42
Presentasi Kasus Farmasi SYOK ANAFILAKTIK Oleh : Zefania Yonisa P. G99141008 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI

Syok Anafilaktik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat, tinjauan pustaka, syok, syok anafilaktik, farmasi

Citation preview

Presentasi Kasus Farmasi

SYOK ANAFILAKTIK

Oleh : Zefania Yonisa P.G99141008

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASIFAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDISURAKARTA2015

BAB IPENDAHULUAN

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan phylaxis = perlindungan). Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis). Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Reaksi anafilaktoid adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda biasanya diterapi sebagai anafilaksis.Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat (IDI, 2013).Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.Insidens syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat kontras radiografi dan 10-20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat per tahun. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian obat antibiotik seperti penicillin dan bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis (IDI, 2013).Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan keseimbangan paparan allergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan, kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penicillin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kotras intravena, tranfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis (IDI, 2013).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISISyok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai olehImmunoglobulin E(hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas (Rehata, 2000).

B. MEKANISME ANAFILAKSIS1. Fase SensitisasiYaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan basofil.

2. Fase AktivasiYaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.3. Fase Efektor Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ-organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet Activating Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan leukotriene (Rehata, 2000).Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.C. DERAJAT BERAT REAKSI ANAFILAKSIS1. Derajat Ringan (hanya kulit dan jaringan submukosa)Gambaran klinik antara lain: eritema luas, edema periorbita, atau angioedema. Reaksi ringan dapat dibagi lagi, disertai atau tidak ada angioedema.2. Derajat Sedang (keterlibatan pernapasan, kardiovaskuler, atau gastrointestinal.Gambaran klinik antara lain: sesak, stridor, mengi, mual, muntah, pusing, presinkop diaforesis, rasa tertekan di dada atau tenggorok atau sakit perut.3. Derajat Berat (hipoksia, hipotensi, atau defisit neurologik)Sianosis, atau SpO2 < 92% pada tiap tingkat, hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg pada dewasa), bingung kolaps, hilang kesadaran, atau inkontinensia (Rengganis, 2012).

D. MANIFESTASI KLINIKGejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Tanda-tanda ini harus segera dikenali agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran dikelompokkan sebagai berikut (Rengganis., 2012):SistemGejala dan Tanda

UmumProdromalLesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.

PernapasanHidungLaringLidahBronkusHidung gatal, bersin, dan tersumbat.Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.EdemaBatuk, sesak, mengi, spasme

KardiovaskulerPingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.

Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.

KulitUrtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas.

MataGatal, lakrimasi

Susunan saraf pusatGelisah, kejang

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.

E. DIAGNOSISDiagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnyaPada pemeriksaan fisik pasien tampak sesak, frekuensi nafas meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi kongjungtiva. Tanda prodromal pada kulit dapat berupa urtikaria dan eritema.Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria (IDI, 2013).Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukan nilai normal. Pemeriksaan ini hanya berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada anak kecil atau bayi dari keluarga dengan derajat alergi yang tinggi (IDI, 2013).

F. PENATALAKSANAANDua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular juga harus berfungsi dengan baik sehingga perfusi jaringan memadai (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Sistem Pernapasana. Memelihara saluran pernapasan tetap memadai. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya salauran napas baik karena edema larings atau spasme bronkus. Kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit.b. Pemberian oksigen sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun kardiovaskular.c. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah seperti pada asma atau status asmatikus (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Sistem Kardiovaskulara. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran).b. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.c. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure).d. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena.Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaktsis yang berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal, kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat. Pernah dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan manfaat disamping pemberian aminofilin dan kortikosteroid intravena. b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 denganAH2 bekerja secara sinergistik teradap reseptor yang ada di pembuluh darah.c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).Steroid sering diberikan sebagai usaha perlindungan untuk melawan late reaction yang dapat terjadi beberapa jam setelah reaksi alergi. Pada beberapa pasien, terutama pasien dengan asma, late reaction ini dapat terjadi lebih berat daripada initial reaction (American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, 2012).

