Upload
cornelia-cindy-srd
View
59
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lapkas
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1,2
Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat
akhirakhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang
tinggi pada 152.000 kasus di USA yang terjadi tiap tahunnya menghasilkan kematian. Begitu
pula dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara
cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya
normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari
gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi. Berdasarkan observasi
pada pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG) selama episode
kejang, komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari
lima menit. Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima
sampai sepuluh menit.
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi: status petitmal,
status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi dalam satu
jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu, gejala ini harus
dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita meninggal,
walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari
kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita
epilepsy Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya penting
untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan bagian
utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1I.1 Definisi Status Epileptikus1,2
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih
dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
II.2 Epidemiologi Status Epileptikus5
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang
timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang
berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada
kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-
anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang
paling tinggi.
II.3 Etiologi Status Epileptikus1,3,5
Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan
berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme
kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum
dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini.
Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana
tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal.
Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus
selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibatefek
dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Komplikasi
terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan
Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Etiologi status epileptikus
Alkohol
Anoksia
Antikonvulsan-withdrawal
Penyakit cerebrovaskular
Epilepsi kronik
Infeksi SSP
Toksisitas obat-obatan
Metabolik
Trauma
tumor
II.4 Komplikasi status epileptikus3,4,5
Otak
Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Oedema serebri
Trombosis arteri dan vena otak
Disfungsi kognitif
Gagal Ginjal
Myoglobinuria, rhabdomiolisis
Gagal Nafas
Apnoe
Pneumonia
Hipoksia, hiperkapni
Gagal nafas
Pelepasan Katekolamin
Hipertensi
Oedema paru
Aritmia
Glikosuria, dilatasi pupil
Hipersekresi, hiperpireksia
Jantung
Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
Metabolik dan Sistemik
Dehidrasi
Asidosis
Hiper/hipoglikemia
Hiperkalemia, hiponatremia
Kegagalan multiorgan
Idiopatik
Fraktur, tromboplebitis, DIC
II.5 Faktor risiko dan Klasifikasi5,7,9
Faktor risiko dan klasifikasi status epileptikus adalah satu pertiga kasus terjadi pada
epilepsi berulang, satu pertiga pada kasus epilepsi yang tidak teratur meminum obat
antikonvulsan, pada usia kebanyakan tipe sekunder karena adanya demensia, penyakit
serebrovaskular, dan disfungsi jantung.
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan
yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan, area tertentu dari korteks (Partial onset) atau
dari kedua hemisfer otak (Generalized onset), kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu
versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonikklonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens).
1. Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik
b. Klonik
c. Tonik – klonik
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive status
epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik
3. Simple / partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. simple motor status epilepticus
b. sensory status epilepticus
c. aphasic status epilepticus
4. nonconvulsive status epilepticus (consciousness impaired)
a. petitmal status epilepticus
b. complex partial status epilepticus
Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode
neonatus, infant, dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
II.6 Patofisiologi6,7,9
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang.
Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori: glutamat,
aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan intrinsic (GABA) atau mekanisme
hambatan intrinsik tidak efektif. Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
· Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
· Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
· Hipertensi, hiperpireksia
· Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
· Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
· Depresi pernafasan
· Disritmia jantung, hipotensi
· Hipoglikemia, hiponatremia
· Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia, hipoksemia,
trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui (30%).
II.7 Gambaran klinik6,9,10
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonikklonikumum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan
dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama
fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-
Gestaut Syndrome.
Status Epileptikus Mioklonik.
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada
EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.
Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau
biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan
pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized
epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana seringberhubungan
dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral
yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
II.8 Diagnosis dan pemeriksaan penunjang1,8,9,10
Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 – 10 menit. Hal yang pertama kita
lakukan adalah:
anamnesis
Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat kejang (fokal,
umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat
kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang
diderita.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan pendengaran
refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat peningkatan intrakranial akibat
tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu parestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan urin
analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah.
Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak.
EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika pasien
mengalami gangguan mental
Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subarachnoid.
II.9 Diagnosis banding6
1. Reaksi konversi
2. syncope
II.10 Penatalaksanaan4,8
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan
anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera. Mungkin
dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada
makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini
pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang
paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam
(Versed).
Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA)
oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Berdasarkan
penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status
epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam
0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek
samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang
besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove
syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak
seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat
meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan
dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status epileptikus refrakter,
beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena.
Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam,
Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas
kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus, (EFA, 1993)
Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung
darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa
Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau
IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi
berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit,
dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin
secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral
atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena
hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;
kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.
Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per
kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.
