21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam telah ada dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat nusantara. Hukum Islam (terkait khusunya hukum keluarga) sejak kedatangannya di nusantara sampai saat ini diakui sebagai hukum yang hidup (living law). Seorang muslim akan menundukkan dirinya dan seluruh aspek kehidupannya kepada ajaran Islam, sebagai konsekwensi keberimanan seorang muslim. Peradilan agama sebagai pengadilan keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia, dalam perkembangan sejarah sesungguhnya telah tumbuh dan melembaga dikalangan masyarakat Islam. 1 Pada zaman kolonial terjadi dinamika yang diwarnai oleh politik kolonialis Belanda yang antagonis. Pada mulanya pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan seluruh hukum Islam bagi ummat Islam. Sikap yang dipengaruhi teori Receptio in conplexu hasil pemikiran dan penelitian ilmuan Belanda Prof. Mr. Lodewijk 1 Abdul Ghafur, Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Mimbar Hukum, jurnal Bulanan , (Jakarta: Al-Hikmah, 1999), hal. 22. 1

teori receptie

Embed Size (px)

DESCRIPTION

teori receptie

Citation preview

Page 1: teori receptie

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam telah ada dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat nusantara. Hukum

Islam (terkait khusunya hukum keluarga) sejak kedatangannya di nusantara sampai saat ini

diakui sebagai hukum yang hidup (living law). Seorang muslim akan menundukkan dirinya dan

seluruh aspek kehidupannya kepada ajaran Islam, sebagai konsekwensi keberimanan seorang

muslim. Peradilan agama sebagai pengadilan keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam di

Indonesia, dalam perkembangan sejarah sesungguhnya telah tumbuh dan melembaga dikalangan

masyarakat Islam.1

Pada zaman kolonial terjadi dinamika yang diwarnai oleh politik kolonialis Belanda yang

antagonis. Pada mulanya pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan seluruh hukum Islam

bagi ummat Islam. Sikap yang dipengaruhi teori Receptio in conplexu hasil pemikiran dan

penelitian ilmuan Belanda Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927).

Kebijakan pemerintah kolonial ini menjelma antara lain dalam pembentukan Pengadilan Agama

di Jawa dan Madura (Mahkamah Islam dan Mahkamah Islam Tinggi) yang diberikan

kewenangan secara luas dalam menerapkan hukum Islam bagi penduduk yang bergama Islam, di

bidang perdata/muamalah. Namun dalam perkembangan selanjutnya muncul teori Receptie.

Pada dasarnya Pengadilan Agama memiliki dua kewenangan, pertama: kekuasaan relatif

(relative competentie) yang diistilahkan oleh Ridhwan Syahrani sebagai sebagai kewenangan

atau kekuasaan Pengadilan Agama yang satu jenis berdasarkan daerah dan wilayah hukum,2 dan 1 Abdul Ghafur, Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Mimbar Hukum, jurnal Bulanan , (Jakarta: Al-Hikmah, 1999), hal. 22.

2 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini), hal. 30

1

Page 2: teori receptie

Kedua: kekuasaan mutlak (absolute competentie). Dalam cakupan kekuasaan mutlak ini,

tentunya dalam Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis perkara dan jenjang Pengadilan. PA

memiliki kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan ”perkara perdata tertentu ”

dikalangan”golonga tertentu yakni orang-orang Islam”. Kekuasaan dalam lingkungan Pengadilan

Agama mengalami perluasan terutama sejak berlakunya UU No 1 tahun 1974, kemudian

mengalami penyeragaman sejak berlakunya UU No 7 Tahun 1989. perkara perdata itu adalah

bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan berdasarkan

hukum Islam.

Pengadilan Agama, di Indonesia telah mengalami pasang surut seirama dengan pasang

surutnya perjuangan kemerdekaan nasional pada zaman penjajahan Barat dahulu. Memang

Pengadilan Agama adalah salah satu sasaran dari politik devide et impera rezim kolonial.

