Upload
dinhnhi
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK PENENTUAN ZONASI
TINGKAT KERAWANAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI
KOTA SURAKARTA TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh :
LINTANG PRAWINDIA
K5408007
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK PENENTUAN ZONASI
TINGKAT KERAWANAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
(DBD) DI KOTA SURAKARTA TAHUN 2012
Oleh :
LINTANG PRAWINDIA
K5408007
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Program Studi Pendidikan Geografi
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
ABSTRAK Lintang Prawindia. Pemanfaatan Citra IKONOS Untuk Penentuan Zonasi Tingkat
Kerawanan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Surakarta Tahun
2012. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret, 2012. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui ketelitian citra IKONOS
untuk identifikasi parameter yang digunakan dalam penentuan zonasi tingkat
kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Surakarta. (2)
Menentukan zonasi potensial tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Surakarta tahun 2012. (3) Menentukan zonasi aktual
tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Surakarta
tahun 2012. Metode yang digunakan adalah deskriptif spasial. Variabel penelitian
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi potensi, dan kerawanan penyakit DBD,
yang meliputi: penggunaan lahan, kepadatan permukiman, keteraturan
permukiman, kepadatan penduduk, jarak permukiman terhadap sungai dan
kualitas saluran air hujan. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi:
intepretasi citra IKONOS, observasi lapangan, dan analisis dokumen. Teknik
analisis data yang digunakan adalah tumpangsusun (overlay) peta dengan
pengharkatan. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu: (1) Hasil uji ketelitian citra
IKONOS untuk identifikasi penggunaan lahan yaitu 98 %, kepadatan permukiman
sebesar 84,33%, dan pola permukiman sebesar 85%. (2) Dari hasil penelitian
diketahui terdapat 3 zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue
di Kota surakarta yaitu tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Wilayah yang
merupakan zona tidak rawan DBD seluas 114,9857 Ha atau 2,44% terdapat di
blok III.1 dan III.2. Zona rawan DBD seluas 1877,5768 Ha atau 39,82% terdapat
di blok blok I, blok II, blok IV, blok VII, dan Blok VII.2, sedangkan zona sangat
rawan DBD seluas 2717,5161 Ha atau sebesar 57,69% terdapat di blok V.1 dan
VII.1. (3). Luas wilayah daerah penelitian dengan klasifikasi jumlah kasus rendah
yaitu 394,8355 Ha, yang terdapat di blok I.1, I.3, I.4, I.5, I.13, II.1 dan II.3.
Wilayah dengan klasifikasi jumlah kasus sedang seluas 481,2084 Ha, yang
meliputi blok I.2, II.4, II.5, II.6, III.1, VI.2, VI.3, VI.4, VII.6, VII.7, VII.8, VII.9
dan VIII.8. Wilayah dengan jumlah kasus tinggi seluas 136,2969 Ha terdapat di
blok I.12, V.1, dan VIII.3. Kesimpulan yang diperoleh yaitu: (1) citra IKONOS dapat digunakan
sebagai sumber data yang akurat untuk penilaian tingkat kerawanan penyakit
DBD di Kota Surakarta. (2) Sebagian besar (57,69%) permukiman di Kota
Surakarta tahun 2012 merupakan permukiman berpotensi sangat rawan terhadap
penyakit DBD (3) Kota Surakarta memiliki jumlah kasus DBD sedang seluas
481,2084 Ha.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
ABSTRACT Lintang Prawindia, IKONOS Image Utilization Rate For Zoning Determination
Insecurity Disease Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) On Surakarta In 2012.
Skripsi. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Surakarta Sebelas
Maret University, Agust 2012. This research aimed to: (1) To find out the accuracy of IKONOS imagery
for the identification of the parameters used in determining the level of
vulnerability of disease zoning Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Surakarta.
(2) To determine the potential level of vulnerability of disease zoning Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) in Surakarta in 2012. (3) To determine the actual
zoning of vulnerability of disease Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) oin
Surakarta in 2012. The method used is descriptive spatial. Research variables are factors that
affect the potential, and vulnerability of dengue fever, which include: land use,
settlement density, order settlement, population density, distance to the river
settlement and the quality of rain drainage. Data collection techniques used
include: interpretation of IKONOS imagery, field observations and document
analysis. Data analysis techniques used is overlay map with skoring. The results
are: (1) The results of test accuracy IKONOS imagery for the identification of
land use is 98%, density of settlement is 84.33%, and settlement patterns is 85%.
(2) There are three zoning levels of vulnerability of disease Dengue Hemorrhagic
Fever in Surakarta is not vulnerable, vulnerable and very vulnerable. Areas that
are not prone to dengue zone covering an area of 114.9857 hectares or 2.44%
contained in the settlement blocs regular semi-rare. DHF prone zones covering an
area of 1877.5768 hectares or 39.82% are in settlement blocks are semi-regular,
irregular block-dense settlement and settlement blocks of semi-regular solids,
while the zone is very prone to dengue area of 2717.5161 hectares or 57.69% . (3)
Block which has a low number of cases of dengue and dengue fever could
potentially vulnerable to the number of blocks 1.1, 1.3, 1.4, 1.5, 1.6, 1.7, 1:13, 2.1,
2.2, and 2.3. block that has the number of dengue cases are potentially vulnerable
to dengue fever which is the block number 1.2, 2.4, 2.5, 2.6, 3.1, 6.2, 6.3, 6.4, 7.6,
7.7, 7.8, 7,9, and 8.2, while the block that has a high number of cases and
potentially highly vulnerable to dengue fever which is the block number 1:12, 5.1,
and 8.3. Conclusions obtained are: (1) IKONOS imagery can be used as a source
of accurate data for vulnerability of assessments of dengue disease (2) The
majority (57.69%) settlement in the city of Surakarta in 2012 a settlement
potentially very vulnerable to dengue fever. (3) Most of the blocks of settlement
in the city of Surakarta potentially susceptible to very susceptible to dengue fever.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar kota-kota di Indonesia mengalami permasalahan serius
dalam memenuhi kebutuhan akan ruang yang terus meningkat, sementara itu
ketersediaan ruang terbuka yang masih memungkinkan untuk mengakomodasikan
penduduk kota semakin terbatas dan semakin berkurang. Perpindahan penduduk
ke kota dan bertambahnya penduduk karena proses alami ini telah berlangsung
dalam periode yang lama sehingga menyebabkan terjadinya proses pertambahan
kepadatan penduduk, permukiman, maupun bangunan non permukiman di kota
yang berjalan tidak terkendali (Yunus,2005:1-2).
Keanekaragaman karakteristik budaya, penampilan fisik kota, serta relatif
lebih lengkapnya fasilitas-fasilitas umum merupakan daya tarik sebuah kota
sehingga muncul urbanisasi. Pengaruh penduduk yang berupa sentripetal
movement memunculkan tingginya kebutuhan lahan untuk seluruh aktivitas
manusia. Bertambahnya jumlah penduduk kota mengakibatkan penurunan kualitas
permukiman sehingga muncul sejumlah masalah seperti masalah kesehatan,
kebersihan, dan ketertiban kota. Ketidakjelasan tata ruang kota mengakibatkan
keterbatasan ruang untuk permukiman. Hal ini ditandai oleh pertumbuhan
perkampungan kota yang tidak teratur akibat tingginya laju pertumbuhan
penduduk perkotaan. Adanya penambahan permukiman mengakibatkan
penurunan kualitas permukiman sehingga muncul berbagai masalah antara lain
berkurangnya ketersediaan air, menurunnya kesehatan lingkungan, serta
timbulnya penyakit.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang
cenderung meningkat jumlah pasien serta luas persebarannya. Penyakit Demam
Berdarah Dengue ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara -
negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik.
Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit DBD, sebab baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan
penduduk maupun di fasilitas umum di seluruh Indonesia.
Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk seperti DBD masih menjadi
masalah kesehatan di Provinsi Jawa Tengah baik di perkotaan maupun di
pedesaan. Kota Surakarta merupakan kota yang memiliki jumlah penduduk
586.019 jiwa pada tahun 2010. Jumlah penduduk ini mengalami peningkatan
dibanding tahun 2009 yang berjumlah 581.415 jiwa (BPS,2010). Kepadatan
penduduk Kota Surakarta sebesar 256 jiwa per km2 serta adanya arus migrasi
masuk, menyebabkan kebutuhan lahan yang diperlukan semakin besar.
Pembangunan permukiman dan bangunan lainnya untuk memenuhi kebutuhan
tempat tinggal serta berbagai macam fasilitas pelayanan sosial lainnya terus
dilakukan. Hal ini mangakibatkan kepadatan bangunan yang terdapat di kota
sangat tinggi. Selain itu, permukiman dibeberapa bagian daerah kota memiliki
drainase yang kurang baik. Kondisi tersebut menciptakan genangan air yang
banyak dan tersebar di berbagai tempat. Ketika musim penghujan hal tersebut
merupakan tempat ideal sebagai perkembangbiakan nyamuk. Bahan-bahan yang
tidak dapat diuraikan oleh pengurai dan apabila dibuang akan menampung air
hujan sehingga sebagai sarang dan tempat bertelur bagi populasi nyamuk.
Di dalam penanganan wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) sering
terjadi kasus keterlambatan dan penanggulangan yang tidak sesuai dengan tingkat
kerawanan wabah terjadi. Hal ini disebabkan karena memang belum adanya suatu
sistem informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi dari segala
sesuatu yang berhubungan dengan Demam Berdarah, misalnya tingkat kerawanan
daerah yang terkena wabah, persebarannya dan lain sebagainya. Untuk
memudahkan penanggulangan persebaran nyamuk, salah satunya adalah dengan
menentukan tingkat kerawanan wilayah berdasarkan faktor-faktor lingkungan dan
demografi yang berpengaruh. Faktor-faktor lingkungan tersebut antara lain
penggunaan lahan, kepadatan permukiman, tata letak permukiman, jarak
permukiman terhadap sungai dan jarak tempat tinggal terhadap Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Faktor demografi yang mempengaruhi berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
kepadatan penduduk yang tinggal di suatu wilayah yang terkena penyakit Demam
Berdarah.
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran
DBD sangat kompleks, yaitu : 1) pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2)
urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali, 3) tidak adanya kontrol vektor
nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan 4) peningkatan sarana transportasi.
(Farda,Murti,&Nursari : 2009)
Perkembangan nyamuk Aedes aegypti berkaitan erat dengan lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus sebagai vector DBD adalah ketinggian, kepadatan
permukiman, jumlah penduduk dan curah hujan (Aisyah,2000). Semakin padat
permukiman, jumlah penduduk tinggi dan curah hujan tinggi maka perkembangan
nyamuk tinggi, sedangkan permukiman yang jarang, jumlah penduduk rendah dan
curah hujan yang rendah maka perkembangan nyamuk penyebab DBD juga
rendah.
Angka penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Surakarta
sejak Januari-Mei 2011 mencapai 48 kasus. Dari 48 kasus, seorang diantaranya
meninggal dunia yakni warga kelurahan Pucangsawit pada Februari lalu. Kasus
DBD masih tinggi karena pengaruh musim dan rendahnya kesadaran warga
menjalankan pola hidup sehat (Solopos,2011).
Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Surakarta pada tahun 2010
tercatat paling tinggi yaitu Kecamatan Laweyan sebanyak 146 kasus, sedangkan
paling sedikit terdapat pada Kecamatan Serengan sebanyak 52 kasus. Begitu pula
pada tahun 2011, kasus yang tercatat Dinas Kesehatan Kota Surakarta paling
tinggi terdapat pada Kecamatan Banjarsari sebanyak 35 kasus dan paling rendah
yaitu Kecamatan Pasar Kliwon sebanyak 5 kasus. Data kasus DBD per kecamatan
di Kota Surakarta tahun 2010 dan data kasus DBD per kecamatan di Kota
Surakarta tahun 2011 disajikan dalam tabel berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Tabel 1. Data Jumlah Kasus DBD di Kota Surakarta
No Kecamatan Tahun 2010 Tahun 2011
Jumlah
Kasus
Jumlah
Kematian
Jumlah
Kasus
Jumlah
Kematian
1. Laweyan 146 1 28 0
2. Serengan 52 0 12 0
3. Pasar Kliwon 74 0 5 0
4. Jebres 121 2 15 1
5. Banjarsari 140 4 35 0
Jumlah 533 7 95 1
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Surakarta, 2011
Geografi menjadi ilmu yang berperan dalam pemecahan berbagai
masalah kesehatan yang terkait dengan kondisi lingkungan termasuk penyakit
Demam Berdarah Dengue di Kota Surakarta. Geografi sebagai ilmu yang
mempelajari berbagai fenomena permukaan bumi menekankan pada interaksi
manusia dengan lingkungan dan fenomena-fenomena permukaan bumi dengan
tiga macam pendekatan, yaitu : spasial (keruangan), ekologis dan kewilayahan
(regional).
Skala prioritas penanganan dan pemecahan masalah penyakit Demam
Berdarah Dengue diperlukan untuk mengurangi persebaran penyakit yang
semakin tinggi. Penentuan skala prioritas ini dilakukan terhadap wilayah-wilayah
yang rawan penyakit Demam Berdarah Dengue. Tingkat kerawanan penyakit
merupakan tingkatan peristiwa yang memiliki potensi untuk mengancam
kehidupan manusia yang diakibatkan oleh suatu jenis penyakit. Perolehan data
untuk penilaian tingkat kerawanan wilayah selama ini didapatkan secara terestrial.
Cara perolehan data tersebut akan memakan waktu, tenaga, dan biaya yang besar.
Dengan melihat kemampuan citra penginderaan jauh dalam merekam permukaan
bumi maka dimungkinkan dapat digunakan sebagai alternatif untuk membantu
perolehan data untuk penilaian tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah
Dengue.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Salah satu teknik perolehan dan analisis informasi tentang bumi yaitu
penginderaan jauh. Penginderaan jauh dapat digunakan antara lain untuk
menyadap data tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
penyakit DBD. Citra penginderaan jauh merupakan rekaman sesaat dari berbagai
kenampakan yang ada dipermukaan bumi berupa bentang budaya maupun yang
berupa bentang alamiah. Citra penginderaan jauh dapat menampilkan parameter
yang diperlukan untuk penilaian tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah
Dengue antara lain data mengenai unit bangunan yang berupa kepadatan
permukiman, keteraturan permukiman, jaringan sungai, dan data penggunaan
lahan. Data tersebut disadap dengan menggunakan citra penginderaan jauh, dan
dianalisis secara photomorfic, yaitu berdasarkan persamaan kenampakan atau
perwujudan suatu objek pada citra.
Salah satu citra penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk
penyadapan informasi parameter penentu tingkat kerawanan penyakit DBD yaitu
citra IKONOS. Citra yang memiliki resolusi spasial tinggi ini mampu
menggambarkan kenampakan seperti kenampakan sebenarnya dilapangan.
Kemampuan citra IKONOS setara dengan foto udara bahkan lebih unggul karena
waktu perekaman ulang (resolusi temporal) yang dibutuhkan lebih pendek,
sehingga pembaharuan data dapat sering dilakukan mulai dari mingguan, bulanan,
atau tahunan. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh pada penyakit Demam
Berdarah Dengue dapat diinterpretsi dengan mudah bila menggunakan citra
IKONOS. Selain itu, citra IKONOS juga menyajikan informasi kualitas
permukiman yang lebih detail.
Pengolahan data yang disadap dari citra IKONOS diproses untuk
menghasilkan informasi yang dapat menerangkan wilayah yang rawan terhadap
wabah penyakit DBD. Sistem Informasi Geografi merupakan proses pengolahan
yang tepat karena dapat mengolah data hasil sadapan dari citra IKONOS relatif
lebih cepat dan mudah diperbaiki atau diperbaharui dalam jangka waktu tertentu.
Dengan menggunakan SIG maka penanganan data geografis yang bersifat data
keruangan akan lebih mudah dilakukan, karena data disimpan dalam format
digital.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pemanfaatan Citra IKONOS Untuk Penentuan Zonasi
Tingkat Kerawanan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Surakarta
Tahun 2012”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasi
permasalahan yang timbul yaitu sebagai berikut :
1. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi di Kota Surakarta mengakibatkan
peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman tinggi.
2. Penurunan kualitas permukiman mengakibatkan muncul berbagai masalah
kesehatan, kebersihan dan ketertiban.
3. Masalah kesehatan yang terjadi setiap tahun di Kota Surakarta yaitu kasus
Demam Berdarah Dengue (DBD).
4. Tingkat kerawanan DBD di Kota Surakarta dapat diketahui dengan
menggunakan peta zonasi tingkat kerawanan penyakit DBD.
5. Cara perolehan data untuk penilaian tingkat kerawanan wilayah selama ini
diperoleh secara terrestrial, sehingga memakan waktu, tenaga, dan biaya yang
besar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
C. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi penyimpangan pada permasalahan utama, maka
peneliti membatasi masalah sebagai berikut :
1. Penelitian dikhususkan untuk mengetahui tingkat kerawanan penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Surakarta.
2. Parameter penelitian yang digunakan yaitu : penggunaan lahan, kepadatan
permukiman, keteraturan permukiman, kepadatan penduduk, tempat
pembuangan sampah sementara , saluran air, dan jarak terhadap sungai.
3. Parameter penentu tingkat kerawanan penyakit DBD di Kota Surakarta
diperoleh dengan menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem
Informasi Geografis.
D. Perumusan Masalah
1. Bagaimana ketelitian citra IKONOS untuk identifikasi parameter yang
digunakan dalam penentuan zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Surakarta ?
2. Bagaimana zonasi potensial tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Surakarta tahun 2012 ?
3. Bagaimana zonasi tingkat kerawanan aktual penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Surakarta tahun 2012 ?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian sebagai
berikut :
1. Menghitung ketelitian citra IKONOS untuk identifikasi parameter yang
digunakan dalam penentuan zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Surakarta.
2. Menetapkan zonasi potensial tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Surakarta tahun 2012.
3. Menetapkan zonasi tingkat kerawanan aktual penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Surakarta tahun 2012.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini digolongkan menjadi
dua, yaitu :
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan mampu sebagai pengembangan ilmu geografi,
khususnya dalam pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis dalam pemantauan dan pengendalian kondisi lingkungan.
b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber acuan peneliti
selanjutnya untuk bidang kajian geografi dan kesehatan.
2. Manfaat praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi spasial berupa
distribusi tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) kepada
pemerintah Kota Surakarta.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk upaya penanggulangan
penyakit yang terkait dengan perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor
Demam Berdarah Dengue.
c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan materi pembelajaran Geografi
Standar Kompetensi Memahami pemanfaatan citra Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografi (SIG), Kompetensi Dasar pemanfaatan citra
penginderaan jauh kelas XII semester II SMA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
a. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit febril akut yang
ditemukan di daerah tropis dengan penyebaran geografis yang mirip dengan
malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu virus dari genus flavivirus, famili
flaviviridae.
Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak ditemukan pertama kalinya di
Manila tahun 1953, cenderung semakin penyebar luas di berbagai negaradi
kawasan Asia dan Pasifik. Di Indonesia DBD mulai berjangkit pada tahun 1968 di
Surabaya dan Jakarta. Jumlah kasus yang dilaporkan waktu itu 58 anak, 24
(41,3%) diantaranya meninggal. Selanjutnya penyakit ini cenderung semakin
meningkat insidensinya dan menyebar ke berbagai wilayah, terutama kota-kota
yang berpenduduk padat. Hal ini diduga erat kaitannya dengan meningkatnya
mobilitas penduduk dan sarana transportasi dalam maupun antar kota.
Peningkatan insidensi atau wabah DBD terjadi ± 5 tahun. Dalam tahun 1988,
DBD berjangkit di 201 Dati II di 25 propinsi, dengan jumlah kasus 47.573, dan
1527 (3,2%) diantaranya meninggal. Sebagian besar kasus DBD adalah anak < 15
tahun, namun kasus dewasa semakin meningkat. Musim penularan DBD biasanya
terjadi pada musim hujan (Suroso, dalam Aisyah 2000).
Dengue memiliki sinonim Breakbone Fever, Demam lima hari
merupakan infeksi yang akut non fatal yang disebabkan oleh Group B arbovirus
(Dengue Virus). Virus DBD disebarluaskan melalui perantara nyamuk Aedes
aegypti. Selain nyamuk ini masih ada nyamuk Aedes yang lain sebagi vektornya,
yaitu nyamuk Ae. Albopictus, Ae. Polynesiensis, dan Ae. Scutellaris. Masing-
masing nyamuk tersebut memiliki distribusi sendiri-sendiri. Nyamuk sebagai
vektor DBD di Indonesia adalah Ae. Aegypti dan Ae. Albopictus. Nyamuk ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
ditemukan diseluruh dunia pada lintang 350 U sampai dengan 35
0S. Meskipun
ditemukan juga pada lintang 450 U pada saat musim panas, karena nyamuk ini
tidak dapat hidup pada musim dingin.
b. Faktor - Faktor Penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD)
Komponen penularan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) terdiri
dari virus, Aedes aegypti, dan manusia. Sampai saat ini belum ada vaksin yang
dapat efektif terhadap virus tersebut, maka pemberantasan ditujukan pada manusia
dan terutama vektornya. Faktor lingkungan yang digunakan untuk mengetahui
persebaran penyakit DBD dalam penelitian ini adalah kepadatan bangunan, pola
bangunan, penggunaan lahan, jarak bangunan dari sungai, jarak bangunan dari
tempat pembuangan sampah sementara, saluran air, dan kepadatan penduduk.
