Syarat Rukun Talak Dan Implementasinya Dalam Persidangan Ikrar Talak

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    KONSTRUKSI OTORITAS PENGADILAN AGAMA ATAS TALAK

    oleh E r f a n i, S.HI.

    (Calon Hakim pada Pengadilan Agama Tangerang)

    I. PENDAHULUAN

    Perkawinan pada dasarnya adalah seperangkat ujian. Ujian yang sepasang

    suami isteri dituntut mampu menghadirkan sakinah, mawaddah, dan rahmah

    dalam rumah tangga yang mereka bina. Apa yang disebut banyak orang bahwa

    perkawinan adalah sebuah kenikmatan, mungkin ada benarnya. Namun perlu

    disadari, memahami perkawinan sebagai kenikmatan, akan membentuk asumsi

    bahwa ketika rumah tangga (perkawinan) itu sudah kehilangan kenikmatan, maka

    berakhirlah masa jodoh dan perpisahan menjadi jalan berikutnya. Asumsi

    demikian ini tentu teramat naif kaitannya dengan perkawinan sebagai ikatan suci

    lahir batin. Oleh karena itu, harus jujur dikatakan bahwa persentase muatan

    kenikmatan perkawinan, akan berbanding amat jauh dengan persentase muatan

    ujian, dan keharusan suami isteri mengupayakan keutuhan, dan pengendalian

    situasi harmonis dalam rumah tangga.

    Adalah kesepakatan umumnya masyarakat, meletakkan standarisasi

    tentang keharmonisan, atau kesuksesan sepasang suami isteri dalam mahligai

    rumah tangga, berupa keutuhan (kebersamaan) rumah tangga itu sampai akhir

    hayat, baik keduanya atau salah satunya. Sehingga, saat mereka mampu

    mempertahankan keutuhan rumah tangga sampai hanya maut yang memisahkan,

    masyarakat akan menilai sukses rumah tangga tersebut. Hal ini tentu menjadi

    dambaan siapa pun yang sedang menjalin hubungan suami isteri dalam ikatan

    suci pernikahan dan balutan keluarga (rumah tangga). Namun dalam

    kenyataannya, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal melawati ujian

    perkawinan tersebut, situasi mana ikatan sakral perkawinan itu harus putus bukan

    oleh maut, tetapi ombak besar yang menelingkupkan bahtera, hingga terpecah

    belah antar satu dan bagian lainnya.

    Agama teramat sigap mengantisipasi kemunculan kenyataan itu. Karena

    selain lembaga pernikahan, Agama juga menyediakan wadah perceraian sebagai

    (setidaknya) jalur darurat yang dapat dibuka guna menampung kegagalan rumah

  • 2 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    tangga. Islam khususnya, menyebut lembaga itu sebagai thalaq atau firaq.

    Kendati istilah thalaq (selanjutnya ditulis talak) sendiri bukanlah produk original

    hukum Islam, namun Islam memandung perlu melakukan adaptasi dengan

    kondisi yang hidup saat itu, dengan merekrut beberapa istilah yang telah ada.

    Sebagaimana yang diketahui, bahwa terma talak, adalah istilah yang

    memang sudah dikenal sangat akrab di masa jahiliyah. Situasi dimana kaum

    suami bebas tanpa batas kapan dan dimana saja boleh (sering) melakukan

    (menjatuhkan) talak terhadap istri dan/atau istri-istri mereka1. Islam selanjutnya

    merekonstruksi kenyataan itu (tanpa mengubah istilahnya) dengan memberikan

    batasan jumlah talak yang hanya sampai pada tiga kali saja berikut ketentuan-

    ketentuan tersendiri yang lebih humanis yang tentunya bermaksud menjunjung

    tinggi martabat manusia, khususnya kaum perempuan.

    Dalam perjalanannya, kodifikasi fikih menggiring lembaga talak dalam

    konteks yang tidak saja melibatkan muatan hukum asalnya, tetapi juga dengan

    menghadirkan upaya proteksi sakralitas talak dengan membubuhkan konten

    teknis dan prosedur-prosedur tertentu. Islam tidak sekadar menentukan hukum

    talak secara materiil, melainkan juga hal-hal formil yang menentukan bagaimana

    semestinya lembaga talak digunakan.

    Pengadilan Agama sebagai institusi yang menangani lembaga talak,

    melalui berbagai regulasi hukum, telah berupaya melakukan upaya

    menyinergikan (internalisasi) kententuan materiil talak dan formilnya dalam

    wadah hukum Islam keindonesiaan atas dasar asas legalitas. Ketentuan hukum,

    yang memposisikan Pengadilan Agama sebagai satu-satunya institusi yang bisa

    memberikan pengakuan secara resmi tentang keterjadian sebuah tindakan talak di

    tengah masyarakat muslim Indonesia2. Untuk tujuan ini, maka Kompilasi Hukum

    Islam secara progressif memberi arti talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang

    Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan

    tata cara tertentu3.

    Berbagai penafsiran (kajian) hukum diupayakan sebisa mungkin

    mendukung ketentuan tersebut. Sebuah upaya yang memang belumlah tuntas

    1 Tentang istilah Thalaq, lihat misalnya Abu Bakar Muhammad Syatha, Ianah al Thalibin, Juz IV hal. 2.

    2 Dimaksudkan menunjuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1) jo. Undang-Undang Nomor

    7 Tahun 1989 Pasal 65 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

    belah pihak 3 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 117, 129, 130, dan 131.

  • 3 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    menjawab berbagai ketimpangan yang masih tersisa seputar pemaknaan dan

    pelaksanaan talak di muka persidangan. Hal ini semakin krusial, ketika otoritas

    talak yang telah paten berada di tangan suami secara independen, lantas diambil

    alih oleh negara dengan menunjuk Pengadilan Agama sebagai institusinya. Untuk

    tujuan penyempurnaan, tulisan ini berupaya menyuguhkan aspek-aspek hukum

    dalam talak yang telah mengalami peleburan (pembaharuan) sebagai konsekuensi

    dari karakteristik hukum yang selalu ingin berjalan seirama dengan dimensi ruang

    dan waktu yang hukum itu bergulir di dalamnya, dalam hal ini di Indonesia.

