Upload
sonia-mendrofa
View
48
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN NYERI POST
OPERASI KOLOSTOMI HARI KE II DENGAN INDIKASI
KANKER KOLON DI RSUD Dr. MOEWARDI
Karya Tulis Ilmiah
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Akhir Dalam Rangka Menyelesaikan
Pendidikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
FEBRIANA DEWI PURWANTI
2011.1346
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
ii
iii
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan judul :
KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN NYERI POST
OPERASI KOLOSTOMI HARI KE II DENGAN INDIKASI
KANKER KOLON DI RSUD Dr. MOEWARDI
dibuat untuk melengkapi Tugas Akhir Diploma Keperawatan STIKES PKU
Muhammadiyah Surakarta. Tugas Akhir ini merupakan Karya Tulis Ilmiah saya
sendiri (ASLI), dan dalam tugas akhir tidak terdapat karya yang pernah di ajukan
oleh orang lain atau kelompok lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu
Institusi Pendidikan, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah dipublikasikan dan atau ditulis dan diterbitkan oleh orang lain
maupun di Perguruan Tinggi atau Instansi manapun, kecuali bagian yang sumber
informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Surakarta, Juni 2014
FEBRIANA DEWI PURWANTI
2011.1346
v
MOTTO
Seorang sahabat adalah orang yang menjawab,apabila kita memanggil dan sering
menjawab sebelum kita panggil.
Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok adalah harapan.
Setiap pekerjaan dapat diselesaikan dengan mudah bila dikerjakan tanpa keengganan.
Berusahalah jangan sampai terlengah walau sedetik saja, karena atas kelengahan kita
tak akan bisa dikembalikan seperti semula.
Janganlah larut dalam satu kesedihan karena masih ada hari esok yang menyongsong
dengan sejuta kebahagiaan
Cara terbaik untuk keluar dari suatu persoalan adalah memecahkannya.
vi
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap rasa syukur dan
penuh cinta atas kehadirat Allah SWT,
karya sederhanaku ini ku persembahkan
pada:
1. .. Ibuku Nanik Susilowati dan Ayahku
Sunarto yang tercinta. Terima kasih
atas motivasi yang selalu
menyemangatiku, baik spiritual
maupun materiil sehingga studi ini
dapat selesai dengan lancar.
2. .. Buat adekku Nur Fitria M terima
kasih atas dukungan dan mewarnai
hari-hariku
3. .. Buat si mbah, Terimakasih atas doa
serta motivasi yang membuat
semangat.
4. .. Teruntuk dosen pembimbingku Bu
Cemy dan Bu Yuli yang telah
memberiku semangat dan motivasi,
ide-idenya yang sabar membimbing
dalam menyelesaikan tugas akhir ini
vii
5. .. Buat Someone terimakasih telah
memberiku semangat, waktu,
dukungan, dan motivasinya dalam
menyelesaikan tugas akhir ini.
6. .. Teman-temanku seperjuangan
tersayang, sari, maya, era, chui, ika,
nopex, entong, sinta, vanda, juli, mila
dan tidak lupa untuk adek-adek kamar
J ( dek tami, dek nana, dek dini) serta
teman-temanku DIII Keperawatan
angkatan 2011 STIKES PKU
Muhammadiyah Surakarta terima
kasih banyak.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, innayah dan hidayahNya. Dialah yang sesungguhnya Maha
Pemberi Petunjuk, yang memberi kekuatan, ketabahan, dan kemudahan dalam
berfikir untuk menyelesaikan penelitian ini. Sholawat dan salam senantiasa terlimpah
kepada Nabi Muhammad SAW, seluruh keluarga, para sahabat, dan segenap
pengikutnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini mengambil judul Kajian Asuhan
Keperawatan pada Tn S dengan Nyeri Post Operasi Kolostomi Hari ke II dengan
Indikasi Kanker Kolon di RSUD Dr. Moewardi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini mengalami
banyak kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, arahan, dorongan serta
bimbingan dari berbagai pihak, maka kesulitan maupun hambatan tersebut dapat
teratasi. Untuk itu dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis
menyampaikan terima kasih segala bantuan yang telah diberikan dan mohon maaf
atas segala kekhilafan kepada :
1. Weni Hastuti, S.Kp.,M.Kes., selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PKU
Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk
melakukan penelitian.
2. Cemy Nur Fitria, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku Ketua Progam Studi DIII
Keperawatan STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta sekaligus selaku dosen
pembimbing I, dengan sabar dan bijaksana membantu dan menyumbangkan ide-
idenya dalam mengoreksi, merevisi serta melengkapi dalam penyusunan karya
tulis ilmiah ini.
3. Yuli Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing II, dengan sabar
dan bijaksana membantu dan meyumbangkan ide-idenya dalam mengoreksi,
merevisi serta melengkapi dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.
4. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa membimbing dan mendoakan
keberhasilanku dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Teman-teman seperjuangan, terima kasih untuk semuanya atas semangat dan
ix
kekompakannya selama ini, baik suka maupun duka.
6. Semesta yang telah mendukung dalam proses pembuatan karya tulis ilmiah ini.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan
waktu yang saya miliki, masih banyak kekurangan dalam penulisan penelitian ini.
Untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
terkait, kalangan akademis dan masyarakat yang berminat terhadap ilmu
keperawatan.
Surakarta, Juni 2014
Penulis
x
ABSTRAK
KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN NYERI POST
OPERASI KOLOSTOMI HARI KE II DENGAN INDIKASI
KANKER KOLON DI RSUD Dr. MOEWARDI Febriana Dewi Purwanti1, Yuli Widyastuti2, Cemy Nur Fitria 3
Latar Belakang: World Health Organisation,WHO (2003) Dalam setahun
didapatkan sekitar 940.000 kasus baru dari kanker kolon dengan angka kematian
mencapai 500.000 pasien di seluruh dunia. Dari data Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 1986 di dapatkan angka kejadian 1,8 % penduduk
dari 100.000 penduduk. Insidens kanker kolon yang sering dilakukan untuk
penatalaksanaannya yaitu hemilolectomy dan kolostomi sebanyak 19 (11,7 %).
Berdasarkan data dari RSUD Dr. Moewardi di dapatkan data pasien yang menderita
penyakit kanker kolon dengan post operasi kolostomi sebanyak 32 orang dengan
pasien laki-laki sebanyak 24 orang, sedangkan yang perempuan sebanyak 8 orang.
Berdasarkan data yang diatas peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul
Kajian asuhan keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan indikasi kanker
kolon di RSUD Dr Moewardi.
Tujuan : Melakukan kajian asuhan keperawatan dengan nyeri post operasi
kolostomi hari ke II dengan indikasi kanker kolon.
Metode: Kajian asuhan keperawatan ini dilakukan dengan cara deskriptif
Hasil: Tn S mengatakan nyeri post operasi kolostomi tanggal 12 Juni 2014, nyeri
seperti ditusuk-tusuk, nyeri pada bagian perut bawah dan hilang timbul saat
bergerak, skala nyeri 5. Hasil pengkajian pada Tn S di dapatkan tiga (3) diagnosa
keperawatan yaitu Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
akibat insisi pembedahan , Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan
kondisi fisik, Gangguan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan
(pembentukan stoma colostomy)
Kesimpulan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien
mengatakan masih merasakan nyeri, nyeri seperti diiris-iris dengan skala nyeri 2
dan pasien mengatakan aktivitas masih dibantu oleh keluarganya serta pasien
mengatakan masih ada stoma yang berwarna merah dan lembab
Kata Kunci: Kanker kolon, Post operasi kolostomi, Nyeri
1. Mahasiswa Program D III Keperawatan PKU Muhammadiyah Surakarta
2. Dosen Pengampu Program D III Keperawatan PKU Muhammadiyah Surakarta
3. Dosen Pengampu Program D III Keperawatan PKU Muhammadiyah Surakarta
xi
ABSTRACT
A STUDY OF NURSING CARE FOR Tn S THE SECOND DAY OF POST COLOSTOMY SURGERY TWINGE WITH INDICATION OF COLON CANCER AT dr. MOEWARDI HOSPITAL
Febriana Dewi Purwanti1, Yuli Widyastuti2, Cemy Nur Fitria 3 Background: World Health Organization (WHO), (of year 2003), within one year, 940,000 new cases of colon cancer are found with a death rate, reaching 500,000 patients throughout the world. From the data of Health Department of the Republic of Indonesia (of year 1986), 1,8 % of incidence rate is found in 100,000 people. And out of that number, those who are treated with the same treatment of the colon cancer procedure, as much as 19 (11,7%) are indicated as hemilolectomy and colostomy cases. Based on the data taken from RSUD Dr. Moewardi, it is obtained that the number of patients who suffer from colon cancer with post- colostomy surgery is 32 persons with 24 male patients, and 8 female patients. Based on the above data, the researcher is interested in doing observation entitled A Study of Nursing Care for the Second Day of Post-Colostomy Surgery Twinge with Indication of Colon Cancer at Dr. Moewardi Hospital.
Objective: Carrying out observation of study of nursing care for twinge resulted from post-colostomy surgery with indication of colon cancer on the second day.
Methods: This study of nursing care is conducted with descriptive method.
Results: Mr. S said that he had a twinge after a colostomy surgery done on June 12th, 2014. He had a piercing twinge right below his lower abdomen, and it reveals and disappears upon moving with twinge (pain) scale of 5. The result of study for the case of Mr. S shows that three (3) nursing diagnosis are found, namely; acute twinge which results from the discontinuity of tissue that is caused by the surgical incision, and from the intolerance of activity that derives from the deteriorating physical condition, dermatological disorder which has something to do with the surgical incision (stoma colostomy formation).
