113
SKRIPSI MEMPELAJARI TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH BUAH TROPIS Oleh : MUHAMMAD LUTFI F24104121 2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SKRIPSI - Muhammad Lutfi F24104121 · basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta dapat mengurangi kehilangan (loss) buah-buahan pasca-panen. ... jam menggunakan pengering

  • Upload
    dinhque

  • View
    234

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

SKRIPSI

MEMPELAJARI TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI

BASAH BUAH TROPIS

Oleh :

MUHAMMAD LUTFI

F24104121

2010

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Judul Skripsi : Mempelajari Teknologi Pengolahan Manisan Semi Basah Buah Tropis

Nama : Muhammad Lutfi NIM : F24104121

Menyetujui :

Dosen Pembimbing Akademik,

Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr

(NIP : 19610502.198603.001)

Mengetahui :

Ketua Departemen ITP,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

(NIP : 19650814.199002.001)

Tanggal lulus : 21 Juni 2010

Muhammad Lutfi F24104121. Mempelajari Teknologi Pengolahan Manisan Semi Basah Buah Tropis. Dibawah bimbingan Slamet Budijanto (2010).

RINGKASAN

Kerusakan bahan pangan terutama produk hortikultura seperti buah dan sayur di Indonesia terbilang tinggi. Kurang lebih 20 – 40 % buah-buahan mengalami kerusakan setelah panen. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan teknologi yang tepat dalam hal pemanenan dan penanganan pasca-panen agar kehilangan (loss) dapat ditekan serendah mungkin. Salah satu usaha pengawetan buah adalah dengan pengolahan menjadi produk yang memiliki kadar air rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan aplikasi panas (pengeringan), penambahan gula, atau gabungan keduanya. Salah satu pengolahan buah yang banyak dilakukan adalah pembuatan manisan. Pada penelitian ini dicoba pembuatan manisan semi basah dari buah belimbing manis, nanas, dan pepaya. Tujuan pembuatan manisan semi basah adalah memformulasi teknologi proses pengolahan manisan semi basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta dapat mengurangi kehilangan (loss) buah-buahan pasca-panen. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian. Tahap pertama meliputi penentuan ketebalan potongan buah terbaik, penentuan konsentrasi dan waktu perendaman dalam larutan kapur, penentuan waktu blansir, dan penentuan kombinasi larutan gula. Seleksi penilaian pada tahap pertama dilakukan oleh 5 orang panelis terbatas. Tahap kedua adalah pengamatan terhadap pengaruh metode pengeringan. Perlakuan yang dilakukan dalam tahap ini adalah jenis, suhu, dan waktu pengeringan. Jenis pengeringan yang dilakukan adalah pengeringan kabinet dengan suhu 50 0C selama 4 jam (a1) dan 6 jam (a2); 60 0C selama 4 jam (b1) dan 6 jam (b2); dan penjemuran dibawah sinar matahari langsung selama 2 hari penjemuran (12 – 15 jam) (c). Seleksi pemilihan sampel paling optimal dilakukan dengan melakukan uji organoleptik oleh 30 orang panelis dengan parameter uji warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Produk yang terpilih sebagai yang paling baik kemudian digunakan dalam tahap berikutnya. Tahap ketiga adalah penggunaan bahan dusting untuk menutupi sisa-sisa larutan gula. Perlakuan yang dilakukan adalah jenis bahan dusting yang digunakan. Bahan dusting yang digunakan dalam percobaan adalah campuran tepung gula dan tepung kanji (1 : 1) (A), glukosa kristal (B), dan dekstrin kristal (C). Seleksi pemilihan sampel paling optimal dilakukan dengan melakukan uji organoleptik oleh 30 orang panelis dengan parameter uji warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Produk terpilih dari uji organoleptik ini kemudian diuji mutu kimia, fisik, dan mikrobiologinya.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah produk manisan yang memiliki karakteristik yang baik. Formula produk manisan belimbing yang paling disukai adalah formulasi A (ukuran 3 cm x 0,5 cm sejajar sirip buah, perendaman larutan CaCl2 500 ppm dan Na-metabisulfat 150 ppm 30 menit, blansir 85 0C 2 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, proses pengeringan kabinet 50 0C 4 jam, dan bahan dusting campuran tepung gula dan tepung kanji). Formula produk manisan nanas yang paling disukai adalah formulasi B (ukuran 3 cm x 0,5 cm

potongan sejajar, perendaman larutan CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, dan pengeringan suhu 60 0C selama 2 jam menggunakan pengering kabinet, dan bahan dusting glukosa kristal). Sedangkan formula produk manisan pepaya yang paling disukai adalah formulasi B (ukuran 3 cm x 0,5 cm, konsentrasi CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, larutan gula batu 70 0brix 12 jam, pengeringan kabinet suhu 60 0C selama 2 jam, dan bahan dusting glukosa kristal).

Produk manisan semi basah yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki nilai mutu kimia, fisik, dan mikrobiologi yang cukup baik. Teknologi pembuatan manisan semi basah ini juga dapat diaplikasikan pada berbagai macam produk hortikultura dengan sedikit penyesuaian.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Oktober 1986.

Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari

pasangan Djeni Hendra dan Nurhayati Syarif. Pendidikan

yang pernah diikuti oleh penulis adalah TK Insan Kamil,

SDN Empang III Bogor, SLTPN 4 Bogor, dan SMAN 4

Bogor. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan setelah

diterima di Insitut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu dan Teknologi

Pangan melalui jalur SPMB pada tahun 2004.

Semasa kuliah penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan

diantaranya sebagai anggota panitia BAUR 2006, anggota divisi Logistik dan

Transportasi NSPC 2006, dan Kepala Divisi Logistik dan Transportasi NSPC

2007. Penulis juga pernah mengikuti Praktik Lapang di PT. Ciptayasa Putra

Mandiri pada tahun 2007.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga

penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Skripsi yang

berjudul “Teknologi Pembuatan Manisan Semi Basah Pepaya (Carica papaya),

Belimbing manis (Averrhoa carambola L.), dan Nanas (Ananas comosus (L)

merr)” ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat

mendapatkan gelar sarjana di Instutut Pertanian Bogor.

Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas

dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu dan Bapak tercinta, adik dan kakakku atas do’a dan dukungannya.

2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. sebagai dosen pembimbing

akademik atas segala kesabaran, dukungan, arahan, dan bimbingannya.

3. Bapak Dr.Ir.Yadi Haryadi, MSc dan Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiah, M.Si

atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan bimbingannya kepada

penulis.

4. Teman seperjuangan satu bimbingan, Yuliana.

5. Mbak Febri, Mbak Iin, Mang Ujang, dan Mang Zaenal. Terimakasih atas

pinjaman ruang dan alat-alat di Technopark.

6. Teman-teman TPG 39, 40, 41, dan 42 yang tidak bisa disebutkan satu

persatu.

7. Semua teknisi dan laboran. Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Teh Ida,

Bu Rubiyah. Terima kasih atas bantuannya.

8. Pak Aryo dan Pak Leman sebagai supplier pepaya IPB-9.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian

maupun penulisan skripsi.

Dalam penulisan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan kesalahan dan

penulis mohon maaf. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi

semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ................................................................... 2

C. MANFAAT PENELITIAN ............................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PEPAYA ........................................................................................... 3

B. BELIMBING MANIS ....................................................................... 4

C. NANAS ............................................................................................. 6

D. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH.......... 7

E. BAHAN TAMBAHAN PANGAN .................................................. 8

1. Kalsium Klorida (CaCl2) ............................................................... 8

2. Asam Sitrat .................................................................................... 9

3. Potasium Sorbat ............................................................................ 9

F. GULA ................................................................................................ 11

G. GLUKOSA KRISTAL ...................................................................... 12

H. DEKSTRIN ....................................................................................... 13

I. PENGERINGAN .............................................................................. 14

1. Teori Pengeringan ......................................................................... 14

2. Pengeringan Buah ......................................................................... 15

3. Metode Pengeringan...................................................................... 16

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 20

B. PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH ..................................... 20

Halaman

C. METODE PENELITIAN .................................................................. 23

1. Tahap Pertama ............................................................................. 23

2. Tahap Kedua ............................................................................... 25

3. Tahap Ketiga ............................................................................... 25

4. Analisis Produk Terpilih ............................................................ 26

E. METODE ANALISIS ....................................................................... 27

1. Kadar Air ..................................................................................... 27

2. Kadar Abu ................................................................................... 27

3. Kadar Protein .............................................................................. 27

4. Kadar Lemak ............................................................................... 28

5. Kadar Karbohidrat ....................................................................... 29

6. Rendemen .................................................................................... 29

7. Uji Keasaman (pH) ..................................................................... 29

8. Uji Kekerasan .............................................................................. 29

9. Uji Aktifitas Air (aw) ................................................................... 29

10. Uji Mikrobiologi ......................................................................... 30

11. Uji Organoleptik ......................................................................... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. TAHAP PERTAMA ......................................................................... 32

1. Penentuan Ukuran Pemotongan .................................................. 32

2. Penentuan Konsentrasi dan Waktu Perendaman Larutan Kapur 33

3. Penentuan Suhu dan Waktu Blansir ............................................ 34

4. Penentuan kombinasi larutan gula .............................................. 35

B. TAHAP KEDUA .............................................................................. 37

1. Nilai Warna ................................................................................. 37

2. Nilai Aroma ................................................................................. 39

3. Nilai Tekstur ............................................................................... 40

4. Nilai Rasa .................................................................................... 42

5. Nilai Kerenyahan ........................................................................ 43

C. TAHAP KETIGA ............................................................................. 45

1. Nilai Warna ................................................................................. 46

Halaman

2. Nilai Aroma ................................................................................. 48

3. Nilai Tekstur ............................................................................... 50

4. Nilai Rasa .................................................................................... 51

5. Nilai Kerenyahan ........................................................................ 53

D. ANALISIS PRODUK TERPILIH .................................................... 55

1. Mutu Kimia Manisan Semi Basah .............................................. 55

2. Mutu Fisik Manisan Semi Basah ................................................ 60

3. Mutu Mikrobiologi Manisan Semi Basah ................................... 63

E. VERIFIKASI PROSES PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH .............................................................................................. 66

1. Pembuatan larutan kapur CaCl2 0,5 % ........................................ 66

2. Pembuatan larutan gula pasir 40 0brix ........................................ 66

3. Pembuatan larutan gula pasir 55 0brix ....................................... 66

4. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix ........................................ 67

5. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix ........................................ 67

6. Pembuatan manisan semi basah buah nanas ............................... 69

7. Pembuatan manisan semi basah buah pepaya ............................. 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ................................................................................. 73

B. SARAN ............................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 75

LAMPIRAN .................................................................................................. 78

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi kimia pepaya per 100 g .......................................... 4

Tabel 2. Komposisi kimia belimbing manis per 100 g .......................... 5

Tabel 3. Batas penggunaan potasium sorbat di Indonesia ..................... 11

Tabel 4. Data uji organoleptik terbatas penentuan ketebalan potongan ................................................................................... 32

Tabel 5. Data uji organoleptik terbatas penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur ............................. 34

Tabel 6. Data uji organoleptik terbatas penentuan suhu dan waktu blansir ............................................................................ 35

Tabel 7. Data uji organoleptik terbatas kombinasi larutan gula ............ 36 Tabel 8. Data produk terpilih dari penelitian tahap pertama ................ 36 Tabel 9. Komposisi kimia formula manisan semi basah hasil analisis proksimat (% bb) ........................................................ 56

Tabel 10. Aktivitas air (aw) minimum pertumbuhan mikroba pada bahan pangan ........................................................................... 62

Tabel 11. Hasil perhitungan koloni manisan semi basah dengan metode TPC ............................................................................. 63

Tabel 12. Standar mutu dehydrated fruit (SNI 01-3710-1990) ............... 65

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan alir pembuatan manisan buah semi basah ................... 22

Gambar 2. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan .......................................... 38

Gambar 3. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan .......................................... 40

Gambar 4. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan ......................................... 43

Gambar 5. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan ............................................. 43

Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan manisan ................................. 44

Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan .......................................... 48

Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan .......................................... 49

Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan ......................................... 51

Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan ............................................. 53

Gambar 11. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan manisan ................................. 54

Gambar 12. Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi

basah ....................................................................................... 68

Gambar 13. Bagan alir pembuatan manisan buah nanas semi basah ......... 70

Gambar 14. Bagan alir pembuatan manisan buah pepaya semi basah ....... 71

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data jumlah produksi beberapa jenis buah di Indonesia ....... 78

Lampiran 2. Form quisioner uji organoleptik ............................................. 78

Lampiran 3. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap kedua ....................................................................................... 79

Lampiran 4. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap kedua ................. 79

Lampiran 5. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap kedua .............. 80

Lampiran 6. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap kedua ....................................................................................... 81

Lampiran 7. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap kedua ................ 81

Lampiran 8. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap kedua .............. 82

Lampiran 9. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap kedua ....................................................................................... 83

Lampiran 10. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap kedua ............... 83

Lampiran 11. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap kedua ............. 84

Lampiran 12. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap kedua .. 85

Lampiran 13. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap kedua .................... 85

Lampiran 14. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap kedua .................. 86

Lampiran 15. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap

kedua ....................................................................................... 87

Lampiran 16. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap kedua ........ 87

Lampiran 17. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap kedua ...... 88

Lampiran 18. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap ketiga ...................................................................................... 89

Lampiran 19. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap ketiga ................ 89

Lampiran 20. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap ketiga .............. 90

Lampiran 21. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap ketiga ...................................................................................... 91

Lampiran 22. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap ketiga ................ 91

Lampiran 23. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap ketiga .............. 92

Halaman

Lampiran 24. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap ketiga ...................................................................................... 92

Lampiran 25. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap ketiga ............... 93

Lampiran 26. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap ketiga ............. 94

Lampiran 27. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap ketiga .. 94

Lampiran 28. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap ketiga .................... 95

Lampiran 29. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap ketiga ................. 95

Lampiran 30. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap ketiga ............................................................................. 96

Lampiran 31. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap ketiga ........ 97

Lampiran 32. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap ketiga ..... 97

Lampiran 33. Data hasil pengujian sampel manisan semi basah menggunakan Texture Analizer ............................................. 98

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas hasil

pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu komoditas

hortikultura yang potensial adalah buah-buahan. Penanganan pra-panen

maupun pasca-panen menjadi hal penting dalam peningkatan produksi buah-

buahan. Kurang lebih 20 – 40 % buah-buahan mengalami kerusakan setelah

panen. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan teknologi yang tepat dalam hal

pemanenan dan penanganan pasca-panen agar kehilangan (loss) dapat ditekan

serendah mungkin.

Sifat mudah rusak pada buah-buahan disebabkan masih

berlangsungnya aktivitas pernapasan dan penguapan setelah panen. Proses

kerusakan semakin dipercepat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan

biokimia akibat aktivitas enzim dan mikroba (Harris, 1989).

Beberapa jenis buah-buahan yang potensial tetapi mudah rusak adalah

pepaya, belimbing, dan nanas. Ketiga buah tersebut sangat potensial untuk

dikembangkan karena sangat digemari dan juga bernilai ekonomi tinggi.

Selain itu, ketiganya juga memiliki rasa yang enak dan aroma yang khas.

Buah-buahan ini adalah salah satu komoditas ekspor non migas yang

potensial (Sosrodihardjo, 1988). Hal ini dapat dilihat dari data Biro Pusat

Statistik pada Lampiran 1.

Kesegaran dan keawetan komoditas buah-buahan dapat dipertahankan

melalui beberapa metode, diantaranya dengan pemberian lapisan lilin, metode

CAS (Control Atmosphere Storage), dan metode MAP (Modified Atmosphere

Packaging). Meskipun dapat memperpanjang umur simpan, metode-metode

ini tetap mengalami kendala dalam aplikasinya, termasuk investasi yang

terlalu mahal.

Produk manisan buah semi basah merupakan salah satu teknologi

alternatif yang dinilai dapat dikembangkan untuk mengatasi hal tersebut.

Pengeringan buah dapat dilakukan dengan alat pengering dan sinar matahari.

Metode pengeringan dan alat pengering yang digunakan berbeda-beda untuk

setiap buah olahan kering yang dihasilkan. Hasil pengeringan ini mungkin

akan mengalami perubahan warna dan tekstur karena air yang terkandung

dalam buah akan berkurang. Berkurangnya kadar air buah inilah yang

menyebabkan produk akhir lebih tahan lama. Meskipun demikian, produk

akhir yang dihasilkan juga harus mempunyai warna, tekstur, dan penampilan

yang baik atau mendekati penampakan awalnya, serta tidak terkontaminasi

oleh kapang selama masa penyimpanan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan memformulasi teknologi proses pengolahan

manisan semi basah yang dapat diaplikasikan pada industri kecil serta dapat

mengurangi kehilangan (loss) buah pepaya, belimbing, dan nanas pasca-

panen.

C. MANFAAT PENELITIAN

Tersedianya teknologi pengolahan manisan buah semi basah yang

dapat diaplikasikan pada industri kecil.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PEPAYA

Pepaya (Carica papaya) adalah tanaman yang digolongkan ke dalam

Caricaceae. Tanaman pepaya bukan merupakan tanaman asli Indonesia

melainkan berasal dari Amerika Utara dan Amerika Selatan (Arriola et al.

1980). Berbagai sebutan pepaya di Indonesia dikenal seperti Gedang (Sunda,

Bali), Kates (Jawa, Madura, Sasak, Palembang), Kabula (Enggota), Pente

(Aceh), Betik (Karo), dan lain-lain (Rismunandar, 1980).

Pepaya mempunyai daerah penyebaran sangat luas yang meliputi

daerah tropik dan subtropik di seluruh dunia (Arriola et al. 1980). Tanaman

pepaya dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga daerah dengan

ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Semakin tinggi tempat tumbuh

pohon pepaya, semakin berkurang rasa manis buahnya. Di Indonesia tanaman

pepaya dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah sampai daerah dengan

ketinggian 700 m di atas permukaan laut.

Kulit pepaya bertekstur halus, tipis, dan mudah rusak. Warna pepaya

berkisar antara oranye sampai merah bila matang. Secara tradisional, warna

pepaya digunakan sebagai parameter kematangan buah. Tingkat kematangan

buah pepaya ditunjukkan dengan munculnya warna kuning sampai oranye

pada kulit pepaya.

Pepaya merupakan buah segar dengan kandungan vitamin C tinggi.

Selain itu, buah pepaya juga mengandung vitamin A dan vitamin B kompleks

(Arriola et al. 1980). Buah pepaya matang memiliki nilai gizi lebih tinggi

dibandingkan dengan buah pepaya mentah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Selama proses pematangan, kandungan vitamin C buah pepaya

semakin meningkat. Hal ini merupakan pengecualian dari kebanyakan buah,

karena buah-buahan lain mengalami penurunan kadar vitamin C selama

pematangan. Selama pematangan, terjadi pula peningkatan persentase karoten

dan xantofil.

