Upload
duongkiet
View
283
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Studi Eksperimental Torefaksi Wood Pellet dari Limbah Kayu Karet
Menggunakan Reaktor Kontinu Tipe Tubular
(Skripsi)
Oleh :
Kiki Dimas Adistia
TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
ABSTRAK
STUDI EKSPERIMENTAL TOREFAKSI WOOD PELLET DARI LIMBAH
KAYU KARET MENGGUNAKAN REAKTOR
KONTINU TIPE TUBULAR
OLEH
KIKI DIMAS ADISTIA
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan penduduk terbanyak di dunia.
Tingginya jumlah penduduk akan membuat kebutuhan energi juga semakin tinggi.
Konsumsi energi nasional masih bertumpu pada sumber bahan bakar fosil berupa
minyak bumi, batu bara dan gas alam. Untuk itu perlu adanya sumber energi baru
dan terbarukan untuk menggantikan minyak bumi, batu bara dan gas alam. Kayu
merupakan salah satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan sumber
bahan bakar minyak, namun apabila kayu langsung dijadikan sebagai bahan bakar
mempunyai sifat-sifat yang kurang menguntungkan antara lain kadar air yang
tinggi, menghasilkan asap, banyak abu, dan nilai kalornya yang rendah. Kayu
karet sebagai biomassa dapat dijadikan sebagai bahan bakar padat dengan metode
torefaksi dan dengan proses pemadatan menjadi pellet kayu.
Pelet kayu menjadi perhatian utama saat ini karena faktor kemudahan dalam
bahan baku dan memiliki karakteristik yang ramah lingkungan. Pelet kayu
menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan limbah pertanian seperti
jerami atau sekam padi. Torefaksi merupakan proses pirolisis ringan pada
temperatur 200-300 oC pada tekanan atmosfer tanpa adanya oksigen dan produk
utama yang dihasilkan berupa padatan dan gas. Keunggulan dari teknologi
pengolahan wood pellet menggunakan proses torefaksi adalah proses yang
berlangsung pada temperatur dan tekanan yang relatif rendah serta efisiensi
konversi energi yang cukup tinggi yaitu 90 % serta produk yang dihasilkan
memiliki sifat getas, hidrofobik, dan kandungan air yang menurun. Hasil
penelitian menunjukan perolehan nilai kalor tertinggi didapatkan pada temperatur
torefaksi 280 oC yaitu sebesar 5135 kkal/kg.
Kata kunci : wood pellet, pellet kayu karet, torefaksi, reaktor torefaksi.
ABSTRACT
EXPERIMENTAL STUDY OF WOOD PELLET TOREFACTION FROM
RUBBER WOOD WASTE USING A TUBULAR TYPE
CONTINUOUS REACTOR
BY
KIKI DIMAS ADISTIA
Indonesia is one of the countries with the most population in the world. The high
number of residents will make energy needs also higher. National energy
consumption still relies on fossil fuel sources in the form of petroleum, coal and
natural gas. For this reason, there is a need for new and renewable energy sources
to replace petroleum, coal and natural gas. Wood is one of the energy sources that
is expected to replace the fuel source, but if the wood is directly used as fuel it has
less favorable properties such as high water content, producing smoke, lots of ash,
and low calorific value. Rubber wood as a biomass can be used as a solid fuel by
torefaction method and with the compaction process into wood pellets.
Wood pellets are a major concern at this time because of the ease of use in raw
materials and have environmentally friendly characteristics. Wood pellets produce
lower emissions than agricultural wastes such as straw or rice husks. Torefaction
is a mild pyrolysis process at temperatures of 200-300 oC at atmospheric pressure
without oxygen and the main product produced is solid and gas. The advantage of
wood pellet processing technology using the torefaction process is the process that
takes place at relatively low temperatures and pressures and high energy
conversion efficiency of 90% and the resulting product has a brittle, hydrophobic,
and decreased water content. The results showed that the highest calorific value
was obtained at 280 oC, which was 5135 kcal / kg.
Keywords : torefaction, wood pellet, rubber wood pellet, torefaction reactor.
STUDI EKSPERIMENTAL TOREFAKSI WOOD PELLET
DARI LIMBAH KAYU KARET MENGGUNAKAN
REAKTOR KONTINU TIPE TUBULAR
Oleh :
Kiki Dimas Adistia
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA TEKNIK
pada
Jurusan Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Lampung
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambarawa, pada tanggal 20
Januari 1995 sebagai anak pertama dari 3 bersaudara,
dari pasangan Bapak Ahmad Toyib dan Ibu Muntamah.
Pendidikan SD N 1 Ambarawa diselesaikan pada tahun
2007, SMP N 1 Ambarawa diselesaikan pada tahun
2010, SMA N 1 Ambarawa diselesaikan pada tahun
2013, dan pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai
mahasiswa jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Lampung melalui Penerimaan Mahasiswa
Perluasan Akses Pendidikan (PMPAP).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa
Teknik Mesin (HIMATEM) sebagai anggota Divisi Kaderisasi (2014-2015) dan
menjadi anggota Divisi Kaderisasi (2015-2016)
Penulis melaksanakan kerja praktik di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk, Tanjung
Enim Kab. Muara Enim Sumatera Selatan dengan judul laporan “Analisa
Keausan Rubber Lagging pada Drive Pulley Dengan Lebar Belt 1200 Milimeter
di Satuan Kerja Bengkel Utama PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Tanjung Enim
Sumatra Selatan”. Kemudian pada tahun 2018 penulis melakukan penelitian
dengan judul “Studi Eksperimental Torefaksi Wood Pellet dari Limbah Kayu
Karet Menggunakan Reaktor Kontinu Tipe Tubular” dibawah bimbingan Bapak
Dr. Amrul, S.T., M.T., Bapak Dr. Muhammad Irsyad, S.T., M.T., dan Bapak Dr.
Amrizal, S.T., M.T.
MOTTO HIDUP
Ketika kau sedang mengalami kesusahan dan bertanya-tanya
kemana Allah, cukup ingatlah bahwa seorang guru selalu diam
saat tes berjalan.
(Nourman Ali Khan)
Waktu bagaikan pedang. Jika engkau tidak memanfaatkannya
dengan baik , maka ia akan memanfaatkanmu.
(H.R. Muslim)
Mulailah dari tempatmu berada. Gunakan yang kau punya.
Lakukan yang kau bisa.
(Arthur Ashe)
Tetap jadi diri sendiri di dunia yang tanpa henti hentinya
berusaha mengubahmu adalah pencapaian yang terhebat.
(Ralph Waldo Emerson)
Aku tidak dendam, tapi aku ingat.
(Dimas Bobjek)
x
SANWACANA
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi ini dengan
baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan
pendidikan S1 di Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung. Dalam laporan ini
penulis mengambil judul “Studi Eksperimental Torefaksi Wood Pellet dari
Limbah Kayu Karet Menggunakan Reaktor Kontinu Tipe Tubular”. Dengan
selesainya laporan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan
dan arahan dari semua pihak, oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Ahmad Su’udi, S.T., M.T. Sebagai Ketua Jurusan Teknik Mesin
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Amrul, S.T., M.T. Sebagai Pembimbing Skripsi penulis.
3. Bapak Dr. Muhammad Irsyad, S.T., M.T. Sebagai Pembimbing II Skripsi
penulis.
4. Bapak Dr. Amrizal, S.T., M.T. Sebagai Penguji Skripsi penulis.
5. Ayah dan Ibu terhebat yang pernah ada dalam sejarah manusia yang
senantiasa mengajarkan cara menundukan matahari dan menguasai langit
serta selalu memberikan nasihat dan doa untuk penulis yang rela bekerja
keras dari pagi hingga malam hari hanya demi masa depan penulis.
xi
6. Mbah kakung, Mbah Putri, Adik, dan keluarga besar serta pendamping
hidupku (kelak) yang senantiasa memberikan semangat dan bimbingan baik
moral maupun spiritual.
7. Teman satu perjuangan angkatan 2013 dan semua pihak khususnya D3 dan
S1 Teknik Mesin Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan
sangat berguna untuk kita semua demi perbaikan di masa yang akan datang. Akhir
kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan kita
semua khususnya teknologi tepat guna. Amin
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Bandar Lampung, 17 Desember 2018
Penulis
KIKI DIMAS ADISTIA
xii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ..................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................... iii
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... vi
PERNYATAAN PENULIS .......................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... viii
MOTTO HIDUP ........................................................................................... ix
SANWACANA .............................................................................................. x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xviii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4
1.3 Batasan Masalah ............................................................................. 5
1.4 Sistematika Penulisan ..................................................................... 6
xiii
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomassa ......................................................................................... 8
2.1.1 Selulosa ............................................................................... 9
2.1.2 Hemiselulosa ....................................................................... 10
2.1.3 Lignin .................................................................................. 11
2.2 Torefaksi ......................................................................................... 12
2.2.1 Proses Torefaksi .................................................................. 13
2.2.2 Produk Torefaksi ................................................................ 15
2.2.3 Parameter Torefaksi ............................................................ 17
2.3 Karakteristik Bahan Bakar Padat .................................................... 19
2.3.1 Ultimate Analysis ................................................................ 20
2.3.2 Proximate Analysis ............................................................. 20
2.3.3 Nilai Kalor Pembakaran (Calorific Value) ......................... 24
2.4 Wood Pellet (Pelet Kayu) ............................................................... 25
2.5 Potensi dan Proses Pembuatan Wood Pellet ................................... 27
2.5.1 Persiapan Bahan Baku ........................................................ 28
2.5.2 Chipping – Coarse Grinding .............................................. 29
2.5.3 Hammer mills – Fine grinding ........................................... 30
2.5.4 Drying ................................................................................. 32
2.5.5 Pemeletan ............................................................................ 34
2.5.6 Cooling ............................................................................... 35
2.5.7 Handling Pellet-Packing & Storage ................................... 36
2.6 Kayu Karet ...................................................................................... 37
xiv
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 41
3.1.1 Tempat Penelitian ............................................................... 41
3.1.2 Waktu Penelitian ................................................................. 41
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 42
3.2.1 Alat ..................................................................................... 42
3.2.2 Bahan .................................................................................. 46
3.3 Metode Pengambilan Data .............................................................. 47
3.4 Pengujian Laboraturium ................................................................. 48
3.4.1 Analisis Proksimat .............................................................. 49
3.4.2 Analisis Ultimat .................................................................. 49
3.4.3 Uji nilai kalor pembakaran (Calorific Value) ..................... 49
3.5 Alur Tahapan Pelaksanaan ............................................................. 49
3.6 Variabel Pengujian ......................................................................... 51
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengujian ............................................................................... 53
4.2 Pengaruh Temperatur Terhadap Padatan Hasil Torefaksi .............. 54
4.3 Hasil Analisis Proksimat ................................................................ 58
4.4 Hasil Analisis Ultimat .................................................................... 63
4.5 Hasil Pengujian Nilai Kalor ............................................................ 67
4.6 Hasil Perolehan Massa dan Energi ................................................. 69
xv
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 71
5.2 Saran ............................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Rencana kegiatan penelitian .............................................................. 41
Tabel 2. Perubahan massa bioamassa setelah di lakukan pengujian ............... 54
Tabel 3. Hasil pengujian laboraturium untuk analisis proksimat .................... 59
Tabel 4. Hasil pengujian laboraturium untuk analisis ultimat ........................ 63
Tabel 5. Hasil pengujian nilai kalor wood pellet hasil torefaksi ..................... 67
Tabel 6. Perolehan massa dan energi untuk wood pellet hasil torefaksi ......... 69
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur molekul selulosa .............................................................. 10
Gambar 2. Struktur molekul hemiselulosa ...................................................... 11
Gambar 3. Struktur molekul lignin ................................................................. 11
Gambar 4. Produk torefaksi biomassa ............................................................ 15
Gambar 5. Tahap persiapan bahan baku ......................................................... 28
Gambar 6. Mesin pelletizer kapasitas 10,5 ton/jam ........................................ 34
Gambar 7. Hasil akhir wood pellet .................................................................. 36
Gambar 8. Pohon karet yang sudah tidak produktif ........................................ 39
Gambar 9. Reaktor torefaksi ........................................................................... 42
Gambar 10. Sistem pemanas reaktor ............................................................... 43
Gambar 11. Tabung gas LPG .......................................................................... 44
Gambar 12. Thermocouple pengukur temperatur ........................................... 44
Gambar 13. Timbangan digital ....................................................................... 45
Gambar 14. Tabung gas nitrogen .................................................................... 45
Gambar 15. Masker pelindung ........................................................................ 46
Gambar 16. Stopwatch penghitung waktu torefaksi ....................................... 46
Gambar 17. Diagram alur penelitian ............................................................... 50
Gambar 18. Grafik massa setelah pengujian ................................................... 55
xvii
Gambar 19. Penampakan visual perubahan warna produk ............................. 57
Gambar 20. Grafik hasil analisis proksimat .................................................... 60
Gambar 21. Grafik hasil analisis ultimat ......................................................... 64
Gambar 22. Grafik perbandingan O/C dan H/C .............................................. 66
Gambar 23. Grafik analisis nilai kalor ............................................................ 68
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki jumlah penduduk
terbesar di dunia yang jumlahnya mencapai 262 juta. Jumlah penduduk yang
besar ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kebutuhan energi
terutama dalam sektor rumah tangga, transportasi, dan pada sektor industri,
dimana sebagian energi disuplai dari bahan bakar fosil. Saat ini Indonesia
menjadi Negara dengan konsumsi energi yang cukup tinggi di dunia.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi Kementrian ESDM, dalam beberapa tahun terakhir
pertumbuhan konsumsi energi Indonesia mencapai 7% per tahun. Angka
tersebut berada diatas pertumbuhan konsumsi energi dunia yaitu sebesar 2,6
% per tahun (Susilo, 2011).
Konsumsi energi di Indonesia pada tahun 2015 terbagi untuk sektor Industri
sebesar 31,79%, rumah tangga sebesar 15,27%, komersial sebesar 5,09%,
transportasi sebesar 45,51%, dan lain-lain sebesar 2,34%. Dari data tersebut
terlihat bahwa peningkatan konsumsi energi pada sektor transportasi
meningkat beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan data dari Kementrian
2
ESDM RI, konsumsi energi Indonesia yang cukup tinggi hampir 95% dari
bahan bakar fosil. Dari total tersebut, hampir 50%-nya merupakan Bahan
Bakar Minyak (BBM). Jadi tidak heran jika konsumsi energi di sektor
transportasi juga cenderung semakin meningkat beberapa tahun belakangan
ini. Kelangkaan yang berakibat pada semakin tingginya harga minyak bumi di
pasar dunia mendorong pencarian sumber-sumber energi alternatif yang
terbarukan (Towaha, 2013).
Kayu merupakan salah satu sumber energi yang diharapkan dapat
menggantikan sumber bahan bakar minyak, namun apabila kayu langsung
dijadikan sebagai bahan bakar mempunyai sifat-sifat yang kurang
menguntungkan antara lain kadar air yang tinggi, menghasilkan asap, banyak
abu, dan nilai kalornya yang rendah. Bahan bakar dari kayu yang umum
digunakan secara langsung adalah sebetan dan serbuk gergaji. Serbuk gergaji
melalui proses lanjutan berupa pengeringan dan pengepresan yang dapat
dijadikan bahan bakar dinamakan pelet kayu. Jenis bahan bakar ini
merupakan bahan bahan bakar kayu alternatif yang dipandang memiliki
keunggulan. Penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat dilakukan
dengan menggunakan tungku untuk pemanas ruangan atau tungku memasak
(Zam, 2011).
Pelet kayu menjadi perhatian utama saat ini karena faktor kemudahan dalam
bahan baku dan memiliki karakteristik yang ramah lingkungan. Pelet kayu
menghasilkan emisi (NOx, Sox dan HCL) yang lebih rendah dibandingkan
3
limbah pertanian seperti jerami atau sekam padi (Zaetta, 2004). Keuntungan
lain pelet kayu dibanding bahan bakar kayu lain seperti chip kayu adalah
memiliki nilai kalor lebih tinggi (pellet kayu 4,3 juta kal/ton sedangkan chip
kayu 3,4 juta kal/ton) namun harga pellet kayu relatife lebih tinggi dimana
pellet kayu 334 USD/ton dan chip kayu 171 USD/ton (Choi dan Kim, 2010).
Bahan baku pellet kayu dapat berasal dari limbah ekploitasi seperti sisa
penebangan, cabang dan ranting, limbah industri perkayuan seperti sisa
potongan, chip, serbuk gergaji dan kulit kayu (Sanusi, 2010).
Salah satu teknologi pengolahan wood pellet menggunakan proses perlakuan
panas yang dapat menghasilkan bahan bakar adalah torefaksi. Torefaksi
merupakan proses pirolisis ringan pada temperatur 200-300oC pada tekanan
atmosfer tanpa adanya oksigen dan produk utama yang dihasilkan berupa
padatan dan gas. Keunggulan dari teknologi pegolahan wood pellet
menggunakan proses torefaksi adalah proses yang berlangsung pada
temperatur dan tekanan yang relative rendah serta efisiensi konversi energi
yang cukup tinggi yaitu 90 % serta dapat meningkatkan persentase
kandungan karbon dan nilai bakar sekitar 19-20% pada suhu 200-300°C
(Azhar, 2009).
Tujuan dari pembuatan pellet kayu adalah untuk mengkonsentrasikan energi
dari biomassa menjadi partikel berdensitas tinggi dalam berbagai bentuk dan
ukuran serta memudahkan dalam proses penyimpanan dan pemindahan.
Sedangkan tujuan dari torefaksi adalah untuk meningkatkan nilai kalor suatu
4
biomassa dengan suatu perlakuan panas. Jadi dalam penelitian ini,
dititikberatkan dalam pembuatan pelet kayu dari bahan biomassa yaitu limbah
kayu karet yang kemudian dilakukan proses torefaksi untuk meningkatkan
sifat-sifat bahan bakar padat yang terkandung dalam biomassa tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh torefaksi terhadap
distribusi ukuran partikel biomassa, kemudahan biomassa menyerap moisture
content dari pelet biomassa yang berasal dari kayu karet. Selain itu, produk
torefaksi yang dihasilkan dari proses torefaksi menggunakan sIstem reaktor
kontinu tipe tubular yang belum diketahui kandungan nilai kalor dan
kandungan berdasarkan analisis ultimat dan analisis proksimat. Untuk itu
penulis tertarik untuk melakukan pengujian pada alat torefaksi system kontinu
dengan reaktor tipe tubular menggunakan bahan baku pelet biomasa yaitu
pelet kayu karet dan menganalisis kandungan berdasarkan analisis ultimat dan
analisis proksimat, serta mengetahui nilai kalor pada produk padatan yang
dihasilkan.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dicapai berdasakan latar belakang yang
sudah dijelaskan adalah sebagai berikut :
5
1. Mengetahui pengaruh temperatur torefaksi terhadap perubahan massa
wood pellet dari limbah kayu karet sebelum dan sesudah dilakukan proses
torefaksi.
2. Mendapatkan karakteristik bahan bakar wood pellet dari limbah kayu karet
seperti nilai kalor, analisis proksimat, dan analisis ultimat, setelah
dilakukan proses torefaksi.
3. Meningkatkan sifat-sifat bahan bakar dari limbah kayu karet dalam bentuk
pelet melalui proses torefaksi menggunakan reaktor kontinu tipe tubular
dengan memvariasikan temperatur torefaksi. Serta menghitung hasil
perolehan mass yield, dan energi yield pada wood pellet sebelum dan
sesudah torefaksi.
1.3 BatasanMasalah
Pada penelitian ini, dilakukan pembatasan masalah dengan ruang lingkup
sebagai berikut :
1. Pengujian dilakukan dengan menggunakan reaktor kontinu tipe tubular.
2. Hanya mengamati produk padatan yang dihasilkan dari proses torefaksi
kontinu tipe tubular.
3. Bahan baku yang digunakan untuk pengujian adalah wood pellet atau
pelet kayu karet.
6
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang digunakan penulis terdiri dari beberapa
bab dengan substansi yang berbeda-beda sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan
Pada bab ini berisikan latar belakang dilakukannya penelitian, tujuan, batasan
masalah serta sistematika penulisan.
Bab II. Tinjauan Pustaka
Pada bab ini berisikan referensi-referensi yang dijadikan sebagai landasan
teori yang digunakan untuk penunjang penelitian yang dilakukan.
Bab III. Metodologi Penelitian
Pada bab ini menjelaskan tempat dan waktu dilakukannya pengujian, tahapan
pengujian, alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian, alr pengambilan
data, metode pengujian dan variabel pengujian.
Bab IV. Hasil Dan Pembahasan
Bab ini berisikan tentang hasil dan pembahasan dari data-data yang diperoleh
dari pengujian yang telah dilakukan.
7
Bab V. Penutup
Pada bab ini berisikan kesimpulan dari semua analisis data dan saran yang
diberikan oleh penulis terkait penelitian yang telah dilakukan.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisikan literatur-literatur referensi yang digunakan dalam
penulisan dan penyusunan laporan.
Lampiran
Memuat data-data hasil pengujian torefaksi serta pengujian laboraturium dari
produk padatan hasil torefaksi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomassa
Biomassa merupakan material organik yang berasal dari makhluk hidup, baik
dari tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Setelah organisme mati,
mikoorganisme akan menguraikan biomassa menjadi unsur penyusun dasar
seperti H2O, CO2, dan energi potensi lainnnya. Sebagai sumber energi
berkelanjutan dan terbarukan, biomassa terus terbentuk oleh interaksi antara
CO2, udara, air, tanah, dan sinar matahari dengan tanaman dan hewan.
Material organik yang selama jutaan tahun telah ditransformasikan oleh
proses geologi menjadi bahan bakar fosil seperti batubara atau minyak bumi
bukan termasuk kedalam biomassa (Basu, 2010).
Material biomassa mempunyai kandungan energi dalam bentuk ikatan kimia
antara molekul karbon, hidrogen, dan oksigen. Ketika terjadi dekomposisi
ikatan kimia tersebut, maka akan menghasilkan energi kimia dalam bentuk
gas, cair dan padat sesuai dengan perlakuan yang diberikan (McKendry,
2002). Produk gas alternatif yang dihasilkan dari biomassa yaitu CH4, CO2,
CO, dan H2, sedangkan untuk produk bio-fuel berupa ethanol, methanol, bio-
diesel, vegetable oil, dan phyrolisis oil. Adapun produk yang dihasilkan
9
biomassa dalam bentuk padatan yaitu torefaksi biomassa dan charcoal (Basu,
2010).
Pada umumnya, struktur utama penyusun biomassa adalah material
lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Lignoselulosa merupakan material berserat yang membentuk dinding sel
tumbuh-tumbuhan. Selain itu, komponen seperti protein, asam lemak ester,
dan material organik lainnya (terdiri dari N, P dan K) juga terdapat pada
biomassa tetapi dalam jumlah yang sedikit (Fariz, 2017).
2.1.1 Selulosa
Selulosa merupakan komponen senyawa organik penyusun utama
dinding sel dalam biomasa. Selulosa adalah polimer glukosa yang
tersusun dari rantai lurus (linier) monomer glukopiranosa yang saling
berhubungan pada posisi atom karbon 1 dan 4 oleh ikatan β-glukosida
yang terbuat dari enam karbon (C6) dengan tingkat polimerisasi tinggi
sekitar 10.000 dan berat molekul sekitar 500.000 seperti yang terlihat
pada Gambar 1. Ikatan hidrogen yang terbentuk dari struktur linier
kemudian akan membentuk struktur kristal yang kokoh dan tidak
mudah untuk dilarutkan. Rumus empiris selulosa adalah (C6H10O5)n
dengan n adalah jumlah satuan glukosa yang berkaitan dan berarti juga
derajat polimerisasi selulosa (Basu, 2010). Degradasi termal pada
selulosa terjadi pada temperatur 240oC – 350oC. Selulosa dapat
dihidrolisis menggunakan 3 enzim, yaitu endoglucanase, selohidrolase,
10
dan β-glikosidase. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat struktur molekul
selulosa pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Struktur solekul selulosa
2.1.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa (C5H8O4) merupakan polisakarida heterogen dalam
tanaman yang mengisi ruang antara serat selulosa. Hemiselulosa dan
selulosa mempunyai kemiripan yaitu merupakan polimer glukosa,
namun hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis glukosa
sedangkan selulosa hanya tersusun dari glukosa. Hemiselulosa bersifat
non-kristalin dan tersusun dari gabungan monomer glukosa dengan 5
atom karbon (C-5) atau 6 atom karbon (C-6), seperti D-xilosa, D-
manosa, D-glukoronat, D-galaktosa, I-ababinosa, dan asam
metilglukuronat seperti yang terlihat pada Gambar 2. Tidak seperti
selulosa yang memiliki struktur kristalin dan terletak didalam serat,
hemiselulosa memiliki struktur amorf dan terletak dipermukaan luar
sehingga lebih mudah dihidrolisis (Amrul, 2014).
Degradasi termal pada hemiselulosa terjadi pada temperatur 130oC–
280oC, dengan penurunan massa paling banyak pada temperatur diatas
11
180oC yaitu pada temperatur 250 oC - 280 oC. Produk yang dihasilkan
dari degradasi hemiselulosa berupa volatil ringan, sedangkan untuk tar
dan arang yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan selulosa
seperti yang terlihat pada Gambar 2 dibawah ini (Tumuluru dkk, 2010).
Gambar 2. Struktur molekul hemiselulosa
2.1.3 Lignin
Lignin adalah polimer fenilpropana yang memiliki banyak cabang.
Lignin mengisi tempat diantara selulosa, hemiselulosa dan komponen
pektin dalam dinding sel. Lignin merupakan komponen makromolekul
ketiga yang terdapat pada biomassa yang berfungsi sebagai pengikat
serat seperti yang terlihat pada Gambar 3. Degradasi termal pada lignin
terjadi pada temperatur 280oC – 500oC serta menghasilkan fenol dari
penguraian eter dan putusnya ikatan rantai karbon, seperti yang terlihat
pada Gambar 3 dibawah ini (Tumuluru dkk, 2010).
Gambar 3. Struktur molekul lignin
12
2.2 Torefaksi
Torefaksi merupakan pirolisis temperatur rendah, adalah metode perlakuan
panas termo-kimia untuk konversi biomassa yang berlangsung pada
temperatur 200 oC sampai 300 oC dalam kondisi tekanan atmosfer dan tanpa
kehadiran oksigen. Tujuan utama dari berlangsungnya proses torefaksi adalah
untuk menghasilkan produk padatan. Keseimbangan massa dan energi untuk
fraksi padatan yang dihasilkan dari produk torefaksi biomassa (mass yield)
mencapai 70% dan kandungan energi produk (energi yield) mencapai 90%
dimana 30% massa lainnya diubah menjadi gas torefaksi yang hanya
mengandung 10% energi biomassa (Bergman dkk., 2005).
Karbonisasi biomasa yang menggunakan torefaksi dapat memperbaiki
karakteristik biomasa sebagai bahan bakar padat, yang ditandai dengan
meningkatnya nilai kalor, densitas energi yang tinggi, hidrofobia serta
kandungan air yang rendah. Proses torefaksi dapat menghilangkan kandungan
H2O dan CO2 yang ada didalam biomasa, sehingga rasio O/C dan H/C dari
biomassa menurun. Pada proses pemanasan awal biomasa selama proses
torefaksi air yang terdapat pada permukaan biomasa (surface moisture). Pada
pemanasan lebih lanjut akan menghilangkan kandungan air dari ikatan
melalui reaksi kimia (inherent moisture). Sebagian besar air yang dihasilkan
tersebut merupakan akibat dari proses termokondensasi yang terjadi pada
temperatur diatas 160 oC saat pembentukan CO2 dimulai. Pemanasan lebih
lanjut pada temperatur antara 180-270 oC akan terjadi reaksi eksotermik dan
13
memulai dekomposisi hemiselulosa, yang menyebabkan perubahan warna
pada biomasa karena kehilangan air, CO2, dan sejumlah besar asam asetat
dan fenol. Pada temperatur diatas 280oC keseluruhan prosesnya akan menjadi
eksotermik, menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam produksi CO2,
fenol, asam asetat, dan hidrokarbon lainnya (Tumuluru, 2010).
Torefaksi dari bahan lignoselulosa menghasilkan dekomposisi lebih banyak
hemiselulosa daripada lignin dan selulosa. Reaksi dekomposisi ini akan
menghancurkan gugus hidroksil (-OH) dan meningkatkan densitas serta nilai
kalor spesifik dari produk. Proses torefaksi jika dilakukan pada temperatur
kurang dari 250 oC umumnya bersifat endotermik dan dapat menurunkan
efisiensi energinya. Pada akhir proses torefaksi akan terbentuk padatan yang
memiliki struktur polimer yang lebih pendek dan lebih sederhana
dibandingkan sebelum torefaksi. Selain itu proses torefaksi juga dapat
menurunkan rasio O/C biomasa secara efektif. Hal ini akan menyebabkan
produk padatan memiliki nilai kalor per massa yang lebih tinggi
dibandingkan dengan produk sebelum ditorefaksi (Tumuluru, 2010).
2.2.1 Proses Torefaksi
Secara keseluruhan proses torefaksi dapat dibagi menjadi beberapa
tahap, seperti pemanasan, pengeringan, torefaksi dan pendinginan.
Tahapan pada proses torefaksi biomassa ini menunjukan perubahan
massa, temperatur dan konsumsi energi dari biomassa. Adapun tahapan
perlakuan panas dalam proses torefaksi adalah sebagai berikut
(Basu,2010) :
14
1. Tahap pemanasan awal (Predrying)
Pemanasan awal biomassa sampai tahap pengeringan biomassa
tercapai. Dimana pada tahap ini kondisi pemanasan biomassa yang
terjadi pada temperatur ~100oC dari temperatur kamar menuju
temperatur pengeringan.
2. Tahap pengeringan (Drying)
Pada tahap ini terjadi kenaikan temperatur ~100oC yang bertujuan
untuk menguapkan kandungan air yang terdapat didalam biomassa
pada suhu konstan sampai kandungan air yang terdapat pada
permukaan biomassa menghilang.
3. Tahap pengeringan lanjut (Postdrying)
Pada tahap ini biomassa dipanaskan lebih lanjut hingga temperatur
mencapai ~200oC sebelum terjadi proses torefaksi. Selama tahap ini
berlangsung terjadi penguapan fraksi massa, kandungan air dan
senyawa organik telah hilang dari biomassa.
4. Tahap torefaksi
Selama tahap ini proses sebenarnya terjadi karena pada tahap ini
terjadi proses depolimerisasi biomassa. Ketika tahap ini berlangsung
diperlukan rentang waktu tertentu untuk proses ini sesuai dengan
temperatur reaksi yang ditentukan. Selama proses torefaksi terjadi
reaksi eksotermis pada temperatur 250-300oC.
5. Tahap pendinginan
Produk padatan yang dihasilkan dari proses torefaksi memiliki
temperatur yang tinggi sehingga harus didinginkan hingga mencapai
15
temperatur ruangan. Hal ini karena dikhawatirkan pada temperatur
tinggi dapat menyebabkan produk torefaksi mengalami oksidasi
setelah berkontak dengan udara.
2.2.2 Produk Torefaksi
Proses dekomposisi termal pada proses torefaksi menghasilkan tiga
produk utama seperti pada Gambar 4 yaitu produk padatan yang
berwarna coklat sampai hitam, gas yang dapat terkondensasi dan gas
yang tidak dapat terkondensasi (gas permanen) seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 4 dibawah ini :
Gambar 4. Produk torefaksi biomassa (Bergman dkk.,2005)
Selama proses torefaksi berlangsung, biomassa kehilangan sebagian
besar kandungan air dan volatile lainnya yang memiliki nilai kalor
rendah. Jenis dan jumlah gas yang dihasilkan selama proses torefaksi
tergantung pada jenis bahan baku dan kondisi proses torefaksi,
termasuk temperatur selama proses dan waktu tinggal (Tumuluru dkk.,
2010). Produk padat terdiri dari struktur polimer dari fraksi yang tidak
bereaksi selama proses torefaksi dan berbagai produk yang bereaksi.
16
Yang mencakup oligomer yang terbentuk melalui reaksi depolimerisasi
dan reaksi kondensasi, struktur organik rantai pendek yang
terkondensasi dalam torefaksi biomassa, struktur yang menyerupai char
yang dikarbonisasi, dan bahan mineral yang hadir dalam biomassa
(Prins dkk., 2006).
Produk cairan yang terkondensasi dari aliran volatil terdiri dari berbagai
senyawa seperti air, asetat, asam, methanol, asam laktat, hidroksil
aseton, dan sejumlah bahan organik lainnya. Produk cairan pada
torefaksi dapat dibagi menjadi beberapa subkelompok yaitu air reaksi
yang dihasilkan dari dekomposisi termal, air terikat dan air bebas yang
telah dilepaskan melalui penguapan, zat organik dalam bentuk cair yang
terdiri dari zat organik yang dihasilkan selama devolatilisasi dan
karbonisasi dan lipid yang mengandung senyawa seperti wax dan asam
lemak (Tumuluru dkk., 2010).
Gas permanen atau sering disebut dengan non condensable gas (NCG)
merupakan fraksi volatil yang berada didalam fase gas pada suhu
kamar. Gas permanen pada proses torefaksi terdiri dari molekul ringan
seperti karbondioksida (CO2), karbonmonoksida (CO), metana, etana
dan etilena. Korbondioksida merupakan fraksi terbesar dari penyusun
gas permanen yang dihasilkan (Pach dkk., 2002)
17
2.2.3 Parameter Torefaksi
Pada proses torefaksi material lignoselulosa akan mengalami
dekomposisi kimia sehingga struktur polimernya akan berubah.
Perubahan material lignoselosa tersebut dipegaruhi oleh berbagai faktor
selama proses torefaksi berlangsung. Faktor-faktor yang berpengaruh
selama proses torefaksi adalah sebagai berikut :
1. Temperatur
Proses torefaksi berada pada temperatur 200-300 oC. Temperatur
torefaksi memiliki pengaruh yang sangat besar pada proses torefaksi
karena tingkat degradasi termal biomassa bergantung pada
temperatur. Meningkatnya temperatur reaksi torefaksi akan
meningkatkan laju dekomposisi yang terjadi pada struktur penyusun
material biomassa. Hal itu akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan kehilangan massa dan karbonisasi material biomassa.
Temperatur yang tinggi akan mengahsilkan jumlah massa dan energi
lebih rendah tetapi kerapatan energinya lebih tinggi. Fraksi karbon
tetap pada biomassa meningkat sedangkan kandungan hidrogen dan
oksigen akan berkurang pada saat kenaikan temperatur torefaksi
(Bridgeman dkk., 2008). Temperatur reaksi yang tinggi melebihi
temperatur torefaksi akan meningkatkan laju dekomposisi yang
mengakibatkan komponen lignoselulosa banyak dikonversikan ke
dalam bentuk gas dan cairan, sehingga produk padatan yang
dihasilkan pada proses torefaksi menjadi berkurang (Couhert dkk.,
2009).
18
2. Waktu Tinggal
Waktu tinggal merupakan parameter lain yang mempengaruhi
produk yang dihasilkan dari proses torefaksi. Waktu tinggal
berkaitan dengan lamanya waktu material biomassa bertahan
didalam reaktor. Parameter ini mempengaruhi proses dekomposisi
dan karbonisasi selama proses torefaksi berlangsung. Waktu tinggal
dapat bervariasi tergantung pada temperatur torefaksi, jenis
biomassa, dan produk akhir yang diinginkan. proses torefaksi dengan
waktu tinggal yang lebih lama akan menghasilkan massa produk
padatan yang lebih rendah akan tetapi memiliki energi padatan yang
lebih tinggi, walaupun efek waktu tinggal tidak mempengaruhi sifat
biomassa secara signifikan (Pimchuai dkk., 2010).
3. Ukuran Partikel
Ukuran partikel juga mempengaruhi reaksi dari torefaksi, tetapi pada
tingkat yang lebih rendah dari temperatur dan waktu tinggal. Ukuran
partikel mempengaruhi luas permukaan konak perpindahan panas
antara material biomassa dan sumber panas selama terjadi proses
dekomposisi termal. Semakin kecil ukuran bahan baku yang
digunakan maka permukaan perpindahan panas semakin luas dan
meningkatkan laju pemanasan ke permukaan bahan baku. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya laju dekomposisi pada material
biomassa dan meningkatkan efisiensi torefaksi terutama pada
kebutuhan waktu tinggal yang pendek (Bergman dkk,. 2005).
19
4. Jenis Biomassa
Jenis biomassa merupakan parameter penting lainnya yang dapat
mempengaruhi proses torefaksi. Hal ini karena kandungan
hemiselulosa paling banyak terdegradasi pada saat proses torefaksi,
akibatnya akan kehilangan jumlah massa yang lebih tinggi pada
biomassa yang banyak megandung hemiselulosa. Kandungan xilan
dari hemiselulosa paling reaktif dalam kisaran suhu torefaksi
sehingga menurunkan massa lebih cepat dari komponen padat
lainnya dari biomassa (Basu, 2010).
2.3 Karakteristik Bahan Bakar Padat
Bahan bakar padat banyak digunakan pada tungku skala rumah tangga dan
sebagai sumber bahan bakar utama boiler pada industri. Contoh dari bahan
bakar padat adalah batubara, gambut, dan kayu. Didalam dunia industri bahan
bakar padat yang paling banyak digunakan adalah batubara karena memiliki
nilai kalor yang tinggi dibandingkan bahan bakar padat yang lainnya. Oleh
karena itu karakteristik batubara menjadi acuan dalam analisis bahan bakar
padat yang diperoleh dari hasil ekperimen torefaksi sampah biomassa (Basu,
2010).
Untuk mengetahui karakteristik dari batubara digunakan dua macam analisis
yaitu analisis proksimat (proximate analysis) dan analisis ultimat (ultimate
20
analysis). Analisis proksimat merupakan analisa yang mengidentifikasi
kandungan air (moisture content), volatile matter, karbon tetap (fixed
carbon), dan abu (ash). Sedangkan analisis ultimat merupakan analisa yang
mengindikasi komposisi kimia penyusun bahan bakar padat seperti karbon,
hidrogen, nitrogen, sulfur, dan oksigen. Penentuan hasil pengujian
karakteristik ini dilakukan menurut standar ASTM E-870-06 (Basu, 2010).
2.3.1 Ultimate Analysis
Pada analisis ultimat, komposisi bahan bakar hidrokarbon dinyatakan
dalam bentuk elemen dasarnya seperti C, H, O, N, dan S kecuali untuk
kandungan air (M) dan abu (ash).
C+H + O + N + S + ASH + M = 100 % .............................................(1)
Dimana C, H, O, N, dan S merupakan persentase berat dari karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur masing-masing dalam bahan
bakar. Selain itu kandungan air dalam bahan bakar dinyatakan secara
terpisah sebagai M. Sehingga hidrogen dan oksigen dalam analisis
ultimat tidak mencakup hidrogen dan oksigen yang ada didalam
kandungan air, tetapi hanya hidrogen dan oksigen yang ada dalam
komponen organik bahan bakar (Basu, 2010).
2.3.2 Proximate Analysis
Analisis proksimat merupakan analisis yang digunakan untuk
menentukan jumlah fixed carbon (FC), volatile matter (VM), abu (ash),
dan kandungan air (M) dalam satuan persen berat kemudian di kalkulasi
21
dalam beberapa basis seperti AR (as received), ADB (air dried basis),
DB (dry basis), DAF (dry, ash free), DMMF (dry, mineral-matter free),
MAF (moist, ash-free) dan moist, mineral-matter free (Basu, 2010).
1. Zat Terbang (Volatile matter, VM)
Volatile matter atau zat terbang merupakan komponen dalam bahan
bakar padat yang dapat terkondensasi dan tidak terkondensasi yang
dilepaskan pada saat dilakukan pemanasan. Jumlahnya tergantung
pada temperatur pemanasan dan tingkat pemanasan yang digunakan
(Basu, 2010). Volatile matter terdiri dari sebagian besar gas yang
mudah terbakar seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metana
serta terdapat sebagian kecil uap yang dapat terkondensasi seperti
tar. Nilai kalor yang dihasilkan oleh volatile matter dalam proses
pembakaran tidak sebesar karbon tetap. Selain itu, komposisi karbon
tetap dan volatile matter pada bahan bakar disebut batubara murni
(pure coal).
2. Abu (Ash)
Abu merupakan residu padat anorganik yang tersisa setelah terjadi
pembakaran bahan bakar. Komponen utama dari abu adalah silika,
alumunium, besi, dan kalsium serta terdapat sejumlah kecil
magnesium, titanium, natrium, dan juga kalium (Basu, 2010). Di
dalam bahan bakar abu tidak mewakili bahan mineral anorganik asli
karena beberapa unsur abu dapat mengalami oksidasi selama
pembakaran. Selain itu, kandungan abu biomassa pada umumnya
sangat kecil akan tetapi sangat penting dalam pemanfaatan biomassa
22
terutama jika mengandung logam alkali seperti kalium dan halida
seperti klorin. Komponen tersebut dapat menyebabkan tumpukan,
kotoran dan korosi pada boiler atau gasifier (Mettanant dkk., 2009).
3. Kandungan air (moisture content, MC)
Kandungan air yang tinggi merupakan karakteristik utama dari
biomassa yang dapat mencapai 90 % (db). Pada biomassa terdapat
dua macam kandungan air, yaitu free moisture dan inherent
moisture. Dimana free moisture merupakan kandungan air pada
biomassa yang berada dipermukaan atau diluar dinding sel.
Sedangkan inherent moisture merupakan kandungan air yang
terkandung di dalam dinding sel biomassa. Pada proses pemanasan
free moisture lebih mudah dihilangkan dibandingkan dengan
inherent moisture (Basu, 2010).
4. Karbon Tetap (fixed carbon, FC)
Karbon tetap merupakan karbon padat dalam biomassa yang
tertinggal setelah devolatisasi atau setelah zat terbang dilepaskan. Di
dalam suatu bahan bakar padat komponen ini memberikan nilai kalor
yang besar. Selain itu, fixed carbon berbeda dengan kandungan
unsur karbon, karena beberapa unsur karbon akan hilang dalam
bentuk ikatan hidrokarbon bersama zat terbang ketika menguap.
Karbon tetap pada batubara termasuk unsur karbon dalam bahan
bakar asli ditambah residu karbon yang terbentuk saat terjadi proses
pemanasan (Basu, 2010).
23
Selain komponen penyusun batubara, yang harus diperhatikan adalah
metode penyajian karakteristik batubara. Hal ini karena batu bara
memiliki kondisi yang berbeda-beda sehingga membutuhkan suatu
acuan kondisi yang sama saat dibandingkan. Berikut ini metode analisis
yang umum digunakan (Miller, 2005) :
1. As received (ar)
Metode ini menunjukan seluruh kandungan yang ada di dalam
biomassa. Apabila menggunakan metode as received, hasil analisis
ultimat dan proksimat dapat dituliskan sebagai berikut :
Ultimate analysis : C + H + O + N + S + ASH + M =100% ..........(2)
Proximate analysis : VM + FC + M + ASH =100% .......................(3)
Dimana VM, FC, M, dan ASH mewakili persentase jumlah massa
dari zat terbang, karbon tetap, kandungan air, dan abu yang masing-
masing diukur dengan analisis proksimat. Sedangkan C, H, O, N,
dan S mewakili persentase massa dari karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, dan sulfur yang masing-masing diukur dengan analisis
ultimat. Metode as received mengacu pada pemanfaatannya secara
langsung di pembakaran sehingga biasanya disebut juga nilai as-
fired (Basu, 2010).
2. Air dried basis (adb)
Metode ini menunjukan kandungan batubara tanpa adanya
kandungan air jenis surface moisture di dalamnya karena pada saat
24
bahan bakar dikeringkan di udara surface moisture akan dilepaskan
sedangkan inherent moisture akan dipertahankan (Basu, 2010).
3. Dry basis (db)
Pada metode ini data yang ditunjukan adalah kandungan batubara
tanpa adanya surface moisture dan inherent moisture.
4. Dry, ash-free (daf)
Pada metode ini abu merupakan komponen lain yang dihilangkan
bersamaan dengan kandungan air. Jadi dry, ash free menunjukan
karakteristik batubara tanpa kandungan air dan abu.
5. Dry, mineral-matter free (dmmf)
Pada metode in data yang ditunjukan adalah kandungan batubara
komponen organik tanpa adanya kandungan air, abu, dan mineral
lainnya.
6. Moist, ash-free (maf)
Pada metode ini menunjukan kandungan batubara masih
mengandung sedikit kandungan air dan tanpa abu sama sekali.
7. Moist, mineral-matter free (mmmf)
Metode ini menunjukan data batubara tanpa kandungan abu dan
mineral akan tetapi masih memiliki kandungan air.
2.3.3 Nilai Kalor Pembakaran (Calorific Value)
Nilai kalor merupakan salah satu parameter yang digunakan sebagai
indikator kandungan energi yang dimiliki setiap bahan bakar. Analisis
nilai kalor dilakukan untuk mengetahui besarnya kalor per satuan massa
yang dihasilkan oleh bahan bakar padat setelah dilakukan pembakaran.
25
Terdapat dua jenis nilai kalor pembakaran, yaitu higher heating value
(HHV) dan lower heating value (LHV) (Amrul, 2014).
1. Higher heating value (HHV)
Higher heating value dapat didefinisikan sebagai jumlah panas yang
dilepasskan oleh unit massa atau volume bahan bakar setelah
dibakar. Produk pembakaran pada HHV kondisi air berada pada fasa
cair sehingga terdapat kalor laten pengembunan yang terlepas
mengakibatkan nilai HHV yang semakin besar. Untuk mendapatkan
nilai HHV dapat menggunakan kalorimeter bom yang dilakukan di
laboratorium pada temperatur ruangan. Pengujian nilai kalor HHV
menggunakan standar ASTM D-388 (Speight, 2005).
2. Lower heating value (LHV)
Nilai kalor LHV dapat didefinisikan sebagai jumlah panas yang
dihasilkan dari pembakaran dalam jumlah tertentu dikurangi dengan
panas penguapan air dalam produk pembakaran (Basu, 2010).
Setelah proses pembakaran kondisi air dari produk pembakaran
dengan fasa gas dapat menghasilkan nilai kalor LHV. Biasanya nilai
kalor LHV ini didapatkan pada kondisi pembakaran di boiler.
2.4 Wood pellet (Pelet Kayu)
Wood pellet merupakan energi biomassa yang berasal dari proses
pengepresan dengan menggunakan tekanan tinggi atau densitifikasi kayu.
26
Bahan baku untuk membuat wood pellet ini adalah sisa pengolahan kayu,
seperti ranting, serasah daun, serbuk gergaji dan kulit kayu. Sumber bahan
baku tersebut melimpah di Indonesia, karena limbah dari industri pengolahan
kayu bisa mencapai 50,8% (Fitri, 2013).
Bahan baku wood pellet berasal dari limbah industri penggergajian, limbah
tebangan dan limbah industri kayu lainnya. Hasil olahan ini dikemas dalam
bentuk pellet yang berdiameter 6–10 mm dan panjang 10–30 mm. Kepadatan
rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Kadar abunya rendah kurang lebih 0,5%.
Tinggi kandungan energinya berkisar 4051,7 kkal/kg. Mempunyai rasio
energi yang tinggi antara output dan inputnya yaitu 19:1 - 210:1. Wood pellet
cocok digunakan sebagai bahan bakar kebutuhan rumah tangga, pertanian,
dan industri besar, bahkan juga bisa untuk industri pembangkit tenaga.
Kelebihan wood pellet adalah bersifat lokal, bahan baku berlimpah, dapat
diperbaharui, efisien dan murah. Tingkat efisiensi pembakaran wood pellet
sebesar 80% setara dengan gas alam dan minyak bumi, lebih tinggi dari kayu
bakar yang hanya 60%, namun dibawah listrik yang mencapai 100% (Yanti,
2013).
Wood pellet atau pelet kayu ini memiliki banyak sekali manfaat dan berbagai
fungsi. Wood pellet dapat digunakan untuk memenuhi berbagai macam
kebutuhan, baik kebutuhan rumah tangga maupun kebutuhan industri dan
perusahaan. Untuk kebutuhan rumah tangga, Wood pellet sering kali
dimanfaatkan sebagai bahan bakar penghangat ruangan bagi negara-negara
27
yang mengalami musim dingin seperti Korea, Jepang, Tiongkok, dan
berbagai negara di Benua Eropa (Arsad, 2014).
Di Korea sendiri, Stok wood pellet yang diperlukan mencapai 100 ribu ton
setiap tahunnya. wood pellet dengan jumlah sebanyak itu telah mencakup
kebutuhan rumah tangga dan juga berbagai perusahan industri di sana.
Bahkan, pemerintah Korea telah menetapkan untuk beralih dari menggunakan
batu bara menjadi wood pellet. Wood pellet juga digunakan sebagai bahan
bakar dalam berbagai perusahaan industri, pabrik, bahkan UKM. Dimulai dari
digunakan sebagai bahan bakar untuk mengoperasikan mesin-mesin di pabrik
hingga pengeringan dalam bisnis loundry, semuanya bisa ditangani dengan
menggunakan wood pellet ini (Hidayati, 2014).
2.5 Potensi dan Proses Pembuatan Wood pellet
Berdasarkan penelitian Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral
cadangan energi minyak mentah Indonesia hanya dapat diproduksi atau akan
habis dalam kurun waktu 22,99 tahun, gas selama 58,95 tahun dan batubara
selama 82,01 tahun. Hasil perhitungan ini mengasumsikan bahwa tidak
ditemukan lagi ladang-ladang baru sebagai sumber energi fosil. Untuk itu
perlu alternatif baru sumber bahan bakar yang dapat mengurangi penggunaan
bahan bakar fosil salah satunya adalah wood pellet (Yanti, 2013).
28
Hasil pemanenan kayu karet akan menghasilkan limbah yang disebut limbah
pemanenan seperti daun, ranting, akar serta kayu karet yang tidak termasuk
kedalam layak jual (Matangaran, 2012). Selain itu Industri penggergajian
kayu menghasilkan limbah berupa serbuk gergaji 10,6%, sebetan 25,9% dan
potongan 14,3% dengan total limbah sebesar 50,8% dari bahan baku yang
digunakan (Sutrisno, 2013).
Secara umum, pada semua pabrik wood pellet terdiri dari tahapan proses
seperti berikut (Eko setiawan, 2014) :
2.5.1 Persiapan Bahan Baku
Persiapan bahan baku tergantung dari karakteristik dimensi. Semakin
besar dimensi bahan baku maka akan semakin besar investasi dan biaya
operasional untuk tahap persiapan bahan baku ini seperti terlihat pada
Gambar 5 dibawah. Jika serbuk gergaji digunakan sebagai bahan baku,
persiapan bahan baku berupa pengecilan ukuran (size reduction)
menjadi seukuran serbuk gergaji tidak perlu dilakukan. Hal inilah
mengapa serbuk gergaji menjadi pilihan favorit untuk produksi wood
pellet.
Gambar 5. Tahap persiapan bahan baku
29
Untuk mendapatkan suplai jumlah besar dan kontinyu serbuk gergaji
dari limbah-limbah gergajian tidak bisa diandalkan. Untuk itulah
sebagian produser pellet menggunakan batang kayu sebagai bahan
bakunya. Kondisi ini kurang disukai karena nilai investasi dan biaya
operasionalnya. Kondisinya akan semakin kompleks jika produsen akan
memproduksi “A1 Class Pellet”. Hal ini karena perlu pengelupasan
kulit (debarking) ditambahkan diproses tersebut. Kulit kayu (bark)
tersebut selanjutnya bisa digunakan untuk bahan baku di tungku dengan
gas dari pembakarannya digunakan untuk media pemanas diproses
pengeringan. Tetapi apabila kulit kayu (bark) akan digunakan sebagai
bahan baku pellet maka akan dihasilkan pellet dengan kadar abu tinggi.
Kayu kaliandra dari jenis tanaman trubusan atau SRC (short rotation
copicces) memiliki kadar abu sekitar 2% dan masuk dalam “A2 Class
Pellet”. Kayu kaliandra dengan menggunakan batang kayunya sebagai
bahan bakunya perlu dikecilkan ukurannya dan dikeringkan sebelum
pemelletan. Secara dimensi kayu kalliandra berdiameter kurang dari 10
cm sehingga investasi dan biaya operasional pada persiapan bahan baku
tidak terlalu besar.
2.5.2 Chipping – Coarse Grinding
Jika biomasa berkayu sebagai bahan baku yang digunakan
beranekaragam ukurannya maka alat pertama yang digunakan dalam
process line wood pellet adalah chipper. Chipper digunakan untuk
tahap awal untuk penghancuran kasar dengan ukuran chip sekitar 1-3
30
cm. Saat ini di pasaran tersedia sejumlah tipe chipper yakni, drum
chipper, disc chipper, screw chipper, dan wheel chipper. Drum chipper
paling banyak digunakan karena ketahanan dan kehandalan. Drum
chipper besar bahkan dapat menghancurkan batang kayu hingga ukuran
diameter 1 m. Dalam drum chipper bahan dihancurkan dengan pisau-
pisau yang dipasang melintang pada drum yang berputar secara
horizontal.
Ukuran partikel bahan baku yang dihasilkan dari chipper kurang kecil
untuk produksi pelet. Sehingga penghancuran tahap selanjutnya
dilakukan untuk mendapatkan ukuran partikel yang sesuai untuk
produksi pelet. Semakin kecil ukuran partikel maka ongkos produksi
untuk penghancuran material tersebut semakin mahal. Sebagai contoh
untuk produksi pelet dengan diameter 6 mm maka ukuran partikel
bahan baku harus dibawah 4 mm.
2.5.3 Hammer mills – Fine grinding
Untuk mendapatkan ukuran partikel yang sesuai selanjutnya chip yang
dihasilkan chipper selanjutnya melalui conveyor dihancurkan lebih
lanjut dengan hammer mills. Hammer terbuat dari logam dengan
pelapisan khusus untuk menambah kekuatannya dan ukuran partikel
output ditentukan oleh diameter lubang pada screen. Hammer mill pada
umumnya mensyaratkan tingkat kekeringan bahan baku sekitar 10%,
karena jika material terlalu basah akan menjadi lengket dan menutup
lubang-lubang pada screen. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi
31
dari bahan baku antara kerikil, batu-batuan, logam, serta benda asing
biasanya hammer mil juga dilengkapi dengan stone/iron trap dan
magnet untuk menghilangkan kontaminan tersebut.
Hal itulah mengapa pada umumnya hammer mill dipasang setelah
pengering. Percobaan yang dilakukan, pengecilan batang kayu dengan
hammer mill ukuran menjadi ukuran 3,2 mm mengkonsumsi listrik 25-
30 kWh/ton sedangkan untuk ukuran 1,6 mm mengkonsumsi listrik 55-
60 kWh/ton. Alat ini terdiri dari pisau sebagai chipper dan serangkaian
hammer sebagai hammer mill. Alat ini mampu menghasilkan serbuk
kayu seukuran serbuk gergaji dengan mengumpankan biomasa kayu ke
dalamnya atau hanya sekali proses. Hal ini karena chipper dan hammer
mill telah menjadi satu kesatuan. Kekurangan alat ini hanya mampu
menghancurkan batang kayu dengan ukuran relatife kecil dengan
maksimal diameter 10 cm.
Batang kayu kaliandra dari kebun energi setelah cukup kering bisa
langsung diumpankan ke karena ukuran diameter batang kayu kaliandra
wood crusher untuk mendapatkan ukuran partikel sesuai untuk bahan
baku pelet. Hal ini yang digunakan hanya kecil yakni kurang dari 10
cm. Supaya serbuk kayu yang dihasilkan tidak berhamburan sehingga
menjadi polusi dan sulit handling-nya maka pada umumnya cyclone
ditambahkan untuk menangkap serbuk kayu yang dihasilkan.
32
2.5.4 Drying
Pemadatan atau densifikasi biomasa yang efisien sangat tergantung dari
ukuran partikel bahan bakunya, seperti halnya kadar air dalam bahan
baku tersebut. Dryer atau pengering digunakan untuk menyetel kadar
air sampai tingkat yang diinginkan. Dryer dikelompokkan menjadi dua,
yakni, pengeringan alami dan pengeringan buatan. Tentu pengering
alami adalah yang paling mudah dan murah. Tetapi sejumlah percobaan
membuktikan bahwa kadar air optimum untuk skala industri tidak bisa
dicapai dengan pengering alami ini, sehingga pengering buatanlah yang
bisa diandalkan. Saat ini ada beberapa dryer dipasaran, yakni tube
bundle dryer, drum/rotary dryer, belt dryer, low temperatur dryer,
superheated steam dryer dan fluidized bed dryer. Drum/rotary dryer
yang paling umum digunakan untuk industri wood pellet.
Proses pemanasan drum/rotary dryer dapat secara langsung (directly)
atau tidak langsung (Indirectly). Pada pemanasan langsung yakni
menggunakan flue gas dengan suhu berkisar 350-600 C yang
dihasilkan dari tungku sebagai sumber panasnya. Sedangkan pada
drum/rotary dryer dengan pemanasan tidak langsung (indirect rotary
dryer) proses pemanasan menggunakan alat penukar panas (heat
exchanger) untuk mengeringkan bahan baku. Indirect rotary dryer lebih
aman tetapi juga lebih mahal sehingga hampir semua pabrik pelet
menggunakan direct rotary dryer dengan dilengkapi sejumlah alat
safety seperlunya.
33
Untuk menghasilkan gas panas, digunakan tungku dengan berbagai
bahan bakar bisa digunakan untuk menjalankan tungku tersebut seperti
LPG, BBM, limbah biomasa dan sebagainya. Limbah biomasa adalah
pilihan sebagian besar pabrik pellet karena paling ekonomis. Drum
dryer berbentuk silindris dengan sejumlah sirip (flight) pada bagian
dalam untuk membantu pengeringan secara homogen dan mentransport
bahan didalamnya. Cyclone umumnya dipasang pada bagian akhir
rotary dryer untuk memisahkan bahan yang kering dengan aliran udara
panas.
Sewaktu proses pengeringan dalam pengering sejumlah senyawa
organik diemisikan ke atmosfer. Senyawa organik tersebut
dikelompokkan menjadi dua, yakni volatile organic compound (VOC)
dan condensable compound. Selain itu juga terdapat particulate
emission. Ada sejumlah peralatan untuk menurunkan emisi tersebut.
Hal tersebut tergantung dari kriteria emisi gas yang diberlakukan dan
peraturan lingkungan daerah yang bersangkutan, yang sangat bervariasi
dari berbagai wilayah. Particulate emission pada umumnya bisa diatasi
secara efisien dengan cyclone atau bag filter.
Proses conditioner yakni menambahkan kukus kering (superheated
steam) sering dilakukan pada pabrik skala besar. Proses ini umumnya
akan menaikkan kadar air dari bahan baku hingga 2%, yang nantinya
juga akan dipisahkan lagi sewaktu di cooler. Selain meningkatkan
34
kualitas dan kuantias pellet yang dihasilkan, conditioning juga
meningkatkan keawetan dari ring die dan roller pada pelletiser. Proses
produksi pelet dari kayu kaliandra dengan kapasitas 1 ton/jam yang
dilakukan di Bangklan, tidak melakukan conditioning, karena akan
meningkatkan investasi biaya peralatan dan biaya produksi.
2.5.5 Pemeletan
Gambar 6. Mesin pelletizer kapasitas 10,5 ton/jam
Seperti yang terlihat pada Gambar 6 diatas, saat ini ada dua macam alat
pemelet (pelletiser) yakni pelletiser ring die dan flat die. Pelletiser ring
die lebih popular dan banyak digunakan seperti terlihat pada Gambar 6.
Komponen utama pelletiser adalah die dan roller. Pelletiser ring die
terdiri dari ring die yang berputar mengelilingi roller yang diam. Bahan
baku yang “terjebak” ke dalam ruangan antara roller dan die kemudian
dipress melalui lubang die (channel). Distibusi bahan baku dalam
ruangan antara die dan roller sangat esensial untuk mendapatkan pelet
dengan kualitas memadai.
35
Pelet yang dihasilkan selanjutnya meninggalkan pelletiser dengan
panjang tak terbatas, untuk itulah pisau khusus ditambahkan untuk
memotong pelet tersebut pada panjang yang dikehendaki (biasanya
kurang dari 40 mm). Pelletiser dibedakan berdasarkan press ratio,
jumlah lubang die (channels) dan area bagian alam dari channels. Press
ratio adalah rasio antara diameter dan panjang lubang dan ini sangat
tergantung dari bahan baku yang digunakan. Pada biomasa kayu seperti
kaliandra berkisar antara 1:3 hingga 1:5, dan tekanan yang digunakan
berkisar 3-5 Mpa/s.
2.5.6 Cooling
Suhu pelet ketika keluar dari pelletiser biasanya berkisar antara 80-130
C. Selain sulit handlingnya pada suhu tersebut, proses cooling juga
meningkatkan mechanical durability dan mengurangi kadar air hingga
2%. Counter flow cooler adalah tipe cooler yang paling umum
digunakan di industri pelet. Mekanisme pendinginannya yakni udara
dingin masuk melalui bagian bawah, sedangkan pelet masuk melalui
bagian atas. Udara dingin ini mengambil panas dan uap air yang keluar
dari pelet dan meninggalkan cooler. Sejumlah particulate emission
terikut dalam udara yang keluar dari cooler. Untuk itu cyclone untuk
mereduksi particulate emission juga dipasang pada bagian pengeluaran
cooler tersebut. Setelah cukup dingin lalu pelet masuk ke bagian
pengemasan.
36
2.5.7 Handling Pellet-Packing & Storage
Gambar 7. Hasil akhir wood pellet
Dapat dilihat pada Gambar 7 diatas, tumpukan pellet terbuka akan
cenderung menyerap air yang menyebabkan pelet menjadi rapuh dan
mengundang aktivitas mikrobia. Mikrobia tersebut mengeluarkan emisi
CO, CO2 dan meningkatkan suhu pelet tersebut. Seandainya ada
percikan api membuat mudah terbakar, selain itu emisi CO khususnya
membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan manusia.
Untuk pemasaran pelet harus dikemas dengan kapasitas tertentu. Pelet
bisa dikemas kemasan kecil (10-25 kg) atau dengan jumbo bag (500-
1000 kg). Industri pelet selanjutnya menyimpan pelet tersebut untuk
sementara sebelum dipasarkan. Karena pelet sangat higroskopis dan
mudah hancur karena terkena air maka perlu diproteksi dengan baik,
yakni dengan memberi alas seperti pallet kayu pada tumpukan pelet.
Sedangkan pada produksi wood pellet skala besar, wood pellet tidak
dikemas tetapi berupa curah (bulk) dimasukkan dalam vessel kapal.
37
2.6 Kayu Karet
Krisis energi di jaman sekarang telah memaksa manusia berfikir kritis untuk
mendapatkan sumber energi yang murah, mudah, dan aman. Banyak solusi
energi yang telah ditawarkan seperti energi dari kincir angin, cahaya
matahari, ombak laut, nuklir dan lain-lain. Namun memiliki kendala dalam
berbagai hala seperti instalasi, harga, dan keamanannya sehingga kurang
dapat berkembang di negara-negara tertentu. Oleh karena itu, untuk mendapat
sistem energi yang efisien, dibutuhkan sumber energi yang tepat dan memiliki
hubungan antara iklim, geografis, dan sumber daya alam untuk mengurangi
resiko kerugian saat pengoperasiannya (Towaha, 2013).
Indonesia, Negara dengan iklim tropis yang kaya dengan keanekaragaman
flora dan fauna memiliki potensi sumber daya alam yang baik untuk energi
biomassa. Alternatif energi biomassa sebagai sumber energi baru di Indonesia
dapat menjadi pilihan yang tepat karena disamping sebagai energi baru,
Indonesia juga memiliki banyak area hutan dan juga perkebunan yang cukup
besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi biomassa tersebut. Salah
satu sumber energi biomassa yang tepat untuk digunakan adalah pohon karet
(Yanti, 2013).
Menurut data Dirjen perkebunan tahun 2010, kebutuhan bahan baku kayu
semakin meningkat bahkan dapat mencapai 43 juta m3 pertahun. Pemilihan
budidaya kayu yang tepat menjadi salah satu solusi untuk menyediakan
38
permintaan tersebut, oleh karena itu pohon karet adalah salah satu
jawabannya. Pertimbangan tersebut muncul karena disamping penghasil kayu
yang baik, pohon karet juga dapat menghasilkan lateks yang harganya cukup
menjanjikan (Sukaton, 2014).
Tanaman karet merupakan komoditi tanaman perkebunan yang banyak
diusahakan di Indonesia. Pohon karet menghasilkan getah hingga berumur
20-25 tahun dan setelah itu produktifitas getah akan menurun. Selain getah,
produk lain dari tanaman karet adalah kayu karet yang dapat digunakan
sebagai kayu bakar, bahan baku perabotan rumah tangga, kayu lapis, papan
partikel dan lain sebagainya. Hasil pemanenan kayu karet akan menghasilkan
limbah yang disebut limbah pemanenan seperti daun, ranting, akar serta kayu
karet yang tidak termasuk kedalam bahan baku layak jual. Selain itu,
penggergajian kayu menghasilkan limbah berupa serbuk gergaji sebanyak
10,6%, sebetan 25,9% dan potongan sebesar 14,3% dengan total limbah
sebesar 50,8% dari bahan baku yang digunakan (Setyawati, 2003).
Di Indonesia sendiri telah telah terdapat 3,4 juta hektar perkebunan pohon
karet. Jika digunakan 3% saja dari hasil peremajaan pohon karet, maka dapat
dihasilkan 2,7 juta m3/tahun kayu karet sehingga permintaan kayu karet
sebagai bahan bangunan, kerajinan tangan, dan sumber energi biomassa dapat
terpenuhi. Pohon karet bukanlah tanaman asli Indonesia tetapi berasal dari
hutan Amazon di Brazil. Pohon karet ini kemudian dibawa oleh bangsa asing
ketika jaman penjajahan setelah gagal dibudidayakan di India. Kayu karet
39
dapat tumbuh hingga mencapai 30 meter dan menghasilkan getah pada usia 5-
6 tahun. Kayu karet dapat tumbuh baik di Indonesia sehingga mudah untuk
dibudidayakan secara massal. Pohon karet yang sudah tidak produktif dapat
dilihat pada Gambar 8 dibawah ini (Matangaran, 2012).
Gambar 8. Pohon karet yang sudah tidak produktif
(sumber : https://www.google.com/search?q=pohon+karet&clien)
Seperti yang telah diuraikan di atas, untuk menyikapi semakin menipisnya
jumlah cadangan bahan bakar fosil, diperlukan adanya suatu usaha untuk
mencari sumber bahan bakar alternatif yang salah satu di antaranya adalah
biomassa. Untuk dapat memanfaatkan potensi biomassa dengan lebih efektif
dan efisien, diperlukan suatu teknologi dalam proses produksi biomassa
tersebut. Contoh dari teknologi yang banyak diterapkan adalah pembuatan
pelet kayu dan torefaksi.
Tujuan dari pembuatan pelet kayu adalah untuk mengkonsentrasikan energi
dari biomassa menjadi partikel berdensitas tinggi dalam berbagai bentuk dan
ukuran serta memudahkan dalam proses penyimpanan dan pemindahan.
Sedangkan tujuan dari torefaksi adalah untuk meningkatkan nilai kalor suatu
40
biomassa dengan suatu perlakuan panas. Jadi dalam penelitian ini,
dititikberatkan dalam pembuatan pelet kayu dari bahan biomassa yaitu limbah
kayu karet yang kemudian dilakukan proses torefaksi untuk meningkatkan
nilai kalor yang terkandung dalam biomassa tersebut dengan memvariasikan
temperatur torefaksi agar diperoleh temperatur torefaksi paling ideal untuk
produk torefaksi yang memiliki nilai kalor tertinggi.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Adapun tempat dan waktu penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah
sebagai berikut :
3.1.1 Tempat Penelitian
Pengambilan data penelitian ini akan dilakukan di Laboraturium
Termodinamika Teknik Mesin Universitas Lampung.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam 5 bulan yaitu dari bulan Maret
2018 sampai dengan bulan Juli 2018. Dengan jadwal kegiatan yang
akan dilakukan dalam waktu penelitian dapat dilihat pada Tabel 1
dibawah ini :
Tabel 1. Rencana kegiatan penelitian
KegiatanFebruari Maret april mei juni juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1Studiliterature
2Persiapanalat danbahan
3 Pengujian
4Analisisdata
5Penulisanlaporanakhir
42
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam proses torefaksi ini adalah sebagai
berikut :
1. Reaktor kontinu tipe tubular
Reaktor yang digunakan sebagai tempat terjadinya proses torefaksi
adalah reaktor kontinu tipe tubular yang telah dibuat oleh Faris
(2017). Reaktor jenis ini merupakan reaktor berbentuk tabung
dengan dinding tetap dan yang bergerak adalah material bahan baku
didalam reaktor tersebut. Reaktor tubular dipanaskan dengan sistem
panas eksternal dan bahan baku di dalam reaktor bergerak dengan
sistem secrew conveyor seperti yang terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Reaktor torefaksi
43
Keterangan :
1. Rangka 6. Pillow Block
2. Tabung Reaktor 7. Chain
3. Tabung Cooling Char 8. Sprocket
4. Rotary Valve 9. Gear Box
5. Poros Rotary Valve 10. Motor Listrik
2. Sistem Pemanas Reaktor
Untuk sistem pemanas reaktor berupa tabung yang diselimuti oli
dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini :
Gambar 10. Sistem pemanas reaktor
3. Tabung Gas LPG
Gas LPG digunakan sebagai sumber panas untuk memanaskan
reaktor. Penggunaan gas LPG karena lebih praktis dan banyak
tersedia dipasaran. Selain itu laju pemanasan yang diberikan dapat di
kontrol dengan mengatur bukaan gas. Tabung gas LPG dapat dilihat
pada Gambar 11.
Inlet
Tout 1Tin 1
Tout 2Tin 2
Centre
Tin 3Tout 3
Outlet
44
Gambar 11. Tabung gas LPG
4. Thermocouple Pengukur Temperatur
Thermocouple merupakan salah satu jenis sensor temperatur yang
sering digunakan karena responnya yang cepat terhadap perubahan
temperatur dan juga rentang temperatur operasionalnya yang luas
yaitu antara -200 oC hingga 2000 oC. Di dalam proses pengambilan
data, alat ini digunakan sebagai pengukur temperatur di dalam
reaktor dan oli dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Thermocouple pengukur temperatur
45
5. Timbangan Digital
Pada penelitian ini timbangan digital seperti yang terlihat pada
Gambar 13 digunakan untuk mengukur berat dari bahan baku yang
akan digunakan dalam proses torefaksi serta untuk mengukur berat
dari produk padatan torefaksi.
Gambar 13. Timbangan digital
6. Tabung Gas Nitrogen
Tabung gas nitrogen seperti yang terlihat pada Gambar 14 digunakan
untuk menghilangkan kandungan O2 yang berada di dalam reaktor.
Gambar 14. Tabung Gas nitrogen
46
7. Masker Pelindung
Selama proses torefaksi akan menghasilkan gas berbahaya, sehingga
digunakan masker pelindung untuk keamanan operator seperti yang
ditunjukan pada Gambar 15.
Gambar 15. Masker pelindung
8. Stopwatch Penghitung Waktu Torefaksi
Stopwatch seperti yang terlihat pada Gambar 16 digunakan untuk
mengukur lamanya waktu proses berlangsungnya torefaksi.
Gambar 16. Stopwatch penghitung waktu torefaksi
3.2.2 Bahan
Bahan baku wood pellet berasal dari limbah industri penggergajian,
limbah tebangan dan limbah industri kayu lainnya. Hasil olahan ini
dikemas dalam bentuk pelet yang berdiameter 6–10 mm dan panjang
47
10–30 mm. Kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Kadar
abunya rendah kurang lebih 0,5%. Tinggi kandungan energinya berkisar
4051,7 kkal/kg. Mempunyai rasio energi yang tinggi antara output dan
inputnya yaitu 19:1-210:1. Wood pellet cocok digunakan sebagai bahan
bakar kebutuhan rumah tangga, pertanian, dan industri besar, bahkan
juga bisa untuk industri pembangkit tenaga. Kelebihan wood pellet
adalah bersifat lokal, bahan baku berlimpah, dapat diperbaharui, efisien
dan murah. Tingkat efisiensi pembakaran wood pellet sebesar 80%
setara dengan gas alam dan minyak bumi, lebih tinggi dari kayu bakar
yang hanya 60%, namun dibawah listrik yang mencapai 100% (Yanti,
2013).
3.3 Metode Pengambilan Data
Adapun tahapan pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan alat torefaksi kontinu tipe tubular dan bahan baku wood
pellet dari kayu karet.
2. Menimbang bahan baku yang akan digunakan dengan berat total 5 kg
wood pellet pada setiap pengujian.
3. Menghidupkan motor listrik yang terhubung ke rotary valve pada saluran
pengumpanan dan secrew conveyor di dalam reaktor dengan menekan
tombol ON pada kontrol.
48
4. Memanaskan reaktor dengan cara membuka katub gas LPG dan
menghidupkan burner yang ada pada reaktor hingga temperatur yang
telah ditentukan sesuai data pengujian yaitu temperatur 250oC, 265oC,
280oC dan 295oC, dan 310oC.
5. Menghidupkan stopwatch dan mencatat waktu untuk menghitung
lamanya proses pemanasan reaktor hingga proses torefaksi berakhir.
6. Menginjeksikan gas N2 ke dalam reaktor dengan cara memasukan gas N2
melalui kran inlet dengan tujuan untuk mengikat dan mendorong keluar
O2 yang ada dalam reaktor melalui kran outlet.
7. Ketika temperatur pengujian tercapai, bahan baku dimasukkan kedalam
reaktor melalui saluran pengumpanan.
8. Mengatur bukaan pada gas LPG agar temperatur dalam keadaaan stedi
pada temperatur pengujian yang ditentukan.
9. Menimbang dan mencatat produk padatan yang dihasilkan dari proses
torefaksi
10. Setalah mendapatkan data pengujian, kemudian melakukan pengujian
labolatorium analisis ultimat, analisis proksimat dan nilai kalor pada
produk padatan torefaksi.
3.4 Pengujian Laboratorium
Adapun pengujian laboratorium digunakan untuk mengetahui komponen
penyusun bahan bakar padat hasil torefaksi menggunakan analisis proksimat
49
dan komponen unsur kimia penyusun bahan bakar padat hasil torefaksi
menggunakan analisis ultimat. Selain itu, untuk menunjukan nilai kalor per
satuan massa dari bahan bakar padat hasil torefaksi dilakukan pengujian
colorific value (nilai kalor pembakaran).
3.4.1 Analisis proksimat
Analisis proksimat digunakan untuk mengetahui komponen penyusun
bahan bakar padat produk torefaksi seperti kandungan karbon tetap,
volatile matter, kandungan air, dan abu.
3.4.2 Analisis ultimat
Analisis ultimat digunakan untuk mengetahui komponen unsur-unsur
kimia yang menyusun bahan bakar padat hasil torefaksi seperti karbon,
hidrogen, oksigen, sulfur, nitrogen, dan unsur lainnya.
3.4.3 Uji nilai kalor pembakaran (Calorific Value)
Pengujian nilai kalor pembakaran dilakukan untuk melihat besarnya
kalor per satuan massa yang dihasilkan oleh bahan bakar padat hasil
torefaksi setelah dibakar.
3.5 Alur Tahapan Pelaksanaan
Secara garis besar alur penelitian akan dijabarkan melalui flowchart dibawah
ini :
50
Gambar 17. Diagram alur penelitian
Mulai
Studi Literatur
Proses pengujian torefaksi sesuaidengan variasi yang sudah ditentukan
Pengolahan dan Analisis Data
Kesimpulan
Penulisan laporan
Selesai
Data Hasil Pengujian
Persiapan alat dan bahan
Data lengkap
51
3.6 Variabel Pengujian
Pengujian ini menggunakan beberapa variabel tetap dan variabel berubah. Hal
ini dilakukan untuk dapat mengetahui kondisi proses torefaksi terbaik dengan
menggunakan reaktor kontinu tipe tubular. Pada pengujian ini, parameter
utama torefaksi yang divariasikan adalah temperatur. Hal ini betujuan untuk
mendapatkan parameter temperatur optimal pada proses torefaksi wood pellet.
Bahan baku yang digunakan adalah wood pellet dari kayu karet berasal dari
limbah industri penggergajian, limbah tebangan dan limbah industri kayu
lainnya. Hasil olahan ini dikemas dalam bentuk pellet yang berdiameter 6–10
mm dan panjang 10–30 mm. Kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton.
Untuk mengetahui karakteristik bahan bakar padat yang diperoleh dari hasil
torefaksi wood pellet dari kayu karet, maka dilakukan pengujian analisis
ultimat dan analisis proksimat. Selain itu, dilakukan pengujian nilai kalor
pembakaran untuk menunjukan besarnya nilai kalor persatuan massa yang
dihasilkan oleh bahan bakar padat setelah dibakar. Selanjutnya dilakukan
pegujian analisis ultimat dan proksimat serta nilai kalor terhadap bahan baku
mentah wood pellet dari kayu karet. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
karakterisitik dari wood pellet dari limbah kayu karet. Produk padatan
torefaksi wood pellet yang dianalisis adalah produk padatan yang dihasilkan
dari pengujian untuk masing-masing temperatur.
52
Hasil pengujian nilai kalor dari produk padatan yang dihasilkan dari torefaksi
kontinu wood pellet dari kayu karet. Nilai kalor yang ditunjukan adalah nilai
kalor dari masing-masing variabel temperatur. Produk torefaksi wood pellet
kayu karet pada kondisi kering (dry basis) untuk hasil perhitungan perolehan
massa, ym (mass yield) dan perolehan energinya, ye (energy yield). Hasil
perhitungan ini menunjukan seberapa jauh proses torefaksi dapat
meningkatkan kualitas sifat-sifat pembakaran dari wood pellet kayu karet.
Perhitungan perolehan massa dan perolehan energi adalah sebagai berikut :
dbmo
mfym ……………………………………………...…....(4)
dbHHVo
HHVfymye ……………………………………………(5)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pengujian torefaksi pada bahan
baku wood pellet dari serbuk kayu karet menggunakan reaktor kontinu tipe
tubular dengan berbagai variasi temperatur adalah sebagai berikut :
1. Pada perolehan massa produk padatan hasil torefaksi dapat disimpulkan
bahwa semaikin tinggi temperatur torefaksi maka semakin rendah massa
dari produk padatan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh jumlah
komponen lignoselulosa yang terdekomposisi seiring meningkatnya
temperatur torefaksi.
2. Pada hasil pengujian proksimat dan ultimat secara garis besar untuk
kandungan air dan volatile matter akan menurun sesuai dengan
peningkatan temperatur torefaksi sedangkan kandungan abu dan fixed
carbon akan meningkat seiring peningkatan temperatur torefaksi. Hal
tersebut sesuai dengan hasil analisis ultimat dimana unsur oksigen (O)
dan hidrogen (H) juga menurun seiring meningkatnya temperatur dan
unsur carbon (C) meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur
torefaksi.
72
3. Berdasarkan hasil pengujian nilai kalor didapatkan bahwa nilai kalor
tertinggi terdapat pada produk padatan hasil torefaksi dengan temperatur
280 C yaitu sebesar 5135 kkal/kg. Hal ini sesuai dengan kandungan
fixed carbon dan tingginya kandungan unsur karbon (C) yang dihasilkan
pada temperatur torefaksi 280 C. Hasil perhitungan massa (mass yield)
dan perhitungan energy (energy yield) didapatkan Nilai ye tertinggi yaitu
sebesar 0,94 pada temperatur 250 C dan nilai ye terendah yaitu sebesar 0,76
pada temperatur 310 C sedangkan untuk nilai ym tertinggi yaitu sebesar
0,846 pada temperatur 250 C dan nilai ym terendah yaitu sebesar 0.658 pada
temperatur 310 C. Dapat disimpulkan bahwa perolehan massa (mass
yield) dan perolehan energy (energy yield) akan semakin menurun seiring
dengan meningkatnya temperatur torefaksi.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada pengujian torefaksi menggunakan
reaktor kontinu tipe tubular dengan bahan bakar wood pellet dari serbuk kayu
karet agar mendapatkan hasil yang lebih maksimal adalah sebagai berikut :
1. Untuk reaktor kontinu tipe tubular ini disarankan diletakan didalam
ruangan tertutup agar api pembakaran reaktor lebih setabil sehingga
temperatur dalam reaktor lebih konstan.
2. Pada sistem buka tutup katup gas LPG yang digunakan sebagai bahan
bakar pemanas reaktor dibuatkan sistem otomasinya serta dibuatkan
73
tempat untuk tabung gas LPG agar gas dalam tabung tidak mudah
membeku.
3. Sebaiknya pada setiap akan melakukan pengujian, terlebih dahulu
dilakukan pengujian kandungan air pada sampel yang akan diuji agar
data hasil torefaksi lebih akurat dan memiliki perbandingan apabila
terjadi kontaminasi pada sampel sebelum pengujian.
4. Sebaiknya dibuatkan instalasi untuk aliran gas hasil torefaksi agar produk
padatan hasil torefaksi tidak tercampur oleh gas yang terkondensasi
didalam reaktor.
DAFTAR PUSTAKA
Arsad, effendi. 2014. Sifat Fisik Dan Kimia Wood Pellet Dari Limbah IndustriPerkayuan Sebagai Sumber Energi Alternatif. Balai Riset dan StandardisasiIndustri Banjarbaru.
Amrul. 2014. Pemanfaatan Sampah Menjadi Bahan Bakar Padat SetaraBaturbara Melalui Proses Torefaksi. Disertasi Institut Teknologi Bandung.Bandung.
Amrul. Hardianto, T. Suwono, A. Pasek, D. 2011. Balance Energi Pada ProsesTorefaksi Sampah Kota Menjadi Bahan Bakar Padat Ramah LingkunganSetara Batubara untuk Memperhitungkan Tingkat Kelayakannya. ProsidingOptimalisasi Peran Teknik Mesin Dalam Meningkatkan Ketahanan EnergiSeminar Nasional Teknik Mesin X Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-19028-0-6.
Basu, Prabir. 2010. Biomass Gasification and Pyrolysis. Practical Design andTheory. Elsevier, Oxford, UK.
Bergman PCA. 2005. Combined Torrefaction and Pelletisation. The TOPProcess, ECN-C--05-073.
Bridgeman, T.G. Jones, J.M. Shield, I. and Williams, P.T. 2008. Torrefaction ofreed canary grass, wheat straw and willow to enhance solid fuel qualitiesand combustion properties. Fuel, 87 (6), 844–856.
Fitri, gustiana. 2013. Potensi Bahan Baku Wood Pellet Dari Limbah KayuSebagai Energi Alternatif Biomassa. Balitbang provinsi riau. Pekan baru
Fariz, Muhammad. 2017. Perancangan dan Simulasi Termal Reaktor TorefaksiKontinu Tipe Tubular Untuk Produksi Bahan Bakar Padat dari SampahKota. Teknik mesin. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hidayati, N. dan Laksmi, R. 2014. Budidaya Kaliandra (Calliandra Calothyrsus)Untuk Bahan Baku Sumber Energi. Balai Besar Penelitian Bioteknologi DanPemuliaan Tanaman Hutan. Jakarta.
Matangaran, J.R. dan Anggoro, R. 2012. Limbah Pemanenan Kayu Jati DiBanyuwangi Jawa Timur. Jurnal Perennial, 2012 Vol. 8 No. 2: 88-92. ISSN:1412-7784. Tersedia Online: http://journal. unhas.ac.id/index.php/perennial.
McKendry PM. 2002. Energy production from biomass (Part 3). Gasificationtechnologies,” Bioresource Technology. 83:55-63.
Pach, M. Zanzi, R. and Björnbom, E. 2002. Torrefied Biomass a Substitute forWood and Charcoal. In Sixth Asia-Pacific International Symposium onCombustion and Energy Utilization, Kuala Lumpur.
Prins, MJ. Ptasinski, KJ. and Janssen, FJJG. 2006. Torrefaction of Wood: Part 1.Weight Loss Kinetics. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis, 77:1, pp.28–34.
Setiawan, F. 2014. Karakteristik Kayu Lapis dari Bahan Baku Kayu Karet (Heveabraziliensis Muell. Arg) Berdasarkan Umur Pohon. Skripsi JurusanKehutanan Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Sutrisno, L. 2013. Pemanfaatan Limbah Kayu Mahang (Macaranga sp) DariIndustri Penggergajiaan Kayu Sebagai Bahan Pembuatan Cuka Kayu(Wood Vinegar). Jurnal Penelitian. Jurusan Kehutanan Fakultas PertanianUniversitas Riau.
Towaha, J. Daras, U. dan Balitri. 2013. Peluang Pemanfaatan Kayu Karet (Heveabraziliensis Muell. Arg) Sebagai Kayu Industri. Warta Penelitian DanPengembangan Tanaman Industri. Volume 19 Nomor 2.
Tumuluru, JS. Xingya, K. Sokhansanj, S. Jim, LC. Bi, T. and Melin, S. 2008.Effect of Storage Temperature on Off-gassing and Physical Properties ofWood Pellets. ASABE, Providence, Rhode Island, June 29–July 2, 2008,ASABE Paper No. 084248.
Yanti, RN. 2013. Pemanfaatan Limbah HTI (Akasia) Sebagai Bahan Baku WoodPellet. Penelitian Hibah Bersaing Dikti. Riau. Pekanbaru.