    Luasnya cakupan tema tulisan ini sementara telah cukup banyak

    pembahasan sebelumnya dengan tema yang hampir sama, mengharuskan adanya

    spesifikasi pembahasan dalam rumusan-rumusan bahasan tertentu. Beberapa

    rumusan itu adalah sebagai berikut;

    1. Apa dasar konstruksi legitimasi keharusan talak di muka persidangan

    Pengadilan Agama?

    2. Bagaimana konstruksi pemahaman pengambilalihan otoritas talak dari suami

    ke otoritas Pengadilan Agama?

    3. Bagaimana idealnya penyelesaian perkara talak oleh hakim Pengadilan

    Agama?

    Dengan dikhususkannya pembahasan ini pada rumusan-rumusan tersebut,

    diharapkan mampu memberikan sudut pandang baru tentang eksistensi hukum

    talak di Indonesia, dan upaya penyelesaiannya secara utuh.

    II. PEMBAHASAN

    A. Unifikasi Hukum Talak dan Relevansinya dengan Otoritas Negara

    Secara etimologi, thalaq () artinya melepas ikatan baik secara inderawi

    maupun hakiki4. Pengertian yang sama juga diambil dari kata firaq () dan

    sarah (). Dalam konteks terminologi (syara), thalaq diartikan sebagai

    pelepasan ikatan nikah atau mengurangi ikatannya dengan lafaz tertentu.

    Pelepasan ikatan nikah secara mutlak misalnya dalam talak bain, yang

    mengharuskan pernikahan baru untuk kembali. Sementara talak dalam arti

    4 Lihat misalnya Abdurrahman al Jaziry, Al fiqh ala al Madzahib al Arbaah, Juz IV. Hal. 138

  • 4 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    pengurangan ikatan nikah misalnya dalam talak raji yang belum melepaskan

    ikatan nikah seutuhnya sehingga masih mungkin kembali sejauh masih dalam

    masa iddah5. Lafaz tertentu yang menjadi bagian pengertian talak menghendaki

    dua bentuk lafaz, yaitu jelas () dan konotasi ().

    Dalam konteks fikih, fuqaha` cenderung memberikan rincian-rincian

    tertentu tentang hukum asalnya. Sebagai perbandingan tentang hukum asal talak

    dan rincian-rinciannya, dapat digambarkan sebagai berikut6:

    1. Golongan Hanafiyah

    Menurut Hanafiyah (sebagai pandangan mazdhab mereka), mengatakan

    bahwa hukum asal talak adalah mubah/ibahah7. Hal ini dipahami dari

    beberapa hal:

    - Kemutlakan ayat-ayat tentang talak, seperti ayat 1 surah al Thalaq8 dan

    ayat 236 surah al Baqarah.9

    - Praktik Talak Nabi terhadap Hafshah yang terjadi bukan karena sebab

    suatu tindakan tercela atau bukan pula sebab sikap angkuh (tidak taat)

    yang dilakukan Hafshah.10

    - Kemutlakan praktik talak beberapa Shahabah, termasuk juga Hasan bin

    Ali.

    2. Kalangan Jumhur Fuqaha (Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah)

    Menurut jumhur, talak hukum asalnya jaiz11

    , namun yang utama adalah

    sebisa mungkin tidak dilakukan karena talak sarat muatan negatif terhadap

    hubungan kasih sayang yang telah/sedang dibina, kecuali adanya sebab-

    sebab yang menghendakinya. Oleh sebab itu, maka talak sesungguhnya akan

    5 Lihat Ibid

    6 Tentang Perbandingan Hukum talak ini, lihat misalnya, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu,

    Juz. XI. hal. 340-341 7 stressing hukum mubah adalah bahwa pelaksanaannya tidak menimbulkan sanksi/haraj. Lihat Al Amudiy, al

    Ihkam fi Ushul al Ahkam, juz I. hal. 170 8 QS. Al Thalaq (65):2

    9 QS. Al Baqarah (2): 236

    10 HR. Abu Dawud, al Nasai`, dan Ibu Majah, dari Umar ra. Versi HR. Ahmad dari Jalur Ashim bin Umar:

    : 11

    stressing hukum jaiz adalah bahwa meninggalkannya tidak menimbulkan sanki/haraj. Lihat Al Amudiy,

    op.cit. Secara khusus, Malikiyah menyandangkan status Khilaful Aula, yang juga dapat dimaknai jaiz, yaitu

    cenderung dekat kepada Makruh. Al Jaziriy condong kepada hukum Makruhlah yang lebih mengena kepada

    hakikat/substansi talak itu sendiri. Abdurrahman Al Jaziriy, Op.Cit.

  • 5 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    mengalami perubahan status hukum menyesuaikan latar belakang situasi dan

    sebab-sebab tersebut. Rincian dari perubahan status hukum talak tersebut

    sebagai berikut12

    :

    - Haram, misalnya dengan talak yang dijatuhkannya itu seorang suami

    justru akan terjerumus dalam perbuatan zina karena ketergantungannya

    kepada kebutuhan biologis dengan isterinya, atau dengan sengaja menalak

    isterinya agar dapat berhubungan intim dengan perempuan lain. Atau ia

    tahu kondisinya tidak mampu menikah lagi, sementara hasrat biologisnya

    tinggi, maka talak yang dilakukannya dapat menjadi haram. Talak haram

    juga terjadi ketika dijatuhkan kepada isteri yang sedang haid, atau masa

    suci namun pernah digauli.

    - Makruh, talak hukumnya makruh dalam hal-hal seperti, 1) seorang suami

    masih memiliki keinginan yang teramat dalam terhadap perkawinannya

    itu, namun justru menjatuhkan talak terhadap isterinya, 2) Seorang suami

    masih mendambakan mendapat keturunan dari isterinya, sementara

    perkawinannya tidak membuatnya lalai dalam kewajiban beribadah, ia

    pun tidak khawatir akan terjerumus ke dalam zina seandainya berpisah

    dengan isterinya, maka talak yang dijatuhkannya dapat dihukumi makruh,

    3) talak seorang suami yang sesungguhnya ia tidak memiliki cukup alasan

    untuk melakukannya sesuai hadis Nabi dari Ibn Umar tentang talak13.