Tabel 1. Komposisi kimia pepaya per 100 g

Komponen Buah matang Buah mentah

Energi (kkal) 46 26

Air (g) 86.7 92.3

Protein (g) 6.5 2.1

Lemak (g) - 0.1

Karbohidrat (g) 12.2 4.9

Vitamin A (IU) 365 50

Vitamin B (mg) 0.04 0.02

Vitamin C (mg) 78 19

Kalsium (mg) 23 50

Besi (mg) 1.7 0.4

Fosfor (mg) 12 16

Sumber : Arriola et al. (1980)

Metabolisme dari polisakarida dalam dinding sel menyebabkan kadar

gula buah pepaya meningkat. Total gula yang terkandung dalam 100

grambuah pepaya matang adalah 9 gr. Total gula tersebut dinyatakan sebagai

glukosa (Arriola et al., 1980).

B. BELIMBING MANIS

Tanaman belimbing merupakan tanaman asli Indonesia dan Malaysia

yang menyebar ke Asia Tenggara. Tanaman ini terdiri dari dua jenis yaitu,

belimbing manis (Averrhoa carambola L.) dan belimbing wuluh (Averrhoa

bilimbi L.). meskipun dari keluarga yang sama, kedua jenis belimbing ini

tidak memiliki persamaan baik dari penampakan maupun rasa buahnya.

Belimbing manis memiliki bentuk yang unik dan menarik. Bentuknya seperti

bintang jika dilihat penampang melintangnya dengan ukuran hingga sebesar

gelas. Rasa manisnya bervariasi sesuai dengan jenis atau varietasnya. Semasa

muda buah berwarna hijau muda, dan berubah kuning sampai kemerahan

setelah tua.

Buah belimbing manis mempunyai kandungan vitamin dan air yang

tinggi. Belimbing manis bermanfaat sebagai obat, antara lain untuk

menyembuhkan sariawan, batuk rejan, sakit perut, demam dan menurunkan

tekanan darah tinggi. Selain teksturnya yang berserat halus menjadikan

belimbing berkhasiat untuk melancarkan pencernaan. Kandungan zat gizi

buah belimbing dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia belimbing manis per 100 g

Komponen Jumlah

Energi (kkal) 36

Air (g) 90

Protein (g) 0.4

Lemak (g) 0.4

Karbohidrat (g) 8.8

Vitamin A (IU) 170

Vitamin B1 (mg) 0.03

Vitamin C (mg) 35

Kalsium (mg) 4

Besi (mg) 1.1

Fosfor (mg) 12

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1990).

Ada 13 jenis belimbing unggul di Indonesia. Jenis belimbing unggul

biasanya dicirikan dengan produksi buah per pohon tinggi, ukuran buahnya

besar dengan warna menarik, mengandung banyak air, berserat halus, rasa

buahnya manis dan menyegarkan. Selain itu, tahan terhadap hama penyakit.

Varietas belimbing unggul tersebut antara lain belimbing Demak, Sembiring,

Bangkok, Paris, Dewi, Siwalan, Wulan dan Wijaya.

Kualitas atau mutu buah belimbing ditentukan oleh waktu dan cara

pemetikannya. Pemetikan yang dilakukan pada saat yang tepat akan

menghasilkan buah yang enak dan warna buahnya juga lebih menarik.

Pemetikan yang dilakukan pada saat buah belum siap panen akan

menurunkan kualitas buah, dengan rasa yang asam dan sepat, warnanya tidak

menarik, dan jika dibiarkan masak dalam penyimpanan akan menyebabkan

buah keriput dan pucat.

Ciri buah yang siap panen adalah ukurannya besar (maksimal), telah

matang dan warnanya berubah dari hijau menjadi kuning atau merah,

tergantung pada varietasnya. Selain itu ciri buah belimbing siap panen dapat

dilihat dari kulitnya yang mengkilap dan daging pada siripnya (belimbingan)

sudah tampak penuh.

C. NANAS

Menurut Mulyohardjo (1984), tanaman nanas sudah lama dikenal di

Indonesia, namun bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini

berasal dari Amerika Selatan dan Hindia Barat. Tanaman nanas merupakan

tanaman berbentuk semak yang mempunyai batang semu dengan tinggi 30 –

50 cm, berdaun tepi panjang dengan tepi berduri atau runcing. Buah nanas

sesungguhnya merupakan buah majemuk. Buah yang tampak merupakan

gabungan buah-buah kecil yang berjumlah 100 – 200 buah yang ditutupi

daun-daun buah kecil. Buah-buah kecil tersebut dihubungkan dengan hati

buah yaitu kelanjutan dari tangkai buah yang berserat. Buah nanas yang biasa

ditanam hanyalah dua jenis, yaitu nanas yang mempunyai mata menonjol dan

rata.

Varietas Ananas comosus yang penting :

1. Spanish (berdaging putih). Jenis ini mempunyai daun yang panjang kecil,

berduri halus sampai kasar, buah bulat bermata pipih dan besar. Jenis ini

cocok untuk dikalengkan atau dikonumsi segar. Contoh : Red spanish,

Sugar loaf, Singapore spanish, Ananas vermelo, dan monte livio.

2. Queen (berdaging kuning). Jenis ini mempunyai daun yang pendek dan

berduri tajam membengkok kebelakang, buah berbentk krucut, mata buah

menonjol, beraroma menarik, dan rasanya manis. Buah nanas Palembang

dan nanas Bogor termasuk jenis ini.

3. Cayenne. Jenis ini memiliki buah yang berbentuk silindris dengan berat

2.3 – 3.6 kg, penampilan bagus dan bermata datar. Nanas ini baik untuk

dikalengkan atau diawetkan.

D. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MANISAN SEMI BASAH

Pembuatan manisan dilakukan melalui beberapa tahap yaitu

pencucian, pemotongan, perendaman dalam larutan garam, perendaman

dalam larutan kapur (CaCl2), blansir, perendaman dalam larutan gula disertai

penambahan potasium sorbat dan asam askorbat, penirisan, dan pengeringan.

Pangan semi basah atau intermediate moisture food (IMF) merupakan

bahan pangan yang mempunyai kadar air antara 10 – 40 % dan aktifitas air

(aw) antara 0.65 – 0.90 (Karel, 1976). Purnomo mendeskripsikan pangan semi

basah sebagai bahan pangan yang memiliki kadar air sekitar 15 – 40 % dan

memiliki aktifitas air antara 0.65 – 0.90. Pada tingkat aw tersebut,

pertumbuhan bakteri dan khamir menjadi tertekan. Pangan semi basah

termasuk pangan yang stabil terhadap pertumbuhan mikroba, tahan disimpan

tanpa memerlukan proses pengawetan yang lain seperti pendinginan,

sterilisasi ataupun pengeringan.

Pangan semi basah merupakan makanan dengan kadar air yang lebih

tinggi dibandingkan dengan makanan kering dan dapat dimakan tanpa

rehidrasi (Taoukis et. Al. 1999). Pangan semi basah mempunyai prinsip

pengolahan dengan menurunkan aw sampai tingkat dimana mikroba patogen

dan pembusuk tidak dapat tumbuh, tetapi kandungan airnya masih cukup

tinggi sehingga dapat dimakan tanpa rehidrasi terlebih dahulu dan cukup

kering hingga stabil dalam penyimpanan (Leisner dan Rodel, 1976).

Karel (1976) menyatakan bahwa cara pengolahan IMF dibedakan atas

tiga cara yaitu cara pencelupan basah, cara pencelupan kering dan cara

pencampuran. Pencampuran secara basah (moist infution) dimana potongan-

potongan bahan dicampur menjadi satu dan dimasukkan dalam larutan

tertentu sehingga menghasilkan produk pada tingkat aw yang diinginkan.

Pencelupan kering (dry infution) dilakukan dengancara mendehidrasi bahan

pangan kemudian dibasahkan kembali dengan mengocoknya dalam larutan

bertekanan osmose tertentu. Pencampuran (blending), semua bahan dicampur

dan dimasak untuk mengatur kadar air sehingga menghasilkan makanan

dengan aw tertentu.

Berdsarkan klasifikasi teknologi produksi IMF modern tersebut

terdapat dua tipe dasar pengolahan IMF modern, yaitu adsorpsi dan desorpsi.

Pada tipe adsorpsi, bahan pangan dikeringkan sambil dikontrol proses

pembasahan kembali sampai keadaan yang diinginkan sedangkan tipe

desorpsi bahan pangan dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai

tekanan osmotik lebih tinggi, sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat

aw yang diinginkan. Proses ini dapat dipercepat dengan menaikkan suhu

(Robson, 1976).

Menuruk Taoukis et. al. (1999), karakteristik produk IMF memiliki

beberapa keunggulan dibandingkan produk kering konvensional atau

makanan dengan kadar air tinggi. Proses pengolahan IMF lebih hemat energi

dibandingkan pengeringan, refrigerasi, pembekuan atau pengalengan.

Teknologi IMF juga menghasilkan produk dengan retensi nutrisi dan kualitas

yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses lain seperti pengeringan dan

proses panas. Sifat IMF yang plastis dan mudah dikunyah tanpa ada sensasi

kering menjadikan produk IMF dapat secara langsung dikonsumsi tanpa

penyiapan dan lebih convenience. Sifat plastis yang terdapat pada IMF, juga

memudahkan pengemasan karena dapat dengan mudah dibentuk dengan

ukuran dan bentuk geometris yang diharapkan. Taub dan Singh (1998),

menyatakan bahwa pangan semi basah dapat dikonsumsi tanpa pemasakan

dan dapat dikemas dalam kemasan yang fleksibel.

E. BAHAN TAMBAHAN PANGAN

Bahan tambahan pangan yang dibutuhkan dalam pembuatan manisan

semi basah buah pepaya, nanas, dan belimbing adalah CaCl2, asam sitrat, dan

potasium sorbat.

1. Kalsium Klorida (CaCl2)

Kalsium klorida merupakan kristal putih yang memiliki berat

molekul 110.98, titik leleh 772 0C, titik didih lebih dari 1600 0C, dan

larut dalam air. Kalsium klorida digunakan dalam produk pangan sebagai

anticaking agent, antimicrobial agent, curing agent, firming agent,

flavour enhancer, humektan, sekuestran, stabilizer, pengental,

pembentuk tekstur, dan lain-lain.

Perendaman dalam air kapur (CaCl2) bertujuan memperkuat

jaringan permukaan buah. Pektin yang terdapat dari buah akan

berinteraksi dengan kalsium yang berasal dari kalsium klorida hingga

membentuk suatu kompleks, yaitu kalsium-pektat. Kompleks inilah yang

akan memperkuat tekstur produk.

2. Asam Sitrat

Asam sitrat (C6H8O7) dengan nama kimia asam β-3-hidroksi,2-

hidroksi-1,2,3-propana trikarboksilik merupakan asidulan yang paling

populer. Asam sitrat berbentuk kristal putih dan tidak berbau. Asam sitrat

memiliki solubilitas dan stabilitas yang baik (Reddish F.G., 1957).

Perendaman buah dalam larutan asam sitrat pada pembuatan

manisan semi basah dilakukan untuk menurunkan pH, memperbaiki

warna, memperbaiki tekstur, dan menambah citarasa. Dengan

menurunnya pH, aktivitas mikroorganisme dapat terhambat.

Asam sitrat berfungsi sebagai chelating agent yaitu dapat

mengikat logam-logam bivalen, seperti Mn, Mg, dan Fe yang sangat

dibutuhkan sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologis. Oleh karena

itu reaksi-reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat

(Winarno dan Aman, 1981).

3. Potasium Sorbat

Asam sorbat, sodium, dan potasium sorbat efektif dalam

menghambat pertumbuhan kapang dan khamir dalam keju baked goods,

sari buah, buah-buahan, sayuran segar, minuman ringan, pikel,

sauerkraut, daging, dan produk-produk ikan (Rani, 1989). Asam sorbat

dengan rumus kimia C6H8O2 merupakan padatan putih, berbentuk kristal,

dan sedikit larut dalam air (0.15 g per 100 ml) pada suhu 20 0C (Sofos

dan Busta, 1993). Kelarutan asam sorbat dalam air akan meningkat

dengan meningkatnya suhu (Frazier, 1979). Kelarutan asam sorbat dalam

air menurun dengan semakin tingginya konsentrasi NaCl, sukrosa, dan

glukosa. Potasium sorbat dengan rumus kimia C6H7O2K merupakan

bubuk putih, halus, dan sangat larut dalam air (139.2 g/100 ml) pada suhu

20 0C. Kelarutan dalam alkohol 2.0 g/100 ml pada suhu 20 0C (Sofos dan

Busta, 1993).

Asam sorbat dan garamnya aktif menghambat pertumbuhan

kapang dan khamir tetapi tidak efektif menghambat pertumbuhan bakteri.

Kisaran pH optimumnya lebih besar dari 6.5. Asam sorbat dan garamnya

meningkat aktivitasnya sebagai senyawa antimikroba dengan

menurunnya pH. Dalam keadaan tidak terdisosiasi, asam sorbat dan

garamnya memiliki keaktifan yang paling tinggi dalam menghambat

pertumbuhan mikroba. Asam sorbat 0.1 % pada pH 4.5 dapat

menghambat pertumbuhan fungi yang berfilamen dan khamir. Pada

konsentrasi yang sama pada pH 3.5 pertumbuhan bakteri asam laktat

dapat dihambat (Rani, 1989).

Sifat toksin asam sorbat dan garamnya sangat rendah, sekitar

sepertiga kali asam benzoat (Kirk dan Othmer, 1985). Asam sorbat dan

garamnya tidak mengakibatkan gangguan fisiologis dalam tubuh karena

asam sorbat akan mengalami metabolisme menjadi CO2 dan H2O.

Sebagai bahan pengawet, asam sorbat dan garamnya termasuk ke

dalam kelompok GRAS (Generally Recognized as Safe) (Frazier, 1979).

Di Indonesia pemakaian sorbat diatur dengan peraturan Menteri

Kesehatan nomor 235/Men.Kes./Per/79. Batas penggunaan sorbat dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Batas penggunaan potasium sorbat di Indonesia

Sumber : Rani (1989)

F. GULA

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat,

mempunyai rasa manis dan larut dalam air, serta mempunyai sifat aktif optis

yang dijadikan ciri khas untuk mengenal setiap gula (Goutara, 1985).

Beberapa macam gula antara lain glukosa, fruktosa, maltosa, sukrosa,

dan laktosa. Setiap gula mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda-beda

misalnya dalam hal rasa manis, kelarutan dalam air, energi yang dihasilkan,

mudah tidaknya difermentasi oleh mikroba tertentu, daya pembentukan

karamel saat dipanaskan, dan pembentukan kristalnya (Winarno, 1988).

Gula yang digunakan pada penelitian ini adalah sukrosa. Sukrosa

merupakan senyawa oligosakarida dengan nama kimia -D-glukopiranosida-

-D-fruktofuranosida. Rumus molekul sukrosa C12H22O11, memiliki berat

molekul 342.30 terdiri atas gugus glukosa dan fruktosa. Titik cair sukrosa

adalah 186C (Kirk dan Othmer, 1985).

Menurut Buckle et al. (1985), apabila gula ditambahkan ke dalam

bahan pangan dalam konsentrasi tinggi minimum 40 % padatan terlarut,

sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan

mikroorganisme dan aktivitas air (aw) bahan pangan akan berkurang. Hal

yang perlu diperhatikan adalah konsentrasi larutan gula yang digunakan untuk

perendaman tidak boleh terlalu tinggi. Minifie dan Chem (1982) menyatakan

Jenis makanan Batas maksimum

Sirup, sari buah, jam, jelly 1000 mg/kg

Minuman ringan 400 mg/kg

Saus tomat, acar 1000 mg/kg

Margarin 1000 mg/kg

Ikan yang diawetkan 1000 mg/kg

Terasi (pasta ikan) 2000 mg/kg

Aprikot kering dan marmalade

500 mg/kg

bahwa jika buah direndam dalam larutan gula panas dengan konsentrasi yang

lebih tinggi dari 75 % akan menyebabkan air keluar dari dinding sel buah

lebih cepat dibandingkan dengan masuknya larutan gula ke dalam buah.

Dengan adanya perbedaan yang besar antara kecepatan keluarnya air dan

masuknya gula menyebabkan struktur sel dan tekstur buah menjadi keras dan

berkerut. Selain itu, proses dehidrasi akan sulit mencapai optimum karena

daerah dengan konsentrasi gula rendah akan terbentuk di sekitar potongan

buah.

Menurut Apriyantono (1985), konsentrasi gula yang dibutuhkan untuk

mencegah pertumbuhan mikroorganisme bervariasi bergantung dari jenis dan

kandungan zat yang terdapat pada bahan makanan, tetapi pada umumnya 70

% gula akan menghentikan pertumbuhan seluruh mikroorganisme dalam

makanan. Larutan gula dengan konsentrasi lebih rendah dari 70 % masih

efektif menghentikan kegiatan mikroorganisme tetapi hanya dalam jangka

waktu yang pendek, kecuali untuk makanan baru atau makanan yang bersifat

asam.

G. GLUKOSA KRISTAL

Glukosa kristal merupakan bahan pemanis berbentuk kristal yang

mengandung gula D-glukosa. Pemanis kristal yang mengandung D-glukosa

mengandung salah satu atau lebih dari tiga bentuk kristal D-glukosa, yaitu α-

D-glukopiranosa monohidrat, anhidrous α-D-glukopiranosa, dan β-

glukopiranosa. Sedangkan menurut Raymond dan Othner (1954), dekstrosa

(D-glukosa, gula jagung, gula pati, dan gula anggur), C6H12O6 BM = 180.16,

merupakan kristal gula putih dengan tingkat kemanisan 70 % sukrosa.

Dalam fasa larutan, dekstrosa terdapat bersama-sama dengan sejumlah

bentuk-bentuk isomer termasuk bentuk α dan β. Pada keadaan kristal, α-

dekstrosa dipisahkan dari larutan aqueous sebagai monohidrat dengan suhu

diatas 50 0C. Diatas 115 0C, β-dekstrosa dipisahkan dalam bentuk anhidrat.

Ketiga bentuk kristal tersebut dihasilkan secara komersial, dan α-monohidrat

sebagai bentuk paling umum (Raymond dan Othner, 1954).

Dekstrosa digunakan secara luas dalam industri permen dan roti, pada

pengalengan buah-buahan dan sayuran, minuman dan industri lain yang

memerlukan pemanis dan pewarna karamel (Raymond dan Othner, 1954).

Sedangkan menurut Balagopalan et al. (1988), dekstrosa banyak digunakan

dalam industri makanan sebagai pengembang, pembangkit cita rasa dan

aroma juga berperan dalam pembentukan lapisan warna. Dalam industri

farmasi, dekstrosa juga digunakan sebagai bahan pencampur dalam

pembuatan obat (tablet) dan campuran dalam cairan infus.

H. DEKSTRIN

Dekstrin adalah karbohidrat yang dibentuk selama hidrolisis pati

menajadi gula oleh panas, asam dan atau enzim. Dekstrin dan pati memiliki

rumus umum yang sama, - [Cx(H2O)y)]n - (y = x - 1), dimana unit glukosa

bersatu dengan yang lainnya membentuk rantai (polisakarida) tetapi dekstrin

memiliki ukuran lebih kecil dan kurang kompleks dibandingkan pati.

