Upload
aldino-siwa-putra
View
70
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
koas bedah RSUD Kabupaten Karanganyar
Citation preview
BAB 1
LAPORAN KASUS
1.IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Usia : 63 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Mesen 6/1 Kalijirak Tasikmadu
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
No. Rekam Medis : 360859
Tanggal MRS : 5 Februari 2016
Tanggal Pemeriksaan: 5 Februari 2016
2.ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri tangan sebelah kanan setelah digigit ular
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien digigit ular pada tangan kanan saat sedang menanam padi disawah.
Menurut pasien, ular berukuran sekitar sebesar jempol tangan pasien
(diameter sekitar 3 cm), dan menggigit sebanyak 2 kali kemudian ular
berlari dan tidak tertangkap. Pasien tidak melihat bentuk kepala, gigi
taring, dan bentuk mata ular. Setelah digigit ular pasien merasa nyeri pada
tangan kanan dan bengkak. Selain itu pasien juga mengeluh tangan kanan
nyeri kesemutan, serta bengkak disekitar luka gigitan sampai telapak
tangan. Pusing (-), mual (-), muntah (-), pingsan (-), demam (-), dan
kejang (-). Kemudian pasien langsung dibawa RSUD Kabupaten
Karanganyar.
Riwayat Penyakit Dahulu
-Riwayat Hipertensi : disangkal
-riwayat diabetes : disangkal
-riwayat asma : disangkal
-riwayat alergi : disangkal
3. ANAMNESIS SISTEM
Sistem serebrospinal : Composmentis, vertigo (-), trauma kapitis
(-), kejang (-)
Sistem kardiovaskular : Palpitasi (-)
Sistem pernafasan : Sesak (-), batuk (-), dahak (-), darah (-)
Sistem gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nyeri perut (+), BAB
normal
Sistem Urogenital : Anuria (-)
Sistem integumentum : Terdapat 2 luka bekas gigitan ular di regio
manus dextra
Sistem musculoskeletal : Bengkak dan nyeri di region manus dextra
4. PEMERIKSAAN FISIK
[S] Nyeri tangan kanan, bengkak
[O] KU : Lemah Kesadaran : Composmentis
VS : TD : 120/80mmHg RR : 22 x/menit
Nadi : 80 x/menit Suhu : 36 oC
Kepala/Leher: anemis/icteris/cyanosis/dispneu -/-/-/-
Thoraks: Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : redup pada ICS IV PSL dextra dan ICS V MCL
sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal
Pulmo Inspeksi : simetris, tidak ada ketertinggalan gerak
Palpasi : fremitus raba N/N
2
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : suara nafas Vesikuler +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Abdomen : Abdomen :
Inspeksi : flat
Auskultasi : bising usus (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Superior : Akral hangat +/+. Edema -/-
Inferior : Akral hangat +/+. Edema -/+
(Status Lokalis):
Regio manus dextra : 2 luka gigitan bekas taring, nyeri (+), oedema (+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
(5 Februari 2016)
No Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan
1. Leukosit 5,70 uL 5000-1000 /uL
2. Eritrosit 3,36 uL 4,0-5,0 / uL
3. Hemoglobi
n
5,4 gr/dl 12,00-16,00 g/dl
4. Hematokrit 19,6 % 37-47%
5. MCV 58,3 femtoliter 82-92 fl
6. MCH 16,1 Pikograms 27-31 pg
3
7. MCHC 27,6 g/dl 32-37 g/dl
8. Trombosit 226.000 uL 150.000-
300.000/uL
9. Limfosit 21,1 % 25-40%
10. Monosit 4,5 % 3-9%
(7 Februari 2016)
No Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan
1. Leukosit 10,92 uL 5000-1000 /uL
2. Eritrosit 4,05 uL 4,0-5,0 / uL
3. Hemoglobi
n
7,7 gr/dl 12,00-16,00 g/dl
4. Hematokrit 26,0 % 37-47%
5. MCV 64,2 femtoliter 82-92 fl
6. MCH 19,0 Pikograms 27-31 pg
7. MCHC 29,6 g/dl 32-37 g/dl
8. Trombosit 234.000 uL 150.000-
300.000/uL
9. Limfosit 7,6 % 25-40%
10. Monosit 1,0 % 3-9%
4
(8 Februari 2016)
No Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan
1. Leukosit 14,43 uL 5000-1000 /uL
2. Eritrosit 4,38 uL 4,0-5,0 / uL
3. Hemoglobi
n
8,9 gr/dl 12,00-16,00 g/dl
4. Hematokrit 29,2 % 37-47%
5. MCV 66,6 femtoliter 82-92 fl
6. MCH 20,3 Pikograms 27-31 pg
7. MCHC 30,5 g/dl 32-37 g/dl
8. Trombosit 110.000 uL 150.000-
300.000/uL
9. Limfosit 8,0 % 25-40%
10. Monosit 2,3 % 3-9%
Dari hasil pembacaan gambaran darah tepi dapat diambil kesimpulan bahwa
pasien mengalami anemia hipokromik mikrositik, supek et causa defisisiensi Fe
DD proses kronis bersamaan dengan proses infeksi.
