaran kasar tentang suatu keadaan
(Nasution, 2003).
Alasan penggunaan purposive sampling karena teknik tersebut
tidak memerlukan daftar seluruh anggota populasi dan setiap anggota
populasi tidak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi
anggota sampel. Hal lain yang menjadi pertimbangan pemilihan tempat
pengambilan sampel antara lain: tempat yang dipilih merupakan 5 pasar
atau 5 supermarket yang banyak dikunjungi masyarakat Bogor secara luas,
jarak yang dekat dengan lokasi penelitian dan kemudahan untuk diakses,
serta waktu dan biaya penelitian yang terbatas.
Tabel 3. Data jumlah sampel sayuran segar
Jenis Sayuran Sumber Kode Sampel Jumlah Sampel
Selada Supermarket SS 5
Pasar tradisional SP 5
Pohpohan Supermarket PS 5
Pasar tradisional PP 5
Tauge Supermarket TS 5
Pasar tradisional TP 5
Total sampel 30
23
Ketiga jenis sayuran diteliti diperoleh dari 5 supermarket dan 5
pasar tradisional. Dari setiap supermarket diambil tiga jenis sayuran
tersebut sehingga diperoleh 15 sampel. Sedangkan pada pasar tradisional,
setiap jenis sayuran diambil hanya dari satu orang pedagang sehingga
diperoleh sebanyak 15 sampel sayuran. Jadi, total sampel sayuran segar
yang diteliti sebanyak 30 sampel.
Setiap sampel yang dibeli dari supermarket ataupun pasar
tradisional dibawa dengan kemasan yang telah disiapkan oleh penjual dan
tidak diberi perlakuan khusus. Sampel-sampel tersebut kemudian segera
dibawa menuju laboratorium untuk dianalisis. Sampel yang belum juga
dapat dianalisis (lebih dari 4 jam setelah diperoleh) terlebih dahulu
disimpan di dalam lemari pendingin untuk menjaga kesegarannya.
1.2. Persiapan contoh
Masing-masing sampel sayuran yang akan dianalisa ditimbang
sebanyak 25 gram dan secara aseptis dimasukkan ke dalam kantong plastik
steril, ditambahkan dengan 225 ml larutan pengencer buffer fosfat
kemudian dihancurkan menggunakan stomacher selama 2 menit.
1.3. Analisis Total Mikroba (BAM, 2001)
Contoh yang telah disiapkan sebelumnya diencerkan lagi dengan
cara diambil contoh sebanyak 1 ml dan dibuat seri pengenceran desimal
sesuai dengan pengenceran yang dikehendaki. Dari masing-masing
pengenceran tersebut, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri
lalu ditambahkan dengan media Plate count agar sebanyak 12−15 ml.
Kemudian cawan tersebut digoyangkan di atas permukaan yang datar
untuk mencampurkan cairan sampel dan agar. Setelah agar dibiarkan
memadat, cawan-cawan tersebut diinkubasi selama 48 ± 2 jam pada suhu
35°C. Jumlah koloni yang tumbuh pada cawan dilaporkan dan dihitung
berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual (BAM) yaitu
cawan dengan berbagai ketentuan sebagai berikut:
24
a. Cawan yang normal berisi 25-250 koloni. Semua koloni dihitung
termasuk titik yang berukuran kecil. Pengenceran dan jumlah koloni
semua dicatat untuk setiap cawan.
b. Cawan yang berisi lebih dari 250 koloni dicatat sebagai TBUD (Terlalu
Banyak Untuk Dihitung). Jika tidak ada koloni yang tumbuh maka
ditulis kurang dari 1 kali pengenceran terendah.
c. Rumus perhitungan yang digunakan adalah:
𝑁 = 𝐶
1 × 𝑛1 + 0,1 × 𝑛2 + … × 𝐷
Keterangan: N = jumlah koloni per ml/ per gram produk
𝐶 = jumlah seluruh koloni yang dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
D = pengenceran pertama yang dihitung
1.4. Analisa Salmonella (BAM, 2007)
1.4.1. Pra-Pengkayaan
Masing-masing sampel sayuran yang akan dianalisa
ditimbang sebanyak 25 gram dan secara aseptis dimasukkan ke
dalam kantong plastik steril, ditambahkan dengan 225 ml Lactose
broth (LB) steril, lalu dihancurkan dengan menggunakan
stomacher selama 2 menit. Sampel yang telah dihancurkan
kemudian dipindahkan ke dalam erlenmeyer steril dan dibiarkan
selama 60 ± 5 menit pada suhu ruang, selanjutnya diinkubasi
selama 24 ± 2 jam pada suhu 35°C.
1.4.2. Pengkayaan Selektif
Sampel yang telah diinkubasi dihomogenkan dengan cara
menggoyangkan labu erlenmeyer tersebut secara perlahan,
kemudian dari Lactose broth yang telah diinkubasi sebelumnya
diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam 10 ml Rappaport-
25
Vassiliadis medium (RV) dan 1 ml dimasukkan ke dalam 10 ml
Tetrathionate broth (TTB) yang sudah ditambah dengan larutan I2-
KI. Kedua media pengkayaan selektif tersebut kemudian
diinkubasikan pada suhu yang berbeda, yaitu Rappaport-
Vassiliadis medium (RV) diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu
42 ± 0,2°C dan Tetrathionate broth (TTB) diinkubasi selama 24 ±
2 jam pada suhu 35 ± 2,0°C.
1.4.3. Isolasi Salmonella dengan agar selektif
Media pengkayaan selektif yang telah diinkubasi tersebut
dihomogenisasi dengan vorteks. Masing-masing sebanyak l ose
penuh dari Rappaport-Vassiliadis medium (RV) maupun
Tetrathionate broth (TTB) yang telah diinkubasi kemudian
digoreskan secara kuadran pada Hektoen enteric agar (HEA),
Xylose lysine desoxycholate agar (XLDA), Bismuth sulfite agar
(BSA). Ketiga agar selektif tersebut kemudian diinkubasi selama
24 ± 2 jam pada suhu 35 ± 2°C. Setelah diinkubasi, koloni tipikal
Salmonella dari setiap cawan agar selektif tersebut dipilih dan
diambil menggunakan ose lurus untuk diuji lebih lanjut. Ciri-ciri
koloni tipikal Salmonella pada masing-masing agar adalah sebagai
berikut:
a. Pada media HEA, koloni tipikal Salmonella berwarna biru
kehijauan, dengan atau tanpa warna hitam pada bagian
tengahnya. Sebagian besar kultur Salmonella mungkin
menghasilkan penampakan koloni yang besar, berwarna hitam
mengkilap pada bagian tengahnya atau tampak sebagai koloni
yang hampir semuanya berwarna hitam.
b. Pada media XLDA, koloni tipikal Salmonella berwarna merah
muda, dengan atau tanpa warna hitam pada bagian tengahnya.
Sebagian besar kultur Salmonella mungkin menghasilkan
penampakan koloni yang besar, berwarna hitam mengkilap pada
26
bagian tengahnya atau tampak sebagai koloni yang hampir
semuanya berwarna hitam.
c. Pada media BSA, koloni tipikal Salmonella berwarna coklat,
abu-abu atau hitam, dan kadang disertai kilau metalik. Medium
di sekeliling koloni biasanya menjadi berwarna coklat dan akan
berubah menjadi hitam seiring bertambahnya waktu inkubasi
(halo effect).
Apabila pada ketiga jenis agar selektif tersebut tidak
ditemukan koloni tipikal atau koloni yang dicurigai sebagai
Salmonella, maka dipilih koloni atipikal Salmonella dengan ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Pada media HEA dan XLDA, beberapa kultur Salmonella secara
atipikal menghasilkan koloni kuning dengan atau tanpa warna
hitam pada bagian tengahnya. Jika tidak terdapat koloni tipikal
Salmonella setelah inkubasi 24 ± 2 jam, maka diambil dua atau
lebih koloni atipikal Salmonella tersebut.
b. Pada media BSA, beberapa galur secara atipikal menghasilkan
koloni hijau dengan sedikit atau tanpa dikelilingi warna gelap
pada media. Jika koloni tipikal atau koloni yang mencurigakan
tidak ada pada media BSA setelah inkubasi 24 ± 2 jam, maka
tidak dilakukan pengambilan koloni apapun, melainkan
direinkubasi selama 24 ± 2 jam. Jika koloni tipikal atau koloni
yang mencurigakan tidak juga ada setelah inkubasi 48 ± 2 jam,
maka diambil dua atau lebih koloni atipikal tersebut.
1.4.4. Uji Biokimia
Koloni tipikal atau nontipikal yang tumbuh pada masing-
masing agar selektif diinokulasikan ke agar miring Triple sugar
iron agar (TSIA) dan Lysine iron agar (LIA) menggunakan ose
steril. Ose steril disentuhkan secara perlahan pada bagian paling
tengah dari koloni yang dipilih dan diinokulasikan pada TSIA
dengan cara menggoreskannya pada permukaan agar miring
27
kemudian ditusukkan sampai bagian dasar. Kemudian tanpa
pemijaran lagi inokulasi dilanjutkan pada LIA dengan cara
menusukkan ose tersebut dua kali sampai bagian dasar kemudian
menggoreskannya pada permukaan agar miring LIA. Karena reaksi
lysine decarboxylation harus benar-benar anaerob, maka tusukan
pada media LIA harus mempunyai kedalaman sedikitnya 4 cm.
Kedua agar miring TSIA dan LIA diinkubasi selama 24 ± 2 jam
pada suhu 35°C.
Kultur Salmonella pada agar miring TSIA secara tipikal
menghasilkan basa (warna merah) pada bagian permukaan agar
miring dan asam (warna kuning) pada bagian dasar tabung atau
bagian tusukan, dengan atau tanpa produksi H2S (warna kehitaman
pada agar). Reaksi Salmonella secara tipikal pada media LIA
adalah dihasilkannya basa (warna ungu) pada bagian permukaan
agar miring dan dasar tabung atau bagian tusukan. Sebagian besar
kultur Salmonella memproduksi H2S pada media LIA sedangkan
beberapa kultur yang bukan Salmonella menghasilkan reaksi warna
merah bata pada media tersebut. Kultur yang menghasilkan asam
(warna kuning) pada bagian permukaan agar miring dan dasar
tabung atau bagian tusukan media TSIA serta mengasilkan asam
(warna kuning) pada bagian dasar tabung atau bagian tusukan
media LIA, bisa dibuang karena bukan reaksi tipikal kultur
Salmonella.
Kultur yang menghasilkan reaksi tipikal Salmonella pada
setiap agar miring TSIA kemudian diinokulasikan ke dalam Urea
broth 10 ml dengan menggunakan ose steril. Setiap kultur tersebut
juga digoreskan pada Nutrien agar (NA) miring untuk
ditumbuhkan sebagai kultur stok yang nantinya digunakan pada uji
konfirmasi menggunakan API 20E test kit. Kedua media tersebut
kemudian diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu 35°C. Urea
broth yang tidak diinokulasikan digunakan sebagai kontrol
perubahan warna.
28
Kultur Salmonella tidak merubah warna Urea broth (reaksi
negatif), maka semua kultur yang merubah warna Urea broth
menjadi ungu kemerahan (reaksi positif) bukan Salmonella. Semua
kultur yang memberikan reaksi negatif tersebut dikonfirmasi lebih
lanjut menggunakan API 20E test kit.
1.4.5. Uji Konfirmasi dengan API 20E Test Kit
Untuk pengujian dengan API 20E test kit digunakan kultur
yang berasal dari koloni tunggal. Untuk mendapatkan koloni
terpisah, kultur stok pada NA miring yang diduga positif
Salmonella digoreskan secara kuadran pada NA cawan dan
diinkubasikan selama 24 ± 2 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya dari
koloni terpisah diambil dan dilarutkan ke dalam 5 ml larutan garam
fisiologis 0,85% steril. Suspensi kultur tersebut yang digunakan
untuk diuji dengan API 20E.
Suspensi kultur yang telah dibuat secara aseptis dipipet dan
diisikan menggunakan mikropipet ke dalam seluruh mikrotube
pada strip API 20E sesuai dengan ketentuan dari kode yang ada
pada tiap mikrotube. Mikrotube dengan kode |CIT|, |VP|, dan |GEL|
yang ditandai dengan kotak di sekelilingnya menyerupai huruf U
diisi penuh hingga bagian atas tube. Mikrotube dengan kode ADH,
LDC, ODC, H2S dan URE yang ditandai dengan garis bawah diisi
dengan suspensi sampai bagian leher mikrotube lalu ditambah
dengan mineral oil sampai bagian atas tube untuk memberikan
kondisi anaerob. Sedangkan untuk mikrotube lainnya (tanpa kode
khusus), suspensi diisikan sampai bagian leher mikrotube saja.
Strip API 20E yang telah diisi dengan suspensi kultur
diinkubasi selama 18−24 jam pada suhu 36 ± 2°C. Jika setelah
inkubasi 18−24 jam terdapat kurang dari 3 mikrotube yang
menunjukkan hasil positif, maka diinkubasi lagi sampai 48 jam
pada suhu yang sama tanpa penambahan reagen atau pereaksi
apapun.
29
Perubahan warna setelah proses inkubasi kemudian dibaca
sesuai dengan tabel hasil reaksi (Lampiran 1). Beberapa mikrotube
(TDA, IND, dan |VP|) memerlukan penambahan reagen sesuai
dengan standar API 20E. Hasil tes (baik positif maupun negatif)
dari pembacaan strip API 20E kemudian diisikan pada blanko hasil
dan dituliskan menjadi 7 digit kode (Lampiran 2). Kode angka ini
kemudian diterjemahkan menggunakan apiweb™ identification
software untuk mendapatkan hasil identifikasi mikroba.
1.4.6. Uji Serologi (Balai Penelitian Veteriner, 1985)
Isolat Salmonella yang akan diuji harus disegarkan terlebih
dahulu dengan menumbuhkan bakteri tersebut pada NA miring dan
diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu 37°C. Setelah diinkubasi,
sebanyak ± 0,5 ml air destilata steril ditambahkan ke dalam tabung
NA miring tersebut agar bakteri yang telah tumbuh lepas dari agar
dan membentuk suspensi bakteri.