Dekstrin larut dalam air tetapi dapat diendapkan dengan alkohol. Dekstrin

memiliki sifat seperti pati. Beberapa dekstrin bereaksi dengan iodin

memberikan warna biru dan larut dalam alkohol 25 % (disebut

amilodekstrin), berwarna coklat-kemerahan dan larut dalam alkohol 55 %

(disebut eritrodekstrin) dan tidak membentuk warna dengan iodin serta larut

dalam alkohol 70 % (disebut akhrodekstrin), yang juga diidentifikasi sebagai

desktrosa ekuivalen (DE). DE yang tinggi menunjukkan adanya

depolimerisasi pati yang besar. Maltodekstrin adalah produk dengan DE

rendah.

Dekstrin larut dalam air dingin dalam berbagai derajat tergantung

pada kekuatan hidrolisisnya. Desktrin dapat digunakan untuk berbagai

keperluan. Dektrin dapat dibuat dari berbagai sumber pati seperti tapioka dan

kentang ataupun jagung. Sifat viskositas yang rendah dari dekstrin

menjadikan dekstrin sering dipakai dalam pembuatan jelli sebagai sumber

padatan yang menstabilkan

I. PENGERINGAN

1. Teori Pengeringan

Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara

simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengering akan

digunakan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam bahan. Uap air

yang berasal dari bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara

kering (Pramono, 1993). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya

penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara

dengan bahan yang dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi

kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme

penyebab pembusukan, dan kegiatan enzim didalam bahan pangan

menjadi terhambat atau terhenti sehingga bahan memiliki masa simpan

yang lebih lama (Taib et al. 1988).

Jumlah kandungan air pada bahan akan mempengaruhi daya tahan

bahan tersebut terhadap serangan mikroba, dan biasanya dinyatakan

sebagai water activity (aw). Water activity adalah jumlah air bebas bahan

yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya.

Besarnya nilai aw bahan harus diatur karena mikroba hanya dapat tumbuh

pada kisaran nilai aw tertentu. Bahan yang mempunyai nilai aw di bawah

0.7 biasanya sudah dianggap cukup baik dan tahan dalam penyimpanan.

Berdasarkan proses penguapan air, terdapat tiga macam proses

pengeringan. Pertama, panas diberikan karena kontak langsung dengan

udara panas pada tekanan atmosfer dan uap air. Kedua, vacuum drying,

evaporasi air berlangsung lebih cepat pada tekanan rendah dan panas

diberikan oleh dinding logam secara konduksi dan radiasi. Ketiga, freeze

drying, air diuapkan dari bahan yang membeku dan panas diberikan

secara radiasi dan konduksi.

Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas

adalah air pada permukaan bahan, sedangkan air terikat adalah air dalam

bahan dan biasanya sulit keluar dibandingkan dengan air bebas. Bila air

permukaan semua diuapkan, terjadi migrasi air dan uap air dari bagian

dalam ke permukaan secara difusi.

Pengeringan produk atau hasil pertanian dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu suhu, kelembaban udara, dan kecepatan aliran

udara. Ukuran bahan juga mempengaruhi cepat lambatnya pengeringan.

Selain itu jenis alat pengering juga mempengaruhi proses pengeringan.

Menurut Taib et al. (1988), semakin besar perbedaan suhu antara

media pemanas (suhu udara pengering) dengan bahan yang dikeringkan,

semakin cepat pula perpindahan panas ke dalam bahan sehingga

penguapan air dari bahan yang dikeringkan akan lebih banyak dan cepat.

Suhu pengeringan bervariasi untuk setiap bahan yang dikeringkan.

Kelembaban udara (RH) juga mempengaruhi proses pengeringan.

Kelembaban udara berbanding lurus dengan waktu pengeringan.

Semakin tinggi kelembaban udara, proses pengeringan (waktu

pengeringan) akan berlangsung lebih lama. Apabila bahan pangan

dikeringkan dengan menggunakan udara sebagai medium pengering,

maka semakin panas udara tersebut semakin cepat pengeringannya.

Berbeda dengan RH, kecepatan aliran udara berbanding terbalik dengan

waktu pengeringan. Semakin tinggi kecepatan aliran udara, proses

pengeringan akan berjalan lebih cepat.

Pemotongan bahan yang akan dikeringkan akan menjadikan

proses pengeringan berjalan lebih cepat. Hal ini dikarenakan pemotongan

atau pengirisan akan memperluas permukaan bahan sehingga akan lebih

banyak permukaan bahan yang berhubungan dengan udara panas dan

mengurangi jarak gerak panas untuk sampai ke bahan yang akan

dikeringkan.

2. Pengeringan Buah

Teknologi pengeringan bahan pertanian sebenarnya sederhana,

yaitu hanya memberikan tambahan energi dalam bentuk panas ke produk

untuk menurunkan kandungan airnya. Sumber panas dapat diperoleh

secara alami dari panas sinar matahari atau dari sumber panas buatan

(listrik, kompor, atau sumber lainnya). Untuk mempercepat proses

pengeringan bahan-bahan pertanian, udara pengering disirkulasikan

secara kontinyu melewati bahan yang dikeringkan (Nuraeni, 2004).

Pada pengeringan buah-buahan sering terjadi perubahan tekstur

yang disebut shrinkage dan case hardening. Shrinkage terjadi akibat

adanya perpindahan massa uap air secara drastis selama pengeringan.

Perpindahan ini menimbulkan tekanan yang kuat pada dinding sel yang

akan menimbulkan kerusakan pada membran sel sehingga kehilangan

permeabilitasnya.

Case hardening adalah suatu keadaan pada bahan yang bagian

permukaannya sangat kering sedangkan pada bagian dalam masih basah.

Kondisi ini terjadi apabila penguapan air pada permukaan bahan jauh

lebih cepat daripada difusi air dari bagian dalam bahan ke luar

permukaan. Lapisan permukaan bahan menjadi keras dan kenyal

sehingga uap air tidak dapat menembusnya walaupun pengeringan

dilanjutkan.

Case hardening umumnya terjadi pada buah-buahan yang banyak

mengandung gula terlarut. Selama pengeringan, air beserta gula-gula

terlarut bergerak dari dalam potongan buah ke permukaan. Air akan

segera menguap sedangkan gula beserta padatan lainnya akan tetap

tertinggal di permukaan, lalu mengering dan mengeras sehingga air

dalam sel atau potongan bahan tidak dapat keluar atau menguap.

Terjadinya case hardening dan shrinkage dapat dicegah dengan cara

menurunkan suhu pada permukaan bahan selama pengeringan (Potter,

1980).

3. Metode Pengeringan

Berdasarkan sumber panas yang digunakan dikenal 2 jenis

metode pengeringan yaitu pengeringan alami dengan sinar matahari dan

pengeringan buatan.

a. Pengeringan alami (penjemuran)

Penjemuran memanfaatkan energi matahari untuk

mengurangi kadar air bahan. Penjemuran merupakan metode

pengeringan yang termurah tetapi resiko kerusakan akibat cuaca juga

tinggi dan relatif sukar menjaga kondisi pengeringan yang higienis.

Energi panas matahari dialirkan ke bumi dalam bentuk

radiasi surya. Radiasi surya memiliki ciri khas yaitu keberadaannya

yang selalu berubah-ubah. Meskipun hari cerah dan sinar surya

tersedia banyak, besarnya berubah sepanjang hari dengan titik

maksimumnya pada tengah hari. Sinar surya juga bergantung pada

keadaan atmosfer. Besarnya radiasi akan berkurang jika langit

berawan. Selain itu lokasi suatu tempat (perbedaan garis lintang,

ketinggian) dan musim juga berpengaruh terhadap besarnya radiasi

surya.

Pemanfaatan sinar matahari secara langsung merupakan cara

yang umum dan sudah dipakai secara luas sejak lama, misalnya pada

proses pengeringan hasil pertanian. Sebenarnya kondisi tersebut

akan menyebabkan komoditas menyerap uap air dari tanah selama

pengeringan berlangsung.

Panas yang dihasilkan matahari berasal dari proses fusi yang

mengubah 4 ton hidrogen menjadi helium tiap detiknya dan

mengeluarkan panas dengan laju 1024 kWh/detik. Jumlah panas yang

diproduksi matahari yang jatuh ke wilayah Indonesia tersebut

mencapai 9 x 1017 kJ/tahun atau setara dengan 28.35 x 108 MW

energi listrik.

Energi panas matahari dialirkan ke bumi dalam benruk

radiasi yang merupakan gelombang pendek. Ciri khas radiasi surya

adalah sifat keberadaaannya yang selalu berubah-ubah, sehingga

meskipun hari cerah dan sinar surya tersedia banyak, nilainya

sepanjang hari berubah dengan titik maksimum pada tengah hari

karena bertepatan dengan jarak lintasan terpendek sinar surya

menembus atmosfer.

b. Pengeringan buatan

Pada pengering buatan, kondisi saniter mudah dijaga, produk

akan lebih seragam mutunya, dan proses pengeringan tidak

bergantung pada keadaan cuaca. Akan tetapi, dibutuhkan biaya

bahan bakar dan biaya investasi alat yang lebih besar (Desrosier,

1988). Ada beberapa metode pengeringan buatan, diantaranya

pengeringan kabinet, fluidized bed drier, dan pengeringan vakum.

Menurut Taib et al. (1988), melihat banyaknya pilihan mesin

pengering yang dapat digunakan untuk berbagai jenis produk maka

pemilihan mesin pengering yang optimal didasari pada kapasitas

mesin pengering, sifat fisik bahan umpan basah, spesifikasi hasil

yang diinginkan, operasi pengolahan hulu dan hilir, kadar air bahan

umpan dan hasil pengeringan, kinetika pengeringan, parameter mutu,

aspek keamanan, nilai produk, kebutuhan akan kendali otomatis,

sifat keracunan produk, rasio pengembalian modal, jenis dan biaya

bahan bakar, serta peraturan lingkungan.

Suhu udara pengering yang terkontrol menjamin proses

pengeringan dilakukan secara benar dan energi yang digunakan

efisien, sehingga kualitas bahan kering terjamin. Suhu yang

terkontrol pada kisaran tertentu berpengaruh pada laju perpindahan

panas dari udara pengering ke bahan yang dikeringkan dan laju

penguapan air dari bahan ke udara pengering. Kedua hal ini

berpengaruh pada laju perubahan fisik bahan yang dikeringkan, yaitu

tekstur, warna, dan daya awet. Pengeringan bahan hasil pertanian

yang baik menggunakan aliran udara pengering dengan suhu

berkisar antara 45C sampai 75C. Bila pengeringan dilakukan pada

suhu di bawah 45C maka mikroba dan jamur yang merusak produk

masih hidup, sehingga daya awet produk rendah. Namun

pengeringan pada suhu udara pengering di atas 75C akan

menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena

perpindahan panas dan massa air yang cepat akan berdampak pada

perubahan struktur sel (Nuraeni, 2004).

Aliran udara pengering yang melewati bahan harus dikontrol

polanya, karena udara pengering berfungsi memindahkan panas ke

dalam sistem pengeringan dan memindahkan uap air ke luar sistem

pengeringan Uap air dari bahan menyebabkan kelembaban udara

pengering meningkat. Hal ini menghambat laju pengeringan. Untuk

menghindari hal tersebut, udara pengering yang telah membawa uap

air harus segera dialirkan ke luar sistem pengeringan dan digantikan

dengan udara segar (Nuraeni, 2004).

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam proses pembuatan manisan semi

basah adalah pepaya, nanas, belimbing manis, garam, CaCl2, air, asam sitrat,

gula, natrium metabisulfat, asam askorbat, dan potasium sorbat.

Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan manisan semi

basah adalah timbangan digital kasar, baskom, toples, sendok pengaduk,

sendok makan, kompor, panci ukuran besar, pisau, cabinet dryer, termometer,

refraktometer, pH meter, plastik ukuran 5 kg dan 1 kg, mangkok, piring,

sendok-sendok kecil, dan gelas takar ukuran 1000 dan 2000 ml.

Bahan-bahan yang digunakan dalam analisa produk adalah aquades,

K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3, larutan NaOH-Na2S2O3, HCl 0.1 N, NaOH

0.1N, kertas saring, indikator metil merah dan metil biru, heksan, dan etanol.

Alat-alat yang digunakan dalam analisa adalah pipet tetes, pipet

volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan

alumunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur 10 dan 100 ml,

desikator, alat destilasi, labu kjeldahl, erlenmeyer 100 ml dan 300 ml, neraca

analitik, silica gel, inkubator 30 C, penetrometer, dan tabung reaksi.

B. PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH

Pembuatan manisan semi basah terbagi menjadi beberapa tahap yaitu,

pengupasan kulit, pemotongan disertai perendaman dalam larutan garam,

perendaman dalam larutan kapur CaCl2, pembilasan, pemblansiran,

perendaman dalam larutan gula yang dilakukan sebanyak 3 tahap disertai

penambahan potasium sorbat pada perendaman yang terakhir, penirisan,

pengeringan, pendinginan, dan dusting.

Pembuatan manisan semi basah diawali dengan menyiapkan pepaya

dengan tingkat kemasakan 80 % (mengkal), nanas dengan tingkat kemanisan

80 % (mengkal), dan belimbing dengan tingkat kemanisan 80 % (mengkal).

Ketiga buah tersebut dikupas, dibuang bijinya / mata pada permukaan daging

nanas, dan direndam dalam larutan garam 1 %. Daging buah dipotong dengan

pisau. Potongan daging buah tersebut kemudian direndam dalam larutan

kapur. Selanjutnya potongan daging buah diblansir dengan air panas. Proses

blansir dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa CaCl2 yang tidak terserap

daging buah yang dapat menimbulkan rasa gatal di lidah.

Potongan daging buah direndam dalam larutan gula pertama selama

12 jam pada suhu awal 60 0C dan dibiarkan mendingin selama perendaman.

Perendaman gula kedua dilakukan dengan larutan gula dengan konsentrasi

yang lebih tinggi dari larutan pertama dengan lama perendaman 12 jam dan

suhu awal larutan 60 0C. Kemudian perendaman gula ketiga dilakukan

dengan larutan gula dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari larutan kedua

dengan lama perendaman 12 jam dan suhu awal perendaman 60 0C.

Sebelumnya larutan gula terakhir dicampur dengan potasium sorbat 500 ppm.

Setelah itu dilakukan penirisan dan pengeringan menggunakan cabinet dryer.

Pembuatan manisan semi basah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir pembuatan manisan buah semi basah

Keterangan :

* : pepaya ketebalan 2 cm, 1 cm, dan 0.5 cm; nanas 1 cm (melintang), 0.5 cm (sejajar);

belimbing tebal 1 cm (melintang), 3 x 0.5 cm (sejajar sirip buah)

** : konsentrasi larutan CaCl2 0.5 %, 1 %, 2%, 4%; lama perendaman 30 menit, 2 jam, 4

jam, 6 jam, 8 jam. Untuk sampel buah belimbing ditambahkan Na-metabisulfit 150

ppm.

C. METODE PENELITIAN

Buah

Pengupasan, pembuangan biji, dan pencucian

Pemotongan buah *

Perendaman dalam larutan kapur

Pembilasan dengan air mengalir

Pemblansiran

Manisan buah IMF

Pengeringan

Perendaman dalam larutan gula III disertai pelarutan sorbat 500 ppm

Perendaman dalam larutan gula II

Perendaman dalam larutan gula I

CaCl2 **

Larutan gula I (konsentrasi 40 0brix)

Larutan gula II (konsentrasi 55 0brix)

Larutan gula III (konsentrasi 70 0brix)

Dusting Bahan dusting : tepung gula + tepung kanji (1 : 1), glukosa

kristal, dekstrin kristal

Suhu 85 0C, waktu 1, 2, 3, 4, 5 menit

1. Tahap Pertama

Tahap pertama penelitian ini adalah penentuan ukuran

pemotongan, penentuan konsentrasi dan waktu perendaman dalam

larutan kapur, penentuan suhu dan waktu blansir, dan penentuan

kombinasi jenis gula perendaman dalam larutan gula. Seleksi dilakukan

oleh panelis terbatas berjumlah 5 orang. Parameter yang diuji pada

penentuan ukuran pemotongan adalah penampakan dan tekstrur; pada

penentuan konsentrasi dan waktu larutan kapur adalah kerenyahan,

tekstur, dan penampakan; pada penentuan waktu blansir adalah

penampakan warna dan tekstur; dan pada penentuan kombinasi jenis gula

adalah rasa, tekstur, dan penampakan.

a. Penentuan ukuran pemotongan

Pemotongan dilakukan agar diperoleh manisan semi basah

dengan ketebalan yang dapat memberikan tekstur dengan kerutan

paling sedikit. Pemotongan buah dilakukan dengan menggunakan

pisau dapur dengan ketebalan sebagai berikut :

Buah Ketebalan (cm)

Pepaya 2

1

0.5

Nanas 1 (potongan melintang)

0.5 (potongan sejajar)

Belimbing 1 (potongan melintang)

0.5 (potongan sejajar pada sirip buah)

b. Penentuan konsentrasi dan waktu perendaman larutan kapur

Perendaman dalam larutan kapur dilakukan untuk

memperkuat jaringan buah sehingga dapat dihasilkan manisan semi

basah yang memiliki kerenyahan yang baik. Kapur yang digunakan

adalah CaCl2. Konsentrasi larutan kapur yang digunakan pada

percobaan ini adalah 0.5 %, 1 %, 2 %, dan 4 %, dengan lama

perendaman 30 menit, 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.

c. Penentuan waktu blansir

Proses blansir yang dilakukan pada potongan buah manisan

bertujuan untuk menghentikan kerja enzim-enzim penyebab

pencoklatan, menurunkan jumlah kontaminan mikroba, melemaskan

potongan buah, dan juga untuk menghilangkan sisa-sisa larutan

kapur yang tidak terserap oleh buah. Suhu yang digunakan adalah 85 0C dan waktu blansir yang dilakukan adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 menit.

d. Penentuan kombinasi larutan gula

Perendaman potongan buah dalam larutan gula bertujuan

untuk mengeluarkan sebagian air dari dalam buah secara osmosis.

Proses dehidrasi ini berlangsung secara perlahan tergantung kepada

kandungan air buah dan konsentrasi larutan gula yang digunakan.

Proses ini dilakukan secara bertahap, yaitu perendaman dilakukan

sebanyak tiga kali dengan tiap larutan perendaman memiliki

konsentrasi gula yang berbeda.

Perendaman pertama menggunakan konsentrasi larutan gula

sebesar 40 0brix. Perendaman kedua menggunakan larutan gula

dengan konsentrasi gula yang lebih tinggi (55 0brix) dan perendaman

ketiga menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi lagi (70 0brix).

Pada percobaan ini digunakan dua jenis gula yang digunakan pada

perendaman yang ketiga yaitu larutan gula pasir dan gula batu.

