Upload
hoangminh
View
234
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
STATUS PENCEMARAN DAN POTENSI BIOAVAILABILITAS LOGAM DI SEDIMEN PERAIRAN PANTAI KOTA MAKASSAR
Shinta Werorilangi1, A. Tahir1, A. Noor2, M.F. Samawi1
1)Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin2) Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin
ABSTRAK
Dalam menganalisis potensi bahaya logam, sangat penting mengidentifikasi sumber logam yang masuk ke perairan, apakah bersumber dari kegiatan manusia atau alamiah. Informasi tersebut di atas serta potensi bioavailibitas logam di sedimen sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi pencemaran logam dalam suatu lokasi. Tujuan penelitian ini untuk menentukan status pencemaran logam Pb, Cd, Cu, dan Zn berdasarkan konsentrasi total di sedimen serta mengidentifikasi potensi bioavailabilitasnya berdasarkan konsentrasi logam pada fraksi di sedimen perairan pantai Kota Makassar.
Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2011 di wilayah perairan pantai Kota Makassar, mulai dari muara Sungai Jeneberang hingga muara Sungai Tallo. Pengukuran logam dilakukan pada sedimen berukuran < 63 μm. Spesiasi logam pada fraksi sedimen ditentukan dengan metode Community Bureau of Reference (BCR) Three-steps Sequential method yang menghasilkan fraksi exchangeable dan acid soluble, reducible, serta oxidisable. Identifikasi sumber antropogenik dilakukan dengan menghitung Faktor Pengayaan (Enrichment Factors, EF). Status pencemaran berdasarkan fraksi exchangeable dilakukan dengan menggunakan indeks RAC (Risk Assessment Code).
Berdasarkan nilai Faktor Pengayaan (EF), pengaruh antropogenik yang tertinggi secara berurutan diidentifikasi di lokasi Paotere > Benteng > Losari > Tallo > Jeneberang > Tanjung Merdeka (TM). Lokasi Paotere dan Benteng merupakan lokasi yang rawan karena tingginya konsentrasi logam Cd, Zn, dan Pb pada fraksi most exchangeable dan acid reducible (most bioavailable). Sedangkan di Tanjung Merdeka walaupun merupakan lokasi yang paling rendah pengaruh input antropogenik, tetapi juga merupakan lokasi yang rawan akan pencemaran Pb karena proporsi fraksi most bioavailable yang tinggi.
Kata kunci : logam, sumber pencemaran, bioavailabilitas, sedimen pantai
PENGANTAR
Perairan pantai Kota Makassar, termasuk dua muara sungai yang mengapit, yaitu
Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo banyak mendapat inputan logam dari badan sungai
dan dari daratan utama, berupa limbah industri dan limbah perkotaan. Logam di lingkungan
perairan bisa berasal dari alam dan antropogenik yang berasal dari kegiatan manusia di
darat. Saat ini, konsentrasi logam antropogenik di lingkungan meningkat dengan pesat
sejalan dengan laju pembangunan termasuk kegiatan industri.
Logam timbal (Pb) dan kadmium (Cd), merupakan logam yang toksik dan tidak
memiliki fungsi biologis bagi organisme (non-esensial), terdapat secara alamiah di perairan.
Kegiatan manusia di daratan (antropogenik), terutama pemakaian bahan aditif pada bensin,
industri cat, baterai, meningkatkan konsentrasi Pb di perairan. Menurut Neff (2002),
mayoritas sumber Pb ke perairan berasal dari atmosfir. Sedangkan sumber Cd yang masuk
ke perairan bisa berasal dari industri baterai Ni-Cad, pemakaian pupuk fosfat dan fungisida
serta industri plastik dan cat sebagai pewarna (Campbell, 2006).
Logam tembaga (Cu) dan seng (Zn) adalah elemen yang diperlukan untuk
metabolisme biota, akan tetapi peningkatan minimal dari standar kebutuhan biologis biota
akan menimbulkan dampak racun. Penggunaan Cu dan Zn sebagai bahan baku pada cat
antifouling, setelah penggunaan tributyltin (TBT) dilarang, merupakan salah satu sumber
utama kedua logam tersebut masuk ke perairan laut (Srinivasan and Swain, 2007; Bao et
al., 2008). Dengan semakin meningkatnya pembangunan wilayah kota Makassar, maka
diduga input antropogenik akan semakin meningkatkan konsentrasi Pb, Cd, Cu, dan Zn di
sedimen perairan pantai Kota Makassar.
Pada saat berada di perairan, logam berada dalam bentuk partikel dan/atau akan
secara cepat terserap pada partikel yang berada di kolom air, yang pada akhirnya akan
berasosiasi dengan partikel tersuspensi di kolom air atau akan terakumulasi di sedimen
dasar. Pada saat di sedimen, logam berat dapat diakumulasi oleh organisme bentik yang
hidup dan mencari makan di sedimen. Organisme bentik, menjadi dasar dari rantai
makanan, pada akhirnya bisa menjadi agen transfer logam dari sedimen dasar ke tropik level
yang lebih tinggi dan menyebabkan dampak negatif (Stecko and Bendell-Young, 2000a).
Akan tetapi konsentrasi total logam yang ada di sedimen tidak selalu berkorelasi positif
dengan respon yang timbul pada biota (Nowierski et al., 2002). Hal ini disebabkan oleh
perbedaan species logam yang terkait pada fraksi sedimen tertentu yang tersedia
(bioavailable) dan bisa menimbulkan dampak negatif terhadap biota. Studi tentang
bioavailibilitas logam di perairan menunjukkan bahwa logam dalam bentuk ion bebas yang
sangat mudah diserap oleh biota. Pada saat logam berada pada fase solid, yaitu di sedimen,
logam akan berpartisi pada fraksi-fraksi di sedimen, yang pada akhirnya akan menentukan
bioavalabilitasnya bagi biota.