Satu ose penuh suspensi bakteri tersebut diletakkan secara
aseptis di atas gelas preparat yang sudah disterilkan. Satu ose
penuh antiserum yang sesuai yang telah disediakan dicampur
dengan satu ose suspensi bakteri yang telah diteteskan pada gelas
preparat dengan menggunakan dua ose berbeda yang digunakan
secara berganti-ganti. Gelas preparat kemudian digoyang-
goyangkan dengan hati-hati dan aglutinasi yang terjadi kemudian
dicatat. Aglutinasi ditandai dengan adanya butiran-butiran seperti
pasir. Yang diperiksa pertama kali adalah antigen O (somatik)
dengan antiserum grup B, C, D, dan E yang menjadi dasar
serotyping-nya.
Apabila salah satu grup antiserum ini menghasilkan
aglutinasi, selanjutnya dilakukan uji dengan antiserum faktor
tunggal yang sesuai sebagai berikut:
Untuk Grup B: diuji dengan antiserum 4, 5, 12, 27
Grup C: diuji dengan antiserum 7, 8, 14, 20
30
Grup D: diuji dengan antiserum 12, 46
Grup E: diuji dengan antiserum 10, 15, 19, 34
Uji kemudian dilanjutkan dengan penentuan antigen H
sebagai fase I. Apabila terjadi reaksi aglutinasi, maka diuraikan lagi
dengan antiserum faktor tunggal yang sesuai. Untuk polivalen H:
Grup A: diuji dengan antiserum a, b, c, d, i
Grup B: diuji dengan antiserum k, lv, r, y, z
Grup C: diuji dengan antiserum 2, 5, 6, 7
Grup E: diuji dengan antiserum h, x, Z15
Grup G: diuji dengan antiserum gp, f, m, s, t → u, q, p
Grup Z: diuji dengan antiserum Z6, Z10, Z4, Z23, Z29, Z38
Bila Z24, Z23 (+) → Z23, Z24, Z32
Untuk menentukan fase II, dilakukan Jameson plate dengan
cara memotong media Nutrien agar cawan secara melintang
selebar 6 mm sehingga terjadi selokan. Kertas saring diletakkan
melintang di atas selokan dan diberi satu ose antiserum yang
homolog cengan antigen yang telah ditentukan di atas kertas saring
tepat di atas selokan. Suspensi bakteri yang diuji diteteskan pada
kertas saring berdekatan dengan selokan dan diinkubasi selama 24
± 2 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya Jameson plate diperiksa
apakah terjadi pertumbuhan pada kertas saring, jika tidak terjadi
pertumbuhan maka diinkubasi lagi selama 24 ± 2 jam pada suhu
37°C. Penentuan fase II dapat dilihat secara jelas pada Lampiran 3.
Selanjutnya setelah didapatkan antigen O (somatik), fase I, dan fase
II maka dibaca hasil serotipenya berdasarkan skema Kauffmann-
White (Lampiran 4).
2. Evaluasi Pengaruh Perlakuan Pencucian
2.1. Persiapan Kultur Uji Salmonella spp.
Sebanyak 1−2 ose kultur murni Salmonella spp. dari media NA
miring diinokulasikan ke dalam media Bacto heart infusion (BHI),
selanjutnya divorteks dan diinkubasi secara statis selama 24 jam pada suhu
31
37°C. Setelah diinkubasi selama 24 jam, akan diperoleh Salmonella sekitar
8 log CFU/g. Kultur Salmonella dari media BHI tersebut diambil sebanyak
1 ml lalu dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer buffer fosfat
sehingga diperoleh pengenceran 10-1
. Pengenceran dilanjutkan secara
desimal sampai diperoleh konsentrasi kultur yang dikehendaki.
2.2. Evaluasi Pengaruh Pencucian dengan Air Matang dan Sanitaiser
Komersial
Penelitian Tahap II ini hanya diterapkan terhadap salah satu jenis
sayuran (selada) untuk melihat efektivitas pencucian terhadap kandungan
bakteri Salmonella pada sayuran segar tersebut. Sebelum digunakan,
selada terlebih dahulu dipotong bonggolnya, dicuci dengan air mengalir
untuk menghilangkan kotoran fisik yang menempel, kemudian ditiriskan
menggunakan wadah keranjang berlubang yang sebelumnya telah dicuci
bersih. Setelah ditiriskan, selada tersebut ditimbang dan dimasukkan
secara aseptis ke dalam 2 buah kantong plastik HDPE steril. Masing-
masing kantong plastik tersebut dimasukkan sebanyak 100 gram selada.
Setelah itu, masing-masing selada dalam kedua kantong plastik tersebut
dikontaminasi dengan Salmonella spp. sebanyak 3 log CFU/g dengan masa
kontak 30 menit.
Setelah proses kontaminasi, sebanyak 25 gram selada dari salah
satu kantong plastik langsung dianalisis dan dihitung total Salmonella dan
total mikroba yang dapat menempel pada selada tersebut. Sebanyak 25
gram selada tersebut dimasukkan ke dalam 225 ml pengencer buffer fosfat,
kemudian dihancurkan menggunakan stomacher selama 2 menit, sehingga
diperoleh pengenceran 10-1
. Kemudian pengenceran dilanjutkan secara
desimal dan dari pengenceran yang diinginkan contoh dipupukkan ke
media yang sesuai dengan analisis yang dilakukan.
Sedangkan selada pada kantong plastik yang lainnya diberi
perlakuan pencucian dengan cara perendaman pada cairan pencuci. Selada
tersebut dimasukkan ke dalam wadah plastik HDPE steril yang telah berisi
2 liter cairan pencuci, kemudian wadah plastik tersebut diikat agar tidak
32
bocor. Wadah plastik yang berisi selada dan cairan pencuci tersebut
kemudian dikocok-kocok selama kurang lebih 30 detik dan dilakukan pada
suhu ruang. Cairan pencuci yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu
larutan sanitaiser komersial dan air matang sebagai pembandingnya.
Setelah itu, sebanyak 25 gram selada yang telah diberi perlakuan
pencucian tersebut langsung dianalisis dan dihitung total Salmonella dan
total mikroba yang masih terdapat pada selada tersebut. Sebanyak 25 gram
selada tersebut dimasukkan ke dalam 225 ml pengencer buffer fosfat
kemudian dihancurkan menggunakan stomacher selama 2 menit, sehingga
diperoleh pengenceran 10-1
. Kemudian pengenceran dilanjutkan secara
desimal dan dari pengenceran yang diinginkan contoh dipupukkan ke
media yang sesuai dengan analisis yang dilakukan.
Larutan sanitaiser komersial yang dipakai dibuat berdasarkan
perbandingan yang sesuai dengan petunjuk penggunaan pada kemasan
sanitaiser komersial tersebut. Sebanyak ±7 ml (1 sendok makan) sanitaiser
komersial dilarutkan dalam 2 liter air steril. Larutan inilah yang kemudian
digunakan sebagai cairan pencuci. Perhitungan jumlah Salmonella dan
total mikroba dilakukan berdasarkan Standar Aerobic Plate Count (BAM,
2001). Analisis total Salmonella menggunakan media Hektoen enteric
agar (HEA) sedangkan analisis total mikroba menggunakan Plate count
agar (PCA).
2.3 Analisa Data
Data hasil pengamatan meliputi penurunan kandungan total
mikroba dan penurunan total Salmonella pada selada yang disebabkan oleh
perlakuan pencucian. Untuk melihat perbedaan nyata antara pengaruh
perlakuan pencucian menggunakan air matang dengan pencucian
menggunakan larutan sanitaiser komersial terhadap penurunan kandungan
total mikroba dan penurunan total Salmonella pada selada digunakan Uji
T: Two-Sample Assuming Equal Variances menggunakan program
Microsoft Excel 2007.
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Total Mikroba dan Cemaran Salmonella spp. pada Sayuran Segar
1. Karakteristik Sampel
Sampel sayuran segar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari tiga jenis, yaitu selada, pohpohan, dan tauge yang berasal dari
supermarket dan pasar tradisional yang tersebar di wilayah Bogor. Total
sampel sayuran segar yang diperoleh secara keseluruhan adalah 30 sampel.
Sampel sayuran segar yang dijual di setiap tempat mendapatkan perlakuan
yang berbeda-beda dan kondisi penyimpanan sayuran segar di berbagai
pasar pada saat dilakukan pengambilan sampel secara garis besar dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kondisi penyimpanan sampel sayuran segar di pasar supermarket
dan pasar tradisional
Jenis
Sayuran Sumber
Jumlah
Sampel
(n)
Kondisi
Sampel
Wadah
Penyimpanan
Kondisi
Tempat
Penjualan
Selada Supermarket 5 Segar Rak Ruangan
ber-AC
Selada Pasar
tradisional 5 Segar
Tampah / kertas
koran / karung
goni
Ruang terbuka
Pohpohan Supermarket 5 Segar Rak Ruangan
ber-AC
Pohpohan Pasar
tradisional 5 Segar
Tampah / kertas
koran / karung
goni
Ruang terbuka
Tauge Supermarket 5
Segar /
kurang
segar
Styrofoam dan
wrapping
plastic
Cool show
case
Tauge Pasar
tradisional 5 Segar Kantong plastik Ruang terbuka
Sayuran selada dan pohpohan yang dijual di supermarket ditata
dengan rapi di atas rak-rak yang bersih. Sayuran tersebut rutin disemprot
dengan air untuk mempertahankan kelembaban dan menjaga
kesegarannya. Kesegaran tersebut juga didukung oleh kondisi lingkungan
34
supermarket yang sejuk karena memiliki pendingin ruangan. Begitu pula
dengan tauge yang dijual di supermarket, sayur tersebut telah dikemas
menjadi paket-paket di dalam styrofoam dan ditutup dengan wrapping
plastic sehingga tidak cepat rusak atau busuk.
Kondisi penyimpanan dan penanganan sayuran di pasar tradisional
tidak seragam tiap pasar, bahkan penyimpanan dan penanganan sayuran
antar tiap pedagang di dalam satu pasar berbeda-beda. Pedagang umumnya
meletakkan sayur-sayuran di atas meja atau rak-rak atau hanya di lantai
yang beralaskan tampah yang terbuat dari bambu, kertas koran atau karung
goni. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab mengapa sayur-
sayuran segar yang dijual di pasar tradisional mempunyai kandungan
mikroba yang tinggi dan bahkan mengandung mikroba patogen.
2. Total Mikroba
Analisis total mikroba dilakukan untuk mengetahui kandungan
total mikroba yang ada pada sampel. Nilai total mikroba ini dapat
digunakan sebagai standar mutu bahan pangan. Nilai total mikroba pada
sampel dapat dilihat pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9.
Total mikroba pada sampel selada yang berasal dari supermarket
berkisar antara 6,9−7,9 log CFU/g dengan nilai rata-rata 7,3 log CFU/g,
sedangkan selada dari pasar tradisional memiliki kandungan total mikroba
yang bervariasi antara 6,8−8,0 log CFU/g dengan nilai rata-rata 7,3 log
CFU/g (Lampiran 5). Dengan uji statistik (Uji T: Two-Sample Assuming
Equal Variances), rata-rata total mikroba selada dari supermarket dan
pasar tradisional tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 6).
Total mikroba pada sampel pohpohan yang berasal dari
supermarket berkisar antara 6,9−7,4 log CFU/g dengan nilai rata-rata 7,2
log CFU/g, sedangkan pohpohan yang berasal dari pasar tradisional
memiliki kandungan total mikroba yang berkisar antara 6,9−7,7 log CFU/g
dengan nilai rata-rata 7,2 log CFU/g (Lampiran 7). Rata-rata total mikroba
pohpohan dari supermarket dan pasar tradisional tidak berbeda nyata
(P>0,05) (Lampiran 8).
35
Keterangan:
SS1 sampai SS5 = Selada yang diperoleh dari supermarket
SP1 sampai SP5 = Selada yang diperoleh dari pasar tradisional
Gambar 7. Total mikroba pada selada
Keterangan:
PS1 sampai PS5 = Pohpohan yang diperoleh dari supermarket
PP1 sampai PP5 = Pohpohan yang diperoleh dari pasar tradisional
Gambar 8. Total mikroba pada pohpohan
Total mikroba pada sampel tauge yang berasal dari supermarket
berkisar antara 7,1−9,2 log CFU/g dengan nilai rata-rata 8,4 log CFU/g,
sedangkan tauge yang berasal dari pasar tradisional memiliki kandungan
total mikroba yang berkisar antara 6,7−9,2 log CFU/g dengan nilai rata-
rata 7,7 log CFU/g (Lampiran 9). Tauge yang diperoleh dari supermarket
36
memiliki rata-rata kandungan total mikroba yang lebih tinggi daripada
tauge yang berasal dari pasar tradisional. Dengan pengujian statistik (Uji
T: Two-Sample Assuming Equal Variances), rata-rata total mikroba tauge
dari supermarket dan pasar tradisional tidak berbeda nyata (P>0,05)
(Lampiran 10).
Keterangan:
TS1 sampai TS5 = Tauge yang diperoleh dari supermarket
TP1 sampai TP5 = Tauge yang diperoleh dari pasar tradisional
Gambar 9. Total mikroba pada tauge
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa nilai rata-rata total
mikroba dari selada 7,3 log CFU/g, pohpohan 7,2 log CFU/g, dan tauge
8,0 log CFU/g. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Isyanti (2001) yaitu rata-rata total mikroba pada
selada 8,11 log CFU/g, pohpohan 7,34 log CFU/g, dan pada tauge 7,36 log
CFU/g. Sedangkan hasil penelitian Susilawati (2002) menunjukkan bahwa
total mikroba pada tauge di tingkat pedagang adalah 8,32 log CFU/g.
Selada yang diperoleh dari supermarket memiliki rata-rata
kandungan total mikroba yang sama banyaknya dengan selada yang
berasal dari pasar tradisional. Hal serupa juga terjadi pada sampel
pohpohan.