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

1. Terapi medikamentosaPrognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosis dan pengelolaannya. a. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu : Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat, sehingga penderita dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama. Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali. Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya:0,3 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

b. AminofilinDapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

c. Antihistamin dan kortikosteroid.Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 10 mg IV atau hidrocortison 100 250 mg IV.

2. Terapi SuportifTerapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan (Cook, 1971).a. Pemberian OksigenJika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 5 ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.b. Posisi TrendelenburgPosisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.c. Pemasangan infus.Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.d. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resucitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.

BAB IIISTATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIENNama: Tn. RUmur: 47 TahunJenis Kelamin: Laki-lakiAgama: IslamAlamat: SurakartaPekerjaan: PedagangTanggal Pemeriksaan: 5 Mei 2015 No RM: 01228710

B. ANAMNESIS1. Keluhan Utama: Penurunan kesadaran2. Riwayat Penyakit SekarangLima hari sebelum periksa penderita merasakan nyeri tenggorokan. Penderita minum obat antiflu tablet dan tablet hisap beli dari apotik tanpa resep, nyeri tenggorokannya tidak berkurang. Kemudian datang ke praktek dokter umum, didiagnosa radang tenggorokan akut, mendapat terapi antibiotik injeksi, golongan penicillin yang dilakukan oleh perawat atas perintah dokter yang memeriksa. Sekitar 10 menit kemudian penderita mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat dingin, kemudian jatuh pingsan.3. Riwayat Penyakit DahuluRiwayat Hipertensi : DisangkalRiwayat DM : DisangkalRiwayat trauma : DisangkalRiwayat kejang : DisangkalRiwayat alergi : Disangkal4. Riwayat Penyakit KeluargaRiwayat Hipertensi : DisangkalRiwayat DM : DisangkalRiwayat trauma : DisangkalRiwayat kejang: DisangkalRiwayat alergi : Disangkal5. Riwayat Kebiasaan dan GiziRiwayat merokok : (+) 1 bungkus tiap hariRiwayat minum alkohol : disangkal6. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien sehari-hari merupakan pedagang sayur di Pasar Gede

C. PEMERIKSAAN FISIK1. Keadaan UmumKeadaan umum lemah, somnolen, gizi kesan cukup2. Vital signsTekanan Darah :90/60 mmHgNadi :140 kali/menit, teraba lemah dan cepatRespirasi : 36 kali/menitSuhu :36,5C per aksiler3. KulitWarna sawo matang, luka (-), ikterik (-), petechiae (-)4. KepalaBentuk mesocephal, luka (-)5. MataConjunctiva pucat (-), sklera ikterik (-), reflek cahaya langsung dantak langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)6. TelingaBentuk normal, darah (-)7. HidungBentuk normal,nafas cuping hidung (-), darah(-)8. MulutSianosis (-), bibir kering (-), mukosa pucat (-)9. LeherPulsasi arteri carotis tidak tampak, simetris, trakea ditengah10. TenggorokanTonsil membesar (-), hiperemi faring (-)11. ThoraksRetraksi (-), nafas tipe torakoabdominal, ginekomasti (-)12. JantungInspeksi: ictus cordis tidak tampakPalpasi : ictus cordis tidak kuat angkatPerkusi: konfigurasi jantung tidak melebarAuskulasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, bising (-)13. ParuInspeksi : Pengembangan dada kanan dan kiri simetrisPalpasi : Fremitus kanan =kiriPerkusi : sonor/sonorAuskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-)14. AbdomenInspeksi : dinding perut // dinding dadaAuskultasi : bising usus normalPerkusi : timpani, pekak beralih (-)Palpasi : supel15. EkstremitasEdema --

