Upload
syamsurya-asyir
View
96
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sektor penting dalam upaya peningkatan sumber daya
manusia suatu bangsa. Pendidikan seharusnya mendorong manusia untuk terlibat
dalam proses ke arah yang lebih baik, mengembangkan sikap percaya diri, rasa ingin
tahu, serta pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki, sehingga pendidikan
dapat berfungsi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidup pribadi maupun
masyarakat. Salah satu wadah yang dibangun dalam usaha mewujudkan hal tersebut
adalah sekolah. Dalam wadah ini, banyak hal yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, seperti peningkatan bekal awal peserta didik,
peningkatan kompetensi guru, peningkatan isi kurikulum, pembaharuan kualitas
pembelajaran dan hasil belajar, penyediaan sarana dan prasarana belajar, dan
sebagainya.
Melalui berbagai cara tersebut, peningkatan kualitas pembelajaran melalui
peningkatan kualitas tenaga pendidik menduduki posisi yang sangat strategis dan
akan berdampak positif. Sehingga, peningkatan kualitas tenaga pendidik sangat
diperlukan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan
perkembangan pembangunan yang membutuhkan tenaga-tenaga terampil dan kreatif
dalam disiplin keilmuannya. Dengan kualitas yang baik, maka guru sebagai pendidik
akan mampu membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka
1
2
pencapaian tujuan pendidikan demi pembangunan di masa mendatang (Taniredja
dkk., 2011: 1).
Salah satu pelajaran yang dianggap penting untuk mencapai tujuan pendidikan
adalah pelajaran fisika. Pembelajaran fisika merupakan salah satu mata pelajaran
yang memiliki banyak faedah bagi suatu bangsa. Kesejahteraan materil suatu bangsa
sangat banyak bergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidang fisika, sebab
pembelajaran fisika merupakan salah satu dasar dari teknologi. Sedangkan teknologi
sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran fisika
dapat dijadikan sebagai pengokoh pembangunan bangsa. Fisika merupakan bagian
dari sains yang hakikatnya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala
alam secara fisis melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang
dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah.
Sehingga, diharapkan proses pembelajaran fisika lebih menekankan pada
kemampuan peserta didik dalam menemukan fakta-fakta, membangun konsep-
konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah peserta didik yang akhirnya dapat membantu
peserta didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam proses
pembelajaran ataupun dalam konteks sehari-hari.
Melihat kondisi pendidikan saat ini khususnya di sekolah, pembelajaran fisika
belum berjalan seperti yang diharapkan, guru belum mengoptimalkan kemampuan
peserta didik dalam pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar guru cenderung
hanya melakukan ceramah dan terus melanjutkan pembelajaran tanpa menyadari
sampai di mana kemampuan yang dimiliki peserta didik pada saat guru mengajar,
3
sehingga peserta didik merasa bosan dan mengakibatkan aktivitas belajar peserta
didik menjadi kurang optimal, sebab peserta didik menjadi cenderung pasif dan tidak
memahami materi yang disampaikan oleh gurunya apabila dari awal peserta didik
tidak memahami arah pengetahuan yang diberikan. Hal tersebut tentu akan
berdampak pada minimnya perolehan hasil belajar peserta didik karena pembelajaran
yang disampaikan oleh guru tidak bermakna.
Jika diamati lebih mendalam tentang sifat bidang studi fisika, tampak bahwa
peserta didik seharusnya tidak sekedar memperhatikan benda berdasarkan bentuk
fisik saja, melainkan peserta didik dituntut untuk berpikir abstrak agar mampu
memahami dan menjelaskan sesuatu di balik fenomena yang diamatinya. Untuk
berpikir abstrak, peserta didik harus memiliki kemampuan berpikir imajinatif yang
baik. Oleh karena itu, pemahaman peserta didik terhadap konsep yang dipelajarinya
harus ditingkatkan secara berkesinambungan agar peserta didik mampu memahami
konsep yang diberikan sehingga peserta didik dapat memecahkan setiap
permasalahan yang dihadapinya dalam pembelajaran.
Seringkali seorang peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami suatu
pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya adalah tidak terjadi hubungan
antara pengetahuan baru yang diterima oleh peserta didik dengan pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik sebelumnya. Oleh karena itu, pengetahuan awal menjadi
syarat utama dan menjadi sangat penting bagi peserta didik untuk dimiliki (Trianto,
2011: 33). Dengan pengetahuan awal yang baik, maka akan meminimalisir
miskonsepsi yang terjadi dalam pembelajaran, pembelajaran pun akan menjadi lebih
4
bermakna, sehingga peserta didik mampu memahami pelajaran yang diberikan oleh
guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi peserta didik saat pembelajaran.
Selain itu, sebagian besar pola pembelajaran masih bersifat transmisif,
pengajaran mentransfer dan mengajarkan konsep-konsep secara langsung pada
peserta didik. Dalam pandangan ini, peserta didik secara pasif menyerap struktur
pengetahuan yang diberikan guru atau yang terdapat dalam buku pelajaran.
Pembelajaran hanya sekedar penyampaian fakta, konsep, prinsip dan keterampilan
kepada peserta didik (Trianto, 2010: 18). Pandangan konstruktivisme memberikan
perbedaan yang kontras terhadap pendapat tersebut. Menurut pandangan
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru
kepada peserta didik. Pengetahuan harus secara aktif dikonstruksi (dibangun) oleh
peserta didik sendiri melalui pengalaman nyata. Pada kenyataannya, proses
pembelajaran adalah proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari
peserta didik, sehingga peran guru sekarang berubah dari sumber dan pemberi
informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar peserta didik. Dengan
demikian proses belajar mengajar lebih berpusat pada peserta didik (student
centered) bukan lagi berpusat pada guru (teacher centered), sehingga dapat memacu
peserta didik untuk lebih aktif dalam pembelajaran.
Model pembelajaran learning cycle 5E adalah model pembelajaran yang terdiri
fase-fase atau tahap-tahap kegiatan yang diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga
peserta didik dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Model pembelajaran learning cycle
merupakan salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan paradigma
5
konstruktivisme. Pendekatan teori kontruktivistik pada dasarnya menekankan
pentingnya peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan
proses belajar mengajar. Model learning cycle 5E ini mempunyai salah satu tujuan
yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengkostruksi
pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri dengan terlibat secara aktif mempelajari
materi secara bermakna dengan bekerja dan berfikir baik secara individu maupun
kelompok, sehingga peserta didik dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang
harus dicapai dalam pembelajaran.
Adapun model pembelajaran problem posing adalah model pembelajaran yang
mewajibkan para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar
(berlatih soal) secara mandiri (Suyitno, 2004). Problem posing adalah perumusan
soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan perubahan agar lebih
sederhana dan dapat dikuasai. Dengan mengajukan soal (problem posing), peserta
didik diberi kesempatan untuk menyelidiki informasi atau keterangan yang ada.
Peserta didik dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran baik secara mental, fisik
maupun sosial, dan peserta didik juga didorong untuk mencoba dan menyelidiki
rumusan soal/masalah, kemudian membicarakannya dan mencoba untuk
menyelesaikan suatu masalah (soal) tersebut.
Di balik alasan-alasan tersebut, ditemukan berbagai permasalahan pendidikan
yang harus segera ditangani di Madrasah Aliyah Negeri 2 Model Makassar dalam
pembelajaran fisika. Permasalahan dalam proses pembelajaran tersebut diantaranya
adalah masih minimya jumlah peserta didik yang nilainya tuntas dalam pembelajaran
fisika, dengan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 75. Hal ini terjadi
6
karena masih diterapkannya pola pembelajaran masih bersifat transmisif dalam
pembelajaran fisika. Dalam proses pembelajaran, guru langsung memberikan
penjelasan dan catatan kepada peserta didik tanpa mengindahkan pengetahuan awal
yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga peserta didik mengalami kesulitan pada
saat harus mengkonstruksi pengetahuan yang diberikan oleh guru. Hal ini
menyebabkan timbulnya rasa sulit dalam benak peserta didik, sehingga sulit untuk
memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Fasilitas pembelajaran fisika juga
belum termanfaatkan dengan baik karena guru belum memanfaatkan alat praktikum
secara maksimal, serta tidak adanya inovasi dalam model pembelajaran yang
digunakan oleh guru. Permasalahan lain yang teramati adalah akibat pembelajaran
yang monoton tersebut, peserta didik menjadi mengantuk dan merasa bosan dengan
pembelajaran fisika karena peserta didik merasa hanya diposisikan sebagai
pendengar. Akibat yang ditimbulkan adalah pada saat peserta didik diberikan sebuah
permasalahan fisika, peserta didik tidak mampu untuk menyelesaikannya.
Permasalahan-permasalahan di atas perlu segera dibenahi guna meningkatkan
aktivitas belajar peserta didik, yang akan mengakibatkan terbentuknya pengetahuan
dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan kemampuan memecahkan
masalah. Oleh karena itu, guru perlu menerapkan model pembelajaran yang lebih
efektif agar dapat membantu peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan yang
dimilikinya sebagai pengetahuan awal dengan pengetahuan baru yang akan diberikan
oleh guru, sehingga memudahkan peserta didik dalam pemecahan masalah, salah
satunya dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan model
pembelajaran problem posing, sebagai sebuah inovasi pembelajaran berbasis
7
konstruktivistik yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan peserta didik
dalam pengkonstruksian pengetahuan serta kemampuan memecahkan masalah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian
dengan judul “Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing
ditinjau dari pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan masalah peserta
didik kelas XI MAN 2 Model Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah dalam penelitian ini, antara lain:
1. Secara keseluruhan, apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan
masalah pada kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar
dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan
menggunakan model pembelajaran problem posing?
2. Secara keseluruhan, apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan
masalah pada kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang
memiliki pengetahuan awal tinggi dan pengetahuan awal rendah?
3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan
problem posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi
kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar?
4. Pada kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran
learning cycle 5E, apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan
8
masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang
memiliki pengetahuan awal tinggi dan memiliki pengetahuan awal rendah?
5. Pada kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran
problem posing, apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan
masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang
memiliki pengetahuan awal tinggi dan memiliki pengetahuan awal rendah?
6. Pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi,
apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan
model pembelajaran problem posing?
7. Pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah,
apakah terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan
model pembelajaran problem posing?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian
ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
9
menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan
model pembelajaran problem posing.
2. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki
pengetahuan awal tinggi dan pengetahuan awal rendah.
3. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E
dan problem posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi
kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.
4. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki
pengetahuan awal tinggi dan memiliki pengetahuan awal rendah, pada
kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran learning
cycle 5E.
5. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki
pengetahuan awal tinggi dan memiliki pengetahuan awal rendah, pada
kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran problem
posing.
6. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan
model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang
memiliki pengetahuan awal tinggi.
10
7. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan
model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang
memiliki pengetahuan awal rendah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi peserta didik: Dapat menumbuhkan pemahaman, keterampilan, dan
kegemaran belajar peserta didik terkhusus pada materi pelajaran fisika serta
melatih peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan awal yang
dimilikinya untuk dikaitkan dengan pengetahuan yang baru diperoleh, dalam
rangka peningkatan kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran
fisika.
2. Bagi guru: Guru tidak lagi mendominasi pembelajaran dan dapat
menjadikan peserta didik sebagai subjek didik sehingga memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk berperan aktif dalam
mengeksplorasi serta mengembangkan kemampuan yang dimilikinya dalam
memecahkan masalah. Guru juga lebih memperhatikan keterampilan yang
dimilikinya dalam memberikan pengetahuan awal kepada peserta didik
dalam bentuk apersepsi sebelum pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, guru
juga dapat meningkatkan pengetahuan mengenai model pembelajaran yang
11
dapat digunakan untuk memaparkan materi pelajaran di dalam kelas dalam
rangka peningkatan profesionalismenya sebagai seorang guru.
3. Bagi sekolah: Dapat menambah masukan kepada pihak penentu kebijakan
sekolah di MAN 2 Model Makassar untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah peserta didik, baik dalam pembelajaran maupun
dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka peningkatan kualitas sekolah
sekaligus mutu pendidikan.
4. Bagi peneliti: Dapat menambah pengetahuan, pengalaman langsung serta
wawasan keilmuan peneliti dalam penerapan model pembelajaran
konstruktivistik, dalam hal ini model pembelajaran learning cycle 5E dan
problem posing, dan diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk
penelitian di masa akan datang.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Belajar dan Pembelajaran
Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang vital.
Mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar, bahwa kegiatan mengajar
hanya bermakna apabila terjadi kegiatan belajar peserta didik. Oleh karena itu,
penting bagi setiap guru memahami proses belajar dan pembelajaran peserta didik.
Banyak orang yang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah
mencari ilmu atau menuntut ilmu. Selain itu, ada pula yang menyatakan bahwa
belajar adalah menyerap pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang harus
mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa belajar
merupakan suatu proses dasar dari perkembangan hidup manusia yang melahirkan
perubahan-perubahan kualitatif individu, sehingga tingkah lakunya berkembang
karena belajar bukan sekedar pengalaman atau hasil, namun belajar adalah suatu
proses (Soemanto, 1998:103). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hamalik (2012: 27-
28) menyatakan bahwa belajar adalah modifikasi kelakuan melalui pengalaman, yang
berarti belajar merupakan suatu proses suatu kegiatan dan bukan merupakan hasil
atau tujuan, bukan hanya mengingat tetapi lebih luas dari itu. Selanjutnya dikatakan
bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui proses
interaksi dengan lingkungan.
