stikes pku--febrianade-14-1-febriana-i.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN NYERI POST

    OPERASI KOLOSTOMI HARI KE II DENGAN INDIKASI

    KANKER KOLON DI RSUD Dr. MOEWARDI

    Karya Tulis Ilmiah

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Akhir Dalam Rangka Menyelesaikan

    Pendidikan Program Diploma III Keperawatan

    DISUSUN OLEH :

    FEBRIANA DEWI PURWANTI

    2011.1346

    SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

    PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA

    2014

  • ii

  • iii

  • iv

    SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH

    Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan judul :

    KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN NYERI POST

    OPERASI KOLOSTOMI HARI KE II DENGAN INDIKASI

    KANKER KOLON DI RSUD Dr. MOEWARDI

    dibuat untuk melengkapi Tugas Akhir Diploma Keperawatan STIKES PKU

    Muhammadiyah Surakarta. Tugas Akhir ini merupakan Karya Tulis Ilmiah saya

    sendiri (ASLI), dan dalam tugas akhir tidak terdapat karya yang pernah di ajukan

    oleh orang lain atau kelompok lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu

    Institusi Pendidikan, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau

    pendapat yang pernah dipublikasikan dan atau ditulis dan diterbitkan oleh orang lain

    maupun di Perguruan Tinggi atau Instansi manapun, kecuali bagian yang sumber

    informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.

    Surakarta, Juni 2014

    FEBRIANA DEWI PURWANTI

    2011.1346

  • v

    MOTTO

    Seorang sahabat adalah orang yang menjawab,apabila kita memanggil dan sering

    menjawab sebelum kita panggil.

    Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok adalah harapan.

    Setiap pekerjaan dapat diselesaikan dengan mudah bila dikerjakan tanpa keengganan.

    Berusahalah jangan sampai terlengah walau sedetik saja, karena atas kelengahan kita

    tak akan bisa dikembalikan seperti semula.

    Janganlah larut dalam satu kesedihan karena masih ada hari esok yang menyongsong

    dengan sejuta kebahagiaan

    Cara terbaik untuk keluar dari suatu persoalan adalah memecahkannya.

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Dengan mengucap rasa syukur dan

    penuh cinta atas kehadirat Allah SWT,

    karya sederhanaku ini ku persembahkan

    pada:

    1. .. Ibuku Nanik Susilowati dan Ayahku

    Sunarto yang tercinta. Terima kasih

    atas motivasi yang selalu

    menyemangatiku, baik spiritual

    maupun materiil sehingga studi ini

    dapat selesai dengan lancar.

    2. .. Buat adekku Nur Fitria M terima

    kasih atas dukungan dan mewarnai

    hari-hariku

    3. .. Buat si mbah, Terimakasih atas doa

    serta motivasi yang membuat

    semangat.

    4. .. Teruntuk dosen pembimbingku Bu

    Cemy dan Bu Yuli yang telah

    memberiku semangat dan motivasi,

    ide-idenya yang sabar membimbing

    dalam menyelesaikan tugas akhir ini

  • vii

    5. .. Buat Someone terimakasih telah

    memberiku semangat, waktu,

    dukungan, dan motivasinya dalam

    menyelesaikan tugas akhir ini.

    6. .. Teman-temanku seperjuangan

    tersayang, sari, maya, era, chui, ika,

    nopex, entong, sinta, vanda, juli, mila

    dan tidak lupa untuk adek-adek kamar

    J ( dek tami, dek nana, dek dini) serta

    teman-temanku DIII Keperawatan

    angkatan 2011 STIKES PKU

    Muhammadiyah Surakarta terima

    kasih banyak.

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala

    limpahan rahmat, innayah dan hidayahNya. Dialah yang sesungguhnya Maha

    Pemberi Petunjuk, yang memberi kekuatan, ketabahan, dan kemudahan dalam

    berfikir untuk menyelesaikan penelitian ini. Sholawat dan salam senantiasa terlimpah

    kepada Nabi Muhammad SAW, seluruh keluarga, para sahabat, dan segenap

    pengikutnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

    Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini mengambil judul Kajian Asuhan

    Keperawatan pada Tn S dengan Nyeri Post Operasi Kolostomi Hari ke II dengan

    Indikasi Kanker Kolon di RSUD Dr. Moewardi.

    Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini mengalami

    banyak kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, arahan, dorongan serta

    bimbingan dari berbagai pihak, maka kesulitan maupun hambatan tersebut dapat

    teratasi. Untuk itu dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis

    menyampaikan terima kasih segala bantuan yang telah diberikan dan mohon maaf

    atas segala kekhilafan kepada :

    1. Weni Hastuti, S.Kp.,M.Kes., selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PKU

    Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk

    melakukan penelitian.

    2. Cemy Nur Fitria, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Ketua Progam Studi DIII

    Keperawatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta sekaligus selaku dosen

    pembimbing I, dengan sabar dan bijaksana membantu dan menyumbangkan ide-

    idenya dalam mengoreksi, merevisi serta melengkapi dalam penyusunan karya

    tulis ilmiah ini.

    3. Yuli Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing II, dengan sabar

    dan bijaksana membantu dan meyumbangkan ide-idenya dalam mengoreksi,

    merevisi serta melengkapi dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

    4. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa membimbing dan mendoakan

    keberhasilanku dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

    5. Teman-teman seperjuangan, terima kasih untuk semuanya atas semangat dan

  • ix

    kekompakannya selama ini, baik suka maupun duka.

    6. Semesta yang telah mendukung dalam proses pembuatan karya tulis ilmiah ini.

    7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.

    Penulis menyadari bahwa dalam keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan

    waktu yang saya miliki, masih banyak kekurangan dalam penulisan penelitian ini.

    Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat penulis

    harapkan. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang

    terkait, kalangan akademis dan masyarakat yang berminat terhadap ilmu

    keperawatan.

    Surakarta, Juni 2014

    Penulis

  • x

    ABSTRAK

    KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN NYERI POST

    OPERASI KOLOSTOMI HARI KE II DENGAN INDIKASI

    KANKER KOLON DI RSUD Dr. MOEWARDI Febriana Dewi Purwanti1, Yuli Widyastuti2, Cemy Nur Fitria 3

    Latar Belakang: World Health Organisation,WHO (2003) Dalam setahun

    didapatkan sekitar 940.000 kasus baru dari kanker kolon dengan angka kematian

    mencapai 500.000 pasien di seluruh dunia. Dari data Departemen Kesehatan

    Republik Indonesia pada tahun 1986 di dapatkan angka kejadian 1,8 % penduduk

    dari 100.000 penduduk. Insidens kanker kolon yang sering dilakukan untuk

    penatalaksanaannya yaitu hemilolectomy dan kolostomi sebanyak 19 (11,7 %).

    Berdasarkan data dari RSUD Dr. Moewardi di dapatkan data pasien yang menderita

    penyakit kanker kolon dengan post operasi kolostomi sebanyak 32 orang dengan

    pasien laki-laki sebanyak 24 orang, sedangkan yang perempuan sebanyak 8 orang.

    Berdasarkan data yang diatas peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul

    Kajian asuhan keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan indikasi kanker

    kolon di RSUD Dr Moewardi.

    Tujuan : Melakukan kajian asuhan keperawatan dengan nyeri post operasi

    kolostomi hari ke II dengan indikasi kanker kolon.

    Metode: Kajian asuhan keperawatan ini dilakukan dengan cara deskriptif

    Hasil: Tn S mengatakan nyeri post operasi kolostomi tanggal 12 Juni 2014, nyeri

    seperti ditusuk-tusuk, nyeri pada bagian perut bawah dan hilang timbul saat

    bergerak, skala nyeri 5. Hasil pengkajian pada Tn S di dapatkan tiga (3) diagnosa

    keperawatan yaitu Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan

    akibat insisi pembedahan , Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan

    kondisi fisik, Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan

    (pembentukan stoma colostomy)

    Kesimpulan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien

    mengatakan masih merasakan nyeri, nyeri seperti diiris-iris dengan skala nyeri 2

    dan pasien mengatakan aktivitas masih dibantu oleh keluarganya serta pasien

    mengatakan masih ada stoma yang berwarna merah dan lembab

    Kata Kunci: Kanker kolon, Post operasi kolostomi, Nyeri

    1. Mahasiswa Program D III Keperawatan PKU Muhammadiyah Surakarta

    2. Dosen Pengampu Program D III Keperawatan PKU Muhammadiyah Surakarta

    3. Dosen Pengampu Program D III Keperawatan PKU Muhammadiyah Surakarta

  • xi

    ABSTRACT

    A STUDY OF NURSING CARE FOR Tn S THE SECOND DAY OF POST COLOSTOMY SURGERY TWINGE WITH INDICATION OF COLON CANCER AT dr. MOEWARDI HOSPITAL

    Febriana Dewi Purwanti1, Yuli Widyastuti2, Cemy Nur Fitria 3 Background: World Health Organization (WHO), (of year 2003), within one year, 940,000 new cases of colon cancer are found with a death rate, reaching 500,000 patients throughout the world. From the data of Health Department of the Republic of Indonesia (of year 1986), 1,8 % of incidence rate is found in 100,000 people. And out of that number, those who are treated with the same treatment of the colon cancer procedure, as much as 19 (11,7%) are indicated as hemilolectomy and colostomy cases. Based on the data taken from RSUD Dr. Moewardi, it is obtained that the number of patients who suffer from colon cancer with post- colostomy surgery is 32 persons with 24 male patients, and 8 female patients. Based on the above data, the researcher is interested in doing observation entitled A Study of Nursing Care for the Second Day of Post-Colostomy Surgery Twinge with Indication of Colon Cancer at Dr. Moewardi Hospital.

    Objective: Carrying out observation of study of nursing care for twinge resulted from post-colostomy surgery with indication of colon cancer on the second day.

    Methods: This study of nursing care is conducted with descriptive method.

    Results: Mr. S said that he had a twinge after a colostomy surgery done on June 12th, 2014. He had a piercing twinge right below his lower abdomen, and it reveals and disappears upon moving with twinge (pain) scale of 5. The result of study for the case of Mr. S shows that three (3) nursing diagnosis are found, namely; acute twinge which results from the discontinuity of tissue that is caused by the surgical incision, and from the intolerance of activity that derives from the deteriorating physical condition, dermatological disorder which has something to do with the surgical incision (stoma colostomy formation).