    - Wajib, talak dapat dihukumi wajib seperti dalam hal seorang suami yang

    sangat meyakini bahwa mempertahankan kehidupan bersama isterinya

    justru menjerumuskannya dalam hal-hal yang haram dalam agama,

    misalnya demi memenuhi nafkah isteri ia harus menempuh cara mencuri,

    atau menipu, dll., dan segala kemudaratan yang jauh lebih besar dari

    kemudaratan talak. Talak juga wajib dalam kasus ila` dimana suami

    bersumpah tidak akan menggauli isterinya lagi.

    12

    Perincian hukum seperti ini merupakan tradisi biasa dalam fikih. Permasalahan yang muncul selanjutnya

    adalah apakah hukum-hukum yang variatif itu berpengaruh terhadap keabsahan talak itu sendiri. Faktor

    perselisihan itu muaranya adalah perbedaan fuqaha` dalam memahami larangan-larangan tentang suatu hal

    apakah merupakan bagian daripada hal itu secara integral ataukah berdiri sendiri sebagai ketentuan hukum lain.

    Misalnya ada larangan tentang penjatuhan talak dalam masa haid, apakah larangan itu berarti bahwa talaknya itu

    lantas tidak sah. Dalam hal ini, Imam Syafii cenderung melihatnya sebagai ketentuan hukum lain, yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya sebuah talak, karena larangan talak saat haid itu, kaitannya dengan masa

    iddah yang tentu akan semakin lama. (lihat Al Amudiy, al Ihkam fi Ushul al Ahkam, juz I, hal. 162). Bertolak

    dari hal ini, maka standar sahnya talak adalah keterpenuhan rukun-syaratnya. 13

    HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan Isnad Shahih, juga HR. Hakim yang olehnya dinyatakan shahih.

    Dari Ibnu Umar ra.:

  • 6 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    - Sunah/Nadb/Mandub, talak dapat dihukumi sunah dengan standar alasan

    talak yang disebabkan oleh kondisi negatif dari isteri, misalnya isteri

    memiliki sikap yang berlebihan dalam cara bicara dan selalu merongrong

    suami, sehingga sikapnya itu berpotensi menjerumuskan suami dalam

    perbuatan tidak terpuji pula. Secara umum, kategori hukum sunah adalah

    pada situasi dimana isteri melalaikan kewajibannya, atau berkelakuan

    tercela, sementara suami tidak mungkin memaksanya dalam hal itu.

    Beberapa ketentuan hukum talak tersebut menunjukkan bahwa talak

    bersifat sangat kondisional, sehingga talak seseorang dengan talak orang lain,

    akan sangat mungkin berbeda dalam segi hukumnya. Tentu yang paling harus

    diberikan tindakan preventif adalah terhadap talak yang haram dan makruh. Hal

    ini karena talak tersebut tidak lantas menjadi solusi masalah rumah tangga,

    melainkan justru akan menghadirkan malapetaka yang jauh lebih besar.

    Mafsadah yang akan muncul dari adanya praktik talak haram dan makruh,

    dapat diklasifikasikan dalam dua aspek:

    1. Aspek humanisme, halmana talak haram dan makruh jelas akan sangat

    bernilai diskriminatif terhadap kaum isteri dan anak-anak yang telah lahir

    dalam pernikahan itu. Isteri yang sebelumnya menggantungkan sebagian

    hidupnya kepada suami, jelas akan mengalami masalah besar, saat jalinan itu

    diputus secara zalim. Masa depan anak mereka akan dilalui tanpa asupan

    psikologis yang optimal, belum lagi di belakang sana, sanksi sosial seolah

    penjara yang mengurung tiap gerak dan langkah. Pembiaran terhadap hal ini,

    berarti kerelaan untuk kembali ke masa jahiliyah yang talak berlaku secara

    bebas tanpa batas, dan manusia kehilangan bargaining position.

    2. Aspek sakralitas agama, situasi yang talak akan sangat bernilai destruktif

    terhadap konstruksi sakral pernikahan. Destruksi itu dapat digambarkan,

    dalam situasi di mana talak seolah memperolok (istihza`) aturan agama, yang

    telah membingkai talak sebagai ritual darurat yang aktifasinya terbatas. Talak

    yang otoritasnya diamprahkan kepada suami secara independen itu, adalah

    senjata yang diamanatkan agama guna mewujudkan kemaslahatan bagi

    kehidupan suami isteri, jika saja dimensi ruang dan waktunya sesuai syariat.

    Sebaliknya aktifasi talak yang bukan pada dimensinya, maka pelaksana talak

    justru disanksi (berdosa) oleh agama lantaran telah secara salah

  • 7 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    menggunakan haknya. Pembiaran terhadap praktik talak haram, berarti

    kesediaan menyaksikan menyebarluasnya prilaku haram di tengah kehidupan

    masyarakat muslim atas nama hak individual-keberagamaan kaum suami.

    Terhadap mafsadah tersebut, negara memiliki kewajiban untuk

    mencegahnya. Kewajiban negara mencegah hal itu, artinya negara bertanggung

    jawab dalam hal pelaksanaan/penggunaan lembaga talak dalam masyarakat.

    Ketika lembaga talak merupakan domain agama, maka konstitusi sangat jelas

    mengamanatkan negara untuk menjamin pelaksanaan aktifitas agama itu, dan

    harus memberikan dukungan secara proporsional. Dalam Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia pasal 29 ayat (2) disebutkan, Negara menjamin

    kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

    untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pemahaman terhadap

    jaminan kemerdekaan dalam hal agama itu, tidak sekadar dipahami dalam

    konteks memilih agama, namun jaminan pula dalam hal pelaksanaan agama,

    meliputi fasilitas, sarana-prasarana ibadat, dan pelaksanaan ajaran-ajaran agama.

    Artinya ketika ternyata pelaksanaan ajaran agama justru menimbulkan

    kemudaratan, maka negara harus berfungsi menjalankan peranannya mencegah

    kemudaratan itu.

    Selain legitimasi di atas, terhadap mafsadah dan kemudaratan yang

    bernuansa diskriminatif terhadap kemanusiaan, maka konstitusi pun

    mengamanatkan negara untuk turut serta melindungi. Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28I ayat (2), menyebut, Setiap

    orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun

    dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

    diskriminatif itu. Penyebutan hak dalam pasal ini, tentu bermaksud menyebutkan

    kewajiban di sisi yang lain. Maka pada negaralah amanat kewajiban atas

    perlindungan dan pembebasan dari bentuk-bentuk diskriminatif itu diembankan.