Oleh karena itu dalam menentukan penilaian dampak berbahaya (risk asessment)
dari logam terhadap kehidupan biota dan ekosistem perairan secara keseluruhan, bukan
hanya konsentrasi total logam yang berada di perairan yang menentukan akan tetapi
konsentrasi logam yang tersedia secara biologis (bioavailability) juga sangat berpengaruh. Selain daripada itu, sangat penting mengidentifikasi sumber logam yang masuk ke perairan,
apakah bersumber dari kegiatan manusia (antropogenik) atau alamiah. Informasi tersebut di
atas sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi pencemaran
logam dalam suatu lokasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat
menentukan status pencemaran logam Pb, Cd, Cu, dan Zn berdasarkan konsentrasi total
logam di sedimen serta mengidentifikasi potensi bioavailabilitasnya berdasarkan konsentrasi
logam pada fraksi di sedimen perairan pantai Kota Makassar.
BAHAN DAN METODE1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan selama penelitian antara lain: GPS (Global Posisioning System)
untuk menentukan posisi/titik stasiun penelitian; alat tulis menulis untuk pencatatan data;
kamera digital untuk dokumentasi; Van Veen Grab Sampler untuk mengambil sedimen dan
biota; mikroskop dan lup untuk mengidentifikasi sampel; Water Quality Cheqer untuk
mengukur suhu, salinitas,dan oksigen terlarut; ph-Eh meter untuk mengukur pH dan potensi
redoks sedimen; erlenmeyer, bunsen, pipet tetes, tabung reaksi, gelas ukur; cawan porselen,
oven, tanur, dan desikator untuk mengukur BOT pada sampel sedimen, Atomic Absorption
Spectrophotometer (Hitachi- Z 2000 Tandem Flame/Furnace AAS) untuk mengukur
konsentrasi logam di sedimen dan biota.
Bahan yang digunakan yaitu: aquades dan HNO3 untuk mensterilkan alat di
laboratorium; bahan kimia (KMnO4, H2SO4, dan NaO3) untuk mengukur kadar BOT; pelarut
CH3COOH (asam asetat), NH2OH.HCl (hydroxylammonium chloride), HNO3 (asam nitrat),
H2O2 (hidrogen peroksida), dan CH3COONH4 (amonium asetat) untuk mengekstraksi
sedimen dalam spesiasi logam.
2. Metode Penelitian Pengambilan contoh dilakukan di lokasi perairan pantai Kota Makassar pada 20 titik
dimulai dari muara Sungai Jeneberang hingga muara Sungai Tallo (Gambar 1). Sampling
dilakukan pada bulan Januari 2011.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Lokasi penelitian mewakili dua muara sungai besar yang mengapit Kota Makassar,
yaitu Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo, dan beberapa lokasi yang mewakili aktivitas
pelabuhan, reklamasi, dan pembuangan akhir limbah dari 13 kanal kota. Pengambilan
contoh logam di sedimen dan biota dilakukan juga di Pulau Bonetambung sebagai kontrol
(reference site).
Stasiun ditentukan berdasarkan outlet yang bermuara di perairan pantai Kota
Makassar, yaitu :
Stasiun 1 adalah Muara Sungai Jeneberang
Stasiun 2 adalah Pantai Tanjung Merdeka (TM)
Stasiun 3 adalah Pantai Losari
Stasiun 4 adalah Kanal Benteng
Stasiun 5 adalah Kanal Paotere
Stasiun 6 adalah Muara Sungai Tallo
Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada permukaan sedimen, yaitu bagian
oksik dengan kedalaman 1 – 3 cm, dengan menggunakan Van Veen Grab Sampler. Contoh
sedimen diambil pada bagian tengah grab untuk mencegah kontaminasi dr bagian logam
pada grab sampler lalu dimasukkan kedalam kemasan plastik dan disimpan di dalam cool
box selama transportasi. Sebelum proses esktraksi sampel disimpan dalam kantong plastik
dan dibekukan dalam freezer pada suhu -20oC untuk mencegah proses biokimiawi yang bisa
merusak sampel.
a. Pengukuran jenis dan butiran sedimen Jenis dan ukuran sedimen diukur dengan menggunakan metode penyaringan kering
(dry sieving) dan berdasarkan skala Wenworth (Hutabarat dan Evans, 1984).
b. Pengukuran logam di sedimenContoh sedimen yang diambil hanya pada permukaan sedimen, yaitu bagian oxic
dengan kedalaman 1 – 3 cm. Bagian ini merepresentasikan fraksi sedimen yang menjadi
sumber logam yang tersedia (bioavailable) bagi organisme, juga merupakan fraksi yang
penting secara biologis karena kebanyakan hewan-hewan hidup dan mencari makan pada
fraksi ini (Thomas dan Bendell-Young, 1999). Kemudian contoh sedimen disaring dalam
keadaan kering untuk mendapatkan partikel sedimen yang berukuran < 63 μm, yaitu fraksi
lanau (silt) dan lempung (clay) (Loring and Rantala, 1992; Yuan et al., 2004; Hendozko et al.,
2010). Selanjutnya pada bagian tersebut dilakukan pengukuran konsentrasi logam total dan
konsentrasi logam pada fraksi sedimen yang berbeda.
Konsentrasi total masing-masing logam pada sedimen ditentukan dengan
mengekstrak sedimen secara destruksi asam dengan menggunakan pelarut HNO3 (asam
nitrat) dan HClO4 (asam perklorat) (SNI 06-06992.8-2004).
Konsentrasi logam pada fraksi sedimen ditentukan dengan metode Community
Bureau of Reference (BCR) Sekuensi Tiga Tahap (Three-steps Sequential method) oleh Ure
et al., (1993) ;Davidson et al., (1994); Yuan et al., (2004) dan Zhou et al., (2010) Metode
ekstraksi kerja dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Metode Ekstraksi Sekuensi Tiga Tahap
Tahap Fraksi Komponen yangDiekstrak Prosedur
1 Terlarut dalam asam (Acid Soluble)
Ion exchangeable dan karbonat
40 mL CH3COOH ditambahkan pada 1 gram sedimen kering (<63 um). 16 jam shaker
2 Tereduksi (Reducible)
Oksida Fe-Mn 40 mL NH2OH.HCl (pH 2 dgn HNO3), 16 jam shaker
3 Teroksidasi (Oxidizible)
Bahan organik dan sulfit 10 mL H2O2, 1 jam disgestion , 1 jam water bath, tambahkan 10 mL H2O2, 1 jam water bath, tambahkan 50 mL CH3COONH4 (pH 2 dgn HNO3)
Konsentrasi logam di sedimen dianalisis dgn menggunakan Atomic Absorption
Spectrophotometer (Hitachi- Z 2000 Tandem Flame/Furnace AAS) dengan limit of detection
(LOD) untuk masing-masing logam adalah : Pb (0,006 ppm), Cd (0,001 ppm), Cu (0,006
ppm), dan Zn (0,031 ppm). Pengukuran kosentrasi Pb dan Cd menggunakan detektor
graphite furnace, sedangkan untuk Cu dan Zn digunakan detektor flame.
3. Analisis Data a. Status Pencemaran
Setiap data konsentrasi logam total dibandingkan dengan konsentrasi yang ada pada
kerak bumi (earth crust) sebagai dasar konsentrasi alamiah logam yang ada di sedimen
(Sutherland, 2000). Sedangkan untuk mengevaluasi potensi dampak bahaya logam (adverse
biological effects) terhadap biota, digunakan standar baku mutu Effect Range Low (ERL) dan
Effect Range Medium (ERM) yang dikeluarkan oleh US NOAA’s (O’Connor, 2004 dan Turki,
2007). ERL adalah konsentrasi logam di sedimen yang berasosiasi dengan 10% (rarely
seen) dampak biologis yang timbul pada biota; sedangkan ERM adalah konsentrasi logam di
sedimen yang berasosiasi dengan 50% (a possible effect range) dampak biologis yang
timbul pada biota.
Tabel 2. Konsentrasi Alamiah dan Standar Baku Mutu Logam pada Sedimen
Logam
Konsentrasi alamiah Standar baku mutu
US NOAA’s **
Earth crust* (μg/g) ERL (μg/g) ERM (μg/g)
Pb 14 46.7 218
Cd 0.11 1.2 9.6
Cu 50 34 270
Zn 75 150 410* Sumber : Luoma and Rainbow (2008)
** Sumber : Turki (2007)
b. Faktor Pengayaan (Enrichment Factors, EF)Metode normalisasi adalah salah satu metode yang efektif dalam membedakan
sumber bahan pencemar (Loring and Rantala, 1992; Zhou et al., 2007). Metode yang
digunakan adalah dengan menghitung EF (Olubunmi et al., 2010). Selanjutnya dikatakan
bahwa EF atau Faktor Pengayaan, selain dapat digunakan untuk membedakan sumber
logam antropogenik atau alamiah, juga dapat digunakan untuk menilai seberapa besar input
antropogenik pada suatu lokasi. Normalisasi data logam dengan menggunakan Aluminium
(Al) sebagai elemen konservatif sudah banyak dilakukan karena analisis Al mudah, tepat dan
akurat (Herut and Sandler, 2006). Kriteria EF dapat dilihat pada Tabel 3.
Faktor Pengkayaan (EF) dihitung berdasarkan rumus:
Tabel 3. Kriteria Faktor Pengkayaan (EF) (Sutherland, 2000)
EF Kriteria
< 2 Kurang – Pengayaan minimal
2 – 5 Pengayaan sedang (moderate)
5 – 20 Pengayaan cukup (significant)
20 – 40 Pengayaan tinggi (very high)
> 40 Pengayaan sangat tinggi (extremely high)
[logam] / [Al] contoh
EF = [logam] / [Al] kontrol
c. Potensi Bioavailabilitas Hasil penelitian spesiasi menunjukkan bahwa logam di sedimen berikatan pada fraksi
yang berbeda dengan kekuatan ikatan yang juga berbeda, dimana perbedaan ikatan
tersebut mengindikasikan reaktivitas sedimen serta dapat digunakan untuk menilai risiko
bahaya yang ditimbulkan oleh logam di lingkungan perairan. Dalam menilai risiko tersebut,
suatu indeks penilaian risiko, yaitu Risk Asessessment Code (RAC) digunakan dalam
penilaian ketersediaan (availabilitas) logam di sedimen dengan mengaplikasikan suatu skala
pada nilai persentasi logam di fraksi exchangeable dan karbonat (Honglei, et al., 2008;
Sundaray et al., 2011).
