Upload
baim-ibrahim
View
391
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sebagai acuan mahasiswa
Citation preview
BAB 5
Teori Dependensi Klasik
Sejarah Lahirnya
Pendekatan dependensi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal
kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan
oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Amerika Latin (United Nation
Economic Commission for Latin Ame-rica/ ECLA/ KEPBBAL) pada masa awal tahun 1960-
an.
Lahirnya teori dependensi juga dipengaruhi dan merupakan jawaban atas krisis teori
Marxis Ortodoks, Amerika Latin harus melalui tahapan revolusi industri “borjuis” sebelum
melampaui revolusi sosialis proletar. Namun demikian, Revolusi Rakyat Cina tahun 1949 dan
Revolusi Kuba pada akhir tahun 1950-an mengajarkan pada kaum cendikiawan, bahwa
negara Dunia Ketiga tidak harus selalu mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tersebut.
Tertarik pada model pembangunan Republik Rakyat Cina dan Kuba, banyak intelektual
radikal di Amerika Latin berpendapat, bahwa negara-negara Amerika Latin dapat saja
langsung menuju dan berada pada tahapan revolusi sosialis.
Teori dependensi ini segera menyebar dengan cepat ke belahan Amerika Utara pada
akhir tahun 1960-an. Di Amerika Serikat, teori dependensi memperoleh sambutan hangat. Ini
terjadi karena kedatangannya hampir bersamaan waktunya dengan lahirnya kelompok
intelektual muda radikal, yang tumbuh dan berkembang subur pada masa revolusi kampus di
Amerika Serikat, akibat pengaruh kegiatan protes antiperang, gerakan kebebasan wanita, dan
gerakan “ghetto”.
Warisan Pemikiran
KEPBBAL
Proses perumusan kerangka teori dari perspektif dependensi, yang pada mulanya
merupakan paradigm pembangunan yang khas dari Amerika Latin, berkaitan erat dengan
KEPBBAL.
Sejak awal garis kebijaksanaan KEPBBAL ini diterima dengan tidak antusias oleh
pemerintah Amerika Latin. Keengganan ini merupakan salah satu sebab utama mengapa
KEPBBAL tidak mampu merealisasikan beberapa gagasan yang radikal, diantaranya
termasuk program pembagian tanah kembali (land reform).
kegagalan dari program KEPBBAL yang moderat ini mendorong teori dependensi
untuk merumuskan pemikiran pada program-program yang leih radikal.
Neo-Marxisme
Teori dependensi juga memiliki warisan pemikiran dari neo-Marxisme. Keberhasilan
revolusi Cina dan Kuba (ketika itu) telah membantu tersebarnya perpaduan baru pemikiran-
pemikiran Marxisme di universitas-universitas di Amerika Latin, yang kemudian
menyebabkan lahirnya generasi baru, yang dengan lantang menyebut dirinya sendiri sebagai
“Neo-Marxists.”.
Pertama, neo-Marxisme melihat imperialisme dari sudut pandang Negara pinggiran,
dengan lebih memberikan perhatian pada akibat imperialism pada negara-negara Dunia
Ketiga. Kedua, neo-Marxisme percaya, bahwa Negara Dunia Ketiga telah matang untuk
melakukan revolusi sosialis. Neo-marxisme berharap revolusi sosialis itu “di sini” dan
sekarang. Neo-marxisme melihat kaum borjuis, yang merupakan ciptaan dan sekaligus alat
imperialism,tidak akan mampu melaksanakan tugasnya untuk menjadi pembebas kamu
proletar dari ikatan dan eksploitasi kekuatan alat-alat produksi. Terakhir, neo-Marxisme
tertarik pada arah revolusi Cina dan Kuba.
Frank: Pembangunan dan Keterbelakangan
Untuk memberikan gambaran yang unik dan menyeluruh dari proses keterbelakangan
Negara Dunia Ketiga ini, Frank merumuskannya dalam konsep “mewujudnya
keterbelakangan” (development of underdevelopment). Ini untuk menunjuk, bahwa
keterbelakangan bukan merupakan sesuatu yang alami, melainkan sesuatu barang ciptaan dari
sejarah dominasi kolonial yang panjang yang dialami negara Dunia Ketiga.