--

Akral dingin++

++

16. Kesadaran : GCS E3 V5 M5

D. DIAGNOSISKlinis : Syok anafilaktik Etiologi : Reaksi hipersensitivitas tipe I

E. DAFTAR MASALAH1. Penurunan kesadaran2. Hipotensi

F. TUJUAN TERAPIPrinsip tata laksana kasus syok anafilaktik adalah penanganan sesegera mungkin mengingat merupakan kasus kegawatdaruratan. Penurunan kesadaran yang terjadi pada syok anafilaktik dapat disebabkan oleh tekanan darah yang turun drastis. Penanganan yang pertama kali dilakukan adalah survey primer dan melakukan basic life support yakni airway, breathing, dan circulation mengingat sering terjadi kegagalan napas dan sirkulasi pada kasus syok anafilaktik. Obat-obatan yang dapat dipakai adalah adrenalin injeksi 1 :1000 sebanyak 0,3-0,5 ml diberikan secara intramuskular atau subkutan. Pemilihan adrenalin didasarkan pada kemampuan adrenalin untuk meningkatkan tekanan darah dengan cepat guna mengatasi hipotensi yang terjadi dan efek relaksasi bronkus sehingga diharapkan dapat mengatasi kontriksi dan spasme pada bronkus yang kadang menyertai kasus syok anafilaktik.

G. PENATALAKSANAAN

A. Survey primer dan basic life support Baringkan pasien pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran baik vena dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Amankan jalan napas, bila terjadi gagal napas bisa dilakukan bantuan napas atau diberikan oksigen. Bila terjadi kegagalan sirkulasi bisa diberikan kompresi pijat jantung luar.

B. Terapi medikamentosaCITOR/ Adrenaline inj amp no. I Cum spuit cc no 3 no. I imm Pro : Tn R (47 tahun)

BAB IIIPEMBAHASAN OBAT

Pasien pada kasus setelah mendapat suntikan penicillin mengeluh mual, kemudian muntah, sesak nafas, keringat dingin, kemudian jatuh pingsan. Dari pemeriksaan sementara didapatkan: kesadaran sopor, sesak nafas, RR: 36x/menit, cepat dan dangkal, suara nafas ngorok, tekanan darah 90/60 mmHg palpasi, nadi 140x/menit.Gejala klinis yang dialami pasien terjadi karena reaksi anafilaksis yaitu perlekatan IgE sebagai reaksi antigen-antibody pada mast sel yang mengakibatkan degranulasi jaringan sehingga mediator-mediator seperti histamin, PAF, Pg, serotonin, leukotrien dan lain-lain dilepaskan. Pelepasan mediator-mediator ini mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan bronchokontriksi.Permeabilitas pembuluh darah yang meningkat mengakibatkan volume interstitial keluar ke ekstrasel sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan jaringan berkurang sehingga otak kekurangan oksigen dan terjadilah penurunan kesadaran, di skenario kesadaran pasien sopor. Bronchokontriksi akibat reaksi anfilaksis akan menimbulkan gejala sesak nafas pada pasien. Nadi takikardi adalah sebagai mekanisme kompensasi kekurangan volume interstitial. Mual dan muntah yang dialami pasien akibat hiperperistaltik usus (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa menit setelah terpajan oleh alergen tetapi adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Bentuk anafilaksis dapat unifasik seperti yang biasa ditemukan, bifasik yang gejalanya muncul 1-8 jam kemudian dan protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5-32 jam meskipun dengan pengobatan yang intensif (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

