Upload
prayitnoms
View
63
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
KONSTRUKSI OTORITAS PENGADILAN AGAMA ATAS TALAK
oleh E r f a n i, S.HI.
(Calon Hakim pada Pengadilan Agama Tangerang)
I. PENDAHULUAN
Perkawinan pada dasarnya adalah seperangkat ujian. Ujian yang sepasang
suami isteri dituntut mampu menghadirkan sakinah, mawaddah, dan rahmah
dalam rumah tangga yang mereka bina. Apa yang disebut banyak orang bahwa
perkawinan adalah sebuah kenikmatan, mungkin ada benarnya. Namun perlu
disadari, memahami perkawinan sebagai kenikmatan, akan membentuk asumsi
bahwa ketika rumah tangga (perkawinan) itu sudah kehilangan kenikmatan, maka
berakhirlah masa jodoh dan perpisahan menjadi jalan berikutnya. Asumsi
demikian ini tentu teramat naif kaitannya dengan perkawinan sebagai ikatan suci
lahir batin. Oleh karena itu, harus jujur dikatakan bahwa persentase muatan
kenikmatan perkawinan, akan berbanding amat jauh dengan persentase muatan
ujian, dan keharusan suami isteri mengupayakan keutuhan, dan pengendalian
situasi harmonis dalam rumah tangga.
Adalah kesepakatan umumnya masyarakat, meletakkan standarisasi
tentang keharmonisan, atau kesuksesan sepasang suami isteri dalam mahligai
rumah tangga, berupa keutuhan (kebersamaan) rumah tangga itu sampai akhir
hayat, baik keduanya atau salah satunya. Sehingga, saat mereka mampu
mempertahankan keutuhan rumah tangga sampai hanya maut yang memisahkan,
masyarakat akan menilai sukses rumah tangga tersebut. Hal ini tentu menjadi
dambaan siapa pun yang sedang menjalin hubungan suami isteri dalam ikatan
suci pernikahan dan balutan keluarga (rumah tangga). Namun dalam
kenyataannya, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal melawati ujian
perkawinan tersebut, situasi mana ikatan sakral perkawinan itu harus putus bukan
oleh maut, tetapi ombak besar yang menelingkupkan bahtera, hingga terpecah
belah antar satu dan bagian lainnya.
Agama teramat sigap mengantisipasi kemunculan kenyataan itu. Karena
selain lembaga pernikahan, Agama juga menyediakan wadah perceraian sebagai
(setidaknya) jalur darurat yang dapat dibuka guna menampung kegagalan rumah
2 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
tangga. Islam khususnya, menyebut lembaga itu sebagai thalaq atau firaq.
Kendati istilah thalaq (selanjutnya ditulis talak) sendiri bukanlah produk original
hukum Islam, namun Islam memandung perlu melakukan adaptasi dengan
kondisi yang hidup saat itu, dengan merekrut beberapa istilah yang telah ada.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa terma talak, adalah istilah yang
memang sudah dikenal sangat akrab di masa jahiliyah. Situasi dimana kaum
suami bebas tanpa batas kapan dan dimana saja boleh (sering) melakukan
(menjatuhkan) talak terhadap istri dan/atau istri-istri mereka1. Islam selanjutnya
merekonstruksi kenyataan itu (tanpa mengubah istilahnya) dengan memberikan
batasan jumlah talak yang hanya sampai pada tiga kali saja berikut ketentuan-
ketentuan tersendiri yang lebih humanis yang tentunya bermaksud menjunjung
tinggi martabat manusia, khususnya kaum perempuan.
Dalam perjalanannya, kodifikasi fikih menggiring lembaga talak dalam
konteks yang tidak saja melibatkan muatan hukum asalnya, tetapi juga dengan
menghadirkan upaya proteksi sakralitas talak dengan membubuhkan konten
teknis dan prosedur-prosedur tertentu. Islam tidak sekadar menentukan hukum
talak secara materiil, melainkan juga hal-hal formil yang menentukan bagaimana
semestinya lembaga talak digunakan.
Pengadilan Agama sebagai institusi yang menangani lembaga talak,
melalui berbagai regulasi hukum, telah berupaya melakukan upaya
menyinergikan (internalisasi) kententuan materiil talak dan formilnya dalam
wadah hukum Islam keindonesiaan atas dasar asas legalitas. Ketentuan hukum,
yang memposisikan Pengadilan Agama sebagai satu-satunya institusi yang bisa
memberikan pengakuan secara resmi tentang keterjadian sebuah tindakan talak di
tengah masyarakat muslim Indonesia2. Untuk tujuan ini, maka Kompilasi Hukum
Islam secara progressif memberi arti talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan
tata cara tertentu3.
Berbagai penafsiran (kajian) hukum diupayakan sebisa mungkin
mendukung ketentuan tersebut. Sebuah upaya yang memang belumlah tuntas
1 Tentang istilah Thalaq, lihat misalnya Abu Bakar Muhammad Syatha, Ianah al Thalibin, Juz IV hal. 2.
2 Dimaksudkan menunjuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1) jo. Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 Pasal 65 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak 3 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 117, 129, 130, dan 131.
3 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
menjawab berbagai ketimpangan yang masih tersisa seputar pemaknaan dan
pelaksanaan talak di muka persidangan. Hal ini semakin krusial, ketika otoritas
talak yang telah paten berada di tangan suami secara independen, lantas diambil
alih oleh negara dengan menunjuk Pengadilan Agama sebagai institusinya. Untuk
tujuan penyempurnaan, tulisan ini berupaya menyuguhkan aspek-aspek hukum
dalam talak yang telah mengalami peleburan (pembaharuan) sebagai konsekuensi
dari karakteristik hukum yang selalu ingin berjalan seirama dengan dimensi ruang
dan waktu yang hukum itu bergulir di dalamnya, dalam hal ini di Indonesia.
