Upload
doanlien
View
248
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
STRATEGI PENGEMBANGAN DAKWAH
KH. AHMAD DAHLAN DI YOGYAKARTA DAN
TGH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID DI LOMBOK
(Studi Komparasi)
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada
Program Studi Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam
( Pemikiran Islam)
Disusun oleh:
Husnan Wadi
NIM: O 000 090 040
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2012
2
SURAT PERNYATAAN
NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Bismillahirrohmanirrohim
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya
Nama : Husnan Wadi
NIM : O000090040
Fakultas/Jurusan : Pascasarjana/ Magister Pemikiran Islam
Jenis : Tesis
Judul : Strategi Pengembangan Dakwah KH. A. Dahlan di
Yogyakarta dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di
Lombok (Studi Komparasi)
Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk :
1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan UMS atas penulisan karya
ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan/mengalih formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, serta
menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada
Perpustakaan UMS, tanpa perlu meminta ijin dari saya, selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.
3. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara peribadi tanpa melibatkan
pihak Perpustakaan UMS, dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas
pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
Surakarta, 19 Agustus 2012
Yang Menyatakan
Husnan Wadi
3
STRATEGI PENGEMBANGAN DAKWAH
KH. AHMAD DAHLAN DI YOGYAKARTA DAN
TGH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID DI LOMBOK
(Studi Komparasi)
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Kepada
Program Studi Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam
(Pemikiran Islam)
Disusun oleh:
HUSNAN WADI
O000090040
Naskah Publikasi ini telah disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag Dr. Syamsul Hidayat, M.Ag
4
ABSTRAK
Husnan Wadi : Strategi Pengembangan Dakwah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta
dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Lombok (Studi Komparasi) .Tesis.
Surakarta: Magister Pemikiran Islam UMS, 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan strategi
pengembangan dakwah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan TGH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid di Lombok. Jenis Penelitian yang digunakan adalah kualitatif
dengan kajian pustaka.
Berdasarkan hasil penelusuran buku-buku yang ada, dapat diketahui bahwa
strategi pengembangan dakwah yang dilakukan oleh kedua tokoh ini menggunakan
pendekatan kultural, yaitu sama-sama konsen di bidang sosial dan pendidikan. Untuk
memperkuat dan memperlancarkan jalannya dakwah keduanya mendirikan organisasi
kemasyarakatan. Namun TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain
menggunakan pendekatan kultural, ia juga menggunakan pendekatan struktural yaitu
masuk partai politik. Secara prinsip kedua tokoh tersebut memiliki persamaan ideologi
yaitu di samping al-qur‟an dan hadist, keduanya mengacuh pada aqidah Ahlus Sunnah
Wa Al-Jamaah dan Mazhab Imam Syafi‟i dalam bidang fiqih.. Namun meskipun sama-
sama menganut faham Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah, kedua tokoh ini memiliki
perbedaan dalam penerapannya, KH. Ahmad Dahlan tidak menciptakan suatu tradisi di
kalangan Muhammadiyah, sementara TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
melalui organisasi NW mengembangkan tarekat hizib NW dan mempraktikkan ajaran
sufi yang menekankan loyalitas dan ketaatan kepada tuan guru. Dalam pengambilan
hukum, kedua tokoh ini memiliki perbedaan. KH. Ahmad Dahlan memakai sumber
pokok al-qur‟an dan hadist ditambah dengan hasil kupasan dari kitab-kitab yang telah
dibaca, kemudian diperbandingkan dan diambillah hukum yang paling sesuai dengan al-
qur‟an dan hadist. Dan ia tidak fanatik terhadap satu Mazhab, sedangkan TGH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid secara tegas menganut Mazhab Imam Syafi‟i.
Secara teologi, KH. Ahmad Dahlan kembali pada pendapat para ulama salaf dan dia
tidak suka berpikir secara mendalam tentang hal itu. Pemikirannya memang banyak
menunjukkan segi paraktis dari agama. Sedangkan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid, teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, namun tidak semua
apa yang telah dirumuskan oleh Asy‟ari dan al-Maturidi, diambil oleh TGH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid, ia hanya mengambil beberapa saja dari
pemikiran kedua teologi di atas yaitu paham tentang wahyu, sifat-aifat Allah dan
tentang perbuatan manusia.
Kata Kunci: Strategi Pengembangan Dakwah
5
ABSTRACTION
Husnan Wadi : Strategy Development Missionize KH. Ahmad Dahlan in
Yogyakarta and TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid in Lombok Island
(Study Komparasi) . Thesis. Surakarta: Magister Idea of Islam UMS, 2012
This research aim to know and equation difference of development strategy missionize
KH. Ahmad Dahlan in Yogyakarta and TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid in
Lombok island. used by Type Research is qualitative with book study
Pursuant to result of penelusuran of existing book, can be known that
done/conducted mission development strategy by both this figure use cultural approach,
that is both of the same konsen in social area and education. To strengthen and launch
the way mission both founding social organization. But TGH. Muhammad Zainuddin
Abdul Majid, besides using cultural approach, he also use structural approach that is
enter political party. principally both the figure have equation of ideology that is beside
hadist and al-qur'an, both offish at Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah aqidah and Sect Imam
Syafi'I in the field of fiqih.. But though both of the same is embracing of Ahlus Sunnah
Wa Al-Jamaah islamiah, both of this figure have difference in its applying, KH. Ahmad
Dahlan do not create an tradition among Muhammadiyah, whereas TGH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid pass/through NW organization develop NW hizib tarekat and
sufi teaching mempraktikkan emphasizing adherence and loyalitas to teacher sir. In
intake of law, both of this figure have difference. KH. Ahmad Dahlan wear the source
of al-qur'an fundamental and hadist added with result of exposition from buku which
have been read, is later;then compared to and taken by most appropriate law with hadist
and al-qur'an. And he is not fanatical to one Sect
Key Word. Mission Development Strategy
6
STRATEGI PENGEMBANGAN DAKWAH
KH. AHMAD DAHLAN DI YOGYAKARTA DAN
TGH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID DI LOMBOK
(Studi Komparasi)
Husnan Wadi
A. Pendahuluan
Berbicara mengenai islam di indonesia selalu menarik untuk diperbincangkan,
mengingat ajaran-ajaran yang diterapkan oleh masyarakat cukup unik dan beragam.
Islam di indonesia dikatakan unik karena masih mempertahankan aspek-aspek
budaya tradisional dan agama pra Islam (Hindu-Budha). 1Hal ini disebabkan adanya
penyebaran agama islam yang masuk indonesia melalui proses akulturasi dan
sinkritisme.
Dampak dari proses akulturasi dan sinkritisme tersebut kemudian
menyebabkan munculnya praktek-praktek yang menyimpang dari ajaran Islam yang
murni. Misalnya saja masyarakat jawa, mereka begitu kental dengan kehidupan
mistik dan banyak mengamalkan ritual keagamaan yang bersendikan pada nilai-nilai
budaya lokal. Masyarakat Jawa pada umumnya masih kental dengan tradisi-tradisi
keagamaan yang sinkretik, seperti percaya kepada orang (tokoh) yang mempunyai
kesaktian, percaya kepada roh-roh leluhur, percaya dengan Nyi Roro Kidul, dan
percaya kepada benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan. Sementara itu,
Islam versi Keraton Yogyakarta merupakan gambaran Islam yang telah tercampur
dengan adat istiadat Kerajaan Hindu-Budha serta kepercayaan animisme dan
dinamisme, sebagaimana yang telah berlaku di lingkungan kerajaan. Dalam
lingkungan kerajaan (Keraton Yogyakarta) masih terdapat kepercayaan menganggap
sakral benda-benda keramat seperti memandikan pusaka-pusaka yang ada di
keraton2.
Disamping itu juga ada tradisi keagamaan yang berkaitan dengan berbagai
upacara yakni: Upacara makan bersama atau biasa dikenal dengan sebutan selamatan
(wilujengan). Ada selamatan pada hari-hari besar Islam seperti garebeg Puasa,
1 Mark. R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta:
Lkis,1999), hlm. 352. 2 B. Soelarto, Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta, (Yogyakarta, Kanisius, 1993), hlm. 19.
