11
Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 55 TEKNOLOGI DAN PERKEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI DI KABUPATEN BOALEMO PROVINSI GORONTALO Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122 Telp. (0435) 821125, Faks. (0435) 821752, E-mail: [email protected] Diajukan: 9 November 2009; Diterima: 3 Januari 2011 ABSTRAK Cabai merupakan komoditas unggulan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo yang dicanangkan pemerintah daerah melalui program Gemar Malita. Pembangunan agribisnis cabai di kabupaten ini masih pada tahap subsistem on farm, tetapi pengembangannya mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Secara finansial, pengembangan cabai lebih menguntungkan dan mempunyai daya saing yang lebih tinggi dibanding jagung dan padi dengan nilai R/C dan B/C cabai masing-masing 2,15 dan 1,87, lebih tinggi daripada dua komoditas unggulan tersebut. Selain itu, cabai merupakan komoditas basis di Kecamatan Tilamuta, Botumoito, Wonosari, dan Paguyaman Pantai. Cabai umumnya dibudidayakan pada tanah Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol. Namun, lahan ini umumnya telah digunakan untuk komoditas lain atau dikonversi ke penggunaan nonpertanian. Iklim yang kering dan kesuburan tanah yang rendah sampai sedang merupakan faktor pembatas dalam pengembangan cabai di daerah ini. Upaya dan strategi yang dapat ditempuh meliputi konservasi tanah dan air, intensifikasi dan diversifikasi tanaman, pembinaan kearifan lokal, penyuluhan dan pemberian insentif, serta pemberdayaan kelembagaan perdesaan dan penyuluhan. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah mengembangkan kemitraan dengan pihak swasta melalui pola inti-plasma, contract farming, subkontrak, dagang umum, keagenan, dan kerja sama operasional agribisnis. Kata kunci: Cabai, teknologi, agribisnis, Gorontalo ABSTRACT Technology and agribusiness development of chili in Boalemo Regency of Gorontalo Province Chili is a leading commodity in Boalemo Regency, Gorontalo Province endorsed by local government through Gemar Malita program. Chili agribusiness development in this region is still at the farm subsystem stage, but its development has comparative and competitive advantages. Financially, chili development was more profitable and had higher competitiveness than maize and rice with the values of R/C and B/C of chili were 2.15 and 1.87, respectively, higher than those of both commodities. In addition, chili is a main commodity in Tilamuta, Botumoito, Wonosari, and Paguyaman Pantai subdistricts. Chili was commonly cultivated in Inceptisols, Alfisols, Mollisols, and Entisols. However, this land had generally been used for other commodities or converted to nonagricultural use. Dry climate and low to medium soil fertility are limiting factors for chili development in this area. Efforts and strategies that can be taken consist of application of soil and water conservation, crop intensification and diversification, development of local wisdom, agricultural extension service, provision of incentive, and empower rural and agricultural extension institutions. Another important aspect is the development of partnerships with private parties through nucleus plasma partnership, contract farming, sub-contract, general trading, agency, and agribusiness operational cooperation. Keywords: Chili, technology, agribusiness, Gorontalo P embangunan pertanian berkelan- jutan memiliki tiga tujuan, yaitu tujuan ekonomi dalam rangka efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, tujuan sosial yang berkaitan dengan kepemilikan yang berkeadilan, dan tujuan ekologi untuk kelestarian sumber daya alam dan ling- kungan (Sanim 2006). Hal ini sejalan dengan pernyataan Saragih (1997), Jayadinata (1999), dan Nasoetion (1999) bahwa pembangunan pertanian di su- atu wilayah akan berjalan efektif jika dikaitkan dengan tujuan sosial, ekonomi, ekologi maupun sumber daya lainnya. Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang berperan pen- ting dalam mendukung perekonomian nasional, khususnya dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Kontribusi sub- sektor hortikultura terhadap produk do- mestik bruto nasional (berdasarkan harga

Teknologi Dan Perkembangan Agribisnis Cabai Di Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

agribisnis

Citation preview

  • Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 55

    TEKNOLOGI DAN PERKEMBANGAN AGRIBISNISCABAI DI KABUPATEN BOALEMO

    PROVINSI GORONTALO

    Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122Telp. (0435) 821125, Faks. (0435) 821752, E-mail: [email protected]

    Diajukan: 9 November 2009; Diterima: 3 Januari 2011

    ABSTRAK

    Cabai merupakan komoditas unggulan Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo yang dicanangkan pemerintahdaerah melalui program Gemar Malita. Pembangunan agribisnis cabai di kabupaten ini masih pada tahap subsistemon farm, tetapi pengembangannya mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Secara finansial,pengembangan cabai lebih menguntungkan dan mempunyai daya saing yang lebih tinggi dibanding jagung dan padidengan nilai R/C dan B/C cabai masing-masing 2,15 dan 1,87, lebih tinggi daripada dua komoditas unggulan tersebut.Selain itu, cabai merupakan komoditas basis di Kecamatan Tilamuta, Botumoito, Wonosari, dan PaguyamanPantai. Cabai umumnya dibudidayakan pada tanah Inceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol. Namun, lahan iniumumnya telah digunakan untuk komoditas lain atau dikonversi ke penggunaan nonpertanian. Iklim yang keringdan kesuburan tanah yang rendah sampai sedang merupakan faktor pembatas dalam pengembangan cabai di daerahini. Upaya dan strategi yang dapat ditempuh meliputi konservasi tanah dan air, intensifikasi dan diversifikasitanaman, pembinaan kearifan lokal, penyuluhan dan pemberian insentif, serta pemberdayaan kelembagaan perdesaandan penyuluhan. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah mengembangkan kemitraan dengan pihak swastamelalui pola inti-plasma, contract farming, subkontrak, dagang umum, keagenan, dan kerja sama operasionalagribisnis.

    Kata kunci: Cabai, teknologi, agribisnis, Gorontalo

    ABSTRACT

    Technology and agribusiness development of chili in Boalemo Regency of Gorontalo Province

    Chili is a leading commodity in Boalemo Regency, Gorontalo Province endorsed by local government throughGemar Malita program. Chili agribusiness development in this region is still at the farm subsystem stage, but itsdevelopment has comparative and competitive advantages. Financially, chili development was more profitableand had higher competitiveness than maize and rice with the values of R/C and B/C of chili were 2.15 and 1.87,respectively, higher than those of both commodities. In addition, chili is a main commodity in Tilamuta, Botumoito,Wonosari, and Paguyaman Pantai subdistricts. Chili was commonly cultivated in Inceptisols, Alfisols, Mollisols,and Entisols. However, this land had generally been used for other commodities or converted to nonagriculturaluse. Dry climate and low to medium soil fertility are limiting factors for chili development in this area. Efforts andstrategies that can be taken consist of application of soil and water conservation, crop intensification anddiversification, development of local wisdom, agricultural extension service, provision of incentive, and empowerrural and agricultural extension institutions. Another important aspect is the development of partnerships withprivate parties through nucleus plasma partnership, contract farming, sub-contract, general trading, agency, andagribusiness operational cooperation.

    Keywords: Chili, technology, agribusiness, Gorontalo

    Pembangunan pertanian berkelan-jutan memiliki tiga tujuan, yaitutujuan ekonomi dalam rangka efisiensidan pertumbuhan ekonomi, tujuan sosialyang berkaitan dengan kepemilikan yangberkeadilan, dan tujuan ekologi untukkelestarian sumber daya alam dan ling-

    kungan (Sanim 2006). Hal ini sejalandengan pernyataan Saragih (1997),Jayadinata (1999), dan Nasoetion (1999)bahwa pembangunan pertanian di su-atu wilayah akan berjalan efektif jikadikaitkan dengan tujuan sosial, ekonomi,ekologi maupun sumber daya lainnya.

    Hortikultura merupakan salah satusubsektor pertanian yang berperan pen-ting dalam mendukung perekonomiannasional, khususnya dalam meningkatkanpendapatan masyarakat. Kontribusi sub-sektor hortikultura terhadap produk do-mestik bruto nasional (berdasarkan harga

  • 56 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011

    berlaku) pada tahun 2005 mencapaiRp61.792,44 triliun, dan meningkatmenjadi Rp68.640,39 triliun pada 2006,Rp74.768 triliun pada 2007 (prognosa),dan target menjadi Rp78.292 triliunpada 2008 (Direktorat Jenderal Hortikul-tura 2008). Indonesia dengan potensisumber daya lahan dan agroklimat yangberagam berpeluang untuk mengem-bangkan berbagai tanaman hortikul-tura tropis, yang mencakup 323 jeniskomoditas.

    Untuk meningkatkan dan memper-tahankan produksi hortikultura, pada2003 pemerintah mencanangkan programGerakan Mandiri Hortikultura Tropika(Gema Hortika 2003). Sasaran utamaprogram ini adalah tercapainya tingkatkonsumsi buah dan sayuran masyarakatIndonesia masing-masing 65/kg/kapita/tahun dan nilai ekspor US$ 600 juta pa-da tahun 2003 (Rukmana 2006). Berkaitandengan itu, berbagai kendala dan masa-lah yang terkait dengan upaya mening-katkan produksi, mutu, dan daya saingproduk hortikultura perlu disikapi denganpendekatan pengembangan hortikultu-ra secara terpadu yang dikenal denganenam pilar pengembangan hortikultura(Direktorat Jenderal Hortikultura 2008).Enam pilar kegiatan pengembanganhortikultura yaitu: 1) pengembangankawasan agribisnis hortikultura, 2) pena-taan manajemen rantai pasokan (supplychain management), 3) penerapan budidaya pertanian yang baik (good agri-cultural practices/GAP) dan proseduroperasi standar (POS), 4) fasilitasi ter-padu investasi hortikultura, 5) pengem-bangan kelembagaan usaha, dan 6)peningkatan konsumsi dan akselerasiekspor. Kegiatan dilaksanakan secarasimultan dan terintegrasi antara pusatdan daerah untuk memfasilitasi dan mem-permudah akses swasta dalam mengem-bangkan hortikultura.

    Salah satu komoditas hortikulturapenting adalah cabai. Masyarakat meman-faatkan cabai sebagai rempah dan bumbumasakan, kesehatan, dan bahan bakuindustri (Tanindo Agribusiness Company2009). Produksi cabai nasional tahun 2009mencapai 1,75 juta ton dengan hasil rata-rata 6,50 t/ha. Secara kumulatif, produksicabai telah melebihi kebutuhan konsumsinasional, yaitu 1,20 juta ton (Fauziah2010). Namun, data Deptan (2009) me-nunjukkan bahwa sampai tahun 2008produksi cabai nasional baru mencapai423,14 ton dengan hasil rata-rata 4,28 t/

    ha. Kondisi ini menyebabkan volumeekspor sampai tahun 2008 baru mencapai6.402,70 ton, sedangkan volume imporlebih tinggi, yakni 16.111,05 ton. Dengandemikian, peluang pengembangan cabaisecara nasional terbuka luas.

    Kebutuhan cabai terus meningkatdalam beberapa tahun terakhir seiringdengan bertambahnya kebutuhan masya-rakat dan permintaan industri. Bahkan,pada waktu tertentu, terutama menjelanghari raya dan hari besar keagamaan,kebutuhan cabai meningkat melampauiketersediaannya di pasaran. Akibatnya,harga cabai melambung tinggi. Kompas,Senin 28 Juli 2010 melaporkan harga cabaisaat itu mencapai Rp40.000/kg. Olehkarena itu, pengembangan cabai mempu-nyai prospek yang baik dengan menerap-kan sistem agribisnis yang tepat (Saragih1998; Asriani 2003).

    Agribisnis merupakan cara melihatpertanian sebagai suatu sistem bisnis,yang terdiri atas beberapa subsistem yangterkait satu sama lain (Satyarini 2009).Saragih (2002) membagi konsep pem-bangunan agribisnis menjadi empat sub-sektor, yaitu subsektor hulu (up streamagribusiness), subsektor usaha tani (on-farm agribusiness), subsektor hilir (downstream agribusiness), dan subsektor jasapenunjang (supporting system agri-business). Satyarini (2009) menegaskanbahwa azas dalam pengembangan agri-bisnis antara lain adalah terpusat (cen-tralized), efisien (efficient), menyeluruhdan terpadu (holistic and integrated),dan kelestarian lingkungan (environ-mental sustainability).

    Potensi pengembangan agribisniscabai terbuka luas di luar Jawa, terutamadi Provinsi Gorontalo. Sejak ditetapkansebagai komoditas unggulan kedua diprovinsi ini, luas panen cabai sampai 2008mencapai 1.693 ha dengan produksi10.891,70 ton (BPS Provinsi Gorontalo2009). Produksi yang tinggi sering me-nyebabkan turunnya harga cabai di pasarhingga Rp5.000/kg, padahal menjelanghari raya keagamaan, harga cabai melon-jak mencapai Rp50.000/kg (Imran 2008).

    Dari aspek budi daya, usaha tani cabaidi Gorontalo menghadapi berbagai per-masalahan, seperti kekeringan, kurangnyaketersediaan benih unggul, terbatasnyatenaga kerja, rendahnya diseminasi tek-nologi, tingginya biaya transportasi,minimnya infrastruktur, dan rendahnyajaminan harga. Hal ini menyebabkan lajupeningkatan produksi cabai cenderung

    fluktuatif. Imran (2008) melaporkan masihbanyak petani cabai di Gorontalo yangmenggunakan faktor-faktor produksisecara tidak efisien, seperti bibit, pupukSP36 dan KCl, dan fungisida. Di sampingitu, pengembangan cabai di daerah inimasih pada taraf produksi massal danwilayah pengembangannya tersebar se-cara tidak merata. Di beberapa tempat,cabai dikembangkan pada lahan dengankemiringan lebih dari 15%. Kondisi agro-klimat daerah Gorontalo yang termasukzona E (Oldeman dan Darmiyati 1977)menyebabkan pada bulan-bulan tertentutanaman cabai mengalami defisit airsehingga peluang gagal panen sangattinggi (Nurdin et al. 2009).

    Kabupaten Boalemo merupakan salahsatu sentra pengembangan cabai di Pro-vinsi Gorontalo. Kontribusi produksisampai 2008 mencapai 17,67% terhadapproduksi cabai provinsi (BPS ProvinsiGorontalo 2009). Kontribusi tersebutmenempatkan Boalemo sebagai penghasilcabai ketiga terbanyak setelah BoneBolango dan Gorontalo. Masyarakat Pro-vinsi Gorontalo, terutama di KabupatenBoalemo, sangat lekat dengan cabaisebagai bumbu masakan, selain menjadipendamping utama makanan pokok.

    Mario (2009) melaporkan cabai vari-etas lokal Gorontalo (Malita FM) mengan-dung kalori 75,54 kkal, protein 6,16%,lemak 2,06%, karbohidrat 8,09%, kalsium0,04%, fosfor 1,96 ppm, besi 0,006%,vitamin C 67,92 mg/100 g, dan air 78,58%(Gambar 1). Cabai juga mengandungminyak atsiri kapsikol yang dapat meng-gantikan fungsi minyak kayu putih (Seti-adi 2001).

    Makalah ini mengulas teknologi danperkembangan agribisnis cabai di Kabu-paten Boalemo berdasarkan status agri-bisnis, keunggulan komoditas, potensi,masalah, dan prospek pengembangannya.Diulas pula perbandingan hasil analisisusaha tani cabai dengan komoditas ung-gulan lain untuk mengetahui keunggulanpengembangan cabai.

    PERKEMBANGANAGRIBISNIS DIKABUPATEN BOALEMO

    Berdasarkan pola dasar pembangunanKabupaten Boalemo tahun 20012005,pengembangan pertanian diarahkan pa-da kawasan Paguyaman sebagai pusat

  • Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 57

    pengembangan agribisnis, yang meru-pakan wilayah strategis bagi pengem-bangan produksi, pengolahan, dan pema-saran komoditas pertanian unggulan.Berkaitan dengan hal tersebut, salah satuprioritas pembangunan Kabupaten Boa-lemo tahun 20012005 adalah programunggulan pertanian dengan sasaranmeningkatkan ketahanan pangan danagribisnis untuk kesejahteraan masya-rakat miskin. Rencana kerja pemerintahdaerah (RKPD) 2007 menyebutkan bahwapembangunan pertanian ditempuh de-ngan program prioritas revitalisasi perta-nian (Bappeda Kabupaten Boalemo 2009).Sasaran yang akan dicapai adalah mening-katkan pertumbuhan sektor pertanianyang telah memberikan kontribusi 37,55%dari PDRB Kabupaten Boalemo (BPSKabupaten Boalemo 2009). Sasaran khu-susnya adalah meningkatkan produksihortikultura, mengembangkan lahan ter-lantar, serta meningkatkan sarana danprasarana infrastruktur perdesaan untukmendorong kegiatan ekonomi dan kese-jahteraan masyarakat desa (BappedaKabupaten Boalemo 2009).

    Program agropolitan yang dicanang-kan pemerintah Provinsi Gorontalo disi-nergikan dengan program pembangunanKabupaten Boalemo melalui pengem-bangan cabai selain jagung. Komoditasini merupakan entry point program GemarMalita atau Gerakan Masyarakat Mena-nam Cabai Hasilnya Menjadi UnggulanDaerah yang dicanangkan pemerintahdaerah sejak tahun 2008 (Bappeda Kabu-paten Boalemo 2009). Program ini me-netapkan beberapa kecamatan sebagaisentra produksi cabai, antara lain Pagu-yaman Pantai dan Botumoito. Dengandemikian, pengembangan cabai telahmemiliki payung hukum yang jelas.

    Pencanangan program Gemar Malitasebagai program unggulan daerah ber-

    implikasi pada luas penggunaan lahanpertanian untuk pengembangan cabai diKabupaten Boalemo (Nurdin et al. 2009).Hal ini terlihat pada sasaran pengem-bangan cabai tahun 20072011 berdasar-kan estimasi dan program perluasanareal tanam dan panen (Tabel 1). Kinerjamasing-masing kecamatan dalam me-nyumbang produksi cabai kabupatendisajikan pada Tabel 2. Tampak bahwaprogram Gemar Malita meningkatkanproduksi maupun luas tanam cabai (BPSKabupaten Boalemo 2009). Kontribusiterbesar diberikan oleh Kecamatan Pagu-yaman Pantai, yakni 47,80%, dan terendahKecamatan Wonosari, yaitu 5,50%.

    Pengembangan agribisnis cabai diBoalemo secara umum masih pada tarafproduksi massal dan tersebar secara tidakmerata di hampir seluruh wilayah. Jikadiklasifikasi berdasarkan lingkup pemba-ngunan sistem agribisnis (Saragih 2002),dari subsistem hulu sampai hilir belum adaindustri cabai, kecuali pemasaran ataudistribusi hasil. Cabai umumnya dijual ke

    pedagang pengumpul dan tengkulak. Halini sejalan dengan laporan Baruwadi etal. (2007) bahwa petani mengembangkanusaha tani cabai untuk memenuhi kebu-tuhan sendiri dan sebagian dijual kepasar serta pedagang pengumpul. Perankoperasi pertanian belum efektif.

    Pada subsistem on-farm, petani me-ngembangkan usaha tani cabai secarasporadis dan tanpa mempertimbangkankesesuaian dan konservasi lahan. Cabaidibudidayakan pada lahan miring tanpatindakan konservasi tanah dan air se-hingga mengakibatkan erosi tanah dankekeringan serta gagal panen (Nurdin etal. 2009). Subsistem jasa pendukungkondisinya lebih baik dengan adanyatransportasi jalan desa dan jalan protokol,termasuk jalan trans Sulawesi. AdanyaSMK pertanian di Kecamatan Paguyamandan Wonosari dapat menyediakan SDMterampil. Kebijakan pemerintah daerahjuga sangat mendukung program pengem-bangan cabai sebagai komoditas ung-gulan. Namun, perkreditan (modal usaha

    Gambar 1. Cabai rawit varietas Malita FM yang dikembangkan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.

    Tabel 1. Sasaran pengembangan komoditas cabai di Kabupaten Boalemo,Provinsi Gorontalo, 20072012.

    TahunSasaran

    Luas tanam Luas panen Produktivitas Produksi1(ha) (ha) (t/ha) (t)

    2007 355 350 5,5 1.9252008 375 370 5,6 2.0722009 495 490 5,7 2.793

    20102 520 515 5,8 2.98720112 650 615 5,9 3.62820122 684 680 6,0 4.080

    1Sasaran kenaikan produksi cabai 15%/tahun.2Data estimasi (target capaian).Sumber: Bappeda Kabupaten Boalemo (2009).

  • 58 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011

    tani) dan kelembagaan petani relatifminim sehingga perlu dibenahi dan di-berdayakan.

    KEUNGGULANKOMODITAS CABAI

    Komoditas unggulan merupakan komo-ditas yang layak diusahakan karena mem-berikan keuntungan kepada petani, baiksecara biofisik, sosial maupun ekonomi.Suatu komoditas layak dikembangkan jikakomoditas tersebut diusahakan sesuaidengan zona agroekologinya, mampumemberi peluang berusaha, serta dapatdilakukan dan diterima masyarakat se-tempat sehingga berdampak pada penye-rapan tenaga kerja dan secara ekonomimenguntungkan (Susanto dan Sirappa2007).

    Syafruddin et al. (2004) menyatakan,penetapan komoditas unggulan di suatuwilayah diharapkan dapat meningkatkanefisiensi usaha tani dan memacu per-dagangan antardaerah dan antarnegara.Selanjutnya Rachman (2003) menyatakan,pada era pasar bebas, hanya komoditasyang diusahakan secara efisien dari sisiteknologi dan sosial ekonomi serta mem-punyai keunggulan komparatif dan kom-petitif yang mampu bersaing secara ber-kelanjutan dengan komoditas yang samadari wilayah lain. Penentuan komoditasunggulan penting karena ketersediaandan kemampuan sumber daya alam, modal,dan SDM untuk menghasilkan dan mema-sarkan semua komoditas yang diproduksi

    di suatu wilayah secara simultan relatifterbatas (Susanto dan Sirappa 2007).

    Penetapan komoditas unggulan perta-nian di suatu daerah perlu memerhatikankeunggulan komparatif dan kompetitifnya(Baruwadi et al. 2007). Keunggulankomparatif komoditas dari suatu daerahtercipta dari interaksi antara kelimpahansumber daya (biofisik), penguasaan tek-nologi, dan kemampuan manajerial dalamkegiatan pengembangan komoditas yangbersangkutan. Keunggulan kompetitifmerupakan hasil interaksi antara keung-gulan komparatif dan distorsi pasar. Padakondisi perekonomian yang tidak menga-lami distorsi sama sekali, keunggulankompetitif juga merupakan keunggulankomparatif. Keunggulan komparatifwilayah dapat diketahui berdasarkananalisis finansial dan metode locationquotient (LQ).

    Nurdin et al. (2009) menyatakan, usa-ha tani cabai per tahun di KabupatenBoalemo layak dan menguntungkan

    dengan nilai R/C dan B/C masing-masing2,15 dan 1,87 (Tabel 3). Menurut Soekar-tawi (1995), usaha tani suatu komoditasakan menguntungkan jika nilai R/C atauB/C >1. Selain itu, komoditas cabai mem-punyai daya saing yang lebih tinggi(kompetitif) dibanding jagung dan padidengan nilai R/C dan B/C cabai lebihtinggi dibanding dua komoditas tersebut.

    Salah satu pendekatan yang dikem-bangkan Badan Litbang Pertanian untukmenentukan komoditas unggulan adalahdengan metode LQ. Nilai LQ >1 artinyasektor basis, yaitu komoditas x di suatuwilayah memiliki keunggulan komparatif(produksi melebihi kebutuhan sehinggadapat dijual ke luar wilayah). Nilai LQ = 1artinya sektor nonbasis, yaitu komoditasx di suatu wilayah tidak memiliki ke-unggulan (produksi hanya cukup untukkonsumsi sendiri). Nilai LQ < 1 artinyasektor nonbasis, yaitu komoditas x padasuatu wilayah tidak dapat memenuhikebutuhan sendiri sehingga perlu pasok-an dari luar wilayah. Susanto dan Sirappa(2007) menyatakan, penentuan komoditasunggulan berdasarkan analisis LQ ku-rang memperhitungkan luas lahan untukusaha tani suatu komoditas, namun lebihmenekankan pada kecenderungan pe-ningkatan luas panen dan produksi di-banding produksi komoditas lainnya.

    Baruwadi et al. (2007) melaporkan,cabai merupakan komoditas basis di duakecamatan di Boalemo, yaitu PaguyamanPantai dan Mananggu (Tabel 4). Selanjut-nya Nurdin et al. (2009) menyatakan cabaimerupakan komoditas basis di KecamatanTilamuta, Botumoito, Wonosari, dan Pa-guyaman Pantai dengan nilai LQ 1,151,83(Tabel 5). Hal ini berarti produksi cabai diempat kecamatan tersebut mengalamisurplus 1,151,83 kali lebih besar diban-ding kebutuhan sendiri. Pengembangancabai menyebar di semua kecamatan di

    Tabel 2. Luas tanam dan produksi cabai setiap kecamatan di KabupatenBoalemo, Provinsi Gorontalo, sampai tahun 2007.

    KecamatanLuas panen Produksi Produktivitas Kontribusi produksi

    (ha) (t) (t/ha) (%)

    Mananggu 55 318 5,8 16,5Tilamuta 41 195 4,8 10,1Botumoito 25 125 5,0 6,5Dulupi 30 152 5,1 7,9Paguyaman 23 110 4,8 5,7Paguyaman Pantai 155 920 5,9 47,8Wonosari 21 105 5,0 5,5

    Kabupaten 2007 350 1.925 5,5 100Boalemo 2006 264 725 2,7

    2005 221 436 2,0

    Sumber: BPS Kabupaten Boalemo (2009).

    Tabel 3. Analisis finansial komoditas cabai di Kabupaten Boalemo, ProvinsiGorontalo.

    PendapatanKomoditas

    Jumlah input(Rp) R/C

    Gross margin B/C(Rp) (Rp)

    (dis.rate 15%)

    Padi 10.177.826 20.709.615 2,03 10.531.788 1,77Jagung 4.792.105 10.105.263 2,11 5.313.157 1,83Cabai 3.331.666 7.166.666 2,15 3.835.000 1,87

    Sumber: Nurdin et al. (2009).

  • Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 59

    Kabupaten Boalemo, hanya sedikit terjadipemusatan di Kecamatan PaguyamanPantai dengan nilai 0,23. Hal ini sejalandengan pendapat Baruwadi et. al (2007),bahwa cabai bukan merupakan komoditasyang spesial dan pengembangannyamenyebar di seluruh kecamatan.

    POTENSI KABUPATENBOALEMO UNTUKPENGEMBANGAN CABAI

    Berdasarkan data BPS Kabupaten Boa-lemo (2009), luas lahan pertanian diKabupaten Boalemo mencapai 83.024 haatau 32,35% dari luas total wilayahkabupaten ini. Dari luas lahan pertaniantersebut, 3.553 ha atau 39,21% merupakanladang atau huma dan 32.266 ha atau38,86% berupa tegalan atau kebun. Peng-gunaan lahan tegalan untuk budi dayacabai meningkat sampai tahun 2007, yaitu32.260 ha atau 12,78% dari tahun 2006dan 10,80% dari tahun 2005. Luas ladangsebagai salah satu areal budi daya cabaijuga meningkat pada tahun 2007 sebesar1,82% dari 2006, tetapi menurun 1,39%dibandingkan tahun 2005. Penurunantersebut karena ladang dikonversi ke

    Survey Staff (2006), tanah di wilayah initerdiri atas Entisol, Inceptisol, Vertisol,Mollisol, Alfisol, dan Histosol (BPTPGorontalo 2002; Nurdin et al. 2009). Lebihlanjut Nurdin et al. (2009) melaporkancabai dominan dibudidayakan pada tanahInceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol.Vertisol dimanfaatkan untuk padi sawahdan Histosol merupakan hutan bakau(mangrove) di pesisir pantai selatan.

    Potensi pengembangan komoditaspertanian, termasuk cabai ditentukanantara lain oleh tingkat kesesuaian lahan(Hikmatullah et al. 2008). Menurut hasilanalisis potensi sumber daya lahan(BPTP Gorontalo 2002; Nurdin et al. 2009),Kabupaten Boalemo dapat dikelompok-kan menjadi empat kawasan pengem-bangan (Tabel 6). Komoditas cabai dapatdikembangkan pada wilayah denganlereng < 8%, berupa lahan basah danlahan kering dataran rendah (< 700 m dpl)yang meliputi luas 76.353,32 ha. Wilayahini sesuai untuk pertanian dengan risikopenghambat ringan atau termasuk kelassangat sesuai, cukup sesuai, dan sesuaimarginal. Sebarannya meliputi landformdataran aluvial dan aluvio-koluvial disekitar wilayah DAS serta di KecamatanPaguyaman Pantai, Paguyaman, Manang-gu, Dulupi, Tilamuta, dan Batumoito.

    MASALAH DAN PROSPEKPENGEMBANGAN CABAI

    Biofisik Lahan

    Topografi permukaan tanah di KabupatenBoalemo sebagian besar berupa perbu-kitan, dengan ketinggian tempat bervariasidari 0 sampai 2.000 m dpl (Tim FahutanIPB 2008; BPS Kabupaten Boalemo 2009).Ketinggian tempat berkaitan erat denganfisiografi kawasan. Fisiografi merupakansalah satu faktor pembatas sebagai tolokukur kelayakan lahan untuk diusahakansebagai kawasan budi daya. MenurutNurdin et al. (2009), kemiringan lahan diwilayah Kabupaten Boalemo bervariasidari 02% sampai > 40%. Berdasarkandata iklim selama 10 tahun terakhir (19972008) dari Dinas PU (2009), wilayahKabupaten Boalemo memiliki perbedaanmusim kemarau dan musim hujan yangjelas. Curah hujan tahunan berkisar antara1.021 1.253 mm. Menurut Rukmana (2006),curah hujan yang baik untuk pertumbuhancabai berkisar antara 6001.250 mm. De-

    Tabel 4. Keunggulan komparatif komoditas unggulan berdasarkan aspekwilayah di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, 2007.

    Komoditas LQ1 SI2Kecamatan basis

    Jumlah Persentase

    Padi 0,39 0,40 3 42,85Jagung 0,34 0,88 4 57,14Cabai 0,12 0,29 2 28,57

    1LQ = location quotient, 2SI = specialization index.Sumber: Baruwadi et al. (2007).

    Tabel 5. Keunggulan komparatif komoditas cabai berdasarkan aspekwilayah di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, 2009.

    Kecamatan LQ1 LI2 SI3

    Mananggu 0,73 -0,03 -0,09Tilamuta 1,834 0,14 0,28Botumoito 1,594 -0,05 0,19Dulupi 0,38 -0,003 -0,21Paguyaman 0,89 0,004 -0,04Paguyaman Pantai 1,152 0,23 0,05Wonosari 1,392 -0,003 0,13

    1LQ = location quotient; 2LI = location index; 3SI = specialization index; 4Kecamatan basis(LQ >1).Sumber: Nurdin et al. (2009).

    penggunaan pertanian lainnya dan kenonpertanian, seperti permukiman.

    Luas wilayah Kabupaten Boalemo2.571,36 km2 dan luas lahan untukpengembangan cabai 76.353,32 ha (BPSKabupaten Boalemo 2009; BappedaKabupaten Boalemo 2009; Nurdin et al.2009). Namun, potensi sumber daya lahantersebut belum dimanfaatkan secaraoptimal dan sebagian berstatus lahantidur.

    Tanaman cabai memerlukan persya-ratan tumbuh dan pengembangan ter-tentu untuk berproduksi secara optimalsesuai dengan sifat genetik dan lingkung-annya (FAO 1967; Djaenudin et al. 2000).Sifat dan karakteristik sumber daya lahanberagam di setiap tempat sesuai dengankondisi wilayah. Lebih lanjut Djaenudinet al. (2000) menyatakan, komoditaspertanian harus diusahakan sesuai de-ngan persyaratan tumbuh agar berpro-duksi optimal dengan kualitas hasil primadan input yang rendah sehingga hasilnyaberdaya saing di pasaran.

    Tanah-tanah di Kabupaten Boalemoumumnya terbentuk dari bahan aluviumdan volkan, bersifat andesitik-basaltikpada kondisi iklim kering, dan topografidatar hingga berbukit (BPTP Gorontalo2002). Sesuai dengan klasifikasi Soil

  • 60 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011

    ngan demikian, curah hujan menjadi salahsatu pembatas karena intensitasnya ren-dah. Menurut Oldeman dan Darmiyati(1977), Boalemo termasuk dalam zonaagroklimat E3 dan E4 dengan bulan basahkurang dari 2 bulan dan bulan kering 47bulan. Musim kemarau panjang terjadipada Juli-November (Nurdin et al. 2009).

    Bahan induk tanah di daerah ini dapatdibedakan menjadi 1) endapan aluviumyang menutupi dataran banjir sungai, 2)endapan danau yang bersusunan liatberwarna kelabu padat, 3) batuan volkanandesitik-basaltik, dan 4) batuan intrusiyang terdiri atas diorit, granit, dan grano-diorit yang umumnya sudah melapuk. Se-ring dijumpai sisipan kapur pada bagiancelah yang diduga sebagai hasil kontakdengan air laut (Bachri et al. 1993; BPTPGorontalo 2002). Kandungan mineralsukar lapuk lebih dominan daripadamineral mudah lapuk (Nurdin et al. 2009).Dominasi mineral fraksi pasir berupakuarsa dan opak dalam jumlah sedikitserta masih dijumpainya konkresi besimenunjukkan bahwa tingkat kesuburantanah di daerah ini tergolong rendah sam-pai sedang sehingga pengembangan ko-moditas cabai membutuhkan pemupukan.

    Ketersediaan dan PersainganPemanfaatan Lahan

    Menurut Mulyani dan Las (2008), lahanyang dianggap tersedia adalah lahan yangsesuai yang saat ini belum dimanfaatkan

    secara optimal untuk pertanian, baikberupa padang alang-alang, semak belukarmaupun kawasan hutan (hutan produksiatau hutan konversi). Namun, lahan ter-sebut belum diketahui status kepemilik-annya sehingga dapat berupa tanah miliknegara, masyarakat atau lahan hak pe-nguasaan hutan (HPH)/hak guna usaha(HGU) yang diterlantarkan, lahan bekashutan yang terbakar, atau tanah ulayat.Hal ini sejalan dengan pendapat Jamal etal. (2002) bahwa kepemilikan dan pengu-asaan lahan pertanian di perdesaan bukanmasalah baru. Menurut Abdurachman etal. (2008), luas penguasaan lahan rata-ratanasional menurun dari 0,86 ha pada tahun2003 menjadi 0,73 ha per rumah tanggapetani (RTP) pada tahun 2007. Sejalandengan itu, jumlah petani gurem (luaslahan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 jutaRTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 jutapada tahun 2003, atau rata-rata naik2,40%/tahun.

    Lahan yang potensial untuk pengem-bangan cabai umumnya terletak padalereng < 10%. Namun, lahan ini sudahdimanfaatkan untuk tanaman pangan danperkebunan. Pengembangan cabai saatini dilakukan pada lahan dengan kemi-ringan >10%, bahkan kebanyakan padalahan miring (> 25%). Husain et al. (2005)melaporkan, erosi tanah dari lahan per-tanian di sub-DAS Dulupi KabupatenBoalemo mencapai 1,081 t/ha/tahun. Halini karena budi daya cabai belum mene-rapkan teknik konservasi tanah sehinggamenimbulkan erosi.

    Program agropolitan jagung juga men-jadi pesaing dalam penggunaan lahanyang sesuai untuk cabai. Luas lahan untukpengembangan jagung sampai tahun 2008mencapai 30.794 ha, sedangkan luas pe-ngembangan cabai pada tahun yang samabaru 355 ha (BPS Kabupaten Boalemo2009). Di samping itu, pengembangancabai sebelum pencanangan programGemar Malita hanya pada areal sempitdan skala rumah tangga (subsisten) atausebagai dapur hidup. Akibatnya, luaspengembangan cabai berkorelasi denganluas kepemilikan lahan pertanian danlahan pekarangan.

    Prospek PengembanganAgribisnis Cabai

    Berdasarkan aspek sumber daya lahan,lahan yang tersedia secara aktual untukpengembangan cabai mencakup 76.353,32ha atau 36,74% dari luas total (Nurdin etal. 2009). Jika menggunakan asumsi yangdikemukakan Mulyani dan Las (2008) sertadata BPS (2008), luas lahan tersedia secarapotensial mencapai 92.470 ha atau 44,50%dari luas total wilayah. Dengan demikian,masih tersedia lahan yang luas untukpengembangan cabai.

    Guna memenuhi kebutuhan cabaiyang terus meningkat sekaligus mem-berikan multiplier effect terhadap pem-bangunan wilayah, diperlukan strategiuntuk meningkatkan produksi tanpamengabaikan kelestarian lingkungan.

    Tabel 6. Potensi pengembangan komoditas pertanian di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.

    Sistem pertanian Alternatif komoditasLuas

    ha %

    Pertanian lahan basah, tanaman pangan, Padi, jagung, ubi kayu, cabai, tomat, 20.975,0 10,09hortikultura, perkebunan pisang, kelapa, kakao

    Pertanian lahan kering, tanaman pangan, Jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, cabai, 16.457,4 7,92 hortikultura, perkebunan tomat, bawang merah

    Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan, Pisang, kelapa, jambu mete, mangga, rambutan, 26.726,8 12,86 tanaman pangan tebu, jagung, kapas

    Durian, rambutan, jagung, ubi kayu, jati, jambu mete 16.410,4 7,90

    Pertanian lahan kering, tanaman perkebunan Jambu mete, jati, durian, rambutan, 17.338,1 8,34Jati, jambu mete 73.249,1 35,25

    Hutan 34.600,9 16,65

    Penggunaan lainnya (nonpertanian) 2.060,6 0,99

    Jumlah 207.818,30 100

    Sumber: BPTP Gorontalo (2002); Nurdin et al. (2009).

  • Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 61

    Strategi yang dapat ditempuh meliputiaspek teknis, sosial budaya, dan kelemba-gaan.

    Aspek Teknis

    Konservasi tanah dan air

    Sistem pertanian berkelanjutan mensya-ratkan penerapan konservasi tanah danair (Arsyad 2006). Dalam menerapkankonservasi tanah dan air, Douglas (1992)mengajukan dua pendekatan, yaitu pe-rencanaan konservasi tanah harus meng-utamakan petani (farmer first approach)dan penerapan konservasi tanah harusramah dengan petani (farmer friendly).Menurut Arsyad (2006), tantanganpenerapan kedua pendekatan tersebutadalah mempertemukan perspektif yangberbeda antara petani dan perencanakonservasi tentang kegawatan dan sifatmasalah yang dihadapi serta cara yangtepat mengatasinya. Lebih lanjut dinya-takan bahwa dalam menaksir kesesuaianrekomendasi di tingkat lapangan, adadelapan butir pertimbangan, yaitu: 1)secara teknis mungkin dilakukan, 2)secara praktis layak, 3) secara finansialdiinginkan bersama, 4) bersifat stabil,5) berkelanjutan, 6) berlaku umum, 7)ekonomis, dan 8) secara sosial diterimamasyarakat.

    Pendekatan teknis dapat dilakukanmelalui pengolahan tanah minimal, biasa-nya hanya di sekitar lubang tanam ataujalur tanaman dengan frekuensi pengo-lahan tanah minimal. Hal ini dilakukankarena pengolahan tanah intensif dapatmerusak struktur tanah serta menurunkankapasitas infiltrasi tanah dan daya hantarair (Husain et al. 2002; Pomalingo danHusain 2003), serta kualitas kimia danbiologis tanah (Lorenz et al. 2000). Hasilpenelitian Rachman et al. (2004) menun-jukkan, pengolahan tanah yang berle-bihan dapat menyebabkan kekahatanbahan organik tanah. Menurut Husain etal. (2002), pengolahan tanah minimalmenambah jumlah pori makro sehinggameningkatkan infiltrasi dan menekanaliran permukaan serta erosi tanah.

    Pada lahan dengan lereng 08%, kon-servasi tanah secara vegetatif dapat di-kombinasikan dengan metode mekanik,yaitu pengolahan tanah menurut kontur+ pembuatan guludan + strip cropping.Sementara itu, pada lahan dengan lereng< 5% dapat diterapkan teras gulud +

    pengolahan tanah menurut kontur + mulsa(Arsyad 2006). Noorhadi dan Sudadi(2003) melaporkan, pemberian mulsamemberikan pengaruh nyata terhadapiklim mikro dan hasil cabai yang lebihbaik pada tanah Entisol. Suripin (2000)mengemukakan bahwa metode vegetatifadalah penggunaan tumbuhan dan sisa-sisanya sebagai sarana konservasi tanahuntuk mengurangi daya rusak hujan,aliran air permukaan tanah, dan erosi. Padalahan dengan lereng 815%, metodemekanik dapat dikombinasikan denganmetode vegetatif karena efektif mengen-dalikan erosi, yaitu teras gulud/teraskredit + pengolahan tanah menurutkontur + mulsa atau teras bangku + mulsa+ tanaman penutup tanah berkerapatantinggi (Dariah et al. 2004; Santoso et al.2004; Joseph (2005). Teknik konservasiini juga cepat diadopsi petani (Abdurach-man et al. 2008). Rachman (1993) menya-takan proses pembentukan teras padasistem pertanian lorong terjadi secarabertahap dan mulai efektif setelah tigatahun.

    Intensifikasi dan diversifikasitanaman

    Intensifikasi dapat dilakukan pada tanam-an cabai yang telah ada (Mulyani dan Las2008) dan dapat dikembangkan padakecamatan yang merupakan basis cabai(Nurdin et al. 2009). Kesenjangan pro-duksi cabai antarkabupaten di ProvinsiGorontalo mengindikasikan programintensifikasi dengan menerapkan inovasiteknologi yang tepat dapat dilakukanuntuk meningkatkan produktivitas. Paketteknologi yang telah ada perlu diseleksiagar lebih tepat guna, sesuai dengankondisi lahan (tanah, air, dan iklim) danpetani (Abdurachman et al. 2008).

    Produksi cabai dapat dipacu melaluipembangunan irigasi suplemen, terutamapada lahan kering agar lahan dapat diusa-hakan sepanjang tahun. Menurut Mulyanidan Las (2008), irigasi pada lahan keringbelum mendapat perhatian pemerintahdibandingkan dengan lahan sawah. Pene-rapan inovasi teknologi seperti varietasunggul, pemupukan berimbang, danpengendalian organisme pengganggutanaman (OPT) dapat meningkatkanproduksi cabai di lahan kering.

    BPTP Gorontalo (2002) telah membuatrekomendasi pengelolaan tanaman cabaiumur 6 bulan berdasarkan kebutuhan hara

    tanaman dan kandungan hara tanah,yaitu kebutuhan bibit 20.00027.000batang/ha untuk jarak tanam 40 cm x50 cm, pupuk organik 7,5015 t/ha, urea225370 kg/ha, SP36 70140 kg/ha, danKCl 82165 kg/ha. Dengan menerapkanrekomendasi tersebut, hasil cabaimencapai 815 t/ha. Cabai sebaiknyaditanam saat hujan mulai berkurang.Dosis pemupukan tersebut sebataspertimbangan kebutuhan tanaman yangdikaitkan dengan ketersediaan haradalam tanah (Nurdin et al. 2009). Untukmemantapkannya, rekomendasi pemu-pukan perlu diikuti dengan uji tanah danpercobaan lapangan sebagai dasar dalammenyusun rekomendasi pemupukan.

    Beberapa keuntungan pengembangancabai secara intensif (Zulkifli et al. 2008)yaitu: 1) meningkatkan produksi untukmemenuhi permintaan skala nasionalmaupun ekspor, 2) mengintensifkanpemanfaatan sumber daya lahan, baikpekarangan, lahan kering maupun lahansawah, 3) mengoptimalkan pemanfaatantenaga kerja dan bahan baku sepertipupuk kandang dan jerami padi, 4)meningkatkan konsumsi cabai sebagaisumber gizi, 5) memperbaiki pendapatandan kesejahteraan petani serta keluarga-nya, dan 6) memperbaiki kesuburan tanahbila cabai dirotasi dengan tanaman lain.Pengembangan cabai saat ini masih di-lakukan pada areal yang sempit atausebagai dapur hidup. Oleh karena i tu,perlu dilakukan intensifikasi secara ber-tahap melalui penerapan inovasi tekno-logi spesifik lokasi dan ramah ling-kungan.

    Diversifikasi merupakan upaya meng-anekaragamkan pemanfaatan lahan,baik dengan tumpang sari, tanaman selamaupun rotasi (Mulyani dan Las 2008).Selama ini petani menanam cabai secaramonokultur pada lahan terbuka. Adiyogaet al. (2004) menunjukkan bahwa nisbahkesetaraan lahan untuk kombinasi tanam-an cabai dan petsai di Pangalengan, JawaBarat adalah 1,47, yang berarti total pro-duktivitas dari sistem ganda ini 47% lebihtinggi dibandingkan dengan sistem tung-gal. Dengan kata lain, untuk memperolehhasil cabai dan petsai, pengusahaannyapada sistem tunggal/monokultur harus47% lebih luas. Dengan demikian, cabaiberpotensi ditumpangsarikan denganpetsai dataran rendah dan tomat. Kabu-paten Boalemo merupakan salah satusentra tomat daratan rendah (BPS Kabu-paten Boalemo 2009).

  • 62 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011

    Pengusahaan cabai sebagai tanamansela di antara tanaman kelapa dan pisangjuga berpeluang dikembangkan. Selamaini, hampir seluruh lahan perkebunankelapa di Gorontalo dimanfaatkan untukmenanam jagung. Hal ini memacumasyarakat di provinsi lain untuk mene-rapkan teknik budi daya tersebut (Mul-yani dan Las 2008). Di beberapa lokasicabai dibudidayakan pada lahan terbukadengan kemiringan > 25% sehingga di-anjurkan untuk menerapkan konservasitanah dan air (Joseph 2005; Arsyad 2006).Pemupukan tanaman sela akan mengun-tungkan tanaman pokok karena sebagianpupuk mengalir ke tanaman pokok(Mulyani dan Las 2008).

    Jarak pagar (Jathropa curcas) yangumumnya dibudidayakan secara mono-kultur dapat ditanam secara tumpang saridengan cabai dan tomat. Pola tumpangsari memerlukan pengaturan jarak tanamsehingga tanaman tidak saling menaungi.Pergiliran tanaman (rotasi) jagung dancabai, kacang tanah dan cabai juga dapatditerapkan sebagai salah satu upayamengendalikan hama penyakit tanamanjagung.

    Aspek Sosial dan Budaya

    Budaya huyula atau gotong royongmerupakan salah satu bentuk kearifanlokal yang saat ini masih ada, walaupunmulai terkikis oleh perkembangan zaman(Niode 2007). Salah satu kearifan lokalyang masih dipertahankan masyarakatsetempat yang berkaitan dengan per-tanian, terutama budi daya cabai, yaitupenentuan waktu tanam berdasarkanilmu perbintangan, yang dikenal denganpanggoba. Pada prinsipnya, budayapanggoba dipegang oleh seseorangyang dianggap cakap dalam melihatperbintangan lalu mencocokkan tanamanyang sesuai dengan waktu tanam yangtepat. Pranadji (2008) melaporkan, kegiat-an pertanian di Gorontalo merupakanbagian budaya masyarakat setempatyang digerakkan oleh nilai-nilai budayadan bersumber dari kearifal lokal (localwisdom).

    Penyuluhan agribisnis cabai mulai daritahap prapanen sampai pascapanen perludiperbaiki serta disesuaikan dengan kehi-dupan petani (Simatupang et al. 2003).Penyuluh pertanian harus mampu mem-fasilitasi petani untuk mengembangkankemitraan usaha agribisnis (Saptana dan

    Ashari 2007; Rangkuti 2009). Untukmeningkatkan keefektifan dan efisiensikegiatan penyuluhan perlu disusun ren-cana kegiatan yang meliputi pembentukankader petani pelestari sumber dayalahan, pembentukan kelompok tani,kursus petani, kunjungan, dan perlom-baan (Nuryanto et al. 2003). Mengingatpetani di daerah ini umumnya tergolongmiskin sumber daya maka penyediaansarana produksi dan permodalan mutlakdiperlukan (Sajogyo 2002; Simatupang etal. 2003; Sudaryanto dan Rusastra 2006).Petani perlu dibantu untuk memperolehsarana produksi yang diperlukan, ter-masuk modal usaha dan kemudahan lain.

    Pemberian insentif kepada petani jugadapat mendorong mereka mau dan mampumengoptimalkan sumber daya lahan untukbudi daya cabai. Insentif dapat berupahibah, subsidi, pinjaman lunak, sertabantuan pangan, sarana pertanian, danbibit (Nuryanto et al. 2003). Hal ini sejalandengan pernyataan Osemebo (1987) bah-wa petani di DAS Way Wesay Lampungdapat melaksanakan program pengem-bangan pertanian yang produktif, eko-nomis, dan ramah lingkungan dengansistem kontrak konservasi tanah dan air(insentif). Petani yang berhasil akan men-dapat imbalan jasa berupa uang tunaisesuai dengan tingkat keberhasilannya.Hal ini menguntungkan petani karenaselain memperoleh hasil dari kegiatanpertanian, lingkungan juga relatif terjagadari degradasi. Pemberian subsidi pajak(Nuryanto et al. 2003) dan skema imbalanjasa kepada petani cabai yang melestarikanlingkungan pertanamannya melalui kon-trak konservasi (Asha et al. 2006) jugapenting agar menjadi contoh bagi petanilainnya.

    Aspek Kelembagaan

    Kelembagaan masyarakat dan ekonomiperlu diberdayakan dalam upaya pembi-naan petani. Menurut Rangkuti (2009),kelembagaan merupakan salah satusumber daya pertanian yang dapat di-kembangkan sebagai kegiatan agribisnisuntuk meningkatkan keberdayaan, ke-mandirian, dan kesejahteraan petani.Nuryanto et al. (2003) menyatakan bah-wa badan perwakilan desa (BPD) dankelompok tani berperan antara lain dalammenggerakkan masyarakat dalam ke-giatan bersama, menumbuhkan danmeningkatkan peran serta masyarakat

    dalam kegiatan yang diprakarsai pe-merintah daerah, serta meningkatkankemandirian petani dalam pembangunanpertanian di perdesaan. Koperasi unitdesa (KUD) berperan membantu petanianggotanya dalam memperoleh kredit,sarana produksi, dan alat mesin pertanian,serta menampung dan memasarkan hasil.

    Rangkuti (2009) menyatakan bahwaKUD perlu ditata ulang dengan pende-katan agribisnis dan sistem ekonomikerakyatan (kekeluargaan) sesuai dengankepentingan usaha ekonomi petani. Selainitu, kelembagaan penyuluhan pertaniandan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)dapat menjadi pusat pelayanan dankonsultasi agribisnis (PPKA) di setiapkecamatan melalui sistem penyuluhanpartisipatif (Saptana dan Ashari 2007).Pemberdayaan lembaga penyuluhan per-tanian dan BPP perlu dilakukan karenalembaga tersebut berhadapan langsungdengan petani.

    Kemitraan usaha agribisnis adalahhubungan bisnis usaha pertanian yangmelibatkan satu atau sekelompok orangatau badan hukum dengan satu ataukelompok orang atau badan hukum dimana masing-masing pihak memperolehpenghasilan dari usaha bisnis yang samaatau saling berkaitan dengan tujuanmenjamin terciptanya keseimbangan,keselarasan, dan keterpaduan yangdilandasi rasa saling menguntungkan,memerlukan, dan saling melaksanakanetika bisnis (Suwandi 1995). Tujuankemitraan usaha agribisnis cabai antaraperusahaan mitra dan petani mitra adalahmeningkatkan efisiensi dan produktivitasdi segala lini subsistem agribisnis danmenciptakan nilai tambah ekonomi yangmerupakan kunci peningkatan daya saing(Saptana et al. 2005).

    Pengembangan kemitraan usaha agri-bisnis akan berhasil jika dilakukan secarapartisipatif, yaitu melibatkan seluruhpelaku agribisnis dalam proses peren-canaan, pelaksanaan, serta pemantauandan evaluasi (Syahyuti 2006). Dengancara ini diharapkan dapat tercapaistabilitas dan kontinuitas produksi,pendapatan, dan kesinambungan usaha(Saptana dan Ashari 2007). Pengembang-an kemitraan agribisnis cabai denganpihak swasta perlu dilakukan denganperusahaan yang berkaitan langsungdengan komoditas cabai sebagai bahanbaku industri. Pola kemitraan yang dapatdilakukan, seperti tertuang dalam SKMentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997

  • Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 63

    tentang Pedoman Kemitraan UsahaPertanian, yaitu: 1) pola inti-plasma, 2)pola kemitraan contract farming, 3) polakemitraan subkontrak, 4) pola dagangumum, 5) pola kemitraan keagenan, dan6) kerja sama operasional agribisnis(KOA). Uraian model kemitraan masing-masing pola (Saptana et al. 2005) adalahsebagai berikut:

    Pola kemitraan inti-plasma, yaitupengusaha besar industri pengolahanhasil dan pedagang besar cabai bertindaksebagai perusahaan mitra/inti yangmelakukan kemitraan dengan petaniprodusen atau kelompok usaha agribisnissebagai plasma dengan membentukkesepakatan harga dan kualitas pembelianproduk. Kemitraan dilakukan perusahaanmitra/inti dengan kelompok tani agarkegiatan produksi dapat dilakukan se-cara lebih terkoordinasi dalam satuhamparan dengan skala usaha tertentu.Perusahaan mitra/inti berkewajiban an-tara lain: 1) menyediakan dan menyiapkanlahan, 2) menyediakan sarana produksi(benih unggul, pupuk, obat-obatan, danmulsa), 3) memberi bimbingan teknisbudi daya dan pascapanen, 4) membiayaipengolahan tanah, pemanenan, danlainnya, dan 5) memberi bantuan lainuntuk meningkatkan efisiensi dan pro-duktivitas usaha. Petani plasma melakukanbudi daya sesuai anjuran serta menye-rahkan hasil kepada perusahaan mitra/intisesuai kesepakatan.

    Pola kemitraan contract farming,yaitu suatu cara mengatur produksi dimana petani-petani kecil diberi kontrakuntuk menyediakan produk pertanian ke-pada usaha sentral sesuai dengan syaratyang telah ditentukan dalam sebuahperjanjian (kontrak). Badan sentral yangmembeli hasil dapat menyediakan bim-bingan teknis, manajerial, kredit saranaproduksi, serta menampung hasil danmelakukan pengolahan dan pemasaran(Kirk 1987 dalam White 1990). Contractfarming tampaknya menjadi alternatif

    yang menarik bagi perusahaan peng-olahan.

    Pola kemitraan subkontrak, meru-pakan model kemitraan yang menyerupaicontract farming, tetapi pada pola inikelompok usaha kecil tidak melakukankontrak secara langsung dengan perusa-haan pengolah, melainkan melalui agenatau pedagang. Model ini dapat diterap-kan pada pengadaan cabai antara petanidan industri pengolah atau pasar swa-layan yang dimediasi pedagang.

    Pola kemitraan dagang umum, yaituusaha menengah dan usaha besar mema-sarkan produksi usaha kecil, atau usahakecil memasok kebutuhan yang diper-lukan usaha menegah dan usaha besar,atau usaha kecil yang memasarkan hasilusaha menengah dan usaha besar. Modelini dapat diterapkan pada kemitraan petanicabai dan pedagang pengumpul, pe-dagang besar, dan pasar swalayan.

    Pola kemitraan keagenan, yaitukelompok mitra (usaha kecil) diberi hakuntuk memasarkan barang dan jasa usa-ha perusahaan mitra (usaha menengahdan besar). Keunggulan pola kemitraanini adalah kelompok mitra memperolehkeuntungan hasil penjualan ditambahkomisi (fee) dari perusahaan mitra. Modelini dijumpai pada distribusi saranaproduksi, seperti benih cabai merahhibrida, pupuk, dan obat-obatan. Padapola kemitraan ini, biasanya pedagangsarana produksi bertindak sebagai dis-tributor dan penyalur sarana produksidari perusahaan atau merek tertentu.

    Pola kemitraan kerja sama opera-sional agribisnis, yaitu kelompok mitramenyediakan lahan, sarana, dan tenagakerja, sedangkan perusahaan mitra me-nyediakan modal dan atau sarana untukmengusahakan suatu komoditas pertani-an. Perusahaan mitra dapat berbentukperusahaan inti atau pembina yang melak-sanakan pembukaan lahan dan mempu-nyai usaha budi daya dan unit pengolahanyang dikelola sendiri. Perusahaan inti

    membina kelompok mitra dalam bidangteknologi produksi, menyediakan saranaproduksi, permodalan, dan pengolahanhasil, menampung produksi, dan me-masarkan hasil kelompok mitra.

    KESIMPULAN

    Cabai merupakan komoditas unggulanKabupaten Boalemo, selain jagung.Sistem agribisnis cabai di kabupaten ini,mulai subsistem hulu sampai hilir belumterdapat industri. Cabai umumnya dijualke pedagang pengumpul dan tengkulak.

    Pengembangan cabai di KabupatenBoalemo mempunyai keunggulan kompa-ratif dan kompetitif. Secara finansial,pengembangan cabai menguntungkandengan nilai R/C dan B/C >1. Cabaiumumnya dibudidayakan pada tanahInceptisol, Alfisol, Mollisol, dan Entisol,pada lahan dengan lereng < 8%, baikberupa lahan basah maupun lahan keringdataran rendah (< 700 m dpl). Iklim keringdan kesuburan tanah yang rendah sampaisedang merupakan faktor pembataspengembangan cabai di KabupatenBoalemo.

    Strategi pengembangan cabai sekali-gus untuk menyukseskan program GemarMalita di Kabupaten Boalemo meliputipenerapan konservasi tanah dan air padalahan dengan lereng >15%, intensifikasidan diversifikasi tanaman cabai dengantanaman produktif lain pada lahan yangsesuai, pemberdayaan kearifan lokal yangberkaitan dengan kegiatan pertanian,penyuluhan dan pemberian insentif ke-pada petani cabai, serta pemberdayaankelembagaan perdesaan yang berperandalam meningkatkan kemampuan petanidalam pembangunan pertanian. Hal lainyang juga penting adalah mengembang-kan kemitraan petani atau kelompok tanidengan pihak swasta atau perusahaanyang berkaitan langsung dengan komo-ditas cabai.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani.2008. Strategi dan teknologi pengelolaanlahan kering mendukung pengadaan pangannasional. Jurnal Penelitian dan Pengembang-an Pertanian 27(2): 4349.

    Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi, dan A.Hidayat. 2004. Aspek nonteknis dan indi-

    kator efisiensi sistem pertanaman tumpangsari sayuran dataran tinggi. Jurnal Horti-kultura 14(3): 217227.

    Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPBPress, Bogor.

    Asha, P., B. Leimona, dan Suyanto. 2006.Kontrak Konservasi Tanah dan Air; Skema

    Imbal Jasa Lingkungan melalui LelangKonservasi. Rupes Sumberjaya Brief No. 5.ICRAF, Bogor.

    Asriani, P.S. 2003. Konsep agribisnis dan pem-bangunan pertanian berkelanjutan. JurnalAgrisep 1(2): 144150.

  • 64 Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011

    Bachri, S., Sukido, dan N. Ratman. 1993. PetaGeologi Lembar Tilamuta, Sulawesi Skala 1 :250.000. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Geologi, Bandung.

    Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Da-erah) Kabupaten Boalemo. 2009. ProfilPembangunan Kabupaten Boalemo Tahun2008. Bappeda Kabupaten Boalemo, Tila-muta.

    BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Boalemo.2009. Kabupaten Boalemo dalam AngkaTahun 2008. BPS Kabupaten Boalemo,Tilamuta.

    BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Gorontalo.2009. Provinsi Gorontalo dalam AngkaTahun 2008. BPS Provinsi Gorontalo,Gorontalo.

    BPS (Badan Pusat Statistik) RI. 2008. StatistikIndonesia tahun 2008. BPS, Jakarta.

    BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian)Gorontalo. 2002. Pemilihan Farming SystemZone Penelitian, Pengkajian dan DiseminasiTeknologi Pertanian di BPTP Gorontalo.BPTP Gorontalo.

    Baruwadi, M., R. Yusuf, S. Canon, dan F. Zakaria.2007. Road Map Pengembangan KomoditasPertanian di Kabupaten Boalemo. KerjaSama Lembaga Penelitian Universitas NegeriGorontalo dengan Dinas Pertanian dan Ke-tahanan Pangan Provinsi Gorontalo, Goron-talo.

    Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro.2004. Teknologi konservasi mekanik. hlm.109132. Dalam Konservasi Tanah padaLahan Kering Berlereng. Pusat Penelitiandan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,Bogor.

    Deptan. 2009. Basis data statistik pertanian20002009. Pusat data dan InformasiPertanian, Departemen Pertanian (Deptan)RI, Jakarta.

    Dinas PU Provinsi Gorontalo. 2009. Data IklimWilayah Kabupaten Boalemo Periode Tahun19982008. Dinas PU Provinsi Gorontalo.Gorontalo.

    Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Memba-ngun Hortikultura Berdasarkan Enam PilarPengembangan. Direktorat Jenderal Horti-kultura, Jakarta.

    Djaenudin, D., M. Hendrisman, H. Subagyo, A.Mulyani, dan N. Suharta. 2000. KriteriaKesesuaian Lahan untuk Komoditas Per-tanian. Ver. 3. Pusat Penelitian Tanah danAgroklimat, Bogor.

    Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo, dan A.Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis EvaluasiLahan untuk Komoditas Pertanian. BalaiPenelitian Tanah, Bogor.

    Douglas, M. 1992. Policy and institutionalconsiderations in development of conser-vation farming systems. p. 101122. In S.Arsyad, I. Amin, T. Sheng, dan W. Molden-hauer (Eds). Conservation Policies forHillslope Farming. Soil and Water Conser-vation Society, Ankey, Iowa.

    FAO. 1976. A framework for Land Evaluation.FAO Soil Bulletin No. 32, Rome.

    Fauziah, U. 2010. Harga cabai tetap fluktuatif.Majalah Trubus, Edisi 482 Januari 2010/ XLI.

    Hikmatullah, N. Suharta, dan A. Hidayat. 2008.Potensi sumber daya lahan untuk pengem-bangan komoditas pertanian di ProvinsiKalimantan Timur. Jurnal Sumberdaya Lahan2(1): 4558.

    Husain, J., H.H. Gerke, and R.F. Httl. 2002.Infiltration measurements for determiningeffects of land use change on soil hydraulicproperties in Indonesia. In M. Pagliai and R.Jones (Eds). Sustainable Land Managementfor Enviromental Protection - Soil PhysicsApproach. Adv. Geoecol. 32: 230236.

    Husain, J., J.N. Luntungan, Y. Kamagi, danNurdin. 2005. Model Usaha Tani JagungBerbasis Konservasi di Provinsi Gorontalo.Badan Penelitian dan Pengembangan danPengendalian Dampak Lingkungan DaerahProvinsi Gorontalo, Gorontalo.

    Imran, S. 2008. Analisis faktor-faktor produksiusaha tani cabai rawit di Provinsi Gorontalo.Jurnal Ilmiah Agropolitan 1(2): 8593.

