Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan Kepada fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Nur Azmi Fadhillah
NIM: 1113044000099
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ii
iv
Abstrak
Nur azmi Fadhillah 1113044000099 dengan judul skripsi Status Perwalian
Anak Hasil Sewa Rahim Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Posisf .
Hukum Keluarga, Akhwal Asy-Syakhsiyyah, Fahultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Jakarta, 2018/1439 H,
Tujuan penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui dan memahami
status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum
positif. Apakah dalam hukum Islam dan hukum positif memperbolehkan atau
melarang adanya sewa rahim, dan bagaimna status kejelasan perwalian dan nasab
seorang anak yang dilahirkan dari hasil sewa rahim.
Metode penelitian yang dipakai dalam menyusun skripsi ini menggunakan
penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kepustakaan (library research).
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu masuk kedalam katagori jenis
penelitian hukum normatif, karena penelitian normatif disini membandingkan
antara hukum Islam dan hukum positif mengenai perwalian anak hasil sewa
rahim. Sumber data yang diguakan adalah sumber data primer dan sekunder untuk
mendapatkan informasi yan akurat dan obyektif. Teknik pengumpulan data
penulis menggunakan metode kepustakaan (library risearch) yaitu
mengumpulkan hasil data yang telah dikumpulkan. Adapun dalam analisis data
penulis melakukan penelitian ini ini melalui pengelola bahan-bahan hukum yang
telah dikumpulkan terlebih dahulu kemudian disusun secara sistematis dan
terarah.
Dalam hukum Islam dan hukum positif melakukan sewa rahim pada
wanita lain sangatlah dilarang tidak diperbolehkan (haram). Mengenai status
nasab dan perwalian seorang anak hasil sewa rahim dalam hukum Islam hanya
kepada ibunya dan keluarga ibunya. Adapun ayah bilogisnya tidak bisa menjadi
wali untuk anak tesebut. Namun dalam pandangan hukum positif status anak yang
lahir dari ibu pengganti dalam kaitannya dengan peraturan Undang-Undang
Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak tersebut, anak sah dari ibu
pengganti dan bukan anak dari orang tua yang menitipkan benih.
Kata kunci: perwalian anak, sewa rahim, hukum Islam, hukum positif
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang merajai alam
semesta yang telah memberikan kenikmatan kepada semua hambanya-Nya
sehingga dengan nikmat tersebut kita masih dalam lindungan-Nya, yakni nikmat
iman, Islam, dan kesehatan.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang menjadi teladan bagi semua manusia tak terkecuali penulis sendiri,
semoga kita semua selalu mendapatkan syafa’atnya dihari akhirat.
Akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul
“Status Perwalian Anak Hasil Sewa Rahim Dalam Pandangan Hukum Islam
dan Hukum Positif”. Penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana stara satu (S-1) pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universutas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan sekripsi
ini penulis menyadi masih banyak kesalahan, kekurangan dan jauh dari sempurna
karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.
Keberhasilan penulis menyelsaikan skripsi ini tidak terlepas berkat
dukungan, doa, moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan yang bahagia ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-
dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Abdul Halim. M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Bapak Indra Rahmatullah S.H.I, M.H selaku Sekretasi
Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Ibu Rosdiana M.Ag sekalu Dosen Pembimbing skripsi yang telah sabar
membimbing dan memberi arahan mengenai skripsi ini hingga
terselesaikannya skripsi ini.
4. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM sekalu Dosen Pembimbing akademik
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik
dan memberikan bekal ilmu kepada penulis selama masa kuliah, baik
secara langsung maupun tidak langsug.
6. Pimpinan perpustakaan baik kepada pihak Perpustakaan Utama maupun
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri
Jakarta, Perpustakanan Jakarta, dan Perpustakaan Nasional, yang telah
membatu memberikan pinjaman buku-buku sebagai bahan acuan penulis
untuk menyusun skripsi ini.
7. Terkhusus dan teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda
Mafrudho Badruddin dan ibunda Nur Mulyati yang telah mengasuh,
membersarkan, mendoakan, seta mendidik serta memberikan semangat
juga dan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis. Pengorbanan
dan kesabaran yang diberikan selama mendampingi perjuangan penulis
dalam mengapai cita-citanya. Rasanya tidak pernah cukup untuk berterima
kasih, semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat kepada keduanya.
Semoga penulis menjadi kebanggaan bagi kedunya sesuai yang
diharapkan. Butiran doa tiada henti penulis panjatkan untuk ibunda dan
ayahanda, semoga Allah menggangkat derajatnya dan memberi balasan
kebaikan dunia akhirat kelak Amin Allahumma amin.
8. Kepada kakak tersayang Mimi Mardhotillah S.Pd dan adik-adik saya Nur
Azifah Mawaddah Rahmah, Ibnu Ahmad Nur Jammi, dan Ibnu Ahmad
Dzikrulla, yang dari kecil hingga sekarang telah berjuang da hidup
bersama. Melangkah bersama untuk menuju kecerdasan dan kesuksesan
dunia akhirat. Yang menjadi tempat betukar fikiran, semoga Allah selalu
mengijabah semua doa dan penjuangan kita semua untuk dapat bahagia,
berilmu, sukses, dan mensukseskan orang lain. Semoga kita dapat menjadi
vii
anak yang selalu berbakti kepada kedua orang tua, menjadi wanita yang
shalehah, yang taat, serta bermanfaat, amin.
9. Kepada orang terdekat seperjuangan As’ad Nur Shodiqin yang hadir
memberikan pencerahan kepada penulis, menyediakan waktu untuk
berdiskusi mengenai judul-judul yang tepat, dan banyak memberikan
saran-saran yang membangun dan memotivasi hingga dapat terselesainya
skipsi ini.
10. Kepada seluruh teman-teman hukum keluarga khususnya SAS C angkatan
2013 yang telah berjuang bersama dan memberikan motivasi yang
membangun untuk membangkitkan semanagat belajar dan menyelesaikan
studi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik
bentuk, isi, maupun teknik penyajiannya. Oleh sebab itu kritikan yang bersifat
membangun dari berbagai pihak penulis terima dengan terbuka serta sangat
diharapkan. Semoga skripsi ini memenuhi sasaran.
Jakarta, Desember 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i
PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................. ii
LEBAR PERNYATAAN.................................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatan dan Perumusan Masalah ....................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 7
E. Metodelogi Penelitian ........................................................... 7
F. Teknik Penulisan .................................................................. 9
G. Studi Review Terdahulu ........................................................ 10
H. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN
STATUS ANAK ........................................................................ 12
A. Pengertian Perkawinan .......................................................... 12
1. Menurut Hukum Islam .................................................... 13
2. Menurut Hukum Positif .................................................. 16
B. Tujuan Perkawinan................................................................ 20
C. Status Anak Dalam Perkawinan ............................................ 21
D. Maqasid Syariah .................................................................... 28
BAB III TEORI SEWA RAHIM ............................................................... 36
A. Pengertian Sewa Rahim ........................................................ 36
B. Ruang Lingkup Sewa Rahim ................................................ 38
C. Proses Dan Pelaksanaan Sewa Rahim................................... 40
ix
D. Pendapat Ahli Kesehatan Mengenai Sewa Rahim ................ 41
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TERHADAP .STATUS PERWALIAN ANAK HASIL
SEWA RAHIM ........................................................................... 46
A. Status Perwalian Anak Hasil Sewa Rahim............................ 46
1. Dalam Pandangan Hukum Islam ..................................... 46
2. Dalam Hukum Positif ...................................................... 58
B. Status Nasab Anak Hasil Sewa Rahim.................................. 60
1. Dalam Pandangan Hukum Islam ..................................... 60
2. Dalam Pandangan Hukum Positif ................................... 63
C. Sewa Rahim Dalam Pandangan Hukum Islam dan
Hukum Positif ....................................................................... 64
D. Analisis .................................................................................. 67
BAB V PENUTUP ................................................................................... 71
A. Kesimpulan ........................................................................... 71
B. Saran ...................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang suci (hanif), diturunkan oleh Allah SWT
sebagai rahmatan lil „alamin. Setiap makhluk hidup mempunyai hak
menikmati kehidupan, baik hewan maupun tumbuhan, dipermukaan bumi ini.
Oleh karena itu, Islam sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal
yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap manusia diciptakan oleh
Allah SWT tidaklah dapat hidup secara sendirian. Manusia dikenal sebagai
makhluk social, oleh karena itu manusia adalah makhluk yang bergantung satu
sama lain dalam memenuhi segala kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan
dan melangsungkan kehidupannya manusia memerlukan aktivitas kehidupan
sosial, salah satu aktivitas manusia dalam melangsungkan dan menjalankan
kehidupannya untuk mendapatkan keturunan yaitu dengan cara jalan
perkawinan.
Tujuan dari perkawinan itu sendiri untuk mewujudkan kehidupan
tumah tangga yang sakinah (tentram, damai) mawaddah (kasih) dan rahmah
(sayang). Perkawinan juga akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban serta saling tolong menolong.
Menikah juga merupakan salah satu kebutuhan manusia yang menjadi
kebutuhan rohani dan jasmani yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa dengan
jenis perempuan dengan seorang laki-laki dengan saling mengenal dan
mencintai satu sama lain untuk hidup bersama. Perkawinan yang disyariatkan
supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju
kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat dalam naungan cinta kasih dan
ridho Ilahi1.
Perkawinan bukan hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat nafsu
seksual menurut cara yang sah, melainkan ia mengandung nilai-nilai yang
1Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Idonesia, (Bandung: Vorkik Van Hoeven,
1959) hal. 7
2
luhur yang ingin dicapai dengan perkawinan. Salah satu tujuan utama
perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Keturunan yang jelas
silsilah nasabnya, dan itu hanya diperoleh dengan jalan perkawinan. Menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan “ Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”2.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah
(tentram, damai) mawaddah (kasih) dan rahmah (sayang)3. Saling memberi
nasihat, terutama bagi suami isteri mempunyai peranan yang sangat besar
dalam menciptakan keharmonisan rumah tangga, menyelaraskan kelabilan dan
menyelesaikan kesalah pahaman. Namun banyak diantara para suami yang
beranggapan bahwa isteri tidak layak memberikan nasihat kepadanya. Seorang
suami yang hanya beranggapan kepada pendapatnya sendiri, tanpa mau
menengok pendapat isterinya, tentu tidak akan banyak memberikan manfaat
dalam menciptakan kebahagiaan. Bukan karena apa-apa, tapi karena ia
beranggapan bahwa mengajak seorang wanita bermusyawarah, akan
mengurangi kewajiban sebangai pemimpin rumah tangga4.
Sebuah rumah tangga akan terasa gersang dan kurang sempurna tanpa
adanya anak-anak, sekalipun rumah tersebut berlimpah harta dan benda. Anak
sangat diharapkan keberadaannya tidak saja karena ia diharapkan dapat
memberikan kepuasan batin ataupun juga dapat menunjang kepentingan-
kepentingan duniawi, tetapi dari pada itu anak dapat memberikan manfaat bagi
orang tuanya kelak jika sudah meninggal.
Mendapatkan anak merupakan fitrah manusia dari perkawinannya,
sebab anak merupakan tumpuan harapan orang tua. Kehadirannya akan
2Sastroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), cet. II, hal. 83 3Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pradilan Agama Jakarta: PT Raja Drafindo
Persada, 2002, cet ke II, hal 27 4Nasir Ibnu Sulaiman Al‟Umr, Sendi-Sendi Kebahagiaan Suami Istri, Jakarta: Pustaka,
1993, hal. 42
3
menambah semaraknya kehidupan. Sepasang suami isteri belum merasa
tentram jikalau perkawinannya belum mendapatkan anak. Dengan adanya
anak sebagai amanat Allah SWT dapatlah diwariskan apa yang dimiliki, ilmu
serta amalan yang bermanfaat untuk diteruskan kegenerasi mendatang.
Dalam pasal 42 UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan
bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
dari perkawinan yang sah5. Dengan hadirnya anak di tengah-tengah keluarga,
diharapkan sebagai kebahagiaan rumah tangga dapat dicapai. Anak yang
merupakan pancaran dan bukti cinta kasih sejati dari pasangan suami isteri
diharapkan sebagai sumber kerutunan dan kebahagiaan rumah tangga.
Tidak semua pasangan suami isteri dapat mempunyai keturunan
sebagaimana yang diharapkan. Secara de facto, karena hal ini kehidupan
rumah tangga sering kali kandas. Tidak mempunyai anak pada saat
melangsungkan rumah tangga bukanlah akhir dari hidup rumah tangga, akan
tetapi suatu anugerah yang tertunda yang telah direncanakan Allah SWT sang
pencipta. Tugas manusia adalah berikhtiar kepadanya-Nya, niscaya Allah pasti
akan mendengarkannya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang isteri tidak dapat
mengandung atau hamil, salah satunya ialah kemandulan baik penyebabnya
dari suami maupun dari isteri itu sendiri. Kemandulan dari pihak laki-laki
maupun perempuan tidak dapat diprediksi oleh siapa pun, hanya Allah yang
dapat mengetahui dan mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Sebagaimna
firman Allah SWT dalam QS. Asy-syura (42): 49-50
Artinya:”Milik allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa
yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia
kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.
5 Niniek Suparni, KItab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), (Jakarta: Rineka
Cipta, 2007), h. 62
4
Atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan
mandul kepada siapa yang Dia kehendaki, Dia Maha Mengetahui, Maha
Kuasa (Q.S. Asy-Syura (42): 49-50).
Dengan banyaknya pasangan suami isteri yang mengalami kemandulan
ataupun masalah yang lainnya seperti menjaga kesehatan isteri atau karena
pasangan tersebut belum mampu mengambil konsekuensi dalam masa-masa
kehamilan dan mengasuh anak. Dan terkadang seorang perempuan tidak mau
memiliki anak karena ingin menjaga bentuk tubuh supaya tetap seimbang.
Sehingga menjaga suaminya agar tetap menyanginya6.
Meskipun sewa rahim memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat
rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika apabila orang yang tidak
beragama dan beriman, sehingga potensial berdampak negatif dan fatal.
Kaidah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan
teknologi ini, sebab pengunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai
menurut agama, etika dan hukum yang berlaku dimasyarakat7. Oleh karena itu
banyak yang menimbulkan pro dan kontra mengenai sewa rahim yang muncul
berbagai masalah, diantaranya adalah perwalian anak yang lahir dari hasil
sewa rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum perdata yang berlaku
di Indonesia.
Dalam kasus di atas, selain kemadulan yang dialami pasangan suami
isteri, fenomena lain yang sering kita temui yaitu banyaknya di daerah
perkotaan, seorang wanita yang ingin mempunyai anak namun tidak ingin
merasakan kehamilan dan melahirkan, dengan alasan menjaga tubuhnya agar
tetap ideal dan terlihat bagus. Wanita yang hamil akan mengalami perubahan
pada tubuhnya perutnya yang semakin lama akan membesar dan tubuhnya
tidak akan ideal lagi. Oleh karena itu banyaknya wanita yang ingin
mempunyai anak namun tubuhnya tetap terlihat bagus dan ideal denga cara
menyewa rahim wanita lain agar mendapatkan keturunan dan menjaga
keutuhan rumah tangganya.
6 Syaikh Mutawali as-Sya‟rawi, Fiqh Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan
Pengormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karir. Jakarta: AMZAH, 2003, hal. 78 7Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporen), (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), cet. I, hal. 188
5
Islam sangat menjaga nasab anak, dalam perkawinan yang sah akan
memiliki keturunan yang sah pula. Beda halnya yang didapat dengan jalan
sewa rahim. Ketika pasangan suami isteri menanamkan benih dari hasil
pembuahan yang ditanamkan dirahim wanita lain. pasangan suami isteri yang
menyewa rahim perempuan lain dengan alasan karena si isteri tidak dapat
mengandung seorang anak, maka akan muncul suatu permasalahan dimana
status perwalian seorang anak hasil sewa rahim yang harus diperjelaskan. Oleh
karena itu, kejelasan perwalian anak hasil sewa rahim akan tetap jatuh kepada
ayah biologisnya atau kepada ibu yang mendonorkan sel telur dan bagaimana
status kejelasan ibu yang sudah mengandung dan melahirkannya.
