35
 PERAN BANK INDONESIA DALAM MEMBENTUK STABILITAS SISTEM KEUANGAN MELALUI PENGUATAN SISTEM PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN NASIONAL MAKALAH Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah : Manaemen In!estasi S"a#iah D$sen Pengam%u : D#& M& 'akh#i Husein( SE&( Akt&( M&Si Disusun $leh: NILA ROKHMANA NIM& )*+,*),,*- KONSENTRASI KEUANGAN DAN PERBANKAN S.ARI/AH PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM PROGRAM PAS0A SAR1ANA UNI2ERSITAS ISLAM NEGERI 3UIN4 SUNAN KALI1AGA .OG.AKARTA +,)5 1

Stabilitas Sistem Keuangan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Stabilitas Sistem Keuangan

Citation preview

PERAN BANK INDONESIA DALAM MEMBENTUK STABILITAS SISTEM KEUANGAN MELALUI PENGUATAN SISTEM PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN NASIONAL

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah :Manajemen Investasi SyariahDosen Pengampu : Dr. M. Fakhri Husein, SE., Akt., M.Si

Disusun oleh:NILA ROKHMANANIM. 1320310039

KONSENTRASI KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAHPROGRAM STUDI HUKUM ISLAMPROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA2014BAB IPENDAHULUAN

1. Latar BelakangStabilitas keuangan adalah isu klasik yang mengiringi pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena ia diyakini mempunyai hubungan yang positif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun dengan banyaknya variabel makroekonomi yang mempengaruhinya ia memerlukan kebijakan moneter sebagai pioneer yang berfungsi sebagai supervisor dan regulator yang mampu mendukung dinamika pasar. Namun dengan semakin kuatnya integrasi ekonomi antar negara, risiko moneterpun kian bertambah, seperti halnya fluktuasi ekonomi disuatu negara dapat memiliki efek domino kepada negara lainnya.Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. (www.bi.go.id)Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan?Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara makroprudensial, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator makroprudensial untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last Resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.

2. Rumusan MasalahMelalui Latar belakang diatas, terdapat beberapa rumusan masalah yaitu:a. Bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan?b. Bagaimana peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan sistem perbankan dan lembaga keuangan nasional?c. Bagaimana hubungan sinergi Bank Indonesia dengan instansi lain (Kementrian Keuangan, OJK, LPS) dalam pengelolaan stabilitas sistem keuangan nasional?

3. Tujuan Penulisana. Merumuskan peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan;b. Merumuskan peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan nasional;c. Merumuskan hubungan sinergi Bank Indonesia dengan instansi lain (Kementerian Keuangan, OJK, LPS) dalam pengelolaan stabilitas sistem keuangan nasional.

4. Manfaat PenulisanManfaat yang bisa kita ambil dalam penulisan karya tulis tentang peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan sistem perbankan dan lembaga keuangan nasional adalah:a. Mendapatkan pemahaman konseptual yang lebih mendalam mengenai peranan Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Nasional.b. Memberikan sebuah karya mengenai peranan Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Nasional.c. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai peranan Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan Sistem Perbankan dan Lembaga Keuangan Nasional.

