9
Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP KELESTARIAN LINGKUNGAN ALAM Verni Yuliaty Ismail Fakultas Ekonomi Universitas YARSI Abstract Businesses exist for one fundamental purpose – to earn profits for their own. Issue of social responsibility is becoming increasingly important as companies around the world enter an era of intense competition. A number of highly visible ecological problems and environmental disasters brought about a new spirit of environmentalism among individuals, groups, and organizations. Increasingly, managers began to confront questions about an organization’s decisions and activities and its impact on the natural environment, that is referred to as the greening of management. Keywords : Social responsibility, a new spirit of environmentalism Fenomena lain yang sangat berpengaruh adalah runtuhnya sistem ekonomi komunis di Eropa Timur sekitar tahun 1990-an. Hal ini membawa implikasi pada pesatnya arus globalisasi ekonomi kapitalis, sehingga setiap negara menjadi semakin sulit menghindar dari pengaruh eksternal pada perekonomiannya. Pasar menjadi semakin mengglobal, dan interaksi bisnis semakin luas menjangkau sampai ke pelosok. Akibatnya, aktivitas bisnis menjadi semakin berperan sebagai agen perubahan kebudayaan manusia. Bersamaan dengan itu, persoalan moralitas dalam dunia bisnis itu sendiri menjadi persoalan yang mengglobal. Di dalam kerangka perubahan kebudayaan, suatu bangsa yang tak mampu berperan dalam dunia bisnis global bisa jatuh menjadikorban arus globalisasi. PENDAHULUAN Perkembangan pesat teknologi setelah perang dunia kedua telah memacu dunia bisnis di negara-negara kapitalis menjadi semakin dinamis. Akan tetapi perkembangan ini sayangnya kurang disertai dengan pemikiran dan kesadaran moral para pelakunya, sehingga menimbulkan skandal- skandal bisnis yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, sejak tahun 1970-an, etika dalam dunia bisnis menjadi semakin sering dibicarakan dan dituntut realisasinya (Endro, 1999). Di lain pihak, bangsa yang ingin sukses berperan dalam dunia bisnis harus mampu menghadapi perubahan kebudayaan yang dapat menampung etika dalam dunia bisnis yang mengglobal tersebut. Salah satu isu yang menjadi perhatian serius dalam dunia bisnis global ini adalah masalah kelestarian lingkungan alam. Karena mau tidak mau bisnis akan berkaitan dengan penggunaan sumberdaya alam, yang mesti dipikirkan juga tentang kelanjutan keberadaan sumberdaya alam tersebut bagi generasi mendatang. Indonesia sendiri telah mengikatkan diri terhadap komitmen pembangunan berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2002, Indonesia bahkan menjadi tuan rumah persiapan peringatan 10 tahun komitmen Rio tersebut. Secara eksplisit, dua momentum penting tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memang mempunyai komitmen terhadap konsep pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development (Keraf, 2003). Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma yang memandang bahwa lingkungan dan sosial budaya tidak boleh dikorbankan hanya demi kepentingan Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776 44

Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Businesses exist for one fundamental purpose – to earn profits for their own. Issue of social responsibility is becoming increasingly important as companies around the world enter an era of intense competition. A number of highly visible ecological problems and environmental disasters brought about a new spirit of environmentalism among individuals, groups, and organizations. Increasingly, managers began to confront questions about an organization’s decisions and activities and its impact on the natural environment, that is referred to as the greening of management.

Citation preview

Page 1: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP

KELESTARIAN LINGKUNGAN ALAM

Verni Yuliaty Ismail

Fakultas Ekonomi Universitas YARSI

Abstract

Businesses exist for one fundamental purpose – to earn profits for their own. Issue of social

responsibility is becoming increasingly important as companies around the world enter an era of intense competition. A number of highly visible ecological problems and environmental disasters brought about a new spirit of environmentalism among individuals, groups, and organizations. Increasingly, managers began to confront questions about an organization’s decisions and activities and its impact on the natural environment, that is referred to as the greening of management. Keywords : Social responsibility, a new spirit of environmentalism

