Upload
sofinal-eightson
View
185
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Pernafasan Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang
ditandai oleh keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya dapat dipulihkan. PPOK meliputi empisema, bronkitis kronik atau
kombinasi dari keduanya. Empisema digambarkan sebagai kondisi patologis
pembesaran abnormal rongga udara di bagian distal bronkiolus dan kerusakan
dinding alveoli, sedangkan bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas
yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal tiga bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut.
Beberapa faktor risiko PPOK diantaranya adalah merokok (aktif / pasif),
polusi udara, dan defisiensi enzim α-antitrypsin (Smeltzer & Bare, 2006). Menurut
Wiyono (2009), prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan
dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola dari
penyakit infeksi ke penyakit degeneratif serta meningkatnya kebiasaan merokok
dan polusi udara. Data prevalensi PPOK yang terkait dengan usia dan merokok
bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Berdasarkan pada kriteria yang
ditetapkan oleh British Thoracic Society (BTS) prevalensi PPOK sebesar 7,6%,
sedangkan menurut Europe Respiratory Society (ERS) dan Global Initiative for
Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD) prevalensinya berkisar antara 14%
1
2
sampai 14,1%, sementara prevalensi PPOK yang ditetapkan oleh American
Thoracic Society (ATS) mencapai 34,1% (Lindberg et al. 2005). Di Asia Pasifik
rata-rata prevalensi PPOK adalah 6,3%, sedangkan di Indonesia sebesar 5,6%
(Regional COPD Working Group, 2003). World Health Organization (WHO)
memprediksi, PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian ke-5 di seluruh
dunia akan menjadi penyebab kematian ke-3 pada tahun 2020 (Murray, 2010).
Data nasional Indonesia, hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat
Jenderal PPM & PL di Indonesia, pada tahun 2011 jumlah kasus PPOK berjumlah
183.000 kasus (72%), pada tahun 2012 penyakit PPOK menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakitan (35%) dari keseluruhan penyakit pernafasan.
Sedangkan data tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan kejadian PPOK di
seluruh Rumah Sakit Indonesia yaitu sebesar 37%.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu jumlah kasus
PPOK di propinsi Bengkulu sebanyak 73.100 atau 66,6%. Sementara data Kasus
PPOK di setiap Kabupaten dan Kota di Propinsi Bengkulu menunjukkan bahwa
kasus PPOK terbanyak di Kabupaten Kepahiang, kemudian diikuti Rejang Lebong
dan selanjutnya Kota Bengkulu menjadi rangking ke-3 kasus PPOK. Kasus PPOK
di Kabupaten Kepahiang berjumlah 13.000 kasus per tahun (Profil, Dinkes
Propinsi Bengkulu, 2013).
Data dari RSUD Kepahiang tahun 2012 terdapat 90 kasus PPOK dan pada
tahun 2013 terdapat 92 kasus penyakit PPOK yang dirawat di ruang rawat inap
RSUD Kepahiang (Profil RSUD Kepahiang, 2013)
3
Merokok merupakan hal yang biasa ditemukan, baik pada orang dewasa
maupun remaja, khususnya laki-laki. Membicarakan rokok tidak terlepas dari
unsur utama rokok itu sendiri yaitu tembakau. Penggunaan tembakau terus
berlanjut sebagai bahan yang menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia.
Menurut WHO, ada 1,3 Milyar perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari
populasi Global yang berusia 15 tahun ke atas serta 84% diantaranya berasal dari
dunia ketiga (Supari, 2008).
Indonesia tetap menduduki posisi peringkat ke 5 konsumen rokok terbesar
setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang pada tahun 2007. Pada tahun
yang sama prevalensi merokok dewasa usia 15 tahun ke atas adalah sebesar 34,2%
meningkat dari 31,5% tahun 2001. Kenaikan yang sangat significant, 4 kali lipat
dari 1,3% menjadi 5,2% selama kurun waktu 2001 – 2007 terjadi pada perokok
perempuan.
Peningkatan perokok pada kelompok umur 15 – 19 tahun, dari 7,1% (1995)
menjadi 19,9% (2007) atau naik sebesar 180%. Peningkatan tertinggi terjadi pada
kelompok umur yang paling muda yaitu 10 – 14 tahun dari 0,3% menjadi 2,0%
atau meningkat 7 kali lipat selama kurun waktu 12 tahun (1995 – 2007).
Provinsi Bengkulu pada tahun 2007 adalah provinsi dengan prevalensi
perokok tertinggi di Indonesia (38,7%) sementara prevalensi perokok laki-laki
tertinggi 74,2% berada di Provinsi Gorontalo dan prevalensi perokok perempuan
tertinggi 11,7% adalah provinsi Papua. Kelompok perokok tidak sekolah/tidak
tamat SD naik dari 31,3% menjadi 35,4% pada tahun 2007. Hal ini perlu mendapat
4
perhatian serius dari pemerintah untuk melindungi masyarakat berpendidikan
rendah tersebut (Profil Dinkes Propinsi Bengkulu, 2012).
Yang lebih mengkhawatirkan adalah umur mulai merokok yang semakin
muda. Anak-anak berusia 5 – 9 tahun sudah mulai merokok dengan prevalensi
tertinggi dari kelompok umur dibawah 15 tahun yaitu dari 0,4% tahun 2001
menjadi 1,9% tahun 2007 atau hampir 5 kali lipat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas ditemukan bahwa setiap tahun kasus
PPOK di Propinsi Bengkulu terjadi peningkatan dan Kabupaten Kepahiang
merupakan kasus PPOK terbanyak maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti
“Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit paru obstruktif
kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2013”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian “Apakah ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit paru obstruktif
kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2014 ? ”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit
paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2014.
5
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit paru obstruktif kronik pada
pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2014.
2. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada pasien rawat inap di
RSUD Kepahiang Tahun 2014.
3. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang
Tahun 2014.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan dan informasi untuk
menambah dan meningkatkan pengetahuan bagi mahasiswa-mahasiswi tentang
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit PPOK.
2. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan suatu masukan dan
evaluasi dalam pelaksanaan program sehingga dapat mengurangi kejadian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
3. Bagi penulis
Menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis dalam bidang
penlitian mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang
Tahun 2014.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit PPOK
1. Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update tahun 2005,
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi oleh
adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya.
Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya. Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah
PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang
sama.
2. Etiologi 6
7
PPOK sebagian besar disebabkan merokok dan mungkin terlihat pada
pasien yang berusia diatas 35 tahun (National Collaborating Centre for
Chronic Conditions NCCC, 2004), perokok pasif, polusi udara, paparan bahan
kimia industri, alergen, cuaca dan defisiensi enzim α-antitrypsin yang
mengakibatkan munculnya tanda dan gejala termasuk sesak saat beraktifitas,
batuk kronik, produksi sekret yang menetap, wheezing, barrel-shaped chest
dan kehilangan berat badan (Smeltzer & Bare, 2006).
Berbagai penyakit yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruksi
menahun antara lain :
a. Emfisema
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu
perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai
kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai
adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk
emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation". Emfisema akan
menyebabkan defek pada aliran udara.
b. Bronchitis kronik
Bronchitis adalah penyakit pernapasan dimana selaput lendir pada
saluran-saluran bronchial paru meradang. Ketika selaput yang teriritasi
membengkak dan tumbuh lebih tebal, hal ini menyebabkan penyempitan
8
bronkus, berakibat pada serangan-serangan batuk yang disertai oleh dahak
dan sesak napas
c. Asma bronkiale
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan.
Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas
secara periodic dan reversible akibat bronkospasme
d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan
obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari
saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang
berdilatasi dan pembesaran nodus limfe (Rab Tabrani, 2006)
3. Epidemiologi
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1.
Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil
penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta
selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien,
usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat
merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita
9
dengan proporsi sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki.
Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki
dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional)
tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki
merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak
92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah,
ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian
besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK
menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru
yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada
periode Januari hingga Desember 2009 dari keseluruhan penyakit paru yang
ada.
4. Faktor Resiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor
risiko tersebut terdiri dari :
a. Perilaku merokok
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru
adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan
perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok
10
akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor
genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor
risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang
cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok (Helmersen, 2002).
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan
lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang
ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat
dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari
dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10
bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka
seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun
merokok (Suradi, 2009).
b. Lingkungan
Lingkungan dengan polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan
(indoor) seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain,
polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang
kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat
kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain.
Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain
PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi
lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor
11
polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan
untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status
sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK,
kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada
tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi (Helmersen, 2002).
c. Genetik
Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu
suatu serin protease inhibitor. Individu membawa sifat tertentu dari gen
orang tua yang menentukan arah ketahanan penyakit seseorang untuk lebih
beresiko terserang penyakit. Melalui kondisi-kondisi fisiologik yang
dibawah anak pada saat lahir.
d. Hiperesponsif jalan napas
Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok
atau polusi. Penyebaran secara hematogen Mekanisme daya tahan traktus
respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang
terdiri dari : Susunan anatomis rongga hidung Jaringan limfoid di
nasofaring Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus
respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
Refleks batuk. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret
yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar
limfe regional (Soemantri, 2008).
12
Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak
kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli
yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : A. Stadium I (4 – 12 jam
pertama/kongesti) Sehinga terjadinya respon hiperesponsif jalan nafas yang
mengakibatkan PPOK (Soemantri, 2008).
e. Pertumbuhan paru.
Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan
pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan
pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK
(Helmersen, 2002). Pertumbuhan paru didapati pada satu atau beberapa
lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti
pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran
ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai pada beberapa kasus
PPOK (Hemersen, 2002).
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi,
difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari
13
dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan
pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah
teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara
di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan
restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.
Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,
2009).
14
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas
saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara
kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk
melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak
diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan
(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas
dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi,
dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi
hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan
ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research
Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).
15
Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1
tingkat
3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit
5 Sesak bila mandi atau berpakaian
5. Patogenesis PPOK
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi,
difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari
dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan
pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah
teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara
di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan
restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio
16
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.
Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang
dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD,
2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara
dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak
terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps (GOLD, 2009).
17
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk
melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi
dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010).
Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol
(Chojnowski, 2003).
6. Diagnosis PPOK
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks
dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan
spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.
a. Anamnesis
1) Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun
polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya
penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab
lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah
18
pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas
perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),
yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-
200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).
2) Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang
diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala
yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas.
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang
bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk
menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran
sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council
(MRC)
19
b. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada
seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas,
pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi
vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya
hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara
napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi
(PDPI, 2003).
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) .
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP
(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri
tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang
tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian
pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b) Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun
20
kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK
ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan
diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).
c) Laboratorium darah rutin
d) Analisa gas darah
e) Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)
3) Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) PPOK, (GOLD, 2009)
Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi Penyakit
Gejala Klinis Spirometri
PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2
-VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri) -VEP1/KVP < 70%
PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum -Sesak napas derajat 3
-VEP1/KVP < 70% -50% ≤ VEP1 < 80% prediksi
PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 -Eksaserbasi lebih sering terjadi
-VEP1/KVP < 70% -30% ≤ VEP1 < 50% prediksi
PPOK Sangat Berat
Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik -Eksaserbasi lebih sering terjadi -Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
21
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB
paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal
jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung
kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).
7. PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian
akut dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal
sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke
hari (GOLD, 2009).
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya
karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli
paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan
obat-obatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik
(diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau
polusi udara aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi
(kelelahan otot respirasi) (PDPI, 2003).
Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering
menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999)
terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap.
Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20
kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas
22
(kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran
gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44
mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18
mmHg.
Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002) mendapatkan
faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat
akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi. Gejala
eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan
adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut Anthonisen dkk.