BAB IILANDASAN TEORI

1. Bank Indonesia Fokus pada Sistem PembayaranBank Indonesia tentu seharusnya mampu untuk meningkatkan fokus kewajibannya dalam penetapan kebijakan moneter dan dalam pengaturan serta penjagaan kelancaran sistem pembayaran, apalagi setelah satu tugasnya dalam pengaturan dan pengawasan perbankan dilimpahkan ke OJK, tentunya dalam rangka menjaga kestabilan rupiah.Peranan Bank Indonesia dalam sistem pembayaran sangat luas, karena sebagai operator, regulator, dan sekaligus sebagai pengawas. Hubungan bank sentral dengan sistem pembayaran setiap Negara memiliki kadar yang berbeda, ada yang memiliki keterlibatan tinggi (Indonesia), dan ada yang sedikit (Hongkong).Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, wewenang mengatur, mengawasi, dan memberi atau mencabut izin berdirinya bank mutlak menjadi wewenang Bank Indonesia. Luasnya cakupan tugas dan wewenang Bank Indonesia menimbulkan kerentanan akan keefektifan khususnya tugas pengawasan. Mengingat begitu banyaknya bank-bank umum dan Bank Prekreditan Rakyat yang harus diawasi. Maraknya kasus perbankan seperti kasus Bank Century, City Bank, dan pembobolan bank oleh orang dalam menunjukkan lemahnya system intern bank itu sendiri dan pengawasan oleh Bank Indonesia.Oleh sebab itu, timbul gagasan tugas pengawasan perbankan diserahkan ke lembaga khusus. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang yang pembentukannya dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Tetapi sampai dengan akhir tahun 2010, lembaga yang rencananya akan diberi nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum terbentuk.Tarik menarik kepentingan antara Bank Indonesia dengan pihak-pihak lain terus terjadi, sehingga terbentuknya OJK berjalan dengan alot. Rencananya OJK tidak hanya bertugas mengawasi sektor perbankan, tetapi juga jasa keuangan lainnya seperti: asuransi, dana pensiun, bursa efek, bursa berjangka, dan badan penyelenggara program jaminan sosial. (www.wikipedia.com)Sistem Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain. Media yang digunakan untuk pemindahan nilai uang tersebut sangat beragam, mulai dari penggunaan alat pembayaran yang sederhana sampai pada penggunaan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai lembaga berikut aturan mainnya. Kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang dituangkan dalam Undang Undang Bank Indonesia.Dalam menjalankan mandat tersebut, Bank Indonesia mengacu pada empat prinsip kebijakan sistem pembayaran, yakni keamanan, efisiensi, kesetaraan akses dan perlindungan konsumen.1. Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko likuiditas, risiko kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan dimitigasi dengan baik oleh setiap penyelenggaraan sistem pembayaran.2. Prinsip efisiensi menekankan bahwa penyelanggaran sistem pembayaran harus dapat digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung masyarakat akan lebih murah karena meningkatnya skala ekonomi.Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti bahwa Bank Indonesia tidak menginginkan adanya praktek monopoli pada penyelenggaraan suatu sistem yang dapat menghambat pemain lain untuk masuk.3. Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.Sementara itu dalam kaitannya sebagai lembaga yang melakukan pengedaran uang, kelancaran sistem pembayaran diejawantahkan dengan terjaganya jumlah uang tunai yang beredar di masyarakat dan dalam kondisi yang layak edar atau biasa disebut clean money policy.Secara garis besar Sistem pembayaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu Sistem pembayaran tunai dan Sistem pembayaran non-tunai. Perbedaan mendasar dari kedua jenis sistem pembayaran tersebut terletak pada instrumen yang digunakan. Pada sistem pembayaran tunai instrumen yang digunakan berupa uang kartal, yaitu uang dalam bentuk fisik uang kertas dan uang logam, sedangkan pada sistem pembayaran non-tunai instrumen yang digunakan berupa Alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), Cek, Bilyet Giro, Nota Debet, maupun uang elektronik. (www.bi.go.id).2. Peran Bank Indonesia Dalam Menjaga Kestabilan KeuanganMeskipun secara umum, terutama di kalangan pelaku pasar keuangan telah terbiasa mendengar istilah kestabilan sektor keuangan, kiranya tidak ada salahnya untuk mengungkapakan kembali pengertian dari istilah tersebut. Belum terdapat suatu definisi yang universal mengenai kestabilan sektor keuangan. Andrew Crockett mengemukakan bahwa untuk memahami konsep kestabilan sektor keuangan, perlu dibedakan antara stabilitas moneter dengan stabilitas keuangan. Bila stabilitas moneter mengacu pada stabilitas harga dalam bentuk kestabilan nilai mata uang, maka stabilitas keuangan mengacu pada kestabilan institusi keuangan itu sendiri dan stabilitas pasar yang tergabung dalam sistem keuangan. Pada intinya, Finansial stability is avoidance of crises seperti diungakapkan oleh I. J. McFarlane, Gubernur Reserve Bank of Australia. Oleh karena itu, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan sangat terkait erat, dimana stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem keuangan yang stabil.Dalam konteks stabilitas keuangan, perlu diperjelas lembaga keuangan yang berpengaruh secara signifikan terhadap sistem keuangan secara keseluruhan, agar diperoleh kesamaan persepsi di semua lembaga yang terkait. Dalam praktiknya memang belum terdapat suatu rumusan standar mengenai masalah ini.Komponen yang kedua adalah kestabilan pasar, baik pasar modal maupun pasar uang. Pasar dimaksud dapat dikatakan stabil apabila pelaku pasar (misalnya investor) masih percaya untuk melakukan traksaksi pada tingkat harga yang merupakan refleksi dari fundamental ekonomi dan volatilitas harga pasar yang tidak ekstrem dalam jangka pendek. Kondisi yang tidak stabil tersebut perlu diwaspadai mengingat dalam kondisi terjadinya krisis keuangan maka kondisi tersebut dapat berdampak kepada:a. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat (depositor dan investor) terhadap sistem keuangan sehingga dapat menimbulkan bank run.b. Fungsi intermediasi menjadi tidak efektif mengingat suku bunga bank menjadi tidak realistis.c. Alokasi sumber-sumber dana menjadi tidak efektif karena orang akan lebih senang menyimpan uang di rumah atau di luar negeri.d. Biaya yang relatif besar untuk menyelamatkan lembaga keuangan atau bank yang memiliki dampak sistemik terhadap perekonomian,e. Kebijakan moneter tidak dapat diterapkan dengan baik.Dalam hubungan ini, dapat dijelaskan bahwa selama ini sebenarnya tugas menjaga kestabilan sektor keuangan sudah secara langsung menjadi satu dalam tugas Bank Sentral menjaga kestabilan moneter. Mengingat bahwa berbagai permasalahan baru di bidang ekonomi dan keuangan dewasa ini terus bermunculan maka fungsi kestabilan sektor keuangan ke dalam fungsi menjaga kestabilan moneter dinilai kurang efektif, dikarenakan hal-hal sebagai berikut:a. Kompleksitas usaha lembaga keuangan/bank terus meningkat pesat, bahkan dalam beberapa kasus terdapat kesulitan untuk menentukan posisi unit usaha bank di dalam suatu struktur konglomerasi yang relatif besar.b. Dengan semakin majunya sistem informasi dan globalisasi operasi perusahaan keuangan atau bank, permasalahan yang terjadi di pasar internasional dapat berdampak langsung terhadap kondisi pasar domestik (contagion effect).c. Kebijakan moneter dan fiskal yang kurang tepat memungkinkan juga timbulnya permasalahan di sektor keuangan dan bank.d. Hutang luar negeri yang jatuh tempo di masa mendatang dapat pula menyebabkan adanya tekanan terhadapa pasar valas, dimana tingginya permintaan valas tidak sepenuhnya dapat diimbangi oleh penawaran.e. Struktur ekonomi yang terkonsentrasi pada beberapa kelompok usaha (konglomerat) akan dapat memberikan tekanan dalam kestabilan sektor keuangan.Apabila dapat dilakukan pemantauan secara rutin terhadap komponen-komponen yang dapat memberikan tekanan terhadap stabilitas keuangan sebagaimana tersebut di atas maka diharapkan akan dapat dilakukan pencegahan terhadap terjadinya krisis dan pemecahan permasalahannya sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai oleh pihak-pihak yang berwenang (crises resolution).

