Upload
others
View
53
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
M. Subhi-Ibrahim
TASAWUF Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
YPI Al-Mumtaaz
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
ii
TASAWUF PENGANTAR MEMAHAMI DIMENSI BATIN ISLAM
© M. Subhi-Ibrahim
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau keseluruhan isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa seizin tertulis dari penulis
Cetakan pertama Januari 2020
Diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Islam
Al-Mumtaaz Link. Pulorida RT 04 RW 01
Kelurahan Lebak Gede Kecamatan Pulo Merak Kota Cilegon Provinsi Banten
M. Subhi-Ibrahim
iii
“WAHAI TUHANKU, TUNJUKANLAH SEGALA SESUATU
SEBAGAIMANA ADANYA”
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
iv
PENGANTAR
Alhamdulillah. Puja dan Puji Ilahi, syukur tak bertepi. Shalawat dan salam untuk logos agung, Rasulullah Muhammad dan keluarganya yang suci. Awalnya, buku Tasawuf: Dimensi Batin Islam adalah artikel yang saya siapkan, presentasikan dalam kursus Ilmu-Ilmu Islam yang diselenggarakan oleh Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) Paramadina. Materi ini pun merupakan bahan ajar pada mata kuliah Tasawuf di Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina. Dalam sekujur teks buku ini, saya menjelaskan tasawuf dengan banyak mengutip tulisan-tulisan dari para Perennialis. Harapan saya, tasawuf bisa ditampilkan dengan wajah “kedalamannya.” Secara sederhana, Islam punya dua dimensi: lahir dan batin. Dimensi lahir diwakili syariah, dimensi batin direpresentasikan oleh thariqah, jalan spiritual, yang disebut juga tasawuf. Tasawuf itu seperti jantung. Tak terlihat, namun dialah bekerja, memompa darah yang memungkinan manusia hidup secara biologis. “Tasawuf adalah jantung Islam,”tulis Seyyed Hossein Nasr. Pengabaian atas dimensi batin akan mengakibat ketidakseimbangan dalam menghayati Yang Ilahi dalam hidup beragama. Karena itulah, kita temukan, sebagian orang beragama tetap merasakan ketakbermaknaan, tak bahagia meski telah menjalankan syariah. Terimakasih untuk semua pihak yang mendukung penulisan, penerbitan buku ini. Persembahan untuk keluarga kecil, Ummah Rosani, Aa Haydar dan Dede Syahzanan. Akhir al-
M. Subhi-Ibrahim
v
kalam, semoga bermanfaat bagi pembaca, serta menjadi jariyah kebaikan bagi saya yang penuh alpa ini.
Cilegon, Januari 2020
M. Subhi-Ibrahim
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
vi
DAFTAR ISI PENGANTAR .......................................................................... iv DAFTAR ISI .............................................................................. vi
I. PENDAHULUAN Manusia Modern dan Dimensi Batin Islam ……………. 2 II. APAKAH TASAWUF ITU ?
Tasawuf, Mistisisme Islam dan Irfan ............................... 5 Para Pemakai Baju Wol ...................................................... 6 Tasawuf di Mata Sufi .......................................................... 8 Tasawuf dalam Islam…………………………………….. 10 Asal-Usul Tasawuf……………………………………….. 13 Relasi Tasawuf dan Syariah……………………………... 16 Persoalan Mustaswif, Pura-Pura “nyufi”……………… 18
II. DOKTRIN TASAWUF Doktrin sebagai Theoria ....................................................... 21 Urgensi Doktrin dalam Tasawuf ....................................... 23 Syahadatain: Sumber Doktrin ............................................. 24 Wahdah al-Wujud .................................................................. 32 Insan Kamil (Manusia Sempurna)………………………. 34
III. JALAN SPIRITUAL Ma’rifah, Mahabbah dan Makhafah …………………........... 39 IV. KEBAJIKAN SPIRITUAL
Kebajikan Spiritual ………………………………………. 43 Kerendahan hati ………………………………………….. 43 Kemurahan Hati ................................................................. 44
M. Subhi-Ibrahim
vii
Kejujuran ………………………………………………….. 45 V. DZIKR Doa sebagi Ritus Utama ……………………………… 47 Doa sebagai Subtansi …………………………………… 47 Doa dari Hati …………………………………………….. 48 VI. PENUTUP ……………………………………………….. 51 DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 54 TENTANG PENULIS .............................................................. 56
PENDAHULUAN
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
2
Manusia Modern dan Dimensi Batin Islam
“Manusia Modern membakar tangannya dengan api yang
dinyalakannya sendiri karena ia lupa siapakah ia
sesungguhnya,”demikian deskripsi Nasr tentang nestapa
manusia modern.1 Manusia modern mengalami krisis:
ketakseimbangan psikologis dan lingkungan hidup.
Penyebabnya penyakit amnesia, lupa jati diri karena
hidup di pinggir lingkaran eksistensi sebagai akibat
proses desakralisasi pengetahuan dan kosmos. Efeknya,
manusia modern kehilangan perspektif sakralitas dan
horizon spiritual, yang mengkristal dalam misosophia,
membenci kebijaksanaan.
Agama bisa berkontribusi mengatasi krisis manusia
modern dengan menghadirkan dimensi esotetik, batin
agama sebagai jalan mengenal jati diri, mengembalikan
“Yang Sakral” dalam keseharian, sekaligus merevitalisasi
perspektif integral holistik dalam memandang kosmos
raya dan relasinya dengan manusia. Dimensi batin
Islam disebut thariqah, atau tasawuf.
1 Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, (Chicago: ABC International Group Inc., 2001), 4.
M. Subhi-Ibrahim
3
Buku ini bertujuan mengungkap kembali apa itu
tasawuf, ajaran-ajaran dan praktek spiritual utamanya.
Sekujur pembahasan tentang sketsa tasawuf ini merujuk
pada karya-karya para perenialis: Frithjof Schuon, Titus
Burkchardt, Martin Lings, William C. Chittick, terutama
Seyyed Hossein Nasr. Inilah titik beda buku ini dengan
sejumlah tulisan-tulisan lain tentang tasawuf.
Pembahasan meliputi 3 pokok kajian: (1) Apa itu tasawuf
? (tasawuf, mistisisme, dan irfan; para pemakai baju wol,
tasawuf di mata para sufi, tasawuf dalam Islam,
beberapa persoalan yang mencakup kontroversi asal-
usul tasawuf, relasi tasawuf dengan syariah, dan
fenomena mustaswif); (2) Fondasi Tasawuf (doktrin
wahdah al-wujud dan insan kamil; jalan spiritual yang
menjelaskan tentang ma’rifah, mahabbah, dan
makhafah; kebajikan-kebajikan spiritual: kerendahan
hati, kemurahan hati, dan kejujuran); (3) Dzikr sebagai
ritus utama.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
4
APAKAH TASAWUF ITU?
M. Subhi-Ibrahim
5
Tasawuf, Mistisisme Islam dan Irfan
Minimal, ada tiga istilah dimensi batin Islam: tasawuf
atau sufisme, mistisisme Islam, dan Irfan. Tasawuf
adalah partisipasi-aktif dalam jalan spiritual dan bersifat
intelektual (dalam arti sebenarnya); integrasi kehidupan
aktif dengan kontemplatif (aktivitas tertinggi). Tasawuf
berpijak pada al-Quran dan Sunnah Nabi demi raih
pengetahuan iluminatif (al-irfan).
Selanjutnya, mistisisme Islam. Istilah ini dipakai oleh
Annemarie Schimmel. Dalam bahasa Eropa kontemporer,
istilah mistisisme bernuansa pasif dan anti intelektual
karena pengalaman pertentangan berabad-abad
penganut Kristen dengan rasionalisme. Meskipun
demikian, sebetulnya, istilah mistisisme, dalam arti
generiknya, ialah yang berhubungan dengan “misteri
agung”, dan mengakui para mistikus, seperti St.
Agustinus, Eckhart, Gregorius dari Palamas. Karena itu,
bila tasawuf diistilahkan dengan mistisisme Islam, maka
itu dalam arti generiknya, sebenarnya, bukan dalam arti
modern. Sedangkan istilah terakhir , irfan, berarti aspek
doktrin dari tasawuf.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
6
Para Pemakai Baju Wol
Kata tasawuf untuk kali pertama diperkenalkan oleh Abu
Hasyim al-Kufi (w. 150 H), seorang asketik (zahid). Mir
Valiudin melacak ragam akar etimologis istilah sufi atau
tasawuf dan memberi catatan kritis atasnya. 2
(1) Safa (kesucian). Bishr ibn al-Harits berkata,”sufi adalah orang yang hatinya tulus (safa) kepada Allah” Namun, menurut Valiudin, bila istilah sufi berasal dari safa, maka bentuk yang tepat seharusnya safawi, bukan sufi.