Pada pasal 42 UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang dikatakan
anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari
perkawinan yang sah, karena sudah jelas nasab dan perwaliannya. Dari pasal
tersebut sudah jelas bahwa anak yang sah adalah dari perkawinan yang sah
dan mempunyai hubungan wali nasab kepada kedua orang tuanya yang sah.
Namun apabila anak yang lahir dari hasil sewa rahim juga berasal dari
benih atau pembuahan sel sperma dan sel telur dari pasangan suami isteri yang
sah pula, akan tetapi hanya penanamannya saja di rahim wanita lain, anak
hasil sewa rahim tidak dapat digolongkan sebagai anak sah karena diluar
perkawinan yang tidak diakui. Dari permasalahan tersebut maka timbul
masalah ketika wanita yang disewa rahimnya berstatus terikat pada
perkawinan yang sah (mempunyai suami) dan berstatus gadis ataupun janda.
Jika terjadi kasus seperti di atas, dimana pasangan suami isteri yang
mendonorkan sel sperma dan sel ovumnya kepada wanita lain yang berstatus
sudah menikah ataupun masih gadis, lalu bagaimana dengan status kejelasan
perwalian pada anak tersebut. Kepada siapa perwalian anak tersebut akan
dinisbathkan?
Berdasrkan pemaparan dan penjelasan di atas, maka penulis tertarik
untu menjadikan bahan kajian dalam skripsi dengan judul : “STATUS
PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ”
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih terarah dan menghindari persepsi dari pembaca, maka
penulis membatasi penelitian skripsi ini dalam ruang lingkup bahwa
hukum status perwalian anak hasil sewa rahim sebagai berikut:
a. Status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum
Islam dan hukum positif
b. Stasus nasab anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum Islam
dan hukum positif
c. Hukum sewa rahim ditinjau dari pandangan hukum Islam dan
hukum positif
2. Perumusan Masalah
Setiap peneliti tidak terlepas dari rumusan-rumusan tertentu yang
senantiasa terkait dengan pokok masalah yang menjadi inti pembahasan
dan selanjutnya dapat dipergunakan sehingga dapat pula diambil
manfaatnya. Adapun penyusunan skripsi ini menyusun rumusan sebagai
berikut:
1. Bagaimana status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan
hukum Islam dan hukum positif ?
Untuk melengkapi skripsi tersebut, penulis membuat pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
2. Bagaimana status nasab pada anak terhadap sewa rahim dalam
pandangan hukum Islam dan hukum positif ?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap sewa
rahim ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam melakuakan penilitian yang berkaitan dengan sewa rahim baik
sewa rahim itu dari sel sperma dan sel telur dari pasangan suami isteri itu
sendiri yang ditanam didalam rahim wanita lain, ataupun dari sel sperma dari
7
si suami dan sel telur wanita lain yang ditanam di rahim wanita lain yang
bukan isterinya.
Penulis mengemukakan tujuannya untuk mengetahui bagaimana
hukum Islam dan hukum positif menanggapi permasalahan tersebut apakah
dalam hukum Islam diperbolehkan ataupun sebaliknya, dan bagaimana hukum
positif melihat permasalahan tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Secara teroritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka untuk
mengembangkan wawasan ilmu khususnya dalam bidang hukum Islam
dan hukum positif yang berakaitan dengan status perwalian, nasab,
terhadap hasil sewa rahim.
b. Secara Praktis
Secara Praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk memperluas
pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan serta informasi bagi
masyarakat luas dapat mengetahui pandangan hukum Islam tentang nasab
anak dari hasil sewa rahim. Dalam menyikapi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi reproduksi serta untuk memenuhi syarat
akademis dalam rangka memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
kualitatif, yaitu dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library
research). Metode kepustakaan (library research) berdasarkan dengan
mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penelitian melalui studi
kepustakaan yang diperoleh melalui kajian undang-undang dan peraturan
8
peraturan yang ada dibawahnya serta bahan-bahan yang lain yang
berhubungan dengan data-data penelitian8.
1. Jenis Penelitian
Dari latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas,
bahwa jenis penelitian masuk ke dalam katagori penelitian hukum
normatif, karena dalam analisisnya menggunakan bahan bahan
kepustakaan sebagai sumber data penelitian9. Penelitian normatif disini
tentang perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang status
perwalian anak hasil sewa rahim.
Penelitian ini tergolong penelitain pustaka atau literature. Dalam
penelitian hukum, jenis ini masuk ke dalam katagori penelitan yuridis
normatif atau penelitian hukum kepustakaan, oleh karena itu dalam
penelitian ini bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu
penelitian digolongkan sebagai data sekunder.
2. Sumber Data
Sumber data adalah objek dari mana data itu diperoleh karena
penelitian ini adalah tergolong penelitian pustaka, maka keseluruhan data
adalah data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum. Oleh karena
itu, penelitian ini merupakan penelitian normatif dimana bahan pustaka
merupakan dasar dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data
sekunder.
a. Data Primer
Penelitian ini memperoleh dari sumber asli mengenai pokok
permasalahan yang menjadi pembahasan pada penulis ini10
. Sumber
data dapat dapat diperoleh melalui:
1. Al-Qur‟an
2. Kitab Hukum Islam
3. Hadist
8Lexy J. Meleong Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosdakaya, 2006), h. 29
9 Afif Fauzi Abbas, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Adelina Offiset, 2010), h. 158
10 Peter Muhammad Marzuki, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pranada Media
Group, 2005), h. 20
9
4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
5. Fatwa Majlis Ulama Indonesia
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka
berisikan informasi tentang bahan primer dengan mengadakan studi
kepustakaan mengenai data-data yang diharapkan seperti buku-buku,
karya ilmiah, jurnal, artikel, dll11
.
3. Teknik Pengumpulan Data.
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan maka
menggunakan metode libaray research (kepustakaan). Pengumpulan data
ini penulis mengumpulkan hasil yang data yang telah dikumpulkan12
.
4. Menganalisis Data
Analisis yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah melalui
pengelola bahan-bahan hukum yang telah dikumpulakan terlebih dahulu
kemudian disusun secara sistematis dan terarah. Langkah-langkah dalam
melakukan penelitian hukum di atas merupakan sebuah analisis bahan
hukum terhadap sebuah penelitian hukum yang telah menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif. Tujuan analisis bahan hukum tersebut adalah
untuk menemukan jawaban atas permasalahan pokok yang dibahas. Dalam
analisis terkait masalah skripsi ini dengan menganisis buku-buku, karya
ilmiah, surat kabar, artikel, majalah, dan lain-lain mengenai pandangan
yang terkait pada skripsi ini. Adapun yang terakhir hasil analisis penulis
terkait status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum
Islam dan hukum positif.
F. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan pada buku pedoman penulisan
11
Peter Muhammad Marzuki, Pengantar Penelitian Hukum, h. 20 12
Soemitro Romy H, Metode Penelitian Hukim, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71
10
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017.
G. Review Study Terdahulu
Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi secara khusus membahas
judul sama seperti judul yang penulis ajukan atau yang serupa khususnya di
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dan Fakultas
Hukum di Universitas lainnya. Ada beberapa karya tulis lain yang
berhubungan dengan skripsi ini khusnya di Fakultas Syariah dan Hukum tapi
hanya sekedar membahas status anak hasil inseminasi buatan. Diantaranya
sebagai berikut.
Pertama, study perbadingan tentang “Kedudukan Anak Dalam
Kandungan Sebagai Hasil dari Zina dan Inseminasi Buatan Untuk Menerima
Harta Warisan Hukum Islam dan BW (KUHperdata)”. Dalam penelitian ini
membahas status anak hasil inseminasi buatan yang dikehendaki oleh kedua
pasangan. Menurut BW (KUHperdata) pasal 250-251 anak tersebut menjadi
sah karena dikehendaki kedua pasangan.
Kedua, inseminasi buatan kedudukan anak hasil dalam perwalian
menurut perspektif hukum Islam. Dalam penelitan ini membahas tenang anak
hasil inseminasi buatan yang dibekukan embrionya yang dikehendaki,
kemudian ditanamkan ke dalam rahim isteri setelah melewati masa iddah
suami meninggal dunia apakah anak tersebut menjadi anak yang sah dari
perkawinan anak zinah.
H. Sistematika Penulisan
Agar penulis skripsi ini lebih sistematis maka untuk menyusun
membagi menjadi lima bagian yang akan dipaparkan sebagai berikut:
BAB I: pada bab I ini berisi tentang pendahuluan, yang mencangkup latar
belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, teknik penulisan, study terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
11
BAB II: Tinjauan umum tentang perkawinan dan status anak,yang meliputi
pengertian perkawinan dalam hukum Islam dan hukum Positif,
tujuan perkawinan, stasus anak dan maqasid syariah (hifz Nasl)
BAB III: pada bab ini akan membahas tentang fenomena sewa rahim yang
meliputi pengertian sewa rahim, ruang lingkup sewa rahim, proses
dan pelaksanaan sewa rahim, pendapat ahli kesehatan mengenai
sewa rahim.
BAB IV: sedangkan pada bab empat, penulis akan melakukan analisis
tentang status perwalian anak hasil sewa rahim menurut pandangan
hukum Islam dan hukum positif, status nasab anak hasil sewa
rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif, sewa
rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif,
BAB V: Pada bab ini berisikan penutup yang membahas tentang kesimpulan
dan saran
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN STATUS ANAK
A. Pengertian Perkawinan
Nikah menurut bahasa mengumpulkan dan mengabungkan. Menurut
Al-Zuhri sebagaimana dikutip oleh Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad Al-Khusaini dalam kitab Kifayatul Al-Akhyar Fi Halli Ghayati
Al-Ikhtishori bahwa asal nikah dalam perkataan orang arab punya arti Al-
wath‟i (hubungan badan) walaupun kadang-kadang nikah berarti akad1.
Nikah menurut terminologi akad yang mengandung beberapa rukun
dan syarat yang memperbolehkan wath‟i dengan lafadz النكاح atau تزويج.2
Golongan ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti
akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki). Pendapatnya berarti juga untuk
hubungan kelamin, namun dalam arti tidak sebenarnya (arti majzi).
Sebaliknya, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung
arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk yang
lainnya seperti untuk akad dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan
untuk maksud tersebut3.
Dalam perkawinan dapat memberikan jalan bagi manusia yang aman
pada naluri sesksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga
harga diri agar ia tidak laksana rumput yang dapat dimakan oleh binatang
ternak maupun dengan seenaknya4.
1. Perkawinan Menurut Hukum Islam
Ta‟rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-
1 Imam TaqiyuddinAbu Bakar bin Muhammad Al-Khusaini Al-Dimasku, Kifayatul Akhyar
fi Halli Rohyatul Khissor, (Semarang: Maktabah Thoha Putra), Jilid-2, h. 36 2 Syakh Ibrahim Al-Bajuri, Khasiyah Al-Bajuri Ala Ibnu Qosim Al-Ghazali, (Al-
Kharamain), h. 91 3 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2008), cet 1, h. 449
4 Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.289
13
laki dan seoarang perempuan yang bukan mahram5. Sebagaiman Firman
Allah dalam Q.S. An-Nisa:4 3:
Artinya:”Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya, maka
nikahilah perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika
kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka (nikahilah) seorang
saja, atau hamba sahaya perempuan yang kami miliki yang demikian itu
lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (Q.S. An-Nissa:4:3)
Maksud ayat di atas menjelaskan sebuah pernikahan, pasangan suami
isteri yang telah menikah mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing.
Selain melaksakan hak dan kewajiban mereka, pernikahan juga merupakan
sunah Nabi, menikah juga akan menambah pahala kepada pasangan suami
isteri. Dalam sebuah pernikahan juga akan tibul rasa saling tolong menolong
antara keduanya, dengan menikah kita juga bisa menjaga pandangan kita
terhadap lawan jenis dan membatasi diri kita terhadap yang bukan mahram
kita.
Nikah adalah suatu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja
merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju
pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainya, dan perkenalan
itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara yang satu
dengan yang lainnya6.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya
dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan
5 H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), Cet-56, h. 375
6 H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet-I, h. 45
14
keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak, dari baiknya
pergaulan antara si isteri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindah
kebaikan itu kepada semua keluarga , dari keluarga belah pihaknya, hingga
mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-menolongan sesamanya
dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu
dengan pernikahan seorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya7.
Sebagaimana hadist yang dikutip oleh imam Ibnu Hajar As-Qolani dalam
kitab Bulughul Mahram Minadlitil Ahkam Dari Ibnu Mas‟ud ra, Nabi SAW
bersabda:
ج. فانه اغض للبصر, واحضر للف باب هن الستطاع هنكن الباءة فليتزو رج يا هعشر الش
وم (فا نه له وجاء )هتفق عليه وهن لن يستطع فعليه با الص8
Artinya: “Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu
serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah ia menikah. Karena
sesungguhnya pernikahan itu dapat merundukan pandangan mata terhadap
orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan
syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia puasa,
karena dengan puasa hawa nafsu terhadap peremuan akan berkurng. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Mahmud Yunus mengemukakan pengertian nikah itu adalah aqad
antara calon suami dan calon istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut
yang diatur oleh syariat9.
Dengan adanya suatu perkawinan, maka seorang laki-laki yang
menjadi suami memperoleh berbagai hak suami dalam berkeluarga. Begitupun
seorang wanita yang mengikatkan diri sebagai isetri dalam suatu perkawinan
memperoleh berbagai hak pula. Disamping itu sebagaimana lazim dan
wajarnya memikul pula kewajiban-kewajiban akibat menggabungkan dan
mengikatkan diri dalam keluarga hasil perkawinan itu. Hak dan kewajiban itu
ditegaskan dalam Al-Qur‟an dan hadits Rasulullah saw.10
7 H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,h, 374
8 Hafidz bin Hajar Al-Asqolani, Bulughul Maram, (Surabaya: Darul Ilmi), h. 200
9 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1990), h. 1 10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press,1986), h. 73
15
Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan
terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.
Berhubung oleh undang-undang Perkawian dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya, maka bagi umat Islam ketentuan mengenai terlaksananya
akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang menentukan untuk
syah atau tidak sahnya suatu perkawinan11
. Adapun rukun dan syarat dalam
perkawinan yaitu:
a. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun dalam perkawinan itu terdiri
atas12
:
1) Adanya calon mempelai laki-laki
2) Calon mempelai wanita
3) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
4) Adanya dua orang saksi
5) Sighat akad nikah, yaitu ijab dan qabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya, dan dijawab oleh pengantin laki-laki.
b. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat sahnya terpenuhi maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua yaitu13
:
1) Calon mempelai perempuan halal dinikahkan oleh laki-laki yang ingin
menjadikan isterinya. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram
dinikahi, baik karena haram untuk dinikahi untuk sementara maupun
selamanya.
11
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan slam di Indonesia: Antar Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 59 12
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,h. 46 13
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 27
16
2) Akad nikahnya dihadiri para saksi. Diantaranya adalah persetujuan
para pihak.
2. Perkawinan Menurut Hukum Positif
a. KUHPerdata
Perkawinan dalam pasal 26 BW ialah pertalian sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. UU
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan. Sedangkan
dalam pasal 104 BW yaitu sebagai suatu perbuatan untuk
melangsungkan perkawinan. Dan perbuatan setelah perkawinan14
.
Ketentuan mengenai perkawinan ini diatur adalam
KUHPerdata pada pasal 26 sampai dengan pasal 102 KUHPerdata.
Ketentuan umum mengenai perkawinan hanya terdiri dari satu pasal
yang disebutkan dalam pasal 26 BW, yang menyatakan bahwa undang-
undang memandang perkawinan hanya didalam hubungan
keperdataannya saja. Ketentuan ini berimplikasi bahwa suatu
perkawinan hanya sah jika memenuhi persyaratan serta peraturan
agamanya dikesampingkan15
.