Adapun Pribadi (2009: 6) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang agar memiliki kompetensi berupa keterampilan dan
12
13
pengetahuan yang diperlukan. Belajar juga dapat dipandang sebagai sebuah proses
elaborasi dalam upaya pencarian makna yang dilakukan oleh individu untuk
meningkatkan kemampuan dan kompetensi personal. Selain itu, Trianto (2011: 16)
menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan pada individu yang terjadi melalui
pengalaman bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuh atau karakteristik
sejak lahir, yang terjadi melalui banyak cara, baik disengaja maupun tidak disengaja
dan berlangsung sepanjang waktu menuju perubahan pada pebelajar.
Perubahan yang terjadi ketika belajar berlangsung mempunyai sebuah aspek
arahan, kadang menimbulkan suatu perubahan dalam arah cita-cita kehidupan,
kadangpula memperkuat arah cita-cita warga belajar. Apabila perubahan itu merubah
cara berpikir, maka perubahan tersebut melibatkan perubahan dalam tujuan dan arah
kehidupan. Apabila pengalaman belajar terus membimbing ke arah yang sama
dengan arah yang ditempuh selama ini, maka pengalaman belajar itu memberi
pengalaman baru dam dapat membantu melihat cara yang ditempuh selama ini lebih
jelas lagi. Proses ini dapat membantu untuk maju lebih cepat dan lebih jelas ke arah
tujuan yang diinginkan. Belajar berlangsung apabila perubahan-perubahan berikut ini
yang terjadi:
1. Penambahan informasi
2. Pengembangan atau peningkatan pengertian
3. Penerimaan sikap-sikap baru
4. Perolehan penghargaan baru
5. Pengerjaan sesuatu dengan menggunakan apa yang telah dipelajari
6. Mengganti informasi lama
14
Keenam jenis perubahan ini dapat dimasukkan ke dalam tiga kategori yaitu
pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif), dan perbuatan (Psikomotor) (Surjadi,
2012: 3)
Apabila beberapa pengertian mengenai belajar di atas dianalisis, maka terdapat
unsur-unsur yang sama, yaitu: 1) belajar merupakan suatu kegiatan yang disadari dan
memiliki tujuan, 2) proses belajar mengakibatkan perubahan tingkah laku yang
disebabkan oleh pengalaman-pengalaman atau latihan-latihan, dan bukan disebabkan
oleh pertumbuhan dan kematangan, dan 3) perubahan tingkah laku dalam belajar
sifatnya menetap (Haling, 2007: 2). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar
melalui pengalaman seseorang yang mengakibatkan perubahan tingkah laku pada diri
pebelajar yang bersifat menetap.
Pembelajaran merupakan produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan
dan pengalaman hidup. Pmbelajaran adalah usaha sadardari seorang guru untuk
membelajarkan peserta didiknya (mengarahkan interaksi peserta didik dengan
sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Pembelajaran juga diartikan sebagai interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta
didik, yang di antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah
menuju suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya (Trianto, 2011: 17)
Haling (2007: 14) menyatakan bahwa pembelajaran adalah usaha pebelajar
yang bertujuan untuk menolong pebelajar belajar. Pembelajaran merupakan
seperangkat peristiwa yang mempengaruhi terjadinya proses belajar pebelajar.
Peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi terjadinya belajar pebelajar, tidak selamanya
15
berada di luar diri pebelajar, tetapi juga berada di dalam diri pebelajar. Peristiwa di
luar diri pebelajar adalah segala sesuatu yang dipersiapkan pebelajar sebagai kondisi
untuk kepentingan pembelajaran. Berdasarkan beberapa pengertian di atas,
pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara
terencana dan sistematis melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, penilaian, serta
pembelajaran tindak lanjut, agar mendorong peristiwa belajar pada pebelajar.
B. Teori Belajar Konstruktivisme
Pribadi (2009: 156) mengemukakan definisi pendekatan konstruktivistik
sebagai “pembelajaran yang menekankan pada peran aktif peserta didik dalam
membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang
dialami.” Definisi lain tentang pendekatan konstruktivistik merupakan “pendekatan
konstruktivistik merujuk kapada asumsi bahwa manusia mengembangkan dirinya
dengan cara melibatkan diri, baik dalam kegiatan secara personal maupun sosial
dalam membangun ilmu pengetahuan.”
Asal kata konstruktivisme yaitu “to construct” yang berarti “membentuk”.
Kontruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri.
Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam
proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme
berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui
keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar.
16
Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara pengetahuan baru
dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Individu
dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah membangun atau
mengkonstruksi pengetahuan baru dengan cara melakukan penafsiran atau
interprestasi baru terhadap lingkungan sosial, budaya, fisik, dan intelektual tempat
mereka hidup. Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan
pengalaman yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang
guru atau instruktur adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering diistilahkan
sebagai “scenario of problems”, yang mencerminkan adanya pengalaman belajar
yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang
sesungguhnya.
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar
kognitif. Tujuan penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah
untuk membantu meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap isi atau materi
pelajaran. Konstruktivisme memiliki keterkaitan yang erat dengan metode
pembelajaran penemuan (discovery learning) dan konsep belajar bermakna
(meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada dalam konteks teori
belajar kognitif (Jauhar, 2011: 157 - 158).
1. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan di kelompok dalam teori
pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis
ini menyatakan bahwa peserta didik harus menemukan sendiri dan
17
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-
aturan alam, dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi peserta
didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus
bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha
dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembangan dari kerja Piaget,
Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain,
seperti teori Bruner.
Menurut teori kontruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikolog
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada
peserta didik. Peserta didik harus membangun sendiri pengetahuan di dalam
benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi
kesempatan peserta didik untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri,
dan mengajar peserta didik menjadi sadar dan secara menggunakan strategi mereka
sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi peserta didik anak tangga yang membawa
peserta didik ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan peserta didik sendiri
yang harus memanjat anak tangga tersebut (Trianto, 2009: 28).
2. Aspek-Aspek Pembelajaran Konstruktivisme
Jauhar (2011: 37) mengemukakan aspek-aspek konstruktivistik antara lain
adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of environment) dan
pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut,
Jauhar (2011: 37) memaknai adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua
proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif di mana
18
seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai
suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau
rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus.
Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan schemata, melainkan perkembangan
skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
Akomodasi adalah rangsangan atau pengalaman baru seseorang yang tidak
dapat mengasimilasikann pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dimiliki.
Pengalaman yang baru bisa saja tidak cocok dengan skema yang telah ada, sehingga
terjadi akomodasi. Akomodasi terbentuk untuk membentuk skema baru yang cocok
dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada, sehingga
cocok dengan rangsangan itu (Jauhar, 2011: 37 - 38).
C. Model pembelajaran Learning cycle 5E
Model pembelajaran bersiklus pertama kali diajukan oleh Robert Karplus pada
awal tahun 1960-an pada program sains dasar yaitu Science Currikulum Improvement
Study. Dalam pembelajaran bersiklus menurut Karplus, bahwa pembelajaran terdiri
dari discovery, concept intention, dan concept application (Bass, Contant, dan Carin,
2009: 90). Pembelajaran bersiklus merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan yang
diorganisasi sedemikian rupa, sehingga peserta didik dapat menguasai kompetensi
yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif.
19
Wena (2012: 170) menyatakan bahwa pembelajaran siklus merupakan salah
satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Siklus belajar merupakan
salah satu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis yang pada mulanya
terdiri atas tiga tahap, yaitu:
1. Eksplorasi (exploration),
2. Pengenalan konsep (concept introduction), dan
3. Penerapan konsep (concept application).
Pada proses selanjutnya, tiga tahap siklus tersebut mengalami pengembangan.
Wena (2012: 171) mengemukakan tiga siklus tersebut saat ini dikembangkan
menjadi lima tahap yang terdiri atas tahap (a) pembangkitan minat (engagement), (b)
eksplorasi (exploration), (c) penjelasan (explanation), (d) elaborasi
(elaboration/extention), dan (e) evaluasi (evaluation).
1. Tahap Pembelajaran
a. Pembangkitan Minat
Tahap pembangkitan minat merupakan tahap awal dari siklus belajar. Pada
tahap ini, guru berusaha membangkitkan dan mengembangkan minat dan
keingintahuan (curiosity) peserta didik tentang topik yang akan diajarkan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang proses faktual dalam
kehidupan sehari-hari (yang berhubungan dengan topik bahasan). Dengan demikian,
peserta didik akan memberikan respons/jawaban, kemudian jawaban peserta didik
tersebut dapat dijadikan pijakan oleh guru untuk mengetahui pengetahuan awal
peserta didik tentang pokok bahasan. Kemudian guru perlu melakukan identifikasi
ada/tidaknya kesalahan konsep pada peserta didik. Dalam hal ini guru harus
20
membangun keterkaitan/perikatan antara pengalaman keseharian peserta didik
dengan topik pembelajaran yang akan dibahas.
b. Eksplorasi (Exploration)
Eksplorasi merupakan tahap kedua model siklus belajar. Pada tahap eksplorasi
dibentuk kelompok-kelompok kecil antara 2-4 peserta didik, kemudian diberi
kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil tanpa pembelajaran langsung
dari guru. Dalam kelompok ini peserta didik didorong untuk menguji hipotesis dan
atau membuat hipotesis baru, mencoba alternatif pemecahannya dengan teman
sekelompok, melakukan dan mecatat pengamatan serta ide-ide atau pendapat yang
berkembang dalam diskusi. Pada tahap ini guru berperan sebagi faisilitator dan
motivator. Pada dasarnya tujuan tahap ini adalah mengecek pengetahuna yang
dimiliki peserta didik apakah sudah benar, masih salah, atau mungkin sebagian salah
dan sebagian benar.
c. Penjelasan
Penjelasan merupakan tahap ketiga siklus belajar. Pada tahap penjelasan, guru
dituntut mendorong peserta didik untuk menjelaskan suatu konsep dengan
kalimat/pemikiran sendiri, meminta bukti dan klarifikasi atas penjelasan peserta
didik, dan saling mendengar secara kritis penjelasan antarpeserta didik atau guru.
Dengan adanya diskusi tersebut, guru memberi definisi dan penjelasan tentang
konsep yang dibahas, dengan memakai penjelasan peserta didik terdahulu sebagai
dasar diskusi.
21
d. Elaborasi
Elaborasi merupakan tahap keempat siklus belajar. Pada tahap elaborasi peserta
didik menerapkan konsep dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru
atau konteks yang berbeda. Dengan demikian, peserta didik akan dapat belajar secara
bermakna, karena telah dapat menerapkan/mengaplikasikan konsep yang baru
dipelajarinya dalam situasi baru. Jika tahap ini dapat dirancang dengan baik oleh
guru maka motivasi belajar peserta didik akan meningkat. Meningkatnya motivasi
belajar peserta didik tentu dapat mendorong peningkatan hasil belajar peserta didik
dalam hal ini kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir siklus belajar. Pada tahap evaluasi, guru dapat
mengamati pengetahuan atau pemahaman peserta didik dalam menerapkan konsep
baru. Peserta didik dapat melakukan evaluasi diri dengan mengajukan pertanyaan
terbuka dan mencari jawaban yang menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan
yang diperoleh sebelumnya. Hasil evaluasi ini dapat dijadikan guru sebagai bahan
evaluasi tentang proses penerapan metode siklus belajar yang sedang diterapkan,
apakah sudah berjalan dengan sangat baik, cukup baik, atau masih kurang. Demikian
pula melalui evaluasi diri, peserta didik akan dapat mengetahui kekurangan atau
kemajuan dalam proses pembelajaran yang sudah dilakukan.
Berdasarkan tahapan dalam strategi pembelejaran bersiklus seperti yang telah
dipaparkan, diharapkan peserta didik tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi
dapat berperan aktif untuk menggali, menganalisis, mengevaluasi pemehamannya
terhdap konsep yang dipelajari. Perbedaan mendasar antara model pembelajaran
22
siklus belajar dengan pembelajaran konvensional adalah guru lebih banyak bertanya
daripada member tahu. Misalnya, pada waktu akan melakukan eksperimen terhadap
suatu permasalahan, guru tidak memberi petunjuk langkah-langkah yang harus
dilakukan peserta didik, tetapi guru mengajukan pertanyaan penuntun tentang apa
yang akan dilakukan peserta didik, apa alasan peserta didik merencanakan atau
memutuskan perlakukan yang demikian. Dengan demikian, kemampuan analisis,
evaluatif, dan argumentatif peserta didik dapat berkembang dan meningkat secara
signifikan.
2. Penerapan di Kelas
Secara operasional kegiatan guru dan peserta didik selama proses pembelajaran
dapat dijabarkan sebagai berikut.
Tabel II.1. Fase-Fase Pembelajaran Learning Cycle 5E
No.
Tahap Siklus Belajar
Kegiatan Guru Kegiatan Peserta didik
1. Tahap Pembangkitan Minat
Membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) peserta didik.
Mengembangkan minat/rasa ingin tahu terhadap topik bahasan.
Mengajukan pertanyaan tentang proses faktual dalam kehidupan sehari-hari (yang berhubungan dengan topik bahasan).