(2) Saff (baris pertama shalat). “Karena mereka berada di baris pertama (saff) di depan Allah...” Lagi-lagi, Valiudin memberi catatan. Jika istilah sufi berasal dari saff, maka seharusnya saffi, bukan sufi.
(3) Suffa (bangku). Istilah suffa merujuk pada sahabat Nabi yang tinggal di emperan Masjid yang disebut ahl al-suffa. Mereka yang meninggalkan dunia, terpisah dari rumah, meninggalkan teman-teman mereka. Namun, bagi Valiudin, bila istilah sufi berasal dari kata suffah, maka seharusnya suffi, bukan sufi.
(4) Suf (wol). Mengapa ? Karena kebiasaan mereka memakai pakaian yang terbuat dari kain wol kasar. Nah, seperti Ibn Khaldun, Valiudin berpandangan bahwa, secara etimologis, kata inilah yang tepat. Tasawwafa, “dia memakai baju dari wol”, seperti taqammasa, “dia memakai kemeja”.
2 Mir Valiudin, Tasawuf dalam al-Quran, Terj. Tim Penerjemah Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 1-2
M. Subhi-Ibrahim
7
Ada satu istilah lagi yang kerap dikaitkan dengan akar
istilah tasawuf, yakni kata sophos (arif), dari bahasa
Yunani. Namun, menurut Annemarie Schimmel, secara
filologis tak bisa diterima. Menurut Schimmel, yang
umum diterima adalah bahwa, kata sufi berasal dari
kata suf (wool).3 William C. Chittick mempertegas
pendapat Nasr, Schimmel, Valiudin dan Ibn Khaldun.
Menurutnya, para sarjana modern menyimpulkan bahwa
makna asal yang paling mungkin dari kata itu adalah
“orang yang mengenakan wol”. Secara historis, sejak
abad ke-8 M/2 H, para asketis memang memakai
pakaian kasar yang terbuat dari wol.4
3 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 15. 4 William C. Chittick, Sufism: Beginners Guides, (Oxford: Oneworld Publications), 22.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
8
Tasawuf di Mata Sufi5
Schimmel mengumpulkan berbagai pendapat para sufi
tentang tasawuf sebagai berikut. “Tasawuf tak tercapai
dengan banyak doa dan puasa, tapi merupakan
keamanan hati dan kedermawanan jiwa,” kata Junaid.
Abu Nasr al-Sarraj menulis bahwa,”tasawuf berarti tak
memiliki apa pun dan tak dimiliki apa pun.” Al-Sarraj
melanjutkan bahwa,”tasawuf adalah kebebasan dan
kedermawanan dan tiadanya paksaan diri.” Ruway
menasihati Ibn Khafif,”tasawuf berarti mengorbankan
jiwa—tetapi jangan merepotkan dirimu dengan celoteh
kecil para sufi.” Maulana Abd al-Rahman al-Jami’
berpendapat bahwa, sufi berpendirian “setia pada janji
dan bersikap tak lelah mencari dan tak kecewa karena
kehilangan”. Dzun al-Misri mengemukakan bahwa,
“kaum sufi adalah orang-orang yang lebih suka kepada
Tuhan daripada apa pun dan Tuhan lebih suka kepada
mereka daripada apa pun”. Sahl al-Tustari membuat
definisi sufi sebagai,”orang yang darahnya sah dan
kekayaannya diperkenankan (yakni orang yang boleh
dibunuh dan kekayaannya secara sah bisa dibagikan
kepada orang-orang saleh), dan apa pun yang dilihatnya,
5 Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, 15-20.
M. Subhi-Ibrahim
9
dilihatnya dari Tuhan, dan diketahuinya bahwa kasih
sayang Tuhan merangkum semua ciptaannya”.
Ragam pengertian tasawuf lahir dari penekanan yang
berbeda-beda dari para sufi. Contoh lain, misalnya
Junaid dan Nuri yang menekankan pada akhlak. Bagi
Junaid dan Nuri,”Tasawuf tak tersusun dari praktek dan
ilmu tetapi merupakan akhlak,” dan “siapa pun yang
melebihimu dalam nilai akhlak, berarti melebihimu
dalam tasawuf”. Para sufi lain, seperti al-Hujwiri,
Khaqqani dan Rumi lebih menekankan pemurnian jiwa.
“Ia yang dimurnikan cinta menjadi murni (safi), dan ia
yang memurnikan Kekasih menjadi sufi,” tulis al-Hujwiri.
“Aku murni karena aku menjadi abdi kemurnian sufi,”
kata Khaqqani. “Apa itu tasawuf,”tanya seseorang pada
Jalal al-Din Rumi. Rumi Menjawab, “menemukan
kebahagiaan di hati apabila kesusahan tiba”.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
10
Tasawuf dalam Islam6
Esensi tasawuf dalam dilacak dalam teks-teks suci
Islam, al-Quran dan hadits. Dalam al-Quran disebut
tentang manusia dekat sekali dengan Tuhan (QS. Al-
Baqarah [2]: 186), bahkan lebih dekat dari pada pembulu
darahnya (QS. Qaaf [50]:16), dan tindakan-Nya menyatu
dalam tindakan manusia (QS. Al-Anfal [8]:17), dan
manusia akan menatap-Nya di mana pun Dia berada
(QS. Al-Baqarah [2]115).
Dalam al-Hadits, dapat pula kita temukan sejumlah
perkataan Nabi yang mengisyaratkan ajaran tasawuf,
hubungan manusia dengan Tuhan. Misalnya:
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka mengenal
Tuhannya.” Dalam hadits yang lain,”Aku pada mulanya
adalah harta yang tersembunyi (kanzan makhfiyyan),
kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah
makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku”.
Secara eksplisit, Nabi menyatakan juga,”syariah ialah
kata-kataku (aqwali), thariqah ialah perbuatanku (a’mali)
dan haqiqah ialah keadaan batinku (ahwali)”.
6 Penjelasan lebih detil tentang dasar dan posisi tasawuf dalam Islam, lihat bab “the way of the Sufis” dalam Jean Louis-Michon, Introduction to Traditional Islam: Foundations, Art, and Spirituality, (Bloomington: WorldWisdom, 2008), 123-126.
M. Subhi-Ibrahim
11
Dalam struktur keagamaan Islam, tasawuf dapat
dipandang sebagai Ihsan. Agama (al-din) Islam terdiri
dari tiga elemen: Iman (apa yang harus dipercaya), Islam
(apa yang harus dilakukan, hukum atau syariat), ihsan
(tindakan kebajikan, intensifikasi iman dan tindakan).
Dalam hadits Nabi, ihsan diartikan sebagai
“beribadahlah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan
pabila engkau tak melihat-Nya, Ia tetap melihatmu.”
Inilah batasan tasawuf, kata Seyyed Hossein Nasr.
Dalam Sufism: Veil and Quintessence, Schuon
menjelaskan hakikat ihsan.7 Menurut Schuon, ihsan
adalah ketulusan intelegensi dan kehendak; Keterikatan
total (pikiran) pada kebenaran, sekaligus kepatuhan
(tindakan) pada hukum. Ihsan inilah esoterisme Islam.
Ihsan merupakan kepercayaan dan tindakan yang benar,
sekaligus inti dari keduanya. Inti kepercayaan yang
benar ialah kebenaran metafisik, haqiqah. Inti tindakan
yang benar adalah dzikr. Jadi, ihsan mengandung dua
mode: haqiqah dan dzikr, atau tauhid dan ittihad.
Schuon menyimpulkan bahwa, secara eksoterik, ihsan
adalah loyalitas iman, aktivitas ritual, bersifat kuantitatif
dan horizontal. Secara esoterik, ihsan punya dua
penekanan: gnosis (pengetahuan) bersifat intelektual,
7 Lihat: Frithjof Schuon, Sufism: Veil and Quintessence, (Bloomington: WorldWisdom, 2006), 101-102.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
12
dan cinta yang menuntut totalitas kehendak dan rasa.
Karena itu, dalam tasawuf, pengetahuan dan cinta
adalah jalan spiritual.
M. Subhi-Ibrahim
13
Asal-Usul Tasawuf
Massignon, Margoliouth, Corbin serta generasi baru,
seperti Michel Chodkiewicz, William Chittick. Carl Ernst,
Vincent Cornell, dan pastinya A. M. Schimmel,
menyebut bahwa al-Quran adalah sumber thariqah,
meskipun sebagian banyak sarjana Barat lain
mengajukan sejumlah teori tentang asal-usul thariqah.