Banyak faktor yang berpengaruh pada tingginya kandungan
mikroba sayuran segar, diantaranya cara pengangkutan merupakan salah
37
satu faktor penentu tingkat kontaminasi pada sayuran segar tersebut.
Survei yang dilakukan Isyanti (2001) menyatakan bahwa transportasi yang
digunakan oleh para pedagang tidak dilengkapi dengan fasilitas pendingin.
Untuk mengurangi penguapan sayuran maka pengangkutan dilakukan pada
waktu malam hari. Selada yang akan dijual diangkut dalam bentuk untaian
dan ditumpuk bersama dengan jenis sayuran berdaun lainnya (seperti
kemangi, pohpohan, dan lain-lain). Hal ini dapat menyebabkan kerusakan
mekanis dan kemungkinan berkembangnya mikroba di bagian sayuran
yang rusak atau busuk, serta kontaminasi silang antar sayuran yang satu
dengan yang lain.
Menurut Williams et al. (1993), beberapa faktor yang menurunkan
kualitas sayuran selama pengangkutan mencakup kerusakan fisik,
penanganan yang kasar, suhu tunggi selama perpindahan, pembungkusan
yang buruk atau tanpa pembungkusan, dan kondisi jalan yang jelek.
Getaran selama pengangkutan dapat menyebabkan memarnya sayuran dan
penanganan yang kasar selama pemuatan dan pembongkaran dari alat
angkut juga meningkatkan kemunduran kualitas. Jika tidak memiliki
cukup ventilasi atau pengaturan udara, maka suhu di dalam alat angkut
seperti mobil atau truk juga dapat meningkat akibat proses respirasi
sayuran itu sendiri serta kuatnya penyinaran matahari yang lazim di daerah
tropis. Akibatnya respirasi dan transpirasi sayuran akan meningkat terus,
sehingga sayuran (terutama sayuran berdaun) akan layu dan kehilangan
kesegarannya. Pembungkusan yang buruk (atau tanpa pembungkus) adalah
salah satu turunnya kualitas selama pengangkutan. Pembungkus berfungsi
sebagai pelindung terhadap resiko selama transportasi.
Marriot (1989) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara
kandungan mikroba, suhu, dan waktu. Ketika suhu menurun, waktu yang
dibutuhkan satu sel bakteri membelah menjadi dua sel akan meningkat.
Hal inilah yang kurang diperhatikan oleh pedagang di pasar tradisional.
Di supermaket untuk menjaga kesegaran sayuran agar tidak cepat
layu maka dilakukan penyemprotan dengan air. Penyemprotan dengan air
memberikan penampilan yang segar pada sayuran dan menunda
38
dekomposisi, tetapi membuat permukaan sayuran lebih lembab sehingga
dapat mendukung pertumbuhan mikroba saat penyimpanan. Air tersebut
juga bisa menjadi sumber kontaminasi (Frazier dan Westhoff, 1978;
Marriot, 1989).
Menurut Williams et al. (1993) dan Sumoprastowo (2004) setiap
sobekan, memar, atau kerusakan lain yang ada pada jaringan sayuran akan
memberi jalan bagi mikroba untuk masuk dan menjadi lubang-lubang
kehilangan air yang lebih besar selanjutnya diikuti penurunan ketegaran
(turgidity). Umumnya kandungan air pada sayuran segar 88%, karbohidrat
8,6%, protein 1,9%, lemak 0,3%, dan kandungan vitamin dan gizi lainnya
tidak lebih dari 1%. Tingginya kandungan air pada sayuran dapat
merangsang pertumbuhan bakteri. Kisaran pH dari sebagian besar sayuran
masih dalam kisaran pertumbuhan bakteri, sehingga tidaklah
mengherankan bahwa bakteri merupakan agen penyebab kebusukan pada
sayuran (Jay, 2000). Sebagai contoh, pH pada tomat adalah 4,2−4,3, pada
kubis adalah 5,4-6,0 dan pada selada adalah 6,0 (Jay et al., 2005).
Sampel tauge dari supermarket dikemas dan disimpan pada kondisi
yang lebih baik dibanding dengan yang diperoleh dari pasar tradisional.
Tauge dari supermarket dikemas dengan styrofoam dan ditutup dengan
wrapping plastic serta diletakkan di rak yang memiliki pendingin. Namun,
tingginya kandungan mikroba pada sayuran di supermarket juga
dipengaruhi oleh rentang waktu penjualan yang lama. Jika dibandingkan
dengan sayuran yang dijual di pasar tradisional, sayuran dari supermarket
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk habis terjual. Rentang waktu
penjualan yang lama akan mendukung pertumbuhan mikroba pada sayuran
tersebut jika tidak diikuti dengan penanganan yang baik.
Jika dibandingkan rata-rata nilai total mikroba dari ketiga jenis
sayur yang diteliti, maka tauge yang menempati posisi pertama yang
memiliki total mikroba tertinggi. Rata-rata nilai total mikroba pada tauge
adalah 8,0 log CFU/g, pada selada adalah 7,3 log CFU/g, dan pada
pohpohan adalah 7,2 log CFU/g.
39
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Susilawati (2002),
penyiraman dan pencucian tauge dilakukan dengan menggunakan air kali.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya
kandungan total mikroba pada tauge. Air kali atau sungai yang digunakan
diduga telah tercemar dan mengandung total mikroba yang tinggi serta
jenis yang beragam karena di kota Bogor kali atau sungai seringkali
dijadikan sebagai saluran pembuangan. Menurut Wigena (2004) Bogor
memiliki 2 sungai besar yaitu Ciliwung dan Cisadane. Lahan daerah aliran
sungai (DAS) Ciliwung yang dimanfaatkan untuk pemukiman, industri
dan pasar menyebabkan badan air sungai Ciliwung menerima beban
pencemaran berupa limbah rumah tangga, pasar, dan pabrik sehingga
menurunkan kualitas air Ciliwung. Begitu pula dengan Cisadane, adanya
penggunaan bahan kimia yang meningkat terutama deterjen menyebabkan
kualitas air sungai Cisadane menurun dari waktu ke waktu.
Kelima sampel tauge yang diperoleh dari lima pasar tradisional
tersebut memiliki kandungan total mikroba yang tinggi terutama pada
sampel TP3 dengan 9,2 log CFU/g. Hal ini diduga karena pada umumnya
pedagang kurang memperhatikan faktor kebersihan tangan. Untuk jalan
keluarnya, sebaiknya pedagang terlebih dahulu mengemas tauge yang akan
dijual menjadi kemasan-kemasan dengan berat tertentu (misalnya 250 atau
500 gram) sesuai catatan historis penjualan yang dipantau sehingga
kontaminasi dari tangan penjual ke tauge dapat dihindari. Faktor penyebab
lainnya dapat diakibatkan karena peralatan-peralatan yang tidak
dibersihkan sebelum dipakai. Peralatan yang kotor tersebut dapat juga
menjadi sumber kontaminasi mikroba ke tauge.
Menurut Scouten dan Beuchat (2002) sumber kontaminasi mikroba
pada tauge (kecambah) lebih disebabkan melalui biji yang tidak
didisinfeksi dengan baik sebelum proses perkecambahan daripada
kontaminasi tauge yang terjadi saat atau setelah proses produksi. Proses
perkecambahan menyediakan kondisi yang cocok (aktivitas air, suhu, dan
pH) untuk proliferasi bakteri, termasuk patogen jika terdapat pada biji
(Feng, 1997 dalam Peñas et al., 2009).
40
Berdasarkan ICMSF (1996) standar Total Plate Count (TPC)
sayuran yang akan dimakan mentah adalah n = 5, c = 3, m = 105, dan M =
106, artinya maksimal 3 sampel dari 5 sampel yang dianalisis boleh
mengandung total mikroba 105−10
6 CFU/g. Sedangkan seluruh sampel
yang dianalisis, baik selada, pohpohan, maupun tauge memiliki kandungan
total mikroba yang lebih tinggi dari 106 CFU/g.
Tingginya rata-rata total mikroba pada 30 sampel sayuran segar
yang diteliti dapat diantisipasi jika terjadi penanganan pascapanen yang
baik terhadap sayuran segar mulai dari petani hingga penjual. Menurut
Haryanto et al. (2003), secara umum tujuan pascapanen diantaranya adalah
agar sayuran yang dipanen tetap baik mutunya hingga sampai ke
konsumen. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan antara lain: (1)
Pencucian dan pembuangan kotoran yang bertujuan untuk membersihkan
kotoran yang melekat pada sayuran. Pencucian juga bermanfaat sebagai
tindakan precooling yakni penurunan suhu sayuran setelah dipanen; (2)
Sortasi yang betujuan untuk memisahkan antara sayuran yang baik dengan
yang kurang baik. Bagian yang terkena penyakit, rusak, atau abnormal
sebaiknya dibuang; (3) Pengemasan yang bertujuan untuk memudahkan
pengiriman, menjaga dari kerusakan, serta membuat penampilan lebih
menarik. Pengemasan dapat menggunakan plastik atau kotak karton; (4)
Penyimpanan pada suhu rendah yang bertujuan untuk menekan proses
pernapasan, penguapan, maupun kegiatan mikroba perusak.
3. Cemaran Salmonella spp. pada Sampel Selada, Pohpohan dan Tauge
Salmonella merupakan bakteri yang sering mengontaminasi
makanan seperti telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya,
daging ayam, daging sapi, serta susu dan hasil olahannya seperti es krim
dan keju (Jay et al., 2005). Namun, berbagai hasil penelitian menunjukkan
bahwa Salmonella juga dapat ditemukan pada sayuran dan buah-buahan.
Keputusan Ditjen POM No. 03726/B/SK/VII/1989 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan menyebutkan bahwa pada
sayuran dan hasil olahannya tidak boleh mengandung Salmonella dalam
41
25 gram sampel. Pada penelitian ini dilakukan analisis Salmonella yang
mengacu pada BAM (2007) untuk mengetahui ada tidaknya Salmonella
pada sayuran segar yang dijual di supermarket dan pasar tradisional.
Tahapan pra-pengkayaan seluruh sampel sayuran yang diteliti di media
Lactose broth menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan timbulnya
kekeruhan (Gambar 10).
Gambar 10. Hasil positif Salmonella pada media LB
Hasil positif pada media RV ditandai dengan perubahan warna
media yang awalnya berwarna biru berubah menjadi biru muda, keruh,
atau bahkan terbentuk endapan putih. Sedangkan hasil positif pada media
TTB ditandai dengan terbentuknya endapan putih (Gambar 11).
Gambar 11. Hasil positif Salmonella pada media RV (A) dan TTB (B)
Pertumbuhan koloni tipikal Salmonella pada media selektif HEA,
XLDA, dan BSA dapat dilihat pada Gambar 12 sedangkan contoh koloni
atipikal yang tumbuh pada media HEA dapat dilihat pada Gambar 13.
A B
42
Gambar 12. Pertumbuhan koloni tipikal Salmonella pada media HEA (A),
XLDA (B), dan BSA (C)
Gambar 13. Pertumbuhan koloni atipikal Salmonella pada media HEA
Hasil positif Salmonella pada TSIA ditunjukkan dengan
dihasilkannya basa (warna merah) pada permukaan agar miring dan asam
(warna kuning) pada bagian dasar tabung, sedangkan pada media LIA hasil
positif ditunjukkan dengan dihasilkannya basa (warna ungu) baik pada
bagian permukaan agar miring dan bagian dasar tabung. Sebagian besar
kultur Salmonella memproduksi H2S yang ditandai dengan warna hitam
pada TSIA maupun LIA (Gambar 14).
Keterangan:
A: TSIA hasil positif C: TSIA hasil negatif
B: LIA hasil positif D: LIA hasil negatif
Gambar 14. Hasil konfirmasi biokomia pada media TSIA dan LIA
A C
A B C D
B
43
Walaupun demikian, menurut BAM (2007) kultur yang mengasilkan
asam (warna kuning) pada bagian dasar tabung media LIA, tetapi
menghasilkan basa (warna merah) pada bagian permukaan agar miring dan
asam (warna kuning) pada bagian dasar tabung media TSIA, harus diduga
sebagai isolat Salmonella yang potensial dan diuji lebih lanjut.
Isolat yang positif pada media TSIA dan LIA selanjutnya dikonfirmasi
dengan Urea broth (UB) dan API 20E test kit. Pengujian dengan UB
bertujuan untuk mengidentifikasi isolat berdasarkan penggunaan urea. Ketika
mikroba menggunakan urea, amonia akan terbentuk dan menyebabkan
kondisi basa pada media (pH meningkat ≥ 8,0). Produksi amonia akan
ditandai dengan warna media yang berubah menjadi merah muda karena
adanya indikator phenol red (Gambar 15). Hasil uji Salmonella pada media
UB ditandai dengan warna kuning atau keruh atau terbentuk endapan putih
karena spesies Salmonella merupakan urease negatif.
Gambar 15. Hasil positif pada Urea broth
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dengan mengunakan
media BSA, kultur yang sebelumnya diambil dari media TTB maupun RV
akan menghasilkan persentase koloni tipikal sebesar 100% (Tabel 5). Dari
Gambar 16 diketahui bahwa persentase koloni yang diduga Salmonella
setelah uji konfirmasi biokimia pada media TSIA dan LIA yang diisolasi
dari media BSA cukup kecil. Persentase dihitung dengan membandingkan
jumlah koloni tipikal atau atipikal yang dihasilkan media selektif dengan
koloni yang berhasil menghasilkan uji positif pada TSIA dan LIA. Hasil
analisa dari media BSA menunjukkan bahwa hanya 5 dari 39 koloni tipikal
(12,8%) yang berasal dari RV dan 7 dari 38 koloni tipikal (18,4%) yang
berasal dari TTB diduga sebagai Salmonella.
