161
i Buku Ajar TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan

TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

  • Upload
    others

  • View
    29

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

i

Buku Ajar

TATA RUANG DAN

PERENCANAAN WILAYAH Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan

Page 2: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

ii Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Page 3: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan iii

Buku Ajar

TATA RUANG DAN

PERENCANAAN WILAYAH Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan

SUTARYONO RAKHMAT RIYADI

SUSILO WIDIYANTORO

STPN Press

Bekerja sama dengan

Program Studi DIV STPN, 2020

Page 4: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

iv Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Tata Ruang Dan Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan ©Sutaryono, Rakhmat Riyadi, dan Susilo Widiyantoro

Penulis: Sutaryono, Rakhmat Riyadi, dan Susilo Widiyantoro

Penyunting: Tim Prodi DIV STPN Layout dan Sampul: Widiyantoro dan Wawan Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh STPN Press, November 2020 Gedung Administrasi Akademik LT II Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 55293 Tlp. (0274) 587239, ext: 351 Faxs: (0274) 587138 Website. www.pppm.stpn.ac.id E-mail: [email protected] Bekerja sama dengan Program Studi DIV Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Gedung Pengajaran Lantai I, Jalan Tata Bumi nomor 5, Banyuraden, Gamping, Sleman,Yogyakarta 55293 Telp: 0274-587239, website: http://prodi4.stpn.ac.id/

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Tata Ruang Dan Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan STPN Press, 2020 xvi + 145 hlm.: 15,5 x 23 cm ISBN: 978-602-7894-25-9

Buku Ajar ini tidak diperjualbelikan Hanya untuk kalangan sendiri

Page 5: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan v

KATA PENGANTAR

Terintegrasinya urusan tata ruang dan pertanahan ke dalam

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

adalah suatu keniscayaan untuk menjawab kebutuhan pengelolaan

pertanahan dan tata ruang dalam paradigma land management. Hal ini

memberikan implikasi pada pengambilan kebijakan pertanahan yang

harus memperhatikan bahkan berlandaskan pada produk tata ruang.

Pemanfaatan produk tata ruang sebagai pertimbangan dalam

pengambilan kebijakan pertanahan merupakan amanah Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria. Regulasi tersebut menyebutkan bahwa dalam rangka mencapai

sebesar-besar kemakmuran rakyat maka Negara berhak untuk: (1)

membuat suatu rencana umum yang mengatur mengenai persediaan,

peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; dan (2) mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan

ruang angkasa melalui mekanisme pendaftaran tanah.

Beraneka ragam produk tata ruang, baik pada level pemerintah

pusat, provinsi maupun kabupaten/kota baik dalam bentuk peraturan

pemerintah, peraturan presidan ataupun peraturan daerah provinsi dan

kabupaten/kota menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan

pertanahan, seperti: (a) pemberian hak atas tanah; (b) pertimbangan

teknis dalam rangka pemberian/penolakan izin lokasi; (c)

pertimbangan teknis dalam rangka perubahan penggunaan tanah; (d)

pertimbangan teknis dalam penetapan lokasi; (e) rekomendasi

penguasaan atas tanah timbul; dan (f) pertimbangan dalam

penyusunan dokumen perencaan pengadaan tanah. Dalam konteks

tersebut, maka akan terdapat kegiatan-kegiatan yang dinyatakan boleh

Page 6: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

vi Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

atau tidak boleh dan bisa atau tidak bisa untuk diselenggarakan di

suatu wilayah.

Buku ini disusun untuk menjadi buku ajar sekaligus buku

pegangan wajib bagi dosen dan mahasiswa yang mengambil Mata

Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah pada Program Studi D-IV

Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Buku juga

dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk mata kuliah-mata kuliah

terkait dengan penataan ruang dan pertanahan, baik di lingkungan

STPN maupun pada perguruan tinggi lainnya.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan

terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para

pihak yang telah berkenan memberikan dukungan dan fasilitasi dalam

penerbitan buku ini. Secara khusus ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Senthot Sudirman, M.S., Ketua Sekolah Tinggi

Pertanahan Nasional, yang telah memberikan kesempatan kepada

tim penulis untuk mengembangkan dan mengabdikan ilmunya

dalam situasi kampus yang aman, nyaman dan adhem ayem;

2. Pengelola Program Studi D-IV Pertanahan, yang telah menetapkan

Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah sebagai salah satu mata

kuliah wajib di semester IV;

3. Penerbit STPN Press, yang telah memberikan fasilitasi dalam

penyusunan buku ajar ini;

4. Para kolega yang telah berkenan membuka ruang interaksi dan

diskusi konstruktif, sehingga memperkaya pemahaman dan

wawasan penulis sekaligus mewarnai materi buku ajar ini;

5. Para Taruna Program Studi D-IV Pertanahan, atas interaksi aktif

dan diskusi yang hangat sehingga memperkaya materi dalam

penyusunan buku;

6. Semua pihak yang telah berkontribusi hingga terwujudnya buku

ini.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan adaalah tujuan, namun

demikian realitas menunjukkan hal yang berbeda, termasuk dalam

penulisan buku ajar ini. Oleh karena itu segala bentuk saran, kritik dan

Page 7: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan vii

masukan yang bersifat membangun kami terima dengan tangan

terbuka untuk perbaikan pada penulisan buku selanjutnya. Semoga

buku ajar ini bermanfaat bagi para dosen, mahasiswa dan praktisi yang

sedang mendalami materi penataan ruang yang terkait dengan

kebijakan pertanahan, dan secara lebih khusus bermanfaat bagi para

mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Tata Ruang dan

Perencanaan Wilayah.

Yogyakarta, Juli 2020

Tim Penulis

Page 8: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

viii Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

SAMBUTAN KETUA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah merupakan

mata kuliah keilmuan, keterampilan, dan praktik, sehingga membekali

taruna/i setelah lulus pada mata kuliah ini dapat: (1) menjelaskan

konsep perencanaan wilayah, prinsip-prinsip pewilayahan, dan

pentingnya penataan ruang dalam pengembangan wilayah; (2) meng-

identifikasi problematika perkembangan wilayah; (3) menganalisis

produk-produk penataan ruang dalam rangka penyelesaian konflik;

dan (4) memanfaatkan produk penataan ruang dalam pelayanan per-

tanahan dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik.

Pada prinsipnya buku ajar ini menjelaskan tentang Implementasi

Produk-Produk Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah Dalam

Pengambilan Kebijakan Pertanahan. Saya selaku Ketua Sekolah Tinggi

Pertanahan Nasional mengapresiasi terbitnya buku ajar ini yang ditulis

oleh Saudara Sutaryono, Rakhmat Riyadi, dan Susilo Widiyantoro.

Semoga buku ajar ini memberi kemudahan bagi para taruna/i untuk

mempelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan buku ajar ini

bermanfaat untuk khalayak umum.

Yogyakarta, 28 Oktober 2020

Dr. Senthot Sudirman, M.S.

Page 9: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v SAMBUTAN KETUA STPN viii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR SINGKATAN xiv BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Deskripsi Mata Kuliah 1 1.2. Prasyarat Mata Kuliah 2 1.3. Rencana Pembelajaran 2 1.4. Petunjuk Penggunaan Buku Ajar Bagi Mahasiswa 3 dan Dosen 1.5. Capaian Pembelajaran 4 1.6. Bentuk Evaluasi/Umpan Balik Aktivitas Belajar 5 Mahasiswa

BAB II PERENCANAAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG 7 2.1. Perencanaan Wilayah 7 2.2. Prinsip-Prinsip Perencanaan Wilayah 9 2.3. Penyelenggaraan Penataan Ruang 17 2.4. Tugas 21 2.5. Pustaka

BAB III PERKEMBANGAN WILAYAH 23 3.1. Dinamika Perkembangan Wilayah 23 3.2. Problematika Dalam Perkembangan Wilayah 28 3.3. Kebijakan Pertanahan Untuk Mengatasi Permasalahan 34 Perkembangan Wilayah 3.4. Tugas 52 3.5. Pustaka 53

BAB IV PRODUK-PRODUK PENATAAN RUANG 54 4.1. Perencanaan Tata Ruang 55 4.2. Pemanfaatan Ruang 72 4.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang 74

4.3.1. Pencegahan pelanggaran tata ruang 80 4.3.2 Penertiban pelanggaran tata ruang 83

4.4. Tugas 89 4.5. Pustaka 90

BAB V PEMANFAATAN PRODUK-PRODUK PENATAAN 92 RUANG

Page 10: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

x Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

5.1. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 94 Pemberian Hak Atas Tanah 5.2. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 103 Perizinan Pertanahan 5.3. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 106 Pertimbangan Teknis Pertanahan 5.4. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 110 Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan 5.5. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 116 Penghentian Pemberian Izin Baru

5.5.1. Zonasi Penataan Ruang vs Zonasi PIPPIB 118 5.5.2. Dampak Penerapan PIPPIB 121

5.6. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 125 Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 5.7. Tugas 133 5.8. Pustaka 134

BAB VI PENUTUP 138 INDEKS 142 TENTANG PENULIS 144

Page 11: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Capaian Pembelajaran Lulusan Mata Kuliah Tata Ruang 4 dan Perencanaan Wilayah Tabel 2. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Tata Ruang 5 dan Perencanaan Wilayah Tabel 3. Wilayah-wilayah Prioritas Pelaksanaan Konsolidasi 40 Tanah Tabel 4. Susunan Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah 51 Tabel 5. Sifat Dan Perangkat Pengendalian Pembangunan 79 Tabel 6. Pemberian Insentif dan Disinsentif Dalam Bentuk 83 Kebijakan Non Fiskal Tabel 7. Bentuk Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana 84 Tabel 8. Tipologi dan Unsur Pelanggaran Pemanfaatan Ruang 88 Tabel 9. Dampak Terbitnya PIPPIB 124 Tabel 10. Persyaratan Penetapan Kawasan, Lahan, dan Lahan 127 Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan Tabel 11. Perbedaan Pengaturan Luasan Lahan Pertanian Pangan 130 Berkelanjutan Tabel 12. Alokasi Luasan LP2B Di Kota Bandung 133

Page 12: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

xii Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. The Land Management Paradigm 9 Gambar 2. Skema penyelenggaraan penataan ruang 21 Gambar 3. Skema proses dinamika wilayah 24 Gambar 4. Perkembangan lahan terbangun yang terjadi di wilayah 26 Provinsi DIY pada tahun 1990 (kiri) dan tahun 2006 (kanan) Gambar 5. Peningkatan kualitas lingkungan pasca konsolidasi 38 tanah Gambar 6. Pertambahan nilai bidang tanah yang menjadi objek 38 konsolidasi tanah Gambar 7. Penataan bidang tanah berbasiskan STUP dari para 39 pemilik tanah Gambar 8. Kondisi pra dan pasca konsolidasi tanah di Painan Utara 42 dan Painan Timur Gambar 9. Skema pelaksanaan penataan ruang 54 Gambar 10. Skema produk rencana tata ruang 55 Gambar 11. Hierarki rencana tata ruang 57 Gambar 12. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah DIY 59 Gambar 13. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah DIY 60 Gambar 14. Peta Rencana Kawasan Strategis Wilayah DIY 61 Gambar 15. Muatan rencana tata ruang berdasarkan 62 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Gambar 16. Peta rencana jaringan pergerakan Kota Bandung 64 Gambar 17. Peta rencana pola ruang Kota Bandung 65 Gambar 18. Peta rencana pola ruang SWK Bojonegara 67 Gambar 19. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pemanfaatan 68 ruang Gambar 20. Tabel ITBX pada RDTR Kota Bandung 69 Gambar 21. Ilustrasi (a) KDB dan (b) GSB 70 Gambar 22. Tata cara penyusunan RDTR 72 Gambar 23. Pengendalian dalam pelaksanaan penyelenggaraan 78 penataan ruang Gambar 24. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang 80 Gambar 25. Contoh produk peta hasil analisis overlay antara kondisi 87 eksisting dan data rencana tata ruang Gambar 26. Skema hubungan produk tata ruang dengan 93 pembangunan Gambar 27. Skema pemberian Hak Atas Tanah 94 Gambar 28. Analisis bidang tanah terhadap RTRW yang dituangkan 95

Page 13: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan xiii

dalam bentuk Peta Analisis Penatagunaan Tanah dan digunakan sebagai syarat dalam permohonan pemberian Hak Milik Gambar 29. Perbedaan batas terluar Danau Limboto antara Peta 98 Dasar Teknik 1994/1995 dan Peta KSP Danau Limboto sesuai Perda Provinsi Gorontalo Nomor 9/2017 Gambar 30. Skema cara perolehan tanah oleh pelaku usaha swasta 104 Gambar 31. Prosedur penerbitan izin lokasi berdasarkan komitmen 108 Gambar 32. Analisis terhadap RTRW menjadi salah satu komponen 110 pertimbangan dalam penerbitan pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka izin perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah Gambar 33. Rangkaian kegiatan pengadaan tanah untuk 112 kepentingan umum yang meliputi empat tahapan utama Gambar 34. Analisis lokasi pembangunan Bendung Bulango Ulu 113 terhadap Pola Ruang Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo Gambar 35. Deforestasi hutan akibat alih fungsi hutan primer 116 menjadi perkebunan sawit Gambar 36. PIPPIB di wilayah Indragiri Hulu Provinsi Riau 117 dan sekitarnya Gambar 37. Peta kesesuaian antara PIPPIB dan pola ruang di 120 Provinsi Riau Gambar 38. Peta sebaran lahan baku sawah nasional tahun 2019 129 Gambar 39. Peta sebaran potensi LP2B di Kota Solok 132 Gambar 40. Sebaran lokasi LP2B yang tergambarkan di Peta 133 Rencana Pola Ruang SWK Ujungberung Gambar 41. Artikel di Harian Kompas tentang problematika 139 integrasi agraria dan tata ruang Gambar 42. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang 139 (a) dilema pengaturan ruang antara Tata Ruang vs Tata Uang dan (b) tanah sebagai sebuah ruang komersial Gambar 43. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang 140 (a) keberlanjutan lingkungan melalui tata guna tanah dan (b) tanah sebagai sebuah ruang komersial Gambar 44. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi 140 pengarusutamaan tata ruang di wilayah DIY dan (b) kebutuhan penataan ruang berbasis bencana di wilayah DIY Gambar 45. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi 141 pengendalian pemanfaatan ruang dan (b) momentum Hari Tata Ruang Nasional untuk percepatan penyusunan RDTR

Page 14: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

xiv Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

DAFTAR SINGKATAN

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ANDALIN : Analisis Dampak Lalu Lintas APL : Area Penggunaan Lain ATR : Agraria dan Tata Ruang BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BIG : Badan Informasi Geospasial BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPN : Badan Pertanahan Nasional BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPS : Badan Pusat Statistik BUMN : Badan Usaha Milik Negara BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BWP : Bagian Wilayah Perencananaan CPL : Capaian Pembelajaran Lulusan CPMK : Capaian Pembelajaran Mata Kuliah DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah GSB : Garis Sempadan Bangunan HGB : Hak Guna Bangunan HGU : Hak Guna Usaha HM : Hak Milik HMSRS : Hak Milik atas Satuan Rumah Susun HP : Hak Pakai HPL : Hak Pengelolaan Inpres : Instruksi Presiden JBB : Jarak Bebas Belakang JBS : Jarak Bebas Samping KDB : Koefisien Dasar Bangunan KDH : Koefisien Dasar Hijau KKOP : Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan KKP : Komputerisasi Kantor Pertanahan KLB : Koefisien Lantai Bangunan KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KSN : Kawasan Strategis Nasional KSP : Kawasan Strategis Provinsi KTB : Koefisien Tapak Basement KWT : Koefisien Wilayah Terbangun LAPAN : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia NPP : Nilai Perbandingan Proporsional

Page 15: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan xv

NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria OPD : Organisasi Perangkat Daerah OSS : Online Single Submission Pemda : Pemerintah Daerah Perda : Peraturan Daerah Permen : Peraturan Menteri PIPPIB : Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru PKN : Pusat Kegiatan Nasional PLP2B : Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan PP : Peraturan Pemerintah PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil PSU : Prasarana, Sarana, dan Utilitias PTSL : Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap PUPR : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat PZ : Peraturan Zonasi Raperda : Rancangan Peraturan Daerah RDTR : Rencana Detail Tata Ruang Renstra : Rencana Strategis RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPS : Rencana Pembelajaran Semester RTBL : Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan RTH : Ruang Terbuka Hijau RTR : Rencana Tata Ruang RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah SE : Surat Edaran SK : Surat Keputusan SNI : Standar Nasional Indonesia SNPT : Standar Nasional Pendidikan Tinggi STUP : Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan SWK : Sub Wilayah Kota TB : Ketinggian Bangunan TP : Tanah untuk Pembangunan TPZ : Teknik Pengaturan Zonasi TUB : Tanah Usaha Bersama UAS : Ujian Akhir Semester UKL : Upaya Pengelolaan Lingkungan UPL : Upaya Pemantauan Lingkungan UTS : Ujian Tengah Semester UU : Undang-Undang UUPA : Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Page 16: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

xvi Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Agraria Wasmatlirik : Pengawasan, pengamatan, penelitian, dan pemeriksaan WNI : Warga Negara Indonesia

Page 17: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Deskripsi Mata Kuliah

Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah merupakan

satu mata kuliah wajib pada Program Studi Diploma IV Pertanahan

pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Mata kuliah ini diorien-

tasikan untuk memberikan bekal kepada peserta didik berkenaan

dengan pengetahuan tentang penataan ruang dan perencanaan wilayah

berikut keterampilan dalam pemanfaatan produk-produk penataan

ruang untuk kebijakan pertanahan.

Secara substansial, materi utama yang dipaparkan adalah konsepsi

tentang penataan ruang, pembangunan wilayah, produk-produk pena-

taan ruang serta pemanfaatan produk-produk penataan ruang dalam

kebijakan pertanahan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebijakan

pertanahan adalah berbagai kebijakan dan/atau pelayanan di bidang

pertanahan seperti pemberian hak atas tanah, perijinan pertanahan,

pertimbangan teknis pertanahan dan penetapan lokasi dalam penga-

daan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.

Metode pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan di

atas terdiri dari 3 (tiga) metode, yakni: (1) discovery learning. Pembela-

jaran model discovery learning ini mendorong peserta didik untuk

mampu terlibat di dalam proses pembelajaran secara aktif sehingga

mampu menemukenali berbagai permasalahan serta mampu membe-

rikan alternatif pemecahan masalah; (2) contextual learning and case

based. Pembelajaran dengan model ini merupakan pembelajaran yang

memungkinkan peserta didik mampu memperkuat dan memperluas

serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya

dalam berbagai lingkungan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas

dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan; dan (3) collabora-

Page 18: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

2 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tive learning. Pembelajaran dengan metode collaborative learning men-

dorong peserta didik untuk mampu belajar secara berkelompok yang

melibatkan banyak pihak untuk bertukar gagasan, berbagi pengalaman

dan saling bekerja sama untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau

suatu pekerjaan.

1.2. Prasyarat Mata Kuliah

Secara normatif mata kuliah ini tidak mempersyaratkan adanya

mata kuliah-mata kuliah prasyarat. Namun demikian, agar mampu me-

ngikuti mata kuliah ini sekaligus memperoleh capaian pembelajaran

yang ditetapkan maka untuk mengambil mata kuliah ini peserta didik

diharapkan sudah atau sedang mengambil mata kuliah manajemen

pertanahan, pendaftaran tanah, perencanaan pembangunan pertana-

han dan sistem informasi geografis.

Pengetahuan dan keterampilan pada beberapa mata kuliah di atas

menjadi bagian penting dalam mengembangkan kemampuan analisis

terhadap produk-produk penataan ruang pada berbagai aras pelak-

sanaan penataan ruang, yakni aras perencanaan, pemanfaatan dan pe-

ngendalian pemanfaatan ruang. Hasil analisis terhadap produk-produk

penataan ruang tersebut pada akhirnya dimanfaatkan untuk peng-

ambilan kebijakan pertanahan.

1.3. Rencana Pembelajaran

Rencana pembelajaran mata kuliah ini mengikuti Rencana

Pembelajaran Semester (RPS) yang sudah ditetapkan. Dalam RPS telah

disebutkan bahwa materi pokok mata kuliah ini terbagi menjadi 4

(empat). Materi I (Perencanaan Wilayah dan Penataan Ruang) dan

Materi II (Perkembangan Wilayah) disampaikan pada tengah semester

pertama, yakni pada pertemuan 1 – 7. Materi III (Produk-Produk

Penataan Ruang) dan Materi IV (Pemanfaatan Produk-Produk Pena-

taan Ruang) diajarkan pada tengah semester kedua, yakni pada perte-

muan 9 - 15.

Page 19: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 3

Pertemuan pada tengah semester pertama diakhiri dengan perte-

muan ke-8 dalam bentuk ujian tengah semester (UTS) dan pada tengah

semester kedua diakhiri dengan pertemuan ke-16 dalam bentuk ujian

akhir semester (UAS). UTS dan UAS ini merupakan bagian dari eva-

luasi pembelajaran, yang melengkapi evaluasi pembelajaran yang dila-

kukan pada setiap pertemuan, baik dalam bentuk tanya jawab, diskusi,

kuis atau tugas lainnya.

1.4. Petunjuk Penggunaan Buku Ajar Bagi Mahasiswa dan Dosen

Buku ajar ini merupakan buku pegangan wajib bagi mahasiswa

yang mengambil Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah.

Untuk mempermudah dalam mempelajari buku ajar ini, beberapa hal

penting harus dilakukan oleh mahasiswa adalah: (a) mengakses dan

mempelajari Rencana Pembelajaran Semester (RPS) yang telah ditetap-

kan; (b) mencermati Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) Tata

Ruang dan Perencanaan Wilayah; (c) membaca dan mendalami setiap

materi secara sekuensial sebagaimana dalam RPS; (d) mengakses dan

mempelajari referensi lain untuk memperkaya referensi pada setiap

materi sebagaimana tertulis dalam RPS; (e) mengerjakan tugas sebagai-

mana telah ditetapkan dalam RPS atau yang diberikan oleh Dosen pada

setiap pertemuan; dan (f) memberikan umpan balik untuk perbaikan

materi pada buku ajar ini.

Di sisi lain, buku ajar ini merupakan salah satu pegangan bagi

Dosen Pengampu Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah

di samping referensi lain sesuai dengan kebutuhan dan relevan dengan

materi pokok yang diajarkan. Untuk mewujudkan tujuan penulisan

buku ajar ini, maka beberapa hal penting perlu dilakukan oleh dosen

pengampu Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah, yakni:

(a) menyampaikan materi pendahuluan pada pertemuan pertama dan

diikuti dengan penjelasan RPS mata kuliah; (b) menyampaikan materi

secara sekuensial berdasarkan buku ajar ini ditambah referensi lain

yang relevan; (c) melakukan evaluasi pada setiap pertemuan berdasar-

kan materi yang disampaikan; (d) memberikan ruang diskusi, kuis atau

Page 20: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

4 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tugas lain sebagai media evaluasi sekaligus untuk mendapatkan umpan

balik dari mahasiswa; dan (e) menyempurnakan materi buku ajar ini

berdasarkan evaluasi dan umpan balik dari mahasiswa sebagai peserta

didik.

1.5. Capaian Pembelajaran

Capaian pembelajaran mata kuliah ini diturunkan dari capaian

pembelajaran lulusan yang disusun berdasarkan standar kompetensi

lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendi-

dikan Tinggi (SNPT). Dalam hal ini standar kompetensi lulusan

merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan

yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dinyatakan

dalam rumusan capaian pembelajaran lulusan.

Tabel 1. Capaian Pembelajaran Lulusan Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah

Kode CPL yang dibebankan pada Mata Kuliah Tata Ruang

dan Perencanaan Wilayah (Semester IV)

SIKAP (S)

S4 Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air, memiliki nasionalisme serta rasa tanggung jawab pada negara dan bangsa

S9 Menghormati keberagaman dan menjunjung tinggi nasionalisme

PENGETAHUAN (P)

P1 Menguasai prinsip dan teknik survey pemetaan, serta pengelolaan basis data agraria-pertanahan dan tata ruang

P2 Menguasai prinsip-prinsip hukum dan administrasi pertanahan

KETERAMPILAN UMUM (KU)

KU5

Mampu mengambil keputusan secara tepat berdasarkan prosedur baku, spesifikasi desain, persyaratan keselamatan dan keamanan kerja dalam melakukan supervisi dan evaluasi pada pekerjaannya

Page 21: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 5

KETERAMPILAN KHUSUS (KK)

KK1 Terampil melakukan analisis spasial dalam bidang agraria, penataan ruang dan pertanahan

Tabel 2. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah

Kode CPMK yang dibebankan pada Mata Kuliah Tata Ruang

dan Perencanaan Wilayah (Semester IV)

CPMK1 Mampu menjelaskan konsep perencanaan wilayah, prinsip-prinsip perencanaan wilayah dan pentingnya penataan ruang dalam pengembangan wilayah (S4, P2)

CPMK2 Mampu mengidentifikasi problematika perkembangan wilayah (S9, KK1)

CPMK3 Mampu menganalisis produk-produk penataan ruang dalam rangka penyelesaian konflik (P1, KU5)

CPMK4 Mampu memanfaatkan produk penataan ruang dalam pelayanan pertanahan dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik (S9, KK1)

Sebagaimana capaian pembelajaran lulusan, capaian pembelajaran

mata kuliah ini juga disusun ke dalam 4 kriteria, yakni capaian pembe-

lajaran sikap, pengetahuan, keterampilan umum dan keterampilan

khusus (Tabel 1). Capaian pembelajaran dalam bentuk sikap dan

keterampilan umum sudah ditetapkan berdasarkan Permendikbud

Nomor 3/2020 tentang SNPT yang penerapannya disesuaikan dengan

bidang ilmu dan karakteristik mata kuliah. Sedangkan pengetahuan

dan keterampilan khusus merupakan capaian pembelajaran penciri

pada mata kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah (Tabel 2).

1.6. Bentuk Evaluasi/Umpan Balik Aktivitas Belajar Mahasiswa

Pembelajaran merupakan suatu sistem input–proses–output yang

harus terus menerus diperbaiki, disempurnakan dan disesuaikan de-

ngan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Begitu juga dengan

proses pembelajaran pada Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan

Wilayah yang menggunakan buku ajar ini sebagai buku pegangan

Page 22: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

6 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

utama. Dalam hal ini evaluasi aktivitas belajar mahasiswa dapat

dimaknai sebagai proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk

mengidentifikasi dan mengumpulkan berbagai informasi terkait proses

pembelajaran dalam rangka pengambilan perbaikan proses di

kemudian hari.

Proses evaluasi aktifitas belajar mahasiswa dilakukan melalui re-

konstruksi mata kuliah, mulai dari penetapan capaian pembelajaran

sampai pada penilaian hasil belajar. Apakah hasil belajar berdasarkan

proses pembelajaran yang dilakukan sudah menghasilkan capaian

pembelajaran mata kuliah atau belum? Untuk menjawab hal tersebut

maka instrumen utama yang digunakan adalah evaluasi pembelajaran

pada setiap tahapan pembelajaran sesuai yang ditetapkan dalam RPS.

Bentuk evaluasi dan penilaian dalam proses pembelajaran mata

kuliah ini terdiri dari evaluasi setiap tatap muka dan tugas terstruktur.

Evaluasi setiap tatap muka dilakukan dalam bentuk pemberian kuis,

pekerjaan rumah dan penilaian melalui aktifitas presentasi dan diskusi.

Tugas terstruktur dalam mata kuliah ini diberikan dalam bentuk

mereview bahan ajar/referensi pembelajaran, pengamatan lapangan

terkait identifikasi permasalahan perkembangan wilayah, pengenalan

terhadap produk-produk penataan ruang dan simulasi pemanfaatan

produk-produk penataan ruang dalam kebijakan pertanahan.

Page 23: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 7

BAB II PERENCANAAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG

Muatan pada bab ini berisi tentang konsepsi perencanaan wilayah,

prinsip-prinsip pewilayahan serta penyelenggaraan penataan ruang.

Pengetahuan yang terdapat dalam bab ini memberikan penjelasan dan

argumentasi tentang pentingnya mengetahui konsepsi dan kondisi

perencanaan wilayah dan penyelenggaraan penataan ruang di

Indonesia. Pengetahuan dan pemahaman tersebut sangat dibutuhkan

dalam praktik pelayanan pertanahan dan menjadi referensi utama

dalam pengambilan kebijakan pertanahan.

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Pertama (CPMK1) yang hendak

dicapai melalui bab ini adalah peserta didik mampu menjelaskan kon-

sep perencanaan wilayah, prinsip-prinsip perencanaan wilayah dan

pentingnya penataan ruang dalam pengembangan wilayah.

2.1. Perencanaan Wilayah

Berbagai permasalahan pembangunan saat ini muncul akibat

adanya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang bersifat sek-

toral. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan agar perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara terintegrasi antar

sektor maupun antar wilayah. Salah satu yang disodorkan adalah suatu

sistem kerja terintegrasi pada aras perencanaan. Sistem kerja tersebut

dikenal dengan comprehensive planning. Perencanaan yang bersifat

comprehensive ini adalah suatu sistem perencanaan yang pelaksanaan-

nya memperhatikan kebutuhan, tujuan dan kepentingan dari sektor

yang lain.

Dalam hal ini sistem perencanaan meliputi dua hal, yaitu sistem

yang berhubungan dengan organisasi perencanaan itu sendiri mapun

Page 24: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

8 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

sistem yang menyangkut wilayah yang direncanakan. Dengan dilandasi

oleh ide sistem inilah kemudian timbul apa yang sekarang dikenal

dengan perencanaan wilayah yang bersifat comprehensive ini. Dalam

kaitannya dengan pengertian wilayah, perencanaan yang bersifat

comprehensive, ada tiga macam skala wilayah, yakni:

1. Wilayah Nasional. Wilayah Nasional adalah wilayah yang dibatasi

oleh batas-batas administrasi dan politik suatu negara tertentu,

yang di dalamnya terdapat berbagai wilayah regional atau provinsi

maupun wilayah kabupaten atau kota.

