23
1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Spondilitis TB tuberculosis yang dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Secara umum TB masih menjadi masalah di dunia, karena merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian di dunia, dimana 95% kasus didapatkan di negara berkembang, dan 40% terjadi di Asia Tenggara. 1 TB extrapulmonar terjadi pada sekitar 10%-15% dari semua kasus TB, tetapi pada pasien HIV, frekuensinya menjadi lebih tinggi. 3 Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas. 4,5 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris. 6

SPONDILITIS TUBERKULOSIS 2.doc

  • Upload
    dhinta

  • View
    240

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

15

BAB I

Pendahuluan1.1 Latar Belakang

Spondilitis TB tuberculosis yang dikenal dengan Potts disease adalah penyakit infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Secara umum TB masih menjadi masalah di dunia, karena merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian di dunia, dimana 95% kasus didapatkan di negara berkembang, dan 40% terjadi di Asia Tenggara.1 TB extrapulmonar terjadi pada sekitar 10%-15% dari semua kasus TB, tetapi pada pasien HIV, frekuensinya menjadi lebih tinggi.3

Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.4,5 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris.6 1.2 Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.2 Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun. Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.6,7 Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sacral.8,9,10

Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik.11 Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini. 4,11

Gambar 1. Posisi kejadian TB Indonesia di dunia (2006)

BAB II

Landasan Teori

2.1 EtiologiPenyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV).2,11,12.

Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.42.2 PatogenesisBerdasarkan konsensus umum, penyebaran TB pada tulang belakang adalah akibat diseminasi secara hematogeneous dari basil tuberkulum baik secara primer ataupun reaktivasi dari focus primer. Mycobacterium TBC dapat berdiam diri (dormant) pada vertebra dalam waktu yang panjang sampai meyebabkan manifestasi klinis. TB tulang belakang dapat disebabkan akibat extensi dari abses paraspinal meskipun sangat jarang terjadi. Drainase limfatik dari daerah yang berdekatan seperti pleura atau ginjal dapat menyebabkan penyebaran alternatif basil tuberkulum13,14.

Gambar 2. Anatomi vaskularisasi vertebrae

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.5Setelah sampai di vertebra, lesi granulomatosa berkembang, teriri dari nekrosis kaseosa di tengah, sel raksasa dengan inti multipel, sel epithelioid dan limfosit perifer. Reaksi inflamasi, yang disertai dengan pembentukan jaringan granulasi, menyebabkan ekspansi tulang secara bertahap yang disertai dengan rusaknya trabekulasi, demineralisasi progresif, destruksi tulang dan, dalam tahap selanjutnya, yang pada akhirnya terjadi kerusakan tulang rawan dengan keterlibatan diskus yang berdekatan. Margin dari tulang, terdapat lesi litik yang berbeda dan biasanya tidak ada regenerasi tulang atau reaksi periosteal. Fibrosis, sclerosis tulang dan ankilosis terjadi ketika penyakit berlangsung kronis sampai timbulnya manifestasi klinis . Paraosseous abses (disebut 'abses dingin'), erosi dan pembentukan saluran sinus dapat terjadi.152.3 Manifestasi KlinisDiagnosis dini dan pengobatan segera pada TB vertebral merupakan fundamental yang sangat penting dalam pencegahan terjadinya deformitas spinal yang berat (gibus), yang dapat menyebabkan terjadinya kifotik angulasi akut. Adanya penundaan antara gejala awal dengan diagnose etiologi kemungkinan disebabkan rendahnya insidens TB vertebral dan lambatnya perkembangan dari gejala klinis. Waktu dari timbulnya gejala sampai terdiagnosa dapat terjadi dalam beberapa hari sampai lebih dari tiga tahun, tetapi kebanyakan dalam beberapa bulan.16Biasanya, beberapa korpus vertebra dan diskus intervertebralis dapat terlibat. Gejala yang timbul dapat berupa nyeri lokal, keterbatasan gerak, dan pada fase akhir dari penyakit, deformitas spinal yang berat (gibus) akibat terjadinya kifotik angulasi akut.gejala dan komplikasi neurologis dapat terjadi baik pada awal ataupun akhir dari tahapan penyakit. Nyeri radicular, sindroma kauda equine yang berat dan kompresi dari medulla spinalis dengan paraplegia yang dapat disebabkan karena edema, pelebaran vascular, retropulsif dari debris, meningomyelitis atau adanya koleksi pada ruang subaraknoid. Manifestasi TB secara sistemik dapat terjadi dengan gejala diantaranya demam ringan terutama malam, kelesuan, malaise, berkeringat di malam hari, anoreksia dan penurunan berat badan.16