Memberikan respon terhadap pertanyaan guru.
Mengkaitkan topik yang dibahas dengan pengalaman peserta didik. Mendorong peserta didik untuk mengingat pengalaman sehari-harinya dan menunjukkan keterkaitannya dengan topik pembelajaran yang sedang dibahas.
Berusaha mengingat pengalaman sehari-hari dan menghubungkan dengan topik pembelajran yang akan dibahas.
2. Tahap Eksplorasi
Membentuk kelompok, member kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok kecil secara mandiri.
Membentuk kelompok dan berusaha bekerja dalam kelompok.
23
Guru berperan sebagai fasilitator
Membuat prediksi baru.
Mendorong peserta didik untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri.
Mecoba alternatif pemecahan dengan teman sekelompok, mencatat pengamatan, serta mengembangkan ide-ide baru.
Meminta bukti dan klarifikasi penjelasan peserta didik, mendengar secara kritis penjelasan antarpeserta didik.
Menunjukkan bukti dan member klarifikasi terhadap ide-ide baru.
Memberi definisi dan penjelasan dengan memaki penjelasan peserta didik terdahulu sebagai dasar diskusi.
Mencermati dan berusaha memahami penjelasan guru.
3. Tahap Penjelasan
Mendorong peserta didik untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri.
Mencoba memberi penjelasan terhadap konsep yang ditemukan.
Meminta bukti dan klarifikasi penjelasan peserta didik.
Menggunakan pengamatan dan catatan dalam member penjelasan.
Mendengar secara kritis penjelasan antarpeserta didik atau guru.
Melakukan pembuktian terhadap konsep yang diajukan.
Memandu diskusi. Mendiskusikan.4. Tahap
ElaborasiMengingatkan peserta didik pada penjelasan alternatif dan mempertimbangkan data/bukti saat mereka mengeksplorasi situasi baru.
Menerapkan konsep dan keterampilan dalam situasi baru dan menggunakan label definisi formal.
Mendorong dan memfasilitasi peserta didik mengaplikasi konsep/keterampilan dalam setting yang baru/lain.
Bertanya, mengusulkan pemecahan, membuat keputusan, melakukan percobaan, dan pengamatan.
5. Tahap Evaluasi
Mengamati pengetahuan atau pemahaman peserta didik dalam hal penerapan konsep baru.
Mengevaluasi belajarnya sendiri dengan mengajukan pertanyaan terbuka dan mencari jawaban yang menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan yang diperoleh sebelumnya.
24
Mendorong peserta didik melakukan evaluasi diri.
Mengambil kesimpulan lanjut atas situasi belajar yang dilakukannya.
Mendorong peserta didik memahami kekurangan/kelebihannya dalam kegiatan pembelajaran.
Melihat dan menganalisis kekurangan/kelebihannya dalam kegiatan pembelajaran.
(Wena, 2012: 173-175)
D. Model Pembelajaran Problem Posing
Model pembelajaran problem posing mulai dikembangkan pada tahun 1997
oleh Lynn D. English dan awal mulanya diterapkan dalam mata pelajaran fisika
(Suyitno, 2004). Model pembelajaran problem posing mulai masuk ke Indonesia
pada tahun 2000, kemudian dikembangkan pada mata pelajaran yang lain. Problem
posing diartikan sebagai pengajuan masalah atau perumusan masalah yang berkaitan
dengan syarat-syarat soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih
relevan. Selain itu, “Problem posing essentially means creating a problem with
solutions unknown to the target problem solver the problem create for” (Leung,
2001).
Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah model
pembelajaran yang mewajibkan para peserta didik untuk mengajukan soal sendiri
melalui belajar (berlatih soal) secara mandiri (Suyitno, 2004). Problem posing adalah
perumusan soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Dalam pembelajaran fisika,
sebenarnya pengajuan masalah (problem posing) menempati posisi yang strategis.
Dalam hal ini peserta didik harus menguasai materi dan urutan penyelesaian soal
secara mendetail.
25
Hal tersebut akan tercapai jika peserta didik memperkaya pengetahuannya
tidak hanya dari guru melainkan perlu belajar mandiri. Suyitno (2004) menjelaskan
bahwa problem posing diaplikasikan dalam tiga bentuk aktifitas kognitif sebagai
berikut ini.
1. Presolution possing
Peserta didik membuat pertanyaan berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh guru.
2. Within solution possing
Peserta didik memecah pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan
yang relevan dengan pertanyaan guru.
3. Post solution posing
Peserta didik membuat soal yang sejenis, seperti yang dibuat oleh guru.
Problem posing merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mengembangkan kecakapan berpikir peserta didik karena dalam
pembelajaran ini, peserta didik dikondisikan untuk menggali informasi sebanyak-
banyaknya dari berbagai literatur, merumuskan soal atau pertanyaan dan situasi yang
ada, menentukan jawaban atau pemecahan dari permasalahan yang mereka buat serta
mencari alternatif pemecahannya.
Langkah kegiatan pembelajaran problem posing menurut (Dasianto, 2008)
adalah sebagai berikut:
1. Membuka kegiatan pembelajaran;
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran;
3. Menyampaikan materi pelajaran;
4. Memberi contoh menyelesaikan soal memberi kesempatan untuk bertanya;
26
5. Memberi kesempatan peserta didik untuk membuat soal dari kondisi yang
diberikan, mempertukarkan dan mendiskusikannya, kemudian
mempersilakan peserta didik untuk mempresentasikan soal yang telah
dibentuk;
6. Memberikan kondisi lain dan memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk membuat soal sebanyak-banyaknya;
7. Mempersilahkan peserta didik bertukar soal dengan peserta didik lain dan
mendiskusikannya;
8. Mengarahkan peserta didik untuk menarik kesimpulan;
9. Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan peserta didik;
10. Menutup pelajaran.
E. Pengetahuan Awal
Salah satu hal yang perlu dipahami oleh seorang guru berkaitan dengan proses
belajar peserta didiknya adalah kompetensi kognitif, kapasitas peserta didik untuk
berpikir abstrak, dan strategi mnemonik mereka. Dalam bab ini akan dibahas
keterkaitan antara psikologi kognitif dan bagaimana manusia membangun
pengetahuan awal dalam dirinya. Pengetahuan adalah hasil belajar. Pada saat
seseorang belajar tentang fisika, sejarah bangsa, sosial atau aturan-aturan bermain
bulu tangkis, seseorang mengetahui sesuatu yang baru. Pengetahuan bukanlah hasil
akhir, melainkan lebih dari itu, pengetahuan adalah pembimbing atau pengarah bagi
belajar sesuatu yang baru. Pendekatan kognitif menyatakan bahwa salah satu elemen
27
penting dalam proses belajar adalah apa saja yang dibawa oleh individu dalam situasi
belajar.
Baharuddin dan Wahyuni (2010: 96) menyatakan sebuah penelitian tentang
pentingnya pengetahuan dalam memahami dan mengingat suatu onformasi yang baru
telah dilakukan oleh Recht dan Leslie. Keduanya meneliti peserta didik-peserta didik
sekolah menengah pertama yang sangat bagus membacanya dan sangat kurang
membacanya. Mereka menguji pengetahuan peserta didik tentang olahraga baseball
dan menemukan bahwa pengetahuan baseball tidak ada kaitannya dengan
kemampuan membaca. Oleh karena itu, kedua peneliti tersebut membagi peserta
didik dalam empat kelompok, yaitu 1) kelompok yang mampu membaca dengan
bagus sekaligus memiliki pengetahuan tentang baseball, 2) kelompok yang mampu
membaca dengan baik tapi kurang pengetahuannya tentang baseball, 3) kelompok
yang kurang mampu membaca dengan baik tapi memiliki pengetahuan tentang
baseball yang luas, dan 4) peserta didik yang memiliki kemampuan membaca yang
kurang dan pengetahuan tentang baseball juga kurang.
Hasilnya, kekuatan dari pengetahuan peserta didik yang memiliki kemampuan
membaca kurang dan telah memiliki pengetahuan baseball yang luas ternyata lebih
baik daya ingatnya tentang baseball daripada peserta didik yang memiliki
kemampuan membaca baik tetapi pengetahuan tentang baseball kurang. Berdasarkan
penelitian itu pula, dapat diketahui bahwa peserta didik yang memiliki kemampuan
membaca kurang dan telah memiliki pengetahuan baseball yang luas sama baiknya
dengan peserta didik yang mampu membaca dengan baik serta memiliki pengetahuan
baseball yang baik pula. Sedangkan peserta didik yang kurang mampu membaca
28
dengan baik dan kurang memiliki pengetahuan baseball, mereka kurang dapat
mengingat apa yang mereka baca. Dari penelitian ini, kedua peneliti tersebut
menyimpulkan bahwa dasar pengetahuan yang baik lebih penting daripada strategi
belajar yang baik dalam memahami dan mengingat.
Pengetahuan yang dimiliki oleh individu dapat dibedakan menjadi pengetahuan
umum dan pengetahuan khusus. Pengetahuan umum (general knowledge) adalah
informasi yang sangat berguna untuk memecahkan atau digunakan melaksanakan
berbagai macam tugas yang berbeda. Pengetahuan umum ini dapat ditetapkan pada
berbagai macam situasi. Misalnya, mengetahui bagaimana membaca, mengeja, atau
memproses sebuah kata atau kalimat itu sangat berguna, baik dalam situasi belajar di
sekolah maupun di luar sekolah. Sementara pengetahuan khusus (domain specific
knowledge) adalah informasi yang dapat digunakanhanya dalam situasi tertentu atau
yang hanya dapat diterapkan dalam satu topik khusus. Contohnya, pada saat peserta
didik belajar membaca, maka terlebih dahulu ia belajar mengeja huruf. Mengeja
huruf merupakan pengetahuan khusus, tetapi pengetahuan ini akan bertambah bila
digabungkan dengan pengetahuan khusus lain sampai akhirnya seorang peserta didik
dapat membaca dengan baik dan akhirnya menjadi pengetahuan umum.
Selain dibedakan sebagai pengetahuan umum dan khusus, pengetahuan juga
dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) pengetahuan deklaratif, 2) pengetahuan
prosedural, dan 3) pengetahuan kondisional. Pengetahuan deklaratif adalah
“mengetahui tentang” (knowing that) suatu kasus atau masalah. Biasanya
pengetahuan ini berupa fakta-fakta, opini-opini, kepercayaan, aturan-aturan, puisi,
29
lirik lagu, teori-teori dan lain sebagainya. Gagne menyebut pengetahuan deklaratif
sebagai informasi verbal (verbal information).
Pengetahuan prosedural (prosedural knowledge) adalah “mengetahui
bagaimana” (knowing how) untuk melakukan sesuatu atau memecahkan sebuah
kasus. Seorang peserta didik yang dapat menyebutkan aturan cara membagi pecahan
menunjukkan ia memiliki pengetahuan deklaratif, tetapi ketika ia dapat membagi
pecahan dengan benar menunjukkan pengetahuan prosedural. Pengetahuan
prosedural harus ditunjukkan dengan tingkah laku atau tindakan. Pengetahuan
prosedural disebutkan dengan keterampilan intelektual (skill intellectual).
Pengetahuan kondisional (conditional knowledge) adalah “mengetahui kapan
dan mengapa” (knowing when and why) untuk menggunakan pengetahuan deklaratif
dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan ini disebut juga dengan strategi kognitif
(cognitive strategies). Misalkan seorang peserta didik diberi soal fisika yang
bermacam-macam. Pada saat peserta didik menyebutkan rumus dan
menggunakannya untuk memecahkan soal fisika dan mengaplikasikan rumus yang
lain untuk memecahkan persoalan yang berbeda, amak hal itu menunjukkan ia
menggunakan pengetahuan kondisonal. (Baharuddin dan Wahyuni, 2010: 96-98)
Seiring seorang pelajar (peserta didik, mahapeserta didik) mengalami kesulitan
dalam memahami suatu pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya karena
pengetahuan yang sebelumnya, atau mungkin pengetahuan awal sebelumnya belum
dimiliki. Dalam hal ini maka pengetahuan awal menjadi syarat utama dan menjadi
sangat penting bagi pelajar untuk dimilikinya. Trianto (2011: 34) menyatakan bahwa
pengetahuan awal (prior knowledge) adalah sekumpulan pengetahuan dan
30
pengalaman individu yang diperoleh sepanjang perjalanan hidup mereka, dan apa
yang ia bawa kepada suatu pengalaman belajar baru. Nur (2000: 12) menggambarkan
keberartian pengetahuan awal dalam suatu studi menarik yang secara khusus
menghubungkan kemampuan peserta didik memproduksi teks naratif.
F. Kemampuan Memecahkan Masalah
Salah satu penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar disebut
kemampuan. Salah satunya adalah kemampuan memecahkan masalah sebagai
keterampilan intelektual. Karena keterampilan ini merupakan penampilan yang
ditunjukkkan oleh peserta didik tentang operasi-operasi intelektual yang
dilakukannya. Apabila seseorang memiliki kemampuan memecahkan masalah, maka
seseorang tersebut tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, tetapi juga
diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari.