Conclusion: After 3 X 24 hour nursing treatment, the patient still feels the twinge, a piercing twinge with twinge scale of 2 and he cannot afford doing his own activity, without the assistance of his family members. Moreover, he still has a red, moist stoma.
Keywords: colon cancer, post colostomy surgery, twinge 1. Student of Diploma 3 Program of Nursing Care of PKU Muhammadiyah Surakarta 2. Lecturer of Nursing Care of Diploma 3 Program of PKU Muhammadiyah Surakarta 3. Lecturer of Nursing Care of Diploma 3 Program of PKU Muhammadiyah Surakarta
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH ......... iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
ABSTRAK ....................................................................................................... x
ABSTRACT ..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Tujuan .......................................................................................... 5
C. Manfaat ........................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Medis ................................................................... 7
B. Tinjauan Teori Kebutuhan Dasar ................................................. 26
C. Pathway / Kerangka Teori ........................................................... 55
BAB III METODE STUDI KASUS
A. Desain Studi Kasus ...................................................................... 56
B. Subjek Studi Kasus ...................................................................... 56
C. Tempat dan Waktu Studi Kasus ................................................... 57
D. Instrumen ..................................................................................... 57
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 60
xiii
BAB IV RESUME KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Resume Kasus ............................................................................. 64
B. Pembahasan ................................................................................ 74
BAB V PENUTUP
A. Simpulan........................................................................................ 88
B. Saran ............................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Pathway ........................................................................................................... 55
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1. Analisa Data ................................................................................... 70
Tabel 4.2. Daftar Masalah / Diagnosa Keperawatan ....................................... 71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Penelitian
Lampiran 2. Format Pengkajian
Lampiran 3. Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 4. Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 5. Assessment Skala Nyeri
Lampiran 6. Asuhan Keperawatan
Lampiran 7. Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan
Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian
Lampiran 9. Surat Balasan Penelitian
Lampiran 10. Surat Kelaikan Etik
Lampiran 11. Surat Keterangan
Lampiran 12. Lembar Konsultasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya makanan yang dicurigai mengandung zat-zat kimia yang
menyebabkan kanker pada usus besar. Makanan yang tinggi lemak terutama
hewan dari daging merah yang menyebabkan sekresi asam dan bakteri anaerob
yang menyebabkan timbulnya kanker didalam usus besar. Daging yang digoreng
dan dipanggang juga dapat berisi zat-zat kimia yang menyebabkan kanker.
Resiko dari kanker kolon akan menjadi 2/3 kali lebih besar jika anggota keluarga
menderita penyakit tersebut (Padila, 2012: 132). Kanker kolon adalah suatu
kanker yang berada di kolon. Penyakit ini termasuk penyakit yang mematikan
karena penyakit ini sering tidak diketahui sampai tingkat yang lebih parah.
Pembedahan adalah satu-satunya cara untuk mengubah kanker kolon (Padila,
2012: 129).
Menurut Sabiston (2013 : 36) Populasi umum, insiden kanker kolon mulai
meningkat secara bermakna setelah usia sampai 45 tahun dan meningkat tiap
dasawarsa setelah itu oleh faktor sekitar dua sampai mencapai puncaknya pada
usia 75 tahun. Resiko bagi pria dan wanita di atas usia 40 tahun dan bila kanker
kolon muncul sebelum usia 40 tahun, maka biasanya terjadi bersama sejumlah
faktor resiko lain, terutama familial. Di rumah sakit memorial sloan-cattering,
frekuensi pasien kanker kolorektum dengan kanker kolon sebelumnya 3,6% atau
serentak 1,9% sebesar 5,5%. Resiko tertinggi bagi kanker kolon kedua pada lesi
1
2
sekum. Disamping itu, resiko spesifik kanker kolon dalam keluarga pasien kanker
kolon, tiga kali lebih besar daripada populasi nornal. Jika anggota keluarga
menderita beberapa kanker kolon, maka mulainya kanker kolon dalam
keluarganya muncul 5 sampai 10 tahun lebih dini dibandingkan yang
diperkirakan.
Menurut Padila (2012 : 132) 152.000 orang di Amerika Serikat terdiagnosa
Kanker Kolon pada tahun 1992 dan 57.000 orang meninggal karena kanker ini
pada tahun yang sama. Sebagian besar klien pada kanker kolon mempunyai
frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Kanker pada kolon kanan
biasanya terjadi pada wanita dan ca pada rektum biasanya terjadi pada laki-laki.
Menurut Yusni (2008) World Health Organisation,WHO (2003) Dalam setahun
didapatkan sekitar 940.000 kasus baru dari kanker kolon dengan angka kematian
mencapai 500.000 pasien di seluruh dunia. Dari data Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 1986 didapatkan angka kejadian 1,8 setiap
penduduk 100.000 penduduk. Insidens karsinoma kolon dan rektum di indonesia
cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Insidens pria sebanding dengan
wanita, dan lebih banyak pada orang muda (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005: 658).
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Oemiati (2011)
penelitian yang pernah dilakukan, prevalensi kanker berdasarkan provinsi
menunjukkan bahwa ada 5 provinsi yang prevalensi kankernya melebihi
prevalensi kanker nasional (>5,03%), yaitu provinsi DIY sebesar 9,66%, Provinsi
Jawa Tengah sebesar 8,06%, provinsi DKI Jakarta sebesar 7,44%, Provinsi
Banten sebesar 6,35%, dan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 5,76%.
3
Menurut Sander (2012) data rawat inap RSUP Hasan Sadikin Bandung,
insidensi kanker di Indonesia secara umum adalah kanker kolon 1.635 kasus
(3,7%) (Sistem Informasi Rumh Sakit, 2008). Penderita kanker kolon dan rektum
di Poliklinik Bedah Digestif RSUP dari Januari tahun 2005 sampai Desember
2008, ada 163 sampel yang eligible, dimana yang berusia di bawah 40 tahun 19
(11,7%) dan di atas 55 tahun 61 (37,4 %). Penatalaksanaan yang sering dilakukan
untuk kanker kolon yaitu hemilolectomy dan kolostomi sebanyak 19 (11,7 %).
Prognosis didapatkan sembuh 90 (55,2%), tidak sembuh 24 (14,7%), tidak
kontrol 38 (23,3%), dan yang kontrol ditempat lain 2 (1,2%). Berdasarkan data
dari RSUD Dr. Moewardi didapatkan data pasien yang menderita penyakit
kanker kolon dengan post operasi kolostomi sebanyak 32 orang dengan pasien
laki-laki sebanyak 24 orang, sedangkan yang perempuan sebanyak 8 orang.
Menurut Padila (2012:139), pada kasus kanker kolon membuat insisi
dalam perut dan memeriksa rongga abdomen untuk menentukan letak reseksi dari
tumor tersebut. Bagian dari kolon dengan tumor adalah menghilangkan dan
terakhir membuka dua pada usus yang diirigasi sebelum hubungannya dengan
kolon. Jika hubungan ini tidak dapat dijalankan karena lokasi tumor atau kondisi
pada usus (contoh inflamasi) ahli bedah membuat kolostomi.
Operasi kolostomi dilakukan untuk berbagai penyakit dan kondisi.
Beberapa kolostomi dilakukan karena keganasan (kanker) suatu penyakit kanker
yang menyerang kolon, dimana terjadi pertumbuhan yang cepat, proresif dan
mematikan, dikarenakan penyakit ini penyebab kematian kedua (Padila,
2012:129). Kolostomi mulai berfungsi 2 sampai 4 hari setelah operasi. Ketika
4
kolostomi mulai berfungsi, kantung perlu dikosongkan secara berfrekuensi untuk
menghilangkan gas yang terkumpul (Padila, 2012: 140).
Nyeri sangat tidak menyenangkan dan merupakan sensasi yang sangat
personal yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri merupakan masalah
yang memiliki prioritas tinggi. Nyeri menandakan bahaya fisiologis dan
psikologis bagi kesehatan dan pemulihan. Nyeri berat dianggap sebagai situasi
darurat yang patut mendapat perhatian dan penanganan yang tepat (Kozier, et al.,
2011 : 689).
Saat klien sadar dari anestesi umum maka rasa nyeri menjadi sangat terasa.
Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh. Nyeri akut akibat
insisi menyebabkan klien gelisah dan mungkin nyeri ini yang merupakan
penyebab tanda-tanda vital berubah. Pengkajian rasa tidak nyaman klien dan
evaluasi terapi untuk menghilangkan rasa nyeri merupakan fungsi keperawatan
yang penting. Skala nyeri merupakan metode efektif bagi perawat untuk
mengkaji nyeri pascaoperatif, mengevaluasi respons klien terhadap pemberian
analgesik, dan mendokumentasikan beratnya nyeri secara objektif (Potter dan
Perry, 2006 : 1837).
Hasil uraian diatas, peneliti tertarik mengambil judul Kajian asuhan
keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon untuk
diteliti di RSUD Dr Moewardi. Dengan materi ini, nantinya dapat menambah
ilmu bagi mahasiswa yang lain untuk menerapkan kompetensi dan membuat
asuhan keperawatan nyeri post operasi kolostomi pada Tn S dengan indikasi
kanker kolon di lahan praktek.
5
B. Tujuan
1. Umum
Diperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada Tn S dengan gangguan nyeri post operasi kolostomi
dengan indikasi kanker kolon.