    Menyadari kewajiban itu, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan

    Agama, serta Kompilasi Hukum Islam, berupaya mengakomodir pengendalian

    lembaga talak agar sedianya negara mengambil peran strategis dalam

    pelaksanaannya. Beberapa pasal pun dihadirkan dalam Undang-Undang tersebut.

    Dan dari sekian pasal, terdapat satu rumusan hukum penting dan sangat

    fundamental kaitannya dengan pelaksanaan talak yaitu Undang-Undang Nomor 1

  • 8 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    Tahun 4791 Pasal 39 ayat (1) jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal

    65, dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115, Perceraian hanya dapat dilakukan

    di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha

    dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kata hanya dalam

    rumusan ini berfungsi untuk hashr, yaitu kemutlakan pelaksanaan perceraian di

    muka persidangan, sekaligus limitasi wewenang pemberian pengakuan resmi

    berkepastian hukum atas peristiwa perceraian hanya pada institusi Pengadilan

    saja. Secara khusus bagi peradilan agama, pembatasan itupun dikukuhkan pula

    dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117 yang memberi definisi talak sebagai

    ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab

    putusnya perkawinan, dengan tata cara tertentu.

    Kehadiran ketentuan tersebut dengan demikian harus dimaknai secara

    runut, yang muaranya adalah amanat konstitusi, dan sikap negara untuk

    menjalankan perannya sebagai pengendali sendi-sendi kehidupan beragama,

    bermasyarakat, dan bernegara. Negara selanjutnya mengamperahkan otoritas

    (delegation of authority) penanganan perkara talak kepada Pengadilan Agama.

    B. Memahami Sakralitas Talak dalam Otoritas Pengadilan Agama

    Agar talak dapat berada pada posisi yang sebenarnya dan berperan

    sebagaimana fungsinya maka talak harus melewati beberapa fase untuk

    selanjutnya menentukan talaklah jalur yang harus ditempuh.

    Menurut Wahbah Al Zuhaili, talak adalah lembaga/proses syariat (bentukan

    hukum) yang sifatnya pengecualian (tersendiri sebagai bentuk final) karena

    situasi darurah. Oleh karena itu, ia mengurutkan 7 (tujuh) fase, baru selanjutnya

    lambaga talak dapat diperankan. Ketujuh fase itu adalah, 1) muasyarah

    bilmaruf, adanya upaya sungguh-sungguh kedua belah pihak menciptakan

    hubungan yang baik dan patut, 2) al Shabr, yaitu upaya bertahan/tabah

    menghadapi ujian yang timbul sebagai akibat perkawinan termasuk perubahan

    sikap pasangan hidup, 3) tahammululadza, adalah situasi seorang suami secara

    gigih memikul tanggung jawab keluarga dengan segala resikonya, termasuk

    situasi yang membuat sakit batinnya, 4) al wazhu, upaya suami memberikan

    nasihat kepada isterinya tentang apa yang semestinya secara intens namun

    proporsional, 5) al hajr, upaya (nasihat) suami mengambil sikap (pembelajaran)

  • 9 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    dengan cara membatasi komunikasi terhadap isteri, 6) al dharb al yasir, upaya

    tegas suami terhadap isteri, dapat pula berupa sikap fisik yang wajar (tidak

    mencelakai), 7) irsalulhakamain, upaya membangun konsolidasi keluarga dua

    belah pihak dengan media delegasi hakam.14

    Tujuh fase tersebut, sesungguhnya ingin memberikan pesan penting tentang

    betapa talak bukan sesuatu yang remeh. Nikah yang sarat muatan sakralitas,

    mulai dari adanya aspek penghalalan yang haram, pemaduan dua keluarga, juga

    media suci pembentukan manusia-manusia baru lewat produktifitas rahim, maka

    proses mengakhiri jalinan itu haruslah dalam rangkaian yang sakral pula, bukan

    sekadar karena adanya alasan hukum semata.

    Sayyid Sabiq menandaskan hal yang sama tentang sakralitas talak, saat

    memulai pembahasan bab Talak dalam Fiqh al Sunnah_nya. Menurutnya,

    keutuhan kehidupan rumah tangga merupakan cita-cita luhur yang didambakan

    Islam. Karenanya, akad nikah harus dipahami sebagai jalinan yang kekal seumur

    hidup, dimana suami dan istri harus berupaya menjadikannya sebagai ladang

    kehidupan, naungan kenikmatan, yang di dalamnya mereka mencetak generasi

    yang saleh. Pesan inilah yang ingin disampaikan Tuhan sehingga menyimbolkan

    ikatan nikah sebagai mitsaqan ghalizhan. Maka tindakan yang secara

    sembarangan menodai ikatan suci itu menjadi sesuatu yang dibenci dalam

    Islam15

    .

    Islam lewat pemikiran para fuqaha telah sangat konsen mengupayakan

    regulasi ketentuan talak dengan mengakomodir maksud proteksi sakralitas talak

    itu. Bahwa talak tak sesederhana bagaimana lafaz talak itu terucap oleh seorang

    suami, melainkan diatur pula situasi batin suami yang bersangkutan. Selain itu,

    istri sebagai pihak yang kepadanya talak dijatuhkan, juga tidak luput menjadi

    perhatian dalam tata aturan pelaksanaan talak. Bahkan, sakralitas talak itu tidak

    sekadar melibatkan hanya kedua belah pihak saja, melainkan dikehendaki pula

    adanya proses persaksian yang seksama terhadap keterjadian talak tersebut.

    Dalam praktiknya, majelis hakim yang menangani ikrar talak, diperankan sebagai

    media persaksian dimaksud. Kendati persaksian majelis hakim ini menyisakan

    beberapa masalah, misalnya kesaksian hakim perempuan dan jumlah saksi,

    14

    Wahbah al Zuhaili, Op Cit, hal. 337 15

    Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid II. Hal. 421

  • 10 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    namun setidaknya nilai sakral talak itu harus didudukkan dalam porsi yang

    semestinya.

