Upload
satria-dharma-setiawan
View
54
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
refrat
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan
orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah
diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta TB pada infeksi HIV. Berbeda dengan
TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan menemukan kuman TB. Pada anak hal ini sulit didapatkan, sekalipun
spesimen dapat diperoleh pada pemeriksaan mikrobiologik, mikroorganisme
penyebab jarang ditemukan pada sediaan langsung dan kultur. Di negara
berkembang, dengan fasilitas tes mantoux dan foto rontgen paru yang masih
kurang, diagnosis TB anak menjadi lebih sulit.1
Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat Indonesia, antara lain:2
1. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia
setelah India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar
10% dari total jumlah pasien TB di dunia.
2. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua
kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi.
3. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk.
Secara Regional Insiden TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu:
a. Wilayah Sumatera angka insiden TB adalah 160 per 100.000 penduduk.
b. Wilayah Jawa angka insiden TB adalah 107 per 100.000 penduduk.
c. Wilayah Indonesia Timur angka insiden TB adalah 210 per 100.000
penduduk.
d. Khusus untuk Poliklinik RSUD Jendrah Ahmad Yani Kota Metro Provinsi
Lampung tahun 2012, kasus TB paru pada anak merupakan kasus dengan
jumlah pasien terbanyak.
4. Berdasarkan hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB Basil Tahan Asam (BTA) positif secara Nasional 2-3 % setiap
tahunnya. Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi
DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)/ Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(BKPM)/ Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru/ Rumah Sakit Paru (RSP)
baru sekitar 30%.
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak pertahun adalah 5% sampai 6% dari seluruh kasus TB. Tuberkulosis pada
anak berusia kurang dari 15 tahun di negara berkembang adalah sebesar 15% dari
seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju sekitar 5-7%. Di Indonesia, 10% dari
seluruh kasus terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun. Jumlah seluruh kasus TB
anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-
2002) adalah 1086 penderita dengan angka kematian antara 0% sampai 14.1%.
Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42.9%) sedangkan untuk bayi (usia
kurang 12 bulan) sebanyak 16.5%.1
BAB IIISI
A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.2
B. EPIDEMIOLOGI
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M.
tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik
di negara berkembang maupun di negara maju.
Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah
kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina
(1,1 juta kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia <
15 tahun.
C. FAKTOR RESIKO
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi
faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit
(resiko penyakit).
1. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah
endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi
yang tidak membaik), tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara
atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih
tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif,
infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan
encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang
kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik. Pasien TB anak
jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di
dalam sekret endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:
a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi
karena imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut
sudah mampu menyebabkan sakit.
b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB
primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus,
sehingga tidak terjadi produksi sputum.
c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya
reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala
batuk pada TB anak.
2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB.
a. Usia
Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum
berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan
berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak
berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB
diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Pada bayi, rentang
waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat
(kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
b. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin
(dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
c. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang
kurang, pengangguran, pendidikan yang rendah.
d. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ dan pengobatan
imunosupresi).
Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.
D. PATOGENESIS
Penularan kuman terjadi melalui udara. Hal ini disebabkan kuman dibatukkan
atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi
ini dapat menetap 1 – 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultra violet,
ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat bertahan berhari – hari sampai berbulan – bulan. Ia akan
menempel pada jalan nafas atau paru – paru. Partikel dapat masuk ke alveolar
bila ukuran partikel < 5 mikro.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang
terhirup setelah melewati barier mukosa basil TB akan mencapai alveolus.
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag,dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer). Melalui saluran
limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar
limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahiler,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya komplek
primer secara lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya
komplek primer inilah, infeksi TB primer terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu timbulnya
respon positif terhadap uji tuberkulin. Setelah imunitas seluler terbentuk,
fokus primer di jaringan paru dapat mengalami salah satu hal sebagai berikut,
mengalami resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini. Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi yang
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis pengkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal saat awal infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu yaitu obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal yang akan menimbulkan hiperinflasi di
segmen distal paru. Dapat juga terjadi obstruksi total yang menyebabkan
atelektasis.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi
penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk komplek primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen sering tersamar (occult hematogenic spread) sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik terutama apek paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi
reaktivasi jika daya tahan tubuh pejamu turun.
Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat focus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), lirntangitis (2), dan
limladenitis regional (3).
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran
hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik,
hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya
bisa melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi
(infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).
Perjalanan penyakit tuberculosis primer:
Tuberkulosis milier, TB pleura, dan meningitis TB dapat terjadi setiap saat
tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal dapat terjadi pada tahun pertama, kedua, dan
ketiga. Tuberkulosis ginjal terjadi lebih lama yakni 5-25 tahun setelah infeksi
primer dan 90% kematian TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis
TB.
E. DIAGNOSIS
Diagnosis TB pada anak umumnya sulit ditegakkan, sehingga sering terjadi
misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Oleh karena itu
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman
Nasional TB Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
sistem pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis.
Dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, selanjutnya dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien
dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana
sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti TB). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan
pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CTScan, dan lain lainnya.
Catatan :
- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
- Jika dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien
dapat langsung didiagnosis TB.
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan
tabel badan badan.
- Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)
- Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
*Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.
** Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi TB, diawali oleh
suatu limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan
melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di
permukaan kulit. Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau
fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi
dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang menyerupai
jembatan. Biasanya ditemukan di daerah leher atau wajah, tetapi dapat juga
dijumpai di ekstremitas atau trunkus.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
Tanda bahaya:
- kejang, kaku kuduk
- penurunan kesadaran
- kegawatan lain, misalnya sesak napas
- Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
- Gibbus, koksitis
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan
adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak
tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan
radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal).
Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara
uji tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak
di sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi
TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji
tuberkulin.
F. PENATALAKSANAAN
Alur tatalaksana pasien TB anak pada sarana pelayanan kesehatan dasar :
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dihentikan dengan melakukan
evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain. Bila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologis tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, maka pengobatan dihentikan.
OAT Kategori Anak
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak.
Dosis OAT KDT anak
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT pada anak : 2(RHZ)/4(RH)
Dosis OAT Kombipak anak
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT Kombipak pada anak: 2RHZ/4RH
Keterangan:
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
- Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.
Dosis Harian dan Maksimal Pada Anak
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat menganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan
baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum
makan).
Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem
didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan
dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan
pencegahan selesai.
Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak
secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik pada
TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif
bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau
keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu
sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus
diperiksa dahak.
Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir
Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
negatif.
b. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c. Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
d. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang
lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
G. PROGNOSIS
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama setelah
mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi
keluarga, diagnosa dini, pengobatan adekuat, kepatuhan minum obat, dan
adanya infeksi lain seperti morbilli, pertusis, diare yang berulang dan lain –
lain.
BAB IIIPENUTUP
Dari makalah ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis.
2. Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak yang dibagi menjadi faktor resiko infeksi
dan faktor progresi infeksi.
3. Diagnosis TB pada anak umumnya sulit ditegakkan, sehingga sering terjadi
misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Oleh karena itu
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman
Nasional TB Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
sistem pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis.
4. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak.
5. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif terdiri dari : sembuh, pengobatan
lengkap, meninggal, pindah, default (putus berobat), dan pengobatan gagal.
6. Prognosis dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama
setelah mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi
keluarga, diagnosa dini, pengobatan adekuat, kepatuhan minum obat, dan
adanya infeksi lain seperti morbilli, pertusis, diare yang berulang dan lain –
lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI. 2008. Diagnosis & Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
2. Kementerian Kesehatan. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (Tb). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
3. UKK Pulmonologi PP IDAI. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta: IDAI.