TerapiApabila diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Epinefrin 1 : 1000 yang diberikan adala 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awal kondisis penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap penyakit jantung (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1 : 1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi alergen tadi. Bila mungkin pasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007). Epinefrin mempunyai efek pada -adrenergik dan -adrenergik yang mengakibatkan vasokonstriksi, relaksasi otot polos bronkus, dan mengurangi peningkatan permeabilitas venula. Ketika epinefrin gagal dalam mengontrol reaksi anafilaksis, harus dipikirkan hipoksia karena obstruksi pernapasan atau dihubungkan dengan aritmia jantung, atau keduanya (Fauci, 2008).Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamin dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.Farmakokinetik adrenalin: Absorpsi: Pada pemberian oral, tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorpsi lambat karena vasokonstriksi lokal, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi pada penyuntikan IM. Pada pemberian lokal inhalasi, efeknya terbatas pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar. Biotransformasi dan ekskresi: stabil dalam darah. Degradasi terutama terjadi dalam hati yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini.Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi: Pemberian adrenalin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut, tremor dan palpitasi. Gejala ini mereda dengan istirahat. Pasien hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek ini. Pada pasien psikoneurotik, adrenalin memperberat gejalanya. Dosis penyuntikan IV yang cepat dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat. Untuk mengatasinya dapat diberikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrat dan natrium nitropusid; blocker juga berguna. Dapat menimbulkan aritmia ventrikel Kontraindikasi pada pasien dengan pengobatan -blocker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor 1 pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan otak.Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah difenhidramin intravena 10-20 mg secara pelan-pelan (5-10 menit).Difenhidramin merupakan obat golongan antagonist reseptor histamin 1 atau AH1. Farmakodinamik dari AH1 antara lain: AH1 menghambat histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati hipersensitivitas. Secara umum AH1 menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan bronkus, yaitu bronkokonstriksi akibat histamin. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin dapat dihambat efektif oleh AH1. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi lainnya refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamin saja yang berperan tapi autakoid lain yang dilepaskan. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi lambat.Farmakokinetik dari AH1 setelah pemberian oral ataupun parenteral AH1 akan diabsorpsi dengan baik. Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam dan menetap untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. AH1 berguna untuk pengobatan alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

BAB IVPENUTUP

SIMPULAN1. Gejala dan tanda syok anafilaktik pada pasien mencakup beberapa sistem tubuh, meliputi sistem kardiovaskuler (takikardi, hipotensi, nadi lemah), sistem respirasi (takipneu, sesak napas), sistem gastrointestinal (mual, muntah), dan SSP (penurunan kesadaran).2. Prinsip penatalaksanaan syok anafilaktik adalah dengan posisi syok, adrenalin, penilaian ABC (Airway, Breathing, Circulation), dan segera dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. 3. Drug of choice dari syok anafilaktik adalah adrenalin.4. Syok anafilaktik dapat dihindari dan diminimalkan dengan anamnesis yang lengkap terhadap riwayat alergi, uji sensitivitas, dan edukasi terhadap pasien.

SARAN1. Sebaiknya setiap tempat pelayanan kesehatan primer memiliki persediaan adrenalin sebagai pertolongan pertama terhadap syok anafilaktik.2. Pengkajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih valid mengenai kedaruratan medik pada umumnya dan syok anafilaktik pada khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Allergy, Asthma & Immunology (2012). Treatment of Anaphylaxis, Preparedness and Prevention. http://www.aaaai.org/professionals/treatment_anaphylaxis.pdf.Azis AL, Dharmawati I, Kushartono (2008). Renjatan Anafilaksis. Dalam Pedoman Diagnosa dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Buku 3. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo. Surabaya. Pp. 8-9. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia : Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.Fauci, et al (2008). Harrisons Principle of Medicine (17th ed, 2008). New York: McGraw-Hill ProfesionalGuyton AC, Hall JE (2006). Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan. Dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta. pp. 35972.Ikatan Dokter Indonesia (IDI) (2013). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi 1. Jakarta: IDI.Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Rehata, NM, Syok Anafilaktik Patofisiologi dan penanganan dalam up date on shock, pertemuan Ilmiah terpadu I FKUA Surabaya, 2000: 69-75Rengganis I (2012). Anafilaksis Karena Obat. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e674d1778222a2880e7b73db429d4387e1a6b3ab.pdf. Yani HI, Vincent HSG (2008). Farmakologi dan Terapi: Penicilin, Sephalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya. Jakarta: FKUI.

2