3. Integrasi Pengawasan Makroprudensial dan Mikroprudensial dalam Mencapai Pengawasan Lembaga Keuangan yang Kuat dan KomprehensifSesuai amanat undang-undang Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam pengawasan makroprudensial yang bertujuan untuk mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus mengawasinya agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian ekonomi makro.Sedangkan, OJK berwenang dalam pengawasan mikroprudensial bertujuan untuk mengupayakan agar setiap bank secara individual dapat senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga pada akhirnya bank mampu menjaga kepercayaan masyarakat sebagai kunci utama dalam bisnis perbankan.Walaupun pemisahan kedua kewenangan tersebut, harus diciptakan suatu mekanisme koordinasi. Agar kedua aspek pengawasan dapat berjalan searah dan saling menguatkan.Sihono (Jurnal) menyatakan bahwa Kebijakan Makroprudensial merupakan kebijakan restrukturisasi sebagai kebijakan makro ekonomi yang ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat melalui perlindungan dan penjaminan dana pihak ketiga, terutama juga untuk melindungi bank-bank sehat dari akibat penularan bank-bank yang sakit. Dengan demikian sistem pembayaran akan kembali lancar sehingga aktivitas perekonomian dan perekonomian menuju recovery. (Heru Kurnianto Tjahjono)Ciri-ciri kebijakan ekonomi makroprudensial:a. Penyaluran kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profit yang menjanjikan bagi perbankan.b. Kebijakan tersebut memperhatikan faktor politik, hukum, dan sosial yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI.c. Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah, perbankan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan.d. Adanya rule yang dikomunikasikan dalam awal penerapan. Namun, tetap membuka ruang untuk melakukan diskresi apabila terjadi shock dalam perekonomian.e. Dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan. Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didesain sedemikian sehingga mampu menghilangkan atau paling tidak memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan bantalan (buffer) yang cukup disaat perekonomian sedang baik, yaitu ketika ketidak seimbangan dalam sistem keuangan umumnya terjadi, dan bagaimana menggunakan bantalan tersebut.f. Bersifat countercyclical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju kencang (periode up swing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk.Pengawasan secara makroprudensial dilakukan untuk mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Agar semakin optimal, upaya mencapai kestabilan sistem keuangan tersebut dikoordinasikan oleh Forum Koordinasi Sistem Keuangan yang beranggotakan Departemen Keuangan RI, Lembaga Penjamin Simpanan, BI, dan OJK.Sejalan dengan adanya fungsi baru tersebut, Bank Indonesia akan memperkuat fungsinya yang lain untuk mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Penguatan fungsi tersebut antara lain, dalam bidang penetepan dan pelaksanaan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan mengoptimalkan peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melalui koordinasi dengan segenap elemen daerah.

4. Mempercepat Program Penguatan Struktur Perbankan NasionalProgram ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan.Cara pencapaiannya melalui:1. Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru; 2. Merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru; 3. Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal; 4. Penerbitan subordinated loan.Dalam waktu sepuluh sampai lima belas tahun ke depan program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah pada terciptanya struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdapatnya:1. 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp50 triliun; 2. 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun;3. 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun;4. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar.Tahapan Program Penguatan Struktur Perbankan NasionalNoKegiatan (Pilar I)Periode Pelaksanaan

1Memperkuat Permodalan Banka. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp. 80 Miliarb. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD) menjadi Rp. 100 Miliarc. Mempertahankan persyaratan modal disetor minimum Rp. 3 Triliun untuk pendirian bank umum konvensionald. Menetapkan persyaratan modal disetor minimum Rp. 1 Triliun untuk pendirian bank umum syariahe. Menetapkan persyaratan modal sebesar Rp. 500 Miliar bagi bank umum syariah yang berasal dari spin off Unit Usaha Syariahf. Mempercepat batas waktu pemenuhan persyaratan minimum modal disetor BPR yang semula tahun 2010 menjadi tahun 2008.2007

2010

2004-2010

2005

2006

2008

2Memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRSa. Meningkatkan linkage program antara bank umum dengan BPRb. Implementasi program aliansi strategis lembaga keuangan syariah dengan BPRS melalui kemitraan strategis dalam rangka pengembangan UMKMc. Mendorong pendirian BPR dan BPRS di luar Pulau Jawa dan Balid. Mempermudah pembukaan kantor cabang BPR dan BPRS bagi yang telah memenuhi persyaratane. Memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa bersama untuk BPR dan BPRS (termasuk lembaga APEX)

2007

2007

2006-2007

2004-2006

2006-2007

3Meningkatkan akses kredit dan pembiayaan UMKMa. Memfasilitasi pembentukan dan monitoring skim penjaminan kredit dan pembiayaanb. Mendorong perbankan untuk meningkatkan pembiayaan kepada UMKM khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan di daerah pedesaanc. Meningkatkan akses pembiayaan syariah bagi UMKM dengan pengembangan skema jaminan bagi pembiayaan syariahd. Mendorong bank-bank syariah untuk meningkatkan porsi pembiayaan berbasis bagi hasil2004-2007

2004-2009

2010

2010

5. Peningkatkan Infrastruktur dalam Pengelolaan Stabilitas Sistem KeuanganStabilitas sistem keuangan pada tahun 2014 diperkirakan masih tetap terjaga. Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan perbankan yang cukup tinggi dengan tekanan terhadap perbankan yang relatif rendah. Kondisi ini juga didukung oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang meningkat, pertumbuhan Indonesia masih tinggi dan kondisi makroekonomi yang masih terjaga. Meskipun beberapa potensi dan peluang untuk meningkatkan kinerja sistem keuangan masih terbuka, namun terjaganya stabilitas sistem keuangan ini masih diselimuti oleh beberapa faktor eksternal dan internal yang perlu terus diwaspadai. Sementara itu, Stress test yang dilakukan terhadap industri perbankan menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih dalam kondisi yang baik dengan ketahanan yang tetap terjaga.Gubernur Bank Indonesia bersama Menteri Keuangan, Ketua OJK dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga bertanggung jawab menjaga stabilitas sistem keuangan melalui Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Dibutuhkan infrastruktur dan alur kerja dalam efektifitas pengelolaan stabilitas dalam keuangan, diantaranya:a. Regulasi yang jelas dan kuatb. Sistem koordinasi yang cepat dan komprehensifc. Penguatan sistem informasi datad. Mekanisme pengambilan keputusan yang prudent, transparan, akuntabel.BAB IIIMETODE PENULISAN1. Teknik Pengumpulan DataPenulisan karya tulis ini menggunakan satu jenis data yaitu data sekunder. Data sekunder tersebut berupa kepustakaan yang berasal dari literatur keilmuan, makalah, jurnal penelitian dan sumber yang kredibel dan internet.

2. Teknik Pendekatan MasalahPenulisan karya tulis ini menggunakan pendekatan konseptual dengan memadukan data-data kepustakaan yang dimiliki. Penulisan ini menggunakan bahan ilmu sosial, ekonomi dan berita aktual.

3. Teknik Analisis DataAnalisis data yang dilakukan menggunakan metode data kualitatif. Hal ini dilakukan karena berusaha mengerti dan memahami secara lebih mendalam tentang peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan sistem perbankan dan lembaga keuangan nasional.