Kandungan gula pasir (sukrosa) akan berubah menjadi gula

invert (campuran glukosa dan fruktosa) apabila dipanaskan. Gula

invert memiliki sifat tidak mudah mengkristal dan tingkat kemanisan

lebih tinggi dibandingkan sukrosa. Sedangkan kandungan utama

gula batu adalah glukosa yang akan tetap berupa glukosa setelah

dipanaskan dan glukosa lebih mudah mengkristal dibandingkan gula

invert. Selain itu glukosa juga memiliki tingkat kemanisan dibawah

gula invert.

Perendaman ketiga dalam percobaan ini menentukan jenis

gula yang akan terdapat pada permukaan manisan buah, hal ini akan

menentukan karakteristik permukaan dan rasa manisan buah.

2. Tahap Kedua

Tahap kedua penelitian ini adalah mengamati pengaruh metode

pengeringan. Pengeringan manisan buah bertujuan untuk menghilangkan

sebagian besar air didalam potongan buah. Hilangnya air didalam

potongan buah akan membuat manisan buah menjadi lebih tahan

terhadap kontaminasi mikroba dan aktifitas enzim, sehingga akan

meningkatkan umur simpan produk.

Perlakuan pengeringan manisan buah semi basah dilakukan

dengan dua cara, yaitu pengeringan dengan tenaga matahari dan

pengeringan buatan menggunakan pengering kabinet. Pengeringan

dengan tenaga matahari dilakukan dengan penjemuran potongan buah

dibawah sinar matahari secara langsung selama 2 hari pengeringan (12 -

15 jam). Pengeringan potongan buah dengan menggunakan alat

pengering kabinet dilakukan dengan suhu 50 dan 60 0C dengan waktu 2

dan 4 jam.

Uji organoleptik tahap kedua yang meliputi uji kesukaan

(hedonik) terhadap 30 panelis untuk mengetahui tingkat penerimaan

panelis dan mengetahui kekurangan yang terdapat pada produk yang

berhubungan dengan sifat dan mutu sensori. Parameter yang diuji adalah

warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.

3. Tahap Ketiga

Tahap ketiga penelitian ini adalah aplikasi tepung dusting pada

manisan buah semi basah. Pembuatan manisan semi basah dilakukan

dengan proses pemanasan yang singkat dan suhu yang cukup rendah

dengan tujuan tetap menjaga sebagian kandungan air buah agar

dihasilkan produk yang memiliki tingkat kerenyahan, tekstur, dan rasa

yang baik dengan umur simpan yang jauh lebih panjang. Namun aplikasi

proses pengeringan yang tidak terlalu lama menyebabkan banyaknya sisa

larutan gula di permukaan produk manisan semi basah. Hal ini

mendapatkan perhatian dari panelis dimana permukaan manisan terasa

lengket jika dipegang.

Perlakuan proses panas yang lebih lama atau dengan suhu yang

lebih tinggi dikhawatirkan akan merusak karakteristik produk yang sudah

cukup baik. Karena itu dilakukan perlakuan dusting pada permukaan

manisan buah. Pengaplikasian tepung dusting pada manisan buah akan

menutupi sisa-sisa larutan gula, sehingga manisan buah semi basah

menjadi tidak lengket saat dipegang.

Proses dusting dilakukan dengan menggunakan 3 jenis tepung,

yaitu campuran tepung gula dengan tepung kanji (1 : 1), glukosa kristal,

dan dekstrin kristal. Pemilihan bahan dusting berdasarkan pada rasa

(tingkat kemanisan) bahan tersebut.

Uji organoleptik tahap ketiga meliputi uji kesukaan (hedonik)

terhadap 30 panelis untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis.

Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.

4. Analisis Produk Terpilih

Analisis dilakukan terhadap produk terpilih dari penelitian tahap

ketiga. Analisis yang dilakukan meliputi uji kimia (kadar air, abu,

protein, lemak, dan karbohidrat), uji fisik (rendemen, pH, kekerasan, dan

aw), dan uji mikrobiologi (TPC). Analisis produk bertujuan untuk

memberikan informasi nutrisi, karakteristik fisik produk, dan kandungan

mikroorganisme dalam manisan buah semi basah terpilih yang

selanjutnya dapat menentukan kelayakan produk untuk dikonsumsi.

D. METODE ANALISIS

1. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan

didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sampel

ditimbang kurang lebih sebanyak 2 gramdalam cawan. Cawan beserta isi

dikeringkan dalam oven 100 0C selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke

dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya

dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan.

Perhitungan :

Kadar Air (% berat basah) = [W2 - (W3 – W1)] x 100%

W3 - W1

Berat cawan (gr) = W1

Berat sampel (gr) = W2

Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gr) = W3

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian

dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu didinginkan dalam

desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gramdi dalam

cawan, kemudian dibakar dalam ruang asam sampai tidak mengeluarkan

asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada

suhu 400 – 600 0C selama 4 – 6 jam sampai terbentuk abu berwarna

putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan

dalam desikator kemudian ditimbang.

Perhitungan :

Kadar abu (%) = Berat abu (g) x 100% Berat sampel kering (g)

3. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (Apriyantono et al., 1989)

Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam

labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO,

dan 3.8 + 0.1 ml H2SO4. Batu didih ditambahkan pada labu lalu sampel

didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta

sampel didinginkan dengan air dingin. Isi labu dan air bekas

pembilasnya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125

ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes

indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung

kondensor terendam dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3

sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan

destilasi sampai didapat destilatnya sebanyak + 15 ml dalam erlenmeyer.

Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan

HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru.

Perhitungan jumlah nitrogen dilakukan setelah sebelumnya diperoleh

jumlah volume (ml) blanko.

Perhitungan :

Jumlah N (%) = (ml HCl – ml blanko) x NHCl x 14.007 x 100 mg sampel kering

Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)

4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi

soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C – 110 0C kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang.

Sampel ditimbang sebanyak 5 gramdalam kertas saring dan kemudian

ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya

dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat

kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya.

Refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut kembali menjadi bening.

Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi kemudian labu

dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai

berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak

ditimbang, dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

Perhitungan :

Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100% Berat sampel kering (g)

5. Kadar Karbohidrat (By Difference)

Perhitungan :

Kadar Karbohidrat (%) = 100% - % (Protein + Kadar air + Abu +

Lemak)

6. Rendemen

Perhitungan :

Rendemen = Berat akhir produk X 100 % Berat awal produk

7. Uji Keasaman (pH)

Pengukuran pH produk dilakukan dengan menggunakan alat pH-

meter. Sebelum pengukuran pH-meter dikalibrasi dengan buffer standar

pH 4. Sampel dilumatkan terlebih dulu, elektroda dibilas dengan akuades

kemudian dikeringkan dengan tissue. Batang elektroda dimasukkan

kedalam sampel selama beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang

stabil.

8. Uji Kekerasan

Uji kekerasan dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer.

Sebelum dilakukan uji, alat dikalibrasi. Bahan diuji dengan

menggunakan pisau uji sobek untuk menganalogikan pengujian

kekerasan sampel dengan menggunakan sobekan gigi. Semakin besar

waktu dan gaya yang dibutuhkan untuk menyobek bahan, semakin keras

bahan yang diuji.

9. Uji Aktifitas Air (Aw)

Pengujian Aw produk manisan semi basah dilakukan dengan alat

Aw Meter. Sampel disiapkan sebanyak kurang lebih 5 gramkemudian

dimasukkan kedalam wadah uji. Wadah uji ditutup rapat dan alat

dibiarkan untuk mengukur Aw selama kurang lebih 20 menit. Hasil

pengukuran ditunjukkan pada layar display.

10. Uji Mikrobiologi Total Plate Count (Fardiaz, 1992)

Uji mikrobiologi manisan pada penelitian ini dilakukan melalui

uji TPC (Total Plate Count). Uji TPC dilakukan untuk mengetahui

jumlah mikroorganisme yang mungkin tumbuh pada manisan.

Kontaminasi biasanya berasal dari mikroorganisme di seluruh bagian

manisan. Oleh karena itu dalam uji mikrobiologi manisan, pengambilan

contoh dilakukan dengan menggunakan metode penghancuran.

Uji mikrobiologi manisan semi basah dimulai dengan menimbang

sampel sebanyak 10 gr, ditambahkan 90 ml larutan pengencer,

dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril, dan distomacher selama 1

menit. Pengenceran dibuat hingga 10-3. Pengenceran yang dilakukan

tergantung mutu sampel yang dianalisis. Semakin rendah mutu sampel,

pengenceran yang diperlukan untuk dapat menghitung jumlah mikroba

semakin tinggi. Sebanyak 0.1 ml sampel yang telah diencerkan

dimasukkan ke dalam masing-masing 2 cawan petri (duplo) yang

selanjutnya dilakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan pada

pengenceran 10-2 sampai 10-4. Setelah pemupukan dilakukan, media

dituangkan ke dalam cawan.

Media yang digunakan adalah PCA. PCA dengan pH 7

mengandung tripton, ekstrak khamir, dekstrosa, agar, dan air destilata.

PCA digunakan untuk identifikasi total mikroba, baik kapang, khamir,

maupun bakteri. Selanjutnya inkubasi dilakukan dengan posisi cawan

terbalik pada suhu 30 C selama 2 hari.

Perhitungan:

Pengenceran = pengenceran x pengenceran x jumlah yang awal. selanjutnya ditumbuhkan

Koloni per ml = Jumlak koloni x 1 Pengenceran

11. Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji

organoleptik pada peneltian tahap pertama adalah uji organoleptik

terbatas dengan panelis berjumlah 5 orang. Uji di tahap ini dilakukan

pada tiap percobaan dengan parameter uji yang berbeda. Penilaian

dilakukan dengan skala 1 – 5 berupa tanda (+) dimana 1 adalah nilai

untuk paling tidak suka dan 5 untuk sangat suka.

Uji organoleptik produk manisan dari tahap kedua dan ketiga

dilakukan di laboratorium sensori SEAFAST pada 30 orang panelis.

Parameter yang diuji meliputi uji kesukaan terhadap tekstur, kerenyahan

di mulut, aroma, rasa, dan warna. Penilaian dilakukan pada lembar

kuisioner dengan skala nilai 1 – 7 dimana 1 adalah nilai untuk paling

tidak suka dan 7 untuk sangat suka.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TAHAP PERTAMA

Percobaan yang dilakukan adalah penentuan ukuran pemotongan

buah, penentuan waktu perendaman dan konsentrasi larutan kapur, penentuan

waktu dan suhu proses blansir, dan penentuan kombinasi gula perendaman

dalam larutan gula. Percobaan ini hanya melibatkan panelis terbatas.

Penilaian dilakukan dengan memberikan sejumlah tanda (+) sesuai dengan

tingkat kesukaan panelis terhadap produk tersebut dengan nilai terendah

adalah (+) dan tertinggi (+++++). Produk dengan penilaian terbaik akan

digunakan dalam penelitian tahap selanjutnya.

1. Penentuan ketebalan pemotongan

Ukuran ketebalan buah mempengaruhi lama waktu perendaman

gula dan tingkat penetrasi larutan gula ke dalam daging buah serta lama

pengeringan. Seleksi dilakukan untuk memilih produk dengan jumlah

kerutan paling sedikit.

Tabel 4. Data uji organoleptik terbatas penentuan ketebalan potongan

Ketebalan (cm) Nilai rata-rata

Pepaya Nanas Belimbing 0.5 ++++ ++++ (sejajar) ++++ (sejajar)1 ++ ++ (melintang) + (melintang)2 +

Ukuran ketebalan yang diujikan pada pembuatan manisan buah

pepaya adalah ukuran 2 cm, 1 cm, dan 0.5 cm. Ukuran ketebalan yang

dipilih sebagai potongan paling baik untuk potongan buah pepaya adalah

0.5 cm. Produk yang dihasilkan memiliki kerutan yang sedikit. Ukuran

ketebalan yang dilakukan pada pembuatan manisan buah nanas adalah 1

cm (potongan melintang), dan 0.5 cm (potongan sejajar). Ukuran

ketebalan potongan buah nanas yang dipilih adalah 0.5 cm potongan

sejajar. Produk yang dihasilkan memiliki kerutan yang paling sedikit.

Ukuran potongan yang dilakukan pada pembuatan manisan buah

belimbing adalah tebal 1 cm (potongan melintang), dan 0.5 (potongan

sejajar pada sirip buah). Ukuran potongan paling baik adalah 3 cm x 0.5

cm potongan sejajar sirip-sirip buah, produk hasil yang didapat

mengalami kerutan paling sedikit. Data pengujian disajikan pada Tabel 4.

Pemotongan buah secara melintang akan menghasilkan produk

yang sangat sulit disobek (digigit) karena terdapat semacam serat yang

kuat di dalam buah belimbing. Serat tersebut terdapat pada buah dengan

posisi memanjang, sehingga pemotongan melintang akan menyebabkan

serat tersebut ikut terolah di dalam produk.

2. Penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur

Perendaman potongan buah dalam larutan kapur bertujuan untuk

memperkuat jaringan permukaan buah dan memperbaiki tekstur produk.

Kalsium dalam larutan kapur dapat berikatan dengan zat pektat pada

potongan buah membentuk senyawa kalsium-pektat yang kuat. Seleksi

dilakukan untuk memilih produk dengan kerenyahan, tekstur, dan

penampakan produk terbaik.

Perlakuan yang dilakukan pada percobaan ini adalah konsentrasi

larutan kapur yang digunakan dan waktu perendaman. Konsentrasi

larutan kapur adalah 0.5 %, 1 %, 2 %, dan 4 %, dengan lama perendaman

30 menit, 2 jam, 4 jam, 6 jam, dan 8 jam.

Penggunaan larutan kapur dengan konsentrasi yang rendah dan

lama proses perendaman yang singkat cocok diaplikasikan pada manisan

buah semi basah karena produk yang dihasilkan memiliki kerenyahan

yang baik. Proses perendaman kapur paling baik yang dipilih untuk buah

belimbing adalah konsentrasi 0.5 % dengan tambahan campuran Na-

metabisulfat 150 ppm selama 30 menit, penggunaan Na-metabisulfat

pada buah belimbing bertujuan untuk mengurangi tingkat browning.

Konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur yang dipilih

untuk buah nanas adalah konsentrasi 0.5 % selama 30 menit, dan untuk

buah pepaya konsentrasi yang dipilih adalah 0.5% selama 30 menit. Data

pengujian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Data uji organoleptik terbatas penentuan konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan kapur

Perlakuan perendaman kapur

Nilai rata-rataPepaya Nanas Belimbing

0.5 %

30 menit ++++ ++++ ++++ 2 jam +++ ++ +++ 4 jam +++ +++ +++ 6 jam +++ +++ +++ 8 jam ++ ++ ++

1 %

30 menit +++ +++ ++ 2 jam +++ +++ +++ 4 jam ++ +++ +++ 6 jam +++ ++ +++ 8 jam ++ ++ +++

2 %

30 menit ++ +++ ++ 2 jam ++ + ++ 4 jam +++ ++ +++ 6 jam ++ ++ ++ 8 jam + ++ ++

4 %

30 menit ++ ++ ++ 2 jam + ++ ++ 4 jam ++ ++ + 6 jam ++ + ++ 8 jam + + ++

3. Penentuan waktu blansir

Proses blansir dilakukan dengan tujuan untuk menginaktifkan

enzim-enzim yang masih berkerja setelah buah dipanen, menghilangkan

sebagian kontaminan mikroba, memperbaiki tekstur, dan juga untuk

menghilangkan sisa-sisa larutan kapur yang tidak terserap oleh potongan

buah. Seleksi dilakukan untuk memilih produk dengan warna dan tekstur

terbaik.

Suhu yang digunakan adalah 85 0C dan waktu blansir yang

dilakukan adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 menit. Proses blansir yang dilakukan

pada potongan buah menyebabkan permukaan buah menjadi lebih

lembek. Proses pemblansiran yang dipilih sebagai proses paling baikl

untuk buah belimbing adalah suhu blansir 85 0C selama 2 menit.

Perlakuan suhu dan waktu blansir yang terbaik untuk buah nanas adalah

85 0C selama 1 menit, dan untuk buah pepaya proses blansir yang terbaik

adalah suhu 85 0C selama 1 menit. Produk manisan yang dihasilkan

dengan perlakuan-perlakuan blansir tersebut memiliki warna yang baik

dan tekstur yang tidak lembek. Data pengujian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Data uji organoleptik terbatas penentuan suhu dan waktu blansir Waktu blansir

(menit) Nilai rata-rata

Pepaya Nanas Belimbing 1 ++++ ++++ ++ 2 ++ +++ ++++ 3 ++ ++ ++ 4 + + ++ 5 + + ++

4. Penentuan kombinasi larutan gula

Perlakuan proses perendaman dalam larutan gula akan

menyebabkan buah mengalami dehidrasi osmosis. Hal ini dimungkinkan

karena gula memiliki difusifitas yang lebih rendah daripada air. Proses

dehidrasi yang berjalan lambat ini akan terus berlangsung hingga tercapai

keseimbangan kadar gula dan air dalam buah. Proses inilah yang

menyebabkan buah-buahan dapat menjadi manisan (Apriyantono, 1985).

Perendaman dilakukan bertahap dengan tiap tahapan

menggunakan konsentrasi larutan gula yang lebih tinggi. Hal ini

bertujuan agar gula dapat meresap masuk dalam buah dengan sempurna.

Perlakuan perendaman gula yang dilakukan dalam percobaan ini adalah :

a. Perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, dilanjutkan

perendaman dalam larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, dan terakhir

dengan menggunakan larutan gula pasir 70 0brix 12 jam dengan suhu

awal ketiga larutan 60 0C

b. Perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, dilanjutkan

perendaman dalam larutan gula pasir 55 0brix 12 jam, dan terakhir

dengan menggunakan larutan gula batu 70 0brix 12 jam dengan suhu

awal ketiga larutan 60 0C

Hasil penilaian terbaik untuk ketiga jenis buah adalah

perendaman dalam larutan gula pasir 40 0brix 12 jam, larutan gula pasir

55 0brix 12 jam, dan larutan gula batu 70 0brix 12 jam dengan suhu awal

ketiga larutan 60 0C. Data pengujian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Data uji organoleptik terbatas penentuan kombinasi larutan gula Perlakuan

perendaman gula Nilai rata-rata

Papaya Nanas Belimbing a +++ ++ +++ b ++++ ++++ ++++

Penggunaaan gula batu pada perendaman terakhir bertujuan agar

manisan buah memiliki permukaan yang dilapisi glukosa. Gula batu

memiliki kandungan glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula

pasir. Permukaan buah yang ditutupi glukosa membuat potongan buah

menjadi lebih mudah dikeringkan karena sifat glukosa yang mudah

mengkristal. Sifat lebih cepat kering penting dalam pembuatan manisan

buah semi basah karena hasil yang diharapkan memiliki tekstur juicy,

dimana permukaannya terasa kering sementara daging buah masih terasa

basah. Penggunaan gula batu juga bertujuan untuk menghasilkan manisan

dengan rasa yang tidak terlalu manis.