Gambar 3. Ilustrasi gibbus.2.4 DiagnosaDiagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa sesuai dengan gejala atau manifestasi diatas, ada tidaknya kontak dengan penderita TB, dan pemeriksaan fisik didapatkan gibus dengan manifestasi neurologis dalam berbagai tingkatan. Pada pemeriksaan laboratorium, sampai 10% pasien dengan kasus TB didapatkan jumlah sel darah putih dan laju endap darah yang normal.17 Sel darah putih yang abnormal, tingkat C-reaktif protein atau pemeriksaan darah lengkap tidak berkontribus pada diagnose. Ditemukannya laju endap darah yang meningkat, tidak memperkuat diagnose, tapi berguna untuk mengetahui kemajuan pasien dalam pengobatan. Tes tuberculin positif tidak banyak membantu terutama di daerah endemis atau pasien yang telah mendapatkan vaksin BCG.12 Dari semua pasien dengan TB vertebral, menunjukkan angka negative sebanyak 14% dengan menggunakan test Mantoux dan protein yang dimurnikan (purified protein). Test kulit yang negative mungkin disebabkan adanya alergi, terutama pada pasien dengan imunitas rendah dan pada orang tua.13 Akhirnya, pemeriksaan radiologis dada dan riwayat kontak mungkin tidak positif.Konfirmasi mikrobiologis dan atau histologist diperlukan untuk diagnosis pasti dari TB vertebral dan aspirasi jarum halus (fine needle biopsy), atau perkutaneus biopsy dengan panduan pencitraan radiologi, atau biopsy terbuka (operasi) menjadi sangat penting.17 Diagnosa secara histopatologis ditegakkan dengan ditemukannya granulomatous caseosa dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan batang tahan asam Ziehl-Nielsen, dengan adanya DNA mikroba dengan pemeriksaan PCR, atau dengan adanya BTA pada kultur.13 Jika pada pemeriksaan bakteriologi negative dan hanya ditemukan granulomatous caseosa pada pemeriksaan histologist, pemriksaan tambahan mungkin diperlukan untuk membedakan dengan penyakit granulomatous yang lain, seperti sarkoidosis, brucellosis, jamur atau mikobacteria atipik, dan penyakit gout. 182.5 Diagnosa Banding TB Vertebral

Banyak proses infeksi yang memberikan gambaran radiologis vertebral spondylodiscitis. Diantaranya adalah infeksi pyogenik, seperti brucellosis, dan infeksi bakteri ataupun jamur lainnya. Penyakit granulomatosis (sarkoidosis), fraktur akibat trauma ataupun osteoporosis, neoplasma primer ataupun metastase mungkin mempunyai gambaran radiologis yang menyerupai TB vertebral.

Diagnose lebih mengarah ke TB jika pada gambaran radiologis ditemukan adanya massa kalsifikasi di paravertebral tanpa adanya sklerosis ataupun pembentukan tulang baru. Sebaliknya, berkurangnya jarak diskus intervertebralis sangat jarang ditemukan akibat neoplasma, dan diskus yang dengan cepat memendek disertai adanya destruksi, dengan sklerosis yang ekstensif, tanpa adanya gibbus dan massa kalsifikasi paravertebral, lebih mendukung ke arah pyogenik spondylodiscitis. Biopsi jarum halus dengan panduan CT mungkin diperlukan dan memberikan diagnosis yang tepat dan terapi yang sesuai. 17,182.6 Penatalaksanaan Vertebral TB

Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan korset. Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama pengobatan.Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien. Obat yang biasa dipakai seperti pada Tabel 1.Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi, anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit dengan inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.

Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi. Dikatakan bahwa 80% pasien yang terdeteksi lebih awal akan pulih setelah arthrodesis. Dekompresi anterior diindikasikan hanya pada beberapa pasien yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan perbaikan dan pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak. Pada umumnya artrodesis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.

Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan hasil yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi pada seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Potts paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain,

A. Indikasi absolut

Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.

B. Indikasi relatif

Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.

Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi. BAB III

Pembahasan Gambaran Radiologis

TB vertebra yang paling sering ditemukan di daerah vertebra thorakalis bagian bawah dan lumbal atas. Keterlibatan vertebra cervical dan sakral jarang terjadi. Dua pola osteomielitis vertebral yang berbeda dapat dilihat. Temuan klasik spondylodiscitis ditandai dengan destruksi dua atau lebih tulang berdekatan dengan end plate menghadap diskus yang sama, infeksi disk, dan umumnya massa paraspinal atau koleksi cairan, pola kedua yang semakin umum adalah bentuk atipikal spondilitis tanpa keterlibatan disk.2,18