44
Tabel 5. Jumlah koloni yang diduga Salmonella setelah uji konfirmasi
biokimia pada media TSIA dan LIA
Media Tipikal Atipikal %
Tipikal %
Atipikal
Koloni
Tipikal
Positif
TSIA
LIA
Koloni
Atipikal
Positif
TSIA
LIA
RV HEA 4 26 13,3 86,7 4 1
XLDA 8 23 25,8 74,2 4 3
BSA 39 0 100,0 0 5 0
TTB HEA 34 6 85,0 15,0 22 1
XLDA 34 5 87,2 12,8 28 2
BSA 38 0 100,0 0 7 0
Keterangan:
RV = Rappaport-Vassiliadis medium; TTB = Tetrathionate broth; HEA = Hektoen
enteric agar; XLDA = Xylose lysine desoxycholate agar; BSA = Bismuth sulfite agar
Gambar 16. Persentase koloni yang diduga Salmonella setelah uji
konfirmasi biokimia pada media TSIA dan LIA terhadap
jumlah koloni yang diisolasi dari media HEA, XLDA, dan
BSA
Hasil analisa dari media HEA menunjukkan bahwa 4 dari 4 koloni
tipikal (100,0%) yang berasal dari RV diduga sebagai Salmonella. Pada
penelitian ini, media HEA dengan pengkayaan selektif RV sangat sensitif
45
dalam mengisolasi Salmonella. Sehingga, nilai persentase keberhasilan
yang dihasilkan sangat tinggi, tetapi jumlah koloni tipikal yang berhasil
diisolasi sedikit. Sedangkan hasil isolasi pada media HEA dengan media
pengkayaan selektif TTB menunjukkan bahwa 22 dari 34 koloni tipikal
(64,7%) diduga sebagai Salmonella.
Urutan kedua tertinggi ada pada media XLDA dengan media
pengkayaan selektif TTB. Hasil analisa dari media XLDA menunjukkan
bahwa 28 dari 34 koloni tipikal (82,4%) yang berasal dari TTB diduga
sebagai Salmonella. Sedangkan hasil isolasi pada media XLDA dengan
media pengkayaan selektif RV menunjukkan bahwa hanya 4 dari 8 koloni
tipikal (50,0%) diduga sebagai Salmonella.
Pada BAM edisi sebelum tahun 2007, penggunaan media RV
hanya direkomendasikan untuk analisis pada udang. Setelah tahun 2007
media RV diperluas penggunaannya menggantikan Selenite cystine broth
SCB dalam analisis makanan (BAM 2007). Kebijakan tersebut memang
sejalan dengan hasil penelitian ini, media RV sensitif dalam mengisolasi
Salmonella. Hal yang sama terjadi pada penelitian Sylviana (2008), media
RV lebih efektif sebagai media pengkaya selektif yang digunakan untuk
mendeteksi Salmonella pada 40 sampel karkas ayam, dibandingkan
dengan media TTB. Media RV juga lebih efektif dibandingkan dengan
TTB dalam mendeteksi Salmonella pada sampel daging sapi (Saptarini,
2009) maupun ikan segar (Aziz, 2009).
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa HEA merupakan
media agar selektif yang lebih baik untuk isolasi setelah sampel diperkaya
dengan media pengkayaan selektif RV, sedangkan XLDA merupakan
media agar selektif yang lebih baik isolasi setelah sampel diperkaya
dengan media pengkayaan selektif TTB.
Dari 30 sampel yang diteliti terdapat 8 sampel (26,7%) yang tidak
mengandung Salmonella, 15 sampel (50%) yang dicurigai mengandung
Salmonella, dan 7 sampel (23,3%) yang dicurigai tidak mengandung
Salmonella. Delapan sampel yang tidak mengandung Salmonella terdiri
dari 3 sampel selada dengan kode sampel SS3, SS4, dan SP1; 3 sampel
46
pohpohan dengan kode sampel PP1, PP4, dan PP5; dan 2 sampel tauge
dengan kode sampel TS3 dan TP4. Salah satu dari dari ketiga sampel
selada tersebut berasal dari pasar tradisional dan dua lainnya berasal dari
supermarket. Dua sampel tauge tersebut masing-masing berasal dari
supermarket dan pasar tradisional. Sedangkan untuk sampel pohpohan,
ketiganya berasal dari pasar tradisional. Kedelapan sampel tersebut tidak
mengandung Salmonella karena memberikan hasil negatif pada media
TSIA, LIA dan Urea broth.
Lima belas sampel yang sangat dicurigai mengandung Salmonella
terdiri dari 4 sampel selada dengan kode sampel SS1, SS2, SS5, dan SP3;
6 sampel pohpohan dengan kode sampel PS1, PS2, PS3, PS4, PS5, dan
PP2; dan 5 sampel tauge dengan kode sampel TS1, TS2, TP1, TP3, dan
TP5. Ternyata hasil tes API 20E menunjukkan bahwa dari kelimabelas
sampel tersebut terdapat 2 sampel (PS1 dan TP1) yang positif mengandung
Salmonella spp. dengan konfirmasi 99,9% very good identification
(Gambar 17). Sementara ketigabelas sampel yang lain tidak mengandung
Salmonella. Gambar 18 menunjukkan hasil identifikasi non-Salmonella.
Keterangan:
A: Salmonella spp. 99,9% very good identification (PS1)
B: Salmonella spp. 99,9% very good identification (TP1)
Gambar 17. Hasil indentifikasi Salmonella dengan API 20E
A
B
47
Keterangan:
C: Citrobacter younge 99,8% very good identification (SP3)
D: Providencia alcalifaciens/rustigianii 89,0% exellent identification (PS2)
E: Enterobacter cloacae 97,0% good identification (TP3)
Gambar 18. Hasil indentifikasi non-Salmonella dengan API 20E
Sebagian isolat non-Salmonella yang diperoleh dari ketigabelas
sampel lain diduga mirip dengan isolat Salmonella tetapi terdapat satu
perbedaan. Isolat-isolat tersebut menghasilkan basa (warna ungu) pada
bagian dasar tabung atau bagian tusukan media LIA; dan pada media TSIA
menghasilkan basa (warna merah) pada bagian permukaan agar miring dan
asam (warna kuning) pada bagian dasar tabung atau bagian tusukan. Pada
beberapa tabung terlihat adanya gas yang terbentuk dan ada pula yang
tidak menghasilkan gas. Isolat-isolat tersebut juga memberikan hasil
negatif pada Urea broth. Namun, tidak satupun dari isolat tersebut yang
menghasilkan H2S baik pada media TSIA maupun LIA.
Sedangkan untuk sebagian isolat non-Salmonella lainnya memang
terlihat berbeda mulai dari tes biokimia. Beberapa isolat non-Salmonella
tersebut memang menghasilkan basa (warna merah) pada bagian
permukaan agar miring dan asam (warna kuning) pada bagian dasar tabung
atau bagian tusukan. Tetapi pada media LIA dihasilkan basa (warna ungu)
pada bagian permukaan agar miring dan asam (warna kuning) pada bagian
E
C
D
48
dasar tabung atau bagian tusukan. Hubungan hasil tes API 20E dan
kombinasi hasil tes biokimia media TSIA, LIA, dan Urea broth dapat
dilihat pada Tabel 6.
Hasil yang diperoleh terhadap 7 sampel sayuran lainnya pada
media TSIA, LIA, dan Urea broth memberikan reaksi negatif untuk
Salmonella. Kombinasi hasil tes biokimia dari seluruh sampel sayuran
segar tersebut dapat dilihat pada Lampiran 11, Lampiran 12, dan Lampiran
13, sedangkan hasil identifikasi API 20E dapat dilihat pada Lampiran 14.
Tabel 6. Hubungan hasil API 20E dan kombinasi hasil tes biokimia pada
media TSIA, LIA, dan Urea broth
Sampel Kombinasi Hasil Tes Biokimia Jumlah
Isolat
(n) Hasil API 20E TSIA
UB LIA
Slant Butt Slant Butt H2S
Selada B A + B B − 1 Salmonella Negatif
(Escherichia coli)
B A + B A + 7 Salmonella Negatif (Citrobacter youngae)
B A + B A − 3 Salmonella Negatif (Enterobacter cloacae)
Pohpohan B A + B B + 2 Salmonella Positif
(Salmonella spp. 99,9%)
B A + B B − 8 Salmonella Negatif
(Acinetobacter baumannii;
Providencia alcalifaciens)
B A + B A + 4 Salmonella Negatif (Citrobacter youngae)
B A + B A − 5 Salmonella Negatif (Enterobacter cloacae)
Tauge B A + B B + 2 Salmonella Positif
(Salmonella spp. 99,9%)
B A + B B − 1 Salmonella Negatif (Enterobacter cloacae)
B A + B A + 7 Salmonella Negatif (Citrobacter youngae)
B A + B A − 6 Salmonella Negatif (Enterobacter cloacae)
Keterangan:
Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning);
LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
Dua isolat Salmonella yang didapat dari sampel PS1 dan TP1
tesebut kemudian dilakukan uji serologi lebih lanjut. Hasil uji serologi
49
menunjukkan bahwa kedua sampel tersebut mempunyai O-grup: 3, 10,
[15]. Fase I: r, dan fase II: z6, sehingga setelah dibaca dengan skema
Kauffmann-White kedua sampel tersebut teridentifikasi sebagai
Salmonella Weltevreden.
Tabel 7. Persentase Salmonella yang dapat diisolasi dari sampel
Jenis
Sayuran Sumber
Kode
Sampel Jumlah
Sampel
Jumlah
Sampel
Positif
Persentase
Isolasi
Salmonella (%)
Selada Supermarket SS 5 0 0
Pasar tradisional SP 5 0
Pohpohan Supermarket PS 5 1 10
Pasar tradisional PP 5 0
Tauge Supermarket TS 5 0 10
Pasar tradisional TP 5 1
Total 30 2 6,7
Tingkat isolasi bakteri Salmonella yang telah dilakukan pada 30
sampel sayuran segar adalah 6,7%, yaitu terdapat 2 dari 30 sampel sayuran
segar yang mengandung Salmonella Weltevreden (Tabel 7). Sepuluh
sampel selada yang diuji, baik yang berasal dari supermarket ataupun pasar
tradisional, bebas dari bakteri Salmonella. Sedangkan 1 dari 10 sampel
pohpohan (10%) mengandung Salmonella. Begitu pula dengan sampel
tauge, terdapat 1 dari 10 sampel tauge (10%) mengandung Salmonella.
Hasil penelitian Agustin (2004) menunjukkan dari 50 sampel selada yang
dianalisis terdapat 2 sampel mengandung Salmonella Weltevreden.
B. Efektivitas Pencucian Terhadap Kandungan Bakteri Salmonella spp. dan
Total Mikroba pada Selada
Pada penelitian selanjutnya (Tahap II) digunakan salah satu jenis
sayuran yaitu selada. Pada tahap ini diamati efektivitas pencucian terhadap
kandungan bakteri Salmonella pada sayuran selada.
Sebelumnya, sayuran selada tersebut dikontaminasi dengan
Salmonella spp. sebanyak 3 log CFU/g dengan masa kontak 30 menit. Jenie
50
dan Fardiaz (1989) mengatakan bahwa Salmonella di dalam makanan
umumnya terdapat dalam jumlah kecil, tetapi jumlah tersebut cukup untuk
menimbulkan gejala sakit. Pemberian waktu kontak selama 30 menit
bertujuan untuk memberi kesempatan agar Salmonella tersebut dapat
menempel pada permukaan selada yang akan diuji.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pencucian menggunakan
air matang dapat menurunkan rata-rata total mikroba pada daun selada dari
6,6 log CFU/g menjadi 6,5 log CFU/g, sedangkan pencucian dengan larutan
sanitaiser komersial menurunkan rata-rata total mikroba pada daun selada dari
6,7 log CFU/g menjadi 5,8 log CFU/g (Tabel 8). Sementara untuk rata-rata
total Salmonella, pencucian dengan air matang memberikan penurunan dari
4,3 log CFU/g menjadi 3,9 log CFU/g, sedangkan pencucian dengan larutan
sanitaiser komersial dapat menurunkan rata-rata total Salmonella dari 5,0 log
CFU/g menjadi 4,1 log CFU/g (Tabel 9).