    C. Implementasi Rukun-Syarat Talak di Persidangan

    Untuk maksud tersebut sebelumnya, dipandang perlu menguraikan

    materiil talak, yakni mengenai rukun-syaratnya. Di kalangan fuqaha memang

    berbeda pandangan tentang jumlah/pengangkaan rukun-syarat talak. Namun dari

    sekian pengangkaan jumlah syarat rukun talak itu, seluruhnya dapat

    dikelompokkan dalam hal-hal sebagai berikut;

    1. Muthalliq

    Yaitu suami yang terikat dalam jalinan pernikahan yang sah, yang pada

    dirinya terdapat otoritas talak secara independen. Muthalliq (suami yang

    mengucapkan talak) harus memenuhi syarat sebagai berikut;

    - Berada dalam kondisi sadar dan sehat pikirannya. Aspek kesehatan

    pikiran ini artinya keterbebasan dari tiga hal, 1) mengalami gangguan

    kejiwaan (junun), 2) pengaruh zat-zat yang memabukkan, alkohol,

    narkoba, dll (sakar/sakran). Dalam sebab yang kedua, diperselisihkan

    fuqaha` tentang mabuk yang disengaja dan yang tidak disengaja., 3)

    kehilangan kesadaran akibat pengaruh penyakit (mughma alaih).16

    - Berada dalam situasi batin yang stabil, tidak sedang mengalami intervensi

    mental. Aspek stabilitas batin dan mental ini, dapat diklasifikasikan dalam

    tiga hal, 1) tidak dalam keadaan marah (ghadhab) yang menyebabkannya

    kehilangan kendali secara total (ighlaq) sehingga ia sendiri tidak

    mengetahui apa yang diucapkannya., 2) tidak dalam paksaan orang atau

    sebuah situasi dimana kehendak hati dan bicaranya dikendalikan oleh

    orang dan atau situasi itu (mukrah/ikrah)., 3) tidak sedang bergurau,

    bercanda, dan atau tidak sedang salah ucap/tidak sengaja (hazl/khatha`).17

    2. Muthallaqah

    Yaitu istri, pihak yang menjadi tujuan/objek yang kepadanya talak

    dijatuhkan. Kalangan Syafiiyah menamakan rukun ini sebagai Mahall al

    Thalaq. Beberapa syarat dalam rukun ini antara lain:18

    16

    Lihat Abdurrahman Al Jaziriy, Op.cit. Hal 142 17

    Lihat Sayyid Sabiq, Op.Cit. Hal. 249-250 18

    Lihat Wahbah Al Zuhailiy, Op.Cit. Hal. 347

  • 11 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    - Terikat dalam jalinan nikah yang sah (bukan jalinan yang bathil/dilarang)

    dengan muthalliq.

    - Muthallaqah adalah muthallaqah talak raji yang masih dalam ikatan

    nikah, dan dalam masa iddah.

    - Muthallaqah dalam masa nikahnya sudah pernah melakukan hubungan

    suami-isteri (al madkhulah biha/al mauthu`ah), karena jika belum terjadi

    hal tersebut, maka tidak akan ada masa iddah. Syarat ini artinya, talak itu

    tetap terjadi, namun bukan raj`i, melainkan bain shugra.

    - Muthallaqah dalam keadaan suci yang dalam masa suci itu tidak terjadi

    hubungan suami-isteri (wath`u), bukan dalam kondisi haid atau nifas.

    Karena talak saat haid atau suci yang dicampuri, merupakan talak bidi

    yang haram hukumnya dan berdosa pelakunya, kendati tidak berpengaruh

    kepada keabsahan talak menurut pandangan mayoritas fuqaha`.19

    3. Shighat

    Yaitu lafaz yang digunakan untuk menyatakan talak. Shighat ini hanya

    bersifat sepihak, atau dapat dikatakan hanya mengandung unsur Ijab saja,

    tanpa diperlukan adanya kerelaan atau penerimaan (qabul) dari isteri. Hal ini

    karena talak adalah hak suami secara mutlak. Adapun syarat yang diharuskan

    dalam shighat talak adalah :

    - Harus menggunakan redaksi kata/kalimat yang menunjukkan pemutusan

    pernikahan, tidak harus dalam bahasa arab. Adanya rukun shighat

    menghendaki bahwa talak tidak dapat dilakukan dengan filiy, tetapi harus

    dengan kalimat atau komunikasi verbal, baik secara sharih maupun

    kinayah, sindiran.20

    - Harus jelas penunjukan objek talak kepada muthallaqah/mahall al thalaq.

    Hal ini dapat dilakukan dengan menyebut nama secara jelas, atau alias,

    ciri-ciri/sifat tertentu dan khusus, dll.21

    4. Qashd

    Adalah adanya unsur kesengajaan dalam pelafalan talak (shighat talak) yaitu

    secara sadar dan sungguh sungguh mengetahui apa maksud dan konsekuensi

    19

    Lihat Sayyid Sabiq, Op.Cit. Hal. 265 20

    Lihat Abdurrahman Al Jaziriy, Op.Cit. Hal. 142 21

    Lihat Wahbah Al Zuhailiy, Op.Cit. Hal. 357

  • 12 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    dari yang diucapkannya.22

    Dengan kata lain rukun ini menghendaki unsur

    keseriusan yang sifatnya memang abstrak. Penjelasan tentang hal ini telah

    diwakili dalam penjelasan syarat muthalliq yang menghendaki keutuhan

    situasi suami.

    Jika dicermati, maka rukun-syarat talak tersebut tidak sekadar

    merumuskan hal-hal fisik (zhawahir) melainkan diikutsertakan pula hal-hal non

    lahiriyah. Hal-hal non lahiriyah itu meliputi situasi batin Muthalliq, stabilitas

    emosional (ghadhab), intervensi mental (mukrah), kesehatan jiwa dan normalitas

    fikir (junun/sakar), dan ada tidaknya kehendak sungguh-sungguh. Ketika

    lembaga talak berada dalam otoritas Pengadilan Agama, maka hakim diembankan

    tugas penting tentang upaya menilai hal-hal batiniyah itu. Jika dipertanyakan

    tentang posibilitas hakim dalam kapasitasnya sebagai manusia untuk menilai hal-

    hal tersebut, sementara wilayah sarair adalah otoritas Tuhan, maka dapat dijawab

    dengan bahwa di situlah peran penting hakim dalam kapasitasnya sebagai wakil

    tuhan yang bertugas membahasakan sesuatu atas nama tuhan. Dan adalah

    merupakan konsekuensi logis dari pemeriksaan perkara hukum keluarga jika

    dominasi masalahnya adalah urusan rasa dan hati. Untuk tujuan ini, maka adalah

    keniscayaan pula bahwa hakim tidak sekadar berkutat masalah yuridis formil,

    melainkan harus pula melakukan pendekatan psikologis yang memadai.