Fenomena lain yang sangat berpengaruh adalah runtuhnya sistem ekonomi komunis di Eropa Timur sekitar tahun 1990-an. Hal ini membawa implikasi pada pesatnya arus globalisasi ekonomi kapitalis, sehingga setiap negara menjadi semakin sulit menghindar dari pengaruh eksternal pada perekonomiannya. Pasar menjadi semakin mengglobal, dan interaksi bisnis semakin luas menjangkau sampai ke pelosok. Akibatnya, aktivitas bisnis menjadi semakin berperan sebagai agen perubahan kebudayaan manusia. Bersamaan dengan itu, persoalan moralitas dalam dunia bisnis itu sendiri menjadi persoalan yang mengglobal. Di dalam kerangka perubahan kebudayaan,

suatu bangsa yang tak mampu berperan dalam dunia bisnis global bisa jatuh menjadikorban arus globalisasi.

PENDAHULUAN Perkembangan pesat teknologi setelah perang dunia kedua telah memacu dunia bisnis di negara-negara kapitalis menjadi semakin dinamis. Akan tetapi perkembangan ini sayangnya kurang disertai dengan pemikiran dan kesadaran moral para pelakunya, sehingga menimbulkan skandal-skandal bisnis yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, sejak tahun 1970-an, etika dalam dunia bisnis menjadi semakin sering dibicarakan dan dituntut realisasinya (Endro, 1999).

Di lain pihak, bangsa yang ingin sukses berperan dalam dunia bisnis harus mampu menghadapi perubahan kebudayaan yang dapat menampung etika dalam dunia bisnis yang mengglobal tersebut. Salah satu isu yang menjadi perhatian serius dalam dunia bisnis global ini adalah masalah kelestarian lingkungan alam. Karena mau tidak mau bisnis akan berkaitan dengan penggunaan sumberdaya alam, yang mesti dipikirkan juga tentang kelanjutan keberadaan sumberdaya alam tersebut bagi generasi mendatang. Indonesia sendiri telah mengikatkan diri terhadap komitmen pembangunan berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2002, Indonesia bahkan menjadi tuan rumah persiapan peringatan 10 tahun komitmen Rio tersebut. Secara eksplisit, dua momentum penting tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memang mempunyai komitmen terhadap konsep pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development (Keraf, 2003). Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma yang memandang bahwa lingkungan dan sosial budaya tidak boleh dikorbankan hanya demi kepentingan

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

44

Page 2: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

ekonomi. Pelajaran panjang beberapa negara di dunia hingga sekarang seharusnya menyadarkan kita semua bahwa pembangunan yang hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi – dengan mengabaikan kepentingan lingkungan – telah membawa malapetaka bagi manusia dan kehidupan di muka bumi. Berbagai peraturan perundangan telah dikeluarkan oleh pihak pemerintah untuk mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Sebut saja salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Undang-undang ini menegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Sementara untuk Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya merupakan wilayah yang dilarang untuk kegiatan apapun – termasuk usaha komersial dan pertambangan (Kompas, 2003).

Dalam kenyataannya, sampai saat ini masih banyak terjadi kasus-kasus illegal logging atau kasus eksploitasi pertambangan di kawasan suaka dan pelestarian alam, yang sangat merugikan kelestarian hutan di Indonesia. Eksplorasi dan eksploitasi hutan KSA dan KPA sebenarnya sangat beresiko terhadap kelestarian lingkungan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Banjir, longsor, kemarau panjang, dan kebakaran hutan adalah bencana lingkungan yang telah sangat mengancam kehidupan masyarakat Indonesia> Bhkan bencana ini juga membawa dampak bagi lingkungan global; seperti meningkatnya pemanasan global, asap yang mengganggu negara tetangga, dan segala dampak ikutan lainnya merupakan bukti nyata dari dahsyatnya dampak kerusakan hutan di Indonesia terhadap lingkungan global. Bahkan dari sisi ekonomis, biaya eksternal dari seluruh bencana lingkungan ini sangat mahal dan memberatkan ekonomi – keungan negara, termasuk menjadi biaya eksternalitas bagi perusahaan.

PERMASALAHAN Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pelestarian lingkungan alam dalam pembangunan hanya merupakan tugas dan tanggungjawab dari pemerintah dan para aktivis yang peduli lingkungan ? Apakah memang dunia bisnis hanya berfokus pada tujuan mencari keuntungan semata ? Adakah tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan alam ? Padahal dalam kenyataannya, sebagian besar bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan lingkungan di sekitarnya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Untuk itu perusahaan perlu mengembangkan tanggungjawab sosial terhadap lingkungan alam dalam setiap aktivitas manajemennya. Karena hal ini berkaitan pula dengan eksistensi mereka di dunia bisnis.