Tabel 8. Total mikroba pada daun selada selama perlakuan pencucian dengan
air matang dan pencucian dengan larutan sanitaiser komersial
Tahapan
Perlakuan Ulangan
Air Matang Sanitaiser Komersial
SPC
(cfu/g)
Nilai
Log
Rata-
rata
Nilai
Log
SPC
(cfu/g)
Nilai
Log
Rata-
rata
Nilai
Log
Selada segar
1 7,0 × 107 7,8
7,6
6,4 × 107 7,8
7,6
2 1,4 × 10
7 7,2 2,3 × 10
7 7,4
3 7,0 × 107 7,8 5,0 × 10
7 7,7
Selada setelah
dibesihkan
dan bonggol
dipotong
1 3,2 × 106 6,5
6,6
2,8 × 107 7,5
6,5 2 8,2 × 105 5,9 2,1 × 10
6 6,3
3 2,2 × 107 7,3 7,0 × 10
5 5,8
Selada setelah
dikontaminasi
(3 Log
CFU/g)
1 8,5 × 106 6,9
6,6
2,0 × 107 7,3
6,7 2 1,6 × 106 6,2 6,1 × 10
6 6,8
3 5,6 × 106 6,8 1,3 × 10
6 6,1
Selada setelah
pencucian
1 7,7 × 106 6,9
6,5
1,1 × 106 6,0
5,8 2 1,8 × 106 6,3 4,1 × 10
5 5,6
3 2,2 × 106 6,3 7,8 × 10
5 5,9
51
Tabel 9. Total Salmonella pada daun selada selama perlakuan pencucian
dengan air matang dan pencucian dengan larutan sanitaiser komersial
Tahapan
Perlakuan Ulangan
Air Matang Sanitaiser Komersial
SPC
(cfu/g)
Nilai
Log
Rata-
rata
Nilai
Log
SPC
(cfu/g)
Nilai
Log
Rata-
rata
Nilai
Log
Selada segar
1 - -
5,4
2,1 × 106 6,3
6,0 2 3,2 × 105 5,5 1,6 × 10
6 6,2
3 1,9 × 105 5,3 4,4 × 10
5 5,6
Selada setelah
dibesihkan
dan bonggol
dipotong
1 7,4 × 103 3,9
4,4
5,8 × 105 5,8
5,1 2 1,7 × 104 4,2 9,2 × 10
4 5,0
3 1,6 × 105 5,2 2,6 × 10
4 4,4
Selada setelah
dikontaminasi
(3 Log
CFU/g)
1 1,7 × 104 4,2
4,3
2,6 × 105 5,4
5,0 2 4,0 × 104 4,6 7,2 × 10
4 4,9
3 1,7 × 104 4,2 4,4 × 10
4 4,6
Selada setelah
pencucian
1 3,6 × 103 3,6
3,9
1,2 × 104 4,1
4,1 2 - - 3,9 × 103 3,6
3 2,0 × 104 4,3 3,3 × 10
4 4,5
Pada perlakuan air matang, nilai total mikroba selada setelah
dikontaminasi dengan 3 log CFU/g bakteri Salmonella tidak mengalami
perubahan dengan sebelum dikontaminasi (Tabel 8). Hal ini disebabkan total
mikroba pada selada yang telah dibersihkan dan dipotong bonggolnya sudah
cukup tinggi (6,6 log CFU/g) sehingga kontaminasi bakteri 3 log CFU/g tidak
akan memberikan perubahan yang signifikan terhadap rata-rata total mikroba
pada selada tersebut. Pada perlakuan air matang dan sanitaiser komersial,
nilai total Salmonella selada setelah dikontaminasi dengan 3 log CFU/g
bakteri Salmonella sedikit mengalami penurunan (Tabel 9). Hal ini
disebabkan oleh kompetisi untuk tumbuh antara koloni tipikal dan atipikal
Salmonella pada media HEA. Bakteri Salmonella tidak dapat berkompetisi
secara baik dengan bakteri-bakteri yang umum terdapat di dalam bahan
makanan (Ray, 2001). Pada selada yang dianalisis terdapat juga bakteri non-
Salmonella yang mampu tumbuh pada media HEA. Sehingga pada beberapa
cawan, koloni atipikal tumbuh lebih dominan dan menutupi sebagian besar
52
agar cawan tersebut serta menekan pertumbuhan koloni tipikal Salmonella.
Hal ini mempengaruhi perhitungan SPC dan menurunkan nilai log dari rata-
rata total Salmonella.
Gambar 19 menunjukkan penurunan kandungan Salmonella spp. pada
selada setelah dicuci dengan air matang yaitu 0,4 log CFU/g atau setara
dengan 36%, sedangkan larutan sanitaiser komersial dapat menurunkan
hingga 0,9 log CFU/g yang setara dengan 81%. Penurunan kandungan total
mikroba pada selada setelah dicuci dengan air matang adalah 0,1 log CFU/g
atau setara dengan 9%, sedangkan larutan sanitaiser komersial dapat
menurunkan 0,9 log CFU/g yang setara dengan 81%. Data total mikroba
kedua perlakuan pencucian terhadap selada dapat dilihat pada Lampiran 15
dan Lampiran 16, sedangkan data total Salmonella terdapat pada Lampiran 17
dan Lampiran 18.
Gambar 19. Penurunan kandungan Salmonella spp. dan total mikroba pada
selada setelah perlakuan pencucian
Dengan uji statistik (Uji T: Two-Sample Assuming Equal Variances),
total mikroba setelah perlakuan pencucian menggunakan larutan sanitaiser
komersial dengan menggunakan air matang memberikan hasil yang tidak
berbeda nyata. Selada yang telah dikontaminasi dengan bakteri Salmonella
pada kedua jenis perlakuan pencucian memiliki rata-rata total mikroba yang
53
tidak berbeda nyata (P>0,05). Setelah diberi perlakuan pencucian, selada dari
kedua jenis perlakuan tersebut juga memiliki rata-rata total mikroba yang
tidak berbeda nyata dengan (P>0,05) (Lampiran 19).
Hal yang sama juga terjadi pada pengujian statistik kandungan total
Salmonella. Selada yang telah dikontaminasi dengan bakteri Salmonella pada
kedua jenis perlakuan pencucian memiliki rata-rata total Salmonella yang
tidak berbeda nyata (P>0,05). Setelah diberi perlakuan pencucian, selada dari
kedua jenis perlakuan tersebut juga memiliki rata-rata total Salmonella yang
tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 20). Perlakuan pencucian dengan
menggunakan larutan sanitaiser komersial dan air matang memberikan hasil
yang tidak berbeda nyata terhadap penurunan total Salmonella pada selada.
Pencucian dengan air matang memang tidak cukup untuk menurunkan
jumlah Salmonella. Pembilasan selada dengan air matang yang dilakukan
Novitasari (2004) bahkan menunjukkan nilai penurunan jumlah Salmonella
yang lebih sedikit daripada penelitian ini, yaitu dari 6,74 log CFU/g menjadi
6,54 log CFU/g dengan nilai penurunan 0,2 log CFU/g. Hasil penelitian
Lestari (2005), perendaman selada menggunakan air minum sebanyak dua
kali hanya dapat menurunkan Salmonella sebanyak 0,31 log CFU/g. Hasil
penelitian Marlis (2004), yaitu pencucian atau pembilasan selada dengan air
matang dapat menurunkan kandungan Salmonella spp. sebesar 1,26 log
CFU/g. Sari (2004), pembilasan dengan air matang juga dapat menurunkan
kandungan Salmonella spp. pada daun selada sebesar 1,26 log CFU/g.
Jika dibandingkan dengan perlakuan pencucian yang menggunakan
sanitaiser lain (seperti klorin, asam, atau hidrogen peroksida), sanitaiser
komersial juga menunjukkan kemampuan menurunkan total Salmonella yang
lebih kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2004) menunjukkan bahwa
pencucian dengan klorin 1000 ppm dengan waktu kontak 2 menit dapat
menurunkan jumlah Salmonella sebesar 2,85 log CFU/g dan klorin 2000 ppm
dengan waktu kontak yang sama dapat menurunkan jumlah Salmonella
sebesar 3 log CFU/g. Pada penelitian Marlis (2004) dilaporkan bahwa sekitar
3,85 log CFU Salmonella mengalami penurunan per gram sayur dengan
sanitaiser kombinasi hidrogen peroksida 5% dan asam asetat 3%. Sedangkan
54
sanitaiser asam asetat 3% saja hanya dapat menurunkan 2,54 log CFU/g
Salmonella.
Pemotongan bonggol dan pembersihan selada dengan air mengalir
bertujuan untuk menghilang kotoran fisik. Namun tahapan ini dapat
menurunkan kandungan total mikroba dan total Salmonella pada selada
dengan lebih baik dibandingkan kedua perlakuan pencucian (air matang dan
sanitaiser komersial) yang diterapkan dengan cara perendaman. Pemotongan
bonggol dan pembersihan selada pada perlakuan air matang menurunkan rata-
rata total mikroba dari 7,6 log CFU/g menjadi 6,6 log CFU/g dan pada
perlakuan sanitaiser komersial total miroba turun dari 7,6 log CFU/g menjadi
6,5 log CFU/g (Tabel 8). Sementara rata-rata total Salmonella pada perlakuan
air matang turun dari 5,4 log CFU/g menjadi 4,4 log CFU/g dan pada
perlakuan sanitaiser komersial turun dari log 6,0 CFU/g menjadi 5,1 log
CFU/g (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa pencucian dengan air mengalir
lebih efektif dalam menurunkan kandungan mikroba pada daun selada
dibandingkan dengan pencucian cara perendaman.
55
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kandungan total mikroba dari 30 sampel sayuran segar yang diteliti
tidak memenuhi standar Total Plate Count (TPC) sayuran menurut ICMSF
(1996). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sayuran selada memiliki
rata-rata nilai total mikroba 7,3 log CFU/g; sayuran pohpohan memiliki rata-
rata nilai total mikroba 7,2 log CFU/g; dan sayuran tauge memiliki rata-rata
nilai total mikroba 8,0 log CFU/g. Dari 30 sampel sayuran segar yang
dianalisa (selada, pohpohan, dan tauge), 2 diantaranya (6,7%) positif
mengandung Salmonella Weltevreden.
Penurunan kandungan Salmonella spp. pada selada setelah dicuci
dengan air matang adalah 0,4 log CFU/g atau setara dengan 36%, sedangkan
larutan sanitaiser komersial dapat menurunkan hingga 0,9 log CFU/g yang
setara dengan 81%. Penurunan kandungan total mikroba pada selada setelah
dicuci dengan air matang adalah 0,1 log CFU/g atau setara dengan 9%,
sedangkan larutan sanitaiser komersial dapat menurunkan 0,9 log CFU/g
yang setara dengan 81%. Pencucian sayuran dengan air matang maupun
larutan sanitaiser dapat menurunkan kandungan Salmonella dan total mikroba
tidak lebih dari 1,0 log CFU/g.
B. SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas dari larutan sanitaiser
komersial lainnya yang dapat menurunkan jumlah mikroba pada sayuran
segar.
56
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, D. S. 2004. Prevalensi Salmonella pada Selada Segar di Pasar
Tradisional Daerah Bogor dan Evaluasi Prosedur Pengujiannya. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anderson, R. C. dan R. L. Ziprin. 2001. Bacteriology of Salmonella. Di dalam Y.
H. Hui, M. D. Pierson, J. R. Gorham (editor). Foodborne Disease
Handbook Second Edition, Revised and Expanded Volume 1: Bacterial
Pathogens. Marcel Dekker, Inc., New York.
Anonim. 1980. Sayur-sayuran. Balai Pustaka, Jakarta.
Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Penerbit Alumni, Bandung.
Ayres, J. C., Mundt, J. O., dan Sandine, W. E. 1980. Microbiology of Food. W. H.
Freeman and Co., San Fransisco, CA.
Aziz, I. 2009. Isolasi Salmonella spp. pada Tiga Jenis Ikan di Wilayah Bogor
Serta Uji Ketahanannya Terhadap Pengaruh Proses Pengukusan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2009. Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari
Menurut Kelompok Makanan. http://www.bps.go.id/tab_sub/
view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=05¬ab=5 [30 September
2009]
Balai Penelitian Veteriner. 1985. Uji Serologi Salmonella. Balai Penelitian
Veteriner, Bogor.
BAM (Bacteriological Analytical Manual). 2001. Aerobic Plate Count.
http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-3.html [20 September 2008]
BAM (Bacteriological Analytical Manual). 2003. Food Sampling and Preparation
of Sample Homogenate. http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-1.html
[20 September 2008]
BAM (Bacteriological Analytical Manual). 2007. Salmonella.
http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-5.html [20 September 2008]
Bell, C. dan A. Kyriakides. 2003. Salmonella. Di dalam C. Blackburn dan P. J.
McClure (editor). Foodborne Pathogens: Hazard, Risk Analysis, and
Control. Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.
Beuchat, L. R. 1996. Pathogenic Microorganism Associated with Fresh Produce.
J. Food Prot. 64:788-795.
57
Beuchat, L. R., J. M. Farber, E. H. Garret, L. J. Harris, M. E. Parish, T. V.
Suslow, and F. Busta. 2001. Standarization of a method to determine the
efficiency of sanitizers in inactivating human pathogenic microorganism
on raw fruits and vegetables. J Food Prot. 64(7):1079−1084.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Codex Alimentarius Comission. 2000. Discusion Paper on The Use of Chlorinated
Water. Codex Committee on Fish and Fishery Products 24th
Session,
Alesund, Norway 5−9 June 2000.
D’Aoust, J. Y. 2000. Salmonella. Di dalam B. M. Lund, T. C. Baird-Parker, dan
G. W. Gould (editor). The Microbiological Safety and Quality of Food
Volume 1. Aspen Publisher, Inc., Gaithersburg, Maryland.
D’Aoust, J. Y. 2001. Salmonella. Di dalam R. G. Labbé dan S. Garcia (editor).
Guide to Foodborne Pathogens. John Wiley & Sons, Inc., New York.
Davidson, P. M. dan A. L. Branen. 1993 Antimicrobials in Foods 2nd
Edition
Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.
Del-Portillo, F. G. 2000. Moleculer and Celluler Biology of Salmonella
Pathogenesis. Di dalam J. W. Cary, J. E. Linz, dan D. Bhatnagar.
Microbial Foodborne Disease: Mechanisms of Pathogenesis and Toxin
Synthesis. Techonomic Publishing Company, Inc., Cancaster,
Pennsylvania.
Difco and BBL Manual. 2003. Manual of Microbiological Culture Media. BD
Diagnostic Systems.
Direktorat Gizi, Depkes R.I. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata
Karya Aksara, Jakarta.
Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology Third Edition.
McGraw-Hill Book, Inc., New York.
Hanes, D. 2003. Nontyphoid Salmonella. Di dalam M. D. Miliotis dan J. W. Bier
(editor). International Handbook of Foodborne Pathogens. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Harrigan, W. F. dan McCane, M. E. 1976. Laboratory Methods in Food and Dairy
Microbiology. Academic Press, London.
Haryanto, E., T. Suhartini, E. Rahayu, dan H. Sunarjono. 2003. Sawi dan Selada.
Penebar Swadaya, Jakarta.
58
Hayes, P. R. 1995. Food Microbiology and Hygiene 2nd
Edition. Chapman and
Hall, London.
Hu, L. dan D. J. Kopecko. 2003. Typhoid Salmonella. Di dalam M. D. Miliotis
dan J. W. Bier (editor). International Handbook of Foodborne
Pathogens. Marcel Dekker, Inc., New York.
ICMSF. 1996. Microorganisms in Food 5: Microbiological Specifications of Food
Pathogens. Blackie Academic and Professional, London.
Isyanti, M. 2001. Mutu Mikrobiologi Sayuran Lalap dari Pasar Tradisional di
Daerah Bogor dan Pengaruh Perlakuan Pasca Panen minimal untuk
Menjamin Keamanannya. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Jay, J. M. 1978. Modern Food Microbiology. D. Van Nostrand Company, New
York.
Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology 6th
Edition. Aspen Publisher, Inc.,
Gaithersburg, Maryland.
Jay, J. M., M. J. Loessner, dan D. A. Golden. 2005. Modern Food Microbiology
Seventh Edition. Springer Science and Bussiness Media Inc., USA.
James, J. 2006. Overview of Microbial Hazard in Fresh Fruit and Vegetables
Operations. Di dalam J. James (editor). Microbial Hazard Identification
in Fresh Fruit and Vegetables. Jon Wiley & Sons, Inc., Publication, New
Jersey.
Jenie, B. S. L. 1988. Sanitasi untuk Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jenie, B. S. L. dan S. Fardiaz. 1989. Uji Sanitasi dalam Industri Pangan. PAU
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kay, D. E. 1979. Food Legumes. Tropical Products Institute, London.
Kurniawan D. 2008. Uji T 2-sampel independen.
http://ineddeni.files.wordpress.com/2008/03/uji-t-2-sampel-indep1.pdf
[30 September 2009]
Lang, M. M., B. H. Ingham, dan S. C. Ingham. 2000. Efficacy of Novel Organic
Acid and Hyppochlorite Treatments for Eliminating Eschericia coli
O157:H7 from Alfalfa Seeds Prior To Sprouting. Int. J. Food Microbiol.
58: 73-82.
Lestari, V. 2005. Penggunaan Sanitaiser Berbasis Hidrogen Peroksida dan Asam
Asetat Untuk Inaktivasi Salmonella dalam Selada pada Skala Industri
59
Kecil. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Lund, B. M., T. C. Baird-Parker, dan G. W. Gould. 2000. The Microbiological
Safety and Quality of Food. Vol II. Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg,
Maryland.
Mahyar, U. W. 1994. Pilea Lindley. Di dalam J. S. Siemonsma dan K. Piluek
(editor). Plant Resources od South-East Asia No. 8 Vegetables.
PROSEA, Bogor.
Marlis, A. 2004. Efektivitas Hidrogen Peroksida dan Asam Asetat Untuk
Inaktivasi Salmonella pada Selada Segar. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mitchell, R. 1993. Environmental Microbiology. Jon Wiley & Sons, Inc.,
Publication, New York.
Muchtadi, D. 2000. Sayur-sayuran Sumber Serat dan Antioksida. Fakultas
Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Naidu, A. S. dan N. Khanna. 2000. Chloro-cides. Di dalam A. S. Naidu (editor).
Natural Food Antinicrobial Systems. CRC Press, New York.
Nasution, R. 2003. Teknik Sampling. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
rozaini.pdf [30 September 2009]
Novary, E. W. 1999. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Novitasari, G. 2004. Efektivitas Klorin, Asam dan Perlakuan Suhu Untuk
Inaktivasi Salmonella pada Selada Segar. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Oxoid Manual. 1995. 7th
Edition. Foodborne Pathogens. Monograph No. 1
Salmonella.
Pawsey, R. K. 2002. Case Studies in Food Microbiology for Food Safety and
Quality. Royal Society of Chemistry, London.
Peñas E. , R. Gómez, J. Frías, dan C. Vidal-Valverde. 2009. Effects of combined
treatments of high pressure, temperature and antimicrobial products on
germination of mung bean seeds and microbial quality of sprouts. J. Food
Control Vol 21:82-88.
Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology 2nd
Edition. CRC Press, Boca
Raton.
60
Rignanese, L. 2006. Botanica Sistematica. http://www.homolaicus.com/scienza/
erbario/utility/botanica_sistematica/hypertext/1549.htm [9 Desember
2009]
Ryder, E. J. 1997. Introduction. Di dalam R. M. Davis, K. V. Subbarao, R. N.
Raid, dan E. A. Kurtz (editor). Compendium of Lettuce Disease. APS
Press, USA.
Sagoo, S. K., C. L. Little, L. Ward, I. A. Gillespie, dan R. T. Mitchell. 2003.
Microbiological Study of Ready-to-eat Salad Vegetables from Retail
Establishments Uncovers a National Outbreaks of Salmonellosis. J. Food
Prot. Vol 66 (3) : 403-409
Saptarini, K. 2009. Isolasi Salmonella spp. pada Sampel Daging Sapi di Wilayah
Bogor Serta Uji Ketahanannya Terhadap Proses Pendinginan dan
Pembekuan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sari, D. M. I. 2004. Penggunaan Klorin dan Asam Asetat sebagai Sanitiser Untuk
Menurunkan Jumlah Salmonella pada Selada (Lactuca sativa, L.) Segar
Siap Santap. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Scouten, A. J., dan Beuchat, L. R.. 2002. Combined effects of chemical, heat and
ultrasound treatments to kill Salmonella and Escherichia coli O157:H7
on alfalfa seeds. Journal of Applied Microbiology, 92, 668–674.
SDA (Soap and Detergent Association). 2000. Dishwashing Facts.
http://www.sdahq.org/dishwash/dishwash.pdf [18 Februari 2010]
Siregar, K. H. 2000. Sistem Penanganan Pasca Panen Kubis (Brassica oleracea L.
var. capitata L.) di Sub Terminal Agribisnis Sukabumi. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sumoprastowo, R. M. 2004. Memilih dan Menyimpan Sayur-Mayur, Buah-
Buahan, dan Bahan Makanan. Bumi Aksara, Jakarta.
Supardi, I. dan Sukamto, M. 1999. Mirobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Penerbit Alumni, Bandung.
Susilawati, A. 2002. Keamanan Mikrobiologi dan Survey Lapangan Sayuran di
Tingkat Petani dan Pasar Tradisional di Daerah Bogor. Skripsi. Fateta IPB,
Bogor.
Sylviana. 2008. Prevalensi Cemaran Salmonella Typhimurium pada Potongan
Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle, Linn.)
sebagai Larutan Sanitaiser Alami. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
61
Troller, J. A. 1976. Salmonella and Shigella. Di dalam M. P. Defigueiredo dan D.
F. Splittstoesser. Food Microbiology: Public Health and Spoilage
Aspects. The AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
USDA, ARS, National Genetic Resources Program.
Germplasm Resources Information Network - (GRIN) [Online Database].
National Germplasm Resources Laboratory, Beltsville, Maryland.
http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?405780 [8 Desember
2009]
Vanderzant, C. dan Splittstoesser, D. F. (editor). 1992. Compendium of methods
for the microbiological examination of foods 3rd
Edition. American
Public Health Association, Washington, D.C.
Weiser, H. H., Mountney, G. G. dan Gould, W. A. 1971. Practical Food
Microbiology and Technology 2nd
Edition. The AVI Publ., Co., Wesport,
CO.
Williams, C. N., J. O. Uzo, dan W. T. H. Peregrine. 1993. Produksi Sayuran Di
Daerah Tropika. Penerjemah: S. Ronoprawiro. Vegetable Production in
the Tropics. Gadjah Mada University Press.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wigena, I. G. P. 2004. Pengelolaan dan Kualitas Sumber Daya Ait di Kota Bogor.
http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/igp_wigena.pdf [12 Maret
2010]
Ziprin, R. L. dan M. H. Hume. 2001. Human Salmonellosis: General Medical
Aspects. Di dalam Y. H. Hui, M. D. Pierson, J. R. Gorham (editor).
Foodborne Disease Handbook Second Edition, Revised and Expanded
Volume 1: Bacterial Pathogens. Marcel Dekker, Inc., New York.
62
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi dan reaksi tiap tube pada API 20E
TESTS ACTIVE INGREDIENTS QTY (mg/cup) REACTION/ENZYMES RESULTS
NEGATIVE POSITIVE
ONPG 2-nitrophenyl-βD-galactopyranosidase 0.223 β-galactosidase (OrthoNitroPhenyl-βD-
Galactopyranosidase) colorless yellow
ADH L-arginine 1.9 Arginine DiHydrolase yellow red / orange
LDC L-lysine 1.9 Lysine DeCarboxylase yellow red / orange
ODC L-ornithine 1.9 Ornithine DeCarboxylase yellow red / orange
|CIT| trisodium citrate 0.756 CITrate utilization pale green / yellow blue-green / blue
H2S sodium thiosulfate 0.075 H2S production colorless / greyish black deposit / thin
line
URE urea 0.76 UREase yellow red / orange
TDA L-tryptophane 0.38 Tryptophane DeAminase yellow reddish brown
IND L-tryptophane 0.19 INDole production colorless pale green /
yellow pink
|VP| sodium pyruvate 1.9 acetoin production (Voges Proskauer) colorless pink / red
|GEL| gelatin (bovine origin) 0.6 GELatinase no diffusion diffusion of black
pigment
GLU D-glucose 1.9 fermentation / oxidation (GLUose) (4) blue / blue-green yellow / greyish
yellow
MAN D-mannitol 1.9 Fermentation / oxidation (MANnitol) (4) blue / blue-green yellow
INO inositol 1.9 Fermentation / oxidation (INOsitol) (4) blue / blue-green yellow
SOR D-sorbitol 1.9 Fermentation / oxidation (SORbitol) (4) blue / blue-green yellow
RHA L-rhamnose 1.9 Fermentation / oxidation (RHAmnose) (4) blue / blue-green yellow
SAC D-sucrose 1.9 Fermentation / oxidation (SACcharose) (4) blue / blue-green yellow
MEL D-melibiose 1.9 Fermentation / oxidation (MELibiose) (4) blue / blue-green yellow
AMY amygdalin 0.57 Fermentation / oxidation (AMYgdalin) (4) blue / blue-green yellow
ARA L-arabinose 1.9 Fermentation / oxidation (ARAbinose) (4) blue / blue-green yellow
63
Lampiran 2. Blanko hasil API 20E
64
Lampiran 3. Penentuan fase II serologi Salmonella (Balai Penelitian Veteriner,
1985)
Hasil positif pada Jameson plate setelah diinkubasi selama 24 ± 2 jam pada suhu
37°C yaitu terjadi pertumbuhan pada kertas saring yang tidak diberi suspensi
bakteri (bakteri menyebrangi selokan).
