Upload
others
View
36
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TRADISI MERANTAU DI MINANGKABAU PADA NOVEL
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK DAN MERANTAU KE DELI
KARYA HAMKA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Intan Ramadyla Eka Putri
1112013000004
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Intan Ramadyla Eka Putri, 1112013000004, “Tradisi Merantau di Minangkabau
pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya
Hamka dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen
Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Novel karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dan Merantau ke Deli merupakan novel yang menggambarkan dan informasi
tentang bagaimana tradisi merantau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tradisi merantau yang terdapat pada dua novel karya Hamka yang diharapkan
dapat bermanfaat bagi para pembaca terkhusus untuk siswa dalam pembelajaran
di sekolah serta menghargai nilai budaya yang terdapat di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif yang mengutamakan gambaran yang
terdapat dalam novel ini dan mengidentifikasi unsur intrinsiknya. Berdasarkan
penelitian ini bahwa tradisi merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka adalah: 1) Merantau
Pemekaran Nagari, 2) Merantau Keliling, dan 3) Merantau Cino dari ketiga
kategori tersebut terdapat lima yang melatarbelakangi merantau tersebut, berikut
cakupannya 1) Adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, 2) Pendidikan
Perantau, 3) Pekerjaan Perantau, 4) Tempat-tempat merantau yang dituju, dan 5)
Tujuan Merantau. Tradisi merantau ini dikategorikan menjadi tiga macam dan
mempunyai masing-masing pengertian dan fungsinya.
Kata Kunci : Merantau, Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan
Merantau ke Deli, dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
ii
ABSTRACT
Intan Ramadyla Eka Putri, 1112013000004, “Tradition wander in Minangkabau
on a Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and Merantau ke Deli by Hamka and
Its Implications for Learning Indonesian Language and Literature in School,”
Departement of Education Indonesia Language, Fakulty of Science and Teaching
Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor :
Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Novel written by Hamka titled Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and
Merantau ke Deli described about wander tradition. These two novels tell the
information about culture and tradition in Padang. This research is aimed to find
information about the wander tradition that exist in the two novels written by
Hamka. The writer hopes that would give advantages for the reader especially
senior high school students so that they could more appreciate Indonesian culture.
This research used qualitative descriptive method that concern in describing the
content and identificate the intrinsic side. Based on this research, the writer
concludes that wander tradition that is told in the novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck and Merantau ke Deli written by Hamka are: 1) Merantau
Pememekaran Nagari, 2) Merantau Keliling, dan 3) Merantau Cino. From those
three wander’s types there are five things that become the reason why people do
wander. These are those reasons 1) Adat (yakni kebiasaan)
perkawinan/perceraian, 2) Pendidikan Perantau, 3) Pekerjaan Perantau, 4) Tempat
Merantau yang Dituju, and 5) Tujuan Merantau. The wander tradition is
categorized as three types and each type has its own definition and function.
Keywords : Wander, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and Merantau ke
Deli, and implication for learning Indonesian language and literature in schools.
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan atas ke Hadirat Allah swt. karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul “Tradisi Merantau di Minangkabau pada Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dan
Implikasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. shalawat serta
salam sudah sepatutnya mengiringi kepada Baginda Nabi Muhammad. yang telah
membawa kita kepada zaman yang dulu gelap gulita hingga sekarang terang di
semesta alam.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar
sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dalam penulisan ini penulis banyak
mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, semangat, dan motivasi dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan dosen
penasihat yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
3. Toto Edidarmo, MA selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan,
bimbingan, dan kesabaran serta waktu luang Bapak selama ini sehingga
penulisa dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Papa Ir. Dadang Heryawan dan Mama Lia Amalia tercinta yang selalu
memberikan doa restu dan dukungan baik motivasi maupun material
iv
kepada penulis untuk selalu bersemangat dalam penyusunan skripsi ini
serta selalu memberikan kasih sayang sampai detik ini yang tiada hentinya
serta Defajar Dwi Putra Heryawan, adikku yang selalu memberikan
dukungan dan motivasi. “Teh, semangat ya mengerjakan skripsinya!”
tidak lupa selalu mengucapkan kalimat itu, penulis selalu terdorong untuk
mengerjakannya.
6. Teman-temanku Eneng Intan Lestari, Fitri Hera Febriana, Syarifah Aliya,
dan Ami Septiani. Mereka adalah teman sejawat dari semester satu sampai
sekarang selalu memberikan dukungan dan selalu motivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian juga sukses selalu.
7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2012 Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, khususnya kelas A. Terima kasih pengalaman dan
pembelajaran yang berharga yang penulis dapatkan selama ini.
8. Pihak sekolah SMP IT ANNUR Cikarang Timur yang selalu memberikan
kesempatan untuk bimbingan ke kampus, selalu memberikan motivasi dan
dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini dan murid-murid SMP IT
ANNUR Cikarang Timur yang selalu mendukung dan mengingatkan
penulis untuk selalu menyelesaikan skripsi ini.
9. Achmad Muchlis Shiddiq, S.Pd.I selaku rekan kerja, sahabat, teman,
kakak yang selalu mendukung, memberikan motivasi, dan nasihat yang
sangat membangun ketika penulis merasa putus asa. Pada akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis
dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah senantiasa membalas
kalian semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat untuk para pembaca.
Jakarta, 6 Maret 2017
v
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ................................................................................................................................ i
ABSTRACT .............................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah ..................................................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 7
G. Metode Penelitian ......................................................................................................... 8
1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................................. 9
2. Objek Penelitian ...................................................................................................... 9
3. Sumber Data........................................................................................................... 10
4. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................................... 11
5. Teknik Analisis Data.............................................................................................. 11
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................................ 12
A. Hakikat Novel .............................................................................................................. 12
B. Struktur Novel .............................................................................................................. 16
C. Sosiologi Sastra ............................................................................................................ 24
vi
D. Tradisi Merantau di Kebudayaan Minang ................................................................... 25
E. Hakikat Pembelajaran Sastra di Sekolah ..................................................................... 32
F. Penelitian yang Relevan ............................................................................................... 35
BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ....................................................................... 37
A. Biografi Hamka ............................................................................................................ 37
B. Sinopsis Novel ............................................................................................................. 39
1) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck .................................................................... 39
2) Merantau ke Deli ................................................................................................... 41
C. Karya dan Pemikiran Hamka ....................................................................................... 43
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS ........................................................... 50
A. Unsur Intrinsik Novel .................................................................................................. 50
1) Tema ...................................................................................................................... 50
2) Alur ........................................................................................................................ 57
3) Tokoh ..................................................................................................................... 74
4) Latar ....................................................................................................................... 95
5) Sudut Pandang ..................................................................................................... 106
6) Gaya Bahasa......................................................................................................... 108
7) Amanat ................................................................................................................. 110
B. Analisis Pembahasan Tradisi Merantau pada Novel Hamka ..................................... 112
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ................................................. 131
BAB V PENUTUP................................................................................................................ 134
A. Simpulan .................................................................................................................... 135
B. Saran .......................................................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 137
RIWAYAT PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan
semata, seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya sastra memerlukan
perenungan, pengendapan ide, pematangan, dan langkah-langkah tertentu
yang akan berbeda antara sastrawan satu dengan sastrawan yang lain untuk
menghasilkan karya sastra yang baik.1 Sastra memiliki bahasa yang indah,
makna yang berkesan, dapat menghibur para pembacanya untuk kepuasan
batin. Jika para pembaca merasakan kepuasan batin maka karya sastra tersebut
bisa dikatakan dengan karya yang memiliki hasil yang baik dan isi yang
berkualitas. Sehingga sastrawan berhasil dalam menciptakan sebuah karya
sastra.
Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Sebagaimana kita pahami,
novel merupakan suatu karya fiksi yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita
yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Sebuah novel
bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata, tetapi pemuatan
tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan mereka
dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan detail
rekaan. Novel berbentuk prosa merupakan bentuk pengungkapan dengan cara
langsung, tanpa rima dan tanpa irama yang teratur. Novel tidak berbentuk
begitu saja, dalam novel bisa dijumpai elemen-elemen puitis ataupun
mencantumkan puisi di dalamnya. Sekalipun terlalu tergesa-gesa jika
berasumsi bahwa bahasa yang digunakan dalam novel adalah bahasa sehari-
hari atau bahasa yang sering dijumpai dalam tulisan-tulisan nonfiksi.2
Sehingga tidak semua novel menggunakan bahasa yang baku atau
menggunakan bentuk seperti puisi atau pantun, tetapi novel bisa saja
1Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 74.
2Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2010), h. 2.
2
menggunakan bahasa yang sering kita gunakan sehari-hari yang terdapat pada
tulisan nonfiksi.
Novel bersifat naratif, yang artinya adalah ia lebih bersifat “bercerita”
daripada “memperagakan”. Ciri yang satu ini membedakan antara novel dan
drama, yang penceritaannya lebih banyak mengandalkan peragaan dan dialog.
Selain itu, novel memiliki apa yang disebut dengan tokoh, perilaku, dan plot.
Dengan kata lain, novel melibatkan sejumlah orang yang melakukan sesuatu
dalam suatu konteks total yang diatur atau dirangkai dalam urutan logis,
kronologis dan sebab-akibat.3 Novel memang hampir sama dengan drama,
mempunyai jalan cerita yang berurutan sesuai logika, memiliki tokoh dan
karakter. Tetapi yang dijelaskan sebelumnya yang membedakan hanyalah
fungsi, jika novel lebih kepada cerita dan drama berfungsi sebagai “peraga”.
Perkisahan dalam novel memiliki unsur tentang percintaan, pendidikan,
perjuangan atau nasionalis, keagamanaan, kebudayaan, dan politik. Unsur
tersebut sangat penting dalam penceritaan sebuah novel. Hal tersebut
mencerminkan bahwa masyarakat adalah sebagai makhluk berbudaya, yang
selalu mengalami kehidupan dengan perubahan dan perkembangan dalam
sebuah tuntutan kebutuhan dalam kehidupan. Tatanan kebudayaan menempati
posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan hukum sosial yang lainnya dan
menjadi sebuah tolok ukur dalam mengambil sebuah keputusan.4
Jika dihubungkan antara kebudayaan dan cerita pada novel, sastrawan
bisa saja mengambil ide cerita dari pengalaman kebudayaan merantau tersebut
untuk dijadikan sebuah karya sastra. Salah satu sastrawan yang karya
sastranya sering membahas tentang adat budaya, keagamaan atau keislaman,
percintaan dan politik adalah Hamka. Berkat kecemerlangan otak dan
kebiasaannya membaca buku, serta sadar akan keberadaannya sebagai putra
dari ulama yang mahsyur, Hamka tidak lupa untuk belajar agama dan sastra.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan nama
singkatan HAMKA. Hamka menulis novel yang tidak terlepas dari
3Ibid, h. 3 – 4.
4Hamka, Ayahku, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1982), h. 8 – 9.
3
penceritaan tentang keagamaan, kisah percintaan, adat budaya, dan kedudukan
sosial. Hal yang lebih menarik dari novel-novel karya Hamka yaitu
mengisahkan tokohnya selalu merantau dari darek5 ke nagari baik untuk
mengadu nasib yang lebih baik, menjadi pedagang, bahkan mencari jodoh di
luar dari daerah asalnya.
Hamka berbeda dengan sastrawan lainnya, beliau masih sangat kental
sekali dengan budaya dan daerahnya sendiri sehingga pada karya sastranya
masih merujuk kepada hal tersebut. Tidak hanya budaya dan daerah, Hamka
masih menyuguhkan sebuah cerita pada novelnya yang menampilkan
keagamaan. Agama menjadi prioritas utamanya, karena Hamka merupakan
putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah seorang tokoh yang dikenal sebagai
pembaharuan Islam.6 Diantara novel beliau yang sangat kental akan budaya
Minang atau Padang adalah Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman
Masyarakat, Balai Pustaka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Adat
Minangkabau menghadapi Revolusi (1946).
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli termasuk ke
dalam sekumpulan karya-karya yang dilahirkan oleh Buya Hamka yang
terkenal di bidang kajian sastra yang telah mendunia dan tidak hanya itu
kalangan masyarakat juga mengagumi setiap kali membaca karyanya,
sehingga novel Buya Hamka tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat
yang bersifat religius.7
Hamka menggugah keindonesiaan khalayak pembaca melalui kisah
cinta dan perkawinan yang tragis antara tokoh Poniem (Jawa) dan Leman
(Minangkabau) dalam Merantau ke Deli (1940). Melalui Merantau ke Deli,
Hamka tidak saja mengkritik Minangkabau dari dalam, tetapi juga mulai
memperkenalkan kemungkinan menciptakan Indonesia yang utuh melalui
5 Darek adalah tanah asal dari orang Minangkabau yang menurut legenda merupakan
keturumam Raja Iskandar Zulkarnain. (kutipan ini terdapat pada buku yang berjudul Adat
Minangkabau dan Merantau penulisnya Tsuyoshi Kato) 6Jamal D. Rahman dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 79. 7Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2002), h. 326 – 327.
4
pembauran antaretnik melalui hubungan perkawinan. Bagi Hamka agama
yang penting walaupun berlainan etnis, asal sama-sama Islam boleh menikah,
asalah itu membawa kebahagiaan. Perkawinan antara sesama Minang belum
menjamin kebahagiaan. Di samping kepercayaan yang kuat terhadap agama
Islam, ciri-ciri khas yang sering kali dihubungkan dengan orang Minangkabau
ialah merantau dan adat, khususnya adat yang berciri matrilineal (nasab ibu).
Hamka kembali mengangkat tema lain dalam novel Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck terbit pertama kali dalam bentuk feuilleton secara
berkala pada Pedoman Masjarakat di Medan, 1938. Dalam novel tersebut,
Hamka mengambil tema melalui tokoh Hayati (Minangkabau) dan Zainuddin,
pemuda Bugis yang berayah Minangkabau dan beribu Bugis menurut sistem
matrilineal Minangkabau, Zainuddin adalah orang Bugis, bukan orang
Minangkabau.8 Kemudian pada novel Merantau ke Deli Hamka menceritakan
seorang tokoh utama, yaitu Leman untuk merantau bertujuan mencari
pekerjaan yang layak dan mencari jodoh di luar adatnya.
Dengan merantau, orang Minangkabau mulai bertemu dengan berbagai
kelompok etnik di Indonesia, yang mempunyai bahasa dan tradisi yang saling
berlainan. Minangkabau secara umum, dilukiskan dalam beberapa novel yang
mempunyai ciri-ciri yang sama, yang ditulis oleh pengarang Minangkabau
sepanjang tahun 1920-an dan 1930-an. Hampir semua pengarang ini memiliki
pengalaman merantau. Demikian pula dengan tokoh utamanya dalam novel
tersebut adalah perantau. Novel-novel ini sering membincangkan secara
sepintas lalu adat Minangkabau, seperti perkawinan, kawin paksa, poligami,
dan sistem matrilineal.
Dalam karya Hamka, tokoh laki-laki tersebut diceritakan oleh Hamka
masing-masing melakukan perantauan. Pada novel Tenggelamnya Kapal van
Der Wijck, Zainuddin merantau ke Surabaya untuk bekerja dan berniat
menjauh dari Hayati dan tokoh Leman pada novel Merantau ke Deli, memang
merantau ke Deli untuk bekerja. Konsep merantau yang diangkat oleh Hamka,
8Kompas. “Kritik, Sastra, Etnisitas, Agama dan Kebangsaan”. SURYADI Dosen Studi
Indonesiadi Leiden University Institute forArea Studies, Leiden, Belanda. Diunduh pada hari
Selasa tanggal 28 Oktober 2015 pukul 21.54 WIB.
5
yang dipahami oleh para pembaca adalah melakukan sesuatu dengan mencari
kehidupan yang lebih baik atau pergi berkelana.
Hubungannya dengan Minangkabau, kata merantau selalu dipahami
dalam arti, yaitu meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan,
ilmu pengetahuan, dan kemahsyuran. Kebiasaan merantau orang
Minangkabau bukan semata-mata merupakan akibat proses urbanisasi
belakangan ini, tetapi sudah berakar dalam sejarah Minangkabau.
Novel-novel karya Hamka mampu memberikan amanat atau pesan bagi
para pembaca tidak terkecuali untuk pelajar di sekolah khususnya yang sedang
mempelajari tentang materi novel. Karya Hamka sangat banyak sekali
mengajarkan pendidikan agama, budaya, dan akhlak yang baik. Implikasi dan
pembelajaran sastra di sekolah sangat bermanfaat bagi siswa sekolah yang
ingin mengetahui unsur intrinsik dari novel karya Hamka dan memahami isi
dari cerita novel tersebut.
Dalam penelitian ini, tradisi merantau adat (yakni kebiasaan)
perkawinan/perceraian yang terjadi pada tokoh laki-laki, kemajuan pendidikan
di antara masing-masing tokoh, pekerjaan-pekerjaan para perantau, tempat-
tempat yang dituju dan tahun berapa merantaunya, serta tujuan tokoh laki-laki
untuk merantau merupakan sebuah penelitian yang berjudul “Tradisi
Merantau di Minangkabau pada Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dan Merantau ke Deli Karya Hamka dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah.” Penulis juga mencoba
memasukkan pandangan sosiologi dalam menganalisis historis masyarakat
Minangkabau agar lebih jelas.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas yang sudah dijelaskan, maka
muncul berbagai identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Kurangnya minat siswa terhadap membaca sebuah novel serius
dibandingkan dengan novel populer.
2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap unsur intrinsik yang terdapat
pada novel.
6
3. Kurangnya pemahaman siswa tentang latar belakang budaya dalam
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya
Buya Hamka.
4. Kurangnya pemahaman siswa terhadap tradisi Merantau pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya
Hamka.
5. Kurangnya implikasi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat masalah-masalah yang muncul sangat kompleks, maka
diperlukan pembatasan masalah yang akan dibahas. Selain itu, pembatasan
masalah dilakukan agar pembahasan lebih fokus. Maka, penelitian ini dibatasi
dapat dilihat sebagai berikut :
1. Pemahaman terhadap tradisi Merantau pada novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka.
2. Pemahaman implikasi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan
masalah seperti telah diuraikan di atas, maka masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi Merantau pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka?
2. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan tradisi Merantau dalam novel Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka.
2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
Untuk melihat kualitas penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka
hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan menambah wawasan
7
dalam bidang kesusastraan bagi pembaca karya sastra. Manfaat yang dimiliki
penilitian ini ada manfaat teoretis dan manfaat praktis. Oleh karena itu
manfaat yang diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini memiliki manfaat untuk Guru Bahasa dan
Sastra Indonesia di SMA, penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar untuk
meningkatkan kemampuan analisis siswa dalam pembelajaran sastra.
Terutama dalam memberikan gambaran bagaimana etnis dan budaya
pada daerah-daerah yang masih sangat kuat dan kental dalam suku
budayanya serta mengetahui konsep merantau.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa SMA, adalah siswa dapat mengambil inti cerita pada
novel, mencari kekurangan dan kelebihannya pada resensi novel.
Kemudian dalam implikasi pembelajarannya siswa dapat berlatih
membuat karya-karya dan mampu mengapresiasikannya.
b. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban dari
masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian
ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin
aktif membuat karya ilmiah di dunia sastra dan pendidikan.
c. Bagi peneliti, diharapkan memberikan pengarahan terhadap remaja
untuk berperilaku yang semestinya dengan menuntun nilai akhlak,
agama dan berpikir positif.
d. Penelitian ini diharapkan untuk menumbuhkan minat para pembaca
agar lebih meningkatkan kemampuan dan mengkaji sebuah karya
sastra.
G. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari kata methodos (bahasa latin), sedangkan
methodos sendiri berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju,
melalui, mengikuti, sesudah. Sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah.
Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara strategi
untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan
8
rangkaian sebab-akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk
menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dapat dipecahkan
dan dipahami.9 Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati.10
Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan
pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi dapat
disimpulkan bahwa deskriptif menyajikan data, menganalisis data dan
menginterpretasi.11
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif,
dimana peneliti dihadapkan dengan dua buah novel, yaitu Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Buya Hamka dan
implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.
Penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif, artinya data yang
dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi, tidak berupa angka-
angka. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data
dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang
mendorong motode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian
pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Tujuan
dengan penelitian kualitatif deskriptif ini untuk mengungkapkan berbagai
informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh kecermatan
dalam menggambarkan suatu hal.
Metode kualitatif pada dasarnya sama dengan metode hermeneutika.
Artinya, baik metode hermeneutika, kualitatif, dan analisis isi, secara
keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya
dalam bentuk deskriptif.12
9Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, Cetakan ke-5
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 34. 10
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2009), h. 4. 11
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT Bumi Aksara,
2004), h. 44. 12
Nyoman Kutha Ratna, Op.Cit. h. 46 – 47.
9
Sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif mempertahankan hakikat
nilai-nilai. Oleh karena itulah, penelitian kualitatif dipertentangkan dengan
penelitian kuantitatif yang bersifat bebas nilai atau angka. Dalam ilmu sosial
sumber datanya adalah masyarakat, data penelitiannya adalah tindakan-
tindakan sedangkan dalam ilmu sastra sumber datanta adalah karya, naskah,
data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan
wacana.
Untuk melalukan penelitian tentang budaya dan tradisi merantau pada
daerah Padang, perlu dilakukannya penelitian secara dalam melalui sosial
yang terdapat pada masyarakat terutama para peneliti awalan/amatiran yang
baru akan belajar mandiri. Beberapa ragam metodologi penelitian dalam
ranah kajian media dan budaya yang semakin berkembang.13
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dan waktu penelitian tidak ada, karena penelitian ini tidak
terikat pada satu tempat maupun waktu karena objek yang dikaji berupa
analisis sebuah naskah (teks) sastra. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
perbandingan struktural dan mengetahui budaya Minang.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah apa yang menjadi perhatian dari suatu
penelitian. Sasaran untuk mendapatkan suatu data sesuai dengan pendapat,
objek penelitian menjelaskan tentang apa dan siapa yang menjadi objek
penelitian. Dapat disimpulkan bahwa objek penelitian adalah ruang lingkup
yang merupakan pokok persoalan dari suatu penelitian. Kali ini objek
penelitiannya adalah konsep dan tradisi merantau yang terdapat dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1936) dan Merantau ke Deli (1937)
karya Buya Hamka.
13
Rachmah Ida, Metodologi Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. (Jakarta :
Prenada Media Group, 2014), h. 9.
10
3. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini ada dua macam
sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Secara
sumber data primer yaitu materi yang berkaitan langsung dengan penelitian
atau sumber pokok, sebagai berikut :
a. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dengan 223 halaman karya Buya
Hamka cetakan keenam belas diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, Jakarta
tahun 1936.
b. Merantau ke Deli, dengan 194 halaman karya Buya Hamka diterbitkan
oleh PT. Bulan Bintang, Jakarta tahun 1937.
Selanjutnya selain sumber data yang digunakan penulis, sumber
sekunder pun melengkapi pembuatan penelitian ini oleh penulis misalnya
beberapa buku-buku teori sastra, beberapa hasil penelitian mengenai sosiologi
sastra, novel, penelitian ilmiah sebelumnya mengenai novel ini serta melalui
artikel dan jurnal, atau media lainnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik menelaah, teknik kepustakaan, teknik simak, dan teknik catat. Berikut
penjelasan masing-masing teknik.
1) Teknik menelaah yaitu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini.
2) Teknik kepustakaan yaitu ilmu tentang sumber-sumber yang digunakan
dalam penelitian, dokumen digunakan untuk mencari data-data mengenai
variabel yang berupa catatan, transkip, buku, majalah, gambar, dan data-
data yang bukan angka-angka.
3) Teknik simak atau disebut juga teknik sadap yakni penyadapan sesuatu
yang digunakan seseorang atau beberapa orang informan dalam upaya
mendapatkan data.
4) Teknik catat adalah teknik lanjutan yang dilakukan peneliti ketika
menerapkan metode simak.
11
5. Teknik Analisis Data
Untuk menjawab rumusan masalah, teknik pengolahan data dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu sosiologi sastra.
Penelitian ini terfokus pada analisis sosiologi karya dan sastra dengan
cerminan masyarakat.
Langkah kerja dalam penelitian ini antara lain: 1) peneliti membaca teks
sastra yang diteliti secara intensif, yaitu pembacaan berulang-ulang; 2)
mencari data serta mengklasifikasikan data sesuai dengan hal-hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pengumpulan data ini
dilakukan oleh peneliti melalui studi pustaka; 3) melakukan analisis struktur
pada novel Merantau ke Deli dan Tenggelamnya Kapal van Der Wijck yang
meliputi analisis tema, alur, amanat, penokohan, gaya bahasa, dan sudut
pandang; 4) mendeskripsikan kemudian menganalisis gambaran mengenai
tradisi merantau di daerah Minangkabau yang terdapat pada tiga novel
tersebut dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra; 5) peneliti
menarik simpulan pada setiap hasil analisis. Hal ini untuk menjawab rumusan
seluruh masalah dalam penelitian ini.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Novel
Karya sastra, yang berbentuk novel, cerpen, dan puisi adalah karya imajinatif,
fiksional, dan ungkapan ekspresi pengarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
definisi karya sastra yang diberikan dan dapat diterima oleh anak-anak sekolah
menengah pertama hingga sekolah lanjutan atas.1 Maksudnya adalah di mana ketika
para pembaca khususnya anak-anak remaja mereka dapat memahami apa yang
dimaksud pengarang karena bersifat imajinatif dan berupa ekspresi yang pada
umumnya.
Novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Novel dalam bahasa Inggris berasal
dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman : novelle) kemudian diartikan
sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel berasal dari bahasa Latin
novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam
bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra
yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama.
Dalam penceritaan suatu karya ada unsur-unsur yang penting sebagai pembangun
cerita yaitu tokoh, latar tempat, latar waktu, dan peristiwa-peristiwa.2
Roman lebih banyak melukiskan seluruh hidup pelaku-pelaku, mendalami
sifat-sifat watak mereka, dan melukiskan sekitar tempat mereka hidup. Pelaku-
pelakunya dilukiskan dari mulai kecil hingga akhir hidupnya. Sedangkan novel
tidak mendalam lebih banyak melukiskan suatu saat, suatu episode dari kehidupan
seseorang yang isinya lebih terbatas dari roman.3 Roman dan novel memang sama,
hanya saja yang membedakan alur ceritanya jika roman penceritaannya dari tokoh
tersebut lahir, kemudian adanya konflik hingga penyelesaian bahkan sampai tokoh
1 Dwi Susanto S.S., M.Hum., Pengantar Teori Sastra, (Jakarta : CAPS, 2012), h. 32.
2 Melanie Budianta, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi). (Magelang: Indonesiatera, 2003). h. 85. 3Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung : UPI PRESS,
2006), hlm. 89.
13
tersebut meninggal dan bisa menceritakan beberapa konflik tidak hanya satu beda
halnya dengan novel, jika novel hanya menceritakan satu konflik saja.
Pada dasarnya novel menceritakan gambaran kehidupan dan sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial dan fenomena sosial itu bersifat nyata yang terjadi di
kehidupan kita sehari-hari. Karya sastra adalah karya yang dimaksudkan oleh
pengarang sebagai karya sastra, berwujud karya sastra, dan diterima oleh
masyarakat sebagai karya sastra.4 Maksudnya adalah bagaimana seorang sastrawan
dapat menciptakan hasil karya sastra dengan baik agar karyanya tersebut bisa
diterima dan dipahami oleh para pembaca. Sastrawan memberi makna lewat
kenyataan yang dapat diciptakannya dengan bebas, asal tetap dipahami oleh
pembaca. Tidak lepas dari realitas kehidupan masyarakat, budaya dan adat istiadat
juga hadir dalam penceritaan dalam novel. Oleh karena itu karya sastra tidak
mungkin tanpa pengetahuan, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya
sastra tersebut.
Sebagai genre sastra, novel ternyata telah banyak menarik perhatian dan
minat banyak kalangan. Dari perspektif historis, novel memiliki garis
perkembangan yang membentang ke belakang, ke tradisi-tradisi fiksi
pendahuluannya.5 Novel merupakan sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang
cukup panjang, yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata,
dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks. Sedangkan
pengertian lain, cerita fiksi dalam bentuk prosa dengan panjang kurang lebih satu
volume yang menggambarkan tokoh-tokoh dan perilaku yang merupakan cerminan
kehidupan nyata dalam plot yang berkesinambungan.
Novel merupakan suatu bentuk karya sastra. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
4Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:PT.Grasindo, 2008), h. 92.
5Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2010), h. 1.
14
a. Macam-macam Novel
Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan
keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang
novel. Burhan Nurgiyantoro membedakan novel menjadi dua bagian, yaitu novel
populer dan novel serius.
1) Novel Populer
Kayam dalam Nurgiyantoro mengatakan bahwa sebutan novel
populer atau pop mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan
Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70’an. Sesudah itu, setiap novel
hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai novel pop. Kata
“pop” diasosiasikan dengan kata “populer”, mungkin karena novel-
novel itu sengaja ditulis untuk selera populer yang kemudian dikemas
dan dijajakan sebagai suatu barang dagangan populer dan jadilah istilah
pop itu sebagai istilah baru dalam dunia sastra.6
Sastra dan musik populer sebagai kelanjutan dari istilah
“populer” yang sebelumnya telah dikenal dalam dunia sastra dan musik
adalah semacam sastra dan musik yang dikategorikan sebagai hiburan
dan komersial ini menyangkut apa yang disebut selera orang banyak
atau selera populer. Pop sastra di dunia barat condong pada sastra baru
yang inovatif, eksperimental yang tidak saja dalam hal gaya manipulasi
bahasa dan penjajahan tema yang sebebas mungkin walau tidak
menutup kemungkinan untuk komersial. Sebagai kebailkan sastra
populer itu adalah sastra yang serius, literatur. Sastra serius, walau dapat
juga bersifat inovatif dan eksperimental, tidak akan dapat menjelajah
sesuatu yang sudah mirip dengan “main-main”.7
2) Novel Serius
Novel serius merupakan jenis karya sastra yang dianggap pantas
dibicarakan dan diapresiasi oleh akademis sastra. Dalam sejarah sastra,
6 Ibid. h. 17.
7 Ibid. h. 17 – 18.
15
novel yang bermunculan cenderung mengacu pada novel serius. Novel
serius harus sanggup memberikan suatu kesan yang mendalam tentang
hakikat kehidupan. Novel serius yang bertujuan untuk memberikan
hiburan kepada pembaca, juga mempunyai tujuan memberikan
pengalaman yang berharga dan mengajak pembaca untuk meresapi lebih
sungguh-sungguh tentang masalah yang dikemukakan.8
Berbeda dengan novel populer yang selalu mengikuti selera
pasar, novel sastra tidak bersifat mengikuti para pembaca. Novel sastra
cenderung menampilkan tema-tema yang lebih serius. Teks sastra sering
mengemukakan sesuatu secara implisit sehingga hal ini bisa dianggap
menyibukkan pembaca. Jika ingin memahami novel serius dengan baik
maka diperlukan daya konsentrasi yang tinggi disertakan dengan
kemauan untuk memahaminya. Novel jenis ini, di samping memberikan
hiburan juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga
kepada pembaca atau paling tidak mengajak pembaca untuk meresapi
dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan
yang dikemukakan.9
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke
Deli dapat dikategorikan sebagai novel serius dan dapat diteliti oleh
akademis sastra. Materi dan tema yang terdapat pada novel ini bukan
hanya tentang percintaan saja tetapi terdapat permasalahan yang serius,
terlebih tentang ada dan tradisi sebagai bahan pembelajaran setiap
akademis sastra yang membacanya.
Novel mempunyai ukuran panjang tertentu. Sebuah puisi sebagai contoh, bisa
hanya terdiri dari dua baris saja, atau sampai ribuan bait. Akan tetapi, sebaliknya
kita akan merasa kurang pas kalau menyebut cerita yang panjangnya hanya empat
puluh sampai lima puluh halaman sebagai novel. Tentu permasalahan sebenarnya
bukan terletak pada panjang pendeknya suatu karya. Masalahnya adalah bahwa
8 Ibid. h. 19.
9 Ibid. h. 18 – 19.
16
sebuah novel harus melibatkan penggalian suatu permasalahan manusia dengan
cara sedemikian rupa sehingga mengharuskan adanya perlakuan cukup rumit.
