29
EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY PADA KASUS CRONIC HEART FAILURE DI UNIT RAWAT INAP PENYAKIT DALAM RSUD KOTA YOGYAKARTA USULAN PENELITIAN Nungky Kescandra 20151030034 PROGRAM STUDI MANAJEMEN RUMAH SAKIT

tesis nungky

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hbhb

Citation preview

Page 1: tesis nungky

EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY PADA KASUS CRONIC HEART FAILURE DI UNIT RAWAT INAP PENYAKIT DALAM RSUD KOTA

YOGYAKARTA

USULAN PENELITIAN

Nungky Kescandra

20151030034

PROGRAM STUDI MANAJEMEN RUMAH SAKITPROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA2016

Page 2: tesis nungky

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mutu pelayanan kesehatan merupakan tingkat kesempurnaan

pelayanan kesehatan yang diselenggarakan sesuai dengan kode etik dan

standar pelayanan yang ditetapkan, sehingga menimbulkan kepuasan

bagi setiap pasien (Kemenkes dalam Muninjaya 2014). Pelayanan yang

bermutu sangat diperlukan karena merupakan hak setiap pelanggan, dan

dapat memberi peluang untuk memenangkan persaingan dengan

pemberi layanan kesehatan lainnya. Kualitas pelayanan dan nilai

berdampak langsung terhadap pelanggan. Kepuasan pelanggan

dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang dirasakan (Kui Son Cui et al,

2002).

Mutu pelayanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi

antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima dan

dirasakan oleh konsumen (Firmanda D, 2008). Ketatnya persaingan

antar rumah sakit menuntut rumah sakit untuk melakukan perbaikan

mutu yang bertujuan agar rumah sakit tidak kehilangan pelanggannya

dan memiliki keunikan dalam hal pemberian pelayanan pada pelanggan

(Depkes RI 2013). Mutu pelayanan kesehatan dapat diketahui dengan

cara mengukur kesesuaian layanan dengan clinical pathway yang sudah

disepakati (Depkes, 2005).

Page 3: tesis nungky

Clinical pathway merupakan konsep pra perawatan yang disusun

berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi yang mengacu pada

standar pelayanan dari profesi masing-masing, disesuaikan dengan strata

sarana pelayanan rumah sakit (Rivany, 2009). Implementasi clinical

pathway dapat menjadi sarana dalam meningkatkan mutu pelayanan

rumah sakit, meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit dan

meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat serta sumber daya

rumah sakit (Kemenkes, 2012). Saat ini, adanya penerapan sistem

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menjadi salah satu alasan yang

melatar belakangi diterapkannya implementasi clinical pathway di RS

karena system jaminan kesehatan seperti BJPS kesehatan menuntut

manajemen rumah sakit untuk mampu mengefisiensi biaya dan

mengoptimalkan pengelolaan keuangan rumah sakit, serta melakukan

kendali mutu (Kemenkes, 2013). Penerapan implementasi clinical

pathway dapat menurunkan masa rawat dan terapinya lebih singkat pada

beberapa penyakit. Salah satu penelitiannya pada kasus pneumonia,

yaitu membandingkan antara pasien pneomonia yang dikelola dengan

clinical pathway dan tanpa clinical pathway, dimana yang dikelola

dengan clinical pathway masa rawat menurun serta terapi intravenanya

lebih singkat (Currey dan Harvey, 1998).

Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO)

pada tahun 2002 mencatat lebih dari 55,9 juta orang meninggal karena

akibat penyakit jantung diseluruh dunia dan  akan terus meningkat, ini

Page 4: tesis nungky

setara dengan 30,3% dari total kematian didunia (Yahya, 2008).