(1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi
berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya
memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1
gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam
tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan
frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo,
2006).
8. Pengobatan PPOK
Menurut Barnett (2006), pengobatan PPOK berfokus pada penurunan atau
penghilangan gejala, mengurangi frekwensi eksaserbasi, meningkatkan kualitas
hidup dan aktifitas sehari-hari serta mencegah progresifitas penyakit. Jones (2001),
mengatakan beberapa hal yang perlu dievaluasi terkait dengan pengobatan pasien
diantaranya kemampuan bernafas pasien, penurunan gejala setelah pengobatan,
23
peningkatan kemampuan melakukan aktifitas atau mengerjakan sesuatu,
peningkatan kualitas atau kuantitas tidur. Pengobatan dari PPOK terdiri dari :
a. Bronkodilatator
Bronkodilator tergolongkan menjadi beta-agonist (salbutamol 2.5-5 mg;
salmeterol atau formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium
bromide 20 mg atau 40 mg; tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari) dan
theophyllines 10-20 mg/l atau 100-600 per oral). Pemberian bronkodilator
dapat membantu pasien mengurangi sesak serta meningkatkan toleransi
latihan/aktifitas dengan mengurangi air-trapping dan meningkatkan efisiensi
otot pernafasan. Kombinasi dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala
yang muncul pada pasien. Reaksi merugikan yang dilaporkan meliputi sakit
kepala, insomnia, tremor, hipertensi, aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah
(Deglin & Vallerand, 2005).
b. Mukolitik
Sebagian besar pasien PPOK mengalami batuk kronis dan memproduksi
sputum. Pemberian codeine 15 mg (5 ml) 3-4 x/hari dapat mengurangi
gangguan tidur pada pasien akibat batuk. Mukolitik semacam carbocysteine
dengan dosis 750 mg 3x/hari dan mecysteine hydrochloride 200 mg 4x/hari
adalah obat-obat yang dapat mengencerkan dan memudahkan pengeluaran
sputum. Efek samping meliputi mual, muntah, stomatitis, diare dan nyeri
lambung (Deglin & Vallerand, 2005).
24
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid Barnes, (2000; Burge, 2000) menyatakan bahwa peradangan
yang nampak pada jalan nafas pasien PPOK berbeda dengan peradangan dan
respon terhadap kortikosteroid pada pasien asma. Meskipun belum terdapat
banyak bukti yang menyarankan pemberian kortikosteroid pada PPOK derajat
ringan, namun ada yang menyatakan pemberian kortikosteroid pada PPOK
derajat sedang sampai berat dengan nilai FEV1 kurang dari 50% dapat
mengurangi frekwensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Mengingat pada pasien dapat mengalami eksaserbasi lebih dari satu kali,
maka pemberian steroid oral atau antibiotik selama periode 12 bulan
sebaiknya diresepkan juga asteroid inhaler dan kombinasi bronkodilator.
9. Penatalaksanaan
a. Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah :
1) Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada
fase akut, tetapi juga fase kronik.
2) Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
3) Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.
b. Tindakan rehabilitasi yang meliputi :
1) Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
25
2) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
3) Latihan dengan beban olah raga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
4) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
c. Penatalaksanaan Patogenesis (Medis)
1) Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2) Obat bisolvon
Bisolvon bekerja dengan mengencerkan sekret pada saluran pernafasan
dengan jalan menghilangkan serat-serat mukoprotein dan
mukopolisakaridayangterdapat pada sputum/dahaksehingga lebih
mudah dikeluarkan.
3) N-acetylcysteine (NAC).
NAC selain sebagai agen mukolitik, juga berperan sebagai
antioksidan dan anti-inflamasi, serta imunomodulator. NAC sebagai
agen mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan/memecah
jembatan disulfida dari makromolekul mukoprotein yang terdapat
dalam sekresi bronkial, sehingga mukus menjadi lebih encer, serta
bekerja dengan cara memperbaiki kerja silia saluran napas.
Dengan adanya kerja silia yang membaik ini, maka akan sedikit
mukus yang melekat pada epitel dan menyebabkan penetrasi antibiotika
26
ke dalam jaringan akan meningkat, dan hal ini akan mengurangi
kolonisasi bakteri. Efek ini dikenal sebagai anti adherens bacteria dari
NAC.
Peranan NAC sebagai anti-inflamasi yaitu menghambat pelepasan
sitokin pro-inflamasi, dan sebagai imunomodulator dengan cara
meningkatkan fungsi sel-sel imunitas seperti limfosit dan makrofag
terhadap radikal bebas dan bakteri atau benda asing.
4) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5) Mukolitik dan ekspektoran
6) Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal
napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
7) Rehabilitasi pasien melalui kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi.
d. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK
1) Berhenti merokok/mencegah pajanan gas/partikel berbahaya
2) Menghindari faktor pencetus
3) Vaksinasi Influenza
4) Rehabilitasi paru
5) Pengobatan/medikamentosa di antaranya penggunaan bronkodilator
kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja singkat), penggunaan
bronkodilator kerja lama (LABA, antikolinergik kerja lama), dan obat
27
simtomatik. Pemberian kortikosteroid dapat digunakan berdasarkan
derajat PPOK.
6) Pada PPOK derajat sangat berat diberikan terapi oksigen
7) Reduksi volume paru secara pembedahan (LVRS) atau endoskopi
(transbronkial) (BLVR)
10. Komplikasi
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya
dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi
28
ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronik, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.
B. Konsep Dasar Kebiasaan Merokok Merokok
1. Pengertian
Menurut Joly tahun 2008 (dalam Diantini, 2011) mengatakan bahwa,
kebiasaan merokok adalah tingkah laku seseorang yang dimulai dengan
membakar sebatang rokok yang terdiri dari bahan baku kertas, tembakau,
cengkeh dan saus dimana terkandung nikotin dan tar kemudian menghisap asap
yang berasal dari pembakaran rokok tersebut kemudian masuk ke dalam paru-
paru. Semakin banyak jumlah rokok yang dihisap setiap hari, maka semakin
berat pula tingkah laku merokok seseorang.
Kebiasaan merokok adalah seseorang yang hingga sekarang masih terus
atau kadang-kadang merokok. Dalam beberapa penelitian menyimpulkan
29
bahwa rokok meningkatkan resiko PPOK. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku merokok adalah teman, kepribadian dan iklan (Muhammadun, 2010).
Merokok adalah suatu kebiasaan menghisap silinder dari kertas yang
dilakukan berulang-ulang hingga menyebabkan kecanduan. Rokok adalah
silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi
tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun
tembakau yang telah dicacah (Aryono, 2006).
Sedangkan menurut Aryono, dkk (2006), perokok aktif adalah orang yang
merokok setiap hari tanpa berhenti dan dilakukan selama bertahun-tahun atau
sepanjang hidupnya.
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebiasaan
merokok merupakan suatu kebiasaan menghisap rokok setiap hari (> 3 batang
rokok per hari) tanpa berhenti hingga menimbulkan kecanduan. Kebiasaan
merokok merupakan suatu ukuran perilaku merokok seseorang yang diukur dari
jumlah rokok yang dihisap, dalam satuan batang, bungkus, pak per hari dan
dibagi menjadi perokok ringan, sedang dan perokok berat (Bustan, 2007).
2. Jenis Rokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120
mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi
daun-daun tembakau yang telah dicacah (wikipedia.2005).
Rokok dibedakan menjadi dua, Pembedaan ini didasarkan atas penggunaan
filter pada rokok yaitu :
30
a. Rokok Filter (RF)
Yaitu rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.
b. Rokok Non Filter (RNF)
Yaitu rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus.
3. Batasan Merokok
Prilaku merokok bisa menyebabkan PPOK jika dilakukan oleh perokok
aktif, lebih dari 3 batang/hari dan dilakukan lebih dari 3 bulan berturut-turut
tanpa berhenti. Dengan kata lain jika merokok kurang dari 3 batang /hari dan
dilakukan kurang dari 3 bulan bukan merupakan perokok aktif (Sheps, 2000).
Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari,
terbagi atas 3 kelompok yaitu :
a. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok
per hari.
b. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per
hari.
c. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per
hari (Bustan, 2007).
4. Bahan-Bahan Yang Terkandung Dalam Rokok
Setiap batang rokok yang dinyalakan akan mengeluarkan lebih 4.000 bahan
kimia beracun yang membahayakan dan boleh membawa kematian artinya
setiap hisapan itu menyerupai satu hisapan maut (Bustan, 2007).
31
Apabila racun rokok itu memasuki tubuh manusia, akan membawa
kerusakan pada setiap organ yang dilaluinya, bermula dari hidung, mulut,
tenggorokan, saluran pernafasan, paru-paru, saluran darah, jantung, organ
reproduksi, sehingga ke saluran kencing dan kandung kemih, yaitu apabila
sebagian dari racun-racun itu dikeluarkan dari badan dalam bentuk air seni.
Kandungan rokok antara lain Nikotin, Karbon Monoksida, TAR dan Timah
Hitam (Pb) yang merupakan partikel asap rokok (Bustan, 2007).
C. Kesadaran Berhenti Merokok
Masyarakat tidak sepenuhnya sadar akan resiko penyakit dan kematian dini
akibat keputusannya membeli produk tembakau, karena beberapa faktor
penyebabnya antara lain butuh waktu 20-25 tahun sejak orang mulai merokok dan
timbulnya gejala penyakit. Sebagian besar perokok pemula adalah remaja yang
belum mempunyai kemampuan untuk menilai dengan benar informasi dampak
merokok dan mereka tidak menyadari efek adiktif nikotin yang sangat kuat yang
akan mengikat dan menyebabkan orang sulit berhenti merokok.
Program pencegahan merokok yang efektif bagi remaja apabila dikemas
dalam Program Pengendalian Tembakau yang komprehensif, tidak memposisikan
konsumsi tembakau sebagai kegiatan berkaitan dengan kedewasaan, tetapi sesuatu
yang mengenai semua umur, memberikan Dukungan terhadap peningkatan cukai
(dan harga), memberikan dukungan terhadap larangan total dari iklan rokok,
memberikan dukungan terhadap Kawasan Tanpa Rokok, melarang pemajangang
(display) produk tembakau dan membatasi rantai penjualan, menekankan bahwa
32
nikotin adalah adiktif, mendiskusikan resiko merokok bagi semua umur dan
mendorong berhenti merokok pada semua perokok, tua dan muda. Sedangkan
salah satu sarana pendidikan masyarakat yang efektif dan tidak memerlukan biaya
dari pemerintah adalah Peringatan Kesehatan berbentuk gambar di Bungkus
Rokok.
Program berhenti merokok telah dirintis oleh Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada sejak beberapa tahun yang lalu, kemudian Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) juga menyelenggarakan pelatihan program berhenti merokok dan RSUP
Persahabatan membuat klinik Berhenti Merokok dengan menggunakan intervensi
farmako terapi.
D. Hubungan Merokok dengan PPOK
Menurut Tandra (2003) merokok terbukti merupakan faktor resiko untuk mati
mendadak. Zat kimia di dalam tembakau merusak jantung dan paru pada dinding
paru akan terjadinya akumulasi plak sehingga terjadinya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial,
sehingga terjadinya respons inflamasi paru terhadap nikotin dalam tembakau yang
menyebabkan terjadinya Penyakit paru obstruktif dan apabila dibiarkan terus
menerus hingga bertahun-tahun maka akan mengakibatkan terjadinya Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK) (Sheps, 2000).
Asap rokok juga berbahaya bagi perokok pasif. Perokok pasif adalah asap
rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap
rokok yang dihembusan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima
33
kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak
mengandung tar dan nikotin yang juga akan mengakibatkan hambatan aliran udara
pada jalan nafas dan pada akhirnya juga dapat menyebabkan terjadinya Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK) (Wardoyo, 2006).
E. Kerangka Teori
Keterangan :
Diteliti
Tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Kebiasaan Merokok
Genetik
Lingkungan
Pertumbuhan
Responsif Jalan Nafas
PPOK
34
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang di bahas, kejadian penyakit paru obstruktif kronik
tidak terlepas dari faktor resiko seperti kebiasaan merokok. Berdasarkan latar
belakang dan teori diatas maka kerangka konseptual tentang kejadian penyakit
paru obstruktif kronik pada penelitian ini adalah :
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
B. Definisi Opersional
Definisi operasional adalah defenisi berdasarkan karakteristik yang di
amati dari sesuatu yang di defenisikan tersebut, karakteristik yang di amati (di
ukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional (Nursalam, 2009).
Adapun definisi operasional yang dibuat meliputi seluruh variabel yang ada di
kerangka konsep.
Kebiasaan Merokok
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK
34
35
Tabel 3.3 Definisi Operasional variabel
Variabel Defenisi Operasional Alat ukur Cara Ukur Hasil ukur Skala
Kebiasaan merokok
suatu kebiasaan menghisap rokok setiap hari (> 3 batang /hari) tanpa berhenti hingga menimbulkan kecanduan
Kuesioner
Wawancara 0 = Perokok 1 = Tidak Perokok
Ordinal
PPOK
Pasien yang dinyatakan menderita PPOK berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis.
Catatan/diagnosa medis pada saat penelitian
Studi Dokumentasi
/Rigester
0 = PPOK 1 = Tidak PPOK
Ordinal
F. Hipotesis
1. Terdapat Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang tahun
2013.
2. Tidak Terdapat Hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada pasien rawat inap di RSUD
Kepahiang tahun 2013.
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey analitik
dengan Case Control, yaitu suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana
faktor risiko dipelajari dengan menggunakan retrospective (Soekidjo
Notoatmodjo, 2002). Pada penelitian ini, sekelompok kasus (pasien dengan PPOK)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (pasien tidak PPOK). Kemudian secara
retrospektif (penelusuran ke belakang) diteliti faktor risiko (Kebiasaan merokok)
yang dapat menerangkan apakah kasus dan kontrol terkena efek atau tidak.
Gambar 3.2 Desain Penelitian
36
Kelompok Kasus
Kebiasaan Merokok
PPOK
Kelompok Kontrol
Perokok
Tdk Perokok
Tidak PPOK
Perokok
Tdk Perokok
Kebiasaan Merokok
37
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu
penelitian. Penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting dan
menentukan keakuratan hasil penelitian (Saryono, 2011). Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Populasi Kasus, yaitu seluruh pasien PPOK di Ruang rawat inap penyakit
dalam RSUD Kepahiang Tahun 2013 yang berjumlah 92 orang.
2. Populasi Kontrol, yaitu seluruh pasien yang tidak PPOK di Ruang rawat inap
penyakit dalam RSUD Kepahiang Tahun 2013.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi yang
merupakan bagian dari populasi terjangkau (Saryono, 2011). Menurut
Notoatmodjo (2002), sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan
objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.
Besarnya sampel dan cara pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu
a. Untuk kelompok kasus
Adapun besar sampel diambil dengan rumus studi kasus kontrol untuk
pengujian hipotesis terhadap Odds Ratio :
n = (Z1-α√2PQ+Z1-ß√P1Q1+√P2Q2)² (P1-P2)²
38
Keterangan :
n = Besar sampel minimum pada kasus dan kontrol
Z1-α = Nilai baku normal berdasarkan α yang ditentukan (α = 0,10) = 1,282
Z1-β = Nilai baku normal berdasarkan β yang ditentukan (β = 0,20) = 0,842
P1 = Proporsi efek pada kelompok dengan faktor risiko
P2 = Proporsi efek pada kelompok tanpa faktor risiko
P = (P1+P2)/2
OR = Odds Ratio yang dianggap bermakna secara klinis. Penentuan besar
sampel berdasarkan variabel paritas dengan OR = 3 (Berdasarkan penelitian
Sarwono, 2008 dengan variabel dan desain penelitian yang sama)
P1 = 0,69 diambil dari penelitian terdahulu (Junaidi, 2008),
sehingga didapat P2 :
P1 = (OR)P2 (OR) P2+(1- P2) 0,69 = (3) P2 (3) P2 + (1- P2) 3 P2 = 2,07 P2+0,69-0,69 P2 1,62 P2 = 0,69 P2 = 0,43 n = [1,282√2x0,56x0,44+0,842√{(0,69x0,31)+(0,43xo,57)}]²
(0,69-0,43)² n = (0,8999+0,5705)² 0,0676 n = 2,1621 0,0676 n = 32
39
Jadi sampel untuk kelompok kasus berjumlah 32 orang, dengan kriteria :
1) Pasien Penderita PPOK
2) Data catatan medik lengkap
3) Tercatat dalam buku registrasi ruang Penyakit Dalam
4) Usia > 30 tahun
Cara pengambilan sampel kasus dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode Purposive Sampling atau sampel pertimbangan.
Purposive sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai
dengan persyaratan sampel yang diperlukan.
b. Untuk kelompok kontrol
Cara pengambilan sampel kontrol adalah dengan menggunakan metode
Accidental sampling, dimana penelitian ini hanya di lakukan dengan
mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia. Besarnya kelompok
kontrol dihitung dengan menggunakan perbandingan 1 : 1, sehingga hasil
yang didapat 32 orang. Jadi sampel untuk kelompok kontrol berjumlah 32
orang, dengan kriteria :
1) Pasien yang tidak PPOK
2) Bersedia menjadi responden
3) Usia > 30 Tahun
C. Tempat Penelitian Dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Ruang rawat inap Penyakit Dalam RSUD
Kepahiang, waktu penelitian mulai dari bulan Juni s/d Juli 2014 sedangkan objek
40
penelitian adalah penderita PPOK dan yang bukan PPOK di ruang rawat inap
RSUD Kepahiang.
D. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara kepada klien
yang dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam RSUD Kepahiang.
Kuesioner berisi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
kebiasaan merokok yang dilakukan oleh pasien.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku registrasi dari ruang
rawat inap penyakit dalam dan dari catatan medik RSUD Kepahiang
tentang alamat pasien.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data yang ada di buku
register rawat inap penyakit dalam, kemudian sampel kasus diambil
berdasarkan pertimbangan dan untuk kelompok kontrol sampel diambil dengan
mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia.
2. Pengolahan Data
Data yang terkumpul akan diolah secara manual maupun menggunakan
komputer, adapun pengolahan data dilakukan dengan tahapan;
41
a. Pemeriksaan data (Editing), merupakan kegiatan pengecekan isian angket,
apakah jawaban yang ada diangket sudah lengkap, jelas, relevan dan
konsisten.
b. Pemberian Kode (Coding), yaitu pengkodean data menjadi bentuk kategori,
variabel dependen dan independen dengan dilakukannya tahap ini maka
proses pengolahan dan entry data menjadi mudah
c. Pemberian Skor (Scoring)
Pemberian nilai skor pada data yang memerlukan scoring.
d. Memasukkan Data (Entry Data), yaitu data yang telah diedit dan koding
dimasukkan kedalam komputer untuk dilakukan analisis.
e. Membersihkan Data (Cleaning), yaitu pengecekan data (variabel data) yang
telah dimasukkan kedalam program komputer sebelum dilakukan analisis
lebih lanjut. Tahapan ini dimasukkan untuk menghindari kesalahan,
sehingga hasil analisa data nantinya sesuai data sebenarnya.
3. Analisis Data
Tekhnik analisis data yang digunakan adalah
a. Analisis Univariat
Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik
masing-masing variabel yang diteliti (Hastono, 2007).
F P = x 100 % n
42
Keterangan :
P : Jumlah persentase yang dicari F : Jumlah frekuensi untuk setiap alternatif n : Jumlah responden.
Dari rumus diatas nilai proporsi yang didapatkan dalam bentuk persentase
dapat diinterprestasikan dengan menggunakan data :
0% : Tidak satupun dari responden
1%-25% : Sebagian kecil dari responden
26%-49% : Hampir sebagian dari responden
50% : Setengah dari responden
51%-75% : Sebagian besar dari responden
76%-99% : Hampir seluruh dari responden
100% : Seluruh responden
b. Analisis Bivariat
Analisis ini untuk menguji hipotesa antara variabel dependen dan variabel
independen dengan menggunakan uji Chi-Square (X2) dengan derajat
kepercayaan 95% dan α = 0,05.
Untuk melihat keeratan hubungan dua variabel yaitu :
1. Jika P value ≤ α (0,05), Ho ditolak, berarti ada hubungan bermakna
antara variabel dependen dengan independen.
2. Jika P value > α (0,05), Ho diterima, berarti tidak ada hubungan
bermakna antara variabel dependen dengan independen.
(Arikunto, 2005)
Arikunto, 2005
43
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Jalannya Penelitian
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan penelitian dilakukan melalui Izin penelitian yang
diperoleh dari RSUD Kepahiang dengan cara mengurus izin penelitian dari
STIKES Dehasen Bengkulu yang diteruskan ke Kesbanglinmas Propinsi
Bengkulu dengan melampirkan proposal yang sudah diuji, setelah itu diteruskan
ke Rumah Sakit Umum Daerah Kepahiang. Surat masuk ke ruang Tata Usaha
untuk diagendakan, kemudian dilanjutkan ke Ruang rawat inap penyakit dalam
yang ada di RSUD Kepahiang.
Peneliti mempersiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan pada saat akan
melakukan penelitian seperti Surat izin penelitian surat persetujuan responden
dan perlengkapan alat tulis serta kuesioner yang telah siap diisi.
Pengumpulan data dilakukan dari bulan Juni sampai dengan bulan Juli
2014, dimana tempat penelitian adalah di RSUD Kabupaten Kepahiang.
43
44
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan penelitian, penulis melakukan penelitian di ruang
rawat inap penyakit dalam. Peneliti bertemu langsung dengan pasien kemudian
memberikan pengarahan serta lembar persetujuan responden, lalu memberikan
responden kuesioner untuk diisi dengan dibantu oleh peneliti, Kemudian
peneliti mencatat semua kunjungan pasien yang berhubungan dengan penyakit
PPOK, kermudian di sesuaikan kembali dengan catatan medis yang ada.
Untuk kelompok kasus peneliti langsung datang ke rumah pasien dari
data alamat pasien yang telah dicatat peneliti. Sampel kasus diambil dengan
pertimbangan tempat sampel dekat dengan peneliti. Selama seminggu peneliti
melakukan kunjungan kepada responden kasus (penderita PPOK) sehingga
genap sampai 32 sampel
Untuk kelompok kontrol peneliti menunggu di Ruang rawat inap
penyakit dalam, responden yang memenuhi kriteria kelompok kontrol (bukan
PPOK) diambil untuk dijadikan sampel. Pengambilan sampel untuk kelompok
kontrol rata-rata sehari didapat sebanyak 3 orang sehingga selama 1 bulan
jumlah sampel untuk kelompok kontrol terpenuhi yaitu sebanyak 32 orang.
Setelah semua data telah didisi (terpenuhi) maka langkah selanjutnya
peneliti melakukan tahapan pengolahan data yaitu pemeriksaan data, pemberian
kode, pemberian nilai skor, memasukkan data dan membersihkan data
45
B. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui pengisian kuesioner kemudian
diolah dengan bantuan komputer dengan analisa data menggunakan uji statistik
Chi Square Test diperoleh hasil analisis sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi
variabel yang diteliti berdasarkan subjek penelitian :
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Kejadian PPOK dan Kebiasaan Merokok Di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD Kepahiang
No Variabel F %
1
2
PPOK
a. Kasus (PPOK)
b. Kontrol (Tidak PPOK)
Total
Kebiasaan Merokok
a. Perokok
b. Tidak Perokok
Total
32
32
64
36
28
64
50
50
100
56,3
43,8
100
Pada tabel diatas menunjukkan dari 64 responden di Ruang rawat inap
penyakit dalam RSUD Kepahiang yang diambil terdiri dari 32 responden dari
kelompok kasus (PPOK) dan 32 responden lagi dari kelompok kontrol (Bukan
penderita PPOK). Sebagian besar responden (56,3%) adalah perokok dan
hampir sebagian responden (43,8%) bukan perokok.
46
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen (kebiasaan merokok,) dengan variabel dependen (PPOK)
dengan menggunakan uji Chi-Square. Selengkapnya hasil analisis bivariat
disajikan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 5.5 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian PPOK
Kebiasaan
Merokok
PPOK
Jumlah X² p
OR (95%
CI)
Kasus
(PPOK)
Kontrol
(Tdk PPOK)
n % n % n %
Perokok
Tidak Perokok
23
9
71,9
28,1
13
19
40,6
59,4
36
28
56,3
43,8
5,143
0,023
3,735
(1,31-10,6)
Jumlah 32 100 32 100 64 100
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 32 orang responden
yang mengalami PPOK, sebagian besar (71,9%) adalah perokok, sedangkan
dari 32 orang responden yang tidak mengalami PPOK, sebagian besar yaitu
59,4% adalah responden yang tidak merokok. Hasil uji Chi Square nilai
X² Hitung = 5,143 > X² Tabel = 3,841 (df=2 dan α= 0,05) atau nilai p=0,023
< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima yang
berarti ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK pada
pasien rawat inap di RSUD Kepahiang tahun 2014. Nilai Odds Ratio
(OR)=3,73 menunjukkan bahwa pasien yang merokok berisiko mengalami
kejadian PPOK sebesar 3,73 kali dibandingkan pasien yang tidak merokok.
47
C. Pembahasan
1. Gambaran Tentang PPOK
Hasil penelitian menunjukkan dari 64 responden di RSUD Kepahiang
yang diambil terdiri dari 32 responden dari kelompok kasus (PPOK) dan 32
responden lagi dari kelompok kontrol (Bukan penderita PPOK). Mudahnya
untuk mencari sampel responden yang PPOK menunjukkan tingginya angka
PPOK di RSUD Kepahiang tahun 2014.
Hasil penelitian yang dilakukan Sudirman (2008) menunjukkan
tingginya angka persentase kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Moewardi yaitu 65% mengalami
PPOK.
2. Gambaran Tentang Kebiasaan Merokok
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa responden yang memiliki
kebiasaan merokok berjumlah lebih banyak (56,3%) dibandingkan responden
yang tidak merokok (43,8%).
Menurut WHO (2005) persentase kebiasaan merokok yang terjadi di
seluruh dunia adalah sebagian besar 58% memiliki riwayat merokok.
Sementara hasil penelitian Suryati (2006) persentase antara responden
yang merokok dan tidak merokok yaitu 55% merokok dan 45% yang tidak
merokok.
48
3. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan PPOK
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 32 orang responden yang
mengalami PPOK, sebagian besar yaitu 71,9% adalah perokok, sedangkan
dari 32 orang responden yang tidak mengalami PPOK, sebagian besar yaitu
59,4% adalah responden yang tidak merokok. Hasil uji Chi Square nilai
X² Hitung = 5,143 > X² Tabel = 3,841 (df=1 dan α= 0,05) atau nilai p=0,023
< α (0,05) maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima yang
berarti ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK pada
pasien rawat inpa di RSUD Kepahiang Tahun 2014. Nilai Odds Ratio
(OR)=3,73 menunjukkan bahwa pasien yang merokok berisiko mengalami
kejadian PPOK sebesar 3,73 kali dibandingkan pasien yang tidak merokok.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok
memberikan pengaruh besar terhadap penyakit PPOK. Orang yang
mempunyai kebiasaan merokok memiliki resiko untuk mengalami PPOK
dibanding orang yang tidak merokok karena dampak negatif dari asap rokok
yang dihisap oleh perokok. Asap rokok mengandung bahan kimia beracun
yang sangat berbahaya bagi paru-paru seperti Nikotin, Karbon Monoksida,
TAR dan Timah Hitam (Pb).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Jefi (2011) dengan nilai p=0,042 artinya ada hubungan yang bermakna antara
kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK. Penelitian ini juga sejalan dengan
49
hasil penelitian Suryati (2006) yang menyatakan ada hubungan antara
kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK dengan nilai p=0,002
Hal ini sesuai dengan penelitian oleh State Mutual Life Insurance Co,
yaitu sebuah perusahaan asuransi di Amerika Serikat disimpulkan bahwa
angka kematian pada perokok 2-4 kali lebih tinggi jika di bandingkan dengan
orang yang tidak merokok, karena akibat buruk dari merokok dapat
menimbulkan sakit jantung, hipertensi dan kanker paru (Kus Irianto, 2004).
Penelitian yang di lakukan oleh Boedi Darmojo, R. Sutejo dkk masing-masing
mendapatkan penderita PPOK yang merokok dari seluruh kasus pada laki-laki
sebanyak 60% merokok.
Penelitian lain menunjukkan bahwa orang yang tidak merokok juga
bisa terkena PPOK hal ini disebabkan karena PPOK terjadi akibat banyak
faktor diantaranya disebabkan oleh debu, kondisi lingkungan, cuaca yang juga
dapat menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (Suryati, 2006).
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih
lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan
lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks
Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari
lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika
seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita
bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).
50
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Tom Smith (2005), jika
seseorang merokok, berarti dia telah memasukkan kedalam tubuhnya 1500
bahan kimiawi. Unsur-unsur yang paling penting antara lain nikotin,
denzopirin, metilkloride, aseton, amonia, karbonmonoksida. Rokok di anggap
sebagai faktor resiko penting yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan
atau kerusakan paru-paru yang menyebabkan penyakit PPOK.