Sehingga bentuk konfigurasi Politik hukum Kompetensi Peradilan Agama sangat dipengaruhi

oleh intervensi dari golongan yang memiliki kekuasaan, kekuatan, kepentingan atau bahkan

ketakutan, baik secara politik maupun ekonomi. Ketika elit politik Islam memiliki bargaining

yang kuat dalam interaksi politiknya, maka pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur

politik pun memiliki peluang yang sangat besar, begitupula sebaliknya apabila posisi tawar elit

politik Islam lemah, maka pengembangan hukum Islam di Indonesia laksana “katak dalam

tempurung”.

2

Page 3: teori receptie

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pendahuluan diatas,dalam penulisan Paper kali ini Penulis mencoba untuk

menitik beratkan pembahasan kewenangan Pengadilan Agama tidak lepas dari sejarah yang

menyertainya, dari mulai berdirinya sampai sekarang ini. Tentunya, kewenangan ini tidaklah

selalu mudah ditempuh oleh PA, karena pengaruh kolonia. Penulis akan membuat paper

membahas tema ini dimulai dengan Kata Kunci: Pengaruhnya teori Receptie terhadap

Kewenangan Pengadilan Agama.

3

Page 4: teori receptie

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Receptie dan Pengaruhnya terhadap kewenangan Peradilan Agama

Sejak adanya Kolonial Belanda di Indonesia ini telah membawa perubahan sekaligus

petaka bagi umat Islam. Satu persatu kerajaan Islam di Nusantara melemah peran politik

Islamnya. Belanda dengan kekuatan militer dan ekonominya telah merongrong hukum dan

peradilan di Indonesia dan secara berangsur-angsur menggerogoti hukum Islam dengan cara

menciptakan politik hukum.

Ada tiga sistem hukum di Indonesia, (Barat, Adat, dan Islam), namun di Indonesia, ketiga

sistem hukum itu tidak pernah mendapatkan kesempatan mencari titik persamaannya. Sebaliknya

oleh politik kolonial, justru dipertajam, kalau perlu diada-adakan pertentangan-pertentangan

diantara ketiga sistem hukum tersebut.3

Masa awal kolonial, sebenarnya Hukum Islam telah memperoleh tempat dan bahkan telah

menjadi hukum resmi negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia seiring dengan berdirinya

kesultanan-kesultanan/kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, namun pada perkembangan

berikutnya, pemerintah kolonial Belanda memangkas hukum Islam itu sedikit demi sedikit,

sehingga yang tersisa sekarang, selain hukum ibadah, hanyalah sebagian saja dari hukum

keluarga dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya. Berdasarkan pendekatan historis,

perkembangan eksistensi kewenangan Hukum Islam di Indonesia dapat disebutkan ada empat

fase.4 Dua di antaranya pada priode sebelum kemerdekaan, sedangkan dua lainnya pada priode

pasca kemerdekaan.3 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 77.

4 Ismail Sunny,Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dalam Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: 1994, PP IKAHA), hal. 200

4

Page 5: teori receptie

Pasca Sebelum Kemerdekaan:

1. Fase berlakunya hukum Islam dengan sepenuhnya. Ini terjadi sejak masa kerajaan-kerajaan

Islam sampai awal VOC. Hal ini berangkat dari teori H.A.R. Gibb bahwa jika orang telah

menerima Islam sebagai agamanya, maka ia menerima authoritas hukum Islam terhadap

dirinya. L.W.C. Van Den Breg yang berada di Indonesia 1870-1887 dengan teori Receptio in

Complexu yang menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia

telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-

penyimpangan.5 Atau orang Islam Indonesia telah menerima dan meresapi hukum Islam

secara menyeluruh. Periode penerimaan hukum Islam dengan sepenuhnya inilah disebut

dengan teori receptio in Complexu.

