26
Penerapan Konsep Compact City terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan Gede Windu Laskara ABSTRAK Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan demografis, ekonomi dan fisik-spasial. Ditinjau dari aspek spasial, kawasan perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin tidak terkendali, mengalihfungsikan kawasan pertanian subur di pinggiran kota dan meningkatkan kebergantungan pada kendaraan bermotor. Makalah ini mengeksplorasi keterkaitan antara bentuk perkotaan dan keberlanjutan perkotaan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi, sebagai landasan untuk melakukan intervensi terhadap struktur dan pola ruang kawasan perkotaan; dan merumuskan arahan pengembangan kawasan perkotaan secara spasial untuk mewujudkan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang lebih berkelanjutan sesuai dengan karakteristik spesifik kota, dengan wilayah studi di Kawasan Perkotaan Jakarta dan sekitarnya. Hasil analisis keterkaitan bentuk perkotaan dan karakteristik sosial-ekonomi dengan pola perilaku perjalanan penduduk pada skala kawasan perkotaan menunjukkan bahwa unsur-unsur bentuk perkotaan mempunyai kaitan yang lebih besar daripada karakteristik sosial-ekonomi terhadap pola/perilaku perjalanan. Hal ini berarti intervensi terhadap bentuk perkotaan, melalui unsur-unsurnya yang mencakup densitas, diversitas penggunaan lahan, desain, dan aksesibilitas, dapat memengaruhi pola/perilaku perjalanan, terutama panjang perjalanan dan konsekuensinya terhadap konsumsi energi, emisi yang dihasilkan dan kualitas udara perkotaan. Dalam konteks inilah konsep compact city dapat menjadi strategi alternatif untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang berkelanjutan, dengan tujuan meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan dengan tidak menambah pengeluaran-pengeluaran yang besar terhadap generasi selanjutnya. Kata Kunci: urban sprawl, bentuk perkotaan, kota berkelanjutan, bentuk perkotaan berkelanjutan, compact city

terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Penerapan Konsep Compact City

terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Gede Windu Laskara

ABSTRAK

Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan dinamika

perkembangan demografis, ekonomi dan fisik-spasial. Ditinjau dari aspek spasial, kawasan

perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl

yang semakin tidak terkendali, mengalihfungsikan kawasan pertanian subur di pinggiran kota

dan meningkatkan kebergantungan pada kendaraan bermotor. Makalah ini mengeksplorasi

keterkaitan antara bentuk perkotaan dan keberlanjutan perkotaan secara lingkungan, sosial,

dan ekonomi, sebagai landasan untuk melakukan intervensi terhadap struktur dan pola ruang

kawasan perkotaan; dan merumuskan arahan pengembangan kawasan perkotaan secara

spasial untuk mewujudkan struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang lebih

berkelanjutan sesuai dengan karakteristik spesifik kota, dengan wilayah studi di Kawasan

Perkotaan Jakarta dan sekitarnya.

Hasil analisis keterkaitan bentuk perkotaan dan karakteristik sosial-ekonomi dengan

pola perilaku perjalanan penduduk pada skala kawasan perkotaan menunjukkan bahwa

unsur-unsur bentuk perkotaan mempunyai kaitan yang lebih besar daripada karakteristik

sosial-ekonomi terhadap pola/perilaku perjalanan. Hal ini berarti intervensi terhadap bentuk

perkotaan, melalui unsur-unsurnya yang mencakup densitas, diversitas penggunaan lahan,

desain, dan aksesibilitas, dapat memengaruhi pola/perilaku perjalanan, terutama panjang

perjalanan dan konsekuensinya terhadap konsumsi energi, emisi yang dihasilkan dan kualitas

udara perkotaan. Dalam konteks inilah konsep compact city dapat menjadi strategi alternatif

untuk mewujudkan kawasan perkotaan yang berkelanjutan, dengan tujuan meningkatkan

kualitas kehidupan perkotaan dengan tidak menambah pengeluaran-pengeluaran yang besar

terhadap generasi selanjutnya.

Kata Kunci:

urban sprawl, bentuk perkotaan, kota berkelanjutan, bentuk perkotaan berkelanjutan, compact city

Page 2: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Pada tahun 1973, Dantzing dan Saaty mengusulkan sebuah ide kota yang disebut dengan

Compact City dimana ide tersebut terinspirasi dari ide Le Corbusier mengenai Radiant City.

Visi nya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan dengan tidak menambah

pengeluaran-pengeluaran yang besar terhadap generasi selanjutnya dimana ide tersebut sesuai

dengan prinsip perkembangan yang berkelanjutan. Secara umum ide dari compact city

mencakup banyak strategi yang bermaksud menciptakan kekompakan dan kepadatan yang

dapat menghindari permasalahan yang ditimbulkan oleh kota modern, menyelamatkan

perkembangan daerah pedesaan, mendukung fasilitas lokal sehingga menjadikannya lebih

otonomi.

Perkembangan kota yang berkelanjutan berkontribusi untuk memperkenalkan ide dari

compact city dengan penekanan pada aspek ekologi dan justifikasi lingkungan. Compact city

memberikan keuntungan dimana sebuah kota berperan dalam mengurangi konsumsi dari

bahan bakar terutama dalam perjalanan karena kota secara ruang memiliki fungsi yang

beragam (mix used) dan tempat bekerja dan fasilitas leisure didesain berada pada satu

kawasan (ECOTEC 1993; Newman dan Kenworthy 1989; Hilman 1996). Disamping itu

dengan adanya compact city maka lahan perkotaan dapat dipergunakan kembali, dan daerah

pedesaan (rural land) dapat terlindungi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa dengan

adanya compact city maka kualitas dari kehidupan dapat tercipta secara berkelanjutan bahkan

dalam keadaan konsentrasi masyarakat yang tinggi.

Peter Newman (2000) menemukan bahwa compact city muncul sebagai bentuk kota

yang paling efisien. Ia berpendapat bahwa bentuk kota bukan hanya melihat pada kualitas

udara yang dihasilkan. Beberapa sarjana menganggap bahwa konsep dari compact city tidak

realistis dan tidak diinginkan, dan bentuk dari “konsentrasi decentralisasi“ (decentralization

concentration) berdasarkan kota single atau sekumpulan dari kota dianggap lebih tepat

(brehemy 1992b).

Fokus utama yang sangat berpengaruh terhadap perbedaan pada bentuk kota terlihat pada

pola travel dan perlengkapan transportasi, efisiensi resource, kewajaran sosial, kemudahan

akses, dan bergairahnya roda ekonomi. Secara esensial, compact city adalah sesuatu yang

Page 3: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

memiliki kepadatan yang tinggi, kota yang mix used (nonsprawl) dengan batas yang jelas.