Selain itu, Frank juga merumuskan apa yang dikenal dengan model satelit-metropolis
(a metropolis-sattelite model) untuk menjelaskan bagaimana mekanisme ketergantungan dan
keterbelakangan negara Dunia Ketiga mewujud. Hubungan satelit-metropolis ini lahir
pertama kali di masa kolonial, ketika penjajah membangun kota-kota di negara Dunia Ketiga
dengan maksud untuk memfasilitasi proses pengambilan surplus ekonomi untuk negara
Barat. Menurut Frank, kota-kota di negara Dunia Ketiga ini menjadi satelit dari metropolis di
Barat.
Bagi Frank, proses pengambilan surplus ekonomi secara nasional dan global serta
terarah inilah yang menyebabkan keterbelakangan di negara Dunia Ketiga, disatu pihak, dan
pembangunan di negara Barat di lain pihak.
Dos Santos: Struktur Ketergantungan
Dalam usaha memberikan batasan pengertian klasik tentang “ketergantungan”, Dos
Santos merumuskan bahwa hubungan dua negara atau lebih “mengandung bentuk
ketergantungan jika beberapa negara (yang dominan) dapat berkembang dan memiliki
otonomi dalam pembangunannya, sementara negara lainnya (yang tergantung) dapat
melakukan hal serupa hanya sekadar merupakan refleksi perkembangan negara dominan.”
Lebih lanjut, Dos menyatakan bahwa hubungan antara negara dominan dengan negara
tergantung merupakan hubungan yang tidak sederajat (setara), karena pembangunan di
negara dominan terjadi atas biaya yang dibebankan pada negara tergantung.
Dos santos juga telah membantu merumuskan kemungkinan kesejarahan tiga bentuk
utama situasi ketergantungan, dua bentuk ketergantungan pertama, adalah ketergantungan
kolonial dan ketergantungan industri keuangan. Pada bentuk ketergantungan kolonial,
kemampaun modal negara dominan yang bekerja sama dengan negara penajajah Melakukan
tindakan monopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja (perbabuan dan
perbudakan), dan ekspor emas, perak, barang hasil bumi dari negara yang dijajah. Namun
demikian, sejak kurang lebih akhir abad ke-19, ketergantungan industri keuangan muncul.
Ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian
untuk keperluan konsumsi dan pasar negara-negara Eropa. Tidak seperti masa sebelumnya,
struktur produksi di masa ketergantungan industri keuangan ini ditandai secara jelas oleh
perkembangan cepat sektor ekspor.
Namun demikian sumbangan utama Dos Santos lebih nampak terlihat pada
perumusannya pada bentuk ketiga ketergantungan, yang ia sebut sebagai ketergantungan
teknologi industri. Bentuk ini lahir setelah Perang Dunia II ketika pembangunan industri
mulai terjadi pada berbagai negara terbelakang.
Amin: Teori Peralihan Kapitalisme Pinggiran
Teori peralihan kapitalisme pinggiran Amin, mengandung berbagai pernyataan pokok
sebagai berikut. Pertama, peralihan kapitalisme pinggiran berbeda secara mendasar dengan
peralihan kapitalisme pusat (utama). Kedua, kapitalisme pinggiran dicirikan oleh tanda-tanda
ekstraversi, yakni distorsi atas kegiatan-kegiatan usaha yang mengarah pada upaya ekspor.
Ketiga, bentuk distorsi lain adalah apa yang dikenal dengan istilah hipertropi pada
sector tersier di Negara pinggiran. Keempat, teori efek penggandaan investasi tidak dapat
diterapkan secara mekanis pada negara pinggiran.
Kelima, Amin mengingatkan untuk tidak mencampuradukkan ciri-ciri struktural
negara terbelakang dengan negara-negara maju pada waktu negara maju tersebut berada
dalam tahap permulaan perkembangannya dahulu. Keenam, keseluruhan profil kontradiksi
struktural yang telah disebut terdahulu menyebabkan adanya ganjalan yang tak terhindarkan,
yang menghalangi terjadinya pertumbuhan di negara pinggiran. Terakhir, bentuk khusus
keadaan keterbelakangan negara kapitalis pinggiran dipengaruhi oleh karakteristik formasi
sosial pada masa prakapitalisnya, dan proses serta periode kapan negara pinggiran tersebut
terintegrasi dalam sistem ekonomi kapitalis dunia.
Asumsi Dasar Teori Dependensi Klasik
Para penganut aliran dependensi cenderung memiliki asumsi dasar sebagai berikut.
