Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI DAYA SERAP FILM KITOSAN–MIKROKRISTAL SELULOSA ALANG–ALANG (Imperata cylindrica) SEBAGAI ADSORBEN
LOGAM KADMIUM (Cd) MENGGUNAKAN METODE ADSORPSI–FILTRASI KOLOM
TESIS
Oleh
HARTIKA SAMGRACE SIAGIAN
127006015/KIM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
Universitas Sumatera Utara
STUDI DAYA SERAP FILM KITOSAN–MIKROKRISTAL SELULOSA ALANG–ALANG (Imperata cylindrica) SEBAGAI ADSORBEN
LOGAM KADMIUM (Cd) MENGGUNAKAN METODE ADSORPSI – FILTRASI KOLOM
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dari Program Studi Magister Ilmu Kimia Pada Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Oleh
HARTIKA SAMGRACE SIAGIAN
127006015/KIM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2015
Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : STUDI DAYA SERAP FILM KITOSAN–MIKROKRISTAL SELULOSA ALANG–ALANG (Imperata cylindrica) SEBAGAI ADSORBEN LOGAM KADMIUM (Cd) MENGGUNAKAN METODE ADSORPSI–FILTRASI KOLOM
Nama Mahasiswa : Hartika Samgrace Siagian Nomor Pokok : 127006015 Program Studi : Ilmu Kimia
Menyetujui:
Komisi Pembimbing,
(Dr. Darwin Yunus Nasution, M.S.) Ketua Anggota
(Dr. Ribu Surbakti, M.S.)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D.) (Dr. Sutarman, M.Sc.)
Tanggal Lulus: 4 Februari 2015
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada Tanggal: 4 Februari 2015
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Dr. Darwin Yunus, M.S.
ANGGOTA : 1. Dr. Ribu Surbakti, M.S.
2. Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc.
3. Dr. Mimpin Ginting, M.S.
4. Dr. Juliati Tarigan, M.S.
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN ORISINALITAS
STUDI DAYA SERAP FILM KITOSAN–MIKROKRISTAL SELULOSA ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) SEBAGAI ADSORBEN
LOGAM KADMIUM (Cd) MENGGUNAKAN METODE ADSORPSI–FILTRASI KOLOM
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri dan semua sumber, baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Medan, 4 Februari 2015
Hartika S. Siagian
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Hartika Samgrace Siagian
Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 26 Agustus 1990
Alamat Rumah : Jl. Orde Baru Gg. Kutilang Km.12,5 Diski,
Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang,
Provinsi Sumatera Utara
Telepon/HP : 085262369321
Email : [email protected]
Nama Ayah : Harun Siagian
Nama Ibu : Mariasty Sijabat
DATA PENDIDIKAN
SD : SD SWASTA PANGERAN ANTASARI MEDAN Pindah: 1997
SD NEGERI NO 101737 SUNGGAL Tamat: 2002
SMP : SMP NEGERI 2 SUNGGAL Tamat: 2005
SMA : SMA SANTO THOMAS 3 MEDAN Tamat: 2008
S1 : UNIVERSITAS NEGERI MEDAN Tamat: 2012
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkah dan rahmat-Nya sehingga tesis penelitian dengan judul “Studi Daya
Serap Film Kitosan–Mikrokristal Selulosa Alang–Alang (Imperata cylindrica)
sebagai Adsorben menggunakan Metode Adsopsi-Filtrasi Kolom” dapat
diselesaikan.
Ucapan terima kasih dan curahan cinta kepada Ibunda Mariasty Sijabat dan
Ayahanda Harun Siagian yang tak pernah henti memberikan dorongan serta cucuran
doa dan kerja keras untuk mendidik penulis dengan penuh kasih sayang terkhusus
selama perkuliahan dan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Desman Haris Tumpak Siagian, Daniel Guntoro Siagian, A. Siagian, S.H.,
Khatarina br Siagian, S.H., M.Hum., Drs. A. Sijabat serta keluarga besar
Siagian dan keluarga besar Sijabat yang senantiasa memberikan doa dan dukungan
kepada penulis.
Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada :
Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH,M.Sc (CTM), SP.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara dan Prof. Dr. Sutarman, M.Sc, selaku Dekan FMIPA
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada
penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
Prof. Basuki Wirjosentono, M.S., Ph.D., selaku Ketua Program Pascasarjana
Ilmu Kimia Universitas Sumatera Utara dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc.
selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kimia.
Dr. Darwin Yunus Nasution, M.S. dan Dr. Ribu Surbakti, M.S. selaku
anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan motivasi sehingga
tesis ini dapat diselesaikan.
Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Jamaran Kaban, M.Sc., Dr. Mimpin Ginting, M.S. dan Dr.
Juliati Tarigan, M.S. selaku panitia penguji tesis yang telah memberikan arahan dan
motivasi sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Kepala Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU, Kepala Laboratorium
Ilmu Dasar (LIDA) Kimia USU, Kepala Laboratorium Kimia Fisika USU, beserta
staf (kak Ayu) dan semua asisten LIDA atas fasilitas dan sarana yang diberikan.
Kak Leli di Sekretariat Program Studi Magister Kimia yang telah banyak
membantu dalam urusan surat penelitian dan selama perkuliahan.
Teman-teman mahasiswa Magister Kimia S-2 Angkatan 2012 (terkhusus
Elisa Putri, bang Ali Akbari, bang Robi Pahala) dan semua teman-teman yang telah
banyak membantu saya selama menjalankan perkuliahan dan penelitian.
Teman-teman tersayang kak Asriati Manik, Rotio Hutagalung, Rapika
Pasaribu, Tohom Pasaribu, Kharisma Tarigan, Roy Manalu, Immanuel
Sinambela dan semua teman alumni XII IPA 1 SMA St.Thomas 3 Medan
stambuk 2008 yang telah memberikan doa dan motivasi selama perkuliahan dan
penelitian.
Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian tesis
penelitian ini, namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik isi maupun
tata bahasa, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca demi sempurnanya tesis ini. Akhirnya penulis berharap
tesis penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk pengembangan penelitian baik secara
laboratorium, skala industri dan bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu
pendidikan.
Medan, 4 Februari 2015
Penulis,
Hartika S. Siagian
Universitas Sumatera Utara
STUDI DAYA SERAP FILM KITOSAN–MIKROKRISTAL SELULOSA ALANG–ALANG (Imperata cylindrica) SEBAGAI ADSORBEN
LOGAM KADMIUM MENGGUNAKAN METODE ADSORPSI-FILTRASI KOLOM
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pemanfaatan mikrokristal selulosa dari alang-alang (Imperata cylindrica) sebagai bahan pengisi (filler) dalam film kitosan untuk menurunkan kadar logam kadmium (Cd) menggunakan metode filtrasi-adsorpsi kolom. Mikrokristal selulosa (MCC) yang ditambahkan ke dalam larutan film kitosan dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama adalah pembuatan MCC dari batang alang-alang yang didigesti dengan NaOH 17,5% menghasilkan α-selulosa kemudian dihidrolisis dengan HCl 2,5 N menghasilkan MCC. Analisis ukuran partikel selulosa mikrokristal dengan PSA sebesar 82,278 µm. Tahap kedua adalah pembuatan film kitosan-MCC. Pengujian sifat mekanik terbaik terjadi pada film kitosan dengan penambahan 0,3 g MCC dengan ketebalan film sebesar 0,24 mm dan nilai uji kuat tarik sebesar 10,409 MPa. Hasil analisis sampel film sebagai adsorben logam kadmium menunjukkan bahwa film kitosan dengan penambahan 0,3 g MCC menghasilkan peningkatan daya serap logam kadmium (Cd) paling tinggi yaitu sebesar 79,519% dibandingkan film kitosan tanpa penambahan MCC. Hasil ini didukung oleh hasil analisis SEM menunjukkan bahwa di dalam film terlihat bahwa MCC tersebar merata.. Hasil analisis TGA film kitosan-MCC menunjukkan bahwa film kitosan-MCC memiliki termal yang lebih baik daripada kitosan dan MCC.
Kata Kunci: mikrokristal selulosa, alang-alang, film kitosan, metode filtrasi adsorpsi
kolom, penurunan kadar logam kadmium.
Universitas Sumatera Utara
STUDY ON ADSORPTION FILMS OF CHITOSAN-MICROCRYSTALLINE CELLULOSE FROM REEDS (Imperata cylindrica) AS ADSORBENT
FOR CADMIUM USING ADSORPTION–FILTRATION COLUMN METHOD
ABSTRACT
There has been a research about microcrystalline cellulose utilization of reeds (Imperata cylindrica) as filler in chitosan films to reduce levels of metal cadmium (Cd) by using filtration-adsorption column method. Microcrystalline cellulose (MCC) is added to chitosan films fluid with mass variation of 0.1 g; 0.2 g; 0.3 g. This study is divided into two steps: the first is the manufacture of microcrystalline cellulose (MCC) of reed stems were digested with 17.5% NaOH produce α-cellulose then hydrolyzed with 2.5 N HCl produces microcrystalline cellulose (MCC). Microcrystalline cellulose particle size analysis with a PSA of 82.278 µm.. The second is the manufacture of chitosans films and MCC. The best mechanical properties testing occurred on chitosan films with the addition of 0.3 g of microcrystalline cellulose (MCC) with a film thickness of 0.24 mm and a tensile strength test value of 10.409 MPa. The analysis results of the film samples as cadmium metal adsorbent showed that chitosan films with the addition of 0.3 g of microcrystalline cellulose (MCC) results in improvement of absorption of the metal cadmium (Cd) highest at 79.519% compared to chitosan films without the addition of MCC. This result is supported by the results of SEM analysis showed the films look that microcrystalline cellulose (MCC) is spread evenly. The TGA analysis results of chitosan-MCC films showed that the films of chitosan-MCC has better thermal than chitosan and microcrystalline cellulose (MCC).
Keywords: microcrystalline cellulose, reeds, chitosan films, filtration-adsorption column method, decreased levels of cadmium metal.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 3
1.3. Pembatasan Masalah 3
1.4. Tujuan Penelitian 3
1.5. Manfaat Penelitian 4
1.6. Metodologi Penelitian 4
1.7. Lokasi Penelitian 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Logam Berat 5
2.2. Logam Kadmium 6
2.3. Kitosan 8
2.3.1. Struktur Molekul Kitosan 9
2.3.2. Sifat dan Karakteristik Kitosan 10
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Kegunaan Kitosan 13
2.3.4. Kemampuan Kitosan Untuk Menyerap Logam 14
2.4. Selulosa 17
2.4.1. Struktur Molekul Selulosa 17
2.4.2. Sifat Fisika Kimia Selulosa 17
2.4.3. Sumber Selulosa 18
2.4.4. Kemampuan Selulosa sebagai Adsorben Penyerap Ion Logam 19
2.5. Alang-Alang 20
2.6. Selulosa Mikrokristal (MCC) 21
2.7. Adsorpsi 22
2.8. Penggunaan Kitosan-Selulosa sebagai Adsorben 23
2.9. Beberapa Metode Analisis dan Karakterisasi Film 24
2.9.1. Spektroskopi Infra-Merah Fourrier-Transform 24
2.9.2. Uji Kekuatan Tarik 25
2.9.3. Thermogravimetric Analysis (TGA) 26
2.9.4. Mikroskop Pemindai Elektron (SEM) 27
2.9.5. Spektofotometer Serapan Atom (SSA) 27
2.9.6. Partikel Size Analizer (PSA) 30
BAB 3. METODE PENELITIAN 31
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 31
3.2. Alat dan Bahan 31
3.1.1. Alat Penelitian 32
3.1.2. Bahan Penelitian 32
3.3. Prosedur Kerja 32
3.3.1. Pembuatan Reagen 32
Universitas Sumatera Utara
3.3.1.1. Pembuatan Larutan NaOH 2% 32
3.3.1.2. Pembuatan Larutan Buffer Asetat 32
3.3.1.3. Pembuatan Larutan NaOCl 1,7% 33
3.3.1.4. Pembuatan Larutan NaOH 17,5% 33
3.3.1.5. Pembuatan H2O2 10% 33
3.3.1.6. Pembuatan HCl 2,5 N 33
3.3.1.7. Pembuatan Asam Asetat 1% 33
3.3.1.8. Pembuatan Larutan Standar Cd2+ 2 ppb 33
3.3.2. Preparasi Serbuk Rumput Alang-Alang 34
3.3.3. Isolasi α-selulosa dari Rumput Alang-Alang 34
3.3.4. Pembuatan Selulosa Mikrokristal Alang-Alang 35
3.3.4. Pembuatan Film Kitosan-Selulosa Mikrokristal dengan pelarut Asam Asetat 1% 35
3.4. Karakterisasi Film Kitosan-Selulosa Mikrokristal (MCC) 36
3.4.1. Uji Kuat Tarik 36
3.4.2. Analisis Permukaan Spesimen dengan SEM 37
3.4.3. Analisis FT-IR 37
3.4.4. Perlakuan dan Analisa Penyerapan Logam Larutan Cd2+ dengan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) pada Larutan Standar 37
3.5. Bagan Penelitian 39
3.5.1. Penyiapan Serbuk Alang-Alang 39
3.5.2. Pemurnian Serbuk Alang-Alang 40
3.5.3. Pembuatan Selulosa Mikrokristal dari α-selulosa Serat Alang-Alang 41
3.5.4. Pembuatan Spesimen Film Campuran Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang 42
Universitas Sumatera Utara
3.5.5. Penggunaan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) sebagai Penurun Konsentrasi Ion Logam Kadmium (Cd) 43
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 44
4.1. Isolasi α-selulosa Alang-Alang 44
4.2. Pembuatan Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang 45
4.3. Karakterisasi Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang 46
4.3.1. Analisis FT-IR 46
4.3.2. Analisis Ukuran Partikel Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang Menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) 47
4.4. Pembuatan Film Kitosan dan Kitosan Mikrokristal Selulosa 48
4.5. Karakterisasi Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) 50
4.5.1. Analisis FT-IR 51
4.5.2. Pengujian Sifat Mekanik dan Fisik 54
4.5.3. Analisis Sampel dengan SSA 56
4.5.4. Analisis Morfologi Menggunakan SEM 64
4.5.5. Analisis Degradasi Termal Menggunakan TGA 66
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 68
5.1. Kesimpulan 68
5.2. Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 69
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Aplikasi dan Kegunaan Kitosan di Berbagai Bidang 14
Tabel 2.2. Kandungan Kimia Alang-Alang 21
Tabel 3.1. Nama Alat dan Bahan Penelitian 31
Tabel 3.2. Perbandingan Massa Kitosan dan MCC 36
Tabel 4.1. Data Analisis FT-IR serbuk Mikrokristal Selulosa 46
Tabel 4.2. Data Analisis FT-IR Film Kitosan dan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
51
Tabel 4.3. Data Ketebalan Film 54
Tabel 4.4. Data Uji Kekuatan Tarik 55
Tabel 4.5. Check Alat Spektrofotometer Serapan Atom 56
Tabel 4.6. Data Sensitivity Instrumen SSA 57
Tabel 4.7. Konsentrasi Logam Kadmium dengan Metode Kolom 59
Tabel 4.8. Hasil Peningkatan Daya Serap Logam Kadmium (Cd) setelah dilewatkan dengan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
59 Tabel 4.9. Konsentrasi Logam Kadmium dengan Metode Kolom 60
Tabel 4.10. Hasil Peningkatan Daya Serap Logam Kadmium (Cd) setelah dilewatkan dengan Film Kitosan dan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
61
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1. Struktur Molekul Kitosan 9
Gambar 2.2. Reaksi Pembentukan Khelat Kitosan dengan Logam Kadmium
15
Gambar 2.3. Struktur Molekul Selulosa 17
Gambar 2.4. Skema Komponen Dasar FT-IR 24
Gambar 2.5. Spesimen Uji Tarik 25
Gambar 2.6. Komponen-komponen Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
28
Gambar 3.1. Standar ASTM D638 36
Gambar 3.2. Skema Peralatan Penyerapan Logam Kadmium (Cd) Menggunakan Film Kitosan dan Film Kitosan-MCC
38
Gambar 3.5. Bagan Penelitian 39
Gambar 3.5.1. Penyiapan Serbuk Alang-Alang 39
Gambar 3.5.2. Pemurnian Serbuk Alang-Alang (Isolasi α-Selulosa) 40
Gambar 3.5.3. Pembuatan Selulosa Mikrokristal (MCC) dari α-Selulosa 41
Gambar 3.5.4. Pembuatan Spesimen Film Campuran Kitosan-MCC dengan Pelarut Asam Asetat 1%
42
Gambar 3.5.5. Penggunaan Film Kitosan-MCC sebagai Penyerap Logam Kadmium (Cd) pada Larutan Standar
43
Gambar 4.1. Isolasi α-Selulosa Alang-Alang 44
Gambar 4.2. Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang 45
Gambar 4.3. Spektrum FT-IR Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
46
Gambar 4.4. Film Kitosan tanpa MCC 48
Gambar 4.5. Film Kitosan dengan Penambahan 0,1 g MCC 49
Gambar 4.6. Film Kitosan dengan Penambahan 0,2 g MCC 49
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.7. Film Kitosan dengan Penambahan 0,3 g MCC 50
Gambar 4.8. Spektrum FT-IR dari Selulosa Mikrokristal, Film Kitosan dan Film Kitosan-MCC
52
Gambar 4.9. Usulan Interaksi Hidrogen Intermolekuler dan Intramolekuler antar Molekul Selulosa Mikrokristal dan Kitosan dalam Film
53 Gambar 4.10. Kurva Kalibrasi Analisis Sampel 58
Gambar 4.11. Peningkatan Daya Serap Kadar Logam Kadmium (Cd) dengan Metode Perendaman
60
Gambar 4.12. Peningkatan Daya Serap Kadar Logam Kadmium (Cd) dengan Metode Filtrasi-Adsorpsi Kolom
61
Gambar 4.13. Usulan Ikatan Kovalen antara Kitosan dan Selulosa dalam Film Terhadap Ion Logam Kadmium (Cd)
63
Gambar 4.14. SEM Film Kitosan (a) Perbesaran 100x (b) Perbesaran 500x (c) Perbesaran 1000x
64
Gambar 4.15. SEM Film Kitosan dengan penambahan 0,3 g MCC (a) Perbesaran 100x (b) Perbesaran 500x (c) Perbesaran 1000x
65 Gambar 4.16. Kurva Temperatur vs Berat Film Kitosan-MCC (1,7:0,3) 66
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1. Tahapan Pembuatan α-Selulosa dari Alang-Alang 80
Lampiran 2. Tahapan Pembuatan Mikrokristal Selulosa (MCC) 81
Lampiran 3. Pembuatan Film Kitosan dan Film Kitosan-MCC 82
Lampiran 4. Proses Pencetakan Film Kitosan dan Film Kitosan-MCC 84
Lampiran 5. Proses Adsorpsi Logam Kadmium (Cd) dengan Metode Kolom
86
Lampiran 6. Spektrum Analisis Gugus Fungsi Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan FT-IR
88
Lampiran 7. Spektrum Analisis Gugus Fungsi Film Kitosan dengan FT-IR
89
Lampiran 8. Spektrum Hasil Analisis Gugus Fungsi Film Kitosan-MCC dengan FT-IR
90
Lampiran 9. Hasil Uji Tarik Film Kitosan dengan Penambahan 0,1 g MCC
91
Lampiran 10. Hasil Uji Tarik Film Kitosan dengan Penambahan 0,2 g MCC
92
Lampiran 11. Hasil Uji Tarik Film Kitosan dengan Penambahan 0,3 g MCC
93
Lampiran 12. Hasil Analisis Degradasi Termal Menggunakan TGA 94
Lampiran 13. Hasil Analisis SSA untuk Adsorpsi Larutan Logam Kadmium (Cd) Menggunakan Metode Adsorpsi Filtrasi Kolom
95 Lampiran 14. Hasil Analisis SSA untuk Adsorpsi Larutan Logam
Kadmium (Cd) Menggunakan Metode Perendaman
96
Lampiran 15. Hasil Analisis Ukuran Partikel Mikrokristal Selulosa Alang-Alang Menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)
97
Lampiran 16. Perhitungan Persentase Adsorpsi atau Efisiensi Adsorpsi (%E)
98
Universitas Sumatera Utara
STUDI DAYA SERAP FILM KITOSAN–MIKROKRISTAL SELULOSA ALANG–ALANG (Imperata cylindrica) SEBAGAI ADSORBEN
LOGAM KADMIUM MENGGUNAKAN METODE ADSORPSI-FILTRASI KOLOM
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pemanfaatan mikrokristal selulosa dari alang-alang (Imperata cylindrica) sebagai bahan pengisi (filler) dalam film kitosan untuk menurunkan kadar logam kadmium (Cd) menggunakan metode filtrasi-adsorpsi kolom. Mikrokristal selulosa (MCC) yang ditambahkan ke dalam larutan film kitosan dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama adalah pembuatan MCC dari batang alang-alang yang didigesti dengan NaOH 17,5% menghasilkan α-selulosa kemudian dihidrolisis dengan HCl 2,5 N menghasilkan MCC. Analisis ukuran partikel selulosa mikrokristal dengan PSA sebesar 82,278 µm. Tahap kedua adalah pembuatan film kitosan-MCC. Pengujian sifat mekanik terbaik terjadi pada film kitosan dengan penambahan 0,3 g MCC dengan ketebalan film sebesar 0,24 mm dan nilai uji kuat tarik sebesar 10,409 MPa. Hasil analisis sampel film sebagai adsorben logam kadmium menunjukkan bahwa film kitosan dengan penambahan 0,3 g MCC menghasilkan peningkatan daya serap logam kadmium (Cd) paling tinggi yaitu sebesar 79,519% dibandingkan film kitosan tanpa penambahan MCC. Hasil ini didukung oleh hasil analisis SEM menunjukkan bahwa di dalam film terlihat bahwa MCC tersebar merata.. Hasil analisis TGA film kitosan-MCC menunjukkan bahwa film kitosan-MCC memiliki termal yang lebih baik daripada kitosan dan MCC.
