Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Karya Zahra KhairunnisaXI MIPA 7
SMA Negeri 10 Samarinda
Karma yang Tidak Terbantahkan
Sekolah Menengah Pertama Taruna Siswa adalah salah satu sekolah swasta
terfavorit di Samarinda. Salah satu sekolah yang banyak diminati karena biayanya yang
tidak begitu mahal dengan kualitas pendidikannya yang pantas diacungi jempol. Akan
tetapi, tidak menutup kemungkinan calon peserta didik baru akan melewati seleksi yang
sangat ketat. Lina adalah salah satu bagian dari warga sekolah tersebut. Ia sangat
pendiam.
Lina : Kenapa dunia ini begitu membosankan. (sambil menghembuskan napas
dengan kasar dan menatap kosong lapangan dari koridor kelas)
Nadya : “ Oy, ngapain di situ? Nanti kesurupan baru tau.” (sambil menepuk pundak
Lina)
Lina : “ Apaan sih Ga liat aku lagi melamun.” Dasar sok deket. Kenal aja tidak.
Nadya : “ Hidih, seram amat. Kamu Lina dari kelas 1-B, kan?” (Sambil duduk di
samping Lina)
Lina : “ Ih, jangan sok kenal ya!”
Nadya : “ Kamu ini kemana aja sih. Kita sudah sekelas satu semester. Masa kamu
masi tidak mengenaliku. Ya sudah, kalau begitu ayo kita kenalan.
Namaku Nadya” (sambil mengulurkan Lina sebuah jabatan)
Lina : “ Lina.” (Sambil menerima jabatan)
Nadya : “ Semester satu kemarin, kamu mendapat peringkat berapa di kelas?”
Lina : “Tujuh. Kalau kamu?”
Nadya : “ Aku kalah dengan Raihana.”
Lina : “ Raihana siapa lagi?” (sambil mengerutkan kening)
Nadya : “ Wah, ketinggalan info nih anak. Itu loh, Raihana teman sekelas kita yang
kabarnya dia dari SD tidak pernah keluar dari yang namanya juara
kelas.”
Lina : “ Oh. Ngomong-ngomong, kamu banyak bicara ya. haha”
Lina dan Nadya pun begitu dekat hingga kenaikan kelas pun dirasa sangat cepat.
Walaupun pergantian dan perombakan kelas tetap Dilakukan. Seakan takdir telah
membawa mereka untuk tetap menjadi teman sekelas.
Lina : “ Oy, Nad. Aku masih tidak menyangka kamu sekelas lagi denganku.”
Nadya : “ Emangnya kamu tidak mau sekelas denganku lagi? Sejahat itukah
dirimu” (sambil berpura-pura menangis)
Lina : “ Ih baper amat ni anak. Haha”
Nadya : “ By the way, kita sekelas lagi sama Raihanna. Aku tidak akan pernah bisa
melampauinya.” (dengan wajah yang sedikit sedih)
Lina : “ Tidak. Kamu pintar, Nadya. Kamu pasti bisa.”
Radika : “ Eh, Dil. Coba lihat deh mereka. Nempel terus dari kelas 1. Dia teman
sekelas mu bukan sih?”
Dila : “ Eh. Kamu benar, Rad. Sepertinya, anak itu minta pelajaran dari kita.”
(sambil menggenggam buku yang ia bawa sekuat tenaga)
Dila : “Heh, Nadya. Ngapain kamu disini? Kamu ini sahabat ku apa bukan?
