Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
INTEGRASI PROGRAMKELUARGA BERENCANA DAN
STRATEGIPERLUASAN
DAN
KESEHATAN IBU BERBASIS HAK
ADVOKASI
Halaman kosong
Dokumen ini diterbitkan atas kerjasama antara Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/BAPPENAS dan Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan serta BKKBN dengan dukungan dari UNFPA Indonesia.
DAFTAR ISI
PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN IBU BERBASIS HAK ................................................ 1
LATAR BELAKANG ....................................................................................................................................... 1
MEMAHAMI PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN IBU BERBASIS HAK .......................... 3
UJI COBA MODEL INTEGRASI ...................................................................................................................... 7
INOVASI MODEL INTEGRASI ........................................................................................................................ 9
PEMBELAJARAN DAN REKOMENDASI ....................................................................................................... 12
STRATEGI PERLUASAN ................................................................................................................................. 17
ASPEK REGULASI....................................................................................................................................... 19
ASPEK PEMBIAYAAN ................................................................................................................................. 21
ASPEK KELEMBAGAAN .............................................................................................................................. 23
ASPEK PENINGKATAN KAPASITAS ............................................................................................................. 25
Kapasitas Teknis ................................................................................................................................... 25
Mekanisme Peningkatan Kapasitas ....................................................................................................... 26
ASPEK KEBERLANJUTAN............................................................................................................................ 27
STRATEGI ADVOKASI ................................................................................................................................... 29
PENDEKATAN BRIDGING LEADERSHIP DAN PELAKSANAANNYA................................................................. 29
PENGEMBANGAN STRATEGI ADVOKASI YANG SMART .............................................................................. 31
Strategi Advokasi SMART ...................................................................................................................... 31
Pendekatan Advokasi SMART dan Penerapannya.................................................................................. 34
RENCANA PENGAKHIRAN PROGRAM .......................................................................................................... 37
LAMPIRAN ................................................................................................................................................... 39
Halaman kosong
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Teori Perubahan ........................................................................................................................... 7 Gambar 2. Kerangka Kerja Uji Coba Model .................................................................................................... 8 Gambar 3. Tahapan Kegiatan Uji Coba Model 2016 – 2020 ............................................................................ 9 Gambar 4. Integrasi dan Sinkronisasi Indikator ............................................................................................ 10 Gambar 5. Dashboard SIMKIT berbasis website ........................................................................................... 11 Gambar 6. Strategi Perluasan ...................................................................................................................... 17 Gambar 7. Pembiayaan Integrasi Program .................................................................................................. 21 Gambar 8. Kelembagaan Integrasi Program ................................................................................................. 23 Gambar 9. Peningkatan Kapasitas Integrasi Program .................................................................................. 26 Gambar 10. Model Bridging Leadership ....................................................................................................... 29
Halaman kosong
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Wilayah Prioritas Pelaksanaan Program Intervensi .......................................................................... 19
Halaman kosong
DAFTAR SINGKATAN
A AKI : Angka Kematian Ibu Alkon : Alat Kontrasepsi AMP : Audit Maternal Perinatal APBDesa : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ASFR : Age Specific Fertility Rate / Angka Kelahiran menurut Umur B Bappenas : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional BBL : Berat Bayi Lahir BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional C CIP : Costed Implementation Plan Contra War : Contraceptive For Women At Risk CPR : Contraceptive Prevalence Rate CSR : Corporate Social Responsibility D DAK : Dana Alokasi Khusus F FP2020 : Family Planning 2020 H HAM : Hak Asasi Manusia HITS : Holistik, Intergratif, Tematik, dan Spasial I IBI : Ikatan Bidan Indonesia ICPD : International Conference on Population and Development IDI : Ikatan Dokter Indonesia K KKBPK : Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga Kemendesa PDTT : Kementerian Desa, Kencana Kasih : Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak L LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat M MDGs : Millenium Development Goals Musdes : Musyawarah Desa O OPD : Organisasi Perangkat Daerah OR : Operational Research
P Perbup : Peraturan Bupati Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah PKMK UGM : Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan - Universitas Gadjah Mada POGI : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia PONED : Pelayanan Obstetri Neonatus Emergensi Dasar PONEK : Pelayanan Obstetri Neonatus Emergensi Kompresehensif R RAD : Rencana Aksi Daerah RFP : Rights-Based Family Planning Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RKP : Rencana Kerja Pemerintah RKPD : Rencana Kerja Pembangunan Daerah RKPDesa : Rencana Kerja Pembangunan Desa RPJMDesa : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah S SDGs : Sustainable Development Goals SDKI : Survei Demografi Kesehatan Indonesia SDM : Sumber Daya Manusia Sijari Emas : Sistem Informasi Jejaring Rujukan Expanding Maternal and Newborn Survival SIMKIT : Sistem Informasi Monitoring Kewaspadaan Ibu Terintegrasi SIPD : Sistem Informasi Pemerintahan Daerah SK : Surat Keputusan SMART : Spesific, Measurable, Attainable, Relevan, and Time Bound SPM : Standar Pelayanan Minimal SPPN : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional SUPAS : Survei Penduduk Antar Sensus T TFR : Total Fertility Rate/Angka Kelahiran Total TP PKK : Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga U UNFPA : United Nations Population Fund
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
1
PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN IBU BERBASIS HAK
Bagian ini menguraikan pendekatan keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak –atau disebut KENCANA KASIH, dan bagaimana pelaksanaan uji coba program integrasi di 3 kabupaten pilot, yaitu Aceh Besar, Lahat dan Malang. Bagian ini juga menjelaskan pembelajaran dan pengalamannya sebagai masukan dalam menyusun strategi perluasan dan advokasi.
LATAR BELAKANG Indonesia pernah dikenal memiliki pengalaman sukses dalam menjalankan Program Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1970, sebelum dilaksanakannya program KB di Indonesia, Angka Kelahiran Total (TFR) adalah 5.6. Dalam periode berikutnya, setelah program KB dilaksanakan dan adanya perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai jumlah anak yang ideal, telah menyebabkan terjadinya penurunan angka kelahiran yang dramatis. Selama periode 1991 - 2012, penggunaan alat dan obat kontrasepsi (CPR: Contraceptive Prevalence Rate) meningkat menjadi 61.9%. Namun, sejak sistem desentralisasi diterapkan pada tahun 2000 memberikan tantangan bermakna bagi Program Keluarga Berencana. Desentralisasi telah mengubah garis kewenangan langsung ke kabupaten/kota, dan tidak lagi di tingkat pusat.
Indonesia berkomitmen dalam pembangunan global (Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDGs). Tujuan pembangunan global ini juga meliputi indikator-indikator program KB seperti tingkat pemakaian kontrasepsi (CPR), tingkat fertilitas remaja, dan kebutuhan keluarga berencana yang belum terpenuhi. Tahun 2015 merupakan akhir pelaksanaan MDGs dimana evaluasi Indonesia menunjukkan pencapaian target MDG 5 yang belum memuaskan. Target untuk menurunkan angka kematian ibu, memenuhi seluruh kebutuhan berKB dan meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi menunjukkan kemajuan yang lambat dan cenderung tersendat. Selain itu, analisis dari indikator tersebut menunjukan
Strategi Perluasan dan Advokasi
2
kesenjangan yang signifikan antara wilayah geografis, wilayah tempat tinggal (perdesaan/perkotaan), dan indeks kekayaan1.
Keluarga berencana merupakan salah satu intervensi penting untuk menurunkan kematian ibu dan berkontribusi menurunkan sekitar sepertiga dari angka kematian ibu. Analisis data SDKI dari beberapa negara, termasuk Indonesia, mengenai kegagalan kontrasepsi dan aborsi menunjukkan bahwa proporsi kelahiran hidup/kehamilan yang tidak direncanakan adalah 19,8%, terutama karena tidak menggunakan kontrasepsi, diikuti dengan penggunaan metode jangka pendek. Penelitian menunjukkan bahwa 15,8% dari kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia bisa dihindari dengan beralih ke metode jangka panjang atau metode permanen1. Oleh karena itu, mengurangi kehamilan yang tidak diinginkan melalui pelayanan KB yang berkualitas dapat berkontribusi dalam peningkatan kesehatan ibu.
Kebutuhan untuk merevitalisasi program keluarga berencana agar menjadi lebih efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan reproduksi wanita telah lama disadari berbagai pihak. Berbagai upaya dikembangkan BKKBN, Kementerian Kesehatan bersama mitra untuk merevitalisasi program keluarga berencana.
Pada tahun 2012, di tingkat global dicanangkan sebuah inisiatif kemitraan global untuk keluarga berencana yang dikenal dengan Family Planning 2020 (FP2020). FP2020 bertujuan untuk mendukung hak-hak setiap perempuan untuk dapat menentukan secara bebas untuk diri mereka sendiri, apakah mereka ingin memiliki anak, kapan akan memilikinya, dan berapa jumlah anak yang ingin dimiliki. FP2020 bekerja dengan pemerintah, masyarakat sipil, organisasi multi-lateral, pihak donor, pihak swasta, dan lembaga riset dan mitra pembangunan untuk memungkinkan tambahan sedikitnya 120 juta perempuan (additional users) menggunakan kontrasepsi pada tahun 2020.
Sesuai dengan komitmen-komitmen global dan nasional, tiga kelompok kerja di bawah Komite FP2020 telah dibentuk. Kelompok kerja tersebut adalah:
• Kelompok Kerja Strategi KB (Family Planning Strategy), • Kelompok Kerja Hak dan Pemberdayaan, dan • Kelompok Kerja Data.
Kelompok kerja telah menghasilkan dokumen “Strategi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Berbasis Hak untuk Percepatan Akses terhadap Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang Terintegrasi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Indonesia”. Pendekatan strategi bersifat koordinasi lintas program dan lintas sektor. Strategi juga memberikan langkah-langkah strategis bagi pelaksanaan upaya program KB bagi lintas program, lintas sektor, lembaga swadaya
1 UNFPA Indonesia, 2017. Strategi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Berbasis Hak untuk Percepatan Akses ke Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang Terintegrasi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Indonesia.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
3
masyarakat dan pihak swasta dalam upaya mereka melaksanakan program keluarga berencana di Indonesia.
Program keluarga berencana berkontribusi meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kemenkes dan BKKBN adalah dua institusi yang memegang peranan sangat penting dalam melaksanakan program keluarga berencana. Upaya program KB di dalam RPJMN berlandaskan pada prinsip- prinsip hak yang meliputi akses ke pelayanan berkualitas, keadilan dalam akses yang menjamin terpenuhinya akses kelompok rentan, transparansi dan akuntabilitas, sensitivitas gender dan sensitivitas budaya.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) meningkatkan. Lima upaya program keluarga berencana yang bersifat lintas sektor dan tertuang di dalam RPJMN adalah:
• Peningkatan pelayanan keluarga berencana, • Penguatan advokasi dan komunikasi perubahan perilaku, • Penguatan informasi keluarga berencana dan konseling untuk kelompok muda, • Pengembangan keluarga, • Manajemen (data dan informasi, kajian, penelitian, regulasi dan
institusionalisasi).
MEMAHAMI PENDEKATAN KELUARGA BERENCANA DAN KESEHATAN IBU BERBASIS HAK Strategi integrasi keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak berfokus untuk melindungi hak individu dan masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki, atas pelayanan keluarga secara sukarela dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan menurunkan kematian ibu.
Pengembangan strategi integrasi Kencana Kasih ini merujuk pada Rencana Aksi Nasional Kesehatan Ibu 2016 – 2030, Strategi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Berbasis Hak untuk Percepatan Akses terhadap Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang Terintegrasi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Indonesia, dan Rencana Pembiayaan Implementasi.
RAN Kesehatan Ibu 2016 – 2030 mendukung komitmen Indonesia di tingkat global (Sustainable Development Goals/ Pembangunan yang Berkelanjutan) dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. RAN tersebut ditujukan untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi di bawah 100 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatal di bawah 10 per 1000 kelahiran hidup, serta angka lahir mati di bawah 7 per 1000 kelahiran total pada tahun 2030.
Strategi untuk mencapai tujuan melalui:
1. Strategi 1: Mencapai cakupan universal pelayanan kesehatan ibu-BBL dan mengatasi disparitas cakupan. Strategi ini memiliki kegiatan pokok:
Strategi Perluasan dan Advokasi
4
a. Memenuhi kebutuhan logistik/komoditas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (BBL) dasar dan rujukan,
b. Mengurangi potensi kesenjangan cakupan pelayanan kesehatan ibu-BBL, khususnya untuk wilayah dan kelompok rentan.
2. Strategi 2: Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan BBL, termasuk pelayanan rujukan, dengan perhatian khusus pada pertolongan persalinan dan penanganan kegawat-daruratan obstetri-neonatal. Strategi ini memiliki kegiatan pokok:
a. Meningkatkan kualitas pelayanan antenatal yang komprehensif dan integratif,
b. Meningkatkan kualitas pelayanan pertolongan persalinan dengan menerapkan standar asuhan persalinan normal,
c. Meningkatkan kualitas pelayanan nifas dan kunjungan neonatal yang terpadu,
d. Meningkatkan kualitas pelayanan obstetri-neonatal emergensi di tingkat yankes dasar (PONED) dan di tingkat rujukan yaitu di RS kabupaten/kota (PONEK),
e. Membentuk jaringan/regionalisasi pelayanan rujukan maternal-perinatal/RS kabupaten/kota dengan melibatkan puskesmas dan praktek swasta,
f. Memantau kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (BBL).
3. Strategi 3: Memantapkan kesinambungan dan integrasi pelayanan kesehatan ibu dan BBL. Strategi ini memiliki kegiatan pokok menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu-BBL dan kerjasama lintas program agar pelayanan kesehatan berlangsung secara terpadu.
4. Strategi 4: Memantapkan kepemimpinan dalam pengelolaan Program Kesehatan Ibu dan BBL, termasuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Strategi ini memiliki kegiatan pokok:
a. Meningkatkan profesionalisme dalam mengelola Program Kesehatan Ibu dan dalam pelayanan kesehatan ibu-BBL, termasuk transparan dan akuntabel dalam menggunakan,
b. Meningkatkan kemandirian daerah dalam mencapai cakupan universal pelayanan kesehatan ibu-BBL yang berkualitas
Strategi pelaksanaan program keluarga berencana berbasis hak untuk percepatan akses terhadap pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang terintegrasi dalam mencapai tujuan pembangunan Indonesia. Terdapat delapan prinsip hak asasi manusia yang berlaku dalam integrasi program ini, meliputi:
1. Hak terhadap akses ke informasi KB dan pelayanan dengan standar tertinggi
Hak untuk mendapatkan pelayanan KB berdasarkan standar hak asasi manusia untuk kesehatan, sebagaimana juga dijelaskan di dalam Rencana Aksi ICPD. Hak ini merupakan bagian dari hak dasar semua pasangan dan individu untuk memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab mengenai jumlah, waktu dan jarak anak mereka. Setiap orang mempunyai hak untuk
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
5
mengakses informasi tentang kontrasepsi secara komprehensif yang tidak bias, hak mengambil keputusan secara mandiri (tanpa dipengaruhi oleh penyedia pelayanan atau pasangan) dalam lingkungan yang memberikan privasi dan menjaga kerahasiaan (dengan akses terhadap informasi secara penuh).
2. Keadilan dalam akses
Mengatasi hambatan pada akses ke berbagai tingkat pelayanan di antara berbagai wilayah geografis dan hambatan keuangan sangatlah penting untuk menjamin keadilan dan mengatasi disparitas dalam akses dan pemanfaatan pelayanan termasuk pada kelompok marginal.
3. Pendekatan sistem kesehatan yang dapat diterapkan di sektor pemerintah dan swasta: a. Integrasi KB dalam kontinuum pelayanan kesehatan reproduksi
Pelayanan KB mempunyai peran penting sepanjang siklus reproduksi dengan memberikan kemungkinan bagi pasangan untuk mengatur jumlah anak yang diinginkan, pada usia yang mereka inginkan, mencegah terjadinya kehamilan dan kelahiran yang tidak diinginkan serta aborsi dan konsekuensinya, dan mencegah infeksi menular seksual dan penularan HIV melalui hubungan seks. Kontribusi Keluarga Berencana sepanjang kontinuum pelayanan kesehatan ibu dan anak untuk mengurangi kematian dan meningkatkan kesehatan ibu dan anak telah diketahui. Integrasi KB dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak terbukti cost-effective untuk klien dan sistem kesehatan.
b. Standar etika dan professional dalam memberikan pelayanan keluarga berencana
Hak ini untuk menekankan kembali tanggungjawab para petugas dan institusi penyedia pelayanan KB. Petugas penyedia pelayanan juga bertanggungjawab menjamin adanya persetujuan tertulis yang bertanggung jawab sukarela, dan mencegah adanya bias terhadap metode tertentu. Prinsip utama yang terkait dengan hal ini adalah menghapuskan hambatan terhadap informasi dan akses dari aspek hukum, medis, klinis, dan peraturan yang tidak perlu.
4. Perencanaan program berbasis bukti
Merancang pendekatan baru dan pesan advokasi berdasarkan riset formatif, penelitian operasional serta data, termasuk yang berasal dari hasil pemantauan dan evaluasi.
5. Transparansi dan akuntabilitas
Merupakan hal yang sangat penting untuk kepemimpinan dan manajemen program, terutama dalam era desentralisasi. Transparansi dan akuntabilitas juga berkontribusi dalam membentuk lingkungan yang mendukung. Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama hak azasi manusia. Komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas sangatlah penting untuk
Strategi Perluasan dan Advokasi
6
melaksanakan pendekatan berbasis hak dan untuk menjamin keadilan dalam akses.
6. Pelayanan yang sensitif gender
Kemampuan perempuan, khususnya perempuan muda untuk memutuskan penggunaan kontrasepsi serta menentukan jenis kontrasepsi yang digunakan merupakan hal penting, baik dari perspektif kesehatan maupun pemberdayaan. Meningkatkan keterlibatan laki-laki dengan memberikan informasi mengenai berbagai metode kontrasepsi, terutama metode untuk laki-laki, merupakan elemen yang sangat penting untuk membentuk lingkungan yang mendukung. Keterlibatan laki-laki juga sangat penting untuk mendukung pasangan mereka dalam membuat keputusan untuk menggunakan kontrasepsi serta melanjutkan penggunaannya.
7. Sensitivitas budaya
Metode, prosedur dan pendekatan kontrasepsi yang dapat diterima secara budaya mementukan keberlanjutan penggunaan kontrasepsi.
8. Kemitraan
Kemitraan di antara berbagai institusi kesehatan pemerintah dan swasta sangat penting untuk meningkatkan akses ke pelayanan dan untuk menjamin dilaksanakannya kualitas pelayanan tertinggi. Kemitraan di antara berbagai kelompok komunitas, terutama kelompok perempuan, organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi keagamaan, anggota parlemen, dan kelompok lainnya sangatlah penting untuk meningkatkan akses khususnya bagi kelompok rentan, serta untuk membangun dukungan masyarakat dan akuntabilitas sistem kesehatan bagi masyarakat yang dilayani.
Delapan prinsip hak asasi manusia diterjemahkan dalam pemenuhan layanan keluarga berencana yang meliputi:
1. Tujuan Strategis 1: Tersedianya sistem penyediaan pelayanan KB yang adil dan berkualitas di sektor publik dan swasta untuk memungkinkan semua pihak memenuhi tujuan reproduksi mereka.
2. Tujuan Strategis 2: Meningkatnya permintaan atas metode kontrasepsi modern yang terpenuhi dengan penggunaan yang berkelanjutan.
3. Tujuan Strategis 3: Meningkatnya bimbingan dan pengelolaan di seluruh jenjang pelayanan serta lingkungan yang mendukung untuk program KB yang efektif, adil dan berkelanjutan pada sektor publik dan swasta untuk memungkinkan semua pihak memenuhi tujuan reproduksi mereka.
4. Tujuan Strategis 4: Berkembang dan diaplikasikannya inovasi dan bukti untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas program, dan berbagi pengalaman melalui kerjasama Selatan-Selatan.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
7
UJI COBA MODEL INTEGRASI Sejak Januari tahun 2018, pemerintah Indonesia dalam hal ini Bappenas, Kemendagri, Kemenkes, BKKBN, dan didukung oleh UNFPA, meluncurkan pengembangan model perencanaan dan penganggaran integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak dengan menggunakan pendekatan bridging leadership. Uji coba dilaksanakan di 3 kabupaten pilot yaitu Kabupaten Lahat (Provinsi Sumatera Selatan), Kabupaten Malang (Provinsi Jawa Timur) dan Aceh Barat (Provinsi Aceh).
Pengembangan model integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak memiliki fokus untuk mensinergikan perencanaan dan pengangaran program. Model integrasi ini bertujuan menurunkan unmet need dengan meniadakan kendala akses, meningkatkan kualitas pelayanan dan menyediakan metode kontrasepsi modern untuk digunakan secara sukarela. Permodelan ini diharapkan dapat berkontribusi menurunkan angka kematian ibu. Teori perubahan dalam uji coba model ini sebagai berikut:
Gambar 1. Teori Perubahan
Selain itu, model ini juga mendorong upaya bersama antara BKKBN, Kemenkes dan pihak lainnya dalam mencapai akses universal ke pelayanan KB yang berkualitas serta operasionalisasi dari pendekatan perencanaan nasional (HITS) dan penjabaran teknis RPJMN 2015-2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Masalah yang harus diatasi:
Program di KB dan Kesehatan Ibu di kabupaten/kota
yang tidak efektif
Pendekatan yang Diusulkan:
Advokasi untuk meningkatkan
komitmen Peningkatan kapasitas
menggunakan Pendekatan "Bridging
Leadership"Pendampingan dan fasilitasi lapangan
untuk Pemrograman Berbasis Hasil
Keluaran: Memperkuat kapasitas
pengelola program kabupaten/kota dalam Pemrograman KB dan
Kesehatan Ibu Berbasis Hasil
Rencana Aksi dan anggaran Kabupaten/Kota Terpadu untuk KB dan Kesehatan
Ibu
Hasil: Peningkatan kualitas
layanan Peningkatan akses ke layanan KB dan
Kesehatan Ibu
Dampak:
CPR tinggiTFR rendah
MMR rendah
Strategi Perluasan dan Advokasi
8
Gambar 2. Kerangka Kerja Uji Coba Model
Ruang lingkup dan bentuk kegiatan uji coba model meliputi:
• Pendampingan/technical assistance dalam menyusun perencanaan dan penganggaran kesehatan ibu dan KB berbasis hak terintegrasi (fasilitasi oleh PKMK UGM).
• Peningkatan awareness melalui bridging leadership para pengambil kebijakan dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah.
• Advokasi (terkait isu kesehatan ibu dan KB serta dalam pengalokasian anggarannya).
Bagi pemerintah daerah, model ini: 1) memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan dan penganggaran kesehatan ibu dan program KB yang terpadu dan berbasis hak, 2) meningkatkan sinergitas dan keterpaduan kebijakan, program dan kegiatan kesehatan ibu dan KB di tingkat daerah, 3) meningkatkan efektivitas dan efisiensi perencanaan dan penganggaran program KB di daerah dan memperkuat data dan informasi mengenai kondisi program KB (berbasis hak).
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
9
Gambar 3. Tahapan Kegiatan Uji Coba Model 2016 – 2020
Sumber daya pelaksanaan uji model antara lain: • Pendampingan/technical assistance difasilitasi oleh tim konsultan dari PKMK
UGM. • Tim Koordinasi Pusat (perwakilan dari Bappenas, Kementerian Kesehatan,
BKKBN, Kementerian Dalam Negeri, UNFPA, dan konsultan). • Pemerintah Daerah Provinsi (diupayakan terlibat aktif, yaitu Bappeda dan OPD
teknis). • Pemerintah Daerah Kabupaten (Bappeda dan OPD teknis sebagai pelaksana
utama).
INOVASI MODEL INTEGRASI Inovasi yang dikembangkan dan diujicoba bertujuan untuk memperkuat mekanisme integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak di kabupaten/kota dalam upaya menurunkan kematian ibu. Inovasi tersebut adalah Manajemen Berbasis Hasil: Perencanaan Berbasis Bukti, Terpadu dan Partisipatif. Model Manajemen Berbasis Hasil ini memiliki 8 tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Sinkronisasi RAD dengan RAN Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Salah satu acuan penyusunan RAD integrasi program adalah dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Kesehatan Ibu dan dokumen Keluarga Berencana berbasis hak atau Right-based Family Planning (RFP). Upaya sinkronisasi dilakukan pada level strategi, tujuan strategi dan indikator/target.
2. Integrasi RAD dalam SPPN. Pada tahap ini, RAD yang telah dihasilkan akan diintegrasikan ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), sesuai dengan ketentuan UU No. 25 Tahun 2004. Hal ini berkaitan erat dengan pembiayaan pemrograman berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Strategi Perluasan dan Advokasi
10
3. Identifikasi Masalah dan Prioritas Masalah. Identifikasi masalah dan menentukan prioritas masalah merupakan bagian dari analisis situasi. Dalam tahap ini, analisis situasi yang dikembangkan fokus kepada kasus kematian ibu dalam setahun yang telah telah direkapitulasi dalam bentuk tabel berdasarkan hasil Audit Maternal Perinatal (AMP) masing-masing kabupaten.
4. Integrasi dan Sinkronisasi Indikator Berbasis Hasil dan Target. Berdasarkan prioritas masalah, selanjutnya dapat dikembangkan sejumlah indikator dalam tataran hasil, baik hasil antara maupun langsung. Hasil antara dalam hal ini adalah proporsi kematian ibu, dan hasil langsung dirinci ke dalam kelompok Pencegahan Primer (kategori WASPADA dan WASPADA KB khusus untuk pasca persalinan), Sekunder (kategori SIAGA) dan Tersier (kategori AWAS). Secara rinci, integrasi dan sinkronisasi indikator digambarkan dalam grafik berikut ini.
Gambar 4. Integrasi dan Sinkronisasi Indikator
5. Integrasi Preventif-Promotif-Kuratif. Secara umum implementasinya adalah sebagai berikut: • Preventif-promotif-kuratif-rehabilitatif pada WUS berisiko agar yang
bersangkutan sembuh dan atau pulih; • Preventif-promotif-kuratif-rehabilitatif pada WUS-PUS berisiko agar yang
bersangkutan tidak hamil (dengan kontrasepsi modern) sebelum sembuh dan atau pulih;
• Preventif-promotif-kuratif-rehabilitatif pada bumil berisiko agar risiko yang dimilikinya bisa disembuhkan dan atau dipulihkan/dikendalikan sebelum persalinan;
Pencegahan Tersier
Pencegahan Primer
Pencegahan Sekunder
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
11
• Preventif-promotif pada bumil berisiko agar tidak terlambat tiba di RS PONEK dengan memanfaatkan RTK;
• Preventif-promotif bumil normal agar tidak terjadi kegawatdaruratan saat persalinan;
• Preventif-promotif-kuratif atau pertolongan pertama dan penyiapan rujukan berkualitas bagi bumil normal yang mengalami kegawatdaruratan saat persalinan;
• Kuratif-rehabilitatif ibu yang mengalami kegawatdaruratan di RS PONEK; • Preventif-promotif-kuratif-rehabilitatif pada bufas berisiko agar risiko yang
dimilikinya bisa disembuhkan dan atau dipulihkan/dikendalikan; • Preventif-promotif pada bufas berisiko agar tidak terlambat tiba di RS
PONEK dengan memanfaatkan RTK; • Preventif-promotif bufas normal agar tidak terjadi kegawatdaruratan; • Preventif-promotif-kuratif atau pertolongan pertama dan penyiapan
rujukan berkualitas bagi bufas normal yang mengalami kegawatdaruratan. 6. Integrasi Tim Lintas OPD dan Pembagian Habis Tugas. Implementasi RAD
merupakan tanggung jawab para pihak terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Untuk memperkuat koordinasidan komunikasi, tim teknis atau kelompok kerja lintas sektor dibentuk. Kelompok tersebut adalah Pokja Waspada, Pokja Waspada KB, Pokja Siaga dan Pokja Awas. Masing-masing pokja yang memiliki tugas dan fungsi masing, beranggotakan lintas sektor OPD berdasarkan tupoksi.
7. Integrasi Sistem Informasi. Sistem informasi yang telah diintegrasikan secara lintas sektor –disebut SIMKIT (Sistem Informasi Monitoring Kewaspadaan Ibu Terintegrasi). SIMKIT yang berbasis web dan android ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus tanggap menangani kasus kegawatdaruratan ibu. Semua data berdasarkan kategori dan indikator kunci akan terlihat dalam dashboard dan ditampilkan secara real time.
Gambar 5. Dashboard SIMKIT berbasis website
8. Pelayanan Keluarga Berencana Berbasis Hak. Pelayanan KB berbasis hak yang dikembangkan berfokus pada pelayanan calon akseptor, akseptor, dan mantan akseptor. Untuk itu, terdapat 6 jenis pelayanan yang dikembangkan yaitu:
Strategi Perluasan dan Advokasi
12
• Pelayanan pra pemasangan alkon; • Pelayanan pemasangan alkon; • Pelayanan pasca pemasangan alkon “masa kritis” (H+1 sd H+7); • Pelayanan pasca pemasangan alkon “menjaga keberlangsungan” (>H+7); • Pelayanan layanan ulang, ganti metode, dan pencabutan alkon; • Pelayanan pasca layanan ulang, ganti metode, dan pencabutan alkon.
PEMBELAJARAN DAN REKOMENDASI Dalam pelaksanaan uji coba di 3 kabupaten pilot, terdapat berbagai pembelajaran untuk perluasan ke depan, diantaranya adalah sebagai berikut:
• Bappeda kabupaten sebagai leading sector perencanaan dan penganggaran integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak. Keterlibatan aktif Bappeda kabupaten dalam permodelan menunjukkan hasil yang bermakna. Bappeda kabupaten memiliki kewenangan dalam mengkoordinasikan berbagai rencana kegiatan dan penganggaran juga menjadi penentu prioritas kegiatan daerah. Karena Kepala Bappeda juga bertindak sebagai Tim Anggaran dan Pembangunan Daerah. Posisi strategis ini memberikan peluang dalam mengkoordinasikan organisasi perangkat daerah/sektor lainnya seperti Dinas Kesehatan, OPD KB, RSUD dan dinas/lembaga lainnya. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas Bappeda dalam merespon isu ini perlu diberikan secara berkelanjutan.
• Perencanaan dan Penganganggaran Berbasis Data/Bukti dan digunakan sebagai bahan advokasi. Penggunaan data sebagai landasan perencanaan dan penganggaran integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak menjadi syarat mutlak. Data – data program KB dan kesehatan ibu yang selama ini dikelola secara terpisah oleh masing-masing dinas/perangkat daerah mulai dilakukan penyelarasan. Pembelajaran dari kabupaten Aceh Barat menunjukkan bahwa integrasi data bermanfaat sebagai landasan kerjasama lintas sektor dan menentukan intervensi yang tepat. Seperti data kejadian kematian Ibu di Aceh Barat saat ini menggunakan satu data yang telah digunakan semua OPD. Sehingga tidak lagi ditemui perbedaan data kejadian kematian ibu.
• Advokasi ke pemegang kebijakan. Advokasi mendorong komitmen bupati dan kerjasama lintas sektor dalam mendukung perencanaan dan penganggaran integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak. Pembelajaran dari 3 kabupaten tersebut menunjukkan bahwa pengemasan pesan advokasi menitikberatkan pada peningkatan cakupan layanan KB dalam upaya menurunkan jumlah kematian ibu. Pemegang kebijakan lebih tergerak jika diberikan penjelasan tentang manfaat pelayanan KB pada wanita usia subur berisiko dapat mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Sehingga, risiko kematian seperti komplikasi penyerta dapat dicegah. Sedangkan pengemasan pesan KB sebagai upaya pengendalian penduduk cenderung menyebabkan isu ini tidak populer dan menemui penolakan di beberapa wilayah.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
13
Pelaksana advokasi terutama kepala Bappeda bersama Kepala Dinas Kesehatan dan kepala OPD KB ditujukan kepada bupati/walikota. Menurut pengalaman di Aceh Barat, advokasi yang dilakukan bersama antar kepala OPD tersebut lebih kuat mempengaruhi bupati dan pemegang kebijakan dibanding mengadvokasi sendiri oleh masing-masing dinas. Peran lintas sektor di tingkat provinsi perlu ditingkatkan dalam mendampingi kabupaten/kota.
• Keterlibatan lintas sektor/kemitraan. Keterlibatan aktif lintas sektor tertuang sebagai syarat utama dalam implementasi model perencanaan dan penganggaran integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak. Pembelajaran dari daerah model menunjukkan kerjasama lintas sektor seperti Bappeda, Dinas Kesehatan, OPD KB dan RSUD yang tergabung dalam tim teknis untuk pengembangan Rencana Aksi Daerah sampai pembentukan Pos Komando yang merupakan tindak lanjut setelah RAD disahkan oleh bupati. Kedua tim tersebut juga diikat secara resmi melalui SK bupati.
Pada pelaksanaan RAD, masing-masing kabupaten mengusulkan menambahkan lintas sektor potensial untuk ikut berperan dalam integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak. Kabupaten Aceh Barat mengusulkan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong untuk mendorong keterlibatan gampong/desa, Majelis Permusyawaratan Ulama untuk melibatkan tokoh agama dalam menyampaikan program karena masyarakat lebih mendengar yang disampaikan tokoh agama serta pelibatan organisasi profesi seperti IDI dan IBI. Sedangkan kabupaten Malang akan menambahkan Dinas Perhubungan untuk mendukung sarana prasarana pada daerah sulit, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa, LSM, akademisi lokal dan organisasi profesi seperti IBI dan IDI.
• Merespon budaya yang berlaku di daerah setempat. Masih banyak masyarakat yang melihat program KB sebagai pelayanan kontrasepsi semata. Sehingga di Aceh Barat, untuk penyampaian program keluarga berencana tidak disingkat menjadi KB agar lebih nyaman diterima di tengah masyarakat. Selain itu, melibatkan tokoh agama setempat untuk mendukung program, karena masyarakat lebih mendengar penjelasan dari tokoh agama.
• Penganggaran dan upaya mendorong alokasi APBDesa. Rincian kegiatan dan kebutuhan anggaran integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak telah tercantum pada dokumen RAD dan perhitungan biaya. Dari dokumen tersebut akan ditindaklanjuti pada rencana kegiatan tahunan masing-masing OPD/lembaga. Fungsi advokasi realisasi anggaran juga akan dilakukan oleh Pos Komando.
Pembelajaran dari Kabupaten Malang berencana untuk mendorong lintas sektor desa ikut bergerak mendukung upaya integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak. Sekitar 264 desa dari total 378 desa dalam proses asistensi Bappeda Malang dalam pembuatan RPJM Desa. Diharapkan RPJMDesa tersebut akan mencantumkan isu prioritas keluarga berencana dan kesehatan
Strategi Perluasan dan Advokasi
14
ibu. Dari RPJMDesa yang berjangka waktu 6 tahunan, akan ditindaklanjuti dengan dokumen tahunan berupa RKPDesa dan APBDesa. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan cakupan layanan KB dan Kesehatan Ibu yang tidak dapat dipenuhi dari APBD dapat didukung dari APBDesa. Menu kegiatan dengan topik KB dan kesehatan ibu di desa merupakan prioritas kegiatan pemberdayaan masyarakat yang tercantum dalam Peraturan Menteri Desa PDTT tentang prioritas penggunaan dana desa. Selain mendorong keterlibatan lintas sektor, kemandirian dan keberlanjutan pembiayaan dapat terpenuhi. Sedangkan di Kabupaten Lahat, advokasi di tingkat desa dilakukan melalui ketua TP PKK kabupaten. Berikutnya, ketua TP PKK kabupaten akan menggerakkan TP PKK dan desa untuk ikut menyuarakan program KB dan kesehatan Ibu.
• Peran fasilitator/konsultan sebagai motivator dan penyambung kerjasama lintas sektor. Fasilitator/konsultan selama ini membantu koordinasi lintas sektor yang sering mengalami kendala ego sektoral. Selain itu, fasilitator/konsultan membantu proses advokasi dan mengumpulkan serta analisa data untuk pengembangan rencana aksi daerah.
• Inisiatif pemanfaatan teknologi informasi untuk integrasi data dan dukungan layanan. Pembelajaran dari ketiga daerah memberikan variasi yang menarik. Kabupaten Malang dengan berbagai kemajuan adopsi teknologinya, telah memiliki beberapa aplikasi yang membantu pengelolaan data dan rujukan layanan seperti CONTRA WAR, SIJARI EMAS dan SUTERA EMAS sebelum uji coba model ini diterapkan di Kab. Malang. Sehingga salah satu upaya dalam RAD adalah memasukkan dan mengintegrasikan ketiga sistem ini. Sedangkan di Aceh Barat dan Lahat akan menggunakan SIMKIT.
Berdasarkan hal tersebut, untuk strategi perluasan dan pengembangan integrasi program dan kegiatan Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Penguatan regulasi sebagai payung hukum di tingkat pusat untuk mendukung pelaksanaan perluasan hasil uji coba model.
2. Perlu memasukkan materi Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak ke dalam kurikulum orientasi dan pelatihan untuk Bupati/Walikota terpilih.
3. Pengelolaan kelembagaan untuk melibatkan lintas sektor baik pemerintah, dunia usaha, LSM, organisasi kepemudaan/keagamaan/kemasyarakatan dan organisasi profesi.
4. Perlu pengelolaan peran pemerintah dan sektor swasta dalam pelayanan keluarga berencana untuk wanita usia subur sebagai perwujudan hak terhadap akses standar tertinggi dan keadilan dalam akses.
5. Penggalian potensi sumberdaya termasuk anggaran di desa/kelurahan sebagai upaya partisipasi masyarakat.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
15
6. Pentingnya peningkatan kapasitas kelompok kerja di daerah dalam menyusun RAD dan estimasi rencana implementasi RAD yang dilengkapi panduan teknis untuk membantu daerah dalam memahami tahapan proses.
7. Perlu dilakukan Pelatihan Bridging Leadership sejak awal implementasi mode untuk menjaga proses berjalan sesuai yang direncanakan.
8. Perlu perencanaan kegiatan advokasi yang terukur dan melibatkan lintas sektor secara aktif.
_____
Strategi Perluasan dan Advokasi
16
Halaman kosong
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
17
STRATEGI PERLUASAN
Bagian ini menguraikan strategi perluasan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak hingga tahun 2030. Implikasi dari strategi ini selanjutnya diuraikan terhadap aspek-aspek regulasi, pembiayaan, kelembagaan, peningkatan kapasitas dan keberlanjutan.
Di tahun 2030, integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak terselenggara di seluruh kabupaten/kota untuk meningkatkan kesehatan ibu di Indonesia. Strategi perluasan ini menuntut pemerintah kabupaten/kota untuk menurunkan angka kematian ibu dengan memiliki perencanaan dalam bentuk Rencana Aksi Daerah (RAD) dan penganggaran dalam bentuk Costed Implementation Plan (CIP) integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak.
Perencanaan dan pembiayaan dalam bentuk RAD dan CIP tersebut disusun secara partisipatif dan melibatkan semua pihak serta berlandaskan pada 8 prinsip hak asasi manusia. Dalam pengimplementasiannya, RAD dan CIP menjadi panduan dalam menurunkan angka kematian ibu yang tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga dapat mengakomodir kontribusi pihak lain.
Gambar 6. Strategi Perluasan Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
dalam rangka Menurunkan Angka Kematian Ibu, 2030*
*Di tahun 2030, seluruh Kabupaten/Kota di 18 provinsi memiliki Rencana Aksi Daerah dan Costed Implementation Plan Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak.
2 Kabupaten/Kota di Provinsi PilotAceh, Sumatera
Selatan, Jawa Timur
Kabupaten PilotAceh Barat, Lahat,
Malang
2020 – 2022
Prioritas 15 Kabupaten/Kota
di 7 Provinsi
2022 – 2024
Prioritas 25 Kabupaten/Kota
di 8 provinsi
2025 – 2027
SeluruhKabupaten/kota
di Prioritas 2
2028 – 2030
SUPAS 2015AKI 305 per 100.000
kelahiran hidup
Target RPJMN 2020 – 2024 AKI 183 per 100.000
kelahiran hidup
Target SDGs, 2030AKI 70 per 100.000
kelahiran hidup
SeluruhKabupaten/Kota di
Provinsi Aceh, Sumatera Selatan dan Jawa Timur
SeluruhKabupaten/Kota di
Prioritas 1
Strategi Perluasan dan Advokasi
18
Upaya perluasan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak ini dilaksanakan dalam rangka menurunkan angka kematian ibu (AKI). Saat ini, AKI nasional masih berada di posisi 305 per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS, 2015) dan tertinggi di wilayah ASEAN. Melalui upaya ini, target penurunan AKI diselaraskan dengan komitmen pemerintah dalam Rencana Strategis Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 dan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya perluasan integrasi program ditujukan untuk menurunkan AKI menjadi 183 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2024 (RPJMN 2020 – 2024), dan menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2030 (SDGs 2030).
Implementasi strategi perluasan integrasi program dilakukan secara bertahap selama 10 tahun ke depan dengan periode tahapan sebagai berikut:
1. Periode 2020 – 2022: Penguatan di 3 Kabupaten Pilot yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Malang dan perluasan di 2 kabupaten/kota terdekat di Provinsi Pilot yaitu Aceh, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
2. Periode 2022 – 2024: Perluasan di wilayah Prioritas 1 yaitu di 5 kabupaten/kota di 7 provinsi baru dan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Pilot, yaitu Aceh, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
3. Periode 2025 – 2027: Perluasan di wilayah Prioritas 2 yaitu di 5 kabupaten/kota di 8 provinsi baru dan di seluruh kabupaten/kota di wilayah provinsi Prioritas 1.
4. Periode 2028 – 2030: Perluasan di seluruh kabupaten/kota di wilayah provinsi Prioritas 2. Di akhir tahun 2030, seluruh kabupaten/kota memiliki Rencana Aksi Daerah dan Costed Implementation Plan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak.
Pemilihan provinsi dan kabupaten/kota prioritas dilakukan berdasarkan data mutakhir, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Jumlah Kematian Ibu (AKI) tertinggi (data rutin Kementerian Kesehatan),
2. Angka Kematian Neonatal tertinggi (Riskesdas, 2018)
3. Presentase penggunaan kontrasepsi modern (mCPR) terendah (SDKI, 2017),
4. Kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi (unmet need) tertinggi (SDKI, 2017),
5. Angka kelahiran menurut umur 15 – 19 (ASFR) tertinggi (SDKI, 2017),
6. Angka kelahiran total (TFR) tertinggi (SDKI, 2017),
7. Angka prevalensi stunting yang tinggi (Riskesdas, 2018)
8. Jadwal pemilihan kepala daerah (PILKADA).
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
19
Berdasarkan kriteria di atas, berikut ini adalah daftar wilayah prioritas pelaksanaan program integrasi2:
Tabel 1. Wilayah Prioritas Pelaksanaan Program Intervensi
Periode 2020 – 2022
Penguatan di 3 Kabupaten Pilot yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Malang dan perluasan di 2 kabupaten/kota terdekat di Provinsi Pilot
yaitu Aceh, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
Periode 2022 – 2024 Prioritas 1
Periode 2025 – 2027 Prioritas 2
Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Riau Kalimantan Selatan
Lampung Sulawesi Barat
Banten Sulawesi Tengah DKI Jakarta Maluku
Jawa Barat Maluku Utara
Jawa Tengah Papua Barat Papua
Pemilihan kabupaten/kota prioritas akan ditetapkan selanjutnya bersama-sama dengan pemerintah daerah provinsi. Ketetapan tersebut juga dilakukan berdasarkan kriteria yang disebutkan di atas.
ASPEK REGULASI Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pembangunan Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu merupakan hak masyarakat dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan pelayanan. Upaya pemenuhan layanan tersebut telah menjadi program dan kegiatan prioritas pemerintah yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020 – 2024 pada Program Prioritas 3, yaitu untuk Peningkatan Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan. Rencana ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memenuhi target Sustainable Development Goals butir ke-3, “Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh Penduduk Semua Usia”, indikator pertama, yaitu pada tahun 2030, mengurangi rasio angka kematian ibu hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup.
Untuk pelaksanaannya, pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Kesehatan Ibu Tahun 2016 – 2030, Strategi Keluarga Berencana Berbasis Hak Tahun 2016 – 2020, dan National Costed Implementation Plan (atau Rencana Pembiayaan Implementasi Nasional/CIP). Model integrasi program yang dilaksanakan
2 Penentuan wilayah prioritas pelaksanaan program dapat disepakati ulang dengan menggunakan data SUSENAS terbaru atau data lainnya yang mutakhir.
Strategi Perluasan dan Advokasi
20
di 3 kabupaten pilot, yaitu Aceh Barat, Lahat dan Malang, diterjemahkan dalam bentuk Rencana Aksi Daerah (RAD) dan Costed Implementation Plan (CIP) yang mengacu pada tiga dokumen tersebut.
Dalam upaya perluasan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak, regulasi dan aturan pelaksanaan perlu diperkuat, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk di tingkat pusat, diperlukan aturan dalam bentuk Peraturan Presiden untuk percepatan pelaksanaan integrasi program. Saat ini sedang disusun draft Perpres terkait RPJMN yang mencantumkan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu. Draft ini diharapkan dapat diselesaikan dan disahkan pada Juni 2020. Perpres ini dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan integrasi program dan untuk kemudian dapat dilengkapi dengan peraturan-peraturan operasional (seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Menteri Kesehatan dan Peraturan Kepala BKKBN, dan lainnya yang terkait) dan petunjuk teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan dan pembiayaan program dan kegiatan.
Saat ini, masih ada regulasi dan kebijakan yang belum mendukung integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak, yaitu PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM). PP yang baru diterbitkan tersebut merupakan kebijakan tambahan UU No. 23 Tahun 2014. Dalam ketentuan ini tidak mencantumkan KB sebagai salah satu dari 12 SPM Kesehatan yang ada. Untuk itu, perlu ada upaya advokasi di tingkat nasional untuk memastikan KB menjadi salah satu indikator SPM kesehatan.
Agar pemerintah daerah merespon cepat integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM perlu dilibatkan secara intensif. Kedua kementerian tersebut dapat berperan mendampingi daerah untuk menerbitkan payung hukum yang dibutuhkan untuk pelaksanaan program dan kegiatan dari tingkat provinsi hingga desa.
Upaya advokasi menjadi kunci dalam upaya perluasan untuk memastikan program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Bentuk prioritas program direfleksikan dengan dicantumkannya integrasi program dalam RPJM Daerah dan disusunnya RAD dan CIP, serta dikeluarkannya regulasi yang mendukung pelaksanaan dan pembiayaan integrasi program dan kegiatan. Untuk selanjutnya, melalui Kemendagri, materi Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak perlu dimasukkan ke dalam kurikulum orientasi dan pelatihan untuk Bupati/Walikota terpilih. Secara detil terkait advokasi, dijelaskan dalam seksi Strategi Advokasi dokumen ini.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
21
ASPEK PEMBIAYAAN Untuk perluasan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak, pemerintah perlu mengoptimalkan penggunaan dana dari sumber-sumbernya sendiri. Selain memanfaatkan anggaran belanjanya sendiri, pemerintah juga dapat menggali potensi sumber keuangan alternatif lainnya.
Gambar 7. Pembiayaan Integrasi Program
Sumber-sumber keuangan alternatif yang dapat dimanfaatkan antara lain dari:
1. Dana Alokasi Khusus (DAK). Saat ini sudah tersedia masing-masing DAK Kesehatan dan KB yang penggunaannya dialokasikan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dan KB. Selain itu, Kementerian Kesehatan juga sedang menyiapkan DAK Kesehatan Ibu dan Anak yang akan ditransfer ke 120 lokus. Oleh karena itu, untuk kedepannya, DAK dapat dimanfaatkan untuk menurunkan angka kematian ibu melalui integrasi progam Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Berkaitan dengan pemanfaatan tersebut, sinergi antar Kementerian/Lembaga terkait, yaitu Kementerian Kesehatan dan BKKBN di bawah koordinasi BAPPENAS, menjadi krusial dalam menyiapkan panduan teknis dan petunjuk pelaksanaan terkait menu program dan kegiatan serta mekanisme penggunaan anggarannya.
2. Anggaran Keuangan Desa. Dengan disahkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa3, desa diberikan kesempatan yang besar untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri serta pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. Untuk memanfaatkan anggaran keuangan desa untuk integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak,
3 Berdasarkan Pasal 72 UU Desa, pendapatan desa bersumber dari 1) Pendapatan Asli Daerah, 2) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Dana Desa), 3) Bagian Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota, 4) Alokasi Dana Desa, 5) Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, 6) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, 7) Lain-lain pendapatan desa yang sah.
Program dan Kegiatan Integrasi Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hakuntuk menurunkan Angka Kematian Ibu
CSR Program Bantuan Hibah Sumber lainnya
APBD Provinsi APBD Kabupaten/Kota
APBN
Anggaran K/L Anggaran OPD Provinsi
Anggaran OPD Kabupaten/Kota
DAK KB dan Kesehatan APBDesDana Kelurahan
Strategi Perluasan dan Advokasi
22
para petugas lapangan yang melakukan pendampingan di desa perlu memiliki pemahaman terhadap mekanisme perencanaan keuangan desa dan waktu penganggarannya4.
Agar pendampingan berjalan lancar, dibutuhkan panduan dalam menyusun kegiatan yang dapat dianggarkan melalui keuangan desa, termasuk contoh regulasi yang dibutuhkan di tingkat desa. Kepala desa dan petugas lapangan juga perlu diberdayakan agar memahami isu dan mekanisme untuk memanfaatkan anggaran keuangan desa untuk kegiatan integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak. Secara detil terkait advokasi, dijelaskan dalam seksi Strategi Advokasi dokumen ini.
Wilayah perkotaan atau kelurahan memiliki mekanisme penganggaran yang berbeda dengan desa. Berdasarkan PP No. 17 Tahun 2018 tentang Pendanaan Kelurahan, pemerintah daerah mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pembangunan sarana dan prasarana (sarpras) dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan. Alokasi anggaran dimasukkan ke dalam anggaran kecamatan pada bagian anggaran kelurahan. Penentuan kegiatan pembangunan sarpras dan pemberdayaan di kelurahan dilakukan melalui musyawarah pembangunan kelurahan.
Pembiayaan untuk integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak sangat dimungkinkan menggunakan anggaran kelurahan. Hal tersebut sesuai mandat PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, yang menyebutkan Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu termasuk dalam pelayanan dasar yang menjadi kewajiban pemerintah daerah.
Untuk itu, Lurah dan petugas lapangan juga perlu dilengkapi dengan panduan dan pemahaman terkait isu dan mekanisme untuk memanfaatkan anggaran kelurahan untuk kegiatan menurunkan angka kematian ibu. Secara detil terkait advokasi, dijelaskan dalam seksi Strategi Advokasi dokumen ini.
3. Sumber alternatif lainnya, seperti dana CSR, kerjasama dengan program bantuan atau hibah, kerjasama dengan CSO dan lainnya. Para pelaksana program perlu melakukan identifikasi sektor swasta dan program/proyek bantuan atau hibah yang beroperasi di daerah pelaksanaan integrasi program. Dengan mengetahui keberadaan sektor swasta dan program/proyek bantuan atau hibah di daerah tersebut, dapat dilakukan sinergi untuk memperkuat pelaksanaan
4 Pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Perencanaan Pembangunan Desa meliputi RPJM Desa dan RKP Desa yang disusun secara berjangka dan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) untuk jangka waktu 6 tahun, sedangkan Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang biasa disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) untuk jangka waktu 1 tahun. RKP Desa merupakan penjabaran dari RPJM Desa. Perencanaan pembangunan desa disusun berdasarkan hasil kesepakatan dalam musyawarah desa yang pelaksanaannya paling lambat pada bulan Juni tahun anggaran berjalan.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
23
integrasi program dengan dilakukan mekanisme cost-sharing. Terkait dengan pemanfaatan sumber alternatif ini, dukungan dari pemerintah pusat juga dibutuhkan. Pemerintah pusat perlu melakukan identifikasi dan advokasi kepada perusahaan-perusahaan, program bantuan dan donor.
ASPEK KELEMBAGAAN Dalam menjalankan upaya perluasan dan penyelenggaraan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak, diperlukan koordinasi yang kuat lintas di berbagai tingkatan pemerintahan.
Gambar 8. Kelembagaan Integrasi Program
Di tingkat pusat, pengoordinasian program dapat dilaksanakan dibawah Kedeputian Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, BAPPENAS dengan melibatkan Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga serta Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Untuk teknis pelaksanaan program kesehatan diampu oleh Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan dengan Direktorat Kesehatan Keluarga sebagai coordinator pelaksana. Sedangkan untuk teknis pelaksanaan program keluarga berencana diampu oleh Kedeputian Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN dengan Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah sebagai pelaksana.
Untuk memperkuat koordinasi lintas sektor, pelaksana program perlu membentuk atau merevitalisasi Kelompok kerja di tingkat pusat. Hal ini dilakukan untuk memastikan upaya perluasan dan koordinasi pelaksanaan integrasi program dapat dilakukan secara optimal. Kelompok kerja di tingkat pusat terdiri dari perwakilan5: • Kedeputian Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan,
BAPPENAS • Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, BAPPENAS • Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, BAPPENAS • Kedeputian Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan, Kementerian Koordinator
PMK • Asisten Kedeputian Bidang Kependudukan dan Keluarga Berencana, Kementerian
Koordinator PMK
5 Keterlibatan lintas sektor dalam kelompok kerja dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Kelompok Kerja Lintas Sektor Tingkat Provinsi
Kelompok Kerja Nasional Integrasi Program Keluarga Berencana dan KesehatanIbu Berbasis Hak untuk menurunkan AKINasional
Provinsi
Kabupaten/Kota
Desa
Kelompok Kerja Lintas Sektor Tingkat Kabupaten/Kota yang terdiri dari beberapa Tim Teknis
Tim Teknis Lintas Sektor Tingkat Desa
Strategi Perluasan dan Advokasi
24
• Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan • Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan • Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian
Kesehatan • Sekretaris Utama, BKKBN • Kedeputian Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN • Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah, BKKBN • Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Swasta, BKKBN • Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Wilayah dan Sasaran Khusus, BKKBN • Direktorat Kesehatan Reproduksi, BKKBN • Kedeputian Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, BKKBN • Direktorat Bina Ketahanan Remaja • Kedeputian Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi, BKKBN • Direktorat Advokasi dan KIE, BKKBN • Direktorat Bina Lini Lapangan, BKKBN • Pusat Pelatihan dan Kerjasama Internasional, BKKBN • Direktorat Jenderal Bidang Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri • Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah IV (Sub-Direktorat
Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana) • Kementerian/Lembaga terkait lainnya seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian
Agama, Kementerian Desa dan PDTT dan lainnya • Asosiasi profesi seperti IDI, POGI, dan IBI • Lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan/kepemudaan dan
organisasi keagamaan • Champions Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu • Koalisi Kependudukan Indonesia • Akademisi dan pihak terkait lainnya.
Kelembagaan di tiap kabupaten/kota harus disiapkan dengan lengkap dan efisien agar integrasi program dapat berjalan secara optimal dan berkelanjutan. Kerangka kelembagaan dibangun berdasarkan pendekatan lintas sektor dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga semua pihak termasuk dukungan masyarakat. Oleh karena itu, pelibatan semua pihak perlu dikoordinasikan dalam bentuk kelompok kerja lintas sektor, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat implementasi kegiatan di lapangan.
Kelompok kerja lintas sektor ini memiliki peran untuk mengoordinasikan upaya integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, termasuk dalam: 1. Mengadvokasi pihak terkait khususnya untuk menerbitkan kebijakan/aturan dan
pembiayaan yang mendukung serta keberlanjutan integrasi program, 2. Menyusun perencanaan dalam bentuk Rencana Aksi Daerah dan penganggaran
dalam bentuk Costed Implementation Plan integrasi program yang partisipatif dan merespon kebutuhan daerah,
3. Mengoordinir dan mendampingi implementasi integrasi program, termasuk membentuk/merevitalisasi dan mengawal tim teknis pelaksana program dari
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
25
tingkat kabupaten/kota hingga desa (misalnya pos komando atau yang lainnya sesuai kesepakatan daerah),
4. Melakukan monitoring pelaksanaan integrasi program secara berjenjang dan partisipatif.
Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, kelompok kerja perlu melibatkan perwakilan pemerintah dan non-pemerintah terkait6 upaya integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak dalam rangka menurunkan angka kematian ibu berdasarkan tugas pokok dan fungsinya diantaranya: • Sekretariat Daerah dan/atau BAPPEDA yang mengoordinasikan sinergi lintas
sektor, • Dinas Kesehatan, • OPD KB, • Kantor pemerintah daerah terkait sesuai kebutuhan, misalnya Dinas Pekerjaan
Umum, Kanwil Kemenag, Dinas Pendidikan, dan lainnya, • Asosiasi profesi di daerah seperti IDI, POGI, dan IBI, • Koalisi Kependudukan provinsi dan kabupaten/kota, • Lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan/kepemudaan (seperti
PKK/Karang Taruna dan lainnya), dan organisasi keagamaan (Fatayat, Muslimat, Aisiyah),
• Tokoh masyarakat/agama/adat, • Akademisi dan pihak terkait lainnya.
Kelompok kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang dibentuk dengan menggunakan pendekatan bridging leadership, perlu melibatkan kepala daerah secara aktif sebagai penasehat atau penanggung jawab program. Sedangkan untuk pengelolaan dan koordinasi harian dapat dipimpin oleh Sekretaris Daerah atau Bappeda yang dibantu oleh Kepala Dinas Kesehatan, OPD KB dan Direktur RSUD. Selain itu, kelompok kerja juga perlu diformalisasi pembentukannya dengan aturan pemerintah seperti Surat Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi dan Surat Keputusan Bupati/Walikota untuk tingkat kabupaten/kota.
ASPEK PENINGKATAN KAPASITAS Untuk memastikan upaya perluasan ini berjalan dengan optimal dan dapat menurunkan angka kematian ibu, para pelaksana program perlu memiliki kapasitas yang mumpuni dalam melaksanakan integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak.
Kapasitas Teknis
Para pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja Lintas sektor perlu memiliki pemahaman dan kemampuan dalam:
6 Keterlibatan lintas sektor dalam kelompok kerja dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Strategi Perluasan dan Advokasi
26
1. Menyusun perencanaan dan pembiayaan program integrasi. Para pengelola program perlu diperkuat kapasitasnya sehingga mereka memahami dan dapat terlibat aktif dalam proses penyusunan perencanaan program integrasi (RAD) dan pembiayaan integrasi program (CIP). Selain itu, harus ada perwakilan pengelola program yang mampu memfasilitasi dalam penyusunan RAD dan CIP di daerah.
2. Menyusun strategi advokasi dan melakukan advokasi. Para pengelola program perlu diperkuat kapasitasnya dalam menyusun strategi advokasi menggunakan pendekatan bridging leadership dan advokasi SMART. Selain itu, harus ada perwakilan pengelola program yang mampu memfasilitasi pendekatan advokasi yang digunakan. Para pengelola program juga perlu memiliki kemampuan untuk melakukan advokasi. Secara detil terkait advokasi, dijelaskan dalam seksi Strategi Advokasi dokumen ini.
Agar pengelola program memiliki kapasitas di atas, dibutuhkan panduan penyusunan RAD dan CIP, serta panduan penyusunan strategi advokasi dengan pendekatan bridging leadership dan advokasi SMART. Para pengelola program juga perlu dimampukan melalui serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas berjenjang.
Mekanisme Peningkatan Kapasitas
Upaya peningkatan kapasitas para pengelola program dilakukan secara berjenjang dan dilengkapi dengan materi kegiatan sebagai berikut: 1. Materi perencanaan program integrasi yang disebut dengan RAD, 2. Materi pembiayaan program integrasi yang disebut dengan CIP, 3. Materi penyusunan strategi advokasi dengan pendekatan bridging leadership dan
SMART.
Gambar 9. Peningkatan Kapasitas Integrasi Program
Materi tersebut disampaikan dalam dua tahapan kegiatan peningkatan kapasitas, yaitu:
1. Kegiatan pelatihan untuk fasilitator. Bertujuan untuk memberdayakan pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota dalam memfasilitasi penyusunan RAD, CIP dan strategi advokasi. Pelatihan untuk fasilitator ini dilakukan secara berjenjang, dimulai dari
Kemampuan dan keterampilanmenyusun perencanaan RAD dan
pembiayaan CIP
Kemampuan dan keterampilanmenyusun strategi dan melakukan
advokasi
Fasilitator penyusunan RAD, CIP, strategi dan advokasi
Nasional Provinsi Kabupaten/Kota
Pelatihan FasilitatorLokakarya PenyusunanRAD, CIP, dan strategi
advokasiKonsultan
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
27
penyiapan fasilitator di tingkat nasional terlebih dahulu, dan kemudian dilanjutkan penyiapan fasilitator di tingkat provinsi dan terakhir di tingkat kabupaten/kota.
Setidaknya ada 10 orang fasilitator di tingkat nasional untuk masing-masing materi yang akan disampaikan. Fasilitator merupakan perwakilan dari pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja, khususnya dari BAPPENAS, Kementerian Kesehatan, dan BKKBN. Sementara itu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, setidaknya masing-masing ada 5 orang dan 2 orang fasilitator, khususnya dari BAPPEDA, Dinas Kesehatan, OPD KB dan akademisi, yang mampu melakukan fasilitasi untuk setiap materi.
2. Kegiatan penyusunan perencanaan, pembiayaan dan strategi advokasi. Kegiatan ini merupakan bentuk fasilitasi dan pendampingan terhadap pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Keluaran dari kegiatan ini adalah RAD, CIP, strategi advokasi dan lembar kebijakan untuk masing-masing wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Kegiatan penyusunan perencanaan, pembiayaan dan strategi advokasi dilaksanakan setelah dilakukan pelatihan untuk fasilitator. Hal ini dilakukan agar kegiatan ini dapat difasilitasi oleh tim fasilitator yang telah dilatih. Proses fasilitasi juga perlu dilakukan secara berjenjang, di mulai dari tim fasilitator pusat mendampingi provinsi dan dilanjutkan oleh tim fasilitasi provinsi yang mendampingi kabupaten/kota.
Agar mekanisme peningkatan kapasitas dapat berjalan lancar, pengelola program di tingkat nasional pada awal pelaksanaan perluasan integrasi program dapat menunjuk konsultan yang memiliki pengalaman dalam peningkatan kapasitas sesuai materi yang diajarkan. Konsultan yang ditunjuk memiliki tugas untuk:
• menyiapkan panduan dan kurikulum untuk pelatihan fasilitator dan panduan penyusunan perencanaan, pembiayaan dan strategi advokasi,
• menyiapkan tenaga fasilitator baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Selain itu, pada awal tahapan penyusunan perencanaan, pembiayaan dan strategi advokasi, konsultan yang ditunjuk juga tetap perlu dilibatkan sebagai observer. Sebagai observer, konsultan diperlukan untuk memberikan saran dan masukan untuk perbaikan. Tidak hanya untuk memastikan agar keluaran dokumen RAD, CIP dan strategi advokasi dapat dihasilkan dengan maksimal, tetapi juga memberikan pendampingan dan asistensi kepada para pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja dalam pelaksanaan program integrasi.
ASPEK KEBERLANJUTAN Secara garis besar, masing-masing aspek regulasi, pembiayaan, kelembagaan, dan peningkatan kapasitas diarahkan untuk menjaga keberlanjutan upaya perluasan program integrasi Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Fokus utama
Strategi Perluasan dan Advokasi
28
keberlanjutan adalah untuk memberdayakan semua pihak secara sistematis dan terstruktur dalam rangka menurunkan angka kematian ibu.
Memastikan hal tersebut, pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja Lintas sektor, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, perlu melakukan koordinasi secara intensif serta melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Beberapa indikator monitoring dan evaluasi yang dapat menjadi pertimbangan dalam keberlanjutan antara lain:
• adanya regulasi yang mendukung dari tingkat nasional hingga tingkat desa, • adanya pembiayaan yang jelas dari tingkat nasional hingga tingkat desa, • adanya rasa kepemilikan, dukungan dan partisipasi aktif lintas sektor, • dan adanya kelompok kerja yang memiliki kemampuan yang cukup untuk
memfasilitasi dan melaksanakan program.
_____
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
29
STRATEGI ADVOKASI
Bagian ini menguraikan strategi advokasi integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Strategi advokasi yang digunakan dalam upaya integrasi program menggunakan pendekatan bridging leadership dan advokasi SMART.
PENDEKATAN BRIDGING LEADERSHIP DAN PELAKSANAANNYA Dalam pelaksanaan uji coba integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak di 3 kabupaten, terbukti efektif dengan menggunakan pendekatan bridging leadership7. Pendekatan bridging leadership merupakan model kepemimpinan yang melibatkan lintas sektor dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Prinsip dasar model kepemimpinan ini memiliki tiga segmen meliputi ownership, co-ownership dan co-creation.
Gambar 10. Model Bridging Leadership
Pada segmen ownership, pemimpin berpartisipasi aktif dan mendorong lintas sektor untuk menyelesaikan persoalan atau ketimpangan sosial. Segmen berikutnya yaitu co-ownership, pemimpin mendorong keterlibatan lintas sektor melalui proses dialog untuk mendapatkan kesamaan visi dalam merespon persoalan atau ketimpangan
7 Pendekatan bridging leadership dikembangkan dan sudah diterapkan oleh Zuellig Family Foundation (ZFF) di Filipina sejak tahun 2008.
Strategi Perluasan dan Advokasi
30
sosial secara kolektif dan kolaboratif. Segmen terakhir yaitu co-creation, pemimpin dan lintas sektor bersama-sama menciptakan inovasi sosial untuk mencapai tujuan dan perubahan yang diinginkan. Pendekatan ini juga dapat membantu memahami dinamika dalam interaksi antara pemimpin dan lintas sektor.
Pendekatan advokasi dengan bridging leadership dalam integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak bertujuan untuk memperkuat proses perencanaan dan penganggaran yang melibatkan pengambil keputusan (pemimpin) dan lintas sektor. Dalam konteks strategi perluasan, keterlibatan pengambil keputusan (pemimpin) dan lintas sektor diwadahi dengan pembentukan (atau revitalisasi) kelompok kerja, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Dalam praktiknya, advokasi bridging leadership dilakukan sejak awal implementasi program dan kegiatan dengan tahapan menurut segmen sebagai berikut:
1. Ownership. Pengambil keputusan dan lintas sektor bersama-sama mengidentifikasi permasalahan terkait Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Kelompok kerja lintas sektor melakukan analisis situasi yang terjadi di Kabupaten/kota masing-masing misalnya: • apakah masyarakat terutama orang miskin bisa mengakses layanan
kesehatan, • dimana saja sebarang orang miskin berada di wilayahnya, • ketimpangan-ketimpangan apa saja yang ada, • bagaimana ketersediaan dan pemanfaatan sumberdaya di wilayah masing-
masing.
2. Co-ownership. Pengambil keputusan dan lintas sektor berdialog untuk mendapatkan kesamaan visi dalam merespon permasalahan terkait Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Misalnya, kelompok kerja lintas sektor bersama-sama menyusun perencanaan RAD, pembiayaan CIP, strategi advokasi SMART, rencana implementasi program dan kegiatan menurunkan angka kematian ibu.
3. Co-creation. Pengambil keputusan dan lintas sektor menciptakan program dan kegiatan inovatif untuk mengatasi permasalahan terkait Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Kelompok kerja menciptakan program dan kegiatan inovatif, antara lain misalnya inovasi Sutera Emas, Contra War, Si Jari Emas, Si Cantik Hamil, Pos Komando untuk Menurunkan AKI, SIMKit dan lainnya.
Agar upaya perluasan integrasi program dapat berjalan secara optimal, pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja perlu memiliki pemahaman dan keterampilan dalam penggunaan pendekatan bridging leadership. Secara detil terkait peningkatan kapasitas pengelola program, dijelaskan dalam seksi Aspek Peningkatan Kapasitas dokumen ini.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
31
PENGEMBANGAN STRATEGI ADVOKASI YANG SMART Advokasi merupakan upaya komunikasi yang ditujukan pada pemegang kebijakan untuk memperoleh komitmen dukungan program, adanya regulasi/kebijakan/aturan, percepatan implementasi program, alokasi sumberdaya termasuk anggaran, sumberdaya manusia dan sarana prasarana. Pendekatan advokasi berbasis bukti/data dikembangkan dengan pendekatan bridging leadership dan memiliki kaidah SMART (Spesific, Measurable, Attainable, Relevan & Time Bound).
Strategi advokasi yang SMART dikembangkan dan dilaksanakan oleh pengelola integrasi program dan kegiatan Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak yang tergabung dalam kelompok kerja, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Pendekatan Advokasi SMART8 nantinya akan membantu pengelola program dalam menyusun strategi advokasi berbasis data secara partisipatif. Untuk itu, pengelola program perlu memiliki kemampuan dan keterampilan yang cukup dalam hal ini. Secara detil terkait peningkatan kapasitas pengelola program, dijelaskan dalam seksi Aspek Peningkatan Kapasitas dokumen ini.
Strategi Advokasi SMART
Sasaran advokasi dalam integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak ini adalah pemegang kebijakan di setiap tingkatan, antara lain: menteri, gubernur, bupati/walikota, kepala OPD, kepala organisasi kemasyarakatan/organisasi profesi, sampai kepala desa/lurah. Untuk itu, pengelola program yang tergabung dalam kelompok kerja perlu mengenali pokok perhatian dan tingkat pemahaman sasaran advokasi terhadap isu Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu.
Pesan advokasi yang dapat digunakan antara lain:
- Integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak berdampak pada penurunan kematian ibu dan peningkatan kualitas SDM. Pesan ini untuk meyakinkan bupati/walikota bahwa upaya penguatan program KB yang terintegrasi dengan kesehatan ibu berbasis hak merupakan tanggung jawab bersama. Bukan hanya beban BKKBN dan Kementerian kesehatan saja. Karena dampaknya menurunkan kematian ibu dan terbentuknya keluarga sejahtera. Dalam jangka panjang, integrasi ini ikut berkontribusi dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional.
- Keluarga Berencana adalah fundamen pembangunan daerah. Pesan ini menjelaskan tentang isu KB berdimensi lintas sektor. Yaitu, keberhasilan program ikut mendongkrak capaian lintas sektor lainnya.
- Perencanaan pembangunan daerah dimulai dari keluarga. Menekankan pentingnya perencanaan berbasis data dan mendorong pembangunan keluarga yang direncanakan dengan matang.
8 Advokasi SMART dikembangkan oleh Gates Institute for Population and Reproductive Health dan telah diujicoba secara global. Di Indonesia sendiri, advokasi SMART telah digunakan dan dicantumkan dalam Strategi Nasional Advokasi BKKBN.
Strategi Perluasan dan Advokasi
32
- Jika terencana, semua lebih mudah. Pesan baru yang digunakan oleh BKKBN dalam mendaratkan program KKBPK.
- Keluarga berencana untuk keluarga sehat. Kementerian kesehatan mencantumkan indikator partisipasi keluarga dalam Program KB menjadi indikator pertama dalam 12 Indikator Keluarga Sehat.
Hasil cepat advokasi/quick win berupa pengesahan kelompok kerja lintas sektor, instruksi presiden, peraturan gubernur/bupati/walikota, alokasi anggaran dan sumberdaya lainnya untuk mendukung integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak dalam menurunkan kematian ibu.
Rangkaian kegiatan advokasi dilakukan untuk mencapai tujuan advokasi dan berkontribusi dalam penurunan kematian ibu. Kegiatan advokasi disusun sesuai kondisi dan situasi pada daerah masing-masing. Kegiatan advokasi tersebut dilaksanakan untuk menghasilkan regulasi dan kebijakan pendukung antara lain:
1. Tingkat Pusat. Kegiatan advokasi kepada presiden, menteri atau kepala lembaga ditujukan untuk menghasilkan: a. Penerbitan Surat Keputusan Menteri Bappenas tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak dalam upaya menurunkan kematian ibu tingkat pusat,
b. Penerbitan Instruksi Presiden tentang integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak dalam upaya menurunkan kematian ibu,
c. Penerbitan peraturan-peraturan operasional (seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Menteri Kesehatan dan Peraturan Kepala BKKBN, dan lainnya yang terkait),
d. Adanya alokasi anggaran DAK untuk penurunan kematian ibu, e. Alokasi biaya pendampingan/bantuan teknis konsultan individu pada wilayah
prioritas f. Adanya alokasi APBN untuk kegiatan operasional Kelompok Kerja integrasi
Program KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak. g. Kementerian Dalam Negeri memasukan materi Bridging Leadership dalam
kurikulum pelatihan bagi kepala daerah terpilih yang akan dilantik h. Adanya peraturan menteri dalam negeri tentang penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah yang mencantumkan integrasi KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak.
i. Integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak masuk dalam SIPD Kemendagri dan KRISNA Bappenas
2. Tingkat Provinsi. Kegiatan advokasi kepada Gubernur dan pembuat kebijakan lintas sektor ditujukan untuk menghasilkan: a. Penerbitan Surat Keputusan Gubernur tentang Pembentukan Kelompok Kerja
integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak dalam upaya menurunkan kematian ibu tingkat provinsi,
b. Alokasi anggaran APBN/APBD Provinsi untuk membiayai kegiatan operasional (termasuk pendampingan dan advokasi ke kabupaten/kota) Kelompok kerja integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak dalam upaya menurunkan kematian ibu tingkat provinsi,
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
33
c. Alokasi APBN/APBD untuk penyusunan: RAD Provinsi tentang integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak, dilengkapi estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP) dan strategi advokasi,
d. Penerbitan peraturan Gubernur tentang RAD Provinsi tentang integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak, dilengkapi estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP),
e. Isu KB dan Kesehatan Ibu dalam upaya penurunan kematian ibu menjadi isu prioritas dokumen perencanaan daerah (RPJPD, RPJMD dan RKPD) provinsi.
3. Tingkat Kabupaten/Kota. Kegiatan advokasi kepada bupati/walikota dan pembuat kebijakan dari lintas sektor ditujukan untuk menghasilkan: a. Penerbitan SK Bupati/Walikota tentang Pembentukan kelompok kerja Lintas
Sektor yang mencakup Tim Teknis Penyusunan RAD integrasi Program KB dan Kesehatan ibu berbasis hak dan tim teknis pelaksanaan RAD (Pos Komando). Dokumen RAD dilengkapi estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP),
b. Alokasi APBD untuk penyusunan: RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak, rencana pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP) dan strategi advokasi,
c. Penerbitan peraturan Bupati/Walikota tentang RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak yang dilengkapi estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP),
d. Alokasi APBD, CSR, hibah dan sumber dana lain untuk pembiayaan kegiatan RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak,
e. Isu KB dan Kesehatan Ibu dalam upaya penurunan kematian ibu menjadi isu prioritas dokumen perencanaan daerah (RPJPD, RPJMD dan RKPD) kabupaten/kota,
f. Penerbitan peraturan bupati yang mencantumkan kewenangan lokal skala desa, menu kegiatan, dan alokasi APBDesa untuk kegiatan keluarga berencana dan kesehatan ibu dalam upaya pencegahan kematian ibu di tingkat desa.
4. Tingkat desa/kelurahan. Kegiatan advokasi kepada kepala desa/lurah dan pembuat kebijakan dari lintas sektor ditujukan untuk menghasilkan: a. Penerbitan RPJMDesa yang mencantumkan prioritas isu tentang keluarga
berencana dan KB di desa b. Adanya RKPDesa yang mencantumkan kegiatan tentang keluarga berencana
dan kesehatan ibu di desa. Sedangkan untuk kelurahan, rencana kegiatan tahunan kelurahan telah mencantumkan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam keluarga berencana dan kesehatan ibu.
c. Adanya alokasi APBDesa untuk membiayai kegiatan tentang keluarga berencana dan kesehatan ibu di desa. Sedangkan untuk kelurahan, alokasi kegiatan tersebut dari dana kelurahan.
Strategi Perluasan dan Advokasi
34
Agar regulasi dan kebijakan yang mendukung dapat dihasilkan, diperlukan serangkaian kegiatan advokasi yang terarah dan sistematis. Secara garis besar, kegiatan advokasi9 yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan audiensi dan melaksanakan pertemuan advokasi dengan target sasaran advokasi baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, hingga desa,
2. Melakukan koordinasi dengan lintas sektor untuk memobilisasi sumber daya,
3. Melaksanakan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk mempertajam dan memperbaharui strategi advokasi.
Secara rinci contoh kegiatan advokasi, terdapat pada seksi Lampiran dokumen ini.
Pendekatan Advokasi SMART dan Penerapannya
Pengembangan dan pelaksanaan strategi advokasi melibatkan partisipasi peran aktif pengurus kelompok kerja lintas sektor untuk mencapai “quick win/hasil cepat advokasi”. Idealnya, lokakarya peningkatan kapasitas dan penyusunan strategi advokasi integrasi Program KB dan kesehatan ibu berbasis hak dalam upaya penurunan angka kematian ibu dilakukan dalam waktu 2 hari (full day). Peserta pelatihan akan diajak untuk lebih memahami secara mendalam melakukan analisis situasi keluarga berencana dan kesehatan ibu di daerahnya masing-masing berdasarkan data. Hasilnya berupa tujuan advokasi untuk mendukung penurunan kematian ibu yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi setempat.
Metode yang digunakan yaitu presentasi, curah pendapat dan role-play advokasi. Kaidah SMART dalam pengembangan strategi advokasi antara lain:
1. S: Specific atau spesifik, artinya menunjukkan apa yang akan dicapai dan dengan cara mencapainya,
2. M: Measurable atau terukur, artinya disusun dengan indikator kuantitatif dan atau kualitatif,
3. A: Attainable atau dalam jangkauan, artinya apa yang ingin dicapai tersebut dapat dijangkau,
4. R: Relevant atau relevan, artinya berkontribusi terhadap tujuan keseluruhan upaya advokasi,
5. T: Time bound atau jangka waktu), artinya menetapkan jangka waktu pencapaian.
Dalam penerapannya, strategi advokasi SMART untuk integrasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak, yaitu:
9 Kegiatan advokasi akan dikembangkan dan ditajamkan lagi secara partisipatif dengan menggunakan pendekatan advokasi SMART. Penajaman strategi advokasi dilakukan secara partisipatif dan berdasarkan data. Lokakarya untuk menyusun strategi advokasi perlu dilakukan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
35
1. Membangun kesepakatan yang SMART. Advokasi dilakukan lintas sektor yang tergabung dalam kelompok kerja. Oleh karena itu, perlu penyatuan persepsi dan pemahaman terhadap hasil yang diharapkan dari kegiatan advokasi. Melalui diskusi kelompok, menentukan tujuan advokasi jangka panjang dan sasaran SMART (jangka pendek) sesuai dengan analisis situasi program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak.
2. Memetakan jejaring dan keterlibatan lintas sektor. Banyak lintas sektor yang berpotensi dalam mendukung pelaksanaan RAD integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Antara lain organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, organisasi profesi, swasta dan akademisi. Diskusi kelompok dilakukan untuk memetakan sektor/lembaga yang ada di kabupaten/kota setempat, hubungan jaringan dan besar pengaruh setiap pemangku kebijakan.
3. Mengidentifikasi pengambil keputusan. Diskusi pemetaan jejaring kerja juga akan menghasilkan pengambil keputusan yang akan menjadi sasaran advokasi. Selain itu, sektor/lembaga yang telah mendukung program program keluarga berencana dan kesehatan ibu dapat menjadi ‘teman’ dalam melakukan advokasi.
4. Memetakan sumberdaya. Identifikasi sumberdaya yang dimiliki dan peluang yang bisa dimanfaatkan dalam mendukung pelaksanaan RAD integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Sumberdaya meliputi anggaran (APBN, APBD, APBDesa, Dana Kelurahan, CSR, hibah dll.), sumber daya manusia, sarana-prasarana /perlengkapan teknologi dan lainnya.
5. Mengenal lebih dalam sang pengambil keputusan. Salah satu yang menentukan keberhasilan advokasi adalah mengetahui pokok perhatian pengambil keputusan sebagai sasaran advokasi. Selain itu perlu didukung dengan tingkat pemahaman pengambil keputusan terkait Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu serta respon nyata yang selama ini dilakukan terhadap topik tersebut.
6. Mengemas pesan advokasi dan mengembangkan lembar kebijakan (policy brief). Berdasarkan hasil identifikasi pengambil keputusan, diskusi kelompok menyusun pesan atau permintaan advokasi yang sesuai dengan karakteristik sasaran advokasi. Pesan tersebut dapat disusun dengan menggunakan argumen rasional (berbasis data), emosional (menggugah hati) dan etika (berbasis hak atau aturan yang berlaku). Berikutnya, argumen tersebut diterjemahkan dalam lembar kebijakan (policy brief) yang digunakan sebagai bahan pendudung advokasi.
7. Mengembangkan skenario proses advokasi. Proses melakukan advokasi perlu direncanakan dengan matang. Oleh karena itu, pelaksana advokasi perlu menyiapkan skenario atau alur proses advokasi. Dalam menyusun skenario tersebut, akan diramalkan keberatan yang mungkin akan disampaikan oleh pengambil keputusan. Oleh karena itu, tanggapan untuk mengantisipasinya juga perlu disiapkan. Agar proses advokasi memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Dalam langkah ini juga akan dibahas tentang manfaat jika permintaan advokasi disetujui oleh pengambil keputusan. Manfaat tersebut menjawab pokok perhatian dari sang pengambil keputusan.
Strategi Perluasan dan Advokasi
36
8. Menyusun rencana kerja advokasi yang SMART. Tahapan kegiatan advokasi disusun secara logis untuk mencapai hasil cepat advokasi (quick win). Rencana kerja advokasi tersebut disusun dalam periode tahunan.
9. Memantau dan mengevaluasi. Pemantauan dilakukan untuk melihat proses pelaksanaan tahapan kegiatan advokasi dan keluaran dari setiap kegiatan. Sedangkan evaluasi, ditujukan untuk melihat dampak dari tindak lanjut hasil kegiatan advokasi. Dari kegiatan pemantauan dan evaluasi tersebut menjadi masukan untuk kegiatan perencanaan advokasi berikutnya.
_____
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
37
RENCANA PENGAKHIRAN PROGRAM
Pendampingan khusus pada kabupaten percontohan bersifat sementara. Oleh karena itu daerah perlu bersiap dalam menghadapi pengakhiran pendampingan khusus tersebut. Indikator yang perlu dicapai oleh setiap daerah untuk menghadapi pengakhiran tersebut antara lain:
1. Regulasi sebagai payung hukum
• Adanya Peraturan Bupati/Walikota untuk mengesahkan RAD integrasi program keluarga berencana dan kesehatan ibu berbasis hak.
2. Kelembagaan kelompok kerja lintas sektor (Pos Komando)
• Ketua pengurus Pos Komando adalah Sekretaris Daerah. • Adanya regulasi yang mengikat secara formal kepengurusan Pos
Komando termasuk alokasi pembiayaan operasionalnya. Regulasi berupa SK Bupati/Walikota yang mencantumkan tupoksi, anggaran pendukung dan susunan pengurus dan uraian deskripsi kerja.
• Penguatan kapasitas diberikan untuk memampukan pengurus Pos Komando dalam menyusun RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu, estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP), pengembangan strategi advokasi dan policy brief (lembar kebijakan)
• Tersedianya panduan/modul yang berisi tahapan penyusunan RAD, penyusunan estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP), pengembangan strategi advokasi.
3. Tersedianya anggaran implementasi RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu.
4. Adanya pendamping/fasilitator yang terlatih dan terampil dalam memfasilitasi pengembangan dan implementasi RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu. Fasilitator dapat melibatkan akademisi, pemerhati kesehatan masyarakat atau staf Bappeda di daerah masing-masing.
Strategi Perluasan dan Advokasi
38
Halaman kosong
Integrasi Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak
39
LAMPIRAN
• Lampiran A: Peraturan Menteri Desa PDTT No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2020
• Lampiran B: Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 130 Tahun 2018 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Kelurahan dan Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan
• Lampiran C: Siklus Perencanaan Desa • Lampiran D: Contoh Tahapan Kegiatan Advokasi di Tingkat Kabupaten/Kota
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1012, 2019 KEMEN-DPDTT. Penggunaan Dana Desa. Tahun
2020. Prioritas.
PERATURAN MENTERI
DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2019
TENTANG
PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN 2020
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi tentang Prioritas Penggunaan
Dana Desa Tahun 2020;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -2-
Indonesia Nomor 5495);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5717);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang
Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5558), sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5864);
4. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
463) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -3-
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
1915);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH
TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI TENTANG PRIORITAS
PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN 2020.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut
dengan nama lain yang selanjutnya disebut Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi
Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk
mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul adalah hak yang
merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa
atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -4-
4. Kewenangan Lokal Berskala Desa adalah kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena
perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa.
5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain
adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan
Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang
diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa
untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
6. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
7. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.
9. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
10. Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas
hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat Desa.
11. Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya
mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap,
keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan sumber daya melalui penetapan
kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -5-
masyarakat Desa.
12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
13. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang
selanjutnya disingkat RPJM Desa adalah dokumen
perencanaan Desa untuk periode 6 (enam) tahun.
14. Rencana Kerja Pemerintah Desa, yang selanjutnya
disebut RKP Desa, adalah dokumen perencanaan Desa
untuk periode 1 (satu) tahun.
15. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang selanjutnya
disebut APB Desa adalah rencana keuangan tahunan
Pemerintahan Desa.
16. Prioritas Penggunaan Dana Desa adalah pilihan kegiatan
yang didahulukan dan diutamakan daripada pilihan
kegiatan lainnya untuk dibiayai dengan Dana Desa.
17. Tipologi Desa adalah keadaan dan kenyataan
karakteristik geografis, sosiologis, antropologis, ekonomi,
dan ekologi Desa yang khas, serta perubahan atau
perkembangan dan kemajuan Desa.
18. Desa Mandiri adalah Desa maju yang memiliki
kemampuan melaksanakan pembangunan Desa untuk
peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar
besarnya kesejahteraan masyarakat Desa dengan
ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi secara
berkelanjutan.
19. Desa Maju adalah Desa yang memiliki potensi sumber
daya sosial, ekonomi dan ekologi, serta kemampuan
mengelolanya untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat Desa, kualitas hidup manusia, dan
menanggulangi kemiskinan.
20. Desa Berkembang adalah Desa potensial menjadi Desa
Maju, yang memiliki potensi sumber daya sosial,
ekonomi, dan ekologi tetapi belum mengelolanya secara
optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa, kualitas hidup manusia dan menanggulangi
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -6-
kemiskinan.
21. Desa Tertinggal adalah Desa yang memiliki potensi
sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum,
atau kurang mengelolanya dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia
serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.
22. Desa Sangat Tertinggal adalah Desa yang mengalami
kerentanan karena masalah bencana alam, goncangan
ekonomi, dan konflik sosial sehingga tidak
berkemampuan mengelola potensi sumber daya sosial,
ekonomi, dan ekologi, serta mengalami kemiskinan dalam
berbagai bentuknya.
23. Produk unggulan Desa dan produk unggulan kawasan
perdesaan merupakan upaya membentuk, memperkuat
dan memperluas usaha-usaha ekonomi yang difokuskan
pada satu produk unggulan di wilayah Desa atau di
wilayah antar-Desa yang dikelola melalui kerja sama
antar-Desa.
24. Padat Karya Tunai adalah kegiatan pemberdayaan
masyarakat Desa, khususnya yang miskin dan marginal,
yang bersifat produktif dengan mengutamakan
pemanfaatan sumber daya, tenaga kerja, dan teknologi
lokal untuk memberikan tambahan upah/pendapatan,
mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
25. Indeks Desa Membangun yang selanjutnya disingkat IDM
adalah Indeks Komposit yang dibentuk dari Indeks
Ketahanan Sosial, Indeks Ketahanan Ekonomi dan Indeks
Ketahanan Ekologi Desa.
26. Pendampingan Desa adalah Kegiatan untuk melakukan
aktifitas pemberdayaan masyarakat melalui asistensi,
pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi Desa.
27. Tenaga Pendamping Profesional adalah tenaga profesional
yang direkrut oleh Kementerian yang bertugas
pendampingan di tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -7-
dan Provinsi.
28. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pembangunan Desa dan kawasan
perdesaan, pemberdayaan masyarakat Desa, percepatan
pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi.
Pasal 2
Pengaturan Prioritas Penggunaan Dana Desa bertujuan untuk
memberi acuan:
a. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dalam pemantauan, evaluasi,
pendampingan masyarakat Desa, pembinaan, dan
fasilitasi prioritas penggunaan Dana Desa;
b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Pemerintah
Desa dalam memfasilitasi penyelenggaraan Kewenangan
Desa berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa; dan
c. Pemerintah Desa dalam menetapkan prioritas
penggunaan Dana Desa dalam kegiatan perencanaan
pembangunan Desa.
Pasal 3
Prioritas Penggunaan Dana Desa disusun berdasarkan
prinsip-prinsip:
a. kebutuhan prioritas;
b. keadilan;
c. kewenangan Desa;
d. fokus;
e. Partisipatif;
f. swakelola; dan
g. berbasis sumber daya Desa.
Pasal 4
Ruang lingkup peraturan menteri ini meliputi:
a. prioritas penggunaan Dana Desa;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -8-
b. penetapan prioritas penggunaan Dana Desa;
c. publikasi dan pelaporan; dan
d. pembinaan, pemantauan, dan evaluasi.
BAB II
PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA
Pasal 5
(1) Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai
pelaksanaan program dan kegiatan di bidang
Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa.
(2) Prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi masyarakat Desa berupa:
a. peningkatan kualitas hidup;
b. peningkatan kesejahteraan;
c. penanggulangan kemiskinan; dan
d. peningkatan pelayanan publik.
Pasal 6
(1) Peningkatan kualitas hidup masyarakat Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
diutamakan untuk membiayai pelaksanaan program dan
kegiatan di bidang pelayanan sosial dasar yang
berdampak langsung pada meningkatnya kualitas hidup
masyarakat.
(2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b
diutamakan untuk:
a. membiayai pelaksanaan program yang bersifat lintas
kegiatan;
b. menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan;
c. meningkatkan pendapatan ekonomi bagi keluarga
miskin; dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -9-
d. meningkatkan pendapatan asli Desa.
(3) Penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c diutamakan untuk:
a. membiayai program penanggulangan kemiskinan;
b. melakukan pemutakhiran data kemiskinan;
c. melakukan kegiatan akselerasi ekonomi keluarga
dan padat karya tunai untuk menyediakan lapangan
kerja;
d. menyediakan modal usaha dan pelatihan bagi
masyarakat Desa yang menganggur, setengah
menganggur, keluarga miskin; dan
e. melakukan pencegahan kekurangan gizi kronis
(stunting).
(4) Peningkatan pelayanan publik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5 ayat (2) huruf d diutamakan untuk
membiayai pelaksanaan program bidang kesehatan,
pendidikan, dan sosial.
Pasal 7
Desa yang mendapatkan alokasi afirmasi wajib
mempergunakan alokasi afirmasi untuk kegiatan
penanggulangan kemiskinan.
Pasal 8
(1) Kegiatan pelayanan sosial dasar sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat (1) meliputi:
a. pengadaan, pembangunan, pengembangan, serta
pemeliharaan sarana dan prasarana dasar untuk
pemenuhan kebutuhan:
1) lingkungan pemukiman;
2) transportasi;
3) energi;
4) informasi dan komunikasi; dan
5) sosial.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -10-
b. pengadaan, pembangunan, pengembangan, serta
pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan
sosial dasar untuk pemenuhan, pemulihan serta
peningkatan kualitas:
1) kesehatan dan gizi masyarakat; dan
2) pendidikan dan kebudayaan.
c. pengadaan, pembangunan, pengembangan, serta
pemeliharaan sarana dan prasarana ekonomi
masyarakat Desa meliputi:
1) usaha budidaya pertanian (on farm/off farm)
dan/atau perikanan untuk ketahanan pangan;
2) usaha industri kecil dan/atau industri rumahan,
dan pengolahan pasca panen; dan
3) usaha ekonomi budidaya pertanian (on farm/off
farm) dan/atau perikanan berskala produktif
meliputi aspek produksi, distribusi dan
pemasaran yang difokuskan pada pembentukan
dan pengembangan produk unggulan Desa
dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan.
d. pengadaan, pembangunan, pengembangan, serta
pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan
alam untuk:
1) kesiapsiagaan menghadapi bencana alam;
2) penanganan bencana alam; dan
3) pelestarian lingkungan hidup.
e. pengadaan, pembangunan, pengembangan, serta
pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan
sosial untuk:
1) konflik sosial; dan
2) bencana sosial.
(2) Pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan
pemeliharaan, sarana dan prasarana selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
kewenangan Desa dan diputuskan melalui Musyawarah
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -11-
Desa.
Pasal 9
(1) Program sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2)
huruf a meliputi:
a. pengembangan produk unggulan Desa dan/atau
produk unggulan kawasan perdesaan;
b. pembangunan dan pengembangan embung
dan/atau penampungan air kecil lainnya;
c. pembangunan dan pengembangan sarana prasarana
olahraga Desa; dan
d. pembentukan dan pengembangan Badan Usaha
Milik Desa dan/atau Badan Usaha Milik Desa
Bersama.
(2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, dan huruf c dapat menjadi layanan usaha yang
dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa atau Badan Usaha
Milik Desa Bersama.
(3) Program peningkatan kesejahteraan masyarakat selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan melalui
Musyawarah Desa.
Pasal 10
(1) Kegiatan akselerasi ekonomi keluarga dan padat karya
tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
huruf c dilakukan secara swakelola oleh Desa dengan
mendayagunakan sumber daya alam, teknologi tepat
guna, inovasi, dan sumber daya manusia di Desa.
(2) Pendayagunaan sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. memanfaatkan Dana Desa untuk bidang
pembangunan Desa;
b. meningkatkan pendapatan masyarakat Desa melalui
pembayaran upah yang dilakukan secara harian
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -12-
atau mingguan; dan
c. menciptakan lapangan kerja.
(3) Pelaksanaan kegiatan padat karya tunai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikerjakan pada saat
musim panen.
(4) Pendayagunaan sumber daya alam, teknologi tepat guna,
inovasi, dan sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 11
(1) Peningkatan pelayanan publik bidang kesehatan Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), yaitu:
a. perbaikan gizi untuk pencegahan kekurangan gizi
kronis (stunting);
b. peningkatan pola hidup bersih dan sehat; dan
c. pencegahan kematian ibu dan anak.
(2) Peningkatan pelayanan publik bidang pendidikan dan
kebudayaan di Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (4), paling sedikit meliputi:
a. penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD);
b. penanganan anak usia sekolah yang tidak sekolah,
putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi;
dan
c. pengembangan kebudayaan Desa sesuai dengan
kearifan lokal.
(3) Peningkatan pelayanan publik bidang sosial di Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) yaitu
perlindungan terhadap kelompok masyarakat rentan
meliputi perempuan, lanjut usia, anak dan warga
masyarakat berkebutuhan khusus.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -13-
Pasal 12
Prioritas penggunaan Dana Desa untuk program dan kegiatan
bidang pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan
Pasal 11 tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 13
Bupati/Wali Kota dapat membuat pedoman teknis kegiatan
yang didanai dari Dana Desa dengan mempertimbangkan
kebutuhan Desa, karakteristik wilayah dan kearifan lokal
Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB III
PENETAPAN PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA
Pasal 14
(1) Prioritas penggunaan Dana Desa dilaksanakan mengikuti
tahapan musyawarah Desa tentang perencanaan
pembangunan Desa yang menghasilkan dokumen RKP
Desa.
(2) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lambat dilaksanakan pada bulan Juni tahun
anggaran berjalan.
Pasal 15
(1) Penetapan prioritas penggunaan Dana Desa disusun
dengan mempedomani perencanaan pembangunan
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) RKP Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
disusun oleh Pemerintah Desa sesuai dengan:
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -14-
a. arahan dan penjelasan tentang pagu indikatif
alokasi Desa dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota; dan
b. program dan/atau kegiatan pembangunan Desa
yang dibiayai APBD kabupaten/kota, APBD Provinsi,
dan/atau APBN yang akan dialokasikan ke Desa.
Pasal 16
Desa dalam merencanakan prioritas penggunaan Dana Desa
bidang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa, mempertimbangkan Tipologi Desa dan tingkat
perkembangan Desa.
Pasal 17
(1) Tipologi Desa dan tingkat perkembangan Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 didasarkan pada
data IDM.
(2) Data IDM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai acuan Pemerintah Desa untuk
menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa.
Pasal 18
(1) Penetapan prioritas penggunaan Dana Desa sesuai
dengan prosedur perencanaan pembangunan Desa yang
dilaksanakan berdasarkan kewenangan Desa.
(2) Kewenangan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul; dan
b. kewenangan lokal berskala Desa.
Pasal 19
(1) Prioritas penggunaan Dana Desa wajib dibahas dan
disepakati melalui Musyawarah.
(2) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menghasilkan kesepakatan tentang prioritas penggunaan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -15-
Dana Desa yang dituangkan dalam berita acara.
(3) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi pedoman Pemerintah Desa dalam penyusunan
RKP Desa.
BAB IV
PUBLIKASI DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Publikasi
Pasal 20
(1) Hasil kesepakatan Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 wajib dipublikasikan oleh
Pemerintah Desa di ruang publik yang dapat diakses oleh
masyarakat Desa.
(2) Tata cara dan sarana Publikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(3) Publikasi prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara swakelola dan
partisipatif.
(4) Dalam hal Pemerintah Desa tidak mempublikasikan
prioritas penggunaan Dana Desa di ruang publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Permusyawaratan Desa memberikan sanksi administratif
berupa teguran lisan dan/atau tertulis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -16-
Bagian Kedua
Pelaporan
Pasal 21
(1) Kepala Desa wajib menyampaikan laporan penetapan
prioritas penggunaan Dana Desa kepada Bupati/Wali
Kota.
(2) Laporan Penetapan prioritas pengunaan Dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. berita acara hasil kesepakatan tentang prioritas
penggunaan Dana Desa; dan
b. daftar prioritas usulan penggunaan Dana Desa.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
disampaikan dalam bentuk dokumen digital
menggunakan aplikasi daring berbasis elektronik melalui
Sistem Informasi Pembangunan Desa.
(4) Bupati/Wali Kota menyampaikan laporan
konsolidasi/rekapitulasi penetapan prioritas penggunaan
Dana Desa disertai dengan soft copy kertas kerja
berdasar APB Desa setiap Desa kepada Menteri c.q. unit
organisasi yang menangani bidang Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa.
(5) Kepala Desa yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 22
(1) Laporan Penetapan prioritas pengunaan Dana Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) disusun
sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -17-
(2) Penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) difasilitasi oleh Tenaga Pendamping Profesional.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
penetapan prioritas penggunaan Dana Desa.
(4) Unit organisasi yang menangani bidang Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat Desa mengolah dan
mengevaluasi laporan penetapan prioritas penggunaan
Dana Desa.
BAB V
PEMBINAAN, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI
Pasal 23
(1) Menteri melakukan pembinaan, pemantauan, dan
evaluasi Prioritas Penggunaan Dana Desa secara nasional
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Gubernur dan Bupati/Wali Kota melakukan pembinaan,
pemantauan, dan evaluasi prioritas penggunaan Dana
Desa secara berjenjang.
(3) Pembinaan, pemantauan, dan evaluasi prioritas
penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilimpahkan kepada Perangkat Daerah
dan/atau Camat.
(4) Pembinaan, pemantauan, dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dibantu oleh Tenaga
Pendamping Profesional, Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa, dan pihak ketiga sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Hasil pembinaan, pemantauan, dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan penilaian
oleh Perangkat Daerah yang berwenang dan disampaikan
kepada Bupati dan Menteri melalui sistem pelaporan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -18-
undangan.
BAB VI
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 24
(1) Masyarakat berhak berpartisipasi dalam penyusunan
prioritas penggunaan Dana Desa.
(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan pengaduan masalah penetapan
prioritas penggunaan Dana Desa;
b. melakukan pendampingan Desa dalam menetapkan
prioritas penggunaan Dana Desa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan/atau
c. melakukan publikasi penerapan prioritas
penggunaan Dana Desa.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a,
dapat dilakukan melalui:
a. Badan Permusyawaratan Desa; dan
b. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi dengan alamat
pengaduan tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(4) Penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat diselesaikan dengan cara:
a. musyawarah yang difasilitasi oleh Badan
Permusyawaratan Desa; dan
b. berjenjang mulai dari:
1) pemerintah Desa;
2) pemerintah daerah kabupaten/kota;
3) pemerintah daerah provinsi; dan
4) pemerintah.
(5) Penangan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -19-
perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. semua ketentuan mengenai program dan kegiatan bidang
Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
yang bersumber dari Dana Desa berpedoman pada
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini; dan
b. tata kelola keuangan pelaksanaan prioritas penggunaan
Dana Desa berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang
pengelolaan keuangan Desa.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 1448), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 27
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -20-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 September 2019
MENTERI DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
EKO PUTRO SANDJOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -21-
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2019
TENTANG
PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA
TAHUN 2020
PEDOMAN UMUM
PELAKSANAAN PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN 2020
BAB I
PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA
A. Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disebut Undang-Undang Desa) mendefinisikan Desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Gambaran Desa ideal yang dicita-
citakan dalam Undang-Undang Desa adalah Desa yang kuat, maju,
mandiri dan demokratis. Cita-cita dimaksud diwujudkan salah
satunya dengan menyelenggarakan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Fokus dari kerja pemberdayaan
masyarakat Desa adalah mewujudkan masyarakat Desa sebagai
subyek pembangunan dan Desa sebagai subyek hukum yang
berwewenang mendayagunakan keuangan dan aset Desa.
Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum menggambarkan
bahwa Desa merupakan Subyek Hukum. Posisi Desa sebagai
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -22-
subyek hukum menjadikan Desa memiliki hak dan kewajiban
terhadap aset/sumber daya yang menjadi miliknya. Karenanya,
Dana Desa sebagai bagian pendapatan Desa merupakan milik
Desa, sehingga Prioritas Penggunaan Dana Desa merupakan
bagian dari kewenangan Desa. Undang-Undang Desa
mengamanatkan Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
Pengaturan tentang kedudukan Desa ini menjadikan Desa sebagai
subyek hukum merupakan komunitas yang unik sesuai sejarah
Desa itu sendiri. Kendatipun demikian, Desa dikelola secara
demokratis dan berkeadilan sosial. Masyarakat Desa memilih
Kepala Desa dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Kepala Desa berkewajiban untuk memimpin Desa sekaligus
berfungsi sebagai pimpinan pemerintah Desa. BPD menjadi
lembaga penyeimbang bagi Kepala Desa dalam mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan urusan masyarakat. Hal-hal
strategis di Desa harus dibahas dan disepakati bersama oleh
kepala Desa, BPD dan masyarakat Desa melalui musyawarah Desa
yang diselenggarakan oleh BPD. Hasil musyawarah Desa wajib
dipedomani oleh Kepala Desa dalam merumuskan berbagai
kebijakan Desa, termasuk kebijakan pembangunan Desa. Tata
kelola Desa yang demokratis dan berkeadilan sosial ini wajib
ditegakkan agar Desa mampu secara mandiri menyelenggarakan
pembangunan Desa secara partisipatif yang ditujukan untuk
mewujudkan peningkatan kualitas hidup manusia; peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa; dan penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan Desa dikelola secara partisipatif dikarenakan
melibatkan peran serta masyarakat Desa. Pembangunan Desa
mengarah pada terwujudnya kemandirian Desa dikarenakan
kegiatan pembangunan Desa wajib diswakelola oleh Desa dengan
mendayagunakan sumber daya manusia di Desa serta sumber
daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Agar Desa
mampu menjalankan kewenangannya, termasuk mampu
menswakelola pembangunan Desa maka Desa berhak memiliki
sumber-sumber pendapatan. Dana Desa yang bersumber dari
APBN merupakan salah satu bagian dari pendapatan Desa. Tujuan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -23-
Pemerintah menyalurkan Dana Desa secara langsung kepada Desa
adalah agar Desa berdaya dalam menjalankan dan mengelola
untuk mengatur dan mengurus prioritas bidang pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat Desa. Penggunaan Dana Desa
dikelola melalui mekanisme pembangunan partisipatif dengan
menempatkan masyarakat Desa sebagai subyek pembangunan.
Karenanya, rencana penggunaan Dana Desa wajib dibahas dan
disepakati dalam musyawarah Desa.
Pedoman Umum pelaksanaan Penggunaan Dana Desa
Tahun 2020 ini dipedomani oleh Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Desa dalam mengelola
prioritas penggunaan Dana Desa dengan berdasarkan tata kelola
Desa yang demokratis dan berkeadilan sosial.
B. Tujuan
Dalam upaya mewujudkan peningkatan kualitas hidup
manusia; peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa,
penanggulangan kemiskinan, peningkatan pelayanan publik di
tingkat Desa, dan Peningkatan pendapatan asli Desa maka tujuan
pedoman umum ini yaitu:
1. menjelaskan pentingnya prioritas penggunaan Dana Desa pada
bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa;
2. memberikan gambaran tentang pilihan program/kegiatan
prioritas dalam penggunaan Dana Desa Tahun 2020; dan
3. menjelaskan tata kelola penggunaan Dana Desa sesuai prosedur
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan
Desa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Prinsip-Prinsip
Prioritas penggunaan Dana Desa didasarkan pada prinsip:
1. Kebutuhan prioritas yaitu mendahulukan kepentingan Desa
yang lebih mendesak, dan berhubungan langsung dengan
kepentingan sebagian besar masyarakat Desa;
2. Keadilan dengan mengutamakan hak dan kepentingan seluruh
warga Desa tanpa membeda-bedakan;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -24-
3. Kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
lokal berskala Desa;
4. Fokus yaitu mengutamakan pilihan penggunaan Dana Desa
pada 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) jenis kegiatan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat sesuai dengan prioritas nasional
dan tidak dilakukan praktik penggunaan Dana Desa yang dibagi
rata.
5. Partisipatif dengan mengutamakan prakarsa, kreativitas, dan
peran serta masyarakat Desa;
6. Swakelola dengan mengutamakan kemandirian Desa dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan Desa yang dibiayai Dana
Desa.
7. Berbasis sumber daya Desa dengan mengutamakan
pendayagunaan sumber daya manusia dan sumber daya alam
yang ada di Desa dalam pelaksanaan pembangunan yang
dibiayai Dana Desa.
D. Prioritas Penggunaan Dana Desa Berdasarkan Kewenangan Desa
Dana Desa sebagai salah satu sumber pendapatan Desa,
pemanfaatannya atau penggunaannya wajib berdasarkan daftar
kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan
lokal berskala Desa.
Tata cara penetapan kewenangan Desa dimaksud diatur
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
khususnya dalam Pasal 37. Tata cara penetapan kewenangan Desa
adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan identifikasi dan
inventarisasi kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa dengan melibatkan Desa;
2. Berdasarkan hasil identifikasi dan inventarisasi kewenangan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -25-
Desa, Bupati/Wali Kota menetapkan Peraturan Bupati/Wali
Kota tentang daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
3. Peraturan Bupati/Wali Kota dimaksud ditindaklanjuti oleh
Pemerintah Desa dengan menetapkan peraturan Desa tentang
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala Desa sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan
lokal.
Peraturan Desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal
usul dan kewenangan lokal berskala Desa ini menjadikan Desa
berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusannya, termasuk
penggunaan Dana Desa. Karenanya, kegiatan pembangunan Desa
yang dibiayai Dana Desa harus menjadi bagian dari kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Idealnya, setiap Desa sudah memiliki Peraturan Desa
tentang kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
lokal berskala Desa yang disusun sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian, faktanya masih banyak
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang belum menetapkan
peraturan tentang daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul
dan kewenangan lokal berskala Desa sehingga Desa kesulitan
menetapkan peraturan Desa tentang kewenangan Desa.
Oleh sebab itu, untuk membantu Desa memprioritaskan
penggunana Dana Desa sesuai kewenangan Desa, dalam Pedoman
Umum ini secara khusus dijabarkan contoh-contoh daftar
kewenangan Desa di bidang pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat Desa yang diprioritaskan untuk dibiayai Dana Desa.
E. Daftar Kegiatan Prioritas Bidang Pembangunan Desa
1. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana Desa
a. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana lingkungan pemukiman, antara lain:
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -26-
1) pembangunan dan/atau perbaikan rumah untuk warga
miskin;
2) penerangan lingkungan pemukiman;
3) pedestrian;
4) drainase;
5) tandon air bersih atau penampung air hujan bersama;
6) pipanisasi untuk mendukung distribusi air bersih ke rumah
penduduk;
7) alat pemadam kebakaran hutan dan lahan;
8) sumur resapan;
9) selokan;
10) tempat pembuangan sampah;
11) gerobak sampah;
12) kendaraan pengangkut sampah;
13) mesin pengolah sampah;
14) pembangunan ruang terbuka hijau;
15) pembangunan bank sampah Desa; dan
16) sarana prasarana lingkungan pemukiman lainnya yang
sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
b. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana transportasi, antara lain:
1) perahu/ketinting bagi Desa-desa di kepulauan dan kawasan
DAS;
2) tambatan perahu;
3) dermaga apung;
4) tambat apung (buoy);
5) jalan pemukiman;
6) jalan Desa antara permukiman ke wilayah pertanian;
7) jalan poros Desa;
8) jalan Desa antara permukiman ke lokasi wisata;
9) jembatan Desa:
10) gorong-gorong;
11) terminal Desa; dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -27-
12) sarana prasarana transportasi lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
c. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan,
sarana dan prasarana energi, antara lain:
1) pembangkit listrik tenaga mikrohidro;
2) pembangkit listrik tenaga diesel;
3) pembangkit listrik tenaga matahari;
4) pembangkit listrik tenaga angin;
5) instalasi biogas;
6) jaringan distribusi tenaga listrik (bukan dari PLN); dan
7) sarana prasarana energi lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah
Desa.
d. Pengadaan, pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana informasi dan komunikasi, antara lain:
1) jaringan internet untuk warga Desa;
2) website Desa;
3) peralatan pengeras suara (loudspeaker);
4) radio Single Side Band (SSB); dan
5) sarana prasarana komunikasi lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah
Desa.
2. Peningkatan Kualitas dan Akses terhadap Pelayanan Sosial
Dasar
a. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana kesehatan, antara lain:
1) air bersih berskala Desa;
2) jambanisasi;
3) mandi, cuci, kakus (MCK);
4) mobil/kapal motor untuk ambulance Desa;
5) balai pengobatan;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -28-
6) posyandu;
7) poskesdes/polindes;
8) posbindu;
9) tikar pertumbuhan (alat ukur tinggi badan untuk bayi)
sebagai media deteksi dini stunting;
10) kampanye Desa bebas BAB Sembarangan (BABS); dan
11) sarana prasarana kesehatan lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah
Desa.
b. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan antara lain:
1) taman bacaan masyarakat;
2) bangunan PAUD bagi Desa yang belum ada gedung PAUD;
3) pengembangan bangunan/rehabilitasi gedung PAUD untuk
PAUD HI;
4) buku dan peralatan belajar PAUD lainnya;
5) wahana permainan anak di PAUD;
6) taman belajar keagamaan;
7) sarana dan prasarana bermain dan kreatifitas anak;
8) Pembangunan atau renovasi sarana olahraga Desa;
9) bangunan perpustakaan Desa;
10) buku/bahan bacaan;
11) balai pelatihan/kegiatan belajar masyarakat;
12) gedung sanggar seni/ruang ekonomi kreatif;
13) film dokumenter;
14) peralatan kesenian dan kebudayaan;
15) pembuatan galeri atau museum Desa;
16) pengadaan media komunikasi, informasi, dan edukasi
(KIE) terkait hak anak, gizi dan kesehatan ibu dan anak
serta isu anak lain, keluarga berencana dan kesehatan
reproduksi di Desa;
17) sarana dan prasarana perjalanan anak ke dan dari
sekolah yang aman bagi anak; dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -29-
18) sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan lainnya
yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan
dalam musyawarah Desa.
3. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana usaha ekonomi Desa
a. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana produksi dan pengolahan hasil usaha
pertanian dan/atau perikanan untuk ketahanan pangan dan
usaha pertanian berskala produktif yang difokuskan kepada
pembentukan dan pengembangan produk unggulan Desa
dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain:
1) bendungan berskala kecil;
2) pembangunan atau perbaikan embung;
3) irigasi Desa;
4) pencetakan lahan pertanian;
5) kolam ikan;
6) kapal penangkap ikan;
7) tempat pendaratan kapal penangkap ikan;
8) tambak garam;
9) kandang ternak;
10) mesin pakan ternak;
11) mesin penetas telur;
12) gudang penyimpanan sarana produksi pertanian
(saprotan);
13) pengeringan hasil pertanian (lantai jemur gabah, jagung,
kopi, coklat, dan kopra,);
14) embung Desa;
15) gudang pendingin (cold storage);
16) sarana budidaya ikan (benih, pakan, obat, kincir dan
pompa air);
17) alat penangkap ikan ramah lingkungan (bagan, jaring,
pancing, dan perangkap);
18) alat bantu penangkapan ikan (rumpon dan lampu);
19) keramba jaring apung;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -30-
20) keranjang ikan;
21) alat timbang dan ukur hasil tangkapan;
22) alat produksi es;
23) gudang Desa (penyimpanan komoditas perkebunan dan
perikanan);
24) tempat penjemuran ikan; dan
25) sarana dan prasarana produksi dan pengolahan hasil
pertanian lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa
dan diputuskan dalam musyawarah Desa.
b. Pengadaan, pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana jasa serta usaha industri kecil
dan/atau industri rumahan yang difokuskan kepada
pembentukan dan pengembangan produk unggulan Desa
dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain:
1) mesin jahit;
2) peralatan bengkel kendaraan bermotor;
3) mesin penepung ikan;
4) mesin penepung ketela pohon;
5) mesin bubut untuk mebeler;
6) mesin packaging kemasan;
7) roaster kopi;
8) mesin percetakan;
9) bioskop mini;
10) alat pengolahan hasil perikanan;
11) docking kapal (perbengkelan perahu dan mesin); dan
12) sarana dan prasarana jasa serta usaha industri kecil
dan/atau industri rumahan lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah
Desa.
c. Pengadaan, pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana pemasaran yang difokuskan kepada
pembentukan dan pengembangan produk unggulan Desa
dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain:
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -31-
1) pasar Desa;
2) pasar sayur;
3) pasar hewan;
4) tempat pelelangan ikan;
5) toko online;
6) gudang barang;
7) tempat pemasaran ikan; dan
8) sarana dan prasarana pemasaran lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
d. Pengadaan, pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana Desa Wisata, antara lain:
1) ruang ganti dan/atau toilet;
2) pergola;
3) gazebo;
4) lampu taman;
5) pagar pembatas;
6) pondok wisata (homestay);
7) panggung kesenian/pertunjukan;
8) kios cenderamata;
9) pusat jajanan kuliner;
10) tempat ibadah;
11) menara pandang (viewing deck);
12) gapura identitas;
13) wahana permainan anak;
14) wahana permainan outbound;
15) taman rekreasi;
16) tempat penjualan tiket;
17) angkutan wisata;
18) tracking wisata mangrove;
19) peralatan wisata snorkeling dan diving;
20) papan interpretasi;
21) sarana dan prasarana kebersihan;
22) pembuatan media promosi (brosur, leaflet, audio visual);
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -32-
23) internet corner; dan
24) sarana dan prasarana Desa Wisata lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
e. Pengadaan, pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan
sarana dan prasarana Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk
kemajuan ekonomi yang difokuskan kepada pembentukan
dan pengembangan produk unggulan Desa dan/atau produk
unggulan kawasan perdesaan, antara lain:
1) penggilingan padi;
2) peraut kelapa;
3) penepung biji-bijian;
4) pencacah pakan ternak;
5) mesin sangrai kopi;
6) pemotong/pengiris buah dan sayuran;
7) pompa air;
8) traktor mini;
9) desalinasi air laut;
10) pengolahan limbah sampah;
11) kolam budidaya;
12) mesin pembuat es dari air laut (slurry ice); dan
13) sarana dan prasarana lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah
Desa.
4. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana untuk pelestarian lingkungan hidup antara
lain:
1) pembuatan terasering;
2) kolam untuk mata air;
3) plesengan sungai;
4) pencegahan kebakaran hutan;
5) pencegahan abrasi pantai;
6) pembangunan talud;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -33-
7) papan informasi lingkungan hidup;
8) pemulihan stock ikan (restocking) lokal;
9) rehabilitasi kawasan mangrove;
10) penanaman bakau; dan
11) sarana prasarana untuk pelestarian lingkungan hidup
lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa dan
diputuskan dalam musyawarah Desa.
5. Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
sarana prasarana untuk penanggulangan bencana alam
dan/atau kejadian luar biasa lainnya yang meliputi:
1) kegiatan tanggap darurat bencana alam;
2) pembangunan jalan evakuasi dalam bencana gunung berapi;
3) pembangunan gedung pengungsian;
4) pembersihan lingkungan perumahan yang terkena bencana
alam;
5) rehabilitasi dan rekonstruksi lingkungan perumahan yang
terkena bencana alam;
6) pembuatan peta potensi rawan bencana di Desa;
7) P3K untuk bencana;
8) Alat Pemadam Api Ringan (APAR) di Desa; dan
9) sarana prasarana untuk penanggulangan bencana yang
lainnya sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan
dalam musyawarah Desa.
F. Daftar Kegiatan Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa
1. Peningkatan Kualitas dan Akses terhadap Pelayanan Sosial
Dasar
a. pengelolaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat,
antara lain:
1) pelatihan pengelolaan air minum;
2) pelayanan kesehatan lingkungan;
3) bantuan insentif untuk kader PAUD, kader posyandu dan
kader pembangunan manusia (KPM);
4) alat bantu penyandang disabilitas;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -34-
5) Sosialisasi dan advokasi sarana dan prasarana yang ramah
terhadap anak penyandang disabilitas;
6) pemantauan pertumbuhan dan penyediaan makanan sehat
untuk peningkatan gizi bagi balita dan anak sekolah;
7) kampanye dan promosi hak-hak anak, ketrampilan
pengasuhan anak dan perlindungan Anak serta
pencegahan perkawinan anak;
8) kampanye dan promosi gerakan makan ikan;
9) sosialisasi gerakan aman pangan;
10) praktek atau demo pemberian makanan bagi bayi dan
anak (PMBA), stimulasi tumbuh kemban, PHBS, dan lain
lain di layanan kesehatan dan sosial dasar Desa
Posyandu, BKB, PKK, dll);
11) pengelolaan balai pengobatan Desa dan persalinan;
12) pelatihan pengembangan apotek hidup Desa dan produk
hotikultura;
13) perawatan kesehatan dan/atau pendampingan untuk ibu
hamil, nifas dan menyusui, keluarganya dalam merawat
anak dan lansia;
14) penguatan Pos penyuluhan Desa (Posluhdes);
15) pendampingan pasca persalinan, kunjungan nifas, dan
kunjungan neonatal;
16) pendampingan untuk pemberian imunisasi, stimulasi
perkembangan anak, peran ayah dalam pengasuhan, dll;
17) sosialisasi dan kampanye imunisasi;
18) kampanye dan promosi perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), gizi seimbang, pencegahan penyakit seperti diare,
penyakit menular, penyakit seksual, HIV/AIDS
tuberkulosis, hipertensi, diabetes mellitus dan gangguan
jiwa;
19) sosialisasi dan promosi keluarga berencana serta
kesehatan reproduksi di tingkat Desa;
20) kampanye kependudukan, keluarga berencana dan
pembangunan keluarga;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -35-
21) pelatihan pengelolaan kapasitas kelompok Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS);
22) peningkatan peran mitra Desa dalam pengelolaan
pengembangan keterampilan kelompok UPPKS berbasis
era Digitalisasi;
23) pengelolaan kegiatan rehabilitasi bagi penyandang
disabilitas;
24) pelatihan kader kesehatan masyarakat untuk gizi,
kesehatan, air bersih, sanitasi, pengasuhan anak,
stimulasi, pola konsumsi dan lainnya;
25) pelatihan kader untuk melakukan pendampingan dalam
memberi ASI, pembuatan makanan pendamping ASI,
stimulasi anak, cara menggosok gigi, dan cuci tangan
pakai sabun untuk 1000 hari pertama kehidupan;
26) pelatihan kader kependudukan, keluarga berencana dan
pembangunan keluarga;
27) pelatihan hak-hak anak, ketrampilan pengasuhan anak
dan perlindungan Anak;
28) pelatihan Kader Keamanan Pangan Desa;
29) sosialisasi keamanan pangan kepada masyarakat dan
pelaku usaha pangan;
30) penyuluhan kesehatan dampak penggunaan kompresor
dalam penangkapan ikan dan
31) kegiatan pengelolaan pelayanan kesehatan masyarakat
Desa lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa dan
diputuskan dalam musyawarah Desa.
b. pengelolaan kegiatan pelayanan pendidikan dan kebudayaan
antara lain:
1) bantuan insentif guru/pembina PAUD/TK/TPA/
TKA/TPQ/guru taman belajar keagamaan, taman belajar
anak dan fasilitator pusat kegiatan belajar masyarakat
(PKBM);
2) penyelenggaraan pengembangan anak usia dini secara
holistik integratif (PAUD HI);
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -36-
3) penyelenggaraan kelas pengasuhan/parenting bagi
orangtua anak usia 0-2 tahun;
4) pembiayaan pelatihan guru PAUD tentang konvergensi
pencegahan stunting di Desa;
5) pelatihan untuk kader pembangunan manusia (KPM);
6) penyuluhan manfaat data kependudukan bagi kader
pembangunan Desa;
7) pelatihan keterampilan perlindungan anak dan
keterampilan kerja bagi remaja yang akan memasuki
dunia kerja;
8) pelatihan dan penyelengaraan kursus seni budaya;
9) bantuan pemberdayaan bidang seni, budaya, agama,
olahraga, dan pendidikan non formal lainnya;
10) pelatihan pembuatan film dokumenter, jurnalis,
pembuatan dan penggunaan media, blog, dan internet
(film, foto, tulisan, vlog, dan media lainnya)
11) pelatihan dan KIE tentang pencegahan perkawinan anak;
12) pelatihan dan KIE tentang pencegahan dan penanganan
kekerasan pada perempuan dan anak, termasuk tindak
pidana perdagangan orang;
13) bantuan pendampingan kepada anak tidak sekolah (ATS)
bagi warga miskin;
14) pemberian bantuan peralatan pendidikan sebelum anak
diterima di satuan pendidikan bagi warga miskin;
15) pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak dari
keluarga tidak mampu, minimal jenjang pendidikan
menengah;
16) pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus;
17) penyelenggaraan pendidikan keluarga dan penguatan
parenting bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah;
18) pelatihan menenun/membatik dengan menggunakan
warna alam, motif-motif yang sudah ada dan/atau
diciptakan sendiri dan/atau sesuai tren;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -37-
19) pelatihan Pembuatan produk/karya kreatif yang
merupakan keunikan/ke- khas-an Desa tersebut sesuai
kebutuhan pasar;
20) pelatihan alat musik khas daerah setempat atau modern.
21) pelatihan penggunaan perangkat produksi barang/jasa
kreatif, seperti mesin jahit, alat ukir, kamera, komputer,
mesin percetakan;
22) pelatihan kepada pelaku ekonomi kreatif untuk
berpromosi baik di media online atau offline;
23) pelatihan pelaku ekonomi kreatif pemula bagi masyarakat
Desa;
24) pelatihan cara konservasi produk/karya kreatif bagi para
pelaku kreatif, misalnya cara pendokumentasian melalui
tulisan dan visual;
25) pelatihan pengelolaan keuangan sederhana dalam
mengakses permodalan baik di bank dan non-bank;
26) pendidikan keterampilan non-formal berbasis potensi
Desa;
27) pendidikan/pelatihan konservasi sumberdaya pesisir; dan
28) kegiatan pengelolaan pendidikan dan kebudayaan lainnya
yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan
dalam musyawarah Desa.
2. Pengelolaan sarana prasarana Desa berdasarkan kemampuan
teknis dan sumber daya lokal yang tersedia
a. pengelolaan lingkungan perumahan Desa, antara lain:
1) pengelolaan sampah berskala rumah tangga;
2) pengelolaan sarana pengolahan air limbah; dan
3) pengelolaan lingkungan pemukiman lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
b. pengelolaan transportasi Desa, antara lain:
1) pengelolaan terminal Desa;
2) pengelolaan tambatan perahu; dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -38-
3) pengelolaantransportasi lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa yang diputuskan dalam musyawarah
Desa.
c. pengembangan energi terbarukan, antara lain:
1) pengolahan limbah peternakan untuk energi biogas;
2) pembuatan bioethanol dari ubi kayu;
3) pengolahan minyak goreng bekas menjadi biodiesel;
4) pengelolaan pembangkit listrik tenaga angin;
5) pengelolaan energi tenaga matahari;
6) pelatihan pemanfaatan energi tenaga matahari; dan
7) pengembangan energi terbarukan lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
d. pengelolaan informasi dan komunikasi, antara lain:
1) sistem informasi Desa;
2) website Desa;
3) radio komunitas;
4) pengelolaan sistem informasi pencatatan hasil tangkapan
ikan; dan
5) pengelolaan informasi dan komunikasi lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
3. Pengelolaan usaha ekonomi produktif serta pengelolaan sarana
dan prasarana ekonomi
a. pengelolaan produksi dan hasil produksi usaha pertanian
untuk ketahanan pangan dan usaha pertanian yang
difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk
unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan, antara lain:
1) perbenihan tanaman pangan;
2) pembibitan tanaman keras;
3) pengadaan pupuk;
4) pembenihan ikan air tawar;
5) pengelolaan usaha hutan Desa;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -39-
6) pengelolaan usaha hutan sosial;
7) pengadaan bibit/induk ternak;
8) inseminasi buatan;
9) pengadaan pakan ternak;
10) tepung tapioka;
11) kerupuk;
12) keripik jamur;
13) keripik jagung;
14) ikan asin;
15) abon sapi
16) susu sapi;
17) kopi;
18) coklat;
19) karet;
20) olahan ikan (nugget, bakso, kerupuk, terasi, ikan asap,
ikan asin, ikan rebus dam ikan abon);
21) olahan rumput laut (agar-agar, dodol, nori, permen,
kosmetik, karagenan dll);
22) olahan mangrove (bolu, tinta batik, keripik, permen, dll);
23) pelatihan pembibitan mangrove dan vegetasi pantai;
24) pelatihan pembenihan ikan air tawar, payau dan laut;
25) pengelolaan hutan mangrove dan vegetasi pantai (hutan
cemara laut); dan
26) pengolahan produksi dan hasil produksi pertanian lainnya
yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan
dalam musyawarah Desa.
b. pengelolaan usaha jasa dan industri kecil yang difokuskan
kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan
Desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara
lain:
1) meubelair kayu dan rotan,
2) alat-alat rumah tangga;
3) pakaian jadi/konveksi kerajinan tangan;
4) kain tenun;
5) kain batik;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -40-
6) bengkel kendaraan bermotor;
7) pedagang di pasar;
8) pedagang pengepul;
9) pelatihan pengelolaan docking kapal;
10) pelatihan pengelolaan kemitraan usaha perikanan
tangkap;
11) pelatihan pemasaran perikanan; dan
12) pengelolaan jasa dan industri kecil lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
c. pendirian dan pengembangan BUMDesa dan/atau BUMDesa
Bersama, antara lain:
1) pendirian BUMDesa dan/atau BUMDesa Bersama;
2) penyertaan modal BUMDesa dan/atau BUMDesa
Bersama;
3) penguatan permodalan BUMDesa dan/atau BUMDesa
Bersama; dan
4) kegiatan pengembangan BUMDesa dan/atau BUMDesa
Bersama lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa
diputuskan dalam musyawarah Desa.
d. pengembangan usaha BUMDesa dan/atau BUMDesa Bersama
yang difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan
produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan, antara lain:
1) pengelolaan hutan Desa;
2) pengelolaan hutan adat;
3) pengelolaan air minum;
4) pengelolaan pariwisata Desa;
5) pengolahan ikan (pengasapan, penggaraman, dan
perebusan);
6) pengelolaan wisata hutan mangrove (tracking, jelajah
mangrove dan wisata edukasi);
7) pelatihan sentra pembenihan mangrove dan vegetasi
pantai;
8) pelatihan pembenihan ikan;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -41-
9) pelatihan usaha pemasaran dan distribusi produk
perikanan; dan
10) produk unggulan lainnya yang sesuai dengan kewenangan
Desa diputuskan dalam musyawarah Desa.
e. pembentukan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat
yang difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan
produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan, antara lain:
1) hutan kemasyarakatan;
2) hutan tanaman rakyat;
3) kemitraan kehutanan;
4) pembentukan usaha ekonomi masyarakat;
5) pembentukan dan pengembangan usaha industri kecil
dan/atau industri rumahan;
6) bantuan sarana produksi, distribusi dan pemasaran
untuk usaha ekonomi masyarakat; dan
7) pembentukan dan pengembangan usaha ekonomi lainnya
yang sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan
dalam musyawarah Desa.
f. pemanfaatan Teknologi Tepat Guna untuk kemajuan ekonomi
yang difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan
produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan, antara lain:
1) sosialisasi TTG;
2) pos pelayanan teknologi Desa (Posyantekdes);
3) percontohan TTG untuk:
a) produksi pertanian;
b) pengembangan sumber energi perdesaan;
c) pengembangan sarana transportasi;
d) pengembangan sarana komunikasi; dan
e) pengembangan jasa dan industri kecil;
4) sosialisasi sitem informasi pencatatan hasil tangkapan
ikan;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -42-
5) sosialisasi sitem informasi cuaca dan iklim; dan
6) pengembangan dan pemanfaatan TTG lainnya yang sesuai
dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
g. pengelolaan pemasaran hasil produksi usaha BUMDesa, dan
usaha ekonomi lainnya yang difokuskan kepada pembentukan
dan pengembangan produk unggulan Desa dan/atau produk
unggulan kawasan perdesaan, antara lain:
1) penyediaan informasi harga/pasar;
2) pameran hasil usaha BUMDesa, usaha ekonomi
masyarakat;
3) kerjasama perdagangan antar Desa;
4) kerjasama perdagangan dengan pihak ketiga; dan
5) pengelolaan pemasaran lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa yang diputuskan dalam musyawarah
Desa.
4. Penguatan dan fasilitasi masyarakat Desa dalam kesiapsiagaan
menghadapi tanggap darurat bencana serta kejadian luar biasa
lainnya yang meliputi:
1) penyediaan layanan informasi tentang bencana;
2) pelatihan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana;
3) pelatihan tenaga sukarelawan untuk penanganan bencana;
4) pelatihan pengenalan potensi bencana dan mitigasi; dan
5) penguatan kesiapsiagaan masyarakat yang lainnya sesuai
dengan kewenangan Desa yang diputuskan dalam
musyawarah Desa.
5. Pelestarian lingkungan hidup antara lain:
1) pembibitan pohon langka;
2) reboisasi;
3) rehabilitasi lahan gambut;
4) pembersihan daerah aliran sungai;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -43-
5) pembersihan daerah sekitar pantai (bersih pantai)
6) pemeliharaan hutan bakau;
7) pelatihan rehabilitasi mangrove;
8) pelatihan rehabilitasi terumbu karang;
9) pelatihan pengolahan limbah; dan
10) kegiatan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa yang
diputuskan dalam musyawarah Desa.
6. Pemberdayaan masyarakat Desa untuk memperkuat tata kelola
Desa yang demokratis dan berkeadilan sosial
a. mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
pembangunan Desa yang dilaksanakan secara swakelola oleh
Desa, antara lain:
1) pengembangan sistem informasi Desa (SID);
2) pengembangan pusat kemasyarakatan Desa, rumah Desa
sehat dan/atau balai rakyat;
3) pengembangan pusat kemasyarakatan Desa dan/atau balai
rakyat; dan
4) kegiatan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa
yang diputuskan dalam musyawarah Desa.
b. mengembangkan program dan kegiatan pembangunan Desa
secara berkelanjutan dengan mendayagunakan sumber daya
manusia dan sumber daya alam yang ada di Desa, antara lain:
1) penyusunan arah pengembangan Desa;
2) penyusunan rancangan program/kegiatan pembangunan
Desa yang berkelanjutan;
3) penyusunan rencana pengelolaan sumber daya ikan di
Desa;
4) pengelolaan sistem informasi pencatatan hasil perikanan;
5) peningkatan kapasitas kelompok nelayan dalam
pengelolaan perikanan; dan
6) kegiatan lainnya yang sesuai kewenangan Desa dan
diputuskan dalam musyawarah Desa.
c. menyusun perencanaan pembangunan Desa sesuai dengan
prioritas, potensi, dan nilai kearifan lokal, antara lain:
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -44-
1) pendataan potensi dan aset Desa;
2) penyusunan profil Desa/data Desa;
3) penyusunan peta aset Desa;
4) penyusunan data untuk pengisian aplikasi sistem
perencanaan, penganggaran, analisis, dan evaluasi
kemiskinan terpadu;
5) dukungan penetapan IDM;
6) penyusunan peta Desa rawan bencana; dan
7) kegiatan lainnya yang sesuai kewenangan Desa yang
diputuskan dalam musyawarah Desa.
d. menyusun perencanaan dan penganggaran yang berpihak
kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas,
perempuan, anak, dan kelompok marginal, antara lain:
1) sosialisasi penggunaan dana Desa;
2) penyelenggaraan musyawarah kelompok warga miskin,
warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok
marginal;
3) pembentukan dan pengembangan Forum Anak Desa
sebagai pusat kemasyarakatan dan wadah partisipasi bagi
anak-anak di Desa;
4) rembug stunting di Desa;
5) rembug anak Desa khusus sebagai bagian dari
musrenbangdes;
6) pelatihan kepemimpinan perempuan sebagai bagian dari
musrenbangdes;
7) penyusunan usulan kelompok warga miskin, warga
disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal; dan
8) sosialisasi tentang kependudukan bagi kelompok
masyarakat dan keluarga;
9) pelatihan bagi kader Desa tentang gender;
10) pendataan penduduk rentan (misalnya anak dengan
kebutuhan khusus, kepala rumah tangga perempuan, dan
sebagainya) sebagai dasar pelaksanaan kegiatan yang
bersifat afirmasi;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -45-
11) pelatihan perencanaan dan penganggaran yang responsif
gender bagi fasilitator Desa;
12) kegiatan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa
yang diputuskan dalam musyawarah Desa.
e. mengembangkan sistem transparansi dan akuntabilitas dalam
pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
Desa, antara lain:
1) pengembangan sistem administrasi keuangan dan aset
Desa berbasis data digital;
2) pengembangan laporan keuangan dan aset Desa yang
terbuka untuk publik;
3) pengembangan sistem informasi Desa yang berbasis
masyarakat; dan
4) kegiatan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa
yang diputuskan dalam musyawarah Desa.
f. mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan
kebijakan Desa yang dilakukan melalui musyawarah Desa,
antara lain:
1) penyebarluasan informasi kepada masyarakat Desa
perihal hal- hal strategis yang akan dibahas dalam
Musyawarah Desa;
2) penyelenggaraan musyawarah Desa; dan
3) kegiatan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa
yang diputuskan dalam musyawarah Desa.
g. melakukan pendampingan masyarakat Desa melalui
pembentukan dan pelatihan kader pemberdayaan masyarakat
Desa yang diselenggarakan di Desa, antara lain:
1) pelatihan kader/pendamping forum anak (atau kelompok
anak lainnya) terkait hak anak, ketrampilan memfasilitasi
anak, dan pengorganisasian.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -46-
2) pelatihan anggota forum anak terkait hak anak, data dasar
Desa, aset Desa, pengorganisasian, jurnalis warga, dan isu
anak lainnya;
3) advokasi pemenuhan hak anak, perempuan, difabel warga
miskin dan masyarakat marginal terhadap akses
administrasi kependudukan dan catatan sipil;
4) peningkatan kapasitas kelompok nelayan, pembudidaya
ikan, petambak garam, pengolah ikan, dan pemasar ikan;
dan
5) kegiatan pendampingan masyarakat Desa lainnya yang
sesuai dengan kewenangan Desa dan diputuskan dalam
musyawarah Desa.
h. menyelenggarakan peningkatan kualitas dan kapasitas
sumber daya manusia masyarakat Desa untuk pengembangan
Kesejahteraan Ekonomi Desa yang difokuskan kepada
pembentukan dan pengembangan produk unggulan Desa
dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain:
1) pelatihan usaha pertanian, perikanan, perkebunan,
industri kecil dan perdagangan;
2) pelatihan industri rumahan;
3) pelatihan teknologi tepat guna;
4) pelatihan kerja dan keterampilan bagi masyarakat Desa
sesuai kondisi Desa;
5) Pelatihan pemandu Wisata;
6) Interpretasi wisata;
7) Pelatihan Bahasa Asing;
8) Pelatihan Digitalisasi;
9) Pelatihan pengelolaan Desa Wisata;
10) Pelatihan sadar wisata dan pembentukan kelompok sadar
wisata/Pokdarwis;
11) Pelatihan penangkapan ikan diatas kapal;
12) Pelatihan penanganan penggunaan alat tangkap ramah
lingkungan;
13) Pelatihan pengemasan ikan/produk ikan;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -47-
14) Pelatihan teknik pemasaran online;
15) Pelatihan pembuatan rencana usaha perikanan; dan
16) kegiatan peningkatan kapasitas lainnya untuk
mendukung pembentukan dan pengembangan produk
unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan yang sesuai dengan kewenangan Desa dan
diputuskan dalam musyawarah Desa.
i. melakukan pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa dan pembangunan Desa yang dilakukan
secara partisipatif oleh masyarakat Desa, antara lain:
1) pemantauan berbasis komunitas;
2) audit berbasis komunitas;
3) pengembangan unit pengaduan di Desa;
4) pengembangan bantuan hukum dan paralegal Desa untuk
penyelesaian masalah secara mandiri oleh Desa;
5) pengembangan kapasitas paralegal Desa;
6) penyelenggaraan musyawarah Desa untuk
pertanggungjawaban dan serah terima hasil
pembangunan Desa; dan
7) kegiatan lainnya yang sesuai dengan kewenangan Desa
yang diputuskan dalam musyawarah Desa.
G. Pengembangan kegiatan yang diprioritaskan untuk dibiayai Dana
Desa
Desa mengembangkan jenis-jenis kegiatan lainnya di luar
daftar kegiatan yang tercantum dalam pedoman umum ini sesuai
dengan daftar kewenangan Desa. Namun demikian, dikarenakan
banyak Kabupaten/Kota belum menetapkan daftar kewenangan
Desa maka pengembangan kegiatan yang diprioritaskan untuk
dibiayai Dana Desa dibagi menjadi dua pola sebagai berikut:
1. Dalam hal sudah ada Peraturan Bupati/Wali Kota tentang
Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal-Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa, maka Desa dalam
mengembangkan kegiatan yang diprioritaskan melakukan hal-
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -48-
hal sebagai berikut:
a. menyusun dan menetapkan Peraturan Desa tentang
Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal-Usul; dan
b. menyusun daftar kegiatan yang diprioritaskan dalam
lingkup pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
Desa yang akan dibiayai Dana Desa sesuai dengan daftar
kewenangan Desa yang ditetapkan dalam Peraturan Desa
tentang Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal-Usul
dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
2. Dalam hal belum ada Peraturan Bupati/Wali Kota tentang
daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal-Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa, maka Desa dapat
mengembangkan jenis kegiatan lainnya untuk dibiayai Dana
Desa dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. BPD menyelenggarakan musyawarah Desa untuk
membahas dan menyepakati daftar kewenangan Desa
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala Desa;
b. menuangkan dalam Berita Acara Musyawarah Desa hasil
kesepakatan dalam musyawarah Desa tentang daftar
kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa;
c. menyusun daftar kegiatan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat Desa yang diprioritaskan
untuk dibiayai Dana Desa sesuai dengan daftar
kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan
kewenangan lokal berskala Desa dituangkan dalam
Berita Acara Musyawarah Desa;
d. memastikan prioritas penggunaan Dana Desa yang akan
dibiayai Dana Desa setelah mendapat persetujuan
Bupati/Wali Kota yang diberikan pada saat evaluasi
rancangan peraturan Desa mengenai APB Desa.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -49-
H. Prioritas Penggunaan Dana Desa berdasarkan Tipologi Desa dan
tingkat perkembangan kemajuan Desa
1. Bidang Pembangunan Desa:
a) Desa Tertinggal dan/atau Desa Sangat Tertinggal
memprioritaskan kegiatan pembangunan Desa pada:
1) pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan
pemeliharaan infrastruktur dasar; dan
2) pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan
infrastruktur ekonomi serta pengadaan sarana
prasarana produksi, distribusi dan pemasaran yang
diarahkan pada upaya pembentukan usaha ekonomi
pertanian dan atau/perikanan berskala produktif,
usaha ekonomi pertanian dan atau/perikanan untuk
ketahanan pangan dan usaha ekonomi lainnya yang
difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan
produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan
kawasan perdesaan.
b) Desa berkembang memprioritaskan kegiatan
pembangunan Desa pada:
1) pembangunan, pengembangan, pemeliharaan
infrastruktur ekonomi; dan
2) pengadaan sarana prasarana produksi, distribusi dan
pemasaran.
c) Pengadaan sarana dan prasarana digunakan untuk
mendukung:
1) penguatan usaha ekonomi pertanian dan
atau/perikanan berskala produktif;
2) usaha ekonomi untuk ketahanan pangan dan usaha
ekonomi lainnya;
3) pengadaan sarana prasarana sosial dasar dan
lingkungan yang diarahkan pada upaya mendukung
pemenuhan akses masyarakat Desa terhadap
pelayanan sosial dasar dan lingkungan; dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -50-
4) pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur dasar.
d) Desa Maju dan/atau Desa Mandiri memprioritaskan
kegiatan pembangunan pada:
1) pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan infrastruktur ekonomi serta pengadaan
sarana prasarana produksi, distribusi dan
pemasaran untuk mendukung perluasan/ekspansi
usaha ekonomi pertanian dan atau/perikanan
berskala produktif, usaha ekonomi untuk ketahanan
pangan dan usaha ekonomi lainnya yang difokuskan
kepada pembentukan dan pengembangan produk
unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan;
2) pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur sosial
dasar serta pengadaan sarana prasarana sosial dasar
dan lingkungan yang diarahkan pada upaya
mendukung peningkatan kualitas pemenuhan akses
masyarakat Desa terhadap pelayanan sosial dasar
dan lingkungan; dan
3) pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur
dasar.
2. Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa
a. Desa Tertinggal dan/atau Desa Sangat Tertinggal
memprioritaskan kegiatan pemberdayaan masyarakat
Desa untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi
masyarakat Desa yang meliputi:
1) pembentukan BUMDesa dan/atau BUMDesa
Bersama melalui penyertaan modal, pengelolaan
produksi, distribusi dan pemasaran bagi usaha
ekonomi pertanian berskala produktif dan usaha
ekonomi lainnya yang difokuskan kepada
pembentukan dan pengembangan produk unggulan
Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -51-
2) pembentukan usaha ekonomi warga/kelompok,
dan/atau lembaga ekonomi masyarakat Desa lainnya
melalui akses permodalan yang dikelola BUMDesa
dan/atau BUMDesa, pengelolaan produksi, distribusi
dan pemasaran bagi usaha ekonomi pertanian
berskala produktif dan usaha ekonomi lainnya yang
difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan
produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan
kawasan perdesaan;
3) pembentukan usaha ekonomi melalui
pendayagunaan sumber daya alam dan penerapan
teknologi tepat guna; dan
4) pembukaan lapangan kerja untuk pemenuhan
kebutuhan hidup bagi masyarakat Desa secara
berkelanjutan.
b. Desa Berkembang memprioritaskan kegiatan
pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat Desa yang meliputi:
1) penguatan BUMDesa dan/atau BUMDesa Bersama
melalui penyertaan modal, pengelolaan produksi,
distribusi dan pemasaran bagi usaha ekonomi
pertanian berskala produktif dan usaha ekonomi
lainnya yang difokuskan kepada pembentukan dan
pengembangan produk unggulan Desa dan/atau
produk unggulan kawasan perdesaan;
2) penguatan usaha ekonomi warga/kelompok,
dan/atau lembaga ekonomi masyarakat Desa lainnya
melalui akses permodalan yang dikelola BUMDesa
dan/atau BUMDesa, pengelolaan produksi, distribusi
dan pemasaran bagi usaha ekonomi pertanian
berskala produktif dan usaha ekonomi lainnya yang
difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan
produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan
kawasan perdesaan;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -52-
3) penguatan dan pengembangan usaha ekonomi
melalui pendayagunaan sumber daya alam dan
penerapan teknologi tepat guna;
4) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kerja
terampil dan pembentukan wirausahawan di Desa;
dan
5) pengembangan lapangan kerja untuk pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat Desa secara
berkelanjutan.
c. Desa Maju dan/atau Desa Mandiri memprioritaskan
kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat Desa
yang meliputi:
1) perluasan usaha BUMDesa dan/atau BUMDesa
Bersama melalui penyertaan modal, pengelolaan
produksi, distribusi dan pemasaran bagi usaha
ekonomi pertanian berskala produktif dan usaha
ekonomi lainnya yang difokuskan kepada
pembentukan dan pengembangan produk unggulan
Desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan;
2) perluasan usaha ekonomi warga/kelompok,
dan/atau lembaga ekonomi masyarakat Desa lainnya
melalui akses permodalan yang dikelola BUMDesa
dan/atau BUMDesa, pengelolaan produksi, distribusi
dan pemasaran bagi usaha ekonomi pertanian
berskala produktif dan usaha ekonomi lainnya yang
difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan
produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan
kawasan perdesaan;
3) perluasan usaha ekonomi melalui pendayagunaan
sumber daya alam dan penerapan teknologi tepat
guna;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -53-
4) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kerja ahli
di Desa; dan
5) perluasan/ekspansi lapangan kerja untuk
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Desa
secara berkelanjutan.
d. Desa Sangat Tertinggal, Desa Tertinggal, Desa
Berkembang, Desa Maju dan Desa Mandiri
memprioritaskan kegiatan pemberdayaan masyarakat
Desa untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
masyarakat Desa yang meliputi:
1) pengelolaan secara partisipatif kegiatan pelayanan
sosial dasar di bidang pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan warga miskin, pemberdayaan
perempuan dan anak; dan
2) pemberdayaan masyarakat marginal dan anggota
masyarakat Desa penyandang disabilitas;
I. Alokasi Afirmasi
Desa yang mendapatkan alokasi afirmasi wajib
mempergunakan alokasi afirmasi untuk kegiatan penanggulangan
kemiskinan. Alokasi Afirmasi adalah alokasi yang dihitung dengan
memperhatikan status Desa Tertinggal dan Desa Sangat
Tertinggal, yang memiliki jumlah penduduk miskin tinggi.
Kegiatan penanggulangan kemiskian yang bersumber dari
alokasi afirmasi antara lain:
1) pelatihan keahlian dan ketrampilan kewirausahaan, yaitu
pembekalan keahlian untuk mengembangkan usaha secara
mandiri bagi warga miskin;
2) pendampingan kelompok usaha mulai pembentukan, pelatihan
organisasi, analisis potensi, pengusulan kegiatan usaha
produktif, pelaksanaan kegiatan, akses keuangan dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -54-
permodalan, hingga pengelolaan/pemasaran hasil bagi warga
miskin;
3) membangun prasarana pelatihan usaha dan keahlian kerja bagi
warga miskin;
4) membangun prasarana produksi bersama untuk produk dan
komoditas unggulan Desa;
5) mengembangkan sentra produksi dan pemasaran hasil warga
miskin;
6) mengembangkan bursa tenaga kerja terampil Desa yang berasal
dari warga miskin;
7) memfasilitasi akses keuangan, permodalan dan pasar bagi bursa
komoditas, produksi dan tenaga kerja terampil Desa yang
berasal dari warga miskin;
8) mendorong pemerintah Desa menyediakan infrastruktur
ekonomi pendukung seperti: balai latihan kerja untuk
peningkatan kapasitas masyarakat miskin, sentra produksi dan
pemasaran produk serta komoditas sebagai hasil pengembangan
oleh waga miskin; dan
9) kegiatan penanggulangan kemiskian lainnya yang sesuai dengan
kewenangan Desa dan diputuskan dalam musyawarah Desa.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -55-
BAB II
PENETAPAN PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA
Prosedur penetapan penggunaan Dana Desa mengikuti proses
perencanaan dan penganggaran Desa. Dokumen perencanaan dan
penganggaran pembangunan yang meliputi RPJMDesa, RKPDesa dan
APBDesa dissun berdasarkan hasil pembahasan dan dan
penyepakatan dalam musyawarah Desa. Prioritas penggunaan Dana
Desa adalah bagian dari penyusunan RKPDesa dan APBDesa.
A. Prosedur penetapan prioritas penggunaan Dana Desa
Prosedur penetapan prioritas penggunaan Dana Desa
adalah sebagai berikut:
1. Tahap Ke-1 : Musyawarah Desa – RPJMDesa
Penetapan prioritas penggunaan Dana Desa merupakan
bagian dari hal-hal strategis di Desa, sehingga wajib dibahas
dan disepakati dalam musyawarah Desa. Adapun hal-hal yang
dibahas dalam Musyawarah Desa tersebut, paling sedikit
meliputi:
a. Pencermatan Ulang RPJMDes;
b. Evaluasi RKPDes tahun sebelumnya;
c. Penyusunan prioritas tahun selanjutnya;
d. Pembentukan Tim Penyusun RKPDesa.
Hasil kesepakatan musyawarah Desa tentang prioritas
penggunaan Dana Desa harus dituangkan dalam dokumen
berita acara dan menjadi pedoman pemerintah Desa dalam
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa).
2. Tahap Ke-2 : Persiapan Penyusunan Rancangan RKP Desa
a. Kepala Desa mempedomani hasil kesepakatan
musyawarah Desa berkaitan dengan prioritas
penggunaan Dana Desa. Sebab, kegiatan-kegiatan yang
disepakati untuk dibiayai dengan Dana Desa wajib
dimasukkan ke dalam dokumen rancangan RKP Desa.
b. Dalam rangka penyusunan rancangan RKP Desa
khususnya terkait penggunaan Dana Desa, Pemerintah
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -56-
Daerah Kabupaten/Kota berkewajiban menyampaikan
kepada seluruh Kepala Desa di wilayahnya tentang
informasi sebagai berikut:
1) pagu indikatif Dana Desa;
2) program/kegiatan pembangunan masuk Desa yang
dibiayai dengan APBD kabupaten/kota, APBD provinsi,
dan/atau APBN; dan
3) data tipologi Desa berdasarkan perkembangan Desa
yang dihitung berdasar IDM.
c. Tim Penyusun RKP Desa sebelum mulai menyusun draft
rancangan RKP Desa wajib mendalami dan mencermati
hal-hal sebagai berikut:
1) berita acara musyawarah Desa tentang hasil
kesepakatan kegiatan-kegiatan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat Desa yang akan dibiayai
Dana Desa;
2) pagu indikatif Dana Desa;
3) program/kegiatan pembangunan masuk Desa yang
dibiayai dengan APBD kabupaten/kota, APBD
provinsi, dan/atau APBN; dan
4) data tipologi Desa berdasarkan perkembangan Desa
yang dihitung berdasar IDM.
5) tata cara penetapan prioritas penggunaan Dana Desa
yang terpadu dengan program/kegiatan
pembangunan masuk Desa.
3. Tahap Penyusunan Rancangan Prioritas Penggunaan Dana
Desa dalam Penyusunan Rancangan RKP Desa
Berdasarkan hasil kesepakatan dalam musyawarah
Desa yang diadakan untuk membahas penyusunan RKP Desa
dan juga berdasarkan kelengkapan data dan informasi yang
dibutuhkan dalam penyusunan RKP Desa, Kepala Desa
dengan dibantu Tim Penyusun RKP Desa menyusun
rancangan prioritas kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa yang akan dibiayai Dana
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -57-
Desa. Tata cara menentukan prioritas penggunaan Dana Desa
dalam tahapan penyusunan RKP Desa adalah dilakukan
penilaian terhadap daftar kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa sebagai hasil kesepakatan
dalam musyawarah Desa, dengan cara sebagai berikut:
a. Prioritas Berdasarkan Kemanfaatan
Penggunaan Dana Desa harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat Desa
dengan memprioritaskan kegiatan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat Desa yang bersifat mendesak
untuk dilaksanakan, serta lebih dibutuhkan dan
berhubungan langsung dengan kepentingan sebagian
besar masyarakat Desa.
Tolok ukur untuk menyatakan bahwa suatu
perencanaan kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa bermanfaat bagi
masyarakat adalah penilaian terhadap Desain rencana
kegiatan pembangunan dan/atau pemberdayaan
masyarakat Desa berdasarkan kecepatan dan kedalaman
pencapaian tujuan pembangunan Desa. Kegiatan yang
direncanakan untuk dibiayai Dana Desa dipastikan
kemanfaatannya dalam hal peningkatan kualitas hidup
masyarakat Desa, peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa dan penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan tolok ukur kemanfaatan penggunaan
Dana Desa, selanjutnya penggunaan Dana Desa
difokuskan pada kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat yang paling dibutuhkan dan
paling besar kemanfaatannya untuk masyarakat Desa.
Penggunaan Dana Desa difokuskan dan tidak dibagi rata.
Fokus prioritas kegiatan dilakukan dengan cara
mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa yang berdampak
langsung terhadap pencapaian tujuan pembangunan
Desa, meliputi:
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -58-
1) kegiatan yang mempermudah masyarakat Desa
memperoleh pelayanan kesehatan antara lain
pencegahan kekurangan gizi kronis (stunting) dan
pelayanan gizi anak-anak;
2) kegiatan pengembangan kapasitas dan kapabilitas
masyarakat Desa masyarakat Desa mulai dari anak-
anak, remaja, pemuda dan orang dewasa antara lain
kegiatan pelatihan tenaga kerja yang mendukung
pengembangan ekonomi produktif;
3) pengembangan usaha ekonomi produktif yang paling
potensial untuk meningkatan pendapatan asli Desa,
membuka lapangan kerja bagi warga Desa dan
meningkatkan penghasilan ekonomi bagi masyarakat
Desa utamanya keluarga-keluarga miskin;
4) kegiatan pembangunan Desa yang dikelola melalui pola
padat karya tunai agar berdampak nyata pada upaya
mempercepat penanggulangan kemiskinan di Desa;
dan
5) kegiatan pelestarian lingkungan hidup dan penanganan
bencana alam yang berdampak luas terhadap
kesejahteraan masyarakat Desa, seperti: ancaman
perubahan iklim, banjir, kebakaran hutan dan lahan,
serta tanah longsor.
b. Prioritas Berdasarkan Partisipasi Masyarakat
Penggunaan Dana Desa dikelola melalui
mekanisme pembangunan partisipatif yang tumpuannya
adalah peran aktif masyarakat Desa dalam tahapan
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penggunaan
Dana Desa. Kepastian bahwa kegiatan pembangunan
dan/atau pemberdayaan masyarakat Desa yangakan
dibiayai Dana Desa didukung masyarakat Desa, dinilai
dengan cara sebagai berikut:
1) kegiatan yang didukung oleh sebagian besar
masyarakat Desa lebih diutamakan, dibandingkan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -59-
kegiatan yang tidak dan/atau lebih sedikit didukung
masyarakat Desa;
2) kegiatan yang direncanakan dan dikelola
sepenuhnya oleh masyarakat Desa dan/atau
diselenggarakan oleh pemerintah Desa bersama
masyarakat Desa lebih diutamakan dibandingkan
dengan kegiatan yang tidak melibatkan masyarakat
Desa; dan
3) kegiatan yang mudah diawasi pelaksanaanya oleh
masyarakat Desa lebih diutamakan.
c. Prioritas Berdasarkan Swakelola dan Pendayagunaan
Sumberdaya Desa
Kegiatan pembangunan dan/atau pemberdayaan
masyarakat Desa yang dibiayai Dana Desa diarahkan
untuk menjadikan Dana Desa tetap berputar di Desa.
Cara memutar Dana Desa secara berkelanjutan antara
lain Dana Desa diswakelola oleh Desa dengan
mendayagunakan sumberdaya yang ada di Desa.
Kegiatan pembangunan dan/atau pemberdayaan
masyarakat Desa yang direncanakan untuk diswakelola
Desa dengan mendayagunakan sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam yang ada di Desa lebih diprioritaskan
dibandingkan dengan kegiatan yang diserahkan
pelaksanaannya kepada pihak ketiga dan/atau tidak
mendayagunakan sumberdaya yang ada di Desa.
d. Prioritas Berdasarkan Keberlanjutan
Tujuan pembangunan Desa akan mudah dicapai
apabila kegiatan pembangunan dan/atau pemberdayaan
masyarakat Desa yang akan dibiayai Dana Desa
dirancang untuk dikelola secara berkelanjutan. Prasyarat
keberlanjutan adalah kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa harus memiliki rencana
pengelolaan dalam pemanfaatannya, pemeliharaan,
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -60-
perawatan dan pelestariannya. Dana Desa diprioritaskan
membiayai kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa yang berkelanjutan
dibandingkan kegiatan yang tidak berkeberlanjutan.
e. Prioritas Berdasarkan Prakarsa Inovasi Desa
Kebaharuan melalui pengembangan kegiatan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa yang
inovatif difokuskan untuk memperdalam dan
mempercepat tercapainya tujuan pembangunan Desa
yaitu peningkatan kualitas hidup masyarakat Desa,
peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa dan
penanggulangan kemiskinan. Pertukaran pengetahuan
atas kegiatan inovasi dari dan antar Desa bisa menjadi
model pembangunan dan pemberdayaan yang
berkelanjutan. Usulan kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa yang inovatif akan
diprioritaskan untuk dibiayai Dana Desa agar dapat lebih
mempercepat terwujudnya tujuan pembangunan Desa,
peningkatan ekonomi masyarakat, dan kesejahteraan
masyarakat Desa.
f. Prioritas Berdasarkan Kepastian adanya Pengawasan
Dana Desa digunakan untuk membiayai kegiatan
pembangunan dan/atau pemberdayaan masyarakat Desa
yang pengelolaannya dilakukan secara transparan dan
akuntabel. Masyarakat Desa harus memiliki peluang
sebesar-besarnya untuk mengawasi penggunaan Dana
Desa. Kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa harus
dipublikasikan kepada masyarakat di ruang publik atau
ruang yang dapat diakses masyarakat Desa.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -61-
g. Pengembangan kegiatan di luar prioritas penggunaan
Dana Desa
Dalam hal Desa bermaksud membiayai kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan Desa untuk
pembangunan kantor Desa bagi Desa yang belum
memiliki kantor Kepala Desa dan/atau pembinaan
kemasyarakatan, dan mengingat pengaturan prioritas
penggunaan Dana Desa sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Pasal 19
ayat (2) bersifat mewajibkan, maka prasyarat penggunaan
Dana Desa di luar kegiatan yang diprioritaskan dapat
dilakukan apabila Bupati/Wali Kota menjamin bahwa
seluruh kegiatan pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat yang dibutuhkan masyarakat Desa sudah
mampu dipenuhi seluruhnya oleh Desa.
4. Tahap Penetapan Rencana Prioritas Penggunaan Dana Desa
Berdasarkan daftar kegiatan pembangunan dan/atau
pemberdayaan masyarakat Desa yang diprioritaskan untuk
dibiayai Dana Desa, Kepala Desa dengan dibantu Tim
Penyusun RKP Desa melampiri daftar kegiatan dimaksud
dengan rencana kegiatan dan Rencana Anggaran Biaya yang
bersumber dari Dana Desa. Daftar kegiatan beserta
lampirannya menjadi masukan dalam menyusun rancangan
RKP Desa.
Kepala Desa berkewajiban menyampaikan kepada
masyarakat Desa rancangan RKP Desa yang memuat rencana
kegiatan-kegiatan yang akan dibiayai dengan Dana Desa.
Rancangan RKP Desa, termasuk rancangan prioritas kegiatan
yang dibiayai dari Dana Desa harus dibahas dan disepakati
dalam musrenbang Desa ini. Rancangan RKP Desa
selanjutnya dibahas dan disepakati dalam musrenbangDesa
yang diselenggarakan Kepala Desa sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -62-
Hasil kesepakatan dalam musrenbang Desa menjadi
pedoman bagi Kepala Desa dan BPD dalam menyusun
Peraturan Desa tentang RKP Desa. Kepala Desa dan BPD
wajib mempedomani peraturan Desa tentang RKP Desa ketika
menyusun APBDesa.
5. Tahap Penyusunan Rancangan APB Desa
Pembiayaan kegiatan dengan Dana Desa dipastikan
setelah Bupati/Wali Kota menetapkan peraturan Bupati/Wali
Kota mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian
Dana Desa. Berdasarkan peraturan Bupati/Wali Kota
dimaksud, diketahui besaran Dana Desa untuk masing-
masing Desa. Bupati/Wali Kota berkewajiban menyampaikan
dan mensosialisasikan kepada Desa-Desa peraturan
Bupati/Wali Kota mengenai tata cara pembagian dan
penetapan rincian Dana Desa.
Kepala Desa merancang pembiayaan kegiatan dengan
Dana Desa dengan berpedoman kepada RKP Desa. Dana Desa
dibagi untuk membiayai kegiatan-kegiatan sesuai daftar
urutan kegiatan yang sudah ditetapkan dalam RKP Desa.
Kepala Desa dilarang secara sepihak mengubah daftar
kegiatan yang direncanakan dibiayai Dana Desa yang sudah
ditetapkan dalam RKP Desa.
Rencana penggunaan Dana Desa masuk menjadi bagian
dari Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa. Kepala
Desa berkewajiban mensosialisasikan dan menginformasikan
kepada masyarakat Desa perihal Rancangan Peraturan Desa
tentang APB Desa. Sosialisasi rancangan APB Desa dilakukan
sebelum dokumen Rancangan Peraturan Desa tentang APB
Desa disampaikan Kepala Desa kepada Bupati/Wali Kota.
Masyarakat Desa, melalui BPD, berhak untuk
menyampaikan keberatan kepada Kepala Desa apabila
rancangan penggunaan Dana Desa berbeda dengan rencana
yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Desa tentang RKP
Desa. Dalam hal Kepala Desa berkeras untuk mengubah
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -63-
rencana penggunaan Dana Desa yang sudah ditetapkan dalam
RKP Desa, maka BPD berkewajiban menyelenggarakan
musyawarah Desa untuk membahas dan menyepakati
rencana penggunaan Dana Desa. Dengan demikian,
rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa yang
disampaikan Kepala Desa kepada Bupati/Wali Kota harus
dipastikan diterima oleh sebagian besar masyarakat Desa.
6. Tahap Reviu Rancangan APB Desa
a. Bupati/Wali Kota berkewajiban mengevaluasi Rancangan
Peraturan Desa tentang APB Desa termasuk rencana
penggunaan Dana Desa. Evaluasi dimaksud diadakan
untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan yang
dibiayai Dana Desa memenuhi ketentuan hal-hal sebagai
berikut:
1) termasuk bagian dari kewenangan Desa berdasarkan
hak asul-usul dan kewenangan lokal berskala Desa;
2) termasuk urusan pembangunan Desa dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
3) tidak tumpang tindih dengan program/kegiatan dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
4) prioritas penggunaan Dana Desa yang tercantum
dalam Rancangan APB Desa direncanakan sesuai
dengan mekanisme penetapan prioritas penggunaan
Dana Desa yang diatur dalamperaturan perundang-
undangan tentang Penetapan Prioritas Penggunaan
Dana Desa Tahun 2019.
b. Dalam hal hasil evaluasi Rancangan Peraturan Desa
tentang APBDesa dinyatakan rencana penggunaan Dana
Desa tidak sesuai dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Bupati/Wali Kota menyampaikan penjelasan secara
tertulis kepada Desa. Penyampaian penjelasan tertulis
sebagaimana dimaksud, dilakukan dengan cara-cara
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -64-
sebagai berikut:
1) Bupati/Wali Kota menjelaskan latar belakang dan
dasar pemikiran adanya ketidaksetujuan atas
rencana pengunaan Dana Desa;
2) kepala Desa menyampaikan kepada masyarakat
Desa perihal ketidaksetujuan Bupati/Wali Kota atas
rencana pengunaan Dana Desa;
3) masyarakat Desa melalui BPD berhak mengajukan
keberatan kepada kepala Desa apabila dapat
dibuktikan bahwa rencana penggunaan Dana Desa
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi;
4) BPD dapat menyelenggarakan musyawarah Desa
untuk membahas dan menyepakati tanggapan Desa
terhadap ketidaksetujuan Bupati/Wali Kota atas
rencana pengunaan Dana Desa;
5) Dalam hal berdasarkan hasil kesepakatan
musyawarah Desa dinyatakan Desa menerima
ketidaksetujuan Bupati/Wali Kota atas rencana
pengunaan Dana Desa, maka dilakukan perubahan
rencana penggunaan Dana Desa;
6) Dalam hal berdasarkan hasil kesepakatan
musyawarah Desa dinyatakan Desa menolak
ketidaksetujuan Bupati/Wali Kota atas rencana
pengunaan Dana Desa, maka kepala Desa
mengajukan keberatan kepada Bupati/Wali Kota
melalui camat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Bupati/Wali Kota dapat mendelegasikan evaluasi
Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa kepada
camat atau sebutan lain.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -65-
BAB III
PUBLIKASI DAN PELAPORAN
A. Publikasi
Prioritas penggunaan Dana Desa di bidang pembangunan
Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa wajib dipublikasikan
oleh Pemerintah Desa kepada masyarakat Desa di ruang publik
yang dapat diakses masyarakat Desa yang dilakukan secara
swakelola dan partisipatif dengan melibatkan peran serta
masyarakat Desa.
Sarana Publikasi Prioritas penggunaan Dana Desa dapat
dilakukan melalui:
1. baliho;
2. papan informasi Desa;
3. media elektronik;
4. media cetak;
5. media sosial;
6. website Desa;
7. selebaran (leaflet);
8. pengeras suara di ruang publik;
9. media lainnya sesuai dengan kondisi di Desa.
Apabila Desa tidak mempublikasikan prioritas penggunaan
Dana Desa di ruang publik, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
memberikan sanksi administrasi berupa teguran lisan dan/tertulis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Pelaporan
1. Pelaporan dari Desa kepada Bupati/Wali Kota
Pelaporan penetapan prioritas penggunaan Dana Desa
merupakan proses penyampaian data dan/atau informasi
Dana Desa mengenai perkembangan, kemajuan setiap
tahapan dari mekanisme penetapan prioritas penggunaan
Dana Desa. Desa berkewajiban melaporkan penetapan
prioritas penggunaan Dana Desa kepada Bupati/Wali Kota.
Laporan prioritas penggunaan Dana Desa dilengkapi
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -66-
dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. Perdes tentang kewenangan Desa berdasarkan hak asal-
usul dan kewenagan lokal berskala Desa;
b. Perdes tentang RKPDesa;
c. Perdes tentang APBDesa;
d. Laporan realisasi penggunaan Dana Desa
2. Pelaporan dari Bupati/Wali Kota kepada Gubernur
Bupati/Wali Kota berkewajiban melaporkan penetapan
prioritas penggunaan Dana Desa kepada gubernur.
Bupati/Wali Kota u.p. organisasi pemerintah daerah yang
menangani pemberdayaan masyarakat Desa wajib
mendayagunakan pendamping profesional dalam mengelola
laporan penetapan prioritas penggunaan Dana Desa.
3. Pelaporan dari Gubernur kepada Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Gubernur berkewajiban melaporkan penetapan prioritas
penggunaan Dana Desa kepada Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melalui Direktur
Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Laporan dimaksud disampaikan paling lambat 2 (dua) minggu
setelah diterimanya seluruh laporan dari Bupati/Wali Kota.
4. Pelaporan dalam Kondisi Khusus
Dalam hal dipandang perlu untuk dilaporkan secara
mendesak atau bersifat khusus, dapat dilakukan di luar
mekanisme pelaporan berkala. Pelaporan khusus ini bentuk
dan waktunya bebas disesuaikan dengan kondisi dan keadaan
yang ada.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -67-
BAB IV
PARTISIPASI MASYARAKAT
Dalam melaksanakan prioritas penggunaan Dana Desa,
masyarakat Desa berhak menyampaikan pengaduan masalah-masalah
tentang penetapan prioritas penggunaan Dana Desa kepada Badan
Permusyawaratan Desa dan secara berjenjang ke pusat layanan
pengaduan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi serta Kantor Staf Presiden (KSP), sebagai berikut:
1. Layanan telepon : 1500040
2. Layanan SMS Center : 087788990040, 081288990040
3. Layanan PPID : Gedung Utama, Biro Hubungan
Masyarakat dan Kerja Sama Lantai 1
4. Layanan Sosial Media :
a. @Kemendesa (twitter),;
b. Kemendesa.1 (Facebook);
c. e-complaint.kemendesa.go.id; dan
d. website http : www.lapor.go.id
(LAPOR Kantor Staf Presiden KSP).
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -68-
BAB V
PEMBINAAN, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI
Pembinaan penetapan prioritas penggunaan Dana Desa
dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat Desa.
Dalam kaitan ini, Undang-Undang Desa memandatkan bahwa
penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat Desa dilakukan dengan
memberikan pendampingan dalam proses perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan pembangunan Desa. Pendampingan Desa dilakukan
secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan Desa pada
level Desa secara teknis dilaksanakan oleh Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping
profesional, kader pemberdayaan masyarakat Desa dan/atau pihak
ketiga, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pembinaan, pemantauan, dan evaluasi penetapan prioritas
penggunaan Dana Desa, meliputi:
1. menetapkan pengaturan yang berkaitan dengan Dana Desa;
2. membuat pedoman teknis kegiatan yang dapat didanai dari Dana
Desa;
3. melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penggunaan
Dana Desa; dan
4. memberikan bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan
pengelolaan dan penggunaan Dana Desa.
MENTERI DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
EKO PUTRO SANDJOJO
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -69-
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2019
TENTANG
PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA
TAHUN 2020
SISTEMATIKA
CONTOH-CONTOH PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN 2020
A. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN POLA PADAT KARYA
TUNAI
B. PENCEGAHAN KEKURANGAN GIZI KRONIS (STUNTING)
C. PENGEMBANGAN ANAK USIA DINI HOLISTIK INTEGRATIF (PAUD HI)
D. PELAKSANAAN KEAMANAN PANGAN DI DESA
E. PELAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK
F. PENGEMBANGAN KETAHANAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
G. PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA
H. PEMBELAJARAN DAN PELATIHAN KERJA
I. PENGEMBANGAN Desa INKLUSI
J. PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN Desa/ KAWASAN PERDESAAN
K. PEMBENTUKAN DAN PENGEMBANGAN BUMDESA/ BUMDESA BERSAMA
L. PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PASAR DESA
M. PEMBANGUNAN EMBUNG DESA TERPADU
N. PENGEMBANGAN DESA WISATA
O. PENDAYAGUNAAN SUMBERDAYA ALAM DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA
P. PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM MELALUI MITIGASI DAN ADAPTASI
Q. PENCEGAHAN DAN PENANGANAN BENCANA ALAM
R. KEGIATAN TANGGAP DARURAT BENCANA ALAM
S. SISTEM INFORMASI DESA
T. PENGEMBANGAN KETERBUKAAN INFORMASI PEMBANGUNAN DESA
U. PEMBERDAYAAN HUKUM DI DESA
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -70-
CONTOH-CONTOH PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA TAHUN 2020
A. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN Desa DENGAN POLA PADAT KARYA
TUNAI
Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai padat
karya tunai di Desa. Padat karya tunai di Desa merupakan kegiatan
pemberdayaan keluarga miskin, pengangguran, dan keluarga dengan balita
gizi buruk yang bersifat produktif berdasarkan pemanfaatan sumber daya
alam, tenaga kerja, dan teknologi lokal dalam rangka mengurangi
kemiskinan, meningkatkan pendapatan dan menurunkan angka stunting.
1. Padat karya tunai di Desa adalah
a. diprioritaskan bagi:
1) anggota keluarga miskin;
2) penganggur;
3) setengah penganggur; dan
b. anggota keluarga dengan balita gizi buruk dan/atau kekurangan gizi
kronis (stunting);
c. memberikan kesempatan kerja sementara;
d. menciptakan kegiatan yang berdampak pada peningkatan pendapatan
tanpa sepenuhnya menggantikan pekerjaan yang lama;
e. mekanisme dalam penentuan upah dan pembagian upah dibangun
secara partisipatif dalam musyawarah Desa;
f. berdasarkan rencana kerja yang disusun sendiri oleh Desa sesuai
dengan kebutuhan lokal; dan
g. difokuskan pada pembangunan sarana prasarana perdesaan atau
pendayagunaan sumberdaya alam secara lestari berbasis
pemberdayaan masyarakat.
2. Manfaat padat karya tunai
a. menyediakan lapangan kerja bagi penganggur, setengah penganggur,
keluarga miskin, dan keluarga dengan balita gizi buruk dan/atau
kekurangan gizi kronis (stunting);
b. menguatkan rasa kebersamaan, keswadayaan, gotong-royong dan
partisipasi masyarakat;
c. mengelola potensi sumberdaya lokal secara optimal;
4)
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -71-
a. meningkatkan produktivitas, pendapatan dan daya beli masyarakat
Desa; dan
b. mengurangi jumlah penganggur, setengah penganggur, keluarga
miskin dan keluarga dengan balita gizi buruk dan/atau kekurangan
gizi kronis (stunting).
3. Dampak
a. terjangkaunya (aksesibilitas) masyarakat Desa terhadap pelayanan
dasar dan kegiatan sosial-ekonomi;
b. turunnya tingkat kemiskinan perdesaan;
c. turunnya tingkat pengangguran perdesaan;
d. turunnya jumlah balita kurang gizi di perdesaan; dan
e. turunnya arus migrasi dan urbanisasi
4. Sifat kegiatan padat karya tunai
a. swakelola:
1) kegiatan padat karya tunai di Desa dilaksanakan melalui
mekanisme swakelola;
2) sub kegiatan untuk penyediaan barang dan jasa yang tidak dapat
dipenuhi Desa dapat dipenuhi melalui kontrak sederhana dengan
penyedia barang dan/atau jasa.
b. mengutamakan tenaga kerja dan material lokal Desa yang berasal dari
Desa setempat, sehingga mampu menyerap tenaga kerja lokal dan
meningkatkan pendapatan masyarakat Desa.
c. Upah tenaga kerja dibayarkan secara langsung secara harian, dan jika
tidak memungkinkan maka dibayarkan secara mingguan.
5. Contoh-contoh kegiatan pembangunan Desa yang menyerap tenaga
kerja/padat karya dalam jumlah besar:
a. rehabilitasi irigasi Desa;
b. rehabilitasi saluran pengering/drainase Desa;
c. pembersihan daerah aliran sungai;
d. pembangunan jalan rabat beton;
e. pembangunan tembok penahan tanah/talud;
f. pembangunan embung Desa;
g. penanaman hutan Desa;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -72-
h. penghijauan lereng pegunungan;
i. pembasmian hama tikus;
B. PENCEGAHAN KEKURANGAN GIZI KRONIS (STUNTING)
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan
gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kondisi
gagal tumbuh pada anak balita disebabkan oleh kurangnya asupan gizi
yang berulang, infeksi berulang, dan pola asuh yang tidak memadai
terutama dalam 1.000 HPK. Anak tergolong stunting apabila lebih pendek
dari standar umur anak sebayanya. Standar panjang atau tinggi badan
anak dapat dilihat pada buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Balita dan/atau bayi dibawah usia dua tahun (Baduta) yang mengalami
stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan
anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat
beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara
luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. praktek pengasuhan anak yang kurang baik;
2. masih terbatasnya layanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan, layanan kesehatan untuk Balita/Baduta dan pembelajaran
dini yang berkualitas;
3. masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi;
4. kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk menangani kekurangan gizi
kronis (stunting) melalui kegiatan sebagai berikut:
1. Pelayanan Peningkatan Gizi Keluarga di Posyandu berupa kegiatan:
a. penyediaan makanan bergizi untuk ibu hamil;
b. penyediaan makanan bergizi untuk ibu menyusui dan anak usia 0-6
bulan; dan
c. penyediaan makanan bergizi untuk ibu menyusui dan anak usia 7-23
bulan; dan
d. penyediaan makanan bergizi untuk balita.
2. menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -73-
3. menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi (jamban
keluarga);
4. penyuluhan konsumsi masyarakat terhadap pangan sehat dan bergizi,
5. menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB);
6. penyuluhan pentingnya pengasuhan anak kepada pada orang tua;
7. penyuluhan pendidikan gizi masyarakat;
8. memberikan pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi,
serta gizi kepada remaja;
9. meningkatkan ketahanan pangan dan gizi di Desa;
10. pelayanan kesehatan lingkungan (seperti penataan air limbah, dll)
11. bantuan biaya perawatan kesehatan dan/atau pendampingan untuk ibu
hamil, nifas dan menyusui, keluarganya dalam merawat anak dan lansia;
12. penyuluhan pasca persalinan, kunjungan nifas, dan kunjungan
neonatal;
13. penyuluhan pemberian imunisasi, stimulasi perkembangan anak, peran
ayah dalam pengasuhan, dll;
14. kampanye kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan
keluarga;
15. pelatihan kader kesehatan masyarakat untuk gizi, kesehatan, air bersih,
sanitasi, pengasuhan anak, stimulasi, pola konsumsi dan lainnya;
16. pelatihan kader untuk melakukan pendampingan dalam memberi ASI,
pembuatan makanan pendamping ASI, stimulasi anak, cara menggosok
gigi, dan cuci tangan pakai sabun untuk 1000 hari pertama kehidupan;
C. PENGEMBANGAN ANAK USIA DINI HOLISTIK INTEGRATIF (PAUD HI)
Konsep PAUD HI merujuk pada Pasal 1 ayat (2) Perpres No. 60 Tahun
2013 yang menyatakan bahwa Pengembangan Anak Usia Dini Holistik
lntegratif yang selanjutnya disingkat PAUD HI adalah upaya pengembangan
anak usia dini yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan esensial anak
yang beragam yang beragam dan saling terkait secara simultan, sistematis,
dan terintegrasi. PAUD HI merupakan bentuk komitmen Pemerintah dalam
menjamin terpenuhinya hak tumbuh kembang anak usia dini dalam hal
pendidikan, kesehatan, gizi, perawatan, pengasuhan, serta perlindungan
dan kesejahteraan dilaksanakan secara simultan, sistematis, menyeluruh,
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -74-
terintegrasi, dan berkesinambungan untuk mewujudkan anak yang sehat,
cerdas, dan berkarakter sebagai generasi masa depan yang berkualitas
dankompetitif. PAUD HI dilaksanakan di Lembaga-lembaga PAUD baik
Taman Kanak-Kanak, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, dan
Satuan PAUD Sejenis dengan sasaran anak sejak lahir hingga usia 6 tahun.
Lembaga PAUD merupakan binaan Dinas Pendidikan akan tetapi
program PAUD HI memerlukan pembinaan dari Dinas Kesehatan, Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa, Kantor Urusan Agama,
Dinas Sosial, Dinas Kependudukan, BKKBN, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, dan perangkat daerah terkait lainnya.
Pelaksanaan PAUD HI di lapangan dilakukan dengan
mengintegrasikan layanan pendidikan dengan kesehatan dan parenting,
dilakukan dengan cara :
a. lembaga PAUD menyelenggarakan layanan Posyandu untuk
penimbangan berat badan anak dan pengukuran panjang/tinggi badan
anak setiap bulan;
b. pemberian makanan tambahan;
c. pemberian vitamin A untuk anak dilanjutkan pertemuan parenting
dengan orang tua anak;
d. anak-anak PAUD mendatangi Posyandu atau Puskesmas terdekat untuk
dilakukan penimbangan berat badan anak dan pengukuran
panjang/tinggi badan anak setiap bulan.
e. kegiatan parenting dilaksanakan di Lembaga PAUD pada waktu yang
disepakati bersama.
Kegiatan PAUD HI dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. stimulasi pendidikan, pengembangan karakter dan PHBS di Lembaga
PAUD oleh guru PAUD;
2. penimbangan berat badan anak dan pengukuran tinggi badan anak anak
oleh guru PAUD;
3. pemberian imunisasi dan Vitamin A oleh Petugas Kesehatan;
4. pemantauan tumbuh kembang anak oleh guru PAUD; dan
5. kegiatan parenting diisi oleh narasumber dari berbagai ahli sesuai
dengan topik yang dibahas (kesehatan, gizi, pengasuhan, tumbuh
kembang anak, perlindungan anak, kesejahteraan, pengembangan
karakter anak, bermain yang mencerdaskan, PHBS, pemanfaatan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -75-
lingkungan rumah sebagai apotik dan warung hidup, dll).
PAUD HI yang dilaksanakan secara intensif dan masif mampu
mencegah stunting pada anak sejak lahir hingga 2 tahun dan mengurangi
resiko stunting pada anak di atas 2 tahun hingga 6 tahun. Program PAUD HI
dapat dikelompokkan kedalam 2 kelompok besar sesuai dengan usia anak:
1. program pengasuhan bersama untuk orang tua dan anak usia lahir – 2
tahun; dan
2. program PAUD regular untuk anak usia 3- 6 tahun ditambah kegiatan
parenting.
Dana Desa untuk pelaksanaan PAUD HI dapat dialokasikan untuk
membiayai kegiatan sebagai berikut:
1. rak untuk tempat mainan anak;
2. mainan untuk anak 0-2 tahun untuk mendukung sensitivitas indera,
motorik bahasa, dan sosial-emosional;
3. mainan untuk anak usia 3-6 tahun;
4. Karpet untuk kegiatan orang tua dan anak;
5. meja dan bangku sesuai ukuran anak usia 3-6 tahun;
6. buku-buku untuk anak 0-6 tahun;
7. alat pengukuran tinggi dan berat badan anak; dan
8. buku pemantauan pencapaian perkembangan anak (lnstrumen dari
Pusat).
9. Kegiatan parenting untuk ibu hamil dan ibu anak usia 0-6 tahun
10. penggandaan buku dan bahan ajar untuk orang tua sesuai yang dibahas
dalam parenting; dan
11. penggandaan poster-poster terkait bahan yang diperlukan.
12. Makanan tambahan untuk anak 6 bulan - 2 tahun dan 3-6 tahun
sebaiknya diupayakan memanfaatkan sumber makanan lokal yang ada
di Desa dengan pengaturan pemberian sebagai berikut:
a. makanan tambahan untuk anak 6 bulan - 2 tahun diberikan setiap
kegiatan (minimal 2 kali dalam sebulan); dan
b. makanan tambahan untuk anak 3-6 tahun diberikan minimal 2
kali dalam seminggu dengan melibatkan orang tua.
13. Pembuatan atau rehab toilet untuk orang dewasa dan anak (dibuat
secara terpisah) dilengkapi dengan:
a. sumber air bersih;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -76-
b. pembuangan limbah yang benar; dan
c. sanitasi.
14. tempat cuci tangan dilengkapi sabun dan handuk bersih;
15. tempat pembuangan sampah di ruangan dan pembuangan di luar
ruangan;
16. alat-alat makan yang tidak habis pakai (bukan terbuat dari plastik); dan
17. obat-obatan ringan P3K.
D. PELAKSANAAN KEAMANAN PANGAN DI DESA
Pelaksanaan keamanan pangan harus dimulai dari individu,
keluarga, hingga masyarakat, termasuk di perdesaan. Oleh karena itu,
masyarakat Desa harus meningkatkan kemandirian dalam menjamin
pemenuhan kebutuhan pangan yang aman. Untuk meningkatkan
kemandirian masyarakat Desa perlu dilaksanakan kegiatan keamanan
pangan secara berkelanjutan. Kegiatan keamanan pangan yang dapat
dilakukan di Desa antara lain:
1. Pembentukan dan Pelatihan Kader Keamanan Pangan Desa (KKPD)
KKPD yang dilatih dapat berasal dari kelompok PKK, Kader
Pembangunan Manusia (KPM), Anggota Karang Taruna, Guru dll. KKPD
akan bertugas untuk melakukan:
a. Sosialisasi keamanan pangan kepada masyarakat;
b. Pendampingan pada pelaku usaha pangan untuk penerapan cara
produksi pangan yang baik;
c. Koordinasi dengan Dinas Kesehatan untuk membantu pengawasan
terhadap produk pangan yang beredar didesa.
2. Sosialisasi keamanan pangan kepada masyarakat dan pelaku usaha
pangan. Sasaran sosialisasi antara lain:
a. Ibu rumah tangga;
b. Anak-anak, pemuda, dll;
c. Pelaku usaha pangan:
1) industri rumah tangga pangan;
2) kelompok usaha bersama ;
3) pedagang kreatif lapangan; dan
4) penjaja pangan di kantin sekolah/sentra kuliner, dll;
d. Pelaku usaha ritel (warung/toko/mini market/pasar) di Desa
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -77-
3. Pendampingan pada pelaku usaha untuk penerapan cara produksi
pangan yang baik dalam rangka memperoleh izin edar dari Badan
POM/ Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPPIRT)
dari Dinas Kesehatan/Sertifikat Higiene Sanitasi dari Dinas
Kesehatan.
4. Peningkatan pengetahuan tentang pengawasan produk pangan yang
beredar di Desa, seperti: alat keamanan pangan (pembelian sampel
dan rapid test kit)
5. Penyediaan sarana informasi keamanan pangan seperti: poster, leaflet,
spanduk.
E. PELAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK
Pendidikan berperan penting dalam menciptakan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas dan dapat memberikan kontribusi
terhadap peningkatan kemajuan Desa. Pendidikan akan menciptakan SDM
dengan karakter unggul, memiliki keahlian dan keterampilan, dapat
menjadi agen perubahan untuk pembangunan Desa yang lebih baik.
Keberlanjutan dan jaminan pendidikan untuk anak di Desa merupakan
pendorong utama untuk peningkatan kesejahteraan Desa.
Dana Desa dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pendidikan
bagi anak-anak, antara lain:
1. Pembangunan/rehabilitasi gedung PAUD sesuai dengan Standar PAUD
yang ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga/Dinas.
Pembangunan/Rehabilitasi diutamakan bagi Desa yang belum tersedia
layanan PAUD;
2. Bantuan Alat Peraga Edukatif (APE) untuk PAUD/
TK/TPA/TKA/TPQ/Madrasah non-formal milik Desa;
3. Sarana dan prasarana taman posyandu, taman bermain, taman bacaan
masyarakat, taman belajar keagamaan bagi anak-anak, alat bermain
tradisional anak usia dini;
4. Bantuan insentif guru/pembina PAUD/TK/TPA/TKA /TPQ/guru taman
belajar keagamaan, taman belajar anak dan fasilitator pusat kegiatan
belajar masyarakat;
5. Bantuan biaya pelatihan guru PAUD, kader kelompok pengasuhan, bina
keluarga balita;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -78-
6. Bantuan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan;
7. Perpustakaan Desa, fasilitas belajar tambahan bagi remaja, buku
bacaan, peralatan olah raga;
8. Sarana dan prasarana bagi anak putus sekolah, anak jalanan, maupun
anak lainnya; dan
9. Peningkatan pengetahuan dan pelatihan bagi remaja seperti:
pengembangan sarana produksi pertanian, pengembangan pembibitan
untuk tanaman, perikanan, dan/atau perkebunan, perbengkelan otomotif
sederhana, alat bermain tradisional, sanggar seni dan budaya.
10. Penanganan anak usia 7-18 tahun yang tidak sekolah, putus sekolah,
atau tidak melanjutkan pendidikan sampai minimal jenjang pendidikan
menengah untuk keluarga miskin, seperti:
a. pendataan dan identifikasi Anak Tidak Sekolah (ATS);
b. bantuan insentif pendampingan kepada ATS dan orang tua dalam
upaya memastikan anak kembali bersekolah pada jalur (formal atau
nonformal) dan jenis layanan pendidikan (umum atau vokasi) sesuai
minat dan bakatnya;
c. bantuan peralatan pendidikan sebelum anak diterima di satuan
pendidikan;
d. bantuan biaya pendidikan untuk anak minimal jenjang pendidikan
menengah;
e. pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus;
f. biaya operasional penyelenggaraan gerakan kembali bersekolah;
11. Menyediakan beasiswa bagi anak-anak Desa yang berprestasi untuk
memperoleh pendidikan lanjutan tingkat atas atau pendidikan tinggi.
F. PENGEMBANGAN KETAHANAN DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
1. Pelatihan Pengelolaan Keuangan Keluarga (Literasi Investasi Sederhana)
Salah satu problem yang membuat ketahanan keluarga menjadi rendah
adalah kondisi ekonomi keluarga. Menurut data BADILAG (2017),
persoalan keuangan keluarga menjadi penyebab perceraian kedua
terbesar di Indonesia. Dari 364.163 kasus perceraian, 105.266 pasutri
menyebutkan alasan ekonomi sebagai peyebab konflik yang berujung
perceraian. Dalam konteks ekonomi keluarga, ada 2 aspek yang sama-
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -79-
sama penting: menambah penghasilan (income generating) dan mengelola
keuangan (financial management). Selama ini sebagian besar program
diarahkan pada aspek menambah penghasilan, sedangkan aspek
mengelola keuangan keluarga dengan investasi sederhana kurang
diperhatikan.
a. Tujuan Umum:
Memfasilitasi keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonomi keluarga melalui perencanaan keuangan keluarga yang
baik.
b. Tujuan Khusus:
1) Membangun paradigma melek finansial dan investasi
2) Meningkatkan kemampuan menyusun tujuan keuangan keluarga
dan dasar-dasar perencanaan keuangan,
3) Meningkatkan kemampuan untuk menghitung beberapa dana
keuangan (kalkulator):
a) dana pendidikan anak;
b) dana ibadah; dan
c) dana kebutuhan khusus.
4) Meningkatkan pengetahuan tentang jenis-jenis instrumen investasi
terutama tabungan emas
5) Memiliki pengatahuan ciri-ciri investasi bodong
a) Materi Pelatihan
(1) Melek finansial dalam perspektif agama;
(2) Dasar-dasar perencanaan keuangan, menyusun tujuan
keuangan keluarga (timeline), finansial check-up;
(3) Menghitung dana-dana penting (dana pendidikan anak,
dana ibadah, dana pensiun);
(4) Instrumen (jenis-jenis) investasi, mengukur risiko investasi;
(5) Simulasi menyusun dan menghitung rencana keuangan
keluarga;
(6) Mengenal ciri-ciri investasi bodong; dan
(7) Pelatihan kader Desa dalam pengelolaan keuangan keluarga
melalui siklus hidup manusia (anak, remaja, dewasa dan
lansia);
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -80-
b. Bentuk Penggunaan Dana Desa
(1) Pelatihan kader Desa untuk pendampingan pengelolaan
keuangan keluarga;
(2) Pelatihan perempuan kader Desa untuk pendampingan
pengelolaan keuangan keluarga;
(3) Pelatihan pengelolaan keuangan keluarga dengan investasi
sederhana (umum);
(4) Pelatihan menyusun rencana aksi untuk dana/tabungan
pendidikan anak; dan
(5) Pendampingan keluarga-keluarga warga Desa untuk
pengelolaan keuangan keluarga oleh perempuan kader
Desa.
2. Penyuluhan Cegah Kawin Anak dalam Perspektif Agama
Perkawinan anak di Indonesia masih menjadi sebuah persoalan besar.
Berdasarkan data Riskesdas 2010, dari keseluruhan perkawinan di
Indonesia, sejumlah 4,8% perempuan menikah pada usia 10-14 tahun,
sedangkan 42,3% perempuan menikah di usia 14-18 tahun. Selain
pengetahuan umum tentang kesehatan dan kehidupan berkeluarga, salah
satu penyebab maraknya kawin anak ini adalah pemahaman agama yang
kurang cukup bagi orangtua, sehingga mereka melestarikan tradisi ini.
Karena itu, Desa harus melakukan pendekatan aktif untuk mencegah
kawin anak dalam perspektif agama.
a. Tujuan
Meningkatkan pemahaman warga Desa umumnya dan orangtua pada
khususnya mengenai kawin anak dalam perspektif agama.
b. Kelompok Sasaran
1) Warga Desa
2) Pemuka Agama
3) Orangtua
c. Bentuk Penggunaan Dana Desa
1) Pelatihan kader Desa untuk pencegahan kawin anak dalam
perspektif agama;
2) Penyuluhan bagi orangtua untuk pencegahan kawin anak dalam
perspektif agama; dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -81-
3) Pendampingan orangtua dalam pencegahan kawin anak dalam
perspektif agama.
3. Pelatihan Persiapan Perkawinan Bagi Remaja Usia Kawin
Angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Tahun 2007, angka
perceraian masih berkisar pada angka 8%, tetapi pada akhir tahun 2017
angka ini melonjak sampai di angka 19,7%. Berdasarkan berbagai riset,
tingginya angka perceraian ini dipengaruhi oleh kesiapan perempuan dan
laki-laki untuk mengelola dinamika perkawinannya. Untuk mengatasi hal
ini, Desa harus memberikan bimbingan perkawinan bagi calon pengantin.
Program ini saat ini diadaptasi menjadi program persiapan perkawinan
bagi remaja, sehingga mereka dapat mempersiapkan dirinya dengan baik,
dan juga dapat menunda usia menikah bagi remaja.
a. Tujuan Umum
Meningkatkan pemahaman remaja tentang kematangan pribadi dan
kesiapan membangun perkawinan dan keluarga.
b. Tujuan Khusus
1) Meningkatkan pemahaman remaja atas perkembangan kematangan
pribadinya
2) Meningkatkan pemahaman remaja atas dasar-dasar perkawinan dan
keluarga
3) Meningkatkan kecakapan hidup remaja terkait manajemen diri dan
manajemen hubungan, serta mengelola konflik
4) Memfasilitasi remaja untuk merencanakan perkawinan, termasuk
kapan mereka akan menikah.
c. Materi
1) Psikologi perkembangan & kematangan personal
2) Membangun pondasi Keluarga Sakinah
3) Tantangan kehidupan keluarga masa kini
4) Membangun hubungan relasi sehat dan manajemen konflik
5) Merencanakan perkawinan
d. Bentuk Penggunaan Dana Desa
1) Pelatihan tentang persiapan perkawinan bagi remaja
2) Pelatihan pendidik sebaya (Peer Educator)
3) Pelatihan kader Desa pendamping remaja (pendampingan sebaya)
4) Pendampingan remaja oleh pendidik sebaya
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -82-
4. Pendidikan Keluarga Sakinah
Bagi warga Desa yang telah berkeluarga, meningkatkan kualitas
kehidupan keluarga menjadi penting, untuk mengurangi berbagai
problema keluarga, misalnya kekerasan dalam rumah tangga,
percekcokan tanpa henti, pengabaian anak, dan ujungnya perceraian.
Desa memfasilitasi keluarga di lingkungan masyarakat Desa untuk
mampu mengelola kehidupan keluarganya.
a. Tujuan Umum
Meningkatkan pemahaman dan kecakapan hidup warga untuk
mengelola kehidupan sehingga terwujud keluarga sakinah atau
kesejahteraan keluarga dalam perspektif agama.
b. Tujuan Khusus
1) Meningkatkan pemahaman pasutri tentang pondasi keluarga
sakinah
2) Meningkatkan pemahaman pasutri tentang perspektif keadilan
dalam keluarga
3) Meningkatkan kecakapan hidup pasutri tentang psikologi keluarga
4) Meningkatkan kecakapan hidup pasutri untuk mengelola konflik
dalam perkawinan
5) Meningkatkan pemahaman dan kecakapan hidup pasutri dalam
mengasuh anak dalam perspektif agama
6) Meningkatkan pemahaman dan kecakapan hidup pasutri dalam
memenuhi kebutuhan keluarga
c. Materi
1) Belajar rahasia nikah untuk relasi sehat
2) Membangun pondasi keluarga sakinah
3) Mengelola konflik dengan 4 pilar perkawinan sakinah
4) Pengasuhan anak dalam keluarga sakinah
5) Pencegahan kekerasan dalam rumah tangga
6) Memenuhi kebutuhan keluarga
d. Bentuk Penggunaan Dana Desa
1) Pelatihan Keluarga Sakinah untuk masing-masing materi pelatihan
secara berseri;
2) Pelatihan keluarga teladan pendamping Keluarga Sakinah; dan
3) Pendampingan Keluarga Sakinah yang dilakukan keluarga teladan.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -83-
G. PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA
Kegiatan ini merupakan upaya untuk melindungi masyarakat Desa
dari bahaya penyalahgunaan Narkoba. Saat ini ditengarai penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkoba bukan hanya terjadi di kota-kota besar saja
tetapi juga telah masuk hingga wilayah perdesaan. Oleh karenanya perlu
dilakukan upaya pencegahan, dengan cara memberikan informasi kepada
masyarakat Desa tentang bahaya penyalahgunaan Narkoba.
Dana Desa dapat digunakan untuk pencegahan penyalahgunaan
narkoba, antara lain:
1. kegiatan keagamaan;
2. penyuluhan/sosialisasi/seminar tentang bahaya Narkoba;
3. pagelaran, festival seni dan budaya;
4. olahraga atau aktivitas sehat;
5. pelatihan relawan, penggiat atau satgas anti narkoba;
6. penyebaran informasi melalui pencetakan banner, spanduk, baliho,
poster, atau brosur/leaflet; dan
7. kegiatan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN) dalam mewujudkan
Desa Bersih Narkoba (Bersinar).
H. PEMBELAJARAN DAN PELATIHAN KERJA
Kemiskinan di Desa salah satu penyebabnya rendahnya kapasitas dan
pengetahuan masyarakat atau warga Desa dalam mengelola potensi dan
aset Desa sedara produktif. Kebutuhan peningkatan kualitas dan kapasitas
sumber daya manusia masyarakat Desa menjadi kebutuhan untuk
mengembangkan Sumber Daya Manusia di Desa. Untuk itu Pelatihan kerja
dan ketrampilan bagi masyarakat atau warga Desa dalam pengunaan Dana
Desa dengan sasaran antara lain:
1. warga Desa pengelola usaha ekonomi produktif;
2. tenaga kerja usia produktif;
3. kelompok usaha ekonomi produktif;
4. kelompok perempuan;
5. kelompok pemuda;
6. kelompok tani;
7. kelompok nelayan;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -84-
8. kelompok pengrajin;
9. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis); dan
10. warga Desa dan/atau kelompok yang lainnya sesuai kondisi Desa.
Terkait peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia
masyarakat Desa, Penggunaan Dana Desa dapat diprioritasakan untuk
pengembangan Ekonomi Desa yang difokuskan pada kebijakan produk
unggulan Desa (prudes) dan produk unggulan kawasan perdesaan
(prukades). Pembelajaran dan pelatihan yang dikembangkan, antara lain:
a. pelatihan usaha pertanian, perikanan, perkebunan, industri kecil dan
perdagangan;
b. pelatihan teknologi tepat guna;
c. pelatihan pembentukan dan pengembangan Usaha Kecil Menengah Desa;
d. pelatihan kerja dan ketrampilan penghidupan (live skill) bagi masyarakat
Desa; dan
e. kegiatan peningkatan kapasitas lainnya untuk pengembangan dan
penguatan kebijakan satu Desa satu produk unggulan yang sesuai
dengan analisis kebutuhan dan kondisi Desa yang diputuskan dalam
musyawarah Desa.
Dana Desa juga dapat digunakan membiayai pelatihan bagi warga
Desa yang akan bekerja di luar negeri, antara lain:
a. ketrampilan kerja (menjahit, bengkel motor/mobil, mengelas,
pertukangan, membatik, serta ukiran dan meubeler);
b. penguasaan bahasa asing;
c. perpustakaan Desa yang dilengkapi dengan komputer laptop, komputer
desktop dan jaringan internet.
I. PENGEMBANGAN DESA INKLUSI
Desa Inklusi merupakan sebuah pendekatan pembangunan yang
menjadikan pembangunan Desa bersifat terbuka, aman, nyaman, dan
mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang,
karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya
termasuk warga Desa penyandang disabilitas.
Desa Inklusi, yang terbuka bagi semua, tidak hanya sebagai ruang
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -85-
bertemunya warga Desa yang memiliki keunikan dan perbedaan pada
umumnya. Desa Inklusi juga menjadi ruang kehidupan bagi pribadi-pribadi
individu yang memiliki ciri-ciri khusus dengan perbedaan yang sangat
menonjol. Mereka memiliki perbedaan dalam kemampuan berpikir, cara
melihat, mendengar, bicara, berjalan, dan ada yang berbeda kemampuan
dalam cara membaca, menulis dan berhitung, serta ada juga yang berbeda
dalam mengekspresikan emosi, melakukan interaksi sosial dan
memusatkan perhatiannya. Individu berciri-ciri khusus dengan perbedaan
yang sangat menonjol tersebut ialah orang-orang yang memiliki disabilitas,
memiliki gangguan tertentu, dan mempunyai kebutuhan khusus. Mereka
ada di sekitar kita, dan dalam masyarakat inklusi, kita dengan peran
masing-masing mengikutsertakan mereka dalam setiap kegiatan. Jadi, Desa
Inklusi adalah kondisi masyarakat Desa yang terbuka dan universal serta
ramah bagi semua, yang setiap anggotanya saling mengakui keberadaan,
menghargai dan mengikutsertakan perbedaan. Wujud Desa Inklusi adalah
pembangunan sarana prasarana di Desa dapat digunakan oleh warga Desa
dengan kebutuhan khusus.
Penggunaan Dana Desa dapat diprioritaskan untuk sarana dan
prasarana kegiatan pengembangan Desa Inklusi, antara lain:
a. Pembangunan plengsengan/bidang miring untuk aksesibilitas bagi
difabel di tempat umum misalnya di balai Desa, taman Desa;
b. Penyediaan WC khusus penyandang disabilitas di tempat umum
misalnya di pasar Desa, balai Desa, taman Desa dan sebagainya.
c. Penyediaan alat bantu bagi penyandang disabilitas, antara lain:
1) alat bantu dengar;
2) alat bantu baca;
3) alat peraga;
4) tongkat;
5) kursi roda; dan
6) kacamata.
J. PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DESA/KAWASAN PERDESAAN
Dana Desa sebagai salah satu sumber pendapatan Desa harus
mampu dikelola oleh Desa secara berkelanjutan agar penggunaan Dana
Desa dapat menghasilkan pendapatan asli Desa. Pengelolaan Dana Desa
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -86-
secara berkelanjutan antara lain Dana Desa diswakelola oleh Desa dengan
mendayagunakan sumberdaya yang ada di Desa.
Beberapa langkah yang bisa dijadikan rujukan untuk menentukan
kriteria produk unggulan Desa/kawasan perdesaan sebagai prasyarat
untuk tumbuh kembangnya produk unggulan Desa/kawasan perdesaan:
1. Berbasis pada potensi sumber daya lokal, sehingga produknya dapat
dijadikan keunggulan komparatif. Apabila sumber daya berasal dari luar
daerah/negeri, maka di kawasan produk unggulan harus membuat nilai
tambah melalui rekayasa proses dan produk.
2. Memiliki pasar lokal atau domestik yang besar dan memiliki peluang
yang besar untuk diekspor. Dalam rangka meningkatkan pendapatan
Desa, maka fokus pengembangan produk unggulan juga harus
diarahkan ke pasar ekspor.
3. Produknya dapat mendorong tumbuhnya berbagai kegiatan ekonomi
lainnya, sehingga mampu memberi kontribusi yang besar terhadap
pertumbuhan ekonomi Desa/kawasan perdesaan.
4. Memiliki dukungan sumber daya manusia yang memadai serta ditunjang
dari hasil penelitian serta pengembangan yang tepat sasaran, selain
didukung finansial yang cukup.
5. Memiliki kelayakan ekonomi dan finansial untuk tetap bertahan, bahkan
berkembang secara berkelanjutan.
6. Adapun prioritas produk unggulan yang akan dikembangkan di suatu
Desa/kawasan perdesaan adalah produk produk yang mempunyai daya
saing tinggi, baik lokal maupun ekspor.
7. Setelah melalui proses identifikasi dan validasi penentuan Produk
unggulan, diharapkan Desa menerbitkan Perdes tentang Produk
unggulan Desa sebagai payung hukum atas pemetaan dan
pengembangan produk unggulan Desa.
Penggunaan Dana Desa dapat diprioritaskan untuk membiayai
pembentukan dan/atau pengembangan produk unggulan Desa (Prudes)
dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan (Prukades). Berikut contoh-
contoh kegiatan Prudes dan Prukades yang dapat dibiayai Dana Desa,
antara lain:
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -87-
1. Terasi Goreng dan Abon Ikan
Masyarakat Desa di kawasan pesisir sebagian besar bermata
pencaharian nelayan tangkap. Untuk menambah penghasilan keluarga
nelayan, Desa-desa yang berada di kawasan pesisir dapat menjalin
kerjasama antar Desa dengan membentuk Badan Kerjasama Antar Desa
(BKAD). BKAD dapat menyelenggarakan Musyawarah Antar Desa (MAD)
untuk membahas peningkatan ekonomi keluarga nelayan yaitu dengan
cara mengembangkan industri rumahan berupa terasi goreng dan abon
ikan.
Desa-Desa menggunakan Dana Desa untuk membiayai pelatihan
pengolahan terasi goreng dan abon ikan. Penyelenggaraan pelatihan
dikelola oleh BKAD bekerjasama dengan Dinas Perikanan
Kabupaten/Kota. Desa juga dapat menggunakan Dana Desa untuk
membeli mesin-mesin untuk pengolahan terasi goreng dan abon ikan
yang dihibahkan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang akan
mengelola usaha terasi goreng dan abon ikan.
Agar dijamin adanya pemasaran terasi goreng dan abon ikan yang
berkelanjutan, BKAD membentuk BUMDesa Bersama yang usaha
utamanya adalah memasarkan hasil-hasil industri rumahan terasi
goreng dan abon ikan. BUMDesa Bersama ini menjalin kerjasama
dengan berbagai pedagang di dalam negeri maupun pengusaha ekspor
untuk memasarkan produk unggulan terasi goreng dan abon ikan.
2. Produsen Benih Tanaman Pangan
Benih merupakan salah satu unsur utama dalam budidaya tanaman.
Semakin baik mutu benih, maka semakin baik pula produksinya.
Keberhasilan peningkatan produktivitas usahatani ditentukan oleh
faktor penggunaan benih varietas unggul bermutu. Untuk tanaman
pangan, benih bermutu adalah benih yang bersertifikat. Pada umumnya
petani melakukan usaha budidaya tanaman bertujuan untuk memenuhi
konsumsi, melalui dana Desa dapat diupayakan peningkatan
pendapatan petani sebagai produsen benih tanaman pangan. Komoditas
tanaman pangan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan
sebagai “benih” adalah padi, jagung dan kedelai di daerah-daerah sentra
produksi benih.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -88-
Dana Desa dapat digunakan untuk:
a. Pelatihan memproduksi benih unggul; dan
b. Pelatihan pemasaran benih unggul;
3. Tanaman Hias, Tanaman Obat Keluarga dan Sayuran Organik
Desa yang berada di wilayah pertanian dapat mengembangkan
produk unggulan Desa berupa tanaman hias dan tanaman obat keluarga
serta sayuran dan buah organik. Warga Desa yang mata pencahariannya
sebagai petani, berhasil memanfaatkan pekarangan rumah dan lahan
pertaniannya untuk tanaman hias dan tanaman obat keluarga serta
sayuran dan buah organik. Manfaat yang diperoleh warga masyarakat
Desa adalah tambahan penghasilan keluarga serta lingkungan rumah
yang bersih, sehat, asri dan nyaman. Desa bekerjasama dengan berbagai
pihak seperti paguyuban pedagang sayur, BUMDesa, dan supermarket
untuk memasarkan hasil usaha tanaman hias dan tanaman obat
keluarga serta sayuran dan buah organik.
4. Usaha Pengolahan Kopi
Desa-desa yang berada di dataran tinggi kondisi suhu udaranya
rendah. Suhu udara maksimum adalah 25.02 derajat celcius dan suhu
minimum adalah 12.15 derajat celcius. Kondisi dataran tinggi sangat
potensial untuk mengembangkan perkebunan kopi arabika. Sebab, kopi
arabika sangat cocok dengan iklim dan cuaca di dataran tinggi. Kopi
dapat dijadikan produk unggulan kawasan dataran tinggi.
Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai
pengembangan produk unggulan kopi. Desa-desa yang berada di
kawasan dataran tinggi dapat mengembangkan kerjasama antar Desa
melalui pembentukan Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) yang secara
khusus mengelola kerjasama antar Desa untuk pengembangan
perkebunan kopi di masyarakat Desa.
BKAD meminta dukungan dari Dinas Perkebunan Kabupaten untuk
melatih masyarakat Desa tentang pengetahuan dan ketrampilan
budidaya kopi. Pelatihan budidaya kopi ini dapat dibiayai Dana Desa.
Sebab, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat Desa yang mencukupi
tentang budidaya kopi akan menjadikan risiko kegagalan dalam
budidaya kopi menjadi sangat kecil.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -89-
Desa dapat menggunakan Dana Desa untuk mengadakan bibit kopi
yang berkualitas unggul untuk dibagikan kepada masyarakat Desa yang
akan mengembangkan usaha budidaya kopi.
Hasil budidaya kopi dapat dipasarkan dalam bentuk biji. Namun
demikian, untuk meningkatkan nilai jual, hasil budidaya kopi dapat
diolah terlebih dahulu sebelum dipasarkan sehingga dapat dijual dalam
bentuk kemasan siap saji yang bernilai tinggi.
Pengolahan biji kopi untuk dipasarkan dalam bentuk kemasan siap
saji dikelola oleh BUMDesa Bersama yang dibentuk oleh BKAD. Modal
awal BUMDesa Bersama berasal dari Dana Desa yang disertakan oleh
Desa-desa yang menjalin kerjasama antar Desa. Bermodal kopi arabika
yang kualitas tinggi dan pengolahan paska panen oleh BUMDesa
Bersama, budidaya kopi di dataran tinggi akan menjadi produk
unggulan kawasan perdesaan.
K. PEMBENTUKAN DAN PENGEMBANGAN BUMDESA/BUMDESA BERSAMA
Salah satu langkah strategis untuk menjadikan Desa berdikari di
bidang ekonomi adalah membentuk, mengelola dan mengembangkan Badan
Usaha Miliki Desa (BUMDesa) dan/atau BUMDesa Bersama. Perbedaan
antara BUMDesa dengan BUMDesa Bersama adalah BUMDesa dibentuk
dan dibiayai oleh satu Desa, sedangkan BUMDesa Bersama dibentuk oleh
Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) dan dibiayai oleh Desa-Desa yang
terikat kerjasama antar Desa.
Penggunaan Dana Desa dapat diprioritaskan untuk membiayai Desa
dalam menyertakan modal di BUMDesa dan/atau BUMDesa Bersama
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penyertaan anggaran Desa untuk modal BUMDesa dan/atau BUMDesa
Bersama. Contoh penggunaan Dana Desa untuk modal BUMDesa adalah
sebagai berikut:
1. Sebuah Desa dapat menggunakan Dana Desa untuk modal BUMDesa,
khususnya digunakan untuk modal membentuk Usaha Simpan Pinjam
(USP). USP ini menyalurkan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga
rendah dengan jaminan BPKB sepeda motor. Ketika USP sudah
berkembang maju, dalam musyawarah Desa dapat dibahas dan
disepakati penggunaan Dana Desa untuk pengembangan usaha
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -90-
BUMDesa yaitu usaha BUMDes Mart. BUMDesa Mart adalah minimarket
modern di Desa yang dikelola dengan sistem komputerisasi.
2. Sebuah Desa yang berada di pinggiran kota besar dapat
mendayagunakan Dana Desa untuk modal usaha BUMDesa yang
bergerak di bidang usaha pengelolaan sampah dan limbah rumah
tangga. Modal awal BUMDesa yang berasal dari Dana Desa digunakan
untuk usaha pemisahan dan pengolahan sampah serta pendayagunaan
limbah minyak jelantah menjadi biodiesel. Usaha pembuatan biodiesel
dari minyak jelantah sangat potensial untuk dikembangkan karena
adanya kebijakan kemandirian energi melalui pengembangan energi
terbarukan. Penghasilan dari pengelolaan sampah dan pengolahan
limbah minyak jelantah ini akan menjadi sumber pendapat asli Desa
(PADesa). PADesa ini didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa seperti pemberian kartu sehat oleh Desa, peningkatan
gizi balita di posyandu, atau penyelenggaraan pelatihan ketrampilan
kerja bagi kaum muda di Desa.
3. Desa-desa yang berada di kawasan industri rumahan konveksi (pakaian
jadi), dapat dapat saling bersepakat untuk bekerjasama mengembangkan
usaha konveksi. Desa-desa yang mengikat kerjasama membentuk Badan
Kerjasama Antar Desa (BKAD) sebagai badan pengelola kerjasama antar
Desa untuk urusan pengelolaan usaha konveksi. BKAD ini membentuk
BUMDesa Bersama yang modalnya disertakan oleh setiap Desa yang ikut
dalam kerjasama. Kegiatan usaha yang dikelola BUMDesa Bersama
adalah menyediakan bahan baku usaha konveksi, menyediakan kredit
mesin-mesin untuk usaha konveksi, dan memasarkan pakaian hasilo
industri rumahan ke tingkat nasional maupun ekspor ke luar negeri.
BUMDesa Bersama ini dalam meningkatkan kualitas produk industri
rumahan konvensi menyelenggarakan pelatihan tata busana.
L. PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PASAR DESA
Pasar Desa adalah pasar tradisional yang berkedudukan di Desa dan
dikelola serta dikembangkan oleh Desa melalui BUMDesa dengan
menggunakan Dana Desa. Yang dimaksud dengan istilah pasar tradisional
adalah tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang
dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, pedagang menengah, swadaya
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -91-
masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan
dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar. Fungsi
pasar Desa bagi masyarakat Desa meliputi:
1. sebagai penggerak roda ekonomi Desa yang mencakup bidang
perdagangan, industri ataupun jasa;
2. sebagai ruang publik dikarenakan pasar Desa sebagai pasar tradisional
bukan sekedar tempat jual beli tetapi juga ruang bertemunya warga
Desa dalam menjalin hubungan sosial; dan
3. sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Desa;
Keuntungan dari pemanfaatan Dana Desa untuk pembangunan dan
pengelolaan Pasar Desa adalah:
1. mempertemukan antara pedagang dan pembeli:
2. memotong lajunya barang pabrikan dari luar Desa dan juga para
tengkulak yang selama ini menguasai rantai pasok.
3. memberikan dorongan kepada masyarakat Desa untuk menjadi lebih
kreatif menciptakan berbagai produk yang memiliki nilai ekonomis sesuai
dengan kebutuhan lokal;
4. menumbuhkan Desa mandiri karena warga Desa akan membeli produk-
produk dari Desanya sendiri.
M. PEMBANGUNAN EMBUNG KECIL DAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR
LAINNYA DI DESA
Embung kecil adalah bangunan sederhana sebagai konservasi air
berbentuk kolam/cekungan untuk menampung air limpasan (run off), mata
air dan/atau sumber air lainnya untuk mendukung usaha pertanian baik
tanaman pangan, peternakan maupun perikanan. Embung kecil ini dapat
dibuat dari bahan beton, tanah yang diperkeras, lembaran terpal PE atau
geomembran. Bangunan penampung air lainnya adalah hanya dibatasi
berupa Dam parit dan Long Storage
Pembangunan Embung kecil dan bangunan penampung air lainnya
merupakan upaya meningkatkan usaha pertanian melalui pemanfaatan
semaksimal mungkin areal pertanian yang telah ada, yaitu areal
persawahan yang tidak teraliri irigasi teknis/tadah hujan yang pada saat
musim kemarau membutuhkan tambahan air agar dapat tetap produktif.
Selain itu fungsi embung dapat dikembangkan sebagai tempat wisata dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -92-
budi daya perikanan.
Pembangunan embung kecil dan bangunan penampung air lainnya
merupakan salah satu program prioritas yang dapat dibiayai dengan Dana
Desa. Pembuatan gambar Desain dan rencana anggaran biaya (RAB)
pembangunan embung kecil dan bangunan penampung air lainnya dapat
dilakukan oleh Pendamping Desa Tenik Infratruktur. Adapun pelaksanaan
pembangunannya menggunakan pola Padat Karya Tunai oleh Desa dengan
membentuk Tim Pengelola Kegiatan.
Setelah embung selesai dibangun, operasional pengelolaannya dilakukan
oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Embung kecil dan bangunan
penampung air lainnya dapat dimanfaatkan untuk lokasi Desa Wisata
maupun usaha perikanan air tawar. Pendayagunaan embung kecil dan
bangunan penampung air lainnya sebagai lokasi wisata akan menjadi
sumber pendapatan asli Desa. Sedangkan pemanfaatan embung untuk
perikanan air tawar akan mendukung ketahanan pangan di Desa serta
sumber gizi untuk peningkatan pemenuhan gizi bagi anak-anak.
Embung kecil dan bangunan penampung air lainnya yang dibiayai Dana
Desa memiliki persyaratan teknis sebagai berikut:
1. Standar Teknis:
a. terdapat sumber air yang dapat ditampung (air hujan, aliran
permukaan dan mata air atau parit atau sungai kecil) tidak diizinkan
mengambil air dari saluran irigasi teknis;
b. jika sumber air berasal dari aliran permukaan, maka pada lokasi
tersebut harus terdapat daerah tangkapan air; dan
c. kriteria dan komponen embung kecil, meliputi volume tampungan
antara 500 m³ sampai dengan 3.000 m³ dan dilaksanakan dengan
sistem padat karya oleh masyarakat setempat.
2. Kriteria Lokasi Pembangunan:
a. lokasi embung Desa diutamakan pada daerah cekungan tempat
mengalirnya aliran permukaan saat terjadi hujan;
b. lokasi pembangunan embung Desa diupayakan tidak dibangun pada
tanah berpasir, porous (mudah meresapkan air). Bila terpaksa
dibangun di tempat yang porous, maka embung Desa harus dilapisi
material terpal/geomembran;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -93-
c. embung dibuat dekat lahan usaha tani yang diutamakan pada areal
yang rawan terhadap kekeringan, mudah untuk dialirkan ke petak-
petak lahan usaha tani, diprioritaskan pada Desa yang
berada/bersinggungan dengan kawasan lahan non irigasi
teknis/tadah hujan, berpotensi untuk pengembangan tanaman
pangan dan palawija;
d. letak embung yang akan dibangun tidak terlalu jauh dari sumber air
(sungai, mata air) dan lahan pertanian yang akan diairi;
e. ukuran Embung Desa disesuaikan dengan kemampuan Desa dalam
menyediakan area lokasi untuk pembangunan embung dan luas
layanan lahan pertanian tanaman pangan/palawija yang menjadi
target layanan.
Pembangunan embung kecil dan bangunan penampung air lainnya dapat
mempedomani Surat Edaran Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat RI No.07/SE/M/2018 tentang Pedoman
Pembangunan Embung Kecil Dan Bangunan Penampung Air Lainnya di
Desa.
N. PENGEMBANGAN DESA WISATA
Desa-desa di Indonesia memiliki potensi alamiah, potensi budaya yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat, yakni kehidupan sosial budaya,
kesenian, adat istiadat, mata pencaharian dan lainnya yang bisa
dikembangkan untuk menarik minat wisatawan lokal maupun mancanegara
datang dan berlibur ke Desa.
Iklim pariwisata yang kondusif dapat tercipta dengan membangun dan
menyediakan kebutuhan sarana prasarana Desa sehingga dapat
berkontribusi terhadap peningkatan potensi Desa, sekaligus sebagai aset
Desa dalam rangka mempercepat pengembangan destinasi wisata di Desa.
Konsep dasar homestay adalah Atraksi Wisata (mengangkat Arsitektur
Tradisional Nusantara dan interaksi dengan masyarakat lokal) dan Amenitas
(tempat tinggal aman, nyaman dan berstandar internasional).
Tujuan penggunaan Dana Desa untuk membiayai pembangunan Desa
Wisata adalah:
1. meningkatkan perekonomian Desa;
2. menciptakan lapangan pekerjaan di Desa;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -94-
3. mengangkat budaya, keunikan, keaslian dan sifat khas Desa setempat;
4. mendorong perkembangan kewirausahaan lokal; dan
5. mendorong peningkatan Pendapatan Asli Desa (PAD) melalui BUMDES.
Jenis-jenis kegiatan pembangunan Desa Wisata yang dapat dibiayai dari
Dana Desa dan selanjutnya dapat dikelola oleh BUMDesa antara lain:
a. pondok wisata (homestay) yang berstandar nasional/internasional;
b. toilet/MCK yang berstandar nasional/internasional;
c. kios cenderamata;
d. Ruang ganti dan/atau toilet;
e. Pergola;
f. Gazebo;
g. Lampu Taman;
h. Pagar Pembatas;
i. panggung kesenian/pertunjukan;
j. Pusat jajanan kuliner;
k. Tempat Ibadah;
l. Menara Pandang (viewing deck);
m. Gapura identitas;
n. wahana permainan anak;
o. wahana permainan outbound;
p. taman rekreasi;
q. tempat penjualan tiket;
r. angkutan wisata;
s. tracking wisata mangrove;
t. peralatan wisata snorkeling dan diving;
u. papan interpretasi;
v. sarana dan prasarana kebersihan;
w. pembuatan media promosi (brosur, leaflet, audio visual);
x. internet corner;
y. Pelatihan pemandu Wisata;
z. Interpretasi wisata;
aa. Pelatihan pengelolaan Desa Wisata;
bb. Pelatihan sadar wisata dan pembentukan kelompok sadar
wisata/Pokdarwis;
cc. pengembangan skema konversi dan renovasi rumah-tumah adat, dll.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -95-
O. PENDAYAGUNAAN SUMBERDAYA ALAM DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Salah satu unsur penggunaan Dana Desa yang dapat dikelola secara
berkelanjutan adalah pemanfaatan sumber daya alam di Desa. Contoh
sumberdaya alam yang dapat dibiayai antara lain: tanaman, ternak,
sumberdaya air, hutan, sungai, laut, pesisir, pasir, batu, embung, tanah dan
sumberdaya mineral dan energi, dan potensi wisata seperti laut, goa, dan
pemandangan alam.
Pendayagunaan sumberdaya alam di Desa dapat menggunakan teknologi
tepat guna (TTG). Yang dimaksud dengan teknologi tepat guna adalah
teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dapat menjawab
permasalahan masyarakat, tidak merusak lingkungan, dapat dimanfaatkan
dan dipelihara oleh masyarakat secara mudah, serta menghasilkan nilai
tambah dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Contoh-contoh
penggunaan Dana Desa untuk pendayagunaan sumberdaya alam dan
teknologi tepat guna adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
Masalah yang dihadapi Desa-desa di pedalaman yang terpencil dan
terisolir adalah belum/tidak adanya pelayanan jaringan listrik dari PLN.
Namun demikian, bagi Desa-desa yang kondisi alamnya berbukit-bukit
yang dilewati sungai yang aliran terus mengalir walaupun kemarau dapat
membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).
PLTMH adalah pembangkitan listrik dihasilkan oleh generator listrik
dengan daya kecil yang digerakkan oleh tenaga air. Tenaga air berasal
dari aliran sungai yang dibendung dan dialirkan untuk menggerakkan
turbin yang dihubungkan dengan generator listrik.
Penggunaan Dana Desa untuk pembangunan PLTMH antara lain untuk:
a. membiayai pengadaan generator listrik;
b. membangun turbin;
c. membendung sungai; dan
d. membangun jaringan distribusi listrik ke rumah-rumah.
Pengelola PLTMH adalah BUMDesa. Warga Desa membeli lisrik Desa yang
dikelola oleh BUMDesa. Manfaat yang diperoleh dari pembangunan dan
pengelolaan PLTMH adalah pada satu sisi masyarakat Desa memperoleh
layanan listrik dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan teknologi
tepat guna, pada sisi lainnya Desa memperoleh pendapatan asli Desa dari
usaha pengelolaan listrik Desa.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -96-
2. Kehutanan Sosial
Pemerintah sedang menggalakan program perhutanan sosial. Perhutanan
sosial adalah program legal yang membuat masyarakat Desa dapat turut
mengelola hutan dan mendapatkan manfaat ekonomi. Ada lima skema
dalam program perhutanan sosial yaitu:
a. Hutan Desa yakni hutan negara yang hal pengelolaannya diberikan
kepada lembaga Desa untuk kesejahteraan Desa.
b. Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
c. Hutan Tanaman Rakyat yaitu hutan tanaman pada hutan produksi
yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur
dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
d. Hutan Adat yakni hutan yang terletak di dalam wilatah masyarakat
hutan adat.
e. Sistem Kemitraan Hutan yakni kerjasama masyarakat setempat
dengan pengelolaan hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan (IUP)
hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang
izin usaha industry primer hasil hutan.
Dalam Perhutanan Sosial membuka kesempatan bagi Desa dan/atau
warga masyarakat Desa di sekitar hutan untuk mengajukan hak
pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka Desa
dan/atau masyarakat Desa dapat mengolah dan mengambil manfaat dari
hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dengan cara ini maka
masyarakat akan mendapatkan insentif berupa dukungan teknis dari
pemerintah dalam mengelola perkebunan tanaman dalam area yang
mereka ajukan. Hasil panen dari perkebunan ini dapat kemudian dijual
oleh masyarakat demi pemenuhan kebutuhan ekonominya sehari-hari.
Dana Desa dapat diprioritaskan untuk membiayai kegiatan perhutanan
sosial. Misalnya, Dana Desa digunakan untuk membiayai usaha
ekowisata yang diarahkan untuk menggerakan roda perekonomian warga
Desa.
3. Pengolahan Air Minum
Bagi Desa yang mempunyai sumberdaya air, baik air gunung, air sungai,
maupun air gambut, dapat memanfaatkan Dana Desa untuk mengolah air
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -97-
tersebut menjadi air bersih dan air minum. Air bersih yang sudah diolah
dengan menggunakan Teknologi tepat guna dapat digunakan untuk
mandi, cuci, kakus (MCK) untuk memenuhi kebutuhan sehari hari
masyarakat Desa tersebut. Pengolahan air gambut, air gunung atau air
sungai menjadi air bersih dan air minum dapat dilakukan dan dikelola
oleh BUMDesa dan/atau BUMDesa Bersama secara profesional.
4. Pengolahan Pasca Panen
Sumberdaya alam Desa sangat melimpah, terutama hasil pertanian,
perkebunan, perikanan laut dan darat, maupun hasil hutannya.
Pengolahan paska panen oleh masyararakat masih menemukan kendala,
sehingga hasil panen pertanian, perkebunan, perikanan laut dan darat
maupun hasil hutan banyak dijual langsung oleh masyarakat tanpa
diolah, sehingga kurang memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
Dana Desa bisa dimanfaatkan untuk bantuan pengadaan alat teknologi
tepat guna yang bisa digunakan untuk mendorong produktifitas
masyarakat melalui pengolahan paska panen, seperti; alat pengolahan
singkong, alat pengolahan kelapa, alat pengolahan ikan, alat pengolahan
enceng gondok, alat panen padi, alat penyuling daun cengkeh dan lain
sebagainya.
5. Teknologi Tepat Guna untuk Pengrajin
Produktifitas masyarakat Desa perlu didorong sebaik mungkin, banyak
masyarakat yang mempunyai kemampuan kerajinan tangan (handycfaff),
misalnya pengrajin bambu jadi bakul, bambu jadi sofa, pengrajin mebel,
kusen, ukiran dan lain sebagainya, ada juga pengrajin gerabah yang perlu
dilestraikan dan dikembangkan.
Pengrajin yang ada di masyarakat Desa biasanya sudah terlatih dan
bertahan lama, sudah teruji sebagai penggerak ekonomi mayarakat Desa,
sehingga perlu mendapat perhatian dari pemerintah Desa untuk
mengembangkan usaha mereka, melalui bantuan pengadaan teknologi
tepat guna yang dibutuhkan oleh pengrajin tersebut, seperti alat ukir, alat
pahat, alat cetak dan alat lain yang dibutuhkan masyarakat pengrajin
Desa.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -98-
P. PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM MELALUI MITIGASI DAN ADAPTASI
Upaya mengatasi dampak perubahan iklim dan menjaga temperatur bumi
agar tidak meningkat dilakukan dengan cara melaksanakan kegiatan
pengendalian perubahan iklim mulai dari Desa.
Perubahan iklim berdampak pada kehidupan manusia, termasuk
masyarakat Desa. Kenaikan suhu dapat mengubah sistem iklim yang
mempengaruhi berbagai aspek pada alam dan kehidupan manusia, seperti
hutan, pola pertanian, kualitas dan kuantitas air, habitat, wilayah pesisir
dan ekosistem lainnya serta kesehatan. Sebagai contoh, hutan merupakan
sumber makanan, kayu, dan produk hasil hutan non-kayu. Hutan juga
membantu menghambat erosi tanah, menyimpan pasokan air, rumah bagi
banyak hewan dan tanaman liar serta mikroorganisme. Perubahan iklim
dapat menyebabkan kondisi hutan memburuk dengan banyaknya pohon
yang mati karena kekeringan atau kebakaran hutan yang pada akhirnya
menyebabkan kondisi hutan menurun dalam menghasilkan makanan dan
produk hutan lainnya, menurun dalam menghambat erosi, menurun dalam
menyimpan air, dan lain-lain. Selanjutnya masyarakat yang bergantung
pada hasil hutan juga menurun pendapatannya.
Contoh lain, kenaikan suhu, meningkat atau menurunnya curah hujan,
meningkatnya frekuensi dan intensitas badai tropis hingga cuaca ekstrim
memberi tekanan pada masyarakat yang mengandalkan pengelolaan
sumber daya bidang pertanian, perkebunan dan perikanan (tangkap
maupun budidaya). Beberapa wujud dampak yang umum dirasakan adalah
mewabahnya penyakit tanaman, menurunnya kapasitas produksi, gagal
tanam/panen, perubahan pola tanam atau berkurangnya hari melaut.
Pasokan pangan lokal mengalami ancaman serius dengan terjadinya
perubahan iklim. Tidak hanya itu, dampak ikutannya adalah penurunan
pendapatan. Desa merupakan tempat lumbung produksi pangan. Jika
pasokan pangan berkurang, akan berdampak pada ketahanan pangan lokal
bahkan nasional.
Selain itu, tekanan perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan
bencana. Berbagai ancaman yang umum menjadi gangguan pembangunan
Desa seperti banjir, longsor, kekeringan, angin kencang dan gelombang
tinggi. Upaya pengendalian perubahan iklim perlu diarahkan pada
peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat menghadapi bencana sejak
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -99-
sebelum terjadi, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam
penerapan pola hidup rendah emisi gas rumah kaca (GRK). GRK
merupakan salah satu sumber utama penyebab pemanasan global yang
dapat berakibat pada perubahan iklim. Dunia saat ini sedang melakukan
berbagai upaya yang dapat dilakukan mengurangi emisi gas rumah kaca
dan dampak yang diakibatkan terhadap lingkungan hidup manusia.
Pengendalian perubahan iklim dilakukan dengan cara melaksanakan
kegiatan mitigasi dan/atau adaptasi perubahan iklim. Upaya mitigasi
dan/atau adaptasi perubahan iklim sangat penting dimulai pada tingkat
Desa dikarenakan sebagian besar masyarakat Desa bekerja di sektor
pertanian yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Mitigasi perubahan iklim di Desa adalah upaya untuk menurunkan tingkat
emisi GRK di lingkungan Desa. Kegiatan mitigasi perubahan iklim
merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya
menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya
penanggulangan dampak perubahan iklim.
Pada prinsipnya penggunaan Dana Desa untuk mitigasi perubahan iklim
skala Desa perlu mempertimbangkan kondisi dan karakteristik Desa.
Sebagai contoh untuk Desa yang rawan kebakaran hutan, dana Desa dapat
digunakan untuk:
a. meningkatkan kapasitas pemerintah Desa, BPD dan masyarakat Desa
agar mampu secara mandiri melakukan pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan dan lahan; dan
b. mampu melakukan penerapan pertanian tanpa lahan bakar.
Kegiatan adaptasi perubahan iklim di Desa adalah upaya untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat Desa untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya dengan
mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan sumberdaya yang dimiliki
dan karekteristik Desa.
Kegiatan penyesuaian kegiatan ekonomi pada sektor-sektor yang rentan
terhadap perubahan iklim termasuk bagian dari adaptasi perubahan iklim.
Pengelolaan kegiatan usaha ekonomi di Desa perlu diarahkan pada upaya
mitigasi dan adaptasi seperti pertanian untuk ketahanan pangan yang
menggunakan varietas rendah emisi dan tahan iklim, dan penggunaan pola
tanam agroforestri yang menggunakan varietas lokal dan dapat
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -100-
meningkatkan kemampuan serapan karbon.
Bentuk-bentuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bisa berbeda antara
satu Desa dengan Desa lain, bergantung pada dampak perubahan iklim
yang dihadapi dan ketersediaan sumber daya. Guna menjamin
keberlanjutan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Desa dalam
jangka panjang, penggunaan Dana Desa dapat diprioritaskan pada
kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, antara lain:
1. Kegiatan mitigasi perubahan iklim melalui program REDD+
Salah satu mitigasi perubahan iklim adalah melalui program REDD+ /
Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, ditambah
dengan peran konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan
peningkatan stok karbon. Kegiatan pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat Desa dalam kerangka REDD+ yang dapat dibiayai Dana Desa
meliputi:
a. pembangunan sarana-prasarana pelestarian lingkungan hidup, antara
lain:
1) perbaikan lahan yang rusak melalui kegiatan membuat hutan
Desa yang dikelola secara berkelanjutan;
2) pembangunan sumur bor/sumur pompa dan pengelolaan lahan
gambut pada wilayah yang rawan kebakaran hutan;
3) pengembangan wisata berbasis sumberdaya Desa (ekowisata)
sebagai upaya pengelolaan hutan Desa secara berkelanjutan;
4) melakukan penghijauan, pengkayaan tanaman hutan, praktek
wanatani (agroforestry);
5) pembuatan rumah bibit tanaman berkayu dan MPTS;
6) pembangunan dan pengelolaan tata air lahan gambut;
7) pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB); dan
8) dukungan penguatan sarana dan prasarana pengendalian
kebakaran hutan dan lahan untuk kelompok Masyarakat Peduli
Api sebagai upaya pengelolaan hutan Desa yang berkelanjutan.
b. pembangunan sarana prasarana pengolahan limbah dan sampah
antara lain:
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -101-
1) penyediaan tempat sampah untuk pewadahan dan pemilahan
sampah organik dan anorganik;
2) peralatan pembuatan kompos padat dan/atau cair;
3) pembuatan IPAL/SPAL komunal yang dilengkapi dengan
peralatan penangkap gas metan;
4) pengadaan alat angkut sampah;
5) pembangunan tempat pembuangan sampah sementara;
6) peralatan pengolahan jerami padi; dan
7) pengadaan alat untuk pemanfaatan sampah/limbah (mis:
pembuatan pupuk organik, mesin cacah, dll).
c. pembangunan sarana prasarana energi terbarukan antara lain:
1) pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH);
2) pendayagunaan teknologi tepat guna untuk listrik tenaga surya,
dan/atau tenaga angin;
3) instalasi pengolahan limbah pertanian dan peternakan untuk
biogas;
4) instalasi biogas dari sampah rumah tangga; dan
5) peralatan pengolahan limbah minyak goreng untuk biodiesel.
d. kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa untuk pelestarian
lingkungan hidup dan pengendalian perubahan iklim, antara lain:
1) penyuluhan dan pelatihan masyarakat Desa tentang program
REDD+;
2) pengembangan sistem informasi dan penanganan pengaduan
berbasis masyarakat untuk pelaksanaan REDD+;
3) patroli kawasan hutan Desa;
4) pengembangan kapasitas masyarakat Desa untuk mampu menjaga
kawasan hutan dari praktek ilegal loging.
5) peningkatan kapasitas masyarakat Desa untuk melakukan
pelestarian lingkungan hidup di hutan Desa;
6) peningkatan kapasitas masyarakat Desa untuk pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan:
7) pelibatan masyarakat dalam perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan sumberdaya alam hayati yang ada di wilayah Desa;
dan
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -102-
8) pengembangan kapasitas masyarakat Desa untuk penggunaan
pupuk organik.
2. Kegiatan adaptasi perubahan iklim
Kegiatan adaptasi perubahan iklim di tingkat tapak yang dapat dibiayai
Dana Desa meliputi antara lain:
a. pembangunan sarana prasarana untuk perbaikan kondisi yang
mendukung terbangunnya ketahanan iklim mencakup ketahanan
tenurial, pangan, air dan energi terbarukan yang dikelola secara
mandiri oleh masyarakat Desa, dengan kegiatan antara lain:
1) pembuatan penampung/pemanen/peresapan air hujan untuk
meningkatkan cadangan air permukaan/tanah;
2) pembuatan infrastruktur bangunan untuk melindungi dan
konservasi mata air/sumber air bersih;
3) pembuatan rumah bibit untuk pengembangan varietas unggul
yang adaptif terhadap perubahan iklim;
4) pengadaan peralatan/sarana untuk mengoptimalkan
pemanfaatan lahan pekarangan bagi kegiatan pertanian,
perikanan, peternakan
5) perbaikan dan penataan sistem irigasi/drainase hemat air;
6) pengadaan sarana/prasana untuk pengembangan mata
pencaharian alternatif yang tidak sensitif iklim;
7) pembuatan kebun holtikultura bersama;
8) perbaikan lingkungan agar tidak terjadi genangan air yang dapat
memicu terjadinya wabah penyakit terkait iklim; dan
9) pengadaan peralatan/sarana untuk mencegah terbentuknya
jentik-jentik nyamuk pada kolam penampung air.
b. kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa untuk perbaikan kondisi
yang mendukung terbangunnya ketahanan iklim, antara lain:
1) peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengakses dan
memanfaatkan layanan informasi cuaca dan iklim dalam bentuk
sekolah lapang dan/atau model pelatihan masyarakat yang
lainnya;
2) pelatihan simulasi tanggap bencana hidrometeorologis seperti
banjir, longsor, banjir bandang;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -103-
3) pengenalan teknologi tepat guna pengolahan komoditas
pertanian/perkebunan untuk diversifikasi mata pencaharian
yang lebih tidak sensitif iklim;
4) pelatihan teknik budidaya perikanan, peternakan, pertanian
inovatif dan adaptif perubahan iklim; dan
5) pelatihan pengendalian vektor penyakit terkait iklim, misalnya:
pencegahan demam berdarah melalui pemantauan sarang
nyamuk serta pelaksanaan 3M (menguras, menimbun dan
menutup).
3. Gabungan aksi mitigasi - adaptasi pengendalian perubahan iklim dan
pengurangan risiko bencana terkait perubahan iklim
Pengendalian perubahan iklim dapat dilaksanakan dengan cara
menterpadukan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara
berkelanjutan. Salah satu program yang merupakan gabungan antara
adaptasi dengan mitigasi perubahan iklim adalah Program Kampung
Iklim (Proklim), yang dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan
kapasitas adaptasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim dan
mendorong kontribusi masyarakat dalam upaya penurunan emisi gas
rumah kaca dengan menerapkan pola hidup rendah emisi karbon.
Pelaksanaan Proklim diharapkan dapat memberikan manfaat sosial,
ekonomi dan mengurangi risiko bencana hidrometeorologi
Kegiatan pembangunan dan pemberdayaan Desa dalam kerangka Proklim
yang dapat dibiayai oleh dana Desa meliputi:
a. Pembangunan dan/atau pengadaan sarana-prasarana pengurangan
emisi karbon dan risiko bencana terkait perubahan iklim, antara lain:
1) pembuatan/perbaikan parit di area rentan banjir;
2) pengadaan peralatan pengendali banjir;
3) pembuatan talud dan bangunan pelindung abrasi pantai;
4) pembuatan tanggul pemecah ombak;
5) pembelian bibit dan penanaman bakau;
6) penanaman di lereng atau dengan struktur beton penahan longsor
(plengsengan);
7) pengadaan alat angkut sampah dan tempat pembuangan sampah
sementara;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -104-
8) pengadaan alat untuk pemanfaatan sampah/limbah (mis:
pembuatan pupuk organik, mesin cacah);
9) rehabilitasi /relokasi pemukiman penduduk di kawasan rawan
longsor; dan
10) pengadaan alat pendukung penanganan bencana seperti rambu
evakuasi, sistem peringatan dini berbasis masyarakat.
b. Kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa untuk pengurangan emisi
karbon dan bencana alam dikarenakan perubahan iklim, antara lain:
1) penyusunan rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim;
2) pelatihan kelompok masyarakat ProKlim;
3) penyusunan rencana tanggap bencana;
4) pelatihan relawan tanggap bencana;
5) sosialisasi dan simulasi bencana; dan
6) pelatihan pengelolaan sampah mandiri.
Q. PENCEGAHAN DAN PENANGANAN BENCANA ALAM
Beberapa wilayah di Indonesia termasuk wilayah rawan bencana alam
seperti: banjir, gempa bumi, tsunami, maupun longsor. Masalah yang
sering muncul adalah bahwa masyarakat Desa belum/tidak cukup
pengetahuan dalam menghadapi maupun menanggulangi bencana tersebut.
Akibatnya, masyarakat Desa mengalami kerugian baik itu nyawa, materi
maupun kerugian inmateriil.
Penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk penanggulangan bencana
alam. Salah satu contohnya adalah Desa yang rawan bencana tanah
longsor dapat menggunakan Dana Desa untuk membiayai kegiatan-
kegiatan antara lain:
1. Pencegahan Bencana melalui peringatan dini (early warning system)
yaitu:
a) pembuatan tanda khusus pada daerah rawan longsor lahan;
b) pembuatan atau memperbarui peta-peta wilayah Desa yang rawan
tanah longsor;
c) pembuatan tanda khusus batasan lahan yang boleh dijadikan
permukiman;
d) pembuatan tanda larangan pemotongan lereng tebing;
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -105-
e) melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat ini dalam keadaan
gundul, menanam pohon - pohon penyangga dan melakukan
panghijauan pada lahan-lahan terbuka;
f) membuat terasering atau sengkedan pada lahan yang memiliki
kemiringan yang relatif curam;
g) membuat saluran pembuangan air menurut bentuk permukaan
tanah;
h) membuat dan/atau mengadakan sarana prasarana tanda peringatan
jika ada gejala–gejala bencana tanah longsor; dan
i) pelatihan masyarakat Desa untuk mampu menyelamtkan diri jika
terjadi bencana tanah longsor.
2. Pemulihan setelah terjadinya bencana tanah longsor, antara lain:
a) pembangunan tempat-tempat penampungan sementara bagian para
pengungsi seperti tenda-tenda darurat;
b) menyediakan dapur-dapur umum;
c) menyediakan sarana-prasarana kesehatan dan air bersih; dan
d) penanganan trauma pasca bencana bagi para korban.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -106-
R. KEGIATAN TANGGAP DARURAT BENCANA ALAM
Bencana alam disebabkan oleh peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Bencana alam bagi
masyarakat Desa bukanlah peristiwa yang mudah untuk diperkirakan.
Karenanya, segera setelah terjadi bencana alam dilakukan kegiatan tanggap
darurat. Dana Desa dapat digunakan untuk membiayai kegiatan tanggap
darurat bencana alam dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jenis Kegiatan Tanggap Darurat yang dapat dibiayai melalui APBDes:
a. Keadaan Bencana
1) Pengorganisasian kelompok masyarakat untuk penyelamatan
mandiri.
2) Pelatihan keterampilan paska bencana.
b. Keadaan Darurat
1) Menyediakan MCK komunal sederhana.
2) Pelayanan kesehatan.
3) Menyiapkan lokasi pengungsian.
4) Menyediakan obat – obatan selama di pengungsian, seperti : minyak
angin, minyak telon, obat nyamuk, obat analgesik, obat diare, oralit
dll.
c. Keadaan Mendesak
1) Memberikan pertolongan pertama
Memberikan pertolongan yang harus segera dilakukan kepada
korban sebelum dibawa ketempat rujukan (Puskesmas, Rumah
Sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Desa dapat mengadakan:
Peralatan Standar Pertolongan Pertama (Kotak PP).
2) Penyediaan penampungan sementara (Pos pengungsian/Shelter)
Menyediakan lokasi aman sebagai lokasi pengungsian dan
menyiapkan peralatan mendesak dalam kondisi darurat di lokasi
pengungsian.
3) Penyediaan dapur umum
Menyediakan lokasi, peralatan dan bahan makanan untuk korban
bencana alam.
4) Penyediaan MCK darurat Menyediakan lokasi MCK darurat.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -107-
5) Menyediakan air bersih dan alat penampungan, termasuk
pengaturan distribusinya
6) Menyiapkan kebutuhan khusus untuk kelompok: perempuan, anak
– anak, bayi, balita, lansia, kaum difabel dan kelompok rentan
lainnya.
7) Pengamanan Lokasi
Menyiapkan dukungan keamanan lokasi terdampak bencana.
8) Menerima dan menyalurkan bantuan.