Ali Affandi menyimpulkan bahwa menurut KUHPerdata,
pengertian perkawinan adalah persatuan seorang pria dengan seorang
wanita secara hukum untuk hidup bersama selama-lamanya. Ketentuan
ini dengan tidak tegas dijelaskan dalam suatu pasal, akan tetapi
disimpulkan dari esensi mengenai perkawinan16
.
b. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Pengertian perkawinan di Indonesia menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai seorang suami isteri dengan tujuan membentuk
14
Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), h. 23 15
Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdat, h. 23 16
Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), h. 94
17
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan
yang Maha Esa17
.
Nikah itu dianggap sah apabila setiap akad yang memenuhi
rukun dan syarat pelaksanaan nikah serta kedua orang tua yang
berakad itu telah memenuhi syarat sebagai orang yang cakap dimuka
umum. Berdasarkan pengertian di atas, maka jika kedua orang yang
merdeka, baligh serta berakal mengadakan suatu akad nikah serta
seluruh syarat dan rukun nikah tersebut terpenuhi dan berupa
pernyataan menerima18
.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, misalnya disebutkan syarat-syarat perkawinan berikut
ini19
:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai
2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,
maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang
tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
17
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPeradat), (Jakarta: Rineka
Cipta, 2007), h. 8 18
Benyamin Asri, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: PT. Tarsito , 1998),
Cet I, h. 15 19
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 97
18
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atau permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4).
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Disebutkan dalam undang-undang republik Indonesia No. 1
Tahun 1974 pasal 6 ayat (1) tentang syarat perkawinan menyebutkan
bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah
pihak”. Jadi perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan kedua calon
suami dan isteri seperti nikah dibawah umur yang didesak oleh
masyarakat atas dasar hukum adat yang tejadi karena batal dan
menyalahi peraturan Islam dan perundang-undangan tentang syarat
perkawinan20
.
Terkait dengan pernikahan dini dalam UU perkawinan No. 1
tahun 1974 dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi:“perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan
Belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (Enam Belas)
tahun21
.
Apabila tidak mencapai usia tersebut, maka dapat
melangsungkan perkawinan kecuali ada dispensasi dari pengadilan
atau penjabat lain yang telah ditempuh oleh kedua wali atau kedua
belah pihak. Hal ini sesuai dengan UU pasal 7 ayat 2 yang berbunyi
“Dalam Hal penyimpangan terhadap pasal 1 ayat ini dapat diminta
20
MR. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 8 21
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), h. 9
19
dispensasi kepada pengadilan atau penjabat lain yang diajukan oleh
kedua orang tua pria dan wanita”22
.
c. Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai
salah satu ibadah muamalah. Ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Kompilasi
Hukum Islam meyatakan, perkawinan dilihat dari segi keagamaan
adalah suatu “perikatan jasmani dan rohani” yang membawa akibat
hukum tehadap agama yang dianut keduanya calon mempelai beserta
keluarga kerabatnya. Perkawinan dalam arti “ikatan jasmani dan
rohani” berarti suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang
selamat bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat, bukan saja lahiriyah
tetapi juga batiniyah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya
tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa. Oleh karenanya
pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan
yang berlangsung tidak seagama23
.
pengertian perkawinan maupun dasar hukum masalah
perkawinan yang disebutkan di atas berarti memberikan ketentuan
bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan suci yang memerlukan
aturan-aturan untuk mengaturnya oleh karena, apabila Islam mengatur
masalah perkawinan sangat teliti dan terperinci untuk membawa
manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat
mulia ditengah makhluk-makhluk Allah yang lain24
.
Berbeda dengan UU No.1 Tahun 1974 KHI ketika membahas
tentang rukun perkawinan tampakya mengikuti sistematika fikih yang
mengkaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Kendati pun
KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata
dalam uraian persyaratanya. KHI mengikuti UUP yang melihat syarat
22
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), h. 10 23
H. Ahmad Rofir, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada,
2013), cet-I, h. 29 24
Muhammad Amirudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinan Grafika,
1996), h. 24
20
hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batas
umur25
.
Melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut
persetujuan kedua calon dan batas umur serta tidak adanya halangan
perkawinan antar kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat
menentukan untuk mencapai tujuan perkawinan itu sendiri26
.
Persetujuan kedua calon meniscayakan perkawinan itu tidak didasari
oleh paksaan.
B. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang sakinah (damai,
tenteram) mawaddah (kasih) dan rohmah (sayang). Selain membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, tujuan perkawinan juga
untuk melangsungkan keturunan27
.
Bagi setiap muslim untuk mengkaji dan mengetahui tujuan pernikahan
dalam Islam, agar dapat berjuang untuk mewujudkannya. Adapun tujuan dari
disyariatkannya perkawinan atas umat Islam diantaranya adalah:
1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi
yang akan datang.
2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan
rasa kasih sayang28
.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kerusakan dan
kejahatan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersunggung-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
25
Muhammad Amirudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 31 26
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-Undangan
Hukum Adat dan Hukum Agama,(Bandung: Mandar Maju,
1990), h. 45-46 27
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, 28
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 46
21
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram
atas dasar cinta dan kasih sayang29
.
C. STATUS ANAK DALAM PERKAWINAN
1. Pengertian Anak
Pengertian anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
anak adalah keturunan kedua30
. Dalam konsideran UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dikatakan anak adalah amanah dan Karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya31
.
Pengertian anak sebagaimana yang disimpulkan oleh Prof. Dr. Hj.
Chuzaemah Tahido Yanggo dalam bukunya Fiqih Anak yaitu Ash-
Shaghir menurut bahasa berarti anak kecil adalah lawan dari al-kabir
(orang dewasa/yang besar). Asal kantanya dari fi‟il shaghura, shaghir
(shifah musyabbahah) dan jamaknya adalah shighar. Sedangkan,
ashgharahu ghayruhu, shaghgharahu tashghiran, dan istashgharagu
artinya menganggap anak kecil atau hina. Sementara kata ash-shaghra
adalah bentuk mu‟annas (feminine gender) dari ashghar (lebih kecil)32
.
Dalam pandangan Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada
kedua orang tua, masyarakat bangsa dan Negara yang kelak akan
memakmurkan dunia sebagai rahmatanlil „alamin (kasih sayang seluruh
umat) dan sebagai pewaris ajaran Islam pengertian ini mengandung arti
bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan
sebagai implementasi amalan yang diterima oleh orang tua, masyarakat,
bangsa dan Negara33
.
29
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat , h. 22 30
Muhammad Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani), h. 10 31
M. Taufik Makarao, Hukum Perlindungan anak dan Pengahpusan Kekerasan Dalam
Rumah Tanggga, (Jakarta: Rineka Cipta, 20140, h. 62 32
Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004), h. 1,
mengutip dari Mukhtar ash-Shihhah, h. 363, karangan ar-Razy, Yakni , Muhammad bin Abu
Bakar bin Abdul Qadir ar-Razy. 33
Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, h. 2
22
Kedudukan anak berdasarkan UUD 1945 terdapat dalam pasal 34
yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
Negara” hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari
hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk
mencapai kesejahteraan anak34
. Dengan kata lain, anak tersebut
merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan UU Peradilan anak dalam UU No.3 Tahun 1997
tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “anak adalah orang dalam
perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah35
.
Setelah mengetahui dari pengertian anak yang telah dijelaskan di
atas, dalam kajian hukum ada beberapa sebutan pada anak yaitu antara
lain:
a. Anak Sah
Menurut ketentuan pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 (UU No.1/1974) anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah36
. Menurut penjelasan pasal
tersebut dinyatakan cukup jelas. Padahal sebenarnya, kalau dicermati
kalimat tersebut masih menimbulkan persepsi yang berbeda.
Perbedaan persepsi tersebut dipicu oleh kata “dalam “ dalam kalimat
“dalam perkawinan yang sah” ketentual pasal 42 tersebut memberikan
pemahaman tentang dua jenis anak yang sah, yaitu anak yang lahir
dalam perkawinan yang sah, serta anak yang dilahirkan sebagai akibat
perkawinan yang sah37
.
34
Departemen Agama RI, UUD 1945, pasal 34 35
UU No. 3 Tahun 1997, Tentang Peradilan Anak Tercantum Dalam Pasal 1 Ayat (2) 36
NIniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), h. 62 37
H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), g. 81
23
Pemahaman yang berbeda tersebut akan sirnah jika membaca
pasal berikutnya yaitu pasal 43 ayat (1) UU No.1/1974, yang
menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya38
. Dari
ketentuan ini dapat dipahami bahwa pengertian yang dikehendaki oleh
pasal 42, dengan jenis anak sah yang pertama adalah anak yang
dilahirkan dalam perkawinan, bukan anak yang dilahirkan diluar
perkawinan, sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 43 diatas.
Adapun pengertian anak sah menurut Perdata Barat adalah
anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh
suami sebagai ayahnya. Menurut Vollmar, anak sah adalah anak yang
dilahirkan atau dibesarkan didalam perkawinan. Subekti juga
mengatakan, seorang anak sah ialah, anak yang dianggap lahir dari
perkawinan yang sah antara ibu dan ayahnaya39
.
Perbedaan antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi
Hukum Islam mengenai pengertian anak sah selain apa yang
ditentukan dalam pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 yang hampir sama
isinya dengan pasal 99 sub (a) KHI bahwa anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah40
. KHI
menambahkan dengan hal yang kedua itu hasil pembuahan suami isteri
yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
38
H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan
Agama,(Jakarta: Raja Grafindo Perdasa, 2001), h. 81 39
Huraimati Natadimaja, Hukum Perdata Menegenai Hukum Perorangan dan Hukum
Benda, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h. 29 40
H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan
Agama, h.81
24
b. Anak Zina
Menurut Abdul Qadir Audah zina adalah hubungan seksual
yang diharamkan itu, adalah memasukkan penis laki-laki ke vagina
perempuan baik seluruh mapun sebagian (iltiqa khitaanain)41
.
Zina adalah perbuatan yang berupa melakukan hubungan
kelamin sebagai hubungan suami isteri antara seorang pria dengan
seorang wanita tanpa adanya ikatan perakawinan. Tanpa didahului
adanya ijab kabul, dalam melakukan perkawinan tanpa dihadiri oleh
dua orang saksi dan tanpa adanya wali bagi wanita42
.
Dalam bukunya Wahbah Zuhaily yang dimaksud zina adalah
menurut bahasa dan istilah syara‟ mempunyai pengertian yang sama,
yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki perempuan
pada kemaluan depannya tanpa dilandasi tali kepemilikan dan syubhat
kepemilikan43
.
Oleh karena itu anak dilahirkan dari hasil perzinaan hanya
dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya saja (pasal 43 UU
No.1/1974)44
. Anak yang jelas dilahirkan dari hasil perzinaan tidak
dapat diupayakan untuk dijadikan sebagai anak yang bukan zina,
dengan cara motif apapun termasuk didalamnya melalui pengakuan.
c. Anak Li’an
Dipersamakan dengan anak zina adalah anak lahir dari
perempuan yang di li‟an. Li‟an adalah sumpah yang diucapkan seorang
suami terhadap isterinya, bahwa isterinya telah melakukan zinah.
Ucapan tersebut dilakukan sebanyak 4 kali. Kemudian kelima kalinya
dikukuhkan dengan suatu pernyataan bahwa laknat Allah akan
41
Abdul Qadir „Audah, Criminal Law Of Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1999), vol-3,
Improved Edition, h. 5 42
Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo
Persada, 1994, h. 24 43
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqih Al-Islami Wa Adillatukhu, 10, (Jakarta: Gema insani, 2011),
cet-I, h. 681 44
Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, h. 24
25
menimpa dirinya, jika tuduhan terhadap isterinya berbohong. Jika
isterinya menolak dan dengan mengucapkan sunpah yang sama, maka
terjadilah perceraian melalui li‟an. Apabila ada proses sumpah li‟an
tersebut, si isteri dalam keadaan mengadung, lalu melahirkan anak,
maka anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada seorang laki-laki
yang telah sumpah li‟an kepada ibunya tersebut. Anak tersebut harus
dinasabkan kepada ibunya yang melahirkan dan keluarga ibunya.
Tetapi menurut Abu Hanifah dan Ahmad, anak yang dikandung tetap
dinasabkan kepada suami, naik itu dilahirkan dalam masa kandungan
enam bulan atau kurang dari itu45
.
d. Anak Perkawinan Batal/Fasid
Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh
akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan
antara suami dan isteri46
. Suatu pernikahan fasakh yang telah
menghasilkan keturunan (anak), maka anak tersebut tetap dinasabkan
kepada suami ibunya yang nikahnya fasid itu47
.
Menurut Amir Syarifudin, fasakh adalah putusnya perkawinan
atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya
sesuatu pada suami dan atau pada isteri yang menandakan tidak
tepatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan48
.
Jika pelakunya tidak mengatahui fasid atau batalnya nikah yang
dilakukan itu, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu
dinasabkan kepada pria yang menikahinya itu49
.
e. Anak Persetubuhan Syubhat
Senggama atau persetubuhan syubhat adalah hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan yang terjadi bukan karena perkawian
sah dan bukan pula karena perzinaan. Apabila persetubuhan
45
Sarmin, Terjemahan rahmatul Ummah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1991), h. 402 46
Andi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: UII Press, 2004), h. 72 47
K. wancik Shaleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: UII Press, 2004), h. 72 48
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pranada Media, 2006), h.197 49
Abdul karim bin Amir Abdat, Dikutib dari Kitab “Menanti Buah Hati Untuk Yang
Dinanti, (Jakarta: Darul Qolam, 2002), Cet. 1, h. 84
26
menyebabkan lahirnya keturunan (anak) maka anak tersebut
dinasabkan kepada pria yang menyetubuhinya dengan syarat kelahiran
anak tersebut terjadi setelah 6 bulan dari terjadinya persetubuhan. Jika
anak lahir sebulum masa minimal kehamilan, maka tidak dinasabkan
kepada pria tersebut. Sebab, sangat mungkin wanita yang melahirkan
tersebut telah hamil sebelum terjadinya persetubuhan syubhat, dengan
laki-laki lain50
.
f. Anak Kawin Hamil
Kawin hamil adalah kawin dengan atau terhadap wanita yang
hamil diluar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya
maupun laki-laki lain, yang bukan menghamilinya51
.
Dalam menyikapi kasus tersebut ulama fiqih berbeda pendapat.
Empat imam mazhab berpendapat, bahwa perkawinan keduanya
(suami isteri tersebut) sah dan keduanya boleh bercampur sebagai
suami isteri dengan ketentuan, bila laki-laki itu yang menghamilinya
dan kemudian ia baru mengawininya52
.
Ulama hukum Islam berbeda pendapat dalam menyikapi
perkawinan demikian. Dalam pendapat yang menyatakan sah tersebut,
terdapat pendapat yang mensyaratkan, selama anak yang dikandung
wanita belum lahir, si pria belum boleh melakukan hubungan seksual
dengan wanitanya. Dan ada yang mengsyaratkan, setelah anak lahir
harus dilakukan pernikahan ulang53
. KHI tampaknya mengambil
pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut sah dan tidak
perlu pernikahan ulang sebagaimana dinyatakan dalam pasal 53 ayat
(3), bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita
hamil tersebut tidak perlu perkawinan ulang setelah yang dikandung
50
Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo
Persada, H. 28 51
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Sianr Jaya, 2010) h. 124 52
Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, h. 10 53
Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo
Persada, h. 30
27
lahir54
. Perlu ditegaskan bahwa yang boleh menikahi wanita hamil
diluar nikah hanyalah pria yang menghamilinya, bukan pria lain yang
bukan menghamilinya.
Perkawinan wanita hamil diluar nikah oleh pria yang
menghamilinya dianggap sebagai perkawinan yang sah, maka
akibatnya anak yang diahirkannya sebagai anak yang sah. Hal ini
berbeda jika status hukum terhadap perkawinan tersebut hukumnya
haram, maka status hukum anak yang dilahirkannya juga menjadi
haram. Jika anak dianggap sebagai anak yang sah, maka
konsekuensinya anak tersebut harus dinasabkan kepada pria yang
dinikahi wanita tersebut.
g. Anak Angkat
Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian anak angkat
sebagai anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang
tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan55
.