RESUME
Pasien laki-laki 38 tahun, terdapat 2 luka gigitan ular di regio manus dextra,
nyeri (+), oedem (+). Ular berukuran sekitar sebesar jempol tangan pasien
(diameter sekitar 3 cm), menggigit 2 kali.
Sistem gastrointestinal : Nyeri Perut (-)
Sistem Urogenital : Anuri (-)
5
Sistem integumentum : Terdapat 2 luka bekas gigitan ular di regio
cruris sinistra 1/3 distal
Sistem musculoskeletal : Bengkak dan nyeri di region manus dextra
(Status Lokalis):
Regio manus dextra: 2 luka gigitan bekas taring, nyeri (+), oedema (+)
6. DIAGNOSIS KERJA
Snake Bite Regio manus dextra
7. PLANNING (PENATALAKSANAAN)
Planning Terapi
-Infus NacL 20 tpm (drip biosave 2 vial)
-Transfusi PRC 1 Kolf
-Ceftriaxone 2x1AP
-Asam folat 1x1
-solfasferon 1x1 malam
-vitamin c 3x1
-vitamin b komplek 2x1
Planning Monitoring
Evaluasi TTV (sistem kardiovaskuler)
Evaluasi tanda perdarahan dan penyebaran venom secara sistemik
Evaluasi komplikasi (neurotoksik, dan lain-lain)
Planning Edukasi
Menjelaskan pada pasien mengenai penyakitnya
Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya menghindari faktor-faktor
pencetus
Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya berobat dan kontrol
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular
baik ular berbisa ataupun tidak berbisa dan sering mengakibatkan luka
tusukan yang ditimbulkan oleh hewan taring dan kadang-kadang
menyebabkan envenomation. Ular merupakan jenis hewan melata yang
banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular
berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada
bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk
menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau
intramuskular (PPDP, 2007).
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan
diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan
oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu
modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal. Tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang
memiliki aktivitas enzimatik (SIKERNAS, 2005).
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian
(SIKERNAS, 2005).
B. EPIDEMIOLOGI
7
WHO memperkirakan terdapat 40.000-50.000 kematian akibat
gigitan ular setiap tahun, sekitar 25.000-30.000 berasal dari Asia. 30%
kasus gigitan ular di Asia terjadi di India dan Pakistan (WHO, 2010).
Berdasarkan laporan penelitian nasional 50% pasien berusia 18-28 tahun,
dengan rata-rata 29,5% per tahun. Gigitan ular yang berada di ekstremitas
bagian atas terutama di tangan 95%. Nasional studi melaporkan kejadian
musiman 90% dari bulan april hingga oktober.
Pada populasi anak, gigitan ular paling sering terjadi pada anak
usia sekolah dan remaja di sekeliling rumah pada sore hari di bulan musim
panas. Faktor asal inang bergantung pekerjaan korban dan gaya hidup
atau kawasan tempat tinggalnya di daerah terbelakang yang
berpengaruh jelek. Kesakitan dan kematian gigitan ular bergantung pada
macam spesies, keadaan dapat mematikan (fatal) dan dosis kematian dari
jumlah racun yang masuk tubuh (Prihatini, 2007).
C. KLASIFIKASI
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Di
seluruh dunia terkenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang
berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya,
ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu:
Famili Elapidae. Memiliki taring pendek dan tegak permanen,
misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular
cabai.
Famili Crotalidae / Viperidae. Mampu mendeteksi mangsa yang
berdarah panas. misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan
puspo.
8
Gambar 2.1 organ pendeteksi panas pada Crotalidae diantara lubang hidung dan mata
(SIKERNAS, 2005)
Famili Hydrophidae, misalnya ular laut.
Famili Colubridae. Kebanyakan ulaar berbisa masuk dalam famili ini,
misalnya ular pohon dan ular tikus.
(SIKERNAS, 2005).
A B
C D
Gambar 2.2 Ular A. Famili Elapidae, B. Famili Viperidae, C. Famili Hydrophidae, misalnya ular laut, D. Ular tidak berbisa (Python) (WHO, 2010)
9
Gambar 2.3 Ular Berdasarkan Bentuk Gigi (WHO, 2010)
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya pada mangsa,
yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular:
a. Hematotoksik.
Mempengaruhi jantung dan pembuluh darah. Bisa ular yang bersifat racun
terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan
larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain. Seperti Trimeresurus albolais (ular hijau),
Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular
Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan (SIKERNAS, 2005).
b. Neurotoksik
Mempengaruhi sistem saraf dan otak. Bisa ular yang merusak dan
melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda
kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
Misalnya: Bungarusfasciatus (ular welang), Naya sputatrix (ular sendok), ular
kobra, dan ular laut (SIKERNAS, 2005).
10
c. Sitotoksik
Hanya bekerja pada lokasi gigitan.
(SIKERNAS, 2005)
D. IDENTIFIKASI
Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau
tidak dapat dipakai ciri-ciri sebagai berikut:
Pembeda Ular Berbisa Ular Tak Berbisa
Bentuk kepala Segitiga Segi empat panjangGigi taring 2 gigi taring besar Gigi kecilBekas gigitan 2 luka utama krn gigi
taring Luka halus lengkung bekas gigitan
Besar ular Sedang Sangat bervariasi Warna ular bervariasi Tidak terlalu bervariasi Pupil ular elips bulat Ekor ular Bentuk sisik tunggal Bersisik gandaAgresifitas Mematuk 1 atau 2 kali Mematuk berulang dan
membelit sampai tidak berdaya
Tabel 2.1 Perbedaan ular berbisa dengan ular tak berbisa (SIKERNAS, 2005)
11
Gambar 2.4 Bekas gigitan ular (A) ular tidak berbisa tanpa bekas taring (B) ular berbisa dengan bekas taring (SIKERNAS. 2005)
E. PATOFISIOLOGI
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di
bawah mata. Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang
terdapat di rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada
rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung
pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang
dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas
yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-
ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan (Septiana, 2011).
Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi)
adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya.
Sebagian besar bisa terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa
menginformasikan kekuatan destruktifnya. Bisa ular terdiri dari bermacam
polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase,
kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, dan DNA-ase.
Racun kebanyakan berupa air protein enzim pada racun mempunyai sifat
merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah
teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian
12
besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah (1)
hialuronidase, bagian dari racun dimana merusak jaringan subcutan
dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan
peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada
membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot;dan (3) enzim
trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin (Septiana, 2011).
Bagan 1. Patofisiologi gigitan ular berbisa (Septiana, 2011).
F. MANIFESTASI KLINIS
13
Kebanyakan gigitan ular, apakah oleh ular berbisa atau tidak, akan
memiliki beberapa jenis efek lokal. Ada nyeri kecil dan kemerahan di
lebih dari 90% kasus, meskipun hal ini bervariasi.
Tanda penderita pasca gigitan ular: Terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan
sebagai tanda luka. bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan daerah sekitar gigitan nyeri korban berasa mual dan ingin muntah sukar bernapas (di kasus yang ekstrem pernapasan
mungkin berhenti). penglihatan terganggu pengeluaran keringat dan air ludah (saliva) meningkat terdapat mati rasa atau kebas (numbness) atau
kesemutan rasa berdenyut-denyut (tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan(Prihatini, 2007).
a. Manifestasi lokal:
Setelah gigitan ular berlangsung 6–30 menit, daerah luka
terasa nyeri yang menyebar dan teraba lunak, dan berkembang
memerah. Kemudian tampak membusung (oedema), bengkak dan
membentuk gelembung (bullae) dan secara cepat memenuhi
tubuh. Lidah terasa pedas dan kaku, mulut dan batok kepala serta
sekitar luka gigitan tidak berasa (paresthesias). Di sekitar luka
gigitan pembuluhan (vaskularisasi) terhenti dan terjadi kematian
jaringan (nekrosis) sebagai permulaan kelemayuh (gangren).