Pemecahan masalah hanya salah satu dari tipe kategori besar dalam
keterampilan berpikir yang digunakan oleh guru-guru untuk mengajarkan kepada
peserta didik bagaimana untuk berpikir (Ellis: 2005). Masalah merupakan sebuah
situasi baik secara kuantitatif atau sebaliknya yang dihadapi oleh seorang individu
atau kelompok dari beberapa individu yang membutuhkan penyelesaian dan pada
beberapa individu hal tersebut dapat terlihat tidak jelas atau nyata atau kecil peluang
untuk menemukan penyelesaiannya (Carson, 2007: 3)
Pemecahan masalah menurut Krulik dan Rudnick (1987) diartikan sebagai
sesuatu yang digunakan oleh seorang individu untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan memahami untuk memenuhi permintaan atau sebuah situasi yang
31
tidak lazim. Peserta didik harus mensintesis apa yang dipelajinya dan menerapkannya
dalam situasi yang baru atau berbeda.
Dalam pembelajaran berbasis masalah, terdapat delapan tahapan mencari
masalah yaitu:
1. Mengidentifikasi masalah
2. Mengumpulkan data
3. Menganalisis data
4. Memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya
5. Memilih cara untuk memecahkan masalah
6. Merencanakan penerapan pemecahan masalah
7. Melakukan uji coba terhadap rencana yang ditetapkan dan
8. Melakukan tindakan untuk memecahkan masalah
Empat tahap yang pertama mutlak diperlukan untuk berbagai kategori tingkat
berpikir sedangkan 4 tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan
untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Pemilihan masalah yang tepat,
dalam memberikan pengalaman belajar yang baik, menjadi masalah bagi guru dan
peserta didik artinya pemilihan masalah yang kurang luas dan kurang relevan,
dengan konteks materi pembelajaran atau suatu masalah yang tidak sesuai dengan
tingkat berpikir peserta didik dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan
pembelajaran.
Beberapa tipe pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam memecahkan
masalah dalam proses pembelajaran, diperlihatkan pada tabel berikut:
32
Tabel II.2. Tipe-Tipe Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran
John Dewey (1933) George (Polya (1988)Stephen Krulik dan
Jesse Rudnick (1980)Konfirmasi masalah Memahami masalah Membaca Mendiagnosis atau mengartikan masalah
Memikirkan sebuah perencanaan
Menyelediki/memeriksa
Menginventaris beberapa penyelesaian masalah
Membawa keluar dari perencanaan
Memilih strategi penyelesaian
Memperkirakan konsekuensi dari penyelesaian masalah
Mengulang kembali Memecahkan
Mengetes konsekuensi Mengulang dan menyampaikan penyelesaian masalah
(Carson, 2007: 8)
Dalam hal ini, penulis memilih menggunakan tipe pemecahan masalah Krulik
and Rudnick. Penjelasan mengenai tahap penyelesaian masalah menurut Krulik and
Rudnick (1987: 29 - 31) dapat diuraikan berikut ini:
Tahap pertama, membaca, yaitu ketika peserta didik mampu mengenali
masalah. Peserta didik melakukan hal ini dengan mencatat kata kunci, menanyakan
kepada diri sendiri apa yang akan dijawab dalam sebuah masalah atau mengulang
masalah ke dalam bahasa yang dipahami dengan mudah.
Tahap kedua, menyelidiki, yaitu ketika seseorang mencari pola atau berusaha
atau menetapkan konsep atau prinsip permainan dalam permasalahan. Hal ini berarti
tahap ini lebih tinggi dati tahap pertama yang diidentifikasi peserta didik adalah
menghadirkan masalah tersebut dalam jalan yang mudah dimengerti.
Tahap ketiga, memilih strategi, yaitu ketika seseorang menggambarkan sebuah
kesimpulan atau membuat hipotesis tentang bagaimana memecahkan masalah yang
didasarkan pada apa yang peserta didik temukan dalam tahap pertama dan kedua.
33
Tahap keempat, yaitu memecahkan masalah, di mana salah satu dari metode
yang dimiliki dipilih oleh peserta didik untuk diaplikasikan pada masalah untuk
diselesaikan.
Tahap kelima, mengulang dan menyampaikan penyelesaian masalah, yaitu
ketika peserta didik memverifikasi jawabannya dan mencari variasi dalam metode
menyelesaikan masalah. Setelah itu, barulah mempublikasikan penyelesaian masalah
yang diperoleh.
Apabila kemampuan memecahkan masalah tersebut di tuangkan dalam
taksonomi pendidikan Bloom, maka kemampuan memecahkan masalah termasuk ke
dalam kategori berikut:
1. Mengaplikasikan
Proses kognitif mengaplikasikan melibatkan penggunaan prosedur-prosedur
tertentu untuk mengerjakan soal latihan atau menyelesaikan masalah.
Mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Kategori
mengaplikasikan terdiri dari dua proses kognitif yaitu mengeksekusi, apabila
tugasnya hanya soal latihan (familier) di telinga peserta didik dan
mengimplementasikan ketika tugasnya merupakan masalah (tidak familier).
2. Menganalisis
Menganalisis melibatkan proses memecah-mecah materi menjadi bagian-
bagian kecil dan menentukan hubungan antarbagian dan antara setiap bagian dan
struktur keseluruhannya. Kategori ini terdiri atas membedakan yaitu menentukan
potongan-potongan informasi yang relevan atau penting, mengorganisasikan yaitu
34
menentukan cara-cara untuk menata potongan-potongan informasi tersebut, dan
mengatribusikan yaitu menentukan tujuan di balik informasi tersebut.
3. Mengevaluasi
Mengevaluasi didefinisikan sebagai membuat keputusan berdasarkan criteria
dan standar. Criteria tersebut diantaranya adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan
konsistensi. Kategori mengevaluasi terdiri atas proses kognitif memeriksa yaitu
keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan kriteria internal dan mengkritik yaitu
keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan criteria eksternal (Anderson dan
Krathwohl, 2010: 116-127)
G. Kerangka Pikir Penelitian
Pada dasarnya, dalam proses pembelajaran seringkali seorang peserta didik
mengalami kesulitan dalam memahami suatu pengetahuan tertentu. Salah satu
penyebabnya adalah tidak terjadi hubungan antara pengetahuan baru yang diterima
oleh peserta didik dengan pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik sebelum
pembelajaran berlangsung. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kemampuan peserta
didik dalam membangun pengetahuan yang dimilikinya sebagai upaya memecahkan
permasalahan yang dihadapi peserta didik, dalam hal ini menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh guru maupun pemecahan masalah yang ditemuinya dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah pendekatan pembelajaran yang
mampu membantu peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan yang
dimilikinya secara aktif tanpa harus selalu diberikan bantuan secara langsung oleh
guru. Peserta didik dapat membangun pengetahuan yang dimilikinya melalui
35
peristiwa ataupun pengalaman yang pernah dialami, sehingga pengetahuan tersebut
berbekas di dalam pikiran peserta didik kemudian dengan mudah dikonstruksi
kembali oleh pikiran peserta didik. konsep tersebut sejalan dengan paham
konstruktivisme yang menganggap bahwa pengetahuan tidak bisa ditransfer atau
dipindahkan secara langsung dan utuh dari pikiran seorang guru kepada peserta
didik, namun peserta didiklah yang dapat mengkonstruksi pengetahuan tersebut
dengan melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu,
diterapkan dua model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme dalam
upaya membangun pengetahuan peserta didik agar memiliki kemampuan
memecahkan masalah dalam pembelajaran fisika, diantaranyanya adalah model
pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing. Pada dasarnya kedua model
pembelajaran ini dalam penerapannya menggunakan pendekatan konstruktivisme,
namun pelaksanaannya berbeda. Jika dalam pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran learning cycle 5E, peserta didik dituntut untuk mampu mengeksplorasi
diri melalui ekperimen atau menjelaskan sebuah konsep, dalam pembelajaran yang
menggunakan model pembelajaran problem posing peserta didik dituntut agar dapat
mengkonstruksi pengetahuan melalui pengerjaan soal-soal. Namun, diharapkan
kedua model pembelajaran tersebut membantu peserta didik dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang dimiliki dengan memperhatikan pengetahuan awal peserta didik
terhadap kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran fisika. Untuk lebih
jelasnya, kerangka pikir penelitian dapat dilihat dari bagan berikut ini.
Model pembelajaran learning cycle 5E
Model pembelajaran Problem posing
Pendekatan Konstruktivisme
Pengetahuan awalpeserta didik
Kemampuan memecahkan masalah peserta didik dalam pembelajaran
fisika
36
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
H. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah disertai penelusuran literatur yang telah
dilakukan oleh penulis sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model
pembelajaran problem posing.
2. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki pengetahuan awal
tinggi dan pengetahuan awal rendah.
37
3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan
problem posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi
kemampuan memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.
4. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki pengetahuan awal
tinggi dan memiliki pengetahuan awal rendah, pada kelompok peserta didik
yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle 5E.
5. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki pengetahuan awal
tinggi dan memiliki pengetahuan awal rendah, pada kelompok peserta didik
yang diajar dengan model pembelajaran problem posing.
6. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model
pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal tinggi.
7. Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah antara kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model
pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal rendah.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester 2 (genap) tahun pelajaran 2012/2013,
namun persiapan penelitian dilakukan sejak bulan Oktober 2012, dan terlaksana
sampai bulan Mei 2013 dengan jadwal penelitian sebagai berikut:
Tabel III.1. Rincian Jadwal Penelitian
KegiatanBulan
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei JunPengajuan Judul √Penyusunan dan Pengajuan proposal
√ √
Seminar Proposal √Permohonan Izin Penelitian √Penyusunan dan Uji Instrumen √ √ √ √ √Pengambilan Data √ √ √Analisis Data √ √Penyusunan Laporan √ √
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPA1 dan XI IPA3 MAN 2 Model
Makassar, dengan pertimbangan bahwa desain penelitian yang digunakan
memerlukan dua kelas untuk pelaksanaannya.
38
39
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI IPA MAN 2
Model Makassar yang terdiri atas 5 kelas dengan jumlah 187 peserta didik.
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling
atau teknik pengambilan sampel secara acak, yaitu sampel yang diambil secara acak
tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi. Namun, karena tidak
mungkin mengacak setiap kelas dengan mengambil beberapa peserta didik di
dalamnya sebagai sampel, maka dilakukan rambang kelas. Artinya, sampel diambil
dengan melakukan rambang kelas tanpa harus merambang peserta didik di dalam
setiap kelas. Dengan teknik pengambilan sampel tersebut, diperoleh dua dari lima
kelas yang ada secara acak dengan menggunakan teknik mengundi.
C. Jenis, Rancangan, dan Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan true experiment atau penelitian eksperimen
sesungguhnya, dengan satu variabel bebas yang terdiri atas dua dimensi, satu variabel
moderator yang terdiri atas dua dimensi, dan satu variabel terikat. Dikatakan true
experiment atau penelitian eksperimen sesungguhnya karena di dalam desain ini,
peneliti dapat mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya
penelitian. Ciri utama dari true experiment atau penelitian eksperimen sesungguhnya
40
adalah sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol
diambil secara rambang dari populasi tertentu (Sugiyono, 2012: 112)
Variabel bebas pertama adalah model pembelajaran yang diterapkan dalam
pembelajaran fisika dengan dimensi model pembelajaran learning cycle 5E dan
model pembelajaran problem posing. Variabel moderator adalah pengetahuan awal
peserta didik, yang dibagi atas dimensi pengetahuan awal rendah dan pengetahuan
awal tinggi. Adapun variabel terikat adalah kemampuan memecahkan masalah fisika
pada peserta didik MAN 2 Model Makassar.
2. Rancangan Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian sebagaimana tertera pada bab sebelumnya,
maka peneliti menggunakan rancangan factorial design dengan bentuk desain
treatment by level design atau desain dengan perlakuan yang bertingkat. Desain
faktorial merupakan modifikasi dari design true experimental dengan memperhatikan
kemungkinan adanya variabel moderator yang mempengaruhi perlakuan (variabel
bebas) terhadap hasil (variabel terikat) (Sugiyono, 2012: 113) Untuk lebih jelasnya,
digambarkan pada tabel berikut:
Tabel III.2. Rancangan Penelitian
Pengetahuan Awal (B)
Model Pembelajaran (A) Yj
Learning cycle 5E (A1) Problem posing (A2)Pengetahuan Awal
Tinggi (B1)
A1B1
k = 1, 2, 3, …, n
A2B1
k = 1, 2, 3, …, nY1
Pengetahuan Awal
Rendah (B2)
A1B2
k = 1, 2, 3, …, n
A2B2
k = 1, 2, 3, …, nY2
Yi Y1 Y2 Y..
41
Keterangan:
A : Perlakuan (Model Pembelajaran)
A1 : Model Learning cycle 5E
A2 : Model Problem posing
B : Pengetahuan Awal
B1 : Pengetahuan Awal Tinggi
B2 : Pengetahuan Awal Rendah
Y : Kemampuan Memecahkan Masalah Peserta didik
k : Banyaknya sampel
Dalam pelaksanaan penelitian ini, maka akan digunakan dua kelas eksperimen
dengan empat kelompok, sebagai berikut:
A1B1 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang
diajar dengan model pembelajaran Learning cycle 5E.
A2B1 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang
diajar dengan model pembelajaran Problem posing.
A1B2 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah yang
diajar dengan model pembelajaran Learning cycle 5E.
A2B2 : Kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah yang
diajar dengan model pembelajaran Problem posing.