    Conclusion: After 3 X 24 hour nursing treatment, the patient still feels the twinge, a piercing twinge with twinge scale of 2 and he cannot afford doing his own activity, without the assistance of his family members. Moreover, he still has a red, moist stoma.

    Keywords: colon cancer, post colostomy surgery, twinge 1. Student of Diploma 3 Program of Nursing Care of PKU Muhammadiyah Surakarta 2. Lecturer of Nursing Care of Diploma 3 Program of PKU Muhammadiyah Surakarta 3. Lecturer of Nursing Care of Diploma 3 Program of PKU Muhammadiyah Surakarta

  • xii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

    HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii

    LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii

    HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH ......... iv

    HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v

    HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi

    KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

    ABSTRAK ....................................................................................................... x

    ABSTRACT ..................................................................................................... xi

    DAFTAR ISI .................................................................................................... xii

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv

    DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ............................................................................. 1

    B. Tujuan .......................................................................................... 5

    C. Manfaat ........................................................................................ 6

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Teori Medis ................................................................... 7

    B. Tinjauan Teori Kebutuhan Dasar ................................................. 26

    C. Pathway / Kerangka Teori ........................................................... 55

    BAB III METODE STUDI KASUS

    A. Desain Studi Kasus ...................................................................... 56

    B. Subjek Studi Kasus ...................................................................... 56

    C. Tempat dan Waktu Studi Kasus ................................................... 57

    D. Instrumen ..................................................................................... 57

    E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 60

  • xiii

    BAB IV RESUME KASUS DAN PEMBAHASAN

    A. Resume Kasus ............................................................................. 64

    B. Pembahasan ................................................................................ 74

    BAB V PENUTUP

    A. Simpulan........................................................................................ 88

    B. Saran ............................................................................................. 89

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • xiv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Pathway ........................................................................................................... 55

  • xv

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 4.1. Analisa Data ................................................................................... 70

    Tabel 4.2. Daftar Masalah / Diagnosa Keperawatan ....................................... 71

  • xvi

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Jadwal Penelitian

    Lampiran 2. Format Pengkajian

    Lampiran 3. Permohonan Menjadi Responden

    Lampiran 4. Persetujuan Menjadi Responden

    Lampiran 5. Assessment Skala Nyeri

    Lampiran 6. Asuhan Keperawatan

    Lampiran 7. Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan

    Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian

    Lampiran 9. Surat Balasan Penelitian

    Lampiran 10. Surat Kelaikan Etik

    Lampiran 11. Surat Keterangan

    Lampiran 12. Lembar Konsultasi

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Banyaknya makanan yang dicurigai mengandung zat-zat kimia yang

    menyebabkan kanker pada usus besar. Makanan yang tinggi lemak terutama

    hewan dari daging merah yang menyebabkan sekresi asam dan bakteri anaerob

    yang menyebabkan timbulnya kanker didalam usus besar. Daging yang digoreng

    dan dipanggang juga dapat berisi zat-zat kimia yang menyebabkan kanker.

    Resiko dari kanker kolon akan menjadi 2/3 kali lebih besar jika anggota keluarga

    menderita penyakit tersebut (Padila, 2012: 132). Kanker kolon adalah suatu

    kanker yang berada di kolon. Penyakit ini termasuk penyakit yang mematikan

    karena penyakit ini sering tidak diketahui sampai tingkat yang lebih parah.

    Pembedahan adalah satu-satunya cara untuk mengubah kanker kolon (Padila,

    2012: 129).

    Menurut Sabiston (2013 : 36) Populasi umum, insiden kanker kolon mulai

    meningkat secara bermakna setelah usia sampai 45 tahun dan meningkat tiap

    dasawarsa setelah itu oleh faktor sekitar dua sampai mencapai puncaknya pada

    usia 75 tahun. Resiko bagi pria dan wanita di atas usia 40 tahun dan bila kanker

    kolon muncul sebelum usia 40 tahun, maka biasanya terjadi bersama sejumlah

    faktor resiko lain, terutama familial. Di rumah sakit memorial sloan-cattering,

    frekuensi pasien kanker kolorektum dengan kanker kolon sebelumnya 3,6% atau

    serentak 1,9% sebesar 5,5%. Resiko tertinggi bagi kanker kolon kedua pada lesi

    1

  • 2

    sekum. Disamping itu, resiko spesifik kanker kolon dalam keluarga pasien kanker

    kolon, tiga kali lebih besar daripada populasi nornal. Jika anggota keluarga

    menderita beberapa kanker kolon, maka mulainya kanker kolon dalam

    keluarganya muncul 5 sampai 10 tahun lebih dini dibandingkan yang

    diperkirakan.

    Menurut Padila (2012 : 132) 152.000 orang di Amerika Serikat terdiagnosa

    Kanker Kolon pada tahun 1992 dan 57.000 orang meninggal karena kanker ini

    pada tahun yang sama. Sebagian besar klien pada kanker kolon mempunyai

    frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Kanker pada kolon kanan

    biasanya terjadi pada wanita dan ca pada rektum biasanya terjadi pada laki-laki.

    Menurut Yusni (2008) World Health Organisation,WHO (2003) Dalam setahun

    didapatkan sekitar 940.000 kasus baru dari kanker kolon dengan angka kematian

    mencapai 500.000 pasien di seluruh dunia. Dari data Departemen Kesehatan

    Republik Indonesia pada tahun 1986 didapatkan angka kejadian 1,8 setiap

    penduduk 100.000 penduduk. Insidens karsinoma kolon dan rektum di indonesia

    cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Insidens pria sebanding dengan

    wanita, dan lebih banyak pada orang muda (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005: 658).

    Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Oemiati (2011)

    penelitian yang pernah dilakukan, prevalensi kanker berdasarkan provinsi

    menunjukkan bahwa ada 5 provinsi yang prevalensi kankernya melebihi

    prevalensi kanker nasional (>5,03%), yaitu provinsi DIY sebesar 9,66%, Provinsi

    Jawa Tengah sebesar 8,06%, provinsi DKI Jakarta sebesar 7,44%, Provinsi

    Banten sebesar 6,35%, dan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 5,76%.

  • 3

    Menurut Sander (2012) data rawat inap RSUP Hasan Sadikin Bandung,

    insidensi kanker di Indonesia secara umum adalah kanker kolon 1.635 kasus

    (3,7%) (Sistem Informasi Rumh Sakit, 2008). Penderita kanker kolon dan rektum

    di Poliklinik Bedah Digestif RSUP dari Januari tahun 2005 sampai Desember

    2008, ada 163 sampel yang eligible, dimana yang berusia di bawah 40 tahun 19

    (11,7%) dan di atas 55 tahun 61 (37,4 %). Penatalaksanaan yang sering dilakukan

    untuk kanker kolon yaitu hemilolectomy dan kolostomi sebanyak 19 (11,7 %).

    Prognosis didapatkan sembuh 90 (55,2%), tidak sembuh 24 (14,7%), tidak

    kontrol 38 (23,3%), dan yang kontrol ditempat lain 2 (1,2%). Berdasarkan data

    dari RSUD Dr. Moewardi didapatkan data pasien yang menderita penyakit

    kanker kolon dengan post operasi kolostomi sebanyak 32 orang dengan pasien

    laki-laki sebanyak 24 orang, sedangkan yang perempuan sebanyak 8 orang.

    Menurut Padila (2012:139), pada kasus kanker kolon membuat insisi

    dalam perut dan memeriksa rongga abdomen untuk menentukan letak reseksi dari

    tumor tersebut. Bagian dari kolon dengan tumor adalah menghilangkan dan

    terakhir membuka dua pada usus yang diirigasi sebelum hubungannya dengan

    kolon. Jika hubungan ini tidak dapat dijalankan karena lokasi tumor atau kondisi

    pada usus (contoh inflamasi) ahli bedah membuat kolostomi.

    Operasi kolostomi dilakukan untuk berbagai penyakit dan kondisi.

    Beberapa kolostomi dilakukan karena keganasan (kanker) suatu penyakit kanker

    yang menyerang kolon, dimana terjadi pertumbuhan yang cepat, proresif dan

    mematikan, dikarenakan penyakit ini penyebab kematian kedua (Padila,

    2012:129). Kolostomi mulai berfungsi 2 sampai 4 hari setelah operasi. Ketika

  • 4

    kolostomi mulai berfungsi, kantung perlu dikosongkan secara berfrekuensi untuk

    menghilangkan gas yang terkumpul (Padila, 2012: 140).

    Nyeri sangat tidak menyenangkan dan merupakan sensasi yang sangat

    personal yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri merupakan masalah

    yang memiliki prioritas tinggi. Nyeri menandakan bahaya fisiologis dan

    psikologis bagi kesehatan dan pemulihan. Nyeri berat dianggap sebagai situasi

    darurat yang patut mendapat perhatian dan penanganan yang tepat (Kozier, et al.,

    2011 : 689).

    Saat klien sadar dari anestesi umum maka rasa nyeri menjadi sangat terasa.

    Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh. Nyeri akut akibat

    insisi menyebabkan klien gelisah dan mungkin nyeri ini yang merupakan

    penyebab tanda-tanda vital berubah. Pengkajian rasa tidak nyaman klien dan

    evaluasi terapi untuk menghilangkan rasa nyeri merupakan fungsi keperawatan

    yang penting. Skala nyeri merupakan metode efektif bagi perawat untuk

    mengkaji nyeri pascaoperatif, mengevaluasi respons klien terhadap pemberian

    analgesik, dan mendokumentasikan beratnya nyeri secara objektif (Potter dan

    Perry, 2006 : 1837).

    Hasil uraian diatas, peneliti tertarik mengambil judul Kajian asuhan

    keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon untuk

    diteliti di RSUD Dr Moewardi. Dengan materi ini, nantinya dapat menambah

    ilmu bagi mahasiswa yang lain untuk menerapkan kompetensi dan membuat

    asuhan keperawatan nyeri post operasi kolostomi pada Tn S dengan indikasi

    kanker kolon di lahan praktek.

  • 5

    B. Tujuan

    1. Umum

    Diperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan

    keperawatan pada Tn S dengan gangguan nyeri post operasi kolostomi

    dengan indikasi kanker kolon.

    2. Khusus

    Setelah melakukan asuhan kepawatan nyeri post operasi kolostomi

    pada Tn S dengan indikasi kanker kolon :

    a. Melakukan pengkajian gangguan nyeri post operasi kolostomi dengan

    indikasi kanker kolon.

    b. Mengidentifikasi data gangguan nyeri post operasi kolostomi dengan

    indikasi kanker kolon.

    c. Menegakan diagnosa yang mungkin muncul dengan gangguan nyeri post

    operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon.

    d. Membuat perencanaan asuhan keperawatan dengan gangguan nyeri post

    operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon.

    e. Melaksanakan asuhan keperawatan dengan gangguan nyeri post operasi

    kolostomi dengan indikasi kanker kolon.

    f. Mengevaluasi hasil keperawatan dengan gangguan nyeri post operasi

    kolostomi dengan indikasi kanker kolon.

  • 6

    C. Manfaat

    1. Bagi Penulis

    Memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan asuhan

    keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon.

    2. Bagi Profesi

    Sebagai menambah pengetahuan teoritis maupun aplikatif bagi pofesi

    perawat dalam asuhan keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan

    indikasi kanker kolon.

    3. Bagi Institusi Pendidikan

    Sebagai menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan nyeri post

    operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon dan mungkin bisa menjadi

    salah satu acuan bagi penelitian selanjutnya.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Teori Diagnosa Medis

    1. Anatomi dan Fisiologi

    a. Usus Besar (Kolon)

    Kolon mempunyai panjang sekitar 1,5 meter dan terbentang dari

    ileum terminalis sampai anus. Diameternya terbesar (8,5 cm) dalam

    sekum, berkurang menjadi sedikit lebih berdilatasi dalam rektum. Bagian

    asenden dan desenden terutama retroperitoneum, sedangkan kolon

    sigmoideum dan transversum mempunyai mesenterium, sehingga terletak

    ini intraperitoneum (Sabiston, 2013: 14).

    Usus besar memanjang dari katub ileosekum (ileokolik), yang

    membujur atara usus halus dan usus besar, hingga ke anus. Kolon (usus

    besar) pada orang dewasa umumnya memiliki panjang sekitar 125 sampai

    150 cm (50 sampai 60 inci). Kolon memiliki tujuh bagian, sekum, kolon

    asendens, transversal, dan kolon desendens, kolon sigmoid, rektum, dan

    anus (Kozier, et al., 2011 : 812).

    Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh membran

    mukosa. Serat otot berbentuk sirkular dan longitudinal, yang

    memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar dan

    memanjang. Otot longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon dan oleh

    karena itu menyebabkan usus besar membentuk kantung atau haustra

    (Kozier, et al, 2011 : 812).

    7

  • 8

    Fungsi utama kolon adalah absorpsi air dan zat gizi, perlindungan

    mukosa dinding usus dan eliminasi fekal. Kolon juga memberi fungsi

    perlindungan karena kolon mensekresikan lendir. Lendir berperan untuk

    melindungi dinding usus besar dari trauma akibat pembentukan asam di

    dalam feses dan berperan sebagai pengikat untuk menyatukan material

    fekal dan melindungi dinding usus dari aktifitas bakteri. Kolon berperan

    untuk mengangkut produk pencernaan di sepanjang lumennya yang pada

    akhirnya dieliminasi melalui saluran anus (Kozier, et al., 2011 : 812).

    Tipe-tipe pergerakan di usus besar, haustral churning, peristaltik

    kolon, dan peristaltik massa. Haustral churning untuk mencampur isi

    usus, kerja tersebut membantu penyerapan air dan menggerakkan isi usus

    ke depan menuju haustra berikutnya. Peristaltik adalah pergerakan

    menyerupai gelombang yang dihasilkan oleh serat otot sirkular dan

    longitudinal pada dinding usus, gerakan ini mendorong isi usus ke depan.

    Peristaltik kolon sangat lambat dan sangat sedikit menggerakan kime di

    sepanjang usus. Peristaltik massa, tipe ketiga dari pergerakan kolon,

    melibatkan suatu gelombang kontraksi otot yang kuat sehingga

    menggerakkan sebagian besar area kolon. Biasanya peristaltik massa

    terjadi setelah makan, distimulasi oleh keberadaan makanan di dalam

    lambung dan usus halus. Pada orang dewasa, gelombang peristaltik massa

    hanya terjadi beberapa kali dalam sehari (Kozier, et al., 2011 : 812).

  • 9

    b. Rektum dan Saluran Anus

    Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 cm

    sampai 15 cm, panjang bagian paling distal, 2,5 sampai 5 cm, adalah

    saluran anus. Di dalam rektum terdapat lipatan-lipatan yang dapat meluas

    secara vertikal. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah vena dan sebuah

    arteri. Diyakini bahwa liapatan ini membantu menahan feses di dalam

    rektum. Jika vena mengalami distensi, seperti yang terjadi jika terdapat

    tekanan berulang, terjadilah suatu kondisi yang disebut hemoroid (Kozier,

    et al., 2011 : 813).

    Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid disebut

    feses. Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi.

    Rektum merupakan bagian akhir pada saluran Gastrointestinal.

    Panjang rektum bervariasi menurut usia :

    1) Bayi : 2,5 cm sampai 3,8 cm

    2) Todler : 5 cm

    3) Prasekolah : 7,5 cm

    4) Anak usia sekolah : 10 cm

    5) Dewasa : 15 cm sampai 20 cm

    Kondisi normal, rektum tidak berisi feses smpai defekasi. Rektum

    dibangun oleh lipatan-lipatan jaringan vertikal dan transversal. Setiap

    lipatan vertikal berisi sebuah arteri dan lebih dari vena. Apabila vena

    menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan, maka terbentuk

    hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi terasa nyeri (Potter

    dan Perry, 2006 : 1741).

  • 10

    2. Pengertian

    Kanker kolon adalah suatu kanker yang berada di kolon. Kanker

    kolon adalah penyebab kedua kematian di Amerika serikat setelah kanker

    paru-paru. Penyakit ini termasuk penyakit yang mematikan karena penyakit

    ini sering tidak diketahui sampai tingkat yang lebih parah. Pembedahan

    adalah satu-satunya cara untuk mengubah kanker kolon (Padila, 2012 : 129).

    3. Etiologi

    Penyebab dari pada kanker kolon tidak diketahui. Diet dan

    pengurangan waktu peredaran pada usus besar (aliran depan feces) yang

    meliputi faktor kausatif. Petunjuk pencegahan yang tepat dianjurkan oleh

    Amerika Cancer Society, The National Cancer Institute, dan organisasi

    kanker lainnya.

    Makanan-makanan yang pasti dicurigai mengandung zat-zat kimia

    yang menyebabkan kanker pada usus besar. Makanan tersebut juga

    mengurangi waktu peredaran pada perut yang mempercepat terjadinya

    kanker. Makanan yang tinggi lemak terutama hewan dari daging merah yang

    menyebabkan sekresi asam dan bakteri anaerob yang menyebabkan

    timbulnya kanker di dalam usus besar.

    Daging yang digoreng dan dipanggang juga dapat berisi zat-zat kimia

    yang menyebabkan kanker. Diet dengan karbohidrat murni yang mengandung

    serat dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi waktu peredaran dalam

    usus besar. Beberapa kelompok menyarankan diet yang mengandung sedikit

    lemak hewan dan tinggi sayuran dan buah-buahan.

  • 11

    Makanan yang harus dihindari :

    a. Daging merah

    b. Lemak hewan

    c. Makanan berlemak

    d. Daging dan ikan goreng atau panggang

    e. Karbohidrat yang disaring (misalnya : sari yang disaring)

    Makanan yang harus dikonsumsi :

    a. Buah-buahan dan sayur-sayuran khususnya dari golongan kubis

    b. Butir padi yang utuh

    c. Cairan yang cukup terutama air

    Karena sebagian besar tumor kolon menghasilkan adenoma, faktor

    utama yang membahayakan terhadap kanker kolon menyebabkan adenoma.

    Ada tiga tipe adenoma colon : tubular, villous dan tubulo villous (akan

    dibahas pada polips). Meskipun hampir besar kanker colon berasal dari

    adenoma, hanya 5% dari semua adenome colon menjadi manigna, villous

    adenoma mempunyai potensial tinggal untuk menjadi manigna.

    Orangorang yang telah mempunyai ulceratif colitis atau penyakit ang

    lebih Crohns juga mempunyai resiko terhadap kanker colon. Penambahan

    resiko pada permulaan usia muda dan tingkat yang lebih tinggi terhadap

    keterlibatan colon. Resiko dari kanker colon akan menjadi 2/3 kali lebih besar

    jika anggota keluarga menderita penyakit tersebut (Padila, 2012: 132).

  • 12

    4. Tanda dan Gejala

    Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2005 : 659) Gejala klinis karsinoma

    kolon kiri berbeda dengan kanan. Karsinoma kolon kiri sering bersifat

    skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih

    karena feses sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan jarang terjadi

    stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Gejala dan

    tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul

    penyakit penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan, atau

    akibat penyebaran.

    Menurut Padila (2012 : 133), tanda-tanda ca kolon tergantung pada

    letak tumor. Tanda-tandanya biasanya terjadi adalah :

    a. Perdarahan pada rektal

    b. Anemia

    c. Perubahan feses

    Kemungkinan darah ditunjukkan sangat kecil atau lebih hidup seperti

    mahoni atau bright-red stooks. Darah kotor biasanya tidak ditemukan tumor

    pada sebelah kanan kolon tetapi biasanya tidak banyak tumor disebelah kiri

    kolon dan rektum.

    5. Patofisiologi

    Menurut Padila (2012 : 129), perubahan patologi tumor terjadi di

    tempat yang berada kolon mengikuti kira-kira pada bagian :

    a. 26 % pada caecum dan ascending colon

    b. 10 % pada transfercum colon

  • 13

    c. 15 % pada descending colon

    d. 20 % pada sigmoid colon

    e. 30 % pada rectum

    Karsinoma kolon sebagian besar menghasilkan adenomatus polip.

    Biasanya tumor ini tumbuh tidak terdeteksi sampai gejala-gejala muncul

    secara bertahan dan tampak membahayakan. Penyakit ini menyebar dalam

    lapisan dalam di perut, mencapai serosa dan mesenterik fat. Kemudian tumor

    mulai melekat paada organ yang ada disekitarnya, kemudian meluas kedalam

    lumen usus besar atau menyebar ke limpa, setelah sel tumor masuk pada

    sistem sirkulasi, biasanya sel bergerak menuju liver. Tempat yang kedua

    adalah tempat yang jauh kemudian metastase ke paru-paru. Tempat metastase

    yang lain termasuk :

    a. Kelenjar adrenalin

    b. Ginjal

    c. Kulit

    d. Tulang

    e. Otak

    Penambahan untuk infeksi secara langsung dan menyebar melalui

    limpa dan sistem sirkulasi, tumor colon juga dapat menyebar pada bagian

    peritonial sebelum pembedahan tumor belum dilakukan. Penyebaran terjadi

    ketika tumor dihilangkan dan sel kanker dari tumor pecah menuju ke rongga

    peritonial.

  • 14

    6. Komplikasi

    Komplikasi terjadi sehubungan dengan bertambahnya pertumbuhan

    pada lokasi tumor atau melalui penyebaran metastase yang termasuk :

    a. Perforasi usus besar yang disebebkan peritonitis

    b. Pembentukan abses

    c. Pembentukkan fistula pada urinari bladder atau vagina

    Biasanya tumor menyerang pembuluh darah dan sekitarnya yang

    menyebabkan pendarahan. Tumor tumbuh kedalam usus besar dan secara

    berangsur-angsur membantu usus besar dan pada akhirnya tidak bisa sama

    sekali. Perluasan tumor melebihi perut dan mungkin menekan pada organ

    yang berada disekitarnya (uterus, urinary bladder, dan ureter) dan penyebab

    gejala-gejala tersebut tertutupi oleh kateter (Padila, 2012 : 130).

    7. Pemeriksaan Diagnostik

    Kanker kolon dianggap sebagai penyakit yang perjalanannya lambat.

    Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan agar melakukan deteksi dini melalui

    pemeriksaan darah dalam tinja dan kolonoskopi. Sebaiknya, deteksi dini

    dilakukan sejak usia 40 tahun bagi orang yang memiliki riwayat ketiga jenis

    kanker tersebut dalam keluarganya. Apalagi bagi orang yang telah mengalami

    gejala-gejala, seperti perdarahan saat buag air besar dan tertutupnya jalan

    usus atau penyumbatan. Maka, deteksi dini kanker kolon melalui tahapan

    berikut :

    a. Pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan ini bertujuan mengetahui adanya

    kelainan pada prostat.

  • 15

    b. Pemeriksaan laboratorium, yaitu pemeriksaan darah samar (occult blood)

    secara berkala untuk mengetahui ada atau tidaknya darah dalam tinja.

    Kemudian dilakukan pemeriksaan secara visual dengan endoskopi di

    kolon atau kolonoskopi. Pemeriksaan kolonoskopi atau teropong usus

    dianjurkan segera dilakukan bagi orang yang mencapai usia 50 tahun.

    c. Pemeriksaan kolonoskopi. Pemeriksaan ini bertujuan menemukan kanker

    kolorektal dan mengambil jaringan yang akan diperiksa di laboatorium

    patologi.

    d. Pemeriksaan enema barium. Pemeriksaan ini bertujuan menunjang

    diagnosis kanker kolon.

    e. Menggunakan kolonoskopi untuk mendeteksi kelainan berdasarkan

    gambaran makroskopik. Bila tidak ada penonjolan atau ulkus,

    pengamatan kolonoskopi ditujukan pada kelanan warna, bentuk,

    permukaan, dan gambaran pebuluh darah. Dengan adanya deteksi dini

    semacam ini, maka diharapkan kanker kolon dapat segera ditangani atau

    diterapi (Santosa , 2009 : 111).

    8. Penatalaksanaan

    a. Pelaksanaan tanpa pembedahan

    Menurut padila (2012 : 136,137) tim medis dapat menilai kanker

    tiap pasien untuk menentukan rencana pengobatan yang baik dengan

    mempertimbangkan usia, komplikasi penyakit dan kualitas.

    1) Terapi radiasi

    Persiapan menggunakan radiasi dapat diberikan pada pasien

    yang menderita ca colorektal yang besar walaupun ini tidak

  • 16

    dilaksanakan secara rutin. Tetapi ini dapat menyebabkan kesempatan

    lebih banyak dari tumor tertentu, yang mana terjadi fasilitas reseksi

    tumor selama pembedahan.

    Radiasi dapat digunakan post operatif sampai batas

    penyebaran metastase. Sebagai ukuran nyeri, terapi radiasi

    menurunkan nyeri, perdarahan, obstruksi usus besar atau metastase

    paru-paru dalam perkembangan penyakit.

    Perawat menerangkan prosedur terapi radiasi pada klien dan

    keluarga dan memperlihatkan efek samping (contohnya diare dan

    kelelahan). Perawat melaksanakan tindakan untuk menurunkan efek

    samping dari terapi.

    2) Kemoterapi

    Obat non sitotoksik memajukan pengobatan terhadap ca

    kolorektal kecuali batas tumor pada anal kanal. Bagaimanapun juga 5

    fluorouracil (5-FU, Adrucil) dan levamisole (ergamisol) telah

    direkomendasikan terhadap standar terapi untuk stadium khusus pada

    penyakit (contoh stadium III) untuk mempertahankan hidup.

    Kemoterapi juga digunakan sesudah pembedahan untuk mengontrol

    gejala-gejala metastase dan mengurangi penyebaran metastase.

    Kemoterapi intrahepatik arterial sering digunakan 5 FU yang

    digunakan pada klien dengan metastasis liver.

    b. Pelaksanaan dengan pembedahan

    Ahli bedah membuat insisi dalam perut dan memeriksa rongga

    abdomen untuk menentukan letak reseksi dari tumor tersebut. Bagian dari

  • 17

    kolon dengan tumor adalah menghilangkan dan terakhir membuka dua

    pada usus yang diirigasi sebelum hubungannya dengan kolon. Jika

    hubungan ini tidak dapat dijalankan karena lokasi tumor atu kondisi pada

    usus (contoh inflamasi) ahli bedah membuat kolostomi (Padila, 2012:

    139).

    1) Kolostomi

    a) Pengertian

    Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut

    juga anus preternaturalis yang dibuat untuk sementara atau

    menetap. Kolostomi sementara dibuat, misalnya pada penderita

    gawat perut dengan peritonitis yang telah dilakukan reseksi

    sebagian kolon (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005 : 664).

    Kolostomi adalah lubang yang menuju kolon (usus

    besar). Tujuan kolostomi adalah untuk mengalihkan dan

    mengalirkan materi fekal. Kolostomi diklasifikasikan sesuai

    dengan : (1) statusnya, permanen, atau temporer, (2) lokasi

    anatominya, dan (3) pembuatan stoma, lubang yang dibuat

    dinding abdomen dengan ostomi (Kozier, et al., 2011 : 820).

    (1) Kolostomi dapat bersifat temporer atau permanen.

    Kolostomi temporer secara umum dilakukan untuk kondisi

    cedera traumatik atau inflamasi pada usus. Kolostomi

    memungkinkan bagian distal usus yang terkena penyakit

    untuk memberikan suatu cara eliminasi saat rektum atau

  • 18

    anus tidak berfungsi akibat defek saat lahir atau penyakit

    sepeti kanker usus (Kozier, et al., 2011 : 820).

    (2) Letak anatomik, kolostomi asendens mengeluarkan feses

    dari bagian kolon asendens, kolostomi tranverse dari kolon

    transversal, kolostomi desendens dari kolon desendens, dan

    sigmoidostomi dari kolon sigmoid. Letak ostomi

    memengaruhi karakter dan penatalaksanaan drainase fekal

    semakin panjang usus, feses semakin terbentuk (karena usus

    besar menyerap kembali air dari massa fekal) dan semakin

    besar pengendalian frekuensi pengeluaran stomal yang

    dapat dibentuk.

    (3) Kolostomi asendens serupa dengan ileostomi dalam hal

    drainase yang cair dan tidak dapat diatur, serta mengandung

    enzim pencernaan. Namun, bau merupakan suatu masalah

    yang memerlukan pengendalian.

    (4) Kolostomi transversal menghasilkan drainase yang berbau

    dan berbentuk seperti bubur karena sedikit cairan telah

    diserap kembali. Biasanya tidak dapat dikontrol.

    (5) Kolostomi desendens menghasilkan drainase fekal yang

    semakin padat. Feses dari sigmoidostomi adalah feses

    normal atau memiliki konsistensi yang telah memiliki

    bentuk, dan frekuensi pengeluaran dapat atur. Klien

  • 19

    sigmoidostomi mungkin tidak harus memakai perlengkapan

    ostomi disetiap saat, dan bau biasanya dapat dikontrol.

    Lama waktu pemakaian ostomi juga membantu

    menentukan konsistensi feses, terutama pada kolostomi

    transversal dan desendens. Seiring dengan waktu, feses menjadi

    terbentuk karena bagian kolon yang masih berfungsi cenderung

    mengompensasi dengan meningkatkan reabsorpsi air (Kozier, et

    al., 2011 : 821).

    Lokasi kolostomi ditentukan oleh masalah medis

    dankondisi umum klien. Terdapat tiga jenis kolostomi :

    (1) Loop colostomy, biasanya dilakukan dalam kondisi

    kedaruratan medis

    (2) End colostomy, terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari

    ujung proksimal usus dengan bagian distal saluran

    gastrointestinal dapat dibuang atau dijahit tertutup (disebut

    kantong Hartmann) dan dibiarkan di dalam rongga

    abdomen. End colostomy merupakan hasil terapi bedah pada

    kanker kolorektal.

    (3) Double-barrel colostomy, terdiri dari dua stoma yang

    berbeda; stoma proksimal dan stoma distal (Potter dan

    Perry, 2006 : 1748).

  • 20

    2) Indikasi dilakukan kolostomi

    Klien yang mengalami kelainan pada usus seperti obstruksi

    usus, kanker kolon, kolitis ulseratif, penyakit divertikuler akan

    dilakukan pembedahan yang disebut kolostomi yaitu lubang dibuat

    dari segmen kolon (asecenden, transversum dan sigmoid). Lubang

    tersebut ada yang bersifat sementara dan permanen. Kolostomi

    ascenden dan transversum bersifat sementara, sedangkan kolostomi

    sigmoid berifat permanen. Kolostomi yang bersifat sementara akan

    dilakukan penutupan (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010 : 66).

    Indikasi kolostomi ialah dekompresi usus pada obstruksi,

    stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang, atau

    perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk

    melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa stoma kait

    (loop kolostoma) atau stoma ujung (end kolostoma), (Sjamsuhidajat

    dan Jong, 2005 : 664).

    3) Komplikasi kolostomi

    a) Kebocoran di bawah alat

    b) Tanda dan gejala infeksi

    c) Ketidakseimbangan elektrolit

    d) Dehidrasi

    e) Obstruksi usus

    f) Hemoragi

    g) Ostomi

  • 21

    h) Prolaps

    i) Striktur

    j) Retraksi

    k) Nekrosis (Inayah, 2004 : 235)

    4) Pembuatan stoma

    Pembuatan stoma dibagi menjadi stoma tunggal, lengkung,

    terbagi atau kolostomi bersilinder ganda. Stoma tunggal dibuat jika

    salah satu ujung usus dikeluarkan ke lubang di dinding abdomen

    anterior. Ini disebut sebagai kolostomi akhir atau terminal; stoma ini

    bersifat permanen.

    Pada kolostomi lengkung, lengkung usus dikeluarkan ke

    dinding abdomen dan disangga oleh sebuah batang plastik, sebuah

    lubang transparan (kaca), atau sepotong slang karet, lengkung stoma

    memiliki dua lubang; ujung proksimal atau aferen, yang aktif, dan

    ujung distal atau aferen, yang tidak aktif. Kolostomi kedaruratan dan

    sering kali terletak dikolon transversal kanan. Stoma ini adalah stoma

    yang besar yang lebih sulit ditangani dibandingkan stoma tunggal.

    Kolostomi terbagi terdiri dari ujung usus yang dibawa abdomen

    tetapi terpisah satu sama lain. Lubang dari ujung digesif atau

    proksimal adalah kolostomi. Ujung distal dalam situasi ini seringkali

    disebut sebagai fistula lendir, karena bagian usus ini seringkali

    mensekresikan lendir. Kolostomi terbagi sering kali digunakan dalam

    situasi yang perlu menghindari kebocoran feses ke ujung distal usus.

  • 22

    Kolostomi bersilinder ganda menyerupai senapan besilinder

    ganda. Pada tipe kolostomi ini, lengkung proksimal dan distal dijahit

    menyatu kira-kira sepanjang 10 cm dan kedua ujung ini dibawa ke

    dinding abdomen (Kozier, et al., 2011 : 822,823).

    5) Perawatan stoma

    Stoma yang sehat berwarna merah muda-kemerahan dan

    lembab. Sejumlah kecil perdarahan stoma adalah biasa tetapi

    perdarahan lain dilaporkan pada dokter bedah. Perawat juga secara

    berfrekuensi memeriksa sistem kantung untuk mengetahui kondisinya

    tetap baik dan tanda-tanda kebocoran. Colostomy mulai berfungsi 2

    sampai 4 hari setelah operasi. Ketika kolostomi mulai berfungsi,

    kantung perlu dikosongkan secara berfrekuensi untuk menghilangkan

    gas yang terkumpul (Padila, 2012 : 140).

    6) Perawatan kulit

    Perawatan kulit sangat penting untuk semua klien yang

    memiliki ostomi. Materi fekal dari kolostomi atau ileostomi memiliki

    sifat mengirigasi kulit peristoma. Ini terutama berlaku pada cairan

    ileum, yang mengandung enzim pencernaan sangat penting untuk

    mengkaji kulit peristoma untuk mengetahui ada tidaknya iritasi setiap

    kali mengganti kantung stoma. Setiap iritasi atau luka pada kulit perlu

    segera diatasi. Kulit dipelihara agar tetap bersih dengan mencuci

    semua cairan ekskresi dan mengeringkannya secara menyeluruh.

    Sebuah sawar seperti karaya gum ditempelkan di atas kulit di sekitar

  • 23

    stoma untuk mencegah kontak dengan setiap ekskresi (Kozier, et al.,

    2011 : 840).

    Barier kulit meliputi wafer (tablet berisi bubuk), pasta, bedak,

    dan film cair yang dapat dioleskan dikulit sekitar stoma. Beberapa

    barier kulit berupa wafer ditempelkan secara permanen pada kantong

    ostomi. Sistem ini disebut sistem kantong satu lapis. Pada sistem dua

    lapis, kantong dapat dilepas dari barier kulit untuk dikosongkan atau

    diganti. Hal ini memungkinkan barier kulit tetap berada di sekitar

    stoma klien selama beberapa hari sehingga meminimalkan resiko

    kerusakkan kulit akibat barier kulit terlalu sering dilepaskan dari kulit

    di sekitar stoma (Potter dan Perry, 2006 : 1774).

    7) Memasang kantung

    Banyak sistem kantung yang tersedia untuk memastikan

    bahwa kantung terpasang dengan benar dan memenuhi kebutuhan

    klien, klien mempertimbangkan lokasi ostomi, tipe, dan ukuran

    stoma. Sistem kantung yang efektif melindungi kulit, menampung

    materi feses, bebas dari bau yang tidak sedap, dan memberikan rasa

    nyaman serta tidak menarik perhatian orang (Potter dan Perry, 2006 :

    1773).

    Sebuah kantung kemudian dipasangkan dengan pas ke stoma

    sehingga tidak ada kebocoran disekitarnya. Sangat penting untuk

    mengeringkan kulit sebelum menempelkan kantung. Kantung tidak

    akan menempel di tempat yang lembap, yang menyebabkan cairan

    feses merembes dikulit. Berbagai sistem kantung telah tersedia

  • 24

    dipasaran. Semua kantung untuk memiliki tiga gambaran umum,

    sebuah kantung untuk mengumpulkan cairan feses, sebuah pintu

    keluar dibagian bawah untuk kemudahan pengosongan, dan sebuah

    faceplate. Kantung sementara sekali pakai dibuat dari plastik

    transparan dan memiliki kotak perekat yang akan dipotong melingkar

    sesuai dengan ukuran stoma. Kantong permanen dapat transparan

    atau tidak transparan, karet atau vinil, dan memiliki sebuah cincin

    faceplate padat yang tepat melingkari stoma. Kantung ostomi sekali

    pakai dapat dipakai sampai dengan 7 hari (dan dikosongkan

    kapanpun saat sudah penuh terisi 1/3 sampai bagian). Kantung

    ostomi harus diganti jika terdapat kebocoran cairan feses ke kulit

    peristoma. Apabila kulit mengalami eritema, terkikis, terkelupas, atau

    mengalami ulkus, kantung dapat diganti 24 sampai 48 jam untuk

    memungkinkan penanganan kulit secara tepat. Direkomendasikan

    pergantian yang lebih sering jika klien mengeluh nyeri atau

    ketidaknyaman (Kozier, et al., 2011 : 840- 841).

    8) Mengirigasi kolostomi

    Irigasi kolostomi, serupa dengan enema adalah sebuah bentuk

    penatalaksanaan stoma yang hanya digunakan untuk klien yang

    memiliki kolostomi sigmoid atau desenden. Tujuan irigasi adalah

    untuk mendistensikan usus secara bermakna untuk menstimulasi

    peristaltis, yang akan menstimulasi evakuasi feses (Kozier, et al.,

    2011 : 846).

  • 25

    Mengirigasi kolostomi untuk menetapkan pola defekasi yng

    teratur, klien yang memiliki kolostomi sigmoid dan desenden

    seringkali mengirigasi ostomi mereka. Kualitas otot kolon

    memungkinkannya diirigasi dengan aman dengan volume air atau

    salin dalm jumlah besar. Cairan dimasukkan ke dalam kolon melalui

    stoma. Dengan demikian eliminasi terjadi pada waktu yang dipilih

    klien. Irigasi juga membersihkan kolon dari gas dan bau. Hanya

    peralatan yang khusus yang dapat digunakan untuk mengirigasi

    sebuah ostomi. Jangan pernah menggunakan set enema untuk

    mengirigasikan kolostomi. Irigasi yang lembut dengan menggunakan

    peralatan yang benar dilakukan untuk mengurangi resiko perforasi

    usus.

    Pembentukan sebuah kolostomi melalui upaya bedah dapat

    mengubah citra tubuh individu secara serius. Memperoleh kembali

    kontrol eliminasi fekal melalui upaya irigasi membantu penyesuaian

    emosional klien. Klien juga dapan memperoleh kebebasan tanpa

    perlu mengenakan kantong stoma terus-menerus, walaupun

    kebanyakan klien lebih memilih untuk mengenakan sebuah kantung

    stoma yang berukuran kecil diantara waktu irigasi sebagai antisipasi

    apabila terjadi kebocoran feses.

    Klien mungkin menemukan kesulitan dalam melakukan

    irigasi. Prosedur tersebut memakan waktu 45 60 menit, dan klien

    mungkin tidak ingin mengganggu gaya hidup mereka. Pada

    kebanyakan orang, irigasi tidak menyenangkan. Dukungan emosional

  • 26

    perawat dapat membantu klien membuat pilihan. Tersedia metode

    alternatif penatalaksanaan ostomi, seperti upaya mengontrol diet atau

    penggunaan laksatif (Potter dan Perry, 2006 : 1774).

    B. Tinjauan Teori Kebutuhan Dasar

    1. Definisi Nyeri

    Nyeri merupakan pengalaman sensori serta emosi yang tidak

    menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau

    potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan, awitan yang tiba-tiba

    atau perlahan dari intensitas ringan sampai beratdengan akhir yang dapat

    diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.

    (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010 : 25).

    Nyeri sangat tidak menyenangkan dan merupakan sensasi yang sangat

    personal yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri merupakan

    masalah yang memiliki prioritas tinggi. Nyeri menandakan bahaya fisiologis

    dan psikologis bagi kesehatan dan pemulihan. Nyeri berat dianggap sebagai

    situasi darurat yang patut mendapat perhatian dan penanganan yang tepat

    (Kozier, et al., 2011 : 689).

    Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan

    bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang

    dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat

    menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Alimul, 2006 :

    214).

  • 27

    2. Fisiologi Nyeri

    Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya

    rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan

    ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak

    memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera,

    persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat

    memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi

    tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamin, bradikininn, prostaglandin

    dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan jaringan

    akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal,

    listrik, atau mekanis.

    Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut

    ditransmisikan berupa impuls-impuls nyeri ke sumsum tulang belakang oleh

    dua jenis serabut yang bermeylin rapat atau serabut A (delta) dan serabut

    lamban (serabut C). (Alimul., 2006 ; 214)

    Menurut Alimul (2006 : 218,219) terdapat beberapa teori tentang

    terjadinya rangsangan nyeri, diantaranya :

    a. Teori pemisahan (Specificity Theory)

    Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medull spinalis

    (spinal cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps didaerah posterior,

    kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi

    lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri

    tersebut diteruskan.

  • 28

    b. Teori Pola (Pattern Theory)

    Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla

    spinalis dan merangsang akibat sel T. Hal ini mengakibatkan suatu

    respons yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks

    serebri serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi

    sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas

    respons dari reaksi sel T.

    c. Teori pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)

    Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja serat saraf besar dan

    kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan

    pada serat saraf besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa

    yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel

    T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat.

    Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil

    persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat

    eferen dan reaksinya memengaruhi aktifitas sel T. Rangsangan pada serat

    kecil akan menghambat aktifitas substansia gelatinosa dan membuka

    pintu mekanisme, sehingga merangsang aktifitas sel T yang selanjutnya

    akan menghantarkan rangsangan nyeri.

    d. Teori Transmisi dan Inhibisi

    Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi implus-

    implus saraf, sehingga transmisi implus nyeri menjadi efektif oleh

    neurotransmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi

  • 29

    efektif oleh implus- implus pada serabut-serabut besar yang memblok

    implus-implus pada serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.

    3. Klasifikasi Nyeri

    Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut

    dan kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan

    cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya

    peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara

    perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih

    dari 6 bulan. Kategori nyeri kronis yaitu nyeri terminal, sindrom nyeri kronis,

    dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi

    kedalam beberapa kategori, diantaranya nyeri tersusuk dan nyeri terbakar.

    Selain klasifikasi nyeri, tedapat jenis nyeri yang spesifik, diantaranya nyeri

    somatis, nyeri viseral, nyeri menjalar (referent pain), nyeri psikogenik, nyeri

    phanom dari ekstremitas, nyeri neurologis, dan lain-lain. Nyeri somatis dan

    nyeri viseral ini umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit

    (superfisial) pada otot dan tulang. Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa

    pada bagian tubuh yang lain, umumnya terjadi akibat kerusakan pada cedera

    organ viseral. Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik

    yang timbul akibat psikologis. Nyeri phantom adalah nyeri yang disebebkan

    karena salah satu ekstremitas diamputasi. Nyeri neurologis adalah bentuk

    nyeri yang tajam karena adanya spasme disepanjang atau di beberapa jalur

    saraf (Alimul, 2006 : 215, 216).

  • 30

    4. Stimulus Nyeri

    Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau

    dapat mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain

    threshold).

    Menurut Alimul (2006 : 216,217) terdapat beberapa jenis stimulus

    nyeri, diantaranya: Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah

    akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.

    a. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya

    penekanan pada reseptor nyeri.

    b. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.

    c. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteria koronaria

    yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.

    d. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

    5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

    Karena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang

    mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan

    semua faktor yang mempengaruhi klien yng merasakan nyeri. Hal ini sangat

    penting dalam upaya untuk memastikan bahwa perawat menggunakan

    pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan klien yang

    menglami nyeri.

    a. Usia

    Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

    khususnya pada anak-anak dan lansia.

  • 31

    b. Jenis kelamin

    Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna

    dalam berespons terhadap nyeri.

    c. Kebudayaan

    Kebudayaan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu

    mengatasi nyeri (Potter dan Perry, 2006 : 1511).

    Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa

    hal, diantaranya adalah :

    1) Arti nyeri

    Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir

    sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan

    merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,

    seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkungan,

    dan pengalaman.

    2) Persepsi nyeri

    Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif

    tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini

    dipengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.

    3) Toleransi nyeri

    Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat

    memengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang

    memengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-

    obatan hipnotis, gesekan atau garukan, pengalihan perhatian,

    kepercayaan yang kuat, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang

  • 32

    menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas,

    nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.

    4) Reaksi terhadap nyeri

    Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respon seseorang

    terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan

    menjerit. Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat

    dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti arti nyeri, tingkat persepsi

    nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan

    fisik dan mental, rasa takut, cemas, usia, dan lain-lain (Alimul , 2006 :

    218).

    6. Intensitas Nyeri atau Skala Peringkat

    Indikator tunggal terpenting keberadaan dan intensitas nyeri adalah

    laporan klien mengenai nyeri. Faktor utama yang diidentifikasi oleh perawat

    dipengaruhi secara budaya (misal : ekspresi wajah, verbalisasi, meminta

    pereda nyeri). Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah

    dan reliabel dalam menentukan intensitas nyeri klien. Skala tersebut

    mmberikan konsistensi kepada perawat untuk berkomunikasi dengan klien

    dan pemberi perawatan kesehatan lain. Sebagian besar skala menggunkan

    kisaran 0 sampai 5 atau 0 sampai 10 dengan 0 menandakan tanpa nyeri dan

    angka tertinggi menandakan kemungkinan nyeri terburuk untuk individu

    tersebut (Kozier, et al., 2011 : 700).

  • 33

    a. Skala nyeri menurut Hayward (Lyndon, 2013)

    Pengukuran intensitas dengan menggunakan skala nyeri Hayward

    dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan

    (dari 0-10) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri

    yang ia rasakan (Lyndon, 2013). Penggunaan skala intensitas nyeri

    Adalah metode yang mudah dan reliabel dalam menentukan

    intensitas nyeri klien. Skala tersebut memberikan konsistensi kepada

    perawat untuk berkomunikasi dengan klien dan pemberi perawat

    kesehatan lain. Sebagian besar skala menggunakan kisaran 0 sampai 10

    dengan 0 menandakan tanpa nyeri dan angka tertinggi menandakan

    kemungkinan nyeri terburuk untuk individu tersebut. Pencantuman

    keterangan kata pada skala dapat membantu beberapa klien yang merasa

    sulit memberi nomor peringkat pada nyeri mereka. Klien diminta untuk

    menandai poin skala yang paling mewakili intensitas nyerinya. American

    Pain Society menyatakan bahwa nyeri menjadi tanda vital kelima,

    sehingga, perawat membuat tingkat intensitas nyeri sebagai bagian dari

    pengkajian dan dokumentasi tanda-tanda vital klien (McCaffery dan

    Pasero, 1999).

    Saat mencatat intensitas nyeri, sangat penting untuk pengaruhi

    nyeri. Apabila intensitas berubah, perawat perlu mempertimbangkan

    kemungkinan penyebab. Misalnya, hilangnya nyeri abdomen akut secara

    mendadak dapat mengindikasikan ruptur apendiks. Beberapa faktor yang

    mempengaruhi persepsi intensitas. (1) jumlah distraksi, atau konsentrasi

  • 34

    klien pada kejadian lain; (2) keadaan kesadaran klien, (3) tingkat

    aktivitas, dan (4) harapan klien.

    Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut:

    0 = tidak nyeri

    1-3 = nyeri ringan

    4-6 = nyeri sedang

    7-9 = sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas

    yang biasa dilakukan

    10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan.

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Skala intensitas nyeri 10-poin dengan keterangan kata.

    b. Skala nyeri menurut McGill (Lyndon, 2013)

    Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri

    McGill dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu

    bilangan (dari 0-5) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman

    nyeri yang ia rasakan (Lyndon, 2013).

    Skala nyeri menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut:

    (Lyndon, 2013).

    0 = tidak nyeri

    1 = nyeri ringan

    2 = nyeri sedang

    Tidak

    nyeri

    Nyeri

    ringan

    Nyeri

    sedang

    Nyeri

    sedang

    Nyeri

    sangat berat

    Nyeri terburuk

    yang pernah

    dialami

  • 35

    3 = nyeri berat atau parah

    4 = nyeri sangat berat

    5 = nyeri hebat

    c. Skala wajah atau wong-baker FACES Rating Scale (Lyndon, 2013)

    Pengukuran intensitas nyeri dengan skala nyeri wajah dilakukan

    dengan cara memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri tersebut

    menyerang. Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan

    intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-anak dan lansia.

    Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :

    7. Manajemen Nyeri

    a. Strategi kesehatan holistik menjadi intervensi yang penting untuk

    mempertahankan kesejahteraan individu. Kesehatan holistik merupakan

    suatu kelangsungan kondisi kesejahteraan yang melibatkan upaya

    merawat diri secara fisik, upaya mengekspresikan emosi dengan benar

    dan efektif dan upaya untuk menggunakan pikiran dengan konstruktif,

    upaya untuk secara kreatif terlibat dengan orang lain dan upaya untuk

    memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

    1) Sentuhan terapeutik

    Pendekatan ini menyatakan bahwa individu yang sehat, terdapat

    ekuilibrium antara aliran energi didalam dan diluar tubuh. Sentuhan

    terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar melakukan

  • 36

    pertukaran energi. Pelatihan yang lebih lanjut dibutuhkan. Terdapat

    empat langkah dasar dalam melakukan teknik ini, yaitu: pemusatan,

    pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap dilakukan secara

    keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit.

    2) Akupresur

    Akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk

    meningkatkan kondisi yang lebih sehat. Perawat ahli terapi

    mempelajari alur energi atau meridian tubuh dan memberi tekanan

    pada titik-titik tertentu disepanjang alur. Misalnya, apabila klien

    mengalami nyeri kepala, tekanan yang pada titik akan menghilangkan

    rasa tidak nyaman. Ketika titik tekanan disentuh, maka perawat mulai

    merasa sensasi ringan atau denyutan di bawah jari-jari. Mula-mula

    nadi di beberapa titik akan terasa berbeda, tetapi karena terus-menerus

    dipegang, nadi tersebut kemudian menjadi seimbang. Setelah titik-

    titik tersebut seimbang, perawat menggerakkan jari-jari tersebut

    dengan lembut.

    3) Relaksasi dan teknik imajinasi

    Klien dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi-afektif

    dengan melakukan relaksasi dan teknik imajinasi. Relaksasi

    merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stres.

    Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa

    tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Teknik

    relaksasi digunakan saat individu dalam kondisi sehat atau sakit.

    Teknik relaksasi tersebut merupakan upaya pencegahan untuk

  • 37

    membantu tubuh segar kembali dan bergenerasi setiap hari dan

    merupakan alternatif terhadap alkohol, merokok, atau makan

    berlebihan. Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, teknik

    imajinasi, dan latihan relaksasi progresif.

    4) Relaksasi progresif pada seluruh tubuh memakan waktu sekitar 15

    menit. Klien memberi perhatian pada tubuh, memperlihatkan daerah

    ketegangan. Daerah yang tegang digantikan dengan rasa hangat dan

    relaksasi. Beberapa klien lebih rileks dengan mata yang tertutup.

    Alunan musik lembut dapat membantu dalam relaksasi.

    Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan

    pernapasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi

    kelompok otot. Klien mulai latihan bernapas dengan perlahan dan

    menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan abdomen

    terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Saat klien

    melakukan pola pernapasan yang teratur, perawat mengarahkan klien

    untuk melokalisasi setiap daerah yang mengalami ketegangan otot,

    berpikir bagaimana rasanya, menegangkan otot ssepenuhnya, dan

    kemudian merelaksasikan otot-otot tersebut. Kegiatan ini menciptakan

    sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan stres.

    b. Tindakan peredaan nyeri nonfarmakologis

    Ada sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan

    persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan

    perawatan tersier sama seperti dirumah dan pada keadaan perawatan

    restorasi.

  • 38

    Relaksasi dan teknik imajinasi yang dibahas sebagai pendekatan

    holistik merupakan contoh. Agens-agens fisik bertujuan memberi rasa

    nyaman, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah respons fisiologis, dan

    mengurangi rasa takut yang terkait dengan imobilisasi. Pedoman AHCPR

    untuk penatalaksanaan nyeri akut menyatakan intervensi nonfarmakologis

    sebagai intervensi yang cocok untuk klien yang memenuhi kriteria

    sebagai berikut :

    1) Klien merasa bahwa intervensi tersebut menarik

    2) Klien yang mengekspresikan kecemasan atau ketakutan

    3) Klien yang memperoleh manfaat dari upaya menghindari atau

    mengurangi terapi obat.

    4) Klien yang memiliki kemungkinan untuk mengalami dan perlu

    mengembangkan koping dengan interval nyeri pascaoperasi yang

    lama.

    5) Klien yang masih merasakan nyeri setelah menggunakan terapi

    nonfarmakologis

    Pada kasus klien yang mengalami kanker, tanggungjawab perawat

    ialah mengevaluasi efek tindakan nonfarmakologis untuk memastikan

    penanganan nyeri sehingga klien tidak dilarang menggunakan terapi

    nonfarmakologis yang dibutuhkan.

    a) Bimbingan antisipasi

    Klien harus diberi penjelasan terinci tentang semua prosedur

    medis dan rasa nyaman pascaoperasi yang akan dialami sehingga

    klien dapat mempelajari apa yang dirasakan selama prosedur atau

  • 39

    peristiwa yang menyakitkan. Pengetahuan tentang nyeri

    membantu klien mengontrol rasa cemas dan secara kognitif

    memperoleh penanganan nyeri dalam tingkatan tertentu. Suatu

    contoh bimbingan antisipasi ialah penyuluhan praoperasi.

    Perawat tidak dapat mengatakan kepada klien bahwa klien

    tidak akan merasakan nyeri. Bimbingan antiipasi memberikan

    penjelasan yang jujur tentang pengalaman nyeri. Perawat juga

    memberi instruksi tentang teknik menghilangkan nyri sehingga

    klien siap unruk mengatasi rasa tidak nyaman yang akan ia alami.

    b) Distraksi

    Sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang

    menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang

    cukup ataupun berlebihan. Stimulus sensori yang menyenangkan

    menyebabkan pelepasan endofrin. Individu yang merasa bosan

    atau diisolasi hanya memikirkan nyeri yang dirasakan sehingga ia

    mempersepsikan nyeri tersebut dengan lebih akut. Distraksi

    mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan

    demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan

    meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Aktivitas tersebut dapat

    meliputi kegiatan menyanyi, berdoa, menceritakan foto tau

    gambar dengan suara keras, mendengarkan musik dan bermain.

    Sebagian besar distraksi dapat digunakan di rumah sakit, di

    rumah, atau pada fasilitas perawatan jangka panjang. Salah satu

    distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri

  • 40

    fisiologis, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian

    seseorang dari nyeri.

    c) Biofeedback

    Biofeedback merupakan perilaku yang dilakukan dengan

    memberikan individu informasi tentang repons fisiologis (mis.

    Tekanan darah atau ketegangan) dan cara untuk melatih control

    volunteer terhadap respons tersebut (NIH, 1986). Terapi ini

    digunakan untuk menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif

    untuk mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala migren. Untuk

    mempelajari terapi ini, dibutuhkan waktu beberapa minggu.

    Biofeedback dapat menghentikan nyeri kepala dan mengurangi

    risiko nyeri kepala terjadi di waktu yang akan datang.

    d) Hypnosis-Diri

    Hypnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui

    pengaruh sugeti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistic,

    hypnosis-diri menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang

    perasaan yang rilek dan damai. Individu memasuki keadaan rileks

    dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-

    kondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi mereka

    (Edelman dan Mandel, 1994). Hypnosis-diri sama seperti dengan

    melamun. Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan

    stress karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran.

  • 41

    e) Mengurangi Persepsi Nyeri

    Salah satu cara sederhana untuk meningkatkan rasa nyaman

    ialah membuang atau mencegah stimulus nyeri. Hal ini terutama

    penting bagi klien yang mobilisasi atau tidak mampu merasakan

    sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga dapat dicegah dengan

    mengantisipasi kejadian yang menyakitkan. Misalnya, seorang

    klien yang dibiarkan mengalami konstipasi akan menderita

    distensi dank ram abdomen

    f) Stimulasi Kutaneus

    Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan

    untuk menghilangkan nyeri. Masase, mandi air hangat, kompres

    menggunakan kantong es, dan stimulasi saraf elektrik transkutan

    (TENS) merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya

    menurunkan persepsi nyeri. Teori gate-control mengatakan bahwa

    stimulasi kutaneus mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori

    A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan

    transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil.

    Keuntungan stimulasi kutaneus adalah tindakan ini dapat

    dilakukan di rumah, sehingga memungkinkan klien dan keluarga

    melakukan upaya control gejala nyeri dan penangannya.

    Penggunaan stimulasi kutaneus yang benar dapat mengurangi

    persepsi nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot.

    Sebaliknya, ketegangan otot ini dapat meningkatkan nyeri.

  • 42

    Saat menggunakan metode stimulasi kutaneus, perawat

    menghilangkan sumber-sumber suara yang berisik di lingkungan,

    membantu klien untuk mengambil posisi nyaman, dan kutaneus

    jangan digunakan secara langsung pada daerah kulit yang sensitif

    (mis. Luka bakar, luka memar, ruam kulit, inflamasi, dan kulit di

    bawah tulang yang fraktur).

    Kompres dingin dan panas dapat menghilangkan nyeri dan

    meningkatkan proses penyembuhan. Pilihan terapi panas dengan

    terapi dingin bervariasi menurut kondisi klien. Misalnya, panas

    lembab menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat artritis,

    tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang

    mengalami peradangan akibat penyakit tersebut (Ceccio 1990).

    Apabila perawat menggunakan kompres panas atau dingin dalam

    bentuk apapun, perawat menginstruksikan klien untuk

    menghindari kulit menyentuh langsung pada permukaan yang

    dingin atau panas. Individu yang terutama memiliki resiko adalah

    klien yang mengalami cedera medulla spinalis atau cedera

    neurologi lain, lansia, dank lien yang bingung.

    Masase dengan menggunakan es dan kompres menggunakan

    kantung es merupakan dua jenis terapi dingin yang sangat efektif

    untuk menghilangkan nyeri. Masase menggunakan es dilakukan

    dengan menggunakan sebuah balok es yang besar atau sebuah

    cangkir kertas berukuran kecil, yang diisi dengan air dan

  • 43

    dibekukan (air keluar dari cangkir saat membeku untuk

    menciptakan permukaan es yang lembut untuk masase.

    c. Terapi nyeri farmakologis

    Beberapa agens farmakologis digunakan untuk menangani nyeri:

    1) Penatalaksanaan Nyeri Akut

    Perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien yang

    menjalani pembedahan dan prosedur medis (mis. Endoskopi) dan

    kepada klien yang merupakan korban akibat trauma. Pendekatan terapi

    mempunyai cakupan dari terapi tanpa suatu rangkaian strategi sampai

    terapi yang menggunakan pendekatan tim yang komprehensif.

    AHCPR (1992) telah menetapkan suatu bagan alur terapi nyeri untuk

    penanganan agresif pada nyeri pascaoperasi. Pedoman yang diberikan

    juga diterapkan pada klien yang sedang dalam proses pemulihan dari

    prosedur dan trauma medis yang menyakitkan.

    2) Analgesik

    Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk

    mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri

    dengan efektif, perawat dan dokter masih cenderung tidak melakukan

    upaya analgesik dalam penanganan nyeri karena informasi obat yang

    tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien akan mengalami

    ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam

    menggunakan analgesik narkotik, dan pemberian obat yang kurang

    dari diresepkan.

  • 44

    Ada tiga jenis analgesik, yakni: (1) non-narkotik dan obat

    antiinflamasi nonsteroid (NSAID), (2) analgesik narkotik atau opiat,

    dan (3) obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik (table 43-6).

    NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri

    sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis dengan artritis

    reua\matoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor,

    episiotomy, dan masalah pada punggung bagian bawah. Satu

    pengecualian, yaitu ketorolac (Toradol), merupakan agens analgesik

    pertama yang dapat diinjeksikan yang kemanjurannya dapat

    dibandingkan dengan morfin (McKenry dan Salerno, 1995). Terapi

    pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan

    menggunakan NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis

    prostaglandin (McKenry dan Salerno, 1995) dan menghambat respons

    selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor

    saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri.

    Tidak seperti opiat, NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi

    pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defakasi

    (AHCPR, 1992).

    Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk

    nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pascaoperasi dan nyeri

    maligna. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan

    kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi. Adjuvant, seperti

    sedative, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol nyeri

    atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri, seperti

  • 45

    depresi dan mual. Agens tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau

    disertai analgesik. Sedative seringkali diresepkan untuk penderita

    nyeri kronik. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk dan

    kerusakan koordinasi, keputusan, dan kewaspadaan mental.

    Analgesik narkotik, apabila diberikan secara oral atau injeksi,

    bekerja pada pusat otak yang lebih tinggi dan medulla spinallis

    melalui ikatan dengan reseptor opiat untuk memodifikasi persepsi

    nyeri dan reaksi terhadap nyeri. Morfin sulfat merupakan devirat

    opium dan memiliki karakteristik efek analgesik sebagai berikut:

    a) Meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan persepsi

    nyeri.

    b) Mengurangi kecemasan dan ketakutan, yang merupakan

    komponen reaksi terhadap nyeri.

    c) Menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami nyeri

    berat.

    Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik adalah berpotensi

    mendepresi fungsi sistem saraf yang vital. Opiat menyebabkan depresi

    pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di dalam batang otak.

    Karakteristik yang ideal harus meliputi:

    a) Awitannya yang cepat

    b) Keefektifannya yang lama

    c) Efektif digunakan pada semua kelompok usia

    d) Penggunaan melalui parenteral dan oral

    e) Tidak ada efek samping yang berat

  • 46

    f) Sifat yang membuat klien tidak tergantung analgesik

    g) Tidak mahal

    Penggunaan analgesik yang tepat membutuhkan pengkajian,

    aplikasi prinsip-prinsip farmakologi, dan alasan yang cermat.

    3) Analgesik Dikontrol-Pasien (ADP)

    Klien menerima keuntungan, apabila ia mampu mengontrol

    terapi nyeri. Apabila klien bergantung kepada perawat untuk

    analgesia, maka seringkali terjadi siklus yang tidak teratur pada

    pergantian nyeri dan status analgesia.

    Dalam waktu satu jam akhirnya muncul keadaan analgesia,

    tetapi nyeri yang hilang hanya berlangsung selama 30 menit dan klien

    dapat mengalami sedasi selama satu jam. Kemudian, secara bertahap,

    klien kembali merasa tidak nyaman dan siklus dimulai lagi.

    Sistem pemberian obat, yang disebut ADP, merupakan metode

    yang aman untuk penatalaksanaan nyeri kanker, nyeri pascaoperasi,

    dan nyeri traumatik. Kebanyakan klien lebih menyukai metode

    pemberian injeksi berkala. Hal ini merupakan sistem pemberian obat

    yang memungkinkan klien mendapatkan medikasi nyeri ketika mereka

    menginginkan obat tersebut tanpa resiko overdosis. Tujuan metode ini

    ialah mempertahankan kadar plasma analgesik yang konstan, sehingga

    masalah pemberian dosis sesuai kebutuhan dihindari.

  • 47

    8. Asuhan Keperawatan pada Masalah Nyeri

    a. Pengkajian Keperawatan

    Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah

    adanya riwayat nyeri; keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri,

    kualitas, dan waktu serangan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara

    PQRST.

    1) P (Pemicu), yaitu faktor yang memengaruhi gawat atau ringannya

    nyeri

    2) Q (quality), dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau

    tersayat.

    3) R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri.

    4) S (severity), adalah keparahan atau intensitas nyeri

    5) T (time), adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.(Alimul,

    2006 : 218).

    Pengkajian nyeri yang akurat sangat penting untuk

    penatalaksanaan nyeri yang efektif. Strategi menghubungkan pengkajian

    nyeri dengan pengkajian dan dokumentasi tanda-tanda vital rutin

    memastikan pengkajian nyeri untuk semua klien. Karena nyeri adalah

    pengalaman subjektif dan dialami secara unik oleh setiap individu,

    perawat perlu mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman

    nyeri.

    Misalnya pada awal periode pasca operasi, nyeri sering kali dikaji

    bersamaan dengan setiap kali pengukuran tanda-tanda vital, yang dapat

    dilakukan setiap 15 menit dan kemudian memanjang sampai setiap 2

  • 48

    sampai 4 jam. Setelah intervensi penatalaksanaan nyeri, intensitas nyeri

    harus dikaji kembali pada interval yang tepat untuk pelaksanaan

    intervensi. Misalnya, setelah pemberian morfin intravena, keparahan

    nyeri harus dikaji kembali dalam 20 sampai 30 menit (Kozier, et al.,

    2011 : 699).

    Menurut Potter dan Perry (2006 : 1516) pendekatan klinis rutin

    terhadap pengkajian dan penatalaksanaan ABCDE Nyeri

    1) A: Ask/Tanyakan nyeri secara teratur

    Assess/Kaji nyeri secara sistematis

    2) B: Believe/Percaya apa yang dilaporkan klien dan keluarga serta apa

    yang mereka lakukan untuk menghilangkan nyeri

    3) C: Choose/Pilih cara pengontrolan nyeri yang cocok untuk klien,

    keluarga dan kondisi.

    4) D: Deliver/Berikan intervensi secara terjadwal, logis, dan

    terkoordinasi.

    5) E: Empower/Dayagunakan klien dan keluarga mereka

    Enable/mampukan mereka mengontrol pengobatan sejauh yang

    dapat lakukan.

    Menurut Inayah (2000) pengkajian pada pasien post operasi

    kolostomi :

    1) Observasi / temuan

    a) Tipe ostomi

    (1) Ileostomi : biasanya permanen

  • 49

    (2) Kolostomi : asenden, transversal, desenden, mungkin

    temporer atau permanen

    b) Pengangkutan dan penutupan rektum

    c) Tingkat pemahaman klien tentang prosedur pembedahan

    d) Status emosi :

    (1) Penerimaan ostomi

    (2) Pemahaman tentang fungsi ostomi

    (3) Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan

    (4) Penerimaan perubahan citra tubuh

    2) Karakter frekuensi dan jumlah feses:

    a) Ukuran, lokasi, dan warna stoma

    b) Kondisi kulit di sekitar stoma

    c) Ketepatan alat dan ukuran

    d) Penempatan stoma

    e) Hidrasi

    b. Diagnosa Keperawatan

    Penegakan diagnosa keperawatan yang akurat untuk klien yang

    mengalami nyeri dilakukan berdasarkan pengumpulan data dan analisis

    data yang cermat (Potter dan Perry , 2006 : 1524).

    Menurut Herdman (2012) terdapat diagnosa keperawatan yaitu:

    1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan

    2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya jalan masuk organisme

    ke dalam tubuh

  • 50

    3) Kerusakan integritas kulit berhubungan insisi operasi, pembentukan

    stoma

    4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan respon tubuh terhadap

    aktivitas (kesakitan)

    5) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya kolostomi

    c. Perencanaan

    1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan

    Tujuan dan Kriteria Hasil :

    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

    diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang dengan kriteria hasil :

    a) Nyeri berkurang atau hilang

    b) Skala nyeri 0

    Intervensi

    a) Kaji pengalaman nyeri klien, tentukan tingkat nyeri yang

    dialami

    b) Pantau keluhan nyeri klien

    c) Observasi tanda vital sesuai data fokus

    d) Beri kesempatan untuk istirahat (terutama bila nyeri timbul),

    lingkungan yang tenang, nyaman, minimalisasi stressor

    e) Ajarkan tindakan penurunan nyeri non invasive: relaksasi,

    perubahan posisi

    f) Kolaborasi dengan dokter untuk terapi (Nugroho, 2011 : 131)

  • 51

    2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya jalan masuk

    organisme ke dalam tubuh

    Tujuan dan kriteria hasil :

    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

    diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil :

    a) Tidak tampak tanda-tanda infeksi

    b) Luka membaik dan kering

    Intervensi

    a) Kaji faktor resiko terhadap infeksi nosokomial

    b) Kurangi organisme yang masuk ke dalam individu : cuci tangan,

    teknik steril untuk perawatan luka dan tindakan invasive.

    c) Kurangi kerentanan terhadap infeksi : motivasi dan pertahankan

    masukan kalori dan protein, minimalisasi lamanya tinggal di

    rumah sakit.

    d) Pantau tanda-tanda infeksi : keadaan luka

    e) Kolaborasi dengan dokter untuk terapi pencegahan infeksi

    (Nugroho, 2011 : 110)

    3) Kerusakan integritas kulit berhubungan insisi operasi,

    pembentukan stoma.

    Tujuan dan kriteria hasil :

    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

    integritas kulit kembali utuh dengan kriteria hasil :

    a) Integritas kulit membaik

  • 52

    b) Tanda-tanda infeksi (-)

    Intervensi :

    a) Kaji dan pantau keadaan integritas kulit (warna, bau, besaran

    luka, keadaan sekitar kulit, perdarahan, edema).

    b) Observasi adanya tanda-tanda infeksi

    c) Jaga kulit sekitar stoma tetap bersih dan kering

    d) Lindungi permukaan kulit di sekitar stoma dengan pelindung

    kulit, misalnya : zink oil

    e) Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat

    f) Lakukan perawatan luka sesuai prosedur

    g) Pertahankan kecukupan masukan cairan untuk hidrasi yang

    adekuat jika tidak ada kontra indikasi

    h) Tetapkan jadwal pengosongan kantong kolostomi

    i) Kolaborasi dengan doktter untuk terapi medis (Nugroho, 2011:

    134)

    4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan respon tubuh terhadap

    aktivitas (kesakitan)

    Tujuan dan kriteria hasil :

    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

    aktivitas pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil :

    a) Memperlihatkan kemajuan aktivitas sampai dengan mandiri

    b) Respon positif terhadap aktivitas (keletihan berkurang)

  • 53

    Intervensi :

    a) Jelaskan batasan aktivitas klien sesuai kondisi

    b) Tingkatkan aktivitas secara bertahap

    c) Rencanakan waktu istirahat sesuai jadwal sehari-hari

    d) Motivasi peningkat