56
STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN SEEKOR BIAWAK AMBON (Varanus indicus) ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

0

STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA

KEMATIAN SEEKOR BIAWAK AMBON (Varanus indicus)

ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Page 2: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya dengan ini menyatakan bahwa skripsi Studi Kasus: Kajian

Histopatologi Pada Kematian Seekor Biawak Ambon (Varanus indicus) adalah

karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, April 2012

Astri Priyanti Parameswari

NIM B04070166

Page 3: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

2

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya illmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karyatulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

Page 4: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

3

ABSTRACT

ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI. Case Study: The Histopathological

Study of the Death of an Ambon Monitor Lizard (Varanus indicus). Under

direction of EVA HARLINA and AGUS SETIYONO.

The aim of this case study was to study the cause of death of an Ambon

monitor lizard (Varanus indicus) which died suddenly without showing any

clinical signs. Organs that were showing abnormality were collected and

histopathologically processed. Gross examination showed enlarged liver with

multiple white foci ranging from 0.1 to 2 cm in diameter and diagnosed as

multifocal abcess. Abcesses were also found in the spleen and kidney. The mucosa

of the intestine was filled with hemorrhage exudate and contained many necrotic

areas. The intestine was diagnosed as enteritis hemorrhagica et necroticans. The

histopathological examination showed granulomatous inflammation in the liver,

spleen, kidney and intestine, and amoebas were found in all of these organs. The

death of this lizard is caused by liver failure and multifunctional organ failure

caused by chronic inflammation of amoebiasis.

Keywords: Ambon monitor lizard, granulomatous inflammation, Entamoeba sp.

Page 5: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

4

STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA

KEMATIAN SEEKOR BIAWAK AMBON (Varanus indicus)

ASTRI PRIYANTI PARAMESWARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Page 6: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

5

Judul Skripsi : Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor

Biawak Ambon (Varanus indicus)

Nama : Astri Priyanti Parameswari

NIM : B04070166

Disetujui,

Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet. drh. Agus Setiyono, MS, PhD.,

APVet

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS, PhD. APVet

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

Tanggal lulus:

Page 7: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

6

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul Studi Kasus: Kajian Histopatologi Pada Kematian Seekor

Biawak Ambon (Varanus indicus). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Eva Harlina, M.Si,

APVet. dan drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet. selaku pembimbing skripsi

yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan bagi penulis. Ucapan

terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt.

selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi

(Pak Bangkit, Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Sholeh) atas bantuannya selama

penelitian.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis tujukan

kepada orangtua dan kakak-kakak tercinta yang telah berdoa dengan tulus dan

memberikan dukungan selama ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang

sangat dalam penulis tujukan kepada orang terdekat Azrul Zulmy, Gita Alvernita,

dan Patricia Noreva, atas dukungan dan semangat yang diberikan selama

penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman Gianuzzi 44.

Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, April 2012

Astri Priyanti Parameswari

Page 8: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

7

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Juni 1989 dari pasangan

Hardi Wibowo dan Warda Shahab. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga

bersaudara.

Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di Delima School,

Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

pendidikan ke SMP Charitas, Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis

kemudian masuk ke SMA Labschool Rawamangun, Jakarta dan lulus pada tahun

2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama menjalani pendidikan penulis aktif di Himpunan Minat Profesi

Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik-Eksotik (HKSA) sebagai pengurus dan

anggota divisi Hewan Kecil.

Page 9: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

8

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ........................................................................................ 1

Tujuan... .................................................................................................. 2

Manfaat... ................................................................................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA

Varanus indicus...... ................................................................................. 3

Habitat........... .......................................................................................... 5

Nilai Ekonomi Biawak......... ................................................................... 5

Reproduksi pada Biawak......................................................................... 6

Penyakit-Penyakit pada Biawak.... .......................................................... 7

Struktur dan Fungsi Hati.... ..................................................................... 10

Struktur dan Fungsi Ginjal.... .................................................................. 11

Struktur dan Fungsi Limpa...................................................................... 14

Struktur dan Fungsi Usus.... .................................................................... 15

Peradangan.... .......................................................................................... 15

Entamoeba sp..... ..................................................................................... 17

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat .................................................................................. 24

Alat dan bahan......................................................................................... 24

Metoda Penelitian.................................................................................... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pemeriksaan Patologi-Anatomi ..................................................... 26

Hasil Pemeriksaan Histopatologi ............................................................ 27

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ................................................................................................. 39

Saran ........................................................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 40

Page 10: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

9

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perubahan Patologi Anatomi Organ Biawak .......................................... 26

2. Perubahan Histopatologi Organ Biawak ................................................ 36

Page 11: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

10

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Varanus indicus ...................................................................................... 4

2. Anatomi biawak jantan ........................................................................... 4

3. ‘Sexual segment’ pada distal convoluted tubule ular jantan

Agkistrodon piscivorous ......................................................................... 13

4. Siklus hidup Entamoeba sp. ................................................................... 19

5. Kista dan tropozoit Entamoeba sp .......................................................... 21

6. Hati biawak Ambon (V. indicus) ............................................................ 27

7. Struktur hati biawak yang rusak ............................................................. 30

8. Edema glomerulus biawak ...................................................................... 30

9. Radang granuloma pada ginjal biawak ................................................... 33

10. Entamoeba sp. di tengah lesio ................................................................ 33

11. Perubahan histopatologi ginjal ............................................................... 34

12. Infeksi Entamoeba sp ............................................................................. 35

13. Infeksi Entamoeba sp ............................................................................. 35

Page 12: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

11

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biawak (Varanidae) adalah salah satu jenis reptil yang ditemukan di Asia,

Amerika, Afrika, dan Australia. Sebanyak 53 spesies Varanus sudah

teridentifikasi di seluruh dunia. Varanus berasal dari kata Arab ‘waran’ yang

berarti monitor. Banyak varanids yang dapat mengangkat dirinya secara vertikal

dengan menopang pada kedua kaki belakang dan ekornya sehingga memiliki

pandangan yang lebih jelas dan tinggi dari sekitarnya. Hal ini juga merupakan asal

nama biawak dalam bahasa Inggris yaitu monitor lizard (Pianka et al. 2004).

Habitat biawak sangat bervariasi yaitu rawa-rawa bakau, hutan lebat, sabana, dan

padang pasir. Beberapa spesies bersifat akuatik, semiakuatik, terestrial, arboreal,

dan semi arboreal. Ukuran biawak sangat bervariasi, mulai dari Varanus

brevicauda (Australian pygmy monitor) yang memiliki panjang 17-20 cm dengan

bobot badan 8-20 g hingga Varanus komodoensis (komodo) yang memiliki

panjang 3 m dan bobot badan 150 kg. Pakan biawak meliputi serangga, cacing,

crustacea, siput, belalang, ikan, amfibi, reptil, tikus, burung, kelinci, dan kambing

(Bartlett & Bartlett 1996).

Kelangsungan hidup biawak dapat terganggu akibat degradasi lingkungan,

polusi, dan ulah manusia. Hewan ini merupakan karnivora utama sehingga rentan

terhadap polutan dan toksin lingkungan yang dapat mengakibatkan penyakit dan

mutasi genetik. Biawak yang memakan amfibi, serangga, atau mamalia yang

terkena polutan lingkungan dapat mengalami mutasi genetik sehingga

menurunkan kemampuannya untuk bertahan hidup. Kerusakan habitat akibat

penebangan pohon dan pembangunan perumahan atau kawasan komersial juga

telah menurunkan populasinya di alam. Perburuan untuk mendapatkan kulit dan

dagingnya telah mengurangi populasi hewan ini hingga ke ambang kepunahan.

Populasinya menurun drastis akibat meningkatnya perdagangan hewan ini sebagai

hewan peliharaan eksotik. Popularitas hewan peliharaan eksotik telah meningkat

sejak tahun 1990-an, dan biawak merupakan komoditi yang mahal dalam

perdagangan karena hewan ini secara umum jinak, mudah dilatih, dan memiliki

rentang hidup yang panjang (Travis 2011).

Page 13: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

12

Usaha manusia untuk menjaga kelestarian hewan-hewan yang terancam

punah adalah dengan membuat cagar alam atau taman margasatwa. Pada

penelitian ini dilakukan pemeriksaan organ dari seekor biawak Ambon yang mati

yang datang ke Bagian Patologi FKH IPB dengan nomor kasus P/82/2011, untuk

diketahui penyebab kematiannya. Pemeriksaan kematian seekor biawak Ambon

ini dilakukan karena biawak dapat digunakan sebagai model untuk mempelajari

penyakit yang menyerang jenis kadal besar lainnya yang sudah terancam punah

yaitu Varanus komodoensis. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan juga

untuk mempelajari manajemen kesehatan biawak maupun reptil lainnya yang

berada di penangkaran tersebut.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kematian seekor

biawak Ambon (Varanus indicus) dengan nomor kasus P/82/2011 melalui

pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi.

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah mengetahui penyebab kematian biawak

tersebut dan hasilnya dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk pengelolaan

kesehatan biawak dan reptil lainnya yang ada di penangkaran.

Page 14: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

13

TINJAUAN PUSTAKA

Varanus indicus

Varanus indicus adalah biawak yang hidup secara terestrial dan arboreal,

yang memiliki sinonim biawak Ambon, mangrove monitor atau pacific monitor.

Hewan ini memiliki taksonomi kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum

Vertebrata, kelas Reptilia, ordo Squamata, subordo Autarchoglossa, famili

Varanidae, genus Varanus, dan spesies Varanus indicus-Daudin 1802 (Banks

2004). Hewan ini ditemukan di Australia (bagian Utara, Queensland), Indonesia

(Irian Jaya, Maluku), Kirabati, Papua New Guinea (Bismarck Archipelago, pulau

Solomon Utara), kepulauan Marshall, dan kepulauan Mariana Utara (Bennett &

Sweet 2010).

Bagian kepala, badan, punggung, ekor, dan kaki V. indicus dominan

berwarna hitam dengan bintik-bintik kuning yang menyebar secara merata dan

bagian perut berwarna putih kekuning-kuningan. Hewan ini memiliki kepala dan

leher yang panjang, empat kaki yang kuat dengan lima kuku yang tajam.

Penampang hidung V. indicus berbentuk bulat sedangkan penampang hidung

spesies lain seperti V. salvator dan V. togianus berbentuk oval. Jarak hidung lebih

dekat ke moncong dibandingkan jaraknya ke mata. Lidah biawak ini berwarna

hitam (Philipp et al. 1999), ekor berbentuk pipih, keras, sangat kokoh dan

panjangnya melebihi panjang kepala dan badan. Panjang ekor terhadap kepala 7.5

kali sedangkan panjang ekor terhadap badan 2.5 kali. Bobot badan berkisar antara

500-1900 g dan panjang tubuh berkisar antara 50-200 cm. Ukuran tubuh yang

jantan lebih besar dari betina. Jenis kelamin biawak dapat ditentukan dengan ada

tidaknya sepasang hemipenis, yang bila dilakukan pemijatan akan keluar di sekitar

kloaka. Gambar V. indicus beserta susunan anatominya disajikan pada Gambar 1

dan 2.

Page 15: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

14

Gambar 1 Varanus indicus. Seluruh badan berwarna hitam dengan bintik-bintik

kuning yang menyebar merata. Sumber: Cota (2008).

Gambar 2 Anatomi biawak jantan. Sumber: Barten (1996a).

V. indicus telah dikategorikan sebagai hewan Least Concern oleh IUCN

pada tahun 2009 karena memiliki distribusi dalam jumlah yang besar dan umum

ditemukan di berbagai habitat,namun spesies ini mungkin terancam punah di masa

Page 16: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

15

depan akibat diburu untuk dimakan, dieksploitasi untuk perdagangan kulit dan

terancam oleh kerusakan habitat. Saat ini belum ada upaya konservasi khusus

yang dilakukan untuk spesies ini (Bennett & Sweet 2010). Semua spesies dan

subspesies dari biawak termasuk dalam CITES Appendix II, kecuali Varanus

bengalensis, Varanus flavescens, Varanus griseus, Varanus komodoensis, dan

Varanus nebulosis termasuk dalam Appendix I (Ananjeva et al. 2006).

Spesies yang termasuk dalam Appendix I adalah spesies terancam punah

yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh perdagangan satwa liar.

Perdagangan spesies dalam Appendix I harus diatur dan diawasi secara ketat

untuk mencegah kepunahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Spesies yang

termasuk dalam Appendix II adalah spesies yang belum terancam punah namun

dapat terancam punah bila perdagangan spesies tersebut tidak diatur dan diawasi

secara ketat. Oleh karena itu, perdagangan spesies dalam Appendix II harus diatur

dan diawasi secara ketat untuk menjaga kelangsungan hidupnya (CITES 1979).

Habitat

Habitat V. indicus diantaranya bakau, hutan hujan dan rawa dengan pakan

yang terdiri atas siput, katak, ikan, serangga, burung, telur burung, dan telur reptil

lain. Biawak adalah predator oportunistik sehingga dapat mengubah pola

pakannya berdasarkan ketersediaan pakan di habitatnya (Bennett 2007).

Nilai Ekonomi Biawak

Indonesia telah lama menjadi negara pengeskpor reptil, baik dalam bentuk

reptil hidup maupun bentuk kulit. Reptil hidup diekspor untuk diambil daging atau

bagian lainnya, atau sebagai hewan peliharaan. Reptil hidup yang diambil

dagingnya umumnya diekspor ke Cina, Hongkong dan Singapura, sedangkan

reptil untuk hewan peliharaan lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat

(Mardiastuti & Soehartono 2003). Di beberapa daerah, biawak diolah dagingnya

menjadi bermacam-macam hidangan. Biawak atau dalam bahasa Nias disebut

boroe mulai dikenal dan dikonsumsi masyarakat Nias, khususnya di Gunungsitoli.

Konsumen daging biawak meningkat karena daging biawak enak dan bermanfaat

untuk mengatasi asam urat (Hulu 2011). Daging biawak dipercaya dapat bertindak

sebagai aphrodisiac (Anonim 2009), dan memiliki khasiat untuk mengobati gatal-

Page 17: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

16

gatal, menghaluskan kulit, mengobati luka bakar, dan mengencangkan payudara

(Anonim 2011).

Selain daging, kulit biawak juga memiliki pasar yang baik. Perdagangan

kulit biawak didominasi oleh satu jenis biawak yaitu biawak air Asia (Varanus

salvator) karena tersebar di seluruh Indonesia bagian barat meliputi Jawa,

Sumatra dan Kalimantan. Jumlah ekspor kulit biawak air Asia lebih banyak dari

jumlah ekspor kulit buaya yaitu rata-rata sebanyak 650.000 lembar per tahun

sedangkan ekspor kulit buaya hanya 1.000-3.500 lembar per tahun. Negara

pembeli utama kulit biawak adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Meksiko

dan Italia. Permasalahan utama ekspor reptil adalah belum adanya data jumlah

populasi di alam untuk menentukan jumlah kuota, perdagangan sulit dilakukan

berdasarkan ketentuan Konvensi CITES, dan kemungkinan menurunnya populasi

beberapa spesies reptil komersial akibat banyaknya pemanenan dari

alam(Mardiastuti & Soehartono 2003).

Reproduksi pada Biawak

Biawak jantan memiliki sepasang hemipenis yang berbentuk seperti

kantung, terletak di pangkal ekor dan menimbulkan tonjolan pada bagian ventral

ekor. Walaupun mempunyai sepasang hemipenis, pada saat kopulasi hanya satu

yang dimasukkan ke liang kloaka betina (Iyai & Pattiselanno 2006). Hemipenis

tidak digunakan pada saat urinasi karena urin dikeluarkan langsung dari kloaka

melalui ureter. Biawak betina memiliki sepasang oviduk dan ovarium. Ovarium

terletak pada posisi yang sama dengan testes pada biawak jantan yaitu di

dorsomedial rongga abdomen (Barten 1996a).

Faktor penentu utama kematangan seksual pada biawak adalah ukuran

tubuh. Usia dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kematangan seksual karena

berbeda antara biawak di alam liar dan penangkaran. Usia kematangan seksual

biawak di alam liar berkisar antara 3-4 tahun, sedangkan usia kematangan seksual

biawak di penangkaran tidak dapat ditentukan karena dipengaruhi oleh perawatan

dan pakan yang berbeda.

Musim kawin pada biawak ditentukan oleh suhu, hujan dan ketersediaan

pakan. Biawak jantan akan menjadi agresif dan menjaga teritorial ketika musim

Page 18: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

17

kawin (Barten 1996b). Frekuensi reproduksi biawak tergantung pada kondisi

lingkungan dan nutrisi biawak tersebut. Biawak bersifat ovipar dan dapat

menghasilkan telur lebih dari satu kali dalam setahun. Bila kopulasi terjadi

sebelum ovulasi, sperma akan disimpan oleh betina. Hal ini menyebabkan reptil

betina mampu untuk menghasilkan telur tanpa adanya kopulasi. Namun fertilisasi

akan meningkat bila kopulasi terjadi saat berlangsungnya pembentukan telur.

Gangguan reproduksi yang sering terjadi pada biawak adalah distokia,

prolapsus oviduk, kloaka dan hemipenis. Prolapsus oviduk dan kloaka terjadi

akibat oviposisi, namun banyak kasus yang terjadi akibat kesalahan penanganan

distokia. Prolapsus hemipenis terjadi karena trauma setelah kopulasi dan

mengalami inflamasi sehingga tidak dapat masuk kembali ke kloaka. Hemipenis

dapat mengalami pendarahan dan bahkan nekrosis sehingga harus diamputasi.

Prolapsus penis tidak mengganggu kemampuan reproduksi biawak karena

memiliki dua hemipenis (DeNardo 1996).

Penyakit-Penyakit pada Biawak

Penyakit pada biawak meliputi penyakit-penyakit yang umum terjadi pada

reptil. Biawak dapat mengalami gangguan kesehatan atau penyakit pada sistem

pernapasan, sistem pencernaan, sistem metabolisme, tulang, kulit, dan sistem

reproduksi (Wilson 2010). Gangguan kesehatan pada sistem pernapasan biawak

umumnya adalah pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri aerobik

dan anaerobik, fungi, serta parasit dan terjadi akibat manajemen pemeliharaan

yang kurang baik. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap fungsi pernapasan

dan sistem imun yang baik (Barten 1996b). Selain itu, nutrisi yang tidak seimbang

terutama kurangnya vitamin A dan protein dapat mengakibatkan gangguan

pernapasan. Kurangnya vitamin A mengakibatkan metaplasia pada sel epitel dan

duktus kelenjar mukus saluran pernapasan (Murray 1996).

Beberapa spesies Varanus spp. dapat mengalami luka pada kulit yang

disebabkan oleh gesekan hewan tersebut dengan kandang. Luka tersebut dapat

terinfeksi bakteri atau fungi sehingga diperlukan pengobatan dengan

menggunakan antibiotik sistemik (Wilson 2010). Biawak juga dapat terinfeksi

oleh berbagai jenis ektoparasit terutama kutu dan tungau. Terdapat tujuh genus

Page 19: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

18

tungau dan lebih dari 250 spesies kutu sebagai parasit reptil. Kutu dan tungau

dapat menyebabkan kegatalan dan menghisap darah serta menjadi vektor penyakit

infeksius. Salah satu contoh adalah kutu pembawa Aeromonas hydrophila yang

dapat menyebabkan pneumonia dan stomatitis (Mader 1996a). Amblyomma dan

Aponomma adalah caplak yang paling umum ditemukan di reptil. Selain itu,

Hirstiella sp. adalah tungau berukuran <1.5 mm yang ditemukan di sekitar mata

dan lipatan tubuh kadal. Tungau ini berperan dalam transmisi mekanik Aeromonas

hydrophila, bakteri, rickettsia dan virus (Kahn et al. 2010). Infestasi ektoparasit

juga dapat menyebabkan anemia.

Kulit reptil dapat terinfeksi oleh bermacam fungi yaitu Basidiobolus spp.,

Geotrichum spp., Paecilomyces spp., Tricophyton spp., dan Aspergillus spp..

Infeksi fungi pada kulit terjadi pada hewan dengan habitat yang lembab dan

kurang sinar matahari (Rose 2005). Penyebab dermatitis selain fungi yaitu

acariasis, trauma, imunosupresi akibat suhu, nutrisi, penyakit metabolik, dan

kepadatan kandang. Mikosis dapat disebabkan oleh Aspergillus, Cladosporium,

Metarhizium, Mucor, Paecilomyces, Penicillium spp., dan Chrysosporium. Faktor

predisposisi mikosis antara lain higiene yang tidak baik, kelembaban yang tinggi,

suhu rendah, malnutrisi, atau akibat penyakit sekunder. Mikosis dapat menjadi

sistemik setelah periode waktu yang lama.

Dermatofitosis dapat ditemukan pada semua ordo reptilia, dan genus yang

sering terisolasi adalah Geotrichum, Fusarium dan Trichosporon. Infeksi Mucor

dan Fusarium menyebabkan ulkus pada saluran pencernaan, sedangkan infeksi

Metarhizium dan Paecilomyces spp. menyebabkan granuloma kronis pada hati,

ginjal dan limpa. Infeksi Aspergillus dan Candida spp. menimbulkan granuloma

dan gangguan respirasi bahkan kematian (Kahn et al. 2010).

Penyakit pada biawak juga dapat diakibatkan oleh parasit internal

diantaranya protozoa, nematoda dan trematoda. Banyak protozoa komensal atau

non patogen yang ditemukan pada saluran pencernaan kadal. Kadal dapat terkena

amoebiasis, coccidiosis dan cryptosporidiosis. Amoeba Entamoeba invadens

mengakibatkan amoebiasis yang ditransmisikan melalui rute fekal-oral dan

bersifat sangat patogen (Wilson 2010). Amoebiasis dapat terjadi di lingkungan

yang memiliki sanitasi rendah, kandang yang terlalu padat atau biawak yang

Page 20: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

19

meminum air yang telah terkontaminasi amoeba tersebut. Pengamatan

makroskopis pada seekor biawak dengan amoebiasis menunjukkan adanya fokus-

fokus berwarna putih kekuningan hingga abu-abu pada otot skelet dan hati, ulkus

pada mukosa usus yang kemerahan dan menebal sedangkan pengamatan

mikroskopis menunjukkan adanya miositis, hepatitis dan enteritis (Chia et al.

2009).

Coccidiosis pada reptil disebabkan oleh protozoa genus Eimeria, Isospora,

dan Caryospora yang ditransmisikan melalui rute fekal-oral, sedangkan

cryptosporidiosis bersifat sangat virulen pada ular dan kadal yang juga

ditransmisikan melalui rute fekal-oral (Wilson 2010). Cryptosporidia

menyebabkan penebalan mukosa usus, regurgitasi, diare, dan penurunan bobot

badan. Diagnosa Cryptosporidia dapat dilakukan dengan mengidentifikasi oosit

melalui pewarnaan asam pada feses, hasil regurgitasi atau biopsi saluran

pencernaan (Kahn et al. 2010). Nematoda yang menginfeksi saluran pencernaan

dan pernapasan reptil antara lain cacing gelang, cacing kait (Oswalsocruzia spp.),

cacing kremi (Oxyurus spp.), cacing hati (Capillaria spp.), Strongyloides spp., dan

cacing paru (Entomelas spp).

Biawak juga dapat mengalami Metabolic Bone Disease (MBD). MBD

disebabkan oleh defisiensi kalsium atau vitamin D, rasio Ca dan P yang tidak

seimbang dan kurangnya paparan terhadap sinar ultraviolet. MBD meliputi

berbagai macam sindrom klinis yaitu hiperparatiroidisme sekunder, osteoporosis,

osteomalacia, rickettsia, osteodystrophy fibrous, atau hipokalsemia (Boyer 1996).

Tanda-tanda klinis penyakit ini adalah kelemahan, paralisis, anoreksia,

kebengkakan dan fraktur pada tulang, serta tremor. Biawak cenderung terkena

MBD jika tidak mendapatkan vitamin D3 yang cukup walaupun mendapatkan

kalsium yang cukup karena vitamin D3 berperan dalam absorbsi kalsium di usus

halus. Absorbsi kalsium dipengaruhi oleh metabolit aktif vitamin D3 yaitu

cholecalciferol. Vitamin D3 dapat dikonsumsi dalam diet sebagai suplemen atau

dapat diproduksi dalam tubuh bila biawak terkena sinar matahari yang cukup

(Wilson 2010).

Gout adalah penyakit yang umum ditemukan pada reptil, termasuk biawak.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan gout adalah dehidrasi, kerusakan ginjal

Page 21: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

20

dan konsumsi purin yang berlebihan. Gout terdiri atas tiga jenis yaitu visceral,

artikular dan periartikular. Adanya kristal asam urat di cairan sinovial disebut gout

arthritis, pada sendi disebut gout periartikular, dan pada jaringan subkutan dan

internal disebut gout visceral. Biawak memerlukan protein hewani dalam

pakannya sebagai karnivora sehingga dapat mengalami defisiensi asam amino

yang bersumber protein nabati. Asam nukleat dari pakan didegradasi menjadi

nukleotida yang akan dihidrolisis menjadi purin dan pirimidin, lalu akan

didegradasi dan diekskresi. Pirimidin akan dikatabolisasi menjadi CO2 dan NH3,

purin akan didegradasi menjadi asam urat dan diekresikan dari darah melalui

tubulus ginjal. Asam urat terdapat di darah dalam bentuk monosodium urat yang

tidak dapat larut dalam air. Bila konsentrasi keduanya meningkat dalam darah

akan timbul kondisi hiperuricemia,sedangkan bila konsentrasi keduanya

meningkat dalam cairan tubuh lain, asam urat akan mengkristal dan tersimpan

dalam jaringan tubuh. Kristal-kristal tersebut mengendap pada kantung

perikardium, ginjal, hati, limpa, paru, dan jaringan subkutan.

Gout terdiri atas gout primer dan sekunder. Gout primer disebabkan oleh

produksi asam urat yang berlebihan sedangkan gout sekunder disebabkan oleh

hiperuricemia. Hiperuricemia dapat disebabkan oleh penyakit kronis atau obat-

obatan yang mengganggu keseimbangan produksi dan ekskresi asam urat.

Penyakit kronis yang dapat mempengaruhi ekskresi asam urat antara lain penyakit

ginjal dan hipertensi. Gout terdiri atas tiga tahap, tahap pertama yaitu

hiperuricemia asimptomatis dimana tidak terdapat tophi atau kristal monosodium

urat; tahap kedua yaitu arthritis simptomatis dan tahap terakhir yaitu gout

tophaceous, yaitu tahap dimana asam urat tidak dapat diekskresikan dan terbentuk

tophi pada tulang rawan, membran sinovial, tendon, dan jaringan lunak. Setiap

tophus terdiri atas kristal asam urat yang dikelilingi oleh granuloma yang

mengandung makrofag, sel epitel dan sel raksasa (Mader 1996b).

Struktur dan Fungsi Hati

Hati reptil terletak kranial dari lambung pada bagian kranioventral

abdomen (Wilson 2010). Hati terdiri atas lobulus yang memiliki batas kurang

jelas dibandingkan dengan hati mamalia. Fungsi hati pada reptil hampir sama

Page 22: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

21

dengan mamalia yaitu metabolisme lemak, protein dan glikogen serta produksi

asam urat dan faktor pembekuan darah (Fudge 2000). Pada hati reptil terdapat

makrofag yang mengandung melanin disebut melanofag, yang berproliferasi bila

terjadi inflamasi sistemik. Sel-sel ini mengandung hemosiderin dan lipofuchsin

dan berfungsi menangkap radikal bebas dan mematikan bakteri (Terio 2004).

Pigmen melanin terdistribusi secara acak pada bagian parenkim hati dan tidak

memiliki pola tertentu (Frye 1991).

Penyakit hati akut pada reptil biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda,

terjadi secara tiba-tiba dan hewan hanya mengalami letargi dan anoreksia.

Penyakit hati kronis biasanya ditunjukkan dengan penurunan nafsu makan,

penurunan aktivitas, penurunan berat badan, dan perubahan warna pada feses

(Fudge 2000).

Struktur dan Fungsi Ginjal

Ginjal terletak di bagian kaudodorsal abdomen yang terdiri atas nefron

yang masing-masing memiliki glomerulus dan tubulus. Ginjal berperan dalam

sistem eksretori untuk mengekskresikan produk sisa metabolik, mengontrol

volume dan komposisi cairan tubuh, mengatur keseimbangan air, elektrolit,

osmolalitas cairan tubuh, mengatur tekanan arteri, dan mengatur keseimbangan

asam basa. Selain itu, ginjal juga berperan dalam glukoneogenesis dan ekskresi

hormon (Guyton & Hall 2006). Ginjal juga berfungsi untuk mengekskresikan

erithropoietin yang menstimulasi produksi eritrosit dan renin.

Produk metabolisme protein pada biawak adalah sodium, potasiumdan

garam amonium asam urat. Persentase masing-masing produk tergantung nutrisi,

faktor metabolik, lingkungan, dan individu (Frye 1991). Produk nitrogen

dieksresikan sebagai asam urat, urea dan amonia, dan ekskresi amonia dan urea

menyebabkan hilangnya air secara signifikan. Asam urat yang tidak larut dalam

air membantu dalam penyimpanan air (Barten 1996b).

Masing-masing ginjal terdiri atas korteks dan medula, dengan unit

fungsionalnya adalah nefron yang terdiri atas korpuskulus renalis (badan

Malpighi) dan tubulus. Nefron terdiri atas glomerulus dan tubulus. Glomerulus

terletak pada bagian korteks ginjal, terdiri atas kapiler melingkar yang menerima

Page 23: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

22

darah dari arteriol aferen dan eferen, merupakan anastomose kapiler yang

dikelilingi oleh sel endotel dan fibrosit, dan filtrat darah akan dikeluarkan melalui

tubulus proksimalis (Frye 1991). Tubulus terdiri atas proximal convoluted tubule

(PCT), distal convoluted tubule (DCT), dan collecting tubule (CT) yang menuju

ke saluran mesonefrik.

Pada beberapa spesies kadal jantan termasuk biawak terdapat karakteristik

yang jelas pada ukuran, bentuk dan granul-granul pada sitoplasma epitel DCT.

Karakteristik ini disebut ‘sexual segment’, yang hanya ditemukan pada hewan

jantan yang sudah dewasa kelamin. Perubahan ini sangat jelas terlihat sehingga

jenis kelamin hewan dapat ditentukan dengan melihat histologi ginjal. Sel epitel

DCT mengalami hipertrofi dan dipenuhi dengan granul-granul sitoplasma yang

kecil, bulat dan eosinofilik (Aughey & Frye 2001). Epitel DCT menjadi berbentuk

silindris dan granul-granul sitoplasma eosinofilik ini disekresikan ke lumen DCT.

Hipertrofi ini terjadi pada siklus waktu tertentu yaitu saat aktivitas testes mencapai

puncak. Granul-granul eosinofilik ini juga dapat ditemukan di lumen vas deferens

(Frye 1991).

Fungsi ‘sexual segment’ dan sekresinya masih belum diketahui, namun

telah diusulkan bahwa fungsinya adalah memisahkan semen dan urin dengan

memblokade tubulus renalis dan ureter saat kopulasi, membantu pengeluaran

semen dari kelenjar ampula dan vesikula seminalis, memberi nutrisi untuk

sperma, dan bertindak sebagai feromon (Khanna 2004). Selain pada kadal, ‘sexual

segment’ juga dapat ditemukan pada ular namun tidak pada kura-kura (Sever et al.

2007). Karakteristik ‘sexual segment’ adalah granul di sitoplasma epitel DCT

dengan densitas yang bervariasi tergantung spesies dan aktivitas testes, dengan

inti sel yang terletak di bagian basal (Krohmer et al. 2004). DCT biawak yang

sedang mengalami ‘sexual segment’ disajikan pada Gambar 3.

Page 24: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

23

Gambar 3 ‘Sexual segment’ pada distal convoluted tubule ular jantan Agkistrodon

piscivorous. Epitel tubulus mengalami hipertrofi, inti terletak di bagian

basal dan sitoplasma bergranul. Granul juga ditemukan di lumen

tubulus. Pewarnaan HE. Sumber: Sever et al. (2007).

Ginjal reptil memiliki nefron yang lebih sedikit dibandingkan mamalia dan

tidak memiliki lengkung Henle, sehingga reptil tidak mampu mengkonsentrasikan

urin dengan osmolaritas yang lebih tinggi dari plasma atau tidak mampu

menghasilkan urin yang pekat. Urin akan melalui saluran mesonefrik ke urodeum

kloaka lalu menuju ke vesika urinaria (Divers 1999). Saluran mesonefrik memiliki

epitel kubus sebaris dan epitel silindris transisional yang memiliki nukleus di

bagian basal sel (Frye 1991).

Semua kadal bersifat urikotelik, yaitu mengeksresikan asam urat sebagai

produk utama metabolisme protein yang tidak dapat larut dalam air. Asam urat

aktif diekskresikan oleh tubulus proksimal kemudian ditranspor oleh saluran

mesonefrik dari masing-masing ginjal ke vesika urinaria (Wilson 2010). Ekskresi

asam urat berfungsi untuk mengkonservasi air dalam tubuh dan sebagai adaptasi

terhadap lingkungan yang kering. Berbeda halnya dengan mamalia, ekskresi

amonia dan urea yang signifikan pada reptil tergantung dari lingkungan dimana

reptil tersebut hidup dan terlihat hanya pada reptil yang hidup di lingkungan

akuatik dan semi akuatik. Produksi asam urat juga sebagai kompensasi karena

reptil tidak dapat mengkonsentrasikan urin seperti pada mamalia, karena reptil

tidak memiliki lengkung Henle (Bass 2011).

Page 25: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

24

Pada vertebrata, mekanisme lengkung Henle dipengaruhi oleh mekanisme

hormon yang mengatur peredaran darah ke ginjal dengan mengkonstriksikan

diameter kapiler ginjal. Pada keadaan dehidrasi, mekanisme ini menyebabkan

sirkulasi darah berkurang dengan tujuan untuk meminimalisasi volume darah yang

difilter dan air yang keluar dari nefron. Pada reptil, konstriksi kapiler ginjal

mengakibatkan suplai darah ke nefron berkurang sehingga ginjal akan mengalami

nekrosa dan akhirnya reptil tersebut mati. Oleh karena itu, reptil memiliki sistem

peredaran darah tambahan yang dikenal sebagai sistem renal portal, yaitu rute

aliran darah dari kaudal tubuh ke ginjal sebelum ke jantung. Sistem peredaran

darah ini hanya ada pada mamalia sewaktu embrio (Bass 2011). Oleh karena itu

penyuntikan obat nefrotoksik pada reptil dihindari di daerah kaudal. Namun

beberapa studi farmakologi menunjukkan bahwa metabolisme obat-obatan tidak

berpengaruh terhadap kura-kura saat obat disuntikkan pada bagian kaudal

tubuhnya (Wilson 2010).

Gejala penyakit renal akut pada reptil antara lain depresi, letargi dan

penurunan produksi urin. Sebagian reptil dengan penyakit renal akut memiliki

bobot badan dan kondisi yang cukup baik. Penyakit renal kronis dapat disebabkan

oleh perawatan yang kurang baik seperti kelembaban yang kurang, dehidrasi dan

faktor nutrisi. Faktor nutrisi yang dimaksud seperti diet protein tinggi dan

suplemen vitamin D3 yang berlebihan. Gejala penyakit renal kronis adalah

penurunan nafsu makan, penurunan bobot badan dan peningkatan frekuensi

minum. Penyakit renal merupakan penyakit utama yang dapat menyebabkan

kematian reptil pada penangkaran (Navarre 2003).

Struktur dan Fungsi Limpa

Limpa adalah organ limfoid terbesar di dalam tubuh yang memiliki fungsi

lymphopoiesis dan hemopoiesis yang terdiri atas kapsula, trabekula, pulpa merah,

dan pulpa putih. Pulpa merah berfungsi untuk menyimpan darah, mengeluarkan

benda asing, membuang sel darah merah yang mati dan abnormal, sedangkan

pulpa putih berfungsi untuk membentuk limfosit saat terjadi respon imun (Colville

& Bassert 2002).

