Upload
duongnhan
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS YANG DIINDUKSIETILEN GLIKOL: PENGARUH INFUSUM DAUN ALPUKAT
(Persea americana Mill.)
ISNIA NURULAZMY
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
STUDI HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS YANG DIINDUKSIETILEN GLIKOL: PENGARUH INFUSUM DAUN ALPUKAT
(Persea americana Mill.)
ISNIA NURULAZMY
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
STUDI HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS YANG DIINDUKSIETILEN GLIKOL: PENGARUH INFUSUM DAUN ALPUKAT
(Persea americana Mill.)
ISNIA NURULAZMY
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
ABSTRAK
ISNIA NURULAZMY. Studi Histopatologi Ginjal Tikus yang Diinduksi EtilenGlikol: Pengaruh Infusum Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Dibimbingoleh EVA HARLINA dan RINI MADYASTUTI.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari histopatologi ginjal tikus yangdiinduksi etilen glikol dan diberi infusum daun alpukat. Penelitian ini merupakankelanjutan dari penelitian Adha (2009) dengan rancangan percobaan sebagaiberikut: dua puluh ekor tikus jantan dibagi menjadi empat kelompok yaitu,kelompok kontrol negatif (KN) diberi air minum ad libitum, kelompok kontrolpositif (KP) diinduksi etilen glikol 0.75% dan amonium klorida 2% (inducer),kelompok perlakuan 1 (IF5) diberi inducer dan dicekok infusum daun alpukat 5%dengan dosis 3 ml/200 g BB, dan kelompok perlakuan 2 (IF10) diberi inducer dandicekok infusum daun alpukat 10% dengan dosis 3 ml/200 g BB. Perlakuandiberikan selama 10 hari, pada hari ke-11 tikus dieuthanasi, dan organ ginjaldiambil untuk dibuat sediaan histopatologi dan diwarnai dengan pewarnaanHematoksilin–Eosin. Hasil pengamatan histopatologi ditemukan perubahanberupa edema glomerulus serta endapan protein, droplet hyalin dan nekrosis padatubulus. Persentase edema glomerulus seluruh kelompok perlakuan tidak berbedanyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, sedangkanpersentase tubulus nekrosis kelompok kontrol positif berbeda nyata (p<0.05)dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Pemberian infusum daun alpukatdapat menurunkan persentase tubulus nekrosis, sedangkan peningkatan dosisinfusum cenderung menurunkan persentase endapan protein, droplet hyalin dantubulus nekrosis. Penurunan persentase kerusakan tubulus disebabkan olehflavonoid daun alpukat yang bekerja sebagai diuretikum dan antioksidan.
ABSTRACT
ISNIA NURULAZMY. Histopathological Study of Ethylen Glycol-Induced RatKidney: Effects of Avocado (Persea Americana Mill.) Leaves Infusum. Under theDirection of EVA HARLINA and RINI MADYASTUTI.
The objective of this research was to study the histopathological lesions ofrat kidneys induced by ethylene glycol and treated by avocado leaves infusum.This research is continuation of Adha’s experiment (2009) with the experimentaldesign as follows: twenty male rats were divided into four groups, namely thecontrol negative (KN) were received just drinking water ad libitum, the positivecontrol (KP) were induced by 0.75% ethylen glycol and 2% ammonium chloride(inducer), the treatment group I (IF5) were induced and treated by 5% avocadoleaves infusum at a dose of 3 ml/200 g BW,and the treatment group II (IF 10)were induced and treated by 10% avocado leaves infusum (3 ml/200 g BW).Treatment was given for 10 days, at day-11 rats were euthanasid, and kidneyorgans were taken for histopathological study and stained with Hematoxylin-Eosin. The histopatological study showed glomerular edema; hyaline droplet,deposition of protein and tubular necrosis. Percentage of glomerular edema of alltreatment groups were not significantly different (p>0.05) compared with negativecontrol group, while the percentage of tubular necrosis of positive control groupwas significantly different (p<0.05) compared with negative control group.Treatment with avocado leaves infusum can reduce the percentage of necrotictubulus whereas doses of infusum tend to decrease precentage in proteindeposition, hyaline droplet and tubular necrosis. Percentage decrease in tubulardamage caused by the avocado leaves flavonoid activity as diureticum andantioxidants.
STUDI HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS YANG DIINDUKSIETILEN GLIKOL: PENGARUH INFUSUM DAUN ALPUKAT
(Persea americana Mill.)
ISNIA NURULAZMY
SKRIPSISebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan padaFakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2010
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Drh. Eva Harlina, M.Si Rini Madyastuti P, S.Si, Apt, M.SiKetua Anggota
Diketahui :
Dr. Dra. Nastiti KusumoriniWakil Dekan FKH IPB
Tanggal Lulus :
Judul Skripsi : Studi Histopatologi Ginjal Tikus yang Diinduksi EtilenGlikol: Pengaruh Infusum Daun Alpukat (Perseaamericana Mill.)
Nama : Isnia Nurulazmy
NIM : B04063533
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mataram, NTB, 21 Juli 1988, dari pasangan Ir.
Abidin Hamzah dan Hartati HAR, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Kota Bima, NTB pada tahun 2006.
Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam Forum Keluarga
Mahasiswa Bima Bogor sebagai Bendahara (2007-2008), IMAKAHI Cabang
FKH IPB sebagai Kepala Bidang Kesekretariatan (2009), menjadi anggota
Departemen Syi’ar DKM An Nahl FKH IPB (2008-2009), dan sebagai staf Divisi
Pendidikan dan Pelatihan HIMPRO RUMINANSIA FKH IPB (2008-2009).
Selain itu penulis juga menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam TPB IPB
(Semester genap tahun 2009).
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT untuk setiap petunjuk dan kemudahan
yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menjadi teladan bagi umat manusia.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Drh. Eva Harlina, M.Si., APVet.,
sebagai pembimbing pertama dan Rini Madyastuti Purwono, S.Si., Apt., M.Si.
sebagai pembimbing kedua, yang telah merelakan sebagian waktunya untuk
memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan kemudahan kepada penulis dalam
pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi. Semoga amal baik Ibu dapat
melapangkan jalan di yaumil akhir nanti. Selain itu disampaikan pula terima kasih
kepada Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, M.Sc., Apt. selaku Pembimbing Akademik
dan penyandang dana penelitian ini, atas saran dan masukannya selama masa studi
hingga terlaksananya penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh.