7
garebeg Syawal, dan garebeg Hari Raya Besar, selamatan sebelum khitanan,
selamatan kematian, selamatan perkawinan dan lain sebagainya.3 Hal-hal yang
semacam ini lebih dikenal dengan Tahayul, bid.ah dan khurafat (TBC).
Selain di masyarakat jawa, juga terdapat di masyarakat sasak (Lombok), pada
masyarakat sasak ini dekenal dengan penganut faham agama Islam Wetu Telu,
mereka mempercayai bahwa arwah leluhur dan makhluk halus yang menempati
benda-benda mati yang disebut penunggu (bahasa Sasak), meskipun semuanya itu
memiliki kekuatan supranatural yang tunduk kepada Tuhan. Dalam kepercayaan
orang-orang penganut faham Wetu Telu arwah leluhur memiliki kedudukan yang
sangat penting. Pentingnya kedudukan para arwah leluhur sangat tampak pada
peranannya sebagai perantara ghaib di dalam menyampaikan segala permintaan
masyarakat kepada Allah dalam rangka memperoleh keselamatan dan kebahagiaan
masyarakat dimuka bumi4. Penganut faham wetu telu dalam ritualnya ia selalau
memanggil atau menghubungi arwah leluhur mereka.
Penganut faham Wetu Telu, juga memiliki kepercayaan terhadap roh penunggu,
mereka mengakui bahwa tempat-tempat tertentu mempunyai penunggu berupa roh
halus yang bertempat tinggal pada benda-benda mati, seperti pepohonan besar, tanah
perbukitan, batu besar, dan benda-benda lainnya. Keyakinan akan roh halus yang
menguasai tempat-tempat tertentu tersebut, mereka sering mengadakan kunjungan
atau ziarah, serta melakukan berbagai ritual.5
Di kalangan orang-orang Wetu Telu juga berkembang kepercayaan tertentu
yang berkaitan dengan keberuntungan dan ketidak beruntungan seseorang didalam
melakukan kegiatan upacara, kegiatan penting atau dalam menjalankan suatu usaha.
Mereka terlebih dahulu mengadakan perhitungan angka-angka untuk menentukan
hari baik dan hari tidak baik. Apabila seseorang akan mengadakan sesuatu rencana
pada hari baik, maka dipercaya akan mendatangkan keberuntungan serta
mendatangkan hasil yang baik, sebaliknya bila jatuh pada hari yang tidak baik, maka
3 Mifedwil Tjandra dkk, Perangkat Alat-alat dan Pakaian Serta Makna simbolis Upacara
Keagamaan Di Lingkungan Keraton Yogyakrta, ( Yogyakarta: Depdikbud, Proyek inventarisasi dan
Pembinaan Nilai-nilai Budaya DIY, 1989), hlm. 230. 4 Dr. Baharuddin, MA, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta Press,
2007), hlm, 81. 5 Ibid., hlm, 82
8
kemungkinan besar akan mendatangkan kegagalan, bahkan musibah bagi pelakunya.
Dengan demikian setiap rencana harus diperhitungkan dengan matang berdasarkan
perhitungan lima hari yaitu: legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Diantara kelima
hari tersebut, orang-orang Wetu Telu berusaha semaksimal mungkin untuk
melakukan setiap kegiatan pentingnya, selain hari legi, karena dipercayai akan
mendatangkan gangguan atau musibah bagi yang melanggarnya.6
Dari penomena keislaman masyarakat indonesia yang unik dan beragam
tersebut, nampaknya telah menyita perhatian KH. Ahmad Dahlan dan TGH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid untuk segera meluruskan paham keislaman
tersebut kembali pada al-Qur‟an dan as-Sunnah. Salah satu usaha yang mereka
lakukan adalah mengadakan pembeharuan dengan pemurnian ajaran islam. Usaha
pemurnian ajaran islam ini dilakukan melalui pendidikan dan dakwah. Dalam
memahamkan islam kepada masyarakat indonesia terutama masyarakat jawa dan
masyarakat sasak, bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan. Karena
tradisi yang ada pada masyarakat sudah mengakar. Oleh karena itu untuk meraih
kesuksesan dalam pemurnian ajaran islam, kemudian mereka menggunakan
berbagai macam strategi dan pendekatan sekaligus pengembangan, terutama dalam
berdakwah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam lagi melalui penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui strategi
pengembangan dakwah yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut dalam usaha
pemurnian ajaran islam. Hal ini menurut penulis menarik untuk diteliti, mengingat
keduanya pernah mengenyam pendidikan di Mekkah, penulis berasumsi bahwa
secara pemikiran memiliki kesamaan, meskipun juga tidak menutup kemungkinan
keduanya memiliki perbedaan, tergantung siapa yang mempengaruhi pemikiran dari
kedunya.
Dengan demikian dalam penelitian ini, peneliti menetapkan dua rumusan
masalah yaitu bagaimana strategi pengembangan dakwah KH. Ahmad Dahlan di
Yogyakarta dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Lombok Timur, dan
6 Ibid., hlm, 99
9
apa perbedaan serta persamaan strategi pengembangan dakwah yang dilakukan oleh
kedua tokoh tersebut?.
B. Strategi Pengembangan Dakwah
1. Hakekat strategi dakwah
Kata strategi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani” strato” yang
artinya pasukan dan “agenis” yang artinya pemimpin. Jadi strategi berarti hal-hal
yang berhubungan dengan pasukan perang.7 Menurut kamus bahasa Indoesia,
strategi berarti siasat perang, ilmu siasat. Memang pada mulanya strategi berasal
dari peristiwa peperangan (militer) yaitu suatu siasat mengalahkan musuh.
Namun pada akhirnya strategi berkembang untuk kegiatan organisasi termasuk
keperluan ekonomi, sosial, budaya dan agama. Dewasa ini istilah strategi sudah
digunakan semua jenis organisasi dan ide-ide pokok yang terdapat dalam
pengertian semula tetap dipertahankan, hanya aplikasiya disesuaikan jenis
organisasi yang menerapkannya.8
Strategi secara terminologi menurut M. Aliyasir adalah rencana yang
cermat mengenai kegiatan untuk mencari sasaran yang khusus.9 sedangkan A.