Mekanisme Perubahan Dokumen Perencanaan dan Anggaran Pembangunan
Desa Terhadap dokumen Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) Tahun
2020 dan Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa (APB Desa) Tahun 2020
yang ditetapkan dengan Peraturan Desa sebelum terjadinya bencana alam,
dilakukan langkah sebagai berikut:
a. Perubahan RKPDes
1. Desa yang akan menggunakan Dana Desa untuk membiayai Kegiatan
Tanggap Darurat, melakukan perubahan RKP Desa Tahun 2020;
2. Perubahan RKP Desa dimulai dengan melakukan perhitungan
kebutuhan kebencanaan dari Dana Desa 2020;
3. Perhitungan ulang dilakukan dengan refokusing atau mengurangi
jumlah kegiatan sebanyak – banyaknya 5 (lima) kegiatan, sehingga
dipastikan dapat memenuhi kebutuhan anggaran untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat di wilayah yang terkena dampak bencana
alam;
4. Refokusing kegiatan Desa dibahas dan disepakati dalam musyawarah
Desa;
5. Perubahan RKP Desa Tahun 2020 disusun oleh Kepala Desa dibantu
oleh Tim Penyusun RKP Desa dengan berdasarkan berita acara
musyawarah Desa tentang refokusing kegiatan Desa;
6. Rancangan perubahan RKP Desa yang disusun oleh Kepala Desa dan
tim penyusun perubahan RKP Desa dibahas dan disepakati oleh
Kepala Desa, BPD dan unsur masyarakat Desa dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa (MusrenbangDesa);
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -108-
7. Hasil kesepakatan musrenbangdesa tentang Rancangan Perubahan
RKP Desa menjadi dasar bagi Kepala Desa dan BPD untuk
menetapkan Peraturan Desa tentang RKP Desa Tahun 2020
Perubahan.
b. Perubahan APBDesa Tahun 2020
1. Bagi Desa yang sudah menetapkan APBDesa Tahun 2020, namun
dilakukan perubahan RKPDesa Tahun 2020 untuk kepentingan
tanggap darurat bencana alam, wajib melakukan perubahan
APBDesa tahun 2020;
2. Kepala Desa dan BPD melakukan perubahan APBDesa Tahun 2020
dengan berpedoman pada Peraturan Desa tentang RKP Desa 2020
Perubahan;
3. Kepala Desa mengajukan rancangan perubahan TPBDesa tahun
2020 untuk direview oleh Bupati/Wali Kota sesuai peraturan
perundang-undangan tentang keuangan Desa;
4. Dalam hal rancangan perubahan APBDesa Tahun 2020 sudah
disetujui Bupati/Wali Kota, maka Kepala Desa dan BPD menetapkan
Peraturan Desa tentang APBDesa tahun 2020 Perubahan.
S. SISTEM INFORMASI DESA
Salah satu kegiatan yang menjadi prioritas dalam penggunaan Dana Desa
di bidang Pemberdayaan Masyarakat adalah pengelolaan dan
pengembangan Sistem Informasi Desa (SID) melalui pengembangan
kapasitas dan pengadaan aplikasi perangkat lunak (software) dan perangkat
keras (hardware) komputer untuk pendataan dan penyebaran informasi
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa yang dikelola secara
terpadu.
Penggunaan Dana Desa sebagai salah satu bagian dari sumber penerimaan
dalam APBDesa tidak bisa dilepaskan dari proses perencanaan
pembangunan Desa. Perencanaan pembangunan Desa yang terfokus pada
upaya mewujudkan peningkatan kualitas hidup manusia, peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa dan penanggulangan kemiskinan harus
didukung oleh ketersediaan data dan informasi yang faktual dan valid
sebagai salah satu inputnya. Begitu juga pembangunan Desa yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -109-
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus berdasarkan kondisi/keadaan
Desa yang faktual. Keterpaduan perencanaan pembangunan Desa dengan
pembangunan kawasan perdesaan dan/atau pembangunan daerah
mensyaratkan adanya kebijakan Satu Desa.
Dana Desa dapat digunakan untuk membiayai penyusunan dan
pengembangan SID. Syaratnya, penyusunan dan pengembangan SID
sebagaimana dimaksud harus berbasis masyarakat. Beberapa hal yang
menjadi kelebihan SID berbasis masyarakat adalah sebagai berikut:
Dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat;
1. Ada proses rekonfirmasi sehingga data yang diperoleh lebih faktual dan
valid;
2. Data bersifat mikro dengan by name, by address sehingga perencanaan
pembangunan Desa lebih tepat sasaran;
3. Data dan informasi yang dihasilkan oleh SIPBM dapat dibahas sebagai
salah satu referensi untuk melengkapi hasil pengkajian keadaan Desa
dalam menyusun rencana kerja pembangunan Desa.
SID yang berbasis masyarakat terdiri dari beberapa tahapan kegiatan,
disamping pengadaan software dan hardwarenya, sebagai berikut:
1. Peningkatan kapasitas Tim Pendata yang direkrut dari masyarakat Desa;
2. Pendataan oleh Tim Pendata;
3. Peningkatan kapasitas Tim Operator Entry Data yang direkrut dari
masyarakat Desa;
4. Proses entry data, cleaning data, rekonfirmasi data dan analisis data;
5. Pengelolaan data dan up dating data;
6. Publikasi data dan informasi; dll.
Publikasi data pembangunan Desa melalui SID dapat dimanfaatkan oleh
Desa dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai salah satu dasar
dalam merencanakan pembangunan Desa yang dikelola secara transparan
partisipatif, terpadu dan akuntabel.
T. PENGEMBANGAN KETERBUKAAN INFORMASI PEMBANGUNAN DESA
Keterbukaan informasi pembangunan Desa dilakukan dengan cara
menyebarluaskan beragam informasi tentang pembangunan Desa.
Sosialisasi pembangunan Desa merupakan upaya untuk memperkenalkan
dan menyebarluaskan informasi tentang ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang pembangunan Desa maupun informasi tentang
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -110-
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan Desa.
Informasi pembangunan Desa disebarluaskan kepada:
1. tokoh adat;
2. tokoh agama;
3. tokoh masyarakat;
4. tokoh pendidikan;
5. kelompok tani;
6. kelompok nelayan;
7. kelompok perajin;
8. kelompok perempuan; dan
9. kelompok masyarakat miskin/rumah tangga miskin.
Cara penyebaran informasi pembangunan Desa melalui:
1. pertemuan sosialisasi;
2. media cetak seperti papan informasi, poster, baliho, leaflet buletin Desa,
koran Desa;
3. media pandang-dengar (audio-visual) seperti radio, layar tancap keliling,
website Desa, televisi;
4. pengelolaan penyebaran informasi secara partisipatif yang dilakukan
melalui jurnalisme warga, balai rakyat, jaringan bloger Desa, danpenggiat
seni budaya.
Desa dapat menggunakan Dana Desa untuk membiayai kegiatan
penyebaran informasi pembangunan Desa dengan cara mengadakan
peralatan yang dibutuhkan untuk menyebarkan informasi, maupun
menggunakan Dana Desa untuk membiayai pengelolaan kegiatan
keterbukaan informasi pembangunan Desa.
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -111-
U. PEMBERDAYAAN HUKUM DI DESA
Salah satu kata kunci dalam definisi Desa adalah bahwa Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat Desa
dipandang sebagai pelaku aktif di Desa yang memiliki hak, kewajiban dan
tanggungjawab hukum (subyek hukum) sebagai penerima manfaat dari
adanya Dana Desa yang dikelola oleh Desa secara mandiri.
Proses pengelolaan Dana Desa sarat dengan tindakan kontraktual atau
perjanjian yang mengikat secara hukum. Selanjutnya, agar masyarakat
Desa yang ikut serta mengelola Dana Desa mampu mengelola sumberdaya
itu secara mandiri, maka kepada mereka perlu diberikan pemahaman
tentang kontrak atau perjanjian yang bersifat legal. Dengan demikian,
masyarakat Desa (sebagai pemilik, pelaksana sekaligus penerima manfaat
program) akan memiliki kemampuan untuk merumuskan tindakan-
tindakan yang berlandaskan pada pendapat hukum dalam kesepakatan-
kesepakatan hasil musyawarah maupun dalam kontrak-kontrak kerjasama.
Pada akhirnya, dalam situasi kontraktual ini, masyarakat penerima Desa
mampu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah dalam pengelolaan
Dana Desa yang bersifat perdata maupun pidana melalui prosedur hukum
yang berlaku.
Distribusi Dana Desa secara langsung kepada Desa, dan pengelolaan Dana
Desa secara mandiri oleh Desa pada dasarnya rentan terhadap munculnya
penyimpangan dan penyelewengan dana. Secara tegas dapat disebutkan
bahwa dalam pelaksanaan penggunaan Dana Desa pun terjadi praktek-
praktek korupsi. Kendatipun dalam pengaturan Undang-Undang Desa
diterapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, namun praktek-praktek
korupsi tetap tidak dapat dihilangkan secara total dalam proses
pelaksanaan penggunaan Dana Desa. Oleh sebab itu, Desa harus secara
serius mengabil langkah-langkah nyata untuk memerangi tindak pidana
korupsi. Pada situasi ini, bantuan hukum kepada masyarakat dibutuhkan
untuk membantu masyarakat melawan dan memberantas korupsi tingkat
lokal. Inilah yang mendasari pentingnya “upaya mendorong penegakkan
hukum” yang ditempuh dalam pelaksanaan penggunaan Dana Desa,
dengan memberi bantuan hukum bagi masyarakat Desa yang dibiayai dari
Dana Desa.
Kegiatan-kegiatan pemberdayaan hukum bagi masyarakat Desa yang dapat
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -112-
dibiayai dengan Dana Desa meliputi:
1. Pendidikan Hukum bagi Masyarakat Desa
Penegakan hukum di tingkat masyarakat dapat diwujudkan apabila
anggota masyarakat memiliki kapasitas pengetahuan hukum yang cukup
memadai sesuai dengan konteks hidup mereka. Langkah strategis
menanamkan kesadaran hukum di kalangan warga Desa adalah
pendidikan hukum praktis. Kepada masyarakat dapat diberikan
pelatihan hukum secara terus menerus, dengan materi tentang aspek-
aspek hukum praktis.
2. Pengembangan Paralegal Desa
Pendidikan hukum secara langsung kepada bukan merupakan sebuah
pilihan tindakan yang strategis. Selain membutuhkan biaya yang sangat
mahal, pelatihan hukum secara langsung kepada masyarakat
mensyaratkan adanya waktu yang longgar dengan intensitas khusus dari
para praktisi hukum di kabupaten. Karenanya, pendididikan hukum
kepada masyarakat diberikan secara tidak langsung. Pertama-tama,
masyarakat akan mendapat nasihat-nasihat hukum secara praktis dari
para praktisi hukum jika benar-benar ada kasus hukum. Selain itu,
masyarakat juga mendapat kemudahan untuk mengakses layanan
bantuan hukum secara praktis dengan cara menempatkan tenaga
paralegal di Desa. Agar tenaga Paralegal dapat memberikan informasi
tentang langkah-langkah yang akan diambil masyarakat dalam
memperoleh bantuan hukum maka perlu adanya pelatihan hukum bagi
tenaga Paralegal. Materi pelatihan meliputi aspek-aspek hukum praktis
yang meliputi tata cara penanganan kasus perdata maupun kasus
pidana, baik melalui jalur litigasi maupun non-litigasi.
MENTERI DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
EKO PUTRO SANDJOJO
www.peraturan.go.id
2019, No.1012 -113-
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2019
TENTANG
PRIORITAS PENGGUNAAN DANA DESA
TAHUN 2020
Contoh Format 1. Laporan Kepala Desa kepada Bupati/Wali Kota
Contoh Format 2. Laporan Bupati/Wali Kota kepada Gubernur
Contoh Format 3. Laporan Gubernur kepada Menteri Desa, Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi
MENTERI DESA,
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN
TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
EKO PUTRO SANDJOJO
www.peraturan.go.id
MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 130 TAHUN 2018
TENTANG
KEGIATAN PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA KELURAHAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KELURAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (9)
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang
Kecamatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri tentang Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana
Kelurahan dan Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4916);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
SALINAN
- 2 -
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor
223, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6263);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang
Kecamatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2018 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6206);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG KEGIATAN
PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA KELURAHAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KELURAHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
2. Kecamatan atau disebut dengan nama lain adalah bagian
wilayah dari daerah kebupaten/kota yang dipimpin oleh
camat.
3. Kelurahan adalah bagian wilayah dari Kecamatan sebagai
perangkat Kecamatan.
- 3 -
4. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya
disingkat SKPD adalah perangkat daerah pada
Pemerintah Daerah selaku pengguna anggaran/pengguna
barang.
5. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan
oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian
dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan
terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber
daya baik yang berupa sumber daya manusia, barang
modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau
kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya
tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan
keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
8. Dana Alokasi Umum Tambahan yang selanjutnya
disingkat DAU Tambahan adalah dukungan pendanaan
bagi Kelurahan di kabupaten/kota untuk kegiatan
pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan dan
pemberdayaan masyarakat di Kelurahan.
9. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat
RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah
yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota
untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan
membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang
ditetapkan.
10. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya
disingkat PPKD adalah kepala satuan kerja pengelola
keuangan daerah yang selanjutnya disebut dengan Kepala
SKPKD yang mempunyai tugas melaksanakan
- 4 -
pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara
umum daerah.
11. Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat
BUD adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas
sebagai Bendahara Umum Daerah.
12. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya
disingkat PPTK adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang
melaksanakan satu atau beberapa Kegiatan dari suatu
program sesuai dengan bidang tugasnya.
13. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat
SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan Kegiatan/bendahara
pengeluaran untuk mengajukan permintaan pembayaran.
14. Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan
yang selanjutnya disingkat SPP-GU adalah dokumen yang
diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan
pengganti uang persediaan yang tidak dapat dilakukan
dengan pembayaran langsung.
15. Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang
Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TU adalah
dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran
untuk permintaan tambahan uang persediaan guna
melaksanakan Kegiatan SKPD yang bersifat mendesak
dan tidak dapat digunakan untuk pembayaran langsung
dan uang persediaan.
16. Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang
selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang
diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan
pembayaran langsung kepada pihak ketiga atas dasar
perjanjian kontrak kerja atau surat perintah kerja lainnya
dan pembayaran gaji dengan jumlah, penerimaan,
peruntukan, dan waktu pembayaran tertentu yang
dokumennya disiapkan oleh PPTK.
17. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM
adalah dokumen yang digunakan/diterbitkan oleh
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk
- 5 -
penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana atas beban
pengeluaran Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD.
18. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya
disingkat SP2D adalah dokumen yang digunakan sebagai
dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD
berdasarkan SPM.
19. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya
disingkat SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan
dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.
BAB II
KEGIATAN
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mengatur kegiatan:
a. pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan; dan
b. pemberdayaan masyarakat di Kelurahan.
Pasal 3
(1) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a digunakan
untuk membiayai pelayanan sosial dasar yang berdampak
langsung pada meningkatnya kualitas hidup masyarakat.
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan
pemukiman;
b. pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana prasarana transportasi;
c. pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana prasarana kesehatan; dan/atau
d. pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana prasarana pendidikan dan
kebudayaan.
- 6 -
Pasal 4
(1) Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan
pemukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf a, meliputi:
a. jaringan air minum;
b. drainase dan selokan;
c. sarana pengumpulan sampah dan sarana pengolahan
sampah;
d. sumur resapan;
e. jaringan pengelolaan air limbah domestik skala
pemukiman;
f. alat pemadam api ringan;
g. pompa kebakaran portabel;
h. penerangan lingkungan pemukiman; dan/atau
i. sarana prasarana lingkungan pemukiman lainnya.
(2) Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana prasarana transportasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. jalan pemukiman;
b. jalan poros Kelurahan; dan/atau
c. sarana prasarana transportasi lainnya.
(3) Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana prasarana kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, meliputi:
a. mandi, cuci, kakus untuk umum/komunal;
b. pos pelayanan terpadu dan pos pembinaan terpadu;
dan/atau
c. sarana prasarana kesehatan lainnya.
(4) Pengadaan, pembangunan, pengembangan dan
pemeliharaan sarana prasarana pendidikan dan
kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) huruf d, meliputi:
a. taman bacaan masyarakat;
b. bangunan pendidikan anak usia dini;
- 7 -
c. wahana permainan anak di pendidikan anak usia dini;
dan/atau
d. sarana prasarana pendidikan dan kebudayaan lainnya.
Pasal 5
(1) Kegiatan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, digunakan
untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat
di Kelurahan dengan mendayagunakan potensi dan
sumber daya sendiri.
(2) Kegiatan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pengelolaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat;
b. pengelolaan kegiatan pelayanan pendidikan dan
kebudayaan;
c. pengelolaan kegiatan pengembangan usaha mikro,
kecil, dan menengah;
d. pengelolaan kegiatan lembaga kemasyarakatan;
e. pengelolaan kegiatan ketenteraman, ketertiban umum,
dan perlindungan masyarakat; dan/atau
f. penguatan kesiapsiagaan masyarakat dalam
menghadapi bencana serta kejadian luar biasa lainnya.
Pasal 6
(1) Pengelolaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a,
meliputi:
a. pelayanan perilaku hidup bersih dan sehat;
b. keluarga berencana;
c. pelatihan kader kesehatan masyarakat; dan/atau
d. kegiatan pengelolaan pelayanan kesehatan masyarakat
lainnya.
(2) Pengelolaan kegiatan pelayanan pendidikan dan
kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
huruf b, meliputi:
a. penyelenggaraan pelatihan kerja;
- 8 -
b. penyelengaraan kursus seni budaya; dan/atau
c. kegiatan pengelolaan pelayanan pendidikan dan
kebudayaan lainnya.
(3) Pengelolaan kegiatan pengembangan usaha mikro, kecil,
dan menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) huruf c, meliputi:
a. penyelenggaraan pelatihan usaha; dan/atau
b. kegiatan pengelolaan pengembangan usaha mikro,
kecil, dan menengah lainnya.
(4) Pengelolaan kegiatan lembaga kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d,
meliputi:
a. pelatihan pembinaan Lembaga Kemasyarakatan
Kelurahan; dan/atau
b. kegiatan pengelolaan lembaga kemasyarakatan lainnya.
(5) Pengelolaan kegiatan ketenteraman, ketertiban umum, dan
perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf e, meliputi:
a. pengadaan/penyelenggaraan pos keamanan Kelurahan;
b. penguatan dan peningkatan kapasitas tenaga
keamanan/ketertiban Kelurahan; dan/atau
c. kegiatan pengelolaan ketenteraman, ketertiban umum
dan perlindungan masyarakat lainnya.
(6) Penguatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana serta kejadian luar biasa lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf f, meliputi:
a. penyediaan layanan informasi tentang bencana;
b. pelatihan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana;
c. pelatihan tenaga sukarelawan untuk penanganan
bencana;
d. edukasi manajemen proteksi kebakaran; dan/atau
e. penguatan kesiapsiagaan masyarakat yang lainnya.
- 9 -
Pasal 7
(1) Penentuan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana
Kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6
dilakukan melalui musyawarah pembangunan Kelurahan.
(2) Dalam hal terdapat penambahan dan/atau perubahan
kegiatan pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan
dan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui musyawarah
antara lurah dengan lembaga pemberdayaan masyarakat
kelurahan.
(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan penentuan
kegiatan tambahan dan/atau perubahan.
(4) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat
dalam bentuk berita acara.
Pasal 8
(1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, disusun
dalam dokumen perencanaan daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan dengan melimpahkan kewenangan kepala
daerah kepada camat dengan keputusan kepala daerah.
BAB III
PENGANGGARAN
Pasal 9
(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengalokasikan
anggaran dalam APBD kabupaten/kota untuk
pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan dan
pemberdayaan masyarakat di Kelurahan.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimasukan ke dalam anggaran Kecamatan pada bagian
- 10 -
anggaran Kelurahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
(1) Anggaran kegiatan pembangunan sarana dan prasarana
Kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dialokasikan untuk:
a. daerah kota yang tidak memiliki desa; dan
b. kabupaten yang memiliki Kelurahan dan kota yang
memiliki desa.
(2) Anggaran untuk daerah kota yang tidak memiliki desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dialokasikan
paling sedikit 5% (lima persen) dari APBD setelah
dikurangi dana alokasi khusus, ditambah DAU Tambahan
yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Anggaran untuk daerah kabupaten yang memiliki
Kelurahan dan kota yang memiliki desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dialokasikan paling sedikit
sebesar dana desa terendah yang diterima oleh desa di
kabupaten/kota, ditambah DAU Tambahan yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 11
(1) Berdasarkan dokumen perencanaan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Kecamatan menyusun Rencana
Kerja dan Anggaran sesuai dengan sumber pendanaan
masing-masing Kegiatan.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disusun oleh camat atas usul
lurah selaku Kuasa Pengguna Anggaran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 11 -
(3) Anggaran Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
masing-masing dituangkan pada Rencana Kegiatan dan
Anggaran tersendiri.
BAB IV
PELAKSANAAN ANGGARAN
Pasal 12
(1) Kepala daerah menetapkan lurah selaku Kuasa Pengguna
Anggaran untuk melaksanakan kegiatan pembangunan
sarana dan prasarana Kelurahan dan pemberdayaan
masyarakat di Kelurahan.
(2) Lurah selaku Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menunjuk Pejabat Penatausahaan
Keuangan Pembantu dan PPTK di Kelurahan.
(3) Kepala Daerah menetapkan Bendahara Pengeluaran
Pembantu di Kelurahan berdasarkan usulan lurah selaku
Kuasa Pengguna Anggaran melalui BUD.
(4) Dalam hal di Kelurahan belum tersedia aparatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3), kepala daerah dapat menetapkan pejabat lain yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13
Pejabat Penatausahaan Keuangan Pembantu di Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) bertugas:
a. meneliti kelengkapan SPP-LS pengadaan barang dan jasa
yang disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu
dan diketahui/disetujui oleh PPTK;
b. meneliti kelengkapan SPP-TU yang diajukan oleh
Bendahara Pengeluaran Pembantu;
c. melakukan verifikasi SPP;
d. menyiapkan SPM; dan
e. melakukan verifikasi harian atas penerimaan.
- 12 -
Pasal 14
Pelaksanaan anggaran untuk kegiatan pembangunan sarana
dan prasarana lokal Kelurahan dan pemberdayaan
masyarakat di Kelurahan melibatkan kelompok masyarakat
dan/atau organisasi kemasyarakatan.
Pasal 15
Pengadaan barang dan jasa dalam kegiatan pembangunan
sarana dan prasarana Kelurahan dan pemberdayaan
masyarakat di Kelurahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa.
BAB V
PENATAUSAHAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 16
(1) Penatausahaan kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana Kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di
Kelurahan menggunakan mekanisme tambahan uang dan
mekanisme langsung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pada saat penetapan peraturan presiden mengenai Rincian
APBN, PPKD melakukan pencatatan piutang pendapatan
DAU Tambahan dan pendapatan DAU Tambahan Laporan
Operasional.
(3) Pada saat anggaran kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana Kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di
Kelurahan yang berasal dari APBN diterima di RKUD,
PPKD melakukan pencatatan kas di kas daerah dan
pendapatan DAU Tambahan Laporan Realisasi Anggaran.
(4) Pelaporan keuangan kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana Kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di
Kelurahan dilaksanakan oleh Kecamatan selaku entitas
akuntansi.
(5) Pengakuan belanja dan beban atas anggaran kegiatan
pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan dan
- 13 -
pemberdayaan masyarakat di Kelurahan berdasarkan
laporan pertanggungjawaban tambahan uang dan laporan
pertanggungjawaban fungsional.
(6) Sisa anggaran kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana Kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di
Kelurahan, yang berada di RKUD maupun rekening
Kelurahan menjadi SiLPA yang akan diperhitungkan pada
alokasi untuk Kegiatan tahun anggaran selanjutnya.
Pasal 17
(1) Pejabat Penatausahaan Keuangan Pembantu di Kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dalam
melaksanakan pertanggungjawaban kegiatan
pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan dan
pemberdayaan masyarakat di Kelurahan mempunyai tugas
melakukan verifikasi atas laporan pertanggungjawaban
yang disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran Pembantu
kepada KPA.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. meneliti kelengkapan dokumen laporan
pertanggungjawaban dan keabsahan bukti-bukti
pengeluaran yang dilampirkan;
b. menguji kebenaran perhitungan atas pengeluaran per
rincian objek yang tercantum dalam ringkasan per
rincian objek;
c. menghitung pengenaan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak
Penghasilan atas beban pengeluaran per rincian objek;
dan
d. menguji kebenaran sesuai dengan SPM dan SP2D yang
diterbitkan periode sebelumnya.
(3) Laporan penggunaan anggaran kegiatan pembangunan
sarana dan prasarana Kelurahan dan pemberdayaan
masyarakat di Kelurahan yang bersumber dari APBD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
disampaikan kepada camat dan BUD setiap semester.
- 14 -
(4) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), untuk:
a. semester I disampaikan paling lambat minggu kedua
bulan Juli; dan
b. semester II disampaikan paling lambat minggu kedua
bulan Januari.
(6) Lurah menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan dan
pemberdayaan masyarakat di Kelurahan kepada
bupati/wali kota melalui camat.
(7) Bupati/wali kota menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan pembangunan sarana dan prasarana Kelurahan
dan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan kepada
Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
(1) Bupati/wali kota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap kegiatan pembangunan sarana dan prasarana
Kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan.
(2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan,
bupati/wali kota dapat melimpahkan kewenangannya
kepada camat.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
pelaksanaannya dibantu oleh inspektorat kabupaten/kota.
(4) Pembinaan dan pengawasan oleh camat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 15 -
Pasal 19
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
dilakukan dalam bentuk fasilitasi, konsultasi, pendidikan
dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(3) dilakukan dalam bentuk reviu, monitoring, evaluasi,
dan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 16 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2018
MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TJAHJO KUMOLO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Pebruari 2019.
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 139.
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum,
ttd
Dr. Widodo Sigit Pudjianto, SH, MH
- 17 -
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 130 TAHUN 2018
TENTANG KEGIATAN PEMBANGUNAN SARANA DAN
PRASARANA KELURAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DI KELURAHAN
FORMAT LAPORAN PENGGUNAAN ANGGARAN KEGIATAN PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA KELURAHAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KELURAHAN
Kabupaten/Kota :
Kecamatan/Kode Wilayah :
Kelurahan/Kode Wilayah :
Semester :
Tahun Anggaran :
NO URAIAN
OUTPUT ANGGARAN
(Rp)
REALISASI SISA % CAPAIAN
OUTPUT
TENAGA
KERJA
(Orang)
DURASI
(Hari)
UPAH
(Rp) KET
VOLUME SATUAN (Rp) %
(Rp) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)=(6)/(5) (8) (9) =(8)/(5) (10) (11) (12) (13) (14)
1 A.Pembangunan Sarana dan
Prasarana Kelurahan
1. Kegiatan 1 ……….
2. Kegiatan 2 ……….
- 18 -
NO URAIAN
OUTPUT ANGGARAN
(Rp)
REALISASI SISA % CAPAIAN
OUTPUT
TENAGA
KERJA
(Orang)
DURASI
(Hari)
UPAH
(Rp) KET
VOLUME SATUAN (Rp) %
(Rp) %
3. Dst…..
B.Pemberdayaan Masyarakat di
Kelurahan
1. Kegiatan 1 ……….
2. Kegiatan 2 ……….
3. Dst…..
Jumlah Total
Tanggal,
Mengetahui,
Lurah selaku KPA
TTD
Nama Jelas
NIP
Bendahara Pengeluaran Pembantu
TTD
Nama Jelas
NIP
- 19 -
Petunjuk Pengisian:
NOMOR URAIAN
1 Kolom 1 diisi dengan nomor urut program/kegiatan
2 Kolom 2 diisi dengan uraian kegiatan
3 Kolom 3 diisi dengan volume output, misal: 500
4 Kolom 4 diisi dengan satuan output, misal: meter
5 Kolom 5 diisi dengan jumlah anggaran
6 Kolom 6 diisi dengan jumlah realisasi
7 Kolom 7 diisi dengan persentase realisasi terhadap anggaran
8 Kolom 8 diisi dengan selisih antara anggaran dan realisasi
9 Kolom 9 diisi dengan selisih persentase sisa
10
Kolom 10 diisi dengan persentase capaian output dengan perhitungan sebagai berikut:
a. Kegiatan pembangunan/pemeliharaan/pengembangan fisik dihitung sesuai perkembangan penyelesaian fisik di
lapangan dan foto;
b. Kegiatan non fisik dengan cara:
- Penyelesaian kertas kerja/kerangka acuan kerja yang memuat latar belakang, tujuan, lokasi, target/sasaran,
dan anggaran sebesar 30%;
- Undangan pelaksanaan kegiatan, daftar hadir peserta pelatihan dan konfirmasi pengajar sebesar 50%;
- Kegiatan telah terlaksana sebesar 80%; dan
- Laporan pelaksanaan kegiatan dan foto sebesar 100%
- 20 -
11 Kolom 11, 12, dan 13 dalam rangka pelaksanaan program/kegiatan cash for work/uang muka kerja yang diisi hanya
untuk kegiatan di Kelurahan pada bidang pelaksanaan pembangunan
12 Kolom 14 diisi dengan sumber pendanaan (APBD atau DAU Tambahan)
MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
TJAHJO KUMOLO
Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum,
ttd
Dr. Widodo Sigit Pudjianto, SH, MH
- 45 -
Contoh tahapan kegiatan advokasi di tingkat kabupaten/kota
Rincian kegiatan advokasi di kabupaten/kota dalam upaya mendapatkan hasil cepat advokasi/quick wins antara lain:
a. Penerbitan SK Bupati/Walikota tentang Pembentukan kelompok kerja Lintas Sektor yang mencakup Tim Teknis Penyusunan RAD integrasi Program KB dan Kesehatan ibu berbasis hak dan Tim teknis pelaksanaan RAD (Pos Komando). Dokumen RAD dilengkapi estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD (CIP). 1) Pertemuan Kepala Bappeda, Kepala OPD KB, Kepala Dinas Kesehatan dan
Direktur RSUD (untuk tambahan disesuaikan kebutuhan setempat)) untuk membahas: - rencana kegiatan penyusunan RAD integrasi Program KB dan
kesehatan ibu berbasis hak serta estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD
- rencana alokasi anggaran operasional untuk kegiatan tim teknis penyusunan RAD
- draft SK bupati/walikota kelompok kerja tim teknis penyusunan RAD - pengembangan policy brief yang mencakup data tentang KB dan
kesehatan ibu, hubungan cakupan Program KB dengan tingkat kesehatan ibu, kejadian kematian ibu dan pencapaian IPM kabupaten/kota dan rekomendasi prioritas strategi. Salah satunya mencantumkan integrasi Program KB dan kesehatan ibu berbasis hak
2) Audiensi ke bupati/walikota didampingi perwakilan pokja provinsi untuk mendukung integrasi program KB dan Kesehatan Ibu berbasis hak. Kegiatan ini menghasilkan komitmen bupati/walikota untuk mendukung program yang direalisasikan dalam bentuk: - Persetujuan rencana kegiatan penyusunan RAD integrasi Program KB
dan kesehatan ibu berbasis hak serta estimasi pembiayaan implementasi RAD dan estimasi pembiayaan implementasi RAD
- Penandatangan draft SK bupati/walikota tentang pembentukan kelompok kerja Lintas Sektor yang mencakup Tim Teknis Penyusunan RAD integrasi Program KB dan Kesehatan ibu berbasis hak dan Tim teknis pelaksanaan RAD (Pos Komando).
- Persetujuan rencana alokasi anggaran operasional untuk kegiatan kelompok kerja Lintas Sektor yang mencakup Tim Teknis Penyusunan RAD integrasi Program KB dan Kesehatan ibu berbasis hak dan tim teknis pelaksanaan RAD (Pos Komando).
Dilanjutkan pertemuan Tim Teknis Penyusunan draft RAD integrasi Program KB dan kesehatan ibu berbasis hak dan serta estimasi pembiayaan kegiatan RAD berdasarkan panduan/modul yang telah
diberikan. Pokja provinsi dan fasilitator dari daerah berperan mendampingi proses penyusunan dokumen tersebut.
b. Alokasi APBD untuk penyusunan: RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak dan estimasi pembiayaan implementasi RAD (Hasil telah diperoleh dari kegiatan di no. 1) )
c. Penerbitan peraturan Bupati/Walikota tentang RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak ya dilengkapi estimasi pembiayaan pelaksanaan RAD 1) Pertemuan tim teknis untuk menyusun draft peraturan bupati/walikota
tentang RAD integrasi Program KB dan kesehatan ibu berbasis hak yang telah dilengkapi estimasi pembiayaan implementasi RAD dan draft SK bupati/walikota tentang pembentukan Pos Komando
2) Audiensi ke bupati/walikota untuk pengesahan draft RAD integrasi Program KB dan kesehatan ibu berbasis hak yang telah dilengkapi estimasi pembiayaan implementasi RAD. Kegiatan ini menghasilkan peraturan bupati/walikota tentang RAD integrasi Program KB dan kesehatan ibu berbasis hak yang dilengkapi estimasi pembiayaan implementasi RAD dan SK bupati/walikota tentang pembentukan Pos Komando
d. Alokasi APBD untuk pembiayaan kegiatan RAD integrasi Program KB dan Kesehatan Ibu Berbasis Hak (Hasil telah diperoleh dari kegiatan di no. 2) )
e. Penerbitan peraturan bupati yang mencantumkan kewenangan lokal skala desa, menu kegiatan, dan alokasi APBDesa untuk kegiatan keluarga berencana dan kesehatan ibu di tingkat desa 1) Pokja bersama OPD Pemberdayaan masyarakat & pemerintahan desa,
asosiasi kepala desa/gampong dan tenaga ahli pendamping desa untuk menyusun draft peraturan bupati yang mencantumkan kewenangan lokal skala desa, menu kegiatan, dan alokasi APBDesa untuk kegiatan keluarga berencana dan kesehatan ibu di tingkat desa.
2) Pertemuan advokasi ke bupati/walikota untuk pengesahan draft peraturan bupati yang mencantumkan kewenangan lokal skala desa, menu kegiatan, dan alokasi APBDesa untuk kegiatan keluarga berencana dan kesehatan ibu di tingkat desa.
3) Advokasi ke kepala desa tentang pentingnya desa dalam menindaklanjuti pengesahan draft peraturan bupati yang mencantumkan kewenangan lokal skala desa, menu kegiatan, dan alokasi APBDesa untuk kegiatan keluarga berencana dan kesehatan ibu di tingkat desa.
4) Bimbingan teknis dari pokja kab/kota bersama kecamatan kepada kepala dan perangkat desa tentang penyusunan/revisi RPJMDesa yang
mencantumkan prioritas keluarga berencana dan kesehatan ibu di desa. Kegiatan ini melibatkan asosiasi kepala desa/gampong dan tenaga ahli pendamping desa Kegiatan bimbingan teknis menghasilkan penerbitan RPJMDesa yang mencantumkan prioritas isu tentang keluarga berencana dan KB di desa. Berikutnya, setiap tahun ditindaklanjuti dengan terbitnya RKPDesa yang mencantumkan kegiatan tentang keluarga berencana dan kesehatan ibu di desa dan alokasi APBDesa untuk membiayai kegiatan tersebut.
f. Pemantauan dan evaluasi Pemantauan dilakukan kelompok kerja untuk melihat proses pelaksanaan tahapan kegiatan advokasi dan keluaran dari setiap kegiatan. Sedangkan untuk evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari tindak lanjut hasil kegiatan advokasi. Dari kegiatan pemantauan dan evaluasi tersebut menjadi masukan untuk kegiatan perencanaan advokasi berikutnya. Laporan hasil pemantauan dan evaluasi disampaikan kepada bupati/walikota dan kelompok kerja provinsi.