Kata Kunci: mikrokristal selulosa, alang-alang, film kitosan, metode filtrasi adsorpsi
kolom, penurunan kadar logam kadmium.
Universitas Sumatera Utara
STUDY ON ADSORPTION FILMS OF CHITOSAN-MICROCRYSTALLINE CELLULOSE FROM REEDS (Imperata cylindrica) AS ADSORBENT
FOR CADMIUM USING ADSORPTION–FILTRATION COLUMN METHOD
ABSTRACT
There has been a research about microcrystalline cellulose utilization of reeds (Imperata cylindrica) as filler in chitosan films to reduce levels of metal cadmium (Cd) by using filtration-adsorption column method. Microcrystalline cellulose (MCC) is added to chitosan films fluid with mass variation of 0.1 g; 0.2 g; 0.3 g. This study is divided into two steps: the first is the manufacture of microcrystalline cellulose (MCC) of reed stems were digested with 17.5% NaOH produce α-cellulose then hydrolyzed with 2.5 N HCl produces microcrystalline cellulose (MCC). Microcrystalline cellulose particle size analysis with a PSA of 82.278 µm.. The second is the manufacture of chitosans films and MCC. The best mechanical properties testing occurred on chitosan films with the addition of 0.3 g of microcrystalline cellulose (MCC) with a film thickness of 0.24 mm and a tensile strength test value of 10.409 MPa. The analysis results of the film samples as cadmium metal adsorbent showed that chitosan films with the addition of 0.3 g of microcrystalline cellulose (MCC) results in improvement of absorption of the metal cadmium (Cd) highest at 79.519% compared to chitosan films without the addition of MCC. This result is supported by the results of SEM analysis showed the films look that microcrystalline cellulose (MCC) is spread evenly. The TGA analysis results of chitosan-MCC films showed that the films of chitosan-MCC has better thermal than chitosan and microcrystalline cellulose (MCC).
Keywords: microcrystalline cellulose, reeds, chitosan films, filtration-adsorption column method, decreased levels of cadmium metal.
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberadaan logam berat di lingkungan dapat berbahaya bagi makhluk hidup,
meskipun beberapa logam berat (contohnya Fe dan Zn) dalam konsentrasi kecil
bersifat essensial bagi makhluk hidup karena diperlukan untuk metabolisme tubuh
(Firdaus, 2012). Senada dengan Quek, dkk (1998) Logam dapat membahayakan bagi
kehidupan manusia jika konsentrasi melebihi batas ambang yang diijinkan, apabila
konsentrasinya belum melebihi batas ambang, keberadaan logam berat telah diketahui
bersifat akumulatif dalam sistem biologis.
Mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh logam berat, banyak metode -
metode baru yang murah, efektif, dan efisien yang dikembangkan untuk menurunkan
kadar logam berat dalam air antara lain pengendapan kimia, filtrasi mekanik, penukar
ion, elektrodeposisi, oksidasi reduksi, sistem membran, dan adsorpsi fisik (Herwanto
dan Eko, 2006). Proses adsorpsi lebih banyak dipakai dalam industri karena lebih
ekonomis dan tidak menimbulkan efek samping yang beracun. Adsorpsi adalah
proses akumulasi adsorbat pada permukaan adsorben yang disebabkan oleh gaya tarik
antar molekul adsorbat dengan permukaan adsorben (Setyaningtyas, 2005 dalam
Nurhasni, 2012).
Penggunaan adsorben konvensional memerlukan biaya operasional dan
regenerasi yang relatif lebih mahal (Wiloso, 2003 dalam Nurhasni, 2012). Adsorben
konvensional yang sering digunakan dalam proses adsorpsi adalah alumina, karbon
aktif, silika gel, dan zeolit. Adsorben tersebut mempunyai kemampuan adsorpsi yang
baik tetapi tidak ekonomis. Dewasa ini sedang digalakkan penelitian mengenai
penggunaan adsorben alternatif yang berasal dari alam, karena selain memiliki
kemampuan adsorpsi yang baik, adsorben tersebut juga bersifat lebih ekonomis
(Jalali, dkk., 2002 dalam Nurhasni 2012).
Universitas Sumatera Utara
Akhir-akhir ini banyak penelitian yang mencoba menemukan adsorben yang
lebih ekonomis, ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Salah satunya adalah
penggunaan adsorben yang mengandung polimer alam seperti kitosan. Kitosan
merupakan biopolimer yang efektif digunakan sebagai adsorben logam berat karena
sifatnya yang tidak beracun, memiliki kekuatan mekanik yang tinggi,
biokompatibilitas, biodegradabilitas dan biofungsionalitas (Kousalya, dkk. 2010)
Dari berbagai literatur diketahui bahwa kitosan dapat digunakan untuk
mengadsorpsi beberapa logam yaitu Cu (II), Pb (II), U (VI), Cr (III), Cr (VI), Ni (II),
Cd (II), Zn (II), Co (II), Fe (II), Mn (II), Pt (IV), Pd (II), V (V) dan V (VI) (Santoso,
2012). Hal ini senada dengan hasil penelitian Kusumawati (2009) yang menunjukkan
keberadaan gugus amina dalam kitosan yang mampu mengikat logam berat seperti
Cd, Cu, Pb, Fe, Mn dan lainnya.
Hasil penelitian Meriatna (2008) telah menunjukkan bahwa film (membran)
kitosan dapat menurunkan kadar krom (Cr) dan nikel (Ni) dengan metode kolom.
Namun, membran kitosan ini memiliki keterbatasan dalam hal sifat mekanik
(kekuatan mekanik) sehingga diperlukan material pendukung seperti selulosa untuk
meningkatkan kekuatan mekanik film tersebut. Selulosa merupakan biopolimer alami
yang paling berlimpah dengan relatif kuat mekanik kekuatan hingga 1GN/ m2 atau
10.000 Mpa (Yang, 2001). Selulosa sudah banyak dimanfaatkan sebagai adsorben
logam berat antara lain selulosa dari serbuk ampas kelapa (Fatma, 2002), jerami padi
(Fatoni, 2010) dan mikroselulosa (MCC) kapas yang telah dijadikan adsorben ion Cd
(II) pada larutan standar Cd(NO3)2 dimana persen daya serap terhadap ion Cd (II)
sebesar 74,92% (Cahyaningrum, 2012). Selain itu, selulosa juga memiliki struktur
kimia yang mirip dengan kitosan yang memungkinan untuk menghasilkan campuran
(komposit) kitosan-selulosa sebagai adsorben untuk adsorpsi logam. Pada penelitian
Herwanto dan Eko (2006) telah berhasil menghasilkan membran komposit kitosan-
selulosa terikat silang untuk adsorpsi ion logam Pb (II) dengan metode perendaman.
Selain itu, film kitosan-CMC juga telah dibuat untuk adsorpsi logam Cd (II)
Universitas Sumatera Utara
(Govindarajan, 2011) dimana film ini mampu mengadsorpsi ion logam Cd (II)
mencapai persen daya serap sebesar 64,89%.
Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tanaman asli Indonesia yang
memiliki kandungan selulosa sebesar 40,22%. Beberapa jurnal telah menyebutkan
manfaat alang-alang sebagai obat-obatan. Namun, pemanfaatan mikrokristal selulosa
alang-alang sebagai adsorben belum pernah dilakukan. Berdasarkan latar belakang di
atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang peningkatan kerja
membran kitosan dengan penambahan mikrokristal selulosa (MCC) alang-alang
sebagai adsorben ion logam Cd (II) dalam larutan standar dengan metode filtrasi-
adsorpsi kolom.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belatang maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peningkatan kerja film kitosan
dengan penambahan selulosa mikrokristal (MCC) alang-alang sebagai adsorben ion
logam Cd (II) dalam larutan standar.
1.3.Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini akan dibatasi sebagai berikut:
1. Kitosan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh secara komersial.
2. Rumput alang-alang yang digunakan sebagai bahan pembuat mikrokristal
selulosa (MCC) adalah bagian batang yang berwarna putih.
3. Ion logam Cd (II) yang digunakan adalah larutan standar Cd(NO3)2.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan kerja film kitosan
dengan penambahan selulosa mikrokristal (MCC) alang-alang sebagai adsorben ion
logam Cd (II) dalam larutan standar Cd(NO3)2.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi tanaman
rumput alang-alang untuk menghasilkan mikrokristal selulosa yang dapat digunakan
sebagai bahan pengisi dalam pembuatan film kitosan sebagai adsorben ion logam Cd
(II).
1.6. Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium yang dilakukan dalam 3 tahap:
1. Tahap pertama yaitu, proses penyiapan serbuk alang-alang yang kemudian
diisolasi untuk mendapatkan α-selulosa.
2. Tahap kedua yaitu, proses hidrolisis α-selulosa dengan hidrolisis asam yaitu
menggunakan HCl 2,5 N yang akan menghasilkan selulosa mikrokristal.
Karakterisasi yang digunakan adalah analisa menggunakan FT-IR dan PSA.
3. Tahap ketiga yaitu pembuatan film kitosan dengan selulosa mikrokristal
(MCC) sebagai filler. Karakterisasi yang digunakan adalah uji tarik, analisis
SEM, analisis FT-IR dan analisis TGA.
4. Tahap keempat yaitu menguji daya serap ion logam Cd (II) dengan film
kitosan-selulosa. Karakterisasi yang digunakan adalah analisis AAS.
1.7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Dasar Lida FMIPA USU,
Laboratorium Kimia Polimer MIPA USU, Laboratorium Kimia Fisika Jurusan
Kimia FMIPA USU, Laboratorium TERPADU, Laboratorium Farmasi,
Laboratorium Kimia Organik UGM, dan Pusat Laboratorium Forensik
(PUSLABFOR) MABES POLRI Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Logam Berat
Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai densitas <5 g/cm3 dalam air laut,
logam berat terdapat dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Dalam kondisi alam ini,
logam berat dibutuhkan oleh organism untuk pertumbuhan dan perkembangan
hidupnya (Effendi, 2000).
Selain bersifat racun, logam berat juga terakumulasi dalam sedimen dan biota
melalui proses biokonsentrasi, bioakumulasi dan biomagnifikasi oleh biota laut.
Logam-logam berat yang masuk ke dalam tubuh hewan umumnya tidak dikeluarkan
lagi dari tubuh mereka. Karena itu logam-logam cenderung untuk menumpuk dalam
tubuh mereka. Sebagai akibatnya, logam-logam ini akan terus ada di sepanjang rantai
makanan. Hal ini disebabkan karena predator pada satu trofik level yang lebih rendah
yang telah tercemar (Hutabarat, 1991).
Logam juga dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada makhluk hidup.
Hal ini terjadi jika sejumlah logam mencemari lingkungan. Logam-logam tertentu
sangat berbahaya jika ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan, karena
logam tersebut mempunyai sifat merusak tubuh makhluk hidup. Di samping hal
tersebut, beberapa logam sangat diperlukan dalam proses kehidupan makhluk hidup.
Dalam hal ini logam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu logam esensial dan
nonesensial. Logam esensial adalah logam yang sangat membantu di dalam proses
fisiologi makhluk hidup dengan jalan membantu kerja enzim atau pembentukan organ
dari makhluk yang bersangkutan. Sedangkan logam non esensial adalah logam yang
peranannya dalam tubuh makhluk hidup belum diketahui, kandungannya dalam
jaringan hewan sangat kecil dan apabila kandungannya tinngi akan merusak organ
tubuh makhluk yang bersangkutan (Vogel, 1994).
Toksisitas logam berat bisa dikelompokkan menjadi 3, yaitu bersifat toksik
tinggi yang terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn; bersifat toksik sedang
yang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni dan Co; dan bersifat toksik rendah yang terdiri
Universitas Sumatera Utara
atas unsur Mn dan Fe. Tingkat toksisitas logam berat terhadap hewan air, mulai dari
yang paling toksik, adalah Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni dan Co. tingkat toksisitas terhadap
manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn
(Widowati dkk. 2008).
Banyak logam yang bersifat toksik dalam air dan mencemari air tawar
maupun air laut. Jika pencemaran air karena logam terjadi maka organisme pertama
yang terpengaruh akibat penambahan polutan logam ke perairan adalah organisme
dan tumbuhan yang tumbuh di perairan atau habitat tertentu. Dalam tubuh makhluk
hidup, logam mengalami biokonsentrasi dan bioakumulasi sehingga kadar logam di
dalam tubuh makhluk hidup lebih besar daripada di lingkungan perairan. Logam juga
mengalami biomagnifikasi, kadarnya semakin meningkat dengan peningkatan posisi
organisme pada rantai makanan. Karena interaksi antar organism di dalam suatu
ekosistem maka dampak dari limbah logam tersebut pada akhirnya akan sampai pada
hierarki rantai makanan tertinggi yaitu manusia (Santoso, 2012)
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat beberapa macam
penyakit pada manusia akibat memakan makanan dan meminum minuman yang
mengandung logam berat seperti kanker, gangguan saluran cerna, ginjal, dan lain-
lain. Toksisitas (daya racun) logam berat tergantung dari jenis, kadar, efek sinergi
antagonis dan sifat fisik-kimianya. Semakin besar kadar logam berat maka daya
toksisitasnya semakin besar (Hellawel, 1986).
2.2. Logam Kadmium
Kadmium (Cd) adalah logam putih-silver yang lunak. Pada tabel periodik,
kadmium berada di bawah seng (Zn) dan di atas raksa (Hg). Bilangan oksidasi yang
mungkin terbentuk dari kadmium adalah 0 dan +2. Kadmium tidak memiliki fungsi
biologi, namun kadmium telah terdeteksi pada lebih dari 1000 spesies flora dan
fauna. Kadmium masuk ke lingkungan melalui tiga cara yaitu: penyulingan dan
penggunaan kadmium, peleburan nikel dan tembaga, dan pembakaran bahan bakar
(Santoso, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sunardi (2006) kadmium merupakan salah satu unsur logam transisi
golongan 2B yang berwarna putih perak dan mudah dibentuk.kadmium memiliki
massa atom 112,41 sma, densitas 8,65 gram/cm3, dan memiliki titik lebur 594,26 K.
Kadmium ditemukan di alam dalam mineral greenockite, dan dipisahkan dengan seng
melalui penyulingan (destilasi) bertingkat atau melalui proses elektrolisis.
Unsur logam berat kadmium (Cd) terdapat dalam tanah secara alami dengan
kandungan rata-rata rendah yaitu 0,4 mg/kg tanah. Pada tanah yang bebas polusi
kandungannya adalah 0,06-1,00 mg/kg tanah. Peningkatan kandungan kadmium
dapat berasal dari asap kendaraan dan pupuk fosfat yang terakumulasi di tanah. Pada
umumnya tanaman menyerap hanya sedikit (1-5 %) larutan kadmium yang
ditambahkan ke dalam tanah. Akumulasi dalam jangka waktu lama dapat
meningkatkan kandungan kadmium dalam tanah dan tanaman yang sedang tumbuh.
Sayuran mengakumulasi kadmium lebih banyak dibandingkan tanaman pangan
lainnya (Subowo, dkk. 1999).
Menurut Sudarmadji (2006), dalam tubuh manusia kadmium terutama
dieliminasi melalui urin. Hanya sedikit yang diabsorbsi, yaitu 5-10 %. Absorbsi
dipengaruhi oleh faktor diet seperti intake protein, kalsium, Vitamin D dan trace
logam seperti seng (Zn). Proporsi yang besar adalah absorbsi melalui pernapasan
yaitu antara 10-40 % tergantung keadaan fisik. Uap kadmium sangan toksik dengan
lethal dose melalui pernapasan diperkirakan 10 menit terpapar sampai dengan 190
mg/m3 selama 240 menit akan dapat menimbulkan kematian. Gejala umum keracunan
Cd adalah sakit di dada, nafas sesak, batuk-batuk dan lemah.
Senada dengan Darwono (1995) bahwa masuknya kadmium dalam batas yang
tidak diizinkan sangat berbahaya karena dapat menyebabkan penyakit jantung, efek
lain yaitu dapat meracuni pernafasan yang mengakibatkan kerusakan pada paru-paru,
usus, hati, ginjal dan akhirnya dapat menyebabkan kematian. Pada umumnya
keracunan kadmium dapat merusak semua sel tubuh (Darwono, 1995)
Hal ini senada dengan Widaningrum (2007) yang menyatakan bahwa ion
kadmium sangat berbahaya; memiliki bahaya yang sama dengan raksa. Semua
Universitas Sumatera Utara
senyawa kadmium berpotensi berbahaya dan beracun. Ketika kadmium dilebur, maka
kadmium akan menguap ke atmosfir dan pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan
penyakit pada ginjal dan tulang sumsum serta emphisema.
Kadmium (Cd) memiliki waktu paruh 30 tahun dan dapat terakumulasi pada
ginjal mengalami disfungsi. Jumlah normal kadmium dalam tanah berada di bawah 1
ppm, tetapi angka tertinggi 1700 ppm dijumpai pada permukaan sampel tanah yang
diambil di dekat pertambangan biji seng (Zn). Kadmium lebih mudah terakumulasi
pada tanaman dibandingkan dengan ion logam berat lainnya seperti timbal (Pb).
Kadmium bergabung bersama timbal dan merkuri sebagai the big three heavy
metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi pada kesehatan manusia. Menurut
badan dunia FAO/WHO, konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi manusia
adalah 400-500 g per orang atau 7 mg per kg berat badan. Kadmium yang terdapat
dalam tubuh manusia sebagian besar diperoleh melalui makanan dan tembakau,
hanya sejumlah kecil berasal dari air minum dan polusi udara (Widaningrum, 2007).
2.3. Kitosan
Kitosan ditemukan oleh C. Roughet pada tahun 1859 dengan cara memasak
kitin dengan basa. Perkembangan penggunaan kitin dan kitosan meningkat pada
tahun 1940-an, terlebih dengan semakin diperlukannya bahan alami oleh berbagai
industri sekitar tahun 1970-an. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin. Kualitas
dan nilai ekonomi kitosan dan kitin ditentukan oleh kualitas dan harga jualnya.
Perbedaan antara kitin dan kitosan didasarkan pada kandungan nitrogennya. Bila
nitrogen kurang dari 7% maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total
nitrogennya lebih dari 7% disebut kitosan. Perbedaan lainnya antara kitin dan kitosan
terdapat dalam derajat deasetilasinya. Kitosan mempunyai derajat deasetilasi berkisar
antara 80-90%, akan tetapi kebanyakan publikasi menggunakan istilah kitosan
apabila derajat deasetilasi lebih besar 70% (Kaban, 2009).
Hal ini senada dengan Hardjito (2006), kitosan merupakan salah satu bahan
yang memiliki prospek yang baik dimasa depan. Kitosan merupakan salah satu
Universitas Sumatera Utara
polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang banyak terdapat
di alam. Kitin dapat diperoleh dari crustacean atau berbagai fungi. Kitosan sebagai
polimer alami dapat dihasilkan dari hewan berkulit keras terutama dari laut seperti
udang, rajungan, kepiting dengan kadar kitosan antara 10-15%. Selain dari kulit
hewan laut, kitosan juga dapat diperoleh dari dinding sel jamur antara lain
Aspergillus niger.
