Upload
others
View
31
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI ETNOGRAFI KOMUNIKASI RITUAL ADAT
MASYARAKAT KAMPUNG PULO DESA CANGKUANG
KECAMATAN LELES KABUPATEN GARUT
PROPINSI JAWA BARAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial ( S.Sos.)
oleh:
SYIFA FAUZIAH
NIM: 1112051000081
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
STUDI ETNOGRAFI KOMUNIKASI RITUAL ADAT
MASYARAKAT KAMPUNG PULO DESA CANGKUANG
KECAMATAN LELES KABUPATEN GARUT
PROPINSI JAWA BARAT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos.)
Disusun oleh:
Syifa Fauziah
NIM: 1112051000081
Pembimbing
Kiky Rizky, M.Si
NIP. 19730321 200801 1 002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 09 Januari 2017
Syifa Fauziah
NIM:1112051000081
Nama : Syifa Fauziah
NIM : 1112051000081
ABSTRAK
STUDI ETNOGRAFI KOMUNIKASI RITUAL ADAT MASYARAKAT
KAMPUNG PULO DESA CANGKUANG KECAMATAN LELES KABUPATEN
GARUT PROPINSI JAWA BARAT
Kampung Pulo merupakan kampung adat sunda yang masih melestarikan adat
istiadat leluhurnya. Di Kampung Pulo terdapat beragam ritual adat yang masih
dilaksanakan yaitu ritual adat perkawinan, kehamilan, yang berkaitan dengan bayi yang
baru lahir, kematian, bidang pertanian pada saat mendirikan rumah serta upacara
ngaibakan benda pusaka. Dari sekian banyak upacara ritual yang ada di Kampung Pulo,
yang merupakan ciri khas upacara dari daerah tersebut ialah ritual ngaibakan benda
pusaka, tepatnya pada tanggal 14 Maulud, upacara ritual ini merupakan acara rutin
yang hanya dilakukan satu tahun sekali dan dihadiri oleh masyarakat dari luar
Kampung Pulo, seperti Garut, Bandung, Ciamis, Tasik dan Cirebon.
Tujuan pembahasan ini adalah untuk menjawab pertanyaan mayor dan minor.
Adapun pertanyaan mayor yaitu bagaimana proses pelaksanaan upacara ritual adat
ngaibakan benda pusaka? Sedangkan pertanyaan minornya adalah bagaimana situasi
komunikatif, peristiwa dan tindak komunikatif yang terjadi pada upacara ritual adat
ngaibakan benda pusaka?
Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan paradigma konstrutivisme,
pendekatan kualitatif studi etnografi komunikasi, jenis penelitian deskriptif dengan
menggunakan data tertulis dan lisan dari pelaku yang dapat diamati. Teknik
pengumpulan data yang dipakai menggunakan data primer melalui observasi dan
wawancara, serta data sekunder dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan
artikel yang sesuai dengan pemabahasan, sedangkan analisis data menggunakan metode
deskriptif analisis.
Situasi komunikatif meurujuk kepada konteks waktu, tempat dan suasana
yang terjadi selama proses ritual adat ngaibakan benda pusaka. Peristiwa komunikatif
ini membahas keseluruhan perangkat komponen yang utuh yang dimulai dengan tujuan
umum komunikasi, topik umum yang sama dan melibatkan partisipasi yang secara
umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahakan tone yang sama dan
kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi dalam setting yang sama. Sedangkan yang
terakhir yaitu tindak komunikatif ritual ngaibakan benda pusaka dibagi dalam dua
komponen yakni komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal yang terjadi pada
upacara ritual ngaibakan benda pusaka.
Berdasarkan hasil penelitian, makna yang terdapat dalam ritual ngaibakan benda
pusaka ini menunjukan adanya simbol-simbol komunikasi pada saat menjalani tradisi
tersebut dengan pola yang tersusun, hampir semua ritual mengkomunikasikan makna
tertentu sesuai dengan apa yang dipahami masyarakat. Interaksi sosial yang terjadi di
Kampung Adat Pulo terbentuk secara dinamis dan agamis menyangkut hubungan
antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara
perorangan dengan kelompok manusia.
Kata Kunci : Upacara Ritual Adat, Ngaibakan Benda Pusaka, Etnografi Komunikasi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT. yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, shalawat dan salam senantiasa
dilimpahhkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Etnografi Komunikasi Ritual Adat
Masyarakat Kampung Pulo Desa Cangkuang Kecamatan Leles Kabupaten Garut
Propinsi Jawa Barat”
Selama penulisan skripsi ini banyak pelajaran yang penulis dapatkan, terutama
yang berkenaan dengan objek penelitian, pesan dan nasehat yang diberikan oleh dosen
pembimbing kepada penulis diantaranya kesabaran, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan,
kesopanan dan kehati-hatian merupakan pesan moral yang penulis rasakan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak mengalami
kesulitan, hingga terkadang ada rasa putus asa. Namun berkat bantuan, motivaasi,
bimbingan dan pengarahan yang sangat berharga dari berbagai pihak membuat penulis
tetap bersemangat untuk mengerjakan skripsi ini dan akhirnya skripsi dapat
diselesaikan.
Banyak pihak yang telah memberikan bimbingan, arahan dan berbagai macam
kebaikan kepada penulis, maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan M.A. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarief Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Suparto, M.Ed, Ph.D. Wakil Dekan I Bidang Akademik.
3. Ibu Dr. Hj. Roudhonah, MA. Wakil Dekan II Bidang Adminisitrasi Umum,
4. Bapak Dr. Suhaimi, M.Si. Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan.
5. Bapak Drs Masran, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
dan Ibu Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam.
6. Ibu Umi Musyarrofah, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberi membantu mengarahkan seluruh mahasiswa untuk mengikuti proses
kegiatan akademik
7. Bapak Kiky Rizky, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan pengarahan dan inspirasinya
kepada penulis pada saat berkonsultasi.
8. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada dosen
Komunikasi dan Penyiaran Islam yang telah membingbing dan mendidik penulis
dengan memberikan bekal dan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.
9. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam hal peminjaman buku-
buku yang digunakan sebagai referensi dan memberikan pelayanan dengan baik
kepada penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai.
10. Ibunda tercinta (Mama) Aisah dan Ayahanda (Papa) Lili Supriadi yang selalu
dengan tulus dan ikhlas mendoakan penulis, memotivasi, mendorong penulis untuk
selalu semangat. Terimakasih atas segala kasih sayang Mama dan Papa. Tak ku
temukan apa-apa dari wajah anggun mereka berdua kecuali doa dan semangat yang
selalu menggertakan hati penulis. Selalu kutemukan momen-momen penting saat
hendak berangkat ke Garut, mereka selalu hadiahi penulis dengan doa yang tiada
dapat dihitung dengan apapun.
11. Kaka tersayang, Isma Maryam dan Fikri Fauz Al Hafidz. Terimakasih atas doa,
nasihat serta dukungan kalian yang selalu mendorong penulis untuk semangat
menyelesaikan skripsi.
12. Terimakasih kepada masyarakat Kampung Pulo yang selalu ramah untuk menerima
kehadiran penulis.
13. Bapak Tatang Sanjaya (Kuncen) dan Pak Umar (Wakil Kuncen) dari Kampung
Pulo. Terimakasih telah sabar tidak henti-hentinya untuk memberikan penulis
informasi dan wejanganya.
14. Bapak Zaki Munawar selaku kordinator staf Cagar Budaya Candi Cangkuang,
Kecamatan Leles Kabupaten Garut, Terimakasih untuk semua bimbingan dan
informasinya karena telah banyak membantu penulis dari awal pembuatan skripsi
sampai dengan skrispsi penulis selesai.
15. Seluruh Staf dan Karyawan Cagar Budaya Candi Cangkuang yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya satu-satu, Terimakasih untuk semua informasi dan
jamuan-jamuanya kepada penulis.
16. Pak Imam selaku narasumber dari Komunitas Asli Garut. Terimakasih untuk semua
informasi dan wejanganya kepada penulis.
17. Terimakasih kepada Kang Abuy, Kang Ujang, dan Kang Anri yang sudah banyak
berjasa dan direpotkan penulis untuk membantu mencari narasumber. Terimakasih
untuk semua pengalaman dan informasinya.
18. Terimakasih kepada Uwa Halimah dan Bibi Dede Sa’diah yang telah banyak
membantu penulis selama berada di Garut, salah satunya dengan menyediakan
tempat tinggal dan menjamu penulis selama penulis mencari data penelitian di
Garut maupun di Bandung. Terimakasih karena sudah sangat banyak membantu
penulis.
19. Sepupu-sepupu Annisa Tauziri dan Silvi Octaviani yang telah banyak menyisihkan
waktunya hanya untuk menemani penulis ke tempat objek penelitian, ke tempat
Dinas Pariwisata Garut, Balai Penelitian Nilai dan Tradisi Kota Bandung dan
tempat-tempat lainya yang berkaitan dengan penelitian penulis. Terimakasih Annisa
sudah menemani penulis selama di Bandung dan Silvi yang menemani penulis
selama di Garut.
20. Regina Cahya Aristiana teman seperjuangan yang baru bertemu di Bandung tanpa
sengaja. Terimakasih buat semua informasinya, pengalamanya, kenangan-kenangan
indah maupun sedihnya selama penyelesaian skripsi dan semua bantuanya yang
telah diberikan untuk penulis.
21. Sahabat-sahabat penulis Rani Kusuma Dewi, Ria Amillia Putri, Mutiara Rahma
Tambunan, Zakiyatun Nufus, Gita Sulistiyani dan Wiji Lestari yang telah banyak
memberikan semangat dan dorongan dalam penyelesaian skripsi.
22. Teman-teman seperjuangan, Sari Setia Ningrum, Putri Ayu Silmi. Muhammad
Miqdad, Mely Ismi, Abitu Rohmansya dan Falahul Mualim. Terimakasih selalu
memberi semangat dan informasi yang banyak membantu penulis dalam penulisan
skripsi.
23. Serta teruntuk teman-teman KPI 2012 khususnya KPI C tercinta, terimakasih atas
kebersamaan yang menyimpan banyak kenangan, tanpa kalian masa kuliah yang
dijalankan penulis tidaklah berwarna. Terimakasih selalu memberikan semangat
dan banyak informasi yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi.
24. Temen-temen KKN Pelita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak
mengajarkan pengalaman kehidupan yang baru untuk penulis sekaligus
memberikan pengalamanya yang tidak terlupakan. Terimakasih untuk satu bulanya
di Desa Kawungluwuk, Leuwi Sadeng tercinta.
25. Semua pihak, yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu namun tanpa
mengurangi rasa hormat, yang telah membantu penulis. Saya ucapkan terimakasih.
Akhir kata penulis hanya bisa berharap Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan dari seluruh pihak yang telah membantu. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi diri penulis
sendiri.
Jakarta, 09 Januari 2017
Syifa Fauziah
NIM: 1112051000081
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ...................................................................................................... xiii
BAB III PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 5
D. Metodologi Penelitian .............................................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 11
BAB II TINJAUAN TEORETIS
A. Memaknai Komunikasi .......................................................................... 13
1. Pengertian Komunikasi .................................................................... 13
2. Unsur-unsur Komunikasi ................................................................. 14
B. Tinjauan tentang Komunikasi Ritual ...................................................... 15
1. Tinjauan Tentang Ritual ................................................................... 15
2. Komunikasi Ritual ............................................................................ 17
3. Makna Simbolik Dalam Ritual ......................................................... 18
C. Tinjauan tentang Budaya ........................................................................ 20
1. Pengertian Budaya ............................................................................ 20
2. Unsur-unsur Kebudayaan ................................................................. 22
3. Komunikasi Verbal dan Nonverbal Dalam Budaya ......................... 22
D. Tinjauan tentang Etnografi Komunikai .................................................. 28
1. Pengertian Etnografi ........................................................................ 28
2. Pendekataan Etnografi Komunikasi ................................................. 30
BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN KAMPUNG PULO
A. Sejarah Kampung Pulo ........................................................................... 34
B. Gambaran Upacara Ritual Adat Ngaibakan Benda Pusaka.................... 39
C. Letak Geografi Kampung Pulo............................................................... 41
D. Letak Demografi Kampung Pulo ........................................................... 43
E. Pola Pemukiman Kampung Pulo ............................................................ 43
F. Mata Pencaharian ................................................................................... 46
BAB IV UPACARA RITUAL NGAIBAKAN BENDA PUSAKA DALAM
PERSPEKTIF ETNOGRAFI KOMUNIKASI
A. Proses Ritual Ngaibakan Benda Pusaka .................................................. 48
B. Analisis Etnografi Komunikasi ................................................................ 49
1. Situasi Komunikatif ........................................................................... 50
2. Peristiwa Komunikatif dalam Ritual Ngaibakan Benda Pusaka ........ 53
2.1. Tipe Peristiwa ........................................................................... 54
2.2. Topik Peristiwa ......................................................................... 55
2.3. Fungsi dan Tujuan Ritual Adat ................................................. 56
2.4. Setting ....................................................................................... 58
2.5. Partisipan .................................................................................. 58
2.6. Bentuk Pesan............................................................................. 59
2.7. Isi Pesan .................................................................................... 59
2.8. Urutan Tindakan ....................................................................... 60
2.9. Kaidah Interaksi ........................................................................ 60
2.10 Norma-norma Interpretasi......................................................... 62
3. Tindak Komunikatif ........................................................................... 63
C. Pembahasan ............................................................................................. 65
1. Sesajen ............................................................................................... 65
2. Benda Pusaka ..................................................................................... 69
3. Kembang Tujuh Rupa ........................................................................ 74
4. Makna dari Tujuh Mata Air ............................................................... 75
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................. 78
B. Saran ........................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel 3.1 ............................................................................................................. 43
2. Tabel 4.1 ............................................................................................................. 65
DAFTAR DIAGRAM
1. Diagram 3.1 ........................................................................................................ 46
DAFTAR BAGAN
1. Bagan 2.1 ............................................................................................................ 33
2. Bagan 3.2 ............................................................................................................ 44
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 4.1 ......................................................................................................... 53
2. Gambar 4.2 ......................................................................................................... 62
3. Gambar 4.3 ......................................................................................................... 64
4. Gambar 4.4 ......................................................................................................... 71
5. Gambar 4.5 ......................................................................................................... 71
6. Gambar 4.6 ......................................................................................................... 73
7. Gambar 4.7 ......................................................................................................... 73
8. Gambar 4.8 ......................................................................................................... 75
9. Gambar 4.9 ......................................................................................................... 77
10. Gambar 4.10 ....................................................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan proses komunikasi serta
makna-makna yang ada dalam upacara ritual adat “Ngaibakan Benda Pusaka” pada
masyarakat Kampung Pulo, Garut. Komunikasi upacara ritual adat dapat dimaknai
sebagai proses pemaknaan pesan sebuah kelompok terhadap aktivitas religi dan
sistem kepercayaan yang dianutnya. Dalam prosesnya selalu terjadi pemaknaan
simbol-simbol tertentu yang menandakan terjadinya proses komunikasi ritual
tersebut. Komunikasi ritual dapat dimaknai sebagai komunikasi transendetal, yaitu
komunikasi yang terjadi antara manusia dengan tuhan. Komunikasi transendetal ini
merupakan suatu bentuk dari komunikasi, di samping komunikasi antarpersonal,
komunikasi kelompok dan komunikasi massa.1
Upacara tradisional atau upacara adat merupakan upacara-upacara yang
berhubungan dengan adat suatu masyarakat, yaitu sistem aktivitas atau rangkaian
tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang
berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Upacara tradisional atau upacara adat sebagai kegiatan sosial biasanya
melibatkan para warga masyarakat dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan
keselamatan bersama. Kerjasama antarwarga masyarakat itu sesuai dengan kodrat
manusia sebagai makhluk sosial. Adapun upacara tradisional ini merupakan bagian
1 Dedy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 127.
1
2
yang integral dari kebudayaan masyarakat pendukungnya karena upacara
tradisional atau adat memiliki fungsi yang dapat dirasakan untuk memenuhi suatu
kebutuhan baik secara individual maupun kelompok. Dalam penyelenggaraannya
upacara tradisional dapat mengikat rasa solidaritas para warga masyarakat.2
Upacara adat merupakan pranata sosial yang penuh dengan simbol-simbol
yang berperan sebagai alat media berkomunikasi antara sesama manusia dan juga
menjadi penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib. Terbentuknya simbol-
simbol dalam upacara tradisional berdasarkan nilai-nilai etis dan pandangan hidup
yang berlaku dalam masyarakat. Pendukung nilai-nilai serta adanya pandangan
hidup yang sama mencerminkan corak kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karena itu melalui simbol-simbol pula pesan-pesan ajaran
agama, nilai-nilai etis dan norma-norama yang berlaku dalam masyarakat itu
disampaikan kepada semua warga masyarakat, sehingga penyelenggaraan upacara
tradisional itu pun merupakan sarana sosialisasi. Biasanya upacara tradisional itu
diadakan dalam waktu-waktu tertentu dan penyampaian pesan yang mengandung
nilai-nilai kehidupan itu harus diulang terus demi terjaminya kepatuhan para warga
masyarakat terhadap pranata-pranata sosial.3
Demikian pula dengan masyarakat Kampung Pulo yang merupakan suatu
perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang.
Kampung Pulo ini terletak di Desa Cangkuang, Kampung Cijakar, Kecamatan
Leles, Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Di Kampung Pulo ini terdapat
beragam macam ritual adat yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu
ritual adat perkawinan, kehamilan (misalnya upacara nujuh bulanan), yang
2 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut, Upacara Tradisional, (Garut: Dinas Budaya dan
Pariwisata 2014), h. 4. 3 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut, Upacara Tradisional, h. 5.
3
berkaitan dengan bayi yang baru lahir (marhabaan), yang berkaitan dengan
kematian (misalnya tiluna, tujuhna, matangpuluh, natusmuluh, newu, nyeket, dan
mendak), yang berkaitan dengan bidang pertanian pada saat mendirikan rumah
(misalnya mitembayan, ngadegkeun suhunan, dan syukuran ngalebetan) serta
upacara Ngaibakan Benda Pusaka.4
Dari upacara-upacara adat tersebut yang dianggap khas oleh masyarakat
sekitar Kampung Pulo ialah ritual adat “Ngaibakan Benda Pusaka” karena upacara
ini rutin dilakukan setahun sekali pada tanggal 14 bulan Maulud. Sesuai dengan
namanya, upacara ini merupakan tradisi masyarakat untuk mencuci benda-benda
yang dianggap keramat, seperti tombak, keris, kujang dan benda-benda pusaka
lainya. Peserta upacara bukan hanya masyarakat Kampung Pulo, akan tetapi datang
juga masyarakat dari sekeliling Kampung Pulo, bahkan dari luar Garut, antara lain
dari Bandung, Tasikmalaya dan Ciamis.5
Kegiatan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Pulo ini,
khususnya pada ritual adatnya Ngaibakan Benda Pusaka sangat menarik untuk
penulis teliti, karena pada upacara adat ini terdapat simbol-simbol yang terkandung
di dalamnya. Salah satunya pada media yang mereka gunakan saat upacara
berlangsung ialah kembang tujuh rupa, air dari tujuh mata air dan sesajen, sebelum
mereka melakukan ritualnya terlebih dahulu mereka berziarah ke makam nenek
moyang mereka. Selain itu yang menjadi ketertarikan penulis mengkaji ini ialah
karena pada zaman yang modern ini di Kota Garut yang mayoritas masyarakatnya
sudah lebih berkembang masih ada beberapa anggota masyarakat yang
mempertahankan budaya dari leluhur mereka salah satunya di Kampung Pulo.
4 Toto Sucipto, Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo (Bandung: Penelitian pada Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional, 2003), h. 9. 5 Toto Sucipto, Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo, h. 9.
4
Komunikasi ritual melalui upacara adat ini dalam Ilmu Komunikasi
digolongkan dalam etnografi komunikasi. Hal ini dikaitkan pada titik fokus kajian
etnografi komunikasi, yaitu perilaku komunikasi dalam tema kebudayaan tertentu,
jadi bukan keseluruhan perilaku seperti dalam etnografi. Perilaku komunikasi
dalam etnografi komunikasi adalah perilaku dalam konteks sosial kultural.6 Asumsi
dasar Skinner adalah perilaku mengikuti hukum-hukum perilaku, perilaku dapat
diramalkan dan perilaku dapat dikontrol. Harsya Bachtiar mengatakan budaya
dengan berbagai macam simbolnya yang berisikan “kepercayaan” pengetahuan
nilai-nilai dan aturan-aturan jelas pemikiran, perasaan, sikap dan perilaku setiap
manajer sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia-manusia lainya.7
Maka berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti membuat suatu
penelitian dengan judul “Studi Etnografi Komunikasi Ritual Adat Masyarakat
Kampung Pulo Desa Cangkuang Kecamatan Leles Kabupaten Garut Provinsi
Jawa Barat”.
B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Guna mempermudah dan memperjelas proses penelitian, maka masalah
pada skripsi ini dibatasi pada proses upacara ritual adat Ngaibakan Benda
Pusaka dan makna simbol yang terkandung di dalam upacara tersebut yang
dikaji dalam perspektif etnografi komunikasi pesan simbolik yang ada pada
upacara tersebut.
6 Engkus Kuswarno, Metode Penlitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, (Bandung: Widya Padjajaran,
2008), h. 35. 7 Al Musowir, Komunikasi Ritual Adat Masyarakat Seba Studi Etnografi Komunikasi Masyarakat Seba,
(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik Universitas Komputer, diakses pada 29 April 2016) h. 3
5
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan pembatasan masalah di atas dapat
dirumuskan pokok masalah skripsi ini sebagai berikut:
a. Bagaimana situasi komunikatif yang terjadi pada ritual adat ngaibakan
benda pusaka pada masyarakat Kampung Pulo di Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut?
b. Bagaimana Peristiwa Komunikatif yang terjadi pada ritual adat ngaibakan
benda pusaka pada masyarakat Kampung Pulo di Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut?
c. Bagaimana Tindakan Komunikatif yang terjadi pada ritual adat ngaibakan
benda pusaka pada masyarakat Kampung Pulo di Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui situasi komunikatif yang terjadi pada ritual adat
ngaibakan benda pusaka pada masyarakat Kampung Pulo di Kecamatan
Leles, Kabupaten Garut.
b. Untuk mengetahui peristiwa komunikatif yang terjadi pada ritual adat
ngaibakan benda pusaka pada masyarakat Kampung Pulo di Kecamatan
Leles, Kabupaten Garut.
6
c. Untuk mengetahui tindak komunikatif yang terjadi pada ritual adat
ngaibakan benda pusaka pada masyarakat Kampung Pulo di Kecamatan
Leles, Kabupaten Garut
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini bertujuan untuk menambah khasanah ilmu
komunikasi dan pengetahuan budaya dengan mengetahui pola budaya
dalam upacara ritual Ngaibakan Benda Pusaka di Kampung Pulo.
b. Manfaat Praktis
Diharapkan dengan penelitian ini dapat menyumbangkan
pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan makna
simbol yang ada pada upacara ritual Ngaibakan Benda Pusaka serta proses
komunikasinya yang ada pada upacara tersebut.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Studi etnografi komunikasi merupakan bagian dari paradigma
interpretif atau konstruktivisme, karena pada penelitian etnografi komunikasi
itu menguraikan budaya tertentu dan menemukan makna tindakan dari
komunitas tertentu.8
Sedangkan untuk definisi dari konstruktivisme itu sendiri ialah ilmu
yang memperoleh melalui pengalaman langsung dan rinci terhadap perilaku
sosial dalam suasana keseharian yang alamiah agar mampu memahami dan
8 Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, (Bandung: Widya
Padjajaran 2008), h. 46.
7
menafsirkan para perlaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan
memeilihara dunia sosial mereka.9
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
pendekatan kualitatif dan pendekatan etnografi komunikasi dengan terjun
langsung ke lapangan.
Menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodelogi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.10
Sedangkan pendekatan Etnografi Komunikasi digunakan untuk
mengungkap dan memahami suatu dibalik fenomena atau budaya yang belum
banyak diketahui dalam komunitas tertentu.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah pelaku tradisi, tokoh adat, kajian
etografi komunikasi dan objek dari penelitian ini adalah upacara ritual
Ngaibakan Benda Pusaka di Kampung Pulo Garut.
4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Lofland dan Lofland (1984:47) sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya ialah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain.11
a. Observasi Partisipan
Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan
9 Dwi Ratna Dewi, Teori Komunikasi, (Jakarta: Renata Pratama Media 2008), h. 16.
10 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 3.
11 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 121.
8
pengindraan. Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah observasi
partisipan, yaitu pengumpulan data melalui observasi terhadap objek
pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada
dalam aktivitas objek pengamatan.12
Observasi partisipan, merupakan bagian dari kerja lapangan
penelitian budaya. Sepenuhnya kegiatan ini dilakukan dilapangan objek
peneliti, disertai dengan perangkat yang telah dipersiapkan. Observasi
partisipan melibatkan keikutsertaan peneliti dengan individu yang di
observasi atau komunitas.13
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak
dengan maksud tertentu, yaitu antara pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban pertanyaan itu.14
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan kepada:
1. Tatang Sanjaya (65th
), merupakan Juru Kunci atau Kuncen dari
Kampung Pulo. Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut,
Jawa Barat.
2. Bapak Umar (46th
) merupakan Wakil Juru Kunci dari Kampung Pulo.
Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
3. Bapak Zaki Munawar (44th
) merupakan Kordinator Staf Cagar Budaya
Candi Cangkuang, Desa Cangkuang, Kabuupaten Garut, Jawa Barat.
4. Bapak Imam S Bahrie (47th
) merupakan salah satu perwakilan dari
Komnitas Budayawan yang berada di Kota Garut.
12
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2007) h. 115 13
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 52 14
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 135.
9
c. Pengumpulan Dokumentasi
Pengumpulan dokumentasi yaitu pengumpulan catatan yang
diungkapkan dalam bentuk tulisan, lisan dan bentuk karya yang berhasil
didokumentasikan oleh pihak tertentu. Selanjutnya dokumen yang telah
terkumpul akan diolah dengan pola analisis. Dokumen yang dimaksud
dalam sebuah penelitian adalah berupa dokumen tertulis, dokumen gambar
dan dokumen elektronik.15
Ketiga dokumen inilah yang akan digunakan oleh peneliti dalam
pembuatan skripsi ini.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengumpulan data, mengurutkan dalam pola
dan pengelompokan data. Muhammad Nasir mengemukakan analisis data
merupakan bagian yang penting dalam metode ilmiah karena dalam analisis
data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna untuk memecahkan
masalah penelitian.16
Data yang dikumpulkan, kemudian dianalisis. Sedangkan metode yang
penulis pakai dalam menganalisis data adalah dengan cara menerangkan,
memberikan gambaran dan mengklasifikasikan data yang terkumpul apa adanya
dan kemudian data tersebut disimpulkan.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis melakukan beberapa rujukan skripsi terdahulu dalam
mendapatkan informasi tentang hal yang berkaitan dengan skripsi yang sedang
15
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 148 16
Muhammad Nasir. Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), h. 405.
10
ditulis, hal tersebut bertujuan agar tidak adanya kesalahan dalam mengolah data
dan menganalisisnya.
Penulis mengambil beberapa judul yang berkaitan dengan materi yang
diambil oleh penulis:
- Skripsi Samsul Arifin NIM:109051000077 dengan judul “Komunikasi
Antarbudaya Melalui Foklor Haul Cuci Pusaka Keramat Tanjung” Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi ditulis pada tahun 2013.
- Skripsi Sudirman NIM: 109051000065 dengan judul “Tradisi Skaten di
Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya” Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi ditulis pada tahun 2014.
- Skripsi Wiwien Wina Heryany NIM: 1111951000010 dengan judul “Upacara
Pernikahan Di Kampung Naga Tasikmalaya Dalam Perspektif Komunikasi
Antarbudaya” Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi ditulis pada
tahun 2015.
- Skripsi Abbil Arqham Thamliycho NIM 109051000213 dengan judul
“Akulturasi Islam Dalam Dimensi Upacara Syukuran Nelayan Di Pantai
Bojong Salawe Kab. Pangandaran” Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi ditulis pada tahun 2015.
- Skripsi Lona Sistriani NIM 10080002223 dengan judul “Tradisi Nyuwito
Dalam Perkawinan Masyarakat Samin” Mahasiswa Universitas Islam Bandung
Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi.
11
Dari keempat skripsi tersebut membahas tentang tradisi komunikasi
antarbudaya namun yang membedakan dengan penelitian penulis adalah terletak
pada subjek dan objeknya. Subjek dari penelitian penulis adalah Komunikasi
Ritual Adat Masyarakat, mengenai studi etnografi komunikasi. Sedangkan
objeknya adalah upacara ritual Ngaibakan Benda Pusaka di Kampung Pulo Garut.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah terhadap skripsi ini, maka penulis menyusun
sistematika penulisan sebagai berikut:
1. BAB I: Pendahuluan, yaitu menguraikan latar belakang masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian,
tinjauan pustaka dan sistematika penulisan yang merupakan gambaran umum
dalam penyusunan skripsi.
2. BAB II: Kajian Teoretis, yaitu menjelaskan teori-teori yang relevan digunakan
dalam penulisan skripsi untuk menganalisa dan merancang informasi yang
diperoleh dari berbagai sumber. Informasi tersebut, meliputi tinjauan umum
komunikasi, tinjauan umum etnografi komunikasi, dan tinjauan umum interaksi
simbolik.
3. BAB III: Bab ini memuat tentang gambaran umum dari Kampung Pulo, sejarah
singkat dari Kampung Pulo dan tradisi khusus masyarakat Kampung Pulo dan
kehidupan beragama.
4. BAB IV: Pada bab ini mengemukakan tahap-tahap prosesi upacara ritual adat
Ngaibakan Benda Pusaka dan menjelaskan makna simbol-simbol yang
terkandung dalam upacara Ngaibakan Benda Pusaka di Kampung Pulo Garut.
12
5. BAB V: Penutup, dalam bab ini berisikan mengenai kesimpulan yang
merupakan resume dari rumusan masalah yang diajukan pada bab pertama dan
saran-saran sebagai bahan pertimbangan.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
A. Memaknai Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Aktivitas komunikasi tidak lepas dari kehidupan manusia. Segala
bentuk dalam menjalani hidup manusia pasti bersentuhan dengan yang
namanya berkomunikasi, maka dengan berkomunikasi memungkinkan
terjadinya interaksi di antara individu-individu. Manusia adalah makhluk
sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu bergantung kepada orang
lain, karena perantara dari terjadinya hubungan tersebut adalah dengan
komunikasi, maka komunikasi merupakan peranan penting dalam
kehidupan manusia.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication yang
berasal dari kata latin communication dan bersumber dari kata communis
yang berarti sama, sama di sini maksudnya sama makna. Maka, komunikasi
13
akan berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang
dipercakapkan serta kesamaan bahasa yang dipercakapan itu belum tentu
menimbulkan kesamaan makna.17
Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang definisi
komunikasi di antaranya Laswell (1960), komunikasi merupakan suatu
proses yang “siapa” mengatakan “apa” dengan saluran “apa” kepada “siapa”
dan dengan hasil “apa”. Carl I. Hovland, proses dimana seorang
komunikator menyampaikan lambang dalam bentuk kata-kata untuk
merubah tingkah laku komunikan. Lain halnya dengan Everet M. Rogers,
komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
mereka.18
Dengan melihat definisi dari beberapa ahli, dapat dilihat adanya
fungsi dan manfaat yang sama dalam pengertian komunikasi. Kesamaan
yang dapat diambil dari definisi para ahli diatas adalah komunikasi
merupakan sebuah informasi yang dapat menguah perilaku seseorang.
Komunikasi berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan. Komunikator berarti orang yang menyampaikan pesan dan
komunikan adalah orang yang menerima pesan. Komunikasi sebagai proses,
karena komunikasi merupakan kegiatan yang ditandai dengan tindakan,
perubahan, pertukaran dan perpindahan. Komunikasi adalah suatu proses
personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya
bersifat pribadi. Oleh karena itu komunikasi sangat dibutuhkan dalam
17
Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 9. 18
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Atma Kencana Publishing 2013), h. 19
13
13
14
berbagai aspek kehidupan, diantaranya kehidupan berpolitik, ekonomi,
sosial dan budaya.19
2. Unsur-Unsur Komunikasi
Komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran
atau perasaan oleh seorang kepada orang lain dengan menggunakan
lambang (symbol). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, ide,
peristiwa dan lainya. Lambang bisa merupakan bahasa lisan dan juga berupa
isyarat, signal, gambar, warna dan lainya.20
Dalam prosesnya komunikasi dibangung oleh tiga unsur yang
fundamental, yaitu:
a. Komunikator (orang yang menyampaikan pesan)
b. Komunikan (orang yang menerima pesan)
c. Pesan (isi dari apa yang disampaikan).21
Hafied Cangara mengutip pendapat beberapa tokoh yaitu, Joseph A.
Devito, K. Soreno dan Erika Vora mengemukakan bahwa unsur komunikasi
lebih dari tiga. Perkembangan terakhir dari unsur-unsur komunikasi menurut
Hafied Cangara dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu
Komunikasi” bahwasanya faktor lingkungan pun turut menentukan atas
keberhasilan proses komunikasi.22
B. Tinjauan Tentang Komunikasi Ritual
1. Tinjauan Tentang Ritual
19
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar , (PT Remaja Rosdakarya, Bandung 2014), h.12.
20 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 43.
21 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 43.
22 Hafied Cangara, PengantarIlmu Komunikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo 2006), h. 23.
15
Secara umum ritual adalah upacara. Serta dapat pula disebutkan
bahwa ritual adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok pada
waktu yang sama dan dengan tata cara yang sama pula. Ritual adalah bagian
dari suatu upacara untuk memperkuat suatu ikatan kelompok, namun ritual
bukan hanya identitas suatu kelompok saja, melainkan bisa dilakukan untuk
merayakan peristiwa-peristiwa penting. Seperti halnya ritual yang tergambar
dalam upacara ngaibakan benda pusaka, yang dilaksanakan untuk
membersihkan benda-benda pusaka.23
Ritual merupakan kegiatan simbolis yang mengacu pada suatu
urutan, ritual tidak hanya berkaitan dengan adat suatu daerah, tapi juga
berkaitan dengan Agama. Misalnya, Agama Islam mewajibkan umatnya
untuk melakukan shalat lima waktu dalam sehari dan di dalam shalat
terdapat ritual yang menyatakan suatu urutan mulai dari Takbiratul Ihram
hingga salam. Selain itu, Islam juga mengenal ritual haji, haji dianggap sah
apabila setiap ritual atau rukun haji dijalankan.24
Ritual juga berkaitan dengan perilaku rasional dan nonrasional. Ada
beberapa ritual kebudayaan yang sifatnya tidak masuk akal atau
menyimpang dari norma-norma yang dapat diterima oleh masyarakat.
Perilaku ini disebut perilaku irasional. Perilaku rasional dalam suatu budaya
didasarkan oleh suatu yang dianggap masuk akal untuk mencapai tujuan-
tujuanya, sedangkan perilaku nonrasional tidak berdasarkan logika tapi juga
23
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat. 1985), h. 56. 24
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 27.
16
tidak bertentangan dengan ekspektasi-ekspektasi yang masuk akal. Perilaku
nonrasional dipengaruhi oleh budaya seseorang atau komunitas.25
Kepercayaan juga mempengaruhi ritual-ritual yang dilakukan oleh
suatu komunitas. Ritual-ritual yang terdapat dalam ngaibakan benda pusaka
menggambarkan kepercaya pada kekuatan trasendental. Hal ini tergambar
pada beberapa tempat dalam ritual yang dikeramatkan. Orang-orang dalam
kebanyakan budaya memang mempercayai hal-hal supernatural. Mereka
mempercayai mitos dan takhayul dan mempraktikanya dalam suatu upacara
adat. Namun ada juga yang mempraktikan suatu ritual berdasarkan prinsip-
prinsip agama. Hal inilah yang ditekankan dalam ritual ngaibakan benda
pusaka. Setiap ritual yang diperaktikan berkaitan dengan agama yang
mereka anut, yaitu agama islam. Pada dasarnya agama dipengaruhi oleh
budaya, begitupun dengan budaya yang dipengaruhi oleh agama.26
2. Komunikasi Ritual
Komunikasi ritual biasanya dilakukan secara kolektif atau
berkelompok. Suatu komunitas atau masyarakat tertentu sering melakukan
upacara-upacara adat seperti tradisi dari leluhurnya. Upacara-upacara adat
tersebut biasanya dilakukan rutin pada waktu yang telah ditentukan. Dalam
upacara-upacara tersebut orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan
perilaku-perilaku simbolik untuk menyampaikan maksud dan tujuanya.
Fungsi ritual tampak dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan
suatu tradisi, seperti perkawinan, ulang tahun, kelahiran, sunatan dan lain
sebagainya. Kegiatan ritual tersebut memungkinkan para pelaku atau peserta
25
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 28. 26
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 28.
17
komunikasi ini berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi
kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada masyarakat. (Mulyana
2010).27
Komunikasi ritual terkadang dihubungkan dengan hal yang bersifat
mistik dan tidak masuk di akal. Namun pada hakikatnya komunikasi ritual
menunjukan makna yang terkandung didalamnya. Pada ngaibakan benda
pusaka misalnya upacara adat tersebut dilakukan untuk membersihkan
benda-benda pusaka serta menghargai para peninggalan dari leluhur dan
didalam ritual ngaibakan benda pusaka ini mengandung makna yang bisa
dijelaskan dengan prespektif agama. Dalam menjalankan setiap ritualnya,
masyarakat Kampung Pulo melaksanakan ngaibakan benda pusaka ini
saling berkomunikasi dengan baik secara verbal maupun nonverbal. 28
3. Makna Simbolik Dalam Ritual
Makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.
Mengingat pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik
istilah-istilah rakyat maupun jenis-jenis simbol lain. Semua simbol, baik
kata-kata yang terucap, sebuah objek, suatu gerak tubuh, sebuah tempat atau
peristiwa merupakan bagian-bagian suatu sistem simbol.29
Untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan ritus,
berarti mempelajari simbol-simbol yang digunakan dalam ritus tersebut.
Ritus itu sendiri adalah suatu tindakan, biasanya dalam bidang keagamaan
yang bersifat seremonial dan tertata. Upacara adat ngaibakan benda pusaka
merupakan upacara keagamaan yang tertata. Untuk itu perlu adanya
27
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 25 28
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 30 29
James P. Spradley, Metode Etnografi, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya), h. 134
18
pemahaman terhadap simbol-simbol yang berkenaan dengan ritual
tersebut.30
Simbol-simbol selalu digunakan dalam ritus. Winangun mengutip
perkataan Victor Turner, bahwa tanpa mempelajari simbol yang dipakai
dalam ritus maka, akan sulit untuk memahami ritus dan masyarakatnya.
Simbol yang dimaksud disini adalah simbol ritual. Victore Turner juga
mendefinisikan simbol tersebut sebagai sesuatu yang dianggap, dengan
persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah.
Berikut ciri khas dari simbol ritual yang diungkapkan oleh Victor Turner
dalam Winangun (1990: 18 – 20).31
a. Multivokal
Simbol ritual adalah multivokal, hal ini menunjukan bahwa
simbol itu mempunyai banyak arti dan menunjuk pada banyak hal, baik
itu pribadi atau fenomena. Pada upacara adat ngaibakan benda pusaka,
salah satu simbol yang nampak adalah Masjid. Simbol ini menunjukan,
selain tempat ibadah, masjid juga menunjukan identitas masyarakat
Kampung Pulo yang mayoritas Islam.
b. Polarisasi Simbol
Simbol mempunyai banyak arti, maka ada arti-arti yang
bertentangan. Makna polarisasi simbol di sini berarti makna simbol yang
bertentangan dengan makna simbol yang asli dengan makna atau simbol
yang aslinya. Masjid digunakan masyarakat sebagai tempat ibadah juga
dipakai masyarakat sebagai tempat berlangsungnya ritual.
30
James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 135 31
Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner (Yogyakarta: Kanisius: 1990), h. 18 – 20.
19
c. Unifikasi
Unifikasi atau penyatuan menjadi mungkin karena adanya sifat
yang sangat umum dan mirip. Simbol ini memliki makna yang berati,
tidak hanya sebagai ornamen atau lambang suatu masyarakat. Melainkan
sebagai contoh, masjid yang menjadi simbol agama islam, juga memiliki
nilai yang menunjukan hubungan manusia dengan Tuhan.32
Kebudayaan terdiri atas simbol-simbol, gagasan-gagasan dan
nilai-nilai sebagai hasil karya manusia, dengan kata lain kebudayaan
sangat erat kaitanya dengan simbol. Simbol merupakan ciri, tanda atau
lambang untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain. Pada
dasarnya, simbol tidak memiliki makna. Kitalah yang sebenarnya
memberikan makna pada simbol tersebut sesuai dengan pengalaman.
Pesan yang disampaikan secara simbolik memiliki makna tersendiri.
Makna tersebut dipengaruhi oleh persepsi, pemahaman dan pengalaman
manusia.33
C. Tinjauan Tentang Budaya
1. Pengertian Budaya
Secara etimologi (bahasa) kebudayaan berasal dari akar kata budaya
(bahasa sanksekerta) “Bodhya” yang diartikan pikiran akal budi. Secara
terminologi (istilah) kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan
simbol, pemaknaan, penggambaran, struktur, aturan, kebiasaan, nilai,
pengolahan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi (kesepakatan) 32
Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, h. 20.
33 Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner,
h. 25 -30
20
pikiran, perkataan, dan perbuatan/tindakan yang terjadi pada suatu
kelompok masyarakat.34
Dalam buku Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat “Komunikasi
Antarbudaya” dituliskan bahwa definisi budaya itu adalah suatu konsep
yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai
tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki,
agama, waktu, pernan, hubungan, ruang, konsep, alam semesta, objek-objek
materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke
generasi melalui usaha individu dan kelompok.35
Selanjutnya adalah
beberapa paparan definisi budaya menurut para ahli, di antaranya adalah
sebagai berikut:
Ki Hajar Dewantara:
Kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat36
Koentjaraningrat:
Kebudayaan adalah seluruh sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia.37
Sutan Takdir Alisjahbana:
Kebudayaan adalah perwujudan sebagau suatu pernyataan perasaan dari
cara berfikir.38
Taylor:
34
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowati, Komunikasi Antar Budaya: Konsep dan Aplikasinya, h. 32 35
Dedy Mulyana, Komunikasi Antarbudaya, h. 18. 36
Suranto A W, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 24 37
Suranto A W, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24 38
Suranto A W, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24
21
Kebudayaan adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta
kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.39
Cialdini:
Kebuadayaan sama halnya dengan terminologi, sebuah kepercayaan, adat-
istiadat, kebiasaan, dan bahasa yang diwariskan dalam kehidupan
masyarakat pada situasi dan tempat tertentu.40
2. Unsur-Unsur Kebudayaan
Aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-
unsur sosial-budaya tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Rakhmat berpendapat bahwa terdapat tiga unsur sosial budaya yang
mempunyai pengaruh besar atas makna-makna yang kita bangun dalam
persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah sistem kepercayaan, nilai, sikap,
pandangan hidup tentang dunia dan organisasi sosial. Kita semua mungkin
melihat entitas sosial yang sama dan menyetujui sosial tersebut dengan
menggunakan istilah-istilah yang objektif, tetapi makna objek atau peristiwa
tersebut bagi kita mungkin sebagai individu sangat berbeda.41
Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,
mengevaluasi dan mengorganisasikan simulasi dari lingkungan eksternal.
Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik
lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk
39
Kate Loewhental, Religion, Culture and Mental Health, h. 5 40
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Rajagrafindo Persada), h. 33.
41 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), h. 57.
22
perilaku tertentu. Keberhasilan dan cara mempresepsi dunia perilaku ini
adalah hasil pengalaman budaya.42
3. Komunikasi Verbal dan Nonverbal Dalam Budaya
Taylor, dalam bukunya Liliweri (2011), menjelaskan kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan,
kesenian,hukum dan adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan
yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Kebudayaan
sangat dipengaruhi oleh norma dan norma juga mempengaruhi perilaku
sosial masyarakatnya, termasuk perilaku komunikasi.43
Liliweri mengungkapkan, budaya dinyatakan dalam gaya interaksi
verbal dan nonverbal, misalnya melalui pepatah dan ungkapan pranata
sosial, upacara, cerita, agama, bahkan politik, tetapi tidak semua komunikasi
yang baik itu dilakukan secara verbal. Setelah melihat perbedaan budaya
antarpribadi, maka kekuatan komunikasi ternyata tidak cukup dengan hanya
mengirimkan atau mengalihkan pesan. Dukungan nonverbal mempunyai
kemampuan untuk melengkapi kekurangan dalam komunikasi verbal.44
Ngaibakan benda pusaka merupakan salah satu upacara adat yang
menunjukan gaya interaksi verbal dan nonverbal. Perbedaan peran antara
kedua belah pihak, serta nilai dan kepercayaan yang mendasari adanya
upacara adat ini menyebabkan komunikator harus memiliki kemampuan
dalam menyampaikan pesan simbolik kepada komunikan. Seorang
komunikan pun harus mampu menerjemahkan pesan tersebut. Ngaibakan
42
Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 26.
43 Aloliliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara
2007), h. 80 44
Aloliliweri M.S, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 80
23
benda pusaka sarat akan makna verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal
dan nonverbal dalam kebudayaan juga terkadang menjadi kendala dalam
berkomunikasi karena adanya sikap etnosentris dan stereotip yang
berlebihan.
a. Komunikasi Verbal
Kemampuan berbahasa dapat mempengaruhi persepsi
seseorang, karena bahasa adalah landasan komunikasi. Manusia
memiliki naluri untuk hidup bersama dan saling komunikasi, tanpa
bahasa tidak mungkin ada interaksi. Dedy Mulyana dalam bukunya
mengungkapkan bahwa bahasa verbal adalah sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita.45
Komunikasi verbal merupakan karakteristik khusus dari
manusia, karena tidak ada makhluk lain yang dapat menyampaikan
bermacam-macam arti melalui kata-kata. Komunikasi verbal ialah
komunikasi yang menggunakan simbol-simbol atau kata-kata, baik yang
dinyatakan secara oral atau lisan maupun secara tulisan.46
Fungsi bahasa adalah sebagai wahana interaksi sosial. Dalam
komunikasi bahasa merupakan kunci mulainya interaksi sosial,
contohnya, ada warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di
Negara lain mereka pasti akan merasakan pentingnya bahasa dalam
interaksi. Indonesia adalah Negara yang luas, di mana terdapat banyak
sekali bahasa daerah yang digunakan. Setiap datang ke suatu daerah di
Indonesia, tentu kita harus menyesuaikan bahasa kita dengan bahasa
45
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 261 46
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara 2001), h. 95
24
daerah tersebut, walaupun kita sebenarnya dapat menggunakan bahasa
Indonesia. 47
Mulyana (2010: 265) juga menjelaskan bahwa fungsi bahasa
yang mendasar adalah untuk menemani atau menjuluki orang, objek dan
peristiwa. Penamaan atau “labeling” adalah dimensi pertama bahasa dan
basis bahasa. Melalui bahasa, kita dapat mempelajari apa saja yang
menjadi minat kita. Bahasa juga dapat digunakan sebagai pengenal.
Misalnya, ketika kita mengatakan “kumaha damang” kita akan tahu
bahwa bahasa tersebut adalah bahasa sunda. Hal ini berdasarkan
pengalaman kita mengenal bahasa tersebut.48
Bahasa terikat oleh konteks budaya dan dapat dipandang
sebagai perluasan budaya. Mulyana (2010) mengungkapkan setiap
bahasa menunjukan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan
realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakaianya.49
Bahasa yang berbeda memaksa pemakaianya untuk berfikir dan melihat
lingkungan disekitarnya dengan cara yang berbeda. Bahasa daerah yang
berbeda-beda memaksakan kita untuk meemandang orang di hadapan
kita dengan katagori tertentu. Misalnya bahasa sunda yang memiliki
tingkatan tertentu dalam berbicara berdasarkan status sosial. Bagaimana
berbicara dengan orang yang lebih tua, lebih muda dan sebaya.
Masyarakat Kampung Pulo sangat menjunjung tinggi bahasa daerahnya,
yaitu bahasa sunda. Semua yang tinggal di Kampung Pulo pasti
menggunakan bahasa sunda, walaupun mereka bisa bahasa Indonesia
47
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 261 48
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 265 49
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, h. 265
25
bukan bahasa asing. Mereka menganggap bahwa apabila tinggal di
daerah sunda maka mereka harus berbicara bahasa sunda, karena bahasa
tersebut adalah bahasa ibu.
Ngaibakan benda pusaka merupakan suatu budaya yang di
dalamnya terdapat proses-proses verbal yang memiliki makna. Untuk
menafsirkan makna tersebut kita harus memperhatikan budaya yang
mempengaruhinya. Pola-pola berpikir yang berbeda akan mempengaruhi
setiap individu dalam berkomunikasi, ketika berbicara mengenai
komunikasi verbal yang berkaitan dengan budaya. Kita juga harus
mengetahui dialek serta aksen yang tampak ketika proses tersebut
berlangsung.
Liliweri (2011) mengungkapkan dialek sebagai variasi biasa
disuatu daerah dengan kosa kata yang khas. Sedangkan aksen
merupakan tekanan dalam pengucapan. Selain itu, Liliweri juga
menyebutkan istilah lain, yaitu jargon dan argot. Jargon adalah unit
kata-kata atau istilah yang dibagikan atau dipertukarkan oleh mereka
yang sama profesinya atau pengalamanya. Sedangkan argot merupakan
bahasa-bahasa khusus yang digunakan oleh suatu kelompok yang luas
dalam sebuah kebudayaan untuk mendefinisikan batas – batas kelompok
mereka atau menunjukan posisi mereka di masyarakat.50
b. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, nada suara,
gerakan anggota tubuh, kontak mata, rancangan ruang, pola-pola
peradaban, gerakan ekspresif, perbedaan budaya dan tindakan-tindakan
50
Aloliliweri M.S, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 80
26
nonverbal lain yang tak menggunakan kata-kata. Berbagai penelitian
menunjukan bahwa komunikasi nonverbal itu sangat penting untuk
memahami perilaku antarmanusia daripada memahami kata-kata verbal
diucapkan atau ditulis. Pesan-pesan nonverbal memperkuat apa yang
disampaikan secara verbal (Liliweri, 2011 : 139).51
Komunikasi nonverbal lebih banyak mengandung muatan
emosional dibandingkan dengan komunikasi verbal. Dalam konteks
komunikasi budaya, antara komunikator dan komunikan harus bener-
bener saling memahami terutama dalam perilaku nonverbal. Isyarat dan
emosi yang sama, belum tentu memiliki makna yang sama. Komunikasi
nonverbal digunakan sebagai pelengkap dari bahasa verbal. Terkandung
pesan tidak sepenuhnya tersampaikan melalui komunikasi verbal, maka
komunikator menggunakan komunikasi nonverbal sebagai pelengkap.52
Perilaku Nonverbal. Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi
nonverbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya
merupakan suatu sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan
sebagai bagian dari pengalaman budaya. Komunikasi nonverbal yang
berlandaskan budaya, hal yang disimbolkan biasanya telah disebarkan
oleh budaya kepada anggota-anggotanya. Hal ini tercermin dalam ritual
ngaibakan benda pusaka sebagai budaya, di mana hal menjadi simbol
atau yang dilambangkan telah diketahui oleh seluruh partisipan.
Lambang-lambang nonverbal dan respon-respon yang ditimbulkan
merupakan bagian dari pengalaman budaya, yaitu hal yang diwariskan
51
Aloliliweri M.S, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 139 52
Aloliliweri M.S, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 139
27
dari masa ke masa. Artinya, budaya mempengaruhi dan mengarahkan
kita mengirim, menerima dan merespon lambang-lambang nonverabal.
Konsep Waktu. Waktu merupakan komponen budaya yang
penting. Kita terikat oleh waktu dan tersadar akan adanya masa lalu,
masa sekarang dan masa yang akan datang. Perbedaan konsep waktu
antara budaya yang satu dengan yang lainya akan mempengaruhi
mereka dalam berkomunikasi. Sadar akan adanya masa yang akan
datang masyarakat Kampung Pulo mewariskan budaya yang dimilikinya
kepada generasi selanjutnya melalui ritual-ritual yang ada di Kampung
Pulo salah satunya ngaibakan benda pusaka. Masyarakat Kampung Pulo
memperhatikan waktu, maka pelaksanaan ritual ngaibakan benda pusaka
sangat berkaitan dengan waktu, karena dilaksanakanya pada waktu-
waktu tertentu. Konsep waktu juga ditunjukan dengan adanya hari tabu,
yaitu hari dimana tidak boleh berziarah ke makam dan tidak boleh pula
membuka silsilah dan sejarah Kampung Pulo.
Penggunaan dan Pengaturan Ruang. Penggunaan ruang
dalam komunikasi disebut proksemika. Dalam ritual ngaibakan pusaka
setiap peserta berkomunikasi dengan jarak yang dekat. Ada saat dimana
mereka duduk berhadapan dan bersebelahan. Pengaturan ruang ruang
merupakan suatu fungsi budaya. Secara nonverbal pengaturan ruang
menunjukan kepercayaan dan nilai. dalam ritual ngaibakan benda
pusaka status sosial mempengaruhi posisi dalam pengaturan ruang.
Misalnya, kuncen sebagai kepala adat dan orang-orang yang disepuhkan
mendapatkan posisi paling depan ketika duduk di surau atau di rumah
warga yang telah ditentukan.
28
D. Tinjauan Tentang Etnografi Komunikasi
1. Pengertian Etnografi
Etnografi merupakan kegiatan pengumpulan bahan keterangan
atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta
berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu
masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya
akan menarik perhatian peneliti etnografi.53
Penelitian etnografi untuk mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya. Penelitian ini berupayan mempelajari peristiwa
kultural, yang menyajikan pandangan hidup subjek menjadi objek studi.
Studi ini terkait bagaimana subjek berpikir, hidup dan berperilaku. Tentu
saja perlu dipilih peristiwa yang unik yang jarang teramati oleh kebanyakan
orang. Inti dari etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna
tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami. 54
Komunitas masyarakat Kampung Pulo ini belum banyak diketahui
oleh masyarakat luar, apalagi adat istiadatnya yang ada di Kampung Pulo
terutama yang sangat jarang diketahui ialah, upacara ritual adat ngaibakan
benda pusaka, karena masyarakat luar Kampung Pulo hanya mengenal
Kampung Pulo sebagai tempat wisata.
Penelitian etnografi mengandalkan atau berpegangan pada hasil
pengamatan sendiri atau pengamatan langsung, dan mengandalkan
informasi dari orang lain atau narasumber merupakan hal yang wajib
53
James P. Spradley, Metode Etnografi, h.3 54
James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 4
29
dilakukan oleh peneliti etnografi. Keterangan yang diambil narasumber
kemudian dicocokan dengan hasil pengamatan sendiri.55
Etnografi juga mempelajari dinamika kebudayaan, bagaimana
kebudayaan berkembang dan berubah dan bagaimana kebudayaan tersebut
dan budaya lain saling mempengaruhi termaksuk juga interaksi antara
berbagai kepercayaan dan cara-cara melaksanakan di dalam suatu
kebudayaan dan efeknya pada kepribadian seseorang. Unsur-unsur
kebudayaan bersifat universal, maka dapat diperkirakan bahwa kebudayaan
suku bangsa yang menjadi perhatian pasti mengandung unsur adat istiadat,
pranata-pranata sosial dan benda-benda kebudayaan. Bahasa juga
merupakan unsur tertepnting dalam berbudaya, karena bahasa dalam
keseharian berbudaya komunikasi verbal yang digunakan adalah
menggunakan bahasa sunda.56
Pola-pola kelakuan seperti perkawinan, struktur kekerabatan
sistem politik dan ekonomi, agama, cerita-cerita rakyat, kesenian, musik dan
bagaimana perbedaan di antara pola-pola pada masyarakat ini juga dipelajari
dalam etnografi. Dengan adanya penelitian etnografi maka akan terlihat
jelas perbedaan-perbedaan di antara sekian banyak kebudayaan yang ada di
Indonesia.
2. Pendekatan Etnografi Komunikasi.
Etnografi komunikasi atau Etnography of Communication
merupakan pengembangan dari etnografi berbahasa (etnography of
speaking) yang mula-mula dikembangkan oleh Dell Hymes pada tahun
55
James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 11 56
James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 33
30
1962. Etnografi yang dimaksud mengkaji peranan bahasa dalam perilaku
komunikatif suatu masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa
dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayannya. Adapun
Etnografi Berbahasa menurut Hymes, mengkaji situasi dan penggunaan pola
fungsi “bicara” sebagai salah satu kegiatan, misalnya mengkaji tindak tutur
yang rutin, khusus, ritual dan sebagainya.57
Etnografi tentang komunikasi adalah penerapan kemudian juga
dijadikan metode penelitian dalam pola komunikasi kelompok. Budaya
dikomunikasikan dalam cara-cara yang berbeda tetapi semuanya merupakan
‘sharing’ tentang tanda, media, setting, bentuk pesan dan peristiwa yang
ditransmisikan mealalui pesan. Singkatnya, budaya memiliki pengaruh kuat
dalam kehidupan manusia.58
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis komunikasi, maka perlu
untuk menangani unit-unit diskrit aktifitas komunikasi yang memiliki
batasan-batasan yang bisa diketahui. Unit-unit analisis yang dikemukakan
oleh Dell Hymes antara lain:59
a. Situasi Komunikatif, merupakan konteks terjadinya komunikasi,
contohnya, upacara, perkelahian, perburuan, pembelajaran diruang
kelas, konferensi, pesta, jamuan dan lain sebagainya. Situasi bisa sama
atau berbeda bergantung pada waktu, tempat dan keadaan fisik penutur
secara keseluruhan.60
57
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi Etnografi Komunikasi, (Bandung: Widya Padjajaran, 2008), h. 31.
58 Dwi Ratna Dewi, Teori Komunikasi; Pemahaman dan Penerapan, (Jakarta: Renata Pratama Media
2008), h. 167 59
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi Etnografi Komunikasi, h. 36 60
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi Etnografi Komunikasi, h. 36
31
b. Peristiwa Komunikatif, merupakan unit dasar tujuan deskriptif. Sebuah
peristiwa tertentu didefinisikan sebagai keseluruhan perangkat
komponen yang utuh, yang dimulai dengan tujuan umum komunikasi,
topik umum sama dan melibatkan partisipan yang sama, yang secara
umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone
yang sama dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi dan dalam
setting yang sama. Sebuah peristiwa berakhir apabila terdapat perubahan
dalam partisipan utama, misalnya perubahan posisi duduk atau suasana
hening. Analisis peristiwa komunikatif dimulai dengan deskripsi
komponen-komponen penting, yaitu:61
1) Genre, atau tipe persitiwa
2) Topik, atau fokus referensi
3) Tujuan atau fungsi peristiwa, secara umum dan dalam bentuk tujuan
interaksi partisipan secara individual.
4) Setting, termasuk lokasi, waktu, musim dan fisik situasi itu.
5) Partisipan, temasuk kedalam usiaya, jenis kelamin, etnik, status
sosial atau kategori lain yang relevan dan hubungan satu sama lain.
6) Bentuk pesan, termasuk saluran vocal dan nonvokal, dan hakikat
kode yang digunakan
7) Isi pesan, atau referensi denotatif level permukaan, apa yang
dikomunikasikan.
8) Urutan tindakan, atau urutan tindak komunikatif, atau urutan tindak
tutur, termasuk alih giliran dan fenomena overlap percakapan.
9) Kaidah interaksi, properti apakah yang harus diobservasikan
61
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi Etnografi Komunikasi, h. 37
32
10) Norma-norma interpretasi, termasuk pengetahuan umum, presposisi
kebudayaan yang relevan, atau pemahaman yang sama, yang
memungkinkan adanya informasi tertentu yang harus dibuat, apa
yang harus dipahami, apa yang perlu diabaikan dan lain-lain.
c. Tindak Komunikatif, pada umumnya bersifat konterminus dengan
fungsi interaksi tanggal, seperti pernyataan referensial, permohonan atau
perintah dan bisa bersifat verbal atau nonverbal. Urutan tindak
komunikatif bisa diprediksi mencakup seruan, pujian, merendahkan diri,
syukur dan perintah.62
Bagan. 2.1
Sumber: Buku Etnografi Komunikasi, yang ditulis oleh Engkus Kuswarno.
Keterangan:
Menandakan adanya pengaruh timbal balik antara keduanya. Masing-masing
ilmu dapat memanfaatkan etnografi komunikasi untuk memperkaya penjelasan
teorinya sekaligus memberikan masukan dalam analisis yang dilakukan
etnografi komunikasi.63
62
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi Etnografi Komunikasi, h. 37 63
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Komunikasi Etnografi Komunikasi, h. 31.
ANTROPOLOGI ETNOGRAFI
KOMUNIKASI ILMU KOMUNIKASI
LINGUISTIK
33
Diatas ini merupakan bagan dari ilmu etnografi komunikasi, jadi
kesimpulanya bahwa Etnografi komunikasi tidak hanya membahas kaitan antara
bahasa dan komunikasi saja, atau kaitan antara bahasa dan kebudayaan,
melainkan membahas ketiga secara sekaligus.
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN KAMPUNG PULO
A. Sejarah Kampung Pulo
34
Pemangku adat Iri Suhari, menuturkan bahwa pada Abad ke 17 Masehi di
Pulau Jawa berdiri Kerajaan Islam Mataram dengan rajanya bernama Sultan Agung
dan wilayah kekuasaan nya mencakup sebagian Jawa Barat. Pada saat yang sama di
Batavia telah berkuasa bangsa Belanda (VOC) yang tidak disukai oleh Raja
Mataram. Untuk mengusir bangsa Belanda dari Batavia, maka Raja Mataram Sultan
Agung mengirim pasukan perang ke Batavia. Salah seorang pemimpin pasukan
Mataram yang ditunjuk ialah Embah Dalem Arief Muhammad.64
Serangan Mataram pada saat itu mengalami kegagalan, sehingga Embah
Dalem Arief Muhammad tidak diizinkan untuk pulang ke Mataram dan kemudian
menetap di Kampung Pulo sembari menyebarkan agama Islam pada masyarakat
sekitar, yang masyarakatnya mayoritas disana masih menganut agama Hindu.
Embah Dalem Arief Muhammad dengan arif dan bijak, mengajak masyarakat untuk
menganut agama Islam mereka secara berangsur-angsur pindah dari agama hindu
lalu memeluk agama islam. Untuk memenuhi keperluan air pada waktu itu ahirnya
Arief Muhammad membendung sebuah parit yang airnya berasal dari sungai
Cicapar. Bendungan tersebut pada ahirnya membentuk sebuah situ atau danau dan
kemudian dikenal dengan nama“Situ Cangkuang”.
Kata cangkuang diambil dari nama pohon cangkuang yang banyak terdapat
di daerah itu. Sekarang, pohon cangkuang masih terdapat disekitar makam Embah
Dalem Arif Muhammad bersama dengan pohon-pohon lainya yang tumbuh besar
dan tinggi, antara lain pohon Ki Teja, Ki Teureup, Ki Honje dan Buah Pari.65
Sementara itu, dataran di tengah situ yang tidak terendam air membentuk daratan
yang menyerupai pulau-pulau kecil. Satu diantaranya, yaitu yang terpanjang dan
64
Toto Sucipto “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo: Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan” Jurnal of Personality, (Juni 2003), h. 4
65 Toto Sucipto, “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo”, h. 5.
34
35
terbesar dari pulau-pulau yang ada dan oleh karenanya disebut Pulo Panjang, yang
dijadikan tempat kediaman Embah Dalem Arief Muhammad beserta keluarganya.66
Setelah berhasil menyebarkan agama islam di Kampung Pulo dan memiliki
enam orang anak perempuan, Embah Dalem Arief Muhammad meninggal dunia
dan jenazahnya dimakamkan di sebelah timur pemukiman, dengan meninggalkan
enam anak perempuannya. Mereka menempati enam rumah yang dibangun dua
baris berhadapan berjejer tiga yang ujungnya dibangun sebuah langgar sehingga
membentuk huruf “U”, di ujung barat pemukiman terdapat langgar. Langgar
tersebut merupakan langgar dari anak laki-laki Arief Muhammad yang meninggal
pada waktu kecil. Anak laki-laki tersebut meninggal karena mengalami kecelakaan
pada waktu akan dikhitankan. Oleh karena itu untuk generasi selanjutnya yang
berhak untuk menempati rumah itu ialah anak perempuan dari keturunan Arief
Muhammad.67
Selama menjalankan roda Pemerintahan di daerah Kampung Pulo itu Embah
Dalem Arief Muhammad sangat menekankan pada kelestarian lingkungan untuk
kelangsungan hidupnya berdasarkan pengalaman penyebab kekalahan perjuanganya
melawan penjajah, yaitu gagalnya persedian makanan akibat pembuminghangusan
lumbung – lumbung makanan, maka disepakatilah berupa larangan adat khusus
wilayah Kampung Pulo diantaranya:68
1. Masyarakat Tidak Boleh Berziarah Pada Hari Rabu.
Masyarakat Kampung Pulo selalu menggunakan hari Rabu untuk
pengajian dan memperdalam ilmu keagamaan, sehingga tidak diperbolehkan
melakukan kegiatan lainya termaksuk berziarah ke makam Embah Dalem Arief 66
Zaki Munawar, “Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya”, (Cangkuang, 1 Juni 2002), h. 4. 67
Toto Sucipto, “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo”, h. 5. 68
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut, Katalog Upacara Tradisional, (Garut: Dinas Budaya dan Pariwisata 2014), h. 27.
36
Muhammad tidak dapat diterima dan dilayani oleh kuncen. Selain hari Rabu,
makam tersebut diperbolehkan untuk dikunjungi oleh masyarakat diluar
Kampung Pulo baik yang berasal dari Garut maupun daerah lain, seperti
Jakarta, Bandung, Purwakarta dan Tasikmalaya. Menurut Kuncen Kampung
Pulo mereka berziarah bertujuan untuk meminta kelancaran usaha pekerjaan
dan sekolah.69
Dalam berziarah mereka memberikan sesaji berupa kemenyan, bunga,
minyak wangi, gula, kopi, roti, pisang emas dan rokok. Bahkan ada yang
menginap di makam pada malam hari Jum’at untuk meminta berkah.70
Menurut
Iri Suhari selaku kuncen Kampung Pulo pada waktu itu, menjelaskan bahwa
pada hari Rabu warga Kampung Pulo juga tidak diperbolehkan bekerja karena
hari itu digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama islam yang diajarkan
oleh Embah Dalem Arief Muhammad. Buku-buku pelajaran agama peninggalan
Embah Dalem Arief Muhammad sebagian masih tersimpam di Museum
Kampung Pulo.71
2. Tidak Boleh Mengurangi Atau Menambah Kepala Keluarga Lebih dari
Enam Anggota
Ketentuan tersebut bermula dari kisah Embah Dalem Arief Muhammad,
cikal bakal Kampung Pulo yang memiliki enam orang anak perempuan dan
seorang anak laki-laki (meninggal dunia waktu akan dikhitankan). Oleh karena
memiliki enam anak perempuan maka di Kampung Pulo hanya ada enam rumah
yang dihuni oleh enam kepala keluraga dan harus keturunan dari perempuan
yang boleh menetap tinggal di Kampung Pulo. Untuk menghindari agar jumlah
69
Toto Sucipto, “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo”,h. 7. 70
Toto Sucipto “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo”, h. 8.
37
rumah dan kepala keluarga tetap enam, maka adat menetap setelah menikah
dengan masyarakat Kampung Pulo adalah Neolokal Residence. Lima belas hari
setelah menikah, pasangan pengantin harus meninggalkan Kampung Pulo untuk
menetap di daerah lain. Mereka dapat kembali lagi apabila orangtuanya
meninggal dunia yang disebut ngaplus atau menggantikan.72
3. Warga Kampung Pulo Tidak Boleh Memelihara Hewan Ternak Berkaki
Empat.
Hewan ternak yang berkaki empat sangat dilarang untuk dipelihara,
larangan ini dimaksudkan untuk menjaga kebersihan halaman rumah dan
keutuhan tanaman dari gangguan bintang berkaki empat, seperti Kambing,
Kerbau, Sapi dan lain sebagainya. Adanya larangan tersebut membuat
masyarakat Kampung Pulo hanya memelihara hewan peliharaan berkaki dua,
seperti Ayam dan Itik.73
4. Warga Kampung Pulo Tidak Boleh Memukul atau Menabuh Gong Besar.
Hal ini berkaitan dengan kisah Embah Dalem Arief Muhammad yang
memiliki seorang anak laki-laki, tetapi meninggal dunia saat akan dikhitankan.
Waktu anak itu diarak dengan tandu berbentuk prisma diiringi gamelan yang
menggunakan gong besar, tiba-tiba datang angin topan yang menyebabkan anak
tersebut celaka dan meninggal dunia. Sejak saat itu masyarakat Kampung Pulo
cadu atau pantang membuat rumah berbentuk prisma dan memukul atau
menabuh gamelan yang menggunakan gong besar. Menurut penuturan kuncen,
72
Toto Sucipto “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo”, h. 8. 73
Toto Sucipto, “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo”, 8.
38
suatu ketika pernah ada satu anggota masyarakat yang menikahi anaknya
dengan menyertakan hiburan degung yang menggunakan gong besar, lalu tiba-
tiba datang hujan deras dan penyelenggara hajat dilanda musibah.74
5. Warga Kampung Pulo Tidak Dibolehkan Membuat Rumah Dengan
Bentuk Prisma.
Hal ini karena berkaitan dengan kisah anak laki-laki Embah Dalem
Arief Muhammad yang celaka dan meninggal saat diarak menggunakan tandu
yang berbentu prisma. Akhirnya sejak saat itu bentuk bangunan rumah warga
Kampung Pulo berupa rumah panggung yang dibuat dari bambu dan kayu.
Untuk atapnya tidak persegi melainkan jolopong atau memanjang.
Demikianlah sejarah singkat dari masyarakat Kampung Pulo yang
didirikan oleh Mbah Dalem Arif Muhammad yang pada masa itu islam belum
masuk di Kampung Pulo.
B. Gambaran Upacara Ritual Adat Ngaibakan Benda Pusaka
Tradisi atau adat istiadat merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri
dari nilai-nilai budaya, norma, hukum, serta aturan yang satu dengan yang lainya
berkaitan menjadi suatu sistem budaya. Norma, hukum, serta aturan tersebut tidak
boleh dilanggar. Sedangkan kebiasaan cendrung berkembang dan mengalami
perubahan, dengan demikian pengertian tradisi atau adat istiadat dengan kebiasaan
cukup berbeda dilihat dari keketatan aturan-aturan didalamnya.
74
Toto Sucipto, “Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo”, h. 8.
39
Upacara tradisional atau upacara adat sebagai kegiatan sosial biasanya
melibatkan para warga masyarakat dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan
keselamatan bersama. Selain itu, upacara tradisional pun sebagai pranata sosial
yang penuh dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat media untuk
berkomunikasi antara sesama manusia dan juga menjadi penghubung antara dunia
nyata dan dunia gaib. Terbentuknya simbol-simbol dalam upacara tradisional
berdasarkan nilai-nilai etis dan pandangan hidup yang sama mencerminkan corak
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkuatan.75
Seperti halnya dengan kegiatan upacara ritual adat ngaibakan benda pusaka
di Kampung Pulo, dilaksanakan pada setiap tanggal 14 maulud dan kegiatan
tersebut dilaksanakan pada jam 24.00 s/d 13.30 WIB, dihadiri oleh enam keluarga
yang ada di Kampung Pulo tersebut serta keluarga yang sudah berada di luar
Kampung Pulo. Ada juga masyarakat luar Kampung Pulo yang datang dan ingin
mengikuti, serta menyaksikan ritual ngaibakan benda-benda penginggalan Mbah
Dalem Arif Muhammad dan para leluhur Kampung Pulo lainya.76
Kegiatan dimaksud dipimpin oleh ketua adat atau yang ditugaskan oleh
ketua adat untuk memimpin ritual ngaibakan benda pusaka. Adapun rincian dari
kegiatanya sebagai berikut:77
1. Kegiatan tersebut dilaksanakan di salah satu rumah yang ditunjuk oleh ketua
adat (pemangku adat) bisa di rumah siapa saja dan tidak harus di rumah ketua
adat.
2. Sebelum pukul 24.00 WIB, seluruh keluarga dan para tamu yang hadir
menyaksikan ritual adat yang dimaksud.
75
Dinas Budaya dan Pariwisata, “Katalog Upacara Tradisional”, h. 5. 76
Dinas Budaya dan Pariwisata, “Katalog Upacara Tradisional”, h. 32. 77
Dinas Budaya dan Pariwisata, “Katalog Upacara Tradisional”, h. 33.
40
3. Sebelum pelaksanaan ritual adat, pemangku (sesepuh adat) menyiapkan
berbagai pelengkapan upacara diantaranya: tiga buah wadah yang berisi air
yang sudah ditaburi kembang, kain putih (boeh larang), sesajen (2 buah kelapa
muda, rujak, air kopi pait dan kopi manis, surutu, makanan
ringan/hahampangan, telur ayam, parupuyan, menyan dan lain-lain), nasi
tumpeng serta minyak wangi, ikan bakar yang diambil dari situ cangkuang.
4. Pusaka-pusaka yang akan dimandikan sudah digelar diatas kain putih (Boeh
Larang) diantaranya: berbagai macam keris, golok, berbagai macam kujang,
meriam bundar yang disimpan pada sebuah wadah, tongkat dari kayu, berbagai
macam batu, serta pusaka-pusaka lainya.
5. Tepat jam 24.00 WIB, parupuyan dinyalakan, kemenyan pun mulai dibakar,
asap kemenyan menebar aroma yang khas memenuhi rumah.
6. Pemangku adat mulai membuka acara ini dengan menyampaikan maksud dan
tujuan dilaksanakanya upacara tersebut.
7. Selanjutnya diawali dengan Tawasulan kepada Nabi Besar Muhammad SAW
dengan membaca shalawat Nabi serta do’a-do’a lainya.
8. Ritual dimulai dengan membasuh keris yang dicelupin kedalam air yang sudah
ditaburi kembang (bunga-bunga) sambil dikumandangkan sholawat Nabi oleh
seluruh tamu yang hadir.
9. Selanjutnya seluruh pusaka yang ada dimandikan oleh ketua adat atau yang
memiliki pusaka dimaksud. Setelah dimandikan pusaka tersebut disemprot
dengan minyak wangi dan disimpan kembali pada tempatnya.
10. Setelah pelaksanaan memandikan barang pusaka selesai, pemangku adat
menutup ritual ini dengan Doa, selanjutnya tamu yang hadir dipersilahkan untuk
41
mencicipi nasi tumpeng yang telah disediakan. Dan upacara ritual adat
ngaibakan benda pusaka di Kampung Pulo pun selesai.78
C. Letak Geografis
Kantor Desa Cangkuang terletak kurang lebih pada jarak 2 km dari ibu
kota Kecamatan, yaitu dilalui oleh jalan PUK (Pekerjaan Umum Kabupaten),
terletak di Kampung Cangkuang. Batas Desa Cangkuang sebagai berikut: sebelah
utara berbatasan dengan Desa Neglasari Kecamatan Kadungora. Sebelah timur
berbatasan dengan Desa Karang Anyer dan Desa Tambaksari Kecamatan
Leuwigoong.Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Margaluyu dan Desa
Sukarame Kecamatan Leles.Sebelah barat berbatasan dengan Desa Talagasari
Kecamatan Kadungora dan Desa Leles Kecamatan Leles.79
Desa Cangkuang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut. Termaksuk zona tengah (zona depresi) merupakan bagian
tenggara zona Bandung, bagian ini merupakan wilayah paling selatan dari zona
tengah yang secara morpologis yang termasuk daerah dataran tinggi sekitar 600 –
700 m dari permukaan laut, Desa Cangkuang berada di ketinggian 675 m dari
pemukiman laut. Desa Cangkuang letaknya di sebelah utara Garut, jaraknya 17 km
dari Garut atau 46 km dari Bandung, sedangkan ke kecamatan Leles berjarak 2
km, jadi Desa Cangkuang ini terletak di antara kota Bandung dan Garut, dari Leles
masuk ke Desa Cangkuang yang mana di sana terdapat danau dan candi
Cangkuang berada yang berjarak kurang lebih 3 km, dengan jalan beraspal dapat
78
Dinas Budaya dan Pariwisata, Tim Peneliti Wawan, dkk,Upacara Tradisional di Garut. h, 33 -35. 79
Zakir Munawar, Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, (Garut: 1 Juni 2001), h. 5.
42
dilalui oleh kendaraan baik roda dua maupun roda empat, bahkan ke Desa
Cangkuang tesebut masih dipertahankan angkutan tradisional delman (andong).80
Iklim daerah Kabupaten Garut terutama Leles termasuk dalam
penggolongan iklim yang berarti lembah, yaitu iklim hujan tropis dengan hujan
sepanjang tahun (tiap bulan ada hari-hari hujan). Suhu rata-rata di daerah ini
21,5°C-23°C. Angka curah hujan di desa Cangkuang umumnya antara 1.800 mm –
2.000 mm / tahun, jumlah hari hujan rata-rata dalam setahun ada 122 hari dan
Januari merupakan bulan yang paling banyak jumlah hari hujanya, sedangkan
bulan Juli dan Agustus adalah bulan-bulan yang paling sedikit jumlah hujan. Curah
hujan di Desa Cangkuang pada tahun 2001 dengan curah hujan 2,044,5 mm
Luas wilayah Desa Cangkuang satu daerah yang terdiri dari bukit dan
dataran dengan perbandingan sebagai mana tercantum dalam buku laporan kepala
Desa Cangkuang tahun 2001, yaitu “15% tanah berbukit dan 85% tanah dataran
yang meliputi luas keseluruhan 340,755 ha terdiri daari sawah seluas 146,500 ha
dan daratan 89 ha.81
D. Letak Demografi Kampung Pulo
Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari anak buah
rumah dan enam kepala keluarga. Keadaan demikian itu bukan hanya sekarang
melainkan sejak dulu dan sudah merupakan ketentuan adat bahwa jumlah rumah
dan kepala keluarga itu harus enam. Oleh karena itu bagi Kampung Pulo, sukar
atau relatif lama untuk berkembang baik rumahnya atau penduduknya keenam
80
Zaki Munawar, Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, h. 6 81
Zaki Munawar, Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, h. 7
43
keluarga itu, setelah penulis adakan sensus penduduk kampung Pulo sebagai
berikut:82
Keadaan Penduduk Kampung Pulo RT 01 RW. XV Desa Cangkuang Pada
Bulan September 2016.83
Daftar Tabel: 3.1
E. Pola Pemukiman Kampung Pulo
Suatu keunikan yang menjadi ciri khas Kampung Pulo adalah adanya
aturan adat yang mengatur pola pemukiman dan jumlah kepala keluarganya
yang diperbolehkan tinggal di kampung tersebut.Berdasarkan aturan adat yang
berlaku Kampung Pulo hanya boleh ditempati oleh enam kepala keluarga
(6 keluarga inti). Jumlah kepala keluarga ini disesuaikan dengan jumlah rumah
yang terdapat di Kampung Pulo.84
Oleh karena itu, rumah tempat tinggal yang
ada di kampung adat tersebut sejak pertama berdiri sampai sekarang hanya ada
6 buah rumah. Luas wilayah pemukiman Kampung Pulo 340,755 Ha.85
Pemukiman masyarakat di Kampung Pulo merupakan pola yang khas,
yaitu enam rumah tinggal dibagi dua deret/baris yang terdiri atas tiga buah
rumah. Posisi rumah-rumah simetris dengan jarak antara rumah dan ukuran
rumah yang hampir sama. Denah rumah pada umumnya hampir sama, dengan
bentuk persegi panjang. Rumah-rumah membujur dari arah barat-timur dengan
82
Zaki Munawar, Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, h. 8. 83
Wawancara pribadi dengan Pak Umar (Wakil Kuncen Kampung Pulo), Garut, tanggal 21 Juli 2016. 84
Sucipto, Potret Kehidupan Pada Masyarakat Kampung Pulo, h. 11. 85
Wawancara pribadi dengan pak Umar, Garut, tanggal 21 Juli 2016
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 13
2 Perempuan 11
Jumlah 24
44
arah hadap rumah kea rah utara atau selatan. Setiap rumah berhadap-hadapan
dengan rumah yang terletak di depanya dan di antara keduanya terdapat tanah
lapang.86
Kondisi rumah-rumah di Kampung adat Pulo cukup terawat dan
terpelihara.Bangunan rumah relati masih asli baik bentuk, bahan maupun
warnanya. Ketataan dan kepatuhan terhadap larangan dari Karuhun (Nenek
Moyang) Kampung Pulo mengakibatkan bentuk dan bahan bangunan rumah
relative tidak berubah dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Kampung Pulo.
Bagan 3.1. Pola Pemukiman Kampung Pulo
U
Sumber: Pak Umar, wakil juru kunci Kampung Pulo.87
Keterangan Bagan:
1. Langgar (Masjid)
2. Rumah Kuncen Pak Tatang
3. Rumah Wakil Kuncen Pak Umar
4. Rumah Pak Uju
5. Rumah Pak iri
6. Rumah Pak Yayat
7. Rumah Pak Dirman
86
Sucipto, Potret Kehidupan Pada Masyarakat Kampung Pulo, h. 11 87
Wawancara pribadi dengan Umar, Garut, tanggal 21 Juli 2016.
Gambar 2 Gambar 4 Gambar 6
Gambar 1
Gambar 3 Gambar 5 Gambar 7
45
Pada bagian barat pemukiman terdapat sebuah langgar atau surau yang
menjadi satu-satunya sarana peribadatan dan sekaligus berfungsi sebagai tempat
atau balai musyawarah, dan ditengah-tengah pemukiman terdapat tanah lapang
yang dimanfaatkan sebagai tempat untuk bertemu, berkumpul dan berbincang-
bincang warga Kampung Pulo yang dilakukan biasanya pada sore hari, setelah
selesai bekerja.
Selain rumah, sarana yang ada antara lain terdapat bangunan pisah
yang terletak di bagian belakang rumah, yaitu kamar mandi dan binatang ternak
atau bunatang peliharaan, seperti ayam, bebek dan lain-lain sedangkan lahan
pertanian terletak disebelah barat dan selatan kampung. Sedangkan bagian utara
dan timur kampung dikelilingi situ, pemakaman umum terletak di sebelah
tenggara kampong.
F. Mata Pencaharian
Pemandangan di sekitar Desa Cangkuang adalah hamparan sawah
yang luas dan danau yang mengairi sawah-sawah di Desa Cangkuang dan
sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar profesi penduduk Desa
Cangkuang di sector pertanian.
Keadaan itu tidak berbeda dengan yang ada di Kampung Pulo, karena
letaknya berada di tengah sawah danau Cangkuang, jadi untuk pengairan sawah
lebih mudah, akan tetapi merekapun ada yang mempunyai mata pencaharian
yang lain baik pokok maupun sampingan apalagi setelah Kampung Pulo
dijadikan tempat wisata, maka terbukalah lapangan kerja yang baru. mata
46
pencaharian penduduk Kampung Pulo diantaranya adalah: petani, pedagang dan
ada juga yang bekerja sebagai PNS.88
Diagram 3.1 Mata Pencaharian Penduduk Kampung Pulo RT 01 RW. XV
Desa Cangkuang, pada bulan September 2016.
Keterangan:
Jenis mata pencaharian penduduk Kampung Pulo : 3 Macam
- Pedagang : 6 Orang
- Petani : 5 Orang
- Pegawai Negeri Sipil (PNS) : 1 Orang
- PNS merangkap sebagai Petani : 1 Orang
Data Mata Pencaharian yang penulis dapat dari narasumber bahwa untuk yang
bekerja sebagai petani ialah kepala keluarganya, sedangkan istri-istrinya bekerja
sebagai pedagang dan untuk satu orang yang bekerja sebagai PNS merangkap pula
bekerja sebagai petani, karena petani merupakan pekerjaan tradisional atau pekerjaan
yang wajib dimiliki oleh setiap kepala keluarga di Kampung Pulo.
88
Zaki Munawar, Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, h. 6.
PEDAGANG
6
PETANI
5 PNS 1
47
BAB IV
UPACARA RITUAL NGAIBAKAN BENDA PUSAKA DALAM
PERSPEKTIF ETNOGRAFI KOMUNIKASI
A. Proses Komunikasi Ritual Adat Ngaibakan Benda Pusaka
Pada proses ritual ngaibakan benda pusaka tidak dilakukan secara langsung,
tetapi ada beberapa tahapan tatacara yang dilalui. Pada awalnya kegiatan ritual adat
ngaibakan benda pusaka ini dipimpin oleh ketua adat atau yang ditugaskan oleh
ketua adat untuk memimpin ritual ngaibakan benda pusaka. Setelah pemilihan ketua
adat untuk ritual memandikan benda pusaka, dengan kesepakatan bersama kegiatan
tersebut dilaksanakan di salah satu rumah yang ditunjuk oleh ketua adat (pemangku
adat) bisa di rumah siapa saja dan tidak harus di rumah ketua adat.
Sebelum pukul 24.00 WIB, seluruh keluarga dan para tamu yang hadir
menyaksikan pelaksanaan ritual adat tersebut, pemangku adat (sesepuh adat)
menyiapkan berbagai pelengkapan upacara di antaranya, tiga buah wadah yang
berisi air yang sudah ditaburi kembang, kain putih (boeh larang), sesajen (dua buah
48
kelapa muda, rujak, air kopi pahit dan kopi manis, serutu, makanan
ringan/hahampangan, telur ayam, parukuyan, kemenyan dan lain-lain), nasi
tumpeng serta minyak wangi dan ikan bakar yang diambil dari Situ Cangkuang.
Pusaka-pusaka yang akan dimandikan sudah digelar di atas kain putih (Boeh
Larang) di antaranya, berbagai macam keris, golok, kujang, meriam bundar yang
disimpan pada sebuah wadah, tongkat dari kayu, berbagai macam batu, serta
pusaka-pusaka lainya. Tepat jam 24.00 WIB, parupuyan dinyalakan, kemenyan pun
mulai dibakar, asap kemenyan menebar aroma yang khas memenuhi rumah.
Pemangku adat mulai membuka acara ini dengan menyampaikan maksud dan
tujuan dilaksanakannya upacara tersebut.
Selanjutnya diawali dengan tawasulan kepada Nabi Besar Muhammad SAW
dengan membaca shalawat nabi serta doa-doa lainya, kemudian ritual dimulai
dengan membasuh keris yang dicelupkan kedalam air yang sudah ditaburi kembang
(bunga-bunga) sambil dikumandangkan sholawat nabi oleh seluruh tamu yang
hadir. Selanjutnya seluruh pusaka yang sudah ada dimandikan oleh ketua adat atau
yang memiliki pusaka dimaksud. Setelah dimandikan pusaka tersebut disemprot
dengan minyak wangi dan disimpan kembali pada tempatnya. Setelah pelaksanaan
memandikan barang pusaka selesai, pemangku adat menutup ritual ini dengan Do’a,
selanjutnya tamu yang hadir dipersilahkan untuk mencicipi nasi tumpeng yang telah
disediakan dan upacara ritual adat ngaibakan benda pusaka di Kampung Pulo pun
selesai.
B. Analisis Komunikasi Ritual Adat Ngaibakan Benda Pusaka Dalam Etnografi
Komunikasi.
48
49
Ketika wawancara dengan para narasumber kunci, yakni tokoh masyarakat,
budayawan dan cagar budaya cangkuang, penulis melakukan wawancara secara
nonformal dengan pola berstruktur maupun tidak berstruktur. Bahasa yang dipakai
penulis saat berbincang dengan narsumber, yakni Bahasa Sunda dan Indonesia.
Dalam mengumpulkan data, penulis lebih memilih melakukan wawancara
lantaran bisa bertanya dengan leluasa, terutama bila jawaban yang dilontarkan
narasumber kurang jelas, maka penulis dapat memintanya agar menjelaskan lebih
terperinci. Bila data yang diperoleh masih kurang lengkap maka penulis akan
menemui kembali narasumber itu secara langsung.
Hasil wawancara yang diperoleh melengkapi keabsahan pengamatan yang
penulis lakukan selama berada dilapangan. Hal itu dimaksudkan guna menjawab
tujuan penelitian yang dipaparkan dalam Bab Pendahuluan dengan pendekataan
etnografi komunikasi dari Dell Hymes mengenai aktivitas atau proses komunikasi.
Dalam etnografi komunikasi, menemukan aktivitas komunikasi dalam
etnografi komunikasi sama artinya dengan mengidentifikasikan peristiwa
komunikasi atau proses komunikasi. Bagi Hymes tindak komunikatif mendapatkan
statusnya dari konteks sosial, bentuk gramatika dan intonasi.89
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas komunikasi dalam
etnografi komunikasi, maka diperlukan pemahaman mengenai komponen-
komponen aktivitas atau proses komunikasi yang dikemukakan oleh Dell Hymes.
Berikut adalah komponen-komponen dari aktivitas komunikasi tersebut:
1. Situasi Komunikatif dalam Ritual Ngaibakan Benda Pusaka
89
Engkus Kuswarno, Metode Penelitian Kualitatif: Etnografi Komunikasi, (Bandung: Widya Padjajaran 2008), h. 41.
50
Komponen ini merujuk kepada konteks di mana komunikasi itu terjadi,
misalnya dalam upacara perkelahian, perburuan, pembelajaran diruang kelas,
konferensi, pesta, jamuan dan lain sebagainya. Situasinya bisa sama atau
berbeda bergantung pada waktu, tempat dan keadaan fisik penutur secara
keseluruhan.90
Penulis lantas berasumsi, konteks yang dimasksud dalam situasi
komunikasi adalah situasi komunikatif yang terjadi selama proses pelaksanaan
ritual ngaibakan benda pusaka ini berlangsung.
Situasi komunikatif merupakan setting umum, setting diartikan sebagai
ukuran ruang sekaligus penataanya. Ukuran ruang atau penataan ruangan
diperlukan agar suatu peristiwa dapat terlaksana misalnya, sebuah tempat
khusus yang dijadikan komunitas suatu budaya melakukan ritual budaya atau
ritual lainya. Tempat tersebut bisa juga sebagai tempat bercerita atau
menjalankan aktivitas lain. Setting memegang peranan penting untuk terjadinya
situasi komunikatif agar konteks terjadinya komunikasi dapat terwujud dari
komunitas suatu budaya atau masyarakat dalam peristiwa komunikasi.91
Dalam kegiatan upacara ritual ini tempat bisa berubah akan tetapi untuk
waktu tidak bisa berubah karena waktu sudah ditentukan dari nenek moyang
mereka yaitu pada tanggal 14 Maulud dan pada pukul 00.00, dan pada waktu itu
bertepatan dengan bulan puranama, menurut masyarakat Kampung Pulo
membacakan lafal Allah SWT. atau pada saat bertawasulan dan bertepan
dengan bulan purnama yang sedang terang-terangnya, maka pada saat Do’a itu
dipanjatkan akan langsung terkabulkan oleh yang Maha Kuasa Allah SWT.
90
Engkus Kuswarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 43 91
Lona Sistriani, “Tradisi Nyuwito Dalam Perkawinan Masyarakat Samin”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung), h. 83
51
Adapun dalam persiapan ritual ngaibakan benda pusaka ini memiliki aturan
dengan alur sebagai berikut:
Seminggu sebelum diadakanya ritual adat ini para tokoh masyarakat
Kampung Pulo atau kepala dari rumah adat berdiskusi untuk menentukan
tempat siapa yang akan dijadikan untuk ritual ngaibakan benda pusaka, menurut
masyarakat Kampung Pulo tempat bisa berubah karena setiap masyarakat
Kampung Pulo ingin rumahnya dijadikan tempat yang penuh keberkahan.
Setelah tempat sudah ditentukan atau disepakati maka langkah
selanjutnya pembagian tugas perorang untuk mencari dan membeli beberapa
media-media atau persyaratan-persyaratan yang akan digunakan pada
pelaksanaan ritual seperti, kemenyan, sesajen, kembang tujuh rupa, bahan-
bahan untuk jamuan baik makanan berat atau ringan dan ada pula yang
mengambil air langsung dari tujuh mata air atau sumur. Semua media untuk
ritual harus ada sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh para
leluhurnya, tepat tiga hari sebelum pelaksanaan ketua adat Kampung Pulo
memeriksa dan mengecek kembali media-media apa saja yang akan digunakan,
karena itu semua tidak boleh ada satupun yang terlewatkan.
Setelah semua perlengkapan untuk hari pelaksanaanya sudah
disediakan, maka pada ba’da magrib semua yang hadir berziarah ke makam
Mbah Dalem Arif Muhammad, yang dipimpin oleh ketua adat, dilanjutkan
mengikuti upacara ritual memandikan benda pusaka. Kemudian ketua adat atau
kuncen menjamu para tamu yang datang baik para pejabat ataupun masyarakat
Garut dan masyarakat yang di luar garut. Setelah tepat pukul 00.00 WIB, semua
anggota dan peserta berkumpul di satu rumah yang telah ditentukan untuk
upacara ritual yang dilaksanakan sampai dengan selesai.
52
Situasi komunikatif pada ritual ngaibakan benda pusaka pada tahap
awal proses persiapan sampai dengan pelaksanaanya tidak akan beubah semua
ketentuan-ketentuan selama persiapan ritual sudah menjadi ketentuan dari para
leluhur mereka. Tetapi untuk tempat pelaksanaan ritual mereka dapat berubah
sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya.
Gambar 4.1. Suasana pada saat proses ritual ngaibakan benda pusaka di Kampung Pulo
Berlangsung.
2. Peristiwa Komunikatif Dalam Ritual Ngaibakan Benda Pusaka
Upacara ritual ngaibakan benda pusaka ini adalah upacara yang sudah
dijalankan secara turun temurun dari para karuhun atau lelehur masyarakat
Kampung Pulo. Esensi dari ngaibakan benda pusaka ini bukanlah hanya ritual
belaka tapi lebih pada suatu kewajiban atau rukun adat yang harus dilaksanakan
53
setiap satu tahun sekali tepatnya pada tanggal 14 Maulud dan pada pukul 24.00
sampai dengan selesai.
Upacara yang di lakukan oleh masyarakat Kampung Pulo maupun
masyarakat diluar Kampung Pulo, terletak di Kecamatan Leles Kabupaten Garut
Desa Cangkuang Provinsi Jawa Barat. Tujuan dari ritual ngaibakan benda
pusaka ini selain untuk menyampaikan amanat-amanat dari para leluhur juga
merupakan suatu tradisi yang harus selalu dijaga kelestarian budayanya untuk
generasi selanjutnya, selain itu juga untuk mempererat tali silaturahmi antar
warga masyarakat Kampung Pulo, baik yang di lingkungan Kampung Pulo
maupun yang diluar lingkungan Kampung Pulo.
Ritual ngaibakan benda pusaka merupakan sesuatu yang penting dan
harus dilakukan, karena dengan mengadakan ritual upacara ngaibakan benda
pusaka ini masyarakat Kampung Pulo sudah menjalankan tugas dan
kewajibanya sebagai penerus yang amanah dan dapat bertanggung jawab untuk
memberikan contoh yang baik ke generasi selanjutnya.92
Peristiwa komunikasi atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh
yang dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama dan
melibatkan partisipasi yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang
sama, mempertahakan tone yang sama dan kaidah-kaidah yang sama untuk
interaksi dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan
berakhir, ketika terjadi perubahan partisipan, adanya periode hening atau
perubahan posisi tubuh.93
92
Wawancara pribadi dengan, Pak Umar (Wakil Kuncen Kampung Pulo), Garut 1 September 2016. 93
Engkus Kuswarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 41
54
Berikut pembahasan yang lebih mendalam ihwal komponen peristiwa
komunikasi yang merupakan unit dasar untuk tujuan deskriptif. Dell Hymes
memaparkan bahwa analisis peristiwa komunikasi dimulai dengan
mendeskripsikan komponen-komponen penting, yaitu terdiri dari tipe peristiwa,
topi peristiwa, tujuan dan fungsi peristiwa, seeting, partisipan, bentuk pesan, isi
pesan, urutan tindakan, kaidah iteraksi dan norma-norma interpretasi.94
2.1. Tipe Peristiwa
Komponen ini mengacu pada jenis dan bentuk penyampaian.
Semisal obrolan yang terjadi itu bisa seperti lelucon, salam, perkenalan,
dongeng, gosip dan lain sebagainya.95
Ketika berkumpul di ruang tengah maupun di teras rumah di salah
satu rumah adat biasanya kadang anak-anak akan bertanya tentang tradisi
tersebut, lalu generasi tua atau orang yang paham mengenai tradisi ataupun
ritual akan menceritakan sejarah, nilai dan tujuan dari diselenggarakanya
ritual tersebut.
2.2. Topik Peristiwa
Topik yang dibahas pada tahap awal atau tahap persiapan ritual adat
ngaibakan benda pusaka, yaitu tahapan-tahapan kegiatan upacara-upacara
yang sebelumnya terlebih dahulu dilaksanakan untuk menyambut datangnya
bulan Maulud. Dalam ritual ngaibakan benda pusaka ini ada beberapa
macam tahapan upacara-upacara adat hal ini bertujuan untuk menyambut
94
Engkus Kuswarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 41 95
Engkus Kuswarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 41
55
bulan maulud yang dimana bulan maulud ini merupakan bulan yang penuh
keberkahan. Diantaranya yaitu:
a. Rebo Wekasan, Rebo Wekasan adalah tradisi ritual yang dilaksanakan
pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, guna memohon pelindungan Allah
SWT dari berbagai macam mala petaka yang akan terjadi pada hari
tersebut, mereka menyebut ini sebagai bagian dari tolak bala sehingga
mereka harus melakukan Shalat Sunnat.
b. Setelah melaksanakan ritual Rebo Wekasan, selanjutnya masyarakat
Kampung Pulo menggelar acara Mapag Bulan. Hal ini bertujuan untuk
menghargai dan berharap bulan akan datang lebih baik dari sebelumnya.
Mapag bulan maulud= makan ringan nasi putih, air (sebelum bulan
maulud sudah dilaksanakan) sekitar tgl 30an. 12 maulud ada syukuran,
sholawatan 11-12 siang = cangkaruk mulud (dibuat dari pare mulai dari
pemilihannya, pembersihannya dan sampai memasaknya pun sambil
membaca sholawat oleh seorang perempuan yang tidak dalam keadaan
datang bulan dan hasil akhir dibuat menjadi nasi kering atau dalam
bahasa sunda disebut Aron Muluddan uyah mulud.96
c. Ziarah
Sebelum melaksanakan ritual ngaibakan benda pusaka para masyarakat
Kampung Pulo dan masyarakat lainya yang akan mengikuti upacara
ritual terlebih dahulu mereka berziarah kemakam para leluhur dan
makam Mbah Dalem Arief Muhammad. Waktu yang ditentukan untuk
berziarah ialah setelah ba’da magrib, yang dipimpin oleh Ketua Adat
96
Wawancara pribadi dengan Pak Umar (Wakil Kuncen Kampung Pulo), Garut, 1 September 2016
56
Kampung Pulo. Dengan mengucapkan salam untuk leluhur dan meminta
izin serta membacakan doa-doa.
Topik-topik tersebut tidak bisa dirubah untuk waktunya dan
hanya tempat saja yang dapat dirubah, ketetapan itu merupakan
ketetapan dari para leluhur mereka dan pasti peristiwa tersebut akan
menjadi bahasan. Setelah selesainya keseluruhan upacara itu
berlangsung mereka pasti membahasnya kembali mengulasnya kembali
cerita mengenai ritual-ritual tersebut. Oleh karena itu pasti ada topik
yang mereka bicarakan setiap harinya.
2.3. Fungsi dan Tujuan Tradisi Ritual Ngaibakan Benda Pusaka.
Komponen ini merujuk kepada maksud dan tujuan dari proses
komunikasi yang terjadi dalam ritual memandikan benda pusaka. “setiap
pusaka berkhodam 56dentic dengan aura mistis dan pelaku ritual tertentu
dalam merawatnya. Selain dilakukan untuk menjaga agar kondisi benda
tetap baik seiring termakanya usia, ritual ini digambarkan sebagai wujud
ungkapan rasa syukur dan penghargaan atas pusaka peninggalan leluhur,”
ungkap Pak Tatang (65th
) selaku kuncen Kampung Pulo saat ditemui di
Museum Cagar Budaya Cangkuang pada Sabtu, 27 Agustus 2016.
Hal senada juga disampaikan oleh Pak Umar (46th
), selaku wakil
kuncen dan pemelihara Cagar Budaya Cangkuang. Ia mengungkapkan
bahwa tujuan dari memandikan benda pusaka adalah menjalin ikatan batin
antara pemegang pusaka dengan khodam yang terdapat didalamnya benda
pusaka tersebut, sehingga terwujud keselarasan antara pemilik dengan
benda pusaka tersebut. “mereka yang mengikuti ritual ini akan
57
mendapatkan ketenangan serta keberkatan bathiniyah dari leluhur yang
menjadi pewaris pusaka sebelumnya,” pungkasnya.
2.4. Setting
Komponen ini berkenaan dengan waktu, tempat dan situasi
komunikasi itu berlangsung, seperti dalam obrolan mengenai dimana
tradisi itu akan dilaksanakan dan perlengakapan untuk tradisi itu telah
terpenuhi atau belum.
Malam itu tepatnya pukul 23:00 – 00:00 di salah satu rumah adat
para warga berkumpul menggunakan pakaian taqwa. Mereka duduk
beralaskan tikar, karena rumah adat hanya dapat menampung sekitar 15
orang sebagian lainya duduk diteras rumah adat. Sesajen, media ritual dan
benda pusaka telah dipersiapkan didepan pemangku adat ritual tersebut dan
didepan warga yang duduk melingkar. Tidak lupa pula dengan air dan
kembang tujuh rupa yang sudah dipersiapkan juga terlebih dahulu.
2.5. Partisipan
Merujuk kepada pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Tradisi ritual ngaibakan benda pusaka ini di ikuti oleh seluruh masyarakat
Kampung Pulo dan juga di ikuti oleh warga di luar Kampung Pulo seperti
Tasik, Bandung, Cirebon dan sekitarnya yang ikut serta pada acara
memandikan benda pusaka tersebut.
Acara tradisi ini dihadiri oleh, orang tua dan anak muda baik pria
maupun wanita. Mereka mendapatkan tugas yang berbeda terutama ketika
58
mempersiapkan ritual tersebut. Untuk pembagian tugasnya para ibu-ibu di
Kampung Pulo bertugas untuk memasak masakan yang akan disajikan pada
saat ritual, untuk bapak-bapaknya sebagian ada yang membeli kembang
tujuh rupa, ada yang mencari tujuh mata air dan membeli atau mencari
beberapa macam sesajen yang akan digunakan saat ritual serta ada pula
yang mencari dana untuk keperluan ritual tersebut, khusus untuk pencarian
dana dilakukan oleh kuncen atau wakil kuncen. Acara ritual ngaibakan
benda pusaka ini dipimpin oleh pemangku adat.
2.6. Bentuk Pesan
Pada peristiwa komunikatif, pesan dibawa dalam bentuk verbal dan
nonverbal, meskipun yang terlihat jelas adalah pesan non verbal. Bentuk-
bentuk tersebut dikembalikan kepada masing-masing individu yang
memberi nilai dan makna atas pesan yang disampaikan.97
Dalam penelitian ini, bentuk pesan yang dikaji adalah bentuk pesan
yang tersaji dalam ritual ngaibakan benda pusaka. Komponen ini merujuk
pada jalur bahasa yang digunakan dan juga merajuk pada kode ujaran yang
digunakan.
Peneliti menyimpulkan bahwa bentuk pesan yang terdapat dalam
ritual ngaibakan benda pusaka adalah komunikasi verbal dan nonverbal.
Komunikasi verbal kebanyakan dilakukan saat para warga berbincang guna
membahas agenda kapan ritual itu akan dilaksanakan, sedangkan
komunikasi nonverbalnya terdapat pada artevak dan ritual yang dilakukan
oleh warga saat menyelenggarakan tradisi tersebut.
97
Engkus Kuswarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 43
59
2.7. Isi pesan
Komponen ini mengacu pada ujaran dan isi pesan yang berkenaan
dengan kata yang digunakan, bagaimana penggunanya dan hubungan
antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
Isi pesan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah apa yang
dikomunikasikan warga dalam situasi saat ritual ngaibakan benda pusaka
ini berlangsung. Contohnya pada saat Pak Zaki I(44th
) selaku staf Dinas
Budaya dan Pariwisata membuka upacara ritual ngaibakan benda pusaka
dengan menggunakan bahasa sunda. Ketika memberikan sambutan, Pak
Zaki menjelaskan maksud dan tujuan dari ritual tersebut. “Simkuring
ngucapkeun wilujeung sumping. Hadirin, siram jimat ieu anu ditinggal
karuhun ieu, aya dina rahmat sareng shalawatna anu mudah-mudahan aya
hikmah sareng manfaatna”, (saya mengucapkan selamat datang. Hadirin,
siram jimat yang ditinggalkan oleh leluhur ini ada dalam rakhmat dan
sholawatNya yang mudah-mudahan ada hikmah dan manfaatnya).98
Setelah memeberikan sambutan pemangku adat langsung
memulai acara ritual tersebut dengan membacakan doa dan
dzikir.merupakan tradisi turun temurun dari para karuhun dan wajib kita
lestarikan hingga ke generasi selanjutnya.
2.8. Urutan Tindakan
Urutan tindakan. Komponen ini mengacu pada nada dan semangat
saat satu pesan disampaikan. Urutan tindakan yang dilakukan oleh
98
Wawancaara dengan Pak Zaki Munawar (Kordinator Staf Cagar Budaya), Garut 26 september 2016.
60
masyarakat Kampung Pulo memiliki makna yang beragam dimulai sejak
sebelum tradisi ini dilaksanakan hingga ketika tradisi itu diselenggarakan.
Salah satu contoh yang merupakan urutan tindakan ialah, pada saat
Ketua Adat dengan khidmat membaca sholawatan dengan nada yang pelan
dan khusyuk sehingga membuat para pendengarnya menghayati di setiap
alunan-alunan lafaz Allah dan Rassullulah SAW dengan khusyuk.
2.9. Kaidah Interaksi
Komunikasi adalah interaksi, dimana yang menghubugkan setiap
manusia adalah komunikasi. Pada saat kita berinteraksi dengan orang lain
pasti akan menciptakaan sebuah komunikasi.99
Interaksi yang terjalin antar
masyarakat Kampung Pulo sangatlah baik sehingga sampai saat ini tidak
pernah terjadi perselisihan yang besar sehingga menimbulkan kecemburuan
sosial. Karena masyarakat Kampung Pulo ini warganya sangat antusias
antara satu sama lain, saling peduli, gotong royong dan terpenting mereka
mengutamakan adanya ikatan tali persaudaraan satu sama lain.
Interaksi yang terjadi antara masyarakat Kampung Pulo dengan
masyarakat luar Kampung Pulo terjalin baik dan tidak ada masalah yang
terpenting mereka satu seiring, seragam dan sejalur dan yang terpenting
ialah tidak adanya perbedaan sepaham dalam ritual ngaibakan benda
pusaka khususnya. Contoh, ritual adat yang dipakai di Kampung Pulo
seperti yang sudah ditentukan maka mereka tidak boleh mengubahnya dan
ikut andil dalam hal ritual tersebut. karena itu merupakan suatu ritual yang
sakral dan tidak bisa dirubah-rubah sejak zaman dulu hingga saat ini.
99
Engkus Kuswarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 43
61
Kita seiring seragam sejalur yang terpenting tidak ada perbedaan
sepaham, contoh ritual adat yang dipakai di Kampung Pulo seperti ini maka
mereka pun harus mengikutinya.
2.10. Norma-norma Interpretasi
Komponan ini mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi dan juga mengacu pada penafsiran terhadap ujaran yang
disampaikan dari lawan bicara. Penelitian ini menunjukan adanya norma
dalam berinteraksi antar sesama warga Kampung Pulo ketika
menyelenggarakan tradisi ritual ngaibakan benda pusaka tersebut.
Tindakan itu didasari atas kebiasaan yang telah mengakar
didalam masyarakat. Kaum pria akan menjadi pemimpin dalam tradisi
ritual ngaibkan benda pusaka serta ada pula yang mencari bahan-bahan
atau media yang akan digunakan selama proses upacara berlangsung.
Sedangkan kaum wanita memasak makanan dan minuman. Kedudukan pria
dan wanita telah diatur dalam adat masyarakat Kampung Pulo. Walaupun
di dalam sejarahnya Kampung Pulo yang tinggi jabatanya ialah wanita
akan tetapi tetap laki-lakilah yang memimpin baik di keluarga maupun di
lingkungan Kampung Pulo, karena mereka telah diberi batasan-batasan
atau job description yang jelas.
Aturan pakaian yang digunakan ketua adat selama proses
upacara ialah pakaian taqwa dan bersih. Selama upacara ritual ini
berlangsung tingkah laku dalam upacara ritual inipun harus dijaga karena
apabila ada kesalahan sedikit saja maka akan fatal akibatnya. Pantangan
yang ada dalam ritual tidak boleh meminum air yang sudah tercampur
62
dengan kembang. Karena sering sekali masyarakat menyalah gunakan air
kembang tersebut, air yang sudah tercampur dengan kembang itu
sebenarnya hanya berfungsi untuk membersihkan benda-benda pusaka
tidak untuk dikonsumsi untuk warga yang mengikuti ritual tersebut. Maka
dari itu ketua adat sudah menyiapkan air bersih dan air kotor guna untuk
mereka manfaatkan dengan baik.
Gambar, 4.2
Gambar ini menunjukan pada saat membersihkan benda pusaka
3. Tindak Komunikatif dalam Ritual Adat Ngaibakan Benda Pusaka
Komponen terakhir dalam aktivitas komunikasi adalah tindak
komunikasi. Tindak komunikasi merupakan bagian dari peristiwa
komunikasi yang bersifat koterminus dengan fungsi interaksi tunggal seperti
penyataan referensial, permohonan dan perintah verbal atau nonverbal.
63
Tindak komunikasi merupakan level yang sederhana namun sulit karena
mempunyai perbedaan makna yang sangat tipis dalam kajian etnografi.100
Mengacu pada pernyataan Hymes itu, penulis lantas mengaitkan
dengan penelitian ini bahwa masyarakat Kampung Pulo memiliki kode atau
isyarat yang tertanam dan disepakati bersama. Kode itu memiliki beragam
bentuk dan makna.
Menurut Dedy Mulyana (2007:343) secara sederhana pesan
nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan
nonverbal sangat berpengaruh dalam berkomunikasi. Sebagaimana kata-
kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal melainkan terikat
dengan budaya, jadi dipelajari bukan bawaaan. Sedikit saja isyarat
nonverbal yang merupakan bawaan. Dalam suatu budaya boleh jadi terdapat
suatu bahasa nonverbal, semisal bahasa tubuh, agama, usia, pekerjaan, letak
geografis dan sebagainya. Bersama isyarat verbal dan isyarat kontekstual,
pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman
komunikasi.101
Gambar 4.3
100
Engkus Kuswarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi, h. 42. 101
Dedy Mulyana, Pengantar Ilmu Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2007), h. 343.
64
Pada gambar 4.3 merupakan komunikasi nonverbal yang sedang
dilakukan oleh ketua adat ritual, gerak tubuh yang di lakukan itu merupakan
gerakan dibawah alam kesadaran tersendiri. Pak umar pada saat itu berkata
bahwasanya yang menggerakan tubuhnya saat ritual ialah karuhun yang
memasuki dirinya.102
C. Pembahasan
Pada pembaahasan disini penulis akan menguraikan bagian khusus yang
dibuat untuk membahas temuan-temuan yang ada pada pesan-pesan nonverbal
pada ritual ngaibaiakan benda pusaka ini dan terdapat pula simbol serta makna
yang terkadung dari media-media yang digunakan. Beberapa temuan yang
mengarah pada pesan nonverbal antara lain sebagai berikut:
1. Sesajen
Sesajen atau sesaji yang berarti menyediakan sajian, pujaan dan
sembahan. Sesaji di dalam pelaksanaan ngaibakan benda pusaka merupakan
suatu sarana dan tatanan untuk peringatan kepada diri sendiri, terutama yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting. Tujuan dari sesaji itu
adalah sebagai sarana utama guna tercapainya suatu tujuan permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.103
Bagan dibawah ini adalah media-media
sesaji yang digunakan, berikut penjabaranya.
Tabel 4.1. Temuan Klasifikasinya
102
Wawancara dengan Pak Umar, Garut 26 september 2016. 103
Wawancara Pribadi dengan Kang Angga (Komunitas Asli Garut), Kadungora Garut, 18 Oktober 2016.
65
FOTO KETERANGAN
Rokok
Roko yang digunakan sebagai sesaji ini macam-
macam namanya namun mereka menyebutkanya
dengan nama cerutu dan ada juga roko biasa.
Makna dari cerutu ini ialah melambang simbol
dari kejujuran, karena cerutu baik luar maupun
dalamnya terbuat dari tembako. Jadi dapat
disimpulkan bahwa untuk menjadi manusia baik
luar maupun dalamnya harus jujur.
Makna dari kopi manis, pahit dan teh
manis dan teh pahit.
Kopi hitam pahit dan kopi hitam manis, kopi
hitam melambangkan istilahnya perjalanan
hidup, sedangkan dari rasa manis dan pahitnya
kita merasakan perjalanan hidup kita seperti apa.
Selain itu ada teh manis dan the pahit, jadi kita
harus hidup seperti teh, karena apabila teh
mengendap lama-lama maka dia akan turun.
Dari filosofi yang semua ini dapat disimpulkan
bawaha kita hidup harus menapak ke bumi,
istilahnya kata lainya ialah harus lebih rendah
hati.
Kelapa Kelapa dalam bahasa sunda “kalapa” yang
artinya melambangkan waktu. “Kala” sama
dengan waktu sedangkan “pa” sama dengan
tempat. Mereka meyakini bahwa seseorag tidak
66
boleh terlepas dari waktu dan tempatnya. Selain
itu kelapa merupakan anti toksin, apabila
didalam benda pusaka tersebut terdapat racun,
karat dan lain sebagainya maka kelapa yang
diminum gunanya untuk menetralisirkan
seseorang sehingga tidak menimbulkan efek
samping yang berlebihan dan telur diatas kelapa
melambangkan sebagai cikal bakal kehidupan.
Ikan Julung-julung dan Ikan Emas
Ikan julung-julung atau ikan lele yang ada
patilnya melambangkan bahwa, jika kita
memelihara dan merawat benda pusaka tidak
boleh sembarangan dan harus berhati-hati. Ikan
julung-julung disandingkan dengan ikan emas,
karena ikan emas itu dilambangkan sebagai ikan
yang mulia, jika kita bisa berhati-hati maka kita
dapat membawa benda pusaka ini untuk menuju
sesuatu yang lebih mulia.
67
104
Wawancara pribadi dengan Kang Angga, pada tanggal 18 Oktober 2016 105
Wawancara pribadi dengan Pak Umar, pada tanggal 26 September 2016
Tumpeng Tumpeng menggambarkan kehendak dan cita-
cita yang dapat memberikan kesejahteraan
jasmani dan kebahagiaan rohani. Cita-cita
senantiasa harus mawas diri dan
memperhitungkan daya lebih dari kelemahan-
kelemaha yang ada pada dirinya. Cita-cita
haruslah merupakan yang pantas
dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu dalam usaha meningkatkan hubungan
manusia dengan alam dan lingkungan, manusia
dengan manusia lain maupu dirinya sendiri
sesuai dengan berkat hidup dan kehidupan.104
Rujak-rujakan
Rujak-rujakan ini terbuat dari pisang, kelapa,
roti. Makanan ini diseduh dan dicampurkan.
Makanan ini menurut dari data yang saya dapat
dari informan merupakan kesukaan dari para
lelehurnya. Dan tidak ada makna tersendiri
didalamnya.105
Kupat Lepet Kupat lepet ini memiliki makna dibalik namanya
yaitu, laku papat ngaku lepat yang artinya laku
papat artinya empat tindakan sedangkan ngaku
lepat mengakui kesalahan. Empat tindakanya
68
2. Benda Pusaka
Benda keramat atau benda pusaka ialah benda-benda yang dipercaya
memiliki kekuatan ghaib yang didalamnya terdapat khodam. Benda keramat
atau benda pusaka banyak sekali bentuk dan jenisnya, namun yang lebih
sering digunakan oleh masyarakat Kampung Pulo ialah keris, kujang,
tombak dan batu. Supaya khodam yang ada di dalam benda pusaka tersebut
tidak punah, maka biasanya dilakukan penjamasan atau ritual perawatan dan
pembersihan. Ritual ngaibakan benda pusaka merupakan salah satu momen
penting bagi masyrakat Kampung Pulo dan masyarakat luar Kampung Pulo
yaitu, memohon ampun, wujud kepedulian
sesama umat manusia, umat muslim dituntut
untuk saling memafkan, menjaga kesucian lahir
dan batin. Dapat penulis simpulkan bahwasanya
kita sebagai umat muslim harus saling
memafkan satu sama lain.
Makanan Ringan atau Hahampangan
Filosofi dari hahampangan, diambil dari kata
“hampang” yang artinya ringan, namun disisi
lain hampang itu artinya mudah. Jadi
kesimpulanya hahampangan ini untuk
memudahkan supaya semuanya berjalan dengan
lancar.
69
khususnya yang memiliki benda pusaka atau benda keramat. Dalam ritual
tersebut, barang-barang lain yang dianggap berkekuatan di luar nalar
dibersihkan dengan air dari tujuh mata air, kembang tujuh dan minyak
wangi tertentu.106
Ketua kuncen Kampung Pulo menjelaskan, tujuan dari ritual
ngaibakan benda pusaka ini ialah, supaya benda-benda pusaka yang telah
dimandikab tersebut bebas dari sengkala (marabahaya), karena masyarakat
berpendapat setiap benda pusaka memiliki kekuatan di luar nalar yang dapat
membahayakan pemiliknya jika tidak dirawat. Masyarakat Kampung Pulo
melakukan ritual ini tidak untuk mempersekutukan Allah melainkan hanya
untuk mempertahankan budaya yang sudah ada dari para leluhurnya.107
a. Keris
Ilmu keris adalah ilmu lambang, mengerti dan
memahami bahasa lambang mengerti dan memahami bahasa
lambang mengandalkan peradaban rasa (sense), bukan hanya
memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang
berkekuatan magis untuk mengangkat harkat dan martabat
manusia. Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang
dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya
hidup secara benar, baik dan seimbang.108
Bagi masyarakat jawa hidup ini penuh dengan
paralambang yang masih samar-samar dan perlu dicari dan
diketemukan melalui laku, tirakat maupun dalam berbagai 106
Wawancara pribadi dengan Pak Umar, Pada tanggal 26 September 2016 107
Wawancara pribadi dengan Pak Umar, Pada tanggal 26 September 2016 108
Ki Juru Bangunjiwo, ”Filosofi Sebuah Keris”, artikel diakses pada tanggal 3 Februari 2017, dari https://aurapusaka.wordpress.com
70
aktivitas sehari-hari, misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng,
hahampangan, kupat lepet dsb), kembang tujuh rupa, tujuh mata
air, pakaian taqwa, bentuk bangunan (prisma, limas, persegi
panjang dsb), termasuk juga keris. Didalam benda-benda sehari-
hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan
piwurang yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup
hingga kembali bersatu dengan sang pencipta. Berikut di bawah
ini dokumentasi keris yang telah diabadikan oleh penulis:109
Gambar 4.4
Gambar ini merupakan bentuk keris yang dilengkapi dengan
penutupnya.
Gambar 4.5
109
Wawancara dengan kang ibnu, (Dosen Institut Seni Budaya Bandung), pada tanggal 21 Desember 2016
71
Beberapa bentuk keris yang ada di Kampung Pulo
b. Kujang
Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat
Jawa Barat yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan
magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah “kujang”
berasal dari kata kudhiyang (Kudi dan Hyang) kujang juga
berasal dari kata Ujang yang artinya manusia yang sakti
sebagaimana Prabu Siliwangi. Kudi diambil dari bahasa Sunda
Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti,
sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau
musuh atau menghindari bahaya. Bagi masyarakat sunda Hyang
mempunyai arti dan kedudukan diatas Dewa, hal ini tercermin di
dalam ajaran “Desa Prebakti” yang tercermin dalam naskah
Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa Bakti di
Hyang”. 110
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai
pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para
110
Kujang wikipedia bahasa Indonesia ensklopedia bebas, artikel diakses pada tanggal 3 Februari 2017, dari https://id.m.wikipedia.org
72
dewa dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini
Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan
masyarakat Jawa Barat sebagai lambang atau simbol dengan
nilai-nilai filosofi yang terkandung didalamnya.
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang
sangat luhur terhadap kujang sebagai janji untuk meneruskan
perjuangan sepuh karuhun atau nenek moyang yaitu menegakan
cara ciri manusia yaitu cinta kasih, etika berperilaku,
etikaberbahasa, budi daya budai basa dan ngaji badan dan cara
ciri bangsa yaitu rupa, bahasa, adat, akasara, kebudayaan.
Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari kujang yang
bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat
perang ataupun hanta sekedar digunakan sebagai alat bantu
lainya111
. Berikut di bawah ini beberapa dokumentasi keris yang
telah diabadikan oleh penulis:
Gambar 4.6
Gambar ini merupakan bentuk dari Kujang yang ada di masyarakat
Kampung Pulo.
111
Wawancara dengan pak umar
73
Gambar 4.7 Sebelum memulai ritual ketua adat terlebih dahulu menyampaikan
pesanya
3. Kembang Tujuh Rupa
Kembang atau bunga. Bermakna filosofis agar kita dan keluarga
senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur. Keharuman
merupakan kiasan berkah-safa’at yang berlimpah dari para leluhur, sehingga
dapat mengalir kepada anak turunnya. Kembang tujuh rupa ini, berupa
kembang setaman ditambah jenis bunga-bunga lainnya sampai berjumlah
tujuh macam. Harumnya dari bunga mampu menurunkan 5% dari kesadaran
manusia, sehingga fungsinya menjadikan kita untuk lebih mudah khusyu,
contohnya dalam sholat kita diwajibkan terlebih dahulu untuk memakai
74
wangi-wangian sehingga membuat kita akan lebih khusyu dalam
sholatnya.112
Kembang tujuh rupa, dimaksudkan supaya apa yang sedang
menjadi tujuan hidupnya dapat terkabul dan terlaksana. Tujuh (Jawa; pitu)
bermakna sebuah harapan untuk mendapatkan pitulungan atau pertolongan
dari tuhan yang Mahakuasa.
Kembang yang wajib ada pada saat ritual ngaibakan benda pusaka
ialah kembang kenanga, kembang melathi dan kembang kanthil, karena
ketiga kembang tersebut memiliki makna tersirat yaitu kembang-kembang
ini dipakai untuk mengembalikan energi dari benda pusaka yang sudah tidak
stabil, maka dari itu ketiga kembang tersebut harus selalu ada dalam acara
ritual ngaibakan benda pusaka.113
Gambar, 4.8
Kembang tujuh rupa yang sudah dicampurkan dengan air suci dari 7 mata air.
4. Makna dari Tujuh Mata Air
Sebelum melaksanakan ritual ngaibakan benda pusaka tiga hari
sebelumnya masyarakat Kampung Pulo berbagi tugas untuk mengambil
112
Wawancara dengan Kang Ibnu, (Dosen Budaya dari Institut Seni Buadaya Bandung). Pada tanggal 21 Desember 2016.
113 Wawara dengan Kang Ibnu , Bandung, pada tanggal 21 Desember 2016.
75
air yang dipimpin oleh ketua adat Kampung Pulo, Desa Cangkuang,
Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Dengan mengenakan baju yang rapih
dan sopan yang dilengkapi dengan iket dibagian kepala. Setelah itu dibagi
tugasnya ada yang membawa kendi dan satu orang ada yang membakar
kemenyan sebagai wewangian. Mereka akan melakukan ritual yang
dinamakan dengan Ngala Cai Kukulu, yaitu mengumpulkan air dari tujuh
sumber mata air yang dianggap suci.114
Ketua adat diikuti para masyarakat Kampung Pulo kemudian
bergerak mengambil air dari satu sumur suci ke sumur yang lainnya. Jarak
ke tujuh sumber mata air yang dianggap suci tidak terlalu jauh satu
dengan lainnya. Semuanya masih berada dalam kawasan Desa Pasir Eurih
dimana dahulu diyakini sebagai tempat salah satu Kasepuhan Sunda
berada. Mata air suci yang diambil antara lain, Mata Air Cikembul,
Cipondok, Ciburial, Ciputri, Ciguntur, Citanduy dan Situ Kumbang
Bungur.115
Setelah semua mata air sudah terkumpul di dalam kendi yang
dibawa oleh warga, kemudian air suci yang sudah terkumpul dipisahkan
ada yang untuk diminum dan ada yang untuk disatukan dengan kembang
tujuh rupa. Satu per satu warga memasukan air suci yang diambilnya ke
dalam tempayan yang ditutup kain hitam dan putih sebagai simbol antara
yang bersih dan kotor.
Campuran tujuh mata air suci tersebut terus dijaga oleh para
kokolot hingga menjelang malam hari. Pada malam harinya, tempayan
114
Wawancara pribadi dengan Pak Umar 115
Wawancara pribadi dengan Pak Umar, pada tanggal 26 Desember 2016
76
yang sudah berisi air tersebut kemudian dikelilingi oleh para kokolot dan
warga Kampung Pulo dan masyarakat luar Kampung Pulo. Hidangan
tumpeng, kue dan kembang tujuh rupa, serta bakaran kemenyan menjadi
pelengkapnya. Dipimpin oleh ketua adat Kampung Pulo yaitu Pak Umar,
campuran air suci tersebut kemudian didoakan dan dibacakan ayat Al
Quran. Setelah air didoakan, para warga Kampung Pulo dan warga yang
berada di luar Kampung Pulo mulai membersihkan benda-benda pusaka
mereka yang telah mereka bawa. Setelah membersihkan benda-benda
pusakanya dengan air dan campuran kembang tujuh rupa ada pula yang
memisahkan air bersihnya yang sudah didoakan untuk dibawa pulang.
Setelah itu mereka bersama-sama menikmati hidangan yang ada yang
sudah dihidangkan dan disiapkan oleh para ibu-ibu di Kampung Pulo.
Bagi masyarakat Kasepuhan Sunda di masa lalu, air menjadi salah
satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Tidak menghargai air
berarti tidak menghargai alam, jauh dari air akan mendatangkan
malapetaka. Ritual menyatukan air yang sudah ada sejak zaman Pajajaran
ini mempunyai arti penting yang menandakan persatuan dan kerukunan.
Selain juga sebagai usaha untuk menjaga hubungan baik dengan alam,
khususnya unsur air sebagai penopang utama kehidupan manusia.
Gambar 4.9.
77
air-air yang disimpan diwadah dimanfaatkan oleh masyarakar untuk
minum karena tidak dicampurkan dengan air kembang.
Gambar. 4.10.
Gambar air yang ditaro dibotol ini adalah air yang sudah dicampurkan dengan
kembang.
BAB V
PENUTUP
78
A. Simpulan
Setelah melihat uraian yang diangkat pada empat bab sebelumnya,
maka penulis akan menarik simpulan ihwal makna komunikasi ritual dalam
Tradisi Ritual Ngaibakan Benda Pusaka yang digelar oleh Masyarakat
Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut.
Ketika merumuskan simpulan ini penulis mengutamakan pendekatan
etnografi komunikasi Dell Hymes berdasarkan situasi, peristiwa dan tindakan
komunikasi. Berdasarkan analisis itu, maka berikut simpulannya:
1. Situasi Komunikasi
Penulis berasumsi bahwa konteks yang dimaksud dalam
situasi komunikasi adalah bahasa nonverbal yang dipakai
masyarakat ketika menyelenggarakan tradisi ritual adat ngaibakan
benda pusaka. Dalam hal ini komunikasi nonverbal yang dipakai
merupakan suatu konteks komunikasi yang dilakukan masyarakat
ketika mengelar tradisi tersebut.
2. Peristiwa Komunikasi
Ritual ngaibakan benda pusaka merupakan sebuah tradisi
tahunan yang diselenggarakan setiap tanggal 14 Maulud di
Kabupaten Garut. Malam itu, masyarakat Kampung Pulo akan
merayakannya dengan rangkaian Rebo Wekasan dan Mapag
Bulan. Mereka percaya, tujuan dari memandikan benda pusaka
adalah menjalin ikatan batin antara pemegang pusaka dengan
khodam yang terdapat didalamnya sehingga terwujud keselarasan
antara pemilik dengan benda tersebut.
78
79
Tradisi ngaibakan benda pusaka biasanya berlangsung dari
tengah malam ketika bulan purnama terang menderang, sebab
masyarakat Kampung Pulo meyakini, saat itulah doa-doa mereka
akan cepat sampai kepada Yang Maha Kuasa.
3. Tindakan Komunikasi
Penulis menemukan bahwa tindakan komunikasi yang
terjadi di dalam ritual ngaibakan benda pusaka yang digelar oleh
masyarakat Kampung Pulo Desa Cangkuang, Kabupaten Garut
adalah ihwal pemberian makna nonverbal berupa kode berdasarkan
warisan budaya yang diturunkan secara temurun, bukan berdasaran
kesepakatan mereka. Makna nonverbal ini dibuat dengan
sederhana sehingga mudah dimengerti. Makna nonverbal yang
paling banyak berupa artefak.
B. Saran
Setelah penulis melakukan penelitian mengenai tradisi ritual ngaibakan
benda pusaka masayarakat Kampung Pulo, penulis menyadari dalam karya tulis
ini mempunyai banyak kekurangan. Dalam hal ini penulis akan memberikan
sedikit saran kepada semua pihak.
a. Saran Teoretis
1. Kaitanya dalam ilmu komunikasi diharapkan agar lebih banyak
penelitian tentang kebudayaan terutama kebudayaan yang unik dan
dikaitkan dengan etnografi komunikasi. Karena untuk penelitian tentang
kebudayaan dirasa sangat kurang dan referensi bukupun jarang didapat.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan untuk peneliti dan untik kita
semua khusunya bagi para pemula yang ingin meneliti tentang budaya
80
dalam ruang lingkup etnografi komunikasi. Peneliti berharap pula
dengan skripsi ini peneliti ikut serta dalam melestarikan budaya
Indonesia yang sangat beragam dan sangat berharga ini.
b. Saran Praktis
1. Untuk masayarakat Kampung Pulo tetap menjaga kebudayaan nenek
moyang sesuai dengan ajaranya. Seperti tradisi ritual adat ngaibakan
benda pusaka yang unik agar tetap dijaga kelestarianya, karena untuk
menjaga dan melestarikan tradisi lebih sulit daripada menghilangkanya.
2. Diharapkan kepada generasi penerus khususnya masyarakat Kampung
Pulo harus lebih mengerti makna dari upacara ritual adat ngaiabakan
benda pusaka itu sendiri, simbol-simbol atau media-media yang
digunakan pada saat upacara. Sehingga ini dapat menambah khazanah
ilmu kepada masyarakat Kampung Pulo itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, Jakarta: Universitas Terbuka, 1995.
Al Musowir, Komunikasi Ritual Adat Masyarakat Seba Studi Etnografi Komunikasi
Masyarakat Seba, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik
Universitas Komputer, diakses pada 29 April 2016.
Alo Liliweri, Makna Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: PT
LKIS Pelangi Aksara 2007.
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Jakarta: PT Bumi Aksara 2001.
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
81
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi
Agama, Jakarta: Rajagrafindo Persada
Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Komunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.
Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung 2014.
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowati, Komunikasi Antar Budaya: Konsep dan
Aplikasinya, Jakarta: Jala Permata, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional, Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut, Upacara Tradisional, Garut:
Disbudpar 2014.
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif , Bandung: Alfabeta,
2010.
Dwi Ratna Dewi, Teori Komunikasi, Jakarta: Renata Pratama Media 2008
Engkus Kuswarno, Etnografi Komunikasi, Penerbit: Widya Padjajaran, 2008
Hafied Cangara, PengantarIlmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo 2006
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Bumi Aksara 2013.
James P. Spradley, Metode Etnografi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat. 1985
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhammad Nasir, Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Penerbit Atma Kencana Publishing 2013.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005.
Suranto A W, Komunikasi Sosial Budaya, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Tashadi, Upacara Tradisional DIY, Yogyakarta: Proyek inventaris dan dokumen
daerah, 1992.
81
82
Toto Sucipto, Potret Kehidupan Masyarakat Kampung Pulo, Bandung: Penelitian pada
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2003.
Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut
Victor Turner, Yogyakarta: Kanisius: 1990.
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Grasindo 2006.
Zakir Munawar, Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, Garut: 1 Juni 2001.
Jaringan:
Kalifa Society, “Etnografi: Model Pendekataan Kajian Budaya”, Artikel diakses
tanggal 6 September 2016, kalifasociety.blogspot.com/2011/07/etnografi-
model-pendekatan-kajian.html
Kujang wikipedia bahasa Indonesia ensklopedia bebas, artikel diakses pada tanggal 3
Februari 2017, dari https://id.m.wikipedia.org
Ki Juru Bangunjiwo, ”Filosofi Sebuah Keris”, artikel diakses pada tanggal 3 Februari
2017, dari https://aurapusaka.wordpress.com
DATA INFORMAN
Nama : Tatang Sanjaya
Umur : 65th
Alamat : Rumah Adat Kampung Pulo
Status : Kuncen, Juru Kunci.
Hari/tanggal : Sabtu, 24 Sepember 2016
Waktu :13.06 s/d 14.13
Tempat wawancara : Kediaman Pak Tatang
Bahasa yang digunakan: Bahasa sunda dan Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa saja larangan-larangan yang ada di Kampung Pulo?
Jawab: Kalo dulu larangan di Kampung Pulo ini ada banyak neng, kalo sekarang hanya
dipake beberapa saja, dulu kalo kita mau masuk ke rumah adat belum punya wudhu tidak
boleh masuk, sandal tidak boleh dipake, tidak boleh menggunakan paying, meludah
sembarangan tidak boleh dan bersiul sembarangan pun tidak boleh itu pada zamn dulu.
Sedangkan kalo saat ini hanya beberapa larangan yang bisa kita gunakan yaitu tidak
boleh ziarah kemakam Arief Muhammad dari selasa sore sampai dengan rabu sore, yang
kedua disini satu rumah tidak diperbolehkan memiliki dua keluarga didalamnya jadi
hanya boleh satu keluarga didalam rumah, yang ketiga disini tidak boleh membangun
rumah yang berbentuk jure, yang keempat disini kalo ada yang berkaitan dengan Arief
Muhammad mengenai hiburan tidak boleh membunyikan goong besar, yang kelima tidak
boleh menyimpan peliharan kaki empat yang besar di lingkungan kampung adat kenapa
tidak boleh memeilihara karena kalo binatang itu keluar dapat merusak tanaman-
tanaman yang ada dilingkungan Kampung Pulo terus banyak makam yang harus dijaga
dari kotoran yang ada makanya dari itu tidak diperbolehkan memilihara hewan kaki
empat.
2. Kenapa yang dapat menempatkan rumah di Kampung Pulo ini adalah perempuan?
Jawab: Rumah yang ada di Kampung Pulo ini merupakan tempat peninggalan dari
Mbah Dalem Arief Muhammad, ia memiliki anak tujuh, enam wanita dan satu anak laki-
laki yang disimbolkan dengan mushol dan yang hanya boleh menempati rumah adat ini
ialah anak perempuan karena yang ada peninggalan dari Mbah Dalem Arief Muhammad
itu ialah anak perempuan. hampir sama halnya dengan di Padang. Jika tidak punya anak
perempuan bisa diambil dari anak atau adik dari keluarga lain, yang terpenting ada
keturunan di kampung adat ini orang tuanya. Rata-rata keluarga yang sudah keluar dari
lingkungan kampung adat ini mayoritas masih berada di lingkungan Desa Cangkuang
ataupun di Garut.
3. Apakah Mbah Dalem Arief Muhammad memliki anak laki-laki?
Jawab: Mbah Dalem Arief Muhammad memiliki anak perempuan enam dan anak laki-
laki satu, yang disimbolkan dengan musola yang berada di tengah-tengah rumah
penduduk Kampung Pulo. Sejarah yang ada di budaya bahwasanya Mbah Dalem Arief
Muhammad ingin menyunatkan anaknya, dengan mengadakan hiburan, arak-arakan
atau pesta yang meriah. Si anak laki-lakinya dimasukan kedalam tandu yang berbentuk
jure/agus ngurundon terus diarak dihibur ku kuda lumping nah disitu lalu disambut
dengan rombongan gamelan yang membawa goong ageng atau goong besar, ketika
goong dipukul terjadilah hujan besar yang tidak bencana besar sehingga mengakibatkan
anaknya Arief Muhammad terjatuh berkali-kali dari tandu yang dia taiki sehingga
membuat anak laki-laki Arief Muhammad meninggal. Setelah kejadian itu Arief
Muhammad melarang keturunanya untuk membunyikan goong besar.
4. Upacara adat apa saja yang terdapat di Kampung Pulo ini ?
Jawab: Disini ada upacara adat yang diambil pada tanggal 14 Maulud, untuk yang
pertama pada tanggal 1 Maulud, disini acaranya ialah penyambutan bulan Maulud
yang digabungkan dengan acara Rebowekasan yang acaranya dilaksanakan diahir bulan
Safar. Manfaat atau kegunanya dari bulan tersebut sebagai symbol ditutupnya bulan
Sa’far sekaligus mempersiapkan untuk menyambut datangnya bulan Maulud, acara
tersebut digabungkan karena tanggung dengan acaranya Rebowekasan. Yang kedua
disini tanggal 12 Maulud diadakan syukuran besar atau syukuran mauludan yaitu pada
tanggal 12 Maulud itu kita hanya bertawasulan saja dan hanya diikuti oleh masyarakat
Kampung Pulo, namun kalo ada beberapa orang yang ingin mengikuti diperbolehkan.
Pada tanggal atau 14 Maulud atau 13 Maulud disini mengadakan ritual memandikan
benda pusaka yang merupakan acara puncak dari ritual adat yang ada di Kampung Pulo
yang dilaksanakanya pada puku 00.00 wib dan yang terahir yang keempat disini
mengadakan lagi syukuran lagi bertawasulan lagi yang dimana merupakan malam
terahir atau habisnya bulan Malud yang ditutup dengan makana-makan bersama oleh
para masyarakat di Kampung Pulo. Ini merupakan beberapa upacara ritual adat yang
ada di Kampung Pulo pada bulan Maulud selain itu ada upacara adat perkawinan,
kehamilan, yang berkaitan dengan bayi yang baru lahir dan yang berkaitan dengan
bidang pertanian pada saat mendirikan rumah.
DATA INFORMAN
Nama : Umar
Tahun Lahir : Garut, 20 Juli 1970
Alamat : Rumah Adat Kampung Pulo
Status : Wakil Kuncen
Hari/Tanggal : Kamis, 01 September 2016
Waktu : 11.15 s/d 13.08
Tempat wawancara : Cagar Budaya Candi Cangkuang
Bahasa yang digunakan: Bahasa Sunda dan Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa saja persiapan yang diperlukan untuk ritual ngaibakan benda pusaka ini?
Jawab: Kalo untuk persiapan ritual ngaibakan benda pusaka itu banyak ya, pertama kita
harus ambil air ke tujuh mata air atau tujuh sumur, kedua kita itu harus menyediakan
seperti kupat, dupi nah itu ya seperti kembang, minyak, kan kalo kembang kan tidak
sembarangan untuk memetik kembang dan minyak tidak sembarangan untuk beli minyak
nah dan lain-lainya. Sama sih semuanya dari ketiga persiapan itu bapa harus bisa
mengejar. Untuk persiapannya itu seminggu sebelum ritual namun kalo yang
memuncaknya itu dari 2 hari sebelum ritual. Jadi seminggu itukan kita punya rencana,
bapak ngobrol dengan pak kuncen dan yang lainya kita untuk menentukan tempat yang
akan digunakan untuk ritual ngaibakan benda pusaka ini. Lalu langkah selanjutnya
mempersiapkan syarat-syaratnya yang harus disiapkan. Dan itu masing-masing dibagi
tugas, misalnya pak dirman ditugaskan untuk mengambil kelapa dan ibu-ibu bantu
masak dan lain sebagainya. Dan pak kuncen bertugas sebagai pencari dana untuk
kelangsungan acara ritual ngaibakan benda pusaka tersebut. Jadi disini semuanya saling
membantu satu sama lain karena disetiap rumah itu ada benda pusakanya jadi walaupun
tidak bisa membantu dengan harta bisa membantunya juga dengan tenaga. Tapi kita
jangan terpaksa harus dengan ke ikhlasan. Jadi disini itu bagaimana kesanggupanya
saja tidak memaksakan misalnya pak dirman harus mengambil kelapa kalo mampu ya
silahkan kalo tidak pun itu tidak menjadi masalah bisa digantikan dengan yang lain.
Initinya kembang tujuh rupa dan tujuh warna, air harus tujuh mata air dan minyak-
minyakan seperti melati, kenanga, cendana, misik, japaron dan rook-rokonya ada rook
putih, roko merah, dari roko daun kaung, atau serutu dan roko-roko lainya itu semua
harus ada dan komplit karena kalo tidak ada maka ritual ngaibakan benda pusaka ini
tidak akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
2. Apa saja yang harus dipersiapkan untuk proses pengambilan tujuh mata airnya?
Jawab: Yang pasti untuk pengambilan air ini harus tiga hari sebelum pelaksanaan
upacara ritualnya karena tempat untuk pengambilan airnya ini sangatlah jauh dan tidak
bisa diperkirakan waktu tempuhnya karena kita ngambil langsung dimata air
pegunungan. Seandainya tidak ada yang bisa mengambil dari tujuh mata air karena
permasalahan waktu dan lain sebagainya itu bisa diganti dengan tujuh sumur yang ada.
Untuk pengambilan airnya itu minimal tiga orang atau lebih yang mengambilnya karena
ada beberapa yang membawa wadah untuk pengambilan airnya dan lain sebagainya.
Dan untuk pengambilan airnya itu ada tatacaranya sendiri tidak boleh asal ngambil saja
kita harus diniatkan dulu, izin dulu kepada yang penjaga mata air tersebut dan
sebagainya. Karena itu merupakan etika atau tatacara yang ada selama pengambilan air
tersebut.
3. Menurut bapak apa makna dari kembang tujuh rupa, tujuh mata air dan simbol
yang ada di dalam ritual tersebut?
Jawab: Sebelumnya bapak minta maaf neng, karena bapak ini hanya melanjutkan jejak
dari orang tua, air diambilnya harus seperti ini, airnya harus yang bersih dari matanya
dan sumbernya. Begitu neng yang biasa orang tua bapa sampaikan. Nah yang pasti dari
setiap mata air pasti ada yang menunggunya dan kita harus meminta dulu jadi air itu
dipake sama kita itu bermanfaat, jadi jangan disalahgunakan karena memintanya kita
kepada penjaga yang dimata air disana tetep kita meminta kepada Allah, namun pasti di
tempat-tempat tersebut pasti ada roh-rohnya makanya kita harus minta izin dulu supaya
kita memakainya bermanfaat. Jadi membasuh benda pusaka dengan air tersebut supaya
diberikan kelancaran. Itu neng yang bapak maaf, bapak cuman mengikuti saja apa yang
disuruh oleh para leluhur.
4. Apa saja makanan yang harus disajikan untuk ritual ngaibakan benda pusaka itu
pak?
Jawab: Untuk makananya ada rujak-rujakan, kelapa muda, telur ayam terus ada sesaji
lainya seperti kopi manis kopi pait dan lain-lainya. Dan disini itukan ada ikan yang
susah diambil seperti panglele bangkerok jojonglong itu harus ada. Jadi Persiapan-
persiapan yang tadi itu gabisa dilakukan satu hari. Kenapa? Karena cara ngambilnya
misalkan ikan bangkerok itukan gabisa satu hari karena? Danau disini itu luas jadi agak
sulit untuk mengambilmya. Kalo bukan miliknya kita atau bukan miliknya leluhur bapak
disini bapak juga susah ngambilnya kadang-kadang make kadang-kadang engga kalo
ikan lele itu harus ada, yang bisa diganti itu ikan jongjolong bisa diganti dengan nilem,
atau ikan mas merah.
5. Apa fungsi dan tujuan dari ritual adat ini?
Jawab: Tujuanya kita ini adalah menjaga kelestarian dari para leluhur, apalagi benda
pusaka atau barang titipan dari para leluhur ini kita harus menjaganya karena kita
dititipkan oleh para leluhur dititipkan sama Mbah Dalem Arief Muhammad yang
menitipkan kepada kita itu apa bisa menjaga atau merawatnya. Kita itu harus
menghargai apa yang sudah dititipkan oleh orang tua kita, kenapa benda tersebut
dititipkan karena para lelehur kita yakin bahwa kita dapat menjaga dan merawatnya dan
fungsinya dari yang tadi itu kita tetap meminta kepada Allah semooga orang yang
dititipkan benda pusaka ini kita bisa merawatnya dan semoga orang yang dititipkan
benda pusaka ini segala sesuatunya diberikan kelancaran. Intinya kita tetep menghargai
pemberian dari para leluhur kita dan kita tetap memintanya kepada Allah.
DATA INFORMAN
Nama : Zaki Munawar
Tahun Lahir : Garut, 27 April 1972
Alamat : Desa Cangkuang
Status : Kordinator Staf Cagar Budaya Candi Cangkuang.
Hari/Tanggal : 22 Oktober 2016
Waktu wawancara : 11.25 – 12.25
Tempat wawancara : Cagar Budaya
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa bedanya ritual yang dulu dengan sekarang? Apa ada yang dihilangkan?
Jawab: Kalo sekarangkan banyak yang sudah mengerti bahwa itu bukan tradisi islam,
kalo dulu kan masih sangat kental dengan ritual-ritual. Pada saat pelaksanaan mereka
pesertanya tidak sebanyaak tempo dulu tidak seantusias tempo dulu , karena ada
beberapa ajaran yang tidak memperbolehkan kan takutnya terjadinya syirikan itu
menurut beberapa pandangan yang saat ini sudah mulai berkembang dimasyarakat beda
dengan saat dulu itu karena banyak masyarakat yang belum paham maka banyak yang
mengikuti ritual tersebut dan dulu itu sebelum acara ritual dimulai masyarakat ziarah
dulu ke makam –makam nenek moyangnya mereka itu selama seminggu namanya
ngebungbang malem-malem pakai obor ke tempat makam-makam sesepuh dulu.
2. Persiapan untuk mengambil air itu berapa lama pak?
Jawab: Kalo itu sehari juga bisa kayanya cuman kalo untuk detailnye ke pak umar aja.
Untuk orangnya itu siapa saja bebas yang penting airnya bisa diambil dari tujuh mata
air, kalo ilmiahnya kita ngambil air langsung dari sumbernya itukan akan beda kadar
airnya, karena lingkungan terus kadar tercemarnya terus kalo apabila hutanya masih
pada lebat itu akan beda rasanya dan jadi lebih sakral. yang saya tau itu untuk
pengambilan airnya. Tapi yang saya tau inti dari pengambilan air itu kalo tempo dulu itu
ada kemungkinan besar dengan menggunakan sebelum mengambil itu ada bacaan-
bacaan sebelumnya karena itu untuk air yang dituahkan.
3. Menurut bapak makna dari tujuh mata air, kembang tujuh rupa itu apa?
Jawab: Kalo menurut saya itu tergantung makna masing-masing sih itu tergantung
mereka memaknai symbol-simbol yang ada itu sebelum peradaban islam, tapi kalo untuk
air itu sendiri kalo sudah digabungkan dengan air-air suci itu akan memberikan spirit
atau kekuatan itu sendiri. dan intinya juga manusia itu tidak bisa terlepas dari air kalo
kata orang hindu mah tirte, kalo kita terhindar dari tirte atau air maka kita akan mati
jadi pada intinya manusia tidak bisa terlepas dari air atau alam, karena itu merupakan
sumber kehidupan. Tapi kalo untuk memaknai Bungan tujuh rupa nya itu saya kurang
paham.
4. Kalo sebelum ritual itu apakah ada puasa-puasnya terlebih dahulu?
Jawab: Kalo itu kurang tau, kalo dulu itu biasanya mereka mengadakan acara-acara
kalo didalam hindukan biasanya ada acara puasa. Tapi kalo mereka tidak sepertinya,
karena didalem prambul itu sekarang prinsipnya ngibakan pusaka ini bukan untuk
migusti melainkan untuk mumusti jadi ngaibakan benda pusaka ini bukan kita untuk
menyembah kepada benda atau menduakan tuhan melainkan hanya untuk melestarikan
budaya dari para leluhur kita saja dan merawat benda pusaka tersebut saja.
5. Apa yang dimaksud dengan ngabumbang?
Jawab: Ngabumbang itu sama halnya dengan ziarah, pada bulan maulud seminggu
sebelum acara puncak ritual ngaibakan benda pusaka itu kita keliling-keliling makam
sekitaran Kampung Pulo dan sekitarnya itu masyarakat dulu antusiasnya sangat tinggi
tiap kampung ikut serta dan di cangkuang pun penuh dengan masyarakat yang sedang
berziarah dengan membawa obor-obor, pokonya malam itu kaya siang dulu yang ziarah
banyak yang satu masuk dan yang satu keluar itu sampai subhu ziarahnya. Tapi
sekarang sudah jarang karena masyarakat sendiri itu sekarang sudah banyak yang
paham dan ada beberapa yang berfikir kalo ini takutnya menyeleweng ke syirik atau
musyrik dan adapula yang berfikiran bahwa ini dapat melemahkan aqidah, walaupun
pada dasarnya kita kan mendoakan saja, di ajaran islam sendiri juga kan ada yang
memakhruhkan, membolehkan dan ada juga yang mengharamkan. Terus juga sekarang
sudah banyaknya media yang masuk atau arus modern yang masuk ke kampung-
kampung mualai dari Televisi, Gedget, Internet dan lain sebagainya, kalo dulu kan tidak
ada media jadi masyarakat itu hanya berinteraksi dengan masyarakat sekelilingnya. Nah
hal positivenya dari ngabumbang ini dapat terjalinya interaksi sosial antara masyarakat
yang satu dengan yang lainya itu merupakan manfaatnya.
DATA INFORMAN
Nama : dr. H TB Imam S Bahrie
TTL : Jakarta, 28 Mei 1969
Alamat : Kp Bojong RT 05 RW 02, Desa Neglasari, Kadungora, Garut.
Status : Budayawan Komunitas Garut
Hari/Tanggal : Sabtu, 8 Oktober 2016
Waktu :13.20 s/d selesai.
Tempat Wawancara: Kediaman Pak Imam
PEDOMAN WAWANCARA
1. Menurut bapak apa yang bapak ketahui mengenai makna dari kembang tujuh
rupa?
Jawab: Jadi gini, bunga itu sebetulnya kan dalam surat Annas Allah itu menciptakan jin
dan manusia kategori jin itu ada yang baik dan juga ada yang kafir, nah kenapa harus
dengan tujuh warna jadi ada beberapa hal yang diyakini bahwa makhluk-makhluk halus
itu senengnya dengan harum-haruman, bunga yang berwarna warni air yang sumbernya
dari tujuh sumber mata air nah itu merupakan sebagi contoh misalnya. Contoh lagi ada
seperti misalnya bunga warna merah, putih, ungu, ping dll itu semuanya merupakan satu
symbol bahwa antara makhluk ghaib dengan hokum adat atau apa yang dilakukan oleh
manusia itu memang saling berhubungan dan berkaitan. Disini saya mencontohkan yang
sederhana misalkan “ ade kita mau ke dosen nih mau audensi lah, ade suka mikir ga
kesenangan dosen ini apa sih? Itu sebagai contoh nih” naah itu tinggal kita jabarkan
dari tujuh warna tersebut mengartikan bahwa semua makhluk hidup itu kembali kepada
tanah gitukan, kedua kalo kita berbicara tujuuh sumur itu memang dari satu dan ketujuh
sumur ini kita jika belum pernah merasakan kita pasti akan bingung, bingungnya apa,
karena itu perasaan kita tujuh zat, tujuh rasa yang ada dari diri kita.
2. Apa makna dari kelapa muda dalam sesajen itu pak? Dan kenapa kelapanya tidak
boleh jatuh ke tanah?
Jawab: Makna dari kelapa muda itu sendiri merupakan kesukaan dari para makhluk
halusnya neng, jadi dalam ritual itu menyajikan sesajen sesuai dengan kesukaan dari
para makhluk halus tersebut. kenapa tidak boleh jatuh kena tanah? Itu betul ada yang
berkeyakinan kalo jatuh ketanah itu cambal cambal itu seperti ga mujarab kalo ke tahan,
biasanya kelapa ijjo terus juga diambilnya pake sarung turun kebawahnya itu untuk apa?
Untuk menolak guna-guna namun itu untuk serang banten mereka beranggapan seperti
itu. Terkait dengan kelapa itukan bisa disimpulkan dengan mata air dari saripati yang
melengkapi kelapanya itu, berati menandakan kesucian nah kesucian dibungkus dengan
keimanan, keimananya itu bisa digambarkan yang kerasnya dikelapa itu, terus kalo
dibentukan kenapa banyak serabutnya itukan karenakan kehidupan itukan bermacam-
macam ada halangan jelek da nada halangan bagus lalu dibungkuslah itu semua
sehingga mampu atau tidaknya mempertahankan air sari kelapa itu tetep utuh didalam
bungkusan itu, jadi maknanya tetep kenapa dijadikan ritual yaitu karena batiniah dia
ada didalam, dan klapa tersebut ga dimakan jadi itu memaknakanya seperti itu, kenapa
ga boleh kena tanah kelapanya? Karena kalo kena tanah kelapa tersebut ibaratnya ga
suci lagi. Katakanlah kalo jatoh ketanah dia berate sudah menempuh hal-hal yang
seperti ini jadi harus disisihkan lagi. Berate itu tandanya kita sudah melaksanakan dosa
kalo itu sudah nyampe ke tanah. Lalu diartikan ke batiniah yaitu gaib, ghaib disini itu
bukan untuk ghoib atau menyembah melainkan untuk kita tafakur kepada Allah swt. Jadi
apabila kita menafsirkanya kesana maka itu dinamakan dengan sirik.
3. Apa makna dibalik angka tujuh tersebut pak?
Jawab: Angka tujuh itu kan merupakan angka ganjil dan makhluk halus itu senang
dengan angka ganjil-ganjil. Kita manusia itu dari tujuh zat, tujuh zat nah tujuh zatnya
itu, peertama kita diciptakan oleh Allah dari siapa? Dari orang tua itu satu, dua kenapa
diartikan manusia? Manusia itu kalo dalam kitab diartikan dengan kata manu ( mim alif
nun wau ) nah kalo kita sudah mengartikan mannusia seperti ini maka sudah dikatakan
bahwa dalam ilmu kedokteran hormone, kalo dalam bahasa seks nya itu mani, terus sia (
sin besar ada kata alif ada kata ya yang besar) jadi rasa. Jadi manusia kalo diartikan
dari 2 rasa menjadi 1 keluarlah mania tau hormon. Jadi kalo seseorang sudah mengerti
arti manusia itu sendiri dari ilmu agama pasti mereka akan tau bahwa manusia itu
terbuat dari tujuh zat yang tadi itu. Jadi yang sisebutkan tujuh zat itukan bunga air dll…
jadi kita itukan terbuat dari air (air mani), rasa terus kita dikasih akal sama Allah, dari
akal kita diberikan kecerdasaan, dari kecerdasaan, kita diberikan pemikiran, kehidupan,
nah kenapa disimbolkan sebagai kembang, nah jadi kembang itu sebenarnya
diperuntukan untuk mahluk halus , ghoib itu disimbolkan oleh bunga jadi mahluk goib itu
senengnya dengan bunga, dan air itu kenapa harus ada air karena manusia terbuat dari
air mani. Terus tujuh bisa juga didapat dari sifat-sifat manusia.
4. Apa yang bapak ketahui tentang ritual?
Jawab: Inti dari ritual itu sendiri ialah untuk membenahi diri kita supaya kita bisa
menjadi manusia yang lebih baik jadi bukan ritual terhadap yang tadi (leluhur) jadi
membenahi diri kita dengan memaknaan bahwa kekuasaan Allah itu ga sampai situ
kekuasaan Allah itu banyak. Penambahan lagi, kalo kita sesudahnya meyakini sesuatu
benda misalnya keris, itu biasanya ada yang disebut dengan khodam, jadi otomatis
kebiasaan yang diinginkan oleh si khodam itu biasanya datengnya ke mimpi ke si orang
yang memegan benda tersebut. Jadi kalo kata saya yang berbicara masalah ini itu bisa
dijabarkan sedemikian rupa tapi juga harus diimplementasikan. Kita itukan hidup dari
sumber, sumber tanah air udara dan lain-lain.