Teori-teori tersebut antara lain:
ASAL PENGARUH
POKOK PENGARUH
Kristen cara hidup para rahib: sederhana, mengasingkan diri, meninggalkan dunia.
Filsafat Pythagoras
roh manusia kekal; di dunia sebagai orang asing; badan penjarah roh; kesenangan roh ada di alam samawi; unmtuk itu, harus membersihkan roh, meninggalkan hidup materi., dengan berkomtemplasi.
Filsafat Plotinus
wujud memancar dari Yang Esa, roh berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Roh jadi kotor karena jatuh ke dunia, karenanya perlu dibersihkan agar kembali ke tempat asalnya. Cara penyuciannya: meningalkan dunia, dekat atau bahkan menyatu dengan Tuhan.
Budhisme ajaran tentang nirwana, yaitu: untuk mengapai nirwana harus meninggalkan dunia, berkomtemplasi.
Hinduisme meninggalkan dunia, dekat dan persatuan Atman dengan Brahman.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
14
Asumsi a priori di balik teori-teori tersebut adalah Islam
bukan wahyu Tuhan dan tak punya dimensi spiritual
asli. Di Barat, tertanam kuat bahwa, Islam agama
kekerasan karena itu bentuk kontemplasi, metafisis
pastilah merupakan peminjaman dari luar.
Seyyed Hossein Nasr menanggapi pandangan tersebut.
Pertama, sifat dasar jalan spiritual. Sebuah jalan
spiritual merupakan petunjuk pelampauan batas-batas
manusiawi, pendekatan pada Yang Ilahi. Karena itu,
jalan spiritual bukan ciptaan manusia. Melampaui
batas-batas manusiawi dengan ciptaan manusia adalah
absurd. Percaya pada jalan spiritual berarti percaya
bahwa jalan tersebut adalah anugerah Tuhan, bukan
ciptaan manusia. Jadi, apakah thariqah bersumber dari
“dalam” atau pinjaman dari “luar” Islam?
Kedua, “barakah” tradisi. Thariqah melahirkan orang-
orang suci dan kekuatan spiritual. Hal itu karena
“barakah” yang memungkinkan transformasi jiwa, yang
berasal dari Yang Suci, wahyu Tuhan. Itulah al-barakah
al-muhammadiyah. Tiap tradisi pohon spiritual berakar
pada tradisi sendiri. Misalnya, pemeluk Kristen akan
menganggap absurd pernyataan bahwa, spiritualitas St.
Agustinus berasal dari Yunani karena ia “pakar”
Platonisme dan Neoplatonisme, sebab mereka tahu, St.
Agustinus jadi santo bukan karena pembacaan atas
karya-karya para filsuf melainkan melalui anugerah
M. Subhi-Ibrahim
15
Kristus. Plato dan Plotinus hanya memberi “bahasa yang
tepat” untuk mengekpresikan kebenaran Kristus. Begitu
pula, sangat absurd mengatakan bahwa, spiritualitas al-
Hallaj , Ibn Arabi atau Rumi bersifat non-Islam karena
mereka bicara cinta yang “menyerupai” ajaran Krissten,
atau karena meminjam rumusan doktriner neo-
platonisme atau hermeneutisisme. Yang membuat
mereka suci bukan ide para bijak Kristen dan Yunani
tetapi karena barakah Muhammad, kehadiran Ilahi
dalam teknik thariqah. Mereka adalah “fruits of the
spiritual tree of Islam” yang tumbuh di “lahan-tanah”
wahyu dan berakar pada ikatan-langsung manifestasi
spiritual dengan sumbernya.
Sebagai perbandingan: kasus pengaruh thariqah pada
gerakan bhakti dan sejumlah orang suci Hindu di India.
Mereka membuat sajak-sajak spiritual berdasar pada
sajak-sajak sufi Persia, namun bila bersemadi, tetap
menyebut nama “Rama” atau orang suci lainnya. Nah,
yang membuat mereka suci adalah “barakah” para
inkarnasi Tuhan dalam tradisi Hindu, bukan sajak-sajak
sufi. Intinya, tiap tradisi punya norma spiritual sendiri
yang tampak pada orang-orang suci mereka.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
16
Relasi Syariah dengan Tasawuf
Syariah adalah hukum Tuhan. Penerimaan atasnya
menentukan kemusliman. Hidup sesuai syariah,
mencapai keseimbangan, sekaligus dasar dari thariqah.
Hanya orang yang dapat berjalan di tanah dasar yang
dapat berharap mendaki gunung. Tanpa syariah,
thariqah mustahil.
Hubungan syariah dan thariqoh digambarkan dengan
lambang lingkaran. Dari tiap titik lingkaran dapat dibuat
jari-jari tak berhingga yang menghubungkan titik-titik
tersebut dengan pusat lingkaran. Lingkaran itu syariah,
jari-jari turuq, thariqah. Tiap jari-jari adalah jalan
menuju pusat. Jalan menuju pusat, Tuhan sebanyak
keturunan Adam. Dengan berdiri di dalam lingkaran,
menerima syariah kemungkinan terbuka pintu
kehidupan spiritual bisa disadari.
Di pusat terletak hakikat, Kebenaran sumber thariqah
syariah. Syariah dan thariqah diciptakan Tuhan menjadi
Kebenaran. Keduanya cermin hakikat dengan cara yang
berbeda. Menjalani syariah adalah hidup dalam
pencerminan hakikat sebab lingkaran adalah refleksi
Pusat. Sebagian orang yang tak hanya ingin hidup dalam
refleksi hakikat, tapi juga mencapainya, berjalan ke
Pusat. Thariqah adalah cara yang diturunkan Tuhan
M. Subhi-Ibrahim
17
untuk mencapai tujuan akhir, hakikat segalanya di
mana tradisi dan cara atau lingkaran dan jari-jari
berasal.
Dalam sejarah, keseimbangan aspek esoteris dan
eksoterik dipertahankan. Ada ancaman dari dua
kelompok: Pertama, ulama al-zahir, ahli-ahli hukum,
menolak tariqah atas nama menjaga syariah. Mereka
ulama palsu (qishri) yang merusak keseimbangan
dimensi Islam. Kedua, orang-orang yang memberi
pekanan berlebihan pada tariqah seolah tariqah dapat
bertahan tanpa syariah. Ekteriorisasi batin tanpa syariah
melahirkan sekte-sekte, penyimpangan ortodoksi, agama
semu.
Jadi Islam adalah totalitas esoterik dan eksoterik, seperti
buah kenari. Kulitnya adalah syariah, isinya ialah
tariqah, dan minyaknya yang tak tampak tapi ada di
mana-mana adalah hakikat. Kenari tak dapat tumbuh
tanpa kulit, tanpa isi tak berarti. Syariah tanpa thariqah
adalah tubuh tanpa jiwa, dan thariqah tanpa syariah tak
akan mampu bertahan, tak bisa memanifestasikan diri di
dunia. Bagaimana dengan ucapan sejumlah sufi seolah-
olah menolak syariah? Ucapan tersebut ditujukan pada
orang-orang yang hanya menjalankan syariah, ajakan
untuk mereka melampaui bentuk, menembus batin
syariah.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
18
Persoalan Mustaswif, Pura-Pura “Nyufi”8
Faqir, orang-orang miskin, itulah sebutan bagi orang
yang menjalani tasawuf. “Tuhan itu serba kecukupan
dan kamu serba kekurangan”. (QS. Muhammad [47]:38)
“Berbahagialah mereka yang berjiwa miskin,” kata Isa al-
Masih. Faqir berarti menyadari “kefakiran” Muhammad
(al-faqr al-muhammadi), yakni sadar bahwa, ia tidak
punya apa-apa, semua adalah milik Tuhan; sadar
bahwa, secara metafisis ia tak memiliki apa pun; hanya
Tuhan yang ada.
Seorang faqir tak pernah dipanggil sufi. Mengapa?
Karena seorang sufi adalah seseorang yang telah
mencapai akhir jalan, yakni: ketunggalan tertinggi.
Karena itu, ia disebut mutasawwif: pengikut tasawuf.
Nah, ada istilah lain, mustaswif yaitu orang yang pura-
pura jadi sufi, bermain-main dengan ajaran tasawuf
tanpa menjalankannya, yang diibaratkan laksana lalat
yang beterbangan di sekitar gula-gula.
Panggilan lain: ahl al-thariqah (pengikut thariqah), ahl-
isyarah (pembelajar melalui perumpamaan), ahl i-dil
(bahasa Persia, berarti: yang menggunakan hati) dan
8 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (Chicago: ABC International Groups, Inc., 2000), 126.