Inggris, Amerika dan Australia merupakan contoh negara yang sangat membela konsep dari

compact city. Pemilihan dari compact city tersebut didasari atas empat alasan, yaitu:

1. Compact city dinyatakan sesuai dengan mode dari transport.

2. Terlihat sebagai sesuatu penggunaan lahan yang sustainable, dengan mengurangi sprawl,

lahan pada pedesaan dapat dipertahankan, dan lahan pada kota dapat di-recyle untuk

perkembangan selanjutnya.

3. Dalam bentuk sosial, mix used dan compactness dihubungkan dengan perbedaan,

hubungan sosial perkembangan budaya, dan sebagai bentuk yang sesuai dimana mampu

menawarkan kemudahan akses pencapaian dalam kota.

4. Ekonomi dapat terus berjalan karena infrastruktur, seperti halnya jalan dan penerangan

yang ada dapat disediakan dengan biaya yang efektif per kapita. Disamping itu kepadatan

populasi cukup untuk mendukung layanan lokal dan bisnis.

Compactness

Definisi dari compactness berdasarkan beberapa literature, antara lain sebagai berikut :

1. membatasi compactness sebagai kepadatan yang tinggi atau monocentiric development

(Gordon dan Richardson)

2. Pemusatan dari pekerja dan tempat tinggal, penggambungan dari tata guna lahan

(Ewing’s)

3. Bentuk Monocentric dan polycentric yang didesain menjadi compact (Anderson)

4. Pengembangan sebuah kota yang compact dapat dilihat dari rasio antara jarak rata-rata

dari rumah ke pusat kawasan bisnis (CBD) (Bertaud dan malpezzi 1999).

5. Compactness sebagai tingkat dimana pengembangannya adalah dikelompokkan dan

mampu meminimalkan sejumlah pengembangan dari lahan. (galster)

Compactness dari lingkungan binaan adalah sebuah strategi yang dapat diterima dimana

bentuk kota yang berkelanjutan dapat tercapai. Compactness juga berkenaan dengan

hubungan antar kota (connectivity) yang mengusulkan perkembangan bentuk kota masa

mendatang harus dapat mengambil tempat yang berdekatan dengan struktur kota yang ada

(wheeler 2002). Compactness dari ruang kota dapat meminimalkan energi dari transport, air,

material, produk dan orang (Elkin, Mclaren dan Hilman 1991).

Strategi utama dari compactness yaitu menggunakan lahan kota yang lebih efisien dengan

meningkatkan kepadatan dari perkembangan kota dan aktivitasnya. Hal ini dapat dicapai

Page 4: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

dengan memasukkan pengembangan dari lahan kota yang sebelumnya tidak dikembangkan,

redelopment kawasan dan bangunan eksisting, bagian dan perubahannya, serta penambahan

dan perluasan dari bagian kota yang ada. (Jenks 2000,243).

Bagi banyak sarjana dan perencana kota, compactness adalah sebuah tipologi krusial yang

diimplementasikan untuk mencapai kelayakan/keberlanjutan suatu kota, seperti yang

dicontohkan oleh Dumreicher (2000) yang menyatakan bahwa sebuah kota yang

berkelanjutan (sustain) harus kompak, padat, beragam dan terintegrasi dengan baik. Mereka

juga menyatakan untuk sebuah bentuk kota seharusnya dapat dengan mudah dicapai dengan

berjalan kaki, cukup kecil untuk mengeliminasi bahkan keinginan dari pemilik kendaraan

pribadi, tetapi cukup besar untuk menyediakan kesempatan dan layanan yang mampu

menciptakan kekayaan dari kehidupan kota.

II. Maksud dan Tujuan

2.1. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari konsep compact city.

2.2. Menganalisis pengaruh penerapan konsep compact city pada pengembangan kawasan

perkotaan di Indonesia.

III. Ruang Lingkup

Ruang lingkup makalah ini dibatasi pada analisis penerapan konsep compact city dan

melihat kaitannya terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di

Indonesia.

IV. Studi Kasus

Studi kasus pada makalah ini adalah: Kawasan Sudirman Central Bussiness Distric

(SCBD), yang terletak di Kota Administrasi Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, dan

Kota Lippo Karawaci, yang terletak di Kabupaten Tangerang.

V. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka pemikiran, hipotesa, metodologi penelitian, dan sitematika pembahasan.

BAB II PEMAHAMAN KONSEP COMPACT CITY TERHADAP PENGEMBA-

NGAN KAWASAN PERKOTAAN

Page 5: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Bab ini berisi studi literatur dari berbagai sumber yang menjadi acuan dalam melakukan

kajian dan analisis terhadap objek yang diteliti, yaitu Kawasan Sudirman Central

Bussiness Distric (SCBD), dan Kota Lippo Karawaci.

BAB III STUDI KASUS

Studi kasus pada makalah ini adalah : Kawasan Sudirman Central Bussiness Distric

(SCBD), yang terletak di Kota Administrasi Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, dan

Kota Lippo Karawaci, yang terletak di Kabupaten Tangerang.

BAB IV KESIMPULAN

Setelah objek penelitian dianalisis, sesuai dengan studi literatur dan sumber-sumber

lainnya, maka akan didapat kesimpulan dari studi kasus yang dianalisis.

Page 6: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

BAB II

PEMAHAMAN KONSEP COMPACT CITY TERHADAP

PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN

Definisi compact city menurut Burton (2000) dalam tulisannya menekankan pada

dimensi ‘kepadatan yang tinggi’, yang merupakan salah satu karakteristik compact city, yang

akan mewujudkan keadilan sosial yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan

kesempatan hidup bagi penduduk berpendapatan rendah. Burton mengklasifikasikan tiga

dimensi derajat kekompakan (compactness) perkotaan yaitu kepadatan, fungsi campuran dan

intensifikasi.

Pendekatan compact city adalah meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan

penduduk permukiman, mengintensifkan aktifitas ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, dan

memanipulasi ukuran kota, bentuk dan struktur perkotaan serta sistem permukiman dalam

rangka mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan, sosial, dan global, yang diperoleh dari

pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenks, 2000).