    Jamal, E., Syahyuti, dan A.M. Hurun. 2002.Reformasi agraria dan masa depan pertanian.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perta-nian 21(4): 133139.

    Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah dalamPerencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wi-layah. Penerbit ITB, Bandung.

    Joseph, B.Th. 2005. Sumber Daya Tanah danPelestarian Lingkungan Hidupnya. JurusanTanah Fakultas Pertanian Universitas SamRatulangi, Manado.

    Lorenz, G., C.L., Bonelli, S. Roldan, C. Araya,and K. Rondano. 2000. Soil Quality Changedue to Land Use in a Kastanozem-PhaeozemSoilscape of Semiarid Chaco. Mitteilungender Deustchen Bodenkundlichen Gessel-schaft. Band 93.

    Mario, M.Dg. 2009. Cabai Malita FMvarietasunggul Gorontalo. Makalah disampaikan padaTemu Teknis Pengembangan Komoditi Ung-gulan Boalemo, Tilamuta, 11 Maret 2009.Balai Pusat Informasi Jagung Provinsi Goron-talo, Gorontalo.

    Mulyani, A. dan I. Las. 2008. Potensi sumberdaya lahan dan optimalisasi pengembangankomoditas penghasil bioenergi di Indonesia.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perta-nian 27(1): 3141.

    Nasoetion, L.I. 1999. Tinjauan ekonomi politiktransformasi agraria. Makalah pada Semi-nar di LP3ES, Jakarta, 28 Oktober 1999.

    Niode, A.S. 2007. Gorontalo; Perubahan Nilai-nilai dan Pranata Sosial. PT Pustaka Indo-nesia Press, Jakarta.

    Noorhadi dan Sudadi. 2003. Kajian pemberianair dan mulsa terhadap iklim mikro padatanaman cabai di tanah Entisol. Jurnal IlmuTanah dan Lingkungan 4(1): 4149.

    Nurdin, D.A. Rachim, Darmawan, Suwarno, M.Baruwadi, R. Yusuf, F. Zakaria, dan J. Pakaja.2009. Pengembangan Komoditas UnggulanPertanian Berdasarkan Karakteristik Po-tensi Sumber Daya Lahan dan KeunggulanWilayah untuk Pertanian di Kabupaten Boa-lemo. Kerja Sama Bappeda Kabupaten Boa-lemo dengan Pusat Kajian Pertanian TropisUniversitas Negeri Gorontalo, Tilamuta.

    Nuryanto, A., D. Setyawati, I. Lidiawati, J.Suyana, L. Karlinasari, M.A. Nasri, N.Puspaningsih, dan S.B. Yuwono. 2003.Strategi pengelolaan DAS dalam rangkaoptimalisasi kelestarian sumber daya air;Studi kasus DAS Ciliwung hulu. MakalahPengantar Filsafat Sains Sekolah Pasca-sarjana IPB, Bogor.

    Oldeman, L.R. and S. Darmiyati. 1977. Theagroclimatic map of Sulawesi, scale 1:2,500,000. Contr. Centre. Res. Inst. Agric.Bull. No. 60.

    Osemebo. 1987. Alley farming. Agric. Syst. 24:3151.

    Pomalingo, N. and J. Husain. 2003. Impact ofland use change on soil hydraulic propertiesand its spatial variability. hlm. 250256.Dalam Prosiding Kongres Nasional VIIIHimpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI),Padang, 2123 Juli 2003.

    Pranadji, T. 2008. Membedah Gorontalo sebagaicalon bintang timur pertanian Indonesia diAbad 21. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian6(3): 222238.

    Rachman, A. 1993. Sistem pertanaman lorong(alley cropping). hlm. 1824. InformasiPenelitian Tanah, Air, Pupuk, dan Lahan.Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,Bogor.

    Rachman, H. 2003. Dasar penetapan komoditasunggulan nasional di tingkat provinsi. Ma-kalah Lokakarya Sinkronisasi Program Pe-nelitian dan Pengkajian Teknologi Perta-nian. Pusat Penelitian dan PengembanganSosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

    Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. 2004.Olah tanah konservasi. hlm. 189210.Dalam Teknologi Konservasi Tanah padaLahan Kering Berlereng. Pusat Penelitiandan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,Bogor.

    Rangkuti, P.A. 2009. Strategi komunikasi mem-bangun kemandirian pangan. Jurnal Pene-litian dan Pengembangan Pertanian 28(2):3945.

    Rukmana, R. 2006. Usaha Tani Cabai Rawit.Cetakan ke-5. Kanisius, Yogyakarta.

    Sajogyo. 2002. Pertanian dan kemiskinan. JurnalEkonomi Rakyat 1(1): 115.

    Sanim, B. 2006. Analisis ekonomi lingkungandan audit lingkungan. Makalah disampaikanpada Pelatihan Dosen Perguruan TinggiNegeri Se-Jawa dan Bali dalam Bidang AuditLingkungan, Bogor, 1120 September2006.

  • Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011 65

    Santoso, D., J. Purnomo, I G.P. Wigena, dan E.Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi ve-getatif. Olah tanah konservasi. hlm. 77108.Dalam Konservasi Tanah pada Lahan KeringBerlereng. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

    Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan per-tanian berkelanjutan melalui kemitraanusaha. Jurnal Penelitian dan PengembanganPertanian 26(4): 123130.

    Saptana, E.L. Hastuti, K.S. Indraningsih, Ashari,S. Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005.Pengembangan Model Kelembagaan Kemit-raan Usaha yang Berdaya Saing di KawasanSentra Produksi Hortikultura. Pusat Pene-litian dan Pengembangan Sosial EkonomiPertanian, Bogor.

    Saragih, B. 1997. Pembangunan Sektor Agribisnisdalam Kerangka Pembangunan EkonomiIndonesia. Bappenas, Jakarta.

    Saragih, B. 1998. Agribisnis; Paradigma BaruPembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian.CV Nasional, Jakarta.

    Saragih, B. 2002. Sistem dan Usaha Agribisnis.Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Satyarini, B.T. 2009. Analisis kelayakan usahatani cabai di lahan pantai (Studi kasus dipantai Pandan Simo Bantul, Daerah IstimewaYogyakarta). Prosiding Seminar NasionalPeningkatan Daya Saing Agribisnis Ber-orientasi Kesejahteraan Petani, Bogor, 14Oktober 2009. Pusat Analisis Sosial Eko-nomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

    Setiadi. 2001. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya,Jakarta.

    Simatupang, P., IW. Rusastra, H.P. Saliem, Supri-yati, dan Saptana. 2003. Prospek Diversi-fikasi Usaha Tani di Lahan Sawah: Kasusempat kabupaten di Jawa. Pusat Penelitiandan Pengembangan Sosial Ekonomi Perta-nian, Bogor dan Bappenas/USAID/DAI,Jakarta.

    Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Uni-versitas Indonesia Press, Jakarta.

    Soil Survey Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy.Tenth Edition. US Dept. Agric., NaturalResources Conservation Service, Washing-ton DC.

    Sudaryanto, T. dan IW. Rusastra. 2006. Kebi-jakan strategis usaha pertanian dalam rangkapeningkatan produksi dan pengentasan ke-miskinan. Jurnal Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian 25(4): 115122.

    Suripin. 2000. Pelestarian Sumber Daya Tanahdan Air. Andi, Yogyakarta.

    Susanto, A.N. dan M.A. Sirappa. 2007. Karak-teristik dan ketersediaan data sumber dayalahan pulau-pulau kecil untuk perencanaanpembangunan pertanian. Jurnal Penelitiandan Pengembangan Pertanian 26(2): 4153.

    Suwandi. 1995. Strategi pola kemitraan dalammenunjang agribisnis bidang peternakan.Industrialisasi usaha ternak rakyat dalammenghadapi tantangan globalisasi. ProsidingSimposium Nasional Kemitraan Usaha Ter-

    nak. Ikatan Sarjana Ilmu-ilmu PeternakanIndonesia (ISPI) bekerja sama dengan BalaiPenelitian Ternak, Bogor.

    Syafruddin, A.N. Kairupan, A. Negara, dan J.Limbongan. 2004. Penataan sistem per-tanian dan penetapan komoditas unggulanberdasarkan zona agroekologi di SulawesiTengah. Jurnal Sumberdaya Lahan 23(2):6167.

    Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalamPembangunan Pedesaan, Penjelasan tentangKonsep, Istilah, Teori dan Indikator sertaVariabel. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.

    Tanindo Agribusiness Company. 2009. Menyi-mak Geliat Bisnis Cabai Indonesia. http://www.tanindo.com. 2009. [22 Oktober2009].

    Tim Fahutan IPB. 2008. Kajian PemantapanKawasan Hutan di Kabupaten Boalemo.Kerja Sama Bappeda Kabupaten Boalemodengan Fakultas Kehutanan Institut Per-tanian Bogor.

    White, B. 1990. Agroindustri, IndustrialisasiPedesaan dan Transformasi Pedesaan. KerjaSama antara Pusat Studi PembangunanLembaga Penelitian Institut Pertanian Bogordan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia,Jakarta.

    Zulkifli, A.K., A. Yusuf, A. Azis, T. Iskandar,dan M.N. Alidan. 2008. Rakitan TeknologiBudi Daya Cabai. BPTP Nanggroe AcehDarussalam, Banda Aceh.