2. Khusus
Setelah melakukan asuhan kepawatan nyeri post operasi kolostomi
pada Tn S dengan indikasi kanker kolon :
a. Melakukan pengkajian gangguan nyeri post operasi kolostomi dengan
indikasi kanker kolon.
b. Mengidentifikasi data gangguan nyeri post operasi kolostomi dengan
indikasi kanker kolon.
c. Menegakan diagnosa yang mungkin muncul dengan gangguan nyeri post
operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon.
d. Membuat perencanaan asuhan keperawatan dengan gangguan nyeri post
operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon.
e. Melaksanakan asuhan keperawatan dengan gangguan nyeri post operasi
kolostomi dengan indikasi kanker kolon.
f. Mengevaluasi hasil keperawatan dengan gangguan nyeri post operasi
kolostomi dengan indikasi kanker kolon.
6
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan asuhan
keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon.
2. Bagi Profesi
Sebagai menambah pengetahuan teoritis maupun aplikatif bagi pofesi
perawat dalam asuhan keperawatan nyeri post operasi kolostomi dengan
indikasi kanker kolon.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan nyeri post
operasi kolostomi dengan indikasi kanker kolon dan mungkin bisa menjadi
salah satu acuan bagi penelitian selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori Diagnosa Medis
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Usus Besar (Kolon)
Kolon mempunyai panjang sekitar 1,5 meter dan terbentang dari
ileum terminalis sampai anus. Diameternya terbesar (8,5 cm) dalam
sekum, berkurang menjadi sedikit lebih berdilatasi dalam rektum. Bagian
asenden dan desenden terutama retroperitoneum, sedangkan kolon
sigmoideum dan transversum mempunyai mesenterium, sehingga terletak
ini intraperitoneum (Sabiston, 2013: 14).
Usus besar memanjang dari katub ileosekum (ileokolik), yang
membujur atara usus halus dan usus besar, hingga ke anus. Kolon (usus
besar) pada orang dewasa umumnya memiliki panjang sekitar 125 sampai
150 cm (50 sampai 60 inci). Kolon memiliki tujuh bagian, sekum, kolon
asendens, transversal, dan kolon desendens, kolon sigmoid, rektum, dan
anus (Kozier, et al., 2011 : 812).
Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh membran
mukosa. Serat otot berbentuk sirkular dan longitudinal, yang
memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar dan
memanjang. Otot longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon dan oleh
karena itu menyebabkan usus besar membentuk kantung atau haustra
(Kozier, et al, 2011 : 812).
7
8
Fungsi utama kolon adalah absorpsi air dan zat gizi, perlindungan
mukosa dinding usus dan eliminasi fekal. Kolon juga memberi fungsi
perlindungan karena kolon mensekresikan lendir. Lendir berperan untuk
melindungi dinding usus besar dari trauma akibat pembentukan asam di
dalam feses dan berperan sebagai pengikat untuk menyatukan material
fekal dan melindungi dinding usus dari aktifitas bakteri. Kolon berperan
untuk mengangkut produk pencernaan di sepanjang lumennya yang pada
akhirnya dieliminasi melalui saluran anus (Kozier, et al., 2011 : 812).
Tipe-tipe pergerakan di usus besar, haustral churning, peristaltik
kolon, dan peristaltik massa. Haustral churning untuk mencampur isi
usus, kerja tersebut membantu penyerapan air dan menggerakkan isi usus
ke depan menuju haustra berikutnya. Peristaltik adalah pergerakan
menyerupai gelombang yang dihasilkan oleh serat otot sirkular dan
longitudinal pada dinding usus, gerakan ini mendorong isi usus ke depan.
Peristaltik kolon sangat lambat dan sangat sedikit menggerakan kime di
sepanjang usus. Peristaltik massa, tipe ketiga dari pergerakan kolon,
melibatkan suatu gelombang kontraksi otot yang kuat sehingga
menggerakkan sebagian besar area kolon. Biasanya peristaltik massa
terjadi setelah makan, distimulasi oleh keberadaan makanan di dalam
lambung dan usus halus. Pada orang dewasa, gelombang peristaltik massa
hanya terjadi beberapa kali dalam sehari (Kozier, et al., 2011 : 812).
9
b. Rektum dan Saluran Anus
Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 cm
sampai 15 cm, panjang bagian paling distal, 2,5 sampai 5 cm, adalah
saluran anus. Di dalam rektum terdapat lipatan-lipatan yang dapat meluas
secara vertikal. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah vena dan sebuah
arteri. Diyakini bahwa liapatan ini membantu menahan feses di dalam
rektum. Jika vena mengalami distensi, seperti yang terjadi jika terdapat
tekanan berulang, terjadilah suatu kondisi yang disebut hemoroid (Kozier,
et al., 2011 : 813).
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid disebut
feses. Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi.
Rektum merupakan bagian akhir pada saluran Gastrointestinal.
Panjang rektum bervariasi menurut usia :
1) Bayi : 2,5 cm sampai 3,8 cm
2) Todler : 5 cm
3) Prasekolah : 7,5 cm
4) Anak usia sekolah : 10 cm
5) Dewasa : 15 cm sampai 20 cm
Kondisi normal, rektum tidak berisi feses smpai defekasi. Rektum
dibangun oleh lipatan-lipatan jaringan vertikal dan transversal. Setiap
lipatan vertikal berisi sebuah arteri dan lebih dari vena. Apabila vena
menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan, maka terbentuk
hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi terasa nyeri (Potter
dan Perry, 2006 : 1741).
10
2. Pengertian
Kanker kolon adalah suatu kanker yang berada di kolon. Kanker
kolon adalah penyebab kedua kematian di Amerika serikat setelah kanker
paru-paru. Penyakit ini termasuk penyakit yang mematikan karena penyakit
ini sering tidak diketahui sampai tingkat yang lebih parah. Pembedahan
adalah satu-satunya cara untuk mengubah kanker kolon (Padila, 2012 : 129).
3. Etiologi
Penyebab dari pada kanker kolon tidak diketahui. Diet dan
pengurangan waktu peredaran pada usus besar (aliran depan feces) yang
meliputi faktor kausatif. Petunjuk pencegahan yang tepat dianjurkan oleh
Amerika Cancer Society, The National Cancer Institute, dan organisasi
kanker lainnya.
Makanan-makanan yang pasti dicurigai mengandung zat-zat kimia
yang menyebabkan kanker pada usus besar. Makanan tersebut juga
mengurangi waktu peredaran pada perut yang mempercepat terjadinya
kanker. Makanan yang tinggi lemak terutama hewan dari daging merah yang
menyebabkan sekresi asam dan bakteri anaerob yang menyebabkan
timbulnya kanker di dalam usus besar.
Daging yang digoreng dan dipanggang juga dapat berisi zat-zat kimia
yang menyebabkan kanker. Diet dengan karbohidrat murni yang mengandung
serat dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi waktu peredaran dalam
usus besar. Beberapa kelompok menyarankan diet yang mengandung sedikit
lemak hewan dan tinggi sayuran dan buah-buahan.
11
Makanan yang harus dihindari :
a. Daging merah
b. Lemak hewan
c. Makanan berlemak
d. Daging dan ikan goreng atau panggang
e. Karbohidrat yang disaring (misalnya : sari yang disaring)
Makanan yang harus dikonsumsi :
a. Buah-buahan dan sayur-sayuran khususnya dari golongan kubis
b. Butir padi yang utuh
c. Cairan yang cukup terutama air
Karena sebagian besar tumor kolon menghasilkan adenoma, faktor
utama yang membahayakan terhadap kanker kolon menyebabkan adenoma.
Ada tiga tipe adenoma colon : tubular, villous dan tubulo villous (akan
dibahas pada polips). Meskipun hampir besar kanker colon berasal dari
adenoma, hanya 5% dari semua adenome colon menjadi manigna, villous
adenoma mempunyai potensial tinggal untuk menjadi manigna.
Orangorang yang telah mempunyai ulceratif colitis atau penyakit ang
lebih Crohns juga mempunyai resiko terhadap kanker colon. Penambahan
resiko pada permulaan usia muda dan tingkat yang lebih tinggi terhadap
keterlibatan colon. Resiko dari kanker colon akan menjadi 2/3 kali lebih besar
jika anggota keluarga menderita penyakit tersebut (Padila, 2012: 132).
12
4. Tanda dan Gejala
Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2005 : 659) Gejala klinis karsinoma
kolon kiri berbeda dengan kanan. Karsinoma kolon kiri sering bersifat
skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih
karena feses sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan jarang terjadi
stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Gejala dan
tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul
penyakit penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan, atau
akibat penyebaran.
Menurut Padila (2012 : 133), tanda-tanda ca kolon tergantung pada
letak tumor. Tanda-tandanya biasanya terjadi adalah :
a. Perdarahan pada rektal
b. Anemia
c. Perubahan feses
Kemungkinan darah ditunjukkan sangat kecil atau lebih hidup seperti
mahoni atau bright-red stooks. Darah kotor biasanya tidak ditemukan tumor
pada sebelah kanan kolon tetapi biasanya tidak banyak tumor disebelah kiri
kolon dan rektum.
5. Patofisiologi
Menurut Padila (2012 : 129), perubahan patologi tumor terjadi di
tempat yang berada kolon mengikuti kira-kira pada bagian :
a. 26 % pada caecum dan ascending colon
b. 10 % pada transfercum colon
13
c. 15 % pada descending colon
d. 20 % pada sigmoid colon
e. 30 % pada rectum
Karsinoma kolon sebagian besar menghasilkan adenomatus polip.