3. Desain Penelitian
Untuk rancangan factorial design dengan bentuk desain treatment by level
design atau desain dengan perlakuan yang bertingkat. Desain faktorial
42
memperhatikan kemungkinan adanya variabel moderator (Y) yang mempengaruhi
perlakuan (variabel bebas) terhadap hasil (variabel terikat) (Sugiyono, 2012: 113)
Untuk lebih jelasnya, desain penelitian dituliskan sebagai berikut:
R O1 X Y1 O2
R O3 - Y1 O4
R O5 X Y2 O6
R O7 - Y2 O8
Pada desain ini, dilakukan rambang untuk menentukan tiap kelompok eksperimen
yang masing-masing diberi pre test, dengan memperhatikan variabel moderator,
sehingga dapat dilakukan observasi akhir atau pos test.
D. Variabel Penelitian
Di dalam penelitian ini, dilibatkan tiga variabel untuk menjawab permasalahan
penelitian, sebagai berikut:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang diterapkan
dalam pembelajaran fisika peserta didik MAN 2 Model Makassar, terdiri atas dua
dimensi yaitu model pembelajaran Learning cycle 5E dan model pembelajaran
Problem posing. Kedua model pembelajaran tersebut merupakan pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kemampuan memecahkan masalah
yang dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran fisika.
43
3. Variabel Moderator
Variabel moderator pada penelitian ini adalah pengetahuan awal peserta didik.
Variabel ini terdiri atas dua dimensi, yaitu pengetahuan awal tinggi dan pengetahuan
awal rendah pada peserta didik MAN 2 Model Makassar.
E. Definisi Operasional Variabel
Adapun definisi dari setiap variabel penelitian yang digunakan, sebagai berikut:
1. Model pembelajaran learning cycle 5E, yaitu model pembelajaran yang
digunakan untuk memacu kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi
pengetahuannya secara aktif, baik melalui tahap eksplorasi dalam bentuk
eksperimen maupun melalui tahap eksplanasi dalam bentuk penjelasan
konsep fisika.
2. Model pembelajaran problem posing, yaitu model pembelajaran yang
digunakan untuk memacu kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi
pengetahuannya secara aktif melalui pengajuan soal-soal yang berkaitan
dengan materi pembelajaran fisika.
3. Kemampuan memecahkan masalah, yaitu kecakapan yang dimiliki oleh
peserta didik untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang
dihadapi, dalam hal ini soal-soal atau pertanyaan yang diberikan oleh guru
berkaitan dengan konsep fisika.
4. Pengetahuan awal peserta didik, yaitu sekumpulan pengalaman yang
dimiliki oleh peserta didik mengenai konsep fisika yang diberikan dari
sepanjang perjalanan hidup peserta didik tersebut, yang kemudian
44
dibawanya kepada suatu pengalaman baru. Dalam pelaksanaannya,
pengetahuan awal peserta didik dibagi menjadi dua tingkatan yaitu
pengetahuan awal tinggi dan pengetahuan awal rendah.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan tes. Tes
merupakan himpunan pertanyaan yang harus dijawab, berbentuk pertanyaan yang
harus dipilih atau ditanggapi, dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu.
Tes merupakan salah satu bentuk instrumen yang terdiri atas sejumlah
pertanyaan atau butir soal yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi
melalui jawaban responden atau peserta tes (Ali dan Khaeruddin: 2012: 16). Tes
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pengetahuan awal peserta didik untuk
mengukur pengetahuan awal yang nantinya akan dikelompokkan sesuai dengan
jenjangnya (tinggi atau rendah). Tes pengetahuan awal menggunakan tes objektif,
yaitu tes yang telah disediakan pilihan jawabannya. Selain itu, digunakan pula tes
kognitif berbentuk tes uraian untuk mengetahui kemampuan memecahkan masalah
pada peserta didik sebelum dan setelah diberi perlakuan.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan perangkat yang digunakan untuk
mengumpulkan data atau informasi penelitian yang diinginkan. Instrumen yang
digunakan terdiri atas berbagai macam, di antaranya:
a. Instrumen tes pengetahuan awal peserta didik
45
Instrumen ini merupakan alat pengumpulan data untuk mengetahui tingkat
pengetahuan awal peserta didik berupa tes kognitif. Bentuk tes adalah tes tertulis
pilihan ganda yang dilaksanakan sebelum peneliti melakukan penelitian. Pelaksanaan
tes ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengelompokkan peserta didik di dalam
kelas eksperimen tanpa harus diketahui oleh peserta didik, apakah peserta didik
termasuk ke dalam kelompok peserta didik dengan pengetahuan awal rendah atau
peserta didik dengan pengetahuan awal tinggi.
b. Instrumen tes kemampuan memecahkan masalah
Instrumen ini merupakan alat pengumpulan data untuk mengetahui tingkat
kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik yang dibentuk berupa tes
kognitif. Bentuk tes adalah tes tertulis uraian yang dilaksanakan sebelum dan setelah
peneliti memberikan perlakukan. Instrumen tes kemampuan memecahkan masalah
dibuat sedemikian rupa agar memenuhi indikator yang harus dicapai peserta didik
pada tataran peserta didik mampu memecahkan masalah, dalam hal ini peneliti
menggunakan indikator pemecahan masalah menurut teori Krulick dan Rudnick.
Sebelum memberikan tes kepada peserta didik, peneliti akan membuat rubrik
penilaian untuk soal yang memungkinkan peserta didik memiliki divergensi jawaban.
H. Uji Coba Instrumen
Untuk mengetahui kelayakan perangkat instrumen yang telah disusun oleh
peneliti dalam penelitian ini, maka dilakukan pengujian terhadap kelayakan
instrumen, diantaranya:
1. Uji Validitas
46
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keshahihan suatu
instrumen. Sebuah instrumen memiliki validitas yang tinggi apabila instrumen
tersebut mampu mengukur suatu aspek yang semestinya diukur. Pada penelitian ini,
dilakukan validitas tes berupa teknik pengukuran validitas isi (content validity) dan
validitas konstruksi (construct validity) untuk instrumen tes pengetahuan awal dan
kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran fisika yang dilakukan oleh
para ahli.
a. Validitas Isi
Validitas isi adalah suatu teknik validitas instrumen yang menunjukkan bahwa
isi dari instrumen yang disusun benar-benar dibuat berdasarkan literatur yang ada dan
mewakili setiap aspek yang akan diukur. Uji validitas isi dapat dilakukan oleh ahli
atau pakar validasi (validator ahli) dengan cara menunjukkan instrumen tes yang
akan digunakan beserta kisi-kisi instrumen.
b. Validitas Konstruk
Validitas konstruk adalah suatu teknik validitas instrumen yang menunjukkan
bahwa instrumen yang dipilih telah sesuai dengan apa yang akan diukur. Uji validitas
konstruk dapat dilakukan oleh ahli atau pakar validasi (validator ahli).
Setelah dilakukan validasi ahli, kemudian dilakukan penghitungan persentase
tanggapan ahli untuk setiap pertanyaan dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel III.3. Kriteria Interpretasi Skor
Sangat Kurang Kurang Baik Sangat Baik
0% 25% 50% 75% 100%
47
Persentase (%) Kriteria
0 – 25 Sangat Kurang
26 – 50 Kurang
51 – 75 Baik
76 – 100 Sangat Baik
Sumber: Riduwan (2011: 15)
Selanjutnya, secara kontinum digambarkan tingkat gradasi hasil analisis
berdasarkan skala presentase berikut:
Gambar III.1 Tingkat Gradasi Tanggapan Validator
Berdasarkan penilaian oleh tiga validator, dilakukan analisis validitas konten
untuk setiap item pernyataan dengan menggunakan persamaan CVR (Content
Validity Ratio), sedangkan analisis validitas setiap aspek yang terdiri dari beberapa
item menggunakan persamaan CVI (Content Validity Index). Penilaian dikatagorikan
valid jika CVR atau CVI berada pada kisaran nilai 0 s.d 1. Untuk menghitung CVR
digunakan rumus menurut Lawshe sebagai berikut:
CVR=ne−
N2
N2
(Lawshe , 1975 :567)
Menghitung persentase tanggapan ahli dan peserta didik untuk setiap
pernyataan dengan kriteria sebagai berikut:
Keterangan:
ne : Banyaknya validator yang memberikan nilai esensial (baik atau sangat baik)
48
N : Jumlah validator
Berdasarkan validitas setiap item pernyataan, maka dapat ditentukan validitas
setiap aspek dengan menggunakan persamaan CVI sebagai berikut:
CVI=CVR
∑ n(Lawshe ,1975 :572)
Keterangan:
n : Jumlah item dari setiap aspek
Selain melakukan validasi ahli, dilakukan pula validitas tiap item soal dengan
melakukan uji coba di kelas yang setara. Pengujian ini dilakukan di kelas XI IPA2.
Pengujian validitas setiap item tes objektif pengetahuan awal dilakukan dengan
menggunakan rumus berikut:
γ p bi=
M p−M t
S t √ pq
(Arikunto,Suharsimi, 2003: 79)
dengan :
γ p bi= koefesien korelasi biserial
Mp = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang dicari
validitasnya
Mt = rerata skor total
St = standar deviasi
p = proporsi peserta didik yang menjawab benar
p=banyak pesertadidik yangbenarjumlah seluruh peserta didik
q = proporsi peserta didik yang menjawab salah (q = 1 – p)
49
Dengan kriteria, untuk n = 38 orang, jika ≥ 0,32 maka item dinyatakan
valid dan jika < 0,32 maka item dinyatakan drop.
Adapun untuk tes uraian kemampuan memecahkan masalah, setelah
dilakukan uji coba, lalu dianalisis menggunakan korelasi product moment (rxy) dari
Karl Pearson, dengan persamaan sebagai berikut:
r xy=N ∑ XY −¿¿¿
Keterangan:
rxy : Koefisien korelasi suatu butir soal (koefisien validitas)
X : skor item nomor tertentu
Y : Skor total
N : Jumlah sampel
Butir soal dikatakan valid jika rxy ≥ rtabel pada taraf signifikansi 5 %, untuk n =
38 orang, jika rtabel ≥ 0,32
2. Uji Reliabilitas
Realibilitas suatu instrumen adalah tingkat keajegan instrumen untuk
mengukur aspek yang diukur, artinya apabila instrumen tersebut diberikan pada
subjek yang berbeda akan memberikan hasil yang relatif sama. Untuk mengetahui
konsistensi instrumen yang digunakan, maka harus ditentukan reliabilitasnya
Analisis reliabilitas soal yang diperoleh dari validasi para ahli dilakukan
dengan maksud melihat tingkat keajegannya. Pengujian reliabilitas tersebut
menggunkan rumus Alpha sebagai berikut:
r11=( kk−1 )(1−
∑ σb2
σ t2 ) (Arikunto, 2006: 196 )
50
r11 : Reliabilitas instrumen
k : Banyaknya butir pernyataan
∑σb2 : Jumlah variansi butir
∑σt2 : Variansi total
Nilai reliabilitas yang diperoleh selanjutnya dikonsultasikan dengan nilai reliabilitas
tabel. Instrumen dikatagorikan reliabel jika diperoleh nilai reliabilitas hitung lebih
besar daripada reliabilitas tabel.
Untuk menghitung reliabilitas tes pengetahuan awal peserta didik, digunakan
rumus Kuder-Richardson - 20 (KR-20) sebagai berikut :
r11=( nn−1 )( S2−∑ pq
S2 )(Arikunto, Suharsimi, 2003: 100)
dengan :
r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan
p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item salah (q = 1-p )
∑ pq = jumlah perkalian antara p dan q
n = banyaknya item
S = standar deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar varians)
Adapun untuk tes kemampuan memecahkan masalah yang menggunakan tes
bentuk uraian, yang memiliki gradualisasi penilaian, maka digunakan rumus Alpha
seperti dengan analisis reliabilitas untuk validasi ahli.
3. Uji Indeks Kesukaran
51
Taraf kesukaran (P) item soal dihitung dengan persamaan berikut:
p=Ph+Pl
2
Keterangan :
P : indeks kesukaran/kemudahan
Ph : proporsi peserta didik kelompok atas yang menjawab item soal dengan benar;
Pl : proporsi peserta didik kelompok bawah yang menjawab item soal dengan
salah;
Kriteria indeks kesukaran/kemudahan dengan batasan: p ≤ 0,30 : sukar; 0,31 ≤
p ≤ 0,710: sedang; 0,71 ≤ p : mudah.
4. Uji Daya Pembeda Butir Soal
Daya pembeda (D) soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi (pandai) dengan peserta didik
yang memiliki kemampuan rendah (kurang pandai). Untuk menghitung daya beda
soal pada penelitian ini digunakan persamaan berikut:
D= Ph - Pl
Keterangan :
D : Daya pembeda
Ph : proporsi peserta didik kelompok atas yang menjawab item soal dengan benar;
Pl : proporsi peserta didik kelompok bawah yang menjawab item soal dengan
salah;
Kriteria indeks kesukaran/kemudahan dengan batasan: 0,40 ≤ D : sangat baik;
0,30 ≤ D ≤ 0,39: baik; 0,20 ≤ D ≤ 0,29: cukup; D ≤ 0,20 : jelek.
I. Teknik Analisis Data
52
Analisis data dilakukan untuk mengetahui kebenaran hipotesis yang diajukan
dalam penelitian. Dalam penelitian ini, digunakan teknik anava dua jalur. Untuk
melakukan analisis anava, maka sebelumnya dilakukan uji prasyarat analisis data.
