Upload
venia
View
235
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Tetanus yang Terjadi pada Luka SobekVenia
102013415Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510No. Telp (021) 5694-2061
E-mail : [email protected]
Pendahuluan
Tetanus mungkin merupakan salah satu nama penyakit yang sering didengar. Tetanus
biasa dihubungkan dengan benda tajam yang berkarat. Tidak hanya orang dewasa, tetapi bayi
juga mempunyai resiko yang cukup tinggi, terkena tetanus, terutama saat proses persalinan.
Karena tetanus merupakan penyakit yang cepat berkembang menjadi fatal maka kita perlu
mengetahui sumber penularannya, pencegahan yang dapat dilakukan, pengobatan, serta
komplikasi yang dapat timbul.1
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw adalah gangguan neurologis yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu toksin protein yang kuat dan dihasilkan oleh Clostridium tetani yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid).2
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusar.3 Tetanus
dikarakteristikan dengan kekakuan umum dan kejang kompulsif pada otot-otot rangka.
Kekakuan otot biasanya dimulai pada rahang ( lockjaw ) dan leher dan kemudian menjadi
umum. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang jika tidak segera diobati akan
menyebabkan kematian. Luka dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini,
tetanus sering terjadi melalui luka- luka yang kecil.3
Penyakit ini merupakan penyakit yang serius namun dapat dicegah kejadiannya pada
manusia. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan
penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara beriklim tropis dan negara–
negara sedang berkembang, sering terjadi di brasil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara
lain di benua Asia.3
Karena tetanus merupakan penyakit yang cepat berkembang menjadi fatal, maka kita
perlu mengetahui sumber penularannya, pencegahan yang dapat dilakukan, pengobatan dan
komplikasi yang dapat timbul.3
Anamnesis
Untuk dapat menegakan diagnosis suatu penyakit diperlukan kemampuan dan
keterampilan dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan pada organ-organ dengan
gangguan/kelainan yang diderita atau yang sedang dialami oleh pasien. Pemeriksaan tersebut
meliputi pemeriksaan fisik dan penunjang.1
Anamnesis adalah suatu wawancara medis yang merupakan tahap awal dari suatu
rangkaian pemeriksaan terhadap pasien. Baik bersangkutan dengan pasien maupun dengan
relasi terdekatnya. Tujuan utama wawancara praktisi-pasien adalah meningkatkan
kesejahteraan pasien. Selain itu, anamnesis bertujuan ntuk mendapatkan fakta tentang
keadaan penyakit si pasien dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.1
Ada dua jenis anamnesis, yang pertama adalah Autoanamnesis merupakan anamnesis
terhadap pasien itu sendiri. Sedangkan yang kedua adalah aloanamnesis yang merupakan
anamnesis terhadap keluarga atau relasi terdekat atau yang membawa pasien tersebut ke
rumah sakit atau tempat praktek. Aloanamnesis dilakukan bila kita tidak dapat melakukan
anamnesis terhadap pasien itu sendiri.1
Bagan anamnesis pertama yaitu menanyakan identitas pasien terdiri dari nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, umur, suku agama, alamat lengkap,
pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan.1
Yang kedua menanyakan keluhan utama pasien datang untuk berobat yaitu demam
tinggi, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut keterangan
pasien, 2 minggu lalu pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengalami luka robek
pada tungkai bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh petugas kesehatan didesanya. Pasien
juga tidak diberikan antibiotik.1
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan fisik dapat kita lihat dengan adanya luka dan gejala-gejala yang khas
pada penyakit. Pada kasus ini, saat dilakukan inspeksi kulit tungkai bawah kanan yang
mengalami luka robek, tampak kemerahan, teraba panas, bengkak, dari sela-sela luka yang
dijahit keluar nanah. Tekanan darah pasien 110/70mmHg dan denyut nadi 82x/menit.
Pemeriksaan penunjang terdiri atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium,
biasanya terdapat leukositosis ringan, kadang-kadang terjadi peningkatan TIK, dan pada
pemeriksaan bakteriologis (kultur jaringan) di daerah luka ditemukan Clostridium tetani.
Pada kasus ini, tidak adanya pemeriksaan penunjang.3
Diagnosis
Diagnosis Kerja
Dari skenario yang diperoleh, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan
diagnosis kerja yang didapatkan adalah tetanus. Karena pasien mengalami kaku mulut, 2
minggu lalu mengalami kecelakaan dan mendapat luka robek yang dijahit tanpa pemberian
antibiotik. Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun
demikian, C. tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan
dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organisme
tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.3
Diagnosis Banding
Berikut penyakit ini mempunyai gejala yang mirip dengan tetanus yaitu vulnus
laceratum/luka robek dan infeksi sekunder. Vulnus laceratum merupakan salah satu luka
terbuka yang memicu sistem tubuh untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam tubuh,
tetapi kadang-kadang kuman tersebut mampu berkembang dan menyebabkan infeksi. Setelah
terjadi infeksi akan memicu terjadinya peradangan untuk memusnahkan agen yang
membahayakan sehingga pada daerah yang mengalami radang terdapat nanah.4
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di
mana-mana dengan habitat alamnya ditanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia.5
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu
bergerak dan merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang
dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam seperti
pada gambar 1 dibawah ini. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan
tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan
pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan
mendidihkan, tetapi dapat dieleminisi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120oC
selama 15 menit.5
Gambar 1. Clostridium tetani5
Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat
sensitif terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penicillin dan lainnya).5 Spora tetanus
dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetative
terbunuh oleh antibiotic, panas, dan desinfektan baku. C. tetani bukan organisme yang
menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal,
tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus.6
Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani
menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam
sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai
polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk
membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi
pengikatannya dengan reseptorsel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan
(50kDa) berperan untuk memblokade perlepasan neurotransmitter.6
Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua
toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan toksin tetanus
secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh organisme belum jelas
diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu
mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyak
penelitian tentang sensitifitas antimikrobial bakteri ini.6
Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang.6
Penyakit ini umumnya terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah
dengan iklim hangat , selama musim panas dan pada penduduk pria. Pada Negara-negara
tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada neonates dan
anak-anak.6
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap
bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang
lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk
didalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan
152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan,
kira-kira terdapat 300 kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di
Inggris.6
Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah atau selama bertani, berkebun dan
aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar
tapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan
pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat merupakan
komplikasi penyakit kronis, seperti ulkus, abses dan gangrene. Tetanus dapat pula berkaitan
dengan luka bakar, infeksi telinga tengah, pembedahan, aborsi dan persalinan. Pada beberapa
pasien tidak dapat diidentifikasi adanya port d’entrée.6
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas
terhadap antibody tetanus dan differi yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat berusia diantara 6 tahun
terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anak 6-11 tahun sebesar 91% , persentasi ini
menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45%,
wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.6
Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C tetani. C tetani sendiri tidak menyebabkan
inflamasi dan port d’entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada
infeksi oleh mikroorganisme yang lain. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada
jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin; tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yamg memungkinkan multipliksai
bakteri.5
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup
lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan
berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan
(50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh
protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini.
Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino
memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel.5
Jika toksin yang dihasilkan banyak,ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian
berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan
menyebar dan ditransportasikan dalam akson dan secara retrogred ke dalam badan sel di
batang otak dan saraf spinal.5
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom.
Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan
mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh,
gejala-gejala tetanus akan muncul. Transport intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi
dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer
melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas.5
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin
dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein
membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung
neurotransmitter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang
membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan
neurotransmitter.5
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya.5
Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik preganglionik pada ujung lateral
dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang
sama dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip
dengan aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun kemudian,
pada tetanus efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh dari pada berkurangnya
fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga
dipengaruhi.5
Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Apakah
mekanisme ini berperan terhadap spasme intermiten dan serangan autonomic, masih belum
jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua
spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan
myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus menghasilkan gejala
karakteristik berupa paralisis flaksid.5
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkonstraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
ruptur tendon. Otot rahang, wajah dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan dan kaki relative jarang terlibat.5
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya control
otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan. Terikatnya toksi pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan membutuhkan
tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama.5
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan
yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal; sawar
darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam system saraf pusat. Jika
diamsusikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang
pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang; hal ini menjelaskan urutan
keterlibatan srabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.5
Gejala Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau
beberapa minggu). Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:7
Localized tetanus (Tetanus Lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal
tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan
dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai
sesudah pemberian profilaksis antitoksin.7
Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung.7
Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus
Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa
menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi
urine, kompressi fraktur dan pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya
hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya
meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.7
Klasifikasi tingkat keparahan tetanus:7
Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan,
tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang,
gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia
ringan.
Derajat III (berat)
Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex berkepanjangan, frekuensi
pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
Derajad (IV) sangat berat
Derajat 4 dengan gangguan otonomik berat melibatkan system kadiovaskular.
Hipertensi berat takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia,salah
satunya dapat menetap.
Tabel 1. Keempat tolak ukur dan besarnya nilai (Philips):7
Tolah ukur Nilai
Masa inkubasi
Kurang 48 jam 5
2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
lebih 14 hari 1
Lokasi infeksi
Internal/umbilikal 5
Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Imunisasi
Tidak ada 10
Mingkin ada/ibu mendapat 8
Lebih dari 10 tahun yang lalu 4
Kurang dari 10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor yang
memberatkan
Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa 10
Keadaan yang tidak langsung membahayakan
jiwa 8
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
A.S.A.** derajat 1
** Sistim penilaian untuk menentukan risiko penyulit
Penatalaksanaan
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organism yang terdapat dalam
tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang
terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisir; dan efek dari toksin
yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.8
Penatalaksanaan umum:
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran
toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai pulih.7 Dan tujuan
tersebut dapat diperinci seperti berikut: 8
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal
ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau
parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Obat-obatan : 9
Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan
Tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/12 jam secafa
IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti
dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis
tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia
Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam,
dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk
vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya
komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan
Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis
3000-6000 U,satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara
intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ",
yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada,
dianjurkan untuk menggunakan Tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan
dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin
dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena,
pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang
tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai
imunisasi dasar terhadap Tetanus selesai.
Tabel 2. Petunjuk Pencegahan Terhadap Tetanus pada Keadaan Luka9
RIWAYAT
IMUNISASILuka bersih, Kecil Luka Lainnya
(dosis) Tet. Toksoid
(TT)
Antitoksin Tet.Toksoid
(TT)
Antitoksin
Tidak
diketahui
ya tidak ya ya
0 – 1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
Keterangan:
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)
Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada Tetanus Neonatorum adalah kejang klonik yang
hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan
obat–obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
Tabel 3: Jenis Antikonvulsan9
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam
Meprobamat
Klorpromasin
Fenobarbital
0,5 – 1,0 mg/kg
Berat badan / 4 jam (IM)
300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
50 – 100 mg/ 4 jam (IM)
Stupor, Koma
Tidak Ada
Hipotensi
Depressi pernafasan
Pengobatan menurut Adam .R.D. (1): Pada saat onset
3000 - 6000 unit, Tetanus immune globulin satu kali saja.
1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi beri
tetracycline 2 gram sehari.
Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus dilakukan tuk
mencegah cyanosis dan apnoe.
Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg setiap jam
sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan respirator.9
Pengobatan menurut Gilroy:
Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan
barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme.9
Kasus berat :9
1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team ).
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan
setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. Pernafasan dijaga
dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman.
4. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam
mencegah conjunctivitis.
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari.
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA.
8. Rontgen foto thorax.
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan
beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya ataupun konsekuensi dari
terapinya (terjadi perubahan fisiologi kardiovaskular, ginjal dan respirasi).10
Komplikasi pada jalan nafas:10
Aspirasi* (Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air didalam rongga
mulut karena pasien mengalami disfagia, dan keadaan ini memungkinkan terjadinya
aspirasi serta dapat menyebabkan pneumonia aspirasi)
Laringospasme/ obstruksi* (karena efek toksin yang menggangu neuromuskular
mengakibatkan spasme otot, spasme dapat terjadi pada otot laring)
Obstruksi berkaitan dengan sedatif*
Komplikasi pada respirasi:10
Apnea*
Hipoksia*
Gagal nafas tipe 1* (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2* (spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi
berlebihan)
ARDS*
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan seprti pneumonia
Komplikasi trakeostomi seperti stenosis trakea
Komplikasi pada kardiovaskuler:10
Takikardia*, hipertensi*, iskemia*
Brakikardia*, hipotensi*
Takiartitmia*, brakiaritmia*
Asistol*
Gagal jantung*
Komplikasi pada ginjal:
Gagal ginjal curah tinggi*
Gagal ginjal oligouria*
Stasis urin dan infeksi
Komplikasi pada gastrointestinal:10
Stasis gaster
Ileus
Diare
Pendarahan*
Komplikasi lainnya:10
Pernurunan berat badan*
Tromboembolus*
Sepsis dengan gagal organ multipel*
Decubitus
Fraktur vertebra selama spasme )dapat terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat
pada waktu sedang kejang)
Ruptur tendon akibat spasme
*Komplikasi yang mengancam jiwa.10
Pencegahan
Imunisasi aktif
Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6
minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).
Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita
usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).10
Pencegahan pada luka
Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang.
Luka ringan dan bersih.
o Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin.
o Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.
Luka sedang/berat dan kotor.
o Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus immunoglobulin
250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.
o Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U,
tetanus imunoglobulin 250-500 U(3).10
Prognosis
Tetanus dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari selalu merupakan tetanus berat
dimana interval antara gejala pertama dan spasme generalisata adalah 3 hari atau kurang.
Angka kematian pada kasus ini adalah 80%. Sementara tetanus dengan masa inkubasi 7-10
hari dapat berupaa tetanus sedang yang angka kematiannya bervariasi. Tetanus dengan masa
inkubasi lebih dari 10 hari biasanya merupakan tetanus ringan, terkadang tidak terjadi spasme
generalisata, prognosisnya baik.10
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :10
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spsm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
Prognosis tetanus neonatus jelek apabila:9-10
Umur bayi kurang dari 7 hari.
Masa inkubasi 7 hari atau kurang.
Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam.
Dijumpai kejang otot.
Jika bayi selamat dari tetanus neonatus, terdapat resiko yang meningkat untuk
kerusakan otak permanen dengan perkembangan yang terganggu dan kesulitan gerakan
motorik.10
Kesimpulan
Pemeriksaan tetanus dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan darah, dan diagnosis. Setelah melakukan pemeriksaan barulah dilakukan
tindakan pengobatan seperti pemberian globulin anti tetanus, debridemen luka, dan antitoksin
tetanus. Jika pasien telah mengalami kejang, maka pasien diberikan obat yang bersifat
melemaskan otot dan untuk sedasi digunakan fenobarbital, klorpromazin, atau diazepam.
Pada tetanus berat kadang diperlukan paralisis total otot (kurarisasi) dengan mengambil alih
pernapasan memakai respirator.
Pencegahan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu perawatan luka yang adekuat dan
imunisasi aktif, penggunaan profilaksis antitoksin dan pemberian penisilin.
Masa inkubasi dan periode onset (periode awal yaitu masa dari timbulnya gejala klinis
pertama sampai timbul kejang) merupakan faktor yang menentukan prognosis. Kematian
tertinggi yang diakibatkan oleh tetanus yaitu anak-anak ( balita dan bayi) dan lansia.
Daftar Pustaka
1. Bickley S. Lynn. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi 5. Jakarta:
EGC; 2011 Hal 15.
2. Lumbantobing SM. Neurologi klinik : pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: FKUI ;
2012. h. 2, 7-9, 17.
3. Batticaca F.B. Bab 8: Asuhan keprawatan klien dengan tetanus. Jakarta. 2012. P126-127.
4. Henry N, Harun A. Buku ajar blok 12 ilmu bedah. Jakarta: FK Ukrida; 2012.
5. Dire DJ. Tetanus [jurnal]: Deparment of emergency medicine. University of Texas-
Houston. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/786414-diagnosis. 15
November 2012.
6. Ritarwan K. Tetanus [jurnal]. Bagian Neurologi FK USU/ RSU H. Adam Malik.
Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-
kiking2.pdf. 15 November 2012.
7. Adams. R.D. Tetanus: Principles of New'ology. New York: McGraw-Hill; 2010.
H.1205-1207.
8. Rahim A, Lintong M, Suharto, Jasodiwondo S. Buku Ajar Mikrobiologi kedokteran:
Batang positif gram. Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Publishing. Bab 19.
9. Todar K. Pathogenic clostridia, including botulism and tetanus. D iunduh dari:
http://www.textbookofbacteriology.net/clostridia_3.html . 27 November 2010 .
10. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 2. 2013;Jakarta: EGC hlm.21-24.