Menurut National Heart Lung and Blood Institute insidensi penyakit

gagal jantung semakin meningkat setiap tahun dan rata-rata 5 juta

penduduk United States menderita gagal jantung. Penyakit gagal

jantung adalah punca hospitalisasi yang utama dikalangan pasien U.S

yang berumur lebih daripada 65 tahun dan menyebabkan lebih kurang

300,000 kematian dalam setahun (Goldberg, 2010). Walaupun

perbaikan dalam terapi, angka kematian pada pasien dengan gagal

jantung tetap sangat tinggi. Pembaruan 2010 dari American Heart

Association (AHA) memperkirakan bahwa terdapat 5,8 juta orang

dengan gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2006 dan juga

terdapat 23 juta orang dengan gagal jantung di seluruh dunia

(Ramachandran, 2010). Saat ini penyakit kardiovaskular yang

didalamnya termasuk gagal jantung telah menjadi penyebab kematian

nomor satu di Indonesia. Penyebab selurah kematian yaitu 16 persen

pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992. Pada SKRT 1995

meningkat menjadi 18,9 persen. Hasil Suskernas 2001 memperlihatkan

angka 26,4 persen (Yahya, 2008). Budiarso dkk, melaporkan prevalensi

penyakit jantung di Indonesia adalah 18,3/100,000 penduduk pada

golongan umur 15-24 tahun, dan meningkat menjadi 174,6/100,000

penduduk pada umur 55 tahun (Kabo, 2008). Di Sumatera Selatan

jumlah prevalensi penyakit jantung pada tahun 2005 sebanyak 39,6 per

Page 5: tesis nungky

10.000 penduduk, termasuk didalamnya penyakit jantung koroner

(Dinkes Provinsi Sumsel, 2005 ).

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta adalah satu

diantara rumah sakit tipe B yang melayani kesehatan masyarakat dan

merupakan rumah sakit lanjutan (rujukan). Di rumah sakit ini memiliki 3

bangsal inti bagian penyakit dalam, dimana tidak jarang ditemukan

kasus CHF pada setiap bangsalnya. Berdasarkan data serta rekapitulasi

angka kejadian penyakit di RSUD Kota Yogyakarta dari Januari 2015

hingga Desember 2015 didapatkan bahwa kejadian CHF masih masuk

dalam 10 besar daftar kejadian penyakit terbanyak. Clinical pathway

pada rumah sakit ini masih terbatas serta menurut pengakuan beberapa

perawat di RS tersebut, pendokumentasiannya masih belum jelas. Di

bangsal penyakit dalam hanya memiliki satu jenis clinical pathway yang

diterapkan yaitu tentang penyakit CHF. Belum ada alasan spesifik

mengapa hanya diterapkan clinical pathway CHF di bangsal penyakit

dalam. Pengembangan dan penerapan clinical pathway bukan hal yang

mudah dilakukan bahkan meski hanya untuk 1 jenis pelayanan saja

(Ransom et al, 1998). Maka untuk itu diperlukan monitoring dan

evaluasi terhadap clinical pathway khususnya pada kasus CHF di unit

rawat inap penyakit dalam rumah sakit umum daerah Kota Yogyakarta.

B. RUMUSAN MASALAH

Page 6: tesis nungky

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan

masalah, “Bagaimana implementasi clinical pathways pada kasus

chronic heart failure di unit rawat inap penyakit dalam RSUD Kota

Yogyakarta ?’’

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum:

Mengetahui implementasi clinical pathways pada kasus chronic

heart failure di unit rawat inap penyakit dalam RSUD Kota

Yogyakarta.

2. Tujuan khusus:

a. Mengevaluasi format clinical pathway pada kasus chronic

heart failure di unit rawat inap penyakit dalam RSUD Kota

Yogyakarta.

b. Mengevaluasi pelaksanaan clinical pathway pada kasus

chronic heart failure di unit rawat inap penyakit dalam RSUD

Kota Yogyakarta.

c. Mengetahui masalah dan hambatan implementasi clinical

pathway pada kasus chronic heart failure di unit rawat inap

penyakit dalam RSUD Kota Yogyakarta.

d. Menyusun rekomendasi guna peningkatan atau perbaikan

implementasi clinical pathway pada kasus chronic heart failure

di unit rawat inap penyakit dalam RSUD Kota Yogyakarta.

Page 7: tesis nungky

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang upaya

kendali mutu dan kendali biaya melalui implementasi clinical

pathway.

b. Menambah referensi terkait evaluasi dan upaya peningkatan

implementasi clinical pathway di RS.

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

evaluasi tim multidisiplin clinical pathway di RSUD Kota

Yogyakarta.

b. Manfaat bagi peneliti.

Menambah pengetahuan mengenai Implementasi clinical

pathway pada kasus chronic heart failure di unit rawat inap

penyakit dalam di RSUD Kota Yogyakarta dan peneliti dapat

menerapkan ilmu ataupun teori pada waktu masa perkuliahan yang

digunakan untuk penelitian ini.