sahabat bukannya bareng sama sahabatnya malah nempel terus sama
anak busuk ini. Ini lagi, pintar aja tidak.” (sambil menendangku)
Nadya : “ Dila. Kamu ini apa-apaan, sih? Marah-marah tidak jelas. Sini ikut aku
sekarang! Puas?” (sambil menarik tangan Dila dan pergi)
Lina : Dasar orang tidak jelas. Kurang waras kali ya. Semoga
ketidakwarasannya tidak menulariku. Tenang Lina, sepi akan
menemanimu mulai sekarang. (sambil mengenduskan napas dengan
kasar)
Sekolah telah usai, raga Lina pergi menuju rumahnya. Akan tetapi, jiwanya
masih melayang memikirkan apa yang terjadi tadi siang di kelas barunya. Ia masih tidak
menyangka bahwa ia akan belajar satu tahun bersama teman yang memiliki emosional
yang tinggi. Batinnya merasakan bahwa ia akan kembali ke zaman dimana ia menutup
mata dan telinga terhadap orang lain. Seperti halnya ia saat menduduki kelas 1 semester
satu. Bahkan ia memiliki firasat yang lebih buruk dari hal itu.
Lina : Anggap Dila tidak ada. Anggap dia tidak ada. Lina, kamu harus kuat jika
nanti ia menyebarkan fitnah dan menuduhmu dengan hal yang tidak-
tidak. (sambil berjalan menuju kelas dengan kepala tertunduk)
Dila : “ Eh, ada kambing lagi jalan. Baunya seperti belum mandi satu abad.”
Radika : “ Sudah bau, jelek, bodoh, tidak tahu diri lagi. Kambing memang seperti
itu ya. Haha”
Dila : “ Coba lihat nih kambingnya! Kambingnya malu ya? Haha” (sambil
menarik tas Lina dan dihempaskannya dengan kasar)
Firasat Lina benar. Ia akan dibully dengan teman sekelasnya. Lina tidak tahu apa
yang harus ia lakukan di tengah situasi ini. Dia bingung ingin belajar, bermain, dan
mencurahkan isi hatinya kepada siapa. Lina merasa, ia mulai kehilangan teman yang
sangat berharga baginya. Setiap waktu ia dimaki. Terkadang makian itu diselengi oleh
sebuah tindakan fisik yang sedikit tidak berperikemanusiaan.
Lina : Beratnya hari ini. Tidak seperti biasanya aku lelah. Mungkin dengan
memakan bekalku, aku akan kembali berenergi. (sambil mengambil
bekal dari dalam tas dan meletakkannya di meja)
Dila : “ Radika. Coba lihat deh. Ada kambing makan sosis. Sepertinya enak”
Radika : “ Loh, bukankah kambing memakan rumput. Dari pada tidak dimakan,
bagaimana sosisnya untuk kita saja?” (sambil melirik Dila)
Dila : “ Sini sosisnya untukku ya, kambing. Nanti kamu sakit loh kalau makan
ini.” (sambil mengambil sosis Lina tanpa sisa)
Lina : Ya Allah. Kuatkanlah Lina dari perbuatan ini. Tidak apa. Aku masih bisa
makan masakan mama di rumah dengan puas. Aku akan membawa bekal
lebih banyak.
Sekolah telah usai. Bagi Lina, hari ini adalah hari yang sangat berat. Sehingga ia
merasakan bahwa hari ini adalah hari yang panjang bagi Lina. Lain halnya dengan Dila.
Ia dengan semangat pulang ke rumahnya, dan menceritakan semua hal yang ia alami
kepada ibunya. Ia akan akan membayangkan betapa tertariknya beliau mendengar
ceritanya.
Dila : “ Ibu, Dila pulang. Ibu masak apa? Baunya sangat menggugah selera.”
Ibu : “ Hei. Jangan mendekat! Kamu dari mana saja? Main kok sampai bau
kambing begini. Masakan ibu jadi tidak sedap. Sudah, pergi mandi sana!”
Dila : “ Ibu ini apaan sih? Dila tidak pernah bermain dengan kambing.”
Ibu : “ Sudah, jangan banyak bicara! Cepat mandi sana!”
Dila : Ibu ini tidak pernah merasakan kebahagiaan anaknya sedikitpun.