2. Wilayah Regional. Wilayah regional merupakan sub wilayah

nasional yang dibatasi oleh unit administrasi tertentu ataupun

didasarkan pada batasan-batasan fisikal yang ada pada daerah

tertentu atau gabungan dari keduanya. Wilayah ini dapat berupa

wilayah pengembangan yang terdiri dari beberapa

kabupaten/kota, maupun terbatas pada wilayah administrasi

setingkat provinsi.

3. Wilayah Lokal. Seperti halnya dengan skala wilayah sub nasional

(wilayah regional), batas wilayah lokal inipun dapat menganut

batasan-batasan unit administratif maupun unit-unit fisikal yang

ada. Oleh karena itu wilayah dalam skala ini biasanya hanya

meliputi daerah yang sempit saja, biasanya delimitasi atas dasar

unit administrasi lebih mudah dikerjakan. Wilayah lokal yang

sering digunakan adalah wilayah administratif setingkat

kabupaten/kota. Dalam konteks sekarang, telah berkembang

wilayah-wilayah perencanaan dalam skala lokal yang lebih spesifik,

seperti wilayah desa, wilayah adat ataupun wilayah-wilayah

perencanaan lainnya yang diatur dalam kebijakan penataan ruang.

Perencanaan wilayah selalu menyangkut tiga jenis aspek

kehidupan, yaitu aspek sosial budaya, aspek ekonomi dan aspek fisik.

Oleh karena itu setiap perencanaan wilayah pada skala wilayah yang

berbeda selalu terkait pula dengan ketiga aspek kehidupan tersebut.

Walaupun dalam skala yang lebih luas ketiga aspek tersebut sangat

Page 25: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 9

sulit untuk dipilah-pilahkan karena pada hakekatnya ketiga hal itu

saling terkait, namun proporsi kegiatan dalam beberapa hal masih

dapat diamati mengenai titik beratnya. Hal ini inline dengan orientasi

pembangunan berkelanjutan dalam perspektif land management

sebagaimana dikemukakan oleh Enemark dkk (2005) dalam Gambar 1

berikut. Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa orientasi utama

paradigma land management adalah Sustainable Development (pemba-

ngunan berkelanjutan) yang menyangkut aspek ekonomi, sosial dan

lingkungan (fisik).

Gambar 1. The Land Management Paradigm

(Sumber: Enemark dkk 2005)

2.2. Prinsip-Prinsip Perencanaan Wilayah

Perencanaan merupakan satu unsur penting yang sangat

menentukan dalam sebuah proses kerja. Tanpa perencanaan yang baik,

sebuah proses kerja tidak akan memberikan hasil yang memuaskan,

kalau tidak dikatakan gagal. Inilah pentingnya sebuah perencanaan.

Menurut Terry dan Rue (1991, 9), Planning atau perencanaan dimaknai

sebagai kegiatan untuk menentukan tujuan-tujuan yang hendak

Page 26: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

10 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

dicapai selama suatu masa yang akan datang dan apa yang harus

diperbuat agar dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan

pengertian itu tampak bahwa sebuah perencanaan adalah titik awal

sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Ini menun-

jukkan bahwa kemana sebuah organisasi bergerak, tujuan apa yang

ingin dicapai, sumber daya apa yang harus disiapkan untuk mencapai

tujuan tersebut, tergantung pada keberhasilan dalam perencanaan.

Terry dan Rue merumuskan berbagai tahapan yang merupakan kegia-

tan utama dalam perencanaan, yang meliputi:

1. self audit – menentukan keadaan organisasi sekarang, dalam

konteks sekarang lebih dikenal dengan istilah identifikasi potensi

diri, dalam hal ini cenderung menemukenali kekuatan

(strenghtness) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki;

2. survey lingkungan, dapat dimaknai sebagai upaya lanjutan dalam

identifikasi diri, tetapi kegiatan ini lebih berorientasi pada kondisi

lingkungan sekitar, lebih jauh lagi dapat diorientasikan pada

identifikasi tentang peluang (opportunities) dan ancaman (threats)

yang ada apabila akan melakukan sebuah kerja;

3. objectives – menentukan tujuan, kegiatan ini digunakan untuk

mengarahkan kemana organisasi akan berjalan, dalam hal ini

tujuan yang ditetapkan harus didefinisikan secara jelas sehingga

dapat digunakan untuk mengetahui ukuran keberhasilan dan

kegagalan secara objektif;

4. forecast – meramalkan keadaan-keadaan yang akan datang, mera-

malkan disini dimaknai sebagai tindakan memprediksikan

keadaan dan kondisi yang akan dihadapi berdasarkan pertim-

bangan-pertimbangan rasional dan objektif di masa mendatang;

5. melakukan tindakan-tindakan untuk dapat mengerahkan berbagai

sumber daya yang dimiliki;

6. evaluate – mempertimbangkan berbagai tindakan-tindakan yang

direncanakan untuk dilakukan, sebelum diimplementasikan ke

dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan;

Page 27: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 11

7. revist and adjust – mengubah dan menyesuaikan rencana-rencana

dengan hasil evaluasi dan pengawasan dengan keadaan yang selalu

berubah

8. communicate – komunikasi terhadap semua komponen yang ter-

libat dalam seluruh kegiatan dan terus dilakukan selama proses

perencanaan.

Beberapa tahapan ini merupakan tahapan yang bersifat umum

untuk berbagai kegiatan perencanaan. Untuk berbagai jenis kegiatan

yang mempunyai tipologi berbeda, tahapan di atas dapat dimodifikasi

sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh sebuah organisasi dalam

upaya mewujudkan tujuan organisasinya. Demikian pula dalam proses

penyusunan rencana tata ruang. Beberapa tahapan tersebut harus tetap

diperhatikan meskipun dengan berbagai penyesuaian. Beberapa

penyesuaian perlu dilakukan misalnya perencanaan yang konseptual,

terintegrasi, akomodatif dan berkesinambungan menjadi suatu

keharusan dalam penyusunan rencana tata ruang agar dalam imple-

mentasinya tidak terjadi perbedaan interpretasi yang dapat meng-

ganggu jalannya pembangunan.

Dalam konteks kekinian, perencanaan wilayah disusun dalam

bentuk perencanaan tata ruang, baik pada level nasional, provinsi

maupun level kabupaten kota atau perencanaan tata ruang yang

bersifat detail/rinci pada wilayah-wilayah tertentu. Agar dapat ter-

wujud perencanaan wilayah yang konseptual, terintegrasi, akomodatif

dan berkesinambungan terdapat beberapa ide pokok yang harus

diperhatikan. Beberapa ide pokok dalam kegiatan perencanaan dalam

konteks perencanaan tata ruang tersebut meliputi:

1. Konseptualisasi. Konseptualisasi dimaknai sebagai proses berpikir

untuk pembentukan konsep yang holistik terhadap sebuah

wilayah. Visi ke depan sebuah wilayah yang akan dijabarkan dalam

suatu disain tata ruang adalah satu hal penting yang harus

diperhatikan. Artinya, kebijaksanaan penataan ruang yang akan

dimanifestasikan dalam rencana tata ruang harus mendukung

Page 28: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

12 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tercapainya visi yang dibangun berdasarkan karakteristik wilayah

dan masa depan suatu wilayah.

2. Pemilihan Jenis Kegiatan. Proses pemilihan jenis kegiatan ini

sepenuhnya didasari oleh visi yang sudah ditetapkan oleh sebuah

wilayah. Artinya jenis kegiatan yang akan direkomendasikan

dalam rencana tata ruang secara langsung maupun tidak langsung

mampu mendukung tercapainya tujuan pembangunan di wilayah

tersebut.

3. Pertimbangan Rasionalitas. Dasar-dasar pertimbangan rasionalitas

untuk berbagai kegiatan di masa mendatang harus dimatangkan

sejak dini, agar dalam rentang waktu perjalanan pelaksanaan

rencana tata ruang tidak kehilangan orientasi. Pertimbangan

rasionalitas ini pulalah yang digunakan sebagai langkah antisipasi

dalam menghadapi berbagai kemungkinan penentangan dan

penolakan terhadap rencana tata ruang yang sudah tersusun.

4. Pengambilan Keputusan. Dasar-dasar pertimbangan rasional yang

ada sebagaimana butir ke-3 digunakan dalam proses pengambilan

keputusan saat ini tentang hal-hal yang akan dilaksanakan di masa

depan. Dalam proses ini pelibatan berbagai stake holder perlu

dilakukan agar keputusan yang diambil memiliki legitimasi dan

jastifikasi yang relatif kuat. Keputusan dalam penyusunan rencana

tata ruang wilayah berkisar pada visi dan orientasi ke depan

wilayah yang direncanakan serta rekomendasi penggunaan ruang

yang dimanifestasikan ke bentuk struktur ruang dan pola ruang,

untuk berbagai wilayah pengembangan.

5. Alokasi Ruang. Pengalokasian ruang secara sistematis dan rasional

untuk berbagai penggunaan merupakan ‘roh’ kebijaksanaan

penataan ruang. Artinya, ke-empat ide pokok terdahulu semuanya

bermuara pada perencanaan yang berkaitan dengan alokasi ruang.

Karena alokasi ruang merupakan sebuah tahapan final peren-

canaan yang dimanifestasikan dalam sebuah rekomendasi

kebijaksanaan penataan ruang suatu wilayah.

Page 29: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 13

Menurut Tarigan (2004, 43) perencanaan ruang adalah peren-

canaan penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah

perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan

pergerakan pada ruang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ‘roh’

dalam perencanaan ruang adalah land use planning, yang dalam

konteks kelembagaan di Indonesia (Badan Pertanahan Nasional) sering

disebut dengan rencana tata guna tanah. Meskipun perkembangan

terakhir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah (PP 16/2004) secara implisit disebutkan bahwa

penatagunaan tanah atau pola pengelolaan tata guna tanah adalah sub

sistem dari rencana tata ruang wilayah.

Berbicara tentang land use planning, kita tidak bisa menafikan

pendapat Working Group on Integrated Land Use Planning (WGLUP)

dalam Amler dkk (1999, 16) yang menyatakan bahwa “Land Use

Planning (LUP) is an iterative process based on the dialogue amongst all

stakeholders aiming at the negotiation and decision for a sustainable

form land use in rural areas as well as initiating and monitoring its

implementation”. Artinya bahwa perencanaan penggunaan lahan

merupakan sebuah proses yang didasarkan pada dialog antar semua

stake holder yang berisikan negosiasi dan keputusan untuk mewujud-

kan keberlanjutan penggunaan tanah di wilayah pedesaan secara baik,

mulai tahapan inisiasi sampai monitoring dalam implementasi.

Ada sedikit perbedaan pengertian di atas dengan konteks tulisan

ini. Pengertian di atas hanya memfokuskan pada rural area, sementara

pada tulisan ini mencoba mengkaji berbagai penggunaan lahan/ruang.

Namun demikian ‘roh’ dalam definisi di atas adalah sama dengan

konsep perencanaan ruang yang melibatkan semua stake holder dalam

penyusunan maupun dalam pelaksanannya. Lebih lanjut, land use plan-

ning yang digagas WGLUP mensyaratkan adanya 11 (sebelas) prinsip

yang harus diperhatikan, yang meliputi (Amler dkk 1999, 22-25):

1. rencana penggunaan lahan harus berorientasi pada kondisi lokal,

baik metode maupun substansinya;

Page 30: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

14 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

2. rencana penggunaan lahan mempertimbangkan pandangan-

pandangan budaya dan bangunan-bangunan yang didasarkan

pada kearifan lokal;

3. rencana penggunaan lahan mempertimbangkan strategi

tradisional untuk penyelesaian masalah dan konflik;

4. rencana penggunaan lahan mempunyai asumsi bahwa sebuah

konsep mengenai pembangunan perdesaan adalah sebuah proses

bottom up untuk menolong diri sendiri (mandiri) dan mencip-

takan responsibilitas diri;

5. rencana penggunaan lahan adalah sebuah proses dialog,

menciptakan prakondisi untuk keberhasilan dalam negosiasi dan

kerjasama antar stake holder;

6. rencana penggunaan lahan adalah sebuah proses menuju pada

peningkatan kapasitas partisipasi masyarakat dalam perencanaan

dan pelaksanaan;

7. rencana penggunaan lahan memerlukan transparansi, oleh karena

itu akses yang luas terhadap informasi bagi semua partisipan

merupakan suatu prasyarat yang harus dipenuhi;

8. deferensiasi stake holder dan pendekatan gender adalah prinsip

pokok dalam rencana penggunaan lahan;

9. rencana penggunaan lahan berbasis kerjasama interdisipliner;

10. rencana penggunaan lahan adalah suatu proses iteratif, fleksibel

dan terbuka, berbasis pada penemuan-penemuan dan perubahan-

perubahan baru;

11. rencana penggunaan lahan berorientasi pada implementasi.

Beberapa hal yang dikemukakan Amler di sini memfokuskan

perencanaan penggunaan lahan untuk wilayah perdesaan. Hal ini

didasari oleh pemikiran bahwa sebuah perencanaan penggunaan lahan

adalah merencanakan berbagai wilayah yang penggunaannya masih

minimalis atau dengan kata lain existing land use-nya masih sangat

terbatas. Namun demikian apa yang dikemukakan Amler ini adalah

bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan ruang secara

Page 31: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 15

umum. Artinya setiap perencanaan penggunaan lahan perlu

mempertimbangkan beberapa prinsip di atas, mengingat prinsip-

prinsip tersebut dapat diimplementasikan baik untuk perencanaan

penggunaan lahan perdesaan maupun perencanaan di wilayah lainnya.

Dalam kerangka kebijakan perencanaan wilayah di Indonesia

menggunakan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pena-

taan Ruang. Beberapa pengertian dasar dalam perencanaan wilayah

sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang adalah:

1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan

ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan

wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan

kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan

sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai

pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara

hierarkis memiliki hubungan fungsional.

4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu

wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan

peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata

ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi

pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan

ruang.

7. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan

hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat

dalam penataan ruang.

8. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan

kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat.

Page 32: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

16 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

9. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan

penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

10. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan

penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan pera-

turan perundang-undangan.

11. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan

struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan

penetapan rencana tata ruang.

12. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur

ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui

penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

13. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujud-

kan tertib tata ruang.

14. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

15. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan

berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

16. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang

mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.

17. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau

budidaya.

18. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi

utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup

sumber daya alam alam dan sumber daya buatan.

19. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi

sumber daya alam,sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Beberapa pengertian dasar di atas menunjukkan bahwa dalam

perencanaan wilayah di Indonesia, maka objek utama atau muatannya

adalah ruang. Dalam hal ini dapat berupa ruang darat, ruang laut

maupun ruang udara. Namun demikian, dalam konteks ini peren-

Page 33: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 17

canaan wilayah difokuskan pada perencanaan ruang darat, dengan

matra utamanya adalah tanah. Sehingga bahasan-bahasan selanjutnya

berkenaan dengan perencanaan dan perkembangan wilayah, akan

sering dikemukakan beberapa peristilahan yang dapat menimbulkan

kerancuan, seperti ruang, wilayah, lahan maupun tanah.

2.3. Penyelenggaraan Penataan Ruang

Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang

dimaksud dengan penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan

yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan

penataan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk

mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif,

dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan

Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingku-

ngan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam

dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya

manusia; dan

c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak

negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Untuk mewujudkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas,

penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:

a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

rentan terhadap bencana;

b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber

daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,

pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan

dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan

c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.

Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah

provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara

Page 34: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

18 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

berjenjang dan komplementer. Penataan ruang wilayah nasional

meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional

yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk

ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Adapun penataan ruang

wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut,

dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam penyelenggaraan penataan ruang, Negara memberikan

kewenangan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah guna

penyelenggaraan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Dalam penyelenggaraan penataan ruang, dilakukan dengan

tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya adalah hak atas

tanah. Kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penye-

lenggaraan penataan ruang didasarkan pada lingkup wilayah yang

menjadi otoritasnya.

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang

meliputi: (a) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelak-

sanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupa-

ten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis

nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan

ruang wilayah nasional; (c) pelaksanaan penataan ruang kawasan

strategis nasional; dan (d) kerja sama penataan ruang antarnegara dan

pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antar provinsi. Wewenang

Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;

b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.

Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawa-

san strategis nasional meliputi: (a) penetapan kawasan strategis

nasional; (b) perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; (c)

Page 35: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 19

pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan (d) pengendalian

pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.

Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah

berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan

ruang. Dalam pelaksanaan wewenang tersebut, Pemerintah: (a) menye-

barluaskan informasi yang berkaitan dengan: (1) rencana umum dan

rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang

wilayah nasional; (2) arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional

yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah

nasional; dan (3) pedoman bidang penataan ruang; serta (b) menetap-

kan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

Berkenaan dengan pemerintah daerah, wewenang pemerintah

provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: (a) penga-

turan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan

ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelak-

sanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;

(b) pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; (c) pelaksanaan

penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan (d) kerja sama pena-

taan ruang antar provinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan

ruang antar kabupaten/kota.

Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan

penataan ruang wilayah provinsi meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;

b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi pemerintah

daerah provinsi melaksanakan: (a) penetapan kawasan strategis

provinsi; (b) perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi; (c)

pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan (d) pengendalian

pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi. Adapun pelaksanaan

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan

Page 36: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

20 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

strategis provinsi dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupa-

ten/kota melalui tugas pembantuan.

Berkenaan dengan tingkat kabupaten/kota, pemerintah

kabupaten/kota mempunyai wewenang dalam: (a) pengaturan, pembi-

naan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah

kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; (b) pelaksana-

an penataan ruang wilayah kabupaten/kota; (c) pelaksanaan penataan

ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan (d) kerja sama penataan

ruang antar kabupaten/kota. Wewenang pemerintah kabupaten/kota

dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

Berkenaan dengan pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis

kabupaten/kota melaksanakan:

a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;

b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupa-

ten/kota.

Dalam penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah berkewaji-

ban melakukan pembinaan penataan ruang kepada pemerintah daerah

provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat, yang

meliputi berbagai kegiatan berikut:

a. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;

b. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan sosialisasi pedo-

man bidang penataan ruang;

c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan

penataan ruang;

d. pendidikan dan pelatihan;

e. penelitian dan pengembangan;

f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;

Page 37: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 21

g. penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan

h. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.

Secara umum penyelenggaraan penataan ruang, baik yang menjadi

kewenangan Pemerintah maupun pemerintah daerah tergambar dalam

skema pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema penyelenggaraan penataan ruang

(Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU 2012, 25)

2.4. Tugas

Berikut ini adalah tugas yang harus dikerjakan oleh masing-

masing peserta didik untuk memperdalam pemahaman konsep dan

prinsip-prinsip perencanaan wilayah serta pentingnya penataan ruang

dalam perencanaan dan pengembangan wilayah.

A. Tujuan Tugas

Menjelaskan konsep perencanaan wilayah, prinsip-prinsip peren-

canaan wilayah dan pentingnya penataan ruang dalam perencanaan

dan pengembangan wilayah.

Page 38: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

22 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

B. Uraian Tugas

1. Objek garapan: Konsep dan Prinsip-prinsip Perencanaan wilayah

dan Penataan Ruang

2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):

a. Mencari naskah yang relevan

b. Menuliskan dalam bentuk makalah

c. Mempresentasikan di depan kelas

3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:

Paper mengenai summary semua konsep dan prinsip-prinsip

perencanaan wilayah dan tata ruang maksimal 5 halaman A4, diketik

dengan komputer dengan font: Arial (11) atau Calibri (12) atau Times

New Roman (12), dengan spasi tunggal.

2.5. Pustaka

Amler, B., Betke, D., Eger, H., Ehrich, C., Kohler, A., Kutter, A., von

Lossau, A., Muller, U., Seidemann, S., Steurer, R., dan

Zimmermann, W. 1999, Land Use Planning: Methods, Strategies

and Tools, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit

(GTZ), Eschborn, Germany.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum

2012, Mengenal Lebih Dekat Penataan Ruang Bagi Generasi Muda,

Jakarta

Enemark, S, Williamson, I, dan Wallace, J 2005, 'Building Modern Land

Administration System in Developed Economies', Journal of

Spatial Science, vol. 50, no. 2, hlm. 51-58

Tarigan, Robinson 2004, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi

Aksara, Jakarta

Terry, George R dan Rue, Leslie W 1991, Dasar-dasar Manajemen,

cetakan ketiga, Bumi Aksara, Jakarta

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan

Tanah

Page 39: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 23

BAB III PERKEMBANGAN WILAYAH

Muatan pada bab ini berisi tentang problematika perkembangan

wilayah. Pengetahuan yang terdapat dalam bab ini memberikan penje-

lasan tentang adanya keragaman problematika dalam perkembangan

suatu wilayah. Pengetahuan dan pemahaman tersebut sangat dibu-

tuhkan dalam pengambilan kebijakan pertanahan yang didasarkan

pada aspek spasial.

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Kedua (CPMK2) yang hendak

dicapai melalui bab ini adalah peserta didik mampu mengidentifikasi

problematika perkembangan wilayah.

3.1. Dinamika Perkembangan Wilayah

Perkembangan wilayah merupakan sebuah ‘sunatullah’, yang

harus diterima dengan segala permasalahannya. Perkembangan

peradaban dan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin meningkat

menjadi bagian terpenting penyebab terjadinya perkembangan

wilayah. Perkembangan wilayah di sini dapat bermakna positif apabila

proses perkembangan terjadi secara alami dan bersifat akomodatif

terhadap tuntutan kebutuhan mayoritas masyarakat penghuni wilayah

tersebut. Artinya perkembangan yang terjadi memberikan manfaat

optimal bagi peningkatan aksesibilitas dan kemudahan dalam

pemenuhan kebutuhan hidupnya. Misalnya terbukanya daerah-daerah

yang terisolasi dengan jaringan transportasi dan telekomunikasi,

sehingga mempermudah distribusi dan pemasaran produk-produk

pertanian yang melimpah. Hal ini dapat memacu motivasi masyarakat

di daerah tersebut untuk bergeser dari pertanian subsisten ke arah

pertanian yang berorientasi pasar yang lebih menguntungkan. Di

Page 40: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

24 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

samping itu perkembangan wilayah juga sering berkonotasi negatif.

Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali, meluasnya slum area

dan meningkatnya kawasan bahaya banjir adalah contoh dampak nega-

tif yang disebabkan oleh adanya perkembangan wilayah.

Dengan demikian perkembangan wilayah tidak dapat begitu saja

dinilai secara parsial pada dampak yang ditimbulkan. Kondisi tersebut

terjadi karena perkembangan wilayah merupakan sebuah proses besar

yang menyangkut berbagai aspek kehidupan yang bekerja secara

simultan. Kajian terhadap perkembangan wilayah harus ditinjau secara

holistik antara segenap unsur sumber daya yang berpengaruh terhadap

proses dinamika wilayah.

Gambar 3. Skema proses dinamika wilayah

(Sumber: dimodifikasi dari Widyatmoko 1998)

Dinamika wilayah tidak diartikan sebagai pergerakan wilayah dari

satu lokasi ke lokasi lain, namun lebih ditekankan pada perubahan-

perubahan karakteristik suatu wilayah yang meliputi human,

institution, natural, capital dan others (HINCO) yang disebabkan oleh

agents of change baik yang bersifat alami, pengaruh manusia maupun

kombinasi keduanya (Widyatmoko 1998). Lebih khusus lagi dinamika

wilayah dibentuk oleh serangkaian perubahan yang saling kait meng-

kait antara perubahan-perubahan baik yang alami maupun bukan

Page 41: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 25

alami yang meliputi iklim, bencana alam, ekonomi, demografi, politik,

budaya, teknologi, sosial, baik dalam skala makro maupun mikro

sebagaimana tampak dalam Gambar 3.

Berdasarkan diagram proses dinamika wilayah pada Gambar 3,

tampak bahwa objek kajian utama dalam dinamika wilayah adalah

‘wilayah’ itu sendiri, yang terdiri dari kawasan budidaya, kawasan

lindung, dan kawasan khusus. Terdapat tiga hal yang secara langsung

ataupun tidak langsung mempengaruhi karakteristik sebuah wilayah

yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan wilayah mengingat

dinamika wilayah merupakan sebuah konsekuensi dari eksistensi hal-

hal tersebut. Ketiga hal tersebut adalah:

1. Faktor Lokal. Hal ini berkaitan dengan potensi sumber daya yang

ada pada suatu wilayah, baik itu sumber daya alam maupun

sumber daya manusianya. Aspek kultur dan nilai historis suatu

wilayah juga menjadi suatu pertimbangan tersendiri dalam

perencanaan pengembangan wilayah, karena aspek ini merupakan

nilai-nilai lokal yang secara spesifik keberadaannya membuat

suatu wilayah menjadi berbeda dan memiliki nilai lebih di banding

wilayah lain.

2. Agen Perubahan. Aspek ini terkait dengan manusia dan alam yang

secara ekologis membentuk sebuah jaring-jaring kehidupan.

Manusia sebagai sebuah agen perubahan selalu berusaha untuk

beradaptasi dan mensiasati alam dan potensi wilayahnya untuk

mempertahankan kehidupannya. Sedangkan alam melalui dina-

mikanya dan berbagai bencana merupakan peubah dinamika

wilayah yang tidak bisa dinafikan begitu saja.

3. Pengambilan Keputusan. Aspek inilah yang sebetulnya

mempunyai kontribusi terbesar dalam proses dinamika wilayah.

Visi dan misi dari pemegang otoritas, pemilik kapital dan

masyarakat dalam memandang masa depan sebuah wilayah

menjadi entry point bagi pengembangan wilayah ke depan. Artinya

dinamika wilayah akan sangat tergantung pada proses

pengambilan keputusan dalam rangka mengembangkan sebuah

Page 42: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

26 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

wilayah demi kepentingan sesaat atau kepentingan masa depan.

Sebagai contoh, dinamika wilayah yang terjadi pada kota-kota di

dunia sering diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) tipe pemekaran ko-

ta (urban sprawl) yang meliputi: (1) perembetan konsentris; (2)

perembetan memanjang; dan (3) perembetan meloncat (Yunus

2000, 126).

Fenomena pengambilalihan lahan non urban oleh penggunaan

lahan urban di daerah pinggiran (invasion) dan proses perembetan

kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl) merupakan

sebuah konsekuensi dari dinamika wilayah. Faktor lokal, agen

perubahan dan pengambilan keputusan bekerja secara simultan mem-

pengaruhi perkembangan wilayah berikut dampak ikutannya. Contoh

perubahan penggunaan lahan akibat invansion dan urban sprawl dapat

dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Perkembangan lahan terbangun yang terjadi di wilayah

Provinsi DIY pada tahun 1990 (kiri) dan tahun 2006 (kanan)

Bertolak dari beberapa hal di atas, ternyata dinamika wilayah

menempati posisi yang sangat penting dalam kajian tata ruang dan

perencanaan wilayah. Dalam konteks ini, di setiap tingkatan peme-

rintahan yang membawahi wilayah harus memiliki desain tata ruang

yang merupakan fungsi kontrol bagi arahan dan pelaksanaan

pembangunan yang diimplementasikan dalam sebuah kegiatan pena-

taan ruang.

Upaya penataan ruang dilakukan sebagai tindakan untuk

mengarahkan kegiatan pembangunan sekaligus tindakan antisipasi

Page 43: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 27

terhadap perkembangan wilayah yang tidak teratur. Secara teknis

penataan ruang terbagi menjadi penataan tata ruang kota dan

penataan ruang daerah. Kedua jenis penataan ruang ini memiliki

tipologi sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat

penghuninya. Masyarakat kota cenderung membutuhkan sarana dan

prasarana publik yang mengarah pada aktivitas perekonomian dengan

segala struktur pendukungnya seperti pusat pendidikan, perkantoran,

industri, hiburan dan fasilitas kesehatan. Sedangkan penataan ruang

daerah difokuskan pada pengembangan wilayah yang berbasis kegiatan

pertanian dengan berbagai sarana dan prasarana publik untuk kepen-

tingan masyarakat dengan tipologi pedesaan.

Dengan demikian apabila dianalogikan dengan hal di atas, maka

dinamika perkembangan wilayah secara spasial dapat diklasifikasikan

menjadi dinamika perkembangan wilayah perkotaan dan dinamika

perkembangan wilayah perdesaan. Meskipun untuk mengidentifikasi

atau menemukenali sebuah wilayah disebut urban ataupun rural

bukanlah persoalan sederhana. Mengingat perkembangan wilayah saat

ini dipengaruhi oleh kompleksitas segenap aspek kehidupan manusia.

Sebagai contoh, suatu wilayah tidak dapat begitu saja dikatakan

sebagai wilayah perdesaan meskipun fenomena pertanian tanah basah

masih dijumpai. Demikian pula juga sulit dikatakan sebagai daerah

perkotaan meskipun sarana dan prasarana publik telah menunjukkan

wujud fisik sebuah kota. Namun demikian apabila sebuah wilayah

mempunyai karakteristik perkotaan dan perdesaan lebih tepat disebut

sebagai daerah sub urban karena memiliki karakteristik yang

merupakan kombinasi antara wilayah perkotaan dan perdesaan,

termasuk di dalamnya adalah terdapatnya kultur kota maupun kultur

desa. Persoalan yang muncul kemudian adalah desain tata ruang yang

sesuai untuk wilayah sub urban adalah desain tata ruang kota atau

daerah. Artinya, untuk kepentingan ke depan aktivitas pertanian yang

dipertahankan ataukah perubahan fungsi lahan yang dibiarkan terus

berlangsung akibat perkembangan kota. Ini adalah satu contoh

sederhana, yang dampaknya bisa berakibat fatal. Meningkatnya

Page 44: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

28 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

intensitas banjir, menurunnya muka air tanah dan berkembangnya

slum area merupakan sebuah konsekuensi logis dari perubahan peng-

gunaan lahan di suatu wilayah.

Sebagai bahan komparasi fenomena wilayah Jakarta, Bogor,

Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek); Gresik, Bangkalan,

Kertosono, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan (Gerbangkertosusilo);

Yogyakarta, Solo dan Semarang (Joglosemar) dan kota-kota besar

lainnya intensitas perubahan lahannya sangat tinggi. Perubahan

penggunaan lahan di beberapa kota pantai, misalnya kota-kota di

pantai utara Jawa mengakibatkan intrusi air asin dan intensitas banjir-

nya meningkat dari tahun ke tahun.

Hal-hal di atas perlu dikedepankan, direnungkan dan dijadikan

sebagai media refleksi agar perkembangan wilayah yang terjadi tidak

memberikan kontribusi yang bersifat negatif, tetapi mampu mendo-

rong tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat penghuninya.