Tulisan ini berusaha untuk menjawab permasalahan perlunya tanggungjawab sosial perusahaan terhadap lingkungan alam dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya. Pertama, akan dibahas tentang bagaimana pengelolaan bisnis dan keterkaitannya dengan lingkungan alam dan sosial yang ada di sekitarnya. Dari sudut pandang ini akan terlihat bahwa organisasi bisnis mempunyai tanggungjawab sosial terhadap lingkungan alam jika ingin perusahaannya tetap eksis.

PEMBAHASAN Perbedaan Pandangan tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Bisnis merupakan aktivitas yang

cakupannya amat luas, meliputi aktivitas eksploitasi barang tambang atau pertanian dari bumi, memproses bahan dasar hingga berguna, membuat berbagai barang jadi, mendistribusikan barang, menyediakan jasa, menjual dan membeli barang dagangan ataupun aktivitas yang berkaitan dengan suatu pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Walaupun cakupannya luas, namun tujuan hakikinya adalah pertukaran barang dan jasa, dan pertukaran ini dipermudah oleh medium penukar, yaitu

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

45

Page 3: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

uang. Jadi, kriteria umum aktivitas dalam dunia bisnis adalah penyediaan barang dan jasa demi suatu pembayaran dengan uang – baik secara tunai maupun kredit (Griffin dan Ebert, 2002). Bisnis yang sederhana dapat dilakukan oleh individu, namun semakin manusia menyadari keterbatasan dirinya serta dahsyatnya manfaat kerja sama antar manusia, maka semakin banyak bisnis yang hanya mungkin bisa dilaksanakan oleh suatu usaha bersama individu-individu yang terkoordinasi dalam suatu organisasi. Dengan demikian, lalu muncul pengertian manajemen, yaitu bagaimana mengelola organisasi tersebut agar mencapai tujuannya. Dalam hal ini, lingkup kegiatan manajemen adalah merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan (memimpin), dan mengontrol aktivitas anggota-anggota organisasi – dengan menggunakan semua sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh organisasi untuk mencapai tujuannya. Melalui manajemen yang efektif, organisasi bisnis menjadi kohesifm, akibatnya pengertian bisnis lantas bergeser dari “aktivitas” menjadi “entitas”. Bentuk “entitas” yang umumnya disebut perusahaan itu bisa berupa perusahaan perseorangan, persekutuan, koperasi, atau perseroan terbatas. Disinilah bermula perdebatan tentang persoalan tanggung jawab sosial bisnis (perusahaan) dan persoalan-persoalan etika pada umumnya (Robbins dan Coulter, 2002). Tanggung jawab sosial merujuk pada cara bisnis berusaha untuk menyeimbangkan komitmen mereka pada kelompok-kelompok dan individu-individu di lingkungan mereka. Kelompok dan individu ini sering disebut sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi atau “organizational stakeholders”; termasuk konsumen, bisnis-bisnis lain, pegawai, dan investor. Kelompok, individu, dan organisasi tersebut yang secara langsung dipengaruhi oleh praktek-praktek organisasi dan, lebih jauh memiliki kepentingan pada kinerja organisasai tersebut.

Secara umum, pandangan tentang tanggung jawab sosial bisnis difokuskan pada dua pandangan ekstrim. Pada satu sisi, terdapat pandangan ekonomi klasik atau