Sebagai contoh; sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pemerintah kolonial

memberlakukan hukum Islam bagi umat Islam, khususnya hukum perkawinan dan hukum

waris, yang kemudian disebut dengan hukum kekeluargaan. Pada tanggal 25 Mei 1760,

Belanda menerbitkan peraturan Resolutie der Indische Regeering yang kemudian dikenal

dengan Compendium Freijer. Melalui peraturan ini, Belanda hanya mengakui berlakunya

hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) saja dan menggantikan

kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan

dengan peradilan buatan Belanda dengan hakim-hakim Belanda dengan bantuan para

penghulu Qadhi Islam.6 Selanjutnya, status Batavia (saat ini disebut Jakarta) 1642,

menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus

diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat

sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun compendium, yaitu buku yang

5 Sayuti Thalib, Receptio A. Contrarlo, (Bina Aksara, Jakarta, 1996), hal. 15-70.6 M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1964), hal. 12

5

Page 6: teori receptie

memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku dimaksud direvisi dan

disempurnakan oleh para Penghulu, dan kemudian diberlakukan didaerah jajahan VOC. Buku

ini terkenal dengan sebutan Compendium Freijer. Kondisi di atas tidak berlangsung lama,

seiring dengan perubahan politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang

gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum

Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas

dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie. C.S. Hurgronje yang

ditunjuk sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, tahun 1859 telah dimulai politik

campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri

masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak- gerik para ulama, bila dipandang perlu

demi kepentingan ketertiban keamanan. Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan

Inlandsch Politik, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi untuk memahami dan menguasai

pribumi.

2. Fase berlakunya hukum Islam setelah diterimanya oleh adat. Fase ini berpangkal dari

munculnya Teori Receptie yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (penasehat

pemerintah Hindia Belanda) seorang Ediolog Kolonialis sebagai penggagas pertamanya.

Dilanjutkan oleh Cornelis Van Vollenhoven dengan Ter Haar yang dikembangkan secara

sistematis dan ilmiah serta dilaksanakan dan dipraktikkan oleh para murid dan para

pengikutnya.

Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat

mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat.

Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Kemunculan teori receptie

sebenarnya dari keinginan Snouck Hurgronje agar warga pribumi dari daerah jajahan tidak

6

Page 7: teori receptie

memegang kuat ajaran Islam, karena warga yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum

Islam tidak akan mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Adapun periode penerimaan

hukum Islam oleh hukum adat, berdasarkan Indische Statsregeling (IS) yang diundangkan

dalam Stbl. 1929. 212, disebutkan bahwa hukum Islam dicabut dari tata hukum Hindia

Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 itu berbunyi : “Dalam hal terjadi perkara perdata

antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat

mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.

Sebenarnya Cornelis Van Vollenhoven murid dari Hurgroje sebagai pakar hukum adat

berpolemik dengan pemerintahnya mengenai politik hukum yang akan dilaksanakan di Hindia

Belanda. Menurutnya Hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumi

putera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab, kalau hukum adat didesak hukum Islam

yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda. Jelaslah bahwa apa yang disebut

sebagai konflik antara hukum Islam dengan hukum adat pada hakikatnya adalah isu buatan

politikus hukum kolonial saja. Dalam mengambarkan hubungan adat dengan Islam di Aceh,

Minangkabau dan Sulawesi Selatan umpamanya, para penulis barat/Belanda selalu

mengambarkan kelanjutannya dalam pertentangan antara kalangan adat dan kalangan Islam.

Kedua-duanya seakan-akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin

bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena

dikalangan adat terdapat orang-orang alim dan kalangan ulama dijumpai orang yang tahu

tentang adat.