BAB IVANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Urgensi Menjaga Stabilitas Sistem KeuanganSistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko sebara baik.a. Asimetri Informasi: Sumber Instabilitas Sistem KeuanganTelah dipahami bahwa sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Apabila sistem keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Salah satu masalah krusial dalam sistem keuangan yang dapat menjadi sumber instabilitas keuangan yakni menyangkut terjadinya asimetri atau ketidaksamaan informasi (asymmetric information) yakni suatu situasi dimana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memiliki informasi yang akurat dibanding pihak lain.Permasalahan asimetri informasi selanjutnya menyebabkan dua permasalahan pokok yakni adverse selection dan moral hazard. Adverse selection merupakan satu bentuk masalah asimetri, informasi yang terjadi sebelum transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki risiko kredit tinggi) biasanya akan mau mencari pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi. Dari masalah adverse selection inilah sebagian besar dari pinjamannya biasanya merupakan kredit bermasalah.Asimetri informasi ini juga menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku bunga naik, mungkin berakibat pada adverse selection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank. Demikian pula kondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur dengan net worth yang rendah. Akhirnya bila terjadi bank runs, bank yang sehat dapat memproteksi dirinya dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat kontraksi dari sisi pemberian kreditnya.Permasalahan pokok yang lain adalah menyangkut moral hazard, yakni yang terjadi sesudah transaksi dilakukan dimana pemberi pinjaman berada dalam posisi yang menerima risiko atas dimana usaha yang dilakukan peminjam moral hazard terjadi karena peminjam memperoleh keuntungan untuk mengalihkan proyeknya pada proyek yang berisiko tinggi yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman yang apabila berhasil dapat memberikan keuntungan yang besar dan apabila gagal akan ditanggung oleh pemberi pinjaman dalam bentuk tidak kembalinya kredit yang diberikan. Kerangka dari masalah asimetri informasi ini memegang peranan yang penting bagi institusi perbankan dan lembaga keuangan dan intermediasi lain khususnya yang memberikan kredit. Namun perbankan memiliki kelebihan-kelebihan khusus dibandingkan lembaga intermediasi. Ketika kualitas informasi mengenai debitur buruk, maka masalah asimetri informasi akan mengemuka yang nantinya dapat menjadi sumber ketidakstabilan sistem keuangan. Oleh karena itu, dalam kerangka kestabilan sistem keuangan, keberadaan instrumen hukum diharapkan dapat meminimalisir asimetri informasi yang terjadi dan paling tidak difokuskan pada 3 aspek pengaturan penting yakni:a. Mengatur semua transaksi pemindahan dana dari pihak-pihak atau individu-individu dalam lembaga keuangan.b. Mengatur perilaku (behaviour) individu-individu atau pihak-pihak dalam lembaga keuangan.c. Menyelesaikan konflik yang terjadi diantara pihak-pihak dalam lembaga keuangan secara efisien dan cepat. Dengan pengaturan pada ketiga cakupan aspek hukum tersebut diarahkan agar kestabilan sistem keuangan dapat tercapai.

b. Stabilitas Sistem Keuangan: Pengertian dan PrasyaratSecara umum istilah financial stability atau stabilitas keuangan telah dikenal oleh banyak pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan, namun demikian belum terdapat suatu kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud dengan stabilitas keuangan. Namun, pada prinsipnya stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 elemen, yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuangan serta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan.Jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik, maka elemen lainnya akan terpengaruh. Misalnya, tingkat inflasi yang tinggi dapat membawa konsekuensi pada kebijakan uang ketat (tight money policy), peningkatan suku bunga, dan peningkatan kredit bermasalah yang akhirnya memicu kegagalan bank dan lembaga keuangan lainnya dalam sektor keuangan. Sebaliknya, gangguan pada sistem keuangan akan mempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter dan tingkat harga secara umum. Pertanyaannya adalah mengapa stabilitas keuangan merupakan isu yang sangat penting? Stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian.Jika lembaga-lembaga keuangan dan pasar keuangan yang berperan sebagai mediator keuangan berada dalam kondisi tidak stabil ataupun menghadapi ketidakpastian, makan dapat dipastikan efektivitas perekonomian akan sulit berlangsung karena rendahnya aktivitas produksi, konsumsi maupun investasi. Disamping itu, dalam kondisi tingkat inflasi yang tinggi, akan sulit bagi perekonomian suatu negara untuk tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Mengingat cakupan sektor keuangan yang cukup luas, maka tidak mudah untuk mendefinisikan suatu gambaran ideal stabilitas keuangan. Namun, untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan beberapa prasyarat berikut:1. Lembaga keuangan yang sehat2. Pasar keuangan yang stabil3. Lembaga pengaturan dan pengawasan yang kompeten.

c. Bank Indonesia di era OJK (Otoritas Jasa keuangan)Banyaknya masalah yang timbul akibat dari kompleksnya sistem keuangan membuat Bank Indonesia harus melakukan reformasi dalam berbagai aspek kebijakan maupun organisasinya. (ojk.go.id).Reformasi pengawasan perbankan meliputi perubahan yang bersifat paradigmatik pada beberapa hal sebagai berikut:Pertama, perubahan dasar pola pikir pengawasan dari konsep atau teori Y ke teori X. Pola pikir yang menjadi dasar konsep pengawasa selama ini adalah konsep teori Y, artinya otoritas pengawas memandang posistif aspek perilaku individual dalam hal ini para bankir. Teori tersebut mengasumsikan bahwa masing-masing individu memiliki watak positif, baik dapat dipercaya, bekerja dengan sungguh-sungguh dan berdedikasi tinggi sehingga dianggap tidak mungkin memiliki itikad buruk untuk melakukan pelanggaran.Pola pikir seperti di atas, pada praktiknya ternyata membawa implikasi yang kurang menguntungkan karena pada pengawas cenderung longgar dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu dipandang perlu untuk menggantikan pola pikir tersebut dengan pola pikir teori X. Dalam teori X, setiap individu diasumsikan memiliki kecenderungan dan potensi untuk menjadi tidak baik. Mereka mempunyai serangkaian sifat tidak baik seperti cenderung malas bekerja, banyak melakukan pelanggaran dan lain-lain. Dengan asumsi demikian, setiap pengawas harus berhati-hati dan teliti dalam melakukan tugas pengawasannya.Kedua, perubahan paradigma regulatory authority ke supervisory authority. Dalam paradigma tersebut, pengawasan dideskripsikan dengan penyusunan berbagai macam peraturan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, bank sentral sebagai pengawas akan memberikan pembinaan sebelum memberikan sanksi. Dalam konteks demikian, paradigma tersebut perlu dirubah menjadi supervisory authority yang menekankan pada tindakan langsung atau pengenaan sanksi atas terjadinya pelanggaran sehingga diharapkan fungsi pengawasan akan lebih dapat dijalankan dengan mempertimbangkan perilaku para bankir dewasa ini.Dalam upaya perubahan budaya menuju Good Corporate Governance, hal utama yang penting untuk ditekankan adalah komitmen otoritas terhadap budaya tersebut. Komitmen tersebut harus selalu disampaikan dan didukung oleh semua pihak dalam organisasi. Terkait dengan hal tersebut adalah pentingnya mindset kolektif untuk membentuk perilaku yakni sikap mental mapan yang dibentuk melalui pendidikan, pengalaman dan pandangan.Agar proses perubahan tersebut dapat berjalan dengan baik maka pematangan konsep perubahan merupakan hal yang mendasar. Selanjutnya adalah sosialisasi konsep mewujudkan Good Corporate Governance termasuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penolakan terhadap perubahan (resistance to change) melalui antara lain:a. Orientasi dan komunikasib. Program pendidikan dan pelatihanc. Partisipasi dan keterlibatand. Dukungan fasilitas dan berbagai kemudahanProgram fit and paper test merupakan salah satu upaya mewujudkan budaya Good Corporate Governance. Mekanisme seleksi yang ketat dilakukan untuk memunculkan para bankir yang sesuai dengan budaya tersebut (people fit culture).d. Agenda Ke Depan Terkait Dengan Kestabilan Sistem KeuanganUntuk meminimalkan terulangnya sistemic risk pada sektor keuangan khususnya sistem perbankan, maka sistem perbankan nasional perlu disempurnakan. Penyempurnaan cetak biru sistem perbankan nasional dalam rangka kestabilan sistem keuangan yang tengah digodok saat ini meliputi dua aspek besar, yaitu:1. Penyempurnaan Bank Indonesia selaku Lender of Last Resort (LoLR)2. Penyempurnaan kelembagaan peran, dan wewenang otoritas perbankan sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan pasal 37 B ayat (2) UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu:a. Pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesiab. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independenc. Pembentukan lembaga penjamin simpanan. Serta penyempurnaan sistem perbankan yang meliputi kelembagaan bank, pemilikan bank sumber daya manusia perbankan, produk perbankan, dan teknologi perbankan yang kesemua aspek itu dikemas dalam kesatuan perangkat hukum yang jelas dan tegas.

e. Penyempurnaan Bank Indonesia Selaku Lender of Last Resort (LoLR)Dalam rangka penyempurnaan sektor keuangan dan perbankan, langkah penting yang harus dilakukan adalah perbaikan perangkat hukum perbankan dan kesentralan. Penyempurnaan perangkat hukum ini tidak hanya mencakup penyempurnaan UU dan peraturan-peraturan pelaksanaan dibawahnya saja, tetapi juga meliputi penyempurnaan peran dan kewenangan lembaganya. Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia selaku otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran mengeluarkan regulasi dan melakukan pembinaan atau pengawasan terhadap perbankan agar perbankan dapat menjalankan fungsinya secara efektif selaku lembaga intermediary dan sekaligus berfungsi pula sebagai media untuk mentransmisikan kebijakan moneter bank sentral. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 peran Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan mencakup:a. Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif.b. Melakukan pemantauan terhadap stabilitas sistem keuangan (financial sysitem surveillance).c. Melakukan koordinasi dengan dan memberikan rekomendasi kebijakan stabilitas sistem keuangan pada otoritas lain, misalnya kepada pemerintah Departemen Keuangan selaku otoritas fiskal, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).d. Menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran dengan terselesaikannya transaksi secara aman dan tepat waktu (safe and robust payment system) antara lain melalui kegiatan design, operasional dan pengawasan sistem pembayaran.e. Menyediakan mekanisme LoLR dalam upaya menangkal terjadinya kegagalan bank karena liquidity mismatch.Dalam prakteknya, kinerja bank sentral dalam hal menjada stabilitas sistem keuangan dapat diukur dari dua aspek, yaitu bahwa lembaga-lembaga keuangan utama (key financial institutions) berada dalam kondisi sehat baik dari sisi keuangannya maupun dari sisi risiko yang dihadapinya. Salah satu indikasinya adalah adanya tingkatan kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap lembaga keuangan secara umum dan perbankan dapat memenuhi kewajiban keuangannya dengan baik. Kedua, pasar keuangan berada dalam kondisi stabil, yaitu bahwa para pelaku pasar dapat melakukan transaksi dengan harga yang mencerminkan kondisi fundamental pasar dan tidak terjadinya volatilitas harga jangka pendek yang tinggi (high votality prices). Dalam rangka memantau stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia melaksanakan berbagai upaya, antara lain berupa kegiatan riset dan observasi terhadap lembaga keuangan, pasar modal, kebijakan makro-ekonomi, kebijakan fiskal, sektor riil, household, sistem pembayaran hutang luar negeri, hutang dalam negeri dan pasar internasional. Melalui analisis data dan informasi yang realistis dan terukur tersebut, diharapkan performance sistem keuangan nasional dapat dipantau dengan baik. Namun mengingat tugas memelihara stabilitas sistem keuangan nasional pada dasarnya merupakan produk sinergi dari beberapa otoritas, sehingga tidak dapat diletakkan pada Bank Indonesia semata, maka perlu ada mekanisme koordinasi dan tanggungjawab yang jelas antar otoritas dimaksud. Permasalahannya, sampai dengan saat ini belum tersedia perangkat hukum yang mengatur mengenai kerangka kerja formal (baik di level pembuat kebijakan umum maupun di level teknis) dalam rangka mendukung tugas ini. Oleh karena itu, kiranya perlu dipikirkan penyusunan perangkat hukum yang jelas dan tegas mengatur aspek-aspek seperti:1. Mekanisme koordinasi yang efektif.2. Standar dan arah atau keselarasan pengaturan yang kondusif bagi perbankan dan lembaga-lembaga non bank.3. Information sharing and exchange.4. Aturan yang tegas mengenai alternatif mengatasi krisis (crisis resolution) yang efektif.