Timbulnya berbagai penyakit didaerah perkotaan pada dasarnya
berpangkal pada ketidakseimbangan antara jumlah penduduk yang semakin
meningkat dengan kemampuan pengelolaan kota dan kurangnya kesadaran
masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Jumlah penduduk yang tinggi
mengakibatkan menurunnya kesehatan lingkungan. Penurunan ini ditandai oleh
kondisi yang tidak memenuhi prasarana, fasilitas dan utilitas lingkungan, lokasi
permukiman yang padat penduduk, kondisi bangunan buruk, dan tidak adanya
perencanaan pembangunan yang mengakibatkan bangunan memiliki tata letak dan
arah hadap tidak seragam.
Spesies Aedes merupakan nyamuk yang mempunyai habitat di
permukiman dan di luar rumah yang airnya relatif jernih. Di daerah perkotaan,
habitat nyamuk Aedes aegypti sangat bervariasi, tetapi banyak ditemukan pada
wadah-wadah buatan manusia. Pada umumnya, wadah penyimpanan air sebagai
tempat berkembangbiak Aedes aegypti dan kepadatan penduduk sangat berkaitan.
Dengan demikian, didaerah berpenduduk padat disertai distribusi nyamuk yang
tinggi, potensi transmisi virus meningkat dan berpotensi terbentuknya daerah
endemik. Identifikasi ini dapat diperkirakan dengan menggunakan peta kepadatan
penduduk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Tiap-tiap spesies nyamuk memiliki kesenangan hidup didaerah tertentu,
seperti nyamuk Aedes aegypti yang menggigit manusia didalam rumah. Nyamuk
Ae. Aegypti dan Ae. Albopictus menyukai tempat yang mengandung air jernih dan
tidak mempunyai kontak langsung dengan tanah untuk berkembangbiak, sehingga
tempat-tempat air seperti bak mandi, drum/tangki air, vas bunga, kaleng-kaleng
bekas, ban bekas yang terisi air merupakan tempat perindukan nyamuk. Nyamuk
Aedes ini mempunyai jarak terbang 48 m – 56 m dan mampu menjangkau 2 km
(WHO,1999), sehingga permukiman yang padat dan rapat dapat menyebarkan
penyakit DBD dengan cepat. Nyamuk ini juga memerlukan tempat istirahat
berupa semak-semak, tanaman rendah yang terlindung dari sinar matahari
langsung, dan benda-benda yang tergantung pada rumah seperti pakaian, sarung,
dan sebagainya.
2. Kerawanan Penyakit
Pengertia rawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu mudah
menimbulkan gangguan keamanan dan bahaya, sedangkan kerawanan adalah
keadaan rawan. Kerawanan merupakan peristiwa yang luar biasa yang memiliki
potensi untuk mengancam kehidupan manusia, baik dirinya, harta benda,
kehidupannya, maupun lingkungannya. Contoh kerawanan yaitu kerawanan
Tanah longsor, tsunami, banjir, gempa bumi, gunung meletus, kebakaran,
epidemi, dan lain – lain. Kerawanan dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan,
yaitu tidak rawan, agak rawan, rawan, dan sangat rawan.
Kerawanan penyakit dalam penelitian ini merupakan peristiwa yang
memiliki potensi untuk mengancam kehidupan manusia yang diakibatkan oleh
suatu jenis penyakit. Penyakit yaitu suatu keadaan abnormal dari tubuh atau
pikiran yang menyebabkan ketidaknyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap
orang yang dipengaruhinya. Penyakit disebabkan oleh kuman yang menyerang
tubuh manusia. Kuman dapat berupa virus, bakteri, amuba, atau jamur. Demam
Berdarah Dengue (DBD) termasuk dalam salah satu jenis kerawanan penyakit
yang disebarkan oleh vektor nyamuk pembawa virus dengue.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3. Penginderaan Jauh
Lillesand & Kiefer (2004) mengemukakan bahwa Penginderaan jauh
adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau
gejala, dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat
tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Sutanto
(1994) mengemukakan bahwa salah satu alasan meningkatnya penggunaan
penginderaan jauh adalah karena citra penginderaan jauh menggambarkan obyek,
daerah, dan gejala dipermukaan bumi dengan:
1. Wujud objek dan letak objek yang mirip dengan letak objek
dipermukaan bumi.
2. Relatif lengkap.
3. Meliput daerah luas.
4. Permanen.
Komponen utama dalam Penginderaan Jauh meliputi empat bagian,
yaitu: sumber energi, obyek, sensor sebagai alat perekam energi, dan yang
terakhir adalah atmosfer sebagai media energi dari sumbernya yang menuju ke
bumi dan yang ditangkap oleh sensor. Sumber energi untuk penginderaan jauh
meliputi matahari (sistem pasif) dan energi buatan manusia (sistem aktif),
misalnya lampu Blits dan Radar. Obyek dalam penginderaan jauh adalah
permukaan bumi, sedangkan atmosfer berfungsi sebagai media yang memiliki
sifat menyerap, melalukan dan menghamburkan energi.
Sensor (kamera, scanner, radometer) merupakan alat perekam energi
yang dipantulkan oleh obyek (bumi) tanpa kontak langsung. Berdasarkan proses
perekamannya sensor dibagi menjadi dua, yaitu sensor fotografik dan elektronik.
Sensor fotografik proses perekamannya berlangsung dengan cara kimiawi. Tenaga
elektromagnetik yang diterima dan direkam pada lapisan film yang bila dicetak
akan menghasilkan foto. Bila pemotretan dilakukan dengan pesawat udara
ataupun wahana lainnya maka foto yang dihasilkan disebut foto udara. Bila
pemotretan dilakukan di antariksa maka foto yang dihasilkan disebut foto satelit
atau foto orbital.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Berbeda dengan sensor fotografik, sensor elektronik menggunakan
tenaga elektrik dalam bentuk sinyal elektrik. Alat penerima dan perekam berupa
pita magnetik bukan film. Sinyal elektrik yang direkam pada pita megnetik ini
kemudian diproses menjadi data visual maupun data digital. Hasil akhirnya tidak
disebut foto udara melainkan disebut citra penginderaan jauh. Citra meliputi
semua gambaran visual planimetrik yang diperoleh dengan jalan penginderaan
jauh (Sutanto,1994:57).
Penggunaan teknik penginderaan jauh dalam penentuan zonasi tingkat
kerawanan penyakit DBD yaitu sebagai alat perolehan data yang utama. Data
yang disadap dari teknik penginderaan jauh adalah data tentang kepadatan
bangunan, pola bangunan, penggunaan lahan, jaringan sungai dan tempat
pembuangan sampah. Teknik penginderaan jauh berguna untuk pembuatan peta
kerja yang merupakan acuan bagi pengambilan data di lapangan.
4. Interpretasi Citra
Citra merupakan gambaran yang terekam oleh kamera atau oleh sensor
lainnya, sedangkan interpretasi citra yaitu perbuatan mengkaji foto udara dan atau
citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek. Interpretasi citra merupakan
kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Di dalam
pengenalan obyek yang tergambar pada citra ada tiga rangkaian kegiatan yang
diperlukan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi ialah pengamatan atas
adanya suatu obyek, identifikasi yaitu upaya mencirikan obyek yang telah
dideteksi berdasarkan bentuk, ukuran, dan letaknya, sedangkan analisis ialah
kegiatan mengumpulkan keterangan lebih lanjut dan menyimpulkan keterangan
tersebut.
Sutanto (1994:121) mengemukakan bahwa citra merupakan alat yang
baik untuk pembuatan peta, baik sebagai sumber data maupun kerangka letak.
Sutanto menambahkan, foto udara merupakan citra tertua dalam penginderaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
jauh. Unsur intepretasi citra satelit sama dengan unsur intepretasi foto udara.
Unsur intepretasi foto udara meliputi:
a. Rona dan warna.
Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek pada citra.
Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan
spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. Tiap objek tampak
pertama pada citra berdasarkan rona atau warnanya. Setelah rona atau
warna yang sama dikelompokkan dan diberi garis batas untuk
memisahkannya dari rona atau warna yang berlainan, barulah tampak
bentuk, tekstur, pola, ukuran, dan bayangannya.
b. Bentuk.
Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memerikan konfigurasi atau
kerangka objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak
objek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya.
c. Ukuran.
Ukuran ialah atribut objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi,
lereng, dan volume. Ukuran objek akan memperjelas perbedaan antar
objek yang satu dengan yang lain meskipun memiliki persamaan warna
dan bentuk.
d. Tekstur.
Tekstur adalah frekuensi perubahan rona atau warna pada citra. Tekstur
menunjukkan kehaluasan perubahan rona/warna pada citra pada suatu
objek.
e. Pola.
Pola adalah susunan keruangan objek yang menandai bagi objek buatan
manusia maupun beberapa objek bentukan alamiah.
f. Bayangan.
Bayangan yang ditimbulkan oleh objek mampu memperjelas pengenalan
objek tersebut pada citra. Bayangan juga bersifat menyembunyikan objek
yang berada dia daerah gelap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
g. Situs.
Situs menunjukkan letak suatu objek terhadap daerah disekitarnya.
Beberapa objek dapat dikenali karena kepatutan objek untuk berada di
suatu lokasi.
h. Asosiasi.
Asosiasi adalah keterkaitan antara objek satu dengan yang lain.
Penginderaan jauh satelit menggunakan wahana satelit (berawak, tak
berawak, ulang-alik) untuk membawa sensor. Penginderaan dengan satelit
memiliki sifat otomatik : pemotretan teratur, pengiriman data secara elektronik,
dan analisis secara digital.
Data penginderaan jauh ialah data hasil perekaman obyek dengan
menggunakan sensor buatan. Data tersebut berupa citra foto, citra nonfoto, atau
data numerik. Bila dipilih data yang berupa citra, maka metode analisisnya ialah
analisis visual atau manual, sedangkan data numerik metode analisisnya ialah
analisis digital dengan menggunakan komputer.
Berdasarkan atas analisis datanya maka penginderaan jauh dibedakan
atas cara interpretasinya, yaitu dengan cara manual berupa interpretasi secara
visual dan cara digital yakni interpretasi secara numerik. Interpretasi secara visual
dilakukan dengan menggunakan hasil penginderaan yang berupa data piktorial
atau citra, sedangkan interpretasi secara numerik dilakukan dengan menggunakan
hasil penginderaan yang berupa data digital yang direkam pada pita magnetik.
Hasil interpretasi atau informasi yang berasal dari kedua cara tersebut dapat
diujudkan dalam bentuk tabel, peta, dan deskripsi.
Kerincian informasi yang dapat disadap dari data penginderaan jauh
sangat tergantung pada resolusi. Ada empat jenis resolusi yaitu : resolusi spasial,
resolusi spektral, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi spasial
adalah ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali pada
citra. Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang
digunakan dalam perekaman. Resolusi radiometrik menunjukkan kepekaan sistem
sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal, sedangkan resolusi temporal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
merupakan frekuensi perekaman ulang bagi daerah yang sama pada waktu yang
berbeda.
5. Uji Ketelitian Interpretasi Citra
Uji ketelitian interpretasi citra digunakan untuk menilai seberapa besar
kepercayaan dapat diberikan kepada data tersebut. Uji ketelitian ini digunakan di
dalam analisis digital dan analisis manual atau visual data penginderaan. Yaitu
dengan mengubah pixel menjadi petak-petak bujur sangkar atau menjadi luas bagi
masing-masing kelas hasil interpretasi.
Tabel 2. Matriks Uji Ketelitian Interpretasi
Hasil Interpretasi
Hasil Lapangan
A B C Lain-
lain
Jumlah Omisi Komisi Ketelitian hasil
interpretasi tiap
kategori
A
B
C
Lain-lain
25
2
3
2
5
50
4
2
10
6
60
2
3
5
5
100
43
63
72
106
18/43 = 42%
13/63 = 42%
12/72= 42%
6/106= 42%
7/43 = 16%
11/63 = 17%
18/72 = 25%
13/106 = 12%
25/32 = 78%
50/61 = 83%
60/78 = 77%
100/113 = 89%
Jumlah 32 61 78 113 284
(Sumber : short, 1982 dalam Sutanto, 1994:117)
Keterangan :
A,B,C, dan Lain-lain = Jenis obyek
25 = Jumlah kategori hasil interpretasi obyek A yang sesuai
dengan hasil lapangan
32 = Jumlah seluruh obyek A
284 = Jumlah semua obyek seluruh hasil interpretasi
a. Ketelitian hasil interpretasi masing-masing kategori :
A = (25/32)x100%
= 78%
b. Ketelitian seluruh hasil interpretasi :
(25+50+60+100) = 83%
284
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
c. Jumlah omisi pixel X = jumlah semua pixel bukan X pada baris X
d. Jumlah komisi pixel X = jumlah semua pixel bukan X pada lajur X
Ketelitian diterima apabila rerata % dari seluruh hasil interpretasi benar
> 80 % dan rerata komisi < 20 %.
6. Citra Satelit IKONOS
IKONOS berasal dari bahasa Yunani “eye-koh-nos” yang berarti gambar.
Satelit IKONOS diluncurkan di Vandenberg, California pada tanggal 24
September 1999 sebagai fase baru dari perkembangan baru dari perkembangan
teknologi satelit komersial dengan resolusi sangat tinggi. Satelit tersebut
dirancang untuk dapat beroperasi selama 7 tahun, mengorbit pada ketinggian 680
km dari permukaan laut, orbit sun-synchronous dengan sudut inklinasi sebesar
98.20. Satelit tersebut membawa sensor pankromatik untuk menghasilkan citra
pankromatik hitam putih dengan resolusi spasial 1 m dan sensor multispekteral
dengan resolusi 4 m pada empat saluran dengan panjang gelombang yang
berbeda, yaitu : saluran biru, hijau, merah, dan inframerah dekat.
Tabel 3. Karakteristik IKONOS :
No System IKONOS
1
2
3
4
5
6
7
8
Orbit
Sensor
Swath Width
Off track viewing
Revisit time
Spectral band
Spatial resolution
Data archieve at
680 km, 98.20, sun-synchronous 14 days repeat cicrcle
Optical Sensor Assembly (OSA)
11 km (12 um CCD elements)
Yes, = - 300 omnidirectional
1-3 days
0.45 – 0.53 (Blue)
0.52 – 0.61 (Green)
0.64 – 0.72 (Red)
0.77 – 0.88 (Near Infra Red)
0.45 – 0.90 (Pan)
1 m (pan), 4m (Band Multispectral)
www.spaceimaging.com
Sumber : www.spaceimaging.com
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Data digital IKONOS umumnya telah terkoreksi secara geometrik,
sehingga tidak perlu dilakukan lagi proses koreksi geometrik seperti biasa
dilakukan pada citra satelit yang lain. Dengan demikian dimungkinkan untuk
penggunaan citra IKONOS sebagai data pemetaan. Koreksi yang masih mungkin
dilakukan adalah koreksi radiometrik yang lebih mengkhususkan pada penajaman
citra yang bertujuan untuk menajamkan kenampakan obyek – obyak tertentu.
Citra satelit IKONOS merupakan salah satu produk sistem penginderaan
jauh yang dapat digunakan untuk mengatasi kendala dalam pengumpulan data
secara terrestrial. Citra IKONOS juga memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi
bila dibandingkan dengan produk citra penginderaan jauh lainnya. Peranan citra
IKONOS adalah untuk mendapatkan peta penggunaan lahan yang akan digunakan
dalam menganalisis distribusi spasial penyebaran DBD, menggambarkan obyek,
daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan wujud dan letak obyek yang mirip
wujud dan letaknya di permukaan bumi. Selain untuk penyadapan data untuk
penggunaan lahan, peranan citra yang lain juga untuk menyadap data tentang
bangunan permukiman seperti keteraturan dan kepadatan bangunan.
7. Sistem Informasi Geografi (SIG)
Istilah sistem informasi geografis merupakan gabungan tiga unsur pokok:
sistem, informasi, dan geografis. Istilah geografis merupakan bagian dari spasial
(keruangan). Penggunaan kata geografis mengandung pengertian suatu persoalan
mengenai bumi : permukaan dua dimensi atau tiga dimensi. Istilah informasi
geografis mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang
terletak dipermukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek
terletak dipermukaan bumi dan informasi mengenai keterangan-keterangan
(atribut) yang terdapat dipermukaan bumi yang posisinya diberikan atau
diketahui. Dengan memperhatikan pengertian sistem informasi, maka SIG
merupakan suatu kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya fisik dan
logika yang berkenaan dengan objek-objek yang terdapat dipermukaan bumi
(Prahasta,2001:51).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer untuk mengumpulkan,
menyimpan, dan memanipulasi informasi geografis. SIG terdiri dari beberapa
komponen yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data serta informasi geografi
serta manajemen. SIG juga dibagi menjadi beberapa subsistem, diantaranya : data
input, data output, manajemen data, manipulasi data, dan analisis data.
Kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi analisis yang dapat
dilakukannya. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis, yaitu fungsi
analisis spasial dan fungsi analisis atribut (basis data atribut). Fungsi analisis
atribut terdiri dari operasi dasar sistem dan perluasannya. Fungsi analisis spasial
terdiri dari klasifikasi, network, overlay, buffering, 3D analisis, dan digital image
processing (Prahasta,2001:74-75). Pada penelitian ini, SIG digunakan untuk
melakukan klasifikasi terhadap kepadatan bangunan, pola bangunan, kepadatan
penduduk, dan klasifikasi zonasi tingkat kerawanan penyakit. Fungsi analisis
spasial network digunakan untuk menggambarkan parameter saluran air, fungsi
overlay digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan penyakit DBD,
sedangkan fungsi analisis spasial buffer untuk menetukan jarak sungai terhadap
permukiman dan jarak tempat pembuangan sampah sementara terhadap
permukiman. Selain itu, SIG juga memiliki subsistem pelaporan yang menyajikan
seluruh atau sebagian sari basis data (database) dalam bentuk tabel, grafis, dan
peta. Keluaran data yang dihasilkan berupa data spasial dan data atribut dapat
digunakan sebagai pengambil keputusan.
8. Permukiman
Obyek yang diinterpretasi dalam penilaian tingkat kerawanan penyakit
DBD yaitu seluruh penggunaan lahan baik berupa permukiman maupun
nonpermukiman. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU Nomor 4 Tahun
1992).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Pengertian permukiman menurut Yunus (1989) adalah suatu bentukan
artificial maupun natural dengan segala kelengkapannya yang dipergunakan oleh
manusia, baik secara individual maupun kelompok, untuk bertempat tinggal baik
sementara maupun menetap. Menurut Finch (1957) dalam Ritohardoyo (1989),
settlement atau permukiman adalah suatu unit lahan yang merupakan lingkungan
manusia, yang meliputi bangunan rumah sebagai rumah mukim, halaman
pekarangan, serta jaring-jaring jalan, sebagai sarana transportasi bagi penduduk
yang mendiaminya. Menurut fungsinya rumah mukim dibagi menjadi tiga, yaitu
rumah mukim fungsi tunggal, rumah mukim fungsi ganda, dan rumah nonmukim.
Rumah mukim fungsi tunggal adalah rumah yang hanya digunakan sebagai
tempat hunian. Rumah mukim fungsi ganda adalah rumah yang digunakan sebagai
tempat hunian dan kegiatan lain terutama perdagangan barang maupun jasa, dan
rumah nonmukim merupakan rumah yang digunaka untuk kegiatan tertentu.
Blok adalah suatu luasan lahan tertentu yang dibatasi oleh batas fisik
yang tegas, seperti laut, sungai, jalan, dan terdiri dari satu atau lebih persil
bangunan (Kepmen PU No.2/KPTS/1985). Setiap blok permukiman pada
penelitian ini dibuat berdasarkan kepadatan dan keteraturan permukiman.
a. Kepadatan Permukiman
Kepadatan permukiman mencerminkan luas atap bangunan dibandingkan
terhadap luas daerah permukiman yang kepadatan bangunannya sama, dinyatakan
dalam prosen. Cara membuat peta kepadatan permukiman yaitu dengan membuat
garis batas pada daerah yang kepadatan permukimannya sama, kemudian
menghitung kepadatan bangunan pada tiap daerah tersebut (Sutanto,1981:12).
Semakin padat permukiman, maka persebaran penyakit menjadi tinggi. Klasifikasi
kepadatan permukiman dibedakan menjadi tiga, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Tabel 4. Klasifikasi Kepadatan Permukiman
No Kriteria kepadatan Prosentase
1. Kepadatan permukiman
dibawah 5% dimasukkan
ke nonbangunan
≤20%
2. Permukiman dengan
kepadatan sedang
21-60%
3. Permukiman dengan
kepadatan tinggi
>60%
Sumber : Suharyadi,2001:101.
b. Keteraturan Permukiman
Keteraturan permukiman adalah keseragaman arah hadap bangunan dan
tata letak bangunan terhadap jalan. Semakin tidak seragam arah hadap dan tata
letak bangunan maka semakin buruk kualitas permukiman tersebut, karena tidak
terjadi perencanaan pembangunan.