2.3.1. Struktur Molekul Kitosan
Kitosan adalah padatan amorf putih kekuningan, tidak beracun dan baik
sebagai flokulan dan koagulan serta mudah membentuk membran atau film (Meiratna,
2008), merupakan polimer rantai panjang yang disusun oleh monomer-monomer
glukosamina. Kitosan adalah glukosamina (2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa) yang
berkaitan dengan polimer β-1,4 dan mengandung N-asetilglukosamina yang lebih
sedikit. Berat molekul kitosan adalah 1,036 x 106 Dalton. Berat molekul tergantung
dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatannya (Astuti, 2008).
Rumus umum kitosan adalah (C6H11NO4)n atau disebut sebagai (1,4)-2-amina-2-
deoksi-β-D-Glukosa. Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Struktur Molekul Kitosan (Aranaz, 2009)
OH
OH
H
NHH
OH
CH2OH
H
CO CH3
H O
H
CH2OH
H
NH2H
OH HO
H
OO
H
OH
CH2OH
H
H
H
NH2
OH
H
n
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Sifat dan Karakteristik Kitosan
Sifat dari kitosan adalah tidak larut dalam air, memiliki ketahanan kimia
cukup baik, larut dalam larutan asam tetapi tidak larut dalam basa dan ikatan silang
kitosan memiliki sifat tidak larut dalam media campuran asam dan basa, memiliki
reaktivitas kimia yang tinggi karena mengandung gugus -OH dan gugus -NH2
(Muzzarelli, 1997). Kitosan juga mempunyai sifat yang lebih spesifik yaitu dengan
adanya sifat bioaktif, biokomposit, pengkelat, antibakteri dan dapat terdegradasi
(Kumar, dkk., 2000).
Sandford dan Hutchins sebagaimana dikutip Meiratna (2008) menyatakan
sifat kationik, biologi, dan sifat kimia kitosan adalah sebagai berikut :
1. Sifat kationik
Jumlah muatan positif tinggi: suatu muatan per unit gugus glukosamin, jika
banyak material bermuatan negatif (seperti protein) maka muatan positif kitosan
berinteraksi kuat dengan muatan negatif lain (polimer), flokulan yang baik:gugus
NH3+ berinteraksi dengan muatan negatif dari polimer lain.
2. Sifat biologi
Sifat biologi kitosan berkaitan dengan sifat antibakteri. Kitosan digunakan
sebagai antibakteri dikarenakan beberapa sifat yang dimiliki yaitu kemampuannya
dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan kemampuannya
dalam memberikan pelapisan terhadap produk sehingga meminimalkan interaksi
antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih
berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah afinitas
yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat
berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein
(Hadwiger dan Loschke 1978 diacu dalam Hardjito 2006).
Sifat aktifitas antimikroba dari kitosan dalam melawan bakteri tergantung dari
berat molekul dan derajat deasetilasi. Berat molekul dan derajat deasetilasi yang
lebih besar menunjukkan aktifitas antimikroba yang lebih besar (No, dkk. 2002).
Universitas Sumatera Utara
Kitosan sebagai polikationik amina akan berinteraksi dengan kutub negatif dari
lapisan sel bakteri (Young dan Kauss 1983 diacu Chaiyakosha, dkk. 2007).
Helander, dkk. (2001) diacu Chaiyakosha, dkk. (2007) menyatakan bahwa reduksi
sejumlah sel bakteri disebabkan oleh perubahan permukaan sel dan kehilangan
fungsi pelindung dalam sel bakteri tersebut. Bakteri Gram negatif dengan
lipopolisakarida dalam lapisan luarnya memiliki kutub negatif yang sangat sensitif
terhadap kitosan. Dalam penelitiannya Tsai, dkk. (2002) menemukan bahwa
kitosan dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli, adanya penghambatan
ini disebabkan oleh adanya keelektronegatifan permukaan sel E. coli. Perubahan
dalam potensial permukaan E.coli selama pertumbuhan, yaitu terjadinya
peningkatan keelektronegatifan seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu sampai
pertumbuhan lambat, namun keelektronegatifan akan menurun setelah bakteri
mencapai fase stasioner. Di lain pihak, Simpson (1997) diacu Suptijah (2006)
menyatakan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai antibakteri dengan
mekanisme sebagai berikut: kitosan dapat berikatan dengan membran sel,
diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain
berikatan dengan protein membran, terutama fosfatidil kolin (PC) sehingga
menyebabkan permeabilitas inner membran (IM) jadi meningkat dan dengan
meningkatnya permeabilitas IM memberi jalan yang mudah untuk keluarnya
cairan sel. Khususnya pada E. coli setelah 60 menit komponen enzim β-
galaktosidase dapat terlepas, berarti dapat keluar dengan sitoplasma bahkan sambil
membawa komponen metabolit yang lain, yang berarti terjadi lisis. Sehubungan
dengan meningkatnya lisis maka tidak akan terjadi pembelahan sel (regenerasi),
bahkan dapat sampai mati.
Wang (1992) menemukan bahwa aktifitas bakterisidal dari kitosan telah
diobservasi dapat melawan beberapa bakteri gram negatif diantaranya adalah
Escherichia coli. Dalam penelitiannya Chaiyakosha, dkk. (2007) menemukan
bahwa chitosan dengan konsentrasi 150 ppm dan lama perendaman selama 5 menit
mampu mengurangi bakteri Vibrio parahaemolyticus sebesar 90%.
Universitas Sumatera Utara
Secara khusus juga kitosan telah diketahui aktif terhadap Stahylococcus
aureus (Fernandez, dkk., 2008). Aktivitas antibakteri kitosan berkolerasi erat
dengan karakteristik permukaan sel mikroba tersebut. Hal ini dikarenakan muatan
positif yang berasal dari gugus asam amino dalam suasana pH asam (di bawah 6,5)
yang menyebabkan depolarisasi membran seluler mikroba, sebagai akibat
terganggunya integritas dinding sel dari hubungan molekul yang menyebabkan
kematian bagi mikroba (Kong, dkk., 2010).
Hal ini senada dengan Prashanth & Tharanathan (2007) aktivitas antimikroba,
yaitu molekul polikationik kitosan berinteraksi dengan sel didominasi komponen
anionik dinding (lipopolisakarida dan protein) dari mikroorganisme, yang
mengakibatkan kebocoran intraseluler komponen akibat perubahan permeabilitas
membran, mencegah nutrisi memasuki sel, pada saat masuk ke sel, mengikat DNA,
menghambat RNA dan sintesis protein, mengikat melalui interaksi hidrofobik.
Kitosan menunjukkan spektrum luas aktivitas antimikroba terhadap kedua gram
positif dan bakteri gram negatif dan jamur. Aktifitas antibakteri kitosan
berhubungan dengan karakteristik permukaan sel mikroba tersebut. Hal ini
dikarenakan muatan positif yang berasal dari gugus asam amino dalam suasana pH
asam (dibawah 6,5), yang menyebabkan depolarisasi membran seluler mikroba,
sebagai akibat terganggunya integritas dinding sel dari hubungan molekul yang
menyebabkan kematian bagi mikroba. Kitosan tidak larut dalam air diatas pH 5.5,
basa dan kebanyakan pelarut organik, tetapi ,larut dalam asam organik encer
(Swastawati, dkk., 2007), sehingga pada suasana asam kitosan dapat larut dan
bekerja, sedangkan dalam suasana basa dia tidak akan bereaksi.
3. Sifat kimia
Kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang baik karena mempunyai sejumlah
gugus hidroksil (-OH) dan gugus amina (-NH2) pada rantainya merupakan
polisakarida bersifat basa. Kebanyakan polisakarida yang terdapat di alam bersifat
Universitas Sumatera Utara
netral dan asam seperti selulosa, dekstran, peptin, asam alginate, agar, dan agarose
(Kumar, 2000).
Keberadaan gugus amina (-NH2) dan hidroksil (-OH) menjadikan kitosan
sebagai polisakarida yang reaktif untuk adsorpsi dan dapat berinteraksi dengan
molekul yang bermuatan negatif. Kitosan telah digunakan di berbagai bidang
industri seperti industri makanan aditif, kosmetik, material pertanian dan untuk
anti bakterial. Kitosan juga sering digunakan sebagai adsorben pada ion logam dan
spesies organik. Hal ini disebabkan oleh adanya gugus amina dan gugus hidroksil
dari rantai kitosan yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk berkoordinasi dan
bereaksi (Lee, dkk., 2009). Atom nitrogen pada gugus amina menyediakan
pasangan elektron bebas yang dapat bereaksi dengan kation logam. Pada pH asam,
gugus amina terprotonasi sehingga meningkatkan kelarutan kitosan yang bersifat
tidak larut dalam pelarut alkali dan pada pH netral (Bernkop, dkk., 2004).
2.3.3. Kegunaan Kitosan
Menurut Robert (1992), kitosan mudah mengalami degradasi secara biologis,
tidak beracun dan baik sebagai flokulan dan koagulan serta mudah membentuk
membran atau film. Kitosan merupakan suatu biopolymer alam yang reaktif yang
dapat melakukan perubahan-perubahan kimia.
Menurut Robert (1992) kitosan digunakan dalam berbagai bidang, misalnya (1)
dalam industri kertas, kaca, kain, pewarna (2) dalam industri kosmetik (3) dalam
bidang pertanian dan makanan (4) dalam industri semen (5) dalam bidang kesehatan
(6) untuk penyerapan ion logam. Kitosan juga memiliki kegunaan yang beragam
seperti: bahan perekat, adiktif untuk kertas dan tekstil, penjernihan air minum, serta
untuk mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki sifat pengikatan warna.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa aplikasi dan kegunaan kitosan di berbagai bidang ditunjukkan pada
tabel 2.2 seperti berikut:
Tabel 2.2. Aplikasi dan kegunaan kitosan di berbagai bidang
No. Bidang Aplikasi Kegunaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengelohan limbah Pertanian Industri Kecil Bioteknologi Klarifikasi/Penjernihan - Limbah industri pangan - Limbah sari buah - Penjernihan air minum - Penjernihan kolam renang - Penjernihan zat warna - Penjernihan tanin Kosmetik Biomedis Fotografi
- Bahan Koagolasi/Flokulasi untuk limbah cair - Penghilangan ion-ion metal dari limbah cair
- Dapat menurunkan kadar asam sayur, buah dan
ekstrak kopi - Sebagai pupuk - Bahan antimikrobial
- Serat tekstil - Meningkatkan ketahanan warna
- Bahan-bahan immobilisasi enzim
- Koagulasi/flokulasi - Flokulan pectin/protein - Koagulasi - Flokulan mikroba - Pembentuk komplek - Pembentuk komplek
- Bahan untuk rambut dan kulit - Mempercepat penyembuhan luka - Menurunkan kadar kolesterol
- Melindungi film dari kerusakan
(Sumber: Robert (1992)) 2.3.4. Kemampuan Kitosan Untuk Menyerap Logam
Penggunaan membran kitosan untuk mengadsorpsi ion timbal (Pb2+) pada air
pertambangan di bangka belitung. Membran kitosan dapat mengadsorpsi limbah dari
pertambangan Bangka Belitung dengan persen adsorpsi ≤ 55% (Tiara, 2014). Dari
beberapa literatur juga diketahui bahwa kitosan dapat digunakan untuk mengadsorpsi
beberapa logam Cu (II), Pb (II), U (VI), Cr (III), Cr (VI), Ni (II), Cd (II), Zn (II), Co
(II), Fe (II), Mn (II), Pt (IV), Pd (II), V (V) dan V (VI) (Schmuhl, dkk. 2001).
Kemampuan kitosan untuk mengadsorpsi ion logam kadmium (Cd2+) telah diteliti
Universitas Sumatera Utara
oleh Lestari dan Aulia (2011) dengan metode perendaman (bacth), dimana diperoleh
persen daya serap sebesar 57,07% dalam waktu perendaman selama 15 menit. Lestari
dan Aulia (2011) menjelaskan bahwa mekanisme penyerapan logam kadmium (Cd)
tersebut terjadi karena adanya pengikatan Cd oleh gugus N dan O yang terdapat
dalam kitosan.
Menurut Redjeki (2012), kitosan dapat mengikat ion-ion logam karena
memiliki pasangan electron bebas pada gugus amina primer yang bersifat nukleofilik
sebagai akseptor proton sehingga gugus amina ini dapat terprotonasi. Gugus amina
bebas –NH2 kitosan dapat mengadsorpsi ion logam (seperti Zn, Cd, Cu, Pb, Mg dan
Fe ) dengan membentuk senyawa kompleks (khelat) (Knoor, 1984). Reaksi
pembentukan kompleks (khelat) merupakan reaksi asam-basa Lewis, dengan asam
Lewis adalah penerima elektron dan basa Lewis adalah penyumbang elektron. Pada
pembentukan kompleks kitosan-ion logam, ligan –NH2 bertindak sebagai basa Lewis
yang menyumbangkan sepasang elektron ke ion Cd (II) membentuk ikatan kovalen
koordinasi. Adapun mekanisme reaksi pembentukan khelat kitosan dengan logam
kadmium (Cd) dapat dilihat pada Gambar 2.2 seperti berikut:
Gambar 2.2. Reaksi Pembentukan Khelat Kitosan dengan Logam Kadmium (Kaminski dan Modrzejewska, 1997)
O
H
CH2OH
H
NH2H
OH HO
H
O
n
∗ ∗+ Cd2+ O
O
NH2
O
O
H2N
O
HOH2C
O
O
CH2OH
O
Cd2+ + 2H+
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan kitosan untuk mengikat logam dengan cara pengkhelat adalah
dihubungan dengan kadar nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya. Kitosan
mempunyai satu kumpulan amino linier bagi setiap unit glukosa. Kumpulan amino ini
mempunyai satu kumpulan amino linier bagi setiap unit glukosa. Kumpulan amino ini
mempunyai sepasang elektron yang dapat berkoordinat atau membentuk ikatan-ikatan
aktif dengan kation-kation logam. Unsur nitrogen pada setiap monomer kitosan
dikatakan sebagai gugus yang aktif berkoordinat dengan kation logam (Hutahahean,
2001).
Interaksi kitosan dengan ion logam terjadi karena proses pengkompleksan
dimana penukaran ion, penyerapan dan pengkhelatan terjadi selama proses
berlangsung. Ketiga proses tersebut tergantung dari ion logam masing-masing seperti
penukaran ion logam Ca. Kitosan menunjukkan afinitas yang tinggi pada logam
transisi golongan 3, begitu pula pada logam yang bukan golongan alkali dengan
konsentrasi rendah (Muzzarelli, 1973).
Pada umumnya mekanisme serapan kitosan terhadap logam dapat dirumuskan
pada cara yaitu (1) secara pengkhelatan, dimana terbentuknya ikatan aktif antara
nitrogen kitosan dengan kation logam, dalam hal ini nitrogen dari kitosan bertindak
sebagai basa lewis yang menyumbangkan sepasang elektron untuk berkoordinat
dengan logam, (2) secara pertukaran ion yaitu berlaku pertukaran antara proton dari
kitosan dengan kation logam, (3) secara memperangkap, dimana ion logam
terperangkap dalam lingkaran rantai polimer.
Menurut Mc Kay (1987) dalam Meriatna (2008), kitosan mempunyai
kemampuan untuk mengikat logam dan membentuk kompleks kitosan dengan logam.
Contoh mekanismenya adalah sebagai berikut:
2R-NH2 + Cu2+ + 2 Cl- 2(RNH2)CuCl2
Universitas Sumatera Utara
2.4. Selulosa
2.4.1. Struktur Selulosa
Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi.
Diperkirakan sekitar 1011 ton selulosa dibiosintesis tiap tahun dan selulosa mencakup
sekitar 50% dari karbon tak bebas di bumi. Selulosa membentuk komponen serat dari
dinding sel tumbuhan (Fessenden, 1986).
Selulosa tersusun dari unit-unit anhidroglukopiranosa yang tersambung
dengan ikatan β-1,4-glikosidik membentuk suatu rantai makromolekul tidak
bercabang. Setiap unit anhidroglukopiranosa memiliki tiga gugus hidroksil (Potthast,
dkk., 2006; Zugenmainer, 2008). Selulosa mempunyai rumus empirik (C6H10O5)n
dengan n~1500 dan berat molekul ~ 243.000 (Rowe, dkk., 2009). Struktur selulosa
terdiri dari rantai polimer β-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosida 1,4 yang
ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3. Struktur Molekul Selulosa (Fessenden dkk., 1992)
2.4.2. Sifat Fisika Kimia Selulosa
Menurut Wibisono (2011), selulosa merupakan komponen utama dalam
pembuatan kertas. Selulosa adalah senyawa organik penyusun utama dinding sel dari
tumbuhan. Adapun sifat dari selulosa adalah berbentuk senyawa berserat, mempunyai
tegangan tarik yang tinggi, tidak larut dalam air dan pelarut organik.
OH
H
OHH
OH
CH2OH
H
H O
H
CH2OH
H
OHH
OH HO
H
O *O*
n
Universitas Sumatera Utara
Selulosa mempunyai struktur rantai yang linier, sehingga kristal selulosa
menjadi stabil. Bahan berbasis selulosa sering digunakan karena memiliki sifat
mekanik yang baik seperti kekuatan dan modulus regang yang tinggi, kemurnian
tinggi, kapasitas mengikat air tinggi, dan struktur jaringan yang sangat baik (Gea, dkk
., 2011).
2.4.3. Sumber Selulosa
Selulosa merupakan salah satu polimer yang tersedia melimpah di alam.
Produksi selulosa sekitar 100 milyar ton setiap tahunnya. Sebagian dihasilkan dalam
bentuk selulosa murni seperti yang terdapat dalam rambut biji tanaman kapas. Namun
paling banyak adalah yang berkombinasi dengan lignin dan polisakarida lain seperti
hemiselulosa dalam dinding sel tumbuhan berkayu, baik pada kayu lunak dan keras,
jerami atau bamboo. Selain itu selulosa juga dihasilkan oleh bakteri Acetobacter
xylinum secara ekstraseluler (Klemm, dkk., 1998). Senyawa ini juga dijumpai dalam
plankton bersel satu atau alga di lautan, juga pada jamur dan bakteri (Potthast et al.,
2006; Zugenmainer, 2008). Sebagai bahan baku kimia, selulosa telah digunakan
dalam bentuk serat atau turunannya selama sekitar 150 tahun (Habibi, dkk., 2010).
Ada dua serat alam yang utama yaitu kapas dan wol, yang awalnya
merupakan selulosa polisakarida dan yang belakangan merupakan suatu protein.
Sutera, serat protein lainnya, diproduksi dalam kuantitas yang sangat sedikit. Serat-
serat sintesis diklarifikasikan sebagai selulosa dan nonselulosa (Stevens, 2001).
Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, oleh karena itu merupakan
bahan alam yang paling penting yang dibuat oleh organisme hidup. Selulosa terdapat
pada semua tanaman dari pohon bertingkat tinggi hingga organisme primitif seperti
rumput laut, flagelata dan bakteria. Kadar selulosa yang tinggi terdapat dalam rambut
biji (kapas, kapok) dan serabut kulit (rami, flax, henep), lumut, ekor kuda dan
bacteria yang mengandung selulosa (Wegener, 1985).
Sumber lain selulosa adalah hasil biosintesis selulosa oleh mikroorganisme
bakteri, alga, dan jamur. Alga dan jamur menghasilkan selulosa melalui sintesis in
Universitas Sumatera Utara
vitro secara enzimatik dari selobiosal flourida, dan kemosintesis dari glukosa dengan
pembukaan cincin polimerisasi turunan benzil dan pivaloyl. Dari ketiga
mikroorganisme tersebut, hanya spesies Acetobacter xylinum yang diketahui dapat
menghasilkan selulosa dalam jumlah besar. Sumber selulosa lain adalah dari hewan,
yang disebut tunicin atau selulosa hewan karena diperoleh dari organisme bahari
tertentu dari kelas Tunicata (Gea, 2010).
2.4.4. Kemampuan Selulosa sebagai Adsorben Penyerap Ion Logam
Penelitian tentang studi adsorpsi logam dengan menggunakan adsorben telah banyak
dilakukan. Memanfaatkan limbah hasil pertanian atau perkebunan sebagai adsorben
yang mengandung selulosa untuk studi adsorpsi logam juga telah banyak dilakukan
akhir-akhir ini. Fatma (2002) telah meneliti sabut kelapa untuk penyerapan ion logam
kadmium (Cd). Abia dan Asuquo (2007) meneliti serat buah kelapa sawit sebagai
adsorben ion logam Cd (II) dan Cr (III). Igwe dan Abia (2007) meneliti batang jagung
sebagai adsorben ion logam Cd (II), Pb (II) dan Zn (II). Igwe dan Abia (2006)
meneliti serat/sabut kelapa sebagai adsorben logam As (III). Babarinde, dkk. (2008)
meneliti pembungkus buah jagung sebagai biosorben ion logam.