Page 8: tesis nungky

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TELAAH PUSTAKA

1. Clinical pathway (CP)

a. Definisi Clinical pathway

Definisi clinical pathway menurut Firmanda (2005) adalah suatu

konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap

langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan

medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang

terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama dirumah sakit. Ada

definisi lainnya, yaitu menurut Marelli (2000) Clinical pathway

merupakan pedoman kolaboratif untuk merawat pasien yang

berfokus pada diagnosis, masalah klinis dan tahapan pelayanan.

Clinical pathway menggabungkan standar asuhan setiap tenaga

kesehatan secara sistematik serta merupakan tindakan yang diberikan

diseragamkan dalam suatu standar asuhan, namun tetap

memperhatikan aspek individu dari pasien (De Bleser et al, 2016).

b. Format Clinical pathway

Berbagai definisi dan setting pelayanan kesehatan yang ada di

berbagai negara menyebabkan sangat bervariasinya isi, struktur,

maupun desain. Secara umum, CP diharuskan memiliki format

standar minimum sebagai berikut.

Page 9: tesis nungky

Tabel 2 .1. Format Generik Clinical pathway

Identitas Pasien

H

ar

i

I

H

ar

i

II

H

ar

i

II

I

Assessm

ent

Interven

si/

p

elayana

n

Outcom

e

Variasi

Sumber: Midleton & Roberts, 2000; Djasri, 2004.

CP juga harus memuat beberapa hal tambahan yang meliputi

nomor halaman dan jumlah total halaman, paraf/ tanda tangan setiap

pengisi, tanggal berlaku dan tanggal direvisi. Format tersebut di atas

Page 10: tesis nungky

disesuaikan dengan setting masing-masing pelayanan kesehatan,

khususnya ketersediaan dan kapasitas sumber daya manusia, budaya,

teknologi, serta berbagai bentuk saranan dan prasarana lainnya

(Midleton & Roberts, 2000). Firmanda (2005) mengatakan bahwa

prinsip dalam dalam penyusunan clinical Pathway , memenuhi

beberapa hal mendasar, seperti:

a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara

integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien serta

berkesinambungan.

b. Melibatkan seluruh profesi yang terlibat dalam pelayanan rumah

sakit terhadap pasien.

c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

keadaan perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk

periode harian untuk kasus rawat inap atau jam untuk kasus

kegawat daruratan.

d. Mencatat seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada

pasien secara terintegrasi dan berkesinambungan ke dalam

dokumen rekam medis.

e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan clinical pathway

dicatat sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam

bentuk audit.

f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit,

penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis.

Page 11: tesis nungky

g. Varians tersebut diperguna kan sebagai salah satu parameter

dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu

pelayanan.

c. Keberhasilan Penerapan Clinical Pahways

Dalam sebuah penelitian panjang di Inggris yang dilaksanakan

oleh VFM Unit (NHS Wales) Project tentang Clinical Resource

Utilization Group selama September 1995 hingga Maret 1997

terhadap 700 orang yang terdiri dari staf klinis, manajer, serta staf

operasional, didapatkan data tentang kunci pokok yang harus

dibangun guna mencapai keberhasilan CP. Hasil tersebut meliputi 5

tahap sekuensial yang diterapkan organisasi RS sebagai berikut.

1. Peningkatan kesadaran dan komitmen.

2. Menyusun sistem penerapan CP.

3. Dokumentasi (dan penetapan desain)

4. Implementasi (uji coba, penerapan, dan pengembangan)

5. Evaluasi

Langkah pertama merupakan langkah paling kritis. Hal ini sulit

dilakukan mengingat kepadatan/ tingginya beban kerja staf klinis,

faktor budaya, dan kemauan untuk berubah. Dalam hal ini

dibutuhkan adanya fasilitator/ koordinator yang memiliki tugas

penuh waktu guna memastikan CP dapat diterapkan di RS,

khususnya dalam fase awareness session. CP merupakan suatu alat

yang bersifat leader driven, sehingga benar-benar akan berjalan bila

Page 12: tesis nungky

didukung oleh leadership yang baik khususnya dari pimpinan RS

(Midleton & Roberts, 2000; Djasri 2014)

d. Kegagalan Penerapan Clinical Pahway

Midleton dan Roberts (2000) menyebutkan setidaknya terdapat 5

hal utama yang menyebabkan gagalnya penerapan CP.