Tata letak adalah persebaran rumah mukim maupun nonmukim terhadap
jaring-jaring jalan yang ada disekitarnya yang meliputi keteraturan rumah dan
keseragaman ukuran rumah. Tata letak permukiman yang tidak seragam
mencerminkan tidak berjalannya rencana pembangunan sehingga muncul
permukiman kumuh. Klasifikasi keteraturan permukiman antara lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Tabel 5. Klasifikasi Keteraturan Permukiman
No Kriteria keteraturan prosentase
1. Teratur >60% bangunan
permukiman menghadap ke
jalan dan jalan lingkungan
2. Semi teratur 40%-60% bangunan
permukiman yang
menghadap ke jalan
lingkungan
3. Tidak Teratur <30% bangunan
permukiman menghadap ke
jalan dan jalan lingkungan
Sumber : Suharyadi,2001:101
9. Penggunaan Lahan
Penelitian ini menggunakan citra sebagai sumber data bagi liputan lahan
kota. Pada citra tergambar secara lengkap bentang budaya (rumah, jalan, lapangan
olah raga, dan sebagainya) dan bentang alamiah yang berupa sungai, bukit, dan
sebagainya. Tataguna lahan atau penggunaan lahan (land use) merupakan aktifitas
manusia atas lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aktivitas tersebut dapat
dilacak melalui liputan lahannya, seperti : pasar, mencerminkan aktivitas
perdagangan, stasiun mencerminkan aktivitas transportasi dan kolam renang
mencerminkan aktivitas olah raga (Sutanto,1981:1). Berdasarkan atas liputan
lahan dan fungsinya terdapat sembilan ketegori (Sutanto,1981:6), sebagai berikut:
- Permukiman : pola teratur, tanpa pola teratur.
- Perdagangan : pasar, pusat perbelanjaan, pertokoa, rumah makan.
- Pertanian : sawah, tegal, kebun bibit, dan sebagainya yang secara administratif
termasuk kota.
- Industri : pabrik, pembangkit tenaga listrik, batik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
- Transportasi : jalan raya,rel K.A, stasiun/terminal.
- Jasa : kelembagaan (kantor, bank, rumah sakit, sekolah), non-
kelembagaan (tukang cukur, tukang sepatu, bengkel, dokter).
- Rekreasi : lapangan olah raga, gedung olah raga, stadion, kebun binatang,
kolam renang, tempat berkemah, gedung pertunjukan.
- Tempat ibadah : masjid, gereja, klenteng.
- Lain-lain : kuburan, lahan kosong, lahan sedang dibangun.
Tidak semua bangunan dapat dikenali fungsinya maka kategori
penggunaan lahan untuk daerah yang lebih dari 80% bangunannya berupa
permukiman ditetapkan sebagai daerah permukiman, sedangkan bangunan yang
mudah dikenal fungsinya dan cukup besar ukurannya, digambarkan tersendiri
sesuai dengan fungsinya.
Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur
tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik materiil maupun spiritual. Penggunaan lahan dikelompokkan kedalam dua
golongan yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan
pertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, padang rumput
dan sebagainya. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam
penggunaan lahan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan,
dan sebagainya (Arsyad,1989;207).
Penggunaan lahan digunakan sebagai parameter penentu tingkat
kerawanan penyakit DBD karena penggunaan lahan dinilai dapat mempengaruhi
perkembangbiakan vektor nyamuk yang merupakan penyebar virus DBD.
Misalnya penggunaan lahan pertanian akan lebih besar pengaruhnya dalam
perkembangbiakan vektor nyamuk penyebab DBD dibanding dengan penggunaan
lahan industri. Pada penelitian ini klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan
yaitu menurut Sutanto (1981). Klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
1. Permukiman
2. Perdagangan
3. Pertanian
4. Industri
5. Transportasi
6. Jasa
7. Rekreasi
8. Lain-lain
10. Saluran Pembuangan Air Hujan
Saluran air hujan merupakan salah satu bagian dari fasilitas kota selain
air leiding, listrik dan jalan. Kualitas saluran pembuangan air dibagi menjadi dua,
dikatakan baik bila saluran air tersebut berjalan lancar, dan jelek bila mengalir
tidak lancar (Sandy,1977:30). Saluran air yang mengalir tidak lancar (tergenang)
diasumsikan memiliki pengaruh lebih besar sebagai tempat perkembangbiakan
vektor nyamuk penyebab penyakit DBD daripada saluran air yang mengalir
lancar. Klasifikasi saluran pembuangan air hujan sebagai berikut :
Tabel 6. Klasifikasi Saluran Air
No Klasifikasi Kriteria
1 Baik Lebih dari 50% saluran air di satuan pemetaan mengalir
lancar
2 Jelek Kurang dari 50% saluran air di satuan pemetaan mengalir
tidak lancar
Sumber : Sandy,(1977:30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
B. Penelitian yang Relevan
Aisyah (2000) melakukan penelitian yang berjudul Aplikasi Foto Udara
dan Sistem Informasi Geografis untuk Menentukan Tingkat Kerentanan Wilayah
terhadap Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dan
Prioritas Penanganannya di Jakarta Selatan, dengan tujuan untuk mengetahui
kemampuan foto udara dalam menyajikan parameter lingkungan yang
mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Selain itu, penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan daerah prioritas
penanganan perkembangbiakan nyamuk demam berdarah berdasarkan tingkat
kerentanannya. Penelitian tersebut bersifat deskriptif analitik, dengan memadukan
teknik Penginderaan Jauh dan SIG. Data primer diperoleh dari interpretasi foto
udara, yaitu vegetasi, pola permukiman dan kepadatan permukiman didukung
dengan data yang didapat dari pengukuran di lapangan, yakni tempat sampah,
prasarana air, dan saluran air hujan serta didukung oleh data kepadatan penduduk.
Hasil penelitian tersebut adalah foto udara dapat digunakan untuk menyadap data
lingkungan fisik seperti vegetasi dan permukiman serta hasil yang lain adalah peta
tingkat kerentanan wilayah terhadap perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Hasil uji ketelitian interpretasi penggunaan lahan yaitu
93,24%, kepadatan permukiman sebesar 88%, pola permukiman sebesar 84%, dan
sebaran vegetasi sebesar 78%. Peta tingkat kerentanan terhadap
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kelurahan
Ciganjur dan Kelurahan Cipedak hanya terdapat 4 kelas yaitu kelas II (sedikit
rentan) seluas 339,27 Ha (46,15%), kelas III (agak rentan) seluas 132,93 Ha
(18,08%), kelasIV (rentan) seluas 160,32 Ha (21,81%), dan kelas V (sangat
rentan) seluas 2,76 Ha (0,38%), sedangkan daerah yang termasuk tidak rentan
yang termasuk tidak rentan seluas 99,82 Ha (13,58%).
Al Rahmadi (2005) melakukan penelitian berjudul Penentuan Tingkat
Kerawanan Wilayah terhadap Wabah Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan
Teknik Pengeinderan Jauh dan Sistem Informasi Geografi di Kota Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Tujuan penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui ketelitian citra IKONOS dalam
menentukan wilayah yang rawan terhadap wabah penyakit DBD dan untuk
menentukan wilayah yang rawan terhadap wabah penyakit DBD di Kota
Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut digunakan variabel yang diperoleh dari
hasil penyadapan citra IKONOS dan pengelohan data sekunder untuk pembuatan
satuan pemetaan. Dari masing-masing satuan pemetaan dibuat blok-blok sampel
pada unit permukiman untuk mempermudah pengecekan dan pengukuran
dilapangan. Pengecekan data dilakukan untuk mengetahui kebenaran data yang
disadap dari penginderaan jauh. Kemudian semua variabel diinterpretasi ulang
agar didapatkan peta tingkat kerawanan wilayah terhadap bahaya wabah penyakit
DBD di sebagian Kota Yogyakarta. Pada peta tersebut diketahui terdapat lima
kelas kerawanan yaitu wilayah sangat rawan dengan luas 9,08 Ha meliputi
Kecamatan Gondosuman dan Kecamatan Jati, wilayah rawan dengan luas 308,79
Ha meliputi Kecamatan Kratonan, Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan
Mantrirejon, Kecamatan Margangsan dan Kecmatan Ngampilan. Wilayah agak
rawan dengan luas 881,66 Ha sebagian besar di Kecamatan Umbulharjo. Wilayah
sedikit rawan dengan luas 1034,50 Ha dihampir semua kecamatan dan wilayah
sangat sedikit rawan dengan luas 539,12 Ha di Kecamatan Gondomanan. Dari
peta ini dianalisis ulang untuk mendapatkan peta prioritas penanganan dan
pencegahan wabah penyakit DBD di Kota Yogyakarta. Rata-rata tingkat akurasi
ketelitian untuk data kualitas permukiman adalah 89%.
Bahtiar (2005) melakukan penelitian dengan judul Pemetaan Tingkat
Kerawanan Wilayah Terhadap Demam Berdarah Menggunakan Teknologi
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi di Kecamatan Teglarejo Kota
Yogyakarta. Tujuan penelitian tersebut antara lain untuk pemetaan tingkat
kerawanan wilayah terhadap penyakit DBD di Kecamatan Tegalrejo dan untuk
pembuatan informasi spasial yang menggambarkan tingkat kerawanan dan
persebaran penyakit DB pada wilayah administrasi Tegalrejo. Sumber data utama
yang dipakai adalah citra IKONOS, disamping beberapa data sekunder lainnya
baik yang berupa peta-peta maupun data statistik. Dalam pemetaan tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
digunakan 6 parameter, yaitu penggunaan lahan, pola permukiman, kepadatan
penduduk, jarak terhadap pembuangan akhir (TPA), nilai rasio sex setiap satuan
pemetaan, dan jarak terhadap sungai. Pembuatan peta tingkat kerawanan ini
menggunakan perpaduan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografi.
Untuk data penggunaan lahan, pola permukiman dan aliran sungai diperoleh dari
interpretasi citra satelit IKONOS, sedangkan data kepadatan penduduk, lokasi
tempat pembuangan akhir , dan nilai rasio sex setiap satuan pemetaan didapat dari
data sekunder. Selanjutnya dari peta lokasi TPA dan aliran sungai dilakukan
analisis buffer berdasarkan kemampuan terbang nyamuk Aedes aegypti. SIG
digunakan untuk input, pengelolaan, analisis, dan output data-data spasial dalam
rangka menghasilkan peta tingkat kerawanan wilayah terhadap Demam Berdarah.
Dari peta penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa Kecamatan Tegalrejo Kota
Yogyakarta menghasilkan 3 kelas kerawanan yaitu gak rawan seluas 0,6 Ha
(0,2%), rawan 152,9 Ha (51,3%) dan sangat rawan seluas 144,5 Ha (48,5%).
Perbandingan hasil penelitian disajikan pada tabel berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Tabel 7. Perbandingan Beberapa Hasil Penelitian
No Nama Tahun Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Siti Aisyah 2000 Aplikasi Foto Udara dan Sistem
Informasi Geografis untuk
Menentukan Tingkat
Kerentanan Wilayah terhadap
Perkembangbiakan Nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes
albopictus dan Prioritas
Penangannya di Jakarta
Selatan.
Interpretasi foto udara,
Pengharkatan,
Cek lapangan dan analisis
dengan SIG.
- Hasil uji ketelitian interpretasi
penggunaan lahan yaitu 93,24%,
kepadatan permukiman sebesar 88%,
pola permukiman sebesar 84%, dan
sebaran vegetasi sebesar 78%
- Tingkat kerentanan terdapat 4 kelas
yaitu kelas II (sedikit rentan) seluas
339,27 Ha (46,15%), kelas III (agak
rentan) seluas 132,93 Ha (18,08%),
kelasIV (rentan) seluas 160,32 Ha
(21,81%), dan kelas V (sangat rentan)
seluas 2,76 Ha (0,38%), sedangkan
daerah yang termasuk tidak rentan yang
termasuk tidak rentan seluas 99,82 Ha
(13,58%).
2. Muhamad
Al Rahmadi
2005 Penentuan Tingkat Kerawanan
Wilayah terhadap Wabah
Penyakit Demam Berdarah
Dengue Dengan Teknik
Pengeinderan Jauh dan Sistem
Informasi Geografi di Kota
Yogyakarta
Interpretasi citra IKONOS,
Pengharkatan,
analisis dengan SIG.
- Tingkat akurasi ketelitian untuk data
kualitas permukiman adalah 89%.
- Lima kelas kerawanan yaitu wilayah
sangat rawan dengan luas 9,08 Ha,
wilayah rawan dengan luas 308,79 Ha,
Wilayah agak rawan dengan luas 881,66
Ha. Wilayah sedikit rawan dengan luas
1034,50 Ha dan wilayah sangat sedikit
rawan dengan luas 539,12 Ha.
3. Luqman
Bahtiar
2005 Pemetaan Tingkat Kerawanan
Wilayah Terhadap Demam
Berdarah Menggunakan
Teknologi Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografi
di Kecamatan Teglarejo Kota
Yogyakarta.
Analisis overlay,
Pengharkatan,
analisi dengan SIG.
Tiga kelas kerawanan yaitu gak rawan
seluas 0,6 Ha (0,2%), rawan 152,9 Ha
(51,3%) dan sangat rawan seluas 144,5
Ha (48,5%).
4. Lintang
Prawindia
2012 Pemanfaatan Citra IKONOS
untuk Zonasi Tingkat
Kerawanan Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) Di
Kota Surakarta Tahun 2011
Pengharkatan,
Analisis overlay,
Analisis peta.
______
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
C. Kerangka Berpikir
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di perkotaan dipengaruhi oleh
jumlah penduduk serta kurangnya kebersihan lingkungan permukiman.
Akibatnnya, perkembangbiakan nyamuk dan penyebaran penyakit DBD sangat
cepat, didukung oleh adanya iklim tropis yang memungkinkan
berkembangbiaknya nyamuk penyebab penyakit DBD menjadi tak terkendali.
Permukiman yang memiliki peduduk padat, kepadatan bangunan tinggi, dan tidak
teratur rawan terkena penyakit DBD.
Tingkat kerawanan penyakit DBD dapat ditentukan dengan menganalisis
persebaran penyakit DBD. Tingkat kerawanan penyakit merupakan tingkatan
peristiwa yang memiliki potensi untuk mengancam kehidupan manusia yang
diakibatkan oleh suatu jenis penyakit. Oleh sebab itu, diperlukan prioritas
penanganan dan pencegahan sebelum terjadi persebaran yang lebih luas.
Ilmu Geografi dinilai mampu untuk membantu memecahkan
permasalahan yang terjadi. Dengan sudut pandang keruangan, dapat diperoleh
informasi yang menerangkan wilayah yang rawan terhadap penyakit DBD dan
wilayah prioritas penanganannya dalam bentuk peta. Perolehan data untuk
penilaian tingkat kerawanan wilayah selama ini didapatkan secara terrestrial. Cara
perolehan data tersebut memakan waktu, tenaga, dan biaya yang besar.
Penginderaan jauh menjadi alternatif yang digunakan untuk menyadap data
tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyakit DBD.
Penggunaan citra IKONOS dapat membantu memperoleh informasi yang
berkaitan dengan lingkungan secara efektif dan efisien serta lebih akurat karena
didalam pengerjaannya hanya sedikit melakukan kerja lapangan. Dari citra
diperoleh informasi mengenai daerah yang sedang diteliti, disamping itu letak
obyek satu terhadap obyek lainnya secara jelas dapat terlihat serta hubungan
keruangannya. Selain itu dengan interpretasi citra IKONOS dapat diidentifikasi
obyek yang mungkin sulit dilihat atau diketahui melalui jalan darat. Data citra
IKONOS juga mampu menyajikan kenampakan obyek seperti obyek aslinya di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
lapangan, dapat memberikan gambaran tiga dimensi dan dapat diketahui tingkat
ketelitiannya. Citra IKONOS dengan resolusi spasial yang tinggi mampu
menampilkan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh pada penyakit Demam
Berdarah Dengue, selain itu citra IKONOS menyajikan informasi kualitas
permukiman lebih detail.
Beberapa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk vektor DBD dapat disadap dari citra antara lain
penggunaan lahan, kepadatan permukiman, aliran sungai, saluran air hujan, dan
keteraturan permukiman, sedangkan parameter yang didapat dari data sekunder
yaitu jumlah penduduk. Semua parameter tersebut ditumpangsusun untuk
mendapatkan zonasi tingkat kerawanan penyakit DBD. Hasil tumpangsusun
disajikan dalam bentuk peta zonasi tingkat kerawanan penyakit DBD.
Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat secara singkat melalui bagan
kerangka pemikiran berikut ini :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Gambar 1.
Diagram Kerangka Berpikir
Pertumbuhan
Penduduk
Urbanisasi Laju
pembangunan
Peningkatan Kebutuhan Lahan
untuk Permukiman
Tingkat Kerawanan
Aktual Penyakit
DBD
Data kejadian DBD
Kota Surakarta
Parameter :
1. Kepadatan permukiman
2. Keteraturan permukiman
3. Penggunaan lahan
4. Jarak permukiman
terhadap sungai
5. Saluran air
6. Kepadatan penduduk Tingkat
Kerawanan
Potensial
Penyakit DBD
Kualitas
Permukiman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah Kota Surakarta yang mencakup lima
Kecamatan yaitu Kecamatan Jebres, Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Laweyan,
Kecamatan Serengan, dan Kecamatan Pasar Kliwon.
Kota Surakarta dipilih sebagai tempat penelitian karena memiliki jumlah
kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tinggi hingga terjadi kematian.
Selain itu, Kota Surakarta memiliki kondisi fisik lingkungan yang beraneka
ragam. Kondisi fisik lingkungan berupa kepadatan yang tinggi, pola permukiman
tidak teratur, arah hadap bangunan terhadap jalan tidak seragam, dan dekat dengan
tempat perkembangbiakan vektor nyamuk seperti tempat pembuangan akhir
sampah dan sungai, mengharuskan penanganan penyakit DBD pada masing-
masing kecamatan berbeda sesuai dengan tingkat kerawanannya.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Oktober 2011 hingga Juli 2012 dengan rincian
waktu sebagai berikut :
Tabel 8. Rentang Waktu Penelitian
Waktu
Kegiatan
Tahap
Persiapan
Penyusunan
Proposal
Persiapan
Citra PJ
Interpretasi
Citra
Pengambilan
Data
Lapangan
Pengolahan
Data
Penyusunan
Laporan
Penelitian
Oktober 2011
November
Desember
Januari 2012
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
B. Pendekatan Penelitian
Geografi adalah ilmu yang menekankan pada sudut pandang keruangan.
Semua masalah, fenomena, potensi, dan objek yang berhubungan dengan bumi
dikaji berdasarkan aspek keruangan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan keruangan (spasial). Pendekatan keruangan
digunakan untuk mengidentifikasi penggunaan lahan, pola permukiman,
kepadatan permukiman, jarak permukiman terhadap sungai, saluran air dan
kepadatan penduduk.
Pada penelitian ini, citra penginderaan jauh yang digunakan adalah citra
IKONOS. Citra tersebut merupakan citra visual yang diambil dari Google Earth
tahun perekaman 2011. Google earth merupakan aplikasi Web-GIS yang
menampilkan permukaan bumi berdasarkan kompilasi dari berbagai citra satelit.
Citra satelit yang digunakan Google Earth antara lain, yaitu: citra IKONOS,
Quickbird, SPOT, dan sebagainya. Data yang diperoleh dari interpretasi citra
antara lain penggunaan lahan, kepadatan permukiman, keteraturan permukiman,
dan jaringan sungai. Parameter tingkat kerawanan penyakit DBD yang tidak dapat
diketahui dari citra diperoleh dari data sekunder dan pengecekan di lapangan.
Seluruh data penentu tingkat kerawanan penyakit DBD diolah dengan
menggunakan perangkat sistem informasi geografis dan divisualisasikan dalam
bentuk peta.
C. Data dan Variabel Penelitian
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden
atau objek yang diteliti atau ada hubungannya dengan yang diteliti
(Tika,1997:67). Data primer dalam penelitian ini yang diperoleh dari citra
IKONOS tanggal perekaman 18 Juni 2009 dan tanggal 8 Juli 2011 yaitu data
penggunaan lahan, kepadatan permukiman, keteraturan permukiman, dan jarak
terhadap sungai, sedangkan data yang diperoleh dari hasil observasi yaitu saluran
air hujan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen yang tersimpan
di instansi-instansi terkait. Data yang digunakan merupakan data yang tidak dapat
diinterpretasi dari citra IKONOS dan observasi lapangan. Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian adalah jumlah penduduk Kota Surakarta tahun 2010
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta dan peta drainase yang
diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Surakarta.