Selain menggunakan berbagai jenis adsorben di atas, adapula adsorpsi dapat
dilakukan dengan menggunakan tumbuhan lain sebagai penyerap logam berat baik
yang berasal dari tumbuhan di air dan tumbuhan yang hidup di tanah. Contohnya
adalah pemanfaatan rumput alang-alang sebagai biosorben Cr (VI) (Rahmi, 2009),
adsorpsi merkuri (II) pada biomassa daun eceng gondok (Al-Ayub, 2010) dan
adsorpsi ion Pb (II) dalam air dengan jerami padi (Yanuar, 2009).
Fatoni (2010) penggunaan selulosa dari jerami padi sebagai adsorben logam
kadmium (II) dapat menyerap ion logam kadmium hingga mencapai 70% dari
konsentrasi awal ion logam kadmium (II). Terjadinya interaksi antara ion logam
kadmium (II) dengan adsorben jerami padi dimungkinkan pada selulosa jerami padi.
Israel (2008) menyatakan selulosa adalah polimer rantai panjang karbohidrat
polisakarida dan gugus fungsi yang ada dalam selulosa murni yaitu gugus hidroksil
Universitas Sumatera Utara
(OH) yang membuat selulosa poliol dengan gugus fungsi alkohol primer ( -CH2OH)
atau alkohol sekunder (-CHOH) sehingga dapat terjadi adsorpsi pada material
selulosa.
2.5. Alang-Alang
Alang-alang atau ilalang yang memiliki nama ilmiah yaitu Imperata cylindrica
yang merupakan rumput asli Indonesia yang sangat mudah sekali tumbuh dan
berkembang. Alang-alang ialah sejenis rumput berdaun tajam, yang kerap menjadi gulma
di lahan pertanian. Alang-alang menyebar secara alami mulai dari India hingga ke Asia
Timur, Asia Tenggara, Mikronesia, dan Australia. Kini alang-alang juga ditemukan di Asia
Utara, Eropa, Afrika, dan Amerika (Wibisono, 2011). Menurut Moenandir (1988), alang-alang (Imperata Cylindrica) dalam
sistematika (taksonomi) tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Moncotyledonae
Bangsa : Poales
Suku : Gramineae
Marga : Imperata
Jenis : Imperata cylindrica.
Nama umum : Alang-alang
Alang-alang bias digunakan sebagai pakan ternak. Secara tradisional, alang-
alang juga dimanfaatkan penduduk pedesaan untuk membuat atap rumah dikarenakan
keberadaannya yang mudah didapatkan serta tahan lama. Alang-alang juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kertas. Alang-alang bermanfaat dalam
mengontrol erosi tanah atau sebagai pupuk hijau. Alang-alang juga memiliki manfaat
lain seperti sebagai hiasan dan dapat juga digunakan sebagai alternatif pengobatan
yaitu rimpangnya (Febrisari, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sutiya (2012), sampai saat ini pemanfaatan alang-alang masih sangat
terbatas, walaupun alang-alang dapat digunakan sebagai bahan baku pulp dan
pembuatan kertas sebagai alternatif bahan baku kayu. Selain itu, alang-alang yang
semula dianggap gulma bisa memberikan nilai ekonomis yang tinggi jika diolah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adapun kandungan kimia alang-alang
dapat ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Kandungan Kimia Alang-Alang
No. Kandungan Kimia Alang-Alang Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5.
Kadar Air Ekstraktif Holoselulosa Alfa Selulosa Pentosan/Hemiselulosa
93,76 8,09 31,29 40,22 18,40
(Sumber: Sutiya, 2012)
Hal ini senada dengan Wibisono (2011) menyatakan bahwa bahan kering dari
alang-alang mengandung abu sebesar 5,42 %, silika 3,6 %, lignin 18,12 %, pentosan
28,58 %, dan kadar alfa selulosa 44,28 %, dan juga mempunyai derajat polimerisasi
berkisar 600-1500.
2.6. Selulosa Mikrokristal
Selulosa mikrokristal adalah selulosa yang berbentuk kristalin yang telah
mengalami depolimerisasi parsial dan fraksinasi, berwarna putih, tidak berbau, tidak
berasa, berbentuk serbuk dan merupakan partikel berpori (Adel, 2011).
Secara komersil, selulosa mikrokristal dibuat dari kayu keras. Beberapa
penelitian selulosa mikrokristal telah dilakukan dengan sumber selulosa yang
berbeda-beda seperti jerami (Halim, 2013), kayu aspen dan pinus (Laka, 2007), katun
(Nada, dkk., 2009), ampas tebu (Bhattacharya, dkk., 2008) dan tandan kosong kelapa
sawit (Haafiz, 2013 dan Rosnah, 2009). Ada juga mikrokristal dibuat dari bakteri
seperti bakteri penghasil nata de coco (Sinaga, 2010) dan Gluconacetobacter xylinus
Universitas Sumatera Utara
(Keshk and Haija, 2011). Umumnya, bahan baku yang berbeda menghasilkan struktur
dan morfologi MCC yang berbeda.
Umumnya, selulosa mikrokristal dibuat dengan proses hidrolisis
menggunakan asam. Senada dengan Rowe, dkk. (2009) yang menyatakan bahwa
selulosa mikrokristal dibuat dengan cara hidrolisis terkontrol alfa selulosa, suatu pulp
dari tumbuhan yang berserat dengan larutan asam mineral encer. Namun, penelitian
Oyeniyi (2012) bahwa proses pembuatan MCC berkembang dengan nilai kristalinitas
dan kemurnian yang tinggi. Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
proses pembuatan selulosa mikrokristal adalah proses menghilangkan bagian amorf
dan meninggalkan bagian kristalin dari selulosa (Hsu, 1996).
2.7. Adsorpsi
Adsorpsi adalah proses akumulasi substansi di permukaan antara dua fase
yang terjadi secara fisika dan kimia, atau proses terserapnya molekul-molekul pada
permukaan eksternal atau internal suatu padatan. Akumulasi yang terjadi dapat
berlangsung pada proses cair-cair, cair-padat dan padat-padat. Proses adsorpsi sangat
cocok untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran lain
yang mengandung bahan dengan konsentrasi tinggi. Adsorpsi digunakan dalam
pengolahan air buangan industri, terutama untuk mengurangi komponen-komponen
organik misalnya warna, fenol, detergen, zat-zat toksik dan zat-zat organik yang
sukar diuraikan (Mc Cabe, dkk. 1989)
Adsorpsi yang terjadi karena adanya gaya tarik dari permukaan adsorban dan
energi kinetik molekul adsorbat, dapat berupa adsorpsi fisika, adsorpsi kimia dan
adsorpsi isoterm. Pada adsorpsi fisika terjadi gaya van der Waals antara molekul
adsorbat dan adsorben untuk berikatan. Pada adsorpsi kimia terjadi interaksi antara
elektron-elektron pada permukaan adsorben dengan molekul-molekul adsorbat
membentuk ikatan yang lebih kuat dibandingkan dengan adsorpsi fisika (Bernasconi,
1995). Pada adsorpsi isotherm terjadi kesetimbangan antara konsentrasi dalam fasa
fluida dan konsentrasi dalam partikel adsorben (Mc Cabe, dkk. 1989).
Universitas Sumatera Utara
Proses adsorpsi berlangsung tiga tahap yaitu pergerakan molekul-molekul
adsorbat menuju permukaan adsorben, penyebaran molekul-molekul adsorbat ke
dalam rongga-rongga adsorben dan penarikan molekul-molekul adsorbat oleh
permukaan aktif membentuk ikatan yang berlangsung sangat cepat (sorpsi) (Metcalf
and Eddy, 1979).
2.8. Penggunaan Kitosan – Selulosa sebagai Adsorben
Menurut Bilal (2001) bahwa selulosa mempunyai kemampuan untuk
mengadsorpsi logam berat dengan biaya yang rendah. Selain itu berdasarkan
percobaan sebelumnya telah diketahui bahwa kayu dan komponennya, seperti
selulosa, lignin, hemiselulosa, dan sebagainya, telah digunakan dalam industri
perawatan air untuk menghilangkan logam berat seperti Cu(II), Pb(II), Cd(II), Cr(III)
dan sebagainya. Disisi lain, penghilangan ion logam berat dari air buangan dan
limbah cair industri telah memberikan banyak perhatian selama beberapa tahun
terakhir ini. Hal tersebut disebabkan karena ion logam tersebut telah menyebabkan
masalah kesehatan dalam kehidupan manusia dan hewan.
Kitosan murni pada umumnya digunakan sebagai biosorben logam berat
dalam bentuk serpihan (flakes) (Jonsson-Charrier dkk., 1996) dan serbuk (powder)
(Lima and Airoldi, 2000), sedangkan bentuk kitosan termodifikasi meliputi kitosan
ikat silang (Cao dkk., 2002), dan dipadukan dengan material pendukung selulosa
menjadi komposit kitosan-selulosa (Herwanto, B. dan E. Santoso., 2006). Selulosa
berfungsi sebagai material pendukung. Selulosa dipilih sebagai bahan pendukung
karena termasuk bahan biopolimer dengan struktur kimiawi yang mirip dengan
kitosan, dimana kemiripan struktur kimiawi kitosan dan selulosa akan menjadikan
kedua biopolimer bersifat kompatibel dan mempunyai gaya adhesi yang baik.
Kemampuan adsorpsi kitosan terhadap logam berat sangat dipengaruhi oleh
sifat fisika-kimiawi kitosan. Kitosan tak berikat silang mempunyai kapasitas adsorpsi
lebih besar dari pada kitosan berikat silang, tetapi kitosan berikat silang mempunyai
ketahanan fisik terhadap asam yang lebih baik dari pada kitosan tak berikat silang
Universitas Sumatera Utara
(Wan Ngah dkk., 2002). Serbuk kitosan dengan ukuran partikel yang lebih kecil
mempunyai kapasitas adsorpsi yang lebih besar dari pada serbuk dengan ukuran
partikel lebih besar (Karthikeyan dkk., 2004).
2.9. Beberapa Metode Analisis dan Karakterisasi Film
2.9.1. Spektroskopi Infra Merah Fourier-Transform (FT-IR)
Spektroskopi inframerah merupakan salah satu teknik analisis yang paling
penting yang tersedia untuk para ilmuwan saat ini. Salah satu keuntungan besar dari
spektroskopi inframerah adalah bahwa hampir semua sampel dapat dipelajari.
Cairan, larutan, pasta, bubuk, film, serat, gas dan permukaan semuanya dapat
dianalisis. Spektroskopi FTIR telah meningkatkan kualitas spektrum inframerah dan
meminimalkan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh data. Spektroskopi
inframerah adalah teknik yang didasarkan pada getaran dari atom molekul. Spektrum
inframerah biasanya diperoleh dengan melewatkan radiasi inframerah melalui
sampel dan menentukan bagian mana dari radiasi yang diserap pada energi tertentu.
Energi yang muncul di setiap puncak dalam spektrum penyerapan dapat
disamakan dengan frekuensi getaran dari bagian molekul sampel (Stuart,
2004)
Karakterisasi gugus ujung dapat dilakukan menggunakan FT-IR. Spektroskopi
FT-IR atau Fourier Transform Infrared dapat menganalisis gugus ujung suatu
senyawa. Dalam penelitian Darni dan Utami (2010) uji FT-IR digunakan untuk
mengidentifikasi bahan kimia yang terkandung dalam suatu polimer.
Komponen dasar sebuah FT-IR ditunjukkan pada Gambar 2.4. seperti berikut:
Gambar 2.4. Skema komponen dasar FT-IR
Sumber Inframerah Interferometer Sampel Detektor Pemprosesan
data dan sinyal
Universitas Sumatera Utara
Cahaya infra merah terbagi menjadi 3 yakni, infra merah dekat, infra merah
pertengahan, dan infra merah jauh. Hampir semua senyawa, termasuk senyawa
organik menyerap dalam daerah inframerah. Agar senyawa bentuk padat dapat
dianalisis pada daerah inframerah maka senyawa tersebut harus dibuat film, dilebur,
atau dilumatkan menjadi cairan yang kental (mull), didispersikan dalam senyawa
halida organik menjadi bentuk cakram atau pellet, atau dilarutkan dalam berbagai
pelarut. Polimer organik dapat dibuat film di antara dua lempengan garam setelah
dilarutkan dalam pelarut yang cocok (Sastrohamidjojo, 1992).
2.9.2. Uji Kekuatan Tarik
Uji yang paling sering digunakan untuk sifat mekanik dari suatu bahan adalah
uji tarik, yang mana suatu kepingan atau silinder dari bahan, yang memiliki panjang L
dan luas area A, diletakkan di salah satu ujung dan berada pada posisi aksial P –
menyatakan panjang spesimen- di sisi lainnya. Adapun gambar spesimen uji kekuatan
tarik ditunjukkan seperti Gambar 2.5. berikut:
Gambar. 2.5. Spesimen Uji Tarik
Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σt)
mengunakan alat pengukur tensometer atau dinamometer, bila terhadap bahan
diberikan tegangan. Secara praktis, kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban
maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi
dengan luas penampang bahan. Karena selama di bawah pengaruh tegangan,
Universitas Sumatera Utara
spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik
dinyatakan dengan luas penampang semula (A0). Kekuatan tarik suatu bahan dapat
dilihat pada persamaan (Wirjosentono, 1995).
σt = FmaksA0
dimana: σt menyatakan kuat tarik, Fmaks menyatakan beban maksimum, A0
menyatakan luas penampang bahan.
Satuan untuk tegangan adalah N/m2 (disebut juga Pascal atau Pa) dalam
system SI dan 1b/in2 (atau psi) dalam satuan yang sering digunakan di Amerika
Serikat (Roylance, 2008)
2.9.3. Thermogravimetric Analysis (TGA) Thermogravimetric Analysis (TGA) memantau perubahan massa dari suatu zat
sebagai fungsi temperatur atau waktu selama sampel diletakkan pada suatu program
temperatur yang teratur. TGA sering digunakan untuk mengatur material polimer
berdasarkan stabilitas termalnya dengan membandingkan kehilangan berat versus
temperatur.
Kegunaan TGA yang kedua adalah menentukan laju kehilangan uap, diluent,
dan monomer yang tak beraksi yang harus dihilangkan dari bahan polimer. Bahan
polimer dapat dipirolisis dengan peralatan TGA untuk menentukan pengisis karbon
hitam atau sisa material anorganik.
TGA memberikan ahli kimia laboratorium sejumlah aplikasi penting. Aplikasi
yang paling penting meliputi profil analisis komposisi dan dekomposisi dari sistem
multikomponen yang dilakukan pada berbagai kondisi temperatur dan atmosfer,
parameter tersebut dapat disesuaikan dan diubah pada berbagai titik selama
percobaan. Aplikasi lain yang penting meliputi laju terdekat analisis batubara,
pemisahan kuantitatif dari komponen sampel utama dalam campuran multikomponen,
Universitas Sumatera Utara
penentuan komponen yang volatil dan menguap dalam material sampel, studi kinetik,
dan reaksi oksidasi-reduksi (Patnaik, 2004).
2.9.4. Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)
SEM berbeda dengan mikroskopi elektron transmisi (TEM) dalam hal ini suatu
berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel
dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Electron-
elektron yang terhambur digunakan untuk memproduksi sinyal yang memodulasi
berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman
medan yang besar dan penampakan yang hamper tiga dimensi.
Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi
memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi pemukaan dengan
resolusi sekitar 100 Ǻ. Aplikasi -aplikasi yang khas mencakup penelitian disperse-
dispersi pigmen dalam cat, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas fasa dalam
polipaduan yang tak dapat campur, struktur sel busa-busa polimer, dan kerusakan
pada bahan perekat. SEM teristimewa berharga dalam mengevaluasi penanaman
(implant) bedah polimerik bereaksi baik dengan lingkungan bagian-bagiannya
(Stevens,2001).
2.9.5. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Prinsip kerja SSA adalah mengacu pada absorbsi atom terhadap cahaya.
Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung sifat
unsurnya. Dengan absorbsi energi, atom akan memperoleh lebih banyak energi,
sehingga akan naik tingkat energinya dari keadaan dasar (ground state) ke tingkat
energi tereksitasi (excited state). Energi ini akan dipancarkan kembali ketika atom
tereksitasi turun kembali ke keadaan dasarnya. Energi inilah yang akan terdeteksi
oleh detektor (Hendayana, 1994).
Cuplikan yang diukur dalam SSA adalah berupa larutan, biasanya air sebagai
pelarutnya. Larutan cuplikan tersebut mengalir ke dalam ruang pengkabutan, karena
Universitas Sumatera Utara
terisap oleh aliran gas bahan bakar dan oksigen yang cepat. Berbeda dengan
spektroskopi sinar tampak, metode ini tidak mempedulikan warna larutan, sedangkan
larutan cuplikan diatomisasi dahulu (Hendayana, 1994).
Sistem peralatan pada Spektrofotometri serapan atom adalah :
Gambar 2.6. Komponen-komponen spektrofotometer serapan atom (Day, 1998)
1. Sumber Sinar
Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode
lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan
anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau
dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau
argon) dengan ttekanan rendah (10-15 torr). Neon biasanya paling sering dipakai
karena memberikan intensitas pancaran yang lebih rendah. Bila antara katoda dan
anoda diberikan tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan
berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan
energinya sangat tinggi. Elektron-elektron dengan energi tinggi ini dalam
perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang diisikan
tadi.
Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan
kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang
Tabung Katoda
berongga Pemotong berputar Nyala Monokromator Detektor
Penguat arus
Pencatat
Sumber Tenaga
Motor Bahan Bakar
Sampel Oksigen
Universitas Sumatera Utara
bermuatan positif selanjutnya akan bergerak ke katoda dengan kecepatan dan energi
yang tinggi pula. Sebagaimana disebutkan di atas, pada katoda terdapat unsur-unsur
yang sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Unsur-unsur ini akan ditabrak oleh
ion-ion positif gas mulia. Akibat tabrakan ini, unsur-unsur akan terlempar keluar dari
permukaan katoda. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami
eksitasi ke tingkat energi-energi elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan
spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis.
2. Tempat sampel
Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis
harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan gas. Ada
berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi
uap atom-atom yaitu :
a. Nyala (Flame)
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi
bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara spektrofotometri
emisi atom, nyala ini berfungsi untuk mengeksitasikan atom dari tingkat dasar ke
tingkat yang lebih tinggi.
Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas-gas yang digunakan,
misalnya untuk gas batubara-udara, suhunya kira-kira sebesar 1800 0C, gas alam-
udara 1700 0C, asetilen-udara 2200 0C, dan gas asetilen-dinitrogen oksida (N2O)
sebesar 3000 0C.
b. Tanpa nyala (Flameless)
Proses pengatoman tanpa nyala dapat dilakukan dalam tungku dari grafit seperti
tungku yang dikembangkan oleh Masmann. Sistem pemanasan dengan tanpa nyala
ini dapat melalui tiga tahap yaitu pengeringan (drying) yang membutuhkan suhu yang
rendah, pengabuan (ashing) yyang membutuhkan suhu yang lebih tinggi karena untuk
menghilangkan matriks kimia dengan mekanisme volatilitasi atau pirolisis, dan
Universitas Sumatera Utara
pengatoman (atomising). Pada umumnya waktu dan suhu pemanasan tanpa nyala
dilakukan dengan cara terprogram.
3. Monokromator
Pada spektrofotometri serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan
dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Disamping sistem
optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk
memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut dengan chopper.
4. Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat
pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton (photomultiplier tube).
Ada dua cara yang dapat digunakan dalam sistem deteksi yaitu yang memberikan
respon terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu, dan yang hanya memberikan
respon terhadap radiasi resonansi
5. Readout
Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem
pencatat hasil. Pencatat hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi
untuk pembacaan suatu angka transmisi atau absorbs. Hasil pembacaan dapat berupa
angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau
intensitas emisi (Rohman, 2007).
2.9.6 Partikel Size Analizer (PSA)
Pada analisa ukuran partikel dengan menggunakan PSA, partikel didispersikan ke
dalam media cair sehingga partikel tidak saling beraglomerasi (menggumpal).
Ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari partikel. Data ukuran partikel yang
didapatkan berupa tiga distribusi yaitu intensitas, jumlah dan volume distribusi,
sehingga dapat diasumsikan menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (Nikmatin,
2010).
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Dasar FMIPA USU.