3.2. Problematika Dalam Perkembangan Wilayah

Salah satu sifat disain tata ruang adalah dinamis, fleksibel dan

mampu memberikan ruang gerak yang inovatif dalam pelaksanaan

pembangunan. Namun demikian, karena kedinamisan dan kelenturan-

nya disain tata ruang yang dimanifestasikan dalam rencana tata ruang

seringkali disalahartikan. Pemahaman dan persepsi yang berbeda-beda

dalam menginterpretasikan sebuah rencana tata ruang sering

digunakan sebagai legitimasi dalam melakukan penyimpangan

terhadap tata ruang yang sudah ada demi kepentingan sempit atau

sesaat.

Sebagai pedoman dalam pengarahan lokasi investasi yang dilak-

sanakan oleh pemerintah maupun swasta, rencana tata ruang sering

dijadikan sebagai komoditas untuk bargaining antara pemilik modal

(investor) dengan pemegang otoritas di suatu wilayah, baik itu bersifat

kelembagaan maupun personal. Pemilik modal tidak akan mengives-

tasikan kapitalnya apabila lokasi yang direkomendasikan oleh

pemerintah (pusat maupun daerah) tidak sesuai dengan kriteria

Page 45: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 29

perusahaannya. Pemerintahpun tidak akan begitu saja melepaskan

peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau pendapatan

devisa yang sudah di depan mata. Akhirnya dengan berbagai langkah

negosiasi, baik yang prosedural maupun ‘di belakang meja’ tercapailah

sebuah kesepakatan yang pada akhirnya menjadikan sebuah disain tata

ruang tidak memiliki arti lagi.

Agar hal di atas tidak menjadikan sebuah preseden buruk bagi

perkembangan penyusunan rencana tata ruang ke depan dalam arti

tidak memberikan implikasi yang merugikan bagi masa depan sebuah

wilayah, maka perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi dalam

penyusunan rencana tata ruang. Artinya disain tata ruang betul-betul

disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang sudah,

sedang dan akan berkembang di kemudian hari, sehingga tidak

terdapat celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian tujuan disusunnya

rencana tata ruang sebuah wilayah dapat diwujudkan

Sebuah konsep ideal pada bidang apapun, termasuk di dalamnya

adalah penataan ruang mempunyai permasalahan dalam implemen-

tasinya. Bahkan permasalahan tidak hanya muncul pada tahapan

implementasi tetapi juga muncul semenjak disusunnya desain rencana

tata ruang itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut merupa-

kan konsekuensi logis dari sebuah proses panjang yang melibatkan

berbagai komponen dengan latar belakang, orientasi, serta

kepentingan yang berbeda-beda. Permasalahan-permasalahan inilah

yang kemudian berkembang menjadi kendala-kendala dalam

penyusunan rencana tata ruang maupun pelaksanaannya.

Dalam konteks kekinian, dengan melihat berbagai fenomena yang

ditemui di lapangan maupun berdasarkan data, informasi maupun

kajian-kajian yang berhubungan dengan keruangan secara umum

beberapa permasalahan yang bersifat konseptual dapat disebut antara

lain (Sutaryono 2007):

1. Rencana tata ruang dan peraturan perundang-undangannya tidak

efisien dan efektif. Kurangnya informasi dan sosialisasi hal-hal

Page 46: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

30 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

yang berkaitan dengan tata ruang menyebabkan kurang dipahami-

nya kebijaksanaan penataan ruang oleh masyarakat, dunia usaha

maupun oleh aparat pemerintah yang notabene sebagai pihak

yang memiliki kewenangan dalam kebijaksanaan penataan ruang.

2. Persepsi dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap rencana

tata ruang, seringkali menjadi penyebab terjadinya conflict of

interest antar segenap stake holder.

3. Rencana tata ruang kurang mampu mengakomodasikan kepen-

tingan segenap stake holder yang mempunyai kompetensi terha-

dap pemanfaatan ruang. Hal ini menyebabkan disharmoni dan

konflik tata ruang tidak mendapatkan ruang sebagai media

penyelesaian masalah.

4. Kebijaksanaan dan strategi penataan ruang suatu wilayah tidak

konsisten dan terpadu. Hal ini sering terjadi ketika pengambil

kebijaksanaan tidak mempunyai visi yang jelas terhadap masa

depan wilayahnya atau juga adanya pergantian kepemimpinan

pemerintahan yang diikuti oleh berubahnya kebijaksanaan

penataan ruang. Di samping itu orientasi ekonomi yang menge-

depan seringkali dijadikan alasan pembenar dalam penyimpangan

terhadap desain tata ruang yang telah disepakati. Kurangnya

koordinasi antar instansi sebagai salah satu pelaksana

pembangunan menjadikan tumpang tindihnya kegiatan

pembangunan yang berbasiskan ruang.

5. Munculnya dualisme kepentingan antara orientasi ekonomi dan

kelestarian lingkungan dan unsur-unsur ekologis.

Di samping permasalahan-permasalahan yang bersifat konseptual

di atas, terdapat permasalahan-permasalahan teknis yang tidak dapat

dinafikan keberadaannya. Permasalahan-permasalahan teknis ini

antara lain:

1. Berbedanya penyusun rencana dengan yang melaksanakan

rencana tata ruang yang berakibat munculnya gap dalam

implementasi.

Page 47: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 31

2. Pendekatannya normatif dan cenderung berorientasi pada aspek

fisik semata tanpa mempertimbangkan aspek non fisik yang

sangat berpengaruh terhadap perkembangan wilayah.

3. Belum adanya persepsi yang sama pada pelaku pembangunan dan

pengelola wilayah.

4. Terlalu berorientasi pada kepentingan pemerintah dan ada kecen-

derungan bahwa pendapat dan kebijakan pemerintah sebagai

pengelola wilayah adalah hal yang paling benar.

5. Tidak/kurang pekanya pengelola wilayah terhadap fenomena yang

terjadi di masyarakat.

6. Rendahnya partisipasi masyarakat, mengingat belum tersedianya

ruang interaksi yang cukup antara pemerintah dengan masyarakat

dalam rangka penyusunan rencana tata ruang.

7. Perencanaan tata ruang sering dianggap sebagai sebuah hambatan

pembangunan karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat,

sehingga keberadaannya sering tidak dijadikan pertimbangan

dalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Selain beberapa permasalahan di atas, Budiharjo (1996, 50-55)

menyebutkan beberapa kendala dalam penataan ruang dan pengelo-

laan wilayah antara lain: (a) keterbatasan kewenangan pemerintah

daerah; (b) keterbatasan kemampuan aparat; (c) keterbatasan pen-

danaan; (d) kelemahan manajeman/pengelola; dan (e) kelemahan

mekanisme pengendalian pembangunan. Kendala terakhir disebabkan

oleh kurangnya akses pemerintah daerah terhadap kebijakan

pembangunan sektoral, ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam

menghadapi tekanan investasi serta belum adanya sistem reward and

punishment dalam implementasi produk penataan ruang.

Permasalahan-permasalahan di atas baik yang bersifat konseptual

maupun teknis harus diantisipasi kemunculannya dan diupayakan

solusinya. Upaya ini tidak terlepas dari pendekatan yang digunakan

dalam penyusunan rencana tata ruang. Karena apabila pendekatan

yang digunakan sudah tepat dan mampu mengakomodasikan semua

Page 48: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

32 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

potensi dan kepentingan segenap stake holder yang mempunyai

kompetensi terhadap pemanfaatan ruang maka permasalahan-

permasalahan yang muncul dalam penyusunan dan pelaksanaan tata

ruang dapat dieliminir.

Robert Park dalam Catanese dan Snyder (1988) menyatakan

bahwa berbagai perspektif dan disiplin harus digunakan untuk

memahami dan merencanakan sistem sosial yang rumit. Sistem sosial

ini kemudian dijabarkan dalam suatu hierarki yang meliputi kondisi-

kondisi fisik dan lingkungan tertentu yang membatasi dan

menentukan sumber daya lain dari sistem tersebut.

1. Tatanan Fisik. Tatanan ini terdiri dari komponen fisik dan biotik

yang merupakan determinan-determinan fisik yang nyata seperti

kondisi topografi, jenis dan kesuburan tanah, iklim, jenis tanaman

dan komunitas fauna. Tatanan fisik ini akan menentukan jenis

budidaya dan usaha yang dilakukan oleh penduduk yang

mendiami sebuah wilayah.

2. Tatanan Institusional. Jenis budidaya dan usaha yang dilakukan

oleh penduduk kemudian berkembang menjadi sebuah

kebudayaan dengan memanfaatkan teknologi dan kesepakatan-

kesepakatan internal maupun eksternal sebagai infrastruktur

pengaturnya. Tatanan ini meliputi aspek teknologi dan ekonomi

yang bekerja secara simultan untuk mendapatkan sebuah budaya

dan tradisi yang disepakati bersama. Aspek teknologi dan ekonomi

ini dimanifestasikan dalam pemanfaatan teknologi, sistem

moneter, tata niaga, dan kesepakatan-kesepakatan lainnya yang

bersifat normatif dan diatur oleh pemerintah.

3. Tatanan Sosial. Disamping tatanan institusional yang

menempatkan pemerintah sebagai institusi resmi penghasil

produk-produk peraturan serta berperan dalam pengawasan,

tatanan sosial juga dibutuhkan. Tatanan ini dibutuhkan untuk

menaikkan standar-standar formal perilaku masyarakat, sehingga

tercipta keteraturan sosial yang dibutuhkan dalam proses

Page 49: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 33

pembangunan. Pada akhirnya sistem nilai akan terbentuk dan

menciptakan sebuah tatanan moral dan ideologis.

Konsep Robert Park ini apabila diimplementasikan dalam kajian

tata ruang sebagai salah satu bagian sistem sosial akan melahirkan

beberapa pendekatan yang cukup representatif untuk digunakan

dalam penyusunan rencana tata ruang.

1. Pendekatan Fisik. Kondisi fisik wilayah seperti kondisi topografi

dan kemampuan tanah menjadi dasar utama dalam pengambilan

keputusan yang bersifat teknis. Keputusan teknis ini terutama

ditujukan agar rekomendasi pemanfaatan ruang benar-benar

sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan.

2. Pendekatan Institusional. Pendekatan ini lebih pada fungsi

koordinasi dan political will dari pemegang otoritas untuk

menentukan visi dan strategi pembangunan wilayah. Koordinasi

antar segenap stake holder penting dilakukan agar rencana tata

ruang yang dihasilkan dapat dilaksanakan secara holistik dan

terintegrasi sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan.

3. Pendekatan Sosial. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui

relasi-relasi sosial yang berkembang dalam masyarakat. Ruang-

ruang interaksi yang ada dalam masyarakat dijadikan sebagai

sebuah sumber informasi dan menjadi dasar dalam pengambilan

keputusan. Hal ini dilakukan agar rencana tata ruang yang disusun

sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Tanpa

memperhatikan relasi sosial yang ada dalam masyarakat maka

proses pembangunan tidak dapat berjalan seperti yang

diharapkan. Berbagai konflik dan disharmoni antar pelaku

pembangunan akan muncul seiring dengan gesekan kepentingan

masing-masing pihak. Disinilah pendekatan sosial menjadi hal

yang penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan dalam

penyusunan rencana tata ruang.

Page 50: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

34 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

3.3. Kebijakan Pertanahan Untuk Mengatasi Permasalahan

Perkembangan Wilayah

Inti permasalahan perkembangan wilayah terletak pada keter-

batasan ruang yang tidak mampu menampung kebutuhan penduduk

akan tanah sebagai tempat untuk melangsungkan berbagai aktifitas

kehidupan. Kebutuhan akan tanah tersebut terus mengalami

peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dari waktu

ke waktu. Kondisi permasalahan perkembangan wilayah ini menjadi

perhatian Pemerintah, dan oleh Kementerian ATR/BPN dituangkan

dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian ATR/BPN Tahun 2015-

2019 maupun dalam Renstra Kementerian ATR/BPN Tahun 2020-2024

(yang saat ini masih dalam proses finalisasi).

Di dalam Renstra Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN

Tahun 2015-2019 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan

Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 25 Tahun 2015, terdapat sejumlah

permasalahan yang menjadi fokus yang strategis untuk ditangani

kementerian. Berikut ini adalah beberapa fokus strategis kaitannya

dengan permasalahan perkembangan wilayah dan penataan ruang:

1. Ruang wilayah NKRI menghadapi tantangan dan permasalahan

terutama: (a) terletak pada kawasan yang cepat berkembang

(pasific ocean rim dan indian ocean rim); (b) terletak pada kawasan

pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik; (c) meningkatnya intensitas

kegiatan pemanfaatan ruang terkait eksploitasi sumber daya alam;

dan (d) makin menurunnya kualitas permukiman, meningkatnya

alih fungsi tanah yang tidak terkendali, dan tingginya kesenjangan

antar dan di dalam wilayah.

2. Berkembangnya pemikiran dan kesadaran di tengah masyarakat

untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang

yang lebih menyentuh hal-hal yang terkait langsung dengan

permasalahan kehidupan masyarakat, terutama dengan mening-

katnya banjir dan longsor, kemacetan lalu lintas, bertambahnya

perumahan kumuh, berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka

hijau di kawasan perkotaan, kurang memadainya kapasitas

Page 51: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 35

kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk, serta

kurang seimbangnya pembangunan kawasan perkotaan dan

perdesaan.

3. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia tidak diikuti dengan

penyebaran penduduk secara merata. Di masa depan penyebaran

penduduk akan mengarah ke daerah perkotaan. Bertambahnya

penduduk di daerah perkotaan menyebabkan meningkatnya

kebutuhan akan tanah perkotaan. Peningkatan kebutuhan tanah

yang tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah berujung pada

peningkatan alih fungsi tanah, termasuk tanah pertanian yang

produktif.

Tidak berbeda jauh dengan isu strategis yang ada dalam Renstra

Tahun 2015-2019, dalam Renstra Tahun 2020-2024 terdapat 5 (lima) isu

strategis terkait dengan perkembangan wilayah dan penataang ruang,

yakni:

1. Regulasi tata ruang. Cakupan objek penataan ruang di

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

melibatkan dua aspek, yaitu tanah/lahan sebagai satuan unit

mandiri, dan tanah/lahan sebagai satuan yang saling terkait dan

melibatkan berbagai sektor yang disebut dengan ruang. Tata ruang

dalam hal ini dituntut untuk dapat mengakomodir penggunaan

tanah/lahan (Land Use) di tingkat detil di seluruh Indonesia yang

akan mendukung pembangunan tanah/lahan (Land Development).

Peraturan atau regulasi terkait tata ruang yang ada masih belum

berimbas atau memberi dampak pada proses pemanfaatan ruang,

salah satunya untuk mendukung kemudahan investasi dan

berusaha.

2. Kewenangan tata ruang yang terbagi. Selama ini kewenangan

penataan ruang tidak sepenuhnya berada di Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, karena dalam

pengaturannya berada di Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional, namun dalam pengimplemen-

Page 52: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

36 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tasiannya sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berada pada

pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah

kabupaten/kota.

3. Kompleksitas sistem tata ruang. Kompleksitas tata ruang yang

tidak tertangani dengan efisien menghadirkan beberapa masalah-

masalah baru antara lain kekurangan sumberdaya, proses yang

tidak terpantau akibat adanya otorisasi kelembagaan yang

terbatas, dan komitmen rendah terhadap proses dan kualitas.

Hingga saat ini, solusi yang telah dilakukan adalah dengan

melakukan terobosan regulasi, sumber daya dan infrastruktur

teknologi (IT) yang bersifat responsif namun belum komprehensif

menurunkan waktu, biaya dan prosedur perijinan yang terkait

dengan pemanfaatan ruang. Hal ini terbukti dengan masih

rendahnya peringkat pendaftaran tanah/properti Indonesia dalam

hal Ease of Doing Business (EoDB) dibanding negara-negara di

Asia Tenggara misalnya Vietnam dan Malaysia.

4. Kualitas substansi tata ruang. Rendahnya jumlah produk tata

ruang detil (RDTR) sebesar 2,88% dari total 1878 lebih target tata

ruang detil selama kurun waktu 5 tahun, telah coba ditangani

dengan strategi pendampingan, dukungan data dan infrastruktur,

asistensi bantuan teknis kepada institusi di daerah agar

mempercepat proses penyusunan tata ruang detil. Namun

demikian selain rendahnya capaian (completeness), terdapat

permasalahan dalam hal kualitas (quality), misalnya saja kepatu-

han dalam menggabungkan informasi pola ruang terkait area

kawasan dan budidaya serta tematik (misalnya lindung,

bahaya/berbasis mitigasi risiko bencana, dan kekumuhan).

5. Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan tata ruang berbasis data

terpadu. Pengendalian tata ruang memegang amanah yang

penting dalam era perencanaan pembangunan “by process” saat

ini. Ketegasan dalam pemberian “stick and carrot” (insentif

disinsentif) dalam pengendalian tata pemanfaatan tanah dan ruang

Page 53: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 37

terhadap pola ruang sudah menjadi hal yang layak untuk

dilakukan. Kendala terbesar dalam pengendalian pemanfaatan

ruang meliputi: (a) kurangnya transparansi dan sharing

mechanism produk tata ruang, perijinan dan administrasi

pertanahan dan (b) belum terciptanya interoperabilitas data ruang

dan data pertanahan. Interoperabilitas menjadi prasyarat penting

jika lembaga ingin menerapkan standar global terkait digitalisasi

informasi, transformational governance, dan dukungan terhadap

tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development

goals).

Berbagai isu strategis perkembangan wilayah dan penataan ruang

yang tertuang dalam kedua Renstra Kementerian ATR/BPN di atas

menunjukkan bahwa pemerintah menyadari betul bahwa terdapat

berbagai permasalahan penataan ruang yang harus mendapatkan

perhatian dan alternatif penyelesaiannya.

Terhadap permasalahan perkembangan wilayah dan penataan

ruang sebagaimana di atas, Kementerian ATR/BPN telah

mengupayakan berbagai strategi dan langkah-langkah untuk meng-

atasinya. Salah satu contoh kebijakan dan kegiatan yang ada pada

Kementerian ATR/BPN untuk mengatasi permasalahan perkembangan

wilayah dan penataan ruang adalah konsolidasi tanah. Dalam hal ini

konsolidasi tanah dikedepankan, mengingat konsolidasi tanah tidak

sekedar penataan bidang-bidang tanah, tetapi juga diorientasikan

untuk penataan kawasan.

Konsolidasi tanah adalah salah satu kegiatan yang ada di dalam

program penataan agraria. Konsolidasi tanah bukanlah suatu cara baru

untuk mengatasi permasalahan perkembangan wilayah. Sejak tahun

1991, pelaksanaan konsolidasi tanah sudah diatur dalam Peraturan

Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.

Mengingat peraturan lama tersebut belum mampu menampung

perkembangan dan kebutuhan pengaturan maka digantikan oleh

Page 54: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

38 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2019 tentang

Konsolidasi Tanah.

Gambar 5. Peningkatan kualitas lingkungan pasca konsolidasi tanah

(Sumber: Direktorat Konsolidasi Tanah 2016)

Konsolidasi tanah adalah penataan kembali penguasaan, pemi-

likan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan ruang yang sesuai

dengan RTRW serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan

pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan

pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif

masyarakat. Gambar 5 merupakan ilustrasi sederhana yang

menunjukkan kondisi sebelum konsolidasi tanah dan sesudah

konsolidasi tanah.

Gambar 6. Pertambahan nilai bidang tanah yang menjadi objek

konsolidasi tanah (Sumber: Direktorat Konsolidasi Tanah 2016)

Secara jelas, dapat tergambarkan adanya peningkatan kualitas

lingkungan dari ilustrasi paada Gambar 5. Peningkatan kualitas ling-

kungan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah tersebut dapat dirasakan

Page 55: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 39

oleh peserta konsolidasi tanah tanpa melalui proses penggusuran dari

tempat tinggalnya. Dampak dari peningkatan kualitas lingkungan,

aksesibilitas ke fasos fasum, dan kepastian hukum kepemilikan tanah

adalah meningkatnya nilai tanah walaupun luas tanah yang dimiliki

menjadi berkurang (Gambar 6). Dari sisi pemerintah, kesediaan

masyarakat untuk menyumbangkan tanahnya dalam pembangunan

menjadi sebuah keuntungan apabila terdapat keterbatasan anggaran

untuk penyediaan tanah.

Tanah yang disumbangkan para pemilik tanah untuk pembangu-

nan disebut dengan Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP).

Ilustrasi STUP dilihat pada Gambar 7. Besar kecilnya STUP dari para

peserta konsolidasi tanah sesuai dengan kesepakatan bersama. Kesepa-

katan bersama. Kesepakatan tersebut dibuat dan dihitung berdasarkan

kebutuhan tanah untuk pembangunan prasarana, sarana dan utilitas

(PSU) yang akan disediakan. Terhadap pemilik tanah yang tidak

mampu menyumbangkan tanahnya maka dapat menggantinya dengan

uang atau bentuk lain sesuai kesepakatan bersama.

Gambar 7. Penataan bidang tanah berbasiskan STUP dari para pemilik

tanah (Sumber: Direktorat Konsolidasi Tanah 2016)

Page 56: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

40 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Tabel 3. Wilayah-wilayah Prioritas Pelaksanaan Konsolidasi Tanah

Pengembangan Wilayah

Peremajaan Kota Optimalisasi

Tanah Pertanian

Bekas Bencana dan

Konflik

1. Wilayah permu-kiman yang tumbuh dan perkembangan-nya tidak teratur

2. Wilayah pengembangan yang direncana-kan sebagai kota baru atau pusat permukiman

3. Wilayah yang memerlukan akses untuk penghubung antar permukiman

4. Kawasan siap bangun yang sudah ditetapkan di RTRW

5. Wilayah pinggiran kota yang sudah berkembang

6. Wilayah pengembangan dan perluasan perkebunan rakyat dan pembukaan areal pertanian baru

7. Wilayah perta-nian yang belum memiliki PSU pendukung

1. Wilayah yang sudah atau cenderung menjadi kumuh

2. Wilayah terisolir karena tertutup dan terbatas akses

3. Wilayah permu-kiman padat yang lingku-ngannya tidak sehat

4. Wilayah permukiman sempadan sungai

1. Wilayah tanah pertanian yang penguasaan tanahnya tidak tetap (gogol-gilir)

2. Tanah-tanah pertanian yang ditetapkan men-jadi lahan perta-nian berkelan-jutan

Wilayah pasca bencana alam dan konflik yang menye-babkan lingku-ngan menjadi porak poranda dan mayoritas batas tanah menjadi hilang

Direktur Konsolidasi Tanah (2016) mengemukakan terdapat 4

(empat) kriteria sehingga suatu wilayah dapat dijadikan lokasi prioritas

pelaksanaan konsolidasi, yaitu pengembangan wilayah, peremajaan

kota, optimalisasi tanah pertanian, serta bekas bencana dan konflik

Page 57: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 41

(Tabel 3). Selain 4 (empat) kriteria yang bersifat horisontal, konsolidasi

tanah dapat pula ditujukan untuk lokasi dengan hunian vertikal.

Konsolidasi tanah yang bersifat vertikal ditujukan untuk melakukan

penataan lingkungan perkotaan melalui pembangunan rumah susun.

Wilayah yang telah ditetapkan sebagai lokasi konsolidasi tanah

kemudian dilanjutkan dengan proses berikutnya, yaitu sosialisasi,

penjajakan data fisik dan yuridis, penyusunan desain konsolidasi,

pelepasan hak atas tanah, penegasan objek konsolidasi, pemindahan

desain ke lapangan atau stake out, penerbitan SK dan sertipikat, dan

diakhiri dengan tindak lanjut hasil kegiatan konsolidasi. Sepanjang

rangkaian kegiatan pelaksanaan konsolidasi tanah terdapat masalah

yang umum terjadi, baik di lingkup masyarakat, pemerintah daerah,

maupun di tataran teknis pelaksanaan. Kesulitan untuk berkumpul

dalam waktu bersamaan, kesulitan untuk mencapai kesepakatan, tidak

memahami manfaat kegiatan, dan tidak bersedia menyumbangkan

tanah adalah beberapa contoh permasalahan yang ditemui di ling-

kungan masyarakat peserta konsolidasi. Di lingkup pemerintah daerah

permasalahan yang umum dijumpai seperti terlambatnya penerbitan

SK penetapan lokasi, tidak ada koordinasi lintas Organisasi Perangkat

Daerah (OPD), tidak ada realisasi pembangunan fisik seperti desain

yang sudah disepakati, dan lamanya pengambilan keputusan. Di

tataran teknis pelaksanaan, permasalahan yang sering dijumpai antara

lain terlambatnya penandatanganan SK penetapan lokasi, tidak

jelasnya batas bidang tanah yang belum terdaftar, tidak ada surat/bukti

penguasaan bidang tanah, prasarana tidak terbangun sesuai desain

konsolidasi, dan prasarana tidak kunjung dibangun sesuai desain

konsolidasi yang sudah disepakati.

Salah satu contoh lokasi yang berhasil melakukan konsolidasi

tanah adalah di Painan Utara dan Painan Timur, Kota Pesisir Selatan,

Provinsi Sumatera Barat (Gambar 8). Konsolidasi tanah yang

dilaksanakan pada tahun anggaran 1986/1987 tersebut berada di lokasi

lahan dengan luas 56,44 Ha dan jumlah peserta sebanyak 412 KK.

Indikasi keberhasilan kegiatan dapat dilihat dari terbangunnya

Page 58: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

42 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

sejumlah permukiman yang tertata rapi dan dilengkapi dengan sejum-

lah PSU. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran serta aktif

seluruh peserta konsolidasi dan OPD yang terlibat dalam kegiatan

konsolidasi.

Gambar 8. Kondisi pra dan pasca konsolidasi tanah di Painan Utara

dan Painan Timur (Sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang 2017)

Ditinjau dari tahapan peneyelenggaraan, terdapat 4 (empat)

tahapan dalam penyelenggaraan konsolidasi tanah sebagai berikut:

1. Perencanaan konsolidasi tanah

Konsolidasi tanah difokuskan pada wilayah/lokasi tertentu dan

dapat dilakukan terhadap semua jenis tanah yang didalamnya terdapat

pemilikan atau penguasaan, mulai dari tanah yang sudah terdaftar,

tanah hak yang belum terdaftar, tanah Negara yang dikuasai atau

digarap, dan tanah aset BUMN/BUMD/Badan Hukum lain yang sudah

dilepaskan dan/atau dikuasai masyarakat. Fokus pelaksanaan

konsolidasi tanah terletak di kawasan pasca bencana dan konflik,

kawasan kumuh, dan program strategis. Kawasan pasca bencana dan

konflik menjadi salah satu prioritas konsolidasi tanah karena di wilayah

tersebut mayoritas batas bidang tanahnya hilang atau bahkan tanahnya

Page 59: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 43

musnah. Berikutnya kawasan kumuh dan program strategis menjadi

prioritas konsolidasi tanah sebagai akibat dari adanya penetapan dari

Pemerintah/pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas

kehidupan di wilayah tersebut.

Ditinjau dari subyek peserta kegiatan, semua WNI dan/atau Badan

Hukum yang memegang hak dan menggarap tanah Negara dapat

diikutsertakan sebagai peserta konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah

dapat terselenggara apabila 60% peserta konsolidasi di lokasi/wilayah

yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya. Dalam hal

pemegang hak/penggarap tanah tidak bersedia menjadi peserta maka

dapat mengalihkan hak/penguasaan/garapan tanahnya kepada pihak

lain yang bersedia menjadi peserta. Dalam hal pemegang

hak/penggarap tanah tidak bersedia mengalihkan kepada pihak lain

dan tidak bersedia mengikuti konsolidasi tanah maka dilakukan

mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Disamping subyek dan objek, terdapat beberapa hal yang menjadi

perhatian dalam proses perencanaan yaitu sebagai berikut:

a. RTRW, RDTR, atau rencana detail lain yang diatur dalam

perundang-undangan;

b. Daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perlindungan

terhadap sumber daya alam, keanekaragaman hayati, lanskap

(pusaka saujana/heritage) dan situs budaya;

c. Usulan masyarakat di lokasi Konsolidasi Tanah;

d. Kebutuhan prasarana, sarana, dan utilitas;

e. Program pemberdayaan masyarakat; dan

f. Kebijakan pembangunan daerah.

Hasil analisis dan perencanaan kemudian dituangkan dalam

sebuah dokumen perencanaan, yang berisikan penjelasan tentang

lokasi, luas, jumlah bidang tanah, serta keterangan lain yang dianggap

perlu untuk pelaksanaan konsolidasi tanah. Dokumen perencanaan

tersebut kemudian menjadi dasar dalam penerbitan keputusan

penetapan lokasi yang disahkan oleh bupati/walikota/gubernur/men-

Page 60: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

44 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

teri. Apabila penetapan lokasi sudah ditetapkan oleh pimpinan daerah

atau pimpinan kementerian (menteri) maka tidak diperkenankan lagi

adanya kegiatan peralihan hak dan/atau penguasaan tanah.

2. Pelaksanaan konsolidasi tanah

Konsolidasi tanah dilaksanakan oleh tim perencana/pelaksana

konsolidasi tanah, yang meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Pengumpulan data fisik, yuridis, dan penilaian objek konsolidasi

tanah

Dari kegiatan pengumpulan data fisik dan yuridis dihasilkan daftar

subjek-objek dan peta rincikan bidang tanah. Dalam hal bidang tanah

sudah terdaftar dan tervalidasi di sistem Komputerisasi Kantor

Pertanahan (KKP) maka tidak dilakukan pengukuran bidang tanah,

sedangkan terhadap bidang tanah yang belum terdaftar maka hasil

pengumpulan data fisik dan yuridis diumumkan selama 14 (empat

belas) hari kalender di kantor desa/kelurahan dan kantor pertanahan

setempat. Jika dalam masa pengumuman terdapat keberatan dari

peserta konsolidasi, dilakukan perubahan dan hasil perubahan

dituangkan dalam Berita Acara pengumpulan data fisik dan yuridis.