NA cawan
kertas saring
selokan
antiserum
suspensi bakteri
yang diuji
suspensi bakteri
setelah inkubasi
selokan NA cawan
kertas saring
antiserum
suspensi bakteri
yang diuji
65
Lampiran 4. Hasil serotipe Salmonella berdasarkan skema Kauffmann-White
Serotipe Somatik (O) Fase I Fase II
Fallowfield 3, 10 l, z13, z28 e, n, z15
Hoghton 3, 10 l, z13, z28 z6
Joal 3, 10 l, z28 l, 7
Lamin 3, 10 l, z28 e, n, x
Ughelli 3, 10 r l, 5
Elisabethville 3, 10 [15] r l, 7
Simi 3, 10 r e, n, z15
Weltevreden 3, 10 [15] r z6
Seegefeld 3, 10 r, i 1, 2
Dumfries 3, 10 r, i 1, 6
Amager 3, 10 [15] y 1, 2
Orion 3, 10 [15] [15, 34] y 1, 5
Mokola 3, 10 y 1, 7
Ohlstedt 3, 10 [15] y e, n, x
Bolton 3, 10 y e, n, z15
Langensalza 3, 10 y l, w
Stockholm 3, 10 [15] y z6
Fufu 3, 10 z 1, 5
Harleystreet 3, 10 z 1, 6
Huddinge 3, 10 z 1, 7
Clerkenwell 3, 10 z l, w
Landwasser 3, 10 z z6
Adabraka 3, 10 z4, z23 [1, 7]
Wagadugu 3, 10 z4, z23 z6
Florian 3, 10 [15] z4, z24 -
Okerara 3, 10 z10 1, 2
66
Lampiran 5. Data analisis total mikroba pada 10 sampel selada
No. Kode
Sampel
Tingkat pengenceran SPC
(CFU/g) Nilai Log Rata-rata
Rataan
Seluruh
Sampel 10-5
10-6
10-7
10-8
1 SS1 TBUD / 245 26 / 29 3 / 4 1 / 0 2,5 × 107 7,4
7,3
7,3
2 SS2 57 / 187 12 / 8 2 / 0 1 / 0 1,2 × 107 7,1
3 SS3 TBUD / TBUD 82 / 85 15 / 8 2 / 0 8,4 × 107 7,9
4 SS4 71 / 90 19 / 14 3 / 2 1 / 0 8,1 × 106 6,9
5 SS5 221 / 175 80 / 74 14 / 6 1 / 2 2,5 × 107 7,4
6 SP1 150 / 224 10 / 6 2 / 1 2 / 0 1,9 × 107 7,3
7,3
7 SP2 54 / 64 19 / 15 7 / 5 0 / 0 5,9 × 106 6,8
8 SP3 TBUD / TBUD 96 / 90 8 / 9 1 / 0 9,3 × 107 8,0
9 SP4 228 / TBUD 65 / 58 2 / 2 0 / 0 2,9 × 107 7,5
10 SP5 164 / 117 57 / 28 4 / 2 0 / 0 1,7 × 107 7,2
Keterangan:
SS1 sampai SS5 = Selada yang diperoleh dari supermarket
SP1 sampai SP5 = Selada yang diperoleh dari pasar tradisional
67
Lampiran 6. Hasil Uji T perbedaan rata-rata total mikroba selada dari supermarket
dengan pasar tradisional
Sampel SPC (cfu/g) Total Mikroba
Supermarket Pasar Tradisional
1 25000000 19000000
2 12000000 5900000
3 84000000 93000000
4 8100000 29000000
5 25000000 17000000
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2
Mean 30820000 32780000
Variance 9,41562E+14 1,20054E+15
Observations 5 5
Pooled Variance 1,07105E+15 Hypothesized Mean Difference 1 df 8 t Stat -0,094693685 P(T<=t) one-tail 0,463443496 t Critical one-tail 1,859548033 P(T<=t) two-tail 0,926886993 t Critical two-tail 2,306004133
68
Lampiran 7. Data analisis total mikroba pada 10 sampel pohpohan
No. Kode
Sampel
Tingkat pengenceran SPC
(CFU/g) Nilai Log Rata-rata
Rataan
Seluruh
Sampel 10-5
10-6
10-7
10-8
1 PS1 149 / 187 6 / 8 7 / 5 0 / 1 1,7 × 107 7,2
7,2
7,2
2 PS2 97 / 74 20 / 7 0 / 5 0 / 0 8,6 × 106 6,9
3 PS3 174 / 164 27 / 20 2 / 1 0 / 1 1,7 × 107 7,2
4 PS4 232 / TBUD 33 / 41 1 / 3 0 / 0 2,6 × 107 7,4
5 PS5 117 / 100 14 / 10 1 / 1 0 / 0 1,1 × 107 7,0
6 PP1 71 / 93 4 / 1 0 / 0 0 / 0 8,2 × 106 6,9
7,2
7 PP2 142 / 73 21 / 24 1 / 2 0 / 0 1,1 × 107 7,0
8 PP3 TBUD / TBUD 41 / 58 1 / 2 0 / 0 5,0 × 107 7,7
9 PP4 79 / 76 12 / 10 1 / 0 0 / 0 7,8 × 106 6,9
10 PP5 161 / 205 30 / 32 5 / 4 1 / 1 1,9 × 107 7,3
Keterangan:
PS1 sampai PS5 = Pohpohan yang diperoleh dari supermarket
PP1 sampai PP5 = Pohpohan yang diperoleh dari pasar tradisional
69
Lampiran 8. Hasil Uji T perbedaan rata-rata total mikroba pohpohan dari
supermarket dengan pasar tradisional
Sampel SPC (cfu/g) Total Mikroba
Supermarket Pasar Tradisional
1 17000000 8200000
2 8600000 11000000
3 17000000 50000000
4 26000000 7800000
5 11000000 19000000
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2
Mean 15920000 19200000
Variance 4,5432E+13 3,1672E+14
Observations 5 5
Pooled Variance 1,81076E+14 Hypothesized Mean Difference 1 df 8 t Stat -0,385401619 P(T<=t) one-tail 0,354992612 t Critical one-tail 1,859548033 P(T<=t) two-tail 0,709985224 t Critical two-tail 2,306004133
70
Lampiran 9. Data analisis total mikroba pada 10 sampel tauge
No. Kode
Sampel
Tingkat pengenceran SPC
(CFU/g) Nilai Log Rata-rata
Rataan
Seluruh
Sampel 10-5
10-6
10-7
10-8
1 TS1 101 / 165 18 / 9 3 / 1 0 / 0 1,3 × 107 7,1
8,4
8,0
2 TS2 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 147 / 136 16 / 18 1,4 × 109 9,2
3 TS3 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 94 / 88 10 / 7 9,1 × 108 9,0
4 TS4 TBUD / TBUD 127 / 166 2 / 0 0 / 0 1,5 × 108 8,2
5 TS5 TBUD / TBUD TBUD / 240 32 / 33 4 / 1 2,5 × 108 8,4
6 TP1 61 / 33 10 / 7 0 / 0 0 / 1 4,7 × 106 6,7
7,7
7 TP2 232 / 248 46 / 31 8 / 15 2 / 3 2,5 × 107 7,4
8 TP3 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 177 / 154 19 / 17 1,6 × 109 9,2
9 TP4 89 / 102 21 / 26 3 / 2 0 / 0 1,0 × 107 7,0
10 TP5 TBUD / TBUD 130 / 105 14 / 10 1 / 0 1,2 × 108 8,1
Keterangan:
TS1 sampai TS5 = Tauge yang diperoleh dari supermarket
TP1 sampai TP5 = Tauge yang diperoleh dari pasar tradisional
71
Lampiran 10. Hasil Uji T perbedaan rata-rata total mikroba tauge dari
supermarket dengan pasar tradisional
Sampel SPC (cfu/g) Total Mikroba
Supermarket Pasar Tradisional
1 13000000 4700000
2 1400000000 25000000
3 910000000 1600000000
4 150000000 10000000
5 250000000 120000000
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2
Mean 544600000 351940000
Variance 3,47581E+17 4,8896E+17
Observations 5 5
Pooled Variance 4,1827E+17 Hypothesized Mean Difference 1 df 8 t Stat 0,471013228 P(T<=t) one-tail 0,325103849 t Critical one-tail 1,859548033 P(T<=t) two-tail 0,650207698 t Critical two-tail 2,306004133
72
Lampiran 11. Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel selada
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
1 SS1
S1BTM
RV
HEA AT A A + - B A + -
-
S2BTM XLD AT B A + - B A + - +
S3BTM BSA T B A + - B A + - +
S4BTM
TTB
HEA T B A + + B A + + - -
S5BTM XLD T B A + + B A + + -
S6BTM XLD T B A + - B A - - +
S7BTM BSA T A A + - B A + -
2 SS2
S1GTY
RV
HEA AT A A - - B A + -
-
S2GTY XLD AT B A + - B B - - - -
S3GTY BSA T A A + - B A - -
S4GTY
TTB
HEA T B A + + B A + + +
S5GTY HEA T B A + - B B - - +
S6GTY XLD T B A + + B A + + +
S7GTY XLD T B A + - B A - - +
S8GTY BSA T A A + - B A - -
3 SS3
S1YJB
RV
HEA AT A A + + B B + +
-
S2YJB XLD AT A A + - B B + -
S3YJB BSA T A A - + B A - +
S4YJB BSA T A A + - B B + -
S5YJB
TTB
HEA AT A A + + B A + +
S6YJB XLD AT A A + - B B + -
S7YJB BSA T A A + - B A + +
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
73
Lampiran 11 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel selada
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
4 SS4
S1FE
RV
HEA AT A A + + B A + +
-
S2FE XLD T A A + - B B - +
S3FE XLD T A A + - B B + -
S4FE BSA T A A + + B A + +
S5FE
TTB
HEA AT A A + - B A + -
S6FE XLD AT A A + - B A - -
S7FE BSA T A A + + B A + +
5 SS5
S1SJM
RV
HEA AT A A + - B B - -
-
S2SJM XLD AT A A + - B B + -
S3SJM BSA T A A + - B B - -
S4SJM
TTB
HEA T A A + + B A + +
S5SJM XLD T B A + + B A + + +
S6SJM BSA T B A + - B A + - - -
6 SP1
S1PBa
RV
HEA AT A A + - B A - -
-
S2PBa XLD AT A A + - B B - -
S3PBa BSA T A A + - B B - -
S4PBa
TTB
HEA T B A + - B A - - +
S5PBa XLD T B A - - B A - - +
S6PBa BSA T A A + - B A - -
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
74
Lampiran 11 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel selada
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
7 SP2
S1PAa
RV
HEA AT A A + - B B + -
-
S2PAa XLD AT A A + - B B + -
S3PAa BSA T A A + - B A + -
S4PAa
TTB
HEA T A A - - B A - -
S5PAa HEA T B A + + B A - - +
S6PAa XLD T A A - - B A - -
S7PAa BSA T B A + + B A + + -
S8PAa BSA T A A + - B A + -
8 SP3
S1PWJa
RV
HEA AT A A + + B A - +
-
S2PWJa XLD AT A A + + B A - +
S3PWJa BSA T A A + - B B + -
S4PWJa
TTB
HEA AT A A + + B A + +
S5PWJa XLD T B A + + B A + + - -
S6PWJa XLD T B B - - B B - -
S7PWJa BSA T A A + - B A + -
S8PWJa BSA T A A + + B A + +
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
75
Lampiran 11 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel selada
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
9 SP4
S1PSa
RV
HEA AT A A + + B A + +
-
S2PSa XLD AT A A + - B B + -
S3PSa BSA T A A + - B B + +
S4PSa
TTB
HEA T B A + + B A + + -
S5PSa HEA T B A + + B A + - +
S6PSa XLD T B A + + B A - + -
S7PSa XLD T B A + - B A + - +
S8PSa BSA T A A + - B B - -
10 SP5
S1KD
RV
HEA AT A A + - B A + -
-
S2KD XLD AT A A + - B A + -
S3KD BSA T A A + - B A + -
S4KD BSA T B A + - B A - - -
S5KD
TTB
HEA T A A + + B A + +
S6KD XLD T B A + + B A + + -
S7KD XLD T B A + - B A - - -
S8KD BSA T A A + - B A + -
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
76
Lampiran 12. Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel pohpohan
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
1 PS1
P1BTM
RV
HEA T B A + + B B - + - +
+
P2BTM XLD T B A + + B B - + -
P3BTM XLD T A A + - B A + -
P4BTM BSA T A A + - B B - -
P5BTM BSA T A A + - B B - -
P6BTM
TTB
HEA T B A + - A A + -
P7BTM HEA T B A + + B A - - -
P8BTM XLD T B A + - B A - - +
P9BTM XLD T B B - - B B - -
P10BTM BSA T A A + - B B - -
2 PS2
P1GTY
RV
HEA T B A - - B B - - - -
-
P2 GTY XLD T B A - - B B - - -
P3 GTY BSA T A A + - B B - -
P4 GTY BSA T B B - - B B - -
P5 GTY
TTB
HEA T B B - - B B - -
P6 GTY XLD T B A + + B A - + -
P7 GTY XLD T B A + + B A - - +
P8 GTY BSA T A A + - B A + +
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
77
Lampiran 12 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel pohpohan
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
3 PS3
P1YJB
RV
HEA AT A A + - B B - -
-
P2YJB XLD AT A A + - B B + -
P3YJB BSA T A A + - B B - -
P4YJB
TTB
HEA T B A + - B B - - - -
P5YJB XLD T B A - - B A - - -
P6YJB BSA T A A + - B B + -
P7YJB BSA T A A + - B A + -
4 PS4
P1FE
RV
HEA AT B A + - B A + - +
-
P2FE XLD T B A + + B A + + - -
P3FE BSA T A A + - B B + -
P4FE BSA T A A + - B B + -
P5FE
TTB
HEA T B A + + B A + + -
P6FE HEA T B A - - B B - - +
P7FE XLD T B A + - B A + - +
P8FE XLD T B A - - B B - - -
P9FE BSA T A A + - B B - -
5 PS5
P1SJM
RV
HEA AT A A + - B B + -
-
P2SJM XLD AT A A + - B B + -
P3SJM BSA T B A + - B A + - - -
P4SJM
TTB
HEA T A A + + B A + +
P5SJM XLD T B A + + B A + - +
P6SJM BSA T B A + - B A - - -
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
78
Lampiran 12 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel pohpohan
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
6 PP1
P1PBa
RV
HEA AT A A + - B B - -
-
P2PBa XLD AT A A + - B B - -
P3PBa BSA T A A + - B B - -
P4PBa
TTB
HEA T B B - - B B - -
P5PBa XLD T B B - - B B - -
P6PBa BSA T A A + - B B - -
P7PBa BSA T A A + + B A + +
7 PP2
P1PAa
RV
HEA AT A A + - B B + -
-
P2PAa XLD AT A A + - B B + -
P3PAa BSA T A A + - B B + -
P4PAa BSA T A A + - B B + -
P5PAa
TTB
HEA T B A + + B A - - +
P6PAa XLD T B A + - B B + - - -
P7PAa BSA T A A + - B B + +
P8PAa BSA T A A + - B A + +
8 PP3
P1PWJa
RV
HEA T B A + + B A + + -
-
P2PWJa XLD AT A A + + B A + +
P3PWJa BSA T A A + - B A - -
P4PWJa
TTB
HEA T B A + + B B - - -
P5PWJa HEA T B A - - B B - - -
P6PWJa XLD T B A + - B A + - +
P7PWJa XLD T B B - - B B - -
P8PWJa BSA T A A + - B A + -
P9PWJa BSA T A A + + B B - -
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
79
Lampiran 12 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel pohpohan
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
9 PP4
P1PSa
RV
HEA AT A A + - B B + -
-
P2PSa XLD AT A A + + B A + +
P3PSa BSA T A A + - B B - -
P4PSa
TTB
HEA T A A + + B A + -
P5PSa HEA T B A + - B A + - +
P6PSa XLD T B A - - B A - - +
P7PSa BSA T A A + - B A + -
10 PP5
P1KD
RV
HEA AT A A + - B A + -
-
P2KD XLD AT A A + - B B + -
P3KD BSA T A A + + B A + -
P4KD BSA T A A + - B A + -
P5KD
TTB
HEA T A A + + B A + +
P6KD HEA T B A + - B A + - +
P7KD XLD T A A - - B A - - +
P8KD BSA T A A + + B A + +
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
80
Lampiran 13. Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel tauge
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
1 TS1
T1BTM
RV
HEA AT A A + - B B + -
-
T2BTM XLD AT A A + - B A - -
T3BTM BSA T A A + - B A + -
T4BTM
TTB
HEA T B A + + B A - + - -
T5BTM XLD AT B A + - B A - - -
T6BTM BSA T A A + - B A + -
2 TS2
T1GTY
RV
HEA AT A A + - B A + -
-
T2GTY XLD AT A A + - B A + -
T3GTY BSA T A A + - B B - -
T4GTY
TTB
HEA T B A + + B A - + -
T5GTY XLD T B A + - B A - - - -
T6GTY BSA T A A - - B A + -
3 TS3
T1YJB RV
HEA AT A A + - B B + -
- T2YJB BSA T A A + - B B + -
T3YJB
TTB XLD T B A + - B A + - +
T4YJB BSA T A A + - B B + -
4 TS4
T1FE
RV
HEA AT A A + + B A + +
-
T2FE XLD AT B A + + B A + + -
T3FE BSA T A A + - B A + -
T4FE BSA T A A + - B B + -
T5FE
TTB
HEA T B A + + B A + + -
T6FE XLD AT B A + + B A + + -
T7FE BSA T A A + + B A + +
T8FE BSA T A A + + B B - +
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
81
Lampiran 13 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel tauge
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
5 TS5
T1SJM
RV
HEA AT A A + - B B + -
-
T2SJM XLD T A A + - B A + -
T3SJM BSA T A A + - B B + -
T4SJM
TTB
HEA AT B A + - B A + - -
T5SJM XLD T B A + - B A + - -
T6SJM BSA T A A + - B A + -
6 TP1
T1PBa
RV
HEA T B A + + B B + + - +
+
T2PBa XLD T B A - + B B - + -
T3PBa BSA T A A + + B B + +
T4PBa
TTB
HEA T A A + - B A + -
T5PBa XLD T B A + - B A + - +
T6PBa BSA T B A + - B A - - +
7 TP2
T1PAa
RV
HEA AT A A + - B A - -
-
T2PAa XLD AT A A + - B B + -
T3PAa BSA T A A + - B B - -
T4PAa
TTB
HEA AT A A - - B A - -
T5PAa HEA T B A + + B A + + -
T6PAa XLD AT A A + + B A + +
T7PAa BSA T A A + + B A - +
T8PAa BSA T A A + - B A - -
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
82
Lampiran 13 (Lanjutan). Hasil analisis Salmonella pada 10 sampel tauge
No. Kode
Sampel
Kode
Isolat
Media Selektif TSIA LIA UB
API
Test Kesimpulan
Broth Agar Ciri Slant Butt Gas H2S Slant Butt Gas H2S
8 TP3
T1PWJa
RV
HEA AT A A + + B A + +
-
T2PWJa XLD AT A A + - B B - -
T3PWJa BSA T A A + - B B - +
T4PWJa BSA T A A + + B B - -
T5PWJa
TTB
HEA T B B - - B B - -
T6PWJa HEA T B A + - B A + - +
T7PWJa XLD T A A + - B A + -
T8PWJa BSA T B A + - B A + - - -
9 TP4
T1PSa
RV
HEA AT A A + + B A + +
-
T2PSa XLD AT A A + - B B + -
T3PSa BSA T B A + - B A + - +
T4PSa
TTB
HEA T A A + - B A - +
T5PSa HEA T B A + - B A - - +
T6PSa XLD T B A + - B A - - +
T7PSa BSA T B A + - B B + - +
10 TP5
T1KS
RV
HEA AT A A + - B A + -
-
T2KS XLD AT A A + - B B + -
T3KS BSA T B A + - B B + - - -
T4KS
TTB
HEA AT A A + + B B + +
T5KS XLD T B A + + B A + + -
T6KS BSA T B A + - B A + - -
Keterangan:
T = Tipikal, AT = Atipikal; Slant = permukaan agar, Butt = dasar agar; TSIA: B = Basa (merah), A = Asam (kuning); LIA: B = Basa (ungu), A = Asam (kuning)
83
Lampiran 14. Hasil identifikasi API 20E
Tube Kode Isolat
Kontrol P1BTM T1PBa S2GTY S6SJM S5PWJa P1GTY
ONPG - - - + + + -
ADH + + + - + + -
LDC + + + + - - -
ODC + + + - + - -
|CIT| + + + + + + -
H2S + + + - - + -
URE - - - - - - -
TDA - - - - - - -
IND - - - + - - -
|VP| - - - - - - -
|GEL| - - - - - - -
GLU + + + + + + +
MAN + + + + + + -
INO + + + - - - -
SOR + + + + + + -
RHA + + + - + + -
SAC - + + - + - -
MEL + + + + + - +
AMY - - - - + - -
ARA + + + + + + +
Indeks Profil 6704752 6704772 6704772 5244542 3304573 3604512 0004042
Identifikasi
Salmonella spp.