2. Merancang Cetak Biru Sistem PerbankanSelain menyempurnakan peran bank sentral dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan nasional sistem perbankan juga perlu disempurnakan lebih lanjut. Dalam rangka itu, dewasa ini sedang disusun cetak biru (blue print) sistem perbankan nasional. (Djiwandono: 2009). Cetak biru sistem perbankan nasional itu dapat dikategorikan menjadi tiga bagian besar, yaitu:a. Menyempurnakan Sistem Perbankan NasionalDalam rangka membangun sistem perbankan yang handal dan mampu menghadapi perkembangan ekonomi global yang sangat cepat, maka UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 perlu disempurnakan kembali. Berkenaan dengan itu, pengaturan kembali sistem perbankan nasional tidak bisa hanya dilakukan berdasarkan pendekatan domestik semata, melainkan secara responsif perlu memperhatikan pula standar-standar yang telah dikeluarkan oleh lembaga multilateral seperti Bank for International Settlements (BIS) meupun praktek-praktek perbankan internasional yang selama ini dilakukan sebagai international best practice, sehingga secara mendasar hasil rancangan pengaturan perbankan nasional (regulatory framework) dapat mendorong terciptanya individual bank yang handal dan sistem perbankan nasional yang sehat, efisien dan kompetitif. Berkenaan dengan itu, penyempurnaan terhadap UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 antara lain akan meliputi struktur perbankan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, ketentuan kehati-hatian (prudential regulations), serta aspek pengawasan bank. Selain penyempurnaan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dalam penyempurnaan UU perbankan diperhatikan pula upaya pengembangan bank syariah yang dewasa ini menunjukkan kemajuan yang semakin pesat. Mengingat bank syariah mempunyai jenis-jenis kegiatan usaha yang tidak mungkin disamakan dengan jenis usaha bank konvensional, maka bank syariah direncanakan akan diatur dalam UU tersendiri, terpisah dan UU perbankan yang hanya akan mengatur bank konvensional. Selain penyempurnaan UU Perbankan, dewasa ini secara parallel sedang disusun pula berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan kembali sistem perbankan nasional secara lebih komprehensif, yaitu RUU Otoritas Jasa Keuangan, RUU Lembaga Penjamin Simpanan, RUU Perkreditan dan RUU Likuidasi Bank. Dari berbagai RUU tersebut dapat diketahui bahwa, pada waktunya akan dibentuk lembaga-lembaga baru yang dimaksudkan dapat berfungsi untuk memperkuat sistem perbankan nasional. Lembaga-lembaga baru yang akan dibentuk adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).Dengan adanya lembaga-lembaga baru ini, maka lembaga yang memiliki otoritas pada sektor perbankan akan berubah, yaitu dari semula hanya Bank Indonesia, OJK dan LPS. Oleh karena akan terdapat 3 otoritas di sektor perbankan, maka penataan kembali sistem perbankan nasional juga membutuhkan penataan formal mengenai hubungan kelembagaan antar ketiga otoritas tersebut yang meliputi:1. Pengaturan mengenai mekanisme dan forum komunikasi.2. Substansi koordinasi dan prosedur pegawasan dan pembinaan bank (oleh masing-masing otoritas).3. Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan usaha perbankan, sehingga otoritas disektor keuangan dan perbankan dipastikan akan mampu mendeteksi kelemahan-kelemahan dalam sistem keuangan yang diduga dapat memicu terjadinya krisis.

