Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STATUS PENCEMARAN DAN INDEKS EKOLOGI ANNELIDA
SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LINGKUNGAN
PADA MUARA SUNGAI DI KABUPATEN PANGKEP
STATUS OF POLLUTION AND ECOLOGICAL INDEX OF
ANNELIDS AS ENVIROMENTAL POLLUTION BIOINDICATOR
ON RIVERS ESTUARIES AT PANGKEP REGENCY
STATUS PENCEMARAN DAN INDEKS EKOLOGI ANNELIDA
SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LINGKUNGAN
PADA MUARA SUNGAI DI KABUPATEN PANGKEP
STATUS OF POLLUTION AND ECOLOGICAL INDEX OF
ANNELIDS AS ENVIROMENTAL POLLUTION BIOINDICATOR
ON RIVERS ESTUARIES AT PANGKEP REGENCY
YULIANA ULFAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
STATUS PENCEMARAN DAN INDEKS EKOLOGI ANNELIDA
SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LINGKUNGAN
PADA MUARA SUNGAI DI KABUPATEN PANGKEP
STATUS OF POLLUTION AND ECOLOGICAL INDEX OF
ANNELIDS AS ENVIROMENTAL POLLUTION BIOINDICATOR
ON RIVERS ESTUARIES AT PANGKEP REGENCY
STATUS PENCEMARAN DAN INDEKS EKOLOGI ANNELIDA
SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LINGKUNGAN PADA
MUARA SUNGAI DI KABUPATEN PANGKEP
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Disusun dan diajukan oleh
YULIANA ULFAH
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
PRAKATA
Doa dan puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa atas berkat-Nya kepada penulis sehingga tesis ini bisa selesai.
Gagasan yang melatar belakangi tesis ini timbul yaitu dari minimnya kajian
mengenai status pencemaran dan indeks ekologi annelida sebagai
bioindikator pencemaran lingkungan pada muara sungai di
kabupaten pangkep, padahal peranan Annelida baik secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kestabilan ekosistem
perairan. Penelitian ini akan mempelajari mengenai dampak aktivitas
manusia terhadap komunitas annelida sebagai bioindikator pada muara
sungai di kabupaten pangkep.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka
penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka
tesis ini selesai pada waktunya.
Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si. sebagai Ketua Komisi Penasihat dan
Prof. Dr. Ir. Budimanawan, DEA sebagai Anggota Komisi Penasihat
atas bantuan dan bimbingannya sejak awal penelitian sampai
penyusunan tesis ini.
2. Dr. Ir. M. Farid Samawi, M.Si., Dr. Ir. Magdalena Litaay, M.Sc. dan
Prod. Dr. Ir. Kahar Mustari, M.Si sebagai Anggota Komisi Penguji
atas saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tesis
ini.
3. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Hardin, S.Ag. dan Ibunda
Lisnawati, S.Pd, atas limpahan kasih sayang, do’a, perhatian dan
dukungan baik secara spiritual maupun materil. Saudara-saudaraku
Muh. Anshary, S.Hut, Muh. Asrullah, dan Rini Indriani atas
dukungan dan perhatiannya.
4. Tim penelitian, Fathur Rahman, S.Kel, Nurdani, S.Kel. Muhammad
Akbar AS, S.Kel, Ramli S.Kel, Erianto Pallin, S.Kel. dan Putra Ilham
Rizky, S.Kel. atas bantuannya dalam pengambilan sampel
penelitian.
5. Teman-teman PLH 09 Restu Sirante, Annita Sari, Ade Widyasari,
Nova Monica, Asmidar, Sri Wulandari, dan Rudy Syam atas
kebersamaanya selama menimba ilmu di Pasca Sarjana UNHAS
dan teman-temanku yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu,
terima kasih atas bantuannya.
Makassar, Agustus 2011
Yuliana Ulfah
ABSTRAK
Yuliana Ulfah. Status pencemaran dan Indeks Ekologi Annelidasebagai Bioindikator Pencemaran Lingkungan pada Muara Sungai diKabupaten Pangkep (dibimbing oleh Chair Rani dan Budimawan)
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis status pencemaranpada beberapa muara sungai di Kabupaten Pangkep berdasarkan kondisifisik dan kimia perairan (2) menganalisis status pencemaran padabeberapa muara sungai di Kabupaten Pangkep berdasarkan kondisibioekologi komunitas Annelida, (3) Menguraikan struktur komunitasAnnelida sebagai bioindikator pencemaran (4) Menganalisis apakah adajenis Annelida yang berpotensi sebagai bioindikator pencemaran padamuara sungai di Kabupaten Pangkep
Penelitian dilakukan pada beberapa muara sungai berdasarkan 1)muara Sungai Bawasalo dengan hutan bakau yang masih alami; 2) muaraSungai Sigeri dengan pemukiman yang padat; 3) muara Sungai Kalukuedengan areal pertambakan yang padat; dan 4) muara Sungai Manjellingdengan kawasan pemukiman dan areal pertambakan yang padat.
Hasil penelitian diperoleh 24 jenis Annelida. Kondisi Fisik dan KimiaMuara Sungai Sigeri, Kalukue dan Manjelling sudah tergolong tercemarringan khususnya terhadap parameter TOC dan BOD; Indeks ekologi dimuara Sungai Bawasalo dan Sigeri dalam kondisi bagus sedangkanmuara Sungai Kalukue dan Manjelling memiliki indeks ekologi yangrendah; Struktur komunitas Annelida muara Sungai Bawasalo dalamkondisi alamiah, sedangkan muara Sungai Sigeri dan Kalukue sudahdalam kondisi tercemar ringan bahkan pada muara Sungai Manjellingdalam kondisi tercemar berat; Jenis annelida yang berpotensi sebagaiindikator positif yaitu jenis Iphitime Loxorhynchi, Arabella iricolor, Questacaudicirra, Oenone fulgida, Orbinia Johnsoni.
ABSRTRACT
Yuliana Ulfah. Pollution Status and Annelids Ecological Index asPollution Bioindicator of environmental on River Estuaries at PangkepRegency (supervised by Chair Rani and Budimawan).
The research aimed at (1) analyzing pollution status on the riverestuaries at Pangkep Regency based on physical and chemichalcondition, (2) analyzing pollution status on the river estuaries at PangkepRegency based on bioecological condition of Annelids community, (3)describing the structure of annelids community as pollution bioindicator,(4) elaborating whether there was the Annelids types which had thepotentials as the pollution bioindicators on the river estuaries at PangkepRegency.
The research was carried out on several river estuaries based on : (1)estuary of Bawasalo River with its natural mangrove forest; (2) estuary ofSigeri River with dense settlement; (3) estuary of Kalukue River withdense fishpond area and (4) estuary of Manjelling River with the densesettlement and fishpond.
The result of the research reveals that there are 24 types of Annelids.Physical and chemichal condition at the river estuaries of Sigeri, Kalukueand Manjelling which are categorized in the moderately polluted based onTOC and BOD parameters. Ecological index at the river estuaries ofBawasalo and Sigeri is in the good condition, whereas the river estuariesof Kalukue and Manjelling have the low ecological index. Annelidscommunity structure at the estuary of Bawasalo river is in the naturalcondition, while the river estuaries of Sigeri and Kalukue are in themoderately polluted condition, even the estuary of Manjelling river is in theseverally polluted condition. The Annelids types of which have thepotentials as the positive indicators are the types of Iphitime Loxorhynchi,Arabella iricolor, Questa caudicirra, Oenone fulgida, Orbinia Johnsoni.
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1B. Rumusan Masalah 4C. Tujuan Penelitian 4D. Kegunaan Penelitian 5E. Lingkup Penelitian 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pencemaran 6B. Annelida 9B. Annelida Sebagai Bioindikator Pencemaran 12C. Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Komunitas
Annelida 15D. Indeks Ekologi 23E. Gambaran Umum Lokasi penelitian 25F. Kerangka Pikir 27G. Hipotesis 30
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 31B. Alat dan Bahan 31C. Prosedur Penelitian 32D. Analisi Data 37E. Bagan Alir Penelitian 43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Perairan Berdasarkan Kondisi Fisik Kimia Perairan 44B. Struktur Komunitas Annelida 57C. Kondisi Perairan Berdasarkan Struktur Komunitas Annelida 70D. Jenis Annelida yang berpotensi sebagai Bioindikator
Pencemaran 72
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 79B. Saran 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1. Skala Wenworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel
sedimen 22
2. Standar Baku Mutu Perairan untuk Biota Perairan 38
3. Standar Baku TOC untuk Biota Perairan 38
4. Kriteria Tingkat Pencemaran berdasarkan nilai Rating Indeks 39
5. Kategori Indeks Keanekaragaman Jenis 40
6. Kategori Indeks Keseragaman Jenis 40
7. Kategori Indeks Dominansi 41
8. Rating Indeks pada semua stasiun pengamatan 57
9. Sebaran dan Komposisi Jenis Annelida pada setiap
stasiun pengamatan 59
10.Ringkasan interpretasi Canonical CorrespondencesAnalysis 74
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian 29
2. Peta Lokasi Penelitian 33
3. Sketsa stasiun pengambilan sampel 34
4. Bentuk Kurva K-Dominance untuk jumlah individu dan biomassaspesies Annelida, yang menunjukkan 3 kondisi perairan yaituperairan yang tidak tercemar, tercemar sedang dantercemar berat 42
5. Bagan Alir Penelitian 43
6. Nilai dan Kondisi TOC di tiap stasiun berdasarkan TheNorwegian Pollution Coontrol Authority (SFT) tahun 2000 45
7. Nilai dan Kondisi BOD di tiap stasiun berdasarkanKEPMENLH tahun 2004 47
8. Nilai dan Kondisi DO di tiap stasiun berdasarkanKEPMENLH tahun 2004 49
9. Nilai dan Kondisi pH Air di tiap stasiun berdasarkanKEPMENLH tahun 2004 50
10. Nilai dan Kondisi pH Tanah di tiap stasiun berdasarkanKEPMENLH tahun 2004 52
11. Nilai dan Kondisi eH di tiap stasiun 53
12. Nilai dan Kondisi Salinitas di tiap stasiun 54
13. Nilai dan Kondisi Suhu di tiap stasiun 55
14. Nilai Sedimen yang diperoleh di tiap stasiun 56
15. Komposisi jenis Annelida di stasiun pengamatan 5816. Jumlah jenis annelida tiap stasiun 6417. Kepadatan annelida tiap stasiun 6518. Nilai Indeks Keanekaragaman tiap stasiun 6719. Nilai Indeks Keseragaman tiap stasiun 6920. Nilai Indeks Dominansi tiap stasiun 7021. Grafik Metode ABC diseluruh stasiun sebagai dasar
dalam penentuan Tingkat Pencemaran 71
22. Hasil Canonical Correspondences Analysis.Distribusi spasial-temporal hewan annelid danpeubah lingkungan 73
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. Parameter Lingkungan di Stasiun Pengmatan 87
2. Klasifikasi jenis Annelida yang ditemukan di StasiunPengmatan 89
3. Komposisi jenis, kepadatan (ind/m2) dan nilai indeksekologi Annelida 90
4. Indeks Ekologi 91
5. Hasil uji Kruskal-Wallis dan Anova Jumlah jenis, KepadatanAnnelida dan Faktor Fisik-Kimia Perairan 93
6. Kepadatan dan Biomas Annelida 108
7. Input analisis multivarian Canonical Correspondence
Analysis (CCA) 110
8. Gambar Jenis Annelida yang ditemukan 111
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi suatu wilayah pesisir erat kaitannya dengan sistem sungai yang
bermuara di wilayah itu. Perubahan sifat sungai yang mungkin terjadi baik
yang disebabkan oleh proses alami maupun sebagai akibat dari kegiatan
manusia baik yang terjadi dihulu maupun yang terjadi dihilir telah
menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap kondisi wilayah pesisir
oleh karenanya secara alami wilayah pesisir merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari suatu sistem sungai.
Muara sungai merupakan bagian perairan yang sangat mendukung dan
potensil untuk berbagai kegiatan perikanan, karena sifat khasnya sebagai
wilayah penangkap nutrien dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai dan
dari laut oleh aksi pasang surut. Hal ini menyebabkan tingkat kesuburannya
relatif tinggi. Secara fungsional muara sungai menerima tekanan dan beban
limbah, akibat aktivitas manusia dari sepanjang aliran sungai seperti kegiatan
pertanian, perikanan, pemukiman, industri dan kegiatan lainnya, sehingga
wilayah perairan ini dapat mengalami pencemaran sekecil apapun.
Perairan muara sungai di Kabupaten Pangkep merupakan perairan yang
semi terbuka dan mudah mendapat masukan berbagai bahan pencemar
dari limbah rumah tangga, industri dan perikanan (tambak) dan pertanian
intensif yang berada di sepanjang aliran sungai di Kabupaten Pangkep.
Keberadaan berbagai macam limbah tersebut dapat menyebabkan
peningkatan pencemaran dalam kolom air.
Hasil Kajian Basri (2010), menunjukkan tingginya konsentrasi fosfat pada
perairan di sekitar muara sungai di Kabupaten Pangkep yaitu berkisar 0,41-
0,74. Tingginya beban limbah organik yang masuk ke dalam badan sungai
telah mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos. Menurut Jumiarti
(2009), struktur komunitas makrozoobentos pada muara sungai Pangkajene
di Kabupaten Pangkep tergolong tidak stabil yang diindikasikan oleh nilai
indeks dominansi makrozoobentos yang ditemukan tergolong dalam kategori
tinggi. Adanya spesies yang dominan pada suatu komunitas menandakan
bahwa lingkungan yang ada tidak stabil sehingga hanya organisme oportunis
yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang mampu
bertahan (Odum, 1971).
Dwifungsi ekosistem perairan pantai, sebagai tempat pembuangan
limbah dan penghasil protein hewani, merupakan dua hal yang sangat
bertentangan. Hal ini perlu mendapat perhatian yang cukup, agar selalu
ada keseimbangan sehingga kondisi ekosistem tersebut tetap normal dan
lestari. Dorsey & Synnot (1980) menyatakan bahwa partikel organik hasil
buangan limbah kota merupakan cadangan sekunder nutrisi nitrat dan
fosfat. Senyawa-senyawa ini dapat merangsang produktivitas primer dari
organisme bentik alga uniseluler. Produktivitas primer tersebut dapat
digunakan untuk mengetahui tingginya kepadatan dan kelimpahan dari
hewan-hewan pemakan deposit.
Salah satu cara untuk memantau tingkat pencemaran perairan di muara
sungai di Kabupaten Pangkep adalah dengan melihat struktur komunitas
Annelida. Annelida merupakan jenis organisme yang hidupnya menetap di
dasar perairan dengan pergerakan yang relatif lambat sehingga cocok
dijadikan indikator bilogi (bio-indikator) di muara sungai karena struktur
komunitasnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya (Yokoyama,
1981). Indikator biologi memiliki tingkat konsistensi yang tinggi dan bersifat
praktis (cepat, murah) bila dibandingkan dengan pengukuran fisik dan kimia
lingkungan.
Kelompok Annelida merupakan satu mata rantai makanan yang penting
karena Annelida merupakan makanan utama berbagai jenis ikan demersal.
Kesuburan suatu perairan secara tak langsung dapat diperkirakan dengan
mengukur kepadatan, komposisi jenis dan biomasa dari Annelida tersebut.