Sumber data yang digunakan dapat disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 9. Sumber Data
Data Variabel Perolehan Data
Primer Penggunaan Lahan Interpretasi citra IKONOS
Kepadatan Permukiman Interpretasi citra IKONOS
Keteraturan Permukiman Interpretasi citra IKONOS
Jarak Sungai Interpretasi citra IKONOS
Saluran Air Observasi Lapangan
Sekunder Jumlah Penduduk BPS Kota Surakarta
Saluran Air DPU Kota Surakarta
D. Teknik Sampling
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang
ingin diteliti. Agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai maka populasi dalam
penelitian ini yaitu semua penggunaan lahan yang terdapat di Kota Surakarta, baik
penggunaan lahan permukiman maupun non permukiman. Penggunaan lahan
permukiman dalam penelitian ini merupakan seluruh blok bangunan rumah
mukim dan blok non rumah mukim yang terdapat di Kota Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
2. Sampel
Sampel adalah sebagian anggota populasi yang dipilih dengan
menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya.
Sebagian besar parameter penentu tingkat kerawanan penyakit DBD diperoleh
dari interpretasi secara langsung pada citra. Untuk menambah validitas data maka
dilakukan uji lapangan pada beberapa lokasi. Lokasi pemilihan sampel yaitu
terdapat di bagian inti kota, selaput kota dan pinggir kota. Teknik sampel yang
digunakan untuk mengetahui parameter penggunaan lahan yaitu dengan purposive
sampling. Teknik penentuan sampel ini dengan pertimbangan bahwa penggunaan
lahan yang dipilih sebagai sampel sesuai dengan kondisi dilapangan dan mewakili
penggunaan yang sama. Pemilihan sampel untuk menilai parameter yang terdapat
di blok permukiman menggunakan stratified random sampling. Strata yang
digunakan untuk pemilihan sampel adalah kepadatan permukiman dan keteraturan
permukiman. Pemilihan sampel didasarkan pada blok permukiman yang memiliki
ciri berupa kepadatan dan keteraturan permukiman yang sama. Pemilihan sampel
digunakan pada saat cek lapangan untuk memastikan hasil interpretasi. Data yang
diuji di lapangan berupa kepadatan permukiman, keteraturan permukiman,
penggunaan lahan, saluran air, dan jarak terhadap sungai. Penggunaan sampel ini
memberikan peluang pada semua ciri-ciri parameter yang heterogen pada populasi
dapat terwakili.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Interpretasi Citra
Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek
tersebut. Di dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra ada tiga
rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Citra
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra IKONOS tanggal
perekaman 18 Juni 2009 dan tanggal 8 Juli 2011. Langkah-langkah interpretasi
citra untuk menyadap data parameter tingkat kerawanan yaitu mendeteksi objek
yang memiliki persamaan karakteristik, mengidentifikasi objek, menganalisis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
objek yang telah ditentukan dan menggambarkan objek tersebut ke dalam peta
kerja lapangan. Pada proses interpretasi ini digunakan kunci interpretasi yang
terdiri dari warna, tekstur, bentuk, bayangan, situs, dan asosiasi. Interpretasi citra
pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh data kepadatan permukiman,
keteraturan permukiman, jarak sungai, dan penggunaan lahan.
2. Observasi
Observasi adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang
ada pada objek penelitian (Tika,1997:68). Data sekunder yang didapat belum
tentu memuat data lain yang dibutuhkan, jadi observasi sangat diperlukan untuk
melengkapi data yang sudah ada.
Observasi dilakukan untuk menguji hasil interpretasi terhadap parameter
penentu tingkat kerawanan berupa penggunaan lahan, kepadatan permukiman,
keteraturan permukiman, saluran air hujan, dan jarak terhadap sungai.
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik Pengolahan Data
Citra IKONOS sebagai sumber data telah dikoreksi secara geometrik,
jadi telah memiliki sistem koordinat dan proyeksi orthogonal seperti pada peta
dengan mengacu pada sistem koordinat tertentu, sehingga posisi segala obyek
maupun kenampakan pada citra sesuai dengan lokasi sebenarnya dipermukaan
bumi. Informasi penggunaan lahan, kepadatan permukiman, dan tata letak
permukiman didapatkan dengan menggunakan metode interpretasi secara visual
pada citra. Interpretasi dilakukan pada layar monitor yang sering disebut on
screen digitzing. Pada proses interpretasi ini digunakan kunci interpretasi yang
terdiri dari warna, rona, tekstur, bentuk, bayangan, situs, dan asosiasi. Interpretasi
ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi obyek (Sutanto,1994:121).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Dalam pemetaan penggunaan lahan Kota Surakarta menggunakan
klasifikasi penggunaan lahan sebagai berikut :
1. Permukiman
2. Perdagangan
3. Pertanian
4. Industri
5. Transportasi
6. Jasa
7. Rekreasi
8. Lain-lain
2. Analisis Data
a. Analisis ketelitian interpretasi citra IKONOS
Perhitungan ketelitian interpretasi menggunakan matriks uji ketelitian
interpretasi. Uji ketelitian digunakan untuk mencocokkan hasil interpretasi data
penggunaan lahan, kepadatan permukiman, dan keteraturan permukiman dengan
kondisi sebenarnya dilapangan.
Tabel 10. Tabel Tingkat Ketelitian Citra IKONOS
Hasil Interpretasi
Hasil Lapangan
A B C Lain-
lain
Jumlah Omisi Komisi Ketelitian hasil
interpretasi tiap
kategori
A
B
C
Lain-lain
25
2
3
2
5
50
4
2
10
6
60
2
3
5
5
100
43
63
72
106
18/43 = 42%
13/63 = 42%
12/72= 42%
6/106= 42%
7/43 = 16%
11/63 = 17%
18/72 = 25%
13/106 = 12%
25/32 = 78%
50/61 = 83%
60/78 = 77%
100/113 = 89%
Jumlah 32 61 78 113 284
Ketelitian interpretasi diterima apabila rerata % dari obyek yang
diinterpretasi benar > 80% dan rerata komisi < 20%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
b. Analisis zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) Kota Surakarta.
Satuan analisis pada penelitian ini adalah wilayah yang terbentuk
berdasarkan pembagian photomorfic. Pembagian wilayah photomorfic adalah
pembagian wilayah berdasarkan persamaan kenampakan atau perwujudan wilayah
pada foto udara atau citra. Parameter tingkat kerawanan yang diinterpretasi dari
citra IKONOS antara lain penggunaan lahan, kepadatan permukiman, keteraturan
permukiman, dan jarak sungai. Penggunaan lahan permukiman dan
nonpermukiman menggunakan satuan blok bangunan dalam interpretasinya. Blok
bangunan diperoleh dari hasil persamaan kenampakan kepadatan permukiman,dan
keteraturan permukiman yang tampak pada citra.
Penelitian ini menggunakan teknik pengharkatan (skoring) dalam analisa
data. Pengharkatan dilakukan dengan pembobotan untuk tiap parameter tingkat
kerawanan wilayah terhadap penyakit DBD. Bobot tinggi diberikan pada
parameter yang paling berpengaruh terhadap kerawanan wilayah terhadap
penyakit DBD, sedangkan bobot rendah diberikan pada parameter yang kurang
berpengaruh. Tingkat kerawanan wilayah terhadap penyakit DBD memiliki
parameter sebagai berikut :
1) Kepadatan Permukiman
Kepadatan Permukiman dalam penelitian ini yaitu luas atap bangunan
dibandingkan terhadap luas daerah permukiman yang kepadatan bangunannya
sama, dinyatakan dalam prosen.
Hasil dari penilaian diberi harkat sesuai dengan klasifikasinya, semakin
padat permukiman harkatnya semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Karena
diasumsikan semakin padat permukiman maka semakin banyak terdapat wadah-
wadah yang dapat menampung air seperti tempayan, ember, pot bunga, bak
mandi, genteng, dan lain sebagianya. Klasifikasi kepadatan permukiman sebagai
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tabel 11. Klasifikasi Kepadatan Permukiman
No Kriteria kepadatan Prosen kepadatan Harkat
1. Kepadatan permukiman
dibawah 5% dimasukkan
ke nonbangunan
≤20% 1
2. Permukiman dengan
kepadatan sedang
21-60% 2
3. Permukiman dengan
kepadatan tinggi
>60% 3
Sumber : Suharyadi,2001:101
2) Keteraturan Permukiman
Tata letak Permukiman atau keteraturan permukiman merupakan
persebaran rumah-rumah terhadap jaringan jalan yang ada di sekitarnya yang
meliputi keteraturan rumah dan keseragaman ukuran rumah. Tata letak dapat
diidentifikasi berdasarkan pola, keseragaman bentuk, dan ukuran kapling
bangunan rumah mukim. Semakin teratur rumah mukim diasumsikan lebih baik
daripada permukiman yang tidak teratur. Pemberian harkat berdasarkan tingkat
keteraturan permukiman, semakin tidak teratur maka nilai harkatnya semakin
tinggi. Pengklasifikasiannya sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tabel 12. Klasifikasi Pola Bangunan
No Kriteria
keteraturan
persentase Harkat
1. Teratur >60% bangunan
permukiman menghadap ke
jalan dan jalan lingkungan
1
2. Semi teratur 40%-60% bangunan
permukiman yang
menghadap ke jalan
lingkungan
2
3. Tidak Teratur <30% bangunan
permukiman menghadap ke
jalan dan jalan lingkungan
3
Sumber : Suharyadi,2001:101
3) Penggunaan Lahan
Vektor pembawa Demam Berdarah memilih tempat-tempat yang
tergenang air sebagai sarang untuk tempat tinggal dan berkembangbiak. Beberapa
tempat yang memiliki kondisi tersebut pada umumnya terdapat di daerah
terbangun. Dengan demikian nyamuk akan cepat berkembangbiak apalagi jika
disekitarnya merupakan lahan permukiman, sedangkan lahan yang tidak
terbangun relatif aman dalam hal kerawanan terhadap DBD karena manusia
jarang bertempat tinggal didaerah tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Tabel 13. Klasifikasi Penggunaan Lahan
No Penggunaan Lahan Harkat
1. Pertanian, lain-lain 3
2. Rekreasi,transportasi 2
3. Permukiman, perdagangan, jasa, industri. 1
Sumber : Sutanto,1981.
4) Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk memiliki pengaruh terhadap keberadaan nyamuk
pembawa penyakit DBD. Pada permukiman yang padat penyebaran penyakit
DBD akan berlangsung cepat. Semakin padat penduduk maka semakin besar
kerawanan terhadap penyakit DBD.
Tabel 14. Klasifikasi Kepadatan Penduduk
No Kepadatan Penduduk Harkat
1. Rendah 1
2. Sedang 2
3. Tinggi 3
Sumber : BPS 2010
5) Jarak Permukiman terhadap Sungai
Nyamuk pembawa virus Demam Berdarah menyukai air yang tergenang
sebagai tempat tinggal dan berkembangbiak. Tempat-tempat disekitar sungai
bahkan di sungai itu sendiri merupakan tempat habitat nyamuk. Umumnya aliran
sungai di kota memiliki kecepatan yang lambat. Selain itu sungai yang mengalir
di daerah permukiman banyak mengandung sampah. Berbagai sampah yang dapat
menampung air akan menjadi tempat yang potensial bagi nyamuk. Klasifikasi
jarak terhadap sungai sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Tabel 15. Klasifikasi Jarak Permukiman Terhadap Sungai
No Jarak Terhadap Sungai
(meter)
Harkat
1. >120 1
2. 60-120 2
3. <60 3
Sumber : WHO,1999
6) Saluran air hujan
Saluran air ini mempunyai fungsi untuk pengatusan dari genangan air
hujan dari setiap rumah mukim pada saruan unit pemetaan. Saluran air ikut
menentukan kemungkinan penggenangan pada lingkugan permukiman pada saat
musim penghujan. Saluran air hujan yang biasanya terbuat dari beton jika mampat
maka akan tergenang air, sehingga merupakan tempat yang ideal untuk
perkembangbiakan nyamuk.
Tabel 16. Klasifikasi Saluran Air Hujan
No Persentase jumlah penghuni yang mempunyai
saluran air hujan
Harkat
1 >50% penghuni permukiman pada satuan
pemetaan mempunyai saluran air hujan dan
kondisinya mengalir dengan baik
1
2 <50% penghuni permukiman pada satuan
pemetaan mempunyai saluran air hujan dan
kondisinya mengalir dengan baik
2
Sumber : Sandy,1977
Setelah menentukan harkat dari setiap variabel selanjutnya dilakukan
klasifikasi tingkat kerawanan wilayah terhadap penyakit Demam Berdarah
Dengue. Klasifikasi dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pembobotan
tiap parameter. Parameter yang sangat berpengaruh diberi bobot tiga. Parameter
yang berpengaruh sedang diberi bobot dua. Parameter yang sedikit berpengaruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
diberi nilai satu. Skor Kerawanan dikelompokkan kedalam n kelas.
Pengelompokan berdasarkan kelas interval dari nilai maksimum dan nilai
minimum. Rumus pengelompokan adalah :
Interval = nilai max – nilai min / jumlah kelas
Berdasarkan cara pendekatan di atas, maka zonasi tingkat kerawanan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat ditentukan sebagai berikut :
jumlah variabel 6, blok bangunan yang keadaannya sangat rawan memiliki jumlah
skor 3 x 6 = 18, sedangkan untuk bangunan tidak rawan memiliki skor 1 x 6 = 6.
Maka interval kelas yang diperoleh 18-6/3 = 4.
Sehingga zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah sebagai berikut :
Tabel 17. Zonasi Tingkat Kerawanan
No. Zonasi Interval
1.
2.
3.
Sangat Rawan
Rawan
Tidak Rawan
>11
7-11
<6
c. Analisis zonasi tingkat kerawanan aktual penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Kota Surakarta
Zonasi tingkat kerawanan aktual penyakit DBD diperoleh dari
tumpangsusun peta zonasi tingkat kerawanan dengan peta kejadian penyakit DBD
di Kota Surakarta. Zonasi tingkat kerawanan aktual digunakan untuk mengetahui
wilayah yang rawan maupun tidak rawan dan prioritas penanganannya.
Klasifikasi zonasi aktual tingkat kerawanan sebagai berikut :
Tabel 18. Klasifikasi jumlah kasus DBD
Jumlah Kasus Klasifikasi Keterangan
0-16 Rendah Tidak Rawan
17-48 Sedang Rawan
>48 Tinggi Sangat Rawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
G. Prosedur Penelitian
1. Persiapan
Tahap ini merupakan kegiatan awal sebelum penelitian, seperti
pengumpulan referensi/literatur melalui studi pustaka yang sesuai dengan masalah
yang akan dikaji serta untuk kepentingan penyusunan proposal. Kegiatan ini
disebut juga dengan pra penelitian.
2. Penyusunan Proposal Penelitian
Penyusunan proposal merupakan rancangan penelitian yang disusun
sebagai pengajuan untuk melakukan penelitian. Melalui proposal dijelaskan
tentang latar belakang penelitian, masalah yang dikaji, landasan teori dan metode
penelitian yang digunakan.
3. Persiapan Citra Penginderaan Jauh
Instrumen penelitian merupakan alat untuk mendapatkan informasi yang
berhubungan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data yang membutuhkan
instrumen adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Pada penelitian ini
instrumen yang digunakan berupa persiapan citra penginderaan jauh yaitu citra
IKONOS dan pembuatan peta kerja untuk pengecekan hasil interpretasi.
4. Interpretasi Citra
Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada tahap ini.
Data primer yang diperoleh dari interpretasi citra antara lain, kepadatan bangunan,
pola bangunan, jaringan sungai. Data sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi
yaitu data jumlah penduduk. Selain dokumentasi juga dilakukan pengumpulan
data observasi lapangan dengan pengamatan langsung dilapangan untuk
mengetahui kondisi, saluran air, dan jarak terhadap sungai.
5. Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis spasial dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dan teknik skoring. Analisis data
dilakukan setelah mendapatkan data yang berasal dari data primer dan data
sekunder ataupun data dari hasil analisis overlay peta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
6. Penyusunan Laporan Penelitian
Setelah penelitian selesai, maka hasilnya dituangkan dalam sebuah
laporan penelitian yang di dalamnya mencakup semua hal tentang penelitian
secara keseluruhan mulai dari awal hingga akhir.
H. Batasan Operasional
Demam Berdarah Dengue (Breakbone Fever) : Merupakan demam lima hari
akibat infeksi akut non-fatal yang disebarkan oleh nyamuk jenis Aedes aegypti.
Permukiman : Suatu bentuk artificial maupun natural dengan segala
kelengkapannya yang digunakan oleh manusia baik secara individu maupun
kelompok untuk bertempat tinggal baik sementara maupun menetap dalam rangka
menyelenggarakan kehidupan (Yunus,1987).
Lingkungan : Sistem yang meliputi lingkungan hayati, lingkungan buatan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UURI No.4 th 1982).
Penginderaan Jauh : Suatu ilmu dan teknik untuk memperoleh data dan
informasi tentang obyek dan gejala menggunakan alat tanpa kontak langsung
dengan obyek yang dikaji. (Lillesand, T.M dan Kiefer)
Sistem Informasi Geografi : Merupakan seperangkat alat yang digunakan untuk
mengolah data spasial menjadi informasi.
Interpretasi citra : Kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut
(Sutanto,1994).
Kerawanan : Peristiwa yang luar biasa yang memiliki potensi untuk mengancam
kehidupan manusia, baik dirinya, harta benda, kehidupannya, maupun
lingkungannya.
Penggunaan Lahan : setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap
lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual
(Arsyad,1989;207).
Zonasi : pembagian suatu wilayah berdasarkan karakteristik yang sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Keterangan :
: Input
: Proses
: Output
Gambar 2.
Diagram Alir Penelitian
Citra IKONOS tahun
perekaman 2011
1. Peta Kepadatan
Permukiman Sementara
2. Peta Pola Permukiman
Sementara
3. Peta Penggunaan Lahan
Sementara
4. Peta Jaringan Sungai
Sementara
Interpretasi visual Pengolahan data
jumlah penduduk
1. Peta Kepadatan Penduduk
2. Peta Saluran Air Sementara
Peta RBI NLP 1403-343
Peta Drainase
Dinas Pekerjaan Umum
Jumlah penduduk kota
Surakarta tahun 2011
Peta Zonasi Tingkat Kerawanan
Penyakit DBD Sementara
Pemilihan sampel
Cek lapangan
Interpretasi ulang
Pengukuran
Tumpangsusun
Pengharkatan
klasifikasi
Peta Zonasi Potensial Tingkat
Kerawanan Penyakit DBD
Tumpangsusun
Pengharkatan
klasifikasi
Peta Zonasi Aktual Tingkat
Kerawanan Penyakit DBD
Jumlah Kasus
DBD Kota
Surakarta
1. Peta Kepadatan Permukiman
2. Peta Pola Permukiman
3. Peta Penggunaan Lahan
4. Peta Jarak Permukiman
Terhadap Sungai
5. Peta Kepadatan
Penduduk
6. Peta Saluran Air
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Daerah Penelitian
1. Letak, Batas, dan Luas.
Kota Surakarta terletak pada 7º36’00’’ LS - 7º56’00’’ LS dan
110º45’15’’ BT - 110º45’35’’ BT. Kota Surakarta memiliki batas administratif
sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan
Kabupaten Boyolali.
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan
Kabupaten Sukoharjo.
Kota Surakarta terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan Banjarsari,
Kecamatan Jebres, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan dan
Kecamatan Laweyan. Luas seluruh Kota Surakarta yaitu 4404,06 Ha. Pembagian
administratif ditunjukkan pada peta 1. Luas masing-masing kecamatan dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 19. Pembagian Dan Luas Administrasi Kecamatan
No Kecamatan Luas (Ha)
1. Banjarsari 1481,10
2. Jebres 1258,18
3. Pasar Kliwon 481,52
4. Serengan 319,40
5. Laweyan 863,86
Jumlah 4404,06
Sumber: Kecamatan Dalam Angka tahun 2010
47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
2. Iklim
Iklim merupakan gambaran keadaan rata-rata cuaca disuatu tempat dalam
periode tertentu. Iklim dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain :angin,
intensitas curah hujan, temperature, letak, jarak dari matahari dan tinggi suatu
tempat. Klasifikasi yang sering digunakan di Indonesia adalah klasifikasi dari
Schmidt dan Ferguson serta Oldeman. Klasifikasi iklim dalam penelitian ini
menggunakan klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Klasifikasi tersebut
menggunakan hitungan rata-rata bulan basah dan rata-rata bulan kering atau
berdasarkan nilai Q (Quotien). Nilai Q dinyatakan dalam persen (%) dengan
rumus sebagai berikut :
Q= x100%
Penentuan bulan basah dan bulan kering menggunakan klasifikasi dari
Mohr, yaitu :
a) Bulan basah adalah bulan dengan rata-rata curah hujan >100mm.
b) Bulan lembab adalah bulan dengan rata-rata curah hujan antara 60-100mm.
c) Bulan kering adalah bulan dengan rata-rata curah hujan <60mm.
Berdasarkan besarnya nilai Q, tipe curah hujan di Indonesia dibagi
menjadi 8 golongan, yaitu :
Tabel 20. Klasifikasi Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson
No Tipe Nilai Sifat
1 A 0,0% ≤ Q < 14,3% Sangat basah
2 B 14,3% ≤ Q < 33,3% Basah
3 C 33,3% ≤ Q < 60,0% Agak basah
4 D 60,0% ≤ Q < 100% Sedang
5 E 100% ≤ Q < 167% Agak kering
6 F 167% ≤ Q < 300% Kering
7 G 300% ≤ Q < 700% Sangat kering
8 H 700% ≤ Q ≈ Luar biasa kering
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Berikut adalah data curah hujan (mm) rata-rata Kota Surakarta selama 10
tahun dari tahun 2000 sampai tahun 2009.
Tabel 21. Curah Hujan (Mm) Kota Surakarta Tahun 2000-2009
No Bulan Curah Hujan Jumlah
(mm)
Rata-
rata
(mm)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Januari 117 265 371 306 454,4 199,5 494 141 193 631 2518 251,8
2 Pebruari 336 211 181 263 295,5 315,5 387 452 357 287,5 1851 185,1
3 Maret 407 214 53 162 306 261,5 168,5 344 666 207 1646 164,6
4 April 139 181 84 11 147,5 246,5 371 354 196 193 1175 117,5
5 Mei 63 146 30 20 190 62 218 80,5 63 186 945 94,5
6 Juni 18 15,5 0 0 16 124,5 34 16,5 23 94 185 18,5
7 Juli 7 4 0 0 60,5 76 2 8 0 0 97 9,7
8 Agustus 0 0 2 0 0 4 0 0 0 0 6 0,6
9 September 22 45 0 8 1,5 60 0 0 4 3 143,5 14,35
10 Oktober 150 193 0 45 3,5 80 0 42 288 84 882 88,2
11 November 175 124 155 196,5 364,5 171,5 178,5 274,5 253 218 925 92,5
12 Desember 0 0 184 341.5 651 483 386 667 382,5 141 2595 259,5
Jumlah 2954 1383 138,5 1060 1353 2490,5 2084 2239 2043 1757 12968,5
Jumlah Bulan
Basah
10 7 7 4 5 7 7 7 7 7 64
Jumlah Bulan
Lembab
0 0 0 1 0 1 4 0 1 2 10
Jumlah Bulan
Kering
2 5 5 7 7 4 1 5 4 3 46
Sumber : Balai Besar Wilayah Bengawan Solo 2009
Berdasarkan Tabel 8 di atas diketahui bahwa rata-rata bulan basah daerah
penelitian adalah 6,4 dan rata-rata bulan kering 4,6. Selanjutnya dilakukan
perhitungan nilai Q sebagai berikut:
%88,71%1004,6
6,4Q
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Dari perhitungan tersebut diperoleh nilai Q sebesar 71,88%. Berdasarkan
Klasifikasi Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt dan Ferguson , diketahui bahwa
tipe curah hujan daerah penelitian adalah D yaitu sedang. Grafik tipe curah hujan
Kota Surakarta dapat dilihat pada gambar 14di bawah ini.
Gambar 3. Grafik Tipe Curah Hujan Kota Surakarta
Rat
a-ra
ta B
ula
n K
erin
g
Rata-rata Bulan Basah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
3. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan Kota Surakarta secara umum digunakan untuk
permukiman, jasa, perusahaan, industri, tanah kosong, tegalan, sawah, kuburan,
lapangan olah raga, taman kota dan lain-lain. Luas masing-masing penggunaan
lahan di setiap kecamatan dirinci kedalam tabel berikut.
Tabel 22. Luas Penggunaan Lahan Kota Surakarta tahun 2010.
No Penggunaan Lahan Laweyan Serengan
Pasar
Kliwon Jebres Banjarsari
Total
Luas
1 Perumahan/permukiman 559,60 224,96 308,94 659,09 951,75 2704,34
2 Jasa 89,41 21,67 37,69 176,61 107,32 432,7
3 Perusahaan 43,19 31,54 39,73 83,56 87,79 285,81
4 Industri 40,08 11,46 9,77 24,95 20,76 107,02
5 Tanah kosong 7,27 1,15 16,38 24,53 14,12 63,45
6 Tegalan 0 0 0 91,32 2,00 93,32
7 Sawah 42,26 0 3,36 21,32 104,52 171,46
8 Kuburan 6,05 1,50 1,67 11,7 24,78 45,7
9 Lapangan Olahraga 12,24 3,00 9,55 10,51 30,23 65,53
10 Taman Kota 0,15 2,00 0 22,6 8,85 33,6
11 Lain-lain 63,61 22,12 54,43 104,61 128,12 372,89
Jumlah 863.86 319.4 481.52 1230.8 1480.24 4375.82
Sumber : Kecamatan Dalam Angka Tahun 2010
Secara sederhana prosentase penggunaan lahan di Kota Surakarta dapat
dilihat pada Gambar berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Gambar 4. Prosentase Penggunaan Lahan Kota Surakarta Tahun 2010.
Penggunaan lahan paling besar digunakan untuk permukiman yaitu
2704,34 Ha atau 62%, hal ini disebabkan banyaknya pendatang yang membangun
permukiman baru dan menggusur lahan lain yang sebelumnya berupa lahan
kosong, sawah maupun tegalan. Penggunaan lahan terkecil yaitu taman kota yang
hanya seluas 33,6 Ha atau 1% dari seluruh luas penggunaan lahan di Kota
Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
4. Jumlah Penduduk
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Kota Surakarta
tercatat sebanyak 499.337 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk
laki-laki yakni 256.041 jiwa dan 243.296 jiwa laki-laki. Perbandingan jumlah
penduduk pada masing-masing kecamatan ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 23. Jumlah Penduduk Kota Surakarta Tahun 2010
No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
(Jiwa)
Sex Ratio
1. Laweyan 41.383 44.219 86.057 95
2. Serengan 21.113 22.540 43.653 94
3. Pasar Kliwon 36.715 37.554 74.269 98
4. Jebres 66.838 71.211 138.049 94
5. Banjarsari 76.792 80.517 157.309 95
Kota Surakarta 243.296 256.041 499.337 95
Sumber : Sensus Penduduk,2010.
Data tabel tersebut dapat divisualisasikan ke dalam peta 2. Satu simbol
dot pada peta mewakili 300 jiwa. Penempatan simbol dot didasarkan pada
penggunaan lahan permukiman, dan penggunaan lahan lain yang menjadi tempat
pemusatan kegiatan penduduk. Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan
dengan jumlah penduduk terbanyak, sejumlah 157.309 jiwa atau 31,50 persen dari
seluruh jumlah penduduk di Kota Surakarta, Sedangkan Serengan merupakan
kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit sebesar 8,81 persen atau
43.653 jiwa. Secara umum penduduk laki-laki di Kota Surakarta lebih sedikit
dibanding penduduk perempuan, salah satunya dapat dilihat dari Sex Ratio Kota
Surakarta. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, terhitung Sex Ratio Kota
Surakarta sebesar 94,28 yang berarti di setiap 100 orang penduduk perempuan
terdapat 94 penduduk laki-laki. Kecamatan Serengan merupakan kecamatan yang
memiliki sex ratio terkecil yakni 95.02 sedangkan Kecamatan Pasar Kliwon
memiliki sex ratio tertinggi yakni 97,77.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
5. Fasilitas Umum
Kota Surakarta sebagai kota besar telah memiliki fasilitas kesehatan yang
cukup memadai. Jumlah Rumah Sakit sebanyak 12 unit, Puskesmas 15 unit, dan
fasilitas pendukung lainnya. Fasilitas kesehatan menurut jenisnya disajikan pada
tabel berikut.
Tabel 24. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kota Surakarta tahun 2010
No Kecamatan Rumah
Sakit
Balai
Pengobatan
Puskesmas Pustu Apotik
1 Jebres 3 5 4 5 28
2 Pasar Kliwon 1 9 1 1 9
3 Serengan 2 3 3 4 10
4 Laweyan 5 5 3 5 29
5 Banjarsari 4 6 6 8 37
Jumlah 15 28 17 23 113
Sumber : Kecamatan Dalam Angka tahun 2010
Jumlah fasilitas kesehatan di Kota Surakarta divisualisasikan pada peta 3,
sedangkan perbandingan jumlah fasilitas kesehatan ditunjukkan pada gambar
berikut :
Gambar 5. Perbandingan Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kota Surakarta
Tahun2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
6. Konstruksi Rumah dan Letak Rumah
Kondisi perumahan di Kota Surakarta dapat diketahui berdasarkan
perbandingan rumah berdasarkan tingkat konstruksi dan letak rumah. Jumlah
rumah berdasarkan konstruksi rumah dan letak rumah pada tiap Kecamatan di
Kota Surakarta dituliskan pada tabel berikut.
Tabel 25. Banyak Rumah Menurut Konstruksi Dan Letak
Tiap Kecamatan Tahun 2010
No Kecamatan Konstruksi Rumah Letak Rumah
Permanen Bukan
Permanen
Di Bantaran
Sungai
Di Bawah
Tegangan Tinggi
1 Jebres 24.638 2.182 513 0
2 Pasar Kliwon 17.679 1.783 397 0
3 Serengan 6.814 1.220 0 0
4 Laweyan 24.851 191 124 43
5 Banjarsari 27.302 5.891 722 0
Jumlah 101.284 10.169 1.756 43
Sumber : Kecamatan Dalam Angka Tahun 2010.
Perbandingan jumlah rumah berdasarkan tipe konstruksi dan letak rumah
tiap Kecamatan di Kota Surakarta tahun 2010 direpresentasikan pada peta 4.
Pada tahun 2010, Kota Surakarta memiliki perbandingan jumlah rumah
permanen lebih besar daripada jumlah rumah bukan permanen. Rumah permanen
mencapai 101.284 atau 90,876% dari seluruh jumlah rumah di Kota Surakarta,
sedangkan jumlah rumah bukan permanen berjumlah 10.169 atau 9,124%. Dari
total jumlah rumah yang ada di Kota Surakarta sebanyak 111.453 rumah, terdapat
1.756 rumah terletak di bantaran sungai dan 43 rumah terletak di bawah tegangan
tinggi. Letak rumah di bantaran sungai merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi bertambahnya kasus demam berdarah, sebab sungai merupakan
tempat berkembangbiak vektor nyamuk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
B. Hasil Penelitian
1. Tingkat Ketelitian Citra IKONOS
Interpretasi citra merupakan dasar perolehan data baik data penggunaan
lahan maupun data mengenai permukiman. Pengenalan objek pada citra
dilakukan dengan menggunakan unsur interpretasi yang berupa rona, warna,
bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs dan asosiasi. Dalam proses
pengenalan tersebut digunakan pula data acuan berupa peta administrasi dan
potongan citra yang telah diinterpretasi dan telah diyakinkan kebenarannya serta
telah diberi keterangan seperlunya. Keterangan ini berupa jenis obyek yang
tergambar, unsur interpretasi dan lokasi liputannya.
Hasil pengenalan objek pada citra IKONOS berdasarkan unsur
interpretasi sebagai berikut :
1. Sawah, dikenali dari warna hijau, bentuk petak dengan luasan tertentu, dan
bertekstur halus.
2. Rumah, dikenali dari warna atap coklat tua, ukuran lebih kecil dibanding
dengan kantor atau industri, dan bertekstur kasar.
3. Sekolah, dikenali dari warna atap coklat, ukuran lebih besar dari rumah mukim,
bertekstur kasar, berbentuk I,L,U, dan berasosiasi dengan lapangan olah raga.
4. Industri, dikenali dari atap yang berwarna putih, ukuran lebih luas dari rumah
mukim dan sekolah, bertekstur kasar, berbentuk memanjang, berasosiasi
dengan halaman yang luas.
5. Sungai, dikenali dari warna hitam, bentuk memanjang, dan bertekstur halus.
6. Lahan kosong, dikenali dari warna coklat terang dengan luasan tertentu,
bertekstur halus, dan tidak terdapat bangunan.
Setelah objek pada citra dikenali, maka dilakukan uji ketelitian untuk
menunjukkan bahwa hasil interpretasi akurat dan dapat digunakan sebagai data
primer. Perhitungan ketelitian hasil interpretasi dilakukan untuk mengetahui data
yang disadap dari citra IKONOS dapat diterima validitasnya. Uji ketelitian
dilakukan dengan menggunakan matrik uji ketelitian hasil interpretasi. Untuk
mempermudah perhitungan ketelitian citra IKONOS pada daerah penelitian, maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
diambil sampel berdasarkan objek yang telah diidentifikasi misalnya penggunaan
lahan dan pada objek yang memiliki kriteria yang sama, misalnya objek
permukiman diidentifikasi memiliki kepadatan dan keteraturan permukiman sama.
Hasil perhitungan tingkat ketelitian citra untuk parameter yang diperoleh
dari citra IKONOS untuk penentuan zonasi tingkat kerawanan penyakit DBD
ditampilkan pada tabel 26. Ketelitian diterima apabila rerata % dari seluruh hasil
interpretasi benar > 80 % dan rerata komisi < 20 %. Apabila rerata % dari seluruh
interpretasi belum mencapai 80% dan rerata komisi lebih dari 20%, maka
dilakukan interpretasi ulang hingga syarat ketelitian interpretasi diterima tercapai.
a) Tingkat Ketelitian Citra IKONOS Untuk Identifikasi Penggunaan Lahan
Tabel 26. Tingkat Ketelitian Citra IKONOS Untuk Identifikasi Penggunaan Lahan
Komisi seluruh hasil interpretasi :
ketelitian seluruh hasil interpretasi :
Pada tabel tingkat ketelitian citra IKONOS untuk penggunaan lahan
diketahui bahwa dari jumlah sampel hasil interpretasi penggunaan lahan
permukiman sebanyak 404, terdapat 402 yang sesuai dengan kondisi sebenarnya
di lapangan, dan 2 penggunaan lahan merupakan lahan kosong. Tingkat ketelitian
citra Ikonos sebagai sumber data utama untuk penggunaan lahan adalah akurat,
karena memiliki komisi kurang dari 20% yaitu 6% dan ketelitian interpretasi lebih
dari 80% yaitu sebesar 98%. Tingkat ketelitian penggunaan lahan yang akurat
Hasil
Interpretasi
Permukiman Lahan
Kosong
Sawah Jumlah Omisi Komisi
Hasil
Lapangan
Permukiman 402 2 1 405
Lahan Kosong 2 60 0 62
Sawah 0 1 8 9
Jumlah 404 63 9 476
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
dapat digunakan untuk memperoleh data lain seperti data mengenai permukiman
yang berupa data kepadatan permukiman dan keteraturan permukiman.
b) Tingkat Ketelitian Citra IKONOS Untuk Identifikasi Keteraturan
Permukiman
Permukiman merupakan salah satu penggunaan lahan yang datanya dapat
diperoleh dari citra. Parameter mengenai permukiman dalam penelitian ini yang
diperoleh dari citra yaitu keteraturan permukiman, dan kepadatan permukiman.
Perhitungan tingkat ketelitian citra untuk keteraturan dan kepadatan permukiman
dilakukan setelah mengetahui tingkat ketelitian data penggunaan lahan. Bila data
penggunaan lahan akurat, maka data keteraturan dan kepadatan permukiman dapat
dihitung tingkat ketelitiannya dan dapat digunakan sebagai parameter penentu
zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue.
Keteraturan permukiman diperoleh dari perhitungan jumlah rumah yang
menghadap jalan dibanding dengan jumlah seluruh rumah dalam satu
permukiman. Sebelum dihitung, dilakukan interpretasi dan dilakukan deliniasi
berdasarkan kenampakan yang sama pada citra kemudian diklasifikasikan menjadi
permukiman teratur, permukiman semi teratur dan permukiman tidak teratur.
Setelah hasil deliniasi selesai akan diperoleh peta keteraturan permukiman
sementara di Kota Surakarta. Dari peta tersebut dipilih sampel yang dapat
mewakili kenampakan yang sama. Sampel yang dipilih sebanyak 100 dari seluruh
keteraturan permukiman sementara yang ada di Kota Surakarta dan kemudian
dihitung untuk membenarkan hasil interpretasi.
Berikut merupakan tabel hasil interpretasi dan hasil perhitungan
keteraturan permukiman untuk menghitung tingkat ketelitian citra IKONOS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Tabel 27. Tingkat Ketelitian Citra IKONOS Untuk Identifikasi Keteraturan Permukiman
Hasil
Interpretasi
Teratur Semi Teratur Tidak
Teratur
Jumlah Omisi Komisi
Hasil
Perhitungan
Teratur 13 1 0 14
Semi Teratur 6 32 5 43
Tidak teratur 1 2 40 43
Jumlah 20 35 45 100
Komisi seluruh hasil interpretasi :
Ketelitian seluruh hasil interpretasi :
Tabel tingkat ketelitian citra IKONOS untuk identifikasi keteraturan
permukiman menunjukkan bahwa dari 20 sampel permukiman pada daerah
penelitian setelah dilakukan pengecekan dengan perhitungan diketahui bahwa
terdapat 13 permukiman teratur, 6 permukiman semi teratur dan 1 permukiman
tidak teratur. Dari perhitungan diatas diketahui pula tingkat ketelitian lebih dari
80% yaitu sebesar 85% dan memiliki komisi kurang dari 20% yaitu 18%. Dengan
demikian tingkat ketelitian citra Ikonos untuk data keteraturan permukiman adalah
akurat, dan dapat digunakan untuk parameter penentuan zonasi tingkat kerawanan
penyakit DBD.
c) Tingkat Ketelitian Citra IKONOS Untuk Identifikasi Kepadatan
Permukiman
Parameter mengenai permukiman yang diperoleh dari citra yang kedua
yaitu kepadatan permukiman. Kepadatan permukiman merupakan luas bangunan
dibanding dengan luas seluruh lahan dalam suatu unit permukiman. Sebelum
dihitung, dilakukan interpretasi dan dilakukan deliniasi berdasarkan kenampakan
yang sama pada citra kemudian diklasifikasikan menjadi permukiman padat,
permukiman sedang dan permukiman jarang. Setelah hasil deliniasi selesai akan
diperoleh peta kepadatan permukiman sementara di Kota Surakarta. Dari peta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
tersebut dipilih sampel yang dapat mewakili kenampakan yang sama. Sampel
yang dipilih dari seluruh kepadatan permukiman sementara yang ada di Kota
Surakarta kemudian dihitung untuk membenarkan hasil interpretasi, dan dihitung
pula tingkat ketelitian citra untuk menyajikan data kepadatan permukiman.
Tingkat ketelitian citra untuk kepadatan permukiman ditunjukkan pada tabel 28.
Tabel 28. Tingkat Ketelitian Citra IKONOS Untuk Identifikasi Kepadatan Permukiman
Hasil
Interpretasi
Padat Sedang Jarang Jumlah Omisi Komisi
Hasil
Perhitungan
padat 46 4 0 50
Sedang 3 15 2 20
Jarang 1 3 9 13
Jumlah 50 22 11 83
Komisi seluruh hasil interpretasi :
Ketelitian seluruh hasil interpretasi :
Dengan demikian tingkat ketelitian citra Ikonos sebagai sumber data
utama untuk kepadatan permukiman adalah akurat, karena memiliki komisi
kurang dari 20% yaitu 19% dan ketelitian lebih dari 80% yaitu sebesar 84%.
Tingkat ketelitian citra untuk penggunaan lahan, pola permukiman, dan kepadatan
permukiman yang akurat berarti data yang diperoleh dari citra IKONOS dapat
digunakan sebagai parameter penentu zonasi tingkat kerawanan penyakit DBD di
Kota Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2. Zonasi Tingkat Kerawanan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan hasil tumpangsusun parameter kualitas lingkungan dengan parameter
penyebab penyakit DBD. Parameter kualitas permukiman yang digunakan yaitu
kepadatan permukiman dan keteraturan permukiman, sedangkan parameter
penyebab penyakit DBD yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
penggunaan lahan, kepadatan penduduk, jarak permukiman terhadap sungai dan
kondisi saluran air.
Satuan pemetaan yang digunakan untuk zonasi tingkat kerawanan
penyakit DBD yaitu blok permukiman. Satuan pemetaan diperoleh dari hasil
deliniasi kenampakan kondisi lingkungan yang berupa kepadatan permukiman
dan keteraturan permukiman pada citra. Kondisi lingkungan tersebut
divisualisasikan menjadi peta kepadatan permukiman dan peta keteraturan
permukiman. Pada peta kepadatan permukiman diketahui terdapat tiga klasifikasi
yaitu padat, sedang, dan jarang. Pada peta keteraturan permukiman diperoleh tiga
klasifikasi yaitu teratur, semi teratur, dan tidak teratur. Kedua peta kemudian
ditumpangsusunkan untuk mendapatkan peta blok permukiman.
Blok permukiman hasil tumpangsusun peta kepadatan permukiman dan
peta keteraturan permukiman diperoleh delapan kriteria, yaitu blok dengan kriteria
teratur-tinggi, semi teratur-tinggi, tidak teratur-tinggi, teratur-sedang, semi teratur-
sedang, tidak teratur-sedang, teratur-rendah, dan semi teratur-rendah. Kriteria
masing-masing blok permukiman yang terbentuk dari hasil tumpangsusun
disajikan pada tabel 29 dan divisualisasikan pada peta 8. Pada penelitian ini
permukiman diasumsikan memiliki potensi yang sama dalam mempengaruhi
tingkat kerawanan penyakit DBD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Tabel 29. Blok Permukiman pada Derah Penelitian
Blok
Permukiman
Keteraturan Kepadatan Luas (Ha)
I Pola teratur Kepadatan tinggi 711,9826
II Pola teratur Kepadatan sedang 611,9534
III Pola semi teratur Kepadatan rendah 9,9840
IV Pola semi teratur Kepadatan sedang 98,6504
V Pola semi teratur Kepadatan tinggi 116,1546
VI Pola tidak teratur Kepadatan rendah 124,7744
VII Pola tidak teratur Kepadatan sedang 528,4383
VIII Pola tidak teratur Kepadatan tinggi 2000,6331
IX Pola teratur Kepadatan rendah 0
Pada daerah penelitian terdapat 9 blok permukiman yaitu blok I dengan
luas 711,9826 Ha terletak di sebagian besar Kecamatan Banjarsari dan Laweyan.
Blok II dengan luas 611,9534 Ha terletak di bagian utara Kecamatan Banjarsari.
Blok III dengan luas 9,9840 Ha terletak di Kecamatan Jebres. Blok IV dengan
luas 98,6504 Ha terletak di bagian utara Kecamatan Banjarsari dan di bagian barat
Kecamatan Laweyan. Blok V dengan luas 116,1546 Ha terletak di Kecamatan
Pasar Kliwon. Blok VI dengan luas 124,7744 Ha terletak di Kecamatan Jebres.
Blok VII dengan luas 528,4383 Ha terletak di Kecamatan Jebres dan Kecamatan
Laweyan. Blok VIII seluas 2000,6331 Ha terletak di Kecamatan Serengan,
sedangkan blok IX tidak terdapat pada daerah penelitian, sebab pada daerah
penelitian tidak ada permukiman yang terbentuk oleh pola teratur dan kepadatan
rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Zonasi tingkat kerawanan penyakit DBD dilakukan dengan
mengklasifikasikan dan menjumlahkan skor parameter penggunaan lahan,
keteraturan permukiman, kepadatan permukiman, kepadatan penduduk, jarak
permukiman terhadap sungai, dan kualitas saluran air pada masing-masing blok
permukiman. Setelah diketahui nilai masing-masing parameter kemudian
dilakukan tumpangsusun. Pengklasifikasian parameter penentu zonasi tingkat
kerawanan penyakit DBD sebagai berikut :
A. Penggunaan Lahan
Parameter penggunaan lahan digunakan untuk penentuan zonasi tingkat
kerawanan penyakit DBD karena menjadi salah satu faktor penyebab penyakit
DBD. Penggunaan lahan pertanian maupun lahan tidak terbangun memungkinkan
tingginya perkembangbiakan vektor nyamuk. Pada penelitian ini penggunaan
lahan diperoleh dari interpretasi citra. Hasil pengenalan terhadap penggunaan
lahan di Kota Surakarta pada citra selanjutnya di batasi untuk menentukan jenis
penggunaan lahannya. Batasan sementara (tentatif) pada citra selanjutnya dicek di
lapangan untuk membenarkan hasil interpretasi. Penggunaan lahan Kota Surakarta
yang diinterpretasi dari citra IKONOS dibagi berdasarkan rona dan warna, bentuk,
ukuran, tekstur, pola, dan asosiasi antara lain : permukiman, perdagangan,
pertanian, industri, transportasi, jasa, rekreasi, dan lain-lain.
Penggunaan lahan yang diinterpretasi dari citra berdasarkan unsur
interpretasi citra sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Tabel 30. Hasil Interpretasi Penggunaan lahan pada Citra IKONOS
Hasil Interpretasi Klasifikasi
Penggunaan
Lahan Warna Bentuk Ukuran Tekstur Pola Bayangan Situs Asosiasi
Hijau Petak,
persegi panjang
Memiliki
ukuran yang cukup luas
Halus - Tidak ada
bayangan
- - Pertanian
Coklat
tua
Bujur
sangkar atau
persegi
panjang
Memiliki
luasan yang cukup besar,
merupakan
gabungan dari rumah mukim
Kasar Mengelompok,
dan memanjang
Ada
bayangan
Memanjang
jalan
Terdapat
pepohonan Permukiman
Coklat
terang hingga
gelap
Persegi
panjang
Memiliki
ukuran lebih luas dari rumah
mukim
Kasar Mengelompok,
dan memanjang
Ada
bayangan
Memanjang
jalan
Berasosiasi
dengan permuki-
man
Perdagangan
putih persegi
panjang
Memiliki
ukuran yang luas
Kasar Mengelompok Ada
bayangan
Jauh dari
permukiman
Adanya
halaman yang cukup
luas
Industri
Coklat tua
Persegi panjang
Memiliki ukuran yang
cukup luas
kasar Memanjang jalan
Terdapat tangki air,
dan menara
Terdapat gerbong
kereta
Terdapat jalan kereta
api
Transportasi
Coklat Persegi
panjang
Memiliki
ukuran yang
cukup luas
Kasar Mengelompok Terdapat
bayangan
tiang
bendera
Memanjang
jalan
Terdapat
lapangan
olah raga
Jasa
Sumber : Hasil Interpretasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Penggunaan lahan pertanian pada citra IKONOS tanggal perekaman 18
Juni 2009 ditunjukkan pada gambar 6a.
Gambar 6a. Penggunaan Lahan Pertanian Pada Citra
Terletak di Kelurahan Karangaasem Kecamatan Laweyan
dengan koordinat 474569 mT – 474193 mT dan 9165768
mU – 9165982 mU.
Penggunaan lahan permukiman pada citra IKONOS hasil perekaman
tanggal 8 Juli 2011 yang ditunjukkan pada gambar 6b merupakan permukiman
yang berada di Kelurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari.
Gambar 6b. Penggunaan Lahan Permukiman Pada Citra
Terletak di Kelurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari
dengan koordinat 474224 mT – 480126 mT dan
9163645 mU – 9163649 mU.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Penggunaan lahan perdagangan pada potongan citra IKONOS hasil
perekaman tanggal 16 Juni 2009 yang ditunjukkan pada gambar 6c merupakan
pasar Klewer dan pertokoan yang berada di sekitarnya.
Gambar 6c. Penggunaan Lahan Perdagangan Pada Citra
Terletak di Kelurahan Kauman Kecamatan Pasar
Kliwon dengan Koordinat 479941 mT – 480808 mT dan
9163385 mU – 9163395 mU.
Penggunaan lahan industri pada citra IKONOS tanggal perekaman 16
Juni 2009 yang ditunjukkan pada gambar 6d.
Gambar 6d. Penggunaan Lahan industri Pada Citra
Terletak di Kelurahan Kadipiro Kecamatan
Banjarsari dengan Koordinat 480866 mT – 481435
mT dan 9167390 mU – 9167326 mU.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Penggunaan lahan transportasi yang ditunjukkan pada gambar 6e
merupakan stasiun kereta api Balapan yang berada di Kelurahan Kestalan
Kecamatan Banjarsari. Citra IKONOS yang digunakan merupakan citra hasil
perekaman tanggal 8 Juli 2011.
Gambar 6e. Penggunaan Lahan Transportasi Pada Citra
Terletak di Kelurahan Kestalan Kelurahan
Kecamatan Banjarsari dengan Koordinat 479957 mT
– 480625 mT dan 9164648 mU – 9164779 mU.
Penggunaan lahan jasa ditunjukkan pada gambar 6e. Penggunaan
lahan jasa yang dipilih merupakan Universitas Sebelas Maret. Nampak pada
citra IKONOS gedung pusat UNS berbentuk bujur sangkar. Citra yang
digunakan merupakan citra hasil perekaman tanggal 8 Juli 2011.
Gambar 6f. Penggunaan Lahan Jasa Pada Citra
Terletak di Kelurahan Jebres Kecamatan Jebres
dengan koordinat 484138 mT – 484240 mT dan
9163826 mU – 9164972 mU.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Penggunaan lahan pertanian diinterpretasi berdasarkan kenampakan
objek berupa lahan kosong dengan luasan tertentu, memiliki warna hijau,
berbentuk petak, dan tidak terdapat bangunan dalam lahan tersebut. Penggunaan
lahan permukiman diinterpretasi berdasarkan bentuk dan ukuran atap, warna
coklat, tekstur kasar, dan memiliki pola memanjang jalan. Ukuran atap mencirikan
apakah rumah tersebut merupakan rumah mukim, kantor atau industri. Rumah
mukim biasanya memiliki ukuran atap yang lebih kecil dibandingkan kantor atau
industri. Daerah yang lebih dari 80% bangunannya berupa permukiman ditetapkan
sebagai daerah permukiman. Penggunaan lahan untuk perdagangan diinterpretasi
dari warna agak gelap, tekstur kasar, kenampakan atap yang seragam dan berjajar
yang cukup luas. Penggunaan lahan untuk transportasi diketahui dari warna
colklat tua, memiliki bentuk persegi panjang, memiliki tekstur yang kasar,
berukuran cukup luas, ditandai dengan adanya menara maupun tangki air,
contohnya yaitu stasiun kereta api yang berasosiasi dengan jalan kereta api yang
jumlahnya lebih dari satu (bercabang). Bangunan yang mudah dikenal fungsinya
dan cukup besar ukurannya, digambarkan tersendiri sesuai dengan fungsinya.
Misalnya sekolah yang termasuk dalam klasifikasi penggunaan lahan jasa.
Gedung sekolah selain diketahui dari ukuran bangunan yang relatif besar dan luas,
juga ditandai dengan bentuk yang menyerupai huruf I. L, atau U dan berasosiasi
dengan lapangan yang cukup luas. penggunaan lahan yang tidak termasuk dalam
klasifikasi penggunaan lahan diatas seperti kuburan, lahan kosong, dan lahan
sedang dibangun diklasifikasikan pada penggunaan lahan lain.
Penggunaan lahan di Kota Surakarta hasil interpretasi dan telah
dilakukan cek lapangan divisualisasikan pada peta 5.
Pada peta penggunaan lahan Kota Surakarta Tahun 2012 dapat diketahui
bahwa terdapat tujuh klasifikasi penggunaan lahan yaitu penggunaan lahan
pertanian, permukiman, industri, perdagangan, transportasi, jasa dan penggunaan
lahan lain. Penggunaan lahan pertanian di kota Surakarta seluas 52,8 Ha terletak
di bagian barat yaitu Kelurahan Karangasem di Kecamatan Laweyan. Penggunaan
lahan permukiman terdapat disebagian besar Kota Surakarta dengan luas 338 Ha.
Penggunaan lahan perdagangan dan jasa yang ada di Kota Surakarta seluas 20,7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Ha. Penggunaan lahan permukiman, perdagangan dan jasa terpusat di bagian
tengah atau inti kota yang merupakan pusat aktivitas penduduk. Penggunaan lahan
industri seluas 208,8 Ha berada di bagian utara daerah penelitian sebab berada
jauh dari pusat kegiatan penduduk, dan penggunaan lahan transportasi seluas 7,9
Ha.
Penggunaan lahan yang terdapat di setiap blok permukiman di daerah
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Blok I.
Blok I terdiri dari 13 sub blok yang memiliki pola permukiman dan kepadatan
yang sama yaitu pola teratur kepadatan tinggi. Penggunaan lahan pada blok I
merupakan penggunaan lahan permukiman, transportasi, dan perdagangan.
2. Blok II.
Blok II terdiri dari 6 sub blok yang memiliki pola teratur dan kepadatan
permukiman sedang. Penggunaan lahan pada blok II yaitu penggunaan lahan
permukiman dan industri.
3. Blok III.
Blok III terdiri dari 2 sub blok yang memiliki pola permukiman semi teratur
dan kepdatan rendah. Penggunaan lahan yang mendominasi blok III merupakan
penggunaan lahan permukiman.
4. Blok IV.
Blok IV terdiri dari 2 sub blok yang memiliki pola permukiman semi teratur
dan kepadatan rendah. Blok IV merupakan blok yang terdapat di bagian paling
utara dan paling barat daerah penelitian dan bukan termasuk dalam inti kota,
sehingga penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan lahan industri.
5. Blok V.
Blok V terdiri dari 2 sub blok yang memiliki pola permukiman semi teratur dan
kepadatan permukiman tinggi. Penggunaan lahan pada blok V merupakan
penggunaan lahan permukiman.
6. Blok VI.
Blok VI terdiri dari 4 sub blok yang memiliki pola permukiman tidak teratur
dan kepadatan permukiman rendah. Penggunaan lahan pada blok VI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
merupakan penggunaan lahan permukiman yang terdapat di bantaran
Bengawan Solo.
7. Blok VII.
Blok VII terdiri dari 10 sub blok yang memiliki pola permukiman tidak teratur
dan kepadatan sedang. Blok VII terdapat di bagian tengah daerah penelitian.
Penggunaan lahan yang terdapat pada blok tersebut selain permukiman juga
merupakan penggunaan lahan perdagangan.
8. Blok VIII.
Blok VIII terdiri dari 3 sub blok yang memiliki pola permukiman tidak teratur
dan kepadatan permukiman tinggi. Blok VIII terdapat pada bagian tengah
daerah penelitian atau inti kota. Penggunaan lahan yang terdapat pada blok
VIII yaitu permukiman, perdagangan, jasa, transportasi dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
B. Kepadatan Permukiman
Kepadatan permukiman pada penelitian ini merupakan hasil deliniasi
kenampakan bangunan pada citra yang kemudian dilakukan pengecekan dengan
melakukan perhitungan. Perhitungan kepadatan permukiman dengan rumus :
Tingkat kepadatan permukiman di Kota Surakarta ditentukan dari interpretasi citra
penginderaan jauh. Permukiman dibatasi berdasarkan perbandingan antara luas
bangunan rumah dengan luas permukiman. Pembatasan dilakukan pada
permukiman yang memiliki kepadatan sama. Luas blok diperoleh dicari dengan
returnarea pada program ArcView 3.3. Dari hasil deliniasi diketahui bahwa
terdapat tiga kategori kepadatan di Kota Surakarta, yaitu rendah, sedang dan
tinggi. Kepadatan permukiman pada citra ditunjukkan pada gambar 8.
Gambar 7a. Permukiman Kepadatan Tinggi dan Kepadatan Sedang
pada Citra IKONOS. Terletak pada koordinat 482515
mT – 482808 mT dan 9163949 mU – 9164048 mU
Kelurahan Keprabon Kecamatan Serengan.
Gambar 7b. Permukiman Kepadatan Rendah pada Citra IKONOS.
Terletak pada koordinat 483638 mT – 484117 mT dan 9166387
mU – 9166430mU Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Hasil dari pembatasan sementara selanjutnya dilakukan perhitungan dan
kemudian disampel untuk mencocokkan proporsi luas bangunan dengan
permukiman. Contoh hasil perhitungan kepadatan permukiman pada masing-
masing klasifikasi kepadatan disajikan pada tabel 31, perhitungan kepadatan
permukiman secara keseluruhan dapat dilihat pada lampiran 2.
Tabel 31. Perhitungan Kepadatan Permukiman
No Blok
Luas Rumah
(M²) Luas Blok (M²)
Kepadatan
Permukiman
(%)
I 41884 59925 69.89403
II 3929 8510 46.16921
III 967 1307 73.98623
IV 70826 96004 73.77401
V 5252 9713 54.07186
VI 6781 8916 76.05428
VII 20267 38084 53.21657
VIII 2233 25566 8.734256
Sumber : Hasil Perhitungan
Berikut adalah contoh perhitungan kepadatan permukiman :
Perhitungan dilakukan pada salah satu blok permukiman dengan luas 59925m²
sedangkan luas rumah yang terdapat pada luasan tersebut yaitu sebanyak
41884m², maka perhitungannya sebagai berikut :
Dari hasil perhitungan diperoleh hasil 69,89%. Hasil tersebut apabila
dicocokkan dengan tabel klasifikasi kepadatan permukiman maka termasuk pada
klasifikasi kepadatan tinggi. Begitu pula dengan blok permukiman yang lain,
dihitung dengan cara yang sama. Hasil klasifikasi kepadatan permukiman
dipresentasikan dalam peta 6.
Berdasarkan Peta Kepadatan Permukiman Kota Surakarta, blok
permukiman nomor I, blok permukiman nomor V, dan blok permukiman nomor
VII merupakan blok yang memiliki klasifikasi kepadatan tinggi dengan luas
sebesar 3268,8325 Ha atau 67,31% dari seluruh blok yang ada di Kota Surakarta.
Persebarannya terdapat di seluruh Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar
Kliwon, sebagian besar Kecamatan Laweyan dan sebagian di Kecamatan Jebres
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
dan Kecamatan Banjarsari. Blok permukiman nomor II, blok permukiman nomor
IV, dan blok permukiman nomor VII merupakan blok dengan klasifikasi
kepadatan sedang di Kota Surakarta memiliki luas 1196,5115Ha atau 29,22%.
Blok permukiman yang memiliki kepadatan sedang yaitu di sebagian Kecamatan
Jebres, dibagian utara Kecamatan Banjarsari, di bagian utara Kecamatan Laweyan
dan dibagian selatan Kecamatan Pasar Kliwon. Blok permukiman nomor III dan
blok permukiman nomor VI merupakan blok permukiman dengan klasifikasi
kepadatan rendah atau jarang, terdapat di bagian paling utara Kecamatan
Banjarsari dan dibagian barat Kecamatan Laweyan. Luas klasifikasi blok
permukiman jarang sebesar 100,7978 Ha atau 3,46% dari seluruh bangunan yang
terdapat di Kota Surakarta.
Secara umum permukiman yang terdapat di Kota Surakarta merupakan
permukiman yang memiliki kepadatan tinggi. Permukiman tersebut terletak di
pusat kota yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian,
sedangkan permukiman yang memiliki kepadatan sedang terletak di pinggir kota.
Blok permukiman yang terletak di pinggir kota didominasi oleh rumah mukim.
Bangunan rumah mukim pada satu hektar lahan yang berada di permukiman yang
memiliki kepadatan rendah tidak sebanyak bangunan yang terdapat pada
klasifikasi kepadatan sedang maupun klasifikasi padat yang terdapat di inti kota.
Permukiman yang memiliki kepadatan rendah atau permukiman jarang terdapat
pada wilayah yang masih banyak memiliki lahan kosong, bantaran Bengawan
Solo atau tanggul dan area persawahan. Permukiman yang memiliki kepadatan
tinggi, sedang, dan rendah di lapangan ditunjukkan pada gambar 8.
Gambar permukiman yang memiliki kepadatan tinggi di lapangan
ditunjukkan pada gambar 8a. Contoh merupakan permukiman yang terdapat di
Blok VIII, Kelurahan Kratonan Kecamatan Serengan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Gambar 8a. Permukiman Kepadatan Tinggi di Lapangan
Gambar permukiman yang memiliki kepadatan sedang di lapangan
ditunjukkan pada gambar 8b. Contoh merupakan permukiman yang terdapat di
Blok VII, Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres.
Gambar 8b. Permukiman Kepadatan Sedang di Lapangan
Gambar permukiman yang memiliki kepadatan rendah di lapangan
ditunjukkan pada gambar 8c. Contoh merupakan permukiman yang terdapat di
Blok VI, Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres.
Gambar 8c. Permukiman Kepadatan Rendah di Lapangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
C. Keteraturan Permukiman
Keteraturan permukiman adalah tata letak hadap bangunan terhadap jalan
didepannya dan keseragaman tata letak bangunan. Cara mengukur keteraturan
permukiman adalah dengan menghitung jumlah bangunan yang menghadap
langsung dengan jalan dibanding dengan jumlah seluruh bangunan pada satu
luasan tertentu. Hasil deliniasi pada citra diperoleh 3 klasifikasi keteraturan, yaitu
teratur, semi teratur, dan tidak teratur.
Gambar 9a. Permukiman teratur pada Citra IKONOS
Terletak pada Koordinat 476461 mT – 476771 mT
dan 9165882 mU – 9165893 mU, Kelurahan
Karangasem Kecamatan Laweyan.
Gambar 9b. Permukiman semi teratur pada Citra IKONOS
Terletak pada koordinat 475781 mT – 476086 mT
dan 9164164 mU – 9164184 mU, Kelurahan Pajang
Kecamatan Laweyan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Gambar 9c. Permukiman tidak teratur pada Citra IKONOS
Terletak pada Koordinat 476790 mT – 477107 mT
dan 9163874 mU – 9163896 mU Kelurahan
Mojosongo Kecamatan Jebres.
Hasil dari pembatasan sementara selanjutnya dilakukan perhitungan dan
kemudian disampel untuk mencocokkan perbandingan rumah yang menghadap ke
jalan dengan jumlah seluruh rumah. Contoh hasil perhitungan keteraturan
permukiman disajikan pada tabel 32, sedangkan perhitungan keteraturan
permukiman secara keseluruhan dapat dilihat pada lampiran 1.