Konsep compact city ini muncul sebagai konsep baru dibalik dianggap gagalnya

konsep urban sprawl yang muncul pada awal era industrialisasi. Ada beberapa faktor sosial-

ekonomi yang mempercepat terjadinya urban sprawl saat itu, antara lain (Compact city,

Dantzig:1973):

- Bertambahnya jumlah penduduk

- Perpindahan dari perkebunan (farms) ke kota

- Kepadatan penduduk di pusat kota

- Penurunan kualitas perumahan di pusat kota

- Berkembangnya perumahan dengan kualitas dan ukuran yang baik pada suburban

- Pengembangan dan perluasan sistem jalan raya (highway)

- Relokasi industri

- Pengembangan ‘multicay family’

- Meningkatnya permasalahan transportasi pada kawasan urban

Banyak permasalahan muncul sebagai dampak konsep urban sprawl tersebut, antara lain:

- Mobil menjadi hal penting, untuk menuju tempat kerja yang berada di pusat kota.

- Waktu yang terbuang selama perjalanan menuju kantor dan pulang ke rumah

- Berbahaya untuk anak, karena rumah dekat jalan.

Page 7: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

- Sangat jauh untuk mencari pertokoan

- Karena menyebar, sehingga sistem public transport tidak bisa diterapkan.

- Boros energi dan meningkatnya polusi udara dan suara akibat penggunaan kendaraan

yang berlebihan.

Perbandingan Antara Pembangunan Acak dan Compact City Strategy

Aspek Pembangunan Acak

(Sprawl Development)

Compact City Strategy

(Anti-Sprawl Development)

Kepadatan Kepadatan rendah Kepadatan tinggi

Pola

pertumbuhan

Pembangunan pada tepi kota, ruang

dan ruang hijau, melebar

Pembangunan pada ruang-ruang

sisa/antara, compact

Guna lahan Homogen, terpisah-pisah “Mixed”, cenderung menyatu

Skala

Skala besar (bangunan yang lebih

besar, blok, jalan lebar), kurang detil,

artikulasi bagi pengendara mobil

Skala manusia, kaya dengan detil,

artikulasi bagi pejalan kaki

Layanan

komunitas

Shopping mall, perjalanan mobil,

jauh, sukar untuk ditemukan

Main street, jalan kaki, semua

fasilitas mudah ditemukan

Tipe

komunitas

Perbedaan rendah, hubungan antar

anggota lemah, hilangnya ciri

komunitas

Perbedaan tinggi dengan hubungan

yang erat, karakter komunitas tetap

terpelihara

Transportasi

Transportasi yang berorientasi pada

kendaraan pribadi, kurang

penghargaan pada pejalan kaki,

sepeda, dan transit publik

Transportasi multi-sarana,

penghargaan pada pejalan kaki,

sepeda, dan transit publik

Disain jalan

Jalan didisain untuk memaksimalkan

volume kendaraan dan kecepatannya

(collector roads, cul de sac)

Jalan didisain untuk

mengakomodasikan berbagai

macam kegiatan (traffic calming,

grid streets)

Disain

bangunan

Bangunan jauh terletak/ditarik ke

belakang (set back), rumah tunggal

yang terpencar

Bangunan sangat dekat dengan

jalan, tipe tempat tinggal beragam

Ruang publik

Perujudan kepentingan pribadi

(yards, shopping malls, gated

communities, private clubs)

Perujudan kepentingan publik

(streetscapes, pedestrian

environment, public park and

facilities)

Biaya

pembangunan

Biaya yang tinggi bagi pembangunan

baru dan biaya layanan publik rutin

Biaya yang rendah bagi

pembangunan baru dan biaya

layanan publik rutin

Proses

perencanaan

Kurang terencana, hubungan pelaku

pembangunan dan aturan lemah

Terencana dan hubungan pelaku

pembangunan dan aturan baik

(community based)

Page 8: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

1. Kepadatan penduduk dan lingkungan

Bangunan tinggi, efisiensi bagi penggunaan lahan dan infrastruktur kota

2. Pengkonsentrasian kegiatan

Kesatuan dari banyaknya ragam kegiatan, akses makin mudah terutama bagi pejalan

kaki

3. Intensifikasi transportasi umum

Berkurangnya ketergantungan pada mobil pribadi, meningkatnya jumlah pejalan

kaki dan penggunaan transportasi umum, wawasan lingkungan

4. Target kesejahteraan sosial-ekonomi

Kualitas hidup makin baik, performa hidup sehari-hari makin mudah

Page 9: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

5. Proses (perbaikan) menuju kompak

Masa depan kota cenderung lebih kompak, didukung oleh berbagai program yang

sesuai dan dilakukan secara intensif

Beberapa keunggulan dari Compact City (Compat city, Dantzig : 1973) :

1. Save money, mengurangi pengeluaran akibat biaya transportasi/perjalanan yang

tinggi

2. Save time, jarak yang dekat akan meminimalisir waktu perjalanan

3. Save lives, meminimalisir hilangnya nyawa akibat kecelakaan akibat perjalanan

jauh.

4. Save land, mengkonservasi lahan sehingga dapat digunakan sebagai fungsi

ekosistem .

5. Save energy, mengurangi penggunaan energi bahan bakar untuk perjalanan

6. Save material resources, mengurangi penggunaan material yang digunakan sebagai

produksi massal kendaraan bermotor.

7. Reduces air and noise pollution, meminimalisir timbulnya polusi udara dan suara

akibat jumlah kendaraan yang tidak terkendali.

Gambar 1. Setting definisi compact city

Page 10: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Masalah utama yang terjadi pada penerapan ide compact city saat ini adalah

anggapan bahwa ide ini bisa secara instan diterapkan tanpa melihat kasus per kasus

permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota, di samping keharusan penyesuaian

terhadap karakter kota. Simulasi beberapa kebijakan transport dan tata guna lahan yang

erat dengan ide compact city ini menunjukkan pentingnya melihat kondisi perkembangan

kota (pola pergerakan/transport, pola tata guna lahan).

Gambar 1, compact city diartikan sebagai sebuah strategi kebijakan kota yang

sejalan dengan usaha perujudan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai sebuah

sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal

sebuah kota, pengkonsetrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transport publik,

perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju peningkatan taraf dan

kualitas hidup kota.

Namun konsep Compact city tidak selalu memberi dampak positif, ada beberapa

keunggulan compact city yang dengan sendirinya menimbulkan kelemahan, bisa dilihat

pada tabel dibawah.