Akibat gigitan ular bisa terjadi infeksi oleh Pseudomonas
aeruginosa, Bacteriodes fragilis,Clostridium dan Proteus yang
berbentuk kelompokan (kolonisasi) di tempat bekas gigitan ular
(Prihatini, 2007).
14
Gambar 2.5 Manifestasi lokal gigitan ular (Septianan. 2011)
b. Manifestasi sistemik :
Umum: mual, muntah, malaise, nyeri abdominal,
weakness, drowsiness, prostration
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung,
ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena,
perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri,
koagulasi intravascular diseminata (KID).
Neurototoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis
pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek
abdominal, kejang dan koma.
Kardiotoksik : hipotensi, henti jantung, koma.
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda –
tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis
pulselesness).
Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper)
15
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles,
trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest,
gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes)
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria,
myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari
uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest
pain)
Gambar 2.6 Gejala klinis gigitan ular berbisa (Prihatini, 2007)
16
G. DERAJAT GIGITAN ULAR
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik
0 0 + +/- <3cm/12> 0
I +/- + + 3-12 cm /12 jam 0
II + + +++ >12-25 cm/12 jam +
Neurotoksik
Mual, pusing,
syok
III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++
Syok, petekia,
ekimosis,
gangguan faal
ginjal ringan
IV +++ + +++ >ekstrimitas ++
Gangguan faal
ginjal, Koma,
perdarahan
Tabel 1. Derajat gigitan ular (Depkes, 2001)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus gigitan ular untuk menegakkan diagnosis diperlukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
17
1. Pemeriksaan darah : Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT,
D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
2. Pemeriksaan urin : hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
3. EKG
4. Foto dada
I. DIAGNOSIS BANDING
a. Trauma vaskuler ekstremitas
b. Syok septic
c. Luka infeksi
J. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
-Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
-Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
-Mengatasi efek lokal dan sistemik
(Sudoyo, 2006)
Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang
(Cross Incision) bekas masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm. Usaha
menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket beberapa
centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang terlihat,
dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah dari
tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya
aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang
tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es (Akbar, 2006).
18
Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular
intravena atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan.
Serum polivalen ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular
yang hidup di daerah setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji
sensitivitas lebih dahulu karena bahanya bisa lebih besar dari pada bahaya syok
anafilaksis. Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan
pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Bila terjadi kelumpuhan
pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk
ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus. Bila
terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah
sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal.
Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian jaringan, kemudian
dilanjutkan dengan cangkok kulit.Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan
pertolongan khusus, kecuali pencagahan infeksi (de Jong, 2004)
Tindakan
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah
Menenangkan penderita
Penderita diistirahatkan daerah luka lebih rendah dari pada jantung.
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa,
ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini
kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan.
Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan
aliran vena atau ateri. Observasi pulsasi arteri dan dibuka tiap 30
menit.
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif
sebagai berikut:
Penatalaksanaan jalan napas
19
Penatalaksanaan fungsi pernapasan
Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas
diatas luka, imobilisasi (dengan bidai), debridement
Insisi dan irigasi luka
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau
Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Kemudian diulang setiap 6 jam.
Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah), anti
serum diberikan setiap 24 jam sampai maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal
pada luka tidak dianjurkan. Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat pelan. SABU disimpan dalam
lemari es suhu 2-8 derajat celcius, jangan dalam frezer. Masa kadaluarsa 2 tahun.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat
pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way
(Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU intravena
Derajat III: 5-15 vial SABU intravena
20
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU atau sampai 20 vial
perinfus sebanyak 7-10 kali (sebelum pemberian test terhadap
hipersensitivitas).
