Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI PENGARUH MASUKAN PANAS PENGELASAN GTAW TERHADAP BENTUK HASIL LASAN DAN STRUKTUR MIKRO
SS 316L
Muhammad Hibbatullah Al Fajri, Muhammad Anis
Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
[email protected], [email protected]
Abstrak STUDI PENGARUH MASUKAN PANAS PENGELASAN GTAW TERHADAP BENTUK HASIL LASAN DAN STRUKTUR MIKRO SS 316L. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh masukan panas terhadap bentuk hasil lasan, struktur mikro, dan karaktristik mekanis baja tahan karat austenitik 316L. Pada penelitian ini dilakukan pengelasan metode GTAW dengan logam induk adalah baja tipe 316L ketebalan 8 mm, menghasilkan lasan bead-on-plate. Proses pengelasan tanpa menggunakan logam pengisi, dan menggunakan gas argon sebagai gas pelindung. Pengaturan masukan panas divariasikan dengan mengatur arus, tegangan, dan kecepatan pengelasan. Setelah proses pengelasan dilakukan pengukuran geometri lasan, pengujian metalografi dengan mikroskop optik, dan uji kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan meningkatnya masukan panas berpengaruh terhadap bentuk hasil las, menghasilkan penetrasi las semakin dalam dan melebar sehingga menaikkan rasio D/W. Daerah HAZ mengalami pertumbuhan butir yang meningkat seiring dengan kenaikan masukan panas. Sampel dengan masukan panas tinggi terjadi penurunan nilai kekerasan pada daerah logam las dan HAZ karena perubahan struktur mikro. Kata kunci : Masukan Panas, Baja Tahan Karat Austenitik 316L, GTAW, Bentuk Hasil Lasan, Struktur Mikro Abstract A Study on Influence of Heat Input on The Weld Shape and The Microstructure of Gas Tungsten Arc Welded 316L Stainless Steel. The purpose of this research is to study of influence on heat input of GTAW process on the weld shape, microstructure, and hardness. This research use GTAW method on SS 316L materials with 8 mm thickness to produce bead-on-plate welded, using no filler metal and argon as shielding gas. Heat input varied by adjusting the current, voltage, and welding speed. After welding process the weld geometry was measured, metallographic examination using optical microscopy, and hardness test. The results shown that with increasing heat input affects to weld shape, produce more width and depth penetration hence increasing D/W ratio. HAZ was found that the extent of grain coarsening in the heat affected zone increased with increase in the heat input. The specimen with the high heat input has decreased hardness in weld metal and HAZ due to change on microstructure. Keywords : Heat input, Austenitic Stainless Steel 316L, GTAW, Weld Shape, Microstructure
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Pendahuluan Latar Belakang Masalah
Material SS 316L merupakan baja tahan karat yang telah banyak dipergunakan dalam
dunia industri baik dalam perminyakan, distribusi gas maupun dalam manufaktur. Material SS
316L memiliki sifat ketahanan korosi dan sifat mekanis yang baik. Selain itu, SS 316L juga
lebih banyak diminati karena harganya yang lebih murah dibandingkan baja tahan karat
duplex atau superduplex. Baja tahan karat juga harus memiliki sifat mampu las yang baik,
karena pengelasan merupakan proses yang sangat penting dalam manufaktur.
Pada proses pengelasan, panas las mencairkan ujung permukaan logam induk yang
dilas menyatu dengan leburan logam pengisi mengakibatkan adanya perubahan struktur mikro
pada daerah lasan dan sekitarnya serta memberikan dampak perubahan sifat mekanik dan
geometri logam lasan[1]. Faktor yang berpengaruh pada sifat mekanik dari lasan dipengaruhi
oleh komposisi kimia lasan dan struktur mikro yang terbentuk. Struktur mikro dan kekerasan
dari hasil pengelasan pada daerah HAZ sangat tergantung pada laju pendinginan, dimana laju
pendinginan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tebal pelat, kondisi pengelasan, preheat,
masukan panas dan lingkungan[2].
Masukan panas merupakan satu parameter yang memberikan kontribusi terhadap
distorsi dan tegangan sisa. Semakin banyak pertambahan lapisan las maka distorsi yang
terjadi semakin besar. Pada pelat-pelat tipis seringkali terjadi distorsi yang berdampak pada
perubahan ukuran dimensi yang tidak diinginkan. Tetapi pada pelat-pelat tebal dengan
penampang yang luas, distorsi tidak tampak namun tegangan sisa yang terbentuk sangat besar
jika dilakukan suatu pengukuran. Perubahan bentuk geometri lasan terjadi karena pemanasan
secara lokal dengan sumber panas las dimana distribusi temperatur tidak merata dan berubah,
serta perubahan kecepatan las[3]. Panas las mengakibatkan terjadinya perubahan struktur
mikro pada daerah lasan dan sekitarnya yang juga menyebabkan perubahan sifat mekanik
logam las.
Masukan panas yang berlebih dapat mengurangi kandungan ferit[4]. Masukan panas
yang tinggi akan menyebabkan material berada pada temperatur puncak untuk waktu yang
lama, menyebabkan pertumbuhan butir yang nantinya akan mempengaruhi sifat
mekaniknya[5]. Pada proses pengelasan multipass, HAZ dari siklus pertama dapat dipanasi
oleh pass selanjutnya ke derajat yang besarnya tergantung dari posisi HAZ terhadap sumber
panas. Hal ini berarti tidak semua daerah HAZ terpengaruh oleh siklus kedua. Daerah HAZ
yang terpengaruh siklus kedua akan mengalami perubahan struktur mikro yang signifikan.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Besarnya masukan panas yang berbeda pada proses pengelasan akan menghasilkan
sifat mekanik dan bentuk hasil lasan yang berbeda. Jika masukan panas yang diberikan cukup
tinggi maka laju pendinginan akan semakin lambat. Laju pendinginan yang lambat, terjadi
transformasi ferit-austenit dengan waktu yang cukup. Dengan mengontrol masukan panas,
laju pendinginan yang cukup dapat tercapainya pembentukan austenit yang stabil, namun juga
untuk mencegah terbentuknya presipitasi. Kontrol masukan panas pada proses pengelasan
sangat penting dan perlu pertimbangan untuk menghasilkan struktur mikro dan sifat mekanik
yang baik.
Perumusan Masalah
Salah satu masalah dalam pengelasan terdapat kemungkinan terbentuknya cacat pada
struktur mikro yakni terbentuknya fasa intermetalik dan presipitat krom karbida yang akan
membuat material mengalami kegagalan lebih awal dari waktu yang seharusnya. Pada
material baja tahan karat austenitik, mempunyai koefisien termal yang tinggi dan
konduktivitas termal yang rendah dibandingkan dengan baja karbon, mengakibatkan terjadi
distorsi setelah proses pengelasan. Kualitas dari sambungan las dipengaruhi oleh parameter
input pengelasan. Hasil geometri las seperti penetrasi kedalaman yang dangkal dapat
menyebabkan kegagalan struktur karena penetrasi las menentukan besar tegangan yang
diterima dari sambungan las.
Masukan panas dalam pengelasan GTAW merupakan salah satu faktor terpenting
untuk menghasilkan hasil pengelasan yang baik. Bentuk hasil lasan dapat dikontrol dengan
pengaturan besarnya masukan panas. Pengaturan masukan panas divariasikan dengan
mengatur arus, tegangan, dan kecepatan pengelasan. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh masukan panas terhadap bentuk hasil lasan, struktur mikro, dan
kekerasan pada material SS 316L.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh besarnya masukan panas terhadap bentuk hasil lasan yang diukur
berdasarkan geometri lasan yang terbentuk.
2. Memahami karakteristik struktur mikro yang terbentuk setelah pengelasan pada daerah
logam induk, HAZ, dan logam las.
3. Mengetahui pengaruh masukan panas terhadap karakteristik nilai kekerasan pada daerah
logam induk, HAZ, dan logam las.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk dapat memenuhi tujuan penelitian yang baik maka perlu dilakukan suatu
batasan ruang lingkup penelitian sehingga penelitian menjadi lebih terfokus dan tidak berubah
dari tujuan awal. Material uji SS 316L dengan komposisi kimia dianggap homogen untuk
seluruh spesimen. Pengelasan dengan metode GTAW tanpa menggunakan kawat las dan
penggunaan gas argon sebagai gas pelindung. Pengaruh masukan panas berdasarkan kenaikan
arus dan kenaikan tegangan, serta penurunan kecepatan pengelasan yang dibedakan pada
masing-masing spesimen. Pengujian kekerasan, struktur mikro, dan fasa yang terbentuk
dilakukan pada daerah logam las, HAZ dan di daerah logam induk.
Tinjauan Teorities Baja Tahan Karat Austenitik
Baja tahan karat merupakan baja paduan tinggi dengan unsur paduan utama minimal
16%wt krom dan 10%wt nikel dengan sedikit unsur paduan lain seperti molibdenum dan
mangan. Kadar kromium tersebut merupakan kadar minimum untuk pembentukan permukaan
pasif oksida yang dapat mencegah serangan korosi dan ketahanan oksidasi pada temperatur
tinggi. Salah satu kelompok baja tahan karat yang banyak digunakan adalah baja tahan karat
austenitik.
Baja tahan karat austenitik mempunyai kandungan 16-18%wt unsur krom dan 10-
14%wt unsur nikel[6]. Strukturnya akan tetap austenitik bila unsur nikel dalam logam paduan
diganti oleh mangan, dan juga setelah proses annealing dari suhu tinggi tertentu ke suhu
ruang. Hal ini karena sifat stabilisasi struktur austenitik pada suhu ruang. Jenis baja ini dapat
tetap menjaga sifat austenitiknya pada suhu ruang, memiliki keuletan, dan ketahanan korosi
yang lebih baik daripada baja tipe feritik dan martensitik sehingga pemakaiannnya lebih
banyak pada lingkungan korosi berat. Baja tahan karat austentik umumnya digunakan pada
industri kimia, pharmaceutical, gas, dan offshore untuk berbagai jenis peralatan seperti pipa,
heat exchanger, tanks, roda gigi, pressure vessels, dan valve[7].