murni yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial hanyalah untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Pada sisi lain berdiri posisi sosial ekonomi, yang berprinsip bahwa tanggung jawab berjalan dengan baik disamping dengan mencapai tingkat keuntungan, juga termasuk melindungi dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat (Robbins dan Coulter, 2002). Pandangan Klasik Agumentasi dari pandangan ini menyatakan bahwa tanggung jawab utama manajer adalah menjalankan bisnis untuk kepentingan terbaik dari pemegang saham (pemilik perusahaan yang sebenarnya). Pemegang saham memiliki satu perhatian, yang menjadi kepentingannya pada perusahaan, yaitu pengembalian finansial. Pada saat manajer membuat keputusan sendiri untuk mengeluarkan sumberdaya perusahaan untuk “kepentingan sosial”, mereka menambahkannya dalam biaya operasional perusahaan. Biaya-biaya ini akan ditanggung konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi atau ditanggung oleh pemegang saham berupa penegembalian keuntungan sebagai deviden yang jumlahnya lebih kecil. Pada pandangan ini tidak dikatakan bahwa perusahaan seharusnya tidak mempunyai tanggung jawab secara sosial. Tetapi bentuk luas dari tanggungjawab tersebut adalah memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham. Pandangan Sosial Ekonomi Pandangan Sosial Ekonomi didasarkan pada keyakinan bahwa harapan masyarakat terhadap bisnis telah berubah. Perusahaan bukanlah entitas berdiri sendiri/bebas yang hanya bertanggung jawab pada pemegang saham. Mereka juga bertanggung jawab pada masyarakat yang lebih luas yang mengesahkan kreasi-kreasi mereka melalui berbagai hukum dan peraturan dan mendukung mereka dengan membeli produk dan jasa mereka. Tambahan lagi, pendukung pandangan sosial ekonomi yakin bahwa organisasi bisnis tidak hanya sekedar institusi ekonomi. Masyarakat menerima bahkan mendorong bisnis untuk menjadi terlibat dalam isu-isu sosial, politik, dan hukum.

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

46

Page 4: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

Semakin banyak dan semakin banyak lagi organisasi di seluruh dunia yang mengambil tanggung jawab sosial mereka dengan serius. Kenyataannya, survei tentang pemilik bisnis melaporkan bahwa 68 persen akan melanjutkan praktek-praktek tanggung jawab mereka secara sosial bahkan walaupun mereka menemukan bahwa kativitas-aktivitas tersebut memotong keuntungan mereka. Perkembangan situasi bisnis pada masa globalisasi, yaitu memasuki abad XXI menuntut perusahaan untuk mampu bersaing di pasar global; dengan lebih menekankan pada kinerja yang bagus, menjunjung transparansi, mentaati etika bisnis, dan menjalankan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility). Inti dari pencitraan yang baik pada perusahaan meliputi kepekaan sosial, keramahan lingkungan, kepiawaian teknologi, dan kecermatan ekonomi (Budianta, 2003).

Bisnis dan Lingkungannya Keberadaan suatu bisnis terwujud dalam keterkaitan dengan lingkungan masyarakatnya, sehingga terputusnya hubungan perusahaan dengan lingkungan - terutama pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan perusahaan - jelas akan membahayakan keberadaannya. Sebaliknya, sikap dan tindakan yang baik dari lingkungan akan menjamin keberadaan dan vitalitas hidup perusahaan. Lingkungan masyarakat

berupa individu atau institusi yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan, praktek-praktek atau tujuan perusahaan itu secara institusional disebut pihak-pihak yang berkepentingan atau stakeholders (Endro, 1999).

Beberapa perusahaan yang terdorong untuk bertanggung jawab kepada “stakeholder” atau pihak yang berkepentingan pada mereka, berkonsentrasi pertama dan yang paling penting pada lima kelompok utama : pelanggan, pegawai, investor, supplier, dan masyarakat lokal dimana mereka melakukan bisnis. Mereka dapat memilih pihak berkepentingan lainnya yang secara tertentu relevan atau penting bagi organisasi dan berusaha untuk menunjukkan kebutuhan dan harapan mereka sebaik mungkin (Griffin dan Ebert (2002). Model tanggung jawab “Pihak yang Berkepentingan” dapat dilihat pada gambar di bawah ini dan masing-masing akan dijelaskan lebih lanjut. o Pelanggan : Bisnis yang bertanggung jawab

pada konsumen, mereka terdorong untuk memperlakukan konsumen secara adil dan jujur. Mereka juga menawarkan harga yang pantas, menghargai garansi, komitmen untuk memenuhi kebutuhan, dan bertahan dengan kualitas produk yang mereka jual.

Gambar 1. Model Tanggung Jawab “Stakeholder”

Pegawai Investor

PERUSAHAAN

Suplair Masyarakat Lokal

Pelanggan

Sumber : Griffin, R.W. & Ebert, R.J. dalam Businesses – Sixth Edition (2002)

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

47

Page 5: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

o Pegawai : Bisnis yang bertanggung jawab

secara sosial dalam menghadapi pegawai, memperlakukan pegawai secara adil, membuat mereka sebagai bagian dari tim, dan menghormati kemuliaan dan kebutuhan dasar manusia mereka. Disamping itu, beberapa perusahaan juga melakukan perluasan yang bagus untuk menemukan, memperkerjakan, dan mempromosikan masayarakat minoritas yang berkualitas.

o Investor : Untuk mempertahankan tanggung jawab posisi sosial terhadap investor, manajer harus mengikuti prosedur akuntansi yang tepat, menghasilkan informasi yang sesuai untuk para pemegang saham tentang kinerja keuangan, dan mengelola organisasi untuk melindungi hak-hak pemegang saham dan investasi. Mereka harus akurat dan terus terang dalam menilai pertumbuhan dan tingkat keuntungan dan menghindari penampilan yang tidak tepat pada area-area yang sensitif, seperti “insider trading”, manipulasi harga saham, dan menahan data finansial.

o Suplier : Hubungan dengan supplier atau pemasok harus dikelola dengan baik. Beberapa perusahaan sekarang mengenali pentingnya pengaturan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pemasok. Jadi mereka tetap menginformasikan tentang rencana ke depan, jadwal pengiriman dan harga yang disepakati kedua perusahaan.

o Masyarakat Lokal : Akhirnya, sebagian besar bisnis berusaha untuk bertanggung jawab secara sosial pada masyarakat lokal mereka. Mereka dapat memberi kontribusi pada program lokal, dan berusaha untuk menjadi warga perusahaan yang baik dengan meminimalkan dampak negatif mereka pada masyarakat. Saat ini, sukses atau gagalnya

perusahaan didasarkan pada hubungan, komunikasi, atau relasinya dengan para “stake holders”. Kemampuan dan kemauan melakukan hubungan baik inilah, yang dipahami sebagai perilaku perusahaan atau “corporate behaviour”. Perusahaan ditantang untuk memahami kontelasi masyarakat dan dipahami oleh

lingkungan di sekitarnya. Perusahaan tidak hanya menyesuaikan diri dengan perubahan, tapi juga mengkomunikasikan perubahan. Perusahaan ikut menumbuhkembangkan budaya industri pada masyarakat sekitar. Perusahaan menjadi agen perubahan yang dipahami dan didukung oleh masyarakat, para pihak yang berkepentingan dalam perusahaan (stake holders). Inilah tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat “beyond company” (Budianta, 2003).

Urusan ”beyond company” ini biasanya juga “beyond compliance”, lebih dari sekedar taat pada peraturan. Pada tahap-tahap awal, diperlukan jiwa yang terbuka, bebas dari wasangka , meskipun harus tetap waspada. Perusahaan sadar bahwa modal utamanya bukan hanya mesin yang canggih, uang berlimpah, atau merk dagang yang terkenal, tapi juga hubungan baik dengan lingkungan baik alam maupun manusia. Perusahaan tidak lagi bertumpu pada informasi yang dirahasiakan, tapi juga pada pengetahuan yang dibagi. Perusahaan perlu membagikan ilmunya pada khalayak, agar ikut menjadi lebih produktif, inovatif, dan apresiatif pada perilaku industri.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Lingkungan Alam : “Greening of Management”

Pada saat mendefinisikan rasa tanggung jawab sosialnya, perusahaan secara khusus berhadapan dengan empat wilayah yang menjadi kepeduliannya : tanggung jawab terhadap lingkungan alam, pelanggannya, pegawainya, dan investornya (Griffin dan Ebert, 2002). Tanggung jawab terhadap pelanggan, pegawai, dan investor secara ringkas telah disinggung pada pembahasan tentang lingkungan perusahaan. Pada kesempatan ini, sesuai tujuan pembuatan makalah akan dibahas mengenai tanggung jawab bisnis terhadap lingkungan alam. Sejumlah masalah ekologi yang sangat jelas dan bencana lingkungan, yang

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

24

Page 6: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

lebih besar dari polusi-polusi yang telah disebutkan sebelumnya, seperti tumpahan minyak, keracunan merkuri di Jepang, dan kecelakan pabrik tenaga nuklir di Mile Island dan Chernobyl menumbuhkan semangat baru tentang “environmentalisme” diantara individu, kelompok, dan organisasi. Secara meningkat, para manajer mulai berhadapan dengan pertanyaan tentang dampak organisasi pada lingkungan alam. Perhatian terhadap hubungan dekat antara keputusan-keputusan dan aktivitas-aktivitas organisasi dan dampaknya pada lingkungan alam disebut dengan “greening of management” atau penghijauan manajemen (Robbins dan Coulter, 2002).

Satu isu “hijau” yang manajer harus hadapi begitu mereka menjadi lebih terlibat dalam melindungi lingkungan alam adalah perhatian pada kunci masalah-masalah lingkungan global dan bagaimana masalah-masalah ini berubah. Beberapa yang lebih serius adalah melibatkan habisnya sumberdaya alam, pemanasan global, polusi (udara, air, dan tanah), kecelakaan industri, dan limbah beracun. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Sebagian besar kesalahan ditempatkan pada aktivitas industri di negara-negara berkembang (secara ekonomi berlebihan) selama lebih dari setengan abad terakhir. Beberapa laporan telah memperlihatkan bahwa masyarakat secara berlebihan mengkonsumsi 75% energi dan sumberdaya dunia dan menghasilkan sebagian besar limbah industri, beracun, dan konsumen. Gambaran sama yang mengganggu adalah bahwa populasi dunia terus tumbuh dan begitu negara menjadi lebih berorientasi pasar dan berlebihan, masalah lingkungan global menjadai lebih memburuk. Bagaimanapun, organisasi-organisasi di seluruh dunia – besar dan kecil – telah memenuhi tanggung jawab mereka untuk menghargai dan melindungi lingkungan alam. Peran apa yang dapat organisasi mainkan dalam menyelesaikan masalah-masalah lingkungan global ? Atau dengan kata lain, bagaiamana mereka dapat “menjadi hijau?” Ada banyak hal yang dapat dilakukan manajer dan organisasi untuk melindungi dan memelihara lingkungan alam. Beberapa organisasi melakukan tidak lebih dari apa yang dibutuhkan oleh hukum (yaitu mereka

memenuhi kewajiban sosial); yang lain membuat perubahan radikal dalam cara mereka melakukan bisnis. Produk dan dan proses produksi menjadi lebih bersih. Contohnya, Perusahaan 3M telah menjadi pemimpin pada usaha pengurangan limbah dengan program 3 Ps-nya (Pollution Prevention Pays). Dupont, Xerox dan IBM telah memfokuskan program lingkungan mereka pada pencegahan polusi , tidak hanya pada pembersihannya. Contoh yang baik di dalam negeri adalah apa yang dilakukan oleh PT Aqua Golden Mississippi, yang bekerjasama dengan Dana Mitra Lingkungan, untuk melakukan pengumpulan dan daur ulang bekas botol plastik air minum kemasan dengan Program PEDULInya (Pengembangan Daur Ulang Limbah). Satu pendekatan peran organisasi pada tanggung jawab terhadap lingkungan adalah menggunakan istilah “shades of green” untuk menjelaskan pendekatan berbeda tentang aktivitas yang dapat dilakukan organisasi terhadap lingkungan alam (Freeman dkk, 1995). Pendekatan ini didasarkan pada tingkat sensitivitas organisasi terhadap lingkungan dan terdiri dari empat pendekatan, yaitu :

Pendekatan Hukum (Legal Approach) : pada pendekatan ini, organisasi menunjukkan sensitivitas lingkungan yang kecil. Mereka mematuhi hukum, undang-undang, dan peraturan dengan sukarela dan tidak menentang hukum, dan mereka bahkan dapat menggunakan hukum untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi itulah jangkauan mereka untuk menjadi “hijau”. Contohnya : produk tahan lama dan penyulingan minyak mengambil pendekatan hukum dan mematuhi hukum dan peraturan lingkungan yang relevan. Pendekatan Pasar (Marker Approach) :

begitu organisasi menjadi lebih sadar dan sensitif pada isu-isu lingkungan, mereka dapat mengadopsi pendekatan pasar. Pada pendekatan ini, organisasi merespon preferensi lingkungan dari pelanggannya. Apapun yang pelanggan minta dalam kaitannya dengan produk yang ramah

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

49

Page 7: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

lingkungan akan menjadi apa yang organisasi penuhi. Contoh : Perusahaan DuPont mengembangkan tipe herbisida baru yang membantu petani di seluruh dunia mengurangi penggunaan rutin zat-zat kimia. Dengan mengembangkan produk ini, DuPont merespon permintaan pelanggan (petani) yang ingin meminimalkan penggunaan zat-zat kimia pada tanaman pertanian mereka.

Pendekatan “Stakeholder” (Stakeholder Approach) : pada pendekatan ini organisasi memilih untuk merespon kebutuhan yang beragam yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi (stakeholder). Pada pendekatan “stakeholder” , organisasi yang hijau akan bekerja untuk memenuhi permintaan-permintaan dari kelompok seperti pegawai, pemasok, atau masyarakat. Contohnya : Perusahaan Komputer Compaq mengembangkan program perusahaan untuk meminimalkan emisi yang merusak ,

untuk mendaur ulang dan untuk mengurangi baik limbah dan konsumsi energi dalam rangka merespon permintaan berbagai pihak yang berkepentingan.

Pendekatan Aktivis (Activist Approach) : disebut juga pendekatan “hijau tua”, yaitu organisasi yang menjadikan pendekatan ini untuk mencari jalan dalam menghargai dan memelihara bumi dan sumberdaya alamnya. Pendekatan aktivis menggambarkan tingkat tertinggi dari sensitivitas terhadap lingkungan dan ini merupakan ilustrasi yang bagus tentang tanggung jawab sosial. Contoh : Ecover, perusahaan Belgia yang memproduksi produk-produk pembersih dari sabun alamiah dan bahan-bahan mentah yang “renewable”, menjalankan pabrik dengan emisi yang mendekati nol.

Gambar 2. Model Pendekatan untuk Menjadi “Hijau”

Rendah Sensitivitas Lingkungan Tinggi

Pendekatan Hukum

(Hjau Muda)

Pendekatan Pasar

Pendekatan. “Stakeholder”

Pendekatan Aktivita

(Hijau Tua)

Sumber : R. E. Freeman, J. Pierce, and R. Dodd. Shades of Green : Business Ethics and the

Environment (New York : Oxford University Press, 1995).

Berdasarkan pendekatan “shades of green” ini, ditunjukkan bagaimana perbedaan tingkat tanggung jawab organisasi bisnis terhadap lingkungan. Jadi, bentuk kegiatan atau pengelolaan bisnis yang dilakukan oleh organisasi bisnis juga beragam. Mulai dari organisasi yang hanya sekedar menghindari pelanggaran hukum yang berlaku, atau untuk memenuhi keinginan pelanggan agar tingkat penjualan mereka tinggi, sampai organisasi yang sadar dan memang mempunyai rasa

tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungan alamnya. Berdasarkan model tersebut, tingkat warna “hijau” organisasi berbeda, mulai dari hijau muda untuk pendekatan hukum, sampai hijau tua untuk organisasi yang sadar lingkungan untuk pendekatan aktivis. Apapun motivasi yang dilakukan oleh organisasi bisnis dalam menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan alam, pada dasarnya mereka menunjukkan bahwa

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

50

Page 8: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

mereka mempunyai keterkaitan dengan lingkungan mereka, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dengan bisnis mereka, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Mereka harus mematuhi hukum, yang dikeluarkan pemerintah kalau tidak ingin izin usahanya dicabut. Mereka harus memenuhi permintaan pasar, kalau tidak ingin pelanggan mereka lari pada perusahaan lain. Mereka harus memenuhi keingianan masyarakat dimana lokasi usaha berada, kalau ingin perusahaan mereka tetap bertahan. Bahkan mereka juga harus sadar secara moral bahwa mereka juga mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara lingkungan alam itu sendiri, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap eksistensi generasi manusia di masa yang akan datang. Kualitas keberadaan perusahaan ini bergantung pada keterkaitannya dengan lingkungan. Kalau lingkungan masyarakat mempunyai harapan dan tuntutan etis yang makin besar kepada perusahaan, sementara perusahaan mau menghindar dengan dalih amoralitas bisnis dan berperilaku menolak tuntutan tersebut, maka keberadaan perusahaan bisa terancam. Melihat kondisi ini peranan pemerintah, masyarakat (sebagai konsumen dan sebagai aktivis lingkungan), pemilik (investor), atau industri lain (pemasok) memegang peranan penting untuk menumbuhkan tanggung jawab sosial organisasi bisnis terhadap lingkungan alam. Bahwa kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan merupakan tanggung jawab kita semua sebagai umat manusia yang mendiami bumi. Permasalahan tentang kasus konsesi tambang di hutan lindung antara pemerintah dan perusahaan-perusahaan pertambangan, yang telah disampaikan pada pendahuluan, tidak perlu terjadi dengan berlarut-larut apabila semua pihak sadar akan tanggung jawab mereka terhadap kelestarian sumber daya alam. Kalaupun kesadaran pelaku bisnis masih rendah dalam hal ini, maka peran “stake holder” seperti pemerintah,

masyarakat (LSM) lokal dan dunia harus ditingkatkan perannya dalam menumbuhkan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan tersebut. Mengapa ? Karena sekali lingkungan alam ini rusak, maka dampaknya bagi kehidupan manusia dan generasi yang akan datang sangat merugikan eksistensi mereka di muka bumi. Sementara itu dari sisi organisasi bisnis, tanggung jawab sosial organisasi bisnis sebagai keutamaan dalam mengelola bisnisnya, mutlak diperlukan untuk eksistensi orgnisasi bisnis itu sendiri . Keutamaan pelaku bisnis hanya akan tumbuh berkembang dan teraktualisasi bilamana ada ruang yang disediakan oleh keutamaan sosial (keadilan : keutamaan individu yang berdimensi sosial). Sebaliknya keutamaan sosial hanya akan bermakna kalau ada tindakan-tindakan kongkret pelaku bisnis dalam kerangka keutamaan sosial tersebut (Endro, 1999).

Masalahnya, tidak setiap pelaku bisnis memiliki keutamaan dan tidak semua komunitas memiliki keutamaan sosial. Ada dua cara untuk mengatasi masalah ini :

1. Upaya jangka panjang melalui pendidikan moral dan atau pembinaan keutamaan

2. Upaya jangka pendek dengan mengandalkan integritas para pelaku bisnis yang memiliki keutamaan untuk menyusun struktur dan peraturan yang berkeutamaan.

Kedua cara tersebut tidak bisa lepas dari konsep konkret suatu perubahan sebagai aktualisasi potensi sebagai potensi, artinya perubahan mesti gradual dengan mengubah potensi menjadi realita bersamaan dengan memupuk potensi yang mau diaktualisasikan menjadi realita.

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

51

Page 9: Tanggung Jawab Sosial Korporasi

Dikta Ekonomi Jurnal Ekonomi dan Bisnis

Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan

1. Persoalan moralitas dalam dunia bisnis sudah menjadi persoalan yang mengglobal, sejalan dengan derasnya arus globalisasi ekonomi di dunia. Sejumlah masalah ekologi dan bencana alam yang muncul, telah membawa ‘semangat peduli lingkungan’ pada organisasi bisnis.

2. Sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kelestarian lingkungan, para manajer mulai berhadapan dengan pengambilan keputusan dan pelaksanaan aktivitas organisasi yang memperhatikan dampaknya pada lingkungan alam.

3. Tanggungjawab sosial perusahaan terhadap lingkungan merupakan wujud dari keterkaitan perusahaan dengan para ‘stakeholder’nya

Daftar Pustaka Budianta, E., 2003. Humanisme Bisnis. Jakarta :

Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.

Endro, G. 1999. Redefinisi Bisnis : Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles. Jakarta : PT Pustaka Binaman Pressindo.

Freeman, R.E. et al. 1995. Shades of Green :

Business Ethics and the Environment. New York : Oxford University Press.

Griffin, R.W. and R. J. Ebert. Business – 6th ed.

New Jersey : Prentice – Hall International, Inc.

Keraf, A. S. “Kontroversi Pembangunan di

Hutan Lindung”. Jakarta : Kompas 13 Juli 2003 – Halaman 31.

Kompas. “Di Tengah Kepentingan Ekologi, Duit,

dan Perut Rakyat.” Minggu, 13 Juli 2003, Halaman 28.

Robbin, S.P. and M. Coulter. Management – 7th

ed. New Jersey : Prentice - Hall International, Inc.

Volume 2 Nomor 3, Desember 05/ Dzulqa’idah 1426 H ISSN 1411 - 0776

52