Biasanya tumor ini tumbuh tidak terdeteksi sampai gejala-gejala muncul
secara bertahan dan tampak membahayakan. Penyakit ini menyebar dalam
lapisan dalam di perut, mencapai serosa dan mesenterik fat. Kemudian tumor
mulai melekat paada organ yang ada disekitarnya, kemudian meluas kedalam
lumen usus besar atau menyebar ke limpa, setelah sel tumor masuk pada
sistem sirkulasi, biasanya sel bergerak menuju liver. Tempat yang kedua
adalah tempat yang jauh kemudian metastase ke paru-paru. Tempat metastase
yang lain termasuk :
a. Kelenjar adrenalin
b. Ginjal
c. Kulit
d. Tulang
e. Otak
Penambahan untuk infeksi secara langsung dan menyebar melalui
limpa dan sistem sirkulasi, tumor colon juga dapat menyebar pada bagian
peritonial sebelum pembedahan tumor belum dilakukan. Penyebaran terjadi
ketika tumor dihilangkan dan sel kanker dari tumor pecah menuju ke rongga
peritonial.
14
6. Komplikasi
Komplikasi terjadi sehubungan dengan bertambahnya pertumbuhan
pada lokasi tumor atau melalui penyebaran metastase yang termasuk :
a. Perforasi usus besar yang disebebkan peritonitis
b. Pembentukan abses
c. Pembentukkan fistula pada urinari bladder atau vagina
Biasanya tumor menyerang pembuluh darah dan sekitarnya yang
menyebabkan pendarahan. Tumor tumbuh kedalam usus besar dan secara
berangsur-angsur membantu usus besar dan pada akhirnya tidak bisa sama
sekali. Perluasan tumor melebihi perut dan mungkin menekan pada organ
yang berada disekitarnya (uterus, urinary bladder, dan ureter) dan penyebab
gejala-gejala tersebut tertutupi oleh kateter (Padila, 2012 : 130).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Kanker kolon dianggap sebagai penyakit yang perjalanannya lambat.
Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan agar melakukan deteksi dini melalui
pemeriksaan darah dalam tinja dan kolonoskopi. Sebaiknya, deteksi dini
dilakukan sejak usia 40 tahun bagi orang yang memiliki riwayat ketiga jenis
kanker tersebut dalam keluarganya. Apalagi bagi orang yang telah mengalami
gejala-gejala, seperti perdarahan saat buag air besar dan tertutupnya jalan
usus atau penyumbatan. Maka, deteksi dini kanker kolon melalui tahapan
berikut :
a. Pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan ini bertujuan mengetahui adanya
kelainan pada prostat.
15
b. Pemeriksaan laboratorium, yaitu pemeriksaan darah samar (occult blood)
secara berkala untuk mengetahui ada atau tidaknya darah dalam tinja.
Kemudian dilakukan pemeriksaan secara visual dengan endoskopi di
kolon atau kolonoskopi. Pemeriksaan kolonoskopi atau teropong usus
dianjurkan segera dilakukan bagi orang yang mencapai usia 50 tahun.
c. Pemeriksaan kolonoskopi. Pemeriksaan ini bertujuan menemukan kanker
kolorektal dan mengambil jaringan yang akan diperiksa di laboatorium
patologi.
d. Pemeriksaan enema barium. Pemeriksaan ini bertujuan menunjang
diagnosis kanker kolon.
e. Menggunakan kolonoskopi untuk mendeteksi kelainan berdasarkan
gambaran makroskopik. Bila tidak ada penonjolan atau ulkus,
pengamatan kolonoskopi ditujukan pada kelanan warna, bentuk,
permukaan, dan gambaran pebuluh darah. Dengan adanya deteksi dini
semacam ini, maka diharapkan kanker kolon dapat segera ditangani atau
diterapi (Santosa , 2009 : 111).
8. Penatalaksanaan
a. Pelaksanaan tanpa pembedahan
Menurut padila (2012 : 136,137) tim medis dapat menilai kanker
tiap pasien untuk menentukan rencana pengobatan yang baik dengan
mempertimbangkan usia, komplikasi penyakit dan kualitas.
1) Terapi radiasi
Persiapan menggunakan radiasi dapat diberikan pada pasien
yang menderita ca colorektal yang besar walaupun ini tidak
16
dilaksanakan secara rutin. Tetapi ini dapat menyebabkan kesempatan
lebih banyak dari tumor tertentu, yang mana terjadi fasilitas reseksi
tumor selama pembedahan.
Radiasi dapat digunakan post operatif sampai batas
penyebaran metastase. Sebagai ukuran nyeri, terapi radiasi
menurunkan nyeri, perdarahan, obstruksi usus besar atau metastase
paru-paru dalam perkembangan penyakit.
Perawat menerangkan prosedur terapi radiasi pada klien dan
keluarga dan memperlihatkan efek samping (contohnya diare dan
kelelahan). Perawat melaksanakan tindakan untuk menurunkan efek
samping dari terapi.
2) Kemoterapi
Obat non sitotoksik memajukan pengobatan terhadap ca
kolorektal kecuali batas tumor pada anal kanal. Bagaimanapun juga 5
fluorouracil (5-FU, Adrucil) dan levamisole (ergamisol) telah
direkomendasikan terhadap standar terapi untuk stadium khusus pada
penyakit (contoh stadium III) untuk mempertahankan hidup.
Kemoterapi juga digunakan sesudah pembedahan untuk mengontrol
gejala-gejala metastase dan mengurangi penyebaran metastase.
Kemoterapi intrahepatik arterial sering digunakan 5 FU yang
digunakan pada klien dengan metastasis liver.
b. Pelaksanaan dengan pembedahan
Ahli bedah membuat insisi dalam perut dan memeriksa rongga
abdomen untuk menentukan letak reseksi dari tumor tersebut. Bagian dari
17
kolon dengan tumor adalah menghilangkan dan terakhir membuka dua
pada usus yang diirigasi sebelum hubungannya dengan kolon. Jika
hubungan ini tidak dapat dijalankan karena lokasi tumor atu kondisi pada
usus (contoh inflamasi) ahli bedah membuat kolostomi (Padila, 2012:
139).
1) Kolostomi
a) Pengertian
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut
juga anus preternaturalis yang dibuat untuk sementara atau
menetap. Kolostomi sementara dibuat, misalnya pada penderita
gawat perut dengan peritonitis yang telah dilakukan reseksi
sebagian kolon (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005 : 664).
Kolostomi adalah lubang yang menuju kolon (usus
besar). Tujuan kolostomi adalah untuk mengalihkan dan
mengalirkan materi fekal. Kolostomi diklasifikasikan sesuai
dengan : (1) statusnya, permanen, atau temporer, (2) lokasi
anatominya, dan (3) pembuatan stoma, lubang yang dibuat
dinding abdomen dengan ostomi (Kozier, et al., 2011 : 820).
(1) Kolostomi dapat bersifat temporer atau permanen.
Kolostomi temporer secara umum dilakukan untuk kondisi
cedera traumatik atau inflamasi pada usus. Kolostomi
memungkinkan bagian distal usus yang terkena penyakit
untuk memberikan suatu cara eliminasi saat rektum atau
18
anus tidak berfungsi akibat defek saat lahir atau penyakit
sepeti kanker usus (Kozier, et al., 2011 : 820).
(2) Letak anatomik, kolostomi asendens mengeluarkan feses
dari bagian kolon asendens, kolostomi tranverse dari kolon
transversal, kolostomi desendens dari kolon desendens, dan
sigmoidostomi dari kolon sigmoid. Letak ostomi
memengaruhi karakter dan penatalaksanaan drainase fekal
semakin panjang usus, feses semakin terbentuk (karena usus
besar menyerap kembali air dari massa fekal) dan semakin
besar pengendalian frekuensi pengeluaran stomal yang
dapat dibentuk.
(3) Kolostomi asendens serupa dengan ileostomi dalam hal
drainase yang cair dan tidak dapat diatur, serta mengandung
enzim pencernaan. Namun, bau merupakan suatu masalah
yang memerlukan pengendalian.
(4) Kolostomi transversal menghasilkan drainase yang berbau
dan berbentuk seperti bubur karena sedikit cairan telah
diserap kembali. Biasanya tidak dapat dikontrol.
(5) Kolostomi desendens menghasilkan drainase fekal yang
semakin padat. Feses dari sigmoidostomi adalah feses
normal atau memiliki konsistensi yang telah memiliki
bentuk, dan frekuensi pengeluaran dapat atur. Klien
19
sigmoidostomi mungkin tidak harus memakai perlengkapan
ostomi disetiap saat, dan bau biasanya dapat dikontrol.
Lama waktu pemakaian ostomi juga membantu
menentukan konsistensi feses, terutama pada kolostomi
transversal dan desendens. Seiring dengan waktu, feses menjadi
terbentuk karena bagian kolon yang masih berfungsi cenderung
mengompensasi dengan meningkatkan reabsorpsi air (Kozier, et
al., 2011 : 821).
Lokasi kolostomi ditentukan oleh masalah medis
dankondisi umum klien. Terdapat tiga jenis kolostomi :
(1) Loop colostomy, biasanya dilakukan dalam kondisi
kedaruratan medis
(2) End colostomy, terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari
ujung proksimal usus dengan bagian distal saluran
gastrointestinal dapat dibuang atau dijahit tertutup (disebut
kantong Hartmann) dan dibiarkan di dalam rongga
abdomen. End colostomy merupakan hasil terapi bedah pada
kanker kolorektal.
(3) Double-barrel colostomy, terdiri dari dua stoma yang
berbeda; stoma proksimal dan stoma distal (Potter dan
Perry, 2006 : 1748).
20
2) Indikasi dilakukan kolostomi
Klien yang mengalami kelainan pada usus seperti obstruksi
usus, kanker kolon, kolitis ulseratif, penyakit divertikuler akan
dilakukan pembedahan yang disebut kolostomi yaitu lubang dibuat
dari segmen kolon (asecenden, transversum dan sigmoid). Lubang
tersebut ada yang bersifat sementara dan permanen. Kolostomi
ascenden dan transversum bersifat sementara, sedangkan kolostomi
sigmoid berifat permanen. Kolostomi yang bersifat sementara akan
dilakukan penutupan (Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010 : 66).