Aspek Keuntungan Kerugian

Kenaikan

kepadatan

penduduk dan

lingkungan

Aglomerasi ekonomi, pengurangan

kebutuhan perjalanan dan waktu,

preservasi lahan pertanian atau

lahan-lahan hijau terbuka,

penanggulangan degradasi

lingkungan, tata guna lahan yang

hemat energi, performa untuk

kegiatan ekonomi rendah

Harga lahan dan properti naik,

berkurangnya perumahan

layak, berkurangnya beberapa

ameniti kota, biaya operasi

dan perawatan naik, sedikit

bermasalah dalam akses ke

ruang hijau

Pengkonsentrasian

kegiatan

Penyediaan fasilitas dan

infrastruktur kota efisien,

pendistribusian servis dan barang

lebih merata, gaya dan budaya

hidup semakin variatif, vitalitas

sosial-ekonomi naik

Kualitas hidup masa depan

masih diperdebatkan,

pembangunan berbiaya tinggi

jika strategi pembangunan

kotanya benar-benar baru,

pengurangan kualitas

kesehatan, kondisi lebih

"overcrowded"

Intensifikasi

transportasi umum

Transportasi umum yang lebih baik,

energi untuk transportasi lebih

Kualitas dan penyesuaian

lingkungan, ditengarai tetap

Page 11: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

hemat, pengurangan

ketergantungan pada mobil pribadi,

naiknya alternatif akses dan pilihan

perjalanan dalam kota

banyak kemacetan dan

tambahan polusi udara

Pertimbangan

besaran dan akses

kota

Skala kota yang mudah dicapai bagi

semua moda transportasi,

pengurangan jarak bepergian, servis

dan fasilitas yang lebih mudah,

kontrol pembangunan secara tepat

Cengkraman sentralisasi kota

akan lebih kuat, rintangan

pada komunikasi dan jaringan

(network)

Target

kesejahteraan

sosial-ekonomi

Interaksi sosial meningkat, sedang

pemisahan sosial bisa diturunkan,

penurunan perbedaan kelas/sosial,

penurunan angka kejahatan,

interaksi sosial yang lebih baik

Berkurangnya ruang hunian,

displasi bagi kelas sosial yang

lemah, menurunnya faktor

privasi dalam kota

2.1 Compact City

Compact city merupakan kebalikan definisi dari urban sprawl. Compact city lebih

menekankan pada efisiensi energi dan meminimalisir polusi, karena salah satu strategi

compact city adalah kita dapat melakukan kegiatan – kegiatan seperti berbelanja, bekerja

dan bisa berjalan, sepeda atau, ambil transit. Para pendukung compact city berpendapat

bahwa compact city lebih berorientasi pola interaksi komunitas sosial. (Katz; 1994)

Karakteristik Compact City:

- Perumahan dan lapangan kerja berkepadatan tinggi

- Campuran penggunaan lahan

- Kemudahan dalam penggunaan lahan (kemudahan melakukan variasi dan ukuran

bidang tanah yang relatif kecil)

- Peningkatan interaksi sosial dan ekonomi

- Pengembangan yang terputus (beberapa persil dapat meniadakankan atau

mengurangi parkir)

- Terdapat pembangunan perkotaan, dengan batas-batas yang mudah dipahami

- Perkotaan infrastruktur, khususnya saluran air limbah dan air listrik

- Multi transportasi antar moda

- Aksesibilitas tingkat tinggi (lokal / regional)

- Konektivitas jalan tingkat tinggi (internal / eksternal), termasuk trotoar dan jalur

sepeda

- Cakupan permukaan tahan tingkat tinggi

- Rasio ruang terbuka yang rendah

Page 12: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

- Kontrol terhadap kestuan perencanaan pengembangan lahan, atau pengontrolan

koordinasi yang ketat

- Kapasitas fiskal yang cukup dari pemerintah, untuk membiayai sarana dan prasarana

perkotaan

2.2 Urban Sprawl

Urban Sprawl merupakan hasil dari perpaduan beberapa faktor : godaan dari

lahan terbuka yang murah di luar kota, kemajuan dalam aspek transportasi, modal yang

tersedia mudah untuk membeli properti, munculnya pengembang real estate, produksi

perumahan massal, dan gambaran persepsi bahwa rumah keluarga tunggal sebagai

mimpi amerika.

Karakteristik Urban Sprawl :

- Perumahan berkepadatan rendah

- Terbatas ekstensi luar pembangunan baru

- Segregasi spasial dari berbagai jenis penggunaan lahan meskipun terbagai dalam

zonasi-zonasi

- Pengembangan yang melompat-lompat

- Tidak ada kepemilikan terpusat terhadap tanah atau perencanaan pengembangan

lahan

- Semua transportasi didominasi oleh kendaraan bermotor milik pribadi

- Fragmentasi kewenangan penggunaan lahan pemerintahan antara pemerintah lokal

- Variasi yang besar dalam kapasitas fiskal pemerintah daerah

- Meluasnya pembangunan jalur komersial di sepanjang jalan raya utama

- Ketergantungan yang besar pada proses penyaringan untuk menyediakan perumahan

bagi keluarga berpenghasilan rendah

2.3 Compact city paradox

Compact city paradox mengacu pada hubungan terbalik dari keberlanjutan kota

dan livability mereka (Wiersinga; 1997). Untuk kota yang dikatakan berkelanjutan

(sustainable), fungsi dan populasi harus terkonsentrasi dengan kepadatan yang lebih

tinggi. Namun untuk kota yang nyaman ditinggali (livability), fungsi dan populasi harus

tersebar pada kepadatan rendah.

Page 13: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Sebagai hasil perpaduan, dua hal yang saling bertentangan (compact form dan

sprawling form) cenderung merupakan akibat dari kebijakan yang bertentangan dan

investasi. Penyebaran, segregasi penduduk dan kegiatan terus menerus sebagai penduduk

atau pemilik bisnis dapat memilih mencari kualitas hidup yang lebih tinggi atau

keuntungan yang lebih tinggi di luar kota.

Salah satu cara untuk menyelesaikan paradox ini adalah dengan melihat compact

city sebagai sebuah sustainability. Meninggalkan aspek skala besar, analisis kuantitatif

dan komparatif. Sustainability telah muncul sebagai dasar bersama bagi wacana global

dan lokal dan politik. Ini adalah sebuah kategori pemikiran yang mengganti atau

mendefinisikan kembali kategori tua, pertumbuhan tersebut, kemajuan dan batas (Sachs,

1993; Daly, 1996)

2.4 Intellectual Traditions of Sustainability

Untuk protagonis, compact city merupakan respon fisik yang klasik untuk

masalah perkotaan, seperti konsumsi tanah di daerah pinggiran, sumber daya energi dan

limbah, polusi udara, aksesibilitas, dan segregasi sosial. Hal ini merupakan sinonim dari

kota yang sustainable.