Gambar 2.7 Sediaan SABU
Pedoman terapi SABU menurut Luck
1. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
21
2. Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu
pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi
pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk
penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi
minimal 2 minggu setelah gigitan
3. Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasmafresh-frizen (dan
antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau
anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin
(asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein,
hindari penggunaan obat – obatan narkotik depresan
4. Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak
yang dijumpai adalahP.aerugenosa, Proteus,sp,
Clostridium sp, B.fragilis
Beri toksoid tetanus
22
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi
(Sudoyo, 2006)
Reaksi antivenom
Sebagian pasien mengalami reaksi awal atau terlambat setelah diberikan
antivenom. Reaksi awal anafilaksis biasanya dalam waktu 10 – 180 menit
antivenom mulai diberikan, pasien mulai gatal dan timbul urtikaria batuk kering,
demam, mual, muntah, kolik abdomen, diare dan takikardia. Pada sebagian pasien
dapat timbul anafilaksis berat yang dapat mengancam kehidupan seperti gejala :
hipotensi bronkospasme dan edema angio. Pyrogenic akibat dari endotoksin.
Reaksi biasanya berlaku dalam 1-2 jam setelah perawatan. Gejala meliputi
mengigil(kekakuan) demam, vasodilatasi dan penurunan dalam tekanan darah.
Kejang demam dapat berlaku pada anak- anak. Reaksi- reaksi ini disebabkan oleh
kontaminasi pirogen (Rahim, 2006).
Reaksi lambat berkembang 1-12 hari setelah perawatan Gambaran klinis
berupa demam, mual, muntah, diare, gatal-gatal, urtikaria berulang, atralgia,
mialgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular, multikompleks,
mononeuritis, dan proteinuria. Pengobatan anafilaksis awal dan reaksi pyrogenic
reaksi antivenom Epinefrin (adrenalin) diberikan intramuskuler (ke dalam otot
deltoideus atau lateralis atas paha) dalam dosis awal 0,5 mg untuk orang dewasa,
0,01 mg / kg berat badan untuk anak-anak. Parah, anafilaksis yang mengancam
kehidupan dapat berkembang sangat cepat dan begitu epinefrin (adrenalin) harus
diberikan pada tanda pertama dari reaksi, bahkan ketika hanya beberapa tempat
urtikaria muncul atau pada awal gatal, takikardia atau gelisah. Dosis dapat diulang
setiap 5-10 menit jika kondisi pasien memburuk(Rahim, 2006).
Pada tanda awal reaksi:
23
antivenom administrasi harus dihentikan sementara
Epinefrin (adrenalin) (0,1% larutan, 1 dalam 1.000, 1 mg / ml) adalah
efektif
Tambahan pengobatan
H1 antihistamin anti seperti chlorpheniraminemaleat (dewasa 10 mg,
anak-anak 0,2 mg / kg dengan injeksi intravena selama beberapa menit)
harus diberikan diikuti dengan hidrokortison intravena (dewasa 100 mg,
anak 2 mg / kg berat badan). Ada bukti yang meningkat bahwa anti
antihistamin H2 seperti cimetidine atau
Ranitidin memiliki peran dalam pengobatan anafilaksis parah. Kedua obat
yang diberikan,diencerkan dalam 20 ml garam isotonik, dengan injeksi
intravena lambat (lebih dari 2 menit).
o Dosis: simetidin - orang dewasa 200 mg, anak-anak 4 mg / kg;
o ranitidin - orang dewasa 50 mg, anak-anak 1 mg / kg
K. PENCEGAHAN
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan
untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih
dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan
bersemak – semak
Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang
tergigit akibat kejadian semacam itu.
24
(Sudoyo, 2006)
L. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
BAB 3
PEMBAHASAN
Pasien berusia 63 tahun, mengeluh tangan kanan nyeri dan
bengkak setelah digigit ular. Tangan digigit di regio manus dextra, pasien
juga merasa kesemutan di tangan tangan. Lalu pasien di bawa Ke RSUD
Karanganyar untuk dilakukan pengobatan.
Pasien diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi luka bekas
gigitan, biosave drip untuk Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke
dalam sirkulasi darah, vitamin c dan b untuk menambah daya tahan tubuh.
Pasien juga diberikan transfusi PRC karena pasien menderita
anemia, setelah ditransfusi hemoglobin pasien berangsur membaik dan
kembali normal.
25