Pertama, keadaan ketergantungan dilihat sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku
bagi seluruh negara Dunia Ketiga. Kedua, ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang
diakibatkan oleh “faktor luar”. Sebab terpenting yang menghambat pembangunan karenanya
tidak terletak pada persoalan kekurangan modal atau kekurangan tenaga dan semangat
wiraswasta, melainkan terletak berada diluar jangkauan politik ekonomi dalam negeri suatu
negara.
Ketiga, permasalahan ketergantungan lebih dilihatnya sebagai masalah ekonomi, yang
terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari negara Dunia Ketiga ke negara maju.
Keempat, situasi ketergantungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
polarisasi regional ekonomi global. Terakhir, keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai
suatu hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan.
Implikasi Kebijaksanaan Teori Dependensi Klasik
Secara filosofis, teori dependensi menghendaki untuk meninjau kembali pengertian
“pembangunan”. Bagi teori dependensi, pembangunan lebih tepat diartikan sebagai
peningkatan standar hidup bagi setiap penduduk di negara Dunia Ketiga.
Teori dependensi menganjurkan agar negara pinggiran memotong hubungan dan
keterkaitannya dengan negara sentral. Negara pinggiran seharusnya menganut model
pembangunan “berdiri di kaki sendiri” untuk melaksanakan dan mencapai pembangunan
yang otonom dan bebas dari ketergantungan.
Perbandingan Teori Dependensi dan Teori Modernisasi
Dua teori klasik ini memiliki perhatian dan keprihatinan yang sama yakni
mempelajari persoalan-persoalan pembangunan Dunia Ketiga, dan berupaya mencoba
merumuskan kebijaksanaan pembangunan yang diharapkan dapat mempercepat proses
penghapusan situasi terbelakang negara Dunia Ketiga tersebut.
Kedua pemikiran klasik ini memiliki latar belakang berbeda dalam proses penemuan
dan perumusan struktur teorinya. Teori modenisasi klasik sangat dipengaruhi oleh
perkembangan teori evolusi di Eropa dan teori struktural-fungsionalisme di Amerika,
sementara teori dependensi lebih dipengaruhi oleh program liberal dan modern dari
KEPBBAL dan teori neo-Marxis radikal.
Teori modernisasi lebih memberikan tekanan pada penjelasan “faktor dalam”,
sementara teori dependensi klasik lebih menjelaskan keterbelakangan Dunia Ketiga dengan
lebih banyak menyebut “faktor luar”.
Kedua teori ini juga berbeda dalam merumuskan implikasi keijaksanaan
pembangunan yang diperlukan untuk membangun Dunia Ketiga. Teori modenisasi
mengatakan, bahwa hubungan dan keterkaitan antara negara berkembang dan negara maju
akan saling memberikan manfaat timbal balik, khususnya bagi negara berkembang. Negara
maju membantu proses pembangunan di negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, teori
dependensi memiliki sikap yang berbeda,. Hubungan dan keterkaitan negara Dunia Ketiga
dengan negara sentral dilihatnya sebagai hubungan yang tak berimbang dan karenanya hanya
menghasilkan akibat yang merugikan bagi negara Dunia Ketiga.
Dua perspektif ini juga berbeda dalam menunjuk arah masa depan pembangunan,
khususnya masa depan negara pinggiran. Teori modernisasi pada umumnya melihat masa
depan negara berkembang dengan optimis. Teori dependensi sebaliknya, melihat
perkembangan negara pinggiran dengan pesimis.
Kedua teori ini juga berbeda dalam memberikan jalan keluar dari persoalan
keterbelakangan negara Dunia Ketiga. Teori modernisasi menganjurkan untuk lebih
mempererat keterkaitan negara berkembang dengan negara maju melalui bantuan modal,
peralihan teknologi, pertukaran budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini, teori dependensi
memberikan anjuran yang sama sekali berbeda, yakni berupaya secara terus-menerus untuk
mengurangi keterkaitan negara pinggiran dengan negara sentral, sehingga memungkinkan
tercapainya pembangunan yang dinamis dan otonom, sekalipun proses dan pencapain tujuan
ini mungkin memerlukan revolusi sosialis.
BAB 6
Hasil Kajian Teori Dependensi Klasik
Dalam bab ini akan disajikan tiga hasil kajian teori dependensi klasik. Hasil penelitian
Baron tentang kolonialisme di India, kemudian karya Landsberg tentang munculnya
imperialisme baru di Asia Timur, dan yang terkhir hasil kajian Sritua Arief dan Adi sasono.
Baran : Kolonialisme di India
Karya Baran tentang India telah menjadi salah satu karya yang memberikan
penjelasan dasar tentang keadaan dan akibat apa yang hendak dan bahkan harus terjadi di
negara Dunia Ketiga setelah negara tersebut mengalami penjajahan.
Akibat Ekonomi Kolonialisme
Menurut Baran, India merupakan salah satu negara maju di dunia pada abad ke-18.
India adalah negara yang telah menghasilkan dan mengekspor kain yang indah dan barang-
barang hasil produksi pabrik yang mewah. Barang-barang kerajinan tenun India tersedia
secara luas di pasar Asia dan Eropa pada abad tersebut. Pada periode yang sama, Revolusi
Industri belum terjadi di Inggris, dan oleh karena itu tidak sulit untuk memahami jika industri
tekstil di Inggris justru masih berada pada tahap awal perkembangan.
Di lain pihak, Inggris memiliki kekuatan militer yang luar biasa, menurut ukuran saat
itu. Oleh karena itu, Inggris mampu menjadikan beberapa bahkan banyak negara Dunia
Ketiga menjadi negara jajahannya. Setelah tentara India kalah, India pun tidak tertinggal, dan
bahkan menjadi salah satu daerah koloni Inggris yang utama. Apa yang terjadi setelah India
menjadi daerah koloni Inggris merupakan pertanyaan pokok yang diajukan oleh Baran.
Bagi Baran situasi keterbelakangan yang sekarang ada di India disebabkan
oleheksploitasi yang sistematis, kasar, sekaligus canggih yang dilaksanakan oleh pemilik
modal Inggris, yang telah dimulai sejak dari awal masa colonial Inggris. Proses
keterbelakangan ini dumulai dengan perampasan kekayaan India. Diperkirakan kurang lebih
500.000.000 dollar AS dan 1.000.000.000 dollar AS kekayaan India telah dirampok Inggris
hanya dalam masa awal decade penjajahannya. Kemudian pada awal abad ke-20, setiap tahun
rata-rata 10% dari pendapatan nasional kotor India diangkut oleh Inggris.
Inggris juga memberlakukan kebijaksanaan deindustrialisasi India. Ini dilakukan
karena sejak pertengahan abad ke-18, industri pedesaan di Inggris berkembang secara pesat.
Untuk mempercepat ekspansi industri pedesaan ini dan untuk menguasai tekstil dunia, Inggris
memberlakukan usaha-usaha untuk menghilangkan kemampuan saingan kokohnya, yakni
industri tekstil India. Pada decade akhir abad ke-18 dan dekade awal abad ke-19, Inggris
menekankan pelaksanaan kebijaksanaan untuk menjadikan industry India sepenuhnya
mengabdi untuk kepentingan Inggris Raya, dan mendesak India untuk sekedar menanam dan
menyediakan bahan mentah yang diperlukan oleh Inggris.
Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain pertama,
diperintahkan agar pengrajin India bekerja di pabrik-pabrik yang dimiliki oleh Inggris.
Kedua, perdagangan lokal diatur dengan ketat, dan disaat yang sama diberlakukan aturan tarif
impor ekspor barang, kecuali untuk sutera India dan katun dari Inggris. Menurut Baran,
penemuan teknologi pertenunan baru di Eropa membantu menjadikan industri tekstil di India
hancur sama sekali. Secara ringkas, Baran berpendapat bahwa pemindahan surplus ekonomi
dari India ke Inggris, kebijaksanaan deindustrialisasi India, dan membanjirnya barang
produksi Inggris ke India, serta pemiskinan massal pedesaan India telah menjadi sebab dan
sepenuhnya bertanggung terhadap keterbelakangan India.
Akibat Politik dan Budaya
Menurut perspektif dependensi , pemerintahan kolonial tidak dan tidak akan pernah
dibentuk dengan tujuan untuk membangun ekonomi negara pinggiran. Dalam rangka
menjadikan negara Dunia Ketiga menjadi negara pinggiran, pemerintah kolonial tidak segan-
segan melakukan praktek kekerasan untuk membuat penduduk negara jajahan tunduk.
Senyatanya bahkan situasi “damai dan stabil” yang terlihat di negara jajahan dihasilkan dari
tindakan yang represif dan kejam dari pemerintah kolonial.
Setelah pemerintah kolonial sepenuhnya mampu mengendalikan daerah jajahan,
pemerintah kolonial tersebut mulai sedikit demi sedikit “menyerahkan” sebagian
kekuasaannya kepada penduduk lokal untuk menjalankan roda administrasi pemerintahan
dengan tetap mengabdi kepada kepentingan kolonial. Biasanya hanya penduduk lokal elit
yang telah bersumpah untuk loyak terhadap pemerintah kolonial. Teori dependensi menyebut
penduduk lokal elit sebagai kelas sosial terbela, dan nampaknya para tuan tanah lokal
merupakan kandidat yang paling dekat untuk duduk dalam jabatan administrasi pemerintahan
ini. Baran menegaskan bahwa pemerintah kolonial Inggris di India mengkonsolidasikan
kebijaksanaan penjajahannya dengan cara menciptakan kelas sosial dan kelompok
kepentingan baru yang jaminan hak-hak istimewanya sangat terikat dan tergantung pada
pemerintah kolonial.
Secara ringkas, karena ekonomi-politik India telah demikian dalamnya mengalami
restrukturisasi selama lebih dari seabad masa penjajahan Inggris, Baran menegaskan bahwa
tiadanya lagi secara formal pemerintahan kolonial di India tidak dapat begitu saja
menghilangkan akibat sisa peninggalan kolonial. Bahkan setelah kemerdekaanya pun,
struktur ketergantungan masih terlihat secara jelas di India dan akan terus mengganggu
pembangunan India dikemudian hari. Baran juga berpendapat bahwa hampir semua masalah
pokok yang timbul sekarang ini muncul dan tumbuh pada masa kolonial Inggris dan sebagai
akibat dari kebijaksanaan yang diterapkannya.
Landsberg : Tumbuhnya Imperialisme di Asia Timur
Landsberg menyimpulkan, bahwa orientasi ekspor (IOE) hanya merupakan suatu
bentuk baru dominasi imperialisme, yang nantinya akan membawa negara Dunia Ketiga
menjadi negara industri yang tergantung, bukan negara industri yang mandiri.
Konteks Sejarah
Bagi Landsberg, dominasi asing di negara negara Dunia Ketiga tidak begitu saja
berakhir setelah Perang Dunia II. Baginya, masih banyak faktor yang sering mengkait dan
berantai yang menyebabkan pembangunan negara-negara Dunia Ketiga tetap
memprihatinkan. Pertama, karena lemahnya dasar-dasar pengembangan industri. Kedua,
karena membutuhkan devisa. Ketiga, kurangnya kemampuan negara-negara Dunia Ketiga
untuk mengumpulkan devisa.
Oleh karena adanya faktor-faktor tersebut, strategi industrialisasi substitusi impor
(ISI) dirumuskan dengan harapan dapat membantu negara Dunia Ketiga melepaskan diri dari
ketergantungannya pada ekspor produk primer. Menurut Landsberg, logika imperialisme
menghalangi keberhasilan pelaksanaan strategi ISI. Pertama, karena sebagian penduduk di
negara-negara Dunia Ketiga masih dalam keadaan miskin. Kedua, borjuis domestik tidak
cukup memiliki modal dan teknologi untuk memulai program industrialisasi yang sudah
dicanangkan. Ketiga, strategi ISI mempercepat laju dan memperbesar impor modal asing dan
teknologi.
Sekitar awal tahun 1960-an, sebagian besar negara Dunia Ketiga telah menyadari
bahwa strategi ISI telah membuktikan kegagalannya. Jika demikian halnya, strategi baru
yang disebut dengan industrialisasi ekspor (IOE) dirumuskan. IOE bertujuan untuk
menigkatkan volume ekspor (jumlah dan uang) dari produk yang dihasilkan di dalam negeri
di pasar dunia. Dengan IOE masing-masing negara Dunia Ketiga berharap mampu
meningkatkan pangsa pasar internasionalnya, dengan menjual berbagai produk yang lebih
bervariasi.
Karakteristik IOE : Siapa Mengekspor Kepada Siapa
Landsberg menjawab pertanyaan ini dengan menyebutkan bahwa hanya sedikit
negara Dunia Ketiga yang mampu menghasilkan sebagian besar barang-barang hasil industry
yang diekspor ke Negara maju. Dari sedikit negara Dunia Ketiga pengekspor dalam kategori
A dan negara Dunia Ketiga pengekspor dalam kategori B.
Negara Dunia Ketiga pengekspor dalam kategori A meliputi Brasilia, Meksiko,
Argentina, dan India. Sedangkan negara Dunia Ketga pengekspor dalam kategori B meliputi
Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Taiwan.
Lahirnya IOE
Bagi Landsberg, penjelasan munculnya strategi IOE terletak pada apa yang disebut
dengan kebijaksanaan subkontrak internasional. Berbagai alasan subkontrak internasional
tumbuh antara lain, Pertama, adanya perluasan pasar di negara maju. Kedua, adanya
peningkatan biaya produksi di negara maju. Ketiga, penemuan-penemuan yang
mengagumkan dalam bidang teknologi komunikasi dan transportasi. Keempat, usaha
subkontrak ternyata mampu menghasilkan laba yang sangat tinggi.
Akibat IOE
Landsberg berpendapat bahwa IOE hanya sekedar salah satu bentuk baru dominasi
modal internasional, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sebagai model yang khas untuk
pembangunan Dunia Ketiga.
Pertama, produk industri yang telah dapat dihasilkan oleh negara Dunia Ketiga yang
telah mengikuti strategi IOE sebagian besar, kalau tidak hamper semua, dibuat untuk
kepentingan ekspor. Kedua, usaha subkontrak biasanya hanya membutuhkan dan
menggunakan tenaga kerja dengan keterampilan dan kecakapan rendah, yang diperlukan
untuk terlibat dalam proses produksi yang sederhana, seperti pekerjaan perakitan pada
industry semi konduktor. Ketiga, dengan tanpa memperhatikan, dan karena memang tidak
berpengaruh, bentuk usaha yang dirumuskan dalam industri subkontrak, mitra lokal biasanya
idak mampu untuk berdiri sebagai pihak pengendali, dan atau memiliki posisi tawar-menawar
yang tinggi. Keempat, negara tidak mengabaikan usaha-usaha di Asia Timur untuk
melakukan perbaikanan diversifikasi produk ekspornya untuk membangun dasar-dasar
industry yang lebih dinamis. Terakhir, Landsberg berpendapat bahwa ketidakstabilan dunia
juga mempengarui dan menghambat pertumbuhan industri di suatu negara.
Sritua Arief dan Adi Sasono : Ketergantungan dan Keterbelakangan di Indonesia
Arief dan Sasono berpendapat bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu
faktor terpenting yang bertanggung jawab terhadap berkembang suburnya keterbelakangan
dan kemiskinan di Indonesia. Pada masa tanam paksa, telah terjadi pengalihan surplus
ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah yang amat besar. Selain itu tanam paksa
juga menjadikan semakin kecilnya jumlah petani yang berkecukupan.
Untuk mengamati pembangunan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Orde
Baru, Arief dan Sasono menggunakan lima tolok ukur, yakni sifat pertumbuhan ekonomi,
penyerapan tenaga kerja, proses industrialisasi, pembiayaan pembangunan, dan persediaan
bahan makanan.
Pertama, mereka melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai Indonesia
telah dobarengi dengan semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Kedua, Indonesia memiliki tingkat pengangguran yang tinggi dan dengan percepatan yang
tinggi pula. Ketiga, mereka melihat bahwa proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia
adalah proses industrialisasi yang oleh Amin disebut sebagai industry ekstraversi. Keempat,
karena sifat pertumbuhan ekonomi yang dimiliki dank arena model industrialisasi yang
dipilih, Indonesia, mau tidak mau, hanya memiliki satu pilihan, yakni kebutuhan untuk selalu
memperoleh modal asing. Terakhir, Indonesia belum mampu mencapai swasembada pangan
(beras) dan kemudian baru pada pertengahan 1980-an untuk pertama kali sejak
kemerdekaannya, Indonesia mencapai swasembada beras.
Tenaga Teori Dependensi Klasik
Ketergantungan Faktor Luar
Tenaga inti yang dimiliki oleh teori dependensi klasik dapat diketahui dari
kemampuannya untuk mengarahkan peneliti dan pengambil keputusan untuk menguji sejauh
mana dominasi asing telah secara signifikan mempengaruhi roda pembangunan negara Dunia
Ketiga. Hasil studi tentang Indonesia juga memiliki kesimpulan yang tidak jauh berbeda
dengan Landsberg. Sekalipun terjadi pertumbuhan ekonomi, di lain pihak juga terjadi
pemiskinan massal. Ini terjadi karena adanya ketergantungan modal dan teknologi pada
negara sentral, yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya arus keluar dari surplus
ekonomi yang dapat dihasilkan di dalam negeri.
Ketergantungan Ekonomi
Dengan meumuskan ketergantungan sebagai akibat dari adanya ketimpangan nilai
tukar barang dalam transaksi ekonomi, teori dependensi telah mampu mengarahkan para
pengikutnya untuk lebih memperhatikan dimensi ekonomi dari situasi ketergantungan. Dalam
hal ini, sekalipun teori dependensi sama sekali tidak dikesampingkan dimensi politik dan
budaya, persoalan ini hanya dilihat sebagai akibat lanjutan dari dimensi ekonomi.
Ketergantungan dan Pembangunan
Dalam hal ini, Baran menyebutkan bahwa situasi ketergantungan yng terjadi pada
masa colonial India tetap masih mengganggu jalannya pembangunan setelah secara formal
India memperoleh kemerdekaan. Landsberg menyatakan bahwa sekalipun IOE tidak akan
mampu menumbuhkan pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri. Sritua dan Sasono
juga menyebutkan bahwa pelaksanaan tanam paksa merupakan “pangkal tolak” untuk melihat
bangunan structural Indonesia sekarang.
Kritik Terhadap Teori Dependensi
Metode Pengkajian
Muculnya teori dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama
persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori dependensi bahkan
menuduh ajaran teori modernisasi tidak hanya sekedar pola pikir yang memberikan
pembenaran ilmiah dari ideologi negara-negara Barat untuk mengeksploitasi negara Dunia
Ketiga.
Teori dependensi menurut Maxisme adalah bukan merupakan karya ilmiah,
melainkan merupakan pamflet politik. Teori modernisasi mengatakan bahwa teori dependensi
tidak mampu lagi atau bahkan putus asa dalam usahanya untuk berlomba dalam kajian karya
ilmiah.
Teori dependensi klasik juga sering dituduh sebagai teori yang abstrak . oleh
karenanya, teori ini berambisi membuktikan kemampuannya untuk menjelaskan situasi
ketergantungan Negara Dunia Ketiga. Namun demikian, ambisiusitasnya itu justru
menjebaknya ke dalam suatu kecenderungan untuk menganalisa dan menetapkan persoalan
ketergantungan suatu negara Dunia Ketiga dengan negara lainnya tidak berbeda.
Kategori Teoritis
Teori dependensi menyatakan bahwa situasi ketergantunganyang terjadi di negara
Dunia Ketiga lahir sebagai akibat desakan faktor eksternal. Di sinilah para penganut pola
piker neo-Marxisme mengarahkan kritiknya. Mereka menuduh bahwa teori dependensi secara
berlebihan menekankan pentingnya pengaruh faktor eksternal, dengan hamper melupakan
sama sekali dinamika internal.
Analisa perebutan kekuasaan politik juga tidak ditemukan dalam kategori teoritis
yang dirumuskan dalam teori dependensi.ini terjadi karena teori dependensi menganggap
bahwa kaum industrialis negara Dunia Ketiga baru merupakan atau bahkan hanya sekedar
“borjuasi gembel” yang tergantung pada modal asing.
Oleh karena keteledoran ini, teori dependensi sering dikatakan telah memberikan
gambaran yang kurang tepat mengenai karakteristik Negara Dunia Ketiga. Permberi kritik
menuduh bahwa teori dependensi secara snagat berlebihan menyampaikan pengaruh
kekuatan eksternal, sehingga terkadang terasa bahwa negara Dunia Ketiga tidak mejmiliki
kemampuan untuk melawan perlawanan.
Implikasi Kebijaksanaan
Teori ini berpendapat bahwa selama hubungan pertukaran yang tidak berimbang ini
tetap bertahan sebagai landasan hubungan internasional, maka keterhgantungan dan
keterbelakangan negara Dunia Ketiga tetap tak terselesaikan. Oleh karena itu, teori
dependensi mengajukan usulan yang radikal untuk mengubah situasi ketimpangan ini, yakni
dengan revolusi sosialis.