Di sisi lain, dari kegiatan penilaian objek konsolidasi tanah

dihasilkan daftar penilaian objek konsolidasi tanah. Daftar tersebut

memuat hasil penilaian terhadap tanah, bangunan, tanaman, dan

benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Nilai yang dihasilkan

merupakan hasil penetapan nilai oleh kantor pertanahan atau tim

penilai pertanahan. Penilaian objek konsolidasi tanah dilakukan

sebagai dasar untuk (1) penetapan luas, bentuk dan letak bidang tanah

yang akan diperoleh kembali masyarakat peserta; (2) perhitungan aset

masyarakat peserta; dan (3) pemberian ganti kerugian apabila

dibutuhkan.

Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, pengumpulan data

fisik ditambahkan dengan pengukuran keliling bidang tanah yang

menjadi tanah bersama untuk mendapatkan data luas dan batas.

Berikutnya pada kegiatan penilaian digunakan untuk menentukan nilai

Page 61: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 45

proporsional kepemilikan aset peserta pada tanah milik bersama

dan/atau penilaian ganti kerugian. Nilai proporsional kepemilikan aset

tersebut digunakan sebagai dasar dalam konversi ke unit hunian

dan/atau non-hunian dan apabila pembangunan konsolidasi tanah

vertikal dikerjasamakan dengan pelaku pembangunan maka digunakan

sebagai dasar penyertaan saham (profit sharing).

b. Penyusunan desain dan rencana aksi konsolidasi tanah

Desain konsolidasi tanah mencakup berbagai unsur, seperti (1)

tema dan arah pengembangan kawasan; (2) rencana blok peruntukan

kawasan; (3) penentuan luas, bentuk dan letak bidang tanah; dan (4)

luas dan letak tanah pengganti yang terdiri dari tanah untuk PSU, dan

tanah usaha bersama (TUB). Desain tersebut dibuat oleh tim

perencana/pelaksana dan kemudian dimusyawarahkan dengan

masyarakat peserta konsolidasi tanah. Hasil kesepakatan dengan

masyarakat peserta kemudian dituangkan dalam Berita Acara

Kesepakatan Desain.

Rencana aksi dituangkan dalam sebuah Berita Acara yang

ditandatangani oleh wakil pemangku kepentingan dan disusun untuk

memberikan panduan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah. Rencana

aksi memuat hal-hal seperti (1) tahapan dan jadwal pelaksanaan

pembangunan; (2) rencana pembangunan PSU; (3) rencana detil ba-

ngunan/gedung; (4) kebutuhan biaya pembangunan; (5) rencana dan

sumber pembiayaan; dan (6) skema kerja sama pembangunan

konsolidasi tanah dan peran setiap pemangku kepentingan.

Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, desain rumah susun

(pertelaan) menggambarkan batas-batas hak perorangan (satuan

rumah susun), hak bersama (bagian bersama, benda bersama, dan

tanah bersama), dan nilai perbandingan proporsional (NPP).

Pembiayaan pembangunan pada konsolidasi tanah vertikal bersumber

pada TUB atau unit tambahan yang dikomersilkan. Desain konsolidasi

tanah vertikal dapat berupa rumah susun milik, rumah susun sewa,

kampung susun, kawasan berorientasi transit (transit oriented

development), kawasan pusat bisnis terpadu (central business

Page 62: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

46 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

district/superblock), peremajaan kawasan terpadu (inclusive urban

renewal), dan/atau kombinasi dari beberapa desain.

c. Pelepasan hak atas tanah dan penegasan tanah objek konsolidasi

tanah

Pelepasan hak atas tanah dilakukan terhadap objek konsolidasi

tanah dan dilaksanakan di hadapan kepala kantor pertanahan.

Pelepasan dituangkan dalam Berita Acara Pelepasan Hak Atas Tanah

yang berisikan tentang pernyataan bahwa status tanah menjadi

penguasaan langsung Negara dan pemberian kembali hak atas tanah

kepada peserta dan penerima PSU dan TUB. Berita acara tersebut

dilengkapi juga dengan penyerahan asli surat bukti pemilikan atau

penguasaan tanah.

Penegasan tanah objek diusulkan oleh kepala kantor pertanahan

kepada kepala kantor wilayah untuk diterbitkan Keputusan Penegasan

Tanah Objek Konsolidasi Tanah. Keputusan penegasan memuat hal-hal

seperti (1) tanah yang dilepaskan dan akan diberikan kembali kepada

peserta; (2) TP yang dialokasikan untuk PSU dan/atau TUB; dan (3)

daftar nama peserta dan penerima bidang PSU dan/atau TUB. Dengan

adanya penegasan ini akan memberikan kewenangan kepada tim

perencana pelaksana untuk menata kembali bidang tanah sesuai

dengan desain konsolidasi tanah yang sebelumnya sudah disepakati.

Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, pelepasan hak atas

tanah dan penegasan tanah objek konsolidasi tanah vertikal berlaku

aturan/prosedur yang sama dengan kegiatan konsolidasi tanah

horisontal.

d. Penerapan desain konsolidasi tanah (staking out)

Desain konsolidasi tanah diterapkan atau dilakukan stake out di

lapangan pasca penerbitan keputusan penegasan tanah objek kegiatan

konsolidasi tanah. Penerapan desain di lapangan sesuai dengan peta

desain yang sudah disepakati peserta dan disahkan tim

perencana/pelaksana. Penerapan desain selanjutnya dibuatkan Berita

Acara yang disetujui para peserta dan digunakan sebagai dasar pem-

buatan peta bidang tanah untuk para peserta, PSU dan/atau TUB.

Page 63: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 47

Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, penerapan desain

konsolidasi tanah vertikal berlaku aturan/prosedur yang sama dengan

kegiatan konsolidasi tanah horisontal.

e. Penerbitan sertipikat hak atas tanah dan penyerahan hasil

konsolidasi tanah

Keputusan kepala kantor pertanahan tentang pemberian hak atas

tanah diterbitkan berdasarkan peta bidang hasil stake out. Hak yang

diberikan dapat berupa hak individual atau hak bersama sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Terhadap tanah untuk

prasarana haknya diberikan kepada pemerintah daerah setempat,

sedangkan tanah untuk sarana dapat diberikan kepada pemerintah

daerah atau perhimpunan peserta yang berbadan hukum atau nadzir

atau badan hukum keagamaan.

Semua bidang tanah yang telah ditetapkan keputusan pemberian

haknya dan didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan maka dapat diterbitkan surat tanda bukti hak

atas tanah/sertipikat tanah. Pada kegiatan konsolidasi tanah vertikal,

sertipikat tanah bersama diterbitkan atas nama peserta dan/atau

pemangku kepentingan sedangkan sertipikat hak yang berada di atas

tanah bersama diterbitkan berdasarkan desain yang disepakati.

Sebelum menerima sertipikat tanah, para peserta konsolidasi tanah

yang tanahnya tidak berasal dari tanah hak diwajibkan untuk

melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) dengan besaran nilai pajak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

3. Pembangunan hasil konsolidasi tanah

Pelaksanaan pembangunan hasil konsolidasi tanah dilakukan oleh

pemangku kepentingan sebagaimana yang disebutkan dalam dokumen

rencana aksi. Adapun tahapan pembangunan konsolidasi tanah

meliputi:

Page 64: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

48 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

a. Persiapan pelaksanaan pembangunan

Persiapan pelaksanaan pembangunan dimaksudkan untuk meng-

awali perwujudan secara fisik dan tindak lanjut dari desain dan rencana

aksi, sedangkan pada kegiatan konsolidasi tanah vertikal ditambah

dengan kegiatan pengesahaan pertelaan dan NPP satuan rumah susun.

Pembangunan sendiri dapat dilakukan setelah penerapan desain

(staking out). Hal-hal yang disiapkan pra pelaksanaan pembangunan

meliputi: (1) administrasi perizinan pembangunan kawasan dan

gedung; (2) penunjukan kontraktor pembangunan oleh para peserta;

(3) dokumen kerja sama investasi antara para peserta dengan

kontraktor pembangunan; (4) relokasi sementara para peserta ke lokasi

yang sudah ditetapkan bupati/walikota/gubernur; dan (5) penyiapan

dan pembersihan lahan konsolidasi tanah.

b. Pembangunan PSU

Pembangunan PSU merupakan perwujudan dari desain

konsolidasi tanah secara fisik dan dilakukan secara bertahap sesuai

kebutuhan perkembangan kawasan. Pada kegiatan konsolidasi tanah

vertikal, selain pembangunan PSU dilakukan juga pembangunan

bangunan gedung. Pasca pembangunan terdapat hal-hal yang wajib

dilakukan kontraktor pembangunan, yaitu (1) mengajukan permo-

honan izin layak huni kepada pemerintah daerah setempat; (2)

menyerahkan gambar dan ketentuan teknis terperinci kepada para

peserta tentang tata cara penggunaan, pemeliharaan, dan perbaikan

terhadap bangunan gedung dan isinya; dan (3) membuat akta pemisa-

han, uraian, dan gambar pertelaan sesuai persetujuan para peserta

untuk disahkan oleh instansi terkait.

c. Penerbitan sertipikat hak atas tanah dan serah terima aset untuk

konsolidasi tanah vertikal

Sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan pada kegiatan

konsolidasi tanah vertikal berupa sertipikat hak milik atas satuan

rumah susun (HMSRS). Selain sertipikat HMSRS juga diterbitkan

sertifikat kepemilikan bangunan gedung. Pemberian sertipikat HMSRS

Page 65: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 49

dan sertifikat kepemilikan gedung dilakukan berdasarkan pada

perhitungan pertelaan sesuai desain konsolidasi tanah vertikal.

d. Pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni serta

pemberdayaaan masyarakat

Pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni serta kegiatan

pemberdayaan dilaksanakan untuk menjamin hak untuk mengelola

dan meningkatkan nilai tambah hasil konsolidasi tanah. Dalam hal

konsolidasi tanah vertikal maka perhimpunan pemilik dan penghuni

dibentuk dalam sebuah badan hukum. Pelaksanaan pemberdayaan

dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Pengelolaan aset hasil konsolidasi tanah

Pengelolaan aset dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya

fungsi-fungsi bangunan dan PSU untuk mendukung keberlanjutan

kualitas lingkungan. Pengelolaan ini dilaksanakan oleh pemerintah

daerah dan/atau perhimpunan penghuni sesuai dengan kewenangan

dan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal konsolidasi

vertikal, aset hasil konsolidasi meliputi tanah bersama, bagian bersama,

dan benda bersama.

4. Pengawasan konsolidasi tanah

Pengawasan konsolidasi tanah dilaksanakan oleh Tim Koordinasi

Konsolidasi Tanah (Tabel 4). Tim koordinasi ini mempunyai fungsi

mengkoordinasikan penyelenggaraan dan penanganan permasalahan

dalam kegiatan konsolidasi tanah. Tim dibentuk oleh bupati/walikota

jika konsolidasi tanah skala kecil dan oleh gubernur jika konsolidasi

tanah skala besar, sedangkan untuk konsolidasi tanah di lokasi

strategis akan dibentuk oleh menteri. Di dalam susunan

keanggotaannya, tim koordinasi dapat dilengkapi dengan anggota yang

berasal dari kalangan akademisi, praktisi, kelompok masyarakat, dan

unsur pemangku kepentingan lainnya.

Pengawasan konsolidasi tanah dilaksanakan terhadap seluruh

proses penyelenggaraan konsolidasi tanah, mulai dari tahap

Page 66: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

50 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

perencanaan, pelaksanaan, dan pembangunan. Adapun yang dilakukan

oleh Tim Koordinasi dalam pengawasan meliputi 5 (lima) hal berikut:

a. Pemantauan kesesuaian tahapan dan dokumen konsolidasi tanah,

yang bertujuan untuk menjamin konsistensi dan kualitas

penyelenggaraan konsolidasi tanah pada tahap perencanaan dan

pelaksanaan konsolidasi tanah. Hal-hal yang dipantau meliputi 3

(tiga) aspek, yaitu aspek administrasi, aspek teknis, dan aspek

kualitas kinerja. Apabila dalam proses evaluasi terdapat

ketidaksesuaian tahapan dan kelengkapan dokumen maka Tim

Koordinasi akan memberikan surat pemberitahuan kepada Tim

Perencana/Pelaksana. Tim Perencana/Pelaksana kegiatan

konsolidasi kemudian diwajibkan memberbaiki tahapan atau

melengkapi dokumen dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

diterimanya surat pemberitahuan.

b. Pemantauan progres dan implementasi desain konsolidasi tanah,

yang bertujuan untuk memastikan pelaksanaan rencana aksi dan

implementasi desain pada tahap pembangunan yang di dalamnya

diatur mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan ruang. Pemantauan

progres dan implementasi dilakukan terhadap 3 (tiga) tahapan,

yaitu pada tahapan persiapan pembangunan, tahapan

pembangunan lokasi, dan tahapan pengelolaan. Apabila dalam

proses evaluasi terdapat ketidaksesuaian terhadap rencana aksi

dan desain konsolidasi maka Tim Koordinasi akan memberikan

surat pemberitahuan kepada pemangku kepentingan yang

bertanggung jawab.

c. Pemantauan dan evaluasi dampak, yang bertujuan untuk

memastikan penyelenggaraan konsolidasi tanah membawa

peningkatan nilai tambah bagi suatu kawasan. Pemantauan dan

evaluasi dampak dilakukan oleh Kantor Wilayah atau pemerintah

daerah sesuai tanggung jawab dan kewenangan masing-masing.

Pemantauan dan evaluasi dampak meliputi 3 (tiga) hal, yaitu (1)

perubahan perilaku sosial budaya dan kondisi lalu lintas di sekitar

Page 67: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 51

kokasi konsolidasi; (2) peningkatan nilai ekonomi terhadap tanah

dan bangunan; dan (3) perbaikan lingkungan termasuk potensi

bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial.

Tabel 4. Susunan Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah Jabatan dalam Tim

Penjabat

Konsolidasi Skala Kecil Konsolidasi Skala Besar

Ketua Bupati/Walikota Gubernur

Ketua Harian

Kepala Kantor Pertanahan Kepala Kantor Wilayah

Sekre-taris

Kepala Seksi Penataan Pertanahan pada Kantor Pertanahan

Kepala Bidang Penataan Pertanahan pada Kantor Wilayah

Anggo-ta

1. Kepala Bidang Penataan Pertanahan

2. Kepala Bappeda 3. Sekda 4. Kepala unit organisasi di

bidang PUPR di lingkungan Pemda

5. Kepala unit organisasi di bidang Pertanian di lingkungan Pemda

6. Kepala unit organisasi di bidang perumahan rakyat dan kawasan permukiman di lingkungan Pemda

7. Perwakilan instansi lain yang terkait penataan

1. Bupati/Walikota 2. Kepala Bappeda 3. Sekda 4. Kepala unit organisasi di bidang

PUPR di lingkungan Pemda 5. Kepala unit organisasi di bidang

Pertanian di lingkungan Pemda 6. Kepala unit organisasi di bidang

perumahan rakyat dan kawasan permukiman di lingkungan Pemda

7. Kepala Kantor Pertanahan di lokasi kegiatan konsolidasi

Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2019

d. Pemantauan dan evaluasi dampak, yang bertujuan untuk

memastikan penyelenggaraan konsolidasi tanah membawa

peningkatan nilai tambah bagi suatu kawasan. Pemantauan dan

evaluasi dampak dilakukan oleh Kantor Wilayah atau pemerintah

daerah sesuai tanggung jawab dan kewenangan masing-masing.

Pemantauan dan evaluasi dampak meliputi 3 (tiga) hal, yaitu (1)

perubahan perilaku sosial budaya dan kondisi lalu lintas di sekitar

kokasi konsolidasi; (2) peningkatan nilai ekonomi terhadap tanah

dan bangunan; dan (3) perbaikan lingkungan termasuk potensi

bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial.

Page 68: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

52 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

e. Evaluasi kinerja kawasan dan pembangunan secara berkala, yang

bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan perubahan fisik

kawasan serta keberlanjutan fungsi kawasan sesuai dengan tujuan

penyelenggaraan konsolidasi. Evaluasi kinerja kawasan dan

pembangunan dilakukan per 5 (lima) tahun.

f. Perencanaan dan pembangunan kembali kawasan jangka panjang,

yang bertujuan untuk mengantisipasi kebutuhan peremajaan dan

revitalisasi kawasan hasil konsolidasi. Peremajaan dan revitalisasi

dilakukan agar kondisi dan fungsi kawasan dan/atau bangunan

sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah. Namun demikian,

kegiatan peremajaan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan

kesepakatan para penghuninya. Peremajaan ini dilakukan apabila

(1) jangka waktu HGB telah habis; (2) kondisi fisik bangunan

sudah tidak layak huni akibat faktor usia atau bencana; dan (3)

perubahan kebijakan tata ruang dan/atau pembangunan daerah.

3.4. Tugas

Berikut ini adalah tugas tugas yang harus dikerjakan oleh masing-

masing peserta didik untuk memperdalam pemahaman dan

kemampuan mengidentifikasi problematika perkembangan wilayah

yang terjadi disekeliling kita.

A. Tujuan Tugas

Mengidentifikasi problematika perkembangan wilayah.

B. Uraian Tugas

1. Objek garapan: Dinamika Perkembangan Wilayah

2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):

a. Mengidentifikasi problematika perkembangan wilayah dari

naskah yang relevan

b. Menuliskan dan menganalisis secara singkat

c. Men-submit secara online pada ruang diskusi yang ada pada

www.manajemenpertanahan.blogspot.com selambat lambat-

nya 14 hari setelah tugas ini diberikan

3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:

Page 69: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 53

Naskah singkat yang dituliskan secara online, spasi tunggal,

maksimal 1 halaman.

3.5. Pustaka

Archer, Ray W 1994. Urban Land Consolidation for Metropolitan Jakarta

Expansion, 1990-2010. Habitat International, vol. 18, no. 4, hlm 37-

52.

Budiharjo, Eko 1996, Tata Ruang Perkotaan, PT. Alumni, Bandung.

Catanese, Anthony J, dan Snyder, James C 1988, Perencanaan Kota,

Erlangga, Jakarta.

Direktorat Konsolidasi Tanah Direktorat Jenderal Penataan Agraria

2017, Konsolidasi Tanah, Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Jakarta

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 2017,

Konsolidasi Tanah Sebagai Instrumen Untuk Mendukung Tata

Ruang Berkelanjutan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN,

Jakarta

Sutaryono, 2007. Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi

Daerah, TuguJogja Grafika, Yogyakarta.

Widyatmoko, Djarot S 1998, 'Dinamika Wilayah Dalam Perspektif

Geografis', Proseding Seminar Nasional: Konsep dan Analisis

Spasiotemporal, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta

Wijaya, G.P., Silviana A., dan Triyono 2016, 'Praktik Konsolidasi Tanah

Perkotaan Sebagai Alternatif Model Pembangunan Wilayah

Perkotaan Tanpa Pembebasan Tanah', Diponegoro Law Review,

vol. 5, no. 2

Yunus, Hadi S 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 25 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

Tahun 2015-2019

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah.

Page 70: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

54 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BAB IV PRODUK-PRODUK PENATAAN RUANG

Muatan pada bab ini berisi tentang produk-produk penataan

ruang yang digunakan dalam rangka penyelesaian konflik. Sebagai-

mana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang bahwa penataan ruang adalah suatu sistem

proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Sedangkan penyelenggaraan penataan ruang

adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksana-

an,dan pengawasan penataan ruang. Oleh karena itu, untuk dapat

memahami persoalan penataan ruang, utamanya berkenaan dengan

operasionalisasi dalam bidang pertanahan dan pembangunan wilayah

maka pengenalan terhadap produk-produk penataan ruang harus

dikedepankan.

Gambar 9. Skema pelaksanaan penataan ruang

Page 71: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 55

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Ketiga (CPMK3) yang hendak

dicapai melalui bab ini adalah peserta didik mampu menganalisis pro-

duk-produk penataan ruang dalam rangka pelayanan pertanahan dan

penyelesaian konflik. Produk-produk penataan ruang tersebut terbagi

dalam 3 ranah, yakni ranah perencanaan tata ruang, pemanfaatan

ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Gambar 9 menampilkan

produk-produk penataan ruang dalam skema pelaksanaan penataan

ruang.

4.1. Perencanaan Tata Ruang

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan

struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan

penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang adalah hasil

perencanaan tata ruang. Secara umum kegiatan perencanaan tata

ruang menghasilkan 2 (dua) produk penataan ruang, yakni rencana

umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang

Secara skematis produk rencana umum tata ruang dan rencana

rinci tata ruang, baik pada level pemerintah maupun pemerintah

daerah dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Skema produk rencana tata ruang

Page 72: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

56 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Produk rencana umum tata ruang bersifat hierarki dari pusat ke

daerah (Gambar 11), yang berlaku selama 20 tahun dan dapat ditinjau

kembali sekali dalam setahun. Adapun rencana umum dan rencana

rinci tata ruang adalah sebagai berikut:

1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus harus

memperhatikan: (1) Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; (2)

perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil

pengkajian implikasi penataan ruang nasional; (3) upaya pemerataan

pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; (4) kesela-

rasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; (5)

daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; (6) rencana

pembangunan jangka panjang nasional; (7) rencana tata ruang kawasan

strategis nasional; dan (8) rencana tata ruang wilayah provinsi dan

rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat: (1) tujuan,

kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional; (2) rencana

struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan

nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah

pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama; (3) rencana pola

ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan

kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis nasional; (4) penetapan

kawasan strategis nasional; (5) arahan pemanfaatan ruang yang berisi

indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan (6)

arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi

indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan,

arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional digunakan sebagai pedo-

man untuk:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;

b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di

wilayah nasional;

Page 73: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 57

d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan

perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar

sektor;

e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;

f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan

g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Gambar 11. Hierarki rencana tata ruang

(Sumber: Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN t.t., 7)

2. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi merupakan produk

rencana tata ruang pada level provinsi dan merupakan otoritas

pemerintah provinsi. Produk ini berupa peraturan daerah yang berlaku

dalam 20 tahun. Dalam penyusunannya RTRW Provinsi mengacu pada:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b. Pedoman bidang penataan ruang, yang saat ini diatur dengan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten

dan Kota; dan

c. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).

Hal-hal yang wajib diperhatikan dalam penyusunan RTRW Pro-

vinsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah:

Page 74: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

58 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian

implikasi penataan ruang provinsi;

b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi

provinsi;

c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan

kabupaten/kota;

d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;

f. rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan;

g. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan

h. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Berkenaan dengan muatannya, RTRW Provinsi memuat berbagai

hal pokok yang berhubungan dengan pembangunan wilayah di

provinsi, yakni:

a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;

b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem

perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan

perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan

prasarana wilayah provinsi;

c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan

lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis pro-

vinsi;

d. penetapan kawasan strategis provinsi;

e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi

program utama jangka menengah lima tahunan; dan

f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang

berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan

perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagai acuan pembangunan

di wilayah provinsi menjadi pedoman untuk:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;

b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;

c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;

Page 75: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 59

d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan per-

kembangan antar wilayah kabupaten/kota, serta keserasian antar

sektor;

e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;

f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan

g. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

Secara umum RTRW Provinsi terdiri dari Rencana Struktur Ruang

dan Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi. Gambar berikut menam-

pilkan contoh Peta Rencana Struktur Ruang (Gambar 12) dan Peta Ren-

cana Pola Ruang (Gambar 13) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019-2039.

Gambar 12. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah DIY

(Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019)

Page 76: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

60 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 13. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah DIY (Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019)

3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dan Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota

Sebagaimana Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, peme-

rintah daerah kabupaten/kota juga diberikan kewenangan dalam

penyelenggaraan penataan ruang, yang meliputi:

a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan

penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis

kabupaten/kota;

b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;

c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

dan

d. kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.

Dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah, pemerintah kabu-

paten/kota memiliki kewenangan yang meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

Page 77: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 61

Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabu-

paten/kota, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan hal-hal

berikut:

a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;

b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupa-

ten/kota.

Gambar 14. Peta Rencana Kawasan Strategis Wilayah DIY

(Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019)

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah

provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup

ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam

bumi. Sebagai penjabaran atas rencana umum tata ruang, maka perlu

disusun rencana tata ruang rinci. Rencana rinci tata ruang disusun

sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. Rencana rinci

tata ruang disusun apabila: (1) rencana umum tata ruang belum dapat

dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengen-

dalian pemanfaatan ruang; dan/atau (2) rencana umum tata ruang

Page 78: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

62 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam ren-

cana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum

dioperasionalkan. Adapun produk-produk yang termasuk ke dalam

rencana rinci tata ruang adalah sebagai berikut:

a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang

kawasan strategis nasional;

b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi (Gambar 14); dan

c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang

kawasan strategis kabupaten/kota.

Secara substansial produk-produk rencana tata ruang berisi

muatan struktur ruang dan pola ruang sebagaimana tersaji dalam

Gambar 15.

Gambar 15. Muatan rencana tata ruang berdasarkan Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007

4. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)

Regulasi yang mengatur tentang perencanaan tata ruang adalah

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Page 79: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 63

Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten Dan

Kota. Sementara itu yang mengatur tentang RDTR adalah Peraturan

Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Pedoman Penyusunan

Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota,

yang di dalamnya berisikan muatan RDTR, muatan PZ, dan tata cara

penyusunan RDTR-PZ. Dalam hal ini, RDTR termasuk dalam

instrumen perencanaan/pengarah tata ruang tetapi Peraturan Zonasi

(PZ) merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.

Terdapat muatan-muatan RDTR dan PZ yang diatur dalam

Permen ATR Nomor 16/2018. Di dalam RDTR terdapat 5 (lima) muatan.

Muatan RDTR tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tujuan penataan Bagian Wilayah Perencanaan (BWP)

Tujuan penataan BWP berisikan nilai dan/atau kualitas terukur

yang akan dicapai sesuai dengan arahan pencapaian sebagaimana

ditetapkan dalam RTRW, alasan disusunnya RDTR, dan dapat

dilengkapi dengan konsep/cara pencapaiannya. Tujuan penataan ini

memiliki fungsi untuk acuan dalam penyusunan dokumen RDTR lain-

nya (rencana pola ruang, rencana struktur ruang, sub BWP yang

diprioritaskan, ketentuan pemanfaatan ruang, dan PZ) dan menjaga

keserasian dengan RTRW kabupaten/kota. Dengan kata lain, tujuan

penataan BWP merupakan tema yang terfokus pada fungsi-fungsi

untuk mendukung RTRW di atasnya.

Hal-hal yang dipertimbangkan dalam perumusan tujuan penataan

BWP adalah: (1) keseimbangan dan keserasian antarbagian dari wilayah

kabupaten/kota; (2) fungsi dan peran BWP; (3) potensi investasi; (4)

keunggulan dan daya saing BWP; (5) kondisi sosial dan lingkungan

BWP; (6) peran dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan; dan (7)

prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut.

b. Rencana Struktur Ruang

Seperti halnya struktur ruang dalam RTRW, rencana struktur

ruang pada RDTR berisikan susunan pusat-pusat pelayanan dan sistem

Page 80: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

64 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

jaringan prasarana dalam skala BWP atau dengan kata lain merupakan

pendetailan dari struktur ruang yang telah ada dalam RTRW sesuai

dengan skala pelayanannya. Rencana struktur ini meliputi rencana

pengembangan pusat pelayanan, rencana jaringan transportasi, dan

rencana jaringan prasarana.

Perumusan struktur ruang didasarkan pada rencana struktur

ruang dalam RTRW, kebutuhan pelayanan dan pengembangan bagi

BWP, dan ketentuan peraturan perundangan terkait. Dari ketiga dasar

tersebut kemudian dibentuk 6 (enam) kriteria dalam perumusan struk-

tur ruang, yaitu: (1) keterkaitan struktur ruang antar BWP dalam satu

kabupaten/kota; (2) keterkaitan struktur ruang kabupaten/kota lain

yang berbatasan langsung dengan BWP; (3) keterpaduan pelaksanaan

pembangunan prasarana dan utilitas pada BWP; (4) kebutuhan

pelayanan prasarana dan utilitas dalam BWP; (5) kebutuhan perge-

rakan manusia dan barang; dan (6) inovasi dan/atau rekayasa tek-

nologi.

Gambar 16. Peta rencana jaringan pergerakan Kota Bandung

(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)

Page 81: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 65

Gambar 16 merupakan salah satu produk RDTR Kota Bandung

yang berupa rencana jaringan transportasi. Di dalam peta rencana

jaringan pergerakan tersebut tergambarkan kondisi jalan eksisting,

rencana pembangunan jalan, dan Kawasan Keselamatan Operasi

Penerbangan (KKOP). Selain rencana jaringan pergerakan, produk

RDTR Kota Bandung yang terkait dengan rencana struktur ruang

antara lain rencana jaringan kelistrikan, rencana jaringan teleko-

munikasi, rencana jaringan air minum, rencana jaringan drainase,

rencana jaringan air limbah, dan rencana jaringan persampahan.

Gambar 17. Peta rencana pola ruang Kota Bandung

(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)

c. Rencana Pola Ruang

Pola ruang RDTR berisikan pendetailan rencana pola ruang yang

tercantum dalam RTRW dan disesuaikan dengan fungsi dan tujuan

penataan BWP. Rencana pola ruang ini berfungsi sebagai: (1) arahan

ruang berbagai kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan pelestarian

lingkungan; (2) dasar penerbitan izin pemanfaatan ruang; (3) dasar

penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL); dan (4)

dasar penyusunan rencana jaringan prasarana.

Page 82: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

66 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Rencana pola ruang terdiri dari zona lindung dan zona budi daya.

Gambar 17 menunjukkan produk RDTR Kota Bandung yang berupa

peta rencana pola ruang. Di dalam peta tersebut tergambarkan rencana

zona lindung (terdiri dari zona perlindungan kawasan bawahannya,

zona perlindungan setempat, zona lindung alami, dan zona rawan

bencana) dan rencana zona budidaya (terdiri dari zona perumahan,

zona perdagangan dan jasa, zona campuran, zona kantor pemerin-

tahan, zona industri dan pergudangan, zona wisata, zona sarana

pelayanan umum, zona pertahanan dan keamanan, zona pertanian,

dan zona khusus).

d. Penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya

Penetapan prioritas sub BWP merupakan upaya dalam rangka

operasionalisasi rencana tata ruang yang diwujudkan dalam rencana

penanganan sub BWP yang diprioritaskan. Tujuan adanya penetapan

adalah untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi, memper-

baiki, mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan, dan/atau

melaksanakan revitalisasi di kawasan yang dianggap memiliki prioritas

pembangunan/fokus penanganan lebih tinggi dibandingkan sub BWP

yang lainnya. Penetapan prioritas sub BWP sendiri didasarkan pada

tujuan penataan BWP, nilai penting keberadaan sub BWP, kondisi

sosial-ekonomi-budaya-lingkungan, daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup, dan ketentuan peraturan perundangan terkait.