Anak angkat ialah seorang anak dari sorang ibu dan bapak
diambil oleh manusia lain untuk dijadikan anak sendiri. Anak angkat
tidak menjadikan anak tersebut sebagai ahli waris bagi bapak
angkatnya tentu sangat sejalan dengan ajaran agama Islam, yang selalu
memerintahkan kepada pemeluknya untuk senantiasa melakukan
tolong-menolong dalam kebaikan, menolong orang-orang dalam hidup
kekurangan seperti menyantuni orang-orang miskin, membantu orang-
orang yang lemah, memelihara dan menyantunin yatim piatu,
memberikan sedekah kepada mereka yang lemah dan sebagainya56
.
Kemudian Islam mengharamkan pengambilan anak itu selama-
lamanya dan membatalkan perbuatan itu dan juga menghapus
54
H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan
Agama, h. 85 55
Pasal 171 Huruf H Kompilasi Hukum Islam 56
Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo
Persada, h. 32
28
pengambilan anak angkat itu sebagai salah satu cara untuk menetapkan
seorang anak sebagai anak, keturunan dari seorang ayah. Dan
pemberian hak anak angkat sebagai hak anak kandung, itu adalah suatu
hal yang dusta yang merupakan kebohongan57
.
D. MAQASID SYARIAH
1. Pengertian Maqasid Syariah
Ditinjau dari segi bahasa, kata maqashid merupakan jama‟ dari
kata maqashid yang berarti kesulitan dari apa yang ditunjukkan atau
dimaksud58
. Secara akar bahasa maqashid berasal dari kata qashada,
yaqdisu, qasdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang
teguh dan sengaja59
. Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia60
, kata
maqashid diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada
ilaihi).
Sedangkan kata syari‟ah adalah mashdar yang berarti syar‟ berarti
sesuatu yang dibuka untuk mengambil yang ada didalamnya, dan syari‟ah
adalah tempat yang didatangi oleh manusia atau hewan untuk minum air61
.
Selain itu juga berasal dari akar kata syara‟a, yasyri‟u. syara‟an, yang
berarti memulai plaksanaan suatu pekerjaan62
. Kemudian Abdur Rahman
mengartikan syari‟ah sebagai jalan yang harus diikuti atau secara harfiah
berarti jalan kesuatu mata air63
.
Sementara itu Al-Syabiti mengartikan Syari‟ah sebagai hukum-
hukum Allah yang mengikat atau mengelilingi para mukhalaf, baik
57
Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak,h, 13 58
Ahsan Lihasanah, “Al-Fiqh Al-Maqashid „Inda Al-Imam Al-Syabiti”, (Mesir: Dar Al-
Salam, 2008), h. 11 59
Ahsan Lihasanah, “Al-Fiqh Al-Maqashid „Inda Al-Imam Al-Syabiti”, h. 11 60
Muhammad Yunus, kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Muhammad Yunus
wazduryah, 1990), h. 234 61
Abu Al-Husain Ahmad bin Farisbin Zakariyah, Mu‟jam maqayis Al-Lughah, h. 262 62
Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer,(Jakarta: gaung Persada Press, 2007), h. 36 63
Abdur Rahman I, Doi, Syari‟ah Kodifikasi Hukum Islam, terj. (Jakarta: Rineka Cipta,
1993), h. 1
29
perbuatan-perbuatan, perkataan-perkataan ataupun I‟tiqad-i‟tiqad-nya
secara keseluruhan terkandung didalamnya64
.
Dengan mengabungkan kedua kata di atas, maqashid dan syari‟ah,
serta mengetahui arti secara bahasa maka secara sederhana maqashid
syari‟ah dapat didefinisikan sebagai maksud atau tujuan allah dalam
mensyari‟atkan suatu hukum.
Sedangkan menurut syariah dalam kajian tetang hukum Islam, al-
Syabiti sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum Islam berarti
kesatuan dalam asal-usulnya yang terlebih lagi kesatuan dalam tujuan
hukumnya. Untuk menekan tujuan hukum ini al-Syabiti mengemukakan
konsepnya tentang maqashid al syari‟ah, dengan penjelasan bahwa tujuan
hukum adalah suatu yakni kebaikan dan kesejahteraan umat manusia65
.
Maqashid al syari‟ah berarti tujuan Allah SWT dan Rasulullah
SAW dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri
ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis sebagai
rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup
manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk dunia saja tetapi juga untuk kehidupan
kekal diakhirat kelak. Abu Ishak Al-Syabiti merumuskan lima tujuan
hukum Islam yakni66
:
a. Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama)67
Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama dalam hukum
Islam. Sebabnya karena agama merupakan pedoman hidup manusia,
dan di dalam agama Islam komponen-komponen kaidah yang
merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang
64
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah, Juz I, (Beirut: Dar Al-
Ma‟rifah0, h. 88 65
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah, h. 6 66
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah, h. 8-10 67
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah
30
merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam hubungan dengan
Tuhannya maupun berhubungan dengan manusia lain dalam
masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama
yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang
beribadah menurut keyakinannya.
b. Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa)68
Untuk tujun ini Islam melarang pembunuhan dan pelaku
pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas (pembalasan yang
seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum
melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang
dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga mati atau jika orang yang
dibunuh itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga
akan cedera.
Mengenai hal ini terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S A-
Baqarah (2): 178-179
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
(melasanakan) qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.
Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba
sahaya , wanita dengan wanita. Maka barang siapa memperoleh maaf
dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan
membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik pula. Yang
demikian itu salah satu keringanan dan rahmat dari Tuhamu. Barang
siapa melampaui batas sesudah itu, maka ia mendapatkan azab sangat
pedih. Dan dalam qishash itu ada jaminan kehidupan bagi kamu, agar
kamu bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah (2):178-179)
68
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah
31
c. Hifdz Al‟Aql (Memelihara Akal)69
Manusia adalah makhluk Allah ta‟ala, ada dua hal yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain, pertama, Allah SWT
telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik,
dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk yang lain hal ini telah
dijelaskan oleh Allah ta‟ala sendiri dalam Al-qur‟an At-Tin:95:4
Artinya:”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk sebaik-baiknya (Q.S. At-Tin:95:4)
Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau
tidak ada hal yang kedua yaitu akal. Oleh karena itu Allah ta‟ala
melanjuta Firman-Nya dalam surat At-Tin:95:5-6 yang berbunyi
Artinya:“kemudian kami kembalikan dia ketempat serendah
rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan, maka mereka akan mendapakan pahala yang tidak putus-
putusnya”. (Q.S. At-Tin:95:5-6)
Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia
dibandingkan dengan makhluk-makhluknya yang lain. Dengan akal
manusia dapat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di
dunia.
d. Hifdz Al-Mal (Memelihara Harta)70
Harta merupakan salah satu yang mendapatkan perhatian dalam
Islam dan satu dari lima al masalih ad-daruriyyah (kemaslahatan
primer) dan hizl al-mal (menjaga harta) merupakan salah satu asas dari
69
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah 70
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah
32
maqashid syari‟ah (prinsip dan tujun dasar penetapan syari‟at71
.
Dengan kata lain Islam melindungi harta milik dan mengharamkan
cara-cara yang bathil dalam penguasaan harta milik (Q.S. Al-
Baqharah:2: 188) .
Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan
jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu
kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan
sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah:2:188)
Kita harus mentaati aturan dalam mendapatkan harta dan
membelajakan harta dijalan Allah. Allah berfirman dalam surat An-
Nisa:4:29
Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar)
kecuali dalam perdangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sungguh Allah
maha penyayang kepadamu.”. (Q.S. An-Nisa:4:29
e. Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan)72
Hifdz an-Nasab artinya menjaga keturunan demi menjaga
kelestarian umat diperlukannya adanya aturan-aturan yang berkaitan
dengan keberlangsungan atau eksistensi hidup, sebagai makhluk yang
dipercaya oleh Allah menjadi khalifah dimuka bumi ini perlu kiranya
manusia menyadari bahwa populasi sangat diperlukan.
Pernikahan dalam Islam sebagai salah satu jalan untuk
memelihara keturunan. Hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali
71
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 289 72
Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah
33
darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah. Hubungan
seorang dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan anak itu
tersebut menjadi salah satu anggota keluarga dari keturunan itu dan
dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat
adanya hubungan nasab atau adanya keturunan dari ayah tersebut.
Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah perkawinan
yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Oleh karena itu, bagaimana pun bentuk dan model
suatu perkawinan, jika telah memenuhi syarat sah dan rukun
perkawinan maka perkawinan itu dianggap sah.
Penetapan nasab berdasarkan perkawinan yang sah, para ulama
sepakat bahwa yang dilahirkan dari seorang wanita dalam suatu
perkawinan yang sah dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut.
Islam sangatlah memperhatikan hubungan nasab antar seorang
anak dengan ayahnya. Suatu hubungan perkawinan yang sah yang
memenuhi rukun dan syarat dalam hukum Islam juga akan
mendapatkan keturunan yang sah pula. Sebagaimana dalam firman
Allah SWT yang terdapat dalam surah Al-Furqan(25):54
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia
jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan mushaharah dan
Tuhan-mu adalah Maha Kuasa”. (Q.S. Al-Furqan:25:54)
Untuk melegalisasi status anak yang sah, ada tiga syarat yang
harus dipenuhi antara lain:
a. Kehamilan seorang isteri bukanlah hal yag mustahil, artinya
normal dan wajar untuk hamil. Ini adalah syarat yang disetujui
oleh mayoritas ulama kecuali Imam Hanafi. Menurutnya
meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual,
apabila anak lahir dari seorang isetri yang dikawini secara sah,
maka anak tersebut adalah anak yang sah.
34
b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan
sedikitnya enam bulan sejak perkawinan diaksanakan tentang
ini terjadinya ijma‟ para pakar hukum Islam sebagai masa
terpendek dari suatu kehamilan.
c. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li‟an.
Jika seorang laki-laki ragu-ragu tentang batas minimal tidak
terpenuhi dalam masa kehamilan atas batas masa kehamilan
terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari
anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li‟an.
Salah satu penemuan dari teknologi modern yang sangat
bermanfaat bagi manuia adalah penemuan inseminasi buatan pada
manusia. Inseminasi buatan yang dimaksud adalah penghamilan buatan
yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami
melainkan dengan cara memasukkan sperma laki-laki ke dalam rahim
wanita tersebut dengan bantuan dokter. Istilah yang semakna adalah
kawin suntik, penghamilan buatan.
Penemuan ini sangat bermanfaat bagi manusia, terutama bagi
pasangan suami isteri yang tidak bisa mendapatkan dengan cara alami.
Namun dalam kaca mata hukum syari‟at, praktik inseminasi buatan ini
menuntut kita sebagai sarjanah muslim untuk berfikir dan bertidak
secara objektif dalam menetapkan hukum sesuai maksud dan tujuan
syari‟at agama Islam, karena masalah ini merupakan masalah
kontemporer (ijtihadiyah) karena tidak terdapat hukumnya secara
spesifik dalam al-Qur‟an dan as-Sunah, bahkan dalam kajian fiqih
klasik pun.
Apalagi ketika inseminasi ini beralih kepada sewa rahim, yaitu
usaha manusia untuk mengadakan pembuahan dengan
mempertemukan sel telur (ovum) dengan spermatozoa antara suami
isteri kedalam sebuah gelas kemudian ditransplantasikan kedalam
rahim wanita lain yang disewakan rahimnya sesuai perjanjian, yang
mengakibatkan adanya hubungan kasih sayang antara wanita yang
35
mengandung (disewa rahimnya) dengan anak yang dikandungnya. Hal
tersebut dilakukan baik melalui suatu akad bisnis atau perjanjian
dengan persyaratan tertentu maupun berdasarkan sama-sama rela.
Peraktik sewa rahim ini akan menimbulkan kemudharatan yang
jauh lebih banyak dari pada manfaat yang didapat. Penentuan nasab
pada anak hasil sewa rahim dari embrio pasangan suami isteri yang sah
akan tetapi penanamannya dirahim wanita lain atau ibu pengganti.
Ataupun sperma dari suami dan sel telur dari wanita lain dan
ditanamkan dirahim wanita lain, maka hemat penulis bahwa anak hasil
sewa rahim tidak termasuk dalam anak yang lahir dari perkawinan
yang sah melainkan nasab anak tersebut anak hasil dari zinah.
Secara logis anak yang dilahirkan oleh si ibu pengganti dan
adanya sewa rahim tersebut, adalah anak dari pasangan suami isteri
tersebut hanya saja dilahirkan melalui perempuan lain. Anak akan
menjadi anak yang sah jika status wanita surrogatenya terikat dalam
perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan
adalah anak yang sah dari pasangan suami yang disewakan rahimnya.
Namun dalam kenyataannya dalam hukum Islam anak hasil
sewa rahim tidak mempunyai hubungan kepada kedua orang tuanya.
Anak yang lahir dari hasil sewa rahim hanya mempunyai nasab kepada
wanita (ibu) yang telah mengandungnya dan melahirkannya, karena
anak yang lahir dari proses tersebut adalah anak yang tidak sah atau
sama dengan anak zina yang hanya dihubungkan dengan ibu yang telah
melahirkannya. Perwalian terhadap anak tersebut ketika masih kecil dan
belum dewasa. Perwalian ini terhadap diri dan harta anak.
36
BAB III
TEORI SEWA RAHIM
A. Pengertian Sewa Rahim
Sewa rahim dalam bahasa arab dikenal dengan banyak istilah, tetapi
lebih dikenal dengan ta’jirul Arham. Ta’jirul arham adalah penitipan sel
ovum dan sel sprema dengan cara disuntikan kedalam rahim perempuan lain
sampai bisa mengandung darinya dan akhirnya melahirkan dari hasil penitipan
tersebut1. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal surragote mother (ibu
pengganti). Surragote mother adalah wanita yang mengunakan rahimnya
untuk hamil dari janin yang dikandungnya tersebut milik wanita lain dan
setelah bayi itu lahir hak kepemilikan atau hak asuh bayi terebut diserahkan
kepada wanita lain tersebut atau ayah dari bayi tersebut2.
Dalam Bahasa Arab, sewa rahim dikenal berbagai macam istilah
diantaranya:
1. Al-‘ummu al-musta’jir (ibu pinjam) yaitu wanita yang didalam
rahimnya dimasukan sel telur yang telah diinseminasi atau dibuahi. Ia
juga disebut dengan mu’jirah al-bathni (wanita yang mewekan
perutnya.
2. Syatlul janin (penanaman janin) yaitu seorang suami mencampuri
isterinya yang tidak layak hamil kemudian spermanya dipindahkan
dari isterinya kedalam rahim wanita lain yang mempunyai suami
melalui metode kedokteran. Selanjutnya wanita ini mengandungnya
sampai melahirkan.
Inseminasi buatan yang berasal dari bantuan donor sperma, jumhur
ulama menghukuminya haram karena sama hukumnya denga zina yang akan
mencampur adukan nasab dan sebagai akibat hukumnya anak tersebut tidak
sah nasabnya hanya berhubungan ibunya yang melahirkan3.
1Hindun Al-Hauli¸ Ta’jir Al-Arham Fii Al-Fiqh Islamy, (Jakarta: Rajawali Pres, 1995), h. 2
2 H. Dezriza Ratman, Surragote Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah
Sewa Rahim di Indonesia., (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), h. 56 3 H. Sapiudin Shidiq, Fiqih Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2017), h. 116
37
Pembuahan diluar rahim, dimana pembuahannya diambil dari sel
sperma dan ovum suami isteri, kemudian dititipkan di rahim wanita lain.
Sekali lagi, jumhur ulama menghukuminya haram karena disamakan dengan
zina, yaitu mendapatkan keturunan dari bibit yang tidak sah4.
Dalam kitab Syafi’iyah dikenal dengan teori “Istikdhal” yaitu teori
yang menggabungkan nasab melalui pembuahan sel sperma dan sel telur
diluar hubungan seksual (Wat’i). Istikdhal adalah memasukan sel sprema
kedalam vagina tanpa melakukan hubungan seksual antara pemilik sperma dan
pemilik vagina teori ini mengakui adanya penishbatan anak kepada laki-laki
pemilik sprema.