Kategori risiko berdasarkan RAC dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Risk Assessment Code (RAC)*
Kategori Risiko Logam fraksi 1 (% dr total)
I Tidak berisiko (TB) < 1II Risiko rendah (RR) 1 – 10III Risiko sedang (RS) 11 – 30IV Risiko tinggi (RT 31 – 50V Sangat berisiko tinggi (SBT) > 50*Sumber: Perin et al., 1995 dalam (Sundaray et al., 2011)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sumber dan Status Pencemaran
Walaupun kandungan logam total tidak memberikan informasi yang cukup berarti
pada dampak bahaya logam bagi organisme, akan tetapi informasi tersebut sangat penting
dalam mengindentifikasi sumber logam di perairan. Gambar 2 memperlihatkan konsentrasi
logam total pada lokasi penelitian. Hasil analisis ragam tidak menunjukkan ada perbedaan
yang nyata diantara lokasi pada semua logam. Secara deskriptif konsentrasi Cd dan Cu
terlihat paling tinggi pada lokasi Paotere, yang merupakan tempat bermuaranya hampir
seluruh buangan kota Makassar dan merupakan lokasi pelabuhan rakyat. Zn juga terlihat
paling tinggi pada lokasi Paotere dan diikuti pada Losari serta Tallo. Tingginya konsentrasi
Zn di lokasi Paotere diduga karena lokasi tersebut merupakan pelabuhan dimana
penggunaan cat antifouling yang digunakan pada kapal meningkatkan input Zn ke perairan.
Sedangkan input Zn di daerah Losari dan Tallo kemungkinan dominan berasal dari aktivitas
di daratan.
Pola penyebaran Pb terlihat relatif berbeda. Konsentrasi tinggi terlihat pada lokasi
Losari, Benteng dan Paotere. Kemungkinan karena ketiga lokasi tersebut berada paling
dekat dengan kota Makassar sehingga mendapat sumbangan Pb yang berasal dari buangan
kendaraan bermotor.
Pulau Bonetambung, sebagai stasiun kontrol, memiliki konsentrasi Pb, Cd, dan Cu
yang rendah dibandingkan lokasi lainnya, tetapi Zn terlihat sangat tinggi di pulau tersebut.
Pulau Bonetambung merupakan satu-satunya lokasi penelitian yang memiliki karakter
sedimen dengan pasir berwarna putih, umumnya sedimen pantai (pelagic) berwarna putih
adalah jenis sedimen biogenik yang tersusun oleh bagian keras dan lunak dari organisme
mati, seperti cangkang, tulang, dan fekal (Libes, 2009). Sedimen biogenik mengandung
CaCO3 (kalsium karbonat) dan SiO2 (silika) yang tinggi yang berasal dari fitoplankton.
Fitoplankton coccolithophorids menyumbangkan CaCO3, sedangkan diatom
menyumbangkan SiO2. Zn diketahui berfungsi sebagai kofaktor pada enzim carbonic
anhydrase (CA) yang berperan dalam akuisisi karbon anorganik dalam proses fotosintesis
pada fitoplankton laut (Xu, et al., 2007). Zn juga berperan dalam proses kalsifikasi
coccolithophore Emiliana huxleyi (Jacuba, et al., 2012). Oleh karena fungsi Zn yang penting
dalam proses fotosintesa dan kalsifikasi pada fitoplankton, sehingga diduga tingginya Zn di
sedimen Pulau Bonetambung terkait dengan cocolithoporids dan diatom yang sudah mati
sebagai komponen utama penyusun sedimen di lokasi tersebut. Konsentrasi total logam
Pb, Cd, Cu dan Zn pada penelitian ini, masing-masing berkisar 0.38-2.58 μg/g, 0.05-0.25
μg/g 0.99-91.87 μg/g, dan 0 -107.49 μg/g. Jika dibandingkan dengan konsentrasi alamiah
dan standar baku mutu seperti pada Tabel 2, terlihat bahwa Pb pada semua lokasi
penelitian masih berada di bawah konsentrasi alamiah dan ERL (effects range low).
Konsentrasi logam yang berada di bawah konsentrasi ERL, merupakan konsentrasi yang
dianggap aman dan melindungi biota dari dampak negatif yang dapat ditimbulkan (Sundaray
et al., 2011). Logam Cd, Cu, dan Zn terlihat melebihi konsentrasi alamiah pada beberapa
lokasi terutama pada Paotere. Konsentrasi Zn di sedimen Pulau Bonetambung juga sangat
tinggi. Konsentrasi Cu yang melebihi ERL terdeteksi pada lokasi Benteng, Paotere, dan
Tallo, tetapi konsentrasi tersebut masih berada di bawah level ERM (effects range medium).
Logam Zn tidak menimbulkan dampak biologis berbahaya pada semua lokasi penelitian
berdasarkan ERL.
Dari perbandingan tersebut pada Gambar 2, terlihat bahwa logam Cd, Cu, dan Zn
berdasarkan kandungan totalnya sudah mengontaminasi beberapa lokasi penelitian
terutama pada Kanal Paotere, bahkan logam Cu kemungkinan bisa menimbulkan dampak
yang berbahaya bagi organisme sekitar.
Kandungan logam yang berada pada suatu lingkungan sangat dipengaruhi selain
oleh komposisi dan proses kimia yang ada pada lokasi tersebut juga sangat dipengaruhi oleh
sumbernya. Salah satu metode dalam mengidentifikasi sumber polutan (antropogenik vs
alamiah) di lingkungan adalah penggunaan Faktor Pengayaan (Enrichment Factor, EF),
0.76 0.60
2.57 2.58 2.41
0.780.38
0.00.51.01.52.02.53.03.54.04.55.0
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (kontrol)
Kons
entr
asi P
b to
tal (
μg/g
)
0.07
0.14
0.100.13
0.25
0.14
0.05
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (konrol)
Kons
entr
asi C
d to
tal (
μg/g
)
8.380.00
64.25
24.98
81.0969.63
107.49
0
20
40
60
80
100
120
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (kontrol)
Kons
entr
asi Z
n to
tal (
μg/g
)
ns
ns
ns
26.2741.67
31.58 34.84
91.87
41.64
0.990
25
50
75
100
125
150
175
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (konrol)
Kons
entr
asi C
u to
tal (
μg/g
) ns
selain itu EF juga digunakan dalam menentukan seberapa besar suatu elemen
mengkontaminasi suatu daerah atau lokasi (Sutherland, 2000; Olubunmi and Olorunsola,
2010; Yunus et al., 2010).
Keterangan : Jene = Jeneberang; TM = Tanjung Merdeka; Btambung = BonetambungGambar 2. Konsentrasi logam total (Pb, Cd, Cu, Zn) pada lokasi penelitian
(*ns = tidak signifikan pada alpha 0.05)
3.368.12
12.3710.33
2.40 2.505.09
8.763.70
44.12
0.13 0.71 0.42 1.22 0.771.86 2.462.84
38.05
26.70
05
101520253035404550
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo
Enr
ichm
ent F
acto
r (E
F)
Pb Cd Cu Zn
Cukup
Tinggi
Sangat tinggi
Sedang
Metode dalam menentukan EF, yaitu membandingkan konsentrasi logam yang diteliti
dengan konsentrasi alamiah (unpolluted) pada daerah yang sama atau menggunakan nilai
dari daerah lain yang belum terpolusi (reference value) dan dinormalisasi dengan elemen
Aluminium (Al). Pada penelitian ini digunakan Al pada lokasi kontrol Pulau Bonetambung
sebagai reference value. Adapun nilai indeks EF dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai EF < 2
menunjukkan tidak signifikan atau terjadi pengayaan minimal yang disebabkan oleh sumber
alamiah dari elemen tersebut, sedangkan nilai EF > 5 menandakan lokasi tersebut sudah
terkontaminasi oleh elemen yang bersangkutan dan kemungkinan berasal dari sumber
antropogenik (Sutherland, 2000).
Keterangan : Jene = Jeneberang; TM = Tanjung Merdeka; Btambung = Bonetambung
Gambar 3. Nilai EF logam Pb, Cd, Cu, dan Zn pada lokasi penelitian (garis putus-putus menandakan nilai EF > 5, terjadi pengayaan yang signifikan)
Hasil perhitungan nilai EF pada penelitian ini (Gambar 3) menunjukkan telah terjadi
pengayaan logam Cu yang sangat ekstrim tingginya di lokasi Jeneberang, Benteng,
Paotere, dan Tallo (EF > 40); sedangkan lokasi Tanjung Merdeka dan Losari sudah terjadi
pengayaan Cu yang sangat tinggi (EF < 40). Hal ini juga mengonfirmasi Cu yang masuk ke
perairan pantai kota Makassar berasal dari sumber antropogenik. Menurut Sutherland (2000)
bahwa semakin tinggi nilai EF kontribusi sumber antropogenik juga semakin meningkat.
Logam kedua yang memiliki nilai EF tinggi adalah Pb, dimana pada lokasi Losari,
Benteng, dan Paotere dengan nilai EF > 5 menunjukkan kontaminasi dari sumber
antropegenik yang signifikan pada daerah tersebut; sedangkan pada lokasi Jeneberang,
Tanjung Merdeka dan Tallo dengan nilai EF <5 mengindikasikan telah terjadi pengayaan
yang sedang (moderate enrichment) dari Cu.
Logam Cd juga menunjukkan telah mengontaminasi lokasi Benteng dan Paotere
secara signikan yang berasal dari sumber antropogenik (EF>5), sedangkan pada lokasi
lainnya mengindikasikan telah terjadi pengayaan yang sedang. Logam Zn satu-satunya
logam yang memiliki nilai EF < 2 pada semua lokasi penelitian. Fenomena ini menunjukkan
kontaminasi Zn sangat minimal dan sumber di perairan pantai Kota Makassar berasal dari
sumber alamiah lebih banyak daripada sumber antropogenik. Akan tetapi hasil perhitungan
nilai EF tidak sejalan dengan tingginya konsentrasi Zn di lokasi penelitian bahkan beberapa
sudah melebihi konsentrasi alamiah. Rendahnya nilai EF Zn disebabkan karena terjadi
anomali, yaitu konsentrasi total Zn pada lokasi kontrol sangat tinggi. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, tingginya konsentrasi Zn di sedimen Pulau Bonetambung diduga
terkait dengan tingginya input Zn yang berasal dari fitoplankton mati yang menjadi penyusun
utama sedimen biogenik yang terdapat di lokasi tersebut.
2. Potensi Bioavailabilitas
Penelitian ini menggunakan metode spesiasi yang digunakan oleh Community
Bureau of Reference (BCR). Metode BCR adalah merupakan metode Tessier yang
dimodifikasi oleh Ure et al., (1993), dimana fraksi 1 dan 2 pada Tessier digabung menjadi
fraksi 1 pada BCR, sehingga metode BCR hanya terdiri dari 4 fraksi. Logam pada fraksi 1,
2 , dan 3 adalah logam yang labil, dimana pergerakannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Logam pada fraksi 1 merupakan logam paling tinggi mobilitasnya (most available
form) karena paling mudah bertukar (most exchangeable) dan perikatannya sangat lemah
(weakly adsorbed) pada matriks sedimen (Zimmerman dan Weindorf, 2010). Berturut-turut
fraksi yang mobilitasnya paling tinggi ke rendah adalah fraksi 1>fraksi2> fraksi 3.
Persentasi fraksi 1 logam Pb, Cd, Cu, dan Zn di seluruh lokasi berturut berkisar 0-
7%, 47-100%, 0-18%, 0-55%; fraksi 2 berturut-turut adalah 64-78%, 34-39%, 69-82%, 39-
100%; sedangkan fraksi 3 adalah 16-33 %, 0-13%, 0-22%, 0-25% (Gambar 4). Berdasarkan
persentasi logam yang diteliti di semua lokasi, urutan yang paling tinggi ke rendah pada
fraksi 1 yaitu Cd > Zn > Cu > Pb, sedangkan pada fraksi 2 adalah Cu > Pb > Zn > Cd, dan
pada fraksi 3 Pb > Cu > Zn > Cd (Gambar 5).
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (kontrol)
Kon
sent
rasi
Pb
(%)
Fraksi 1 (acid soluble) Fraksi 2 (reducible) Fraksi 3 (oxidisable)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (kontrol)
Kon
sent
rasi
Cu
(%)
Fraksi 1 (acid soluble) Fraksi 2 (reducible) Fraksi 3 (oxidisable)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (kontrol)
Kon
sent
rasi
Cd
(%)
Fraksi 1 (acid soluble) Fraksi 2 (reducible) Fraksi 3 (oxidisable)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung (kontrol)
Kon
sent
rasi
Zn
(%)
Lokasi Fraksi 1 (acid soluble) Fraksi 2 (reducible) Fraksi 3 (oxidisable)
Kons
entr
asiPb
(%)
Kons
entr
asiCd
(%)
Kons
entr
asiCu
(%)
Kons
entr
asiZn
(%)
Gambar 5. Distribusi fraksi geokimia logam Pb, Cd, Cu, dan Zn di sedimen (%)
Tingginya mobilitas logam Cd dan Zn yang mengakibatkan keduanya ditemukan
mendominasi pada fraksi 1(acid soluble), fraksi yang sangat mudah melepaskan logam yang
berikatan (exchangeable dan weakly bound) pada permukaan sedimen serta fraksi yang
berasosiasi dengan karbonat di sedimen. Sedangkan pada fraksi 2 terlihat, penyebaran
logam Pb, Cu dan Zn lebih merata tingginya pada semua lokasi dibandingkan distribusi
logam pada fraksi 3 yang memperlihatkan dominasi logam Pb dan proporsi minimal dari Cd,
Cu dan Zn. Sudah banyak penelitian yang mengkonfirmasi bahwa fraksi Fe dan Mn Oksida
merupakan tempat perikatan logam berat yang sangat signifikan (Bryan dan Langston,
1992). Menurut Eggelton dan Thomas (2004), umumnya fraksi Fe dan Mn oksida dan fraksi
organik yang berkaitan dengan bahan organik (fraksi 3) adalah tempat perikatan logam yang
sangat penting pada sedimen oksik, sedangkan perikatan dengan sulfida (fraksi 3)
merupakan fraksi yang dominan pada sedimen anoksik.
Sebaran fraksi geokimia logam pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat
pada gambar 6. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pada semua lokasi fraksi 2
mendominasi untuk semua logam yang diteliti. Kecuali pada beberapa lokasi yang tidak
terdeteksi fraksi lainnya. Akan tetapi dari ketiga fraksi yang sangat relevan dengan potensi
bioavailibiltas logam di sedimen adalah fraksi 1 yang merupakan fraksi paling labil karena
paling mudah bertukar (most exchangeable).
Muara S Jeneberang
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu Zn
Tanjung Merdeka
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu Zn
Pantai Losari
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu Zn
Benteng
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu Zn
Kanal Paotere
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu Zn
Muara S Tallo
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu Zn
P. Bonetambung
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu ZnP. Bonetambung
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Pb Cd Cu Zn0%
20%
40%
60%
80%
100%
J ene TM Los ar i Benteng Paotere Tal lo Btam bung (kontro l)
Kon
sent
rasi
Pb
(%)
Fraks i 1 (ac id s o lub le) Frak si 2 (reduc ible) Frak s i 3 (ox idis able)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
J ene TM Los ari Benteng Paotere Tallo Btam bung ( kontrol )
Kon
sent
rasi
Cu
(%)
Frak si 1 (ac id so luble) Fraks i 2 (reducib le) Fraks i 3 (ox idis able)
0%
20%
40%
60%
80%
100%
J ene TM Los ar i Benteng Paotere Tal lo Btambung (k ontro l )
Kon
sent
rasi
Cd
(%)
Fraks i 1 (ac id s olub le) Frak si 2 (reduc ible) Frak si 3 (ox id isable)
0%
20%
40%
60%
80%
100 %
Jene TM Los ari Benteng Paotere Tal lo Btambung (k ontro l )
Kon
sent
rasi
Zn
(%)
Lo kasi Fra ksi 1 (a cid solu ble) Fr aksi 2 ( red ucible ) F raksi 3 (oxid isable )
Kons
entr
asi
Pb(%)
Kons
entr
asi
Cd(%)
Kons
entr
asi
Cu
(%)
Kons
entr
asi
Zn
(%)
Gambar 6. Persentasi fraksi Pb, Cd, Cu, dan Zn pada masing-masing lokasi penelitian
Berdasarkan persentasi fraksi 1 pada lokasi Jeneberang, Losari, dan Benteng,
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, logam yang paling tinggi mobilitasnya berturut-
turut adalah Cd > Zn > Cu > Pb. Kecuali pada lokasi Tanjung Merdeka, terdapat perbedaan
mobilitas logam, dimana urutannya adalah Zn > Cu > Pb; lokasi Paotere adalah Cd > Zn >
Pb > Cu; lokasi Tallo, dimana tidak terdeteksi fraksi 1 pada Cu, sehingga urutannya adalah
Cd > Zn > Pb; dan lokasi kontrol Bonetambung tidak terdeteksi semua fraksi logam yang
diteliti.