Penetapan prioritas sub BWP setidaknya memuat unsur lokasi dan

tema. Lokasi digambarkan dalam bentuk deliniasi kawasan sub BWP,

dengan mempertimbangkan aspek batas fisik, fungsi kawasan, wilayah

administrasi, kultur budaya tradisional, karakteristik tematik, dan jenis

kawasan. Berikutnya tema penanganan terdiri atas: (1) perbaikan

sarana, prasarana, dan blok/kawasan; (2) pengembangan kembali sara-

na, prasarana, dan blok/kawasan; (3) pembangunan baru sarana, prasa-

rana, dan blok/kawasan; dan (4) pelestarian/perlindungan blok/ka-

wasan.

Gambar 18 adalah salah satu contoh penetapan sub BWP di Kota

Bandung, yaitu Sub Wilayah Kota (SWK) Bojonegara. Wilayah

Page 83: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 67

Bojonegara ditetapkan sebagai salah satu SWK karena untuk

mewujudkan perlindungan kawasan bandara dan industri strategis

(aerobiopolis). SWK Bojonegara mencakup Kecamatan Sukasari,

Kecamatan Sukajadi, Kecamatan Cicendo, dan Kecamatan Andir.

Dalam rangka mendukung percepatan penanganan SWK Bojonegara

khususnya di lokasi Bandara Husein Sastranegara dan Zona Eks

Industri Pesawat Terbang, maka di dalam Peraturan Daerah Kota

Bandung Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail Tata Ruang

Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015-2035 diamanatkan

pula untuk melakukan pengaturan di berbagai sektor seperti

penyusunan RTBL, perbaikan lingkungan dan infrastruktur serta

utilitas, peningkatan pelayanan bandar udara dengan perbaikan lingku-

ngan sekitar, dan penyusunan rencana induk bandara.

Gambar 18. Peta rencana pola ruang SWK Bojonegara (Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)

e. Ketentuan pemanfaatan ruang

Di dalam ketentuan pemanfaatan ruang berisikan program-

program rinci pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5

(lima) tahunan sebagai upaya untuk mewujudkan RDTR. Ketentuan

Page 84: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

68 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

pemanfaatan ruang berfungsi sebagai: (1) dasar dalam pemrograman

investasi pengembangan BWP; (2) arahan untuk sektor dalam penyu-

sunan program; (3) dasar estimasi kebutuhan pembiayaan dalam

jangka waktu 5 (lima) tahunan dan penyusunan program tahunan

untuk jangka 5 (lima) tahun; dan (4) acuan bagi masyarakat dalam

melakukan investasi.

Gambar 19. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pemanfaatan ruang

Secara diagramatis, isi dari ketentuan pemanfaatan ruang dapat

dilihat pada Gambar 19. Contoh yang digunakan adalah RDTR Kota

Bandung. Di dalam ketentuan pemanfaatan ruang dari suatu SWK

terdiri dari program pemanfaatan ruang prioritas (meliputi perwujudan

rencana pola ruang, perwujudan rencana jaringan prasarana, dan

perwujudan penetapan sub SWK yang diprioritaskan penanganannya),

lokasi (meliputi wilayah yang masuk dalam suatu SWK), sumber

pendanaan (pendanaan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, peme-

rintah kota, dan sumber pendanaan lain), pelaksana kegiatan

(pelaksana kegiatan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah

kota, BUMN, swasta, dan masyarakat), dan waktu pelaksanaan (pelak-

sanaan dibagi menjadi beberapa termin).

Apabila dalam RDTR terdapat 5 (lima) muatan, di dalam PZ

terdapat 2 (dua) muatan. Muatan-muatan tersebut sebagai berikut:

Page 85: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 69

a. Aturan dasar

Aturan dasar merupakan muatan yang bersifat wajib karena beri-

sikan persyaratan dasar yang berlaku dalam pemanfaatan ruang.

Aturan ini meliputi:

(1) Ketentuan kegiatan dan penggunaan tanah, yang diwujudkan

dalam bentuk tabel ITBX (Gambar 20). Kegiatan dengan kriteria I

berarti kegiatannya diperbolehkan/diizinkan karena sesuai dengan

peruntukan ruang yang direncanakan. Kegiatan dengan kriteria T

berarti dapat dimanfaatkan bersyarat secara terbatas, misalnya

pembatasan dalam durasi atau jangka waktu beroperasinya

kegiatan, pembatasan luas maksimum penggunaan tanah, pemba-

tasan jumlah pemanfaatan, dan lainnya. Kegiatan dengan kriteria

B berarti dapat dimanfaatkan dengan syarat tertentu, misalnya

kegiatan yang mensyaratkan dokumen AMDAL, UKL UPL,

ANDALIN, pengadaan RTH, dan lainnya. Kegiatan dengan kriteria

X berarti tidak dapat dimanfaatkan karena tidak sesuai dengan

rencana peruntukan tanah dan berpotensi menimbulkan dampak

besar bagi lingkungan sekitar.

Gambar 20. Tabel ITBX pada RDTR Kota Bandung

(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)

Page 86: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

70 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

(2) Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, mengatur tentang

kepadatan zona terbangun yang dipersyaratkan di suatu zona.

Parameter yang digunakan untuk mengukur yaitu Koefisien Dasar

Bangunan (KDB) Maksimum, Koefisien Lantai Bangunan (KLB)

Minimum-Maksimum, dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) Minimal

baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Selain 3 (tiga)

parameter tersebut dapat ditambahkan pula Koefisien Tapak

Basement (KTB) Maksimum, Koefisien Wilayah Terbangun (KWT)

Maksimum, Kepadatan Bangunan atau Unit Maksimum, dan

Kepadatan Penduduk Maksimal.

(3) Ketentuan tata bangunan, mengatur tentang bentuk, besaran,

peletakan, dan tampilan bangunan di suatu zona dalam upaya

menjaga keselamatan dan keamanan bangunan. Parameter yang

digunakan untuk mengatur tata bangunan adalah Ketinggian

Bangunan (TB) Maksimum, Garis Sempadan Bangunan (GSB)

Minimum, jarak bebas antar bangunan, Jarak Bebas Samping (JBS),

dan Jarak Bebas Belakang (JBB). Ketentuan tata bangunan ini

dapat lebih didetailkan pada dokumen RTBL.

(a) (b)

Gambar 21. Ilustrasi (a) KDB dan (b) GSB (Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2018)

(4) Ketentuan prasarana dan sarana minimal, mengatur tentang jenis

parasarana dan sarana pendukung minimal yang harus ada di

setiap zona peruntukan dalam upaya menciptakan lingkungan

yang nyaman dan optimalnya fungsi suatu zona. Jenis sarana

prasarana yang disediakan mempertimbangkan sifat dan tuntutan

kegiatan utama, sedangkan volume atau kapasitas memper-

Page 87: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 71

timbangkan estimasi jumlah orang yang menghuni zona tersebut.

Contoh: prasarana parkir, aksesibilitas untuk kaum difabel, jalur

pedestrian, dan lain sebagainya.

(5) Ketentuan khusus, mengatur tentang pemanfaatan zona yang

berfungsi khusus. Ketentuan khusus ini merupakan aturan

tambahan yang ditampalkan (overlay) di atas aturan dasar karena

adanya hal khusus yang belum diatur dalam aturan dasar. Contoh:

KKOP dan kawasan kebisingan pada bandar udara, tempat

evakuasi bencana pada kawasan rawan bencana, dan lain seba-

gainya.

(6) Standar teknis, mengatur tentang teknis pembangunan sarana

prasarana yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI).

Selain sebagai panduan dalam pelaksanaan pembangunan, standar

teknis juga digunakan sebagai instrumen pemeriksaan dan

pengawasan pengendalian pemanfaatan ruang. Contoh: standar

penyediaan air bersih, jaringan listrik, fasilitas pendidikan, dan

lain sebagainya.

(7) Ketentuan pelaksanaan, merupakan aturan yang terkait dengan

pelaksanaan penerapan RDTR dan PZ. Ketentuan ini terdiri dari

ketentuan variasi pemanfaatan ruang, ketentuan pemberian insen-

tif dan disinsentif, ketentuan penggunaan tanah, dan aturan

peralihan.

b. Teknik pengaturan zonasi (TPZ)

TPZ merupakan muatan yang bersifat opsional/pilihan karena

berisikan aturan atau ketentuan lain dari aturan dasar. TPZ dirancang

sedemikian rupa untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan

aturan dasar sehingga sasaran pengendalian pemanfaatan ruang dapat

dicapai lebih efektif. Contoh: zona pengalihan hak membangun

(transfer development right), zonasi bonus (bonus zoning), zona

pemanfaatan khusus (conditional uses), dan lain sebagainya sesuai

dengan kebutuhan penanganan suatu zona.

Page 88: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

72 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Ditinjau dari tata cara penyusunan, RDTR dan PZ disusun secara

bersamaan dan bersamaan pula dengan penyusunan Kajian

Lingkungan Hidup Strategis. Penyusunan RDTR dan PZ mencakup 5

(lima) tahapan, yaitu persiapan, pengumpulan data dan informasi,

pengolahan dan analisis data, perumusan konsep RDTR dan muatan

PZ, dan diakhiri dengan penyusunan dan pembahasan Raperda

(Gambar 22). Perda RDTR dan PZ yang disetujui kemudian disajiikan

dalam bentuk naskah perda dan lampiran-lampiran. Peraturan RDTR

dan PZ memiliki jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan apabila dalam

waktu 5 (lima) tahun terjadi perubahan lingkungan strategis akibat

bencana atau perubahan batas wilayah administrasi maka dapat

dilakukan peninjauan kembali.

Gambar 22. Tata cara penyusunan RDTR

(Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2018)

4.2. Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur

ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui

penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program

pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya. Program pemanfaatan

Page 89: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 73

ruang tersebut dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik

pemanfaatan ruang secara horisontal di permukaan bumi maupun

pemanfaatan ruang secara vertikal ke dalam bumi. Program

pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya termasuk jabaran dari

indikasi program utama yang termuat di dalam rencana tata ruang

wilayah. Pemanfaatan ruang sebagaimana di atas diselenggarakan

secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program utama

pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.

Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan

dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan

penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan

penatagunaan sumber daya alam lain. Dalam rangka pengembangan

penatagunaan diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan

neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumberdaya air,

neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya

alam lain.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah,

penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber

daya alam lainnya diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini,

ketentuan yang sudah terbit dalam bentuk peraturan pemerintah baru

pengaturan dalam penatagunaan tanah, yakni melalui Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk

pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum

memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah

daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak

atas tanah. Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan

kabupaten/kota dilakukan:

1. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang

wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;

2. perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur

ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan

Page 90: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

74 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

3. pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan

ruang wilayah dan kawasan strategis.

Pemanfaatan ruang dalam wilayah nasional, provinsi dan

kabupaten/kota dapat dilaksanakan sesuai dengan:

a. standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;

b. standar kualitas lingkungan; dan

c. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

4.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan aspek yang penting

untuk mencapai tertib pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan

ruang adalah suatu proses kegiatan yang secara berkesinambungan

mengikuti, mengamati, dan menempatkan pelaksanaan rencana-

rencana pemanfaatan ruang yang disusun oleh berbagai instansi

sektoral, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat secara berdaya

guna dan berhasil guna agar dapat mewujudkan Rencana Tata Ruang

(RTR) yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengendalian pemanfaatan

ruang antara lain untuk:

1. Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang,

peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan

ruang;

2. Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang;

3. Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas;

4. Mengakomodasikan kebutuhan ruang yang dinamis dari berbagai

kegiatan, baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat

secara optimal dan berkelanjutan;

5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan ruang baik antara

kawasan lindung dengan kawasan budidaya maupun antar kawa-

san budidaya yang dapat menimbulkan tumpang-tindih dan

konflik; dan

6. Pengendalian pemanfaatan ruang pada hakekatnya terdiri dari tiga

kegiatan yang satu sama lain terkait erat, yaitu kegiatan peman-

Page 91: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 75

tauan, kegiatan pengawasan, dan kegiatan penertiban

pemanfaatan ruang.

Dalam pelaksanaan pembangunan, pengendalian memiliki 2 (dua)

fungsi yaitu:

1. Fungsi untuk memperbaiki suatu kegiatan yang telah berlangsung

namun keberadaanya tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang

ada; dan

2. Fungsi untuk mencegah terjadinya pembangunan yang tidak

sesuai dengan acuan yang telah disusun.

Persoalan penataan ruang pada dasarnya berakar pada bagaimana

pelaksanaan pembangunan dilakukan. Dalam pelaksanaan pemba-

ngunan suatu kawasan seringkali tidak sejalan dengan rencana tata

ruang yang telah disusun dan menjadikan keduanya sebagai suatu hal

yang bertentangan. Seringkali rencana tata ruang yang telah disusun

akan tetap menjadi suatu dokumen sedangkan pelaksanaan

pembangunan tetap berjalan berdasarkan permintaan pasar. Ketidak-

sesuaian antara rencana tata ruang yang telah disusun dengan

pelaksanaan pembangunan ini membutuhkan apa yang disebut dengan

pengendalian. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dijelaskan bahwa pengendalian merupakan bagian

dari proses penyelenggaraan penataan ruang yang berupaya untuk

mewujudkan tertib tata ruang. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka

memastikan bahwa proses pemanfaatan ruang telah sesuai dengan

rencana tata ruang yang berlaku.

Persoalan terbesar dalam penataan ruang adalah pengendalian

pemanfaatan ruang. Sebaik apapun rencana tata ruang dan program

pemanfaatan ruang yang disusun, tanpa disertai dengan pengendalian

pemanfaatan ruang yang tegas, konsisten dan berkelanjutan, maka

tujuan penataan ruang tidak akan terwujud dengan efektif.

Penyimpangan pemanfaatan ruang sebagian besar adalah karena

lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, pedoman

pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang amat

Page 92: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

76 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

penting dalam penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang

diselenggarakan melalui kegiatan perijinan, pengawasan, dan

penertiban terhadap pemanfaatan ruang kota.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

telah mengatur adanya koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang

yang diselenggarakan oleh suatu lembaga yang mengurusi koordinasi

penataan ruang daerah yang akan bekerjasama dengan aparat pemerin-

tah di tingkat kecamatan disertai dengan melibatkan peran serta

masyarakat.

Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang mengacu pada

beberapa hal sebagai berikut:

1. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang didasarkan pada

arahan-arahan yang tercantum dalam rencana struktur dan pola

pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR)

yang telah ditetapkan;

2. pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan terhadap kawasan

lindung dan kawasan budidaya yang meliputi jenis dan intensitas

pemanfaatan ruang;

3. pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui penetapan

peraturan zonasi (zoning regulations) yang menjadi acuan untuk

kegiatan perijinan, pengawasan dan penertiban terhadap

pemanfaatan ruang, termasuk terhadap pemanfaatan air

permukaan, air bawah tanah, udara serta pemanfaatan ruang

bawah tanah; dan

4. sesuai dengan arahan di dalam UU Penataan Ruang, koordinasi

pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh suatu lembaga

yang ditetapkan oleh kepala daerah.

Untuk rujukan pengendalian yang lebih teknis, Rencana Tata

Ruang harus dijabarkan dalam:

1. perangkat pengendalian, seperti (a) RDTR-Peraturan Zonasi, (b)

RTBL, (c) Panduan Rancang Kota (design guidelines), dan (d)

standar teknis yang ditetapkan;

Page 93: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 77

2. pedoman perubahan pemanfaatan tanah yang mengatur toleransi

terhadap tingkat gangguan dan beberapa prinsip perubahan meli-

puti adanya ketentuan tingkatan perubahan yang boleh dan tidak

boleh dilakukan;

3. perubahan tersebut dapat diberikan oleh dinas yang diberi

kewenangan menangani penataan ruang dan bangunan;

4. perubahan besar harus melalui persetujuan lembaga perencanaan,

dan dikenai denda dan biaya dampak pembangunan;

5. penataan kembali arahan zonasi harus melalui persetujuan DPRD;

6. kegiatan yang sudah ada tetapi tidak sesuai dengan rencana tata

ruang dikenakan aturan peralihan berdasarkan prinsip peman-

faatan bersyarat, yaitu dapat dilanjutkan/dipertahankan asalkan

tidak mengubah fungsi dan bentuk fisik; atau dibatasi sampai

dengan waktu tertentu (dalam tenggang waktu);

7. pemanfaatan ruang yang sesuai aturan tapi tidak berijin, harus

segera mengurus ijin (pemutihan), dengan dikenai denda;

8. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai tapi telah memiliki ijin dapat

tetap dipertahankan asal tidak ada perubahan fisik bangunan

(dikenakan prinsip pemanfaatan bersyarat);

9. perubahan fisik bangunan pada pemanfaatan ruang yang tidak

sesuai tapi telah memiliki ijin, harus mengacu pada aturan dan

ketentuan teknis yang berlaku; dan

10. pemanfaatan yang tidak sesuai aturan dan tidak mempunyai ijin

dapat ditertibkan dengan pembongkaran bangunan, perlengkapan

perijinan dengan dikenai denda dan biaya dampak pembangunan,

denda atau kurungan.

Pengendalian pelaksanaan pemanfaatan ruang perlu dilakukan

untuk kegiatan-kegiatan yang sudah berlangsung, sedang berlangsung,

maupun yang direncanakan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan

dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah:

a. lokasi dan luas pemanfaatan ruang (tanah);

b. jangka waktu kegiatan (rencana);

Page 94: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

78 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

c. cara-cara beroperasinya kegiatan pemanfaatan ruang (kaitannya

dengan pengelolaan lingkungan hidup);

d. program atau rencana pengembangan kegiatan; dan

e. kaitan atau sinkronisasi antar kegiatan

Gambar 23. Pengendalian dalam pelaksanaan penyelenggaraan

penataan ruang

Selanjutnya, pengendalian pemanfaatan ruang perlu didukung

oleh berbagai perangkat pengendalian. Pengembangan berbagai

perangkat pengendalian tersebut ditujukan untuk mengarahkan

sekaligus mendorong pembangunan. Dalam upaya mengarahkan

pembangunan, perangkat pengendalian pemanfaatan ruang diharap-

kan mampu berperan dalam upaya preventif maupun dalam upaya

kuratif. Secara lebih lengkap sifat dan perangkat pengendalian

pemanfaatan ruang dapat dilihat pada Tabel 5 dan secara digramatis

kedudukan dari masing-masing bentuk pengendalian pemanfaatan

ruang dapat dilihat pada Gambar 23.

Page 95: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 79

Tabel 5. Sifat Dan Perangkat Pengendalian Pembangunan

Pada dasarnya dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi berakar dari alih fungsi

tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Dalam rangka

mengontrol alih fungsi tanah perlu dilakukan dengan 3 (tiga)

pendekatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu melalui:

1. Regulation. Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu

menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan tanah yang ada.

Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial,

pengambil kebijakan dapat melakukan pewilayahan (zoning)

terhadap tanah yang ada serta kemungkinan bagi proses alih

fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan

transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan

yang ada dalam proses alih fungsi tanah;

2. Acquisition and management. Melalui pendekatan ini pihak terkait

perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli tanah serta

penyempurnaan pola penguasaan tanah (land tenure system) yang

ada guna mendukung upaya ke arah tertib tata ruang; dan

3. Incentive and charge. Pemberian subsidi yang dapat meningkatkan

jaminan kualitas dan ketepatan pemanfaatan ruang, serta

penerapan pajak yang tinggi untuk mempertahankan keberadaan

suatu tanah tertentu.

Page 96: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

80 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 24. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang

(Sumber: UU Nomor 26 Tahun 2007)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dan dengan melihat pada sifat pengendalian sebagai

pengarah pembangunan (direct development) di Tabel 5, instrumen

pengendalian pemanfaatan ruang dapat dibagi menjadi 2 (macam)

yaitu yang bersifat preventif dan bersifat kuratif. Kedua macam sifat

pengendalian ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain karena

aturan kuratif akan diterapkan apabila tidak ada kepatuhan terhadap

serangkaian instrumen yang bersifat preventif. Tujuan akhir dari kedua

macam sifat pengendalian pemanfaatan ruang yaitu terwujudnya tertib

tata ruang atau adanya kesesuaian dalam pemanfaatan ruang (Gambar

24).

4.3.1. Pencegahan pemanfaatan ruang

Pencegahan adalah suatu tindakan preventif agar tidak terjadi

pelanggaran atau tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

pelanggaran (Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban tanah

dan Ruang t.t.). Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang

bersifat preventif atau pencegahan diatur dalam pasal 36-38 Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan kemudian dijabarkan dalam pasal

149-181 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010. Instrumen-

instrumen tersebut adalah sebagai berikut:

Page 97: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 81

1. Peraturan Zonasi

Arahan peraturan zonasi adalah seperangkat ketentuan yang

mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan

pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang

penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Persyaratan dan

ketentuan sebagaimana dimaksud meliputi: (1) jenis kegiatan yang

diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan;

(2) intensitas pemanfaatan ruang; (3) prasarana dan saran minimum;

dan (4) ketentuan lain yang dibutuhkan. Peraturan zonasi digunakan

sebagai pedoman dalam implementasi instrumen pengendalian

pemanfaatan ruang yang lain. Pemberian insentif dan disinsentif,

pemberian izin, dan pengenaan sanksi tidak dapat dilepaskan dari

pertimbangan arahan zonasi.

Peraturan zonasi ditetapkan dengan: (1) peraturan pemerintah

untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; (2) peraturan daerah

provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan (3)

peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi sistem

kabupaten/kota. Adanya arahan zonasi di setiap tingkat pemerintahan

menunjukkan bahwa arahan zonasi tidak bisa dilepaskan dari setiap

produk rencana tata ruang, baik yang bersifat umum maupun rinci. Di

tingkat nasional dan provinsi, arahan peraturan zonasi meliputi arahan

peraturan zonasi untuk struktur ruang dan pola ruang di masing-

masing tingkat yang terdiri atas sistem perkotaan, sistem jaringan

transportasi, sistem jaringan energi, sistem jaringan telekomunikasi,

sistem jaringan sumber daya air, kawasan lindung, dan kawasan budi-

daya. Arahan zonasi pada tingkat nasional dan provinsi tesebut

kemudian menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan dalam

penyusunan zonasi kabupaten/kota, selain rencana rinci tata ruang

kabupaten/kota yaitu rencana kawasan strategis kabupaten/kota

dan/atau RDTR.

2. Perizinan

Perizinan adalah merupakan upaya untuk memperbolehkan atau

tidak memperbolehkan suatu kegiatan berlangsung pada suatu wilayah

Page 98: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

82 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

sesuai dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan surat izin.

Izin diberikan kepada calon pengguna ruang dengan tujuan untuk: (1)

menjamin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan tata ruang, arahan

zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang; (2)

mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang; dan (3) melindungi

kepentingan umum dan masyarakat luas. Izin yang dikeluarkan

Pemerintah atau pemerintah daerah dapat berupa izin prinsip, izin

lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan ba-

ngunan, dan izin lain yang sesuai dengan peraturan perundangan.

Dalam hal pemberian izin, terdapat beberapa persyaratan teknis

dan persyaratan administratif yang harus dipenuhi. Apabila dasar

pemberian izin belum ada maka izin diberikan atas dasar rencana tata

ruang yang berlaku. Terhadap izin pemanfaatan ruang yang sudah

terbit namun tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah maka

dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut

kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan

dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal

demi hukum.

3. Pemberian Insentif dan Disinsentif

Insentif dan disinsentif adalah seperangkat aturan yang dibuat

untuk mengarahkan pembangunan dengan memberikan dorongan

terhadap kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan

menghambat terhadap kegiatan yang bertentangan dengan rencana

tata ruang. Insentif diberikan kepada para pengguna ruang apabila

dalam pemanfaatannya sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana

pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi. Di sisi lain disinsentif

diberikan kepada para pengguna ruang apabila kegiatan pemanfaatan

ruangnya perlu untuk dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya.

Pemberian insentif dan disinsentif dapat dilakukan oleh

Pemerintah maupun pemerintah daerah melalui mekanisme yang

diatur sesuai dengan peraturan perundangan. Pemberian insentif dan

disinsentif dapat diterapkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu secara fiskal

Page 99: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 83

dan non fiskal. Kebijakan secara fiskal adalah dalam hal pajak dan

retribusi. Keringanan pajak dan pengurangan retribusi untuk insentif,

sedangkan untuk disinsentif dalam bentuk pembebanan pajak dan

retribusi yang tinggi. Dalam hal non fiskal dapat diterapkan dalam

berbagai macam bentuk seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Pemberian Insentif dan Disinsentif Dalam Bentuk Kebijakan Non Fiskal

Jenis Pemberi / Penerima

Bentuk non fiskal

Insentif

Pemerintah / pemerintah

daerah

subsidi silang, kemudahan perizinan, penye-diaan sarana dan prasarana, pemberian kom-pensasi, penghargaan dan fasilitasi, dan/atau publikasi atau promosi daerah

pemerintah daerah /

pemerintah daerah lain

pemberian kompensasi, penyediaan sarana dan prasarana pendukung, kemudahan per-izinan bagi investor yang berasal dari daerah lain (daerah penerima manfaat), dan/atau publikasi atau promosi daerah

Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah /

masyarakat

keringanan pajak, pemberian kompensasi, pengurangan retribusi, imbalan, sewa ruang, urun saham, penyediaan sarana dan pra-sarana, dan/atau kemudahan perizinan

Disinsentif

Pemerintah / pemerintah

daerah

persyaratan khusus dalam perizinan, pemba-tasan penyediaan sarana dan prasarana, dan/atau pemberian status tertentu

Pemerintah daerah /

Pemerintah daerah lain

pengajuan pemberian kompensasi, pemba-tasan penyediaan sarana dan prasarana, dan/atau persyaratan khusus bagi investor yang berasal dari daerah lain

Pemerintah dan/atau

pemerintah daerah /

Masyarakat

kewajiban memberi kompensasi, persyaratan khusus dalam perizinan, kewajiban memberi imbalan, dan/atau pembatasan penyediaan sarana dan prasarana

Sumber: PP Nomor 15 Tahun 2010

4.3.2. Penertiban pemanfaatan ruang

Penertiban adalah suatu tindakan yang diberikan kepada para

penggunan ruang setelah terjadinya pelanggaran (Direktorat Jenderal

Pengendalian dan Penertiban tanah dan Ruang t.t.). Penertiban diberi-

kan dalam bentuk pengenaan sanksi, dapat berupa sanksi administratif

Page 100: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

84 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

maupun pidana (Tabel 7). Sanksi-sanksi tersebut dijatuhkan kepada

pengguna ruang apabila:

1. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;

2. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan

ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang;

3. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang

diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau

4. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh

peraturan perundangan sebagai milik umum.

Tabel 7. Bentuk Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana

Sanksi Administratif Sanksi Pidana

a. Peringatan tertulis b. Penghentian sementara kegiatan c. Penghentian sementara pelayanan

umum d. Penutupan lokasi e. Pencabutan izin f. Pembatalan izin g. Pembongkaran bangunan h. Pemulihan fungsi ruang i. Denda administratif

a. Pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,-

b. Pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,-

c. Pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,-

Sumber: UU Nomor 26 Tahun 2007

Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan dari hasil audit tata

ruang. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

BPN Nomor 17 Tahun 2017, audit tata ruang adalah serangkaian

kegiatan pemeriksaan dan evaluasi terhadap data dan informasi spasial

serta dokumen-dokumen pendukung untuk mengevaluasi suatu

laporan atau temuan yang diduga sebagai indikasi pelanggaran di

bidang penataan ruang. Audit tata ruang dipandang perlu dilakukan

sebagai upaya pengawasan dan pengendalian karena tingginya angka

indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang di Indonesia (Direktur

Penertiban Pemanfaatan Ruang 2020).

Audit tata ruang dilaksanakan apabila terdapat laporan/pengadu-

an dari masyarakat, temuan langsung oleh PPNS Penataan Ruang,

dan/atau bencana alam sebagai akibat pelanggaran pemanfaatan ruang.

Page 101: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 85

Apabila aduan, temuan, dan/atau bencana tersebut mengindikasikan

adanya pelanggaran di bidang penataan ruang dan memerlukan kajian

teknis secara komprehensif maka ditindaklanjuti dengan audit tata

ruang yang dilakukan oleh tim audit. Ditinjau dari cakupan

kewenangan wilayah kerja, tim audit dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. Tim audit tingkat Pusat. Tim ini melakukan audit di KSN, PKN,

dan kawasan lintas daerah provinsi. Tim audit tingkat Pusat akan

bekerja di luar wilayah kewenangan kerja apabila terjadi

pelanggaran pemanfaatan ruang yang berdampak nasional,

berpotensi menimbulkan konflik, dan adanya permintaan dari

pemerintah daerah untuk membantu audit di tingkat daerah.

2. Tim audit tingkat provinsi. Tim ini melakukan audit di KSP dan

kawasan lintas daerah kabupaten/kota. Namun demikian tim

audit provinsi dapat bekerja di luar wilayah kewenangan kerjanya

apabila terdapat permintaan dari pemerintah daerah

kabupaten/kota untuk membantu audit di wilayah

kabupaten/kota.

3. Tim audit tingkat kabupaten/kota. Tim ini akan melakukan audit

sesuai dengan wilayah administrasi kabupaten/kota bersangkutan.

Tim audit yang dibentuk selanjutnya melakukan perencanaan

audit, meliputi penetapan batas lokasi audit, jangka waktu pelaksanaan

audit, kebutuhan sarana selama audit, dan pembiayaan kegiatan audit.

Dalam hal penetapan lokasi audit, terdapat 3 (tiga) hal yang digunakan

sebagai batasan lokasi audit yaitu batas kepemilikan atau penguasaan

bidang tanah, batas administrasi wilayah (provinsi, kabupaten/kota,

kecamatan, desa/kelurahan), dan batas fungsional kawasan (KSN, KSP,

KS kabupaten/kota, peruntukan, penggunaan tanah, zonasi, rawan

bencana). Data spasial batas lokasi audit digunakan sebagai dasar

untuk analisis tumpang susun/overlay dengan data penggunaan tanah

eksisting, RTRW, RDTR, dan ketentuan kegiatan. Hasil analisis overlay

kemudian digunakan untuk verifikasi lapangan atau peninjauan

lapangan.

Page 102: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

86 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Peninjauan lapangan yang dilakukan tim audit untuk mengaudit 4

(empat) kategori, antara lain:

1. Audit kesesuaian terhadap rencana tata ruang, yaitu pemeriksaan

terhadap (a) kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTRW

maupun RDTR; (b) kesesuaian dengan ketentuan pemanfaatan;

dan (c) identifikasi terhadap dampak yang ditimbulkan. Data-data

yang dikumpulkan antara lain dokumen rencana tata ruang,

materi teknis rencana tata ruang, peta rencana tata ruang, peta

penggunaan tanah eksisting, riwayat penggunaan tanah, status

kepemilikan tanah, dan keterangan pendukung lainnya. Dari data-

data yang terkumpul dilakukan analisis dengan cara pertampalan

peta, penilaian kesesuaian penggunaan tanah, dan verifikasi

lapangan. Terhadap pemanfaatan ruang yang dilakukan sebelum

penetapan tata ruang maka pengguna ruang berhak untuk

melakukan penyesuaian pemanfaatan ruang selama 3 (tiga) tahun,

sedangkan terhadap pemanfaatan ruang yang dilakukan setelah

penetapan tata ruang maka dikategorikan tidak sesuai dengan

rencana dokumen tata ruang dan selanjutnya dilakukan

identifikasi dampak yang ditimbulkan. Proses identifikasi dampak

yang ditimbulkan didasarkan pada 3 (tiga) aspek yaitu dampak

akibat perubahan fungsi suatu ruang, jumlah kerugian material

yang ditimbulkan, dan ada tidaknya kematian manusia.

2. Audit kesesuaian terhadap izin, yaitu pemeriksaan terhadap (a)

ada tidaknya kepemilikan izin; (b) waktu penerbitan dan masa

berlakunya izin; dan (c) kesesuaian antara isi dalam izin dengan

pelaksanaan di lapangan. Data-data yang dikumpulkan antara lain

peta penggunaan tanah eksisting, sketsa penggunaan tanah

eksisting, riwayat penggunaan tanah, status kepemilikan tanah,

dokumen izin pemanfaatan ruang yang disyaratkan, dokumen izin

lain yang dimiliki sesuai peraturan perundangan, dan keterangan

pendukung lainnya. Dari sejumlah data yang dikumpulkan

selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian antara pemanfaatan

ruang dengan beberapa izin, yaitu izin prinsip atau yang setara,

Page 103: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 87

izin lokasi, izin mendirikan bangunan, dan/atau perizinan sektoral

lainnya sesuai dengan peraturan perundangan. Di dalam audit

kesesuaian terhadap izin juga dapat dilakukan identifikasi

terhadap dampak yang ditimbulkan, adapun aspek-aspek yang

digunakan dalam identifikasi dampak sama dengan yang diguna-

kan pada audit kesesuaian terhadap tata ruang.

Gambar 25. Contoh produk peta hasil analisis overlay antara kondisi

eksisting dan data rencana tata ruang (Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2017)

3. Audit kesesuaian terhadap persyaratan izin, yaitu pemeriksaan

terhadap kondisi eksisting pemanfaatan di lapangan dengan hal-

hal yang dipersyaratkan dalam izin pemanfaatan ruang. Data-data

yang dikumpulkan antara lain peta penggunaan tanah eksisting,

sketsa penggunaan tanah eksisting, riwayat penggunaan tanah,

status kepemilikan tanah, dokumen izin pemanfaatan ruang yang

disyaratkan, dokumen izin lain yang dimiliki sesuai peraturan

perundangan, dan keterangan pendukung lainnya. Dari data-data

yang terkumpul kemudian dilakukan analisis terhadap persyaratan

yang tertuang dalam izin, misalnya batas sempadan, KLB, KDB,

KDH, perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan dan

tanah, penyediaan fasos fasum, dan persyaratan lain yang telah

disetujui pejabat yang berwenang dalam pemberian izin.

Page 104: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

88 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Tabel 8. Tipologi dan Unsur Pelanggaran Pemanfaatan Ruang

Tipologi Unsur pelanggaran

Tidak sesuai dengan

rencana tata ruang

a. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan b. Pemanfaatan ruang tanpa izin, baik di lokasi yang sesuai

maupun yang tidak sesuai dengan peruntukannya c. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan dan berakibat

pada perubahan fungsi d. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan dan berakibat

pada perubahan fungsi dan adanya kerugian e. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan dan berakibat

pada perubahan fungsi dan adanya kematian orang

Tidak sesuai dengan izin

a. Tidak menindaklanjuti izin yang dikeluarkan b. Pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang

tercantum dalam izin c. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai izin dan berakibat pada

perubahan fungsi d. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai izin dan berakibat pada

adanya kerugian e. Pemanfaatan ruang tidak sesuai izin dan berakibat pada

adanya kematian orang

Tidak sesuai dengan

persyaratan izin

a. Pelanggaran terhadap batas sempadan, aturan KLB, aturan KDB, dan/atau aturan KDH

b. Perubahan terhadap sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan dan/atau tanah

c. Tidak menyediakan fasos atau fasum sesuai persyaratan dalam izin

d. Tidak sesuai dengan ketentuan persyaratan izin lainnya

Tidak memberikan

akses

a. Penutupan akses ke pesisir pantai, sungai, danau, situ, dan sumber daya akan serta prasarana publik

b. Penutupan akses terhadap sumber air c. Penutupan akses terhadap taman dan RTH d. Penutupan akses terhadap fasilitas pejalan kaki e. Penutupan akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana f. Penutupan akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat

berwenang

4. Audit terhadap penutupan akses, yaitu pemeriksaan terhadap

adanya perubahan tingkat aksesibilitas ke sarana prasarana milik

umum akibat adanya kegiatan pemanfaatan ruang. Data-data yang

dikumpulkan antara lain dokumen dan peta rencana tata ruang,

riwayat penggunaan tanah, peta penggunaan tanah eksisting, sta-

tus kepemilikan tanah, dan keterangan pendukung lainnya. Dari

sejumlah data yang terkumpul selanjutnya dilakukan analisis ter-

Page 105: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 89

hadap tingkat aksesibilitas orang atau suatu moda ke kawasan

tertentu, misalnya ke pesisir pantai, sungai, danau, sumber air,

RTH, lokasi dan jalur evakuasi bencana, dan lain sebagainya.

Hasil audit terhadap 4 (empat) kategori kemudian ditipologikan

menurut pelanggaran yang ditemukan di lapangan (Tabel 8) dan

digunakan sebagai dasar dalam penjatuhan sanksi. Terhadap pelang-

garan yang bersifat administratif maka ditindaklanjuti melalui fasilitasi

penertiban dengan penjatuhan sanksi administratif, sedangkan

terhadap pelanggaran yang terindikasi pidana maka ditindaklanjuti

dengan pengawasan, pengamatan, penelitian, atau pemeriksaan

(wasmatlirik) oleh PPNS penataan ruang. PPNS penataan ruang

sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/BPN Nomor 3 Tahun 2017 adalah PNS di lingkup instansi

pemerintah yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan

penyidikan terhadap suatu kegiatan pemanfaatan ruang yang

terindikasi adanya pelanggaran pidana.

Wasmatlirik selanjutnya dijadikan dasar keputusan untuk dapat

atau tidaknya dilakukan ke tahap penyidikan. Dalam proses

wasmatlirik sampai dengan tahap penyidikan, tugas dan fungsi PPNS

berhubungan dengan lembaga atau instansi lain seperti Kepolisian

Negara Republik Indonesia, kejaksaan, pengadilan, Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan dari instansi lain kaitannya

dengan bantuan tenaga ahli, personil, data dan informasi, dan

teknologi.

4.4. Tugas

Berikut ini adalah tugas yang harus dikerjakan oleh seluruh

peserta didik untuk memperkaya dan memperdalam kemampuan

dalam menganalisis produk-produk penataan ruang.

A. Tujuan Tugas

Menganalisis produk-produk penataan ruang dalam rangka

pelayanan pertanahan dan penyelesaian konflik.

Page 106: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

90 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

B. Uraian Tugas

1. Objek garapan: Produk-produk penataan ruang

2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):

a. Mahasiswa membentuk kelompok dengan anggota 3 – 4

orang per kelompok

b. Masing-masing kelompok mencari contoh produk-produk

penataan ruang: perencanaan, pemanfaatan maupun

pengendalian pemanfaatan ruang

c. Mencermati sekurang-kurangnya dua produk

d. Mengidentifikasi perbedaan

e. Membuat paparan dalam bentuk grafis/peta dan

mempresentasikan di depan kelas

3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:

Poster atau Peta produk penataan ruang yang memuat penjelasan

dan perbedaan antar produk.

4.5. Pustaka

Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/BPN t.t., Manual Membaca Rencana Tata Ruang Wilayah,

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,

Jakarta

Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN t.t., Penertiban

Pemanfaatan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional, Jakarta

Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang 2020, Audit Tata Ruang-

Sebagai salah satu instrumen penertiban pemanfaatan ruang,

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,

Jakarta

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan

Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan

Penataan Ruang

Page 107: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 91

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penyidik Pegawai Negeri

Sipil Penataan Ruang

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Audit Tata

Ruang

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Pedoman

Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi

Kabupaten/Kota.

Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2019

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta Tahun 2019-2039

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015 Tentang

Rencana Detail Tata Ruang Kota Dan Peraturan Zonasi Kota

Bandung Tahun 2015-2035.

Page 108: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

92 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BAB V PEMANFAATAN PRODUK-PRODUK PENATAAN RUANG

Telah secara tegas disebutkan dalam Undang-undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa pengaturan tentang pena-

taan ruang diorientasikan untuk mewujudkan ruang yang aman, nya-

man, produktif, dan berkelanjutan. Oleh karena itu mainstreaming

(pengarusutamaan) penataan ruang harus dilakukan terhadap seluruh

pemangku kepentingan. Mainstreaming tata ruang dalam pemba-

ngunan dimaksudkan agar setiap proses pengambilan kebijakan dan

implementasi kebijakan pembangunan yang mengalokasikan dan

memanfaatkan ruang harus menempatkan aspek tata ruang sebagai

pertimbangan utama.

Tata ruang harus menjadi ‘jenderal’ yang mengarahkan dan men-

drive pembangunan wilayah yang memanfaatkan ruang. Oleh karena

itu, Pemerintah dan pemerintah daerah harus segera menyempurnakan

dan melengkapi berbagai regulasi tentang penataan ruang hingga

tersedianya Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi secara

lengkap, sebagai instrumen utama pengendalian pemanfaatan ruang.

Hal ini menjadi penting mengingat terdapat hubungan yang sangat

erat dan bersifat timbal balik antara rencana pembangunan dengan

produk penataan ruang, sebagaimana terdapat dalam Gambar 11.

Agenda pembangunan, apapun bentuknya harus tersurat dalam

dokumen perencanaan pembangunan, baik dalam bentuk Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun dalam Rencana Pemba-

ngunan Jangka Menengah (RPJM), baik pada level Pemerintah,

pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Alokasi

pembangunan yang mengalokasikan ruang harus dijabarkan dalam

produk rencana tata ruang.

Page 109: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 93

Gambar 26. Skema hubungan produk tata ruang dengan pembangunan

Berdasarkan Gambar 26 tampak jelas bahwa setiap perencanaan

pembangunan harus terakomodasi dalam rencana tata ruang, agar tu-

juan penataan ruang dapat terwujud. Namun demikian, manfaat

produk-produk penataan ruang tidak hanya terbatas pada pembangu-

nan yang mengalokasikan ruang saja, tetapi juga berkenaan dengan

kebijakan lainnya.

Pada bab ini produk-produk penataan ruang akan dikaitkan

dengan kebijakan pertanahan. Dengan adanya layanan pertanahan

yang didasarkan pada produk penataan ruang diharapkan tidak terjadi

konflik kepentingan antar pihak, baik konflik yang terjadi antar sesama

pengguna ruang maupun konflik antara pengguna ruang dengan

pemerintah. Melalui topik bahasan ini, Capaian Pembelajaran Mata

Kuliah Keempat (CPMK4) yang hendak dicapai adalah peserta didik

mampu memanfaatkan produk penataan ruang dalam pelayanan

pertanahan dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik.

Page 110: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

94 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

5.1. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pemberian

Hak Atas Tanah

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan tersebut, makna dikuasai

oleh negara berarti negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari

bangsa Indonesia untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan per-

untukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan

ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan

hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; serta

(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan

ruang angkasa.

Gambar 27. Skema pemberian Hak Atas Tanah

Salah satu hal terkait dengan produk-produk penataan ruang

adalah pemberian hak atas tanah. Dalam hal ini hak atas tanah adalah

hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang

bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada

Page 111: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 95

di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas

menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang

lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).

Adapun pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang

memberikan suatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka waktu

hak, pembaruan hak, perubahan hak, termasuk pemberian diatas Hak

Pengelolaan. Dalam hal ini, pemberian hak atas tanah harus

memperhatikan tata ruang (Gambar 27).

Gambar 28. Analisis bidang tanah terhadap RTRW yang dituangkan

dalam bentuk Peta Analisis Penatagunaan Tanah dan digunakan sebagai syarat dalam permohonan pemberian Hak Milik

(Sumber: Produk layanan pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bone Bolango T.A.2020)

Page 112: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

96 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-

tanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian

Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, baik

secara tersirat maupun tersurat dalam setiap proses pemberian hak

atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna

Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), dan Hak Pengelolaan (HPL) harus

memperhatikan kesesuaiannya dengan RTRW. Dalam hal pemberian

HGU, HGB, HP, dan HPL secara tegas diatur bahwa izin lokasi menjadi

salah satu persyaratan dalam permohonan empat jenis hak tersebut.

Seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap tata ruang, dalam

pemberian HM saat ini juga didasarkan pada RTRW (Gambar 28).

Pemberian hak atas tanah yang mengacu pada RTRW menunjukkan

bahwa produk penataan ruang merupakan produk yang harus dipatuhi

dalam pemberian hak atas tanah dan mempunyai perspektif jauh ke

depan. Dalam hal ini, penataan ruang harus menghasilkan rencana tata

ruang yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan

dan tidak kalah cepat dengan kebutuhan pembangunan (Kartasasmita

1996). Di samping itu harus bersifat realistis dan benar-benar mampu

berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi program-program

pembangunan dari berbagai instansi dan sumber dana tanpa harus

mengorbankan kelestarian lingkungan hidup. Berkenaan dengan hal

tersebut, maka perspektif land management harus menjiwai kebijakan

dan implementasi penataan ruang.

Perspektif land management dalam penataan ruang diorientasikan

untuk mewujudkan sustainable development yang mencakup aspek

ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara operasional pengelolaan

pertanahan tersebut dilakukan melalui fungsi-fungsi administrasi

pertanahan yang meliputi penguasaan dan pemilikan tanah (land

tenure), nilai tanah (land value), penggunaan tanah (land use), serta

pengembangan atau rekayasa tanah/pertanahan (land development)

Dalam praktik administrasi pertanahan di Indonesia, proses yang

paling krusial dan kerap kali menjadi isu di masyarakat adalah “Pendaf-

taran Tanah”. Pendaftaran tanah mempunyai arti penting dan mem-

Page 113: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 97

punyai manfaat dalam berbagai aspek. Secara ekonomis pendaftaran

tanah mempunyai arti penting bagi kepastian pemilikan tanah, harga

jual tanah, dan kepastian jual beli. Secara administratif bermanfaat

dalam penertiban kepemilikan dan kepastian hukum.

Dalam konteks ini, pemanfaatan produk-produk penataan ruang

dalam pemberian hak atas tanah difokuskan pada penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, mengingat bidang-

bidang tanah merupakan objek utama penyusun wilayah dan ruang.

1. Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Berkenaan dengan hak atas tanah, baik dipergunakan untuk privat

(hunian) maupun untuk publik (fasilitas umum dan fasilitas sosial),

berlaku kaidah-kaidah administrasi pertanahan, yang dikenal dengan

konsep Right, Restriction dan Responsibility (3R). Right dimaknai

sebagai hak, yakni hubungan hukum antara objek hak (tanah) dengan

subjeknya (pemegang hak). Restriction dimaksudkan sebagai batasan-

batasan bagi subjek hak dalam menggunakan dan memanfaatkan

tanah, sedang responsibility adalah tanggung jawab bagi subjek hak

(pemilik tanah) sehubungan dengan hak yang dimilikinya. Ketiga hal

ini saling terkait, melekat dan tidak dapat diterapkan secara terpisah.

Dengan demikian, setiap pemegang hak atas tanah, baik perorangan

maupun badan hukum, di dalam haknya mengandung pula batasan-

batasan berikut tanggung jawabnya (Sutaryono 2017).

Berbagai permasalahan penataan ruang pasca diterbitkannya

RTRW Kabupaten/Kota berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan

tanah seperti: (a) penguasaan tanah oleh masyarakat dan pengembang

properti yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan proses pendaftaran

tanah; (b) penguasaan tanah oleh masyarakat pada kawasan mangrove;

(c) pemilikan tanah dengan bukti hak yang berada pada Ruang Ter-

buka Hijau (RTH); (d) Pemilikan tanah (sertipikat Hak Guna

Bangunan) yang berada pada wilayah pasang surut. Salah satu contoh

permasalahan pemilikan tanah pasca terbitnya produk tata ruang

adalah di Danau Limboto Provinsi Gorontalo. Permasalahan tersebut

Page 114: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

98 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

muncul karena pemerintah daerah memiliki misi untuk menser-

tipikatkan kawasan Danau Limboto sebagai aset pemerintah provinsi.

Pasca penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 9 Tahun

2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Danau

Limboto, keberadaan ratusan bidang tanah yang sudah bersertipikat

sebelum tahun 2017 dan terletak di dalam area yang ditetapkan sebagai

wilayah konservasi danau menjadi hal yang dipertimbangkan pemerin-

tah daerah dalam upaya legalisasi aset kawasan danau. Terbitnya

sertipikat sebelum tahun 2017 dikarenakan posisi batas terluar danau

sejak tahun 1994 berbeda dengan kondisi tahun 2017 (Gambar 29).

Gambar 29. Perbedaan batas terluar Danau Limboto antara Peta Dasar Teknik 1994/1995 dan Peta KSP Danau Limboto sesuai Perda Provinsi

Gorontalo Nomor 9/2017

Permasalahan terkait penguasaan dan pemilikan tanah dapat

diselesaikan melalui mekanisme pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) Undang-undang Pokok

Agraria meliputi:

a. pengukuran, pemetaan dan pembukuan hak;

Page 115: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 99

b. pendaftaran hak-hak tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

Secara operasional berdasarkan PP 24/1997, pendaftaran tanah

adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara

terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik

dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-

bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian

surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada

haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya. Adapun salah satu tujuan pendaftaran tanah

adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum atas

suatu bidang tanah dan hak milik satuan rumah susun dan hak-hak

lain yang terdaftar. Kepastian hukum dan perlindungan hukum yang

diberikan tersebut di atas adalah:

a. kepastian mengenai hak atas tanah bagi hak-hak yang telah ter-

daftar dalam daftar umum;

b. kepastian mengenai pemilikan tanah sebagai pemegang hak yang

telah terdaftar dalam daftar umum; dan

c. kepastian mengenai letak, batas dan luas bidang-bidang tanah

yang telah terdaftar dalam daftar umum.

Pada dasarnya penetapan RTRW tidak mempengaruhi status

hubungan hukum atas tanah yang di atas atau dibawah tanahnya

dilakukan pemanfaatan ruang (Pasal 9 PP 16/2004). Terhadap tanah

yang sudah memiliki hak setelah penetapan RTRW, penyelesaian

administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak atas

tanah atau kuasanya memenuhi syarat-syarat menggunakan dan

memanfaatkan tanahnya sesuai dengan RTRW. Apabila syarat-syarat

menggunakan dan memanfaatkan tanah tidak dipenuhi, akan

dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Page 116: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

100 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal

dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti

mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan

saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan. Dalam hal tidak atau

tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan

hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang

tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih

secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-

pendahulunya, dengan syarat: (a) penguasaan tersebut dilakukan

dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai

pihak yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang

yang dapat dipercaya; dan (b) penguasaan tersebut tidak dipermasa-

lahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang

bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah yang berhu-

bungan dengan pemecahan bidang (biasanya oleh pengembang),

dalam Penjelasan Pasal 48 PP 24/1997 ayat (1) dinyatakan bahwa

“pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang

berlaku dan tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Berdasarkan hal-hal di atas maka permasalahan yang terjadi

berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah pasca terbitnya

RTRW Kabupaten/Kota adalah sebuah keniscayaan, mengingat dalam

proses penyusunan RTRW aspek-aspek berkenaan dengan land

management belum mendapatkan perhatian secara memadai.

2. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka penyeleng-

garaan penataan ruang, secara normatif mendasarkan pada PP 16

Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dalam hal ini penatagunaan

tanah bertujuan untuk: (a) mengatur penguasaan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan

yang sesuai dengan RTRW; (b) mewujudkan penguasaan, penggunaan

Page 117: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 101

dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan

dalam RTRW; (c) mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi

penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk peme-

liharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah; dan (d)

menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan

memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan

hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.

Dalam konteks ini kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan

terhadap bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah

atau belum terdaftar, tanah negara dan tanah ulayat masyarakat

hukum adat. Terhadap tanah-tanah tersebut penggunaan dan

pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan RTRW.

Berkenaan dengan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya,

sebagaimana diatur dalam Pasal 13 PP 16/2004: (a) penggunaan dan

pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus

sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW; (b) penggunaan dan

pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi

alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami; (c)

penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh diterlantarkan,

harus dipelihara dan dicegah kerusakannya; dan (d) pemanfaatan

tanah di kawasan budidaya tidak saling bertentangan, tidak saling

mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap

penggunaan tanahnya.

Berdasarkan hal-hal di atas, dalam konteks penggunaan dan

pemanfaatan tanah di seluruh wilayah kabupaten/kota harus

mengikuti arahan pola ruang sebagaimana tertuang dalam RTRW

kabupaten/kota. Berbagai permasalahan yang muncul dapat

diselesaikan dengan mengakomodasikan penggunaan dan pemanfaatan

tanah melalui arahan pola ruang pada RTRW maupun zona ruang

dalam RDTR-PZ.

Berdasarkan hal-hal di atas secara ringkas dapat disimpulkan

bahwa permasalahan pemberian hak atas tanah, termasuk hal-hal

terkait penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

Page 118: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

102 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

yang berhubungan dengan produk-produk penataan ruang dapat

diselesaikan melalui pengelolaan pertanahan dan pendaftaran tanah

apabila: (1) subjek dan objek-nya telah clean and clear, artinya objeknya

jelas lokasi dan batas-batasnya serta subjeknya tidak terjadi sengketa

dan konflik penguasaan tanah (klaim); (2) penggunaan dan peman-

faatan tanahnya sesuai dengan RTRW; dan (3) adanya alas hak atau

bukti hak yang berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau

pernyataan yang bersangkutan dan/atau penguasaan fisik bidang tanah

yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara

berturut-turut dan pendahulu-pendahulunya, yang dilakukan dengan

itikad baik, secara terbuka serta diperkuat oleh kesaksian orang yang

dapat dipercaya.

Latihan: Diskusikan Kasus Berikut Dalam praktik PTSL di Kota Banjarbaru, penetapan status tanah didasarkan pada pola ruang. Apabila letak bidang tanah berada dalam kawasan pertanian, maka ditetapkan sebagai tanah pertanian, tetapi jika berada di luar kawasan pertanian ditetapkan sebagai tanah non pertanian. Penetapan status tanah dituliskan dalam form surat ukur dengan kalimat ‘sebidang tanah pertanian/non pertanian sesuai Perda Nomor 13 Tahun 2014 tentang RTRW Kota Banjar Baru Tahun 2014 – 2034’. Namun, kebijakan penetapan status tanah di Kota Banjarbaru di atas berbeda dengan di Kabupaten Banjar. Penetapan status tanah di Kabupaten Banjar berdasarkan pada kondisi eksisting penggunaan tanahnya, tanpa memperhatikan kondisi pola ruang dalam RTRW. Sebidang tanah dengan penggunaan pertanian, ladang, kebun atau sejenisnya ditetapkan menjadi tanah pertanian, sedangkan pemanfaatan berupa rumah, toko, pabrik, dan sejenisnya, ditetapkan sebagai tanah non pertanian atau pekarangan. Pada form surat ukur dituliskan ‘sebidang tanah pekarang/pertanian’, tergantung kondisi eksistingnya. (Sumber: Simanjuntak 2019)

Page 119: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 103

5.2. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Perizinan

Pertanahan

Sampai saat ini belum ada regulasi yang menyebutkan terminologi

perizinan pertanahan. Namun dalam praktiknya perizinan di bidang

pertanahan mewujud dalam berbagai bentuk izin, seperti: (a) izin

lokasi; (b) informasi data pertanahan; (c) pertimbangan teknis pertana-

han; (d) penetapan lokasi; dan (e) perubahan penggunaan tanah.

1. Izin Lokasi

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

BPN Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi, yang dimaksud dengan

Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk

memperoleh tanah yang diperlukan untuk usaha dan/atau kegiatannya

dan berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk

menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usaha dan/atau

kegiatannya. Secara sederhana izin lokasi adalah izin yang diberikan

oleh Pemerintah Daerah kepada pelaku usaha untuk kegiatan

perolehan tanah dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya. Dalam

hal ini pelaku usaha dapat perseorangan maupun non perseorangan

(PT, Perum, BLU, koperasi, dll). Izin lokasi tersebut digunakan oleh

pelaku usaha sebagai dasar untuk menindaklanjuti dengan proses

perolehan tanah untuk usaha (Gambar 30).

Objek Izin Lokasi merupakan tanah yang menurut rencana tata

ruang wilayah diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan

rencana kegiatan usaha yang akan dilaksanakan oleh Pelaku Usaha.

Rencana kegiatan usaha tersebut berdasarkan izin/persetujuan/pendaf-

taran atau yang serupa itu untuk Penanaman Modal yang diterbitkan

oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal ini sangat jelas bahwa izin

lokasi hanya diberikan apabila izin yang diajukan lokasi tanahnya

sesuai dengan RTRW atau dalam regulasi ini harus sesuai dengan

RDTR.

Page 120: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

104 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 30. Skema cara perolehan tanah oleh pelaku usaha swasta

2. Informasi Ketersedian Data Pertanahan

Berdasarkan Peraturan Menteria Agraria/Kepala BPN Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa informasi tentang data

fisik dan data yuridis yang ada pada peta pendaftaran, daftar tanah,

surat ukur dan buku tanah terbuka untuk umum dan dapat diberikan

kepada pihak yang ber-kepentingan secara visual atau secara tertulis.

Informasi tertulis tentang data fisik dan data yuridis mengenai

sebidang tanah tersebut diberikan dalam bentuk Surat Keterangan

Pendaftaran Tanah. Perizinan pertanahan dalam hal ini tidak terkait

dengan produk-produk penataan ruang, kecuali berkenaan dengan

informasi status penggunaan dan pemanfaatan bidang tanah.

3. Pertimbangan Teknis Pertanahan

Pertimbangan Teknis Pertanahan sebagaimana disebutkan dalam

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pertimbangan Teknis

Pertanahan adalah pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan

memperhatikan kesesuaian tata ruang sebagai dasar dalam penerbitan

izin lokasi, penetapan lokasi, dan izin perubahan penggunaan tanah.

Page 121: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 105

Oleh karena itu Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan diberikan

dalam rangka: (a) persetujuan/penolakan Izin Lokasi; (b) pemberi-

an/perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah; (c) penegasan

status dan rekomendasi penguasaan tanah timbul; dan (d) perubahan

penggunaan dan pemanfataan tanah. Secara khusus materi pertim-

bangan teknis pertanahan ini akan di bahas pada Sub Bab Pemanfaatan

dalam Pertimbangan Teknis Pertanahan.

4. Penetapan Lokasi

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang

Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012

tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum, yang dimaksud dengan Penetapan Lokasi adalah

penetapan atas lokasi pembangunan untuk kepentingan umum yang

ditetapkan dengan keputusan gubernur, yang dipergunakan sebagai

izin untuk pengadaan tanah, perubahan penggunaan tanah, dan pera-

lihan hak atas tanah dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, dalam rangka penetapan lokasi pengadaan tanah

tidak mensyarakat adanya Pertimbangan Teknis Pertanahan terlebih

dahulu namun demikian dalam proses penetapan lokasi tetap

didasarkan pada produk penataan ruang. Kajian atau analisis terhadap

kelayakan penetapan lokasi yang mengacu pada produk penataan

ruang, baik berupa RTRW maupun dan Rencana Pembangunan

Nasional dan Daerah, diuraikan dalam bentuk dokumen perencanaan

pengadaan tanah.

5. Perubahan Penggunaan Tanah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah, yang dimaksud dengan penggunaan tanah

adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan

bentukan alami maupun buatan manusia. Oleh karena itu, perubahan

Page 122: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

106 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

penggunaan tanah dapat dimaknai sebagai upaya untuk melakukan

perubahan wujud tutupan bumi yang dilakukan oleh manusia. Dalam

hal ini, izin perubahan penggunaan tanah juga harus memperhatikan

RTRW. Di samping itu, proses izin perubahan penggunaan tanah juga

harus melalui pertimbangan teknis pertanahan.