Indikasi kolostomi ialah dekompresi usus pada obstruksi,
stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang, atau
perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk
melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa stoma kait
(loop kolostoma) atau stoma ujung (end kolostoma), (Sjamsuhidajat
dan Jong, 2005 : 664).
3) Komplikasi kolostomi
a) Kebocoran di bawah alat
b) Tanda dan gejala infeksi
c) Ketidakseimbangan elektrolit
d) Dehidrasi
e) Obstruksi usus
f) Hemoragi
g) Ostomi
21
h) Prolaps
i) Striktur
j) Retraksi
k) Nekrosis (Inayah, 2004 : 235)
4) Pembuatan stoma
Pembuatan stoma dibagi menjadi stoma tunggal, lengkung,
terbagi atau kolostomi bersilinder ganda. Stoma tunggal dibuat jika
salah satu ujung usus dikeluarkan ke lubang di dinding abdomen
anterior. Ini disebut sebagai kolostomi akhir atau terminal; stoma ini
bersifat permanen.
Pada kolostomi lengkung, lengkung usus dikeluarkan ke
dinding abdomen dan disangga oleh sebuah batang plastik, sebuah
lubang transparan (kaca), atau sepotong slang karet, lengkung stoma
memiliki dua lubang; ujung proksimal atau aferen, yang aktif, dan
ujung distal atau aferen, yang tidak aktif. Kolostomi kedaruratan dan
sering kali terletak dikolon transversal kanan. Stoma ini adalah stoma
yang besar yang lebih sulit ditangani dibandingkan stoma tunggal.
Kolostomi terbagi terdiri dari ujung usus yang dibawa abdomen
tetapi terpisah satu sama lain. Lubang dari ujung digesif atau
proksimal adalah kolostomi. Ujung distal dalam situasi ini seringkali
disebut sebagai fistula lendir, karena bagian usus ini seringkali
mensekresikan lendir. Kolostomi terbagi sering kali digunakan dalam
situasi yang perlu menghindari kebocoran feses ke ujung distal usus.
22
Kolostomi bersilinder ganda menyerupai senapan besilinder
ganda. Pada tipe kolostomi ini, lengkung proksimal dan distal dijahit
menyatu kira-kira sepanjang 10 cm dan kedua ujung ini dibawa ke
dinding abdomen (Kozier, et al., 2011 : 822,823).
5) Perawatan stoma
Stoma yang sehat berwarna merah muda-kemerahan dan
lembab. Sejumlah kecil perdarahan stoma adalah biasa tetapi
perdarahan lain dilaporkan pada dokter bedah. Perawat juga secara
berfrekuensi memeriksa sistem kantung untuk mengetahui kondisinya
tetap baik dan tanda-tanda kebocoran. Colostomy mulai berfungsi 2
sampai 4 hari setelah operasi. Ketika kolostomi mulai berfungsi,
kantung perlu dikosongkan secara berfrekuensi untuk menghilangkan
gas yang terkumpul (Padila, 2012 : 140).
6) Perawatan kulit
Perawatan kulit sangat penting untuk semua klien yang
memiliki ostomi. Materi fekal dari kolostomi atau ileostomi memiliki
sifat mengirigasi kulit peristoma. Ini terutama berlaku pada cairan
ileum, yang mengandung enzim pencernaan sangat penting untuk
mengkaji kulit peristoma untuk mengetahui ada tidaknya iritasi setiap
kali mengganti kantung stoma. Setiap iritasi atau luka pada kulit perlu
segera diatasi. Kulit dipelihara agar tetap bersih dengan mencuci
semua cairan ekskresi dan mengeringkannya secara menyeluruh.
Sebuah sawar seperti karaya gum ditempelkan di atas kulit di sekitar
23
stoma untuk mencegah kontak dengan setiap ekskresi (Kozier, et al.,
2011 : 840).
Barier kulit meliputi wafer (tablet berisi bubuk), pasta, bedak,
dan film cair yang dapat dioleskan dikulit sekitar stoma. Beberapa
barier kulit berupa wafer ditempelkan secara permanen pada kantong
ostomi. Sistem ini disebut sistem kantong satu lapis. Pada sistem dua
lapis, kantong dapat dilepas dari barier kulit untuk dikosongkan atau
diganti. Hal ini memungkinkan barier kulit tetap berada di sekitar
stoma klien selama beberapa hari sehingga meminimalkan resiko
kerusakkan kulit akibat barier kulit terlalu sering dilepaskan dari kulit
di sekitar stoma (Potter dan Perry, 2006 : 1774).
7) Memasang kantung
Banyak sistem kantung yang tersedia untuk memastikan
bahwa kantung terpasang dengan benar dan memenuhi kebutuhan
klien, klien mempertimbangkan lokasi ostomi, tipe, dan ukuran
stoma. Sistem kantung yang efektif melindungi kulit, menampung
materi feses, bebas dari bau yang tidak sedap, dan memberikan rasa
nyaman serta tidak menarik perhatian orang (Potter dan Perry, 2006 :
1773).
Sebuah kantung kemudian dipasangkan dengan pas ke stoma
sehingga tidak ada kebocoran disekitarnya. Sangat penting untuk
mengeringkan kulit sebelum menempelkan kantung. Kantung tidak
akan menempel di tempat yang lembap, yang menyebabkan cairan
feses merembes dikulit. Berbagai sistem kantung telah tersedia
24
dipasaran. Semua kantung untuk memiliki tiga gambaran umum,
sebuah kantung untuk mengumpulkan cairan feses, sebuah pintu
keluar dibagian bawah untuk kemudahan pengosongan, dan sebuah
faceplate. Kantung sementara sekali pakai dibuat dari plastik
transparan dan memiliki kotak perekat yang akan dipotong melingkar
sesuai dengan ukuran stoma. Kantong permanen dapat transparan
atau tidak transparan, karet atau vinil, dan memiliki sebuah cincin
faceplate padat yang tepat melingkari stoma. Kantung ostomi sekali
pakai dapat dipakai sampai dengan 7 hari (dan dikosongkan
kapanpun saat sudah penuh terisi 1/3 sampai bagian). Kantung
ostomi harus diganti jika terdapat kebocoran cairan feses ke kulit
peristoma. Apabila kulit mengalami eritema, terkikis, terkelupas, atau
mengalami ulkus, kantung dapat diganti 24 sampai 48 jam untuk
memungkinkan penanganan kulit secara tepat. Direkomendasikan
pergantian yang lebih sering jika klien mengeluh nyeri atau
ketidaknyaman (Kozier, et al., 2011 : 840- 841).
8) Mengirigasi kolostomi
Irigasi kolostomi, serupa dengan enema adalah sebuah bentuk
penatalaksanaan stoma yang hanya digunakan untuk klien yang
memiliki kolostomi sigmoid atau desenden. Tujuan irigasi adalah
untuk mendistensikan usus secara bermakna untuk menstimulasi
peristaltis, yang akan menstimulasi evakuasi feses (Kozier, et al.,
2011 : 846).
25
Mengirigasi kolostomi untuk menetapkan pola defekasi yng
teratur, klien yang memiliki kolostomi sigmoid dan desenden
seringkali mengirigasi ostomi mereka. Kualitas otot kolon
memungkinkannya diirigasi dengan aman dengan volume air atau
salin dalm jumlah besar. Cairan dimasukkan ke dalam kolon melalui
stoma. Dengan demikian eliminasi terjadi pada waktu yang dipilih
klien. Irigasi juga membersihkan kolon dari gas dan bau. Hanya
peralatan yang khusus yang dapat digunakan untuk mengirigasi
sebuah ostomi. Jangan pernah menggunakan set enema untuk
mengirigasikan kolostomi. Irigasi yang lembut dengan menggunakan
peralatan yang benar dilakukan untuk mengurangi resiko perforasi
usus.
Pembentukan sebuah kolostomi melalui upaya bedah dapat
mengubah citra tubuh individu secara serius. Memperoleh kembali
kontrol eliminasi fekal melalui upaya irigasi membantu penyesuaian
emosional klien. Klien juga dapan memperoleh kebebasan tanpa
perlu mengenakan kantong stoma terus-menerus, walaupun
kebanyakan klien lebih memilih untuk mengenakan sebuah kantung
stoma yang berukuran kecil diantara waktu irigasi sebagai antisipasi
apabila terjadi kebocoran feses.
Klien mungkin menemukan kesulitan dalam melakukan
irigasi. Prosedur tersebut memakan waktu 45 60 menit, dan klien
mungkin tidak ingin mengganggu gaya hidup mereka. Pada
kebanyakan orang, irigasi tidak menyenangkan. Dukungan emosional
26
perawat dapat membantu klien membuat pilihan. Tersedia metode
alternatif penatalaksanaan ostomi, seperti upaya mengontrol diet atau
penggunaan laksatif (Potter dan Perry, 2006 : 1774).
B. Tinjauan Teori Kebutuhan Dasar
1. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensori serta emosi yang tidak
menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau
potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan, awitan yang tiba-tiba
atau perlahan dari intensitas ringan sampai beratdengan akhir yang dapat
diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
(Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010 : 25).
Nyeri sangat tidak menyenangkan dan merupakan sensasi yang sangat
personal yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri merupakan
masalah yang memiliki prioritas tinggi. Nyeri menandakan bahaya fisiologis
dan psikologis bagi kesehatan dan pemulihan. Nyeri berat dianggap sebagai
situasi darurat yang patut mendapat perhatian dan penanganan yang tepat
(Kozier, et al., 2011 : 689).