M. Subhi-Ibrahim
19
panggilannya lainnya yang berhubungan dengan aspek
tertentu dari tasawuf.
Faqir dapat disebut juga darvish (bahasa Persia), yang
lazim digunakan d Dunia Islam Timur, atau juga murid
(ia yang ingin menjalankan thariqah). Sedangkan guru
spiritual sebagai pedoman sepanjang perjalanan ke arah
kesadaran spiritual disebut syaikh (yang lebih tua atau
master), mursyid (dia yang membimbing), atau Pir (yang
lebih tua), atau juga murad ( dia yang dicari).
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
20
DOKTRIN TASAWUF
M. Subhi-Ibrahim
21
Doktrin sebagai Theoria
Tasawuf terdiri dari doktrin dan metode, pembedaan
dan penyatuan. Doktrin berisi ajaran tentang asal-usul
realitas (metafisika). Hanya Allah yang Nyata, yang
mutlak, selain-Nya adalah ilusi, nisbi. Inilah
pembedaan (al-furqan). Metode mengandung cara-praktis
menyatu dengan Yang Nyata. Doktrin dan metode
bersifat esensial, berasal dari kalimat syahadat, yang
tampak dalam kebajikan (ihsan, ketulusan). Karena itu
jalan spiritual (tariqah) memiliki tiga elemen: doktrin,
kebajikan batin, dan alkemi spiritual yang berasal dari
Nabi.
Doktrin tak sama dengan filsafat tapi dengan hikmah,
kebijaksanaan, atau theoria (dalam arti generiknya),
pandangan intelektual tentang Kebenaran, anatomi
kosmos-raya serta manusia, dan Nama, Sifat dan
kualitas-kualitas Allah. Instrumen doktrin adalah akal
(intelek).9 Dalam tradisi Islam, intellectus bukan ratio,
akal bukan pikiran. Pikiran adalah bayangan mental dari
akal. Pikiran melahirkan filsafat, sedangkan metafisika
produk intelek. Memahami doktrin bukanlah pencocokan
9 Manusia memiliki tiga elemen: jism (soma, corpus, tubuh), nafs (psyche, anima, jiwa), dan ruh (pneuma/nous, spiritus, intellectus). Lihat: William Stoddart, Remembering in a World of Forgetting: Thoughts on Tradition and Postmodernism, (Bloomington: WorldWisdom, 2008), 78.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
22
ide dalam suatu pola logis, bermain-main dengan ide,
atau akrobat mental, tapi pandangan-kontemplatif
tentang asal-asul segala sesuatu dengan intelek. Doktrin
mudah dipelajari dengan pikiran, tapi tak mudah
dipahami sebab mensyaratkan penggunaan intelek.
M. Subhi-Ibrahim
23
Urgensi Doktrin dalam Tasawuf
Doktrin adalah awal dan akhir jalan spiritual. Mulanya,
ia adalah pengetahuan “teoritis”, akhirnya ia disadari
dan dijalani. Doktrin merupakan anak kunci pembuka
pintu-pintu dalam “pengembaraan” agar bisa
melanjutkan perjalanan hingga sampai di ujung jalan.
Memang, ada yang meremehkan urgensi doktrin.
Pengalaman dianggap lebih penting dari doktrin. Doktrin
penting agar sang pejalan “tak tersesat.” Doktrin seperti
sebuah lereng gunung yang “harus” didaki, dan
pengetahuan yang dalam tentang gunung itu diraih
melalui pengalaman dalam pendakian. Dalam Ideals and
Realities of Islam, Nasr menyebut, ada dua doktrin
sentral tasawuf: kesatuan wujud (wahdah al-wujud) dan
manusia sempurna (insan kamil).
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
24
Syahadatain: Sumber Doktrin
Doktrin tasawuf merupakan turunan dari kredo
persaksian Muslim, syahadatain. Sebelum membahas
doktrin tasawuf, terlebih dahulu dikupas bagaimana
penjelasan syahadatain perspektif metafisik dalam
pemikiran para perenialis, dalam hal ini Schuon dan
Nasr.
Secara metafisis, kesaksian Islam, “tidak ada tuhan
selain Allah”, punya dua makna: Pertama, makna
objektif, dalam arti, ada kejelasan, pemisahan antara
Yang Nyata dan yang ilusi, antara Yang Mutlak dan yang
relatif. Kedua, makna subjektif, yakni pembedaan
ruhani antara yang lahir, keduniawian dengan Yang
Batin, Ilahiyah, dimana Tuhan yang transenden muncul
sebagai imanen, subjektif. Subjek di sini bukan ego
manusia, tetapi akal murni, dengan ego yang disucikan
sebagai jalan masuk. Agar menyeluruh, kesaksian
pertama dilengkapi kesaksian kedua “Muhammad adalah
utusan Allah”, yang merupakan dimensi penyatuan.
Maksudnya adalah, yang relatif selama mewujudkan
Yang Mutlak tak lain adalah Yang Mutlak itu sendiri.
Maya tidak berbeda dengan atma dalam substansinya
M. Subhi-Ibrahim
25
yang “bukan-tak-nyata” nya. Secara subjektif, yang lahir,
dunia tak lain adalah Yang Batin, yakni diri.10
Bagaimana detil struktur metafisis syahadatain? Frithjof
Schuon, dalam Sufism: Veil and Quintessence,11
mengatomisasi syahadatain dari perspektif metafisis.
Karena itu, penjelasan tentang struktur metafisis
syahadatain di bawah ini, saya kutip dari karya Schuon
tersebut.
Kesaksian pertama terdiri dari la ilaha “tiada tuhan”,
dan illa Allah “selain Tuhan. Bagian pertama adalah
negasi(nafy), berhubungan dengan Manifestasi universal
(ciptaan, alam semesta), yang merupakan ilusi terkait
dengan Sang Prinsip. Sedangkan bagian kedua adalah
konfirmasi (itbat), berhubungan dengan Prinsip, Realitas
dalam kaitannya dengan Manifestasi adalah nyata
dengan sendirinya.
Manifestasi memiliki realitas yang relatif, tanpa relasi
dengan Prinsip, ia menjadi ketiadaan murni (pure
nothingness). Oleh sebab itu, dalam Prinsip, secara
komplementer, terdapat elemen relativitas sebab tanpa
10 Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1998), 53. 11 Pembahasan tentang metafisika syahadatain ini diringkas dari: Schuon, Sufism: Veil and Quinessence, 104-108.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
26
hal itu tidak ada penyebab dari manifestasi. Dengan kata
lain, secara definitif, tak ada penyebab dari apa yang
relatif. Simbol Taoisme, yin-yang, mengambarkan
hubungan timbal-balik. Prinsip mengandung prefigurasi
manifestasi yang lebih rendah dari esensi, dan membuat
manifestasi menjadi mungkin. Manifestasi dalam
pusatnya terdapat refleksi terhadap Prinsip, yang
tanpanya ia menjadi independen, yang tidak mungkin,
karena relativitas tidak memiliki konsistensi pada dirinya
sendiri.
Prefigurasi manifestasi dalam Prinsip-Logos prinsip-
direpresentasikan oleh kata illa (kecuali), sedang kata
Allah menunjuk: Prinsip itu sendiri. Refleksi dari Prinsip
(logos yang dimanifestasikan) direpresentasikan dengan
kata : ilaha (tuhan, keilahiaan), sedangkan kata la (tidak
ada atau tidak) berhubungan dengan manifestasi itu
sendiri, bersifat ilusif dalam hubungannya dengan
Prinsip, konsekuensinya, ia tak terbayangkan ada di luar
atau terpisah dari Prinsip.
Kesaksian kedua, muhammad rasulullah, berhubungan
dengan keesaan, tidak bersifat eksklusif, tapi inklusif;
bukan perbedaan, tapi kesamaan; bukan ketajaman, tapi
kesatuan; bukan transendensi, tapi imanensi; bukan
kontinuitas objektif dan makrokosmik dari tingkat-
M. Subhi-Ibrahim
27
tingkat realitas, tapi kontinuitas subjektif dan
mikrokosmik dari kesadaran. Tidak seperti syahadah
pertama, kesaksian kedua ini tidak statis dan terpisah,
tapi dinamis dan unitif.
Pada kesaksian kedua, Prinsip ada dalam tiga aspek
hypostatic: Muhammad (Prinsip yang dimanifestasikan/
the manifested Principle), Rasul (pemanifestasi Prinsip/
the manifesting Principle), dan Allah (Prinsip itu sendiri/
the Principle itself). Tekanan pada elemen tengah, Rasul,
yang menghubungkan Prinsip yang termanifestasikan
dengan Prinsip itu sendiri. Logos adalah spirit (ruh), tak
tercipta atau diciptakan, dimanifestasikan dalam
relasinya dengan Prinsip, bukan dalam relasinya dengan
manifestasi.