    Dalam praktiknya, tentu pertimbangan tentang hal-hal non lahiriyah ini

    tidak bisa seutuhnya diwujudkan dalam pembuktian secara formil dan dituangkan

    dalam pertimbangan hukum, melainkan dilakukan inventarisasi fakta-fakta

    persidangan yang terkait dengan indikasi keterpenuhan syarat-syarat yang abstrak

    itu, secara tersendiri. Hal ini karena hukum acara belum memberikan proteksi dan

    guaranty atas pertimbangan-pertimbangan tersebut secara memadai, sehingga

    penerapannya akan menyalahi ketentuan hukum acara yang berlaku. Oleh karena

    itu, penerapan gagasan ini hanya merupakan tuntutan dan motifasi relijiusitas

    hakim yang bersangkutan.

    Di sisi yang lain, prosesi keterjadian talak dalam hukum Islam, selain

    terkait erat dengan keterpenuhan rukun-syarat talak sebagaimana tersebut di atas,

    juga sering dikaitkan dengan adanya keharusan persaksian saat pelafalan/ikrar

    22

    Lihat Ibid. 346

  • 13 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    talak itu diucapkan. Hal ini karena dalam surah al Thalaq ayat 2, terdapat perintah

    isyhad (persaksian), yang secara paralel disebutkan setelah perintah

    imsakulmuthallaqah (rujuk) dan perintah mufaraqatulmuthallaqah (talak).

    Keberadaan perintah isyhad itu mendapat berbagai komentar dari kalangan

    Mufassirin dan Fuqaha`. Di antara mereka ada yang menilai perintah itu merujuk

    ke perintah rujuk saja, namun umumnya mufassirin menilai perintah isyhad itu

    kaitannya dengan rujuk dan talak, misalnya Al Baghawiy23

    , Ibnu Katsir24

    , Al

    Fakhr Al Raziy25

    , dan Al Alusiy26

    .

    Selain berbeda dalam memahami hal tersebut, mereka juga berbeda

    dalam menentukan hukum persaksian dalam rujuk, dan khususnya dalam talak.

    Komentar dan pandangan mereka itu jika dipetakan segi hukumnya, maka

    persaksian talak dikelompokkan dalam dua klasifikasi, 1) yang menghukumi

    (maksimal) nadb/mandub, 2) yang menghukumi wajib.

    Klasifikasi yang pertama, adalah pandangan umumnya Fuqaha dan

    Mufassirin, antara lain dipromotori oleh kalangan Hanafiyah, Syafiiyah,

    Hanabilah, dan Malikiyah. Konstruksi hukum sunnah/nadb dalam persaksian

    talak menurut mereka antara lain:

    - perintah isyhad dalam ayat 2 surah al Thalaq dihubungkan/dikiaskan dengan

    perintah isyhad dalam ayat 282 surah al Baqarah27

    , yang menghukumi

    persaksian dalam bai sebagai mandub.28

    - Perintah persaksian talak dalam surah al Thalaq ayat 2 berada setelah terlebih

    dahulu ada perintah imsak al muthallaqat (amsikuuhunna) dan mufaraqatul

    muthallaqat yang menghendaki maksud otoritas rujuk dan talak ada pada

    suami (tidak diperlukan qabul, hanya ucapan sepihak saja (ijab)), maka

    perintah persaksian talak tidak bisa dinyatakan berfungsi sebagai petunjuk

    hukum wajib, sehingga hanya sekadar bersifat pelengkap yang status

    hukumnya hanya sunat saja (mustahabb/nadb).29

    - Praktik talak di zaman Nabi dan shahabah tidak mengikutsertakan persaksian

    sebagai hal yang diperlukan untuk keterjadian sebuah talak, sehingga

    23

    Lihat Tafsir Al Baghawiy, Juz VIII. Hal. 150 24

    Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Juz. VIII. Hal. 145 25

    Lihat Tafsir Al Fakhr Al Raziy. Hal. 4483 26

    Lihat Tafsir Al Alusi, Juz 21 Hal. 66 27

    QS. Al Baqarah (2):282, .. 28

    Lihat Tafsir Ayat al Ahkam, Hal. 597 29

    Lihat Ibid. Hal. 598

  • 14 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    persaksian dalam talak tidak bisa dikatakan wajib30

    . Persaksian talak dengan

    demikian dihukumi sunnah, dalam kaitannya menghindari

    perselisihan/pengingkaran atas talak (tajahud), misalnya ketika salah seorang

    di antara mereka meninggal, lantas menuntut hak waris, sementara

    pernikahannya telah putus31

    .

    Kalangan yang menghukumi persaksian talak wajib antara lain, golongan

    Syiah Imamiyah, Zhahiriyah, kalangan Ahl al Bait/Shahabat seperti Ali bin Abi

    Thalib dan Imran bin Hushain, dan kalangan tabiin di antaranya Muhammad al

    Baqir dan Jafar Shadiq, hal yang sama juga disampaikan oleh Ibn Jurayj menganut

    pendapat Atha. Argumentasi yang digunakan antara lain:

    - Perintah persaksian ikrar talak yang ada dalam surah al Thalaq ayat 2,

    merupakan redaksi yang sifatnya mutlak, sementara prinsip dasar dari perintah

    adalah penunjukan hukum wajib (dalalah al wujub), maka persaksian talak

    hukumnya wajib. Terhadap adanya pemalingan petunjuk wajib menjadi sunah

    (nadb/mustahabb) dalam hal isyhad ini sementara tidak ada dalil yang akurat,

    dianggap keluar dan menyalahi tradisi syara.32

    - Pandangan yang menyatakan tidak ditemui praktik nabi dan shahabah tentang

    keharusan isyhad dalam talak, tidak dapat dibenarkan secara mutlak lantaran

    Ali bin Abi Thalib dan Imran bin Hushain pernah menyatakan talak dan rujuk

    seseorang tidak sah (tidak dianggap sebagai talak), karena ternyata tidak atau

    belum mempersaksikan dua orang saksi yang adil, dan dinyatakan talak

    tersebut menyalahi sunnah.33

    Hal ini berarti, persaksian dalam dalam

    merupakan sebuah kemutlakan, yang jika tidak dilakukan maka talak tersebut

    dinyatakan tidak terjadi, dan pelakunya dinyatakan berdosa. Hal yang sama

    disampaikan pula oleh kalangan tabiin, di antaranya Muhammad al Baqir dan

    Jafar Shadiq.