Arifin, Strategi adalah keputusan kondisional tentang apa yang akan
dilaksanakan guna mencapai tujuan.10
Sementara itu menurut Dwi Sunar
Prasetyono, stategi adalah suatu arah dan kebijakan atau rencana yang
diutamakan untuk mencapai tujuan utama lembaga atau perusahaan.11
Jadi
Strategi merupakan faktor yang sangat penting dalam berbagai hal guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.12
Kata dakwah secara etimologi (kebahasaan) merupakan bentuk mashdar
berasal dari kata da‟a - yad‟u - da‟watan yang bermakna memanggil,
7 Ali Moertopo, Strategi kebudayaan, (Jakarta : CSIS, 1971), hlm. 24
8 Sondang p Siagian, Menegemen Stratejik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1995), hlm. 15
9 Sondang p. Siagian, Ibid; hlm 7
10 Asmuni Syukri, Strategi Komunikasi Sebuah pengantar, (Bandung :Armiko, 1984), hlm. 59
11 Dwi Sunar Prasetyono, Trobosan Strategis Menggali Sumber-sumber kekayaan dalam Bisnis,
(Yogyakarta:CV. DIVA Pres, 2005), hlm. 180 12 Donald L. Harrison, Effect of strategic planning education on attitudes and perceptions of
independent community pharmacy owners/ managers Journal of the Amerrican Pharmacist Association,
Sept/Oct 2007.47:5. JAPhA,hlm. 559-600
10
mengundang, mengajak, menyeru, dan mendorong. Sedangkan secara
terminology (istilah) dakwah berarti mengajak dan menyuruh umat manusia baik
perorangan maupun kelompok kepada agama Islam, pedoman hidup yang
diridhoi Allah dalam bentuk amar ma‟ruf nahi munkar dan amal sholeh dengan
cara lisan (lisanul inaqol) maupun (lisanul Haq) guna mencapai kebahagiaan
dunia dan akherat.13
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan bahwa dakwah adalah “mengajak
kepada agama Allah, yaitu Islam”.14
Sedangkan Aboebakar Atjeh
mendefinisikan bahwa dakwah adalah “Perintah mengadakan seruan kepada
sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar
dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik”.15
Dan Nasaruddin Latif
mendefinisikan bahwa dakwah adalah “ setiap usaha atau aktivitas dengan lisan,
tulisan dan lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia untuk
beriman dan menaati Allah sesuai dengan garis-garis akidah dan syari‟at serta
Akhlak Islamiyah”.16
Masdar Helmy, mendefinisikan, bahwa dakwah adalah “
mengajak dan menggerakkan manusia agar mentaati ajaran-ajaran Allah
(Islam), termasuk melakukan amar ma‟ruf nahi munkar untuk bisa memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat”.17
Sedangkan strategi dakwah itu sendiri adalah perencanaan yang berisi
rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah tertentu.18
Al-
Bayanuni mendefinisikan strategi dakwah adalah “ketentuan-ketentuan dakwah dan
rencana-rencana yang dirumuskan untuk kegiatan dakwah”.19
Menuruut Canard,
13
Zaini Muchtarom, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah Islam, (Yogyakarta: Al-Amin Press,
1978), cet III, hlm.18 14
„Abd al-Karim Zaidan, “Ushul al-Da‟wah”, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1976), hlm. 5. 15
Aboebakar Atjeh, “ Beberapa Tjatatan Mengenai Dakwah Islam”, (Semarang: Ramadhani,
1971), hlm. 6. 16
HSM. Nasaruddi Latif, “ Teori dan Praktik Dakwah Islamiyah”, (Jakarta: Firma Dara, 1971),
hlm. 11. 17
Masdar Helmy, “ Dakwah Dalam Alam Pembangunan”, (Semarang : Toha Putra, 1973), hlm.
31. 18
Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah” Ed. Rev. Cet.2; (Jakarta : Kencana 2009), hlm. 349. 19
Muhammad Abu al-fath Al-Bayanuni, “al-Madkhal ila „ilm al-Da‟wah”, (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1993), hlm .46.
11
Dakwah dalam pengertian keagamaan adalah undangan Allah dan para rasul yang
ditujukan kepada umat manusia untuk beriman kepada agama yang benar, yaitu
Islam.20
Dari pengertian strategi dakwah diatas, dapat disimpulkan bahwa strategi
dakwah adalah cara atau upaya untuk mencapai tujuan dalam rangka mengajak
orang kembali kepada kebaikan dengan ajaran-ajaran Islam agar mendapatkan
kebahagiaan di dunia maupun diakhirat dengan amar ma‟ruf nahi munkar.
Dalam rangka menegakkan amal ma‟ruf nahi munkar, banyak cara yang
dilakukan dalam berdakwah di antaranya ; dakwah dengan lisan, dakwah dengan
perbuatan dan dakwah dengan tulisan.
a. Dakwah dengan lisan.
Dakwah dengan lisan adalah dakwah dilakukan melalui lisan seperti ceramah-
ceramah, khutbah, diskusi, nasehat dan lain-lain.
b. Dakwah dengan perbuatan.
Dakwah dengan perbuatan adalah dakwah dengan perbuatan nyata yang
meliputi keteladanan, seperti dengan amalan karyanya yang dari karya nyata
tersebut hasilnya bisa di arahkan secara kongkrit oleh masyarakat sebagai
obyek dakwah sehingga pelaku dakwah mampu memberikan solusi dari
masalah yang dihadapi oleh sasaran dakwah. Melihat kenyataan yang terjadi
pada saat ini, maka dakwah dengan perbuatan adalah dakwah yang sekiranya
menjadi fokus utama para pelaku dakwah Islam melihat situasi dan kondisi
lingkungan, dimana kenyataan masyarakat sekarang yang tidak hanya
membutuhkan kata-kata akan tetapi membutuhkan bukti yang ril dari
problematika yang sedang mereka hadapi sekarang ini atau dakwah disini
mampu memberikan solusi yang terbaik bagi sasaran dakwah.
c. Dakwah dengan tulisan.
Di era globalisasi ini, dakwah melalui tulisan lebih efektif digunakan untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah, karena dakwah dengan tulisan lebih luas
dari pada dakwah dengan lisan ataupun dengan perbuatan. Karena kapan saja
20
Canard, “Da‟wa”. The Encyclopaedia of Isam. B. Lewis (et al.) Vol. II. Leiden: E.J. Brill, 1991,
hlm. 168
12
dan di mana saja orang dapat menikmati sajian dakwah dengan tulisan, hal ini
tentu menuntut para pendakwah memiliki keahlian dalam tulis menulis.
kelebihan lain dari dakwah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau
penulisnya sudah wafat. Adapun media yang bisa digunakan dalam dakwah
dengan tulisan ini adalah surat kabar, majalah, buku, internet dan lain-lain.
Dari bentuk-bentuk dakwah di atas, kita dituntut untuk melakukan
penyampaian dengan cara yang bijaksana sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh nabi Muhammad SAW. Hal ini dipertegas dalam alqur‟an surat an-Nahl
ayat 125
Atinya : serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam menyampaikan pesan dakwah dilakukan
dengan tiga metode yaitu dakwah dengan al- hikmah, al-mau‟izhah dan Al-Mujadalah
Bi-al-Lati Hiya Ahsan.
2. Strategi Pengembangan Dakwah
Dalam pencapaian keberhasilan dakwah, strategi pengembangan dakwah
sangatlah diperlukan. Hal ini tentunya membutuhkan berbagai pendekatan.
Pendekatan dakwah adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
dakwah. Menurut Toto Tasmara: pendekatan dakwah adalah cara-cara yang
dilakukan oleh seorang muballigh (komunikator) untuk mencapai suatu tujuan
tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang. 21
Menurut Sjahudi ada 3 jenis pendekatan: Pendekatan Budaya, pendekatan
Pendidikan, pendekatan Psikologi. Pendekatan-pendekatan ini melihat lebih
banyak para kondisi mitra dakwah, oleh karenanya pendakwah, metode dakwah,
pesan dakwah, dan media dakwah harus menyesuaikan pada kondisi mitra
dakwah. Sedangkan pendekatan yang terfokus pada mitra dakwah lainnya adalah
dengan menggunakan bidang-bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.
21
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2239130-pendekatan-dakwah/ didownload,
tanggal 23 April 2012.
13
Pendekatan dakwah model ini meliputi: Pendekatan Sosial-Politik, pendekatan
Sosial-Budaya, pendekatan Sosial-Ekonomi, pendekatan Sosial-Psikologi.
Semua pendekatan diatas bisa di sederhanakan dengan dua pendekatan yaitu:
Pendekatan dakwah struktual dan pendekatan dakwah kultural.22
Untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera dan
religius, dakwah bisa menggunakan pendekatan struktural atau pendekatan
politik. Harus ada para politikus dalam legislatif yang berjuang untuk membuat
undang-undang yang menjamin kehidupan yang lebih islami. Dibutuhkan pula
politikus dalam eksekutif yang menjalankan pemerintahan berdasarkan produk
hukum tersebut bisa juga menggunakan pendekatan kultural atau social-budaya
dengan membangun moral masyarakat melalui cultural atau social-budaya.23
a. Pendekatan Dakwah kultural
Dakwah kultural adalah dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti
budaya-budaya kultur masyarakat setempat dengan tujuan agar dakwahnya dapat
diterima di lingkungan masyarakat setempat. Dakwah kultural juga bisa berarti:
Kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia
sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan kultur baru
yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan memanfaatkan adat, tradisi,
seni dan budaya lokal dalam proses menuju kehidupan Islami.24
Dalam pengertian umum Dakwah Kultural dipahami sebagai “kegiatan
dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai
makhluk budaya secara luas, dalam rangka menghasilkan kultur baru yang
bernuansa Islami”.25
Dakwah kultural adalah, pertama, dakwah yang bersifat
akomodatif terhadap nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif tanpa
menghilangkan aspek substansial keagamaan; kedua, menekankan pentingnya
kearifan dalam memahami kebudayaan komunitas tertentu sebagai sasaran
dakwah. Jadi, dakwah kultural adalah dakwah yang bersifat buttom-up dengan
22
Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah”, hlm. 383 23
Ibid., 24
Abdul Karim, Dakwah Kultural Menurut Tokoh Muhammadiyah, PPs. Unmuh Malang, Malang,
2003, hlm. 5 25
Zakiyuddin Baidhawy, Pentingnya Dakwah Kultural, dalam artikel (Tim Dakul UMS),
hlm. 21.