b. Otoritas Pengawasan BankBerdasarkan pengalaman dari krisis perbankan dan memperhatikan trend pengawasan bank di beberapa negara lain, serta dalam rangka mengupayakan meningkatnya efisiensi, keamanan dan kestabilan disektor jasa keuangan dibidang pengawasan bank, maka paradigma pola pengawasan bank diubah. Pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institutional, oleh UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional. Berkenaan dengan itu, maka pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya. Dengan demikian, sesuai dengan amanat UU tersebut, pada waktunya Bank Indonesia selaku bank sentral hanya akan menjalankan otoritas dibidang kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan otoritas dibidang pengawasan dan pembinaan bank akan dilakukan oleh sebuah lembaga independen (OJK). Mengingat otoritas moneter akan terpisah dari otoritas pengawas bank, maka dalam rangka mengupayakan stabilitas sistem keuangan (financial system stability) nasional, khususnya agar kebijakan disektor perbankan senantiasa dapat konsisten dan seiring dengan kebijakan disektor moneter dan sistem pembayaran, maka sekurang-kurangnya ada 5 aspek yang harus dikaji secara mendalam, yaitu:1. Cakupan obyek pengawasan OJK2. Independensi OJK3. Kapabilitas dan kredibilitas SDM OJK4. Kemungkinan keterpisahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank, dan5. Koordinasi yang efektif dan efisien antar institusi terkait.Selain dari aspek yang disebutkan terdahulu, maka aspek yang terakhir merupakan faktor penting yang sangat menentukan dalam rangka tercapainya tujuan. Dalam hubungan ini, pengaturan mengenai penetapan kewenangan yang jelas dari masing-msing otoritas merupakan aspek yang penting. Termasuk dalam lingkup koordinasi dan kewenangan masing-masing otoritas tersebut antara lain adalah aspek yang berkenaan dengan penggunaan fasilitas bank sentral disektor moneter oleh bank, kepersetaan bank dalam sistem pembayaran, lalu lintas devisa, teknis penyampaian laporan bank, pelaporan bank dan penggunaan informasi. Dari sisi kepentingan untuk pencapaian tugas Bank Indonesia, mengingat sektor perbankan masih mendominasi perekonomian Indonesia, maka Bank Indonesia yang dalam melakukan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter (makroprudensial) perlu didukung oleh data yang benar, akurat, dan tepat waktu dari sektor ini harus memiliki keyakinan terhadap kebenaran, keakurasian dan ketepatan waktu dari data sektor perbankan ini, oleh karena itu, dalam menyusun pengaturannya, selain harus menjamin terciptanya koordinasi yang efektif antar otoritas, Bank Indonesia juga perlu diberi kewenangan khusus agar Bank Indonesia dapat mengakses data secara langsung dari bank untuk keperluan tertentu (dalam hal ini dalam bentuk on-site supervision) apabila diperlukan.3. Otoritas Jasa Keuangan sebagai Harapan Baru IndonesiaBerbagai masalah senantiasa terus menghampiri Indonesia berkaitan dengan kondisi perekonomi nasional. Salah satu elemen yang berkaitan dengan kondisi perekonomian nasional adalah masalah sistem keuangan dan kegiatan industri jasa keuangan lain. Masalah ini timbul merupakan dampak dari globalisasi dan kemajuan teknologi yang berujung pada kompleksitas sistem keuangan. Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak lepas dari perkembangan sistem keuangan yang semakin canggih. Secara global, pentingnya stabilitas sistem keuangan dalam perekonomian didorong oleh empat hal, yaitu pertumbuhan sektor keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor riil, integrasi sistem keuangan global dan regional, kompleksitas sistem keuangan dan perubahan komposisi dalam proses sistem keuangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dimana komposisi aset nonmoneter menjadi lebih penting (Houben, 2004). Disamping itu, adanya lembaga keuangan yang lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsector lain menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga lembaga keuangan di dalam sistem keuangan.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan suatu model pengawasan yang berfungsi mengawasi segala macam kegiatan industri keuangan tersebut. Setiap model pengawasan memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing masing. Bahkan di dunia ini belum ada sebuah model pengawasan industri keuangan yang sempurna. Tetap saja setiap model pengawasan memiliki celah untuk lahirnya suatu penyimpangan.Sitompul (2004) Di Indonesia, bank diatur dan diawasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan non bank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, manakala terjadi suatu aktivitas yang sifatnya bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelaku industri untuk melakukan (aji mumpung) atau moral hazard. Buruknya mutu pemeriksaan atas lembaga keuangan itu tecermin dari krisis keuangan 1997-1998 yang sangat mahal biayanya bagi perekonomian nasional. Pemeriksaan dan pengawasan lembaga keuangan tersebut tak mampu mendeteksi potensi krisis. Setelah BLBI, terus terjadi krisis lanjutan, termasuk kasus Bank Bali (1998) dan Bank Century (2008). Keterkaitan kegiatan PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo, dan PT Century Super Investindo dengan PT Bank Century yang tak terpantau Bapepam-LK dan BI menggambarkan kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi antar-kedua lembaga pengawas. Ketiga perusahaan reksadana dan sekuritas itu dimiliki pemilik Bank Century dan digunakan untuk merongrong bank ini. Belakangan terungkap, perusahaan itu tak punya surat izin operasi dari Bapepam-LK.Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka muncul gagasan untuk mendirikan suatu lembaga pengawasan yang mandiri. Lembaga pengawasan ini dinamai otoritas jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan Indonesia lahir berdasarkan Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang disahkan pada tanggal 22 Nopember 2011, sehingga jelas sekarang landasan kerja, tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dan hal-hal lain tentang lembaga baru ini diatur oleh undang undang tersebut diatas. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, pengertian OJK sendiri adalah: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.Berdasarkan kajian akademik UI danUGM tentangOJK menjelaskan bahwa, Lembaga pengawas sektor keuangan memiliki tiga fungsi utama yang harus dilakukan yaitu pengawasan mikro prudential, makro prudential, dan laku bisnis. Ketiga fungsi tersebut harus dilakukan secara sinergi agar dapat berjalan dengan optimal. Sinergi ketiga fungsi tersebut meliputi arus informasi yang sempurna dan koordinasi antara lembaga pengawas.Llewellyn (2006) melihat bahwa lembaga pengawasan harus memiliki ketahanan dalam menghadapi masa krisis, memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas tinggi yang tercermin dalam biaya dan adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dan fungsi serta memiliki persepsi yang baik dimata publik.Pembentukan OJK ini pun mendapatkan berbagai kritikan dari berbagai pihak. Argumen yang melawan pembentukan OJK melalui mekanisme penyatuan fungsi pengawasan BI dan Bapepam-LK adalah biaya transaksi yang tinggi. Biaya transaksi tersebut meliputi biaya legalitas, sumberdaya (manusia dan teknologi), dan faktor eksternal. Selain itu menurut Seelig (2009) pada umumnya ada dua risiko yang terkait erat dengan pembentukan OJK, yaitu risiko pada masa transisi (Transition Risk) dan risiko penanganan krisis (Crisis Management Risk). Pelaksanaan pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada OJK perlu dilakukan seksama agar tidak menimbulkan gangguan pada kontinuitas pelaksanaan pengawasan bank. Masalah terkait SDM menjadi kunci penting dalam masa transisi terutama terkait dengan bentuk organisasi yang baru, kesetaraan jabatan, remunerasi, jenjang karir dan pengembangan kompetensi. Selain itu, efisiensi dan arus informasi pelaporan harus menjadi hal yang diperhatikan dalam masa transisi pengalihan fungsi pengawasan dari BI kepada OJK.Abrams dan Taylor juga mengidentifikasi argumen yang tidak mendukung penyatuan lembaga pengawas. Tujuan lembaga yang tidak jelas karena munculnya beberapa tujuan yang harus dicapai untuk jenis lembaga keuangan yang berbeda. Diseconomies of scale juga dikhawatirkan muncul dalam pelaksanaan kegiatan lembaga pengawas karena lembaga pengawas tunggal cenderung lebih birokratis (hierarki vertikal yang lebih tinggi). Pembentukan satu lembaga pengawas juga dapat menimbulkan kebijakan antarlembaga yang tidak sinkron karena setiap lembaga keuangan yang berbeda memiliki implikasi yang berbeda. Potensi penyalahgunaan juga hadir, misalnya, depositor perbankan dijamin dananya oleh lembaga pengawas. Lembaga keuangan lain memiliki asa bahwa mereka akan dijamin oleh lembaga pengawas tersebut sehingga prinsip prudential cenderung diabaikan.Kritikan terakhir adalah kekhawatiran bahwa OJK dengan struktur pengawasan terintegrasi (terpadu) akan menyamai pendahulunya yang dikatakan gagal, seperti FSA di inggris. FSA gagal melakukan pengawasan terhadap Northern Rock yang menyebabkan lembaga tersebut mengalami kegagalan pada saat krisisi keuangan tahun 2008. FSA juga dinilai gagal melakukan koordinasi dengan Bank of England (BOE) terkait Northern Rock. Kegagalan koordinasi oleh FSA yang dimaksud adalah tidak adanya diseminasi informasi (data sharing) terkait lembaga keuangan dan koordinasi dengan BOE terutama pada saat krisis. FSA juga dinilai lebih fokus pada salah satu fungsinya yaitu pengawasan laku bisnis sedangkan fungsi regulasi sektor keuangan cenderung diabaikan. Kegiatan pengawasan laku bisnis bahkan mencapai 70% dari waktu kerja staf di FSA (European Central Bank, 2001).Mustaqim (2010) Dengan lahirnya OJK maka peran serta BI sebagai pengawas perbankan akan hilang dan BI akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter. Implikasinya adalah bahwa fungsi penjaga stabilitas keuangan diserahkan kepada OJK, sementara BI hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan. Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah Amerika Serikat mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas moneter. Di lain pihak, krisis moneter yang dialami Inggris di tahun 1992, maupun krisis moneter di Asia di tahun 1997/1998 menunjukkan instabilitas moneter berdampak kepada instabilitas sistem keuangan.Berbagai kritikan yang meragukan keberhasilan OJK dengan pengawasan terintegrasi dan juga berdasarkan pengalaman atas gagalnya Financial Service Authority (FSA) di inggris mungkin bisa dibantah oleh pengalaman Negara jepang dengan Struktur pengawasan terintegrasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Jepang dengan membentuk Financial Services Agency (FSA). FSA terbukti cukup berhasil dalam melakukan tugasnya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Salah satu faktor pendukung yang memegang peranan kunci dalam keberhasilan FSA ini adalah adanya koordinasi yang kuat, baik antar lembaga di bawah FSA maupun dengan lembaga lain diluar FSA seperti lembaga penjamin simpanan Jepang atau Deposit Insurance Corporation Japan (DICJ). Koordinasi ini sangat diperlukan terutama saat terjadinya krisis keuangan.Bagaimanapun OJK telah terbentuk, dewan komisioner telah terpilih. Kita hanya bisa berharap dan terus memonitoring kinerja OJK. Optimisme tinggi tentu harus selalu kita junjung. Dengan adanya struktur pengawasan yang baru diharapkan tidak akan menyebabkan komplikasi arus informasi dan proses pengambilan keputusan pada saat krisis. Belajar dari pengalaman sekian banyak Negara yang telah melakukan metode pengawasan yang sejenis terlebih dahulu maka pemerintah harusnya bisa lebih baik dalam hal koordinasi dan distribusi informasi diantara BI dan OJK agar apabila terdapat krisis tindakan terbaik dengan risiko kerugian terendah dapat dipilih.