    - Sayyid Sabiq menyimpulkan bahwa adanya pernyataan fuqaha` tentang Ijma

    hukum sunnah (nadb) dalam persaksian talak, dengan demikian hanyalah Ijma

    30

    Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, Jilid II. Hal. 257 31

    Al Qurthubiy, Al Jami li Ahkam Al Quran, Jilid 18 Hal. 159 32

    Lihat Sayyid Sabiq, Op Cit. Jilid II, Hal. 259 33

    Ali ra : " : " : Imran bin Hushain ra:

    " :

  • 15 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    dalam pengertian Ijma Madzhabiy (Ijma Kolektif suatu madzhab saja bukan

    ulama secara menyeluruh) dan tidak termasuk di dalamnya Shahabat dan

    Tabiin. Dan kewajiban persaksian talak dengan demikian adalah madzhab

    Shahabat dan Tabiin, serta merupakan madzhab Atha. Ibnu Sirin, dan Ibnu

    Jurayj.34

    - Keberadaan hukum wajib dalam persaksian talak merupakan perintah yang

    dipahami sebagai bagian dari substansi talak yang berkonsekuensi dosa jika

    ditinggalkan, sekaligus menjadi syarat (hukum wadhi) yang jika tidak

    terpenuhi, talaknya menjadi tidak sah. Hal ini sebagaimana disampaikan

    Thabrasiy.35

    Yang harus dipahami dari perbedaan pendapat di atas, adalah bahwa

    fuqaha` berupaya mencari tahu tentang hukum asal dari persaksian talak. Artinya,

    status hukum apa (hukum taklify) sebetulnya yang dikendaki oleh Syari dengan

    menghadirkan lembaga persaksian talak itu. Untuk tujuan ini, maka jalur yang

    ditempuh adalah Ushul Fiqh, dengan fasilitas kaidah-kaidah yang telah ada untuk

    itu. Dari penerapan kaidah Ushul itu, Ulama telah memperoleh hasil akurat, bahwa

    hukum persaksian talak adalah wajib karena redaksi perintah menghendaki dalalah

    al wujub. Penolakan terhadap hasil terapan kaidah ushul ini, oleh Jumhur dilandasi

    oleh adanya qarinah berupa perintah talak dan rujuk yang mendahului perintah

    persaksian. Sementara rujuk dan talak sendiri hukumnya (hukum asal) tidak

    merupakan hukum wajib, karena hak atas keduanya itu ada pada suami secara

    individual. Dalam kaidahnya, segala bentuk hak pribadi, tidak mengharuskan

    persaksian saat penggunaannya.

    Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa hukum talak akan secara

    relatif mengalami unifikasi. Hukum persaksian talak, jika argumentasi

    penolakannya adalah hak individual, maka dapat dijawab dengan bahwa eksistensi

    individualitas hak talak itu tidak lagi dapat dipertahankan saat mana hal itu

    diperhadapkan dengan kenyataan adanya otoritas negara dalam pelaksanaan ajaran

    agama. Sifat individualitas suami dalam talak, akan terkikis seiring dengan adanya

    pertalian yang kuat antara pernikahan dengan tatanan sosial-kemasyarakatan, dan

    hukum-hukum kependudukan yang hidup di dalam negara. Dengan terkikisnya hak

    34

    Lihat Ibid. Hal. 260 35

    Lihat Al Alusiy, Op.Cit. Juz 21. Hal. 66

  • 16 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    individual talak bagi suami, maka kaidah yang menafikan keharusan persaksian

    dalam talak dengan alasan hak individual, akan menjadi gugur pula sehingga

    memerlukam penyesuaian. Penyesuaian dimaksud jelas adalah mengembalikan

    ketentuan hukum asal persaksian talak yaitu wajib dengan konsekuensi dosa bagi

    pelanggarnya.

    Restorasi hukum wajib, tentu belumlah cukup untuk menjawab tujuan

    keterkendalian lembaga talak di masyarakat. Oleh karena itu, Negara patut

    mengambil peran dalam pelaksanaan talak dan persaksian atasnya. Pengadilan

    Agama, selanjutnya menjadi institusi yang diamanahkan untuk pencapaian tujuan

    tersebut.

    III. PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Pembahasan tentang konstruksi pembaruan hukum talak di Indonesia ini

    mengantarkan pada butir-butir akhir sebagai jawaban dari beberapa hal yang ingin

    dicapai dalam rumusan pembahasan sebelumnya. Beberapa kesimpulan tersebut

    adalah:

    1. Islam pada prinsipnya melestarikan lembaga (pranata) talak sebagai salah satu

    fasilitas hukum individual dengan dominasi muatan sosial (implikasi kehidupan

    bermasyarakat), dari yang sebelumnya hanya berupa aktifitas individual kaum

    suami secara sepihak. Untuk itu, maka rumusan tentang status hukum sebuah talak

    sangat relatif bergulir seputar hukum taklifi yang lima, sehingga penentuan status

    hukum talak akan bersifat kasuistis. Unifikasi status hukum talak menghendaki

    adanya delegasi otoritas (pengamprahan wewenang) guna menentukan status

    hukum dimaksud, untuk selanjutnya menyatakan sebuah talak dapat diterima atau

    tidak. Di Indonesia, otoritas itu diberikan kepada Pengadilan Agama berdasarkan

    Undang-Undang Perkawinan dan juga Undang-Undang Peradilan Agama, serta

    ditandaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam. Sebuah ketentuan yang

    merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam

    menjamin pelaksanaan Agama dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