Keesokan harinya, pagi hari sebelum memulai pelajar. Dila dan sekongkolannya
menjaga pintu kelas dan siap membully Lina. Biasanya, jika seseorang memiliki harga
diri yang tinggi dibully, ia akan tidak segan-segannya melawan. Lain halnya dengan
Lina. Ia akan tetap menutup telinga dan matanya. Ia akan tetap menahannya dan
bersabar. Hingga waktu yang akan menyadarkannya. Bagi Lina, tidak menghiraukan
mereka adalah jalan yang terbaik.
Dila : “ Sepertinya ada kambing yang mendoakan kita, Rad”
Radika : “ Ih, tidak tahu diri itu namanya. Emang kambing bisa berdoa?”
Dila : “ Heh. Kamu mendoakan apa tentangku? Pasti yang tidak-tidak, kan?”
(sambil menarik kerah bajuku)
Lina : “ Aku tidak merasa. Lagi pula untuk apa aku mendoakan kalian? Kalian
minta doaku?”
Dila : “ Ah. Orang sepertimu hanyalah sampah. Tidak berguna berbicara dengan
kambing kepala batu”
Lina selalu melewati masa yang sulit. Ia merasa mulai dijauhi oleh semua teman
kelasnya. Hingga saatnya istirahat, ia pergi menuju koridor kelas dan ingin menikmati
kebiasaan lamanya menatap kosong lapangan.
Dila : “ Aduh. Kamu ini apa-apaan sih. Mau cari masalah? Kalo jalan tu pakai
mata dong! Kaki orang ditendang seenaknya.”
Lina : “Iya, maaf.” Dia kali yang cari masalah. Sudah tau ada orang mau lewat
sengaja buat orang jatuh kesandung. Menyalahkan orang lain lagi.
Dila : “ Enak banget minta maafnya. Kamu ini anak siapa sih? Kamu tidak
pernah diajarkan cara meminta maaf dengan benar ya?” (sambil berdiri
dan menendang kaki Lina dengan kuat)
Lina : “Aw.” (sambil meringis kesakitan)
Radika : “ Rasakan balasannya! Dasar kambing bodoh”
Lina tidak menghiraukan mereka dan langsung pergi menuju sisi koridor lain
untuk mencari ketenangan. Hingga akhirnya ada seseorang tidak dikenal duduk
disampingnya.
Nia : “ Hai. Namamu siapa?”
Lina : “ Lina.” (sambil tetap menatap kosong lapangan)
Nia : “ Dari kelas mana?”
Lina : “ 2-C”
Nia : “ Kamu kenapa? Ada masalah ya?”
Lina : “ Ah. Tidak. Tidak ada apa-apa.” (sambil sedikit terkejut)
Nia : “ Perkenalkan. Namaku Nia kelas 2-B. kamu bisa cerita semua masalah mu
ke aku. Akan aku dengarkan semuanya. Dan ku bantu sebisaku.” (sambil
tersenyum)
Jamilah : “ Wah. Nia ada teman baru tidak mengajakku. Hai. Namaku Jamilah.
Kamu siapa? Dari kelas mana?”
Lina : “ Lina 2-C”
Nia : “ Aku sama Jamilah boleh dong ya mendengarkan ceritamu?”
Lina : “ Ya” (sambil menganggukkan kepala)
Lina menceritakan semuanya. Ia keluarkan semua keluh kesahnya. Lina sangat
bersyukur pada Tuhan. Akhirnya ia menemukan teman yang sangat tulus
mendengarkannya. Mereka pun dekat, dan selalu menghabiskan waktu istirahat
bersama.
Jamilah : “ Eh, Lin. Aku ada info lomba menggambar sketsa bangunan tingkat
nasional di Malang loh”
Nia : “ Nah. Bagus tuh Lin. Kamu akhir-akhir ini punya hobi menggambar
sketsa bangunan rumah impianmu, kan?”
Lina : “ Iya sih. Nanti deh ku coba. Terima kasih ya teman-teman. Mohon
bantuannya.”
Jamilah : “ Kalau nanti menang. Jangan lupa traktirannya ya, Lin. Haha”
Lina : “ Amin. Tenang saja.”