5.3. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pertimbangan

Teknis Pertanahan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pertim-

bangan Teknis Pertanahan, yang dimaksud dengan pertimbangan

teknis pertanahan adalah pertimbangan yang memuat hasil analisis

teknis penatagunaan tanah yang meliputi ketentuan dan syarat

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan

memperhatikan kemampuan tanah, ketersediaan tanah dan kesesuaian

tata ruang. Adapun pemberian pertimbangan teknis ini mengacu pada

produk penataan ruang wilayah setempat, baik berupa RTRW atau

RDTR. Terhadap bidang tanah yang lokasinya sesuai dengan perun-

tukannya menurut RTRW atau RDTR dan/atau lokasi program

strategis pertanahan maka pertimbangan teknis pertanahan tidak

diperlukan. Jenis pertimbangan teknis pertanahan yang dikerjakan oleh

kantor pertanahan diberikan dalam rangka:

1. Persetujuan/penolakan izin lokasi

Pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka persetujuan/peno-

lakan izin lokasi diberikan untuk pemenuhan komitmen izin lokasi

berdasarkan komitmen yang dikeluarkan oleh lembaga yang menye-

lenggarakan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara

elektronik atau online single submission (OSS). Berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan

Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik terdapat 2 (dua) macam

permohonan izin lokasi, yaitu izin lokasi tanpa komitmen dan izin

lokasi berdasarkan komitmen. Dari kedua macam izin lokasi tersebut

yang kemudian diproses di kantor pertanahan untuk mendapatkan

Page 123: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 107

pertimbangan teknis pertanahan adalah izin lokasi berdasarkan komit-

men.

Izin lokasi terhadap tanah lokasi usaha diterbitkan tanpa komit-

men oleh lembaga OSS apabila:

a. sesuai dengan RDTR;

b. berada di lokasi kawasan khusus (ekonomi, industri, perdagangan,

dan pelabuhan);

c. sudah dikuasai pelaku usaha lain dan telah memiliki izin lokasi;

d. tanah berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengemba-

ngan suatu kawasan;

e. berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan dan dalam

rangka perluasan;

f. luasan tanah kurang dari 25 Ha untuk usaha pertanian, 5 Ha

untuk pembangunan rumah masyarakat penghasilan rendah, dan 1

Ha untuk usaha non pertanian; dan

g. direncanakan sebagai lokasi proyek strategis nasional.

Izin lokasi tanpa komitmen berlaku efektif dan dapat digunakan oleh

pelaku usaha dalam perolehan tanah ketika izin tersebut diterbitkan.

Izin lokasi berdasarkan komitmen diberikan kepada pelaku usaha

yang memerlukan tanah untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan

tapi belum memiliki atau menguasai tanah sebagai syarat terbitnya izin

usaha berdasarkan komitmen dan lokasi usaha tidak memenuhi salah

satu kriteria dari huruf a-g di atas. Proses kajian atau analisis

permohonan izin lokasi di masing-masing instansi memiliki batasan

jangka waktu, apabila dalam kurun waktu pemrosesan berkas sebagai-

mana diatur dalam SOP tidak diselesaikan oleh instansi terkait maka

instansi tersebut dianggap menyetujui permohonan izin lokasi (Gam-

bar 31).

Page 124: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

108 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 31. Prosedur penerbitan izin lokasi berdasarkan komitmen

(Sumber: PP Nomor 24 Tahun 2018)

2. Penegasan Status dan Rekomendasi Penguasaan Tanah Timbul

Pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka penegasan status

dan rekomendasi penguasaan tanah timbul dilaksanakan terhadap

daratan yang terbentuk karena proses pengendapan di sungai, danau,

pantai dan atau pulau timbul, sebagai bahan pertimbangan penerbitan

rekomendasi status dan penguasaannya sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan

Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Di Wilayah Pesisir

Dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa rekomendasi status

penguasaan dan pemilikan tanah timbul diberikan dalam rangka

pemberian Hak Atas Tanah dan terhadap tanah timbul yang luasnya

lebih dari 100 m2. Rekomendasi yang diberikan mengacu pada arahan

peruntukan dalam RTRW provinsi/kabupaten/kota atau rencana zona-

si wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

3. Perubahan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka perubahan peng-

gunaan dan pemanfaatan tanah diberikan terhadap tanah yang sudah

terdaftar atau memiliki sertipikat dan direncakan untuk kegiatan yang

mengakibatkan berubahnya kondisi fisik, penggunaan dan/atau pe-

Page 125: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 109

manfaatan tanah. Perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah

diupayakan menghindari tanah pertanian subur, beririgasi, dan memi-

liki habitat khusus untuk komoditas tertentu.

Dari ketiga jenis pertimbangan teknis pertanahan tersebut, dalam

pemberian pertimbangan teknis pertanahan memperhatikan ketentuan

penggunaan dan pemanfaatan tanah yang meliputi:

a. tidak merugikan kepentingan umum;

b. tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah di sekitar

lokasi;

c. memenuhi asas keadilan dan keberlanjutan;

d. memperhatikan unsur-unsur kemampuan tanah seperti lereng,

kedalaman efektif tanah, tekstur, drainase, erosi, dan faktor

pembatas lainnya; dan

e. memenuhi ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan

rencana tata ruang, serta terkait syarat penggunaan dan peman-

faatan tanah.

Dengan memperhatikan 5 (lima) ketentuan di atas maka produk

pertimbangan teknis pertanahan tersusun atas 7 (tujuh) peta, yaitu

peta petunjuk letak lokasi, peta penggunaan tanah, peta status

penguasaan tanah, peta kemampuan tanah, peta rencana tata ruang,

peta kesesuaian penggunaan tanah, dan peta ketersediaan tanah.

Ketujuh peta tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam

memberikan persetujuan atau penolakan terhadap seluruh atau

sebagian tanah yang dimohonkan dan dituangkan dalam bentuk

risalah dan peta. Gambar 32 adalah contoh produk pertimbangan tek-

nis pertanahan dalam rangka izin perubahan penggunaan dan

pemanfaatan tanah di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.

Peta pertimbangan teknis pertanahan diterbitkan setelah dilakukan

analisis terhadap berbagai data, salah satunya adalah data RTRW.

Page 126: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

110 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 32. Analisis terhadap RTRW menjadi salah satu komponen pertimbangan dalam penerbitan pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka izin perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah

(Sumber: Produk layanan pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bone Bolango T.A. 2020)

5.4. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pengadaan

Tanah Untuk Pembangunan

Pengadaan tanah adalah tahapan yang paling krusial dalam

pembangunan wilayah, mengingat kegiatan ini berhubungan dengan

pelepasan hak atas tanah bagi subjek hak yang menguasai atau memiliki

bidang-bidang tanah di lokasi pembangunan. Pengadaan tanah dimaknai

sebagai kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian

yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kegiatan pengadaan tanah

bertujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masya-

rakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

Dalam konteks ini, terminologi pengadaan tanah sering disebut sebagai

pengadaan tanah. Pengadaan tanah yang sedang digalakkan oleh pemerintah

dalam dua tahun terakhir adalah pengadaan tanah untuk mendukung lebih

Page 127: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 111

dari 245 proyek strategis nasional dan pembangunan infrastruktur untuk

kepentingan umum. Adapun capaian proyek strategis nasional saat ini

adalah 35 proyek sudah operasional, 145 proyek tahap konstruksi, 9 proyek

tahap transaksi dan 85 proyek tahap persiapan (Kementerian ATR/BPN,

2018). Namun demikian, dalam berbagai kasus pengadaan tanah untuk

pembangunan bagi kepentingan umum, permasalahan-permasalahan yang

sering muncul dalam proses pengadaan tanah antara lain: (1) lokasi tidak

sesuai dengan RTRW; (2) tidak semua masyarakat terdampak setuju; (3) hak

atas tanah tidak jelas (objek dan subjeknya); (4) ketidaksepakatan dalam

ganti rugi; (5) kurang terbukanya informasi; (6) munculnya spekulan; (7)

dokumen perencanaan yang kurang mantap; (8) proses penetapan lokasi

yang tidak clear and clean; (9) belum adanya NSPK untuk Studi Perencanaan

Pengadaan Tanah; (10) pemahaman regulasi dan implementasi yang belum

memadai; dan (11) penganggaran yang belum mengkover seluruh tahapan

(Sutaryono, 2018).

Pertanyaan yang mengedepan kemudian adalah, mengapa muncul

berbagai permasalahan dalam kegiatan pengadaan tanah sebagaimana

di atas. Jawabannya tentu tidak sederhana. Banyak faktor yang mempe-

ngaruhi keberhasilan dalam kegiatan pengadaan tanah untuk

pembangunan bagi kepentingan umum, mengingat terdapat beberapa

tahapan dalam pengadaan tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan

umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah. Dengan pelepasan hak atas tanah dengan

sukarela atau tanpa paksaan dapat memberikan kekuasaan pada negara

untuk kemudian mengatur dan memberikan hak atas tanahnya untuk

kepentingan umum. Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan

Umum, tahapan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi

kepentingan umum meliputi kegiatan perencanaan, persiapan, pelak-

sanaan dan penyerahan hasil (Gambar 33). Keempat tahapan tersebut

merupakan satu sekuensial yang saling terkait dan merupakan satu

kesatuan proses, meskipun lembaga/institusi yang menjalankan berbe-

da-beda.

Page 128: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

112 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 33. Tahapan Kegiatan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan

Umum (Sumber: Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah 2018)

Berkenaan dengan hal di atas, maka kemunculan berbagai persoal-

an dalam pengadaan tanah akan dikurangi atau bahkan dihilangkan

apabila studi perencanaan pengadaan tanahnya dilakukan secara baik

dan taat azas. Salah satu prakondisi yang harus dipenuhi dalam

pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah

kesesuaian dengan rencana tata ruang. Produk-produk yang dapat

digunakan sebagai dasar dalam pengadaan tanah untuk pembangunan

bagi kepentingan umum dapat berupa produk perencanaan yang ber-

sifat umum maupun produk perencanaan yang bersifat rinci. Adapun

yang digunakan sebagai dasar dan pertimbangan utama dalam kegiatan

perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah: (a)

kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, baik tingkat

Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota; dan (b) merupakan pro-

gram Prioritas Rencana Pembangunan Nasional/Daerah yang telah di-

Page 129: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 113

masukkan dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana

Kerja Pemerintah/Instansi yang memerlukan tanah.

Gambar 34. Analisis lokasi pembangunan Bendung Bulango Ulu terhadap Pola Ruang Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo

(Sumber: Analisa Data Kegiatan Pengadaan Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Bone Bolango 2019)

Gambar 34 menampilkan contoh analisis lokasi pengadaan tanah

untuk pembangunan Bendung Bulango Ulu di Kabupaten Bone

Bolango Provinsi Gorontalo terhadap pola ruang kabupaten setempat.

Jika dilihat dari aspek tata ruang, lokasi pembangunan bendungan

kurang sesuai dengan RTRW Kabupaten setempat. Namun pembangu-

nan Bendungan Bulango Ulu tetap terus berjalan karena telah

ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional melalui

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 ten-

tang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Di sisi lain

juga telah disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016

tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional bahwa ter-

hadap lokasi proyek strategis nasional yang tidak sesuai dengan RTRW

atau RDTR dan secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindah ke

lokasi lain maka akan dilakukan penyesuaian RTRW atau RDTR.

Studi perencanaan pengadaan tanah disusun dalam bentuk

dokumen perencanaan pengadaan tanah yang paling tidak memuat

Page 130: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

114 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

berbagai hal terkait dengan proses pengadaan tanah, baik langsung

maupun tidak langsung. Termasuk dampak yang akan ditimbulkan

oleh pembangunan terhadap tanah yang dihasilkan dalam proses

pengadaan tanah. Muatan yang harus ada dalam dokumen

perencanaan tersebut adalah:

1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan, berisikan uraian ten-

tang maksud dan tujuan pembangunan yang direncanakan dan

manfaat pembangunan untuk kepentingan umum;

2. Kesesuaian dengan RTRW dan Prioritas Pembangunan, berisikan

uraian tentang kesesuaian lokasi pengadaan tanah dengan RTRW

Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Prioritas Pembangunan

pada RPJM, Renstra, dan Rencana Kerja Pemerintah/Instansu yang

bersangkutan;

3. Letak tanah, berisikan uraian tentang wilayah administrasi

desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi dan titik-titik

koordinat batas masing-masing bidang tanah lokasi pembangunan

yang disajikan dalam bentuk peta;

4. Luas tanah, berisikan uraian tentang perkiraan luas tanah yang

diperlukan dengan rincian luas tanah secara keseluruhan, luas ta-

nah masing-masing bidang kepemilikan, luas tanah pihak yang

berhak, dan objek pengadaan tanah dan pemanfaatan tanah;

5. Gambaran umum status tanah, berisikan uraian tentang data awal

penguasaan dan pemilikan masing-masing bidang kepemilikan

pada wilayah yang akan dibebaskan tanahnya termasuk bangunan,

tanaman, dan utilitas yang melekat pada bangunan;

6. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah, berisikan

uraian tentang perkiraan waktu yang diperlukan untuk keselu-

ruhan proses pengadaan tanah (perencanaan, persiapan,

pelaksanaan, dan penyerahan hasil) termasuk estimasi waktu jika

ada keberatan atau ada kegiatan relokasi;

7. Perkiraan nilai tanah, berisikan uraian tentang perkiraan nilai

ganti kerugian setiap bidang tanah akibat terkena objek penga-

Page 131: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 115

daan tanah yang meliputi kerugian fisik dan kerugian non fisik

yang dapat disetarakan dengan nilai uang;

8. Rencana anggaran biaya (RAB), berisikan uraian tentang besarnya

dana dan alokasi dana untuk kegiatan perencanaan, persiapan,

pelaksanaan, penyerahan hasil, administrasi dan pengelolaan,

serta sosialisasi dalam keseluruhan proses pengadaan tanah; dan

9. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan, berisikan

uraian tentang perkiraan waktu untuk pelaksanaan pembangunan

fisik setelah proses pengadaan tanah selesai dilakukan.

Dokumen perencanaan dengan muatan di atas harus dilengkapi

dengan hasil studi kelayakan yang mencakup berbagai aspek yang

sangat terkait dengan pelaksanaan pembebasan tanah, yakni:

1. Survei sosial ekonomi, untuk menghasilkan kajian mengenai

kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diperkirakan terkena

dampak pengadaan tanah;

2. Kelayakan lokasi, untuk menghasilkan analisis mengenai kesesu-

aian fisik lokasi dengan rencana pembangunan dan dituangkan

dalam peta rencana lokasi pembangunan;

3. Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan

masyarakat, untuk menghasilkan analisis mengenai biaya yang

diperlukan dan manfaat pembangunan yang diperoleh bagi

wilayah dan masyarakat;

4. Perkiraan nilai tanah, untuk menghasilkan perkiraan besarnya

nilai ganti kerugian objek pengadaan tanah baik kerugian secara

fisik maupun non fisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang;

5. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul,

untuk menghasilkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup

atau dokumen lingkungan hidup lainnya sesuai ketentuan perun-

dang-undangan; dan

6. Studi lain yang diperlukan, studi lain terhadap budaya masyarakat,

politik dan keamanan, keagamaan, atau studi bidang lainnya dibu-

Page 132: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

116 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tuhkan untuk mengantisipasi dampak spesifik akibat adanya

pembangunan.

5.5. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Penghentian

Pemberian Izin Baru

Pemanfaatan produk penataan ruang juga dapat dilakukan untuk

kepentingan perlindungan suatu kawasan melalui kebijakan yang

bersifat nasional. Misalnya perlindungan terhadap keberadaan hutan

alam primer dan lahan gambut dari ancaman alih fungsi dan

deforestasi. Ancaman deforestasi tersebut begitu nyata. Salah satu con-

toh kasus adalah deforestasi hutan di Provinsi Riau akibat alih fungsi

hutan primer menjadi perkebunan sawit. Deforestasi tersebut tampak

begitu terstruktur dan masif (Gambar 35). Kasus tersebut menjadi salah

satu pertimbangan dalam perlindungan ancaman deforestasi pada

hutan primer dan kawasan gambut melalui kebijakan penundaan

pemerian izin baru pada Kawasan yang dilindung. Dalam konteks ini

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden

(Inpres) Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru

dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan

Gambut.

Gambar 35. Deforestasi Hutan Akibat Alih Fungsi Hutan Primer

Menjadi Perkebunan Sawit (Sumber: Soedarso 2015)

Inpres tersebut bertujuan untuk menunda pemberian izin baru

untuk penebangan dan konversi hutan dan lahan gambut selama dua

tahun sejak tanggal diundangkannya demi mengendalikan alih fungsi

Page 133: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 117

hutan alam primer dan lahan gambut (Tobing 2020). Kebijakan terse-

but mengalami beberapa kali perubahan, terakhir ditetapkan melalui

Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pembe-

rian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan

Lahan Gambut pada era Presiden Joko Widodo. Melalui peraturan yang

sering disebut dengan Inpres penghentian pemberian izin baru,

pemerintah menunjukkan sikap konsisten dalam perlindungan terha-

dap Kawasan hutan primer dan lahan gambut.

Gambar 36. PIPPIB di wilayah Indragiri Hulu Provinsi Riau dan

sekitarnya (Sumber: Lampiran SK Menteri LHK Nomor 7099/MENLHK-

PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019)

Terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan

Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang secara spasial

direpresentasikan dalam bentuk Peta Indikatif Penghentian Pemberian

Izin Baru (PIPPIB) sempat memunculkan polemik di beberapa daerah.

Polemik tersebut muncul karena terdapat ketidakselarasan antara pro-

duk penataan ruang di daerah dan PIPPIB yang dikeluarkan oleh

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Zonasi yang

dilakukan oleh kementerian ternyata tidak memperhatikan pola ruang

pada RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota setempat. Gambar

Page 134: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

118 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

36 merupakan salah satu contoh zonasi PIPPIB yang diterbitkan oleh

Kementerian LHK.

5.5.1. Zonasi Penataan Ruag vs Zonasi PIPPIB

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 ber-

isikan perintah Presiden kepada seluruh pejabat yang berkepentingan

dengan pemberian izin di kawasan hutan dan lahan gambut untuk

menghentikan pemberian izin baru pemanfaatan ruang yang terletak di

kawasan hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas,

hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, serta

area penggunaan lain yang ditunjuk dalam PIPPIB. Penghentian

pemberian izin tersebut dilakukan dalam rangka menyelamatkan

keberadaan hutan dan lahan gambut, penurunan emisi dari deforestasi

dan degradasi hutan, dan perbaikan penataan pengelolaan hutan.

Sebagai tindak lanjut atas Inpres tersebut Pemerintah melalui KLHK

kemudian mengeluarkan produk penataan ruang dan ditetapkan dalam

bentuk keputusan menteri, yaitu Surat Keputusan Nomor

7099/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan PIPPIB.

Gambar 36 di atas adalah salah satu contoh produk PIPPIB untuk

wilayah Indragiri Hulu di Provinsi Riau. Dalam peta tersebut ditun-

jukkan area/zona yang menjadi lokasi penghentian izin, yaitu: (1) war-

na merah untuk kawasan hutan alam primer pada hutan produksi dan

areal penggunaan lain, hutan konservasi, dan hutan lindung; dan (2)

warna hijau untuk kawasan lahan gambut. Dalam penyusunannya,

PIPPIB tidak memperhatikan produk penataan ruang daerah, yakni

RTRW Provinsi Riau yang diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi

Riau Nomor 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Riau Tahun 2018-2038. Hal tersebut menunjukkan adanya

inkonsistensi kebijakan dalam pengaturan penataan ruang.

Meskipun inkonsistensi di atas dapat diatasi melalui revisi atas

produk PIPPIB, namun dalam implementasinya memberikan dampak

yang cukup significant. Misalnya, kasus yang terjadi pada 2 (dua) desa

di wilayah Kabupaten Indragiri Hilir. Desa Karotan dan Desa Teluk

Page 135: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 119

Nibung yang keduanya merupakan wilayah permukiman dan meru-

pakan desa yang definitif, ternyata wilayah keseluruhan masuk dalam

zona PIPPIB (Tobing 2020). Contoh lain terjadi di Kabupaten Siak,

dimana terdapat 4 (empat) perkampungan yang masuk zona PIPPIB.

Keempat kampung tersebut adalah Kampung Bandar Pedada dan

Kampung Selat Guntung di Kecamatan Sabak Auh, serta Kampung

Kuala Gasib dan Kampung Pangkalan Pisang di Kecamatan Koto Gasib.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa pada level pengambilan kebijakan

pun masih terdapat kekurangan dalam hal koordinasi, yang berakibat

pada sulitnya pelaksana di lapangan untuk mengimplementasikan

kebijakan tersebut. Belum lagi apabila dihadapkan pada sektor-sektor

lain yang terkait dengan kabijakan penataan ruang, utamanya di sektor

administrasi dan pelayanan pertanahan. Oleh karena itu, kebijakan

penataan ruang, utamanya berkenaan dengan PIPPIB perlu ditinjau

kembali atau dilakukan revisi.

Peluang untuk melakukan revisi zonasi PIPPIB dapat dilakukan

sesuai ketentuan yang telah diterbitkan oleh Kementerian LHK,

sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Nomor 7099/MENLHK-

PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghen-

tian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Tahun 2019. Dalam keputusan

tersebut disebutkan bahwa revisi PIPPIB dapat dilakukan dengan

memperhatikan: (1) perubahan tata ruang. Dalam hal hal ini dapat

dimaknai bahwa revisi zonasi PIPPIB dapat dilakukan dengan memper-

hatikan adanya perubahan tata ruang, baik yang ada pada aras regulasi

(RTRW) maupun pada kondisi pemanfaatan ruang eksisting; (2) data

dan informasi penutupan lahan terkini. Dalam hal ini dapat dikatakan

bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah eksisting oleh masyarakat

ataupun badan hukum dapat menjadi sumber atau argumen perlunya

melakukan revisi zona PIPPIB. Apalagi berkenaan dengan penguasaan

dan/atau pemilikan bidang-bidang tanah yang terlanjur masuk atau

dimasukkannya ke dalam zona PIPPIB; (3) masukan dari masyarakat.

Persyaratan ini dapat digunakan oleh masyarakat ataupun subjek hak

yang lain, untuk mengajukan keberatan sekaligus mengajukan peruba-

Page 136: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

120 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

han zonasi PIPPIB, utamanya apabila bidang-bidang tanah yang

dikuasainya berada pada zona PIPPIB; (4) pembaharuan data perizin-

an. Berkenaan dengan hal ini, data perizinan paling up date perlu dicek

kembali dan dioverlaykan dengan zonasi PIPPIB, agar pemegang izin

tidak dirugikan akibat adanya zonasi yang ditetapkan kemudian; dan

(5) hasil survei kondisi fisik lapangan. Berkenaan dengan butir (1)

sampai (5), agar diperoleh data yang akurat, valid dan up date, perlu

dilakukan survei kondisi eksisting di lapangan. Kondisi eksisting yang

benar-benar memenuhi persyaratan untuk dilakukan revisi terhadap

zonasi PIPPIB perlu menjadi prioritas dalam revisi.

Gambar 37. Peta kesesuaian antara PIPPIB dan pola ruang di Provinsi

Riau (Sumber: Tobing 2020)

Inkonsistensi kebijakan penataan ruang tersebut salah satunya

ditunjukkan oleh Tobing (2020) sebagaimana terdapat pada Gambar

37. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat overlapping antara

pola ruang dalam RTRW Provinsi dengan Zonasi PIPPIB. Tidak

digunakannya produk penataan ruang daerah sebagai dasar dalam

Page 137: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 121

penyusunan PIPPIB berakibat pada perbedaan pengaturan fungsi

peruntukan zona di suatu wilayah.

Tobing (2020) menemukan adanya perbedaan pengaturan

peruntukan di wilayah Indragiri Hilir Provinsi Riau. Gambar 37 adalah

peta hasil analisis overlay antara peta pola ruang Provinsi Riau

sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10

Tahun 2018 dan PIPPIB tahun 2019. Dari hasil analisis overlay

ditemukan bahwa terdapat areal seluas 1.350.571,25 Ha atau 99,64%

dari total areal penunjukkan lahan gambut pada PIPPIB yang tidak

sesuai dengan RTRW dan areal seluas 1.399,84 Ha atau 0,16% dari total

areal penunjukkan hutan alam primer pada PIPPIB yang tidak sesuai

dengan RTRW.

Perbedaan peruntukan zona tersebut menunjukkan bahwa

terdapat ketidakselarasan antara produk tata ruang dan PIPPIB.

Diperlukan upaya harmonisasi peraturan sehingga tidak ada

memunculkan dualisme kebijakan dan konflik di tengah masyarakat.

Munculnya SK Menteri LHK yang baru yaitu SK.851/MENLHK-

PKTL/IPSDH/PLA.1/2/2020 dan revisi PIPPIB untuk periode berikutnya

diharapkan melahirkan produk penataan kawasan hutan dan lahan

gambut berbasiskan produk penataan ruang daerah sehingga kedua

produk penataan ruang tersebut sinergis dan selaras.

5.5.2. Dampak Penerapan PIPPIB

Salah satu agenda strategis nasional yang sedang dijalankan oleh

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

adalah percepatan pendaftaran tanah pertama kali melalui Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap atau disingkat PTSL. Mengingat begitu

pentingnya agenda pendaftaran tanah ini, Presiden memperkuat

melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan PTSL, yang

ditandatangani pada tanggal 13 Februari 2018 (Sutaryono 2018).

PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah pertama kali yang dila-

kukan secara serentak, meliputi semua objek pendaftaran tanah yang

belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya

Page 138: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

122 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

yang setingkat dengan itu. PTSL dilakukan terhadap semua bidang

tanah di wilayah desa/kelurahan, baik yang sudah terdaftar ataupun

belum. Berkenaan dengan hasil, berdasarkan Inpres Nomor 2 Tahun

2018 produk PTSL terdiri dari 3 kluster, yakni: (a) Kluster 1, yakni

bidang tanah yang memenuhi syarat untuk diterbitkan sertipikat; (b)

Kluster 2, yakni bidang tanah yang hanya dicatat dalam buku tanah

karena dalam keadaan sengketa atau berperkara; (c) Kluster 3, yakni

bidang tanah yang hanya didaftarkan dalam daftar tanah karena

subyek atau objeknya tidak memenuhi syarat untuk diberikan hak.

Dalam konteks kebijakan PIPPIB melalui Inpres Nomor 5 Tahun

2019, salah satu kegiatan yang terdampak langsung adalah kebijakan

pendaftaran tanah melalui PTSL. Di dalam Inpres 5/2019 disebutkan

bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN bertugas untuk:

a. menghentikan penerbitan hak-hak atas tanah antara lain HGU

dan HP pada APL berdasarkan PIPPIB; dan

b. melakukan percepatan konsolidasi PIPPIB ke dalam revisi peta ta-

ta ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola

penggunaan lahan melalui kerja sama dnegan gubernur dan

bupati/wali kota.

Sebagai tindak lanjut atas Inpres 5/2019, Kementerian ATR/BPN

melalui Sekretaris Jenderal mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor

TU.01.02.1717-100/X/2019. Pada SE tersebut disebutkan bahwa:

1. Agar seluruh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan Kantor

Wilayah BPN Provinsi se-Indonesia mempedomani Peta Indikatif

Penghentian Pemberian Ijin Baru (PIPPIB) yang terakhir (Revisi

XV) dalam menjalankan pelayanan pertanahan;

2. Untuk produk hasil kegiatan sertifikasi, terutama PTSL yang

masuk ke dalam areal PIPPIB tersebut agar dihentikan proses

sertifikasinya sesuai amanat Instruksi Presiden Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 2019;

3. Terhadap produk-produk sebagaimana dimaksud pada angka 2 di

atas, agar dikategorikan ke dalam K3.3 dan dibuatkan daftar

rekapitulasinya untuk dilaporkan kepada kami;

Page 139: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 123

4. Agar masyarakat tetap dapat menerima Sertifikat Hak Atas

Tanahnya sesuai peraturan perundangan maka selanjutnya kami

akan melakukan koordinasi ke Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehidupan untuk revisi PIPPIB tersebut;

5. Proses sertifikasi terhadap bidang-bidang tanah tersebut dapat

dilanjutkan setelah revisi PIPPIB selesai.

Di sisi lain, pada SK Menteri LHK Nomor 7099/MENLHK-

PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghen-

tian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Tahun 2019 juga disebutkan

beberapa hal yang bersinggungan dengan kebijakan pertanahan. Seba-

gaimana disebutkan dalam aturan bahwa PIPPIB tidak berlaku pada:

1. lokasi yang telah mendapat perizinan atau titel hak dari pejabat

berwenang sesuai peraturan perundang-undangan pada APL atau

bukan kawasan hutan yang diterbitkan sebelum SK Menteri

Kehutanan Nomor SK.323/Menhut-II/2011; dan

2. tanah milik masyarakat perseorangan di APL sepanjang disertai

bukti hak atas tanah/tanda bukti kepemilikan lainnya yang

diterbitkan sebelum SK Menteri Kehutanan Nomor

SK.323/Menhut-II/2011 dan hasilnya dilaporkan kepada Menteri

LHK melalui Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata

Lingkungan.

Terbitnya Inpres, SK Menteri LHK, dan SE Sekjend Kementerian

ATR/BPN membawa beragam dampak, baik di lingkungan pemerin-

tahan maupun di tengah masyarakat. Tabel 9 adalah beberapa dampak

kebijakan PIPPIB ditinjau dari sudut pandang pertanahan.

Salah satu dampak nyata sebagaimana terjadi di wilayah Kabu-

paten Indragiri Hilir dan Kabupaten Siak Provinsi Riau. Di Kabupaten

Indragili Hilir terdapat 724 bidang tanah (36,2%) yang masuk ke dalam

zona penghentian pemberian izin baru. Karena tidak berhasil dijadikan

sertipikat (K1), maka Kantor Pertanahan hanya dapat mengklas-

terisasikan pada K3.3. Dalam hal ini Kluster 3.3 dalam PTSL diber-

lakukan untuk subyek yang merupakan Warga Negara Asing,

Page 140: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

124 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BUMN/BUMD/BHMN dan Badan Hukum Swasta, atau juga

diberlakukan untuk subyek tidak diketahui, subyek yang tidak bersedia

mengikuti kegiatan PTSL dan tanah objek transmigrasi.