Luasnya cakupan tema tulisan ini sementara telah cukup banyak
pembahasan sebelumnya dengan tema yang hampir sama, mengharuskan adanya
spesifikasi pembahasan dalam rumusan-rumusan bahasan tertentu. Beberapa
rumusan itu adalah sebagai berikut;
1. Apa dasar konstruksi legitimasi keharusan talak di muka persidangan
Pengadilan Agama?
2. Bagaimana konstruksi pemahaman pengambilalihan otoritas talak dari suami
ke otoritas Pengadilan Agama?
3. Bagaimana idealnya penyelesaian perkara talak oleh hakim Pengadilan
Agama?
Dengan dikhususkannya pembahasan ini pada rumusan-rumusan tersebut,
diharapkan mampu memberikan sudut pandang baru tentang eksistensi hukum
talak di Indonesia, dan upaya penyelesaiannya secara utuh.
II. PEMBAHASAN
A. Unifikasi Hukum Talak dan Relevansinya dengan Otoritas Negara
Secara etimologi, thalaq () artinya melepas ikatan baik secara inderawi
maupun hakiki4. Pengertian yang sama juga diambil dari kata firaq () dan
sarah (). Dalam konteks terminologi (syara), thalaq diartikan sebagai
pelepasan ikatan nikah atau mengurangi ikatannya dengan lafaz tertentu.
Pelepasan ikatan nikah secara mutlak misalnya dalam talak bain, yang
mengharuskan pernikahan baru untuk kembali. Sementara talak dalam arti
4 Lihat misalnya Abdurrahman al Jaziry, Al fiqh ala al Madzahib al Arbaah, Juz IV. Hal. 138
4 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
pengurangan ikatan nikah misalnya dalam talak raji yang belum melepaskan
ikatan nikah seutuhnya sehingga masih mungkin kembali sejauh masih dalam
masa iddah5. Lafaz tertentu yang menjadi bagian pengertian talak menghendaki
dua bentuk lafaz, yaitu jelas () dan konotasi ().
Dalam konteks fikih, fuqaha` cenderung memberikan rincian-rincian
tertentu tentang hukum asalnya. Sebagai perbandingan tentang hukum asal talak
dan rincian-rinciannya, dapat digambarkan sebagai berikut6:
1. Golongan Hanafiyah
Menurut Hanafiyah (sebagai pandangan mazdhab mereka), mengatakan
bahwa hukum asal talak adalah mubah/ibahah7. Hal ini dipahami dari
beberapa hal:
- Kemutlakan ayat-ayat tentang talak, seperti ayat 1 surah al Thalaq8 dan
ayat 236 surah al Baqarah.9
- Praktik Talak Nabi terhadap Hafshah yang terjadi bukan karena sebab
suatu tindakan tercela atau bukan pula sebab sikap angkuh (tidak taat)
yang dilakukan Hafshah.10
- Kemutlakan praktik talak beberapa Shahabah, termasuk juga Hasan bin
Ali.
2. Kalangan Jumhur Fuqaha (Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah)
Menurut jumhur, talak hukum asalnya jaiz11
, namun yang utama adalah
sebisa mungkin tidak dilakukan karena talak sarat muatan negatif terhadap
hubungan kasih sayang yang telah/sedang dibina, kecuali adanya sebab-
sebab yang menghendakinya. Oleh sebab itu, maka talak sesungguhnya akan
5 Lihat Ibid
6 Tentang Perbandingan Hukum talak ini, lihat misalnya, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu,
Juz. XI. hal. 340-341 7 stressing hukum mubah adalah bahwa pelaksanaannya tidak menimbulkan sanksi/haraj. Lihat Al Amudiy, al
Ihkam fi Ushul al Ahkam, juz I. hal. 170 8 QS. Al Thalaq (65):2
9 QS. Al Baqarah (2): 236
10 HR. Abu Dawud, al Nasai`, dan Ibu Majah, dari Umar ra. Versi HR. Ahmad dari Jalur Ashim bin Umar:
: 11
stressing hukum jaiz adalah bahwa meninggalkannya tidak menimbulkan sanki/haraj. Lihat Al Amudiy,
op.cit. Secara khusus, Malikiyah menyandangkan status Khilaful Aula, yang juga dapat dimaknai jaiz, yaitu
cenderung dekat kepada Makruh. Al Jaziriy condong kepada hukum Makruhlah yang lebih mengena kepada
hakikat/substansi talak itu sendiri. Abdurrahman Al Jaziriy, Op.Cit.
5 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
mengalami perubahan status hukum menyesuaikan latar belakang situasi dan
sebab-sebab tersebut. Rincian dari perubahan status hukum talak tersebut
sebagai berikut12
:
- Haram, misalnya dengan talak yang dijatuhkannya itu seorang suami
justru akan terjerumus dalam perbuatan zina karena ketergantungannya
kepada kebutuhan biologis dengan isterinya, atau dengan sengaja menalak
isterinya agar dapat berhubungan intim dengan perempuan lain. Atau ia
tahu kondisinya tidak mampu menikah lagi, sementara hasrat biologisnya
tinggi, maka talak yang dilakukannya dapat menjadi haram. Talak haram
juga terjadi ketika dijatuhkan kepada isteri yang sedang haid, atau masa
suci namun pernah digauli.
- Makruh, talak hukumnya makruh dalam hal-hal seperti, 1) seorang suami
masih memiliki keinginan yang teramat dalam terhadap perkawinannya
itu, namun justru menjatuhkan talak terhadap isterinya, 2) Seorang suami
masih mendambakan mendapat keturunan dari isterinya, sementara
perkawinannya tidak membuatnya lalai dalam kewajiban beribadah, ia
pun tidak khawatir akan terjerumus ke dalam zina seandainya berpisah
dengan isterinya, maka talak yang dijatuhkannya dapat dihukumi makruh,
3) talak seorang suami yang sesungguhnya ia tidak memiliki cukup alasan
untuk melakukannya sesuai hadis Nabi dari Ibn Umar tentang talak13.
- Wajib, talak dapat dihukumi wajib seperti dalam hal seorang suami yang
sangat meyakini bahwa mempertahankan kehidupan bersama isterinya
justru menjerumuskannya dalam hal-hal yang haram dalam agama,
misalnya demi memenuhi nafkah isteri ia harus menempuh cara mencuri,
atau menipu, dll., dan segala kemudaratan yang jauh lebih besar dari
kemudaratan talak. Talak juga wajib dalam kasus ila` dimana suami
bersumpah tidak akan menggauli isterinya lagi.
12
Perincian hukum seperti ini merupakan tradisi biasa dalam fikih. Permasalahan yang muncul selanjutnya
adalah apakah hukum-hukum yang variatif itu berpengaruh terhadap keabsahan talak itu sendiri. Faktor
perselisihan itu muaranya adalah perbedaan fuqaha` dalam memahami larangan-larangan tentang suatu hal
apakah merupakan bagian daripada hal itu secara integral ataukah berdiri sendiri sebagai ketentuan hukum lain.
Misalnya ada larangan tentang penjatuhan talak dalam masa haid, apakah larangan itu berarti bahwa talaknya itu
lantas tidak sah. Dalam hal ini, Imam Syafii cenderung melihatnya sebagai ketentuan hukum lain, yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya sebuah talak, karena larangan talak saat haid itu, kaitannya dengan masa
iddah yang tentu akan semakin lama. (lihat Al Amudiy, al Ihkam fi Ushul al Ahkam, juz I, hal. 162). Bertolak
dari hal ini, maka standar sahnya talak adalah keterpenuhan rukun-syaratnya. 13
HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan Isnad Shahih, juga HR. Hakim yang olehnya dinyatakan shahih.
Dari Ibnu Umar ra.:
6 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
- Sunah/Nadb/Mandub, talak dapat dihukumi sunah dengan standar alasan
talak yang disebabkan oleh kondisi negatif dari isteri, misalnya isteri
memiliki sikap yang berlebihan dalam cara bicara dan selalu merongrong
suami, sehingga sikapnya itu berpotensi menjerumuskan suami dalam
perbuatan tidak terpuji pula. Secara umum, kategori hukum sunah adalah
pada situasi dimana isteri melalaikan kewajibannya, atau berkelakuan
tercela, sementara suami tidak mungkin memaksanya dalam hal itu.
Beberapa ketentuan hukum talak tersebut menunjukkan bahwa talak
bersifat sangat kondisional, sehingga talak seseorang dengan talak orang lain,
akan sangat mungkin berbeda dalam segi hukumnya. Tentu yang paling harus
diberikan tindakan preventif adalah terhadap talak yang haram dan makruh. Hal
ini karena talak tersebut tidak lantas menjadi solusi masalah rumah tangga,
melainkan justru akan menghadirkan malapetaka yang jauh lebih besar.
Mafsadah yang akan muncul dari adanya praktik talak haram dan makruh,
dapat diklasifikasikan dalam dua aspek:
1. Aspek humanisme, halmana talak haram dan makruh jelas akan sangat
bernilai diskriminatif terhadap kaum isteri dan anak-anak yang telah lahir
dalam pernikahan itu. Isteri yang sebelumnya menggantungkan sebagian
hidupnya kepada suami, jelas akan mengalami masalah besar, saat jalinan itu
diputus secara zalim. Masa depan anak mereka akan dilalui tanpa asupan
psikologis yang optimal, belum lagi di belakang sana, sanksi sosial seolah
penjara yang mengurung tiap gerak dan langkah. Pembiaran terhadap hal ini,
berarti kerelaan untuk kembali ke masa jahiliyah yang talak berlaku secara
bebas tanpa batas, dan manusia kehilangan bargaining position.
2. Aspek sakralitas agama, situasi yang talak akan sangat bernilai destruktif
terhadap konstruksi sakral pernikahan. Destruksi itu dapat digambarkan,
dalam situasi di mana talak seolah memperolok (istihza`) aturan agama, yang
telah membingkai talak sebagai ritual darurat yang aktifasinya terbatas. Talak
yang otoritasnya diamprahkan kepada suami secara independen itu, adalah
senjata yang diamanatkan agama guna mewujudkan kemaslahatan bagi
kehidupan suami isteri, jika saja dimensi ruang dan waktunya sesuai syariat.
Sebaliknya aktifasi talak yang bukan pada dimensinya, maka pelaksana talak
justru disanksi (berdosa) oleh agama lantaran telah secara salah
7 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
menggunakan haknya. Pembiaran terhadap praktik talak haram, berarti
kesediaan menyaksikan menyebarluasnya prilaku haram di tengah kehidupan
masyarakat muslim atas nama hak individual-keberagamaan kaum suami.
Terhadap mafsadah tersebut, negara memiliki kewajiban untuk
mencegahnya. Kewajiban negara mencegah hal itu, artinya negara bertanggung
jawab dalam hal pelaksanaan/penggunaan lembaga talak dalam masyarakat.
Ketika lembaga talak merupakan domain agama, maka konstitusi sangat jelas
mengamanatkan negara untuk menjamin pelaksanaan aktifitas agama itu, dan
harus memberikan dukungan secara proporsional. Dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia pasal 29 ayat (2) disebutkan, Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pemahaman terhadap
jaminan kemerdekaan dalam hal agama itu, tidak sekadar dipahami dalam
konteks memilih agama, namun jaminan pula dalam hal pelaksanaan agama,
meliputi fasilitas, sarana-prasarana ibadat, dan pelaksanaan ajaran-ajaran agama.
Artinya ketika ternyata pelaksanaan ajaran agama justru menimbulkan
kemudaratan, maka negara harus berfungsi menjalankan peranannya mencegah
kemudaratan itu.
Selain legitimasi di atas, terhadap mafsadah dan kemudaratan yang
bernuansa diskriminatif terhadap kemanusiaan, maka konstitusi pun
mengamanatkan negara untuk turut serta melindungi. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28I ayat (2), menyebut, Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu. Penyebutan hak dalam pasal ini, tentu bermaksud menyebutkan
kewajiban di sisi yang lain. Maka pada negaralah amanat kewajiban atas
perlindungan dan pembebasan dari bentuk-bentuk diskriminatif itu diembankan.
Menyadari kewajiban itu, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, serta Kompilasi Hukum Islam, berupaya mengakomodir pengendalian
lembaga talak agar sedianya negara mengambil peran strategis dalam
pelaksanaannya. Beberapa pasal pun dihadirkan dalam Undang-Undang tersebut.
Dan dari sekian pasal, terdapat satu rumusan hukum penting dan sangat
fundamental kaitannya dengan pelaksanaan talak yaitu Undang-Undang Nomor 1
8 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
Tahun 4791 Pasal 39 ayat (1) jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal
65, dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115, Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kata hanya dalam
rumusan ini berfungsi untuk hashr, yaitu kemutlakan pelaksanaan perceraian di
muka persidangan, sekaligus limitasi wewenang pemberian pengakuan resmi
berkepastian hukum atas peristiwa perceraian hanya pada institusi Pengadilan
saja. Secara khusus bagi peradilan agama, pembatasan itupun dikukuhkan pula
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117 yang memberi definisi talak sebagai
ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan, dengan tata cara tertentu.
Kehadiran ketentuan tersebut dengan demikian harus dimaknai secara
runut, yang muaranya adalah amanat konstitusi, dan sikap negara untuk
menjalankan perannya sebagai pengendali sendi-sendi kehidupan beragama,
bermasyarakat, dan bernegara. Negara selanjutnya mengamperahkan otoritas
(delegation of authority) penanganan perkara talak kepada Pengadilan Agama.
B. Memahami Sakralitas Talak dalam Otoritas Pengadilan Agama
Agar talak dapat berada pada posisi yang sebenarnya dan berperan
sebagaimana fungsinya maka talak harus melewati beberapa fase untuk
selanjutnya menentukan talaklah jalur yang harus ditempuh.
Menurut Wahbah Al Zuhaili, talak adalah lembaga/proses syariat (bentukan
hukum) yang sifatnya pengecualian (tersendiri sebagai bentuk final) karena
situasi darurah. Oleh karena itu, ia mengurutkan 7 (tujuh) fase, baru selanjutnya
lambaga talak dapat diperankan. Ketujuh fase itu adalah, 1) muasyarah
bilmaruf, adanya upaya sungguh-sungguh kedua belah pihak menciptakan
hubungan yang baik dan patut, 2) al Shabr, yaitu upaya bertahan/tabah
menghadapi ujian yang timbul sebagai akibat perkawinan termasuk perubahan
sikap pasangan hidup, 3) tahammululadza, adalah situasi seorang suami secara
gigih memikul tanggung jawab keluarga dengan segala resikonya, termasuk
situasi yang membuat sakit batinnya, 4) al wazhu, upaya suami memberikan
nasihat kepada isterinya tentang apa yang semestinya secara intens namun
proporsional, 5) al hajr, upaya (nasihat) suami mengambil sikap (pembelajaran)
9 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
dengan cara membatasi komunikasi terhadap isteri, 6) al dharb al yasir, upaya
tegas suami terhadap isteri, dapat pula berupa sikap fisik yang wajar (tidak
mencelakai), 7) irsalulhakamain, upaya membangun konsolidasi keluarga dua
belah pihak dengan media delegasi hakam.14
Tujuh fase tersebut, sesungguhnya ingin memberikan pesan penting tentang
betapa talak bukan sesuatu yang remeh. Nikah yang sarat muatan sakralitas,
mulai dari adanya aspek penghalalan yang haram, pemaduan dua keluarga, juga
media suci pembentukan manusia-manusia baru lewat produktifitas rahim, maka
proses mengakhiri jalinan itu haruslah dalam rangkaian yang sakral pula, bukan
sekadar karena adanya alasan hukum semata.
Sayyid Sabiq menandaskan hal yang sama tentang sakralitas talak, saat
memulai pembahasan bab Talak dalam Fiqh al Sunnah_nya. Menurutnya,
keutuhan kehidupan rumah tangga merupakan cita-cita luhur yang didambakan
Islam. Karenanya, akad nikah harus dipahami sebagai jalinan yang kekal seumur
hidup, dimana suami dan istri harus berupaya menjadikannya sebagai ladang
kehidupan, naungan kenikmatan, yang di dalamnya mereka mencetak generasi
yang saleh. Pesan inilah yang ingin disampaikan Tuhan sehingga menyimbolkan
ikatan nikah sebagai mitsaqan ghalizhan. Maka tindakan yang secara
sembarangan menodai ikatan suci itu menjadi sesuatu yang dibenci dalam
Islam15
.
Islam lewat pemikiran para fuqaha telah sangat konsen mengupayakan
regulasi ketentuan talak dengan mengakomodir maksud proteksi sakralitas talak
itu. Bahwa talak tak sesederhana bagaimana lafaz talak itu terucap oleh seorang
suami, melainkan diatur pula situasi batin suami yang bersangkutan. Selain itu,
istri sebagai pihak yang kepadanya talak dijatuhkan, juga tidak luput menjadi
perhatian dalam tata aturan pelaksanaan talak. Bahkan, sakralitas talak itu tidak
sekadar melibatkan hanya kedua belah pihak saja, melainkan dikehendaki pula
adanya proses persaksian yang seksama terhadap keterjadian talak tersebut.
Dalam praktiknya, majelis hakim yang menangani ikrar talak, diperankan sebagai
media persaksian dimaksud. Kendati persaksian majelis hakim ini menyisakan
beberapa masalah, misalnya kesaksian hakim perempuan dan jumlah saksi,
14
Wahbah al Zuhaili, Op Cit, hal. 337 15
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II. Hal. 421
10 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
namun setidaknya nilai sakral talak itu harus didudukkan dalam porsi yang
semestinya.
C. Implementasi Rukun-Syarat Talak di Persidangan
Untuk maksud tersebut sebelumnya, dipandang perlu menguraikan
materiil talak, yakni mengenai rukun-syaratnya. Di kalangan fuqaha memang
berbeda pandangan tentang jumlah/pengangkaan rukun-syarat talak. Namun dari
sekian pengangkaan jumlah syarat rukun talak itu, seluruhnya dapat
dikelompokkan dalam hal-hal sebagai berikut;
1. Muthalliq
Yaitu suami yang terikat dalam jalinan pernikahan yang sah, yang pada
dirinya terdapat otoritas talak secara independen. Muthalliq (suami yang
mengucapkan talak) harus memenuhi syarat sebagai berikut;
- Berada dalam kondisi sadar dan sehat pikirannya. Aspek kesehatan
pikiran ini artinya keterbebasan dari tiga hal, 1) mengalami gangguan
kejiwaan (junun), 2) pengaruh zat-zat yang memabukkan, alkohol,
narkoba, dll (sakar/sakran). Dalam sebab yang kedua, diperselisihkan
fuqaha` tentang mabuk yang disengaja dan yang tidak disengaja., 3)
kehilangan kesadaran akibat pengaruh penyakit (mughma alaih).16
- Berada dalam situasi batin yang stabil, tidak sedang mengalami intervensi
mental. Aspek stabilitas batin dan mental ini, dapat diklasifikasikan dalam
tiga hal, 1) tidak dalam keadaan marah (ghadhab) yang menyebabkannya
kehilangan kendali secara total (ighlaq) sehingga ia sendiri tidak
mengetahui apa yang diucapkannya., 2) tidak dalam paksaan orang atau
sebuah situasi dimana kehendak hati dan bicaranya dikendalikan oleh
orang dan atau situasi itu (mukrah/ikrah)., 3) tidak sedang bergurau,
bercanda, dan atau tidak sedang salah ucap/tidak sengaja (hazl/khatha`).17
2. Muthallaqah
Yaitu istri, pihak yang menjadi tujuan/objek yang kepadanya talak
dijatuhkan. Kalangan Syafiiyah menamakan rukun ini sebagai Mahall al
Thalaq. Beberapa syarat dalam rukun ini antara lain:18
16
Lihat Abdurrahman Al Jaziriy, Op.cit. Hal 142 17
Lihat Sayyid Sabiq, Op.Cit. Hal. 249-250 18
Lihat Wahbah Al Zuhailiy, Op.Cit. Hal. 347
11 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
- Terikat dalam jalinan nikah yang sah (bukan jalinan yang bathil/dilarang)
dengan muthalliq.
- Muthallaqah adalah muthallaqah talak raji yang masih dalam ikatan
nikah, dan dalam masa iddah.
- Muthallaqah dalam masa nikahnya sudah pernah melakukan hubungan
suami-isteri (al madkhulah biha/al mauthu`ah), karena jika belum terjadi
hal tersebut, maka tidak akan ada masa iddah. Syarat ini artinya, talak itu
tetap terjadi, namun bukan raj`i, melainkan bain shugra.
- Muthallaqah dalam keadaan suci yang dalam masa suci itu tidak terjadi
hubungan suami-isteri (wath`u), bukan dalam kondisi haid atau nifas.
Karena talak saat haid atau suci yang dicampuri, merupakan talak bidi
yang haram hukumnya dan berdosa pelakunya, kendati tidak berpengaruh
kepada keabsahan talak menurut pandangan mayoritas fuqaha`.19
3. Shighat
Yaitu lafaz yang digunakan untuk menyatakan talak. Shighat ini hanya
bersifat sepihak, atau dapat dikatakan hanya mengandung unsur Ijab saja,
tanpa diperlukan adanya kerelaan atau penerimaan (qabul) dari isteri. Hal ini
karena talak adalah hak suami secara mutlak. Adapun syarat yang diharuskan
dalam shighat talak adalah :
- Harus menggunakan redaksi kata/kalimat yang menunjukkan pemutusan
pernikahan, tidak harus dalam bahasa arab. Adanya rukun shighat
menghendaki bahwa talak tidak dapat dilakukan dengan filiy, tetapi harus
dengan kalimat atau komunikasi verbal, baik secara sharih maupun
kinayah, sindiran.20
- Harus jelas penunjukan objek talak kepada muthallaqah/mahall al thalaq.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyebut nama secara jelas, atau alias,
ciri-ciri/sifat tertentu dan khusus, dll.21
4. Qashd
Adalah adanya unsur kesengajaan dalam pelafalan talak (shighat talak) yaitu
secara sadar dan sungguh sungguh mengetahui apa maksud dan konsekuensi
19
Lihat Sayyid Sabiq, Op.Cit. Hal. 265 20
Lihat Abdurrahman Al Jaziriy, Op.Cit. Hal. 142 21
Lihat Wahbah Al Zuhailiy, Op.Cit. Hal. 357
12 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
dari yang diucapkannya.22
Dengan kata lain rukun ini menghendaki unsur
keseriusan yang sifatnya memang abstrak. Penjelasan tentang hal ini telah
diwakili dalam penjelasan syarat muthalliq yang menghendaki keutuhan
situasi suami.
Jika dicermati, maka rukun-syarat talak tersebut tidak sekadar
merumuskan hal-hal fisik (zhawahir) melainkan diikutsertakan pula hal-hal non
lahiriyah. Hal-hal non lahiriyah itu meliputi situasi batin Muthalliq, stabilitas
emosional (ghadhab), intervensi mental (mukrah), kesehatan jiwa dan normalitas
fikir (junun/sakar), dan ada tidaknya kehendak sungguh-sungguh. Ketika
lembaga talak berada dalam otoritas Pengadilan Agama, maka hakim diembankan
tugas penting tentang upaya menilai hal-hal batiniyah itu. Jika dipertanyakan
tentang posibilitas hakim dalam kapasitasnya sebagai manusia untuk menilai hal-
hal tersebut, sementara wilayah sarair adalah otoritas Tuhan, maka dapat dijawab
dengan bahwa di situlah peran penting hakim dalam kapasitasnya sebagai wakil
tuhan yang bertugas membahasakan sesuatu atas nama tuhan. Dan adalah
merupakan konsekuensi logis dari pemeriksaan perkara hukum keluarga jika
dominasi masalahnya adalah urusan rasa dan hati. Untuk tujuan ini, maka adalah
keniscayaan pula bahwa hakim tidak sekadar berkutat masalah yuridis formil,
melainkan harus pula melakukan pendekatan psikologis yang memadai.
Dalam praktiknya, tentu pertimbangan tentang hal-hal non lahiriyah ini
tidak bisa seutuhnya diwujudkan dalam pembuktian secara formil dan dituangkan
dalam pertimbangan hukum, melainkan dilakukan inventarisasi fakta-fakta
persidangan yang terkait dengan indikasi keterpenuhan syarat-syarat yang abstrak
itu, secara tersendiri. Hal ini karena hukum acara belum memberikan proteksi dan
guaranty atas pertimbangan-pertimbangan tersebut secara memadai, sehingga
penerapannya akan menyalahi ketentuan hukum acara yang berlaku. Oleh karena
itu, penerapan gagasan ini hanya merupakan tuntutan dan motifasi relijiusitas
hakim yang bersangkutan.
Di sisi yang lain, prosesi keterjadian talak dalam hukum Islam, selain
terkait erat dengan keterpenuhan rukun-syarat talak sebagaimana tersebut di atas,
juga sering dikaitkan dengan adanya keharusan persaksian saat pelafalan/ikrar
22
Lihat Ibid. 346
13 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
talak itu diucapkan. Hal ini karena dalam surah al Thalaq ayat 2, terdapat perintah
isyhad (persaksian), yang secara paralel disebutkan setelah perintah
imsakulmuthallaqah (rujuk) dan perintah mufaraqatulmuthallaqah (talak).
Keberadaan perintah isyhad itu mendapat berbagai komentar dari kalangan
Mufassirin dan Fuqaha`. Di antara mereka ada yang menilai perintah itu merujuk
ke perintah rujuk saja, namun umumnya mufassirin menilai perintah isyhad itu
kaitannya dengan rujuk dan talak, misalnya Al Baghawiy23
, Ibnu Katsir24
, Al
Fakhr Al Raziy25
, dan Al Alusiy26
.
Selain berbeda dalam memahami hal tersebut, mereka juga berbeda
dalam menentukan hukum persaksian dalam rujuk, dan khususnya dalam talak.
Komentar dan pandangan mereka itu jika dipetakan segi hukumnya, maka
persaksian talak dikelompokkan dalam dua klasifikasi, 1) yang menghukumi
(maksimal) nadb/mandub, 2) yang menghukumi wajib.
Klasifikasi yang pertama, adalah pandangan umumnya Fuqaha dan
Mufassirin, antara lain dipromotori oleh kalangan Hanafiyah, Syafiiyah,
Hanabilah, dan Malikiyah. Konstruksi hukum sunnah/nadb dalam persaksian
talak menurut mereka antara lain:
- perintah isyhad dalam ayat 2 surah al Thalaq dihubungkan/dikiaskan dengan
perintah isyhad dalam ayat 282 surah al Baqarah27
, yang menghukumi
persaksian dalam bai sebagai mandub.28
- Perintah persaksian talak dalam surah al Thalaq ayat 2 berada setelah terlebih
dahulu ada perintah imsak al muthallaqat (amsikuuhunna) dan mufaraqatul
muthallaqat yang menghendaki maksud otoritas rujuk dan talak ada pada
suami (tidak diperlukan qabul, hanya ucapan sepihak saja (ijab)), maka
perintah persaksian talak tidak bisa dinyatakan berfungsi sebagai petunjuk
hukum wajib, sehingga hanya sekadar bersifat pelengkap yang status
hukumnya hanya sunat saja (mustahabb/nadb).29
- Praktik talak di zaman Nabi dan shahabah tidak mengikutsertakan persaksian
sebagai hal yang diperlukan untuk keterjadian sebuah talak, sehingga
23
Lihat Tafsir Al Baghawiy, Juz VIII. Hal. 150 24
Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz. VIII. Hal. 145 25
Lihat Tafsir Al Fakhr Al Raziy. Hal. 4483 26
Lihat Tafsir Al Alusi, Juz 21 Hal. 66 27
QS. Al Baqarah (2):282, .. 28
Lihat Tafsir Ayat al Ahkam, Hal. 597 29
Lihat Ibid. Hal. 598
14 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
persaksian dalam talak tidak bisa dikatakan wajib30
. Persaksian talak dengan
demikian dihukumi sunnah, dalam kaitannya menghindari
perselisihan/pengingkaran atas talak (tajahud), misalnya ketika salah seorang
di antara mereka meninggal, lantas menuntut hak waris, sementara
pernikahannya telah putus31
.
Kalangan yang menghukumi persaksian talak wajib antara lain, golongan
Syiah Imamiyah, Zhahiriyah, kalangan Ahl al Bait/Shahabat seperti Ali bin Abi
Thalib dan Imran bin Hushain, dan kalangan tabiin di antaranya Muhammad al
Baqir dan Jafar Shadiq, hal yang sama juga disampaikan oleh Ibn Jurayj menganut
pendapat Atha. Argumentasi yang digunakan antara lain:
- Perintah persaksian ikrar talak yang ada dalam surah al Thalaq ayat 2,
merupakan redaksi yang sifatnya mutlak, sementara prinsip dasar dari perintah
adalah penunjukan hukum wajib (dalalah al wujub), maka persaksian talak
hukumnya wajib. Terhadap adanya pemalingan petunjuk wajib menjadi sunah
(nadb/mustahabb) dalam hal isyhad ini sementara tidak ada dalil yang akurat,
dianggap keluar dan menyalahi tradisi syara.32
- Pandangan yang menyatakan tidak ditemui praktik nabi dan shahabah tentang
keharusan isyhad dalam talak, tidak dapat dibenarkan secara mutlak lantaran
Ali bin Abi Thalib dan Imran bin Hushain pernah menyatakan talak dan rujuk
seseorang tidak sah (tidak dianggap sebagai talak), karena ternyata tidak atau
belum mempersaksikan dua orang saksi yang adil, dan dinyatakan talak
tersebut menyalahi sunnah.33
Hal ini berarti, persaksian dalam dalam
merupakan sebuah kemutlakan, yang jika tidak dilakukan maka talak tersebut
dinyatakan tidak terjadi, dan pelakunya dinyatakan berdosa. Hal yang sama
disampaikan pula oleh kalangan tabiin, di antaranya Muhammad al Baqir dan
Jafar Shadiq.
