373
Semoga Bunda Disayang Allah Tere Liye Edit & Convert: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi Diangkat dari salah-satu kisah nyata yang mengharukan. Ditulis-kembali dari salah-satu film terbaik sepanjang masa. "Baaa, maaa.... Baa.... Maa...."*) *) "Moga Bunda Disayang Allah" "Gelap! Melati hanya melihat gelap. Hitam. Kosong. Tak ada warna.... Senyap! Melati hanya mendengar senyap. Sepi. Sendiri. Tak ada nada...." http://inzomnia.wapka.mobi Koleksi ebook inzomnia

SMP KHADIJAH

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SMP KHADIJAH

Semoga Bunda Disayang Allah

Tere Liye

Edit & Convert: inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

Diangkat dari salah-satu kisah nyata yang mengharukan. Ditulis-kembali

dari salah-satu film terbaik sepanjang masa.

"Baaa, maaa.... Baa.... Maa...."*)

*) "Moga Bunda Disayang Allah"

"Gelap! Melati hanya melihat gelap. Hitam. Kosong. Tak ada warna....

Senyap! Melati hanya mendengar senyap. Sepi. Sendiri. Tak ada nada...."

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 2: SMP KHADIJAH

-tere-liye-

DAFTAR ISI

Jeruk Panas Special ... 7

Merah. Kuning. Hijau ... 25

Ribuan Kunang-Kunang ... 41

Tiga Tahun Lalu ... 61

Keterbatasan Melati ... 85

Pertemuan Pertama ... 107

Satu Minggu Berlalu ... 137

Gadis Lesung Pipit ... 167

Kursi. Kursi. Kursi ... 199

Gadis Berkerudung Lembut ... 227

Boneka Panda ... 245

Tarian Aurora ... 265

Keajaiban Telapak Tangan ... 291

Festival Kembang Api ... 311

Epilog ... 329

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 3: SMP KHADIJAH

JERUK PANAS SPESIAL

Apalagi hendak diucap, kota ini elok nian di pelupuk mata. Begitu indah

ketika semburat matahari muncul di kejauhan horizon cakrawala.

Membuat Jingga hamparan laut yang beriak tenang. Burung camar

melengking mengisi senyapnya udara pagi. Ombak pelan menggulung

bibir pantai. Buih membasuh butiran pasir yang halus bagai es krim saat

diinjak.

Bayangan gedung-gedung, pepohonan, tiang listrik, kabel-kabel telepon

terlihat menyenangkan di jalanan lengang. Satu-dua lampu taman

berbentuk bola putih-susu masih menyala. Juga lampu neon panjang-

panjang di depan ruko. Belum, atau lupa dimatikan. Membuat temaram

tapi indah sudut sudut kota, berebut pesona dengan larikan cahaya

matahari pagi. Syahdu. Bagai lukisan yang baik, tambahan satu larik

saputan warna saja membuat lukisan itu jadi tidak enak lagi dilihat. Jadi

jangan coba-coba malah iseng menambahkan objek baru. Di belakang kota,

pebukitan seperti sabuk melingkar mengelilingi. Bak ksatria gagah, berdiri

kokoh menjaga kota. Hutan hujan tropis lebat menutupi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 4: SMP KHADIJAH

pebukitan. Bagai sehelai beludru hijau sepanjang mata menatap. Hijau?

Ah, tak juga, sepagi ini kabut putih sempurna mengungkung hijaunya

dedaunan. Membuat pebukitan bagai selimut putih lembut, seperti kapas,

seperti busa sabun, seperti entahlah.... Yang pasti memberikan nuansa

melegakan.

Kota ini tidak kecil, juga tidak besar. Satu di antara belasan kota khas

pelabuhan pesisir selatan yang nyaman.

Lembah luas yang subur menghampar dari batas kota hingga pebukitan,

menyisakan tanah kosong, daerah pedesaan. Tanah yang hari ini dipenuhi

oleh persawahan. Tunggulah setengah jam lagi, saat matahari beranjak dari

garis lautan, ketika pagi mulai meninggi, pematang sawah juga mulai

dipenuhi petani yang riang menjemput hari. Kepala dengan topi ilalang.

Cangkul di pundak. Sepatu bot setinggi lutut. Dan bekal tiga potong

pisang-rebus. Bakal nikmat nian, pukul 10.00 nanti istirahat sejenak di

pondok rumbia setelah bekerja membersihkan gulma. Santai menyeduh

segelas kopi hangat sambil menatap berisik burung pipit, kelepak bangau

putih, dan lenguh kerbau berkubang. Sementara itu, di pelelangan ikan

dekat pelabuhan, sejak shubuh sudah dipadati nelayan. Nelayan yang

setelah semalaman akhirnya pulang dari melaut. Menumpahkan berember-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 5: SMP KHADIJAH

ember udang sebesar lengan, cumi sebesar tinju, kepiting (rajungan)

sebesar buku, dan tidak terhitung ukurannya ikan ikan. Mulai dari sebesar

jari (ikan teri), sebesar

tampa (ikan pari) hingga ekstra-doubie-size segede paha (ikan kakap

baronang-ronang"). Kalau lagi beruntung, rnalah ada yang pulang

membawa 'hiu' sebesar lemari. Bukan main. Harga jualnya setara dengan

persediaan solar untuk setahun. Di sini hiu memang mahal, sama bernilai

dengan posisinya di lautan sebagai penguasa strata tertinggi rantai

makanan.

Pemilik ruko-ruko juga mulai membuka partisi depan. Bunyi pintu

aluminium di dorong terdengar ber-kereketan. Membuat gigi nyilu. Tapi

mereka justru tersenyum, mendesah di sejuknya udara, berdoa lirih semoga

hari ini pengunjung lebih banyak dari kemarin. Dan lebih penting lagi,

semoga pengunjung pengunjung itu membawa uang lebih banyak juga

(plus niat beli pula). Kan, nggak ada gunanya kalau toko cuma ramai

doang, memangnya pasar festival. Anak-anak di rumah ramai beranjak

mandi (sebenarnya bandel diteriaki agar mandi), gosok gigi gaya kilat

(mana ingat mereka soal iklan menggosok gigi yang benar),

menyemburkan busa sabun banyak banyak (bersih nggak bersih yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 6: SMP KHADIJAH

penting busanya banyak), kecipak-kecipak, tertawa, kecipak kecipak,

terpeleset (mengaduh, meski sejenak kemudian tetap tertawa-tawa).

Berganti pakaian sekolah dengan cepat. Memakai sepatu dengan cepat.

Lantas teriak berpamitan. Wushh, macam mobil balap saja....

Pekerja kantoran juga sudah rapi dengan rambut klimis, kemeja lengan

panjang wangi, celana katun tersetrika mulus (kelihatan banget dari

lipatannya),

dan tak lupa sepatu hitam mengkilat. Sempat sarapan. Sempat mencium

pipi istri dan anak-anak tercinta, sempat memberi 'petuah', lantas

berpamitan. Menjemput hari.

Benarlah! Dalam setengah jam ke depan, kehidupan kota ini baru saja

dimulai. Hari baru berikutnya sudah tiba. Sama indah dan menyenangkan

dengan hari kemarin, juga hari kemarinnya lagi, juga hari kemarin-

kemarinnya lagi, juga hari kemarin kemarin kemarinnya lagi, juga hari

kemarin kemarin kemarin kemarin.... Aduh, kebanyakan kemarinnya ya?

Cerita ini juga baru saja dimulai, meski di sana-sini sayangnya tidak selalu

seindah kota ini. Menyedihkan malah, bahkan satu-dua membuat nafas

terhela panjang. Tapi tak mengapa, semoga dengan begitu justru dapat

memberi banyak pelajaran. Semoga....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 7: SMP KHADIJAH

"Bunda, bangun! Sudah pagi...." Melati berseru sambil melompat riang ke

atas ranjang ukuran king-size. Tertawa.

Cahaya matahari pagi menyelisik celah krei. Membentuk garis di lantai

keramik super-mewah kualitas ekspor. Cahaya yang seolah mengambang

bersama kabut. Satu lariknya menimpa wajah Melati. Gadis kecil yang

berumur 6 tahun. Mukanya lucu menggemaskan, layaknya kanak-kanak

yang selalu senang mendengar kabar apa-saja. Rambut ikalnya

mengombak (bandel tidak mau lurus-lurus juga meski disisir berjam-jam),

pipinya tembam macam donut. Bola matanya hitam-legam seperti

biji buah leci. Dan giginya kecil-kecil bak gigi kelinci. Jangan tanya gurat

wajahnya. Kalian akan tertipu meski oleh seringai-bandel-nya. Kalian akan

selalu bilang 'iya' demi menatap senyum manisnya. "Bunda, bangun!

Bunda kesiangan, nih!" Jahil Melati menarik selimut ibunya. Berteriak lagi.

Tertawa lagi. Merangkak lebih dekat. Mengeluarkan sehelai bulu ayam

(yang diperolehnya kemarin dari Mang Jeje, tukang kebun). Jahil!

Bunda menggeliat, membuka mata. Pelan menyadari pagi. Kemudian

tersenyum lebar demi menatap putrinya yang sedang merencanakan

'persekongkolan jahat', memainkan bulu ayam itu ke lubang hidung-nya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 8: SMP KHADIJAH

Bunda sebenarnya sudah bangun sejak shubuh. Malah sejak pukul dua tadi

malam, di sepertiga akhir waktu terbaik yang dijanjikan. Menghabiskan

sisa malam dengan bersimpuh menangis di atas sepotong sajadah.

Membuat basah ujung-ujung mukena. Berharap Tuhan akhirnya berbaik-

hati memberikan jalan-keluar.... Satu larik cahaya matahari pagi lainnya

menimpa wajah Bunda. Membentuk garis di pipi Bunda. Perempuan

berumur empat puluh enam tahun. Hampir setengah baya. Wajah yang

andaikata semua penat ini tak ada sungguh masih terlihat cantik. Lah,

Melati saja begitu menggemaskan, jadi dari mana pula semua gen baik

Melati itu berasal? Pasti dari ibunya, kan?

Sayang sejak tiga tahun terakhir, sisa-sisa kecantikan masa muda Bunda

terhapus oleh getirnya kenyataan. Rambutnya memutih. Satu dua

malah lebih cepat tereliminasi oleh kurangnya kiriman sms eh perawatan,

ding. Alias rontok. Sedikit beruntung kemarin Salamah, yang mengurus

keperluan rumah membelikan semir rambut, jadi pagi ini Bunda 'terlihat'

lebih muda sepuluh tahun. Hanya saja, tidak ada 'semir' untuk ekspresi

muka, kerut wajah, atau pudarnya cahaya tatapan mata. Bunda memang

selalu terlihat lembut, menyenangkan, wajah yang senantiasa menjanjikan

perasaan damai dan tenteram, wajah keibuan yang memberikan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 9: SMP KHADIJAH

perlindungan, tapi tetap tidak bisa disembunyikan gurat harapan yang

dari hari ke hari semakin menipis. Harapan yang mulai dibujuk untuk

menerima kenyataan, mengalah atas takdir.... "Bunda, mikir apa?" Melati

menyeringai. Memutus lamunan.

Bunda mengusap matanya. Melipat dahinya. Seperti baru menyadari

sesuatu. Hei! Apa ia tidak salah lihat? Apa semua pemandangan ini

sungguh nyata? Melati yang sekarang merangkak di depannya. Yang

nyengir lebar memamerkan gigi kelincinya. Bukankah pemandangan ini

ganjil sekali? "Bunda kok melamun? Bunda masih sakit, ya?" Melati

bertanya sekali lagi, dengan intonasi suara dan ekspresi wajah sok-serius.

Bunda gagap mengangguk, menelan ludah, masih amat terkejut melihat

Melati yang tersenyum dengan wajah mendekat.

"Idih, dahi Bunda panas banget-" Tangan Melati menyentuh.

Ya, sudah dua hari ini tubuhnya tidak nyaman.

Sebenarnya Bunda tahu persis semua baik-baik saja, tapi perasaan yang

semakin sesak, apalagi sejak kejadian dua hari lalu membuat fisiknya

ikutan tidak nyaman. Sedikit demam. Sedikit flu. Sedikit pusing. Entahlah

apa nama penyakit itu. Semuanya sedikit-sedikit. Kalau banyak demam,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 10: SMP KHADIJAH

jelas itu pertanda demam. Atau banyak batuk, jelas itu penyakit batuk.

Kalau sedikit-sedikit, Bunda tidak tahu.

Seharusnya selepas shubuh tadi ia sudah melakukan banyak hal.

Membantu menyiapkan pakaian kerja suaminya, memastikan Melati di

kamarnya, memastikan sarapan tersedia, memastikan ini itu. Memang

semuanya bisa dibilang hanya 'memastikan', pernak-pernik pekerjaan

rumah tangga sesungguhnya sudah diselesaikan oleh sembiian pembantu.

Tapi Bunda tipikal ibu rumah tangga yang baik, selalu menyibukkan diri.

Tidak hanya 'tidur-tiduran'.

Sayang, selepas shalat shubuh, tubuhnya terasa lemas sekali. Memutuskan

beranjak lemah naik ke atas ranjang, berharap bisa kembali tertidur.

Berharap setelah tidur sebentar fisiknya bisa membaik, tapi sekarang ia

malah kesiangan. Mungkin suaminya enggan membangunkan, tidak tega

melihat wajah lelahnya. Sepagi ini suaminya pasti sudah pergi ke pabrik, itu

berarti hari ini tidak ada ritual kecupan mesra di kening, berpamitan....

Bunda menghela nafas, berusaha duduk ber-sandarkan bantal.

"Teeet! Bunda kok masih melamun?" Melati nyengir

lebar, tertawa. Tangannya memainkan bulu ayam yang urung buat jahiiin

Bunda.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 11: SMP KHADIJAH

"Ah-ya! Barusan Melati buatkan Bunda air jeruk panas di dapur...." Gadis

kecil itu seperti teringat sesuatu, bola mata hitam biju buah lecinya

berkerjap-kerjap lucunya.

"Sebentar, Melati ambilkan, ya!" Tanpa ba-bi-bu lagi Melati sudah gesit

lompat dari tempat tidur. Piyama birunya bergerak-gerak, rambut ikalnya

bergoyang-goyang, ia buru-buru menyeret kakinya yang beralaskan sandal

tidur berhias kepala kelinci. Bunda tetap gagap. Sekali lagi

menghembuskan nafas panjang. Ya Allah, apa ia tak salah lihat? Apa ini

untuk kesekian kalinya mimpi-mimpi itu menipunya? Bunda beranjak

ingin memperbaiki selimut, Belum sempat. Menelan ludah. Kaget. Melati

sudah kembali sambil berjinjit pelan membawa gelas besar. Cepat sekali?

Hanya sekejap? Bagaimana mungkin? Bukankah dapur ada di lantai satu,

berjarak 30 meter, melewati dua puluh anak tangga pualam melingkar

berplitur dan berukiran mahal?

Bunda tak sempat berpikir panjang. Menatap gelas yang dipegang putri

semata wayangnya. Uap mengepul perlahan dari cangkir besar. Jeruk

panas? Ya, Bunda selalu memberikan secangkir jeruk panas untuk Melati

kalau gadis kecilnya sedang flu. Membantu meminumkannya dengan amat

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 12: SMP KHADIJAH

sabaaar.... Sekarang? Melati-nya yang menghantarkan segelas jeruk panas.

Berhati-hati sekali, takut tumpah. Mengenggam erat-erat piring

tatakannya bahkan dengan kedua belah telapak tangan.

"Jeruk panas spesial buatan Melati! Silahkan diminum. Nyonya" Melati

mengulurkan cangkir itu. Meniru pelayan yang sering dilihatnya di

restoran-restoran. Mata hitam biji buah lecinya begitu memesona.

Tersenyum amat manisnya. Amat menggemaskan.

Dan Bunda seketika menangis.... Tersedu! Ya Allah, ia tahu sekali. Ini lagi-

lagi mimpi-mimpi itu.... Ini lagi-lagi harapan itu.... Semuanya terasa sesak.

Amat sesak. Kenapa Engkau tega sekali membuatnya seolah nyata?

"Ken-nap-pa Bunda menangis?" Melati menyeringai, bingung.

Aduh, ia kan mau ngasih Bunda jeruk panas.... Kok Bunda malah nangis?

Melati kan nggak nakal? Nggak bandel? Nggak teriak-teriak seperti

biasanya. Rambut ikal Melati bergerak-gerak (karena ia sok-dewasa

mengaruk-garuk kepalanya, sibuk berpikir).

Tubuh Bunda malah semakin bergetar, terisak semakin kencang,

mencengkeram ujung-ujung seprai. Lihatlah, putri semata wayangnya

begitu nyata tersenyum padanya. Kanak-kanak kecilnya begitu nyata

mengulurkan cangkir itu. Semua ini kejam sekali, ya Allah.... Sudah setahun

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 13: SMP KHADIJAH

terakhir, bahkan semua asa yang tersisa itu tega masuk ke dalam belahan

otak tak-sadarnya, melukiskan janji-janji kesembuhan. Merangsek ke

dalam mimpi-mimpinya. Semua ini kejam sekali, ya Allah!

"Bunda kenapa nangis? Air jeruknya 'gak enak, ya? Tapi, kan. Bunda

belum minum? Masa' Bunda tahu kalau ini enggak enak?" Melati melipat

dahi, bertanya lagi. Kedua tangannya tetap terjulur. "Ergh, sebentar Melati

'icip' dulu, ya!" Gadis kecil itu setelah sekian lama bingung menatap ibu-

nya tetap tidak bergerak berinisiatif mengambil cangkir itu, menarik lagi

tangannya.

Wajahnya mengernyit saat menyeruput jeruk panas. Nyengir amat

lebarnya, "Eh-iya, asam banget.... Iiih...." Mengernyit lagi, "Melati lupa

ngasih gulanya...." Tertawa malu. "Sebentar Melati ambil gula di dapur!"

Gadis kecil itu sekali lagi bergegas turun dari ranjang besar. Buru-buru

seakan takut jeruk panas itu seketika dingin dan tidak segar lagi diminum.

Sayang, kali ini Melati tidak hati-hati. Kaki kanannya tersangkut ujung

selimut. Limbung. Kanak-kanak itu berseru pelan, kaget. Dan dalam

hitungan seperseribu detik, air jeruk panas itu tumpah-ruah. Seketika

sempurna membasahi wajah Bunda....

Dan Bunda seketika juga terbangun!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 14: SMP KHADIJAH

Sepuluh kilometer dari rumah besar, mewah dan indah di lereng bukit tadi.

Di saat yang bersamaan. Di sudut kota yang padat, sumpek dan gerah.

Nasib! Meski padat dan terlihat agakyyyuh, sepotong sudut kota ini tetap

saja terlihat menarik. Rumah-rumah berhimpitan seperti ratusan jamur

merekah di musim penghujan. Melihatnya bagai

menyaksikan film-film Amerika Latin yang full-power dengan budaya gipsi

itu. Pemandangan klasik yang hebat!

Rumah dua-tiga lantai. Gang-gang sempit. Jendela bertemu jendela di

lantai dua. Berseberangan. Pot-pot bunga bertebaran di teras-teras atas.

Begitu dekat hingga ujung-ujung rantingnya saling bersentuhan. Malah

satu-dua kalian dengan mudah bisa melangkah dari satu teras ke teras

lainnya. Makanya di komplek ini ngetop banget istilah: 'Pacar Seberang

Jendela'. Yang cewek malu-malu mengintip di balik tirai jendela, yang

cowok gaya bermain gitar, kencang-kencang, sudah macam burung

cendrawasih yang menggoda pasangan dengan memekarkan ekornya

tinggi-tinggi. Matahari juga semakin tinggi. Gang-gang dipenuhi oleh

celoteh anak-anak yang berangkat sekolah. Berlarian. Saling menarik tas.

Topi. Menarik celana (ada yang merosot, nggak pake gesper sih). Tertawa.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 15: SMP KHADIJAH

Celoteh ibu-ibu yang mengerumuni tukang sayur. Hmm, mereka sih beli

sayurnya hanya butuh setengah menit, berseru "Biasa, Bang!" Lantas si

Abang sayur yang hafal mati menu Senin-Minggu satu komplek

perumahan itu segera mengeluarkan pesanan ibu-ibu tadi. Uang

berpindah-tangan. Selesai. Tapi lima belas menit berikutnya dihabiskan

ibu-ibu untuk membahas topik-topik hangat tetangga sekitar. Laporan

saksi mata. Live! Keren banget, padahal sebenarnya kata simpelnya yaaa,

gos-sip! Jadi kalau mau tahu urusan satu komplek, interogasi saja tukang

sayur!

Di salah-satu rumah dekat ibu-ibu berkerumun tadi, persis di lantai dua

yang sempurna berbentuk ruangan besar berukuran 6x9 meter tanpa

partisi. Ruangan dengan perabotan hanya ranjang kayu kusam. Di atas

ranjang kayu tua itu, kusut-masai seorang pemuda.

Tertidur telentang. Sendirian. Sembarangan. Wajahnya jauh dari rapi.

Malah kalau sekilas seram melihatnya. Seperti ngelihat preman terminal

bus antar-kota antar-provinsi. Kumis melintang, cambang tak terurus.

Rambut panjang bak rocker yang sudah berbulan-bulang tidak keramas.

Jangan tanya ada berapa kutu di rambutnya. Mungkin kutunya sudah

beranak-pinak lima generasi. Kamar itu seharunya terasa lapang. Apalagi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 16: SMP KHADIJAH

dengan langit-langit tinggi. Tapi nyatanya pengap. Bagaimana tidak?

Jendelanya selalu tertutup rapat 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam

seminggu. Padahal jendela besar kamar itu persis menghadap lautan luas.

Jadi kalau pemiliknya mau sedikit saja menyisihkan tenaga membukanya,

hamparan elok pemandangan matahari terbit langsung terbentang

sepanjang mata.

Buku-buku berserakan di sekitar ranjang tua. Tidak terurus. Digigitin

kecoa, dikencingi tikus. Pakaian kotor bergelantungan di dinding, jadi

tempat favorit nyamuk bersembunyi. Jeans belel. Kemeja kumal. Kaos

cokelat (kecokelatan karena kotor, bukan karena warnanya memang

cokelat). Sebuah mesin ketik tua tergeletak di atas meja kecil. Di sebelahnya

berdiri termos air panas berwarna

hitam. Juga gelas kecil bermotif snoopy. Sisanya berantakan. Pengap.

Penghuninya seperti tidak peduli. Juga tidak peduli dengan berisik siaran

langsung di gang sempit bawah. Tidur dengan tarikan nafas berat. Bau

alkohol tercium pekat dari mulut. Pemuda berumur 27 tahun. Tidur

dengan sepatu masih di kaki. Baru pulang shubuh tadi. Terlalu lelah.

Terlalu penat. Terlalu sesak. Terlalu....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 17: SMP KHADIJAH

Begitu saja hidupnya tiga tahun terakhir. Macam kalong. Tidur di siang

hari. Berjaga penuh di malam hari. Menghabiskan dingin dan lengangnya

malam sambil menggerutu di kedai minuman, bar tengah kota. Duduk di

pojok ruangan. Sendirian. Menatap galak ke siapa saja yang mencoba basa-

basi bertegur sapa (termasuk waitress genit yang mengantarkan botol bir).

Gesture wajah dan gerakan tubuhnya jelas sekali: Pergi!! Biarkan aku

sendiri!

Matahari semakin meninggi. Pemuda kita masih tertidur.

Terdengar suara sandal kayu yang diseret di anak tangga menuju kamar

besar 6x9 meter itu. Berkeriutan. Rumah itu sudah tua, meski arsitekturnya

yang gaya banget (peninggalan rezim kolonial VOC) membuatnya terlihat

antik dan elegan. Pemilik rumah, ibu-ibu gendut berusia setengah baya

sedang berusaha menaiki anak tangga. Sedikit tersengal membawa

tubuhnya. Pelan membuka pintu kamar. Menghela nafas panjang. Sekilas

menatap pemuda yang masih tidur

tertelentang. Lantas melangkah menuju meja kecil. Mengganti termos lama

dengan yang baru. Ia tahu, air-air ini jarang disentuh, tapi tak mengapa,

setidaknya ritual pagi ini memastikan kalau anak-muda ini masih bernafas.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 18: SMP KHADIJAH

Ibu-ibu gendut dengan wajah sabar-keibuan itu sekali lagi menatap sekilas

pemuda di atas ranjang sebelum keluar dari kamar. Menatap prihatin.

Menyeka ujung-ujung matanya yang selalu sembab. Berbisik pelan di

pengapnya langit-langit, "Semoga Engkau akhirnya berbaik hati, Tuhan....

Lihatlah, dalam tidurnya, dalam mabuknya, dalam kondisi seperti ini,

wajahnya tetap terlihat amat teduh.... Semoga Engkau akhirnya berbaik

hati...."

Bunda mengusap wajahnya yang basah. Mengeluh tertahan. Semua ini

terasa menyakitkan. Bagaimana tidak? Ketika kalian tahu dan sadar persis

apa yang sedang kalian mimpikan ternyata hanyalah sebuah 'mimpi'.

Bukankah mimpi dalam tidur tidak akan terasa indah lagi saat kalian

justru dalam mimpi itu sendiri menyadari semuanya bohongi Ah, padahal

mimpi dalam tidur bisa menjadi obat pengurang rasa sakit dari kenyataan

pahit yang panjang, kenapa pula jadi sebaliknya. Air jeruk panas membuat

kuyup selimut. Tangan Bunda gemetar menyingkapkannya, memandang

nanar Melati yang bersungut-sungut di sebelah ranjang, sedang

memainkan sehelai bulu ayam. "BA.... BAAA... MAAA...." Berteriak. Bunda

mengusap keningnya. Mengambil gelas yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 19: SMP KHADIJAH

tergeletak tumpah di dekat bantal. Air jeruk ini mungkin disiapkan

Salamah tadi pagi. Atau juga oleh suaminya sebelum berangkat. Badannya

masih terasa lemah. Mencoba duduk. Beranjak turun dari ranjang.

"BAA.... MA.... AAA...." Berteriak lagi. Melati memukul-mukul meja dekat

ranjang. Menarik gagang telepon. Melemparnya sembarangan. Rambut

ikalnya bergoyang-goyang. Baju tidurnya berantakan. Tangannya seperti

moncong tapir yang mencari-cari semut di dalam lubang pohon, bergerak-

gerak, menjalar tidak terkendali. Kepalanya bergerak-gerak miring.

Matanya yang hitam bagai biji buah leci berputar-putar. "Kau sudah

bangun, sayang?" Bunda bertanya lemah, berusaha tersenyum, meski

seluruh dunia tahu senyuman itu percuma. Sama percumanya dengan

pertanyaannya barusan. Melati terus meraba-raba. Tidak peduli. Tidak

mendengarkan. Tiba di tepi ranjang, menyibak bantal. Mulutnya terbuka,

mendesiskan suara yang tak berbentuk kata. Wajah kanak-kanak yang

baru bangun tidur itu menjulur ke depan. Wajah yang terlihat tetap

menggemaskan, tidak peduli sebesar apapun takdir menyakiti-nya.

"Terima-kasih sudah membangunkan Bunda, sayang!" Bunda lembut

meraih tangan putri semata wayangnya. Tertatih mencoba berdiri.

Menghela nafas pelan. Bunda tahu persis tak ada siapa yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 20: SMP KHADIJAH

membangunkan siapa. Ini hanyalah ritual pagi Melati. Mana mengerti

Melati tentang tidur dan bangun-

"Aduh, pakaian Ibu basah! Basah kenapa?" Terdengar seruan dari bingkai

pintu kamar tidur. Salamah bergegas masuk sambil berseru rada-rada-

panik seperti biasanya. Salamah tadi mendengar teriakan Melati dari

dapur, bergegas datang.

"Tidak apa-apa, Salamah! Basah sedikit. Melati tidak sengaja melemparkan

gelas air jeruk!" Bunda menoleh, tersenyum.

"Aduh, maaf! Seharusnya Salamah letakkan gelasnya di tempat yang lebih

tinggi! Aduh, Salamah lupa lagi...." Salamah mendekat rusuh. Berusaha

membereskan sisa 'keributan'. "Pakaian Ibu harus diganti-"

"Nanti saja, setelah sarapan." Bunda menggeleng tegas, tetap tersenyum,

membantu menyerahkan gelas (beruntung gelas itu menghantam bantal di

sebelahnya). Hanya kejadian kecil. Tingkat sabarnya tiga tahun terakhir

sungguh melesat berpuluh-puluh kali lebih tinggi dibandingkan siapapun.

"Ba.... Ma.... A...." Melati berseru, sudah berjalan sembarang arah.

"Kita sarapan, sayangi" Bunda mendekatinya, gemetar meraih tangan

Melati. Membimbingnya berjalan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 21: SMP KHADIJAH

Gemetar? Tangannya terasa lemas. Berpikir mungkin hari ini ia harus

memanggil dokter keluarga. Minggu minggu ini ia tidak ingin sakit lagi.

Apalagi sakit parah. Selelah apapun otak dan fisiknya, ia tidak ingin sakit....

Itu akan merepotkan banyak orang.

Teringat tiga tahun lalu saat rasa putus asa yang mengungkungnya siang-

malam akhirnya membuat ia jatuh sakit selama sebulan. Thypus. Saat

semua orang sibuk merawatnya, sibuk mengurusnya. Melati yang

terlupakan, hampir loncat dari teras lantai dua.

Teras indah yang biasa ia gunakan bersama suaminya untuk menatap

siluet lampu kota dan berjuta bintang di angkasa. Menatap hamparan

persawahan, dan lautan di kejauhan. Teras, yang sekarang ditutup rapat.

Tak ada lagi celah di antara tiang-tiang pahatan mahal itu.

"Ayo, sayang, kita sarapan!" Bunda menggenggam tangan Melati.

"Ma.... A.... Ba...." Melati menggerung pelan, tertatih menurut mengikuti

langkah Bunda, meski ia tidak tahu, meski ia tidak pernah mengerti

kalimat-kalimat itu.

Sambil melangkah, Melati terus sibuk memainkan bulu ayam di tangannya.

Selarik cahaya matahari pagi lainnya menerabas jendela kaca membasuh

kedua tubuh yang berjalan bersisian menuju pintu kamar itu. Ornamen

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 22: SMP KHADIJAH

jendela kaca membuatnya berpendar-pendar. Pertunjukan cahaya yang

menawan.

"Siapa yang kasih bulu ayam, sayang?" Bunda

bertanya pelan.

Melati hanya menceracau-

Merah. Kuning. Hijau

Langit kelam. Petir menyambar. Ombak bergelombang susul-menyusul

menghantam perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu. Sialnya

angin yang menderu-deru membuat semakin kelam dan tegang suasana.

Perahu itu macam sabut di galaknya lautan luas....

"PELANKAN! PELANKAN LAJU PERAHU!" Salah satu awak kapal yang

berdiri di buritan berteriak kencang. Panik!

Nahkoda perahu dengan tangan liat-basah berke-ringatan mencengkeram

kemudi, berusaha mengendalikan gerak kapal. Mengatupkan gigi geraham.

Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap awas. Dahinya

berkeringatan. Cemas! "AWAS OMBAK BESAR DI HALUAN KANAN!"

Nahkoda memutar kemudi. Melintir. Perahu meliuk. Menghindar.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 23: SMP KHADIJAH

"TAHAN!! AWAS OMBAK!!"

Nahkoda sekali lagi membanting kemudi. Perahu berderit. Terangkat ke

atas ujung-ujung gelombang lautan. Lantas seperti dibantingkan,

berdebam jatuh seiring gerakan liar ombak besar. Lambung

kapal bergetar. Tiang-tiang kayu bergemeletukan. Membuat pias seluruh

penumpangnya. "CTAR!" Kilat menyambar. Langit gelap tertutup awan

mendadak terang-benderang. Semburat cahaya seperti akar serabut

melukis langit. Pemandangan yang memesona (sekaligus mengerikan).

Wajah-wajah semakin gentar. Berpegangan erat apa saja.

"AWAS!!! SEBELAH KIRI!" Teriakan awak kapal terdengar serak.

Nahkoda gesit memutar kemudi lagi.

Badan-badan menggigil ketakutan. Sejak setengah

jam lalu. Badan-badan kecil itu sudah menciut.

Pucat-pasi. Tidak ada suara meski hanya decit

tertahan. Saling berpegangan tangan erat-erat.

Takut!

"SEBELAH KANAN!" Awak kapal berteriak lagi. Nahkoda semakin gugup,

berusaha memutar cepat kemudi. Badai ini benar-benar menguras

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 24: SMP KHADIJAH

segalanya. Kapal terangkat lagi tinggi-tinggi. Lantas sekejap, berdebam lagi.

Membuat semakin pias wajah kanak-kanak itu.

Boneka panda itu akhirnya terjatuh dari genggaman tangan (yang

akhirnya melemah karena gentar). Menggelinding pelan di lantai perahu.

Mental satu-dua mengikuti gerakan perahu yang semakin tak terkendali.

Membal.... Atas.... Bawah.... Atas.... Bawah.... Bergulingan.... Kiri.... Kanan....

Kiri.... Kanan....

"GELEGAR!" Guruh menyalak, enam detik setelah kilat tadi, berdentum

memekakkan telinga, beradu

dengan teriakan panik awak perahu nelayan dan penumpangnya.

Gerakan boneka panda itu tertahan di dinding kapal....

Gemetar Qintan, setengah-takut setengah-cemas atas nasib bonekanya

merangkak berusaha mengambilnya....

"JANGAN LEPASKAN PEGANGAN, QINTAN!"

Gadis kecil itu menoleh takut-takut. Tapi

bonekanya? Bonekanya?

"TETAP DI TEMPAT, QINTAN!" Yang barusan berseru kencang menengahi

hingar-bingar suara badai itu, berusaha memegangi tubuh gadis kecil yang

sudah setengah merangkak. "DNTUM!"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 25: SMP KHADIJAH

Terlambat. Semua terbanting! Seketika!

Dan pemuda 27 tahun dengan cambang buruk,

rambut panjang awut-awutan, mulut bau alkohol itu

juga terbanting. Jatuh dari tempat tidur tua. JDUT!

Kepalanya menghantam sisi-sisi ranjang.

Dengan mata merah setengah terbuka, tangan

menggapai-gapai, pemuda itu berusaha duduk

sambil memaki-maki pelan....

Matahari sudah lama tinggi, saking tingginya malah sudah jatuh lagi.

Pemuda itu mendesis. Mengusap dahinya yang rada-rada benjut. Merah.

Mengusap pipinya yang penuh iler. Jorok! Tidak peduli. Menyeka matanya

sekali lagi. Menatap sekitar berkunang-kunang. Senja. Sudah pukul 16.30.

Setidaknya begitulah apa yang terbaca dari jam tua bertuliskan kata 'Seiko'

di dinding.

"Jarum panjang di angka enam, jarum pendek di angka delapan.... Ergh....

Jadi, jadi, ergh, jangan! Jangan bantu Qintan! Biar Qintan yang jawab....

Ergh.... Setengah, setengah,.... Aduh, Kak. Karang jangan bantu Qintan...

setengah, setengah delapan! Iya, kan?" Tertawa lebar, merekah senang bisa

menjawab pertanyaan yang diberikan. Pemuda itu melenguh lemah.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 26: SMP KHADIJAH

Berusaha duduk di pinggir-pinggir ranjang. Mimpi buruk ini.... Mimpi

buruk lagi! Tiga tahun lamanya.... Dia selalu terbangun oleh mimpi buruk.

Haus. Kerongkongannya terasa haus. Mendengus tidak peduli. Maksudnya

bukan tidak peduli atas rasa hausnya, tapi berusaha tidak peduli atas

potongan kenangan barusan yang melesat memenuhi setiap mili otaknya.

Berdiri tertatih. Terhuyung. Nyeri. Badannya terasa nyeri. Kepalanya juga

terasa sakit sekali. Melangkah menuju pintu kamar. Kakinya tersangkut

salah satu buku tebal di atas lantai kayu. "Simon Freud, Analisis Psikis

Anak-Anak". Tidak peduli. Pemuda itu menendang buku tersebut. Anak

tangga berkeriutan. Berisik. Selalu begini. Tapi, setidaknya ada gunanya

juga, suara menjengkelkan ini membuatnya selalu terjaga. Membuatnya

sadar, tidak kehilangan kendali keseimbangan tubuh meski dia pulang dini

hari dan amat mabuknya. Terus melangkah menuju dapur. Melewati ruang

tengah. Ibu-ibu gendut pemilik rumah menoleh. Meletakkan rajutan di

tangan. "Kau sudah bangun. Karang?"

Pemuda itu mendengus. Tentu saja! Bagaimana dia

bisa berjalan tertatih-tatih kalau masih tidur? Selalu pertanyaan bodohi

Apa orang bule bilang? Just making conversation!. Hanya mencoba

membuat percakapan. Omong-kosong. Di kota ini kalimat menyebalkan itu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 27: SMP KHADIJAH

disebut basa-basi. Dan itu benar-benar basi tidak ada gunanya. Pemuda

kusut-masai itu tidak peduli, terus melangkah menuju dapur, yang terpisah

oleh dinding bata tipis dengan ruang tengah. Meraih tempat air plastik.

Langsung menegak dari leher angsanya. Tumpah. Membasahi kerah baju.

Merembes hingga ke bawah.

Ibu-ibu gendut itu berdiri dari kursi rotannya,

menatap prihatin. Meski tidak berkata-kata lagi.

Hanya memperhatikan.

"Ada obat sakit kepala?" Menggerutu.

Ibu-ibu itu menggeleng pelan.

"Ada obat sakit kepala? Kepalaku sakit sekali!" Berkata tajam.

"Kau setiap hari selalu meminumnya! Terlalu sering,

buruk untuk kesehatanmu!"

"Berikan saja!" Pemuda itu menatap galak.

"Kau seharusnya tahu itu, anakku!" Ibu-ibu itu

menghela nafas pendek, melangkah mendekat.

"Berikan saja!" Mendengus.

"Hingga kapan semua akan terus buruk seperti ini. Karang?"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 28: SMP KHADIJAH

Ibu-ibu gendut itu berusaha mengambil tempat air plastik yang mulai

gemetaran dalam genggaman pemuda tersebut. Berkata dengan intonasi

terluka, persis seperti seorang ibu yang sedih mendengar

anaknya membawa kabar tidak lulus UAN, padahal ia tahu persis anaknya

sudah siang-malam berjuang belajar. Wajah keibuan yang menatap lemah

dan tak mengerti hendak berbuat apa. Pemuda itu sekali lagi mendengus

tidak peduli. Membiarkan tempat air plastik diambil. Melangkah gontai.

Kembali menaiki anak tangga yang berkeriutan, berisik. Membuat nyilu di

hati. Lima belas detik ke depan, dia akan melemparkan tubuhnya di atas

ranjang tua itu lagi. Menyumpahi banyak hal. Lantas berusaha

melanjutkan tidur. Tidur hingga malam datang menjelang. Hingga kanak-

kanak tetangga rumah yang memakai sarung, berkopiah kembali dari

pengajian. Memenuhi jalanan kota. Berlarian di bawah temaram lampu

taman. Saling tarik sarung. Merosot. Tertawa bahak (ada yang nggak pakai

apapun di balik sarungnya, sih!). Memenuhi gang-gang dengan celoteh.

Sementara ibu-ibu yang tadi siang sibuk dengan siaran langsung -nya, juga

sibuk mengeluh kepada suami soal kulkas yang kuno, teve yang kurang

gede, atau lemari yang kurang lega. Juga ramai berceloteh! Mendaftar

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 29: SMP KHADIJAH

kepemilikan 'harta-karun' tetangga sebelah rumah sambil asyik menyimak

sinetron.

"Nanti, tolong telepon dokter Ryan, Salamah!" Bunda berkata lemah.

Tubuhnya juga semakin lelah. Salamah, gadis-tua berumur tiga puluh

tahun yang tak laku-laku itu mengangguk, menurut. Ia satu diantara

sembilan pembantu di rumah super-mewah itu. Pembantu yang amat baik.

Terlalu setia malah.

Gara-gara terlalu setia itulah makanya Salamah tetap men-jomblo. Kakek-

buyutnya dulu penjaga rumah keluarga ini. Buyutnya dulu carik rumah ini.

Kakeknya dulu tukang kebun keluarga ini. Ayahnya dulu sopir pribadi

keluarga ini. Nah, ia mewarisi posisi keren itu (meski dengan jabatan beda).

Menjadi pembantu andalan. Ibarat playmaker dalam permainan sepak-

bola, Salamah kapten kesebelasan. Mana sempat larak-lirik pemuda jomblo

lainnya. Tiga tahun lalu pernah sih, ada pemuda kota naksir. Anak muda

sederhana, tapi baik hati. Nggak ganteng-ganteng amat, tapi Salamah suka

(kan ia juga nggak cantik-cantik banget) Ketemu pas festival kembang api.

Sempat berlanjut memadu kasih, hampir menikah. Sayang, kejadian Melati

hampir loncat dari teras lantai dua itu membuat Salamah benar-benar tak

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 30: SMP KHADIJAH

tega meninggalkan Bunda sendirian. Tidak akan pernah. Ia bersumpah

akan menjaga keluarga ini seperti leluhurnya (itu petuah pamungkas

kakeknya dulu)!

Salamah benar-benar pembantu teladan. Hanya satu yang buruk dari

tingkah Salamah. Panikan! Amat panikan malah. Lihat pesawat terbang

lewat saja disangkanya ada kompeni yang mau nyerbu (maklum, Salamah

terlalu sering dengar cerita almarhum kakeknya tentang perang melawan

VOC). "Bilang, kalau dokter Ryan ada waktu malam ini tolong datang

kemari-" Bunda berkata sambil tersenyum lemah, memotong lamunan

Salamah. Tolong datang kemari?" Ah, Bunda selalu bisa menghargai orang,

meski sepenting dan seberkuasa

apapun keluarga mereka.

Salamah mengangguk. Berjanji akan segera menelepon. Melirik jam

dinding berbentuk tabung pasir, sudah pukul 17.30. Seharusnya Tuan HK

sudah kembali dari pabrik sekarang. Kemana? "Tuan HK kok belum

pulang ya, Bu? Ergh, ah-ya Bu, ada telepon dari Tuan HK barusan!"

Salamah seperti teringat sesuatu. Ehm, ia juga pelupa, ding (ini kekurangan

lainnya)!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 31: SMP KHADIJAH

Bunda menoleh. Bertanya dengan ekspresi muka. "Tuan HK bilang dia ada

meeting dengan tamu dari ergh, Je.... Je.... Jepang ya, Bu?" Salamah

bingung. Lupa dari-mana negaranya. Menyalahkan dirinya yang tidak

buru-buru mencatat. "Kata Tuan HK, dia pulangnya malam. Ee, jam berapa

ya tadi? Ah-ya, mungkin jam sembilanan...." Bunda mengangguk. Tidak

penting tamu dari negara manalah. Paling salah-satu rekanan bisnis

keluarga mereka. Yang penting suaminya malam ini akan pulang larut.

Sudah setahun terakhir suaminya tidak pernah pulang terlambat. Selalu

menyempatkan makan malam bersamanya dan Melati. Meski akhir-akhir

ini suaminya tidak banyak bicara, hanya menatap prihatin Melati.

Pasti bohongi Tidak ada tamu-tamu itu. Suaminya pasti pergi ke manalah.

Duduk sendirian. Menatap resah entahlah.... Kejadian dua hari lalu pasti

ikut membuatnya terluka. Sama terlukanya seperti dirinya. Sayang, berbeda

dengan suaminya yang sehat, sakitnya yang semakin parah sejak tadi pagi

membuatnya tidak bisa pergi! Ya Allah, andaikata

pun ia bisa menghilang begitu saja, tak mungkin ia tega melakukannya,

kan?

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 32: SMP KHADIJAH

"Melati sekarang di mana?" Bunda bertanya pelan, setelah sejenak menatap

lamat-lamat motif seprai ranjang. Seekor panda tambun yang disulam

dengan benang putih, begitu lembut, selembut kulit putrinya-

"Bersama Suster Tya! Ah-ya, tadi lagi-lagi tidak sengaja menangkap ayam

kate Mang Jeje. Kasihan, Bu! Ayamnya lagi-lagi dicabutin bulunya....

Kenapa bisa-bisanya Melati menangkap ayam itu ya, Bu?" Salamah melipat

dahinya. Berpikir. Bunda menghela nafas. Ya! Kenapa bisa-bisanya Melati

bisa menangkap ayam itu? Membedakan sendok dan garpu pun putrinya

tak mampu.... Terbatuk pelan. Tidak apa-apa, hari ini setidaknya Tya dan

Mang Jeje bisa mengurus Melati. Menemaninya. Memastikan tidak terjadi

apa-apa. "Kau boleh pergi sekarang, Salamah!" Bunda tersenyum, penuh

penghargaan. Salamah mengangguk senang. Kalau saja Bunda tidak

menyuruhnya pergi, ia akan tetap berdiri di situ sampai malam. Kan, setia

banget! Matahari senja bersiap menghujam di balik pebukitan. Jingga

menghias angkasa, gumpalan awan terlihat ikut memerah. Burung layang-

layang melenguh mengisi langit-langit kota. Terbang dengan formasi tarian

mengundang hujan seperti yang dilakukan suku Indian. Percaya atau

tidak, formasi terbang burung layang-layang bisa menjadi pertanda turun

atau tidaknya hujan (sebenarnya

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 33: SMP KHADIJAH

suku Indian itulah yang meniru gerakan burung layang-layang saat

meminta hujan dari 'dewa-dewa').

Lengang. Rumah besar super-mewah di lereng pebukitan itu lengang.

Hanya Mang Jeje yang sibuk dengan keran air. Menyiram hamparan

rumput taman seluas lapangan bola. Taman yang indah. Penuh

bebungaan. Merah. Kuning. Hijau. Amat menyenangkan duduk di taman

itu. Bisa memandang persawahan menguning dan atap rumah-rumah

penduduk. Bisa menatap perkotaan dan gedung-gedung tingginya. Bisa

memandang lautan biru nan luas.

Tya lagi sibuk membujuk Melati melepaskan tembikar China dari

genggamannya. Melati seperti biasa mendengus galak. Selalu marah kalau

dilarang. Tangan kirinya yang bebas menggapai-gapai udara. Mengancam.

Bersungut-sungut. Bola matanya yang hitam bagai biji buah leci mendelik.

Kemarahan itu kapan saja siap meledak....

"Kembalikan, sayang-" Tya membujuk cemas.

"BAAA.... MAAA...." Melati berseru-seru.

Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.

"Aduh, kembalikan, sayang! Nanti Tya dimarahin

Bunda!"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 34: SMP KHADIJAH

"BAAAA-"

"Jangan dilempar, Melati!"

"BAAA!!!"

"Ja-"

"PYAR!" Dalam sekejap tembikar mahal itu

menghantam kaca jendela besar berukuran 1x2 meter. Hancur berkeping-

keping. Tembikarnya, juga kaca jendelanya.

Tya menutup mulutnya. Wajahnya pias. Pucat-pasi. Gentar melihat beling

yang berserakan. Bunda terkesiap di atas ranjang kamar tidur lantai dua.

Gemetar menyingkap selimut. Gemetar turun dari ranjang. Putrinya baru

saja merajuk kembali tanpa alasan. Entah sekarang memecahkan apa.

Selalu begitu sepanjang tahun ini.

Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit melemparkan apa saja....

Malam datang menjelang. Di sudut kota dengan gang-gang sempit.

Dengan teras lantai dua saling bersentuhan satu sama lain.

Ibu-ibu gendut pemilik rumah itu sudah dua kali naik ke kamar atas

sepanjang hari. Pertama tadi pagi mengantarkan termos air panas

sekaligus memastikan apakah pemuda yang dipanggilnya 'Karang' itu

baik-baik saja. Kedua baru sepuluh menit lalu, meletakkan ransum makan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 35: SMP KHADIJAH

malam. Sepiring nasi hangat mengepul, semangkok sayur bayam dengan

bongkahan jagung muda, sepotong ikan tongkol, plus kerupuk dan sebutir

jeruk. Karang, pemuda itu masih tidur nyenyak.... Nyenyak? Ah, itu yang

terlihat sekilas mata. Lihatlah ekspresi mukanya lebih detail, betapa wajah

yang sebenarnya gagah dan tampan itu mengernyit dalam tidurnya. Seperti

seseorang yang sedang menahan rasa sakit. Seperti anak kecil yang

gentar melihat jarum suntik imunisasi cacar. Ujung-ujung jari Karang

bergetar pelan. Nafasnya terdengar. Sebutir keringat (segede jagung)

merekah di dahi. Mimpi-mimpi buruk itu! Terlihat nyata! Menyakitkan.

Bagaimana tidak sakit? Ketika kalian menyadari bahwa itu semua sungguh

sempurna bagai re-run ulang siaran masa lalu yang sesak untuk dikenang.

Kalian menyumpahinya. Berusaha lari secepat mungkin. Tapi kaki kalian

celakanya meski sudah seperti roda kereta bergerak menjejak bantalan besi,

tetap saja badan tidak bergerak-gerak. Lari di tempat. Karang kembali

bermimpi buruk. "Per-gi-lah! Tidak ada lagi yang tersisa di sini-" Senyap.

Gadis di depannya tidak menjawab, menyeka air mata di pipi dengan ujung

kerudung. Kerudung indah berwarna biru muda. Wajah cantik itu terlihat

mendung. "Aku mohon, pergilah!"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 36: SMP KHADIJAH

Lengang. Hanya detak jarum jam di dinding terdengar. Ctak! Ctak! Ctak!

Ah-ya, tentu saja juga isak-tangis pelan gadis cantik berwajah keturunan

itu. Malam baru datang. Taman Bacaan Anak-Anak itu terlihat

bercahaya.... Setengah jam lalu baru saja pengunjung imut-imutnya bubar.

Sudah sore, waktunya pulang. Besok disambung lagi baca bukunya, dengar

dongengnya, atau sekadar main internet bersama kakak-kakak penjaga

Taman Bacaan.

"Bukankah semua itu sudah selesai...." Terisak, "Tidak ada yang

menyalahkanmu," Terisak lagi.

"Tidak ada, kan-"

Tertawa getir. "Tidak ada yang menyalahkanku? Memangnya itu penting!

Memangnya kata orang-orang lebih penting dibandingkan apa yang

kurasakan? Kau tahu, setiap detik aku seperti bisa menyaksikan kembali

semuanya.... Teriakan mereka! Wajah-wajah ketakutan mereka! Ya Tuhan!

Bahkan jemari tangan mereka yang membeku, bibir-bibir mereka yang

biru... tubuh-tubuh dingin mengambang... delapan belas-" "Hentikan! Aku

mohon!" Gadis berkerudung itu membuang ingusnya. Berusaha

menghentikan kalimat pemuda itu. Mendengar kalimat sesal itu sungguh

menohok hatinya. Apalagi menatap wajah pemuda di hadapannya. Wajah

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 37: SMP KHADIJAH

yang dulu begitu riang, begitu menyenangkan. Wajah yang membuatnya

jatuh-cinta.

Sekarang? Sempurna terkungkung oleh perasaan bersalah. Ya Allah, jika

Engkau mengizinkan, ingin sekali ia memeluknya. Memberikan berlaksa

empati dan simpati. Memberikan berjuta asa dan gembira. Membesarkan

hatinya. Memberitahunya lewat sentuhan lembut di pipi kalau dia tidak

sendiri melewati masa-masa menyakitkan ini, tidak, pernah sendirian....

Dia akan selalu memiliki orang-orang yang mencintainya. Lihatlah, sore ini

anak-anak tetap riang datang. Semua penduduk kota besar ini juga tetap

menghargai, tidak ada yang mengungkit-ungkit lagi kejadian tersebut.

Tidak ada.... Dan andaikata pun semua orang

menyalahkan, masih ada dirinya yang tidak. Gadis berkerudung itu benar-

benar menangis sekarang, hatinya bengkak oleh rasa sedih, tidak mengerti,

rasa haru, janji-janji.... Andaikata pun semua orang pergi, dia masih punya

dirinya, yang akan selalu mencintai meski apapun situasinya.... "Kau.... Kau

masih memiliki semuanya." Berkata tertahan.

Pemuda di depannya menggeleng, "Kau keliru.... Tidak. Tidak ada lagi yang

tersisa. Pergilah, aku mohon.... Aku tidak memiliki lagi kehidupan ini!

Tidak ada lagi yang pantas kau harapkan apalagi kau banggakan dariku."

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 38: SMP KHADIJAH

Menatap lemah gadis berkerudung. Mendesah resah. Jika diijinkan, dia

juga ingin sekali membelai pipi gadis berkerudung biru muda itu,

mengusap air matanya. Melihatnya menangis sungguh membuatnya

tersiksa. Tapi semua sudah selesai. Dia tidak akan bisa melanjutkan hidup

sama seperti dulu.... Dia-lah yang sejak seminggu lalu memutuskan untuk,

pergi! Menjauh dari kenangan buruk itu.... Tapi agar semua ini tidak terasa

tambah menyakitkan, maka malam ini dia-lah yang meminta ia yang pergi!

Si lesung pipi-nya! "Aku tidak akan pergi-" Gadis itu tertunduk. Satu bilur

air mata jatuh menetes di tegel ruang depan Taman Bacaan.

"Kau harus pergi!" Berkata pelan.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!" Gadis itu

mendesis putus asa, suaranya serak.

Pemuda itu menggigit bibir, menggeleng, mengusap

wajahnya. Pembicaraan ini benar-benar sia-sia, Dia tidak akan pernah

kuasa bilang secara langsung kalau besok pagi-pagi dia akan pergi dari

kota ini, selamanya! Dia tak akan kunjung kuasa mengatakannya...,

Pemuda itu menatap jalanan depan Taman Bacaan. Lampu mobil yang

lewat menerabas dinding kaca, membasuh wajah. Terasa silau!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 39: SMP KHADIJAH

Berusaha memejamkan mata sesaat. Tapi juga seperti ada yang menyentuh

wajahnya, berdenging, menerpa-nerpa! Berdenging.

Karang, pemuda di atas ranjang tua itu mengernyit dalam tidurnya,

Terganggu. Tangannya mengibas ngibas jengkel, Benda itu masih terbang

berputar di depan wajahnya. Semakin diusir semakin berani. Mendesis

mengkal. Karang terbangun. Mata merahnya terbuka, Mimpi itu terputus,

Menyumpah nyumpah, meski kali ini bangunnya tidak disertai terjatuh

dari ranjang dan kepalanya juga tidak terantuk kayu jati. Berdenging.

Sudah malam, Sudah gelap, Kepalanya terasa nyeri sekali. Memaki dalam

hati. Berusaha duduk. Sialan! Seharusnya berikan saja-lah obat sakit kepala

itu padanya. Bodo amat soal bahaya konsumsi obat-obatan secara terus-

menerus. Berdenging.

Matanya membesar, Kepalanya berputar. Apa pula yang terbang

mengganggu tidurnya. Berputar-putar. Seekor kunang-kunang tersesat

terbang berputar kebingungan! Kunang-kunang?

Terbang di dalam kamarnya? Karang mendengus tidak peduli, Melirik

ransum makan malamnya. Beranjak terhuyung ke meja kecil, Mungkin

dengan makan, semua nyeri akan pergi. Lagipula perutnya terasa lapar...

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 40: SMP KHADIJAH

Ribuan Kunang-Kunang

Di sini juga ada kunang-kunang. Tidak hanya seekor, ada ribuan malah.

Tidak tersesat. Malah terbang mendenging bersama di sela dedaunan

hutan hujan-tropis. Di tengah gelapnya malam, formasi cahaya mereka

terlihat menawan. Kerlap. Kerlip. Kerlap. Kerlip.

Salamah yang berdiri di dekat jendela besar kamar Bunda melirik ke luar.

Ke arah pertunjukan hebat tersebut. Menyeringai.

"Papa masih di China, Bun.... Ada pertemuan di Perfekture Hanjin.

Seminar, simposium, entahlah, tentang pengobatan tradisional.

Akupuntur. Aroma terapi. Bunda tahu sekali, kan, Papa oriental-minded

banget! Jadi malam ini aku yang menggantikan Papa, nggak pa-pa, kan?"

Gadis berkerudung hijau muda itu tersenyum, lembut memeriksa denyut

nadi Bunda.

"Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.... Kinasih pasti sehebat Papa-nya.

Atau malah lebih hebat." Bunda balas tersenyum. Lemah. Menatap tangan

tangan yang terampil mengeluarkan peralatan. "Bunda bisa saja! Aku kan

baru lulus ujian." Gadis

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 41: SMP KHADIJAH

itu tersipu kecil. Yang seketika membuat lesung pipi-nya terlihat. "Kapan

Kinasih tiba?"

"Sudah seminggu. Bun. Sebenarnya dua hari lalu aku sudah mau

berkunjung, menjenguk... Tapi masih ada keperluan mengurus ijin praktek.

Kinasih kangen Bunda. Kangen Melati. Kangen Tuan HK. Bahkan aku juga

kangen masakan Salamah!" Gadis berkerudung yang dipanggil Kinasih itu

tertawa, menoleh ke Salamah yang masih sibuk melirik tarian kunang-

kunang di luar sana.

"Ergh-Ada apa? Masak air? Apa yang harus Salamah masak?" Salamah

gagap mendengar namanya tiba-tiba disebut. "Air panas untuk Ibu lagi?"

Kinasih tertawa kecil, melambaikan tangan ke arah Salamah. Bunda

menyeringai. "Melati-nya mana. Bun?"

"Di kamar. Sudah tidur. Sepanjang siang terus merajuk. Terus melempar

apa saja yang bisa dipegangnya. Berseru-seru marah.... Tadi melempar

tembikar Dinasti Tang hadiah Papa-mu. Hancur berkeping-keping." Bunda

menjawab pelan, terbatuk. "Anak yang baik-" Kinasih tetap tersenyum. "Y-

a...." Bunda lamat-lamat menatap langit-langit kamar, berkata pelan

dengan suara serak, "Anak yang baik!"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 42: SMP KHADIJAH

Terdiam. Salamah menarik lirikannya dari jendela demi mendengar

intonasi kalimat Bunda barusan. Kamar itu hening sejenak. Hanya

menyisakan suara gerakan tangan Kinasih yang sedikit canggung-merasa

bersalah dengan kalimatnya

barusan.

"Bagaimana 'kondisi' Melati sekarang. Bun?" Kinasih bertanya hati-hati.

Tersenyum tulus. "Keadaannya masih sama buruknya seperti tiga tahun

lalu," Bunda mendesah lemah, "Sama buruknya.... Ya Allah, sebenarnya

kondisinya tambah buruk!" Suara Bunda tercekat. Kinasih perlahan duduk

di pinggir ranjang. Meletakkan stetoskop. Menggenggam jemari Bunda.

Menatap ikut bersimpati kepadanya. Wajah gadis muda yang merekah oleh

kebaikan. Umurnya bulan depan baru genap 25 tahun. Baru saja

menyelesaikan pendidikan dokter-nya di Ibukota. Wajah keturunan yang

cantik. Tersenyum mencoba membesarkan hati.

"Melati sekarang setiap hari kerjanya hanya marah, berteriak-teriak.

Melempar apa saja yang dipegangnya. Memukul. Menjambak. Apa saja,

tidak peduli apapun itu...." Bunda menggigit bibir, memaksa matanya agar

tidak menangis. Sudah lama sekali ia tidak bercerita. Banyak kerabat

datang, tetangga perhatian, pembantu pembantu di rumah juga berbaik

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 43: SMP KHADIJAH

hati mendengarkan, tapi kehadiran Kinasih malam ini berbeda. Lihatlah,

gadis kecil yang dulu sering bermain ke rumah dibawa Papa-nya, sekarang

tumbuh menjadi gadis matang yang cantik. Tidak ada lagi kepang rambut.

Yang ada hanya wajah tertutup kerudung berwarna lembut. Tidak ada lagi

bekas ingus di pipi habis merajuk. Yang masih ada di sana hanya lesung

pipi-nya. Apakah Melati bisa

tumbuh se-menawan Kinasih? Bunda mendesah tertahan....

"Kami tak lelah mencari jalan untuk membantu keterbatasan Melati,

Kinasih.... Tapi ya Allah, semuanya sia-sia. Benar-benar kesia-siaan besar.

Bahkan, dua hari lalu.... Dua hari iaiu...." Bunda terdiam lama.

Kinasih pelan mengambil tissue di meja dekat ranjang. Mengelap pipi

Bunda, ah saraf tangis itu jelas sekali tidak bisa dipaksa, kalian memang

bisa saja tetap terlihat tanpa eskpresi, terlihat kosong, tapi kantong air

mata tidak bisa ditahan, akan keluar dengan sendirinya.

Seminggu terakhir kami mengundang psikiater dan dokter anak-anak dari

salah satu rumah sakit ternama Ibukota. Tim mereka memiliki reputasi

yang baik. Kami amat berharap.... Empat hari pertama Melati sepertinya

mulai terkendali, mau menuruti terapi atau entahlah yang dilakukan tim

dokter. Kami benar-benar berharap sedikit kabar baik itu akhirnya

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 44: SMP KHADIJAH

datang...." Bunda terdiam lagi, wajahnya sedih, tertunduk, pipinya

berkedut menahan sedan. "Tetapi di hari kelima, persis dua hari lalu....

Melati tiba-tiba merajuk. Marah! Melati berteriak-teriak saat badannya

ditempeli kertas-kertas medis, entahlah.... Melati menarik salah satu tangan

dokter, dan, dan...." Bunda menelan ludahnya, " Melati menggigit jari salah

satu dokter itu. Sampai, sampai nyaris putus...." Bunda sekarang benar-

benar menangis mengingat kejadian itu. Kinasih menghela nafas. Sekali

lagi lembut

menghapus air di pipi Bunda. Kanak-kanak dengan rambut ikal wajah

menggemaskan itu melakukannya? Menggigit hampir putus jari seorang

dokter? Itu benar-benar kabar buruk. Salamah sekarang juga benar-benar

100% berhenti dari larak-lirik ke luar jendela. Salamah tertunduk dalam-

dalam. Ikut sedih. Lah, gimana tidak? Ia yang repot banget sesiang itu.

Membersihkan darah berceceran.

Orang-orang berteriak. Orang-orang panik. Melati yang berteriak-teriak

marah, melempar apa saja barang yang ditabraknya. Bunda yang berseru-

seru. Tuan HK yang berusaha mencengkeram salah satu dokter karena

dokter itu berusaha mencengkeram Melati untuk menenangkannya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 45: SMP KHADIJAH

Tetapi bukan kejadian gigit-menggigit itu yang membuat Bunda sedih

berkepanjangan dua hari ini. Bukan karena itu ia malam ini tersedu

menangis di depan Kinasih. Bukan. Toh, setahun terakhir Melati memang

punya kebiasaan menggigit apa saja (gantungan kunci dari besi saja ia

gigit). Jadi Bunda sudah terbiasa melihatnya. Yang membuatnya sedih

adalah teriakan salah satu anggota tim dokter ternama itu.

"ANAK INI TIDAK MEMBUTUHKAN DOKTER, NYONYA! ANAK INI

MEMBUTUHKAN RUMAH SAKIT JIWA!" Juga teriakan-teriakan marah

dan panik lainnya. Bersahut-sahutan.

Keributan itu berakhir satu jam kemudian. Setelah Melati yang lelah

akhirnya mengalah sendiri, menggerung seperti lokomotif kereta kehabisan

solar di pojokan kamar birunya. Duduk melipat kaki. Merapat ke dinding.

Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar redup. Mulutnya mendesis-

desis pelan. Jemarinya meraba-raba lantai keramik. Mengikuti gurat

keramik.

Bunda dan Tuan HK berkali-kali minta maaf atas kejadian itu. Tapi hanya

dijawab dengan kalimat-kalimat menusuk dari tim dokter. Kalimat-kalimat

yang disusun dari kepala ber-intelektualitas hasil pendidikan tinggi (meski

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 46: SMP KHADIJAH

separuhnya disesaki oleh perasaan marah karena rekan mereka terpaksa

segera dilarikan ke rumah sakit terdekat). Kalimat yang menyakitkan....

"Sebelum semuanya terlambat, anak ini harus dibawa ke unit konservasi

kejiwaan, Tuan HK!" Dokter senior yang memimpin tim berusaha berkata

lembut, sok-bersimpati.

"Melati tidak gila! Melati tidak gila!" Bunda memotong, berkata lemah

berkali-kali, parau. Tuan HK yang duduk di sebelah berusaha

menggenggam jemarinya. Menenangkan.

"Melati sekarang belum gila, Nyonya! Tapi semua keterbatasan ini suatu

saat pasti akan membuatnya gila! Ia membutuhkan terapi yang

komprehensif-" "Melati tidak gila!" Bunda bergumam tidak terima.

"Maafkan kami, Nyonya...." Tersenyum tipis- "Melati tidak gila!" Bunda

mendesis galak. "Hanya orang gila yang bisa menggigit hampir putus jari

orang lain. Nyonya!" Salah satu dokter menyela lebih galak, jengkel.

Malam itu, bersamaan dengan kembalinya tim

dokter dari rumah sakit ternama ke ibukota, malam itu Bunda akhirnya

harus mendengarkan realita baru tentang permata-hatinya. Sesak. Benar-

benar sesak. Ia tahu kalau ia benar, putri meng-gemaskannya tidak gila.

Tetapi ia juga tahu, kalimat-kalimat dokter itu juga benar. Tiga tahun

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 47: SMP KHADIJAH

lamanya ia berusaha membujuk hatinya. Tiga tahun lamanya berharap.

Tapi kenyataan menyakitkan itu yang akhirnya tiba....

Ya Allah, tak lelah ia berharap suatu saat keajaiban itu pasti akan datang.

Suatu saat janji-Mu pasti akan tiba.... Bukankah, bukankah Engkau sendiri

yang menggurat kalimat indah itu dalam kitab-suci? Sungguh! Dibalik

kesulitan pasti ada kemudahan.... Tapi harapan itu hari-hari ini bagai

kabut yang digantang matahari meninggi. Menguap. Bagai sisa-sisa air

dalam ember bocor. Menghilang. Bagai rambutnya yang perlahan

memutih.... Lelah sekali ditunggu, meski hanya untuk menyisakan sedikit

asa bahwa janji kemudahan itu akhirnya pasti tiba! "Melati akan baik-baik

saja, Bun.... Jika Bunda tetap yakin, maka ia pasti akan baik-baik saja."

Kinasih berbisik pelan. Tersenyum. Memotong cerita dua hari lalu.

Mencoba membesarkan hati. Bunda menatap wajah cantik Kinasih lamat-

lamat. Wajah yang tulus bersimpati. Bunda ikut tersenyum, (meski) getir.