Dilaksanakan selama 7 bulan, mulai Maret 2014 sampai dengan Desember 2014.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat-Alat Penelitian
3.1. Tabel Alat Penelitian
Nama Alat Spesifikasi Merk
1. Alat-alat gelas - Pyrex
2. Neraca analitis 0,01 mg Ohaus
3. Kertas saring biasa - -
4. Termometer 10o – 360o C Fisher
5. Hot plate 0o – 360 o C Memmert
6. Oven - Memmert
7. Indikator universal pH-fix- 0-14 Macherey-Nagel
8. Seperangkat Alat TGA SDT Q600 Seri 0600-1473
9. Seperangkat Alat Uji Tarik - ASTM D638
10. Seperangkat Mikroskop Pindai Elektron (SEM) SEM EDX BRUKER EVO MA 10
11. Seperangkat Alat FT-IR Shimadzu AA6300
12 Spektrofotometer Serapan Atom PEG FURNACE A 800 FIAS 300
Universitas Sumatera Utara
3.2.2. Bahan-Bahan Penelitian
Nama Bahan
1. Rumput alang-alang (RAA) -
2. Kitosan -
3. Air Suling -
4. NaOH 2% p.a merck
5. NaOCl 1,75% p.a merck
6. NaOH 17,5% p.a merck
7. H2O2 10% p.a merck
8. HCl(p) p.a merck
9. Asam asetat glasial(p) p.a merck
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Pembuatan Reagen
3.3.1.1. Pembuatan Larutan NaOH 2%
Sebanyak 20 g NaOH pellet dilarutkan dengan 500 mL air suling dalam gelas beker,
kemudian diaduk hingga larut, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL,
ditambahkan dengan air suling hingga garis tanda, dihomogenkan.
3.3.1.2. Pembuatan Larutan Buffer Asetat
Sebanyak 27 g NaOH pellet dan 75 mL asetat glasial dilarutkan dengan 1000 mL air
suling dalam gelas beker, dihomogenkan.
Universitas Sumatera Utara
3.3.1.3. Pembuatan Larutan NaOCl 1,7%
Sebanyak 35,4 mL NaOCl(p) 12% diencerkan dengan air suling hingga garis batas
dalam labu takar 250 mL, dihomogenkan.
3.3.1.4. Pembuatan Larutan NaOH 17,5%
Sebanyak 175 g NaOH pellet dilarutkan dengan 250 mL air suling dalam beker gelas,
diaduk hingga larut, lalu dipindahkan ke dalam labu takar 1000 mL, ditambahkan
dengan air suling hingga garis tanda, dihomogenkan.
3.3.1.5. Pembuatan Larutan H2O2 10%
Sebanyak 333 mL H2O2(p) 30% diencerkan dengan air suling hingga garis batas dalam
labu takar 250 mL, dihomogenkan.
3.3.1.6. Pembuatan Larutan HCl 2,5 N
Sebanyak 208,33 mL HCl(p) 37% diencerkan dengan air suling hingga garis batas
dalam labu takar 1000 mL, dihomogenkan.
3.3.1.7. Pembuatan larutan Asam Asetat 1%
Sebanyak 10 mL asam asetat glasial diencerkan dengan air suling hingga garis batas
dalam labu takar 1000 mL, dihomogenkan.
3.3.1.8. Pembuatan larutan standar Cd2+
3.3.1.8.1. Pembuatan Larutan Standar Cd2+ 1000 mg/L
Sebanyak 2,9039 g Cd(NO3)2.5H2O dimasukkan ke dalam gelas beker 250 mL yang
berisi akuades, diaduk hingga seluruh kristal larut, dimasukkan ke dalam labu takar
1000 mL, ditambahkan air suling hingga garis batas dan dihomogenkan.
Universitas Sumatera Utara
3.3.1.8.2. Pembuatan Larutan Standar Cd2+ 100 mg/L
Sebanyak 10 mL larutan induk Cd2+ 1000 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu takar
100 mL, kemudian ditambahkan air suling hingga garis batas dan dihomogenkan.
3.3.1.8.3. Pembuatan Larutan Standar Cd2+ 10 mg/L
Sebanyak 10 mL larutan induk Cd2+ 100 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu takar
100 mL, kemudian ditambahkan air suling hingga garis tanda dan dihomogenkan.
3.3.1.8.4. Pembuatan Larutan Standar Cd2+ 1 mg/L
Dipipet 10 mL larutan induk Cd2+ 10 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu takar 100
mL, kemudian ditambahkan air suling hingga garis tanda dan dihomogenkan.
3.3.1.8.5. Pembuatan Larutan Standar Cd2+ 10 µg/L
Dipipet 1 mL larutan induk Cd2+ 1 mg/L dan dimasukkan ke dalam labu takar 100
mL, kemudian ditambahkan air suling hingga garis tanda dan dihomogenkan.
3.3.1.8.6. Pembuatan Larutan Standar Cd2+ 2 µg/L
Dipipet 20 mL larutan induk Cd2+ 10 µg/L dan dimasukkan ke dalam labu takar 100
mL, kemudian ditambahkan air suling hingga garis tanda dan dihomogenkan.
3.3.2. Preparasi Serbuk Rumput Alang-alang
Alang-alang dibersihkan dan dicuci dengan air bersih. Dikeringkan di bawah
sinar matahari sampai kering. Alang-alang yang sudah kering dipotong-potong dan
dihaluskan dengan blender hingga menjadi serat halus.
3.3.3. Isolasi α-selulosa dari Rumput Alang-Alang
Ditimbang 75 g serbuk alang-alang dimasukkan ke dalam gelas beker,
kemudian ditambahkan 1 L larutan NaOH 2% lalu dipanaskan pada suhu 100 0C
selama 4 jam sambil diaduk di atas hot plate. Disaring dan dicuci residu hingga filtrat
Universitas Sumatera Utara
netral. Selanjutnya diputihkan 1 L larutan yang terbuat dari larutan buffer asetat dan
NaOCl 1,7% dengan perbandingan 1:1, dipanaskan pada suhu 80 0C selama 6 jam
sambil diaduk di atas hot plate. Kemudian disaring dan dicuci residu hingga filtrat
netral (Selverio et al. 2010). Selanjutnya ditambahkan dengan 500 mL larutan NaOH
17,5%, dipanaskan pada suhu 80 0C selama 30 menit sambil diaduk di atas hot plate.
Disaring dan dicuci residu hingga filtrat netral. Lalu ditambahkan dengan H2O2 10%,
dipanaskan pada suhu 60 0C selama15 menit sambil diaduk dengan pengaduk magnet
di atas hot plate. Disaring dan dikeringkan residu pada suhu 60 0C di dalam oven
kemudian disimpan dalam desikator (Ohwoavworhua, 2005).
3.3.4. Pembuatan Selulosa Mikrokristal Alang-Alang
Serbuk α-selulosa dari alang-alang dihidrolisis dengan HCl 2,5 N dengan
perbandingan serbuk: HCl 2,5 N (1:20) dan direfluks pada 105 ± 2OC selama 15
menit. Kemudian dilakukan pencucian dengan air suling sampai netral, dikeringkan
dalam oven vakum pada 40OC dan tekanan 30 cmHg, dihaluskan dan disimpan untuk
penelitian selanjutnya (Ohwoavworhua dan Adelakun, 2005a).
Selanjutnya selulosa mikrokristal yang diperoleh dikarakteristik sifat fisika-
kimianya yaitu: pengujian FT-IR dan PSA.
3.3.5. Pembuatan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
Pembuatan film dari campuran kitosan dan selulosa mikrokristal dengan
pelarut asam asetat (1%) menurut prosedur dalam literatur (Sudha,dkk. 2011).
Sebanyak 2 g kitosan dilarutkan dalam 100 mL asam asetat 1% diaduk hingga
homogen. Selama 2 jam proses pelarutan, campuran diaduk dengan pengaduk
magnetik stirer hingga dihasilkan larutan homogen. Film campuran kitosan kemudian
dicetak di atas plat akrilik ukuran 15 cm x 15 cm hingga terbentuk lembaran film.
Film dikeringkan pada suhu ruang selama 2 hari.
Universitas Sumatera Utara
Perlakuan yang sama dilakukan untuk perbandingan sebagai berikut:
Tabel 3.2. Perbandingan masa Kitosan dan Mikrokristal Selulosa (MCC) No Kitosan Mikrokristal Selulosa (MCC)
1. 2 g 0 g
2. 1,9 g 0,1 g
3. 1,8 g 0,2 g
4. 1,7 g 0,3 g
3.4. Karakterisasi Film Kitosan/Selulosa Mikrokristal (MCC) Alang-Alang
3.4.1. Uji Kuat Tarik
Dalam penelitian ini digunakan standar ASTM (American Standard Testing Method)
D638 Tipe 4. Standar ASTM yang diacu. Sampel diuji dengan alat tensile strength
sesuai dengan ASTM D638 untuk polimer film akan diuji kuat tarik dengan ujung-
ujung film dikaitkan pada alat uji dan beban penarik dipasang pada satuan beban kN
(kilo Newton). Film ditarik hingga putus, besar beban penarik dan perubahan panjang
pada saat putus dicatat. Film yang dihasilkan diukur ketebalannya menggunakan alat
ukur ketebalannya dengan menggunakan alat ukur ketebalan mikrometer skrup
dengan ketelitian 0,01 mm sebelum diuji kuat tarik. Ketebalan sampel berpengaruh
terhadap pengujian kuat tarik. Uji ketebalan dilakukan dalam penelitian ini bertujuan
menentukan nilai kuat tarik yang dapat dihitung untuk menghasilkan satuan MPa.
Sampel film diukur sesuai dengan ukuran spesimen pada Gambar 3.1 seperti berikut:
Gambar 3.1. Standar ASTM D638
Universitas Sumatera Utara
3.4.2. Analisis Permukaan Spesimen dengan SEM
Analisis SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi dari film yang dihasilkan.
Hasil analisis SEM dapat kita lihat rongga-rongga hasil pencampuran kitosan,
selulosa mikrokristal (MCC) alang-alang dan asam asetat. Informasi dari analisis ini
akan mendapatkan gambaran seberapa baik bahan-bahan tersebut tercampur.
3.4.3 Analisis FT-IR
Film uji dijepit pada tempat sampel kemudian diletakkan pada alat FT-IR kearah
sinar infra merah. Hasilnya akan direkam berupa aliran kurva bilangan gelombang
terhadap intensitas.
3.4.4. Perlakuan dan Analisis Penyerapan Logam Cd2+ dengan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) pada Larutan Standar
Film kitosan-mikrokristal selulosa (MCC) digunakan untuk menurunkan
kadar logam Cd pada larutan standar. Tahapan penyerapan logam Cd2+ dengan
menggunakan film kitosan dan film kitosan-MCC adalah sebagai berikut: (1) film
kitosan dimasukkan dalam kolom yang berdiameter 8 cm, (2) sampel larutan standar
dipipet sebanyak 50 mL kemudian dilewatkan melalui kolom yang telah berisi film
kitosan, (3) hasil filtrasi dimasukkan ke dalam botol sampel untuk dianalisa dengan
menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam
Cd, (4) diperoleh data. Perlakuan yang sama dilakukan untuk film kitosan-MCC
dengan variasi 1,9 g kitosan dan 0,1 g MCC; 1,8 g kitosan dan 0,2 g MCC: 1,7 g
kitosan dan 0,3 g MCC sebagai berikut: (1) film kitosan-MCC dimasukkan dalam
kolom yang berdiameter 8 cm, (2) sampel larutan standar dipipet sebanyak 50 mL
kemudian dilewatkan melalui kolom yang telah berisi film kitosan-MCC, (3) hasil
filtrasi dimasukkan ke dalam botol sampel untuk dianalisa dengan menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui kadar logam Cd, (4)
diperoleh data.
Universitas Sumatera Utara
Adapun mekanisme penyerapan logam Cd dengan menggunakan film kitosan
dan film kitosan-MCC ditunjukkan pada Gambar 3.2 seperti berikut:
Gambar 3.2. Skema peralatan penyerapan logam Cd dengan menggunakan film
kitosan dan film kitosan-MCC
Universitas Sumatera Utara
3.5. Bagan Penelitian
3.5.1. Penyiapan Serbuk Alang-Alang
Rumput Alang-Alang
Serbuk Alang-Alang
dibersihkan dan dicuci dengan air
dikeringkan di bawah terik matahari
dipotong kecil-kecil
dihaluskan dengan blender
Universitas Sumatera Utara
3.5.2. Pemurnian Serbuk Alang-Alang
75 g serbuk alang-alang
Dimasukkan ke dalam gelas beker Ditambahkan 1 L larutan NaOH 2% Dipanaskan pada suhu 100 oC selama 4 jam sambil diaduk di atas hot plate
Residu Filtrat
Disaring dan residu dicuci dengan air suling hingga
Diputihkan dengan 1 L larutan yang terbuat dari larutan buffer asetat dan NaOCl 1,7% dengan perbandingan 1:1 Dipanaskan pada suhu 80oC selama 6 jam sambil diaduk di atas hot plate Disaring dan dicuci redisu dengan air suling hingga filtrat netral (Silverio el al. 2010)
Filtrat Residu
Ditambahkan dengan 500 mL larutan NaOH 17,5%
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 30 menit sambil diaduk di atas hot plate
Disaring dan dicuci residu dengan air suling hingga filtrat netral
Filtrat Residu
α-selulosa basah
Ditambahkan dengan 250 mL larutan H2O2 10% Dipanaskan pada suhu 60oC selama 15 menit sambil diaduk di atas hot plate Disaring dan dicuci residu hingga filtrat netral
Filtrat
Dikeringkan pada suhu 60oC di dalam oven selama 4 jam
Disimpan dalam desikator (Ohwoavworhua, 2005) α-selulosa kering
Universitas Sumatera Utara
3.5.3. Pembuatan Selulosa Mikrokristal dari α-Selulosa Serat Alang-Alang
(Ohwoavrhua dan Adelakun, 2005)
2 g α-selulosa kering
Dicuci dengan akuades sampai pH netral lalu disaring
Dihidrolisis dengan 40 mL HCl 2,5 N (perbandingan 1:20) pada suhu 105±2oC selama 15 menit
Filtrat Residu
Dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC Dibiarkan mengering lalu diayak dengan ayakan 100 mesh Ditimbang
Selulosa Mikrokristal
Dikarakterisasi
Analisis FT-IR Analisis PSA
Universitas Sumatera Utara
3.5.4. Pembuatan Spesimen Film Campuran Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
(Sudha, dkk. 2011)
2 g Kitosan +
100 ml asam asetat 1%
Campuran
diaduk selama 2 jam
dicetak di atas plat kaca 15 x 15 cm
dibiarkan mengering pada suhu kamar selama 2 hari
Bentuk Film
dikarakterisasi
SSA Uji Adsorbansi
FT-IR SEM Uji Tarik
1,9 g Kitosan + 0,1 g MCC + 100 ml asam asetat 1%
1,8 g Kitosan + 0,2 g MCC + 100 ml asam asetat 1%
1,7 g Kitosan + 0,3 g MCC + 100 ml asam asetat 1%
Universitas Sumatera Utara
3.5.5. Penggunaan Film Kitosan-MCC sebagai Penurun Konsentrasi Ion Logam Kadmium (Cd) dengan Metode Kolom
(Meriatna, 2008)
50 ml larutan standar
Larutan Hasil Penyerapan
Dilewatkan melalui film Kitosan; film 1,9 g Kitosan-0,1 g MCC ; film 1,8 g Kitosan- 0,2 g MCC; film 1,7 g Kitosan-0,3 g MCC
Analisis logam Cd dengan SSA
Data Pengamatan
Diukur absorbansinya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Isolasi α-selulosa Alang-Alang
Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh α-selulosa sebanyak 228,16 g dari
600 g serbuk alang-alang yang diisolasi (sebanyak 38,03% dari berat awal alang-
alang). Serangkaian proses delignifikasi, pulping dan bleaching diperoleh α-selulosa
berwarna putih dapat dilihat pada lampiran 1. Hasil α-selulosa yang diperoleh dari
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. α-selulosa yang diisolasi dari alang-alang
Proses isolasi α-selulosa dari batang alang-alang mempengaruhi komposisi
kimianya (Tabel 2.2). Penambahan larutan alkali (NaOH 2%) dan sodium hipoklorit
(NaOCl) bukan hanya menghilangkan 93% lignin tetapi juga mengurangi sekitar 23%
silika dan 64% ekstraktif dalam suatu serat (Herawan, 2013). Hal ini senada dengan
Sheltami (2012) menyatakan bahwa penambahan NaOH 2% merupakan proses
terjadinya pengembangan serat sehingga hemiselulosa, garam-garam mineral dan abu
Universitas Sumatera Utara
hilang dan menghasilkan pulp berwarna kuning kecoklatan. Selanjutnya dilakukan
proses pemutihan dengan menggunakan NaOCl 1,75%.
Hasil pemutihan dengan menggunakan NaOCl 1,75% diperoleh selulosa
yang berwarna putih. Selulosa yang diperoleh ini masih terdiri dari α, β, dan γ-
selulosa. Oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan α-selulosa dari β, dan γ-selulosa,
maka pemisahan dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 17,5%, yang
menyebabkan β, dan γ-selulosa akan larut, sedangkan α-selulosa akan mengendap
(Wibisono, 2002). Proses ini akan menghasilkan α-selulosa yang berwarna kuning
kecoklatan, oleh karena itu perlu dilakukan pemutihan dengan menggunakan H2O2
10%, α-selulosa yang dihasilkan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 oC.
4.2. Pembuatan Selulosa Mikrokristal (MCC) dari Alang-Alang
Tahap selanjutnya adalah pembuatan selulosa mikrokristal selulosa (MCC)
dari α-selulosa. Pada pembuatan mikrokristal dari selulosa 228,16 g α-selulosa
dihasilkan selulosa mikrokristal (MCC) sebanyak 45,52 g (%hasil = 19,95%).
Serangkaian proses pembuatan selulosa mikrokristal (MCC) dapat dilihat pada
lampiran 2. Selulosa mikrokristalin dari alang-alang hasil penelitian ini berwarna
putih seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2 di bawah ini.
Gambar 4.2. Mikrokristal Selulosa Alang-Alang
Universitas Sumatera Utara
4.3. Karakteristik Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
4.3.1. Analisis FT-IR
Spektrofotometer FT-IR merupakan suatu teknik analisis yang dilakukan untuk
mengetahui gugus fungsi dari suatu molekul dalam suatu sampel. Pada penelitian ini
telah dilakukan analisa gugus fungsi menggunakan spektrofotometer FT-IR untuk
sampel serbuk mikrokristal selulosa.
Spektrum hasil analisis FT-IR dari serbuk mikrokristal selulosa
memperlihatkan puncak-puncak spektrum serapan dengan bilangan gelombang yang
dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini:
Tabel 4.1. Data Analisis FT-IR serbuk Mikrokristal Selulosa Sampel Bilangan
Gelombang Gugus Fungsi Pustaka
(Huang, 2012 dan Azubuke, 2012)
Mikrokristal Selulosa
3444,87 cm-1
2893,22 cm-1
1060,85 cm-1
O-H C-H C-O
3300 – 3500 cm-1 2800 – 2900 cm-1 1050 – 1300 cm-1
Hasil analisis gugus fungsi dengan FT-IR menunjukkan bahwa mikrokristal
selulosa alang-alang mengandung gugus fungsi OH pada bilangan gelombang
3444,87 cm-1 dan terdapat juga spektrum uluran C-H pada bilangan gelombang
2893,22 cm-1. Kemudian pada bilangan gelombang 1060,85 cm-1 menunjukkan
adanya ikatan tunggal C-O (C-O-C) dari mikrokristal selulosa yang diuji. Adapun
spektrum hasil analisis gugus fungsi dengan FT-IR dapat dilihat pada lampiran 6.
Universitas Sumatera Utara
Hasil spektrum analisis FT-IR dari mikrokristal selulosa dapat dilihat pada
Gambar 4.3. di bawah ini:
Gambar 4.3. Spektrum FT-IR mikrokristal selulosa (MCC) alang-alang
4.3.2. Analisis Ukuran Partikel Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang – Alang dengan Menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)
Analisis ukuran partikel mikrokristal selulosa (MCC) alang-alang dengan particle
size analyzer (PSA) menggunakan Laser Scattering Particle Size Distribution
Analyzer HORIBA LA-951. Alat ini mampu mengukur diameter partikel dengan
ukuran 11 nm – 3000 µm. Serbuk mikrokristal selulosa (MCC) yang akan dianalisis
terlebih dahulu digerus dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Hasil analisis
menunjukkan distribusi rata-rata partikel 82,278 µm. Diameter ukuran partikel yang
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 020
40
60
80
%T
cm-1
Universitas Sumatera Utara
dikatakan ukuran mikro dalam dispersi farmasi adalah 0,5 – 3.360 µm (Martin, 1970).