Adapun menurut mazhab Imamiyah nasab dari anak yang dilahirkan
melalui inseminasi buatan tidak dikaitkan dengan suami (dari wanita yang
mengandung) sebab dia tidak dilahirkan dari spermanya. Tetapi juga tidak bisa
dikaitkan dengan laki-laki pemilik sperma, sebab laki-laki ini tidak secara baik
sebagai seorang suami maupun melalui hubungan syubhat. Anak tersebut
dikaitkan kepada ibu yang mengandungnya, sebab secara hakiki dia adalah
anaknya, yang dengan demikian itu adalah anak yang sah, sampai terbukti hal
sebaliknya5.
Dalam masalah sewa rahim ada beberapa hal yang perlu dicermati
untuk menentukan hukum yang sesuai dengan tujuan dan maksud syariat,
memperhatikan kemaslahatan serta mempertimbangkan dampak buruknya,
karena dalam prosesnya sewa rahim melibatkan beberapa pihak yang saling
berhubungan mereka yaitu, pemilik sperma, pemilik ovum, dan pemilik rahim.
Dari sudut hukum Islam, masalah sewa rahim tidak dapat dilepaskan
dari norma-norma dalam Hukum Kekeluargaan Islam, Hukum Perkawinan,
dan Hukum Kewarisan Islam. Hal tersebut dikarnakan melibatkan subjek
hukum yang diikat oleh lembaga hukum, yaitu perkawinan sepasang suami
isteri yang ingin mendapatkan anak.
4 H. Sapiudin Shidiq, Fiqih Kontemporer, h. 117
5 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i
Hambali, (Jakarta: Lentera, 199), h. 409
38
B. Lingkup Sewa Rahim
1. Penyebab Kemandulan Pada Pria dan Wanita
Kemandulan adalah ketidak mampuan seseorang untuk mempunyai
keturunan atau anak. Kemandulan terjadi bukan hanya pada wanita saja,
akan tetapi pria juga bisa mengalami kemandulan. Banyak orang yang
mengkaitkan bahwa kemadulan berarti sama dengan ketidak suburan
seorang wanita atau pria. Kemadulan adalah momok yang sangat
menakutkan bagi setiap pasangan yang telah menikah. Karena kemandulan
berarti menyulitkan mereka untuk mempunyai keturunan6.
Pasangan suami istri yang sudah lama menikah namun belum
diberikan anak tidak selalu mengalami kemandulan, tetapi yang lebih
sering terjadi adalah pasangan yang infertil. Infertile dapat terjadi pada
salah satu pasangan atau bisa terjadi pada keduanya. Sampai saat ini
kemandulan tidak bisa diatasi kecuali dengan pengobatan yang relative
mahal. Karena kamdulan adalah kerusakan permanen pada bagian sperma
dan indung telur sehingga tidak dapat menghasilkan spermatozoa dan sel
telur7.
Adapun beberapa penyebab kemandulan yang dialami pria dan
wanita sebagai berikut8:
a. Pada pria, dapat disebabkan karena jumlah sperma lebih sedikit,
atau bahkan tidak menghasilkan sel sperma sama sekali. Apabila
sel sperma mengalami gangguan maka akan terjadi pada bentuk
sperma yang dihasilkannya. Jika sperma yang dihasilkan tidak
normal maka pergerakannya pun menjadi tidak normal. Hal ini
sangat mempengaruhi sel sperma untuk mencapai sel telur dan
mengalami pembuahan.
b. Kemadulan pada wanita disebabkan karena saluran tuba tertutup.
Tertutup saluran tuba ini bisa dikarnakan endrometriosis (radang
6 Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Bandung: Nuha Medika, 2014), h. 24
7 Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, h. 24
8 Rita Yuniarti, Penyebab Kemandulan Pada Pria dan Wanita, arikel yang diakses pada 25
April 2013 dari http://www.ritayuniati.com/tag/infertil.
39
selaput lendir) infeksi dan oprasi pengangkatan kehamilan diluar
kandungan. Hal ini yang menyebabkn kemandulan pada wanita
adalah Mioma Uteri dan gangguan rahim. Kemadulan dapat diobati
dengan pengobatan khusus, inseminasi atau pembedahan dan bayi
tabung. Pada keadaan tertentu semua cara akan digabungkan untuk
mengobati kemandulan. Namun hasilnya spertiga dari pasangan
yang mengalami kemandulan berhasil memiliki anak setelah
mengalami serangkaian pengobatan ini9.
2. Macam-macam Penggunaan Rahim
Ada beberapa bentu praktek penyewa rahim yang kini telah banyak
dilakukan10
:
a. Benih istri atau ovum disenyawakan dengan benih suami (sprema),
kemudan dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Praktik ini
digunakan pada isteri yang memiliki ovum yang baik, tetapi rahimnya
dibuang karena pembedahan, kecacatan karena akibat penyakit yang
kronis atau sebab lainnya.
b. Sama dengan bentuk pertama, tetapi benih yang telah disenyawakan
dibekukan lalu dimasukan kedalam rahim ibu pengganti setelah
kematian pasangan suami isteri.
c. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma laki-laki yang lain (bukan
suaminya) dan dimasukan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini
terjadi karena suami mandul dan isteri memiliki halangan atau
kecacatan pada rahimnya tetapi benih isri dalam keadaan baik.
d. Sperma suami disenyawakan dengan wanita lain, kemudian
dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini terjadi apabla
isteri menderita penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak mampu
memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai berhentinya siklus
haid (monopoause)
9 Idries AM, Aspek Medikolegal Pada Insemeinasi Buatan/Bayi Tabung , (Jakarta: Bina
Rupa Aksara Khaer, 2002), h. 90 10
Salim HS, Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, h. 9
40
e. Sperma suami dan ovum istri disenyawakan, kemudian dimasukkan
kedalam rahim isteri yan lain dari suami yang sama. Dalam keadaan
hal ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari
isteri yang tidak boleh hamil
C. Proses Pelaksanaan Sewa Rahim
Untuk menjelaskan proses pembuahan yang dilakukan diluar rahim,
oleh sepasang suami isteri yang sah, yang kemudian akan ditanamkan dirahim
wanita lain. Perlu disediakannya ovum sel telur dan sperma. Ovum diambil
dari tuba fallopi (kandung telur) seorang ibu dan sel sperma diambil dari
ejakulasi seorang ayah. Sperma tersebut diperiksa terlebih dahulu apakah
mengandung benih yang memenuhi persyaratan atau tidak. Begitu juga
dengan sel telur seorang ibu, dokter berusaha menentukan dengan tepat saat
ovulasi (bebasnya sel telur dari kandungan) dan memeriksa apakah terdapat
sel telur yang masuk atau tidak. Bila pada saat ovulasi terdapat sel-sel yang
benar-benar masak, maka sel telur dihisap dengan jenis jarum suntik melalui
sayatan pada perut, sel itu kemudian diletakan dalam suatu tabung kimia agar
telur tetap dalam keadaan hidup, sel telur tersebut disimpan dilaboratorium
dan diberi suhu menyamai panas badan seorang wanita11
.
Lebih tepatya didalam proses pelaksanaan inseminasi buatan pada
teknik Fertilisasi In Vitro (FIV) Transfer Embrio khususnya, terdiri dari
bebrapa tahapan. In vitri vertilization adalah sebuah teknik pemindahan
dimana sel telur dibuahi di luar tubuh wanita. Proses ini terdiri dari
mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari
ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah meium cair12
. Dalam
melakukan pembuahan diluar rahim transfer embrio dilakukan dalam tujuh
prosedur dasar yang dilakukan oleh petugas medis yaitu13
:
11
Sonny Dewi Judiasih, Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika 2006), h. 25 12
Sonny Dewi Judiasih, Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,
h.27 13
Purwoto S. Gandasubrata, Perkembangan teknologi Reproduksi Baru dan Implikasi
Hukumnya, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2011), h. 12
41
1) Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang
indung telur, sehingga dapat mengeluarkan banyak ovum dan cara ini
berbeda dengan cara biasa, hanya satu ovum yang berkembang dalam
setiap siklus haid. Obat yang diberikan kepada isteri dapat berupa obat
makan atu obat suntik yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan
baru dihentikan setelah ternyata sel-sel telurnya matang. Pematangan sel-
sel telur dipantau setiap hari dengan pemeriksaan darah isteri, dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG).
2) setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi
dengan sel sperma suami yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang
terbaik
3) Sel telur dan sperma yang telah dipertemukan didalam cawan petri
kemudian dibiarkan didalam incubator. Pemantauan dilakukan 18-20 jam
kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel.
4) Embrio yang berada dalam tingkatan pembelahan sel ini kemudian
ditransplantasikan ke dalam rahim wanita. Pada priode ini tinggal
menunggu terjadinya kehamilan.
5) Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio ditransplantasikan tidak terjadi
menstruasi dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan dan
seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
D. Pendapat Ahli Kesehatan Mengenai Sewa Rahim
program bayi tabung mendapat sarana untuk semakin berkembang
dengan diperkenalkannya teknik dengan penyimpanan embrio didalam rahim
isteri itu sendiri ataupun wanita lain. Namun berbagai sikap yang meramaikan
aplikasi dari penemuan itu lebih lanjut. Karena memang dari penemuan teknik
bayi tabung termasuk inseminasi buatan dari teknik pembekuan embrio serta
sewa rahim. Hal ini terbuka kemungkinan luas penggunaannya yang mengarah
pada penyimpanan dari ketentuan etika kedokteran, sosial dan agama yang
42
berlaku secara universal. Penyimpangan yang terjadi mulai dari yang kadarnya
ringan hingga yang kadarnya berat14
.
Sikap dunia kedokteran mengenai bank sperma, bayi tabung, donor sel
telur, dan pembukuan embrio. Masyarakat di Negara Barat umumnya banyak
yang menggunakan sperma dan donor sel telur, yang kemungkinan seseorang
wanita menyewakan rahimnya untuk mengandungkan embrio dari pasangan
suami isteri yang lainnya15
.
Dalam kalangan kesehatan terutama di Indonesia mungkin istilah sewa
rahim/surrogate mother asing didengar dan tidak senter seperti bayi tabung.
jika kalangan medis ditanyakan mengenai masalah sewa rahim/surrogate
mother tentu tidak semua mengetahui, paham dan mengerti akan hal
tersebut16
.
Dalam artikel Perlu Payung Hukum Sewa Rahim yang dimuat
suaramerdeka.com, pakar hukum kesehatan Undip, dokter Sofwan Dahlan
mengatakan praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan
mengingat proses garis besar sama dengan bayi tabung.
Perdebatan diseputar sewa rahim atau ibu pengganti menjadi
perdebatan panjang dikalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim.
Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada
pembahasannya dengan nash maupun kitab-kitab klasik. Banyak masyarakat
Islam yang menolak keras adanya kasus sewa rahim ini. Sebagaimana fatwa
ulama yang mengharamkan adanya sewa rahim yaitu:
a) Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Setelah Al-Lajnah mempelajari (prosedur meminjam rahim), maka Al-
Lajnah memutuskan bahwa sahnya tidak boleh atau (haram) karena akan
muncul kerusakan dalam syariat17
.
14
Sudikno Mortokusumo, Bayi Tabung Ditinjau Dari Hukum, (Yogyakarta: Intermasa,
1998), h. 39 15
Ali Akbar, Etika Kedokteran dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1998), h. 40 16
Yuni Ika Wati dan Dini Kasdu, Bayi Tabung Sebagai Harapan Baru, h. 171 17
Ulumin Rusydi, Kumpulan Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Sinar Media, 1994),
h.57
43
b) Mu’tamar Tarjih Muhammadiyah
Menurut Mu’tamar Tarjih Muhammadiyah, tidak dibenarkan menurut
hukum Islam sebab menanam benih pada rahim wanita lain hukumnya
haram18
.
Menurut hemat penulis dari dua pendapat di atas mengharamkan
adanya sewa rahim, karena apabila melakukan sewa rahim akan menimbulkan
kerancuan pada nasab anak yang dilahirkan dari hasil sewa rahim. Kejelasan
terkait status perwalian anak juga membawa pengaruh besar terhadap sianak.
Selain dari segi nasab dan perwalian, permasalahan seorang ibu juga menjadi
polemik bagi anak yang dihasilkan dari sewa rahim, siapakah yang berhak
menjadi ibu dari bayi tesebut, apakah wanita yang memiliki sel telur atau kah
wanita yang menyewakan rahimnya.
Dalam dunia kedokteran kasus sewa rahim juga sangatlah dilarangan,
karena selain bertentangan dengan syariat agama juga bertentangan dengan
kode etik dalam dunia kedokteran. Namun dalam dunia modern ini banyak
yang mengharuskan para dunia kedokteran yang melakukan kasus sewa rahim
karena permintaan para pasiennya. Para pasien yang sudah menempuh
berbagai cara untuk mendapatkan keturunan namun tetaplah gagal yang pada
akhirnya mereka melakukan jalan dengan cara sewa rahim, yang mana
pasangan suami isetri yang menyewa rahim kepada wanita untuk mengandung
dan melahirkan baik yang masih gadis maupun yang sudah bersuami.
Dari hasil wawancara penulis bersama para dokter yang menangani
sewa rahim ada 25 % dari 75 % yang melakukan sewa rahim dan sebagian
dari 25 % itu melakukan program bayi tabung. Adapun hasil kesimpulan
wawancara penulis bersama dokter yang menangani sewa rahim yaitu :
1. Dr. H. Lambona, Kes, mengatakan bahwa hukum melakukan sewa rahim
adalah “haram”. Karena, pada prinsipnya sewa rahim adalah menolong
wanita infertilitas yang tidak dapat mengandung dan melahirkan. Menurut
beliau sewa rahim juga bertentangan dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun
18 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Phublishing House, 1995), h. 45
44
1974 pada pasal 42, disebutkan anak yang sah adalah anak yang anak yang
dilahirkan dalam perkawinan atau sebagai akibat dari perkawinan yang
sah. Sedangkan anak yang dilahirkan dari hasil sewa rahim tidak
berdasarkan pada perkawinan yang sah, melainkan embrio dari pasangan
suami isteri yang sah ditanamkan pada rahim wanita lain, atau sel sprema
dari si suami sedangan sel telur dari wanita lain dan ditanamkan di rahim
wanita lain, maka anak tersebu bisa katagorikan menjadi anak zinah
karena tidak adanya ikatan perkawinan sebelumya19
.
2. Dr. Abu Hanif. S.pOG, beliau mengatakan sewa rahim dalam hukum
Islam adalah haram, apabila kita melakukan sewa rahim maka hukumnya
melakukannya adalah “haram”20
.
3. Dr. Muhammad Adam. S.Ked, mengatakan bahwa hukumnya
melaksanakan sewa rahim adalah haram. Karena dalam kasus ini adanya
pemanfaatan rahim dan melihat banyaknya mudharat yang ditimbulkan.
Yaitu kekacauan pada status ibu yang dapat mempengaruhi kedudukan
anak dan terjadi persengketaan antara kedua ibu tersebut, yakni keduanya
berkeinginan memiliki anak tersebut, selain itu akan terjadi kekacauan
terhadap nasab, perwalian dan waris pada anak tersebut yang mana
nantinya berdampak negatif pula21
.
4. Dr. Evy Dwi Lestari, bahwa hukumnya adalah haram. Asalannya beliau
mengatakan karena etika, karena hukum di Indonesia terhadap sewa rahim
belum diperbolehkan karena sebab-sebab yang dilarang oleh agama dan
dilihat dari beberapa aspek. Diperbolehkannya sewa rahim itu tergantung
pada agama masing-masing apakah meneyetujui atau tidaknya, karena
berhubungan dengan inseminasi buatan yang dimana sperma dan sel telur
19
Hasil Wawancara Dr. H. Lambona MH, Kes, Mitra Keluara Bekasi, diakses pada Tanggal
1 Januari 2018 20
Hasil Wawancara Dr. Abu Hanif, S.pOG, Mitra Keluarga Bekasi, diakses pada Tanggal 1
Januari 2018 21
Hasil Wawancara Dr. Ayunindia, S.pOG, RS. Porli Jakarta, diakses pada Tanggal 3
Januari 2018
45
berasal dari pasangan suami istri yang sah lalu ditanamkan di rahim wanita
lain22
.
Dalam hasil wawancara tersebut, banyak pihak kedokteran yang
melarang atau mengharamkan adanya sewa rahim. Karena selain banyaknya
mudharat yang ditimbulkan juga akan menimbulkan permasalahan mengenai
nasab, perwalian, serta wais pada anak. Dalam hukum Islam sangat
melegalkan adanya sewa rahim karena Islam sangat menjaga hubungan nasab,
apabila melakukan sewa rahim akan adanya pencapuran nasab, dan status anak
menjadi sangat membingunkan.
22
Hasil Wawancara Dr. Evy Dwi Lestari, S.pOG, RS. Porli Jakarta, diakses pada Tanggal 3
Januari 2018
46
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM
A. STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM
1. Dalam Pandangan Hukum Islam
Secara etimologi (bahasa) kata perwalian berasal dari wali, dan
jamak “awliya” kata ini berasal dari kata bahasa arab yang berarti
“teman”, “kliean”, “sanak”, “pelindung”. Umumnya kata tersebut
menunjukan arti “sahabat Allah” dalam frase wilayah1.
Adapun pengertian perwalian menurut terminolgi para pakar
fuqaha (pakar hukum Islam )seperti di formulasikan Wabah Zuhaily
adalah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara
langsung melakukan suantu tindakan sendiri tanpa harus bergantung
(terikat) atas seizing orang lain. Orang yang mengurusi sesuatu
(akad/tansaksi)2.
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah, yang berarti
penguasa dan perlindungan. Jadi arti dari perwalian menurut fiqih ialah
penguasa penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk
menguasai dan melindungi orang atau barang orang yang diberi kekuasaan
di sebut wali3.
Sayyid Sabiq mengatakan, wali adalah suatu ketentuan hukum
yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai bidang hukumnya,
selanjutnya menurut beliau wali ada yang khusus ada yang umum4.
Menurut Kompilasi Hukum Islam perwalian adalah “kewenagan
yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum
sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
1H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru algensindo, 2012), h. 382
2H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, h. 382
3 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan) , (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 41 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, (Bandung, Al-Ma’arif, 1980), h. 7
47
mempunyai kedua orang tua, yang masih hidup tidak cakap perbuatan
hukum5. Dijelaskan dalam pasal selanjutnya: pasal 107 ayat 1 dan 2 yaitu :
1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 atau
belum pernah melangsungkan perkawinan
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
Pada dasarnya perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
kekuasaan yang diberikan kepada seseorang untuk mewakili anak yang
belum dewasa dalam melakukan tindakan hukum demi kepintingan dan
kebaikan si anak meliputi perwalian terhadap diri juga harta kekayaannya.
Adapun anak belum dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak
yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah menikah.
Masalah perwalian juga mengenai wali anak kecil. Para ulama
mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya
tidak mempunyai hak perwalian, kecuali menurut pandangan sebagian
ulama Syafi’i6.
Hambali dan Maliki mengatakan: Wali sesudah ayah adalah orang
yang menerima wasiat dari ayah. Kalau ayah tidak mempunyi orang yang
diwasiati, maka perwalian jatuh ketangan hakim syar‟i. Sedangkan kakek
tidak mempunyai hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak
bisa mempercayai posisi seperti ayah. Kalau posisi kakek dari pihak ayah
sudah seperti itu, maka apalagi kakek dari pihak ibu. Hanafi mengatakan:
para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah.
Sesudah itu kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat
darinya, dan kalau tidak ada maka perwalian jatuh ketangan qadhi7.
Syafi’i mengatakan: perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dari
kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya, kepada
penerima wasiat kakek, dan sesudah itu kepada qodhi. Imamiyah
mengatakan: perwalian, pertama-tama berada ditangan ayah dan kakek
5 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Badung: CV Nuasa Aulia), h. 14
6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jafari, Hanafi, Maliki, Hambali),
(Jakarta: Lentera, 2001), h. 693 7 Muhammad Jawad Mughniyah, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 693
48
(dari pihak ayah) dalam derajat yang sama, dimana masing-masing mereka
berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang
lain. Bila tidak ada ayah dan kakek, perwalian jatuh ketangan orang yang
menerima wasiat dari ayah seorang diantara keduanya. Dalam hal ini
kakek didahulukan dari penerima wasiat ayah. Bila tidak ada ayah, kakek,
dan tidak pula menerima wasiat kedua orang tersebut, perwalian jatuh
ketangan hakim syar‟i8.
Oleh karena itu perwalian tersebut adalah suatu kewenangan yang
diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum
sebagai wali untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orang tua atau orang yang masih hidup tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
Masalah perwalian anak tidak terlepas dari suatu perkawinan,
karena dari hubungan perkawinanlah lahirnya anak dan bila pada suatu
ketika terjadi perceraian, salah satu orang tuanya atau keduanya meninggal
dunia, maka dalam hal ini akan timbul masalah perwalian, dan anak-anak
akan berada dibawah lembaga perwalian. Wali merupakan orang yang
mengatur dan bertanggung jawab terhadap kepentingan ank-anak tersebut
baik mengenai diri sendiri maupun harta benda milik anak tersebut9.
Mazhab Hanafi membagi perwalian kepada tiga bagian yaitu:
perwalian terhadap diri, perwalian terhadap jiwa, dan perwalian terhadap
harta. Sesungguhnya menurut mazhan hanafi tidak ada perwalian selain
perwalian mujbir, oleh sebab itu menurut pendapat mereka tidak ada
perwalian selain perwalian mujbir yang membuat akad pernikahan
bergantung kepadanya. Semua wali adalah wali mujbir. Perwalian menurut
mazhab Syafi’i perwalian terhadap seorang perempuan merupakan sebuah
syarat multak bagi sahnya salah satu akad perkawinan menurut Mazhab
8 Majdi bin Mashur bi Sayyid As-Syuri, Tafsit Imam Syafi‟I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003),
h. 50 9 Abdul aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Hoeve, 1996), Cet-I
Jilid 6, h. 26
49
Syafi’i. Sedangkan Mazhab Hambali pernikahan seorang perempuan tidak
sah kecuali dengan adanya wali10
.
Menurut mazhab Maliki jenis perwalian dibagi menjadi dua yakni
khusus dan umum. Perwalian khusus adalah yang dimiliki oleh orang-
orang tertentu. Adapun perwalian umum dimiliki dengan sebab, yaitu
Islam. Perwalian ini untuk semua orang Islam. Sedangkan menurut
mazhab Syafi’i jenis perwalian ada dua yakni perwalian ijbar dan
perwalian ikhtar. Perwalian ijbar adalah yang dimiliki oleh bapak dan
kakek ketika tidak ada bapak. Sedangakan perwalian ikhtiar dimiliki bagi
semua wali „ashabah dalam mengawinkan seorang perempua janda.
Seorang wali tidak boleh mengawinkan seorang janda kecuali izinnya11
.
Jumhur ulama menyatakan bahwa sesungguhnya akad pernikahan
hanya sah bila dilaksanakan oleh wali. Dan seorang perempuan tidak
memiliki hak untuk melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya atau
orang lain. Dan dia tidak memiliki hak untuk mewakilkan orang lain selain
bapaknya untuk melaksanakan akad pernikahan12
.
Perwalian menjadi peran penting karena, wali merupakan salah
satu dari rukun nikah. Izin wali sangatlah diperlukan dalam sebuah
perkawinan, tetapi seorang wali hanya ditunjukan kepada pengantin
perempuan saja, oleh karena itu ada beberapa penentuan wali yaitu13
:
a. Wali Nasab
Nasab artinya keturnan. Menurut ajaran patriliniar, nasab juga
diartikan kekeluargaan dalam garis keturunan patriliniar atau hubungan
darah. Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon
pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patriliniar
dengan calon pengatin perempuan itu.
10
Wahbah Zuhaily, AL-Fiqih Al-islami wa „Adillatuhu, 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
Cet-I, h. 681 11
Muhammad Jawad Mughniyah, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 693 12
Moch Idris Ramulyo, Fiqih Islam Lengkap, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.
258 13
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UUI Press, 1974), h. 65-66
50
b. Wali Hakim
Wali hakim adalah penguasa atau wali penguasa yang berwenang
dalam bidang perkawinan. Biasanya penguhulu atau petugas lain dari
Departemen Agama. Hal ini ditemui kesulitan untuk hadirnya wali
nasab atau ada halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka
seorang calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan
wali hakim.
Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian,
Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya
pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharan terhadap harta anak
yatim yang telah ditinggal oleh orang tuanya. Selain adanya perintah untuk
menjaga anak yatim tersebut dalam konteks penjagaan jiwa dan
perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah
sangat murka yang kemudian seseorang menjadi wali tidak dapat menjga
dan memelihara harta tersebut14
.
Di dalam hadits lain Rasulullah juga menyatakan tentang
kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
Nabi saw memutuskan wali bagi anak perempuan hamza kepada kepada
saudara perempuan ibunya, beliau bersabda: “Saudara perempuan
perempuan itu menempati kedudukan ibu” (HR. Bukhari).15
Perwalian bagi anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang
sah tentunya tidak akan menimbulkan permasalahan karena secara jelas
sudah diketahui nasabnya sehingga sederetan hak dan kewajiban anak dan
orang tuanya dapat dijamin tidak menimbulkan persoalan. Berbeda dengan
anak yang dilahirkan hasil sewa rahim, dimana sel sperma dan sel ovum
suami isteri lalu ditransplantasikan kerahim wanita lain yang tentunya
akan menimbulkan berbagai persoalan. Nasab anak hasil sewa rahim
menjadi tidak jelas sehingga membawa dampak yaitu tidak terjamin hak-
14
Syauti Thalib, (Jakarta: UUI Press, 1974), h. 45 15
Al-hafizd Dzaqiyuddin Abdul aziz bin Abdul Qawi Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih
Bukhari dan Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2012), h. 79
51
hak dan kewajiban antara anak dan orang tuanya. Salah satu hak dari anak
tersebut terhadap orang tuanya ialah terkait dengan hak perwalian16
.
Praktik pemindahan embrio kerahim wanita lain atau bisa disebut
juga dengan sewa rahim, berbeda dengan bayi tabung yang diperbolehkan
selama sel sprema dan sel telur dipertemukan dan ditanamkan kedalam
rahim sang isteri. Pemanfaatan rahim diluar perkawinan diharamkan,
disebabkan banyaknya mudharat dari pada manfaatnya17
.
Pelaksanaan sewa rahim biasanya dilakukan karena atas masalah-
masalah tententu yang tidak dapat dielakkan yaitu apabila isteri atau
wanita yang mempunyai sel telur tidak mampu atau tidak boleh hamil dan
melahirkan rahimnya tidak baik untuk mengandung, atau tidak
mempunayi rahim dengan alasan lain wanita yang mempunyai sel telur,
berkeinginan untuk menjaga kesehatan rahimnya menjaga keindahan
tubuh dan kecantikkannya ataupun dengan alasan lain.
Permasalahan sewa rahim dan pelbagai bentuknya merupakan
masalah kontenporari yang belum dibicarakan hukumnya oleh para fuqaha
silam. Para fuqaha setuju bahwasanya praktikal sewa rahim yang sel
sprema dan sel ovumnya oleh pasangan suami isteri kemudian ditanamkan
kepada wanita lain dalam keadaan apapun tidaklah diperbolehkan
(haram)18
.
Hasil ijtihad ahli fiqih dari pada pelosok dunia Islam pada tahun
1986 di Aman yang disenaraikan dalam ketetapan pada sidang ketiga dari
pada Majma'ul Fiqih Islamy Athfaalul Annabilb bayi tabung uji, yang
bermaksud: cara yang kelima dari pada itu dilakukan diluar kandungan
antara dua benih suami istri kemudian ditanamkan di rahim isteri lain (dari
pada suami) hal itu dilarang menurut hukum syara’19
. Hasil ijtihad tersebut
tersebut mengharamkan penggunaan taknik bayi tabung uji yang
16
Abdul Manar, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 85 17
Almen Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (JakartaK Grafika Jaya, 1992), h.48 18
H. Husni Thamrin, Aspek Hukum Bayi Tabung dan Sewa Rahim, (Jogjakarta: Aswaja
Grafindo, 2014), h. 79 19
Badrian Abu Al-Ainan Badrian, Huquq Fi as-Syariah Al-Islamy Al-Qanun, (Iskandaria:
Muasan Syabab Al-Jmiah), h. 16
52
menggunakan sel sprema dan sel ovum dari pasangan suami isteri lalu
embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri yang lain (isteri kedua,
ketiga, atau keempat).
Selain itu Syekh Muhammad Syaltut berpendapat: cantuman
sperma yang dilakukan itu bukan dari pada sperma suami, maka tidak
diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali dan suatu
perbuatan yang sangat mungkar yang lebih hebat dari pada mengambil
anak20
.
Para ulama sepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam
keadaan berikut:
a. Menggunakan rahim wanita lain selain isteri
b. Pencampuran antara benih suami dengan wanita lain
c. Pencampuran benih isteri dengan laki-laki lain, dan
d. Memasukan benih yang disewakan selapas kematian suami isteri.
Sebagaimana yang dijelaskan sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan Imam Abu Daud karangan Hafidz bin Hajar al-Asyqolani
dalam kitab Bulughul Maram sebagai berikut:
و وسلن قال : الله عنو عن النب صلى الله عل فع بن ثابت زض وعن زو
هسئ ؤهن بالل وال سه(. )زواه )لاحل لا هاه شزع غ وم الاخس ان سق
ابوا داود والتسهري(21
Artinya: “Tidak halal bagi sorang yang beriman kepada Allah SWT dan
hari akhir untuk menyiram spermanya ke dalam rahim orang lain”. (H.R.
Abu Daud)
Masalah sewa rahim menimbulkan beberapa permasalahan tantang
harkat dan ibu serta hakikat hubungan hukum antara orang tua dengan
anak yang besangkutan. Terikat tentang ini muncul permasalahan tentang
ibu apakah seorang ibu itu adalah wanita yang menghasilkan sel telur, atau
20
Syaikh Muhammad Shaltut, Kumpulan Fatwa-Fatwa Popula, (Jakarta: Pustaka Media,
1993), h. 67 21
Hafidz bin Hajar Al-Asyqolani, Buluqhul Maram, (Surabaya: darul Ilmi), h. 286
53
wanita yang mengandung anak serta melahirkan. Masalah lain ialah
mengenai hubungan hukum anak kandung dengan ayah biologisnya22
.
Agama Islam hanya mengakui hubungan darah dan ikatan
perkawinan sebagai landasan bagi keluarga. Jika perbuatan sewa rahim
dihalalkan maka dapat menimbulkan kekacauan pada konsep keluarga dan
hubungan kekeluargaan atau kekerabatan yang diatur secara ketat oleh
hukum Islam23
.
Dalam Al-Qur’an dinamakan ibu adalah yang wanita yang
melahirkan, dan ayah adalah suami dari ibu yang memiliki benih anak
yang bersanguktan (sperma). Anak adalah hasil dari perkawinan yang sah
antara ibu dan ayah. Oleh karena itu akibat dari perbuatan sewa rahim
kedudukan ayah dan ibu menjadi tidak jelas. Akibat yang paling menonjol
dari perbuatan ini adalah rusaknya harkat seorang ibu dan ayah serta
adanya ketidak pastian pada status anak24
.
Ayah mempunyai kedudukan yang penting suatu keluarga. Sebagai
kepala keluarga ayah mempunyai tanggung jawab yang besar pada isteri
dan anak-anaknya. Oleh sebab itu ayah sangat dihormati dan dibutuhkan
oleh anak-anaknya. Seorang ayah bisa menjadi wali terhadap anaknya
apabila mempunyai suatu hubungan yang sah dari perkawinan yang sah.
Adapun anak dari hasil zina atau sewa rahim tidak bisa di nisbathkan
kepada ayah biologisnya25
.
Perbuatan sewa rahim sangatlah merusak kedudukan ayah, karena
keabsahan seorang anak ternyata ditentukan oleh kejelasan nasab dengan
ayahnya secara sah menurut hukum Islam. Seorang anak harus
dihubungkan nasabnya dengan ayah genetisnya, sebagaimana dalam Al-
Qur’an surah Al-Ahzab (33: 4-5)
22
Sony Dewi Djuasih, Aspek Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Islam Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 2013), h. 19 23
Musthafa Diibu Biigha, Ikhtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, (Semarang: Asy-Syifa,
1994), h. 302 24
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Tafsir Maudhu‟I atas Pelbagi
Persoalan Umat, (Surabaya: Mrga Jaya Abadi, 2007), h. 221 25
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 31
54
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang
lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa akibat dari
perbuatan sewa rahim antara lain adalah adanya ketidak pastian dalam
menentukan status hukum atau perwalian si anak yang dilahirkan hasil
sewa rahim.
Hemat penulis akibat dari perbuatan sewa rahim adalah makna
keibuan menjadi tidak sesuai dengan makna ibu sebagaimana yang
diciptakan Allah dan yang dikenal manusia. Peran seorang wanita sebagai
ibu dimulai sejak ia menerima kehamilan dengan susah payah selama
sembilan bulan. Selama itu pula sang ibu mulai lebih memperhatikan
kesehatannya karena didalam rahimnya, tumbuh seorang anak. Setelah itu
ia akan berjuang melahirkan anaknya agar lahir dengan sehat. Semua
kegiatan tersebut merupakan suatu proses alami yang dikaruniakan Allah
kepada setiap perempuan dengan kemampuan reproduksi serta naluri
keibuan yang melakat kepadanya.
55
Perbuatan sewa rahim disatu pihak melibat seorang ibu yang
memproduksi dan melepaskan sel telur, namun ia tidak bersusah payah
untuk mengandung dan melahirkan. Di lain pihak, ada wanita lain sebagai
ibu pengganti yang menerima beban kehamilan benih tersebut dan
melahirkannya, ia harus menyerahkan anak tersebut kepada ibu yang telah
menyewa rahimnya26
.
Ibu yang sebenarnya adalah wanita yang mempunyai telur yang
dibuahi itu. Dari telur ibu inilah terjadinya janin dan kepadanya si anak
bernasab. Maka si ibu itulah yang paling berhak memeliharanya, dan
hanya kepadanyalah disandarkan segala hukum dan hak keibuan seperti
penghormatan, perlakuan baik, nafkah, kewarisan, dan sebaginya. Namun
makna keibuan itu semata-mata hanya terbentuk dri sel telur yang
dikeluarkan dari indung wanita kemudian dibuahi oleh sperma laki-laki,
padahal hakikat keibuan seharusnya mencurahkan, memberi, sabar, tabah,
bersusah payah, dan berletih lelah selama menjalani kehamilan dan
melahirkan bayinya27
.
Adanya sewa rahim menimbulkan konflik untuk menetukan status
hukum anak atau perwalian pada anak tersebut. Masalah ini adalah
menegenai status hukum anak, apakah si anak adalah anak sah dari
pasangan suami isteri pemilik benih atau anak sah dari ibu pengganti.
Dalam suatu perkawinan yang sah, anak bernasab pada orang tuanya
genetisnya, dan mempunyai hubungan perwalian kepada ayah biologisnya.
Ketentuan ini berlaku jika si anak memang dilahirkan oleh si isteri akibat
dan dalam suatu perkawinan yang sah28
.
Jika dikaitkan dengan hukum positif dalam membahas status
hukum anak yang dilahirkan akibat proses sewa rahim, yaitu berdasarkan
pasal 42 UU Perkawinan yang berisi pengertian anak sah, maka akan
26
Sony Dewi Djuasih, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2013) 27
Idries AM, Aspek Medikolegal Pada Inseminasi Buatan/Bayi Tabung, (Jakarta: Bima Rupa
Aksara, 1997), h. 20 28
Zabidi Ahmad R, Penyewaan Rahim Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1996), h. 50
56
dilihat bahwa pasal tersebut belum meliputi kedudukan anak tersebut.
Pasal 42 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah29
.
Menurut penulis, berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat
ditarik suatu analogi bahwa sianak yang dilahirkan dari sewa rahim akan
tetap menjadi anak sah bagi pasangan suami isteri pemilik benih, karena
anak yang dilahirkan berasal dari pembuahan benih pasangan suami isteri
yang terikat perkawinan, dan si anak lahir ketika pasangan suami isteri
tersebut masih terikat perkawinan. Tetapi ketentuan undang-undang
tesebut tidak mengungkapkan bahwa anak sah harus dilahirkan oleh ibu
genetisnya.
Jika dari ketentuan hukum Islam, maka anak tersebut merupakan
anak dari ibu yang melahirkan dan hanya mempunyai hubungan perwalian
dengan yang melahirkan tersebut baik dia mempunyai suami ataupun
tidak, karena pada hakikatnya seorang ibu adalah perempuan yang
melahirkan anaknya sebagaimana dala Al-Qur’an surah Mujadillah (58: 2)
Artinya:“orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka
itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Q.S. Al-Mujadilah 58:2)
Berdasarkan keputusan Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa
Majelis Ulama se-Indonesia ke II tahun 2006 tentang Masa‟il Waqtiyyah
Mu‟ashirah, dalam ketetapanya mengenai ketentuan hukum transfer
embrio kerahim titipan menetapkan bahwa anak yang lahir dari transfer
embrio kerahim titipan adalah anak laqith. Anak laqith adalah anak kecil
29
Chuzaimah T Yanggo Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), h. 21
57
yang belum baligh yang didapati dijalan, atau yang tidak diketahui
nasabnya30
.
Ketentuan Majelis Fatwa Mathla’ul Anwar, H. Abdul Wahid
Sahari, mengungkapkan bahwa anak yang lahir dari penitipan janin pada
rahim ibu pengganti hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan
keluarga ibu yang melahirkannya, dalam hal ini sang ibu pengganti. beliau
mendasarkan pendapatnya tersebut dengan menyamakan anak yang
terlahir dari penitipan janin pada rahim ibu pengganti dengan anak yang
lahir karena perzinaan karena menurut beliau tindakan penitipan janin
pada rahim ibu pengganti dapat digolongkan sebagai perbuatan zina.
Menurut mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki, anak hasil zina dapat
dinikahi oleh ayah genetisnya, walupun dalam kenyataanya hal tersebut
belum pernah terjadi.
Menurut penulis, status anak yang lahir dari sewa rahim jika dilihat
dari hukum Islam adalah laqith, karena anak kecil yang belum baligh yang
belum jelas nasabnya, sebagaimana yang dijelaska dalam MUI dalam
keputusan Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-
Indonesia ke-II Tahun 2006 tentang Maasa‟il Waqityyah Mu‟ashirah.
Dengan demikian maka anak tersebut hanya mempuanyai hubungan darah
dengan ibu yang melahirkan bukan dengan pasangan suami isteri pemilik
benih (donor).
Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa menurut ketentuan hukum
Islam ketentuan hukum dari pelaksanaan inseminasi buatan dengan sel
sprema dan sel ovum yang ditransplantasikan kerahim wanita lain adalah
haram, anak yang lahir dari proses tersebut adalah anak yang tidak sah
atau sama dengan anak zina dan dia hanya dihubungkan dengan keluarga
ibu yang salah satunya ialah hak perwalian ketika masih kecil dan belum
dewasa. Perwalian ini meliputi terhadap diri dan harta anak. Perwalian
30
Keputusan Komisi B Ijtima’’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-Indonesia ke-II
Tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu’ashirah, “ketentuan hukum transfer embrio kerahim
titipan”, poin ke-4
58
terhadap seorang anak ini sesuai ini sesuai dengan maqasid asy-syari‟ah
yaitu hifz nasb.
2. Dalam Pandangan Hukum Positif
Hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang status hukum
seorang anak telah diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
udang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun dalam
regulasi tersebut tidak terdapat ketentuan yang mengatur secara tegas
prihal kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi
tabung31
. oleh karena belum ada aturan didalamnya sehingga dapat
memunculkan masalah-masalahhukum dari teknologi reproduksi yang
telah disebutkan di atas, diantaranya menyangkut pelaksanaan (dokter,
ilmuwan, peneliti) suami, isteri, donor sperma donor ovum, ibu pengganti
dan bayi yang dilahirkan dengan proses tersebut32
.
Mengenai sewa rahim, sama kaitanya dengan perjanjian ataupun
kontrak sewa rahim. Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, mengenal dua jenis kontrak perjanjian yaitu perjanjian nominat
sebagai istilah yang diberikan untuk jenis-jenis konflik yang dikenal oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan perjanjian Innominat sebagai
istilah untuk digunakan jenis-jenis perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup
dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat, salah satunya
kontrak surogasi kontrak sewa rahim yang diklarifikasikan dalam jenis
kontrak diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Landasan hukum
mengenai kontrak sewa rahim memang belum diatur secara rinci dalam
peraturan perundang-undangan, namun secara yuridis terdapat beberapa
pasal dalam KUHPerdata yang dapat dipergunakan untuk mengkaji aspek
subtansial dari kontark sewa rahim, yaitu pasal 1320 dan pasal 1338
KUHPerdata33
.
31
Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (yoyakarta: Nuha Medika, 2014), h. 89 32
Idries AM, Aspek Medikolegal Pada Insaminasi Buatan /Bayi Tabung, (Jakarta: Bina
Rupa Askara, 1997), h. 20 33
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Drai Perjanjian, (Jakrta:
Raja Garfindo, 2004), h. 55
59
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya
perjanjian yang terdiri dari beberapa unsur antara lain34
:
a. Kesepakatan pera pihak yang membuat perjanjian
b. Kecakapan dalam membuat perjanjian
c. Suatu hal terntu
Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan kajian ini
adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam pasal 50-54 UU No. 1
Tahun 1974 dan pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam KHI, yang
menyatakan bahwa perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk
melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan atau atas nama anak
yang orang tuanya telah meninggal dan tidak mampu melakukan perbuatan
hukum35
.
Sedangkan menurut hukum positif yakni sebagaimana mengacu
pada UU No. 23 Tahun 1993 pasal 16 ayat 1dan 2 tentang kesehatan.
Telah dijelaskan hukum tentang pemindahan embrio kedalam rahim
wanita lain36
. Adapun bunyi pasal yang dimaksud antara lain sebagai
berikut37
:
a. Pasal 16 ayat 1
“kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir untuk membantu suami isteri mendapatkan keturunan ”.
b. Pasal 16 ayat 2
“upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah
dengan ketentuan: hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami
34
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Drai Perjanjian, h. 56 35
Soedharyo soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Perspektif Hukum Perdata
Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Barat, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 82-83 36
Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: al-Hikmah, 1993) h. 50 37
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdta), (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2007), h. 50
60
isteri yang bersangkutan ditanamkan kedalam rahim isteri dimana
ovum tersebut bersal38
.
Kedua ayat dari pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 tersebut di atas
memiliki arti bahwa pasangan suami isteri yang sah dapat melakukan
kehamilan dengan cara alami, yaitu jika secara medis mereka benar-benar
terbukti tidak dapat memperoleh keturunan secara alami, dan
pelaksanaanya dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah dengan
menggunakan sperma dan ovum pasangan tersebut serta harus sesuai
dengan segala norma yang berlaku di Indonesia.
Tidak diperbolehkannya sewa rahim wanita lain disebabkan
karena masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
dan agama serta belum adanya hukum atau peraturan yang mengatur sewa
rahim39
. Meskipun pelaksanaanya menggunakan ibu pengganti khusus,
dilakukan dengan adanya suatu alasan tertentu maupun dengan satu
perjanjian dalam hal ini adalah sewa menyewa rahim yang dilakukan
dihadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai
dengan bunyi pasal 1548KUHPerdta yaitu40
:
“sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan nama pihak yang
satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak lain
kenikmatan suatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan
pembayaran suatu harga oleh pihak tersebut belakangan itu di
sanggupi pembayarannya”.
B. STATUS NASAB ANAK HASIL SEWA RAHIM
1. Dalam Pandangan Hukum Islam
kata nasab secra etimologi berasal dari bahasa arab نسب نسب تسبا
apabila terdapat kalimat نسب السجل berarti وصفو ذكس نسب memberikan ciri-
38
R. Subekti dan Tjitrosudibio R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 2001) 39
Wayan Artajana, Legalitas Suragosi Berkaitan dengan Asas Berkontrak, (Yogyakarta:
Kerta Wicaksana, 2010), h. 49 40
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003) , h. 30
61
ciri dan menyebutkan keturunan. Kata nasab bentuk tunggal yang
berbentuk jamaknya bisa nisab, seperti kata سدزة menjadi سدز dan bisa juga
nusab, seperti kata غسفت menjadi غسف.41
Istilah nasab telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan telah
masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dipakai sebagai bahasa
sehari-hari oleh banyak orang, nasab diartikan sebagai keturunan (terutama
dari pihak bapak) atau pertalian keluarga42
. Adapun pengertian nasab
secara terminologi nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan pengertian
secara etimologi di atas yaitu keturunan atau kerabat.
Islam memperbolehkan melakukan hubungan seksual kepada
pasangan yang telah menikah, jika terjadi pembuahan maka akan jelas
hukum status pada anak tersebut. Karena anak yang sah adalah anak yang
lahir dari pernikahan yang sah. Begitu pun dengan anak yang tidak sah,
apabila melakukan hubungan suami isteri tanpa adanya ikatan yang sah
maka anak yang terlahir akan menjadi tidak sah. Sama halnya dengan
kasus sewa rahim, pasangan suami isteri yang menyewakan rahimnya
kepada wanita lain lalu sel sprema dan sel telur ditransplantasikan
kerahim wanita tersebut maka status anak tesebut menjadi tidak jelas.
Perdebatan diseputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti
menjadi perdebatan panjang dikalangan masyarakat baik muslim maupun
non muslim hal ini antara lain disebabkan karena hukum sewa menyewa
rahim tidak ada dalam nash Al-Quran yang melarang adanya sewa rahim.
Dalam buku fatwa-fatwa kontemporen jilid 3, ulama besar mesir
Dr. Yusuf Qordhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak
memperbolehkan penyewa rahim dalam berbagai bentuknya. Menurutnya,
para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan
fatwa yang memperbolehkan suami isteri atau salah satunya untuk
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka
41
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 1012), Cet-
I, h. 27 42
Sri Sukesi Adwimarta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
Cet-I, h. 609
62
mewujudkan kelahiran anak. Namun mereka syaratkan sperma harus milik
sang suami dan sel telur milik isteri tidak ada pihak ketiga diantara
mereka43
.
Menempatkan benih suami pada rahim isteri baik dilakukan secara
alami maupun melalui perantara (dengan perangkat medis) maka menurut
ajaran Islam adalah halal, karena keduanya berada dalam ikatan yang sah,
sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah (2: 223)
Artinya: “isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”.
(Q.S. Al-Baqarah 2: 223)
Dalam kitab Fiqih Syafi’iyah dikenal dengan adanya teori
“Istikdhal” yaitu memasukan cairan mani kedalam rahim dengan cara yang
tidak alami biasanya disandingkan dengan kata wat‟i atau jima’ atau
dukhul yang bermakna hubungan seksual. Dalam fiqih Islam, praktik
istikdhal boleh dilakukan. Bahkan mayoritas ulama menyatakan nasab
hasil dari praktek Istikdhal sama dengan pratik wat‟i atau jima.
Nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi dan
memungkinkan dibentuk melalui tiga cara, yaitu44
a) Melalui perkawinan
b) Melalui nikah yang fasid atau bathil (termasuk nikah di bawah
tangan)
c) Melalui hubungan badan secara syubhat.
43
Yusuf Qordhawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporen , Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2001),
h. 660 44
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqih Al-Islami Wa „Adillatuhu, 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
Cet-1, h.681
63
Dari penjelasan di atas diluar tiga cara ini, semua anak yang
terlahir dari hasil sewa rahim dengan cara tidak sah, dimana sel telur isteri
diambil dan dikawinkan dengan sperma suami diluar perkawinan (tabung)
lalu ditanamkan pada rahim wanita lain (sewa rahim), maka nasab anak
pada ayah kandungnya tidak dapat dibentuk pada ayah biologisnya
2. Dalam Pandangan Hukum Positif
Anak yang dilahirkan dari perjanjian surrogate mother mempunyai
kemungkinan yang unik terkait dengan siapa yang dapat disebut sebagai
orang tua anak tersebut. Pada pasal 42 Undang-Undang Perkawinan
dimana dalam pasal tersebut menyatkan bahwa anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah45
.
Terkait dengan anak yang lahir dari surrogate mother apabila
dihubungkan dengan peraturan, akan menjadi status seperti berikut:
a. Apabila anak itu dilahirkan dari surrogate mother yang terkait
dalam perkawinan (mempunyai suami) maka anak tersebut
berkedudukan sebagai anak sah dari wanita tersebut dan suaminya.
b. Apabila anak itu lahir dari (surrogate mother) yang tidak terkait
dalam perkawinan, maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak
diluar kawin dari wanita tersebut46
.
Status anak yang ketika seorang wanita menikah hamil sebagai
hasil dari donor ovum atau donor embrio dalam proses implantasi dimana
sperma yang digunakan untuk pembuahan ovum dihasilkan oleh seorang
laki-laki selain dari suami wanita yang menikah tersebut dan wanita
tersebut menjalani prosedur dengan persetujuan dari suaminya yaitu:
a. Suami harus tahu untuk tujuan apaupun menjadi ayah dari setiap
anak dari kehamilan. Baik yang lahir maupun belum lahir.
45
R. Subekti dan Tjitrosudibio, KItab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Pradaya Paramita, 2001), h. 18 46
R. Subekti dan Tjitrosudibio, KItab Undang-Undang Hukum Perdata,, h. 78
64
b. Laki-laki yang menghasilkan sperma harus tidak menjadi ayah dari
setiap anak dari kehamilan baik yang lahir maupun yang tidak
lahir47
.
C. SEWA RAHIM DALAM HUKUM ISLAN DAN HUKUM POSISTIF
1. Dalam pandangan Hukum Islam
Dalam pandangan Islam, rahim wanita mempunyai kehormatan
yang sangat tinggi dan bukan barang hinaan yang boleh disewa atau
diperjual belikan48
. Karena rahim adalah anggota manusia yang
mempunyai hubungan yang kuat dengan naluri dan perasaan semasa
hamil. Manusia tidak berhak menyewakn rahimnya, karena akan
menimbulkan permasalahan dalam penentuan perwalian seorang anak jika
ia lahir nanti.49
Pada dasarnya tidak sah perlakuan apapun pada rahim kecuali
dengan pernikahan yang sah secara syariat Islam. Surragote mother
bukanlah sesuatu yang dapat disamakan dengan pernikahan, maka dalam
hal ini surragote mother tidak dibenarkan.50
Didalam al-Quran tidak kita jumpai suatu surah atau ayat yang
mengatur tentang kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses bayi
tabung yang menggunakan sperma atau ovum dari pasangan suami isteri
lalu embrionya ditransplantasikan kedalam rahim ibu pengganti (surrogate
mother), tetapi yang jadi kesamaan dengan itu adalah anak susuan. Anak
susuan adalah yang dikandung dan dilahirkan dari pasangan suami isteri,
lalu disusui oleh wanita lain.51
Anak susuan diatur dalam Al-Qur’an surah
Al-Baqharah (2):233
47
Sony Dewi Judiasih, Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,h. 19 48
Majdi bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi‟I, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2003), h. 50 49
Imam Bajuri, Penitipan Pra Embrio Pada rahim Wanita Lain (sewa rahim) Menurut
Hukum Islam, (Ponorogo: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam, ISID, 2011), h. 269 50
H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 317 51
Badrian Abu Al-Ainain Badrian, Huquq Fi Asy-Syariah Al-Islamy wa Al-Qonun,
(Iskandaria: Muasan Syabab Al-Jmiah), h. 16
65
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Baqarah (2): 233).
Dalam hukum Islam, melakukan sewa rahim yang mana sel sperma
suami dan sel ovum isteri ditransplantasikan kedalam rahim wanita lain
sangantlah dilarang dan tidak diperbolehkan, karena akan menimbul
kerancuan pada wali dan nasab pada anak tersebut52
. Namun jika
menempatkan benih suami pada isteri yang baik dilakukan secara alami
ataupu melalui perantara (dengan perangkat medis) maka menurut ajaran
hukum Islam adalah halal, karena keduanya berada dalam ikatan yang sah.
MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa
rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juli 1997), yang mengatakan
bahwa dewan Pimpinan Majlis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai
berikut53
:
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri
yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).
52
53
Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Emir, 2015), h. 703
66
b. Bayi tabung dari pasangan suami isteri dan titipan rahim isteri
yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan kepada isteri
pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah sad az-zari‟ah
sebab hal ini menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan
ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian
melahirkannya dan sebaliknya.
c. Bayi tabung dari sperma dibekukan dari suami yang telah
meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah sad az-
zari‟ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik
dalam kaitannya penentuan nasab maupun kaitannya dengan hal
kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain
pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu
statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis diluar
pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah sadd az-
zari‟ah, yaitu yang menghindari terjadinya perbuatan zina
sesungguhnya.
Tujuan hukum Islam untuk kemaslahatan dan kepentingan serta
kebahagiaan manusia (sebagai individu atau sebagai masyarakat)
seluruhnya, baik kebahagian di dunia ini maupun kebahgian di akhirat
kelak. Dilakukan dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan
mencegah atau menolak yang mudharat yaitu yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah
kemashlahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan
sosial.
2. Dalam Pandangan Hukum Positif
Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan
hukum perjanjian. Menurut pasal 1313 KUH Perdata perjanjian
67
didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa
orang lain. Kemudian dalam pasal 1233 KUH Perdata.54
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, jika
embrio ditransplantasikan kedalam rahim wanita lain yang bersuami maka
secara yuridis status anak itu adalah anak yang sah dari pasangan yang
mengandung dan melahirkan, bukan pasangan yang mempunyai benih55
.
Berdasarkan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “ upaya kehamilan diluar cara alamiah
hanya dapat dilakukan dengan pasangan suami isteri yang sah.” Dengan
ketentuan”56
a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum
berasal.
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan.
c. fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Sudah jelas dalam UU RI Nomer 36 tentang kesehatan pada pasal
27 ayat (1) sebagaimana yang telah jelaskan, bahwa pembuahan diluar
secara alami hanya boleh dilakukan dengan pasangan suami isteri yang
sah, dalam ikatan perkawinan yang sah. Namun apabila melakukan
pembuahan diluar secara alami dengan ikatan yang tidak sah maka sangat
tidak diperbolehkan, karena sudah melanggar kode etik dalam dunia
kedokteran.
D. ANALISIS
Masalah perwalian anak tidak terlepas dari suatu perkawinan, karena
dari hubungan perkawinanlah lahirnya anak dan bila pada suatu ketika terjadi
perceraian, salah satu orang tuanya atau keduanya meninggal dunia, maka
dalam hal ini akan timbul masalah perwalian, dan anak-anak akan berada
54
Chairiman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 72 55
Pradjoko, Hukum Perdata,(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 54 56
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta: Intermasa, 2003), h. 66
68
dibawah lembaga perwalian. Wali merupakan orang yang mengatur dan
bertanggung jawab terhadap kepentingan ank-anak tersebut baik mengenai diri
sendiri maupun harta benda milik anak tersebut.
Perwalian bagi anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang sah
tentunya tidak akan menimbulkan permasalahan karena secara jelas sudah
diketahui nasabnya sehingga sederetan hak dan kewajiban anak dan orang
tuanya dapat dijamin tidak menimbulkan persoalan. Berbeda dengan anak
yang dilahirkan hasil sewa rahim, dimana sel sperma dan sel ovum suami
isteri lalu ditransplantasikan kerahim wanita lain yang tentunya akan
menimbulkan berbagai persoalan. Nasab anak hasil sewa rahim menjadi tidak
jelas sehingga membawa dampak yaitu tidak terjamin hak-hak dan kewajiban
antara anak dan orang tuanya. Salah satu hak dari anak tersebut terhadap orang
tuanya ialah terkait dengan hak perwalian
Kalau kita hendak mengkaji masalah sewa rahim dari segi hukum
Islam, maka harus dikaji dengan metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para
ahli ijtihad agar hukumnya sesuai dengan prinsip-psrinsip dan jiwa al-Qur’an
yang menjadi pegangan umat Islam. Meskipun pada dasar hukum sewa rahim
tidak dijelas secara menyeruluh di dalam al-qur’an.
Pada sub ini analisi penulis dari pandangan hukum Islam dan hukum
positif terhadap status perwalian anak hasil sewa rahim. Dalam proses
penyewa rahim terdapat manfaat atau maslahat yang besar, namun keburukan
atau mafaatnya yang diakibatkannya jauh lebih besar dari pada manfaatnya
Menempatkan benih suami pada rahim isteri baik dilakukan secara
alami maupun melalui prantara (dengan perangkat medis maka menurut ajaran
Islam adalah halal karena keduanya berada dalam ikatan yang sah.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Baqharah (2): 223
Artinya: “isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
69
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-
Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (Q.S . Al-
Baqharah (2): 223)
Akan tetapi apabila dititipkan embrionya pada wanita lain akan
menimbulkan masalah perwalian pada anak. Kepada siapakah anak tersebut
dinasabkan? Apakah ayah pemilik sperma tersebut bisa menjadi wali?
Ayah bisa menjadi wali terhadap anak kandungnya hanya bisa terjadi
dan kemungkinan dibetuk melalui tiga cara yaitu:
1. Melalui perkawinan yang sah
2. Melalui perkawinan yang fasid atau bathil (termasuk dalam nikah
dibawah tangan)
3. Melalui hubungan badan secara syubhat
Diluar cara ini ayah biologis tidak dapat menjadi wali pada anak hasil
sewa rahim. Perwalian hanya kepada ibu yang mengandung dan
melahirkannya saja, karena hukum Islam perbuatan sewa rahim sama dengan
melakukan perbuatan zina yang mana anak hasil zina akan mempunyai
hubungan dengan ibu dan keluanganya.
Dalam hukum Islam, melakukan sewa rahim yang mana sel sperma
suami dan sel ovum isteri ditransplantasikan kedalam rahim wanita lain
sangantlah dilarang dan tidak diperbolehkan, karena akan menimbul
kerancuan pada wali dan nasab pada anak tersebut. Namun jika menempatkan
benih suami pada isteri yang baik dilakukan secara alami ataupu melalui
perantara (dengan perangkat medis) maka menurut ajaran hukum Islam
adalah halal, karena keduanya berada dalam ikatan yang sah.
Sedangkan sewa rahim dalam hukum positif mengacu kepada UU
No.23 Tahun 1993 pasal 16 ayat 1 dan 2 tentang Kesehatan. Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumya hukum tentang pemindahan embrio kedalam
rahim wanita lain. Selain merujuk kepada undang-undang tersebut penulis
juga merujuk kepada UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana
status anak yang lahir dari ibu pengganti, bahwa anak tersebut merupakan
70
anak sah dari ibu pengganti dan bukan anak dari orang tua yang menitipkan
benih di rahim surrogate mother.
Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa menurut ketentuan hukum Islam
ketentuan hukum dari pelaksanaan inseminasi buatan dengan sel sprema dan
sel ovum yang ditransplantasikan kerahim wanita lain adalah haram, anak
yang lahir dari proses tersebut adalah anak yang tidak sah atau sama dengan
anak zina dan dia hanya dihubungkan dengan keluarga ibu yang telah
melahirkannya yang salah satunya ialah hak perwalian ketika masih kecil dan
belum dewasa. Perwalian ini meliputi terhadap diri dan harta anak. Perwalian
terhadap seorang anak ini sesuai ini sesuai dengan maqasid asy-Syari‟ah
yaitu hifz nasb. Sedangkan dalam hukum posistif anak tersebut merupakan
anak sah dari ibu pengganti, bukan anak dari ibu yang menitipkan benih
kepada ibu pengganti (surragote mother).
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perwalian anak yang lahir hasil sewa rahim dalam hukum Islam sama saja
dengan melakukan zina, dimana hubungan perwalian anak hanya kepada
ibu dan keluarga ibunya, jadi anak yang lahir hasil sewa rahim hanya
mempunyai hubungan dengan ibu yang mengandung melahirkan.
Sedangkan dalam hukum positif perwalian anak hasil sewa rahim
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam UU. No.23 Tahun 1993 pasal 16
ayat 1 dan 2
2. Nasab anak hasil sewa rahim dalam hukum Islam tidak bisa dinisbatkan
kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ayah biologisnya. Ia hanya
mempunyai hubungan kepada ibu dan keluarga ibu yang telah
melahirkannya. Dalam hukum positif nasab anak hasil sewa raim mengacu
kepada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3. Hukum Islam melihat kasus anak hasil sewa rahim sama halnya dengan
zina, karena mendonorkan sperma bukan kepada isteri yang sah dan ini
sangan dilarang dan hukumnya menjadi haram karena melanggar
ketentuan syariat Islam. Sedangan dalam hukum positif, merujuk kepada
UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 27 ayat 1.
B. Saran
1. Peratura perundang-undangan tentang kehamilan diluar cara alamiah harus
disosialisasikan kepada tenaga medis yang berkometen rumah sakit yang
melayani program Pelayanan Reproduksi Buatan, maka yang boleh
(program bayi tabung) dan yang tidak boleh surragote mother karena
apabila sudah berbicara atas nama hukum, maka harus ditaati
peraturannya. Dengan demikian tenaga medis jangan tergiur dengan
pembayaran yang mahal untuk melakukan program surragote mother,
walaupun atas nama ilmu pengetahuan.
72
2. Membuat pereturan perundang-undangan (UU) secara khus tentang
surragote mother yang membuat tentang larangan, sanksi, dan antisipasi.
3. Dilakukan pengkajian tentang kemungkinan praktik surragote mother ini
sebagai suatu alternatif terakhir dalam penanganan beberapa kasus
infertilitas tertentu dimana anak adalah satu-satunya pasangan suami isteri
untuk tidak bercerai, mengingat bisa saja beberapa tahun kedepan akan
terjadi pergeseran nilai norma yang berlaku dimasyarakat, yang
dipositifkan maupun penilaian dari norma agama terhadap adanya
pengecualian tersebut (walaupun sebenarnya norma agama adalah norma
yang paling sulit untuk berubah atau bergeser. Seperti diperbolehkannya
praktek surragote mother pada isteri kedua dengan aturan yang ketet,
seperti kapan suami boleh menggauli isteri keduanya setelah embrio yang
ditanamnya berhasil tumbuh.
77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
78
LAMPIRAN 2
FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA TENTANG
BAYI TABUNG/INSEMINASI BUATAN
DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
MEMUTUSKAN
Memfatwakan:
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan
kaidah-kaidah agama
b. Bayi tabung dai pasangan suami istri dan titipan rahim istri yang lain
(misalnya dari istri kedua dititipkan kepada istri pertama) hukumnya haram
berdasaikan kaidah sadd az-zari’ah sebab, hal ini menimbulkan masalah
yang rumit dalam kaitannya masalah warisan (khususnya antara anak yang
dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung
kemudian melahirkannya dan sebaliknya.
c. Bayi tabung dari sperma dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan
79
menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya penentuan nasab
maupun kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami
istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan
kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah (zina), dan
berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah, yaitu yang menghindari pterjadinya
perbuatan zina sesungguhnya.
Jakarta, 13 Juni 1979
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua umum
Ttd
Sekretaris
ttd
Ketua Komisi Fatwa
Ttd
80
LAMPIRAN 3
Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit Oleh
Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta Direktorat Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2009
1. Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sel
sprema suami-istri yang bersangkutan.
2. Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan
infertilitas sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari
pengelolaan pelayanan infertilitas secara menyeluruh.
3. Embrio dapat dipindahkan sewaktu kedalam rahim istri tidak lebih dari
tiga, boleh dipindahkan empat embri pada keadaan:
a. Rumah sakit memiliki tiga tingkat perawatan intensif bagi bayi yang
baru lahir.
b. Pasangan suami-istri sebelumya sudah mengalami sekurang-kurangnya
dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal, atau
c. Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4. Dilarang melakukan surrogasi dalam bentuk apapun.
5. Dilaang melakukan jual beli embrio, ovum, dan spermatozoa.
81
LAMPIRAN 4
82
LAMPIRAN 5