Dengan demikian, dalam praktiknya bila suatu cerita memiliki panjang berkisar
antara dua puluh sampai tiga puluh halaman kita sebut sebagai cerita pendek
(cerpen), sedangkan cerita yang ukuran panjangnya berada antara cerpen dan novel,
yaitu antara empat puluh sampai seratus halaman, kita sebut novela.10
Sebagai
cerita fiksi, novel mempunyai unsur-unsur cerita yaitu tema, amanat, alur, tokoh,
latar/setting, sudut pandang, dan gaya bahasa. Selain itu memiliki struktur cerita,
baik berupa struktur cerita konvensional maupun struktur cerita sorot balik atau
flashback.11
B. Struktur Novel
Berbagai macam pendekatan ditawarkan seperti yang telah dikemukakan
Abrams, salah satu diantaranya pendekatan objektif. Pendekatan objektif atau
struktural digunakan dengan maksud untuk menjaga keobjektifan sebuah karya
sastra, sehingga untuk memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan
strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis
dan lepas pula dari efeknya pada pembaca.12
Dari pernyataan tersebut melalui
pendeketan objektif kita dapat menganalisis sebuah karya sastra sesuai dengan
keaslian atau keabsahan pada unsur-unsur yang terdapat pada sebuah karya sastra
itu sendiri tanpa menggabungkan dari latar belakang sejarah maupun pengarangnya.
Teori struktural merupakan teori kritik sastra objektif. Dikemukakan Abrams
bahwa ada empat pendekatan pada karya sastra, yaitu pendekatan (1) pendekatan
mimetik, yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2)
pendekatan pragmatik, yang menganggap bahwa karya sastra itu adalah alat untuk
mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra
sebagai ekpresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan); dan (4)
10
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Op.Cit. h. 4. 11
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung : UPI PRESS,
2006), h. 86. 12
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:PT.Grasindo, 2008), h. 185.
17
pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom,
terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang.
Strukturalisme dalam penelitian sastra memusatkan perhatiannya pada elemen
atau unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Maka dari itu,
pendekatan objektif identik dengan pendekatan strukturalisme yang bertujuan
memaparkan fungsi dan keterkaitan antarelemen karya sastra. Unsur-unsur
instrinsik inilah yang melahirkan karya sastra hadir sebagai karya, diantaranya
tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, amanat dan gaya bahasa.Adapun unsur-
unsur intrinsik dari sebuah novel adalah sebagai berikut:
a) Tema
Kata tema seringkali disamakan dengan pengertian tentang topik,
padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Topik
merupakan pokok pembicaraan sedangkan tema merupakan suatu gagasan
utama, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam fiksi. Tema sering juga
disebut dengan ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran
pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama dalam cerita.
Tema merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang
lain, yang secara bersama membentuk sebuah keseluruhan.13
Tema juga
merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang atau yang
terdapat dalam puisi.14
Tema menyangkut ide cerita dan keseluruhan isi yang
tersirat dalam karya sastra. Tema ini biasanya berkaitan dengan pengalaman-
pengalaman kehidupan sosial, cinta, idiologi, maut, religius dan sebagainya.15
Menciptakan sebuah tema hal tidak mudah untuk mendapatkannya.
Sastrawan harus memiliki banyak ide atau kreatif yang tinggi untuk
mendapatkan tema yang pas dan berkualitas yang akan dikembangkan menjadi
sebuah cerita. Sama halnya dalam pembelajaran di sekolah, ketika pembelajaran
13
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2010), h. 67 – 68.
14
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT.Grasindo, 2008), h. 124. 15
Ibid, h. 161.
18
mengarang siswa disuruh untuk menentukan tema atau ide pokok yang akan
dikembangkan. Siswa sangat sulit mendapatkan tema tersebut.
b) Alur/Pengaluran
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita.16
Setiap tahapan peristiwa ke tahapan selanjutnya harus
saling berkesinambungan, berurutan secara logis.
Definisi lainnya alur adalah jalinan peristiwa yang bergerak mulai awal
sampai dengan akhir cerita. Sebagai sebuah rangkaian cerita, alur selalu
menampilkan konflik-konflik. Konflik bisa berupa konflik internal yaitu konflik
yang terjadi pada diri tokoh dan konflik eksternal yaitu konflik tokoh dengan
sesuatu di luar tokoh. Konflik eksternal bisa terjadi antara manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, ataupun manusia dengan Tuhan.
Untuk menjelaskan tahapan-tahapan alur ini, penulis memakai pendapat
Burhan Nurgiyantoro yang dikemukakan oleh Tasrif, tahapan-tahapan dalam
alur dijelaskan menjadi lima bagian, tahapan tersebut sebagai berikut.
1) Tahapan Penyituasian
Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan
situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan
cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama
berfungsi untuk melandasi cerita yang dikasihkan pada tahap
berikutnya.
2) Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan masalah
dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap ini
merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu sendiri yang
akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap berikutnya.
16
Ibid, h. 159.
19
3) Tahap Peningkatan Konflik
Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap
sebelumnya emakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Peristiwa yang dramatik menjadi inti cerita emakin
mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi,
internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,
benturan-benturan antar kepentingan masalah, dan tokoh yang
mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindarkan.
4) Tahap Klimaks
Tahap klimaks yaitu tahap di mana konflik dan pertentangan-
pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Pada tahap ini klimaks
sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai
pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang
panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks atau paling
tidak dapat ditafsirkan demikian.
5) Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang telah
mencapai klimaks diberikan penyelesaian. Konflik-konflik yang lain,
sub-subkonflik, dan konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi
jalan keluar. Sehingga, tahap ini disebut juga sebagai tahap akhir dari
sebuah cerita.17
c) Latar
Latar dapat diartikan sebagai landasan pada pengertian tempat, hubungan
waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.18
Latar memiliki tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial
yang masing-masing mempunyai permasalahan yang berbeda. Latar
17
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2010), h. 9 – 10 18
Ibid., h. 216.
20
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal ini penting untuk
memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. ` `
Latar atau setting adalah gambaran yang terdapat cerita fiksi mengenai
tempat, waktu maupun peristiwa yang bersifat fisikal maupun psikologis.19
Latar
atau setting menyarankan pada pergantian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar
sangat penting untuk memberikan gambaran kepada pembaca dan menciptakan
suasana tertentu yang sungguh-sungguh terjadi.
Unsur latar dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Latar tempat
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi.
2) Latar waktu
Latar waktu berkaitan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Adanya latar waktu membantu
pembaca masuk ke dalam suasana cerita. Selain itu, dengan adanya acuan
waktu akan mempermudah pembaca memahami cerita.
3) Latar sosial
Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Kehidupan sosial masyarakat meliputi berbagai masalah dalam
lingkup yang cukup kompleks, seperti : kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan lain sebagainya.
d) Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengembangkan peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan
19
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 148.
21
selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu.
Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
Tokoh berkaitan dengan siapa yang diceritakan, siapa yang melakukan
sesuatu, siapa yang mengalami sesuatu, siapa yang membuat konflik, dan lain
sebagainya. Peristiwa dalam cerita dialami oleh tokoh atau pelaku. Jadi, unsur
tokoh sama pentingnya dengan unsur alur dan lainnya. Masing-masing tokoh
dalam cerita tentu memiliki watak atau karakter yang berlainan. Pemberian
karakter pada tokoh dinamakan penokohan. Sehingga penokohan dapat
dikatakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
sebuah cerita.
Penokohan memiliki arti yang lebih luas dari tokoh karena penokohan
merupakan pelukisan bagaimana perwatakan tokoh-tokohnya dan memberikan
gambaran yang jelas pada pembaca. Jenis-jenis tokoh sebagai berikut.
1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh cerita dibedakan
atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang
tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus (mendominasi sebagaian
besar cerita). Tokoh utama ini adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya. Tokoh tambahan merupakan tokoh yang dimunculkan
sekali atau beberapa kali dengan porsi yang relatif pendek.
2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi
tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
umumnya kita kagumi karena menampilkan sesuatu yang sesuai pandangan-
pandangan dan harapan-harapan pembaca. Tokoh antagonis merupakan
tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik, umumnya tokoh ini berposisi
dengan tokoh protagonis. Akan tetapi, konflik yang dialami oleh tokoh
protagonis tidak selalu hanya disebabkan oleh tokoh antagonis, tetapi juga
disebabkan oleh hal-hal lain, seperti bencana alam, aturan sosial, dan
sebagainya.
22
3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dibedakan tokoh sederhana dan
tokoh kompleks atau bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya
memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Tokoh sederhana bersifat datar,
monoton, atau hanya mencerminkan satu watak tertentu saja. Tokoh bulat
adalah tokoh yang memiliki berbagai kemungkinan sisi kehidupan, sisi
kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan
manusia yang sesungguhnya dan sering memberikan kejutan bagi pembaca.
4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan kriteria berkembang dan tidaknya, tokoh cerita dibedakan
menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis merupakan tokoh
yang tidak mengalami perubahan, sedangkan tokoh berkembang merupakan
tokoh cerita yang mengalami perubahan sejalan dengan peristiwa dan plot
yang dikisahkan.20
e) Sudut Pandang
Sudut pandang menuju kepada cara sebuah cerita dikisahkan. Bagaimana
pengarang menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi. Jadi, sudut pandang adalah strategi,
teknik, atau siasat yang dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan
ceritanya.21
Pembagian sudut pandang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”
Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona pertama
artinya pengarang berlaku sebagai pelaku, ia ada dalam cerita tersebut.
Pengarang adalah si Aku, tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya,
mengisahkan peristiwa yang dialami, dilihat, didengar, dirasakan, dan
diketahuinya, serta mengisahkan sikapnya terhadap tokoh lain kepada
20
Ibid, h. 150. 21
Ibid, h. 151.
23
pembaca. Pembaca dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa
yang dilihat dan dirasakan tokoh si Aku tersebut.
2) Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia”
Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga
artinya pengarang berlaku sebagai narator, yaitu seseorang yang berada di
luar cerita dan menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau
kata gantinya. Sudut pandang persona ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu
“dia” mahatahu dan “dia” terbatas. Dalam sudut pandang mahatahu,
pengarang dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh
“dia” mahatahu. Pengarang bersifat mahatahu, mengetahui tentang berbagai
hal, tokoh, peristiwa, dan tindakan termasuk motivasi yang
melatarbelakanginya.
Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari
tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan
gayanya sendiri. Sudut pandang orang pertama biasanya menggunakan tokoh
“aku” sekaligus sebagai pencerita. Sudut pandang orang kedua adalah pencerita
mengajak berbicara orang kedua. Orang kedua dalam cerita tersebut bisa tokoh
lain, bisa juga “pembaca” atau “pendengar” di dalam karya sastra. Sudut
pandang orang ketiga adalah sastrawan menggunakan pencerita yang sama
sekali tidak terlibat dalam cerita. Penceritanya berada di luar cerita.
f) Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.22
Pada setiap akhir
cerita pada novel tidak semata-mata hanya memberikan kepuasan batin untuk
para pembaca, tetapi memberikan pesan moral atau amanat yang disampaikan
untuk para pembaca.
22
Wahyudi Siswanto, Op.Cit. h. 142-162.
24
g) Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah
style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus. Yaitu semacam alat untuk
menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan
mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Karena
perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi
atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata.23
Seorang pengarang yang sudah berpengalaman akan mempunyai gayanya
sendiri dalam mengolah bahasanya ke dalam cerita agar disukai oleh pembaca.
Menurut Hendry Guntur Tarigan, sesuai dengan maksud dan tujuan yang
hendak dicapai maka gaya bahasa dibagi menjadi empat kelompok yaitu,
perulangan, perbandingan, pertautan, dan pertentangan.24
Gaya bahasa adalah
bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta membandingkansuatu benda atau hal tertentu dengan
benda hal lain yang lebih umum. Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu
penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau
mempengaruhi penyimak dan pembaca.
C. Sosiologi Sastra
Sebelum menjelaskan sosiologi dengan sastra, yang kemudian berdisiplin
menjadi sosiologi sastra, berikut akan dijelaskan pengertian sosiologi sebagai
bidang ilmu. Sosiologi sastra merupakan sosiologi yang mempunyai dua akar kata,
socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman” dan logos (dari bahasa Yunani)
yang berarti ilmu tentang. Secara harfiah sosiologi berarti ilmu tentang pertemanan.
Dalam sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai studi tentang dasar-
dasar keanggotaan sosial (masyarakat). Secara lebih teknis, sosiologi adalah
analisis mengenai struktur hubungan sosial yang terbentuk melalui interkasi sosial.
Sosiologi Sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang
memahami karya sastra dalam hubunganya dengan realitas dan aspek sosial
23
Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 112. 24
Henry Guntur Tarigan. Pengajaran Gaya Bahasa. (Bandung: Percetakan Angkasa, 2009). h. 4.
25
kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan
karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Sebagai salah satu pendekatan dalam kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu
pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Sosiologi sastra adalah ilmu yang memanfaatkan faktor sosial
sebagai pembangun sastra. Faktor sosial diutamakan untuk mencermati karya
sastra. Sosiologi sastra merupakan pemahaman terhadap totalitas karya yang
disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.25
Berdasarkan pengertian di atas, sosiologi sastra hakikatnya adalah
interdisipliner antara sosiologi dengan sastra, keduanya memiliki objek yang sama,
yaitu manusia dalam masyarakat. Adapun definisi sosiologi sastra yang
merepresentasikan hubungan interdisiplin ini, yang masuk dalam ranah sastra,
mencakup pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-
aspek kemasyarakatannya, pemahaman terhadap karya sastra sekaligus
hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya dan hubungan
dialektika antara sastra dengan masyarakat.26
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra objek kajian
utamanya adalah sastra, yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna
sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis,
sastra, maupun pembaca dalam relasi hubungan dengan kondisi masyarakat yang
menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca.
D. Tradisi Merantau di Kebudayaan Minang
Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, karena
menjadi manusia tidak lain adalah merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu
sendiri. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk kebudayaan, kecuali
25
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Tim Redaksi
CAPS, 2011), h. 5 – 8. 26
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), h. 4 – 5.
26
tindakan yang sifatnya naruliah saja yang bukan merupakan kebudyaan.27
Tindakan
yang berupa kebudayaan adalah kebudayaan dibiasakan dengan cara belajar, seperti
melalui proses sosialisasi dan alkuturasi.
Banyak definisi tentang kebudayaan, kebudayaan adalah konsep, keyakinan,
nilai dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam
upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.28
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa,
mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa,
persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial,
kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua berdasarka pola-pola
budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal
budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,
sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
semesta dan objek-objek materi.29
Menurut Ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata “kebudayaan” berasal dari kata
Sanskerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal.”30
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat-istiadat
dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh sebagai anggota
masyarakat. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dari adat-
istiadat. Hal itu disebabkan nilai budaya dianggap bernilai, berharga dan paling
27
Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2012), h. 20. 28
Ibid, h. 141. 29
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2005), h. 18. 30
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 181.
27
penting dalam kehidupan bagi masyarakat bahkan menjadi pedoman hidup yang
memberi arah.31
Koentjaraningrat menyebutkan adat istiadat sebagai kebudayaan abstrak
atau sistem nilai, adat istiadat merupakan yang kekal serta kuat integrasinya dengan
pola-pola perilaku masyarakat. Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang
paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat
terhadap masyarakat yang memilikinya. Anggota masyarakat yang melanggarnya
akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung
diperlakukan.32
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang,
India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis
yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakat. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang,
maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Hukum nilai adat yang sering didengar di dalam masyarakat mengandung
empat unsur berikut.
a) Adat sebenar adat, datang dari Yang Mahakuasa, semenjak dahulu
sampai sekarang tidak berubah.
b) Adat istiadat, ialah peraturan-peraturan atau yang dikeluarkan oleh
penguasa adat (ninik mamak, penghulu, ulama), seperti adat
peminangan/adat menikah.
c) Adat yang diadatkan, ialah bulat kata karena mufakat, unsur
musyawarah sangat diperlukan dalam menghadapi sesuatu yang
bersendi kepada alur dan patut.
31
Rahmat Subakti Mahdi. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: CV. Rajawali, 1984). h. 166 –
167. 32
Lia Rachmawati, Hakikat Norma, Kebiasaan, Adat Istiadat, dan Peraturan. (Jakarta :
Intimedia Ciptanusantara, 2011), h. 16.
28
d) Adat yang teradat, ialah adat yang sudah biasa atau terbiasa di daerah itu
karena tiru meniru, sperti perhelatan, pakaian, dan perhiasan.33
Adat yang terdapat di Minang adalah merantau. Merantau sesungguhnya
sangat erat kaitannya dengan masyarakat Minangkabau. Kata rantau sendiri pada
awalnya bermakna, wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau (tempat
awal mula peradaban Minangkabau). Peradaban Minangkabau mengalami beberapa
periode atau pasang surut. Aktivitas orang-orang dari wilayah inti ke wilayah luar
disebut “merantau” atau pergi ke wilayah rantau. Lama kelamaan wilayah
rantaupun jadi wilayah Minangkabau. Akhirnya wilayah rantau menjadi semakin
jauh dan luas, bahkan di zaman modern sekarang ini wilayah rantau orang
Minangkabau bisa disebut di seluruh dunia, walaupun wilayah tersebut tak akan
mungkin masuk kategori wilayah Minangkabau namun tetap disebut “rantau”.
Gusti Asnan menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul Kamus Sejarah
Minangkabau, ada dua pengertian merantau yang dapat dipahami di Minangkabau.
Pertama, Merantau dipahami sebagai pergi meninggalkan kampung halaman untuk
berbagai keperluan serta dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Kedua, Merantau
sebagai perubahan pemikiran atau transformasi pemikiran dari satu kondisi ke
kondisi yang lain.
Penyebaran orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya ini
disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau, yang
disebabkan oleh dua hal. Pertama, ialah keinginan mereka untuk mendapatkan
kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang telah ada. Ini dapat dihubungkan
sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai hak
menggunakan tanah itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin dapat
menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinear.
Kedua, ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang
yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap
33
Ibid. h. 46.
29
di tempat lain.34
Orang Minang memang ada di mana-mana di berbagai pelosok
Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki budaya
merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di
Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai budaya
merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan
Madura.
Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara sukarela, atas
kemauan sendiri, maka merantau orang Minang berbeda dengan, katakanlah,
merantau orang Jawa yang melalui proses transmigrasi diprogramkan dan dibiayai
pemerintah. Orang Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri.
Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun
kehidupan yang lebih baik. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat
pada tokoh-tokoh asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas
seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka,
Muhammad Natsir, Haji Agus Salim.
Mochtar Naim memaparkan, bahwa merantau adalah “migrasi”, tetapi
“merantau” adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang
tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Barat manapun.
Dilihat dari sosiologi, istilah ini sedikitnya mengandung enam unsur pokok sebagai
berikut.
a. Meninggalkan kampung halaman
b. Dengan kemauan sendiri
c. Untuk jangka waktu lama atau tidak
d. Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari
pengalaman
e. Biasanya dengan maksud kembali pulang35
34
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1985), h. 242. 35
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2013) h. 3.
30
Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau
daerah taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat
sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang
lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks
politik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal:
mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari
pangkat/pekerjaan/jabatan.
Istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan
tanah kelahiran. Definisi sederhana ini tidak sepenuhnya menunjukkan
kompleksitas arti merantau sebagai fenomena sosial dan sejarah. Umpamanya,
tentu ingin tahu siapa yang meninggalkan kampung halaman, dengan alasan apa,
untuk berapa lama, dan daerah mana yang ditujunya.
Menurut Kato pada bukunya yang berjudul Adat Minangkabau dan
Merantau, berpendapat bahwa merantau dibedakan menjadi tiga jenis cara
merantaunya atau mobilitas geografis dalam sejarah Minangkabau: Merantau untuk
pemekaran nagari, merantau keliling (merantau secara bolak-balik atau sirkuler),
dan merantau Cino (merantau secara Cina). Cara-cara merantau ini secara kasar
digolongkan ke dalam tiga periode sejarah: pemekaran nagari dari masa legenda
hingga awal abad ke-19, merantau keliling dari akhir abad ke-19 sampai tahun
1930-an, dan merantau Cino mulai dari 1950-an sampai sekarang.
Dalam tradisi merantau, perlu diketahui bahwasannya apa saja yang
memberikan pengaruh dan yang melatarbelakangi perantauan mereka, seperti adat
(yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian, kemajuan pendidikan para perantau,
pekerjaan-pekerjaan utama perantau, tempat-tempat merantau yang biasa dituju,
dan tujuannya mereka merantau.36
1. Merantau Pemekaran Nagari
Merantau untuk pemekaran nagari merupakan monilitas geografis
untuk membuka perkampungan baru. Biasanya alasan yang paling
36
Tsuyoshi Kato, Adat Minagkabau dan Merantau, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 116.
31
utama adalah kurangnya tanah untuk digarap dan jumlah penduduk yang
semakin meningkat. Pekerjaan di tempat yang baru pun masih ada
hubungannya dengan pertanian. Perpindahan dilakukan oleh satu
kelompok matrilineal di bawah pimpinan kepala kelompok tersebut.
Perpindahan dimaksudkan untuk tinggal menetap di tempat yang baru.
Hubungan antara tempat yang lama dan yang baru kadang-kadang
dipertahankan. Akan tetapi, ini bukan bersifat penting dari pemekaran
nagari, khususnya sesudah lama waktu berlalu.
2. Merantau Keliling
Merantau keliling dilakukan oleh lelaki, baik yang sudah
menikah maupun yang bujangan. Selain terbatasnya lahan pertanian
(yang disebut faktor pendorong), mobilitas mereka dipengaruhi oleh
adanya kesempatan-kesempatan di tempat lain (faktor penarik) dan juga
oleh hasrat pribadi. Jenis merantau ini mengarah ke kota-kota yang
jaraknya tidak terlalu jauh. Pekerjaan yang dicari bukan dalam bidang
pertanian, mereka adalah saudagar, pegawai kantor, guru, dan pengrajin.
Meskipun seseorang lelaki telah menikah, istri dan anak-anaknya
ditinggalkan di kampung. Hubungan dengan kampung asalnya tetap
dijaga. Ia sering pulang, sekali atau dua kali dalam setahun, lain dari
pihak ibu.
Novel-novel Minangkabau menunjukkan pola hubungan antara
perantau dan masyarakat Minangkabau pada saat merantau keliling
sangat dominan. Perantau meninggalkan kampung halaman untuk
mencari rezeki di Batavia, Medan, Deli atau tempat-tempat lainnya.
Merantau keliling membuka jalan baru pada kekuasaan, kekayaan,
pengetahuan, dan martabat.
Pada tahap awal merantau keliling, biasanya laki-laki berpindah
secara sendirian, sebagian sebabnya adalah karena hubungan suami-istri
belum begitu terdengar dan karena mamak masih memegang kekuasaan
yang agak kuat terhadap kerabat perempuan mereka.
32
3. Merantau Cino
Merantau Cino pada umumnya, tetapi tidak semestinya,
berhubungan dengan keluarga inti. Keluarga inti dapat saja berpindah
sebagai satu kelompok atau sseorang suami, sesudah pindah, dapat
menyuruh istri dan anak-anaknya untuk menyusul kemudian. Seorang
bujangan yang merantau dapat pulang dan menikah di kampung halaman
untuk kemudian membawa istrinya pindah ke tempat perantauannya.
Secara psikologis para perantau Cino merasa dekat dengan
kampung halamannya, tetapi hubungan secara fisik tidak sering
dilakukan. Merantau Cino dapat melibatkan lebih dari satu keluarga inti,
misalnya ikut pula keluarga suami atau orang tua istri.37
Secara tradisional, daerah-daerah dalam pengaruh Minangkabau disebut
Alam Minangkabau. Rantau merupakan daerah yang berbatasan dengan dunia luar
dan melaluinya ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan kepada Alam.38
Maksudnya adalah
ditentukan oleh batas alam atau batas yang dibuat oleh manusia. Nagari adalah
suatu unit teritorial yang mempunyai struktur politik. Nagari adalah unit
pemukiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat. Untuk menjadi suatu
nagari, suatu pemukiman harus memiliki berbagai fasilitas, seperti jalan raya,
tempat mandi untuk umum, balai adat, masjid, lapangan terbuka untuk hiburan dan
olahraga.
E. Hakikat Pembelajaran Sastra di Sekolah
Kata sastra pada awalnya sebenarnya adalah kesusastraan, akan tetapi orang
lebih suka menggunakan istilah sastra. Kata kesusastraan berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu susastra dengan memperoleh imbuhan ke-an. Kata su berarti baik
atau indah dan kata sastra berarti tulisan atau karangan yang indah dan baik, semua
tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan
bahasa yang indah. Sastra memiliki beberapa funsgi bagi kehidupan manusia
diantaranya.
37
Ibid. h. 13 – 15 . 38
Ibid. h. 21.
33
1. Fungsi reaktif, yaitu fungsi atau manfaat yang memberikan rasa senang,
menghibur, dan gembira.
2. Fungsi didaktif, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat mengarahlan dan
mendidik pembaca karena mengandung nilai-nilai moral.
3. Fungsi estetika, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat memberikan keindahan
bagi pembaca karena bahasanya yang indah.
4. Fungsi moralitas, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat membedakan moral
yang baik dan tidak baik bagi pembacanya karena sastra yang baik selalu
mengandung nilai-nilai moral yang tinggi.
5. Fungsi religiusitas, yaitu fungsi atau manfaat yang mengandung ajaran-ajaran
agama yang harus diteladani para pembaca.
Pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran
bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, menyimak, maupun
berbicara. Dalam praktiknya, pengajaran sastra berupa pengembangan kemampuan
menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra.
Berdasarkan hal di atas, pembelajaran sastra mencakup hal-hal sebagai
berikut, 1) menulis sastra; menulis puisi, menulis cerpen, menulis novel, dan
menulis drama, 2) membaca sastra; membaca karya sastra dan memahami
maknanya, baik terhadap karya sastra yang berbentuk puisi, prosa, maupun naskah
dramanya, 3) menyimak sastra; mendengarkan dan merefleksikan pembacaan puisi,
dongeng, cerpen, novel, dan pementasan drama, 4) berbicara sastra; berbalas
pantun, deklamasi, mendongeng, bermain peran berdasarkan naskah, menceritakan
kembali isi karya sastra, dan menanggapu secara lisan pementasan karya sastra.
Pendidikan tentang sastra adalah pendidikan yang membahas tentang sastra.
Pendidikan ini bertujuan untuk mengembangkan kompetensi pembelajaran sastra.
Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan
kompetensi apresiasi sastram kajian teks sastra, kritik sastra, dan proses kreatif
sastra.
Pembelajaran novel dalam kompetensi dasar diharuskan peserta didik
memahami unsur intrinsik dan eksrinsik dalam novel. Memahami unsur intrinsik
34
novel, diperlukan untuk memahami susunan peristiwa-peristiwa, hubungan
antarperistiwa, dan letak konflik serta bagaimana klimaknya. Mempelajari dengan
baik berbagai contoh tokoh dan karakter setiap tokoh.39
Novel juga diharapkan
dapat membantu membentuk karakter peserta didik sesuai dengan kurikulum 2013,
yakni guru diharuskan menanamkan nilai-nilai karakter dalam sebuah pembelajaran
di kelas. Berdasarkan kurikulum 2013 terdapat tujuan pembelajaran sastra yang
telah dijabarkan dan diharapkan pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan
secara keseluruhan yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan
berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan
menunjang pembentukan watak.
1. Membantu Keterampilan Berbahasa
Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan
membantu peserta didik berlatih keterampilan membaca, menyimak,
menulis, dan berbicara.
2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Sastra berkaitan dengan semua aspek manusia dan alam secara keseluruhan.
Setiap karya sastra menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal
yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan.
3. Mengembangkan Cipta dan Rasa
Dalam pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah
kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif,
dan bersifat sosial, serta yang bersifat religius.
4. Menunjang Pembentukan Watak
Ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan
watak. Pertama, pembelajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan
yang lebih tajam dan mampu mengantarkan siswa untuk mengenal rangkaian
kehidupan. Kedua, pembelajaran sastra hendaknya dapat memberkan
39
Hindun. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar.
(Depok: Nufa Citra Mandiri, 2013), h. 53.
35
bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta
didik agar menjadi manusia yang berkarakter.40
Penelitian ini memfokuskan pada tradisi merantau dalam dua novel karya
Hamka yaitu Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Merantau ke Deli. Dengan
penelitian ini, diharapkan mampu memberikan contoh yang baik, sehingga mampu
membimbing peserta didik membentuk karakter dan tingkah laku serta memberikan
pengetahuan tentang kebudayaan minang khususnya tradisi merantau.
F. Penelitian Relevan
Sebelum penulis menganalisis novel ini, beberapa penulis lainnya sudah
pernah menganalisis novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli
dan Di Bawah Lindungan Ka’bah dengan berbeda judul dan beda pendekatan,
diantaranya adalah pertama Nilai-nilai Pendidikan Islam Bagi Remaja Dalam
Roman Karya Buya Hamka: Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di
Bawah Lindungan Kabah karya Buya Hamka. Tesis yang ditulis oleh Sawaluddin
dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru pada tahun
2012 menceritakan tentang masalah pokok dalam penelitian ini adalah apa sajakah
Nilai-nilai pendidikan Islam bagi remaja yang tedapat dalam novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, dan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan bagaiamana
implementasi nilai-nilai Pendidikan Islam bagi Remaja yang terdapat dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van DerWijck, dan di bawah Lindungan Ka’bah.
Penelitian kedua skripsi, Konstruksi Gender dan Perjodohan pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan
Kabah karangan Buya Hamka dalam Lingkup Budaya Minang dengan Teori
Sosiologi Sastra. Ditulis oleh Dian Lestari mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Bengkulu tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontruksi gender
dan perjodohan yang terdapat pada kedua novel karya Hamka.
40
B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius, 1992) h. 15.
36
Penelitian ketiga, yaitu “Memandang Poligami di Merantau ke Deli” oleh
Ulfa Rahma Tania mahasiswi Universitas Islam Negeri Jakarta jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2014. Skripsi ini membahas tentang
poligami, Poniem sebagai isteri pertama yang dinikahi oleh Leman. Kemudian
Leman meminta izin kepada Poniem untuk menikah lagi dengan Mariatun, dengan
bijaksana dan ketabahannya Poniem ihklas jika dia akan di poligami. Poligami
dahulu dianggap menguntungkan bagi para kaum laki-laki, namun sekarang
poligami digambarkan tidak lagi indah dan bahkan membawa petaka bagi Leman.
Penelitian yang terakhir yaitu skripsi Merantau ke Deli : Analisis Tokoh
Wanita tahun 2015 oleh Estu Murniasih salah seorang mahasiswi Universitas
Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, jurusan Sastra Indonesia yang dosen
pembimbingnya Sapardi Djoko Damono. Analisis dari Estu bertujuan
mengungkapkan aspek sosial budaya dua tokoh wanita yang ada dalam novel
Merantau ke Deli menggunakan metode deskriptif analitis dan pendekatan
instrinsik.
Novel karya Hamka banyak sekali yang meneliti sebelumnya, khususnya
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli. Perbedaan
dengan penelitian ini yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis akan
meneliti sebuah tradisi merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka. Berdasarkan dari tinjauan
sebelumnya, penulis belum menemukan adanya penelitian tradisi merantau
terhadap kedua novel ini. Adapun persamaannya hanya pada metode deskriptif
kualitatif dan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Kemudian menyertakan
implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.
37
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA
A. Biografi Hamka
Pribadi seseorang dapat diketahui setelah melihat dan membaca perjalanan
hidupnya dan rekam jejak usahanya. Pribadi dapat dikatakan bahwa suatu kumpulan
sifat dan kelebihan diri yang menunjukkan kelebihan seseorang daripada orang lain
sehingga ada manusia besar dan manusia kecil. Kumpulan sifat akal budi, kemauan,
cita-cita, dan bentuk tubuh. Hai itu menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda
dari yang lain.1
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA
adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di
Indonesia. Hamka juga diberikan sebutan dengan Buya, yaitu panggilan buat orang
Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku
atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah,
yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (Tajdid) di
Minangkabau. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat tanggal
17 Februari 1908.
Riwayat pendidikan Hamka pertama kali di Sekolah Dasar Maninjau hanya
sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib
di Padang Panjang. Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka
juga pernah mengikuti pengajaran agama di Surau dan masjid yang diberikan ulama
terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M
Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka seorang pelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik baik Islam maupun Barat. Kemahiran
bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur
Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti,
1 Hamka. Pribadi Hebat. (Jakarta: Gema Insani, 2014) h. 4.
38
dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Prancis,
Inggris, dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold
Toynbee dan Pierre Loti. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif
dalam perpolitikan Indonesia.
Sejak muda, Hamka dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya,
memberikan gelar si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk
menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus
Hadikusumo, RM Soerjopratono, dan KH Fakhrudin. Saat itu, Hamka mengikuti
berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman,
Yogyakarta. Hamka sangat gemar sekali membaca buku, hal itu membuat Hamka
semakin kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan yang ada. Oleh karena itu, di usia
yang sangat muda Hamka sudah melalang buana.2
Hamka bekerja sebagai guru Agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing
Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang. Hamka kemudian dilantik sebagai
dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadyah, Padang Panjang
dari tahun 1957 – 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi
Islam di Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo di Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya
sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu
itu Hamka sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr.
Mukti Alim melantik Hamka sebagai ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau
kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan
oleh pemerintah Indonesia.
Aktivitas Hamka selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka
merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an,
Hamka menjadi wartawan di beberapa sebuah berita kabar, seperti Pelita Andalas,
2 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensi dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung : Mizan,
1993), hlm. 201 – 202.
39
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau
menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Kemudian pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel
dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar (5 jilid). Pada tahun 1950,
ia mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke berbagai negara daratan di Arab.
Sepulanya itu, Hamka menulis beberapa roman, antara lain Mandi Cahaya di tanah
Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan
roman-roman di atas, ia telah membuat roman lainnya seperti Di Bawah Lindungan
Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam
Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi
buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Setelah itu Hamka menulis lagi di majalah
baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta
berjudul Demokrasi Kita.
Hamka meninggal pada umur 73 tahun, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981
Hamka telah pulang pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa
sehingga kini dalam memartabatkan Agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai
seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero
Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
B. Sinopsis
1) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian
ayahnya meninggal dunia. Ia diasuh oleh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin
meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli ayahnya. Dengan
berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi. Setibanya di Padang Panjang, Zainuddin
langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampainya di sana, ia begitu gembira, namun lama-
lama kebahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harapkan.
Ia masih dianggap orang asing.
40
Sudah beberapa lamanya dia hidup di Padang dan saat itulah ia bertemu dengan
Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan
untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat menyurat, kemudian mereka pun menjadi
semakin dekat dan akhirnya saling mencintai.
Kabar kedekatan mereka terebar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang
Minang, sebab di keluarga Hayati merupakan keturuan terpandang maka hal itu menjadi
aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati dengan alasan demi
kebaikkan Hayati, mamak Hayati meminta Zainuddin untuk pergi meninggalkan Negeri
Batipuh. Zainuddin dengan berat hati menuruti kemauan mamak Hayati. Zainuddin dan
Hayati berjanji untuk saling setia dan terus berkirim surat. Suatu hari, Hayati datang ke
Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang
untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu
terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz kakaknya Khadijah. Aziz tertarik dengan
kecantikan Hayati. Tidak lama kemudian Mak Base meninggal dan mewariskan banyak
harta kepada Zainuddin karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di
Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnya rombongan dari pihak Aziz yang
juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang
dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati.
Kemudian dengan terpaksa Hayati menerima pinangan Aziz yang di mata
mereka lebih terpandang dan beradab. Zainuddin tak kuasa menerima penolakan
tersebut apalagi kata sahabatnya Muluk, Aziz adalah seorang yang tidak baik moralnya.
Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah pernikahan Hayati,
Zainuddin jatuh sakit. Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke
Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya
dikenal dengan masyarakat dengan nama letter “Z”. Zainuddin dan Muluk pindah ke
Surabaya dan ia pun menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang
dermawan.
Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin
terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka
makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan dan
41
secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka singgah di rumah
Zainuddin karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikkan Zainuddin. Aziz
meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa hari
kemudian, datang dua surat dari Aziz yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati,
yang kedua berisi surat perminta maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima
Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di
kamarnya. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya.
Namun karena masih merasa sakit hati Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke kampung
halamannya saja. Keesokan harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der
Wijck. Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup
tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertuliskan “Aku Cinta
Engkau dan Kalau ku Mati adalah Kematianku di Dalam Mengenang Engkau.” Maka
segeralah ia hendak menyusul Hayati. Saat sedang bersiap-siap, tersiar kabar bahwa
kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung kaget dan langsung pergi
ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati.
Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati
sedang terbaring lemah sambil memegangi foto Zainuddin dan hari itu adalah
pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati
meninggal dalam dekapan Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pendiam dan
tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena
sakit. Ia dikubur bersebelahan dengan makam Hayati.
2) Merantau ke Deli
Suatu ketika Leman dapat bertemu dengan wanita yang dicarinya itu, namanya
Poniem. Poniem seorang kuli di kebun itu yang berasal dari tanah Jawa. Poniem adalah
istri “piaraan” dari mandor besar. Poniem masih muda dan mempunyai banyak barang
emas.
Leman mengajak Poniem untuk menikah dengannya, sehingga Poniem mau
walaupun sempat ragu-ragu. Mereka ketemuan di Siantar, kemudian Leman dan Poniem
lari ke kota Modean bersama dengan barang emas yang dimiliki Poniem untuk menikah
di rumah tuan Kadhi. Sebelum mereka pergi, Leman diberi nasihat oleh Bagindo Kayo
42
seorang yang lebih tua di perantauan itu. Mereka berangkat ke rumah tuan Kadhi pada
hari itu juga. Menikahlah dengan sah secara Islam.
Mereka telah lama menikah dan sempat mengalami krisis ekonomi karena
dagangan suaminya tidak berjalan dengan lancar, sehingga membuat Poniem merasa
kasihan pada suaminya. Poniem menjual barang emasnya yang melekat di tubuhnya
yang tersisa hanyalah sepasang anting yang melekat pada telinganya. Seiring
berjalannya waktu usaha dagangan suaminya semakin maju dan terus mau.
Kesejahteraan sepasang suami istri ini terdengar sampai ke kampung Leman. Sehingga
banyak orang-orang dari kampung Leman yang datang ke temoat Leman dan mengaku-
ngaku keluarga Leman. Leman dan Poniem menolong semua orang-orang yang datang
ke rumahnya sehingga dapat berdiri sendiri. Suatu ketika datanglah seorang anak muda
bernama Suyono yang mencari pekerjaan untuk bertahan hidup ke kedai Leman, dan
dia dijadikan orang kepercayaan penjaga kedai oleh Leman karena sifatnya yang baik
dia berasal dari Jawa. Sudah lama menikah tetapi Leman dan Poniem belum dikaruniai
anak.
Datanglah waktunya Leman untuk pulang ke kampungnya dan membawa
istrinya, Leman dan Poniem pulang ke kampung halaman Leman disambut dengan
hangat oleh orang kampung Leman. Poniem disambut hangat oleh perempuan dan oran-
orang di sana karena sifatnya yang lembut dan baik tetapi sayangnya Poniem bukan
berasal dari orang awak. Dalam suasana di kampung Leman mendapatkan hasutan
untuk menikah lagi dengan orang sekampungnya yang bernaa Mariatun yang masih
segar bugar dan perawan serta lebih muda dari pada Poniem. Akhirnya Leman
menyetujui pernikahan itu. Setibanya Leman dan istrinya di rumah kedainya. Leman
berjanji kepada Poniem tidak akan mengabaikannya dan selalu menjaga perasaannya
sebagai istri pertama. Namun janji tinggal janji. Istri mudanya jauh lebiih pandai
berdandang, merayu, dan merebut perhatian Leman supaya lebih mencintainya.
Pertengkaran pun mulai terjado. Perdagangan Leman yang selama ini dibantu
Poniempun hendak dikuasai oleh istri muda. Leman yang serba salah pada mulanya
lama kelamaan mulai memihak kepada istri mudanya.
43
Pertengkaran hebat yang terjadi memaksa Leman menceraikan Poniem. Sejak
hari itu Poniem meninggalkan rumahnya dan merantau ke Deli. Kegiatan perdangan
Leman mulai mengalami kerugiaan, ditambah lagi dengan sikap tamak istri yang baru.
Barulah Leman menyadari, selama ini dia banyak terbantu oleh ketekunan Poniem
dalam berdagang. Tetapi semua sudah terlanjur terjadi.
Poniem akhirnya menemukan jodoh barunya yang lebih memahami dan
menghargainya. Suyono salah satu seorang pekerja di kedai Leman. Mereka memulai
berdagang kembali dengan sedikit modak yang ada pada mereka. Usaha dagang mereka
maju hingga mereka sanggup membeli rumah dan tanah.
Sementara itu Leman dan istri mudanya semakin hari semakin jatuh miskin.
Pertemukan kembali Leman dan Poniem terjadi ketika Poniem dan Suyono telah
membeli rumah di Deli. Leman meminta maaf kepada Poniem atas kesalahannya dulu.
Dengan lapang hati Poniem memaafkan kesalahan mantan suaminya itu.
C. Karya dan Pemikiran Hamka
1. Karya-karya Hamka
Sebagai seorang yang berpikiran maju, Hamka tidak hanya merefleksikan
kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai mimbar dalam cerama agama, tetapi ia juga
menuangkannya dalam berbagai macam karyanya berbentuk tulisan. Orientasi
pemikirannya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat,
pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra dan tafsir. Sebagai penulis yang sangat
produktif, Hamka menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku. Beberapa di
antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
a. Tasawuf modern (1983), pada awalnya, karyanya ini merupakan kumpulan
artikel yang dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat antara tahun 1937-
1937 karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersebut kemudian
dibukukan. Dalam karya monumentalnya ini, ia memaparkan
pembahasannya ke dalam XII bab. Buku ini diawali dengan penjelasan
mengenai tasawuf. Kemudian secara berurutan dipaparkannya pula pendapat
para ilmuwan tentang makna kebahagiaan, bahagia dan agama, bahagia dan
44
utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qonaah,
kebahagiaan yang dirasakan rosulullah, hubungan ridho dengan keindahan
alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah. Karyanya yang lain
yang membicarakan tentang tasawuf adalah ”Tasawuf; Perkembangan Dan
Pemurniaannya”. Buku ini adalah gabungan dari dua karya yang pernah ia
tulis, yaitu ”Perkembangan Tasawuf Dari Abad Ke Abad” dan
”Mengembalikan Tasawuf Pada Pangkalnya”.
b. Lembaga Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang terdiri dari XI
bab. Pembicaraannya meliputi; budi yang mulia, sebab budi menjadi rusak,
penyakit budi, budi orang yang memegang pemerintahan, budi mulia yang
seyogyanya dimiliki oleh seorang raja (penguasa), budi pengusaha, budi
saudagar, budi pekerja, budi ilmuwan, tinjauan budi, dan percikan
pengalaman. secara tersirat, buku ini juga berisi tentang pemikiran Hamka
terhadap pendidikan Islam, termasuk pendidik.
c. Falsafah Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai buku ini
dengan pemaparan tentang makna kehidupan. Kemudian pada bab
berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalam berbagai aspek dan
dimensinya. Selanjutnya ia mengetengahkan tentang undang-undang alam
atau sunnatullah. Kemudian tentang adab kesopanan, baik secara vertikal
maupun horizontal. Selanjutnya makna kesederhanaan dan bagaimana cara
hidup sederhana menurut Islam. Ia juga mengomentari makna berani dan
fungsinya bagi kehidupan manusia, selanjutnya tentang keadilan dan
berbagai dimensinya, makna persahabatan, serta bagaimana mencari dan
membina persahabatan. Buku ini diakhiri dengan membicarakan Islam
sebagai pembentuk hidup. Buku ini pun merupakan salah satu alat yang
Hamka gunakan untuk mengekspresikan pemikirannya tentang pendidikan
Islam.
d. Lembaga Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia mengembangkan
pemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi tentang berbagai kewajiban
manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial, hak atas harta
45
benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim, kewajiban dalam
keluarga, menuntut ilmu, bertanah air, Islam dan politik, Al-Qur’an untuk
zaman modern, dan tulisan ini ditutup dengan memaparkan sosok nabi
Muhammad. Selain Lembaga Budi dan Falsafah Hidup, buku ini juga berisi
tentang pendidikan secara tersirat.
e. Pelajaran Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX bab.
Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut mana mencari
Tuhan, dan rukun iman.
f. Tafsir Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan karyanya yang paling
monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian besar isi
tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, yaitu ketika ia menjadi tahanan
antara tahun 1964-1967. Ia memulai penulisan Tafsir Al-Azhar dengan
terlebih dahulu menjelaskan tentang i’jaz Al-Qur’an. Kemudian secara
berturut-turut dijelaskan tentang i’jaz Al-Qur’an, isi mukjizat Al-Qur’an,
haluan tafsir, alasan penamaan tafsir Al-Azhar, dan nikmat Illahi. Setelah
memperkenalkan dasar-dasar untuk memahami tafsir, ia baru mengupas
tafsirnya secara panjang lebar.
g. Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan Kaum Agama
di Sumatera (1958). Buku ini berisi tentang kepribadian dan sepak terjang
ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rosul. Hamka
melukiskan perjuangan umat pada umumnya dan khususnya perjuangan
ayahnya, yang oleh Belanda diasingkan ke Sukabumi dan akhirnya
meninggal dunia di Jakarta tanggal 2 Juni 1945.3
h. Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini merupakan autobiografi
Hamka.
i. Islam dan Adat Minangkabau (1984). Buku ini merupakan kritikannya
terhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang dianggapnya tak sesuai
dengan perkembangan zaman.
3 Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi.
(Bandung: Nuansa, 2007), hlm. 62.
46
j. Sejarah umat Islam Jilid I-IV (1975). Buku ini merupakan upaya untuk
memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu mulai dari Islam era
awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada abad pertengahan. Ia pun juga
menjelaskan tentang sejarah masuk dan perkembangan Islam di Indonesia.
k. Studi Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik dan kenegaraan
Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam, studi Islam, dan
perbandingan antara hak-hak azasi manusia deklarasi PBB dan Islam.
l. Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas tentang
perempuan sebagai makhluk Allah yang dimuliakan keberadaannya.
m. Si Sabariyah (1926), buku roman pertamanya yang ia tulis dalam bahasa
Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1979), Di
Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau Ke Deli (1977), Terusir,
Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah Kehidupan, Salahnya Sendiri, Tuan
Direktur, Angkatan baru, Cahaya Baru, Cermin Kehidupan.
Sebagai pendidik, Buya Hamka telah membuktikan mampu menunjukan bukti
menyakinkan akan keberhasilannya. Walaupun tidak menjadi pendidik dalam arti guru
profesional, ia memancarkan secara keseluruhan sikap mendidik sepanjang hidupnya.
Ini adalah karakteristik yang umum di kalangan ulama, karena salah satu etos yang
paling umum dianut adalah keharusan menjadikan diri contoh dan teladan moralitas
keagamaan. Dalam Ta’lim Al-Muta’allim merumuskan etos itu dengan singkat; jadilah
penuntut ilmu atau pengajarnya! Ini sepenuhnya tercermin dalam setiap aspek
kehidupan Hamka. Watak mendidik itu akhirnya mencapai titik optimalnya ketika ia
menjadi Ketua Umum MUI, dan berpuncak pada ”efek mendidik” dalam setiap ia
mengeluarkan keputusan.
Penunaian tugas sebagai pendidik itu dipermudah oleh ketekunananya
menjalankan peribadatan perorangan, yaitu dengan kebiasaannya untuk bangun dini hari
guna menunaikan sholat subuh, bahkan sembahyang tengah malam ketika orang lain
beristirahat, terutama pada usia lanjut, dan keteraturan irama hidupnya mendukung
dengan kuat fungsi yang kemudian ditunaikannya secara pribadi sebagai pendidik.
Kerja mendidik yang dijalaninya secara fisik itu menjadi wahana yang serasi bagi
47
pesan-pesan keagamaannya yang jelas sekali bernada mendidik pula. Efektivitas pesan-
pesan itu tercermin dari kenyataan, bahwa apa yang dikumandangkan Hamka bagaikan
terpaku pada sejumlah tema dasar, seperti perlunya dikembangkan kasih sayang sesama
muslimin, perlunya sikap saling menghormati dengan orang lain. perlunya solidaritas
yang jujur antara sesama warga masyarakat, dan seterusnya. Karena Hamka hanya
membatasi diri pada fungsi mendidik masyarakat secara umum, lalu menjadi sulit kerja
mengukur kedalaman persepsinya sendiri tentang fungsi yang dilakukannya itu. Dengan
kata lain, kualitas hasil didikannya sulit untuk diukur kualitasnya. Ini berarti efektivitas
Hamka sebagai pendidik adalah sesuatu yang dapat dirasakan dan diterima berdasarkan
pengamatan lahiriah, tanpa dapat dibuktikan secara ilmiah menurut kriteria yang
beragam yang dikembangkan oleh ilmu pendidikan sendiri.
Kini, kenang-kenangan tentang ulama, penyair, sastrawan, dan filosof bernama
lengkap Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah disingkat Hamka itu, bisa ditemui
di kampung halamannya: Nagari Sungai Batang Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya,
Kabupaten Agam, Sumatra Barat (Sumbar). Ratusan buku karangan Hamka, semenjak
novel fiksi Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah,
sampai kepada buku filsafat seperti Tasawuf Modern dan Falsafah Hidup, bahkan
karyanya yang sangat fenomenal Tafsir Al-Azhar yang diselesaikan ketika Buya
dipenjara tanpa alasan yang jelas oleh rezim Soekarno bisa ditemui di museum rumah
kelahiran Buya Hamka tersebut.
2. Pemikiran Hamka tentang Adat Minangkabau
Hamka adalah seorang pemikir kritis. Buku yang berjudul Ayah karya Irfan
Hamka anak kelima dari almarhum. Buku tersebut menggambarkan tentang perjalanan
Hamka dari masa muda, dewasa, menjadi seorang ulama, kemudian sastrawan, politisi,
menjadi seorang kepala rumah tangga, hingga menggambarkan ajal menjemputnya.
Ketika Hamka menjadi seorang sastrawan banyak buku yang ditulisnya mengenai adat
istiadat di Minangkabau. Hamka menulis novel tersebut banyak mengritik tentang
sistem matrilineal dan tradisi merantau di Minangkabau.
Novel yang menceritakan sistem matrilineal ada pada novel Tenggelamnya
kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Bawah Lindungan Kabah. Novel
48
tersebut jelas terlihat sosok Hamka sangat menolak keras tentang adat tersebut yang
dikisahkan pada tokoh-tokoh di dalam novel. Pada tahun 1946, Hamka (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah), putra terkenal dari seorang ulama yang dihormati bernama
Haji Rasul, Hamka menerbitkan sebuah buku lainnya yang berjudul Adat Minangkabau
Menghadapi Revolusi. Dalam buku ini Hamka mengusulkan agar adat atau sister
matrilineal harus digantikan dengan sistem yang beroriebtasikan prinsip patrilineal,
yang menurut pendapatnya lebih sesuai dengan keadaan yang sekarang dan sama
dengan adat lainnya yang ada di Indonesia. Pada buku yang berjudul Adat Minangkabau
dan Merantau karya Kato dipaparkan ada pepatah yang terkenal yang melukiskan ciri
adat Minangkabau yang tidak berubah :
Adat lama, pusaka usang,
Tidak lapuk oleh hujan,
Tidak lekang oleh panas.
Mengenai pepatah di atas, Hamka mengatakan bahwa “Adat Minangkabau tidak
lapuk dihujan dan tidak lekang dipanas, perkataan itu tepat sekali, karena yang tidak
lapuk dihujan dan tidak lekang dipanas adalah batu. Dan batu itu sekarang sudah
berlumut. Maka supaya tersimpan dan tetap berharga baiklah disimpan di gedung arca
atau museum.4
Melalui novel-novelnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli,
dan Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Hamka menjadi seorang kritikus yang
paling keras terhadap Minangkabau dan sistem matrilinealnya. Dia pulalah yang
menganjurkan adat itu seharusnya disimpan di museumkan. Dapat dilihat di penceritaan
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka menceritakan tokoh Hayati yang
harus menikah dengan mengikuti sistem adatnya yang menikah dengan orang dari
mamaknya. Hamka menceritakan bahwa sosok Hayati tidak bahagia dan bahkan
bercerai dengan suaminya, kemudian pada novel Merantau ke Deli pun sama tokoh
laki-lakinya menikah dengan bukan dari daerahnya, melainkan dari Jawa dia hidup
4 Tsuyoshi Kato. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005). h. 245 – 246.
49
bahagia dan tentram tetapi ketika dia disuruh menceraikan istri pertama dan menikah
lagi dengan perempuan asal Minang, hidup Leman pun tidak bahagia bersama istri
keduanya. Jelas sekali bahwa Hamka sangat menolak dengan sistem ada yang ada di
Minangkabau, kemudian dia curahkan ke dalam novel terbitannya. Bagi Hamka,
tampaknya tradisi dan adat adalah sesuatu yang disayangi dan diidamkan, bukan sesuatu
yang dijadikan panduan hidup.
50
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS
A. Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema merupakan suatu pokok permasalahan yang terdapat dalam
cerita dari pengarang yang terangkai dan tersusun dengan baik. Beberapa
pengarang ada yang menyampaikan temanya secara tersirat adapun
pengarang yang menyampaikannya secara tersurat. Maksudnya tersirat
adalah disampaikannya secara tersembunyi sehingga pembaca harus benar-
benar paham dari isi cerita tersebut, sedangkan tersurat adalah tema yang
disampaikan secara terang-terangan bisa melalui judul, isi cerita, maupun
secara langsung di dalam kata pengantar. Berikut ini penjelasan tentang
unsur intrinsik pada kedua novel yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dan Merantau ke Deli.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, memiliki
tema tentang perantauan. Seorang tokoh utama yang selalu merantau ke
setiap kota. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri
yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh,
karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya....1
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa tokoh utama yang bernama
Zainuddin akan merantau ke Padang Panjang. Selain itu tema yang lainnya
tentang cinta yang tulus dan cinta yang masing-masing memiliki kesetiaan
antara tokoh utama laki-laki dan tokoh utama perempuan yang awalnya
saling mengenal satu sama lain diawali dengan tokoh utama laki-laki
Zainuddin ingin menjadi sahabat Hayati yang dapat dilihat dari kutipan
percakapan sebagai berikut.
1 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 26
51
“Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui, saya orang
dagang melarat dan orang terbuang yang datang dari negeri jauh,
yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya, itu agaknya yang akan
menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati,
meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau
akan bertemu dengan hati yang begini yang bersih lantaran senantiasa
dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke dunia” 2
Berikut penggalan surat yang diberikan Zainuddin kepada Hayati guna
menjadikan Hayati sebagai sahabat barunya. Kutipan tersebut
mempengaruhi tema yang terdapat pada cerita ini karena pada awal
penceritaan, tokoh Zainnuddin ingin mengenal lebih dekat dengan tokoh
Hayati sehingga terjalin kedekatan. Selain itu teknik cakapan yang
disampaikan oleh Zainuddin kepada Hayati bahwa Zainuddin pantas atau
tidak menjadi sahabat Hayati.
Tetapi pula, kalau kau hendak mendasarkan cinta itu pada
dasar keikhlasan, pada keteguhan memegang janji, pada memandang
kebaikan hati dan buka kebaikan rupa. Kalau engkau bukan
mengharapkan kayaku, tetapi mengharapkan pengorbanan jiwaku
untukmu, kalau engkau sudi kepadaku dan tidak merasa menyesal jika
kelak bertemu dengan bahaya yang negeri dan kecimus bibir; kalau
semuanya itu tidak engkau perdulikan, Hayati, sebagai kukatakan
dahulu, engkau akan beroleh seorang sahabat yang teguh setia.”3
Berdasarkan pada kutipan di atas menggambarkan sosok Zainuddin
yang menerangkan keadaan yang sebenarnya, dia ingin menjadi sahabat
Hayati tapi dia ragu akan dirinya yang dipandang hanya sebagai orang
miskin tidak punya kekayaan, dia hanya punya sebuah satu kesetiaan
menjadi seorang sahabat. Zainuddin tahu bahwa Hayati adalah gadis
keturunan orang beradat dan kaya.
“Kalau demikian, hari inilah saya terangkan di
hadapanmu, di hadapan cahaya matahari yang baru naik,
dihadapan roh ibu bapak yang sudah sama-sama berkalang tanah,
saya katakan : Bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-pebuhnya oleh
cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah memenuhi hatiku, telah
terjadi sebagai nyawa dan badan adanya. Dan selalu saya berkata
2 Ibid. h. 42
3 Ibid. h. 49.
52
biar Tuhan mendengarkan bahwa engkaulah yang akan jadi
suamiku kelak, jika tidak sampai di dunia, biarlah di akhirat. Dan
saya tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di
hadapan Tuhanku, dan di hadapan arwah nenek moyangku.” Ujar
Hayati.4
Kutipan selanjutnya mempengaruhi tema, bahwa Zainuddin ditolak
oleh keluarga Hayati sehingga Zainuddin terpaksa harus menjauhi Hayati.
Pertama kali mereka bertemu sudah terlihat jelas seberapa mereka saling
mencintai dan memiliki kesetiaan yang tulus. Zainuddin mencintai Hayati
dengan tulus, begitupun Hayati sangat mencintai Zainuddin apa adanya.
Namun dengan adanya aturan atau adat yang menghalangi kisah cinta
mereka. Cinta mereka tidak dapat dipersatukan dan tidak tersampaikan
karena tradisi adat Minangkabau yang begitu mengikat dan mendiskriminasi
adat lainnya. Mamak Hayati melarang Zainuddin untuk mendekati Hayati,
berikut kutipannya.
“Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari
sini, untuk kemaslahan Hayati yang engkau cintai.” Ucap Engku.
“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,”
perkataan ini terhujam ke dalam jantung Zainuddin, laksana
panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak
berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat
Minangkabau. Sedangkan Hayati seorang anak bangsawan,
turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang
berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri
Batipuh ini. Alangkah besarnya kurban yang harus ditempuh
Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati
tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat.
Berdasarkan kutipan di atas melalui teknik cakapan yang
disampaikan melalui Engku, berkelanjutan dengan kutipan sebelumnya
bahwa Zainuddin tidak pantas untuk mendekati Hayati. Jelas sekali adat dan
tradisi Padang sangat menentang sekali dengan adanya pernikahan yang
berbeda suku dan tahta. Selain itu dikirimnya surat balasan dari pihak
keluarganya Hayati untuk Zainuddin, yaitu sebagai berikut.
4 Ibid. h. 66.
53
Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang
Surat orang muda telah kami terima dan mafhum kami
isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata
dengan mudakat, maka kami panggilah kaum keluarga Hayati
hendak memusyawarahkan hal permintaan anak muda itu.
Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara
kami semuanya. Artinya belum sepakat. Oleh sebab kayu yang
bercabang tidak boleh dihentakkan, maka kami tolaklah
permintaan orang muda, dengan mengatakan terus terang bahwa
permintaan ini tiada kami kabulkan.
Lebih dan kurang, harap supaya dimaafkan.
Dt.................
Dt. Garang d.l.l
Kutipan dan surat tersebut menunjukan bahwa cintanya Zainuddin
ditolak oleh pihak keluarga dari Hayati. Zainuddin sangat kecewa sekali
dengan keputusan Engku agar menjauh dari Hayati. Sebab dengan
kehadiran Zainuddin di kehidupan Hayati bukan hanya saja bertentangan
dengan adat istiadat, melainkan tentang keadaan sikap dan kondisi Hayati
yang menjadi pemenung dan pehiba hati. Hayati segera dijodohkan oleh
orang lain yang dikenalkan oleh Khadijah yaitu teman dekatnya.
“Jika ada mulutku yang ganjil kepadamu, kalau manis
jangan lekas diulur, kalau pahit jangan lekas diludahkan, pikirkan
baik-baik dahulu.” Ujar Khadijah.5
“Alangkah baiknya jika kita berkarib dengan dia, kalau
kita berkerabat dengan dia bukan main megahnya itu. Barangkali
orang yang akan disuruh pergi yang tak mau.” Ujar Khadijah.6
Pada kutipan di atas juga mempengaruhi tema pada novel ini,
melalui teknik cakapan juga yang dibuat oleh pengarang melalui tokoh
Khadijah agar Hayati segera melupan Zainuddin karena bukan setanah
sesuku, dan harus segera menikah dengan satu adatnya yaitu Aziz. Beberapa
kutipan dan permasalahan dirangkai menjadi beberapa tema, simpulan dari
tema yang dimiliki novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah
5 Ibid. h. 95.
6 Ibid. h. 95.
54
perjalanan rantauan si tokoh utama serta cinta sejati tetapi tidak dapat
bersatu dan tidak tersampaikan hanya karena adat istiadat yang sangat
mendiskriminasi. Jika dikaitkan antara tema dengan analisis dapat
disimpulkan bahwa terjadinya perantauan tokoh utama laki-laki disebabkan
oleh dengan penolakan pihak keluarga Hayati terhadap Zainuddin, sehingga
Zainuddin merantau ke Jakarta dan Surabaya dengan niat melupakan Hayati
dan mencari ilmu dunia dan akhirat, dengan demikian tujuannya merantau
tidak sia-sia.
Merantau ke Deli
Sedangkan tema yang terdapat pada novel Merantau ke Deli adalah
tradisi adat antara Padang dan Jawa, perbedaan adat antara suami dan istri.
Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Menurut adat orang Minangkabau di dalam negeri sendiri yang
memegang rumah tangga ialah si isteri. Suaminya hanya “Sumando”
artinya orang lain yang datang ke rumah itu.7
Pandangan orang Jawa sama, suami dan isteri itu adalah berkongsi
hidup, sama-sama mencencang dan melatih, sama-sama berusaha.
Segala hak milik adalah kepunyaan mereka berdua, sampai-sampai
kepada rumah tangga.8
Kedua kutipan tersebut terlihat jelas tentang perbedaan adat yang
dimiliki kedua tokoh. Tokoh laki-laki yang berasal dari adat Minangkabau
sedangkan isterinya berasal dari Jawa. Mereka berdua saling berdebat
tentang adat masing-masing dari asal mereka berdua. Masalah yang
dihadapinya pada saat suaminya sedang terpuruk masalah perniagaan dan
tidak diceritakannya kepada isterinya, sebab dia pikir bahwa laki-laki
Minang harus berusaha sendiri tanpa bantuan isterinya. Lain halnya lagi
dengan isterinya yang sempat curiga kenapa suaminya selalu terpuruk,
setelah mengetahui sebabnya maka isterinya membantu suaminya dalam
perniagaan karena di dalam adat Jawa jika sudah bersuami isteri maka hak
rezeky adalah tanggungjawab mereka berdua.
7 Hamka, Merantau ke Deli, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 28.
8 Ibid,. h. 29.
55
Selain itu, tema yang lainnya adalah tentang hukum karma seorang
tokoh utama laki-laki. Maksudnya adalah tokoh utama laki-laki telah
menikahi seorang perempuan tua yang berasal dari Jawa bernama Poniem,
ketika pulang kampung orang tua dari Leman menyuruh Leman untuk
menikah lagi. Akhirnya Leman menyetujui pernikahan itu hanya karena
gadis dari Padang itu lebih cantik, lebih molek, dan lebih muda
dibandingkan dengan istrinya yang sudah tua. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kutipan sebagai berikut.
“Wahai, kulitnya putih, kuning, tumitnya..... ah, merah
tumitnya dipijakkannya, jauh lebih cantik dari Poniem, bulat penuh
mukanya, meskipun Poniem cantik juga, sayang telah agak tua,
mukanya telah agak kisut.”9
Berdasarkan kutipan tersebut digambarkan melalui teknik pikiran
dan perasaan yang dialami oleh tokoh utama, Leman. Leman berpikir bahwa
dia akan menikah lagi dengan gadis yang lebih muda dari istrinya. Memang
laki-laki apabila ditawarkan gadis baru yang lebih cantik dari istrinya,
langsung mengiyakan tanpa melihat kondisi rumah tangganya, bisakah dia
memberikan keadilan yang merata untuk memberi nafkah batin dan nafkah
lahir. Dia tidak peduli sakit hati yang dirasa sang istri tua jika dimadu.
Kutipan selanjutnya adalah ketika tokoh utama laki-laki tersebut mengalami
sebuah karma dimana dia telah meninggalkan istri tuanya yang telah
membuatnya sukses karena lebih memilih istri mudanya yang cantik dan
hidupnya melarat. Berikut kutipannya.
“Memang telah banyak perobahan-perobahan terhadap
diri kita masing-masing dalam masa tiga tahun saja. Engkau
meningkat naik, saya meluncur turun. Tiap-tiap saya coba, tiap
itu pula saya jatuh. Engkau akan tinggal di rumah besar, duit
telah tersimpan pula. Saya sendiri pindah dari sebuah kedai ke
rumah petak kecil, disewa berkongsi-kongsi, sebab tidak tersewa
sendiri.” Ujar Leman.10
9 Ibid. h. 65.
10 Ibid. h. 173.
56
Berdasarkan penggalan cerita di atas, melalui teknik cakapan yang
disampaikan oleh Leman kepada Suyono. Jelas tergambar bahwa kini
Leman sudah tidak memiliki apa-apa lagi, kekayaanpun tidak punya. Itu
penyebabnya karena ditinggalkannya seorang istri yang baik dan gigih yaitu
Poniem. Dia lebih memilih Mariatun yang hanya sekadar cantik, molek,
muda, dan enak dilihat. Dapat disimpulkan dari kedua kutipan cerita
tersebut bahwa pada akhirnya itu semua tidak ada gunanya ketika memiliki
seorang istri yang cantik saja tetapi tidak cerdas dan gigih. Tema yang
dimiliki novel Merantau ke Deli memang agaknya sedikit berbeda dengan
novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, mengapa demikian karena di
novel Merantau ke Deli hanya sedikit membahas tentang merantaunya,
hanya saja tokoh utama pada awalnya tujuan pertama merantau yaitu ingin
mencari pekerjaan di daerah Deli menjadi seorang pedagang dan tujuan
kedua yaitu ingin mencari jodoh. Dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai
berikut.
Meskipun ketika dia akan meninggalkan kampungnya dahulu
telah diberi ingat benar-benar oleh orang tua-tua supaya hati-hati di
tanah Deli, supaya ingat bahwasannya laut sakti dan rantau bertuah;
meskipun perniagaannya terlalu kecil dan langganannya belum
banyak; meskipun dagangannya belum begitu laku, semuanya itu
tidak menghalangi dorongan darah mudanya.11
Yang menarik hatinya ke kebun ialah seorang perempuan
yang cantik, masih muda.12
Berdasarkan kutipan di atas, kutipan yang pertama menandakan
bahwa Leman merantau dengan tujuan ingin mencari pekerjaan di daerah
Deli, yaitu sebagai pedagang. Dihubungkan dengan tradisi merantau Kato
melakukan penelitian di daerah Hilir dan mengemukakan bahwa tidak ada
merantau untuk tujuan perdagangan di dalam Sumatra Barat atau tidak ada
pemekaran nagari di rantau hilir pada zaman itu. Pedagang-pedagang di
Sumatra Barat nyata sudah giat, terutama di pantai barat boleh jadi
11
Ibid. h. 6 – 7. 12
Ibid. h. 7.
57
pemekaran nagari lebih sering terjadi daripada merantau untuk tujuan
berdagang di rantau hilir. Kemudian pada kutipan yang kedua bertujuan
untuk mencari pasangan hidupnya tetapi dengan niat mencari di luar
adatnya.
2. Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang ada di dalam cerita. Peristiwa
tersebut bisa diawali dari rangkaian cerita terjadinya perkenalan, adapun
yang diawali dari pertengahan permasalahan yang terjadi pada saat ini
kemudian diakhiri dengan masa lampau. Tahapan plot yang dikemukakan
pada buku Burhan yaitu tahapan plot dibagi menjadi lima bagian. Kelima
tahapan itu adalah 1) tahap penyituasian, 2) tahap pemunculan konflik, 3)
tahap peningkatan konflik, 4) tahap klimaks, dan 5) tahap penyelesaian. Pada
novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck terdapat alur maju mundur,
sehingga tokoh utama pada awal cerita adalah menceritakan tentang sebelum
dia lahir yang diceritakan oleh ibu angkatnya. Secara umum, rangkaian
peristiwa-peristiwa tersebut akan dijelaskan pada tahapan-tahapan sebagai
berikut.
a. Situasi (mulai melukiskan keadaan)
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Alur yang terangkai dalam cerita novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck ini adalah alur maju mundur sebab
menceritakan hal-hal yang terjadi di masa lampau atau masa
lalu, kemudian membahas lagi cerita baru yang terjadi dan
sedang berlangsung selanjutnya menjadi cerita yang
berkelanjutan. Pada awalnya menceritakan tentang kejadian
lahirnya seorang anak dari pasangan Pendekar Sutan dan Daeng
Habibah. Tumbuh besar seorang anak di Mengkasar yang
berusia kira-kira 19 tahun yang sedang termenung memikirkan
pesan ayahnya yang sudah meninggal, ayahnya seorang kepala
waris tunggal. Kemudian menceritakan masa lampau lagi,
58
seorang ayah yaitu pandekar sutan masih remaja dimana ia
selalu melawan orang tuanya dan pada akhirnya bertemulah
dengan perempuan cantik yang bernama Daeng Habibah
kemudian menikah dan dikaruniai anak laki-laki yang bernama
Zainuddin. Berikut kutipan yang menceritakan tentang masa
lampau Zainuddin.
Dia dinamai ayahnya Zainuddin. Sejak kecilnya
telah dirundung oleh kemalangan....... Untuk mengetahui
siapa dia, kita harus kembali kepada suatu kejadian di
suatu negeri kecil dalam wilayah Batipuh X Koto
(Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu.13
Tiga dan empat tahun dia bergaul dengan isteri
yang setia itu, dia beroleh seorang anak laki-laki, anak
tunggal, itulah dia, Zainuddin yang bermenung di rumah
bentuk Mengkasar, di jendela yang menghadap ke laut di
Kampung Baru yang dikisahkan pada permulaan cerita
ini.14
Penggalan cerita di atas adalah menceritakan tentang
awal mula orang tua Zainuddin, yang menjelaskan tentang
lahirnya seorang anak laki-laki dari pasangan yang bernama
Pendekar Sutan dan Daeng Habibah di sebuah rumah
Mengkasar, sebuah kampung yang bernama Kampung Baru.
Semasa Zainuddin berumur 9 bulan Zainuddin ditinggal oleh
ibunya. Berikut penggalan cerita melalui Mak Base sebagai
orang tua angkatnya.
TERANGKANLAH, mak, terangkanlah kembali
riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya,”
ujar Zainuddin kepada Mak Base, orang tua yang telah
bertahun-tahun mengasuhnya itu.15
“Ketika itu engkau masih amat kecil.”katanya
memulai hikayatnya. “Engkau masih merangkak-rangkak
di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu
memasukkan obat ke dalam mulutnya. Nafasnya sesak
13
Hamka, Op.Cit., h. 11. 14
Ibid. h. 15. 15
Ibid. h. 16
59
turun naik, dan hatinya rupanya sangat duka cita akan
meninggalkan dunia yang fana ini. Ayahmu
menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur
ibumu. Saya sendiri berurai air mata, memikirkan bahwa
engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan
yang seberat itu, umurmu baru sembilan bulan.16
Bedasarkan penggalan cerita di atas mulailah penceritaan
kembali ke masa kini, di mana mengisahkan perjalanannya
Zainuddin yang sekarang dan menggambarkan hidup seorang
anak yang masih berumur sembilan bulan. Dia sudah ditinggal
ibunya selama-lamanya dan diasuh oleh orang tua angkatnya
bernama mak Base. Tidak lama kemudian ayahnya yaitu Daeng
juga pergi meninggalkan Zainuddin menghadap Illahi. Penggalan
ceritanya sebagai berikut.
Rupanya kudrat Illahi tidak mengizinkan ayahmu
menunggumu sampai besar. Karena di waktu engkau
sedang cepat bermain di waktu sedang enak mengecap
nikmat kecintaan ayahmu seorang, ayahmu meninggal
dunia. Meninggalnya seakan-akan terbang ke langit saja,
dengan tidak disangka-sangka. Pada suatu malam, petang
Kamis malam Jumat, sedang dia duduk di atas tikar
sembahyangnya, bertekun sebagai kebiasaannya, meminta
taubat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu
engkau telah pandai menangis dan bersedih, engkau
meratap memanggil-manggil dia.17
Berdasarkan penggalan kutipan cerita di atas
menggambarkan sosok Zainuddin yang sudah besar dan mengerti
ketika ayahnya meninggal, dengan menangis dan bersedih
meratapi memanggil-manggil nama ayahnya karena ketika
ibunya meninggal ia masih berumur sembilan bulan dan belum
mengerti apapun hal yang terjadi. Mulailah tahap situasi ini
berkaitan dengan tradisi merantau dengan meninggalnya orang
16
Ibid. h. 16. 17
Ibid. h. 20
60
tuanya Zainuddin, terpaksalah Zainuddin untuk merantau ke
Padang Panjang yaitu negeri asal ayahnya.
Merantau ke Deli
Sedangkan alur pada novel Merantau ke Deli pengarang
menggunakan alur maju, sebab ceritannya terus bergerak maju
dimulai dari pertemuan Leman dengan Poniem menuju kejadian-
kejadian di rumah tangganya, lalu bagaimana penyelesaian
masalah itu sehingga Leman dan Poniem berpisah pada akhir
ceritannya.
Tahap Situasi diawali dengan penggambaran masyarakat
Deli yang sebagian besar adalah kuli dagang. Lalu pengenalan
tokoh Leman dan Poniem. Poniem adalah seorang kuli kebun
yang berparas cantik dan masih muda. Poniem sekaligus istri
simpanan Mandor. Kemudian Leman adalah seorang perantau
yang berdagang kain di Deli. Leman mengajak Poniem untuk
bertemu dan berkenalan. Setiap hari bertemu menyebabkan
Leman jatuh cinta kepada Poniem. Leman mengutarakan niatnya
kepada Poniem untuk menikahinya. Dengan pertimbangan yang
masak, akhirnya Poniem bersedia diperistri Leman. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Sekarang belum dapat kita berbicara panjang
Poniem, saya hanya hendak bertanya: sempatlah engkau
tanggal 18, lepas bekerja sore datang ke kedai, karena ada
yang akan saya bicarakan dengan engkau?”18
“Kalau saya yang memintamu jadi isteriku, kalau
saya ajak engkau ke luar dari kebun ini, karena kontrakmu
hanya tinggal sebulan lagi, kalau saya suruh engkau
meninggalkan mandor besar, lalu kita lari ke tempat lain
di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik, akan engkau
tolak jugakah?”19
18
Hamka, Merantau ke Deli, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 9. 19
Ibid. h. 13.
61
“Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin,
saya berjanji sepenuh bumi dan langit akan
memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya
mengharapkan harta bendamu, melainkan mengharapkan
dirimu. Sungguh Poniem, saya bukan seorang penipu!”20
“Saya mau kawin dengan Abang, kawin hanya
perkara mudah, kita pergi ke tuan Qadhi, lalu kita
dinikahkan, kita pulang ke rumah berdua lalu kita hidup....
Bila kami perempuan Jawa telah bersuami, maka badan
dan jiwa, harta benda, lahir batin dunia akhirat kami
serahkan. Celakalah laki-laki yang menyia-nyiakan
penyerahan itu!”21
Berdasarkan kutipan pertama situasi pertama yaitu
pengenalan Leman dengan Poniem, Leman mengajak ketemuan
pada tanggal delapan belas. Dari pertemuan itulah Leman
menyimpan rasa untuk Poniem dan Leman tidak segan-segan
meminta Poniem untuk menikah dengannya. Dengan pikiran
yang matang, akhirnya Poniem menerima ajakan Leman untuk
menikah.
b. Peristiwa-peristiwa Mulai Bergerak
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Selanjutnya peristiwa yang dialami novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck adalah ketika Zainuddin beranjak dewasa
dan dia mulai berpikir untuk merantau ke negeri ayahnya di
Padang dengan tujuan menyempurnakan cita-cita ayah dan
ibunya serta ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu
pengetahuannya. Ia meminta izin kepada mak base untuk
berangkat ke Padang. Berikut kutipan cerita mengenai Zainuddin
meminta izin kepada orang tua angkatnya.
Sempit rasanya alam saya, mak Base, jika saya
masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan
saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang,
akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita
20
Ibid. h. 16. 21
Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan Bintan, 1976). h. 17.
62
ayah bundaku. Lepaslah saya berangkat ke Padang.
Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolah-
sekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan
sebagus-bagusnya. Apalagi, puncak Singgalang dan
Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya. Saya
hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku
dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memuji-
muji negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama
Islam masuk kemaripun dari sana. Lepaskanlah saya
berangkat ke sana.”22
Berikut adalah kutipan Zainuddin meminta izin kepada
mak base untuk merantau ke negeri Padang. Zainuddin pergi ke
Padang bukan hanya sia-sia melainkan dia ingin
menyempurnakan cita-cita ayah dan ibunya, serta belajar ilmu
agama dan ilmu pengetahuan. Padang adalah daerah yang sangat
kental sekali dalam pendidikan agama dan pengetahuannya.
Apalagi ilmu agamanya, sebab di Padang merupakan daerah yang
masih menganut sistem-sistem keagamaan dan adat istiadat yang
melekat. Agama Islam pun berawal dari orang-orang Padang.
Setelah diizinkan kepergian Zainuddin ke Padang oleh Mak Base,
sampailah dia di Padang Panjang. Sudah hampir 6 bulan dia
tinggal di dusun Batipuh. Disinilah peristiwa mulai bergerak,
Zainuddin bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis asli dari
Padang yang bernama Hayati.
Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah
seketika hari hujan lebat, sebab daerah Padang Panjang itu
lebih banyak hujannya dari pada panasnya... ...zainuddin
ada membawa payung dan Hayati bersama seorang
temannya kebetulan tidak membawa payung.23
“Heran dengan Zainuddin, mengapa dia tidak
berangkat saja padahal dia berpayung?”24
Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian
Zainuddin meskipun keringatnya terbit di waktu hujan,
22
Ibid. h. 22. 23
Ibid. h. 30 24
Ibid. h. 30
63
dia tampil ke muka ditegurnya Hayati : “Encik...!”
sukakah Encik saya tolong?” tanya Zainuddin kepada
Hayati.25
“Apakah gerangan pertolongan tuan itu?” jawab
Hayati.26
“Berangkatlah Encik lebih dahulu pulang ke
Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat
benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah
sekarang juga.”27
Berdasarkan kutipan percakapan antara Zainuddin dengan
Hayati, jelas peristiwa mulai muncul dengan pertemuannya dua
sejoli tersebut. Pertemuan di sebuah Ekor Lubuk dengan ditemani
turunnya hujan. Hayati tidak membawa payung, segeralah
Zainuddin meminjamkan payungnya kepada Hayati seakan-akan
mulailah perkenalan mereka. Zainuddin sempat gugup dan diam
sejenak karena dekat dengan gadis yang cantik tapi dia mulai
memberanikan dirinya. Cerita semakin berlanjut dengan
perkenalan lainnya, Zainuddin dan Hayati semakin dekat
hubungannya. Dibuktikan dengan Zainuddin ingin lebih akrab
lagi dengan Hayati dengan memberinya ia surat.
“Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya
akui, saya orang dagang melarat dan orang terbuang
yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui
kerendahan saya, itu agaknya yang akan menangguhkan
hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun
bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau
akan bertemu dengan hati yang begini yang bersih
lantaran senantiasa dibasuh dengan air kemalangan
sejak lahirnya ke dunia”. Surat dari Zainuddin untuk
Hayati.28
25
Ibid. h. 30 26
Ibid. h. 30 27
Ibid. h. 31 28
Hamka, Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 42.
64
Merantau ke Deli
Selanjutnya untuk novel Merantau ke Deli pada tahap
peristiwa mulai bergerak adalah kehidupan rumah tangga Leman
dan Poniem sangat bahagia. Mereka saling menghormati satu
sama lain. Mereka juga saling menyayangi. Namun semakin lama
Poniem merasakan ada sesuatu yang berubah dari Leman ternyata
perniagaan Leman sedang menurun. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kutipan sebagai berikut.
Maka perniagaannya yang kecil kian lama kian
mundur, sehingga hanya tinggal bingkai-bingkainya lagi,
ialah kain-kain dan barang-barang yang tidak akan laku
terjual.29
“Begini Poniem. Modal kita amat kurang,
pekerjaan payah padahal labanya tidak ada. Kemanapun
abang pergi, kurang sekali jual beli...”30
“Abang....! Perniagaan kita harus diperbesar segala
barang-barang ini kita jual kembali kepada saudagar emas,
kita jadikan uang.” Ujar Poniem sambil memberikan
perhiasaan kepada Leman.
Poniem memaksa Leman untuk berterus terang apa yang
terjadi sehingga membuat Leman berubah. Akhirnya Leman
menceritakan kepada Poniem bahwa perekonomian keluarga
mereka sedang sulit. Modal dagangan menipis. Pembeli juga
tidak banyak. Mendengar keluh kesah suaminya, Poniem
langsung melepas semua perhiasan yang ada di tubuhnya. Poniem
memberikannya kepada Leman supaya digadaikan untuk
megembangkan usahanya. Itulah cintanya seorang istri terhadap
suami, sesusah-susahnya seorang suami maka istri tidak boleh
meninggalkan suaminya karena seorang istrilah penguat dan
motivasi seorang suami. Kesuksesan suami adalah dari istri.
29
Ibid. h. 30. 30
Ibid. h. 32.
65
Kutipan selanjutnya Leman dan istrinya pulang ke kampung
halamannya Leman, yaitu di Padang.
Sudah lama hal itu terpendam di dalam hati
kecilnya. Maka pada suatu hari dikabarkanyalah kepada
isterinya tentang niat hendak pulang itu. Dan sudah
kepingin hendak bertemu dengan kaum kerabatnya, sudah
terbayang-bayang di matanya halaman rumah famili.31
Mendengar itu Poniem menekurkan kepala, sehabis
suaminya bercakap baru dia mengadah, seraya berkata :
“kalau abang seingin itu benar hendak pulang, tidakkah
teingat di hati abang hendak membawa saya serta?”32
Berdasarkan kutipan di atas, melalui teknik cakapan
antara Leman dan Poniem. Alur ini menjelaskan bahwa Leman
ingin pulang ke kampung halamannya tanpa mengajak Poniem.
Poniem agak kecewa karena tidak diajaknya, sebab Leman
berpikir jika Poniem ikut ke Padang akan berat diongkos. Tapi
kembali lagi dengan sosok istri yang selalu menjadi penenang
suaminya, Leman tidak usah memikirkan ongkos itu. Tahap
inilah yang menjelaskan seorang perantau yang ingin pulang ke
kampung halamannya jika ia sudah sukses di nagari rantaunya,
terjadi pada Leman yang sudah sukses dan ingin pulang ke
kampung halamannya.
c. Keadaan Mulai Memuncak
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Pertemanan mereka cukup lama, dengan berkomunikasi
surat menyurat. Zainuddin berkabar melalui surat dan begitupun
sebaliknya Hayati membalaskan suratnya untuk Zainuddin.
Zainuddin bercerita tentang bagaimana ia hidup di Padang,
betapa tidak nyamannya dia hidup di negeri ayahnya sendiri
seperti orang asing. Dengan begitu Hayati merasa kasihan
terhadap Zainuddin. Lamanya mereka bersahabat, muncullah rasa
31
Ibid. h. 48. 32
Ibid. h. 48.
66
sayangnya Zainuddin untuk Hayati, tapi di sisi lain Hayati
mengingat bahwa Zainuddin bukanlah berasal keturunan
daerahnya hanya saja Zainuddin keturunan daerah Padang dari
garis ayahnya. Hayati khawatir dan ragu jika menyimpan
perasaannya terlalu dalam. Berikut penggalan ceritanya.
“Bukan begitu, tuan Zainuddin. Bukan saya benci
kepada tuan, karena saya kenal budi baik tuan. Saya
merasa kasihan di atas segala penanggungan yang
menimpa pundak tuan. Tapi tuan, sebuah yang saya
takutkan, yaitu saya takut akan bercinta-cintaan” Ujar
Hayati.33
“Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang
salah. Tapi peredaran masa dan zaman senantiasa berlain
dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan
tertawanya, tiba-tiba kita diberinya tangis. Saya ingat
kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata
orang banyak, akan banyak halangannya jika kita
bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang
akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh.34
Berdasarkan penggalan cerita di atas, mulainya rasanya
khawatir dan takut Hayati muncul. Diketahuinya bahwa
Zainuddin bukan keturunan dari orang Padang dan dia
mengetahui Zainuddin tidak dianggap dikeluarganya seperti
orang asing. Memang benar kekhawatiran Hayati itu terjadi,
orang-orang di dusun Batipuh sudah mengetahui pertemanan
mereka dengan surat menyurat. Padahal pertemanan mereka
sudah tertutup rapat dan saling jujur. Berikut kutipan yang
menandakan bahwa kedekatan mereka sudah tersebar.
Tersiarlah di dusun kecil itu..... telah berintaian,
bermain mata, berkirim-kirim surat dengan anak orang
Mengkasar itu. Ginjing, bisik, dan desus, perkataan yang
tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu
mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam
kalangan anak muda-muda yang duduk di pelantar lepau
33
Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan Bintan, 1976). h. 53. 34
Ibid. h. 54.
67
petang hari. Sehingga akhirnya telah menjadi rahasia
umum.35
Berdasarkan penggalan cerita di atas, kekhawatiran
Hayati mulai tersebar luas dalam kalangan masyarakat di dusun
itu. Kesalahan Hayati dan Zainuddin telah berkirim-kirim surat
dengan bercinta-cintaan kedua kalangan muda itu. Orang-orang
dusun berpikir bahwa mereka bukan percintaan suci lagi, karena
Hayati bukan mencintai orang berasal dari daerahnya Padang
melainkan dari Mengkasar. Karena adat di sana sangat
mendiskriminasi sekali menentang untuk menikah dengan bukan
dari daerahnya.
Merantau ke Deli
Selanjutnya pada novel Merantau ke Deli terdapat
peristiwa yang mulai memuncak ketika Leman menginginkan
pulang ke kampung halamannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kutipan sebagai berikut.
Sudah lama Leman merantau, sudah bertahun hari
yang habis. Dahulu ketika pertama kali membentang tikar,
ketika akan mengajak bekerja mencari penghidupan,
belumlah teringat olehnya hendak pulang. Bagaimana
akan pulang, padahal hidup masih serba kurang.36
d. Klimaks (Mencapai Titik Puncak)
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Konflik berlanjut antara Zainuddin dengan keluarga
Hayati, terutama dengan mamak hayati. Mamak Hayati segera
meminta Zainuddin untuk melupakan dan pergi jauh dari Hayati.
Seperti pada kutipan berikut.
“.....sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu
Zainuddin, sudilah kiranya engkau melepaskan hayati dari
35
Ibid. h. 57. 36
Hamka, Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 47.
68
dalam kenanganmu dan berangkatlah dari negeri Batipuh
yang kecil ini segera, untuk kemaslahatan Hayati.”37
“Dengan sangat saya meminta engkau berangkat
saja dari sini untuk kemaslahatan Hayati yang engkau
cintai”. Ucap Engku.38
Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh.
Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya
bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau
Bukttinggi saja, dia telah mau.39
Berdasarkan kutipan di atas Zainuddin di tentang oleh
keluarga Hayati dan diusirnya Zainuddin dari dusun Batipuh.
Zainuddin dengan berat hati mengiyakan kemauan dari Mamak
Hayati, karena dia sadar diri bahwa dia tidak bersuku, tidak
berhindu, anak orang terbuang, dan tidak dipandang sah dalam
adat Minangkabau. Sedangkan Hayati seorang anak bangsawan,
turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang
berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri
Batipuh.
Perginya Zainuddin ke Padang Panjang, Hayati selalu
merenung dan menjadi pendiam. Pada akhirnya dia singgah ke
rumah sahabatnya yaitu Khadijah kemudian Hayati dikenalkan
kepada Aziz sepupu dari Khadijah dan keluarga Hayati pun
menerima lamaran dari Aziz dan menolak lamaran Zainuddin.
Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat
mufakat hendak menerima Azis. Karena menurut pepatah
: Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang
ke dagu, sama berbangsa keduanya, satu bulan satu
matahari.40
“Ya, kita habisi saja itu, kita bulatkan sekarang
menerima Aziz dan menolak permintaan Zainuddin.”41
37
Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan BintanG, 1976). h. 59. 38
Ibid. h. 59. 39
Ibid. h. 60. 40
Ibid. h. 112. 41
Ibid. h. 114.
69
Berdasarkan penggalan di atas, terbayanglah diri
Zainuddin yang sangat kecewa dengan keputusan yang diberikan
dari mamak hayati yang menolaknya. Padahal dia sudah berusaha
menjadi orang yang diinginkan oleh pihak keluarga Hayati.
Namun apa boleh buat, Hayati telah dipertemukan dengan Aziz.
Mamak Hayati langsung menerima lamaran dari Aziz.
Merantau ke Deli
Sedangkan untuk novel Merantau ke Deli pada tahap
klimaksnya adalah ketika Leman pulang kampung semenjak itu
kebahagiaan Leman dan Poniem tidak berlangsung lama. Leman
dipaksa oleh sanak saudaranya di kampung halamannya
Minangkabau untuk menikah dengan Mariatun yang satu
kampung dengan Leman. Meskipun sakit hati, Poniem tetap
mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kutipan percakapan sebagai berikut.
“Abang!” Ujarnya.
“Poniem!”
“Besar dosamu di hadapan Allah kalau lantaran
kasihmu terhadap isteri muda yang cantik itu kelak, aku
abang ceraikan. Dan jika aku mati, mengutuk arwahku
kepada abang dari kuburku.”
“Tidak Poniem!” jawab Leman.42
Berdasarkan kutipan di atas tahap puncaknya masalah,
ketika Leman meminta izin untuk beristri lagi kepada Poniem.
Dengan pemunculan puncak masalah ini, menyebabkan
klimaksnya permasalahan antara Leman dan Poniem, sehingga
Poniem mengizinkannya untuk menikah lagi. Setelah berjalannya
pernikahan itu diibaratkan dua kapal satu nahkoda, kapalnya
tidak bisa berjalan dengan lancar yaitu Poniem yang sudah mulai
geram dengan tingkahnya Mariatun, tetapi di sisi lain Leman
42
Hamka, Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977) , h. 89.
70
lebih membela Mariatun. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
“Kau boleh pergi dari sini! Kau orang Jawa! Boleh
turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun!
Sebelah mata saya tak bisa pandang pada kau lagi.
Pergilah dari sini, mulai sekarang saya jatuhkan kepada
kau talak tiga sekali! Pergilah!43
Berdasarkan kutipan di atas, puncaknya masalah ketika
Leman menceraikan Poniem dan lebih membela istri mudanya.
Ketika itu Poniem disebutkan orang Jawa yang tidak pantas
bergabung lagi di daerahnya dan merasa berbeda adat. Akhirnya
Poniem dan Suyono pergi dari rumah itu. Setelah Poniem pergi
dari rumah itu, kehidupan Leman tidak seperti dulu,
kehidupannya serba kekurangan di daerah rantauannya, apalagi
istri mudanya sudah melahirkan. Sudah hampir tiga tahun
merantau menurut adat di kampung sudah seharusnya Mariatun
dibawa pulang apalagi hendak memperlihatkan anaknya.
e. Pemecahan atau Penyelesaian Masalah
Hiduplah rumah tangga dari kedua kaula muda itu, Hayati
dan Aziz. Namun ada suatu rahasia rumah tangga yang mereka
alami menjadi suami istri kehidupan rumah tangga mereka tidak
bahagia. Berikut kutipan cerita pada novel tersebut.
Dari sedikit kesedikit telah nyata bahwa cinta Aziz
kepada hayati, adalah cinta sebagaimana disebut orang
pada waktu sekarang. Yaitu cinta yang ditakuti oleh
Zainuddin dan telah pernah diterangkannya dalam
suratnya kepada Hayati seketika dia akan kawin. Aziz,
sanggup memberikan segenap kesenangan kepada Hayati,
yakni kesenangan harta benda, tetapi hati mereka sejak
bergaul, bukan kian lama kian kenal, hanya kian lama
kian nyata bahwa haluan tidak sama. Bilamana sebab-
sebab itu sudah tak ada lagi, cintapun kendorlah.44
43
Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta : Bulan BintanG, 1976). h. 133. 44
Ibid. h. 170.
71
Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa Aziz tidak
benar-benar sayang kepada Hayati. Sikap Aziz kepada Hayati
seperti sikap Aziz kepada teman-teman wanitanya dahulu. Aziz
dan Hayati pun berkunjung ke rumah di mana tempat Zainuddin
tinggal dan pada akhirnya pun Aziz pergi untuk bekerja meminta
izin kepada Zainuddin untuk menjaga Hayati selama Aziz
bekerja, tapi tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa Aziz
bunuh diri di hotel. Seperti dalam penggalan berikut.
“Saya telah melarat sekarang, saya dan istri saya. Saudara
yang telah menyambut dalam rumah saudara sekian
lamanya. Hal ini tak boleh saya derita lama. Di kota
Surabaya, sayapun lebih merasa malu. Sebab itu lepaslah
saya berangkat mencari pekerjaan lain ke luar kota
Surabaya. Saya akan pergi sendiriku lebih dahulu. Di
mana pekerjaan dapat, saya kirim kabar segera, supaya
istriku dapat menurutkan ke sana.” 45
“Penumpang itu tidak bangun lagi buat selama-lamanya,
rupanya dia telah membunuh dirinya dengan jalan
memakan Adalin, obat tidur yang mahsyur itu lebih dari
10 buah. Tube obat itu terdapat di atas meje telah
kosong.”46
Berdasarkan penggalan di atas adalah surat kabar dari
pihak hotel, tujuan memberitahu kepada pihak keluarga Aziz
bahwa Aziz telah meninggal dunia dengan bunuh diri.
Sebelumnya Aziz dan Hayati telah berkirim-kirim surat dan Aziz
meminta cerai dengan Hayati. Hayati pun tinggal kini berdua
hidup dengan Zainuddin. Tetapi Zainuddin meminta Hayati untuk
pulang saja ke Padang, karena Zainuddin masih merasa sakit hati
dengan Hayati.
Bila teringat akan itu, terus dia berkata : “Tidak
Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkanlah
saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau!
Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu
45
Ibid. h. 182. 46
Ibid. h. 194.
72
asal .......... negeri Minangkabau beradat! Besok hari
Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung
Priuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang
dengan kapal itu ke kampungmu.47
Berdasarkan penggalan cerita di atas, Zainuddin masih
kesal dan memendam kebencian terhadap Hayati dan keluarganya
yang sudah menolaknya. Zainuddin menyuruh Hayati untuk
pulang ke Minangkabau dan pergi dari kehidupan Zainuddin
karena dia pikir bahwa dia bisa hidup tanpa Hayati, bukti selama
dia singgah di Jakarta dan Surabaya dia dapat hidup sukses dan
menjadi seorang penyair yang sangat terkenal. Akhirnya Hayati
pun pergi dan menuju Tanjung Priuk untuk menaiki kapal yang
ditumpanginya. Tetapi takdir berkata lain, kapal yang ditumpangi
Hayati tenggelam ke dasar lautan. Berikut kutipannya.
“.......sebagai seorang memang yang telah terikat
pikirannya kepada surat kabar, baru saja koran-koran itu
terletak di atas meja, segera dibukanya. Dipagina pertama,
dengan huruf yang besar-besar telah bertemu perkabaran,,
Kapal Van der Wijck Tenggelam. Dia terhenyak di
tempat duduknya, badannya gemetar, dan perkabaran itu
dibacanya terus.”48
Berdasarkan kutipan di atas melalui surat kabar yang
dibaca Zainuddin. Seluruh badannya gemetar dengan sangat
gugup ia berbicara dan memberitahukan kepada Muluk.
Langsung saja dia pergi menyusul keberadaan Hayati. Memang
cinta mereka tidak dapat dipisahkan, saling setia, dan saling
mencintai. Dapat dibuktikan dengan penggalan berikut ini.
Dilihatnya wajah Zainuddin tenang-tenang, maka
timbullah dari matanya, sekejap saja, cahaya
pengharapan... “kau... Zain....”49
47
Ibid. h. 198. 48
Ibid. h. 209 – 210 49
Ibid. h. 214.
73
“Ya, Hayati! Allah rupanya tak izinkan kita
berpisah lagi, bila telah beroleh keizinan dari dokter, kita
segera berangkat ke Surabaya.”50
“Hidupku hanya buat kau seorang Hayati!”
“Akupun!.....”
Setelah beberapa menit Hayati pun menghembuskan nafas
terakhirnya, sambil dibisikan dengan dua kalimat suci oleh
Zainuddin. Namun sejak kejadian itu, meninggalnya Hayati tubuh
Zainuddin kian lama kian lemah, dada sesak, pikiran selalu duka
dan sesal yang tiada berkeputusan. Akhirnya Zainuddin pun
meninggal dunia dan dimakamkan bersebelahan dengan makam
Hayati, orang yang dicintainya.51
Pada novel Merantau ke Deli tahap penyelesaiannya
ketika Poniem memulai hidup baru dengan Suyono. Hal ini dapat
dibuktikan dengan sebagai berikut.
“Dan setelah perkawinan kita langsung, kita
teruskan cita-cita kita. Kita penaik harta benda sedikit
demi sedikit. Sebab banyak niat dan cita-cita kita yang
masih tersimpan di dalam hati.”
“Semuanya akan tercapai berkat kurnia Gusti
Allah” ujar Suyono pula.
Mereka telah kawin. Apakah perkawinan itu
lantaran cinta? Akan dikatakan lantaran cinta, mereka
belum kenal perkataan itu, mereka tidak pernah membaca
buku romah untuk mengkurususkan cinta.”52
Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan penyelesaian
akhir cerita yang diakhiri dengan menikahnya Poniem dengan
Leman. Maksud mereka untuk menikah adalah untuk
menghindari dari marah bahaya, sebab mereka sudah tinggal
berdua selama enam bulan lamanya. Suyono juga berniatkan
untuk membentuk kehidupan baru bersama Poniem dengan
berniaga yang benar dan menggapai cita-citanya.
50
Ibid. h. 214. 51
Ibid. h. 221. 52
Hamka, Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977). h. 156.
74
3. Tokoh dan Penokohan
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Tokoh merupakan orang yang berperan penting dalam cerita dan
memiliki karakter yang beragam, sehingga cerita menjadi lebih hidup dan
berwarna. Sedangkan penokohan adalah karakter yang digambarkan pada
tokohnya dalam cerita.
a. Zainuddin
Zainuddin tokoh utama laki-laki pada novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck seorang pemuda yang lemah lembut, baik hati,
alim, memiliki ambisi yang tinggi, dan sopan terhadap orang yang
lebih tua.
Zainuddin mendekat kepada orang tua itu, diciumnya
keningnya : Perempuan yang bahagia, moga-moga Allah
melindungimu!” katanya.
Berdasarkan kutipan ini terlihat Zainuddin sangat
menyayangi orang tua angkatnya Mak Base, dengan
menunjukkannya melalui bahasa tubuhnya mencium kening mak
Base sebagai pertanda bahwa Zainuddin sangat sayang kepada
beliau. Dia hanya mempunyai satu orang tua angkat, setelah kedua
orang tua kandungnya meninggal dunia. Selain itu Zainuddin
seorang anak yang tidak mau merepotkan orang tuanya ia lebih baik
ingin hidup mandiri, seperti pada kutipan sebagai berikut.
“Ai, mengapa mak Base ini? Wang itu mesti mamak
perniagakan sebagai biasa. Yang akan saya bawa hanyalah
sekedar ongkos kapal ke Padang.”53
Heran tercengang mak Base mendengarkan putusan
Zainuddin atas harta benda itu. Tidak disangkanya akan
sampai demikian baik budinya.54
Berdasarkan kutipan tersebut Zainuddin ingin pergi ke
Padang, ia meminta ongkos kepada mak Base dan diberinya uang
yang cukup banyak. Tetapi Zainuddin menolaknya karena dia pikir
53
Ibid. h. 23. 54
Ibid. h. 24.
75
dengan uang yang cukup saja dia pergi ke Padang, sehingga mak
Base mengatakan dalam pikirannya bahwa Zainuddin orang yang
baik budinya. Zainuddin pergi ke Padang untuk merantau dengan
bertujuan mencari kehidupan yang lebih baik lagi, ingin memuliakan
cita-cita ayah dan ibunya. Setelah ia berangkat ke Padang, dia disana
seperti orang yang diasingkan oleh keluarga ayahnya. Dia mengingat
pesan dari mak Base, dia selalu termenung dalam pikirnya. Kutipan
yang menggambarkan penokohan Zainuddin sebagai berikut.
“Anak muda itu baik budi pekertinya, rendah hati,
terpuji dalam pergaulan, disayangi orang. Sungguh belajar,
karena dia berguru kepada seorang Lebai yang ternama.
Tetapi dia pemenung, pehiba hati, suka menyisihkan diri ke
sawah yang luas, suka merenungi wajah....”55
“....sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya
penuh dengan cahaya yang muram, cahaya dari tanggungan
batin yang begitu hebat sejak kecil, telah menimbulkan
kasihan yang amat dalam di hati Hayati.56
Tidak lama kemudian datang balasan dari orang tua
yang dikasihinya itu, mengajaknya lebih baik pulang saja ke
Mengkasar, sementara dia masih hidup. Tapi Zainuddin tidak
hendak kembali sebelum maksudnya berhasil dia hendak
memperdalam penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan
akhirat, supaya kelak dia menjadi seorang yang berguna.57
Berdasarkan pada kutipan pertama sikap Zainuddin
digambarkan oleh teknik cakapan pada buku Nurgiyantoro,
menerangkan bahwa Zainuddin anak yang baik budi pekertinya,
rendah hati, terpuji dalam pergaulannya. Namun di sisi lain ketika
Zainuddin mendapatkan masalah dengan Hayati, dia orangnya
mudah termenung, pehiba hati, dan suka menyendiri. Kutipan yang
kedua dijelaskan dengan teknik pikiran dan perasaannya Hayati,
bahwa Zainuddin orangnya lemah lembut terlihat bagaimana
Zainuddin berbicara dengan lembut kepada Hayati. Kutipan yang
55
Ibid. h. 30. 56
Ibid. h. 39. 57
Ibid. h. 69.
76
ketiga menggambarkan juga sosok Zainuddin yang alim dan gigih
dalam menuntut ilmu sehingga apa yang dia kerjakan tidak akan sia-
sia begitu saja ketika dia pergi ke Padang ternyata dianggap orang
asing dan disuruh mak Base untuk pulang saja tetapi dia tidak ingin
menyia-nyiakan. Dia disana tetap belajar mencari ilmu dunia dan
akhirat. Tidak hanya itu, Zainuddin memiliki sifat yang dinamis,
seperti pada kutipan sebagai berikut.
Kadang-kadang disesalinya perkawinan ayahnya
dengan ibunya. Kadang-kadang pula dia menyadar untung
malangnya, mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang
Minangkabau!..... tetapi bukan itu yang jadi sebabnya,
walaupun wang berbilang, emas bertahil, namun pemisah adat
masih tebal di negeri itu.58
Ia diusir, meskipun secara halus. Perbuatannya dicela,
namanya dibusukkan. Seakan-akan tersuci benar negeri
Minangkabau ini dari dosa.
Disumpahinya dalam hatinya kepincangan adat,
dikutukinya masyarakat yang terlalu rendah itu. Tetapi dari
sedikit kesedikit terbayanglah di mukanya wajah Hayati,
tiadalah pantas di negeri Hayati dia menjatuhkan upat dan
maki, nista dan cela.59
Pada kutipan pertama merupakan sebuah rasa penyesalan
Zainuddin yang telah dilahirkan tapi tidak diakui oleh keluarganya,
selalu berpikiran bahwa dia tidak pantas jika hidup di daerah
Minangkabau. Pada awalnya dia berpikir jika dia merantau ke negeri
asalnya akan diterima oleh keluarga tetapi sebaliknya tidak.
Kemudian kutipan kedua, berpengaruh pada tujuannya dia merantau.
Tujuan dia merantau untuk menemui keluarga ayahnya dan
berkenalan dengan gadis asal Padang yang dia jatuhkan kepada
Hayati. Kutipan selanjutnya masih tentang kebencian seorang
Zainuddin ketika meluapkan emosi dan kemarahannya, bagaimana ia
bersumpah dan memendam kebencian pada adat yang dianut oleh
58
Ibid. h. 63. 59
Ibid. h. 118.
77
keluarga Hayati. Selalu saja pikirannya berubah-ubah, ketika
emosinya sedang meningkat maka pikirannya pun meluap-luap tetapi
bila ingatannya kembali kepada kecintaannya terhadap hal yang
bahagia maka emosinya menurun. Itulah yang menyebabkan sifatnya
yang dinamis.
b. Hayati
Hayati peran gadis remaja putri, gadis yang baik, lembut,
ramah, pendiam, sederhana, memiliki kesetiaan, penyayang,
memiliki belas kasih, sabar, penurut, dan terkesan mudah
terpengaruh oleh orang lain. Nama Hayati adalah nama yang jarang
dipakai di daerahnya. Berikut kutipannya.
Hayati, gadis remaja puteri, ciptaan keindahan alam,
lambaian gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan
adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang,
itulah bunga di dalam rumah adat itu. Hayati adalah nama
baru yang belum biasa dipakai orang selama ini.60
Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya
semata-mata kasihan, sahabat, lain tidak jangan engkau salah
terima kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anak-
anak gadis ini merasa kasihan kepada orang yang bernasib
malang.61
Kutipan pertama adalah penjelasan seorang gadis cantik yang
diberi nama Hayati. Nama Hayati bukan sembarang nama, Hayati
adalah nama yang belum pernah dipakai pada sebelum-sebelumnya
di desa Batipuh itu. Nama-nama gadis di Minangkabau tempo
dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai nan Aluih, Talipuk Layur dan
lain-lain. Tetapi Hayati adalah bayangan dari perobahan baru yang
melingkari alam Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu.62
Kemudian pada kutipan selanjutnya menandakan seorang Hayati
yang punya belas kasihan yang tinggi, terlihat dari surat itu yang ia
60
Ibid. h. 29. 61
Ibid. h. 38. 62
Ibid. h. 29.
78
ceritakan ke temannya yaitu Khadijah, dia melihat sosok Zainuddin
yang tidak diterima di Minangkabau karena tidak ada keturunan
mamaknya dari Padang. Kutipan selanjutnya adalah tentang kisah
percintaan dan kesetiaan seorang Hayati terhadap Zainuddin.
“Selamat tinggal Zainuddin, dan biarlah penutup
surat ini kuambil perkataan yang paling enak kuucapkan di
mulutku dan agaknya entah dengan itu kututup hayatku di
samping menyebut kalimat syahadat, yaitu : Aku cinta akan
engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam
mengenangkan engkau...
Berdasarkan penggalan di atas, penggalan tersebut adalah
surat dari Zainuddin yang terakhir kalinya sebelum Hayati
menghembuskan nafas terakhir. Hayati mengatakan bahwa dia akan
mencintai Zainuddin sampai dia mati. Dia akan menjaga
kesetiaannya terhadap Zainuddin, walaupun kehidupan percintaan
mereka terhalang oleh keluarga Hayati sendiri. Kutipan selanjutnya
menunjukan pribadi Hayati yang penurut ketika dia disuruh untuk
meninggalkan Zainuddin.
Hayati seorang gadis yang bercita-cita tinggi, tetapi
jiwanya pun tak betah akan mengecewakan hati ninik
mamaknya dan kaum kerabatnya. Dia hanya menerima apa
tulisan takdir.
Dia mencintai Zainuddin, tetapi percintaan itu tidak
ada jalannya; percintaan yang tidak ada jalannya itulah yang
kerap kali lebih subur dari pada cinta yang ada jalan terentan.
Maka tergambarlah pikirannya nasehat-nasehat Khadijah,
nampak pula sekarang kokohnya benteng adat yang
memagari dirinya, itulah sebab dia termenung....63
Berdasarkan kutipan tersebut hayati adalah seorang yang
penurut, dia tidak mau mengecewakan ninik mamaknya dan kaum
kerabatnya, kemudian tergambar pula bahwa Hayati seorang yang
terkesan mudah terpengaruh dengan orang lain. Dalam kutipan
tersebut memang pada awalnya Hayati mencintai Zainuddin tapi
terhalang oleh adat yang memisahkan sehingga ninik mamaknya
63
Ibid. h. 115.
79
melarangnya untuk dekat dengan Zainuddin. Khadijah temannya
selalu memberikan nasihat kepada Hayati, untuk segera menjauh
dengan Zainuddin dengan terpaksa Hayati mengiyakan nasehat
temannya itu dan menikah dengan Aziz.
c. Mak Base
Mak Base adalah orang tua angkat dari Zainuddin. Mak Base
memiliki watak yang baik hati, sayang terhadap anaknya. Berikut
kutipannya.
“Mengapa jadi sebanyak ini, mak Base?”
“Mamak perniagakan dan Cuma dari keuntungan
itulah pembayaran wang sekolahmu”
“Ah, dengan apakah jasa mamak kubalas” ujar
Znuddin.
“Balasnya hanya satu, bacakan surat Yasin tiap-tiap
malam Jumat kalau mamak meninggal dunia pula.”64
Berdasarkan kutipan di atas melalui teknik cakapan antara
mak Base dan Zainuddin, terlihat sekali Mak Base sangat
memperhatikan anaknya, walaupun dia adalah orang tua angkat
tetapi dia benar-benar sayang kepada Zainuddin. Dianggapnya anak
kandung, dia memberikan uang untuk biaya Zainuddin merantau ke
Padang. Layaknya kasih sayang ibu kepada anaknya, rela
memberikan hartanya agar anaknya kehidupannya berkecukupan.
Kutipan lainnya yang menunjukan mak Base sangat menyayangi
Zainuddin ketika Zainuddin ingin merantau meninggalkannya.
Seketika akan berlayar, mak Base mengantar sampai
kapal. Mereka bertangis-tangisan, karena berat sangka mak
Base bahwa Zainuddin tidak akan bertemu dengan dia lagi.65
“Saya orang tua, Udin, hatiku tak dapat kutahan.
Apakah derma seorang perempuan selain dari tangis? Apalagi
kerap kali hati mamak berkata, agaknya kita tidak akan
bertemu lagi. Coba lihat punggungku yang telah bungkuk.
64
Ibid. h. 21. 65
Ibid. h. 24.
80
Mamak takut, kalau-kalau keluarga di padang tak sudi
menyambutmu dengan baik.66
Pengarang menggambarkan melalui reaksi tokoh, ketika
Zainuddin sudah beraada di kapal dan segera akan pergi, tangisan
Mak Base mulai pecah dan beranggapan bahwa tidak akan bertemu
lagi. Dia tidak rela apabila Zainuddin pergi jauh meninggalkannya,
yang sudah tentu jika pergi ke Padang tidak akan diterima di keluarga
ayahnya. Seorang ibu yang tidak ingin jauh dari anaknya.
d. Khadijah
Khadijah memiliki watak yang sangat berkebalikan dengan
Hayati sahabatnya. Khadijah adalah orang kota, tinggal di rumah
bentuk kota, orang yang sangat berpenampilan menarik, suka
menghasut Hayati, dan berwatak keras kepala. Berikut kutipannya.
Khadijah yang terlihat, setengahnya memakai rok,
setengahnya berbaju kebaya Bandung yang dijahit menurut
model yang paling terbaru..... Khadijah tengah asyik berhias
di dalam kamarnya.
“Pakaian apa yang kau pakai ini, Hayati? Apakah kau
hendak sebagai „lepat‟ bungkus?”
Lebih baik kau pergi ke surau saja. Hayati, jangan ke
pacuan!” ujar Khadijah.
Berikut adalah reaksi Khadijah ketika melihat Hayati yang
berpakaian seperti layaknya orang kampung dan tidak berhias diri
hanya menggunakan selendang sutera di kepalanya, berbeda
dengannya yang tampak modern memakai kebaya buatan Bandung
dan berhias diri. Dengan marah dan melarang Hayati untuk ikut
kepacuan dan menyuruhnya untuk pergi ke surau. Kutipan lainnya
menggambarkan bahwa Khadijah selalu mempengaruhi pikiran dan
perbuatannya Hayati, kutipannya sebagai berikut.
“Membuka rambut apakah salahnya? Bukankan panas
kalau selalu ditutup saja?”
“Sebetulnya saya tidak mempunyai pakaian yang
demikian.” Kata Hayati pula.
66
Ibid. h. 24.
81
“Itu gampang pakailah pakaianku, itu tersedia dalam
lemari, berapa saja kau mau.”
Setelah bertengkar-tengkar, yang hampir saja
menyebabkan Hayati tidak jadi pergi, tetapi mengingat
hendak bertemu dengan Zainuddin nanti.
Berdasarkan kutipan tersebut, Khadijah mempengaruhi
Hayati untuk berganti pakaian yang seperti dia kenakan. Kemudian
menyuruh Hayati untuk melepaskan selendang suteranya yang ada di
kepala Hayati. Dengan terpaksa Hayati pun mengikuti apa yang
diinginkan oleh Khadijah. Selain memiliki watak yang suka
meninggi, sombong, dan suka mempengaruhi Hayati dia juga
memiliki watak yang keras kepala. Kutipannya sebagai berikut.
Sedang dia asyik membaca surat itu, tiba-tiba pintu
kamarnya terbuka, masuklah Khadijah. Hayati mencoba
hendak menyembunyikan surat itu ke bawah bantalnya, tetapi
direbut segera oleh Khadijah dan dibacanya. Sehabis
dibacanya, mukanya merah padam, bibirnya dicibirkan.67
Wataknya yang keras kepala dan selalu emosi, ketika Hayati
mendapatkan surat membuatnya geram terhadap sikap Hayati yang
selalu menantikan kehadiran Zainuddin. Khadijah tidak menyetujui
jika Hayati menikah dengan Zainuddin, memang niatnya baik agar
Hayati tidak miskin ketika dia menikah dengan Zainuddin dan yang
berbeda adat. Akhirnya dijodohkanlah Hayati dengan Aziz.
e. Aziz
Aziz memiliki watak yang sombong, gagah, tangkas, laki-laki
yang pemboros, orang kaya yang suka berfoya-foya, tidak setia, tidak
memiliki tujuan hidup, orang yang tidak beriman, tidak bertanggung
jawab, penjudi dan suka menggoda rumah tangga orang lain. Terlihat
dalam kutipannya sebagai berikut.
Ditariknya tangan Hayati ke dalam, disendengnya
Aziz dengan sudut matanya, sambil tersenyum. Azizpun
67
Ibid. h. 88.
82
tersenyum, kawan-kawannya yang lain tersenyum pula.
Mereka terus berjalan ke dalam Tribune.... Jelas terdengar
dan nampak nyata olehnya anak-anak muda itu setelah jauh
dari dia, tertawa terbahak-bahak.68
Aziz bekerja di Padang, jauh dari mata orang tuanya,
bergaul dengan teman sejawat yang tidak berkentuan
perangai, sehingga dia sendiripun telah terturut-turut pula.69
Bilamana hari telah malam, dia pergi ke tempat
pergurauan, melepaskan nafsu mudanya. Yang lebih
disukainya ialah menghabiskan wang dengan orang-orang
yang tak berketentuan. Atau mempermainkan anak anak bini
orang.70
Berdasarkan kutipan pertama, Aziz memiliki watak yang
sombong dan angkuh. Melihat sosok Zainuddin yang menurutnya
anak kampung yang tidak pantas berkenalan dengannya. Seseorang
yang memilik watak tidak menghargai orang lain ketika itu langsung
saja ditariknya tangan Hayati tanpa permisi dan tertawa seenaknya
bersama teman-temannya. Kutipan selanjutnya yaitu Aziz anak
orang kaya yang jauh dari orang tuanya, dia bergaul dengan bebas
dengan teman-temannya. Teman-temannya tidak ada sopan
santunnya, terikutlah sikap Aziz seperti itu karena tidak diperhatikan
oleh kedua orang tuanya. Kutipan yang ketiga Aziz yang selalu
berfoya-foya, boros selalu menghabiskan uang dengan teman-
temannya dan dia juga orang yang tidak beriman. Selain itu, Aziz
juga seorang penjudi dan pengganggu rumah tangga orang.
Kutipannya sebagai berikut.
“Si Aziz anak St. Mantari, ibu bapaknya orang
Padang Panjang ini, karena dia berkerabat dengan orang
berpangkat-pangkat, dia mendapat pekerjaan yang agak
pantas. Tetapi perangainya....... Masya Allah!!! Penjudi,
pengganggu rumah tangga orang, sudah dua tiga kali
terancam jiwanya karena mengganggu anak bini orang.71
68
Ibid. h. 83. 69
Ibid. h. 91. 70
Ibid. h. 91. 71
Ibid. h. 127.
83
Berdasarkan kutipan tersebut yang disampaikan melalui
cakapan, yang disampaikan dari Muluk kepada Zainuddin. Bahwa
Aziz adalah seorang penjudi dan pengganggu rumah tangga orang.
Sampai-sampai jiwanya terancam. Anak laki-laki yang digambarkan
tidak mempunyai tujuan hidup untuk menikah, meskipun orang
tuanya telah berkali-kali menyuruhnya untuk menikah tapi
menurutnya jika beristeri itu mengikat langkah, menyebabkan hilang
kebebasan. Namun ketika dia melihat Hayati, dia langsung menikah
dengan Hayati. Tidak disangka juga perkiraan akan berubah sikap
Aziz tetapi malah memburuk, wataknya yang kasar terhadap Hayati,
ditinggalkan dan diceraikanlah Hayati oleh Aziz. Berikut
kutipannya.
Sudah hampir 2 tahun pergaulan itu. Aziz telah mulai
bosan melihat isterinya. Karena di kota yang ramai dan
bebas, kalau cinta itu hanya pada kecantikan, maka
kecantikan seorang perempuan kelak akan dikalahkan pula
oleh kecantikan yang lain. Perubahan perangai Aziz ketika
mulai beristeri adalah perubahan dibuat-buat. Perbuatan yang
dibuat-buat biasanya tiada tahan lama.72
“Maka sesampainya surat ini, lantaran kau ku ambil
dahulunya dengan nikah yang sah menurut agama, sekarang
kau kulepaskan pula dengan sah menurut agama. Sesampai
surat ini ke tangan adinda, jatuhlah talakku kepadamu 1
kali”
Kutipan yang pertama adalah dimana Aziz sudah bosan
dengan pernikahannya, Aziz tidak ingin lagi hidup bersama Hayati
karena dia pikir bahwa kecantikan Hayati adalah sementara. Aziz
orang yang tidak setia terhadap pasangannya. Kemudian di kutipan
selanjutnya adalah surat dari Aziz yang diberikan kepada Hayati,
surat cerai. Diceraikanlah Hayati oleh Aziz.
f. Muluk
72
Ibid. h. 171.
84
Muluk memiliki watak yang baik hati, penolong meskipun dia
suka berjudi tetapi sikap dia penurut dan sayang kepada mamaknya.
Berikut kutipannya.
“Agaknya anak mamak itu, si Muluk bisa
menolongmu karena dia banyak pergaulan. Dia pandai
berdukun, pandai kepandaian-kepandaian batin.
Pergaualannya dalam kalangan orang dukun, ahli silat dan
dalam kalangan orang-orang beradat, pun banyak pula.
Pulangnya ke rumah hanya sekali-sekali saja, untuk melihat
ibu dan memberi wang. Dia tidak mau mengganggu
kesenangan ibu.”73
“Tetapi hatinya baik, barangkali dia bisa menolong
memberimu bicara, kalau pikiranmu tertumbuk.”74
Walaupun Muluk seorang Parewa75
tapi dia sangat sayang
kepada ibunya, setiap pulang ke rumah ibunya selalu diberikan uang
olehnya. Orangnya baik dan penurut. Kutipan selanjutnya yang
menunjukan Muluk adalah seorang penjudi, penyabung, dan pedadu.
“Bukan begitu guru” jawab Muluk. “Guru maklum
sendiri, saya ini orang yang banyak dosa, penyabung, pedadu,
penjudi. Jadi tangan saya bernajis. Karena kami pemuda-
pemuda Padang Panjang ini, meskipun negeri kami penuh
dengan rumah-rumah sekolah agama...”76
Tiba-tiba maknya menyelang “Engku muda ini
katanya hendak meminta tolong kepada engkau Muluk.
Kalau dapat tolonglah!”
“Mana yang dapat saya tolong, Insya Allah guru!”
jawab Muluk.77
Berdasarkan kutipan di atas, melalui teknik reaksi tokoh
dimana dia menceritakan dirinya sendiri kepada tokoh lain. Muluk
menggambarkan dirinya sendiri bahwa dia seorang penjudi,
73
Ibid. h. 123. 74
Ibid. h. 124. 75
Di Minagkabau memang ada satu golongan orang muda-muda yang bergelar “Parwa”. Mereka
tak mau mengganggu kehidupan kaum keluarga. Hidup mereka ialah berjudi, penyabung, dan lain-lain.
Mereka juga ahli dalam pencak dan silat. Pergaulan mereka sangat luas, di antara parewa di kampung
dengan kampung lain harga menghargai dan besar membesarkan. Tetapi mereka sangat kuat
mempertahankan kehormatan nama suku dan kampungnya. 76
Ibid. h. 125. 77
Ibid. h. 125.
85
penyabu, dan pedadu. Tapi di sisi lain Muluk adalah seorang yang
sangat penolong terhadap temannya dan selalu memberikan nasihat
yang baik kepada Zainuddin.
Merantau ke Deli
Selanjutkan tokoh dan penokohan yang terdapat pada novel
Merantau ke Deli yaitu Leman, Poniem, Mariatun, Suyono, Baginda
Kayo, Maryam, Warjo, Sutan Panduko, Ibu Kandung Maryam dan
Tuan Qadhi. Tokoh dan penokohan dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Leman
Leman merupakan tokoh yang penting juga ndalam novel
Merantau ke Deli sama seperti Zainuddin. Leman adalah tokoh
utama laki-laki yang melakukan perantauan. Leman digambarkan
sosok laki-laki yang selalu berjuang untuk mencari nafkah dengan
cara berdagang. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan sebagai
berikut.
Di antara pedagang-pedagang yang banyak di dalam
kebun ini, adalah seorang anak muda dari Minangkabau,
namanya si Leman.78
Seperti pada kutipan di atas, digambarkan bahwa Leman
adalah seorang perantau dari negeri Padang yang tujuan rantaunya ke
tanah Deli. Dia berprofesi sebagai pedagang di tempat kuli-kuli
daerah Deli. Kemudian Leman bertemu dengan wanita Jawa yang
bernama Poniem. Leman seorang yang pemberani dalam mengambil
resiko, dia ingin menikahi seorang gadis piaraan mandor besar.
Seperti pada kutipan sebagai berikut.
Kuli-kuli yang lain tidak ada yang berani menganggu
perempuan muda itu, maklumlah piaraan “mandor besar”.
Hdup mereka bisa celaka, bahkan nyawapun bisa terlepas
dari badan, kalau isteri mandor besar yang diganggu. Tetapi
78
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 6.
86
anak muda itu telah lupa daratan, dia lupa bahwa dia orang
luar.79
Berdasakan kutipan di atas, terlihat bahwa Leman seorang
yang pemberani. Dia tidak peduli bahwa dia berasal dari orang luar.
Dia memberanikan diri untuk mendekati Poniem yang dijuluki
sebagai piaraan mandor besar. Kemudian Leman mengambil
keputusan untuk menikah dengan Poniem. Seperti pada kutipan
sebagai berikut.
“Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin,
saya berjanji sepenuh bumi dan langit akan memeliharamu
akan membelamu. Tidaklah saya mengharapkan harta
bendamu, melainkan mengharapkan dirimu. Sunggu Poniem,
saya bukan seorang penipu!80
Berdasarkan kutipan di atas merupakan keberanian Leman
untuk mengambil Poniem dan menikahinya. Setelah berjalannya
waktu, Leman pun menjadi seorang kepala rumah tangga yang
memang seharusnya mencari nafkah untuk menghidupi keluarga
kecilnya. Leman digambarkan sosok tokoh yang sangat gigih dalam
bekerja. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Dari sebulan kesebulan, dari setahun kesetahun,
bertambah bersinarlah hidup mereka, baik kekayaan lahir
atau kekayaan batin.
Kedainya yang tadinya hanya kecil saja, sekarang
telah besar, sudah banyak saudagar besar di Medan yang suka
melepaskan barang kepadirnya dan sudah banyak pula
langganan yang datang membeli.81
Berdasarkan kutipan di atas Leman seorang suami yang
bertanggungjawab terhadap istrinya. Pada awalnya dia bekerja
sebagai pedagang, tetapi perniagaannya yang kecil kian lama kian
mundur, hingga hanya tinggal kain-kain dan barang-barang yang
79 Ibid., h. 7 – 8.
80 Ibid. h. 16.
81 Ibid. h. 38 – 39.
87
tidak terjual. Tetapi ada seorang istri yang selalu membantunya dan
mendukungnya sampai pada akhirnya perniagaan Leman terus
semakin sukses dan Leman orang yang baik untuk menampung
seorang laki-laki dari Jawa yang bernama Suyono guna membantu
dia di kedainya. Tapi dengan berjalannya waktu Leman pulang
kampung dan bertemu dengan gadis asal daerahnya sendiri, Padang.
Sifat dan sikapnya sangat berubah, perjanjian dia dengan istrinya
luntur untuk akan tetap setia. Dia menikah dengan Mariatun dan
menjadi pemarah. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai
berikut.
Leman duduk saja dengan tenang. Qadhi telah
melakukan ijab dan kabul, pernikahan telah langsung dan
hidangpun dimakan orang. Beberapa saat kemudian, tetamu-
tetamu pulang ke rumahnya masing-masing dan
pengantenpun masuk ke peraduan.82
“Ah ada-ada saja, kalian semuanya bodoh-bodoh.
Semuanya tidak tau diuntung. Nanti kalau saya tidak tahan
lagi keduanya saya tempeleng, atau keduanya saya usir dari
sini seperti mengusir anjing.” Ujar Leman dengan marah dia
turun ke bawah dan begitu pula perkataanya kepada
Poniem.83
“Kau boleh pergi dari sini! Kau orang Jawa! Boleh
turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun! Sebelah
mata saya tak bisa dipandang pada kau lagi. Pergilah dari
sini, mulai sekarang saya jatuhkan talak tiga sekali!
Pergilah!” Hening beberapa saat.84
Terdapat tiga kutipan yang tertulis di atas, penjelasannya
adalah kutipan pertama menandakan bahwa janji kesetiaan yang
dimiliki Leman sudah pudar setelah Leman bertemu dengan
Mariatun gadis cantik yang berasal dari padang. Leman tidak
memperdulikan istri tuanya, meskipun dia meminta izin baik-baik
terhadap istri tuanya. Dia pun menikah atas suruhan dari
82
Ibid. h. 99. 83
Ibid. h. 123. 84
Ibid. h. 131.
88
keluarganya, dia tidak bisa menolak. Semenjak Leman
memperistrikan Mariatun sikapnya pun berubah menjadi arogan dan
pemarah, dapat dilihat pada kutipan yang kedua. Ketika Poniem dan
Mariatun sedang bertengkar emosinya mudah meluap, ucapannya
tidak dijaga. Semakin lama dua istri itu semakin tidak akur
kehidupannya, Leman melupakan janji yang dulu telah diucapkan
kepada Poniem, sumpah yang dulu sudah diingkarinya di hapadan
sumpah Tuhan. Amarahnya yang tidak dapat dipendam dan dia
menceraikan Poniem. Perubahan watak itu tergambar jelas ketika
Leman sudah menceraikan Poniem dan menerima dengan lapang
karena setelah ditinggal Poniem kehidupannya tidak seperti dulu
lagi. Kutipannya sebagai berikut.
Setelah dia duduk, Suyono minta permisi ke belakang
menjemput Poniem. Sepeninggal Suyono beredar mata
Leman melihat dinding, tetapi dia tidak berani tegak dari
kursinya lantaran malu...... takjub dia melihat perubahan
Suyono di dalam masa tiga tahun, dan menaruh hormat dia di
dalam hati kepada istri Suyono yang pandai rupanya
mengatur rumah.85
Berdasarkan kutipan di atas walaupun dia sudah tidak sukses
lagi seperti dulu dan Suyono yang dulunya adalah bawahannya dia.
Sekarang Suyono lebih sukses dari Leman, tetapi Leman tetap
menghargai Suyono, tidak memiliki rasa iri dan dengki. Leman
menaruh rasa malu dan hormat kepada Suyono. Sikap itulah yang
tertanam di diri Leman.
Dari beberapa kutipan di atas banyak sikap, sifat, dan watak
Leman yang dinamis. Terlihat ketika dia ingin menikahi Poniem
sifatnya yang sangat baik, lemah lembut, dan berjanji setia. Tetapi
ketika dia menikah yang kedua kalinya bersama Mariatun, sifatnya
yang mudah marah dan emosi. Pada akhirnya sifat yang aslinya
adalah memang Leman sosok orang yang sangat baik, hanya saja
85
Ibid. h. 181.
89
emosinya dia terbawa karena menikah dengan orang yang manja dan
selalu menyusahkan seperti Mariatun.
Leman adalah tokoh yang dapat dikategorikan sebagai tokoh
utama laki-laki. Seperti halnya Zainuddin tokoh utama pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Mereka pelaku tokoh utama
yang menjalankan perantauan, dengan tujuan yang masing-masing
berbeda. Leman sebagai tokoh utama, selalu muncucl di dalam setiap
kejadian di dalam novel. Leman mengalami berbagai masalah yang
dialaminya, ketika dia merantau ke Deli dan menemukan istrinya
kemudian jatuh miskin karena perniagaannya mengalami
kemunduran tetapi selalu ada istrinya yang menyemangati. Leman
sebagai tokoh utama sangat menentukan perkembangan alur cerita
secara keseluruhan.
Selain sebagai tokoh utama, Leman juga dikategorikan
sebagai tokoh kompleks atau tokoh bulat. Leman sebagai tokoh
mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan sikap.
Perubahan ini terkait dengan menikahnya Leman dengan Mariatun
gadis yang berasal dari daerahnya atau jodohan dari keluarganya.
Sikapnya yang mudah marah, arogan dan emosi. Leman merupan
tokoh yang mencerminkan kehidupan manusia yang sesungguhnya
yang memiliki berbagai kemungkinan mengalami perubahan sikap
dalam diri Leman, yang memang ada di kehidupan sehari-hari. Maka
dari itu Leman dapat dikategorikan sebagai tokoh kompleks.
Tokoh Leman juga dapat dikatakan sebagai tokoh dinamis
karena Leman mengalami perubahann watak dengan perkembangan
alur peristiwa yang dikisahkan pada novel tersbeut. Sikap dan watak
Leman mengalami perkembangan mulai dari awal, pertengahan, dan
akhir cerita sesuai dengan urutan peristiwa secara logis dan
keseluruhan.
90
b. Poniem
Poniem dalam novel Merantau ke Deli juga menjadi tokoh
yang mempunyai peran penting seperti Leman. Poniem sebagai
tokoh utama perempuan yang digambarkan sosok perempuan Jawa
yang halus budinya, baik, walaupun dia adalah seorang piaraan
mandor besar. Kehidupannya sebagai piaraan mandor besarpun
bukan keinginannya.
“Begini Bang,” kata perempuan itu meneruskan
pembicaraannya: “Sesungguhnya tidaklah saya sangka bahwa
saya akan terperosok ke dalam dunia kuli-kuli ini. Ibu
bapakkku orang baik-baik di suatu desa di Ponorogo. Pada
suatu ketika datanglah ke rumah kami seorang anak muda
mengatakan hendak meminta saya menjadi istrinya, diberinya
ibu bapak saya uang. Maklumlah hidup di desa.....”86
“Tidak rupanya dia bekerja menjadi kuli di dalam
kebun ini. Maka sejak meninggalkan pelabuhan Tanjung
Priuk, terlepaslah saya dari segala penjagaan, macam-
macamlah ancaman hidup saya, selalu saya di dalam bahaya,
banyak kuli-kuli itu yang hendak mempermainkan saya.”87
“Benar Abang, saya bergaul dengan dia di luar nikah,
tetapi hidup saya aman sentosa dengan dia. Pakaian, makan
minum saya cukup diberinya, sehingga nasib saya tidak
serupa dengan nasib kuli-kuli lainnya..... lagi pula tidak ada
kesalahannya kepada saya, jadi tidak ada pula sebab-sebab
buat saya meninggalkan dia.”88
Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa Poniem
adalah seorang pelacur atau piaraan mandor besar. Memang
keinginan awalnya dia tidak menginginkan keadaannya seperti itu.
Poniem digambarkan sebagai perempuan Jawa kelas bawah yang
merantau ke Deli untuk diajak oleh orang rumah yang memintanya
sebagai istri, tetapi dia malah tertipu oleh laki-laki itu. Poniem
sekarang dianggap menjadi cewek murahan yang mau saja sebagai
piaraan mandor. Tetapi dengan bertemunya Poniem dengan Leman,
86
Ibid. h. 11. 87
Ibid. h. 12. 88
Ibid. h. 12
91
Poniem dinikahkan dengan Leman dan terbebas dari mandor-mandor
di kebun itu. Setelah dia diperistri oleh Leman kehidupannya seperti
layaknya seorang istri yang baik dan selalu patuh kepada suaminya.
Terlihat jelas pada kutipan sebagai berikut.
“Itu tidak lurus abang, kesusahan ini mestilah kita
pikul beruda. Bukankah dahulu, sebelum abang mengambil
aku menjadi istri abang, abang hanya menyusahkan perut
seorang, menyusahkan kain baju seorang, sehingga penjual
berkecil-kecil telah mencukupi. Sekarang kita telah berdua,
abang menghabiskan kekuatan sendiri untuk pikulan
berdua.89
Berdasarkan kutipan tersebut, Poniem sebagai istri adalah
seorang yang sangat nurut dan patuh terhadap suami. Rela berkorban
demi suaminya. Poniem seorang perempuan Jawa yang tetap teguh
pada pendiriannya sebagai istri yang berasal dari daerah Jawa yang
selayaknya harus membantu suami bekerja walaupun hanya dengan
doa dan sedikit rezeki yang dia punya. Tetapi takdir berkata lain
ketika di dalam cerita itu, Leman meminta izin kepada Poniem untuk
menikah lagi. Dengan berat hati, karena dia sangat mencintai Leman
dan tidak ingin diceraikan maka dia mengiyakan kemauan suaminya
untuk menikah lagi. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai
berikut.
“Berangkatlah bang, mengapa abang lalai jua. Lekaslah
bang, orang sudah payah menanti, suruhannya sudah datang.”
“Tidak bang, berangkatlah lekas. Orang telah banyak
menunggu, Yem tak marah”
“Secinta-cintanya abang kepada istri muda abang,
namun aku jangan abang ceraikan.”90
Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa Poniem memang
benar-benar sebagai seorang istri yang penyabar dan menuruti semua
keinginan suaminya. Selain itu juga Poniem seorang wanita yang
selalu kerja keras dan religius. Ketika Poniem sudah sah menjadi
89
Ibid. h. 33. 90
Ibid. h. 98.
92
istri pertama dan Mariatun menjadi istri kedua, kehidupan Poniem
menjadi cukup berat, yakni sebagai seorang istri pertama dia selalu
mengalah dan selalu menjadi tujuan utama kemarahannya seorang
suami. Bahkan sampai-sampai dia diceraikan. Tetapi kehidupannya
tetap berjalan dengan baik setelah dia menikah lagi dengan Suyono,
pegawai di kedainya dulu.
Poniem sebagai tokoh utama perempuan dalam novel
Merantau ke Deli, sama halnya dengan Hayati seorang tokoh utama
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dengan
kemunculan mereka sebagai tokoh utama, mereka sebagai pelaku
yang sering dikenai kejadian di dalam cerita dan selalu berhubungan
dengan tokoh-tokoh lainnya. Poniem memiliki sifat yang statis,
karena dari awal penceritaan yang hidupnya sengsara tinggal
bersama kuli mandor, kemudian bahagia karena menikah dengan
Leman namun di pertengahan cerita Poniem harus diceraikan oleh
Leman karena Leman menikah lagi, dan diakhir penceritan
kemudian dia hidup bahagia bersama Suyono. Alur penceritan inilah
menunjukkan bahwa Poniem mempunyai sifat yang statis, tidak
mengalami perubahan ketika kejadian apapun yang dihadapinya.
c. Suyono
Suyono adalah tokoh tambahan pada novel Merantau ke Deli.
Suyono merupakan laki-laki yang berasal dari Jawa. Berawal dari dia
berjalan di depan kedainya Poniem dengan penggambaran fisik
seperti pakaiannya telah berbau, dengan ikat kepala yang teruntai ke
keningnya. Dia seorang kuli di sebuah kedainya Poniem. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Soal gaji, saya menurut saja dan tidak digajipun saya
terima karena telah dapat saja saya bekerja di sini, sudah
sangat besarlah pertolongan engku terhadap diri saya.”
93
“Ya, bekerjalah di sini. Tinggalah dengan kami,
bersungguh-sungguh. Tolonglah Mbak Ayumu bekerja, baik
di muka atau di belakang.”91
Kutipan di atas menggambarkan tokoh Suyono seorang kuli
di kedainya Leman dan Poniem yang awalnya dia adalah seorang
yang sangat lusuh sedang mencari pekerjaan dan akhirnya dia
diterima untuk menjadi kuli di sana. Setelah beberapa bulan lamanya
Suyono tinggal di kedainya Poniem dan Leman, jelas bahwa Suyono
mengetahui seluk beluk rumah tangga mereka tapi tidak sedikitpun
Suyono mengikutcampuri urusan rumah tangga mereka. Selain itu
Suyono orang yang sangat setia, hal ini dapat dibuktikan dengan
kutipan sebagai berikut.
“Ya barangkali tidak akan kembali lagi. Bukankah saya
kuli kontrak pula?” dan orang Jawa pula?”
“Kalau Mbak ayu suka, saya akan mengikuti ke mana
Mbak ayu pergi. Bukankah kita senasib?”92
Kutipan di atas menggambarkan tokoh Suyono yang begitu
setia kepada teman satu kampung halamannya karena pada
penceritaannya Poniem diceraikan dan diusir oleh Leman sehingga
Suyono pun ikut pergi dengan Poniem. Alur inilah yang
mempengaruhi cerita, kemudian Suyono menikahi Poniem.
d. Mariatun
Mariatun digambarkan sebagai gadis yang berasal dari
Padang yang sangat materialistis dan licik. Sebagai istri muda dari
Leman, Mariatun begitu manja dan pemalas. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kutipan sebagai berikut.
Dia tidur di loteng, bangunnya tinggi hari, turunnya
dari tangga loteng itu dilambat-lambatkannya kakinya,
padahal kamar Poniem di bawah tangga loteng itu.
Sedangkan Poniem sudah semenjak tadi repot
91
Ibid. h. 42. 92
Ibid. h. 135.
94
menyelenggarakan dapur dan menyiapkan makanan dan
minuman.93
Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan Mariatun
seorang istri yang begitu manja dan pemalas, ketika istri pertama
bangun pagi-pagi sudah menyiapkan untuk sarapan tetapi lain halnya
dengan Mariatun yang sangat pemalas siang hari baru bangun.
Semakin lama semakin terlihat sifat dan sikap diri tokoh Mariatun.
Selain itu dia hanya seorang wanita yang hanya pandai berdandan
saja. Seperti pada kutipan sebagai berikut.
Kalau dia mandi bukan main lamanya di kamar mandi,
berbedak dan berlangir dahulu, setiap pagi dan sore bertukar
baju, bedaknya ditebal-tebalkan dan hampir setiap pagi
rambutnya dibasahinya, ketika memeras rambut itu dengan
kain handuk, sengaja agak diperlihatkan di muka Poniem.94
e. Bagindo Kayo
Bagindo Kayo merupakan sanak saudara Leman yang usianya
jauh lebih tua dari Leman dan merupakan orang yang selalu ia ajak
berkonsultasi. Bagindo Kayo digambarkan sebagai sosok yang
berpikir logis. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut.
“Oh, jadi rupanya masih hendak mencoba-coba! Saya
Cuma memberi ingat karena siapapun perempuan,
bagaimanapun hinanya, buruk dan baiknya adalah kepandaian
laki-laki memegang, lain tidak. Kalau sekiranya engkau
pandai mengasihi engkau beroleh isteri, yang setia, walaupun
dia bukan orang „awak‟. 95
Berdasarkan kutipan di atas, Bagindo Kayo adalah seorang
mamak dari Leman yang tinggal di Medan. Bagindo Kayo selalu
memberi nasihat kepada Leman, beliau sudah sangat berpengalaman
tentang kehidupan di tanah Deli. Leman selalu berkonsultasi kepada
Bagindo Kayo baik dalam masalah pernikahan maupun perniagaan.
93
Ibid. h. 114. 94
Ibid. h. 114. 95
Ibid. h. 26.
95
Tokoh-tokoh yang terdapat pada novel Merantau ke Deli
mempunyai peran masing-masing dan memiliki penokohan atau
karakter yang berbeda-beda sesuai dengan daerah yang dibawanya.
Melihat seperti contoh tokoh pada Poniem dan Suyono, digambarkan
seorang tokoh yang berasal dari Jawa yang kita ketahui bahwa orang
yang berasal dari Jawa biasanya sangat lembut dan sabar. Lainnya
halnya dengan Leman dan Mariatun, begitu berbeda dengan Poniem
dan Suyono. Tetapi tidak semuanya orang Padang seperti itu, Hamka
menggambarkan sosok Leman pun orang yang baik dan sabar ketika
dia hidupnya masih bersama Poniem tetapi ketika menikah dengan
Mariatun sikapnya menjadi emosian dan cepat marah. Selain itu ada
beberapa tokoh lainnya seperti Suyono, Mariatun, Bagindo Kayo,
Ibu Mariatun, Maryam, dan Suton Panduko mereka dikategorikan
sebagai tokoh sederhana dan statis. Hal ini karena mereka hanya
memiliki satu kualitas, satu sifat, dan satu karakter.
4. Latar
Latar merupakan penggambaran tempat, waktu, serta suasana yang ada
dalam cerita. Tempat, waktu, dan suasana tersebut saling berkaitan
menghidupkan peristiwa-peristiwa tersebut seolah benar-benar terjadi.
a. Latar Tempat
Latar tempat berarti berkaitan dengan di mana peristiwa itu terjadi,
misalnya di pedesaan, di perkotaan, dan lainnya. Latar tempat yang
terjadi pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebagai
berikut.
1) Makasar
Makasar adalah tempat di mana Zainuddin lahir dan
dibesarkan oleh mak Base. “Di waktu senja demikian kota
Mengkasar kelihatan hidup.”96
Kota yang sangat indah panorama
96
Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Deri Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 9.
96
yang menghadap ke laut dan terdapat benteng Kompeni. Benteng
tersebut tempat sekitar 90 tahun yang lalu Pangeran Diponegoro
kehabisan hari tuanya sebagai buangan politik. Kemudian
mengkasar adalah kota yang memberikan cahaya dan kota yang
penuh dengan riwayat dan sejarah.
Kota Makasar merupakan kota kelahirannya Zainuddin,
tinggal bersama ayah dan ibunya. Kota yang memulai
penceritaan awal ketika dia ditinggal oleh ayah dan ibunya,
menjadi seorang anak yatim piatu. Tetapi mak Base lah menjadi
orang tua angkatnya dan merawatnya hingga dewasa ketika dia
masih di Makasar.
2) Padang Panjang
Padang Panjang adalah latar tempat atau tujuan
merantaunya Zainuddin yang pertama kalinya tepatnya di dusun
Batipuh. Kota Padang Panjang, tempat ayahnya dilahirkan.
Dalam kutipannya.
Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang
Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya
perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan
orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya
yang asli.97
Kota Padang Panjang adalah kota dengan luas wilayah
terkecil di Sumatera Barat. Pada kota ini terdapat Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM)
yang menyediakan berbagai informasi dan dokumentasi tentang
sejarah dan budaya Minangkabau berupa buku-buku, mikrofilm,
foto, dan sebagainya.
Latar tempat ini mempengaruhi awal penceritaan ketika
Zainuddin merantau pertama kali yang bertujuan untuk menemui
keluarga ayahnya tetapi nasib berkata lain, dia seperti orang yang
97
Ibid. h. 26.
97
diasingkan. Tidak hanya itu kota inilah pertemuan antara
Zainuddin dan Hayati.
3) Jakarta
Jakarta dimana tempat Zainuddin singgah atau tujuan
rantauannya yang kedua untuk mengenalkan bahwa Zainuddin
seorang penyair atau pengarang yang terkenal. Berikut
kutipannya.
Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke Tanah
Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas.
Sesampainya di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di
suatu kampung yang sepi bersama sahabatnya Muluk.98
Kota Jakarta lah Zainuddin mulai mengadu nasib untuk
mencari pekerjaan yang sesungguhnya yaitu dengan menjadi
seorang pengarang, selalu dia kirimkan karangannya kepada surat
kabar harian. Jakarta adalah ibu kota negara Republik Indonesia,
dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum
1527). Di Jakarta memang banyak sekali surat-surat kabar yang
sangat terkenal pada masanya, seperti Koran Sindo, Suara
Pembaruan, Sinar Harapan, Republika, Kompas, Warta Kota,
dan sebagainya.
Tujuan lainnya ketika dia merantau ke Jakarta adalah
disebabkan dia diusir oleh keluarga mamak Hayati agar segera
menjauhi Hayati. Di Jakartalah Zainuddin memulai hidup
barunya dengan bekerja sebagai penyair.
4) Surabaya
Surabaya adalah tempat dimana dia merantau untuk yang
ketiga. Kutipan ceritanya sebagai berikut.
Dari pada bekerja di bawah tangan orang lain,
lebih suka dia mengeluarkan dan membuka perusahaan
98
Ibid. h. 155.
98
sendiri. Oleh karena itu, kota Surabaya lebih dekat dengan
Mengkasar, dan di sana penerbitan buku-buku masih
sepi....99
Surabaya adalah kota rantauannya yang terakhir kalinya,
disana dia lebih mengembangkan dirinya sebagai pengarang. Dia
membuka usahanya sendiri karena dia tidak ingin hidup
bergantung dengan orang lain. Surabaya adalah ibu kota Provinsi
Jawa Timur, Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia
setelah Jakarta.
Pindahnya rantauan Zainuddin dari Jakarta ke Surabaya,
disebabkan karena dia ingin lebih hidup mandiri lagi.
Merantaunya Zainuddin ke Surabaya ditemani oleh sahabatnya
yang bernama Muluk. Tetapi tidak disangka kota terakhir ini
yang dia rantau, Zainuddin bertemu dengan Aziz dan Hayati.
Aziz menitipkan Hayati kepada Zainuddin untuk tinggal
bersamanya sementara Aziz mencari pekerjaan di Semarang.
5) Pelabuhan
Pelabuhan Tanjung Perak dimana Hayati akan pulang
kembali Padang Panjang dan tempat pertemuan terakhirnya
dengan Zainuddin. Berikut kutipannya.
Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936
kapal Van Der Wijck yang menjalani lijn K.P.M. dari
Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak.100
Pelabuhan Tanjung Perak adalah sebuah pelabuhan yang
terletak di Surabaya, Jawa Timur. Tanjung Perak merupakan
pelabuhan terbesar di Indonesia dan menjadi kantor pusat PT.
(Persero) Pelabuhan Indonesia III.
Selanjutnya latar tempat yang terdapat pada novel
Merantau ke Deli yang pertama adalah Deli. Hal ini dapat
dibuktikan sebagai berikut.
99
Ibid. h. 156. 100
Ibid. h. 200.
99
1) Deli
Latar peristiwa di tanah Deli merupakan adanya
pergeseran yang suasana yaitu ketika Poniem diajak ke tanah Deli
yang amat menyenangkan, akan tetapi setelah diajak oleh seorang
laki-laki ke tanah Deli, Poniem menjadi kecewa karena tidak
sesuai yang diharapkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Karena keras bujukannya, saya pun diserahkan
orang tua saya kepadanya, karena katanya akan
dibawanya merantau ke tanah Deli. Bukan main besar hati
ibu bapak saya melepas saya merantau sejauh itu, nama
Deli sudah amat mahsyur di desa kami.101
Berdasarkan kutipan di atas merupakan latar awal cerita
pada novel Merantau ke Deli, Poniem merantau ke Deli karena
bujukan oleh seorang laki-laki yang menjanjikannya untuk
menikahinya tetapi Poniem tertipu oleh laki-laki itu dan
dipekerjakan sebagai pelacur. Kutipan selanjutnya latar yang
mempengaruhi tokoh utama laki-laki, yaitu Leman sebagai
berikut.
Meskipun ketika dia akan meninggalkan
kampunya dahulu telah diberi ingat benar-benar oleh
orang tua supaya hati-hati di tanah Deli.102
Kutipan selanjutnya merupakan latar tempat yang
mempengaruhi tokoh utama untuk merantau, tujuan dia merantau
adalah kota Deli. Kota deli adalah sebuah kecamatan di
kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Desa kecil yang luas
wilayahnya 9,36 km2 yang terdiri dari 3 desa dan 3 kelurahan.
Kota yang dituju oleh Leman untuk mencari pekerjaan yang
layak, dia bekerja sebagai pedagang.
101
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 10. 102
Ibid. h. 6.
100
2) Medan
Kemudian latar tempat selanjutnya yaitu di Medan, yaitu
tempat mengadakan ijab kabul, Leman dan Poniem menikah dan
dinikahi secara Islam. Dan menjadi tempat tinggal Leman dan
Poniem. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut.
Mereka telah berangkat ke Medan pada hari itu
juga dan terus ke rumah tuan Qadhi. Mereka telah
dinikahkan dengan sah secara Islam.
Di luar rumah tempat mengakadkan ijab dan kabul
itu telah menanti masyarakat, telah menanti pergaulan dan
kehidupan, yang akan ditempuh oleh ke dua sejoli, akan
mereka rasai pahit dan getirnya.103
Latar peristiwa di Medan mempengaruhi penokohan
Leman yang telah berganti statusnya menjadi suami Poniem.
Dalam peristiwa ini adanya suasana senang yang dialami oleh
Leman dan Poniem yang telah menjadi suami isteri setelah
Leman mengucapkan ijab dan kobul. Selain itu juga kota Medan
adalah tempat pembelian barang-barang perniagaan Leman dan
Poniem.
Tiap-tiap bulan tua, dia sendiri yang pergi ke
Medan membeli barang-barang baru, tuan-tuan toko telah
percaya untuk memberikan barang-barang yang laku
untuk dijualkan, walaupun dengan bayaran yang tidak
kontan. Saudagar-saudagar yang berada sebelah
menyebelah kedainya merasa tercengang, ada pula yang
iri hati melihat kemajuan yang telah dicapainya.104
Berdasarkan kutipan di atas latar tempat di kota Medan
adalah tempat pembelian barang-barang perniagaan, di sana
sudah banyak langganan dan kenalan Leman. Kota Medan adalah
ibu kota provinsi Sumatera Utara. Kota ini merupakan kota
terbesar di luar Pulau Jawa dan kota metropolitan terbesar ketiga
di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya.
103
Ibid. h. 26. 104
Ibid. h. 43.
101
Kemudian peristiwa di Medan selanjutnya yaitu ketika
Suyono akan membeli rumah dan bertemu dengan Leman disini
Leman pun merasakan penuh penyesalan dari masa lalunya.
Disini pula Leman meminta tolong dengan Suyono agar
mempertemukannya dengan Poniem. Setelah bertemunya Leman
dengan Poniem, Leman menjadi malu sehingga mukanya
menunduk saja. Dan akhirnya Leman meminta maaf kepada
Poniem. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Biarlah sekarang saya nyatakan. Kedatangan saya
kemari, sebagai kemarin telah saya nyatakan kepada
Suyono, ialah hendak menemui engkau, Poniem. Yaitu
hendak meminta maaf atas kesalahanku. Baik juga kita
bermaaf-maafan, karena umur di tangan Tuhan. Meskipun
kita telah bercerai jauh dibawa nasib masing-
masing....”105
Berdasarkan kutipan di atas terlihat penyesalan Leman
terhadap Poniem dan Suyono. Hal ini membuat Leman merasa
tidak enak hati atas kejadian yang lalu. Kemudian Suyono
mengatakan bahwa ia telah menikahi Poniem. Disinilah suasana
Leman menjadi pucat, lemas, malu bercampur menjadi satu.
3) Padang
Kemudian latar tempat yang selanjutnya adalah
Minangkabau yaitu tanah kelahiran Leman. Ketika Leman
hendak pulang ke kampungnya dan Poniem ikut serta. Namun di
Minangkabau, Leman dan Poniem tidak leluasa karena rumah
yang ditinggali Leman adalah kerabat-kerabatnya yang
perempuan dan bagi laki-laki yang membawa istrinya tidak
tersedia tempat untuknya.
Baru saja oto berhenti, turunlah Leman. Lagak-
lagaknya Deli betul-betul, memakai baju teluk belanga
sama corak bajunya dengan celana....106
105
Ibid. h. 183. 106
Ibid. h. 50.
102
Leman tersenyum-senyum simpul saja, dia merasa
amat bangga, ada rupanya dia berkaum kerabat. Poniem
telah dibimbing oleh perempuan-perempuan muda itu
naik ke rumah.107
Rumah-rumah di Minangkabau tidak tersedia
untuk saudara laki-laki yang hendak membawa isterinya
tingal di sana.108
Berdasarkan kutipan tersebut menandakan Leman telah
sampai dan disambut oleh sanak saudaranya. Saudaranya yang
merindukannya setelah kurang lebih empat tahun dia merantau.
Selain itu kutipan selanjutnya Latar peristiwa di Minangkabau ini
mempengaruhi penokohan Leman yang terbujuk rayu untuk
menikah lagi dengan seorang gadis muda, cantik, perawan dan
sekampung yang bernama Mariatun. Setelah Sutan Panduko
memperlihatkan foto Mariatun, Leman pun terus terbayang-
bayang akan wajah cantik Mariatun sang calon isterinya. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
“Itulah yang meragukan hati Leman. Dia memang
sayang kepada Poniem. Tetapi....... ya wajah Mariatun
telah terbayang-bayang di ruang matanya. Alangkah lebih
senangnya jika Mariatun itu disuruh memakai oakaian
yang bagus-bagus”109
Maka suasana yang terjadi pada peristiwa ini yaitu
kebingungan Leman antara akan menikah lagi dengan orang
senegerinya atau tidak. Dan Leman akhirnya menyetujui untuk
menikah lagi dengan Mariatun dan dengan persetujuan Poniem.
b. Latar Waktu
Latar waktu yang terdapat pada novel Tenggelamnya
kapal van Der Wijck adalah pagi hari, senja, malam hari, Senin
tanggal 19 Oktober 1936, dan Selasa tanggal 20 Oktober 1936.
Hal berikut dapat dilihat dari kutipan cerita di bawah ini.
107
Ibid. h. 51. 108
Ibid. h. 55. 109
Ibid. h. 65.
103
Di waktu senja demikian kota Mengkasar
kelihatan hidup, kepanasan dan kepayahan orang bekerja
siang, apalagi telah sore diobat dengan menyaksikan
matahari yang hendak terbenam.110
Jelas sekali, berdasarkan kutipan di atas waktu yang
digambarkan ialah senja atau sore hari, karena dijelaskan pada
teks ketika orang-orang baru pulang kerja dari siang hari dan
ketika senja keletihan itu bisa terbayarkan dengan pemandangan
yang indah di kota Mengkasar lebih lagi melihat matahari yang
akan terbenam. Latar waktu selanjutnya adalah malam hari,
dimana Hayati merenungkan pikirannya. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut.
Demikianlah, hampir seluruh malam hayati karam di
dalam permohonannya kepada Tuhan, supaya Tuhan
memberi perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya, sebab
sangat sekali surat Zainuddin mempengaruhi jiwanya.111
Berdasarkan kutipan di atas, tertera kata seluruh malam
yang mengartikan bahwa Hayati selama semalaman memikirkan
dan memohonkan untuk memberikan perlindungan kepada
Zainuddin yang diasingkan oleh keluarganya sendiri. Latar waktu
berikutnya adalah pagi hari ketika Zainuddin diusir dari kampung
ayahnya, karena dianggap bukan sanak saudaranya. Berikut
kutipannya.
Boleh dikatakan tiada terpericing matanya semalam
itu. Setelah ayam berkokok tanda siang, dia telah turun
membasuhmukanya ke halaman dan mengambil wudhu,
terus sembahyang shubuh.
Tidak berapa saat kemudian, fajarpun terbitlah dari
jihat Timur, kicau murai di pohon kayu, dan kokok ayam di
kandang.112
Pada kutipan tersebut menunjukan aktivitas umat muslim
seperti biasa, membasuh muka mengambil air wudhu dan segera
110
Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 9. 111
Ibid. h. 43. 112
Ibid. h. 64.
104
shalat shubuh. Latar tersebut jelas menggambarkan di pagi hari
dengan adanya kicauan burung dan ayam berkokok di pedesaan
yang masih asri. Latar waktu selanjutnya dengan penggunaan
hari, yaitu hari Kamis. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Hari perkawinan telah ditentukan, petang Kamis
malam Jumat disamakan diantara Aziz dengan adiknya
Khadijah. Sebelum hari yang ditentukan itu datang.
Hayati asyik memperbaiki rumah tangganya, mengatur
bunga-bunga berkarang, pemberian kawan-kawannya,
gelas dan baki, pinggan dan cawan.113
Pada kutipan di atas menunjukkan latar waktu
menggunakan hari Kamis, pada saat hari yang ditentukan oleh
keluarga Hayati dan Aziz dilangsungkanlah pernikahan adat
mereka. Sebelum acara dimulai, Hayati masih merapikan keadaan
seisi ruang rumah dengan pemberian hiasan dari kawan-
kawannya.
Oktober 1936
Latar waktu pada novel ini terdapat juga menyatakan
bulan dan tahun kejadiannya, tetapi oleh pengarang hanya
disampaikannya ketika penceritaan berakhir. Berikut kutipannya.
Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936
kapal Van Der Wijck yang menjalani lijn K.P.M. dari
Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak.
Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjung Priuk, dan
terus ke Palembang. Penumpang-penumoang yang akan
meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di
pelabuhan tanjung Priuk.
Besoknya hari Selasa, 20 Oktober 1936, barulah
Zainuddin kembali ke Malang. Dia masuk ke dalam
rumah dengan wajah muram, terus ke kemar
tulisnya.didapatinya Muluk sedang membersihkan buku-
buku dan menyusun kertas-kertas yang terserak di atas
meja.
113
Ibid. h. 140.
105
Berdasarkan latar waktu dari penggalan cerita di atas,
pada kutipan pertama pada saat Hayati si gadis Minang akan
kembali ke Padang Panjang karena sebelumnya dia berada di
Surabaya bersama suaminya yang kini telah meninggal. Kutipan
yang kedua adalah pada saat Zainuddin ditinggalkan oleh Hayati
untuk pergi kembali ke kampung halamannya.
Sedangkan pada novel Merantau ke Deli tidak terlalu
spesifik dimunculkan pada keterangan waktu misalnya bulan dan
tahun tetapi pengarang menjelaskan latar waktunya dengan
menggunakan transportasi zaman dulu sekitar tahun 1930-an. Hal
ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Baru saja oto berhenti, turunlah Leman. Lagaknya
lagak Deli betul, memakai baju teluk belanga sama corak
bajunya dengan celana, bersamping kain sarung halus,
berpeci beledu tinggi dan berselop capal.114
Transportasi yang disebutkan di atas adalah transportasi
zaman dulu sekitar tahun 1930-an yang ada di Sumatera Barat
yang dinamakan oto. Transportasi ini sudah tidak ada lagi hanya
saja mungkin zaman sekarang diganti dengan nama delman atau
bendi.
c. Latar Sosial
Latar sosial menghubungkan pada hal-hal yang brkaitan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat
mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks
juga diceritakan dalam karya sastra. Tata caranya meliputi adat
istiadat, tradisi, pandangan hidup, kebiasaan hidup, cara berpikir, dan
cara bersikap. Masyarakat Minangkabau termasuk kelompok yang
mempunyai kebiasaan merantau. Kemudian mayoritas masyarakat
Minangkabau menganut agama Islam. Agama Islam dalam
114
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 50.
106
masyarakat Minangkabau telah menjadi dasar yang kuat. Hal ini
merupakan kebiasaan kehidupan sehari-hari masyarakat
Minangkabau. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Deri Wijck,
latar sosialnya adalah tokohnya melakukan ketaatan beribadah. Hal
ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Tiba-tiba, timbul pulalah seruan dari jiwanya kepada
Tuhan yang melindungi seluruh alam, diserukannya di waktu
tengah malam demikian, di waktu segala doa makbul.
Pujianku tetaplah pada-Mu ya Illahi!115
Sedangkan pada novel Merantau ke Deli adalah sikap sosial
yang saling tolong menolong sesama manusia. Sikap saling tolong
menolong merupakan sikap yang terpuji. Sehingga pada novel ini
dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Entah apa yang jadi sebabnya, entah karena melihat
bayangan ketulusan yang terlukis di muka kuli itu atau entah
karena melihat badannya yang telah lemah karena kurang
makan, jatuh sajalah rasa rahim dan kasihan di hati
keduanya.116
Berdasarkan kutipan di atas menerangkan bahwa sikap sosial
atau belas kasih yang dimiliki Leman dan Poniem. Latar sosial ini
mempengaruhi penceritaan dengan kehadirannya tokoh baru yaitu
Suyono, sosok laki-laki yang sudah lusuh tetapi dengan digajinya
sebagai kuli sekarang Suyono sudah terlihat bersih dan mempunyai
pekerjaan tetap. Dengan adanya Suyono sama-sama yang berasal
dari daerah Jawa dengan Poniem membuatnya hidup bahagia setelah
bercerai dengan Leman.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang atau Point of View adalah cara atau pandangan yang
digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan,
latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya
115
Op. Cit. h. 44. 116
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 42.
107
fiksi kepada pembaca.117
Sudut pandang yang digunakan dalam novel
Tenggelamnya Kapal van Der Wijck adalah menggunakan sudut pandang
orang ketiga. Sudut pandang yang menggunakan pengisahan dengan gaya
“dia”. Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, pengarang
menampilkan tokoh-tokohnya dengan nama orang, seperti Zainuddin,
Hayati, Daeng Habibah, Pendekar Sutan, Mak Base, Khadijah, Aziz, Muluk,
dan Mak Limah. Seperti dalam penggalan cerita berikut.
Tak mau juga Zainuddin menerangkan dalam surat itu bahwa
dia telah kaya, telah sanggup menghadapi kehidupan dengan wang
tertaruh, karena di zaman sekarang wang adalah sebaga garansi. Budi
pekertinya yang tinggi tidak hendak mengusik kemuliaan Hayati
yang telah begitu lama beristana dalam hati jantungnya....118
Berdasarkan penggalan di atas pengarang menggunakan nama
Zainuddin dan Hayati pada tokoh utamanya serta menggunakan teknik
penceritaan “Dia-an” dalam novel ini. Pengarang menempatan
kedudukannya serba tahu. Dengan kata lain yaitu sudut pandang yang
digunakan pada novel ini adalah sudut pandang orang ketiga, pengarang
serba tahu. Pemilihan sudut pandang ini membuat pengarang lebih
merasakan lagi konflik yang terasa dalam cerita ini dan mampu menyajikan
gambaran dan cerita ini sampai baik dan berkualitas.
Pengarang ikut menjiwai karakter tokoh yang dialami oleh tokoh
utama dan seperti mengalaminya sendiri, Zainuddin dikisahkan menjadi
seorang laki-laki yang tidak mudah putus asa, laki-laki yang pandai mencari
ilmu baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan, dan seorang laki-laki
rantauan serta penyair yang terkenal. Itu semua hampir sama karakter yang
dimiliki oleh pengarang, yaitu Hamka. Beliau adalah seorang ulama besar,
yang mempunyai ilmu agama yang sangat dalam, kemudian beliau adalah
117
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta : Gajdah Mada University Press,
2012). h. 248. 118
Hamka. Op.Cit. h. 109.
108
anak rantauan yang dulunya singgah di daerah kebayoran lama serta beliau
adalah seorang penyair yang sangat terkenal di kalangan masyarakat.
Selanjutnya untuk novel Merantau ke Deli sudut pandang novel ini
adalah orang ketiga maha tau. Hamka seperti Tuhan dalam novel ini, yang
mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk
motif. Sehingga pengarang melibatkan nama orang lain dalam bercerita,
dengan kata lain pengarang adalah orang ke tiga. Seperti pada kutipan di
bawah ini.
Leman, sejak dia disambut beramai-ramai dan dilepas ramai-
ramai pula, terasalah olehnya kembali bagaimana eratnya pertalian
famili ....... meskipun bagaimana dia terpisah selama ini, jauh
terbuang ke manapun dia, walaupun bagaimana senangnya hidup di
rantau, namun dia tetap anak Minangkabau.119
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengarang menyampaikan gagasannya
melalui bahasa yang dipilihnya. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan
leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Tenggelamnya Kapal van
Der Wijck adalah menggunakan bahasa sehari-hari dan sedikit dengan
bahasa padang sekaligus ditambahkan sedikit lagu-lagu jika bercakap-cakap.
Bahasa yang digunakan dalam sehari-hari disertakan masih berunsur bahasa
baku atau melayu, berikut penggalannya.
Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri
berdiri dengan adatnya, walaupun apa banganya dan di mana
negerinya.120
Pada kutipan di atas terlihat pengarang memberika gaya bahasa yang
sehari-hari dan mudah dimengerti oleh para pembaca. Tetapi pengarang
masih sedikit memasukan bahasa Padang ke dalam ceritanya. Seperti kata di
bawah ini.
119
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 56. 120
Ibid. h. 113.
109
a. Jum Pandang : nama asli dari Mengkasar, laksana Sriwijaya bagi
Palembang.121
b. Pulau pandan jauh di tengah,
Di balik pulau Angsa Dua.
Hancur adik dikandung tanah,
Rupa adik terkenang jua.122
Berikut adalah lantunan lagu Mak Base ketika Zainuddin masih
kecil, yang berasal dari negeri sendiri yaitu Padang. Pengarang
memasukan pantun kemudian yang dilagukan oleh tokoh.
c. Uda123
: Uda adalah panggilan untuk Abang di kota Padang.
Sedangkan gaya bahasa untuk novel Merantau ke Deli Bahasa yang
digunakan dalam novel ini cukup mudah dipahami, karena sudah
menggunakan bahasa Indonesia umum. Tapi masih ada bahasa daerah
Minangkabau yang digunakan dalam percakapan. Novel ini juga
menjelaskan bahasa tertentu menggunakan catatan kaki. Selain itu, gaya
bahasa yang digunakan pada novel Merantau ke Deli menggunakan majas
seperti hiperbola, metafora, dan simile. Majas hiperbola adalah majas yang
menyatakan sesuatu cara berlebih-lebihan sedangkan metafora adalah majas
yang menggunakan kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang
sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau
perbandingan, selanjutnya jika simile adalah pengungkapan dengan
perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung,
seperti bagaikan, umpama, ibarat, bak, dan bagaikan.124
Seperti hal ini dapat
dibuktikan dengan kutipan.
121
Ibid. h. 18. 122
Ibid. h. 20. 123
Ibid. h. 96. 124
Rahma Fitri. Kitab Super Lengkap EYD dan Tata Bahasa Indonesia. (Jakarta : PT Serambi
Semesta Distribusi). h. 102 – 107.
110
Pekerja-pekerja berlarian dalam kantor setelah menerima
gajian masing-masing, gaji yang diharapkan dari awal keujung
bulan.yang menyebabkan setiap hari mereka memeras keringat. Makna : yaitu bekerja keras tanpa mengenal lelah dalam menjalani
kehidupan untuk bertahan hidup (menggunakan majas Hiperbola)
Banyak kuli-kuli tersadar atau tersangkut saja disitu, tidak
sanggup pulang lagi, tukang-tukang jual kain obral sangat lucunya,
mulutnya bersorak-sorak memanggil kuli-kuli perempuan. Makna :
yaitu suatu kehidupan tempat kediaman yang tidak bisa lagi
berpindah ke tempat yang lainnya. (menggunakan majas Metafora)
Oleh karena kemunduran perdagangannya, Leman kerap kali
mengaluh, menarik nafas bagai seorang terselip garam dalam
giginya. Makna : orang yang hampir putus asa menjalankan suatu
pekerjaannya. (menggunakan majas Simile)
7. Amanat
Amanat sama saja dengan pesan moral. Amanat menyampaikan pesan
moral pada cerita yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan yang
yang disampaikan oleh pengarang pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck salah satunya adalah pendidikan itu penting, yang disampaikan oleh tokoh
Zainuddin yang merantau bukan hanya mencari kekayaan saja melainkan
mendalami ilmu agamanya sehingga dalam hidupnya tidak boleh ada kata putus
ada dan harus memiliki tujuan hidup, serta amanat lainnya yaitu terdapat melalui
pikiran dan perasaannya Muluk. Terlihat pada kutipan sebagai berikut.
Sekarang meskipun ada kekayaan yang ditinggalkannya, apalah
gunanya bagiku. Padahal saya kehilangan dirinya, sahabatku, guruku,
yang telah sekian lama kukenal dan kebersihan batinnya.125
Buat apa lagi kekayaan benda itu. Demikianlah penghabisan
kehidupan orang besar itu. Seorang di antara pembina yang menegakkan
batu pertama dari kemuliaan bangsanya, yang hidup didesak dan dilamun
oleh cinta. Dan sampai matinyapun dalam penuh cinta. Tetapi
sungguhpun dia meninggal namun riwayat tanah air tidaklah akan dapat
melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup menghilangkan
jasanya.126
125
Ibid. h. 222. 126
Ibid. h. 223.
111
Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi,
kesenangannya buat orang lain, buat dirinya sendiri tidak.127
Terlihat jelas sekali berdasarkan penggalan cerita di atas yang
disampaikan pengarang melalui Muluk. Pengarang mengatakan bahwa
sebanyak-banyak kekayaan yang kita cari apabila kehilangan seseorang yang
kita sayang maka tidak akan terbayar dengan harta apapun. Kutipan selanjutnya
adalah meskipun orangnya sudah wafat tetapi nama dan jasanya selalu dikenang
dan tidak pernah dilupakan.
Berdasarkan hasil analisis terhadap struktur novelnya dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dapat dikatakan bahwa novel tesebut
sangat jelas sekali ceritanya karena alur ceritanya dipaparkan dari awal sebelum
tokoh utama, yaitu Zainuddin itu hadir. Diceritakannya awal mula ayah dan
ibunya Zainuddin, kemudian Zainuddin tumbuh menjadi remaja hingga bertemu
dengan gadis yang ia cintai. Hingga akhirnya diceritakan Zainuddin kembali
kepada Yang Maha Kuasa. Kemudian pada tokoh dan penokohannya pun
pengarang menggambarkan jelas satu persatu bagaimana kehadiran tokoh
Khadijah, Aziz, dan Muluk itu semua pengarang menjelaskan secara rinci di
dalam ceritanya. Selanjutnya pesan moral yang disampaikan oleh pengarang pun
jelas dipaparkan melalui tokoh Muluk, dengan begitu dapat membuktikan bahwa
novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijck memiliki cerita yang berkualitas
sangat baik dan dapat tersampaikan kepada pembaca terutama untuk
pembelajaran siswa di dalamnya terdapat adat dan tradisi merantau serta
tujuannya merantau sehingga siswa bisa memahami sedikit demi sedikit budaya
Padang.
Selanjutnya amanat yang dapat disampaikan pada novel Merantau ke
Deli adalah sebuah perantauan seorang anak laki-laki ke kota lain dengan
meninggalkan sanak saudaranya, tetapi tidak pernah menuruti nasihat yang
diberikan oleh orang yang dituakannya di kampungnya sehingga kehidupannya
tidak jauh lebih baik dari sebelumnya, kemudian amanat lainnya yaitu janganlah
127
Ibid. h. 223.
112
sia-siakan istri yang sudah sepenuhnya membela suami. Istri yang setia dan
selalu menjaga nama baik suaminya. Istri yang selalu mengerti bagaimana
keadaan suami karena jika itu terjadi pasti kita akan sangat menyesal. Seperti
tokoh Leman yang menyia-nyiakan Poniem. Leman lebih memilih menikah lagi
dengan Mariatun daripada setia menjaga perasaan istrinya.
Setelah Leman bercerai dengan Poniem dan jatuh miskin, barulah Leman
menyesali perbuatannya dulu. Dapat disimpulkan amanat yang bisa diambil oleh
pembaca, yaitu jangan dengan mudahnya mengucapkan janji atau sumpah jika
tak sanggup menepatinya, jangan lupakan orang yang telah berjasa kepadamu,
nafsu buruk hanya akan menyesatkan kamu dalam hidup ini, dan orang akan
menganggap kamu, ada jika kamu telah sukses.
B. Analisis Pembahasan Tradisi Merantau pada Novel Hamka
Penelitian yang dilakukan penulis dalam novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka menggunakan penelitian
deskriptif kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra. Analisis deskrptif kualitatif
merupakan teknik penelitian untuk memperoleh keterangan dari isi pesan dalam
bentuk lambang atau tulisan. Pendekatan sosiologi sastra yang digunakan
merupakan pendekatan kajian sastra yang mengkaji tentang kehidupan sosial
yang terdapat pada karya sastra itu sendiri. Karya sastranya berupa novel, yaitu
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dengan 223 halaman karya Hamka
cetakan keenam belas yang diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, Jakarta pada
tahun 1976 dan Merantau ke Deli, dengan 194 halaman karya Hamka yang
diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, Jakarta pada tahun 1977. Kedua novel ini
menjadi kajian yang inti dalam penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tradisi merantau yang terdapat pada kedua novel ini.
Padang merupakan ibu kota provinsi Sumatera Barat yang terletak di
daerah pantai dengan penduduk lebih dari 200.000 jiwa pada tahun 1971 hal ini
dibuktikan dengan sensus penduduk oleh Tsuyoshi Kato pada saat penelitiannya.
Padang pun menjadi salah satu kota yang tersebar warga yang diluar kota
Padang, misalnya Tionghoa, Jawa, dan Batak. Tetapi tidak hanya itu, Padang
113
menjadi pusat pemukiman bagi mayoritas penduduk Minangkabau. Selain itu,
kepercayaan yang kuat terhadap agama Islam (berlawanan dengan tradisi Jawa),
ciri-ciri khas yang sering kali dihubungkan dengan orang Minangkabau adalah
merantau dan adat, khususnya adat yang berciri matrilineal (nasab ibu).
Merantau adalah sebuah gabungan kata yang terdiri dari prefiks “me-“
dan kata dasar “rantau”. Rantau pada mulanya berarti garis pantai, daerah aliran
sungai. Kata kerja rantau, yaitu merantau, berarti pergi ke daerah lain,
meninggalkan kampung halaman, berlayar melalui sungai, dan sebagainya. Jika
dihubungkan dengan Minangkabau, kata ini selalu dipahami dalam arti yaitu
meninggalkan kampung halaman untuk mencari kekayaan, ilmu pengetahuan,
dan kemahsyuran.
Kebiasaan merantau orang Minangkabau bukan semata-mata merupakan
akibat proses urbanisasi belakangan ini, tetapi sudah berakar dalam sejarah
Minangkabau. Selain dari kebiasaan merantau, satu lagi ciri khas yang sering
kali dihubungkan dengan orang Minangkabau adalah adat atau tradisi
matrilineal. Penelitian ini diambil oleh penulis dari kedua novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka, sebab di dalam kedua
novel itu terdapat tradisi merantau yang dilakukan oleh masing-masing tokoh
utama khususnya pada tokoh utama laki-laki.
Menurut pendapat Kato pada bukunya yang berjudul Adat Minangkabau
dan Merantau terdapat tiga jenis cara merantau atau mobilitas geografis dalam
sejarah Minangkabau: merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling
(merantau secara bolak-balik atau sirkuler), dan merantau Cino (merantau secara
Cina). Cara-cara merantau ini secara kasar digolongkan ke dalam tiga periode
sejarah: pemekaran nagari dari masa legenda hingga awal abad ke-19, merantau
keliling dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1930-an, dan merantau Cino mulai
dari 1950-an sampai sekarang.128
Dari ketiga jenis cara merantau, terdapat lima
yang melatarbelakanginya, mencakup 1) Adat (yakni kebiasaan)
128
Tsuyoshi Kato. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 13.
114
perkawinan/perceraian, 2) Kemajuan Pendidikan si Perantau, 3) Pekerjaan-
pekerjaan si Perantau, 4) Tempat-tempat merantau yang dituju, dan 5) Tujuan
Merantau. Penulis juga mencoba memasukkan pandangan sosiologi dalam
menganalisis historis masyarakat Minangkabau agar lebih jelas.
Tradisi merantau pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
merupakan cara merantau keliling. Merantau keliling dilakukan oleh laki-laki,
baik yang sudah menikah ataupun belum menikah. Selain terbatasnya lahan
pertanian (yang disebut faktor pendorong). Jenis merantau ini mengarahkan ke
kota-kota yang jaraknya tidak terlalu jauh, misalnya daerah Jawa. Pekerjaan
yang dicari bukan dalam bidang pertanian, mereka adalah saudagar, pegawai
kantor, guru, dan perajin. Jenis merantau ini pun tidak selalu menetap lama di
setiap daerah rantauannya, sesekali dia pulang ke kampung halamannya
setidaknya untuk mengunjungi keluarganya bahkan dapat merantau ke daerah
lainnya lagi dengan tujuan yang sama. Zainuddin yang awalnya ia bermukim di
daerah Mengkasar bersama orang tua angkatnya, kemudian dia merantau ke tiga
kota yang mempunyai tujuan yang sama. Hal ini dapat dijelaskan secara umum
tentang merantau keliling yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck berikut kutipannya.
“Apalagi puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya
kepadaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat
ayahku dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memuji-muji
negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama Islam masuk
kemaripun dari sana. Lepaslah saya berangkat ke sana.”129
Berdasarkan penggalan di atas adalah kutipan teknik cakapan tokoh
utama Zainuddin kepada ibu angkatnya, yaitu Mak Base. Kutipan ini awal yang
menguatkan cerita karena yang menjelaskan bahwa tokoh utama akan merantau
pertama kalinya dengan tujuan untuk mencari ilmu pengetahuan, ingin mencari
ilmu akhirat, dan menyempurnakan cita-cita kedua orang tua kandungnya. Sebab
di daerah Padang dijelaskan bahwa pengetahuan agamanya sangat kental sekali
dan beradab sehingga Zainuddin tertarik untuk merantau ke daerah Padang. Hal
129
Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 22.
115
lain yang menyebutkan bahwa novel ini jenis merantau keliling adalah
dibuktikan dengan kutipan berikut ini.
“Saya sudah pikirkan bahwa yang lebih maslahat bagi diri saya
dan bagi perjuangan yang akan ditempuh di zaman depan, saya akan
pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak ke tanah Jawa. Di tanah
Jawa nasihat bang Muluk itu lebih mudah dijalankan dari di sini. Lagi
pula kalau di Padang panjang kelihatan juga, pikiran yang lama-lama
timbul-timbul juga!”130
Berdasarkan kutipan di atas menjelaskan bahwa Zainuddin akan
merantau lagi ke daerah yang baru, yaitu tanah Jawa tepatnya di Jakarta.
Berdasarkan teori yang sudah dijelaskan, memang pada dasarnya merantau
keliling tidak selamanya akan menetap di daerah tujuan rantauannya tetapi
perantau bisa kapan saja dan kemana saja dia merantau asalkan mempunyai
tujuan yang tepat. Kemudian merantau keliling juga kota-kota rantauannya tidak
terlalu jauh, masih di pulau Jawa. Tetapi satu hal yang berbeda antara novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan salah satu teorinya adalah si
perantau masih menjaga tali silahturahmi kekeluargaannya dengan sanak
keluarga yang ada di daerah aslinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan mak Base seketika dia
akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabau lain sekali. Bangsa
diambil daripada ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang
Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya
orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedakt-
dekatnya dia dipandang orang lain juga.131
Jika dihubungkan dengan novel ini, si perantau atau tokoh utama laki-
laki dia tidak dianggap oleh sanak keluarganya yang berasal dari daerah Padang.
Sebab Zainuddin dianggap bukan keturunan padang, karena nasab ibunya adalah
orang Mengkasar bukan Minangkabau yang berasal dari Minangkabau adalah
ayahnya. Melihat dari pandangan sosial atau adat yang terdapat di Minangkabau,
mereka sangat kental menggunakan adat terutama pada nasab ibu (matrilineal).
Nasib seorang perantau (anak yang berasal dari keturunan matrilineal) malang
130
Ibid. h. 154. 131
Ibid. h. 27.
116
yang di negeri ibunya dia dipandang orang asing dan dalam negeri ayahnya dia
dipandang orang asing juga.
Kategori merantau yang terdapat pada novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck jelas sekali bahwa termasuk ke dalam merantau keliling, hal yang
pertama adalah Zainuddin seorang laki-laki bujang yang merantau untuk
mencari pekerjaan yang layak dan ilmu akhirat. Yang kedua adalah Zainuddin
merantau dengan dia tidak menetap lama di satu titik atau daerah tertentu, dia
merantau ke tiga daerah dengan mempunyai tujuan yang sama.
Beda halnya dengan novel Merantau ke Deli, novel ini memiliki cara
rantau yang berbeda dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel
Merantau ke Deli memiliki cara merantau, yaitu merantau cino. Disebut dengan
merantau cino karena ada beberapa hal misalnya perpindahan menuju ke tempat
rantauanya jauh dan ke kota-kota besar sehingga mereka jarang pulang ke
kampung halamannya untuk berkunjung, jenis pekerjaannya di bidang
perdagangan, seorang bujangan yang dapat pulang dan menikah di kampungnya
untuk kemudian membawa istrinya pindah ke tempat perantauan. Di dalam
novel Merantau ke Deli memiliki beberapa hal yang dapat dibuktikan
kebenarannya, sebagai berikut.
Suara Deli yang demikianlah yang gemuruh kedengaran ke
mana-mana ke sekeliling pulau Sumatera. Itulah yang membawa orang
Tapanuli dan orang Minangkabau datang ke Deli sejak tanah Deli
terbuka. Deli itulah yang menyeru orang Amerika mencari dolar, orang
kontrak mencari sepiring mie sekali sebulan, orang dusun mencari dan
mengumpulkan dari setali ke setali. Itulah kelak yang akan dibawanya
pulang ke kampung halaman, penebus sawahnya yang tergadai atau
penambah kerbaunya.132
Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa tokoh laki-laki merantau ke kota
di daerah Sumatera tepatnya di Deli, jauh dengan Padang meskipun provinsinya
masih sama-sama di Sumatera. Tokoh laki-laki yang bernama Leman, berasal
dari Minangkabau yang merantau ke Deli, Medan. Untuk pulang ke kampung
halamannya di Minang, Leman jarang sekali untuk pulang karena jaraknya yang
132
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 6.
117
jauh dari rantauannya dan membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Hal ini
dapat dibuktikan dengan penggalan cerita sebagai berikut.
Sudah lama Leman merantau, sudah bertahun-tahun hari yang
habis. Dahulu ketika pertama kali membentang tikar, ketika akan
mengajak bekeija mencari penghidupan, belumlah teringat olehnya
hendak pulang. Bagaimana akan pulang, padahal hidup masih serba
kurang. Pada ketika itu orang kampung sendiripun tidak berapa ingat
akan dia.133
Dengan perantauan Leman ke kota yang cukup jauh dan pekerjaannya
sebagai pedagang di Deli tak cukup untuk membawa bekal pulang ke kampung
halamannya. Sebab jika Leman pulang maka haruslah uang atau pundi-pundinya
melimpah, karena di kampungnya banyak sanak saudaranya yang menunggu dia
pulang. Selama Leman merantau di Deli, dia sudah menikah dengan gadis Jawa
yang bernama Poniem. Menikahnya Leman dan Poniem membawanya
keberuntungan, kehidupannya menjadi kaya dan berlimpah sehingga barulah dia
berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Namun ketika pulang kampung
terjadi konflik yang besar sanak saudaranya tidak menyetujui pernikahannya
dengan Poniem, gadis Jawa. Sehingga mengharuskan Leman untuk menikah lagi
dengan gadis yang seadat dengannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Namun sekurang-kurangnya sekali selama hidup, hendaklah dia
kawin di kampungnya sendiri. Setelah ada isterinya di kampung,
walaupun dia akan kawin pula sekali lagi, dua atau sepuluh kali lagi di
negeri orang, tidaklah dia akan tercela, sebab dia telah sanggup
mendirikan adat dan lembaga, sudah memakai gelar pusaka yang telah
tersedia di dalam persukuannya yang diterima dari nenek, diturunkan
dari mamak kepada kemenakan.134
Pulang ke kampungnya tidak memiliki keberuntungan seperti
keberuntungan pada perniagaan yang dimilikinya. Leman pulang kampung
sangat mempengaruhi jalannya cerita sebab disitulah banyak mulai terjadinya
konflik hingga pada puncaknya klimaks yang membuat Leman menikah lagi
dengan gadis Minang dan bercerai dengan Poniem seorang istri yang selalu
133
Ibid. h. 47. 134
Ibid. h. 59.
118
memberikannya keberuntungan. Setelah dia menikah dengan gadis Minang yang
bernama Mariatun, sehingga istri dan keluarga intinya diajak pula untuk ke kota
tempat merantaunya. Dapat disimpulkan dari alasan yang telah dikemukakan
bahwa novel Merantau ke Deli menggunakan cara merantau cino, yaitu kota
yang dituju jauh dengan kota asalnya, memiliki pekerjaan sebagai pedagang, dan
memiliki istri dari kampung halamannya sendiri sehingga istri dan keluarganya
ikut pindah ke tempat perantauannya.
Selanjutnya di pembahasan tentang yang melatarbelakangi atau yang
menjadi faktor perantau untuk merantau ada lima hal, yaitu adat (yakni
kebiasaan) perkawinan/perceraian, kemajuan pendidikan si perantau, pekerjaan-
pekerjaan si perantau, tempat-tempat merantau yang dituju, dan tujuan merantau.
1) Adat (yakni kebiasaan) perkawinan/perceraian
Adat yang sangat mempengaruhi terhadap perkembangan
cerita adalah tentang kebiasaan, yaitu perkawinan/perceraian. Di
Minangkabau kepentingan keluarga atau urusan keluarga diurus oleh
ninik mamak. Ninik mamak adalah laki-laki dewasa pada satu kaum
di Minangkabau yang dituakan berfungsi sebagai salah satu unsur
penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pembangunan
masyarakat Minangkabau.
Begitu pula dengan adat dalam perkawinan, seorang anak
atau kemenakan harus kawin dengan anak dari mamaknya. Hal ini
yang mengambil keputusan adalah dari keluarga ibu, diwakilkan oleh
ninik mamak yang melakukan negoisasi dengan keluarga calon
pengantin untuk memutuskan persyaratan pernikahan. Pada novel
Tenggelamnya kapal Van Der Wijck tidak terjadi perkawinan pada
tokoh utama laki-lakinya karena penceritaan awalnya tokoh utama
laki-laki yaitu Zainuddin ditolak oleh keluarga tokoh utama
perempuan yaitu Hayati. Hal ini dibuktikan dengan kutipan sebagai
berikut.
119
“.... sebelum merusakkan nama kami dalam negeri,
suku sako turun temurun, yang belum lekang dipanas dan
belum lapuk dihujan, supaya engkau surut.”
“Mengapa engkau berbicara demikian rupa kepada
diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?”
“Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami
di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak.
Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, bukan dia
sembarang orang.”135
Perkawinan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
kehidupan seseorang, karena perkawinan hanya dijalankan satu kali
dalam seumur hidup. Maka perkawinan merupakan persoalan yang
sangat penting dalam hukum adat di Minangkabau. Seorang wanita
yang kawin dengan laki-laki yang di luar adatnya maka akan diusir
dari desanya. Berdasarkan kutipan di atas adalah sebuah teknik
cakapan antara ninik mamak dan Zainuddin yang membahas tentang
penolakan dari keluarga Hayati kepada Zainuddin untuk menikahi
Hayati. Jelas sekali hukum adat perkawinan sangat mengikat sekali
sehingga Zainuddin tidak jadi menikah dengan Hayati karena
terbenturnya adat istiadat.
Jika dilihat dari segi sosialnya yang terdapat pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terdapat nilai sosial yang ada
pada adat Minangkabau yaitu perundingan yang terjadi interkasi
sosial atau tradisi berunding dalam budaya masyarakatnya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Setelah hadir semuanya, mulailah Dt ..... membuka
kata : “Demikianlah maka tuan-tuan saya hadirkan dalam
rumah nan gedang ini, yaitu elok kata dengan mufakat buruk
kata di luar mufakat, tahi mata tak dapat dibuangkan dengan
empu kaki. Yaitu kemenakan kita si Hayati, rupanya telah
ada orang yang meminta buat menjadi pasangannya.”136
135 Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 58.
136 Ibid. h. 110.
120
Berdasarkan kutipan di atas adalah budaya berunding atau
musyawarat antara ninik mamak. Budaya runding dalam masyarakat
Minangkabau dalam novel ini untuk memecahkan suatu perkawinan
tokoh utama perempuan, yaitu Hayati. Dalam permusyawaratan ini
harus melahirkan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi. Jika ada
pihak yang melanggarnya makan akan dihadapkan sanksi adat dan
sanksi sosial.
Sedangkan pada novel Merantau ke Deli, tokoh utama laki-
lakinya yaitu Leman mengalamai dua hal adat kebiasaan tersebut
perkawinan dan perceraian. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Mereka telah berangkat ke Medan pada hari itu juga
dan terus ke rumah tuan Qadhi. Mereka telah dinikahkan
dengan sah, secara Islam.137
Langkah Leman sejak meninggalkan rumah, sampai
tiba di rumah Mariatun, sampai mengadakan ijab dan kabul,
semuanya itu seakan-akan terdengar di telinganya. Tiap-tiap
diingatnya air matapun timbul pula kembali.138
“Kau boleh pergi dari sini! Kau orang Jawa! Boleh
turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun! Sebelah
mata saya tak bisa pandang pada kau lagi. Pergilah dari sini,
mulai sekarang saya jatuhkan kepada kau talak tiga sekali.
Pergilah!”139
Berdasarkan tiga kutipan yang di atas, pada kutipan pertama
terjadinya pernikahan antara Leman dan Poniem si gadis Jawa.
Pertemuan mereka di Deli, yaitu Leman jatuh hati kepada “piaraan
mandor besar” yang niat hati ingin menikahinya karena jatuh cinta
dan ingin melindungi Poniem dari kuli-kuli mandor di Deli.
Pernihakan mereka pada bulan-bulan awal sangat romantis dan selalu
diberikan keberuntungan pada perniagaannya. Kemudian pada
kutipan yang kedua adalah Leman yang menikah untuk yang kedua
137
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 26. 138 Ibid. h. 99.
139 Ibid. h. 131.
121
kalinya dengan gadis Minang yang bernama Mariatun. Setelah
Leman berpoligami hidupnya tidak setentram dulu, hidupnya kian
sulit dan perniagaannya pun jatuh. Pada akhirnya pernikahan yang
pertama tidak dapat dipertahankan lagi, Leman menceraikan Poniem
karena dia menganggap Poniem gadis Jawa yang tidak seadat
dengannya.
Simpulannya pada adat kebiasaan ini yang dialami tokoh
utama laki-laki pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan
Merantau ke Deli masing-masing berbeda jika Zainuddin tidak
mengalami pernikahan dan perceraian sebaliknya dengan Leman, dia
mengalami pernikahan hingga poligami dan bercerai dengan istri
pertamanya.
2) Pendidikan Perantau
Budaya Minangkabau mendukung masyarakatnya untuk
mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Orang Minangkabau
haruslah bisa menyesuaikan diri dan mengembangkan dirinya di
manapun ia berada, baik di kampung maupun di rantau.
Pengetahuan atau ilmu dalam pengertian adat Minangkabau
juga diartikan sebagai prinsip yang melekat pada seseorang. Di
Minangkabau dikenal filosofi ilmu nan ampek (ilmu yang empat)
adalah empat prinsip yang harus dianut oleh seseorang, yaitu:
a. Tahu pado diri artinya memiliki ilmu pengetahuan
tentang diri sendiri, tahu status dan kedudukan diri sendiri
yang diiringi dengan melaksanakan tugas, kewajiban, hak,
dan tanggung jawab.
b. Tahu pado urang artinya memiliki ilmu pengetahuan
tentang orang-orang di sekitarnya dan masyarakat serta
peduli dan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar.
122
c. Tahu pado alam artinya memiliki ilmu pengetahuan
tentang alam di sekitarnya serta peduli dengan lingkungan
dan alam sekitarnya.
d. Tahu pado Allah artinya memiliki ilmu pengetahuan
agama dan melaksanakan syariat agama dengan baik
sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Apabila dikaitkan dengan novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang
diambil dari prinsip tahu pada diri sendiri ditunjukan oleh tokoh
Zainuddin. Hal ini dapat dibuktikan kutipan sebagai berikut.
“Mamak jangan panjang was-was. Pepatah
orangMengkasar sudah cukup : “Anak laki-laki tak boleh
dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau
perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut
palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan
kemudi patah : biarkan layar robek, itu lebih mulia dari pada
membalik haluan pulang”140
Berdasarkan kutipan di atas adalah kutipan percakapan
Zainuddin kepada Mak Base untuk menenangkan hati dan pikiran
Mak Base ketika akan ditinggal merantau Zainuddin ke padang.
Zainuddin memiliki semangat dan kemauan yang tinggi untuk
merantau dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, menggapai cita-
cita ayah dan ibunya serta mencari ilmu agama dan akhirat. Ini
membuktikan bahwa Zainuddin seorang pemuda Minang walaupun
bukan keturunan langsung dari ibunya tetapi dia sedikit mengalir
jiwa pemuda yang semangat. Dia berkata bahwa rintangan dan
cobaan yang akan dihadapinya akan terus dia usahakan semampunya
dan tidak akan menyerah.
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan
pengetahuan pada orang-orang yaitu ketika Zainuddin tinggal di
dusun Batipuh dia mampu menyesuaikan dimana dia berada, tidak
140
Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 24.
123
menyusahkan orang lain ataupun merepotkan. Bila ada waktu
senggang dia selalu membantu orang-orang yang disekitarnya. Hal
ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Untuk pehindarkan muka yang kurang jernih, maka
bilamana orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, bila orang
ke ladang, diapun ikut ke ladang.141
Prinsip yang ketiga yaitu tentang tahu pada alam, disini tidak
terlalu nampak bahwa tokoh Zainuddin bersosialisasi dengan alam di
sekitarnya. Sedangkan prinsip yang keempat adalah tahu pada Allah.
Prinsip ini sangat jelas sekali adat kebiasaan masyarakat
Minangkabau, masyarakat Minangkabau sangat taat sekali jika
permasalahan beribadah, misalnya menjalankan shalat lima waktu,
shalat berjamaah, mengaji di surau, dan hal-hal lain yang
mengatasnamakan peribadahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kutipan sebagai berikut.
Tengah Hayati masih bingung berdiri, memegang buli-
buli yang ada dalam tangannya, Zainuddin berangkat dari
tempat itu secepat-cepatnya.
Hayati segera pulang. Sehabis sembahyang dan makan
malam, segera dia naik ke atas anjungan ketidurannya,
membaca di dekat sebuah lampu dinding!142
Berdasarkan kutipan di atas menerangkan tokoh utama
perempuan, yaitu Hayati digambarkan waktu malamnya dihabiskan
dengan bersembahyang dan makan malam. Dari penggambaran di
atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan atau ilmu tidak hanya
didapatkan di lembaga pendidikan saja melainkan dari diri sendiri,
orang lain, alam dan Tuhan Sang Pencipta Alam yang bisa
didaparkan pengetahuan yang dijadikan pelajaran dalam kehidupan
di dunia.
Sedangkan pada novel Merantau ke Deli sistem pengetahuan
atau pendidikan pada tahu diri dapat dibuktikan dengan Leman yang
141
Ibid. h. 26. 142
Ibid. h. 40.
124
sedang mengalami kesulitan pada perniagaannya tetapi dia tidak
ingin istrinya mengetahuinya, cukup dia saja yang merasakan dan
bekerja mencari nafkah. Kutipannya sebagai berikut.
“Mengapa tidak sedari dulu abang terangkan sebab-
sebab itu kepadaku?”
“Abang takut nanti engkau akan menderita pula lantaran
kesusahan itu.”
“Bukankah itu kesusahan kita bersama?”
“Tidak Poniem, itu Cuma kesusahan seorang laki-laki, orang
perempuan tidak boleh memikul susah pula.”143
Berdasarkan kutipan di atas melalui teknik cakapan antara
Leman dan Poniem, menurut Leman sebagai seorang suami yang
harus mencari nafkah tidak perlu diketahui jika dia dalam kesulitan
di perniagaannya. Istri hanya tau jika pulang membawa hasil yang
banyak, dia tidak mau istrinya tau jika dia dalam masa kesulitan
sehingga dia selalu terus bersemangat dan giat dalam bekerja.
Kemudian pada pengetahuan pada urang adalah pada saat Leman
menolong Suyono. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai
berikut.
“Ya, bekerjalah di sini, tinggalah dengan kami,
bersungguh-sungguhlah, tolonglah mbak ayumu bekerja, baik
di muka atau di belakang. Kalau engkau setia, saya tidak akan
lupa membalas jasamu dengan setimpal”.144
Selain orangnya yang bijaksana, Leman pun sangat baik hati
kepada sesama tidak pandang bahwa dia berbeda adat dengannya.
Suyono laki-laki yang lusuh sedang mencari pekerjaan dan lewat di
depan kedainya Leman. Dengan kebaikkan hati Leman, akhirnya
Suyono dapat bekerja di kedainya. Kemudian pada pengetahuan tahu
pada alam, tidak begitu ditampakan sama halnya seperti di novel
Merantau ke Deli. Selanjutnya tahu pada Allah, selain Leman orang
yang sangat bijaksana dan baik hati tak lupa juga Leman senantiasa
143
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 33. 144
Ibid. h. 42.
125
untuk berjanji dihapadan Allah untuk meyakinkan, menjaga, dan
melindungi calon istrinya Poniem. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kutipan sebagai berikut.
“Tidak Poniem, barang dicelakakan Allah untungku
kalau saya berbicara main-main!”145
3) Pekerjaan Perantau
Mengenai pekerjaan, kegiatan berdaganglah yang biasanya
dikaitkan dengan perantauan Minangkabau. Teristimewa pedagang
seolah-olah menjadi identik dengan perantau Minagkabau.146
Harta
pencaharian adalah harta kekayaan yang diperoleh seluruhnya
dengan usaha sendiri. Akan tetapi tidak hanya berdagang, pekerjaan
yang melekat pada perantau adalah petani/buruh, perajin, pegawai,
dan lain-lainnya. Selain itu, di masyarakat Minangkabau sastra seni
pun berkembang. Banyak sastrawan dan penyair yang terkenal
berasal dari Minangkabau, seperti Taufiq Ismal, A.A Navis, Hamka
dan sebagainya. Begitu juga dengan tokoh Zainuddin dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Zainuddin pada awalnya bukan seorang penyair, hanya saja
dia selalu termenung di tempat-tempat tenang dan sunyi. Sampai-
sampai sahabatnya berkata kepadanya dan memberikan nasihat,
berikut penggalannya.
“Di mana-mana diterbitkan orang surat-surat kabar,
penuntun ummat kepada kecerdasan, memuat perkabaran,
pengetahuan, syair dan madah, ceritera dan hikayat. Buku
roman yang tinggi harganya telah mulai dikeluarkan orang.
Kalau guru ambil kesanggupan menumpahkan pikiran yang
tinggi-tinggi itu dengan mengarang, tentu akan berhasil.
Apalagi pengalaman telah banyak, jiwa telah kerap kali
menanggung, hati kerap kali menempuh duka. Kalau guru
segan dibawah takluk orang, dengan wang yang ada di tangan
145
Ibid. h. 14. 146
Tsuyoshi Kato. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 135.
126
guru bolehlah menerbitkan sendiri. Dengan demikian guru
kan mengecap bagaimana nikmat kebahagiaan dan
keberuntungan.”147
Berdasarkan penggalan di atas adalah kutipan teknik cakapan
yang disampaikan Muluk seorang sahabat yang senantiasa selalu
menemani Zainuddin yang selalu bersedih, Muluk selalu
memberikan nasihat dan wejangan kepada Zainuddin. Kutipan
tersebut jelas sekali sebuah nasihat dan semangat yang diberikan
kepada Zainuddin untuk segera bangkit dan jadilah seorang penyair
yang hebat. Hal ini dapat dibuktikan lagi dengan kutipan sebagai
berikut.
Rupanya karangan-karangannya itu mendapat tempat
yang baik, karena halus susun bahasanya dan diberi orang
honorarium meskipun kecil. Lantaran penerimaan orang yang
demikian, hatinya bertambah giat dan semangatnya makin
bangun. Sehingga di dalam masa yang belum cukup setahun,
karangan-karangannya telah banyak tersiar.148
Berdasarkan kutipan tersebut, menerangkan bahwa tokoh
Zainuddin memiliki pekerjaan atau mata pencaharian sebagai
penyair dan sukses dalam karirnya. Karangan-karangannya banyak
disukai orang karena mempunyai bahasa yang bagus sehingga dia
mampu untuk berdiri sehingga dia sekarang tak lagi kerja di bawah
tangan orang melainkan bekerja sendiri dan membuka perusahaan
sendiri.
Sedangkan pada novel Merantau ke Deli tokoh utama laki-
laki bekerja sebagai pedagang di kedai miliknya. Seorang pedagang
yang sukses dan terkenal. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Kedainya yang tadinya hanya kecil saja, sekarang telah
besar, sudah banyak saudagar besar di Medan yang suka
147
Hamka, Op.Cit., h. 150. 148
Ibid., h. 150.
127
melepaskan barang kepadirnya dan sudah banyak pula
langganan yang datang membeli.149
4) Tempat-tempat Merantau yang Dituju
Masyarakat Minangkabau memilih kota-kota yang dituju
tidak sembarangan memilihnya. Dalam hal ini merantau dianggap
memberikan harapan yang lebih baik di tempat yang akan ditujunya.
Pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Zainuddin
mengalami perantauan ke beberapa daerah atau kota-kota yang
masih di lingkungan pulau Jawa, seperti Padang (Sumatera), Jakarta,
dan Surabaya (Jawa). Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
sebagai berikut.
Peluit kapal berbunyi, pengantar turun, air mata mak
Base masih membasahi pipinya. Dan tidak berapa lama
kemudian, rengganglah kapal dari pelabuhan Mengkasar,
hanya lenso (saputangan) saja yang tak berhenti dikibarkan
orang, baik dari darat maupun dari laut. Meskipun kapal
renggang, Zainuddin masih berdiri melihat pelabuhan,
melihat pengasuhnya yang telah membesarkannya bertahun-
tahun, tegak sebagai batu di tepi anggar, walaupun orang lain
telah berangsur pulang.150
Berdasarkan kutipan penggalan di atas adalah menerangkan
bahwa Zainuddin akan segera berangkat ke perantauan, yaitu
Padang. Latar tempat yang berada di pelabuhan, tokoh Zainuddin
pergi dan meminta izin ke ibu angkatnya. Kota ini sangat
mempengaruhi cerita karena lebih banyak penceritaannya, misalnya
pada tahap penyituasian, tahap peristiwa terjadi ketika Zainuddin
bertemu dengan Hayati, tahap pemunculan konflik, hingga tahap
klimaks ketika Zainuddin ditolak untuk menikah dengan Hayati.
149
Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 39. 150
Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 25.
128
Kota selanjutnya yang dituju oleh Zainuddin adalah kota
Jakarta. Kota Jakarta adalah kota rantauan kedua Zainuddin. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke Tanah
Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas.
Sesampainya di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di
suatu kampung yang sepi bersama sahabatnya Muluk151
Tempat dituju yang kedua adalah kota Jakarta. Jakarta tempat
Zainuddin menjadi seorang penyair terkenal dengan karya-karyanya.
Tetapi tidak hanya mencari pekerjaan, Zainuddin merantau ke
Jakarta ingin menghindar dari Hayati, untuk melupakan semua
kenangan antara Hayati dengannya. Kehidupan barunya di Jakarta
bersama sahabatnya Muluk. Tempat selanjutnya kota rantauan ketiga
adalah kota Surabaya. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut.
Oleh karena kota Surabaya lebih dekat Mengkasar dan
di sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka
bermaksudlah dia hendak pindah ke Surabaya, akan
mengeluarkan buku-buku hikayat bikinan sendiri dengan
modal sendiri, dikirim ke seluruh Indonesia.152
Berdasarkan kutipan tersebut di Surabaya, ibu kota provinsi
Jawa Timur. Alasan Zainuddin merantau lagi ke Surabaya adalah
untuk membuka perusahaan sendiri tanpa bergantung kepada orang
lain dan lebih dekat dengan kota pertamanya di Mengkasar.
Sedangkan pada novel Merantau ke Deli, tokoh utama laki-laki
hanya satu kota tujuan merantaunya, yaitu Deli. Hal ini dapat
dibuktikan dengan penggalan cerita sebagai berikut.
Meskipun ketika dia akan meninggalkan kampungnya
dahulu telah diberi ingat benar-benar oleh orang tua supaya
hati-hati di tanah Deli, supaya ingat bahwasannya laut sakti
dan rantau bertuah.153
151
Ibid., h. 155. 152
Ibid., h. 156. 153 Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 6.
129
Berdasarkan penggalan di atas bahwa Leman merantau ke
Deli, jangan melupakan tanah asalnya di negeri Minangkabau,
Padang yang telah melahirkannya. Banyak sanak saudara yang
menunggu kehadirannya untuk pulang kembali ke kampung
halamannya.
5) Tujuan Merantau
Para perantau tidak semata-mata merantau hanya untuk
kepentingan pribadinya saja. Melainkan untuk tujuan-tujuan tertentu
yang ingin dicapai. Pada umumnya tujuan merantau masyarakat
Minangkabau adalah untuk mencari kekayaan, mencari pekerjaan
yang layak, dan mencari ilmu pengetahuan. Sedangkan pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka tokoh Zainuddin
mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk memuliakan cita-cita
ayahnya untuk menemui dan bersilahturahmi dengan sanak
saudaranya yang berada di Padang, untuk mencari pekerjaan yang
lebih baik yaitu menjadi seorang penyair, untuk mendapatkan ilmu
dunia dan akhirat supaya kelak dia menjadi seorang yang berguna.
Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan sebagai berikut.
Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini
sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita
sempurnakan juga cita-cita ayah bundaku. Lepaslah saya
berangkat ke Padang.154
Namanya kian lama kian harum, pencahariannyapun
maju. Dia termahsyur dengan nama samaran letter “Z”
pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan sandiwara
“Andalas.”155
Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak
terbayang cita-cita dan angan-angan yang baru dalam otak
Zainuddin. Kadang-kadang terniat di hatinya hendak menjadi
orang alim, jadi ulama sehingga kembali ke kampungnya
154
Ibid., h. 22. 155
Ibid., h. 158.
130
membawa ilmu. Kadang-kadang hapus perasaan demikian
dan timbul niatnya hendak memasuki pergerakan politik.....156
Untuk novel Merantau ke Deli tujuan utama yang dicari oleh
tokoh laki-laki adalah untuk mencari pekerjaan atau lahan
perniagaan serta untuk mencari istri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kutipan sebagai berikut.
Hatinya amat tertarik datang ke kebun itu, bukan
tertarik berdagang karena lebih banyak orang lain berdagang
dari padanya, lebih banyak barang kawannya yang laku dari
pada barangnya. Yang menarik hatinya ke kebun iadlah
seorang perempuan yang cantik, masih muda.157
Dari beberapa analisis yang telah dijabarkan dapat
disimpulkan terdapat perbedaan dan persamaan antara kedua tokoh
utama laki-laki pada masing-masing novel. Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck yaitu Zainuddin dan novel Merantau ke Deli
yaitu Leman. Lebih mudahnya dapat dilihat pada tabel perbedaan
dan persamaan pada masing-masing tokoh.
Tabel 1.1
Novel/Unsur Merantau
Pemekaran Nagari
Merantau
Keliling
Merantau
Cino
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck - √ -
Merantau ke Deli - - √
Tabel 1.2
Novel/Unsur Adat
Kebiasaan
Pekerjaan Pendidikan Tempat Tujuan
156
Ibid., h. 69. 157 Hamka. Merantau ke Deli. (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 7.
131
Tenggelamnya
Kapal Van Der
Wijck
Tidak
Menikah
Penyair Seorang
yang pandai
berkarya
Padang, Jakarta,
dan Surabaya
Untuk
memuliakan
cita-cita ayah
dan ibunya,
Untuk mencari
ilmu
pengetahuan dan
ilmu akhirat,
Untuk mencari
pekerjaan yang
layak
Merantau ke
Deli
Menikah
dua kali,
Istri
pertama
diceraikan.
Pedagang Seorang
yang pandai
berbisnis
Deli Untuk mencari
pekerjaan serta
mencari istri
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Strategi guru dalam pengajaran sastra memainkan peran penting untuk
merealisasikan idealitas pengajaran sastra. Suatu strategi terapan yang mungkin bisa
diadopsi dalam pengajaran sastra dengan cara diskusi, bermain peran, dramatisasi
adegan, menelaah nilai sastra, menulis kreatif, dan tinjauan kesusastraan. Strategi
pengajaran sastra itu memang berat untuk bisa direalisasikan oleh guru tapi mungkin
dilakukan dengan niat bahwa ada proses pembaruan dalam pengajaran dengan
perhitungan gagal dan berhasil.
Secara garis besar tujuan pengajaran sastra bisa dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama adalah memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan bagian selanjutnya
adalah memperoleh pengalaman bersastra. Pengetahuan tentang sastra mencakup
132
pengetahuan tentang teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Sedangkan
pengalaman bersastra mencakup kegiatan berapresiasi atau reseptip dan berekspresi atau
produktif.
Cakupan pengetahuan tentang sastra adalah tentang teori sastra, kritik sastra, dan
sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian sastra.
Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga
disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian
sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu,
pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya
dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan
tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya
karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup
kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari
Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu
seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling
terkait.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran
sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai
manfaat lain bagi siswa. Pengajaran sastra secara langsung ataupun tidak akan
membantu siswa dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan
manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat
manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan siswa terhadap berbagai
konsep teknologi dan sains. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi,
drama dalam berbagai genre akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di
sekolah. Selama ini pengajaran sastra (dan juga bahasa) Indonesia lebih diarahkan pada
aspek sejarah dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk
memproduksi atau mengahayati karya yang diajarkan. Tampaknya guru harus kembali
melihat dan memahami tujuan pengajaran sastra di sekolah sehingga konsep pengajaran
yang apresiatif benar-benar dapat diwujudkan pada masa yang akan datang. Kita
133
memang menayadari adanya kesukaran dalam mengajarkan apresiasi sastra pada siswa
yang tingkat keakraban mereka dengan karya sastra relatif kurang. Kita juga menyadari
bahwa tidak semua guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang relatif memadai.
Namun demikian, guru harus berusaha secara bertahap untuk melatih kemampuan
apresiasinya dan berusaha pula mengajarkan apresiasi kesastraan kepada siswa.
Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan
mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, kepekaan terhadap masyarakat, budaya,
dan lingkungan hidup. Novel-novel yang mengandung aspek budaya Minangkabau
merupakan salah satu bentuk prosa yang dapat memudahkan siswa dalam memahami
budaya Minangkabau lewat sastra. Namun, bentuk prosa seperti ini dianggap serius dan
berat untuk dianalisis, karena menceritakan tentang adat istiadat, unsur religi, bahasa,
pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial, dan sistem ekonomi suku Minangkabau.
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka dapat
mempelajari tentang sastra bahkan tentang aspek budaya yang terdapat di dalamnya.
Selain dari pembelajaran tentang sastra, peserta didik pun harus memiliki sebuah
karakter. Karakter lahir dari sebuah didikan seorang guru serta pembelajaran yang telah
didapatkannya. Dalam pendidikan karakter versi Kemendiknas, pendidikan ini harus
dituntut untuk dapat mengubah peserta didik ke arah yang lebih baik. Pada
pembelajaran sastra kali ini terutama pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dan Merantau ke Deli mengajarkan sebuah karakter yang dimiliki peserta didik, antara
lain religius, kerja keras, mandiri, dan tanggung jawab. Karakter yang terdapat pada
kedua novel tersebut tergambar jelas pada masing-masing tokoh utama.
Religius yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan
ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut. Kerja keras yakni perilaku yang
menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan)
dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan
sebaiknya. Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti
tidak boleh bekerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas
134
dan tanggung jawab kepada orang lain, dan yang terakhir adalah tanggung jawab,
tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa,
negara, maupun agama.158
Keempat karakter itulah yang tertanam pada novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli, sebagai contoh karakter
yang akan diterapkan kepada peserta didik.
Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa analisis tersebut diperuntukkan agar siswa
mengetahui bahwa novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli
karya Hamka merupakan salah satu novel berlatar Minangkabau yang sarat akan pesan
moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa terhadap budaya Indonesia khususnya
Minangkabau. Dan pembelajaran diperuntukan bagi siswa tingkat SMA. Dengan
demikian pembelajaran apresiasi sastra pada novel dapat dipadukan dengan pelajaran
lainnya khususnya ilmu sosial dan budaya.
158
Suyadi. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter dalam http://layanan-
guru.blogspot.co.id/2013/05/18-nilai-dalam-pendidikan-karakter.html?m=1# diunduh pada hari Rabu
tanggal 22 Februari 2017 pukul 12.14 WIB.
135
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap dua novel, yaitu
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini menggunakan jenis
merantau keliling karena Zainuddin hanya merantau untuk keperluan
sementara dengan bertujuan untuk mencari ilmu pendidikan dan ilmu
agama, serta mencari pekerjaan yang lebih layak lagi. Pekerjaan si
perantau adalah sebagai pengarang atau penyair. Jika ditinjau dari pada
latar sosial di Padang, memang pekerjaan yang cukup diminati adalah
sebagai penyair. Sedangkan tempat-tempat yang dituju oleh Zainuddin
adalah Padang Panjang tepatnya di dusun Batipuh, kemudian ke Tanah
Jawa yaitu Jakarta dimana dia menemukan pekerjaan yang amat
disenanginya yaitu sebagai penyair, tujuan kota akhir adalah Surabaya
sampai pada akhirnya dia meninggal dunia. Jika adat (yakni kebiasaan)
menikah/bercerai, Zainuddin tidak mengalaminya karena Zainuddin
diceritakan meninggal dunia. Sedangkan novel Merantau ke Deli karya
Hamka menggunakan jenis merantau cino, hal ini dapat dibuktikan
dengan awal seorang tokoh utama laki-laki yang bernama Leman, dia
adalah laki-laki perantau yang berasal dari daerah Padang kemudian dia
merantau ke sebuah kota yaitu kota Deli, disanalah pertemuan Leman
dengan gadis Jawa yaitu Poniem. Tujuan si perantau untuk merantau hal
pertama adalah untuk menjadi keuntungan yang layak/laba serta ingin
sekali mencari istri yang bukan dari suku aslinya. Pekerjaan Leman
adalah seorang pedagang, sama halnya pekerjaan sebagai penyair di
136
daerah Padang banyak masyarakatnya yang bekerja menjadi pedagang,
penyair, penghulu, atau berdasi putih apabila ingin merantau. Jika
pekerjaan sebagai petani saja, maka tidak usahlah si laki-laki merantau.
Tempat yang dituju oleh Leman hanya ke Deli saja. Kemudian adat yang
kebiasaannya adalah menikah, Leman menikah tetapi bukan dari daerah
Padang melainkan dari Jawa dikarenakan adat Padang sangat
mendiskriminasi maka Leman bercerai dengan Poniem.
2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek keterampilan berbahasa
khususnya pada aspek membaca. Dalam pembelajaran sastra ini, siswa
harus mampu untuk membaca, mereview, dan menganalisis mengenai
struktur atau unsur intrinsik novel serta menemukan nilai-nilai
pendidikan dan kebudayaannya. Dalam ketiga novel ini siswa dapat
mempelajari nilai pendidikan dan kebudayaan tentang adat istiadat
Minangkabau terutama pada sistem matrilineal dan tradisi merantau.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran
sastra di sekolah, maka penulis menyarankan :
1. Guru diharapkan lebih jelas lagi dalam pembelajaran untuk menjelaskan
tentang pengertian novel dan unsur-unsur pembangun karya sastra dan
disertai dengan contoh yang sesuai dengan kemampuan siswa.
2. Guru diharapkan memberikan penjelasan dengan inovati dan kreatif agar
siswa lebih tertarik lagi dalam keterampilan membaca, sebab siswa
sangat lemah dalam kegiatan aspek membaca terutama membaca karya
sastra.
137
DAFTAR PUSTAKA
Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
2010.
Budianta, Melanie, dkk., Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera. 2003.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Tim Redaksi
CAPS. 2011.
Fitri, Rahma. Kitab Super Lengkap EYD dan Tata Bahasa Indonesia. (Jakarta : PT Serambi
Semesta Distribusi)
Friedman, Howard S. dan Miriam W. Schustack. Kepribadian Teori Klasik dan Riset
Modern. Jakarta: Erlangga. 2006.
Hamka. Ayahku. Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1982.
----------. Pribadi Hebat. Jakarta: Gema Insani. 2014.
----------. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
----------. Merantau ke Deli (Jakarta : Bulan Bintang, 1977.
Hindun. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berkarakter di Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah
Dasar. Depok: Nufa Citra Mandiri. 2013.
Ida, Rachmah. Metodologi Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada
Media Group. 2014.
Kato, Tsuyoshi. Adat Minagkabau dan Merantau. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1991.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1985.
----------. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2002.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
2012.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Cetakan ke-5.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Mahdi, Rahmat Subakti. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. 1984.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2005.
Naim, Mochtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2013.
138
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2004.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
2002.
Rachmawati, Lia. Hakikat Norma, Kebiasaan, Adat Istiadat, dan Peraturan. Jakarta:
Intimedia Ciptanusantara. 2011.
Rahman, Jamal D. dkk., 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. 2014.
Rasyad, Zubir. Ranah dan Adat Minangkabau. Jakarta: Agra Wirasanda. 2009.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: CAPS. 2012.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 2009.
Tumanggor, Rusmin dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2012).
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS.
2006.
Anonim, Menyelami Pemikiran Buya Hamka dalam
http://unissula.ac.id/menyelamipemikiran-buya-hamka/
Suyadi. Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter dalam http://layanan
guru.blogspot.co.id/2013/05/18-nilai-dalam-pendidikan-karakter.html?m=1#
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Nama Sekolah : SMA IT ANNUR CIKARANG TIMUR
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XII/I
Aspek Pembelajaran : Aspek Mendengarkan
Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ terjemahan.
Kompetensi Dasar :
1. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel Indonesia.
2. Menemukan nilai-nilai positif dalam novel.
Indikator :
1. Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema, amanat,
dan latar novel yang dibaca).
2. Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik (aspek budaya Minangkabau
dalam novel).
3. Peserta didik mampu mengidentifikasi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan
Merantau ke Deli menggunakan pendekatan objektif.
4. Peserta didik mampu menemukan nilai positif dalam novel
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (1 kali pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran
1. Setelah membaca dan memahami novel, diharapkan peserta didik mampu
mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema, amanat, dan latar novel).
2. Setelah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel, diharapkan peserta didik
mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik novel, dalam hal ini ditekankan pada
aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel (salah satunya adalah
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli karya Hamka).
3. Setelah dapat mengidentifikasi novel dengan menggunakan pendekatan objektif,
diharapkan peserta didik mampu mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel Indonesia.
4. Setelah mempelajari budaya Indonesia, diharapkan peserta didik mampu
mencintai dan menghargai budaya Indonesia.
5. Peserta didik diharapkan memiliki karakter yang bertanggungjawab, bekerja keras
dan jujur.
B. Materi pokok
1. Pembacaan novel
2. Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel serta memahami pendekatan
objektif.
3. Menjelaskan budaya Minangkabau khususnya tentang merantau.
C. Metode dan skenario pembelajaran
1. Ceramah
2. Tanya jawab
3. Diskusi
4. Berkelompok
5. Penugasan
D. Kegiatan Belajar Mengajar
1. Kegiatan awal
Apersepsi:
a) Guru mengucapkan salam
b) Guru mengkondisikan kelas
c) Guru memulai pelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah novel.
Motivasi:
a) Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan disampaikan.
b) Guru menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran.
2. Kegiatan inti
Eksplorasi:
a) Guru mampu menjelaskan tentang unsur intrinsik dan ektrinsik dalam novel
serta pendekatan objektif, termasuk di dalamnya aspek budaya Minangkabau
yang ada dalam novel tersebut.
b) Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas terkait dengan
materi yang akan dipelajari.
c) Guru menggunakan sumber belajar berupa modul buku Bahasa Indonesia yang
diharapkan dapat membantu peserta didik dalam memahami materi yang
dipelajari.
d) Guru memfasilitasi terjadinya interaksi baik antar siswa dengan guru, maupun
siswa dengan siswa.
Elaborasi:
a) Guru memfasilitasi peserta didik melalukan tanya jawab, diskusi, dll. untuk
memunculkan gagasan baru baik seara lisan maupun tertulis.
b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan unsur-unsur
intrinsik dan eksrinsik novel Indonesia (dengan mencari aspek budaya
Minangkabau yang terdapat dalam novel).
c) Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik lain untuk memberikan
gagasan/komentar terhadap jawaban peserta didik dalam menentukan unsur-
unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia.
Konfirmasi:
a) Guru memberikan umpan balik yang positif dalam bentuk lisan, isyarat,
maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.
b) Guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang
bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.
3. Kegiatan akhir
a) Guru dan peserta didik bersama-sama membuat kesimpulan tentang materi
yang disampaikan.
b) Guru merefleksi materi tersebut untuk kehidupan sehari-hari.
c) Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
E. Sumber Belajar
1. Pustaka rujukan dengan menggunakan buku Bahasa Indonesia untuk SMA kelas
XII.
2. Berbagai novel Indonesia (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke
Deli karya Hamka).
3. Buku tentang budaya Minangkabau yang relevan dengan novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli.
4. Alat tulis seperti bolpoint dan buku
F. Penilaian
Indikator
Pencapaian
Teknik
Penilaian
Bentuk
Instrumen Contoh Instrumen
Siswa mampu
menjelaskan unsur-
unsur intrinsik dalam
novel.
Tes Tulis Lembar Penilaian
Tentukan unsur-unsur
intrinsik dalam novel
tersebut. Sertakan bukti
pendukung yang telah
dibaca.
Siswa mampu
menjelaskan nilai-nilai
budaya Minangkabau
Tes Tulis Lembar Penilaian Tentukan nilai budaya
dalam novel tersebut
Rubrik Penilaian
No Aspek Penilaian Bobot Nilai
1 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel.
a. Baik (3)
b. Cukup baik (2)
c. Kurang baik (1)
2 Menggunakan bukti pendukung unsur intrinsik.
a. Baik (3)
b. Cukup baik (2)
c. Kurang baik (1)
3 Menjelaskan nilai-nilai budaya dalam novel.
a. Baik (3)
b. Cukup baik (2)
c. Kurang baik (1)
Keterangan :
Skor maksimal
Nilai akhir : Skor yang diperoleh x 100
Skor maks.
Mengetahui, Cikarang, Februari 2017
Kepala Sekolah SMA IT ANNUR Guru Mata Pelajaran
Devit Taslim, S.T. M.Pd ( ......................................)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
INTAN RAMADYLA EKA PUTRI, lahir di
Tangerang pada tanggal 12 Maret 1994. Anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Dadang
Heryawan dan Lia Amalia. Ia menyelesaikan
pendidikan dasarnya di SDN Sukaresmi 06, kemudian
melanjutkan pendidikannya di SMP 1 Cibarusah.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di tingkat atas yaitu SMAN 1 Cikarang
Selatan. Setelah lulus masa SMA nya ia melanjutkan lagi pendidikannya ke
jenjang yang lebih tinggi yaitu peruguruan tinggi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Ia memiliki hobi memasak dan mendengarkan musik. Cita-citanya memang dari
awal ingin menjadi guru dan akhirnya tercapai sebelum ia lulus mendapat gelar
sarjananya. Saat ini ia aktif dalam dunia pengajaran, yaitu mengajar di SMPIT
ANNUR Cikarang Timur dengan bidang studi bahasa Indonesia. Memang
menjalankan tugas akhir (skripsi) dan mengajar baginya tidak mudah tapi
diniatkan dengan ikhlas sehingga terasa ringan. Maka dari itu ia ingin menjadi
guru yang profesional yang mampu melahirkan generasi bangsa yang cerdas dan
mempunyai karakter serta akhlak yang baik.