Nazzal (2002) menyatakan ukuran partikel mikrokristal selulosa (MCC) komersil dari
20 µm – 180 µm. Hal ini senada dengan hasil penelitian Koo (2001) menyatakan
bahwa ukuran partikel mikrokristal selulosa jenis Avicel PH 101 (76,53 µm), Avicel
PH 102 (132,81 µm) Avicel PH 301 (73,55 µm), dan Avicel PH 302 (139,41 µm).
Adapun hasil analisis ukuran partikel mikrokristal selulosa (MCC) alang-alang
dengan PSA dapat dilihat pada lampiran 15.
4.4. Pembuatan Film Kitosan dan Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC)
Penampilan film kitosan tanpa mikrokristal selulosa ditunjukkan pada Gambar 4.4
seperti berikut ini:
Gambar 4.4. Film Kitosan tanpa MCC
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Gambar 4.4 bahwa film yang dihasilkan dari 2 gram kitosan
yang dilarutkan dalam 100 mL asam asetat 1% tanpa penambahan MCC transparan.
Kemudian film kitosan-MCC (variasi massa MCC 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g) yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.5, Gambar 4.6 dan Gambar 4.7 berikut ini:
Gambar 4.5. Film Kitosan dengan penambahan 0,1 g MCC
Gambar 4.6. Film Kitosan dengan penambahan 0,2 g MCC
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.7. Film Kitosan dengan penambahan 0,3 g MCC
Pada Gambar 4.5 penampilan film kitosan-mikrokristal selulosa (MCC)
dengan perbandingan 1,9:0,1 yang dihasilkan kurang transparan dan terlihat
mikrokristal selulosa (MCC) tersebar merata. Pada Gambar 4.6 penampilan film
kitosan-mikrokristal selulosa (MCC) dengan perbandingan 1,8:0,2 yang dihasilkan
kurang transparan dan terlihat mikrokristal selulosa (MCC) tersebar merata. Hal yang
sama juga terlihat pada Gambar 4.7 penampilan film kitosan-mikrokristal selulosa
(MCC) dengan perbandingan 1,7:0,3 yang dihasilkan kurang transparan dan terlihat
mikrokristal selulosa (MCC) tersebar merata. Berdasarkan gambar tidak terlihat
perbedaan pada ketiga film kitosan-MCC tersebut.
4.5. Karakteristik Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC)
Film yang telah terbentuk dianalisis dengan FT-IR, kemudian dilakukan
pengujian sifat mekanik yang meliputi uji tarik dan mengukur ketebalan film,
kemudian dilakukan uji absorpsi dengan larutan standar, filtrat hasil adsorpsi
dianalisis dengan Spektrometer Serapan Atom (SSA). Film yang mempunyai daya
serap (adsorpsi) paling tinggi dianalisis dengan SEM dan TGA.
Universitas Sumatera Utara
4.5.1. Analisis Film Kitosan dan Film Kitosan Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan Spektrofotometer FT-IR
Karakterisasi terhadap film dengan teknik spektrofotometer FT-IR dilakukan pada
tahap pencampuran kitosan-asam asetat 1% dan pencampuran kitosan-MCC-asam
asetat 1%, hal ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pencampuran yang terjadi
dengan mengidentifikasikan gugus-gugus fungsi yang terdapat dalam setiap tahap
pencampuran film sehingga dapat terlihat adanya gugus baru atau tidak dalam film
yang dihasilkan dari campuran kitosan-asam asetat 1% maupun pencampuran
kitosan-MCC-asam asetat 1%.
Hasil analisis spektrofotometer FT-IR dari film kitosan dan film kitosan-
mikrokristal selulosa (MCC) memberikan spektrum dengan puncak-puncak serapan
pada daerah bilangan gelombang dapat dilihat pada Tabel 4.2 seperti berikut:
Tabel 4.2. Data Analisis FT-IR Film Kitosan dan Film Kitosan dengan Penambahan Mikrokristal Selulosa (MCC) Alang-Alang
No Sampel Bilangan Gelombang Gugus Fungsi Pustaka
1 Film Kitosan 3433,29 cm-1
2924,09 cm-1
1635,64 cm-1
1566,20 cm-1
1080,14 cm-1
O-H dan N-H C-H C=O N-H C-O
3750 – 3000 cm-1
2900 – 2850 cm-1 1657 cm-1 1595 cm-1
1087 cm-1 (Mano, 2003;
Tran, 2013 dan Lin, 2012)
2 Film Kitosan
+ mikrokristal
selulosa (MCC)
3433,29 cm-1 2924,09 cm-1
1635,64 cm-1
1566,20 cm-1
1064,71 cm-1
O-H dan N-H C-H C=O N-H C-O
3419 cm-1 2900 – 2850 cm-1
1646 cm-1 -
1150 – 890 cm-1 (Tran, 2013 dan
Lin, 2012)
Spektra hasil analisis gugus fungsi dengan FT-IR dapat dilihat pada lampiran
4 dan lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis spektrum FT-IR dari film kitosan (tanpa
penambahan MCC) menunjukkan adanya vibrasi regangan N-H amina primer pada
Universitas Sumatera Utara
daerah serapan antara 3750 – 3000 cm-1 (Mano, dkk. 2003). Puncak vibrasi juga
terlihat pada daerah serapan 2900 – 2850 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regangan
C-H dari rantai alkana dan pada daerah serapan sekitar 1657 cm-1 menunjukkan
adanya vibrasi regangan C=O. Selain itu, puncak vibrasi terlihat pada daerah 1595
cm-1 menunjukkan adanya vibrasi tekukan N-H amina sekunder (Tran, dkk. 2013).
Hasil analisis spektrum FT-IR dari film kitosan-mikrokristal selulosa (MCC)
terdapat puncak-puncak daerah serapan antara lain (1) pada daerah serapan 3419 cm-1
yang menunjukkan adanya vibrasi regangan O-H, (2) pada daerah serapan 2900–2850
cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi C-H dari rantai alkana, (3) pada daerah
serapan 1646 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi regangan C=O, (4) pada daerah
serapan 1595 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi regangan N-H dan (5) pada
daerah serapan 1150–890 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi regangan C-O.
Adapun gambar spektrum FT-IR dari film kitosan dan film kitosan-MCC dapat
dilihat pada Gambar 4.8 seperti berikut:
Gambar 4.8 Spektrum FT-IR dari Selulosa Mikrokristal, Film Kitosan
dan Film Kitosan-MCC
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel 4.2 dan Gambar 4.8 menunjukkan pada proses
pembentukan film tidak ada gugus fungsi baru yang terbentuk. Hal ini disebabkan
karena film yang dihasilkan merupakan proses blending secara fisika. Pada Tabel 4.2
terdapat sedikit pergeseran bilangan gelombang pada vibrasi regangan C-O, namun
dalam intensitas yang sangat kecil.
Hasil spektrum FT-IR menunjukkan bahwa pada proses pembuatan film
merupakan proses pencampuran secara fisika dengan adanya interaksi hidrogen antar
rantai. Adapun interaksi hidrogen secara hipotresis pada film antara kitosan dan
mikrokristal selulosa dapat dilihat pada Gambar 4.9. berikut ini:
Gambar 4.9. Interaksi Hidrogen Intermolekul dan Intramolekul antar Molekul
Selulosa Mikrokristal dan Kitosan
O
O
H
O
H
H
O
H
O
HO
O
H
H
H
O
O
H
O
H
OH
O
O
H
HO
H
H
H
O
HO
H
H
H
O
O
H
HO
H
OH
O
OH
H
HO
H
H
O
HN
O
HO
O
H
NH
H
O
O
H
HO
H
OH
O
OH
H
HO
H
H
HN
O
HO
H
NH
H
O
O
H
O
H
OH
H
H
H
H
H
H
H
HH
H
H H
H
HH
HH
Interaksi Intramolekuler
Interaksi Intramolekuler
Interaksi intermolekuler Interaksi intermolekuler
Universitas Sumatera Utara
Pada Gambar 4.9 dapat diketahui bahwa dalam pembentukan film terdapat
ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen ini terjadi ketika sebuah molekul atom O ataupun N
yang terdapat dalam kitosan berinteraksi dengan atom H dari selulosa mikrokristal
dan kitosan. Ikatan hidrogen yang terjadi di dalam satu molekul yang memiliki gugus
OH dalam selulosa mikrokristal disebut ikatan hidrogen intramolekul. Ikatan
hidrogen intramolekul juga terjadi pada kitosan antar molekul yang memiliki gugus
OH dengan gugus OH dan gugus NH2 dengan gugus OH. Interaksi hidrogen ini juga
dapat terjadi antara selulosa mikrokristal dengan kitosan yang disebut juga ikatan
hidrogen intermolekul, dimana terjadi interaksi antar molekul OH yang terdapat pada
selulosa dengan molekul NH2 yang terdapat pada kitosan serta interaksi antar molekul
OH yang terdapat dalam selulosa dengan kitosan.
4.5.2. Pengujian Sifat Mekanik dan Fisik
Pengujian sifat mekanik dalam penelitian ini meliputi pengukuran ketebalan
dan kekuatan tarik film. Berikut merupakan hasil sifat mekanik dari pengolahan data
sampel film kitosan dan film kitosan-MCC dengan variasi massa MCC 0,1 g hingga
0,3 g. Ketebalan film kitosan dan film kitosan-MCC diukur menggunakan jangka
sorong dapat dilihat pada Tabel 4.3 seperti berikut:
Tabel 4.3. Data Ketebalan Film No.
Sampel Ketebalan Film (mm) Rata-Rata (mm) P1 P2 P3
1. Film Kitosan 0,08 0,07 0,05 0,07 2. Film Kitosan + 0,1 g MCC 0,20 0,20 0,22 0,21 3. Film Kitosan + 0,2 g MCC 0,23 0,23 0,24 0,22 4. Film Kitosan + 0,3 g MCC 0,24 0,23 0,24 0,24
Berdasarkan Tabel 4.3 terlihat bahwa masing-masing permukaan untuk setiap
film mempunyai ketebalan yang berbeda-beda, sehingga ketebalan diperoleh melalui
rata-rata ketebalan film. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada film
Universitas Sumatera Utara
kitosan tanpa penambahan MCC mempunyai ketebalan yang rendah dibandingkan
dengan film kitosan dengan penambahan mikrokristal selulosa (MCC). Berdasarkan
variasi penambahan mikrokristal selulosa (MCC) diperoleh bahwa film kitosan
dengan penambahan 0,3 g MCC memberikan nilai ketebalan yang paling besar yaitu
0,24 mm.
Analisis uji tarik digunakan untuk mengkarakterisasi kekuatan mekanik dari
film kitosan dan film kitosan-MCC. Sifat mekanik dari film kitosan dan film kitosan-
MCC dievaluasi menggunakan Universal Testing Machine ASTM D638 Tipe 4.
Sampel dipotong dalam bentuk persegi panjang dengan ukuran panjang 80 mm dan
lebar 25 mm. Hasil pengujian sifat mekanik melalui uji tarik dapat dilihat pada tabel
4.4 seperti berikut ini:
Tabel 4.4. Data Kekuatan Tarik Film No.
Sampel Kekuatan Tarik (MPa)
1. Film Kitosan 0,670 2. Film Kitosan + 0,1 g MCC 1,427 3. Film Kitosan + 0,2 g MCC 6,011 4. Film Kitosan + 0,3 g MCC 10,409
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa film kitosan yang
diperkuat dengan filler MCC pada variasi massa filler yang berbeda-beda 0,1 – 0,3 g
meningkatkan kuantitas kekuatan tarik (tensile strength). Pada tabel 4.4 dapat dilihat
hasil uji tarik pada penambahan 0,1 g MCC adalah 1,427 MPa, pada penambahan 0,2
g MCC adalah 6,011 MPa dan pada penambahan 0,3 g adalah 10,409 MPa.
Penambahan filler mikrokristal selulosa (MCC) pada film kitosan
meningkatkan kuantitas (nilai) kekuatan mekanik pada film kitosan. Material yang
ukuran partikelnya mikro memiliki sifat yaitu memperluas area permukaan pada film
kitosan yang berisikan mikrofiller (Ningwulan, 2012). Jika area permukaan semakin
luas maka efisiensi perpindahan gaya tekan akan semakin meningkat. Hal ini senada
dengan Puji (2013) yang menyatakan bahwa penambahan mikrokristal selulosa
(MCC) menyebabkan peningkatan kekuatan tarik (tensile strength) dari film pati-
MCC yang dihasilkan. Mikrokristal selulosa (MCC) sebagai bahan pengisi dan
Universitas Sumatera Utara
penguat memberikan sifat kaku pada film tergantung pada konsentrasi massa
mikrokristal selulosa (MCC) yang ditambahkan. Selain itu, faktor lain yang
menyebabkan peningkatan kekuatan tarik adalah mikrokristal selulosa yang mengisi
film kitosan tersebut akan mengalami ikatan hidrogen yang kuat dengan kitosan
sehingga menambah kekuatan tarik pada film kitosan.
Menurut penelitian Meriatna (2008) film kitosan yang digunakan untuk
mengadsorpsi logam Cr dan Ni memiliki kekuatan tarik sebesar 0,92 MPa. Hal ini
dapat menjadi data pendukung bahwa dengan penambahan mikrokristal selulosa
(MCC), film kitosan mengalami peningkatan sifat mekanik (kekuatan tarik).
4.5.3. Analisis Sampel Di dalam penelitian ini sebelum dilakukan analisis sampel dilakukan check
sensitivity dan linearity terhadap alat spektrofotometer serapan atom (SSA) dengan
kondisi operasi peralatan seperti tabel 4.5 di bawah ini:
Tabel 4.5. Check Alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Element Kadmium (Cd)
Lampu / Current Hallow cathode lamp / 12 mA Panjang gelombang Cd = 228,8 Slit 0,7 nm (low) Atomisation site Pyro / platform Tipe pengukuran Area grafik Tipe signal Atomic absorption – Background absorption Waktu integrasi 4 menit Waktu koreksi grafik 2 menit Volume sampel 20 µl Temperatur inject 20 0C Tekanan gas Argon 3.6 bar atau 52 psig atau 360 kPa Kecepatan alir gas Argon 300 ml/min Sensitivity check Cd 2 µg/l Absorbansi 0.13 ± 20 % ( AAS- Grafite Furnace Perkin Elmer)
1. Sensitivity check alat
Dalam melakukan analisa kuantitatif instrumen–instrumen yang digunakan
disuatu laboratorium untuk menganalisa suatu contoh pasti memiliki sensitivity yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda – beda, instrument SSA yang digunakan dalam penelitian ini uji
sensitivitasnya dilakukan dengan cara menganalisa larutan standar 2 µg/l sebanyak 7
(tujuh) kali ulangan, dengan ketentuan absorbansi yang dihasilkan sesuai dengan
ketentuan dari pabrikan peralatan yaitu konsentrasi Cd 10 µg/l menghasilkan
absorbansi 0.13 ± 20 %. (Perkin Elmer – GF A Analyst 800).
Tabel 4.6. Data sensitivity Instrumen Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) No Konsentrasi larutan Absorbansi 1 2 µg/l 0.110 2 2 µg/l 0.141 3 2 µg/l 0.124 4 2 µg/l 0.133 5 2 µg/l 0.113 6 2 µg/l 0.112 7 2 µg/l 0.136
N
xx
N
i∑1 = i= =
71010.1 = 0.144 x = rata- rata
= 0.015 s = standar deviasi
Dari hasil perhitungan nilai rata – rata dan nilai standar deviasi yang diperoleh
dapat dinyatakan bahwa alat SSA yang digunakan masih mempunyai nilai sensitivity
yang baik yakni masih berada pada kisaran yang dipersyaratkan (0,130 ± 20 %).
2. Linearity
Uji linieritas bertujuan untuk mengetahui korelasi antara konsentrasi larutan
standar kerja yang disiapkan dengan respon/signal dari alat yang berupa absorban.
Dalam penelitian ini evaluasi dilakukan dengan cara membuat kurva kalibrasi
(konsentrasi larutan standar versus absorbansi).
Universitas Sumatera Utara
Adapun larutan standar kerja dalam pembuatan kurva kalibrasi pada penelitian
ini adalah terdiri dari 4 titik konsentrasi yaitu 0 µg/l, 0,5 µg/l, 1,5 µg/l, dan 2 µg/l,
hasil analisis sebagai berikut :
Gambar 4.10. Kurva Kalibrasi Analisis Sampel
Dari kurva yang dihasilkan diperoleh harga koefisien korelasi (R2) kurva
kalibrasi diatas adalah sebesar 0,9970 yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan
mempunyai respon yang sangat baik.
Setelah didapat kurva kalibrasi, selanjutnya dilakukan analisis terhadap
sampel (larutan standar 2 µg/l) hasil analisis adsorpsi dengan metode perendaman
dan hasil analisis adsorpsi-filtrasi dengan metode filtrasi-adsorpsi kolom dianalisis
dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) ditunjukkan seperti berikut:
Tabel 4.7. Konsentrasi Logam Kadmium dengan Metode Perendaman No Kode Abs Kons (µg/L) 1 F1 0,0597 1,1831±0,02 2 F2 0,0538 1,0481±0,06 3 F3 0,0499 0,9588±0,03 4 F4 0,0461 0,8718±0,04
Keterangan: F1 = Kitosan, F2 = Kitosan + 0,1 g MCC, F3 = Kitosan + 0,2 g MCC, F4 = Kitosan + 0,3 g MCC
y = 0.043x + 0.008R² = 0.997
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Abs
Conc (µg/l)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.8. Hasil Peningkatan Daya Serap Logam Kadmium (Cd) setelah dilewatkan pada Film Kitosan – Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan Metode Perendaman
No Kode Kitosan (g)
Mikrokristal Selulosa (MCC) (g)
Kons (µg/L)
%yang terserap
1 F1 2 0 1,1831±0,02 40,847 2 F2 1,9 0,1 1,0481±0,06 47,597 3 F3 1,8 0,2 0,9588±0,03 52,059 4 F4 1,7 0,3 0,8718±0,04 56,407
Keterangan: F1 = Kitosan, F2 = Kitosan + 0,1 g MCC, F3 = Kitosan + 0,2 g MCC, F4 = Kitosan + 0,3 g MCC
Data tabel 4.8 menunjukkan persen (%) daya serap logam kadmium (Cd)
dengan metode perendaman pada film kitosan sebesar 40,847%, film kitosan dengan
penambahan 0,1 g mikrokristal selulosa (MCC) sebesar 47,597%, film kitosan
dengan penambahan 0,2 g mikrokristal selulosa (MCC) sebesar 52,059%, film
kitosan dengan penambahan 0,3 g mikrokristal selulosa (MCC) sebesar 56,407%.
Adapun hasil peningkatan daya serap logam kadmium (Cd) setelah dilewatkan pada
film kitosan – mikrokristal selulosa (MCC) dengan metode filtrasi-adsorpsi kolom
ditunjukkan pada Gambar 4.11 seperti berikut:
Gambar 4.11. Peningkatan Daya Serap Kadar Logam Kadmium (Cd) dengan Metode Perendaman
0
10
20
30
40
50
60
Kitosan Kit + 0,1 g MCC Kit + 0,2 g MCC Kit + 0,3 g
% P
enin
gkat
an D
aya
Sera
p
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran daya serap logam kadmium (Cd) juga dilakukan dengan metode
filtrasi-adsorpsi kolom untuk film kitosan dan film kitosan-MCC. Hasil pengukuran
filtrat ditunjukkan pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10 seperti berikut ini:
Tabel 4.9. Konsentrasi Logam Kadmium dengan Metode Kolom No Kode Abs Kons (µg/L) 1 F1 0,0529 1,027±0,02 2 F2 0,0412 0,759±0,04 3 F3 0,0340 0,594±0,07 4 F4 0,0260 0,409±0,03
Keterangan: F1 = Kitosan, F2 = Kitosan + 0,1 g MCC, F3 = Kitosan + 0,2 g MCC, F4 = Kitosan + 0,3 g MCC
Tabel 4.10. Hasil Peningkatan Daya Serap Logam Kadmium (Cd) setelah
dilewatkan dengan Film Kitosan – Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan Metode Adsorpsi – Filtrasi Kolom
No Kode Kitosan (g)
Mikrokristal Selulosa (MCC) (g)
Kons (µg/L)
%yang terserap
1 F1 2 0 1,027±0,02 48,672 2 F2 1,9 0,1 0,759±0,04 62,014 3 F3 1,8 0,2 0,594±0,07 70,252 4 F4 1,7 0,3 0,409±0,03 79,519
Keterangan: F1 = Kitosan, F2 = Kitosan + 0,1 g MCC, F3 = Kitosan + 0,2 g MCC, F4 = Kitosan + 0,3 g MCC
Berdasarkan data tabel 4.10 menunjukkan bahwa peningkatan daya serap
logam kadmium (Cd) yang paling tinggi berada pada F4 (larutan yang mengandung
1,7 g kitosan dan 0,3 g mikrokristal selulosa (MCC)) yaitu 79,519%, sedangkan
penurunan kadar logam kadmium (Cd) yang paling rendah berada pada F1 (larutan
yang mengandung 2 g kitosan) yaitu 48,672%.