1. Uji Normalitas
Uji nomalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang digunakan
berdistribusi normal atau tidak. Untuk pengujian tersebut digunakan rumus chi-
kuadrat yang dirumuskan sebagai berikut:
χhitung2 =∑
i=1
k (Oi−Ei )2
E i
(Sudjana , 1992: 170)
Keterangan:
χhitung2
= Nilai Chi-kuadrat hitung
Oi = Frekuensi hasil pengamatan
Ei = Frekuensi harapan
k = Banyaknya kelas
Kriteria pengujian:
Data berdistribusi normal bila χhitung2
lebih kecil dari χ tabel2
dimana χ tabel2
diperoleh dari
daftar χ2dengan dk = (k-3) pada taraf signifikan = 0,05.
Uji normalitas juga didukung dengan perhitungan dengan sistem
terkomputerisasi yang dilakukan dengan menggunakan perangkat SPSS 16.0.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari
populasi yang homogen atau tidak. Untuk pengujian tersebut digunakan rumus
Harley yang dirumuskan sebagai berikut:
53
Fmax=variansi terbesarvariansi terkecil
(Irianto, 2010: 276)
3. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis yang
diajukan diterima atau ditolak. Untuk menguji hipotesis, maka dilakukan analisis
variansi dua jalur, sehingga terlihat interaksi antarkolom, antarbaris, serta interaksi
dalam sel. Apabila hipotesis nol ditolak, maka diharuskan melakukan uji lanjut anava
sebagai tindak lanjut dari analisis variansi. Untuk melihat interaksi yang terbaik,
apabila sampel setiap kelompok berjumlah sama, maka dapat digunakan uji tukey,
namun apabila jumlah sampel setiap kelompok tidak sama, maka digunakan uji sceffe
agar terlihat seberapa besar pengaruh interaksi antarvariabel. Secara manual, anava
dua jalur dapat dihitung dengan persamaan berikut:
1. Menghitung Jumlah Kuadrat (JK)
a. JK total
JK (T )=(∑1
40
Y 2)−(∑ Y T
nT)
b. JK antar kelompok
JK ( AK )=(∑∑ Y 112
n+∑Y 21
2
n+∑ Y 12
2
n+∑Y 22
2
n )−(∑Y T
nT)
c. JK dalam kelompok
JK (DK )=JK (T )−JK ( AK )
d. JK antar kolom
54
JK (ak )=(∑∑ Y A12
n+∑Y A 2
2
n )−(∑ Y T
nT)
e. JK antar baris
JK (ab )=(∑ ∑Y B 12
n+∑ Y B2
2
n )−(∑Y T
nT)
f. JK interaksi
JK (Interaksi )=JK ( AK )− {JK (ak )+JK (ab)}
2. Menghitung Derajat Kebebasan (DK)
a. Total
dk (T) = N - 1
b. Antar kelompok
dk (AK) = K - 1
c. Dalam kelompok
dk (DK) = N - K
d. Interaksi
dk (Interaksi) = (k x 1)(b x 1)
e. Antar kolom
dk (ak) = k - 1
f. Antar baris
dk (ab) = b - 1
3. Menghitung Rata-Rata Jumlah Kuadrat (RJK)
a. Antar kelompok
55
RJK ( AK )= JK ( AK )dk ( AK )
b. Dalam kelompok
RJK ( DK )= JK (DK )dk (DK )
c. Antar kolom
RJK (ak )= JK (ak )dk (ak)
d. Antar baris
RJK (ab )= JK (ab)dk (ab)
e. Interaksi
RJK ( interaksi )= JK (interaksi)dk (interaksi)
4. Menghitung F
a. Antar kelompok
F ( AK )= RJK ( AK )RJK ( DK )
b. Antar kolom
F ( ak )= RJK ( ak )RJK ( DK )
c. Antar baris
F ( ab )= RJK ( ab )RJK ( DK )
d. Interaksi
56
F ( Interaksi )=RJK ( Interaksi )RJK (DK )
5. Menentukan F tabel
a. Antar kelompok
F (0,05 )( 3)(36)=2,86
b. Antar kolom
F (0,05 )( 1)(36)=4,11
c. Antar baris
F (0,05 )( 1)(36)=4,11
d. Interaksi
F (0,05 )( 1)(36)=4,11
Pengujian hipotesis juga dilakukan dengan perangkat komputer dengan
menggunakan program SPSS 16.0.
Adapun hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:
1) H0 : Fhitung ≤ Ftabel
H1 : Fhitung > Ftabel
Keterangan:
Ho = Tidak terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model
pembelajaran problem posing.
H1 = Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan
57
model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model
pembelajaran problem posing.
2) H0 : Fhitung ≤ Ftabel
H1 : Fhitung > Ftabel
Keterangan:
Ho = Tidak terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki pengetahuan awal
tinggi dan pengetahuan awal rendah.
H1 = Terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki pengetahuan awal
tinggi dan pengetahuan awal rendah.
3) H0 : Fhitung ≤ Ftabel
H1 : Fhitung > Ftabel
Keterangan:
Ho = Terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan problem
posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi kemampuan
memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.
H1 = Terdapat interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan problem
posing dengan pengetahuan awal dalam mempengaruhi kemampuan
memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar.
4) H0 : µ1 ≤ µo
H1 : µ1 > µo
Keterangan:
58
µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A1B2
µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A1B2
5) H0 : µ1 ≤ µo
H1 : µ1 > µo
Keterangan:
µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A2B2 dan A2B1
µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A2B2 dan A2B1
6) H0 : µ1 ≤ µo
H1 : µ1 > µo
Keterangan:
µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A2B1
µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B1 dan A2B1
7) H0 : µ1 ≤ µo
H1 : µ1 > µo
Keterangan:
µ1 = Beda mean kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B2 dan A2B2
µo = Beda kritik kemampuan memecahkan masalah pada kelompok A1B2 dan A2B2
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Analisis Deskriptif Pengetahuan Awal Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
59
Berdasarkan hasil analisis deskriptif pengetahuan awal peserta didik kelas XI
IPA1 MAN 2 Model Makassar yang diajar menggunakan model pembelajaran
problem posing, dapat dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 1. Statistik Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 32Skor maksimum 28Skor minimum 16Jumlah sampel 35Banyak kelas interval 5Rentang data 12Panjang kelas interval 3Rata-rata skor 22,00Standar deviasi 2,63Variansi 6,94
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model
Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat dibuat tabel distribusi
frekuensi sebagai berikut :
Tabel IV. 2. Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor f 15 – 17 318 – 20 721 – 23 1624 – 26 827 – 29 1Jumlah 35
60
Berdasarkan tabel distribusi skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1
MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa skor rata-rata yaitu 22,00 berada
pada rentang skor 21–23. Jika skor tersebut diubah dalam bentuk nilai, maka rata-rata
nilai pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 62,5. Peserta didik yang
memperoleh skor pada rentang 21–23 yaitu 16 orang atau sebesar 45,7% dari 35
peserta didik.
Adapun hasil analisis deskriptif pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3
MAN 2 Model Makassar yang diajar menggunakan model pembelajaran learning
cycle, dapat dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 3. Statistik Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA3
MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 32Skor maksimum 24Skor minimum 13Jumlah sampel 35Banyak kelas interval 5Rentang data 11Panjang kelas interval 3Rata-rata skor 17,51Standar deviasi 2,38Variansi 5,67
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model
Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat dibuat tabel distribusi
frekuensi sebagai berikut:
Tabel IV. 4. Distribusi Frekuensi Skor Pengetahuan Awal Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Skor f (%)
61
12 – 14 315 – 17 1618 – 20 1221 – 23 324 – 26 1Jumlah 35
Berdasarkan tabel distribusi skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3
MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa skor rata-rata yaitu 17,51 berada
pada rentang skor 18–20. Jika skor tersebut diubah dalam bentuk nilai, maka rata-rata
nilai pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 54,72. Peserta didik yang
memperoleh skor pada rentang 18–20 yaitu 12 orang atau sebesar 34,3% dari 35
peserta didik.
2. Hasil Analisis Deskriptif Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
a. Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
Berdasarkan hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar sebelum diberi perlakuan, dapat
dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 5. Statistik Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30Skor maksimum 17Skor minimum 6Jumlah sampel 35Banyak kelas interval 5Rentang data 11
62
Panjang kelas interval 3Rata-rata skor 12,11Standar deviasi 2,63Variansi 6,93
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI
IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:
Tabel IV. 6. Distribusi Frekuensi Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor f 5 – 7 38 – 10 711 – 13 1514 – 16 917 – 19 1Jumlah 35
Berdasarkan tabel distribusi skor pre-test kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 12,11 berada pada rentang skor 11–13. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA1 sebesar 40,36. Peserta didik yang memperoleh skor pada
rentang 11–13 yaitu 15 orang atau sebesar 42,9% dari 35 peserta didik.
Adapun hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar sebelum diberi perlakuan, dapat
dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 7. Statistik Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30
63
Skor maksimum 15Skor minimum 6Jumlah sampel 35Banyak kelas interval 5Rentang data 9Panjang kelas interval 2Rata-rata skor 10,26Standar deviasi 2,50Variansi 6,26
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI
IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:
Tabel IV. 8. Distribusi Frekuensi Skor Pre-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Skor f 6 – 7 68 – 9 6
10 – 11 1312 – 13 714 – 15 3Jumlah 35
Berdasarkan tabel distribusi skor pre-test kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 10,26 berada pada rentang skor 10–11. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 sebesar 34,2. Peserta didik yang memperoleh skor pada
rentang 10–11 yaitu 13 orang atau sebesar 37,14% dari 35 peserta didik.
b. Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika
64
Berdasarkan hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan
menggunakan model pembelajaran problem posing, dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 9. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30Skor maksimum 27Skor minimum 14Jumlah sampel 35Banyak kelas interval 5Rentang data 13Panjang kelas interval 3Rata-rata skor 21,03Standar deviasi 3,53Variansi 12,44
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI
IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:
Tabel IV. 10. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor f 13 – 15 316 – 18 719 – 21 1022 – 24 825 – 27 7Jumlah 35
Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 21,03 berada pada rentang skor 22–24. Jika skor tersebut diubah
65
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA1 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
problem posing sebesar 70,1. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 22–
24 yaitu 8 orang atau sebesar 22,9% dari 35 peserta didik.
Adapun hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan
menggunakan model pembelajaran learning cycle, dapat dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 11. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30Skor maksimum 25Skor minimum 11Jumlah sampel 35Banyak kelas interval 5Rentang data 14Panjang kelas interval 3Rata-rata skor 18,09Standar deviasi 3,15Variansi 9,90
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI
IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:
Tabel IV. 12. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Skor f 11 – 13 314 – 16 717 – 19 15
66
20 – 22 823 – 25 2Jumlah 35
Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 18,09 berada pada rentang skor 17–19. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
learning cycle 5Esebesar 60,3. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 17–
19 yaitu 15 orang atau sebesar 42,9% dari 35 peserta didik.
Dalam proses pembelajaran, peneliti mengajarkan materi fluida dan
memberikan tes kepada peserta didik secara keseluruhan yaitu 35 orang untuk setiap
kelas terdiri atas kelas XI IPA1 diajar dengan menggunakan model pembelajaran
problem posing dan kelas XI IPA3 diajar dengan menggunakan model pembelajaran
learning cycle. Namun, oleh karena penelitian ini memperhatikan variabel moderator
yang diasumsikan juga turut mempengaruhi variabel terikat yaitu kemampuan
memecahkan masalah, maka untuk keperluan pengujian hipotesis, dilakukan
penentuan kelompok terlebih dahulu dengan cara masing-masing kelas dipilah
menjadi dua kelompok yang terdiri dari 27% (10 orang) peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal tinggi dan 27% (10 orang) peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal rendah. Data inilah yang akan digunakan untuk keperluan analisis
data pengujian hipotesis. Oleh karena itu, peneliti juga memberikan penjelasan
mengenai data tersebut, yaitu sebanyak 20orang sampel penelitian untuk tiap kelas.
Lebih jelasnya, analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika peserta
67
didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan menggunakan
model pembelajaran problem posing, dapat dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 13. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30Skor maksimum 27Skor minimum 14Jumlah sampel 20Banyak kelas interval 5Rentang data 13Panjang kelas interval 3Rata-rata skor 22,10Standar deviasi 3,49Variansi 12,20
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI
IPA1 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:
Tabel IV. 14. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Skor f 13 – 15 116 – 18 219 – 21 422 – 24 625 – 27 7Jumlah 20
Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 22,10 berada pada rentang skor 22–24. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
68
peserta didik kelas XI IPA1 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
problem posing sebesar 73,6. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 22–
24 yaitu 6 orang atau sebesar 30,0% dari 35 peserta didik.
Adapun hasil analisis deskriptif kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar setelah diajar dengan
menggunakan model pembelajaran learning cycle, dapat dipaparkan sebagai berikut.
