Upload
ananti-nurhayati
View
1.016
Download
100
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bahan bacaan
Citation preview
RESUME TEORI, METODE, DAN TEKNIK PENELITIAN SASTRA
KARYA: Prof. Dr. NYOMAN KUTHA RATNA, S.U
Resume ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah
Metodologi Penelitian Sastra
Dosen Pengampu: Dr. Ali Imron Al-Ma’ruf, M.Hum.
Disusun Oleh:
Sukrisno Santoso (A310080094)
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARATA
2010
IDENTITAS BUKU
1. Judul Buku : Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
2. Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U
3. Penerbit : Pustaka Pelajar
4. Edisi Terbit : Cetakan IV / April 2008
5. Kota Terbit : Yogyakarta
6. Tebal : xii + 406 halaman
BAB I
Sejarah Perkembangan Teori Sastra
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti
kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori juga diartikan perangkat
pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji
kebenarannya. Menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977: 175), penelitan
terhadap karya sastra pada umumnya memanfaatkan teori-teori yang sudah ada.
Diduga bahwa kecenderungan ini didasarkan atas beberapa kenyataan, sebagai
berikut:
1. Teori-teori yang sudah ada dengan sendirinya sudah teruji, yaitu melalui
kritik sepanjang sejarahnya.
2. Teori dianggap sebagai unsure yang sangat penting, lebih dari semata-
mata alat.
3. Belum terciptanya sikap-sikap percaya diri atas hasil-hasil penemuan
sendiri, khususnya dalam bidang teori.
Secara genesis dengan demikian dalam proses penelitian teori diperoleh
dengan dua cara, sebagai berikut:
1. Penelitian memanfaatkan teori terdahulu, pada umumnya disebut sebagai
teori formal, dengan pertimbangan bahwa teori tersebut secara formal
sudah ada sebelumnya. Teori formal seolah-olah bersifat deduksi dan
apriori.
2. Penelitian memanfaatkan teori yang ditemukannya sendiri,teori yang
diperoleh melalui manfaat, hakikat, dan abstraksi data yang diteliti, yang
pada umumnya disebut teori substantive sebab diperoleh melalui substansi
data.
Kedua jenis teori masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Dari segi penelitian, teori formal seolah-olah merupakan teori yang siap pakai,
sehingga dalam penelitian para peneliti hanya menerapkan. Kekurangannya
adalah tidak adanya aktivitas untuk menemukan teori yang baru, sehingga terjadi
stagnasi dalam bidang teori. Kelemahan teori formal ini terpenuhi oleh usaha
penelitian yang mencoba menemukan teori substantive. Pemanfaatan teori formal,
menurut Vredenbreghat, memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha
penelitian, sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui
sekaligus mengujinya,melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama
makin sempurna. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa suatu teori tidak
disajikan secara definitive, melainkan secara tentative.
Teori jelas merupakan klimaks dalam suatu penjelajahn keilmuan.
Penemuan terhadap teori-teori beru dianggap sebagai kualitas akademis yang
dapat dijadikan sebagi tolok ukur kemajuan ilmu pengetahun. Meskipun
demikian, teori bukan merupakan tujuan utama. Teori adalah “alat” yang
melaluinya suatu penelitian dapat dilakkukan secara lebih maksimal. Tujuan
pokok teori tetap pemahaman terhadap objek. Oleh karena itulah, apabila terjadi
ketidakseimbangan di antara teori dengan objek, maka yang dimodifikasi adalah
teori, bukan objek. Dalam hubungan inilah dapat dikemukakan bahwa sebuah
teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianlisis.
2. Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
3. Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis maupun
berbeda.
4. Memiliki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan
jaringan analisis yang kompleks.
5. Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Teori dan metode berfungsi untuk membantu menjelaskan hubungan dua
gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang terjadi. Fungsi lain
dari teori dan metode adalah kemampuannya untuk memotivasi, mengevokosi,
sekaligus memodifikasi pikiran-pikiran peneliti. Sebagai alat teori berfungsi untuk
mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan
melalui instrument yang lebih kongkret, yaitu metode dan teknik. Teori sastra
dalam hal ini diterjemahkan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan
secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan
sejumlah gejala sastra. Apabila teori sastra memberikan intensitas pada konsep,
prinsip, dan kategori (Wellek dan Werren, 1962: 38-40), kritik sastra memberikan
intensitas pada penilaian, sedangkan sejarah sastra pada proses perkembangannya.
Sebagai alat, tujuan utama teori, dengan metode dan tekniknya, adalah
mempermudah pemahaman terhadap objek, sekaligus memberikan keluaran
secara maksimal.
Dengan mempertimbangkan karya sastra merupakan bagian integral
kebudayaan, penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori dalam
kaitannya dengan sastra sebagai produk sosial tertentu, kedua, teori dalam
kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan kreativitas. Model
pertama sama dengan penelitian ilmu humaniora dan ilmu sosial yang lain,
artinya, karya sastra dianggap sebagai produk sosial, karya sosial sebagai fakta
sosial, yang dengan sendirinya dipecahkan atas dasar kenyataan yang
sesungguhnya.