    2. Talak memang merupakan perbuatan individual seorang suami sebagai pemilik

    otoritas talak terhadap isterinya yang dalam pelaksanaannya tidak perlu

  • 17 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    melibatkan pihak manapun. Hal ini mendapat legitimasi menurut mafhum

    muwafaqah atas kaidah hukum bahwa semua urusan yang diperbuat seseorang

    untuk dirinya sendiri (yang merupakan haknya secara mutlak), maka tidak ada

    urgensinya melibatkan pihak lain untuk mempersaksikannya, apalagi jika sampai

    melibatkan institusi besar seperti negara. Kendati demikian, sudut pandang

    terhadap talak akan sangat timpang jika ditujukan hanya kepada lembaga talak itu

    sendiri secara parsial. Karena seharusnya, lembaga talak dipahami sebagai satu

    kesatuan yang utuh dengan jalinan pernikahan yang melandasinya. Atas dasar ini,

    maka talak hanya bisa dilakukan oleh seorang pria terhadap perempuan yang

    keduanya terikat dalam pernikahan yang sah. Dengan demikian, talak

    sesungguhnya memiliki hubungan hukum yang teramat erat dengan lingkungan,

    masyarakat, dan negara. Karena eksistensi jalinan pernikahan sepasang manusia,

    menimbulkan hak dan kewajiban baik terhadap masyarakat maupun negara,

    sebagaimana masyarakat dan negara memiliki hak dan kewajiban pula secara

    timbal balik terhadap mereka. Oleh karena itu, putusnya jalinan pernikahan

    tersebut sementara tidak diketahui akurasinya, akan menimbulkan pengaruh

    sangat besar bagi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    3. Penggunaan otoritas penanganan talak oleh Pengadilan Agama dengan demikian

    harus dipahami sebagai bentuk perhatian negara terhadap pelaksanaan agama yang

    oleh konstitusi dijamin eksistensinya. Sehingga penyelesaian talak harus

    dilakukan dengan cara seksama, meliputi konteks lahiriyah (zhawahir) kasusnya

    sekaligus melibatkan aspek batiniyah subjeknya. Urgensi keterlibatan aspek

    batiniyah sebagai sasaran pertimbangan, harus dinyatakan sebagai keniscayaan

    karena talak didominasi oleh muatan perasaan dan urusan hati. Terhadap

    posibilitas (mungkin atau tidak) hakim menilai aspek batiniyah yang notabene

    otoritas Tuhan, maka harus dijawab dengan bahwa kapasitas hakim sebagai

    wakil memang dimaksudkan untuk menerjemahkan bahasa Tuhan (bertindak

    dengan nama Tuhan) tentang keadilan. Oleh karena itu, rukun dan syarat talak

    tidak sekadar menformulasikan unsur-unsurnya secara fisik, namun

    dipersyaratkan pula aspek-aspek batin, emosionalitas, mentalitas, dan kesucian

    muthallaqah yang menaungi unsur-unsur fisik itu. Hal ini untuk mengakomodir

    maksud proteksi terhadap sakralitas nikah, yang mengharuskan sakralitas pula saat

    mengakhirinya.

  • 18 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    B. Saran

    1. Terhadap adanya unifikasi hukum talak, dipandang harus mewaspadai

    kemungkinan adanya praktik perkara talak yang tergolong hukum haram dan

    makruh. Untuk itu, diperlukan standarisasi khusus, antara lain, pertimbangan

    tentang latar belakang perkara talak yang diajukan, letak kesalahan dan

    penyebab keretakan, dan kemudaratan yang bakal muncul pasca talak

    dijatuhkan, baru selanjutnya mempertimbangkan kemaslahatan individual

    pihak dan jika mungkin dapat pula melibatkan kemaslahatan sosial secara

    proporsional.

    2. Membangun sudut pandang yang utuh, sinergis, dan integral, antara jalinan

    nikah dan talak, adalah cara yang relevan menjiwai konstruksi legitimasi

    peralihan otoritas talak ke dalam kompetensi negara, sehingga pekerjaan

    memutus perkara talak dapat diupayakan/dijiwai secara optimal dengan tetap

    menjunjung tinggi nilai-nilai sakral yang hidup di dalamnya.

    3. Pertimbangan hal-hal non lahiriyah, jelas cukup berat dan rumit bagi hakim.

    Namun tidak tertutup kemungkinan ia dapat dilakukan secara baik. Untuk

    tujuan ini, maka pendekatan psikologis dipandang urgen (dharuriy), guna

    menemukan titik rasa dan komunikasi lintas batin antar hakim dan pihak

    berperkara, selain juga power spiritual yang tak dapat dipungkiri

    keniscayaannya, guna memperkuat signal vertikal, sebagai satu-satunya

    kekuatan sejati.

    C. Referensi

    - Al Quran Al Kariim

    - Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

    - Kompilasi Hukum Islam

    - Abdurrahman al Jaziry, Al fiqh ala al Madzahib al Arbaah, tt.

    - Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubiy, Al Jami li Ahkam Al

    Quran, Dar Alam al Kutub ; Riyadh, 2003

    - Abu al Fida` Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Cet ke

    III. Dar Tayyibah; 1999

  • 19 Erfani, Konstruksi Otoritas PA atas Talak. 2011

    - Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha Dimyathi, Ianah al Thalibin, tt.

    Dar al Fikr ; Beirut

    - Abu Muhammad Husain bin Masud, Maalim al Tanzil/Tafsir Al Baghawiy,

    cet ke IV, Dar Tayyibah; 1997

    - Ali bin Muhammad Al Amudiy Abu al Hasan, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam,

    Cet. I.,Dar al Kitab al Arabiy ; Beirut, 1404

    - Muhammad Bin Umar bin Husain al Raziy, Tafsir Al Fakhr Al Raziy., Dar

    Ihya Turats Al Arabiy; tt

    - Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah

    - Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al Husaini Al Alusiy, Ruh Al Maaniy fi

    Tafsir Al Quran al Azhim wa Sabi al Matsaniy

    - Tafsir Ayat al Ahkam

    - Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, tt. Dar al Fikr :

    Damaskus