Walaupun Lina memiliki teman baru, bukan berarti ia telah bebas dari
pembullyan teman kelasnya. Semakin ia dimaki, Lina semakin terpacu untuk belajar dan
mengikuti lomba sesuai hobinya. Lina akan menunjukkan bahwa ia akan lebih baik
daripada mereka.
Dila : “ Eh, Radika. Coba lihat di line today deh. Ada namanya Lina disini.”
Radika : “ Iya. Coba baca selanjutnya. Dia melakukan apa sih? Kok sampai
diberita”
Dila : “ Pemenang juara 1 dan juara umum pada lomba Engineering Sketch
Building for Future 2017 disabet oleh Lina Maharina siswi SMP Taruna
Siswa Samarinda. CEO perusahaan Pertindo membeli sketsa tersebut
kepada pihak panitia dengan harga yang fantastis.” (sambil membaca
berita)
Radika : “ Gila. Bagus banget gambarnya. Ini bukan dia,, kan? Pasti ini hasil
bayaran orang lain.”
Dila : “ Tidak diragukan lagi.”
Lina menjalani hidupnya di sekolah seperti biasa. Ia telah kebal dengan semua
makian yang dilontarkan oleh Dila dan Radika. Ia tidak memperdulikannya lagi. Meski
terkadang Lina menangis di hadapan Nia dan Jamilah, ia tetap berusaha dan belajar
bahwa dia bisa melampaui semuanya.
Lina : “ Sebenarnya apa salahku?” (sambil menangis tersedu-sedu)
Nia : “ Sudahlah Lina. Masi ada kita disini. Kamu jangan memikirkan mereka.
Tidak perlu memikirkan mereka. Nanti kamu yang lelah sendiri
memikirkannya” (sambil mengusap punggung Lina)
Jamilah : “ Iya, Lina. Jangan kamu buang energimu hanya untuk memikirkan
mereka. Lebih baik kamu berusaha untuk menunjukkan bahwa kamu bisa
menjadi orang yang mereka segani. Berjanjilah pada kami, bahwa kamu
akan menjadi juara kelas pada semester ini.”
Lina : “ Itu tidak akan terjadi, Jamilah. Aku tidak akan pernah bisa menjadi juara
kelas. Ada Raihanah di kelasku.”
Nia : “ Tidak peduli kamu akan berhadapan dengan siapa, Lina. Raihanah juga
manusia, dia juga sama-sama belajar sepertimu. Kamu hanya sedikit
lebih berusaha dibanding dia, kamu pasti bisa melampauinya. Tenang,
ada kami disini membantumu belajar.”
Jamilah : “ Sudah. Jangan menangis lagi, Lina!”
Lina : “ Terima kasih, ya. Kalian sudah mau menjadi temanku selama ini.”
Ujian akhir semester satu telah usai. Siswa dan siswi SMP Taruna Siswa sedang
menunggu namanya dipanggil oleh wali kelas di kelas masing-masing untuk menerima
buku raport. Suasana berubah menjadi sangat tegang. Sesekali terdengar suara
menangis. Beberapa siswa dan wali orangtua sangat bangga setelah melihat buku raport,
sebagiannya lagi berekspresi sedih. Tidak terkecuali Lina.
Wali Kelas : “Lina Maharina.”
Mama Lina: “Iya, Bu. Ayo, Lina.” (sambil menarik tangan Lina)
Wali Kelas : “Anak ibu semester ini memiliki peningkatan yang sangat baik. Ia pernah
juara satu dan juara umum lomba sketsa bangunan tingkat nasional. Itu
sudah sangat luar biasa. Saya harap untuk semester depan Lina bisa
menjadi lebih baik lagi, ya. Dan selamat untuk Lina.” (sambil tersenyum
kepada Lina)
Lina : “ Baik, Bu.”
Mama : “ Alhamdulillah. Lina mau Mama belikan apa? Anggap saja ini hadiah dari
Mama”
Lina : “ Tidak usah, bu. Lina tidak meminta apapun dari ibu. Lina sudah sangat
bahagia mendapatkan ini.”
Lina memulai kehidupan barunya di semester dua. Ia berharap bahwa Lina yang
sekarang bukanlah Lina yang dulu, Lina yang dibully oleh teman sekelasnya.
Guru : “ Bagaimana liburan kalian? Sudah fresh kan otaknya? Siapa kemarin yang
mendapat peringkat 3?
Nadya : “ Saya, Pak.” (sambil mengangkat tangan)
Guru : “ Yang mendapat peringkat 2 siapa?”
Raihanah : “ Saya, Pak.” (sambil mengangkat tangan)
Guru : “ Loh. Raihanah peringkat 2, ya? Lalu siapa yang peringkat 1?
Lina : “ Saya, Pak.” (sambil mengangkat tangan dan menunduk malu)
Guru : “ Oh, Lina. Nah, kalian cobalah mencontoh Lina. Dia sangat rajin. Dia
pintar sekarang. Kalian boleh menanyakan pelajaran Bapak ke Lina jika
kalian merasa kesulitan. Tolong bantu saya ya, Lina.”
Lina : “ Iya, Pak.”
Lina mulai merasa dia akan segera berubah menjadi Lina yang disegani teman
sekelasnya. Lina selalu membantu temannya yang kesusahan. Ia selalu mengajarkannya
apa yang ia bisa kepada temannya yang bertanya. Ia mulai memiliki banyak teman,
termasuk Raihanah. Raihanah adalah anak yang bukan pendendam. Raihanah selalu
mengajak Lina mengerjakan tugas dan belajar bersama. Hingga saatnya istirahat.
Radika : “ Eh. Ada kambing yang bisa mendapat peringkat satu, ya?” (sambil
berdiri di depan pintu keluar kelas dan menyilangkan tangan di depan
dada.)
Dila : “ Woy. Perhatian semua! Lihat! Ada ya, kambing yang membayar orang
lain untuk menggambar sketsa bangunan sebagus itu. Tidak mungkin dia
mendapatkan peringkat 1 jika ia tidak menyontek.” (dengan suara yang
lantang)
Nadya : “ Eh, Dila. Kalau berbicara jangan asal, ya! Lina itu memang pandai
menggambar. Dia memang pintar. Kamu tidak melihatnya dia telah
membantu banyak orang di kelas? Tidak sepertimu, yang selalu
menyotek ulanganku dan tidak pernah mengerjakan tugas sendiri. Aku
tahu sebenarnya kamu itu iri dengan Lina, kan? Apa kamu tidak malu
dengan perbuatanmu itu? Sekarang kamu menjadi pusat perhatian kami.
Apa lagi yang akan kamu perbuat sekarang? Aku tahu, selama ini kamu
hanya memanfaatkanku, kan? Kamu anggap aku sahabat? Halah,
bicaramu saja itu yang besar. Mulai sekarang, aku tidak akan pernah mau
berteman dengan mu. Menjauhlah dariku!”
Semua orang di kelas tersebut seketika meneriaki Dila dan Radika. Mereka
mulai menjauhinya. Lina adalah tipe orang yang pemaaf. Akan tetapi, butuh waktu lama
bagi Lina untuk dapat memaafkan Dila dan Radika.
Sejak saat itu hingga upacara kelulusan telah lama usai, Lina tidak pernah
mendengar kabar Dila dan Radika lagi. Lina sadar bahwa seorang manusia tidak akan
pernah bisa berubah tanpa adanya cobaan dan kenangan pahit datang yang akan
merubahnya. Tanpa adanya kenangan itu, Lina pasti tidak akan bisa menjadi manusia
yang memiliki kepribadian pantang menyerah, bersosialisasi dan disegani banyak orang.
Tanpa kenangan pahit itu, Lina sadar ia tidak akan memiliki cerita hidup yang menarik.
Ya, bagi Lina di kehidupan ini, tidak akan ada manusia yang dapat membantah karma
yang ia dapatkan. Dan satu hal yang terpenting bagi Lina adalah sabar dan percaya
bahwa Allah Maha Adil.