Perbedaan objek, dalam hubungan ini sebagai sastra lama dan sastra
modern, tidak berpengaruh terhadap teori dan metode penelitian. Artinya, baik
sastra lama maupun sastra modern dapat diteliti dengan menggunakan metode
yang sama. Teori structural, semiotika, dan resepsi, termasuk postrukturalisme,
dapat digunakan untuk menganalisis baik sastra lama maupun sastra modern.
Dalam hal ini, berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode
merupakan syarat pokok. Dengan kalimat ini, kualitas teori dan metode justru
terletak dalam aspek kebaruannya, kemutakhirannya. Teori yang lama dengan
sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori yang terakhirlah yang
dianggap paling relevan. Intensitas terhadap kebaruan teori disebabkan oleh hal-
hal berikut ini:
1. Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.
2. Teori dan metode adalah hasil penemuan.
3. Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan.
Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu abad sejak awal abad ke-20
hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indicator, sebagai berikut: data,
menganalisis data, dan menyajikan hasil penelitian.
1. Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri
sudah terkandung problematika yang sangat luas.
2. Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam
kebudayaan itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat
beragam.
3. Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan
Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dalam berbagai
disiplin, khususnya filsafat.
4. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk
menemukan berbagai cara, berbagai teori-teori yang baru.
5. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-
kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam ilmu sastra, yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan
untuk mengumpulkan elitian dalam ilmu sosial dan ilmu humaniora yang lain,
penelitian ilmu sastra merupakan usaha kongkret, dilakukan dengan sengaja,
sistematis, dengan sendirinya menggunakan teori dan metode secara formal.
Tujuannya adalah menemukan prinsip-prinsip baru yang belum ditemukan oleh
orang lain. Dikaitkan dengan tujuannya, lokasi penelitian ada dua macam, yaitu
penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan. Penelitian lapangan dilakukan
dalam kaitannya dengan objek penelitian yang memanfaatkan kejadian langsung.
Seperti penerbitan, pembacaan, penggunaan, dll. Penelitian perpustakaan
dilakukan dalam kaitannya dengan objek dalam bentuk karya tertantu. Artinya,
objek tersebtu dianggap sah, sudah cukup diri untuk mewakili keseluruahan data
yang diperlukan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel, dan lain-lain.
Dalam hal ini, penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi,
bukan generalisasi. Gejala sastra tidak berulang, makna tidak tetap yang
justru merupakan hakikat.
2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian
tertentu, misalnya, penelitian yang melibatkan sejumlah karya, atau
sejumlah konsumen.
3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka,
deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab
penelitia terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi pada saat
penelitian dilakukan.
5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab
sebagai hakikat diskusif bahasa sudah terikat dengan system model kedua
dengan berbagai system komunikasinya.
BAB II
Paradigma Penelitian Sastra
Secara etimologis paradigm berasal dari bahasa Latin (paradigma), bararti
contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma dikembangkan oleh Thomas Kuhn
dalam buku berjudul The Structure of Scientific Revolution terbit pertama tahun
1962. Menurut Ritzer (1980:2-24) paradigma, yaitu konsep-konsep dasar Kuhn itu
sendiri, dibicarakan secara luas dalam barbagai ilmu pengetahuan sejak tahun
1970-an, dengan sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda-beda,
sesuai dengan disiplin yang bersangkutan. Inti permasalah yang dikemukankan
oleh Kuhn adalah revolusi ilmiah dalam dunia ilmu pengetahuan. Perkembangan
ilmu pengetahuan tidak terjadi secara kumulatif, melainkan secara evolusionis
sejak preparadigmatis, paradigmatic itu sendiri, dan proses pengujian melalui
kritik dan saran, yang diakibatkan oleh timbulnya paradigma-paradigma lain
sebagai tandingan. Adanya perbedaan paradigma oleh para ilmuwan, disebabkan
oleh:
1. Unsur dalam diri sendiri.
2. Unsure luar berupa llingkungan fisik.
3. Unsure luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Menurut Ritzer (1980: 2-24), ada empat factor yang mempengaruhi metode
kualitatif:
1. Faktor ontologism, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di
antara masing-masing ilmuwan.
2. Faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.
Secara kualitataif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit, bahkan
seolah-olah tidak ada jarak.
3. Faktor aksiologis, peneltian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian
kuantitatif yang bebas nilai.
4. Faktor metodologi, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode, teori,
dan teknik.
Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai paradigma memiliki segi
positif, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Multiparadigma membuak cakrawala yang lebih luas, cara pemahaman
ternyata tidak bersifat tunggal, melainkan plural.
2. Menghilangkan anggapan bahwa sebuah paradigma seperti juga sebuah
teori, dapat menjawab semua permasalahan.
3. Menciptakan terjadinya saling menghargai pendapat, kelebihan, dan
kekurangan orang lain.
4. Keberagaman paradigma jelas mengevokasi keberagaman-keberagaman
khazanah cultural.