"Suatu saat Kinasih percaya, bahkan Melati pasti bisa memanggil 'Bunda'

dengan sempurna. Memeluk, dan menyatakan cintanya kepada Bunda

dengan utuh-"

Bunda sudah mendekap erat Kinasih. Penuh perasaan haru-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 48: SMP KHADIJAH

"Terima-kasih, anakku! Kau sungguh gadis yang baik. Semoga Tuhan

memberikan jodoh yang baik bagimu!"

Kinasih tersenyum. Mengangguk. Balas merengkuh erat tubuh wanita

separuh baya itu. Bunda menangis di dekapannya.

Malam itu. Dua doa melingkar berpilin di angkasa. Malam itu dua doa

melingkar bertemu di langit kekuasaan-Mu. Dan jawabnya: 'Ya'.

"Kau akan pergi kemana. Karang?" Ibu-ibut gendut yang sedang merajut di

ruang tengah berseru pelan.

Just making conversation, again! Lagi-lagi basa basi menyebalkan itu!

Karang mendengus tidak peduli, terus menuruni anak tangga yang berisik

berkeriutan. Bukankah tiap malam dia selalu pergi! Buat apa ditanya lagi?

"Kondisi kesehatanmu semakin buruk, Karang! Sebaiknya malam ini kau

beristirahat" Ibu-ibu itu berdiri. Melangkah mendekat. Berusaha mencegah.

"Urus saja urusan-mu!" Karang melambaikan tangannya. Jengkel

dihalangi. Kepalanya masih nyeri, tapi tidak terlalu lagi. Badannya masih

sakit, tapi tidak terlalu juga. Perutnya sudah terisi, jadi mekanisme

pencernaan membuat seluruh tubuhnya menjadi hangat.

"Aku mohon, untuk malam ini saja, bisakah kau tidak keluar?"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 49: SMP KHADIJAH

Pemuda itu tidak menjawab. Tetap melangkah menuju pintu. Tidak peduli,

melewati badan besar yang mencoba menahannya. Ibu-ibu gendut

kehabisan kata. Ia tidak pernah bisa mencegahnya. Tidak sejak tiga tahun

lalu saat anak-muda yang dipanggilnya 'Karang' itu datang mengetuk

pintu rumahnya.

Ibu-ibu gendut menghela nafas. Pintu berdebam ditutup. Lengang.

Menyisakan celoteh anak-anak yang masih bermain di gang-gang sempit.

Juga suara radio dan televisi yang di-stel rada kencang (dangdut-an pula

lagunya). Pukul 20.30. Itu berarti hingga delapan jam ke depan, Karang

akan berada di luar. Menghabiskan malam berteman minuman. Duduk

sendirian di pojok bar. Menatap galak siapa saja dengan mata merah.

Ibu-ibu gendut kembali ke kursi rotan. Melanjutkan merajut. Mendesah ke

langit-langit ruang tengah.... Ia tinggal sendirian di kota ini. Dulu sempat

menikah, tapi tidak punya anak. Suaminya meninggal sepuluh tahun lalu.

Usianya sudah menginjak lima puluh tahun saat itu terjadi, jadi ia tidak

tertarik menikah lagi. Memutuskan untuk tinggal sendirian. Toh, selama

ini ia tidak pernah merasa kesepian.

Ia hidup sendiri itu betul, tapi ia tidak pernah merasa kesepian. Berbeda

sekali jika kalian berada di tempat ramai (pasar misalnya), tapi kalian

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 50: SMP KHADIJAH

merasa kesepian. Yups! Beda benar makna kesepian dan kesendirian. Ia

sepanjang sisa umurnya, sibuk merawat rumah warisan suaminya. Rumah

tua dua

lantai dengan arsitekur kolonial. Berjejer dengan rumah-rumah tua

lainnya. Menghabiskan hari dengan merajut pakaian pesanan. Ia mengenal

Karang yang tiga tahun terakhir tinggal bersamanya sejak Karang masih

bertelanjang kaki berlarian menyusuri jalanan kota. Dulu tubuh Karang

ringkih, bandel, dan nekad seperti anak jalanan lainnya. Suaminya

menyukai anak-anak. Menyulap rumah mereka menjadi 'rumah singgah'.

Karang! Salah-satu dari belasan anak jalanan yang diurus suaminya. Dan

Karang-lah yang tumbuh menjadi anak paling membanggakan. Kanak-

kanak itu berubah menjadi anak terpintar di sekolah barunya. Anak

tercerdas!

Melanjutkan pendidikan di ibukota. Setiap bulan mengirimkan kabar

gembira. Tak terbayangkan melihat foto-foto Karang berdiri gagah bersama

ratusan lulusan universitas ternama itu. Juga foto-foto kehidupannya.

Pekerjaan hebatnya. Kecintaan Karang kepada anak-anak yang diwarisi

dari suaminya. Taman Bacaan itu. Sejak suaminya meninggal, membaca

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 51: SMP KHADIJAH

surat-surat dari anak-asuhnya menjadi keseharian yang menyenangkan.

Dan surat Karang selalu bernilai berlipat-ganda dibandingkan yang lain.

Anak itu benar-benar tumbuh menjadi seseorang. Masa kecilnya yang tidak

beruntung berubah menjadi dendam positif. Karang mendirikan belasan

Taman Bacaan Anak-Anak di ibukota. Selintas sama seperti rumah singgah

milik suaminya dulu, tapi berbeda banyak dari sisi penampilan fisik,

konsep,

dan entahlah. Banyak yang ia tidak mengerti dari surat-surat Karang,

rencana-rencana hebatnya. Yang ibu-ibu gendut itu mengerti pasti. Karang

amat mencintai kanak-kanak. Bukan karena wajah menggemaskan mereka.

Lebih dari itu, karena janji kehidupan yang lebih baik tergenggam dari

mereka. Hingga kejadian itu! Tiga tahun lalu. Saat itu ia sedang

menghabiskan sore seperti biasa dengan merajut ketika tiba-tiba ada yang

mengetuk pintu depan. Ia pikir tukang susu yang rajin mengantarkan

pesanan. Atau penjual telur asin langganannya. Atau Ketua RT yang

mengambil iuran sampah dan keamanan bulanan. Tapi ini terlalu sore

untuk jadwal rutin itu semua. Atau ada ibu-ibu tetangga yang punya

keperluan mendadak. Malas membuka pintu. Ternyata yang ada di

hadapannya: Karang!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 52: SMP KHADIJAH

Pemuda yang menyandang ransel lusuh, berdiri dengan wajah juga lusuh

di bawah bingkai pintu. Rajutan di tangannya terlepas. Wajahnya merekah

oleh kegembiraan. Ia berseru senangnya, memeluk anak-muda itu.... Benar-

benar kunjungan tak-terduga.

Selama ini anak asuh lainnya sering datang berkunjung. Membawa istri,

membawa anak-anak mereka. Tapi Karang tidak pernah pulang sejak

sepuluh tahun lalu. Karang yang termuda di antara mereka memang tak

pernah lupa mengirimkan satu surat setiap bulannya, tapi ia tidak pernah

pulang. Sekarang, jagoan suami-nya sudah berubah begitu

membanggakan.... Lihatlah, berdiri gagah (meski

lusuh) di depan pintu rumahnya. Setidaknya itulah yang ia pikirkan.

Setidaknya itulah yang ia baca dari surat-surat itu....

Hingga sebulan berlalu.... Potongan-potongan kejadian itu akhrinya

tersampaikan. Berita-berita di koran. Berita-berita di teve. Cerita terputus-

putus dari Karang. Dan kondisi yang semakin mengenaskan darinya.

Wajah yang kosong. Eskpresi muka yang sesak. Malam-malam yang diisi

mimpi buruk. Igauan Karang (terkadang berteriak). Siang-siang yang juga

diisi mimpi buruk. Celotehan Karang. Kebiasaan mabuk-mabukan.

Kehidupan 'batman'. Pulang jam satu malam. Pulang jam dua. Pulang jam

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 53: SMP KHADIJAH

tiga. Semua itu seperti karir dalam pekerjaan! Dan karir itu tiba di

puncaknya saat Karang akhirnya baru pulang menjelang shubuh. Tiga

tahun melesat tanpa terasa. Tiga tahun yang berat baginya. Karena

bagaimana-lah ia harus menjadi saksi kehidupan menyedihkan anak

asuhnya yang dulu amat dibanggakan. Ribet menjawab pertanyaan

tetangga-tetangga sekitar (yang nomor satu soal urusan menggosip). Tak

lelah membujuk Karang, bercerita tentang semangat hidup, mengenang

kejadian indah saat kanak-kanak mereka dulu. Percuma! Karang semakin

tak bisa dikendalikan. Bagaimana ia akan bisa? Kalau ia yang berusaha

membantunya sudah sesak duluan melihatnya.

Malam ini, lagi-lagi ia tidak bisa mencegahnya pergi menghabiskan waktu

dengan kesia-siaan. Esok mungkin juga tidak. Bahkan mungkin tidak akan

pernah.... Kesedihan kejadian tiga tahun lalu itu terlalu menyakitkan.

Terlalu!

Ya Allah, berikanlah keajaiban itu.... Ibu-ibu gendut itu mendesis lirih ke

langit-langit ruangan. Berdoa dengan tulus. Kemudian sambil menghela

nafas panjang, pelan melanjutkan merajut sweater biru. Malam itu. Tiga

doa melingkar berpilin di angkasa. Malam itu tiga doa melingkar bertemu

di langit kekuasaan-Mu. Malam itu ada begitu banyak doa yang melesat ke

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 54: SMP KHADIJAH

angkasa. Jika kalian melihatnya maka ia akan terlihat seperti jutaan

benang-benang terjulur. Tapi untuk yang tiga ini, jawabnya: "Ya'.

"Maaf, aku baru bisa pulang sekarang!" Tuan HK mengecup lembut dahi

istrinya. "Tidak apa-apa," Bunda tersenyum, lemah. "Bagaimana

kondisimu? Kata Salamah sakit-mu memburuk?"

"Sudah baikan, tadi Kinasih datang kemari...." "Kinasih? Si-a-pa?" Tuan HK

mengernyit, berpikir sebentar, lantas tersenyum lebar, "Kinasih putri dokter

Ryan?"

Bunda mengangguk. Wajahnya yang sepanjang siang terlihat pucat mulai

memerah. Obat yang diberikan Kinasih sudah bekerja. "Ia sudah menjadi

dokter. Sudah tumbuh cantik.... Gadis berkepang dua yang dulu suka sekali

menyembunyikan stetoskop Papa-nya. Kau ingat itu?" Bunda tersenyum

kecil, beranjak hendak turun dari ranjang, meletakkan kertas dan pulpen

yang sejak lima belas menit lalu dipegangnya.

"Tidak usah, yang! Malam ini kau ber-istirahat saja,

biar aku yang menyiapkan keperluanku sendiri!"

Tuan HK tersenyum, memberi tanda agar istrinya

tetap berbaring di ranjang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 55: SMP KHADIJAH

"Tidak apa-apa biar kubantu,"

"Jangan bandel. Nyonya-" Tuan HK tertawa.

"Aku sudah baikan, kata Kinasih tadi hanya terlalu

lelah-"

"Apa kubilang? Terlalu lelah, bukan? Kau sudah seharusnya banyak

beristirahat. Nyonya! Dasar anak nakal!" Tuan HK tertawa lebih lebar,

bergurau sambil melepas jas hitam mahal-nya. Bunda ikut tertawa,

menatap lamat-lamat wajah suaminya. Untuk ke-sejuta kalinya mengucap

syukur dalam hati. Ia benar-benar beruntung memiliki suami, lelaki yang

sedang berdiri di hadapannya. Tuan HK, lelaki separuh baya, dua tahun

lebih tua darinya. Wajahnya gagah dan tampan, meski gurat lelah, sedih,

penat, sesak itu tak bisa dihilangkan. Yang semakin terlihat kalau dia

sedang di rumah.

Dulu Tuan HK boleh jadi terkenal galak dengan bisnisnya, tapi sejak Melati

lahir. Tuan HK berubah banyak. Sejak kejadian tiga tahun lalu itu, Tuan

HK berubah lebih banyak lagi. Masih tersisa ketegasan, prinsip, dan apalah

seorang laki-laki darinya. Tapi separuhnya hanyalah perasaan seorang ayah

yang tak lelah berharap anaknya suatu hari bisa tersenyum melihat

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 56: SMP KHADIJAH

dunia.... "Kau sedang menulis apa?" Tuan HK bertanya. Bunda mengambil

kertasnya, "Surat!"

Tuan HK mengangguk. Tidak bertanya lagi. Sejak tiga tahun lalu istrinya

rajin menulis. Surat. Cerita. Diary. Entahlah. Kertas-kertas yang ditumpuk

rapi di lemari buku mereka. Sudah sepuluh inchi tebalnya. Setidaknya

kebiasaan itu bermanfaat. Sejenak membuat istrinya bisa menumpahkan

seluruh kesedihan.

"Tadi ada tamu dari Jerman!" Tuan HK melepas

kemeja putihnya, mengambil handuk dari lemari,

"Mereka membicarakan soal kerja-sama

pengembangan pabrik pupuk kita-"

Bunda menggangguk. Salamah tadi siang bilang dari

Je-pang.

"Aku dua minggu lagi harus ke Frankurt, yang! Agak lama. Ada banyak

yang harus dikerjakan di sana. Mungkin dua atau tiga minggu-" Tuan HK

diam sejenak, menatap lembut istrinya, "Mempelajari banyak hal di sana,

tidak apa-apa, kan?" Bunda menggeleng. Tidak apa-apa. Suaminya

memang sering berpergian. Mengurus bisnis keluarga mereka.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 57: SMP KHADIJAH

Diam sejenak. Tuan HK beranjak duduk di pinggir ranjang. Meraih tangan

istrinya. Mencium lembut jemari yang dilingkari cincin pernikahan mereka.

Untuk ukuran mereka yang sudah beruban, pemandangan itu terlihat

amat romantis. "Kau sudah makan?"

Bunda mengangguk. Balas menatap wajah suaminya. Itu pertanyaan

transisi. Ia lebih dari siapapun mengenal tabiat suaminya. Sejak mereka

masih pacaran dulu. Sejak masa remaja yang penuh

lirikan tersipu malu.... Ia tahu, jika ingin

membicarakan sesuatu yang penting suaminya akan

memulainya dengan pertanyaan transisi.

Lengang. Ribuan kunang-kunang semakin ramai

berdenging di sela dedaunan di luar sana. Salamah

sekarang bebas menatapnya dari jendela kecil

kamarnya di lantai satu. Selalu terpesona.

"Kau tahu, seharusnya aku sudah bisa pulang tadi

sore.... Maafkan aku, baru pulang sekarang-" Tuan

HK berkata pelan.

"Aku tahu...." Bunda tersenyum, mengangguk. Tuan HK menelan ludah.

"Kau tadi ke-mana menghabiskan sore? Ke pantai?

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 58: SMP KHADIJAH

Menggulung celana? Berjalan seperti anak-anak

muda yang bercengkerama di pinggir pantai itu?

Berlarian mengejar dan dikejar ombak?" Bunda

tersenyum lagi, bergurau.

Tuan HK tertawa kecil. Menggeleng.

"Di pabrik-"

Bunda menatap lamat, "Hanya di pabrik? Di ruang kerja?"

"Tidak juga. Aku tadi naik ke atap pabrik!" Bunda melipat dahinya.

Tuan HK tertawa, "Ya, aku tadi naik ke atap pabrik. Susah payah manjat

tangga di dinding. Salah satu mandor yang memergokiku berteriak

memohon agar aku turun."

Bunda memperbaiki posisi duduk bersandar bantalnya. Naik ke atap

pabrik? Ia tahu persis, kalau sedang resah, suaminya selalu pergi

menyendiri. Entah kemanalah, ke tempat-tempat

tidak terduga. Kejadian dua hari lalu pasti

membuatnya resah. Tapi naik ke atap pabrik yang

bahkan lebih tinggi dibanding bangunan tertinggi di

kota, itu benar-benar tidak terduga?

"Kau tidak percaya?" Tuan HK nyengir.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 59: SMP KHADIJAH

Bunda tertawa. Mengangguk. Tentu saja ia selalu

percaya suaminya.

"Kau tahu, mandornya sampai berteriak-teriak, 'Aku mohon, Tuan

turunlah! Bagaimana nasib kami semua kalau Tuan kenapa-kenapa!' Dia

juga berusaha memanggil buruh lainnya untuk memaksaku turun, jadi

terpaksalah ku ancam mandor itu-" Tuan HK mengusap rambut

berubannya, tertawa kecil.

"Kau ancam dengan apa?" Bunda bertanya pelan.

"Kupecat kalau dia teriak-teriak lagi-"

Tertawa lebih lebar. Bunda menggenggam jemari

suaminya penuh penghargaan. Bersitatap satu

sama lain. Mereka sedikit sekali punya waktu

menyenangkan seperti ini, tertawa lepas.

"Kau tahu, aku duduk di sana hingga matahari

tenggelam.... Ternyata pemandangannya hebat

sekali. Langit merah. Burung layang-layang,

hamparan lautan, semuanya terlihat indah...." Tuan

HK mendesah pelan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 60: SMP KHADIJAH

Ya, pemandangan yang hebat sekali. Membuatnya sejenak bisa tenang. Bisa

lupa semua sesak. Apalagi tentang saran dokter senior dari tim rumah sakit

ternama itu dua hari lalu.... Bunda ikut menghela nafas pelan. Kamar itu

hening. Tuan HK menoleh, menatap keluar jendela. Menatap tarian

ribuan kunang-kunang.

"Melati sudah tidur?" Menoleh lagi, bertanya.

Bunda mengangguk, meski ia tidak, tahu kalau ia

keliru.

"Aku mandi dulu.... Kalau kau sehat, mungkin kita

bisa mandi bersama," Tuan HK beranjak berdiri,

melilitkan handuk di leher, tertawa, "Sudah lama

kita tidak melakukannya, bersama Melati, bermain

sabun banyak-banyak. Terpeleset...."

Bunda hanya tersenyum, lemah. Menatap punggung

suaminya.

Pukul 24.00. Bunda sudah jatuh tertidur. Tuan HK juga sudah jatuh

tertidur setelah membaca buku tebal sehabis mandi dan makan malam

sendirian. Salamah? Sudah lama jatuh tertidur, memeluk bantal guling

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 61: SMP KHADIJAH

bermotifkan donald & daisy bebek (Heran malah, bikin motifnya jadi

aneh). Hampir seluruh penghuni kota indah itu sudah jatuh tertidur.

Memulihkan tenaga untuk menyambut hari esok.

Tapi tidak bagi penghuni salah satu kamar di lantai dua rumah besar itu.

Kamar yang berwarna biru iaut. Dipenuhi mainan dari busa dan plastik

lentur (karena itulah yang paling aman). Di kamar itu ada ranjang besar

yang tidak berangka dan bertiang (karena itu juga yang paling aman). Ada

sofa dari butiran plastik yang berubah bentuk sesuai dengan bentuk tubuh

yang mendudukinya. Kamar itu milik Melati. Dan malam ini Bunda lagi-

lagi keliru. Sejak tadi Melati belum tertidur. Ia memang

berbaring di atas ranjang. Tapi mulutnya terus menggerung. Mata hitam

biji buah lecinya memang terpejam, tapi ia terus menggerak-gerakkan

ujung jemarinya di bawah selimut....

Setengah jam lalu, Melati melangkah menuju jendela kaca besar kamarnya.

Merangkak. Meraba-raba. Tangan mungilnya meraba-raba jendela kaca

yang dingin. Mukanya menempel. Mencetak bibir dan hidungnya di kaca

tebal. Hembusan nafasnya membuat kabut tipis di kaca. Melati menatap ke

depan....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 62: SMP KHADIJAH

Senyap. Gelap. Hitam. Melati menatap ke arah jutaan kunang-kunang yang

terbang. Sayang, gadis kecil itu tidak akan pernah bisa melihatnya....

Tiga Tahun Lalu

Hari indah kembali datang. Semburat merah memenuhi kaki cakrawala.

Sunrise yang hebat. Pantai kota lengang. Ada sih satu-dua pasangan yang

berjalan-jalan di atas pasir lembut yang bak es krim saat diinjak. Terpesona

menatap indahnya matahari terbit. Terpesona menatap ombak bergulung.

Menjilat-jilat mata kaki. Asyik sekali membenamkan kaki mereka di

hamparan pasir.... Mereka sih memang turis, jadi rada 'norak' melihat

pemandangan hebat tersebut (habis ngelihat sunrise-nya pakai 'pose'

berpelukan segala, sok-romantis, hihi).

Anak-anak kembali sibuk berangkat sekolah. Berpamitan. Wusshh. Pekerja

kantoran bergegas mandi, sarapan dan seterusnya. Petani riang

memanggul cangkul. Nelayan lagi-lagi menumpahkan berember tangkapan

semalam suntuk mereka ("Wooiii, ada yang dapat hiu, tuh!" Semua

menoleh. Lupa tangkapan masing-masing. Bergerombol. Seperti

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 63: SMP KHADIJAH

menyambut kedatangan artis ibukota). Hanya Karang yang masih tertidur.

Semalam ia pulang persis saat adzan shubuh

berkumandang. Ibu-ibu gendut seperti biasa membukakan pintu, menatap

prihatin dengan wajah basah oleh air wudhu. Karang sempoyongan

menaiki anak tangga. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Berkeriutan. Mencengkeram

pegangan. Lantas melemparkan diri! Rebah dengan posisi 'pesawat

terbang' di atas ranjang. Tidur mendengkur. Kamar itu tidak pernah

memerlukan racun nyamuk, karena nyamuknya sudah kadung takut

dengan suara dengkur dan bau alkohol dari mulutnya.

Lengang. Sepagi ini, ketika selarik cahaya matahari menembus lubang-

lubang dinding kayu membentuk bintik seperti bekas tembakan peluru di

lantai, Karang masih tertidur 'lelap'. Tidak peduli dengan keriuhan gosip di

bawah sana. Di sini.... Matahari pagi terasa menyenangkan! Pulau kecil

yang indah! Kanopi terbentang di mana-mana. Payung-payung

terkembang

warna-warni. Kursi-kursi plastik. Pantai dipenuhi turis. Ada yang sibuk

bermain voli. Lempar bumerang. Menunggang kuda. Istana pasir.

Mengubur diri. Atau sekadar berlarian menyiramkan pasir satu sama lain.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 64: SMP KHADIJAH

Hei! Karang bergumam. Ini bukan pantai yang dikenalnya? Sama sekali

tidak dikenalnya. Ini pantai yang berbeda. Tidak pernah dilihatnya. Orang-

orang yang berbeda.... Topi-topi pandan lebar. Seruan-seruan 'Mahuwa!'.

Pakaian-pakaian aneh? Musim panas? Summer Camp? Mana ada coba di

kotanya musim panas? Yang ada musim kemarau, musim penghujan,

musim duren, musim

demo, ergh?? Karang mendesis pelan, apakah ini

mimpi-mimpi buruk itu lagi....

Tertawa. Rombongan itu tertawa.

Ada keluarga kecil di sana. Berdiri di bawah salah

satu payung besar warna-warni. Satu-dua-tiga,

ergh banyak ternyata. Memakai topi lebar-lebar.

Memakai kalung bunga. Seperti keluarga besar.

Meski kentara kalau keluarga intinya hanya tiga.

Pasangan setengah baya, yang rambut sedikit

berubannya tertutup topi pandan, dan....

Tertawa. Kaki-kaki kecil itu menjejak pasir. Rambut

ikalnya bergerak mengombak. Mulutnya yang

terbuka memamerkan gigi-gigi kecil. Di tangannya

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 65: SMP KHADIJAH

tergenggam sebuah boneka panda....

Karang mendesis lagi. Boneka panda?

Tertawa. Kanak-kanak itu menyeringai riang,

berusaha mendekat Ibu-nya yang menjulurkan

tangan. Yang lain ramai menepuki. Memberikan

applaus. Memberikan semangat. Beberapa turis lain

yang dari mukanya terlihat entah dari negara

manalah, ikut menoleh. Ikut terpesona menatap

kanak-kanak itu. Satu-dua mengeluarkan kamera,

akan menjadi foto yang menarik sekali.

Tertawa. Seluruh keriangan pantai ini seolah-olah

pindah di wajah kanak-kanak menggemaskan itu.

Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kaki kecilnya berlarian

mendekat. Membuat jejak di hamparan pasir basah

nan lembut. Pipi tembamnya nyengir....

"JDUT!" Piringan terbang plastik berwarna merah itu

tanpa ampun tiba-tiba menghajar kepalanya,

membuat terjatuh kanak-kanak itu, memutus

seluruh kegembiraan. Seketika!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 66: SMP KHADIJAH

"JDUT" Karang juga terjatuh dari ranjangnya. Terputus juga mimpinya.

Terbangun. Seketika! Seperti biasa, dia langsung menyumpah-nyumpah.

Bersungut-sungut. Mengusap pipi. Mata Karang liar menatap sekitar.

Merah. Rambutnya kusut-masai. Selagi otaknya masih 'booting',

mengembalikan kesadaran, terdengar derit pelan pintu dibuka. Karang

menoleh. Ibu-ibu gendut itu! Seperti biasa membawa termos dengan air

panas baru. "Kau sudah bangun?" Ibu-ibu gendut melipat dahi, bertanya.

Kali ini bukan just making conversation. Itu

benar-benar pertanyaan (dan butuh jawaban),

karena lazimnya paling cepat Karang bangun lima

jam dari sekarang. Bukan saat jadwal ia

mengantarkan termos. Tapi yang ditanya tetap

mendengus tidak peduli. Tidak menjawab.

Merangkak terhuyung duduk di atas ranjang.

"Kebetulan kalau kau sudang bangun." Ibu-ibu itu

tidak melangkah keluar kamar meski telah

meletakkan termos, malah mendekat.

Karang mengangkat muka kusutnya. Kebetulan apa?

"Ada surat untukmu!"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 67: SMP KHADIJAH

Surat? Karang melipat dahinya.

"Tadi diantarkan pagi-pagi sekali!" Ibu-ibu gendut

mengeluarkan amplop putih dari saku baju

dasternya.

"Aku tidak tahu dari siapa. Tidak ada nama siapapun di sana kecuali

namamu!" Ibu-ibu gendut menjawab sebelum ditanya. Menjulurkan

amplop

putih itu.

Karang malas menerimanya. Surat? Sudah tiga tahun dia terputus dari

kehidupan.... Tidak menyapa maupun disapa. Siapa pula yang sekarang

mengirimkan surat padanya?

Ibu-ibu gendut sudah balik kanan. Seolah tidak ingin-tahu surat apa dan

dari siapa. Padahal ia ingin sekali tahu siapa yang mengirimkan surat itu

sejak seseorang mengantarkannya lima belas menit lalu. Ingin sekali

melihat Karang membacanya. Berharap surat itu pertanda baik bagi anak-

asuh suaminya untuk kembali pulih mengenal kehidupannya dulu.... Tapi

setelah berpikir dan berhitung sejenak, memutuskan untuk membiarkan

Karang sendirian membuka surat itu. Kehadirannya bisa jadi malah

merusak suasana hati Karang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 68: SMP KHADIJAH

Ibu-ibu gendut tersenyum tipis, riang menuruni anak tangga yang (justru)

berkeriut menyebalkan.

Ruang makan rumah besar di lereng pebukitan. "Baa.... Ma.... Baa...." Melati

mengaduk-aduk piring di hadapannya. Ia tidak duduk di kursinya. Tidak

pernah. Melati sarapan sambil berdiri. Kakinya sibuk menghentak-hentak

lantai. Tangannya

meremas-remas (sebenarnya ngacak-ngacak) nasi goreng spesial buatan

Salamah.

"Pelan-pelan, sayang!" Bunda yang duduk di sebelahnya membantu

membenarkan posisi piring. Tuan HK menatap sejenak lamat-lamat.

Meneruskan makan. Biasanya Melati meski merajuk, meski butiran nasi

tumpah di mana-mana, meski meja

kotor berserakan, meski makan sambil menggerung, bisa menghabiskan

setidaknya separuh makanan di atas piringnya. Tapi pagi ini Melati hanya

sibuk mengais-ngais piring itu. Mata hitam biji buah lecinya berputar-

putar cepat.

"Ayo dimakan, sayang!" Bunda sekali lagi membantu

membenarkan posisi piring yang hampir jatuh

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 69: SMP KHADIJAH

tersenggol gerakan jemari Melati.

"Baaa..." Melati terus mengaduk-aduk nasi di atas

piring.

"Makannya yang baik. Melati." Suster Tya yang

berdiri di sebelahnya berusaha menyentuh tangan

Melati. Membantunya.

Melati menggerung marah.

"Biarkan saja, Tya!" Tuan HK berkata pelan.

Tya, suster yang baru bekerja dua hari itu menarik

nafas, kalau begini bagaimana Melati akan makan?"

Bunda tersenyum, mengangguk. Jangan pernah

sentuh tangan Melati. Biarkan saja. Hanya perbaiki

posisi piringnya.

"Ayo, Melati.... Pakai tangan bagus!" Suster Tya sekali lagi berusaha

membantu Melati. Memegang tangan Melati, berusaha mengajari cara

menyuap yang baik. Ia perawat baru, jadi tidak terlalu mengerti aturan

mainnya, kan?

"BA.... MA.... AAA...." Melati mendadak berteriak kencang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 70: SMP KHADIJAH

"Eh, copot, copot, copot!" Salamah yang mengantarkan air jeruk panas buat

Bunda ikut berseru-seru panik (sebenarnya kalau ada keributan seperti ini,

Salamah juga yang ikut nambahin panik).

"Jangan teriak-teriak, sayang!" Bunda tersenyum. Menenangkan.

Suster Tya yang tadi kaget medengar teriakan Melati, menarik tangannya.

Mukanya sedikit pias, lagi-lagi Melati mengamuk.

"BAAA!" Melati memukul-mukul meja makan. Marah.

"Jangan pukul mejanya, Melati!" Tya takut-takut

berusaha menghentikan tangan Melati.

"Biarkan, Tya-" Bunda berkata menengahi keributan.

Jangan pernah menyentuh tangah Melati yang

sedang marah. Itu aturan mainnya. Ia akan semakin

marah.

Tapi Tya yang tidak tahu, masih berusaha

memegang tangan Melati. Maka hanya dalam

hitungan detik, tangan Melati satunya yang liar

meraba-raba meja makan dan berhasil menyentuh

ujung piring makanannya bergerak cepat.

"PYAR!" Pecah berantakan. Melati melemparkan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 71: SMP KHADIJAH

piring itu tanpa ampun ke lantai.

"Aduh, Melati jangan dilempar-" Tya yang

setengah-terkejut, banyakan-gugupnya, berusaha

menarik tangan Melati yang masih mencari benda

lainnya.

Bunda lembut memegangi tangan satunya, "Melati, sayang...."

"BAAA.... MA...." Melati meronta-ronta.

Suster Tya yang pucat sekarang malah

tanpa-sadar berusaha mencengkeram bahu Melati.

Berusaha menghentikannya. Bunda menghela nafas

tertahan.

"Bersihkan belingnya, Salamah! Cepat! Sebelum

terkena Melati!"

Salamah terbirit-birit mengambil sapu dan pengki. Melati sudah berhasil

melepaskan cengkeraman tangan Tya. Yang sekali lagi tetap berusaha

menenangkan.

Tuan HK menelan ludah, berkata tajam, "Biarkan Tya.... Biarkan!"

Tya menatap setengah-bingung, setengah-panik. Kalau dibiarkan? Nanti

melempar piring lainnya? Aduh, bagaimana ini. Tuan HK menatap tajam....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 72: SMP KHADIJAH

Tya mengusap wajah kebasnya. Serba-salah. Beruntung, Melati yang

bersungut-sungut marah sudah melangkah tak jelas arah, meninggalkan

meja makan. Menuju anak tangga pualam. Bunda mengikuti.

Membujuknya untuk kembali. Percuma Melati hanya menggerung. Sebal,

marah, benci, entahlah, (kalau ia mengerti semua perasaan itu!)

Hari yang indah sekali lagi berlalu. Malam baru saja tiba, disertai hujan

deras. Musim penghujan.... Karang menuruni anak tangga. Berkeriutan.

Dia baru saja menghabiskan ransum makan malamnya. Jadwalnya untuk

pergi.

"Kau hendak kemana, Karang?" Ibu-ibu gendut tak lelah bertanya.

"Pergi!" Karang mengambil jaket hujan di dinding ruang tengah.

"Hujan, Karang!" Ibu-ibu gendut berusaha mencegah.

"Lucu sekali.... Manusia yang hidupnya merasa selalu hebat tapi takut

dengan hujan!" Karang

menyeringai.

Ibu-ibu gendut menelan ludah. Sinisme. Ia tahu itu. Sejak tiga tahun lalu,

kalau kondisi hati-nya sedang membaik, Karang bisa melakukan

percakapan satu-dua kalimat (tidak sekadar mendengus tak peduli). Tapi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 73: SMP KHADIJAH

kalimat-kalimatnya penuh sinisme kehidupan. Ibu-ibu gendut meletakkan

rajutan. Beranjak berdiri.

"Tadi surat dari siapa?" Bertanya sambil tersenyum. "Sejak kapan Ibu ingin

tahu urusan orang lain? Mau seperti tukang gosip setiap pagi di gang

bawah?" Ibu-ibu gendut tertawa pelan, "Tidak. Kau bukan orang iain

bagiku, Karang!" Karang mendengus. Merapatkan jaket hujan. "Kepalamu

masih sakit!"

"Lumayan-" Karang membuka pintu, malas memperpanjang percakapan,

suara hujan deras menderu memenuhi ruangan.

Dan sebelum pertanyaan berikutnya keluar. Karang kasar sudah

membanting pintu dari luar. Seperti radio yang dipelankan, deru air

menerpa genting, jalanan, dinding, bebatuan seketika berkurang

volumenya. Ibu-ibu gendut itu menghela nafas. Padahal ia ingin sekali tahu

surat apa yang diantarkan tadi pagi. Karang sudah pergi. Tidak peduli.

Apa sebenarnya isi surat itu? Berpikir setengah menit. Lantas memutuskan

naik ke kamar atas. Baiklah, ia akan seperti tukang gosip itu, mencari tahu:

Liputan langsung dari lokasi kejadian. Hitung-hitung sekalian

membersihkan kamar, sudah

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 74: SMP KHADIJAH

terlalu kotor dan pengap, sudah terlalu lama tidak diurus, lagipula hanya

di malam hari penghuninya pergi-

Anak tangga berbunyi menyebalkan seiring kaki melangkah. Ibu-ibu

gendut membuka jendela kamar. Suara air hujan terdengar menderu.

Angin dingin (tapi segar) menerpa masuk. Hamparan lautan terlihat

indah. Kerlip lampu perkotaan. Kerlip lampu perahu nelayan dan kapal

ferry yang merapat di pelabuhan kota. Mercu-suar di kejauhan. Merapikan

buku-buku yang berserakan. Menumpuk baju-baju kotor dari gantungan,

melepas seprai. Memperbaiki posisi mesin tik tua di atas meja. Menyeringai.

Ini mesin ketik warisan suaminya untuk Karang. Satu-satunya barang

berharga di ruangan ini.... Surat itu tergeletak di sebelahnya, sama sekali

belum dibuka. Tetap tersegel oleh sticker logo yang amat terkenal itu. Ibu-

ibu gendut menelan ludah. Karang sama sekali tidak mempedulikan surat

ini.... Baiklah, ia akan melakukannya. Memutuskan berhenti sejenak dari

bersih-bersih.

Membuka surat itu. Mengeluarkan selembar kertas putih (yang juga

berlogo). Surat itu ditulis tangan. Tulisan yang rapi. Surat itu tidak

panjang, hanya satu paragraf. Membacanya dengan penerangan lampu

lima belas watt di langit-langit kamar. "Anakku, seseorang menyebut

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 75: SMP KHADIJAH

dirimu bagai maiaikat di mata anak-anak.... Kehadiranmu seiaiu membuat

mereka bersenandung riang, kehadiran yang bisa menciptakan

'keajaiban'.... Meski amat

malu mengakuinya, harus kami hilang, kami sudah amat berputus-asa....

Berputus asa atas keterbatasan putri tunggai kami. Maukah kau berkenan

membantu? Membagi keajaiban itu. Kami mohon dengan segaia

kerendahan hati. Jika jawabnya 'Ya', datanglah ke kediaman kami...." Nama

dan alamat keluarga yang mengirimkan surat itu tertulis rapi di bawahnya.

Ibu-ibu gendut menyeringai, menahan nafas. Ia amat mengenal keluarga

itu. Bagaimana tidak? Logo di kertas ini tercetak di mana-mana. Barang-

barang rumah tangga seperti gayung, ember, hingga pengki dan sapu ijuk.

Sabun, deterjen, odol, dan entahlah. Juga peralatan elektronik, pupuk, dan

lainnya. Sama mengenalnya ibu-ibu gendut itu dengan masalah keluarga

tersebut. Keluarga baik yang malang....

Hujan turun semakin lebat. Ruang makan rumah besar di lereng

perbukitan itu lengang, irama buncah suara hujan di luar diredam oleh

tembok dan jendela kaca.

"Melati mana?" Tuan HK bertanya. Malam ini ia

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 76: SMP KHADIJAH

pulang seperti biasanya, jadi bisa ikut makan malam

bersama istrinya. Sebenarnya kondisi hatinya belum

membaik, tapi karena hujan turun sejak sepanjang

sore, dia memutuskan untuk pulang sesuai jadwal.

"Sudah tidur sejak sore tadi, terlalu lelah...." Bunda

menjawab pelan, "Hari ini ia aktif sekali!"

Tuan HK menelan ludah. Aktif sekali! Mengangguk.

Itu konotasi dari Melati ngamuk-ngamuk.

"Tya tadi sore minta ijin pulang lebih cepat. Ia

mendadak bilang ada keperluan keluarga...." Bunda berkata perlahan

sambil pelan memotong-motong makanan di piringnya, "Gadis itu

sepertinya tidak akan tahan lama. Seperti perawat-perawat sebelumnya."

Tuan HK tidak berkomentar. Tahu persis apa yang

menjadi masalah Tya. Ruang makan senyap. Hanya

Salamah yang sibuk larak-lirik ke luar jendela sambil

menunggui, berdiri di dekat meja, siapa tahu Bunda

atau Tuan HK memerlukan sesuatu.

"Tadi Kinasih datang lagi, kontrol." Denting suara

garpu terdengar pelan, Bunda sebenarnya tidak

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 77: SMP KHADIJAH

lapar meski sepanjang siang tidak makan, ia hanya

ingin menemani suaminya makan. Itu selalu ia

lakukan selama 24 tahun terakhir (dan ia berjanji

untuk itu), kecuali kalau sedang sakit.

"Kinasih sempat menemani Melati siang tadi.

Kangen. Tidak sadar bahkan memeluk Melati, lupa

aturan mainnya...." Bunda terdiam sebentar,

tertawa getir, "Dan Melati menjambak kerudung

sekaligus rambut Kinasih-"

Tuan HK menghela meletakkan sendoknya.

"Anak itu hari ini aktif sekali-" Bunda menghela

nafas. Buru-buru berdiri. Suaminya sudah selesai.

Membantu membereskan piring.

Hari ini ada banyak hal yang dipikirkannya.... Tya yang mungkin menyerah

menjadi perawat Melati, itu berarti ia harus mencari perawat baru.

Memikirkan kalimat dokter senior rumah sakit ibukota beberapa hari lalu.

Juga surat itu.... Apakah surat itu sudah tiba?

Malam beranjak semakin matang. Hujan tak kunjung mereda. Satu jam ke

depan, setelah memastikan Melati tertidur di kamarnya, Tuan HK dan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 78: SMP KHADIJAH

Bunda masuk kamar. Bunda seperti biasa entahlah menulis apa. Tuan HK

membiarkan, meneruskan membaca buku tebalnya. Lantas tertidur.

Salamah juga sudah tertidur setengah jam lalu, lagi-lagi ngiler. Mang Jeje

dan pembantu-pembantu lainnya. Dan hampir seluruh penduduk kota

indah itu. Namun ada yang belum tertidur.

Bunda lagi-lagi keliru. Melati sama sekali belum tidur. Ia seperti malam-

malam sebelumnya memang sudah terbaring di atas ranjang, sudah lelap

seperti terlihat. Tapi otaknya masih terjaga. Melati menggerung pelan.

Jemarinya mengetuk-ngetuk di bawah selimut. Ia aktif sekali sepanjang

hari. Sebenarnya ia aktif sekali sepanjang tahun ini. Seperti ada energi

raksasa yang tidak kunjung bisa dilepaskan. Bersemayam di otaknya. Rasa

ingin tahu, rasa ingin mengenai, rasa ingin segalanya.... Yang sayangnya

tidak pernah memiliki akses untuk keluar bertahun-tahun.

Lima belas menit kemudian, gadis kecil menggemaskan itu pelan setengah

mengantuk menyingkap selimutnya. Rambut ikalnya yang berantakan

bergoyang-goyang. Menyeret kakinya menuju jendela. Tangannya terjulur

meraba-raba.... Menyentuh dinginnya kaca. Satu dua bulir air hujan yang

tampias menerpa kaca. Melati menempelkan wajahnya. Mata hitam biji

buah leci itu berputar-putar ingin tahu. Hidung, dahi, dan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 79: SMP KHADIJAH

mulutnya tercetak di jendela kaca. Nafasnya

membuat kabut. Ia sungguh ingin tahu....

Melati menatap lamat-lamat. Ke gelapnya malam

yang buncah oleh suara hujan.... Sayang, sama

seperti malam sebelumnya ketika ia tidak bisa

melihat formasi jutaan kunang-kunang. Malam ini,

Melati juga sedikit pun tidak bisa mendengar

buncah suara hujan di luar....

Lengang. Senyap. Kosong. Itulah kehidupannya.

Kaki kanak-kanak berusia sekitar tiga tahun itu lincah berlarian. Tadi

takut-takut menyentuh buih ombak yang menjilat-jilat bibir pantai. Setelah

berhasil, malah tertawa senang. Ternyata menyenangkan. Ternyata tidak

menakutkan seperti yang ia duga. Rombongan yang berteduh santai di

bawah payung besar berwarna-warni berseru menyemangati. Salah-seorang

yang pastilah ibunya tertawa lebar. Menjulurkan tangannya. Kanak-kanak

itu berlarian. Ingin lapor kalau ia bisa sendirian menjejak ombak itu. Tidak

takut lagi. "Anak yang berani-Kemari sayang! Peluk Bunda!" Rambut

ikalnya bergoyang-goyang. Nyengir mendekat.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 80: SMP KHADIJAH

Turis-turis (dengan warna kulit macam-macam) ikut menoleh. Ikut

bertepuk-tangan. Amat menggemaskan melihat kanak-kanak itu

melangkah. Memeluk boneka pandanya- Keceriaan seluruh pantai pulau

kecil terkenal itu pagi ini seperti berpusat pada kanak-kanak yang berlarian

menuju pelukan ibu-nya.

Jejak kaki tercetak di pasir basah nan lembut.... Bayangan tubuh mungil

bergerak menawan.... Pipi tembam, menyeringai lebar (senang sekali

diperhatikan)....

Waktu seolah berhenti ketika melihatnya.... "JDUT!" Brisbee (piringan

terbang) berwarna merah itu entah dari mananya, tiba-tiba sudah

menghantam dahinya. Memutus semua kesenangan. Seketika.

Menghentikan seluruh tawa. "JDUT!" Untuk ke sekian kalinya Karang

terjatuh dari ranjang tua. Memutus mimpinya sekali lagi. Menyumpah-

nyumpah. Dahinya lagi-lagi terantuk siku-siku kayu jati. Matanya merah

silau menatap sekitar. S-i-l-a-u?

"Kau sudah bangun. Karang?" Ibu-ibu gendut itu tersenyum lebar.

Karang menoleh. Jendela kamarnya sudah terbuka lebar-lebar. Ibu-ibu

gendut berdiri di sebelah jendela. Semburat cahaya matahari pagi tanpa

ampun membasuh ranjang tua itu. Karang mengomel. Beranjak duduk.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 81: SMP KHADIJAH

Sebenarnya cahaya matahari pagi masih lembut menerpa, tapi untuk

mahkluk batman sepertinya, lampu lima watt saja terasa silau. Segera

menutup mukanya dengan dua belah telapak tangan. Kepalanya pusing

sekali. Dia mungkin baru tertidur satu jam. Terlalu pendek. Terlalu cepat

terbangun. Tidak cukup setelah semalaman begadang duduk di pojokan

bar. "Ada surat untukmu!" Ibu-ibu itu berkata datar. Karang tidak

mengangkat kepalanya. Sama sekali tidak tertarik. Sialan. Hari-hari

seminggu terakhir

benar-benar berjalan menyebalkan baginya.

Kacau-balau. Dia selalu terbangun lebih cepat dari

jadwal biasanya. Terlalu cepat malah.

"Kau tidak pernah membuka surat-surat itu,

anakku?"

Karang menggerutu sebal. Memangnya penting? Melambaikan tangan.

Maksudnya, tolong tutup kembali jendela itu.

"Aku akan menutup jendela, asal sekali saja kau mau membacanya,

Karang-"

"Buat apa? Bukankah Ibu setiap hari sudah membacanya untukku!"

Karang mendengus sebal, memotong.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 82: SMP KHADIJAH

Ibu-ibu gendut menelan ludah, berkata pelan, "Kau tahu, ada kanak-kanak

yang memerlukan bantuanmu. Karang. Surat itu bilang. Mereka

membutuhkan bantuanmu...."

Karang tertawa sinis, "Bantuan? Terakhir kali aku bersama anak-anak aku

justru membunuhnya-Bukankah Ibu tahu itu?"

Hening sejenak. Ibu-ibu itu menghela nafas panjang. Sarkasme. Lagi-lagi

kalimat itu. "Tidak bisakah kau sekali saja menemui mereka? Ini surat ke-

tujuh yang mereka kirimkan seminggu terakhir, mereka berharap banyak

kau mau datang...."

"Buat apa?" Karang menjawab masygul.

"Setidaknya kau mendengarkan apa permintaan

mereka-"

Karang menyeringai tipis. Permintaan? Omong-kosong. Dia sudah tidak

peduli banyak hal

sejak tiga tahun lalu. Bodo amat! Meskipun seminggu terakhir ada hal

ganjil yang terpaksa dia pedulikan. Seminggu ini entah kenapa dia tidak

pernah lagi terbangun oleh mimpi-mimpi buruk itu. Dia terbangun justru

oleh mimpi-mimpi yang tidak dikenalinya.... Sialnya, itu bukan kabar baik

baginya, justru mimpi-mimpi baru ini membuatnya sakit kepala.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 83: SMP KHADIJAH

Membuatnya selalu bangun lebih cepat. Dan sialnya lagi, di sisa siang dia

akan kesulitan untuk melanjutkan tidur. "Anakku, tiga tahun terakhir

sejak aku tahu apa yang terjadi, aku tidak pernah ingin membicarakan

masalah ini.... Tidak ingin, karena semua ini bahkan membuatku sedih

sebelum membicarakannya.... Tapi biarlah pagi ini kita bicarakan lagi

semuanya-" Ibu-ibu gendut itu melangkah mendekat. Itu benar. Pagi ini

setelah sepanjang minggu berpikir, berhitung masak-masak, ia akhirnya

memutuskan untuk membicarakannya. Ia tahu ini menyakitkan. Tidak

mudah. Tapi hingga kapan ia hanya berdiam diri, surat-surat ini bisa jadi

awal yang baik bagi Karang.... Maka ibu-ibu gendut itu memulainya

dengan membuka jendela kayu itu lebar-lebar. Perubahan pertama! Prolog

pembicaraan!

Karang mendengus, tetap menatap lantai, memijat kepalanya.

"Karang, kau tahu aku tidak pernah berusaha mencegahmu melakukan

apa saja yang hendak kau lakukan selama tiga tahun. Aku hanya diam

membiarkanmu tenggelam sendirian dalam semua

kesedihan. Tapi tahukah kau, dengan membiarkan kau seperti ini, melihat

semua ini tanpa bisa melakukan apapun, aku lebih sedih dari yang kau

rasakan....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 84: SMP KHADIJAH

"Selama tiga tahun aku bahkan tidak pernah membuka jendela ini.

Berharap kau akan kembali seperti yang pernah kukenal lewat surat-surat

yang dulu kau kirimkan setiap bulan.... Berharap kau-lah yang akan

membuka jendela ini. Melewati masa-masa menyakitkan itu." Ibu-ibu

gendut duduk di sebelah Karang. Menghela nafas. "Tapi hari-demi-hari

berlalu hanya seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Kejadian itu

sudah tertinggal tiga tahun di belakang, anakku.... Ibarat sebuah

perjalanan, itu sudah jauuuh sekali tertinggal-"

"Ya! Jauh sekali! Benar-benar omong-kosong. Saking jauhnya, hingga hari

ini, setiap detik aku masih bisa melihatnya, jelas-jelas seperti siaran televisi-"

Karang berbisik kasar. Memotong dengan suara serak, kerongkongannya

terasa haus. "Karena kau tak kunjung henti membiarkan dirimu merasa

bersalah, Karang!" Ibu-ibu gendut ikut memotong, dengan suara bergetar.

"Bersalah! Kenapa pula aku harus merasa bersalah? Bukankah pengadilan

akhirnya membebaskanku?" Karang tertawa. Sinisme.

Lengang sejenak. Ibu-ibu gendut menatap lamat-lamat wajah kusut di

sebelahnya. Kumis dan cambang yang tak terurus. Rambut panjang

berantakan. Pakaian kusam yang baru diganti

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 85: SMP KHADIJAH

dua-tiga hari sekali. Bau alkohol menyengat. Semua ini terlihat

menyedihkan.

"Tidakkah kau sejenak saja bisa berdamai dengan masa lalu itu?" Ibu-ibu

gendut bertanya pelan, menyentuh lembut lengan Karang. Karang

tertunduk. Bergumam sebal. Mengusap wajahnya. Berdamai? Itu mungkin

tidak akan pernah terjadi. Andai dia bisa melakukannya. Andai dia bisa

menemukan caranya. Tapi semua itu terlalu menyakitkan, terlalu

menyesakkan.... Tiga tahun lalu. Kota besar itu. I-b-u-k-o-t-a! Dia merintis

mimpi-mimpi besarnya. Menukar seluruh masa kecilnya yang

menyedihkan (yatim-piatu miskin tak beruntung, kerinduan menyesakkan

atas kehadiran Ibu dan Ayah) dengan janji masa depan yang lebih baik.

Dia mendirikan belasan Taman Bacaan Anak-Anak. Tempat di mana anak-

anak akan mendapatkan makna kehidupan sejati. Kesenangan berbagi.

Merasa cukup atas keseharian yang sederhana. Mencintai bekerja keras

tanpa mesti kehilangan masa kanak-kanak yang menggemaskan.

Taman Bacaan yang memberikan buku-buku, kelas bercerita, dan

dongeng-dongeng tentang kehidupan. Mengajak anak-anak mencintai

alam. Mengajarkan mereka chatting, browsing, bagaimana bicara di depan,

apa saja....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 86: SMP KHADIJAH

Siapa yang tidak mengenal dia? Pemuda yang merintis sendirian semua

mimpinya. Anak-anak mengenalnya sebagai kakak yang baik, kakak yang

bahkan melihat wajahnya sudah menyenangkan.

Kakak yang pandai bercerita. Kakak yang pandai membuat games dan

permainan seru. Kakak yang pandai memetik gitar dan bernyanyi. Kakak

yang selalu membawa sepotong cokelat sebagai hadiah.... Ibu-ibu di kota

mengenal Karang pemuda yang baik. Pemuda yang bisa mendiamkan bayi

yang sedang menangis hanya dengan menyentuhnya. Hanya dengan

berbisik. Bersenandung. Siapa yang tidak mengenal Karang? Bapak-bapak

di kota mengenal Karang pemuda yang hebat. Bagaimana tidak? Dia

sendirian menampung anak jalanan. Membuat sekolah informal.

Menjanjikan masa depan bagi mereka. Percaya sekali janji kehidupan yang

lebih baik akan datang dari anak-anak berikutnya. Hingga kejadian buruk

itu. Tiga tahun lalu. Berita-berita di koran.... Liputan media massa. Perahu

nelayan kapasitas empat puluh orang itu terbalik di perairan utara ibu

kota. Hari itu, Karang bersama anak-anak salah satu Taman Bacaan-nya

berwisata air. Bermain, menyelam melihat indahnya karang-karang dan

ribuan ikan warna-warni. Siang yang hebat, penuh gelak-tawa. Siang yang

hebat, penuh kesenangan dan kebersamaan. Sayang, sore itu saat perahu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 87: SMP KHADIJAH

nelayan kembali, cuaca buruk mendadak mengungkung lautan. Tanpa ba-

bi-bu, ombak besar membuat limbung perahu nelayan. Terbalik, sempurna

menumpahkan seluruh isinya tanpa ampun.

Empat awak perahu beserta nahkodanya selamat, lima kakak-kakak

relawan yang mengurus Taman

Bacaan selamat. Karang juga selamat. Dua belas anak-anak selamat. Tapi 18

tidak. Delapan belas kanak-kanak lainnya meninggal. Tenggelam.

Kedinginan. Bibir membeku. Ujung-ujung jari membiru. Benar-benar

menyedihkan. Tubuh-tubuh kecil yang dingin mengapung dengan jaket

pelampung. Mencoba bertahan hidup selama satu jam sebelum rombongan

helikopter penyelamat tiba. Pemandangan yang membuat seluruh kota

larut dalam kesedihan.

Seperti menatap artefak sejarah menyakitkan.... Karang diinterogasi,

diperiksa penyidik berhari-hari. Tidak cukup hanya itu, pengadilan

menyeretnya bersama nahkoda dan awak perahu nelayan. Menuduh

mereka tidak-cukup-bertanggung-jawab atas keselamatan anak-anak.

Proses pengadilan yang sungguh mengharukan. Proses pengadilan yang

mengundang tangis.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 88: SMP KHADIJAH

"Kak Karang Tidak Bersalah!" Anak-anak Taman Bacaan mendatangi

pengadilan sambil membawa spanduk. Satu-dua malah menangis maju ke

depan menyerahkan setangkai bunga. Pendapat masyarakat bagai api yang

merambat menjalar. Dukungan-dukungan. Tuduhan-tuduhan.... Seruan

benci dan simpati berpilin di media massa. Dan vonis itu akhirnya

dibacakan. Tidak ada yang menyalahkan dirinya.... Itu benar sekali! Tapi

tahukah kalian hal yang paling menyakitkan di dunia bukan ketika orang

lain ramai menyalahkan diri kalian. Tapi saat kalian menyalahkan diri-

sendiri.... Dan itulah yang terjadi padanya!

Dimulailah malam-malam sesak itu. Tiga tahun terakhir. Membakar semua

yang dimiliki, kepercayaan, harapan, dan cita-cita.... Karang memutuskan

pergi! Tidak tahan lagi meski hanya menatap Taman Bacaan miliknya dari

kejauhan. Dia tidak sanggup meneruskan hidup di sana. Wajah delapan

belas kanak-kanak itu memenuhi pelupuk matanya. Wajah Qintan....

Karang memutuskan pulang. Kalau bisa, dia bahkan ingin memutuskan

pulang dari kehidupan ini. Tidak peduli itu akan mengorbankan banyak

hal. Tidak peduli. Lengang. Kamar berukuran 6x9 meter itu senyap. Angin

pagi menelisik lewat jendela. Lembut memainkan anak rambut. Karang

mengusap matanya. Tidak! Dia sudah lama tidak menangis mengenang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 89: SMP KHADIJAH

kejadian itu. Air-matanya sudah habis, bukan karena kejadian itu, tapi

sejak kanak-kanaknya, terlanjur habis karena tangis-rindu pada orang-

tuanya yang pergi. Yang menangis justru ibu-ibu gendut itu. Pelan.

"Bacalah anakku.... Sekali saja!" Ibu-ibu gendut itu berkata serak,

menyerahkan surat baru yang masih disegel oleh sticker berlogo.

Karang diam. Tangannya tidak bergerak. Dia tidak bodoh (untuk tidak,

bilang amat cerdas)! Itu takdir hebat miliknya. Dia mengenali logo tersebut,

sama seperti seluruh penduduk kota ini. Dia juga tahu apa masalah

keluarga baik yang malang itu. Jadi tanpa perlu membacanya dia tahu apa

maksud surat-surat ini.

"Anak malang ini membutuhkan bantuan, anakku!"

"Ia membutuhkan dokter. Bukan seseorang yang bahkan menurut

pengadilan tidak memiliki pendidikan akademis memadai tentang

mendidik anak-anak.... Aku tidak memiliki apapun untuk membantu anak

ini-" Karang berkata pelan. Intonasinya melemah. Dia masih menggerutu,

namun sejenak melihat ibu-ibu gendut di sebelahnya menangis, sarkasme

itu sedikit mereda. "Kau memiliki segalanya bagi anak-anak, Karang-"

Karang menyibak rambut panjangnya yang mengenai ujung-ujung mata.

Mendengus. Segalanya? Omong-kosong!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 90: SMP KHADIJAH

"Kau mencintai mereka lebih dari siapapun, anakku-" Karang tertawa.

Getir. Tertunduk, "Ya! Aku mencintai kanak-kanak lebih dari siapapun....

Kata bijak itu benar sekali, terlalu mencintai seseorang justru akan

membunuhnya!"

Ibu-ibu gendut menghela nafas. Melepaskan pegangannya di lengan

Karang. Ikut menatap lantai kayu.

"Kau punya kesempatan untuk memperbaiki masa lalu itu, anakku.... Anak

ini membutuhkanmu. Jika Tuhan menghendaki pengampunan yang kau

harapkan, kau pasti bisa membantunya...." Karang tidak menjawab.

Mengusap wajah kebasnya untuk ke sekian kali. Pembicaraan itu berakhir

tanpa kesimpulan.

Lima menit kemudian, ibu-ibu gendut itu menuruni anak tangga yang

berkeriutan. Sementara Karang sudah membanting jendela kamar. Lantas

melemparkan diri di atas ranjang tua.

Berharap bisa melanjutkan tidur....

Keterbatasan Melati

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 91: SMP KHADIJAH

JLangit kelam. Petir menyambar. Ombak bergelombang susul-menyusul

menghantam perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu. Sialnya

angin yang menderu-deru membuat semakin kelam dan tegang suasana.

Perahu itu macam sabut di galaknya lautan luas....

"PELANKAN! PELANKAN LAJU PERAHU!" Salah satu awak kapal yang

berdiri di buritan berteriak kencang. Panik!

Nahkoda perahu dengan tangan liat-basah berkeri-ngatan mencengkeram

kemudi, berusaha mengendalikan gerak kapal. Mengatupkan gigi geraham.

Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap awas. Dahinya

berkeringatan. Cemas! "AWAS OMBAK BESAR DI HALUAN KANAN!"

Nahkoda memutar kemudi. Melintir. Perahu meliuk. Menghindar.

"TAHAN!! AWAS OMBAK!!"

Nahkoda sekali lagi membanting kemudi. Perahu berderit. Terangkat ke

atas ujung-ujung gelombang lautan. Lantas seperti dibantingkan,

berdebam jatuh seiring gerakan liar ombak besar. Lambung

kapal bergetar. Tiang-tiang kayu bergemeletukan. Membuat pias seluruh

penumpangnya. "CTAR!" Kilat menyambar. Langit gelap tertutup awan

mendadak terang-benderang. Semburat cahaya seperti akar serabut

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 92: SMP KHADIJAH

melukis langit. Pemandangan yang memesona (sekaligus mengerikan).

Wajah-wajah semakin gentar. Berpegangan erat apa saja.

"AWAS!!! SEBELAH KIRI!" Teriakan awak kapal terdengar serak.

Nahkoda gesit memutar kemudi lagi.

Badan-badan menggigil ketakutan. Sejak setengah

jam lalu. Badan-badan kecil itu sudah menciut.

Pucat-pasi. Tidak ada suara meski hanya decit

tertahan. Saling berpegangan tangan erat-erat.

Takut!

"SEBELAH KANAN!" Awak kapal berteriak lagi. Nahkoda semakin gugup,

berusaha memutar cepat kemudi. Badai ini benar-benar menguras

segalanya. Kapal terangkat lagi tinggi-tinggi. Lantas sekejap, berdebam lagi.

Membuat semakin pias wajah kanak-kanak itu.

Boneka panda itu akhirnya terjatuh dari genggaman tangan (yang

akhirnya melemah karena gentar). Menggelinding pelan di lantai perahu.

Mental satu-dua mengikuti gerakan perahu yang semakin tak terkendali.

Membal.... Atas.... Bawah.... Atas.... Bawah.... Bergulingan.... Kiri.... Kanan....

Kiri.... Kanan....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 93: SMP KHADIJAH

"GELEGAR!" Guruh menyalak, enam detik setelah kilat tadi, berdentum

memekakkan telinga, beradu

dengan teriakan panik awak perahu nelayan dan penumpangnya.

Gerakan boneka panda itu tertahan di dinding kapal....

Gemetar Qintan, setengah-takut setengah-cemas atas nasib bonekanya

merangkak berusaha mengambilnya....

"JANGAN LEPASKAN PEGANGAN, QINTAN!"

Gadis kecil itu menoleh takut-takut. Tapi

bonekanya? Bonekanya?

"TETAP DI TEMPATMU, QINTAN!" Yang barusan berseru kencang

menengahi hingar-bingar suara badai itu, berusaha memegangi tubuh

gadis kecil yang sudah setengah merangkak. "DNTUM!"

Terlambat. Semua terbanting! Ombak besar menggulung. Perahu nelayan

itu tanpa ampun terbalik. Teriakan panik terdengar. Seruan-seruan

tertahan. Jeritan kanak-kanak. Tubuh-tubuh itu seperti butiran cokelat

sebesar kelereng berwarna oranye tumpah dari toples. Berhamburan di atas

meja. Sayang meja-nya adalah lautan yang galak melibas apa saja. Percuma

jaket pelampung berwarna oranye yang terikat erat di tubuh mereka....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 94: SMP KHADIJAH

"BERPEGANGAN!" Karang tersengal, tersedak air laut, berusaha menarik

kanak-kanak yang limbung di tengah ombak.

"PEGANG SEBANYAK MUNGKIN ANAK-ANAK!" Karang panik meneriaki

kakak-kakak relawan Taman Bacaan lainnya.

Suasana benar-benar kacau. Hujan deras bagai ditumpahkan dari langit

gelap. Perahu kayu itu pelan mulai tenggelam, miring, terus melesak ke

dalam dinginnya lautan. Awak-nya sudah melupakan nasib perahu

mereka, sekarang berjibaku menarik anak-anak yang menjerit-jerit di

sekitar mereka. Satu tersedak, terminum air. Yang lain menyusul.

Terlambat sepersekian detik, tubuh-tubuh kecil itu akan terseret ombak,

menjauh entah kemana! Tidak terselamatkan.

Teriakan kanak-kanak yang takut membuncah lautan.

Karang berhasil memegang jaket pelampung tiga kanak-kanak di dekatnya.

Beberapa kakak-kakak lainnya juga berhasil memegangi yang lain.

Berusaha bertahan di tengah buruknya cuaca. Boneka panda itu

mengambang di dekat Karang.... "QINTAN! QINTAN DI MANA!" Karang

terkesiap demi melihat boneka panda itu. Tersadarkan oleh sesuatu.

Menoleh panik kesana kemari. Berteriak. Yang lain tidak sempat menjawab,

terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Berusaha terus merapat,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 95: SMP KHADIJAH

berkumpul saling berpegangan tangan. Tubuh terbungkus jaket

pelampung oranye itu mengambang di dekat Karang. Naik-turun. Naik-

turun. Bergerak liar seiring ganasnya gelombang lautan. Karang beringas

berenang mendekat, dengan terus memegang tiga anak lainnya. Benar-

benar sulit. Ombak besar membuat badannya selalu terbanting. Tapi

setelah berjibaku setengah menit. Karang bisa menarik jaket

pelampung itu.

Qintan tersedak. Mukanya pucat-pasi. "PEGANG JAKET KAKAK!

PEGANG!" Karang meneriaki tiga anak lainnya, sambil berusaha

mendekap Qintan. Mengangkat kepala Qintan agar lebih tinggi dari

permukaan air laut.

Qintan terbatuk. Matanya layu. Sudah terlalu banyak air laut yang masuk

dalam perutnya. "Qintan! Bertahanlah, sayang-" Karang panik. Gadis kecil

berkepang dua itu terbatuk lagi. Air laut tumpah dari mulutnya. Kepalanya

sudah terkulai lemah-

"Aku mohon. Bertahanlah...." Karang berteriak parau. Satu ombak besar

menerpa mereka. Terbanting. Kuyup.

"Qin-tan... Qin-tan takut Kak Karang-" Gadis kecil itu berbisik dalam

dekapan. Rambut berkepangnya luruh ke dahi.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 96: SMP KHADIJAH

"Ya Allah, aku mohon. Bertahanlah...." Karang berusaha memperbaiki

posisi Qintan. Melepas ikatan jaket pelampung di leher, agar gadis kecil itu

bisa bernafas lebih lega. Tiga kanak-kanak lain yang mulai kedinginan

menatap amat gentar semua kejadian sambil terus berpegangan erat pada

jaket pelampung Karang.

Satu ombak lagi menerpa. Membuat anak-anak lain tersedak.

Jemari Qintan yang berusaha mencengkeram bahu Karang terlihat

membiru. Bibirnya pucat. Matanya semakin redup.

"Bertahanlah. Aku mohon-" Karang mengguncang

tubuh Qintan.

"Qin-tan.... Qin-tan takut sekali Kak Karang-" Hujan semakin deras. Langit

pekat, petir menyambar sekali lagi, semburat cahaya mengukir angkasa.

"A-da ca-ha-ya.... A-da ca-ha-ya, Kak Karang!" Mata Qintan yang tinggal

putihnya mendongak menatap langit.

Karang seketika gemetar menahan sesak.

"Aku mohon, sayang. Kak Karang di sini....

Bertahanlah!"

"A-da.... A-da yang da-tang. Kak Karang" Qintan berbisik lirih, kepalanya

masih mendongak, mata itu tinggal putihnya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 97: SMP KHADIJAH

Lihatlah, kanak-kanak yang lain menatap sungguh tak mengerti. Amat

takut. Menjadi saksi kepergian yang menyakitkan. Karang sudah gemetar

berbisik tidak terkendali, berusaha menenangkan hatinya yang juga ikut

gentar. Gemetar memohon. "Kak Karang, Ma-ma-Pa-pa da-tang.... Ma-ma

Pa-pa da-tang" Gadis itu merekahkan senyumnya di antara bibir pucat

membeku.

"Jangan, sayang. Jangan pergi. Kak Karang mohon-" Karang mengguncang

tubuh Qintan. "Ma-ma- Pa-pa da-tang.... Me-re-ka da-tang Kak Ka-rang...."

Sungguh memilukan menjadi saksi kejadian itu. Petir menyambar sekali

lagi. Membuat semburat akar serabut di angkasa. Pemandangan yang

memesona sekaligus mengiris hati. Dan persis saat semburatnya hilang,

kepala Qintan terkulai lemah

dalam pelukan Karang. Ia sudah p-e-r-g-i.... Karang mendesis. Matanya

berputar menatap sekitar penuh sejuta sesal. Karang sesak oleh sejuta

tanya. Dia ingin berteriak sekuat tenaga. Berteriak sekuat yang bisa dia

lakukan. Tapi suaranya hilang sudah di kerongkongan, suara itu hanya

menjadi untai keluh tertahan saat tiba di mulut. Suara itu hanya menjadi

sedu. Tergugu. Karang mendekap tubuh Qintan erat-erat.... Menangis.

Tersedan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 98: SMP KHADIJAH

Petir menyambar lagi. Silau! Cahaya itu menyilaukan. Lengang.... Tapi

tidak ada lagi buncah air hujan. Tidak ada juga deru angin. Kemana ombak

galak tersebut? Kemana gelegar guruh dan kilau petir itu? Kemana semua

keributan? Senyap.... Mata Karang mengerjap-ngerjap. Dia ada di kamar

berukuran 6x9 meternya. Dia tidak berada di tengah lautan terkutuk yang

terkungkung cuaca buruk. Dia terbaring tertelentang. Silau. Jendela

kamarnya lagi-lagi sudah terbuka lebar. Cahaya matahari pagi menerabas

masuk.

Pelan Karang beranjak duduk. Mengusap rambut panjangnya. Kepalanya

tidak nyeri seperti seminggu terakhir. Melirik jam di dinding. Pukul 12.30.

Ini jadwal bangun tidur seperti biasanya. Setelah seminggu selalu

terbangun oleh mimpi-mimpi yang tidak dikenalnya, sekarang semuanya

kembali normal .... Normal? Mimpi-mimpi buruk itu kembali datang bisa

disebut normal? Karang mendengus. "Kau sudah bangun. Karang?"

Karang menoleh. Malas menggerakkan lehernya.

Ibu-ibu gendut berdiri di dekat jendela. Menatapnya datar. Karang

melambaikan tangan tidak peduli. Basa-basi! Tidak menjawab. Pasti setelah

ini akan bilang: "Ada surat untukmu!" Selalu begitu selama seminggu

terakhir. Apa tidak ada bentuk kalimat pembuka percakapan lainnya ?

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 99: SMP KHADIJAH

Tapi ibu-ibu gendut tidak berkata-kata lagi, melainkan melangkah

mendekat. Karang beringsut beranjak duduk di tepi-tepi ranjang tua.

Merapikan rambutnya yang mengenai ujung-ujung mata. "Ada yang ingin

menemuimu!"

Karang mengangkat kepala. Mengernyitkan dahi. Menemuinya?

Ibu-ibu gendut menunjuk ke arah pintu. Seseorang berdiri di sana. Ragu-

ragu melangkah mendekat. Karang tidak mengenalinya. Matanya masih

silau. Kepalanya malas berpikir. Seorang ibu setengah baya. Mengenakan

kerudung disampirkan di kepala. Wajahnya keibuan menyenangkan.

Meski gurat itu terlihat lelah dan menyimpan banyak kesedihan (seburuk

apapun kondisi Karang, kemampuannya mengenali tabiat dan karakter

hanya dari menatap sekilas wajah tetap mengagumkan). "Selamat siang,

anakku!" Ibu-ibu itu ragu-ragu menyapa. Mungkin sedikit bingung melihat

isi kamar. Bingung melihat orang yang akan ditemuinya. Ia sudah

mendapatkan banyak potongan cerita, tapi ia tidak menyangka akan

seburuk ini kondisinya. Rambut gondrong acak-kadut. Heran? Kamar

pengap? Jangan-jangan cerita itu salah? Jangan-jangan ia salah alamat.

Karang menatap lamat-lamat. Tidak merasa perlu menjawab sapaan itu.

Pakaian mahal! Tas tangan mahal. Semuanya mahal. Meskipun dia bisa

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 100: SMP KHADIJAH

menerimanya. Proporsional (untuk tidak bilang sederhana untuk

ukurannya). Ibu ini terlihat 'sederhana' dengan semua kemewahan

miliknya, bisa memadu-madankannya hingga tidak terlihat terlalu

mencolok. Siapa?

"Aku Bunda HK.... Maafkan kalau mengganggu tidur siang-mu!"

"Tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Karang sudah bangun, Nyonya.

Lagipula ini bukan tidur siangnya...." Ibu-ibu gendut itu tertawa, bergurau,

mencoba mencairkan suasana.

Karang mendengus pelan. Tidak mempedulikan kalimat ibu-ibu gendut.

Pasti ini keluarga yang mengirimkan surat-surat itu. Pasti ini orang yang

bertanggung-jawab menganggu tidurnya dengan surat-surat tersebut.

Keluarga malang itu? Malang? Kekayaan mereka bisa membeli seluruh

kota dan se-isinya, jadi di mana letak malang-nya? Sarkasme itu dengan

cepat mengisi otak Karang. "Apakah kau menerima suratku selama ini?"

Bertanya hati-hati. Langsung ke pokok persoalan. Karang mendesis pelan,

menunjuk meja kecil. Tujuh buah surat tertumpuk rapi (yang

menumpuknya ibu-ibu gendut).

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 101: SMP KHADIJAH

"Aku mohon, anakku. Tolonglah kami-" Bunda berkata penuh harap

sambil tersenyum. "Kau datang pada orang dan tempat yang keliru.

Nyonya! Dan yang lebih pasti lagi, kau datang di

waktu yang salah!" Karang memotong kasar, menguap lebar-lebar.

Lengang sejenak. Perasaan ganjil menggantung di langit-langit kamar. Ibu-

ibu gendut menatap Karang (yang tidak peduli). Bunda HK (yang terdiam

bingung atas kalimat kasar Karang). Kembali menatap Karang (yang

sekarang santai mengusap pipinya). Ibu-ibu gendut bolak-balik menatap

mereka berdua dengan ekspresi salah-tingkah. Aduh, bisa nggak sih

Karang respek sedikit dengannya? Seluruh penduduk kota ini saja amat

menghargai pemilik rumah mewah di lereng pebukitan itu. Keluarga yang

dikenal baik hati. Ibu-ibu gendut ingin mengeluarkan kalimat bergurau

lagi. Berusaha mengendurkan ketegangan. Tapi urung. Berhitung cepat.

Berpikir cepat, memutuskan, "Sebentar Nyonya, saya ambilkan minuman,

ah-ya sekalian saya ambilkan kursi plastik dari bawah, lebih nyaman

bercakap-cakap sambil duduk...." Lantas melangkah cepat. Membiarkan

pembicaraan itu terjadi. Kehadirannya bisa saja malah malah membuat

Karang semakin sarkas. Masih lengang sejenak.... Hanya angin laut

menerpa lembut melalui jendela kamar. Terasa sejuk. Ibu-ibu yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 102: SMP KHADIJAH

menyebut dirinya Bunda HK melangkah mendekat. Berdiri di tengah

ruangan. "Kau tahu, nama putri kami Melati. Umurnya enam tahun.

Sungguh kanak-kanak yang amat menggemaskan. Wajahnya imut-bundar.

Rambutnya ikal mengombak. Pipinya tembam. Matanya hitam bagai biji

buah leci. Giginya, giginya lucu sekali,

seperti gigi kelinci. Kalau ia sedang berlari...." Bunda terhenti sejenak.

Menatap lamat langit-langit ruangan.

Bunda sebenarnya tidak tahu mau bilang apa (setelah Karang kasar

menyelanya tadi). Bunda pagi ini memutuskan untuk datang langsung

hanya ingin bertanya. Bertanya mengapa sedikit pun surat-surat itu tidak

ditanggapi. Ia tidak tahu seperti apa rupanya. Ia malah amat gagap saat

pertama kali melihat penampilannya. Ragu-ragu masuk ke kamar. Tapi

kabar itu tak akan keliru. Lihatlah, mata anak-muda ini begitu berbeda

(meski seluruh gesture dan gerak tubuh lainnya sama sekali tidak

menunjukkan sikap bersahabat). "Kalau, kalau ia sedang berlari, maka

seolah-olah waktu terhenti...." Bunda meneruskan kalimatnya, masih

menatap langit-langit kamar yang penuh jaring laba-laba, tersenyum getir,

"Semua kepala tertoleh, semua wajah terpesona menatapnya, waktu benar-

benar seoiah terhenti.... Melati sungguh kanak-kanak yang menggemaskan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 103: SMP KHADIJAH

Senyumnya, tawanya, wajahnya, semuanya...." Terdiam. Bunda menghela

nafas pelan, "Tapi itu dulu.... Sekarang seluruh kesedihan itu telah

mengambil semuanya. Tidak menyisakan apapun meski hanya seutas

benang harapan. Meski hanya seutas benang kecil seperti jaring laba-laba....

Putri kami berubah amat menyedihkan...." Karang tetap bisu di tepi

ranjang. Menatap tajam ke depan.

"Maukah kau membantu Melati, anakku?"

"Anak itu membutuhkan dokter, psikiater atau entahlah, Nyonya! Bukan

aku!" Karang menjawab kasar.

"Kami sudah mengundang berpuluh-puluh dokter.... Bahkan berpuluh-

puluh tim dokter ternama, tapi semuanya sia-sia-"

"Kalau mereka saja sia-sia, bagaimana mungkin Nyonya berharap kepada

seorang pemabuk sepertiku!" Karang menyeringai, sinis. Bunda terdiam.

Tertunduk. Menatap lantai kayu. Lengang. Benar juga. Kalau semua pakar

hebat itu gagal, kenapa pula ia pagi ini datang ke kamar pengap ini.

Lihatlah, pemuda ini jauh dari kesan yang dibayangkannya. Jauh dari

kesan cerita yang didengarnya. Bagai malaikat di mata anak-anak?

Pembuat keajaiban? Bunda menghela nafas pelan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 104: SMP KHADIJAH

Aku juga tidak tahu kenapa datang pagi ini, mengirimkan surat-surat itu.

Aku tidak tahu. Yang aku tahu, kami sudah tiba di batasnya. Sudah hampir

berputus-asa, jadi apapun kemungkinan yang tersedia, meski itu hanya

seujung kuku akan kami coba.... Aku tidak tahu kenapa harus berharap

padamu, anakku...."

"Jangan panggil aku anakku!" Karang mendesis.

Tegang....

"Maaf-"

"Nyonya hanya menghabiskan waktu datang kesini. Aku tidak bisa

membantu apapun...." "Kami mohon, tolonglah.... Putri kami amat penting

bagi kami.... Andaikata semua kesedihan ini bisa ditebus dengan seluruh

kekayaan keluarga kami.

akan kami berikan...." Bunda berseru putus-asa. "Penting? Omong-kosong!

Nyonya tidak akan meninggalkannya walau sekejap jika putri Nyonya

memang amat penting bagi Nyonya.... Lihatlah, Nyonya menghabiskan

waktu setengah jam sia-sia di kamar pengap siang ini, sedangkan putri

Nyonya sudah memecahkan dua jendela kaca di saat yang bersamaan...."

Karang tertawa kecil. Melambaikan tangannya, tidak peduli. Bunda HK

menelan ludah.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 105: SMP KHADIJAH

Sudah selesai. Pembicaraan ini sudah selesai. Kalimat sinis Karang barusan

menjadi penutup pembicaraan yang menyakitkan. Bunda HK pelan

mendesah. Menghela nafas sedih. Ia sungguh tidak tahu kenapa ia datang

kesini. Ia juga tidak tahu apakah ia pantas berharap kepada pemuda yang

penampilannya sama sekali tidak meyakinkan. Yang bahkan kasar sekali

adabnya. Ia hampir berputus asa, jadi apa saja kemungkinan yang ada

pasti dicobanya.

Bunda HK pelan beranjak balik-kanan. Menuju pintu kamar.

Karang mendengus tidak peduli. Ibu-ibu gendut yang sejak tadi

menguping di bawah anak tangga buru-buru hendak ke dapur.

Tapi entah kenapa mendadak Bunda menahan langkahnya.... Bunda entah

mengapa perlahan menoleh dengan tatapan terluka kepada Karang. Diam

sejenak. Menggigit bibirnya.... "Kau tahu. Melati buta, anakku...." Berkata

dengan suara bergetar.

"Melati buta! Ia tidak bisa melihat walau selarik cahaya.... Jikalau siapa saja

di dunia ini hanya buta, ia sungguh masih bisa mendengar, masih bisa

bicara, masih punya cara untuk mengenal dunia.... Tapi Melati juga tuli,

anakku.... Melati juga tuli. Ia tidak mendengar walau satu nada sekalipun....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 106: SMP KHADIJAH

Jikalau siapa saja di dunia ini hanya tuli, ia memang tidak bisa bicara, tapi

ia sungguh masih bisa melihat, masih punya cara untuk mengenal dunia...."

Bunda mulai terisak.

"Tetapi Melati buta dan tuli, anakku.... Melati buta dan tuli. Ia sungguh

terputus dari dunia ini.... Ia sempurna tidak memiliki cara untuk mengenal

walau hanya membedakan mana sendok, mana garpu, apalagi untuk

mengenal dunia dan se-isinya. Ia bahkan tidak pernah bisa membedakan

mana Bunda, mana Ayah-nya...." Bunda HK benar-benar menangis

sekarang.

"Melati, putri kami buta dan tuli, anakku.... Dunia sempurna terputus

darinya.... Ya Allah, apakah itu takdirMu? Apakah itu jalan hidup yang

harus dilalui Melati sepanjang umurnya? Jika iya, lantas bagaimanakah

nanti? Apakah di hari akhir nanti Kau tetap bertanya kepadanya? Meminta

pertanggung-jawaban kehidupannya? Ya Allah, Melati bahkan tidak

pernah mengenal Engkau! Jangankan shalat yang baik, menyebut namaMu

pun ia tidak mengerti...." Bunda benar-benar jatuh terduduk sekarang,

terisak dalam. Ya Allah, semua jaian hidup putrinya amat

menyesakkan.

Karang tetap menatap tajam ke depan. Tidak bergeming.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 107: SMP KHADIJAH

"Kami tidak meminta keajaiban Melati sembuh, ya Allah! Kami tidak

meminta keajaiban Melati bisa melihat dan mendengar lagi, karena itu

mustahil. Kami tahu itu.... Tapi kami hanya meminta keajaiban agar Melati

mempunyai cara untuk mengenal dunia ini. Mengenal Bunda dan

Ayahnya, dan... dan... mengenal Engkau ya Allah. Anak itu bisa dengan

baik mengenalMu....

Atau kami sungguh keliru. Harapan itu sama sekali tak pantas. Jangan-

jangan di kehidupan ini memang ada takdir seseorang yang digariskan

untuk tidak pernah mengenal siapa penciptaNya. Jangan-jangan kamilah

yang keliru. Melati memang ditakdirkan tidak akan pernah mengenal

dunia dan seisinya...."

Terdiam. Sedan Bunda memenuhi langit-langit kamar. Ibu-ibu gendut yang

sejak tadi sibuk menguping berdiri di bawah anak tangga ikut terpaku.

Menyeka ujung-ujung matanya. Karang hanya mematung. Mendesis dalam

hati, menyumpah-nyumpah dalam hati. Lihatlah, apakah hidup ini adil?

Apakah kehidupan ini adil? Jangan-jangan hanya lelucon yang tidak lucu?

Ada yang utuh memiliki seluruh panca inderanya, tapi tak sekejap pun

peduli dan bersyukur. Karang menggerung pelan.... Wajah kanak-kanak itu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 108: SMP KHADIJAH

melintas di matanya. Amat nyata. Amat dekat. Wajah-wajah pucat-pasi.

Tubuh-tubuh kecil yang

membeku. Wajah Qintan! Jemarinya yang biru, bibirnya yang pucat.

Seruan pelannya, "Qin-tan.... Qin-tan takut sekaii Kak. Karang-" Karang

tertunduk pelan. Apakah hidup ini adil? Dia berjanji menghabiskan

seluruh hidupnya demi anak-anak, tapi dia pula yang membunuh delapan

belas di antara mereka. Apa coba maksud takdir Tuhan seperti itu?

Gurauan? Bercanda? Bunda berusaha berdiri perlahan. Mengusap

matanya. Lantas pelan melangkah menuju anak-tangga berkeriut.

Berpapasan dengan ibu-ibu gendut yang tak kuasa 'kabur' agar tidak

ketahuan nguping. Bunda terus menuju mobil Porsche convertible yang

terparkir di gang sempit. Lima belas detik kemudian, mobil itu melesat

cepat membelah jalanan kembali ke lereng pebukitan. Sore itu rusuh sudah

di komplek perumahan padat itu. Bukan. Bukan rusuh di kamar

berukuran 6x9 meter. Karang yang tertunduk hanya mendesah pelan

(desahan pertamanya setelah tiga tahun), mengusap wajah kebasnya, lantas

merebahkan tubuhnya, kembali tidur. Ibu-ibu gendut itu juga urung naik

ke atas, kembali duduk di kursi goyangnya, meneruskan merajut (sambil

berpikir banyak hal). Yang rusuh itu adalah ibu-ibu tetangga sekitar. Wuih!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 109: SMP KHADIJAH

Barusan ada mobil super mewah terparkir di gang sempit mereka. Ada

Nyonya HK yang terkenal itu berkunjung. Jelas itu bahan gosip yang

mantap.

"Tahu nggak, sih? Tahu nggak, sih? Tadi ada tamu tob ke sini?"

"Sapa? Sapa?" Krsk, krsk, krsk (terlalu banyak yang mau nyela ngomong

duluan, jadi gelombang pemancarnya nggak jelas).

"Ergh, memangnya ada perlu apa keluarga kaya itu datang kemari?" Krsk,

krsk, krsk. "Katanya mau bakti sosial, bagi-bagi sembako-" Krsk, krsk, krsk.

"Oh-ya? Bagi-bagi semen sembilan kilo? Kapan?"

Malam datang menjelang. Satu hari yang indah lagi berlalu. Semburat

merah di kaki cakrawala sempurna digantikan gelap. Langit mendung,

gumpalan awan hitam menutupi gemintang dan purnama. Pertanda

hujan. Burung layang-layang yang ramai terbang di atas kota tadi sore

sudah memberitahu kabar itu. Meja makan itu kembali rusuh.

"Ma.... Ba... Maaa." Melati mengacak-ngacak mie goreng di piringnya. Sama

sekali tidak berminat untuk memakannya.

"Ayo sayang, dimakan!" Bunda tersenyum, membenarkan posisi piring

untuk ke lima kalinya dua menit terakhir.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 110: SMP KHADIJAH

"Baa.... Ba...." Melati tidak peduli. Mana pula ia mendengar. Mata hitam biji

buah lecinya berputar-putar. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Kalau saja

orang-orang tidak tahu keterbatasannya, maka Melati sungguh terlihat

menggemaskan nian di mata. Tidak ada yang menyangka anak ini buta

dan tuli (otomatis bisu pula).

Malam ini tidak ada Suster Tya. Tya tadi sore sepulangnya Bunda dari

perumahan gang sempit itu keburu minta ijin pulang lebih cepat. "Nenek

Tya sakit, Bunda!" (beberapa hari yang lalu Tya juga bilang, "Kakek saya

sakit!" "Bapak sakit" "Ibu sakit!" mendaftar sakit seluruh anggota

keluarganya). Bunda tersenyum, mengangguk mengijinkan. Ia tahu persis

alasan itu bohong. Tya semakin hari semakin tidak betah. Kemarin Melati

menjambak rambutnya. Dan tidak mau melepaskannya. Bingunglah Tya,

tidak mungkin ia kasar memukul Melati, kan? Beruntung ada Kinasih yang

memisahkan. Mie goreng itu berserakan di atas meja. Juga di bawah meja.

Bunda menghela nafas panjang. Memutuskan untuk membiarkan. Hari ini

terasa penat sekali. Tuan HK menatap prihatin, sekilas. Meneruskan

makan. Tidak banyak berkomentar. Langit semakin mendung.

Makan malam itu usai dalam hitungan menit. Bunda lembut membimbing

Melati masuk ke kamarnya. Hari ini Melati tidak terlalu aktif. Hanya tadi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 111: SMP KHADIJAH

siang ia sempat memecahkan dua jendela kaca. Itu yang ke lima sebulan

terakhir. Bunda menemukan Tya yang terluka lengannya, terkena serpihan,

sementara Melati menggerung di anak tangga pualam melingkar.

Bersungut-sungut. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar marah.

Bunda pelan membimbing Melati naik ke tempat tidur birunya. Melati

menurut. Mulutnya terus mengeluarkan suara. Merangkak menuju sudut

ranjang, posisi favoritnya. Memeluk lutut. Bunda

seperti biasa akan menemani hingga Melati sedikit tenang. Hingga mata

hitamnya mulai tertutup. Melati tidak suka di tepuk-tepuk seperti anak

lainnya. Ia akan berteriak marah. Jadi Bunda berbaring di sebelahnya.

Hanya menatap lamat-lamat wajah putrinya....

Petir menyambar. Gemuruh guruh mengisi langit. Dalam hitungan detik

tetes air pertama meluncur menuju bumi. Disusul ribuan tetes lainnya.

Hujan turun. Langsung menderas. Membuat orang-orang di jalanan lari

terbirit-birit. Menyumpah-nyumpah. Setengah jam, suara gerungan Melati

melemah. Matanya mulai terkatup satu-dua. Meski jemari tangannya di

balik selimut terus mengetuk-ngetuk dinding. Bunda memperbaiki posisi

selimut Melati. Tersenyum. Sudah saatnya meninggikan putrinya. Ia ingin

sekali mencium putrinya. Teramat ingin mengecup dahinya dan bilang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 112: SMP KHADIJAH

'Selamat bobo, sayang.' Tapi Melati tidak suka dicium. Ia akan berteriak-

teriak. Terjaga seketika. Langsung mengamuk.

Bunda menatap sekali lagi wajah Melati, lantas pelan melangkah keluar.

"Kau mau kemana, Karang?" "Pergi! Menghabiskan malam!" Karang

mendengus sebal. Kalau ada rekor pertanyaan paling bebal sedunia, maka

ibu-ibu gendut ini akan memegang rekornya. Setiap hari sibuk bertanya

pertanyaan serupa. 'Kau sudah bangun, Karang?' 'Kau mau kemana,

Karang?' 'Kau sudah makan, Karang?' Dan

seterusnya!

Karang merapatkan jaket hujannya. "Tidakkah kau mau memikirkan

permintaan Nyonya HK tadi siang?" Ibu-ibu gendut menatap lamat-lamat

Sepanjang hari, baru sekarang ia sempat membicarakan kejadian tadi

siang. "Nyonya itu datang ke tempat yang salah-" Karang melambaikan

tangannya, tidak peduli. "Tidak bisakah kau sekali saja melihat anak itu...."

"Buat apa?"

"Aku mohon, sekali saja kau melihatnya-Jika kau tetap bersikeras untuk

tidak membantunya, tidak masalah, sepanjang kau sudah melihat

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 113: SMP KHADIJAH

kondisinya langsung...." Ibu-ibu gendut berkata hati-hati, sesuai

rencananya.

"Tidak akan ada bedanya-" Karang mendesis jengkel, ia tahu sekali apa

maksud kalimat itu. Melihatnya! Lantas kemudian ikut bersimpati? Bah!

Terdiam sejenak. Karang bersiap membuka pintu. "Anakku.... Suamiku

dulu pernah bilang, dua puluh tahun dari sekarang, kita akan lebih

menyesal atas hal-hal yang tidak pernah kita lakukan, bukan atas hal-hal

yang pernah kita lakukan meski itu sebuah kesalahan.... Aku mohon, demi

sisa-sisa kebaikan itu, maukah kau pergi sekali saja melihat anak malang

itu!" Ibu-ibu gendut berkata pelan, suara hujan meningkahi suara

bergetarnya meski kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Karang.

Gerakan tangan Karang membuka pintu terhenti, menoleh tersinggung,

menatap amat tajam ke ibu-ibu gendut, mendesis, "Omong-kosong! Jangan

pernah ajari aku soal kesempatan Ibu.... Jangan pernah ajari aku tentang

penyesalan!. Jangan sekali-kali!"

Terdiam. Tegang. Bersitatap satu sama lain. Ibu-ibu gendut mengusap

matanya yang berair, "Aku tidak akan mengajarimu soal kesempatan,

anakku! Apalagi tentang penyesalan.... Kau tahu, aku tidak pernah

meminta kau melakukan apapun selama ini. Tidak pernah. Aku berjanji

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 114: SMP KHADIJAH

pada suamiku untuk tidak berharap budi dari kalian.... Tapi, malam ini

biarlah aku melanggar janji tersebut, aku mohon demi kebaikan suamiku

terhadapmu selama ini, maukah kau pergi sekali saja melihat anak itu?"

Karang sudah mendengus kasar. Membuka pintu, keluar. Lantas

membantingnya. Menyisakan keterkejutan (kaget mendengar suara pintu

dibanting keras) ibu-ibu gendut itu. Hujan turun semakin deras.

Lepas tengah malam. Bunda lagi-lagi keliru. Melati sama sekali belum

tertidur saat ia meninggalkannya. Melati sekarang justru seperti hari-hari

kemarin, turun dari ranjangnya. Melangkah menuju jendela kaca.

Tangannya meraba-raba sembarangan. Mata hitam biji buah lecinya

berputar-putar, mulutnya terbuka sedikit, memamerkan gigi kelinci....

Menyentuh dinginnya jendela kaca. Tampias air hujan dibawa angin

mengenai jendela terdengar bergemeletuk. Satu. Dua. Ujung-ujung jemari

Melati menggurat entahlah. Suaranya menggerung

pelan. Mukanya menempel pada kaca. Membentuk embun dari hembusan

nafas.... Tidak ada bedanya! Jika bagi penduduk kota hujan malam ini

membuat mereka nyaman di rumah, membuat tidur terasa lebih nikmat,

bagi Melati tak ada bedanya, Telinganya tidak mendengar buncah suara

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 115: SMP KHADIJAH

hujan menerpa genting, bebatuan, tembok, dan apalah, Matanya juga tidak

bisa melihat bilur-bilur air yang begitu menenangkan, kristal bening yang

menyimpan keniscayaan kebaikan langit, Melati tidak melihat, tidak

mendengar semua itu, Hujan deras ini tidak ada bedanya bagi Melati....

Baginya hidup hanya gelap. Hitam, Tanpa warna, Baginya hidup hanya

senyap. Kosong. Tanpa suara.

Pertemuan Pertama

Kejutan. Esok paginya banyak sekali yang terkejut!

"Ada tamu yang mencari Ibu!" Salamah terbirit-birit masuk ke ruang

makan memberitahu (soal terkejut, Salamah nomor satu).

Bunda yang sedang memperbaiki posisi mangkuk bubur Melati

mengangkat kepalanya. Sepagi ini? Ada yang mencarinya? Tuan HK ikut

menoleh ke Salamah. Tidak pernah ada tamu setahun terakhir datang

sepagi ini ke rumah. Siapa? "Ergh, orangnya seram, Bu-" Salamah

menyeringai, setidaknya soal deskripsi dan menilai kelakuan orang lain

Salamah objektif (maksudnya benar-benar melihat kulit luarnya doang).

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 116: SMP KHADIJAH

"Rambutnya gondrong, matanya iiih, nggak pake kedip-kedip. Mana semua

bulu di muka, eh maksud Salamah cambang dan kumisnya nggak pake

dipotong, pokoknya seram deh, Bu...." Bunda melipat dahi, bingung, meski

beberapa detik kemudian tersenyum. Mengerti siapa yang dimaksud

ekspresi Salamah. Benar-benar kejutan. Ia tidak tahu kenapa, atau

persisnya kemarin benar-benar

bingung apakah orang yang didatanginya tepat atau bukan untuk dimintai

pertolongan. Tapi dengan datangnya dia pagi ini, itu kabar baik (apapun

alasannya dia datang).

"Suruh tamunya masuk!" Bunda mengangguk ke Salamah.

"Ergh, masuk Bunda? Nggak salah? Orang seram gitu disuruh masuk?

Kalau kenapa-napa?" Salamah menyeringai bingung, menggaruk

rambutnya, mengusap celemek.

Bunda menggeleng. Memberi senyum perintah. Suruh tamunya masuk.

Salamah mengusap ujung celemeknya lagi, mengangguk, ia tidak perlu

disenyumi dua kali, langsung balik kanan. "Kau tahu siapa yang datang?"

Tuan HK bertanya. Bunda tersenyum, "Yang aku ceritakan beberapa hari

lalu-"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 117: SMP KHADIJAH

Tuan HK ber-oo pendek, tidak bertanya lagi. Meski dia tidak tahu

(sebenarnya lupa kalau Bunda pernah bercerita soal surat-surat yang

dikirimkan ke seseorang). Untuk urusan keterbatasan Melati tuan HK tidak

banyak bertanya. Dulu masih sering memberikan masukan, argumen, atau

entahlah, tapi lama-kelamaan istrinya mengambil alih-penuh apa saja yang

ingin ia lakukan. Tuan HK memutuskan memilih diam, khawatir

'keberatan' atau komentarnya akan menyakiti keyakinan istrinya tentang

janji kesembuhan Melati. Jadi seganjil apapun terapi yang ingin dilakukan

istrinya. Tuan HK hanya mengangguk. Termasuk, entahiah pagi ini siapa

yang datang!

"Ba... Ba... Maa...." Melati yang terlupakan mendesis memukul-mukul bubur

di atas mangkuk. Muncrat. Membasahi baju berenda putihnya. Tidak

peduli dengan percakapan barusan. Bunda tersenyum, lembut

memperbaiki mangkuk itu sekali lagi.

Cahaya matahari pagi menerabas jendela kaca. Membentuk garis indah di

lantai. Memanjang membelah meja makan seperti siluet anak-panah. Pagi

baru saja menjejak kota. Kesibukan orang-orang memulai hari. Beberapa

ekor burung gelatik terbang rendah di luar. Bernyanyi. Meloncat-loncat

riang di atas rumput taman. Mandi di air mancur berbentuk tiara lima

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 118: SMP KHADIJAH

tingkat. Berebut remah-remah roti yang dilemparkan Mang Jeje. Salamah

mempersilahkan tamu Itu masuk. Lima belas detik berlalu. Karang sudah

berdiri takjim di bawah pintu ruang makan. Menatap sekitar. Mata

tajamnya menyapu seluruh isi ruangan. Bunda dan Tuan HK menoleh. Pagi

ini, Karang datang mengenakan pakaian yang lebih bersih dari

kesehariannya. Sweater lengan panjang berwarna hitam. Celana katun juga

berwarna hitam. Tadi pagi sempat mandi (mandi pagi pertamanya setelah

tiga tahun). Menyisir rambut gondrongnya. Terlihat lebih rapi. Tapi

Salamah benar, meski penampilan Karang berbeda dari gaya resmi di

kamar pengapnya, eskpresi muka Karang yang 'tidak, bersahabat', mata

tajam, serta gesture tubuh yang kaku membuatnya tetap rada-rada seram

(apalagi buat Salamah yang terbiasa panik, mikir pesawat

terbang yang lewat saja pertanda serbuan kompeni).

"Selamat pagi!" Karang berkata pendek. Tanpa intonasi.

"Selamat pagi. Karang. Silahkan, anakku-" Bunda buru-buru berdiri,

tersenyum lebar, melangkah menyambut Karang.

"Kemari, silahkan bergabung dengan kami-" Karang melangkah masuk.

Ketukan sepatunya membungkus langit-langit ruangan. Matanya tak

berkedip. Tajam menatap.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 119: SMP KHADIJAH

"Ba.... Ba...." Melati masih sibuk dengan mangkuk buburnya.

"Ini, Karang, yang! Seperti yang kuceritakan beberapa hari lalu.... Ini

suamiku, Tuan HK!" Bunda tersenyum memperkenalkan Karang pada

Tuan HK. Tuan HK demi sopan-santun berdiri, menyalami tangan dingin

tanpa ekspresi itu, berpikir sejenak, bergumam dalam hati. Dia agak tidak

menyukai penampilan 'misterius' tamu di depannya. Tapi apa mau

dibilang? Istrinya sendiri menyambut dengan hangat....

"Dan, dan ini... inilah putri kami satu-satunya-" Bunda pelan menunjuk

Melati yang masih sibuk mengaduk-aduk mangkuk buburnya, masih

berusaha tersenyum lebar.

Karang menolehkan kepalanya. Menatap kanak-kanak itu....

Tajam. Bagai seekor elang dari atas pohon raksasa yang menatap kelinci

berlarian di padang stepa dua ratus meter jaraknya. Tanpa ekspresi.

Sedetik. Dua

detik. Lima detik. Lima belas detik. Setengah menit. Membuat Tuan HK,

Bunda, dan Salamah mengernyit bingung. Lantas menghela nafas tipis

sekali (tidak terdengar oleh siapapun kecuali oleh dirinya sendiri).

"Boleh aku duduk?" Berkata datar. Memutus keheningan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 120: SMP KHADIJAH

Bunda tersenyum, menarikkan kursi untuk Karang, kursi dekat Melati.

Memanggil Salamah mendekat, memintanya membawakan piring

tambahan, "Karang akan makan pagi bersama kita, tolong tambahkan

makanannya, Sala-"

"Aku tidak datang ke sini untuk meminta-minta sarapan, Nyonya!" Karang

mendesis pelan, memotong.

Bahkan Tuan HK ikut mengangkat kepala. Menatap wajah pemuda yang

meski intonasi kalimatnya barusan tidak kasar terdengar, isinya penuh

dengan ambigu makna 'menyebalkan'.

"Ee, ya, ya.... Baik. Ma-af. Piringnya urung, Salamah!" Bunda sedikit salah-

tingkah, banyak terkejutnya, meski tetap tersenyum lebar, melambaikan

tangan ke Salamah. Ia sudah berpengaiaman setengah jam berinteraksi

dengan pemuda ini kemarin sore, jadi sedikit lebih terbiasa dengan kata-

kata kasarnya. Berbeda dengan Tuan HK yang sekarang melipat dahi. Siapa

anak-muda tidak sopan ini?"

"Ba.... Baa.... Maa...." Melati masih sibuk. menumpahkan isi mangkuk

dengan adukan tangan. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar.

Mulutnya terbuka, memperlihatkan gigi kelincinya. Rambut ikalnya

bergoyang. Mana peduli (mana tahu") Melati kalau ada tamu di meja

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 121: SMP KHADIJAH

makan mereka pagi ini. Apalagi kalimat sinisme barusan. "Makannya yang

pelan, sayang!" Bunda tersenyum, memperbaiki posisi mangkuk yang

hampir jatuh di tepi meja.

"Ba.... Baaa...." Melati menghentak-hentakkan kakinya, sedikit marah

karena Bunda sempat menyentuh jemarinya, mengaduk bubur lebih

kencang, tumpah lagi mengenai baju putih berendanya. "Apakah ia selalu

makan seperti ini? Tidak ada bedanya dengan seekor binatang saat

makan?" Karang berkata dingin, memotong gerakan tangan Bunda.

Tuing! Tuan HK seketika meletakkan sendoknya, "Maaf, apa yang Anda

bilang barusan?" "Apakah ia selalu makan seperti binatang?" Karang

mengulang kalimatnya tanpa perlu merasa berdosa, tanpa merasa

bersalah.

Bunda pias, tersenyum kaku (lebih tepatnya

terkesiap), sedikit resah dengan tensi pembicaraan.

Bagian ini sama sekali belum ia ceritakan pada

suaminya. Bagian betapa kasarnya anak-muda yang

ada di hadapan mereka sekarang.

"Saya pikir Anda tahu kalau Melati buta dan tuli!

Saya pikir Anda tahu keterbatasan Melati.... Jadi,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 122: SMP KHADIJAH

makan seperti apa yang akan Anda harapkan

darinya?" Tuan HK berkata tajam.

"Anak ini memang buta dan tuli, Tuan! Tapi bukan

berarti ia tidak berotak, hanya binatang tidak

berotaklah yang tidak memiliki adab makan! Mengaduk-aduk

makanannya. Bahkan monyet terlatih pun bisa menggunakan sendok-

garpu!" Karang mendesis tidak kalah tajam-nya. Sedikitpun tidak

mempedulikan intonasi dan gesture wajah amat tersinggung Tuan HK

barusan. Bunda semakin salah-tingkah. Apalagi Salamah. Salamah sibuk

mengusap dadanya. Bersiap atas kemungkinan terburuk. Aduh, bentar lagi

bakal Bharatayuda, atau Bandung Lautan Api, deh.... Tuan HK yang tidak

mengerti siapa pemuda sok-tahu yang ada di ruang makannya pagi ini

menghela nafas, berusaha mengendalikan diri, meski separuh hatinya

benar-benar siap meledak. Belum pernah Melati dihina. Dan ia seumur

hidupnya memastikan tidak akan pernah ada yang berani menghina putri

semata wayangnya! Mencegahnya mengaduk-aduk makan saja sudah

membuat Tuan HK tersinggung (seperti yang dilakukan Tya). Lihatlah,

pagi ini ada yang benar-benar telah merobek kemarahannya.

Tapi sebelum Tuan HK memuntahkan kalimat

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 123: SMP KHADIJAH

kasarnya. Karang sudah terlebih dahulu menarik

tangan Melati dari mangkuk bubur.

"Makannya tidak boleh pakai tangan!" Karang

mendesis.

"BA! BAAA!!" Melati seketika berteriak marah, seperti ular diinjak ekornya,

mengamuk. Ada yang melanggar aturan mainnya.

"Ini sendok! KAU HARUS MAKAN DENGAN INI!" Karang tidak kalah

galaknya membentak.

Mencengkeram tangan-tangan Melati yang bagai belalai menggelepak

marah bergerak kemana saja. Meletakkan paksa sendok ke telapak tangan

Melati....

"BA.... MA.... BAAAA!!" Melati benar-benar mengamuk, seketika

membanting sendok yang diberikan. Tangannya liar mencari benda di atas

meja (untuk dibanting berikutnya). Kakinya menghentak-hentak lantai.

Mata hitam biji buah lecinya berputar cepat. Rambut ikalnya bergerak-

gerak oleh sengal nafas. "TIDAK BOLEH!" Karang lebih cepat.

Memindahkan mangkuk dari jangkauan Melati. Melati menggerung.

Memukul-mukul meja-makan. "HENTIKAN! KAU TIDAK BOLEH

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 124: SMP KHADIJAH

MELAKUKANNYA!" Karang menangkap tangan-tangan itu,

mencengkeramnya.

"LEPASKAN!" Tuan HK sudah membentak dari seberang meja. Ini benar-

benar berlebihan. Siapa pula pemuda aneh yang hanya dalam waktu lima

menit membuat kacau-balau sarapan mereka. Yang berani sekali

mencengkeram tangan Melati. Rusuhlah meja makan itu. Salamah yang

sudah dari tadi mengurut-urut dadanya ber-istighfar keras-keras macam

melihat bala monster raksasa berkepala tujuh berekor sembilan. Bunda

menatap bingung, mulutnya terbuka tapi tak mengucap kata apapun, apa

yang harus ia lakukan, apa yang harus ia katakan? Benar-benar kaget

dengan semua kejadian cepat ini. Kenapa jadi ricuh begini? Melati semakin

kencang berontak dalam

cengkeraman Karang.

"KAU! Kau tidak boleh makan jika tetap merajuk!" Karang berdiri.

"BAAA.... BAAAA!!" Melati berteriak galak. "Baik, kau sendiri yang

memintanya!" Kasar Karang menarik tubuh Melati. Bahkan menyeretnya,

menjauhi meja makan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 125: SMP KHADIJAH

Demi melihatnya Tuan HK benar-benar tersinggung. Ia ikut berdiri,

mendorong kursi ke belakang hingga jatuh terbanting. KLONTANG!

Salamah terperanjat, mengusap dadanya....

"LEPASKAN MELATI!" Tuan HK membentak. Karang sedikit pun tidak

merasa perlu menoleh Tuan HK, apalagi menuruti teriakan perintah

darinya. Tetap menyeret Melati menuju anak-tangga pualam. Melati

berontak sekuat tenaga, menendang sebisa kakinya, memukul sebisa

tangannya, tapi ia kalah tenaga. Karang sepenuh hati menyeret Melati ke

sudut ruangan. Lantas membanting Melati duduk di anak tangga pertama.

Gadis kecil itu terhenyak. Benar-benar terhenyak. Gerungan marahnya,

gerakan berontak tangannya, putaran mata hitamnya terhenti. Seketika....

Karang membantingnya terduduk! Belum pernah seumur-umur Melati

diperlakukan seperti itu. Ia memang tidak memiliki akses mengenal dunia

dan seisinya. Mata, telinga, dan semua tertutup baginya, tapi pagi ini ia

mengenal sesuatu yang baru: sakitnya dibanting duduk.

"APA YANG KAU LAKUKAN!" Tuan HK mendesis. Melangkah galak

mendekati Karang. Tangannya

mengepal. Rambutnya boleh jadi sudah beruban, otot-ototnya boleh jadi

sudah dimakan usia tengah baya, tapi pagi ini dia tidak akan segan-segan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 126: SMP KHADIJAH

berkelahi dengan tamu tidak tahu diuntung ini. Baru lima menit di ruang

makannya, berani sekali membanting putrinya terduduk.

"Apa yang aku lakukan? Aku mengajarinya, Tuan!" Karang berkata datar,

tidak kalah galak (tajam mengiris).

"KAU! SIAPAPUN KAU! PERGI DARI RUMAH INI!" Tuan HK kehabisan

kalimat mendengar jawaban dingin Karang. Apa barusan dibilang?

Mengajarinya? Ringan sekali pemuda ini mengatakan kalimat itu. Omong-

kosong! Bagaimana mungkin dia membiarkan ada orang sinting masuk ke

ruang makannya? Pelipis Tuan HK bergerak-gerak menahan amarah.

Bunda terbirit-birit di belakang, menyusul. Berusaha memegangi lengan

suaminya. Bunda kehilangan kata. Syok menyaksikan kejadian yang begitu

cepat. Syok melihat Melati dibanting. Syok melihat Melati yang sekarang

menggerung pelan di anak-tangga pualam. Memeluk lututnya. Kanak-

kanak itu tertunduk. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar pelan.

Sementara Karang tertawa kecil mendengar bentakan Tuan HK yang

mengusirnya. Melipat kedua tangannya di dada. Menoleh, menatap Melati

yang masih terduduk menggerung lemah, "Tahu atau tidak, hidup ini

penuh paradoks, Tuan.... Terkadang paradoks itu lucu sekali, terkadang

paradoks itu amat menjijikkan.... Tapi lebih banyak

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 127: SMP KHADIJAH

lagi paradoks itu sama sekali tidak bisa kita mengerti...

"Dua belas jam yang lalu, aku sedikit pun tidak tertarik untuk membantu

keluarga Anda, Tuan. Membantu anak ini. Apa peduliku? Hanya akan

menghabiskan waktu.... Aku sama sekali tidak berniat meski hanya

menjejakkan kaki di rumah mewah kalian. Percuma! Buat apa! Tapi pagi

ini, aku berubah pikiran.... Ya! Berubah pikiran begitu saja.... Sedetik yang

lalu aku sudah memutuskan membantu anak Anda!

"Jadi maafkan aku. Tuan! Dengarkan, ini aturan mainnya.... Karena aku

sudah memutuskan untuk membantunya, maka aku tidak peduli apakah

Tuan berkeberatan atau tidak dengan kehadiranku di sini. Tuan tidak bisa

mengusirku!" Karang melambaikan tangannya. Santai sekali, beranjak

hendak kembali ke meja makan.

"KAU.... SIAPAPUN KAU PERGI! PERGI DARI RUMAH INI!" Tuan HK

menggerung mengkal, benar-benar tersulut marahnya, seperti kucing yang

di injak ekor (terus kepalanya juga dipukul, disiram air seember pula).

"Sa-bar, yang! Sa-bar...." Bunda bergegas memegang lengan suaminya.

Berbisik bingung. Berkata bingung. Entahlah ia sedang membujuk

suaminya atau membujuk hatinya yang juga bingung. Setengah marah.

Setengah panik. Setengah tidak mengerti. Semuanya setengah-setengah.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 128: SMP KHADIJAH

Bunda kalut melihat keributan ini.... "SALAMAH, PANGGILKAN PENJAGA

DEPAN! SERET

KELUAR TAMU SIALAN INI!" Tuan HK meneriaki Salamah.

Salamah yang detak jantungnya bagai genderang dipukul dalam tempo

tinggi, terkaget-kaget mendengar namanya diteriaki. Sekejap sudah ngacir

lari ke depan. Ini namanya 'Darurat Militer'. Siaga Satu. Status Awas.

Entalah, apapun namanya.... Tuan HK melotot menatap Karang. Mereka

bersitatap satu sama lain. Bunda tetap memegang lengan suaminya.

Sedetik. Dua detik. Lima detik. Hanya hembusan kencang nafas Tuan HK

yang terdengar....

"Baik! Pagi ini aku akan pergi. Tuan! Tapi, besok aku pasti akan kembali.

Diminta ataupun tidak, kalian pasti membutuhkanku...." Karang mendesis

pelan, berhitung dengan situasi.

"Tapi sebelum aku pergi. Tuan lihat anak ini.... Terduduk sambil

menggerung marah! Kakinya menghentak-hentak lantai. Jemari tangannya

gemetar menggurat keramik. Lihatlah! Anak ini sama frustasinya dengan

kita, Tuan. Sama marahnya dengan kita.... Mungkin lebih frustasi! Lebih

marah dibandingkan siapapun.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 129: SMP KHADIJAH

"Tuan, bukan hanya kita yang lelah, anak ini juga juga lelah bertahun-

tahun lamanya. Merasakan keinginan itu memenuhi seluruh otaknya,

bertahun-tahun rasa ingin tahu itu membuncah setiap senti kepalanya,

bertahun-tahun mulutnya ingin bicara tapi hanya sengau yang keluar,

matanya ingin melihat tapi hanya gelap, telinganya ingin mendengar tapi

hanya senyap....

"Anak ini tidak pernah menemukan jawabannya. Tuan.... Ia tidak pernah

mendapatkan akses untuk tahu, tidak pernah mendapatkan cara untuk

mengenal apa yang ingin dikenalnya! Energi itu semakin lama semakin

besar. Menggelembung tak tertahankan. Rasa frustasi itu semakin lama

semakin sesak.... Sehingga berubah menjadi marah! Anak ini semakin

sering marah, bukan? Melempar apa saja sepanjang tahun ini.... Anak ini

sama putus-asanya dengan kita!

"Bedanya kita mengerti apa itu makna kata putus-asa! Anak Tuan tidak!

Sendok-garpu pun ia tidak mengerti!. Bedanya kita mengerti bagaimana

cara menyalurkan energi marah dengan baik, anak Tuan tidak! Ia benar-

benar frustasi, dan seseorang harus mengajarinya mengendalikan emosi

itu, seseorang harus mengajarinya menemukan cara agar ia bisa mengenal

dunia dan seisinya...." Karang membungkuk mengambil sendok yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 130: SMP KHADIJAH

dibantingkan Melati tadi, lantas kasar menunjukkannya ke depan wajah

Tuan HK.

Bunda menahan lengan suaminya....

Tuan HK menggerung, bersiap dengan teriakan

berikutnya-

"LIHAT SENDOK INI, TUAN!" Karang lebih dulu mendesis keras, "Anak

Tuan bahkan tidak tahu mana sendok, mana garpu! Tapi bukan berarti

anak Tuan tidak bisa diajari.... Masalahnya, kita belum tahu caranya!

ANAK TUAN MEMANG TULI DAN BUTA.... Anak Tuan memang memiliki

keterbatasan fisik, tapi bukan berarti ia memiliki keterbatasan

otaknya....

"Tahukah Tuan hal yang paling menyedihkan di dunia ini? Bukan! Bukan

seseorang yang cacat, memiliki keterbatasan fisik, bukan itu! Melainkan

seseorang yang sehat, normal, sempurna fisiknya, tapi justru memiliki

keterbatasan akal-pikiran. Bebal. Bodoh....

"Tidak. Itu tidak ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan. Itu lebih

karena perasaan sombong, angkuh, merasa paling hebat, sok-tahu dan

sebagainya. Penyakit keterbatasan akal pikirannya. Melati memang tuli dan

buta, tapi ia sama-sekali tidak memiliki keterbatasan akal pikiran.... "Pagi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 131: SMP KHADIJAH

ini demi melihat anak Tuan, aku berubah pikiran.... Ya, hidup benar-benar

penuh paradoks.... Pagi ini, aku memutuskan membantunya. Aku

bersumpah akan menemukan cara agar anak ini mengenal dunia dan

seisinya, menemukan cara agar ia bisa membedakan mana sendok, mana

garpu. Meskipun itu hal terakhir yang bisa kulakukan sebelum kematian...."

Karang menghentikan kalimatnya, menatap tajam tubuh Melati yang

masih bersimpuh di anak tangga pualam. Lengang.

Suara tajam Karang barusan menggantung di langit-langit kamar.... Bunda

menghela nafas pelan sekali. Tuan HK menggerung, berpikir entahlah. Tapi

senyap itu hanya sejenak, beberapa detik kemudian, dua penjaga depan

yang sterek terbirit-birit masuk ke ruang makan, diikuti oleh

Salamah yang juga sok-gaya membawa pentungan (pengki dan sapu ijuk

pula).

"Baik! Seperti yang kukatakan tadi, aku akan pergi!" Karang berkata pelan

sambil menatap penjaga-penjaga itu mendekat, tertawa kecil, "Tapi esok-

lusa, cepat atau lambat kalian pasti menghubungiku, anak ini

membutuhkanku! Aku akan membantunya. Suka atau tidak!" Dan Karang

melangkah rileks, menuju pintu keluar. Dua penjaga depan itu berusaha

memegang lengannya. Karang kasar mengibaskannya, menatap tajam.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 132: SMP KHADIJAH

Penjaga menoleh ke Bunda dan Tuan HK, meminta pendapat (maksudnya

apa perlu diseret keluar?) Bunda menggeleng. Biarkan saja. Salamah ber-

yaaa kecewa.

Semburat cahaya matahari di lantai semakin lebar. Membuat nuansa ruang

makan terasa begitu menyenangkan (andaikata tidak ada semua keributan

barusan). Burung gelatik tetap asyik bercengkerama di hamparan rumput

taman, mematuki remah-remah roti. Suara ketukan sepatu Karang

terdengar memenuhi sudut-sudut ruangan. Persis tiba di bawah bingkai

pintu ruang makan, langkah Karang mendadak terhenti. Entah kenapa

Karang membalik badannya, matanya menyapu seluruh ruangan sekali

lagi, lantas menatap tajam ke Melati yang masih memeluk lutut dan

menggerung pelan.

Karang memejamkan matanya, "Musim panas.... Pantai yang indah...."

Berkata pelan. Dengan intonasi suara bergetar.

"Payung-payung kanopi terkembang, warna-warni indah.... Capung

berterbangan..." Tangan Karang bergerak mengembang, menyentuh udara

di depannya, seolah hendak menangkap salah-satu capung yang

disebutnya dengan mata terpejam. "Kaki kecil melangkah riang, ombak

menjilati ujung-ujung tumitnya.... Kaki kecil berlari riang.... Menjejak pasir

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 133: SMP KHADIJAH

yang bagai es krim terhampar.... Jejak kaki.... Siluet bayangan badan....

Rambut ikal bergelombang.... Pita biru di kepala.... Boneka panda di

pelukan...."

Terdiam. Karang membuka matanya. Mata itu sekarang menatap redup

(meski tetap dingin). Menatap Bunda lamat-lamat.

"Melati tidak akan pernah bisa disembuhkan, Nyonya.... Ia seumur

hidupnya akan tetap buta dan tuli. Maafkan aku telah mengatakan kabar

buruk itu. Tapi kita bisa menemukan cara agar ia mengenal dunia ini.

Mengenal Tuhan, mengenal penciptanya yang tega sekali telah

menciptakannya dengan segala keterbatasan. Nyonya, aku bisa

membantunya, tapi kita punya aturan main.... Tidak ada protes, tidak ada

keberatan. Jika kau ingin aku melakukannya, turuti semua yang

kukatakan, biarkan semua yang ingin kukerjakan.... "Selamat pagi. Nyonya!

Kutunggu surat kesepakatan kalian besok pagi-pagi!" Dan Karang

melangkah anggun keluar dari ruang makan tersebut.

Malam sekali lagi datang. Satu hari lagi berlalu (tidak peduli kita suka atau

tidak dengan hari itu).

Hujan deras kembali menggantang kota. Padahal tadi burung layang-

layang menarikan formasi: 'tidak hujan". Ah, mereka kan juga sama

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 134: SMP KHADIJAH

dengan manusia, menebak! Hanya kuasa langit yang tahu pastinya akan

seperti apa. Jadi siapa bilang kalau hewan-hewan turun dari gunung itu

pertanda gunung akan meletus? Bisa saja hewan itu salah baca pertanda

alam, kan? Siapa bilang mereka 100% benar?

Lengang. Jalanan kota sepi. Hujan buncah membasuh trotoar. Ciprat.

Ciprat. Ciprat. Got mengeluarkan suara air deras mengalir. Bungg. Bungg.

Bungg. Dedaunan bergoyang terkena ribuan larik bilur air. Bak

penampungan air luber, ember-ember plastik melimpah.... Suara ketukan

mesin ketik tua itu terdengar berirama di sela-sela buncah suara air

hujan.... Daun jendela kamar itu terbentang lebar-lebar. Angin malam yang

dingin menderu masuk kamar berukuran 6x9 meter. Dari sini, kerlip

mercu suar di kejauhan terlihat syahdu, lampu perahu nelayan yang tetap

bertahan mencari nafkah, kapal ferry besar yang membuang sauh di

dermaga. Karang duduk bersila di atas ranjang kayu jati, mesin ketik tua

yang belasan tahun tak pernah disentuh itu tergolek di depannya. Putaran

kertasnya bergerak pelan seiring huruf demi huruf diketukkan. Tak! Tak!

Tak! Cengklang! Spasi baru. Jemari tangan kanan Karang menggeser

putaran. Baris baru. Paragraf baru.

Malam ini ada banyak sekali perubahan di kamar

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 135: SMP KHADIJAH

tersebut.

Malam ini ada banyak sekali yang dipikirkan Karang. "Ibu, dulu aku

pernah sendiri bertanya dalam geiap.... Apa beda sebutir air bening di

ujung daun dengan sebutir debu di dinding kusam? Dufu, tiada yang bisa

memberi jawab. Tidak ada. Hari ini aku menemukan sendiri jawabannya.

Apa bedanya? Tidak ada. Sama sekali tidak, ada bedanya.... Keduanya

sama-sama keniscayaan kekuasaan-Nya. Keduanya sama-sama men-

sucikan, meski hakikat dan fisiknya jelas berbeda.

"Ibu, dulu aku pernah sendiri bertanya dalam sesak.... Apa bedanya tahu

dan tidak tahu? Apa bedanya kenal dan tidak mengenal? Apa bedanya ada

dan tiada? Apa bedanya sekarang dengan kemarin, satu jam lalu, satu

menit lalu, satu detik lalu? Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Hari ini

aku juga tetap tidak, tahu begitu banyak, potongan pertanyaan. Tapi tak

mengapa. Setidaknya tetap bisa melihat, mendengar, dan terus berpikir.

Ada banyak yang tidak lagi. Tepatnya membutakan diri. Menulikan kepala.

Atau mem-bebalkan hati.... "Ibu, sudah lama sekali aku tidak merasakan

kekuatan itu.... Tadi pagi kekuatan itu kembali. Kembali begitu saja setelah

bertahun-tahun pergi dengan segala kesedihan. Begitu menghentak, begitu

mengejutkan, membasahi seluruh tubuh, merasuk, dalam segenap aliran

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 136: SMP KHADIJAH

darah. Aku bisa merasakannya lagi. Bisa berpikir, merasakan persis seperti

kanak-kanak yang ada di depanku.... Kekuatan itu kembali, Ibu...."

Ketukan huruf demi huruf terhenti sejenak. Karang mengusap dahinya

yang berkeringat. Angin malam yang dingin (bersama bulir air hujan yang

terbawa) tidak membantunya banyak. Kepalanya yang terus bekerja

membuat kelenjar keringatnya juga bekerja keras. Sudah lama dia tidak

menuliskan sesuatu.... Padahal dulu hampir setiap malam dia menulis apa

saja. Menuliskan rencana-rencana besar itu. Menuliskan cerita-cerita untuk

anak-anak di Taman Bacaan. Apa saja.

Lebih banyak lagi menulis tentang kerinduan itu! Menyebut nama Ibu di

dalam semua catatan harian, menyebut nama seseorang yang tidak pernah

dikenal sepanjang hidupnya sebagai yatim-piatu (selain ibu-ibu gendut,

istri pemilik rumah singgah yang baik hati). Malam ini, entah apa sebabnya

keinginan menulis lagi semua kerinduan itu kembali, jemarinya menuntun

mengetikkan apa saja yang selama tiga tahun sesak terpendam. Bukan!

Bukan hanya tiga tahun, tapi nyaris sepanjang hidupnya.... Tadi pagi ibu-

ibu gendut pemilik rumah benar-benar terkejut saat melihat Karang turun

mandi pagi! Ingin bertanya. Ingin tahu. Urung. Memutuskan hanya

memperhatikan sambil tersenyum. Menyiapkan sarapan. Karang sama

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 137: SMP KHADIJAH

tidak-pedulinya seperti hari-hari kemarin, sama sinisnya dalam

percakapan, tapi ia tahu, Karang akan pergi ke rumah lereng bukit itu.

Apapun yang akhirnya membuat Karang pergi tidak penting, yang penting

perkembangan ini menarik, menyenangkan. Ibu-ibu gendut bergumam

riang, menahan diri bertanya

kenapa, takut merusak kabar baik yang sedang dilihatnya.

Semalam ibu-ibu gendut tidak tahu kalau Karang pulang lebih cepat.

Menjelang tengah malam Karang sudah kembali. Jadi amat terkejut, saat

bersiap mengantarkan termos baru berisi air panas ke kamar atas. Karang

justru menuruni anak tangga berkeriut (ia pikir anak-muda itu masih tidur

tertelentang seperti biasa).

Angin menderu melewati bingkai jendela. Karang menyentuh kembali

mesin ketik tuanya.... "Ibu, saat menatap wajah kanak-kanak itu seperti ada

sejuta voltase listrik yang menyentrum mata.... Seperti ada seribu jarum

akupuntur yang menusuk, badan. Benar-benar membuat sesak.....

Seandainya kau ada di sini untuk, tahu dan melihat sendiri perasaan

seperti itu! Saat aku menyentuh jemarinya, seluruh perasaan itu buncah

memenuhi kepala. Saat aku menyentuh kulitnya seluruh tubuh merinding

oleh perasaan gentar.... Ibu, kekuatan itu akhirnya kembali...."

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 138: SMP KHADIJAH

Suara ketukan huruf demi huruf terus terdengar. Tak! Tak! Tak!

Cengkiang! Spasi baru. Baris baru. Paragraf baru.

Karang menyeka sekali lagi dahinya. Terdiam sejenak. Menatap langit-

langit kamar. Sudah lama sekali hatinya tidak selega ini. Tidak. Belum

sempurna lega. Masih banyak pertanyaan. Masih banyak sesak penyesalan.

Bahkan baru saja wajah membeku, tangan membiru, kepala terkulai

Qintan melintas di pelupuk matanya. Baru saja serunai

kesedihan tiga tahun lalu itu terdengar, melesat mengukir visualisasi

sempurna di depannya. Tapi sekarang dia tidak mendesah tertahan,

Karang hanya menghela nafas pelan.... Di lantai bawah ibu-ibu gendut

meneruskan rajutan. Tersenyum tipis mendengar suara ketukan mesin

ketik. Berkata lirih, "Terima kasih, Tuhan...." Ia tahu dirinya tidak akan

pernah bisa membujuk Karang untuk berubah. Tidak dengan kalimat

kalimatnya. Bukan karena percakapan mereka. Tuhan pasti melibatkan diri

dalam urusan ini. Dan memang begitulah urusan ini....

Kemarin malam, ketika Karang yang sebal karena bar langganannya

kehabisan stok minuman keras favorit-nya, lantas bersungut-sungut

memutuskan pindah ke bar lain, ketika itulah Tuhan mengambil alih

urusan ini.... Karang tidak sengaja berpapasan dengan pemandangan yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 139: SMP KHADIJAH

menyedihkan itu. Dua tua renta (sebenarnya tidak serenta yang terlihat)

dikerubuti oleh remaja tanggung anak jalanan, dekat pintu keluar bar.

Tanpa perlu bertanya, Karang tahu kedua tua renta itu peminta-minta.

Karang juga tahu apa yang sedang terjadi. Mereka sedang berusaha

mempertahankan kantong uangnya dari anak-anak jalanan (dia juga dulu

pernah melakukan hal itu). Apa daya, jumlah dan tenaga dua tua renta

kalah jauh. Mereka hanya bisa mengeluh tertahan saat kantong uang hasil

mengemis seharian itu berpindah tangan, satu di antara mereka malah

jatuh terjungkal di parit jalan. Malam itu, entah mengapa kadar tinggi

sinisme dan

tidak peduli Karang menguap, dia malah ringan-hati

menjulurkan tangan, berusaha membantu salah

seorang dari mereka yang barusan terjerambab ke

parit berisi air-limbah kotor dan bau.

"PERGI SANA! Kami tidak membutuhkan bantuan

pemabuk sepertimu!" Salah seorang dari mereka

menghardik marah, justru mengibaskan tangan

Karang. Mungkin karena mencium bau alkohol yang

keluar dari mulut Karang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 140: SMP KHADIJAH

Karang melipat dahi. Menarik tangannya.

"Kalian selalu merasa harus memberikan pertolongan

kepada orang-orang seperti kami, selalu merasa

kasihan... tapi kalian lupa kalian-lah yang terlihat

normal tidak kurang satu apapun yang sebenarnya

lebih membutuhkan pertolongan di dunia ini. Lebih

patut dikasihani...." Tertawa, orang yang jatuh ke

parit barusan tertawa sinis, sambil menepuk-nepuk

baju basah berlendirnya, berdiri tertatih di trotoar

jalan.

Karang terdiam. Bukankah tiga tahun terakhir dia-lah yang sarkas pada

orang lain? Lah, malam ini justru ada orang lain yang mengeluarkan

kalimat-kalimat sok-tahu menyebalkan itu padanya? Dia menelan ludah,

memutuskan beranjak pergi tidak peduli. Mendengus sebal. Tapi saat

itulah dia menyadari sesuatu, kedua tua renta itu cacat, pasangan cacat

yang ganjil sekali. "Apa yang kau tunggu. Segera minggir dari hadapanku!"

Orang yang tadi tertawa sarkas, mendorong kasar tubuh Karang yang

masih menghalangi langkahnya.

"Kau... Kau bu-ta?" Karang bertanya, sedikit terbata.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 141: SMP KHADIJAH

"Apa kau tidak pernah melihat orang buta hingga harus bertanya

memastikan! Atau kau sudah terlalu mabuk hingga tidak tahu?" Tertawa

menyebalkan. Karang mendengus sekali lagi.

"Ya! Aku buta, temanku yang satunya tuli.... Pasangan yang hebat sekali,

bukan? Dia meminjamkan matanya kepadaku agar kami bisa berjalan,

sementara aku meminjamkan mulutku padanya agar kami bisa bicara...

Dan malam ini, kami berdua harus meminjamkan uang kepada

berandalan sehat-bugar tadi.... Malam ini, kami berdua juga harus

meminjamkan penjelasan padamu yang jelas-jelas terlihat lebih pintar....

Benar-benar lelucon kehidupan yang hebat, bukan?" Orang buta itu

tertawa dengan intonasi suara amat menyebalkan. Menggerakkan tangan

kepada temannya yang bisa melihat, menyuruhnya segera beranjak pergi

dari trotoar itu. Temannya yang dia bilang tuli (tapi bisa melihat)

melangkahkan kakinya. Menyibak tubuh Karang yang masih terdiam

menghalangi. Dan sekejap....

Kesadaran itu datang (tepatnya dikembalikan"). Bagai anak panah yang

melesat dari langit. Jutaan jumlahnya. Sekejap semua perasaan itu

dipulihkan. Mengungkung Karang seperti air terjun besar, dan dia duduk

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 142: SMP KHADIJAH

persis di bawahnya. Membuat kuyup. Membuat basah. Karang mengusap

dahinya. Berpegangan pada tiang lampu trotoar jalan. Ya

Tuhan, dia pernah mengenali perasaan seperti ini. Dia amat mengenalinya.

Kerinduan itu. Kerinduan....

Malam-malam gelap anak jalanan. Perkelahian. Mencuri. Malam-malam

gelap sesak dengan banyak pertanyaan. Kerinduan kepada Ayah-Ibu yang

tidak pernah dimilikinya.... Rasa iri ketika hari lebaran tiba, menatap anak-

anak yang beruntung berbaris menuju lapangan. Pakaian baru. Mainan

baru. Makanan berlimpah.... Perasaan ini! Kerinduan atas hidup yang lebih

baik. Berbagi. Merasa cukup. Sumpahnya untuk membalas seluruh

kehidupan sesak itu. Dendam yang menjelma begitu hebat. Janjinya untuk

menukar seluruh masa depan dan kebahagiaan dunia.

Menukarnya demi kanak-kanak.... Membangun belasan Taman Bacaan,

mengajarkan anak-anak sejak kecil betapa indah berbagi, betapa indah

merasa cukup, betapa indah bekerja keras kemudian bersyukur atas

apapun hasilnya. Ya Tuhan, dia pernah mengenali perasaan ini. Dulu dia

tidak mengerti, ketika kuasa langit menukar seluruh janji jual-beli itu

dengan kekuatan itu. Jual beli yang menguntungkan....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 143: SMP KHADIJAH

Benar! Karang lebih mengenal kanak-kanak dari siapapun. Dia seperti

ditakdirkan untuk mengerti mereka. Itu anugerah baginya. Kehadirannya

membuat anak-anak yang sedang bertengkar berhenti dengan sendirinya,

kehadirannya membuat anak-anak yang sedang menangis berhenti

seketika, hanya dengan sentuhan....

Sentuhannya menenangkan!

Karang mendesah panjang.... Terhuyung, terus berusaha berpegangan

pada tiang lampu trotoar jalan. Malam semakin tinggi. Jalanan kota

semakin lengang. Bintang-gemintang membentuk formasi indah. Bulan

sabit menggantung mempereloknya. Malam itu kesadaran tersebut

dikembalikan. Sejak tiga tahun lalu, ketika dengan mata-kepala sendiri dia

harus menyaksikan sendiri takdir menyakitkan itu. Menatap wajah kanak-

kanak yang dicintainya mengambang tak berdaya. Tubuh-tubuh kecil yang

dingin-membeku. Bibir pucat. Jemari biru.... Karang tertatih, memutuskan

untuk, pulang.

Hujan semakin deras. Malam semakin tinggi. Bulan-bulan ini memang

musim penghujan, jadi seluruh penduduk kota maklum dengan jadwal

rutinnya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 144: SMP KHADIJAH

Ruang tidur besar dan mewah itu lengang. Dinding-dinding tebal

meredam suara hujan dari luar. Menyisakan irama pelan pengantar tidur.

Tapi belum ada di antara mereka yang sudah tertidur. Tuan HK akhirnya

mendesah, menoleh menatap istrinya yang memeluk guling

membelakanginya.... "Apa yang sedang kau pikirkan, yang?" Tuan HK

bertanya pelan.

"Tidak ada-" Bunda juga menjawab pelan. Tuan HK meletakkan buku tebal

yang dibacanya. Dia tahu persis apa yang sedang istrinya pikirkan. Mereka

sudah tinggal satu atap lebih dari seperempat abad. Pasti ada kaitannya

dengan

keributan tadi pagi di meja makan. Keributan yang membuat Tuan HK

sepanjang hari uring-uringan. Staf di pabrik sampai harus menyalakan

kode: bahaya satu. Dia sepanjang hari berteriak, marah, mengomel dan apa

saja setiap bertemu dengan staf-nya.

Tuan HK menatap punggung istrinya, menghela nafas. Dia selama ini

sudah berusaha untuk tidak banyak mencampuri rencana istrinya

mengatasi keterbatasan Melati, tapi kalau istrinya sampai berharap banyak

pada pemuda sialan tadi pagi, jelas itu keliru.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 145: SMP KHADIJAH

Yang, kalau kau tetap tidak mau mengatakan apa yang sedang kau

pikirkan sekarang juga, aku terpaksa mencekikmu, menutup wajahmu

dengan bantal, hingga kau mau mengaku...." Tuan HK mengancam, lembut

menjawail telinga istrinya, lantas pura-pura mengangkat bantal. Bunda

menoleh, membalik badannya, tersenyum menatap ekspresi sok-galak Tuan

HK. Mereka bersitatap sejenak. Tertawa lemah satu-sama-lain.

"Tidak bisakah kau memberikan kesempatan pada anak muda itu?" Bunda

menatap lamat-lamat wajah suaminya. Langsung ke pokok permasalahan,

mengatakan apa yang ada di pikirannya. Tuan HK menghela nafas. Tadi

pagi mereka sudah membicarakan ini. Dan keputusannya sudah jelas.

TIDAK BOLEH. Apa yang diharapkan istrinya dari pemuda itu? Orang

pertama yang berani sekali telah membanting Melati terduduk.

"Kita bisa memanggil lagi tim dokter dari Singapore, yang! Atau tim dokter

dari Jerman saat aku pergi ke sana minggu depan. Mereka pasti lebih

hebat, lebih canggih."

Bunda menggeleng. Kita sudah berpuluh kali melakukan itu. Sia-sia.

Terdiam sejenak. Tuan HK mengelus pipi istrinya, "Kau tahu, kita sudah

bertahan dengan baik atas segala kesulitan ini.... Aku bahkan sedikit pun

tidak bisa membayangkan harus melaluinya sendirian tanpa kau.... Kau Ibu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 146: SMP KHADIJAH

yang baik bagi Melati, bagi keluarga ini.... Aku sungguh mencintaimu,

yang!" Bunda tersenyum. Mengangguk. "Tidak bisakah kau memberikan

kesempatan seminggu saja pada anak muda itu?" Bertanya lagi. Tuan HK

menghela nafas. Dia pikir, kalimat 'romantis'-nya barusan akan membuat

istrinya mengalah, mengurungkan membujuknya. "Apa yang kita

harapkan dari pemuda aneh itu, yang?"

Bunda menelan ludah. Terdiam. Apa yang diharapkannya? Kemarin, saat

pertama kali mendatangi kamar itu, melihat betapa pengap dan joroknya

kamar itu, betapa berantakan dan awut-awutan pemuda itu (Heran lagi), ia

sama sekali tidak berharap banyak. Malah berpikir salah orang. Tapi

setelah menyaksikan sendiri beberapa hal ganjil sepanjang hari ini. Ia tidak

tahu apa penjelasan baiknya.

"Apa yang aku harapkan.... Entahlah! Aku tidak tahu, yang. Hanya saja aku

sungguh tidak

mengerti, bagaimana pemuda itu tahu? Bagaimana dia tahu kejadian tiga

tahun lalu.... Dia menyebutkan kejadian itu. Persis. Detail." Bunda terdiam

sejenak. Sesak oleh perasaan gentar (sebenarnya rada-rada takut; semua

terasa ganjil sekali), sesak mengenang kejadian itu. "Musim panas.... Pantai

yang indah.... Payung-payung kanopi terkembang, warna-warni indah....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 147: SMP KHADIJAH

Capung berterbangan.... Kaki kecii melangkah riang, ombak menjilati

ujung-ujung tumitnya. Kaki kecil berlari riang.... Menjejak, pasir yang bagai

es krim terhampar.... Jejak kaki.... Siluet bayangan badan.... Rambut ikal

bergelombang. Pita biru di kepala. Boneka panda di pelukan...."

Kalimat Karang tadi pagi seolah mengiang di langit-langit kamar.

"Anak muda itu tahu persis! Seperti berada di sana. Seperti melihat sendiri

semua kejadian.... Dan kau tahu," Bunda menelan ludah, terhenti sejenak,

"Anak muda itu bilang tentang dua jendela kaca yang dipecahkan Melati

saat aku menemuinya kemarin pagi. Itu benar-benar terjadi. Dua jendela

kaca...."

Tuan HK mengusap dahi. Dia tidak tahu soal jendela kaca itu. Tapi dia

mendengar sendiri kalimat Karang tadi pagi. Hanya dia, istrinya, dan

sembilan pembantu di rumah ini yang tahu detail kejadian itu. Tiga tahun

lalu, saat keluarga besar mereka berlibur di Palau, Mikronesia. Dia juga

sama bingungnya, bagaimana caranya pemuda itu tahu? Bukankah itu

tidak masuk akal? Tapi membiarkan dia mengajari Melati? Tuan HK

terdiam sejenak. "Aku mohon, yang. Seminggu saja. Jika Melati tetap tidak

mengalami kemajuan, aku sendiri yang akan memintanya pergi, baik-

baik!" Bunda menyentuh lembut lengan suaminya, mendesah berharap.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 148: SMP KHADIJAH

Tuan HK menatap lamat-lamat wajah istrinya. Mengusap dahi wanita yang

amat dicintainya. Berpikir. Menghela nafas....

Lengang. Meski di luar sana hujan tetap buncah menggantang kota. Meski

di kamar lantai dua, Melati seperti biasa menyentuh jendela kaca yang

berembun dengan tangan bergetar ingin tahu.... Apa ini? Terasa

menyenangkan, terasa nyaman....

Satu Minggu Berlalu

Esok harinya. Karang tiba di rumah besar lereng bukit saat senja

membungkus kota. Ketika lautan terlihat Jingga. Ketika matahari dengan

penuh khidmat bersiap menghujam bumi di balik pegunungan. Karang

datang membawa koper berukuran sedang yang sudah kusam, tua

dimakan waktu. Juga menenteng mesin ketik tua itu. Bunda tersenyum

riang menyambut di depan pintu. Salamah takut-takut menawarkan diri

membantu membawakan tasnya, "Urus saja pekerjaanmu. Tanganku masih

lebih dari sehat untuk membawa sendiri semuanya!" Karang mendesis,

menatap tajam. Salamah langsung menciut. Berjinjit undur ke belakang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 149: SMP KHADIJAH

Tadi pagi, Bunda mengirimkan surat yang 'menyepakati' banyak hal.

Sebenarnya satu hal. Tapi isi satu kesepakatan itu adalah ia tidak akan

protes, tidak akan banyak bertanya. Jadi itu sama saja Bunda telah

menyepakati banyak hal, karena ia tidak tahu apa yang direncanakan oleh

Karang. Tuan HK semalam akhirnya mengalah, untuk kesekian kalinya.

Memberikan kesempatan selama

seminggu.

Setengah jam yang lalu, di komplek rumah dengan gang-gang sempit, ibu-

ibu gendut menahan haru berusaha memeluk Karang saat dia berpamitan

pergi. Karang bilang dia akan tinggal di rumah besar itu untuk sementara.

Karang mendelik kasar, menghindari pelukan itu. Ibu-ibu gendut menyeka

matanya, tersenyum salah-tingkah, lirih berkata, "Kau pasti bisa membantu

banyak anak itu.... Pasti...." Karang sudah melangkah keluar pintu,

melambaikan tangan, lupakan saja! Inilah aturan main yang diinginkan

Karang. "Aku menginginkan kamar terpisah dari kalian, Nyonya!" Sambil

melangkah mengikuti Bunda di sepanjang koridor lantai satu.

Bunda mengangguk. Kamar tamu di lantai atas memang sudah terpisah.

Tidak masalah benar. "Aku tidak mengijinkan siapapun masuk ke

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 150: SMP KHADIJAH

kamarku, Nyonya! Aku tidak makan bersama kalian, kecuali sarapan,

antarkan makanan ke kamar, letakkan di depan pintu."

Bunda mengangguk. Juga tidak masalah. "Sekali lagi, tidak ada protes,

tidak ada keberatan. Apapun yang Nyonya lihat atas apa yang aku lakukan,

yakinlah itu belum tentu seperti yang Nyonya bayangkan.... Dan apapun

yang Nyonya lihat atas apa yang tidak aku lakukan, yakinlah itu belum

tentu seperti yang Nyonya pikirkan! Mengerti?"

Bunda mengangguk. Meski tidak mengerti benar apa maksud kalimat itu.

Tetap tersenyum penuh

penghargaan. Hanya Salamah yang nyengir sendirian. Ingat cerita

kakeknya tentang serdadu kompeni yang hobi banget nakut-nakutin

penduduk inlander alias pribumi: "Pasat pertama, kompeni tidak pernah

saiah; Pasai kedua, jika serdadu kompeni membuat kesalahan lihat pasal

pertama!" Langit semakin merah. Karang melempar kopernya ke atas

ranjang setelah mendesis, "Tidak ada!" pada Bunda yang bertanya, "Apa

ada yang bisa kubantu sore ini?" Bunda beranjak pergi. Kamar itu tidak

sebesar kamar milik di rumah ibu-ibu gendut. Tapi jelas tidak pengap.

Karang tidak peduli dengan fasilitas mewah itu, malah mematikan

pendingin ruangan. Membuka jendela lebar-lebar. Pemandangannya

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 151: SMP KHADIJAH

terbentang sama seperti kamar pengap. Menghadap persis ke persawahan,

perkotaan, dan hamparan laut.

Karang menatap tajam siluet pemandangan hebat itu. Tanpa ekspresi.

Tanpa berkedip. Burung camar melenguh di kejauhan. Pulang setelah

seharian lelah mencari ikan.... Sebuah kapal ferry besar yang lampu-

lampunya menyala indah merapat di dermaga yang beranjak remang.

Membawa orang-orang pulang dari merantau. Karang mengusap pelan

dahinya yang berkeringat. Dia juga selama ini lelah mencari, telah pergi....

Sudah lama tidak merapat pada 'dermaga' yang jelas dan terlihat. Semoga

besok atau lusa. Tuhan berbaik hati memberikan kesempatan menemukan

jawaban, penjelasan, atau entahlah atas kejadian menyedihkan itu....

Karang tiba-tiba mendesis, mengkal sendiri. Sejak kapan

coba dia mulai memikirkan kalimat puitis seperti dulu?

Malam pertama. Tidak banyak yang dilakukan Karang. Dia lazimnya

seperti penghuni baru, tidak sok-sibuk mengenalkan diri ke anggota

keluarga rumah besar lainnya. Malah mendesis galak saat Bunda

menawarkan diri untuk memandunya melihat-lihat rumah. "Tidak ada

yang sedang plesir di rumah ini, Nyonya! Terakhir kalian berwisata,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 152: SMP KHADIJAH

bukankah berubah menjadi menyakitkan?" Bunda undur diri, menelan

ludah, meski tetap berusaha tersenyum lebar. Kembali ke ruang makan.

Makan malam bersama suaminya. Malam itu Karang hanya duduk di atas

ranjang barunya. Mengurung diri. Mesin ketik tua itu tergeletak di

hadapannya. Langit terlihat cerah dari bingkai jendela. Bintang-gemintang

menghias angkasa. Bulan sabit terlihat semakin membesar. Tuan HK di

meja makan bertanya, "Apakah pemuda itu sudah tiba?" Bunda

mengangguk, tersenyum. Semuanya akan baik-baik saja.

Melati seperti biasa mengaduk-aduk makanan. Menggerung pelan. Mata

hitam biji buah lecinya berputar-putar. Menumpahkan butir nasi ke mana-

mana. Tuan HK balas tersenyum tanggung kepada Bunda, setidaknya

malam ini masih baik-baik saja. Tuan HK enggan meneruskan

pembicaraan. Dia tidak mungkin kan bertanya, "Kenapa anak muda itu

tidak ikut makan malam bersama mereka sekarang?" Jelas-jelas dia justru

berharap pemuda sialan tersebut tidak ada di

rumahnya.

Sementara Salamah sibuk ber-gosip tentang anggota keluarga baru mereka

di dapur dengan pembantu lain, "Orangnya seram...." "Seram apanya,

Salamah? Biasa saja, kok. Hanya gondrong doang!" Mang Jeje menyela.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 153: SMP KHADIJAH

"Ergh, pokoknya seram.... Macam serdadu kompeni dulu!" Salamah ngotot

menjelaskan. Yang lain hanya bersitatap tanggung satu-sama lain. Tidak

mengerti di mana miripnya anak-muda itu dengan serdadu kompeni?

Lagian memangnya Salamah pernah lihat kompeni? Mang Jeje undur diri,

menguap (sebenarnya malas melanjutkan acara gosip-gosip-gosip itu).

Ah, setidaknya malam itu, rumah mewah itu masih terlihat tenang.

Dan Tuan HK benar sekali. Hanya malam pertama semuanya baik-baik

saja. Esok, saat sarapan, situasi dengan segera tidak menjadi baik-baik saja.

Keributan itu hanya menunggu hitungan detik terulang lagi.

"BA.... BA.... MAAAAA!!" Melati berteriak. Kencang sekali. Seperti hendak

meruntuhkan langit-langit ruang makan. Membuat seluruh peserta makan

di meja besar tersebut mengernyit.

"KAU HARUS MAKAN DENGAN SENDOK!" Kecuali Karang yang justru

mendesis galak padanya! Tidak kalah kencangnya.

"BAAA!" Melati berniat melempar sendok itu. Terlambat, gerakan tangan

Karang lebih cepat.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 154: SMP KHADIJAH

Sama lebih cepatnya ketika tadi Melati hendak melempar piring di

hadapannya. Karang mencengkeram kasar tangan Melati. Merebut kembali

sendoknya.

"MAKAN DENGAN SENDOK!" Menghardik.

"BAAAA!!" Melati berteriak. Ngamuk. Mana mau

menurut.

"Baik! Kalau kau tidak mau. Tidak mau makan dengan sendok. Itu berarti

tidak ada sarapan pagi ini!" Karang berdiri marah, menyeret paksa Melati.

Bunda menggigit bibir demi melihatnya. Tuan HK mendesis, meski

sekarang tidak bisa melakukan apapun. Mereka sudah bersepakat, kan?

Salamah, entahlah apa yang sedang dipikirkan Salamah, yang pasti

wajahnya sebal sekali melihat Karang. "BA.... MA.... BAAA....!" Melati

berontak, tangan kanannya yang bebas berusaha memukul, kakinya

berusaha bertahan dari seretan.

Menghentak-hentak keramik.

Karang tidak peduli, seperti menyeret boneka besar, terus melangkah ke

pojok ruangan. Ke anak tangga pualam.

"IKUT DENGANKU!"

"BA.... BAAAA!!" Melati tersengal.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 155: SMP KHADIJAH

"BAA.... MAAA...." Tubuh Melati terseret tanpa

ampun, kakinya terantuk-antuk, lutut dan

pantatnya menghantam keramik. Sakit.

Bunda tertunduk dalam, tidak tega melihat putrinya

yang meronta-ronta. Tuan HK mengatupkan rahang.

"KAU! Duduk di sini hingga kami selesai sarapan!"

Karang mendesis galak, lantas membanting tubuh

kecil itu duduk.

"Ba.... B-a-a-a-" Melati terhenyak. Teriakan marahnya tertahan. Seruan

sebalnya terhenti. Mengernyit sakit untuk ke sekian kalinya. Kali ini Karang

membantingnya lebih kuat. Lebih sakit. "Ba.... Baaa...." Melati menggerung

pelan. Melati tertunduk. Kafan! Melipat kaki, memeluknya. Seperti

seseorang yang duduk kedinginan di dekat api unggun. Merapatkan

tubuhnya di pojokan anak tangga pualam. Rambut ikalnya bergerak-gerak

oleh nafas yang tersengal. Ia marah sekali (kalau ia mengerti apa perasaan

itu), tapi ia juga bingung dengan situasi baru yang dihadapinya. Kenapa

semua berubah menjadi seperti ini? Kenapa harinya jadi menyebalkan

(kalau ia sekali lagi mengerti jenis perasaan itu)? Gelap. Hitam. Senyap.

Kosong. Hatinya dingin oleh berjuta pertanyaan.... "KAU! Sebagai

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 156: SMP KHADIJAH

hukuman, kau tetap di sini hingga sarapan selesai!" Karang mendelik

marah. "Baa.... B-a-a...." Melati menggerung lemah, suara gerungan itu

terdengar serak menyedihkan. Tubuhnya bergetar, semakin rapat memeluk

lututnya.

"Well, kalau sudah begini kita bisa melanjutkan

sarapan tanpa gangguan menyebalkan itu lagi!"

Karang tanpa dosa, kembali duduk di kursinya,

berkata sambil tersenyum lebar menatap Bunda dan

Tuan HK. Rileks tanpa beban.

Bunda menggigit bibirnya. Tertunduk.

Tuan HK mendesiskan sumpah-serapah dalam hati.

Lengang. Lima detik. Lima belas detik. Setengah

menit....

"Aku sudah selesai." Tuan HK mendorong piringnya (yang masih setengah

penuh). Bangkit dari duduknya.

Bunda mengangkat kepalanya. Sudah selesai? "Aku pergi ke pabrik, yang!"

Tuan HK mengangguk patah-patah pada istrinya. Lantas bergegas

melangkah menuju pintu keluar.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 157: SMP KHADIJAH

Bunda mengangguk pelan. Menatap punggung suaminya lamat-lamat.

Menelan ludah. Suaminya pasti amat jengkel hingga mencium keningnya

pun tidak sempat sebagai tanda berpamitan. Bunda menoleh menatap

nanar Melati yang masih menggerung serak di pojok ruangan dekat anak

tangga pualam. Berdiri. Panggilan ke-ibuannya memerintahkannya untuk

mendekati Melati. Bunda ingin memeluknya. Berbisik menenangkan,...

"Biarkan ia sendirian di sana, Nyonya!" Karang berkata tajam.

Menghentikan gerakan tubuh Bunda. "Eee, hanya, aku hanya ingin-"

"Tidak boleh ada yang menemaninya. Biarkan ia sendirian. Nyonya!"

Karang berkata semakin tajam. "Ma-af!" Bunda menyeka dahinya setelah

terdiam sejenak, kembali duduk. Menatap Karang yang santai sekaii duduk

di depannya. "Bisa ambilkan sup jagung lagi, Nyonya? Ternyata enak

sekaii...."

Sesiang itu hanya saat sarapan Karang bersama Melati. Sisanya dia

mengurung diri di kamar. Mengeluarkan botol minuman keras yang

dibawanya. Satu gelas di malam hari. Satu gelas di siang hari. Tentu saja

Karang masih mabuk. Itulah gunanya peraturan yang dia buat: Tidak

boleh ada yang masuk ke kamarnya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 158: SMP KHADIJAH

Mengetik beberapa lembar entahlah. Lantas terkapar tertidur. Hingga sore

datang menjelang. Sudah lama dia tidak tidur lelap. Kali ini tidurnya tanpa

interupsi mimpi-mimpi buruk itu. Bunda mulai mengerti soal kalimat

Karang: jangan protes apa yang tidak dia lakukan. Ia hendak bertanya

kenapa Karang tidak mulai mengajari Melati tentang apa saja sepanjang

siang. Bukankah begitu lazimnya kalau dia ingin membantu Melati.

Setidaknya menemani atau mengawasi Melati, mengajarinya entahlah,

melakukan apalah, yang penting melakukan sesuatu, bukan hanya

mengurung diri di kamar.... Tapi Bunda urung bertanya, ingat perjanjian

itu.

Melati ditemani Suster Tya yang terlihat amat tersiksa, karena mendadak

Melati sepanjang sisa hari lebih aktif dibandingkan sebelum-sebelumnya.

Melati seperti hendak membalas perlakuan yang diterimanya saat sarapan

tadi pagi. Melempar apa saja. Menjambak rambut Tya. Berteriak. Belari

tersuruk-suruk ke sana ke kemari. Benar-benar mengamuk....

Lepas malam. Karang akhirnya keluar kamar menemui Bunda, itu pun

hanya untuk berkata sepotong kalimat, "Besok, aku ingin anak itu makan

terpisah dengan kalian."

Bunda hendak bertanya mengapa? Bukankah Melati

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 159: SMP KHADIJAH

tidak pernah makan terpisah dari mereka selama ini. "Lakukan saja-"

Karang mendesis, mengusap rambut panjangnya. Matanya terlihat sedikit

merah, tubuhnya terhuyung.

Bunda mengangguk. Sambil mengeluh dalam hati. Apakah anak-muda di

hadapannya mabuk seperti yang dilihatnya di kamar pengap beberapa hari

lalu? Sedikit cemas melihat Karang yang melangkah tak-seimbang. Bunda

berusaha tetap tersenyum ramah. Setidaknya dengan makan di ruang

terpisah, suaminya tidak perlu menyaksikan pemandangan menyedihkan

itu secara langsung. Tuan HK yang berusaha memasang wajah senormal

mungkin saat berpapasan dengan Karang di koridor atas mengernyitkan

dahi. Apa dia tidak salah lihat. Tapi urung bertanya. Mungkin hidungnya

keliru. Tidak mungkin ada yang berani mabuk di rumahnya....

"B-a-a-a...." Melati menggerung. "Apa yang hendak kau keluhkan! Makan

saja sarapan-mu!" "B-a-a-a...."

"DIAM, MELATI! Di sini tidak ada Ibu-mu! Juga tidak Ayah-mu! Buat apa

kau mengeluh!" Karang menghardik, tidak peduli, meneruskan menyendok

semangkok pasta mie di hadapannya. "Baaa...." Tangan Melati yang tadi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 160: SMP KHADIJAH

tersimpan di bawah meja mulai terangkat menjulur-julur. Mata hitam biji

buah lecinya berputar cepat. Gigi kelincinya bergemeletuk.

"Pakai sendokmu!" Karang berkata tajam. Menghentikan makan.

Pagi ini, seperti yang diinginkan Karang, Melati sarapan di ruang makan

terpisah. Ruang makan kecil yang berbatasan dengan dapur dan ruang

makan utama. Di meja yang juga kecil, hanya Melati dan Karang, dengan

dua mangkuk pasta mie yang disiapkan Salamah. Melati seperti biasa

makan sambil berdiri. Tadi sempat mendongak bingung. Sempat terdiam

bingung.

Ada sesuatu yang berbeda pagi ini.... Tangannya terus terjulur.

"Bukankah sudah kubilang! Pakai sendokmu!" Karang membentak.

Memukul meja.

"BAA...." Melati juga mulai ikutan berteriak, getaran meja yang dipukul

seperti kode morses yang memancing sinyal marah.

Tadi pagi saat Bunda membimbingnya turun dari ranjang, menuruni anak

tangga pualam, menuju meja makan untuk sarapan, ia sudah merasakan

ada sesuatu yang ganjil. Berbeda, semua terasa berbeda. Tidak ada tangan

lembut itu.... Lihatlah, Bunda (si tangan lembut itu) hanya bisa menatap

dari balik pintu kaca. Karang melarang siapa saja masuk ke ruangan itu.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 161: SMP KHADIJAH

Menyuruh Bunda meneruskan sarapan bersama Tuan HK. Tapi

bagaimanalah bisa? Bunda terlanjur cemas, terlanjur bingung. Jadi

bukannya menemani Tuan HK, ia sibuk mengintip dari balik pintu kaca.

Sementara Tuan HK bergeming sendirian di meja makan ruangan besar,

mengunyah makanan seperti mengunyah ampas.

"PAKAI SENDOKMU!"

"Baaa...." Melati tidak peduli (tepatnya mana pula ia bisa mendengarkan

teriakan Karang), tetap menjulurkan tangan ke mangkuk pasta. Bersiap

mengaduk-aduk makanan.

"PAKAI SENDOKMU, MELATI!" Karang memukul meja sekali lagi. Lebih

kencang.

"BAA...." Melati yang kembali merasakan meja bergetar berteriak.

Karang mendorong kursinya ke belakang, gesit menangkap tangan Melati

yang bersiap menyambar mangkok di hadapannya.

"BAAA.... MA.... BAAA!!!" Melati berteriak-teriak. "INI SENDOK- INI

GARPU! Pakai ini jika kau ingin makan!" Karang mencengkeram tangan

Melati, memaksanya memegang sendok-garpu itu. Sia-sia. Yang dipaksa

justru berontak marah. "Tidak ada sarapan jika kau membantingnya*."

Karang mengancam.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 162: SMP KHADIJAH

"BAAA...." Hanya dalam hitungan detik, Melati yang sedikit pun tidak

peduli membanting sendok-garpu itu. Terpelanting. Membal di atas

keramik mahal. Bunda yang mengintip dari pintu kaca ruangan mendekap

mulutnya.

"BAIK! KALAU BEGITU TIDAK ADA SARAPAN PAGI INI!" Karang kasar

menyeret Melati. Untuk ketiga kalinya dalam tiga hari terakhir.

"BAAA.... BAAA.... MAAA...." Melati berontak lebih berani. Lebih kuat. Ia

sudah tertatih! Cengkeraman Karang terlepas. Kanak-kanak kecil itu

berhasil meloloskan diri, berusaha cepat

menyeret kakinya, berlari, entah menuju ke mana. Tangannya terjulur ke

depan, meraba-raba udara. Mata hitam buah lecinya bersinar-sinar marah.

Gerungan Melati, gerakan tangannya yang bak moncong tapir mencari

semut di dalam lubang, langkah kakinya yang melangkah membabi-buta,

rambut ikalnya yang bergoyang-goyang, semua itu terlihat menyedihkan.

Kalau kalian tidak tahu apa keterbatasan Melati, melihatnya sekarang

persis seperti melihat kanak-kanak normal lainnya yang sedang merajuk.

Berusaha lari menghindar dari hukuman. Tapi pemandangan ini beratus

kali lebih menyedihkan (ah-ya, paradoks, bukankah kalian justru

cenderung jengkel saat melihat kanak-kanak menangis di bus umum, di

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 163: SMP KHADIJAH

dalam kereta, di stasiun, dan entahlah?). "GEDEBUK!" Kaki Melati

tersangkut sandal kepala kelincinya sendiri. Tubuh kecil itu terbanting

tanpa ampun di lantai.

"Me-la-ti-" Bunda berseru, mendekap mulutnya. Lantas sedetik kemudian

berusaha mendorong pintu kaca.

Karang mendelik marah ke Bunda. Tidak, ada boleh yang masuk.

"Ba.... Baaa...." Melati merintih, gadis kecil itu mengeluh.

Tidak. Melati tidak menangis. Sejak tiga tahun lalu ia kehilangan kosa-kata

menangis. Ia tidak mengerti apa itu menangis? Sejak tiga tahun lalu ia

tidak pernah melihat dan mendengar orang menangis, jadi bagaimana ia

akan meniru (dan tahu itu cara

terbaik untuk membujuk orang dewasa). "Ba.... Maaa..." Melati tertatih,

berusaha berdiri. Kali ini ia tidak akan menyerah begitu saja. Sayang, ia

terjatuh lagi. Kakinya yang sakit tak kuasa menopang tubuhnya. Melati

menggerung serak. "Jangan masuk, Nyonya!" Karang mendesis. Membuat

langkah Bunda tertahan. Sejenak. Lengang. Tegang. Bunda mengusap

dahinya, lantas mengalah kembali ke balik pintu kaca. "Dengarkan aku!

Kau sendiri yang memintanya. Jangan salahkan aku.... Tidak ada sarapan.

Tidak adai Kau tetap disitu selama kau tidak mau menggunakan sendok-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 164: SMP KHADIJAH

garpu!" Karang berteriak tidak peduli pada Melati yang masih terbaring di

atas karpet, lantas kembali duduk di kursinya, santai meneruskan sarapan.

Melati menggerung lemah. Memeluk lututnya. Pagi ini, tidak ada pojok

ruang makan tempat biasanya ia bersembunyi, tidak ada anak tangga

pualam tempat biasanya ia sendirian. Bahkan lantai keramiknya pun beda.

Tidak ada tempat biasa ia menggurat motif-motifnya. Gelap. Hitam.

Senyap. Kosong....

Hanya itu yang ada di kepalanya.

Dan Karang mendadak merubah lagi peraturan berikutnya.

Makan siang. Makan malam, Melati harus bersamanya. Karena Melati tetap

keras kepala seperti sarapan, itu berarti sepanjang hari ia tidak menyentuh

makanan apapun. Bahkan dalam artian

sebenarnya. Benar-benar tidak menyentuh, karena Karang selalu

merenggut piring dari hadapannya, setiap kali tangan Melati terjulur ingin

menjamah makanan tersebut dengan jari-jarinya. Berteriak, "Sendok! Ini

Sendok, Melati!" "GUNAKAN SENDOK!" "SENDOK, MELATI!!"

Melati menggerung marah. Percuma. Mana pula ia mendengar-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 165: SMP KHADIJAH

"Tidak ada Ibu yang akan mendengarkanmu.... Tidak ada! Bahkan Ayah-

mu pun tidak ada di sini! Percuma kau merajuk memeluk lutut! Tidak ada

gunanya!" Karang acuh tak acuh, meneruskan makannya. Bahkan santai

mengambil 'jatah' makanan Melati.

"Bu, apa tidak sebaiknya orang aneh ini kita usir saja?" Salamah yang

ngintil berdiri di belakang Bunda berbisik pelan. Mereka berdua mengintip

dari balik kaca pintu ruang makan terpisah itu. Bunda menghela nafas

pelan. Tidak menjawab. "Kan kasihan Melati, dari tadi pagi nggak

makan...." Bunda mau bilang apa? Kasihan? Lihatlah, putri semata

wayangnya duduk menjeplak di sudut ruangan, baju putih bertali yang

dipakainya terlipat di sana-sini, berantakan, gadis kecilnya memeluk lutut,

menggerung pelan, seperti lebah.... Rambut ikalnya bergerak-gerak oleh

sengal nafas. Tadi Karang tega memukul kencang tangan Melati yang

hampir berhasil melempar piring.... Pasti sakit sekali. Mata hitam biji buah

leci kanak-kanak itu berputar pelan. Redup. Melati sungguh tidak tahu apa

masalahnya. Yang ia tahu masalahnya: perutnya terasa lapar.

Sudah hampir 24 jam ia tidak makan. Di mana makanan (yang entah apa

namanya) itu. Bukankah selalu ada ketika tangannya menjamah. Lantas

memasukkannya ke mulut sembarangan. Tumpah di mana-mana. Di mana

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 166: SMP KHADIJAH

makanannya.... Tangan Melati meraba-raba dinding ruangan. Apakah ia

sendirian? Di mana sentuhan lembut itu (gadis kecil itu mencari Bunda)?

Di mana sentuhan lembut yang setiap hari selalu menuntunnya turun dari

ranjang? Bukankah dulu ia bisa makan tanpa masalah.

"Ba-a-aaa-aaa." Melati menggerung serak. Tubuhnya bergerak-gerak. Maju-

mundur.

Maju-mundur. Lantas tersungkur lemah di pojok ruangan, lelah.

Bunda sudah mengusap sudut-sudut matanya. Bertahanlah anakku,

bersabarlah.... Berbisik lemah, menguntai doa. Bunda sungguh tidak tahu

apa maksud semua ini. Dia juga tidak mengerti mengapa Karang begitu

keras kepala menyuruh anaknya makan memakai sendok-garpu. Apa

bedanya dengan tangan? Apa bedanya? Yang penting Melati bisa makan.

Ya Allah, tidak masalah putrinya makan dengan tangan, mengaduk-aduk

makanannya seperti binatang, jika untuk melatihnya makan dengan baik

harus melalui semua hal menyakitkan ini. Sungguh, tidak masalah....

Bunda sekali lagi mengusap sudut-sudut matanya. "Bu, apa perlu Salamah

yang ngusir tamu aneh ini?"

Bunda menggeleng. Tidak. Ia tidak akan melakukan itu. Meski ia tidak

mengerti apa gunanya proses belajar ini, ia menyimpan harapan besar.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 167: SMP KHADIJAH

Besaaar sekali. Kata seseorang, pemuda ini bagai malaikat di mata anak-

anak.... Pemuda ini bahkan bisa membuat seorang anak yatim-piatu

lumpuh-layu bisa berdirii....

Hanya dengan cerita yang didongengkan setiap malam. Hanya dari cerita

yang menumbuhkan semangat. Membuat anak itu akhirnya bisa bertari....

Bunda tidak tahu kenapa harus berharap banyak dengannya. Ia juga tak

mengerti apa yang sedang diajarkan pemuda ini kepada putrinya. Yang ia

tahu, hatinya sekarang sesak melihat Melati tersungkur memeluk lututnya.

Menggerung pelan.... Pintu kaca ruang itu terbanting pelan. Karang keluar

dari ruangan.... Sudah selesai makan matam. Bunda yang tidak sempat

memperhatikan sedikit tergagap, apalagi Salamah yang dari tadi sibuk

melirik Bunda.

"Ka-mi sudah selesai makan. Waktunya Melati tidur, Nyonya! Jangan coba-

coba memberinya makan sembunyi-sembunyi.... Salamah, kalau kau berani

memberinya makan walau sepotong roti kupotong kedua-belah

tanganmu!" Karang mendesis, menatap tajam kepada Salamah.

Salamah mencicit. Habis sudah keberaniannya tadi yang sempat sok-gagah

bilang, "Apa perlu Salamah yang ngusir?"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 168: SMP KHADIJAH

Bunda menggangguk pelan. Melangkah masuk ke ruangan. Melati masih

menggerung. Bunda bergetar

mendekati putrinya.

"Waktunya tidur, sayang-" Bunda berbisik serak, merengkuh tubuh Melati

yang terlipat. Penuh kasih-sayang.

Biasanya, Melati tidak suka dipeluk. Melati benci sekali tubuhnya

dipegang-pegang (kecuali hanya dibimbing tangannya). Tapi hatinya yang

setengah jam, ah, tepatnya sepanjang hari bertanya-tanya di mana tangan

lembut itu lelah untuk marah. Gadis kecil itu malam ini menurut. Bahkan

reflek memeluk leher Bunda. Melati menggerung pelan, seperti kanak-

kanak yang sedang berbisik mengadu, "Bunda, tadi tangan Melati dipukuli

Sakit sekali...." Dan Bunda seketika menangis menatap wajah mengadu

Melati....

Menciumi wajah putrinya, seperti tidak pernah berjumpa berpuluh-puluh

tahun.... Bertahanlah anakku.... Bertahanlah! Bunda tersedu. Semoga janji

kemudahan Tuhan akhirnya datang. Semoga keajaiban itu akhirnya tiba....

Bunda berbisik di tengah sedannya. Kanak-kanak itu menggerung lemah.

Kepalanya terkulai di leher Bunda. Salamah? Sudah dari tadi ikut menyeka

pipinya. Melangkah memberesi meja makan sambil menangis. Menatap

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 169: SMP KHADIJAH

sedih piring-piring kosong itu. Ia kan masak bukan buat tamu sialan itu.

Ruang keluarga rumah besar itu lengang saat Bunda melangkah

menggendong Melati. Tuan HK yang sedang mengerjakan sesuatu di meja

kerja menatap lamat-lamat istrinya. Menghela nafas. Tuan HK meski tidak

mendengarkan cerita langsung dari

istrinya tentang kelakuan Karang seharian, dia mendapatkan akses

informasi itu dari Salamah (yang tiga jam sekali rusuh menelepon ke

pabrik, dengan suara panik). Tapi apa yang bisa dia lakukan? Mereka

sudah bersepakat memberikan waktu seminggu kepada pemuda sok-tahu

itu! Ini baru dua hari! Dan kondisinya benar-benar tidak baik-baik saja....

Malam itu, langit lagi-lagi cerah. Bintang gemintang bersinar elok. Bulan

sabit semakin besar. Melati tidak seperti malam-malam sebelumnya

langsung jatuh tertidur.... Ia lelah. Juga lapar. Karang sudah duduk di kursi

dalam kamarnya, menatap lautan luas. Kerlip lampu nelayan menambah

pesona pemandangan. Menghabiskan bir di gelas kecil. Terbatuk pelan.

Persetan dengan semuanya. Mendengus marah. Persetan! Sekejap barusan,

siluet kejadian tiga tahun lalu kembali memenuhi sudut-sudut matanya.

Itulah sebabnya jendela di kamar pengap itu tidak pernah terbuka selama

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 170: SMP KHADIJAH

tiga tahun. Setiap kali melihat laut, kenangan itu kembali bagai peluru

yang ditembakkan.

Karang melempar sembarang gelas plastik ke sudut kamar. Melangkah

sedikit terhuyung ke ranjang. Menyambar mesin ketik tua. Memasukkan

buru-buru selembar kertas kosong. Sedikit miring posisinya. Tidak peduli.

"Ibu, rasa nyaman selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya,

kami sering kali tidak.

tahu kalau kami sudah terjebak oleh perasaan nyaman itu.... Padahal di

luar sana, di tengah hujan deras, petir, guntur, janji kehidupan yang lebih

baik. boleh jadi sedang menanti. Kami justru tetap bertahan di pondok reot

dengan atap rumbia yang tempias di mana-mana, merasa nyaman, selalu

mencari alasan untuk berkata tidak atas perubahan, selalu berkata 'tidak'....

Ibu, rasa takut juga selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya,

kami sering kali tidak tahu kalau hampir semua yang kami takuti hanyalah

sesuatu yang bahkan tidak, pernah terjadi.... Kami hanya gentar oleh

sesuatu yang boleh jadi ada, boleh jadi tidak. Hanya mereka-reka, lantas

menguntai ketakutan itu, bahkan kami tega menciptakan sendiri rasa takut

itu, menjadikannya tameng untuk tidak mau berubah...."

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 171: SMP KHADIJAH

Suara ketikan huruf demi huruf memenuhi langit-langit kamar. Tak! Tak!

Tak! Cengklang! Spasi baru. Baris baru. Paragraf baru. Karang menyeka

keringat di dahi. Menghela nafas panjang, kepalanya sedikit nyeri.

Menyeringai sebal, beranjak menuju meja kecil, menuangkan botol bir ke

gelas kecil.

Malam ini, dua gelas tak. apalah! Besok, bisa beli botol baru-

"PYAR!" Piring itu menghantam dinding ruangan. Bunda di balik pintu

kaca mendekap mulutnya, terkesiap.

Salamah memegang ujung-ujung baju Bunda. Menahan nafas.

"KAU MARAH? INGIN MELEMPAR SEMUANYA? BERANI SEKALI!!"

Karang berteriak. Mencengkeram lengan Melati.

Pagi ini, ada perubahan besar.

Melati entah-kenapa akhirnya memutuskan untuk melawan. Pagi ini

gerakan tangannya yang sembarangan lebih cepat menyambar piring

makanan di atas meja (tanpa perlu prolog mengaduk-aduk makanan itu

terlebih dahulu). Langsung melemparkannya seketika. "KAU INGIN

MELEMPARKANNYA? SEPERTI INI??" "PYAR!" Karang mendesis galak,

melemparkan piring miliknya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 172: SMP KHADIJAH

Bunda semakin pias.

"DUDUK DI POJOK RUANGAN!" Karang membentak. "BAAAA.... BAA....

MA...." Melati melonjak-lonjak. Tangan kanannya meninju sembarangan.

Terkena pelipis Karang.

Karang meringis, lumayan sakit. Siapa bilang tinju

kanak-kanak tidak sakit. Karang mendengus.

Memukul keras tangan itu. Tidak peduli. Menyeret

kasar Melati menuju sudut ruangan.

"BA.... MA.... BAAAA!!" Melati berteriak-teriak

kencang.

Perubahan kedua, Melati entah kenapa, juga tidak terduduk diam saat

Karang membantingnya di pojok ruangan. Kali ini ia langsung berdiri.

Tidak ada lagi duduk memeluk lutut itu. Tidak ada gerungan serak itu.

Melati terhuyung langsung berusaha berdiri.

Tangannya meraba-raba dinding, melangkah sembarangan. Mata hitam

biji buah lecinya berputar-putar amat benci. Rambut ikalnya bergerak-

gerak.

"Apa yang kau lakukan?" Karang mendesis, menelan ludah, tidak

menyangka kanak-kanak itu seketika berdiri.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 173: SMP KHADIJAH

"BA.... BA.... MAAA!!!" Melati berseru-seru, tangannya menggapai-gapai

udara mencari. Ia mencari tangan lembut itu. Ia ingin mengadu. Ia mencari

perlindungan.

Bunda demi melihat gerakan tubuh Melati, sudah menangis tersedan di

balik kaca pintu. Mendekap wajahnya.

"BA.... BAAA...." Melati terantuk ke sana-ke mari.

"Berhenti!" Karang galak mengejar.

"BA.... BAAA...." Melati terus melangkah sembarang

arah.

"BERHENTI!!!"

Ya! Melati seketika berhenti, tapi bukan karena mendengar teriakan

mengancam Karang, mana pula gadis kecil itu bisa mendengar. Melati

berhenti karena kakinya tersangkut karpet ruangan. Tubuhnya terbanting.

Jatuh tanpa ampun. "Me-la-ti,-" Bunda berseru tertahan, membuka pintu.

Salamah mengurut dadanya.

Tidak. Melati tidak menggerung tertahan, lantas memeluk lututnya, gadis

kecil itu berdiri lagi, tidak kenal menyerah....

"BA.... M-A-a-a-a...." Menggerung, meski dengan suara lebih pelan. Terus

berlari ke sana- ke mari

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 174: SMP KHADIJAH

meski lututnya gemetar sakit sekali.

Sayang, Karang berhasil mengejarnya. Menangkap

lengannya.

Melati jatuh, terduduk.

"BA.... B-a-a-a-a!" Suara kanak-kanak itu serak. Tenaganya habis,

tangannya yang dicengkeram Karang terasa sakiiit sekali. Matanya

berputar-putar semakin lemah.

"B-a-a-a-..." Menggerung lirih.

"Apa yang tadi kau lakukan? Marah! Berteriak! Memaki-maki!

Menyumpah-nyumpah! Mencoba lari?" Karang galak membentak.

"Apa yang tadi kau lakukan?" Karang menekankan jari telunjuknya di dahi

Melati. "Kau ingin berteriak? Baik! Berteriaklah kalau kau ingin berteriak!

Memakilah. Ayo berteriak! Ayo berdiri lagi...." Melati menggerung lemah.

Cengkeramn Karang di lengannya terasa sakit sekali. Ia seolah-olah

mengerti, gerungan, lari, perlawanan berikutnya akan membuat lengannya

terasa lebih sakit. Rambut ikalnya luruh ke wajah. "BERTERIAKLAH!"

Karang mendesis galak. "B-a-a-a-a...." Melati menggerung lirih.

"Berteriaklah kalau kau marah. AYO BERTERIAK!...." Karang menghardik.

Lengang. Hanya suara sedan Bunda di luar yang terdengar.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 175: SMP KHADIJAH

Tapi, tapi itu semua percuma.... Benar-benar percuma!" Karang menelan

ludahnya. Suaranya tiba-tiba melunak demi melihat wajah Melati yang

menatapnya kuyu. Wajah kanak-kanak itu terlihat

lemah. Kalah! Kepala gadis kecil itu bahkan dalam hitungan detik malah

pelan rebah ke lengan Karang. Terkulai.

"B-a-a-a-a.... Ma...." Melati menggerung amat lirih. Bunda menutupkan

kedua belah telapak tangan ke wajah. Terisak....

"Percuma, Melati!" Suara Karang mendadak serak, "Percuma.... Kalau kau

tidak suka dengan keputusan Ayah-Ibumu, kau masih bisa berontak

melawan. Kau bisa berteriak, merajuk, atau pergi sekalian. Kalau kau

tersiksa oleh sesuatu, kau juga masih bisa memutuskan melawan, menukar

kehidupan dengan kebebasan... kau tetap masih bisa menyumpahinya,

memakinya. "Tapi urusan ini benar-benar percuma, Melati.... Kau marah

dengan keterbatasan ini, kau marah karena tidak bisa melihat, tidak bisa

mendengar, kau ingin marah. Berteriak. Tapi itu tak ada gunanya. Tak ada

gunanya memaki Tuhan, tidak ada gunanya meneriaki-Nya. Dan begitulah

hidup ini...." Suara Karang semakin serak. "Begitulah kehidupan ini, kau

tidak pernah berhak bertanya atas keputusan Tuhan. Kita mengenal

kehidupan demokratis, kebebasan memilih, kebebasan keinginan,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 176: SMP KHADIJAH

diajarkan langsung oleh-Nya melalui kitab suci, tapi ironisnya justru tidak

ada kata demokratis, tidak ada kesempatan memilih dengan takdir

milikNya. Kau tidak berhak protes. Tidak sama sekali....

"Setiap kali kau protes, maka seseorang akan mengingatkan bahwa Tuhan

maha adil.... Yaa,

Tuhan maha adil. Karena kita terlalu bebal maka kita-lah yang tidak tahu

di mana letak keadilan-Nya, tidak tahu apa maksudnya.... Kalau kita tidak

pernah mengerti, itu jelas karena kita terlalu tolol, bukan berarti Tuhan

tidak adil. Tuhan selalu benar...." Karang tertunduk pelan, mendekap

kepala Melati.

"B-a-a-a.... Ba...." Melati menggerung lirih, rambut ikalnya yang luruh

mengenai wajah Karang. "Kau ingin marah? Marahlah, sayang.

Berteriaklah.... Tapi semua itu percuma. Tidak ada ijin demonstrasi untuk

Tuhan, tidak ada pengadilan banding, tidak ada petisi, abolisi, grasi dan

sebagainya. Keputusan Tuhan tidak bisa diganggu-gugat! 100% pasti adil!

100% pasti baik bagi kita.... Ya Allah, padahal apa salahnya anak ini?

Umurnya baru enam tahu. Matanya buta, telinganya tuli, seluruh dunia

terputus darinya.... Apa salahnya anak ini?" Suara Karang terputus.

Tertunduk menatap keramik. Bunda sudah mengusap matanya. Tergugu.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 177: SMP KHADIJAH

Menangis di balik pintu kaca. Semua pemandangan ini menyedihkan.

Amat menyedihkan. Ya Allah, pemuda itu benar.... Apa salah putrinya? Itu

pertanyaan yang bertubi-tubi keluar dari kepalanya sejak dulu. Pertanyaan

yang ia hamparkan di sepotong sajadah saat dua pertiga malam waktu

mulia-Mu.... Atau semua ini salahnya? Salah suaminya? Salah keluarga

mereka? "Lihatlah anak ini...." Karang melanjutkan kalimatnya, berkata

semakin serak, "Ya Tuhan, seharusnya ia seriang anak-anak lain, sesenang

kanak-kanak kecil menggemaskan lain. Tapi yang ada baginya sekarang

hanya gelap. Hitam. Lengang.... Baik, baiklah! Aku mengerti.... Tentu saja

ini tetap adil baginya. Amat adil malah, meski aku sungguh tidak tahu di

mana letak keadilannya...."

Karang terdiam. Menghembuskan nafas perlahan. "Dengarkan aku,

sayang.... Kita akan membuat keadilan itu terlihat! Kita akan membuatnya

terlihat agar semua orang di dunia mengerti. Menjadi saksinya! Karena

tidak setiap hari Tuhan berbaik hati menunjukkannya. Kita akan

membuatnya terlihat. Melati. P-a-s-t-i...." Karang mengusap rambut ikal

kanak-kanak dalam dekapannya, menciumnya, lantas berdiri

menggendong gadis kecil itu, melangkah menuju pintu ruang makan.

Bunda menangis tertahan di depan pintu kaca. Salamah tertunduk,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 178: SMP KHADIJAH

berpikir, kalimat tamu aneh menyebalkan barusan, meski tidak banyak

yang dimengertinya amat menusuk hati. Bagaimana tidak? Berani sekali

tamu sialan ini menyumpahi Tuhan!

"Melati butuh istirahat, Nyonya!" Karang berkata pelan sambil

menyerahkan tubuh kanak-kanak yang terkulai itu.

Bunda menyambut tubuh lemah Melati.

"A-pa, a-pa.... Aku boleh memberinya sarapan

sekarang?" Bunda bertanya gagap, menatap

lamat-lamat Karang, memohon, sambil mendekap

lemah tubuh putri semata-wayangnya.

Karang menggeleng. Tersenyum getir, "Maafkan

aku. Ia tidak boleh makan kalau ia tidak mau

menggunakan sendok. Nyonya!"

"Ta-pi, ta-pi sudah hampir tiga hari Melati tidak

makan, anakku!" Bunda berbisik lirih.

"Ia tidak akan mati meski tidak makan seminggu,

Nyonya!" Karang berkata pelan, intonasi suaranya

berubah tajam.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 179: SMP KHADIJAH

Percakapan terputus. Karang sudah melangkah pelan menuju tangga

pualam ke lantai atas. Mengusap dahinya. Berkata dalam senyap, dia bisa

merasakan putus-asa itu.... Dia bisa merasakannya. Keputus-asaan yang

menyesakkan yang ada di kepala Melati.

Kekuatan itu selama ini seperti anugerah! Itulah pembayaran pertama

Tuhan atas jual-beli masa depan yang dilakukannya. Karang bisa berpikir,

melihat, dan merasakan apa yang sedang kanak-kanak pikir, lihat dan

rasakan. Dan sekejap tadi, seluruh perasaan Melati yang terkulai

memeluknya pindah ke kepalanya, seperti sengat sentrum listrik sejuta

voltase.... Dia bisa melihatnya. Sempurna merasakannya. Persis seperti apa

perasaan Melati yang ada dalam dekapannya. Hanya beberapa detik

memang, tapi sempurna mengungkungnya.

Gelap. Hitam. Gadis kecil itu tidak melihat apapun. Di sekelilingnya hanya

ada gelap! Hanya ada hitam! Tidak ada warna.

Lengang. Sepi. Senyap. Gadis kecil itu tidak mendengar apapun. Hanya

kosong! Di sekelilingnya sempurna kosong. Tidak ada suara apalagi nada-

Karang mendengus pelan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 180: SMP KHADIJAH

Melati hanya minum. Tidak makan. 24 jam ke depan Karang melunak.

Membiarkan Bunda memberikan Melati air putih. Salamah awalnya ngotot

sok-tahu ingin memberi suplemen energi ke Melati (seperti yang ia tonton

di iklan-iklan selingan sinteron), tapi keburu ketahuan. Gadis yang terus

menjomblo meski usianya sudah menginjak tiga puluh tahun itu terbirit-

birit menatap wajah seram Karang. Berjanji, tidak akan pernah berani

mencobanya lagi.

Hari ke empat menjelang malam hari. Melati akhirnya jatuh sakit. Sekujur

tubuhnya yang lemah, jadi panas. Tidak ada lagi teriakan marah, berlarian

menghindari Karang, ia hanya menggerung pelan di atas ranjang. Rambut

ikalnya luruh menutupi wajah. Mata hitam biji buah leci itu menatap

redup. Melati demam.

Bunda cemas, berseru panik meminta Salamah menelepon dokter Ryan.

Tuan HK yang tahu Melati nyaris empat hari tidak makan menggigit bibir

menahan amarah. Kalau saja dia tidak mengasihani istrinya yang entah

mengapa amat berharap keajaiban itu datang dari pemuda ini, sudah dari

tadi dia ingin meninju Karang (yang pasti bakal didukung banget oleh

Salamah). Semua ini benar-benar ganjil dan menyebalkan! Apa yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 181: SMP KHADIJAH

diharapkan pemuda sialan ini dengan memaksa anaknya makan memakai

sendok dan garpu? Tapi Tuan HK tidak punya alasan kuat untuk

mengusir Karang. Dia tidak memiliki argumen. Jadi hanya menunggu.

Sudah empat hari, tinggal tiga hari lagi. Seandainya hari ke tujuh keajaiban

itu tidak datang (dan jelas itu tidak akan pernah datang dengan cara

pemuda ini) maka dia memiliki argumen untuk melakukannya.

Lihatlah, pemuda sialan ini hanya menatap selintas Melati yang lirih

menggerung di atas ranjangnya. Seperti tidak peduli dengan keringat

mengucur dari dahi kanak-kanak itu. Piyama tidur Melati yang basah oleh

peluh. Bunda mengusapnya berkali-kali (termasuk berkali-kali mengganti

kompres). Berbisik menenangkan.

"Tidak ada yang perlu dicemaskan. Melati akan baik-baik saja, Nyonya!"

Karang berkata tanpa beban.

Bunda mengangguk, berusaha tersenyum. Tetap menghargai. Ia tentu saja

tahu iangsung atau tidak Melati sakit karena ulah Karang. Tapi hingga

detik ini, Bunda tetap menghargai Karang. Tetap berharap banyak. Tuan

HK mendesis pelan, menahan diri untuk tidak berkomentar. "Selamat

malam semua, aku harus menghabiskan waktu sejenak di luar sana. Di sini

nampaknya terlalu pengap dan panas." Karang mengangkat bahunya,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 182: SMP KHADIJAH

lantas melangkah keluar kamar. Meneriaki salah seorang sopir keluarga

untuk mengantarnya turun ke kota. Stok minuman kerasnya habis. Lagi

pula empat hari terbenam di rumah itu membuatnya sedikit tegang. Jalan-

jalan ke kota akan membantunya rileks. Bergumam tidak peduli naik ke

atas mobil.

Ibu, semua urusan ini sedikit pun belum terlihat ujung terangnya....

Kalimat itu benar sekali, jika ingin menyembuhkan bisui, pecahkan saja

sekalian! Sakit memang. Tapi cepat atau lambat bisui itu juga tetap akan

pecah.... Banyak sekaii orang-orang yang takut melakukannya.... Berpikir

terlalu panjang, berhitung terlalu rumit! Padahal setelah bisulnya pecah,

malah berseru lega. Benar-benar omong-kosong menyedihkan manusia

yang setiap hari justru sombong atas kehebatan otaknya!!

Mobil yang ditumpangi Karang menuruni jalan licin lereng pebukitan.

Dubungkus gerimis yang sekali lagi lembut membasuh kota, membuat

syahdu suasana....

Gadis Lesung Pipit

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 183: SMP KHADIJAH

Kinasih berdiri di depan pintu salah-tingkah. Menyeka dahinya,

memperbaiki kerudung biru mudanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat....

Berusaha mencengkeram tas peralatan medis lebih erat.

"Salam buat Papa, Kinasih-" "Ergh, apa Bunda?" "Salam buat Papa-mu!"

"Ah-ya! Eee, nanti Kinasih sampaikan.... Eee, daa, Bun-da!" Gadis

keturunan berwajah cantik itu mengangguk buru-buru. Menggigit bibir.

Lantas melangkah gemetar menuju mobilnya yang terparkir persis di teras

depan.

Bunda tersenyum mengantarkan, berdiri di bawah bingkai pintu.

Karang yang sedetik lalu baru turun dari mobil yang berhenti persis di

sebelah mobil Kinasih, melangkah masuk. Melambaikan tangan tidak

peduli ke sopir keluarga yang barusan mengantarnya ptesir keliling kota.

Sebenarnya tidak keliling kota, Karang hanya turun membeli keperluan-

nya.

Dan dalam hitungan detik, mereka berdua

bersitatap satu sama lain.

Kesunyian mendadak menggantung di udara. Jarak mereka hanya lima

langka, tapi tanah seolah merekah, memisahkan satu dengan yang lain

sejauh lima samudera. Kinasih sekaii iagi memperbaiki ujung-ujung

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 184: SMP KHADIJAH

kerudungnya, membujuk hatinya untuk tetap terkendali. Aduh, ia benar-

benar tidak tahu harus melakukan apa. Padahal ia tahu persis, cepat atau

lambat pertemuan ini pasti terjadi. Tapi bagaimana? Ia sungguh belum

siap. Tepatnya mungkin hingga kapan pun ia tidak akan pernah siap. Tadi

ia datang terlambat memenuhi panggilan Bunda lewat telepon Salamah. Ia

kebetulan sedang di bandara. Menunggu penerbangan Papa-nya, dokter

Ryan baru pulang dari Perfekture Hanjin, China. Tadi sepanjang

memeriksa Melati di kamar biru, jantungnya berdetak lebih kencang,

tegang. Siapa tahu pemuda itu muncul mendadak. Siapa tahu mereka

berpapasan. Siapa tahu.... Ternyata mereka justru bertemu di sini, saat ia

bersiap pulang, saat ia menghela nafas lega karena pertemuan itu belum

terjadi malam ini. Sekarang? Ia menatap canggung kepadanya. Kinasih

gugup, sungguh bingung ingin melakukan, mengatakan, bahkan

memikirkan apa. Wajahnya mendadak bersemu merah. Seperti buah apel

yang matang.... "Selamat malam. Nyonya-" Karang memecah sepi. Menegur

Bunda. Mata tajamnya berkedut. Hanya sekejap, setelah itu kembali

'normal'. Pelan melangkah masuk, seperti tidak melihat siapapun di

depannya, berusaha menyibak Bunda yang berdiri di

depan pintu.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 185: SMP KHADIJAH

"Malam, Karang." Bunda yang tidak mengerti situasinya tersenyum,

bergeser memberikan ruang jalan bagi Karang.

Kinasih sudah bersandar pada pintu mobil yang terbuka.

Menelan ludahnya. Ingin sekali saat itu ia berlari. Berseru memanggil

namanya. Tapi ia tidak bisa. Suara itu tersendat di kerongkongan. Kakinya

seolah dipaku dalam-dalam. Jantungnya berdegup amat kencang. Oleh

perasaan rindu. Perasaan salah-tingkah. Perasaan berharap. Entahlah.

Lihatlah, pemuda itu sempurna tidak peduli, persisnya menganggapnya

tidak ada.... Tapi ia barusan bisa merasakan tatapan itu. Meski sekejap.

Bunda melambaikan tangannya kepada Kinasih. Gadis itu sekali lagi

menguatkan hati. Masuk ke dalam mobil. Sempat melirik selintas

punggung Karang yang menghilang di anak tangga pualam. Menggigit

bibir. Menghidupkan mobil. Menginjak pedal gas pelan....

Satu menit berlalu. Karang sudah membanting pintu kamarnya. Melempar

bungkusan palstik botol minuman keras ke atas ranjang. Mendengus.

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Akhirnya dia tahu. Jelas sudah bagaimana

caranya keluarga ini mengirimkan surat-surat itu. Tahu alamatnya, dan

boleh jadi tahu segalanya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 186: SMP KHADIJAH

Karang menghujamkan badannya di atas ranjang. Mengusap wajahnya

yang berkeringat. Mengusap rambut gondrongnya. Tertunduk satu menit.

Menyisakan suara angin yang masuk lewat jendela besar. Mengangkat

kepala menatap lurus ke depan. Kerlip cahaya lampu perkotaan tampak

indah, mercu suar di kejauhan, lampu perahu nelayan, kapal ferry yang

membuang sauh di pelabuhan, bintang-gemintang, dan bulan yang

semakin membesar.

Karang menghela nafas. Lihatlah, gadis itu sedikit pun tidak berubah.

Tetap cantik. Gadis lesung pipi-nya. Kerudung warna lembut itu. Matanya

yang menatap bercahaya. Karang mendesah pelan. Itu sudah tiga tahun

berlalu. Bukankah saat memutuskan pergi dulu, dia memutuskan

mengubur seluruh kehidupannya, termasuk urusan perasaannya. Karang

menyeringai, tapi gadis itu tetap sama manisnya seperti dulu.... Matanya

berkedut lagi.

Satu menit berlalu. Mobil Kinasih sudah menuruni jalanan licin lereng

bukit. Jemari Kinasih masih bergetar. Jantungnya masih berdetak kencang.

Dia tidak pernah berubah. Tidak pernah. Kecuali rambut panjang,

cambang dan kumis yang tidak dipotong.... Ah, itu justru membuatnya

terlihat gagah.... Kinasih bersemu merah, berusaha memperlambat laju

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 187: SMP KHADIJAH

kendaraan. Celaka kalau hatinya yang entah tiba-tiba kemana-mana

membuat konsentrasi nyetirnya berantakan. Satu menit berlalu. Begitulah.

Apalagi lima menit, sepuluh menit, dan seterusnya. Malam itu dua

perasaan (perasaan yang terpendam juga bisa dibilang doa, kan?) kembali

berpilin di langit-langit

kota, dengan masing-masing prasangka dan harapan yang berbeda!

Jawaban dari langit? Entahlah!

Hari kelima. Esok pagi ruang makan besar itu sepi. Hanya Tuan HK yang

duduk di sana. Sarapan. Sendirian. Bunda menyuapi Melati di kamarnya.

Karang setelah berdebat sebentar, akhirnya mengalah. Membiarkan Melati

menyentuh makanan. Kondisi Melati masih lemah. Jadi ia menurut saat

Bunda menyuapinya. Tidak banyak menggerung. Jemari tangannya tidak

memukul-mukul. Mata hitam biji buah lecinya menatap redup.

"B-a-i-k.... Setidaknya ini tetap tidak melanggar peraturan. Melati hanya

boleh makan kalau menggunakan sendok...." Karang mendengus,

melangkah keluar dari kamar biru Melati. Siang itu Melati sudah bisa

duduk di atas ranjang. Tubuhnya masih lemah, meski perutnya sudah

berisi. Suster Tya tersenyum lebar sepanjang hari. Karena seharian, ia bisa

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 188: SMP KHADIJAH

dibilang hanya menunggui Melati. Tidak ada rajukan marah itu. Tidak ada

jambakan di rambutnya. Apalagi sesuatu yang dilempar.

Karang entah apa yang ingin dilakukannya, memutuskan berjalan-jalan di

lereng bukit. Pertemuan semalam membuat hatinya merekah, meski

sinisme itu masih bertebaran di mana-mana, termasuk kepada Mang Jeje

yang sedang serius memotong rumput halaman. "Percuma kau

memotong rumput halaman ini! Hanya untuk menunggunya tumbuh lagi,

kemudian memotongnya lagi!"

"Lantas apa yang harus aku lakukan. Den?" Mang Jeje bertanya bingung,

sungguh-sungguh meminta petunjuk. Memang itu tugasnya, kan? Tukang

kebun. Setiap minggu memotong rumput di halaman biar rapi. Tidak

pernah alpa. Rutin. Membosankan? Percuma? Lah, tapi kan setidaknya jadi

indah (meski di rumah ini hanya dia yang menikmati keindahan halaman

tersebut)?

Karang mendengus, melambaikan tangan. Lupakan saja. Meneruskan

langkah menuju pagar halaman. Dia ingin menatap senja dari sela-sela

pepohonan. Menghabiskan waktu sendirian. Memikirkan banyak hal,

termasuk juga menyumpahi banyak hal. Tuing! Tuing! Saat itulah, Karang

yang lupa mengunci pintu kamar tidak tahu, tidak menyadari, baru saja

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 189: SMP KHADIJAH

ada yang melanggar aturan main terpentingnya. Salamah! Salamah iseng

membersihkan kamar Karang. Niat awalnya sih baik (meski di sana-sini

disertai rasa ingin tahu). Salamah membawa sapu dan bulu ayam masuk ke

kamar itu.

Membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas tempat tidur, di bawah

tempat tidur. Membaca satu-dua. Tidak mengerti. Bahasanya rumit.

Maksudnya nggak jelas. Salamah melipat dahinya sekaligus melipat kertas-

kertas itu. Menumpuknya jadi satu agar terlihat rapi. Terpesona sebentar

melihat mesin ketik tua di atas ranjang. "Duh,

bagusnya!" Berseru tertarik. Menyentuh lama huruf-huruf tuanya, bahkan

iseng mencoba mengetik satu-dua kata di kertas yang masih terpasang.

Membereskan pakaian Karang yang berserakan, bergantungan. Koper

lusuh. Seprai berantakan. Dan....

Salamah tertegun. Botol minuman keras itu tergeletak di dekat bantal. Ini

apa? Botol apa? Pelan-pelan (sebenarnya takut-takut) membuka tutupnya,

siapa tahu isinya bom, kan?. Mencium baunya. Mengernyit. Lantas

menyeringai. Baunya menyengat. Hati-hati meletakkan kembali botol itu.

Berpikir. Kalau tidak salah, ia tahu ini botol apa. Dulu bukankah pernah

salah satu pembantu di rumah ini juga punya botol mirip banget dengan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 190: SMP KHADIJAH

yang ini. Dan Tuan HK saat tahu urusan itu, marahnya minta ampun.

Langsung kasar mengusir pembantu itu. Pakai acara panggil polisi segala....

Salamah berpikir lagi. Lantas nyengir lebar. Ini kabar baik! Sungguh kabar

baik! Dan dalam sekejap Salamah sudah lari keluar kamar. Lupa soal

bersih-bersih. Terbirit-birit membawa botol itu. Ingin bilang ke Bunda.

Lapor. Langkahnya mendadak terhenti. Urung. Tidak. Tidak perlu lapor ke

Bunda. Lebih baik langsung telepon Tuan HK di pabrik (lagipula Tuan HK

selalu pesan agar ia lapor langsung kepadanya). Pasti kejadiannya akan

seru....

"Biar Salamah yang usir, Bu!" Akhirnya kalimatnya dua hari lalu itu bakal

jadi kenyataan. Salamah nyengir senang. Tidak. Bukan ia yang ngusir

secara

langsung, tapi ia memiliki peran penting. Tidak akan ada ampun buat

tamu sok-galak ini! Tuan HK benci banget sama pemabuk.

Dan apa yang diharapkan Salamah benar-benar terjadi.

Kalau menurutkan hatinya. Tuan HK ingin pulang saat itu juga. Tapi ia

berusaha menyabarkan diri. Bahkan berpikir, persiapan yang baik untuk

melakukan pembicaraan sepenting ini akan membantunya. Dia tidak ingin

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 191: SMP KHADIJAH

menyakiti perasaan istrinya (meski bodo amat pemuda sialan itu

tersinggung sampai mampus). Maka Tuan HK menunggu jadwal pulang

seperti biasanya. Sambil menunggu tak sabaran, dia menyuruh salah satu

staf-nya untuk mencari tahu siapa pemuda itu. Tidak sulit untuk

mengumpulkan informasi. Dan informasi tambahan itu bagai durian

runtuh, bonus bagi Tuan HK. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin dia

membiarkan seorang pemabuk, sekaligus juga pernah dituntut pengadilan

atas tenggelamnya perahu nelayan itu, dituduh bertanggung-jawab atas

meninggalnya delapan belas kanak-kanak, tinggal nyaman di rumahnya?

Berkeliaran di ruang makannya? Celakanya lagi bagaimana mungkin dia

membiarkan pemuda ini mengajari Melati? Gigi Tuan HK bergemeletukan.

Tidak sabar di sepanjang perjalanan. Tidak sabar saat makan malam

sendirian. Tidak sabar menunggu istrinya selesai menyuapi Melati di kamar

biru. Tidak sabar. Apalagi saat melihat Karang menyapanya

sambil lalu, "Selamat malam. Tuan!" Lantas naik ke anak tangga pualam,

baru pulang dari plesirnya sepanjang hari dari lereng bukit.

Tuan HK memutuskan segera naik ke kamar Melati. Istrinya harus segera

tahu-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 192: SMP KHADIJAH

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, yang!" Tuan HK berdiri di depan

pintu kamar biru Melati. Langsung ke pokok permasalahan. Bunda

menoleh, baru selesai menyuapi Melati. Panas Melati sudah reda. Tapi

kanak-kanak itu kata Kinasih kemarin malam, 24 jam ke depan belum

boleh turun dari ranjang. Harus banyak beristirahat. Suaminya ingin

membicarakan apa? Wajah Tuan HK terlihat tegang. Bunda tersenyum,

bangkit dari pinggir ranjang Melati. Mendekat. "Apakah kau tahu siapa

sebenarnya pemuda itu?" Tuan HK bahkan merasa tidak perlu berbasa-

basi lagi (misalnya bertanya apa kabar Melati). "Siapa?" Bunda melipat

dahinya. Bingung. Menunjuk kursi busa di kamar Melati. Sambil duduk

pembicaraan pasti lebih nyaman. Tuan HK sedikit pun tidak merasa perlu

untuk duduk, dia justru membentangkan lebar-lebar kliping koran yang

dibawanya. Bunda mengernyitkan dahi. Menerimanya. Membacanya

sekilas. Sejenak tergagap. Membacanya ulang lebih detail. Ia tidak tahu ini!

Tidak! Meski Kinasih pernah bilang kalau pemuda itu punya masalah yang

serius, yang membuatnya tertutup. Bunda menelan ludah. Mengangkat

kepalanya dari kliping koran, menatap Tuan HK.

"Kau tahu siapa sebenarnya pemuda itu?" Tuan HK bertanya tajam.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 193: SMP KHADIJAH

Bunda menggeleng. Bingung. Apa masalahnya? Bukankah kliping koran

ini bilang pemuda itu tidak bersalah? Pengadilan-pengadilan itu? Delapan

belas tubuh kanak-kanak yang membeku. Bunda menggigit bibirnya.

Sepertinya ia mulai mengerti arah pembicaraan ini....

"Aku sejak awal sudah tidak suka kehadirannya di rumah ini, yang! Dan

kau tahu, tadi sore Salamah panik meneleponku. Melaporkan kalau di

kamar pemuda itu ada botol minuman keras.... Minuman kerasi Ya Tuhan,

bagaimana mungkin aku membiarkan seorang pemabuk tidur di bawah

atap rumah ini!" Tuan HK mendesis.

Bunda terdiam sambil menelan ludah. Ia mengerti sudah. Kalau soal

mabuk itu ia sudah tahu-"Urusan ini sudah selesai, yang. Maafkan aku,

malam ini juga pemuda itu harus pergi! Aku tidak akan mengijinkan

seorang pemabuk mana pun berada di sini.... Apalagi mengajari putri kita!"

Bunda menggigit bibirnya. Terdiam. Apa yang harus ia lakukan?

"Aku tahu kau mungkin amat berharap padanya. Tapi semua ini sia-sia,

yang! Bagaimana mungkin seseorang yang dituduh menyebabkan

kematian delapan belas anak-anak akan mendidik Melati! Lihatlah, lima

hari berlalu, apa yang terjadi pada Melati? Kemajuan apa yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 194: SMP KHADIJAH

didapatnya? Putri kita malah sakit! Tergolek lemah di ranjangnya. Tidak,

yang! Kali ini aku tidak bisa bersepakat

denganmu...."

"Apa.... A-pa yang akan kau lakukan?" Bunda

bertanya gugup.

"Aku akan mengusirnya!"

Bunda mencengkeram lengan suaminya. Matanya menatap panik.

Menggeleng-geleng pelan. "Cukup! Tidak ada perdebatan, aku akan

mengusirnya malam ini juga, bagaimana mungkin kau membiarkan

seorang pemabuk ada di ruang makan keluarga kita...." Tuan HK mendesis

tegas. "Ta-pi... Tapi kita sudah berjanji akan memberinya waktu satu

minggu! Tinggal dua hari lagi. Aku mohon, biarkan dia menyelesaikannya.

Biarkan dia menyelesaikannya sesuai janji kita. Setelah itu baru kita

putuskan. Kita lihat apakah ada kemajuan atau tidak...." Bunda berkata

terbata, berusaha membujuk.

"Tidak. Aku memang memberinya waktu satu minggu, juga kesepakatan

tidak ada protes, tidak ada keluhan.... Tapi di dalamnya jelas aku tidak

memberinya ijin untuk mabuk di rumah ini!" Tuan HK mendesis marah.

"Aku mohon-"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 195: SMP KHADIJAH

"CUKUP, YANG! TIDAK ADA LAGI PERDEBATAN!" Tuan HK membentak

istrinya. Jengkel. Dia tahu, urusan Melati cepat atau lambat akan membuat

istrinya melupakan akal sehat. Tapi ini sudah keterlaluan. Bagaimana

mungkin mereka berharap pada pemuda sialan itu. Yang mulutnya amat

kasar. Yang tangannya amat ringan memukul. Bunda gugup mendengar

bentakan Tuan HK.

Cengkeraman di tangan suaminya melemah.

Wajahnya tertunduk. Tuan HK terdiam sejenak demi

melihat ekspresi wajah istrinya. Menahan tubuh

istrinya agar tetap berdiri. Menghela nafas

tertahan. Lantas merengkuh Bunda.

"Maafkan aku, yang!" Tuan HK berbisik pelan,

"Maafkan aku telah membentakmu-"

Bunda mengusap ujung-ujung matanya.

Lengang. Lorong depan kamar biru Melati senyap

sejenak.

"Maafkan aku, tapi keputusan ini sudah selesai. Aku akan mengusirnya

malam ini juga. Kau tahu, besok pagi-pagi aku harus ke bandara,

berangkat ke Frankurt selama tiga minggu.... Aku tidak ingin pemuda

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 196: SMP KHADIJAH

'berbahaya' itu menghabiskan waktunya di rumah ini selama aku pergi...."

Tuan HK membelai rambut beruban istrinya.

Bunda tertunduk. Pemuda berbahaya? Ia tidak tahu persis apa yang

sedang dipikirkan hatinya. Tidak tahu. Mungkin saja suaminya benar.

Bagaimana mungkin ia berharap banyak pada pemuda itu? Lihatlah,

Melati terbaring sakit gara-gara ulahnya.... Tapi kejadian-kejadian ganjil

itu? Ah, itu mungkin saja kebetulan. Mungkin saja pemuda itu tahu dari

orang lain tentang putrinya. Hanya menebak.

Bunda mengusap ujung-ujung matanya. Mungkin suaminya benar. Ia-lah

yang terlalu naif. Berharap muluk atas setiap usaha membantu

keterbatasan Melati. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan seorang

pemabuk ada di rumahnya? Menganggap

itu biasa dan bisa diterima, menafikannya demi

kesembuhan Melati? Apalagi yang dibilang oleh

kliping koran? Ya, ia baru ingat, Kinasih pernah

bilang selintas soal pengadilan-pengadilan itu....

Tuan HK melepas pelukannya.

"Kau.... Kau mau kemana?" Bunda bertanya lirih.

"Ke kamar pemuda itu-"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 197: SMP KHADIJAH

"Ja-ngan.... Jangan-" Bunda gagap berseru.

Tuan HK menoleh, menatap tajam.

Bunda tertunduk, menelan ludah, "Maafkan aku....

Sebenarnya... sebenarnya aku sudah tahu sejak

awal kalau pemuda itu mabuk. Maafkan aku yang

tidak berusaha memberitahumu. Maafkan aku yang

berusaha menganggap itu tidak masalah sepanjang

Melati bisa disembuhkan...." Bunda menyeka

pipinya,

"Kau benar.... Aku seharusnya tidak larut dengan harapan-harapan semu,

tidak melupakan akal-sehat dalam urusan ini.... Biar.... Biarlah aku yang

melakukannya. Biar aku yang bicara baik-baik dengannya. Memintanya

pergi, itu akan lebih baik baginya...."

Tuan HK menatap lamat wajah istrinya. Tahu pemuda itu mabuk? Urusan

ini benar-benar akan mengambil-alih akal sehat siapa saja. "Biarlah aku

yang bicara, yang. Aku mohon.... Itu akan lebih baik buat semua. Kita tidak

ingin terjadi pertengkaran, bukan?" Bunda HK berbisik lirih. Tuan HK

berpikir sejenak. Mengangguk. Baiklah. Biar istrinya yang bicara dengan

pemuda sialan itu. Mengalah untuk ke sekian kalinya. Mengecup dahi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 198: SMP KHADIJAH

istrinya.

Tapi pertengkaran itu tetap terjadi. Lebih hebat dari yang dicemaskan

Bunda malah. Esok paginya, Tuan HK langsung mengernyit marah (meski

juga bingung) saat melihat Karang dengan santainya turun dari anak

tangga pualam. Rambut Karang klimis disisir, mengenakan sweater hitam

kesukaannya. Dia sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang sejak

semalam sudah seharusnya diusir dari rumahnya. Dia malah terlihat lebih

ramah dibandingkan sebelumnya.

"Pagi, Nyonya!" Menyapa seperti tidak ada masalah (Karang tidak pernah

merasa perlu menyapa Tuan HK saat sarapan).

"Pagi ini karena Melati masih sarapan di kamarnya, maka aku akan

sarapan bersama kalian...." Karang rileks menarik sebuah kursi, abai

dengan tarikan wajah marah Tuan HK.

"Apa kau sudah melakukannya?" Tuan HK mendesis jengkel.

"Melakukan apa? Aku belum melakukan apapun sepanjang pagi, Tuan!

Ah-ya, tapi terima kasih kau sudah bertanya. Pertanyaan pertama setelah

hampir seminggu aku berada di rumah ini...." Karang melambaikan tangan

tidak peduii. Menyendok sup jagung.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 199: SMP KHADIJAH

Keliru. Maksud pertanyaan itu jelas-jelas untuk Bunda. Pipi Tuan HK

menggelembung (macam kodok yang bersiap mengeluarkan dengking

terkerasnya). Benar-benar jengkel. Tadi pagi lepas shalat shubuh

dia sudah jengkel dan rusuh menyiapkan berkas-berkas perjalanannya ke

Jerman. Rusuh meneriaki pembantu untuk menaikkan koper ke dalam

mobil. Rusuh menelepon staf-stafnya di rumah tentang beberapa dokumen

yang tertinggal. Menyuruh mereka mengantarkan segera ke bandara. Pagi

ini saat dia ingin sarapan sebentar bersama istrinya. Sarapan yang dia

harap sedikit menyenangkan sebelum pergi ke Frankurt selama tiga

minggu. Sarapan yang dia harap sedikit rileks mengingat pagi ini pemuda

sialan itu pasti sedang berkemas-kemas di kamarnya. Tapi apa yang

terjadi? Yang disangkanya bersiap pergi malah santai sekali di meja makan

bersamanya. "APA KAU SUDAH MELAKUKANNYA?" Tuan HK tidak bisa

lagi menahan emosi, berteriak marah. Bunda tergagap. Wajahnya terlihat

amat gugup. Menggeleng lemah berkali-kali. Sendok di tangannya bergetar.

Tidak. Dia belum melakukannya. Semalam selepas bicara dengan

suaminya, Bunda memang pergi ke kamar Karang. Sudah berdiri di depan

kamar, mendorong pelan pintu yang tidak terkunci. Bersiap membicarakan

masalah tersebut. Tapi mulutnya langsung 'terkunci' ketika melihat

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 200: SMP KHADIJAH

pemuda itu sedang berdiri di bawah bingkai jendela. Melihat wajah Karang

yang ditimpa cahaya rembulan. Begitu teduh (untuk tidak menyebutnya

terlihat ganjil). Wajah itu seperti sedang bersedih. Karang pelan menoleh

kepadanya, menyadari ada seseorang yang memperhatikan sejak satu

menit lalu.... Bersitatap satu sama lain, "Qintan suka

sekaii menatap rembulan, Nyonya!" Pemuda itu berkata lirih, menyeka

ujung-ujung matanya. Musnah sudah keinginan Bunda membicarakan

kemarahan suaminya. Besok. Ia bisa melakukannya besok. Tidak malam ini.

Ia tidak akan memaksakan diri. Situasinya tidak tepat. Waktunya keliru.

Bagaimana mungkin Bunda akan bicara dengan seseorang yang sedang

menangis. Bunda amat mengenal ekspresi wajah seperti itu. Amat

mengenal, karena begitu pula tarikan wajah miliknya. Wajah yang

menyimpan beban berkepanjangan.

Lagipula hati Bunda tiba-tiba bingung. Semua paradoks ini membuatnya

tidak mengerti. Ia tidak pernah menyangka pemuda yang terlihat kasar,

menyebalkan, sarkas, ternyata malam ini sedang menangis tanpa air mata

di kamarnya. Entahlah, apa maksud semua ini? Yang Bunda tahu, ada

kesedihan misterius dari wajah pemuda yang berdiri di hadapannya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 201: SMP KHADIJAH

"BAIK! KALAU BEGITU BIAR AKU YANG MELAKUKANNYA

SEKARANG!" Tuan HK mendesis keras, jengkel melihat istrinya yang malah

melamun. Karang masih duduk tanpa ekspresi. Rileks menatap wajah

merah Tuan HK, seperti sedang melihat sebuah pertunjukan drama.

"KAU! Aku tahu siapa kau sebenarnya! Delapan belas anak-anak yang mati

tenggelam di laut! Pengadilan itu! Tuduhan-tuduhan itu! Aku tidak peduli

apa yang diputuskan oleh hakim. Aku tidak peduli dengan dukungan-

dukungan. Opini! AKU

TIDAK PEDULI DENGAN OPINI! Yang aku peduli aku tidak pernah

menyetujui seorang pemabuk berada di rumahku! Seorang pemabuk

mengajari putriku! TIDAK PERNAH!" Tuan HK berteriak marah, langsung

ke pokok permasalahan.

Membuat terbang rombongan burung gelatik yang tengah mematuk-

matuk remah roti di hamparan rumput taman. Bunda tertunduk dalam,

menggigit bibirnya. Salamah sudah dari tadi menekan-nekan dada. Panik

sekali. Wajah Tuan HK terlihat merah, seperti kepiting yang sedang direbus

(Nah, karena Salamah sering merebus kepiting buat makan malam, jadi

tahu sekali kalau metafora ini tepat 100%).

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 202: SMP KHADIJAH

Karang mengusap wajahnya. Terdiam. Bukan karena dibentak. Tapi karena

Tuan HK entah bagaimana caranya tahu, tiba-tiba pagi ini menyebut-

nyebut masa lalunya. Karang sejenak menatap datar Tuan HK yang seperti

siap kapan saja menerkamnya. "Well, ternyata Tuan sudah tahu 'pelajaran

sejarah' itu! Kalau begitu, satu orang lagi yang tahu kejadian penting

tersebut...." Karang menyeringai, berusaha tersenyum lebar. Tidak peduli.

"Berhentilah bertingkah seperti kau amat hebat!! Seperti kau amat bisa

mengendalikan seluruh suasana.... KAU! Pergi dari rumah ini sekarang

juga!" Kalimat Karang membuat Tuan HK benar-benar mengkal.

"Aku tidak akan pergi kemana-mana. Tuan.... Bukankah Tuan yang justru

pagi ini harus pergi ke bandara buru-buru? Sudah pukul 07.00, setengah

jam lagi! Meski Tuan memiliki separuh kepmilikan di maskapai itu,

pesawat itu sepertinya akan tetap terbang. Ada atau tanpa Tuan di

dalamnya." Karang ringan menyendok sup jagung. Tidak peduli. Tuan HK

menendang kursi yang didudukinya, menggerung marah.

"Sabar, yang. Sabar.... Aku mohon-" Bunda segera

mencengkeram lengan suaminya, panik, gentar,

bingung, entahlah.

"Lepaskan aku!" Tuan HK mendelik.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 203: SMP KHADIJAH

"Biar, biar aku yang membicarakannya baik-baik...."

Bunda terus menahan lengan suaminya.

"Kau tidak akan pernah bisa melakukannya, kau

sudah tidak bisa berpikir rasional lagi!" Tuan HK

mengibaskan tangan Bunda, melangkah kasar

mendekati kursi Karang.

Salamah menggigit bibir, dari tadi ia sudah menduga-duga bakal terjadi

perkelahian seru beberapa detik lagi. Apa ia perlu bantu gebukin tamu

sialan ini? Mata Salamah melirik ke sana ke mari, mencari sapu ijuk dan

pengki. Sayang, keributan dan harapan Salamah terputus oleh sopir

keluarga yang ragu-ragu mendekat, berkata takut-takut pada Tuan HK.

"Ergh, maaf. Tuan. Maaf, menyela.... Ergh, tapi ini penting sekali. Kita

harus, kita harus berangkat sekarang juga.... Kalau tidak akan tertinggal.

Pesawatnya, eee-"

Tuan HK menoleh buas, ingin membentak juga sopir keluarga itu. Tapi

Bunda yang berhasil mengejarnya, sudah mendekapnya dari belakang.

Menenangkan. Tuan HK menggerung. Jengkel dengan pelukan istrinya.

Tapi tidak mungkin dia mengibaskan tubuh istrinya, kan? Dia menyeka

dahi, berusaha mengendalikan diri. Teringat perjalanan ini penting bagi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 204: SMP KHADIJAH

bisnis keluarga mereka. "Kau harus berangkat sekarang, yang.... Biar, biar

aku yang mengurus masalah ini. Biar aku yang membicarakannya baik-

baik dengan Karang." Bunda berbisik, memohon.

Tuan HK menyeka lagi dahinya yang berkeringat. Mengendalikan nafasnya

yang tersengal. Berpikir sejenak.

"Lihat, Beno sudah menunggu.... Kalau kau sampai terlambat, pasti Beno

juga yang kena omel seharian. Bukankah ini perjalanan yang amat penting

buat pabrik kita. Biar, biar aku yang bicara baik-baik dengan Karang. Aku

berjanji akan melakukannya sekarang. Kau harus berangkat...." Hening

sejenak. Tuan HK memejamkan mata. Menarik nafas panjang-panjang.

Mati-matian berusaha mengendalikan emosi. Bunda masih mendekapnya

dari belakang.

"Ba-ik.... Aku pergi sekarang! Tapi kau pastikan, saat aku menelepon

setengah jam lagi dari bandara sebelum pesawat berangkat, aku ingin

mendengar kabar kalau pemuda tidak tahu diri ini sudah pergi dari bawah

atap rumah kita! Pergi sejauh mungkin! Jika tidak aku sendiri yang akan

membatalkan perjalanan itu. Membawa petugas keamanan sekalian...."

Tuan HK mendesis, menunjuk kasar wajah Karang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 205: SMP KHADIJAH

Bunda mengangguk. Tersenyum, berjanji. Membimbing Tuan HK

melangkah keluar dari ruang makan. Berseru kepada Salamah agar

membawa koper kecil di dekat meja makan. Salamah yang tegang

menyaksikan pertengkaran terlonjak. Buru-buru menurut.

Karang menghela nafas pelan di atas kursi.

"Maafkan aku. Karang! Maafkan aku harus mengambil keputusan ini....

Kau tahu, suamiku amat membenci pemabuk!. Aku tidak bisa

membayangkan kemarahannya kalau tahu kau masih di sini-" Bunda

menatap Karang datar, masih berusaha tersenyum. Setelah mengantar

Tuan HK ke mobil, setelah berdiri sejenak di depan pintu ruang makan

besar, setelah menimbang-nimbang, Bunda memutuskan menerima

keberatan Tuan HK. Mungkin suaminya benar, tidak ada yang bisa

diharapkan.... Mungkin kecemasannya selama ini juga benar, Melati tidak

akan pernah bisa mengatasi keterbatasannya. Masuk ke ruang makan

sambil menyeka dahi, duduk di kursi, menatap Karang yang seperti biasa,

tidak peduli menyeruput keras-keras sup jagung dari mangkuknya, "Enak

sekali, Nyonya! Sepertinya semua orang harus belajar bagaimana membuat

sup jagung seenak ini-" Karang melambaikan tangannya. Meneruskan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 206: SMP KHADIJAH

makan. Seperti tidak mendengarkan kalimat Bunda barusan (yang halus

mengusirnya).

"Kau harus pergi pagi ini juga, anakku-" Bunda menelan ludah, sedikit

mempertegas maksud

kalimatnya.

"Tidak ada yang akan pergi pagi ini selain Tuan HK ke Frankurt, Nyonya-"

Karang menyendok sup dari mangkuk besar. Nambah.

Salamah yang sudah kembali ke meja makan dan melihat kelakuan Karang

mendesis sirik dalam hati. Satu untuk sup jagung, lihatlah, tamu sialan ini

menghabiskan separuh lebih. Dua untuk betapa menyebalkannya cara

Karang menanggapi ucapan Bunda.

"Mengertilah, Karang. Kau harus pergi.... Ya Tuhan, aku pikir...." Bunda

terdiam sejenak, mendongak menatap langit-langit ruangan, mencegah air-

matanya tumpah.

"Aku pikir, aku juga sudah amat lelah, Karang. Lelah berharap Melati akan

menunjukkan kemajuan.... Teramat lelah. Jadi bukan karena kau. Bukan

karena kau pemabuk, anakku. Aku juga tidak peduli soal berita-berita

pengadilan itu. Tapi semua ini sepertinya memang harus berakhir begini....

Melati mungkin bahkan tidak, akan pernah bisa makan dengan baik

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 207: SMP KHADIJAH

seperti yang kau inginkan...." Bunda menyeka ujung-ujung matanya.

Menghela nafas panjang. Lihatlah, minggu-minggu ini ia mudah sekali

menangis. Ya Tuhan, bahkan lebih sering dibandingkan saat pertama kali

tahu Melati tuli, buta, sekaligus bisu tiga tahun lalu. Karang yang rileks

dengan sarapan, akhirnya meletakkan sendok. Mengangkat kepalanya.

Menatap Bunda tajam.

"Aku harap kau mau mengerti, anakku. Salamah

akan membantu mengemasi barang-barang. Biarlah, biarlah Melati sendiri

dengan keterbatasannya. Biarlah ya Allah, kalau itu sudah keputusanMu....

Sudah menjadi takdirMu. Kami akan bersiap menerima apa-adanya-"

"Omong-kosong, Nyonya. Tidak akan ada yang pergi sekarang!"

"Aku mohon, mengertilah, anakku!" "Aku akan tetap di sini, Nyonya...."

Bunda HK menyeka pipinya.

"Aku akan tetap di sini, Nyonya! Memastikan Melati memiliki kesempatan

melawan takdir menyakitkan miliknya! Tahu dari mana Nyonya tentang

keputusan Tuhan? Bah! Melati punya kesempatan lebih banyak

dibandingkan siapapun, bahkan dibandingkan dengan kesempatan kita

melemparkan bola mengenai anak tangga pualam itu!" Karang menunjuk

anak tangga berjarak enam meter dari meja makan dengan sendoknya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 208: SMP KHADIJAH

"Kau mungkin benar, anakku. Janji-janji itu juga mungkin benar. Semua

harapan ini juga mungkin benar.... Tapi aku sudah amat lelah.... Sudah

amat penat.... Setiap malam bersimpuh, berharap, mengirimkan beribu

kata doa, tapi tetap tak kunjung ada kabar baiknya. Mungkin semua

memang harus berakhir seperti ini...." Bunda menahan sedan tangisnya.

"Lantas apa yang akan Nyonya lakukan? Mengirim Melati ke rumah sakit

jiwa? Mengirim Melati ke sekolah luar biasa?"

Bunda tertunduk. Itu mungkin bisa jadi pilihan

baiknya. Seperti yang dikatakan dokter senior dari rumah sakit ternama

ibukota tiga minggu lalu. Atau juga Melati tetap di sini. Tetap seperti ini

selamanya. Ya Allah, apapun yang akan terjadi pada anaknya, ia berjanji

akan selalu bersamanya.... "Omong-kosong, Nyonya! Melati masih memiliki

kesempatan. Ia tidak akan menghabiskan hidupnya hanya dengan

menggerung seperti seekor lebah, meraba-raba sekitar seperti moncong

musang. Melati tidak akan menghabiskan hidupnya untuk dikasihani.... Ia

tidak akan pergi ke rumah sakit jiwa untuk belajar menyulam seperti anak-

anak lain! Ia tetap di sini, berjuang demi masa depannya, menaklukkan

dunia yang kejam sekali padanya-" Karang untuk pertama kalinya setelah

tiga tahun benar-benar berniat mengatakan sebuah kalimat. Matanya

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 209: SMP KHADIJAH

berkilat tajam. Dan ucapan itu sungguh menusuk hati Bunda. Bunda tak

kuasa menahan tangisnya, terisak.

Menggeleng patah-patah, "Pergilah, anakku....

Biarkan Melati sendiri. Lima menit lagi suamiku akan

menelepon. Dan aku harus mengatakan padanya

kalau kau sudah pergi-"

"Aku tidak akan pergi-" Karang mendesis.

"Pergilah, aku mohon.... Maafkan aku yang tidak

bisa memenuhi janji seminggu darimu-"

"Aku tidak akan pergi. Nyonya-"

Bunda menatap lamat-lamat Karang, wajah keibuan

yang sekarang terlihat lelah itu basah oleh air mata.

Wajah teduh yang sebenarnya amat menyenangkan

itu terlihat begitu sedih, "Aku tahu sekali, suamiku

pasti akan membatalkan penerbangannya jika dia tahu kau masih di sini....

Dia benci sekali dengan pemabuk-"

"Baik! Baik, aku berjanji tidak akan mabuk lagi!" Karang berseru jengkel.

Meskipun kali ini ada sesuatu yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Menatap

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 210: SMP KHADIJAH

wajah yang begitu teriuka di hadapannya. Menatap wajah yang seakan

kehilangan seluruh harapan.

Benarlah. Jika kalian sedang bersedih, jika kalian sedang terpagut masa

lalu menyakitkan, penuh penyesalan seumur hidup, salah satu obatnya

adalah dengan menyadari masih banyak orang lain yang lebih sedih dan

mengalami kejadian lebih menyakitkan dibandingkan kalian. Masih

banyak orang lain yang tidak lebih beruntung dibanding kita. Itu akan

memberikan pengertian bahwa hidup ini belum berakhir. Itu akan

membuat kita selalu meyakini: setiap satu mahkluk berhak atas satu

harapan.

Lihatlah! Kesedihan dari wajah Bunda memancar bagai mata air di hutan

lebat. Begitu deras membasuh ruang makan besar itu. Karang tertusuk

seketika. Dia entah mengapa, seketika bersumpah akan membuat tangis itu

terhenti. Ya Tuhan, tidak seharusnya semua takdir ini terjadi pada keluarga

baik ini. Lihatlah wajah Bunda yang begitu terluka. Kekuatan dendam

positif itu kembali. Seperti deru lima belas pesawat tempur.

"Aku tidak akan mabuk lagi. Nyonya. Tidak ada minuman keras!"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 211: SMP KHADIJAH

Bunda menggeleng. Itu bukan masalah besarnya. "Aku juga tidak akan

kasar lagi. Tidak ada lagi kalimat-kalimat kasar. Tidak ada lagi ekspresi

muka kasar, tidak peduli-"

Bunda tetap menggeleng. Satu bilur air matanya jatuh mengenai meja.

Bukan itu masalahnya.... Masalahnya, pagi ini Bunda akhirnya tiba di garis

batas rasa putus-asanya. Ya Allah, apakah kesabaran itu ada batasnya? Jika

ada, maka apa ia tetap bisa dibilang sabar jika sudah tiba di batasnya? Ya

Allah, apakah beban yang kami pikul ada batasnya? Seperti janjiMu dalam

kitab. Jika 'ya', kami sungguh tidak mengerti di mana batasnya. Ajarkan

kami. Berikan iabei berapa persen seperti petunjuk speedometer mobil

untuk setiap ujian, untuk setiap kesabaran, dengan demikian hati kami

pasti lebih kuat. "Salamah, bantu Karang menyiapkan

barang-barangnya di kamar." Bunda berkata lirih. Menyeka pipinya.

"Tidak, Nyonya.... Tunggu dulu-" Untuk pertama kalinya Karang

mengeluarkan ekspresi 'panik' yang jujur.

"Nyonya bilang Tuan HK tidak akan senang dan

bahkan akan membatalkan penerbangannya kalau

dia tahu aku masih di sini. Itu jika dia tahu! Nyonya

bisa bilang aku sudah pergi...."

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 212: SMP KHADIJAH

"Aku tidak bisa membohongi suamiku."

"Tidak ada yang berbohong, Nyonya. Demi Melati.

Aku mohon. Berikan aku tambahan waktu 21 hari

selama Tuan HK pergi. Berikan aku waktu,

Nyonya.... Tidak ada minuman keras. Tidak ada kekerasan. Tidak ada. Aku

bersumpah!" "Percuma, anakku...." Bunda menggeleng lemah, "Kau lihat,

selama lima hari terakhir Melati sama sekali tidak menunjukkan kemajuan.

Aku tahu, itu semua bukan karena kau, bukan karena cara kasarmu. Tapi

karena Melati memang tidak akan pernah tertolong."

"Berikan aku waktu 21 hari selama Tuan HK pergi, Nyonya. Aku akan

memperbaiki banyak hal. Dan jika di hari ke-21 Melati tetap tidak berubah,

aku sendiri yang akan pergi sebelum Tuan HK tiba di rumah...." "Maafkan

aku, Karang.... Kau harus pergi. Biarlah Melati sendiri. Biarkan ia sendiri

dengan segala keterbatasannya...."

Karang terdiam. Menatap nanar Bunda. Sendiri? Ya Tuhan, dia tahu persis

makna kata itu. Sendiri. Tiga tahun mengurung diri di kamar pengap itu.

Itu sudah amat menyedihkan. Tapi andaikata semua orang tahu apa

makna kesendirian bagi Melati. Merasakan apa yang ada di kepala kanak-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 213: SMP KHADIJAH

kanak itu saat mendekapnya. Gelap. Hitam. Melati hanya bisa melihat

hitam. Senyap. Lengang. Melati hanya bisa mendengar kosong.

"Salamah, bantu Karang menyiapkan

barang-barangnya..." Bunda berkata lirih sekali lagi. Lantas berdiri. "Aku

harus melihat Melati di kamarnya. Karang.... Kalau kau marah dengan

keputusan ini, aku bisa mengerti jika kau pergi tanpa mengucap kalimat

berpamitan padaku-" Salamah mengangguk. Menyeka ingusnya. Menatap

wajah Karang yang masih menatap kosong. Untuk pertama kalinya demi

melihat wajah Karang, Salamah bersimpati kepadanya- Ia suka dengan

kalimat Karang tentang makna kesempatan tadi. Kesempatan melempar

bola mengenai anak-tangga pualam! Itu bisa dibilang 100% pasti kena. "Bi-

ar, biar aku yang menyiapkan barang-barangku, Salamah-" Karang berkata

pelan, menghentikan langkah Salamah.

Karang menghela nafas. Menyeka dahinya. Menatap mangkuk sup

jagungnya yang baru terisi kembali. Semuanya sudah berakhir.... Benar-

benar sudah berakhir. Bunda memintanya pergi. Ekspresi putus asa dari

wajah Bunda benar-benar menyesakkan. Tidak ada lagi yang bisa

diperbuatnya. Karang melangkah menuju anak-tangga pualam.

Menaikinya amat pelan. Masuk ke kamarnya. Tidak ada yang perlu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 214: SMP KHADIJAH

disiapkan di sini. Barang-barangnya sudah tersusun rapi setelah Salamah

kemarin berbaik hati 'membersihkan' kamarnya. Karang melangkah

menuju mesin ketik tuanya yang masih tergeletak di sudut ranjang.

Tersenyum pahit melihat kertas putih yang masih terpasang di sana. Ada

tulisan, "Sala,mah cant5ik!" Itu pasti ulah Salamah saat masuk ke

kamarnya tanpa ijin kemarin. Pasti ia iseng mencoba mesin ketik ini. Mana

salah ketik, puia-

Karang memperbaiki posisi tarikan spasinya. Lantas tanpa melepas kertas

putih itu memasukkannya ke dalam kotak. Meraih koper tua, lusuh dan

kusam milik ibu-ibu gendut. Menumpuk baju di dalamnya.

Menatap botol minuman keras miliknya. Sambil menghela nafas,

melemparnya ke kotak sampah di sudut ruangan.

Sudah selesai. Dia sudah selesai berbenah-benah. Berdiri menatap

pemandangan dari bingkai jendela. Tertegun. Lihatlah, matahari terbit

terlihat begitu anggun. Hamparan bangunan di perkotaan. Persawahan

luas yang menguning. Sebentar lagi panen. Kapal ferry besar yang merapat

di pelabuhan. Burung camar yang terbang membentuk formasi ramai-

ramai. Kembali mencari ikan di lautan luas. Karang menelan ludah. Dia

pagi ini juga akan kembali ke kamar pengapnya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 215: SMP KHADIJAH

Saat Karang melangkah ke anak tangga pualam, Tuan HK menelepon dari

bandara. Bergetar Bunda bilang kalau Karang sedang berbenah. Tuan HK

berseru puas di seberang gagang. Mengucap beberapa kalimat. Mengucap

beberapa pengingat. Lantas menutup pembicaraan dengan kalimat, "Aku

mencintaimu, yang."

"Aku juga mencintaimu," Bunda menjawab lirih. Meletakkan handset

telepon di atas meja. Menghela nafas pelan. Beranjak menuju kamar Melati.

Tadi pagi, putrinya masih tertidur. Makanya ia urung menyuapinya. Bunda

hanya meletakkan mangkuk sup jagung itu di meja kecilnya. Putrinya

sekarang pasti sudah bangun. Saatnya ia menyuapi Melati sarapan. Saat

itulah.

Saat Bunda yang masih dengan mata sembab membuka pelan pintu kamar

biru putrinya. Saat

Bunda yang masih memikul beban pembicaraan Karang barusan

melangkah mendekat dengan langkah bergetar. Saat itulah keajaiban

Tuhan mampir di rumah besar lereng bukit itu. Tuhan untuk kesekian

kalinya menggurat nyata kekuasaannya di muka bumi. Bunda terhuyung.

Sempurna terhuyung! Seketika. Tangannya gemetar mencengkeram kuat-

kuat gagang pintu, berusaha tetap berdiri. Ya Allah, hatinya seperti robek

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 216: SMP KHADIJAH

oleh perasaan takjub, gentar, bahagia, entahlah. Bagai dilempar ke

angkasa. Ya Allah, hatinya buncah oleh perasaan yang tidak pernah

dimengertinya. Saat itu Karang sudah melangkah menuruni anak tangga

pualam. Tertunduk, menatap satu demi satu anak tangga dengan ekspresi

kosong. Melangkah senyap melewati ruang makan. Berpapasan dengan

Salamah yang sembunyi-sembunyi meliriknya. Menjinjing mesin ketik tua

dan koper lusuhnya. Suara sepatunya mengisi langit-langit ruangan.

Melangkah menuju bingkai pintu. Semua sudah berakhir, Karang

bergumam pelan dalam hati. "KARANG!! TUNGGU!!" Bunda mendadak

berseru serak dari atas.

"TUNGGU, ANAKKU!!!" Bunda gemetar berdiri berpegangan di pembatas

teras lantai dua. Langkah Karang terhenti. Salamah langsung mengurut

dadanya, ber-istigfar kencang-kencang. Kaget melihat kehadiran Bunda.

Kaget melihat wajah Bunda yang begitu ganjil.

"YA TUHAN! CEPAT KE SINI! NAIK KE ATAS!" Bunda

masih mencengkeram pembatas teras lantai dua. Menatap bergantian ke

bawah. Karang dan Salamah yang bingung melihatnya.

Salamah tidak perlu diteriaki dua kali langsung berlari naik ke tangga

pualam. Karang sejenak terdiam. Pelan menyusul. Tetap memegang mesin

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 217: SMP KHADIJAH

ketik tua dan koper lusuhnya. Entah apa maksud teriakan Bunda. Apa ada

sesuatu yang terjadi pada Melati? Jantung Karang berdegup. Bukankah

Melati masih sakit? Jangan-jangan? Anak malang Itu memburuk. Jangan-

jangan. Karang mempercepat langkahnya.

Bunda sudah berdiri lagi di dalam kamar biru. Tersengal oleh perasaannya.

Salamah ngintil mendekat. Takut-takut.

"Lihatlah! Ya Allah.... L-i-h-a-t-l-a-h!" Gemetar Bunda menunjuk.

Karang menyibak tubuh Salamah, melihat ke depan. Tertegun, sedetik, dua

detik, lima belas detik.... Akhirnya kabar baik pertamaMu tiba. Dikirimkan

langsung. Tanpa perantara surat, tanpa perantara kurir, tanpa perantara

sang pembawa pesan, sms, telepon, atau internet sekalipun. Langsung

melesat dari langitMu. Akhirnya keajaiban itu mampir di lereng bukit kota

indah ini. Lihatlah, di meja kecil dekat ranjang biru! Gadis kecil itu sedang

duduk jongkok. Tangannya gemetar. Gemetar sekali. Tangan itu sedang

memegang sendok.... Sup jagung tumpah di mana-mana. Mengenai seprai

ranjang, mengenai baju tidur putih berenda, mengenai lantai keramik.

Sup jagung tumpah di mana-mana.... Tapi untuk pertama kali dalam

hidupnya. Melati makan menggunakan sendok.

Bunda sudah jatuh terduduk. Menangis. Mendekap wajahnya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 218: SMP KHADIJAH

Melati menggerung pelan. "Baaaa.... Baa.... M-a-a-a...." Jemarinya yang

masih kaku memegang sendok pelan menyentuhkannya ke mangkuk.

Tumpah lagi.... Sekali lagi. Tumpah lagi. "B-a-a-a-a." Satu sendokan ke

sekian berhasil diangkat. Di dekatkan ke mulutnya. Tumpah lagi persis saat

siap menyentuh bibir kecil Melati. "Baaa.... B-a-a-a-a...." Melati menggerung

pelan. Tidak marah. Tidak merajuk. Ia persis seperti anak kecil yang baru

belajar menempelkan potongan gambar-gambar di kertas. Lem-nya

belepotan, sering salah tempel, malah tertempel di lengannya, tertempel di

rambutnya. Tapi ia tetap mencoba, mulutnya terbuka, gigi kelinci Melati

terlihat. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Mata hitam biji buah lecinya

berputar-putar. Melati terus mencoba....

Bunda tertatih merangkak mendekati putrinya yang amat takjim jongkok,

beiajar makan. Bunda menatap nanar kanak-kanaknya. Menangis tersedu.

Lihatlah, lihatlah ya Allah, putrinya makan dengan sendok.... Apakah ini

bukan mimpi-mimpi yang untuk, kesekian kalinya tega merasuk, ke dalam

tidurnya?

Wajah menggemaskan itu (dengan bekas iler di pipi) sedang makan. Sekali.

Tumpah. Dua kali. Tumpah.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 219: SMP KHADIJAH

Tiga kali, sepuluh kali, belasan kali, akhirnya sendok yang hanya berisi

sepertiga penuh tiba di mulutnya. Berhasil, meski yang tertelan paling

hanya setetes kuah.

"B-a-a-a...." Melati menggerung pelan. Senang. Karang sudah mengusap

ujung-ujung matanya.

Kursi. Kursi. Kursi

Keajaiban kecil yang akhirnya berbaik hati mampir di rumah besar lereng

bukit itu membawa banyak perubahan. Harapan-harapan baru. Keputusan

keputusan. Bunda masih dengan gelinang air mata di pipi mengangguk

pada Karang. Ia akan memberikan waktu 21 hari lagi baginya. Tiga minggu.

Salamah yang suka ngadu ke Tuan HK tidak perlu diancam segala agar

tidak membocorkan keputusan Bunda. Bagaimanalah ia akan mengadu? Ia

sendiri juga belepotan haru. Membersihkan bekas makanan Melati yang

berserakan di lantai sambil menangis.

Melati setelah 'menghabiskan' sup jagung di mangkuk untuk pertama kali

seumur hidupnya dengan sendok menggerung 'tidak-peduli'. Sudah

bergerak mengelilingi kamar. Mana tahu ia soal tangis haru yang buncah

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 220: SMP KHADIJAH

di sekitarnya. Mana tahu soal seruan tertahan. Kepalanya bergerak-gerak

mencari. Rambut ikalnya bergoyang. Mata hitam biji buah lecinya

berputar-putar. "Baaa.... M-a-a-a...." Menggerung seperti biasanya. Bunda

berusaha memeluknya. Sayang, kanak-kanak itu seperti biasa

berseru marah.

Karang setelah mendengarkan keputusan Bunda melangkah menuju

kamar tanpa banyak bicara. Meski makan dengan sendok bukanlah

kemajuan yang besar dan penting, tentu saja dia senang dengan

perkembangan ini. Meletakkan koper lusuh dan mesin ketik tuanya.

Terdiam sejenak. Mendongak menatap langit-langit kamar. Menyeka

dahinya yang berkeringat. Mendesah pelan. "Ibu, bagi musafir setelah

melalui perjalanan jauh melelahkan, penuh sakit, sendiri, dan sesak, sebuah

pemberhentian kecil selalu menjadi oase sejuk pelepas dahaga.... Setelah

keseharian yang penat, rutinitas yang menjemukan, sebuah kabar gembira

kecil selalu menjadi selingan yang menyenangkan.... Juga seteiah semua

penderitaan, semua rasa putus-asa melewati lorong panjang nan gelap,

sebuah titik cahaya, sekecil apapun nyalanya, selalu menjadi kabar baik.

Janji-janji perubahan....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 221: SMP KHADIJAH

Padahal itu selalu terjadi pada kami. Pemberhentian kecil. Kabar gembira.

Titik Cahaya. Setiap hari kami menemuinya. Masalahnya kami selalu lalai

mengenalinya, kecuali itu benar-benar sebuah kejadian yang luar-biasa....

Atau jangan-jangan kami terlalu bebal untuk menyadarinya, mengetahui

pernak-pernik kehidupan selalu dipenuhi oleh janji perubahan....

Ibu, kami juga latai untuk, mengerti, terkadang seteiah pemberhentian kecil

menyenangkan itu, justru jalanan menikung, penuh jurang dan onak.

telah siap menunggu. Terkadang seteiah selingan yang menyenangkan itu,

beban dan rutinitas menjemukan semakin menyebalkan. Terkadang seteiah

titik cahaya kecil itu, gelap-gulita sempurna siap mengungkung... membuat

semuanya semakin terasa sesak, sakit, dan penuh putus-asa.... Tapi tak

mengapa, Ibu.... Setidaknya hari ini, pagi ini, biarlah kami bergembira atas

kabar baik. ini. Bergembira sebentar. Gadis kecil itu sudah bisa

menggunakan tangannya. Makan dengan sendok. Andai saja kau ada di

sini untuk melihatnya... Andai saja kau juga dulu ada untuk, melihat putra-

mu berhasil melepaskan diri dari kehidupan jalanan itu...."

Karang mendengus pelan. Mengusir jauh-jauh masa lalu itu dari

kepalanya. Melangkah keluar kamar, saatnya untuk melanjutkan metode

pengajaran Melati.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 222: SMP KHADIJAH

Siang itu juga Karang meminta Bunda membersihkan seluruh ruangan di

lantai dua dari barang-barang, perabotan. Sterilisasi.

"Nyonya, Melati sejak detik ini akan memulai harinya yang baru. Tidak. Ia

bisa makan dengan sendok itu hanyalah kemajuan kecil. Itu sekadar

membuktikan Melati tidak gila. Otaknya waras. Hanya itulah gunanya!

Menunjukkan kalau Melati mampu mencerna kebiasaan yang diajarkan

kepadanya meski ia tidak memiliki akses untuk belajar.... Seekor lumba-

lumba bisa dibiasakan meloncati roda api di atas kolam karena meski ia

tidak punya otak, ia punya mata untuk belajar. Melati sebaliknya. Hari

ini kita bisa menyimpulkan otaknya tidak bermasalah, meski ia tidak bisa

melihat dan mendengar...."

Maka Mang Jeje, Salamah dan tujuh pembantu lainnya sepanjang hari

sibuk memindahkan perabotan dari lantai dua. Kursi-kursi mewah.

Lemari-lemari kayu jati berukir dan berplitur mahal. Peralatan-peralatan

rumah tangga. Semuanya dipindahkan!

"Juga foto itu, Nyonya!" Karang menunjuk foto keluarga yang diletakkan di

dinding koridor lantai dua, "Kosongkan seluruh lantai. Apapun itu! Melati

akan memulai kembali mengenali benda-benda. Tidak. Urusan ini sama

sekali belum ada titik-terangnya.... Putri Nyonya sama sekali belum

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 223: SMP KHADIJAH

memiliki akses untuk belajar. Kita hanya berhasil membiasakan. Lihatlah!

Untuk membiasakannya makan dengan sendok saja kita butuh satu

minggu. Itu terlalu lamban! Terlalu lamban, Nyonya.... Dengan kecepatan

seperti ini Melati membutuhkan seribu tahun, bahkan hanya untuk

menyamai pengetahuan anak-anak berumur sembilan tahun...." Bunda

meski tidak mengerti apa maksud semua ini. Apa maksud ucapan Karang

barusan mengangguk menurut. Hatinya diliputi kebahagiaan luar biasa.

Jadi ia ikut memindahkan barang-barang. Melepas foto keluarga mereka

dari dinding. Seandainya Tuan HK tahu ia melepas foto ini.... Bunda

menyeka keringat di leher, tersenyum. Seandainya suaminya juga tahu

kalau pagi ini Melati bisa makan dengan sendok.

"Melati harus belajar lebih cepat. Nyonya! Dengan ruangan baru. Dengan

sekelilingnya yang baru. Itu akan memaksanya belajar. Semoga ia tidak

melawan seperti seminggu terakhir-" "PYAR!"

Belum usai kalimat Karang, belum selesai harapan itu disebut, Melati yang

dibiarkan sendirian di koridor entah bagaimana caranya sudah

melemparkan keramik yang tergeletak di lantai, lupa diangkut Mang Jeje.

Keramik itu menghantam pembatas koridor. Lantas jatuh ke lantai bawah.

Membuat suara lebih kencang lagi. Bunda menoleh. Gugup. Karang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 224: SMP KHADIJAH

bergegas mendekat. Melati sejak tadi sibuk meraba-raba ruangan

sekitarnya. Kosong. Semuanya terasa berbeda. Tubuhnya yang masih lemah

selepas sakit, masih lamban bereaksi atas perubahan itu. Ia mulai

menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Gadis kecil itu tidak mengerti. Ia

tidak mengenali lagi lantai kosong itu. Bagaimanalah ia akan mengerti? Ia

tidak memiliki cara untuk tahu apa yang sedang terjadi. Mulailah

kebiasaan merajuknya kembali. Suara gerungan mengeras. Mata hitam biji

buah lecinya berputar-putar lebih cepat.

Nasib buruk buat keramik itu. Hancur berkeping-keping menimpa

tumpukan barang di bawah.

"BAAAA.... MAAA!" Melati berteriak marah. Bagai mesin diesel yang mulai

panas, kanak-kanak itu kembali mengamuk.

"Sayang.... Ja-ngan-" Bunda sambil tersenyum.

berusaha menahan gerakan tangan putrinya yang berusaha mengangkat

keramik lainnya (lebih besar dari yang tadi).

"BAAA!!!" Melati mengibaskan tangan Bunda. Galak. Tertegun. Bunda

sempurna tertegun. Menoleh kepada Karang. Penuh sejuta tanya.

Bukankah tadi pagi Melati begitu anggun dengan mangkuk sarapannya.

Begitu terkendali. B-e-g-i-t-u.... "Maafkan aku. Nyonya.... Dari sisi apapun,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 225: SMP KHADIJAH

sarapan Melati tadi pagi sama sekali bukan kemajuan. Ia tetap sama tidak

mengertinya seperti sebelumnya. Hitam. Gelap. Kosong. Melati tetap belum

memiliki cara untuk mengenali sekitarnya. Kita hanya tahu, putri Nyonya

bisa dibiasakan. Meski untuk membiasakan satu kebiasaan baru itu ia

harus melalui banyak kesulitan.... Mahal sekali harganya!" Karang menatap

prihatin Bunda. Lihatlah, wanita setengah baya di hadapannya memasang

wajah tidak mengerti.

Wajah yang tadi pagi begitu senang. Riang. Seolah-olah kabar baik itu

bagai gelombang air besar. Yang bisa membasahi seluruh kekeringan

selama tiga tahun terakhir. Yang bisa menghanyutkan kesedihan, penat,

dan rasa putus-asa. Tidak. Kabar baik tadi pagi bahkan tidak cukup untuk

menyiram satu pot kembang layu. Karang mendekati Melati yang masih

berusaha mengangkat keramik besar di depannya. Bunda masih tertegun.

"BAAA.... MAAAAM" Melati menggerung tambah galak saat Karang

'mencengkeram' lengannya.

"Lepaskan, Melati!" Karang mendesis. "BAAA!" Gadis itu memukul

sembarangan. Karang gesit menangkap tangannya. Lantas menyeret

Melati. Tidak sekasar seperti hari-hari kemarin. Tidak juga membentak

sekencang seperti hari-hari sebelumnya. Tapi bagi Bunda, pemandangan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 226: SMP KHADIJAH

ini sempurna membuat luruh harapan tadi pagi yang menjulang tinggi.

Membuat lumer asa tadi pagi yang begitu megah. Bunda menggigit bibir,

mengusap lemah keringat di dahinya, tertunduk.... Semua terasa kembali

menyedihkan. Dan (memang) sungguh begitulah hidup ini.

Satu minggu berlalu dengan cepat. Amat cepat malah. Tidak terasa. Yang

lambat itu adalah kemajuan Melati. Yang sungguh terasa itu adalah

perasaan Bunda. Menjelang malam di hari Melati bisa sarapan dengan

sendok seminggu lalu, seluruh ruangan lantai dua sempurna bersih dari

benda-benda. Hanya kamar Melati yang menyisakan tempat tidur

berseprai biru. Kamar tidur Tuan HK dan Bunda, ruang kerja Tuan HK,

semuanya kosong. Kecuali kamar Karang. Bunda pindah ke lantai satu.

Barang-barang ditumpuk di sana. Tinggi. Menjulang. Karang membuat

banyak peraturan baru. Salah-satunya yang terpenting, Melati tidak boleh

turun dari lantai dua. Jadi sepanjang siang dan malam kanak-kanak itu

hanya boleh berada di hamparan ruangan kosong. Anak tangga pualam

bahkan disekat dengan pembatas. Membuat gadis kecil itu kehilangan cara

untuk turun.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 227: SMP KHADIJAH

Karang juga melarang Bunda menemani Melati. Hanya dijadwal-jadwal

tertentu Bunda boleh naik ke lantai atas, melihat putrinya. Karang

sempurna menginginkan gadis kecil itu hanya bersamanya. Dia

menginginkan Melati me-restart ulang seluruh memori dan cara

berpikirnya tentang benda-benda. Salamah? Apalagi ia, tidak boleh sama

sekali naik ke atas kecuali dipanggil.

Masalahnya, persis yang dikhawatirkan Karang sebelumnya, kanak-kanak

itu bereaksi sama seperti saat dibiasakan untuk makan menggunakan

sendok. Melawan. Marah. Melati ngamuk. Dan melakukan apa saja untuk

menunjukkan hal itu. Seorang kanak-kanak lazimnya selalu sebal saat

diajari sesuatu yang baru. Normalnya, setiap manusia selalu membenci

sebuah proses perubahan. Maka agar proses belajar dan berubah itu

menjadi menyenangkan, dibutuhkan pengertian, komunikasi, dan

penjelasan bahwa proses itu tidak terlihat se-menyebalkan seperti yang

dibayangkan, bahkan menyenangkan dan berguna untuk dirinya sendiri.

Tapi Melati tidak memiliki cara untuk tahu, untuk paham, untuk mengerti

hal itu. Bagaimanalah bisa? Semua jalur komunikasi tertutup baginya.

Baginya, hamparan kosong lantai dua hanya berarti berbeda. Ia tidak suka

perubahan. Ia membencinya. Titik. Proses belajar itu amat menyakitkan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 228: SMP KHADIJAH

bagi otaknya yang memiliki keterbatasan akses untuk mengerti. Sama

seperti kalian yang ingin sungguh-sungguh belajar sesuatu, namun tidak

kunjung mengerti-mengerti juga. Berjuang habis-habisan

demi sebuah pemahaman. Kepala seperti mau pecah. Tetap tidak mengerti

jua.... Kanak-kanak itu bahkan sama sekali tidak memiliki cara untuk

mengerti. Maka otaknya yang mengkal, 'putus-asa' hanya mengirimkan

satu jenis sinyal: melawan. Melati melemparkan segalanya. Dalam artian

melawan situasi tidak dikenalnya, juga dalam artian melemparkan yang

sebenarnya, benda apa saja yang ditemuinya. Sayang, tangannya yang

terjulur liar seperti moncong musang hanya menggapai kosong. Tidak ada.

Tidak ada barang-barang yang meski cuma untuk digebuk oleh tangannya.

Kanak-kanak itu terhuyung berlarian ke sana ke mari. Tidak ada.

Semuanya hampa. Kosong. Persis yang ada di kepalanya.

Maka mengalirlah semua energi marah tersebut melalui teriakan. Melati

semakin sering berteriak. Menggerung marah. Berseru-seru kencang.

Membuat ganjil sekali suasana di rumah lereng bukit itu. Bagaimana

tidak? Suara teriakan Melati terdengar hingga ke halaman rumput.

Membuat Mang Jeje tertegun. Burung gelatik berterbangan. Air dari keran

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 229: SMP KHADIJAH

yang dipegang Mang Jeje mengalir tanpa disadari, membuat pot bunga

mawar terendam....

Terdengar hingga dapur lantai satu. Membuat Salamah tertegun. Tanpa

sadar mengiris-iris ikan untuk makan malam hingga hancur. Apalagi

Bunda. Bunda hanya bisa menggigit bibir, mendongak cemas ke lantai atas.

Ia tidak tahu apa yang membuat putrinya marah lagi. Ya Tuhan, musnah

sudah harapannya yang begitu besar saat pertama kali melihat putrinya

makan dengan sendok. Yang ada sekarang justru rasa cemas. Takut. Sedih.

Gugup. Entahlah. Yang itu semua bahkan terasa lebih besar dibandingkan

sebelumnya. Jika kekhawatirannya memuncak. Bunda akan bergegas naik

ke atas tangga pualam. Dari pembatas anak tangga ia dari 'jauh' bisa

melihat apa yang sedang dilakukan putrinya. Itu pun jika Melati tidak

berada di kamar bersama Karang. Menatap dengan cahaya mata redup.

Mengusap wajah berkali-kali. Berbisik lirih tentang janji kebaikan, janji

perubahan: bertahanlah, putriku! Bunda mohon....

"BAAA.... BAAAA!!!" Melati berteriak. Marah.

"Kau mau ke mana!" Karang mendelik.

"BAAA!" Melati mana peduli, tangannya yang

menjulur-julur liar tidak sengaja menyikut kursi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 230: SMP KHADIJAH

plastik di hadapannya. Kursi itu terpelanting. Gadis

kecil itu meringis menahan sakit. Lantas seperti

biasa reflek tertatih berlari menjauhi Karang.

"Kembali!" Karang menghardik, galak.

"BAAA!!" Melati berteriak lebih galak. Sudah tiba di

bingkai pintu ruangan. Meraba-raba ke depan.

Terus melangkah.

Berdebam jatuh, kakinya yang terburu-buru tersangkut ubin. Suara

gedebuk jatuh itu membuat kepala Bunda yang duduk menunggu di lantai

bawah terdongak. Seperti biasa, bergegas naik ke atas tangga pualam.

Karang melangkah cepat mengejar. Melati bangkit

lagi. Meneruskan larinya. Wajahnya menyeringai. Mata hitam biji buah

lecinya berputar-putar sebal. Gigi kelincinya terlihat. Mulutnya terus

menggerung marah. Hari ini Karang mengajarinya tentang: kursi. Melati

harus belajar duduk di kursi. Sebenarnya bukan hari ini saja, sepanjang

minggu ini Melati belajar duduk di kursi. Sebenarnya tidak sulit menyuruh

Melati duduk. Ia sudah terbiasa sembarangan duduk di lantai, di tempat

tidur, di mana saja. Tapi Melati belum pernah duduk di kursi dengan

benar. Seharusnya pelajaran ini terlihat mudah.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 231: SMP KHADIJAH

Masalahnya, bagaimana pula Melati tahu apa itu kursi? Sama seperti

sendok-garpu. Ia tidak punya ide sama sekali apa benda tersebut? Apa

gunanya? Buat apa coba? Yang ada di kepalanya hanya gelap. Tidak peduli

sekencang apapun Karang menjelaskan, "INI KURSI MELATI! KURSI...

KURSI! TEMPAT DUDUK. Kau duduk di atasnya. Semua orang punya

tempat duduk. Bahkan Tuhan juga punya 'tempat duduk'-"

Hari pertama ia hanya meraba-raba kursi itu. Lantas beranjak pergi. Tidak

peduli. Hari kedua saat Karang mulai menyuruhnya duduk. Melati

berteriak marah. Ia tidak suka dipegang-pegang. Tidak suka disuruh-

suruh. Menendang kursi plastik di hadapannya. Kabur. Begitu saja

sepanjang minggu terakhir.

Melati terjatuh lagi. Gerungannya melemah. Berusaha berdiri. Sayang,

Karang berhasil mencengkeram lengannya. Menyeretnya kembali

masuk kamar. Bunda menatap sayu dari pembatas anak tangga pualam.

Menggigit bibir. Seminggu ini hatinya tidak pernah lelah berharap. Tidak

pernah berhenti berdoa. Meski itu membuat fisik dan kepalanya justru

semakin lelah. Benarlah, bukan penderitaan jasmani yang membuat cepat

lelah, tapi beban hatilah yang sungguh membuat seluruhnya terasa lebih

lelah.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 232: SMP KHADIJAH

Berjuanglah, anakku. Bunda mohon, jangan menyerah.... Bunda berbisik

senyap. Tertunduk. Ia mencemaskan banyak hal. Dan salah satunya yang

membuat hari-hari terakhir amat sesak adalah kalimat Karang dulu.

"Tidak. Urusan ini sama sekaii belum ada titik-terangnya.... Putri Nyonya

sama sekali belum memiliki akses untuk, belajar. Kita hanya berhasil

membiasakan Melati. Lihatlah! Untuk membiasakannya makan dengan

sendok, saja kita butuh satu minggu. Itu terlalu lamban! Terlalu lamban,

Nyonya.... Dengan kecepatan seperti ini Melati membutuhkan seribu tahun,

bahkan hanya untuk, menyamai pengetahuan anak-anak berumur

sembilan tahun...."

Ya Allah, berikanlah cara agar Melati mengerti. Berikanlah cara agar Melati

tahu. Sama seperti kanak-kanak lain yang mengerti dan tahu.... Bunda

bergumam lirih sambil perlahan menuruni anak tangga pualam. Menyeka

ujung-ujung matanya. Seminggu ini ternyata ia lebih banyak lagi menangis

dibandingkan minggu lalu.

Malam kembali datang. Bersamaan dengan hujan

deras yang membasuh kota. Kecipak suara air menerpa dedaunan,

hamparan sawah, atap-atap kokoh bangunan perkotaan. Syahdu. Lautan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 233: SMP KHADIJAH

lengang dibungkus berjuta larik bilur air dari angkasa sejauh mata

memandang. Melihat jutaan bilur air membuncah permukaan laut terasa

begitu khidmat. Kerlip cahaya perahu nelayan, kapal ferry di pelabuhan,

berpadu indah dengan sorot tajam ribuan watt lampu mercu suar di ujung

pulau sana. Melati sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Tergeletak

lelah. Hari ini ia aktif sekali. Berlarian ke sana ke mari menghindari

Karang. Berteriak tiada henti. Memukul. Menjambak (rambut gondrong

Karang). Mencakar. Apa saja yang tangannya bisa. Malam ini ia lelah. Mata

hitam biji buah lecinya redup tertutup. Baru setengah tertutup. Keras

kepala membuatnya terus berusaha terjaga. Mulutnya menggerung pelan.

Yang kalau saja semua keterbatasan ini tidak mengungkungnya boleh jadi

terdengar seperti senandung riang kanak-kanak menjelang tidur. Kanak-

kanak yang suka bicara sendirian di kamarnya. Jemari Melati mengetuk-

ngetuk pelan dinding. Melati tidur dengan lutut terlipat seperti orang

kedinginan, menghadap dinding. Posisi favoritnya setahun terakhir.

Rumah lereng bukit itu sepi. Mang Jeje dan pembantu lainnya sudah

masuk kamar. Salamah malah sudah memeluk guling dengan motif donaid

dan daisy bebek itu. Nyengir entah memikirkan apa. Sepanjang hari ini

dadanya terus berdegup

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 234: SMP KHADIJAH

kencang. Gimana nggak? Setiap Melati berteriak, level kepanikannya

meningkat tajam. Jadi malam berhiaskan suara buncah air hujan, irama

yang terdengar teratur, membuatnya amat nyaman berbaring di atas

ranjang. Tidur lelap. Karang duduk di kursi plastik dekat ranjang Melati.

Tersenyum tipis. Menatap kanak-kanak yang memunggunginya. Karang

sama lelahnya dengan Melati. Seminggu terakhir benar-benar menguras

kemampuan mengajarnya. Tidak. Semuanya benar-benar percuma. Melati

tidak kunjung menemukan cara untuk belajar dengan cepat selain dengan

membiasakannya. Pembiasaan yang menyakitkan.

Singa laut anggota sirkus bisa melompat menangkap bola karena

kebiasaan. Tapi proses itu menyenangkan bagi singa laut, juga pelatihnya.

Singa laut bisa melihat, mengamati, lantas mengambil kesimpulan: kalau ia

melakukannya dengan baik, maka sepotong ikan segar juga akan

dilemparkan kepadanya. Melati tidak. Ia tidak punya cara untuk mengerti

mekanisme itu dengan cepat. Tadi sore, persis saat matahari merah bersiap

menghujam kaki cakrawala, setelah satu minggu yang melelahkan. Melati

memang akhirnya bisa duduk di kursi plastik. Meski harus dilaluinya

dengan hukuman dua hari tidak makan. Karang dua hari terakhir sengaja

meletakkan mangkuk makanan di atas meja tinggi. Yang hanya bisa

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 235: SMP KHADIJAH

digapai dengan kursi. Gadis kecil itu, sama seperti belajar menggunakan

sendok, dengan susah payah

akhirnya tahu kalau ia harus menaiki kursi, duduk di atasnya untuk

mendapatkan makan. Kanak-kanak kecil itu akhirnya mengerti mekanisme

tersebut. Satu minggu hanya untuk itu. Amat lamban. Pemandangan yang

mengharukan, untuk tidak bilang menyedih-kan, saat kanak-kanak itu

pertama kali melakukannya. Gemetar tangan Melati menaiki kursi. Jatuh

berdebam. Mencoba sekali lagi. Jatuh berdebam. Mencoba sekali lagi.

Wajahnya barut oleh luka. Tangannya juga. Tapi perut lapar dua hari

membuat Melati terus berusaha. Ia tidak tahu benda apa ini! Kursi? Ia

tidak tahu sama sekali. Tapi otaknya mengirim kesimpulan: ia harus

melakukannya kalau ia ingin makan. Hingga tangannya yang liar

menjulur-julur bisa menyeimbangkan badan. Hingga tubuhnya yang selalu

bergerak-gerak bisa duduk tenang di atas kursi. Lantas bergetar meraih

sendok di sebelah mangkok. Harga sebuah proses belajar. Bunda yang

menyimak dari pembatas anak tangga pualam untuk ke sekian kalinya

menangis. Tersedu. Jatuh terduduk memegangi pembatas. Sama seperti

saat pertama kali melihat Melati makan dengan sendok, Bunda berbisik

rasa syukur berkali-kali ke langit-langit ruangan. Karang hanya menatap

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 236: SMP KHADIJAH

lemah. Menghela nafas panjang, prihatin. Siapapun tahu, kemajuan Melati

amat lamban. Terlalu lamban malah. Jika bukan karena waktu, suatu saat

jangan-jangan justru dia dan keluarga ini yang menyerah. Tapi bagi

Bunda, lihatlah, baginya kemajuan ini tetap seperti terobosan hebat dunia.

Seperti ketika puluhan ribu pekerja kasar, ribuan teknisi, dan ratusan

insinyur yang berhasil membuat Terusan Suez. Luar-biasa! Malam beranjak

naik. Hujan semakin menderas. Karang memainkan sehelai bulu ayam di

tangannya. Bulu ayam milik Melati, dari Mang Jeje (sebenarnya Melati yang

merenggutnya dari ayam kate Mang Jeje). Karang menoleh menatap

jendela. Berembun. Begitu damai, menyenangkan. Menghela nafas panjang.