Pengelasan GTAW
Pengelasan merupakan ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan
yang dilaksanakan dalam keadaan cair. Dengan kata lain, las adalah sambungan setempat dari
beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas, dengan atau tanpa menggunakan
tekanan, atau hanya tekanan, dengan atau tanpa menggunakan kawat las. Pengelasan yang
dilakukan tanpa menggunakan kawat las yang dikenal dengan autogeneous welding.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Hasil las dikatakan baik apabila lasan yang dihasilkan dapat memberikan kontinuitas
yang lengkap antara bagian yang disambung dengan setiap bagian sambungan sehingga
sambungan dan logam induknya tidak menunjukkan perbedaan yang jelas. Kondisi yang
harus dipenuhi dalam proses pengelasan, yaitu adanya suplai energi, bebas dari kontaminasi
seperti oksida, proteksi terhadap atmosfir, dan metalurgi las yang terkontrol.
Las busur listrik adalah suatu proses pengelasan dimana panas dihasilkan oleh busur
listrik diantara elektroda dengan benda kerja. Keduanya dihubungkan ke suplai dan busur
terbentuk dengan menyentuhkan elektroda ke benda kerja. Waktu elektroda menyentuh benda
kerja, arus singkat terbentuk melalui titik kontak ujung elektroda, listrik mengalir, dan
sewaktu elektroda ditarik dari benda kerja, arus listrik tetap mengalir tetapi dalam bentuk
percikan bunga api. Salah satu proses las busur listrik yang paling umum digunakan adalah
Gas Tungsten Arc Welding (GTAW), sering disebut pula dengan Tungsten Inert Gas (TIG).
GTAW dapat dikerjakan secara manual atau otomatis. Kawat las ditambahkan ke
dalam daerah las dengan cara mengumpankan sebatang kawat polos. Busur listrik dan kawat
las dilindungi dari pengaruh atmosfir oleh gas inert. Gas inert disemburkan dari torch dan
daerah-daerah disekitar elektroda tungsten. Tungsten digunakan dalam keadaan murni atau
paduan sebagai elektroda tak terumpan dalam las GTAW. Arus yang digunakan tergantung
pada jenis elektroda yang digunakan, diameter elektroda, dan polaritas arus. Hasil pengelasan
dengan proses GTAW mempunyai permukaan halus, tanpa slag, dan kandungan hidrogen
yang rendah.
Hal yang harus diperhatikan dalam pengelasan baja tahan karat adalah memberikan
kondisi bebas retak pada lasan dan menjaga lasan pada daerah HAZ agar tetap memiliki sifat
ketahanan korosi sama dengan logam induk. Pengontrolan material kawat las, masukan panas,
permukaan lasan, dan menjaga kandungan delta ferit di struktur mikro lasan dapat
meningkatkan ketahanan terhadap korosi. Deposit lasan austenitik sering digunakan untuk
menggabungkan berbagai paduan besi. Deposit lasan austenitik memadat sebagai ferit primer,
yang juga dikenal sebagai (δ) delta ferit. Logam lasan baja tahan karat austenitik umumnya
mengandung 2–10% fasa delta ferit, agar terhindar dari masalah retak akibat pembekuan.
Struktur Mikro Logam Baja Tahan Karat
Komposisi logam las ditentukan dalam terminologi Ni ekivalen dan Cr ekivalen dan
hasilnya di plot pada diagram untuk memperkirakan struktur mikro akhir. Baja tahan karat
austenitik secara termomekanik memiliki struktur mikro austenit primer. Transformasi baja
tahan karat austenitik dapat dijelaskan menggunakan diagram pseudo-biner Fe-Cr-Ni[8].
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Gambar 1. Diagram pseudo-biner Fe-Cr-Ni
Diagram Schaeffler menunjukkan hubungan kuantitatif antara komposisi dengan
kandungan ferit logam lasan[9]. Komposisi berdasarkan nikel ekuivalen dan krom ekuivalen
yang masing-masing ditentukan oleh unsur penstabil austenit yaitu Ni, C, dan Mn, dan unsur
penstabil ferit yaitu Cr, Si, Mo, dan Nb. Diagram tersebut selanjutnya dimodifikasi De-Long
dengan menambahkan unsur nitrogen yang merupakan unsur penstabil austenite[10].
Penambahan unsur nitrogen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kandungan ferit
pada logam lasan.
Gambar 2. Diagram Schaeffler (kiri) dan Diagram DeLong (kanan)
Kotecki dan Siewert memodifikasi diagram dengan menambahkan unsur tembaga
yang merupakan unsur penstabil austenit. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
komposisi baja pada kondisi aktual. Diagram ini dikenal dengan diagram WRC-1992[11].
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Gambar 3. Diagram WRC-1992
Struktur mikro logam lasan baja tahan karat dapat dikontrol melalui proses pembekuan
dan transformasi dalam keadaan padat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Proses
pembekuan dan transformasi menunjukkan adanya perbedaan morfologi ferit pada logam
lasan seiring dengan peningkatan rasio Crek/Niek[12].
Gambar 4. Skematik solidikasi dan transformasi logam lasan dengan variasi morfologi
ferit pada baja tahan karat
Solidifikasi pada baja tahan karat terdiri dari empat jenis mode yaitu mode feritik (F),
feritik-austenitik (FA), austenitik-feritik (AF), dan austenitik (A)[13]. Mode F, pembekuan fasa
tunggal ferit. Mode FA, fasa ferit sebagai pembekuan primer selanjutnya fasa austenit. Mode
AF, fasa austenit sebagai pembekuan primer selanjutnya fasa ferit. Mode A, pembekuan
hanya fasa tunggal austenit. Rasio Crek/Niek<1,5 termasuk dalam pembekuan mode A, rasio
1,5<Crek/Niek<1,95 termasuk pembekuan mode AF ata FA, dan rasio Crek/Nek>1,95 termasuk
dalam pembekuan mode F[14].
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Metodologi Penelitian Persiapan Spesimen
Material uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah material SS 316L berbentuk
plat dengan dimensi panjang 100 mm, lebar 50 mm dan dengan ketebalan 8 mm. Komposisi
kimia material SS 316L ditunjukkan pada Tabel 1[6].
Tabel 1. Komposisi spesimen
Tipe Komposisi %wt
C Mn Si Cr Ni Mo P S
316L 0,03 max 2,0 1,0 16-18 10-14 2,0 0,045 0,03
Proses Pengelasan Proses pengelasan dilakukan sesuai WPS yang sudah tersedia dengan menggunakan
metode pengelasan GTAW. Pengelasan dilakukan tanpa menggunakan kawat las dengan gas
argon sebagai gas pelindung dan polaritas DCEN. Efisiensi pengelasan berkisar 70%[15].
Parameter proses pengelasan ditunjukkan oleh Tabel 2.
Tabel 2. Parameter pengelasan
Arus (A) Volt (V) Speed (mm/s) Masukan Panas (kJ/mm)
60 10 0,86 1,23
0,49 0,34
80 12 1,08 1.67
0,62 0,40
100 14 1,19 1,89
0,82 0,52
120 15 1,37 2,23
0,92 0,57
Karakterisasi dan Pengujian Sampel Pengamatan Bentuk Hasil Lasan
Pengamatan bentuk hasil lasan (weld shape) bertujuan untuk mengetahui penetrasi
setelah pengelasan. Bentuk hasil lasan dapat berupa semakin mendalam atau melebar
bergantung pada besarnya masukan panas saat dilakukan pengelasan. Bentuk hasil lasan
diukur berdasarkan geometri lasan yang diperoleh.
Pengujian Metalografi
Pengujian metalografi dilakukan untuk mengamati hasil lasan secara makro dan
mikro, struktur mikro serta fasa-fasa yang terbentuk. Spesimen untuk uji metalogarafi diambil
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
pada hasil pengelasan berbentuk plat dengan dimensi spesimen panjang 50 mm, lebar 10 mm
dan ketebalan 8 mm. Kemudian, dilakukan pengamplasan dengan menggunakan kertas
amplas, urutan pengamplasan dilakukan dengan nomor mesh yang rendah ke nomor mesh
yang tinggi. Selanjutnya, dilakukan pemolesan menggunakan mesin poles dengan TiO2 dan
kain beludru/wool. Proses elektro etsa spesimen ke dalam larutan etsa asam oksalat 15 gram +
100 ml aquades dan tegangan 6 volt lalu disiram dengan air yang mengalir dan alkohol,
kemudian dikeringkan dengan menggunakan hair dryer. Pemeriksaan dengan mikroskop
optik untuk pengamatan struktur mikro, ukuran butir, dan fasa yang terbentuk pada daerah
logam lasan (weld metal), heat affected zone (HAZ), dan logam induk (base metal).
Pengujian Kekerasan
Metode pengujian kekerasan mikro digunakan uji kekerasan Vickers, sesuai standard
ASTM E384 dari daerah pengaruh terkena panas hingga di daerah logam induk yang tidak
terpengaruh oleh panas pengelasan. Pembebanan dilakukan dengan menggunakan indentor
intan berbentuk piramid dengan beban sebesar 300 gf, dengan sudut puncak antara dua bidang
yang berhadapan sebesar 135o dan waktu pembebanan indentor dilakukan selama 10 detik.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Bentuk Lasan
Pemberian masukan panas yang berbeda menghasilkan bentuk lasan yang berbeda
pula seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Perbedaan bentuk hasil las (a) HI= 0,34 (b) HI= 0,40 (c) HI= 0,49 (d) HI=
0,52 (e) HI= 0,57 (f) HI= 0,62 (g) HI= 0,82 (h) HI= 0,92 (kJ/mm)
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Pada Gambar 5. menunjukkan masukan panas mempengaruhi hasil lasan yang
terbentuk. Pada masukan panas rendah, bentuk las menghasilkan luas area yang lebih kecil
dibanding masukan panas besar. Pada HI= 0,34 kJ/mm dan HI= 0,52 kJ/mm, terjadi
perbedaan bentuk las dimana masukan panas rendah menghasilkan luas area yang lebih kecil.
Pada masukan panas tinggi, HI= 0,92 kJ/mm, bentuk las cenderung lebih dalam dan melebar.
Hal ini disebabkan karena pada masukan panas tinggi, daerah yang terkena pengaruh panas
lebih besar sehingga bentuk las cenderung lebih dalam dan melebar.
Bentuk lasan dengan pemberian masukan panas yang berbeda, dipengaruhi oleh
parameter dari masukan panas yakni penggunaan arus, tegangan, dan kecepatan pengelasan.
Hal ini terlihat pada HI= 0,57 kJ/mm, menghasilkan bentuk lasan yang lebih dalam dan lebar
dibandingkan HI= 0,62 kJ/mm. Perbedaan bentuk lasan dapat terjadi karena penggunaan arus
yang lebih besar dan kecepatan pengelasan rendah. Dengan demikian, pemberian masukan
panas yang berbeda menghasilkan bentuk lasan yang berbeda pula.
Untuk mengetahui perubahan bentuk las yang terbentuk, maka dilakukan pengukuran
terhadap geometri lasan. Geometri lasan dapat diukur berdasarkan dimensi kedalaman (depth)
dan lebar (width) dari bentuk lasan yang diperoleh. Data geomteri hasil lasan yang terbentuk
dari masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengukuran geometri lasan
Masukan Panas (kJ/mm) Depth (mm) Width (mm) Depth/Width Ratio 0,34 0,40 0,49 0,52 0,57 0,62 0,82 0,92
0,5 0,7 0,7 0,9 1,3 0,8 1,1 1,4
6,0 7,5 7,0 9,5 10,5 8,0 10,0 11,0
0,08 0,09 0,10 0,09 0,12 0,10 0,11 0,13
Dari data tersebut, rasio D/W terkecil dimiliki pada HI=0,34 kJ/mm dan rasio D/W
terbesar dimiliki pada HI=0,92 kJ/mm. Pada masukan panas tinggi menghasilkan rasio D/W
lebih besar dibandingkan masukan panas rendah. Geometri lasan dapat dibuat hubungan rasio
kedalaman berbanding lebar pemukaan las yang dihasilkan terhadap masukan panas, yang
ditunjukkan pada Gambar 6. Rasio D/W merupakan faktor yang menjadi ukuran distribusi
panas ke permukaan logam yang akan dilas berdasarkan geometri las yang terbentuk. Rasio
D/W dapat berpengaruh terhadap kualitas hasil sambungan las.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Gambar 6. Grafik pengaruh masukan panas terhadap rasio D/W
Pada grafik tersebut, ditunjukkan bahwa kenaikan masukan panas menyebabkan rasio
D/W meningkat. Semakin besar masukan panas maka semakin besar pula rasio D/W. Rasio
D/W dapat meningkat karena penetrasi las yang dihasilkan lebih dalam. Hal ini yang
menyebabkan terjadi peningkatan rasio. Semakin tinggi rasio D/W maka penetrasi las
semakin baik, namun bila rasio terlalu besar dapat menimbulkan distrosi dan retak pada
sambungan las[16]. Faktor yang mempengaruhi geometri lasan seperti komposisi logam lasan,
gas pelindung, dan penambahan aktivasi fluks di permukaan lasan[17]. Parameter pengelasan
diperlukan pertimbangan agar menghasilkan rasio D/W yang optimum sehingga kualitas
sambungan las tidak menimbulkan kegagalan pada saat penggunaannya.
Hasil Uji Metalografi
Hasil uji metalografi dengan mikroskop optik dilakukan untuk pengamatan struktur
mikro, ukuran butir, dan fasa yang terbentuk pada logam induk (base metal), heat affected
zone (HAZ), dan logam las (weld metal).
Daerah Logam Induk (Base Metal)
Hasil struktur mikro logam induk yang diperoleh seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Hasil struktur mikro logam induk menggunakan mikroskop optik etsa
secara elektrolitik dengan larutan asam oksalat (perbesaran 500x)
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Hasil struktur mikro logam induk seperti pada Gambar 7 terlihat adanya fasa austenit
sebagai fasa yang dominan dan fasa ferit. Fasa austenit ditunjukkan oleh warna putih
sedangkan ferit dalam bentuk delta ferit berupa garis hitam putus-putus. Selain itu, terlihat
pula adanya presipitat berupa bintik hitam yang tersebar pada daerah batas butir atau batas
ferit-austenit. Presipitat tersebut diduga adalah presipitat karbida.
Hasil struktur mikro yang diperoleh di daerah logam induk menunjukkan tetap
berstruktur mikro ferit dan austenit yang terdistribusi secara acak dan tersebar merata.
Struktur mikro logam induk setelah proses pengelasan memiliki struktur mikro yang sama
dengan material sebelum terkena pengaruh pengelasan. Hal ini disebabkan karena temperatur
yang dicapai pada daerah ini terletak jauh dibawah 723°C (garis transformasi), dengan
demikian struktur mikronya tidak berubah dan tetap sama seperti sebelum dilakukan
pengelasan.
Daerah Terkena Pengaruh Panas (HAZ)
Hasil struktur mikro dengan mikroskop optik daerah HAZ ditunjukkan oleh Gambar 8,
perbesaran 200x dan Gambar 9, perbesaran 500x
Gambar 8. Struktur mikro HAZ perbesaran 200x (a) HI= 0,34 (b) HI= 0,40 (c) HI= 0,49
(d) HI= 0,52 (e) HI= 0,62 (f) HI= 0,82 (kJ/mm)
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Gambar 9. Struktur mikro HAZ perbesaran 500x (a) HI= 0,57 (b) HI= 0,92 (kJ/mm)
Hasil pengamatan struktur mikro daerah HAZ dengan mikroskop optik, Gambar 8,
terlihat bahwa adanya pertumbuhan butir dengan struktur terdiri dari struktur butir kasar dan
struktur butir halus. Selama proses pengelasan, daerah HAZ mengalami serangkaian siklus
termal yakni pemanasan hingga mencapai suhu tertentu yang kemudian dilanjutkan dengan
pendinginan, sehingga daerah ini merupakan daerah yang paling kritis pada sambungan las.
Panas dari pengelasan merubah ukuran butir pada daerah dekat logam las.
Pengamatan struktur mikro Gambar 8 dengan masukan panas tinggi, HI= 0,82 kJ/mm,
menghasilkan ferit dengan butiran yang relatif lebih kasar bila dibandingkan masukan panas
rendah, HI= 0,34 kJ/mm. Pada penggunaan masukan panas, HI= 0,62 kJ/mm, tampak pula
adanya kombinasi antara butiran ferit kasar dan ferit halus. Hal ini disebabkan karena
perbedaan proses pembekuan dan laju pendinginan yang kurang merata pada bagian tertentu.
Pertumbuhan butir semakin meningkat seiring dengan kenaikan masukan panas.
Pada batas lebur dengan logam las, struktur butir mengalami pertumbuhan yang
berawal dari logam induk menuju pusat inti las. Seiring dengan meningkatnya temperatur
pada logam las, butir tumbuh menuju pusat inti las dengan stuktur mikro memiliki bentuk
struktur berbutir panjang (columnar grains). Pada garis lebur ini hanya sebagian dari logam
induk yang mencair dan diikuti oleh transformasi fasa ferit-austenit selama proses
pembekuan.
Dengan semakin tinggi masukan panas yang dihasilkan maka delta ferit pada daerah
HAZ mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 9, terlihat bahwa pada
masukan panas tinggi, HI= 0,92 kJ/mm, delta ferit yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan
masukan panas rendah, HI= 0,57 kJ/mm. Struktur mikro yang terjadi pada masukan panas
tinggi di daerah HAZ dengan laju pendinginan lambat maka lebih cenderung terjadi
pembentukan fasa austenit dan pengurangan delta ferit.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Daerah Logam Las (Weld Metal) Hasil pengamatan struktur mikro logam las dengan menggunakan mikroskop optik
perbesaran 500x ditunjukkan oleh Gambar 10.
Gambar 10. Struktur mikro logam las perbesaran 500x (a) HI= 0,52 (b) HI= 0,57 (c)
HI= 0,82 (d) HI= 0,92 (kJ/mm)
Pada logam las terjadi proses pembekuan yang memunculkan struktur butir kasar
berbentuk columnar grain diiringi dengan timbulnya segregasi sebagai akibat adanya laju
pendinginan yang relatif cepat. Struktur mikro yang terbentuk pada sebagian besar sampel di
daerah logam las adalah ferit vermicular atau skeletal dan lathy atau kombinasi keduanya.
Pada masukan panas rendah, HI= 0,52 kJ/mm, menghasilkan delta ferit berbentuk vermicular
atau skeletal terlihat pada Gambar 10. Begitu pula sampel lain yakni HI= 0,57 kJ/mm dengan
HI= 0,82 kJ/mm. Pada masukan panas tinggi yakni HI= 0,92 kJ/mm, menghasilkan delta ferit
berbentuk vermicular dengan struktur butiran kasar dan ditemukan adanya ferit lathy.
Perbedaan yang signikan pada Gambar 10 adalah perbedaan pada ukuran dendrit dan
jarak antar dendrit dengan penggunaan masukan panas yang berbeda, bila dilakukan suatu
pengukuran. Pada masukan panas tinggi, menyebabkan ukuran dendrit membesar dan jarak
antar dendrit bertambah dibandingkan dengan masukan panas rendah, seperti yang terjadi
pada masukan panas HI= 0,52 kJ/mm dengan HI= 0,92 kJ/mm. Hal ini disebabkan karena
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
pada masukan panas tinggi, butir terpapar dalam proses pemanasan yang cukup lama sehingga
mengakibatkan perubahan ukuran dendrit menjadi lebih besar.
Pada masukan panas tinggi, diikuti oleh laju pendinginan rendah, butir memiliki waktu
yang relatif lama untuk tumbuh membesar sehingga berakibat pada perubahan ukuran dendrit
dan jarak antar dendrit. Sedangkan pada masukan panas rendah, diikuti oleh laju pendinginan
tinggi dengan waktu yang relatif cepat, butir tidak sempat untuk tumbuh sehingga
menghasilkan ukuran dendrit lebih kecil dan jarak antar dendrit menjadi lebih rapat.
Hasil Uji Kekerasan
Hasil pengujian kekerasan dengan menggunakan kekerasan mikro Vickers didapat
setelah melakukan perhitungan kekerasan rata-rata pada daerah logam induk, daerah terkena
pengaruh panas, dan logam las. Hasil pengukuran kekerasan Vickers yang diperoleh
ditunjukkan oleh Tabel 4. Dengan penggunaan masukan panas yang berbeda akan
menghasilkan nilai kekerasan yang berbeda pula.
Tabel 4. Hasil pengukuran kekerasan Vickers
Masukan Panas (kJ/mm) Daerah SS 316L
Logam Induk HAZ Logam Las 0,34 0,40 0,49 0,52 0,57 0,62 0,82 0,92
257 246 241 236 226 218 209 194
243 236 224 213 211 203 199 182
231 226 213 201 198 196 187 174
Nilai kekerasan tertinggi terjadi pada SS 316L di daerah logam induk, HAZ, dan
logam las yang dihasilkan oleh sampel masukan panas rendah, sedangkan kekerasan terendah
dihasilkan oleh sampel masukan panas tinggi. Pengujian kekerasan Vickers pada daerah HAZ
dan logam las pada material uji menunjukkan adanya penurunan kekerasan setelah proses
pengelasan. Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan kekerasan benda uji yang mengalami
pengaruh panas dari pengelasan. Hasil uji kekerasan di daerah logam induk lebih keras
dibandingkan dengan daerah HAZ dan logam las. Daerah HAZ menunjukkan nilai kekerasan
lebih besar dibandingkan logam las. Kondisi tersebut disebabkan oleh pengaruh pemanasan
dan laju pendiginan dengan pemberian masukan panas yang berbeda.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Proses pengelasan mengakibatkan ukuran butir menjadi besar pada daerah HAZ dan
logam las. Pada proses pendinginan cepat dengan udara, mengakibatkan terjadi rekristalisasi
dan pertumbuhan butir pada daerah dekat logam las. Semakin menjauh dari logam las maka
pertumbuhan butir berkurang. Pertumbuhan besar butir karena proses pengelasan di masing-
masing daerah adalah sesuai dengan nilai kekerasannya, dimana daerah HAZ dan logam las
dengan hasil pengujian kekerasan mengalami penurunan setelah proses pengelasan.
Gambar 11. Grafik pengaruh masukan panas terhadap kekerasan Vickers
Hubungan masukan panas terhadap kekerasan benda uji ditunjukkan pada Gambar 11.
Dengan meningkatnya penggunaan masukan panas, nilai kekerasan pada masing-masing
daerah mengalami penurunan setelah proses pengelasan. Masukan panas tinggi maka laju
pendinginan semakin rendah. Laju pendinginan rendah mengakibatkan semakin banyak
pembentukan fasa austenit dan lebih sedikit delta ferit yang terbentuk, ditunjukkan pada
Gambar 9. Hal ini disebabkan karena transformasi ferit menjadi austenit dengan memiliki
waktu yang relatif lebih lama sehingga pembentukan austenit lebih banyak. Korelasi
komposisi antara kandungan ferit dengan austenit berhubungan terhadap nilai kekerasan pada
masing-masing daerah pengelasan. Ferit merupakan struktur bcc yang memiliki kekuatan
mekanik lebih baik dibandingkan struktur fcc, dimana semakin banyak ferit mengakibatkan
peningkatan kekerasan benda uji.
Pada masukan panas tinggi, diikuti oleh laju pendinginan rendah, butir memiliki waktu
yang relatif lama untuk tumbuh membesar sehingga berakibat pada perubahan ukuran dendrit
dan jarak antar dendrit. Pada masukan panas rendah menghasilkan ukuran dendrit lebih kecil
dan jarak antar dendrit menjadi lebih rapat. Dengan ukuran dendrit membesar dan jarak antar
dendrit bertambah menyebabkan penurunan kekerasan pada sampel masukan panas tinggi.
160
180
200
220
240
260
280
0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Har
dnes
s Vic
kers
(HV
)
Masukan Panas (kJ/mm)
Base Metal
HAZ
Weld Metal
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
Selain kekerasan, hal ini dapat berdampak pula terhadap sifat mekanik seperti penurunan
kekuatan tarik dan impak.
Pada pengamatan stuktur mikro HAZ, kekerasan daerah HAZ dapat menurun
disebabkan karena pertumbuhan butir dimana ukuran butir menjadi lebih besar. Pertumbuhan
butir meningkat seiring dengan naiknya masukan panas, Gambar 8. Pada masukan panas
tinggi cenderung memunculkan struktur butir lebih kasar dibandingkan masukan panas rendah
yang menghasilkan struktur butir halus. Struktur butir halus dihasilkan dari laju pendinginan
yang relatif cepat pada masukan panas rendah, dimana struktur butir halus memiliki kekerasan
lebih tinggi dibandingkan struktur butir kasar. Dengan adanya struktur butiran halus di daerah
HAZ, menyebabkan kekerasan HAZ lebih tinggi dibandingkan logam las.
Pada daerah logam las dengan pemberian masukan panas rendah menghasilkan delta
ferit berbentuk vermicular, sedangkan pada masukan panas tinggi menghasilkan delta ferit
berbentuk vermicular dengan struktur butiran lebih kasar dan sebagian adanya ferit berbentuk
lathy, terlihat pada Gambar 10. Perbedaan struktur ferit ini berpengaruh terhadap kekerasan
logam las dengan pemberian masukan panas yang berbeda. Delta ferit berbentuk lathy
memiliki kekerasan lebih rendah dibandingkan delta ferit berbentuk vermicular. Hal ini pula
yang mengakibatkan kekerasan pada sampel dengan masukan panas tinggi mengalami
penurunan setelah proses pengelasan.
Kesimpulan
Berdasarkan data penelitian, pengamatan, dan analisis terhadap data diperoleh dari
pengujian yang dilakukan tentang Pengaruh Masukan Panas Pengelasan GTAW terhadap
Bentuk Hasil Lasan dan Struktur Mikro SS 316L, maka didapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Masukan panas memiliki pengaruh terhadap bentuk hasil lasan. Geometri lasan dan
rasio D/W menjadi ukuran terhadap bentuk hasil lasan. Dengan meningkatnya
masukan panas, geometri lasan cenderung lebih dalam dan melebar yang
mengakibatkan naiknya rasio D/W.
2. Semakin besar masukan panas maka pertumbuhan butir akan semakin tinggi pada
daerah HAZ. Pada masukan panas tinggi menghasilkan struktur butir lebih kasar
dibandingkan masukan panas rendah menghasilkan struktur butir halus.
3. Pada daerah logam las menghasilkan struktur ferit vermicular dan lathy atau
kombinasi keduanya. Dengan meningkatnya masukan panas, menyebabkan ukuran
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
dendrit membesar dan jarak antar dendrit bertambah dibandingkan dengan masukan
panas rendah.
4. Seiring dengan naiknya masukan panas, maka kekerasan akan semakin menurun pada
daerah HAZ maupun inti las. Menurunnya kekerasan daerah HAZ disebabkan karena
pertumbuhan butir, sedangkan menurunnya kekerasan daerah logam las disebabkan
oleh menurunnya delta ferit dan ditemukan delta ferit berbentuk lathy.
Daftar Referensi [1] Huang, H.Y., Shyu, S.W., Tseng, K.H., & Chou, C.P. (2006). Study of the process
parameters on austenitic stainless steel by TIG-flux welding. Journal of Material
Science and Technology 22, 8, 367-374.
[2] Lippold, J.C., Damian, J.K. (2005). Welding metallurgy and weldability of stainless
steel. Wiley-Interscience Publication.
[3] Burgardt, P., & Heiple, C.R. (1986). Interaction between impurities and welding
variables in determining GTA weld shape. Welding Journal 65, 6, 150-155.
[4] Arif, F.S. (2012). Perbedaan karakteristik hasil pengelasan metode GTAW dan
SMAW terhadap baja tahan karat 316L. Tesis, Program Sarjana Universitas Indonesia,
Depok.
[5] Arivazhagan, B., Srinivasan, G., Albert, S.K., & Bhaduri, A.K. (2011). A study on
influence of heat input variation on microstructure of reduced ferritic martensitic steel
weld metal produced by GTAW process. Journal of Fusion Engineering and Design
86, 6, 192-197.
[6] ASM Handbook, Vol. 1. (1993). Properties and selection: Irons, steels and high-
performance alloys. American Society For Metals International.
[7] Welding Handbook, Vol. 4. (1982). Metals and their weldability (7th ed.). American
Welding Society.
[8] Lippold, J.C., & Savage, W.F. (1979). Solidification of austenitic stainless steel
weldments: Part I—A proposed mechanism. Welding Journal 58, 12, 362-374.
[9] Schaeffler, A.L. (1949). Constitution diagram for stainless steel weld metal. Metals
Progress 56, 5, 680-680b.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013
[10] DeLong, W.T. (1974). Ferrite in austenitic stainless steel weld metal. Welding Journal
53, 7, 273s-286s.
[11] Kotecki, D. J., & Siewert, T.A. (1992). Welding Journal 71, 171s.
[12] Brooks, J.A., & Thompson A.W. (1991). Microstructural development and
solidification cracking susceptibility of austenitic stainless steel welds. Int. Met.
Reviews 36, 29, 16-44. 1991.
[13] Suutala, N. (1982). Solidification studies on austenitic stainless steels. Acta
Universitatis Ouluensis, Series C, Technica No. 23, Metallurgica No. 3.
[14] Erick, T.K. (1984). Steel and Its Heat Treatment (2nd ed.). Butterword and Co.
[15] Kou, S. (2002). Welding Metallurgy (2nd ed.). John Wiley and Sons.
[16] Kuang, H.T., & Chih, Y.H. (2011). Performance of activated TIG process in austenitic
steel welds. Journal of Materials Processing Technology 211, 10, 503-512.
[17] Huang, H.Y. (2009). Effects of shielding gas composition and activating flux on
GTAW weldments. Materials and Design 30, 6, 2404–2409.
Studi pengaruh…, Muhammad Hibbatullah Al Fajri, FT UI, 2013