Hj. Tutik Wresdiati, MS., Ph.D. dan Ir. Etih Sudarnika, M.Si. selaku dosen
penguji pada ujian akhir sarjana kedokteran hewan. Terima kasih yang tiada
terhingga penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta, Denny (kakak),
Tauhid (adik) dan keluarga besar di Bima, Dompu, NTB atas kasih sayang,
perhatian, usaha, dukungan moril yang tulus dan doa yang tiada putus serta kerja
keras semuanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada
Ical sebagai rekan sepenelitian, terima kasih atas bantuan, kerjasama dan
kebersamaan selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Saudara-saudara
saya tercinta di Marhamah (Dini, Lina, Mila, Danis, Dina, Karim, Isti, Chacha,
Dya, Evi, Ina dan Khory) terima kasih atas keceriaan, kenyamanan dan
persahabatan yang tulus. Fitri, Karunia, Ninis, Enen, Winda, Feni dan Rani yang
selalu memberikan dorongan dan semangat, dan sandaran hati dalam keadaan
suka maupun duka.
Saudara-saudara saya selama mengemban amanah di FKMBB, IMAKAHI
Cabang FKH IPB 2007-2009, DKM An Nahl 2007-2010 dan HIMPRO
iii
Ruminansia 2007-2009 serta Aesculapius (FKH 43) terima kasih atas
kebersamaan yang telah mewarnai aktivitas penulis selama menjalani studi.
Seluruh dosen dan tenaga kependidikan Bagian Patologi Departemen
Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB terima aksih atas bantuannya sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
Penulis menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dalam penulisan
skripsi ini sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................vii
PENDAHULUANLatar Belakang ................................................................................................................. 1Tujuan Penelitian ............................................................................................................. 2Manfaat Penelitian........................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKAPersea Americana Mill. .................................................................................................. 3Tikus Putih........................................................................................................................ 5Ginjal ................................................................................................................................. 6Kelainan Ginjal ................................................................................................................ 7Nefrotoksikan ................................................................................................................... 8
BAHAN DAN METODETempat dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 10Alat dan Bahan............................................................................................................... 10Metode Penelitian .......................................................................................................... 10
Rancangan Percobaan…………………..………………………………………………………….10
Pembuatan Sediaan Histopatologi……...………………………....................................11Evaluasi Histopatologi………………....…………………………………………………………..11
Analisis Statistik ........................................................................................................…..11
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 12
SIMPULAN DAN SARANSimpulan ......................................................................................................................... 19Saran ................................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 20
LAMPIRAN............................................................................................................... 23
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Persentase kerusakan glomerulus dan tubulus ginjal tikus pasca
pemberian zat nefrotoksik (etilen glikol) selama 10 hari ………. 12
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman alpukat (Persea americana Mill.) ………………………. 4
2 Mekanisme kerja diuretikum ……………………………………… 5
3 Tikus putih (Rattus novergicus) …………………………………... 6
4 Edema glomerulus, endapan protein pada lumen tubulus dan
tubulus nekrosis pada kelompok perlakuan IF 10 ………………… 14
5 Kumpulan tubulus dengan endapan protein di lumennya pada
kelompok KP……………………………………………………….. 15
6 Droplet hyalin pada sitoplasma tubulus dan tubulus yang lisis
pada kelompok perlakuan IF 10……………………………………. 16
7 Kelompok tubulus proksimal yang nekrosis pada kelompok KP …. 17
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil uji duncan kerusakan glomerulus dan tubulus …………….. 23
2 Pembuatan sediaan histopatologi ………………………………… 24
3 Pewarnaan HE ……………………………………………………. 26
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan sumber daya
alamnya yang melimpah, diantaranya adalah tanaman yang sangat bervariasi.
Diantara tanaman tersebut banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
tanaman obat. Sebanyak 65% dari penduduk negara maju, dan 80% dari penduduk
negara berkembang telah menggunakan tanaman obat atau obat herbal untuk
memelihara kesehatan dan mengobati penyakit. Hal ini dikarenakan obat herbal
mempunyai banyak keuntungan antara lain bahan baku yang mudah diperoleh,
harga yang relatif murah, praktis dalam pemakaian dan memiliki efek samping
yang lebih kecil dibandingkan dengan obat sintetik.
Salah satu tanaman yang biasa digunakan sebagai obat herbal adalah daun
alpukat (Persea americana Mill.). Sebagian masyarakat telah menggunakan daun
alpukat sebagai diuretik, analgesik, anti radang, anti hipertensi, anti hipoglikemia,
anti diare, mengobati sakit tenggorokan dan perdarahan (Brai et al. 2007).
Batu ginjal merupakan salah satu masalah urologi yang serius, menempati
urutan ketiga setelah infeksi saluran kemih dan kelainan prostat (Bahdarsyam
2003). Batu ginjal adalah masa keras seperti batu yang terbentuk melalui proses
fisikokimiawi dari zat-zat yang terkandung di dalam urin. Terbentuknya batu
ginjal terjadi secara endogen dari unsur mikrolit-mikrolit yang lama kelamaan
bisa bertambah besar (Price dan Wilson 1995). Menurut Tugcu et al. (2008), batu
ginjal juga dapat diinduksi oleh zat etilen glikol sehingga membentuk kristal
kalsium oksalat (CaOx). Kristal ini umum dijumpai pada spesimen urin bahkan
pada hewan sehat. Pembentukan kristal dapat dipercepat dengan pemberian
amonium klorida. Kristal biasanya terbentuk pada urin yang memiliki pH asam
dan dapat muncul dalam spesimen urin setelah hewan mengalami keracunan etilen
glikol atau mengkonsumsi pakan tertentu seperti asparagus dan kubis (Anonim
2009).
Proses pembentukan batu ginjal disebut urolithiasis. Batu ginjal bervariasi
ukurannya, dapat bersifat tunggal atau ganda. Batu ginjal dapat berada di
sepanjang saluran kemih dan di dalam ginjal sehingga dapat menyebabkan nyeri,
2
perdarahan, penyumbatan aliran kemih, infeksi dan kerusakan jaringan ginjal
(Anonim 2008). Salah satu pengobatan batu ginjal adalah menggunakan preparat
diuretikum, karena berhubungan dengan pengeluaran cairan dari dalam tubuh
(Adha 2009). Untuk mengetahui kinerja daun alpukat yang diduga bekerja sebagai
diuretikum, dilakukan studi histopatologi ginjal tikus yang diinduksi etilen glikol
dan diberi infusum daun alpukat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi ginjal
tikus yang diinduksi etilen glikol dan diberi infusum daun alpukat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
manfaat infusum daun alpukat terhadap ginjal yang diinduksi etilen glikol.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Persea americana Mill.
Alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket
(Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur dan Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat
(Batak), dan pookat (Lampung). Tanaman alpukat diperkirakan masuk ke
Indonesia pada abad ke-18 yang berasal dari dataran Amerika Tengah.
Berdasarkan sifat ekologis, tanaman alpukat terdiri atas tiga tipe keturunan, yaitu
tipe Meksiko, Guatamala dan Hindia Barat. Menurut Prihatman (2000), taksonomi
tanaman alpukat (Persea americana Mill.) sebagai berikut: Divisi:
Spermatophyta; Subdivisi: Angiospermae; Kelas: Dicotyledoneae; Bangsa:
Renales; Keluarga: Lauraceae; Marga: Persea; Varietas: Persea americana Mill.
Tanaman alpukat tumbuh liar di hutan-hutan, kebun dan pekarangan yang
memiliki lapisan tanah gembur dan subur serta tidak tergenang air. Ciri-ciri
tanaman alpukat diantaranya adalah berpohon kecil dengan tinggi 3-10 m, berakar
tunggang, batang berkayu, berbentuk bulat dan berwarna coklat kotor, dengan
cabang banyak dan ranting halus. Memiliki daun tunggal dengan panjang tangkai
1.5-5 cm yang letaknya berdesakan di ujung ranting, berbentuk lonjong sampai
bundar telur memanjang, tebal seperti kulit, ujung dan pangkal runcing, tepi rata
terkadang seperti menggulung ke atas, bertulang menyirip dengan panjang 10-20
cm dan lebar 3-10 cm. Bunga majemuk, berkelamin dua dan berwarna kuning
kehijauan. Buah berbentuk bola atau bulat telur dengan panjang 5-20 cm,
berwarna hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu, berbiji satu bulat
seperti bola dengan diameter 2.5-5 cm, berdaging buah lunak jika sudah matang,
dan berwarna hijau kekuningan (Anonim 2010).
Tanaman alpukat telah banyak digunakan untuk pengobatan tradisional,
seperti pengobatan kencing batu, darah tinggi, sakit kepala, nyeri syaraf, nyeri
lambung, bronchial swellings dan menstruasi tidak teratur. Hal ini dikarenakan
daun dan buah tanaman alpukat mengandung saponin, alkaloida, flavonoid,
polifenol dan quersetin (Sunanto 2009). Selain itu, daun alpukat juga mengandung
kalium yang berfungsi sebagai diuretik sehingga pengeluaran natrium cairan
meningkat (Fitriani 2009).
4
Gambar 1 Tanaman alpukat (Persea americana Mill.).
Berdasarkan hasil penapisan fitokimia, daun alpukat mengandung senyawa
flavonoid, tanin, katekat, kuinon, saponin dan steroid atau triterpenoid (Maryati
2007). Flavonoid merupakan unsur mikro yang terkandung dalam hampir semua
tipe daun alpukat karena berfungsi sebagai pigmen warna buah atau daun,
pengusir serangga dan molekul pemberi isyarat (Sampson et al. 2002). Diantara
senyawa di atas, yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas diuretik adalah
flavonoid. Senyawa flavonoid dapat meningkatkan urinasi dan pengeluaran
elektrolit pada tikus normotensi. Hal ini dapat terjadi karena seyawa tersebut
dapat meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) secara signifikan (Jouad
2001).
Menurut Klabunde (2005), diuretikum dapat meningkatkan output urin
melalui pengaturan natrium oleh ginjal karena jika ekskresi natrium meningkat,
maka ekskresi air juga akan meningkat. Secara umum mekanisme kerja
diuretikum adalah menghambat reabsorpsi natrium pada segmen yang berbeda
dari sistem tubular ginjal. Agar efek diuretikum lebih baik biasanya pada
pengobatan dilakukan kombinasi dua diuretikum. Hal ini dikarenakan efek
sinergis dari kedua diuretikum dapat mengkompensasi reabsorpsi natrium dari
nefron pada segmen yang berbeda, sehingga beberapa nefron dapat menghambat
secara bersamaan. Diuretikum terbagi menjadi tiga yaitu loop diuretikum, thiazid
diuretikum, dan anhydrase inhibitor karbonat. Mekanisme kerja diuretikum
disajikan pada Gambar 2.
5
Gambar 2 Mekanisme kerja diuretikum. Sumber: Klabunde 2005.
Tikus Putih
Menurut Subahagio et al. (1997), hewan percobaan atau hewan
laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk
dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai penelitian dibidang medis.
Hewan percobaan harus memenuhi persyaratan genetik dan lingkungan yang
memadai dalam pengolahan, serta memperlihatkan reaksi biologis sesuai dengan
yang dikehendaki. Malole dan Pramono (1989) menyebutkan bahwa tikus telah
diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan
cocok untuk berbagai penelitian.
Tikus yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan digunakan secara luas
untuk penelitian di laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus
putih yang berasal dari Asia Tengah. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini
adalah spesies Rattus novergicus dengan galur Sprague-Dawley. Tikus ini
memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih
panjang daripada badannya (Krinke 2000). Sistem klasifikasi tikus putih (Norway
rats) berdasarkan Myers dan Arnitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom:
Animalia; Filum: Chordata; Subfilum: Vertebrata; Kelas: Mammalia; Ordo:
Rodensia; Famili: Muridae; Subfamili: Murinae; Genus: Rattus; Spesies: Rattus
novergicus.
6
Gambar 3 Tikus putih (Rattus novergicus).
Ginjal
Anatomi, Fisiologi dan Histologi Ginjal
Ginjal merupakan organ utama yang berperan dalam homeostasis air dan
elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksik. Fungsi
utama ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme, memusnahkan bahan
toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa, serta mengatur tekanan
darah (Wuthrich 2000). Menurut Lu (2006) ginjal berfungsi memekatkan toksikan
pada filtrat dan membawa toksikan melalui tubulus. Ginjal juga memiliki fungsi
sebagai penyingkir buangan metabolisme normal dan mengekskresikan
xenobiotik dan metabolitnya. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai organ endokrin
yang dapat menghasilkan hormon-hormon eritropoietin, renin, dan prostaglandin
(Huminto et al. 1995). Ginjal terletak di retroperitoneum vertebralis lumbalis,
dibungkus oleh kapsula yang normalnya dapat bergerak bebas pada
permukaannya, berpasangan dan berwarna merah kecoklatan (Maxie 1993).
Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis yaitu
tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter (Hartono 1992). Ginjal
terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla, dengan perbandingan rata-
rata satu banding dua atau satu banding tiga (Maxie 1993), dan ukuran ginjal
dalam berbagai spesies sangat ditentukan oleh jumlah nefron (Ganong 2003). Unit
fungsional ginjal yaitu nefron. Nefron memiliki enam segmen yaitu kapsula
glomerulus yang merupakan ujung buntu yang meluas pada nefron, tubuli
konvoluti, tubuli rekti proksimalis, segmen tipis, segmen tebal pada nefron, dan
7
tubuli konvoluti distalis (Dellman dan Brown 1992). Nefron memiliki fungsi
dasar membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh
tubuh. Biasanya substansi tersebut berasal dari hasil metabolisme urea, kreatinin,
asam urat, ion-ion natrium, kalium, klorida, serta ion-ion hidrogen dalam jumlah
yang berlebihan (Guyton 2008).
Bagian ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring adalah glomerulus
yang bekerja berdasarkan faktor-faktor hermodinamika dan osmotik. Glomerulus
dibentuk oleh tumpukan kapiler yang dilayani oleh arteriola afferens dan dialirkan
oleh arteriola efferens (Ganong 2003). Kapiler-kapiler tersusun kompleks dalam
suatu matriks glikoprotein yang disebut mesangium. Aliran darah yang masuk
melalui kapiler menjadi sumber bagi terbentuknya filtrat glomerulus. Kerusakan
pada barrier filtrasi glomerulus menyebabkan berbagai manifestasi klinis pada
penyakit ginjal. Bentuk utama dari manifestasi klinis tersebut adalah lolosnya
protein pada filtrat glomerulus ke urin. Selain itu, aliran darah abnormal pada
kapiler juga dapat menyebabkan edema ginjal (Confer dan Panciera 1995).
Menurut Ganong (2003), tubulus ginjal terdiri atas tubulus proksimal, jerat
Henle dengan bagian descenden dan ascenden, serta tubulus distal. Tubulus
proksimal berperan dalam proses reabsorpsi cairan, elektrolit dan bahan organik
seperti glukosa dan asam amino. Tubulus proksimal dilengkapi dengan brush
borders untuk mendukung proses reabsorpsi (Komarek et al. 2000). Reabsorpsi
tubulus proksimal terhadap protein terjadi dengan cara pinositosis yaitu protein
melekat ke brush borders membran lumen kemudian bagian membran inti
berinvaginasi ke bagian dalam sel sehingga protein diserap dengan sempurna
(Guyton 2008).
Kelainan Ginjal
Reaksi ginjal terhadap rangsangan dari luar serupa dengan organ tubuh
lainnya, yaitu sesuai dengan mekanisme patologi pada umumnya. Penyakit ginjal
pada umumnya menyerang salah satu diantara empat kesatuan terpenting pada
ginjal, yaitu glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah. Meskipun
hanya salah satu yang terkena, namun seluruh kesatuan itu saling berhubungan
erat sehingga pada kesatuan lain tentu terjadi perubahan. Perubahan pada ginjal
8
antara lain nephrosis, yaitu perubahan pada ginjal yang bersifat degenerasi yang
ditimbulkan oleh gangguan pertukaran zat. Nephrosis adalah istilah morfologik
yang digunakan para ahli patologi untuk kelainan ginjal degeneratif terutama pada
tubulus. Nephrosis dibagi menjadi tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis.
Tubulo-nephrosis terdiri atas perubahan-perubahan progresif pada epitel tubuli.
Glomerulo-nephrosis berupa perubahan yang tidak bersifat radang dalam
glomerulus. Disfungsi glomerulus dapat menyebabkan degenerasi atau kematian
epitel tubuli bila terlalu banyak bahan-bahan yang harus direasorbsinya (McGavin
dan Zachary 2007). Penyakit lain yang dapat terjadi pada glomerulus diantaranya
adalah glomerulonefritis, glomerular lipidosis serta amiloidosis (Jubb et al. 1993).
Selain itu dalam glomerulus juga sering terlihat corak radang, sedangkan
tubulus sering memperlihatkan tanda degenerasi. Perubahan-perubahan
degenerasi pada tubulus yang sering terlihat adalah degenerasi berbutir,
degenerasi lemak dan nekrosa. Interstisium sering mengalami radang dan
pertambahan jaringan ikat. Perubahan dan kelainan yang terjadi pada ginjal bisa
diakibatkan oleh zat yang bersifat nefrotoksik, seperti logam berat, antibiotik,
analgesik dan hidrokarbon halogen tertentu. Zat-zat tersebut dapat merubah fungsi
ginjal, yang ditandai dengan glikosuria, aminosiduria, poliuria, atau bahkan
kematian jika dosisnya berlebihan (Lu 2006).
Nefrotoksikan
Ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik, dan sebagian besar
hasil filtrasi diekskresikan melalui urin. Nefrotoksikan dapat menyebabkan efek
buruk pada beberapa bagian ginjal dan mengakibatkan perubahan fungsi (Jubb et
al. 1993). Menurut Tugcu et al. (2008), salah satu contoh zat yang dapat
menginduksi batu ginjal adalah zat etilen glikol yang dapat terakumulasi di
tubulus ginjal serta dapat merusak ginjal, sehingga etilen glikol dapat
dikategorikan sebagai zat nefrotoksik. Menurut Confer dan Panciera (1995),
terdapat beberapa kelompok nefrotoksikan yang umum menyebabkan kerusakan
ginjal pada hewan domestik, diantaranya kelompok logam berat (merkuri, arsen,
cadmium dan bismuth), agen antibakterial atau antifungal (aminoglikosida,
tetrasiklin, amphotericin B dan monensin), mikotoksin (ochratoxin A dan
9
citrinin), pembentuk kalsium oksalat (etilen glikol, halogeton, Sarcobatus
vermiculatus, Rheum rhaponticum dan Rumex sp.), dan antineoplastik (ciplastin).
Kelompok di atas dapat menyebabkan tubular nekrosis akut yang ditandai dengan
perubahan pada tubulus seperti kehilangan brush borders dan dispersi ribosom
serta diikuti dengan pembengkakan mitokondria dan kematian sel.
10
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, mulai bulan
Agustus hingga Desember 2009.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan dan pengamatan sediaan
histopatologi antara lain pisau, pinset, tissue cassette, stopwatch, object glass,
cover glass, tissue processor, microtom, oven, mikroskop, alat foto mikrografi
dan video mikrometer.
Bahan yang digunakan adalah larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin
10%, alkohol bertingkat (70, 80 dan 90%, alkohol absolut), xilol, paraffin,
pewarna jaringan Hematoksilin-Eosin, aquades dan ginjal tikus yang sudah
mendapatkan perlakuan (Adha 2009).
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian Adha (2009) dengan
rancangan percobaan (Rancangan acak lengkap satu faktorial) sebagai berikut:
sebanyak 20 ekor tikus jantan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol
negatif (KN) diberi air minum ad libitum, kelompok kontrol positif (KP) diinduksi
etilen glikol 0.75% dan amonium klorida 2% (inducer), kelompok perlakuan 1
(IF5) diberi inducer dan dicekok infusum daun alpukat 5% dengan dosis 3 ml/200
g BB, dan kelompok perlakuan 2 (IF10) diberi inducer dan dicekok infusum daun
alpukat 10% dengan dosis 3 ml/200 g BB. Induksi dan pemberian infusum daun
alpukat dilakukan selama 10 hari. Infusum daun alpukat merupakan hasil rebusan
simplisia dalam air yang dipanaskan pada suhu 90○ C selama 15 menit (Anonim
2005).
11
Pembuatan Sediaan histopatologi
Ginjal tikus dari setiap kelompok perlakuan difiksasi dengan Buffer
Neutral Formalin 10%, kemudian dibuat sediaan histopatologi melalui proses
fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding dan pemotongan jaringan
menggunakan mikrotom serta diwarnai dengan pewarna HE.
Evaluasi Histopatologi
Evaluasi histopatologi dilakukan dengan mengamati perubahan
glomerulus dan tubulus pada tiga sediaan (slide). Dilakukan penghitungan
glomerulus yang mengalami edema dan dibandingkan dengan jumlah seluruh
glomerulus yang ada pada setiap sediaan dikali 100%. Pengamatan tubulus
proksimal meliputi adanya endapan protein dalam lumen, droplet hyalin dan
nekrosis epitel tubulus yang berada disekeliling glomerulus. Rata-rata jumlah
tubulus proksimal pada masing-masing lesio dihitung pada sepuluh lapang
pandang di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 x dan dibandingkan dengan
seluruh tubulus proksimal yang ditemui kemudian dikalikan 100%.
Analisis Statistik
Rata-rata persentase glomerulus dan tubulus proksimal yang mengalami
lesio dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) untuk melihat pengaruh perlakuan
dan dilanjutkan dengan uji Wilayah Berganda Duncan (α = 0.05).
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi histopatologi ginjal tikus percobaan difokuskan pada glomerulus
dan tubulus proksimal. Selain tidak ditemukan perubahan pada interstitium,
glomerulus merupakan bagian yang berperanan penting dalam menyaring zat-zat
yang dimetabolisme ginjal. Tubulus proksimal merupakan tubulus yang
berdekatan dengan glomerulus, yang menerima hasil filtrasi glomerulus serta
berperan dalam eksresi dan reabsorpsi zat yang dimetabolisme ginjal.
Hasil pengamatan histopatologi glomerulus ditemukan edema, yang
ditandai dengan adanya endapan protein di mesangium hingga ke ruang Bowman,
sedangkan pada tubulus berupa endapan protein di lumen, droplet hyalin dan
nekrosa epitel. Hasil evaluasi histopatologi glomerulus dan tubulus proksimal
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Persentase kerusakan glomerulus dan tubulus ginjal tikus pascapemberian etilen glikol dan infusum daun alpukat selama 10 hari
Perlakuan
Glomerulus Tubulus
Normal Edema NormalEndapanProtein
DropletHyalin
Nekrosis
KN 68.9±11.3a 29.6±10.4a 74.7±10.2b 5.1±2.4a 2.9±2.7a 14.0±0.8a
KP 65.9 ± 8.2 a 34.1 ± 8.2a 5.7 ± 2.7a 21.2± 12.6b 8.6 ± 7.6a 64.2±21.7b
IF 5 71.0 ± 1.8a 29.0 ± 1.7a 61.9 ± 5.2b 22.1 ± 6.2b 2.2 ± 1.1a 19.5 ± 3.2a
IF 10 70.5 ± 2.5a 29.5 ± 2.5a 70.1 ± 6.2b 11.2 ± 7.4ab 0.8 ± 0.9a 18.0 ± 2.9a
Keterangan:Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05), KN:Kontrol negatif; KP: Kontrol positif; IF 5: Infusum 5%; IF 10: Infusum 10%.
Berdasarkan hasil analisis statistika, persentase edema glomerulus seluruh
kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok
kontrol. Persentase tertinggi didapatkan pada kelompok KP, sedangkan pada
kelompok IF 5 dan IF 10 cenderung menurun. Persentase endapan protein
kelompok KP dan IF 5 lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan
dengan kelompok KN, sedangkan kelompok IF 10 lebih rendah dari kelompok KP
dan IF 5, namun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok KN. Selanjutnya,
persentase tubulus dengan droplet hyalin pada seluruh kelompok perlakuan tidak
13
berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok KN, namun peningkatan dosis
infusum daun alpukat cenderung menurunkan persentasenya. Peubah yang
terakhir adalah, persentase tubulus nekrosis tertinggi dan berbeda nyata (p<0.05)
ditemukan pada kelompok KP, serta kelompok IF 5 dan IF 10 tidak berbeda nyata
(p>0.05) dibandingkan kelompok KN. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
infusum daun alpukat berpengaruh nyata terhadap penurunan persentase tubulus
nekrosis, namun peningkatan dosis infusum tidak berpengaruh nyata (p>0.05)
dalam menurunkan persentasenya.
Glomerulus tersusun secara kompleks atas kapiler-kapiler dalam suatu
matriks glikoprotein yang disebut mesangium. Glomerulus berperan penting pada
proses filtrasi zat-zat yang dimetabolisme ginjal. Aliran darah yang masuk melalui
kapiler menjadi sumber bagi terbentuknya filtrat glomerulus. Seharusnya filter
glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein bermolekul besar, akan tetapi pada
keadaan patologis protein tersebut dapat lolos dan terkumpul di mesangium
hingga ke ruang Bowman (Junqueira et al. 1998). Hal inilah yang menjadi
penyebab edema glomerulus. Akibat adanya bahan yang bersifat nefrotoksik
mengakibatkan kerusakan pada barrier filtrasi glomerulus sehingga menyebabkan
berbagai manifestasi klinis pada penyakit ginjal. Bentuk utama dari manifestasi
klinis tersebut adalah lolosnya protein pada filtrat glomerulus. Secara mikroskopis
hal ini juga dapat menyebabkan edema glomerulus (Confer dan Panciera 1995).
Menurut Peterson dan Talcott (2006), etilen glikol dengan cepat diserap
oleh saluran pencernaan dan segera didistribusikan melalui darah ke jaringan.
Sebanyak 50% etilen glikol yang terserap tersebut akan dimetabolisme dan
diekskresikan oleh ginjal, sedangkan sisanya dimetabolisme di hati dan disalurkan
menuju ginjal (Merk et al. 2005). Metabolisme etilen glikol di hati meliputi
pembentukan glikoaldehid dan asam glikolat oleh enzim alkohol dehidrogenase,
selanjutnya membentuk asam glikosiklik, dan akhirnya membentuk asam oksalat
(Cheville 2006).
Etilen glikol yang dimetabolisme di ginjal dapat menyebabkan asidosis
metabolik. Penambahan amonium klorida pada penelitian ini juga bertujuan untuk
menurunkan pH darah, sehingga mempercepat terbentuknya asidosis metabolik.
Keadaan asidosis metabolik dan asam oksalat yang dihasilkan pada metabolisme
14
etilen glikol akan bereaksi dengan kalsium membentuk kompleks kalsium-oksalat
yang bersifat sitotoksik (Cheville 2006). Kompleks kalsium oksalat melukai
membran basal kapiler glomerulus, sehingga permeabilitas kapiler terganggu.
Akibatnya, filter glomerulus meloloskan protein sehingga memenuhi mesangium
dan ruang Bowman (Confer dan Panciera 1995). Etilen glikol dikenal sebagai
salah satu zat nefrotoksik karena menyebabkan gangguan fungsi ginjal, yang
secara klinis ditandai dengan glikosuria, aminosiduria, poliuria, atau bahkan
kematian jika dosisnya berlebihan (Lu 2006). Menurut McGavin dan Zachary
(2007), kapiler glomerulus yang tidak berfungsi dengan baik dapat menyebabkan
edema glomerulus yang akhirnya menimbulkan nefrosis. Edema glomerulus
ditandai adanya protein yang berwarna eosinofil dengan pewarnaan HE,
memenuhi mesangium hingga ke ruang Bowman (Gambar 4).
Gambar 4 Edema glomerulus (panah) ditandai dengan ruang Bowman yang berisiprotein dan tubulus nekrosis dengan endapan protein di lumennya(bintang) pada kelompok perlakuan IF 10. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan persentase edema
glomerulus. Hal ini dikarenakan kandungan infusum daun alpukat yaitu flavonoid
yang bekerja sebagai diuretikum sehingga dapat meningkatkan kecepatan filtrasi
glomerulus (Adha 2009). Filtrasi glomerulus yang meningkat dapat mempercepat
15
proses pengeluaran nefrotoksikan dari dalam ginjal melalui peningkatan aktivitas
urinasi, sehingga mengurangi kejadian edema glomerulus (Guyton 2008).
Kerusakan kapiler glomerulus cenderung diikuti oleh kerusakan epitel
tubulus sehingga menyebabkan terbentuknya endapan protein, droplet hyalin dan
nekrosa epitelnya (Confer dan Panciera 1995). Masa protein di mesangium
maupun di ruang Bowman disalurkan ke tubulus terdekat yaitu tubulus proksimal.
Protein yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh
epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen. Akumulasi
protein di lumen tubulus disebabkan oleh menurunnya fungsi reabsorpsi tubulus
dikarenakan epitelnya mengalami degenerasi hingga nekrosa (Carlton dan
McGavin 1995). Banyaknya protein di tubulus proksimal juga disebabkan oleh
terlewatinya kapasitas absorpsi epitel tubulus. Endapan protein yang berlebihan di
lumen juga dapat menyebabkan abnormalitas tubulus sehingga menurunkan
kemampuan lisosom untuk menghidrolisis protein (Hard 2008). Endapan protein
di tubulus berwarna eosinofil dengan pewarnaan HE (Gambar 5).
Gambar 5 Kumpulan tubulus ginjal dengan endapan protein di lumennya (panah)pada kelompok KP. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
16
Pemberian infusum daun alpukat cenderung menurunkan persentase
endapan protein di lumen tubulus. Hal ini dikarenakan senyawa flavonoid yang
terkandung dalam infusum daun alpukat berpengaruh terhadap aktivitas
diuretikum. Menurut Ganong (2003), aktivitas diuretikum dapat menurunkan
reabsorpsi ion natrium tubulus, sehingga terjadi peningkatan pengeluaran ion
natrium dari dalam tubuh. Hal tersebut yang menyebabkan terjadi peningkatan
pengeluaran air, akibatnya proses pengeluaran nefrotoksikan dari dalam tubuh
dapat dipercepat dan dapat mengurangi gangguan proses reabsorpsi tubulus.
Temuan lesio tubulus yang lain adalah droplet hyalin. Droplet hyalin
dibentuk bersamaan dengan pembentukan protein di lumen tubulus, dan
merupakan protein normal dari sitoplasma tubulus proksimal. Droplet hyalin
merupakan lisosom sekunder yang berperan dalam memetabolisme α2
mikroglobulin (Komarek et al. 2000). Akumulasi droplet hyalin dalam jumlah
yang berlebihan dapat ditemukan pada kasus yang bersifat kronis akibat terpapar
zat-zat yang bersifat nefrotoksik. Droplet hyalin dapat ditemukan di sitoplasma
epitel tubulus proksimal, berwarna lebih merah dan tebal dengan pewarnaan HE
(Eveline et al. 2003). Tubulus dengan droplet hyalin disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Droplet hyalin pada sitoplasma tubulus ginjal (panah) dan tubulus yanglisis (bintang) pada kelompok IF 10. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
17
Perubahan lain yang ditemukan pada tubulus ginjal adalah tubulus yang
nekrosis. Hal ini disebabkan oleh kompleks kalsium oksalat yang merusak brush
border epitel, menyebabkan membran sel terluka yang akhirnya mengakibatkan
degenerasi hingga kematian sel epitel tubulus. Tubulus yang nekrosis ditandai
dengan bentuk epitel yang tidak beraturan dengan inti epitel yang piknotis yaitu
inti lebih mengecil dan berwarna lebih basofil, dan sitoplasma hiperkromik
(Confer dan Panciera 1995). Nekrosis epitel tubulus secara tidak langsung dapat
terjadi apabila ginjal mengalami penurunan fungsi filtrasi glomurulus. Filtrat
glomerulus lolos menuju ke tubulus proksimal dan menumpuk pada lumen
tubulus sehingga menyebabkan degenerasi tubulus. Nekrosis merupakan
kelanjutan dari degenerasi dan bersifat irreversible. Nekrosis tubulus dapat
disebabkan oleh zat nefrotoksik, iskemia dan agen biologi. Tubulus nekrosis
dengan inti piknotis dan sitoplasma lebih menyerap warna eosinofil pada
pewarnaan HE disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Kelompok tubulus proksimal yang nekrosis (bintang) pada kelompokKP. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
Senyawa flavonoid yang bersifat diuretikum diduga dapat menghambat
kerusakan tubulus. Flavonoid tersebut meningkatkan urinasi dan pengeluaran
18
elektrolit dengan cara meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) secara
signifikan (Jouad 2001). Menurut Ganong (2003), selain memiliki aktivitas
diuretikum, flavonoid juga menghambat sekresi vasopresin. Vasopresin berperan
dalam menurunkan tekanan osmotik efektif plasma dan meningkatkan volume
cairan ekstraseluler. Selain itu, flavonoid juga dapat berperan sebagai antioksidan
yang dapat menetralkan zat-zat yang bersifat toksik serta menghambat terjadinya
oksidasi sel sehingga dapat mengurangi kerusakan tubulus (Simanjuntak et al.
2004). Hal ini dapat ditunjukkan dengan rendahnya persentase tubulus yang
neksosis pada kelompok yang diberi infusum daun alpukat.
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Induksi etilen glikol menyebabkan edema glomerulus serta endapan protein,
droplet hyalin dan nekrosis tubulus.
2. Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan persentase tubulus yang
nekrosis.
3. Peningkatan dosis infusum daun alpukat cenderung menurunkan persentase
endapan protein, droplet hyalin dan tubulus yang nekrosis.
Saran
1. Perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal untuk mengetahui korelasi antara
gambaran histopatologi dengan fungsinya.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop polarisasi untuk
mengetahui adanya pembentukan kristal pada tubulus ginjal.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adha AC. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Perseaamericana Mill.) terhadap Aktivitas Diuretik Tikus Putih, Sprague Dawley[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 2005. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Badan POM.http://www.pom.go.id/public/hukum_perundangan/pdf [September 2010].
Anonim. 2008. Pengobatan Alami. http://pengobatanalami.com/artikel-kesehatan/batu-ginjal-3.html [10 Juni 2009].
Anonim. 2009. Urinalisis 2 (Analisis Mikroskopik).http://laboratoriumkesehatan.com/ [12 Mei 2010].
Anonim. 2010. Manfaat Alpukat untuk Pengobatan.http://www.smallcrabonline.com/ [Jum’at, 5 Maret 2010 pkl 16.24 WIB].
Bahdarsyam. 2003. Spektrum Bakteriologik pada Berbagai Jenis Batu SaluranKemih Bagian Atas. Bagian Patologi Klinik. Fakultas KedokteranUniversitas Sumatera Utara.
Brai BIC, Odetola AA, Agomo PU. 2007. Effects of Persea americana leafextracts on body weight and liver lipid in rats fed hyperlipidaemic diet.African Journal of Biotechnology, 6(8): 1007-1011http://www.academicjournals.org/AJB [10 Juni 2009].
Carlton WM, McGavin MD.1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edke-2. Mosby. A Times Mirror Co.
Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. Iowa SatateUniversity Press. Iowa.
Confer AW, Panciera RJ. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Ed ke-2. Edited by: Carlton WW dan McGavin MD. Mosby.
Dellman HD, Brown E. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II dan III. PenerbitUniversitas Indonesia. Jakarta.
Eveline DR, Ravesloot WTM, Wijnands Y, Eric VE. 2003. A Fast HistochemicalStaining Method to Identify Hyaline Droplets in the Rat Kidney.Toxicologic Pathology 31:462 464.
Fitriani V. 2009. Obat Tradisional. Pengidap Hipertensi Makanlah Kucai. TrubusMajalah Pertanian Indonesia. http://www.trubus-online.co.id [3 Agustus2009].
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran.ECG. Jakarta.
Guyton AG. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Penerbit BukuKedokteran. ECG. Jakarta.
Hard GC. 2008. Some Aids to Histological Recognation of Hyaline DropletNephropathy in Ninety-Day Toxicity Studies. Journal of ToxicologyPathology. 36: 1014-1017. http://tpx.sagepub.com [19 Maret 2010].
Hartono. 1992. Histology Veteriner. FKH-IPB. Bogor.Huminto H, Bahagia S, Estuningsih S, Koesharto FX. 1995. Patologi Gizi.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral PendidikanDasar dan Menengah Kejuruan. Proyek Peningkatan Pendidikan danKejuruan Non Teknik II. Jakarta.
21
Jouad H, Lacaille-Dubois MA, Lyoussi B, Edduks M. 2001. Effect of theflavonoids extract from Spregularia purpurea Pers. on arterial bloodpressure and renal function in normal and hypertensive rats. Journal ofEthnopharmacology.76:159-163.http://www.sciencedirect.com/science/journal/03788741 [Agustus 2009].
Jubb KVF, Peter CK, Nigel P. 1993. Pathology of Domestic Animal. 4th ed.California: Academic Press.
Junqueira LC, Carneiro J, Robert OK. 1998. Histologi Dasar. Ed ke-8. Jakarta:Buku Kedokteran.
Klabunde,RE.2005.Diuretik.http://www.cvpharmacology.com/diuretic/diuretics.htm [Jum’at, 5 Maret2010 pkl 16.34 WIB].
Komarek V, Gembardt C, Krinke A, Mahrous TA, Schaetti P. 2000. Synopsis ofthe Organ Anatomy. Agricultural University, Prague, Czech Republic.
Krinke GJ. 2000. The Laboratory Rat. Chapter 13: Gross Anatomy. AcademicPress: New York dan London.
Lu FC. 2006. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran, dan Perilaku. Ed ke-2.Jakarta: UI Press.
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan diLaboratorium. Bogor:PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Maryati S. 2007. Telaah Kandungan Kimia Daun Alpukat (Persea americanaMill.). Central Library, School of Pharmacy ITB.http://www.digilib.itb.ac.id/gdl.php [Jum’at, 5 Maret 2010 pkl 16.12 WIB]
Maxie MG. 1993. Pathology of Domestic Animals. Di dalam: Jubb KVF,Kennedy PC, Palmer N. Ed ke-4. California. USA: Academic Press.
McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke-4. An affiliate of Elsevier Inc.
Merk E, Cynthia M, Scott L. 2005. The Merk Veterinary Manual. USA:Merk &Company, Incorporated.
Myers P, Arnitage D. 2004. Rattus novergicus (on-line), animal diversityweb.http://animaldiversity.ummz.edu/site/accounts/information/rattus_novergicushtml [September 2009].
Peterson ME, Talcott PA. 2006. Small Animal Toxicology. Ed ke-2. Elsevier Inc.United States.
Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit. Ed ke-4. Jakarta : EGC.
Prihatman K. 2000. Budidaya Pertanian Tanaman Alpukat. Jakarta:DeputiMenegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan IlmuPengetahuan dan Teknologi. http://ristek.go.id [Jum’at, 5 Maret 2010 pkl15.52 WIB].
Sampson L, Rimm E, Hollman PC, de Vries JHM, Katan MB. Flavonol andflavones intake in US health professionals. 2002. Journal of The AmericanDietetic Association 102 (10): 1414-1420.http://www.americanheart.org/presenter.jhtml? [Agustus 2009].
Simanjuntak P, Parwati T, Lenny LE, Tamat S, Murwani R. 2004. Isolasi danIdentifikasi Senyawa Antioksidan dari Ekstrak Benalu Teh, Scurrulaoortiana (Korth) Danser (Lorantaceae). J Ilmu Kefarmasian Indonesia. 21:6-9.
22
Subahagio, Rahman I, Ibnusani D, Sutardjo, Sulaksono ME. 1997. PengaruhFaktor Keturunan dan Lingkungan terhadap Sifat-sifat Biologis yangTerlihat pada Hewan Percobaan. Departemen Kesehatan RepublikIndonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta:Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. VII. (1).
Sunanto H. 2009. 100 Resep Sembuhkan Hipertensi, Asam Urat dan Obesitas.Jakarta: PT. Alex Media Komputindo.
Tugcu V, Kemahli E, Ozbek E, Arinci YV, Uhri M, Ertukuner P, Metin G, SeckinI, Karaca C, Ipekoglu N, Altug T, Cekmen MB, Tasci AI. 2008. Protectiveeffect of a potent antioxidant, pomegranate juice in the kidneys of rats withnephrolithiasis induced by ethylene glycol. Journal of Endourology. Vol22 (12): 2723-2731.
Wuthrich RP. 2000. The Urinary System. Physiological Institute, UniversityZurich-Irchel, Zurich. Switzerland.
23
LAMPIRAN
Lampiran 1. Uji duncan kerusakan glomerulus dan tubulus
Normal Tubulus
Duncan
PERLAKUAN NSubset for alpha = .05
1KN 3 68.7800KP 3 65.8900IF 5 3 71.0267IF 10 3 70.4800Sig. .431
Edema Glomerulus
Duncan
PERLAKUAN NSubset for alpha = .05
1KN 3 29.5533KP 3 34.1100IF 5 3 29.0700IF 10 3 29.5167Sig. .062
Normal Tubulus
Duncan
PERLAKUAN NSubset for alpha = .051 2
KN 3 74.6733KP 3 5.7267IF 5 3 61.9200IF 10 3 70.0567Sig. 1.000 .053
Endapan Protein
Duncan
PERLAKUAN NSubset for alpha = .051 2
KN 3 21.1833KP 3 5.1067IF 5 3 22.1367IF 10 3 11.1507 11.1507Sig. .383 .147
24
Droplet Hyalin
Duncan
PERLAKUAN NSubset for alpha = .05
1KN 3 2.9367KP 3 8.5800IF 5 3 2.1767IF 10 3 .7800Sig. .058
Nekrosis Tubulus
Duncan
PERLAKUAN NSubset for alpha = .051 2
KN 3 13.9500KP 3 64.1733IF 5 3 19.5167IF 10 3 18.0067Sig. .570 1.000
Lampiran 2. Pembuatan Sediaan Histopatologi
Proses pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan Haematoxylin-
eosin (HE) adalah sebagai berikut :
Fiksasi
Sampel organ difiksasi dengan larutan Buffer Neutral Formalin 10%
selama seminggu dengan tujuan agar proses enzimatis pada jaringan terhenti.
Kemudian sampel dipotong dengan ketebalan 3-5 cm dan diletakkan di dalam
tissue cassette.
Dehidrasi
Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan
mencegah pengerutan sampel yang diuji, dengan cara merendamnya dalam larutan
alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, alkohol
absolut I dan alkohol absolut II). Proses ini dilakukan pada masing-masing cairan
selama dua jam.
25
Clearing
Clearing atau penjernihan adalah suatu proses antara sesudah dehidrasi dan
sebelum embedding dan paraffin. Tahap ini bertujuan untuk menjernihkan
jaringan. Zat yang digunakan sebagai larutan clearing adalah xylol (xylol I, xylol
II, xylol III). Proses ini dilakukan pada masing-masing cairan selama tiga puluh
menit.
Infiltrasi
Infiltrasi adalah pengisian paraffin ke dalam pori-pori jaringan
menggunakan paraffin cair dengan titik didih 56○C dan berlangsung selama tiga
puluh menit untuk masing-masing tabung.
Embedding
Embedding adalah penanaman jaringan ke dalam paraffin, dengan cara
meletakkan jaringan ke dalam paraffin cair dan dibekukan. Paraffin cair
dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi dua per tiga dari tinggi blok.
Jaringan dibenamkan sampai dasar cetakan. Paraffin didiamkan sampai mengeras
sehingga dapat dilepaskan dari blok pencetaknya. Proses ini dikerjakan dekat
dengan sumber panas untuk mencegah pembekuan paraffin sebelum proses
selesai.
Sectioning
Sectioning adalah proses pemotongan jaringan menggunakan mikrotom.
Pada tahap ini jaringan yang telah diblok dalam paraffin disimpan dalam lemari es
agar paraffin semakin mengeras sehingga memudahkan pemotongan. Untuk
mendapatkan sediaan histopatologi yang baik, jaringan dipotong dengan ketebalan
3-5 µ. Hasil potongan kemudian diapungkan dalam waterbath dengan suhu
hangat-hangat kuku agar jaringan tidak mengkerut dan terlipat.
26
Mounting
Hasil potongan jaringan yang berada di water bath diletakkan di atas gelas
objek. Agar jaringan lebih melekat pada gelas objek, sebelumnya gelas objek
diolesi dengan putih telur atau ditempatkan dalam inkubator pada suhu 25○C
semalam. Jaringan siap untuk diwarnai.
Lampiran 3. Pewarnaan HE
Jaringan dimasukkan ke dalam rak pewarnaan dengan posisi dan arah yang
sama. Jaringan dimasukkan ke dalam larutan secara berurutan yaitu xylol I selama
2 menit, xylol II selama 2 menit, alkhohol absolut selama 2 menit, alkhohol 95%
selama satu menit dan alkhohol 80% selama satu menit. Setelah itu jaringan
dicuci dalam air mengalir selama satu menit dan dimasukkan ke dalam larutan
Mayer’s Haematosilin selama delapan menit, dan selanjutnya dicuci kembali
dalam air mengalir selama 30 detik. Jaringan kemudian dimasukkan ke dalam
larutan lithium carbonat selama 15-30 detik, dicuci dengan air mengalir selama
dua detik, selanjutnya dimasukkan kedalam pewarna Eosin selama 2-3 menit dan
dicuci kembali dengan air mengalir selama 30-60 detik.
Setelah proses pencucian, jaringan dicelupkan ke dalam alkhohol 95%
sebanyak 10 kali, alkhohol absolut I sebanyak 10 kali dan alkhohol absolut II
sebanyak 2 kali celupan. Setelah proses pencelupan, gelas objek dimasukkan ke
dalam xylol I selama satu menit, kemudian xylol II selama dua menit. Setelah itu
ditunggu preparat hingga mengering dan dilakukan proses penutupan dengan
gelas penutup yang dilekatkan dengan lem khusus (Entellan®).