Tabel IV. 15. Statistik Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Skor ideal 30Skor maksimum 25Skor minimum 14Jumlah sampel 20Banyak kelas interval 5Rentang data 11Panjang kelas interval 3Rata-rata skor 19,05Standar deviasi 3,15Variansi 9,94
Keterangan: Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
Jika skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI
IPA3 MAN 2 Model Makassar dituangkan dalam distribusi frekuensi, maka dapat
dibuat tabel distribusi frekuensi sebagai berikut:
Tabel IV. 16. Distribusi Frekuensi Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Skor f 13 – 15 416 – 18 519 – 21 7
69
22 – 24 225 – 27 2Jumlah 20
Berdasarkan tabel distribusi skor pos-test kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar di atas, terlihat bahwa
skor rata-rata yaitu 19,05 berada pada rentang skor 19–21. Jika skor tersebut diubah
dalam bentuk nilai, maka rata-rata nilai kemampuan memecahkan masalah fisika
peserta didik kelas XI IPA3 setelah diberi perlakuan berupa model pembelajaran
learning cycle 5Esebesar 63,5. Peserta didik yang memperoleh skor pada rentang 19–
21 yaitu 7 orang atau sebesar 35% dari 35 peserta didik.
3. Hasil Analisis Inferensial Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik
1) Pengujian Dasar-Dasar Analisis
Sebelum melakukan pengujian hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan
pengujian dasar analisis berupa uji normalitas dan uji homogenitas, agar diketahui
analisis yang akan digunakan untuk pengujian hipotesis. Untuk keperluan uji
normalitas dan homogenitas, peneliti hanya menggunakan data pos-test kemampuan
memecahkan masalah peserta didik yang telah diklasifikasikan dalam kelompok,
yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas XI IPA3.
a. Pengujian Normalitas Data Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Hasil pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus Chi-
kuadrat. Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik
70
kelas XI IPA1, diperoleh nilai χ2hitung = 4,42 dan χ2
tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena χ2
hitung
< dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan model
pembelajaran problem posing berasal dari populasi yang berdistribusi normal pada
taraf signifikansi α = 0,05. Pengujian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
b. Pengujian Normalitas Data Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Hasil pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus Chi-
kuadrat. Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik
kelas XI IPA3, diperoleh nilai χ2hitung = 4,30 dan χ2
tabel = χ2(0,95)(2) = 5,99. Karena χ2
hitung
< dari χ2tabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan memecahkan masalah
fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan model
pembelajaran learning cycle 5Eberasal dari populasi yang berdistribusi normal pada
taraf signifikansi α = 0,05. Pengujian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
Selain menggunakan persamaan chi kuadrat, pengujian normalitas data juga
dicocokkan dengan pengujian menggunakan program SPSS, dengan data yang sama
yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas XI IPA3.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh sebagai berikut:
Tabel IV. 17. Normalitas Data Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Kelas_PP .147 20 .200* .955 20 .457
a. Lilliefors Significance Correction
71
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Kelas_PP .147 20 .200* .955 20 .457
*. This is a lower bound of the true significance.
Tabel di atas menunjukkan hasil uji normalitas dengan menggunakan program
SPSS yang menggambarkan bahwa data skor pos-test kemampuan memecahkan
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang
menunjukkan nilai 0,457 yang tentu lebih besar dari 0,05, maka dikatakan data
berdistribusi normal. Nilai Signifikansi pada kolom Kolmogorov-Smirnova
menunjukkan nilainya 0,200 atau lebih dari 0,05, maka dikatakan data berdistribusi
normal.
Untuk memperkuat kesimpulan di atas, hasil analisis data membentuk kurva
normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa
data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka
data berdistribusi normal, begitupun pada Detrend QQ plots, yang menunjukkan plot-
plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal
berada ditengah diagram, maka data berdistribusi normal. Data Stem-Leaf
memperlihatkan angka-angka membentuk kurva normal miring ke arah kanan, maka
data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki
yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot
di atas atau di bawah box, maka data berdistribusi normal.
72
Tabel IV. 18. Normalitas Data Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Kelas_LC .120 20 .200* .951 20 .384
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Tabel di atas menunjukkan hasil uji normalitas dengan menggunakan program
SPSS yang menggambarkan bahwa data skor pos-test kemampuan memecahkan
masalah fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model Makassar terdistribusi
normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Signifikansi pada kolom Shapiro-Wilk, yang
menunjukkan nilai 0,384 yang tentu lebih besar dari 0,05, maka dikatakan data
berdistribusi normal. Nilai Signifikansi pada kolom Kolmogorov-Smirnova
menunjukkan nilainya 0,200 atau lebih dari 0,05, maka dikatakan data berdistribusi
normal.
Untuk memperkuat kesimpulan di atas, hasil analisis data membentuk kurva
normal dan sebagian besar bar/batang berada di bawah kurva, maka dikatakan bahwa
data berdistribusi normal. Diagram QQ plot terlihat mengikuti garis fit line, maka
data berdistribusi normal, begitupun pada Detrend QQ plots, yang menunjukkan plot-
plot tersebar merata di atas dan di bawah garis horizontal, serta garis horizontal
berada ditengah diagram, maka data berdistribusi normal. Data Stem-Leaf
memperlihatkan angka-angka membentuk kurva normal miring ke arah kanan, maka
data berdistribusi normal. Selain itu, Box plot berada ditengah dengan kedua kaki
73
yang sama panjang, garis horizontal berada ditengah box dan tidak terdapat plot-plot
di atas atau di bawah box, maka data berdistribusi normal.
Keseluruhan data tersebut diberikan untuk memperkuat data yang diperoleh
dengan perhitungan manual menggunakan rumus chi kuadrat, sehingga digunakan
program SPSS untuk membuktikan normalitas data secara komputerisasi. Untuk
lebih jelasnya, hasil analisis data normalitas dapat dilihat pada lampiran
c. Pengujian Homogenitas Data Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA1 dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar
Hasil pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Harley,
karena sampel yang diujikan memiliki jumlah yang sama, yaitu 20 sampel.
Berdasarkan skor kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI
IPA1 dan XI IPA3, diperoleh nilai Fmax = 0,82 dan Fmax (tabel) = Fmax (0,95)(2) = 2,017.
Karena Fmax < dari Fmax (tabel), maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan
memecahkan masalah fisika peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model
pembelajaran problem posing dan XI IPA3 MAN 2 Model Makassar yang diajar
dengan model pembelajaran learning cycle 5Ebersifat homogen pada taraf
signifikansi α = 0,05. Pengujian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
Selain menggunakan uji Harley, pengujian homogenitas data juga dicocokkan
dengan pengujian menggunakan program SPSS, dengan data yang sama yaitu
sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas XI IPA3. Berdasarkan
hasil analisis data, diperoleh sebagai berikut:
Tabel IV. 19. Homogenitas Data Skor Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik Kelas XI IPA MAN 2 Model Makassar
74
Test of Homogeneity of Variance
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Nilai Based on Mean .328 1 38 .570
Based on Median .323 1 38 .573
Based on Median and with adjusted df
.323 1 37.929 .573
Based on trimmed mean .383 1 38 .539
Selain menggunakan uji Harley, pengujian homogenitas data juga dicocokkan
dengan pengujian menggunakan program SPSS tepatnya uji Levene statistic, dengan
data yang sama yaitu sebanyak 20 orang dari kelas XI IPA1 dan 20 orang dari kelas
XI IPA3. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh bahwa ternyata pengujian dengan
statistik Based on Mean diperoleh signifikansi 0,570, jauh lebih melebihi 0,05.
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok data mempunyai varian
yang sama atau homogen. Angka Levene Statistic menunjukkan semakin kecil
nilainya maka semakin besar homogenitasnya. Untuk lebih jelasnya, hasil analisis
data homogenitas dapat dilihat pada lampiran
2) Pengujian Hipotesis Data Kemampuan Memecahkan Masalah Peserta Didik
a. Pengujian Hipotesis Data Kemampuan Memecahkan Masalah Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
Untuk pengujian hipotesis penelitian, dilakukan dengan analisis varians
(ANAVA) dua jalur, sebab data kemampuan memecahkan masalah fisika peserta
didik telah diuji prasyarat dan data yang diperoleh menunjukkan bahwa data yang
telah dikumpulkan berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal serta
bersifat homogen atau memiliki variansi yang sama.
75
Berdasarkan hasil tes kemampuan memecahkan masalah setelah diberikan
perlakuan berupa model pembelajaran, yaitu model pembelajaran problem posing
dan learning cycle, diperoleh data untuk masing-masing kelompok, sebagai berikut:
Tabel IV. 20. Skor Total Pos-Test Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik untuk tiap Kelompok
∑YA1 ∑YA2 ∑YA1.A2
B1 191 248 439B2 190 194 384
Jumlah 381 442 823
Untuk memudahkan pengujian hipotesis penelitian dengan analisis varians
(ANAVA) dua jalur, maka terlebih dahulu dibuat tabel kerja anava berikut ini:
Tabel IV. 21. Tabel Kerja ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan Masalah Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
Pengetahuan Awal (B)
Model Pembelajaran (A) BLearning cycle 5E (A1) Problem posing (A2)
Pengetahuan Awal Tinggi (B1)
A1B1
Y11 = 25, 21, 21, 19, 20, 15, 19, 18, 18, 15
∑Y11 = 191
n = 10
A2B1
Y21 = 25, 27, 25, 24, 23, 27, 25, 26, 25, 21
∑Y21 = 248
n = 10
∑YB1 = 439
nB1 = 20
Pengetahuan Awal Rendah (B2)
A1B2
Y12 = 18, 15, 22, 14, 22, 21, 16, 25, 18, 19
∑Y12 = 190
n = 10
A2B2
Y22 = 20, 22, 22, 21, 17, 18, 21, 14, 19, 20
∑Y22 = 194
n = 10
∑YB2 = 384
nB2 = 20
A ∑YA1 = 381nA1 = 20
∑YA2 = 442nA2 = 20
∑YT = 823nT = 40
Untuk perhitungan selengkapnya, dapat dilihat pada lampiran
Tabel IV. 22. Tabel Ringkasan ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
76
Sumber Varian JK Dk RJK Fh
FT
α= 0,05
Antar kelompok 238,875 3 79,625 10,427 2,86
Dalam kelompok 274, 9 36 7,6361 - -
Antarkolom 93,025 1 93,025 12,182 4,11
Antarbaris 75,625 1 75,625 9,904 4,11
Interaksi 70,225 1 70,225 9,196 4,11
Total 513, 775 39
Untuk perhitungan selengkapnya, dapat dilihat pada lampiran
Tabel di atas menyajikan beberapa informasi mengenai hipotesis yang
diajukan, sebagai berikut:
1) Antar kelompok
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 10,427 > 2,86, maka dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan terdapat perbedaan rata-rata kemampuan memecahkan masalah
antara berbagai kelompok peserta didik yg diteliti.
2) Antar kolom
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 12,182 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh model pembelajaran terhadap kemampuan memecahkan masalah peserta
didik. Dengan kata lain, rata-rata kemampuan memecahkan masalah kelompok
peserta didik yang memperoleh perlakuan berupa penerapan model pembelajaran
problem posing lebih tinggi daripada kelompok peserta didik yang yang
memperoleh perlakuan berupa penerapan model pembelajaran learning cycle.
3) Antar baris
77
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 9,904 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan masalah peserta
didik. Dengan kata lain, rata-rata kemampuan memecahkan masalah pada
kelompok peserta didik yang mempunyai pengetahuan awal tinggi lebih tinggi
dibandingkan kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah.
4) Interaksi
Oleh karena Fhitung > Ftabel = 9,196 > 4,11, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian perlakuan berupa model pembelajaran dan pengetahuan awal
berinteraksi dalam menentukan variansi kemampuan memecahkan masalah
peserta didik. Pemberian perlakuan model pembelajaran memberikan pengaruh
yang berbeda terhadap kemampuan memecahkan masalah pada tingkat
pengetahuan awal yang berbeda.
Berdasarkan data tersebut diperoleh jawaban dari rumusan hipotesis yang telah
diajukan sebelumnya bahwa (1) FA > Ftabel, oleh karena itu Ho ditolak, artinya terdapat
perbedaan yang signifikan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok peserta
didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model pembelajaran problem
posing. (2) FB > Ftabel, oleh karena itu Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan yang
signifikan terdapat perbedaan kemampuan memecahkan masalah pada kelompok
peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki pengetahuan awal tinggi dan
pengetahuan awal rendah. (3) FAXB > Ftabel, oleh karena itu Ho ditolak, artinya terdapat
interaksi antara model pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing dengan
78
pengetahuan awal dalam mempengaruhi kemampuan memecahkan masalah peserta
didik MAN 2 Model Makassar.
Selain menggunakan perhitungan manual, peneliti berusaha untuk
mengkonfirmasi data yang diperoleh dengan menggunakan program SPSS, dengan
maksud untuk mengecek kembali data yang diperoleh. Pengujian hipotesis dengan
program SPSS dilengkapi dengan nilai F yang menggambarkan perbedaan antar
kolom, antar baris, dan interaksi antar sel. Nilai F akan dibandingkan pula dengan F
tabel, sekaligus dilengkapi grafik yang menggambarkan interaksi antara kelompok
yang dibandingkan, yaitu kelompok peserta didik yang diajar dengan model learning
cycle 5E dan yang diajar dengan model pembelajaran problem posing, serta
kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah dan pengetahuan
awal tinggi.
Berdasarkan hasil komputerisasi SPSS, diperoleh tabel ringkasan anava sebagai
berikut:
Tabel IV. 23. Tabel Ringkasan ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
dengan Program SPSS
Levene's Test of Equality of Error Variancesa
Dependent Variable:Kemampuan_Memecahkan_Masalah
F df1 df2 Sig.
