Upload
zulkfikri-al-akbar
View
85
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
SURAT TERBUKA KEPADA KELOMPOK
SALAFI
Kami sering mendengar akhir-akhir ini
ada sekelompok orang yang dalam pengajian-
pengajian dan majalahnya mengungkit-ungkit
masalah hadis ahad dengan pembahasan yang
tidak semestinya. Kemudian mereka
menambah permasalan dengan melontarkan
berbagai shubhat yang sayangnya hal ini
disampaikan kepada orang awam yang tidak
mengerti duduk permasalahan yang
sebenarnya. Hal ini diperparah dengan ajakan
mereka untuk memusuhi semua orang atau
kelompok yang berbeda pendapat dengan
mereka (karena tidak menjadikan hadis ahad
sebagai dalil dalam masalah aqidah –pent) dan
ajakan ini dibumbui dengan stempel sebagai
kelompok sesat dan bid’ah bagi semua
kelompok yang menolak hadis ahad sebagai
dalil aqidah. Untuk itu kami merasa perlu untuk
menjawab tuduhan-tuduhan itu agar masalah
ini tidak berkembang menjadi perselisihan yang
tidak sehat. Berikut ini beberapa shubhat yang
mereka lontarkan beserta bantahannya :
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
1
1- Shubhat Pertama : Mereka mengklaim
berdasarkan Kitab Aqidah Thohawiyah, bahwa
Adzab kubur adalah bagian dari aqidah
sehingga Imam Thohawi dapat dipastikan
menerima hadis ahad sebagai dalil dalam
masalah aqidah ?
Kami menjawab : Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi
(w. 321 H) adalah Ulama yang bermahdzab
Hanafiyah, sehingga Imam Ath-Thohawi pasti
memegang prinsip tentang hadis ahad sesuai
dengan pendapat Imamnya yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Muhammad Ibn Hasan Al-
Syaibani dan Imam Abu Yusuf. Hal dipertegas
dengan penjelasan DR. Sua’ib Al-Arnauth dalam
tahqiq-nya pada kitab Syarh Musykil Al-Atsar,
mengenai perpindahan Imam Ath-Thohawi dari
Mahdzab Syafi’I ke Mahdzab Abu Hanifah (Lihat
Syarh Musykil Al-Atsar oleh Imam Abu Ja’far
Ath-Thohawi jilid 1\hal. 29-30). Dimana mereka
(yaitu para Ulama yang bermahdzab Hanafiyah)
menganggap hadis ahad tidak menghasilkan
kepastian\qoth’I tetapi hanya menghasilkan
2
dugaan keras\dzon rajih (lihat kembali pendapat
para Ulama Hanafiyah –pent). Ini adalah
pendapat dari mayoritas Ulama Hanafiyah
seperti Imam Issa ibn Aban (w. 220 H), Imam
Ali ibn Musa al – Qummi (w. 305 H), Imam
At-Thobari (w. 310 H), Imam Al-Karabasi Al-
Najafi (W. 322 H), Imam Abdul Qohir Al-
Baghdadi (w. abad 5 H), Imam Ibn Athir Al-
Jazari (w. 606) dalam (Al-Nihayah fi Gharib Al-
Hadis), Imam Al-Izz Ibn Abd Al-Salam (w.
660 H), Imam Ala Al-Din Ibn Abidin (w. 1306
H), Imam Al-Sarkhasi (w. 483) dalam (Al-Usul
Al-Sarkhasi juz 1\hal. 112, 321-333). Sedang
menurut mayoritas Ulama Ahli hadis, hadis
ahad dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu:
A\-Ahad Mashur : Hadis yang diriwayatkan oleh
3 orang perawi atau lebih,
tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir.
B\-Ahad Aziz : Hadis yang diriwayatkan oleh
2 orang dari 2 orang dalam
seluruh Thobaqot sanad.
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
3
C\-Ahad Gharib : Hadis yang bersendirian saja
seorang perawi dalam
meriwayatkan hadis (Lihat
Kitab Taisir Mustholah Al-
Hadis hal. 22-25 Oleh DR.
Mahmud Ath-Thohan) (Lihat
juga makalah kami yang
berjudul “Sekali Lagi tentang
Hadis Ahad” –pent).
2- Shubhat Kedua : Mereka menyatakan bahwa
pembagian hadis Mutawatir-Ahad dilakukan
oleh para ulama ahli kalam, sehingga kita tidak
perlu mendengar pendapat para ulama tentang
hadis ahad, karena bagi mereka yang ada
hanya hadis shohih dan dho’if ?
Kami menjawab :
a- pertanyaan ini datang dari mereka yang
kurang memahami sejarah perkembangan
Ilmu Hadis. Dan lagi pertanyaan seperti ini
tidak harus dijawab karena tidak akan
menghasilkan apa-apa, sebab jumhur ulama
baik ahli kalam atau tidak; ahli hadis atau
ahli fiqh telah sepakat menerima pembagian
hadis menjadi Mutawatir-ahad berdasarkan
jumlah perawinya. Sebagaimana telah
4
dijelaskan oleh Dr. Muhammad Wafa’
bahwa “mayoritas ulama telah sepakat
dengan pembagian hadis Rasul SAW
menjadi Muatawatir-Ahad. Namun
ulama Hanafiyah menambah satu
pembagian lagi yakni Hadis Masyhur”
(Lihat kitab Ta’arudh Al-Adilati As-
Syar’iyahi min Al-Kitabi Wa As-Sunnahi
Wa At-Tarjihu bainaha, hal. 70; juga
lihat kitab yang lain seperti Al-
Mustashfa, juz 1\hal. 145; Syarh Al-
Asnawi juz 2\hal. 214; Irsyad Al-Fuhul
hal. 46; Hasyiyat Al-Athar ala Syarh Al-
Mahalli juz 2\hal. 146; juga lihat
pendapat para Ulama Hanafiyah dalam
At-Talwih ala At-Taudhih juz2\hal. 302;
At-Taqrir wa At-Tahbir juz 2\hal. 235-
236; Kasyf Al-Asrar an ushul Al-
Bazdawi juz 2\hal. 360; juga lihat
referensi baru seperti Ushul Al-Fiqh Al-
Islami, Dr. Wahbah Zuhaili juz. 1\hal.
451; Ushul Al-Fiqh, Syeikh Al-
Khudhari , hal. 214-215; Ushul Al-Fiqh,
Syeikh Muhammad Abu Zahra, hal. 83-
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
5
84; Ushul Al-Fiqh, Syeikh Musthafa
Syalbi, hal. 139)
b- Tentang tuduhan mereka bahwa pembagian
ini adalah hasil rekayasa Ahli Kalam, Kami
bertanya apakah Para Ulama seperti Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Malik,
Imam Ahmad bin Hambal, Imam Bukhori,
Imam Muslim, Al-Hafidz Ibn Hajar Al-
Asqolani, Al-Hafidz Jalaludin As-Suyuti, Al-
Hafidz Ibn Sholah, Imam Nawawi, Imam Ibn
Abdil Bar, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah,
Imam Syaukani, Al-Hafidz Al-Iroqi dll adalah
ahli kalam karena mereka menerima
pembagian hadis menjadi Mutawatir-
Ahad !!!! Bukankan Imam Syafi’I juga
menulis dalam kitabnya ‘’Ar-Risalah” satu
bab khusus yang membahas tentang hadis
Ahad, hal yang sama juga dilakukan oleh
para imam yang lain. Sungguh ini
merupakan pelecehan berat yang
dilakukan oleh ‘para pelajar’ terhadap
para Ulama, sebagaimana disinyalir oleh
Imam Ibn Al-Muqaffa’ ketika menjelaskan
tentang Al-Haq, beliau berkata : “ Aku
tidak tahu ada siapa yang lebih
dangkal pemahamannya terhadap
6
agamanya, selain orang-orang
mengambil pendapatnya sendiri (yang
menyelisi Al-Kitab dan As-Sunnah-pent)
dan orang lain sebagai orang yang
bertaqlid (mengambil pendapat tanpa
meneliti dalilnya terlebih dahulu-pent)
dalam masalah-masalah agama” .
c- Mereka menyatakan bahwa pembagian ini
dilakukan hanya oleh ahli kalam. Kami
katakan bahwa pendapat seperti tidak ada
asalnya (La Ashla lahu). Silahkan mereka
untuk membuka kitab-kitab Ulumul Hadis
seperti :
- Tadribu Al-Rawi fi Syarhi Taqrib An-
Nawawi, oleh Imam Suyuti
- Taqrib li An-Nawawi ma’a Syarhihi At-
Tadrib, tahqiq Imam Abdul Wahab
Abdul Lathif
- Ar-Risalah Al-Mustarafah li bayani
masyhur Kitab Al-Sunnah Al-Musyrifah,
oleh Imam Katani
- Ulum Al-Hadis , oleh Imam Ibn Sholah
- Fathu Al-Mughis Syarh Alfiyah Al-Hadis,
Oleh Imam Sakhowi
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
7
- Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah , Oleh
Imam al-Khotib Al-Baghdadi (juz 1\
hal. 17)
- Nukhbatu Al-fikr ma’a Syarhiha Nuzhatu
An-Nadzor, oleh Al-Hafidz Ibn Hajar
- Taisir Mustholah Al-Hadis oleh DR.
Mahmud Ath-Thohhan
- Ulum Al-Hadis oleh DR. Nuruddin Al-Itr
- Ushul Al-Hadis oleh DR. Muhammad
Ajij Al-Khotib , dll
Apakah ada diantara mereka yang tidak
membagi hadis menjadi Mutawatir-Ahad
berdasarkan jumlah perawinya. Sadarlah
wahai orang-orang yang berakal !!!!
3- Shubhat Ketiga : Mereka mengklaim dirinya
adalah orang yang paling mengerti tentang
hadis Rasul SAW, karena semua Syeikh-syeikh
mereka adalah Ahli Hadis (Muhaddis) ?
Kami menjawab : Semua orang boleh
melakukan klaim, tetapi semua itu harus
dibuktikan terlebih dahulu. Coba perhatikan
penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli
Hadis (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut
sebagian Imam hadis, orang yang disebut
dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah
8
orang yang pernah menulis hadis,
membaca, mendengar, dan menghafalkan,
serta mengadakan rihlah (perjalanan)
keberbagai tempat untuk mendapatkan
hadis, mampu merumuskan beberapa
aturan pokok (hadis), dan mengomentari
cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh
yang kurang lebih mencapai 1000 buah
karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini
terpenuhi –pent) maka tidak diingkari bahwa
dirinya adalah ahli hadis. Tetapi jika ia sudah
mengenakan jubah pada kepalanya, dan
berkumpul dengan para penguasa pada
masanya, atau menghalalkan (dirinya memakai-
pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan
marjan atau memakai pakaian yang berlebihan
(pakaian yang berwarna-warni –pent). Dan
hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan.
Maka ia telah merusak harga dirinya ,bahkan ia
tidak memahami apa yang dibicarakan
kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia
tidak pantas menyandang gelar seorang
Muhaddis bahkan ia bukan manusia. Karena
dengan kebodohannya ia telah memakan
sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
9
maka ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat
Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1\hal.
40-41). Sehingga yang layak menyandang
gelar ini adalah Muhaddis generasi awal seperti
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud,
Imam Nasa’I, Imam Ibn Majah, Imam
Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam
Ibn Hibban dll. Sehingga apakah tidak
terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk
Ghuluw –pent) dengan menyamakan
mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim,
imam Abu Dawud dkk –pent) dengan
syeikh-syeikh mereka yang tidak pernah
menulis hadis, membaca, mendengar,
menghafal, meriwayatkan, melakukan
perjalanan mencari hadis atau bahkan
memberikan kontribusi pada
perkembangan Ilmu hadis yang mencapai
seribu karangan lebih ?!?!
4- Shubhat Keempat : Mereka mengklaim
bahwa dirinyalah yang paling mengerti Sunnah
dan paling layak untuk menafsirkan kandungan-
kandungannya. Karena (menurut mereka–pent)
mereka telah menghabiskan banyak waktu
untuk melakukan takhrij dan tahqiq terhadap
10
hadis-hadis Rasul SAW dalam berbagai kitab
hadis ?
Kami menjawab : Penelitian hadis tidak sebatas
men-takhrij sebuah hadis lalu selesai
permasalahannya. Banyak hal lain yang perlu
diperhatikan untuk dapat menggali hukum-
hukum yang dikandungnya sehingga ia (proses
istimbath –pent) membutuhkan ilmu tentang
bahasa arab (Nahwu-Shorrof, Balaghoh, faidah
yang dapat dipetik dari sebuah kata seperti
faedah huruf fa’, wau dll), Ilmu Ushul Fiqh
( dapat membedakan dalil yang Amm dengan
yang Khos, yang Mutlaq dengan yang
Muqoyyad, yang Amr dengan yang Nahi ,
kalimat musytarak dengan yang tidak , dalil
yang memiliki Illat dengan yang tidak dll), Ilmu
Ulum Al-Qur’an (seperti macam-macam qiraat,
sabab an-Nuzul dll), Ilmu Nasikh-Mansukh,
Metode tarjih (jika dalil-dalil yang terlihat saling
bertentangan dll), dan banyak ilmu-ilmu lainnya
selain ilmu hadis itu sendiri. Sehingga seringkali
seorang membawa hadis kepada orang yang
lebih faqih darinya (menguasai ilmu untuk
melakukan Ijtihad- pent) sebagaimana pernah
disinggung dalam sebuah hadis rasul : ”
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
11
Seringkali seorang membawa hadis\ilmu
pada orang yang lebih faqih darinya ” (HR.
Bukhori). Dan perhatikan keterangan dari para
ulama berikut (bahwa masalah ini tidak
sesederhana apa yang mereka klaimkan) :
- Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadis
yang bermahdzab Hanafi menukil pendapat
Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn
Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang
dirangkum dalam bukunya Daf’ Al-Auham
An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam, hal. 15 :
‘’ Kita melihat pada masa kita, banyak orang
yang mengaku berilmu padahal dirinya
tertipu. Ia merasa dirinya diatas
awan ,padahal ia berada dilembah yang
dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah
satu kitab dari enam kitab hadis (kutub As-
Sittah), dan ia menemukan satu hadis yang
bertentangan dengan madzab Abu Hanifah,
lalu berkata buanglah madzab Abu Hanifah
ke dinding dan ambil hadis Rasul SAW’’.
Padahal hadis ini telah mansukh atau
bertentangan dengan hadis yang sanadnya
lebih kuat dan sebab lainnya sehingga
hilanglah kewajiban mengamalkannya. Dan
dia tidak mengetahui. Bila pengamalan
12
hadis seperti ini diserahkan secara mutlak
kepadanya maka ia akan tersesat dalam
banyak masalah dan tentunya akan
menyesatkan banyak orang ‘’.
- Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan
dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz 2\hal. 130,
dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi
Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata : ’’
Seorang tidak dianggap memahami hadis
kalau ia mengetahui mana hadis yang harus
diambil dan mana yang harus ditinggalkan ’’
.
- Al-Alamah Al-Kautsari mengatakan : ’’
Banyak terjadi pada banyak rawi yang tidak
menguasai fiqh dan tidak dapat
membedakan mana hadis yang harus
diamalkan dan mana yang tidak ’’ .
- Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik,
juz 2\hal. 427; Ibn Wahab berkata : ‘’ Kalau
saja Allah tidak menyelamatkanku melalui
Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku.
Ketika ditanya, mengapa begitu, ia
menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadis
dan itu membingungkanku. Lalu aku
menyampaikannya pada Malik dan Laits,
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
13
maka mereka berkata : ‘’ Ambillah dan
tinggalkan itu ’’ .
- Imam Malik berpesan kepada kedua
keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra
Abi Uwais); ’’Bukankah kalian menyukai hal
ini (mengumpulkan dan mendengarkan
hadis) serta mempelajarinya ?, Mereka
menjawab : ‘Ya’ , Beliau berkata : Jika kalian
ingin mengambil manfaat dari hadis ini dan
Allah menjadikannya bermanfaat bagi
kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian
dan pelajarilah lebih dalam ‘’. Seperti ini
pula Al-Khatib meriwayatkan dengan
sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih
juz II\hal. 28.
- Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya
Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II\hal. 15-19,
duatu pembicaraan yang panjang dari
Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam
Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy
berkata : ’’ Perhatikan hadis yang kalian
kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha
agar kalian menjadi ahli fiqh ’’.
- Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz I\hal. 66,
dengan penjelasan yang panjang dari para
14
Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap
As-Sunnah, a.l :
Umar bin Khaththab berkata diatas
mimbar: ’’ Akan kuadukan kepada Allah
orang yang meriwayatkan hadis yang
bertentangan dengan yang diamalkan ’’.
Imam Malik berkata :’’ Para Ahli Ilmu dari
kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadis-
hadis, lalu disampaikan kepada mereka
hadis dari orang lain, maka mereka
menjawab : “Bukannya kami tidak tahu
tentang hal ini. Tetapi pengamalannya yang
benar adalah tidak seperti ini ‘’.
Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah
ditanya :’’ Sesungguhnya telah sampai
kepadaku hadis begini dan begitu (berbeda
dengan pendapatnya-pent). Maka ia
menjawab:’’ saya pernah mendengarnya,
tetapi aku menyaksikan pengamalannya
tidak seperti itu”.