Malam ini dia tidak segera mengurung diri di kamar, mengeluarkan mesin

ketik tua lantas menuliskan apa saja yang dipikirkannya. Malam ini entah

mengapa Karang ingin menemani kanak-kanak yang sebentar lagi akan

terlelap tidur. Terus memainkan bulu ayam. Menatap kembali rambut ikal

Melati yang mengombak. Gadis kecil itu beringsut memperbaiki posisinya.

Karang tersenyum, lihatlah, bagi Melati bantal itu di kaki. Bukan di kepala.

Ia tidak pernah melihat orang lain menggunakan bantal dengan benar,

kan? Jadi ia hanya meletakkan bantal di posisi yang membuatnya paling

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 237: SMP KHADIJAH

nyaman, di bawah kaki. Lagipula ia tidak tahu apa itu bantal. Yang ia tahu

gunanya: membuat nyaman tidur.

"Bulu Merpati yang indah...." Karang berkata pelan. Mengamati helai bulu

di tangannya. Dia sih tidak tahu persis itu bulu apa. Yang Karang tahu

persis, malam ini entah mengapa dia ingin mengajak Melati berbincang-

bincang. Tidak peduli meski seluruh dunia tahu, gadis kecil di hadapannya

tidak akan mendengar sepatah kata pun kalimatnya. Karang

hanya ingin berbincang-bincang.... Karang ingin mendongeng. Persis

seperti yang dilakukannya di Taman Bacaan Anak-Anak dulu. "Kak

Karang! Kak Karang! Mendongeng. Mendongeng buat Qintan!-" Qintan

menggelayut di lengannya. Wajahnya membujuk penuh harap. Nyengir

lebar. "Dongeng apa?" Karang tertawa menatap wajah imut Qintan.

"Ehm.... E, e, dongeng apa ya?" Qintan menggaruk-garuk rambutnya,

berpikir sok dewasa. Lantas sekejap menyebut sebuah benda. Karang

pendongeng yang baik. Baginya bercerita hanyalah proses sederhana. Dia

bisa membuat cerita apa saja dari sepotong benda. Memberikan plot dan

karakter menarik, juga konteks pelajaran bagi anak-anak. Anak-anak di

Taman Bacaan tahu itu. Mereka tinggal menyebut sepotong benda, maka

Kak Karang akan membuatkan sebuah cerita yang indah.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 238: SMP KHADIJAH

"Kau tahu, Melati...." Karang berkata pelan, memutus sendiri lamunannya

barusan. Menarik nafas dalam-dalam. Memperhatikan lamat-lamat helai

bulu ayam (burung) di tangannya. "Bagi penduduk di sebuah tempat, yang

letaknya jauh, jauuuh dari sini. Seekor burung selalu menjadi simbol yang

indah bagi mereka. Sama indahnya dengan helai bulunya...."

Melati menggeliat lagi. Memperbaiki posisi tidurnya. Mata hitam biji buah

lecinya sekali terpejam. Terbuka lagi. Sekali terpejam. Terbuka lagi.

Mulutnya masih 'bersenandung' pelan. "Ah-ya, kau mungkin tidak tahu

apa itu burung...."

Karang seperti menyadari sesuatu, tersenyum, "Burung itu bisa terbang,

sayang. Terbang dengan sayapnya. Bisa berpindah-pindah dari satu tempat

ke tempat lain dengan mudah. Dari satu atap rumah ke atap rumah

lainnya. Semua kanak-kanak pasti pernah bermimpi ingin menjadi

burung.... Bisa terbang.... Bisa pergi jauh!"

"Andaikata Melati melihat bisa melihat seekor burung terbang...." Karang

tersenyum sekali lagi, "Terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Ah-ya

kau juga tidak tahu apa itu pohon...." Karang terdiam sejenak. Memainkan

bulu ayam kate Mang Jeje.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 239: SMP KHADIJAH

Dulu setiap kali dia bercerita dengan Qintan, gadis kecil itu selalu menyela

setiap dia menyebut sesuatu yang Qintan tidak mengerti. Tidak kunjung

berhenti bertanya hingga Qintan tahu. Membuat cerita berputar-putar.

Qintan sungguh berbeda dengan anak-anak Taman Bacaan lainnya. Ia

cerdas. Rasa ingin tahunya amat besar. Andaikata Melati bisa mempunyai

cara untuk bertanya, pasti sama kritisnya dengan Qintan. Karang

mendesah pelan....

"Menurut kepercayaan penduduk di tempat itu, saat ada seseorang

diantara mereka yang pergi, meninggalkan kota, meninggalkan kampung,

maka mereka harus melepaskan seekor burung baginya. Lebih banyak

burung yang dilepaskan, maka lebih banyak keberuntungan yang akan

menyertai kepergiannya.... Kau tahu. Melati, kenapa harus seekor burung?

Kenapa bukan bebek? Sapi? Atau

binatang ternak lainnya? .... Karena burung menjadi simbol yang amat

indah....

"Lihatlah, seekor burung terbang bebas di angkasa. Tanpa beban. Berputar-

putar menatap hamparan dunia luas... begitu indah, bukan? Begitu pula

seharusnya saat seseorang akan pergi, entah itu untuk menimba ilmu,

entah itu untuk mencari kehidupan yang lebih baik, entah itu untuk

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 240: SMP KHADIJAH

sebuah janji perubahan, ia seharusnya sama bebasnya seperti seekor

burung. Tanpa beban. Berputar-putar begitu indah. Bahkan, kau tahu,

sayang, setiap manusia sudah seharusnya bagai seekor burung, hidup

bebas tanpa beban perasaan, tanpa beban kesedihan. Selalu senang

memandang luasnya hamparan kesempatan dan janji kebaikan di muka

bumi...."

Gerungan Melati melemah. Kanak-kanak itu hampir jatuh tertidur.

Lihatlah, muka menggemaskan miliknya. Wajah bundar bersih. Rambut

ikal mengombak. Hidung mancung kecil. Mulutnya yang terbuka sedikit,

memperlihatkan gigi-gigi kecil kelincinya.

Karang mengusap wajahnya, "Dalam proses kepergian, lazimnya yang pergi

selalu lebih ringan dibandingkan yang ditinggalkan. Lebih ringan untuk

melupakan.... Yang pergi akan menemui tempat-tempat baru, kenalan-

kenalan baru, kehidupan-kehidupan baru, yang pelan tapi pasti semua itu

akan mengisi dan menggantikan kenangan lama. Sementara yang

ditinggalkan lazimnya tetap berkutat dengan segala kenangan

itu...."

Karang terdiam sejenak. Bukan. Bukan karena kehabisan ide kalimat

berikutnya. Bukan karena melihat Melati yang sudah jatuh tertidur. Tapi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 241: SMP KHADIJAH

karena kalimatnya yang tidak sengaja meluncur barusan. Tidak juga.

Kalimat itu dalam beberapa hal tidak selalu benar. Bahkan keliru. Lihatlah

dirinya. Tiga tahun berusaha pergi dari kejadian menyakitkan itu.... Tapi

dia tetap bersama kenangan-kenangan itu. Tidak pernah berhasil

melepaskan diri dengan situasi baru, suasana baru, hari-hari baru. Wajah

Qintan. Wajah tujuh belas kanak-kanak lainnya. Taman Bacaan... dan

Kinasih! Karang menghela nafas panjang. Tapi helaan nafas itu tidak

sendiri. Karang menoleh. Bunda sudah berdiri di bawah bingkai pintu

kamar. Sudah sejak lima belas menit lalu. Jadwal menjenguknya. Seperti

biasa Bunda diperbolehkan memastikan putrinya sudah tertidur.

Menyelimutinya. Mengecup dahinya (kalau Melati masih bangun, ia akan

marah diselimuti, apalagi dicium).

Bunda tadi terdiam saat melihat Karang sedang bercerita.... Langkahnya

terhenti. Mendengarkan. Ikut menghela nafas panjang.

"Ma-af aku mendengar ceritamu...." Bunda tersenyum.

Karang menggeleng pelan. Tidak apa-apa. "Apakah Melati sudah tertidur?"

Karang mengangguk. Bunda melangkah masuk. Wajah wanita setengah

baya itu terlihat begitu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 242: SMP KHADIJAH

lelah, meski tetap berusaha tersenyum. Rambutnya yang beruban, kerut di

dahi membuatnya terlihat lebih tua dari seharusnya. Matanya yang hitam-

bening keibuan ditelan semua oleh perasaan 'sabar' selama ini. Bunda

menyelimuti Melati. Mencium dahi putrinya. Menatap lamat-lamat.

Lihatlah, Melati seperti malaikat dalam tidurnya. Begitu lucu-

menggemaskan.

"Terima-kasih sudah membantu Melati sejauh ini, anakku-" Bunda

tersenyum, menoleh menatap Karang.

Karang ikut tersenyum. Mengangguk pelan. "Ia sudah bisa makan dengan

sendok.... Ia juga sudah bisa duduk manis di kursi...." Bunda berkata

dengan suara bergetar. Terlihat begitu senang, dan ia memang sedang

senang. Dua hal yang ia sebutkan barusan bahkan tak pernah kuasa

diimpikannya tiga tahun terakhir. Karang memutuskan tidak berkomentar.

Hanya tersenyum. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan tersebut.

Meskipun seharusnya Bunda menyadari kemampuan sederhana seperti itu

bahkan sudah dimiliki kanak-kanak berumur tiga tahun. "Anak yang amat

cantik...." Bunda mengusap lembut pipi Melati, mulai bercerita, terbawa

suasana Karang tadi yang bercerita, "Kami menikah di usia yang masih

muda. Aku baru berusia 22 tahun saat keluarga HK datang melamar.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 243: SMP KHADIJAH

Masih kerabat dekat. Sebenarnya sudah dijodohkan sejak kecil. Sudah

menjadi tradisi di keluarga besar kami. Tapi itu bukan masalah. Aku

mencintai suamiku, sama

besarnya dengan ia mencintaiku...." Karang memperhatikan.

Mendengarkan takjim. "Harus kuakui keluarga HK dulu bukanlah tipikal

keluarga yang menyenangkan. Mereka tertutup, amat tertutup. Rumah ini

misalnya, jauh dari mana saja. Seperti menjadi simbol keangkuhan di

puncak bukit.... Aku harus menyesuaikan banyak hal, kebiasaan-kebiasaan

baru, hari-hari baru, bahkan aku harus belajar bagaimana makan yang

baik bersama kolega bisnis orang tua suamiku. Sama persis seperti Melati

yang belajar menggunakan sendok dan garpu-" Bunda tertawa kecil.

"Suamiku anak tunggal. Meski keluarga ini besar, tapi garis keturunan

utamanya selalu begitu. Anak tunggal. Orang-tua suamiku juga anak

tunggal.... Mereka pengusaha yang hebat, berhasil melipat-gandakan

perusahaan HK yang diwariskan. Begitu juga suamiku, ketika orang-tuanya

meninggal, belasan tahun silam, dia juga berhasil membawa perusahaan ini

lebih maju. Meski dalam banyak cara harus kuakui dia tidak selalu

melakukan hal-hal yang baik...." Bunda terdiam sejenak. Mengingat masa-

masa lalu.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 244: SMP KHADIJAH

"Suamiku amat kukuh dengan pendirian. Amat agresif menguasai bisnis

pesaingnya. Bahkan dalam banyak kesempatan mungkin menghalalkan

segala cara. Dulu, kehidupan keluarga kami tidak sedekat ini. Dia lebih

banyak menghabiskan waktu di kantor, pabrik, berpergian.... Baginya,

perusahaan menjadi prioritas pertama...." Bunda tersenyum getir.

Memperbaiki selimut Melati (yang lagi-lagi

menggeliat merubah posisinya).

"Hingga belasan tahu usia pernikahan kami. Hingga aku tidak kunjung

hamil.... Kecemasan itu mulai timbul. Ah, sederhana sekali kenapa

kecemasan itu datang, buat apa suamiku bekerja siang-malam jika tidak

akan ada yang mewarisi seluruh kekayaan ini.... Terputusnya garis

keturunan keluarga HK. Kenyataan itu benar-benar membuatnya cemas.

Dan begitu juga aku, lebih cemas lagi. Dia berusaha menenangkan siang-

malam.... Ah, di luar segala tabiat buruknya, suamiku amat mencintaiku.

Aku tahu itu...." Bunda tersenyum dengan muka memerah. Sejenak muka

lelah itu terlihat lebih bercahaya.

"Umurku 35 tahun, sempurna tiga belas tahun pernikahan kami tanpa

kabar bahagia itu. Seseorang mengatakan tentang berbuat baik. Tentang

bersyukur. Tentang berbagi. Ah-ya, itu ayah Salamah yang mengatakannya,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 245: SMP KHADIJAH

yang sejak awal keluarga ini ada sudah turun-temurun tinggal bersama

kami.... Kalimat itu sedikit banyak mempengaruhi suamiku. Perlahan-lahan

dia mulai berubah. Sama kukuhnya dengan sebelumnya, tapi mulai

mengerti tentang banyak hal. Berubah banyak hal-

"Lebih banyak waktu yang dihabiskan di rumah. Dan yang lebih penting

adalah lebih banyak kebaikan yang dilakukan untuk orang-orang.

Keluarga ini tidak pernah mendapatkan hormat dan respek sebesar dan

setulus itu sebelumnya.... Namun, kabar baik itu tetap tak kunjung datang.

Lima tahun

berlalu. Meski dengan segala kebaikan. Meski dengan segala terapi, aku

tidak kunjung hamil...." Bunda menghela nafas, terhenti sejenak. "Hingga

akhirnya, ketika rasa putus asa itu membuncah keluarga kami, ketika

harapan itu sepertinya benar-benar gelap.... Kabar baik datang. Dokter

Ryan, ayah Kinasih membawa berita baik itu. Setelah serangkaian

pemeriksaan aku dinyatakan positif hamil!" Bunda tersenyum lebar,

mengenang senang kejadian itu.

Karang mengusap wajah kebasnya. Nama Kinasih baru saja disebut.

Wajahnya selalu memerah setiap kali nama itu disebut. Seminggu terakhir

mereka tidak pernah bertemu iagi. Apa kabarnya? "Sungguh kabar yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 246: SMP KHADIJAH

hebat," Bunda meneruskan cerita, tidak terlalu memperhatikan wajah

merah Karang, "Seluruh kota bahkan ikut merayakannya...." Bunda sambil

tersenyum menatap lamat-lamat wajah tertidur Melati (wajah yang

menggemaskan meski sudah mulai Heran).

"Proses kehamilan dan kelahiran yang lancar. Semuanya benar-benar

lancar. Melati tumbuh begitu memesona.... Tubuhnya gendut, gempal,

rambut ikalnya sejak kecil sudah ikal mengombak. Kalau tersenyum,

membuat terhenti seluruh kegiatan di sekitarnya. Melati benar-benar

mengambil-alih seluruh perhatian. Tidak ada lagi yang akan membuat

hidup kami lebih bahagia dibandingkan masa-masa itu. Bahkan, sepertinya

tidak akan ada lagi kabar buruk yang bisa menandingi kebahagiaan baru

ini. Tidak ada."

Bunda terdiam sejenak.

"Hingga tiga tahun lalu. Kejadian yang menyedihkan itu-" Suara Bunda

mulai pelan terdengar. Serak. Karang menatap wajah yang tertunduk di

hadapannya.

"Kami sekeluarga besar pergi berlibur. Seluruh pembantu ikut. Pulau kecil

yang indah. Amat indah! Palau, Mikronesia. Melati riang berlarian di atas

pasirnya yang lembut bagai es krim. Umurnya baru tiga tahun. Menjemput

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 247: SMP KHADIJAH

masa kanak-kanak yang lucu. Masa kanak-kanak yang seharusnya lebih

banyak dihabiskan dengan bermain, penuh kasih-sayang...." Suara Bunda

tersendat. "Tapi, tapi semuanya musnah dalam sekejap.... Aku sungguh

tidak mengerti apa yang sedang terjadi waktu itu. Ketika Melati jatuh

terpelanting terkena piring terbang brisbee.... Putri kecil kami hanya jatuh

terduduk. Hanya itu, kan!" Bunda menyeka ujung-ujung matanya, "Putri

kecil kami bahkan bisa langsung berdiri setelah jatuh terduduknya,

tersenyum lebar menjulurkan tangan-tangannya. Memelukku erat, bangga

sekali setelah berhasil menjejak air laut sendirian. Wajahnya amat

menggemaskan...." Karang menghela nafas pelan.

"Putri kecil kami hanya jatuh terduduk ya Allah.... Tapi sejak siang itu,

entah apa maksudnya, entah apa sebabnya seluruh kebahagiaan kami

mulai diambil satu per satu... keterbatasan Melati mulai datang satu per

satu. Seperti eksekusi pengadilan yang amat menyakitkan.... Seperti

menguliti

bawang, sehelai demi sehelai, membuat mata pedih berair...." Bunda

berusaha menahan tangisnya. "Kami tidak tahu kalau ternyata Melati

pelan-pelan mulai buta, ya Allah.... Kami baru tahu saat bersiap pulang

dari berlibur. Putri kami berjalan terantuk-antuk. Berkali-kali jatuh.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 248: SMP KHADIJAH

Matanya tetap hitam-bening melihat. Bagaimana mungkin ia buta?

Bagaimana mungkin? Aku berteriak tidak percaya saat dokter resort bilang

Melati buta! Bagaimana mungkin! Itu tidak mungkin terjadi pada putri

kami. Ia terlalu cantik untuk buta, Melati terlalu lucu untuk buta. Sungguh

semuanya berubah menjadi amat menyakitkan...."

Senyap. Hanya suara hujan yang terdengar buncah di luar. Bunda

menahan isak-tangisnya. "... dan... dan seminggu kemudian kabar buruk

itu benar-benar datang, dua kali lipat menyedihkan.... Saat kami

memeriksakan Melati ke dokter Ryan. Melati juga mulai tuli. Ya Allah,

benar-benar menyakitkan mendengar berita itu. Bagaimana mungkin putri

kami yang lucu, menggemaskan tuli? Buta?"

"Dan ternyata itu semua belum cukup baginya. Belum cukup ya Allah....

Melati juga kehilangan semua pengetahuan yang pernah dipelajarinya

selama ini.... Dia seperti kembali bagai bayi kecil, tapi bayi itu tidak bisa

melihat, tidak bisa mendengar sekarang. Semua keterbatasan itu sempurna

mengungkung dirinya. Musnah sudah seluruh kebahagian kami selama

tiga tahun. Tidak bersisa...."

Kamar biru Melati lengang. Menyisakan sedan tertahan Bunda. Satu menit

berlalu.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 249: SMP KHADIJAH

Melati menggeliat lagi, tanpa sadar menyingkapkan selimut yang menutupi

tubuhnya. Bunda tersenyum (meski getir), dengan lembut kembali

menyelimuti putrinya. Lihatlah, hari ini putri cantiknya sudah berumur

enam tahun. Hari ini, putri cantiknya sudah bisa belajar makan dengan

sendok, sudah bisa duduk di atas kursi, ya Allah, seberapa pun berat

tahun-tahun terakhir miliknya, seberapa pun berat kesedihan itu, hari ini

sungguh ia sama bahagianya seperti saat ia tahu hamil enam tahun silam....

Lihatlah, malaikat kecilnya sudah bisa makan dengan baik, duduk di kursi

pula. Terima-kasih, Tuhan....

Ia sungguh sama bahagianya!

Gadis Berkerudung Lembut

Gerimis. Hujan semalam menyisakan gerimis di pagi hari. Musim

penghujan tiba di masa-masa matangnya. Kota pesisir yang indah itu boleh

dibilang setiap hari diguyur berkah dari langit, Hari ini Karang

mengijinkan Melati sarapan bersama Bunda di ruang makan besar lantai

satu. Bersama Salamah, Mang Jeje, dan beberapa pembantu lainnya.

Hadiah kecil atas keberhasilannya. Gadis kecil itu duduk manis di kursi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 250: SMP KHADIJAH

plastiknya. Kepalanya mendongak-dongak senang. Mata hitam biji buah

lecinya berputar-putar bercahaya. Ia mengenali ruangan besar tempat

makan itu. Ada meja besar. Ada kursi-kursi. Tidak kosong!

Tangan Melati meski lamban bisa menyuap sup jamur dari mangkuk.

Pegangan sendoknya makin lama makin mantap. Tidak gemetar lagi.

Masih tumpah sih, satu-dua membasahi baju terusan biru bermotif bunga

yang dipakainya. Tapi pemandangan itu menyenangkan. Siapa saja yang

tidak tahu keterbatasan Melati, tidak akan menyangka kanak-kanak

dengan mata hitam biji buah leci tersebut buta, tuli, sekaligus juga bisu.

Bunda menatap Melati dengan senyum terkembang. Sementara Salamah di

seberangnya ramai membicarakan festival kembang api dua minggu lagi di

pelabuhan kota. Ditingkahi suara polos Mang Jeje dan tujuh pembantu

lainnya (yang lebih banyak mengomentari kemajuan Melati dibanding

mendengar celoteh Salamah).

Selepas sarapan, Melati tidak perlu dipaksa kembali ke lantai atas. Ia

berjalan sendiri. Tangannya terjulur meraba-raba. Menaiki satu-persatu

anak tangga pualam sambil menggerung pelan. Bersenandung. Bunda

tersenyum menatapnya. Berbisik tentang berlarik asa. Berbisik tentang

beribu kabar baik.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 251: SMP KHADIJAH

Tapi hanya sepagi itu saja kabar baik itu datang. Setiba di atas, duduk di

kursi plastiknya, saat Karang memulai pelajaran baru, mulai mengenalkan

Melati benda baru, kabar baik itu terputus. Tangan Melati langsung

bereaksi. Pertama ia hanya meraba-raba benda itu. Mulutnya bergumam

lebih kencang. Kedua tangannya menggapai sudut-sudut benda yang

diberikan Karang. Mata hitamnya berputar lebih cepat. Kakinya pelan

menghentak-hentak lantai. Kanak-kanak itu menggerung, bersiap

melakukannya. "Jangan... Jangan dilempar!" Karang berusaha menggapai.

"PYAR!" Celengan kecil berbentuk ayam itu sudah menghantam dinding

sebelum kalimat Karang usai. Cepat sekali gerakan tangan Melati

melemparkannya.

"Baaa.... Baaa...." Melati memutar-mutar kepalanya. "Ini namanya tembikar!

Ini bukan mainan! Kau tidak boleh melemparnya. Juga benda-benda

lainnya! Ka-u ti-dak bo-teh me-lem-par-nya!" Karang menyerahkan

celengan kecil berikutnya. Kemarin sore, Mang Jeje sudah membeli

sekardus besar celengan kecil.

Tangan Melati menerima celengan berikutnya. Kepalanya bergerak-gerak.

Kakinya menghentak hentak lebih kencang. Menggerung lebih riang. Dan

dalam hitungan detik-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 252: SMP KHADIJAH

"PYAR!" Melati melemparkan celengan itu. Dua ekor ayam gemuk hancur

berkeping-keping di lantai. Karang menelan ludah. Ini akan lebih sulit

dibandingkan mengajari Melati makan dan duduk di kursi. Tidak ada

mekanisme yang akan memaksa Melati mengerti bahwa benda-benda yang

diberikannya bukanlah mainan yang sembarang bisa dilempar. Seperti ia

suka sekali melempar tembikar, telepon, piring, gelas, dan apa saja yang

berhasil digapai tangannya selama ini.

"Ini tembikar, Melati! Bukan mainan! Kau tidak boleh sembarangan

melemparnya-" Karang menyerahkan celengan kecil berikutnya.

"Baaaa.... Baaaa...." Melati menggerung, mulai bingung. Dua kali

bingungnya. Satu untuk bukankah selama ini jika ia memegang sesuatu,

sesuatu itu langsung dirampas dari tangannya. Langsung diambil. Kenapa

sekarang diberikan berkali-kali. Sama sekali tidak ada yang melarang

melemparnya? Dua, bukankah benda-benda ini memang untuk

dilempar. Itu kan yang ia pahami selama ini? Mengasyikkan sekali

melemparnya. "Kau tidak boieh sembarang melemparnya-" Karang

mendesis tajam.

"PYAR!" Celengan ketiga sudah menghantam dinding. Sekarang, dua ekor

ayam dan satu kodok hancur berkeping-keping di lantai. Karang menelan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 253: SMP KHADIJAH

ludah untuk kedua kalinya. Sesiang itu, bukan suara teriakan Melati yang

memenuhi langit-langit rumah di lereng bukit, tapi suara teriakan

tembikar yang hancur menghantam tembok, anak tangga pualam, atau

jatuh ke lantai satu. Menjelang senja tidak ada lagi celengan yang tersisa.

Berserakan. Gadis kecil itu terlihat senang. Rambut ikalnya bergerak-gerak.

Mata hitam biji buah lecinya berputar bercahaya. Gigi kelincinya terlihat

lucu. Sudah hampir dua minggu tangannya tidak latihan melempar

sesuatu. Sekarang puaaas banget.

"Baaaa.... M-a-a-a-" Tangan Melati menjulur ke depan. Mencengkeram

lengan Karang. Wajahnya menyeringai. Maksudnya mungkin seperti: apa

masih ada yang lain.

Karang mendesis pelan. Menggelengkan kepala. Percuma. Pelajaran kali ini

lebih rumit. Sudah di level yang lebih tinggi. Menanamkan pengertian pada

Melati kalau benda-benda itu bukan mainan. Bagaimana pula caranya?

Melati bahkan tidak tahu apa itu tembikar. Tidak tahu apa itu gagang

telepon. Apa itu bola. Baginya benda-benda itu sama. Menyenangkan

untuk, dilempar. Dan kali ini

jelas, tidak ada hukuman tidak boieh makan yang akan dimengertinya

seperti belajar menggunakan sendok dan duduk di kursi.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 254: SMP KHADIJAH

Salamah setengah jam kemudian sudah menyeka dahinya yang berdebu,

memegang pengki dan sapu ijuk. Ia dipanggil untuk membersihkan

tumpukan pecahan celengan. Pecah-beling berserakan di seluruh koridor

lantai dua. Sementara Melati yang bosan menunggu menerima celengan

berikutnya untuk dilempar, sudah berjalan ke sana ke mari, tangannya

terjulur liar, meraba-raba udara. Menggerung pelan. "Duduk, Melati!"

Karang berseru. "Baaa.... Maaa...." "Duduk, Melati!"

"Baaa...." Kanak-kanak itu terus melangkah. "Kau harus duduk, atau

kakimu terinjak pecah-belah celengan!" Karang meraih lengan Melati.

Menyibak kursi plastik.

"BAAA-" Kanak-kanak itu seperti ular yang diinjak ekornya seperti biasa

seketika berteriak marah. Kencang banget!

"Copot. Copot. Copot!" Salamah yang masih

membersihkan koridor lantai atas mengurut dadanya

(tidak sadar mengurut pakai ujung pengki;

menyeringai lebih kaget).

"Duduk, Melati!" Karang menarik paksa.

"BAAAA! BAAA!!" Melati mengibaskan tangan

Karang. Mata hitamnya berputar-putar, mendelik.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 255: SMP KHADIJAH

Ia berhasil melepaskan diri. Terjerambab. Segera

bangkit lagi. Berseru-seru. Karang berdiri mengejar.

Berteriak menyuruhnya kembali. Tapi Melati yang sudah terlatih mengenali

ruangan tanpa perabotan itu lebih cepat kabur darinya. Celaka. Kaki-kaki

kecilnya yang tanpa alas, sempurna menuju tumpukan pecah-belah

celengan yang terhampar bak ladang ranjau.

"Jangan.... Jangan mendekat!" Salamah berseru panik. Melempar sapu dan

pengkinya, menyeringai ngeri (sayang, Salamah hanya berteriak panik

doang, bukannya segera menyambar tubuh kecil yang bergerak sedikit

terhuyung tersebut). Karang melompat hendak menangkap tubuh Melati.

Terlambat. Gadis kecil itu sudah menginjak pecah-belah. Crash! Satu.

Crash! Dua. Kakinya terasa sakit sekali. Seperti ada yang menusuk-nusuk.

Pedih. Nyilu. Gemetar. Melati jatuh terduduk. Menambah rumit situasi,

karena tubuh kecil itu terhujam langsung ke tumpukan pecah belah.

Telapak tangan, siku, lengannya terluka. Juga dengkul. Juga wajah.

Salamah berteriak kencang. Mengagetkan Bunda yang sedang duduk

menulis di lantai satu. Mengagetkan Mang Jeje yang menyiram rumput

taman. Burung-burung gelatik berterbangan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 256: SMP KHADIJAH

Karang mendesis tertahan. Cepat mengangkat tubuh kanak-kanak itu,

yang berdarah di mana-mana. Karang gemetar memangkunya. Ada tiga

pecah belah menghujam telapak kakinya. Ada belasan luka di lutut, telapak

tangan, lengan dan wajah.

"BAAA.... BAAA...." Melati meronta-ronta dalam

pangkuan Karang. Berusaha memukul. Sakit. Tubuhnya terasa sakit dan

nyilu di mana-mana. Tapi ia lebih marah karena ada yang memangkunya.

Karang mempererat gendongannya, berusaha menghindari pukulan

Melati, bergegas membawa Melati ke kamar biru-nya.

"Panggil dokter, Salamah! CEPAT!!" Karang meneriaki Salamah.

Salamah yang sekejap tertegun pias melihat darah berceceran di lantai

terperanjat. Mengangguk, lantas terbirit-birit mencari telepon. Bunda

dengan wajah pucat (mendengar seruan Karang barusan) gemetar menaiki

anak tangga pualam. Melepas pembatasnya. Terkesima melihat bercak

darah di lantai keramik. Berseru panik menyusul ke kamar biru Melati.

Senja itu, ketika gerimis kecil akhirnya mereda, ketika langit mendung

digantikan oleh matahari merah yang bersiap tenggelam di garis horizon

lautan, ketika burung camar terbang kembali ke sarangnya, Melati sekali

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 257: SMP KHADIJAH

lagi terluka oleh proses belajarnya. Baru dua minggu, dan gadis kecil itu

harus membayar mahal sekali sedikit kemajuan yang didapatnya.

Rusuh! Salamah rusuh berusaha menelepon kediaman dokter Ryan. Saking

paniknya, tiga kali ia salah tekan nomor. Kantor Polisi ("Ada maling di

mana, Bu?"). Kantor Pemadam Kebakaran ("Sebutkan lokasi dan tempat

kebakarannya! Kami segera datang. Bu!"). Dan Kantor Urusan Agama

("Ibu mau menikah?".... )

Yang datang bukan dokter Ryan. Kinasih. Lima belas menit setelah

Salamah menelepon. Kinasih bergegas. Bergegas mengendarai mobilnya.

Bergegas naik ke kamar biru Melati. Tanpa sempat saling menyapa, apalagi

saling bertanya kabar dengan Bunda, gadis keturunan itu langsung

mengurus Melati. Waktu seperti berjalan lambat. Tak.... Tak.... Tak....

Bunda berkali-kali menyeka ujung-ujung matanya. Tegang. Salamah

tertunduk, menggigit bibir, takut-takut melihat darah. Kedua tangan

Kinasih yang terbungkus sarung tangan cekatan mengeluarkan

perlengkapan medis. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit...

"Melati akan baik-baik saja, Bunda!" Setengah jam berlalu. Susah sekali

mengendalikan Melati yang terus meronta-ronta, sementara darah terus

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 258: SMP KHADIJAH

mengalir dari luka-lukanya. Setelah dibantu Salamah dan Bunda yang

memeganginya, Kinasih memutuskan untuk membius gadis kecil itu.

Pecah-belah celengan pelan-pelan dicabut dari telapak kaki (yang langsung

menguarkan darah segar). Luka-luka di lengan, wajah dan tangan

dibersihkan. Luka besar di telapak kaki terpaksa dijahit. Lima jahitan

masing-masing. Sementara yang lainnya hanya ditutup perban setelah

diberikan disinfektan.

"Besok luka-luka kecil ini sudah mengering, Bun. Dalam beberapa hari kulit

barunya akan merekah menutup. Tidak akan ada bekas, kecuali yang di

telapak kakinya." Kinasih tersenyum, menatap

wajah Melati yang jatuh 'tertidur' oleh obat bius. Wajah yang separuhnya

tertutup perban kapas. Bunda mengangguk pelan. Berterima-kasih. Meski

tersenyum getir. Ya Tuhan, semua ini akan semakin menyedihkan kalau

putri menggemaskannya juga cacat dengan sisa barut di muka. Salamah

datang membawa kasur dan seprai baru beberapa saat kemudian. Kinasih

membantu menggendong Melati. Salamah mengganti kasur dan seprai

biru yang sudah terkena bercak darah di mana-mana. "Tolong ambilkan air

hangat juga, Salamah-" Bunda berbisik lirih, "Sekalian baju ganti Melati."

Salamah mengangguk. Menepuk-nepuk seprai wangi dan lembut yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 259: SMP KHADIJAH

baru terpasang. Kinasih membaringkan Melati kembali perlahan-lahan.

Membereskan peralatan medisnya. "Terima kasih sudah datang dengan

cepat, Kinasih!" Bunda menatap wajah cantik keturunan berkerudung

lembut itu.

Kinasih tersenyum, "Sudah seharusnya, Bun. Tadi waktu Salamah telepon.

Papa masih di rumah-sakit. Ada operasi pasiennya... Ah-ya salam dari

Mama. Tadi seharusnya Kinasih bawa jeruk mandarin, Mama baru dapat

kiriman langsung dari Perfekture Hanjin, kiriman kerabat dari sana. Tapi

kelupaan karena buru-buru."

Salamah kembali setengah menit kemudian. Membawa air hangat dan

handuk besar, terlihat repot, karena ia sekalian membawa pakaian ganti

Melati. Mandi. Bunda ingin memandikan Melati. Melati jarang mandi.

Seminggu mungkin sekali ia

baru mau dibujuk mandi. Ia kan benci banget tubuhnya dipegang-pegang.

Mandinya pun hanya dengan handuk-basah (dengan banyak gerungan

marah pula). Sekalian Melati sedang 'tertidur', Bunda bisa leluasa

membersihkan tubuh putrinya. Salamah meletakkan air hangat di meja

kecil. Bunda melepas baju Melati yang di sana-sini terkena bercak darah

mengering. Kinasih? Di tengah kesibukan itu, tidak ada yang menyadari

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 260: SMP KHADIJAH

Kinasih ternyata sudah beranjak pergi. Tanpa bilang-bilang. Ada hai iain

yang ingin sekaligus diurusnya sekarang....

Pukul 19.00. Lepas maghrib (di sini maghribnya agak malaman). Malam

baru beranjak gelap. Kehidupan malam di kota baru saja dimulai. Anak-

anak mengenakan sarung dan baju koko berlarian di jalanan. Berangkat

belajar mengaji. Gang-gang dipenuhi celoteh mereka. Sibuk saling menarik

sarung, menepuk kopiah. Sibuk melempar duri landak, potongan rotan, lidi

enau, pembatas bacaan ngaji. Ruang-ruang keluarga ramai oleh suara

televisi. Meja makan dipenuhi oleh perbincangan akrab.

Langit cerah. Bulan yang kembali menyabit bagai digantungkan di atas

sana. Bersama ribuan gemintang. Kunang-kunang memenuhi sela-sela

pepohonan. Berdenging memamerkan indahnya cahaya ekor mereka.

Karang berdiri takjim di hamparan rumput taman rumah. Sendiri. Tadi dia

sengaja segera menyingkir saat Kinasih masuk

kamar biru Melati. Sempat bersitatap satu sama lain. Kosong. Mereka

seperti saling menatap kosong dari satu galaksi ke galaksi melalui jendela

inter-koneksi semesta raya (majas pribahasa-nya terlalu canggih, ya?).

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 261: SMP KHADIJAH

Karang melangkah pelan memberikan ruang bagi Kinasih untuk

mendekati Melati yang terus meronta-ronta. Lantas pergi menghilang dari

kamar begitu saja. Pergi berdiri di halaman rumput menatap hutan hujan

tropis pebukitan, sendiri. Menatap kosong. "Melati akan baik-baik saja!"

Karang yang masih takjim menatap ribuan larik cahaya kunang-kunang

menoleh ke arah sumber suara.

Wajah berkerudung lembut itu mendekat. Berdiri tiga langkah di

belakangnya. Menatapnya dengan mata hijau yang entah mengapa

sekarang terlihat seperti ada 'pelangi' di sana.

Karang tidak menjawab. Menarik kepalanya, kembali menatap lurus ke

depan. Meski apa mau dikata, sempurna dia sebenarnya tidak lagi

memperhatikan ribuan kunang-kunang itu lagi. Wajahnya memang

menatap ke sana, tapi matanya melihat hal lain. Menggurat pemandangan

lain. Wajah si lesung pipi-nya! Ah, urusan ini memang sering kali membuat

tubuh kita ada di sini, tapi hati kita entah sedang berkelana di mana-mana,

dan sebaliknya.... "Melati sudah tertidur. Luka-lukanya akan sembuh

dalam beberapa hari...." Kinasih berkata pelan (saking pelannya, hampir

kalah dengan desau angin

malam), berusaha mengendalikan perasaannya yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 262: SMP KHADIJAH

entah seperti apa bentuknya sekarang.

Lengang. Karang tetap tidak bersuara.

"Bagaimana kabarmu?" Kinasih bertanya. Serak

malah.

"Baik-" Karang menjawab setelah sekian lama hanya

denging suara kunang-kunang terdengar.

"Aku juga baik," Kinasih menyeka matanya.

Tersenyum sendiri.

Karang menelan ludah.

Tadi Kinasih berbohong. Dokter Ryan jelas-jelas ada di rumah. Rileks

sedang ngurus kebun anggrek saat Salamah telepon. Sudah seminggu

terakhir Kinasih membujuk hatinya bertahan untuk tidak pergi ke rumah

besar lereng bukit ini. Susah payah. Ia rindu. Jelas sekali ia ingin bertemu.

Perasaan itu melilitnya. Apalagi setelah pertemuan seminggu lalu yang

hanya selintas. Tapi ia juga cemas. Takut dengan prospek pembicaraan

yang akan terjadi. Apa yang akan dia lakukan? Menatapnya tak peduli?

Menganggapnya tidak ada? Seperti minggu lalu? Bagaimanalah urusan

ini? Kalian rindu tapi juga takut dengan kemungkinan sebuah pertemuan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 263: SMP KHADIJAH

Entahlah, hubungan ini sejak tiga tahun lalu memang berubah menjadi

rumit.

Namun ketika Salamah mengabarkan Melati menginjak pecah-belah

celengan tadi sore, tanpa berpikir panjang, simpul syaraf Kinasih

memutuskan pergi. Cepat atau lambat pembicaraan itu harus dilakukan.

Pertemuan itu harus terjadi. Tidak cukup hanya selintas. Tidak cukup

saling memendam

prasangka. Mereka harus bicara. Ia takut, tapi perasaan lainnya (rindu,

kangen, entahlah) lebih besar untuk menutupi rasa takut itu. Kinasih

memutuskan membicarakannya.

Kau dulu pergi benar-benar tanpa berpamitan, pergi begitu saja-" Kinasih

berkata pelan. Tertunduk. Kerudung lembutnya bergerak pelan ditiup

angin malam.

"Kau pergi tanpa bilang. Meninggalkan segalanya.... Meninggalkan Taman

Bacaan, meninggalkan anak-anak, meninggalkan...." Kinasih menggigit

bibirnya. Ia sebenarnya ingin bilang: meninggalkan aku.

"Maaf-" Karang menjawab setelah sekian lama hanya denging suara

kunang-kunang yang terdengar memenuhi hangatnya udara malam.

Intonasinya terdengar sedikit berbeda. Kinasih menggeleng perlahan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 264: SMP KHADIJAH

Tidak, ada yang perlu dimaafkan. Ia menyeka ujung-ujung matanya.

Pembicaraan ini meski berjalan lamban dan tak nyaman, tapi sejauh ini

cukup 'menyenangkan'. Setidaknya lelaki yang dulu (dan masih) amat

dicintainya mengatakan kata itu. Maaf. Dengan suara yang amat

dikenalinya.

Demi mendengar kata itu, Kinasih kehilangan keinginan untuk

membicarakannya lagi. Semua sudah berlalu. Jauuuh tertinggal. Buat apa

diingat lagi? Karang memang pergi begitu saja sejak pembicaraan malam

itu. Sejak Karang yang justru memintanya pergi. Tanpa pesan, meski

secarik kertas tertinggal. Tanpa bilang. Ah, sudahlah....

"Kata Bunda, Melati sudah bisa makan dengan sendok. Juga duduk dikursi

plastik.... Aku tahu, kau tidak akan pernah kehilangan sentuhan itu....

Berpikir. Merasakan seperti kanak-kanak rasakan...." Kinasih berkata

pelan. Menatap lamat-lamat punggung Karang.

Taman Bacaan itu sudah bertambah dua kali lipat tiga tahun terakhir.

Dibangun di mana-mana. Seperti jamur tumbuh di musim penghujan.

Bangunannya semakin baik. Semakin besar. Teman-teman semangat sekali

mengembangkannya, menyebar proposal ke mana-mana.... Mereka benar-

benar mewarisi semangatmu, malah berlipat kalinya...." Kinasih tersenyum.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 265: SMP KHADIJAH

Suara uhu burung hantu dari hutan terdengar lantang, menjadi latar

pembicaraan. Karang masih 'takjim' menatap lurus ke depan. "Kita punya

ribuan koleksi buku-buku.... Kita juga punya ribuan anak-anak sekarang.

Yang riang membaca, riang mendengarkan dongeng, belajar banyak hal.

Belajar tentang kata cukup. Tentang berbagi, persis seperti yang kau cita-

citakan dulu. Mereka menjadi kanak-kanak yang menggemaskan dan

mengerti banyak hal. Mereka reflek memotong makanan yang mereka

pegang buat teman-temannya. Terbiasa membantu ibu, dan orang-orang di

sekitarnya. Terbiasa bilang perasaan cinta karena Tuhan.... Menggenggam

janji kebaikan masa-depan. Kau sudah memulainya dengan baik, teman-

teman hanya meneruskan...." Hening lagi sejenak (meski nggak ada suara

uhu

burung hantu). Kinasih memperbaiki kerudung berwarna lembutnya. Itu

yang ketiga kali lima menit terakhir. Kebiasaan lamanya: ia selalu

memperbaiki kerudungnya berkali-kali setiap bersama Karang. Padahal,

lihatlah, Karang tetap mematung menatap lurus ke depan. Jadi bagaimana-

lah caranya Karang bisa melihat betapa cantiknya wajah Kinasih dengan

kerudung itu.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 266: SMP KHADIJAH

"Teman-teman tiga tahun terakhir sibuk mencarimu, sibuk bertanya kabar,

sibuk...." Kinasih mengigit bibirnya, maksud kalimat barusan sebenarnya

adalah: aku sibuk, mencarimu, sibuk, bertanya kabar....

"Tapi kau menghilang begitu saja. Raib! Persis seperti dongeng-dongeng

yang sering kau ceritakan ke anak-anak! Jagoannya menghilang." Kinasih

tersenyum lagi,

"Anak-anak juga mencarimu, tentu saja. Mereka sibuk bertanya, berisik

sekali di Taman Bacaan, 'Kak Karang man-na? Kak. Karang ke-man-na?'

Andai saja aku tahu jawabannya.... Mereka benar-benar berubah menjadi

monster kecil yang menyebalkan setiap kali bertanya. Sibuk memprotes

kakak-kakak relawan lainnya yang bercerita. Kakak-kakak itu memang

tidak akan pernah sepandai kau dalam urusan mendongeng...."

Angin malam bertiup semakin kencang. Menerpa sela-sela telinga,

memainkan anak rambut di jidat. Kinasih mendongak menatap bintang-

gemintang. Apapun bentuk percakapan ini, ternyata cukup

menyenangkan. Ia bisa menyampaikan apa yang

sedang dipikirkan, yang ia rasakan. Berbeda benar dengan tahun-tahun

terakhir. Hanya sendirian mencari. Berharap. Memendam semuanya....

"Aku.... A-ku...." Kinasih terhenti sebentar, menggigit bibirnya, "A-ku rne-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 267: SMP KHADIJAH

rin-du-kan-mu...." Berkata pelan. Seperti desau angin. Karang tetap berdiri

mematung menatap ke depan. Kinasih memperbaiki kerudungnya untuk

terakhir kali. Pelan balik kanan. Melangkah masuk kembali ke teras depan.

Meski Karang tidak berkata banyak. Meski Karang tidak menjawab kalimat

terakhirnya, hatinya lega. Pembicaraan ini ternyata berjalan dengan baik.

Ia hanya selintas bisa menatap wajahnya. Wajah yang sekarang bersih.

Tidak ada lagi cambang, kumis berantakan seperti minggu lalu. Ini semua

jelas butuh waktu. Jika ia bisa bersabar selama tiga tahun, menambah

beberapa minggu atau beberapa bulan lagi tentu bukan masalah. Bunda di

lantai atas sudah selesai memandikan Melati. Gadis kecil itu sudah

mengenakan piyama. 'Tertidur' dengan wajah menggemaskan. Kinasih

mengecup dahinya. Berpamitan pada Bunda. Saatnya pulang. Besok masih

ada banyak kesempatan.... Kesempatan seperti melempar dinding dengan

bola. Ah-ya, kalimat itu kalimat yang selalu dicupakan Karang kalau dia

sedang berusaha meyakinkan orang lain.... Meyakinkan mimpi-mimpi

besarnya. Artinya nyaris 100%, bagaimana mungkin kalian tidak akan

mengenai dinding yang begitu lebar dari jarak dua meter? Mobil itu pelan

menuruni lereng bukit. Kinasih

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 268: SMP KHADIJAH

tersenyum sendiri memperbaiki kerudung berwarna lembutnya. Ia dulu

tidak pernah tahu kalau Karang menghabiskan masa kecilnya di kota ini.

Kota yang sama dengan tempat kelahirannya. Sebulan yang lalu, salah

seorang anak-asuh Taman Bacaan mereka yang baru datang dari kota ini

bercerita tentang kakak-kakak yang suka mabuk di gang-gang sempit.

Kabar yang tidak sengaja tersampaikan itu ternyata berita yang ia tunggu-

tunggu. Membuatnya tahu di mana Karang berada. Memutuskan segera

pulang dari ibu kota, setelah ujian dokter-nya. Memberikan alamat itu ke

Bunda.

Sisa kejadian tiga tahun lalu boleh jadi masih berserak di mata Karang.

Boleh jadi masih berserak di sudut-sudut kenangannya. Tapi kabar baik itu

pasti akhirnya tiba, membawa janji perubahan yang menyenangkan,

lihatlah, semenyakitkan apapun kejadian itu dia terlihat tetap tidak

berubah, dia masih setampan dulu....

Boneka Panda

Hari-hari berlalu. Sebagian merasakannya berlalu dengan cepat, sebagian

merasakannya seperti siput yang merangkak. Sebagian besar lainnya?

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 269: SMP KHADIJAH

Tidak peduli. Terlalu sibuk, terlalu terbenam dengan rutinitas harian yang

biasanya sih membosankan. Golongan mana yang lebih baik? Tentu saja

yang setiap hari-hari itu berlalu selalu menjadi setingkat lebih baik, lebih

mengerti....

Sayang, tidak banyak kemajuan dari lantai kosong rumah besar lereng

bukit itu. Melati benar-benar kesulitan untuk mengerti kalau celengan yang

diberikan Karang bukanlah mainan. Lepas tiga hari sejak kakinya

menginjak pecah-belah, seperti yang dibilang Kinasih, ia sudah bisa tertatih

berjalan memutari kamar birunya. Luka-luka di wajah, lengan dan

lututnya sudah mengering, mengelupas. Hanya telapak kakinya yang masih

terbungkus perban. Dan Melati tidak peduli, nyengir menggerakkan

kakinya ke mana saja tangannya membawa meraba-raba udara.

Karang kembali memberikan celengan-celengan kecil. Melanjutkan metode

pembelajarannya.

Percuma. Lagi-lagi hanya dilempar. Kanak-kanak itu menyeringai senang.

Malah satu-dua menggerung seperti orang yang sedang tertawa. Baginya

ini semua mengasyikkan. Membungkuk mengambil 'sendiri' celengan dari

kardus, meraba-raba bentuknya, lantas melemparnya. Bangkai ayam,

bebek, itik, domba, sapi, berserakan di lantai. Yang tidang senang itu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 270: SMP KHADIJAH

Salamah. Ia sekarang bertugas membawa pengki dan sapu ijuk. Berdiri

penuh siaga di belakang Karang. Setiap kali Melati habis melempar, ia

bergegas membersihkan pecah-belah. Sudah macam serdadu kompeni yang

menjaga gerbang barak pasukan (ini keluhannya di dapur saat berkumpul

bersama Mang Jeje dan pembantu lainnya). Kemarin, Salamah sial, Melati

malah melemparnya. Tidak kena sih, tapi percikan potongan celengan yang

menghantam dinding melukai lengannya.

Empat hari berlalu sejak Melati mulai belajar kembali mengenali celengan

itu Karang akhirnya mendengus kesal. Semua ini sia-sia. Mengkal

mengganti celengan dengan boia karet. Berteriak, "Ini bola! Nah, untuk

yang ini kau boleh melemparnya ke mana saja!" Lantas duduk

menyumpah-nyumpah di lantai, melipat dahi, berpikir sambil

memperhatikan sebal Melati yang terlihat senang melempar-lempar bola

barunya.

Ini akan sulit. Sangat. Tak ada cara untuk membantu Melati paham.

Pelajaran kali ini bukan tentang kebiasaan. Kali ini membutuhkan

mekanisme agar Melati tahu. Dan cara agar Melati tahu itulah

yang tak kunjung diketahuinya. Bicara? Kanak-kanak itu sempurna tuli!

Menggerak-gerakkan tangan di depannya? Kanak-kanak itu sempurna

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 271: SMP KHADIJAH

buta! Dunia terputus darinya. Tidak ada caranya! Belum pernah Karang

seantusias tapi sekaligus sesebal ini mengajari kanak-kanak. Tidak. Dia

masih jauh dari rasa putus-asa. Butuh lebih banyak waktu untuk membuat

Karang berputus-asa. Masalahnya, justru waktu itulah yang terbatas

dimilikinya. Sudah hari ke-14. Seminggu lagi, Tuan HK kembali dari

Frankurt. Tidak ada yang bakal menjamin Tuan HK menyetujui

keberadaannya. Tidak peduli meski dia tidak mabuk lagi. Juga tidak peduli

dengan keberhasilan Melati makan dengan sendok dan duduk di kursi.

Yang ada bisa jadi Tuan HK langsung meninju wajah Karang.

Sejak hari ke-14, Karang yang mengkal memutuskan membiarkan Melati

bermain bola sendirian. Ditemani Salamah. Kanak-kanak itu awalnya tidak

banyak berteriak. Salamah jelas sudah tahu aturan mainnya. Biarkan saja,

jangan dilarang, jangan disentuh. Lagi pula lantai atas steril dari benda-

benda yang bisa dilempar oleh Melati (selain bola karetnya). Jadi gadis kecil

itu hanya sibuk berjalan berkeliling. Melempar-lempar bola. Tangannya

terjulur meraba-raba udara. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar.

Masalahnya, kalau sudah bosan, ia mulai lagi berteriak kencang-kencang.

Menggerung keras-keras. Galak ke siapa saja yang berusaha mendiamkan.

Sengaja benar mencari perhatian....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 272: SMP KHADIJAH

Lelah melakukannya. Melati akan duduk di pojok koridor. Duduk dengan

kaki terlipat. Memeluk lutut. Posisi favoritnya. Rambut ikalnya bergoyang

goyang. Mendengung pelan. Jemari tangannya meraba-raba tekstur halus

keramik. Mengikuti guratannya.

Karang sepanjang hari mengurung diri di kamar. Benar-benar

membiarkan Melati sendirian. Buku-buku tebal yang dibawanya dari

rumah gang sempit tadi pagi berserakan. Di bawah tempat tidur, di atas

ranjang, di atas meja. Karang tertidur telentang, membiarkan rambut

gondrongnya semerawut. Otaknya berputar seperti roda mesin diesel.

Siang-malam. Matanya yang merah kurang tidur menatap langit-langit.

Tidak berkedip. Mendengus berat. Bernafas lebih kencang. Hanya saat

malam tiba, saat Melati beranjak tidur Karang menemaninya. Duduk di

kursi plastik dekat ranjang ber-seprai biru. Bercerita.

Bunda yang masih riang dengan dua kemajuan Melati ingin sekali

bertanya mengapa Karang membiarkan Melati bermain sendiri tiga hari

terakhir. Bunda seperti buncah tak-sabaran menunggu keajaiban

berikutnya. Harapan-harapan itu. Tapi pertanyaan itu urung keluar,

teringat kesepakatan awal mereka dulu. Jadi Bunda hanya memandangi

Melati yang berteriak-teriak marah di sepanjang koridor lantai dua.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 273: SMP KHADIJAH

Berbisik tentang janji kemudahan, tentang: bersabarlah, anakku, teruslah

berusaha!

Tadi pagi Karang pulang sebentar ke rumah gang

sempit itu. Ibu-ibu gendut menyambut dengan riang. Ingin bertanya

banyak hal. Sudah lewat tiga minggu Karang tinggal di rumah besar lereng

bukit. Kangen. Ingin tahu perkembangan di luar sana. Tapi juga urung

bertanya (apalagi keinginannya untuk memeluk Karang). Membiarkan

Karang mengangkuti beberapa benda dari kamar berukuran 6x9 meter.

Termasuk benda itu.

Setidaknya kalau melihat kehadirannya. Karang baik-baik saja. Lihatlah,

pemuda yang tiga tahun lalu lusuh dan kusut berdiri di depan pintu

rumahnya, sekarang terlihat lebih bersih, lebih rapi. Tatapan matanya

meski masih tidak peduli, terlihat lebih nyaman di pandang, penuh

antusiasme. Tarikan mukanya meski masih tidak bersahabat, terlihat lebih

bersimpati.

Ini hari ke tiga Karang hanya mengurung diri di kamar. Hari ke-17 sesuai

kesepakatan dengan Bunda. Jika tidak tidur telentang, Karang sibuk

mengetik entahlah. Duduk diam (takjim) di atas ranjang. Hanya jemarinya

yang bergerak. Terhenti. Tidur telentang lagi. Menatap lamat-lamat langit

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 274: SMP KHADIJAH

langit ruangan. Duduk diam lagi di atas ranjang. Mengetik. Begitu saja

sepanjang hari. Membiarkan jendela terbuka siang-malam. Membiarkan

angin laut, angin gunung, angin kota, angin hutan, angin-lalu, angin apa

saja menderu masuk. Hanya menatap Melati selintas setiap kali kanak-

kanak itu tidak sengaja menggerung lewat di depan pintu kamarnya

(sambil melempar-lempar bola). Hari ke-17. Senja Jingga yang

membungkus kaki

langit sudah lama hilang digantikan malam. Bintang gemintang dan bulan

purnama dengan anggun menggantikan sang surya. Burung camar dan

binatang siang kembali ke sarang. Beristirahat. Tiba giliran bagi kunang-

kunang dan binatang malam keluar. Menghiasi, membuat ramai. Sudah

tiga hari terakhir hujan tidak turun membasuh kota. Udara di luar terasa

hangat dan nyaman. Karang mengusap wajah kebasnya. Menekankan

kuat-kuat kedua belah telapak tangan ke kelopak mata. Matanya pedih.

Lelah. Melirik jam di dinding. Menghembuskan nafas kencang-kencang.

Beranjak duduk. Sudah waktunya ke kamar Melati. Membereskan mesin

ketik dan kertas-kertas HVS yang berterbangan. Satu buku tebal tersenggol,

jatuh ke lantai. Karang menggerutu tidak peduli. "Terapi Akupunktur

Untuk Syaraf...." Entahlah judulnya. Karang acuh tak-acuh menendangnya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 275: SMP KHADIJAH

Melangkah sedikit terhuyung melintasi koridor lantai dua. Dia tidak

mabuk. Tentu saja. Tapi tahukah kalian, ada yang bisa membuat kalian

bertingkah lebih dari kelakuan seorang 'pemabuk': berpikir. Proses berpikir

yang hebat. Yang sayangnya, meski sudah hebat, apa yang kalian pikirkan

tak kunjung menemukan kesimpulan.

Melati sudah setengah jam lalu menghabiskan sup-ayam buatan Salamah

di kamarnya. Sudah terlatih makan sendirian. Mangkuk kosong bermotif

bunga tergeletak di atas meja. Juga sendok. Hanya dua barang ini yang

Melati kenali. Tidak, untuk, dilempar. Jadi setelah makan, Melati hanya

sembarang menggeletakkannya. Kadang jahil mendorong-dorongnya jatuh

dari meja (tapi hanya itu).

Kanak-kanak itu malam ini lelah, sudah beranjak sendiri ke atas tempat

tidur selepas makan. Sepanjang hari tadi hanya berteriak-teriak saja

kerjanya. Melati bosan melempar-lempar bola. Berusaha mencari benda

lain yang lebih menarik buat dilempar. Kosong. Tidak ada. Sebal. Maka

seperti mesin mobil yang distarter ulang, ia mulai bertingkah. Menggerung

lebih kencang. Berteriak-teriak.

Dan lebih sebal lagi Melati karena ia merasa tidak ada yang menanggapi

gerungan marahnya. Kan percuma marah kalau tidak ada yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 276: SMP KHADIJAH

memperhatikan? Bukankah dulu-dulu ada yang sibuk menyuruhnya

diam? Tidak ada siapa-siapa? Benar-benar 'gak asyik buatnya. Salamah

yang disuruh menemani Melati hanya sibuk mengamati dari belakang

(sambil ngupil santai). Salamah belajar banyak dari Karang. Lah, guru-nya

saja tidak peduli mengurung diri di kamar, jadi ia mengambil inisiatif

untuk membiarkan saja Melati yang mengamuk sepanjang hari. Lebih

aman. Malam ini Melati yang lelah, tidur sambil memeluk lutut. Mata

hitam biji buah lecinya redup. Sekali. Dua kali tertutup. Terjaga lagi.

Mendelik. Jemari tangannya mengetuk-ngetuk pelan dinding kamar.

Rambut ikal mengombaknya luruh menutupi dahi. Mulutnya menggerung

pelan, antara terdengar dan tidak. Memperlihatkan gigi kelincinya. Ia tidak

hanya

lelah fisik, tapi juga pikiran. Kepalanya sesak oleh keinginan. Dipenuhi

berjuta tanya, yang sayangnya bahkan untuk keluar menjadi satu

pertanyaan utuh tidak kunjung bisa. Ia tidak tahu apa benda-benda itu, ia

juga tidak, tahu kenapa seminggu terakhir hanya disuruh meiempar-

lempar.... Karang membenamkan diri di kursi plastik dekat ranjang

berseprai biru. Menghela nafas berat. Menatap wajah menggemaskan yang

beranjak tidur itu. Sama dengan Melati, dia juga tidak hanya lelah fisik

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 277: SMP KHADIJAH

(kurang tidur, sedikit demam), dia juga lelah pikiran. Sesak dengan banyak

hal. Caranya! Caranya! Caranya! Mendesiskan setiap detik kata-kata

tersebut. Caranya agar Melati memiliki akses mengenal benda-benda.

Caranya berkomunikasi. Caranya mengerti. Caranya! Apalah menyebut

istilah itu, yang penting gadis kecil ini bisa mengenal dunia dan seisinya!

"Malam, Melati-" Karang menyapa kanak-kanak itu dengan suara serak.

Kerongkongannya terasa sakit. Batuk pelan.

Posisi tidur Melati membelakangi Karang. "Hari ini kau pasti mengalami

hari yang berat, bukan? Berteriak-teriak marah tanpa henti sejak shubuh....

Kau membuat burung gelatik berterbangan di taman rumput Mang Jeje....

Bahkan mungkin teriakan kau membuat lari binatang di hutan. Membuat

mereka kabur, ramai-ramai turun ke pemukiman kota.... Kau tahu, kau

bisa membuat orang-orang berprasangka gunung akan meletus. Melati!"

Karang mengusap dahinya yang sedikit

berkeringat. Lengang sejenak.

"Hari yang berat... tidak hanya untuk kau. Tapi juga bagiku. Benar-benar

melelahkan.... Sebegitu sulitkah untuk menemukan jaian itu. Sebegitu

sulitkah? Tidak ada celah. Semua terlihat seperti tembok besar. Rintangan

tinggi-tinggi. Tanpa kesempatan untuk dinaiki. Tanpa kesempatan untuk

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 278: SMP KHADIJAH

dilewati kecuali dihancurkan sekalian.... Ah, betapa beruntungnya kau,

setidaknya kau tidak, periu meiihat 'tembok' itu.... Berbeda dengan aku

yang tiga hari terakhir sesak memikirkannya, sesak mencari tahu!" Karang

menggelengkan kepalanya, tersenyum getir.

"Kau tahu, tadi aku memutuskan untuk mengambil beberapa benda dari

rumah ibu-ibu gendut.... Ibu-ibu gendut? Ah-ya kau tidak mengenalinya.

Andaikata kau kenal, kau pasti akan menyukainya. Ia juga seperti Salamah,

pandai membuat sup. Ia juga amat menyukai kanak-kanak...." Karang

terdiam sejenak. Menelan ludah. Menatap langit-langit kamar.

Bukan. Bukan karena menyebut sup atau ibu-ibu gendut itu yang

membuat Karang terdiam sejenak (apalagi karena menyebut nama

Salamah). Lebih karena tiba-tiba kenangan masa lalu itu kembali.

Meluncur bagai jutaan anak panah yang ditembakkan. Inilah gunanya

Karang tadi pagi pulang sebentar ke rumah di gang sempit. Dia memaksa

dirinya mengingat kembali masa lalu itu. Bedanya dengan hari-hari

sebelumnya, sekarang

Karang membiarkan dirinya buncah oleh anak panah itu. Membiarkan

dirinya terkubur. Membiarkan hatinya tertembus berkali-kali. Tanpa

dengusan tidak peduli. Tanpa sumpah-serapah. Dia hanya menelan ludah,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 279: SMP KHADIJAH

menatap langit-langit kamar. Tidak, dia tetap tak sempurna kunjung lega

akan masa-lalu itu. Tapi hari ini, setelah sekian lama, Karang memutuskan

untuk membiarkan hatinya kuyup. Belum berdamai, tapi dia membiarkan

hatinya menerima. Tidak melawan, mengingkari, mengutuk atau

menyumpahi siapa saja seperti dulu. Malam ini Karang ingin bisa

mengenang semuanya dengan rileks. Mengenang kembali tubuh-tubuh

dingin membeku itu dengan utuh. Tubuh-tubuh yang mengambang di

buasnya lautan. Delapan belas jumlahnya!

Mengenang wajah Qintan yang menatapnya redup sebelum pergi.

"Qin-tan.... Qin-tan takut sekali Kak Karang-" "A-da ca-ha-ya.... A-da ca-ha-

ya, Kak Karang!" "A-da.... A-da yang da-tang, Kak Karang" "Ma-ma- Pa-pa

da-tang.... Me-re-ka da-tang Kak Ka-rang...."

Karang mengusap ujung-ujung matanya. Lihatlah, untuk pertama kalinya

dia bisa bersedih dengan lega atas kenangan menyakitkan masa lalu itu.

Menangis dengan air-mata....

Melati yang membelakangi Karang menggeliat pelan, merubah posisi tidur.

Wajah menggemaskan itu menghadap Karang. Mata hitam biji buah

lecinya kembali terjaga. Berkerjap-kerjap. Seperti sedang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 280: SMP KHADIJAH

menatap lamat-lamat Karang yang duduk di hadapannya. Karang

tersenyum tipis. Meraih sesuatu dari balik sweater hitamnya, inilah maksud

semua percakapannya malam ini, "Kau tahu, tadi aku mengambil beberapa

benda, buku-buku, catatan-catatan.... Salah-satunya ku-ambilkan untuk

kau. Hadiah spesial...." Karang menggigit bibir. Menggenggam erat benda

yang hendak diberikannya. Menatap wajah Melati yang sempurna seperti

sedang menatapnya.... Sebagai salah-satu simbo! penerimaan masa lalu itu,

malam ini Karang akhirnya mengeluarkan benda itu dari ransel lusuh di

bawah ranjang besar kamar 6x9 meter. Setelah tiga tahun menyimpannya.

Setelah tiga tahun berusaha melupakan prasasti kesedihan itu. Malam ini,

Karang memutuskan memberikannya kepada Melati. Benda itu.... Boneka

panda!

"Ini milik seseorang... se-se-o-rang...." Suara Karang serak, sekarang bukan

hanya karena kerongkongannya sakit dan dia agak demam. Terdiam

sebentar, "Ini milik Qintan. Andai saja... andai saja kau bisa

mengenalnya...." Hening lagi. Karang mengusap wajahnya. "Andai saja kau

bisa mengenalnya, Qintan sungguh akan menjadi kakak yang baik bagimu.

Kakak yang menyenangkan.... Yang bahkan... yang bahkan aku berani

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 281: SMP KHADIJAH

bersumpah, ia akan berbaik-hati mengajarimu bernyanyi, mengajarimu

berlarian mengejar capung...."

Tangan kanan Melati terjulur. Telunjuknya

menggurat motif seprai biru. Mata hitam biji buah lecinya tetap menatap

lurus, menatap Karang. Menggerung pelan. Jika kalian tidak tahu

keterbatasan Melati, kalian akan menyangka mereka berdua sedang bicara

satu sama lain. Karang yang bicara, Melati yang mendengarkan. Lihatlah,

Melati menatap penuh simpati, 'takjim' mendengarkan. "Tapi, tapi andai

saja kau akhirnya bisa mengenal dunia dan seisinya, kau tetap tidak akan

pernah mengenalnya, Melati... karena, karena Qintan sudah pergi...."

Karang menatap lamat-lamat boneka panda itu. Kelbatan masa lalu

menyedihkan itu kembali memenuhi sudut-sudut matanya. Seperti terukir

kembali di tengah kamar biru Melati. Suara-suara. Gerakan badan.

Semuanya. Seperti menyimak tayangan empat dimensi. Dia seperti persis

berada kembali di tengah-tengah kejadian itu....

"TANDU! BAWA TANDU KEMARI!!" Komandan SAR berseragam merah

mencolok itu loncat dari helikopter. Berteriak galak.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 282: SMP KHADIJAH

Serombongan anggota SAR lainnya terbirit-birit mendekat. Membawa

tandu. Suasana hingar-bingar. Kacau-balau. Halaman rumah sakit

dipenuhi banyak orang. Seragam putih. Merah. Biru. Kuning. Berlarian.

Helikopter kedua menyusul mendarat dalam hitungan detik. Membawa

belasan korban berikutnya.... Desing baling-baling membuat pakaian

tersingkap berterbangan. Rambut tersibak melambai. Rumput halaman

bergetar

bergelombang, dedaunan kering terjatuh.