Tabel 32. Contoh Perhitungan Keteraturan Permukiman
Penggunaan
Lahan
No
Blok
Hadap
Jalan
Jumlah
Rumah
Keteraturan
(%) Kelas
Permukiman 1 12 30 40 semi teratur
Permukiman 2 24 39 61.53846 teratur
Permukiman 3 23 40 57.5 semi teratur
Permukiman 4 24 67 35.8209 tidak teratur
Permukiman 5 6 28 21.42857 tidak teratur
Permukiman 6 18 53 33.96226 tidak teratur
Permukiman 7 13 38 34.21053 tidak teratur
Permukiman 8 10 34 29.41176 tidak teratur Sumber: Hasil Perhitungan
Berikut adalah contoh perhitungan keteraturan permukiman :
Perhitungan dilakukan pada penggunaan lahan permukiman dengan jumlah
seluruh bangunan sebanyak 30, sedangkan jumlah bangunan yang menghadap ke
jalan sebanyak 12, maka perhitungannya sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Dari hasil perhitungan, diperoleh hasil 40%. Angka tersebut apabila
dicocokkan dengan tabel klasifikasi pola permukiman maka termasuk dalam pola
bangunan semi teratur. Hasil klasifikasi pola permukiman Kota Surakarta
dipresentasikan dalam peta 7.
Berdasarkan Peta Keteraturan Permukiman Kota Surakarta dapat
diketahui bahwa Kota Surakarta memiliki tiga klasifikasi keteraturan permukiman
yaitu teratur, semi teratur dan tidak teratur. Pola permukiman teratur memiliki luas
1218,5155 Ha atau 32,32% dari seluruh bangunan yang ada di Kota Surakarta.
Pola permukiman teratur terdapat di blok permukiman nomor I dan blok
permukiman nomor II, yaitu di Kecamatan Banjarsari dan sebagian Kecamatan
Jebres. Hal tersebut disebabkan karena pada wilayah tersebut masih terdapat lahan
yang masih cukup luas yang memungkinkan seluruh bangunan pada satu
lingkungan menghadap kejalan dan terdapat perumahan yang memiliki bentuk
yang seragam.
Pola permukiman semi teratur yang terdapat di Kota Surakarta yaitu
173,2418 Ha atau 5,11%. Bangunan semi teratur ini terdapat di blok permukiman
nomor III, IV, dan V, yaitu tersebar disekitar Bengawan Solo di Kecamatan Pasar
Kliwon dan Kecamatan Jebres. Klasifikasi tidak teratur di Kota Surakarta
memiliki luas paling besar yaitu 3174,3340 Ha atau 62,56%. Pola ini terdapat di
hampir seluruh blok VI, blok VII dan blok VIII, yaitu di inti kota seperti
Kecamatan Serengan, sebagian Kecamatan Pasar Kliwon, dan sebagian
Kecamatan Jebres. Keteraturan permukiman di lapangan ditunjukkan pada gambar
10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Gambar 10a merupakan permukiman dengan pola teratur yang
terdapat di Blok II, Kelurahan Jebres Kecamatan Jebres.
Gambar 10a. Permukiman teratur di Lapangan
Gambar 10b merupakan permukiman dengan pola semi teratur
yang terdapat di Blok IV, Kelurahan Pucangsawit Kecamatan Jebres.
Gambar 10b. Permukiman semi teratur di Lapangan
Gambar 10c merupakan permukiman dengan pola tidak teratur
yang terdapat di Blok VII, Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar
Kliwon.
Gambar 10c. Permukiman tidak teratur di Lapangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Permukiman di daerah penelitian pada umumnya memiliki pola
permukiman tidak teratur. Permukiman tidak teratur merupakan permukiman
yang terdiri dari rumah-rumah yang tidak terhubung langsung dengan jalan.
Rumah-rumah tersebut terhubung dengan gang-gang sempit sebelum terhubung
langsung dengan jalan. Gang-gang tersebut memiliki pola yang tidak beraturan.
Selain dihubungkan dengan gang, banyak rumah-rumah yang tidak berhubungan
langsung dengan jalan tetapi ada jalan setapak untuk menghubungkan rumah
tersebut ke jalan. Rumah-rumah dengan jalan setapak tersebut banyak dijumpai di
bantaran Bengawan Solo. Semakin buruk kualitas permukiman berarti semakin
tinggi pengaruhnya terhadap wabah penyakit DBD.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
D. Kepadatan Penduduk
Kota Surakarta dengan luas wilayah 44,04 Km² memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang sangat tinggi, bahkan tertinggi di Jawa tengah pada
tahun 2010, yaitu sebesar 11.341 jiwa/Km². Kepadatan penduduk kota Surakarta
tahun 2010 ditunjukkan pada tabel 33.
Klasifikasi kepadatan penduduk dalam penelitian ini berdasarkan data
pada tabel 33 adalah sebagai berikut :
Tabel 34. Klasifikasi Kepadatan Penduduk Kota Surakarta
No Kepadatan Penduduk
(Jiwa/Km²)
Klasifikasi
1 5092-12823 Rendah
2 12824-20554 Sedang
3 20555-28285 Tinggi
Kepadatan penduduk digunakan untuk mengetahui persebaran Demam
Berdarah dalam suatu lingkungan. Kepadatan penduduk yang digunakan
merupakan kepadatan aritmatik, yaitu jumlah penduduk dalam satu kelurahan
dibanding dengan luas kelurahan. Untuk memperoleh kepadatan penduduk pada
masing-masing blok maka kepadatan penduduk yang digunakan adalah jumlah
penduduk pada blok permukiman dibanding dengan luas blok permukiman daerah
penelitian. Kepadatan penduduk Kota Surakarta divisualisasikan pada peta 9.
Kepadatan penduduk yang terdapat pada blok permukiman Kota
Surakarta sebagai berikut :
1. Blok I.
Pada blok I terdiri dari 13 sub blok yang memiliki pola dan kepadatan
yang sama yaitu pola teratur dengan kepadatan tinggi. Dari 13 sub blok
tersebut 7 poligon memiliki kepadatan penduduk rendah yaitu blok nomor
I.1, blok nomor I.2, blok nomor I.4, blok nomor I.5, blok nomor I.6, blok
nomor I.7, dan blok nomor I.13, 5 poligon memiliki kepadatan penduduk
sedang yaitu blok nomor I.3, blok nomor I.8, blok nomor I.10, blok nomor
I.11, dan blok nomor I.12, dan 1 poligon yaitu blok nomor I.10 memiliki
kepadatan penduduk tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
2. Blok II
Blok II terdiri dari 6 sub blok yang memiliki pola permukiman teratur dan
kepadatan permukiman sedang. Seluruh blok nomor II termasuk dalam
klasifikasi kepadatan penduduk rendah.
3. Blok III
Blok II terdiri dari 2 sub blok yang memiliki pola permukiman semi
teratur dan kepadatan permukiman rendah. Seluruh blok nomor 3 termasuk
dalam klasifikasi kepadatan penduduk rendah.
4. Blok VI
Blok VI terdiri dari 2 sub blok yang memiliki pola permukiman semi
teratur dan kepadatan permukiman sedang. Seluruh blok nomor IV
termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk rendah.
5. Blok V
Blok V terdiri dari 2 sub blok yang memiliki pola permukiman semi
teratur dan kepadatan permukiman tinggi. Blok nomor V.1 termasuk
dalam klasifikasi kepadatan penduduk tinggi dan blok nomor V.2
termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk rendah.
6. Blok VI
Blok VI terdiri dari 4 sub blok yang memiliki pola permukiman tidak
teratur dengan kepadatan permukiman rendah. Dari 4 sub blok, 3 sub blok
termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk rendah yaitu blok nomor
VI.1, blok nomor VI.2, blok nomor VI.3 dan 1 sub blok termasuk dalam
klasifikasi kepadatan penduduk tinggi yaitu nomor blok VI.4.
7. Blok VII
Blok VII terdiri dari 10 sub blok yang memiliki pola permukiman tidak
teratur dengan kepadatan permukiman sedang. Dari 10 sub blok, 7 sub
blok termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk rendah. Sub blok
tersebut yaitu nomor blok VII.1, nomor blok VII.2, nomor blok VII.3,
nomor blok VII.4, nomor blok VII.5, nomor blok VII.6, dan nomor blok
VII.10. 2 sub blok termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk sedang,
yaitu nomor blok VII.7 dan nomor blok VII.8, sedangkan 1 sub blok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk tinggi yaitu nomor blok
VII.9.
8. Blok VIII
Blok VIII terdiri dari 4 sub blok yang memiliki pola permukiman tidak
teratur dengan kepadatan permukiman tinggi. Seluruh blok nomor VIII
termasuk dalam klasifikasi kepadatan penduduk rendah.
Klasifikasi kepadatan penduduk tinggi terdapat di pinggir kota bagian
selatan. Kepadatan penduduk yang berbeda di setiap blok permukiman
dipengaruhi oleh distribusi penduduk yang lebih banyak bermukim di daerah
pinggiran kota. Hal ini disebabkan karena daerah pusat kota digunakan untuk
kegiatan perekonomian dan kegiatan pemerintahan, sehingga permukiman yang
terdapat di pusat kota tidak digunakan sebagai rumah mukim. Klasifikasi
kepadatan penduduk rendah terdapat di bagian utara daerah penelitian. Hal ini
disebabkan karena pada daerah tersebut masih terdapat lahan kosong maupun
lahan belum terbangun termasuk bantaran sungai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Tabel 33. Perhitungan Kepadatan Penduduk Kota Surakarta Tahun 2010.
No Kelurahan Luas Wilayah
(km²)
Jumlah
Penduduk (jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km²)
1 Kadipiro 5,09 49614 9747
2 Banyuanyar 1,25 11886 9509
3 Sumber 1,33 16864 12680
4 Manahan 1,28 13432 10494
5 Nusukan 2,06 28529 13849
6 Gilingan 1,27 21823 17183
7 Mangkubumen 0,80 10013 12516
8 Timuran 0,31 4371 14100
9 Keprabon 0,32 3737 11678
10 Ketelan 0,25 4284 17136
11 Punggawan 0,36 5243 14564
12 Kestalan 0,21 3030 14429
13 Setabelan 0,28 4382 15650
14 Kepatihan Kulon 0,18 2930 16227
15 Kepatihan Wetan 0,23 3050 13260
16 Sudiroprajan 0,23 5037 21900
17 Gandekan 0,35 9529 27225
18 Sewu 0,49 7663 15638
19 Pucangsawit 1,27 13903 10947
20 Jagalan 0,65 12382 19049
21 Purwodiningratan 0,37 5453 14737
22 Tegalharjo 0,33 6078 18418
23 Jebres 3,17 32112 10129
24 Mojosongo 5,33 46256 8678
25 Joyosuran 0,540 11653 21580
26 Semanggi 1,668 33977 20370
27 Pasar Kliwon 0,368 7174 19928
28 Baluwarti 0,407 7286 17902
29 Gajahan 0,339 5269 15543
30 Kauman 0,192 3524 18354
31 Kampung Baru 0,306 3687 12049
32 Kedung Lumbu 0,551 4857 8815
33 Sangkrah 0,452 11597 25657
34 Joyotakan 4,590 8921 19440
35 Danukusuman 5,080 11657 22950
36 Serengan 6,4 12976 20280
37 Tipes 6,4 13855 21650
38 Kratonan 3,24 6182 19080
39 Jayengan 2,93 5817 19850
40 Kemlayan 3,3 4873 14770
41 Pajang 2 24612 16000
42 Laweyan 0 2580 1000
43 Bumi 0 7239 2000
44 Panularan 1 9752 18000
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
45 Sriwedari 1 4772 9000
46 Penumping 1 5629 11000
47 Purwosari 1 13057 1600
48 Sondakan 1 11973 1500
49 Kerten 1 11939 1300
50 Jajar 1 9733 9000
51 Karangasem 1 9827 8000
Sumber : Kecamatan Banjarsari Dalam Angka 2010, Kecamatan Jebres Dalam Angka
2010, Kecamatan Pasar Kliwon Dalam Angka 2010, Kecamatan Serengan
Dalam Angka 2010, Kecamatan Laweyan Dalam Angka 2010.
Pada peta kepadatan penduduk kota Surakarta diketahui bahwa secara
administratif kepadatan penduduk sebesar 5092-12823 jiwa berada di Kelurahan
Pucangsawit, Kelurahan Jebres, Kelurahan Kadipiro, Kelurahan Banyuanyar,
Kelurahan Sumber, Kelurahan Manahan, Kelurahan Kerten, Kelurahan Jajar,
Kelurahan Karangasem, Kelurahan Mangkubumen, Kelurahan Laweyan,
Kelurahan Penumping Kelurahan Sriwedari, Kelurahan Keprabon, Kelurahan
Kedung Lumbu, Kelurahan Kestalan, Kelurahan Stabelan, Kelurahan Kampung
Baru dan Kelurahan Kepatihan Wetan. Kepadatan penduduk sedang yang
berjumlah 12824-20554 jiwa berada di Kelurahan Nusukan, Kelurahan Gilingan,
Kelurahan Kepatihan Kulon, Kelurahan Purwodiningratan, Kelurahan Jagalan,
Kelurahan Sewu, Kelurahan Pajang, Kelurahan Sondakan, Kelurahan Purwosari,
Kelurahan Panularan, Kelurahan Kemlayan, Kelurahan Ketelan, Kelurahan
Ketelan, Kelurahan Baluwarti, dan Kelurahan Pasar Kliwon. Kepadatan penduduk
paling tinggi yaitu 20555-28285 jiwa terdapat di Kelurahan Sudiroprajan,
kelurahan gendekan, kelurahan sangkrah, kelurahan semanggi, Kelurahan
Joyotakan, Kelurahan Danukusuman, Kelurahan Gajahan, Kelurahan Serengan,
Kelurahan Tipes, Kelurahan Bumi dan Kelurahan Tegalharjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
E. Jarak Permukiman Terhadap Sungai
Jarak bangunan permukiman terhadap sungai diukur dengan
menggunakan fasilitas buffer pada ArcView 3.3. Jarak bangunan dari sungai
ditentukan sebesar kurang dari 60 meter, 60-120 meter, dan lebih dari 120 meter
dari sungai. Buffer ditentukan berdasarkan jarak terbang nyamuk yang dapat
mencapai jarak 56 meter hingga 2 kilometer dan untuk memperkirakan jarak
terbang nyamuk dalam penularan penyakit DBD. Jarak bangunan terhadap sungai
divisualisasikan pada peta 10.
Peta Buffer Sungai Kota Surakarta menunjukkan bahwa semakin gelap
warna buffer diasumsikan wilayah tersebut paling berpotensi terhadap infeksi
virus Demam Berdarah. Semakin terang warna buffer maka wilayah tersebut
merupakan wilayah aman dari penularan virus Demam Berdarah. Banyaknya
rumah mukim yang terdapat dibantaran sungai juga termasuk penyebab tingginya
infeksi virus oleh nyamuk.
Luas blok permukiman yang terdapat pada jarak kurang dari 60 meter, 60
– 120 meter, dan lebih dari 120 meter ditunjukkan pada tabel 34.
Potensi terjadinya infeksi virus demam berdarah di masing-masing blok
permukiman sebagai berikut:
1. Blok I
Pada blok I merupakan daerah yang berpotensi terhadap virus demam
berdarah sebab pada blok I terdapat tiga sungai besar yaitu Kali Premulung
di nomor blok I.8, I.9 dan I.10, Kali Pepe dan Kali Anyar di nomor blok
I.3, I.11, I.12, dan I.13.
2. Blok II
Blok II memiliki potensi terhadap virus demam berdarah seluas 61,9783
Ha karena terletak dekat dengan aliran Kali Pepe dan Kali Anyar.
3. Blok III
Blok III bukan daerah yang termasuk berpotensi terhadap virus demam
berdarah, sebab pada blok 3 daerah yang terletak pada jarak lebih dari 120
meter dari sungai lebih luas dari pada jarak kurang dari 60 meter.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
4. Blok IV
Blok IV bukan daerah yang termasuk berpotensi terhadap virus demam
berdarah, sebab pada blok IV daerah yang terletak pada jarak lebih dari
120 meter dari sungai lebih luas dari pada jarak kurang dari 60 meter.
5. Blok V
Blok V bukan daerah yang termasuk berpotensi terhadap virus demam
berdarah, sebab pada blok V daerah yang terletak pada jarak lebih dari 120
meter dari sungai lebih luas dari pada jarak kurang dari 60 meter.
6. Blok VI
Blok VI memiliki daerah yang berpotensi tinggi terhadap virus demam
berdarah seluas 24,3209 Ha karena terletak dekat dengan aliran Kali Pepe
dan Bengawan Solo, sedangkan daerah yang berpotensi rendah seluas
585,294 Ha.
7. Blok VII
Blok VII yang terletak dekat dengan Bengawan Solo bukan merupakan
daerah yang berpotensi tinggi terhadap virus demam berdarah sebab luas
permukiman yang terletak lebih dari 120 meter dari sungai lebih luas
daripada daerah yang kurang dari 120 meter dari sungai.
8. Blok VIII
Blok VIII merupakan blok yang terletak di aliran Kali Premulung dan Kali
Pepe. Blok VIII memiliki daerah yang tidak berpotensi terhadap virus
Demam Berdarah paling luas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Tabel 34. Luas jarak Blok Permukiman Terhadap Sungai
Blok Luas (Ha) Blok Luas (Ha)
<60 M 60-120 M >120 M <60 M 60-120 M >120 M
I.1 7,396 8,3130 155,1249 IV.1 0 0,4430 54,4256
I.2 5,975 3,8391 3,1188 IV.2 5,1832 12,8158 49,7758
I.3 6,9425 7,5004 7,0419 V.1 0 0 60,7836
I.4 0 0 11,9727 V.2 8,5521 10,2574 11,0297
I.5 3,5828 0,88 22,8384 VI.1 5,6619 6,1246 29,6241
I.6 5,8653 4,4337 27,2318 VI.2 9,9364 11,1876 25,973
I.7 10,6608 8,9094 40,085 VI.3 8,7226 3,3346 13,1540
I.8 15,3495 87,0644 32,6753 VI.4 0 0 13,1540
I.9 0 2,7552 6,5295 VII.1 41,694 3,5504 32,462
I.10 1,7174 3,1446 8,2976 VII.2 0 0 25,1888
I.11 0 0 7,0419 VII.3 1,0701 1,8225 26,9182
I.12 14,9468 3,6752 10,5594 VII.4 9,1382 10,0126 32,7122
I.13 6,9425 75,004 7,0419 VII.5 6,4005 61,2168 17,7278
II.1 7,5267 6,5906 46,266 VII.6 8,2032 1.3187 3,2278
II.2 7,5267 6,5906 39,575 VII.7 3,3467 4,4159 18,7217
II.3 6,2481 3,9414 3,6089 VII.8 2,5145 1,1748 6,9792
II.4 61,9783 52,1186 167,1077 VII.9 11,4092 9,8515 19,3098
II.5 17,7842 22,9246 105,3582 VII.10 0,6891 7,1211 4,0662
II.6 0 0 4,2910 VIII.1 15,3495 140,4685 151,2748
III.1 3,2847 2,2791 1,3064 VIII.2 61,9783 14,8894 33,663
III.2 0 0 4,2910 VIII.3 5,27507 33,8691 10,53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Letak permukiman terhadap sungai kurang dari 60 meter dilapangan
ditunjukkan pada gambar 11a. Gambar tersebut terletak di Blok I, Kelurahan
Mojosongo Kecamatan Jebres
Gambar 11a. Permukiman <60 m dari sungai.
Letak permukiman terhadap sungai antara 60 hingga 120 meter
dilapangan ditunjukkan pada gambar 11b. Gambar tersebut terletak di Blok VI,
Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon.
Gambar 11b. Permukiman 60-120 m dari sungai.
Letak permukiman terhadap sungai lebih dari 120 meter dilapangan
ditunjukkan pada gambar 11c. Gambar tersebut terletak di Blok I, Kelurahan
Pucangsawit Kecamatan Jebres.
Gambar 11c. Permukiman >120 m dari sungai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
F. Saluran Air
Pada penelitian ini kondisi saluran air dinilai berdasarkan blok
permukiman. Pemilihan lokasi penilaian dilakukan pada seluruh blok dengan
menggunkan sampel yang mewakili kondisi yang sama. Kondisi saluran air yang
berfungsi dengan baik pada setiap blok permukiman menunjukkan bahwa unit
permukiman tersebut tidak terjadi penggenangan, sedangkan kondisi saluran air
dinilai jelek bila saluran air tidak mengalir lancar. Peta saluran air hujan
ditunjukkan pada peta 11.
Pada peta tersebut menunjukkan bahwa pada blok permukiman nomor I
yaitu blok tidak teratur-sedang, blok nomor VII dan sebagian blok nomor IV yang
terdapat di Kecamatan Serengan, Sebagian Kecamatan Jebres, Sebagian
Kecamatan Laweyan dan Sebagian Kecamatan Banjarsari memiliki saluran air
yang kondisinya baik dengan total luas 3913,4703 Ha. Blok permukiman nomor
V, nomor III, nomor VII, dan sebagian nomor IV yang meliputi sebagian
Kecamatan Pasar Kliwon, Sebagian Kecamatan Laweyan, sebagian Kecamatan
Banjarsari dan Sebagian Kecamatan Jebres memiliki saluran air yang kondisinya
jelek, dengan total luas 797,7680 Ha. Kondisi saluran air yang jelek diakibatkan
kualitas permukiman yang rendah dan terletak dekat dengan sungai. Kondisi
saluran air di lapangan ditunjukkan pada gambar berikut :
Gambar 12a. Kondisi Saluran Air Hujan
Di Lapangan <50%
Berfungsi Baik.