Kata Rasul, utusan, menandakan “turunnya” Tuhan ke
dunia (lailah al-qadr), dan sebaliknya, menyiratkan
“naiknya” manusia menuju Tuhan (lailah al-mi’raj).
Dalam mikrokosmos manusia, penurunan adalah
inspirasi, kenaikan adalah aspirasi; penurunan adalah
kasih Ilahi, dan kenaikan adalah ikhtiar manusia yang
kandungannya: dzikrullah; sedangkan nama-nama
dzikrullah diberikan pada Nabi. Dalam dzikir terdapat:
dzakir, dzikr, dan madzkur berhubungan dengan
Muhammad, Rasul, Allah. Muhammad adalah hamba
yang memohon, Rasul adalah permohonan atau doa, dan
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
28
Allah yang dimintai permohonan atau doa. Dalam doa,
yang memohon dan yang dimintai permohonan bertemu,
seperti Muhamad dan Allah bertemu dalam Rasul, atau
risalah, pesan wahyu.
Aspek mikrokosmik rasul menjelaskan makna esoterik
dari shalawat Nabi yang mengandung, di satu pihak,
berkah atau shalawat, dan di pihak lain, kedamaian
(salam). Kedamaian terkait dengan stabilisasi,
penenangan dan kasih “horizontal”, sedangkan berkah
berkait dengan mengubah, menghidupkan dan kasih
“vertikal”.
Sang nabi adalah intelek universal yang imanen, dan
tujuan dari formula ini adalah pembangkitan intelek-
hati, baik penerimaan maupun iluminasi. Kedamaian
yang mematikan, dan kehidupan yang menghidupkan
kembali, oleh dan dalam Tuhan.
Syahadah pertama berhubungan dengan transendensi,
sesuai dengan imanensi. Kata illa mengimplikasikan:
semua kualitas positif, kesempurnaan, keindahan adalah
milik Tuhan, bahkan Tuhan itu sendiri, seperti nama
Tuhan al-Zahir dan al-Bathin. Syahadah kedua
berhubungan dengan imanensi, sesuai dengan
transendensi. Kata Rasul, utusan, berarti: Manifestasi—
Muhammad-- adalah jejak, pertanda dari Prinsip (Allah),
M. Subhi-Ibrahim
29
karena itu Manifestasi, bukan Prinsip. Terjadi timbal
balik, yin-yang. Manifestasi bukan Prinsip tapi ia adalah
Prinsip dengan partisipasinya dalam kebaikan dari
eksistensi; manifestasi adalah Prinsip yang
termanifestasikan, tanpa kemampuan menjadi Prinsip.
Kebenaran kedua tak bisa dipisahkan dari kesaksian
yang pertama, sedangkan kebenaran yang terpisah dari
yang pertama dapat dipisahkan dari yang kedua.
Puncak syahadah adalah dalam kata Allah yang meliputi
dan mengatasi keberadaan. Allah Yang Absolut dan Tak
Terhingga mengandung efek ekstrinsik dari
kesempurnaan, yaitu manifestasi. Karena realitas
absolut secara instrinsik itu Kebaikan, Keindahan, dan
Rahmat, cenderung mengomunikasikan diri, karenanya
ia memancar. Ini aspek tak terhingga Yang Absolut,
aspek memproyeksikan kemungkinan, keberadaaan,
yang darinya muncul dunia, benda dan makhluk hidup.
Nama Muhammad adalah logos yang ditempatkan antara
Prinsip dan manifestasi, antara Tuhan dan dunia. Logos,
di satu pihak, dimasukkan dalam Prinsip, dinyatakan
dengan kata illa pada syahadat pertama, dan di pihak
lain, memproyeksikan dirinya dalam manifestasi, yang
diekspresikan pada kata ilaha. Pada nama Muhammad,
seluruh penekanan dan kekuatan cahayanya
ditempatkan di pusat, di antara dua suku kata, yang
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
30
satu inisial dan yang satu finalnya, tanpa itu semua
aksentuasi itu akan tidak mungkin.
Struktur Metafisis Syahadatain
Syahadah Pertama (Transendensi)
La Ilaha Illa Allah
Nafi, manifestasi, bersifat
relatif
Itsbat, Prinsip, bersifat
absolut
Manifestasi Logos yang
termanifestasi
Logos Prinsip
Syahadah Kedua (Imanensi)
Muhammad Rasul Allah
Prinsip yang
termanifestasi
Pemanifestasi
Prinsip (logos)
Prinsip
Dzakir Dzikr Madzkur
Muhammad sebagai Logos. Salahsatu penjelasan
metafisis di atas menyebut Muhammad sebagai logos.
Untuk mengurai lebih lanjut, saya kutipkan pendapat
Nasr, dalam Ideals and Realities of Islam.12 Nasr
menjelaskan bahwa, pada tiap agama, sang penyebar
12 Nasr, Islam Ideals and Realities, 54.
M. Subhi-Ibrahim
31
diidentikan dengna logos, seperti dalam Gospel versi
Johannes “in principio erat verbum”, segala sesuatu
pada asalnya adalah Firman, Logos, identik dengan
Kristus. Islam memandang semua Nabi adalah suatu
aspek dari logos universal, hakikat Muhammad (al-
haqiqat al-muhammadiyah), ciptaan pertama Tuhan,
yang melaluinya Tuhan memandang segala hal. Sebagai
hakikat, Muhammad datang sebelum nabi yang lain
pada awal siklus kenabian, dan aspek batinnya sebagai
logos disebut dalam hadits,”ia (Muhammad) telah menjadi
nabi ketika Adam masih berupa air dan tanah.” Siklus
kenabian dimulai dengan hakikat Muhammad, diakhiri
dengan manifestasinya sebagai manusia. Secara batin, ia
adalah awal siklus kenabian, secara lahir, ia adalah
akhir siklus kenabian. Secara lahir, ia adalah manusia
biasa, secara batin, ia adalah manusia universal (logos)
yang menjadi norma segala ksempurnaan. Nabi
menunjuk aspek batinnya dengan berkata,”akulah
ahmad tanpa mim (yaitu ahad, yang tunggal), dan
seorang arab tanpa ‘ain (rabb, Tuhan). Yang telah
melihatku, telah melihat Kebenaran.”
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
32
Wahdah al-Wujud (Kesatuan Wujud)
Dalam tasawuf, Allah lebih disebut sebagai al-Haq.
Menurut Martin Lings, ajaran kesatuan wujud tersirat
dalam nama Tuhan al-Haq tersebut.13 Nasr mengartikan
al-Haq sebagai Kebenaran (The Truth) sekaligus Yang
Nyata (The Real).
Sebuah doktrin adalah pembedaan antara Yang Nyata
dengan yang ilusi, yang Mutlak dengan yang nisbi,
substansi dengan aksiden. Intinya, hanya Tuhan yang
nyata, yang selainnya “seolah-olah” nyata (ilusi). Ada
sebuah hirarki realitas di mana Tuhan berada di puncak
sebagai sumber dari tingkat-tingkat realitas di
bawahnya. Semua realitas di bawah-Nya bergantung
pada eksistensi Tuhan. Realitas-realitas itu ada, nyata
sepanjang berhubungan dengan Tuhan (al-shamad).
Jadi, misalnya manusia itu nyata pada level
eksistensinya, namun tak nyata bila dihadapkan pada
Tuhan. Inilah makna bahwa, realitas selain-Nya adalah
ilusi. Inilah yang disebut: kesatuan wujud, wahdah al-
wujud. Point doktrin ini adalah, tak mungkin ada
kenyataan Mutlak. Mutlak berarti tak terbatas. Bila ada
lebih dari satu yang mutlak, maka ia akan kehilangan
sifat kemutlakkannya. Karena itu, pribadi-pribadi suci
13 Martin Lings, Syaikh Ahmad al-Alawi: Wali Sufi Abad 20, Terj. Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1989), 112.
M. Subhi-Ibrahim
33
yang telah sampai pada intelek-kontemplatif, sadar-
penuh, mampu “melihat” Tuhan di mana-mana.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
34
Insan Kamil (Manusia Sempurna/Universal)
Mengikuti pendapat Nasr yang merujuk pada Ibn Arabi,
ada tiga aspek fundamental manusia universal, yaitu:
realitas pola dasar kosmos, instrumen penurunan
wahyu, dan model sempurna kehidupan spiritual.
Artinya, seperti telah diuraikan di atas, manusia
universal itu memiliki aspek kosmologis, profetik, dan
inisiatik.
Dalam The Garden of Truth, Nasr menjelaskan pengertian
manusia universal.14
(1) Manusia universal adalah kenyataan yang berisi
semua tingkat eksistensi selain Allah. Termasuk
semua kemungkinan terpendam di setiap tingkat
itu—sebuah kenyataan yang, pada orang-orang yang
telah mengaktualkannya di dalam diri mereka, baik
laki-laki maupun perempuan, telah terwujud dengan
sepenuhnya. Maksud dari “semua tingkat eksistensi
selain Allah” yang dikandung manusia universal
adalah semua manifestasi Allah yang bersifat
hirarkis. Dalam doktrin wahdah al-wujud (kesatuan
wujud), yang Nyata (the real) itu tunggal, yaitu Allah.
Lalu, Allah memanifestasikan diri-Nya dalam
14 Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition, (New York: HarperColiins Pub., 2007).
M. Subhi-Ibrahim
35
berbagai tingkatan wujud. Semua tingkatan wujud
itu merupakan hadhirat (kehadiran) Allah. 15 Dalam
terminologi Ibn Arabi, seperti dikemukakan oleh
Chittick, manusia universal merupakan ekistensi
yang meliputi segala sesuatu (al-kaun al-jami').
Menurut saya, alasan mengapa Nasr menggunakan
istilah manusia universal untuk menerjemahkan
insan kamil karena hal ini.
(2) Manusia universal adalah prototype androginik dari
keadaan manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, dan juga prototipe dari kosmos.
Karenanya, ada korespondensi antara mikrokosmos
dan makrokosmos. Manusia universal seperti cermin
di hadapan Allah, memantulkan semua Nama dan
Sifat-Nya, dan juga merenungkan Allah melalui mata
yang dicerahkan oleh cahaya Allah. Dia mentafakuri
ciptaan Allah melalui mata Allah.
15 Sebagaimana skema kosmologis Ibn Arabi, Nasr menyebut lima tingkatan wujud, yaitu: 1) hahut, tingkat zat tertinggi keilahiaan,, 2) lahut, tingkat Nama, Sifat Tuhan, dan wujud-wujud sebagai prinsip penciptaan (termasuk Logos atau intelek yang belum tercipta). 3) jabarut, tingkat jibril, alam-alam surgawi yang lebih tinggi, serta logos yang tercipta. 4) malakut, wilayah subtil, dunia imajinal yang terletak di atas dunia ini, namun merentang hingga alam surgawi. 5) alam nasut atau mulk, yakni alam manusiawi, material, dan kasat mata. Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Chicago: ABC International, 2001), 93.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
36
Figur historis manusia universal adalah para nabi-nabi
dan orang-orang suci. Semua nabi, orang suci, dan para
aqthab (kutub), memiliki sebagian sifat manusia
universal, karenanya memiliki fungsi kosmis. Pada
dasarnya, manusia sendiri, berkat posisi sentralnya di
kosmos, secara potensial mampu menyamai manusia
universal, meskipun keadaan wujud yang lebih tinggi
tetap laten pada kebanyakan orang, dan sepenuhnya
nyata hanya pada seorang gnostik atau sufi sempurna,
yang telah sampai di ujung jalan. Peranan ganda
manusia universal, sebagai contoh kehidupan spiritual
dan sebagai bentuk asli kosmos memberi aspek kosmis
pada kehidupan rohani Islam. Nabi Islam, Muhammad
dipandang sebagai manusia universal. Pada realitas
batinnya, Muhammad adalah manusia universal dimana
semua kualitas kosmik disatukan, sekaligus asal
muasal, dan akhir dari manifestasi universal.
Fungsi Inisiasi. Karena itu, figur historis manusia
universal, seperti nabi Muhammad, memiliki fungsi
penyingkap dan inisiasi. Menjadi manusia yang sejati
berarti mewujudkan, dengan bantuan orang-orang yang
telah merealisasikan kesempurnaan, realitas manusia
universal, yang secara potensial ada pada tiap individu.
Realisasi yang dimaksud adalah, mencapai keadaan
manusia universal. Dengan kata lain, menjadi manusia
universal berarti kembali ke keadaan primordial (fitrah),
M. Subhi-Ibrahim
37
dan ke realitas diri sendiri di dalam Allah dengan
bimbingan orang-orang yang telah merealisasikan
manusia universal. Nasr menambahkan pula bahwa,
merealisasikan manusia universal sama dengan menjadi
hamba Allah yang setia, sadar akan dirinya sebagai wakil
Allah (khalifah), mewujudkan kefanaan, dan akhirnya,
melalui peniadaan ego, bersama akal dalam diri,
mencapai Zat Tertinggi, Sang Realitas.
Bagi Nasr, siapapun yang mampu merealisasikan secara
sempurna potensi kemanusiaannya yang bersifat Ilahi
adalah manusia universal. Dengan demikian, seperti
dikemukakan Nasr dalam Knowledge and Sacred,
manusia universal, pada dasarnya, adalah manusia
pontifex (manusia suci) yang hidup di pusat lingkaran
eksistensinya, dalam kesadaran akan Kesempurnaan
primordialnya sebagai makhluk teomorfik.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
38
JALAN SPIRITUAL
M. Subhi-Ibrahim
39
Ma’rifah, Mahabbah dan Makahafah16
“Allah, Sang Kebenaran dan Keindahan Kebenaran melahirkan pengetahuan Keindahan melahirkan cinta Dalam perbuatan, pengetahuan dan cinta bertemu Pengetahuan, cinta, dan perbuatan Adalah Jalan kembali pada-Nya” Tasawuf terekpresikan dalam harmoni pengetahuan dan
cinta. Meskipun demikian, tak terelakkan bahwa, para
sufi berbeda penekanan dalam ajaran-ajarannya.
Muhyiddin Ibn Arabi, Ahmad Ibn al-‘Arif, Suhrawardi
dari Aleppo, al-Junaid, dan Abu al-Hasan al-Syadzili
fokus pada dimensi pengetahuan, intelektual. Mereka
yakin, Allah sebagai hakikat-universal dari segenap
pengetahuan. Sedangkan Umar Ibn al-Farid, Manshur
al-Hallaj, dan Jalal al-Din Rumi menitik-beratkan pada
cinta, emosional. Bagi mereka, Allah adalah objek-tak
terbatas dari keinginan.
Dalam kasus Hinduisme, metode-ruhani ditandai dengan
perbedaan-tegas 3 jalan: pengetahuan (jnana), cinta
(bhakti), dan perbuatan (karma). Dalam tasawuf, 3 jalan
itu termanifestasi dalam pengetahuan (ma’rifah), cinta
(mahabbah), dan takut (al-khauf, makhafah). Tasawuf
16 Penjelasan di bawah ini merupakan ringkasan dari chapter 4 “Knowledge and Love” dalam Tutis Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine, (Bloomington: World Wisdom, 2008), 21-24.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
40
cenderung mensintesiskan ketiga jalan tersebut daripada
membedakannya, seperti dalam Hinduisme.
Sekali lagi, tasawuf menegaskan keseimbangan
intelektual dan emosional. Hal ini terkait dengan
struktur umum ajaran Islam yang beralas pada tauhid
yang memberi orientasi intelektual pada kehidupan
spiritual. Sedangkan cinta lahir secara spontan karena
perenungan atas Realitas Ilahi (Divine Reality), Allah.
Perbedaan, bukan pemisahan, antara jalan pengetahuan
dengan jalan cinta bermuara pada soal keunggulan atas
yang lain. Pengetahuan melahirkan cinta, cinta
mensyaratkan pengetahuan objek yang dicintai. Objek
cinta spiritual adalah Keindahan Ilahi (Divine Beuaty),
suatu aspek dari ketakterbatasan-Nya, yang melalui
objek itu rasa cinta jadi terang-benderang. Cinta total
pada “satu-titik” memberi kesempurnaan subjektif.
Karena itu, para metafisikawan pun menggubah sajak-
nan Indah, dan para penyair-cinta menulis narasi-
intelektual yang menakjubkan.
Khauf (attitude of fear, sikap takut) berhubungan dengan
cara-cara perbuatan meski tak tampak, tak
terekpresikan. Rasa takut berada di ambang
perenungan, namun ketika ia merohani, ia akan
membawa manusia keluar dari mimpi-kolektif dunianya,
M. Subhi-Ibrahim
41
menyeret manusia ke hadapan Allah. Burkchard
menulis,”cinta lebih tinggi dari rasa takut, seperti
pengetahuan lebih tinggi dari cinta.” Walau demikian,
cinta-rohani berperan merangkul semua fakultas
individu, mencapnya dengan stempel “ke-esaan” (the seal
of unity). “Cinta adalah awal dari lembah penghancuran
diri (fana), bukit yang meluncurkannya kearah
pengosongan diri (al-mahu),” tulis Ahmad ibn al-‘Arif. Ibn
Arabi menyatakan, cinta merupakan stasiun tertinggi
jiwa dan membawahi tiap kemungkinan kesempurnaan
manusia. Bagi Ibn Arabi, pengetahuan bukan stasiun
jiwa. Kesempurnaan pengetahuan diukur dari objeknya,
yakni Allah sediri. Karena itu, pengetahuan tak dapat
dikenakan pada manusia (jiwa), tapi pada Allah. Stasiun
jiwa tertinggi bukan hubungan psikologis pengetahuan,
seperti kebijaksaan atau kejujuran, tapi cinta-total,
penyerapan-penuh kehendak manusia “dalam” Allah.
Inilah “lost in love”, lenyap dalam cinta, seperti Ibrahim,
prototipe manusia.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
42
KEBAJIKAN- KEBAJIKAN
M. Subhi-Ibrahim
43
Kebajikan Spiritual17
Kebajikan spiritual (spiritual virtues), bersama doktrin,
adalah elemen mutlak jalan spiritual, cara meraih
kehidupan-suci. Kebajikan spiritual tak bersifat
sentimentil. Ia merupakan cara “menjadi” Kebenaran (a
manner of “being” the Truth), sebagaimana doktrin
sebagai cara mengenal-Nya. Tanpa kebajikan spiritual
mustahil disadari kebenaran dalam diri seseorang.
Manusia adalah makhluk berfikir sekaligus eksis. Karena
itu, pengetahuan (fikiran) dan eksistensinya harus
ditransformasi. Kebajikan spiritual bukan sikap moral
bikinan manusia. Ia adalah cara “manners of being” yang
mentransformasi eksistensi manusia ke dalam
persesuaian dengan sikap batinnya. Ia adalah kebajikan
apofatik yang mesti direalisasikan bila manusia ingin
memperoleh keharuman spiritual.
Kebajikan Spiritual utama dalam tasawuf adalah:
1) Kerendahan hati (humanility) 2) Kemurahan hati (charity) 3) Kejujuran (truthfulness)
Kerendahan hati bukan berarti kelembutan-sentimentil
yang menyembunyikan kebanggaan ego; bukan
kebencian terhadap akal (intelegensi). Nah, ada sebagian
17 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 134-137.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
44
orang yang benci akal dengan dalih kerendahan hati,
serta mengganggap seolah gnosis yang disebut “al-arif
billah”, yang mengetahui melalui (pengetahuan) Allah,
tak melalui pengetahuan manusia. Benci akal
merupakan bentuk kebencian pada karunia Allah yang
paling berharga. Ini bukan kerendahan hati !
Kerendahan hati adalah kesadaran bahwa Allah adalah
segalanya, kita bukan apa-apa, dan semua makhluk
Allah adalah “guru” di mana kita bisa belajar suatau
“kesempurnaan” yang tak kita miliki. Kita lemah, bukan
apa-apa, bukan siapa-siapa di hadapan Allah. Di
hadapan sesama makhluk, kita harus sadar, beatapa
pun “sempurnanya” kita, yang lain tetap saja memiliki
kesempurnaan yang tak kita miliki. Karena itu, rendah
hatilah !
Kemurahan hati ini bukan bersifat materialistik dan
kuantitatif; bukan hanya menyangkut tindakan-lahiriah,
sikap-moral terhadapnya, atau motif altruistik, tapi
karena manusia sendiri “merasa perlu” sebab
kemurahan hati ada pada asal-usulnya (Allah).
Kemurahan hati itu menyadari bahwa semua yang baik
berasal dari Allah. Hakikatnya, tiada yang (betul-betul)
murah hati kecuali Dia ! Selain itu, kemurahan hati
didasari bahwa, semua makhluk adalah satu. Peleburan
jiwa ! Berkorban pada Allah diekspresikan dengan
pengorbanan bagi makhluknya. Jadi, bila kerendahan
M. Subhi-Ibrahim
45
hati adalah mematikan, pengerutan ego, jiwa (inqibad),
maka kemurahan hati merupakan pengembangan jiwa
(inbisat). Dalam kemurahan hati, kita menyadari
ketunggalan diri dengan semua makhluk.
Kejujuran adalah puncak dari kerendahan hati dan
kemurahan hati. Jujur berarti melihat segala sesuatu
seperti adanya, sebagaimana aslinya. Ini berarti, melihat
Allah di mana pun. Nabi tak pernah melihat sesuatu
tanpa melihat Allah sebelumnya, di dalamnya, dan
sesudahnya. Begitu khabar suatu hadits. Inilah
ketulusan (ikhlas), tauhid. Hidup dalam kehadiran Allah.
Seseorang dengan sifat ini akan meyadarinya sebagai
pengalaman aktual doktrin yang ia kenal secara teoritis
di awal perjalanan.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
46
DZIKR
M. Subhi-Ibrahim
47
Dzikr Sebagai Ritus Utama18 Doa sebagai Substansi
Allah mencipta alam melalui kalam-Nya (QS. Yasin [36]:
82). Karena itu, kalam berfungsi: mencipta, dan
menyampaikan kebenaran. Dunia diciptakan oleh kalam,
wahyu disampaikan oleh Kalam (logos). Melalui kalam
dan kemampuan bicara, manusia kembali kepada
Tuhan. Kemampuan bicara digunakan untuk:
menyatakan kebenaran dan mentransformasi manusia.
Dalam sufisme, kemampuan bicara berfungsi untuk:
menyampaikan kebenaran, dan berdoa. Yang pertama
terkait dengan fungsi kalam Tuhan sebagai wahyu, yang
kedua terkait dengan kekuatan mencipta dunia.
Substansi dunia yang paling mutlak adalah doa. Bahkan
eksistensi itu sendiri adalah doa. Dunia diwujudkan oleh
Nafas Sang Pengasih (Nafs al-Rahman), karenanya
substansi yang paling mutlak adalah nafas, yang pada
tingkat manusia terkait dengan kemampuan berbicara.
Oleh sebab itu, teknik spiritual utama adalah doa yang
melaluinya manusia kembali pada Tuhan.
Pada dasarnya, doa adalah mengingat (dzikr) Tuhan,
18 Sebagian banyak penjelasan dikutip dari bab “Knowledge of the Sacred as Deiverance” dalam Seyyed Hossein Nasr,
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
48
menyebut nama suci, bangun dari kealpaan. Doa dalam
arti ini mentransformasi orang menjadi doa itu sendiri,
terlebur dalam dzikr yang jadi sifat aslinya, sekaligus
menemukan jati dirinya. Inilah cara taqarrub illa Allah.
“Ingatlah Aku, (pasti) Aku mengingatmu.” (QS. al-
Baqarah [2]: 152). Dalam hadits qudsi disebutkan pula:
“Ia yang menyebut nama-Ku dalam dirinya, akan
Kusebut dalam diri-Ku. Dan ia yang menyebut nama-Ku
dalam kelompok, akan Kusebut dalam kelompok yang
lebih baik (surga). ”
Dzikr: Doa dari Hati
Doa adalah tindakan yg melampaui yg wadag, penyatu
tubuh, jiwa, dan ruh. Ada tiga modus doa, yaitu doa
individual (individual supplications), doa kanonik
(canonical prayer), dan doa dari hati (the prayer of the
heart).
Doa individual adalah perbincangan, permohonan orang
beriman kepada Tuhan dalam hening sekaligus
membuka hati mereka pada-Nya. Doa kanonik adalah
doa yang bentuknya ditentukan oleh Yang Ilahi,
contohnya shalat (al-shalah). Format shalat, gerak tubuh
dan ucapan, ditentukan dari Langit. Dalam shalat, ‘abid
Knowledge and the Sacred, (New York: State University of New York Press, 1989), 267-280.
M. Subhi-Ibrahim
49
menyelaraskan jiwa dengan bentuk, dengan realitas yang
melampaui individu. Individu mentransendensi diri,
memadukan diri dengan realitas arketipalnya. Dalam
doa kanonik, tubuh memiliki peran penting, yakni
mengintegrasi jiwa. Gerakan-gerakan laksana
kendaraan pemandu tubuh, jiwa, dan ruh. Di sini, tubuh
bukan penjara jiwa, tapi pelengkap, kuda tunggangan
jiwa dalam perjalanan ke Yang Ilahi. Tindakan ritual itu
dipadukan dengan bacaan-bacaan al-Quran. Inti shalat
adalah mi’raj, pendakian spiritual bagi orang beriman.
Doa dari hati, itulah dzikr, mengingat Allah (nimbutsu
dari jodo-shin Budhisme, japa yoga dalam Hinduisme).
Bentuknya: diawali penyebutan dengan lidah, lalu
dengan pikiran, kemudian dengan fakultas imajinal, dan
diakhiri dengan hati. Tampak, pada mulanya, dzikr
adalah doa oleh tubuh (diwakili lidah), yang pada
akhirnya, tubuh menjadi proyeksi hati. Dalam tubuh,
ruh berdiam secara aktif. Pada hakikatnya, dzikr adalah
perbuatan Allah dalam diri karena hanya Ia yang dapat
menyebut nama-Nya. Jadi, dzikr adalah instrumen Allah
mengucap nama suci-Nya sendiri. Sebagai perbandingan,
dzikr dalam doa kristus “jadilah kehendak-Mu” (thy will
be done), dilakukan dengan memohon: tunduk total pada
kehendak, pikiran Allah, menempatkan diri pada tangan
Allah. Seruan nama itu bersemayam dalam hati
mengubah jiwa, psike, imajinasi, pikiran dan tubuh.
Akibat doa dari hati adalah perkawinan tindakan, cinta,
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
50
dan pengetahuan, serta integrasi tubuh, jiwa, dan ruh.
Mengapa dzikr, doa dari hati, demikian penting, jadi
pusat semua tradisi spiritual? Dalam tradisi spiritual,
nama Tuhan memiliki peran penting dalam realisasi
pengetahuan suci. Dalam perjalanan spiritual, manusia
tidak harus tidak melalui wahana bentuk. Bentuk
digunakan untuk menuju Yang Tak Berbentuk. Nama
Tuhan adalah bentuk suci tertinggi (supreme sacred
form). Sistem bunyi (mantra), kombinasi huruf dalam
bentuk-bentuk visual merupakan penghasil bentuk,
berisi kehadiran yang mentransformasi wujud manusia,
memiliki kekuatan yang membawa manusia melampaui
tatanan bentuk. Tuhan mengaruniahi perahu di tengah
gelombang semua lautan bentuk dan yang menjadi.
Esensi yang tak berbentuk “menjadi” bentuk agar bentuk
“menjadi” Esensi yang tak berbentuk. Pencapaian bentuk
suci adalah pencapaian Yang Tak Berbentuk. Hidup
selalu atas Nama Ilahi, berarti hidup atas nama Tuhan,
melihat segala sesuatu di dalam-Nya. Karena itu, bentuk
suci adalah wahana pendukung sekaligus tujuan. Ada
penyatuan Nama dan Yang Dinamai. “Bentuk dari yang
Tak Berbentuk” (form of the Formless) bukan hanya
menuntun pada tempat yang melampaui bentuk-bentuk,
tetap ia pun pada dirinya dalam ketidakterbatasan
batinnya melampaui kini dan di sini. Di dalamnya
M. Subhi-Ibrahim
51
gnostik, ‘arif billah menemukan tempat asalnya.
PENUTUP
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
52
“Apa yang harus diberikan Islam kepada dunia
modern,”tanya Nasr dalam Living Sufism.19 Nasr
menegaskan kembali bahwa, dunia modern mengabaikan
salah satu kebutuhan dasar manusia, yakni damba
mistik, kerinduan akan Yang Mutlak yang berakibat
hidup kehilangan makna. Selain itu, dunia modern
mengalami sakit. Penyakit dunia modern adalah
desakralisasi ekstrem, penjauhan benda-benda dari
makna spiritualnya. Nasr pun selalu mengulang-ulang
bahwa, manusia modern hidup di pinggir lingkaran
eksistensi, kehilangan pusat hidupnya. Selanjutnya, ada
ancaman besar yang dihadapi manusia modern, yakni
perang dan kerusakan lingkungan hidup.
Nah, sebagaimana agama-agama lain, Islam bisa
menawarkan kembali khazanah realisasi spiritual yang
akan menginjeksikan perspektif sakral untuk memenuhi
damba mistik; mengobati penyakit dunia modern dengan
pengenalan jati diri; dan menghindari perang dan krisis
lingkungan dengan menciptakan kedamaian batin
terlebih dahulu dan sudut pandang kesatuan eksistensi
19 Buku Living Sufism telah dialihbahasakan Bahasa Indonesia dengan judul Tasawuf Dulu dan Sekarang. Paparan penutup ini merupakan ringkasan dari bab “ Apa yang Harus Diberikan Islam kepada Dunia Modern?” dalam Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Terj. Abdul Hadi WM, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 254-265.
M. Subhi-Ibrahim
53
dalam memandang relasi manusia dengan alam. Meski
pun demikian, tasawuf, juga tradisi spiritual lain, tidak
menawarkan solusi “cepat saji” atau satu obat untuk
se,ua penyakit. Tawaran lebih sebagai, mengutip
Nasr,”imbauan langsung dari Yang Mutlak kepada
manusia, mengajaknya berhenti mengembara dalam
labirin kenisbian dan kembali pada Yang Mutlak dan
Esa; ia membujuk manusia agar berpaling kepada yang
paling langgeng dan tetap dalam diri manusia”.20
20 Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, 255.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
54
DAFTAR PUSTAKA
Burckhardt, Titus, Introduction to Sufi Doctrine, Bloomington: World Wisdom, 2008.
Chittick, William C. Chittick, Sufism: Beginners Guides, Oxford: Oneworld Publications.
Lings, Martin, Syaikh Ahmad al-Alawi: Wali Sufi Abad 20, Terj. Abdul Hadi WM, Bandung; Mizan, 1989.
Nasr, Seyyed Hossein, (Ed.), Islamic spirituality: Manifestations, New York: Crossroad, 1991.
__________, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition, New York: HarperColiins Pub., 2007.
__________, Ideals and Realities of Islam, Chicago: ABC International Groups, Inc., 2000.
__________, Science and Civilization in Islam, Chicago: ABC International, 2001.
__________, Islam and the Plight of Modern Man, Chicago: ABC International Group, Inc.,
2001.
__________, Knowledge and the Sacred, New York: State University of New York, 1989.
M. Subhi-Ibrahim
55
__________, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Terj. Abdul Hadi WM, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2008.
Schimmel, Annemarie Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Schuon, Frithjof, Sufism: Veil and Quintessence, Bloomington: WorldWisdom, 2006. Stoddart, William, Remembering in a World of Forgetting: Thoughts on Tradition and Postmodernism, Bloomington: WorldWisdom, 2008. Valiudin, Mir, Tasawuf dalam al-Quran, Terj. Tim Penerjemah Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Tasawuf: Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam
56
TENTANG PENULIS
M. SUBHI-IBRAHIM, Adalah doktor bidang filsafat, dosen tetap Falsafah Agama di Universitas Paramadina, Jakarta. Di perguruan tinggi yang sama, ia pernah menjadi ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina (2011-2013), Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina (2008-2010). Kini menjadi Ketua YPI al-Mumtaaz, Pulorida, Cilegon. Pada 2011, ia berpartisipasi dalam International Program for Academic Development (IPAD) di Victoria University, New Zealand. Beberapa buku karyanya antara lain: Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam (2012), Al-Farabi: Sang Perintis Logika Islam (2012), Demi Islam, Demi Indonesia (2013), Oase Rohani: Buku Saku Para Pencari Hikmah (2013), Asas-Asas Filsafat (2013), Tengoklah ke Dalam: Ziarah Diri Melalui Pengetahuan dan Cinta Demi Kebahagiaan Puncak (2017). Seni Hidup Meditatif (2018), Takwil Keseharian: Sebuah Hermeneutika Spiritual (2018). Seni Hidup Meditatif (2018) Literasi Batin: Menyelami Hakikat Keseharian (2019) Nalar Keumatan: Esai-Esai Keislaman (2019) Buku co-author: 30 Untaian Hikmah Ramadhan: Berantas Kemiskinan dan Kelaparan (2006), Bayang-Bayang Fanatisme: Esai-Esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (2007), Doa Anak Kecil (2007), Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman (2008), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (2009), Mengenal Islam Jalan Tengah: Buku Daras Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (2012). Modul Pendidikan Integritas dalam Islam (2013), Hikmah Abadi Revolusi Imam Husain (2013). Perempuan, Ruang Publik dan Islam: Pengalaman Seminar dari Kota ke Kota (2014), Modul Pelatihan Pencegahan Perbudakan Modern, Kerja Paksa dan Perdagangan Orang (2017). Ia dapat dihubungi via email: [email protected], HP/WA: 085711337514.