II.11 Prognosis10
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status
epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat
alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan
dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka
prognosis tergantung dari meningitis tersebut.
BAB III
LAPORAN KASUSSTATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EE
Umur : 38 Tahun
Alamat : Jl. Let boy
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
No. RM : 08-43-31
Tanggal Masuk : 12/10/2015
Ruang/Kelas : ICU
B. ANAMNESIS : Allo -anamnesa
I. Keluhan Utama: Penurunan Kesadaran
II. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran 1 jam SMRS.
Awalnya Sebelum terjadi penurunan kesadaran pasien mengalami kejang
seluruh tubuh sebanyak 1 kali dengan mata mendelik keatas dengan durasi
kejang >30 menit.
15 menit Sebelum kejang pasien muntah sebanyak 2 kali tidak menyemprot,
muntah berisi makanan dan tidak menyemprot.
III. Riwayat Penyakit dahulu
- Riwayat trauma kepala 2 tahun yang lalu
- Pernah dirawat di RSUD Arifin Achmad selama 15 hari, seharusnya pasien
dirawat di ICU tetapi karena ICU penuh pasien dirawat dibangsal
- Riwayat kejang (-)
- Hipertensi (+)
- Diabetes Melitus (-)
IV. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Ayah pasien tidak pernah mengalami kejang seperti pasien.
V. Riwayat Pribadi dan Sosial:
- Pasien bekerja sebagai IRT
- Pola makan pasien teratur.
- Pola tidur pasien teratur.
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : Soporokoma ( GCS : E2 V2 M2)
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 60 kg
Tanda Vital
- Tekanan darah : 141/88 mmHg
- Frekuensi nadi : 121 x/menit, Reguler.
- Frekuensi Pernafasan : 28 x/menit
- Suhu : 40,1 oC
Rambut : Warna hitam, Pendek.
Kelenjar Getah Bening
- Leher : Tidak Ada Pembesaran
- Aksila : Tidak Ada Pembesaran
- Inguinal : Tidak Ada Pembesaran
Kepala
Mata : Seklera tidak kuning, konjungtiva tidak pucat, refleks pupil berkurang.
Hidung : Sekret tidak ada, deviasi septum tidak ada.
Mulut : Bibir kering (-)
Telinga : Serumen (+)
Leher : DBN
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga tidak ada.
Palpasi : Fremitus suara +/+, simetris kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis teraba. Thrill tidak ada.
Perkusi :
- Batas jantung kanan: SIC IV linea parasternalis dekstra.
- Batas jantung kiri : SIC V 1 jari medio linea midclavicula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I & II, reguler, gallop tidak ada, Murmur tidak ada.
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, ascites tidak ada.
Auskultasi : Bising usus positif
Palpasi :DBN.
Perkusi : DBN
Ekstremitas
- Superior : Akral hangat, edema(-), sianosis(-), kelemahan lengan kiri (+)
- Inferior : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), kelemahan tungkai kiri (+)
Status Neurologis
A. Tanda Rangsang Selaput Otak:
Kaku Kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Kernig Sign : Negatif
B. Tanda Peningkatan Tekanan intrakranial:
Pupil : isokor
Refleks cahaya : +/+
C. Pemeriksaan Saraf Kranial:
N.I (N. Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri
Subyektif TDL TDL
Obyektif dengan bahan TDL TDL
N. II (N. Opticus )
Pengelihatan Kanan Kiri
Tajam pengelihatan TDL TDL
Lapangan pandang TDL TDL
Melihat warna TDL TDL
Funduskopi TDL TDL
N. III (N. Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Normal Normal
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Gerakan bola mata Normal Normal
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/Endophtalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
Bentuk
Refleks cahaya
Refleks akomodasi
Refleks konvergensi
Normal
Positif
Normal
Normal
Normal
Positif
Normal
Normal
N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata kebawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia TDL TDL
N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
Membuka mulut
Menggerakkan rahang
Menggigit
Menguyah
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sensorik :
Divisi Optalmika
- Reflek kornea
- Sensibilitas
Divisi Maksila
- Reflek masseter
- Sensibilitas
Divisi Mandibula
- Sensibilitas
Normal
Tidak dinilai
Sulit dinilai
Tidak dinilai
Tidak dinilai
Normal
Tidak dinilai
Sulit dinilai
Tidak dinilai
Tidak dinilai
N. VI (N. Abducen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Sulit dinilai Sulit dinilai
N. VII (N. Facialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Normal Normal
Sekresi air mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Fisura palpebra Normal Normal
Menggerakkan dahi Sulit dinilai Sulit dinilai
Menutup mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Mencibir/bersiul Sulit dinilai Sulit dinilai
Memperlihatkan gigi Sulit dinilai Sulit dinilai
Sensasi lidah 2/3 depan Sulit dinilai Sulit dinilai
Hiperakusis Sulit dinilai Sulit dinilai
N.VIII (N. Vestibulochoclearis)
Kanan Kiri
Suara berbisik TDL TDL
Detik arloji TDL TDL
Renne test TDL TDL
Scwabach test TDL TDL
Webber test :
Memanjang
Memendek
TDL
TDL
TDL
TDL
Nistagmus
Pendular
Vertikal
Siklikal
TDL
TDL
TDL
TDL
TDL
TDL
Pengaruh posisi kepala Sulit dinilai Sulit dinilai
N..IX (N. Glossofaringeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang TDL TDL
Reflek muntah/gangguan reflek TDL TDL
N. X (N. Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Sulit dinilai Sulit dinilai
Uvula Sulit dinilai Sulit dinilai
Menelan Sulit dinilai Sulit dinilai
Artikulasi Sulit dinilai Sulit dinilai
Suara Sulit dinilai Sulit dinilai
Nadi 121 x/menit 121x/menit
N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan
Sulit dinilai Sulit dinilai
Mengangkat bahu ke kiri Sulit dinilai Sulit dinilai
N. XII (N. Hipoglossus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah di dalam TDL TDL
Kedudukan lidah dijulurkan
TDL TDL
Tremor Fasikulasi Atrofi
TDL TDL
D. Pemeriksaan Koordinasi dan keseimbangan
Cara berjalan TDL Tes tumit lutut TDL
Romberg test TDL Disgrafia TDL
Ataksia TDL Supinasi-pronasi TDL
Rebound phenomen TDL Tes jari-hidung TDL
Tandem walking tes TDL Tes jari-jari TDL
Steping tes TDL Tes hidung-hidung
TDL
E. Pemeriksaan Fungsi Motorik
A. Berdiri dan Berjalan Kanan Kiri
Gerakan spontan TDL TDL
Tremor TDL TDL
Atetosis TDL TDL
Mioklonik TDL TDL
Khorea TDL TDL
B. Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Kekuatan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Trofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
F. Pemeriksaan SensibilitasSensibilitas taktil Tidak dinilai
Sensibilitas nyeri Os merespon ketika diberikan
rangsangan nyeri kuat
Sensibilitas termis Tidak dinilai
Sensibilitas kortikal Tidak dinilai
Stereognosis Tidak dinilai
Pengenalan 2 titik TDL
Pengenalan rabaan TDL
G. Sistem RefleksRefleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Normal Normal
Laring Tidak dinilai Tidak dinilai
Masseter Normal Normal
Dinding perut Normal Normal
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Tengah Normal Normal
Biseps +2 +2
Triseps +2 +2
APR +2 +2
KPR +2 +2
Bulbokavernosus - -
Kremaster -
Sfingter Normal
Refleks Patologis Kanan Kiri
Lengan
Hoffman-Tromner Negatif Negatif
Tungkai
Babinski Negatif Negatif
Chaddoks Negatif Negatif
Oppenheim Negatif Negatif
Gordon Negatif Negatif
Schaeffer Negatif Negatif
Klonus kaki Negatif Negatif
3. Fungsi Otonom Miksi : Normal Defekasi : Normal Sekresi keringat : Normal
4. Fungsi LuhurKesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara TDL Reflek glabella TDL
Fungsi intelek TDL Reflek snout TDL
Reaksi emosi TDL Reflek menghisap TDL
Reflek memegang TDL
Refleks palmomental TDL
B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin: Hb: 12,2 gr/dl Ureum : 25 mg/dl
Trombosit : 313 mm3 Creatinin : 0.5 mg/dl
Leukosit : 13,2 mm3 SGOT : 28 U/L
Hematokrit : 38,2 % SGPT : 15 U/L
GDS: 333 mg/dl
RENCANA PEMERIKSAAN TAMBAHAN
1. Pemeriksaan laboratorium : darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal dengan urin analisis
dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur darah.
2. Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak.
3. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika pasien
mengalami gangguan mental.
C. MASALAH
Diagnosis
Diagnosis Klinis : Observasi Status Seizure+ Penurunan kesadaran +
hemiparese dextra
Diagnosis Topik : Korteks Cerebri sinistra
Diagnosis Etiologi : Perdarahan Intraserebri
Diagnosis Sekunder : Hipertensi Grade I
D. PEMECAHAN MASALAH
Terapi Umum:
- Pembebasan jalan nafas dengan suction
- Oksigenasi jika diperlukan untuk mencegah hipoksia
- Pengendalian sirkulasi darah agar tidak terjadi penurunan perfusi ke jaringan otak
- Manajemen cairan dan elektrolit
- Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15-30°, sehingga memperbaiki venous return
- Mengatasi kejang
- Mengatasi rasa nyeri
- Menjaga suhu tubuh normal <37,5°C
- Menghilangkan rasa cemas
Terapi Khusus
- IVFD ringer laktat 20 tpm
- Diazepam 10 mg iv (diberikan 2- 5 menit) bila kejang
- Phenitoin iv infuse 15 mg/kgBB dengan rata-rata 50 mg/menit
- Ranitidine 2x1 ampul
BAB IV
DISKUSI KASUS
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran setelah kejang seluruh tubuh sejak 1
jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang berlangsung selama >15 menit < 30 menit dengan mata
mendelik keatas, disertai muntah sebanyak 2 kali tidak menyemprot dan muntah berisi makanan.
Kejang yang dialami px merupakan salah satu kriteria dari status epileptikus karena kejang
terjadi lebih dari 2 kali, setelah kejang pasien tidak sadar kemudian terjadi kejang lagi.
Menurut Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Etiologi kejang pada pasien ini diduga karena penyakit cerebrovaskular, karena ditemukan
kelemahan anggota gerak kiri pada saat dilakukan pemeriksaan fungsi motorik. Diperlukan
pemeriksaan penunjang lain seperti CT-Scan, MRI, EEG, dan pungsi lumbar untuk menemukan
etiologi yang lain. Pada reflek fisiologi didapatkan kesan normal dan tidak didapatkan reflek
patologis. Kekuatan tonus otot, psikologis dan status interna baik.
Pada pasien ini di diagnosis sebagai Status Epileptikus, karena :
- Terjadinya kejang seluruh tubuh dengan durasi kejang >15 menit < 30 menit
- Pada saat kejang mata mendelik keatas
- Terjadi penurunan kesadaran setelah kejang
- Riwayat muntah tidak menyemprot setelah kejang sebanyak 2 kali
- Keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran soporokoma dengan GCS = 6 E2V2M2.
Status motorik pada pasien ini sulit dinilai namun memberikan kesan adanya hemiparese
sinistra . reflek cahaya normal, pupil bulat isokor dengan diameter 2 mm/2 mm.
Terapi umum pada pasien ini adalah bed rest, O2 5 liter/ menit untuk mengingkatkan
sirkulasi oksigen bagi otak, IVFD RL 20 tpm untuk pengendalian sirkulasi darah agar tidak
terjadi penurunan perfusi ke jaringan otak, pemasangan NGT agar pasien tetap dapat asupan
nutrisi makanan, pemasangan kateter urin sebagai kontrol cairan dan pembuangan urin.
Terapi khusus adalah pemberian diazepam secara iv dengan dosis 10 mg dalam waktu 2
sampai 5 menit jika kejang . Selain itu phenitoin dapat diberikan secara intravena dengan dosis
15mg/kgBB dengan kecepatan 50 mg/menit. Injeksi ranitidine 2 x1 ampul sebagai antagonis H2.
DAFTAR PUSTAKA
1. BAG/SMF Ilmu Penyakit Saraf. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Edisi III. Hal 64,
Surabaya : Rumah Sakit Dokter Soetomo, 2006.
2. Priguna Sidharta, M.D., Ph. D. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Hal 320 - 321,
Jakarta : PT Dian Rakyat, 2008.
3. Dr. Harsono, DSS. Kapita Selekta Neurologi, Edisi II. Hal 132, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 2009.
4. Sitorus, LBM. Gawat Darurat Penyakit Syaraf. Jurnal cermin dunia kedokteran. No.80,
1992 79
5. World Health Organization. Epidemiology, Prevalency, Incidence. Mortality Of
Epilepsy. 2001. Fact sheet.URL.http://www.who.in/inf-fs/en/fact 165. Html
6. Candra B. Patofisiologi Epilepsi Dalam Epilepsy.Semarang. BP UNDIP.1993
7. Joesef AA. Neurotransmitter kaitannya dengn patogenesa epilepsy. Epilepsy, Edisi april
1997: 23-35
8. Lumbantobing. Epilepsy pada anak . naskah lengkap kedokteran berkelanjutan. Jakarta.
FKUI. 1992
9. Arthur C Guyton MD. Buku ajar fisiologi kedokteran. System saraf. Jakarta:EGC: 2004
10. Lamsudin R. prognosis epilepsidalam : lamsudin, dkk.simposium penatalaksanaan
nutakhir epilepsy. Yogyakarta. FK UGM. 1992