99,9% excellent
identification
Salmonella spp.
99,9% very good
identification
Salmonella spp.
99,9% very good
identification
Escherichia coli 1
95,9% doubtful
profile
Enterobacter
cloacae 94,3%
good identification
Citrobacter
younge 99,8%
very good
identification
Acinetobacter
baumannii/calcoa
ceticus 94.8% low
discrimination
84
Lampiran 14 (Lanjutan). Hasil identifikasi API 20E
Tube Kode Isolat
Kontrol P4YJB P2FE P3SJM T4BTM T8PWJa T3KS
ONPG - - + + + + +
ADH + - + + + + +
LDC + - - - - - -
ODC + - - + - + +
|CIT| + + + + - + +
H2S + - + - + - -
URE - - - - - - -
TDA - + - - - - -
IND - + - - - - -
|VP| - - - - - - -
|GEL| - - - - - - -
GLU + + + - + - +
MAN + - + + + + +
INO + - - - - - -
SOR + - + + + + +
RHA + - + + + + +
SAC - - - + - + +
MEL + - - + - + +
AMY - - - + - + +
ARA + - + + + + +
Indeks Profil 6704752 0264000 3604512 3300573 3404512 3300573 3304573
Identifikasi
Salmonella spp.
99,9% excellent
identification
Providencia
alcalifaciens/rusti
gianii 89,0%
exellent
identification
Citrobacter
younge 99,8%
very good
identification
Enterobacter
cloacae 97,0%
good identification
Citrobacter
younge 99,7%
very good
identification
Enterobacter
cloacae 97,0%
good identification
Enterobacter
cloacae 94,3%
good identification
85
Lampiran 15. Data analisis total mikroba selama perlakuan pencucian dengan akuades streril
Tahapan
Perlakuan Media Ulangan
Tingkat pengenceran
SPC (cfu/g) Nilai Log Rata-rata
Nilai Log 10-4
10-5
10-6
10-7
Selada segar
PCA
1 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 51 / 90 5 / 8 7,0 × 107 7,8
7,6 2 TBUD / TBUD 121 / 161 7 / 18 3 / 2 1,4 × 107 7,2
3 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 77 / 64 10 / 11 7,0 × 107 7,8
Selada setelah
dibesihkan
dan bonggol
dipotong
1 TBUD / 249 53 / 80 10 / 22 2 / 1 3,2 × 106 6,5
6,6 2 79 / 86 14 / 18 1 / 2 3 / 0 8,2 × 105 5,9
3 TBUD / TBUD 222 / 147 56 / 49 9 / 3 2,2 × 107 7,3
Selada setelah
dikontaminasi
(3 Log
CFU/g)
1 TBUD / TBUD 110 / 60 1 / 4 0 / 0 8,5 × 106 6,9
6,6 2 93 / 129 111 / 18 2 / 1 0 / 4 1,6 × 106 6,2
3 TBUD / TBUD 61 / 50 10 / 6 1 / 0 5,6 × 106 6,8
Selada setelah
pencucian
1 TBUD / TBUD 82 / 72 4 / 4 0 / 0 7,7 × 106 6,9
6,5 2 165 / 186 20 / 18 3 / 2 2 / 7 1,8 × 106 6,3
3 TBUD / 118 93 / 59 8 / 9 1 / 1 2,2 × 106 6,3
86
Lampiran 16. Data analisis total mikroba selama perlakuan pencucian dengan larutan sanitaiser komersial
Tahapan
Perlakuan Media Ulangan
Tingkat pengenceran
SPC (cfu/g) Nilai Log Rata-rata
Nilai Log 10-4
10-5
10-6
10-7
Selada segar
PCA
1 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 85 / 43 19 / 20 6,4 × 107 7,8
7,6
2 TBUD / TBUD TBUD / 203 34 / 37 4 / 5 2,3 × 10
7 7,4
3 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 51 / 49 12 / 5 5,0 × 107 7,7
Selada setelah
dibesihkan
dan bonggol
dipotong
1 TBUD / TBUD TBUD / 229 54 / 50 15 / 7 2,8 × 107 7,5
6,5 2 209 / 166 45 / 47 2 / 6 0 / 0 2,1 × 106 6,3
3 43 / 96 15 / 15 3 / 4 1 / 2 7,0 × 105 5,8
Selada setelah
dikontaminasi
(3 Log
CFU/g)
1 TBUD / TBUD 173 / 180 49 / 38 2 / 4 2,0 × 107 7,3
6,7 2 TBUD / TBUD 51 / 71 8 / 5 2 / 2 6,1 × 106 6,8
3 146 / 107 18 / 27 4 / 9 0 / 2 1,3 × 106 6,1
Selada setelah
pencucian
1 113 / 92 27 / 24 9 / 4 7 / 2 1,1 × 106 6,0
5,8 2 37 / 44 6 / 4 2 / 0 0 / 0 4,1 × 105 5,6
3 104 / 51 7 / 11 4 / 1 0 / 1 7,8 × 105 5,9
87
Lampiran 17. Data analisis total Salmonella selama perlakuan pencucian dengan akuades streril
Tahapan
Perlakuan Media Ulangan
Tingkat pengenceran
SPC (cfu/g) Nilai Log Rata-rata
Nilai Log 10-1
10-2
10-3
10-4
Selada segar
HEA
1 TBUD / TBUD TBUD / TBUD - - - -
5,4 2 TBUD / TBUD TBUD / TBUD TBUD / TBUD 38 / 26 3,2 × 105 5,5
3 - TBUD / TBUD 178 / 125 57 / 50 1,9 × 105 5,3
Selada setelah
dibesihkan
dan bonggol
dipotong
1 TBUD / TBUD 110 / 37 - - 7,4 × 103 3,9
4,4 2 TBUD / TBUD 164 / 156 32 / 14 7 / 9 1,7 × 104 4,2
3 - TBUD / TBUD 164 / 98 56 / 35 1,6 × 105 5,2
Selada setelah
dikontaminasi
(3 Log
CFU/g)
1 TBUD / TBUD 63 / 117 110 / 88 0 / 0 1,7 × 104 4,2
4,3 2 TBUD / TBUD TBUD / 192 117 / 167 4 / 5 4,0 × 104 4,6
3 - 117 / 204 24 / 42 4 / 2 1,7 × 104 4,2
Selada setelah
pencucian
1 TBUD / TBUD 43 / 30 15 / 14 1 / 1 3,6 × 103 3,6
3,9 2 TBUD / TBUD TBUD / TBUD TBUD / TBUD 6 / 0 - -
3 - TBUD / 176 48 / 16 5 / 2 2,0 × 104 4,3
88
Lampiran 18. Data analisis total Salmonella selama perlakuan pencucian dengan larutan sanitaiser komersial
Tahapan
Perlakuan Media Ulangan
Tingkat pengenceran
SPC (cfu/g) Nilai Log Rata-rata
Nilai Log 10-2
10-3
10-4
Selada segar
HEA
1 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 224 / 205 2,1 × 106 6,3
6,0 2 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 208 / 111 1,6 × 106 6,2
3 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 38 / 50 4,4 × 105 5,6
Selada setelah
dibesihkan
dan bonggol
dipotong
1 TBUD / TBUD TBUD / TBUD 34 / 82 5,8 × 105 5,8
5,1 2 TBUD / TBUD 98 / 85 11 / 7 9,2 × 104 5,0
3 TBUD / TBUD 25 / 26 5 / 13 2,6 × 104 4,4
Selada setelah
dikontaminasi
(3 Log
CFU/g)
1 TBUD / TBUD 197 / 211 72 / 86 2,6 × 105 5,4
5,0 2 TBUD / TBUD 88 / 56 10 / 14 7,2 × 104 4,9
3 TBUD / TBUD 17 / 44 1 / 4 4,4 × 104 4,6
Selada setelah
pencucian
1 TBUD / 106 29 / 22 0 / 4 1,2 × 104 4,1
4,1 2 43 / 35 3 / 0 1 / 0 3,9 × 103 3,6
3 TBUD / TBUD 33 / 10 16 / 0 3,3 × 104 4,5
89
Lampiran 19. Hasil Uji T perbedaan hasil pencucian menggunakan air matang
dengan pencucian menggunakan sanitaiser komersial terhadap
rata-rata total mikroba
Selada setelah dikontaminasi (3 Log CFU/g)
Ulangan SPC (cfu/g) Total Mikroba
Air Matang Sanitaiser Komersial
1 8500000 20000000
2 1600000 6100000
3 5600000 1300000
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2
Mean 5233333,333 9133333,333
Variance 1,20033E+13 9,43233E+13
Observations 3 3
Pooled Variance 5,31633E+13
Hypothesized Mean Difference 1
df 4
t Stat -0,655094942
P(T<=t) one-tail 0,274083852
t Critical one-tail 2,131846782
P(T<=t) two-tail 0,548167703
t Critical two-tail 2,776445105
Selada setelah pencucian
Ulangan SPC (cfu/g) Total Mikroba
Air Matang Sanitaiser Komersial
1 7700000 1100000
2 1800000 410000
3 2200000 780000
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2
Mean 3900000 763333,3333
Variance 1,087E+13 1,19233E+11
Observations 3 3
Pooled Variance 5,49462E+12
Hypothesized Mean Difference 1
df 4
t Stat 1,638872471
P(T<=t) one-tail 0,088291309
t Critical one-tail 2,131846782
P(T<=t) two-tail 0,176582619
t Critical two-tail 2,776445105
90
Lampiran 20. Hasil Uji T perbedaan hasil pencucian menggunakan air matang
dengan pencucian menggunakan sanitaiser komersial terhadap
rata-rata total Salmonella
Selada setelah dikontaminasi (3 Log CFU/g)
Ulangan SPC (cfu/g) Total Salmonella
Air Matang Sanitaiser Komersial
1 17000 260000
2 40000 72000
3 17000 44000
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2
Mean 24666,66667 125333,3333
Variance 176333333,3 13797333333
Observations 3 3
Pooled Variance 6986833333 Hypothesized Mean Difference 1 df 4 t Stat -1,475011615 P(T<=t) one-tail 0,107116999 t Critical one-tail 2,131846782 P(T<=t) two-tail 0,214233998 t Critical two-tail 2,776445105
Selada setelah pencucian
Ulangan SPC (cfu/g) Total Salmonella
Air Matang Sanitaiser Komersial
1 3600 12000
2
3900
3 20000 33000
t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances
Variable 1 Variable 2
Mean 11800 16300
Variance 134480000 225570000
Observations 2 3
Pooled Variance 195206666,7 Hypothesized Mean Difference 1 df 3 t Stat -0,352900532 P(T<=t) one-tail 0,373751219 t Critical one-tail 2,353363435 P(T<=t) two-tail 0,747502437 t Critical two-tail 3,182446305