1. Budaya profesional

2. Kurangnya dukungan organisasi

3. Desain CP

4. Waktu dan sumber daya yang tidak adekuat

5. Ad-hoc approach

Feuth dan Claes (2008) mengemukakan bahwa ada 4

komponen utama clinical pathway, yaitu meliputi: kerangka waktu,

kategori asuhan, kriteria hasil dan pencatatan varian. Kerangka

waktu menggambarkan tahapan berdasarkan pada hari perawatan

atau berdasarkan tahapan pelayanan seperti: fase pre-operasi, intra-

operasi dan pasca-operasi. Kategori asuhan berisi aktivitas yang

menggambarkan asuhan seluruh tim kesehatan yang diberikan

kepada pasien. Aktivitas dikelompokkan berdasarkan jenis tindakan

pada jangka waktu tertentu. Kriteria hasil memuat hasil yang

diharapkan dari standar asuhan yang diberikan, meliputi kriteria

jangka panjang yaitu menggambarkan kriteria hasil dari keseluruhan

asuhan dan jangka pendek, yaitu menggambarkan kriteria hasil pada

setiap tahapan pelayanan pada jangka waktu tertentu. Lembaran

Page 13: tesis nungky

varian mencatat dan menganalisis deviasi dari standar yang

ditetapkan dalam clinical pathway. Kondisi pasien yang tidak sesuai

dengan standar asuhan atau standar yang tidak bisa dilakukan dicatat

dalam lembar varian.

2. Evaluasi

a. Pengertian evaluasi

Menurut kamus besar Indonesia, evaluasi adalah suatu penilaian

dimana penilaian itu ditujukan pada orang yang lebih tinggi atau

yang lebih tahu kepada orang yang lebih rendah, baik itu dari jabatan

strukturnya atau orang yang lebih rendah keahliannya. Evaluasi

adalah suatu proses penelitian positif dan negative atau juga

gabungan dari keduanya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

1978: 45). Pada umumnya evaluasi adalah suatu pemeriksaan

terhadap pelaksanaan suatu program yang telah dilakukan dan yang

akan digunakan untuk meramalkan, memperhitungkan, dan

mengendalikan pelaksanaan program ke depannya agar jauh lebih

baik. Evaluasi lebih bersifat melihat ke depan dari pada melihat

kesalahan-kesalahan di masa lalu, dan ditujukan pada upaya

peningkatan kesempatan demi keberhasilan program. Dengan

demikian misi dari evaluasi itu adalah perbaikan atau

penyempurnaan di masa mendatang atas suatu program.

Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan sumber nilai

secara objektif dari pencapaian hasil-hasil yang direncanakan

Page 14: tesis nungky

sebelumnya, dimana hasil evaluasi tersebut dimaksudkan menjadi

umpan balik untuk perencanaan yang akan dilakukan di depan

(Yusuf, 2000). Dalam hal ini Yunus (2000) menitik beratkan kajian

evaluasi dari segi manajemen, dimana evaluasi itu merupakan salah

satu fungsi atau unsur manajemen, yang misinya adalah untuk

perbaikan fungsi atau sosial manajemen lainnya, yaitu perencanaan.

Menurut Donabedian (dalam Wijono, 2000), ada tiga pendekatan

evaluasi (penilaian) mutu yaitu dari aspek :

1. Struktur

Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan,

organisasi dan manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan

sumber daya lainnya difasilitas kesehatan. Penilaian terhadap

struktur termasuk penilaian terhadap perlengkapan dan instrumen

yang tersedia dan dipergunakan sebagai alat untuk pelayanan.

2. Proses

Proses adalah semua kegiatan yang dilakukan secara

professional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga

profesi lain) dan interaksinya terhadap pasien. pengobatan,

indikasi, tindakan, prosedur, penanganan kasus. Penilaian

terproses adalah evaluasi terhadap dokter dan proses kesehatan

dalam memanage pasien. Pendekatan proses merupakan

pendekatan yang terhadap mutu pelayanan kesehatan.

3. Outcome

Page 15: tesis nungky

Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga

profesional terhadap pasien. Penilaian terhadap outcome ini

merupakan hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan yang positif

atau negatif sehingga dapat memberikan bukti atau fakta akhir

pelayanan kesehatan yang diberikan.

b. Jenis-jenis Evaluasi

Jika dilihat dari pentahapannya, secara umum evaluasi dapat dibagi

menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Evaluasi tahap perencanaan yaitu evaluasi yang digunakan

dalam tahap perencanaan untuk mencoba memilih dan

menentukan skala prioritas terhadap berbagai alternatif dan

kemungkinan terhadap cara pencapaian tujuan yang

ditetapkan sebelumnya.