Berdasarkan percobaan-percobaan yang telah dilakukan pada

penelitian tahap pertama maka produk manisan yang akan digunakan

pada penelitian tahap kedua adalah produk dengan perlakuan sebagai

berikut :

Tabel 8. Data produk terpilih dari penelitian tahap pertama

Perlakuan Belimbing Nanas Pepaya

Ketebalan potongan 0.5 cm 0.5 cm 0.5 cm

Konsentrasi dan lama perendaman kapur

0.5 % (30 menit) 0.5 % (30 menit) 0.5 % (30 menit)

Lama blansir 2 menit 1 menit 1 menit

Kombinasi gula Gula pasir dan

gula batu Gula pasir dan

gula batu Gula pasir dan

gula batu

B. TAHAP KEDUA

Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara

karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang

dikeringkan. Salah satu tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air

bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme yang

menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti sehingga bahan memiliki

masa simpan yang lebih lama.

Pengeringan buah dilakukan dengan menggunakan oven yang

memiliki sirkulasi udara yang cepat ataupun dengan cara penjemuran

dibawah sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan oven dilakukan

dengan suhu 50 (a) dan 60 0C (b) dengan lama pengeringan 2 dan 4 jam,

sedangkan pengeringan dengan penjemuran di bawah sinar matahari (c)

dilakukan dengan lama penjemuran 12 – 15 jam.

Penilaian penerimaan dilakukan dengan melakukan uji organoleptik.

Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan.

Berikut ini disajikan data hasil uji organoleptik :

1. Nilai warna

a. Belimbing

Buah belimbing sangat mudah mengalami reaksi browning

enzimatis saat pengolahan dilakukan. Walaupun telah dilakukan

perubahan pada proses blansir dan perendaman dalam larutan Na-

metabisulfit ternyata penilaian panelis terhadap parameter warna

buah ini masih rendah.

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap warna formula

manisan belimbing semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.03

– 4.83 (netral - agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi

0.05 (Lampiran 3). Rataan nilai ini menandakan bahwa warna

manisan belimbing semi basah yang dihasilkan masih kurang

diterima panelis dan diperlukan penyempurnaan proses agar warna

yang dihasilkan lebih disukai panelis.

b. Nanas

Skor penilaian panelis terhadap parameter warna manisan

buah nanas semi basah berkisar antara 3.36 – 5.23 (agak tidak suka –

agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran

4).

Berdasarkan hasil penilaian panelis dapat diketahui bahwa

pengeringan menggunakan tenaga matahari menghasilkan manisan

nanas yang memiliki warna yang kurang disukai. Produk yang

dikenai perlakuan pengeringan matahari berwarna lebih pucat. Hal

ini menunjukkan bahwa selama penjemuran terjadi kerusakan

karoten oleh sinar matahari. Proses pemucatan (bleaching) pada

produk tersebut ternyata tidak disukai oleh panelis.

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap warna formula

manisan pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 5.03 –

5.33 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa warna manisan pepaya

semi basah yang dibuat pada penelitian tahap pertama sudah mulai

mendekati harapan panelis.

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian warna manisan

semi basah ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan

0

1

2

3

4

5

6

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

a1

a2

b1

b2

c

2. Nilai aroma

a. Belimbing

Cita rasa suatu produk makanan juga ditentukan oleh faktor

aroma. Menurut Soekarto (1985), industri pangan menganggap

sangat penting untuk melakukan uji aroma karena dapat diketahui

dengan cepat bahwa produknya disukai atau tidak disukai. Proses

perendaman dalam larutan gula menyebabkan buah belimbing akan

mengalami dehidrasi osmotik Menurut Ponting et al. (1966), proses

dehidrasi osmotik mampu meminimalkan kerusakan aroma bahan

dibandingkan metode pengeringan dengan udara maupun

pengeringan vakum.

Hasil uji organolepik menunjukkan rataan nilai antara 4.3 –

4.83 (netral - agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf

signifikansi 0.05 (Lampiran 6). Rataan nilai yang berkisar pada skala

hedonik netral ini dikarenakan buah belimbing bukanlah tergolong

buah beraroma kuat, ditambah lagi adanya tahap pengeringan dengan

udara panas sehingga umumnya manisan belimbing yang dihasilkan

relatif tidak beraroma.

b. Nanas

Nilai skor penilaian panelis terhadap parameter aroma

manisan buah nanas semi basah berkisar antara 3.97 sampai 4.76

(netral – agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 7).

Penilaian yang terendah (3.97) diperoleh sampel manisan

nanas semi basah dengan perlakuan pengeringan dengan tenaga

matahari. Pengeringan matahari umumnya menyebabkan bahan

mempunyai aroma tertentu yang tidak disukai. Penilaian panelis

terhadap parameter aroma manisan buah nanas semi basah yang

relatif rendah dapat disebabkan karena potongan buah kehilangan

komponen flavor aroma selama proses pengeringan.

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama pada formula manisan

pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.5 hingga 4.7

(agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 8).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian aroma manisan

semi basah ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan

3. Nilai tekstur permukaan

a. Belimbing

Setiap bahan makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri

tergantung pada keadaan fisik, ukuran, dan bentuk sel yang

dikandungnya. Tekstur manisan belimbing semi basah sangat

dipengaruhi oleh konsentrasi CaCl2 dan proses pengeringan.

Rentang skor rata-rata penilaian panelis terhadap parameter

tekstur adalah antara 4.1 – 5.16 (netral – agak suka) dan berbeda

nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 9). Secara umum

terlihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur meningkat

seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu proses pengeringan

hingga pada titik tertentu hingga kemudian menurun kembali bila

waktu dan suhu pengeringan terus ditingkatkan. Manisan belimbing

0

1

2

3

4

5

6

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

a1

a2

b1

b2

c

semi basah yang diperoleh dari perlakuan proses pengeringan

dengan alat pengering kabinet dengan suhu 50 0C selama 4 jam

mempunyai rataan nilai kesukaan tertinggi terhadap tekstur

dibandingkan dengan lima sampel lainnya.

b. Nanas

Tekstur manisan nanas semi basah dipengaruhi oleh

konsentrasi gula, konsentrasi CaCl2 dan proses pengeringan. Skor

penilaian panelis terhadap parameter tekstur pada manisan semi

basah nanas berkisar pada selang nilai 4.37 – 4.87 (netral - agak

suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran

10).

Tingkat penerimaan yang rendah dapat disebabkan karena

perlakuan panas yang diterapkan menyebabkan pengerutan pada

potongan buah. Hal ini terjadi karena proses dehidrasi osmotik yang

terjadi selama perendaman belum mencukupi, demikian juga proses

difusi gula ke dalam buah. Oleh karena itu pada saat buah

dikeringkan, jumlah gula dalam buah tidak mencukupi untuk

mempertahankan bentuk dan tekstur buah akibat menguapnya air

dari buah.

c. Pepaya

Skor penerimaan panelis terhadap parameter tekstur manisan

buah pepaya semi basah berkisar antara 4.87 hingga 5.33 atau berada

pada skala agak suka dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi

0.05 (Lampiran 11).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian tekstur manisan

semi basah ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan

4. Nilai rasa

a. Belimbing

Faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan

panelis untuk menerima atau menolak suatu produk makanan adalah

rasa. Rasa dimulai melalui tanggapan rangsangan kimiawi oleh

indera pencicip (lidah), hingga akhirnya terjadi keseluruhan interaksi

antara sifat-sifat aroma, rasa, dan tekstur sebagai keseluruhan rasa

makanan yang dinilai.

Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap parameter rasa

manisan belimbing semi basah belimbing adalah antara 4.7 – 5.33

(agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 12).

b. Nanas

Nilai rata-rata skor kesukaan panelis terhadap parameter rasa

manisan nanas semi basah adalah antara 3.8 sampai 5.17 (agak tidak

suka – agak suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 13). Rata-rata nilai tertinggi diperoleh sampel manisan a2

dan b1, sedangkan nilai rata-rata terendah diperoleh oleh sampel

manisan c (pengeringan matahari).

0

1

2

3

4

5

6

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

a1

a2

b1

b2

c

c. Pepaya

Hasil pengujian organoleptik terhadap parameter rasa

manisan pepaya semi basah menunjukkan rataan nilai antara 4.77 –

5.22 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 14).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian rasa manisan semi

basah ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan

5. Nilai kerenyahan

a. Belimbing

Kerenyahan merupakan salah satu kriteria penting dalam

menentukan mutu produk makanan kering atau makanan yang

berbentuk padatan. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap

parameter kerenyahan pada manisan belimbing semi basah berkisar

antara 4.33 sampai 5.33 (netral – agak suka) dan berbeda nyata pada

taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 15).

b. Nanas

Kerenyahan manisan nanas dipengaruhi oleh konsentrasi

CaCl2, dan gula. Kerenyahan memainkan peran penting dalam

penerimaan suatu produk oleh konsumen. Rata-rata nilai kerenyahan

0

1

2

3

4

5

6

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

a1

a2

b1

b2

c

manisan nanas semi basah adalah antara 4.1 hingga 4.87 atau berada

pada skala netral hingga agak suka dan berbeda nyata pada taraf

signifikansi 0.05 (Lampiran 16).

c. Pepaya

Hasil pengujian organoleptik pada manisan pepaya semi

basah menunjukkan rataan nilai 4.97 – 5.37 (agak suka) dan tidak

berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 17).. Kisaran

rataan yang berada pada skala hedonik agak suka menandakan

bahwa karakteristik kerenyahan manisan pepaya sudah mendekati

keinginan panelis.

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian kerenyahan

manisan semi basah ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi pengeringan terhadap skor rata-rata

kesukaan kerenyahan manisan

Berdasarkan hasil dari uji penerimaan yang telah dilakukan

diketahui bahwa formulasi belimbing semi basah yang memiliki

karakteristik terbaik menurut panelis adalah formula a2 (suhu

pengeringan 50 0C selama 4 jam). Formulasi manisan ini

mendapatkan nilai 4.8 (rasa), 4.77 (aroma), 5.17 (tekstur), 5.3 (rasa),

dan 5.33 (kerenyahan). Formulasi manisan nanas semi basah yang

terbaik menurut penilaian panelis adalah formula b1 (suhu

0

1

2

3

4

5

6

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

a1

a2

b1

b2

c

pengeringan 60 0C selama 2 jam). Formulasi manisan nanas ini

memperoleh nilai 5.23 (rasa), 4.77 (aroma), 4.83 (tekstur), 5.17

(rasa), dan 4.87 (kerenyahan). Sedangkan untuk fomulasi manisan

papaya adalah formula b1 (suhu pengeringan 60 0C selama 2 jam).

Formulasi manisan nanas ini memperoleh nilai 5. 3 (rasa), 4.5

(aroma), 5.33 (tekstur), 5.17 (rasa), dan 5.37 (kerenyahan).

Selanjutnya ketiga formulasi manisan tersebut akan

digunakan pada penelitian tahap ketiga.

C. TAHAP KETIGA

Proses pembuatan yang dilakukan pada pembuatan manisan semi

basah umumnya memberikan hasil daging buah yang renyah, rasa yang dapat

diterima, dan karakteristik juicy yang dapat dipertahankan. Namun

permukaan tetap lengket oleh sisa-sisa larutan gula yang sulit dikeringkan.

Sisa-sisa larutan gula ini biasanya berada di celah-celah yang terdapat pada

kerutan buah dan umumnya manisan yang permukaannya lengket tidak

disukai oleh panelis.

Penghilangan sisa larutan gula sebenarnya bisa dilakukan dengan

melanjutkan pengeringan, namun proses pengeringan yang terlalu lama dapat

menyebabkan potongan buah menjadi keras dan kehilangan sifat juicy-nya.

Untuk mengatasi lengket tersebut maka dilakukan dusting / penaburan tepung

pada potongan buah yang sudah dikeringkan.

Dusting dilakukan pada manisan buah yang sudah didinginkan. Hal

ini sangat membantu pada proses dusting. Potongan buah yang didinginkan

dapat ditempeli tepung dusting dengan baik (tipis), sedangkan potongan buah

yang tidak didinginkan akan ditempeli banyak tepung karena banyaknya

jumlah larutan gula di permukaan.

Proses dusting dilakukan dengan beberapa jenis tepung yaitu,

campuran tepung gula dan tepung kanji (1 : 1), glukosa kristal, dan dekstrin

kristal. Penggunaan tepung gula tanpa campuran bahan lain untuk proses

dusting umumnya tidak disukai oleh panelis. Tingkat kemanisan dari tepung

gula kurang lebih sama dengan gula pasir, karena itu rasa manisan buah

menjadi terlalu manis sehingga berkesan kehilangan rasa buahnya dan

berganti dengan rasa gula. Karena itu dilakukan pencampuran tepung gula

dengan tepung kanji. Pemilihan tepung kanji sebagai campuran tepung gula

bertujuan untuk mengurangi tingkat kemanisan bahan dusting tanpa

memberikan rasa tambahan lainnya dikarenakan tepung kanji memiliki rasa

yang hambar. Campuran keduanya menghasilkan bahan dusting yang

memiliki rasa tidak terlalu manis, dan tidak mengganggu rasa asli buah

tersebut.

Bahan dusting lain yang digunakan adalah glukosa kristal. Tingkat

kemanisan glukosa yang rendah tidak membuat manisan buah menjadi terlalu

manis, sehingga rasa asli buahnya tetap terasa dan permukaannya menjadi

tidak lengket. Bahan dusting ketiga adalah dekstrin kristal. Dekstrin kristal

memiliki rasa yang hambar dan mempunyai karakteristik khas seperti debu

saat dicicipi.

Formula manisan buah yang digunakan untuk proses dusting adalah

manisan yang memperoleh ranking terbaik pada uji ranking hedonik. Formula

manisan belimbing yang digunakan adalah formula a2 (proses pengeringan

dengan oven bersuhu 50 0C selama 4 jam), formula manisan nanas adalah

formula b1 (proses pengeringan dengan oven bersuhu 60 0C selama 2 jam),

dan formula manisan pepaya yang digunakan adalah formula b1 (proses

pengeringan dengan oven bersuhu 60 0C selama 2 jam).

Penilaian penerimaan dilakukan dengan melakukan uji organoleptik.

Bahan dusting yang digunakan pada manisan semi basah adalah campuran

tepung gula dan tepung kanji (1 : 1) (A), glukosa kristal (B), dan dekstrin

kristal (C). Parameter yang diuji adalah warna, aroma, tekstur, rasa, dan

kerenyahan. Berikut ini disajikan data hasil uji organoleptik :

1. Nilai warna

a. Belimbing

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

warna pada formula manisan belimbing a2 adalah 4.8 (agak suka).

Berdasarkan pengamatan visual, manisan formulasi ini memiliki

warna kuning-coklat gelap sehingga, tampak kurang menarik.

Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga jenis

bahan dusting pada manisan ini terjadi peningkatan nilai penerimaan

warna menjadi 4.93 – 5.3 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada

taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 18). Warna manisan yang aslinya

berwarna kuning-coklat gelap sedikit tertutupi oleh warna putih

tepung dusting.

b. Nanas

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

warna pada formula manisan nanas b1 adalah 5.23 (agak suka).

Berdasarkan pengamatan, manisan formulasi ini memiliki warna

kuning cerah yang tidak berbeda dengan potongan buah segarnya.

Proses dusting yang dilakukan dengan menggunakan tiga jenis bahan

dusting pada manisan ini memberikan nilai antara 4.93 hingga 5.3

(agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 19).

Proses dusting yang dilakukan pada produk manisan nanas

semi basah menyebabkan sedikit tertutupnya potongan buah oleh

paparan tepung dusting. Hal ini menyebabkan warna potongan

manisan buah yang awalnya kuning cerah menjadi lebih putih

(tampak lebih pucat), namun hal ini tidak terlalu berpengaruh

terhadap penilaian panelis.

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

warna pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.3 (agak suka).

Seperti manisan buah nanas, manisan formulasi ini memiliki warna

oranye-merah cerah yang tidak berbeda dengan potongan buah

segarnya. Namun proses dusting yang dilakukan menyebabkan

tertutupnya warna buah. Perlakuan dusting pada potongan manisan

buah pepaya semi basah memberikan hasil uji organoleptik untuk

parameter warna sebesar 5.03 hingga 5.16 (agak suka) dan berbeda

nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 20).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian manisan manisan

semi basah ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan warna manisan

2. Nilai aroma

a. Belimbing

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

aroma pada formula manisan belimbing a2 adalah 4.76 (agak suka).

Manisan ini memiliki sedikit aroma buah segar belimbing disertai

dengan sedikit aroma karamel gula. Setelah dilakukan proses dusting

dengan menggunakan tiga jenis bahan dusting pada manisan ini tidak

terjadi perubahan nilai penerimaan aroma yang signifikan.

Rentang nilai penerimaan panelis terhadap parameter aroma

manisan belimbing yang mengalami perlakuan dusting adalah 4.7 –

4.76 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 21). Nilai tertinggi pada uji organoleptik aroma yang

kedua adalah formula manisan C (bahan dusting dekstrin kristal).

Tidak signifikannya perubahan nilai bisa dikarenakan semua bahan

dusting yang digunakan tidak memiliki aroma yang cukup kuat.

4,7

4,8

4,9

5

5,1

5,2

5,3

5,4

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

A

B

C

b. Nanas

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

aroma pada formula manisan nanas b1 adalah 4.76 (agak suka).

Tidak terjadi perubahan nilai penerimaan yang signifikan setelah

dilakukan proses dusting pada manisan ini. Hal ini dikarenakan

seluruh bahan dusting yang digunakan relatif tidak memiliki aroma

yang kuat. Nilai uji organoleptik aroma berkisar pada selang 4.46

hingga 4.56 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf

signifikansi 0.05 (Lampiran 22).

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

aroma pada formula manisan pepaya b1 adalah 4.5 (agak suka).

Tidak terjadi perubahan nilai penerimaan yang signifikan setelah

proses dusting. Hal ini dikarenakan seluruh bahan dusting yang

digunakan tidak memiliki aroma yang kuat. Nilai uji organoleptik

aroma berkisar pada selang 4.73 hingga 4.86 (agak suka) dan tidak

berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 23).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian aroma manisan

semi basah ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan aroma manisan

4,2

4,3

4,4

4,5

4,6

4,7

4,8

4,9

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

A

B

C

3. Nilai tekstur permukaan

a. Belimbing

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

tekstur permukan pada formula manisan belimbing a2 adalah 5.1

(suka). Tekstur permukaan manisan ini terdapat sisa-sisa larutan gula

yang lengket, cukup empuk digigit, dan terasa berair (juicy). Setelah

dilakukan proses dusting terjadi peningkatan nilai penerimaan

tekstur.

Hasil uji organoleptik tahap kedua menunjukkan nilai

penerimaan tekstur panelis 5.26 – 5.5 (agak suka - suka) dan tidak

berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 24).

Peningkatan nilai ini terutama dipengaruhi oleh permukaan manisan

yang tidak lengket.

b. Nanas

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

tekstur permukan pada formula manisan nanas b1 adalah 4.83 (agak

suka). Tekstur permukaan manisan ini terdapat sisa-sisa larutan gula

yang lengket, cukup empuk digigit, dan terasa berair (juicy). Setelah

dilakukan proses dusting terjadi peningkatan nilai penerimaan

tekstur menjadi 4.86 – 5.03 (agak suka) dan tidak berbeda nyata pada

taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 25).