BAB VPENUTUP

1. KesimpulanAdapun kesimpulan yang bisa di ambil dalam penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut:1. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan dan memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last Resort (LoLR).2. Pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan dalam sebuah perekonomian untuk menciptakan perekonomian yang baik di Indonesia.3. Kebijakan makroprudensial merupakan salah satu kebijakan yang amat efisien jika benar-benar di terapkan dengan baik di Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian.4. UU No. 21 Tahun 2011 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, dimana kewenangan tersebut selama ini dijalankan oleh dua lembaga berbeda, yaitu BI dan Bapepam-LK. OJK yang dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri dari 9 orang anggota berwenang untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain di sektor Perbankan, Sektor Pasar Modal, serta sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

2. SaranBerdasarkan hasil kesimpulan yang telah penulis rangkum, maka saran yang bisa penulis ajukan adalah sebagai berikut:1. Saran yang pertama ditujukan kepada pemerintah maupun institusi yang berkepentingan di bidang perekonomian, yaitu agar melaksanakan fungsinya dengan baik sesuai dengan aturan yang ada, dan juga perlunya komunikasi dan pelaporan dengan baik.2. Saran bagi akademisi, perlu adanya banyak pemikiran baru untuk memberikan masukan mengenai bagaimana peran Bank Indonesia dalam membentuk stabilitas sistem keuangan melalui penguatan sistem perbankan dan lembaga keuangan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Juda, Mengintegrasikan Kebijakan Moneter Dan Makroprudensial: Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter Di Indonesia Pasca Krisis Global, Jakarta: Bank Indonesia (Jurnal)Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan. 2009. Kajian Stabilitas Keuangan No. 12. Diunduh dari www.bi.go.id diakses pada tanggal 11 Juni 2014.Djiwandono, J. Sudradjad, dkk, 2009. Bank Indonesia Dalam Perjalanan Pembangunan Ekonomi Indonesia 1953-2003, Jakarta: Unit Khusus Museum Indonesia.Gerding, Erik F. Code, Crash, and Open Source: The Outsourcing of Financial Regulation to Risk Models and the Global Financial Crisis. Washington Law Review, Vol. 84. No. 2, 2009. Washington DC: University of Washington School of Law.Hartadi A. Sarwono. Dampak Gejolak Eksternal pada Perekonomian Domestik serta Kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia. Disampaikan pada Dialog Publik: Mengkritisi Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Krisis Keuangan di Indonesia 2008. Diselenggarakan oleh Depkeu RI dan BEM-KM UGM Yogyakarta 23 November 2008.Mustaqim, Andika Hendra. Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekonomi Nasional. Perspektif. Vol. 8. No. 1. 2010. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Medan Area.Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). 2003. Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan dan Organisasi yang diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. Edisi Pertama.Sihono, Teguh, dkk, Bauran Kebijakan Moneter Dan Makroprudensial Bank Indonesia Sejak Maret 2011 Hingga Maret 2012. (Jurnal)Sitompul, Zulkarnain. Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan. Pilars. 12-18 Januari 2004. No. 2 Tahun VII. Jakarta: Universitas Mpu Tantular.Warjiyu, Perry, dkk. 2003. Bank Indonesia Bank Sentral Indonesia: Tinjauan Kelembagaan, Kebijakan, Dan Organisasi. Jakarta: PPSK.www.bi.go.id (diakses pada tanggal 2-9 Juni 2014).www.ojk.go.id (di akses pada tanggal 5-7 Juni 2014)www.wikipedia.com (diakses pada tanggal 11 Juni 2014).8