Sustainable merupakan istilah yang luas, yang memiliki banyak makna.

Sustainable dapat dikatakan sebagai ide platonis, berkategori baik. Sebagai sebuah ide

baru, belum dapat digambarkan secara utuh, bagaimana sustainable itu. Hal ini dapat

disesuaikan, tanpa takut pertantangan, karena belum ada gambaran yang dapat diterima

tentang bagaimana menentukan secara persis dan membuatnya bekerja, meskipun salah

satu arti umum yang dapat diterima adalah keseimbangan di antara Equity, masalah

ekonomi dan lingkungan.

5 (lima) tradisi intelektual yang menarik dari sustainability:

1. Capacity (kapasitas)

Capacity mengacu pada daya dukung tempat untuk mendukung populasi makhluk

hidup. Hal ini dapat berupa makanan, air, tanah, dll

2. Fitness (ketahanan)

Fitness menyiratkan suatu proses evolusi yang ditandai dengan saling interaksi

antara spesies dan lingkungan. Ini adalah selat lokal yang berasal dari adaptions yang

merespon dengan konteks langsung.

Page 14: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

3. Resilience (kemampuan)

Ketahanan menanggapi beberapa kekurangan dan kompleksitas teori fitness. Hal ini

didasarkan pada akomodasi antara organisme / masyarakat dan beberapa agen asing

untuk itu.

4. Diversity (keanekaragaman)

Diversity mengacu baik untuk berbagai anggota dalam sebuah komunitas dan

disposisi positif dari anggota dalam hubungannya dengan yang lain. Ini adalah

sebuah ide yang kuat, yang telah merumuskan kembali beberapa perdebatan tentang

kelestarian.

5. Balance (keseimbangan)

Balance mengacu pada menyeimbangkan lingkungan alam dengan pembangunan-

pembangunan oleh manusia.

2.5 Common Themes of Sustainability

Tema sustainable secara umum:

- Process. Process adalah hal paling sering muncul secara jelas dalam poin resilience

dan fitness, serta diversity dan balance.

- Healthy. Untuk mempertahankan ekosistem atau kota dalam jangka panjang perlu

mengasumsikan bahwa hal tersebut nantinya merupakan sesuatu yang sehat.

- Karakteristik place-specific conditions. Ini mengukur hubungan satu spesies atau

proses ke lokal tertentu.

- Interrelationship antara komponen sistem, adalah sebuah fitur untuk mendefinisikan

sustainable serta secara umum menyampaikan pendapat bahwa semua tradisi

intelektual dalam pengawasan.

Bahkan, empat tema umum (process, healthy, place-specific conditions dan

interrelationship), berhubungan erat dengan perencanaan kota komprehensif. Untuk

alasan ini, keberlanjutan yang inheren mencakup perencanaan kota dan menyediakan

dasar yang kuat untuk profesi yang bersangkutan dengan kota-kota. (Berke, 2000;

Campbell, 1996).

2.6 Sustainability and the Compact City

Apakah compact city menanggapi empat tema di atas untuk sustainable? Dalam

hal ini Michael Neuman berusaha untuk mengkaitkan empat tema di atas (process,

Page 15: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

healthy, place-specific conditions dan interrelationship) dengan perencanaan atau

pengembangan kedepannya.

Beberapa pertanyaan di bawah merupakan kerangka tambahan untuk berpikir

lebih jauh.

- Apakah compact city merupakan place specific solution? Ini merupakan hal yang

baku, karena semua desain yang baik adalah spesifik pada konteks.

- Apakah compact city merupakan sebuah kota yang healthy? Kesehatan kota

ditentukan oleh banyak faktor. Hanya beberapa faktor yang dipengaruhi oleh

densitas atau kekompakan. Kecenderungannya, kota-kota padat tidak sehat. Asal

usul perencanaan kota modern berasal dari kritik yang menghancurkan dari

berkerumun kota di abad ke-19 th (Hall, 1988; Riis, 1890; Mearns, 1883).

- Apakah compact city memiliki persetujuan dengan interrelationship tersebut?

Sebagian. Perencanaan neotradisional tidak muncul dari kritik terhadap penggunaan

land use yang terpisah-pisah. Lalu urbanisme berusaha untuk membawa lebih dalam

dengan menggunakan pendekatan dan mixed di pusat-pusat kota, sehingga

memberikan pilihan-pilhan dan nyaman untuk di tinggali (livability).

2.7 Sustainability as a process : Raising the Level of the Game

Menurut Michael Neuman, tujuan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi

kekeliruan mengenai compact city. Kekeliruan compact city ialah dengan menyatakan

bahwa pada compact city, bukanlah kondisi yang diperlukan atau cukup bagi sebuah

kota untuk dapat dikatakan sustainable dan bahwa upaya untuk membuat kota lebih

sustainable hanya dengan menggunakan bentuk strategi perkotaan merupakan pendapat

yang kontraproduktif.

Menurut Michael Neuman, tidak ada hal seperti kota yang sustainable. Kota-

kota selalu bergantung pada daerah-daerah pedalaman dan kota lainnya untuk makanan

dan perdagangan. Ukuran kota yang berkelanjutan (indikatornya) dapat diterapkan pada

sejumlah faktor antara lain lingkungan binaan ecological, sosial, ekonomi, sipil, fiskal,

dan infrastruktur. Jika kemunculan dan konvergensi dari sustainable menyarankan

bahwa kota adalah sebuah proses coevolutionary, maka ide dan faktor-faktor ideal dari

sebuah kota yang sustainable adalah salah satu hal yang layak bagi kita untuk dapat

berusaha mencapainya.

Page 16: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian adalah pemasyarakatan budaya hidup

vertikal (vertical living culture) kepada masyarakat. Adanya anggapan bahwa kurang

berartinya hidup di rumah susun, apartemen, atau karena tidak terdapat kepemilikan tanah di

dalamnya, perlu segera dikikis. Masyarakat lemah akses, seperti para manula dan para miskin

juga harus mendapat prioritas bagi keberlangsungan hidup mereka secara lebih baik di

tengah-tengah kota. Sistem pembiayaan pembangunan yang berbeda berdasar kemampuan

masyarakat perlu menjadi prioritas pemikiran sebelum bertindak.