6.1 4.17.9
20.8
27.1
40.143.0
34.1
7.9 6.53.9
8.35.9
0.00.0
34.229.1
47.0
0
10
20
30
40
50
Jene TM Losari Benteng Paotere Tallo Btambung(kontrol)
Ris
k A
sses
smen
t Cod
e (R
AC
)
Pb1 Cd1 Cu1 Zn1
rendah
Sedang
Tinggi
SangatTinggi
Logam pada fraksi 1 merupakan logam yang paling mudah bertukar sehingga paling
mudah lepas dan larut dalam kolom air dan oleh karena itu merupakan fraksi yang paling
tersedia dan berpotensi diserap serta bisa menimbulkan toksisitas pada organisme perairan
(Sundaray et al., 2011). Dari urutan mobilitas tersebut dapat dinyatakan bahwa logam Cd
dan Zn pada penelitian ini merupakan logam yang memiliki potensi bioavailibilitas yang
paling tinggi dan dapat menimbulkan dampak biologis berbahaya bagi biota sekitarnya;
sedangkan logam Pb merupakan logam dengan potensi bioavailibilitas paling rendah.
Walaupun begitu, logam pada fraksi 2 dan 3 tidak dapat dianggap aman karena perubahan
faktor fisik kimia sedimen seperti pH dan potensi redoks dapat menyebabkan lepas ke
perairan dan atau berpindah pada fraksi 1.
Hasil penelitian spesiasi menunjukkan bahwa logam di sedimen berikatan pada fraksi
yang berbeda dengan kekuatan ikatan yang juga berbeda. Perbedaan ikatan tersebut
mengindikasikan reaktivitas sedimen serta dapat digunakan untuk menilai risiko bahaya
yang ditimbulkan oleh logam di lingkungan perairan. Dalam menilai risiko tersebut, suatu
indeks penilaian risiko, yaitu Risk Asessessment Code (RAC) digunakan dalam penilaian
ketersediaan (availabilitas) logam di sedimen dengan mengaplikasikan suatu skala pada nilai
persentasi logam di fraksi exchangeable dan karbonat (Honglei et al., 2008; Sundaray et al.,
2011). Hal ini penting karena logam yang berasal dari aktivitas antropogenik adalah
umumnya bersifat adsorptif, dapat bertukar (exchangeable) dan berikatan dengan fraksi
karbonat. Logam-logam tersebut perikatannya lemah sehingga dapat larut dalam kolom air
dan terserap oleh biota (Singh et al., 2005).
Berdasarkan kategori RAC pada Tabel 4 dan Gambar 7, terlihat bahwa 34.1 – 89.2
% logam Cd berada pada fraksi 1(acid reducible /exchangeable) di semua lokasi penelitian
sehingga dikategorikan berisiko tinggi terhadap lingkungan, kecuali di TM yang tidak
terdeteksi. Sedangkan logam Zn pada hampir seluruh lokasi dikategorikan berisiko tinggi,
kecuali di Tallo (29.1% pada fraksi 1), dan TM serta Bonetambung yang tidak terdeteksi.
Gambar 7. Kategori RAC logam Pb, Cd, Cu, dan Zn pada lokasi penelitianKESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan :
1. Berdasarkan nilai Faktor Pengayaan (EF), pengaruh antropogenik yang tertinggi
secara berurutan diidentifikasi di lokasi Paotere > Benteng > Losari > Tallo >
Jeneberang > Tanjung Merdeka (TM).
2. Lokasi Paotere dan Benteng merupakan lokasi yang rawan karena tingginya
konsentrasi logam Cd, Zn, dan Pb, pada fraksi acid reducible (most exchangeable).
Sedangkan di Tanjung Merdeka walaupun merupakan lokasi yang paling rendah
pengaruh input antropogenik, tetapi juga merupakan lokasi yang rawan akan
pencemaran Pb karena proporsi fraksi acid reducible yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Bao, V.W.W., K. M.Y. Leung, K. W.H. Kwok , A. Q. Zhang , and G. C.S. Lu. 2008. Synergistic toxic effects of zinc pyrithione and copper to three marine species: Implications on setting appropriate water quality criteria. Marine Pollution Bulletin 57: 616–623.
Bryan, G.W., and W.J. Langston. 1992. Bioavailability, accumulation and effects of heavy metals in sediments with special reference to United Kingdom estuaries: A review. Environ. Pollut. 31:89–131
Campbell, P.G.C., 2006. Cadmium—A Priority Pollutant. Environ. Chem., 3 : 387–388.
Davidson, C.M., R.P. Thomas, S.E. McVey, R. Perala, D. Littlejohn, and A.M. Ure. 1994. Evaluation of a sequential extraction procedure for the speciation of heavy metals in sediments. Analy. Chemi. Acta 291: 277 – 286
Eggleton, J., and K.V. Thomas. 2004. A review of factors affecting the release and bioavailability of contaminants during sediment disturbance events. Environ. Int. 30: 973–980.
Hendozko, E., P.Szefer, & J. Warzocha. 2010. Heavy metals in Macomabalthica and extractable metals in sediments from the southern Baltic Sea. Ecotoxicology and Environmental Safety 73: 152–163
Honglei, L., L. Liqing, Y. Chengqing, and S. Baoqing. 2008. Fraction distribution and risk assessment of heavy metals in sediments of Moshui Lake. Journal of Environmental Sciences 20: 390–397
Jakuba, R.W., M. A. Saito, J. W. Moffett, and Y. Xu. 2012. Dissolved zinc in the subarctic North Pacific and Bering Sea: Its distribution, speciation, and importance to primary producers. Global Biogeochemical Cycles, Vol. 26, Gb2015, 15 Pp., 2012
Libes, S.M. 2009. Introduction on Marine Biogeochemistry. Elsevier. Academic Press. USA
Loring, D.H., and R.T.T. Rantala. 1992. Manual for the geochemical analysis of marine sediments and suspended matter. Earth-Science Reviews 32: 235-283.
Luoma, S.N. and P.S. Rainbow. 2008. Metal Contamination in Aquatic Environments : Science and Lateral Management. Cambrdige University Press. New York. USA.
Neff, J.M. 2002. Bioaccumulation in Marine Organisms : effect of contaminant from Oil Well Produced Water. Elsevier, Amsterdam, the Netherlands.
Nowierski, M., G. Dixon, & U. Borgman, 2002. Effect of water source on metal bioavailability and toxicity from field collected sediments. Proceeding SETAC, Salt Lake City 16-20
November 2002.
Olubunmi, F.E., dan O.E. Olorunsola. 2010. Evaluation of the status heavy metal pollution of sediment of Agbabu Bitumen Deposit Area, Nigeria. European Journal of Scientific Research. Vol 41. No. 3: 373 – 382
Singh, K. P., Mohan, D., Singh, V. K. and Malik, A. 2005. Studies on distribution and fractionation of heavy metals in Gomti river sediements-a tributary of the Ganges, India. J. Hydro., 312: 14-27
Srinivasan, M., and G.W. Swain. 2007. Managing the Use of Copper-Based Antifouling Paints. Environ Manage 39:423-441
Stecko, J.R.P and L.I. Bendell-Young. 2000a. Uptake of 109 Cd from sediments by the bivalves Macoma Balthica and Protothaca staminea. Aquatic Toxicology 47 : 147 – 159.
Sundaray, S. K., B. B. Nayak, S. Lina, and D. Bhatta. 2011. Geochemical speciation and risk assessment of heavy metals in the river estuarine sediments—A case study: Mahanadi basin, India. Journal of Hazardous Materials 186 : 1837–1846
Sutherland, R.A., 2000. Bed sediment-associated trace metals in an urban stream, Oahu, Hawaii. Environmental Geology 39 (6) : 611-627
Thomas, C.A., and L.I. Bendell-Young. 1999. The significance of diagenesis versus riverine input in contributing to the sediment geochemical matrix of iron and manganese in an intertidal region. Estuarine, Coastal, and Shelf Science 48 : 635 – 647
Turki, A.J. 2007. Metal Speciation (Cd, Cu, Pb and Zn) in Sediments from Al Shabab Lagoon, Jeddah, Saudi Arabia. Marine Science 18 : 191-210.
Ure, A.M., Quevauviller, Muntau, H., Griepink, B., 1993. Speciation of heavy metals in solids and harmonization of extraction techniques undertaken under the auspices of the BCR of the Commission of the European Communities. Int. J. Environ. Anal. Chem. 51, 135–151
Xu, Y., D. Tang, Y. Shaked, and F.M.M. Morel. 2007. Zinc, cadmium, and cobalt interreplacement and relative use efficiencies in the coccolithophore Emiliania huxleyi. Limnol. Oceanogr., 52(5) : 2294–2305
Yuan, C., J. Shi, B. He, J. Liu, L. Liang dan G. Jiang. 2004. Spesiation of heavy metals in marine sediments from the East China Sea by ICP-MS with sequential extraction. Environment International, 30 : 769 – 783
Yunus, K, S.W. Ahmad, O.M. Chuan, and J.. Bidai. 2010. Spatial Distribution of Lead and Copper in the Bottom Sediments of Pahang River Estuary, Pahang, Malaysia(Taburan Plumbum dan Kuprum di Sedimen Dasar Muara Sungai Pahang, Pahang, Malaysia). Sains Malaysiana 39(4) : 543–547
Zhou, Y., B. Zhao, Y. Peng, dan G. Chen. 2010. Influence of mangrove reforestation on heavy metal accumulation and speciation in intertidal sediments. In Press. Mar Poll Bulletin.
Zimmerman, A.J., and D.C. Weindorf. 2010. HeavyMetal and TraceMetal Analysis in Soil by Sequential Extraction: A Review of Procedures. International Journal of Analytical Chemistry Volume 2010, 7 pages