5. Pluralitas paradigma sesuai dengan semangat postrukturalisme, teori
modern yang memberikan perhatian pada hakikat multicultural, dengan
memberikan perhatian terhadap kearifan local.
BAB III
Metode, Metodologi,Teknik, Dan Pendekatan
3.1. Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode berasal dari kata methods, bahasa Latin, sedangkan methodos itu
sendiri berasal dari akar kata meta dan hados. Meta berarti jalan, cara, arah.
Dalam pengertian yang labih llluas metode dianggp sebagai cara-cara, strategi
untuk memahami realitas, langkah-langakh sistematis untuk memecahkan
rangkaian sebab akaibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode
berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk
dipecahkan dan dipahami. Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan
metodologi. Secara etimologi metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu
filsafat atau ilmu mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas
prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah.
Agak sulit membedakan antara metode dengan teknik. Secara definitive
metode denan teknik tidak memiliki batas-batas yang jelas. Teknik berasal dari
kata tekhikos, bahasa Yunani, juga berarrti alat, atau seni menggunakan alat. Oleh
karena itulah, sering metode di atas disebutkan sebagai teknik. Ada tiga cara yang
dapat dikemukakan untuk membedakan antara metode dengan teknik, bahkan juga
dengan teori sebagai berikut:
a. Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya.
b. Dengan cara memperhatikan factor nama yang lebih luas ruang lingkup
pemakaiannya.
c. Dengan cara memperhatikan hubungannya dengan objek.
Secara hierarkis, tingkat abstraksi yang tertinggi dimiliki oleh teori, secara
berturut-turut diikuti oleh metode dan teknik. Aratinya, meskipun secara teoretis
metode masih bersifat abstrak, tetapi sebagian ciri-cirinya dapat diidentifikasi
secara kongkret. Sebagai alat , tekni bersifat paling kongkret, sebagai instrument
penelitian teknik dapat dideteksi secara indrawi. Oleh karean itulah, meurut
Vredenbreght (1983: 20-21) teknik berhubungan dengan data primer. Metode dan
teknik, meskipun keduanya berarti cara, tekni memiliki ruang lingkup paling
sempit, sebagai metode dalam penggunaan langsung, oleh karena itulah, sering
disebtu sebagai seni menggunakan metode. Oleh karena itu pula, sebagai strategi
utnuk memahami realitas, menurut Goldmann (1981: 39-40) metode yang baik
adalah metode yang selalu bersifat teknik. Istilah lain yang juga sering
menimbulkan perdebatan dalam dunia penelitian adalah pendekatan. Pendekatan
sering disamakan dengan metode. Secara etimologis pendekatan berasal dari kata
appropio (Latin)approacah (inggris), yang diartikan sebagai jalan dan
penghampiran. Membedakan secara rinci anatar paradigma, pendekata, teori,
metode, dan teknik, sering dianggap sebagai pekerjaan yang sia-sia sebab yang
dianggap lebih penting adalah bagaimana penelitian dilakukan. Tetapi
mengabaikan masalah –masalah salah teknis di atas jauh lebih sia-sia sebab
khkakikat ilmiah suatu penelitian justru ditentukan melalui kemampuan peneliti
dalam pengoperasikan peralatan-peralatannya. Atas dasar kekhasan sifat karya di
antaranya:
3.1.1 Metode Intuitif
Pada dasarnya sulit untuk menetukan apakah sebuah metode dapat
dikatakan baru, sehingga dikategorikan sebagai metode modern, atau sebalknya
sudah lama, shingga tidak relevan untuk digunakan. Dikaitkan dengan fungsinya
sebagai alat, metode lahir setiap saat dipergunakan. Metode intuitif dianggap
sebagi kemmpuan dasar manusia dalam upaya memahami unsure-unsur
kebudayaan. Manusia memahami kebudyaan jelas dengan pikiran dan
perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsure-unsur, sebab-akibat, dan
seterusnya. Sejajar denganperkembangan ilmu pengetahuan maka setiap
komponen diperbaharui sekaligus disesuaikan dengan objek yang dipahami.
3.1.2 Metode Hermeneutika
Hermeneutika baik sebagi ilmu mauun metode, memegang peranan yang
sangat penting dalam filsafat. Dalam sastra, pembicaraannya terbatas sebagai
metode. Di antara metode-metode yang lain, hermeneutika merupakan metode
yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra. Hermenutika
dianggap sebagai metode ilmiah yang paling tua. Secara etimologis hermeneutika
berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau
menginterprestasikan. Secara mitologis (ibid), hermeneutika dikaitkan dengan
Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan peran Illahi kepada manusia.
Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami
agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan
pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah
karya sastra.
3.1.3 Metode Kualitatif
Ciri-ciri terpenting metode kualitatif:
1) Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan
hakikat objek, yaitusebagai studi cultural.
2) Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian
sehingga makna selalu beruabh.
3) Tidak ada jarak antara subjek penelitian dengan objek penelitian, subjek
penelitiian sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung
di antaranya.
4) Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian
bersifat terbuka.
5) Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya
masing-masing.