Page 17: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

BAB III

STUDI KASUS

3.1 Kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), DKI Jakarta

Compact City adalah peningkatan densitas, intensitas, keberagaman aktivitas

(diversitas), peruntukan lahan campuran (mixed-use) sehingga terbentuk kawasan yang

dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, peningkatan pencapaian (aksesibilitas) dengan

berjalan kaki dan bersepeda, penghematan energi pada transportasi umum dengan

mobilitas yang baik. Habitat menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan suatu

kawasan. Kawasan yang kompak di Sudirman Central Business District (SCBD), seluas

40 ha, belum menjadi contoh yang baik untuk konsep penataan ruang kota berkelanjutan

dengan konsep compact city. Namun sesuai dengan perencanaan tata ruang SCBD, di atas

kertas menunjukkan adanya usaha untuk mewujudkan kawasan ini sebagai percontohan

sustainable city dengan konsep perencanaan compact city. Dalam tinjauan kasus ini,

diskusi tentang penataan ruang kota/kawasan SCBD dibatasi pada perencanaan kawasan

saja dan dilengkapi dengan tinjauan umum beberapa bangunan eksisting.

Kawasan SCBD direncanakan dapat menampung kepadatan penduduk yang

tinggi, intensitas pemanfaatan lahan yang tinggi dan diisi dengan keberagaman aktivitas

yang tinggi pula. Dengan KLB maksimum 7 dan KDB 40%, kedua tujuan densitas dan

intensitas dapat tercapai. Kawasan ini terdiri dari berbagai fungsi antara lain apartemen

(hunian), perkantoran (tempat kerja), perdagangan/retail, lembaga keuangan, fasilitas

sosial dan keagamaan, dan rekreasi. Di masing-masing bangunan terdapat/dirancang

fasilitas yang disediakan bukan saja fungsi utama, tetapi selalu didukung dengan fasiltas

penunjang. Bahkan dalam beberapa bangunan seperti Ritz Carlton misalnya, adalah

Page 18: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

gedung yang dapat menampung berbagai fungsi seperti hotel (hunian), pekerjaan

,perdagangan/retail dan rekreasi (mixed-use). Keberagaman aktifitas (diversitas) kawasan

SCBD merupakan bukti keinginan pengembang untuk mewujudkan konsep compact

city sebagai usaha mengoptimalkan ruang kota yang terbatas tetapi tetap mengedepankan

konsep keberlanjutan kota (sustainable city).

Mixed-use merupakan konsekuensi dari intensitas pemanfataan lahan yang tinggi

dan diversitas. Dari konsep kawasan pembangunan terpadu Sudirman yang menerapkan

konsep Superblok, dengan peruntukan lahan seluruh kawasan merupakan peruntukan

lahan campuran. Mixed-use adalah salah satu syarat untuk mewujudkan kawasan menjadi

kompak. Peruntukan lahan campuran dalam konsep compact city bertujuan agar kawasan

tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa peghuni harus bepergian jauh atau

menempuh jarak yang cukup jauh untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut pengelola

salah satu apartemen di kawasan ini, mengungkapkan bahwa 40% penghuni bekerja

dalam kawasan SCBD. Dengan demikian SCBD direncanakan sebagai city for living, and

working, memenuhi sebagian kriteria compact city.

Akibat penerapan konsep densitas, intensitas dan diversitas kawasan SCBD,

kawasan ini dapat mempersingkat perjalanan/perpindahan penghuni maupun pemakai

ruang kota ini. Kawasan SCBD dapat ditempuh dengan berjalan kaki yaitu maksimal 400

meter dan dapat ditempuh selama 5 – 10 menit dari pusat ke pinggiran kawasan atau

setidaknya ke halte transportasi umum. Kawasan ini, selain menyediakan fasilitas pejalan

kaki, juga menyediakan fasilitas bagi pengguna sepeda dengan aman dan nyaman.

Tersedia juga tranportasi umum sebagai alternatif sarana perpindahan manusia yang lebih

efisien di dalam kawasan ini. Ketiga moda transportasi ini dapat menurunkan pencemaran

udara dan efisiensi pemanfaatan energi sehingga tercipta kawasan yang walkable,

habitable dan comfortable. Namun kenyataannya saat ini, kawasan SCBD tidak dapat

menghindar dari penggunaan kendaraan pribadi secara massive, bahkan dalam waktu

tertentu telah menimbulkan kemacetan di kawasan ini. Hal ini dapat disebabkan tidak

sepenuhnya konsep compact city diterapkan mengacu kepada RUTR (keseluruhan kota

Jakarta atau sebaiknya) bahkan daerah yang lebih luas lagi yaitu Jabodetabek. Dari hasil

pengamatan di lapangan bahwa dalam ruang terbuka dan pedestrian, kegiatan yang

terjadih hanya necessary activities, dimana orang (pengguna jalan/ruang) memang harus

melakukan aktivitas tersebut atau hanya sekedar berlalu lalang. Belum ada atau sangat

sedikit sekali penggunaan ruang/jalan yang menyempatkan diri untuk melakukan optional

activities (berjalan-jalan, duduk atau melihat-lihat sekitar sembari menghirup udara

Page 19: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

segar), apalagi yang melakukan aktivitas atau interaksi sosial. Sehingga tidak sepenuhnya

konsep dalam perencanaan terwujud dalam pembangunan fisik ruang kota.

3.2 Lippo Karawaci, Tangerang

Kota Lippo Karawaci merupakan sebuah kota mandiri yang dibangun pada tahun

1993 oleh Mochtar Riadi yang terletak 30 km sebelah barat kota Jakarta. Pada tahun itu

peresmian kota pertamanya, Lippo Village yang terdiri dari tiga bagian, yaitu Lippo

Village Utara (Wilayah Lippo paling pertama dan juga pusatnya perkotaan,Sekolah Pelita

Harapan, Benton Junction, dan fasilitas jalur sepeda),Lippo Village Timur(terdiri dari

perumahan dan ruko,letaknya terpisah dari Lippo Utara dan Barat), dan Lippo Village

Barat (Terdiri dari Rumah Sakit Siloam, Sekolah Atisa, perumahan, ruko dan akses ke

perkampungan).

Dengan konsep kota mandiri, kota Lippo Karawaci ingin membangun citra bahwa

kota ini dapat berdiri sendiri dengan adanya fasilitas- fasilitas dari fasilitas perumahan

hingga fasilitas komersil sehingga tidak perlu bergantung dengan kota besar seperti

Jakarta yang merupakan kota mandiri dimana semua fasilitas tersedia dan mendapat

sebutan 24 hour city dimana kegiatan tidak pernah berhenti dan banyak orang mengadu

peruntungan.

PERUMAHAN

KOMERSIAL & LAINNYA

APARTEMEN

APARTEMEN YANG AKAN DIBANGUN

LAPANGAN GOLF

Page 20: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Tabel 1 di bawah akan menjelaskan seberapa jauh kota Lippo Karawaci menerapkan

konsep compact city ke dalam desainnya

Aspek Pembangunan Acak

(Sprawl Development)

Compact City Strategy

(Anti-Sprawl Development)

Kepadatan

Pola pertumbuhan

Guna lahan

Skala

Layanan komunitas

Tipe komunitas

Transportasi

Disain jalan

Disain bangunan

Ruang publik

Biaya pembangunan

Proses perencanaan

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kota Lippo Karawaci menerapkan baik desain compact city

maupun urban sprawl.

Dari segi kepadatan, pada site plan tampak pembagian lahan banyak mengarah kepada

daerah landed housing dimana banyak terdapat perumahan yang dipasarkan yang terbagi

banyak komplek perumahan. Perumahan ini terletak pada hampir seluruh daerah kota.

Bangunan bertingkat dalam kasus ini adalah apartemen hanya ada beberapa yaitu Apartemen

Page 21: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Amartapura, kondominium Golf Karawaci, Dynaplast dan apartemen mahasiswa UPH yang

terletak di dalam lahan UPH.

Pola pertumbuhan kota Lippo Karawaci ditata dengan sangat baik oleh PT.LIPPO

KARAWACI Tbk. Dimulai dari tahun 1992, dimana peresmian kota pertamanya yaitu Lippo

Village berkembang menjadi suatu kawasan yang mencakup banyak fasilitas yang

mendukung kegiatan masyarakat di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan tidak ada

pertumbuhan acak di kota Lippo Karawaci. Walaupun terdapat komplek perumahan yang

dapat dikatakan persentasenya sangat mendominasi dalam desain kotanya, namun komplek

perumahan ini direncanakan, ditata dengan baik dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi.

Tata guna lahan kota Lippo pada bagian tengahnya memiliki aktivitas fungsi

komersial, pendidikan, rumah sakit, perkantoran, tempat ibadah dan juga perumahan,

sedangkan pada bagian agak ke barat memiliki fungsi perumahan dan perkantoran. Pada

bagian timur dan selatan hanya terdapat perumahan. Dilihat dari kondisi ini, Lippo Karawaci

pada bagian pusatnya memiliki fungsi yang sangat mixed-use dan sisanya memiliki tata guna

lahan yang lebih tersebar dan tampak homogen karena pada satu daerah hanya terdapat satu

fungsi saja yaitu perumahan.

Skala bangunan pada daerah perumahan dan komersil seperti Benton Junction

merupakan skala manusia karena hanya memiliki ketinggian maksimum 2 lantai, pada jalur

pedestrian terdapat lampu-lampu taman dan pepohonan rindang yang menyejukkan sehingga

para pejalan kaki merasa nyaman berjalan di sekitarnya.

Page 22: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

Namun, pada daerah perkantoran dan apartemen skala bangunan menjadi besar karena

memiliki tinggi bangunan di atas 6 lantai sehingga memiliki kesan mewah, namun dalam

perancangannya tetap memperhatikan detail seperti jalur pedestrian.

Selain memiliki konsep kota mandiri,

konsep pengadaan bicycle way

merupakan salah satu konsep yang

dikedepankan oleh kota Lippo.

Orientasi transportasi pada kota Lippo

masih tertata dengan baik karena telah

dimasukkan dalam konsep desain. jalur

pedestrian memiliki ukuran yang lebar,

cukup untuk 2 pejalan kaki berpapasan

sehingga dapat dikatakan lebar pedestrian nyaman bagi pejalan kaki diperhatikan sehingga

para pengguna merasa nyaman melewatinya juga terdapat terminal bus yang terletak

bersebelahan dengan supermall Karawaci.

Namun jika dilihat dari segi komunitas, shopping mall dan fasilitas lainnya dapat

dikatakan berjauhan, karena peletakan/ pembagian aktivitas kawasan yang hampir semuanya

tampak tersebar dan homogen sehingga pada titik ini, pencapaian penduduk untuk menuju

pusat perbelanjaan sulit tanpa penggunaan kendaraan bermotor dimana pada kota ini

walaupun terdapat stasiun bus dan angkot, namun didominasi oleh penggunaan mobil pribadi.

Desain bangunan pada kota Lippo beragam seperti pada daerah perumahan, peletakan

bangunan tidak menempel pada jalan namun ditarik beberapa meter ke belakang sehingga

pada komplek perumahan terdapat taman dalam pada tiap rumah sedangkan pada daerah

komersil seperti Benton Junction dan supermall walaupun tidak langsung menempel pada

jalan ,namun GSB yang tersisa digunakan sebagai jalur pedestrian atau tempat parkir

pengunjung bahkan pada depan Benton Jucntion banyak terdapat parkir on-street pada saat

makan siang dan hari libur.

Tidak terdapat ruang terbuka bagi para penduduk untuk bersosialiasi baik pada daerah

perumahan maupun fungsi lainnya. Pada daerah perumahan walaupun terdapat jalur

pedestrian yang nyaman namun tidak terlihat ada banyak orang karena orang-orang banyak

menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai satu komplek ke komplek lainnya atau

bahkan menuju fungsi lainnya sehingga pada kota Lippo tidak menyediakan fasilitas ruang

Page 23: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

terbuka kecuali yang ditawarkan oleh fungsi komersil seperti Benton Junction dimana

terdapat tempat duduk di café dimana tidak semua orang dapat memasuki kawasan tersebut

karena dikenakan biaya.

Pada budaya masyarakat Indonesia yang telah dibahas bahwa tinggal di bangunan

tingkat tinggi kurang diminati karena tidak terdapat kepemilikan tanah di dalamnya, perlu

segera dikikis, pada kasus ini diciptakan bangunan tinggi yang didesain secara mewah dan

memiiiki harga jual tinggi walaupun masih kalah dibandingkan dengan nilai jual tanah

perumahan. Namun karena memiliki harga jual tinggi, para pembeli hanyalah orang-orang

mampu dan orang-orang berekonomi lemah tetap tidak mendapat tempat sehingga kedudukan

mereka tetap terletak di pinggiran yang artinya tetap terjadi urban sprawl pada kawasan

tersebut karena para rakyat miskin membangun rumahnya secara acak.

Page 24: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari kedua studi kasus di atas dapat dikatakan bahwa Kota Summarecon Bekasi, dan

Kota Lippo dalam desainnya berusaha menciptakan kota mandiri dengan fokus kepada

kenyamanan pejalan kaki dan sepeda namun kenyataannya dalam pencapaiannya menuju

masing-masing fungsi kawasan sulit tanpa menggunakan kendaraan bermotor baik

menggunakan angkutan umum ataupun pribadi dan tetap terdapat kampung pada daerah

pinggiran kota yang bertentangan dengan konsep compact city.

Masalah perkotaan di Indonesia, khususnya di Jakarta, memerlukan konsep compact

city sebagai alternatif penataan ruang perkotaan yang berkelanjutan. Beberapa referensi

menyatakan compact city dapat menjawab solusi masalah keterbatasan lahan perkotaan

menyangkut densitas dan diversitas yang tinggi di daerah kota di Indonesia. Dengan konsep

ini diharapkan dapat memelihara keberlanjutan pembangunan baik dari aspek ekonomi,

sosial, danlingkungan sehingga generasi mendatang masih dapat terpenuhi kebutuhan hidup

mereka danbelajar dari kesalahan tata kota masa lalu. Kegagalan SCBD sebagai kawasan

yang menerapkan konsep compact city dapat diakibatkan oleh pembangunan yang sporadis di

beberapa kawasan kota Jakarta. Hal ini terjadi akibat tidak adanya low enforcement terhadap

pengembang yang mengembangkan/membangun kawasannya yang tidak sesuai dengan

RUTR.

Demikian pula ketidaksesuaian (ketidakberkesinambungan) antara RUTR DKI

Jakarta, sistem transportasi Jakarta, dan Jabodetabek dapat menyebabkan kegagalan

penerapan konsep compact city ini. Karena kawasan compact city seperti SCBD misalnya

hanyalah bagian dari kota Jakarta secara keseluruhan.

Jika konsep Compact City dapat diterapkan secara komprehensif di kota-kota besar di

Indonesia, khususnya kota Jakarta, dapat mengurangi pergerakan manusia (jarak perjalanan),

sehingga mengurangi kemacetan lalu lintas, mengurangi produksi gas emisi, mengurangi

energi, menambah ruang terbuka hijau, dan menambah oksigen. Sehingga konsep compact

city menjadi alternatif penataan ruang perkotaan yang berkelanjutan.

Adanya konsep TOD, Compact City, Smart Growth, New Urbanism, merupakan

pelajaran berharga bagi pembangunan perkotaan di Indonesia. Melalui konsep-konsep

tersebut diharapkan kota-kota dapat memecahkan berbagai permasalahan perkotaan yang

dihadapi. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip dari keempat konsep tersebut tidak selamanya

cocok untuk diterapkan di kota-kota di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar

Page 25: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

belakang lahirnya konsep-konsep tersebut yang cenderung lahir dari negara maju yang

memiliki bentuk dan sosiologi kemasyarakatan yang berbeda dengan di Indonesia. Mereka

menciptkan konsep tersebut disebabkan karena menginginkan suasana permukiman yang

nyaman dan humanis. Dalam hal ini, kenyamanan tidak hanya terbatas pada bentuk fisik

bangunan dan lingkungan, akan tetapi suasana keramahtamahan antar masyarakat setempat.

Sehingga dalam membangun kota perlu diingat agar jangan sampai hasil pembangunan

tersebut nantinya malah merusak keramahtamahan masyarakat Indonesia (misalnya dengan

pembangunan superblock).

Syarat utama keberhasilan penerapan Compact City di perkotaan adalah adanya

transportasi umum yang aksesibel, nyaman, aman dan harga terjangkau. Ke depan, hal ini

perlu dipikirkan dan diwujudkan sehingga simpul-simpul permukiman mix used dapat

terhubung satu sama lain. Terhubung disini tidak diartikan sebagai ‘jalan yang terkoneksi

dengan kendaraan pribadi’, akan tetapi lebih diartikan sebagai bentuk riil, bahwa dalam

menuju suatu lokasi tersebut, masyarakat lebih memilih dengan menggunakan transportasi

umum daripada transportasi pribadi.

Paradigma pembangunan tata ruang kota berkelanjutan dengan ide utama seperti

perwujudan kota kompak terlihat semakin menjadi kebutuhan tak terpisahkan dalam

pembangunan kota-kota di dunia dewasa ini. Hal ini bisa dilihat dari pemanfaatan ide ini

yang tidak saja diterapkan di negara maju, tetapi telah pula merambah negara-negara

berkembang. Namun begitu, apakah model kota ini akan menjadi solusi jitu masa depan tata

ruang kota tampaknya juga memerlukan pembuktian lebih jauh, meskipun ada indikasi awal

bahwa penerapan kebijakan ini relevan bagi kota-kota yang telah mencoba menerapkannya.

Hal ini disebabkan penerapan model kota kompak ini masih sangat terbatas (model

availability) dan memerlukan waktu yang cukup panjang (long term observation), maka perlu

kehati-hatian untuk mendiskusikan implikasi hasilnya.

Penerapan kebijakan kota kompak ini pun tak bisa dipisahkan dari karakter masing-

masing kota. Meskipun bertujuan sama, belum tentu kota satu dan lainnya mempunyai hasil

yang sama dalam pengimplementasian sebuah kebijakan yang sama. Setiap kota adalah

organisme yang spesifik dengan karakter yang spesifik pula. Upaya penerapan kebijakan ini

memerlukan sebuah kajian mendalam dan panjang. Selain untuk mensimulasikan kebijakan-

kebijakan yang tepat, upaya ini juga dalam rangka memperkecil dampak negatif yang bisa

ditimbulkan oleh sebuah model kota kompak.

Page 26: terhadap Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Berkelanjutan

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Dantzig G.B,; Saaty T.L.,(1973) Compact City: A Plan for A Liveable Urban Environment,

WH Freeman and Company San Francisco,US.

Jenks, M.; Burgess, R., eds. (2000) Compact Cities: Sustainable Urban Forms for

Developing Countries, E & FN Spon, London.

Jenks, M.; Burton, E.; Williams, K., eds. (1996) The Compact City: A Sustainable Urban

Form?, E & FN Spon, London

Roychansyah, M. S., Ishizaka, K., Omi, T. (2003) A Study on New Urbanism: Learning from

Japanese Urban Conditions and Its Issues, dalam Proceedings of International Symposium

on City Planning, Sapporo, August 2003

Roychansyah, M.S. (2005), A Study on Characterizing and Evaluating Cities toward

Implementations of Compact City Strategy (Konpakuto Shiti Senryaku no Kanten kara no

Toshi Tokusei no Haaku to Hyouka ni Kansuru Kenkyuu), Disertasi Doktor di Universitas

Tohoku, Sendai.