Di Jepang, cacing telah digunakan sebagai bioindikator lingkungan
laut (Yokoyama, 1981), terutama di daerah teluk yang relatif tertutup
dan tercemar oleh bahan buangan organik. Sehingga penelitian ini akan
mencoba mempelajari mengenai komunitas Annelida sebagai bioindikator
pencemaran lingkungan pada muara sungai di Kabupaten Pangkep.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana status pencemaran pada beberapa muara sungai di
Kabupaten Pangkep berdasarkan kondisi fisik dan kimia perairan
2. Bagaimana status pencemaran pada beberapa muara sungai di
Kabupaten Pangkep berdasarkan kondisi bioekologi komunitas
Annelida
3. Bagaimana struktur komunitas Annelida sehingga bisa menjadi
bioindikator pencemaran pada muara sungai di Kabupaten Pangkep
4. Apakah ada jenis Annelida yang berpotensi sebagai bioindikator
pencemaran pada muara sungai di Kabupaten Pangkep
C. Tujuan Penelitan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Menganalisis status pencemaran pada beberapa muara sungai di
Kabupaten Pangkep berdasarkan kondisi fisik dan kimia perairan
2. Menganalisis status pencemaran pada beberapa muara sungai di
Kabupaten Pangkep berdasarkan kondisi bioekologi komunitas
Annelida
3. Menguraikan struktur komunitas Annelida sebagai bioindikator
pencemaran pada muara sungai di Kabupaten Pangkep
4. Menganalisis apakah ada jenis Annelida yang berpotensi sebagai
bioindikator pencemaran pada muara sungai di Kabupaten Pangkep
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitan di atas, penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat :
1. Sebagai bahan informasi tentang kondisi struktur komunitas Annelida
pada muara sungai dikabupaten Pangkep
2. Sebagai justifikasi ilmiah dan bahan pertimbangan untuk kepentingan
penggunaan jenis-jenis Annelida sebagai bioindikator pencemaran
perairan.
E. Lingkup Penelitian
1. Penelitian ini dibatasi pada kajian terhadap struktur Annelida, dalam
hal ini mencakup kepadatan, indeks keanekaragaman, indeks
keseragaman dan dominansi Annelida pada muara sungai di
Kabupaten Pangkep
2. Lokasi penelitian dibatasi pada aktivitas pemukiman dan pertambakan
di Muara Sungai di Kabupaten Pangkep
3. Sedangkan parameter lingkungan sebagai parameter pendukung
antara lain: kecepatan arus, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO),
derajat keasaman (pH), Biological Oxygen Demand (BOD), Total
Organic Carbon (TOC), Eh Sedimen dan ukuran sedimen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pencemaran
Pencemaran perairan merupakan gejala pengotoran atau penambahan
pada air dengan organisme atau zat-zat lain sehingga dapat mencapai
tingkat yang mengganggu penggunaan atau pemanfaatan dan kelestraian
perairan tersebut. Bahan pencemaran dapat berupa bahan pencemaran
kimia, fisika dan biologi (Sutamiharja, 1982).
Pada dasarnya peristiwa pencemaran mempunyai beberapa
komponen pokok untuk bisa disebut sebagai pencemaran yaitu (1)
Lingkungan yang terkena adalah lingkungan hidup manusia, (2) Yang
terkena akibat negatif adalah manusia, (3) Dalam lingkungan tersebut
terdapat bahan berbahaya yang juga disebabkan oleh aktifitas manusia.
Ketiga komponen pokok di atas memberikan konsep pencemaran yang
berbunyi : pencemaran akan terjadi apabila dalam lingkungan hidup
manusia (baik lingkungan fisik, kimia da biologi) terdapat suatu bahan
dalam konsentrasi besar, yang dihasilkan oleh proses aktivitas manusia,
yang akhirnya merugikan eksistensi manusia sendiri. Bahan yang
menurunkan kualitas lingkungan dikenal sebagai bahan pencemaran
(pollutan) sedangkan pencemarannya sendiri dinamakan sebagai
peristiwa polusi (Amsyari, 1986).
Batasan pencemaran perairan menurut FAO (Wardoyo, 1974) adalah
penambahan atau masuknya suatu bahan pencemaran oleh manusia ke
dalam perairan sehingga merusak atau membahayakan kehidupan di
dalamnya, berbahaya bagi kesehatan manusia, mengganggu aktivitas
diperairan termasuk penangkapan ikan, merusak daya guna perairan dan
mengurangi keindahannya. Pendapat ini sejalan pula dengan GESAMP
(1989) yang menyatakan bahwa pencemaran perairan adalah masuk atau
dimasukkannya suatu energi atau benda oleh manusia langsung atau
tidak langsung ke dalam lingkungan perairan yang menimbulkan akibat-
akibat yang mengganggu suber-sumber kehidupan, berbahaya bagi
kesehatan manusia, menimbulkan gangguan aktivitas perairan, penurunan
kualitas penggunaan air khususnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan
pengurangan fungsi-fungsi lainnya.
Menurut Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan-
ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, definisi secara umum
pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energy dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau
berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam,
sehingga kualitas lingkungan tertentu yang menyebabkan lingkungan
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukkannya.
Sumber pencemaran dapat dibedakan menjadi sumber pencemaran
domestic yaitu dari pemukiman, kota, pasar, jalan, terminal dan rumah
sakit. Sumber non domestik yaitu dari pabrik, industri, pertanian,
peternakan, perikanan dan transportasi. Sedangkan bentuk pencemaran
dapat dibagi menjadi bentuk cair (semua jenis bahan sisa hasil olahan
industry atau bahan buangan yang dibuang dalam bentuk larutan atau
berupa zat cair), padat (semua bahan sisa hasil olahan industry ataupun
bahan buangan yang tidak berguna dan berbentuk padat yang dapat
berupa kaleng bekas, pembungkus bekas, kertas bekas dan lain
sebagainya) dan gas (berasal dari asap kendaraan bermotor atau beroda
empat dan asap cerobong pembakaran dan sebagainya yang dapa
menimbulkan polusi udara) serta kebisingan (Sastrawijaya, 1991).
Menurut Mahida (1984), limbah cair yang berasal baik dari sisa
buangan hasil produksi industri dan limbah cair yang berasal dari limbah
rumah tangga ataupun limbah organik yang berasal dari budidaya tambak
pada umumnya menimbulkan pencemaran bagi lingkungan apabila limbah
cair tersebut langsung dibuang ke lingkungan tanpa melalui pengelolaan
terlebih dahulu dan limbah cair yang umumnya dibuang ke sungai dapat
menyebabkan pencemaran air sungai dan adanya pencemaran limbah
cair dapat menurunkan kadar oksigen dalam air. Jika pembuangan limbah
terjadi secara terus menerus tanpa terkendali, maka dapat mematikan
semua kehidupan dalam air. Pencemaran yang sangat nyata dari limbah
cair tersebut yaitu bau yang kurang enak, air yang berbau busuk, air
sungai menjadi keruh dan biasanya berwarna kecoklatan.
B. Annelida
Annelida berasal dari bahasa Latin anneleus berarti cincin kecil dan
oids berarti bentuk. Annelida adalah kelompok cacing dengan tubuh
bersegmen. Annelida merupakan hewan tripoblastik yang sudah memiliki
rongga tubuh sejati (hewan selomata). Namun Annelida merupakan
hewan yang struktur tubuhnya paling sederhana (Suwignyo, 2005)
Annelida memiliki panjang tubuh sekitar 1 mm hingga 3 m. Contoh
annelida yang panjangnya 3 m adalah cacing tanah Australia. Bentuk
tubuhnya simetris bilateral dan bersegmen menyerupai cincin. Annelida
memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara satu segmen
dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh
darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan
segmen lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh
Annelida berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan
sekaligus melibatkan kontraksi otot. Ototnya terdiri dari otot melingkar
(sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal) (Palungkun, 1999).
Sistem pencernaan annelida sudah lengkap, terdiri dari mulut, faring,
esofagus (kerongkongan), usus, dan anus. Cacing ini sudah memiliki
pembuluh darah sehingga memiliki sistem peredaran darah tertutup.
Darahnya mengandung hemoglobin, sehingga berwarna merah.
Pembuluh darah yang melingkari esofagus berfungsi memompa darah ke
seluruh tubuh. Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali.
Ganglia otak terletak di depan faring pada anterior. Ekskresi dilakukan
oleh organ ekskresi yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor.
Nefridia (tunggal – nefridium) merupakan organ ekskresi yang terdiri dari
saluran. Nefrostom merupakan corong bersilia dalam tubuh. Nefrotor
merupakan pori permukaan tubuh tempat kotoran keluar.Terdapat
sepasang organ ekskresi tiap segmen tubuhnya (Suwignyo, 2005).
Sebagian besar annelida hidup dengan bebas dan ada sebagian yang
parasit dengan menempel pada vertebrata, termasuk manusia. Habitat
annelida umumnya berada di dasar laut dan perairan tawar, dan juga ada
yang sebagian hidup di tanah atau tempat-tempat lembab. Annelida hidup
diberbagai tempat dengan membuat liang sendiri (Suwignyo, 2005).
Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembentukan
gamet. Namun ada juga yang bereproduksi secara fregmentasi, yang
kemudian beregenerasi. Organ seksual annelida ada yang menjadi satu
dengan individu (hermafrodit) dan ada yang terpisah pada individu lain
(gonokoris). Annelida dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Polychaeta (cacing
berambut banyak), Oligochaeta (cacing berambut sedikit), dan Hirudinea
(Palungkun, 1999).
Cacing Polychaeta terutama hidup di laut (Fauchald, 1977) meskipun
beberapa jenis nereid mempunyai toleransi terhadap salinitas rendah, dan
telah beradaptasi untuk hidup di air payau dan estuaria. Struktur morfologi
Polychaeta yang dapat diamati untuk mengidentifikasi jenis-jenis
Polychaeta adalah struktur kepala, organ-organ sensoris, struktur tubuh,
parapodia, papilla epidermal, cirri pygidial, stomadeum, struktur membran
nuchal, sistem pencernaan, sistem sirkulasi, dan setae (Fauchald &
Rouse, 1997a; Fauchald & Rouse, 1997b).
Peranan Annelida secara ekonomi yaitu sebagai sumber protein,
bahan baku obat & industri farmasi, Parasit (cangkang kerang & tiram
mutiara, usus ikan), Budidaya (pakan ikan & komoditi ekspor), Hiasan
akuarium laut. Peranan Annelida secara ekologi yaitu Indikator polusi
organik ekosistem akuatik, Mata rantai dalam ekosistem, Mendaur ulang
nutrien di alam. Anelida ada yang bersifat merugikan dan menguntungkan,
namun sebagian besar Annelida bersifat menguntungkan bahkan ada
yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan di beberapa daerah,
contohnya: cacing wawo (Lysidice oele), dan cacing palolo (Eunice viridis).
Kedua cacing tersebut biasa dikonsumsi oleh manusia di beberapa tempat
di Indonesia. Selain itu, beberapa contoh spesies Annelida yang
menguntungkan antara lain: Lumbricus rubella, cacing tersebut
memproses sampah tanaman dan mengubahnya menjadi permukaan
tanah sehingga kaya nutrisi. Cacing tersebut juga berperan sebagai
dekomposer dan menghasilkan senyawa-senyawa bioaktif dan enzim-
enzim penghancur benda mati sehingga tidak mengherankan jika cacing
dijadikan bahan pengobatan contohnya untuk typhus dan bahan pembuat
kosmetik. Selain itu ada juga spesies yang biasa digunakan dalam ilmu
kedokteran yaitu Hirudo medicinalis (Kastawi, 2003).
C. Annelida Sebagai Bioindikator Pencemaran
Masuknya bahan polutan baik organik maupun anorganik ke perairan
sungai akan menyebabkan perubahan kualitas perairan di muara sungai,
karena muara sungai merupakan suatu ekosistem, maka setiap
perubahan komponen abiotik akan direspon oleh komponen biotik.
Komponen biotik (organisme) akan berkembang sebagai respon dari
setiap perubahan faktor abiotik, organisme yang mampu bertahan hidup
dalam kondisi tersebut dikenal dengan istilah organisme indikator
(bioindikator). Bioindikator dapat digunakan dalam monitoring perubahan
kualitas lingkungan (Tugiyono, 2006). Bioindikator dapat dibagi dalam 3
kelompok, yaitu:
1. Indikator secara ekologi yang membuktikan adanya pengaruh
ekosistem yang tergambarkan dalam struktur komunitas atau yang
sederhana ada atau tidak adanya spesies
2. Monitoring organisme yang mengukur kualitas dan kuantitas dari efek
negatif bahan kimia dalam lingkungan dan menduga pengaruhnya.
Organisme indikator baik berada dalam ekosistem (lingkungannya)
(monitoring secara pasif) maupun organisme diujikan dalam pengujian
ekotoksikologi yang baku (monitoring secara aktif).
3. Tes organisme yang menggunakan prosedur laboratorium yang baku,
seperti penelitian ekotoksikologi secara laboratorium.
Bioindikator (indikator biologi) adalah spesies atau mikroorganisme,
yang kehadiran dan responsnya berubah karena kondisi lingkungan.
Setiap spesies merespons perubahan lingkungan sesuai dengan stimulus
yang diterimanya. Respons yang diberikan mengindikasikan perubahan
dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungannya. Respons yang
diberikan oleh masing-masing spesies terhadap perubahan yang terjadi di
lingkungannya dapat sangat sensitif, sensitif atau resisten (Suana, 2001).
Spesies indikator, dimana kehadiran atau ketidakhadirannya
mengindikasikan terjadi perubahan di lingkungan tersebut. Spesies yang
mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan
(stenoecious), sangat tepat digolongkan sebagai spesies indikator. Bila
kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi didaerah yang banyak
bahan organik yang dibawa oleh air sungai, terutama pada zona hipertropic
dan zona polusi. seperti konsentrasi oksigen yang rendah dan penurunan
potensi oksidasi dan konsentrasi H2S yang tinggi maka spesies tersebut
merupakan indikator positif (Al-Hakim et al, 2007). Sebaliknya,
ketidakhadiran atau hilangnya suatu spesies karena perubahan
lingkungannya, disebut indikator negatif (Kovacs, 1992).
Dalam penilaian kualitas perairan, pengukuran keanekaragaman
jenis organisme sering lebih baik daripada pengukuran bahan -bahan
organik secara langsung. Annelida sering dipakai untuk menduga ketidak
seimbangan yang terjadi baik pada lingkungan fisik, kimia maupun
terhadap lingkungan biologi perairan.
Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh
terhadap organisme perairan, yaitu dapat membunuh spesies
tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies
lain. Jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari
jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah
spesies yang sedikit tetapi populasinya tinggi. Oleh karena itu,
penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap
sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 1991).
Salah satu jenis Annelida yang sering dijadikan bioindikator
pencemaran lingkungan adalah jenis Paraprionospio pinnata. Ehlers
(1901), adalah pakar pertama penemu Paraprionospio pinnata, yang
diperolehnya di negara-negara lain di dunia sebagai bioindikator
(Yokoyama & Tamai 1981).
Beberapa penelitian yang menggunakan P. pinnata sebagai indikator
pencemaran, antara lain Boesch (1973), Dauer et al. (1981) dan
Yokoyama (1981). Di perairan Jepang, biota ini melimpah pada musiin
terutama di lokasi yang mengandung buangan bahan organik atau di
daerah perairan yang kandungan oksigennya berkurang (Yokoyama 1981).
Cardell et al. (1999), melaporkan bahwa sedimen yang mengalami
eutrofikasi yang khas, yaitu dasar perairannya tercemar dan menyokong
komunitas makrofauna yang dicirikan oleh hadirnya Capitella capitata dan
Malacoceros fuliginosus dengan kelimpahan dan biomas yang tinggi,
keanekaragaman spesies yang rendah dan struktur makanan didominasi
oleh organisme pemakan deposit permukaan maupun di bawah
permukaan.
Phillips (1980) menyatakan bahwa mahluk hidup yang dapat dianggap
sebagai hewan bioindikator harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a) Tidak terbunuh atau mati dengan adanya timbunan zat-zat
pencemar, dan dijumpai pada tingkat-tingkat tertentu pada
lingkungannya
b) Terdapat pada suatu tempat dan mewakili daerah yang diamati
c) Melimpah pada seluruh daerah yang diamati; hidup dalam waktu
yang cukup lama dan dapat diambil sebagai contoh
d) Organisme tersebut mempunyai ukuran yang pantas dan memiliki
struktur jaringan cukup baik untuk diteliti
e) Organisme tersebut mudah digunakan sebagai contoh dan cukup
kuat serta tahan hidup dalam laboratorium. P. pinnata dapat me-
menuhi seluruh kriteria yang diberikan oleh Phillips (1980), sehingga
permanfaatannya sebagai hewan bioindikator memungkinkan.
D. Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Annelida
1. Kecepatan arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat
disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan dalam densitas air laut
atau disebabkan oleh gerakan gelombang (Nontji, 2002). Selanjutnya
dikatakan bahwa pada dasar perairan dangkal, dimana terdapat arus
yang tinggi, hewan yang mampu hidup adalah organisme periphitik
atau benthos.
Pergerakan air yang ditimbulkan oleh gelombang dan arus juga
memiliki pengaruh yang penting terhadap benthos; mempengaruhi
lingkungan sekitar seperti ukuran sedimen, kekeruhan dan banyaknya
fraksi debu juga stress fisik yang dialami organisme-organisme dasar.
Pada daerah sangat tertutup dimana kecepatan arusnya sangat lemah,
yaitu kurang dari 10 cm/det, organisme benthos dapat menetap,
tumbuh dan bergerak bebas tanpa terganggu sedangkan pada perairan
terbuka dengan kecepatan arus sedang yaitu 10-100 cm/det
menguntungkan bagi organisme dasar; terjadi pembaruan antara bahan
organik dan anorganik dan tidak terjadi akumulasi (Wood, 1987).
2. Suhu
Suhu perairan merupakan parameter fisika yang sangat mempengruhi
pola kehidupan biota akuatik seperti penyebaran, kelimpahan
dan mortalitas (Brower et al., 1990). Menurut Sukarno (1981) bahwa
suhu dapat membatasi sebaran. hewan makrobenthos secara geografik
dan suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan makrobenthos berkisar
antara 25 - 31 °C.
Salah satu adaptasi tingkah laku pada kelas Polychaeta akan
berlangsung apabila terjadi kenaikan suhu dan salinitas. Adaptasi
tersebut dapat berupa aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan
membenamkan diri di bawah permukaan substrat. Beberapa Polychaeta
dapat bertahan dalam kondisi suhu ekstrim, diantaranya Capitella
capitata ditemukan dengan kelimpahan 905 ind./m2 pada suhu 34 ºC
(Alcantara dan Weiss, 1991).
3. Salinitas
Salinitas merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang
membedakannya dengan air tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas,
dikenal biota yang bersifat stenohaline dan euryhaline. Biota yang
mampu hidup pada kisaran yang sempit disebut sebagai biota bersifat
stenohaline dan sebaliknya biota yang mampu hidup pada kisaran luas
disebut sebagai biota euryhaline (Supriharyono, 2007).
Keadaan salinitas akan mempengaruhi penyebaran organisme, baik
secara vertikal maupun horizontal. Menurut Barnes (1970) pengaruh
salinitas secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan
komposisi dalam suatu ekosistem. Menurut Gross (1972)
menyatakan bahwa hewan benthos umumnya dapat mentoleransi
salinitas berkisar antara 25 – 40 ‰.
Pada kelas Polychaeta termasuk golongan biota yang mampu hidup
pada kisaran salinitas yang luas. Spio dan Nereis mampu hidup pada
kisaran salinitas antara 6 – 24 ppt (Burkovskiy dan Stolyarov, 1996 dalam
Junardi, 2001). Capitella capitata terdapat melimpah dengan nilai
kelimpahan 1296 ind./m2 pada kondisi salinitas air 38 ppt (Alcantara dan
Weiss, 1991).
4. pH
Nilai pH perairan merupakan salah satu parameter yang penting
dalam pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan mempunyai
kemampuan berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Kematian lebih
sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi
(Pescod, 1973).
Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5.
5. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peranan
yang sangat penting bagi kehidupan biota air sekaligus menjadi faktor
pembatas bagi kehidupan biota. Daya larut oksigen dapat berkurang
disebabkan naiknya suhu air dan meningkatnya salinitas. Konsentrasi
oksigen terlarut dipengaruhi oleh proses respirasi biota air dan proses
dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Pengaruh ekologi lain yang
menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut menurun adalah
penambahan zat organik (buangan organik) (Connel dan Miller, 1995).
Pada tingkatan species, masing-masing biota mempunyai respon yang
berbeda terhadap penurunan oksigen terlarut dan perbedaan kerentanan
biota terhadap tingkat oksigen terlarut yang rendah, misalnya Capitella
sp pada kelas Polychaeta. Dapat hidup dan mengalami peningkatan
biomassa walaupun nilai konsentrasi oksigen terlarut nol (Connel dan
Miller, 1995).
6. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Menurut Ryadi (1984) BOD adalah sejumlah oksigen dalam sistem air
yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk melarutkan bahan-bahan
sampah (organik) dalam air melalui proses oksidasi biologis secara
dekomposisi aerobik.
Sedangkan menurut Fardiaz (1992), BOD menunjukkan jumlah
oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah
atau untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air, nilai BOD
tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya
mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen
tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut,
maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan
oksigen tinggi.
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya
oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan
organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan
bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan
makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi. Parameter BOD,
secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air
buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran
pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD
merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran
banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organism
tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan,
pada kondisi yang hampir sama dengan kondisi yang ada di alam.
Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran
akibat air buangan penduduk, industri dan untuk mendesain system-
sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut. Penguraian
zat organik adalah peristiwa alamiah, kalau suatu badan air dicemari oleh
zat organik bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air
selama proses oksidasi tersebut yang dapat mematikan organism dalam
air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk
pada air tersebut. Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi zat organic
dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena
adanya bakteri aerobik, sebagai hasil oksidasi akan terbentuk
karbondioksida, amoniak dan air. Reaksi biologis pada uji BOD dilakukan
pada temperature inkubasi 200C dan dilakukan selama 5 hari (Alaerts,
1987).
BOD merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu
perairan. Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan bahwa air
tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan
secara biologic dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi
aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan
kandungan oksigen terlarut diperairan sampai pada tingkat terendah,
sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan
kematian organism akuatik. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa tingkat
pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD nya.
7. Total Organik Karbon (TOC)
Total Organic Carbon (TOC) adalah jumlah carbon yang
menempel/terkandung didalam senyawa organik dan digunakan sebagai
salah satu indikator kualitas air (air bersih maupun air limbah). TOC dalam
sumber air berasal dari pembusukan bahan organik alami (NOM : natural
organic matter) dan dari sumber sintetis. Humik asam, fulvic asam, amina,
dan urea merupakan jenis NOM. Deterjen, pestisida, pupuk, herbisida,
kimia industri, dan diklorinasi organik adalah contoh sumber sintetis. TOC
memberikan peran penting dalam mengukur jumlah NOM dalam sumber
air dan sedimen (Sharp, 1985).
8. Eh – Sedimen
Redoks potensial (Eh) adalah besarnya aktivitas elektron dalam proses
oksidasi reduksi yang dinyatakan dalam Volt (mV). Redoks potensial
dapat dijadikan sebagai ukuran kandungan oksigen dalam sedimen
(Bengen et al., 2004).
Oksidasi atau redoks potensial diukur dengan ukuran millivolt yang
disebut skala Eh yang kira-kira sama dengan pH, hanya saja Eh
mengukur aktivitas elektron sedangkan pH mengukur aktivitas proton.
Pada wilayah redoks yang terputus, Eh akan menurun dengan cepat dan
menjadi negatif pada wilayah yang sepenuhnya kosong (Odum, 1988).
Menurut Bengen et al. (2004), sedimen dasar suatu perairan dibagi
menjadi 3 zona yang didasarkan pada nilai redoks potensial dan reaksi-
reaksi kimia yang terjadi di dalamnya. Ketiga zona tersebut adalah zona
oksidasi (nilai Eh > 200 mV), zona transisi (nilai Eh berkisar 0 – 200 mV)
dan zona reduksi (nilai <0 mV).
9. Substrat/Sedimen
Ukuran partikel substrat merupakan salah satu faktor ekologis utama
dalam mempengaruhi struktur komunitas makrobentik seperti kandungan
bahan organik substrat.
Untuk melihat klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran partikel dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Skala Wenworth untuk mengklasifikasi partikel-partikelsedimen (Holme and McIntyre, 1984)
Keterangan Ukuran (mm)Batu besar (boulder)Bongkahan batu (cobble)Kerakal (pebble)Kerikil (granule)Pasir sangat kasar (very coarse sand)Pasir kasar (coarse sand)Pasir agak kasar (medium sand)Pasir halus (fine sand)Pasir sangat halus (very fine sand)Lanau (silt)Lempung (clay)
>256256-6464-44-22-1
1-0,50,5-0,25
0,25-0,1250,125-0,6250,625-0,0039
< 0,0039
Pada kelas Polychaeta biasanya banyak dijumpai pada substrat
lunak dan berpasir. Aricidae, Armandia dan Kinbergonuphis ditemukan
melimpah pada substrat lunak dan berpasir (Almeida dan Ruta, 1998).
Pada penelitian lain pada substrat lempung liat berpasir, Polychaeta
yang melimpah adalah genus Magelona, Goniadides dan Eunice (Brasil
dan Silvia, 1998). Selain itu, pada kondisi kandungan pasir 64 % dan C-
organik 0,3 %, spesies yang melimpah adalah Spio decoratus sebesar 265
ind./m2 (Junardi 2001).
E. Indeks Ekologi
Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi menurut Odum (1988)
selain menunjukkan kekayaan jenis, juga menunjukkan keseimbangan
dalam pembagian jumlah individu tiap jenis.
1. Indeks Keanekaragaman
Untuk menggambarkan keadaan jumlah spesies atau genera yang
mendominasi dan bervariasi maka digunakan indeks keanekaragaman.
Semakin kecil nilai keanekaragaman maka keseragaman populasi
semakin kecil, artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak
merata serta ada kecenderungan suatu spesies untuk mendominasi
populasi tersebut . sebaliknya semakin besar nilai keragaman maka
populasi menunjukkan keseragaman tinggi dimana jumlah individu setiap
spesies atau genera sama atau hampir sama (Odum, 1971)
Keanekaragaman merupakan sifat komunitas yang ditentukan oleh
banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang
didapatkan (Odum, 1988).
Wardoyo (1974) mengemukakan bahwa keanekaragaman yang
mempunyai nilai tinggi berarti kondisi ekosistem perairan cukup baik.
Indeks keanekaragaman yang rendah cenderung mengindikasikan
kualitas perairan yang buruk, namun pernyataan di atas tidak selamanya
berlaku, sebab pada keadaan tertentu indeks keragaman yang rendah
didapatkan di daerah aliran air yang berkualitas baik, ini dikarenakan
dasar perairan yang keras dan berbatu seperti di wilayah pegunungan,
namun tidak menguntungkan bagi hewan makrobentos.
Keanekaragaman (H’) mempunyai nilai terbesar jika semua individu
berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda. Sedangkan nilai
terkecil didapat jika semua individu berasal dari satu genus atau satu
spesies saja.
Menurut Lee et al. (1978), mengemukakan bahwa untuk memprediksi
atau memperkirakan tingkat pencemaran air laut, dapat dianalisa
berdasarkan indeks keanekaragaman hewan makrozoobenthos maupun
berdasarkan sifat fisika-kimia. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan klasifikasi derajat pencemaran yang tertera pada Tabel 4.
2. Indeks Keseragaman
Dahuri (1994) menyatakan bahwa indeks keseragaman (E) digunakan
untuk melihat apakah didalam komunitas jasad akuatik yang diamati,
terdapat pola dominansi oleh suatu atau beberapa kelompok jenis jasad.
Apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran individu-individu antar jenis
(Spesies) relatif merata. Tetapi jika nilai E mendekati 0, terdapat
sekelompok jenis spesies tertentu yang jumlahnya relatif berlimpah
(dominan) dari pada jenis lainnya.
Odum (1988) menyatakan bahwa, indeks keseragaman merupakan
suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya berkisar antara 0 – 1.
Semakin kecil nilai indeks keanekaragaman, semakin kecil pula
keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu setiap
spesies mendominir populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai
indeks keseragaman yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies
boleh dikatakan sama atau tidak jauh berbeda dan tidak ada dominansi
spesies.
3. Indeks Dominansi
Dominansi jenis organisme dalam suatu komunitas ekosistem perairan
diketahui dengan cara menghitung indeks dominansi dari organisme
tersebut. Nilai indeks dominansi berkisar antara nol sampai dengan satu.
Dimana semakin mendekati satu maka ada organisme yang mendominasi
ekosistem perairan, sebaliknya jika mendekati nol maka tidak ada jenis
organisme yang dominan (Odum, 1988). Selanjutnya dikatakan bahwa,
hubungan antara keragaman, keseragaman dan dominansi terkait satu
sama lain, dimana apabila organisme beranekaragam berarti organisme
tersebut tidak seragam dan tentu tidak ada yang mendominasi.
F. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan) terletak antara 110o
BT dan 4o.40’ LS sampai dengan 8o.00’ LS atau terletak di Pantai barat
Sulawesi Selatan dengan batas batas administrasi sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Kab.Barru
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kab.Maros
Sebelah timur berbatasan dengan Kab.Bone
Sebelah barat berbatasan dengan P.Kalimantan, P.Jawa,
P.Madura,P.Nusa Tenggara dan Bali.
Kabupaten Pangkep terdiri dari 12 kecamatan, 9 kecamatan terletak di
daratan dan 3 kecamatan terletak di kepulauan, dengan luas wilayah
1.112,29 Km2 dan berjarak 51 km dari kota Makassar, ibukota Provinsi
Sulawesi Selatan. Kabupaten Pangkep terletak dipesisir pantai barat
Sulawesi Selatan yang terdiri dari dataran rendah dan pegunungan.
Dataran rendah seluas 73.721 Ha, membentang dari garis pantai barat ke
timur terdiri dari persawahan, tambak, rawa-rawa, dan empang.
Muara Sungai di kabupaten Pangkep diapit o l eh a re a l
t a mb ak . Pe nd ud uk memanfaatkan muara sungai di kabupaten
Pangkep sebagai daerah mencari tiram dari jenis Saccostrea cucullata
dan sebagai jalur transportasi menuju pulau-pulau terdekat di Selat
Makassar. Selain mencari tiram, penduduk juga memanfaatkan daerah
ini sebagai tempat mencari ikan. Muara sungai yang dijadikan lokasi
penelitian yaitu Muara sungai Bawasalo (Stasiun Kontrol), Muara
Sungai Segeri, (Stasiun Dominan Pemukiman) Muara Sungai Kalukue
(Stasiun Dominan Tambak) dan Muara Sungai Manjelling (Stasiun
Kombinasi).
Jumlah penduduk Kabupaten Pangkep pada tahun 2008 sebanyak
310.982 jiwa meningkat sebesar 2,68% dibanding tahun 2007 yang
berjumlah 302.874 jiwa, dengan Jumlah penduduk di Kecamatan Mandale
yang merupakan salah satu kecamatan yang dijadikan lokasi penelitian
sebanyak 12.444 jiwa (4,00% dari total penduduk) dan Kecamatan
Marang sebanyak 32.646 jiwa (10,50% dari total penduduk)
G.KERANGKA FIKIR
Muara sungai di Kabupaten Pangkep merupakan salah satu lokasi yang
telah banyak mengkonversi lahan di muara sungai menjadi kawasan
pemukiman dan pertambakan. Aktivitas-aktivitas tersebut di atas, baik
secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap
keseimbangan ekosistem di muara sungai tersebut.
Tekanan lingkungan terhadap perairan ini makin lama semakin
meningkat karena masuknya limbah dari berbagai kegiatan di
kawasan-kawasan muara sungai tersebut. Jenis limbah yang masuk
seperti limbah organik, dan anorganik (sampah) inilah yang
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan perairan (Wiryawan et al.,
1999).
Penurunan kualitas lingkungan ini dapat diidentifikasi dari perubahan
komponen fisik, kimia dan biologi perairan di sekitar pantai. Perubahan
komponen fisik dan kimia tersebut selain menyebabkan menurunnya
kualitas perairan juga menyebabkan bagian dasar perairan (sedimen)
menurun, yang dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan terutama
pada struktur komunitasnya. Salah satu biota laut yang diduga akan
terpengaruh langsung akibat penurunan kualitas perairan dan sedimen di
lingkungan pantai adalah hewan annelida.
Kualitas biologi hewan annelida meliputi keanekaragaman,
keseragaman, kelimpahan, dominansi, biomassa, dan sebagainya akibat
akumulasi limbah dari aktivitas manusia. Akumulasi limbah dari rumah
tangga dan tambak, yang mengendap di dasar perairan akan
mempengaruhi kehidupan hewan annelida. Annelida di suatu perairan
dapat dipakai untuk menduga terjadinya pencemaran disuatu perairan
(American Public Health Association 1989; Agard et al., 1993). Sehingga
bapat ditentukan status perairan di muara sungai pangkep apakah dalam
keadaan baik atau dalam keadaan tercemar untuk keperluan pemanfaatan
pengelolaan pesisir di daerah tersebut.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Aktivitas Pemanfaatan Disekitar Muara SuangaiKabupaten Pangkep
Pemukiman Pertambakan
Pencemaran
Kualitas fisika :Kecepatan ArusTekstur Sedimen
Suhu
Kualitas kimia :TOC, BOD, DO,Salinitas, Ph, Eh
Kualitas biologi :Komunitas Annelida
KepadatanKeanekaragaman
KeseragamanDominansiBiomassa
Baku Mutu
StatusPerairan
Bioindikator
PENGELOLAAN
H. HIPOTESIS
1. Berbagai aktivitas yang terjadi di sekitar muara sungai akan
menyebabkan perubahan beberapa kondisi fisik dan kimia perairan di
muara sungai Kabupaten Pangkep
2. Adanya berbagai aktivitas yang terjadi di sekitar muara sungai secara
tidak langsung mempengaruhi struktur komunitas Annelida di
beberapa muara sungai di Kabupaten Pangkep
3. Perubahan struktur komunitas Annelida dapat dijadikan bioindikator
pencemaran akibat dampak dari aktivitas manusia di muara sungai di
Kabupaten Pangkep
4. Terdapat beberapa jenis Annelida yang berpotensi untuk dijadikan
indikator positif atau negatif di muara sungai di Kabupaten Pangkep
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2011, pada muara Sungai di
Kabupaten Pangkep. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium
Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian yaitu
a) Penentuan stasiun :
Perahu motor sebagai transportasi,
GPS (Global Positioning System) sebagai penentu posisi titik
sampling
b) Pengambilan sampel makrozoobentos:
Van Veen Grab 20 x 20 cm2,
Ayakan bentos 0.5, kantong sampel,
Alkohol 70%,
Kertas label secukupnya digunakan untuk sampel Annelida
Lup digunakan untuk identifikasi Annelida
c) Pengukuran parameter lingkungan:
Pada sedimen: tanur; cawan porselen, oven, timbangan untuk
kandungan BO
Eh-pH meter
Sieve net untuk mengetahui jenis dan ukuran sedimen
Pada air: Pengukuran suhu, salinitas, pH, Oksigen terlarut
(DO) menggunakan alat Water Quality Cheker (WQC)
Layang-layang arus dan kompas untuk menentukan arah dan
kecepatan arus
TOC analyzer untuk menghitung Total Organik Carbon pada
sedimen.
C. Prosedur Penelitian
1. Penentuan Stasiun
Pengambilan sampel dilakukan pada 4 stasiun muara sungai di
Kabupaten Pangkep dengan kriteria pemanfaatan di sekitar stasiun
sebagai berikut :
1. Stasiun I : Muara sungai dengan hutan bakau yang masih alami
atau padat (stasiun kontrol). Stasiun ini berada di
Desa Bawasalo, Kecamatan Mandalle
2. Stasiun II : Muara sungai dengan kawasan pemukiman yang
padat. Stasiun ini berada di Desa Tamangapa ,
Kecamatan Marang
3. Stasiun III : Muara sungai dengan areal pertambakan. Stasiun ini
berada di Desa Pitusunggu, Kecamatan Marang
4. Stasiun IV : Muara sungai dengan kawasan pemukiman dan areal
pertambakan yang padat (Stasiun Kombinasi).
Stasiun ini berada di Desa Pitusunggu, Kecamatan
Marang
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
5. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel Annelida dilakukan pada masing-masing
stasiun yang telah ditentukan, setiap stasiun dibagi menjadi 3 sub
stasiun dan tiap sub stasiun dibagi menjadi 6 anak substasiun. Sub
stasiun 1 berada disebelah kanan mulut sungai, sub stasiun 2 berada
didepan mulut muara sungai dan sub stasiun 3 berada disebelah kiri
mulut sungai.
Gambar 3. Sketsa stasiun pengambilan sampel
Keterangan :
= jarak antar anak substasiun = 100 meter
Pengambilan sampel Annelida dilakukan dengan menggunakan
Eckman Grabb selanjutnya disaring dengan menggunakan surber net.
Sampel yang didapat disortir dengan menggunakan Hand Sortir
A1
A2
A4
A5
A6
A3
B1
C3
C2
C6
C5
C4
C1
B2 B5B4B3 B6Muara sungai
Method selanjutnya dibersihkan dengan air dan direndam dengan
formalin 4% selama 1 hari, kemudian dicuci dengan akuades dan dikering
anginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi
alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label. Kemudian sampel
dibawa ke Laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
6. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan
Pengukuran beberapa parameter oseanografi dilakukan bersamaan
dengan pengambilan sampel Annelida. Adapun parameter yang diukur
yaitu:
a. Kecepatan arus
Kecepatan arus ditentukan dengan menggunakan kompas,
stopwatch dan layang-layang arus. Secara teknis alat ini dilepaskan
di perairan dan dibiarkan hanyut hingga tali menegang. Kecepatan
arus dihitung dengan membandingkan antara panjang tali dan dan
waktu yang dibutuhkan hingga tali menegang. Selisih waktu pada
saat pelepasan alat dan pada saat tali dilepas dihitung dengan
menggunakan stopwatch.
Untuk menghitung kecepatan arus yang diukur di lapangan
menggunakan persamaan : V = s/t dengan V= kecepatan arus
(m/s), s = panjang tali (m), t = waktu pengamatan (s)
b. Suhu, Salinitas, pH, Oksigen Terlarut (DO)
Pengukuran suhu, salinitas, pH, Oksigen terlarut (DO)
menggunakan alat Water Quality Cheker (WQC).
c. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Mengambil air sebanyak 1-2 liter dari kedalaman yang
dikehendaki. Air sampe dimasukkan kedalam botol gelap dan
terang sampai penuh. Air yang berada dalam botol terang segera
dianalisis kadar oksigen terlarutnya. Sedangkan botol gelap yang
berisi air sampel diinkubasi dalam BOD inkubator pada suhu 200C.
setelah 5 hari kemudian ditentukan kadar oksigen terlarutnya.
Penentuan kadar oksigen terlarut dilakukan secara titrimetrik.
d. Total Organic Carbon (TOC)
Untuk Mengukur TOC dipakai Alat TOC analyzer dan untuk
menghitung Total Organik Carbon pada sedimen adalah: TOC =
(TC-IC)xfp, dengan TC=Total karbon hasil pengukuran (mg/L);
IC=Karbon Anorganik hasil pengukuran (mg/L); fp=Faktor
pengenceran
e. Potensial Redoks Sedimen (Eh)
Pengukuran potensial redoks dari sampel sedimen
dilaksanakan di laboratorium dengan mengunakan Eh-pH meter
(Hariyadi, 2003).
f. Jenis dan Ukuran Sedimen
Metode ini digunakan untuk mengklasifikasi substrat pasir dan
lumpur dengan prosedur sebagai berikut:
1. Sampel sedimen yang telah kering ditimbang sebanyak ± 100
gram, lalu diayak menggunakan sieve net bertingkat selama 15
menit dengan gerakan konstan sehingga didapatkan pemisahan
partikel sedimen berdasarkan masing-masing ukuran ayakan (2
mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,063 mm dan <0,063 mm)
2. Sampel dipisahkan dari masing-masing ukuran ayakan hingga
bersih lalu ditimbang
Untuk menghitung % berat sedimen pada metode ayakan
kering digunakan rumus sebagai berikut:
% Berat = %100ayakanhasillberat tota
ayakanhasilberatX
D. Analisis Data
1. Kondisi Perairan Berdasarkan Kondisi Fisik Kimia
Kondisi perairan berdasarkan kondisi Fisik Kimia yang diukur di
lapangan yaitu kecepatan arus, suhu, pH, Oksigen terlarut (DO), salinitas
dan kecepatan arus. Sementara kondisi perairan berdasarkan kondisi
Fisik Kimia yang diukur dilaboratorium yaitu Biological Oxygen Demand
(BOD) dan Total Organic Carbon (TOC).
Untuk membandingkan nilai setiap parameter terhadap stasiun
penelitian dilakukan analisis ragam (uji Fisher). Jika data tidak menyebar
normal dan atau tidak homogen maka digunakan uji Kruskal Wallis
Penilaian status pencemaran untuk setiap parameter dilakukan dengan
membandingkan nilai rata-rata dari setiap parameter dengan
menggunakan Standar Baku Mutu Perairan untuk Biota Perairan sesuai
keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2004 adalah :
Tabel 2. Standar Baku Mutu Perairan untuk Biota Perairan
No. Parameter Satuan Baku mutu
1.2.3.4.6.
SuhupHSalinitasOksigen terlarut (DO)BOD
oC-%omg/ l%
28-307 - 8,533-34>520
Untuk penilaian parameter TOC digunakan standar berdasarkan The
Norwegian Pollution Control Authority (SFT) tahun 2000 seperti disajikan
pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Standar Baku TOC untuk Biota Perairan
No. Level Kualitas LingkunganSedimen Perairan
TOC (mg/g)
1.2.3.4.5.
Sangat BaikBaikKurang BaikTercemar SedangTercemar Berat
>2020-2727-3434-41>41
Penilaian secara umum tingkat pencemaran di setiap stasiun penelitian
dilakukan secara bersamaan terhadap beberapa parameter yang telah di
bakumutukan oleh KLH dengan menghitung Rating Indeks. Perhitungan
Rating Indeks dilakukan berdasarkan standar baku minimal atau standar
baku maksimal. Adapun persamaan yang digunakan, diacu menurut
Brower et al. (1990) sebagai berikut :
Standar baku minimal dari suatu parameter
=100
ݏ
Standar baku maksimal dari suatu parameter
=100 ݏ
Dengan : Ri = Rating Indeks; Xi = Nilai Rata-rata tiap parameter
lingkungan; Xs = Standar Baku Parameter lingkungan.
Untuk menilai tingkat pencemaran suatu lokasi maka rata-rata nilai RI
diklasifikasikan menjadi 4 kategori seperti dengan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Tingkat Pencemaran berdasarkan nilai Rating Indeks
No. Tingkat Pencemaran Rating Indeks1.2.3.4.
Tercemar BeratTercemar Sedang/rendahTercemar RinganTidak Tercemar
0-3534-67
68-100>100
2. Struktur Komunitas
a. Kepadatan
Kepadatan Annelida dihitung berdasarkan Bengen et al. (2004),
sebagai berikut:
Dengan : Y = Kepadatan (ind/m2); a = Jumlah Annelida per jenis (ind); b =
Luas bukaan grab (cm2)
b
aY
10000
b. Indeks Keanekaragaman dan Indeks
Indeks keanekaragaman
(Brower et al., 1990)
H’ = - ∑Pi log Pi
Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman
jenis; N = Jumlah total individu
dilihat pada Tabel 5
Tabel 5. Kategori Indeks Keanekaragaman Jenis
Indeks Keanekaragaman (H’)H’ ≤ 2,0
2,0 < H’H’ ≥ 3,0
Sedangkan indeks keseragaman dapat dihitung dengan menggunakan
rumus Shannon-Wiener (Brower
Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman
Jumlah jenis. Kategori indeks keseragaman dapat dilihat pada
(Odum, 1988).
Tabel 6. Kategori Indeks Keseragaman Jenis
Indeks Keseragaman (E)0,00 < E0,50 <E0,75 < E
Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman
Indeks keanekaragaman dihitung berdasarkan indeks Shannon
., 1990) :
∑Pi log Pi ;
N
ni
N
niH log'
= Indeks keanekaragaman; ni = Jumlah individu untuk setiap
= Jumlah total individu. Kategori indeks keanekaragaman dapat
5. (Odum, 1988).
. Kategori Indeks Keanekaragaman Jenis
Indeks Keanekaragaman (H’) Kategori≤ 2,0 Rendah
2,0 < H’ ≤ 3,0 Sedang≥ 3,0 Tinggi
Sedangkan indeks keseragaman dapat dihitung dengan menggunakan
Wiener (Brower et al., 1990) :
= Indeks keanekaragaman; J’= Indeks keseragaman
Kategori indeks keseragaman dapat dilihat pada
. Kategori Indeks Keseragaman Jenis
Indeks Keseragaman (E) Kategori0,00 < E ≤ 0,50 Tertekan0,50 <E ≤ 0,75 Tidak Stabil0,75 < E ≤ 1,00 Stabil
Shannon-Wiener
= Jumlah individu untuk setiap
Kategori indeks keanekaragaman dapat
KategoriRendahSedang
Sedangkan indeks keseragaman dapat dihitung dengan menggunakan
Indeks keseragaman; S=
Kategori indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 6
KategoriTertekan
Tidak Stabil
1
1
NN
niniD
c. Indeks Dominasi
Indeks dominasi dihitung dengan menggunakan formula menurut
Brower et al. (1990) sebagai berikut :
Dengan : D = Indeks Dominansi; ni = Jumlah Individu setiap jenis; N =
Jumlah individu dari seluruh jenis. Kategori indeks dominansi dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Kategori Indeks Dominansi
Indeks Dominansi (C) Kategori
0,00 C 0,50 Rendah
0,50 < C 0,75 Sedang
0,75 < C 1,00 Tinggi
Komposisi jenis dan kelimpahan Annelida yang telah diidentifikasi
kemudian dihitung lalu dikelompokkan berdasarkan stasiun kemudian
data dianalisis ragam dengan catatan jika data menyebar normal dan atau
tidak homogen maka data dianalisis ragam dengan menggunakan Kruskal
Wallis dan jika data homogen maka data dianalisis ragam dengan
menggunakan metode Fisher.
3. Kondisi Perairan Berdasarkan Struktur Komunitas Annelida
Untuk penentuan tingkat pencemaran perairan digunakan metode
ABC (Abundance-Biomass Comparison) yaitu model kurva K-Dominance
((Warwick 1986). Nilai persentase kumulatif dari biomassa dan jumlah
individu dari setiap spesies dimasukkan sebagai sumbu Y (% Dominansi
Kumulatif) dan dari jumlah individu dan biomassa setiap spesies yang
telah diurut/dirangking, dimasukkan sebagai sumbu X (Log Rangking
Spesies).
Dari hasil yang diperoleh, apabila kurva K-Dominance untuk biomassa
terletak diatas kurva untuk jumlah invidu spesies, maka perairan dikatakan
tidak tercemar. Bila kurva K-Dominance untuk biomassa dan jumlah
individu spesies saling berhimpitan maka perairan dikatakan tercemar
sedang dan sebaliknya jika kurva K-Dominance untuk jumlah individu
spesies berada diatas kurva biomassa spesies maka perairan diakatakan
tercemar berat. Bentuk kurva K-Dominance dapat terlihat pada gambar
berikut :
Gambar 4. : Bentuk Kurva K-Dominance untuk jumlah individu danbiomassa spesies Annelida, yang menunjukkan 3 kondisiperairan yaitu perairan yang tidak tercemar, tercemarsedang dan tercemar berat (Warwick 1986)
4. Potensi Annelida Sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan
Untuk mengetahui potensi Annelida sebagai Bioindikator Pencemaran
Perairan digunakan analisis multivariat dengan teknik Canonical
Correspondence Analysis (CCA).
Analisis CCA merupakan metode statistik deskriptif yang
dipresentasikan dalam bentuk grafik yang memuat informasi maksimum
dari suatu struktur data (Ter Braak, 1986). Matrik data terdiri dari
komunitas Annelida dan peubah lingkungan sebagai individu statistik
(kolom) dan waktu pengamatan sebagai baris. Adapun proses
penghitungan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Biplot.
E. Bagan Alir Penelitian
Gambar 5. Bagan Alir Penelitian
TABULASI DATA
ANALISIS DATA
PEMBAHASAN
MENARIKKESIMPULAN
MENYUSUNLAPORAN
INTERPRETASI
PENGUMPULANDATA PRIMER
PERSIAPAN
SURVEYPENDAHULUAN
PENGUMPULANDATA SEKUNDER
ANNELIDA PARAMETERLINGKUNGAN
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Perairan Berdasarkan Kondisi Fisik Kimia
Beberapa parameter lingkungan yang diamati dalam penelitian seperti
TOC, BOD, DO, pH Air dan pH Tanah akan diuraikan satu persatu.
1. Total Organic Carbon (TOC)
Nilai TOC (Gambar 6) hasil pengukuran pada setiap stasiun berkisar
antara 22.66 - 29.04. Nilai TOC yang tertinggi yaitu berada pada Stasiun IV
diduga ini disebabkan karena pada Stasiun IV mendapatkan beban
pencemaran akibat air limbah buangan penduduk dari pemukiman dan air
buangan yang berasal dari proeses pertambakan. Menurut Sharp (1985)
sumber pecemaran TOC berasal dari pembusukan bahan organik alami
dan dari sumber sintetis, urea merupakan jenis bahan pencemar yang
berasal dari bahan organik sedangkan deterjen, pestisida dan pupuk
berasal dari sumber sintetis. Diduga limbah deterjen yang di hasilkan oleh
penduduk yang memberi pengaruh besar terhadap tingginya kadar TOC di
Stasiun IV. Menurut Supriharyono (2007) bahwa pencemaran laut
pesisir pada umumnya terjadi karena adanya pemusatan
penduduk di daerah pesisir dimana aktivitas-aktivitas tersebut baik
langsung maupun secara tidak langsung (melalui limbah buangannya)
sering mengganggu di perairan laut daerah pesisir.
Nilai TOC yang terendah berada pada Stasiun I yaitu 22.26
disebabkan karena pada stasiun ini masih dalam kondisi relatif alami
karena masih mempunyai kawasan mangrove yang padat dan tidak
mendapat masukan limbah pencemaran dari pemukiman dan
pertambakan.
Gambar 6. Nilai dan kondisi TOC di tiap stasiun pengamatanberdasarkan The Norwegian Pollution Coontrol Authority(SFT) tahun 2000.
Berdasarkan Norwegian Pollution Control Authority (2000) kadar TOC
pada Stasiun I, II dan III tergolong baik karena berada pada kisaran 20-27.
Sedangkan Stasiun IV nilai TOC yang diperoleh 29.04 yaitu masuk dalam
kriteria perairan yang kurang baik karena berada pada kisaran standar
nilai 27-34.
Hasil uji analisis ragam dengan menggunakan Kruskall Wallis terhadap
22.66 25.19 26.20 29.04
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
I II III IV
TOC
(mg/
l)
Stasiun
a
a a
b
Baik
Kurang baik
Tercemar ringan
Tercemar berat
kadar TOC menunjukkan Stasiun IV berbeda nyata dengan Stasiun I, II
dan III karena nilai TOC di Stasiun IV memiliki kisaran nilai yang berbeda
jauh bila dibandingkan dengan Stasiun I, II dan III (Gambar 6). Hal
tersebut menjelaskan bahwa aktivitas manusia di Stasiun IV yaitu stasiun
kombinasi dengan aktivitas pemukiman dan pertambakan memberikan
pengaruh terhadap kadar TOC yang sangat signifikan. Sedangkan stasiun
yang hanya terdapat aktivitas pemukiman atau pertambakan sj
didalamnya tidak terlalu memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar
TOC.
2. Biological Oxygen Demand (BOD)
Nilai BOD (Gambar 7) hasil pengukuran pada setiap stasiun berkisar
antara 21.73 - 34.93. Nilai BOD yang tertinggi yaitu berada pada Stasiun
IV dengan nilai BOD tinggi yang mengindikasikan bahwa air tersebut
tercemar oleh bahan organik. Tingginya nilai BOD pada stasiun ini diikuti
dengan menurunnya kandungan oksigen terlarut, sehingga kondisi
perairan pada stasiun ini menjadi anaerob yang dapat berakibat
kematian organisme annelida. hanya jenis annelida tertentu sj yang bisa
beradaptasi dan yang mampu bertahan, pada saat pengambilan sampel
baik sampel sedimen maupun sampel air menimbulkan bau busuk, ini
mengindikasikan daerah tersebut memang mengalami kondisi anaerob.
Sedangkan Nilai BOD yang terendah berada pada Stasiun I yaitu 21.73.
yang mengindikasikan bahwa air tersebut tidak tercemar oleh bahan
organik.
Nilai BOD hasil pengukuran pada setiap stasiun terlihat (Gambar 7)
bahwa pada Stasiun I berada pada kondisi perairan yang baik karena
sudah sesuai dengan standar baku mutu perairan untuk biota perairan
yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004 yaitu
20 mg/l. Pada Stasiun II, III dan IV mengalami pencemaran bahan organik
karena kisaran nilai BOD yang diperoleh relatif tinggi karena melewati
standar baku yang sudah ditetapkan. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa
tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD
nya.
Gambar 7. Nilai dan kondisi BOD di tiap stasiun pengamatanberdasarkan KEPMENLH tahun 2004
Hasil uji analisis ragam terhadap kadar BOD menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang nyata antara Stasiun I dengan Stasiun III-IV dan
antara stasiun II dengan stasiun III-IV. Di Stasiun III dan IV menunjukkan
kadar BOD yang relatif sama dan memiliki kadar BOD yang tinggi. Nilai
21.73 29.57 31.90 34.93
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
I II III IV
BO
D(m
g/l)
Stasiun
Baika
b
c
c
BOD pada Stasiun I dengan stasiun III-IV mengalami perbedaan yang
sangat signifikan (Gambar 7). Stasiun IV (Stasiun Kombinasi) yang
memiliki pengaruh aktivitas manusia pemukiman dan pertambakan
memiliki kadar BOD yang tinggi. Diindikasikan aktivitas manusia
memberikan pengaruh terhadap kadar BOD di perairan.
3. Oksigen Terlarut (DO)
Nilai Oksigen Terlarut (Gambar 8) hasil pengukuran pada setiap
stasiun berkisar antara 4.47 – 5.39. Nilai DO yang tertinggi yaitu berada
pada Stasiun I yang masih dalam kondisi alami, sebaliknya pada Stasiun
IV memiliki nilai DO yang rendah yang mengindikasikan stasiun ini sudah
dalam kategori sudah tercemar. Menurut Soepardi (1986) apabila nilai
DO berada pada kisaran 4 ppm berarti daerah tersebut termasuk dalam
kategori tercemar ringan. Rendahnya nilai DO di Stasiun IV disebabkan
karena tingginya nilai BOD yang berada di stasiun ini sehingga membuat
daerah tersebut berada dalam kondisi kekurangan oksigen atau yang
biasa disebut anaerob.
Nilai DO yang diperoleh pada Stasiun I yang memiliki kualitas yang
baik karena sudah sesuai standar baku mutu perairan untuk biota
perairan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan hidup tahun
2004 yaitu > 5 ppm. Pada Stasiun II, III dan IV kisaran nilai DO relatif
rendah karena melewati standar baku yang ditetapkan. Ini disebabkan
karena muara sungai pada Stasiun II, III dan IV menerima masukkan
suplai bahan organik dari pemukiman dan pertambakan. Connel dan
Miller tahun 1955 menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan
konsentrasi oksigen terlarut menurun adalah penambahan zat organik
(buangan organik).
Gambar 8. Nilai dan kondisi DO di tiap stasiun pengamatanberdasarkan KEPMENLH tahun 2004
Hasil uji analisis ragam terhadap kadar DO menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan nyata nilai DO antara Stasiun I dengan Stasiun III-IV
dan antara Stasiun II dengan Stasiun III-IV. di Stasiun III dan IV
menunjukkan kadar DO yang relatif sama (Gambar 8). Stasiun IV yaitu
stasiun dengan kawasan pemukiman dan pertambakan disekitarnya
merupakan stasiun yang memiliki kadar DO terendah. Diindikasikan
aktivitas manusia memberikan pengaruh terhadap kadar BOD di perairan.
4. pH Air
Nilai pH air (Gambar 9) hasil pengukuran pada setiap stasiun berkisar
ntara 6.71 – 7.35. Nilai pH air yang tertinggi yaitu berada pada Stasiun II
dan Stasiun III merupakan stasiun yang memiliki nilai pH air yang
5.39 4.97 4.66 4.47
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
I II III IV
DO
(mg/
l)
Stasiun
Baikab
c c
terendah. Menurut Pescod (1973) kematian organisme lebih sering
diakibatkan karena pH yang rendah dari pada pH yang tinggi.
Nilai pH air hasil pengukuran pada setiap stasiun terlihat (Gambar 9)
bahwa pada Stasiun II berada pada kondisi perairan yang baik sesuai
standar baku mutu perairan untuk biota perairan yang ditetapkan oleh
Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004 yaitu berkisar 7-8.5. Pada
Stasiun I, III dan IV memiliki kisaran nilai pH air yang relatif rendah karena
melewati standar baku yang ditetapkan. Ini diperkirakan karena pada
stasiun yang tersebut diatas memiliki suhu dan salinitas yang relatif lebih
rendah dengan Stasiun II. Menurut Pescod (1973) pH suatu perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain oleh suhu, salinitas, dan
aktivitas fotosintensis.
Gambar 9. Nilai dan kondisi pH air di tiap stasiun pengamatanberdasarkan KEPMENLH tahun 2004
6.83 7.35 6.71 6.88
6.20
6.40
6.60
6.80
7.00
7.20
7.40
7.60
I II III IV
pHA
ir
Stasiun
Baik
a
b
a
a
Hasil uji analisis ragam dengan menggunakan Kruskall wallis terhadap
kadar pH air menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara Stasiun
II dengan Stasiun I, III dan IV. Di Stasiun I, III dan IV menunjukkan kadar
pH air yang relatif sama (Gambar 9). Stasiun III merupakan stasiun yang
memiliki kadar pH air terendah, diindikasikan aktivitas pertambakan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar pH air di perairan.
5. pH Tanah
Nilai pH tanah (Gambar 10) hasil pengukuran pada setiap stasiun
berkisar antara 7.33 – 7.48. Nilai pH tanah yang tertinggi yaitu berada
pada Stasiun II ini mengindikasikan bahwa pH tanah tersebut dalam
keadaan baik. Sebaliknya pada Stasiun I merupakan stasiun yang
memiliki nilai pH tanah terendah. Ini disebabkan karena pada Stasiun I
suhu dan salinitas didaerah tersebut relatif rendah. Menurut Pescod
(1973) pH suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
suhu dan salinitas.
Nilai pH tanah hasil pengukuran pada setiap stasiun terlihat (Gambar
10) bahwa semua stasiun berada pada kondisi perairan yang baik sesuai
standar baku mutu perairan untuk biota perairan yang ditetapkan oleh
Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004 yaitu berkisar 7-8.5. Hanya
pada Stasiun I, III dan IV memiliki kisaran nilai pH tanah relatif rendah
dibandingkan dengan Stasiun II tetapi masih dalam kategori baik sesuai
standar baku yang telah ditetapkan. Effendi (2000) juga menyatakan
bahwa biota aquatik menyukai nilai pH tanah sekitar 7-8.5 sehingga
dapat disimpulkan bahwa ke empat lokasi tersebut masih mempunyai
pH yang cukup bagus bagi kehidupan organisme annelida.
Gambar 10. Nilai dan kondisi pH tanah di tiap stasiun pengamatanberdasarkan KEPMENLH tahun 2004
Hasil uji terhadap kadar pH tanah menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan nyata nilai pH tanah antara Stasiun II dengan satsiun I, III dan
IV. Di Stasiun I, III dan IV menunjukkan kadar pH tanah yang relatif sama
(Gambar 10). Stasiun II merupakan stasiun yang memiliki kadar pH tanah
tertinggi yang mengindikasikan bahwa aktivitas pemukiman
mempengaruhi pH tanah yang diperoleh.
6. eH Sedimen
Nilai eH sedimen (Gambar 11) hasil pengukuran pada setiap stasiun
berkisar antara -11.19 – -14.31. Nilai eH sedimen yang diperoleh di
semua stasiun mengindikasikan bahwa lokasi penelitian berada dalam
zona reduksi karena nilai Eh yang diperoleh < 0 mV. Menurut Bengen et
7.33 7.48 7.35 7.37
6.00
6.20
6.40
6.60
6.80
7.00
7.20
7.40
7.60
I II III IV
pH
Tan
ah
Stasiun
a
b
aa
Baik
al., (1995) membagi 3 zona yaitu zona oksidasi (nilai Eh > 200 mV), zona
transisi (nilai Eh berkisar 0 – 200 mV) dan zona reduksi (nilai <0 mV). Nilai
eH yang diperoleh mengindikasikan rendahnya kandungan oksigen di
sedimen diseluruh stasiun. Sesuai dengan pendapat Bengen et al. (1995),
yang menyatakan bahwa Redoks potensial dapat dijadikan sebagai
ukuran kandungan oksigen dalam sedimen
Gambar 11. Nilai dan kondisi eH di tiap stasiun pengamatan
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap kadar eH sedimen menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan nyata nilai eH sedimen diseluruh stasiun
pengamatan (Gambar 11).
7. Salinitas
Nilai salinitas (Gambar 12) hasil pengukuran pada setiap stasiun
berkisar antara 21.83 – 22.67. Nilai salinitas yang tertinggi yaitu berada
pada Stasiun II dan yang terendah yaitu berada pada Stasiun III yang
mengindikasikan bahwa salinitas tersebut dalam keadaan rendah. Nilai
-14.31 -11.59 -11.58 -11.18
-18.00
-16.00
-14.00
-12.00
-10.00
-8.00
-6.00
-4.00
-2.00
0.00
I II III IV
eH
Stasiun
a
aa a
Hal ini menunjukkan bahwa kisaran salinitas yang didapat dari
penelitian ini tidak dalam kisaran nilai toleransi hewan annelida
misalnya Capitella melimpah sebesar 1296 ind./m2 pada salinitas 38 %o
(Alcantara dan Weiss, 1991).
Gambar 12. Nilai dan kondisi salinitas di tiap stasiun pengamatan
Hasil uji Kruskal Wallis (Gambar 12) terhadap kadar salinitas
menunjukkan bahwa nilai salinitas diseluruh stasiun tidak memiliki
perbedaan yang nyata.
8. Suhu
Nilai suhu (Gambar 13) hasil pengukuran pada setiap stasiun berkisar
antara 31.02 – 33.02. Nilai suhu yang diperoleh diseluruh stasiun
tergolong dalam nilai suhu yang tinggi, menurut Sukarno (1981) suhu
yang baik untuk pertumbuhan hewan makrozoobenthos berkisar antara
25 - 31 °C. Tingginya nilai suhu yang diperoleh diduga karena pada saat
pengukuran parameter suhu dilokasi penelitian dilakukan pada siang hari
21.83 22.67 21.50 22.00
19.50
20.00
20.50
21.00
21.50
22.00
22.50
23.00
23.50
I II III IV
Salin
itas
Stasiun
a a
a
a
sehingga menyebabkan tingginya nilai suhu yang diperoleh.
Gambar 13. Nilai dan kondisi suhu di tiap stasiun pengamatan
Hasil uji terhadap kadar suhu menunjukkan terdapat perbedaan yang
nyata antara Stasiun III (lokasi dengan areal pertambakan yang padat)
dengan stasiun I, II dan IV.
9. Kecepatan Arus
Kecepatan Arus yang diperoleh di seluruh stasiun berada pada
kisaran < dari 10 cm/dtk yang dikategorikan dalam kecepatan arus
yang relatif rendah. Tidak ada perbedaan kecepatan arus yang sangat
menonjol di tiap stasiunnya. Menurut Wood (1987) menyatakan bahwa
pada daerah sangat tertutup dimana kecepatan arusnya sangat lemah,
yaitu kurang dari 10 cm/dtk, organisme benthos dapat menetap,
tumbuh dan bergerak bebas tanpa terganggu sedangkan pada perairan
terbuka dengan kecepatan arus sedang yaitu 10-100 cm/dtk
32.66 33.02 31.02 32.45
29.50
30.00
30.50
31.00
31.50
32.00
32.50
33.00
33.50
I II III IV
Suh
u(0
C)
Stasiun
a
b
aa
menguntungkan bagi organisme dasar, terjadi pembaruan antara bahan
organik dan anorganik dan tidak terjadi akumulasi Kisaran kecepatan
arus dapat dilihat di Lampiran 1.
10. Substrat/ Sedimen
Jenis sedimen yang diperoleh disemua stasiun yaitu lempung liat
berpasir. Stasiun II merupakan stasiun yang memperoleh kandungan
pasir yang tinggi bila dibandingkan dengan stasiun yang lain (Gambar
14). Pada penelitian lain pada substrat lempung liat berpasir, Polychaeta
yang melimpah adalah genus Magelona, Goniadides dan Eunice (Brasil
dan Silvia, 1998).
Gambar 14. Nilai Sedimen yang diperoleh di tiap stasiun pengamatan
0
10
20
30
40
50
60
70
I II III IV
%TE
KST
UR
SED
IMEN
STASIUN
Liat (%)
Debu (%)
Pasir (%)
Kondisi perairan tiap parameter untuk semua stasiun memiliki hasil yang
bervariasi sehingga untuk menarik kesimpulan secara umum digunakan
Rating Indeks yang berdasarkan pada kondisi fisik dan kimia perairan. Nilai
rating indeks yang diperoleh untuk setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rating Indeks pada semua stasiun pengamatan
Dari hasil perhitungan rating indeks kondisi fisik dan kimia diperoleh
bahwa Stasiun I (Stasiun Kontrol) masih tergolong dalam perairan yang tidak
tercemar, sedangkan Stasiun II-IV sudah masuk dalam kategori tercemar
ringan yang diindikasikan dengan tingginya kadar BOD di Stasiun II-IV dan
tingginya kadar TOC di Stasiun IV.
B. Stuktur Komunitas Annelida
1. Sebaran dan Komposisi Jenis
Berdasarkan hasil identifikasi hewan Annelida yang ditemukan di perairan
Muara Sungai di Kabupaten pangkep diperoleh 24 Spesies yang berasal
dari 12 Ordo dan 23 Family. Klasifikasi spesies dan jumlah tiap spesies
annelida tersebut tertera pada Lampiran 2.
I II III IV
TOC 119.167 107.202 103.036 92.982
BOD 92.025 67.631 62.696 57.261
DO 107.767 99.311 93.211 89.356
pH Tanah 95.440 93.555 95.209 94.944
pH Air 102.439 95.202 104.348 101.769
RATA-RATA 103.368 92.580 91.700 87.262
TINGKAT PENCEMARAN TIDAK TERCEMAR TERCEMAR RINGAN TERCEMAR RINGAN TERCEMAR RINGAN
PARAMETER
STASIUN
Gambar 15 . Komposisi jenis Annelida di stasiun pengamatan
Komposisi Jenis Annelida yang ditemukan di stasiun pengamatan yang
paling tinggi komposisinya (Gambar 15) yaitu dari jenis Capitella capitata
(1233.33), Boccardia proboscidea (358.33) dan Magelona sp (316.67).
Komposisi jenis Capitella capitata yang diperoleh di lokasi penelitian
lebih besar dari pada komposisi jenis lainnya. Kondisi yang sama juga
ditemukan oleh Widyasari (2007) di Muara Sungai Pangkajene dan Muara
sungai Boyong yaitu kelas polychaeta dicirikan oleh jenis Capitella
capitata, sedangkan sisanya adalah dari jenis yang lain.
1%
1%
9%
8% 1%
4%
30%
3%
6%
6%
2%
0%
4%
3%
2%1% 2% 1%
4%4%
3%
0%
2%
1%
Stycocapitella subterranea
Ctenodrilus seratus
Boccardia proboscidea
Magelona sp.
Trochochaetus multisetosum
Notusmatus tenuis
Capitella capitata
Arenicola sp.
Diurodrilus ankeli
Sabellonga disjuncta
Mesonerrila sp.
Protodrilus hatscheki
Cossura brunea
fauvelis brevis
Apistobranchus tullbergi
Lumbrineris sp.
Oenone fulgida
Tabel 9. Sebaran & Komposisi Jenis Annelida pada setiapStasiun pengamatan
JENIA ANNELIDAKOMPOSISI JENIS (%)/STASIUN
STASIUNI
STASIUNII
STASIUNIII
STASIUNIV
Stycocapitella subterranean 2.62 0 0 0
Ctenodrilus seratus 0 0 3.85 0
Boccardia proboscidea 8.38 10.48 15.38 0
Magelona sp. 6.28 3.81 13.46 8.79
Trochochaetus multisetosum 3.66 0 0 0
Notusmatus tenuis 7.85 0 0 6.59
Capitella capitata 30.89 24.76 43.27 19.78
Arenicola sp. 4.19 4.76 0 0
Diurodrilus ankeli 7.85 7.62 7.69 0
Sabellonga disjuncta 3.66 17.14 3.85 0
Mesonerrila sp. 3.14 2.86 0 0
Protodrilus hatscheki 0 1.90 0 0
Cossura brunea 8.38 0 4.81 0
fauvelis brevis 5.76 4.76 0 0
Apistobranchus tullbergi 2.09 2.86 2.88 0
Lumbrineris sp. 3.14 0 0 0
Oenone fulgida 0 0 4.81 4.40
Nereis sp. 2.09 0 0 0
Orbinia johnsoni 0 3.81 0 19.78
Questa caudicirra 0 0 0 23.08
Eulalia viridis 0 13.33 0 0
Sthenolepis juponica 0 1.90 0 0
Iphitime loxorhynchi 0 0 0 9.89
Arabella iricolor 0 0 0 7.69
JUMLAH JENIS 15 13 9 8
Jumlah jenis dan sebaran annelida bervariasi di setiap stasiun
pengamatan. Pada Stasiun I yang masih alami lebih banyak jenis
annelida yang ditemukan dibandingkan dengan Stasiun II-IV yang
sudah dalam kondisi tercemar (Tabel 9). Jumlah jenis tertinggi
berada pada Stasiun I yang relatif masih alami. Sedangkan jumlah
jenis terendah berada pada Stasiun IV yang merupakan muara
sungai yang sangat dekat dari aktivitas manusia seperti pertambakan
dan pemukiman. Dampak dari buangan/limbah dari aktivitas tersebut
berupa buangan organik akan menyebabkan tingginya kadar TOC
dan BOD sehingga mempengaruhi jumlah oksigen terlarut
(Lampiran 1). Tingginya kadar TOC dan BOD diduga menjadi faktor
penyebab miskinnya jumlah jenis annelida. Benton dan Werner
(1976) menyatakan bahwa limbah secara spesifik dapat
menimbulkan bau, perubahan warna dan rasa, juga dapat mereduksi
kadar oksigen terlarut dan meningkatkan kadar TOC dan BOD dalam
air, selain itu limbah dapat meningkatkan sejumlah besar zat organik
dan anorganik yang menghasilkan kekeruhan karena terjadinya
proses dekomposisi (Mahida, 1984).
Jenis yang mempunyai sebaran yang cukup tinggi dan selalu muncul
di seluruh stasiun penelitian yaitu jenis Capitella capitata dan Magelona
sp. Kedua jenis tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup
pada kondisi baik maupun kondisi yang ekstrim (DO rendah).
Keunggulan lainnya dari Capitella capitata yaitu kemampuannya
bereproduksi baik dengan larva planktonik maupun larva benthik,
memiliki siklus hidup pendek, dan mencapai kedewasaan dari telur
dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Oleh karena itu jenis ini secara
terus menerus memenuhi kembali sedimen yang tercemar. Adapun
untuk jenis Magelona sp. bersifat sesil (hidup menempel) pada
sedimen dan tidak mudah berpindah tempat sehingga menerima
berbagai respon lingkungan dan memiliki umur yang relatif panjang
(Hilbig & Blake, 2000).
Jenis yang selalu muncul di setiap stasiun pengamatan berpotensi
sebagai indikator positif karena kemampuannya bertahan yaitu B.
proboscidea, Magelona sp., D. ankeli, S. disjuncta dan jenis C. capitata.
Jenis B. proboscidea dan Magelona sp. masuk dalam family Spionidae.
Family Spionidae merupakan komponen penting dalam komunitas bentik
pada zona intertidal dan perairan dangkal. Familia ini dapat ditemukan di
laut dalam, laut dangkal maupun muara sungai. Spionidae menempati
berbagai pilihan habitat, cara hidup, makan dan reproduksi dalam
berbagai pola perkembangan. Hal ini menjadikan Spionidae tersebar
secara luas dengan membentuk berbagai jenis baru dengan berbagai
karakter polimorfik berupa modifikasi setiger, spines dan branchia (Glasby
et al., 2000).
Jenis D. ankeli dan S. disjuncta memiliki modifikasi bentuk kepala
sesuai dengan fungsinya sebagai Cilliary feeder, dalam beberapa hal
kepala berfungsi sebagai alat pertukaran gas, jadi semacam insang, hidup
dalam liang atau tabung (Suwignyo, 2005) sehingga dapat beradaptasi
terhadap kondisi perairan yang kurang baik. Untuk jenis C. capitata
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada kondisi baik maupun
kondisi yang ekstrim dengan DO rendah, tidak menggunakan toleransi
sebagai strategi adaptif tetapi beradaptasi terhadap gangguan terus
menerus dengan cara bereproduksi sepanjang tahun atau siklus hidup
pendek. Sehingga jenis tersebut diatas ditemukan dilokasi penelitian
dengan sebaran yang luas.
Jenis-jenis Annelida yang sebarannya terbatas atau hanya
ditemukan pada stasiun tertentu sangat berpotensi untuk dijadikan
indikator negatif. Jenis Annelida yang hanya ditemukan di stasiun yang
relatif masih alami (Stasiun I) dan tidak ditemukan pada stasiun lainnya
(tercemar) yaitu jenis S. subterranean, T. multisetosum dan Lumbrineris
sp.. Jenis tersebut tergolong dalam sub kelas erantia yang cara hidupnya
dengan merayap pada celah batu, membuat lubang atau lorong dalam
pasir dan lumpur, Lumbrineris sp. sangat peka terhadap perubahan
lingkungan, hanya dapat hidup jika gangguan fisik hanya terjadi pada
kolom perairan saja dan tidak pada permukaan sedimen (Hilbig & Blake,
2000). Pada lingkungan yang stabil didominasi oleh jenis yang mempunyai
daur hidup yang panjang (equilibrium spesies) dan pada kondisi yang
tertekan, komunitas didominasi oleh jenis oportunistik yaitu jenis yang
mempunyai daur hidup pendek (Dauer, 1993)
Mengingat tubuh annelida yang lunak tanpa pelindung, maka hewan ini
sangat sensitif terhadap pengaruh dari luar (Al-Hakim et al, 2007),
sehingga pencemaran sekecil apapun akan membawa pengaruh terhadap
komposisi jenis pada suatu lokasi. Jenis S. subterranea, T. multisetosum,
Lumbrineris sp. hanya terdapat di lokasi yang masih alami (Stasiun
I). Jenis P. hatscheki & , E. viridis, S. japonica hanya terdapat di lokasi
yang dominan pemukiman (Stasiun II). Jenis C. seratus hanya
terdapat di lokasi yang dominan pertambakan (Stasiun III). Dan
jenis Q. caudicirra, I. loxorhynchi, A. iricolor hanya terdapat di lokasi
yang dominan pertambakan dan pemukiman (Stasiun IV).
Komposisi jenis yang pada setiap stasiun penelitian diluar jenis C.
Capitata dan B. proboscidea didominasi oleh jenis-jenis tertentu
bergantung pada lokasi (Tabel 9). Jenis lain yang dominan Stasiun I
yaitu jenis C. brunea, Magelona sp., N. tenuis dan D. ankeli. Stasiun II
yaitu jenis S. disjuncta, E. viridis, Stasiun III komposisi yang tinggi
ditemukan yaitu Magelona sp dan D. ankeli. sedangkan pada stasiun
IV spesies terbanyak yang ditemukan yaitu jenis Q. caudicirra, O.
johnsoni, I. loxorhynchi, A. iricolor dan Magelona sp.
2. Jumlah Jenis dan Kepadatan Annelida
Jumlah jenis dan kepadatan yang diperoleh pada stasiun pengamatan
bervariasi. Jumlah jenis dan kepadatan tertinggi berada di Stasiun I dan
yang terendah berada pada Stasiun IV. Berdasarkan hasil analisis
Kruskal-Wallis terhadap jumlah spesies dan kepadatan annelida,
menunjukkan bahwa jumlah jenis dan kepadatan Annelida pada Stasiun I
(Kondisi yang relatif alami) berbeda nyata dengan Stasiun II-IV yang
sudah dalam keadaan tercemar. Tingginya jumlah jenis dan kepadatan
pada perairan yang alami dan rendahnya jumlah jenis dan kepadatan
pada stasiun yang sudah tercemar menunjukkan adanya dampak dari
aktivitas manusia (bahan organik) yang telah pengaruhi struktur komunitas
Annelida di lokasi penelitian. Jumlah jenis dan kepadatan annelida di
setiap stasiun dapat lihat pada Gambar 16 dan 17.
Gambar 16. Jumlah jenis annelida tiap stasiun
Ada beberapa jenis annelida tertentu di Stasiun II, III dan IV yang
menjadi daerah buangan pemukiman dan pertambakan dan sudah dalam
kategori tercemar ringan, memperlihatkan kepadatan yang tinggi.
sedangkan pada perairan normal kepadatannya rendah. Oleh karena
adanya sifat sebaran tersebut, maka beberapa jenis cacing laut dapat
dipakai sebagai bioindikator pencemaran perairan lingkungan laut (Al-
Hakim & Glasby, 2004).
10.61 5.83 5.78 5.06
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
I II III IV
Jum
lah
Jen
is
Stasiun
b
a
b
b
Gambar 17. Kepadatan annelida tiap stasiun
Kepadatan tertinggi (Lampiran 4) pada Stasiun I, II dan III yaitu ada
pada jenis C. capitata dan kepadatan tertinggi pada Stasiun IV yaitu ada
pada jenis Q. caudicirra. Menurut Gray (1997) C. capitata tidak
menggunakan toleransi sebagai strategi adaptif tetapi beradaptasi
terhadap gangguan terus menerus dengan cara bereproduksi
sepanjang tahun atau siklus hidup pendek dan Q. caudicirra biasanya
bereproduksi dengan fase larva planktonik, tetapi juga dapat mengerami
telur di dalam lubangnya dan ini merupakan strategi daur hidup
beradaptasi secara ideal terhadap gangguan. Selanjutnya dinyatakan
oleh Cognetti dan Maltagliati (2000) bahwa jenis ini memiliki
kemampuan dalam menyerap bahan organik terlarut, mereka selalu
bergerak aktif dan mencari makan di permukaan substrat atau biasa
disebut Ciliary feeder yaitu memakan plankton dan butir-butir sampah
yang melekat pada permukaan substrat, yang melekat pada lendir
3.54 1.94 1.93 1.69
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
I II III IV
Kepa
data
n(in
d/m
2)
Stasiun
b b
a
b
permukaan palpus atau organ lain dan di bawah ke mulut melalui silia
(Ruppert & Barnes, 1991).
Kepadatan yang terendah (Lampiran 4) pada Stasiun I ada pada jenis
Nereis sp. Kepadatan yang terendah pada Stasiun II ada pada jenis S.
japonica dan P. hatscheki Kepadatan yang terendah pada Stasiun III ada
pada jenis A. tullbergi Kepadatan yang terendah pada Stasiun IV ada
pada jenis O. fulgida. Ini disebabkan karena beberapa jenis yang memiliki
kepadatan terendah berasal dari sub kelas sedentaria misalnya P.
hatscheki, cacing dari subkelas sedentaria yaitu cacing yang hanya
menetap, kebanyakan hanya tinggal dalam selubung permanen, tidak
pernah meninggalkan liang dan hanya kepalanya saja yang keluar masuk
untuk mencari makan (Suwignyo, 2005) sehingga apabila terjadi
pencemaran di daerah tersebut maka jenis cacing ini relatif menurun
kepadatannya karena tidak bisa menghindari pencemaran yang terjadi di
daerah tersebut.
3. Indeks Ekologi
a. Indeks Keanekaragaman (H’)
Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai indeks
keanekaragaman annelida (H’) pada seluruh stasiun pengamatan berada
pada kisaran 2.54 – 3.41. Grafik Indeks Keanekaragaman (H’) dapat
dilihat pada Gambar 18
Gambar 18. Nilai Indeks Keanekaragaman tiap stasiun
Nilai indeks keanekaragaman (Gambar 18) tertinggi ditemukan pada
Stasiun I sedangkan nilai indeks keanekaragaman yang terendah
ditemukan pada Stasiun III. Pada Stasiun I nilai H’>3 berarti nilai
keanekaragaman pada Stasiun I tergolong tinggi, Wardoyo (1974)
mengemukakan bahwa keanekaragaman yang mempunyai nilai tinggi
berarti kondisi ekosistem cukup baik. Keanekaragaman (H’) pada Stasiun I
mempunyai nilai terbesar karena semua individu berasal dari genus atau
spesies yang berbeda-beda.
Selanjutnya nilai keanekaragaman yang terendah berada pada Stasiun
III yaitu pada kisaran nilai H’ 2.0<H’<3.0 yang berarti nilai
keanekaragaman pada Stasiun III tergolong sedang karena individu yang
diperoleh hanya berasal dari beberapa genus atau spesies saja. Spesies
yang ditemukan di Stasiun III relatif sedikit bila dibandingkan dengan
Stasiun I. Kondisi keanekaragaman komunitas yang sedang ini mudah
3.413.23
2.542.79
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
I II III IV
H'
Stasiun
berubah hanya dengan mengalami pengaruh lingkungan yang relatif kecil
(Pirzan dan Pong-Masak, 2005).
b. Indeks Keseragaman
Nilai indeks keseragaman (Gambar 19) berkisar 0,80–0,87. Nilai
indeks keseragaman tertinggi ditemukan pada Stasiun I dan II yaitu 0,87
sedangkan nilai indeks keseragaman yang terendah terdapat pada
Stasiun III yaitu 0,80. Odum (1988) menyatakan bahwa, indeks
keseragaman merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang
besarnya berkisar antara 0–1. Semakin kecil nilai indeks
keanekaragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti
penyebaran jumlah individu setiap spesies mendominir populasi tersebut.
Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman yang berarti bahwa
jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau tidak jauh berbeda
dan tidak ada dominansi spesies.
Nilai indeks keseragaman (E) yang diperoleh di semua stasiun
mendekati 1. Sehingga dapat dikatakan kondisi komunitas disemua
stasiun dikatakan baik, sehingga dapat dikatakan sebaran individu antar
spesies relatif merata atau relatif sama (Dahuri, 1994).
Nilai keseragaman yang diperoleh berbanding lurus dengan nilai
keanekaragaman, semakin tinggi keanekaragaman yang diperoleh maka
semakin tinggi keseragaman yang diperoleh. Odum (1988) menyatakan
bahwa semakin besar nilai indeks keanekaragaman, semakin besar pula
keseragaman suatu populasi begitu pula sebaliknya.
Gambar 19. Nilai Indeks Keseragaman tiap stasiun
c. Indeks Dominansi
Nilai indeks dominansi pada stasiun pengamatan berkisar 0,11–0,22
(Gambar 20). Nilai indeks dominansi tertinggi ditemukan pada Stasiun II
dan III, sedangkan nilai indeks dominansi yang terendah terdapat pada
Stasiun I dan II. Rendahnya nilai indeks dominansi di Stasiun I dan II
mengindikasikan bahwa dalam struktur komunitas annelida yang diamati
distasiun tersebut tidak terdapat jenis yang mendominasi sedangkan untuk
Stasiun III dan IV yang nilai dominansinya tinggi mengindikasikan adanya
jenis tertentu yang domina. Menurut Odum (1988) nilai indeks dominansi
(D) mendekati 0 yang berarti tidak ada spesies yang dominan sebaliknya
jika mendekati satu maka ada oganisme yang mendominasi (Odum,
1988).
0.87 0.87
0.80
0.84
0.76
0.78
0.80
0.82
0.84
0.86
0.88
I II III IV
J'
Stasiun
Gambar 20. Nilai Indeks Dominansi tiap stasiun
Beberapa jenis annelida yang mendominasi di Stasiun III dan IV yaitu
jenis C. capitata, Magelona sp. B. proboscidea, Q. caudicirra dan O.
johnsoni.
C. Kondisi Perairan Berdasarkan Struktur Komunitas Annelida
Perbandingan biomassa dan kelimpahan relatif Annelida dapat
menghasilkan informasi yang berguna yang berhubungan dengan
pencemaran lingkungan. Warwick (1986) menjelaskan bahwa kurva k-
dominasi untuk membandingkan dua parameter pada sumbu yang sama
yaitu kelimpahan dan biomassa dari setiap jenis menurut peringkat
kelimpahannya dan disajikan sebagai angka persentase kumulatif. Pola
grafik yang dihasilkan dapat menunjukkan kondisi apakah suatu stasiun
tersebut dalam kondisi tercemar atau tidak. Kondisi atau tingkat
pencemaran perairan di lokasi penelitian berdasarkan metode ABC
0.120.11
0.22
0.15
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
I II III IV
D
Stasiun
didapatkan tiga kategori seperti disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. (a) Grafik Metode ABC Stasiun I (b) Grafik Metode ABCStasiun II, (c) Grafik Metode ABC Stasiun III, (d) GrafikMetode ABC Stasiun IV sebagai Dasar dalam PenentuanTingkat Pencemaran pada setiap Stasiun
Pada Stasiun I, kurva kepadatannya berada dibawah kurva biomas
(Gambar 21.a) sehingga dapat dinyatakan bahwa pada stasiun tersebut
tidak tercemar. Di Stasiun II dan III dikategorikan tercemar karena kurva
kepadatannya berhimpitan dan saling berpotongan dengan kurva
biomasnya (Gambar 21.b dan 21.c) sehingga dapat dinyatakan bahwa
stasiun tersebut telah mengalami gangguan sedang atau pencemaran
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
%D
OM
INA
NS
IK
UM
UL
AT
IF
LOG RANGKING SPESIES
% K kepadatan
% K Biomas
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
%D
IMIN
AN
SI
KU
MU
LA
TIF
LOG RANGKING SPESIES
% kepadatan
% biomas
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9
%D
OM
INA
NS
IK
UM
UL
AT
IF
LOG RANGKING SPESIES
% K kepadatan
% K Biomas
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8
%D
OM
INA
NK
UM
UL
AT
IF
LOG RANGKING SPESIES
% Kepadatan
% Biomas
a b
c d
ringan. Menurut Warwick (1986) apabila kurva kepadatan berhimpitan dan
saling berpotongan dengan kurva biomas maka dapat diindikasikan bahwa
tidak ada ledakan populasi oportunis kecil dan kurva biomassa dan
kelimpahan dapat menyeberang setiap satu kali atau lebih.
Adapun di Stasiun IV sudah berada dalam kategori tercemar berat
karena kurva kepadatannya berada di atas kurva biomas (Gambar 17.d),
Dengan demikian di stasiun ini telah mengalami gangguan yang berat
karena spesies yang ditemukan cenderung memiliki kepadatan yang tinggi
namun tubuhnya kurus. Menurut Warwick (1986), apabila kurva kepadatan
terletak di atas kurva biomassa berarti memiliki beberapa spesies dengan
kelimpahan yang sangat tinggi tetapi mempunyai ukuran tubuh yang kecil
sehingga tidak mendominasi kurva biomassa .
D. Jenis Annelida Yang Berpotensi SebagaiBioindikator Pencemaran
Keterkaitan struktur komunitas annelida dengan lingkungan dikaji
dengan menggunakan analisis multivarian Canonical Correspondence
Analysis (CCA) yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 22.a dan
Gambar 22.b.
Gambar 22.a. Hasil Canonical Correspondences Analysis. Distribusispasial-temporal hewan annelida dan peubah lingkunganpada sumbu 1 dan sumbu 2.
Gambar 22.b. Hasil Canonical Correspondences Analysis. Distribusispasial-temporal hewan annelida dan peubah lingkunganpada sumbu 1 dan sumbu 3.
S subterranea
C. seratus
B. proboscidea
Magelona Sp.
T. multisetosum
N. tenuis
C. capitata
Arenicola Sp.
D. ankeliS. disjuncta
Mesonerrila Sp.
P. hatscheki
C. brunea
f. brevis
A. tullbergi
L. californiensis
O. fulgida
Nereis Sp.
O. Johnsoni
Q. caudicirra
E. viridis
S. juponica
I. LoxorhynchiA. iricolor
pH Tanah
eH
TOC
Liat (%)
Debu (%)
Pasir (%)
Suhu
Salinitas
pH Air
DOBOD
Kec. Arus
1A
1B
1C
2A
2B
2C
3A3B
3C
4A
4B
4C
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1
Sumbu 1 (38,16%)
Sumbu 2 (20,04%)
S subterranea
C. seratus
B. proboscidea
Magelona Sp.
T. multisetosum
N. tenuis
C. capitata
Arenicola Sp.
D. ankeliS. disjuncta
Mesonerrila Sp.
P. hatscheki
C. brunea
f. brevis
A. tullbergi
L. californiensis
O. fulgida
Nereis Sp.
O. Johnsoni
Q. caudicirra
E. viridis
S. juponica
I. Loxorhynchi
A. iricolor
pH Tanah
eH
TOC
Liat (%)
Debu (%)
Pasir (%)
Suhu
Salinitas
pH Air
DOBOD
Kec. Arus
1A
1B
1C
2A
2B
2C
3A
3B
3C
4A
4B
4C
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1
Sumbu 1 ( 38,16%)
Sumbu 3 (15,31%)
Berdasarkan interpretasi dari kedua gambar tersebut maka keterkaitan
distribusi spasial Annelida dengan karakter lingkungan yang
mencirikannya masing-masing didapatkan 5 kelompok titik pengamatan,
jenis annelida dan peubah lingkungan yang mencirikannya seperti yang
teringkas pada Tabel 10.
Tabel 10. Ringkasan interpretasi Canonical Correspondences Analysis.
Kelompok Stasiun Annelida Penciri Lingkungan Penciri1 1A
IBIC3A
Cossura bruneaStycocapitella subterraneanTrochochaetus multisetosumLumbrineris sp.Nereis sp.Boccardia proboscideaSabellonga disjunctaDiurodrilus ankeliApistobranchus tullbergiMagelona sp.Capitella capitata
DO tinggiTOC rendah
2 2A2C
Mesonerrila sp.fauvelis brevisArenicola sp.Eulalia viridisSthenolepis juponica
Kandungan Pasir tinggipH Tanah tinggi
pH Air tinggi
3 2B Protodrilus hatscheki Suhu tinggi4 3B
3CCtenodrilus seratus Kandungan Liat tinggi
5 4A4B4C
Iphitime loxorhynchiArabella iricolorQuesta caudicirraOenone fulgidaOrbinia johnsoni
TOC tinggiBOD tinggi
Kandungan Debu tinggi
1. Kelompok I
Kelompok I untuk Muara Sungai Bawasalo dan Muara Sungai Kalukue
dicirikan dengan kandungan DO yang tinggi. jenis C. brunea, S.
subterranean, T. multisetosum, Lumbrineris sp., Nereis sp., B.
proboscidea, S. disjuncta, D. ankeli, A. tullbergi, Magelona sp. sebagai
penciri utama annelida pada kelompok ini.
Pada tingkatan species, masing-masing biota mempunyai respon yang
berbeda terhadap penurunan oksigen terlarut dan perbedaan kerentanan
biota terhadap tingkat oksigen terlarut yang rendah, misalnya C. capitata.
Dapat hidup dan mengalami peningkatan biomassa walaupun nilai
konsentrasi oksigen terlarut nol (Connel dan Miller, 1995).
2. Kelompok II
Kelompok II untuk Muara Sungai Segeri dicirikan dengan kandungan
pasir, pH tanah dan pH air yang tinggi. jenis Mesonerrila sp., f. brevis,
Arenicola sp., E. viridis, S. juponica sebagai penciri utama annelida pada
kelompok ini.
Diindikasikan bahwa Hewan penciri pada kelompok 2 yang ditemukan
lebih menyukai tipe sedimen yang berpasir. Terkait dengan kemampuan
sedimen jenis tersebut dalam mengikat lebih banyak bahan organic yang
merupakan makanan bagi organism yang hidup didalamnya. pH air dan
pH tanah meningkat akibat terlarutnya garam-garam dilaut. Muara sungai
ini merupakan daerah yang berhubungan langsung dengan laut sehingga
menyebabkan pH meningkat.
3. Kelompok III
Kelompok III untuk muara sungai Segeri dicirikan dengan kandungan
suhu yang tinggi. jenis P. hatscheki sebagai penciri utama annelida pada
kelompok ini.
Kisaran suhu yang menjadi penciri peubah lingkungan merupakan
kisaran yang layakn untuk mendukung kehidupan annelida khususnya
jenis P. hatscheki. Salah satu adaptasi tingkah laku pada kelas
Polychaeta akan berlangsung apabila terjadi kenaikan suhu. Adaptasi
tersebut dapat berupa aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan
membenamkan diri di bawah permukaan substrat.
4. Kelompok IV
Kelompok IV untuk muara sungai Kalukue dicirikan dengan kandungan
liat yang tinggi. jenis C. seratus sebagai penciri utama annelida pada
kelompok ini.
Diindikasikan jenis C. seratus lebih menyukai tipe sedimen dengan
liat yang tinggi. Annelida khususnya Pada kelas Polychaeta biasanya
banyak dijumpai pada substrat lunak (Almeida dan Ruta, 1998).
5. Kelompok V
Kelompok V untuk muara sungai Manjelling dicirikan dengan
kandungan TOC, BOD dan debu yang tinggi. jenis I. Loxorhynchi, A.
iricolor, Q. caudicirra, O. fulgid, O. Johnsoni sebagai penciri utama
annelida pada kelompok ini.
Spesies indikator, dimana kehadiran atau ketidak hadirannya
mengindikasikan terjadi perubahan di lingkungan tersebut. Spesies yang
mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan
(stenoecious), sangat tepat digolongkan sebagai spesies indikator. Bila
kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi, maka spesies tersebut
merupakan indikator positif. Sebaliknya, ketidakhadiran atau hilangnya
suatu spesies karena perubahan lingkungannya, disebut indikator negatif
(Kovacs, 1992).
Menurut Gray (1997) kehadiran Q. caudicirra juga dapat dijadikan
indikator pencemaran karena species ini menunjukkan banyak ciri dari
species r~terpilih, tetapi spesies ini secara jelas tidak terlalu
oportunis sebagaimana yang ditunjukkan C. capitata. Q. caudicirra
biasanya bereproduksi dengan fase larva planktonik, tetapi juga dapat
mengerami telur di dalam lubangnya dan ini merupakan strategi daur
hidup untuk beradaptasi secara ideal terhadap gangguan.
Penentuan BOD dan TOC sangat penting untuk menelusuri aliran
pencemaran dari tingkat hulu ke muara. BOD dan TOC merupakan salah
satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan
nilai BOD dan TOC tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar
oleh bahan organik. Pemeriksaan BOD dan TOC diperlukan untuk
menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk dari
pemukiman dan buangan dari proses pertambakan. Diduga jenis penciri
tersebut di atas lebih menyukai tipe sedimen dengan kandungan debu
yang tinggi.
Berdasarkan interpretasi hasil analisis CCA (Tabel 10) yang dikaitkan
dengan sebaran dan komposisi jenis annelida (Tabel 9) maka annelida
yang berpotensi untuk dijadikan indikator positif khususnya untuk
pencemaran organik yaitu jenis I. loxorhynchi, A. iricolor, Q. caudicirra, O.
fulgida, O. johnsoni. Adapun C. capitata yang biasa dijadikan bioindikator
pencemaran, dalam penelitian ini ternyata menyebar merata termasuk di
stasiun yang masih alami bahkan nilai kepadatannya lebih banyak dari
lokasi yang tercemar ringan. Penelitian Widyasari (2007) di Muara Sungai
Pangkajene dan Muara sungai Boyong, menemukan C. capitata dari
kelas Polychaeta merupakan salah satu jenis penciri pada daerah yang
tercemar oleh bahan organik. Oleh karena itu C. capitata yang selama ini
dijadikan bioindikator pencemaran (dalam penelitian ini ditemukan di
stasiun yang alami) perlu kajian yang lebih mendalam mengenai jenis
sebaran dan kuantitas buangan organik yang bisa memicu pertumbuhan
populasinya.
Adapun yang berpotensi untuk menjadi indikator negatif terhadap
pencemaran (pencemaran organik) yaitu jenis-jenis Annelida yang peka
yaitu hanya ditemukan di stasiun yang masih alami dan tidak ditemukan di
stasiun yang sudah tercemar bahan organik. Jenis-jenis Annelida tersebut
yaitu S. subterranean, T. multisetosum dan Lumbrineris sp.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian, maka dapat di ambil beberapa
kesimpulan, yaitu :
1. Muara Sungai Bawasalo yang relatif masih alami belum mengalami
gangguan terhadap kondisi fisik dan kimia perairan. Sedangkan muara
Sungai Sigeri, muara Sungai Kalukue dan muara Sungai Manjelling
sudah tergolong tercemar ringan khususnya terhadap parameter TOC
dan BOD
2. Jumlah Jenis dan Kepadatan annelida terbesar berada pada muara
Sungai Bawasalo, sedangkan muara Sungai Sigeri, muara Sungai
Kalukue dan muara Sungai Manjelling memiliki jumlah jenis dan
kepadatan yang relatif sama. Adapun nilai indeks ekologi pada muara
sungai Bawasalo dan muara Sungai Sigeri masih dalam kondisi bagus
sedangkan pada muara Sungai Kalukue dan muara Sungai Manjelling
memiliki indeks ekologi yang rendah yaitu dengan keanekaragaman
rendah dan dominansi yang tinggi.
3. Berdasarkan karakteristik struktur komunitas Annelida maka muara
Sungai Bawasalo masih dalam kondisi alamiah (tidak tercemar),
sedangkan pada muara Sungai Sigeri dan muara Sungai Kalukue
sudah dalam kondisi tercemar ringan bahkan pada muara Sungai
Manjelling dalam berada dalam kondisi tercemar berat.
4. Jenis annelida yang berpotensi sebagai indikator positif yaitu jenis
Iphitime Loxorhynchi, Arabella iricolor, Questa caudicirra, Oenone
fulgida, Orbinia Johnsoni. Adapun jenis annelida yang berpotensi
sebagai indikator negatif yaitu Stycocapitella subterranean,
Trochochaetus multisetosum dan Lumbrineris sp.
B. Saran
Perlu kajian yang lebih mendalam mengenai jenis Capitella capitata
dan kuantitas buangan organik yang bisa memicu pertumbuhan populasi
jenis ini. Karena C. capitata yang selama ini dijadikan bioindikator
pencemaran, dalam penelitian ini ditemukan justru melimpah distasiun
yang relatif alami.
DAFTAR PUSTAKA
Agard, J.B.R., J. Gobin, and R.M.Warwick, 1993. Analysis ofmarine macro benthic community structure in relation topollution, natural oil seepage and seasonal disturbance in a tropicalenvironment (Trinidad, West Indies). Mar. Ecol. Prog. Ser. Vol 92:233-243
Alcantara, PH., and VS. Weiss, 1991. Ecological aspects of thepolychaeta population associated with the Red MangroveRhizophorz mangle at Laguna De Terminos, Southern Part of theGulf of Maxico, Ophelia 5 (Suppl) : 451 – 462.
Al-Hakim, I.I., A. Aziz, I. Aswandy & H. Cappenberg 2007. Study onPost Tsunami : Spatial distribution of macrobenthic fauna inNangroe Aceh Darussalam and North Sumatera coastal waters.Bjorn serisgstad & M. Muchtar (eds.) Proceedings Seminar andWorkshop on Post Tsunami Expedition. 65-85.
Al-Hakim, I. I. & C. J. Glasby 2004. Polychaeta (Annelida) of theNatuna Islands, South China Sea. In : Ng, P.K.L.; D. Wowor andD.C. Yeo Expedition 2002. The Raffles Bull. Zool. SupplementNo. 11:25-45
Almeida, T. C., and Ruta. 1998. Polychaeta assemblages in softsediment near a subtidal macroalgae bed at arrial Do Cobo, Riode jeneiro, Brazil (Abstract) Brazil: Di dalam 6 th Int. PolychateConference 2-7 Agustus 1998.
Amsyari, F., 1986. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan.Ghalia Indonesia. Edisi Ketiga
Barnes, R.S.K., 1978. Estuarine Biology. The Institute of Biologi’sStudies in Biology Edward Arnold (Publiser). London.
Basri, H., 2010. Pola Sebaran Secara Horisontal Nitrat dan Fosfat PadaPerairan Sekitar Hutan Mangrove di Kecamatan BungoroKabupaten pangkep. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: FakultasIlmu Kelautan dan Perikanan Unhas.
Bengen, D. G., 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan LautSerta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisirdan Lautan, IPB. Bogor.
Benton and Werner, 1976, Field Biology and Ecology, Edisi Ke 3, TataMcGraw Hill Publ., New Delhi.
Boesch, D.F., 1973. Classification and community structure ofmacrobenthos in the Hampton Roads. Mar. Biol. 21 : 226 — 224.
Brasil, AC dos S, and SGH Silvia da., 1998. Spatial distribution of thepolychaetes in a soft-botton community at soco Do ceu (IlhaGrende, Rio de Janeiro, Brazil). (Abstrac). Brazil : Di dalam: 6th Int.Polychaete Conference. 2 –7 Agustus 1998
Brower, JE., JH Zar, CN. Ende von, 1990. Field and LaboratoryMethods for General Ecology Dubuque. WCB Publishers.
Cardell, M. J., R. Sarda, J. Romero., 1999. Spatial Change in SublittoralSoft-Bottom Polychaeta Assemblages Due to River and SewageDischarges. Acta Oecologica 20(4): 343-35.
Clark, R.B. 1986. Marine Pollution. Claredon Press. Oxford.
Cognetti DW and F Maltagliati. 2000. Biodiversity and adaptivemechanisms in brackish water fauna. Mar Poll Bull 40: 7-14.
Connel, DW., and GJ. Miller, 1995. Kimia dan EkotoksikologiPencemaran. Koestoer Y, Sehati. UI Press. Jakarta.
Dahuri, R., 1994. Analisis Biota Perairan. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor
Dauer, D.M., C.A. Maybury and R.M. Ewing, 1981. Feeding Behaviourand general ecology of several Spionid polychaetes from theCheaspeake Bay. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. (54) : 21 — 38.
Dauer D.M. 1993. Biological criteria, environmental health andestuarine macrobenthic community structure. Mar. Poll. Bull. 26(5): 249-257
Dorsey, J.H. and R.N. Synnot. 1980. Marine soft bottom benthiccommunity offshore from Black Rock outfall cone- ware Victoria.Aust. J. Mar. Fresh. Res. 31 : 155 — 162.
Effendi, H., 2000. Telaah Kualitas air. Managemen SumberdayaPerairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. InstitutPertanian Bogor. Bogor. 259 hal.
Elhers, E., 1901. Die Polychaeten des magellanischen and clulenischenStrand- es. Festschr. K. Ges. Wiss Gottingen (Math. Phys.) : 232pp.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius : Jakarta.
Fauchald, K. 1977. The Polychaeta Worms Definitions and Keys To TheOrders, Families, and Genera. Natural History Museum Of LosAngeles County. Sciense series 28: 1-188.
Fauchald, K & G. Rouse. 1997a. Polychaete Systematics: Past andPresent. Zoológica Scripta, Vol. 26, No. 2, pp. 71-138, 1997Elsevier Science Ltd.
Fauchald, K & G. Rouse. 1997b. Cladistics and Polychaete. ZoológicaScripta, Vol. 26, nomor 2, pp. 139-204, 1997. Elsevier Science Ltd.
Glasby, S.J., P.A Hutching, K. Fauchald, H. Paxton. G.W. Rouse, C.W.Russel & R.S. Wilson. 2000. Class Polychaeta and Allies theSouthem Syntesis. Fauna of Australia Volume 4A. Polychaeta,Myzostomida, Pagonophora, Echiura, Sipuncula. Australia biologicalresources study. Canberra. Australia. 1-464.
Gray, J. S. 1997. Marine biodiversity : patterns, threats and conservationneeds. Biodivers. Conserv. 6: 153-175
Gross, M.G., 1972. Oceanography A View of The Earth. Prentice Hall,Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Hariyadi, 2003. Penuntun Limnologi. Pusat Penelitian dan PengembanganOseaanologi (LIPI). Jakarta.
Hilbig, B. & J. A. Blake. 2000. London-Term Analysis of Polychaeta-dominant benthic infaunal communities in Massachusetts Bay,U.S.A. Bull Mar. Sci 67 (1) : 147-164
Jumiarti, 2009. Struktur Komunitas Makrozoobentos pada DaerahPerlindungan Mangrove di Muara Sungai Pangkajene KabupatenPangkep. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Fakultas IlmuKelautan dan Perikanan Unhas.
Junardi, 2001. Keanekaragaman, Pola Penyebaran dan Ciri- ciriSubstrat Polychaeta (Phyllum : Annelida) di Perairan Pantai TimurLampung Selatan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Kastawi, Yusuf. 2003. Zoologi Avertebrata. Jica: Malang.
Kovacs, M., 1992. Biological Indicators in Enviromental Protection. EllisHorwood Series in Environmental, Science and Technology. pp. 7-11.
Lee, C.D., S.E.Wang and C. L. Kuo. 1978. Benthic macroinvertebratesand fish as biological indicators of water quality, with referenceto community diversity index. International Conference on WaterPollution Control in Developing Countries, Bangkok. Thailand.
Mahida, 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri, CV.Rajawali: Jakarta
Nontji, A., 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta
Odum, E.P., 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. WB.Sanders Company. Philadelphia. USA.
Odum, E, P., 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada. University Press,Washington D.C.
Ruppert, E.E., & R.D. Barnes. 1991. Invertebrate Zoology Sixth Edition.Sounders College publishing. New York Orlando San Antonio.
Palungkun, R., 1999. Sukses Berternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus.Penebar Swadaya. Jakarta.
Pescod, M.B., 1973. Investigation of ration effluent and stream oftropical countries. Bangkok. AIT. 59 hal
Phillips, D.J.H., 1980. Quantitative Aquatic Biological Indicator their use tomonitor trace metal and organochlorine pollution. London AppliedScience.
Pirzan, M. A. dan P. R. Pong-Masak. 2005. Keragaman Makrozoobentosdi Kawasan Pesisir Dolago Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah.Torani, 2(16): 94-98.
Ryadi, 1984. Pencemaran Air, Seri Lingkungan Dasar-dasar dan pokok-pokok penanggulangannya. Anda Surabaya, Indonesia.
Sharp, J.H., 1985. Test Methods for Total Organic Carbon in Water,American Society for Testing Materials, Philadelphia.
Sastrawijaya, T.A., (1991). Pencemaran Lingkungan. RienekaCipta. Jakarta
Soepardi, 1986. Sifat dan Ciri Tanah, Modul Pembelajaran ,Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suana, W. I., 2001. Laba-laba Sebagai Bioindikator Pada BeberapaKondisi Lingkungan, Makalah Falsafah Sains (PPs 702), ProgramPasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.
Sukarno, 1981. Terumbu Karang di Indonesia. Permasalahandan Pengelolaannya LON-LIPI. Jakarta.
Supriharyono, 1978. Kondisi Kualitas Air di Saluran-saluran di daerah-daerah persawahan, persawahan-pemukiman dan pemukiman,Delta Upang Sumatera Selatan. Program Pasca Sarjana IPB.Bogor
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati diWilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sutamiharja, R.T.M., A. Kasri, S.H. Sunusi., 1982. Perairan teluk JakartaDitinjau dari Tingkat Pencemarannya. Fakultas Pasca SarjanaJurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.Bogor.
Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardianto, M, Krisanti., 2005. Avertebrata Air.Penebar Swadaya. Jakarta.
Tamai, K., 1985. Morphology and ecology of four types of the genusParaprionospio (Polychaeta, Spionidae) in Japan. Bull. Nansei.Reg. Fish. Res. Lab. 18 : 51 — 104.
Ter Braak, CJF. 1986. Canonical Correspondence Analysis: A NewEigenvector Technique for Multivariat Direct Gradient Analysis.Ecology 67: 1167-1179.
Tugiyono, 2006. Struktur Komunitas Plankton Sebagai BioindikatorKualitas Air DAS Way Tulang Bawang Kabupaten Tulang BawangPropinsi Tulang Bawang. Dalam Prosiding Seminar Hasil-hasilPenelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Buku I. November2006. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Wardoyo, S. T. H., 1974. Manajemen Kualitas Air. Fakultas Perikanan.IPB. Bogor.
Warwick, R.M. and K.R. Clarke. 1986. Relearning the ABC : taxonomicchanges and abundance/ biomass relationships in distrubedbenthic communities. Marine Biology 118 : 739-744.
Widyasari, A. 2007. Analisis Pencemaran Logam Berat Pb dan CdKaitannya dengan Karakter Ekologi MZB di beberapa Muara Sungai.Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan danPerikanan Unhas.
Wiryawan B., B. Marsjen, H. Adi Susanto, A. K. Mahi, M Ahmad,dan H. Poepitasari. 1999. Atlas Sumberdaya Wilayah PesisirLampung. Bandar Lampung: Pemda Tk I Lampung- CRMPLampung.
Wood, M. S. 1987. Subtidal Ecology. Edward Arnold Pty. Limited,Australia.
Yokoyama, H. and K. Tamai. 1981. Four form of the genusParaprionospio (Polychaeta, Spionidae) from Japan. Seto. Mar.Biol. Lab. 26 (4-6) : 303 —