Infeksi biasanya dimulai pada superior atau inferior dari korpus vertebral anterior yang berdekatan dengan sudut discovertebral junction, dan menyebar melalui ekstensi subligamentous dan penetrasi lempeng subchondral. Perkembangan penyakit lebih lanjut, lateral dan anterior korteks dari korpus vertebral menjadi hancur, menyebabkan kolaps, kyphosis dan ketidakstabilan vertebral. Karena diskus adalah daerah avaskular, infeksi pada diskus terlihat terlambat, dan menyebabkan penyempitan sekunder ruang interdiskus, herniasi diskus ke korpus vertebral yang kolaps. Ketika dua korpus vertebra yang berdekatan terlibat, nutrisi dari disk menjadi terganggu. Kolaps dan wedging dari beberapa korpus vertebral karena kavitasi intraosseus meyebabkan terjadinya gibbus. Keterlibatan lengkungan saraf dapat terjadi baik sendiri atau bersamaan dengan lesi pada korpus vertebral.18

Gambar 4. A.Gambaran foto polos AP, laki-laki 50 th, menunjukkan penyempitan ruang intervertebralis T8-9, yang berhubungan dengan massa paraspinal di sebelah kiri. B. Lateral tomogram menunjukkan destruksi diskus disertai erosi massif aspek inferior korpus vertebra T8 dan superior end plate T9.

Pola keterlibatan atipikal TB vertebral lainnya terdiri dari infeksi yang terjadi hanya pada satu kopus vertebra atau beberapa vertebrae yang tidak berdekatan (skip lesion). Infeksi jaringan lunak paravertebral dan atau epidural yang disertai pembentukan abses dapat sampai jauh berjalan di bawah ligamentum longitunal bawah anterior atau posterior, dan mungkin keluar melalui sinus pada tempat yang tidak biasa, seperti daerah inguinal, gluteus, atau dada. Infeksi paraspinal dapat melibatkan otot iliopsoas, sehingga terjadi abses psoas yang meluas sampai ke daerah inguinal dan paha. Proses kalsifikasi dalam abses TB merupakan pathognomonic tuberkulosis paling baik dilihat pada CT scan.173.1 Plain Radiografi

Foto polos pada spondylodiscitis karena TB memberikan gambaran pemendekan korpus vertebra, ruang interdiskus yang menyempit, erosi, batas yang tidak jelas dari endplate, adanya massa paravertebral, dan kalsifikasi dari jaringan lunak. Bagaimanapun, foto polos tidak sensitive untuk deteksi dini dari TB vertebral.

Gambar 5. Foto polos pelvis AP wanita, 35 tahun dengan TB spinal menunjukkan massa oval radiodense dengan titik kalsifikasi bagian medial ilium dan sendi acroiliaka kanan. Khas untuk cold abscess.

Penyempitan ruang interdiskus mungkin tidak terlalu jelas dan keterlibatan korpus vertebral tidak akan terlihat sampai setidaknya 50% dari trabekular tulang menghilang.

Gambar 6. Diskitis Tuberkulosa. Laki-laki 39 tahun dengan riwayat TB paru dengan gejala neurologis kompresi dari medulla spinalis. A. Foto AP thoraks menunjukkan penyempitan diskus minimal pada T9-T10 dan massa paraspinal kiri yang besar. B. myelogram menunjukkan obstruksi total dari kontras pada ruang subaraknoid pada level diskus yang terinfeksi.Abses paravertebral sangat sulit diketahui pada vertebral torakalis meskipun dengan kekuatan yang adekuat, atau hanya tampak bayangan psoas yang asimetris atau menonjol. Tidak terdapat tanda spesifik dengan foto polos dalam membedakan infeksi TB dengan infeksi pyogenik. 2,17

Gambar 7. Laki-laki 37 tahun. A. Foto polos menunjukkan kolapas korpus vertebra dengan diskus yang maasih intak. B. CT torakal menunjukkan massa paravertebral dengan penyangatan perifer. C. STIR MRI memastikan adanya kolaps vertebra, hiperintens korpus vertebra. D. Potongan koronal.