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

tekstur permukan pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.3 (agak

suka). Tekstur permukaan manisan ini seperti kedua buah lainnya,

terdapat sisa-sisa larutan gula yang lengket, dan terasa berair (juicy).

Setelah dilakukan proses dusting terjadi peningkatan nilai

penerimaan tekstur menjadi 5.06 – 5.43 (agak suka) dan tidak

berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 26).

Peningkatan nilai ini terutama dipengaruhi permukaan manisan yang

tidak lengket.

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian tekstur manisan

semi basah ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur manisan

4. Nilai rasa

a. Belimbing

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter rasa

pada formula manisan belimbing a2 adalah 5.3 (agak suka). Rasa

manisan ini adalah rasa buah belimbing yang didominasi rasa manis

dengan sedikit rasa asam. Setelah dilakukan proses dusting dengan

menggunakan tiga jenis bahan dusting pada manisan ini terjadi

peningkatan nilai penerimaan warna menjadi 5.36 – 5.76 (agak suka

- suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05

(Lampiran 27).

Peningkatan nilai kesukaan panelis terhadap parameter rasa

disebabkan pengaruh penggunaan bahan dusting yang tergolong gula

sehingga memberikan lebih banyak rasa manis yang memang

disukai.

4,5

4,6

4,7

4,8

4,9

5

5,1

5,2

5,3

5,4

5,5

5,6

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

A

B

C

b. Nanas

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter rasa

pada formula manisan nanas b1 adalah 5.17 (agak suka). Rasa

manisan ini adalah rasa khas buah nanas yang manis. Penggunaan

bahan dusting yang tergolong gula sehingga memberikan lebih

banyak rasa manis disukai oleh panelis. Setelah dilakukan proses

dusting dengan menggunakan tiga jenis bahan dusting pada manisan

ini terjadi peningkatan nilai penerimaan warna menjadi 5.16 – 5.72

(agak suka - suka) dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi

0.05 (Lampiran 28). Nilai tertinggi diperoleh formula manisan B

(bahan dusting glukosa kristal).

c. Pepaya

Hasil uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter rasa

pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.2 (agak suka). Setelah

dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga jenis bahan

dusting pada manisan ini terjadi peningkatan nilai penerimaan warna

menjadi 5.6 – 6.03 (agak suka) dan berbeda nyata pada taraf

signifikansi 0.05 (Lampiran 5). Penggunaan bahan dusting yang

tergolong gula memberikan lebih banyak rasa manis sehingga

penilaian panelis menjadi lebih besar. Nilai tertinggi diperoleh

formula manisan B (bahan dusting glukosa kristal).

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian rasa manisan semi

basah ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan rasa manisan

5. Nilai kerenyahan

a. Belimbing

Uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

kerenyahan pada formula manisan belimbing a2 adalah 5.3 (agak

suka). Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga

jenis bahan dusting pada manisan ini terjadi sedikit peningkatan nilai

penerimaan kerenyahan menjadi 5.3 – 5.53 (agak suka - suka) dan

tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5).

b. Nanas

Uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

kerenyahan pada formula manisan nanas b1 adalah 4.86 (agak suka).

Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga jenis

bahan dusting pada manisan ini tidak terjadi perubahan nilai

penerimaan kerenyahan yang signifikan. Nilai uji sensori terhadap

parameter kerenyahan yang diperoleh adalah 4.76 – 4.83 (agak suka)

dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5).

4,6

4,8

5

5,2

5,4

5,6

5,8

6

6,2

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

A

B

C

c. Pepaya

Uji organoleptik tahap pertama terhadap parameter

kerenyahan pada formula manisan pepaya b1 adalah 5.36 (agak

suka). Setelah dilakukan proses dusting dengan menggunakan tiga

jenis bahan dusting pada manisan ini tidak terjadi perubahan nilai

penerimaan kerenyahan yang signifikan. Nilai uji sensori terhadap

parameter kerenyahan yang diperoleh adalah 5.26 – 5.5 (agak suka -

suka) dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Lampiran 5)..

Data hasil uji organoleptik untuk penilaian kerenyahan

manisan semi basah ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Histogram pengaruh formulasi dusting terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan manisan

Berdasarkan hasil dari uji penerimaan yang telah dilakukan

diketahui bahwa formulasi belimbing semi basah yang memiliki

karakteristik terbaik menurut panelis adalah formula A (bahan

dusting campuran tepung gula dan tepung kanji). Formulasi manisan

ini mendapatkan nilai 5.3 (rasa), 4.73 (aroma), 5.5 (tekstur), 5.77

(rasa), dan 5.53 (kerenyahan). Formulasi manisan nanas semi basah

yang terbaik menurut penilaian panelis adalah formula B (bahan

dusting glukosa kristal). Formulasi manisan nanas ini memperoleh

nilai 5.33 (rasa), 4.53 (aroma), 5.03 (tekstur), 5.72 (rasa), dan 4.83

4,2

4,4

4,6

4,8

5

5,2

5,4

5,6

Belimbing Nanas Pepaya

Skor kesukaan

Jenis manisan buah

A

B

C

(kerenyahan). Sedangkan untuk fomulasi manisan papaya adalah

formula B (bahan dusting glukosa kristal). Formulasi manisan nanas

ini memperoleh nilai 5.03 (rasa), 4.87 (aroma), 5.43 (tekstur), 6.03

(rasa), dan 5.5 (kerenyahan).

D. ANALISIS PRODUK TERPILIH

Proses pembuatan produk manisan semi basah melibatkan beberapa

tahapan yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam produk akhir.

Perubahan dapat terjadi pada kandungan kimia maupun sifat fisik produk

tersebut. Jumlah kandungan mikroba juga berubah seiring dengan perlakuan

terhadap produk manisan.

Analisis produk pada penlitian ini dilakukan pada produk terpilih dari

uji organoleptik tahap ketiga. Analisis ini menentukan kelayakan produk

untuk dikonsumsi. Berikut ini adalah data analisis produk terpilih :

1. Mutu kimia manisan semi basah

Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis yang biasa

dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan komponen

utama pada bahan. Analisis ini meliputi penentuan kadar air, kadar abu,

kadar protein, dan kadar lemak. Adapun kandungan karbohidrat

ditentukan by difference, yaitu dengan menghitung selisih antara 100

dengan total kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.

Formula manisan yang diuji kandungan zat gizinya adalah manisan buah

semi basah yang mendapat ranking terbaik pada uji ranking hedonik

tahap ketiga. Data hasil analisis kimia manisan semi basah ditampilkan

pada Tabel 8.

Tabel 9. Komposisi kimia formula manisan semi basah hasil analisis proksimat (% bb)

Komposisi Belimbing A Nanas B Pepaya B

Air (%) 24.32 27.95 21.99

Abu (%) 0.28 0.24 0.43

Protein (%) 1.01 1.15 1.29

Lemak (%) 0.28 0.33 0.32

Karbohidrat (%) 74.11 70.33 75.97

Keterangan : Belimbing A : potongan sejajar sirip buah ketebalan 0.5 cm, perendaman larutan

kapur CaCl2 500 ppm dan Na-metabisulfit 150 ppm 30 menit, blansir 85 0C selama 2 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix masing-masing 12 jam, pengeringan oven 50 0C selama 4 jam, dan dusting campuran tepung gula dan tepung kanji.

Nanas B : ketebalan potongan 0.5 cm sejajar, perendaman larutan kapur CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix masing-masing 12 jam, pengeringan oven 60 0C selama 2 jam, dan dusting glukosa kristal.

Pepaya B : ketebalan potongan 0.5 cm, perendaman larutan kapur CaCl2 500 ppm 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix masing-masing 12 jam, pengeringan oven 60 0C selama 2 jam, dan dusting glukosa kristal.

a. Kadar air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan

yang dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa

makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan

acceptability, kesegaran, dan daya tahan makanan (Winarno, 1984).

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air

formula manisan belimbing semi basah adalah 24.32 %, manisan

nanas semi basah adalah 27.95 %, dan manisan pepaya semi basah

adalah 21.99%. Penurunan ini disebabkan oleh proses pengolahan

manisan yang sangat mempengaruhi penurunan kadar air,

diantaranya perendaman dalam larutan gula dan pengeringan.

Menurut Ponting et al., (1966), proses dehidrasi osmosis

akibat perendaman dalam larutan gula mengakibatkan pengeluaran

sejumlah air dari dalam buah-buahan. Makin lama perendaman dan

makin pekatnya konsentrasi gula yang digunakan, jumlah air yang

keluar dari bahan juga akan semakin banyak. Pengeluaran air dari

dalam buah mengakibatkan penurunan kadar air. Selain itu,

penurunan kadar air juga bisa disebabkan proses pengeringan yang

melibatkan panas sehingga terjadi penguapan air.

Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam

kebanyakan reaksi perusakan bahan pangan. Beberapa kerusakan

yang disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada bahan pangan

adalah pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, hidrolisis, dan

oksidasi lemak. Nilai kadar air formula manisan semi basah yang

rendah diyakini dapat menghambat terjadinya berbagai kerusakan

tersebut, sehingga mutu produk tetap terjaga.

b. Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting

bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar

dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-

unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau

karbohidrat (Winarno, 1984). Beberapa komponen penyusun yang

mengandung unsur-unsur tersebut diantaranya asam sitrat (C6H8O7),

potasium sorbat (C6H7O2K), sukrosa (C12H22O11), dan asam askorbat

(C6H8O6).

Data hasil analisis menunjukkan bahwa kadar protein formula

manisan belimbing, nanas, dan pepaya semi basah berturut-turut

adalah 1.01%, 1.15 %, dan 1.29 % bb.

c. Kadar lemak

Lemak atau minyak merupakan sumber energi yang paling

efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu

gramlemak dapat menghasilkan kalori sebesar 9 kkal, sedangkan

karbohidrat dan protein hanya menghasilkan kalori sebesar 4 kkal.

Hampir semua bahan pangan banyak mengandung lemak dan

minyak, terutama bahan yang berasal dari hewan. Selain sebagai

sumber energi, lemak dan minyak berperan penting dalam

penyediaan vitamin A, D, E, dan K dalam tubuh serta pembentukan

cita rasa suatu makanan (Winarno, 1984).

Kadar lemak yang dianalisis pada penelitian ini adalah kadar

lemak kasar, yaitu tidak hanya lemak (true fat), tetapi juga lilin,

fosfolipida, sterol, hormon, minyak atsiri dan pigmen (Ketaren,

1986). Kadar lemak formula formula manisan belimbing, nanas, dan

pepaya semi basah berturut-turut adalah 0.28 % bb, 0.33 % bb, dan

0.32 % bb. Kadar lemak yang rendah ini mempunyai keuntungan,

yaitu dapat mengurangi reaksi oksidasi selama penyimpanan. Reaksi

oksidasi lemak dapat menyebabkan penurunan mutu produk karena

menimbulkan ketengikan pada produk dan juga pembentukan radikal

bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh.

d. Kadar abu

Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96 % terdiri dari

bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur mineral. Unsur

mineral juga dikenal sebagai zat organik atau abu. Dalam proses

pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya

tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 1984). Kadar abu formula

manisan manisan buah sangat dipengaruhi oleh kadar abu bahan

penyusunnya terutama garam dan CaCl2 (kalsium klorida).

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar abu

formula manisan belimbing, nanas, dan pepaya semi basah berturut-

turut adalah 0.28 %, 0.24 %, dan 0.43 % bb.

e. Kadar karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama dan mempuyai

peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan,

misalnya rasa, warna, dan tekstur (Winarno, 1984). Karbohidrat

dalam makanan terdiri dari dua jenis, yaitu karbohidrat yang dapat

dicerna (pati) dan karbohidrat yang tidak dapt dicerna (serat) oleh

tubuh dalam sistem metabolisme.

Sumber karbohidrat utama pada formula manisan semi basah

ini berasal dari kandungan karbohidrat sukrosa. Penentuan kadar

karbohidrat dalam penelitian ini dihitung secara by difference, yaitu

dengan menghitung selisih antara 100% dengan total kadar air, abu,

protein, dan lemak. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh kadar

karbohidrat formula formula manisan belimbing, nanas, dan pepaya

semi basah berturut-turut adalah 74.11 %bb, 70.33 % bb, dan 75.97

% bb. Kadar karbohidrat ketiga formula yang diuji tidak jauh

berbeda. Hal ini dikarenakan ketiganya mendapat perlakuan

perendaman dalam larutan gula (sukrosa) dengan konsentrasi yang

sama, yaitu 40, 55, dan 70 0Brix. Adanya sedikit perbedaan kadar

karbohidrat diantara ketiga formula yang diuji disebabkan terjadi

perubahan kadar lemak, protein, dan abu, sehingga dengan

perhitungan secara by difference kadar karbohidrat pun akan berubah

sesuai perubahan komponen gizi lainnya.

Karbohidrat yang terdapat pada formula manisan semi basah

sebagian besar terdiri dari sukrosa dan sebagian kecil serat.

Karbohidrat mempunyai peranan yang sangat penting dalam

menentukan kalori produk karena jumlahnya yang sangat tinggi.

Menurut Winarno (1984), walaupun jumlah kalori yang dihasilkan

oleh 1 gramkarbohidrat hanya 4 kkal, bila dibandingkan dengan

protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang

murah.

2. Mutu fisik manisan semi basah

Analisis mutu fisik yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari

perhitungan rendemen, pengukuran pH, tingkat kekerasan dan aktivitas

air.

a. Rendemen

Pengukuran rendemen penting dilakukan dalam kaitannya

dengan perhitungan ekonomis bahan baku. Makin besar rendemen,

makin besar pula jumlah produk yang dihasilkan per satuan berat

bahan awal.

Selama proses dehidrasi osmosis buah-buahan, air yang

berdisfusi ke luar dapat mencapai lebih dari 50 % dari berat awal

buah (Ponting et al., 1966). Air berdifusi keluar melalui dinding sel

yang bertindak sebagai membran hingga tercapai keseimbangan

konsentrasi di dalam dan di luar bahan. Dan karena berat molekul

gula lebih besar daripada air maka kemampuan molekul gula untuk

menembus dinding sel lebih kecil, sehingga proses ini disebut juga

dehidrasi parsial (Ponting et al., 1966).

Hasil pengukuran rendemen pada formula manisan buah

belimbing semi basah adalah 72 %, formula manisan nanas semi

basah 45 %, dan formula manisan pepaya semi basah adalah 71 %.

Perbedaan jumlah rendemen disebabkan berbagai hal, selain

kehilangan air, juga disebabkan proses pengupasan dan pemotongan

yang berbeda untuk setiap buah.

Buah belimbing memiliki kulit yang tipis dan jumlah biji

yang sedikit, sehingga tidak banyak bagian buah yang dibuang. Buah

pepaya memiliki kulit yang tipis namun bijinya yang sangat banyak.

Pada buah nanas hasil rendemen tergolong rendah karena banyaknya

bagian buah yang tidak ikut diolah menjadi manisan. Bagian yang

harus dibuang antara lain daun, kulit, bagian mata nanas pada daging

buah, dan bagian tengah buah.

b. Keasaman (pH)

Pengukuran keasaman produk yang biasa dinyatakan dengan

pH, penting dilakukan karena pH mempengaruhi terjadinya inversi

sukrosa dalam larutan gula. Nilai pH juga mempengaruhi laju

pertumbuhan mikroorganisme, aktivitas enzim, dan stabilitas vitamin

dalam bahan pangan. Menurut Woodroof dan Luh (1975), adanya

asam yang tinggi turut mencegah terjadinya pencoklatan pada buah-

buahan yang dikeringkan.

Apabila pH produk akhir yang diinginkan rendah, maka

jumlah asam yang digunakan harus cukup tinggi, terutama bila

disertai perendaman dalam larutan gula konsentrasi tinggi. Goutara

(1985) menyatakan bahwa bila diinginkan kandungan asam yang

tinggi pada produk akhir maka asam dapat ditambahkan dalam

larutan gula yang digunakan untuk perendaman.

Hasil pengukuran pH pada sampel manisan belimbing semi

basah dari tiga kali ulangan menunjukkan nilai rata-rata sebesar 4.09.

pH rata-rata sampel manisan nanas semi basah adalah 4.36.

Sedangkan hasil pengukuran pH untuk sampel manisan pepaya semi

basah rata-rata adalah 4.17.

c. Kekerasan

Kekerasan produk diukur secara objektif dengan

menggunakan Texture Analyzer (TA). Makin besar beban (gaya)

yang dibutuhkan untuk menyobek sampel, makin tinggi tingkat

kekerasan sampel tersebut. Data pengujian sampel manisan semi

basah belimbing, nanas, dan pepaya dapat dilihat pada Lampiran 33.

Rata-rata beban yang diperlukan untuk menyobek manisan

belimbing semi basah adalah 4539.3 gramdengan waktu rata-rata

2.405 sekon. Rata-rata beban yang diperlukan untuk menyobek

manisan nanas semi basah adalah 6015.3 gramdengan waktu rata-

rata 3.498 sekon. Rata-rata beban yang diperlukan untuk menyobek

manisan pepaya semi basah adalah 3280.5 gramdengan waktu rata-

rata 2.291 sekon Secara umum tingkat kekerasan / kerenyahan

manisan-manisan semi basah yang diuji tergolong empuk.

Permukaan potongan buah yang kering cukup renyah sedangkan

bagian dalam potongan daging buah empuk dan mengandung air

(juicy).

d. Aktivitas air (aw)

Pengukuran aktivitas air penting artinya bagi industri pangan

karena nilai aw mengontrol laju dan jenis reaksi kerusakan bahan,

serta merupakan suatu indeks bagi stabilitas dan kualitas bahan

pangan (Desroiser, 1988). Menurut Winarno et al. (1988), aktivitas

air merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh

mikroorganisme untuk tumbuh. Tujuan pengukuran aw adalah

mengetahui keaktifan air minimal yang terdapat pada bahan pangan

sehingga dapat dilakukan tindakan untuk mengurangi kemungkinan

terjadinya kontaminasi mikroorganisme. Nilai aw minimum bagi

pertumbuhan mikroba disajikan di Tabel 9.

Tabel 10. Aktivitas air (aw) minimum pertumbuhan mikroba pada bahan pangan

Mikroorganisme aw minimum

Organisme penghasil lendir pada daging 0.98

Spora Pseudomonas, Bacillus cereus 0.97

Spora B. subtilis, C. Botulinum 0.95

C. botulinum, Salmonella 0.93

Bakteri pada umumnya 0.91

Ragi pada umumnya 0.88

Aspergillus niger 0.85

Jamur pada umumnya 0.80

Bakteri halofilik 0.75

Jamur xerofilik 0.65

Ragi osmofilik 0.62 Sumber : Buckle et al. (1985)

3. Mutu mikrobiologi manisan semi basah

Pertumbuhan bakteri, reaksi pencoklatan, hidrolisis, dan oksidasi

lemak umumnya terjadi pada kisaran aw diatas 0.8. Apabila suatu produk

pangan memiliki nilai aw yang lebih rendah maka pertumbuhan bakteri

dan aktifitas-aktifitas tertentu dapat ditekan sehingga umur simpan

produk menjadi lebih panjang.