3.1.4 Metode Analisis Isi
Menurut Vredenbreght (1983: 66-68), secara eksplisit metode analisis isi
pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1926. Tetapi secara praktis,
telah digunakan jauh sebelumnya. Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua
macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung
dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang
terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi
sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi
sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen.
3.1.5 Metode Formal
Secara etimologi formal berasal dari kata forma (Latin) berarti bentuk,
wujud. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek
formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsure-unsur karya sastra. Tujuan metode
formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memeperhatikan sifat-sifat
teks yang dianggap artistic. Ciri utama metode formal adalah analisis terhadap
unsure-unsur karya sastra, kemudian bagaimana hubungan antara unsure-unsur
tersebtu dengan totalitasnya. Oleh karena itulah, metode formal sama dengan
metode unsure atau metode structural, yang kemudian berkembang menjadi teori
strukturalisme. Metode formal memandang bahwa keseluruahn aktivitas cultural
memiliki dan terdiri atas unsure-unsur. Tugas utama metode formal adalah
menganalisis unsur-unsur sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya
jumlah, jenis, dan model unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik.
3.1.6 Metode Dialektika
Secara etimologi dialektika berasal dari kata dialectica, bahasa Latin, berarti
cara membahas. Secara historis metode dialektik sudah ada sejak zaman Plato,
tetapi diperkenalkan secara formal oleh Hegel. Metode ini digunakan dengan
sangat berhasil oleh Goldmann dalam strukturalisme genetic. Secara teoretis
setipa fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis, kemudian diadakan negasi.
Dengan adanya pengingkaran maka tesis dan antitesisi seolah-olah hilang atau
berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu sendiri.
Sintesisi
3.1.7 Metode Deskriptif Analisis
Metode penelitian dapat juga diperoleh melalui gabuangan dua metode,
dengan syarat kedua metode tidak bertentangan. Metode deskriptif analitik
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul
dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan anlisis berarti menguraikan.
Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’=
atas, ‘lyein’=lepas, urai). Telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata
menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasansecukupnya.
Metode ini juga dapat digabungkan dengan metode formal.
3.2. Pendekatan dan Problematikannya
3.2.1 Pendekatan Biografis
Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses
kreativitas. Subjek creator dianggap sebagai asal-usul karya sastra, arti sebuah
karya sastra dengan demikian secara relative sma dengan maksud, niat, pesan, dan
bahkan tujuan-tujuan tertentu pengarang.
3.2.2 Pendekatan Sosiologis
Berbeda dengan pendekatan biografis yang semata-mata menganalisis
riwayat hidup, dengan proses pemahaman mulai dari individu ke masyarakat,
pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses
pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.
3.2.3 Pendekatan Psikologis
Rene Wellek dan Austin Werren ( 1962: 81-82) menunjukkan empat model
pendekatan psikologis yang dikaitkan denan pengarang, proses kreatif, karya
sastra, dan pembaca. Pendekatan ini pada dasarnya berhubungan dengan tiga
gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan
bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan
karya sastra.
3.2.4 Pendekatan Antropologis
Apabila sosiologis adalah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat, maka
antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Oleh
karena itulah, antropologis dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi
kebudayaan, yang sekarang berkembang menjadi studi cultural. Dalam kaitannya
dengan sastra, antropologi kebudayaan dibedakan menjadi dua bidang, yaitu
antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Pendekatan antropologi sastra
lebih banyak berkaitan degnan objek verbal. Lahirnya pendekatan antropologis,
didasarkan atas kenyataan, pertama, adanya hubungan antara ilmu antropologis
dengan bahasa, kedua, dikaitkan dengan tradisi lisan, baik antropologis maupun
sastra sama-sama mempermasalahkannya sebagai objek yang penting. Pokokk-
pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah bahasa
sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, di
antaranya:
1. Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda.
2. Penelitian aspek naratif sejak epic yang paling awal hingga novel yang
paling modern.
3. Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya
individual maupun generasi.
4. Bentuk-bentuk mitos dan system religi dalam karya sastra.
5. Pengaruh mitos, system religi, dan citra primordial yang lain dalam
kebudayaan populer.
3.2.5 Pendekatan Historis
Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara pendekatan sejarah dengan
sejarah sastra, sastr sejarah, dan novel sejarah. Sama dengan pendekatan-
pendekatan lain di atas, pendekatan historis mempertimbangan historis karya
sastra yang diteliti,yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan
sastra sejak awal hingga sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang
mengandung unsur-unsur sejarah dan novel sejarah. Dengan mempertimbangkan
indicator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran
pendekatan historis, di antaranya, sebagai berikut:
1. Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akaibat proses
penerbitan ulang.
2. Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3. Kedudukan pengarang pada saat menulis.
4. Karya sastra sebagai wakitl tradisi zamannya.
3.2.6 Pendekatan Metopoik
Secara etimologi mythopoic berasal dari myth. Mitos dalam pengertian
tradisional maemiliki kesejajaran dengan fable dan legenda. Di antara semua
pendekatan, pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasukkan
hampir semua unsure kebudayaan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi,
psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Vredenbreght (1983: 5) menyebutnya
sebagai pendekatan historis.
3.2.7 Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan
biografis dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek
creator. Pendekatan ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap
bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti study kreatif proses kreatif dalam
studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang
dihasilkannya.
3.2.8 Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9) pendekatan mimetis merupakan pendekatan
estetis yang paling primitive. Akar sejarahny terkandung dalam pandangan Plato
dan Aristoteles. Pendekatan mimesis Marxis merupakan pendekatan yang paling
beragam dan memiliki sejarah perkembangan yang paling panjang. Meskipun
demikian, pendekatan ini sering dihindarkan sebagai akibat keterlibatan tokoh-
tokoh dalam dunia politik.
3.2.9 Pendekatan Pragmatis
Pendekatan pragmatis membrikan perhatian utama terhadap peranan
pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat
perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan pragmatis, dipertentangkan
dengan pendekatan ekspresif. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi
pembaca melalui berbagai kompetensinya.
3.2.10 Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif dibicarakan paling akhir dengan pertimbangan bahwa
pendekatan ini justru merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki
kaitan yang paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang
menggunakan konsep dasar struktur.
BAB IV
Teori-Teori Strukturalisme
4.1 Prinsip-prinsip Antarhubungan
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya
unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal
semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan
antarhubungan unsure-unsur yang terlibat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa
struktur lebih dari sekedar unsure-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih dari
sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar
penjumlahan bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan
kualitas energetis unsure.
Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu
pihak mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap
unsure sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsure lainnya. Dipihak yang
lain, antarhubungan yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat,
dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya.
4.2 Teori Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kalahiran formalism
dipicu oleh paling sedikit tiga factor sebagai berikut:
a. Formalism lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma
positivme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas,
dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya
pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan
perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan
psikologi.
4.3 Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang
berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme, seperti sudah
dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles dalam kaitannya
dengan tragedy, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot. Usaha
maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra
dengan cara mengeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun
demikian, penemuan tersebut justru mengarahkannya pada paradigma baru, karya
sastra tidak bisa dipahami secara terisolasi semata- mata melalui akumulasi
perangkat-perangkat intrinsiknya., tetapi juga harus melibatkan keseluruhan factor
yang membentuknya.
Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formallisme
seperti telah dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsure-unsur di
luar sastra ke sastra itu sendiri.
Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme
berkembang melalui tradisi formalism. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui
tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Secara definitive
strukturalisme berarti paham mengenai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri,
dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsure yang
satu dengan unsure yang lainnya. Sejak ditemukannay hokum-hukum formal yang
berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalism
awal abad ke-20, model analisi terhadap karya sastra telah membawa hasil yang
gilang-gemilang.
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan
strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian
formalism di atas. Strukturalisme dinamika dimaksudkan sebagi penyempurnaan
strukturalisme yang semata-mata memberikan internsitas terhadap struktur
intrinsic, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Secara
definitive strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsure-unsur
karya. Atas dasar hakikat otonom karya sastra seperti di atas, maka tidak ada
aturan yang baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsure-unsur yang
dibicarakan tergantung dari dominasi unsure-unsur karya di satu pihak, tujuan
analisis di pihak yang lain. Menurut Jean Piaget (1973: 97-98) justru di sini
tampak dinamika karya sastra sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan
terjadinya ciri-ciri transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan
antara struktur global dengan unsure yang dianalisis. Beberapa aspek sastra (1987)
mengemukakan sistematika analisis fiksi yang terdiri atas:
a. Aspek Ektrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis, religious).
b. Aspek intrinsic (elemen cipta sastra: insiden, plot)
c. Karakterisasi (teknik cerita, komposisi cerita, gaya bahasa).
4.4 Teori Semiotika
Berbeda dengan formalism dan strukturalisme, yang mana hubungannya
dapat dilihat secara jelas, baik aspek kesejarahan, tokoh-tokoh, maupun konsep-
konsep yang ditawarkannya, hubungan antara strukturalisme dengan semiotika
bersifat kompleks sekaligus ambigu. Menurut Aart Zoert (1993: 5-7) dikaitkan
dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan
paling sedikit menjadi tiga aliran:
a. Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam
kaitanya dengan pengirim dan penerima tanda yang disertai denga
maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal.
b. Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotative kemudian
diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai system model
kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai simtom, di samping
sastr juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan , dipelopori
oleh Roland Barthan.
c. Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologis (Freud)
dan sosiologi (Marxis). Termasuk filsafat dipelopori oleh Julia Kristeva.
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah
keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia baik tanda verbal maupun
nonverbal.
4.4.1 Bidang-bidang Penerapan
Penerapan semiotika dalam ilmu sastra jelas merupakan masalah tersendiri,
dengan pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu system tanda
yang sangant kompleks Eco (1979: 9-14) menyebutkan beberapa bidang
penerapan yang dianggap relevan di antaranya:
1) Semiotika hewan, masyarakat nonhuman.
2) Semiotika penciuman.
3) Semiotika komunikasi dengan perasa
4) Semiotika pencicipan, dalam masakan
5) Semiotika music
6) Semiotika benda-benda
7) Semiotika bahasa ilmiah
8) Semiotika struktur cerita
9) Semiotika kode-kode budaya.
10) Semiotika estetika dan pesan
11) Semiotika kinesik, gerakan.
4.4.2 Semiotika Sastra
Secara ringkas dan kasar yang dimaksud dengan kebudayaan adalah
keseluruahn aktivitas manusia. sebagian besar, bahkan keseluruhan aktivitas
manusia pada dasarnya dilakukan melalui bahasa, baik bahasa lisan maupun
tulisan. Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu
sendiri adalah system tanda. Menurut Noth (1990:42) tanda bukanlah kelas objek,
tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsir. Tidak ada tanda kecuali jika
diinterprestasikan sebagai tanda. Lebih jauh. Menurut Arthur Asa Berger (2000),
sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistic, sehingga dapat diterapkan
pada berbagai bidnag yang berbeda, termasuk gejala-gejala kebudayaan
kontemporer. Secara definitive tanda adalah sembarang apa yang mengatakan
tentang sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Tanda-tanda sastra tidak
terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca
menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya.
4.4.3 Semiotika sosial
Sebagai metode mikroskopis, strukturalisme dianggap mengingkari peranan
subjek, baik pengarang sebagai subjek individual maupn masyarakat sebagai
subjek transindividual. Oleh karena itulah, metode dan teori strukturalisme
dianggap antihumanis. Semiotika memberikan jalan ke luar dengan mengambil
objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya.
Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat
teks sebagai gejala yang dinamis. Implikasi lebih jauh terhadap semiotika sosial
sebagai ilmu, teks, dan konteks sebagai objek adalah metode yang harus dilakukan
dalam proses pemahaman. Dalam kehidupan praktis sehari-hari, keberagaman
tanda dengan sistemnya, dan dengan sendirinya keberagaman model hubungannya
dengan aspek-aspek kemasyarakatannya.
4.5 Teori Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetic dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis
strukturalisme murni, analisis terhadap unsure-unsur intrinsik. Baik strukturalisme
genetik atau dinamik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang
khas, bahasa sastra. Strukturalisme genetic ditemukan oleh Lucien Goldmann,
seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Strukturalisme genetic memiliki
impllikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu
kemanusiaan pada umumnya. Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam
strukturalisme genetic. Homologi, kelas-kelas sosial, strukturalisme bermakna,
dan subjek transindividual diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap
sebagai kesimpulan suatu penelitian. Secara metodologis, dalam strukturalisme
genetic Goldmann menyarankan untuk menganalisis karya sastra yang besar,
bahkan suprakarya. Secara definitive strukturalisme genetic harus menjelaskan
struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep
homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia.
4.6 Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi sengaja diurikan secara luas, dengan menyinggung sejumlah
naratolog, dengan pertimbangan, pertama, berbagai aspek yang berkaitan dengan
cerita telah mewarnai penelitian-penelitian baik dalam bidang sastra maupun
kebudayaan pada umumnya. Kedua, buku ini memang dimaksudkan untuk
melengkapi literature sastra dalam kaitannya dengan wacana naratif. Narasi, baik
sebagai cerita mupun pencertiaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit
duahlomith peristiwa factual atau fiksional dalam urutan waktu. Narrator atau
agen naratif (Mieke Bal, 2985:119) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks,
subjek secara linguistis, bukan person, bukan pengarang. Para pelopor naratologi
antara lain: Vladimir Lokovievich Propp, Claude levi-Straus, Txvetan Todorov,
Algirdas Julien Greimas, dan Shiomith Rimmen-Kenan.
BAB V
Teori-Teori Postrukturalisme
5.1 Hubungan antara Postmodernisme dengan Postrtukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk
teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam mengakaji objek. pada
dasarnya kelemahan strukturalisme: 1) model analisi strukturalisme, terutama
pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan
atas struktur dan system tertentu, 2) strukturalisme terlalu banyak memberikan
perhatian terhadap karya sastr sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan
sistemnya,sehingga melupakan subjek manusianya, yaitu pengarang dan pembaca,
3) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan
untuk kepentingan masyarakat secara luas. Strukturalisme (Ritzer, 2003: 49-64)
lahri sebagai reaksi terhadap model-model penelitian sebelumnya yang
memeberikan perhatain pada sejarah dan asal-usul suatu gejala cultural,
khususnya bahasa. postmodernisasi dan postrukturalisme berkembang dengan
sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indicator yang sling melengkapi:
a. Posmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderunagn mutakhir
peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba
cepat.
b. Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai
teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus
c. Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berabgai disiplin
kajian tunggal.
5.2 Teori-teori Postmodernisme
Dengan melihat garis besar sejarah kebudayaan Barat, yaitu zaman Purba.
Post ini pada dasarnya masih merupakan bagian dari zaman Modern. Modern, dari
kata modo (Latin), berarti baru saja, jelas sangat sulit unutk dikaitkan dengan
Zaman Modern yang berlangsung hampirselam 500 tahun. Oleh karena itulah
timbul pendapat bahwa baik istilah modern maupun postmodern diartikan sebagai
aktivitas pada saat suatu kemajuan berhasil diraih. Ciri-ciri yang mendasari
perbedaan anatara modernism dengan postmodernisme tidak menunjukkan garis
yang jela, tidak hitam putih. Timbulnya postmodernisme jelas merupakan akibat
ketidakmampuan modernism dalam menanggulangai kepuasan masyarakat, yaitu
berbagai kebutuahan yang berkaitan dengan masalah politik, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan pada umumnya. Demikianlah postmodernisme muncul untuk
mengoreksi lineritas modernisme. Tujuannya jelas untuk mengoreksi kesadaran
bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, diluar wacana hegemoni. Tokoh-tokoh
penting dalam teori postmodernisme: Gerard Gennete, Gerald Prince, Seymour
Chatmann, Jonathan Culler, Hayden White, dll.
a. Teori Resepsi sastra
Semiotika, resepsti, dan interteks berkembang pesat sesudah
strukturalisme mencapai klimaks sekaligus stagnasi, bahkan sebagai
involusi. Perbedaannya semiotika, melalui intensitas system tanda
memberikan keseimbangan antara struktur intrinsic dan ekstrinsik.
Menurut Luxemburg, dkk (1984: 78-79) ada dua tradisi klasik kaitannya
dengan relevansi fungsi dan peranan pembaca, pertama, dibicarakan oleh
Aristoteles, dalm Poetica, denga konsep tharsis, penyucian emosi pembaca
melalui pementasan tragedy. Kedua, dibicarakan oleh Horatius, dalam Ars
Peotca, dalam kaitannya dengan efek manfaat dan nikma, karya seni yang
baik sekaligus berguna dan menyenangkan.
b. Teori Interteks
Secara luas, interteks diartikan sebagi jaringan hubungan antara satu teks
dangan teks lain. Lebih dari teks itu sendiri secara etimologi (textus,
bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabuangan, susunan, dan
jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yatu proses oposisi,
permutasi, dan trasformasi. Menurut teori ini pembacaan yang berhasil
justru apabial didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu.
Secara definitive pada dasarnya interteks mendekonstruksi dikotomi
penanda dan petanda semiotika konvensional, dimana karya dianggap
berdiri sendiri secara otonom. Menurut Kristeva (1980: 36-38) karya sastra
justru harus ditempatkan dalam kerangka ruang dan waktu secara
kongkret, sehingga teks memiliki hubungan dengan teks-teks lain,
memanfaatkan ungkapan-ungkapandari teks-teks lain, teks sebagi
permainan dan mosaic dari kutipan terdahulu.
c. Teori Feminisme
Menurut Teeuw beberapa indicator yang diaggap telah memicu lahirnya
gerakan feminism di dunia Barat adalah:
1) Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan
melepaskan diri dari keuasaan lelaki.
2) Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3) Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional.
4) Sekularisasi, menurutnya wibawa agama dalam segala bidang
kehidupan.
5) Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh
perempuan.
6) Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari
struktur sosial, seperti KritikBaru dan strukturalisme.
7) Ketidkapuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis.
Menurut Selden (1986:130-131) ada lima masalah yang biasanya
muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu: 1. Masalah
biologis, 2. Pengalaman, 3. Wacana, 4. Ketaksadaran, 5. Pengalaman,
6. Masalah sosioekonomi.
BAB VI
Teori-Teori Komunikasi dalam Karya Sastra
Secara etimologi komunikasi berarti hubungan. Pada dasarnya seluruh
aktivitas kehidupan dienergisasikan oleh system hubungan, baik degan tujuan
positif maupun negative. Salah satu karya sastra yang penting dengan demikian
adalah fungsinya sebagai system komunikasi. Secara garis besar komunikasi
dilakukan melalui: a. interaksi sosial, b. aktivitas bahasa, c. mekanisme teknologi.
Komunikasi dalam sastra penting sekaligus rumit sebab: a. karya sastra
merupakan model kedua, b. karya sastra pada dasarnya sekaligus memanfaatkan
ketiga unsure di atas.
a. Ciri-ciri Anatomitas Pengarang.
Dalam sejarah kebudayaan, aspek kepengarangan, baik sebagai ilmuwan
maupun seniman, bahkan dalam bentuk apaun yang melibatkan aktivitas
mencipt, jelas memegang perangan penting. Melalui kepengaranganlah terjadi
penemuan yang dengan sendirinya diikuti dengan kemajuan dalam berbagai
bidang. Kualitas manusia berpikir tidak dengan sendirinya, dan tidak secara
keseluruhan lebih penting dibandingkan dengan kualitas maunis bercerita.
Komunikasi mengalami stagnasi sebab timbul factor-faktor elementer yang
terlalikan, bahkan dengan sengaja dihapuskan, yang justru merupakan energy
dalam kehidupan sehari-hari. Manusia bercerita, manusia mengarang yang
terjadi katalisator anarindividu.
Dalam kritik sastra kontemporer, pembicaraan mengenai subjek
pengarang menjadi actual kembali, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Pengarang yang sesungguhnya dalam tradisi sastra tradisional merupakan
asal-muasal suatu karya, secara terus-menerus diingkari, dikekonstruksi.
Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra barat dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Abad pertama hingga abad ke-16 dengan diilhami oleh Longinus,
memberikan intensitas pada eskpresi dan emosi.
2) Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua,
penarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta.
3) Abad Renaissance (1400-1700) pengarang sebagai creator mulai dihargai.
4) Abad ke-18-19 pengarang sebagai creator yang otonom, seniman
mendewakan diri, di Indonesia tampak pada masa Pujangga Baru.
5) Abad ke-20 pangarang disembunyikan di balik fokalisasi, penarang
tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimis.
b. Karya Sastra: Fokalisasi atau sudut pandang.
Implikasi terpenting menghilangnya pengarang dalam instansi penulisan
karya fiksi seperti diutarakan di atas adalah lahirnya peranan sudut pandang
atau fokalisasi. Sebagai system komunikasi jelas seluruh aspek karya satra
harus diuraikan, sehingga pembicaraan karya sastralah yang paling luas.
Fokalisasi dari kata focus, yang bararti kancah perhatian, perspektif cerita,
atau sudut pandang. Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting
dalam rangka: a. memisahkan hegemoni subjek creator terhadap subjek
fiksional, b. menampilkan hakikat intersubjektivitas. Benda-benda akan
berbeda artinya jika dilihat oleh orang yang berbeda pula. Pada dasarnya
dalam karya sastra ada sudut pandang, yaitu dibedakan menjadi:
1. Sudut pandang orang pertama,
2. Sudut pandang orang ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak
berperan serta.
Dalam karya sastra, fokalisasi sudah disadari sejak formalism,
sebagaimana dikemukakan oleh Shkovsky sudut pandang, gaya bahasa, dan
plot dianggap sebagai unsure utama keberhasilan karya.
c. Pembaca: Jenis dan Peranannya.
Secara historis, dengan mengambil titik tolak abad ke-19, peranan karya
sastra dan pembaca berurutan dalam bentuk garis lurus. Abad ke-19 sejarah
sastra didominasi oleh pengarang, paruh pertama abad-20 didominasi oleh
karya sastra, paruh kedua dan seterusnya hingga sekarang didominasi oleh
pembaca.
Dikaitkan dengan trilogy pengarang, karya sastra, dan pembaca seperti
di atas, perkembang terakhir yang didominasi oleh pembaca sesungguhnya
merupakan perkembangan alamiah, yang diilhami oleh tradisi Plato dan
Aristoteles, dengan teori katahtarsis. Menurut Luxemburg, dkk (1984: 76)
pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. pembaca di dalam teks, b.
pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam: 1. Pembaca yang
diandaikan, 2. Pembaca sesungguhnya, pembaca di dalam teks juga dibedakan
menjadi dua macam: 1. Pembaca implicit, dan 2. Pembaca eksplisit.
BAB VII
TEORI DAN METODE PENELITIAN MULTIDISIPLIN
Keragaman sastra mengimplikasikan keragaman latar belakang sosial
budayanya. Indonesia merupakan satu-satunya Negara kesatuan yang terdiri atas
ribuan pulau-pulau, dengan adat-istiadat , agama, suku, dan ras yang berbeda-
beda. Di atas perbedaan itu, karya sastra ditulis, struktur cerita dibangun, dan
pandangan dunia diwujudkan. Karya sastra mengandung aspek-aspek cultural,
bukan individual. Benar, karya sastra dihasilkan oleh seorang pengarang, tetapi
masalah-masalah yang diceritakan adalah masalah masyarakat pada umumnya.
Keragaman aspek kebudayaan dapat diungkapkan secara maksimal apabila
tersedia cara-cara pemahaman, model-model analisis dan dengan sendirinya
dengan teori dan metodenya masing-masing. Mengingat ciri-cirinya, banyak
pendapat dalam kaitanya dengan pembagian ilmu. Seperti telah disinggung di
depang, dalam pembicaraan inii secara garis besar ilmu dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu; ilmu kealaman dan ilmu sosial. Dalam perkembangan terakhir,
ilmu sosial dibedakan menjadi ilmu sosial sendiri dan ilmu kemanusiaan yang
disebut humaniora. Secara definitive penelitian multidisiplin atau pluridisiplin
adalah penelitian yang melibatkan lebih dari satu disiplin. Dasar perbedaannya
adalah intensitas hubungan dan dengan sendirinya ciri-ciri ilmu yang
bersangkutan. Dalam hubungan inilah dibedakan tiga macam multidisiplin, yaitu:
a. multidisiplin itu sendiri, b. transdisiplin atau antardisiplin, c. interdisiplin.
Dalam sastra juga ada sosiologi sastra. Dalam hal ini yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki hubungan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai
berikut:
1. Karya sastr ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat.
3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi
masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengadung masalah-masalah
kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pnegetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain,
dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.