Terletak di Blok V,
Kelurahan Semanggi
Kecamatan Pasar Kliwon.
Gambar 12b. Kondisi Saluran Air Hujan
Di Lapangan >50%
Berfungsi Baik.
Terletak di Blok II
Kelurahan Banyuanyar
Kecamatan Banjarsari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
G. Tingkat Kerawanan Potensial Penyakit Demam Berdarah Dengue.
Tingkat kerawanan penyakit DBD diketahui berdasarkan hubungan
kualitas permukiman dengan faktor penyebab penyakit DBD. Penentuan
kerawanan penyakit DBD diperoleh dengan menumpangsusunkan enam
parameter yaitu kepadatan permukiman, keteraturan permukiman, penggunaan
lahan, jarak permukiman terhadap sungai, kondisi saluran air dan kepadatan
penduduk. Setelah diketahui hasil tumpangsusun maka dilakukan pengharkatan
dengan cara menjumlahkan harkat pada masing-masing parameter. Klasifikasi
tingkat kerawanan memiliki rentang skor antara 6-18. Skor kemudian
diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu : sangat rawan, rawan, dan tidak rawan.
Tabel 35. Zonasi Tingkat Kerawanan
No. Zonasi Interval
1.
2.
3.
Sangat Rawan
Rawan
Tidak Rawan
>11
7-11
<6
Sumber : Hasil Perhitungan
Perhitungan klasifikasi kerawanan pada blok permukiman disajikan pada
tabel 35, sedangkan tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah Dengue
divisualisaikan pada peta 12.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Blok Klasifikasi Tata Letak Klasifikasi Kepadatan Klasifikasi penggunaan
lahan
Klasifikasi Kepadatan
penduduk
Klasifikasi jarak
permukiman terhadap
sungai (m)
Klasifikasi saluran
air
Skor Kelas
Kerawanan
Pola Skor Kepadatan Skor Penggunaan Lahan Skor Kepadatan Skor Jarak Skor Klasifikasi Skor
I.1 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 8 Rawan
I.2 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 60-120 2 <50 2 10 Rawan I.3 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Sedang 2 60-120 2 >50% 1 10 Rawan I.4 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 <50 2 9 Rawan I.5 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 8 Rawan I.6 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 8 Rawan I.7 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 8 Rawan I.8 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Sedang 2 60-120 2 >50% 1 10 Rawan I.9 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Sedang 2 >120 1 <50 2 10 Rawan
I.10 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Sedang 2 >120 1 >50% 1 9 Rawan I.11 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Sedang 2 >120 1 >50% 1 9 Rawan I.12 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Sedang 2 <60 3 <50 2 12 Sangat rawan
1.13 Teratur 1 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 60-120 2 >50% 1 9 Rawan II.1 Teratur 1 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 <50 2 8 Rawan II.2 Teratur 1 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 7 Rawan II.3 Teratur 1 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 <60 3 >50% 1 9 Rawan II.4 Teratur 1 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 7 Rawan II.5 Teratur 1 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 7 Rawan II.6 Teratur 1 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 <50 2 8 Rawan III.1 Teratur 1 Rendah 1 Permukiman 1 Rendah 1 <60 3 >50% 1 9 Rawan III.2 Teratur 1 Rendah 1 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 6 Tidak rawan
IV.1 Semi teratur 2 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 8 Rawan IV.2 Semi teratur 2 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 <50 2 9 Rawan V.1 Semi teratur 2 Tinggi 3 Permukiman 1 Tinggi 3 >120 1 <50 2 12 Sangat rawan
V.2 Semi teratur 2 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 <50 2 10 Rawan VI.1 Semi teratur 2 Rendah 1 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 <50 2 8 Rawan VI.2 Semi teratur 2 Rendah 1 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 7 Rawan VI.3 Semi teratur 2 Rendah 1 Permukiman 1 Tinggi 3 >120 1 >50% 1 10 Rawan VI.4 Semi teratur 2 Rendah 1 Permukiman 1 Tinggi 3 >120 1 >50% 1 10 Rawan VII.1 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 <60 3 >50% 1 11 Rawan VII.2 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 9 Rawan VII.3 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 9 Rawan VII.4 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 9 Rawan VII.5 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 60-120 2 >50% 1 10 Rawan VII.6 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 <60 3 >50% 1 11 Rawan VII.7 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Sedang 2 >120 1 >50% 1 10 Rawan VII.8 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Sedang 2 >120 1 >50% 1 10 Rawan VII.9 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Tinggi 3 >120 1 >50% 1 11 Rawan VII.10 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Sedang 2 >120 1 >50% 1 10 Rawan VIII.1 Tidak teratur 3 Sedang 2 Permukiman 1 Rendah 1 <60 3 >50% 1 12 Sangat rawan
VIII.2 Tidak teratur 3 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 >120 1 >50% 1 10 Rawan
VIII.3 Tidak teratur 3 Tinggi 3 Permukiman 1 Rendah 1 60-120 2 <50 2 12 Sangat rawan
Tabel 36. Perhitungan Klasifikasi Kerawanan
104
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Berdasarkan peta zonasi tingkat kerawanan penyakit Demam Berdarah
Dengue, diketahui bahwa terdapat tiga tingkat kerawanan yaitu tidak rawan,
rawan, dan sangat rawan. Wilayah yang merupakan zona tidak rawan DBD seluas
114,9857 Ha atau 2,44% terdapat di blok permukiman III.1 dan III.2. Wilayah
tersebut termasuk dalam zona tidak rawan karena memiliki pola permukiman
teratur, kepadatan permukiman rendah, kepadatan penduduk rendah, jarak
permukiman terhadap sungai lebih dari 120 meter dan memiliki saluran air baik.
Zona rawan DBD seluas 1877,5768 Ha atau 39,82% terdapat di blok I, blok II,
blok IV, blok VII, dan Blok VII.2.
Daerah yang memiliki potensi sangat rawan terhadap penyakit DBD
merupakan penggunaan lahan permukiman dengan pola semi teratur, kepadatan
tinggi, kepadatan penduduk tinggi, jarak terhadap sungai kurang dari 120 meter
dan kondisi saluran air buruk. Daerah tersebut berada di blok VIII.1 dan blok V.1
seluas 2717,5161 Ha atau sebesar 57,69% dari seluruh penggunaan lahan di
wilayah penelitian.
Secara administratif, zona rawan terhadap penyakit DBD terletak di
bagian utara Kecamatan Banjarsari yang meliputi Kelurahan Kadipiro, Kelurahan
banyuanyar, Kelurahan Sumber, Kelurahan Nusukan dan Kelurahan Manahan,
dan di bagian utara Kecamatan Laweyan yang meliputi Kelurahan Karangasem,
Kelurahan Jajar, Kelurahan, Kelurahan Kerten dan Kelurahan pajang. Zona sangat
rawan terhadap penyakit DBD paling luas terletak di Kecamatan Serengan,
Kecamatan Pasar Kliwon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
3. Zonasi Tingkat Kerawanan Aktual Penyakit Demam Berdarah Dengue
Zonasi aktual merupakan pemetaan persebaran kasus demam berdarah di
daerah penelitian. Zonasi ini digunakan untuk mengatahui jumlah kasus yang
terjadi pada blok permukiman di daerah penelitian. Klasifikasi jumlah kasus DBD
di Kota Surakarta dibagi menjadi 3 yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Jumlah kasus
rendah termasuk dalam zona tidak rawan terhadap penyakit DBD. Jumlah kasus
sedang termasuk dalam zona rawan, sedangkan jumlah kasus tinggi termasuk
dalam zona sangat rawan. Data jumlah kasus DBD di Kota Surakarta disajikan
pada tabel 37. Peta kasus DBD di Kota Surakarta tahun divisualisasikan pada peta
13.
Tabel 37. Klasifikasi jumlah kasus DBD
Jumlah Kasus Klasifikasi Keterangan
0-16 Rendah Tidak Rawan
17-48 Sedang Rawan
>48 Tinggi Sangat Rawan
Jumlah kasus DBD yang terjadi pada setiap blok di kota Surakarta
disajikan pada tabel 38.
Tabel 38. Data jumlah kasus DBD di Kota Surakarta
Blok Jumlah
Kasus
Klasifikasi Blok Jumlah
Kasus
Klasifikasi
1.1 16 Tidak Rawan 4.1 16 Tidak Rawan
1.2 29 Rawan 4.2 70 Sangat rawan
1.3 16 Tidak Rawan 5.1 38 Rawan
1.4 12 Tidak Rawan 5.2 16 Tidak Rawan
1.5 12 Tidak Rawan 6.1 13 Tidak Rawan
1.6 12 Tidak Rawan 6.2 33 Rawan
1.7 12 Tidak Rawan 6.3 38 Rawan
1.8 70 Sangat Rawan 6.4 36 Rawan
1.9 70 Sangat Rawan 7.1 16 Tidak Rawan
1.10 70 Sangat Rawan 7.2 13 Tidak Rawan
1.11 12 Tidak Rawan 7.3 13 Tidak Rawan
1.12 27 Rawan 7.4 16 Tidak Rawan
1.13 12 Tidak Rawan 7.5 39 Rawan
2.1 12 Tidak Rawan 7.6 12 Tidak Rawan
2.2 12 Tidak Rawan 7.7 22 Rawan
2.3 12 Tidak Rawan 7.8 38 Rawan
2.4 29 Rawan 7.9 36 Rawan
2.5 39 Rawan 7.10 12 Tidak Rawan
2.6 27 Rawan 8.1 12 Tidak Rawan
3.1 27 Rawan 8.2 29 Rawan
3.2 27 Rawan 8.3 27 Rawan
Sumber: Laporan Puskesmas dan Survey Lapangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Untuk mengetahui daerah yang memiliki potensi rawan terhadap
penyakit DBD juga memiliki jumlah kasus yang tinggi dilakukan dengan
membandingkan zonasi potensial tingkat kerawanan DBD dengan data kejadian
DBD pada daerah penelitian. Perbandingan zonasi potensial tingkat kerawanan
DBD dengan data kejadian DBD disajikan pada tabel berikut.
Tabel 39. Perbandingan Zonasi Potensial dengan Zonasi Aktual DBD
Blok Potensial Aktual Blok Potensial Aktual
I.1 Rawan Rendah IV.1 Rawan Rendah
I.2 Rawan Sedang IV.2 Rawan Tinggi
I.3 Rawan Rendah V.1 Sangat Rawan Sedang
I.4 Rawan Rendah V.2 Rawan Rendah
I.5 Rawan Rendah VI.1 Rawan Rendah
I.6 Rawan Rendah VI.2 Rawan Sedang
I.7 Rawan Rendah VI.3 Rawan Sedang
I.8 Rawan Tinggi VI.4 Rawan Sedang
I.9 Rawan Sedang VII.1 Rawan Rendah
I.10 Rawan Sedang VII.2 Rawan Rendah
I.11 Rawan Rendah VII.3 Rawan Rendah
I.12 Sangat Rawan Sedang VII.4 Rawan Rendah
1.13 Rawan Rendah VII.5 Rawan Sedang
II.1 Rawan Rendah VII.6 Ra wan Sedang
II.2 Rawan Rendah VII.7 Rawan Sedang
II.3 Rawan Rendah VII.8 Rawan Sedang
II.4 Rawan Sedang VII.9 Rawan Sedang
II.5 Rawan Sedang VII.10 Rawan Rendah
II.6 Rawan Sedang VIII.1 Rawan Rendah
III.1 Rawan Sedang VIII.2 Rawan Sedang
III.2 Tidak Rawan Sedang VIII.3 Sangat Rawan Sedang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Pada peta kasus DBD diketahui bahwa luas wilayah dengan klasifikasi
jumlah kasus rendah yaitu 394,8355 Ha, yang terdapat di blok I.1, I.3, I.4, I.5, I.6,
I.13, II.1, II.2, II.3 VI.1 V.2, VI.1, VII.1, VII.2, VII.3, VII.4, VII.10 dan VIII.1.
Pada tingkat kerawanan potensial blok tersebut merupakan daerah yang rawan
hingga sangat rawan terhadap penyakit DBD, tetapi kasus DBD yang terjadi
rendah. Hal ini disebabkan adanya program dari pemerintah Kota Surakarta untuk
penanggulangan penyakit yang menerapkan Program Kali Bersih (PROKASIH)
yang mewajibkan masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai seperti yang
terdapat di blok VIII.I. Selain Program Kali Bersih, pemerintah Kota Surakarta
juga melakukan sosialisasi mengenai pencegahan penyakit DBD agar jumlah
kasus DBD dapat berkurang. Kesadaran masyarakat untuk menjaga agar
lingkungan diwilayah tempat tinggal menjadi lebih bersih dan persebaran vektor
nyamuk menjadi berkurang yaitu dengan kegiatan gotong royong membersihkan
lingkungan tempat tinggal.
Wilayah dengan klasifikasi jumlah kasus sedang seluas 481,2084 Ha,
yang meliputi blok I.2, II.4, II.5, II.6, III.1, III.2, VI.2, VI.3, VI.4, VII.6, VII.7,
VII.8, VII.9 dan VIII.4. Pada tingkat kerawanan potensial blok II.6, III.1, dan III.2
merupakan blok yang termasuk dalam klasifikasi tidak rawan, tetapi kasus DBD
yang terjadi pada blok tersebut termasuk dalam jumlah kasus sedang (17-48
kasus). Hal ini dipengaruhi oleh letak blok permukiman yang terdapat di
pertemuan Kali Pepe dan Bengawan Solo dengan penggunaan lahan mayoritas
berupa tegalan yang merupakan tempat perkembangbiakan vektor nyamuk. Selain
terdapat di pertemuan dua sungai, blok VI.2, VI.3, VII.8, VII.9 dan VIII.4
merupakan blok permukiman yang berada di bantaran Bengawan Solo dengan
kondisi rumah penduduk yang terdapat pada blok tersebut merupakan rumah non
permanen hingga semi permanen.
Wilayah dengan jumlah kasus tinggi seluas 136,2969 Ha terdapat di blok
I.8, IV.2, dan VII.10. Pada tingkat kerawanan potensial, blok tersebut termasuk
dalam wilayah rawan terhadap penyakit DBD, tetapi pada data jumlah kasus DBD
wilayah tersebut termasuk dalam jumlah kasus tinggi (>48 kasus). Pada blok I.8
jumlah kasus DBD termasuk dalam klasifikasi tinggi disebabkan oleh kepadatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
penduduk yang terdapat pada blok tersebut antara 12.824 sampai 20.554 jiwa/Km.
Hal ini mengakibatkan penularan penyakit menjadi meluas dan jumlah penderita
menjadi tinggi. Pada blok IV.2 jumlah kasus tinggi disebabkan oleh penggunaan
lahan pertanian yang mendominasi blok tersebut. Vektor nyamuk berkembangbiak
di daerah non permukiman, maka letak permukiman yang dekat dengan daerah
pertanian mengakibatkan penduduk mudah terinfeksi vektor nyamuk DBD. Pada
blok VII.10, jumlah kasus tinggi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kepadatan
penduduk. Permukiman pada blok VII.10 terletak pada jarak 0-6 meter dan 6-120
meter dari Kali Tanggul dan Kali Brojo, sehingga infeksi vektor nyamuk dan
penularannya dipengaruhi oleh jarak terhadap sungai.
Berdasarkan tabel perbandingan zonasi potensial dan zonasi tingkat
kerawanan aktual dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki potensi rawan
terhadap penyakit DBD memiliki jumlah kasus rendah. Tingkat kerawanan aktual
dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat dan peran pemerintah untuk mengurangi
jumlah kasus DBD di Kota Surakarta. Daerah yang memiliki jumlah kasus sedang
termasuk dalam daerah yang memiliki potensi rawan hingga sangat rawan
terhadap penyakit DBD. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi fisik permukiman
yang memiliki kepadatan sedang hingga tinggi dan letak permukiman yang dekat
dengan sungai. Semakin padat suatu permukiman dan dekat dengan sungai maka
penularan virus DBD yang dibawa oleh nyamuk juga semakin besar.
Secara administratif, jumlah kasus DBD klasifikasi rendah terdapat di
Kelurahan Kadipiro, sebagian Kelurahan Jebres, Kelurahan Jajar, Kelurahan
Kerten, Kelurahan Manahan, Kelurahan Gilingan, Kelurahan Stabelan, Kelurahan
Panularan, Kelurahan Joyosuran, Kelurahan Kedung Lumbu, Kelurahan Timuran,
Kelurahan Gandekan, dan Kelurahan Baluwarti. Jumlah kasus DBD klasifikasi
sedang terdapat di Kelurahan Banyuanyar, Kelurahan Sumber, Kelurahan
Mojosongo, sebagian Kelurahan Jebres, Kelurahan Pucangsawit, Kelurahan
Semanggi, Kelurahan Sangkrah, Kelurahan Pasar Kliwon, Kelurahan Tipes,
Kelurahan Serengan, dan Kelurahan Mangkubumen. Jumlah kasus DBD
klasifikasi tinggi terdapat di Kelurahan Sondakan, Kelurahan Pajang, dan
sebagian Kelurahan Karangasem Kecamatan Laweyan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah dikemukakan, maka penelitian ini dapat
diambil bebrapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil uji ketelitian interpretasi citra IKONOS untuk penggunaan lahan yaitu
98%, kepadatan permukiman sebesar 84,33%, dan pola permukiman sebesar
85%, maka citra IKONOS dapat digunakan sebagai sumber data utama
dalam penentuan tingkat kerawanan penyakit DBD di Kota Surakarta.
2. Dari hasil penelitian diketahui terdapat 3 zonasi tingkat kerawanan penyakit
Demam Berdarah Dengue di Kota surakarta yaitu tidak rawan, rawan dan
sangat rawan. Wilayah yang merupakan zona tidak rawan DBD seluas
114,9857 Ha atau 2,44% terdapat di blok III.1 dan III.2. Zona rawan DBD
seluas 1877,5768 Ha atau 39,82% terdapat di blok blok I, blok II, blok IV,
blok VII, dan Blok VII.2, sedangkan zona sangat rawan DBD seluas
2717,5161 Ha atau sebesar 57,69% terdapat di blok V.1 dan VII.1.
3. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa luas wilayah dengan klasifikasi
jumlah kasus rendah yaitu 394,8355 Ha, yang terdapat di blok I.1, I.3, I.4,
I.5, I.13, II.1 dan II.3. Wilayah dengan klasifikasi jumlah kasus sedang
seluas 481,2084 Ha, yang meliputi blok I.2, II.4, II.5, II.6, III.1, VI.2, VI.3,
VI.4, VII.6, VII.7, VII.8, VII.9 dan VIII.8. Wilayah dengan jumlah kasus
tinggi seluas 136,2969 Ha terdapat di blok I.12, V.1, dan VIII.3.
B. Implikasi
Dari kesimpulan yang telah dijabarkan, maka implikasinya dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Dengan mengetahui tingkat kerawanan penyakit DBD di Kota Surakarta
maka dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan dalam pengelolaan
lingkungan yang berkaitan dengan timbulnya penyakit DBD di Kota
Surakarta.
112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
2. Dengan mengetahui potensi kerawanan di Kota Surakarta maka dapat
digunakan sebagai dasar kebijakan penanggulangan penyakit DBD, seperti
yang terlihat pada hasil penelitian bahwa daerah yang memiliki jumlah
penyakit DBD rendah belum tentu merupakan daerah yang tidak rawan
penyakit DBD.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran geografi di
sekolah menengah atas kelas XII semester I dalam standar kompetensi dan
kompetensi dasar berikut :
Kelas Semester Standar
Kompetensi
Kompetensi Dasar Materi Pembelajaran
XII I Memahami
pemanfaatan
Citra
Penginderaan
Jauh dan
Sistem
Informasi
Geografis
(SIG).
Menjelaskan
pemanfaatan citra
penginderaan jauh.
Penerapan SIG
dalam kajian
geografi.
Pemanfaatan citra
penginderaan jauh
khususnya IKONOS
untuk kajian permukiman
di Kota Surakarta.
Mengaplikasikan SIG
dalam menentukan tingkat
kerawanan penyakit
Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Kota Surakarta.
Sumber : Silabus Pembelajaran Geografi SMA Kelas XII Semester I
C. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti perlu
menyarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan pengelolaan lingkungan agar vektor nyamuk pembawa
virus penyakit DBD tidak menyebar ke permukiman hingga menimbulkan
wabah pada daerah yang berpotensi rawan hingga sangat rawan.
2. Perlunya perbaikan lingkungan dan sosialisasi terhadap masyarakat yang
tinggal dekat dengan sungai dan memiliki kondisi saluran air yang buruk
mengenai dampak infeksi vektor nyamuk penyebab penyakit DBD.
3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber acuan untuk bidang kajian
geografi dan kesehatan.