Hasil pengukuran rata-rata aw dari dua kali ulangan pada sampel-

sampel manisan semi basah adalah 0.636 untuk belimbing, 0.628 untuk

nanas, dan 0.664 untuk pepaya. Sampel manisan semi basah ini tergolong

kedalam makanan beraktifitas air sedang. Nilai aktivitas air formula

manisan yang berkisar antara 0.628 – 0.664 diyakini dapat menghambat

terjadinya berbagai kerusakan seperti pertumbuhan mikroba, reaksi

pencoklatan, hidrolisis, dan oksidasi lemak, sehingga mutu produk tetap

terjaga.

Jumlah mikro organisme dalam bahan pangan penting untuk

diketahui. Hal ini berhubungan dengan keamanan dalam mengkonsumsi

pangan. Hasil perhitungan uji mikrobiologi manisan disajikan pada Tabel

10.

Tabel 11. Hasil perhitungan koloni manisan semi basah dengan metode TPC

Sampel Ulangan Jumlah koloni tiap pengenceran Koloni/gr 10-1 10-2 10-3

Belimbing 1 4 0 0 < 2.5 x 102 2 3 0 0

Nanas 1 1 0 0 < 2.5 x 102 2 5 0 0

Pepaya 1 2 0 0 < 2.5 x 102 2 1 0 0

Berdasarkan hasil pengamatan, pada analisis formula belimbing

ditemukan 4 dan 3 koloni pada pemupukan 10-1, 0 koloni pada

pemupukan 10-2, serta 0 koloni pada pemupukan 10-3. Pada analisis

formula nanas ditemukan 1 dan 5 koloni pada pemupukan 10-1, 0 koloni

pada pemupukan 10-2, serta 0 koloni pada pemupukan 10-3. Pada analisis

formula pepaya ditemukan 2 dan 1 koloni pada pemupukan 10-1, 0

koloni pada pemupukan 10-2, dan 0 koloni pada pemupukan 10-3.

Berdasarkan SNI mengenai uji cemaran mikroba yaitu SNI 01-2897-

1992, perhitungan koloni dilakukan pada kisaran 25-250 koloni. Data

hasil perhitungan di Tabel 6 menunjukkan jumlah koloni yang lebih kecil

dari batasan tersebut, sehingga jumlah mikroba yang terdapat pada

manisan semi basah adalah lebih kecil dari 2.5 x 102 koloni/gr.

Adanya perendaman dalam larutan garam dan larutan gula yang

disertai penambahan potasium sorbat sebagai pengawet antimikroba,

telah berhasil menghambat bahkan menginaktifkan mikroba yang

tumbuh. Perendaman ini akan menimbulkan tekanan osmosis yang

mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Lingkungan yang isotonik dapat

menyebabkan dinding sel mikroba mempunyai konsentrasi yang sama

dengan media yang berisi bahan makanan, dengan adanya garam dan

gula, sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan

mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan akan berkurang.

Kadar air dan aw bahan juga berkurang akibat proses pengeringan yang

dilakukan pada suhu 50 - 60C.

Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam

kebanyakan reaksi perusakan bahan pangan. Beberapa kerusakan yang

disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada bahan pangan adalah

pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, hidrolisis, dan oksidasi lemak.

Nilai kadar air formula manisan semi basah yang rendah diyakini dapat

menghambat terjadinya berbagai kerusakan tersebut, sehingga mutu

produk tetap terjaga. Berbagai kerusakan tersebut terutama kerusakan

akibat mikroba juga dapat dihambat dengan kadar aw bahan hasil analisis

yang tergolong rendah.

Mutu manisan semi basah ini juga tetap terjaga dengan pH produk

yang rendah. Menurut Winarno (1984), dengan nilai pH di bawah 4.5

maka kemungkinan tumbuhnya mikroba berbahaya pada produk akan

lebih kecil. Jenis mikroba yang dapat mengkontaminasi manisan semi

basah hampir sama dengan mikroba yang tumbuh pada produk jam dan

jelly. Adanya pertumbuhan mikroba dapat mengakibatkan perubahan

aroma dan flavor, sebagai contoh adalah timbulnya aroma senyawa keton

dan asetat akibat pertumbuhan khamir.

Secara umum, manisan semi basah yang dihasilkan pada

penelitian ini memiliki mutu fisik, kimia, dan mikrobiologi yang baik dan

sesuai dengan standar mutu manisan buah kering SNI 01-3710-1990

(Tabel 11). Hal tersebut dapat dilihat dari penampakan, bau, dan rasa

yang normal. Kadar air yang rendah dapat menghambat berbagai

kerusakan pangan, sehingga mutu produk tetap terjaga. Manisan semi

basah ini juga dibuat tanpa pemanis buatan. Penggunaan pengawet

(potasium sorbat) telah sesuai dengan persyaratan SNI 01-0222-1995

serta sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan nomor

235/Men.Kes./Per/79, yaitu maksimal 500 ppm. Mutu mikrobiologi yang

baik dapat dilihat dari jumlah total mikroba yang sangat kecil, yaitu lebih

kecil dari batasan terkecil 2.5 x 102 koloni/gr. Kemungkinan adanya

cemaran logam pada manisan semi basah sangat kecil. Hal ini

dikarenakan peralatan yang digunakan hanya berupa wadah-wadah

plastik dan pisau stainless steel.

Tabel 12. Standar mutu dehydrated fruit (SNI 01-3710-1990)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan

1.1 Penampakan

1.2 Bau

1.3 Rasa

- normal

- normal

- normal

2. Air % bb maksimal 31

3. BTP

3.1 Pemanis Buatan

3.2 Pewarna

3.3 Pengawet

- negatif

- sesuai SNI 01-0222-1995

- sesuai SNI 01-0222-1995

4. Cemaran Mikroba APM/g <3

5. Cemaran Logam

5.1 Timbal

5.2 Tembaga

5.3 Seng

5.4 Arsen

mg/kg maksimal 2.0

mg/kg maksimal 5.0

mg/kg maksimal 40.0

mg/kg maksimal 1.0

Seperti pada produk dengan aw rendah lainnya, manisan semi

basah ini diharapkan mempunyai daya awet yang tinggi. Hal tersebut

dapat dilakukan dengan pengolahan yang higienis, pengemasan, dan

penyimpanan yang baik Kemasan yang digunakan sebaiknya kemasan

yang melibatkan gas (MAP dan CAP) dan kedap air.

E. VERIFIKASI PROSES PEMBUATAN MANISAN SEMI BASAH

Produk-produk terpilih dari tiap buah dibuat dengan memodofikasi

proses pembuatan masing-masing produk. Berdasarkan percobaan-percobaan

yang telah dilakukan, diperoleh prosedur untuk pembuatan manisan dan

bahan-bahan pembuatan.

1. Pembuatan larutan kapur CaCl2 0,5 %

Siapkan 1 liter air lalu tambahkan CaCl2 sebanyak 0,5 gram

kemudian larutan diaduk hingga larut. Khusus untuk pembuatan manisan

belimbing ditambahkan 0.15 gram Na-metabisulfit ke dalam larutan

kapur.

2. Pembuatan larutan gula pasir 40 0brix

Panaskan air sebanyak 1 liter hingga mendidih kemudian

masukkan 1 kg gula pasir lalu diaduk hingga larut. Ukur tingkat

konsentrasi larutan dengan menggunakan refraktometer. Tepatkan

konsentrasi larutan dengan cara menambahkan sedikit gula atau air. Suhu

larutan yang digunakan saat melakukan perendaman buah adalah 60 0C.

3. Pembuatan larutan gula pasir 55 0brix

Panaskan air sebanyak 1 liter hingga mendidih kemudian

masukkan 1,5 kg gula pasir lalu diaduk hingga larut. Ukur tingkat

konsentrasi larutan dengan menggunakan refraktometer. Tepatkan

konsentrasi larutan dengan cara menambahkan sedikit gula atau air. Suhu

larutan yang digunakan saat melakukan perendaman buah adalah 60 0C.

4. Pembuatan larutan gula batu 70 0brix

Panaskan air sebanyak 0,75 liter hingga mendidih kemudian

masukkan 1,5 kg gula batu lalu diaduk hingga larut. Ukur tingkat

konsentrasi larutan dengan menggunakan refraktometer. Tepatkan

konsentrasi larutan dengan cara menambahkan sedikit gula atau air.

Hitung volume larutan kemudian tambahkan 0.5 gram potassium sorbat

untuk tiap 1 liter larutan. Suhu larutan yang digunakan saat melakukan

perendaman buah adalah 60 0C.

5. Pembuatan manisan semi basah buah belimbing

Buah yang digunakan adalah buah dengan tingkat kematangan

kurang lebih 80 %, dapat dilihat dari warna permukaan buah dimana

kurang lebih ¾ bagian kulit buah berwarna kuning kehijauan.

Buah dibuang bagian ujung-ujungnya, lalu dicuci dengan air

bersih. Potong buah pada bagian tengahnya sehingga kelima sirip buah

terpisah, kemudian pada tiap sirip buah dibelah pada bagian tengahnya

sehingga sirip terbagi dua. Buang serat-serat berwarna putih yang

terdapat pada bagian tengah buah belimbing. Potongan sirip yang telah

bersih dari serat-serat putih lalu dipotong-potong dengan panjang

potongan 3 cm.

Potongan buah kemudian direndam dalam larutan campuran

kapur CaCl2 dan Na-metabisulfit selama 30 menit kemudian dibilas

dengan air mengalir. Setelah dibersihkan kemudian potongan buah

diblansir dengan suhu 85 0C selama 2 menit. Setelah itu dilanjutkan

dengan perendaman dalam larutan gula I selama 12 jam, lalu dilanjutkan

perendaman gula II selama 12 jam, kemudian perendaman gula III

selama 12 jam.

Potongan buah kemudian ditiriskan lalu dikeringkan dengan

menggunakan pengering kabinet bersuhu 50 0C selama 4 jam. Setelah

proses pengeringan selesai potongan buah didinginkan lalu dilakukan

proses dusting dengan cara memasukkan potongan buah dan tepung

dusting (campuran tepung gula dan tepung kanji 1 : 1) dalam kantung

plastik besar lalu kantung plastik tersebut dikocok selama ½ menit.

Apabila lapisan dusting terlihat terlalu tebal menutupi permukaan buah

maka lakukan pengocokan kedua dengan menggunakan kantung plastik

bersih. Pengocokan dilakukan hingga lapisan bahan dusting pada

potongan buah tidak terlalu tebal. Bagan alir pembuatan manisan buah

belimbing semi basah dapat dilihat pada Gambar 12.

Buah belimbing mengkal

Kupas kulit, dan buang bagian ujung buah

Potong buah pada bagian siripnya

Bersihkan serat-serat di bagian dalam daging buah

Buah dipotong-potong ukuran 3 x 0,5 cm

Buah direndam dalam larutan kapur CaCl2 dan Na-metabisulfat 150 ppm (30 menit)

Buah diblansir dengan suhu 85 0C (2 menit)

Buah direndam dalam larutan gula pasir 40 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah direndam dalam larutan gula pasir 55 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah direndam dalam larutan gula batu 70 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah ditiriskan

Buah dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet dengan suhu 50 0C (4 jam)

Buah dan campuran gula tepung dan tepung kanji dimasukan kedalam plastik lalu

dikocok-kocok (½ menit)

Manisan buah belimbing semi basah

Gambar 12. Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi basah

6. Pembuatan manisan semi basah buah nanas

Buah yang digunakan adalah buah dengan tingkat kematangan

kurang lebih 80 %, dapat dilihat dari warna permukaan buah dimana

kurang lebih ¾ bagian kulit buah berwarna kuning kehijauan. Buang

bagian daun buahnya.

Kupas seluruh kulit nanas kemudian buang seluruh mata buah.

Pembuangan mata buah dilakukan dengan memotong secara diagonal

sampai seluruh mata buah terbuang. Buah nanas kemudian dipotong pada

alur yang telah terbentuk saat membuang mata nanas. Pada tiap potongan

tersebut lalu dipotong lagi menjadi potongan-potongan kecil dengan

panjang 3 cm. Potongan buah kemudian dicuci dengan air mengalir.

Potongan buah kemudian direndam dalam larutan kapur CaCl2

selama 30 menit kemudian dibilas dengan air mengalir. Setelah

dibersihkan kemudian potongan buah diblansir dengan suhu 85 0C

selama 1 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan perendaman dalam

larutan gula I selama 12 jam, lalu dilanjutkan perendaman gula II selama

12 jam, kemudian perendaman gula III selama 12 jam.

Potongan buah kemudian ditiriskan lalu dikeringkan dengan

menggunakan pengering kabinet bersuhu 60 0C selama 2 jam. Setelah

proses pengeringan selesai potongan buah didinginkan lalu dilakukan

proses dusting dengan cara memasukkan potongan buah dan tepung

dusting (glukosa kristal) dalam kantung plastik besar lalu kantung plastik

tersebut dikocok selama ½ menit. Apabila lapisan dusting terlihat terlalu

tebal menutupi permukaan buah maka lakukan pengocokan kedua

dengan menggunakan kantung plastik bersih. Pengocokan dilakukan

hingga lapisan bahan dusting pada potongan buah tidak terlalu tebal.

Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi basah dapat dilihat

pada Gambar 13.

Buah nanas mengkal

Kupas kulit, buang bagian ujung dan daun buah

Buang seluruh mata buah

Potong buah pada bagian alur yg terbentuk dari bekas mata buah

Buah dipotong-potong ukuran 3 x 0,5 cm

Buah direndam dalam larutan kapur CaCl2 (30 menit)

Buah diblansir dengan suhu 85 0C (1 menit)

Buah direndam dalam larutan gula pasir 40 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah direndam dalam larutan gula pasir 55 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah direndam dalam larutan gula batu 70 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah ditiriskan

Buah dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet dengan suhu 60 0C (2 jam)

Buah dan glukosa kristal dimasukan kedalam plastik lalu dikocok-kocok (½ menit)

Manisan buah nanas semi basah

Gambar 13. Bagan alir pembuatan manisan buah nanas semi basah

7. Pembuatan manisan semi basah buah pepaya

Buah yang digunakan adalah buah dengan tingkat kematangan

kurang lebih 80 %, dapat dilihat dari warna permukaan buah dimana

kurang lebih ¾ bagian kulit buah berwarna kuning kehijauan.

Buang kedua bagian ujung buah. Potong buah papaya menjadi 4

bagian. Buang seluruh biji buah lalu kupas seluruh kulit buahnya. Buah

kemudian dipotong-potong menjadi potongan kecil dengan ketebalan 0.5

cm.

Potongan buah kemudian direndam dalam larutan kapur CaCl2

selama 30 menit kemudian dibilas dengan air mengalir. Setelah

dibersihkan kemudian potongan buah diblansir dengan suhu 85 0C

selama 1 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan perendaman dalam

larutan gula I selama 12 jam, lalu dilanjutkan perendaman gula II selama

12 jam, kemudian perendaman gula III selama 12 jam.

Potongan buah kemudian ditiriskan lalu dikeringkan dengan

menggunakan pengering kabinet bersuhu 60 0C selama 2 jam. Setelah

proses pengeringan selesai potongan buah didinginkan lalu dilakukan

proses dusting dengan cara memasukkan potongan buah dan tepung

dusting (glukosa kristal) dalam kantung plastik besar lalu kantung plastik

tersebut dikocok selama ½ menit. Apabila lapisan dusting terlihat terlalu

tebal menutupi permukaan buah maka lakukan pengocokan kedua

dengan menggunakan kantung plastik bersih. Pengocokan dilakukan

hingga lapisan bahan dusting pada potongan buah tidak terlalu tebal.

Bagan alir pembuatan manisan buah belimbing semi basah dapat dilihat

pada Gambar 14.

Buah pepaya mengkal

Kupas kulit, dan buang bagian ujung buah

Buah dibelah menjadi 4 bagian lalu buang seluruh biji buah

Buah dipotong-potong menjadi potongan kecil dengan ukuran 3 x 0,5 cm

Buah direndam dalam larutan kapur CaCl2 (30 menit)

Buah diblansir dengan suhu 85 0C (1 menit)

Buah direndam dalam larutan gula pasir 40 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah direndam dalam larutan gula pasir 55 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

@

@

Buah direndam dalam larutan gula batu 70 0brix bersuhu awal 60 0C (12 jam)

Buah ditiriskan

Buah dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet dengan suhu 60 0C (2 jam)

Buah dan glukosa kristal dimasukan kedalam plastik lalu dikocok-kocok (½ menit)

Manisan buah pepaya semi basah

Gambar 14. Bagan alir pembuatan manisan buah pepaya semi basah

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Secara umum, produk manisan belimbing, nanas, dan pepaya semi

basah disukai konsumen. Formula produk akhir manisan belimbing semi

basah yang paling disukai adalah formula A (ketebalan 0.5 cm potongan

sejajar sirip-sirip buah, perendaman dalam larutan CaCl2 dengan konsentrasi

500 ppm dan Na-metabisulfat 150 ppm selama 30 menit, blansir 85 0C 2

menit, larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula

batu 70 0brix 12 jam, perlakuan proses pengeringan kabinet 50 0C selama 4

jam, dan bahan dusting campuran tepung gula dan tepung kanji). Formula

produk akhir manisan nanas semi basah yang paling disukai konsumen adalah

formula B (ketebalan 0.5 cm potongan sejajar, konsentrasi CaCl2 500 ppm

selama 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix 12 jam, 70 0brix 12 jam pengering kabinet, dan perlakuan proses pengeringan suhu 60 0C

selama 2 jam menggunakan pengering kabinet, dan bahan dusting glukosa

kristal).

Formula produk akhir manisan pepaya semi basah yang paling disukai

konsumen adalah formula B (ketebalan 0.5 cm, konsentrasi CaCl2 500 ppm

selama 30 menit, blansir 85 0C 1 menit, perendaman larutan gula pasir 40 0brix, larutan gula pasir 55 0brix, dan larutan gula batu 70 0brix 12 jam

pengering kabinet, dan perlakuan proses pengeringan dengan pengering

kabinet suhu 60 0C selama 2 jam, dan bahan dusting glukosa kristal).

Produk manisan semi basah tersebut memiliki nilai kesukaan yang

baik dari panelis uji organoleptik. Preferensi konsumen yang baik ini

menjadikan manisan buah semi basah berpotensi untuk dikembangkan dan

teknologinya dapat diaplikasikan pada industri kecil.

B. SARAN

Produk manisan semi basah yang dihasilkan bersifat higroskopis. Oleh

karena itu diperlukan pengemasan hermetis terutama pengemas yang kedap

air sehingga mutu produk tetap terjaga. Masih diperlukan penelitian lanjutan

untuk menghasilkan manisan buah semi basah yang tetap memiliki aroma

khas buah dan tekstur permukaan yang tidak keriput.

DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical

Chemistry, Inc., Washington D. C. Apriyantono, A. 1985. Panduan praktikum pembuatan manisan buah-buahan. Di

dalam Buku III. Pendidikan dan Latihan Tenaga Penyuluhan Lapangan Spesialis Industri Kecil Pengolahan Pangan. Dirjen Industri Kecil. Departemen Pertanian kerjasama dengan FATETA IPB, Bogor.