3.2 Computed Tomography

CT sangat penting terutama dalam menunjukkan awal focus infeksi tulang yang kecil dan keterlibatan jaringan lunak. CT juga dapat digunakan dalam follow up pasien dalam terapi obat anti TB. Destruksi end plate, fragmentasi vertebra, dan kalsifikasi paravertebral dapat ditunjukkang dengan CT dengan sangat baik. Setelah penggunaa kontras, abses paravertebral atau epidural akan tampak sebagai nodul dengan dinding yang menyangat dan jalan sinus dapat diikuti.17 3.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Kemampuan multiplanar dan superior dalam kontras jaringan membuat MRI menjadi modalitas utama dalam evaluasi dan follow up spondylodiscitis. Keuntungan utama dari MRI dibandingkan CT dan foto polos adalah mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dalam deteksi dini proses inflasi dalam sumsum tulang dan perubahan infiltrative end plate vertebra .MRI sangat berguna dalam memberikan gambaran abses paravertebral, epidural, dan intraosseus dan evaluasi kompresi medulla spinalis serta adanya lesi intramedullary.12,17

Gambar 7. Laki-laki 34 tahun. A. CT scan menunjukkan destruksi tulang bagian central yang terletak di bagian posterior, serta destruksi batas posterior dari T12. B. Sagital T1. C. Sagital T2. D. Sagital STIR MRI menunjukkan menunjukkan lesi vertebral, abses intraosseus E. Axial. F. T1 kontras potongan sagital menunjukkan penyangatan perifer dan abses paravertebral.

Gambar 8. Laki-laki 41 tahun. A. CT menunjukkan lesi osteolitik pada anterolateral korpus T8 dan abses paravertebral. Kalsifikasi heterotipik tampak dalam abses. B. Sagital MRI T1. C. Sagital MRI T2. D. MRI T1 kontras potongan axial menunjukkan penyangatan perifer dari abses paravertebral dan penyangatan yang nyata menunjukkan keterlibatan epidural yang dapat menyebabkan displacement medulla spinalis.

Temuan MRI pada osteomyelitis TB mungkin nonspesifik dan terdiri dari intensitas sinyal rendah pada T1 dan peningkatan sinyal secara heterogen pada T2. Pada abses intraosseus, lesi tampak hipointens pada T1 dan sangat hiperintens pada T2 yang dapat dilihat ditengah dari korpus vertebra13,18 Karakteristik gambaran TB vertebral pada MRI adalah hipointens pada T1 baik pada korpus vertebral maupun ruang diskus intervertebralis, sedangkan pada T2, menjadi hiperintens pada diskus dan hipointnes pada korpus vertebra. Sedangkan pada TB vertebral yang kronis, menunjukkan intensitas yang bervariasi. 18

Penggunaan kontras gadolinium memberikan gambaran yang lebih jelas adanya massa dan abses epidural, medulla dan radix saraf yang tertekan. Penyangatan perifer terlihat pada abses dan mewakili jaringan infeksi granulomatosa sedangkan area ditengah dengan gambaran hipointens pada T1 merupakan gambaran nekrosis sentral18BAB IVKesimpulan

Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta follow up penyakit. Jika dalam pemeriksaan didapatkan normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus dikerjakan untuk menyingkirkan spondilitis TB. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis atau paraplegi pada ekstremitas inferior sehingga pembedahan harus segera dilakukan. Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, tata laksana dan komplikasi yang menyertai.

Gambar 9. Bagan prosedur tatalaksana Spondilitis TB

BAB VDaftar Pustaka1. Teo ELHJ, Peh WCG ; Imaging of tuberculosis of the spine; Singapore Med J 2004 Vol 45(9) : 4392. Greenspan, Adam ; Orthopedic Imaging : A Practical Approach, 4th Edition ; Lippincot Williams&Wilkins 2004; 984

3. Bureau NJ, Cardinal E. Imaging of musculoskeletal and spinal infections in AIDS. Radiol Clin North Am 2001; 39:343-55.

4. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London : Springer-Verlag, 1997 : 378-87.5. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-546. IGE Paramarta, PS Purniti, IB Subanada, P Astawa; Spondilitis Tuberkulosis; Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

7. Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous spondylitis. Didapat dari: URL: http://www.gentili.net/frame. asp?ID= 823& URLID =313541 8. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nd ed. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388

9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.

10. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6.

11. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed. Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-6412. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6.13. Moore S.L., Rafii M.: Imaging of musculoskeletal and spinal tuberculosis. Radiol Clin North America, 2001, 39:329-342.

14. Kosinski M.A., Smith L.C.: Osteoarticular tuberculosis. Clin Podiatr Med Surg, 1996, 13: 725-73915. Yao D.C., Sartoris D.J.: Musculoskeletal tuberculosis. Radiol Clin North Am, 1995, 33: 679-68916. .Pertuiset E., Beaudreuil J., Liot F., etal. : Spinal tuberculosis in adults. Astudy of 103 cases in a developed country, 1980-1994. Medecine, 1999,78: 309-32017. Huelskamp L., Anderson S.,Bernhardt M.: TB of the spine: Potts disease. Orthop Nurs, 2000, 19:31-35.

18. AI De Backer, KJ Mortele, IJ Vanschoubroeck, et al : Tuberculosis of The Spine : CT and MR Imaging Features; JBR-BTR, 2005, 88