14
melakukan pemberdayaan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik
yang dimiliki oleh sasaran dakwah. Selain itu Muhammad Shulton berpendapat
bahwa dakwah kultural adalah, aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan
Islam kultural. Islam kultural, adalah salah satu pendekatan yang berusaha
meninjau kembali kaitan doktrinal yang formal antara Islam dan politik atau
Islam dan Negara.
Dari konsep di atas kita dapat melihat bahwa keberpihakan dakwah
kultural terletak pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan
kecerdasan lokal, dan mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan
sifat manusia secara individual dan sosial. Secara garis besar cara dakwahnya
“memudahkan” dan “menggembirakan” demi tegaknya nilai-nilai Islam di
berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Secara essensial,
dakwah berkaitan dengan bagaimana embangun dan membentuk masyarakat
yang baik, berpijak pada nilainilai kebenaran dan hak-hak asasi manusia. Dalam
pengentian nonkonvensional inilah, dakwah dapat berhubungan secara
kulturalfungsional dengan penyelesaian problem-problem kemanusian, termasuk
problem sosial.
Dakwah kultural ini hukumnya syah-syah saja asal tidak bertentangan
dengan nilai-nilai syar‟i yang sudah baku, misalnya masalah aqidah. Sebab
apabila dakwah yang kita anggab kultural ini kemudian kita salah
menafsirkannya, maka yang terjadi adalah kefatalan. Misalnya saja kita
berdakwah dengan harus mengikuti budaya agama lain yang dapat
menggugurkan nilai aqidah kita, maka dakwah semacam ini tidak boleh
dilakukan.
Sejarah dakwah kultural sebagaimana yang dilakukan di awal Islam
masuk ke wilayah Jawa, dimana bangsa Indonesia saat itu kaya dengan tradisi
animisme dan dinamisme, maka para pelaku dakwah kita yang terlalu lentur
dalam menjalankan dakwah kulturalnya mengakibatkan ajaran Islam yang sudah
sempurnya menjadi terkotori oleh budaya setempat. Hal ini merupakan
kesalahan fatal yang tidak boleh dicontoh dalam melakukan dakwah. Dakwal
kultural sebenarnya merupakan metode yang baik untuk dilakukan baik di
masyarakat desa maupun di lingkungan masyarakat kota, baik yang berfikiran
15
primitif maupun yang sudah modern. Namun perlu dingat bahwa islam dan
kultural itu berdiri sendiri dan tidak boleh dicampu adukkan.
b. Pendekatan struktural
Dakwah struktural adalah kegiatan dakwah yang menjadikan kekuasaan,
birokrasi, kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam.
Karenanya dakwah struktural lebih bersifat top-down. Hingga dalam prakteknya,
aktivis dakwah struktural bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan
memanfaatkan struktur sosial, politik, maupun ekonomi yang ada, guna
menjadikan Islam sebgai ideology negara, sehingga nilai-nilai Islam dapat
dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dakwah Struktural ini dipahami dalam pengertian sebagai "pendekatan
dakwah yang berpola dari atas ke bawah (top-down approach), dalam arti
dakwah yang bersifat normatif-doktriner".26
Senada dengan ini, ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa dakwah struktural lebih bersifat top-down,
politis, elitis dan fikhistik.27
Hubungan dakwah dan polotik sekilas terasa asing. Padahal jika
dipahami dakwah dalam pengertian luas, dakwah mencakup seluruh segi dalam
kehidupan : keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaa, termasuk
aspek politik. Dalam pengertian lebih lanjut dakwah dapat memakai jalur-jalur
tersebut, termasuk di dalamnya dakwah lewat politik, alias menggunakan politik
sebagai kendaraan dalam berdakwah. Dalam konteks hight politik sebenarnya
Rasulullah Saw selama berdakwah di era Madinah tak lepas dari politik, apalagi
beliau pada waktu itu diakui oleh warga negara Madinah sebagai pemimpin.
Dengan demikian posisi beliau tidak hanya sebagai pemimpin agama, namun
sekaligus juga sebagai pemimpin politik tertinggi, yaitu kepala negara.28
C. Metodelogi Penelitian
26
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 167. 27
Abdul Munir Mulkhan,"Strategi Kolektivitas Muballigh dalam Dakwah Jama„ah" makalah
disampaikan pada Acara Silaturahmi Muballigh Muhammadiyah Se-Jawa Tengah, di UMS,1997, hlm.
1. 28
Ahmad Amir Aziz, Pola Dakwah, hlm. 70
16
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan kajian pustaka, dengan
menggunakan pendekatan historis dan filosofis. Pendekatan historis yaitu suatu
analisis yang berangkat dari pengungkapan-pengungkapan kembali kejadian atau
peristiwa yang telah lalu berdasarkan urutan-urutan waktu atau analisis berangkat
dari sejarah. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap sejarah hidup dan
perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid.
Sedangkan pendekatan filosofis, penulis gunakan untuk melakukan analisis
terhadap pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid, tentang strategi pengembangan dakwah yang tentunya hal ini tertuang dalam
beberapa tulisan dan literatur yang ada hubungannya dengan masalah tersebut dan
relevan baik literatur primer maupun sekunder.
Dalam penelitian ini metode pengolahan data yang dipakai adalah deskreptif
analisis, yakni setelah data terkumpul, data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan
masalah yang dibahas dan di analisis isinya (content Analisys). Dibandingkan antara
data yang satu dengan yang lainnya, kemudian di interprestasikan dan akhirnya
diberi kesimpulan.29
Langkah-langkah yang digunakan dalam pengolahan data ini
adalah; deskriftif, interpretasi, komparasi dan pengambilan kesimpulan. Metode
pembahasan yang digunakan adalah deduktif dan induktif.
D. Hasil dan Analisis
1. Biografi KH. Ahmad Dahlan dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid
a. KH. Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan seorang tokoh ulama besar yang membawa
perubahan bagi masyarakat Yogyakarta khususnya dan jawa pada umumnya. Ia
lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 M. Atau 1285 H.30
Dilihat dari latar belakang keluarganya, keturunan ulama besar dan hidup di
tengah-tengah keluarga ulama, maka pendidikan yang di arahkan adalah
pendidikan informal agama Islam di kampung sendiri. Muhammad Darwis
29
Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, ( Jakarta: Raja Walipress, 1997), hlm. 87. 30
Junus Salam,Riwayat Hidup K.H.A. Dahlan: Amal dan Perjuangannya, cetakan ke 2, (Jakarta:
Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968), hlm. 56.
17
(Ahmad Dahlan) juga dapat dikatakan sebenarnya tidak pernah memasuki
sekolah secara formal. Pengetahuan yang dimilikinya, sebagian besar hasil
autodidak.
Kyai Ahmad Dahlan dikenal dengan manusia amal, karena dalam hidupnya ia
lebih mengutamakan beramal dari pada berteori.31
Hal tersebut telah diwujudkan
dalam amal nyata di berbagai bidang di antaranya; Pertama, Meluruskan arah kiblat,
sahalat Id (Hari Raya) di lapangan, dan menjauhkan praktek beragama dari syirik,
tahayul, bid‟ah, dan khurafat. Kedua, Pembinaan umat melalui pengajian-pengajian
secara melembaga. Ketiga, Mempelopori pendirian sekolah Islam modern. Sejak
tahun 1911 Kyai Dahlan telah mendirikan sekolah yang diberi nama Madrasah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.32
Keempat, Mendirikan PKU, Panti asuhan, dan
pelayanan sosial. Kelima, Mendirikan Taman Pustaka, Majalah Suara
Muhammadiyah, dan lembaga penolong haji. Kyai Dahlan juga merintis lembaga
Taman Pustaka tahun 1921, yang menjadi lembaga penting dalam penyebaran
informasi dan kesadaran mengembangkan baca-tulis, Selain itu Majalah Suara
Muhammadiyah di dirikan tahun 1915, yang awalnya berbahasa Jawa dan kemudian
berbahasa melayu, sebagai majalah yang cukup tua dan menunjukkan kesadaran
yang tinggi akan publikasi. Keenam, mendirikan „Aisyiyah, Kyai Dahlan terbilang
cemerlang ketika menggagas lahirnya organisasi Islam pertama di ruang publik,
yakni „Aisyiyah pada tahun 1917, yang sebelumnya merupakan pengajian ibu-ibu
dan anak-anak putri yang bernamaSapatresna, dan diketuai oleh Nyai Walidah
Dahlan. Inilah organisasi perempuan Islam yang waktu itu dipandang tabu, karena
perempuan baik secara keagamaan maupun budaya masih dipandang rendah dan
31
Junus Salam, Riwayat Hidup K.H.Ahmad Dahlan, hlm. 22. 32
Ahmad Adaby Darban, Sejarah kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah,
(Yogyakarta, Tarawang, 2000), hlm. 13.
18
hanya terbatas di ruang domestik. Kyai Haji Ahamad Dahlan Wafat pada tanggal 23
Februari tahun 1923 M, dalam usia yang relatif muda yakni 54 tahun atau 55 tahun.33
Apa yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan ini, hal serupa juga dilakukan oleh
orang-orang Kristen membuatkan sekolah bagi anak-anak Islam India tahun 1867.34
b. Boigrafi TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Tuan Guru Hamzanwadi (Haji Muhammd Zainuddin Abdul Majid
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah) dilahirkan di Kampung Bermi Pancor
Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi‟ul Awal 1324 H (1906 M).35
Nama
Kecilnya Muhammad “Syaggaf”.
Latar belakang pendidikan Saggaf (Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid) dimulai dari pendidkan di dalam keluarga, yakni dengan belajar
membaca al-Qur‟an dan ilmu agma yang di berikan langsug oleh
ayahandanya, Tuan Guru Haji Abdul Majid. Pada usia 9 tahun Tuan Guru Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid mulai memasuki pendidikan formal
pada sekolah Rakyat Negara (sekolah gebernemen di selong Lombok Timur)
di sekolah tersebut ia belajar selama empat tahun, hingga 1919 M.36
TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid mulai menyebarkan ide-
idenya kepada orang-orang sasak setelah ia kembali ke Lombok. Ia mulai
berupaya “memperbaiki” serta mengangkat harkat dan martabat masyarakat
Sasak di Lombok dari kebodohan dan keterbelakangan menuju masyarakat yang
maju,bermartabat, serta memilki iman yang kokoh.
Dalam merealisasikan obsesinya tersebut, Tuan Guru Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M,
sebagai tempat pembelajaran agama secara langsung bagi kaum muda. Pendirian
ini dilatar belakangi oleh keinginannya untuk memberikan pembelajaran agama
33
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, hlm 111 34 Nile Green, Islam for the indentured Indian: a Muslim missionary in colonial South Africa,
Bulletin of SOAS, 71, 3 (2008), 529–553. E School of Oriental and African Studies. Printed in the United
Kingdom, hlm. 530 35
Abdul Hayyi Nu‟man, Nahdlatul Wathan Organisasi Pendidikan dan Dakwah Islamiyah
(Pancor: Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan Lombok Timur, 1988), hlm 148 dan lihat juga Buletin Dwi
Bulanan Pewarah No. 19 edisi Agustus-September 1996. Mataram: Yayasan Patut Patuh Patju. 36
Mohammad Noor dkk, Visi Kebangsaan Religius, hlm. 134.
19
yang lebih bermutu kepada masyarakat, karena pada saat itu para Tuan Guru
daam mengajarkan agama lebih banyak menggunakan kitab-kitab arab Melayu,
seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.37
Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid meninggal dunia
pada hari selasa malam Rabu, 20 Jumadil Akhir 1418 H/ 21 Oktober 1997 M.
Pukul 19.57 WITA.
2. Strategi pengembangan dakwah
a. KH. Ahmad Dahlan
Dalam dakwahnya, KH. Ahmad Dahlan menggunakan strategi
pengembangkan dakwah dengan pendekatan kultural. Pendekatan kultural ini ia
konsen pada bidang sosial dan pendidikan.
1) Bidang sosial
Kegiatan-kegiatan di bidang sosial yang pertama dilakukan oleh K.H.
Ahmad Dahlan adalah mengajak kepada masyarakat untuk menyayangi anak
yatim dan membantu fakir miskin. Hal ini dilakukan sebagai amal nyata yang
dipraktekkan oleh K.H. Ahmad Dahlan yaitu dengan mempraktekkan surah al-
Ma‟un. Melalui Al-Ma‟un, KH. Ahmad Dahlan tidak saja membongkar
kesadaran umat Islam tentang pentingnya konsistensi pemahaman Islam (ad-din)
dengan pengamalan (menyantuni orang miskin, yatim piatu), sekaligus
melakukan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tanpa
terjebak pada formalisme, Islam dihadirkan bukan ajaran dogmatik atau statis,
tetapi hadir ditengah-tengah kenyataan masyarakat untuk memecahkan dan
menjawab persoalan aktual. Lebih khusus lagi dalam melakukan emansifasi atau
pembebasan masyarakat kaum dhu‟afa (lemah, terlemahkan) dan mustadh‟afin
(tertindas, ditindas).
Dalam praktik Al-Ma‟un itu kemudian lahir kelembagaan Penolong
Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1922, yang kemudian kini berubah
menjadi pelayanan kesehatan dan sosial, termasuk lembaga-lembaga Panti
37
Ibid., hlm. 110.
20
Asuhan. Belakangan aplikasi Al-Ma‟un bahkan dikembangkan atau diperluas
kedalam gerakan pemberdayaan masyarakat sebagaimana menjadi perogram
Majlis Pemberdayaan Masyarakat di kalangan petani, buruh, nelayan, dan
sebagainya. Dalam konteks kekinian pemikiran dan praktek Al-Ma‟un yang
dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan itu sangat relevan dan bertemu dengan
gagasan-gagasan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan yang bersifat
emansipatoris atau pembebasan ketika masalah kemiskinan dan sejenisnya tidak
hanya bersifat sosial kultural tetapi lahir sebagai produk dari ketimpangan dan
ketidak adilan struktural.38
2) Bidang pendidikan
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat; Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut
kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar
iman dan Islam;
Usahanya `memberi warna” pada Budi Utomo yang cenderung kejawen
dan sekuler, tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari
para muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan
organisasi pendukung. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan
pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal. Maka pada 18
Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah.
Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang tamu rumahnya sendiri ukuran 2,5
x 6 M di Kauman.
Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan
dikelola oleh pribumi secara mandiri yang dilengkapi dengan perlengkapan
belajar mengajar modern seperti; bangku, papan tulis, kursi (dingklik; kursi
berkaki empat dari kayu dengan tempat duduk panjang), dan sistem pengajaran
secara klasikal. Cara belajar seperti ini, merupakan cara pengajaran yang asing
di kalangan masyarakat santri, bahkan tidak jarang dikatakan sebagai sekolah
38
Haedar Nashar, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, hlm. 127.
21
kafir. Pernah dia kedatangan seorang tamu guru ngaji dari Magelang yang
mengejeknya dengan sebutan kiai kafir, dan kiai palsu karena mengajar dengan
menggunakan alat-alat sekolah milik orang kafir. Kepada guru ngaji yang
mengejeknya itu Dahlan sempat bertanya, “Maaf, Saudara, saya ingin bertanya
dulu. Saudara dari Magelang ke sini tadi berjalankah atau memakai kereta api?”
“Pakai kereta api, kiai,” jawab guru ngaji. “Kalau begitu, nanti Saudara
pulang sebaiknya dengan berjalan kaki saja,” ujar Dahlan. “Mengapa?” tanya
sang tamu keheranan. “Kalau saudara naik kereta api, bukankah itu perkakasnya
orang kafir?” kata Dahlan telak.
Di sinilah Ahmad Dahlan menerapkan Al Qur‟an surah 96 ayat 1 yang
memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Ahmad Dahlan berfikir dengan
pendidikan buta huruf diberantas. Apabila umat Islam tidak lagi buta huruf,
maka mereka akan mudah menerima informasi lewat tulisan mengenai
agamanya.39
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. 40
b. TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Dalam dakwahnya, TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
menggunakan strategi pengembangkan dakwah dengan pendekatan kultural dan
struktural. Pendekatan kultural ia konsen pada bidang sosial, kesehatan.
Pendekatan struktural ia masuk partai politik.
1) Pendekatan kultural
(a) Bidang sosial
Di bidang sosial TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid berupaya
untuk mensejahterakan kehidupan sosial masyarakat dengan kerja-kerja
sosial. Kerja-kerja tersebut merupakan respon terhadap problem-problem
sosial yang terjadi di tengah-tengah masyrakat. Pendekatan yang digunakan
39
Fatikul Himami, Implementasi Konsep Pemikiran, Ibid 40
Ibid.
22
adalah mengimplementasikan konsep aktivitas sosial yang berbasis
community development (pengembangan masyarakat).
Secara kosepsional community development berusaha untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap masalah-masalah yang di
hadapi, dan menumbuh kembangkan partisipasi aktif masyarakat dalam
mencari solusi terhadap persoalan yang di hadapi secara mandiri. Pada tahap
berikutnya, berupaya untuk memfasilitasi solusi kreatif masyarakat tersebut,
baik secara mandiri maupun kerjasama dengan pihak atau instansi terkait.
Pada akhirnya, sebuah kesejahteraan merupakan hasil dari kemandirian
masyarakat untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri.
Menurut Abdullah Syarwani, sekurang-kurangnya, ada empat peran
utama dari agen pembangunan dalam melakukan pengembangan masyrakat
yaitu: a) sebagai katalisator, menggerakkan masyarakat agar mau
melakukan perubahan; b) sebagai pemberi pemecahan persoalan; c) sebagai
pembantu proses perubahan, membantu dalam peroses pemecahan masalah
dan penyebaran informasi, serta memberi petunjuk bagaimana: a)
mengenali dan merumuskan kebutuhan, b) mendiagnosa permaslahan dan
menetukan tujuan, c) mendapatkan sumber-sumber yang relevan, d)
memilih atau menciptakan pemecahan masalah, dan 4) sebagai penghubung
dengan sumber-sumber yang diperlukan untuk pemecahan maslah yang
dihadapi.
TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam upaya merealisir
program sosialnya, mengajukan beberapa agenda kerja, antara lain
mendirikan panti asuhan dan asuhan keluarga di berbagai tempat kedudukan
organisasi, disamping itu mengalokasikan dana bi‟sah untuk program
beasiswa bagi kader-kader yang potensial.41
Selain itu, kerja-kerja sosial
yang dilakukan oleh Nahdlatul Wathan adalah mendirikan klinik-klinik
keluarga sejahterah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat sekaligus sebagai mitra pemerintah dalam mensukseskan
program kependudukan dan lingkungan hidup.
41
Bi‟sah adalah sebuah badan kordinasi program beasiswa bagi santri yang berperestasi dan
potensial, yang didirikan pada tahun 1951 oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
23
Dalam membantu masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan,
maka TGH Zainuddin Abdul Majid melalui organisasi Nahdlatul Wathan
mendirikan sejumlah panti asuhan dan asuhan keluarga. Panti asuhan
merupakan tempat penampungan dan pemberdayaan anak-anak yatim, fakir
miskin, dan anak-anak terlantar. Berdasarkan catatan pada Depertemen
Sosial Pengurus Besar Nahdlatul Wathan jumlah panti asuhan yang dikelola
berjumlah 23 buah dengan jumlah anak asuh sebanyak 1896 orang.42
(b) Bidang pendidikan
TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid mulai menyebarkan ide-
idenya kepada orang-orang sasak setelah ia kembali dari Makkah ke
Lombok. Ia mulai berupaya “memperbaiki” serta mengangkat harkat dan
martabat masyarakat Sasak di Lombok dari kebodohan dan
keterbelakangan menuju masyarakat yang maju, bermartabat, serta memilki
iman yang kokoh. Bagi Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid tentu bukan pekerjaan gampang, segampang membalikkan telapak
tangan, tetapi membutuhkan perjuang panjang dan kerja keras.
Dalam merealisasikan obsesinya tersebut, Tuan Guru haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan pesantren al-Mujahidin
pada tahun 1934 M, sebagai tempat pembelajaran agama secara langsung
bagi kaum muda. Pendirian ini dilator belakangi oleh keinginannya untuk
memberikan pembelajaran agama yang lebih bermutu kepada
masyarakat,karena pada saat itu para Tuan Guru daam mengajarkan agama
lebih banyak menggunakan kitab-kitab arab Melayu, seperti Bidayah,
Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.
Sebagaimana pesantren pada umumnya, Pesantren al-mujahidin
mempergunakan tradisi pembelajaran dengan metode halaqoh. Namun
mengingat metode halaqah tidak begitu efektif,karena pertama, sulit
mengukur tingkat keberhasilan perestasi santri , kedua, tidak dapat
mengawasi secara maksimal proses pembelajaran yang efektif, Tuan Guru
Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mempergunakan system
42
Muhammad Nur (ed.), Visi Kebangsaan Religius:Refleksi, 2004, hlm. 222-226.
24
pendidikan semi klasikal, yakni para santri dibagi berdasarkan peringkat
kelas yang didasarkan pada tingkat usia. Ruang kelaspun dilengkapi dengan
perangkat kelas, seperti papan tulis, kapur tulis,dan lain-lainnya.
Pendidikan system kelasikal ini, Nampak tidak hanya dapat menarik
minat dan perhatian masyarakat setempat, tetapi juga sangat diminati oleh
para santri yang dating dari berbagai penjuru tanah Sasak. Hal ini terlihat
bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama, tidak kurang dari 200 santri
datang menuntut ilmu agama pada pesantren al-Mujahidin.
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah santri yang belajar
dipesantren ini , mendorong Tuan Guru haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid untuk mendirikan Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di
Lombok. Keinginan Tuan Guru haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid
mendirikan madrasah Nahdhatul Wathan Diniyah Islamiyah (NBDI) yang
dipandangnyalebih efesien dan lebih efektif dalammencapai tujuan
pendidikan. Dalam mendirikan madrasah NBDI, Tuan Guru Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid dibantu oleh ayahnya Tuan Guru Haji
Abdul Majid, serta saudaranya Tuan Guru Rifa‟I Abdul Majid dan Tuan
Guru haji Faisal Abdul majid. Sementara pengasuhan Madrasah NWDI,
Tuan Guru haji Muhammad zainuddin Abdul Majid dibantu oleh sejumlah
Tuan Guru setempat,Seperti uan Guru hajji Muhibuddin Abdul Aziz, tuan
Guru Haji FaisalAbdul Majid dan Tuan Guru Abdurrahim.
2) Pendekatan strktural
Seperti ditunjukkan pada masa hidupnya, TGH. Muhammad Zainuddin
Abdul Majid menekankan Fleksibilitas dan dinamisme dalam berjuang, namun
tetap dalam bingkai iman dan taqwa. Hal ini dengan jelas dapat kita cermati
misalnya pada konsep politik beliau dengan tegas menjadikan al-qur‟an dan al-
Hadits sebagai referensi utama yang menjadi ground norm (norma dasar) dalam
menyikapi seluruh realitas politik dan kepartaian yang ada. Akan tetapi, apabila
dalam implementasi kebijakan-kebijakan politik tersebut ternyata kontra atau
mengalami kendala dengan realitas sosial masyrakat yang ada, maka nash al-
Qur‟an dan al-Hadits tersebut harus di-reinterpretasikan agar realitas sosial
masyarakat tersebut bisa direspon dan diakomodir dengan baik.
25
Gaya Pemikiran TGH. Muhammad Zainuddin yang fleksibel dalam
memahami suatu teks ternyata membawa efek dalam prilaku dakwahnya dalam
bidang politik. Fleksibelitas itu tercermin dari perubahan kecenderungan sikap
politik dan afiliasi politik sepanjang hayatnya. Jika kita tipologikan berdasarkan
kurun waktu, setidaknya ada empat periode yang menandakan kecenderungan
politik TGH. Muhammad Zainuddin yang berbeda dari waktu ke waktu.
Periode pertama, pada era 1936-1952 ketika masa awal tumbuh dan
berkembangnya NWDI dan NBDI sikap politik beliau bertumpu pada semangat
mengembangkan Islam dalam dimensi pendidikan dan dakwah, termasuk
didalamnya anti kolonial, pada periode ini belum muncul hiruk pikuk kepartaian,
sehingga corak dakwah via politik masih berada pada jalur “murni” sebagai
“khittah” perjuangannya. Periode kedua, era 1952-1970, beliau memasuki
gelanggang politik pada zaman Orde Lama yang dikenal sebagai era multi
partai. Periode ketiga, era 1971-1982, merupakan politik era Orde Baru. TGH.
Muhammad Zainuddin kurang puas dengan partai-partai sebelumnya dipandang
kurang bisa memajukan masyarakat. Maka sejak tahun 1970 beliau bersama
tokoh-tokoh muda NW menyusun strategi dan mencari alinasi baru. Beliau
bersama tokoh-tokoh penting NW segera hengkang dari Parmusi dan
mendukung Golkar. Periode keempat, tahun 1982-1997, TGH. Muhammad
Zainuddin praktis tidak berpolitik kembali, dan tidak lagi berkolaborasi dengan
Golkar karena partai pohon beringin itu dipandang kurang memperjuangkan
aspirasi umat Islam. Beliau menetapkan langkah-langkah tertentu guna
menjauhkan usaha-usaha di bidang pendidikan dan sosialnya dari segala macam
kegiatan politik. Bahkan pada muktamar NW ke VIII tahun 1986, beliau
mengajak seluruh komponen NW untuk kembali ke Khittah sebagaimana cita-
cita awal NW.
Berdasarkan periodesasi tersebut dapat digariskan bahwa pola dakwah
via politik yang dihasilkan TGH. Muhammad Zainuddin memiliki pola yang
baku dalam hal standar umum, meskipun kolaborasinya dengan partai politik
dapat berubah-ubah. Namun yang pasti tetap ada perinsip yang dipegang, yakni
nilai kemaslahatan dalam berpolitik. Ketika aktif di dalam partai tujuan
26
utamanya adalah kemaslahatan umat, demikian pula ketika tidak lagi aktif,
tujuannya pun adalah kemaslahatan umat.43
3. Organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathan (NW)
a. Organisasi Muhammadiyah
Pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi
nusantara. KH. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak
ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan
al-Hadits. Karena didirikannya organisasi ini murni untuk kegiatan dakwah,
maka KH. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Sebagai gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah mempunyai ciri-
ciri khas sebagai berikut: pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan islam,
dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita
organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan
Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat,
material dan spiritual. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang
berdasarkan Islam, yaitu amar ma‟ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan
menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam
dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu
dilakukan dengan berdialog. Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan
tajdid.Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa
Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman
Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh
segenap lapisan masyarakat. Keempat, Muhammadiyah sebagai gerakan
sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. Membentuk bagian
khusus wanita yaitu „Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus
wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta
43
Ahmad Amir Aziz : Pola Dakwah TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, hlm 74
27
memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan
„Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi
anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini. Di
samping „Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di
bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan
Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim
piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb
AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun
1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas
mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Konsep ideologi yang dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan di
samping dua sumber pokok yaitu al-Qur‟an dan Hadist, ia juga menggunakan
kitab-kitab Ahlus Sunnah Waljama‟ah dalam bidang aqidah dan dari imam
Syafi‟i dalam ilmu fiqih.44
Sedangkan teologinya, menurut KH. Mas Mansyur
sebagaimana yang dikutip oleh Yusron, KH. Ahmad Dahlan kembali pada
pendapat para ulama salaf dan dia tdak suka berpikir secara mendalam
tentang hal itu. Pemikirannya memang banyak menunjukkan segi paraktis
dari agama. 45
Muhammadiyah sangat mengedepankan demokratis, hal ini terbukti
pada kepemimpinnannya, siapapun boleh memimpin. Pemilihan
kepemimpinan Muhammadiyah melalui muktamar lima tahun sekali atas
dasar kesepakatan anggota. Siapa yang dianggap mampu dalam memimpin
maka ialah yang terpilih, tanpa mengedepankan keluarga ataupun kerabat.
Dengan cara demokratis ini pula, Muhammadiyah dapat berkembang dengan
cepat menyebar keseluruh Indonesia bahkan dunia.
b. Organisasi Nahdlatul Wathan (NW)
Organisasi NW didirikan oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid
pada tanggal 1 Maret 1953 di desa Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Dilihat dari segi usia organisasi NW lahir lebih muda dibandingkan dengan
44
M Yusron Asrofi, KH. Ahmad Dahlan Pemikiran, hlm. 35 45
Ibid.
28
organisasi sosial keagamaan yang lain di Indonesia seperti organisasi
Muhammadiyah 1912, Persatuan Islam (Persis) 1923, dan Nahdlatul Ulama 1926.
Meskipun lahir lebih muda, namun pada praktiknya organisasi NW telah
beroperasi sejak tahun 1934. Cikal bakal organisasi NW adalah sebuah pesantren
Al-Mujahidin, yang didirikan oleh Tuan Guru tahun 1934 ketika kembali dari
Makkah.
Konsep ideologi NW, beraqidah Islam Ahlus Sunnah Wa –Jama‟ah
dengan menerapkan mazhab Syafi‟i sebagai mazhab tunggal organisasi.
Sedangkan teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, tetapi
tidak seluruhnya apa yang telah dirumuskan oleh Asy„ari itu diterima, begitu pula
terhadap paham yang dikembangkan oleh al-Maturidi. Persepsinya tentang akal
berfungsi sebagai sumber informasi tentang Allah, dan yang berhubungan dengan
Allah tetap dalam posisi lemah. Sedangkan al-Maturidi berpandangan bahwa akal
berfungsi sebagai alat, potensi untuk memahami ayat-ayat yang tersurat dan
tersirat, akal berfungsi untuk mempertimbangkan baik dan buruk memelalui
petunjuk wahyu. Dengan akal manusia diberi beban perintah dan larangan. Akal
mampu mengetahui Allah walaupun melalui proses waktu yang panjang. Di
sinilah wahyu dan rasul diperintahkan, meskipun kehadirannya bukan merupakan
kewajiban. Mengenai wahyu, menurut ketiganya (al-Asy‟ari, al-Maturidi dan
Zainuddin) sepaham bahwa wahyu al-Qur‟an yang di dalamnya terkandung materi
teologi, sumber argumen dan metodologi, kredibilitasnya tidak dapat diragukan
karena membawa dilalai yang qoth‟i. Sekaligus dianggap pemikiran dharuri.46
Di samping itu, organisasi NW juga mengembangkan tarekat hizib NW
dan mempraktikkan ajaran sufi yang menekankan loyalitas dan ketaatan kepada
tuan guru. Tuan Guru adalah guru yang paling tinggi posisinya dalam hirarki
masyarakat NW. Sedangkan asas organisasi NW adalah Pancasila sesuai dengan
undang-udang nomor 8 tahun 1985. Tujuan organisasi NW adalah li i‟ila
ikalimatillah wa izzal-Islam wa al-Muslimin (menegakkan kalimat Allah dan
kejayaan Islam dan kaum Muslimin).
46
Masnun, Tuan Guru KH.Muhammad Zainuddin Abdul Majid, hlm. 247-248
29
Sebagaimana organisasi-organisasi sosial keagamaan yang lain, organisasi
NW terfokus pada tiga bidang pembangunan yaitu bidang pendidikan, sosial dan
dakwah. Di bidang pendidikan NW secara berkelanjutan mendirikan lembaga
pendidikan anak cabang di berbagai daerah di Lombok mulai dari tingkat sekolah
dasar sampai perguruan tinggi. Dari sejak tahun 1934-2010 NW telah berhasil
membangun 1500 cabang lembaga pendidikan yang tersebar di dalam dan luar
daerah. Sementara di bidang sosial, NW telah mendirikan beberapa panti asuhan
untuk anak yatim dan anak-anak terlantar. Mereka ditampung di panti asuhan NW
dan disekolahkan secara gratis.
Di bidang dakwah NW aktif membangun dan menghidupkan majlis
dakwah dan majlis ta‟lim melalui para tuan guru NW yang terdapat di desa
masing-masing. NW juga memiliki program pengajian keliling desa yang bersifat
harian, mingguan, bulanan dan tahunan secara bergantian. Masih terkait dengan
dakwah NW juga menciptakan tradisi ritual seperti membaca wasiat Tuan Guru
yang terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh jamaah NW, yaitu
hiziban, tarekat hizib NW, wirid dan zikiran, berzanji.
E. Kesimpulan
Berdasarkan analisis pembahasan di atas, maka dapat diambil benang merah
sebagai berikut:
1) Strategi pengembangan dakwah, keduanya menggunakan pendekatan kultural,
selain itu TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid menggunakan struktural.
Pendekatan kultural keduanya konsen pada bidang sosial, dalam hal ini mereka
memperhatikan fakir miskin dan anak yatim, hal ini diwujudkan dengan
mendirikan panti asuhan dan rumah sakit. Di bidang pendidikan, ia mendirikan
lembaga pendidikan moderen.
2) Untuk memperkuat dan memperlancarkan jalan dakwahnya, keduanya
mendirikan organisasi kemasyarakatan. KH. Ahmad Dahlan mendirikan
organisasi kemasyarakatan yaitu Muhammadiyah. Ideologi organisasi ini adalah
al-qur‟an dan hadist di samping itu secara aqidah menggunakan kitab-kitab
Ahlus Sunnah Waljama‟ah, dalam ilmu fiqih mengacu kepada Imam Syafi‟i.
Sedangkan teologinya mengacu kepada pendapat ulama salaf. TGH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid mendirikan organisasi kemasyarakatan yaitu Nahdlatul
30
Wathan (NW). Ideologi organisasi ini adalah beraqidah islam Ahlus Sunnah wa
Al-Jamaah, dalam ilmu Fiqih mengacu kepada Imam Syafi‟i. Sedangkan
teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, namun tidak semua
apa yang telah dirumuskan oleh Asy‟ari dan al-Maturidi, oleh Zainuddin
diambil hanya beberapa saja seperti paham tentang wahyu, sifat-aifat Allah dan
tentang perbuatan manusia.
Secara prinsip kedua tokoh tersebut memiliki persamaan ideologi yaitu di
samping al-qur‟an dan hadist, keduanya mengacu pada aqidah Ahlus Sunnah
Wa Al-Jamaah dan Mazhab Imam Syafi‟i dalam bidang fiqih.. Namun meskipun
sama-sama menganut faham Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah, kedua tokoh ini
memiliki perbedaan dalam penerapannya, KH. Ahmad Dahlan tidak
menciptakan suatu tradisi di kalangan Muhammadiyah, sementara TGH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid melalui organisasi NW mengembangkan
tarekat hizib NW dan mempraktikkan ajaran sufi yang menekankan loyalitas dan
ketaatan kepada tuan guru.
Dalam pengambilan hukum, kedua tokoh ini memiliki perbedaan. KH.
Ahmad Dahlan memakai sumber pokok al-qur‟an dan hadist ditambah dengan
hasil kupasan dari kitab-kitab yang telah dibaca, kemudian diperbandingkan dan
diambillah hukum yang paling sesuai dengan al-qur‟an dan hadist. Dan ia tidak
fanatik terhadap satu Mazhab, sedangkan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid secara tegas menganut Mazhab Imam Syafi‟i.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999
Adaby Darban, Ahmad, Sejarah kauman: Menguak Identitas Kampung
Muhammadiyah, Yogyakarta, Tarawang, 2000
Adnan, Afifuddin, Diktat Pelajaran Ke-NW-an untuk Madrasah dan Sekolah Menengah
NW, Pancor: Biro Dakwah Yayasan Pendidikan Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid, 1983
Ali Aziz, Moh., “Ilmu Dakwah” Ed. Rev. Cet.2; Jakarta : Kencana 2009
al-Karim Zaidan, Abd, “Ushul al-Da‟wah”, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1976
Atjeh, Aboebakar, “ Beberapa Tjatatan Mengenai Dakwah Islam”, Semarang:
Ramadhani, 1971
Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press, 2007
Baidhawy, Zakiyuddin, Pentingnya Dakwah Kultural, dalam artikel Tim Dakul UMS
Buletin Dwi Bulanan Pewarah No. 19 edisi Agustus-September 1996. Mataram:
Yayasan Patut Patuh Patju.
Canard, “Da‟wa”. The Encyclopaedia of Isam. B. Lewis (et al.) Vol. II. Leiden: E.J. Brill, 1991
Donald L. Harrison, Effect of strategic planning education on attitudes and perceptions
of independent community pharmacy owners/ managers Journal of the
Amerrican Pharmacist Association, Sept/Oct 2007.47:5. JAPhA.
Hayyi Nu‟man, Abdul, Nahdlatul Wathan Organisasi Pendidikan dan Dakwah
Islamiyah Pancor: Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan Lombok Timur, 1988
Helmy, Masdar, “ Dakwah Dalam Alam Pembangunan”, Semarang : Toha Putra, 1973
http://desmocidici.wordpress.com/2008/08/24/imetode-dakwah-al-hikmah-menurut-
surat-an-nahl-ayat-125/
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2239130-pendekatan-dakwah/
Karim, Abdul, Dakwah Kultural Menurut Tokoh Muhammadiyah, PPs. Unmuh Malang,
Malang, 2003
Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Gagasan dan Gerakan
Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Pustaka Al-Miqdad, 2007
Moertopo, Ali, Strategi kebudayaan, Jakarta : CSIS, 1971
Muchtarom, Zaini, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah Islam, Yogyakarta: Al-Amin
Press, 1978
32
Muhammad Abu al-fath Al-Bayanuni, “al-Madkhal ila „ilm al-Da‟wah”, Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1993
Munir Mulkhan, Abdul,"Strategi Kolektivitas Muballigh dalam Dakwah Jama„ah"
makalah disampaikan pada Acara Silaturahmi Muballigh Muhammadiyah Se-
Jawa Tengah, di UMS,1997, Nasaruddi Latif, HSM., “ Teori dan Praktik Dakwah Islamiyah”, Jakarta: Firma Dara,
1971
Nile Green, Islam for the indentured Indian: a Muslim missionary in colonial South
Africa, Bulletin of SOAS, 71, 3 (2008), 529–553. E School of Oriental and
African Studies. Printed in the United Kingdom.
Nur, Muhammad (ed.), Visi Kebangsaan Religius:Refleksi, 2004
R. Woodward, Mark., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta:
Lkis,1999
Salam, Junus,Riwayat Hidup K.H.A. Dahlan: Amal dan Perjuangannya, cetakan ke 2,
Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968
Siagian, Sondang p, Menegemen Stratejik, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1995
Soelarto, B, Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta, Yogyakarta, Kanisius, 1993
Sunar Prasetyono, Dwi, Trobosan Strategis Menggali Sumber-sumber kekayaan dalam
Bisnis, Yogyakarta:CV. DIVA Pres, 2005
Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta: Raja Walipress, 1997
Syukri, Asmuni, Strategi Komunikasi Sebuah pengantar, Bandung :Armiko, 1984
Tjandra, Mifedwil dkk, Perangkat Alat-alat dan Pakaian Serta Makna simbolis
Upacara Keagamaan Di Lingkungan Keraton Yogyakrta, Yogyakarta:
Depdikbud, Proyek inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya DIY, 1989