Apriyantono, A. Fardiaz, D. Puspitasari, N.L. dan Budianto, S. 1989. Petunjuk

Laboratorium Analisa Pangan. Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Arriola, M.C., J. Calzada, Menchu, Roiz, dan Garcia. 1980. Papaya. Di dalam :

Nagy dan Philip E. Shaw (eds). Tropical and Subtropical Fruits. The AVI Publishing co, Inc. Westport, Connecticut.

Balagopalan., C., G. Padmaja dan S.N. Moothny. 1988. Cassava In Food, Feed

and Industry. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Buckle, K.A., R. A. Edward, G.H. dan M. Wootor. 1985. Ilmu Pangan.

Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1990. Daftar Komposisi Bahan

Makanan. Bharata Karya aksara, Jakarta. Desroiser, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI-Press, Jakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PAU Pangan dan Gizi dan Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta. Frazier, L.K. 1979. Food Microbiology,3rd edition. Mcgraw-Hill Book Co., New

York. Goutara. 1985. Penggunaan Gula dalam Makanan Olahan. Gramedia, Jakarta. Harris, R. S. 1989. General discussion on the stability of nutrients. Di dalam : R.S.

Harris, dan E. Karmas (eds). Nutritional Evaluation of Food Processing. The AVI Pub. Co. Inc., Westport, Connecticut.

Karel, M. 1976. Technology and Application of New Intermediate Moisture

Foods. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.

Ketaren. 1986.Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.UI Press, Jakarta.

Kirk, B.E. and D.F. Othmer. 1985. Encyclopedia of Chemical Technology. The Interscience Encyclopedia Inc., New York.

Leistner, L. dan W. Rődel. 1976. The Stability of IMF with Respect to

Microorganism. Di dalam R R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.

Minifie, B.W. dan C. Chem. 1982. Chocolate Cocoa and Confectionery : Science

and Technology. The AVI Publishing Co, Inc. Westport, Connecticut. Mulyohardjo, M.1984. Nanas dan Teknologi Pengolahannya. Liberty,

Yogyakarta. Nuraeni, Iin Indah.2004. Rekayasa Proses Pengeringan Untuk Produksi Buah

Pepaya. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ponting, J.D., G.G. Watters, R.R.Forrey, R. Jackson, dan W.L. Stanley. 1966.

Ostomic dehydration of fruits. J. Food Tech. 20(10) : 125-128. Potter, N. 1980. Food Science.The AVI Publishing Co,Inc.Westport, Connecticut. Pramono, L. 1993. Mempelajari Karakteristik Pengeringan Teh Hitam CTC

(Curling Tearing Crushing) Tipe FBD (Fluidized Bed Dryer). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rani, Hertini. 1989. Jenis dan Mekanisme Kerja Bahan Pengawet Pangan.

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Raymond, E. Kirk dan Donald F. Othner. 1954. Encyclopedia of Chemical

Technology. Vol 4. The Interscience Encyclopedia, Inc, New York. Reddish, F.G. 1957. Antiseptics, Disinfectants, Fungicides, and Chemical and

Physical Sterilization. 2nd edition. Lea and Febiger, USA. Rismunandar, J.A. 1980. Bertanam Pepaya. Terate, Bandung. Robson J.N. 1976. Some Introductory Thougths on Intermediate Moisture Foods.

Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds) Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.

Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Sofos, J.N. dan F. F. Busta. 1993. Sorbic acid and sorbates. Di dalam davidson

dan Branen (ed). 1993. Antimicrobial in Foods. Marcel Dekker, Inc, New York.

Sosrodihardjo. 1988. Produksi Buah Pepaya kering. UI-Press, Jakarta.

Taoukis, P.S., W.M. Breene, T.P. Labuza. Intermediate Moisture Food. Paper No.

14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural Experiment Station. Department of Food Science and Nutrition, Minnesota.

Taub, I. A., dan Singh, R. P., 1998. Food Storage Stability. CRC Press : Boca

Raton. Taib, G., G. Said, dan S. Wiraatmadja. 1988. Operasi Pengeringan pada

Pengolahan Hasil Pertanian. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. Winarno,F. G. dan M.Aman.1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya, Jakarta. Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Winarno, F.G. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Woodroof, J.G. dan B.S. Luh. 1975. Commercial Fruit Processing. AVI

Publishing Co., Westport, Connecticut.

L A M P I R A N

Lampiran 1. Data jumlah produksi beberapa jenis buah di Indonesia

Tahun Mangga

(ton) Jeruk

(ton)

Pepaya

(ton)

Pisang

(ton) Nanas

(ton)

2000 876,027 644,052 429,207 3,746,962 393,299

2001 923,294 691,433 500,571 4,300,422 494,968

2002 1 402,906 968,132 605,194 4,384,384 555,588

2003 1 526,474 1 529,824 626,745 4,177,155 677,089

2004 1 437,665 2,071,084 732,611 4,874,439 709,918

2005 1412,884 2 214,020 548,657 5,177,607 925,082

Sumber : Biro Pusat Statistik (2005)

Lampiran 2. Form quisioner uji organoleptik Uji Hedonik Nama : Tanggal : Instruksi : Dihadapan anda terdapat 5 sampel manisan. Cicipi satu per satu lalu lakukan penilaian terhadap parameter yang diminta untuk masing-masing contoh. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skala 1 – 7 (1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka) tanpa membandingkan antar sampel. Setelah itu lakukan uji rangking dengn memberikan nilai 1 – 5 (1 = paling disukai sedangkan 5 = paling tidak disukai).

Penilaian Kode Contoh

Rasa Tekstur Kerenyahan Aroma Warna Ranking

Lampiran 3. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2350,356(a) 32 73,449 104,812 ,000 PANELIS 47,389 29 1,634 2,332 ,003 SAMPEL 2,689 2 1,344 1,919 ,156 Error 40,644 58 ,701 Total 2391,000 90

a R Squared = ,983 (Adjusted R Squared = ,974) SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 4,93332,00 30 4,93331,00 30 5,3000Sig. ,114

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,701. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 4. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap kedua Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2456,089(a) 32 76,753 92,915 ,000 PANELIS 40,489 29 1,396 1,690 ,045 SAMPEL 2,756 2 1,378 1,668 ,198 Error 47,911 58 ,826 Total 2504,000 90

a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,970)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 4,93331,00 30 5,26672,00 30 5,3333Sig. ,112

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,826. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 5. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 4139,600(a) 34 121,753 140,671 ,000 PANELIS 81,600 29 2,814 3,251 ,000 SAMPEL 2,000 4 ,500 ,578 ,679 Error 100,400 116 ,866 Total 4240,000 150

a R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,969)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 5,00 30 5,03334,00 30 5,10002,00 30 5,23333,00 30 5,30001,00 30 5,3333Sig. ,274

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,866. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 6. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3272,427(a) 34 96,248 135,210 ,000 PANELIS 84,593 29 2,917 4,098 ,000 SAMPEL 4,627 4 1,157 1,625 ,173 Error 82,573 116 ,712 Total 3355,000 150

a R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,968)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 4,00 30 4,36675,00 30 4,46673,00 30 4,60002,00 30 4,76671,00 30 4,8333Sig. ,057

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,712. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 7. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3105,440(a) 34 91,336 128,331 ,000 PANELIS 119,573 29 4,123 5,793 ,000 SAMPEL 11,040 4 2,760 3,878 ,005 Error 82,560 116 ,712 Total 3188,000 150

a R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,967)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2 5,00 30 3,9667 1,00 30 4,43334,00 30 4,46672,00 30 4,63333,00 30 4,7667Sig. 1,000 ,167

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,712. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 8. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3292,293(a) 34 96,832 314,578 ,000 PANELIS 153,893 29 5,307 17,240 ,000 SAMPEL 1,093 4 ,273 ,888 ,474 Error 35,707 116 ,308 Total 3328,000 150

a R Squared = ,989 (Adjusted R Squared = ,986)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 5,00 30 4,46673,00 30 4,50001,00 30 4,56674,00 30 4,63332,00 30 4,7000Sig. ,152

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,308. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 9. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3487,893(a) 34 102,585 72,074 ,000 PANELIS 98,860 29 3,409 2,395 ,001 SAMPEL 18,893 4 4,723 3,319 ,013 Error 165,107 116 1,423 Total 3653,000 150

a R Squared = ,955 (Adjusted R Squared = ,942)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2 4,00 30 4,1000 3,00 30 4,73331,00 30 4,76675,00 30 4,93332,00 30 5,1667Sig. 1,000 ,205

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,423. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 10. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3391,467(a) 34 99,749 132,188 ,000 PANELIS 73,100 29 2,521 3,340 ,000 SAMPEL 4,867 4 1,217 1,612 ,176 Error 87,533 116 ,755 Total 3479,000 150

a R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,967)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2 5,00 30 4,3667 4,00 30 4,6667 4,66672,00 30 4,7667 4,76673,00 30 4,8333 4,83331,00 30 4,8667Sig. ,059 ,424

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,755. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 11. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3971,093(a) 34 116,797 144,276 ,000 PANELIS 106,593 29 3,676 4,540 ,000 SAMPEL 3,693 4 ,923 1,141 ,341 Error 93,907 116 ,810 Total 4065,000 150

a R Squared = ,977 (Adjusted R Squared = ,970)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2,00 30 4,86674,00 30 4,96671,00 30 5,10005,00 30 5,10003,00 30 5,3333Sig. ,075

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,810. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 12. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3998,293(a) 34 117,597 80,858 ,000 PANELIS 48,193 29 1,662 1,143 ,303 SAMPEL 7,693 4 1,923 1,322 ,266 Error 168,707 116 1,454 Total 4167,000 150

a R Squared = ,960 (Adjusted R Squared = ,948)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset

1 4,00 30 4,70005,00 30 5,13333,00 30 5,16672,00 30 5,30001,00 30 5,3333Sig. ,071

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,454. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 13. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3483,373(a) 34 102,452 137,192 ,000 PANELIS 108,240 29 3,732 4,998 ,000 SAMPEL 33,373 4 8,343 11,172 ,000 Error 86,627 116 ,747 Total 3570,000 150

a R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,969)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2 3 5,00 30 3,8667 1,00 30 4,6333 4,00 30 4,8000 4,80002,00 30 5,13333,00 30 5,1667Sig. 1,000 ,457 ,123

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,747. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 14. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3857,573(a) 34 113,458 128,493 ,000 PANELIS 83,573 29 2,882 3,264 ,000 SAMPEL 3,973 4 ,993 1,125 ,348 Error 102,427 116 ,883 Total 3960,000 150

a R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,967)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 5,00 30 4,76671,00 30 4,90002,00 30 5,03333,00 30 5,16674,00 30 5,2000Sig. ,115

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,883. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 15. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3527,773(a) 34 103,758 66,414 ,000 PANELIS 81,340 29 2,805 1,795 ,016 SAMPEL 19,173 4 4,793 3,068 ,019 Error 181,227 116 1,562 Total 3709,000 150

a R Squared = ,951 (Adjusted R Squared = ,937)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2 4,00 30 4,3333 3,00 30 4,4667 5,00 30 4,8000 4,80001,00 30 4,9667 4,96672,00 30 5,3333Sig. ,075 ,121

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,562. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 16. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3238,267(a) 34 95,243 87,177 ,000 PANELIS 97,633 29 3,367 3,082 ,000 SAMPEL 12,467 4 3,117 2,853 ,027 Error 126,733 116 1,093 Total 3365,000 150

a R Squared = ,962 (Adjusted R Squared = ,951)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2 5,00 30 4,1000 4,00 30 4,4333 4,43331,00 30 4,5667 4,56672,00 30 4,86673,00 30 4,8667Sig. ,105 ,147

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,093. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 17. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap kedua

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 4095,227(a) 34 120,448 150,603 ,000 PANELIS 78,293 29 2,700 3,376 ,000 SAMPEL 2,427 4 ,607 ,759 ,554 Error 92,773 116 ,800 Total 4188,000 150

a R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,971)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset

1 4,00 30 4,96671,00 30 5,16672,00 30 5,16675,00 30 5,20003,00 30 5,3667Sig. ,127

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,800. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 18. Sidik ragam uji hedonik warna belimbing manis tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2350,356(a) 32 73,449 104,812 ,000 PANELIS 47,389 29 1,634 2,332 ,003 SAMPEL 2,689 2 1,344 1,919 ,156 Error 40,644 58 ,701 Total 2391,000 90

a R Squared = ,983 (Adjusted R Squared = ,974)

SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 4,93332,00 30 4,93331,00 30 5,3000Sig. ,114

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,701. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 19. Sidik ragam uji hedonik warna nanas tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2456,089(a) 32 76,753 92,915 ,000 PANELIS 40,489 29 1,396 1,690 ,045 SAMPEL 2,756 2 1,378 1,668 ,198 Error 47,911 58 ,826 Total 2504,000 90

a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,970)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 4,93331,00 30 5,26672,00 30 5,3333Sig. ,112

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,826. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 20. Sidik ragam uji hedonik warna pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2355,267(a) 32 73,602 95,430 ,000 PANELIS 44,267 29 1,526 1,979 ,014 SAMPEL ,600 2 ,300 ,389 ,680 Error 44,733 58 ,771 Total 2400,000 90

a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,971) SKOR

Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2,00 30 4,96673,00 30 5,06671,00 30 5,1667Sig. ,412

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,771. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 21. Sidik ragam uji hedonik aroma belimbing manis tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2050,067(a) 32 64,065 71,548 ,000 PANELIS 33,600 29 1,159 1,294 ,200 SAMPEL ,067 2 ,033 ,037 ,963 Error 51,933 58 ,895 Total 2102,000 90

a R Squared = ,975 (Adjusted R Squared = ,962)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2,00 30 4,70001,00 30 4,73333,00 30 4,7667Sig. ,800

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,895. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 22. Sidik ragam uji hedonik aroma nanas tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 1871,156(a) 32 58,474 89,616 ,000 PANELIS 30,456 29 1,050 1,610 ,062 SAMPEL ,156 2 ,078 ,119 ,888 Error 37,844 58 ,652 Total 1909,000 90

a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,969)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 1,00 30 4,46672,00 30 4,53333,00 30 4,5667Sig. ,655

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,652. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 23. Sidik ragam uji hedonik aroma pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2102,622(a) 32 65,707 75,648 ,000 PANELIS 38,322 29 1,321 1,521 ,087 SAMPEL ,289 2 ,144 ,166 ,847 Error 50,378 58 ,869 Total 2153,000 90

a R Squared = ,977 (Adjusted R Squared = ,964)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 1,00 30 4,73333,00 30 4,76672,00 30 4,8667Sig. ,606

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,869. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 24. Sidik ragam uji hedonik tekstur belimbing manis tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2642,200(a) 32 82,569 92,451 ,000 PANELIS 16,933 29 ,584 ,654 ,893 SAMPEL ,867 2 ,433 ,485 ,618 Error 51,800 58 ,893 Total 2694,000 90

a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,970)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2,00 30 5,26673,00 30 5,43331,00 30 5,5000Sig. ,373

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,893. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 25. Sidik ragam uji hedonik tekstur nanas tahap ketiga Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2225,422(a) 32 69,544 107,339 ,000 PANELIS 24,722 29 ,852 1,316 ,185 SAMPEL ,422 2 ,211 ,326 ,723 Error 37,578 58 ,648 Total 2263,000 90

a R Squared = ,983 (Adjusted R Squared = ,974)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 4,86671,00 30 4,93332,00 30 5,0333Sig. ,455

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,648. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 26. Sidik ragam uji hedonik tekstur pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2543,822(a) 32 79,494 97,730 ,000 PANELIS 34,722 29 1,197 1,472 ,105 SAMPEL 2,156 2 1,078 1,325 ,274 Error 47,178 58 ,813 Total 2591,000 90

a R Squared = ,982 (Adjusted R Squared = ,972)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 5,06671,00 30 5,33332,00 30 5,4333Sig. ,143

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,813. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 27. Sidik ragam uji hedonik rasa belimbing manis tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2832,822(a) 32 88,526 150,229 ,000 PANELIS 19,122 29 ,659 1,119 ,350 SAMPEL 2,489 2 1,244 2,112 ,130 Error 34,178 58 ,589 Total 2867,000 90

a R Squared = ,988 (Adjusted R Squared = ,982)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 5,36672,00 30 5,63331,00 30 5,7667Sig. ,060

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,589. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.

b Alpha = ,05.

Lampiran 28. Sidik ragam uji hedonik rasa nanas tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2639,289(a) 32 82,478 112,002 ,000 PANELIS 27,822 29 ,959 1,303 ,194 SAMPEL 8,622 2 4,311 5,854 ,005 Error 42,711 58 ,736 Total 2682,000 90

a R Squared = ,984 (Adjusted R Squared = ,975)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 2 3,00 30 5,0667 1,00 30 5,2667 2,00 30 5,8000Sig. ,370 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,736. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 29. Sidik ragam uji hedonik rasa pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 3029,756(a) 32 94,680 118,748 ,000 PANELIS 22,222 29 ,766 ,961 ,534 SAMPEL 3,089 2 1,544 1,937 ,153 Error 46,244 58 ,797 Total 3076,000 90

a R Squared = ,985 (Adjusted R Squared = ,977)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 5,60001,00 30 5,70002,00 30 6,0333Sig. ,080

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,797. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 30. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan belimbing manis tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2675,289(a) 32 83,603 87,038 ,000 PANELIS 60,722 29 2,094 2,180 ,006 SAMPEL ,956 2 ,478 ,497 ,611 Error 55,711 58 ,961 Total 2731,000 90

a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,968)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 5,30002,00 30 5,33331,00 30 5,5333Sig. ,391

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,961. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 31. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan nanas tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2110,067(a) 32 65,940 54,688 ,000 PANELIS 36,400 29 1,255 1,041 ,436 SAMPEL ,067 2 ,033 ,028 ,973 Error 69,933 58 1,206 Total 2180,000 90

a R Squared = ,968 (Adjusted R Squared = ,950)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 3,00 30 4,76671,00 30 4,80002,00 30 4,8333Sig. ,827

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,206. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 32. Sidik ragam uji hedonik kerenyahan pepaya tahap ketiga

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 2600,600(a) 32 81,269 88,269 ,000 PANELIS 39,333 29 1,356 1,473 ,105 SAMPEL 1,267 2 ,633 ,688 ,507 Error 53,400 58 ,921 Total 2654,000 90

a R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,969)

SKOR Duncan

SAMPEL N

Subset

1 1,00 30 5,23333,00 30 5,26672,00 30 5,5000Sig. ,316

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,921. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 33. Data hasil pengujian sampel manisan semi basah menggunakan Texture Analizer

Buah Ulangan Beban (gr) Waktu (sekon) Jarak (mm)

Belimbing 1 4782.3 2.502 5.673

2 4603.3 2.467 5.402

3 4231.5 2.248 5.011

Nanas 1 6170.9 2.515 5.025

2 6612.5 2.975 5.943

3 5262.3 5.005 10.000

Pepaya 1 3207.2 1.920 3.840

2 3370.5 2.505 5.003

3 3263.8 2.450 4.892