Ibn Abi zanad , ‘’Umar bin Abdul Aziz
mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha
untuk menanyai mereka tentang sunnah
dan hokum-hukum yang diamalkan agar
beliau dapat menetapkan. Sedang hadis
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
15
yang tidak diamalkan akan beliau
tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para
perawi yang terpercaya’’. Demikian
perkataan Qodhi Iyadh.
- Al- Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam
Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ala Kholaf\hal.9,
berkata : ” Para Imam dan Fuqoha Ahli
Hadis sesungguhnya mengikuti hadis shohih
jika hadis itu diamalkan dikalangan para
Sahabat atau generasi sesudahnya, atau
sebagian dari mereka. Adapun yang
disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak
boleh diamalkan, karena tidak akan
meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar
pengetahuan bahwa ia memang tidak
diamalkan’’ .
Oleh karena itu Dr. Muhammad ‘Awwamah
berkata dalam kitab Atsar Al-Hadis Asy-Syarif fi
Ikhtilafi Al-Aimmah Al-Fuqoha ra. (terjemah
dengan judul ‘Melacak Akar Perbedaan
Madzhab’) pada hal. 46 : ‘’ Kelayakan
pengamalan sebuah hadis terjadi setelah
sempurna sanad dan redaksinya dengan
syarat yang banyak. Diantaranya syarat-
syarat Haditsiyah dan Ushuliyah. Sehingga
16
persoalannya tidak hanya berhenti pada
pandangan tentang para perawi hadis
(rijal Al-Isnad) yang terdapat dalam kitab
Taqrib At-Tahdzib sebagaimana
disangkakan banyak orang pada masa ini ”
. Dan hanya orang yang diberi petunjuk oleh
Allah melalui bimbingan para Ulama yang
terpercayalah yang akan selamat dari fitnah
yang diciptakan oleh orang-orang yang hanya
mengikuti hawa nafsunya !?!!
5- Shubhat Kelima : Mereka mengklaim bahwa
pembagian akal yang benar adalah menjadi
akal Haqiqi dan akal Majazi ?!?
Kami menjawab : Model pembagian seperti ini
mirip dengan pembagian para filosof seperti Al-
Farabi dan Ibn Sina ketika mereka membagi
akal menjadi akal aktif (Al-Aql Al-Fa’al), akal
pasif (Al-Aql bi Al-Munfa’il), akal daya (Al-Aql bi
Al-Quwwah), akal inti (Al-Aql Al-Hayula) (Lihat
Kitab As-Siyasah li Al-Farabi hal. 23; Risalah fi
Al-Uqul li Ibn Sina hal. 418). Kemudian namanya
dirubah menjadi “akal haqiqi dan akal majazi” ,
yang pada hakekatnya adalah pemikiran-
pemikiran filsafat. Dan yang lebih berbahaya
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
17
lagi adalah tatkala model pembagian ala filsafat
ini dibumbui dengan sejumlah dalil yang dita’wil
sedemikian rupa untuk mengelabui para
pembaca, sehingga seakan-akan pembagian
seperti ini dilegalisasi oleh Islam, padahal yang
sebenarnya tidak ada hubungannya dengan
Islam sama sekali. Bahkan para Ulama seperti
Ibn Taimiyah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad
dll, telah membantah habis kesesatan ide
dan pemikiran yang digagas oleh para ahli
kalam dan filosof, serta mengingatkan
umat agar tidak terjebak dengan fitnah
ilmu kalam dan filsafat yang telah
menyesatkan banyak orang dari umat ini
(lihat kitab Ushul Ad-Dien oleh Abdul Qodir Al-
Baghdadi hal. 308; Al-Ushul wa Al-Furu’ oleh
Ibn Hazm jilid 2\hal. 196; Syarah Ath-
Thohawiyah oleh Ibn Abi Al-Izzi hal. 9-10;
Manahij Al-Bahsi oleh Al-Nasyar hal 114-220).
Sehingga menjadi jelaslah bagi orang-
orang yang berakal bahwa kelompok yang
senang memberi label kelompok yang
tidak sefaham dengannya sebagai
pengikut ilmu kalam dan filsafat, ternyata
dirinya sendiri banyak terjebak dengan
pemikiran-pemikiran kalam itu sendiri,
18
termasuk ketika mereka membuat
kesimpulan dengan akalnya dengan
menyatakan tidak menjadikan hadis ahad
sebagai dalil dalam masalah aqidah
berarti telah membuang banyak masalah
yang berhubungan aqidah. Hal itu pada
hakekatnya adalah permainan akal para
filosof semata !!! .
6- Shubhat Keenam : Mereka menuduh para
aktivis dari pergerakan islam itu, berdakwah
tanpa bekal ilmu yang memadai, bahkan
kosong dari ilmu. Dan hanya mereka yang
pantas untuk membicarakan dan membina
umat dengan Dien Islam ?1?
Kami Menjawab : Kami sekarang ingin bertanya
kepada anda, ilmu seperti apa yang anda
maksud. Apakah ilmu tentang Ilmu Tajwid dan
ilmu Qira’aat, atau Ilmu Ulum Al-Qur’an dan
cabang-cabangnya, atau Ilmu Ulum Al-Hadis
dan cabang-cabangnya yang berjumlah puluhan
itu, atau Ilmu ushul Fiqh yang membahas
banyak masalah didalamnya, atau ilmu bahasa
arab yang meliputi ilmu Nahwu , Shorrof,
Balaghoh : Badi’ – Ma’ani – Bayan, atau Ilmu
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
19
tentang Aqidah dan cabang-cabangnya dll.
Apakah anda mengajarkan semua itu ! atau
hanya sebatas membacakan bagian
tertentu dari kitab para Ulama yang
membahas tentang masalah ibadah
mahdhah saja ditambah sedikit masalah-
masalah akhlaq lalu memperbanyak
perdebatan didalamnya, lalu anda katakan
kepada para santri anda yang kebanyakan
orang awam yang ikhlas itu, bahwa
mereka telah mengusai Tsaqofah
Islamiyah, sedang yang selain mereka
tidak punya bekal seperti yang mereka
punyai. Permainan seperti apa yang hendak
anda lakukan untuk menggiring orang-orang
yang ikhlas ini untuk memusuhi saudaranya.
Anda telah mendorong mereka untuk berlaku
congkak dan memandang rendah saudara
mereka yang lain. Padahal anda tahu, hal itu
adalah sangat bertentangan dengan Islam.
Terlebih lagi para masyaikh yang menjadi guru
besar berbagai Ilmu Dien di berbagai
Universitas terkemuka di Timur Tengah seperti
Al-Azhar, Az-Zaitun, Univ. Ibn Su’ud dll, adalah
aktivis dari berbagai harokah Islam yang anda
anggap tidak mempunyai Ilmu, sedang anda
20
menukil pernyataan itu dari murid ‘Para
Masyaikh’ ini. Kemudian “para murid” ini
mengkritik dan mengatakan bahwa guru-
gurunya dan harokah yang ia ikuti adalah tidak
memiliki bekal ilmu yang memadai untuk
berdakwah, laksana seorang murid TK yang
mengkritik Profesor di sebuah Universitas
ternama --- Siapa yang akan percaya dengan
pernyataan “nyleneh” ---- seperti ini. Lalu kalau
memang benar bahwa hanya andalah yang
mengusai seluruh tsaqofah Islam, maka mana
konsep anda tawarkan untuk mengatasi krisis
keuangan, mana juga konsep anda untuk
menangani masalah ketenagakerjaan, juga
masalah pengelolaan sumber daya alam,
masalah good and clean government, mana
konsep anda tentang Bank Sentral ala Islam,
dan konsep untuk menata ekonomi baik yang
berskala makro atau mikro ekonomi
berdasarkan Islam, juga tentang pendidikan,
kesehatan, politik luar negeri, sistem pidana,
perundang-undangan dll. Kalau anda tidak
mempunyai itu semua dan anda tidak
mampu untuk memberi jawaban atas
berbagai problematika multidemensional
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
21
yang dihadapi oleh umat ini, lalu untuk
apa anda berteriak-teriak akan dapat
menjadi juru selamat kalau tidak ada yang
bisa anda gunakan untuk menyelamatkan
umat ini. Anda dan kelompok anda seperti
dalam pepatah arab yang mengatakan bahwa
‘Orang yang tidak mempunyai sesuatu,
pasti ia tidak akan mampu memberi
sesuatu itu’. Maka batal dan rontoklah
shubhat yang dilontarkan oleh mereka ?!??
7- Shubhat Ketujuh : Mereka mengklaim bahwa
pendapat mereka yang paling benar karena
didukung oleh hadis-hadis shohih, sedang
pendapat dari kebanyakan harokah Islam
didukung oleh banyak hadis Dho’if, sehingga
merekalah yang merasa paling layak membawa
Ilmu Para Salafus Sholeh ?
Kami menjawab: Hal itu perlu dibuktikan lebih
lanjut. Sehingga apa yang mereka klaimkan
tetap menjadi klaim saja tanpa bukti. Kami
katakan kepada mereka agar mereka bertanya
kepada para Ahli Ilmu tentang kandungan
hukum yang ada dalam hadis yang mereka
bawa agar mereka tidak tersesat dalam
pengamalannya. Perhatikan peringatan Al-
22
Hafidz Ibn Abdil Barr berikut : ‘’ Dikatakan
oleh Al-Qodhi Mundzir, bahwa Ibn Abdil Barr
mencela dua golongan, yang pertama ,
golongan yang tenggelam dalam ro’yu dan
berpaling dari Sunnah, dan kedua, golongan
yang sombong yang berlagak pintar padahal
bodoh (menyampaikan hadis, tetapi tidak
mengetahui isinya –pent) (Dirangkum dari Jami’
Bayan Al-Ilm juz II\hal. 171). Syeikhul Islam
Ibn Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam
Kitab I’lamu Al-Muwaqqi’in juz I\hal. 44, dari
Imam Amad, bahwa beliau berkata:’’ Jika
seseorang memiliki kitab karangan yang
didalamnya termuat sabda Nabi SAW,
perbedaan Sahabat dan Tabi’in, maka ia tidak
boleh mengamalkan dan menetapkan
sekehendak hatinya sebelum menanyakannya
pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan
dan mana yang tidak dapat diamalkan,
sehingga orang tersebut dapat mengamalkan
dengan benar”. Dan Al-Hafidz Ibn Rajab
mengutip perkataan Imam Mujtahid Sufyan
Ats-Tsauri : ’’ Ada Hadis yang tidak dapat
dijadikan sebagai dasar hukum ’’ (Lihat kitab
Syarh Ilal At-Tirmidzi hal. 29). Sehingga
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
23
berdasarkan penjelasan dari para Ulama ini
maka batallah hujjah mereka !!!
9- Shubhat Kesembilan : Mereka Menyatakan
bahwa tidak menjadikan hadis ahad sebagai
dalil dalam masalah aqidah berarti telah
membuang banyak masalah yang berhubungan
aqidah seperti karakteristik surga dan neraka,
Al-Haudh dll !!!
Kami menjawab : Ada sebagian orang yang
berpendapat bahwa keimanan cukup dibangun
berdasarkan dalil dzonni saja, seperti
menetapkan aqidah dengan hadis ahad.
Menurut mereka, tidak menjadikan hadis ahad
sebagai dalil dalam masalah aqidah merupakan
rencana yang dapat membahayakan aqidah
umat. Malah menurut mereka hal ini merupakan
perbuatan nifaq, karena menurut pemahaman
mereka , tidak menjadikan hadis ahad sebagai
dalil dalam masalah aqidah berarti menerima
sebagian aqidah dan meninggalkan sebagian
lainnya. Pendapat dan kritikan diatas, menurut
kami sangat membahayakan kelangsungan
aqidah umat. Lebih jauh lagi, ia bertentangan
dengan nash-nash yang terdapat dalam Al-
Qur,an dan As-Sunnah. Selain itu juga
24
bertentangan dengan pendapat mayoritas
Ulama kaum Muslimin. Karena menetapkan
sesuatu adalah bagian dari aqidah Islam atau
bukan, tidak ditentukan berdasarkan akal atau
perasaan kita dengan mengatakan bahwa ‘’
menurut akal saya atau perasaan saya,
kok kira-kira ini bagian dari aqidah ‘’ , tidak
sekali lagi tidak dapat dikatakan seperti itu,
melainkan harus ditentukan berdasarkan dalil.
Tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil
dalam masalah aqidah adalah sangat berbeda
dengan mengingkari hadis ahad seperti yang
dilakukan oleh Mu’tazilah. Mereka mengingkari
kehujjahan hadis ahad karena menurut mereka
tidak rasional. Mereka mengatakan: “ Apakah
kalian menemukan di dalam kubur alat-alat
untuk menyiksa seperti paku, gergaji, palu dll ”,
dan tentu mereka (Muta’zilah) tidak akan
menemukannya karena itu berkaitan dengan
hal yang ghoib\ tidak dapat diindera kemudian
mereka mengingkari hadis ahad tentang adzab
qubur karena menurut mereka tidak rasional
(Lihat Kitab Ar-Ruh Oleh Imam Ibn Al-Qoyyim
Al-Jauziyah). Sedang mayoritas Ulama
yang tidak menjadikan hadis Ahad sebagai
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
25
dalil Aqidah adalah tidak mengingkari
adanya adzab qubur, kedatangan Imam Al-
Mahdi, Karakteristik Surga-Neraka, dan
masalah ghoib lainnya yang
diinformasikan dengan hadis ahad, tetapi
mereka menduga dengan keras (Gholibatu
Adz-Dzonn) tentang kebenaran semua itu
walau tingkat keyakinannya tidak sampai
derajat Qoth’I\Pasti (dengan pembenaran
100%), lalu sebagian besar diantara
mereka tidak memasukkan hadis ahad
dalam kajian Aqidah tetapi dimasukkan
dalam pembahasan “At-Targib wa At-
Tarhib”. Hal ini disebabkan jumhur Ulama dari
berbagai disiplin ilmu Dien telah menetapkan
derajat hadis ahad hanya menghasilkan
dugaan keras saja tidak sampai derajat Yaqin.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh DR.
Muhammad Ajaj Al-Khotib bahwa Jumhur
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Jumhur
Mutakallimin dll menegaskan bahwa hadis ahad
hanya memberi faedah dzon dan wajib
diamalkan (dalam masalah hukum furu’\cabang
–pent) (Lihat kitab Al-Ihkam li Ibn Hazm jilid 1\
hal. 97, 108-122; Al-Mutashfa li Imam Al-
Ghozali jilid 1\hal. 93-99; Al-Ihkam li Al-Amidi
26
jilid 2\hal. 49-60). Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Imam Muhammad Ibn Abdul Baqi Ibn
Yusuf Al-Zarqonni, ketika ia menjelaskan
tentang batalnya wudhu; karena menyentuh
kemaluan tanpa penghalang. Hadis ini adalah
dalil tentang penerimaan hadis ahad dan
kebolehan berpegang pada dalil yang dzon
(dalam masalah amal perbuatan atau
hukum syara’, tetapi tidak dalam masalah
aqidah -pent) (lihat Kitab Syarh Az-Zarqoni\
jilid 1\hal. 126\Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah\Beirut\
1411 H --- Cetakan Pertama).
Imam Imam Muhammad ibn Ibrahim Ibn
Jamaah menambahkan bahwa hadis ahad
adalah semua hadis yang jumlah perawinya
tidak mencapai jumlah perawi hadis Mutawatir.
Dan ada yang berpendapat bahwa hadis ahad
memberi faedah Dzon (Kitab Al-Minhal Ar-Rawi
jilid 1\hal. 32\Dar Al-Fikr\ Dimsyaq – Siria \ 1406
H\ Cetakan Kedua).
Padahal masalah Aqidah karena merupakan
sebuah kepastian maka ia harus dibangun
dengan dalil-dalil yang memberikan kepastian
pula dari dalil yang qoth’I tsubut (yaitu Al-
Qur’an dan Hadis Mutawatir) dan qoth’I dalalah
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
27
(penunjukan maknanya pasti sehingga tidak
mungkin ditafsirkan kepada makna yang lain).
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafidz
Ibn Katsir (Tafsir Al-Qur’an Al-A’dzim juz I, hal.
40) : “ Imam yang telah ditentukan syara’ dan
diserukan kepada seluruh kaum Muslimin
adalah berupa I’tiqod, ucapan, dan perbuatan
” . Begitulah pendapat sebagian besar Imam-
imam mahdzab. Malah menurut Imam Syafi’I,
Imam Ahmad bin hambal, dan Abu
Ubaidah, ia telah menjadi ijma’’. Dan
diperkuat oleh Imam Ibn Mundzir dalam
Lisanul Arab bahwa ‘’ Arti Imam adalah Tasdiq
(pembenaran). Dalam kitab At-Tahdzib,
disebutkan bahwa Iman adalah asal kata dari
yang artinya ‘’Ia seorang Mu’min”. Dalam hal
ini, para Ahli bahasa sepakat bahwa iman
berarti tashdiq (pembenaran). Perhatikan
firman Allah SWT sebagai berikut : ‘’Orang-
orang arab badui itu berkata, Kami telah
beriman. Katakan kepada mereka : ‘Kamu
belum beriman’. Tetapi katakanlah ‘kami telah
tunduk’ (QS. Al-Hujurat -14) “ .
Hal ini dilakukan oleh para Ulama dalam rangka
menjaga kemurnian aqidah Islam dari bersih
dari berbagai penyimpangan seperti aqidah
28
yang dimiliki generasi yang terbaik yaitu
generasi para Salafus Sholeh (generasi
Shohabat, Tabi’in, dan Tabiut Tabi’in-pent)
( Lihat Kitab Radd ala Al-Kitab Ad-Da’wah Al-
Islamiyah; Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi ,
hal. 175 ).
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas
untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan
jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I,
harus terus kita lakukan. Dan untuk
memberikan keyakinan tentang masalah ini
marilah kita mengkaji argumentasi dari para
Imam panutan umat untuk membantah mereka
yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah satu argumentasi yang mereka
ketengahkan untuk mendukung pendapat
mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam
termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam
Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah
sepakat bahwa periwayatan secara Ahad
(khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan
yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil
dalam masalah Aqidah. Dan apa yang
sesungguhnya dikatakan para Imam
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
29
bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya
tatkala kita membaca Kitab yang ditulis
para Imam ini dan para muridnya dan para
Ulama sesudahnya yang mengikuti jejak
para Imam Ahlus Sunnah ini, akan
mendapatkan bahwa mereka berpegang
dengan pendapat yang menyatakan
bahwa : “Khobar Ahad tidak memberikan
pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”,
tetapi khobar ini memberikan
pengetahuan minimal dugaan keras (dzon
rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya
shohih dan digunakan hanya sebagai dalil
dalam masalah amal perbuatan, tetapi
tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para
Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang
memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan
sebagai dalil dalam masalah aqidah.
Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan,
jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai
dengan pernyataan para Imam khususnya
Imam Empat Madzab. Para Imam ini
membuat berbagai pernyataan berkaitan
berkaitan dengan masalah khobar ahad,
dalam rangka membantah pendapat
30
kelompok-kelompok bid’ah pada masanya,
yang telah menolak khobar ahad sebagai
dalil secara keseluruhan baik dalam
masalah aqidah atau masalah amal
perbuatan. Untuk dapat memberikan
gambaran yang sesungguhnya tentang posisi
para Imam dalam masalah ini, kita harus
mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang
ditulis oleh para Imam ini dan para murid-
muridnya yang terpercaya. Dimana mereka
(murid para Imam-pent) mendengar dan
mendapat penjelasan secara langsung dari para
gurunya. Pemahaman mereka terhadap
masalah ini (masalah khobar ahad-pent)
merefleksikan pemahaman para gurunya, dan
sudah seharusnya kita mempercayai
pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita
sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab
para Ulama tersebut. Oleh karena itu marilah
kita meneliti lebih dalam apa pendapat Imam
panutan umat yang mewakili madzab-madzab
ini dalam masalah hadis ahad sebagai berikut :
1- Imam Jalaludin Abdur Rahman bin
Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H)
menyatakan :
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
31
‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat
dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau
Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-
Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya yang lain
(Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77
dan juz 2\hal.5).
2- Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H)
menyatakan dengan menukil pendapat Imam
Yusuf Al-Kirmani bahwa : “ Hadis ahad tidak
dijadikan dalil dalam masalah aqidah ’’ (Fathul
Bari Juz 8, Bab Khobar Ahad).
3- Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi
(w. 631), beliau berkata :
‘’ Bahwa masalah Aqidah ditetapkan
berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah
furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni
’’. Lalu menambahkan: ‘’ Barang siapa menolak
Ijma ’’ (konsensus-pent) dalam masalah ini
telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus
pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan
antara masalah Ushul dan furu’ adalah sangat
jelas. Mereka yang menyamakan masalah
ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat
hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang
mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang
yang sombong dan arogan ’’ (Lihat Al-Ihkam
32
fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal.
71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam
Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent).
4- Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin
Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata :
“ Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan
saja. Allah SWT membolehkan hanya dalam
massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi
cabang-cabang agama, bukan masalah ilmiah
seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama”
( Syarh Asnawi Nihayah as-Saul Syarh Minhaju
Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\
hal. 214).
5- Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim
(w. 970 H) menyatakan hal sama dengan
Imam As-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzon
Tsubut-pent) wajib diamalkan, tetapi tidak
untuk masalah I’tiqod (Aqidah-pent) (Lihat Fath
Al-Ghaffar Al-Ma’ruf bi Misykah Al-Anwari, juz 2\
hal. 63).
6- Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang
tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam As-
Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status
hadis ahad ( Lihat Kitab Al-Mughni fi Al-Ushuli
Al-fiqhi li Al-Khobazi, hal. 84).
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
33
7- Imam Kasani menyatakan :
“ Pendapat sebagian besar fukoha menerima
hadis ahad yang terpercaya dan adil serta
diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali
masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun
dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada
keraguan didalamnya, sementara masalah amal
(tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat)
saja” ( Badaa’iu Shanaa’I juz 1\hal. 20).
8- Imam Abu Ishak Sya’tibi (w. 790 H)
menyatakan :
“ Bahwa Ushul fiqh dalam agama harus
dibangun dengan dalil-dalil qoth’I, bukannya
dengan dalil-dalil dzoni. Seandainya boleh
menjadikan dalil dzoni sebagai dalil dalam
masalah Ushul seperti Ushul Fiqh maka juga
membolehkan (hadis ahad-pent) sebagai dalil
dalam masalah Ushul Ad-din (Aqidah –pent) dan
hal ini jelas tidak diperbolehkan menuruj ijma’
(kesepakatan-pent). Karena masalah Ushul fiqh
juga dinisbahkan dalam masalah Ushul Ad-din”
(Al-Muwafaqat fi Ushuli Asy-Syar’iyah ).
9- Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl
Abu Bakar Shams Al-A’ima Al-Sarkhasi (w.
483)
34
Imam besar Hanafiyah dan seorang Mujtahid,
dalam kitabnya (Al-Usul Al-Sarkhasi juz 1\
hal. 112, 321-333) membantah mereka yang
menerima Khobar Ahad dalam masalah Aqidah.
Beliau menerangkan hakikat dari Khobar Ahad
dan perbedaan antara dalil Qoth’I dan dalil
Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh
dan Khobar. Untuk mengilustrasikan beliau
memberi contoh pada masalah adzab kubur.
10- Fakrudin Muhammad bin Umar bin
Husain Ar-Razi (w. 606 H) mengilustrasikan
poin berkaitan dengan hadis Ahad sebagai
berikut : “ Saya katakan kepada seseorang
bahwa hadis yang menyebutkan Ibrahim pernah
berbohong sebanyak 3 kali, adalah tidak benar,
karena jika hadis ini diterima, maka akan
membuktikan Ibrahim sebagai seorang
pendusta. Orang tersebut menyatakan bahwa
para perawi hadis ini adalah perawi yang
terpercaya (tsiqoh –pent) dan tidak dapat dinilai
sebagai pendusta. Saya menjawab bahwa hadis
ini, kalau kita terima akan membuktikan bahwa
Ibrahim adalah seorang pendusta dan kalau
ditolak berarti para perawi dianggap pendusta,
dimana keterangan yang baik dan lebih disukai
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
35
adalah untuk diberikan pada Ibrahim AS ”
( Lihat Tafsir Al-Kabir dan Al-Mahshul fi Ilmi Al-
Ushul).
11- Imam Abdur Rauf Al-Manawi ketika
beliau menjelaskan tentang masalah syafa’at
menyatakan : “Masalah ini adalah bukan
masalah amaliyah, sehingga tidak cukup
dengan dalil dzon seperti yang faedah yang
diberikan oleh hadis ahad …..’’ (Lihat Kitab
Faidhul Qodhir jilid 4\hal. 163\Al-Maktabah Al-
Jariyah Al-Kubra --- Mesir\ 1356 H\ Cetakan
Pertama).
12- Imam Ibn Abdil Bar menyatakan : “
Kebanyakan ahli ilmu menyatakan bahwa hadis
ahad mewajibkan amal (dalam masalah hukum
furu’ –pent) tanpa ilmu (tidak sampai derajat
yaqin sebagai dalil dalam masalah aqidah –
pent). Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan
mayoritas (jumhur) Ulama fiqh dan Nadzar “
(Kitab At-Tamhid Li Ibn Abdil Bar jilid 1\hal. 7 –
8) .
13- Imam Ibn Rusd menjelaskan bahwa para
Ulama Kuffah menolak sebuah hadis kalau
bertentangan dengan Ushul yang mutawatir,
termasuk metode mereka ketika menolak hadis
ahad tatkala menyelisihi Ushul yang mutawatir,
36
dimana hadis ahad berfaedah dzon dan
masalah ushul adalah keyakinan yang harus
dibangun dengan dalil yang memberi keyakinan
pula (yaitu hadis mutawatir –pent) (Lihat Kitab
Bidayah Al-Mujtahid jilid 2\hal. 216\Dar Al-Fikr\
Beirut --- Libanon).
13- Imam Jamaluddin Al-Qosimi
menyatakan : “ Sesungguhnya jumhur kaum
muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in,
golongan setelah mereka dari kalangan fuqoha,
ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa
hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan
hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib
diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya
menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat
ilmu (yakin)” ( Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal.
147-148).
14- Maulana M. Rahmatulah Kairanvi
berkata tatkala membela hadis dan
autentitasnya dari serangan para orientalis : “
Hadis Ahad adalah jenis hadis yang
diriwayatkan dari seorang perawi kepada
seorang perawi lainnya atau sekelompok
perawi, atau sekelompok perawi kepada
seorang perawi”. Selanjutnya beliau
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
37
mengatakan bahwa: “Hadis Ahad tidak
menghasilkan kepastian sebagaimana dua
contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan
sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi
diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah
praktis” (Lihat Kitab Izhar Al-Haq Oleh
Maulana Kairanzi juz 4).
15- Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR.
Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis
ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan
sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan
tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya
suatu amal (Lihat Buku Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islam hal. 54).
16- Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan
bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis
ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah
baik masalah ubudiyah maupun masalah-
masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam
masalah aqidah/keimanan karena keimanan\
keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil
yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya
memberikan faedah Dzonni (Lihat Buku Ilmu
Mustholah Hadits hal. 31) (Lihat juga makalah
kami yang berjudul “Sekali Lagi tentang Hadis
Ahad” –pent).
38
Sehingga kalau demikian jelas pendapat serta
penjelasan mayoritas Para Ulama rabbani yang
menjadi Panutan Umat dalam masalah ini,
kemudian kami hendak bertanya,
pendapat yang selama ini anda gembar-
gemborkan itu sebenarnya dinukil dari
siapa atau anda hanya sekedar
menyelewengkan pendapat mereka untuk
memenuhi nafsu permusuhan anda
dengan orang atau kelompok yang
seharusnya menjadi saudara seperjuangan
untuk membina dan menyelamatkan umat
ini dari kehancuran, bukan dengan
menebar fitnah dan syahwat
permusuhan !?!. Kembalilah ke jalan Al-
Haq, Wahai orang-orang rindu akan
kebenaran ?!?!
Bahkan dengan menerima hadis ahad dalam
masalah aqidah akan menimbulkan beberapa
permasalahan seperti contoh yang disampaikan
oleh Syeikh Nashiruddin Al-Albani ketika
menyampaikan hadis dari Ibn Abbas bahwa
nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya makhluk
yang pertama kali diciptakan Allah SWT adalah
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
39
Al-Qolam. Dan Dia memerintahkan supaya
menulis tiap-tiap sesuatu yang ada “ . Beliau
mengomentari hadis ini dengan menyatakan: “
Al-Qolam adalah makhluk pertama yang
diciptakan ……….Dan kurang tepat apa yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyah dalam
menyanggah para Filosof, bahwa sesuatu
yang baru (makhluk) itu tidak ada
permulaannya baginya, ini tidak dapat
diterima logika. Dalam hal ini para lawannya
menuduh bahwa Ibn Taimiyah telah
menganggap bahwa makhluk itu qodim dan
tidak ada permulaan baginya. Padahal dipihak
lain dia juga menegaskan bahwa tidak ada
suatu makhluk melainkan ia didahului oleh
adam (tidak ada). Namun bersamaan dengan
itu dia juga mengatakan adanya kaitan sesuatu
yang baru (hawadits) dengan sesuatu yang
tidak memiliki permulaan baginya.
Sebagaimana yang dia dan kawan-kawannya
katakana bahwa makhluk itu tidak memiliki
penghabisan (akhir). Pendapat ini jelas tidak
dapat diterima. Bahkan bertentangan dengan
hadis ini. Memang, sesungguhnya berbicara
tentang filsafat adalah berbahaya. Akan tetapi
benar apa yang dikatakan oleh Ibn Malik ra.,
40
bahwa setiap orang bisa menyanggah dan
disanggah, kecuali penghuni kubur ini ( Rasul
SAW) (Lihat terj. Silsilah Al-Ahadis Ash-Shohihah
jilid I oleh Drs. H. Qodirun Nur, hadis no. 133,
hal. 296-297). Kemudian kami ingin bertanya
kepada anda, manakah pendapat yang akan
anda ambil ? Kalau anda mengambil keduanya
maka anda telah mengatakan sesuatu tentang
Allah tanpa pengetahuan ( karena berarti Allah
menciptakan sesuatu yang baru (makhluk) itu
yang tidak ada permulaan baginya dan pada
saat bersamaan menciptakan Al-Qolam sebagai
makhluk pertama). Sedang mengambil salah
satu pendapat berarti menolak dan
menyalahkan pendapat yang lain (berarti salah
satu dari Imam Ibn Taimiyah atau Syeikh Albani
telah menyimpang dalam masalah aqidah
dalam perkara ini). Pertanyaannya, siapakah
menurut anda yang telah menyimpang
dalam masalah ini apakah Imam Ibn
Taimiyah atau Syeikh Albani ?!?
10- Shubhat Kesepuluh : Ada sebagian orang
menyatakan bahwa Imam Bukhori
membolehkan menerima hadis ahad dalam
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
41
masalah aqidah dan hal ini juga didukung oleh
Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari-nya ?!?
Kami menjawab : Pernyataan ini tidak ada
asalnya (La Ashla lahu), bahkan ini merupakan
penyimpangan dan pemelintiran dari
pernyataan Imam Bukhori yang sesungguhnya.
Imam Bukhori mempunyai sebuah bab dalam
kitab shohih-nya yang terkenal yaitu Bab
sesuatu yang datang tentang kebolehan hadis
ahad sebagai dalil untuk masalah Adzan,
Sholat, Shoum, Faraidh dan Ahkam ; titik dan
tidak ada pernyataan dari Imam Bukhori
tentang kebolehan hadis ahad sebagai dalil
dalam masalah aqidah, baik tidak dalam kitab
Shohih-nya atau dalam kitab-nya yang lain. Dan
Al-Hafidz Ibn Hajar ketika menjelaskan kata
“bi Al-Ijazah” menyatakan tentang kebolehan
beramal (ahkam furu’iyah) dengan hadis ahad
dan hadis ahad adalah hujah. Lalu dimana Ibn
Hajar menyatakan tentang kehujjahan
hadis ahad dalam masalah aqidah !!!
Bahkan beliau menukil pendapat Imam Al-
Kirmani menyatakan bahwa Hadis ahad
adalah hujjah dalam masalah amaliyah,
tidak dalam masalah I’tiqodiyah (Fathul Bari
juz 13, Bab Akhbar Al-Ahad), beliau mengutip
42
pendapat ini tanpa mengomentarinya,
yang berarti belaiu cenderung untuk
mengadopsi pendapat ini. Dan hal ini
ditegaskan dengan sikap Al-Hafidz Ibn Hajar
tentang nilai hadis ahad , beliau menyatakan
bahwa “ Hadis ahad tidak berfaedah
kecuali dzon, apabila tidak sampai derajat
mutawatir (Fathul Bari, juz 13\hal. 238) dan
beliau menambahkan bahwa hadis ahad adalah
hujjah dalam masalah hukum ketika
menjelaskan sebuah hadis tentang disunnahkan
untuk berwudhu’ sekalipun sedang dalam
perjalanan (safar) (Lihat Fathu Al-Bari’ juz 1\
Hadis No. 200\hal. 308). Adalah hal yang
sangat aneh adalah kalau orang yang mencoba
menukil pendapat Ibn Hajar sebenarnya adalah
orang yang sangat keras mengkritik pendapat
Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, mereka
menulis beberapa kitab yang isi
mengkritik dan memperingatkan umat
Islam akan penyimpangan Ibn Hajar dalam
masalah Aqidah, diantara:
- Al-Tanbih ala Al-Mukholalifat Al-Aqidah fi
Fath Al-Bari oleh Syeikh Ibn Baz, Syeikh
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
43
Sholeh Fauzan, Syeikh Abdullah ibn
Mani’, Syeikh Abdullah Al-Naiman.
- Al-Akhtho’ Al-Asasiyah fi Al-Aqidah wa
tauhid Al-Uluhiyah min kitab Fath Al-Bari bi
Syarh Shohih Al-Bukhori oleh Syeikh
Abdullah ibn Sa’di Al-Ghomidi.
Akan tetapi yang aneh adalah Syeikh Salim
I’ed Al-Hilali kembali menukil pendapat Ibn
Hajar dalam kitabnya Al-Adilah wa Asy-
Syawahid ala Wujub Al-Akhdzi bi khobar Al-
Wahid fi Al-Ahkam wa Al-Aqoid. Baru kali ini
terjadi ada sekelompok orang yang
memperingatkan penyimpangan Aqidah
dari seorang Imam Hadis kepada umat
Islam, lalu tetap menukil dan
menggunakan pendapatnya dalam
masalah Aqidah untuk mempertahankan
pendapatnya yang lemah dan dibumbui
dengan berbagai dalil yang digunakan
tidak pada tempatnya (asal comot saja).
Sehingga sunnah yang berasal dari Rasul SAW,
Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in menyatakan
bahwa makna Syar’I yang umum adalah
mencakup keseluruhan hukum baik yang
berkenaan dengan masalah I’tiqodiyah dan
masalah amaliyah seperti hukum wajib,
44
Sunnah, Mubah dll sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ibn Alan dalam Dalil Al-falih
Syarh Riyadhus Sholihin ketika beliau
menjelaskan hadis “Fa alaikum bi Sunnati”
dengan Sunnah-ku yaitu Jalan-ku yang lurus
yang berada diatasnya yang aku telah
menjelaskan kepada kalian dari hukum-hukum
I’tiqod maupun Amal yaitu wajib, sunnah,
mubah dll. Sekarang adakah ulama yang tidak
menggunakan Istilah I’tiqod dan Amaliyah
Furuiyah, sehingga tuduhan penggunaan istilah
I’tiqod dan Amaliyah Furuiyah adalah filsafat
yang menyusup dalam Islam adalah tuduhan
yang mengada-ada, tidak ada dasarnya
dan khayalan dari orang yang suka
mengkhayal. Coba juga periksa apakah
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menolak
pembagian masalah I’tiqod dan Furu’ dalam
bukunya Majmu Al-Fatawa-nya yang terkenal itu
atau dalam kitabnya yang lain, begitu juga
apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa Al-
hafidz Ibn Hajjar, Al-Hafidz As-Suyuti, Al-Hafidz
Al-Khotib Al-Baghdadi, Al-Hafidz Ibn Al-Jauzi, Al-
Hafidz Adz-Dzahabi, Al-Hafidz Ibn Hajjar Al-
Haitsami, Imam Shon’ani, Imam Nawawi , Imam
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
45
Ibn Qudamah, Imam Al-Amidi dan para Ulama
yang lain dari berbagai disiplin Ilmu Dien di
dalam kitab-kitab mereka yang menolak
pembagian Itiqod dan Furu’ dalam masalah
Dien !?!
Bahkan Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-
Amidi (w. 631), beliau berkata : ‘’ Bahwa
masalah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-
dalil qoth’I, sedang masalah furu’ cukup
ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni ’’. Lalu ia
menambahkan : ‘’ Barang siapa menolak Ijma ’’
(konsensus -pent) dalam masalah ini maka
telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus
pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan
antara masalah Ushul dan furu’ adalah
sangat jelas. Mereka yang menyamakan
masalah ushul dan masalah furu’ berarti
telah membuat hukum sendiri, hal ini
adalah sesuatu yang mustahil dan hanya
dilakukan oleh orang-orang yang sombong
dan arogan ’’ (Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-
Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam
fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal.
114). Sehingga jelaslah bagi orang-orang yang
berakal antara orang yang berpegang dengan
46
Al-Haq dan orang yang mengaku-aku
berpegang pada Al-Haq ?!?!
11- Syubhat Kesebelas : Ada pendapat yang
menyatakan pembagian hadis menjadi
Mutawatir ahad adalah sia-sia karena pada
masa Shahabat mereka hanya menyakini apa
yang disampaikan dari Rasul SAW tanpa
melihat apakah hadis tersebut Mutawatir – Ahad
?
Kami menjawab :
1- Pada masa Rasul SAW khobar ahad tidak
pernah menjadi topik pembicaraan.
Sehingga tidak perlu ada pembagian hadis
ahad – mutawatir. Sebab mereka telah
mendapat pengajaran langsung dari Rasul
SAW tanpa melalui perantara dari orang
selain mereka, yakni dari orang yang
mendengar hadis langsung dari lisan Rasul
SAW atau menyaksikan perbuatannya
secara langsung.
2- Orang yang mendengar hadis langsung dari
Rasul SAW atau menyaksikan perbuatannya
secara langsung, bisa menjadi kafir jika ia
menolak sabda Rasul atau menolak
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
47
kandungan isinya, dengan jalan berdusta
atau mengingkarinya. Dalam masalah ini
para Ulama tidak berbeda pendapat.
3- Orang yang mendengar dari orang yang
mendengar dari Rasul SAW, atau orang
yang diberi informasi oleh orang-orang
sebelumnya, misalnya tabi’ut tabi’in serta
orang-orang setelah mereka, seperti kita
saat ini , maka mereka wajib untuk mengkaji
mata rantai, transmisi, ataupun silsilah yang
menghubungkan dirinya dengan Rasul SAW
untuk mengetahui kebenaran mata rantai
tersebut. Jika para perawi sebagai perantara
dari sebuah hadis terbukti kejujurannya dan
kekuatan hafalannya atau bersesuaian
dengan riwayat dari perawi terpercaya
lainnya, lalu tidak terdapat syadz dan ilaat
dalam redaksional hadisnya, maka kita
harus menyakini bahwa sumber perkataan
dan perbuatan tersebut adalah berasal dari
Nabi SAW. Adapun jika trasmisi tersebut
tidak dapat dibuktikan keabsahannya, atau
tidak absah, maka dengan otomatis harus
dilakukan tarjih. Artinya, dugaan bahwa
sumber khobar tersebut berasal daari Rasul
SAW lebih kuat dibanding dengan dugaan
48
bahwa khobar tersebut tidak berasal dari
Nabi SAW.
4- Bahwa Khobar ahad tidak bisa menghasilkan
ilmu dan keyakinan merupakan kajian yang
dapat dengan mudah difahami oleh orang
yang berakal dan telah diketahui secara
umum. Akal dapat membedakan antara
khobar yang disampaikan kepada kita oleh
individu secara perorangan (ahad), dengan
khobar yang disampaikan kepada kita oleh
sekelompok orang, dimana dengan jumlah
tersebut, mustahil bagi mereka untuk
menyampaikan berita yang salah, atau
sepakat berdusta. Hal ini tidak hanya
terbatas dalam masalah syari’at, tetapi juga
berlaku umum, baik pada masalah syari’at
ataupun masalah lainnya.
5- Pendapat yang menyatakan bahwa khobar
ahad tidak dapat menghasilkan ilmu,
kepastian, atau keyakinan, merupakan
pendapat ulama-ulama yang terkemuka dan
para ulama ushul. Baik kholaf maupun salaf.
Dan ia bukan pendapat yang menyimpang
dari pendapat para ulama salaf dan ulama
kholaf. (Lihat kitab-kitab Ushul seperti :
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
49
Kitab Kasyf Al-Asrar Ala Ushul Al-Fiqh, oleh
Imam Al-Bazdawi I/690 ; Al-Mustashfa min
‘Ilm Ushul oleh Imam Ghozali hal. 93;
Hasyiyah Nasmaat Al-Asrar ‘Ala Syarh
Ifadhaat Al-Anwar oleh Ibn Abidin hal. 195;
Syarh Jalal Al-Mihla ‘Ala Jam’I Al-Jawami’
oleh Imam As-Subki II\114; Raudhat Al-
Nadzir wa Jannat Al- Munadhir fi Ushul Fiqh
oleh Ibn Qudamah Al-Maqdisi I\260;
Irsyad Al-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani
hal. 42; Al-Talwih als Al-Audhih li Matan Al-
Tanqih fi Ushul Al-Fiqh oleh Imam
Ubaidillah Al-Bukhori II\3; Ghoyat Al-
Wushul Syarh Lubb Al-Ushul fi syarh Mar’at
Al-Wushul oleh Imam Mulla Khasru II\204;
Muslim Tsubut oleh Ibnu ‘Abd Al-Syukur
II\88).
6- Kemudian pendapat sebagian Ahli Hadis
bahwa hadis ahad memberi faedah qoth’I
merupakan kesalahan penafsiran, karena
hal sebenarnya tidak seperti itu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Ghozali sbb: “ Tatkala sebuah hadis
terbukti sebagai hadis Ahad, maka ini tidak
berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah
diketahui dengan jelas dalam Islam
50
(ma’lumun bi al-Dharuri)”. Lalu beliau
melanjutkan penjelasannya : ‘’ Adapun
pendapat para Ahli hadis bahwa ia
(hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan
Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang
wajib untuk diamalkan (dalam masalah
hukum furu’iyah –pent) dan ketentuan
ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
yang Qoth’I (yang menghasilkan Ilmu\
qoth’I-pent)” (Lihat Kitab Al-Mustasfa
min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -
pent). Lalu Imam Jamaluddin Al-Qosimi
menambahkan : “ Sesungguhnya jumhur
kaum muslimin dari kalangan sahabat,
tabi’in, golongan setelah mereka dari
kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama
ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang
terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam
masalah tasyri’ yang wajib diamalkan,
tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan
pada Dzon tidak sampai derajat ilmu
(yakin)” (Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal.
147-148).
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
51
12- Syubhat Keduabelas : Ada sebagian orang
berargumentasi bahwa penolakan para sahabat
atas ayat al-Qur’an yang diriwayatkan secara
ahad adalah untuk persatuan, bukan karena
riwayat itu mutawatir !
Kami menjawab : Untuk menjawab tuduhan ini
marilah kita menyimak beberapa riwayat yang
menjelaskan masalah yang sebenarnya. Salah
satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Anbary dalam Mashohifnya, dan Al-
Hasan ,Ibn Sirrin, dan Zuhri dalam hadis
yang panjang tentang pengumpulan Al-Qur’an,
dimana Umar ra. menolak khobar dari
Hafshoh ra. tentang tambahan lafadz pada
Surat Al-Baqoroh ayat 238 karena ia tidak
punya saksi (riwayatnya ahad). Begitu pada
riwayat Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam Al-Muwatho’ tentang
penghapusan ketentuan 10 isapan menjadi 5
isapan yang menyebabkan hubungan mahram,
dan riwayat Ubay Ibn Ka’ab ra. yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Hakim dan
selain keduanya tentang kafarat budak.
Riwayat-riwayat ini tidak dicantumkan oleh para
Sahabat dalam Mushhaf Imam karena riwayat
tersebut adalah Khobar Ahad dan mereka juga
52
telah bersepakat bahwa riwayat-riwayat ini
tidak memberi keyakinan yang pasti. Hal ini
dipertegas oleh keterangan para ulama dalam
menetapkan kriteria dan rukun qira’at yang
dapat diterima (Lihat Al-Qira’at Ahkamuha wa
Masdaruha oleh DR. Sya’ban Muhammad
Ismail , Bab Anwa’a Al-Qira’at) sbb:
1- Sanadnya Mutawatir
2- Sesuai dengan Mushhaf Utsmani, walau
hanya tersirat
3- Sesuai dengan salah satu kaedah
bahasa arab (Lihat Al-Itqon jilid I\Hal.
129 Oleh Imam As-Suyuti , Penerbit Al-
Halabi Kairo).
Persyaratan mutawatir ini adalah
pendapat Jumhur Ulama baik ulama
Ushuluddin, para imam madzab yang
empat, para ahli hadis dan para ahli
Qira’at. Mereka semua sepakat bahwa
qira’at shohih atau yang diterima adalah
qira’at yang mutawatir dan tidak
menerima qira’at dengan sanad shohih
(gadis ahad –pent) jika tidak mutawatir
(Lihat Ghoitsun Naf’I fil Qiraa’at As-Sab’I hal. 9
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
53
oleh Imam Ash-Shafaaqasi, penerbit
Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra – Kairo). Imam
An-Nuwairi menambahkan : ‘’ Meniadakan
syarat mutawatir adalah Muhdas (sesuatu
yang baru ), bertentangan dengan ijma’
para ahli fiqh, ahli hadis dan yang lain-
lain. Sebab Al-Qur’an – menurut jumhur –
adalah kalamullah yang diriwayatkan
secara mutawatir dan ditulis didalam
mushhaf. Semua yang menerima definisi ini
pasti memberi syarat mutawatir, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibn Hajib. Sehingga
menurut para Imam dam pemuka madzhab
syarat mutawatir adalah sebuah keharusan.
Mereka yang berpendapat seperti ini antara lain
Abu Abdil Barr, Al-Azra’I, Ibn Athiyah, Az-
Zarkhasi dan Al-Asnawi. Pendapat yang
mensyaratkan mutawatir ini adalah ijma’
para Ahli Qira’at (Lihat Ithafu Fudhola Al-
Basysr fi Al-Qira’at Al-Arba’ Asyar hal. 185 oleh
Imam Ad-Dimyathi, Penerbit Al-Masyhad Al-
Husaini – Kairo). Sehingga sanad yang shohih
saja tidak cukup untuk diterimanya sebuah
riwayat sebagai bagian dari Al-Qur’an, kalau
tidak mencapai sanad Mutawatir. Imam Al-
Khotib Al-Baghdadi menjelaskan bahwa
54
riwayat yang mutawatir adalah
periwayatan oleh banyak orang, dimana
menurut adat, mustahil mereka untuk
bersepakat melakukan dusta, mulai awal
sanad sampai akhir sanad (Lihat kitab Al-
Kifayah fi Al-Ilmi Ar-Riwayah hal. 50 oleh Imam
Al-Khotib Al-Baghdadi). Dimana riwayat yang
mutawatir ini memberi faedah ilmu (kepastian),
dan merupakan dalil pokok untuk membangun
Aqidah kaum muslimin. Dan sudah jelas
bahwa para Sahabat dan generasi
sesudahnya hanya menerima riwayat
mutawatir dalam Mushhaf Imam, sedang
Al-Qur’an adalah dalil utama dalam
membangun keimanan. Bahkan Imam Ibn
Al-Jaziri dan Al-Alamah Ibn As-Subki
menegaskan : ‘’ Setiap muslim berhak untuk
mendapat kasih sayang serta menyakinkan
dirinya bahwa yang kami utarakan – tentang
mutawatirnya qira’at Asyara’ – benar-benar
mutawatir dan telah diketahui dengan yakin
dan pasti, tidak ada keraguan dan tidak
diragukan lagi (Lihat Kitab Tafsir Al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur’an jilid I\hal. 46 oleh Al-Hafidz Al-
Qurthubi, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Mishriyah –
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
55
Kairo). Kemudian Imam Al-Zamakhsari,
menambahkan : “ Imam Malik Berpendapat
barang siapa sholat dengan membaca Qira’at
(bacaan –pent) Ibn Mas’ud yang tidak Mutawatir
dan tidak termasuk Qira’at Para Shahabat,
maka ia telah menyelisihi mushhaf (Mushhaf
Imam yang mutawatir-pent) dan janganlah
sholat dibelakangnya” (Al-Burhan Fi Ulumil
Qur’an juz I\hal. 222). Wallahu A’lam bi Showab.
KHATIMAH :
56
Sebagai kata penutup , hendaknya semua pihak
yang berbeda pendapat termasuk dalam
masalah hukum hadis ahad ini tidak menjadikan
perbedaan-perbedaan tersebut sebagai sumber
konflik yang berkepanjangan yang ujung-
ujungnya akan merusak ikatan ukhuwah yang
sedang coba kita rajut saat ini. Sebagaimana
penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika
menjelaskan firman Allah SWT : “ Dan ingatkan
ketika Kami memberikan kepada kalian ni’mat
persaudaraan, dan melembutkan hati kalian”
(Surat Ali Imran - ayat 103). Beliau menyatakan
bahwa ayat ini tidak menunjukkan keharaman
untuk perbedaan dalam masalah hukum-hukum
cabang. Dengan cacatan pendapat-pendapat
tersebut memiliki landasan dari sumber hukum
Islam yang legal seperti Al-Qur’an, As-Sunnah ,
Ijma Shohabat dan Qiyas dengan Illat yang
Syar’i. Kita bisa melihat bagaimana perilaku
para salafus shaleh dalam menyikapi
perbedaan yang terjadi diantara mereka,
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam
Ibn Taimiyah berikut : “ Kaum Muslimin
sepakat mengenai kebolehan sholat sebagian
mereka di belakang yang lainnya. Adalah para
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
57
Shahabat dan Tabi’in dan generasi sesudah
mereka dari Imam yang empat , sholat
sebagian di belakang sebagian yang lainnya.
Misalnya Imam Abu Hanifah dan sahabat-
sahabatnya dan Imam Syafi’i dan selainnya
sholat dibelakang imam-imam di Madinah dari
Ulama Malikiyah dan mereka tidak membaca
bismilah baik dipelankan (sirr) maupun
dikeraskan (jahr). Abu Yusuf sholat dibelakang
Imam Al-Rasyid yang sedang berbekam. Dan
Imam Ahmad memandang keharusan orang
yang berbekam untuk wudlu’, kemudian ada
seseorang yang bertanya kepadanya:
Bagaimana dengan seorang imam sholat yang
darinya mengeluarkan darah (sedang
berbekam) dan belum berwudlu’, Apakah kita
boleh sholat dibelakang mereka ?. Imam
Ahmad menjawab: ” Apa yang menghalangimu
untuk sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan
Imam Malik ?” (Imam Al-Manfur, Fawakihul
Adidah\juz 2\hal.171). Dari sini kita bisa
mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf fiqhiyah
harus disikapi dengan akhlakul karimah dan
ilmu. Bukan dengan kebencian dan permusuhan
yang sangat dilarang dalam Islam (Dr. Thoha
58
Jabir Al-Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf\Bab
Khotimah). Wallahu A’lam bi Showab .
Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi
59