Menurut Daud Ali, ada tiga alasan yang menyebabkan teori ini muncul: Pertama Penelitian

yang dilakukan oleh Hurgroje di Aceh, menurutnya yang berlaku dan berepengaruh bagi

orang Aceh yang notabene umat Islam bukanlah hukum Islam dan hukum Islam baru

7

Page 8: teori receptie

memiliki kekuatan kalau benar-benar diterima oleh hukum Adat. Kedua Sehubungan dengan

lembaga-lembaga sosial Islam, atau aspek muamalat dalam Islam, haruslah dihormati

keberadaannya, meskipun demikian, pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin

perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari

kebudayaan barat. Ketiga Dalam masalah politik, pemerintah hendaknya tidak menoleransi

kegiatan apapun yang dilakukan kaum Muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan

Islamisme yang menyebabkan perlawanan politik dan dan gagasan yang menentang kolonial

belanda. Christian Snouck Hurgronje sangat khawatir pengaruh gerakan Pan Islamisme yang

saat itu sangat berpengaruh di dunia Islam yang dipelopori oleh Said Jamaluddin AI-Afgani

akan berpengaruh di Indonesia. Era Receptie in Complexu mulai diganti dengan era Receptie

setelah pemerintah Belanda menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederland Indie,

disingkat Indische Staatsregeling (IS) yang membatalkan Reegeering Reglement (RR) Tahun

1885 pasal 75 yang berisi anjuran kepada hakim-hakim Indonesia untuk memberlakukan

undang-undang agama. Dalam IS. tersebut diundangkan Stbl 1929 Nomor 212 yang

menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.

Substansi teori Receptie tertuang dengan jelas dalam pasal 134 ayat (2) yang

menyatakan :"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan

oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak

ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi."

Dengan alasan bahwa hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat,

pemerintah Belanda menerbitkan Stbl. 1937 Nomor 116 yang mencabut perkara waris dari pada

wewenang Pengadilan Agama, yang sejak pada tahun 1882 telah menjadi kewenangannya dan

mengalihkannya ke Pengadilan Negeri. Hal ini menurut Hazairin menunjuk pada teori resepsi

mengenai kewarisan yang sangat mengganggu dan menentang iman orang Islam. Sehingga

8

Page 9: teori receptie

aplikasinya adalah hanya orang Islam di Jawa dan Madura ditundukkan pada hukum fara’id kalau

mereka berbagi warisan di depan Raad atau Pengadilan Agama.7

Pasca masa kolonial, proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai arti

penting bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sebelumnya

dikondisikan untuk mengikuti sistem hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri

dan berupaya untuk menggali hukum nasionalnya sendiri.

Dalam pertalian dengan hukum Islam, upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI

adalah memberlakukan teori Receptio Exit yang dikemukakan Hazairin. Menurut Hazairin,

teori Receptie sengaja diciptakan oleh Belanda untuk merintangi hukum Islam di Indonesia.

Teori ini sama dengan ”teori iblis” karena mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan

melaksanakan

hukum Allah dan RasuI Nya? Karena itu, substansi teori Receptio Exit adalah menolak teori

Receptie yang dianut oleh pemerintah Kolonial Belanda.8 Pengaruh Teori Receptie terhadap

kewenangan Pengadilan Agama mulai di tentang, dimana yang pada perkembangan

berikutnya lahir teori Receptio a Contrario yang merupakan kebalikan teori Receptie, yakni

bahwa hukum adat baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal

dimaksud, ditetapkan ada beberapa contoh ungkapan yang menunjukkan bahwa hukum Adat

dan hukum Islam tidak dapat di pisahkan. Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah:

”adat bersendi Syara’ , Syara bersendi Kitabullah. Artinya: Hukum Adat bersumber dari

hukum Islam, Hukum Islam bersumber dari Kitabullah. Suku Bugis di Sulawesi selatan, bila

mereka melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak

peremupan , mereka bagi sama rata. Namun setelah mereka memeluk agama Islam, mereka

7 Muhamad Daud Ali. Hukum Islam dan Perailan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada). 1997. hal. 202.8 Ibid, hal 6-7.