2. Evaluasi pada tahap pelaksanaan adalah suatu kegiatan yang

melakukan analisa untuk menentukan tingkat kemajuan

pelaksanaan dibanding dengan rencana. Terdapat perbedaan

antara konsep menurut penelitian ini dengan monitoring.

Evaluasi bertujuan terutama untuk mengetahui apakah yang

ingin dicapai sudah tepat dan bahwa program tersebut

direncanakan untuk dapat mencapai tujuan tersebut.

Sedangkan monitoring bertujuan melihat pelaksanaan proyek

sud ah sesuai dengan rencana dan bahwa rencana tersebut

sudah tepat untuk mencapai tujuan, sedangkan evaluasi

Page 16: tesis nungky

melihat sejauh mana proyek masih tetap dapat mencapai

tujuan, apakah tujuan tersebut sudah berubah dan apakah

pencapaian program tersebut akan memecahkan masalah

yang akan dipecahkan.

3. Evaluasi pada tahap pasca pelaksanaan Dalam hal ini konsep

pada tahap pelaksanaan, yang membedakannya terletak pada

objek yang dinilai dengan yang dianalisa, dimana tingkat

kemajuan pelaksanaan dibanding rencana tet api hasil

pelaksanaan dibanding dengan rencana yakni apakah

dampak yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut

sesuai dengan tujuan yang akan atau ingin dicapai (Suharto,

2006: 12)

c. Fungsi Evaluasi

Evaluasi memiliki tiga fungsi utama dalam analisis kebijakan, yaitu:

1. Evaluasi memberi informasi yang salah dan dapat dipercaya

mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan,

nilai dan kesempatan yang telah dapat dicapai melalui

tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi mengungkapkan

seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah

dicapai.

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik

terhadap nilai- nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan

Page 17: tesis nungky

target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan

mengoperasikan tujuan dan target.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode- metode

analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan

rekomendasi. Informasi tentang tidak memadai kinerja

kebijakan yang dapat memberi sumbangan pada perumusan

ulang masalah kebijakan (Wahab, 2002: 51).

Berdasarkan fungsi- fungsi evaluasi yang telah dikemukakan di atas,

maka dapatlah kita simpulkan tentang nilai evaluasi merupakan suatu

proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melihat sejauh mana

keberhasilan sebuah program. Keberhasilan program itu sendiri dapat

dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut. Maka

dari itu perlunya evaluasi dalam suatu program.

3. Alat Evaluasi Clinical pathway

Ada dua instrumen yang sering digunakan untuk melakukan audit

terhadap isi dan mutu clinical pathway. Kedua instrument tersebut adalah

The ICP Key Element Checklist dan The Integrated Care Pathway

Appraisal Tool (ICPAT) (Vanhaercht, 2007).

a. The ICP Key Elements Checklist

Dikembangkan oleh Croucher (Inggris) pada tahun 2004 sebagai

bagian dari penelitian magister mengenai kualitas ICP yang

digunakan di pelayanan kesehatan nasional UK

Page 18: tesis nungky

(UKNHS).Instrumen ini dibuat berdasarkan literature di UK dan

belum dilakukan validasi.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengidentifikasi elemen kunci dalam ICP, dan mengevaluasi ICP

yang tersedia. Sebuah tool berupa “The ICP key element

checklist” dibuat berdasarkan tinjauan literatur. Setiap ICP harus

memiliki 14 elemen kunci ini, jika ICP keluar dari 14 elemen

yang tercantum dalam daftar maka bias dikatakan format tersebut

bukan ICP, tapi lebih cenderung menjadi daftar periksa atau

pedoman saja (Croucher, 2005).

Saat ini memang belum ada instrument yang baku dalam

melakukan audit pendokumentasian ICP. Namun dalam

penelitian Croucher (2005) menggunakan ICP key element

checklist dalam mengevaluasi kualitas ICP.

b. The Integrated Care Pathway Appraisal Tool (ICPAT)

Dikembangkan sejak tahun 1999 oleh Whittle dkk di Inggris

dengan mendapatkan dukungan dari perkumpulan pengembangan

mutu West Midlands Regional Levy Board. Instrumen ini dibuat

berdasarkan desain yang sama dengan instrument AGREE

(Appraisal of Guidelines Research and Evaluation).

ICPAT merupakan salah satu instrumen yang sudah divalidasi

dan dapat digunakan untuk melakukan evaluasi dari isi dan mutu

ICP, yang terdiri dari 6 dimensi (Whittle, 2009) yaitu: