Upload
betty-linda-nursanti
View
36
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
teori dramaturgi erving goffmandiposting oleh sufyan-ahamad-fisip11 pada 21 October 2012di Tokoh Sosiologi - 1 komentar
Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everyday Life, diterbitkan tahun 1959. Secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing actor)
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Dalam teori Dramatugis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia
bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang teller senantiasa berpakaian rapi menyambut nasabah dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang teller bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (ngerumpi, dsb). Saat teller menyambut nasabah, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut nasabah dan memberikan pelayanan kepada nasabah tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang teller juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen. Saat istirahat makan siang, teller bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen adalah bagaimana sang teller tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total,Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.
Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patu
Teori Interaksi Simbolik
Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran
George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The
Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”.
Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka perspektifnya
seringkali disebut sebagai Mahzab Chicago.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan
verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat
dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat
penting.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain,
demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita
dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol
yang ditampilkan oleh orang lain.
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi
simbolik adalah :
a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang
sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain.
b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang
atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori
sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap
individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka
pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik
antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia,
dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi,
karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara
interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat
disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia,
bertindak, terhadap, manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain
kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi
melalui proses interpretif .
2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut
secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara
lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui nteraksi dengan orang lain,
Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan
hal ini sebagai : ”The particular kind of role thinking – imagining how we look to another
person” or ”ability to see ourselves in the reflection of another glass”.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan
masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada
akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial
kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan
dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini
adalah : Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana
pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab, dimana kedua mahzab
tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu :
1. Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer : Blummer memberikan pengembangan
dalam pikiran-pikiran mead menjadi tujuh buah asumsi yang mempelopori pergerakan mazhab
Chicago baru.
Tujuh asumsi tersebut adalah :
Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada
mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui sebuah
proses interpretif, Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang
lain, Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku, Orang dan kelompok-
kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi
sosial.
2.Mahzab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young
Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya, dengan
melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi
epistemologi dan metodologi post- positivis yang mengambil dua langkah cara pandang
baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu memperjelas konsep diri menjadi
bentuk yang lebih kongkrit.
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert Blumer,
Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi
sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara
menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Asumsi-asumsi: a.
Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk
organisasi. b. Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik
hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.
Pelapisan Sosial /Stratifikasi Sosial
Pelapisan sosial adalah perbedaan tinggi rendah kedudukan seseorang/sekelompok orang
dibandingkan dengan sseseorang atau sekelompok orang lain dalam masyarakat. Pelapisan sosial dapat
terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain ekonomi, politik, sosial.
1. Sistem Pelapisan Sosial
Menurut status kependudukan asli atau pendatang misalnya di daerah Jawa dengan
adanya cikal bakal yaitu orang yang merintis tinggal didaerah tersebut dan mempunyi keturunan di
daerah tersebut, womg baku yaitu orang yang mempunyai saudara, tanah, dan lahir di daerah tersebut,
pendatang yaitu orang yang membeli tanah dan membangun didaerah tersebut. Sedangkan di Sumatra
Utara ada yang disebut dengan Sipunta huta/bangsa taneh yaitu keturunan nenek moyang dan
penduduk pendatang.
2. Diferensiasi Sosial
Diferensiasi sosial ialah perbedaan sosial dalam masyarakat secara horisontal. Bentuk
diferensiasi sosial yaitu diferensiasi jenis kelamin, diferensiasi agama, diferensiasi profesi dsb.
Interaksi Simbolik : Teori ini menyatakan bahwa Interaksi sosial pada hakekatnya adalah Interaksi
simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain memberi
makna atas simbol tersebut.
Stratifikasi Sosial/Pelapisan Sosial : Adalah pembedaan tinggi rendah kedudukan sekelompok orang atau
seseorang di bandingkan dengan seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat. Pelapisan Sosial
dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain:
1. Ekonomi (kekayaan)
2. Politik (Kekuasaan)
3. Sosial (Martabat)
Pengertian Berfikir : Adalah proses memahami natalitas dalam rangka mengambil kesimpulan dan
menghasilkan masalah baru. Cara orang berfikir yaitu dengan menggunakan Austik (melamun, fantasi,
berkaca dll) dan dengan realiustik (nalar, sesuai dengan dunia nyata).
Persepsi : Adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga memperoleh engetahuan sesuai dengan
yang di inginkan atau dengan kata lain adalah proses memberi makna pada stimuli inderawi.
Adapun faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah :
1. Perhatian (Attention)
2. Faktor biologis
3. Faktor Psikologis
Pengertian Memori : Adalah sistem ingatan yang sanggup merekam fakta dan dapat di gunakan untuk
membimbing perilaku manusia.
Proses memori :
Perekaman (Encoding) adalah pencatatan informasi melalui reseptor indera
Penyimpanan (Storage) menentukan berapa lama informasi tersebut bersama kita
Pemanggilan (Retrieval) mengingat kembali informasi yang telah tersimpan.
Mekanisme Memori :
Mekanisme memori hendak menjelaskan cara kerja memori, mengapa kita ingatsesuatu dan melupakan
yang lainnya.
Prespektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari sudut pandang
subyek. Dimana teoritis interaksi simbolik ini memandang bahwa kehidupan sosial pada
dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, (D.Mulyana, 2001: 70).
Inti pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-
simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi
dengan sesama.
Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah
proses yang interpretasi yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari
proses interaksi sosial.
Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek,
melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena
manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa
( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu).(Arnold M Rose 1974:143
dalam D.Mulyana 2001:72).
Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang
melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon
lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang kemudian
memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari faktor
eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu
tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang
dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.
Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke
waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda)
ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi
barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan
proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat
berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu
dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata
yang akan ia ucapkan.
Menurut pandangan Mead, perilaku manusia sebagai sosial dan berbeda dengan
perilaku hewan yang pada umumnya ditandai dengan stimulus dan respon. Perilaku merupakan
produk dari penafsiran individu atas objek di sekitarnya.makna yang mereka berikan kepada
objek berasal dari interaksi sosial dan dapat berubah selama interaksi itu berlangsung.
Hal tersebut di atas senada dengan apa yang bisa kita lihat dari penampilan fisik atau
budaya material kaum Punk. Dimana pola pemaknaan yang terjadi dalam masyarakat terhadap
kaum Punk adalah berkonotasi negatif. Penampilan dengan gaya pakaian yang terkesan kumal,
penuh dengan aksesoris sangar seperti Peniti yang dijadikan hiasan di wajah yang pada akhirnya
membentuk respon masyarakat kepadanya.
Konsep tentang “self ” atau diri merupakan inti dari teori interaksi simbolik. Mead
menganggap konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan
orang lain ( D. Mulyana, 2001:73 ).
Dalam Mind, Self and Society (1934) Mead pun menanyakan “bagaimana seorang
individu bisa keluar dari dirinya sendiri untuk menjadi objek lagi bagi dirinya sendiri?”, lanjut
Mead, “…melalui proses tingkah laku atau aktivitas sosial dimana individu yang ada di
simpulkan ……….individu mengalami dirinya sendiri semacam itutidak secara langsung, dari
perlakuan individu lain dari kelompok sosial yang sama …..dia menjadi objek untuk dirinya
sendiri seperti orang lain menjadi objek bagi dirinya.”( R. Soeprapto, 2002:205).
Diri sendiri “ the self ”, dalam pandangan ahli interaksionalisme simbolik merupakan
obyek sosial dalam hubungan dengan orang lain disebuah proses interaksi. Dengan demikian,
individu melihat dirinya sendiri ketika ia berinteraksi dengan orang lain.
Bagi Mead, kesadaran akan “diri” berarti menjadi suatu “diri” dalam pengalaman
seseorang sejauh “suatu sikap yang dimilikinya sendiri membangkitkan sikap serupa dalam
upaya social . kesadaran akan konsep “diri” akan muncul ketika individu memasuki pengalaman
dirinya sendiri sebagai suatu obyek.
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu
komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik
terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi
dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu
perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis”
(Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya
nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap
individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial
masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan
pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap
individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta
inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang
perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam
konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung
ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)dalam West- Turner (2008: 96),
interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana
cara dunia membentuk perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari
pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan
tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat
(Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970)dalam
Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk
makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain: (1) Pikiran
(Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang
sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain, (2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah
salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan
dunia luarnya, dan (3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,
dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut
terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal
(Mead. 1934dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga
tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi
simbolik.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik
antara lain:
a. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
b. Pentingnya konsep mengenai diri,
c. Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses
komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi
secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat
disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer
(1969)dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia
bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada
mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses
interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-
Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep
diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.
Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-
Turner (2008: 101), antara lain: Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi
dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan
individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi
perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang
ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai
keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi- asumsi yang berkaitan dengan tema ini
adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep
pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-
asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
• Pentingnya konsep diri,
• Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tujuh asumsi karya Herbert Blumer
a. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada
mereka,
b. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia
c. Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
d. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
e. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,
f. Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
g. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
D. IMPLIKASI DALAM ILMU/TEORI DAN METODOLOGI
Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa teori atau ilmu dan metodologi
berikut ini, antara lain: Teori sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis
Abraham (1982)dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini menjabarkan interaksi simbolik sebagai
perspektif yang bersifat sosial- psikologis. Teori sosiologikal modern menekankan pada struktur sosial,
bentuk konkret dari perilaku individu, bersifat dugaan, pembentukan sifat- sifat batin, dan menekankan
pada interaksi simbolik yang memfokuskan diri pada hakekat interaksi. Teori sosiologikal modern juga
mengamati pola-pola yang dinamis dari suatu tindakan yang dilakukan oleh hubungan sosial, dan
menjadikan interaksi itu sebagai unit utama analisis, serta meletakkan sikap-sikap dari individu yang
diamati sebagai latar belakang analisis.
Perspektif interaksional (Interactionist perspective) merupakan salah satu implikasi lain
dari interaksi simbolik, dimana dalam mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan
pendekatan tertentu, yang lebih kita kenal sebagai perspektif interaksional (Hendariningrum.
2009). Perspektif ini menekankan pada pendekatan untuk mempelajari lebih jauh dari interaksi
sosial masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol- simbol yang pada akhirnya akan
dimaknai secara kesepakan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka.
Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakan implikasi dari konsep
interaksi simbolik mengenai interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas
(1968)dala m Hendariningrum (2009). Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari
pandangan yang mengatakan bahwa interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan
(response) terhadap rangsangan (stimulus) secara langsung. Konsep definisi situasi
mengganggap bahwa setiap individu dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan dari
luar, maka perilaku dari individu tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-pertimbangan
tertentu, dimana rangsangan dari luar tidak ”langsung ditelan mentah-mentah”, tetapi perlu
dilakukan proses selektif atau proses penafsiran situasi yang pada akhirnya individu tersebut
akan memberi makna terhadap rangsangan yang diterimanya.
Konstruksi sosial (Social construction) merupakan implikasi berikutnya dari interaksi
simbolik yang merupakan buah karya Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann,
dimana konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsirkan
peristiwa dan membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas dibangun
secara sosial melalui komunikasi (LittleJohn. 2005: 308).
Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik
menurut pandangan Mead (West-Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting
yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role
taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam
menempatkan diri diantara individu lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat.
Teori diri (Self theory) dalam sudut pandang konsep diri, merupakan bentuk kepedulian
dari Ron Harrě, dimana diri dikonstruksikan oleh sebuah teori pribadi (diri). Artinya, individu
dalam belajar untuk memahami diri dengan menggunakan sebuah teori yang mendefinisikannya,
sehingga pemikiran seseorang tentang diri sebagaiperson merupakan sebuah konsep yang
diturunkan dari gagasan-gagasan tentangpersonhood yang diungkapkan melalui proses
komunikasi (LittleJohn. 2005: 311).
Teori dramatisme (Dramatism theory) merupakan implikasi yang terakhir yang akan
dipaparkan oleh penulis, dimana teori dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang
dipengaruhi oleh interaksi simbolik, dan tokoh yang menggemukakan teori ini adalah Kenneth
Burke (1968). Teor ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan
menggunakan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang
memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan dianggap sebagai
perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu (Ardianto. 2007: 148).
FENOMENOLOGI
Adalah studi mengenai bagaimana manusia mengalami kehidupannya di dunia. Studi ini melihat objek dan peristiwa dari perspektif orang yang mengalami. Relaitas dalam fenomenologi selalu merupakan bagian dari pengalaman sadar seseorang.Pendekatan ini merupakan suatu langkah maju terhadap aliran yang menganggap bahwa suatu realitas terlepas dari kesadaran atau persepsi manusia.
Maurice Merleu-Ponty, seorang fenomenologis terkenal, mengungkapkan pandangannya;Seluruh pengetahuan saya tentang dunia, bahkan pengetahuan ilmiah saya, diperoleh dari sudut pandang saya sendiri, atau dari beberapa pengalaman yang tampa menggunakan sudut pandang saya sendiri akan menyebabkan simbol-simbol ilmiah menjadi tidak berarti. Untuk kembali kepada hal-hal tersebut adalah kembali kepada dunia yang mendahului pengetahuan, dimana pengetahuan selalu bicara.
Fenomenologi menempatkan pengalaman nyata sebagai data dasar dari pengetahuan. Fenomenologi juga menghindari penerapan ketentuan kategori teoritis,”fenomenologi berarti membiarkan segala sesuatu mengungkapkan dirinya sendiri, tanpa memaksakan kategori kita kepada mereka”.
Tiga prinsip dasar fenomenologi dikemukakan oleh Stanley Deetz;1. Pengetahuan haruslah sadarPengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, tetapi diekspresikan dalam pengalaman sadar itu sendiri.2. Makna diberikan pada sesuatu atas dasar potensinya bagi tindakan seseorangBagaimana seseorang berhubungan dengan suatu ojek akan menentukan makna tersebut.3. Bahasa merupakan perantara bagi munculnya maknaKita mengalami banyak hal melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengunkapkan hal-hal tersebut.
Fenomenologi terbagi menjadi dua kubu;Edmund Husserl, mengajarkan bahwa fenomenologi dapat menjadi suatu disiplin ilmu, dengan menggunakan kesadaran jernih, orang dapat mengungkap kebenaran.Martin Heidegger, mengajarkan bahwa pengetahuan yang pasti adalah tidak mungkin dan bahwa manusia tidak dapat memisahkan diri mereka dari pengalaman subjektif