Universitas Sumatera Utara
Adapun hasil peningkatan daya serap logam kadmium (Cd) setelah
dilewatkan pada film kitosan – mikrokristal selulosa (MCC) dengan metode filtrasi-
adsorpsi kolom ditunjukkan pada Gambar 4.12 seperti berikut:
Gambar 4.12. Peningkatan Daya Serap Kadar Logam Kadmium (Cd) dengan
Metode Filtrasi-Adsorpsi Kolom
Data Tabel 4.8 dan tabel 4.9 menunjukkan daya serap logam kadmium (Cd)
dengan metode perendaman dan metode filtrasi-adsorpsi kolom memiliki perbedaan
yang signifikan. Daya serap logam kadmium (Cd) dengan metode filtrasi-adsorpsi
kolom lebih tinggi daripada daya serap logam kadmium (Cd) dengan metode
perendaman (batch). Hal ini menjadi alasan peneliti untuk menggunakan metode
filtrasi-adsorpsi kolom sebagai metode penyerapan logam kadmium (Cd). Hal ini
senada dengan Khartikeyan (2004) yang menyatakan bahwa sistem batch yang
mencampurkan adsorben pada larutan yang tetap jumlahnya dan diamati perubahan
kualitasnya pada selang waktu tertentu memiliki perbedaan yang signifikan dengan
sistem kolom. Pada sistem kolom larutan selalu dikontakkan dengan adsorben
sehingga adsorben dapat mengadsorpsi dengan optimal.
Menurut Dewi (2012) menyatakan proses penyerapan logam-logam oleh
biomaterial terjadi melalui proses penyerapan yang melibatkan proses penyerapan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Kitosan Kit + 0,1 g MCC Kit + 0,2 g MCC Kit + 0,3 g
% P
enin
gkat
an D
aya
Sera
p
Universitas Sumatera Utara
yang melibatkan gugus-gugus fungsional yang terikat pada makromolekul permukaan
sel seperti: protein, polisakarida, lignin, kitin, kitosan dan biopolimer tersebut. Gugus
fungsional yang dimaksud meliputi gugus-gugus karboksilat, hidroksil, imidazol,
sulfohidril dan fosfat.
Menurut Mohamad (2012), selulosa berpotensi dijadikan adsorben karena ada
gugus –OH. Adanya gugus –OH menyebabkan terjadi sifat polar pada adsorben.
Dengan demikian selulosa lebih kuat menyerap zat yang bersifat polar dari zat yang
kurang polar. Mekanisme serapan yang terjadi antara gugus –OH yang terikat pada
permukaan dengan ion logam yang bermuatan positif merupakan mekanisme
pertukaran ion. Interaksi antara gugus –OH dengan ion logam memungkinkan
melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi karena atom oksigen pada
gugus –OH mempunyai pasangan elektron bebas. Ion-ion Cd2+ akan berinteraksi kuat
dengan anion yang bersifat basa kuat seperti –OH. Ikatan antara ion Cd2+ dengan
-OH pada selulosa melalui pembentukan ikatan koordinasi, dimana pasangan elektron
bebas dari atom O pada OH akan berikatan dengan ion Cd2+ membentuk ikatan
kompleks melalui ikatan kovalen. Kation logam ini memiliki orbital d yang terisi
penuh.
Menurut Chen (2012) kemampuan kitosan sebagai adsorben kadmium
disebabkan adanya gugus aktif seperti gugus –NH2 (amino) dan gugus –OH
(hidroksil) yang dapat mengikat ion logam kadmium. Adapun interaksi yang terjadi
antara ion logam Cd (II) dengan kitosan adalah pembentukan senyawa kompleks,
dimana kitosan berperan sebagai ligan dan ion logam sebagai ion pusat. Hal ini
terjadi karena melimpahnya pasangan elektron pada struktur molekul kitosan
sehingga kitosan berperan sebagai donor pasangan elektron bebas (basa Lewis) dan
ion logam sebagai reseptor pasangan elektron bebas (asam Lewis).
Ikatan antara ion Cd2+ dengan -NH2 pada kitosan melalui pembentukan
ikatan kovalen koordinasi, dimana pasangan elektron bebas dari N pada NH2 yang
akan berikatan dengan ion Cd2+ membentuk ikatan kompleks melalui ikatan kovalen.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa
kitosan dan selulosa mikrokristal sebagai adsorben mampu menyerap ion logam
kadmium dan berikatan secara kovalen dengan gugus-gugus aktif baik dalam molekul
kitosan maupun molekul selulosa mikrokristal. Adapun Usulan ikatan kovalen antara
kitosan – selulosa mikrokristal selulosa dalam film terhadap ion logam kadmium (Cd)
dapat dilihat pada Gambar 4.13 berikut ini:
Gambar 4.13. Usulan Ikatan Kovalen antara Kitosan dan Selulosa
Mikrokristal dalam Film terhadap Ion Logam Kadmium
Universitas Sumatera Utara
4.5.4. Analisis Morfologi Film Menggunakan Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)
Dalam penelitian ini uji SEM hanya dilakukan pada film kitosan dan film
kitosan dengan penambahan 0,3 g mikrokristal selulosa (MCC) untuk melihat bentuk
permukaan film kitosan dan film kitosan dengan penambahan mikrokristal selulosa
(MCC) dengan perbesaran gambar mencakup 100x, 500x dan 1000x. Adapun hasil
SEM film kitosan dapat dilihat pada Gambar 4.15 seperti berikut:
Gambar 4.14. SEM Film Kitosan (a) perbesaran 100x (b) perbesaran 500x (c) perbesaran 1000x
(a) (b)
(c)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil analisis morfologi menggunakan SEM terlihat permukaan
film kitosan tersebut halus dan homogen, ini berarti kitosan larut sempurna. Adanya
beberapa titik-titik putih yang terdapat di dalam film kitosan yang menunjukkan
gelembung udara, hal ini disebabkan adanya kesalahan pada saat pencetakan film.
Pengujian SEM juga dilakukan pada film kitosan dengan penambahan
mikrokristal selulosa (MCC) dengan perbandingan 1,7:0,3. Adapun hasil SEM film
kitosan dengan penambahan 0,3 g mikrokristal selulosa dapat dilihat pada Gambar
4.16 seperti berikut:
Gambar 4.15. SEM Film Kitosan-MCC dengan perbandingan 1,7:0,3 (a) perbesaran 100x (b) perbesaran 500x (c) perbesaran 1000x
(a) (b)
(c)
Universitas Sumatera Utara
Permukaan berbeda terlihat pada Gambar 4.13 bahwa film kitosan dengan
penambahan mikrokristal selulosa (MCC) sangat terlihat jelas. Pada permukaan film
kitosan-MCC terlihat adanya mikrokristal selulosa yang mengisi permukaan film.
Mikrokristal selulosa (MCC) tersebar secara merata pada permukaan film.
4.5.5. Analisis Degradasi Termal Menggunakan Thermogravimetric Analysis (TGA) Film Kitosan Mikrokristal Selulosa (MCC)
Analisis degradasi termal dilakukan dengan menggunakan instrumen TGA
TA Instrument SDT Q600 dengan kecepatan aliran gas nitrogen sebesar 100
mL/menit dan kenaikan temperatur 20oC/menit. Hasil analisis degradasi termal
menggunakan TGA untuk film kitosan-mikrokristal selulosa (MCC) dengan
perbandingan 1,7:0,3 dapat dilihat pada Gambar 4.17 berikut:
Gambar 4.16. Kurva Temperatur vs Berat dari film kitosan-MCC (1,7:0,3)
Mas
sa (
%)
Suhu (oC)
Universitas Sumatera Utara
Pada kurva TGA dari film kitosan-mikrokristal selulosa (MCC) dengan
perbandingan 1,7: 0,3 bahwa degradasi termal mulai terjadi pada suhu 35,67-100 oC
dengan persen kehilangan berat air sebesar 5,660%. Selanjutnya degradasi film
kitosan-MCC (1,7:0,3) pada suhu 200oC dengan persen kehilangan berat sebesar
8,802%. Puncak degradasi film kitosan-MCC (1,7:0,3) terjadi pada 364,88 oC dengan
rentang temperatur antara 273,63-400 oC, dan persen kehilangan berat sebesar
44,55%. Tahap akhir degradasi termal dari film kitosan-MCC (1,7:0,3) terjadi pada
temperatur 590,29 oC dengan persen kehilangan berat sebesar 8,209% dan
menghasilkan persen residu sebesar 31,98% (2,419 mg).
Berdasarkan literatur yang ada bahwa degradasi termal film kitosan mulai
terjadi antara suhu 30-145 oC (Elhefian, 2010) dan puncak degradasi film kitosan
terjadi pada pada suhu 297,80 oC (Lin, dkk. 2012). Sementara degradasi termal
mikrokristal selulosa (MCC) mulai terjadi pada suhu 50 oC dan puncak degradasi
mikrokristal selulosa (MCC) terjadi pada suhu 334,96 oC (Chauhan, 2009).
Dari hasil penelitian dan literatur yang diperoleh dapat diketahui bahwa film
kitosan-MCC memiliki termal yang lebih baik daripada kitosan dan mikrokristal
selulosa (MCC). Hal ini disebabkan adanya pencampuran kitosan dan mikrokristal
selulosa (MCC) dan terjadinya interaksi intramolekuler antara atom-atom yang
terdapat pada kitosan dan mikrokristal selulosa (MCC). Interaksi tersebut
menghasilkan energi yang cukup besar sehingga mampu mempertahankan stabilitas
termal dari film kitosan-mikrokristal selulosa (MCC).
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
1. Mikrokristal selulosa (MCC) dari serbuk alang-alang dapat digunakan sebagai
bahan pengisi dan penguat dapat meningkatkan sifat mekanik dan fisik serta
meningkatkan daya serap kadar ion logam kadmium (Cd) dari film kitosan.
2. Hasil uji mekanik film kitosan-MCC yang optimum adalah 1,7 g kitosan dan
0,3 g selulosa mikrokristal dengan kekuatan tarik sebesar 10,409 MPa dengan
ketebalan film tersebut adalah 0,24 mm.
3. Hasil analisis TGA film kitosan-MCC menunjukkan bahwa film kitosan-MCC
memiliki termal yang lebih baik daripada kitosan dan mikrokristal selulosa
(MCC). Hal ini disebabkan adanya pencampuran kitosan dan mikrokristal
selulosa (MCC) dan terjadinya interaksi intramolekuler antara atom-atom yang
terdapat pada kitosan dan mikrokristal selulosa (MCC). Interaksi tersebut
menghasilkan energi yang cukup besar sehingga mampu mempertahankan
stabilitas termal dari film kitosan-mikrokristal selulosa (MCC).
4. Hasil analisis adsorpsi filtrasi kolom menggunakan AAS menunjukkan bahwa
film kitosan dengan penambahan 0,3 g MCC mengalami peningkatan daya
serap kadar logam kadmium (Cd) yang paling tinggi yaitu 79,519%
dibandingkan film kitosan tanpa penambahan MCC 48,672%.
5.2. SARAN
1. Disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk menyempurnakan film kitosan-
mikrokristal selulosa (MCC) menjadi film kitosan menggunakan nanokristal
selulosa (NCC) untuk mengetahui peningkatan sifat mekanik maupun daya
serap film menjadi lebih baik.
2. Disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk mengkaji lebih lanjut pengaruh
variasi konsentrasi ion Cd (II) terhadap kapasitas adsorpsi film kitosan dan film
kitosan-MCC.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Abia, A. A and Asuquo, E.D, 2007, Kinetics of Cd2+ and Cr3+ Sorption from Aqueous Solutions UsingMercaptoacetic Modified and Unmodified Oil Falm Fruit Fiber (Elaeis guineensis) Adsorbent,Tsinghua Science andTechnology, 12(4): 485-495.
Adel, A.M., Z.H.A. El-Wahab, A.A.Ibrahim, and M.T. Al-Shemy, (2011), Characterization of Microcrystalline Cellulose Prepared from Lignocellulosic Materials, Part II: Physicochemical properties, Carbohydrate Polymers, Vol 83, pp 676-687.
Al-ayub, M. C., Himmatul, B., & Diana, C. D. (2010). Studi kesetimbangan adsorpsi merkuri(II) pada biomassa daun eceng gondok (eichhornia crassipes. ALCHEMY, 1 (2), 53–103.
Aranaz, I., M. Mengibar., R. Harris., I. Panos., B. Miralles., N. Acosta., G. Galed dan A. Heras. 2009. Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Bentham Science Publishers Ltd. Current Chemical Biology. Departement of Physical Chemistry II, Faculty of Pharmacy, Institute of Biofunctional Studies, Complutense University, Pasco Juan XXIII. Spain. (3): 203-230.
Astuti, B.C. 2008. Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan Asam Lemak dan Essensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas Antimikroba. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Azubuike, P. C. dan Augustine, O. O. 2012. Physicochemical, Spectroscopic and Thermal Properties of Microcrystalline Cellulose Derived from Corn Cobs. International Journal of Recycling of Organic Waste in Agriculture. (1): 1-9.
Babarinde, N.A. A.; Babalola, J. O. and Adebisi, O. B., 2008, Kinetic, Isotherm and Thermodynamic Studies of The Biosorption of Zinc(II) from Solution by Maize Wrapper. International Journal of Physical Sciences , Vol. 3 (2): 050-055.
Bashyal D., Homagai P.L., Ghimire K.N. 2010. Removal of Lead from Aqoueous Medium Using Xanthate Modified Apple Juice Residue. Journal of Nepal Chemical Society. Vol. 26: 53-60.
Bernaconi, S. 1995. Teknologi Kimia Bagian 2. PT. Prandnya Pramita, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Bhattacharya, D., L.T. germinario, and W.T. Winter, (2008), Isolation, Preparation and Characterization of Cellulose Microfibers Obtained from Bagasse, Carbohydrate Polymers, Vol. 73, pp 371-377.
Bilal, A. 2001. Equilibrum Studies on Adsorpstion of Cu (II) from Aqueous Solution onto Cellulose. Journal of colloid and interface science. 243. 81-84.
Chaiyakosha S, Charernjirtragul W, Umsakul K, Vuddhakul V. 2007. Comparing the efficiency of chitosan with chlorine for reducing Vibrio parahaemolyticus in shrimp. Food Control 18: 1031-1035.
Cahyaningrum, L. 2012. Hidrolisis Selulosa Kapas (Gossypium hirsutum L.) sebagai Adsorben Ion Cd (II) dalam Pengaruh Ion Cr (III).
Cao, Z., Ge, H. and Lai, S., 2002, Studies on Synthesis and Adsorption Properties of Chitosan Cross Linked by Gluteraldehyde and Cu(II) as Template Under Microwave Irradiation, European Polymer Journal, 37,pp. 2141-2143.
Chauhan, Y.P., Sapkal, R. S., V. S. Sapkal., dan G. S. Zamre. 2009. Microcrystalline Cellulose From Cotton Rags (Waste From Garment and Hosiery Industries). Department of Chemical Engineering, College of Engineering and Technology, India. International Journal Chemistry. India. 7(2): 681-688.
Chen, A., G. I. Zeng., G. Chen., X. Hu., M. Yan., S. Guan., C. Shang., L. Lu., Z. Zou., G. Xie. 2012. Novel Thiourea-Modified Magnetic Ion-Imprinted Chitosan/TiO2 Composite for Simultaneous Removal of Cadmium and 2,4-Dichlorophenol. Chemical Engineering Journal. Human University Changsha. China.
Darwono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Hidup. UI-Press. Jakarta.
Day, R.A.Jr., dan Underwood A.L. 1998. Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air. IPB Press. Bogor.
El-Hefian, E.A., Elham, S. E., Mainal, A. Mainal., A.H. Yahaya. 2010. Characterization of Chitosan in Acetic Acid: Rheological and Thermal Studies. Department of Chemistry, University of Malaya, Kuala Lumpu. Malaysia. (34): 47-56.
Universitas Sumatera Utara
Fatma. 2002. Studi Pemanfaatan Sabut kelapa untuk Penyerapan Ion Kadmium dari Limbah Pabrik Pelapisan Seng. Jurnal Penelitian Sains. No.12: 82-89.
Fatoni, A., N. Hindryawati dan N. Sari. 2010. Pengaruh pH terhadap Adsorpsi Ion Logam Kadmium (II) oleh Adsorben Jerami Padi. Jurnal Penelitian Kimia. Samarinda: Kimia FMIPA Universitas Mulawarman. Vol.7. No.5 : 59 – 61.
Febrisari, A. 2008. Pendayagunaan Tumbuhan Liar, Alang-Alang (Imperata cylindrica) sebagai Softdrink Herbal dalam Rangka Optimalisasi Lingkungan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Fernandez-Saiz, P., Lagaron, J. M., Hemandez- Munoz, P., & Ocio, M. J,. 2008. “Characterization of Antimicrobial Properties on The Growth of S. aureus of Novel Renewable Blends of Gliadins and Chitosan of Interest in Food Packaging and Coating Applications”. International Journal of Food Microbiology, 124(1): 13-20.
Fessenden, R.J. dan Joan S. Fessenden. 1986. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Fessenden R.J. dan Fessenden J.S. 1992. Kimia Organik (Diterjemahkan oleh Pudjaatmaka), Edisi 3, Jilid II, Penerbit Erlangga, Jakarta. 525 halaman.
Firdaus, M.L. 2012. Studi Perbandingan berbagai Adsorben Sintesis dan Alami untuk Mengikat Logam Berat. Jurnal Penelitian. Bengkulu: Universitas Bengkulu.
Gea, S. (2010). Innovative Bio-Nanocomposites Based on Bacterial Cellulose. A Thesis Submitted to The University of London for The Degree of Doctor of Philosophy. London. Hal. 14, 36-37.
Gea, S., Reynolds, C.T., Roohpour, N., Wirjosentono, B., Soykeabkaew, N., Bilotti, E., dan Peijs, T. (2011). Investigation into the Structural, Morphological, Mechanical and Thermal Behaviour of Bacterial Cellulose after a Two-Step Purification Process. Bioresource Technology. 102: 9105-9110.
Govindarajan, C., S. Ramasubramaniam., dkk. 2011. Studies on adsorption behavior of Cadmium onto nanochitosan-carboxymethyl cellulose blend. Archives of Applied Science Research. 3(5): 572-580.
Universitas Sumatera Utara
Haafiz, M.K.M., Eichhorn S.J., Hassan A and Jawaid M. (2013). Isolation and Characterization of Microcrystalline Cellulose from Oil Palm Biomass, Carbohydrate Polymer, Vol 93. No.2, pp 628-634.
Habibi, Y., Lucia, L.A., dan Rojas, O.J. (2010). Cellulose Nanocrystals: Chemistry, Self-Assembly, and Applications. Chemical Reviews. 110: 3479-3500.
Haerudin, H., A. W. Pramono., D. S. Kusuma. dkk. 2010. Preparation and Characterization of Chitosan/Montmorillonite (MTT) Nanocomposite System. International Journal of Technology. 1: 65–73.
Halim, F., E.S. Ben., E. Sulastri. (2002). Pembuatan Mikrokristalin Selulosa dari Jerami Padi dengan Variasi Waktu Hidrolisa. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol 7, No. 2, hal 80-87.
Hardjito L. 2006. Aplikasi kitosan sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. [Prosiding Seminar Nasional]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hellawell, J.M. 1986. Indicators (Biology); Water Quality; Management Freshwater ecology; water Pollution, New York, Elsevier Apllied Science Publishers, 452-508.
Hendayana, S., A. Kadarohman, A., A., & Sumarna, A., S. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang : IKIP Semarang Press.
Herawan, T., M. Rivani., K. Sinaga., A. G. Sofwan. 2013. Pembuatan Mikrokristal Selulosa Tandan Kosong Sawit sebagai Bahan Pengisi Tablet Karoten Sawit. Departemen Farmasi, Universitas Sumatera Utara.
Herwanto, B. dan Eko. S. 2006. Adsorpsi Ion Logam Pb (II) pada Membran Selulosa-Kitosan Terikat Silang.
Hsu, T.A., (1996), Pretreatment of Biomass, In: Wyman, C.E. (Ed), Handbook on Bioethanol, Production and Utilization, Taylor & Francis, Washington, DC.
Huang, Y. 2012. Thermal Properties and Thermal Degradation of Cellulose Tri Stearate (CTs). Article of Chemical Engineering and Materials Eastern Liaoning University, Dandong, China. (4): 1012-1024.
Universitas Sumatera Utara
Hutabarat, S dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Osenografi. UI Press. Jakarta.
Hutahahean, S. 2001. Penggunaan Kitosan sebagai Penyerap Terhadap Logam Zinkum (Zn2+) dan Logam Kromium dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom. Skripsi Jurusan Kimia FMIPA USU. Medan.
Igwe, J.W and Abia, A.A, 2006, Sorption Kinetics and Intrapaticulate Diffusivity of As(III) Bioremediation from Aqueous Solution, Using Modified and Unmodified Coconut Fiber, Ecletica Quimica, Vol. 3 No. 3 : 23-29.
Igwe, J.C; Nwokennaya, E.C and Abia, A.A, 2005, The Role of pH in Heavy Metal Detoxification by Biosorption from Aqueous Solutions Containing Chelating Agents, African Journal of Biotechnology, Vol. 4 (10) : 1119-1112.
Igwe, J. W and Abia, A. A., 2007, Equilibrium Sorption Isotherm Studies of Cd(II), Pb(II) and Zn(II) ions Detoxification from Waste Water Using Unmodified and EDTA Modified Maize Husk, Electronic Journal of Biotechnology, Vol. 10, No. 4 : 536-543.
Israel, A. U., Obot, I. B., Umorem, S. A., M.K. Pennie., V and Asuquo, J. E. 2008. Production of Cellulosic Polymers From Agricultural Wastes. E-Journal of Chemistry. Vol.5. No. 1: 81-85.
Josson-Charier, M., Guibal, E., Roussy, J. 1996. Vanadium (IV) Sorption by Chitosan: Kinetics and Equilibrum. Wal. Res. 30, 2, pp. 6285-6290.
Kaban, J. 2007. Studi Karakteristik dan Aplikasi Film Pelapis Kelat Logam Alkali Tanah Alginat-Kitosan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kaminski, W. dan Modrzejewska, Z. (1997). Application of Chitosan Membranes in Separation of Heavy Metal Ions. Sep. Sci. Technol. 32 (16) 2659 – 2668.
Karthikeyan, G., Anbalagan, K., Andal, N. M. 2004. Adsorption Dynamics and Equilibrum Studies of Zn (II) onto Chitosan, Indian J. Chem. Sci., 116. 2. pp 119-127.
Keshk, S.M.A.S and M.A. Haija, (2011), A New Method for Producing Microcrystalline cellulose from Gluconacetobacter xylinus and Kenaf, Carbohydrate Polymers, Vol. 84, pp 1301-1305.
Universitas Sumatera Utara
Klemm, D., Philipp, B., Heinze, T. Heinze, U., dan Wagenknecht, W. (1998 a). Comprehensive Cellulose Chemistry. Volume 1: Fundamentals and Analytical Methods. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH. Hal. 1, 14, 18-19.
Koo, O. M. Y., dan P.W. S. Heng. 2001. The Influence of Microcrystalline Cellulose Grade on Shape Distributions of Pellets Produced by Extrusion-Spheronization. Department of Pharmacy, National University of Singapore. Chem. Pharm. Bull. 49 (11): 1383-1387.
Kong, M., Chen, X. G., Xing, K., & Park, H. J. 2010. “Antimicrobial Properties of Chitosan and Mode of Action: A State of The Art Review”. International Journal of Food Microbiology, 144(1): 51-63.
Kousalya, G.N., M.R.G.C. Sairam Sundaram, S. Meenakshi. 2010. Synthesis of Nano-Hydroxyapatite Chitin/Chitosan Hybrid Biocomposite for the Removal of Fe (III). Carbohydrate Polymer, 82, 594-599.
Knoor, D. 1984. Functional Properties of Chitin and Chitosan. J. Food. Sci. Vol 47: 36-38.
Kumar, Ravi, N., V., Majeti. 2000. A review of chitin and chitosan applications. Reactive & Functional Polymers 46, 1-27.
Kusumawati, N. 2009. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang sebagai Bahan Baku Pembuatan Membran Ultrafikasi. Jurnal Penelitian. Universitas Negeri Semarang.
Laka. M., S. Chernyavskaya. (2007). Obtaining Microcrystalline Cellulose from Softwood and Hardwood Pulp, BioResources, Vol. 2, No. 3, pp 583-589.
Lee, D. W., Lim, H., Chong, H. N., dan Shim, W. S. 2009. Advances in Chitosan Material and its Hybrid Derivatives: A Review. The Open Biomaterials Journal. (1): 10-20.
Lestari, I., dan A. Sanova. 2011. Penyerapan Logam Berat Kadmium (Cd) Menggunakan Kitosan Hasil Transformasi Kitin Dari Kulit Udang (Penaeus sp). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jambi. Volume 13. 1: 9-14.
Lima, I. S. dan Airoldi, C. 2000. A Thermodynamics Investigation and Chitosan Divalent Cation Interactions, Thermochimica Acta. 421, pp. 133-139
Universitas Sumatera Utara
Mano, J. F., Koniarova, D. Reis, R. L. 2003. Journal of Material Science: Materials in Medicine. Vol.14, pp. 127 – 135.
Marchessault, R. H., Ravenelle, F., Zhu, X.X. 2006. Polysaccharides for Drug Delivery and Pharmaceutical Applications. American Chemical Society.
Martin, A. N., J. Swarbrick., dan Cammarata. 1970. Physical Pharmacy. 2nd Ed., Lea & Febiger. Philadelphia.
Mc. Cabe Warren., Julian, S., dan Harriot P. 1999. Operasi teknik Kimia. Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Meriatna. 2008. Penggunaan Membran Kitosan untuk Menurunkan Kadar Logam Krom (Cr) dan Nikel (Ni) dalam Limbah Cair Industri Pelapisan Logam. Tesis. Medan: USU.
Metcalf dan Eddy. 1979. Wastewater Engineering Treatment Disposal Reuse. Mc-Graw Hill Ed.
Moenandir, J. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Rajawali Press: Jakarta.
Mohamad, E. 2012. Fitoremediasi Logam Berat Kadmium (Cd) pada Tanah dengan menggunakan Bayam Duri (Amaranthus spinosus L). Laporan Penelitian Pengembangan IPTEK. FMIPA Universitas Negeri Gorontalo.
Muzzarelli RA A. 1985. New derivatives of chitin and chitosan: properties and applications. Di dalam
Nada, A.M.A., M.Y. El-kady, E.S.A. El-Sayed, F.M. Amine, (2009), Preparation and Characterization of microcrystalline Cellulose, BioResources, Vol. 4, No. 4, pp 1359-1371.
Croscenz V, Dead ICM, Stivala SS (eds.). New developments in industrial polysaccharides. gordon and beach science Publ. New York.
Nazzal, S., A. A. Zaghloul., dan M.A. Khan. 2002. Effect of Extragranular Microcrystalline Cellulose on Compaction, Surface Roughness, and In Vitro Dissolution of a Self- Nanoemulsified Solid Dosage Form of Ubiquinone. Pharmaceutical Technology. 86-98.
Universitas Sumatera Utara
No HK, Park NY, Lee SH, Meyers SP. 2002. Antibacterial activity of chitosan and oligomers with different molecular weights. International Journal of Food Microbiology 74: 62-72.
Nurcahya, T. 2013. Uji Kinerja Kombinasi Kitosan-Bentonit dengan Arang Aktif terhadap Ion Logam dan Residu Pestisida dalam Air Minum. Bandung: UPI.
Nurhasmi, H. dan Nubzah Saniyyah. 2012. Penyerapan Ion Logam Cd dan Cr dalam Air Limbah Menggunakan Sekam Padi. Jurnal Penelitian. Jakarta: FST UIN Syarif Hidayatullah.
Ohwoavworhua, F. 2005. Phosporic Acid-Mediated Depolymerization and Decrystalization of α-Cellulose Obtained from Corn Cob : Preparation of Low Criystallinity Cellulose and Some Physcochemical Properties. Nigeria : Tropical Journal of Pharmaceutical Reserch. 4(2): 509-516.
Oyeniyi, Y.J. and O.A. Itiola, (2012) The Physicochemical Characteristic of Microcrystalline Celluolose, derived from sawdust, agricultural waste products, Int J Pharm Pharm Sci., Vol. 4, No. 1, pp 197-200.
Patnaik, P. 2004. Dean’s Analytical Chemistry Handbook. Second Edition. The McGraw Hill. Inc. USA.
Potthast, A., Rosenau, T., dan kosma, P. (2006). Analysis of Oxidized Functionaties in Cellulose. Adv. Polym Sci. (205): 1 – 6.
Prashanth, H.K.V, and Tharanathan, R.N., 2007. Chitin/chitosan:modifications and their unlimited application potential-an overview. Department of Biochemistry & Nutrition. Central Food. Technological Research Institute. India. ELSEVIER, Trends in Food Science & Technology (Page 117-131).
Purnomo, T. dan Muchyiddin. 2007. Analisis Kandungan Timbal pada Ikan Bandeng di Tambak Kecamatan Gresik . Neptunus, Vol.14 (1): 68-77.
Purwaningsih, D. 2009. Adsorpsi Multi Logam Ag (I), Pb (I), Cr (III), Cu (II) dan Ni (II) pada silica dari Abu Sekam Padi. Jurnal Penelitian Saintek. Vol.14, No.1.
Universitas Sumatera Utara
Purworini, P. 2013. Pemanfaatan Mikrokristal selulosa Limbah Tandan Kelapa Muda (Cocos nucifera Linn) Sebagai Bahan Pengisi Dalam Film Layak Makan Pati Tapioka Dengan Gliserol Sebagai Plastisizer. Tesis. FMIPA USU.
Quek, S. Y., 1998, The Use of Sago Waste for the Sorption of Lead and Cooper, Water SA, vol. 24, no. 33, pp 251-256.
Rahmi, H., Ina, R., Awin, F., & Noer, K. (2009). Pemanfaatan Rumput Alang-Alang (Imperata Cylindrica) sebagai Biosorben Cr(VI) pada limbah industri sasirangan dengan metode teh celup. Sains dan Terapan Kimia, 2 (1), 57–73.
Redjeki, T., Agung, N. C., Lian, R. S. 2012. Membrane Chitosan Modified Carboxymethil (CS-MCM) Sebagai Adsorben Ion Cu (II). Jurnal Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi. FMIPA FKIP Universitas Sebelas Maret. (Hal: 445-450).
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka pengajar. Yogyakarta.
Rosnah, M. S., Aziz A. A., Wan Hasan W. H and Top A. G.M., (2009), Solid-state characteristics of Microcrystalline Cellulose From Oil Palm Empty Fruit Bunch Fibre, Journal of Oil Palm Research, Vol. 21, pp 613-620.
Roylance, D. 2008. Mechanical Properties of Materials. Jhon Willey and Sons. New York.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients. Edisi keenam. London: Pharmaceutical Press. Hal. 129 – 133, 136 – 138.
Santoso, 2012. Preparasi dan Aplikasi Komposit Hidroksiapatit/kitosan sebagai Adsorben Logam Berat. Skripsi. Depok: Fakultas Teknik UI.
Sheltami, I. M., Alloin, S. A., Ahmad, I., Dufresne, A., Kargarzadeh. 2012. Extraction of Cellulose Nanocrystal from Mengkuang Leaves (Pandanus tectorius). Journal of Carbohydrate Polymer. 88: 772-779.
Silverio, H.A., Neto, W.P.F., and Pasquini, D. 2013. Effect of Incorporating Cellulose Nanocrystals from Corncob on the Tensile, Thermal and Barrier Propertiies of Poly(Vinyl Alcohol) Nanocomposites. Journal of Nanomaterials. 2013: 1-9.
Universitas Sumatera Utara
Sinaga, K.R., (2010), Modifikasi Nata de Coco dengan Tiorena sebagai Bahan Tambahan Sediaan Obat Fraksi Aktif Antiradang daun Ruku-Ruku, Thesis, Universitas Sumatera Utara.
Stevens, M.P. 2001. Kimia Polimer. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Pradnya Paramita.177.597.
Stuart, B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Apllications. Jhon Willey and Sons Ltd. USA.
Subowo., Mulyadi, S., Widodo. dan Asep Nugraha. 1999. Status dan Penyebaran Pb, Cd, dan Pestisida pada Lahan Sawah Intensifikasi di Pinggir Jalan Raya. Puslittanak Bogor. Bogor.
Sudarmadji., J. Mukono. dan Corie, I.P. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (2): 129-142.
Sunardi. 2006. 116 Unsur Kimia Deskripsi dan Pemanfaatannya. Yrama Widya. Bandung.
Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J.1992. Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya. [Laporan Penelitian]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sutiya, B. 2012. Kandungan Kimia dan Sifat Serat Alang-Alang (Imperata cylindrica) sebagai Gambaran Bahan Baku Pulp dan Kertas. Bioscientiae. Volume 9, Nomor 1, Halaman 8-19. Kalimantan Selatan: Universitas Lambung Mangkurat.
Swastawati, F., Fahmi, A.S., Riyadi, P.H. 2007. Pemanfaatan Limbah Hasil Perikanan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. (96 Halaman).
Tran, C. D., Simon, D., Ambra, D., dan Mladen, F. 2013. Chitosan-Cellulose Composite Materials: Preparation, Characterization and Application for Removal of Microcystin. Department of Chemistry, Marquette University, USA. Journal of Hazardous Materials 252-253 (2013): 355-366.
Vogel, A.I. 1994. Buku Teks Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Edisi Kelima. PT Kalman Media Pustaka. Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Wegener, D. 1985. Wood: Kimia Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Wan Ngah, W. S. 2002. Removal Copper (II) Ions from Aqueous Solution onto Chitosan and Cross-linked Chitosan Beads, Reactive and Functional Polymers. (50): 181-190.
Wibisono, I., Hugo, L., Antaresti., dan Aylianawati. (2011). Pembuatan Pulp dari Alang-Alang, Vol. 10, No. 1, Hal 11-20. Surabaya: Fakultas teknik Jurusan Teknik Kimia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Widowati, W., Sastiono, A. dan Jusuf, R. 2008. Efek Toksik Logam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Widaningrum, M., Suismono. 2007. Bahaya Kontaminasi Logam Berat dalam Sayuran dan Alternatif Pencegahan Cemarannya. Buletin teknologi Pascapanen Pertanian 3, 16-27.
Wirjosentono, B. 1995. Analisis dan Karakterisasi Polimer. Medan: USU Press.
Yang, T.C. dan Zall,R.R. 1984. Adsorption of Metals by Natural Polymer Generated from Sea Food Processing Waste. Ind. Eng. Chem. Prod. Res. Dev., 23, pp. 168-172.
Yanuar, H, M., Dharma, S., & Vieter, J. M. (2009). Adsorpsi ion Pb(II) dalam air dengan jerami padi. Percikan, 100, 67-74.
Zugenmainer, P. (2008). Crystalline Cellulose and Derivatives. Heidelberg: Springer-Verlag. Hal. 2, 7–8.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Tahapan Pembuatan α-selulosa dari Alang-Alang
Serbuk alang-alang
Isolasi dengan NaOH 2%
Isolasi dengan NaOH 17,5% Bleaching dengan H2O2
α – selulosa basah
α – selulosa kering
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Tahapan Pembuatan Mikrokristal Selulosa (MCC)
Hidrolisis α – selulosa dengan HCl
Mikrokristal selulosa (MCC)
Mikrokristal selulosa (MCC) kering
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Pembuatan Film Kitosan dan Film Kitosan-MCC
Film Kitosan
Film Kitosan-Mikrokristal Slulosa dengan perbandingan (1,9: 0,1)
Universitas Sumatera Utara
Film Kitosan-mikrokristal selulosa dengan perbandingan (1,8 : 0,2)
Film Kitosan-Mikrokristal selulosa dengan perbandingan (1,7:0,3)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Proses Pencetakan Film Kitosan dan Film Kitosan-MCC
Pencetakan Film Kitosan
Pencetakan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan perbandingan 1,9:0,1
Universitas Sumatera Utara
Pencetakan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan perbandingan 1,8:0,2
Pencetakan Film Kitosan-Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan perbandingan 1,7:0,3
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. Proses Adsorpsi Logam Kadmium (Cd) dengan Metode Kolom
Seperangkat alat filtasi kolom untuk adsorpsi
Film dimasukkan ke dalam kolom
Universitas Sumatera Utara
Proses Adsorpsi Logam Kadmium (Cd)
Proses Adsorpsi Logam Kadmium (Cd)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. Spektrum Hasil Analisis Gugus Fungsi Mikrokristal Selulosa (MCC)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. Spektrum Analisis Gugus Fungsi Film Kitosan
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. Spektrum Hasil Analisis Gugus Fungsi Film Kitosan-MCC dengan FT-IR
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 9. Hasil Uji Tarik Film Kitosan dengan Penambahan MCC 0,1 g
Load
(kgf
)
Time (s)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 10. Hasil Uji Tarik Film Kitosan dengan Penambahan MCC 0,2 g
Load
(kgf
)
Time (s)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 11. Hasil Uji Tarik Film Kitosan dengan Penambahan MCC 0,3 g
Load
(kgf
)
Time (s)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 12. Hasil Analisis Degradasi Termal Menggunakan TGA
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 13. Hasil Analisis Adsorpsi Larutan Logam Kadmium (Cd) Menggunakan Metode Adsorpsi-Filtrasi Kolom
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 14. Hasil Analisis Adsorpsi Larutan Logam Kadmium (Cd) Menggunakan metode Perendaman
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 15. Hasil Analisis Ukuran Partikel Mikrokristal Selulosa Alang – Alang Menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 16. Perhitungan Persentase Adsorpsi atau Efisiensi Adsorpsi (%E)
Adapun persentase (%) yang terserap (efisiensi adsorpsi) dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
dimana:
cawal = konsentrasi awal yaitu 2 µg/L
cakhir = konsentrasi akhir yaitu konsentrasi filtrat yang sudah
dilewatkan pada film dalam satuan µg/L
%E = persentasi yang terserap
1.1 Perhitungan Persentase Logam Kadmium (Cd) yang terserap Untuk Metode Perendaman ditunjukkan seperti di bawah ini:
Tabel 4.8 Hasil Peningkatan Daya Serap Logam Kadmium (Cd) setelah dilewatkan pada Film Kitosan – Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan Metode Perendaman
No Kode Kitosan (g)
Mikrokristal Selulosa (MCC) (g)
Kons (µg/L)
%yang terserap
1 F1 2 0 1,1831±0,02 40,847 2 F2 1,9 0,1 1,0481±0,06 47,597 3 F3 1,8 0,2 0,9588±0,03 52,059 4 F4 1,7 0,3 0,8718±0,04 56,407
Keterangan: F1 = Kitosan, F2 = Kitosan + 0,1 g MCC, F3 = Kitosan + 0,2 g MCC, F4 = Kitosan + 0,3 g MCC
1. F1 (%E) = 2 µg/L – 1,1831µg/L 2 µg/L
x 100% = 40, 847%
2. F2 (%E) = 2 µg/L – 1,0481µg/L 2 µg/L
x 100% = 47, 597%
3. F3 (%E) = 2 µg/L – 0,9588µg/L 2 µg/L
x 100% = 52,059%
4. F4 (%E) = 2 µg/L – 0,8718µg/L 2 µg/L
x 100% = 56,407%
%E = 𝑪𝑪𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂− 𝑪𝑪𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝑪𝑪𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂𝒂
x 100%
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perhitungan Persentase Logam Kadmium (Cd) yang terserap Untuk Metode Adsorpsi – Filtrasi Kolom ditunjukkan seperti di bawah ini:
Tabel 4.10 Hasil Peningkatan Daya Serap Logam Kadmium (Cd) setelah
dilewatkan dengan Film Kitosan – Mikrokristal Selulosa (MCC) dengan Metode Adsorpsi-Filtrasi Kolom
No Kode Kitosan (g)
Mikrokristal Selulosa (MCC) (g)
Kons (µg/L)
%yang terserap
1 F1 2 0 1,0270±0,02 48,672 2 F2 1,9 0,1 0,7590±0,04 62,014 3 F3 1,8 0,2 0,5940±0,07 70,252 4 F4 1,7 0,3 0,4090±0,03 79,519
Keterangan: F1 = Kitosan, F2 = Kitosan + 0,1 g MCC, F3 = Kitosan + 0,2 g MCC, F4 = Kitosan + 0,3 g MCC
1. F1 (%E) = 2 µg/L – 1,027µg/L 2 µg/L
x 100% = 48, 672%
2. F2 (%E) = 2 µg/L – 0,759µg/L 2 µg/L
x 100% = 62,014%
3. F3 (%E) = 2 µg/L – 0,594µg/L 2 µg/L
x 100% = 70,252%
4. F4 (%E) = 2 µg/L – 0,409µg/L 2 µg/L
x 100% = 79,519%
Universitas Sumatera Utara