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan
bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Alimul, 2006 :
214).
27
2. Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan
ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak
memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera,
persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat
memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi
tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti histamin, bradikininn, prostaglandin
dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan jaringan
akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal,
listrik, atau mekanis.
Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut
ditransmisikan berupa impuls-impuls nyeri ke sumsum tulang belakang oleh
dua jenis serabut yang bermeylin rapat atau serabut A (delta) dan serabut
lamban (serabut C). (Alimul., 2006 ; 214)
Menurut Alimul (2006 : 218,219) terdapat beberapa teori tentang
terjadinya rangsangan nyeri, diantaranya :
a. Teori pemisahan (Specificity Theory)
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medull spinalis
(spinal cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps didaerah posterior,
kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi
lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri
tersebut diteruskan.
28
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla
spinalis dan merangsang akibat sel T. Hal ini mengakibatkan suatu
respons yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks
serebri serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi
sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas
respons dari reaksi sel T.
c. Teori pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)
Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja serat saraf besar dan
kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan
pada serat saraf besar akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa
yang mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel
T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat.
Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil
persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat
eferen dan reaksinya memengaruhi aktifitas sel T. Rangsangan pada serat
kecil akan menghambat aktifitas substansia gelatinosa dan membuka
pintu mekanisme, sehingga merangsang aktifitas sel T yang selanjutnya
akan menghantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori Transmisi dan Inhibisi
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi implus-
implus saraf, sehingga transmisi implus nyeri menjadi efektif oleh
neurotransmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi
29
efektif oleh implus- implus pada serabut-serabut besar yang memblok
implus-implus pada serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.
3. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut
dan kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan
cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya
peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara
perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih
dari 6 bulan. Kategori nyeri kronis yaitu nyeri terminal, sindrom nyeri kronis,
dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi
kedalam beberapa kategori, diantaranya nyeri tersusuk dan nyeri terbakar.
Selain klasifikasi nyeri, tedapat jenis nyeri yang spesifik, diantaranya nyeri
somatis, nyeri viseral, nyeri menjalar (referent pain), nyeri psikogenik, nyeri
phanom dari ekstremitas, nyeri neurologis, dan lain-lain. Nyeri somatis dan
nyeri viseral ini umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit
(superfisial) pada otot dan tulang. Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa
pada bagian tubuh yang lain, umumnya terjadi akibat kerusakan pada cedera
organ viseral. Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik
yang timbul akibat psikologis. Nyeri phantom adalah nyeri yang disebebkan
karena salah satu ekstremitas diamputasi. Nyeri neurologis adalah bentuk
nyeri yang tajam karena adanya spasme disepanjang atau di beberapa jalur
saraf (Alimul, 2006 : 215, 216).
30
4. Stimulus Nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau
dapat mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain
threshold).
Menurut Alimul (2006 : 216,217) terdapat beberapa jenis stimulus
nyeri, diantaranya: Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah
akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.
a. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri.
b. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
c. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteria koronaria
yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
d. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Karena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang
mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan
semua faktor yang mempengaruhi klien yng merasakan nyeri. Hal ini sangat
penting dalam upaya untuk memastikan bahwa perawat menggunakan
pendekatan yang holistik dalam pengkajian dan perawatan klien yang
menglami nyeri.
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia.
31
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespons terhadap nyeri.
c. Kebudayaan
Kebudayaan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri (Potter dan Perry, 2006 : 1511).
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
hal, diantaranya adalah :
1) Arti nyeri
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan
merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkungan,
dan pengalaman.
2) Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subjektif
tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini
dipengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.
3) Toleransi nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat
memengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang
memengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-
obatan hipnotis, gesekan atau garukan, pengalihan perhatian,
kepercayaan yang kuat, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang
32
menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas,
nyeri yang tidak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.
4) Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respon seseorang
terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan
menjerit. Semua ini merupakan bentuk respons nyeri yang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti arti nyeri, tingkat persepsi
nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan
fisik dan mental, rasa takut, cemas, usia, dan lain-lain (Alimul , 2006 :
218).
6. Intensitas Nyeri atau Skala Peringkat
Indikator tunggal terpenting keberadaan dan intensitas nyeri adalah
laporan klien mengenai nyeri. Faktor utama yang diidentifikasi oleh perawat
dipengaruhi secara budaya (misal : ekspresi wajah, verbalisasi, meminta
pereda nyeri). Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah
dan reliabel dalam menentukan intensitas nyeri klien. Skala tersebut
mmberikan konsistensi kepada perawat untuk berkomunikasi dengan klien
dan pemberi perawatan kesehatan lain. Sebagian besar skala menggunkan
kisaran 0 sampai 5 atau 0 sampai 10 dengan 0 menandakan tanpa nyeri dan
angka tertinggi menandakan kemungkinan nyeri terburuk untuk individu
tersebut (Kozier, et al., 2011 : 700).
33
a. Skala nyeri menurut Hayward (Lyndon, 2013)
Pengukuran intensitas dengan menggunakan skala nyeri Hayward
dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu bilangan
(dari 0-10) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri
yang ia rasakan (Lyndon, 2013). Penggunaan skala intensitas nyeri
Adalah metode yang mudah dan reliabel dalam menentukan
intensitas nyeri klien. Skala tersebut memberikan konsistensi kepada
perawat untuk berkomunikasi dengan klien dan pemberi perawat
kesehatan lain. Sebagian besar skala menggunakan kisaran 0 sampai 10
dengan 0 menandakan tanpa nyeri dan angka tertinggi menandakan
kemungkinan nyeri terburuk untuk individu tersebut. Pencantuman
keterangan kata pada skala dapat membantu beberapa klien yang merasa
sulit memberi nomor peringkat pada nyeri mereka. Klien diminta untuk
menandai poin skala yang paling mewakili intensitas nyerinya. American
Pain Society menyatakan bahwa nyeri menjadi tanda vital kelima,
sehingga, perawat membuat tingkat intensitas nyeri sebagai bagian dari
pengkajian dan dokumentasi tanda-tanda vital klien (McCaffery dan
Pasero, 1999).
Saat mencatat intensitas nyeri, sangat penting untuk pengaruhi
nyeri. Apabila intensitas berubah, perawat perlu mempertimbangkan
kemungkinan penyebab. Misalnya, hilangnya nyeri abdomen akut secara
mendadak dapat mengindikasikan ruptur apendiks. Beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi intensitas. (1) jumlah distraksi, atau konsentrasi
34
klien pada kejadian lain; (2) keadaan kesadaran klien, (3) tingkat
aktivitas, dan (4) harapan klien.
Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut:
0 = tidak nyeri
1-3 = nyeri ringan
4-6 = nyeri sedang
7-9 = sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas
yang biasa dilakukan
10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skala intensitas nyeri 10-poin dengan keterangan kata.
b. Skala nyeri menurut McGill (Lyndon, 2013)
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri
McGill dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu
bilangan (dari 0-5) yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman
nyeri yang ia rasakan (Lyndon, 2013).
Skala nyeri menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut:
(Lyndon, 2013).
0 = tidak nyeri
1 = nyeri ringan
2 = nyeri sedang
Tidak
nyeri
Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
sedang
Nyeri
sangat berat
Nyeri terburuk
yang pernah
dialami
35
3 = nyeri berat atau parah
4 = nyeri sangat berat
5 = nyeri hebat
c. Skala wajah atau wong-baker FACES Rating Scale (Lyndon, 2013)
Pengukuran intensitas nyeri dengan skala nyeri wajah dilakukan
dengan cara memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri tersebut
menyerang. Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat menyatakan
intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-anak dan lansia.
Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :
7. Manajemen Nyeri
a. Strategi kesehatan holistik menjadi intervensi yang penting untuk
mempertahankan kesejahteraan individu. Kesehatan holistik merupakan
suatu kelangsungan kondisi kesejahteraan yang melibatkan upaya
merawat diri secara fisik, upaya mengekspresikan emosi dengan benar
dan efektif dan upaya untuk menggunakan pikiran dengan konstruktif,
upaya untuk secara kreatif terlibat dengan orang lain dan upaya untuk
memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
1) Sentuhan terapeutik
Pendekatan ini menyatakan bahwa individu yang sehat, terdapat
ekuilibrium antara aliran energi didalam dan diluar tubuh. Sentuhan
terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar melakukan
36
pertukaran energi. Pelatihan yang lebih lanjut dibutuhkan. Terdapat
empat langkah dasar dalam melakukan teknik ini, yaitu: pemusatan,
pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap dilakukan secara
keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit.
2) Akupresur
Akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk
meningkatkan kondisi yang lebih sehat. Perawat ahli terapi
mempelajari alur energi atau meridian tubuh dan memberi tekanan
pada titik-titik tertentu disepanjang alur. Misalnya, apabila klien
mengalami nyeri kepala, tekanan yang pada titik akan menghilangkan
rasa tidak nyaman. Ketika titik tekanan disentuh, maka perawat mulai
merasa sensasi ringan atau denyutan di bawah jari-jari. Mula-mula
nadi di beberapa titik akan terasa berbeda, tetapi karena terus-menerus
dipegang, nadi tersebut kemudian menjadi seimbang. Setelah titik-
titik tersebut seimbang, perawat menggerakkan jari-jari tersebut
dengan lembut.
3) Relaksasi dan teknik imajinasi
Klien dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi-afektif
dengan melakukan relaksasi dan teknik imajinasi. Relaksasi
merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stres.
Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa
tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Teknik
relaksasi digunakan saat individu dalam kondisi sehat atau sakit.
Teknik relaksasi tersebut merupakan upaya pencegahan untuk
37
membantu tubuh segar kembali dan bergenerasi setiap hari dan
merupakan alternatif terhadap alkohol, merokok, atau makan
berlebihan. Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, teknik
imajinasi, dan latihan relaksasi progresif.
4) Relaksasi progresif pada seluruh tubuh memakan waktu sekitar 15
menit. Klien memberi perhatian pada tubuh, memperlihatkan daerah
ketegangan. Daerah yang tegang digantikan dengan rasa hangat dan
relaksasi. Beberapa klien lebih rileks dengan mata yang tertutup.
Alunan musik lembut dapat membantu dalam relaksasi.
Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan
pernapasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi
kelompok otot. Klien mulai latihan bernapas dengan perlahan dan
menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan abdomen
terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Saat klien
melakukan pola pernapasan yang teratur, perawat mengarahkan klien
untuk melokalisasi setiap daerah yang mengalami ketegangan otot,
berpikir bagaimana rasanya, menegangkan otot ssepenuhnya, dan
kemudian merelaksasikan otot-otot tersebut. Kegiatan ini menciptakan
sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan stres.
b. Tindakan peredaan nyeri nonfarmakologis
Ada sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan
persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan
perawatan tersier sama seperti dirumah dan pada keadaan perawatan
restorasi.
38
Relaksasi dan teknik imajinasi yang dibahas sebagai pendekatan
holistik merupakan contoh. Agens-agens fisik bertujuan memberi rasa
nyaman, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah respons fisiologis, dan
mengurangi rasa takut yang terkait dengan imobilisasi. Pedoman AHCPR
untuk penatalaksanaan nyeri akut menyatakan intervensi nonfarmakologis
sebagai intervensi yang cocok untuk klien yang memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1) Klien merasa bahwa intervensi tersebut menarik
2) Klien yang mengekspresikan kecemasan atau ketakutan
3) Klien yang memperoleh manfaat dari upaya menghindari atau
mengurangi terapi obat.
4) Klien yang memiliki kemungkinan untuk mengalami dan perlu
mengembangkan koping dengan interval nyeri pascaoperasi yang
lama.
5) Klien yang masih merasakan nyeri setelah menggunakan terapi
nonfarmakologis
Pada kasus klien yang mengalami kanker, tanggungjawab perawat
ialah mengevaluasi efek tindakan nonfarmakologis untuk memastikan
penanganan nyeri sehingga klien tidak dilarang menggunakan terapi
nonfarmakologis yang dibutuhkan.
a) Bimbingan antisipasi
Klien harus diberi penjelasan terinci tentang semua prosedur
medis dan rasa nyaman pascaoperasi yang akan dialami sehingga
klien dapat mempelajari apa yang dirasakan selama prosedur atau
39
peristiwa yang menyakitkan. Pengetahuan tentang nyeri
membantu klien mengontrol rasa cemas dan secara kognitif
memperoleh penanganan nyeri dalam tingkatan tertentu. Suatu
contoh bimbingan antisipasi ialah penyuluhan praoperasi.
Perawat tidak dapat mengatakan kepada klien bahwa klien
tidak akan merasakan nyeri. Bimbingan antiipasi memberikan
penjelasan yang jujur tentang pengalaman nyeri. Perawat juga
memberi instruksi tentang teknik menghilangkan nyri sehingga
klien siap unruk mengatasi rasa tidak nyaman yang akan ia alami.
b) Distraksi
Sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang
menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang
cukup ataupun berlebihan. Stimulus sensori yang menyenangkan
menyebabkan pelepasan endofrin. Individu yang merasa bosan
atau diisolasi hanya memikirkan nyeri yang dirasakan sehingga ia
mempersepsikan nyeri tersebut dengan lebih akut. Distraksi
mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain dan dengan
demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan
meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Aktivitas tersebut dapat
meliputi kegiatan menyanyi, berdoa, menceritakan foto tau
gambar dengan suara keras, mendengarkan musik dan bermain.
Sebagian besar distraksi dapat digunakan di rumah sakit, di
rumah, atau pada fasilitas perawatan jangka panjang. Salah satu
distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri
40
fisiologis, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian
seseorang dari nyeri.
c) Biofeedback
Biofeedback merupakan perilaku yang dilakukan dengan
memberikan individu informasi tentang repons fisiologis (mis.
Tekanan darah atau ketegangan) dan cara untuk melatih control
volunteer terhadap respons tersebut (NIH, 1986). Terapi ini
digunakan untuk menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif
untuk mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala migren. Untuk
mempelajari terapi ini, dibutuhkan waktu beberapa minggu.
Biofeedback dapat menghentikan nyeri kepala dan mengurangi
risiko nyeri kepala terjadi di waktu yang akan datang.
d) Hypnosis-Diri
Hypnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugeti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistic,
hypnosis-diri menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang
perasaan yang rilek dan damai. Individu memasuki keadaan rileks
dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-
kondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi mereka
(Edelman dan Mandel, 1994). Hypnosis-diri sama seperti dengan
melamun. Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan
stress karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran.
41
e) Mengurangi Persepsi Nyeri
Salah satu cara sederhana untuk meningkatkan rasa nyaman
ialah membuang atau mencegah stimulus nyeri. Hal ini terutama
penting bagi klien yang mobilisasi atau tidak mampu merasakan
sensasi ketidaknyamanan. Nyeri juga dapat dicegah dengan
mengantisipasi kejadian yang menyakitkan. Misalnya, seorang
klien yang dibiarkan mengalami konstipasi akan menderita
distensi dank ram abdomen
f) Stimulasi Kutaneus
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan
untuk menghilangkan nyeri. Masase, mandi air hangat, kompres
menggunakan kantong es, dan stimulasi saraf elektrik transkutan
(TENS) merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya
menurunkan persepsi nyeri. Teori gate-control mengatakan bahwa
stimulasi kutaneus mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori
A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan
transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil.
Keuntungan stimulasi kutaneus adalah tindakan ini dapat
dilakukan di rumah, sehingga memungkinkan klien dan keluarga
melakukan upaya control gejala nyeri dan penangannya.
Penggunaan stimulasi kutaneus yang benar dapat mengurangi
persepsi nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot.
Sebaliknya, ketegangan otot ini dapat meningkatkan nyeri.
42
Saat menggunakan metode stimulasi kutaneus, perawat
menghilangkan sumber-sumber suara yang berisik di lingkungan,
membantu klien untuk mengambil posisi nyaman, dan kutaneus
jangan digunakan secara langsung pada daerah kulit yang sensitif
(mis. Luka bakar, luka memar, ruam kulit, inflamasi, dan kulit di
bawah tulang yang fraktur).
Kompres dingin dan panas dapat menghilangkan nyeri dan
meningkatkan proses penyembuhan. Pilihan terapi panas dengan
terapi dingin bervariasi menurut kondisi klien. Misalnya, panas
lembab menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat artritis,
tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang
mengalami peradangan akibat penyakit tersebut (Ceccio 1990).
Apabila perawat menggunakan kompres panas atau dingin dalam
bentuk apapun, perawat menginstruksikan klien untuk
menghindari kulit menyentuh langsung pada permukaan yang
dingin atau panas. Individu yang terutama memiliki resiko adalah
klien yang mengalami cedera medulla spinalis atau cedera
neurologi lain, lansia, dank lien yang bingung.
Masase dengan menggunakan es dan kompres menggunakan
kantung es merupakan dua jenis terapi dingin yang sangat efektif
untuk menghilangkan nyeri. Masase menggunakan es dilakukan
dengan menggunakan sebuah balok es yang besar atau sebuah
cangkir kertas berukuran kecil, yang diisi dengan air dan
43
dibekukan (air keluar dari cangkir saat membeku untuk
menciptakan permukaan es yang lembut untuk masase.
c. Terapi nyeri farmakologis
Beberapa agens farmakologis digunakan untuk menangani nyeri:
1) Penatalaksanaan Nyeri Akut
Perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien yang
menjalani pembedahan dan prosedur medis (mis. Endoskopi) dan
kepada klien yang merupakan korban akibat trauma. Pendekatan terapi
mempunyai cakupan dari terapi tanpa suatu rangkaian strategi sampai
terapi yang menggunakan pendekatan tim yang komprehensif.
AHCPR (1992) telah menetapkan suatu bagan alur terapi nyeri untuk
penanganan agresif pada nyeri pascaoperasi. Pedoman yang diberikan
juga diterapkan pada klien yang sedang dalam proses pemulihan dari
prosedur dan trauma medis yang menyakitkan.
2) Analgesik
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk
mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri
dengan efektif, perawat dan dokter masih cenderung tidak melakukan
upaya analgesik dalam penanganan nyeri karena informasi obat yang
tidak benar, karena adanya kekhawatiran klien akan mengalami
ketagihan obat, cemas akan melakukan kesalahan dalam
menggunakan analgesik narkotik, dan pemberian obat yang kurang
dari diresepkan.
44
Ada tiga jenis analgesik, yakni: (1) non-narkotik dan obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), (2) analgesik narkotik atau opiat,
dan (3) obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik (table 43-6).
NSAID non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri
sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis dengan artritis
reua\matoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor,
episiotomy, dan masalah pada punggung bagian bawah. Satu
pengecualian, yaitu ketorolac (Toradol), merupakan agens analgesik
pertama yang dapat diinjeksikan yang kemanjurannya dapat
dibandingkan dengan morfin (McKenry dan Salerno, 1995). Terapi
pada nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan
menggunakan NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis
prostaglandin (McKenry dan Salerno, 1995) dan menghambat respons
selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor
saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri.
Tidak seperti opiat, NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi
pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defakasi
(AHCPR, 1992).
Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk
nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pascaoperasi dan nyeri
maligna. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan
kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi. Adjuvant, seperti
sedative, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol nyeri
atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri, seperti
45
depresi dan mual. Agens tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau
disertai analgesik. Sedative seringkali diresepkan untuk penderita
nyeri kronik. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk dan
kerusakan koordinasi, keputusan, dan kewaspadaan mental.
Analgesik narkotik, apabila diberikan secara oral atau injeksi,
bekerja pada pusat otak yang lebih tinggi dan medulla spinallis
melalui ikatan dengan reseptor opiat untuk memodifikasi persepsi
nyeri dan reaksi terhadap nyeri. Morfin sulfat merupakan devirat
opium dan memiliki karakteristik efek analgesik sebagai berikut:
a) Meningkatkan ambang nyeri, sehingga menurunkan persepsi
nyeri.
b) Mengurangi kecemasan dan ketakutan, yang merupakan
komponen reaksi terhadap nyeri.
c) Menyebabkan orang tertidur walaupun sedang mengalami nyeri
berat.
Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik adalah berpotensi
mendepresi fungsi sistem saraf yang vital. Opiat menyebabkan depresi
pernapasan melalui depresi pusat pernapasan di dalam batang otak.
Karakteristik yang ideal harus meliputi:
a) Awitannya yang cepat
b) Keefektifannya yang lama
c) Efektif digunakan pada semua kelompok usia
d) Penggunaan melalui parenteral dan oral
e) Tidak ada efek samping yang berat
46
f) Sifat yang membuat klien tidak tergantung analgesik
g) Tidak mahal
Penggunaan analgesik yang tepat membutuhkan pengkajian,
aplikasi prinsip-prinsip farmakologi, dan alasan yang cermat.
3) Analgesik Dikontrol-Pasien (ADP)
Klien menerima keuntungan, apabila ia mampu mengontrol
terapi nyeri. Apabila klien bergantung kepada perawat untuk
analgesia, maka seringkali terjadi siklus yang tidak teratur pada
pergantian nyeri dan status analgesia.
Dalam waktu satu jam akhirnya muncul keadaan analgesia,
tetapi nyeri yang hilang hanya berlangsung selama 30 menit dan klien
dapat mengalami sedasi selama satu jam. Kemudian, secara bertahap,
klien kembali merasa tidak nyaman dan siklus dimulai lagi.
Sistem pemberian obat, yang disebut ADP, merupakan metode
yang aman untuk penatalaksanaan nyeri kanker, nyeri pascaoperasi,
dan nyeri traumatik. Kebanyakan klien lebih menyukai metode
pemberian injeksi berkala. Hal ini merupakan sistem pemberian obat
yang memungkinkan klien mendapatkan medikasi nyeri ketika mereka
menginginkan obat tersebut tanpa resiko overdosis. Tujuan metode ini
ialah mempertahankan kadar plasma analgesik yang konstan, sehingga
masalah pemberian dosis sesuai kebutuhan dihindari.
47
8. Asuhan Keperawatan pada Masalah Nyeri
a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah
adanya riwayat nyeri; keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri,
kualitas, dan waktu serangan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara
PQRST.
1) P (Pemicu), yaitu faktor yang memengaruhi gawat atau ringannya
nyeri
2) Q (quality), dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau
tersayat.
3) R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri.
4) S (severity), adalah keparahan atau intensitas nyeri
5) T (time), adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.(Alimul,
2006 : 218).
Pengkajian nyeri yang akurat sangat penting untuk
penatalaksanaan nyeri yang efektif. Strategi menghubungkan pengkajian
nyeri dengan pengkajian dan dokumentasi tanda-tanda vital rutin
memastikan pengkajian nyeri untuk semua klien. Karena nyeri adalah
pengalaman subjektif dan dialami secara unik oleh setiap individu,
perawat perlu mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman
nyeri.
Misalnya pada awal periode pasca operasi, nyeri sering kali dikaji
bersamaan dengan setiap kali pengukuran tanda-tanda vital, yang dapat
dilakukan setiap 15 menit dan kemudian memanjang sampai setiap 2
48
sampai 4 jam. Setelah intervensi penatalaksanaan nyeri, intensitas nyeri
harus dikaji kembali pada interval yang tepat untuk pelaksanaan
intervensi. Misalnya, setelah pemberian morfin intravena, keparahan
nyeri harus dikaji kembali dalam 20 sampai 30 menit (Kozier, et al.,
2011 : 699).
Menurut Potter dan Perry (2006 : 1516) pendekatan klinis rutin
terhadap pengkajian dan penatalaksanaan ABCDE Nyeri
1) A: Ask/Tanyakan nyeri secara teratur
Assess/Kaji nyeri secara sistematis
2) B: Believe/Percaya apa yang dilaporkan klien dan keluarga serta apa
yang mereka lakukan untuk menghilangkan nyeri
3) C: Choose/Pilih cara pengontrolan nyeri yang cocok untuk klien,
keluarga dan kondisi.
4) D: Deliver/Berikan intervensi secara terjadwal, logis, dan
terkoordinasi.
5) E: Empower/Dayagunakan klien dan keluarga mereka
Enable/mampukan mereka mengontrol pengobatan sejauh yang
dapat lakukan.
Menurut Inayah (2000) pengkajian pada pasien post operasi
kolostomi :
1) Observasi / temuan
a) Tipe ostomi
(1) Ileostomi : biasanya permanen
49
(2) Kolostomi : asenden, transversal, desenden, mungkin
temporer atau permanen
b) Pengangkutan dan penutupan rektum
c) Tingkat pemahaman klien tentang prosedur pembedahan
d) Status emosi :
(1) Penerimaan ostomi
(2) Pemahaman tentang fungsi ostomi
(3) Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan
(4) Penerimaan perubahan citra tubuh
2) Karakter frekuensi dan jumlah feses:
a) Ukuran, lokasi, dan warna stoma
b) Kondisi kulit di sekitar stoma
c) Ketepatan alat dan ukuran
d) Penempatan stoma
e) Hidrasi
b. Diagnosa Keperawatan
Penegakan diagnosa keperawatan yang akurat untuk klien yang
mengalami nyeri dilakukan berdasarkan pengumpulan data dan analisis
data yang cermat (Potter dan Perry , 2006 : 1524).
Menurut Herdman (2012) terdapat diagnosa keperawatan yaitu:
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya jalan masuk organisme
ke dalam tubuh
50
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan insisi operasi, pembentukan
stoma
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan respon tubuh terhadap
aktivitas (kesakitan)
5) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya kolostomi
c. Perencanaan
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
Tujuan dan Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang dengan kriteria hasil :
a) Nyeri berkurang atau hilang
b) Skala nyeri 0
Intervensi
a) Kaji pengalaman nyeri klien, tentukan tingkat nyeri yang
dialami
b) Pantau keluhan nyeri klien
c) Observasi tanda vital sesuai data fokus
d) Beri kesempatan untuk istirahat (terutama bila nyeri timbul),
lingkungan yang tenang, nyaman, minimalisasi stressor
e) Ajarkan tindakan penurunan nyeri non invasive: relaksasi,
perubahan posisi
f) Kolaborasi dengan dokter untuk terapi (Nugroho, 2011 : 131)
51
2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya jalan masuk
organisme ke dalam tubuh
Tujuan dan kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil :
a) Tidak tampak tanda-tanda infeksi
b) Luka membaik dan kering
Intervensi
a) Kaji faktor resiko terhadap infeksi nosokomial
b) Kurangi organisme yang masuk ke dalam individu : cuci tangan,
teknik steril untuk perawatan luka dan tindakan invasive.
c) Kurangi kerentanan terhadap infeksi : motivasi dan pertahankan
masukan kalori dan protein, minimalisasi lamanya tinggal di
rumah sakit.
d) Pantau tanda-tanda infeksi : keadaan luka
e) Kolaborasi dengan dokter untuk terapi pencegahan infeksi
(Nugroho, 2011 : 110)
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan insisi operasi,
pembentukan stoma.
Tujuan dan kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
integritas kulit kembali utuh dengan kriteria hasil :
a) Integritas kulit membaik
52
b) Tanda-tanda infeksi (-)
Intervensi :
a) Kaji dan pantau keadaan integritas kulit (warna, bau, besaran
luka, keadaan sekitar kulit, perdarahan, edema).
b) Observasi adanya tanda-tanda infeksi
c) Jaga kulit sekitar stoma tetap bersih dan kering
d) Lindungi permukaan kulit di sekitar stoma dengan pelindung
kulit, misalnya : zink oil
e) Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat
f) Lakukan perawatan luka sesuai prosedur
g) Pertahankan kecukupan masukan cairan untuk hidrasi yang
adekuat jika tidak ada kontra indikasi
h) Tetapkan jadwal pengosongan kantong kolostomi
i) Kolaborasi dengan doktter untuk terapi medis (Nugroho, 2011:
134)
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan respon tubuh terhadap
aktivitas (kesakitan)
Tujuan dan kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
aktivitas pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil :
a) Memperlihatkan kemajuan aktivitas sampai dengan mandiri
b) Respon positif terhadap aktivitas (keletihan berkurang)
53
Intervensi :
a) Jelaskan batasan aktivitas klien sesuai kondisi
b) Tingkatkan aktivitas secara bertahap
c) Rencanakan waktu istirahat sesuai jadwal sehari-hari
d) Motivasi peningkat