- Sayyid Sabiq menyimpulkan bahwa adanya pernyataan fuqaha` tentang Ijma
hukum sunnah (nadb) dalam persaksian talak, dengan demikian hanyalah Ijma
30
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, Jilid II. Hal. 257 31
Al Qurthubiy, Al Jami li Ahkam Al Quran, Jilid 18 Hal. 159 32
Lihat Sayyid Sabiq, Op Cit. Jilid II, Hal. 259 33
Ali ra : " : " : Imran bin Hushain ra:
" :
15 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
dalam pengertian Ijma Madzhabiy (Ijma Kolektif suatu madzhab saja bukan
ulama secara menyeluruh) dan tidak termasuk di dalamnya Shahabat dan
Tabiin. Dan kewajiban persaksian talak dengan demikian adalah madzhab
Shahabat dan Tabiin, serta merupakan madzhab Atha. Ibnu Sirin, dan Ibnu
Jurayj.34
- Keberadaan hukum wajib dalam persaksian talak merupakan perintah yang
dipahami sebagai bagian dari substansi talak yang berkonsekuensi dosa jika
ditinggalkan, sekaligus menjadi syarat (hukum wadhi) yang jika tidak
terpenuhi, talaknya menjadi tidak sah. Hal ini sebagaimana disampaikan
Thabrasiy.35
Yang harus dipahami dari perbedaan pendapat di atas, adalah bahwa
fuqaha` berupaya mencari tahu tentang hukum asal dari persaksian talak. Artinya,
status hukum apa (hukum taklify) sebetulnya yang dikendaki oleh Syari dengan
menghadirkan lembaga persaksian talak itu. Untuk tujuan ini, maka jalur yang
ditempuh adalah Ushul Fiqh, dengan fasilitas kaidah-kaidah yang telah ada untuk
itu. Dari penerapan kaidah Ushul itu, Ulama telah memperoleh hasil akurat, bahwa
hukum persaksian talak adalah wajib karena redaksi perintah menghendaki dalalah
al wujub. Penolakan terhadap hasil terapan kaidah ushul ini, oleh Jumhur dilandasi
oleh adanya qarinah berupa perintah talak dan rujuk yang mendahului perintah
persaksian. Sementara rujuk dan talak sendiri hukumnya (hukum asal) tidak
merupakan hukum wajib, karena hak atas keduanya itu ada pada suami secara
individual. Dalam kaidahnya, segala bentuk hak pribadi, tidak mengharuskan
persaksian saat penggunaannya.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa hukum talak akan secara
relatif mengalami unifikasi. Hukum persaksian talak, jika argumentasi
penolakannya adalah hak individual, maka dapat dijawab dengan bahwa eksistensi
individualitas hak talak itu tidak lagi dapat dipertahankan saat mana hal itu
diperhadapkan dengan kenyataan adanya otoritas negara dalam pelaksanaan ajaran
agama. Sifat individualitas suami dalam talak, akan terkikis seiring dengan adanya
pertalian yang kuat antara pernikahan dengan tatanan sosial-kemasyarakatan, dan
hukum-hukum kependudukan yang hidup di dalam negara. Dengan terkikisnya hak
34
Lihat Ibid. Hal. 260 35
Lihat Al Alusiy, Op.Cit. Juz 21. Hal. 66
16 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
individual talak bagi suami, maka kaidah yang menafikan keharusan persaksian
dalam talak dengan alasan hak individual, akan menjadi gugur pula sehingga
memerlukam penyesuaian. Penyesuaian dimaksud jelas adalah mengembalikan
ketentuan hukum asal persaksian talak yaitu wajib dengan konsekuensi dosa bagi
pelanggarnya.
Restorasi hukum wajib, tentu belumlah cukup untuk menjawab tujuan
keterkendalian lembaga talak di masyarakat. Oleh karena itu, Negara patut
mengambil peran dalam pelaksanaan talak dan persaksian atasnya. Pengadilan
Agama, selanjutnya menjadi institusi yang diamanahkan untuk pencapaian tujuan
tersebut.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan tentang konstruksi pembaruan hukum talak di Indonesia ini
mengantarkan pada butir-butir akhir sebagai jawaban dari beberapa hal yang ingin
dicapai dalam rumusan pembahasan sebelumnya. Beberapa kesimpulan tersebut
adalah:
1. Islam pada prinsipnya melestarikan lembaga (pranata) talak sebagai salah satu
fasilitas hukum individual dengan dominasi muatan sosial (implikasi kehidupan
bermasyarakat), dari yang sebelumnya hanya berupa aktifitas individual kaum
suami secara sepihak. Untuk itu, maka rumusan tentang status hukum sebuah talak
sangat relatif bergulir seputar hukum taklifi yang lima, sehingga penentuan status
hukum talak akan bersifat kasuistis. Unifikasi status hukum talak menghendaki
adanya delegasi otoritas (pengamprahan wewenang) guna menentukan status
hukum dimaksud, untuk selanjutnya menyatakan sebuah talak dapat diterima atau
tidak. Di Indonesia, otoritas itu diberikan kepada Pengadilan Agama berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan dan juga Undang-Undang Peradilan Agama, serta
ditandaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebuah ketentuan yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam
menjamin pelaksanaan Agama dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
2. Talak memang merupakan perbuatan individual seorang suami sebagai pemilik
otoritas talak terhadap isterinya yang dalam pelaksanaannya tidak perlu
17 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
melibatkan pihak manapun. Hal ini mendapat legitimasi menurut mafhum
muwafaqah atas kaidah hukum bahwa semua urusan yang diperbuat seseorang
untuk dirinya sendiri (yang merupakan haknya secara mutlak), maka tidak ada
urgensinya melibatkan pihak lain untuk mempersaksikannya, apalagi jika sampai
melibatkan institusi besar seperti negara. Kendati demikian, sudut pandang
terhadap talak akan sangat timpang jika ditujukan hanya kepada lembaga talak itu
sendiri secara parsial. Karena seharusnya, lembaga talak dipahami sebagai satu
kesatuan yang utuh dengan jalinan pernikahan yang melandasinya. Atas dasar ini,
maka talak hanya bisa dilakukan oleh seorang pria terhadap perempuan yang
keduanya terikat dalam pernikahan yang sah. Dengan demikian, talak
sesungguhnya memiliki hubungan hukum yang teramat erat dengan lingkungan,
masyarakat, dan negara. Karena eksistensi jalinan pernikahan sepasang manusia,
menimbulkan hak dan kewajiban baik terhadap masyarakat maupun negara,
sebagaimana masyarakat dan negara memiliki hak dan kewajiban pula secara
timbal balik terhadap mereka. Oleh karena itu, putusnya jalinan pernikahan
tersebut sementara tidak diketahui akurasinya, akan menimbulkan pengaruh
sangat besar bagi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3. Penggunaan otoritas penanganan talak oleh Pengadilan Agama dengan demikian
harus dipahami sebagai bentuk perhatian negara terhadap pelaksanaan agama yang
oleh konstitusi dijamin eksistensinya. Sehingga penyelesaian talak harus
dilakukan dengan cara seksama, meliputi konteks lahiriyah (zhawahir) kasusnya
sekaligus melibatkan aspek batiniyah subjeknya. Urgensi keterlibatan aspek
batiniyah sebagai sasaran pertimbangan, harus dinyatakan sebagai keniscayaan
karena talak didominasi oleh muatan perasaan dan urusan hati. Terhadap
posibilitas (mungkin atau tidak) hakim menilai aspek batiniyah yang notabene
otoritas Tuhan, maka harus dijawab dengan bahwa kapasitas hakim sebagai
wakil memang dimaksudkan untuk menerjemahkan bahasa Tuhan (bertindak
dengan nama Tuhan) tentang keadilan. Oleh karena itu, rukun dan syarat talak
tidak sekadar menformulasikan unsur-unsurnya secara fisik, namun
dipersyaratkan pula aspek-aspek batin, emosionalitas, mentalitas, dan kesucian
muthallaqah yang menaungi unsur-unsur fisik itu. Hal ini untuk mengakomodir
maksud proteksi terhadap sakralitas nikah, yang mengharuskan sakralitas pula saat
mengakhirinya.
18 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
B. Saran
1. Terhadap adanya unifikasi hukum talak, dipandang harus mewaspadai
kemungkinan adanya praktik perkara talak yang tergolong hukum haram dan
makruh. Untuk itu, diperlukan standarisasi khusus, antara lain, pertimbangan
tentang latar belakang perkara talak yang diajukan, letak kesalahan dan
penyebab keretakan, dan kemudaratan yang bakal muncul pasca talak
dijatuhkan, baru selanjutnya mempertimbangkan kemaslahatan individual
pihak dan jika mungkin dapat pula melibatkan kemaslahatan sosial secara
proporsional.
2. Membangun sudut pandang yang utuh, sinergis, dan integral, antara jalinan
nikah dan talak, adalah cara yang relevan menjiwai konstruksi legitimasi
peralihan otoritas talak ke dalam kompetensi negara, sehingga pekerjaan
memutus perkara talak dapat diupayakan/dijiwai secara optimal dengan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai sakral yang hidup di dalamnya.
3. Pertimbangan hal-hal non lahiriyah, jelas cukup berat dan rumit bagi hakim.
Namun tidak tertutup kemungkinan ia dapat dilakukan secara baik. Untuk
tujuan ini, maka pendekatan psikologis dipandang urgen (dharuriy), guna
menemukan titik rasa dan komunikasi lintas batin antar hakim dan pihak
berperkara, selain juga power spiritual yang tak dapat dipungkiri
keniscayaannya, guna memperkuat signal vertikal, sebagai satu-satunya
kekuatan sejati.
C. Referensi
- Al Quran Al Kariim
- Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- Kompilasi Hukum Islam
- Abdurrahman al Jaziry, Al fiqh ala al Madzahib al Arbaah, tt.
- Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubiy, Al Jami li Ahkam Al
Quran, Dar Alam al Kutub ; Riyadh, 2003
- Abu al Fida` Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Cet ke
III. Dar Tayyibah; 1999
19 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011
- Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha Dimyathi, Ianah al Thalibin, tt.
Dar al Fikr ; Beirut
- Abu Muhammad Husain bin Masud, Maalim al Tanzil/Tafsir Al Baghawiy,
cet ke IV, Dar Tayyibah; 1997
- Ali bin Muhammad Al Amudiy Abu al Hasan, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam,
Cet. I.,Dar al Kitab al Arabiy ; Beirut, 1404
- Muhammad Bin Umar bin Husain al Raziy, Tafsir Al Fakhr Al Raziy., Dar
Ihya Turats Al Arabiy; tt
- Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah
- Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al Husaini Al Alusiy, Ruh Al Maaniy fi
Tafsir Al Quran al Azhim wa Sabi al Matsaniy
- Tafsir Ayat al Ahkam
- Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, tt. Dar al Fikr :
Damaskus