Menurut Depkes RI (2003) terjadinya PPOK disebabkan oleh beberapa
factor diantaranya empisema, bronchitis kronis, asma bronciale, bronkitasis dan
lain-lain. Sedangkan faktor predisposisi disebabkan oleh merokok, kopi,
aktifitas fisik dan stres.
Menurut Tandra (2003) merokok terbukti merupakan faktor resiko untuk
mati mendadak. Faktor resiko bekerja sinergis dengan faktor-faktor lain seperti
PPOK, kadar lemak atau gula darah yang tinggi terhadap pencetusnya penyakit
jantung coroner dan sebagainya. Proses terjadinya PPOK akibat kebiasaan
merokok yaitu zat kimia di dalam tembakau merusak jantung dan paru pada
dinding paru akan terjadinya akumulasi plak sehingga terjadinya hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, sehingga terjadinya respons inflamasi paru terhadap nikotin
dalam tembakau yang menyebabkan terjadinya penyakit paru obstruktif.
51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara kebiasaan merokok
dengan kejadian penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD
Kepahiang Tahun 2013, maka Peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Distribusi frequensi menunjukkan dari 64 responden di RSUD Kepahiang
yang diambil terdiri dari 32 responden dari kelompok kasus (PPOK) dan 32
responden lagi dari kelompok kontrol (bukan penderita PPOK)
2. Sebagian besar responden 56,3% adalah perokok dan Hampir sebagian
responden 43,8% bukan perokok
3. Terdapat hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan kejadian penyakit
paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun
2013.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dijelaskan sebelumnya di atas maka saran
yang diajukan pada penelitian ini adalah :
1. Bagi Pendidikan
Diharapkan penelitian ini bisa menambah referensi bagi perpustakaan
Dehasen Bengkulu tentang hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan
51
52
kejadian penyakit paru obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD
Kepahiang Tahun 2013.
2. Bagi Rumah Sakit
Hendaknya petugas kesehatan dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan pasien terutama dalam menanggulangi dan mencegah kejadian
PPOK dengan cara meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang
kesadaran untuk berhenti merokok.
3. Bagi Penulis
Tersusunya skripsi ini diharapkan dapat menjadi manfaat bagi penulis
didalam menerapkan ilmunya kepada masyarakat khususnya yang berkaitan
dengan hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan kejadian penyakit paru
obstruktif kronik pada pasien rawat inap di RSUD Kepahiang Tahun 2013
53
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, P.J. 2010; Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Effects beyond the
Lungs. Plos Medicine. Barnett, M. 2006; Management of end-stage chronic obstructive pulmonary disease.
British Journal of Nursing. ______2009; Improving nursing management of nutrition in COPD patient. Journal
of Community Nursing. Beddoe, A.E. 2010; Pulmonary Disease, Chronic Obstructive (COPD): Gender
differences. Evidence Base Care Sheet Bustan, 2007; Rokok: http://neila staf.ugm.ac.id.[Di Akses Desember 2013]. Dinkes Propinsi Bengkulu; 2013. Pencegahan Penyakit tidak Menular Tahun 2008.
Bengkulu: Dinkes Propinsi Bengkulu. Hastono Priyo, S, 2007, Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, Jakarta Lee J.S., dkk, 2006; Factors Associated with Impaired Appetite in Well-Functioning
Community-Dwelling Older Adults. Journal of Nutrition for the Elderly. Lindberg, 2005; Prevalence of Chronic Obstructive Pulmonary Disease according to
BTS, ERS, GOLD and ATS Criteria in Relation to Doctor’s Diagnosis, Symptoms, Age, Gender, and Smoking Habits, Respiration.
Locher, et all, 2005; Comfort foods: an exploratory journey into the social and
emotional significance of food. Food and Foodways. Mader, S.S, 2004; Understanding Human Anatomy & Physiology Fifth Edition, : IV.
Maintenance the body. Chapter 15: Digestive system. The McGraw−Hill Companies
Mahan, L.K., & Stump, S.E, 2000; Krause’s Food, Nutrition, Diet Therapy, 10th ed.
Philadhelphia: W.B Saunders Company McDonald, 2004; The Progression from Physiological Aging To Disease: The Impact
of Nutrition. In Handbook of Clinical Nutrition and Aging. chapter 3.
54
Miravitlles, et al, 2010; Colour of sputum is a marker for bacterial colonisation in chronic obstructive pulmonary disease. Respiratory Research.
Moore, M.C., 2009; Pocket guide to nutritional assessment and care. 6th ed.
St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier Morley, J.E, et al, 2004; Cytokine-related aging process. J Gerontol A Biol Sci Med
Sci. Murray, J.F. 2010; The Year of The Lung. Int J Tuberc Lung Dis. Nagaya, N., Itoh,H.,
Murakami,S., Ova, H., Uematsu, M., Miyatake, K. et al, 2005; . Treatment of cachexia with ghrelin in patients with COPD.
Chest. National Collaborating Centre for Chronic Conditions. (2004). ‘Chronic obstructive pulmonary disease; national clinical guideline in adults in primary and secondary care.
Notoatmodjo, Soekidjo; 2005; Metodologi Penelitian Kesehatan. EGC; Jakarta. Profil RSUD Kepahiang Tahun 2013 Salma, 2009; Sehat Bugar (Diakses 20 Desember 2013), di unduh dari
www//http;blogspot.com.net.id. Sitepoe, 2000; Kategori Rokok: http://neila staf.ugm.ac.id.[Di Akses Desember
2013]. Sheps, 2000; Rokok : http//:google.com: [Diakses Desember 2013] Saryono, 2011; Metodologi Penelitian Kesehatan, Mitra Cendikia Press, Jokjakarta Supari, S.F, 2008; Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
Kepmenkes RI NOMOR 1022/MENKES/SK/XI/2008, Jakarta. Wiyono, H.W, 2009; Penyakit Paru Obstruktif Kronik: Tantangan dan peluang.
Pidato Pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Tidak dipublikasikan.