Page 26: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

25

Limpa reptil memiliki struktur histologi yang mirip dengan limpa

vertebrata tingkat tinggi (Press & Landsverk 2006). Pada beberapa reptil limpa

tergabung menjadi satu dengan pankreas sehingga terdapat gabungan jaringan

limpa dan pankreas yang disebut splenopankreas, namun pada biawak kedua

organ ini terpisah (Frye 1991). Reptil tidak memiliki kelenjar getah bening namun

memiliki sistem imun sebagaimana pada vertebrata tingkat tinggi. Jaringan

limfoid terdapat di submukosa saluran pencernaan dan saluran pernapasan (Paré

2006).

Struktur dan Fungsi Usus

Secara umum bentuk saluran pencernaan reptil sama dengan vertebrata

tingkat tinggi, namun ada sedikit perbedaan pada bentuknya. Kura-kura memiliki

usus yang sangat berbelit sedangkan ular memiliki usus yang relatif lurus.

Permukaan usus bervariasi pada masing-masing kelompok reptil, yaitu

membentuk lipatan longitudinal atau transversal, memiliki susunan berliku-liku

atau berbentuk seperti sarang madu.

Mukosa usus reptil memiliki vili dengan kripta yang tidak berkembang

dengan baik termasuk biawak, bahkan tidak ada pada beberapa spesies. Epitel

usus halus terdiri atas sel silindris dan sel goblet yang berfungsi untuk

mensekresikan mukus. Sel enteroendokrin juga ditemukan di epitel usus halus

yang mengandung hormon peptida dan amino. Sel tersebut memiliki fungsi yang

sama seperti pada mamalia yaitu mengatur motilitas usus. Bagian lain dari usus

halus selain duodenum sulit dibedakan. Usus biawak memiliki bagian-bagian

yang sama dengan mamalia yaitu epitel, lamina propria, muskularis mukosa,

submukosa, tunika muskularis, dan serosa (Ahmed et al. 2009).

Peradangan

Peradangan adalah perubahan jaringan yang disebabkan oleh berbagai

agen patogen, trauma, bahan kimia, dan panas. Tanda-tanda peradangan adalah

vasodilatasi pembuluh darah lokal, peningkatan permeabilitas kapiler, migrasi

granulosit dan monosit ke jaringan, dan pembengkakan sel (Guyton & Hall 2006).

Sel-sel peradangan pada reptil terdiri atas heterofil, limfosit, sel plasma, monosit,

Page 27: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

26

dan makrofag. Heterofil adalah sel bulat, besar, dan bersifat fagositik yang

dominan ditemukan pada inflamasi. Ukuran heterofil terbesar ditemukan pada ular

dengan nukleus bulat dan tidak berlobus, namun berlobus pada beberapa reptil

seperti iguana, bunglon, dan tokek. Sitoplasma heterofil mengandung granul

seperti eosinofil (Reavill 1994).

Peradangan dapat dibagi menjadi peradangan heterofilik, peradangan

campuran dan peradangan makrofag. Peradangan heterofilik merupakan respon

peradangan akut yang ditandai oleh dominasi heterofil mencapai lebih dari 70%.

Peradangan campuran adalah peradangan yang ditandai oleh kehadiran heterofil

mencapai lebih dari 50% dan peningkatan sel monosit, limfosit, makrofag, dan sel

plasma. Peradangan campuran lebih sering dijumpai pada reptil karena migrasi

makrofag ke lesio lebih cepat dari migrasi makrofag pada mamalia. Inflamasi

heterofil memproduksi neurotoksin yang bersifat kemotaktik terhadap makrofag

sehingga terbentuk granuloma. Oleh karena itu, pembentukan granuloma pada

reptil menjadi respon jaringan bukan respon terhadap adanya agen infeksius.

Pembentukan sel raksasa sering terjadi pada lesio peradangan di reptil karena

respon terhadap benda asing. Oleh karena itu, adanya sel raksasa pada lesio

peradangan tidak selalu menunjukkan bahwa peradangan tersebut kronis.

Granuloma kronis ditunjukkan oleh adanya sel epiteloid dan fibroblas (Campbell

1999).

Peradangan makrofag ditandai oleh akumulasi lebih dari 50% sel

makrofag pada lesio. Peradangan heterofil dan peradangan campuran dapat

disebabkan oleh infeksi bakteri atau fungi, trauma, dan benda asing sedangkan

peradangan makrofag dapat disebabkan oleh benda asing, fungi, mikobakterial,

dan chlamydia. Peradangan eosinofilik jarang terjadi pada reptil karena sulit untuk

membedakan heterofil dan eosinofil pada pewarnaan biasa. Peradangan

eosinofilik terjadi akibat reaksi hipersensitivitas terhadap parasit atau alergen

(Campbell 1999).

Radang granuloma adalah fokus kumpulan sel-sel mononuklear yang

terbentuk akibat adanya produk non-degradable dalam tubuh atau sebagai respon

hipersensitivitas. Radang granuloma terjadi bila proses inflamasi akut tidak bisa

menghancurkan benda asing terutama mikobakteria, spirochetes, virus, fungi,

Page 28: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

27

protozoa, chlamydia, dan rickettsia (Zumla & James 1996). Infeksi bakteri, fungi,

parasit, dan algae merupakan penyebab utama morbiditas dan mortilitas pada

reptil. Respon reptil terhadap infeksi-infeksi tersebut berupa radang granuloma

yang dapat diklasifikasikan menjadi heterofilik atau histiositik, tergantung dari

etiologi dan respon individu. Radang granuloma heterofilik ditandai oleh

akumulasi heterofil dan biasanya disebabkan oleh patogen ekstraseluler

sedangkan granuloma histiositik disebabkan oleh infeksi bakteri intraseluler

(Soldati et al. 2004).

Radang granuloma ditandai oleh adanya infiltrasi monosit dan turunannya

serta meluasnya kematian jaringan. Monosit berasal dari sel prekursor dalam

sumsum tulang yang akan bermigrasi ke jaringan yang mengalami cedera lokal.

Monosit akan membesar dan berkembang menjadi makrofag. Monosit,

promonosit, dan makrofag membentuk sistem fagosit mononuklear. Makrofag

mampu mencerna bakteri dan partikel besar serta mampu hidup sampai berbulan-

bulan walaupun terdapat bakteri di dalam sitoplasmanya (Spector & Spector

1993). Radang granuloma kronis ditandai oleh adanya sel epiteloid, limfosit, sel

plasma, dan sel raksasa di sekeliling lesio tersebut (Soldati et al. 2004). Sel

epiteloid adalah derivat dari makrofag yang berfungsi untuk mensekresikan

lisozim, sedangkan sel raksasa adalah sel yang terbentuk dari fusi makrofag

(Spector & Spector 1993). Selain itu, fibroblas juga ditemukan di radang

granuloma (Jones et al. 1997).

Entamoeba sp.

Berbagai spesies amoeba komensal atau patogen dapat ditemukan di

saluran pencernaan reptil. Entamoeba sp. biasanya tidak menyebabkan penyakit

atau perubahan patologi, namun adanya faktor predisposisi seperti stres, pakan,

gangguan pencernaan dan infeksi sekunder dapat menyebabkan Entamoeba sp.

menjadi patogen. Kasus amoebiasis pada reptil dengan morbiditas dan mortalitas

tinggi disebabkan oleh Entamoeba invadens, walaupun ada spesies Entamoeba

lain yang dapat menginfeksi reptil seperti Entamoeba terrapinae dan Entamoeba

insolita.

Page 29: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

28

Amoebiasis menyebabkan morbiditas dan mortilitas yang tinggi pada

kadal dan ular di penangkaran. Mortalitas dapat mencapai 100%, dan pada ular

kematian dapat terjadi 13-77 hari pasca inokulasi (Wilson 2010). Amoebiasis

merupakan penyakit yang serius di reptil karena sulitnya mengeradikasi agen dari

lingkungan atau inang pembawa (Richter et al. 2008). Kura-kura, buaya, dan

beberapa spesies ular dan kadal telah teridentifikasi sebagai inang pembawa

Entamoeba sp.. Amoebiasis fatal pada biawak karena biawak sangat rentan

terhadap Entamoeba sp. dan diperparah dengan adanya infeksi sekunder oleh

bakteri. Reptil langsung mati akibat amoebiasis tanpa menunjukkan gejala klinis

(Denver et al. 1999).

Amoebiasis ditransmisikan melalui rute fekal-oral. Entamoeba sp.

memiliki siklus hidup langsung tanpa inang antara, dan terdapat dua bentuk dalam

siklus hidupnya yaitu tropozoit dan kista. Tropozoit adalah bentuk proliferatif dan

amoeba motil dalam tubuh inang, sedangkan kista adalah bentuk infektif yang

dihasilkan di dalam mukosa usus. Kista memiliki dinding yang memiliki

komponen utama kitin sehingga terlindung dari kondisi lingkungan, sedangkan

tropozoit tidak mengandung kitin (Das & Gillin 1991).

Siklus hidup amoeba dimulai dari dikeluarkannya kista dari inang melalui

feses, lalu termakan oleh inang melalui air dan pakan yang terkontaminasi

(Kumagai et al. 1999). Kista yang termakan kemudian mengalami eksitasi di usus

halus dan mengeluarkan tropozoit. Tropozoit akan mengalami replikasi melalui

pembelahan biner, bermigrasi ke usus besar, dan dikeluarkan melalui feses. Selain

itu, tropozoit dapat memasuki aliran darah melalui arteri mesenterika dan

menginfeksi organ lain seperti hati, paru, dan otak hingga menyebabkan abses

pada hati atau organ lain (Lane & Mader 1996; Chia et al. 2009; Wilson 2010).

Kista dapat bertahan di lingkungan sampai beberapa minggu karena

mempunyai dinding yang melindunginya, sedangkan tropozoit yang dikeluarkan

melalui feses tidak dapat bertahan lama di lingkungan. Tropozoit yang berada di

lumen usus akan menginfeksi usus dengan mengeluarkan polipeptida yang disebut

amoebapora serta mensekresikan enzim proteolitik untuk memudahkannya masuk

dan merusak epitel dan mukosa usus. Siklus hidup Entamoeba sp. disajikan pada

Gambar 4.

Page 30: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

29

Gambar 4 Siklus hidup Entamoeba sp..Tropozoit bereplikasi melalui pembelahan

biner dan membentuk prekista di usus besar. Prekista berkembang

menjadi kista dan dikeluarkan melalui feses. Kista di lingkungan yang

termakan melalui pakan atau air yang terkontaminasi membentuk

metakista di usus halus yang kemudian mengalami eksitasi dan

berkembang menjadi tropozoit. Tropozoit kemudian bereplikasi

melalui pembelahan biner, bermigrasi ke usus besar dan memasuki

aliran darah lalu bermigrasi ke organ lain.

Sumber:http://compepid.tuskegee.edu/syllabi/pathobiology/pathology/

parasitology/chapter3.html.

Siklus hidup yang langsung dari Entamoeba sp. menyebabkan penularan

yang cepat pada reptil di penangkaran. Waktu inkubasi amoeba adalah 12-32 hari

dan waktu kematian terjadi 1-10 minggu pasca inokulasi. Waktu kematian

tergantung dari beberapa faktor yaitu jumlah amoeba yang menginfeksi, status

kesehatan hewan, status kekebalan hewan dan spesies hewan. Semua genus kadal

dapat terinfeksi amoeba, tidak ada yang memiliki kerentanan atau daya tahan

tertentu (Frye 1991). Tanda-tanda klinis amoebiasis adalah anoreksia, muntah,

Page 31: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

30

dehidrasi, dan diare yang mengandung darah dan mukus kehijauan (Frye 1991;

Lane & Mader 1996).

Diagnosa amoebiasis dilakukan melalui pemeriksaan tropozoit atau kista

pada feses. Kista diidentifikasi melalui focal floatation atau preparat ulas feses

secara langsung, sedangkan tropozoit hanya dapat diidentifikasi melalui preparat

ulas feses secara langsung. Preparat ulas ditetesi Lugol’s iodine untuk imobilisasi

dan mewarnai amoeba (Wilson 2010). Diagnosa dapat berhasil melalui

pemeriksaan feses bila terdapat tropozoit dalam jumlah yang banyak dan sampel

feses segar. Sampel feses yang diuji harus segar karena tropozoit mudah hancur

setelah diekskresikan dari tubuh sehingga tidak dapat terdeteksi, sedangkan

identifikasi amoeba berdasarkan kista sulit dilakukan. Tropozoit amoeba dapat

difiksasi menggunakan polyvinyl alkohol. Sampel feses segar belum tentu

menunjukkan adanya amoeba karena amoeba yang keluar bersamaan dengan feses

tidak merata, bahkan hewan dengan amoebiasis yang parah dapat menunjukkan

hasil negatif yang berulang (Barnett 2003). Pemeriksaan Entamoeba sp. sebaiknya

menggunakan minimal tiga sampel feses selama tidak lebih dari 10 hari, dan dapat

meningkatkan deteksi sebanyak 85-95% (Fotedar et al. 2007).

Cara untuk mendiagnosa amoeba yang lebih akurat adalah melalui irigasi

kloaka dengan menggunakan kateter. Sampel cairan disentrifugasi lalu diperiksa

di bawah mikroskop atau dikultur. Kultur in vitro sampel kloaka lebih efisien

untuk mendeteksi kista dan tropozoit amoeba. Diagnosa secara histologi juga

dapat dilakukan namun lebih mahal karena sampel organ diambil dengan

menggunakan endoskopi atau laparoskopi (Barnett 2003). Identifikasi Entamoeba

sp. melalui pengamatan mikroskop kurang dapat diandalkan karena dapat

menghasilkan negatif palsu akibat salah identifikasi makrofag sebagai tropozoit,

granulosit sebagai kista atau spesies Entamoeba lain. Kultur tidak disarankan

untuk diagnosa rutin Entamoeba sp. karena dapat terkontaminasi oleh bakteri,

fungi atau protozoa, selain lebih mahal dan memerlukan tenaga kerja intensif

(Fotedar et al. 2007). Diagnosa diferensial amoebiasis adalah nematodiasis dan

salmonellosis, namun kedua penyakit tersebut tidak menyebabkan morbiditas dan

mortalitas tinggi (Lane & Mader 1996).

Page 32: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

31

Identifikasi Entamoeba spp. sulit dilakukan karena bentuk tropozoit dan

kistanya mirip di berbagai spesies reptil. Selain itu kromatin dan jumlah nukleus

pada kista tidak memiliki karakteristik yang definitif, sehingga diagnosa spesies

Entamoeba lebih sering disesuaikan dengan inangnya (Richter et al. 2008).

Tropozoit Entamoeba sp. sulit dibedakan dengan amoeba lain pada reptil,

sedangkan kista E. invadens mirip dengan E. histolytica dan E. dispar pada

manusia. Tropozoit dan kista Entamoeba sp. disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kista (a) dan tropozoit Entamoeba sp. (b) dalam sampel feses. Kista

memiliki dinding dan dua nukleus, sedangkan tropozoit tidak memiliki

dinding dan hanya memiliki satu nukleus. Bar: 5 µm. Sumber: Fotedar

et al. (2007).

Entamoeba sp. memiliki ukuran tropozoit dan kista yang bervariasi antar

spesies. E. histolytica dan E. dispar memiliki tropozoit berukuran 15-20 µm dan

kista berukuran 10-15 µm, sitoplasma bervakuola dan nukleus di bagian tengah.

Kista Entamoeba sp. dewasa memiliki empat nukleus sedangkan kista yang belum

dewasa memiliki satu sampai dua nukleus (Fotedar et al. 2007). E. invadens

memiliki tropozoit berukuran 10-20 µm dengan sitoplasma bervakuola dan

nukleus yang mengandung badan kromatin (Chia et al. 2009).

Identifikasi ketiga amoeba ini dapat dilakukan melalui kultur in vitro,

dimana E. invadens tumbuh optimal pada suhu 25 °C dan tidak akan tumbuh pada

suhu di atas 33 °C. E. histolytica dan E. dispar dapat dibedakan menggunakan

antibodi anti-amoeba, darah pada feses atau eritrosit di dalam tropozoit E.

histolytica (Denver et al. 1999). E. invadens hidup di dalam inang yang bersuhu

Page 33: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

32

kurang dari 31 °C, sedangkan E. histolytica hidup di dalam inang yang bersuhu 37

°C (Frye 1991).

Amoebiasis sangat dipengaruhi suhu reptil, karena amoeba tidak patogen

pada suhu 13 °C dan infeksi dapat berhenti pada suhu 35-37 °C (Lane & Mader

1996). Pada satu ekperimen di ular, E. invadens menimbulkan penyakit pada suhu

25 °C, tidak menimbulkan penyakit pada suhu 10 °C atau 30 °C, dan tidak terjadi

infeksi pada suhu di atas 33 °C(Chia et al. 2009). Pada ekperimen lain, amoebiasis

tidak terjadi pada suhu 34-37 °C, tetapi infeksi terjadi bila suhu dipertahankan

pada 35 °C. E. invadens tidak patogen pada suhu 13 °C dan infeksi terjadi pada

suhu 25 °C dan 30 °C (Barnett 2003).

Entamoeba sp. pada manusia sulit dibedakan, begitu pula pada reptil.

Spesies amoeba patogen untuk reptil bukan hanya E. invadens, dan tidak semua

amoeba patogen pada reptil tertentu bersifat patogen pula pada spesies reptil lain.

Spesies Entamoeba sp lain yang secara morfologi mirip dengan E. invadens juga

mungkin ada pada tubuh reptil (Denver et al. 1999). Diagnosa definitif E.

invadens sulit dilakukan karena memiliki morfologi yang mirip dengan E.

ranarum, E. insolita, E. barretti dan E. terrapinae. Penentuan spesies Entamoeba

sp. secara definitif penting untuk menghindari kesalahan diagnosa atau

pengobatan yang berlebihan untuk protozoa non patogen. Metode PCR untuk

membedakan empat spesies amoeba tersebut telah dikembangkan dan efektif

untuk mendiagnosa E. invadens (Bradford et al. 2008).

Kasus amoebiasis pada reptil di penangkaran dapat terjadi akibat suplai air

atau kandang yang terkontaminasi oleh feses yang mengandung Entamoeba sp..

Pencegahan amoebiasis dapat dilakukan dengan program sanitasi yang baik,

isolasi dan karantina hewan baru yang akan dimasukkan dalam penangkaran,

desinfeksi peralatan sebelum digunakan pada kandang lain (Frye 1991; Barnett

2003; Wilson 2010). Penanganan kontaminasi Entamoeba sp. yang efektif adalah

sterilisasi suplai air dengan penyaringan atau radiasi ultraviolet dan desinfeksi

permukaaan yang terkontaminasi menggunakan 0.002% mercuric chloride

(HgCl2).

Chelonia dan buaya merupakan inang pembawa E. invadens dan dapat

menjadi reservoir untuk menginfeksi kadal dan ular. Pada kura-kura, E. invadens

Page 34: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

33

memperoleh nutrisi dari pakan kura-kura yaitu tanaman dan berkembang menjadi

kista tanpa menyebabkan penyakit. Pencampuran antara chelonia, buaya dan kadal

dalam pameran yang sama dapat menyebabkan amoebiasis pada kadal.

Arthoropod seperti kecoa dan lalat merupakan vektor mekanik karena

memindahkan feses yang terkontaminasi ke pakan hewan (Chia et al. 2009).

Amoebiasis pada reptil dapat diobati dengan metronidazole dengan dosis

275 mg/kg BB sekali atau 50 mg/kg BB secara oral selama lima hari.

Metronidazole efektif untuk mengeliminasi tropozoit namun tidak efektif untuk

mengeliminasi semua kista di lumen usus. Metronidazole dapat mengakibatkan

hepatotoksisitas bila diberikan dalam dosis tinggi (Denver et al. 1999).

Metronidazole dapat digunakan bersamaan dengan diiodohydroxyquin

(Iodoquinal) atau paromycin (Humatin). Kombinasi metronidazole dan

chloroquine phosphate (Alaran Phosphate) dapat digunakan bila amoeba sudah

menyebar ke organ lain (Barnett 2003). Tetrasiklin atau erythromycin dapat

digunakan namun tidak seefektif metronidazole sehingga jarang digunakan

(Denver et al. 1999). Pengobatan yang diberikan tergantung dari spesies dan

belum ada obat yang dapat mengeliminasi Entamoeba sp. sepenuhnya. Antibiotik

diberikan untuk mencegah infeksi sekunder atau septisemia. Antibiotik spektrum

luas seperti gentamycin (Gentocin) atau chloramphenicol (Chloromycetin) dapat

digunakan untuk mengobati infeksi bakteri sekunder yang menyertai amoebiasis

(Barnett 2003).

Page 35: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

34

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2011 di Bagian

Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran

Hewan IPB.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi adalah

mikrotom, silet, pinset, kaca objek, cover glass, tissue cassette, refrigerator,

inkubator, dan kamera.Bahan-bahan yang digunakan adalah larutan Buffer Neutral

Formalin (BNF) 10%, parafin, alkohol 70%, 90%, 95% dan alkohol absolut,

xylol, air panas, aquades, dan pewarna Hematoxylin Eosin (HE). Bahan penelitian

adalah sampel organ seekor biawak Ambon dengan nomor kasus P/82/2011 yang

dinekropsi oleh Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi

Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Metoda Penelitian

Sampel organ biawak difiksasi dalam larutan BNF 10% selama tiga hari,

kemudian dipotong lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette dan direndam

kembali ke dalam formalin. Selanjutnya jaringan didehidrasi dengan alkohol

konsentrasi bertingkat (70%-absolut) dan clearing dengan xylol, kemudian

jaringan diblok (embedding) di dalam parafin, lalu dipotong dengan mikrotom

dengan ketebalan 3-5µm. Potongan yang sesuai diambil dan diletakkan di atas

gelas objek (mounting) kemudian diinkubasi pada suhu 30 °C. Selanjutnya

jaringan dideparafinisasi dengan pencelupan ke dalam xylol, lalu direhidrasi

dengan pencelupan ke dalam larutan alkohol absolut, alkohol 70% dan aquades.

Tahapan untuk melakukan pewarnaan HE adalah deparafinisasi yaitu

perendaman jaringan dalam xylol I, xylol II selama dua menit dan rehidrasi dalam

alkohol absolut, alkohol 95% dan alkohol 80% selama dua menit. Preparat dibilas

dengan air mengalir selama satu menit, direndam dalam Mayer’s Hematoxylin

selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir selama 30 detik lalu direndam dalam

Page 36: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

35

lithium karbonat selama 15-30 detik. Kemudian sediaan dibilas lagi dengan air

mengalir selama dua menit, direndam dalam eosin selama 2-3 menit, dibilas

dengan air mengalir selama 30 detik, didehidrasi dengan pencelupan ke dalam

alkohol 95% sebanyak 10 kali celup, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celup,

alkohol absolut II selama dua menit, xylol I selama satu menit, dan xylol II selama

dua menit. Setelah pewarnaan selesai, preparat ditutup dengan cover glass.

Evaluasi histopatologi dilakukan dengan mengamati sediaan dengan

mikroskop dan hasil pengamatan disajikan secara deskriptif.

Page 37: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

36

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pemeriksaan Patologi-Anatomi

Hasil pemeriksaan keadaan umum biawak ditemukan ektoparasit

Aponomma sp. di sekujur tubuhnya. Hewan terlihat anemis dan ditemukan

hematemesis, yaitu darah yang keluar dari rongga mulut. Pemeriksaan patologi

anatomi menunjukkan perubahan pada seluruh organ, namun perubahan paling

mencolok ditemukan pada organ hati. Hati biawak terlihat membesar sehingga

memenuhi rongga abdomen, berwarna pucat, dan dipenuhi oleh fokus-fokus

radang berwarna putih dengan diameter bervariasi 0.1-2 cm. Fokus radang

berbatas jelas dengan bidang sayatan kusam karena banyak jaringan nekrotik.

Berdasarkan gambaran PA tersebut maka hati didiagnosa mengalami abses

multifokal (Gambar 6). Abses tersebut juga ditemukan di ginjal dan limpa, namun

dengan diameter yang lebih kecil. Hasil pemeriksaan PA pada berbagai organ

biawak disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan Patologi Anatomi Organ Biawak Ambon

Sistem Organ Organ Perubahan

Respirasi Trakea Hiperemia

Paru-paru Kongesti

Sirkulasi Jantung Dilatasi ventrikel, kardiomiopati

Limpa Splenitis dengan abses milier

Digesti Lambung Gastritis kataralis

Usus Enteritis kataralis et nekrotikan

Hati Hepatitis nekrotikan,dipenuhi abses multifokal

dengan ukuran 0.1-2 cm

Peritoneum Ascites ± 1 ml

Urinaria Ginjal Nefritis dengan abses milier

Trakea dan paru-paru biawak berwarna kemerahan, dan ketika dilakukan

pembukaan trakea hingga ke bronkus tidak ditemukan cairan atau busa. Sewaktu

dilakukan uji apung hampir semua bagian paru-paru mengapung,sehingga paru-

paru didiagnosa hanya mengalami kongesti. Jantung biawak terdiri atas dua

atrium dan satu ventrikel. Pada pemeriksaan jantung terlihat ruang ventrikel

membesar dengan otot-otot jantung memucat. Gambaran jantung demikian dapat

Page 38: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

37

didiagnosa mengalami dilatasi ventrikel dan kardiomiopati. Lambung biawak

ditemukan kosong tidak berisi makanan namun dipenuhi oleh eksudat kataral

dengan mukosa berwarna merah. Perubahan pada lambung tersebut

mengindikasikan adanya gastritis kataralis. Mukosa usus dipenuhi eksudat

kataralis bercampur darah, dan di beberapa lokasi terlihat mukosa mengalami

pendarahan dan nekrotik, sedangkan di bagian kolon mengalami pendarahan.

Berdasarkan gambaran PA tersebut makan usus didiagnosa mengalami enteritis

hemoragis et nekrotikan dan kolitis hemoragika. Limpa dan ginjal hewan ini

tampak membengkak dan pucat, ditemukan fokus-fokus nekrotik sama seperti di

hati namun dengan diameter yang lebih kecil. Limpa dan ginjal didiagnosa

menderita splenitis dan nefritis. Selain itu ditemukan cairan bening kemerahan di

rongga abdomen sebanyak ± 1 ml, yang mengindikasikan biawak mengalami

ascites.

Gambar 6 Hati biawak ambon (V. indicus) yang dipenuhi oleh abses multifokal

dengan diameter 0.1-2 cm.

Hasil Pemeriksaan Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi organ hati, struktur hati sulit dikenali

karena parenkim dan interstitium hati mengalami kerusakan yang parah

disebabkan oleh peradangan yang hebat. Hepatosit mengalami degenerasi lemak

hebat dengan vakuola-vakuola besar dan banyak pula yang nekrosis bahkan lisis.

Hati mengalami pendarahan dan kongesti, dan ditemukan trombus pada beberapa

Page 39: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

38

kapiler hati. Fokus-fokus radang terdiri atas kumpulan sel-sel debri, sel radang

limfosit, sel plasma, dan makrofag. Selain itu ditemukan pula sel raksasa tipe

benda asing di tepi fokus radang. Di antara sel-sel radang dan sel debri ditemukan

infeksi Entamoeba sp. (Gambar 7). Parasit ini tampak tersebar, berwarna ungu tua

pada jaringan yang diwarnai dengan HE, dan hampir semuanya berinti tunggal.

Menurut Fotedar et al. (2007), jika berinti tunggal maka parasit berada dalam fase

tropozoit. Bentuk tropozoit juga ditemukan di dalam pembuluh vena yang lebih

besar dan juga buluh empedu.

Hepatosit biawak mengalami degenerasi lemak atau lipidosis hebat yaitu

terakumulasinya lipid atau trigliserida pada sitoplasma hepatosit. Lipid tidak

terwarnai dengan pewarnaan HE, sehingga tampak sitoplasma yang bervakuola.

Degenerasi lemak umum ditemukan pada reptil di penangkaran karena terlalu

banyak diberi pakan namun kurang exercise (Frye 1991). Menurut Frye (1991)

serta Burrows & Tuboada (2010), degenerasi lemak dapat disebabkan oleh

berbagai faktor antara lain obesitas, anoreksia dan stres. Adanya defek metabolik

pada transpor lipid dan defisiensi faktor pembentuk lipoprotein juga menyebabkan

terbentuknya degenerasi lemak.

Gangguan fungsi hepatosit untuk mengoksidasi asam lemak akibat

hipoksia, toksin, kegagalan sintesis apoprotein, kegagalan pembentukan dan

sekresi lipoprotein dapat menyebabkan terakumulasinya trigliserida di hepatosit

(Myers & McGavin, 2007). Berkurangnya metabolisme protein dan asam amino

akibat kurangnya asupan protein menurunkan sintesis apoprotein sehingga tidak

dapat mengikat lemak dan trigliserida yang terakumulasi di hepatosit (Burrows &

Tuboada 2010; Turner et al. 2010). Selain itu produksi trigliserida yang melebihi

produksi lipoprotein juga menyebabkan degenerasi lemak (Cheville 1999).

Hipoksia hati dapat terjadi akibat obstruksi arteri hepatika atau vena porta

(Cheville 1999). Hati biawak ini mengalami hipoksia karena adanya trombus di

berbagai kapiler hati dan radang granuloma akibat infeksi Entamoeba sp..

Pada hepatosit yang rusak ditemukan pigmen yang berwarna hijau

kecoklatan, yaitu pigmen empedu. Pigmen empedu terbentuk dari metabolisme

hemoglobin melalui hemolisis lalu dimetabolisme menjadi biliverdin secara

oksidatif oleh enzim heme oxygenase (Nakamura et al. 2006). Biliverdin adalah

Page 40: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

39

pigmen empedu yang merupakan produk akhir dari katabolisme hemoglobin pada

reptil. Akumulasi biliverdin menunjukkan adanya blokade sistem empedu di hati

(Campbell 2004; Myers & McGavin 2007). Infeksi Entamoeba sp. menyebabkan

kerusakan hepatosit sehingga tidak dapat melakukan metabolisme empedu

(Cheville 1999). Pada biawak ini, adanya trombus pada buluh empedu

menyebabkan gangguan aliran empedu.

Berdasarkan temuan histopatologi hati didiagnosa mengalami hepatitis

granulomatosa. Sel radang yang ditemukan di fokus radang selain sel raksasa tipe

benda sing adalah heterofil, yang berfungsi sama dengan neutrofil pada mamalia.

Heterofil berbentuk bulat, memiliki sitoplasma bening, memiliki granul-granul

berbentuk batang hingga oval dengan nukleus terletak di tepi sel (Kassab et al.

2009). Nukleus heterofil yang matang memiliki dua atau tiga lobus yang

mengandung kromatin, sedangkan yang belum matang memiliki jumlah lobus

lebih sedikit. Nukleus heterofil yang sudah matang berwarna biru muda pada

kadal dan ungu pada spesies lain. Heterofil yang belum matang jarang ditemukan

pada darah perifer reptil dan meningkat saat hewan mengalami inflamasi

(Knotkova et al. 2002). Eosinofil berbentuk bulat, memiliki sitoplasma bergranul

dan nukleus bulat hingga oval dan berlobus (Kassab et al. 2009). Granul pada

sitoplasma eosinofil lebih berbentuk bulat dari granul pada sitoplasma heterofil

(Knotkova et al. 2002). Kadal memiliki eosinofil yang paling kecil di antara reptil

lain (Oros et al. 2010). Makrofag berbentuk tidak teratur, memiliki nukleus di

tengah sel dan berukuran lebih besar dari monosit. Makrofag berfungsi untuk

memfagosit benda asing atau organisme dan jaringan nekrotik melalui enzim

lisosim, protease dan lipase, serta memproduksi faktor koagulasi. Makrofag juga

membantu penyembuhan jaringan dengan membentuk fibroblas yang berfungsi

untuk memproduksi kolagen yang akan membentuk jaringan parut.

Hasil pengamatan histopatologi ginjal tampak struktur parenkim dan

intersitium yang jelas. Glomerulus mengalami edema dengan banyaknya protein

yang mengendap di tepi-tepi kapiler dan di ruang Bowman (Gambar 8). Penyebab

terjadinya edema adalah peningkatan permeabilitas vaskular, peningkatan tekanan

hidrostatik intravaskular, penurunan tekanan osmotik protein plasma, dan

penurunan drainase limfe.

Page 41: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

40

Gambar 7 Struktur hati biawak yang rusak akibat infeksi Entamoeba sp. (panah

hitam) dengan kumpulan sel debri (bintang), degenerasi lemak

hepatosit (panah hijau) serta akumulasi pigmen empedu. Pewarnaan

HE, bar 10 µm.

Gambar 8 Edema glomerulus biawak yang dicirikan adanya endapan protein di

tepi kapiler dan di ruang Bowman. Pewarnaan HE, bar 10 µm.

Page 42: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

41

Tekanan hidrostatik intravaskular meningkat bila terjadi gangguan jantung

yang lama kelamaan menyebabkan cairan keluar ke jaringan tubuh (Cheville

1999; Myers & McGavin 2007). Inflamasi mengakibatkan tekanan osmosis

kapiler glomerulus meningkat sehingga cairan keluar dari kapiler dan

menyebabkan edema di ruang Bowman. Peningkatan tekanan osmosis juga

mengganggu proses filtrasi glomerulus sehingga menyebabkan hipoksia sel-sel

ginjal. Proses filtrasi di glomerulus yang terganggu menyebabkan ginjal tidak

mampu untuk mengatur komposisi volume darah dan elektrolit. Selain itu,

penyakit pada glomerulus merusak membran glomerulus sehingga protein dapat

keluar ke ruang Bowman (Munson & Traister 2005).

Tubulus biawak dijumpai banyak mengalami degenerasi dan nekrosa.

Degenerasi tubulus berupa degenerasi hidropis yang ditandai dengan inti yang

masih baik namun sitoplasma terlihat robek-robek. Degenerasi hidropis adalah

pembesaran ukuran dan volume sel epitel yang terjadi karena masuknya cairan

intraseluler akibat gagalnya sel untuk mempertahankan homeostasis, sehingga

sitoplasma membesar dan bervakuola (Jones et al. 1997; Myers & McGavin

2007). Penyebab degenerasi hidropis yang paling penting adalah hipoksia (Myers

& McGavin 2007). Pada keadaan hipoksia fungsi mitokondria terganggu sehingga

ATP yang diperlukan untuk memompa natrium dan kalium tidak ada dan

mekanisme tersebut gagal untuk mempertahankan tekanan osmosis di dalam sel.

Cairan intraseluler meningkat karena transpor natrium ke luar sel meningkat. ATP

yang berkurang juga menyebabkan penurunan sintesis protein sehingga membran

sel dapat ditembus oleh air dan menyebabkan kebengkakan sel (Jones et al. 1997).

Degenerasi hidropis merupakan tahap awal dari kematian sel namun masih

bersifat reversible bila penyebabnya dihilangkan (Jones et al. 1997; Dancygier &

Schirmacher 2010). Degenerasi hidropis dapat disebabkan oleh banyak hal,

diantaranya kerusakan hati akibat virus, radikal bebas, bahan kimia, iskemia,

toksin bakteri atau tanaman, dan gangguan metabolisme (Frye 1991; Jones et al.

1997; Dancygier & Schirmacher 2010).

Beberapa tubulus di sekitar fokus radang juga mengalami dilatasi. Tubulus

dilatasi tersebut tersebar dan memiliki bentuk sederhana, yaitu diameter lumen

meluas namun epitel masih terlihat normal. Tubulus yang berdilatasi disebabkan

Page 43: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

42

oleh adanya peradangan di interstitium ginjal. Dilatasi tubulus dapat

menyebabkan tubulus mengalami lisis, hipoksia dan kematian (Munson & Traister

2005).

Ginjal biawak ini juga mengalami kongesti dan hemoragi pada

interstitiumnya serta ditemukan fokus-fokus radang yang dikelilingi oleh banyak

sel raksasa (Gambar 9). Banyaknya sel raksasa mengindikasikan fokus radang ini

merupakan radang granuloma. Radang granuloma terbentuk jika agen terlalu

besar atau tidak mampu didegradasi oleh makrofag (Zumla & James 1996). Selain

kumpulan sel debri, fokus radang juga diinfiltrasi oleh sel limfosit, heterofil,

makrofag dan terbanyak oleh sel plasma. Menurut Soldati et al. (2004), radang

granuloma kronis ditandai oleh adanya limfosit, sel plasma dan sel raksasa di

sekeliling lesionya. Sel raksasa adalah ciri lain dari granuloma selain adanya

makrofag dan sel epiteloid (Spector & Spector 1993). Diantara sel-sel radang

ditemukan infeksi Entamoeba sp. (Gambar 10).

Pada radang granuloma, makrofag membentuk sel raksasa Langhans dan

sel raksasa tipe benda asing. Sel raksasa Langhans memiliki nukleus di sekeliling

tepi sel, sedangkan sel raksasa tipe benda asing memiliki nuklei-nuklei yang

berkumpul di tengah sel (Jones et al. 1997). Sel ini ditemukan pada radang

granuloma yang melibatkan lipid dalam jumlah besar. Sel raksasa dibentuk karena

memiliki metabolisme yang lebih aktif dalam memproduksi enzim dan protein

(Jones et al. 1997). Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi maka ginjal

didiagnosa mengalami nefritis granulomatosa.

Pada ginjal biawak ini ditemukan adanya ‘sexual segment’ karena banyak

ditemukan tubulus yang hipertrofi dengan inti di tepi dan sitoplasma yang

bergranul (Gambar 11). Dengan demikian dipastikan bahwa biawak ini

berkelamin jantan.

Page 44: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

43

Gambar 9. Radang granuloma pada ginjal biawak yang dicirikan oleh sel raksasa

(bintang) yang mengelilingi lesio, dan disekitar lesio tampak beberapa

tubulus berdilatasi (panah). Pewarnaan HE, bar 10 µm.

Gambar 10 Entamoeba sp. (panah hitam) di tengah lesio yang dikelilingi sel

raksasa (bintang) dan infiltrasi sel plasma pada organ ginjal.

Tubulus di sekitar lesio radang mengalami degenerasi hidropis

(panah merah). Pewarnaan HE, bar 10 µm.

Page 45: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

44

Gambar 11 Perubahan histopatologi ginjal. Fokus radang dengan kumpulan sel

debri (bintang hitam), infiltrasi sel heterofil (panah hitam), sel

plasma serta infeksi Entamoeba sp. (panah biru). Tubulus dengan

sitoplasma bergranul/sexual segment (bintang merah). Pewarnaan

HE, bar 10 µm.

Hasil pemeriksaan histopatologi limpa ditemukan deplesi folikel limfoid,

peradangan pada pulpa putih dan kapsula limpa serta kongesti dan pendarahan di

pulpa merah. Ditemukan juga lesio yang diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan

dikelilingi oleh sel raksasa. Di antara pendarahan di pulpa merah, ditemukan

infeksi Entamoeba sp.(Gambar 12). Entamoeba sp. ditemukan pula di dalam

kapiler serta sinus-sinus limpa. Menurut Robertson & Newman (2006), infeksi

protozoa dapat menimbulkan splenitis dan beberapa lesio pada limpa diantaranya

nekrosa pulpa merah dan pulpa putih, deplesi folikel limfoid, hemoragi dan

kongesti.

Pada daerah pendarahan di pulpa merah banyak ditemukan endapan

pigmen hemosiderin. Hemosiderin adalah pigmen yang berasal dari hemolisis

eritrosit yang berlebihan. Hemosiderin terakumulasi di dalam makrofag akibat

adanya kongesti pasif kronis dan mengindikasikan terjadinya anemia hemolitik

(Jones et al. 1997).

Page 46: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

45

Gambar 12 Infeksi Entamoeba sp. (panah) menyebabkan pendarahan dan

nekrosa pulpa merah limpa. Pewarnaan HE, bar 10 µm.

Gambar 13 Infeksi Entamoeba sp. pada mukosa usus menyebabkan enteritis

hemoragis et nekrotikan. Pewarnaan HE, bar: 10 µm.

Page 47: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

46

Entamoeba sp. mampu memfagosit dan meliliskan eritrosit dengan

lisosom dan amoebapora, lalu terbentuk vakuola di sitoplasmanya (Lejeune &

Gicquaud 1992; Ghosh et al. 1999). Sebuah penelitian tentang fagositosis eritrosit

telah dilakukan pada E. invadens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82%

tropozoit amoeba tersebut mampu memfagosit eritrosit dengan rata-rata 5.5

eritrosit per amoeba, dan setelah 15 jam eritrosit tersebut tidak ditemukan lagi

pada sitoplasma amoeba (Ramírez-Córdova et al. 1990). Kemampuan Entamoeba

sp. melisiskan eritrosit menyebabkan hemolisis eritrosit terjadi secara berlebihan

sehingga mudah ditemukan pigmen coklat atau hemosiderin pada limpa.

Berdasarkan pemeriksaan histopatologi maka limpa didiagnosa mengalami

splenitis granulomatosa.

Hasil pemeriksaan histopatologis usus menunjukkan usus mengalami

peradangan hebat. Sebagian besar vili usus rusak dengan deskuamasi epitel

penutup, vili memendek, ditemukan infiltrasi sel radang pada bagian mukosa

hingga serosa usus. Sel radang terdiri atas limfosit, heterofil, makrofag dan

eosinofil. Selain itu mukosa hingga serosa usus mengalami kongesti, hiperemi,

hemoragi dan edema.Di beberapa bagian usus juga ditemukan ulkus. Entamoeba

sp. banyak ditemukan di semua bagian usus mulai dari mukosa, submukosa

hingga ke serosa (Gambar 13).

Hasil pemeriksaan histopatologi sampel organ biawak secara keseluruhan

dirangkum dan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perubahan Histopatologi Organ Biawak

Sistem Organ Organ Perubahan

Respirasi Paru-paru Kongesti dan edema pulmonum

Sirkulasi Jantung Degenerasi miokard

Limpa Splenitis granulomatosa

Digesti Usus Enteritis hemoragi et nekrotikan

Hati Hepatitis granulomatosa

Urinaria Ginjal Nefritis granulomatosa

Menurut Frye (1991) dan Chia et al. (2009), tropozoit amoeba dapat

menginfeksi submukosa dan muskularis mukosa sehingga mengakibatkan enteritis

granulomatosa, erosi mukosa dan inflamasi usus. Peradangan akibat infeksi

amoeba menyebabkan dinding usus menebal dan nekrosa. Tropozoit memiliki

Page 48: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

47

kemampuan melisiskan sel epitel dan mukosa saluran pencernaan karena

menghasilkan enzim proteolitik dan amoebapora (Chia et al. 2009). Dengan

enzim ini amoeba dapat menyebabkan perforasi usus sehingga usus mengalami

inflamasi akut. Adanya perforasi usus mengundang infeksi bakteri sekunder

sehingga kesehatan hewan terus menurun (Barnett 2003; Richter et al. 2008).

Pada kasus biawak ini, usus didiagnosa mengalami enteritis hemoragis et

nekrotikan.

Amoeba bermigrasi ke dinding kolon dan menyebabkan inflamasi lalu

menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sirkulasi portal. Hal ini ditunjukkan

dengan ditemukannya amoeba di pembuluh darah di hati, dan hati mengalami

kerusakan paling parah karena ditemukan banyak sekali tropozoit. Amoeba juga

dapat bermigrasi ke hati melalui saluran empedu (Chia et al. 2009). Menurut

Barnett (2003) dan Richter et al. (2008), Entamoeba sp. bermigrasi pertama kali

ke hati dan menyebabkan nekrosa dan abses multifokal, lalu ke organ-organ lain

yaitu ginjal, paru, jantung dan otak. Oleh karena itu, hati mengalami perubahan

patologis yang paling hebat dibandingkan ginjal dan limpa.

Entamoeba sp. dapat bermigrasi ke ginjal karena biawak memiliki sistem

renal portal yaitu rute aliran darah dari kaudal tubuh ke ginjal sebelum ke jantung.

Parasit ini juga ditemukan di kapiler dan sinus-sinus limpa yang mengindikasikan

penyebarannya melalui aliran darah (hematogen). Patogenesa amoebiasis

dipengaruhi banyak faktor yaitu infeksi tropozoit, kegagalan banyak organ karena

banyak sel yang rusak serta infeksi bakteri sekunder (Wilson 2010). Abses pada

hati menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Fotedar et al. 2007).

Pada pemeriksaan histopatologi jantung ditemukan degenerasi otot yang

terlihat dari inti yang mengecil dan sitoplasma yang lebih merah. Pada organ paru-

paru ditemukan kelainan berupa kongesti, hemoragi serta edema pada

parabronchus. Kematian pada biawak ini terjadi akibat infeksi Entamoeba sp.

yang menyebabkan nekrosa pada usus, hati, ginjal, dan limpa. Nekrosa pada hati

biawak ini bersifat kronis sehingga menyebabkan kegagalan multiorgan dan

mengakibatkan kematian (Frye 1991).

Radang granuloma akibat infeksi tropozoit Entamoeba sp. pada biawak ini

menyebabkan sirkulasi intrahepatik maupun sirkulasi porta tidak lancar sehingga

Page 49: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

48

menyebabkan kongesti vena porta. Kongesti yang kronis menyebabkan

permeabilitas pembuluh darah rusak, sehingga plasma darah keluar dan

menggenangi rongga abdomen. Infeksi Entamoeba sp. juga menyebabkan

kerusakan hepatosit hebat. Kerusakan yang hebat ini mengurangi kemampuan hati

untuk mensintesa protein, termasuk protein plasma. Akibatnya hewan mengalami

hipoproteinemia. Rendahnya kadar protein dalam darah menyebabkan darah cair

sehingga plasma mudah lolos dan membentuk ascites (Munson & Traister 2005).

Adanya trombus dan peradangan di hati dan ginjal yang terbentuk akibat

infeksi Entamoeba sp. menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk

mengalirkan darah ke organ-organ tersebut. Peningkatan kerja dari jantung

menyebabkan dinding miokardium mengalami hipertrofi. Hipertrofi jantung

adalah peningkatan ukuran pada serat otot jantung. Otot jantung yang hipertrofi

lama kelamaan mengalami kelelahan dan akhirnya menjadi dilatasi (Myers &

McGavin 2007). Dilatasi otot jantung yang terlalu lama menyebabkan kelelahan

otot jantung yang akhirnya jantung berhenti berkontraksi, sehingga atria mortis

biawak Ambon ini disebabkan oleh gagal jantung. Causa mortis biawak ini diduga

disebabkan oleh gagal fungsi hati serta infeksi usus akibat infeksi Entamoeba sp.

Page 50: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

49

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hasil pemeriksaan histopatologi ditemukan Entamoeba sp. yang

menginfeksi organ usus, hati, ginjal dan limpa yang menyebabkan radang

granuloma multifokal.

2. Penyebaran Entamoeba sp. dari usus ke organ lain melalui hematogen

berdasarkan temuan tropozoit di berbagai pembuluh darah organ dan buluh

empedu hati.

3. Causa mortis biawak Ambon ini diduga disebabkan oleh gagal fungsi hati

serta infeksi usus akibat infeksi Entamoeba sp..

4. Atria mortis biawak Ambon ini diduga disebabkan oleh gagal jantung

yang dipicu infeksi Entamoeba sp..

Saran

1. Perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk mengetahui spesies Entamoeba sp.

pada kasus kematian biawak Ambon ini.

2. Perlu dilakukan program higiene dan sanitasi yang baik di kandang

penangkaran untuk mencegah amoebiasis.

Page 51: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

50

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed YA et al. 2009. Histological and histochemical studies on the esophagus,

stomach and small intestines of Varanus niloticus. J. Vet. Anat. (2): 35-48.

Ananjeva NB et al. 2006. The Reptiles of Northern Eurasia Taxonomic Diversity,

Distribution, Conservation Status. Bulgaria: PENSOFT Publishers. hlm 114.

[Anonim]1. 2009. Eating biawak. http://themalaysianlife.blogspot.com/2009/04/ea

ting-biawak.html. [21 September 2011].

[Anonim]2. 2011. Penjual daging biawak di pinggiran

ibukota. http://sosbud.kompasiana.com/2010/07/28/penjual-daging-biawak-

di-pinggiran-ibukota/. [21 September 2011].

Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical

Correlates. UK: Manson Publishing Ltd. Hlm124-125, 127, 137-140,144-

147.

Banks RC. 2004. Varanus indicus (Daudin, 1802). http://www.itis.gov/servlet/Sin

gleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_vaval=174116. [12 Juli 2011].

Barnett S. 2003. Entamoeba invadens: The Chelonian Connection.

http://www.matts-turtles.org/docs/e_invadens.pdf. [26 Desember 2011].

Barten SL. 1996a. Section II lizards. Di dalam: Mader DR, editor.Reptile

Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 48-49, 52.

Barten SL. 1996b. Section V differential diagnosis by symptoms lizards. Di

dalam: Mader DR, editor.Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B.

Saunders Company. hlm 328.

Bartlett RD, Bartlett PP. 1996. Monitors, Tegus, and Related Lizards. Hong

Kong: Barron’s Educational Series, Inc. hlm 50-52.

Bass N. 2011. The kidneys, urinary tract and renal portal system of reptiles.

http://www.sidneyanimalhospital.com/library.htm. [27 September 2011].

Bennett D. 2007. Varanus indicus (reptile). http://www.issg.org/database/spesies/

ecology.asp?si=1065&fr=1&sts=&lang=EN. [5 Agustus 2011].

Bennett D, Sweet SS. 2010. Varanus indicus. In: IUCN 2011. IUCN Red List of

Threatened Species. Version 2011.1. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/

details/178416/0. [22 September 2011].

Page 52: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

51

Boyer TH. 1996. Section VI specific diseases and conditions metabolic bone

disease. Di dalam: Mader DR, editor.Reptile Medicine and Surgery. USA:

W.B. Saunders Company. hlm 385.

Bradford CM, Denver MC, Cranfield MR. 2008. Development of a polymerase

chain reaction test for Entamoeba invadens. Journal of Zoo and Wildlife

Medicine 39(2): 201-207 [terhubung berkala].

http://www.bione.org/doi/abs/10.1638/2007-0145.1. [29 Januari 2012].

Burrows CF, Taboada J. 2010. Liver disorders. Di dalam: Schaer M, editor.

Clinical Medicine of the Dog and Cat. UK: Mason Publishing Ltd. hlm 398.

Campbell T. 1999. Avian and reptilian cytodiagnosis. Exotic Pet Practice(4)1: 1-

2.

Campbell TW. 2004. Blood biochemistry of lower vertebrates.

http://www.ivis.org/proceedings/ACVP/2004/Terio/ivis.pdf. [12 Februari

2012].

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Second Edition. USA:

Blackwell Publishing Professional. hlm 12-14, 29,31, 52, 143-144, 146-147.

Chia MY et al. 2009. Entamoeba invadens myositis in a common water monitor

lizard (Varanus salvator). Vet Patho 46: 673-676.

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Physiology For Veterinary

Technicians. USA: Mosby. hlm 215.

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora. 1979. Convention of international trade in endangered species of

wild fauna and flora.

Cota M. 2008. Varanus indicus and its presence on the mariana islands: natural

geographic distribution vs. introduction. Biawak 2(1): 18-27.

Dancygier H, Schirmacher P. 2010. Liver cell degeneration and cell death. Di

dalam: Dancygier H, editor. Clinical Hepatology Principles and Practice of

Hepatobiliary Diseases.Volume 1. Berlin: Springer. hlm 207.

Das S, Gillin FD. 1991. Chitin cynthase in encysting Entamoeba invadens.

Biochem. J. 280: 641-647.

DeNardo D. 1996. Reproductive biology. Di dalam: Mader DR, editor. Reptile

Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 212-214, 220,

223-224, 370-371.

Page 53: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

52

Denver MC et al. 1999. A review of reptilian amoebiasis and current research on

the diagnosis and treatment of amoebiasis at the Baltimore Zoo. Di dalam:

Prosiding American Association of Zoo Veterinarians; Ohio, October 1999.

Ohio: American Association of Zoo Veterinarians. hlm 11-15.

Divers SJ. 1999. Clinician’s Approach to Renal Disease in Lizards.

http://www.anapsid.org/diverskidney.html. [27 September 2011].

Fotedar et al. 2007. Laboratory diagnostic techniques for Entamoeba species. Clin

Microbio Reviews 20(3): 511-532.

Frye FL. 1991. Reptile Care: An Atlas of Diseases and Treatments.Volume I& II.

USA: T.F.H. Publications, Inc. hlm 217, 220-221, 284-285.

Fudge AM. 2000. Laboratory Medicine Avian and Exotic Pets. USA: W.B.

Sunders Company. hlm 205.

Ghosh et al. 1999. Chitinase secretion by encysting Entamoeba invadens and

transfected Entamoeba histolytica tropozoites: localization of secretory

vesicles, endoplasmic reticulum, and golgi apparatus. Infec and Immun

67(6): 3073-3081.

Guyton A, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Irawati,

penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari:

Textbook of Medical Physiology 11th

Edition. hlm 324, 455, 843-855.

Hulu A. 2011. Rendang biawak, kuliner ekstrem nan lezat. http://www.nias-

bangkit.com/2011/04/rendang-biawak-kuliner-ekstrem-nan-lezat/. [21

September 2011].

Iyai DA, Pattiselanno F. 2006. Diversitas dan ekologi biawak (Varanus indicus) di

pulau pepaya taman nasional teluk cenderawasih, irian jaya barat.

Biodiversitas7(2):181-186.

Jones TC, Hunt RD, King NW. 1997. Veterinary Pathology. Sixth Edition. USA:

Williams & Wilkins. hlm 9-11, 25-26, 30, 69-71, 118-120.

Kahn CM et al. 2010. The Merck Veterinary Manual. Tenth Edition. USA: Merck

& Co., Inc. hlm 1768.

Kassab A, Shousha S, Fargani A. 2009. Morphology of blood cells, liver and

spleen of the desert tortoise (Testudo graeca). The Open Anatomy Journal

1:1-10.

Khanna DR. 2004. Morphogenesis. India: Discovery Publishing House. hlm 75.

Page 54: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

53

Krohmer RW, Martinez D, Mason RT. 2004. Development of the renal sexual

segment in immature snakes: effect of sex steroid hormones. Comparative

Biochem and Physio Part A 139: 55-64.

Knotkova Z, Doubek J, Knotek Z, Hajkova P. 2002. Blood cell morphology and

plasma biochemistry in russian tortoises (Agrionemys horsfieldi). Acta Vet

Brno 71: 191-198.

Kumagai M, Makioka A, Ohtomo H, Kobayashi S, Takeuchi T. 1999. Inhibition

of encystation of Entamoeba invadens by aphidicolin. Tokai J Exp Clin Med

23(6): 313-317.

Lane TJ, Mader DR. 1996. Section III special topics parasitology. Di dalam:

Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders

Company. hlm 190-191.

Lejeune A, Gicquaud C. 1992. Target cell deformability determines the type of

phagocytic mechanism used by Entamoeba histolytica-like, Laredo strain.

Biol Cell 74: 211-216.

Mader DR. 1996a. Section VI specific diseases and conditions acariasis. Di

dalam: Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B.

Saunders Company. hlm 341-342.

Mader DR. 1996b. Section VI specific diseases and conditions gout. Di dalam:

Mader DR, editor. Reptile Medicine and Surgery. USA: W.B. Saunders

Company. hlm 374-377.

Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan reptil Indonesia di pasar

internasional. Di dalam: Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya

Hutan; Bogor, 8 Mei 2003. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm 131-144.

Munson C, Traister R. 2005. Pathophysiology A 2-in-1 Reference for Nurses.

USA: Lippincott Williams & Wilkins. hlm 382, 524.

Murray MJ. 1996. Section VI specific diseases and conditions pneumonia and

normal respiratory function. Di dalam: Mader DR, editor. Reptile Medicine

and Surgery. USA: W.B. Saunders Company. hlm 400.

Myers RK, McGavin MD. 2007. Cellular and tissue responses to injury. Di dalam:

McGavin MD, Zachary JF, editor. Pathologic Basis of Veterinary Disease.

Fourth Edition. USA: Mosby Elsevier. hlm 11-13, 39-40, 58, 71, 423-424.

Page 55: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

54

Nakamura T, Sato K, Akiba M, Ohnishi M. 2006. Urobilinogen, as a bile pigment

metabolite, has an antioxidant function. J Oleo Sci 55(4): 191-197.

Navarre B. 2003. Acute & chronic renal disease in lizards.

http://animal.discovery.com/guides/reptiles/iguanas/renaldisease.html. [27

September 2011].

Oros J, Casal AB, Arencibia A. 2010. Microscopic studies on characterization of

blood cells of endangered sea turtles. Microscopy: Science, Technology,

Application and Education: 75-84.

Paré JA. 2006. Reptile basics: clinical anatomy 101. Di dalam: Exotics-Reptiles

and Amphibians. Prosiding American Veterinary Conference Volume 20;

Florida, 7-11 Januari 2006. Florida: North American Veterinary

Conference, hlm 1657-1660.

Pianka ER, King D, King RA. 2004. Varanoid Lizards of the World. USA:

Indiana University Press. hlm 3-5.

Philipp KM, Böhme W, Ziegler T. 1999. The identity of Varanus indicus:

redefinition and description of a sibling species coexisting at the type

locality (suaria: varanidae: varanus indicus group). Spixiana 22(3): 273-287.

Press CM, Landsverk T. 2006. Immune system. Di dalam: Eurell JA, Frappier BL,

editor. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Sixth Edition. USA:

Blackwell Publishing. hlm 147-148.

Ramírez-Córdova JD de, Ramírez-Romo S, Mora-Galindo J. 1990. Quantitative

evaluation of intracellular degradation in Entamoeba invadens. International

J for Parasito 20(2): 199-201 [terhubung berkala].

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0020751999090101R [13

Februari 2012].

Reavill D. 1994. Selected topics in reptile clinical pathology.

http://www.zooexotic.com/Reptileclinpah1994.pdf. [23 Agustus 2011].

Richter B, Kübber-Heiss A, Weissenböck H. 2008. Diphtheroid colitis in a boa

constrictor infected with amphibian Entamoeba sp.. Vet Patho 153: 164-

167.

Robertson JL, Newman SJ. 2006. Disorders of the spleen. Di dalam: Feldman BF,

Zinkl JG, JainNC, editor. Schalm’s Veterinary Hematology. Fifth Edition.

USA: Blackwell Publishing. hlm 275-276.

Page 56: STUDI KASUS: KAJIAN HISTOPATOLOGI PADA KEMATIAN … · terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bayu Febram Prasetyo, S.Si, Apt. selaku dosen pembimbing akademik, seluruh staf dan

55

Rose K. 2005. Common diseases of urban wildlife: reptiles. http://www.arwh.org.

[16 Desember 2011].

Sever DM et al. 2007. Renal sexual segment of the cottonmouth snake,

Akgistrodon piscivorous (reptilia, squamata, viperidae). J of Morpho: 1-14.

Soldati Get al. 2004. Detection of mycobacteria and chlamydiae in granulomatous

inflammation of reptiles: a retrospective study. Vet Patho41(4): 388-397.

Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi Ketiga.

Soetjipto, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Terjemahan dari: An Introduction to General Pathology Third Edition.

hlm115-118.

Terio KA. 2004. Comparative inflammatory responses of non-mammalian

vertebrates: robbins and cotran for the birds.

http://www.ivis.org/proceedings/ACVP/2004/Terio/ivis.pdf. [26 September

2011].

Travis C. 2011. Why did the monitor lizard become endangered?.

http://www.ehow.com/info_10021290_did-monitor-lizard-become-

endangered.html. [21 September 2011].

Turner B, LeRoy BE, Tarpley HL, Moore H, Latimer KS, Bain PJ. 2000. Feline

hepatic lipidosis. http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/turner/index.php. [20

Februari 2012].

Wilson B. 2010. Lizards. Di dalam: Ballard BM, Cheek R, editor. Exotic Animal

Medicine for the Veterinary Technician. Second Edition. Iowa: Blackwell

Publishing Professional. hlm 76, 84, 87-90, 104-106.

Zumla A, James DG. 1996. Granulomatous infections: etiology and classification.

Clin Infec Dis 23: 146-158.