"MOVE! MOVE! SEGERA!" Komandan SAR berteriak

semakin gaiak.

Satu tandu meluncur mendekati helikopter yang baru mendarat. Satu anak

yang amat kedinginan, bibir biru, tubuh membeku di turunkan. Masih

hidup. Masih bernafas. Dokter rumah sakit bergegas membawanya ke

instalasi gawat darurat. Dua tandu berikutnya menyusui. Dua anak lainnya

diturunkan. Kali ini sudah 'terlambat'. Sudah p-e-r-g-i.

Hingar-bingar. Gerak cekatan tangan dan kaki yang terlatih. Perintah-

perintah mengalir bagai air. Peralatan medis yang dibentangkan.

Pertolongan pertama. Infus dikeluarkan. Selang-selang bagai belalai

ditancapkan. Semua kesibukan ini! Semua kesibukan ini....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 283: SMP KHADIJAH

Hanya Karang yang menatap kosong sekitar. Sempurna kosong. Kedua

tangannya masih memeluk kaku tubuh dingin Qintan. Sejak dari lautan

buas tadi. Sejak, tim SAR mengangkat mereka dengan tali-temali. Kebas.

Hatinya kebas. Tangannya kebas. Semua terasa kebas. "Ma-af, bisakah

Anda melepaskannya?" Seorang suster bertanya.

Senyap. Di otak Karang hanya senyap. Tidak peduli

suara desing baling-baling. Teriakan-teriakan.

Lampu s sorot. Entahlah.

"Ma-af bisakah Anda melepaskannya?"

Lengang. Mata Karang menatap suster itu dengan

tatapan lengang. Kesedihan itu seperti anak-sungai

mengalir dari wajahnya. Lihatlah, boneka panda itu juga masih tergenggam

erat di tangan membeku Qintan, sejak dari lautan buas tadi.... Karang

sekali lagi mengusap sudut-sudut matanya. Tersenyum. Tidak getir. Tidak

juga penuh marah dan sumpah-serapah. Karang tersenyum menatap wajah

Melati. Wajah kanak-kanak yang matanya sekarang mengerjap-ngerjap.

Dalam banyak hal. Melati dan Qintan berbeda, tapi mereka sama di bagian

terpentingnya: janji kehidupan! Janji kehidupan yang lebih baik selalu

tergenggam di tangan kanak-kanak. Tidak peduli seberapa menyakitkan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 284: SMP KHADIJAH

takdir mengungkung mereka, tidak peduli seberapa menyakitkan orang

dewasa 'merusak' mereka melalui mekanisme pengajaran yang keliru,

pendidikan yang amat keterlaluannya mencintai dunia.

"Ini untukmu.... Bo-ne-ka pan-da!" Karang pelan meletakkan boneka itu ke

atas telapak tangan kanan Melati yang terjulur.

Gadis kecil itu menggerung. Lebih kencang. Bereaksi dengan benda yang

tiba-tiba diletakkan di tangannya. Matanya berputar lebih cepat. Meraba-

raba boneka itu. Menyeringai. "B-a-a-a-a...."

Karang mengangguk. Kalau kau ingin melemparnya, lemparkan saja. Tapi

tidak! Gadis kecil itu ternyata tidak melempar boneka tersebut. Melati

hanya menggerung lebih kencang. Tapi hanya itu. Sekejap, gadis kecil itu

malah meletakkan boneka panda itu di dadanya, seolah mendekap.

Menciuminya. Nyengir. Lantas merubah posisi tidurnya lagi. Sekarang

menghadap dinding kamar, membelakangi.

Karang tersenyum. Meski ia tidak mengerti kenapa.... Yang jelas ini tentu

bukan pertanda kalau gadis kecil ini akhirnya mengerti kalau semua

barang tidak untuk dilempar. Entahlah, kenapa, mungkin tangan Melati

terlanjur lelah untuk melempar. Setidaknya semua ini terasa melegakan.

Terasa lebih ringan. Karang menghela nafas. Tapi ada juga yang menghela

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 285: SMP KHADIJAH

nafas panjang lainnya di situ. Karang menoleh. Bunda! Bunda sudah

berdiri di bawah bingkai pintu.

Tadi menghabiskan waktu di kamarnya menulis di kertas-kertas.

Menumpuknya. Sudah sebelas senti tingginya sekarang. Bunda sempat

bergabung sebentar dengan Salamah, Mang Jeje dan pembantu lainnya

yang berkumpul di ruang belakang sebelum ke kamar Melati. Bertanya

tentang keperluan rumah, masalah, dan sebagainya. Salamah, Mang Jeje

dan pembantu lainnya sedang asyik membicarakan festival kembang api

minggu depan. Salamah selalu semangat setiap kali bicara soal festival

kembang api tersebut. Ikut berbincang sebentar, lantas Bunda naik ke

lantai dua. "Boneka yang in-dah.... Terima-kasih sudah memberikannya

pada Melati, anakku!" Bunda mengusap pipinya. Terharu. Tidak sengaja

ikut mendengarkan kalimat-kalimat Karang. Karang mengangguk pelan.

Menyilahkan Bunda masuk. Jadwal kunjungan malamnya. Bunda

melangkah mendekat, tapi ia tidak langsung menyelimuti Melati,

memastikan putri kecil-nya sudah tidur seperti biasanya. Bunda justru

duduk di tepi-tepi ranjang. Menatap lamat-lamat Karang. "Maukah kau

menceritakannya padaku...." Bunda berkata lembut, menyentuh lengan

Karang penuh penghargaan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 286: SMP KHADIJAH

Karang mengangkat wajahnya. Cerita apa? "Kanak-kanak yang lumpuh-

layu itu...." Tersenyum. Karang mengusap rambut gondrongnya. Diam

sejenak. Berpikir. Menggeleng sopan. Entahlah, dia tidak tahu apakah ingin

bercerita tentang itu atau tidak malam ini. Entahlah, apakah dia ingin

berbagi cerita itu kepada seseorang. Mungkin akan disimpannya sendiri

selamanya. Lumpuh-layu? Bunda menyebutkannya? Bagaimana ia tahu?

Itu pasti karena Kinasih yang cerita. Wajah Karang memerah, sekelbat

wajah cantik berkerudung lembut itu lewat lagi.

Bunda mengangguk melihat gelengan itu. Tidak apa-apa. Hening beberapa

detik. Bunda membalik badannya, menyelimuti Melati. Gadis kecil itu

sudah hampir jatuh tertidur, jadi tidak berontak marah seperti biasanya

kalau tahu ia diselimuti. Merapikan bantal-bantal di bawah kaki Melati.

"Umurnya juga enam tahun waktu itu, Nyonya...." Karang tiba-tiba berkata

pelan, hatinya yang sedang terbuka akhirnya menuntunnya untuk

bercerita. Setelah berpikir sejenak, mungkin tak ada saiahnya, itu bisa

menjadi simbol penerimaan berikutnya. Mungkin tak ada salahnya

berbagi,

bukankah Bunda HK selalu menghargainya. Bunda menoleh, tersenyum,

bersiap mendengarkan. "Qintan seperti Melati, Nyonya. Wajah

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 287: SMP KHADIJAH

menggemaskan. Seringainya. Tatapan matanya. Kerut wajahnya.... Qintan

penuh rasa ingin-tahu. Setiap detik selalu berisik bertanya. 'Kenapa malam

gelap, Kak Karang?' 'Kenapa ayam kakinya dua?' 'Kenapa Kak Karang suka

pakai sweater hitam?' Dan kenapa-kenapa lainnya...." Karang tersenyum.

Wajah Qintan seperti terukir di udara. "Rambutnya lurus hitam legam

sehitam matanya.... Giginya kecil-kecil seperti gigi Melati. Bedanya, gigi

Qintan tanggai satu, lucu sekali melihatnya.... Ia amat suka mendengar

cerita. Suka nyeletuk. Sok-dewasa. Suka sok-ngatur teman-temannya. Dan

pandai sekali menipu, ah, tukang jahil...." Karang tertawa kecil.

"Aku mengenalnya saat ia berumur tiga tahun. Ditelantarkan panti asuhan

yang merawatnya. Karena, karena kanak-kanak itu cacat. Amat

merepotkan.... Ia tinggal di Taman Bacaan pertama yang kami bangun.

Meski kecil, ia punya kamar sendiri. Malah mengatur sendiri perabotannya,

ia suka dengan warna biru.

"Qintan anak yang aktif, selalu bergerak kemana-mana meski kedua

kakinya mulai dari lutut hingga ujung jari lumpuh. Sempurna lumpu-

layu.... Kaki-kaki itu sebenarnya terlihat normal. Hanya sedikit lebih kecil

karena tidak pernah digerakkan. Menurut dokter, syaraf-syaraf motoriknya

terjepit. Membuat gadis kecil itu tidak bisa melangkah meski

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 288: SMP KHADIJAH

hanya untuk menggerakkan jempol kakinya.

Qintan memakai dua tongkat di ketiak. Suara tongkatnya amat khas.

Karena Qintan suka menggerakkannya berirama saat berjalan. Anak itu

kreatif. Amat lateral.... Dan ia suka bernyanyi, meski suaranya cempreng.

Berisik. Suka mengejar capung di halaman Taman Bacaan meski geraknya

lamban dan sering jatuh berdebam...." Karang tertawa kecil lagi, mengusap

rambut gondrongnya. Diam sejenak. Matanya sempurna mengukir kembali

kenangan itu.

Seperti bisa melihat Qintan yang berlarian mengejar capung. Qintan yang

sibuk bikin gaduh di kelas bercerita. Qintan yang bernyanyi di teras atas,

tidak peduli meski disuruh kakak-kakak relawan diam. "Dan kau

membuatnya bisa beiari...." Bunda tersenyum, berkata pelan, memecah

senyap. Karang menggeleng, "Tidak. Aku tidak pernah membuatnya bisa

berlari, Nyonya....

Keinginannya-lah yang membuatnya bisa berlari. Aku hanya bercerita

tentang banyak hal. Membuatnya mengerti tentang makna berusaha.

Proses belajar. Mimpi-mimpi. Cita-cita.... "Hingga suatu malam kanak-

kanak itu memegang lenganku, memotong ceritaku tentang kanak-kanak

yang cacat sepertinya, Qintan menatap wajahku lamat-lamat, lantas

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 289: SMP KHADIJAH

berkata dengan suara serak tapi sungguh menggetarkan, 'Qintan akan

berlari.... Qintan akan beriari seperti dia, Kak Karang... seperti cerita Kak.

Karang!' Ya Tuhan, wajahnya bercahaya oleh keinginan yang kuat,

wajahnya

seperti bercahaya saat mengatakan kalimat itu.... Dan kanak-kanak itu

sungguh selalu melakukan apa yang ia ucapkan....

"Esok paginya, ia melepas tongkatnya. Merangkak turun dari lantai dua.

Merangkak ke mana saja. Ya Tuhan, aku bahkan menangis saat melihat ia

pertama kali merangkak turun dari kamarnya.... Gadis kecil itu sengaja

menyembunyikan sendiri tongkatnya. Ia belajar berdiri. Jatuh berkali-kali

tak terhitung. Ia belajar melangkah. Tak peduli meski tubuhnya penuh

lecet. Ia memaksa syaraf-syaraf itu kembali bekerja. Ia memaksa syaraf-

syarafnya bekerja keras. Benar-benar mengharukan.... "Umurnya baru

enam tahun. Nyonya, tapi Qintan sungguh mengerti dan bangga atas

sebuah proses belajar.... Ia mengerti benar tentang makna kata mimpi-

mimpi. Cita-cita. Pengharapan. Membuat seluruh relawan di Taman

Bacaan terpesona. Ya Tuhan, mengharukan sekaii melihatnya belajar

berjalan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 290: SMP KHADIJAH

"Andaikata kejadian itu tidak pernah terjadi, andaikata takdir kejam itu

tidak pernah terjadi, Qintan bahkan bisa melakukan hal yang lebih hebat

dari itu, Nyonya.... Aku tahu itu. Aku tahu sekali itu. Lihatlah, enam bulan

sejak cerita itu, Qintan tersenyum sumringah pamer kalau ia sudah bisa

berjalan mengelilingi ruang baca, masih sering jatuh, masih sambil

memegangi dinding, tapi ia tertawa riang bersama tepuk-tangan anak-

anak yang menyemangatinya.

"Aku tidak pernah membuatnya bisa berlari, Nyonya.

Ti-dak per-nah.... Keinginannya-lah yang membuat Qintan bisa berlari....

Keinginannya-lah yang membuat Qintan bisa berlari...."

Diam sejenak. Kamar biru itu lengang lagi. Karang mendongak menatap

langit-langit kamar. Dia tidak ingin Bunda HK melihatnya menangis.

Qintan, yatim-piatu yang bahkan tidak pernah melihat wajah Ayah-Ibu-

nya. Belajar memaknai hidup dan kehidupan. Kehadirannya membuat

seluruh Taman Bacaan seperti bercahaya. Tapi mengapa Engkau tega sekali

ya Allah, tega merenggutnya dengan cepat. Melalui kejadian yang amat

menyakitkan pula. Apakah hidup ini adil? Karang tergugu pelan. Ya, hidup

ini selalu adil. Kami-lah yang terlalu bebal, terlalu bodoh untuk mengerti.

Bagaimana mungkin urusan ini tidak, adil? Lihatlah, tanggal kejadian

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 291: SMP KHADIJAH

tenggelamnya perahu itu sama persis dengan tanggal kejadian saat Melati

terkena lemparan piringan terbang, brisbee. Tanggal lahir Qintan sama

persis dengan tanggal lahir Melati. Hanya dibedakan oleh tiga tahun. Entah

apa maksud-Mu atas semua kebetulan-kebetulan itu.... Bunda tersenyum

mengangguk, menyentuh lembut lengan Karang, memotong keheningan

kamar, "Ya.... Kau benar. Keinginannyalah yang membuat Qintan bisa

berlari. Keinginan yang kuat.... "Sudah larut, kau seharusnya juga tidur,

anakku! Matamu merah kurang tidur, bukan? Suaramu juga serak.

Lenganmu sedikit terasa panas. Kau sakit? Apa perlu besok aku panggilkan

Kinasih?" Karang terbatuk. Seketika memerah mukanya!

Tarian Aurora

Hari ke-19. Tiga hari lagi berlalu sejak Karang memberikan boneka panda

milik Qintan kepada Melati. Antusiasme Karang tumbuh tak berbilang.

Tiga hari terakhir Karang melakukan apa saja untuk mencari tahu caranya!

Waktunya semakin sempit. Dia kembali menemani Melati. Menggunakan

seluruh pengetahuan dari buku-buku itu, catatan-catatan itu. Mengajari

Melati tentang benda-benda. Berteriak-teriak setiap kali Melati melempar

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 292: SMP KHADIJAH

benda benda tersebut. Memaksa mencengkeram keramik, merasakan

bentuknya, menyebut namanya. Sayang, gadis kecil itu seperti biasa

berontak marah. Ia jelas tidak suka dipegang-pegang. Tidak suka disuruh-

suruh. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar cepat. Rambut ikalnya

bergerak gerak seiring dengus nafasnya. Mulutnya menggerung kencang.

Melawan. Kakinya menghentak hentak lantai. Dan dalam sekejap berusaha

mengibaskan tangan Karang. Berusaha melempar setiap benda. Bahkan

Melati tega melempar boneka panda itu.

"KAU TIDAK BOLEH MELEMPARNYA!"

"BAAAA.... BAAAA!" Melati tak kalah galak ikut

berteriak.

"KAU TIDAK-"

Melati sudah berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Karang. Berlari

sedikit terhuyung. Perban di kakinya sudah dilepas kemarin. Jadi ia lebih

leluasa untuk lari. Tangannya terjulur ke depan, seperti moncong musang

mencari semut di dalam lubang, bergerak meraba-raba udara. Berusaha

kabur. "KEMBALI!" Karang menghardik. "BAAA-"

"KAU MAU KEMANA?"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 293: SMP KHADIJAH

"BAAA.... BAAA!!" Melati tidak peduli. Sama tidak pedulinya kalau ia jatuh

terduduk tersandung entahlah. Gadis kecil itu bangkit dengan cepat,

meringis, lantas berlari lagi.

Tiga hari terakhir Karang mengumpulkan benda apa saja. Mulai dari yang

lembut, kasar, tajam, tumpul, besar, kecil, apa saja. Dia ingin kanak-kanak

itu mengenali teksturnya, bentuknya. Memaksa Melati menyebut 'nama'-

nya. Karang memaksa syaraf, panca indera, perasaan, apapun itu namanya

yang masih tersisa di kepala dan seluruh tubuh Melati untuk bekerja keras.

Sayang. Sejauh ini semua terlihat sia-sia. Percuma! Kanak-kanak itu

memang mengenali tekstur dan bentuk benda-benda yang diberikan

padanya. Tapi tetap ia tidak tahu. Tidak mengerti sedikit pun benda-benda

itu. Apa yang dipikirkan olehnya amat berbeda dengan apa yang

dipikirkan oleh orang

yang bisa melihat atau mendengar penjelasan tentang benda itu.

Kalian bersepakat itu kursi! Kursi untuk duduk. Itu kursi plastik. Itu kursi

kayu! Itu sofa empuk. Kalian punya kesempatan untuk menterjemahkan

pengetahuan itu melalui mata. Kalau pun tidak, kalian berkesempatan

mengetahuinya dari mendengar penjelasan, membaca buku, dan

sebagainya. Menyimpan 'pengetahuan' itu dalam memori kepala. Lantas

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 294: SMP KHADIJAH

menggunakannya berkali-kali setiap melihat kursi. Itu kursi plastik, itu

kursi kayu, itu kursi rotan (meski kalian tidak pernah melihat kursi dari

rotan misalnya, kalian dengan segera bisa mengambil kesimpulan itu

'kursi' + 'rotan' saat melihat ada 'sebuah bentuk kursi' yang 'terbuat dari

rotan').

Bedanya, Melati tidak punya cara untuk menterjemahkannya. Tidak punya

cara untuk menyimpan di memori kepalanya. Apa yang ia pikirkan tentang

benda-benda amat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Karang,

Bunda, Salamah, dan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak punya cara untuk

mengetahui kesepakatan orang-orang kalau benda itu adalah kursi

(aksioma). Yang ia tahu, harus duduk di sana kalau mau makan.

Sesederhana itu pemahamannya. Apalagi benda-benda yang lebih rumit.

"CARANYA! CARANYA!" Karang mendengus mengkal setiap kali Melati

melempar benda-benda yang dipegangnya. Es mambo, agar-agar lembek,

topi, buku, pensil tumpul, gagang telepon, gelang karet,

serbet, handuk, baskom, jam tangan, teko plastik, obeng, kabel, kawat,

benang, boneka panda dan benda-benda lainnya.

"JANGAN DILEMPAR! JANGAN DILEMPAR!!!" "BAAAA...." Melati

mendelik galak. Tidak peduli. "TIDAK BISAKAH KAU MENGERTI?!!!"

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 295: SMP KHADIJAH

"BAAA...." Melati berteriak tambah galak. Begitu saja tiga hari terakhir.

Semakin memaksa Karang, tambah melawan Melati. Tak ubahnya seperti

tikus dan kucing. Sibuk berkejaran di koridor kosong. Bedanya si tikus bisa

berteriak kencang-kencang. Membuat rusuh seluruh rumah. Membuat

terbang burung-burung gelatik di air mancur taman rumput. Membuat

Salamah mengurut dada berkali-kali. Ber-istigfar tak kalah keras. Membuat

Mang Jeje lupa mematikan keran air. Membuat Bunda tertunduk pelan di

pembatas anak tanggal pualam. Berbisik tentang berlarik asa. Janji-janji

kemudahan: bertahanlah, anakku.... bersabarlah. Kau harus memiliki

keinginan yang kuat itu, sayangi Ke-i-ngi-nan yang ku-at.... Hari ke-19.

Menjelang senja, Karang akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan

benda terakhir sekaligus terlarang. Dia tidak punya pilihan lain lagi. Maka

Karang menyalakan lilin besar di atas meja. Sore ini dia terpaksa

mencungkil kemampuan berkomunikasi Melati dengan api! Jika benda-

benda yang bertekstur tidak ada gunanya, siapa tahu api bisa

menghancurkan tembok penghalang itu. Siapa tahu api bisa menemukan

caranya! Nyala lilin terlihat beriap-riap. Merah....

Tangan Melati seperti biasa setiap duduk di kursi plastiknya mulai terjulur

meraba-raba ke depan. Ke atas meja kecil. Menyentuh benda itu. Karang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 296: SMP KHADIJAH

menggigit bibir. Tegang. Berbisik ke langit-langit kamar. Kau harus tahu

caranya.... Kau harus tahu caranya mengenal benda-benda, tahu caranya

berkomunikasi, memiliki akses mengenal dunia dan seisinya.... Aku mohon,

caranya! Caranya! Telapak tangan Melati yang imut perlahan menyentuh

nyala api. Mukanya mengernyit. Berpikir cepat bagai desing peluru. Panas!

Kali ini benda yang dipegangnya aneh sekali. Tidak berbentuk. Tapi terasa

panas. Apa ya? Bagaimana cara memegangnya? Bagaimana cara

melemparnya? Kan, nggak bisa dipegang? Jemari Melati bergerak-gerak.

Seperti hendak meremas, Karang sedikit menurunkan posisi batang lilin

agar tidak disentuh Melati.

Sedetik. Lima detik. Bosan memikirkannya. Melati malah acuh tak acuh

membiarkan saja telapak tangannya di sana. Nyengir, meski dahinya mulai

terlipat. Sakit. Panas. Nyala lilin mulai membuat merah telapak tangannya.

Enam. Tujuh. Delapan detik....

Karang yang menyimak dengan wajah tegang, mendesis. Percuma. Ini

semua sia-sia. Menyambar lilin itu dengan cepat. Tidak. Dia tidak akan

membiarkan telapak tangan Melati terbakar. Sejengkel apapun dia, se-

keras kepala apapun dia untuk menemukan caranya, dia tidak akan

membiarkan kanak-kanak ini terluka lagi. Melati

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 297: SMP KHADIJAH

sedikit pun tidak bereaksi seperti yang diharapkannya.

"BAAAA.... BAAAA!" Melati seperti tombol listrik yang ditekan, langsung

menggerung marah. Berteriak kencang-kencang. Maksud teriakannya

apalagi kalau bukan: mana benda yang tadi? Karang menggeleng.

Mematikan nyala lilin. Menjauhkannya.

"BAAA.... BAAAA!" Melati berteriak lebih kencang. Menendang-nendang

meja plastik di depannya. Mana benda yang aneh tadi?

Karang hanya menatap datar. Menggeleng. Membiarkan Melati mengamuk

sesuka hatinya. Puas menendang-nendang meja dan menghentakkan kaki

kanak-kanak itu mulai berjalan sembarang arah. Berteriak tambah

kencang. Karang menghela nafas panjang untuk ke sekian kali.

Membiarkan. Tidak mengejar. Dia justru menyeka dahi. Apakah tembok itu

benar-benar tidak ada celahnya, ya Tuhan? Apakah sama sekaii tidak ada?

Lantas di mana janji-janjiMu yang tergurat di kitab suci? Di mana janji-

janji itu? Setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan? Di mana kemudahan

urusan ini?

Matahari senja bersiap menghilang di balik barisan bukit. Langit terlihat

Jingga sepanjang mata memandang. Hamparan lautan yang beriak tenang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 298: SMP KHADIJAH

terlihat ikut Jingga. Juga gumpalan awan yang bagai kapas Jingga. Burung

camar melenguh terbang pulang ke sarang. Disambut ciap riang anak-

anak mereka yang belum pandai terbang. Benar-benar

siluet senja yang hebat. Dari lereng bukit ini, persawahan yang menguning,

genteng cokelat atap-atap rumah penduduk, gedung-gedung mengkilat

tinggi terlihat menawan. Melati sudah duduk di pojok koridor. Memeluk

lutut. Setengah jam berlalu. Melati lelah berlari berkeliling. Lelah berteriak.

Lelah memukul-mukul dinding. Kanak-kanak itu lelah. Seperti biasa kalau

ia lelah, memutuskan duduk sendiri di pojok. Bukan. Bukan di bawah anak

tangga pualam favoritnya selama ini. Rambut ikal mengombaknya luruh ke

dahi. Baju terusan putih berendanya basah oleh keringat. Mata hitam biji

buah lecinya berputar redup. "Baaa.... Maa.... M-a-a-a." Melati menggerung

pelan. Ia mengkal. Ia sebal. Ia frustasi. Ia tidak mengerti. Gelap. Kosong.

Hitam. Lengang. Jika kalian bisa melihat setengahnya saja apa yang sedang

dirasakan oleh Melati, itu sudah cukup untuk membuat kalian sesak, sudah

cukup membuat nafsu makan kalian hilang sepanjang hari. Karang yang

sejak Melati ngamuk lilinnya diambil tadi hanya duduk menatap datar

kelakuannya, beranjak mendekat. Menghela nafas, duduk di sebelah Melati.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 299: SMP KHADIJAH

Ikut memeluk lutut. Meniru pose duduk Melati. Kecuali gerungan mulut

dan tangan imut yang meraba-raba mengikuti guratan tekstur keramik.

"Satu hari lagi berlalu, sayang...." Karang berkata pelan, menatap langit-

langit koridor. Cahaya matahari senja menerabas jendela kaca. Membentuk

garis Jingga di lantai keramik. Padu

padan yang Indah. Terlihat memesona. "Baaaa.... M-a-a-a-a..." Melati

'menoleh' ke Karang. Inilah yang tidak pernah disadari Karang, gadis kecil

itu empat minggu terakhir pelan tapi pasti belajar satu hal. Ia selalu

menyadari kehadiran Karang. Entahlah bagaimana caranya, ia bisa

merasakan di mana Karang berada (makanya ia selalu bisa kabur dari

Karang). Wajahnya reflek selalu menghadap ke arah yang benar. Meski ia

tidak bisa melihat Karang, meski ia tidak bisa mendengar suara Karang.

"Aku tahu, kau sama frustasinya denganku.... Sama sebalnya. Sama

marahnya. Tapi kita tidak berboleh putus-asa, sayang. Tidak boleh!"

Karang menelan ludah, terdiam sejenak.

"Aku tahu, tembok yang kita hadapi tinggi sekali. Tidak ada cara untuk

melewatinya. Tidak ada celah. Sama sekali tidak. Kecuali dengan

menghancurkannya berkeping-keping. Kau harus terus berjuang. Terus

bersabar...." "Baaa.... M-a-a-a...." Melati menggerung lirih. "Ya Tuhan,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 300: SMP KHADIJAH

apakah anak ini harus sendirian menerabas padang-onak berduri itu?

Sendirian menaklukan hutan rimba penuh jurang menganga? Sendirian

mengarungi samudera dalam yang penuh hiu dan gurita pemangsa?"

"M-a-a-a...." Entah mengapa, tiba-tiba kepala Melati luruh ke bahu Karang.

Kanak-kanak itu terlampau lelah.

Karang mendesah. Lembut mendekap kepala Melati. Rambut ikal kanak-

kanak itu mengenai wajah.

Menciuminya. Meski Melati jarang mandi, rambutnya wangi. Semerbak

wangi kanak-kanak. Dan sekejap. Sekejap perasaan itu melompat ke kepala

Karang. Bagai sentrum sejuta voltase.

Sempurna untuk ke kesekian kalinya Karang bisa berpikir, melihat,

mendengar, merasakan persis seperti yang sekarang Melati rasakan. Dia

sekarang juga melihat gelap itu. Dia menatap kosong. Hitam. Seperti berdiri

sendirian di ruangan yang gelap total. Rasa ingin tahu itu. Energi besar

yang tak kunjung terlepaskan. Sebal. Mengkal. Frustasi... dan, dan ke-rin-

du-an.... Karang tercekat! Ini bentuk jenis perasaan baru yang ada di kepala

kanak-kanak ini.

Gadis kecil ini rindu. Rindu mengenal siapa saja. Ayah. Ibu. Teman. Karang

menggigit bibir. Ya Tuhan, dulu dia juga amat rindu. Rindu pada Ayah-Ibu

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 301: SMP KHADIJAH

yang tidak pernah dimilikinya. Dia pikir masa lalunya sudah cukup

menyedihkan. Tapi, lihatlah gadis kecil ini....

"Ya Tuhan, kanak-kanak ini baru enam tahun.... Baru enam tahun.

Lihatlah! Hidupnya gelap. Kosong. Yang ada di sekitarnya hanya hitam....

H-i-t-a-m! Tidak ada warna. Tidak ada!" Karang mendesis lemah, matanya

terpejam, tertunduk dalam-dalam, "Ya Tuhan, ia rindu... bahkan ia rindu

ingin mengenal-Mu...."

Senja semakin merah. Semburat cahaya Jingga yang mengenai lantai

keramik semakin memanjang. Ornamen di jendela kaca besar lantai dua

membuatnya berpendar-pendar. Karang menatap

lamat-lamat pertunjukan cahaya itu. Hatinya kebas. Sedih.

"Maukah kau mendengar sebuah kisah hebat, Melati? Kisah yang secara

turun-temurun disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya...."

Karang menyeka dahinya yang berkeringat, terdiam sebentar, matanya

tetap menatap siluet cahaya senja di lantai. "Lihatlah tarian cahaya di

keramik. Melati. Begitu indah. Andaikata kau bisa melihatnya.... Tapi

tahukah kau, ada sebuah pertunjukan cahaya yang lebih indah

dibandingkan apapun di dunia ini.... Kau tahu itu? Ya! Itulah aurora!

Berjuta warna menari di angkasa. Seperti saputan sejuta warna-warni kuas,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 302: SMP KHADIJAH

seperti tarikan sejuta pelangi. Saling melengkapi, saling menambahi.

Gradasi cahaya yang hebat, komposisi yang sempurna. Pertunjukan cahaya

yang terjadi justru persis di gulitanya malam, persis saat sumber cahaya

menghilang. Sungguh kontras yang mengagumkan. Malam dingin-bersalju

dihiasi gemerlap cahaya yang hangat dan menyenangkan....

"Kau tahu asal-usul aurora, sayang? Tidak? Baiklah, akan aku ceritakan.

Cerita yang indah.... Aurora hanya terjadi di kutub bumi. Jauh, jauuuh di

ujung dunia. Tempat yang selalu terbungkus es. Kau harus memakai jaket

tebal, baju berlapis-lapis, sarung tangan besar, kalau tidak, pasti menggigil.

Tempat itu amat dingin. Gumpalan es membungkus ujung-ujung ranting

pepohonan. Salju membuat kaki terbenam hingga lutut. Siangnya dingin,

apalagi di

malam hari. Dulu, duluuu sekali penduduk di sana tidak pernah melihat

aurora. Belum ada saat itu. Hingga peristiwa menyedihkan itu terjadi...."

Karang menelan ludah, diam sejenak. Dia sedang memikirkan kalimat-

kalimat berikutnya. Cerita-cerita ini mengalir begitu saja. Sama seperti

cerita-cerita sebelumnya.

"Alkisah, tinggallah satu keluarga miskin di antara mereka.... Tidak. Di

sana ukuran miskin atau kaya bukan hanya dari pakaian mahal, rumah

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 303: SMP KHADIJAH

besar, atau makanan mewah. Tapi miskin atau kaya amat ditentukan dari

kepemilikan api. Api untuk menghangatkan diri di malam hari. Api yang

memberikan udara hangat dan nyaman.... Keluarga itu tidak memilikinya.

Hanya orang-orang tertentu yang menguasai api, hanya golongan tertentu

yang diijinkan membuat api. Keluarga itu tidak. Itu sudah aturan main

turun-temurun....

"Keluarga itu tidak besar. Terdiri dari Ayah, Ibu, dan seorang gadis kecil.

Gadis kecil itu seumuran kau, Melati.... Enam tahun. Wajahnya bulat penuh

cahaya kebaikan, perangainya santun penuh sifat memesona. Juga seperti

kau suatu saat nanti, gadis kecil kita itu rajin membantu Ibu-nya, benar-

benar anak yang bisa diandalkan...." Karang tersenyum, mengelus lembut

rambut ikal Melati. "Setiap kepala keluarga di perkampungan salju itu

bekerja sebagai pemburu. Maka itulah pekerjaan Ayah, berburu rusa,

berburu binatang salju, ikan, apa saja yang bisa di makan. Sedangkan Ibu

bertugas menjaga rumah, memasak binatang hasil

tangkapan suaminya, menyamak kulit, membuat pakaian-pakaian tebal....

"Suatu ketika, tibalah masa-masa sulit itu. Enam bulan berlalu, badai

musim dingin terus mengungkung perkampungan.... Padahal lazimnya

hanya tiga-empat bulan saja. Membuat sulit kehidupan. Benar-benar

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 304: SMP KHADIJAH

membuat semuanya sulit.... Tidak ada lagi rusa di hutan dekat

perkampungan. Danau yang biasanya bisa digunakan untuk mencari ikan

sempurna membeku. Sulit sekali mencari binatang liar untuk dimakan,

persediaan makanan musim panas sudah menipis. Seluruh perkampungan

menghadapi masalah serius.

"Dan lebih serius lagi bagi keluarga miskin itu. Tidak ada makan, tidak ada

api, itu sama saja malam-malam mereka harus dilalui dengan penderitaan.

Malam-malam terasa lebih panjang. Menggigil kedinginan.... Tapi gadis

kecil kita tidak pernah mengeluh. Meski gelap, meski dingin, ia

menyibukkan diri bersenandung. Menatap langit gelap tertutup badai

lewat jendela iglo. "Bertanya banyak hal pada Ayah-Ibu-nya. Tentang

mengapa malam tidak terasa hangat seperti siang. Mengapa malam tidak

ada cahaya yang memesona seperti matahari. Mengapa dunia tidak siang

saja selamanya... biar mereka tidak kedinginan, biar mereka tidak perlu

peduli lagi dengan nyala api.... Perut gadis kecil itu lapar, tapi ia tidak ingin

membebani Ayah-Ibu-nya dengan keluh-kesah. Hanya bertanya, sambil

bersenandung riang. "Gadis kecil itu bisa bersabar dengan situasi buruk

itu.... Meski ia tidak pernah kunjung mengerti mengapa iglo lainnya terlihat

terang dengan cahaya api, sedangkan iglo mereka tidak. Dulu ia suka

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 305: SMP KHADIJAH

bertanya hal itu, tapi Ayahnya hanya bilang soal siapa yang berhak, siapa

yang tidak. Ayahnya malah menjawab dengan intonasi marah. Seolah

bertanya urusan itu amat dilarang. Entahlah.... Membuatnya takut

bertanya lagi. Takut karena katanya bakal muncul naga raksasa yang

mengamuk membakar seluruh pedesaan jika ada yang berani tanya-tanya

soal aturan main tersebut.

"Masalahnya, tanpa kita tahu, tanpa kita siap terlebih dahulu, situasi bisa

memburuk kapan saja.... Di bulan ke sepuluh sejak badai salju

mengungkung pedesaan, Ayah-nya yang pergi berburu suatu hari tidak

pernah kembali lagi. Ditunggu semalaman, tidak juga pulang-pulang.

Seminggu. Sama saja. Sebulan. Tetap begitu.... Maka serunai kesedihan

mulai menguar dari iglo mereka. Gadis kecil itu menunggu senyap di depan

jendela setiap malam. Siapa tahu Ayah-nya pulang membawa rusa,

membawa kelinci salju. Siapa tahu Ayah-nya membawa ikan-ikan besar....

Tidak ada. Sama sekali tidak ada kabar kecuali berita kalau Ayah-nya

terlalu berani berburu, pergi hingga batas hutan yang banyak beruangnya.

"Gadis kecil kita sedih sekali. Tak terkatakan. Menunggu kosong di bawah

bingkai jendela, berharap siapa tahu siluet tubuh Ayahnya terlihat di

gerbang hutan....

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 306: SMP KHADIJAH

"Tapi ia tidak ingin rasa sedihnya menambah

kesedihan Ibu-nya. Lihatlah, ibunya yang hamil tua terbaring lemah di atas

ranjang. Sebulan terakhir jatuh sakit. Membuat semakin sulit situasi....

Ibunya tidak bisa melakukan apa pun, bergerak saja susah. Maka gadis

kecil itu mulai mengambil alih pekerjaan rumah. Menyelimuti Ibu-nya yang

setiap malam menggigil. Membersihkan salju yang menumpuk di depan

pintu. Memetik dedaunan yang tersisa. Memandang sedih perut buncit

Ibu-nya yang mengandung adik yang selalu diharap-harapkannya....

"Hingga suatu malam, demam Ibu-nya semakin parah. Gadis kecil itu

memutuskan untuk meminta pertolongan. Pergi ke iglo lainnya yang

terlihat bercahaya. Ia ingin meminta nyala api. Ia ingin Ibu-nya hangat

malam ini.... Tapi hanya kata-kata penolakan kasar tidak dimengerti yang

ia terima. Ada yang berhak. Ada yang tidak. Gadis kecil itu tidak pernah

paham mengapa dunia harus tercipta dengan perbedaan. Ia hanya butuh

nyala api kecil, untuk membuat Ibu-nya hangat, sesederhana itu, tidak-

lebih tidak-kurang....

"Malam itu, gadis kecil kita tertatih-tatih berlari dari satu iglo ke iglo

lainnya, di tengah badai salju yang menggila, tubuhnya kuyup, kakinya

gemetar melewati tumpukan salju hingga paha. Benar-benar percuma,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 307: SMP KHADIJAH

tidak ada yang peduli. Meski ada yang bersimpati, tapi keluarga itu terlalu

takut untuk melanggar pantangan.

"Menjelang tengah malam, gadis kecil kita sambil menangis kembali. Tidak

ada. Benar-benar tidak ada

nyala api untuk Ibu-nya. Malam ini ia akan melihat lagi pemandangan

menyedihkan tersebut. Suara gemeletuk gigi Ibu-nya, tubuh yang

menggigil.... Gadis kecil itu menangis, bergerak mendekat ingin

memperbaiki selimut Ibu-nya yang tersingkap.... "Tapi ia keliru. Sungguh

keliru! Tidak ada gemeletuk gigi itu lagi. Tidak ada tubuh yang menggigil

itu lagi. Yang ada hanya lengang. Sepi. Ibu-nya sudah pergi. Selama-

lamanya. Tak kuasa menanggung lebih panjang penderitaan...." Karang

terdiam sejenak, mengusap lembut rambut Melati. Kanak-kanak itu masih

bersandar di bahunya. Menggerung lirih. Seperti takjim mendengarkan

cerita.

"Malam itu, situasi benar-benar berubah buruk. Ibu-nya meninggal. Gadis

kecil itu menangis tersedu di depan tubuh Ibu-nya yang sudah membeku.

Menciumi wajah kaku Ibu-nya. Berseru tentang, 'Jangan tinggaikan aku

sendiri.... Aku mohon, Ibu jangan pergi!' Amat menyakitkan melihatnya.

Dan lebih menyakitkan lagi saat melihat gadis kecil itu mendongak

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 308: SMP KHADIJAH

menatap langit yang gelap oleh badai. Gadis kecil itu jatuh terduduk

bertanya ke kelamnya langit: mengapa dunia diciptakan dengan

perbedaan. Mengapa manusia bangga sekali dengan perbedaan. Kasta.

Kemuliaan. Yang satu lebih hebat, lebih dihargai, lebih segalanya,

sementara yang lain tidak. "Gadis kecil itu benar sekali, Melati.... Mengapa

dunia diciptakan dengan perbedaan. Yang satu dilebihkan dari yang lain....

Ada yang bisa melihat,

bisa mendengar, ada yang tidak. Ada yang tampan, cantik, ada yang tidak.

Ada yang pintar, cerdas, ada yang tidak. Apakah semua itu adil? Apakah

semua takdir itu adil? Padahal bukankah semua pembeda itu hanya semu.

Tidak hakiki. Ketika waktu menghabisi segalanya, bukankah seluruh

manusia sama....

"Entahlah, ia tidak mengerti banyak hal, yang ia ingin penjelasan hanyalah

urusan sederhana: mengapa keluarga mereka tidak berhak memiliki nyala

api, hanya itu.... Gadis kecil itu tersungkur meminta penjelasan. Mengapa

Tuhan tidak menciptakan nyala api yang terang benderang bagi semua.

Menciptakan cahaya di malam hari. Cahaya yang indah-memesona. Cahaya

yang membuat hangat dan nyaman bagi siapa saja yang melihatnya di

tengah udara dingin dan rasa sepi. Cahaya yang dimiliki oleh setiap orang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 309: SMP KHADIJAH

Tidak hanya untuk yang berhak, tidak hanya untuk yang boleh....

"Menjelang pagi, gadis kecil itu terhuyung keluar dari iglo. Ia tidak tahu

hendak ke mana. Ia sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu, jadi buat apa tinggal di

iglo itu lagi. Pergi. Gadis kecil itu memutuskan pergi... pergi dari

perkampungan yang tidak pernah dimengertinya. Pergi mencari jawab atas

pertanyaannya. Tidak ada yang tahu kemana gadis kecil itu pergi. Tidak

ada. Ia menghilang sejak pagi itu. Raib ditelan bumi....

"Yang penduduk desa itu tahu, sehari setelah kepergian gadis kecil itu,

mendadak badai salju yang mengungkung desa mereka hampir setahun

lenyap.... Dan belum habis keterkejutan mereka, mendadak di tengah

gelap-gulita malam, seberkas cahaya indah muncul menghias angkasa....

Itulah aurora. Melati.... Tahan cahaya yang sungguh indah. Berpilin.

Berpadu. Seperti sejuta pelangi.... Itulah aurora! Memberikan perasaan

hangat dan nyaman bagi yang melihatnya. Menjadi penghibur di malam

dingin dan senyap. Itulah auroa, Melati...." Karang tersenyum mengakhiri

ceritanya, mencium lembut rambut ikal Melati.

Kanak-kanak itu menggerung. Seolah bisa mendengar.

Matahari sudah menghilang di balik bukit. Gelap. Koridor kosong lantai

atas terlihat remang. Lampu-lampu di lantai bawah sudah dinyalakan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 310: SMP KHADIJAH

Salamah. Lampu-lampu di taman sudah dinyalakan Mang Jeje. Satu hari

iagi berlalu. "Benar-benar hari yang melelahkan, Melati. Aku tahu, kau

sama frustasinya denganku. Sama sebalnya. Sama marahnya. Tapi kita

tidak boleh berputus asa, sayang.... Tidak boleh. Kita akan menemukan

caranya. Menemukan caranya agar kau bisa mengenal dunia dan seisinya....

Jika tidak, itu bisa jadi akan membuat banyak orang tidak percaya lagi

dengan janji-janji Tuhan. Dan kita tidak ingin itu terjadi...." Karang

berbisik lembut di telinga Melati. Berdiri membimbing Melati....

Malam ini Karang tidak menemani Melati di kamar. Bunda yang

menemani. Karang tidak mengantar tidur kanak-kanak itu dengan

dongeng.

Dia sudah melakukannya tadi sore. Memutuskan berjalan-jalan di halaman

rumput. Menyapa Mang Jeje yang sedang mengelap ayam kate putih-nya.

Karang tertawa. Tidak, dia tidak mentertawakan Mang Jeje yang amat

serius mengurus ayam itu, dia tertawa lebih karena baru tahu kalau helai

bulu yang ada di kamar Melati ternyata helai bulu ayam (bukan burung).

Karang penat. Urusan Melati membuatnya lelah. Berjalan-jalan seperti ini

sedikit banyak membuatnya lega. Tertawa sesaat barusan juga

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 311: SMP KHADIJAH

membantunya lebih rileks. Besok hari ke-20. Dan dia tidak kunjung

menemukan caranya. Entahlah apa yang akan terjadi esok-lusa. Tuan HK

pulang dua hari lagi. Waktunya semakin terbatas. Karang mengusap

wajahnya, menatap lurus pepohonan yang seperti biasa dipenuhi

pertunjukan cahaya kunang-kunang.

Hari ini dia sudah menggunakan benda terakhir itu. Dan ternyata tidak

ada gunanya. Kanak-kanak itu tidak bereaksi seperti yang diharapkannya.

Syaraf, panca-indera, kemampuan berkomunikasi, perasaan, entahlah

namanya yang masih tersisa di tubuh Melati tetap tidak terpancing keluar.

Tidak bergeming. Apakah semua akan berakhir seperti ini? Melati harus

menghabiskan seluruh sisa hidupnya hanya menjadi beban bagi orang

lain? Karang mendesah. Beban? Tuan dan Bunda HK bisa saja membayar

mahal 'seratus pembantu' untuk Melati, tapi itu jelas bukan solusi baiknya.

Karang menatap langit. Wajah Qintan seperti

menyemburat di sana, seperti terlukis sempurna di hadapannya. 'Qintan

akan berlari.... Qintan akan beriari seperti dia, Kak Karang... seperti cerita

Kak Karang!' Karang tersenyum. Lihatlah, gigi tanggal itu. Wajah imut-

menggemaskan itu. Ya Tuhan, jika semua urusan ini memang adil, Kau

akan membuat Melati bisa membaca. Membuat Melati bisa menulis.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 312: SMP KHADIJAH

Bahkan Kau sungguh akan menakdirkan gadis kecil ini bisa melakukan

hal-hal besar yang justru tidak bisa dilakukan orang-orang yang bisa

melihat dan mendengar dalam hidupnya. Karang berbisik lirih. Menyimpul

doa ke langit-langit malam....

Malam semakin matang. Deru jangkrik dan uhu suara burung hantu

perlahan menghilang, menyisakan denging ribuan kunang-kunang.

Karang menghela nafas, melangkah kembali ke teras depan rumah. Mang

Jeje sudah masuk kamarnya. Juga pembantu lainnya. Bunda masih di

kamar biru Melati. Tiduran di belakang. Membelai lembut rambut ikal

permata hatinya. Bernyanyi. Bunda malam ini meniru kebiasaan Karang. Ia

tak pandai bercerita, tapi menyanyi? Ah, Bunda jago. Kan, dulu pernah

menang lomba seriosa di RRI. Jadi malam ini ia melantunkan lagu nina-

bobo buat Melati.

Karang melewati ruang tengah lantai satu yang kosong.

Melewati koridor yang kosong? Ternyata tidak. Di depan jendela besar yang

menghadap hamparan perkotaan, di sana Salamah sedang berdiri

sendirian. Menatap lurus ke depan.

Karang menyeringai, berhenti sebentar. Melangkah

mendekat.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 313: SMP KHADIJAH

"Apa yang kau lihat?"

Salamah terkaget-kaget. Hampir berteriak, "MALING!" (kan ia raja

panikan, dan cara Karang menegur barusan jelas-jelas mengejutkan

Salamah). Menatap Karang sedikit semaput. Menarik nafas panjang. Hossh.

Menarik nafas panjang sekali lagi. Hosssssh....

"Ppelabuhan yang indah, bukan?" Karang nyengir. Menahan tawa.

Sebenarnya sedikit kasihan melihat ekspresi pias muka Salamah.

Salamah mengangguk patah-patah. Reflek saja. Bukan mengangguk

menjawab pertanyaan Karang. Hossh. Hossh. Nafasnya mendingan. Ia

menyeka keringat di dahi.

"Kenapa kau belum tidur selarut ini?" "Ergh, eee, anu-" Muka Salamah

memerah. Kenapa pula ada yang tanya-tanya kenapa ia belum tidur malam

ini. Inilah masalahnya, seharusnya pertanyaan itu mudah dijawab, kan?

Tapi Salamah yang setengah jam lalu sibuk bengong sambil tersipu malu

menatap pelabuhan dari kejauhan mendadak jadi salah tingkah. Aduh,

kan malu kalau sampai ketahuan....

"Siapa lelaki 'malang' itu?" Karang bertanya rileks, ikut menatap lurus ke

depan. Ke arah pelabuhan kota yang terlihat terang, dua fery besar

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 314: SMP KHADIJAH

bertingkat membuang sauh di sana. Lampunya gemerlap. Musim-musim

sekarang, malah terkadang ada

dua-tiga kapal pesiar yang ikut merapat. Sengaja menanti festival kembang

api.

"Ergh, eee, lelaki malang? Siapa? Ee, maksud Pak Guru?" Wajah Salamah

benar-benar memerah. Terbata-bata salah-tingkah. Ah-ya, Salamah tiga

minggu terakhir selalu memanggil Karang dengan sebutan: 'Pak Guru'.

"Siapa lagi? Lelaki yang ingin kau temui minggu depan ketika festival

kembang api di kota, kan?" Karang menyeringai, tertawa. Lihatlah,

Salamah sempurna menggeleng seperti anak kecil yang membantah

dituduh mencuri mangga, padahal kantung-kantungnya penuh sesak oleh

barang bukti. "Ergh, festival, festival... anu...." Salamah menggaruk rambut.

Kok, Pak Guru tahui "Tentu saja aku tahu, Salamah. Seluruh anggota

rumah besar ini juga tahu. Bukankah dua minggu terakhir kau selalu

membawa-bawa fotonya. Sembunyi-sembunyi menatapnya. Tersenyum

malu memeluk guling. Tersipu memerah saat menatap hamparan kota.

Menatap sendirian cahaya ribuan kunang-kunang.... Bagaimana aku tahu?

Hanya Melati yang tidak tahu. Itu pun karena ia tidak bisa melihat

perangai 'aneh'-mu.... Ngomong-ngomong, boleh aku lihat fotonya yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 315: SMP KHADIJAH

ada di saku bajumu?" "NGGAK! NGGAK BOLEH!" Salamah panik, berseru

kencang seketika. Menggeleng.... Sekejap. Mukanya sempurna bagai

kepiting rebus. Ketahuan deh! Benar-benar ketahuan.

Karang tertawa. Mengangkat bahu. Ini bisa jadi selingan yang baik. Jahil

menganggu Salamah. Tapi

kadar sinisme Karang jauh-jauh hari sudah berkurang banyak. Malam ini

dia bahkan seperti masa-masa itu, wajahnya dipenuhi gurat kebaikan, suka

mendengarkan, kesenangan bergurau, bersimpati dan berbagi tanpa

pretensi. "Kalau aku tidak salah, kalian hampir menikah tiga tahun silam,

bukan?" Karang bertanya lembut. Menatap wajah Salamah yang tertunduk

malu. Salamah, gadis berumur tiga puluh tahun itu mengangguk pelan. Ya,

mereka dulu hampir menikah. Tapi kejadian Melati yang hampir loncat

dari teras lantai dua merubah semuanya. Demi melihat Bunda yang

menangis di tengah sakit parahnya, thypus, menyaksikan kepanikan yang

terjadi, rusuh saat itu, Salamah memutuskan untuk sempurna mengabdi

pada keluarga ini. Sama seperti kakek-buyutnya, kakeknya, dan ayahnya. Ia

berikrar dalam hati tidak akan pernah meninggalkan Bunda walau sedetik.

Gadis itu benar-benar pembantu yang setia. Pekerja yang baik. Karang

tersenyum, "Kau keliru, Salamah.... Tidak seharusnya kau membatalkan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 316: SMP KHADIJAH

pernikahan itu. Siapa bilang pengabdianmu akan berkurang setelah

menikah? Tidak. Kau bisa tetap tinggal di sini, kan? Lagipula, kalau mau

berpikir, jika kau tidak menikah, lantas siapa yang akan meneruskan

tradisi keluargamu yang hebat? Almarhum kakek-buyut, kakek, dan ayah-

mu jangan-jangan malah marah besar jika tahu tradisi hebat itu terhenti

setelah kau."

Salamah mengangkat kepalanya. Marah? Tradisi?

Menelan ludah. Ia belum mengerti benar maksud kalimat Karang.

"Dengan menikah, kau akan punya anak, Salamah. Siapa yang akan

menemani Melati kalau kau. Bunda, Tuan HK dan anggota keluarga ini

juga sudah pergi? Anak-anakmu, bukan? Meneruskan tradisi pengabdian

keluarga yang panjang tersebut. Nah, tidak sepatutnya kau membatalkan

pernikahan itu...."

Salamah terdiam. Benar juga.

"Kau pasti berkenalan dengan pemuda tidak

beruntung itu persis saat festival kembang api....

Tidak, aku hanya menebak soal itu, aku sama sekali

tidak tahu." Karang tertawa, melihat ekspresi

'menyeringai' lagi Salamah, "Minggu depan kau

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 317: SMP KHADIJAH

punya kesempatan baik untuk bertemu dengannya!

Festival kembang api. Itu saat yang tepat untuk

merajut kembali semua cerita...."

Salamah diam sejenak. Lantas mengangguk pelan.

Itu benar. Ia setiap hari selama sebulan ini berharap

bertemu dengannya saat festival kembang api

minggu depan. Merajut? Merajut baju?

Karang melangkahkan kakinya. Beranjak

meninggalkan Salamah yang masih termenung,

memikirkan kalimat Karang barusan.

"Pak Guru.... Sebentar!"

Karang menoleh.

"Anu... anu...."

Ya. Ada apa?

"Boleh, boleh Salamah pinjam mesin ketik Pak Guru untuk menulis surat,

eee, menulis surat buat,

buatnya...." Salamah menggigit bibir, tersipu malu. Sudah kadung

ketahuan, kan?

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 318: SMP KHADIJAH

"Boleh. Kau bisa ambil kapan saja di kamarku." Karang tertawa,

mengangguk. Teringat kertas yang dulu diketik Salamah sembunyi-

sembunyi. Melangkahkan kakinya lagi. "Pak Guru.... Sebentar!" Karang

menoleh lagi.

Salamah diam sejenak, menyeka dahinya, kali ini sedikit tertunduk, "Maaf,

maaf dulu Salamah pernah melaporkan Pak Guru ke Tuan HK. Soal, soal

botol itu-" Intonasi suara Salamah sedikit bergetar. "Tidak apa-apa,

Salamah. Lupakan saja!" Karang tersenyum, melambaikan tangannya, "Kau

pembantu yang baik di rumah ini, sudah seharusnya kau melakukan itu."

"Pak Guru, Pak Guru tidak marah? Tidak dendam pada Salamah?"

Karang mengangkat bahunya, menggeleng. Salamah tersenyum senang.

Ah, ternyata dulu ia sungguh keliru menilai pemuda ini. Lihatlah, meski

rambutnya masih gondrong, wajahnya malam ini terlihat begitu

bersahabat. Matanya meski tajam, terlihat amat menawan, begitu

menyenangkan menatapnya. Wajahnya juga ganteng.... Gan-teng? Ah,

gantengnya Pak Guru sih masih kalah sama pacar-nya itu. Salamah nyengir

lebar. Karang melanjutkan langkah. "Pak Guru.... Sebentar!" Karang

menoleh untuk yang ke-tiga kalinya. "Apa, a-pa...." Salamah menggigit

bibir. Tertahan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 319: SMP KHADIJAH

Ya! Ada apa? Karang bertanya lewat kernyitan mata, tersenyum.

"A-pa Me-la-ti... apa Melati akan sembuh, Pak Guru?"

Karang menghela nafas. Terdiam. Berpikir. Lantas menggeleng pelan.

Muka Salamah seketika kecewa. Raut wajahnya terlipat tiga.

"Maafkan aku, Salamah. Melati mustahil sembuh, itu kenyataan.

Menyakitkan memang...." Karang berkata pelan, "Tapi ia tetap akan bisa

melihat meski tanpa mata, Salamah.... Ia tetap akan bisa mendengar meski

tanpa telinga. Ia bahkan bisa melakukan hal-hal hebat yang bahkan tidak

bisa dilakukan oleh kita.... Yakinlah! Itu pasti akan terjadi."

Salamah mengangkat kepalanya. Kalimat Karang yang meski pelan tapi

bertenaga menusuk hatinya. Penuh janji. Penuh semangat. Salamah

menelan ludah, "Maksud Pak Guru, sama... sama seperti kita melempar

bola ke dinding itu?"

Karang mengangguk, tersenyum. Ya!

Kesempatannya masih amat besar. Salamah ikut tersenyum lebar.

Mengangguk yakin. Karang melanjutkan langkahnya. Kali ini tanpa

interupsi. Malam semakin tinggi. Karang pelan menaiki anak tangga

pualam. Pembicaraan barusan dengan Salamah membuatnya berpikir

banyak. Pertama soal Melati. Tidak. Melati tetap masih punya kesempatan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 320: SMP KHADIJAH

Setidaknya besok masih ada waktu sebelum Tuan HK pulang. Keajaiban itu

pasti datang di detik-detik terakhirnya. Meskipun ia tidak tahu,

metode pengajaran apa lagi yang akan digunakannya besok. Dia sudah

menggunakan pamungkasnya. Karang mendesah sedikit resah. Kedua soal:

Saat yang tepat untuk merajut kembali semua cerita.... kalimat yang

disampaikannya pada Salamah tadi. Muka Karang mendadak bersemu

merah. Wajah cantik berkerudung lembut itu tanpa tercegah melintas.

Tersenyum amat manisnya.

Keajaiban Telapak Tangan

Sayangnya, Karang keliru. Tidak ada. Esok harinya ternyata benar-benar

tidak ada lagi kesempatan itu. Waktu yang tersisa baginya habis sudah.

Tanpa ada perpanjangan waktu (lagi). Peluit panjang tanda berakhirnya

permainan sudah dibunyikan. Selesai-

Pagi itu gerimis membungkus kota. Membuat syahdu suasana. Jutaan larik

bilur air turun satu per-satu. Lengang. Payung-payung terkembang. Warna

warni. Orang-orang bergegas. Anak-anak yang berangkat sekolah. Pekerja

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 321: SMP KHADIJAH

kantoran yang menunggu jemputan. Petani yang memakai jas hujan.

Pelelangan ikan dekat pelabuhan yang basah. Udara terasa dingin.

Melati pagi ini sarapan bersama Bunda, Karang, Salamah, Mang Jeje dan

pembantu lainnya di ruang makan besar. Gadis kecil itu begitu takjim

menyendok makanan. Wajahnya menyeringai lebar. Mata hitam biji buah

lecinya berputar-putar, senang menatap mangkuk sup jagung di depannya.

Rambut ikal mengombak Melati bergerak seiring tangannya berhasil

menyendok. Kepalanya terangguk-angguk

riang. Riang dengan meja dan kursi yang dikenalinya. Riang dengan

suasana di sekitarnya. Amat menggemaskan melihat kanak-kanak itu

makan.

Bunda menatapnya sambil tersenyum. Menunggu, apakah Melati ingin

nambah atau tidak. Gadis kecil itu akan menyentuhkan pelan sendoknya ke

pinggiran mangkok kalau ia masih lapar. Ting! Ting! Dan Bunda lembut

menuangkan sup tambahan. Salamah juga terlihat riang di meja makan.

Sibuk bilang soal festival kembang api minggu depan. Sibuk berceloteh.

"Bukankah kita sering pergi ke sana bersama-sama, Salamah? Tidak

perlulah kau uiang-uiang ceritanya. Semua sudah tahu sendiri!" Mang Jeje

memotong, sebal, karena ceritanya tentang ayam kate-nya yang sudah

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 322: SMP KHADIJAH

tumbuh lagi bulu-bulunya terganggu (dulu dicabuti Melati). Tapi meski

Salamah mendengus sirik pada Mang Jeje yang tidak sensitif (dan

sebaliknya Mang Jeje juga mendengus sirik padanya), sarapan itu berjalan

menyenangkan. Karang takjim menghabiskan sup jagungnya. Tidak

banyak berkomentar. Melati mengangkat muka. Sendok terakhir yang tiba

di mulutnya kosong. Itu berarti mangkoknya sudah habis. Menyeringai

lebar. Masih lapar. Pelan memainkan sendok. Ting! Ting! Bunda

tersenyum. Segera memajukan badan, berusaha menyendok sup jagung

dari mangkok besar. Saat itulah, sarapan pagi itu tidak berjalan

menyenangkan lagi. Saat itulah, peluit panjang itu berbunyi. Membuat

sarapan berubah jadi kacau balau. Seketika.

"Se-la-mat pa-gi, semua!" Tuan HK melangkah melewati bingkai pintu

ruang makan besar, tersenyum lebar sekali.

Semua kepala tertoleh. Sekejap. Satu detik. Tiga detik. Lima detik. Tertegun.

Bunda benar-benar kaget (apalagi Salamah). Tuan HK melangkah

mendekat, tidak menyadari kalau ada komposisi yang keliru di ruang

makan besar rumah mewahnya. Masih tertawa lebar. Wajahnya terlihat

sumringah. Kejutan. Hei! Semua terlihat amat terkejut melihatnya datang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 323: SMP KHADIJAH

Sukses besar. Dia memang sengaja melakukannya. Merencanakannya dari

Frankurt dua hari lalu. Pulang sehari lebih cepat dari jadwal.

Sengaja tidak meminta Beno menjemput. Naik taksi sendiri dari Bandara.

Menyelinap ke dalam rumah. Sempat bingung menatap tumpukan barang

di ruang tengah, tapi antusiasmenya untuk membuat kejutan

mengurungkannya bertanya. Terus masuk ke ruang makan. Mereka pasti

sedang makan. Dan Tuan HK tidak keliru soal itu. Yang dia keliru

menduga adalah: ketika matanya melihat salah-satu kursi di meja makan

itu. Diduduki oleh seseorang. Seseorang yang tiga minggu lalu amat

dibencinya. Karang!

"Kau... Ka-u...." Tuan HK mendadak seperti orang tercekik, matanya

mendelik. Cepat sekali tensi pembicaraan meninggi. Cepat sekali ruang

makan besar itu terasa pengap. Mengusir jauh-jauh udara dingin dan

nyaman dari luar.

Karang juga tidak kalah kagetnya. Bukankah?

Bukankah Tuan HK baru pulang besok? Terkesiap, meski berusaha tetap

tenang. Mang Jeje dan pembantu lainnya mengkerut di atas kursi masing-

masing, menelan ludah, takut. Salamah? Hampir jatuh masuk ke bawah

meja besar, untung ia mencengkeram ujung-ujung meja. Bunda gemetar.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 324: SMP KHADIJAH

Berusaha berdiri. Gugup. Bingung. "KAU! APA YANG KAU LAKUKAN DI

RUMAHKU! DI RUANG MAKAN KELUARGA KAMI!" Dalam hitungan

seperseribu detik, Tuan HK sudah berteriak tanpa tedeng aling-aling.

Membuat terbang burung gelatik yang sedang bercengkerama di air

mancur halaman rumput. Mengagetkan semuanya. Tuan HK melempar

sembarang tas kulit mahalnya ke lantai. Melempar bungkusan plastik yang

berisi oleh-oleh dari Frankurt. Kejutan? Kali ini dialah yang benar-benar

terkejut. Bagaimana mungkin pemuda sialan ini masih berada di

rumahnya? Bukankah setiap dua hari dia menelepon selama tiga minggu

terakhir, istrinya bilang kalau pemuda ini sudah pergi. Melati baik-baik

saja. Wajah Tuan HK menggelembung. Salamah? Salamah juga bilang

seluruh anggota keluarga baik-baik saja. Semuanya dusta! Semuanya

seperti berkomplot menipu dirinya. "KAU!! PERGI DARI RUMAH INI!"

Tuan HK beringas melangkah mendekati kursi Karang. Buku-buku

tinjunya terlihat. Wajahnya memerah oleh amarah. Bunda gagap. Segera

melangkah. Berusaha mencegah suaminya. "Jangan, yang.... Ja-ngan!"

"BAGAIMANA MUNGKIN KAU MEMBOHONGIKU??"

Tuan HK membentak istrinya. Dia benar-benar tidak terkendali sekarang.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 325: SMP KHADIJAH

"Aku, aku bisa menjelaskannya, yang.... Apa yang kau lihat, tidaklah sama

seperti tiga minggu lalu. Sungguh! Berikan aku waktu satu menit untuk

menjelaskannya!"

"Omong-kosong! Apa yang sebenarnya kalian rencanakan? Apa yang

kalian sembunyikan dariku!" Tuan HK mendesis kencang.

"Tuan, Tuan.... Bunda benar, Tuan!" Salamah mendecit, mencoba

membantu demi melihat wajah Bunda yang mengkerut ketakutan. Belum

pernah ia melihat Bunda begitu takut dengan Tuan HK. Padahal,

bukankah mereka selama ini rukun dan bahagia.

"DIAM, SALAMAH!"

Salamah gemetar dibentak seperti itu. Seperti melihat Gubernur Jenderal

VOC jaman bahuela yang galak dan kejam tak berbilang. Ia memegang

erat-erat ujung meja (yang malah membuat meja itu ikut bergetar).

Sementara Tuan HK sudah kasar mendorong istrinya, tidak peduli. Berhasil

mendekati kursi Karang. Tangannya tanpa permisi, mencengkeram kerah

sweater hitam Karang. "Sa-bar, yang.... A-ku mo-hon. Berikan aku

kesempatan untuk menjelaskan-" Bunda berusaha menarik tangan

suaminya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 326: SMP KHADIJAH

"Kau! Kau pergi sekarang juga dari rumah ini!" Tuan HK mendesis tajam,

tidak mendengarkan keluh tertahan istrinya. Wajah Tuan HK hanya

terpisah dua senti dari wajah Karang. Cengkeraman

tangannya di kerah sweater membuat Karang tersedak.

"Aku mohon, yang...."

"Kau pergi sekarang juga!" Desisan Tuan HK bagai seekor ular kobra yang

penuh oleh gelembung kemarahan.

"Aku mohon, dengarkan aku, yang.... Karang sudah melakukan banyak hal.

Jangan, jangan usir dia.... Berikan aku satu menit untuk menjelaskan

semua." Bunda terbata-bata menarik tangan itu, yang justru semakin

membuat Karang tercekik. "....Lihat, lihatlah Melati, putri kita sudah bisa

makan dengan sendok. Lihatlah, aku mohon.... Melati juga sudah bisa

makan sambil duduk di kursi, lihatlah.... Putri kita sudah bisa melaku-"

Kata-kata Bunda mendadak terputus. Tercekat.

Tuan HK demi mendengar intonasi suara istrinya seperti orang yang

terjerat tali di leher, menoleh. Menoleh ke arah jemari istrinya tertunjuk.

Kosong. Kursi yang seharusnya ditempati Melati kosong. "MELATI?

MELATI!??" Bunda berseru. Panik sekali. Rusuh. Lagi-lagi ruang makan

besar itu rusuh. Episode kedua. Salamah sampai benar-benar semaput

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 327: SMP KHADIJAH

menahan panik. Mang Jeje dan pembantu lainnya bersitatap takut sama

lain. Tuan HK melepaskan cengkeramannya. Menatap bingung. Ada apa?

"Melati anakku.... DI MANA MELATI?!" Bunda berteriak. Tubuhnya

gemetar oleh perasaan gentar. Teringat kejadian tiga tahun lalu. Mereka

sibuk.

Melati juga sibuk, terlupakan.

Cengkeraman Tuan HK terlepas. Karang yang akhirnya bisa bernafas iega

segera berdiri dari duduknya. Menyeka dahi. Di mana kanak-kanak itu.

Menoleh cepat ke segala arah.

Tadi ketika semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Ketika meja

makan itu ribut oleh teriakan marah Tuan HK, seruan tertahan Bunda,

decit suara Salamah, Melati yang sebal menunggu mangkuknya terisi

kembali beranjak turun dari kursi. Dia tidak tahu apa yang terjadi di

sekitarnya. Sama sekali tidak. Jadi malah rileks berjalan sembarang arah.

Tangannya terjulur meraba-raba udara. Menggerung pelan, tidak peduli

dengan keributan. Kanak-kanak itu melangkah menuju pintu keluar tanpa

disadari siapa pun. Menuju halaman rumput yang terpotong rapi. Menuju

ke arah suara gerimis hujan. Menuju ke sumber udara dingin yang

menggantung di luar. Dari dulu ia penasaran sekali soal itu. Dingin.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 328: SMP KHADIJAH

Tangannya dulu setiap malam merasakan dingin jendela kaca. Sekarang

tangannya dingin oleh sesuatu.

Mendorong pintu keluar yang langsung menuju taman. Wajahnya seketika

diterpa angin yang membawa butiran air kecil-kecil. Menyenangkan. Gadis

itu menyeringai senang, menggerung pelan. Berjuta larik bilur air langsung

membungkus tubuhnya saat ia menjejak halaman rumput. Bilur air kecil-

kecil. Menerpa wajahnya. Membuat butiran kristal. Seperti embun.

Kanak-kanak itu tersenyum. Ini benar-benar me-

nyenangkan. Hei! Disebut apakah benda yang sedang menerpa wajahnya....

Melati ingin tahu! Dingin. Tangannya terbentang lebar-lebar. Wajahnya

tengadah. Kakinya terus melangkah sembarangan....

"DI MANA MELATI! DI MANA ANAKKU!!" Bunda berteriak panik sekali

lagi di ruang makan besar. Kecemasan melandanya. Jangan-jangan anak

itu tidak sengaja masuk ke-manalah. Loncat ke-manalah. Jangan-jangan

seperti dulu saat ia sakit terbaring lemah, saat orang sibuk

memperhatikannya, kanak-kanaknya yang

terlupakan hampir loncat dari teras lantai dua. Mang Jeje dan pembantu

lainnya sibuk bergerak ke sana- ke mari. Ada yang berlarian naik ke lantai

atas. Bergegas menaiki anak tangga pualam. Ada yang terburu-buru ke

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 329: SMP KHADIJAH

ruang makan kecil. Dapur. Ruang tengah. Sibuk mencari. Tuan HK

bingung. Lah? Kenapa semua mendadak pergi meninggalkannya. Apa

yang tadi istrinya bilang? Melati makan dengan sendok? Duduk di kursi.

Mana Melatinya? Apa maksud semua ini. Dia benar-benar terkejut! Jadi

siapa dong yang sebenarnya ngasih surprise?

Kanak-kanak itu sudah tersenyum lebar.... Kakinya yang tanpa sandal

kepala kelinci menjejak rumput taman. Telapak kakinya merasakan basah.

Dingin. Mata hitam biji buah lecinya berkerjap-kerjap. Rambut ikal

mengombaknya berkilau oleh puluhan tetes air kecil-kecil yang

mengggelantung. Seperti embun di ujung dedaunan.

Melati menggerung pelan.

"Baaa.... Maaa...." Semua ini amat menyenangkan. Karang melangkah

keluar dari pintu pembatas taman. Selintas melihat pintunya sedikit

terbuka, langsung menuju ke sana. Bunda yang melihat Karang keluar,

segera menyusul dari belakang. Tuan HK yang sempat melihat punggung

Bunda, ikut menyusul. Dia tidak tahu mau melakukan apa. Jadi lebih baik

mengikuti istrinya. Melati sudah duduk di hamparan rumput taman.

Duduk persis di sebelah air mancur tempat burung gelatik biasa mandi. Air

mancur berbentuk tiara bertingkat lima itu mengalirkan air bening ke

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 330: SMP KHADIJAH

sekelilingnya. Gemericik berbunyi pelan. Memercik lembut mengenai wajah

Melati. Kristal air yang berkilauan.

Karang melihat tubuh yang duduk jongkok itu. Bergegas mendekat. Tapi

lebih cepat langkah Bunda. "Apa, a-pa yang kau lakukan, sayang...." Bunda

berseru amat cemas, "Hujan! Di luar sedang hujan, Melati. Kau bisa

kedinginan...."

Bunda semakin dekat. Tangannya terjulur ingin memeluk putrinya. Ingin

menggendong tubuh yang mulai basah itu. Membawanya masuk ke dalam.

Tangan Melati juga sudah terjulur. Ke arah air mancur. Merasakan percik

air. Merasakan aliran air di sela-sela jemari, di telapak tangannya. Dingin.

Lembut. Menyenangkan.

"Apa yang kau lakukan, sayang-" Bunda menahan tangis.

"JANGAN! Jangan dekat-dekat, Nyonya-" Karang

yang sempat menatap wajah Melati mendadak berseru.

Sejuta voltase sentrum listrik itu tiba-tiba menyambar kepalanya. Meski

tidak menyentuh tubuh kanak-kanak itu, meski tidak mendekap, ia tiba-

tiba bisa merasakan apa yang sedang terjadi di kepala Melati untuk ke

sekian kalinya. Meski yang satu ini benar-benar berbeda.... Karang tiba-tiba

jatuh tersungkur.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 331: SMP KHADIJAH

Bunda menoleh. Menatap Karang yang terjatuh dengan tatapan bingung.

Apanya yang jangan? Lihatlah, Melati basah oleh gerimis. Nanti bisa sakit

flu. Tuan HK mendekat, sepuluh langkah di belakang mereka. Tambah

bingung melihat semua kejadian. "Biarkan, Nyonya.... Biarkan Melati-"

Karang berseru lirih. Kepalanya berdenyut kencang. Sakit sekali! Gerakan

tangan Bunda yang hendak memeluk Melati terhenti di udara. Bunda

menelan ludah. Menatap Karang. Pindah menatap wajah kanak-kanaknya

yang seperti bersenandung, menggerung pelan bermain air dengan telapak

tangannya. Saat itulah!

Saat itulah, keajaiban Tuhan kembali mampir di rumah lereng bukit itu.

Saat itulah, keajaiban Tuhan berkenan datang untuk ke sekian kalinya....

Kali ini tidak hanya selintas. Tidak hanya sekerjap. Ya Tuhan, kali ini

Engkau sungguh menumpahkan berlaksa kasih-sayangMu di muka bumi.

Jika kami bisa melihat kasih-sayang itu bak pendar cahaya, maka Kau

sungguh membuat kemilau indah tiada-tara di langit-langit taman rumput

itu

sekarang. Seperti tarian sejuta aurora! Sejuta aurora di gulitanya malam.

Indah-memesona tak-terkatakan!

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 332: SMP KHADIJAH

Dan itulah yang sedang dilihat Melati saat ini. Ketika telapak tanganya

terjulur ke depan. Ketika air mancur membasuh lembut telapak tangannya.

Mengalir ringan di sela-sela jemarinya. Gelap itu mendadak digantikan

tarian sejuta aurora. Kanak-kanak itu sempurna tergugu. Tidak. Ia tidak

pernah melihat cahaya seindah ini. C-a-h-a-y-a. Ia bisa melihatnya....

Ya Tuhan, begitu menggetarkan melihat ekspresi wajah kanak-kanak itu

saat Kau berbaik hati mengajarkannya melihat lagi. Saat kau berbaik hati

mengajarkannya mendengar lagi. Kami lahir lemah, tanpa daya. Itu benar

sekali. Kami lahir tidak melihat, Kau berikan mata. Kami lahir tuli, Kau

berikan telinga. Kami lahir bisu. Kau berikan mulut. Kami lahir tak

bergerak, Kau berikan kaki. Ya Tuhan, bahkan meski kami lahir tanpa itu

semua, Kau sungguh tetap membuat kami bisa melihat, bisa mendengar,

bisa bicara, dan bisa bergerak. Kami saja yang bebal untuk

memahaminya.... "Baaa.... B-a-a-a...." Melati menggerung pelan. Karang

berusaha mendekat. Matanya basah. Dia menjadi saksi utuh atas keajaiban

ini. Karena dia sempurna bisa merasa, berpikir, melihat, dan mendengar

seperti apa yang dirasakan, pikirkan, lihat, dan dengar oleh Melati

sekarang. "B-a-a-a...." Kanak-kanak itu kembali menggerung pelan. Wajah

bundarnya menyeringai. Tangannya

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 333: SMP KHADIJAH

masih terjulur ke depan. Mata hitam biji buah lecinya terlihat amat

menawan.

Karang gemetar merengkuh tangan Melati yang satunya (yang tidak

terjulur). Dia mengerti sudah. Caranya! Caranya! Caranya itu! Telapak

tangan Melati. Akhirnya sisa-sisa panca indera itu kembali. Melalui telapak

tangan Melati. Air mancur yang mengalir lembut di tangan dan sela jari

berhasil mencungkilnya.

"A-i-r!" Karang gemetar menuliskan huruf demi

huruf itu di telapak tangan Melati.

"Ba-aa-aa...." Melati mengangkat kepalanya.

Matanya berkerjap-kerjap menatap Karang.

Kepalanya bergerak-gerak. Bagai desing komet

kesadaran itu datang. Bagai tembakan meteor

pengertian itu tiba. Melati menyeringai.

Pengetahuan itu melesat ke kepalanya.

"A-i-r...." Karang gemetar sekali lagi menuliskan

huruf-huruf itu.

"Ba-a-aa...." Melati menggerung pelan. Kemampuan itu tiba sudah. Seluruh

permukaan telapak tangan Melati bak merekah oleh simpul syaraf yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 334: SMP KHADIJAH

berjuta kali lebih sensitif dibandingkan siapa pun. Ada mata di situ. Ada

teiinga di situ. Ada mulut Melati di situ. Karang mendekatkan telapak

tangan Melati ke mulutnya. Berkata sekali lagi dengan suara bergetar, "A-i-

r...."

"Ba-aa-aaa...." Melati mendadak tersenyum riang. Senyuman yang utuh

setelah sekian lama terkungkung oleh rasa frustasi. Ia mengerti sudah. Ia

tahu sudah. Nama benda yang dingin dan

menyenangkan ini adalah: air. Benda yang menerpa wajahnya. Kecil-kecil.

Yang membasuh telapak tangannya. Yang mengalir lembut di sela-sela

jemarinya. Yang membuat kaki kecilnya basah tapi terasa nyaman. Yang

sejak dulu membuatnya selalu penasaran. Namanya a-i-r. "Baaa.... Baaaa...."

Karang sudah memeluk tubuh gadis kecil itu erat-erat. Menangis.

Bunda gemetar menyentuh lengan Karang. "A-pa.... A-pa... yang terjadi,

anakku?" Bertanya bingung, meski ekspresi wajahnya bersiap buncah tak-

tertahankan setelah melihat senyuman pertama Melati.

Bukan Karang yang menjawab, tapi Melati. Kanak-kanak itu yang

merasakan kehadiran Bunda di dekatnya meraba-raba wajah Bunda. Mata

hitam biji buah lecinya terlihat bercahaya. Rambut ikal mengombaknya

bergerak-gerak. Telapak tangan Melati merasakan kerut wajah keibuan,

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 335: SMP KHADIJAH

rambut panjang, pipi halus, lentik bulu mata, bibir, telinga.... "Ba-aa-aaa...."

Melati menggerung, menoleh ke Karang. Bertanya.

"B-u-n-d-a...." Karang meraih telapak tangan

kanak-kanak itu, menuliskan huruf demi hurufnya.

"Ba-aa-aaa...." Telapak tangan Melati yang bebas

terus meraba-raba wajah Bunda.

"B-u-n-d-a...." Karang meletakkan telapak tangan

itu ke mulutnya. Bergetar. Getaran bibir itu masuk

ke dalam memori kepala Melati.

Dan Kanak-kanak itu kembali tersenyum. B-u-n-d-a.

Ia tahu!

Bunda sudah menangis haru memeluk putrinya. Ya Tuhan, ia belum

mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi demi melihat senyum putrinya.

Senyum pertama anak semata wayangnya. Merasakan jemari kanak-kanak

itu lembut menyentuh wajahnya. Gerungan pelannya. Gerungan putri-nya

yang seperti sedang memanggilnya lembut. Bunda tergugu, tersedu haru....

Tuan HK mendekat. Bingung nian dengan semuanya. Duduk jongkok

dekat Melati. Entah mau melakukan apa. Dia hanya meniru apa yang

sedang dilakukan Bunda. Sekarang tangan kanak-kanak itu terjulur

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 336: SMP KHADIJAH

kepadanya. Melati juga merasakan kehadiran Tuan HK. Jemari itu terjulur

meraba-raba wajah Tuan HK. Kumisnya. Gurat 'kasar' pipinya. Dagunya

yang kokoh. Hidungnya yang mancung. Ini apa ya? Ini siapa ya? "Ba-aa-

aaa...." Melati bertanya. Karang kembali menuliskan huruf-huruf itu di

telapak tangan Melati. Mendekatkan telapak tangan Melati ke mulutnya.

"A-y-a-h...."

"Baaa...." Melati menggerung senang. Mengangguk-angguk.

Pagi itu. Saat gerimis indah membasuh kota. Saat berjuta kebaikan-Mu

turun membasahi bumi. Kebaikan satu malaikat untuk setiap tetes air

hujan. Saat itulah Melati akhirnya bisa mengenai. Mengenal kata air.

Mengenal 'Bunda'. Mengenal 'Ayah'.

Kanak-kanak itu sekarang meraba-raba wajah Karang.

"Ba-aa-aaa...." Bertanya. Siapa?

Karang sudah menyeka matanya. Berbisik:

terima-kasih. Tuhan!

Sisa siang itu dihabiskan dengan suasana yang tidak pernah terbayangkan

oleh Bunda sebelumnya. Perasaan bahagia. Senang. Haru. Tangis. Tawa.

Buncah jadi satu. Tuan HK juga urung marah. Bagaimanalah dia akan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 337: SMP KHADIJAH

marah? Setengah jam masih bingung, duduk tidak mengerti di ruang

makan besar, menatap datar kantong-plastik oleh-olehnya yang

berantakan. Beruntung, Bunda yang akhirnya berhasil mengendalikan rasa

senang 'berbaik hati' menjelaskan. Dengan kalimat patah-patah, sedikit

tersengal. Loncat sana, loncat sini. Melati setelah tahu ia bisa mengenali

benda-benda melalui telapak-tangannya, menghabiskan siang dengan

bertanya bagai seratus senapan mesin otomatis yang ditembakkan ke udara

bersama sama. Menggerung tiada henti. Menyeringai tiada henti. Mata

hitam biji buah lecinya berputar-putar riang. Senyumnya mengembang.

Memperlihatkan gigi kelincinya. Apa saja yang dipegangnya, maka ia akan

menoleh ke Karang. Bertanya. Sandal jepit Mang Jeje. Bebungaan. Daun.

Daun. Dan daun (kan, bentuk daunnya beda-beda). Ranting. Batu. Selang.

Keran air. Pohon. Rumput. Bahkan ayam kate Mang Jeje yang entah

mengapa selalu ngintil di kaki Melati setiap kali kanak-kanak

itu ada di taman. Melati menyeringai mengangkat ayam kate itu.

Menggerung pelan. Tidak. Kali ini ia tidak sibuk mencabuti bulu-bulunya.

Ia belum bisa membayangkan secara utuh seperti apa bentuk benda-benda,

lima tahun lagi ia baru sempurna tahu dan sempurna bisa melukiskannya

di memori kepalanya. Tapi bagi Melati yang dasarnya cerdas, otaknya yang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 338: SMP KHADIJAH

memang cemerlang, akses baru itu membuatnya cepat mengerti. Semua

benda ini tidak buat dilempar.

Masuk ke dalam rumah, lebih banyak lagi yang ia tanya. Keset. Gagang

pintu. Pintu. Pot kembang. Keramik. Keramik. Dan keramik (kan,

keramiknya juga banyak dengan ukuran beda-beda). Karang yang

mengikuti langkahnya tak lelah menjawab. Andai saja gadis kecil itu sudah

bisa bicara, yang baru terjadi satu tahun lagi dengan metode Tadoma

(bicara dengan gerakan tangan, menyentuh bibir dan leher orang lain),

maka Karang bisa 'terbenam' oleh rasa ingin tahunya. Kanak-kanak itu

berjalan sembarangan arah, dan setiap tangannya menyentuh sesuatu

sembarangan ia akan bertanya. Dalam hitungan menit, bentuk pertanyaan

itu bukan lagi soal apa? Tapi turun ke level kedua, ketiga dan seterusnya.

Sulit. Karang tentu saja kesulitan mengartikan gerungan pelan Melati.

Mereka belum bersepakat banyak hal tentang itu. Kesepakatan simbol

komunikasi mereka belum ada, tapi bentuk pertanyaan itu sudah ada.

Sekali-dua Karang benar menebak apa sebenarnya pertanyaan Melati.

Lebih banyak lagi yang keliru. Sekali dua Melati juga bisa

mengerti penjelasan Karang. Tapi lebih banyak lagi yang salah. Namun apa

pun itu, mereka sudah punya cara untuk berkomunikasi. Melati sudah

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 339: SMP KHADIJAH

punya cara untuk mengenal dunia dan seisinya. Tentu saja butuh waktu

untuk menyempurnakannya. Kursi! Kursi apa? Gadis kecil itu meraba-raba

kursi plastik miliknya. Buat apa? Oh, duduk. Duduk itu seperti ini, ya?

Terbuat dari apa? Tersenyum, ah-ya ini yang dua minggu terakhir ia kenali

dan duduki, bukan? Mengangkatnya. Mengerak-gerakkannya. Mengapa

kursi tidak bisa bergerak sendiri seperti ayam kate Mang Jeje? Ah-ya siapa

Mang Jeje? Tukang kebun? Kebun itu apa? Tukang itu apa? Dan

seterusnya. Dan seterusnya.

Kemajuan anak itu selama sehari sungguh mencengangkan. Ia bisa dengan

cepat merangkaikan banyak penjelasan. Menjelang senja, saat ia akhirnya

kelelahan bergerak ke sana ke mari, gadis kecil itu beranjak duduk di

bawah anak tangga pualam. Tempat favoritnya. Tidak. Ia tidak duduk

memeluk lutut, posisi favoritnya. Melati sekarang duduk mejulurkan kedua

kakinya. Bersandar ke dinding. Mulutnya menggerung pelan,

bersenandung.

Tangannya memeluk erat boneka panda milik Qintan. Tadi sibuk bertanya

tentang boneka itu. Adalah dua puluh pertanyaan hanya soal itu. Hingga ia

mengerti kalau boneka panda itu adalah: temannya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 340: SMP KHADIJAH

Menyeringai, Melati menyeka dahinya yang berkeringat. Baju putih

berenda dan bermotif

bunganya terlihat basah. Tapi Melati tidak peduli, ia sedang senang.

Rambut ikal mengombaknya bergerak-gerak pelan mengikuti gerakan

tubuh dan gerungan. Gigi-gigi kelincinya terlihat. Mata hitam biji buah

lecinya berputar bercahaya. Karang yang juga lelah tersenyum, melangkah

mendekat. Duduk di sebelah Melati. Ikut menjulurkan kaki.

"Ba-aa-aaa...." Gadis kecil itu mengangkat kepalanya. Menggerung riang.

Menoleh. Melepaskan boneka panda. Tangannya terjulur ke arah Karang.

Seperti kanak-kanak yang senang dengan kehadiran seseorang. Senang

dengan janji hadiah. Oleh-oleh. Karang mengenggam jemari kanak-kanak

itu. Tangan Melati yang satunya bergerak-gerak. Menyentuh rambut

Karang.

Memainkan jemarinya. Menggerung pelan. Ini apa? Ah-ya ini kan sama

seperti punya Melati. Tertawa, menyentuh rambut ikal miliknya. Ergh,

beda! Yang satu enak sekali sela-sela jemarinya meluncur, yang satu

nyangkut berkali-kali. Melati mendongak, mengangguk-angguk. Karang

tersenyum menatap wajah bundar itu. Melati lembut menyentuh sweater

Karang. Menggerung. Ini apa? Sweater hitam. Hitam? Apa itu hitam?

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 341: SMP KHADIJAH

Warna. Apa itu warna? Gadis kecil itu bagai mitraliur kembali melontarkan

rentetan pertanyaannya. Seolah lupa dengan rasa lelahnya.

Karang mendesah pelan, tadi dia hanya ingin mendekap kepala Melati. Dia

ingin mengajak gadis kecil itu berhenti sejenak. Ia tahu, energi besar

yang akhirnya terlepaskan itu membuatnya tak sabaran. Membuat Melati

ingin tahu segalanya. Tapi selalu ada waktu untuk berhenti sejenak.

Berhenti untuk berbisik tentang rasa terima-kasih. Berbisik tentang rasa-

syukur ke langit-langit kamar. Karang ingin mengajarinya makna kata-

kata itu. Mengajarinya tentang hakikat kata-kata itu. Tapi Melati kembali

sibuk dengan rasa ingin tahu. Karang mencium rambut ikal Melati.

Berbisik.... Terima-kasih, Tuhan! Kau sungguh

bermurah-hati....

Festival Kembang Api

Satu minggu berlalu. Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir, satu

minggu terasa berlalu lebih cepat di rumah besar lereng bukit itu.

Wusssh.... Macam mobil balap. Malam ini festival kembang api di

pelabuhan kota. Festival terbesar yang pernah ada. Pertunjukan kembang

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 342: SMP KHADIJAH

api paling spektakuler di seluruh pulau. Diadakan setiap tahun. Di malam

tahun baru kalender China. Mengundang perhatian begitu banyak

pengunjung. Malam ini, malah sudah ada lima kapal pesiar dari luar kota

yang membuang sauh di teluk kota. Ingin ikut menikmati pesona festival

kembang api tersebut.

Melati sejak tadi pagi berlonjak-lonjak riang. Bangun pagi-pagi. Turun dari

kamar birunya dengan cepat. Sarapan dengan cepat. Semangat menuju

ruang tengah tempat belajarnya. Belum apa-apa, ia sudah menggerung,

memegang tangan Karang erat-erat: Nanti malam jadi kan ke festival

kembang api?

Karang tertawa lebar. Mengangguk. Tuan HK yang bersiap berangkat ke

pabrik ikut tertawa lebar.

Lihatlah, Melati sudah 'menari-nari' Kepalanya mengangguk-angguk riang.

Mata hitam biji buah lecinya bercahaya. Rambut ikal mengombaknya

bergerak-gerak seiring gerakan riang tubuhnya. Tuan HK mencium kening

Melati, berpamitan. "Nanti sore Ayah pulang jam lima, sayangi Kita akan

pergi bersama-sama ke festival. Ayah, Bunda, Pak Guru Karang, Salamah,

Mang Jeje, semuanya ikut...." Melati mengangguk-angguk lebih kencang.

Sejak gadis kecil itu punya akses untuk mengerti, ia tidak marah lagi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 343: SMP KHADIJAH

tubuhnya dipegang-pegang. Ia sudah tahu pegangan itu lembut. Tidak

akan mengganggu, apalagi menyakitinya. Tuan HK mencium kening

Bunda. Mengangguk ke arah Karang, tersenyum. Tidak. Tentu saja Tuan

HK tidak marah-marah lagi. Bahkan sebenarnya, kalau Karang masih suka

mabuk-mabukan sekalipun, Tuan HK mungkin bisa menerimanya.

Seminggu terakhir, hatinya juga buncah melihat kemajuan Melati. Tidak

pernah terbayangkan putrinya yang tuli, bisu, dan buta akan memeluknya,

menggerung pelan memanggil namanya.

Tuan HK yang dikenal amat teguh dengan prinsip-prinsip hidup dan

keyakinan ke-lelakian-nya itu, bahkan menangis tertahan saat pertama kali

melihat Melati makan dengan sendok, duduk di kursi, lantas menggerung

minta tambah. Semua ini terasa melegakan. Bukan main. Putrinya sungguh

berubah. Tidak terbayangkan. Jadi Tuan HK gencatan senjata, berdamai

tanpa syarat dengan Karang. Sekarang menatapnya penuh penghargaan.

Pemuda yang dulu sangat kasar, mulut buncah tak tahu diri, cambang dan

rambut gondrong tidak terurus, berubah seperti malaikat di matanya. Dia

ikut memanggil Karang seperti yang dilakukan Salamah dan seluruh

anggota rumah mewah itu: Pak Guru. Hanya Bunda yang selalu memanggil

Karang dengan sebutan: anakku. Seminggu ini, dengan pecahnya simpul

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 344: SMP KHADIJAH

komunikasi itu, pekerjaan Karang meski masih sulit tapi sudah kelihatan

titik-terangnya. Masih butuh waktu yang panjang, kesabaran, dan kerja-

keras untuk membuat Melati sempurna mengerti dan bisa berkomunikasi

seperti anak normal lainnya. Tapi Melati memiliki keinginan yang kuat itu.

Ia duduk takjim di ruang tengah yang disulap menjadi tempat belajarnya.

Karang mulai mengajari kanak-kanak itu bicara. Dengan menggunakan

simbol-simbol, gerakan-gerakan tangan, menyentuh bibir dan leher lawan

bicaranya, merasakan getaran suara. Melati mengikuti gerakan tangan

Karang (sebenarnya Karang yang mengerak-gerakkan tangannya). Belajar

satu demi satu kata, satu demi satu kalimat. Melati lapar. Melati haus.

Melati ingin ke sana. Meiati ingin ke sini. Meiati ingin mandi. Meiati ingin

bermain....

Belajar tentang benda-benda. Tahu gunanya. Mengerti buat apa.

Mendengarkan cerita Karang (dengan menyentuh bibir Karang). Kanak-

kanak itu antusias belajar. Berjuta rasa ingin tahunya akhirnya

menemukan jalan keluar. Dan itu amat menyenangkan.

Seminggu terakhir kemajuannya amat mengagumkan. Melati bahkan bisa

memakai baju sendiri. Pergi ke kamar mandi sendiri. Mengambil mangkok

makanannya sendiri. Menyendok sup jagungnya sendiri. Ia memaksa

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 345: SMP KHADIJAH

melakukannya sendiri. Karang mengangguk ke Bunda yang terbiasa selalu

reflek ingin membantu, biarkan saja. Itu akan membuat Melati cepat

mandiri.

Maka satu minggu berlalu tanpa terasa, bahkan kemarin sore Karang

sudah memulai pelajaran huruf baginya. Huruf Braille. Gadis kecil itu

mengangguk-angguk riang menyentuh

satu-per-satu huruf timbul itu. Menggerung pelan. Tangannya yang bebas

meraba-raba mulut Karang yang mendesiskan nama huruf-huruf. Ikut

mendesis. "Baaaa.... Maaa...." Kosa-kata Melati tetap hanya dua itu: baaa

dan maaa. Telinganya yang tidak bisa mendengar, memiliki keterbatasan

untuk menemukan bentuk suara lain. Ia tidak bisa menambah lagi bentuk

suara-nya. Tapi intonasi, langgam, getar, dan sebagainya jelas sudah mulai

berbeda.

Karang meminta Bunda, Tuan HK, Salamah, Mang Jeje dan siapa saja di

rumah itu bergantian melihatnya mengajari Melati. Ikut belajar bersama

Melati. Agar mereka juga tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan

Melati. Membedakan maksud gerakan tangannya. Mengerti maksud getar

suaranya. Bunda dan Salamah paling rajin ikut, malah setiap hari.

Bunda takjub saat menyadari kalau perbedaan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 346: SMP KHADIJAH

intonasi suara yang dikeluarkan oleh Melati merupakan kata-kata, kalimat.

Bahkan perbedaan gerungan kecil saja bisa membuat perbedaan satu

kalimat panjang. Tidak mudah untuk mengerti, dan memang semuanya

butuh proses. Tapi Bunda antusias dan tak bisa menahan tangis haru saat

pertama kali mengenali "Baaa..." yang itu, yang getar suara dan

langgamnya seperti itu, maksudnya adalah: Bunda.

Satu minggu berlalu. Hari ini Melati lebih banyak bertanya tentang festival

kembang api nanti malam. Karang juga memindahkan tempat belajar

mereka di halaman rumput. Karena Salamah adalah satu-satunya selain

Melati yang juga amat senang dengan prospek acara festival nanti malam,

maka Salamah yang duduk di sebelah Melati. Menjawab pertanyaannya.

Mereka duduk di atas hamparan rumput terpotong rapi. Melati senang

bermain-main di atasnya. Sudah sibuk 'mengejar-ngejar' ayam kate Mang

Jeje. Tadi bosan mendengar jawaban Salamah, yang itu-itu saja

(kemampuan Salamah bicara dengan Melati kalah jauh dengan Bunda,

apalagi dengan Karang). Mending ia lari ke sana ke mari. Lebih

menyenangkan. Pak Guru Karang lagi gunting rambut gondrongnya, jadi

tak boleh diganggu.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 347: SMP KHADIJAH

"Terima-kasih, Pak Guru!" Mang Jeje berkata dengan suara sedikit bergetar,

sementara tangannya cekatan menggunting rambut gondrong Karang.

Mang Jeje memang 'buka salon' di rumah besar itu. Anggota keluarga

lainnya kalau ingin

potong rambut, juga selalu ke Mang Jeje. Di halaman rumah.

"Terima-kasih buat apa?" Karang mematut-matut lewat cermin.

Mang Jeje berhenti sebentar. Menatap Melati yang jatuh-bangun mengejar

ayam kate-nya. Melati sih tidak tahu persis di mana ayam itu, hanya

menebak. Tapi karena ayam itu selalu ngintil di kakinya, ia dengan mudah

tahu di mana posisinya. "Mamang sekarang tahu kenapa harus

menggunting rumput ini setiap minggu.... Dulu Pak Guru kan pernah

bilang, 'Percuma kau memotong rumput halaman Ini! Hanya untuk

menunggunya tumbuh lagi, kemudian memotongnya lagi!'...." Suara itu

semakin bergetar.

Karang menolehkan kepalanya. Menatap wajah Mang Jeje, lelaki setengah

baya dengan raut muka sederhana. Terlihat terharu-

"Tiga tahun lamanya buat apa coba Mamang memotong rumput ini,

membuatnya indah setiap hari.... Hari ini Mamang bisa melihat Melati

berlarian di atasnya. Rasanya bahagia sekali. Bahkan Mamang tidak peduli

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 348: SMP KHADIJAH

kalau harus disuruh memotong rumput ini tanpa henti, sepanjang Melati

bisa bermain senang di atasnya...." Mang Jeje menyeka ujung-ujung

matanya.

Karang tersenyum. Mengangguk. Itu benar. Lihatlah, Melati masih jatuh-

bangun mengejar ayam kate Mang Jeje. Terlihat senang berlarian di atas

hamparan rumput yang terpotong rapi. Karang berdehem, menunjuk

rambutnya yang setengah

terpotong.

"Ergh, ma-af...." Mang Jeje tertawa, "Maaf jadi lupa!" Meneruskan

menggunting rambut Karang. Sepuluh menit berlalu, Melati yang lelah

berlarian sudah mendekati Bunda yang tengah menggunting bunga-

bunga. Tangan Melati menggenggam erat baju Bunda. Menggerung pelan.

Bunda bercerita entahlah. Mengajaknya bicara. Gadis kecil itu

mengangguk-angguk sok-tahu. Sementara Salamah masih duduk asyik

dengan wajah tersipu merahnya. Sibuk memikirkan prospek pertemuannya

nanti malam dengan seseorang.

Hari ini benar-benar semua terasa menyenangkan...

Tuan HK pulang pukul 16.00. Lebih cepat satu jam.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 349: SMP KHADIJAH

Melati sedang sibuk di kamar biru. Berteriak-teriak soal baju yang

dipakainya. Meiati tidak mau. Bajunya nggak asyik buat lari. Bunda dan

Salamah sedang memakaikan gaun festival padanya. Tangan Melati

bergerak-gerak. Meiati tidak mau. Bunda dan Salamah yang mengerti

maksud gerakan tangan itu berpandangan. Kan, itu kostum mereka malam

ini? Biar terlihat seragam. Biar terlihat seru di jalanan kota nanti. Semua

orang keluar dengan kostum merah-merah. Membuat ramai seluruh kota.

"Baaa...." Melati mendengus sebal, gaun itu terlalu menjuntai. Ia tidak suka.

Nggak asyik buat lari. Bunda tersenyum, berpikir sejenak, lantas

melepasnya. Tidak apa-apa putrinya memakai baju lain, sepanjang

putrinya senang. Siapa pula yang

bilang mereka harus seragam pergi ke festival kembang api? Melati

mengangguk-angguk saat Bunda memakaikan baju terusan lengan pendek

seperti biasanya.

Pukul 17.30, semua sudah siap. Menunggu di teras depan. Mang Jeje

ngomel lagi. Berteriak tidak sensitif, "Apa sih yang Salamah siapkan?"

Salamah lama banget baru keluar dari kamar. Membuat yang lain jengkel

menunggu. Kecuali Melati yang sibuk menekan-nekan klakson mobil. Sibuk

bertanya apa saja isi mobil. Stir. Persneling. Spion. Jok ('Ini kursi juga, ya?').

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 350: SMP KHADIJAH

Dashboard. Gadis kecil itu amat antusias, karena ini jalan-jalan

pertamanya ke luar dari rumah.

Beberapa menit berlalu, dua mobil beriringan menuruni lereng bukit.

Matahari bersiap tenggelam. Langit terlihat Jingga. Bersih dari gumpalan

awan. Malam ini sepertinya akan cerah. Dan itu kabar baik buat festival

kembang api. Festival sebenarnya baru akan dimulai dua jam lagi. Tuan

dan Bunda HK sengaja turun lebih cepat. Ada beberapa tempat yang harus

dikunjungi terlebih dahulu. Yang pertama, rumah di gang-gang sempit itu.

Permintaan Bunda. Berkunjung sebentar. Rusuh benar komplek padat itu

saat mereka tiba. Pssst... pssst... pssst... kepala-kepala ingin tahu tertoleh.

Keluar melongok dari jendela lantai dua ('Katanya mau bagi sembako?

Menyahut. Kenapa nggak ada truk-nya?' Yang lain ikut menyahut

'Kayaknya masih survei?' 'Seprei? Loh, katanya bagi-bagi semen?'). Melati

turun sendiri dari mobil. Dibimbing

Bunda masuk ke rumah. Tidak peduli dengan desis ibu-ibu yang seperti

wartawan pencari gosip selebritis ngetop.

Kejutan. Ibu-ibu gendut tidak kuasa menahan tangis. Kali ini ia bisa

memeluk Karang. Lihatlah, anak-asuh yang dulu amat dibanggakan

suaminya sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi wajah kusut mabuk-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 351: SMP KHADIJAH

mabukan setiap malam. Tidak ada lagi eskpresi tak-peduli dan mulut

penuh sarkasme. Wajahnya kembali bercahaya oleh kebaikan. Wajah yang

menyenangkan. Ibu-ibu gendut juga memeluk Melati. Menatap lamat-

lamat kanak-kanak yang sekarang menggerung bertanya tentang: kenapa

tubuh orang yang sedang dipegangnya besaaar sekaii.

Bunda dan Karang yang mengerti maksud gerakan tangan dan gerungan

Melati tertawa kecil. Bunda menyalami ibu-ibu gendut dengan tatapan

penuh penghargaan. Mengucap banyak terima-kasih. Ibu-ibu gendut

menggeleng, "Tidak. Suamiku akan senang sekali melihat ini. Nyonya.

Justru Nyonya-lah yang membantu banyak. Lihatlah, jagoan-nya berubah

banyak sekali...." Bunda tersenyum, meski tidak mengerti. "Ah-ya, aku

punya hadiah untuk Melati...." Ibu-ibu gendut teringat sesuatu. Rajutannya

yang baru jadi. Ia sejak sebulan lalu tidak tahu mengapa ingin merajut

sweater untuk anak-anak, tidak ada yang memesannya. Ternyata hari ini

ada gunanya. Rajutan itu baru selesai tadi pagi. "Buat Melati...."

Menyerahkan sweater biru.

Melati mengganguk-angguk. Maksudnya: Melati bilang terima-kasih.

Merabanya. Sama seperti punya Pak Guru. Sweater 'hitam'. Nyengir.

Memakainya.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 352: SMP KHADIJAH

Dua mobil itu meninggalkan gang-gang sempit setelah malam tiba. Lagi-

lagi diikuti oleh pssst... pssst... pssst tetangga. Ibu-ibu gendut menolak

ajakan Bunda HK menonton pertunjukan kembang api dari pelabuhan.

Sejak sepuluh tahun terakhir ia menonton pertunjukan itu sendirian dari

jendela kamarnya. Berharap malam ini, suaminya yang dulu suka sekali

mengajak anak-anak asuhnya menonton pertunjukan itu 'hadir'

bersamanya. Ah! Masih ada waktu satu jam lagi. Saatnya makan-malam.

Karang berpikir mereka akan makan bersama di salah-satu rumah makan

dekat pelabuhan tempat pusat pertunjukan. Ternyata tidak. Mobil itu

justru mengarah ke tengah kota. Dia terlambat untuk bertanya. Terlambat

untuk tahu, saat menyadari dua mobil itu masuk ke salah-satu gerbang

rumah besar. Tidak masalah dengan rumah itu. Tidak masalah dengan

halamannya yang juga luas. Yang masalah, lihatlah di teras depan, berdiri

tiga orang menunggu....

Dokter Ryan, istrinya, dan tentu saja Kinasih. Tuing! Muka Karang seketika

memerah. Beruntung, tidak ada yang memperhatikan. Semua sibuk turun

dari mobil. Melati malah sok-tahu menarik Karang untuk turun.

Menggerung pelan. Baaa.... Buruan. Karang mengusap wajah kebasnya. Dia

tidak tahu kalau mereka akan makan malam di sini sebelum

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 353: SMP KHADIJAH

pertunjukan.

"Ba-aa-aaa...." Melati berseru-seru. Ayo turun, Pak Guru!

Bunda yang sudah di teras menoleh, melihat Melati yang masih berdiri di

pintu mobil, berusaha menarik tangan Karang.

Karang menelan ludah. Sedikit canggung. Mendesis pelan, lantas

melangkah turun. Entahlah siapa membimbing siapa. Melati menarik-

narik tangan Karang. "Baaa..." Ayo, Melati sudah lapar. "Ah, kau tentu

belum mengenal Pak Guru Karang, Ryan!" Tuan HK memegang bahu

Dokter Ryan bersahabat (mereka masih terhitung kerabat dekat), tertawa

lebar memperkenalkan Karang. "Tentu saja sudah, HK!"

"Sudah? Bukankah selalu Kinasih yang ke rumah?" "Aku memang belum

pernah melihatnya secara langsung, tapi sebenarnya percaya atau tidak aku

bahkan bisa melukis wajahnya.... Kinasih setiap hari sibuk bercerita di

rumah." Dokter Ryan, yang lima tahun lebih tua dibanding Tuan HK

tertawa lebar. Menjabat tangan Karang yang berkeringat. "Untuk ukuran

seseorang yang tidak. memiliki pendidikan akademis mendidik anak-anak,

kau benar-benar hebat. Karang! Aku tersanjung bisa bertemu denganmu."

Dokter Ryan tersenyum. "Dia memang tidak punya itu, Ryan. Tapi dia

memiliki hal yang jauh lebih penting...." Bunda menimpali.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 354: SMP KHADIJAH

Kepala-kepala tertoleh ke Bunda. Ingin tahu-

"Dia mencintai anak-anak, Ryan. Bukan! Bukan

karena mereka terlihat menggemaskan, tapi karena

menyadari janji kehidupan yang lebih baik selalu

tergenggam di tangan anak-anak...."

Entahlah, Karang tidak utuh mengikuti percakapan

hangat tersebut. Lehernya mendadak kaku. Dari

tadi ingin sekali menoleh. Menoleh seseorang. Tapi

lehernya lagi 'sakit', bukan? Jadi bagaimanalah?

Rombongan bergerak masuk ke dalam. Dipimpin

Melati yang sekarang sibuk menarik tangan Bunda.

Karang tertinggal di belakang. Dengan wajah kebas.

Wajah memerah. Salah-tingkah.

"Kau akan masuk atau menunggu di luar?"

Wajah cantik berkerudung lembut itu menegurnya.

Wajah yang tersenyum manis. Karang menelan

ludah untuk ke sekian kali.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 355: SMP KHADIJAH

Makan malam yang menyenangkan. Dokter Ryan dan istrinya berkali-kali

menggeleng seolah tidak percaya menatap Melati yang takjim

menghabiskan pasta mie-nya. Gadis kecil itu bertingkah amat manis.

Wajah lucunya terlihat menggemaskan. Menyeruput satu helai mie yang

panjang. Tertawa. Hanya sekali ia membuat 'keributan'. Saat memaksa

sendiri mengambil air minum. Pegangannya terlepas. Terlalu berat. Tangan

Karang bergerak cepat menyambar teko keramik. Bersamaan dengan

tangan Kinasih.

PYAR! Keramik itu pecah-berantakan. "Ba-aa-aaa...." Melati menggerung

pelan. Maksudnya, kan bukan Melati yang mecahin. Harusnya nggak pecah

kalau Pak Guru Karang dan

Kinasih tidak mendadak menghentikan gerak tangan mereka menangkap

keramik itu. Masalahnya yang Melati tidak lihat, tangan Karang dan

Kinasih tidak sengaja bersentuhan, membuat terhenti semuanya. Tapi

keributan itu cepat dibereskan. Makan malam terus berlanjut. Yang tidak

segera beres itu 'keributan' di hati Karang.

Pukul 19.15, tiga mobil meluncur keluar halaman. Dokter Ryan dan

keluarganya ikut serta, menuju pelabuhan. Di sanalah festival kembang api

dipusatkan. Di atas teluk kota.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 356: SMP KHADIJAH

Melati berseru-seru senang. Duduk dengan kaki dan tangan yang terus

bergerak-gerak. Ia tidak bisa melihat secara langsung keramaian yang ada

di depannya. Tidak bisa melihat warna-warni pakaian orang yang

memadati jalanan. Tidak bisa melihat gemerlap pertunjukan lampu sorot.

Melati juga tidak bisa mendengar secara langsung dentum kembang api

yang mulai melesat melukis langit. Tidak bisa mendengar seruan tertahan,

seruan kagum penonton yang terpesona. Tapi Melati bisa melihat dan

mendengar melalui teiapak tangan-nya. Karang dan Bunda yang duduk di

sebelahnya bergantian melukiskan bentuk berpuluh-puluh kembang api

yang melesat ke langit-langit kota. Ada yang seperti bola pijar besar. Ada

yang mekar seperti bunga. Ada yang berpilin seperti dua ekor naga. Ada

yang pecah membentuk konstelasi bintang-bintang. Ada yang mekar

bekali-kali seperti kelopak bawang. Melati menggerung pelan. Kepalanya

terangguk-angguk. Ia bisa mem-

visualisasikan sendiri bentuk kembang api itu dari guratan jemari Karang

dan Bunda di telapak tangannya. Ia juga bisa membayangkan seperti apa

dentum bunyinya. Dan tentu saja Melati bisa merasakan atmosfer

kegembiraan yang ada. Melati tertawa. Rambut ikalnya bergerak-gerak. Ini

semua menyenangkan.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 357: SMP KHADIJAH

Adalah setengah jam pertunjukan kembang api menghias langit.

Ditingkahi dengan pesona lampu sorot ribuan watt. Malam itu, kota indah

pesisir pulau itu terlihat bercahaya....

Selepas pertunjukan kembang api, festival yang sesungguhnya baru saja

dimulai. Semua larut dalam kegembiraan. Semua warga turun memadati

jalanan. Meniup terompet. Memainkan konfeti. Pita-pita panjang. Penjaja

makanan memenuhi sudut-sudut kota. Pedagang souvenir dan hiasan unik

berderet-deret memanjang. Pertunjukan seni khas tahun baruan China

digelar di jalanan. Semalam suntuk. Jalanan ramai oleh pengunjung. Riang

saling menyapa satu-sama-lain. Riang bertegur-sapa dengan kerabat lama.

Teman lama. Tetangga lama. Juga 'pacar' lama. Itulah yang dilakukan

Salamah sekarang. Sejak tadi sudah pamit. Tersipu malu bilang ingin

ketemu seseorang. Bunda tertawa kecil, mengangguk. Mang Jeje dan

pembantu lainnya juga sudah memisahkan diri. Mereka juga ingin bertemu

dengan teman-teman dan kerabat lama. Saling bertanya kabar. Tuan HK,

Bunda, Karang, Melati, dan keluarga Dokter Ryan berjalan menyelusuri

jalanan. Lampu

hias bertebaran sepanjang jalan. Karena Tuan HK amat dikenal di kota itu,

maka banyak yang menyapa. Sudah tiga tahun terakhir keluarga HK tidak

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 358: SMP KHADIJAH

ikut festival kembang api. Kejutan. Dan lebih mengejutkan lagi melihat

Melati ada bersama mereka. Lihatlah! Gadis kecil itu terlihat nyaman

berada di tengah keramaian. Kepalanya menoleh kesana kemari seperti bisa

melihat. Mengangguk-angguk seperti bisa mendengar. Sama sekali tidak

terlihat keterbatasannya. Satu-dua yang terhitung masih kerabat, kolega

bisnis, teman dekat menyempatkan mengusap-usap rambut Melati, bahkan

sekali-dua mencubit pipi tembamnya. Melati awalnya sih tidak peduli.

Asyik-asyik saja. Tapi lama-kelamaan ia jengkel juga di cubit-cubit.

Menggerung marah. "BAAA...." Sakit tahu! Meiati tidak suka. Yang lain

tertawa melihat ulahnya.

Malam semakin tinggi. Suasana tambah ramai.

Melati duduk ditemani Bunda, Tuan HK, Dokter Ryan dan istrinya di

bawah salah-satu kanopi payung. Menghabiskan es krim besar. Karang?

Kinasih? Keramaian ini tidak sengaja membuat Karang dan Kinasih

terpisah dari rombongan. Bagaimana tidak? Yang lain sibuk menyapa,

bertegur-sapa ramah dengan pengunjung lain, mereka berdua justru sibuk.

saling melirik, sembunyi-sembunyi.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 359: SMP KHADIJAH

(Tidak) sengaja tertinggal dari rombongan. Berdua sekarang berdiri di tepi

pelabuhan. Menatap lurus ke

depan, ke arah lima kapal pesiar yang membuang sauh persis di tengah-

tengah teluk. Kapal-kapal itu terlihat gemerlap oleh cahaya. Pemandangan

yang hebat. Apalagi bintang-gemintang berserakan di atas sana, bersama

bulan sabit menjadi kanvas pertunjukan.

Mereka sejak lima belas menit lalu hanya berdiam diri. Membiarkan angin

malam membelai rambut. Senyap dalam keramaian.

Karang mengusap wajahnya. Ternyata susah sekali untuk memulai

pembicaraan ini. Apa yang harus dia katakan?

Kinasih tersenyum lebar tetap memandang ke depan. Bagi Kinasih, pergi

malam ini bersama Karang (dan yang lainnya) sudah amat menyenangkan.

Apalagi sekarang berdiri berdua, meski terpisah jarak tiga langkah (seperti

temanan yang lagi musuhan). Ia sudah bahagia dengan banyak hal. Jadi ia

tidak memikirkan untuk bicara apapun sekarang, selain menikmati

kebersamaan ini. Karang sebaliknya. Dia ingin bicara. Mengajak gadis

berkerudung lembut di sebelahnya bercakap-cakap. Sudah lama sekali

mereka tidak melakukannya. Ingin bertanya kabar. Ingin bertanya banyak

hal. Entahlah. Apa saja.... Tapi mulutnya seperti tertutup.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 360: SMP KHADIJAH

Salah satu kapal pesiar membunyikan dengking suara 'klakson'nya.

Buuungggg.... Mendengung panjang. Membuat pengunjung yang

memadati pelabuhan berseru sorak-sorai membalasnya, meniup terompet.

Karang menyeka dahi. Menoleh,

menatap wajah gadis berkerudung di sebelahnya. Lihatlah, wajah yang

teduh, wajah yang tersenyum bahagia. Karang menelan ludahnya. "Ergh...."

Kinasih menoleh. Ya?

Karang menelan ludah. Kinasih menatapnya. Menunggu.

"Ergh, a-ku...." Karang tertegun sejenak menatap wajah itu, lantas sekejap

tersenyum, "Aku juga rindu padamu-"

Salah satu kapal pesiar lainnya ikut membunyikan dengking suara

'klakson'nya. Tidak mau kalah. Buuungggg....

Saat yang tepat untuk merajut kembali semua cerita.

Epilog

Malam itu, Senin, 21 Mei. Lima hari sejak festival kembang api yang meriah.

Gerimis membasuh kota. Sebenarnya bulan-bulan ini sudah masuk musim

kemarau, tapi satu-dua kali hujan masih singgah mengirim kebaikan

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 361: SMP KHADIJAH

langit. Membuat udara terasa sejuk dan menyenangkan. Bunda menemani

Melati tidur. Bercerita (Bunda memang belum jago mendongeng seperti

Karang, tapi ia sekarang sudah punya puluhan koleksi buku dongeng).

Tangan Melati terjulur menyentuh bibir Bunda. Menggerung pelan

mendengarkan. Satu-dua ia bertanya, memotong. Bunda tersenyum

menjelaskan. Melanjutkan cerita lagi. Terpotong lagi. Kanak-kanak itu

selalu antusias mendengarkan cerita, meski sekarang ia sebenarnya baru

menebak-nebak maksud getar suara Bunda; baru lima tahun lagi ia utuh

mengerti ribuan kata-kata dengan menyentuh bibir lawan bicaranya.

Malam yang larut membuatnya mengantuk. Melati menguap lebar. Bunda

terus bercerita sambil menatap lembut wajah menggemaskan putrinya.

Bundar. Pipi tembam. Rambut ikalnya luruh di dahi.

Mata hitam biji buah lecinya redup. Sekali terpejam, sekali terbuka.

Lima hari terakhir banyak sekali kejadian seru yang dialami putri

cantiknya. Bunda tersenyum. Persis ketika semua sibuk naik mobil, bersiap

pulang dari festival kembang api lima hari lalu, saat itulah ia baru

menyadari Melati sudah hilang di sampingnya. Padahal beberapa detik lalu

masih sibuk menggerung, bersenandung.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 362: SMP KHADIJAH

Membuat rusuh satu pelabuhan. Semua ikutan mencari Melati. Petugas

keamanan juga dilibatkan. Bunda panik sekali. Berseru-seru. Menangis

tertahan. Bagaimanalah kalau putrinya kenapa-napa di tengah keramaian.

Bagaimanalah kalau ia tidak sengaja terjatuh di dermaga? Terjepit apalah?

Tertimpa apalah?

"Tenang, Nyonya! Anak itu bahkan bisa menaklukkan seluruh kota! Ia

akan baik-baik saja!" Karang mencengkeram tangannya, mencoba

menenangkan. Tapi bagaimanalah ia akan tenang? Hanya Karang, ia,

suaminya, Salamah, dan anggota keluarga mereka yang tahu cara

berkomunikasi dengan Melati. Bagaimana kalau....

Malam itu, hilangnya Melati membuat sisa festival kembang api jadi

terganggu. Seluruh pelabuhan diperiksa ramai-ramai.

Menjelang shubuh, ketika semua sudah lelah mencari, ketika petugas

keamanan bersiap mengerahkan anggotanya lebih banyak. Bunda yang

tertatih dibimbing Karang dan Tuan HK akhirnya menemukan kanak-

kanak itu. Lihatlah, gadis kecil

itu sedang sumringah, tertawa lebar. Berdiri di antara nelayan yang baru

pulang dari melaut di pelelangan ikan.

"Wooiii, ADA HIU!" Terdengar teriakan kencang. Antusias.

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 363: SMP KHADIJAH

Nelayan-nelayan lain segera merapat, mendekat ingin tahu. Selalu menarik

melihat ada yang pulang membawa 'hiu'.

Melati sudah menyeruak di tengah-tengahnya. Tertawa-tawa sok-tahu

memeluk ikan hiu itu. Yang besaaar sekali. Menggerung. Mata hitam biji

buah lecinya berputar-putar. Membuat nelayan-nelayan di sekitarnya

bingung, siapa pula anak kecil ber-sweater biru ini? Tiba-tiba menyibak

orang-orang. Sok-penting menarik-narik ikan hiu itu. Bunda berlarian

melihat putrinya, menangis memeluk Melati. Gadis kecil itu malah

menggerung rileks: Bunda, ada ikan, besaaar banget! Tertawa lebar.

Bunda tersenyum mengenang kejadia lima hari lalu itu, sejenak terhenti

dongeng-nya. Menatap lembut wajah Melati. Membelai rambut ikal

mengombak putri semata wayangnya. Mata Melati sudah semakin redup.

Lebih banyak terpejam dibandingkan terbukanya sekarang. Sebentar lagi ia

akan tertidur.... Setamat tidur.... Mimpi yang indah, sayang, Bunda berbisik

pelan di telinga Melati, tersenyum. Mimpi indah seperti dongeng-dongeng

yang pernah diceritakan Pak Guru Karang.... Pernah? Pak Guru Karang?

Dua hari lalu Melati merajuk. Benar-benar merajuk.

Lebih besar dan lebih heboh dibandingkan sebelum ia tahu cara

berkomunikasi. Membuat susah seluruh isi rumah. Penyebabnya sederhana

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 364: SMP KHADIJAH

saja. Karang memberitahu kalau dia akan kembali ke ibu-kota (bersama

Kinasih). Ada banyak pekerjaan yang tertunda di sana. Ada banyak yang

harus dia kerjakan di sana. Melati seketika berteriak-teriak marah.

"BAAAA.... MAAAA...." Pak Guru Karang tidak boleh pergi. TIDAK BOLEH.

Untuk pertama-kalinya Melati mengenal kosa-kata pergi, dan itu langsung

terasa menyakitkan.

Tapi Karang harus pergi. Melati memang anak pertama yang ia tangani

setelah kejadian tiga tahun lalu itu. Tapi jelas bukan anak terakhir yang

berhak mendapatkan janji masa depan yang lebih baik. Karang

memutuskan kembali ke ibu-kota. Bunda bisa menjadi guru yang baik bagi

Melati. Bunda akan belajar banyak, bersamaan dengan Melati belajar.

Maka marah tak tertahankan-lah kanak-kanak itu. Selama dua hari

merajuk tanpa henti. Menolak bicara dengan Karang. Menolak bertemu.

Menolak makan. Apa saja. Bahkan ia ikut membenci Kinasih saat gadis

berkerudung itu datang. Ia tidak suka sendirian. Ia sudah bertahun-tahun

mengerti bagaimana rasanya sendiri di dalam kamar kosong dan gelap itu.

Saat ia tahu, saat ia mengerti, seseorang yang selalu amat ia hafal

kehadirannya, seseorang yang membantu memberikan sejuta cahaya

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 365: SMP KHADIJAH

aurora, justru memutuskan pergi. Tuan HK sampai perlu 'membujuk'

Karang. Menjanjikan

banyak hal. 'Memohon'.

Sayang, keputusan itu sudah bulat. Karang harus pergi.

Bunda bisa menerima situasinya, meskipun ia sungguh berharap Karang

akan selalu bersama Melati. Ia mengerti, ada banyak kanak-kanak lain

yang membutuhkan Karang. Bunda hanya bisa menatap sedih putrinya

yang duduk memeluk lutut di bawah anak tangga pualam sepanjang hari.

Melati benar-benar keras-kepala. Ia bahkan pura-pura tidak bisa 'bicara'

lagi dengan seluruh anggota keluarga selama dua hari terakhir. Berteriak-

teriak persis seperti sebelum ia tahu cara berkomunikasi.

Tapi tadi sore, saat Karang bersiap dengan koper lusuh dan mesin ketik

tuanya. Saat Kinasih datang menjemput. Saat mereka siap pergi

menumpang kereta malam. Entah mengapa gadis kecil itu berlari turun

dari kamar birunya. Tersandung. Jatuh berdebam. Berdiri lagi. Berlarian

mengejar Karang yang sudah bersiap menaiki mobil. Mengejar Karang

yang tadi menelan ludah kecewa karena gadis kecil itu mengurung diri di

kamar biru. Menolak bertemu. Saat Karang sudah membuka pintu mobil,

Melati menggerung, berteriak-teriak dari ruang tengah. Menangis. Kanak-

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 366: SMP KHADIJAH

kanak itu menangis. Memanggil. Melangkah terhuyung. Kakinya tadi

terkena anak tangga, sakit sekali. Berusaha mendekat. Membuat semua

kepala tertoleh. Bunda seketika menangis melihat putrinya. Tuan HK

mengusap ujung-ujung matanya.

Lihatlah, gadis kecil itu menggenggam erat-erat ayam kate putih Mang Jeje.

Mulutnya menggerung-gerung. Tangannya bergerak-gerak membuat

tanda. Pipinya basah.... "Baaa.... Maaa.... Baa, maaa." Karang jongkok.

Mencium kening Melati. Sore ini, Melati ingin melepas ayam kate Mang Jeje.

Sebagai simbol. Sebagai wujud penghargaan.... Ia benci sekali Karang pergi.

Ia benci sekali. Tapi ia ingin melepas kepergian Karang dengan penuh-

pengharapan. Semoga perjalanan Pak Guru Karang baik-baik saja. Ia

melepas seekor burung untuk. Karang (meski tidak untuk Kinasih). Ia ingin

melepas burung benaran awalnya, tapi di rumah kan tidak ada burung.

"Baaa.... Ma...." Gadis kecil itu menangis. Menjelaskan maksudnya. Patah-

patah. Lantas sekejap, bergetar membuka tangannya, membiarkan ayam

kate Mang Jeje terbang (sebenarnya loncat)....

Karang mendekapnya. Berbisik rasa terima-kasih. Bunda menghela nafas

pelan. Ah, lima hari terakhir banyak sekali kejadian seru yang dialami putri

semata wayangnya. Bunda pelan menyelimuti Melati. Mengecup lembut

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 367: SMP KHADIJAH

dahinya. Putrinya sudah jatuh tertidur. Seperti malaikat kecil. Hari-hari

terakhir meski di sana sini banyak hal mengharukan, membuat panik,

tegang, susah, tapi semuanya berjalan penuh harapan dan janji masa

depan yang lebih baik. Perubahan-perubahan.... Bunda berjinjit turun dari

ranjang, biar tidak berisik

mengganggu tidur putrinya. Lantas beranjak melangkah meninggalkan

Melati.

"Baaa...." Gadis kecil itu tiba-tiba menggerung pelan. Bunda menoleh.

Bukankah Melati sudah tidur? Mata Melati terbuka lagi. Tangannya

bergerak pelan. "Ada apa, sayang?" Bunda tersenyum, naik lagi ke atas

tempat tidur. "Baaaa...."

Ya, apa, sayang? Bunda menunggu. Ia tahu gerungan Melati barusan

maksudnya adalah kata: Bunda. Menatap tersenyum wajah Melati. "Baaa,

maaa.... Baa.... Maa...." Melati menggerung pelan, nyengir, memperlihatkan

gigi-gigi kelincinya. Bunda tertegun. Satu detik. Tiga detik. Lima detik.

Meski pelan, jika kalian tahu artinya, gerungan itu sungguh membuncah

hati.

Ya Allah, dulu ia selalu bermimpi putri semata wayangnya akan

menyebutkan kalimat indah itu. Dulu ia bermimpi... bahkan ia kemudian

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 368: SMP KHADIJAH

malah membenci mimpi-mimpi itu karena seluruh sisa pengharapan

sepertinya akan berakhir sia-sia.... Malam ini tidak lagi. Sungguh tidak lagi.

Bunda mendekap erat-erat tubuh 'malaikat kecil'-nya. Matanya berkaca-

kaca menahan tangis. Sungguh, ia terharu sekali. Sungguh hatinya seperti

mencair. Merekahkan perasaan bahagia tiada tara. Terima kasih ya Allah!

Terima kasih. Mungkin kami tidak akan pernah mengerti di mana letak

keadilan-Mu dalam hidup. Karena mungkin kami terlalu bebal untuk

mengerti. Terlalu 'bodoh'. Tapi kami tahu satu hal, malam ini kami

meyakini satu

hal, Engkau sungguh termurah hati. Engkau sungguh maha pemurah atas

seluruh hidup dan kehidupan.

Lihatlah, kanak-kanak berumur enam tahu, kanak-kanak yang buta, tuli,

sekaligus bisu itu. Kanak-kanak yang seolah-olah dunia terputus darinya,

baru saja mengatakan kalimat indah itu! "Bunda, met bobo, juga.... Moga

Bunda disayang Allah...."

CATATAN:

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 369: SMP KHADIJAH

Cerita ini diilhami kisah nyata Hellen Adams Keller (Alabama, 1880-1968).

Keller lahir 27 Juni 1880, Ivy Green, Tuscumbia, dengan ayah Kapten Arthur

H Keller dan ibu Kate Adams Keller. Ia sebenarnya tidak terlahir buta dan

tuli (sekaligus bisu), hingga usia 19 bulan ketika semua keterbatasan itu

datang.

Tahun 1886, ibunya yang terinspirasikan sebuah catatan Charles Dickens

dalam American Notes tentang pendidikan yang sukses untuk anak buta-

tuli memutuskan pergi ke Baltimore. Menemui Alexander Graham Bell,

seorang penemu besar yang saat itu juga sedang menangani anak-anak

tuli.

Bell menyarankan pasangan itu ke Institute Perkins for The Blind, di

Boston, Massachusetts. Institut itu kemudian mengirimkan Anne Sullivan,

yang juga bermasalah dengan penglihatan dan baru berusia 20 tahun

untuk menjadi guru Helen. Maka dimulailah hubungan selama 49 tahun

yang menakjubkan tersebut.

Sullivan mendapatkan ijin ayah Helen untuk

meng-isolasi gadis kecil yang nakal, tidak disiplin itu di taman rumah

mereka. Setelah begitu banyak kesulitan, Helen akhirnya menemukan cara

untuk berkomunikasi ketika ia menyadari gerakan jari gurunya di telapak

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 370: SMP KHADIJAH

tangan bersamaan dengan aliran air sebagai simbol dari kata: air.

Kemampuan yang kemudian membuatnya menghujami gurunya dengan

begitu banyak pertanyaan. Apa saja.

Tahun 1890, Hellen mulai belajar bicara dengan menggunakan metode

Tadoma, ia juga kemudian menguasai membaca huruf Braille dalam lima

bahasa: Inggris, Perancis, Jerman, Yunani dan Latin. Tahun 1904, pada

umur 24 tahun, Helen lulus dari Radcliffe dengan gelar magna cum laude,

menjadi orang pertama buta di seluruh dunia yang lulus dari universitas.

Helen menjadi pembicara dan penulis yang amat terkenal di dunia. Ia

aktivis kemanusiaan, mendirikan Hellen Keller International untuk

mencegah lebih banyak lagi kasus kebutaan di masyarakat. Mengelilingi

lebih dari 39 negara bersama gurunya. Memiliki teman dan kolega yang

amat terkenal mulai dari Lyndon B Johnson, Alexander Graham Bell,

Charlie Chaplin dan Mark Twain.

Kisah hidupnya sudah difilmkan berkali-kali. The Miracle Worker (1962),

mendapatkan penghargaan Oscar untuk pemeran artis terbaik (Anne

Bancroft yang memerankan Anne Sullivan), dan pemeran artis pendukung

terbaik (Patty Duke yang memerankan Hellen Keller).

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 371: SMP KHADIJAH

Film India yang berjudul Black (yang menjadi dasar utama pembuatan

novel ini) juga berdasarkan cerita

Hellen Keller. Mendapatkan pernghargaan film terbaik India tahun 2005.

Mendapatkan 11 penghargaan, terbanyak sepanjang sejarah perfilman.

Tidak ada tari-tarian, tidak ada nyanyian, tidak ada pernak-pernik

stereotype film India yang kalian kenal selama ini. Yang ada hanya sebuah

cerita yang amat mengharukan....

Hellen menulis sebelas buku dan sejumlah artikel, warisannya pada dunia.

Tapi di atas itu semua, Hellen mewariskan semangat hidup luar biasa yang

pernah ada. Optimisme. Courage. Ia bisa melakukan banyak hal

dibandingkan orang-orang yang justru bisa melihat dan bisa mendengar.

Gadis kecil yang buta, tuli (sekaligus juga bisu). Yang seolah terputus dunia

dan seisinya. Melakukan banyak hal! Kita? Ah, urusan ini seharusnya

membuat malu dan berpikir....

(informasi tambahan, lihat: ht0://en.wikipedia. org/wiki/hellen_keller)

9.931 Hari

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 372: SMP KHADIJAH

Ketika menyelesaikan naskah novel ini, umurku sudah 9.931 hari. 61 hari

lagi genap 10.000 hari. Itu akan terjadi pada hari Jum'at, 6 Oktober 2006,

Aku tidak merayakan hari itu. Hanya di dua-pertiga malamnya berniat

mengambil selembar kertas, sepotong pensil. Berniat menuliskan semua

waktu yang pernah ku-sia-siakan, Semua hari yang sengaja atau tidak

pernah ku telantarkan. Pasti daftarnya akan panjaaang sekali, Ini novel

kedua yang bercerita tentang anak-anak dan diterbitkan Penerbit

Republika. Kalian amat direkomendasikan untuk membaca "Hafalan Shalat

Delisa". Sepotong cerita mengharukan tentang kanak-kanak. Novel yang

saat menuliskannya, benar-benar menguras seluruh energi spritiual. Ah,

dalam urusan ini, aku jelas lebih banyak belajar pada mereka

dibandingkan mereka belajar dariku. Buat kalian yang ingin mengirim

saran, kritik, komentar, cerita, apa saja silahkan kirim email ke

[email protected], atau mengunjungi www.friendster.com juga

dengan alamat email yang sama. Aku dengan senang hati berusaha untuk

selalu membalas pesan yang terkirim. Terima-kasih banyak buat siapa saja

yang berbaik

hati membuat resensi, rekomendasi, dan sebagainya novel-novel ini, Semoga

bagai air yang mengalir melalui talang-talang rendah, bagai deru pesawat

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia

Page 373: SMP KHADIJAH

yang bisa didengar siapa saja, kebaikan yang datang dari cerita ini bisa

tersampaikan ke banyak orang. Amin.

Edit & Convert: inzomnia

http://inzomnia.wapka.mobi

http://inzomnia.wapka.mobi

Koleksi ebook inzomnia