9

Page 10: teori receptie

mengikuti Hukum kewarisan Islam. Pembagian harta waris dimaksud, tertuang dalam

ungkapan suku bugis majjujung makkunrai mallempa oroane. Dan masih banyak lagi contoh

lain yang berkenaan dengan kesesuaian hukum Islam dengan hukum adat. Dengan demikian,

teori yang terakhir ini, hukum Islam menjadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.namun

di akui juga bahwa, receptie tidak begitu saja hilang, hal ini nampak jelas dari wewenang

pengadilan Agama yang masih terbatas pada hukum-hukum perdata saja. (penulis).

Pasca Kemerdekaan ini, perkembangan eksistensi hukum Islam memasuki Fase Ketiga Dan

Keempat.

3. Pada fase ketiga, hukum Islam bereksistensi sebagai sumber persuasive (persuasiue souce),

yakni diterima sebagai suatu sumber hukum setelah diyakini. Setelah Indonesia merdeka

timbul keinginan dari pemerintah untuk menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari

Kementerian Kehakiman kepada

Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946. Pada tahun 1948 keluar

Undang-undang No. 190 Tahun 1948 yang masa berlakunya akan ditentukan oleh Menteri

Kehakiman. Undang-undang itu memasukkan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum.

Penetapan Menteri Kehakiman tersebut tidak pernah keluar, dan Peradilan Agama berjalan

sebagaimana biasa. Setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949, melalui Undang-

undang Darurat No. 1 Tahun 1951, pemerintah menegaskan pendiriannya untuk tetap

mempertahankan Peradilan Agama, sementara Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat

dihapuskan. Sebagai pelaksanaan Undang-undang Darurat itu, pada tahun 1957 pemerintah

mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan melalui

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 dengan kewenangan meliputi perkara-perkara: (1)

Nikah, (2) Talak, (3) Rujuk, (4) Fasakh, (5) Nafkah, (6) Mas kawin, (7) Tempat kediaman, (8)

10

Page 11: teori receptie

Mut'ah, (9) Hadonah, (10) Perkara waris malwaris, (11) Wakaf, (12) Hibah, (13) Sedekah, dan

(14) Baitul mal.

Mulai saat itu terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan

Agama di Indonesia, yaitu: 1. Stbl. 1882 No. 152 jo Stbl. 1937 No. 116 dan 610 yang

mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura. 2. Stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang

mengatur Peradilan Agama di Kalimantan Selatan. 3. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun

1957 yang mengatur Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan.

Kemudian pada tahun 1958 dibentuk Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di

berbagai tempat yang memerlukan. Pada tahun 1961, dengan Keputusan Menteri Agama No. 66

tahun 1961, dibentuklah suatu panitia untuk mempersiapkan Rancangan Undang-undang

Peradilan Agama. Kerja panitia ini masih bersifat intern.9 Tiga tahun kemudian keluar Undang-

undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai

pelaksanaan pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang diberlakukan kembali Melalui Dekrit Presiden, 5

Juli 1959. Undang-undang tersebut secara tegas menyatakan Peradilan Agama sebagai salah

satu lingkungan peradilan di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan kekuasaan

kehakiman di samping Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Keempat lingkungan peradilan tersebut secara teknis berpuncak pada Mahkamah Agung, dan

secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah tanggung jawab departemen

yang bersangkutan.

4. Pada fase keempat, Hukum Islam bereksistensi sebagai sumber otoritatif (authoritatiue

souce), yakni diterima sebagai sumber hukum yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga

kekuatan hukumnya pengadilan Agama berjalan semakin mantap ketika undang-undang

Pengadilan Agama di sahkan. Maka sebagaimana dikatakan oleh Bustanul Arifin, maka 9 H. Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Mimbar Hukum No. 1 Tahun 1990, hal 1-2.

11

Page 12: teori receptie

selesailah masalah eksistensi kewenangan pengadilan yang diperdebatkan tersebut.10 Sehingga

bentuk kewenangan PA menjadi lebih luas lagi kedepan, sehingga hegemoni kolonial melalui

teori receptie tidak berlaku lagi. Meskipun di sana sini dari regulasi yang terkait dengan

Peradilan Agama masih saja ada ganjalan-ganjalan seolah-olah setengah hati dalam

memberikan kepercayaan terhadap Pengadilan Agama. Contoh: UU Nomor 38 Tahun 1999

tentang Pengelolaan Zakat. Dalam UU tersebut jelas pengelolaan zakat tidak dilakukan oleh

negara tetapi oleh BAZIZ yang dibentuk pemerintah. UU tersebut mengakui zakat sebagai

kewajiban agama bagi warga yang beragama Islam, karena sifatnya diyani, maka pemrintah

tidak mewajibkan zakat kepada setiap warga muslim yang memenuhi syarat, tetapi

mendasarkan kesadaran masyarakat muslim itu sendiri. Warga muslim wajib zakat yang tidak

melaporkan zakatnya kepada BAZIZ tidak terjangakau oleh UU ini. Menurut pemakalah

kedudukan Pengadilan Agama sekarang, memilki prospek hukum yang cukup menjanjikan.

Artinya pembatasan-pembatasan kewenangan PA mulai dibuka dan diberi daya gerak seluas-

luasnya dengan membawa kewenangan absolut, dengan UU No 3 tahun 2006 tentang

perubahan atas undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan memiliki

kewenangan tambahan yaitu menyelesaikan sengketa Ekonomi Syari’ah. Disamping itu pula,

hal yang menarik dari hasil amandemen (No 3 Tahun 2006) ini adalah kebolehan PA

memberikan peluang menyelesaikan sengketa non muslim sepanjang yang disengketakan

termasuk kewenangan absolut PA. Ini juga berarti PA yang sebelumnya dalam UU No 7

Tahun 1989 hanya berkewenangan menyelesaikan perkara perdata, dari Hasil amandemen UU

No 3 Tahun 2006 dengan melihat pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No

1 Th 1974, PA juga berwenang menyelesaikan perkara pidana perkawinan dan pelanggaran

qanun di NAD. Hal ini merupakan kewenangan baru yang menjadi Pengecualian untuk

10 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press), 1996. hal. 136.

12

Page 13: teori receptie

mengadili perkara non perdata.11 Namun ini menjadi bukti kewenangan PA selaku lembaga

yang terbuka seluas-luasnya dalam penyelasaian Hukum di Indonesia. Sehingga pengaruh

teori receptie berangsur-angsur hilang.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berkesimpulan mengenai bagaimana pengaruh teori receptie saat ini di Indonesia?

11 Chatib Rasyid dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama. (Yogyakarta: UII Press, 2009). hal. 13.

13

Page 14: teori receptie

1. Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan

kesatuan yang tidak terpisahkan. Jika persoalan sistem ini dikaitkan dengan kewenangan

PA, seluas apakah? Se absolut apakah? Disini menarik untuk dianalisis lebih jauh adalah

implikasi yang ditimbulkan oleh teori receptie tersebut yang mengakibatkan perkembangan

dan pertumbuhan Islam yang sangat lamban dibanding dengan Institusi lainnya. Dan

selama Hukum Perdata maupun Hukum Pidana yang di Adopsi dari Hukum Kolonial tentu

akan memberi bekas sedikit banyak persepsi dan kesan dari sebagian orang, tentang teori

receptie Snouck Hurgronje, akan memberi pengaruh terhadap kewenangan PA terasa

dibatasi.

2. Hal ini terbukti dari beberapa contoh sederhana: mengenai adanya tarik ulur kewenangan

antara PA dan PN tentang pelimpahan perkara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah,

dan lainnya.

3. Namun, bagi penulis, yang menjadi kata kunci dari masalah diatas adalah: Bagaimana

pilihan Umat Islam secara sadar untuk menyelesaikan perkaranya di PA. Adanya pengaruh

Politik dan penguasa pada masa tertentu. Perkembangan Hukum Islam yang mampu

menjawab tuntutan Zaman.

14