Tabel 9. Dampak Terbitnya PIPPIB

Lingkup Dampak

Masyarakat yang bidang tanahnya terindikasi masuk

di PIPPIB

1. kerugian material karena sudah mengeluarkan sejumlah biaya untuk melengkapi prasyarat administrasi dalam kegiatan PTSL

2. tidak ada kepastian waktu terbitnya sertipikat 3. tidak dapat menerima sertipikat tanah jika di lokasi

bersangkutan tidak ada revisi PIPPIB 4. tidak dapat mengajukan layanan pemeliharaan data

(pemecahan, pemisahan, peralihan, perubahan hak, dan pemasangan hak tanggungan)

Pemerintah daerah

1. kebingungan dalam pembuatan atau revisi PIPPIB karena tidak ada sosialisasi

2. pendataan ulang terhadap semua bidang tanah yang terindikasi masuk PIPPIB sebagai dasar pengajuan revisi PIPPIB

Kantor Pertanahan

1. tidak dapat melaksanakan PTSL secara optimal karena sejumlah bidang tanah tidak dapat diproses menjadi sertipikat

2. tidak dapat menjalankan layanan pemeliharaan data (pemecahan, pemisahan, peralihan, perubahan hak, dan pemasangan hak tanggungan)

Sumber: disarikan dari Tobing (2020) dan Saputra (2020)

Dalam ketentuannya, bidang tanah yang berada dalam lokasi

penghentian pemberian izin baru memang dapat diterbitkan sertipikat

hak atas tanahnya, hanya saja prosedur yang harus dilakukan memakan

waktu yang lama dan melibatkan beberapa lintas sektor sehingga

menimbulkan anggapan bahwa proses yang ada hanya menambah

kerumitan dan memperpanjang birokrasi. Banyaknya jumlah bidang

tanah yang masuk ke dalam K3.3 tentu merugikan masyarakat. Seluruh

masyarakat yang terdampak lokasi penghentian pemberian izin baru

melakukan protes kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Indragiri Hilir

saat mengetahui bidang tanahnya tidak dapat disertipikatkan (Tobing

2020).

Hal tersebut juga terjadi di wilayah Kabupaten Siak. Terdapat 634

bidang tanah objek PTSL tahun 2020 di Kabupaten Siak yang masuk

Page 141: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 125

dalam area PIPPIB dan dimasukkan ke dalam kategori K3.3. Kebijakan

memasukan bidang tanah produk sertifikasi yang berada di area PIPPIB

ke dalam kategori K3.3 yang diberlakukan kepada seluruh Kantor

Pertanahan tidak sesuai dengan pengertian K3.3 itu sendiri. Dimana

tidak semua lokasi tanah objek PTSL dapat dikategorikan ke dalam

K3.3, hal ini merujuk pada pengertian K3.3 yang terdapat di dalam

Petunjuk Teknis Nomor 2/Juknis-100.3.KU.01.01/II/2019 Tentang Pelak-

sanaan Anggaran Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Tahun 2019

(Saputra 2020).

5.6. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pengendalian

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau

disingkat dengan PLP2B diatur dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 2009. Undang-undang tersebut diterbitkan karena tingginya

laju alih fungsi, degradasi, atau fragmentasi lahan pertanian pangan

yang sudah terjadi sejak lama. Walaupun sudah banyak peraturan

perlindungan lahan pertanian yang terbit sejak lahirnya UUPA,

penurunan angka ketersediaan lahan pertanian pangan terus terjadi

dan hal tersebut menunjukkan bahwa sejumlah peraturan-peraturan

yang terbit berjalan tidak efektif (Irawan 2008). Apabila kondisi alih

fungsi dibiarkan terus terjadi maka Indonesia sebagai sebuah negara

agraris tidak akan mampu mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan

kedaulatan pangan.

Sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 41 Tahun 2009, lahirlah

sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai turunannya dari

tingkat PP sampai ke tingkat Perda. Sutaryono (2016) mengungkapkan

bahwa sejumlah upaya pengamanan lahan pertanian pangan melalui

penerbitan peraturan perundang-undangan tetap belum menampak-

kan hasil. Tingginya laju pertanian pangan tersebut telah berdampak

pada: (1) hilangnya lahan pertanian produktif; (2) peningkatan impor

dan harga pangan; (3) berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor per-

tanian; (4) peningkatan jumlah buruh tani dan petani tanpa tanah; dan

Page 142: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

126 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

(5) peningkatan kerentanan sosial dan pengangguran di perdesaan.

Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional dalam Widiyantoro (2017) mengungkap bahwa

ketidakefektifan sejumlah aturan pengendalian lahan pertanian pangan

disebabkan oleh belum adanya petunjuk teknis pelaksanaan PLP2B dan

beragam komitmen dalam pelaksanaan PLP2B.

Komitmen perlindungan lahan pertanian harus dilakukan secara

terintegrasi dengan kebijakan pembangunan wilayah, utamanya adalah

kebijakan perencanaan pembangunan dan kebijakan penataan ruang.

Penetapan Kawasan PLP2B harus dituangkan dalam RPJP, RPJM, dan

Rencana Tahunan baik pada level nasional, provinsi, maupun

kabupaten/kota. Penetapan Kawasan PLP2B ini merupakan bagian dari

penetapan RTRW, utamanya dalam bentuk rencana rinci tata ruang

wilayah kabupaten/kota. Dalam hal ini, penetapan lahan pertanian

pangan tersebut menjadi dasar dalam penyusunan Peraturan Zonasi

sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.

Dengan kata lain, penetapan objek LP2B harus sesuai dengan perun-

tukan fungsi dalam RTRW supaya keduanya tidak saling bertentangan

dan dapat digunakan sebagai arahan dalam upaya pengendalian

penggunaan tanah (Muryono 2016). Hal ini sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7 Tahun 2012 bahwa kawasan

pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan

berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan

disyaratkan untuk terintegrasi dengan RTRW (Tabel 10). Dalam hal

kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan

berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan

belum diintegrasikan dengan RTRW maka ditetapkan melalui

Peraturan Daerah.

Page 143: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 127

Tabel 10. Persyaratan Penetapan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Persyaratan Kawasan Pertanian Pangan

Berkelanjutan

Persyaratan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan

Persyaratan Lahan Cadangan Pertanian

1. Berada di dalam kawasan peruntukan pertanian, antara lain: (a) berada di dalam kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan; (b) batasan kawasan ditetapkan atas dasar batas administrasi daerah; dan (c) berada di dalam kawasan peruntukan pertanian dan dimuat dalam RTRW baik di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.

2. Berada di luar kawasan peruntukan pertanian, antara lain: (a) berada pada kawasan peruntukan kehutanan, perikanan, industri yang dikonversi menjadi kawasan peruntukan pertanian; (b) berasal dari bekas kawasan hutan dan/atau tanah terlantar; dan (c) ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan sesuai dengan mekanisme dan tata cara penetapan.

3. Dimuat dalam rencana perlindungan lahan pertanian pangan yang di dalamnya memuat tentang kebijakan,

1. Berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan, antara lain: (a) berada di dalam kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan; (b) batasan kawasan ditetapkan atas dasar batas administrasi daerah; dan (c) berada di dalam kawasan peruntukan pertanian dan dimuat dalam RTRW baik di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.

2. Dimuat dalam rencana perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang di dalamnya memuat tentang kebijakan, strategi, indikasi program, serta program dan rencana pembiayaan.

1. Tidak dalam sengketa, artinya tanah yang berasal dari tanah terlantar dan tanah kawasan hutan yang telah dialokasikan dan/atau dilepaskan untuk kawasan peruntukan pertanian yang sesuai dengan peraturan perundangan.

2. Status kepemilikan dan penggunaan tanah yang sah, artinya tanah tersebut telah dilekati hak atas tanah dan/atau tanah ulayat.

3. Dimuat dalam rencana perlindungan lahan pertanian pangan yang di dalamnya memuat tentang kebijakan, strategi, indikasi program, serta program dan rencana pembiayaan

Page 144: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

128 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

strategi, indikasi program, serta program dan rencana pembiayaan.

Sumber: Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2012

Hingga buku ajar ini dituliskan, semangat untuk penetapan objek

LP2B sampai di tahap penetapan luas lahan baku sawah nasional tahun

2019 yang ditetapkan melalui SK Menteri ATR/Kepala BPN Nomor

686/SK-PG.03.03/XII/2019. SK ini merupakan hasil kesepakatan bersa-

ma antara Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Koodinator Bidang

Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasio-

nal/BAPPENAS, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kemen-

terian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat (PUPR), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

(LAPAN), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pusat Statistik

(BPS), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Hasil

kesepakatan tersebut memutuskan untuk dilakukan pembaharuan

(updating) luasan lahan baku sawah nasional yang semula seluas

7.105.145 hektar menjadi 7.463.948 hektar dengan sebaran secara

spasial tampak pada Gambar 38. Luasan tersebut dimungkinkan untuk

terjadi perubahan tergantung pada hasil identifikasi di lapangan.

Sebaran lahan baku sawah sebagai tergambar pada Gambar 38

berikutnya digunakan oleh pemerintah daerah sebagai pertimbangan

dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Jika dilihat pada peta sebaran lahan baku sawah sebagaimana

tergambar di Gambar 38, Provinsi DIY adalah salah satu provinsi yang

ditetapkan memiliki lahan baku sawah dan dari sisi yang lain juga

sudah mengintegrasikan LP2B ke dalam RTRW. Pada tahun 2009, sejak

terbitnya UU Nomor 41 Tahun 2009, Provinsi DIY telah memiliki

semangat untuk mempertahankan LP2B dan hal ini tercermin dalam

Perda Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY Tahun

2009-2029. Namun, dalam Perda 2 Tahun 2010 tersebut tidak disebut-

kan alokasi luasan dan letak kawasan LP2B sehingga terbitlah Perda

Page 145: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 129

Nomor 10 Tahun 2011 yang secara khusus mengatur tentang PLP2B. Di

dalam Perda 10 Tahun 2011 diatur mengenai penunjukkan sejumlah

kabupaten untuk mempertahankan LP2B dengan total luasan lahan inti

yang tersebar di seluruh kabupaten adalah seluas 35.911,59 Ha dan

sebaran lahan secara spasial akan ditetapkan melalui keputusan Bupati

setempat.

Gambar 38. Peta sebaran lahan baku sawah nasional tahun 2019

(Sumber: SK Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019)

Sejalan dengan perubahan RTRW Provinsi DIY, sejumlah penga-

turan mengenai PLP2B secara eksplisit mulai dimasukkan dalam Perda

Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019 tentang RTRW DIY Tahun 2019-

2039. Alokasi total luas kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (P2B)

yang secara spasial tersebar di seluruh kabupaten adalah seluas

104.905,76 Ha dan penetapan objek LP2B akan ditetapkan kemudian

oleh Bupati. Luasan tersebut merupakan penggabungan antara luas

LP2B seluas 72.409,79 Ha dan luas lahan cadangan P2B seluas 32.495,97

Ha. Perubahan luasan LP2B dari tahun ke tahun tersebut menunjukkan

Page 146: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

130 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

adanya upaya Pemprov DIY untuk melindungi keberadaan LP2B (Tabel

11).

Tabel 11. Perbedaan Pengaturan Luasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Kabupaten Perda 2 Tahun

2010

Perda 10 Tahun 2011

Lahan Inti (Ha)

Perda 5 Tahun 2019 LP2B dan Lahan Cadangan (Ha)

Sleman

Belum ada penetapan luasan

LP2B

12.377,59 17.947,54 dan 534,5

Bantul 13.000 14.407,50 dan 4.667,51

KulonProgo 5.029 11.033,89 dan 5.002,83

Gunungkidul 5.505 29.020,86 dan 22.291,14

Total 35.911,59 72.409,79 dan

32.495,98

Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010, Nomor 10 Tahun 2011 dan Nomor 5 Tahun 2019

Selain mengatur alokasi luasan, dalam Perda 2019 juga diatur

mengenai sejumlah program perwujudan LP2B yang terintegrasi dalam

program perwujudan kawasan peruntukan pertanian dan arahan

peraturan zonasi sistem provinsi. Beberapa program perwujudan LP2B

tersebut antara lain: (1) pengendalian alih fungsi lahan pertanian, (2)

peningkatan dan perbaikan sistem irigasi, (3) penetapan LP2B, dan (4)

pemberian insentif bagi pemilik LP2B. Sedangkan terkait dengan

arahan peraturan zonasi terdapat sejumlah kegiatan yang

diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan yang tidak

diperbolehkan di atas kawasan pertanian pangan.

Walaupun alokasi luasan, sebaran, program, dan arahan zonasi

sudah ditetapkan melalui RTRW provinsi namun belum ada satu

kabupaten pun di DIY yang menerbitkan perda RTRW yang di

dalamnya memuat komponen LP2B. Sampai naskah ini disusun, Kabu-

paten Sleman telah menyiapkan Perda LP2B dan sudah mendapatkan

persetujuan dari DPRD Kabupaten Sleman dengan mendasarkan pada

Perda RTRW DIY 5/2019. Saat ini masih dalam proses pencatatan

(registrasi) di Pemerintah Provinsi DIY sebelum diundangkan.

Beberapa daerah lain juga mengalami hal serupa dengan di DIY

yaitu belum ada penunjukkan objek LP2B dalam perda kabupa-

Page 147: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 131

ten/kota. Salah satu kabupaten yang belum melakukan penetapan

objek LP2B dan menjadi lokasi kajian skripsi adalah Kota Solok

Provinsi Sumatera Barat. Dari kajian yang dilakukan oleh Saputra

(2018) diperoleh sebaran lahan pertanian yang berpotensi untuk

ditetapkan sebagai objek LP2B di Kota Solok (Gambar 39). Syarat lahan

pertanian pangan yang dikategorikan berpotensi dijadikan objek LP2B

menurut Saputra (2018) adalah memenuhi 2 (dua) prasyarat sebagai

berikut:

1. Lahan berkategori Sangat Sesuai (S1)

Berdasarkan Permen Pertanian Nomor

79/Permentan/OT.140/8/2013, lahan komoditas tanaman pangan

dikategorikan S1 apabila faktor pembatasnya minimum dan tidak akan

mereduksi produktifitas lahan. Syarat-syarat faktor pembatas

dikatakan minimum antara lain: (a) temperatur rata-rata antara 24oC-

29oC; (b) ketersediaan saluran irigasi; (c) kelembapan pada rentang

33%-90%; (d) tekstur tanah halus atau agak halus; (e) kedalaman tanah

lebih dari 50 cm; (f) ketebalan gambut kurang dari 40 cm; (g) retensi

hara berupa KTK tanah lebih dari 16 cmol/kg; (h) retensi hara berupa

kejenuhan basa lebih dari 50%; (i) retensi hara berupa pH H2O pada

rentang 5,5-7,0; (j) lereng kurang dari 3%; (k) singkapan batuan kurang

dari 5%; dan (l) ketinggian genangan maksimal 25 cm.

2. Lahan berkategori Mendukung (M)

Syarat suatu objek dikategorikan mendukung antara lain: (a) kon-

disi eksisting digunakan dan dimanfaatkan sebagai sawah atau perta-

nian pangan; (b) berfungsi sebagai kawasan budidaya; dan (c) jenis

peruntukannya bukan sebagai kawasan pertanian.

Page 148: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

132 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 39. Peta sebaran potensi LP2B di Kota Solok

(Sumber: Saputra 2018)

Salah satu contoh daerah yang sudah mengatur LP2B dalam

produk tata ruangnya adalah Kota Bandung. Di dalam Perda Kota

Bandung Nomor 10 Tahun 2015 tentang RDTR Kota Bandung Tahun

2015-2035 sudah diatur mengenai alokasi luasan LP2B hingga tingkat

blok/kelurahan (Tabel 12) dan secara spasial terpetakan dalam peta

RDTR skala 1:5.000. Gambar 40 adalah salah satu contoh peta rencana

pola ruang di Kota Bandung tepatnya di SWK Ujungberung

Kelurahan/Blok Pasanggrahan dan Palasari yang di dalamnya memuat

lokasi spasial objek LP2B. Disamping itu terdapat beberapa hal yang

juga diatur terkait pertanian, antara lain: (1) program perwujudan pola

ruang di zona pertanian, yang meliputi pengadaan bibit dan

penyuluhan kepada para petani; dan (2) larangan kegiatan untuk

adanya konversi lahan sawah beririgasi teknis yang telah ditetapkan

sebagai lahan sawah berkelanjutan.

Page 149: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 133

Tabel 12. Alokasi Luasan LP2B Di Kota Bandung

SWK Kecamatan Blok Luas (ha)

Cibeunying Cibeunying Kidul Sukapada 3,28

Arcamanik Mandalajati Pasir Impun dan Jatihandap 14,83

Ujungberung Ujungberung

Pasirwangi, Pasirjati, dan Pasanggrahan

50,41 Cibiru

Palasari, Cisurupan, dan Pasir Biru

Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015

Gambar 40. Sebaran lokasi LP2B yang tergambarkan di Peta Rencana

Pola Ruang SWK Ujungberung (Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)

5.7. Tugas

Berikut ini adalah tugas yang harus dikerjakan oleh seluruh

peserta didik untuk memperdalam kemampuan dalam penerapan

produk-produk penataan ruang untuk berbagai kebijakan dan perijinan

di bidang pertanahan.

Page 150: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

134 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

A. Tujuan Tugas

Memanfaatkan produk-produk penataan ruang dalam pelayanan

pertanahan.

B. Uraian Tugas

1. Objek garapan: Produk-produk penataan ruang

2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):

a. Mahasiswa membentuk kelompok dengan anggota 3 – 4

orang per kelompok

b. Masing-masing kelompok mencari contoh produk-produk

penataan ruang: perencanaan, pemanfaatan maupun

pengendalian pemanfaatan ruang

c. Mensimulasikan pemanfaatan produk penataan ruang untuk

pelayanan pertanahan.

d. Memaparkan hasil simulasi di kelas.

3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:

Paparan hasil simulasi pemanfaatan produk penataan ruang.

5.8. Pustaka

Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah 2018, Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

Irawan, Bambang 2008, Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi

Lahan, Forum Penelitian Agro Ekonomi, vol. 26, no. 2, hlm. 116-131.

Kartasasmita, Ginandjar 1996, Pembangunan untuk Rakyat:

Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta.

Muryono, Slamet 2016, 'Kajian upaya pengendalian penggunaan tanah

di Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah', BHUMI:Jurnal

Agraria dan Pertanahan, vol. 2, hlm. 85-101

Saputra, Maryono D. 2020, 'Inkonsistensi Kebijakan Penghentian

Pemberian Izin Baru Dengan Kebijakan Percepatan Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kabupaten Siak Provinsi

Riau', Skripsi pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah

Tinggi Pertanahan Nasional.

Page 151: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 135

Saputra, Ridho 2018, 'Penentuan Lokasi Potensial Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kota Solok Provinsi Sumatera

Barat', Skripsi pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah

Tinggi Pertanahan Nasional.

Simanjuntak, Yosia Y 2019, 'Konsistensi Penerapan Pola Ruang Untuk

Penetapan Status Tanah Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kota Banjarbaru dan Kabupaten

Banjar', Skripsi pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah

Tinggi Pertanahan Nasional.

Soedarso, BP 2015, 'Perspektif Keadilan Lingkungan Dalam

Penyelenggaraan Tata Kelola Hutan Dan Moratorium Kehutanan',

SELISIK Jurnal Hukum dan Bisnis, vol. 1, no. 1, Juni 2015, hlm. 55-75.

Sutaryono 2016, 'Lahan Pangan Berkelanjutan', Opini Surat Kabar

Harian Kedaulatan Rakyat, 22 November 2016, hlm. 12.

Sutaryono 2017, 'Alternatif Penyelesaian Penataan Ruang Berbasis Land

Management', Jurnal Pertanahan, vol. 1.

Sutaryono 2018, 'Penyiapan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah',

Modul Pelatihan LARAP, World Bank, UGM, dan STPN, 17-21

Desember

Sutaryono 2018, ‘Prona Jaman Now’, Analisis Surat Kabar Harian

Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 2018 Halaman 1

Tobing, Jonathan C.L. 2020, Sinkronisasi Kebijakan Pengehentian

Pemberian Izin Baru Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Riau dan Implikasinya Terhadap Pendaftaran Tanah

Sistematis Lengkap-Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten

Indragiri Hilir, Skripsi, Program Studi Diploma IV Pertanahan,

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Widiyantoro, Susilo 2017, Pengendalian Lahan Pertanian Pada Proses

Penyediaan Lahan Perumahan Skala Besar Di Kawasan Perkotaan

Yogyakarta, Tesis pada Magister Perencanaan Kota dan Daerah,

Universitas Gadjah Mada.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Page 152: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

136 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan

Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan

Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016

tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang

Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang

Penghentian Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata

Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7/Permentan/OT.140/2/2012

tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan,

Lahan, Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 79/Permentan/OT.140/8/2013

tentang Pedoman Kesesuaian Lahan Pada Komoditas Tanaman

Pangan

Page 153: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 137

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Di

Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 27 Tahun 2019 tentang pertimbangan Teknis

Pertanahan

Surat Keputusan Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang

Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

SK.7099/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan

Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam

Primer Dan Lahan Gambut Tahun 2019

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

SK.851/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/2/2020 tentang Penetapan

Peta Indikatof Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam

Primer Dan Lahan Gambut Tahun 2020 Periode I

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2

Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10

Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015 tentang

Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung

Tahun 2015-2035

Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 9 Tahun 2017 tentang

Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Danau Limboto

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5

Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 2019-2039

Page 154: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

138 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BAB VI PENUTUP

Pemahaman terhadap konsep perencanaan wilayah, prinsip-

prinsip perencanaan wilayah dan pentingnya penataan ruang wilayah

bagi praktisi di bidang pertanahan dan penataan ruang adalah sebuah

keharusan. Bekal ini akan sangat bermanfaat dalam berinteraksi

dengan stake holder terkait serta untuk memberikan pertimbangan-

pertimbangan dalam kebijakan pembangunan wilayah.

Kemampuan mengidentifikasi problematika perkembangan

wilayah, baik dari aspek fisik, non fisik maupun aspek kebijakan dapat

digunakan untuk merumuskan kebijakan yang mampu mengantisipasi

munculnya permasalahan-permasalahan baru. Bahkan kebijakan yang

dihasilkan mampu menyelesaikan permasalahan pembangunan

wilayah yang terkait dengan pertanahan dan penataan ruang.

Kemampuan mengenal dan menganalisis produk-produk

pertanahan menjadikan praktisi di bidang pertanahan dan tata ruang

secara jelas dapat mengetahui kebutuhan data dan informasi yang

dibutuhkan, baik oleh institusi pertanahan dan tata ruang maupun

kebutuhan pihak lain. Keterampilan memanfaatkan produk-produk

penataan ruang dalam perizinan pertanahan, pertimbangan teknis

pertanahan maupun dalam kegiatan pengadaan tanah sangat

dibutuhkan bagi pengambil kebijakan di bidang pertanahan dan tata

ruang. Ketrampilan ini juga merupakan capaian tertinggi bagi peserta

didik yang mengambil mata kuliah Tata Ruang dan Perencanaan

Wilayah.

Sebagai bagian dari penutup, berikut ini beberapa artikel penulis

yang dimuat dalam beberapa media, terkait dengan isu-isu penataan

ruang. Artikel-artikel tersebut diharapkan mampu memperkaya

Page 155: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 139

pengetahuan dan daya kritis pembaca terhadap kondisi penataan ruang

kontemporer. Di samping itu, artikel tersebut dapat dijadikan bahan

diskusi kelompok, maupun diskusi kelas sesuai dengan materi atau isu

yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat luas.

Gambar 41. Artikel di Harian Kompas tentang problematika integrasi

agraria dan tata ruang (Sumber: dapat diakses melalui

http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2016/09/integrasi-agraria-tata-ruang.html)

(a) (b)

Gambar 42. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) dilema pengaturan ruang antara Tata Ruang vs Tata Uang dan (b) tanah

sebagai sebuah ruang komersial (Sumber: dapat diakses melalui

(a) https://www.krjogja.com/angkringan/analisis/tata-ruang-vs-tata-uang/ dan

(b) http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2016/03/kontestasi-ruang-komersial.html)

Page 156: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

140 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

(a) (b)

Gambar 43. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) keberlanjutan lingkungan melalui tata guna tanah dan (b) tanah

sebagai sebuah ruang komersial (Sumber: dapat diakses melalui

(a) https://www.krjogja.com/angkringan/opini/tata-guna-tanah/ dan (b) http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2020/08/tata-

ruang.html)

(a) (b)

Gambar 44. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi pengarusutamaan tata ruang di wilayah DIY dan (b) kebutuhan

penataan ruang berbasis bencana di wilayah DIY (Sumber: dapat diakses melalui (a)

http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2014/08/pengarusutamaan-tata-ruang.html dan (b)

http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2015/01/penataan-ruang-berbasis-bencana_6.html)

Page 157: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 141

(a) (b)

Gambar 45. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi pengendalian pemanfaatan ruang dan (b) momentum Hari Tata Ruang

Nasional untuk percepatan penyusunan RDTR (Sumber: dapat diakses melalui (a)

http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2016/01/urgensi-pengendalian-pemanfaatan-ruang_7.html

dan (b) https://www.academia.edu/41610084/Percepatan_RDTR)

Page 158: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

142 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

INDEKS

A Acquisition and management 79 Agents of change 24 Agraria 4-5, 34-35, 37, 42, 57, 62-63, 84, 89, 95, 98, 103-104, 106, 108, 121-122, 128, 139 Aksesibilitas 23, 38, 71, 88-89 Alih fungsi tanah 34, 35, 79 Audit tata ruang 84-85 B Bargaining 28 Basis data 4, 36 Bottom up 14 BPHTB 47 C Collaborative learning 1 Conflict of interest 30 D Data pertanahan 37, 103-104 Dinamika wilayah 24-26 Disinsentif 36, 56, 58, 71, 81-83, E Ease of Doing Business 36 G Garis sempadan bangunan 70 I Incentive and charge 79 Insentif 36, 56, 58, 71, 81-83, 130 Izin lokasi 82, 87, 96, 103-108 Izin mendirikan bangunan 82, 87 K Kawasan budidaya 16, 25, 56, 58, 74, 76, 81, 101, 131 Kawasan lindung 16, 25, 56, 58, 74, 76, 81, 101 Konflik tata ruang 30 L Land Development 35, 96 Land use planning 13 M Manajemen pertanahan 2

Page 159: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 143

N Non urban 26 O Organisasi Perangkat Daerah 41 P Penertiban pemanfaatan ruang 75, 83-84 Penetapan lokasi 1, 43-44, 57, 59, 85, 105, 111 R RDTR 36, 43, 62-63, 65-69, 71-72, 76, 81, 85-86, 101, 103, 106-107, 113, 132, 141 Reward and punishment 31 RTRW 38, 40, 43, 57-59, 63-65, 85-86, 95-97, 99-103, 105-106, 108-111, 113-114, 117-121, 126-130 S Sanksi 56, 58, 81, 83-84, 89, 99 Struktur ruang 12, 15-16, 55-56, 58-59, 62-65, 72-73, 81-82 Sustainable Development 9, 37, 96 T Tata guna tanah 13, 140 Tertib tata ruang 16, 75, 79-80 U Urban sprawl 26 Z Zonasi 19, 56, 58, 63, 67, 71, 74, 76-77, 80-82, 85, 92, 108, 117-120, 126, 130

Page 160: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

144 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

TENTANG PENULIS

Dr. Sutaryono, menyelesaikan Pendidikan S1 – S3

di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah

memperoleh Gelar Doktor dengan Predikat

Cumlaude pada Ilmu Geografi UGM, yang

bersangkutan fokus pada kajian dan ilmu Land

Management & Spatial Planning. Saat ini tercatat

sebagai Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan

Nasional (STPN) dan menjabat sebagai Ketua

Program Studi Diploma IV Pertanahan. Di

samping di STPN, Penulis dipercaya mengajar di

Prodi S1 Pembangunan Wilayah Fakultas

Geografi UGM, Prodi S2 Geografi dan S2

Kependudukan pada Pascasarjana UGM, serta

Prodi S2 Ilmu Pemerintahan Pascasarjana

STPMD APMD. Saat ini aktif menjadi Anggota

Dewan Riset Daerah (DRD) dan Pengurus Pusat

Ikatan Geograf Indonesia (IGI). Disamping

menjadi trainer & konsultan, ia aktif menulis

buku dan artikel ilmiah pada berbagai jurnal dan

surat kabar dengan tema manajemen pertanahan,

penataan ruang dan pembangunan wilayah, yang

dipublikasikan juga melalui

www.manajemenpertanahan.blogspot.com.

Penulis dapat dihubungi melalui email

[email protected] dan/atau

[email protected].

Rakhmat Riyadi, S.Si. M.Si., menyelesaikan

pendidikannya di Akademi Pertanahan tahun

1989, jenjang S1 di Geografi UGM tahun 1996, dan

S2 di Geografi UI tahun 2001. Sejak 1980, pria

kelahiran tahun 1961 ini pernah bertugas di

Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung dan pada

tahun 1992 mulai mengabdikan dirinya sebagai

Dosen di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

(STPN) hingga saat ini. Mata kuliah yang sering

Page 161: TATA RUANG DAN PERENCANAAN WILAYAH

Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 145

diampu antara lain: Tata Ruang dan

Perencanaan, Penatagunaan Tanah, Kartografi,

dan Etika Profesi. Selain sebagai dosen, Penulis

kini juga dipercaya sebagai Pembantu Ketua

Bidang Akademik.

Susilo Widiyantoro, ST. M.Eng., menyelesaikan

pendidikan S1 di Teknik Geodesi UGM tahun

2009. Seusai menamatkan jenjang S1, Penulis

diterima sebagai PNS di lingkungan Kementerian

Agraria dan Tata Ruang/BPN dan ditugaskan di

Provinsi Gorontalo sampai tahun 2014. Di awal

tahun 2015 memperoleh beasiswa Scholarship

Program for Strengthening Reforming Institution

untuk kuliah jenjang S2 di Magister Perencanaan

Kota dan Daerah UGM dan diselesaikan tahun

2017 dengan predikat Cumlaude. Pasca

menamatkan kuliah S2, Penulis kembali

mengabdikan diri di Provinsi Gorontalo sampai

tahun 2020 dengan jabatan terakhir Kasi

Infrastruktur Pertanahan di Kantor Pertanahan

Kabupaten Bone Bolango. Saat ini Penulis

mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik di

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN).

Berbagai pengalaman dan ilmu yang dimiliki,

terutama di dunia pertanahan dan tata ruang,

ingin dibagikan Penulis dan salah satunya

melalui buku ajar ini. Penulis dapat dihubungi

melalui email [email protected].