1.435 3 36 .249
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.
a. Design: Intercept + Kelas + Pengetahuan_Awal + Kelas * Pengetahuan_Awal
Di atas menunjukkan nilai (Signifikansi) Sig. 0,249 di mana > 0,05 sehingga
bisa dikatakan varian antar group berbeda secara signifikan.
79
Tabel IV. 24. Tabel Ringkasan ANAVA Dua Jalur Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
dengan Program SPSS
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kemampuan_Memecahkan_Masalah
SourceType III Sum
of Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 238.875a 3 79.625 10.427 .000
Intercept 16933.225 1 16933.225 2.218E3 .000
Kelas 93.025 1 93.025 12.182 .001
Pengetahuan_Awal 75.625 1 75.625 9.904 .003
Kelas * Pengetahuan_Awal
70.225 1 70.225 9.196 .004
Error 274.900 36 7.636
Total 17447.000 40
Corrected Total 513.775 39
a. R Squared = ,465 (Adjusted R Squared = ,420)
Selain nilai F yang diperoleh melalui anava dua jalur yang merupakan dasar
dalam menjawab rumusan masalah dalam penelitian jika dibantingkan dengan F tabel,
maka dari tabel di atas juga diperoleh nilai-nilai penting yang bisa disimpulkan
sebagai berikut:
1. Corrected model, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,000 atau
lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan ada pengaruh semua variabel
model pembelajaran dan pengetahuan awal, serta interaksi antara model
pembelajaran dan pengetahuan awal secara bersama-sama terhadap variabel
kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik. Hal ini dikenal pula
dengan model valid.
80
2. Intercept, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,000 atau lebih kecil
dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan nilai perubahan variabel dependen tanpa
perlu dipengaruhi keberadaan variabel independen, artinya tanpa ada
pengaruh variabel model pembelajaran, maka variabel kemampuan
memecahkan masalah fisika peserta didik dapat berubah nilainya. Data yang
diperoleh di atas menunjukkan intercept signifikan.
3. Kelas (Model Pembelajaran), yang menggambarkan signifikansi sebesar
0,001 atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh model
pembelajaran terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika peserta
didik di dalam penelitian ini berpengaruh secara signifikan.
4. Pengetahuan awal, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,003 atau
lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh pengetahuan awal
terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik di dalam
penelitian ini berpengaruh secara signifikan.
5. Kelas*Pengetahuan awal, yang menggambarkan signifikansi sebesar 0,004
atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini mengisyaratkan pengaruh model
pembelajaran dan pengetahuan awal terhadap kemampuan memecahkan
masalah fisika peserta didik di dalam penelitian ini berpengaruh secara
signifikan.
6. Error, yang menggambarkan nilai error model. Apabila semakin kecil, maka
penelitian semakin baik.
81
7. R Squared, yang menggambarkan nilai determinasi berganda semua variabel
bebas dan terikat. Hasil analisis data di atas adalah 0,465 yang tidak terlalu
mendekati nilai 1, berarti korelasi antar variabel tidak terlalu kuat.
Hasil lain yang diperoleh dari anava dua jalur adalah grafik yang
menggambarkan interaksi antar variabel sebagai berikut:
`
82
Diagram Plot di atas berguna untuk menilai apakah ada interaksi efek antar
variabel. Namun diagram ini tidak bisa dijadikan bahan acuan yang valid. Tetapi
hanya sekedar memberikan gambaran saja. Apabila garis-garis tidak menunjukkan
kesejajaran, maka dicurigai ada efek interaksi. Diagram di atas menunjukkan ada
ketidak sejajaran garis, maka dicurigai ada efek interaksi. Interaksi yang terjadi
adalah baik model pembelajaran, pengetahuan awal, maupun kedua variabel tersebut
berinteraksi terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika peserta didik MAN 2
Model Makassar.
Setelah uji perbandingan secara keseluruhan menunjukkan perbedaan yang
signifikan, perbandingan diteruskan dengan membandingkan antar kelompok satu per
satu, dengan tujuan untuk mengetahui lebih jauh kelompok-kelompok mana saja
yang berbeda signifikan dan kelompok mana yang tidak berbeda signifikan. Uji ini
dikenal dengan uji lanjut. Uji lanjut yang dilakukan adalah uji Tukey, sebab seluruh
kelompok mempunyai jumlah sampel yang sama, sehingga perlu membandingkan
antara beda mean dengan beda kritik. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil
uji Tukey sebagai berikut:
Tabel 25. Tabel Ringkasan Rata-Rata Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
Data A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
X 19,1 19,0 24,8 19,4
83
N 10 10 10 10
Menentukan Nilai SR
SR=q(0,05 ) (3 )(36 )=3,81 (hasil interpolasi tabel)
Sehingga,
Beda Kritik=SR√ RJK (DK )~n
=3,81√ 7,63610
=3,33
Sehingga, perbandingan beda mean dengan beda kritik antar kelompok
diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel 19. Tabel Ringkasan Beda Mean dan Beda Kritik Kemampuan Memecahkan Masalah Fisika Peserta Didik MAN 2 Model Makassar
Beda Mean Beda Mean Beda Kritik Keterangan
X A2B2 dan X A1B1 0,3 3,33 Tidak Signifikan
X A2B2 dan X A1B2 0,4**** 3,33 Tidak Signifikan
X A1B1 dan X A1B2 0,1* 3,33 Tidak Signifikan
X A2B1 dan X A2B2 5,4** 3,33 Signifikan
X A2B1 dan X A1B1 5,7*** 3,33 Signifikan
X A2B1 dan X A1B2 5,8 3,33 Tidak Signifikan
Berdasarkan data tersebut diperoleh jawaban dari rumusan hipotesis yang telah
diajukan sebelumnya bahwa (1) Terdapat perbedaan yang tidak signifikan,
kemampuan memecahkan masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model
Makassar yang memiliki pengetahuan awal tinggi dan memiliki pengetahuan awal
rendah, pada kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran
learning cycle 5E, dalam hal ini Beda Mean < Beda Kritik maka dapat disimpulkan
bahwa pada kelompok peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran learning
84
cycle 5E, rata-rata kemampuan memecahkan masalah fisika pada kelompok peserta
didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi lebih tinggi daripada kelompok peserta
didik yang memiliki pengetahuan awal rendah, namun perbedaan itu tidak signifikan.
(2) Terdapat perbedaan yang signifikan, kemampuan memecahkan masalah antara
kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang memiliki pengetahuan awal
tinggi dan memiliki pengetahuan awal rendah, pada kelompok peserta didik yang
diajar dengan model pembelajaran problem posing. Dalam hal ini Beda Mean > Beda
Kritik maka dapat disimpulkan bahwa pada kelompok peserta didik yang diajar
dengan model pembelajaran problem posing, rata-rata kemampuan memecahkan
masalah fisika pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal tinggi
lebih tinggi daripada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal
rendah, dan perbedaan itu signifikan. (3) Terdapat perbedaan yang signifikan
kemampuan memecahkan masalah antara kelompok peserta didik MAN 2 Model
Makassar yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E
dan menggunakan model pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik
yang memiliki pengetahuan awal tinggi. Dalam hal ini Beda Mean > Beda Kritik
maka dapat disimpulkan bahwa pada kelompok peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal tinggi, rata-rata kemampuan memecahkan masalah fisika pada
kelompok peserta didik yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran
learning cycle 5E lebih tinggi daripada kelompok peserta didik yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran problem posing, dan perbedaan itu signifikan.
(4) Terdapat perbedaan yang tidak signifikan kemampuan memecahkan masalah
antara kelompok peserta didik MAN 2 Model Makassar yang diajar dengan
85
menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E dan menggunakan model
pembelajaran problem posing, pada kelompok peserta didik yang memiliki
pengetahuan awal rendah, dalam hal ini Beda Mean < Beda Kritik maka dapat
disimpulkan pada kelompok peserta didik yang memiliki pengetahuan awal rendah,
rata-rata kemampuan memecahkan masalah fisika pada kelompok peserta didik yang
diajar dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5E lebih rendah
daripada kelompok peserta didik yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran problem posing, namun perbedaan itu tidak signifikan. .
B. Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran
problem posing dalam pembelajaran fisika peserta didik kelas XI IPA1 dan learning
cycle 5E dalam pembelajaran fisika peserta didik kelas XI IPA3 MAN 2 Model
Makassar. Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian eksperimen
sesungguhnya dengan desain faktorial dengan level berbeda, sehingga peneliti
mengadakan pre-test untuk melihat kesamaan varians (homogenitas) kelas yang akan
diajar kemudian memberikan perlakuan kepada peserta didik pada dua kelas tersebut
berupa model pembelajaran yang berbeda dengan mengelompokkan masing-masing
peserta didik di dalam kelas tersebut berdasarkan pengetahuan awalnya (tinggi dan
rendah), kemudian mengadakan pos-test. Perlakuan yang dilakukan berupa model
pembelajaran learning cycle 5E dan problem posing. Pada penelitian ini, model
pembelajaran problem posing diterapkan di kelas XI IPA1 dan model pembelajaran
learning cycle 5E diterapkan di kelas XI IPA3 dalam upaya melihat kemampuan
memecahkan masalah peserta didik MAN 2 Model Makassar. Pada tes akhir
86
diberikan tes berupa instrumen tes uraian sebanyak 6 butir soal terdiri atas 5
pertanyaan untuk tiap butir soal. Dalam proses pembelajaran, seluruh peserta didik
memperoleh kesempatan untuk mengikuti pre-test, mendapat perlakuan berupa
penerapan model pembelajaran, dan pos-test. Namun, dalam keperluan analisis data,
peneliti mengelompokkan peserta didik menjadi kelompok peserta didik yang
memiliki pengetahuan awal tinggi dan rendah pada masing-masing kelas yaitu
sebanyak 27% dari jumlah seluruh peserta didik di kelas tersebut yaitu sebanyak 10
orang untuk masing-masing kelompok. Pengelompokan ini didasarkan pada tes
pengetahuan awal sebelum peserta didik diberikan perlakuan, dengan memberikan 32
item soal, yang sebelumnya telah divalidasi terlebih dahulu dari 45 butir soal.
Diketahui bahwa jika jumlah peserta didik sebanyak 38 orang, daftar tabel r
menunjukkan r-tabel sebesar 0,32. Sehingga soal dikatakan valid apabila γ pbilebih
besar dari 0,32. Adapun untuk tes kemampuan memecahkan masalah, diberikan
sebelum perlakuan maupun setelah perlakuan berjumlah 6 butir soal yang
sebelumnya divalidasi dari 8 butir soal yang disediakan. Setelah instrumen tes
tersebut diberikan kepada peserta didik, baik tes pengetahuan awal maupun
kemampuan memecahkan masalah tersebut dianalisis secara deskriptif dan
inferensial. Berdasarkan analisis deskriptif pengetahuan awal peserta didik, diperoleh
informasi bahwa rata-rata skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA1 lebih
tinggi daripada rata-rata skor pengetahuan awal peserta didik kelas XI IPA3. Dari
hasil tes kemampuan memecahkan masalah, diperoleh informasi bahwa rata-rata skor
peserta didik kelas XI IPA1 yang diajar dengan model pembelajaran problem posing
87
lebih tinggi daripada rata-rata skor peserta didik kelas XI IPA3 yang diajar dengan
model pembelajaran learning cycle 5E.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sidin dan Khaeruddin. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit UNM
Anderson dan Krathwohl. 2010. Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajara n, dan Asesmen, Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Carson, Jamin. 2007. A Problem with Problem Solving: Teaching Thinking without Teaching Knowledge. Jurnal. East Carolina University
Dasianto. 2008. Pembelajaran dengan problem posing, Tersedia di http://dasianto.blogspot.com/2008/09/pembelajaran-dengan-problem-posing.html, Diakses 18 september 2012
Djaali. 1984. Pengaruh Kebiasaan Belajar, Sikap, Kemampuan Dasar dan Proses Belajar Mengajar terhadap Prestasi Belajar Fisika pada SMA di Kotamadya Ujung Pandang. Disertasi. Pascasarjana Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Jakarta
Ellis, A. K. 2005. Research on Educational Innovations. Larchmont, NY: Eye on Education
Haling, Abdul. 2007. Belajar dan Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit UNM
Hamalik, Oemar. 2012. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Jauhar, Muhammad. 2011. Implementasi PAIKEM dari Behavioristik sampai Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka
88
Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1987. Problem Solving: A Handbook for Teachers. Boston: Allyn and Bacon
Leung, Shuk-kwan S. 2001. The Integration of Problem-Posing Research into Mathematics Teaching Case of Prospective and In-service Elementary School Teacher. Tersedia di http://www.math.ntnu.edu.tw/~cyc/private/ mathedu/me1/me1_2001 /sksl .doc, Diakses 11 Juli 2007.
Pribadi, Benny. A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian RakyatSoemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan, Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
Surjadi. 2012. Membuat Peserta didik Aktif Belajar (73 Cara Belajar Mengajar dalam Kelompok). Bandung: Penerbit Mandar Maju
Suyitno, Amin. 2004. Dasar-Dasar dan Proses Pembelajaran Fisika I. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Taniredja, Tukiran, dkk. 2011. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Penerbit Alfabeta: Bandung
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Bumi Aksara: Jakarta
Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Wena, Made. 2012. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara