111
THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE (ICC) AND SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) (PERBANDINGAN PROSEDUR DIPERCEPAT ANTARA KAMAR DAGANG INTERNASIONAL DAN PUSAT ARBITRASE INTERNASIONAL SINGAPURA) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: Dian Oktavia 11140480000015 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1439H/2018M

THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE

BETWEEN INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE (ICC)

AND SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC)

(PERBANDINGAN PROSEDUR DIPERCEPAT ANTARA

KAMAR DAGANG INTERNASIONAL DAN PUSAT

ARBITRASE INTERNASIONAL SINGAPURA)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Dian Oktavia

11140480000015

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439H/2018M

Page 2: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 3: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 4: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 5: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

ABSTRAK

Dian Oktavia. NIM 11140480000015. THE COMPARISON OF EXPEDITEDPROCEDURE BETWEEN INTERNATiONAL CHAMBER OF COMMERCE(ICC) AND SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC)(PERBANDINGAN PROSEDUR DIPERCEPAT ANTARA KAMAR DAGANGINTERNASIONAL DAN PUSAT ARBITRASE INTERNASIONALSINGAPURA). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, FakultasSyariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta1439H/2018M. lsi: ix + 87 halarnan + 8 ba1aman lampiran + 6 balaman daftarpustaka.

Penelitian ini membabas mengenai ketentuan prosedur dipercepat dalam ICC danSIAC. Ketentuan tersebut bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karenatelah mengenyampingkan perjanjian arbitrase yang merupakan sumber hukumyang utama dan terpenting dalam arbitrase. Penulis ingin membandingkanketentuan expedited procedure yang terdapat di ICC dengan ketentuan expeditedprocedure yang terdapat di SIAC karena ketentuan expedited procedure padakedua lembaga tersebut memiliki perbedaan yang kontras.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif sertapendekatan yang digunakan adalah pendekatan komparatif dan pendekatankonseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studikepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan expedited procedure tidakbertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena pada dasamya ketentuanexpeditedprocedure dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Perbandinganketentuan expedited procedure antara ICC dan SIAC menunjukkan persamaanmaupun perbedaan dalam beberapa aspek. Dalam hal persamaannya, yaitu keduaketentuan expedited procedure tersebut memberikan kewenangan kepadamahkamah arbitrase untuk meniadakan pemeriksaan lisan, memutus sengketahanya berdasarkan dokumen, dan mewajibkan pelaksanaan konferensimanajemen. Dalam hal perbedaannya, yaitu meliputi beberapa aspek diantaranyajumlah maksimal sengketa, penerapan ketentuan, kewenangan lembaga ataumahkamah untuk tidak menerapkan ketentuan, jumlah arbiter, percepatanpenunjukkan arbiter, urgensi luar biasa, klausula rekomendasi, batas waktupemberian putusan akhir, dan putusan akhir yang disertai alasan.

Kata Kunci : Arbitrase, Expedited Procedure, dan Asas Kebebasan Berkontrak.

Pembimbing : Hidayatulloh, M.B.

Daftar Putaka : Tahun 1979 Sampai Tahun 2016

lV

Page 6: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 7: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 8: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 9: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 10: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 11: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, baik arbitrase yang bersifat

sementara (ad hoc) maupun sebuah badan permanen (institusi), merupakan

praktik yang sudah sangat lama dikenal dalam dunia perdagangan. Demikian

pula perbedaan referensi mengenai arbitrase ad hoc sebagai lawan arbitrase

institusi telah diterima menjadi bagian penting dalam kegiatan arbitrase

nasional maupun internasional.1 Pada umumnya, arbitrase ad hoc ditentukan

berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukkan majelis arbitrase serta

prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad

hoc pun perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Sedangkan, arbitrase

institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan

arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini

dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase,

baik yang bersifat nasional seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),

maupun internasional seperti International Chamber of Commerce (ICC),

Singapore International Arbitration Centre (SIAC), dan sebagainya. Badan-

badan arbitrase nasional dan internasional tersebut memiliki peraturan dan

sistem arbitrase sendiri. Dengan demikian, dalam transaksi bisnis saat ini para

pihak tidak dapat dengan bebas, misalnya memilih arbiter yang akan

menangani sengketa karena mereka terikat pada lembaga yang bersifat

mengatur arbitrase tersebut.2

Dalam kegiatan bisnis, arbitrase merupakan praktik untuk mengatur

sendiri penyelesaian sengketa diantara pengusaha, atas dasar perjanjian yang

dilakukan secara tertulis, dengan menunjuk arbiter atau para arbiter. Para

1 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration. (London: Sweet and Maxwell, 1999). h. 13.

2 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 2006). h. 21.

Page 12: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

2

pengusaha tersebut berjanji akan menaati putusan yang diambil oleh para

arbiter yang telah mereka pilih.3 Penunjukkan arbiter merupakan salah satu

alasan para pengusaha memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian

sengketa. Para pengusaha atau para pihak yang bersengketa tersebut diberikan

kesempatan untuk memilih arbiter yang mereka anggap dapat memenuhi

harapan mereka, baik dari segi keahlian atau pengetahuannya.

Kamar Dagang Internasional (ICC) mengeluarkan versi baru dari aturan

arbitrasenya yang berlaku efektif pada 1 Maret 2017, yaitu ICC Arbitration

Rules 2017 (ICC Rules). Aturan arbitrase baru ICC tersebut menggantikan

aturan lama, yaitu ICC Arbitration Rules 2012. Perubahan yang paling

signifikan dari ICC Rules 2017 adalah dimunculkannya ketentuan mengenai

prosedur dipercepat (expedited procedure). Ketentuan tersebut terdapat dalam

pasal 30 dan Lampiran VI ICC Rules 2017. Hal yang paling penting dan paling

utama dari ketentuan expedited procedure terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)

Lampiran VI yang menyebutkan bahwa ICC Court (Mahkamah ICC) diberikan

kewenangan untuk menunjuk arbiter tunggal yang memimpin semua proses

arbitrase, terlepas dari perjanjian arbitrase yang telah dibuat para pihak.

Ketentuan tersebut juga tidak memberikan para pihak untuk memilih lebih dari

satu arbiter. Di sisi lain, kewenangan Mahkamah ICC tersebut secara implisit

telah membatasi kebebasan para pihak untuk menentukan arbiter yang akan

menangani sengketanya. Hal itu tidak sesuai dengan asas kebebasan para pihak

dalam arbitrase. Padahal, dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak

memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka

netral dan ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.

Penerimaan, kepercayaan, dan apresiasi para pihak terhadap arbitrase

tampak dalam kesepakatan para pihak yang sejak awal memilih lembaga

arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya. Selain itu, hal tersebut juga

tercermin dari kehendak para pihak untuk memilih arbiternya. Dalam proses ini

sudah tentu para pihak telah melihat berbagai segi dari calon arbiternya, baik

3 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 21.

Page 13: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

3

latar belakang keahliannya, integritasnya, pengalamannya dalam

menyelesaikan sengketa, dan lain-lain. Refleksi dari sifat dasar ini berbeda

dengan pengadilan nasional. Pengadilan memiliki kewenangan atau kekuasaan

(power) yang berasal dari kekuasaan negara di bidang judikatif. Kekuasaan

negara ini sesuai dengan sistem yang dikenal dalam ketatanegaraan, yaitu

adanya kekuasaan negara di bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif.4

Expedited procedure bukanlah pertama kali dimunculkan di ICC.

Beberapa lembaga arbitrase internasional telah memasukkan Expedited

Procedure dalam aturan arbitrasenya. Contohnya, Expedited Hong Kong

International Arbitration Centre Arbitration (Expedited HKIAC Arbitration)

(2008), (Swiss Rules of International Arbitration (Swiss Rules) (2012), ICDR

Rules for International Expedited Procedures (ICDR Expedited Procedures

Rules) (2014), Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration

Centre (SIAC Arbitration Rules) (2016), dan Rules for Expedited Arbitrations

of the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC

Expedited Arbitration Rules) (2017). Expedited procedure pada lembaga-

lembaga arbitrase internasional tersebut masing-masing memiliki perbedaan,

misalnya dari segi nilai maksimum sengketa, penerapan otomatis, kewenangan

untuk tidak menerapkan Expedited Procedure, prosedur berdasarkan

dokumen/tanpa mendengar, jangka waktu pengumuman putusan, dan lain-lain.

Lembaga arbitrase internasional terkemuka yang sering menjadi pilihan

forum penyelesaian sengketa oleh para pengusaha atau pebisnis di Indonesia

adalah ICC dan SIAC. ICC yang didirikan pada tahun 1923 di Paris, Perancis

merupakan forum arbitrase terkemuka dan tertua di dunia. Alasan ICC menjadi

pilihan forum penyelesaian sengketa karena di ICC dilakukan pendekatan yang

ketat, proses yang efisien, dan aturan praktis yang mencakup setiap masalah

kontrak yang merupakan nilai dan pendekatan yang selalu dipegang oleh

arbiter ICC dalam menangani perkara. Arbiter ICC berasal dari seluruh dunia

yang diakui dan dihormati keahliannya dalam menyelesaikan sengketa

4 Huala Adolf. Hukum Perdagangan Internasional. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). h. 59

Page 14: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

4

internasional. Sementara itu, SIAC banyak dipilih oleh pengusaha atau pebisnis

di Indonesia sebagai forum penyelesaian sengketa dikarenakan lokasinya yang

cukup dekat dengan Indonesia. Salah satunya karena secara umum arbiter yang

ada di SIAC jauh lebih memahami seluk beluk masalah pengusaha atau

pebisnis di Indonesia. Selain itu, SIAC Rules kerap dinilai lebih efisien, hemat

biaya, dan fleksibel. Ditambah lagi arbiter SIAC dapat menggabungkan fitur

dari sistem hukum civil law dan common law. SIAC juga mencantumkan

ketentuan expedited procedure yang terdapat dalam SIAC Rules 2016, yakni

dalam Pasal 5 tentang Acara Cepat. Perbedaan ketentuan expedited procedure

yang terdapat dalam ICC Rules dan SIAC Rules memiliki perbedaan yang

paling kontras dibandingkan dengan lembaga arbitrase internasional lainnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih

dalam permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul “THE

COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE (ICC) AND SINGAPORE

INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) (PERBANDINGAN

PROSEDUR DIPERCEPAT ANTARA KAMAR DAGANG

INTERNASIONAL DAN PUSAT ARBITRASE INTERNASIONAL

SINGAPURA).”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Pada 1 Maret 2017, Kamar Dagang Internasional (ICC)

mengeluarkan revisi aturan arbitrase baru, yaitu ICC Arbitration Rules 2017

(ICC Rules). Aturan baru tersebut menggantikan aturan lama, yaitu ICC

Arbitration Rules 2012. Tujuan dari ICC Rules adalah untuk meningkatkan

keefisienan biaya, transparansi, dan kecepatan prosedur. Dalam waktu yang

sama, ICC Rules juga memberikan Mahkamah ICC kewenangan lebih

dalam pembuatan keputusan seperti Mahkamah ICC berwenang mengangkat

arbiter tunggal, Mahkamah kemungkinan dapat memutuskan hanya

Page 15: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

5

berdasarkan dokumen atau tanpa mendengarkan secara lisan, dan

Mahkamah tidak mengizinkan permintaan pengeluaran dokumen atau

membatasi waktu dan cakupan pendapat tertulis, pernyataan saksi, dan

pernyataan ahli.

Pada hari yang sama, ICC juga mengeluarkan “Note to Parties and

Arbitral Tribunals on the Conduct of the Arbitration under the ICC Rules of

Arbitration” (“Note to Parties”), yaitu panduan resmi untuk aturan baru

tersebut dan panduan resmi tersebut memiliki kepentingan istimewa bagi

Mahkamah ICC. Salah satu perubahan yang terpenting adalah

diperkenalkannya sebuah aturan baru yang mempercepat dan

menyederhanakan prosedur arbitrase dengan biaya yang lebih terjangkau,

yang diatur dalam Pasal 30 ICC Arbitration Rules 2017 dan Lampiran VI.

Aturan baru tersebut dikenal dengan Expedited Procedure.Perubahan baru

tersebut tidak sepenuhnya baru dalam dunia arbitrase internasional.

Expedited Procedur juga telah diperkenalkan oleh lembaga arbitrase

internasional lainnya seperti Expedited Hong Kong International Arbitration

Centre Arbitration (Expedited HKIAC Arbitration) (2008), (Swiss Rules of

International Arbitration (Swiss Rules) (2012), ICDR Rules for

International Expedited Procedures (ICDR Expedited Procedures Rules)

(2014), Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Centre

(SIAC Arbitration Rules) (2016), dan Rules for Expedited Arbitrations of the

Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC

Expedited Arbitration Rules) (2017).

Berdasarkan uraian di atas, maka identifikasi masalah dari

penelitian ini adalah:

a. Latar belakang penambahan expedited procedure dalam ICC Arbitration

Rules 2017.

b. Kewenangan the Court of International Chamber of Commerce

(Mahkamah ICC) yang diperluas dengan adanya ICC Arbitration Rules

2017.

Page 16: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

6

c. Pengaruh expedited procedure terhadap asas kebebasan berkontrak para

pihak dalam arbitrase.

d. Posisi kelembagaan arbitrase menjadi pengadilan dengan adanya

expedited procedure.

e. Penerapan expedited procedure dalam ICC Arbitration Rules lebih

belakangan daripada lembaga arbitrase internasional lainnya.

f. Persamaan dan perbedaan expedited procedure pada lembaga-lembaga

arbitrase internasional.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum arbitrase,

maka peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga

pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan

peneliti. Di sini peneliti hanya akan membahas mengenai expedited

procedure yang dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak dan

perbandingan ketentuan expedited procedure di ICC dan SIAC.

3. Perumusan Masalah

Untuk lebih mengerucutkan pokok permasalahan yang akan diteliti,

maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan

uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam

penelitian ini meliputi :

a. Bagaimana pengaruh asas kebebasan berkontrak para pihak dalam

arbitrase terhadap adanya expedited procedure?

b. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan expedited procedure di

ICC dan SIAC?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendalami tentang

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah.

Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

Page 17: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

7

1. Untuk mengetahui pengaruh asas kebebasan berkontrak para pihak dalam

arbitrase terhadap adanya expedited procedure.

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan ketentuan expedited

procedure di ICC dan SIAC.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

sumbangan pemikiran dan pengetahuan dalam ilmu hukum, khususnya

untuk memberikan analisis dan gambaran tentang expedited procedure

dalam ICC dan SIAC.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

dan masukan kepada pembuat kebijakan atau prosedur arbitrase terkait

dengan hukum acara arbitrase khususnya mengenai prosedur dipercepat

dalam arbitrase.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, maka dilakukan

tinjauan kajian atau penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini,

diantaranya :

1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung Tahun 2017 yang ditulis

oleh Desia Rakhma Banjarani dengan judul “STUDI PERBANDINGAN

INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR THE FORMER

YUGOSLAVIA (ICTY), INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL

FOR RWANDA (ICTR) DAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT

(ICC)”. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian peneliti,

yaitu sama-sama membandingkan lembaga hukum internasional. Namun,

skripsi tersebut lebih fokus pada bidang hukum pidana internasional dan

fokus membandingkan tiga lembaga hukum internasional. Sedangkan,

Page 18: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

8

penelitian peneliti fokus pada hukum arbitrase internasional dan fokus

membandingkan expedited procedure yang terdapat dalam ICC dan SIAC.

2. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan

Syarif Kasim Riau Tahun 2015 yang ditulis oleh Ari Wirliadi dengan

judul “ANALISIS KEDUDUKAN ARBITRASE NASIONAL DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA DAN

PERBANDINGAN DENGAN ARBITRASE INTERNASIONAL”.

Penelitian tersebut memiliki tema yang sama dengan penelitian peneliti,

yaitu sama-sama membahas mengenai arbitrase dan sama-sama

membandingkan beberapa lembaga arbitrase. Namun, skripsi tersebut

lebih membahas mengenai kedudukan arbitrase nasional dalam

penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia dan perbandingannya dengan

arbitrase Internasional serta membandingkan secara keseluruhan lembaga

arbitrase nasional (BANI) dengan arbitrase internasional. Sedangkan,

peneliti dalam penelitian ini fokus membahas ketentuan expedited

procedure yang terdapat dalam ICC dan SIAC.

3. Jurnal yang ditulis oleh Ahkhan Baharuddin Tenro, Alma Manuputty,

dan Irwansyah, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum,

Universitas Hasanuddin Tahun 2015 yang berjudul “EKSISTENSI THE

INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS INTERNASIONAL”. Penelitian

tersebut membahas mengenai kedudukan the International Chamber of

Commerce (ICC) sebagai salah satu choice of forum dalam penyelesaian

sengketa bisnis internasional dan pelaksanaan putusan arbitrase ICC di

Indonesia. Sedangkan, penelitian peneliti fokus membahas mengenai

expedited procedure yang terdapat dalam ICC dan SIAC.

F. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi

kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.

Page 19: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

9

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode

pengumpulan data sebagai berikut.

1. Pendekatan Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe

penelitian yuridis normatif (law in book). Penelitian yuridis normatif, yaitu

penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan

perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, putusan pengadilan serta

norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut

kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. 5 Tipe penelitian yuridis normatif

disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu

penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law

as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim

melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial

process). 6 Berkaitan dengan tipe penelitian yuridis normatif, maka

pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach). Pendekatan komparatif (comparative approach)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan

ketentuan expedited procedure yang terdapat dalam ICC Arbitration Rules

dan SIAC Rules. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan merujuk pada pandangan-

pandangan sarjana hukum dan doktrin-doktrin hukum arbitrase.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian kualitatif, yaitu dengan mendalami pemahaman mengenai

ketentuan atau aturan yang terkait kemudian dijabarkan dalam bentuk

tulisan atau paragraf.

5 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan didalamPenelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979). h. 18.

6 Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana,2006). h. 118.

Page 20: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

10

3. Sumber Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif, tidak dikenal adanya istilah data.

Hal ini dikarenakan sumber penelitian hukum normatif diperoleh dari

kepustakaan, bukan dari lapangan sehingga istilah yang dikenal adalah

bahan hukum.7 Dalam penelitian hukum normatif, bahan hukum merupakan

bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut sebagai data

sekunder. Berikut adalah bahan-bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti

peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan hukum primer

yang digunakan dalam penelitian ini adalah ICC Arbitration Rules 2017

dan SIAC Rules 2016.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak

mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang

merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang

mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan

petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, hasil penelitian,

hasil wawancara (interview), teori atau pendapat sarjana hukum, dan

artikel dalam media elektronik.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan

pemahaman dan pengertian serta penjelasan atas bahan hukum lainnya.

Bahan-bahan hukum tersier yang digunakan peneliti adalah kamus besar

Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia, dan lain-lain.

7 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum Edisi Revisi. (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2005). h. 181.

Page 21: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

11

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) dan studi

lapangan (field research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan

dengan mengumpulkan bahan hukum yang didasarkan pada literatur atau

pustaka dengan menghimpun bahan hukum dari telaah arsip atau studi

pustaka seperti aturan-aturan hukum, buku-buku, jurnal, dan artikel yang

berfungsi untuk menguraikan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder dan studi lapangan (field research) dilakukan dengan wawancara

dengan pakar arbitrase guna memperoleh bahan hukum yang mendukung

penelitian ini.8

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yaitu suatu metode

analisis bahan hukum yang tidak menampilkan angka-angka sebagai hasil

penelitian, tetapi disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian

kalimat-kalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan. Hasil dari analisis

bahan hukum ini akan disimpulkan secara deduktif, yaitu cara berpikir yang

menarik suatu kesimpulan dari suatu pertanyaan yang bersifat umum

menjadi suatu pertanyaan yang bersifat khusus kemudian dari kesimpulan

dapat diajukan beberapa saran terhadap permasalahan.

6. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu

pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017.

8 Ronny Hanitijo Soemitro dan Jurimetri. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: GhaliaIndonesia, 2001). h. 107.

Page 22: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

12

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi sekilas pengantar

untuk memahami garis besar dari seluruh pembahasan. Dalam bab

ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, identifikasi

masalah, pembatasan masalah yang akan dibahas, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penulisan skripsi, tinjauan kajian terdahulu,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini merupakan tinjauan umum yang membahas mengenai teori-

teori dalam arbitrase, expedited procedure, dan asas kebebasan

berkontrak dalam arbitrase.

BAB III : Bab ini membahas mengenai profil ICC dan SIAC.

BAB IV : Bab ini menjelaskan tentang model expedited procedure di SIAC,

perbandingan expedited procedure yang terdapat di ICC dan SIAC,

penerapan expedited procedure di BANI, dan expedited procedure

VS asas kebebasan berkontrak.

BAB V : Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan

rekomendasi.

Page 23: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

13

BAB II

TEORI EXPEDITED PROCEDURE DAN TEORI KEBEBASAN

BERKONTRAK DALAM ARBITRASE

A. Arbitrase

1. Pengertian Arbitrase

Perkataan arbitrase berasal dari arbitrare (bahasa Latin) yang

berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.1

Menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan suatu tindakan hukum

di mana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat

antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada

seseorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan

memperoleh satu keputusan final dan mengikat, setelah mendengar pihak-

pihak tersebut berdasarkan aturan yang biasa diterapkan di pengadilan atau

ketentuan-ketentuan lainnya yang disepakati sebelumnya oleh pihak yang

bersengketa. 2 Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How

Arbitration Works memberikan pengertian arbitrase adalah suatu proses

yang mudah atau simple yang dipilih para pihak secara sukarela yang ingin

agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan

mereka, di mana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara

tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut

secara final dan mengikat.3

Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian arbitrase adalah yang

artinya:

Sebuah proses penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga yang netral(arbiter) memberikan putusan setelah mendengarkan kedua pihak yang

1 Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013). h. 36.

2 Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). (Jakarta:Fikahati Aneska, 2011). h. 61.

3 Rachmadi Usman. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cet. 2. (Jakarta:PT Citra Aditya Bakti, 2013). h. 137.

Page 24: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

14

keduanya memiliki kesempatan untuk didengarkan. Dikarenakan arbitrasebersifat sukarela, pihak yang bersengketa memilih arbiter yang memilikikekuatan untuk memutuskan sebuah keputusan yang mengikat.4Huala Adolf mengelompokkan arbitrase ke dalam dua arti, yaitu arbitrase

dalam arti sempit dan arbitrase dalam arti luas. Arbitrase dalam arti sempit

adalah arbitrase sebagai suatu lembaga dan penyelesaian sengketa yang

khusus menangani dan menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang

perdagangan. Arbitrase dalam arti ini adalah arbitrase yang pengaturannya

tunduk pada pengaturan di bawah United Nations Commission

International Trade Law (UNCITRAL). Aturan-aturan yang dibuat

UNCITRAL di bidang arbitrase adalah UNCITRAL Model Law on

International Commercial Arbitraton (1985 dan 2006) atau UNCITRAL

Arbitration Rules (1976 dan 2010). Kedua instrumen hukum tersebut

menegaskan bahwa substansi atau objek pengaturan arbitrase adalah

pengaturan untuk sengketa-sengketa di bidang perdagangan. Kedua

instrumen ini sifatnya soft law, yakni tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat negara-negara atau para pihak. Kedua instrumen hukum tersebut

telah menjadi ‘standar’ pengaturan arbitrase, baik dari pengaturan materiil

maupun formil. Hal tersebut karena substansi di dalamnya dipandang

sebagai pengaturan yang mencerminkan perkembangan terkini dari praktik

arbitrase.5

Arbitrase dalam arti luas adalah arbitrase sebagai lembaga

penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan segala sengketa. Dalam

kategori ini, pengertian arbitrase dalam Piagam Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) merupakan arbitrase dalam pengertian luas. Pasal 33 Ayat

(1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan yang artinya:

Para pihak terhadap segala sengketa, kelangsungan yang memungkinkanakan membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamananinternasional, harus, pertama-tama, mencari solusi melalui negosiasi,

4 Henry Black. Black’s Law Dictionary 2nd Pocket Ed. (Bryan A. Garner, WestPublishing Co., 1996). h. 326.

5 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase, Cet. 2. (Bandung:Keni Media, 2015). h. 5.

Page 25: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

15

penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian hukum, usahauntuk aparat daerah atau pengaturan, atau cara-cara damai lainnya daripilihan mereka sendiri.

Pasal tersebut menyatakan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa

antar negara. Sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase tampak pada

awal kalimat pasal ini, yaitu any dispute atau segala sengketa.

Pengertian arbitrase juga telah disebutkan dalam Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara suatu penyelesaian sengketa

perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase

yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

2. Sumber Hukum Arbitrase

a. Klausul atau Perjanjian Arbitrase

Sumber hukum arbitrase yang utama dan terpenting adalah klausul

atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Klausul arbitrase

atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak untuk

menyerahkan setiap sengketa kepada arbitrase merupakan dasar hukum

bagi eksistensi arbitrase. Arbitrase hanya akan ada bila ada perjanjian

atau klausul arbitrase. Klausul arbitrase (arbitration clause atau clause

compromissoire) adalah salah satu klausul dalam satu perjanjian atau

kontrak dagang. Klausul ini memuat kesepakatan para pihak untuk

menyerahkan sengketa dagangnya sebagai pelaksanaan dari kontrak

yang mungkin timbul di masa depan kepada suatu lembaga arbitrase.

Sedangkan, perjanjian arbitrase (submission agreement atau

compromis) adalah suatu perjanjian khusus yang memuat kesepakatan

untuk menyerahkan sengketanya yang telah timbul kepada suatu

lembaga arbitrase atau lembaga arbitrase ad hoc. 6 Sumber hukum

utama Prinsip bahwa kesepakatan para pihak melahirkan hukum,

berlaku pula terhadap kesepakatan para pihak yang tertuang dalam

6 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 82.

Page 26: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

16

klausul atau perjanjian arbitrase sehingga klausul arbitrase yang

berasal dari kesepakatan para pihak adalah the law of the parties.

Kesepakatan ini melahirkan fungsi kewenangan suatu lembaga

arbitrase. Termasuk dalam lingkup hukum para pihak ini adalah

penentuan jumlah arbiter, bagaimana cara/prosedur penunjukan arbiter,

sampai berapa jauh kekuasaan yang dimilikinya, bagaimana hukum

acaranya, dan hukum yang berlaku yang akan diterapkan oleh suatu

lembaga arbitrase. Berikut uraian secara singkat karakteristik klausul

arbitrase.7

1) Syarat Tertulis

Karakteristik penting mengenai klausul atau perjanjian

arbitrase adalah syarat tertulis. Syarat ini tampaknya sudah menjadi

universal dalam arti instrumen hukum, baik nasional maupun

internasional, mensyaratkan syarat tertulis ini. Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa mensyaratkan para pihak untuk

mengadakan perjanjian tertulis sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang tersebut bahwa arbitrase adalah

cara suatu penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arti ‘perjanjian tertulis’

dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 3 mengenai ‘perjanjian arbitrase’,

yaitu ‘perjanjian arbitrase’ adalah suatu kesepakatan berupa

klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis

yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu

perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa.

Dalam instrumen internasional, persyaratan tertulis terdapat

dalam Pasal 25 (1) Konvensi ICSID 1965. Menurut Pasal 25 Ayat

7 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 83.

Page 27: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

17

(1) konvensi Washington ini, jurisdiksi ICSID mencakup sengketa-

sengketa yang oleh para pihak ‘sepakat untuk diserahkan kepada

Pusat secara tertulis’. Syarat yang sama diatur pula dalam Pasal 2

Ayat (1) Konvensi New York 1958. Sementara itu, Pasal 2 Ayat (2)

Konvensi New York 1958 memberi batasan arti ‘perjanjian secara

tertulis’ yang artinya:

Istilah ‘perjanjian secara tertulis’ mencakup klausul arbitrase dalamkontrak atau perjanjian arbitrase, yang ditandatangani oleh parapihak atau yang termuat dalam surat atau telegram.Pieter Sanders, bapak arbitrase terkemuka, menyimpulkan bahwa

ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Konvensi New York merupakan suatu

ketentuan yang sudah seragam. Ketentuan ini juga telah

mengalahkan hukum nasional dalam kaitannya dengan bentuk

perjanjian arbitrase dalam hal suatu perjanjian mengacu kepada

Konvensi New York. Perkembangan atau revolusi teknologi

komunikasi sejak Konvensi New York dibentuk tahun 1958.

Seiring dengan perkembangan teknologi ini, instrumen-instrumen

internasional dan perundang-undangan negara-negara sekarang

mengakui perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh alat-alat

telekomunikasi modern seperti tukar menukar surat melalui telex

dan komunikasi melalui mesin telecopy.8

2) Syarat Tanda Tangan

Pasal 2 Ayat (2) Konvensi New York yang artinya:

‘...suatu klausul arbitrase dalam kontrak atau dalam perjanjianarbitrase yang ditandatangani oleh para pihak...’menurut Alan Redfern dan Martin Hunter, bunyi ketentuan ini

menimbulkan kerancuan, yakni apakah kata ‘signed’

(ditandatangani) berlaku terhadap kontrak atau klausul arbitrasenya.

Dalam kontrak transaksi-transaksi komersial internasional modern

sekarang ini, tidak masuk akal untuk mensyaratkan tanda tangan

8 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 102.

Page 28: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

18

karena kebutuhan praktik dan kebiasaan transaksi perdagangan

internasional, misalnya transaksi jual beli mensyaratkan kecepatan

dan kepraktisan, telah melahirkan kontrak-kontrak atau perjanjian-

perjanjian standar. Kontrak-kontrak tersebut timbul dari transaksi

yang berlangsung berulang-ulang sehingga standar (baku) kontrak

tidak dicantumkan syarat tanda tangan secara spesifik. Hal tersebut

dikarenakan salah satu pihak (penjual) telah membuatnya dan

pihak lain (pembeli) secara diam-diam telah menerimanya sebagai

suatu klausul kontrak. Penerimaan ini disebut juga sebagai

penerimaan terhadap klausul kontrak secara diam-diam. Misalnya,

dalam penerimaan kontrak secara internet cukup dilakukan oleh

pihak lainnya dengan mengklik tombol “I ACCEPT”. Menurut

Redfern dan Hunter, dalam merancang suatu klausul arbitrase,

syarat-syarat Konveksi New York harus diperhatikan dengan

seksama. Suatu perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis dan

jika dimungkinkan, dokumen perjanjian tersebut harus

ditandatangani oleh para pihak. Dalam merancang klausul, harus

pula diperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan hukum nasional

yang ditetapkan hukum nasional yang berlaku terhadap klausul

arbitrase tersebut. Hal ini penting jika syarat-syarat sebagaimana

yang ditetapkan Konvensi New York tidak dilakukan, maka untuk

menguji sah tidaknya klausul akan ditentukan dan ditetapkan oleh

hukum nasional yang meletakkan persyaratan sahnya suatu klausul

arbitrase.9

3) Sifat Otonomi (Separabilitas) Klausul Arbitrase

Karakteristik penting lain dari klausul arbitrase adalah sifat

otonomi (autonomy) dari klausul arbitrase. Istilah yang juga

digunakan adalah doktrin separabilitas (separability) dari klausul

arbitrase. Pengakuan terhadap doktrin separabilitas dari klausul

9 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 112.

Page 29: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

19

arbitrase tergolong masih baru, namun tidak mengundang banyak

perdebatan. Artinya, meskipun klausul arbitrase adalah salah satu

klausul dalam kontrak, karakteristik klausul arbitrase bukan

merupakan bagian atau tambahan (asesor) dari kontrak. Batal atau

berakhirnya kontrak tidak serta merta membatalkan atau

mengakhiri klausu arbitrase. Huleat-James dan Gould juga

berpendapat bahwa doktrin separabilitas mengakui kesepakatan

para pihak yang menghendaki sengketanya diselesaikan oleh

lembaga arbitrase meskipun kontraknya tidak berlaku lagi. Doktrin

ini penting untuk memastikan agar kehendak para pihak untuk

menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase tidak menjadi hilang.

Karakteristik ini penting mengingat di tanah air, masih terdapat

pandangan yang menyatakan bahwa klausul arbitrase bersifat

tambahan atau asesor. Konsekuensinya, berakhir atau batalnya

suatu kontrak atau perjanjian pokok serta merta mengakhiri atau

membatalkan klausul arbitrase yang terdapat dalam kontrak

tersebut.10

Karakteristik separabilitas dari klausul arbitrase mempunyai

sifat khusus (sui generis), yaitu kontrak yang di dalamnya terdapat

klausul arbitrase, terdapat dua kontrak yang terpisah. Pertama,

kontrak yang memuat hak dan kewajiban para pihak di bidang

perdagangan. Kedua, kontrak yang memuat kewajiban para pihak

untuk menyelesaikan sengketanya yang timbul dari pelaksanaan

hak dan kewajiban para pihak dari kontrak. Kontrak pertama

bersifat otomatis berlaku sesuai dengan syarat-syarat yang

ditentukan dalam kontrak. Sedangkan, kontrak kedua hanya akan

berlaku atau berfungsi manakala timbul sengketa diantara para

10 Mark Huleatt-James dan Nocholas Gould. International Commercial Arbitration: AHandbook. (London: LLP, 1996). h. 13.

Page 30: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

20

pihak sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak yang mereka

sepakati.11

4) Penanggalan Klausul Arbitrase

Ada beberapa fungsi penting dari perjanjian arbitrase. Pertama,

perjanjian arbitrase menunjukkan bahwa para pihak telah sepakat

untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase. Unsur

kesepakatan ini sangat penting karena tanpa unsur tersebut, suatu

arbitrase menjadi tidak sah. Kedua, apabila para pihak telah

sepakat untuk berarbitrase, kesepakatan ini tidak bisa ditarik oleh

salah satu pihak bahkan jika perjanjian arbitrase tersebut

merupakan bagian dari suatu kontrak dan kemudian kontrak

tersebut berakhir, kewajiban untuk berarbitrase masih tetap berlaku

karena kewajiban arbitrase sifatnya terpisah dengan kontrak.

Karena sifatnya ini, klausul arbitrase hanya dapat ditanggalkan atau

diakhiri hanya oleh kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut

harus dituangkan ke dalam perjanjian dan ditandatangani oleh para

pihak.12

b. Hukum Nasional tentang Arbitrase (Lex Arbitri)

Hukum nasional sebagai sumber hukum dalam hukum

arbitrase menjadi relevan karena peristiwa-peristiwa atau hubungan-

hubungan hukum terjadi dan berlangsung di wilayah suatu negara.

Prinsip utama mengenai wilayah negara adalah adanya kewenangan

negara mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalam wilayahnya,

termasuk peristiwa atau hubungan hukum mengenai arbitrase. Dalam

teori arbitrase, hukum yang mengatur arbitrase yang berlangsung di

dalam wilayah suatu negara disebut Lex Arbitri. Lex Arbitri mengatur

11 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 132.

12 Mauro Rubino-Sammartano. International Arbitration Law. (Kluwer: Kluwer Law andTaxation Publishers, 1990). h. 116.

Page 31: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

21

bagaimana arbitrase dilangsungkan di dalam wilayah negaranya.

Biasanya Lex Arbitri mengatur pula aturan-aturan hukum yang

sifatnya memaksa, hukum acara arbitrase, dan lain-lain. Ketentuan Lex

Arbitri yang sifatnya memaksa biasanya mengikat untuk substansi

arbitrase yang sifatnya nasional (domestik). Aturan-aturan seperti ini

bersifat memaksa karena memang kehendak pembentuk perundang-

perundangan mengenai arbitrase memang penting dan perlu adanya

aturan-aturan hukum yang mengikat (memaksa). Hal ini bukanlah

sesuatu yang negatif. Ketentuan demikian biasanya diterapkan untuk

memastikan bahwa arbitrase berlangsung dengan lancar, cepat, atau

efektif. Perlu ditekankan bahwa hukum nasional tentang arbitrase (Lex

Arbitri) ini berbeda dengan hukum yang mengatur pokok perkara

(applicable law). Hukum yang terakhir ini adalah hukum yang akan

diterapkan oleh majelis arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang

dihadapkan padanya.13

Satu hal mendasar dari kewenangan negara mengatur arbitrase

di dalam wilayah negaranya adalah kemungkinan adanya hukum

nasional yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Substansi

pengaturan yang berbeda-beda ini wajar karena perbedaan sistem

hukum, nilai-nilai hukum, dan faktor-faktor lainnya (politis, ekonomis)

yang menjadi pertimbangan atau mempengaruhi masing-masing

negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah lama mengantisipasi

kemungkinan atau kecenderungan timbulnya perbedaan substansi lex

arbitri. Sejak tahun 1950-an, PBB telah melihat bahwa arbitrase

memiliki peran penting di dalam menyelesaikan sengketa dagang.

Sejak tahun 1950-an pula, PBB telah memandang perlu harmonisasi

atau bahkan unifikasi hukum arbitrase diantara negara-negara.14 Upaya

PBB untuk menciptakan suatu aturan hukum harmonis atau unifikasi

13 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 101.

14 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 103.

Page 32: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

22

ini baru lahir pada tahun 1985 ketika PBB melalui lembaga khususnya

yang bertugas mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan

internasional (UNCITRAL), berhasil mengeluarkan UNCITRAL

Model Law on International Commercial Arbitration 1985.

UNCITRAL Model Law atau UU Model UNCITRAL bukanlah suatu

perjanjian internasional. Model Law tidak mengikat sehingga negara-

negara di dunia terutama negara-negara anggota PBB tidak

berkewajiban untuk menerapkan aturan-aturan Model Law ke dalam

hukum nasionalnya. Meskipun nilai hukumnya tidak memaksa,

Majelis Umum PBB ketika mengesahkan Model Law ini pada tahun

1985, menganjurkan negara-negara anggota PBB untuk

memperhatikan aturan-aturan Model Law ini bagi negara-negara yang

hendak membuat peraturan perundang-undangan arbitrasenya (Lex

Arbitri). Anjuran Majelis Umum PBB ini dilatarbelakangi oleh adanya

kebutuhan yang lebih besar dan penting, yaitu perlunya harmonisasi

ketentuan di bidang hukum arbitrase. Terciptanya aturan hukum yang

seragam akan sangat bermanfaat bagi kelancaran perdagangan

terutama penyelesaian sengketa perdagangan melalui arbitrase.

Perkembangan menarik dari Model Law ini adalah sejak tahun

1985 ketika Model Law ini disahkan, negara-negara memberi perhatian

yang cukup besar. Cukup banyak negara yang mengadopsi Model Law

ini. Penegasan pentingnya harmonisasi dan anjuran Majelis Umum

PBB agar negara-negara mengadopsi aturan-aturan Model Law ini

tertuang dalam paragraf 6 Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/72,

tertanggal 11 Desember 1985 yang artinya:

Merekomendasikan bahwa semua negara memberikan pertimbanganuntuk Hukum Model Arbitrase Komersial Internasional, dilihat darikeinginan untuk keseragaman hukum prosedur arbitrase dan praktikarbitrase komersial internasional.15

15 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 104

Page 33: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

23

c. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional adalah instrumen hukum yang tertulis

dalam urutan pertama sebagai sumber hukum internasional dalam

Pasal 33 Piagam PBB. Perjanjian internasional ditempuh untuk

menuangkan kesepakatan negara-negara di dunia untuk mengatur

berbagai hal, antara lain kesepakatan perekonomian, pinjam meminjam,

perjanjian perdamaian, hingga aturan-aturan penyelesaian sengketa,

termasuk arbitrase. Seperti halnya perjanjian internasional sebagai

sumber hukum internasional, perjanjian internasional di bidang

arbitrase juga merupakan sumber hukum yang terpenting. Perjanjian

internasional terbagi ke dalam dua sifat dilihat dari kekuatan

mengikatnya. Pertama, perjanjian internasional yang sifatnya mengikat

atau Hard-Law. Kedua, perjanjian internasional yang sifatnya Soft-

Law atau tidak mengikat. Kedua sifat perjanjian internasional ini

jumlahnya masih relatif sedikit. Perjanjian tersebut antara lain:

1) Perjanjian Internasional Hard-Law

a) Konvensi New York 1958

Bunyi teks asli Konvensi New York 1958 adalah Konvensi

mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan-putusan

Arbitrase Asing. Para ahli arbitrase, misalnya Alan Redfern dan

Martin Hunter, beranggapan bahwa Konvensi New York 1958

merupakan perjanjian komersial arbitrase internasional yang

paling penting diantara konvensi atau perjanjian arbitrase

internasional yang ada.16 Tujuan utama Konvensi New York

1958 adalah berupaya menyederhanakan masalah pengakuan

dan pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing, minimal

diantara negara-negara peserta konvensi ini. Indonesia

mengikatkan diri kepada konvensi ini dan memberlakukannya

dalam instrumen ratifikasi dalam bentuk Keputusan Presiden

16 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 46.

Page 34: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

24

No. 34 Tahun 1981. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 7

Juni 1959. Ada 16 pasal yang terkandung di dalamnya. Pada

intinya ada dua pokok pengaturan dalam Konvensi New York

1958:17

(1) mengatur perjanjian arbitrase, terutama keabsahan

perjanjian arbitrase (validity of arbitral agreements);

(2) pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase (recognition

and enforcement of arbitral awards).

Konvensi New York 1958 mempunyai arti penting bagi

para pengusaha dan lembaga-lembaga hukum di Indonesia

yang mengadakan perjanjian bisnis dengan pihak-pihak luar

negeri dan memilih penyelesaian sengketa bisnis mereka

melalui arbitrase. Dengan demikian, pemahaman mengenai

ruang lingkup, prosedur, dan isi Konvensi New York 1958

merupakan suatu conditio sine qua non (keharusan yang mau

tidak mau harus dilakukan) untuk menghindari timbulnya

kerugian di kemudian hari.18

(1) Ruang Lingkup (Pasal I)

Pasal 1 Ayat (1) memberikan batasan mengenai ruang

lingkup berlakunya Konvensi New York 1958. Pasal

tersebut menyatakan bahwa konvensi berlaku atas putusan-

putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari

negara di mana permohonan pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase bersangkutan diajukan. Arbitrase tersebut

harus mengenai sengketa antarorang (perseorangan) atau

lembaga hukum (“...between persons, whether physical or

legal.”). konvensi juga berlaku atas putusan-putusan

arbitrase yang tidak dianggap sebagai putusan-putusan

17 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 106.

18 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 80.

Page 35: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

25

domestik di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan

arbitrase tersebut dimohon (“...arbitral awards not

considered as domestic awards...”).19

Dari bunyi ketentuan Pasal 1 ini tampak bahwa

Konvensi New York 1958 tidak menekankan pentingnya

nasionalitas pihak yang bersengketa. Hal yang ditekankan

adalah pemberlakuan konvensi jika terdapat suatu putusan

arbitrase yang dibuat di luar negeri. 20 Suatu negara juga

dapat membuat pernyataan reservasi (pensyaratan) bahwa

ia akan menerapkan konvensi hanya terhadap perselisihan

atau persengketaan yang timbul dari hubungan-hubungan

hukum, baik yang bersifat kontraktual atau bukan.

Hubungan-hubungan hukum dalam ruang lingkup hukum

dagang menurut tata hukum atau sistem hukum dan negara

yang membuat pernyataan. Maksud dari pernyataan terakhir

tersebut adalah untuk mengakomodasi kepentingan

beberapa negara yang memiliki Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dan Dagang yang terpisah dan memberikan

izin untuk menyelesaikan sengketa kepada lembaga

arbitrase yang berkenaan dengan sengketa-sengketa yang

diakui menurut UU Hukum Dagangnya.21

Pasal 1 Ayat (2) Konvensi New York 1958 dinyatakan

bahwa istilah putusan arbitrase yang digunakan dalam

konvensi itu tidak hanya meliputi putusan-putusan yang

dibuat oleh para arbiter yang diangkat untuk setiap kasus

saja (ad hoc), tetapi mencakup juga putusan-putusan dari

arbitrase permanen di mana para pihak telah

19 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 81.

20 Rene David. Arbitration in International Trade. (Netherlands: Kluwer, 1985). h. 151.

21 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 108.

Page 36: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

26

menyerahkannya. Putusan arbitrase permanen tersebut

misalnya putusan-putusan yang menggunakan aturan-aturan

dari The Rules of Arbitration International Chamber of

Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules London

Court of International Arbitration (LCIA) di London, dan

lain-lain.22

(2) Perjanjian Arbitrase Tertulis (Pasal II)

Pasal ini bermaksud memberikan suatu ketentuan

perjanjian yang layak mengenai adanya perjanjian untuk

berproses melalui arbitrase. Ayat (1) mensyaratkan bahwa

setiap negara peserta Konvensi New York 1958 harus

mengakui perjanjian-perjanjian arbitrase tertulis untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan

melalui arbitrase, yaitu perjanjian-perjanjian untuk

menyerahkan sengketa-sengketa yang sedang ada (lahir

pada waktu itu) (“submission”) dan perjanjian-perjanjian

untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin

timbul pada masa yang akan datang (“compromissary

clauses”). 23 Ayat (2) pasal ini merupakan penjelasan

terhadap Ayat (1) bahwa perjanjian arbitrase harus tertulis.

Ketentuan Ayat ini mengakui adanya pensyaratan bahwa

kedua belah pihak harus menandatangani dokumen yang

sama yang akan berbeda dengan kebutuhan dan kebiasaan

perdagangan internasional.24

(3) Kekuatan Mengikat Putusan Arbitrase Asing (Pasal III)

22 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 81.

23 Huala Adolf. Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Cet. 3. (Jakarta: Rajawali Pers,2002). h. 1.

24 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 109.

Page 37: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

27

Pasal III merupakan pasal utama Konvensi New York

1958. Pasal ini mensyaratkan setiap negara peserta

Konvensi New York 1958 untuk mengakui dan

melaksanakan putusan-putusan arbitrase (asing).

Pengakuan dan pelaksanaan putusan demikian harus sesuai

dengan ketentuan-ketentuan hukum acara di negara tempat

putusan akan dilaksanakan dan menurut syarat-syarat

lainnya yang terdapat dalam pasal-pasal Konvensi New

York 1958.

(4) Syarat untuk Mendapatkan Pengakuan dan Pelaksanaan

(Pasal IV)

Pasal IV, Pasal V, dan Pasal VI merupakan satu

kesatuan yang menetapkan syarat-syarat mengenai

pemberian atau penolakan pelaksanaan suatu putusan

arbitrase. Pasal IV menetapkan tindakan-tindakan

persetujuan (affirmative action) yang harus dilaksanakan

oleh para pihak yang memohonkan pelaksanaan suatu

putusan arbitrase asing. Untuk melaksanakan suatu putusan,

persyaratan-persyaratan mengenai tindakan yang akan

diambil dibatasi sampai tingkat yang minimum. Pihak yang

menang hanya diwajibkan menyerahkan salinan putusan

arbitrase dan perjanjian arbitrasenya kepada pengadilan.

Bunyi ketentuan Pasal IV dirumuskan secara khusus untuk

menghindari persyaratan kepada pemohon untuk

menyerahkan bukti adanya suatu exequatur ganda (double

exequatur) atau peninjauan ganda (double review) terhadap

putusan. Pihak yang menang dalam suatu persidangan

arbitrase, menurut Pasal IV berhak untuk memohon

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing itu

tanpa harus terlebih dahulu membuktikan bahwa putusan

Page 38: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

28

yang bersangkutan mengikat di negara tempat putusan

dibuat.

(5) Penolakan terhadap Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan

Arbitrase (Pasal V – VI)

Pasal ini menetapkan lima alasan yang dapat

dimanfaatkan oleh suatu pihak untuk memberikan

perlawanan terhadap suatu putusan arbitrase. Dua alasan

lainnya diberikan pula untuk dapat diajukan oleh pihak atau

yang ditetapkan oleh pengadilan di negara pelaksanaan

diminta atas inisiatifnya. Ayat (1) menetapkan bahwa

pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase dapat

ditolak atas permohonan salah satu pihak terhadap putusan

yang ditetapkan jika pihak yang bersangkutan mengajukan

satu atau lebih pembelaan kepada pejabat yang berwenang

di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan

dimohonkan. Ayat (2) mengizinkan pejabat yang

berwenang di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan

putusan diminta untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan

putusan berdasarkan dua alasan, yaitu masalah sengketa

tersebut tidak dapat diselesaikan oleh arbitrase di negara

tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan dibuat dan

pengakuan dan pelaksanaan putusan itu bertentangan

dengan ketertiban umum (public policy) dari negara yang

bersangkutan.25

(6) Penundaan Putusan (Pasal VI)

Pasal VI memberikan kebebasan kepada suatu pejabat

negara memohon pelaksanaan suatu putusan asingnya

untuk ditunda jika pejabat tersebut merasa yakin bahwa

permohonan pembatalan atau penangguhan dibuat untuk

25 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 113.

Page 39: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

29

suatu maksud yang baik di negara di mana putusan

diberikan.

(7) Status Konvensi terhadap Perjanjian Arbitrase Internasional

Lainnya (Pasal VII)

Ketentuan Pasal VII Ayat (1) dibuat untuk

menghormati hak-hak yang lahir menurut perjanjian

bilateral atau multilateral yang ada juga hak-hak yang

didapat menurut suatu hukum atau perjanjian-perjanjian

internasional di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan

putusan dimohonkan.

(8) Ketentuan Penutup (Pasal VIII – XVI)

Pasal VIII dan IX memuat ketentuan-ketentuan standar

mengenai ketentuan penutup suatu perjanjian internasional

terutama mengenai klausul penandatanganan, ratifikasi, dan

aksesi terhadap Konvensi New York 1958. Pasal lainnya

yang penting adalah Pasal XI yang mengakui adanya situasi

atau keadaan khusus mengenai jurisdiksi negara federal

atau negara bukan kesatuan dan berupaya untuk

mengakomodasi kepentingan (hukum) negara-negara

tersebut. Pasal XIV mengatur prinsip resiprositas. Alasan

pengusulan klausul resiprositas yang terdapat dalam pasal

ini adlaah meskipun beberapa pasal telah dibuat untuk

resiprositas dalam kalimat pertama Pasal I Ayat (3), tidak

ada hubungannya dengan kalimat kedua Pasal I Ayat (3),

dalam Pasal X atau dalam Pasal XIII Ayat (2).26

b) Konvensi ICSID 1965

Konvensi International Centre for the Settlement of

Investment Disputes (ICSID) atau Konvensi Washington 1965

lahir karena adanya kebutuhan investor dan negara penerima

26 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 115.

Page 40: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

30

modal mengenai perlunya lembaga penyelesaian sengketa yang

menangani sengketa mereka. Latar belakang terbentuknya

Konvensi ICSID 1965 tampak dari Preambul-nya. Paragraf 1

dan 2 Preambul Konvensi ICSID 1965 menyatakan bahwa

kerjasama dan aktivitas penanaman modal tidak selalu berjalan

lancar. Setiap saat dapat saja timbul sengketa diantara penanam

modal (pihak swasta) dan penerima modal. Perancang

Konvensi ICSID 1965 menyadari bahwa sengketa yang

diselesaikan oleh lembaga peradilan nasional dapat tidak sesuai

untuk menyelesaikan sengketa antar negara. Dengan demikian,

Paragraf 3 Preambul Konvensi ICSID 1965 menyebutkan

alternatif penyelesaian melalui mekanisme internasional, dalam

hal ini arbitrase atau konsiliasi internasional dipandang lebih

tepat. Dengan latar belakang pemikiran tersebut, Bank Dunia

berinisiatif untuk membentuk lembaga arbitrase dan konsiliasi

ICSID pada tahun 1961. Upaya merancang suatu konvensi

akhirnya berhasil dan Konvensi ICSID disahkan pada tahun

1965. Konvensi mulai berlaku apabila dua puluh negara telah

meratifikasinya. Jumlah ratifikasi sebanyak dua puluh tersebut

terpenuhi pada tahun 1966.

Konvensi ICSID 1965 mengandung 10 bab yang terbagi ke

dalam 75 pasal. Konvensi ini dilengkapi dengan aturan-aturan

formil dan aturan administratif, yaitu the ICSID Regulations

and Rules yang dikeluarkan pada tahun 1967.27 Bab I (Pasal 1

sampai dengan Pasal 23) Konvensi ICSID 1965 mengatur

pembentukan organisasi arbitrase, yaitu pembentukan ICSID.

Bagian ini mengatur pula tempat kedudukan, badan

kelengkapan, dan lain-lain. Dari ke 24 pasalnya, pasal yang

terpenting adalah Pasal 18 mengenai status, imunitas, dan hak-

27 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 117.

Page 41: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

31

hak keistimewaan ICSID. Pasal 18 menegaskan bahwa ICSID

memiliki personalitas hukum internasional penuh. ICSID

memiliki pula kemampuan hukum yang meliputi membuat

kontrak, memiliki harta bergerak dan tidak bergerak, dan

menyelenggarakan persidangan (hukum). Bab II (Pasal 25

sampai dengan Pasal 27) mengatur tentang jurisdiksi badan

arbitrase ICSID. Pasal 25 merupakan pasal inti dari bab ini,

menyatakan bahwa jurisdiksi ICSID mencakup setiap sengketa

hukum yang timbul dari penanaman modal antara negara

peserta dengan seorang warga negara dari negara anggota

konvensi lainnya (investor). Konvensi tidak memberikan

batasan tentang arti penanaman modal. Bab III (Pasal 28

sampai dengan Pasal 35) mengatur tentang konsiliasi.

Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga.

Seperti halnya arbitrase, konsiliasi ICSID tercakup pula dalam

kewenangan ICSID. Pasal 25 Konvensi tidak pula

membedakan kedua cara atau teknik penyelesaian sengketa

untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal. Meskipun

demikian, prinsip yang tetap berlaku adalah kesepakatan dan

pilihan cara apa yang disepakati para pihak. Bab IV (Pasal 36

sampai dengan Pasal 55) memuat aturan-aturan tentang

arbitrase, yaitu tentang permohonan, komposisi, putusan, serta

pengakuan arbitrase. Terdapat dua pasal penting dalam bab IV

ini mengenai arbitrase antara lain ketentuan mengenai doktrin

competence-competence dalam Pasal 41 Ayat (1) yang

menyatakan bahwa lembaga arbitrase ICSID adalah hakim

untuk menentukan kewenangannya, dan aturan aturan hukum

yang berlaku (applicable law) dalam Pasal 42 yang

menyatakan bahwa lembaga arbitrase ICSID harus

memutuskan sengketanya sesuai dengan aturan-aturan hukum

yang disepakati para pihak dan apabila kesepakatan tersebut

Page 42: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

32

tidak ada, maka lembaga arbitrase ICSID harus menerapkan

hukum dari negara peserta Konvensi dan aturan-aturan hukum

internasional.

Bab V sampai dengan Bab VII memuat aturan-aturan

tambahan tentang arbitrase yang mencakup penggantian dan

pendiskualifikasian arbiter (dan konsiliator), biaya persidangan,

dan tempat persidangan. Ketentuan yang cukup menarik adalah

tempat diselenggarakannya arbitrase yang terdapat dalam Pasal

62, yaitu Konvensi ICSID 1965 ini memuat prinsip yang

dikenal umum dalam arbitrase, tempat diselenggarakannya

persidangan arbitrase adalah tempat kedudukan ICSID

(Washington). Pada Pasal 63 Konvensi menentukan bahwa

persidangan konsiliasi dan arbitrase dapat dilangsungkan di

tempat lain, hanya dengan kesepakatan para pihak. Pasal ini

merupakan sifat fleksibilitas persidangan arbitrase dan

menekankan pada efektivitas persidangan dengan tidak harus

terpaku pada satu tempat persidangan. Bab VIII (Pasal 64)

mengatur ketentuan mengenai sengketa-sengketa antar negara

peserta Konvensi seperti yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2)

Konvensi, lembaga arbitrase ICSID hanya akan menangani

sengketa penanaman modal apabila para pihak merupakan

negara penerima modal (anggota Konvensi) dan investor asing

yang negaranya juga merupakan anggota Konvensi. Bab ini

menegaskan kemungkinan sengketa timbul bukan antara negara

dengan investor, melainkan antara negara dengan negara yang

keduanya merupakan anggota konvensi. Dalam hal ini,

sengketa harus diselesaikan secara negosiasi terlebih dahulu.

Apabila negosiasi gagal, para pihak dapat menyerahkannya

kepada Mahkamah Internasional (International Court of

Justice). Para pihak dapat pula menempuh cara lainnya yang

mereka sepakati. Bab IX (Pasal 65 sampai dengan Pasal 66)

Page 43: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

33

memuat ketentua amandemen terhadap Konvensi ICSID 1965.

Bab X (Pasal 67 sampai dengan Pasal 75) memuat ketentuan

akhir yang mengatur ratifikasi, kewajiban negara peratifikasi

untuk menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi ke dalam

hukum nasionalnya secara efektif.28

2) Perjanjian Internasional Soft-Law

a) UNCITRAL Arbitration Rules 1976

UNCITRAL Arbitration Rules adalah instrumen hukum

penting di bidang hukum acara arbitrase. UNCITRAL

mengesahkan UNCITRAL Arbitration Rules pada tanggal 28

April 1976. Sebagai instrumen hukum acara, UNCITRAL

Arbitration Rules memuat aturan komprehensif yang disepakati

para pihak untuk persidangan arbitrase yang lahir dari

hubungan-hubungan dagang. UNCITRAL Arbitration Rules

mencakup segala aspek proses acara arbitrase, memberikan

klausul arbitrase, meletakkan mengenai penunjukkan arbiter,

persidangan arbitrase, dan meletakkan aturan-aturan mengenai

bentuk, kekuatan mengikat, dan penafsiran (effect and

interpretation of the award).29 Ketika instrumen ini disahkan

pada tanggal 15 Desember 1976 melalui Resolusi 31/98,

Majelis Umum PBB menegaskan beberapa hal penting. 30

Pertama, PBB telah mengakui arti penting arbitrase sebagai

suatu metode penyelesaian sengketa yang timbul dari

hubungan-hubungan dagang internasional. Kedua, Majelis

Umum PBB menyadari bahwa terdapat suatu aturan (acara)

arbitrase, baik arbitrase ad hoc atau arbitrase terlembaga yang

28 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 120.

29 http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/arbitration/1976-Arbitration_rules.html,diakses pada 20 Februari 2018.

30 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 121.

Page 44: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

34

diterima oleh berbagai sistem hukum, sosial, dan ekonomi akan

memberikan sumbangan penting bagi terciptanya hubungan

ekonomi internasional yang harmonis. Ketiga, substansi aturan

norma-norma yang termuat dalam UNCITRAL Arbitration

Rules adalah hasil pembahasan atau konsultasi ekstensif

dengan berbagai lembaga atau pusat arbitrase komersial

internasional. Keempat, menimbang bahwa Majelis Umum

PBB memandang perlu untuk merekomendasikan kepada siapa

pun untuk menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules ini

dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang internasional.

UNCITRAL Arbitration Rules menurut UNCITRAL telah

digunakan secara luas dalam sidang arbitrase ad hoc dan

arbitrase terlembaga. Penggunaan atau refensi kepada

instrumen hukum ini sudah umum dicantumkan dalam berbagai

klausul arbitrase.31 UNCITRAL Arbitration Rules memuat 41

pasal yang seluruh pasal tersebut berada di bawah 4 bagian

(Sections). Bagian 1 berisi ketentuan-ketentuan awal

(introductory rules) yang terdiri atas ruang lingkup berlakunya

UNCITRAL Arbitration Rules antara lain dalam Pasal 1 Ayat

(1) mengenai model klausul arbitrase, Pasal 2 mengenai

perhitungan jangka waktu, Pasal 3 mengenai pemberitahuan

tentang adanya arbitrase, dan Pasal 4 mengenai bantuan hukum

atau perwakilan (para pihak). Bagian 2 mengenai komposisi

majelis arbitrase diantaranya jumlah arbiter dalam Pasal 5,

penunjukkan arbiter dalam Pasal 6 sampai dengan 8, keberatan

atas arbiter dalam Pasal 9 sampai dengan 12, dan penggantian

seorang arbiter dalam Pasal 13 sampai dan 14). Bagian 3

mengatur persidangan arbitrase yang terdiri atas ketentuan

umum dalam Pasal 15, tempat arbitrase dalam Pasal 16, bahasa

31 Margaret L. Moses. The Principles and Practice of International CommercialArbitration. (Cambridge: Cambridge U.P., 2012). h. 45.

Page 45: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

35

yang digunakan dalam Pasal 17, gugatan pemohon dalam Pasal

18, jawaban termohon dalam Pasal 19, perubahan terhadap

permohonan dan jawaban dalam Pasal 20, pembelaan terhadap

kewenangan majelis arbitrase dalam Pasal 21, pernyataan

tertulis selanjutnya dalam Pasal 22, jangka waktu dalam Pasal

23, bukti-bukti dan persidangan dalam Pasal 24 sampai dengan

25, perlindungan sementara dalam Pasal 26, tenaga ahli dalam

Pasal 27, ketidakhadiran salah satu pihak dalam Pasal 28,

penutupan persidangan dalam Pasal 29, dan pengecualian

aturan arbitrase dalam Pasal 30. Bagian IV mengenai putusan

arbitrase yang terdiri atas putusan dalam Pasal 31, bentuk dan

akibat dari putusan dalam Pasal 32, hukum yang berlaku dalam

Pasal 33, penyelesaian atau alasan lain untuk pengakhiran

dalam Pasal 34, penafsiran putusan dalam Pasal 35, perbaikan

atau koreksi putusan dalam Pasal 36, putusan tambahan dalam

Pasal 37, biaya-biaya arbitrase dalam Pasal 38 sampai dengan

40, dan deposit biaya dalam Pasal 41.

UNCITRAL Arbitration Rules mengalami perubahan atau

penambahan aturan pada tahun 2010. Penambahan aturan pada

tahun 2010 dilakukan oleh UNCITRAL dengan pertimbangan.

Pertama, UNCITRAL Arbitration Rules sejak disahkan pada

tahun 1976 telah berhasil dan digunakan oleh berbagai arbitrase

(ad hoc dan terlembaga) di seluruh dunia menyangkut berbagai

macam sengketa yang para pihaknya mencakup pihak swasta,

negara dan investor asing, dan negara melawan negara. Kedua,

sejak disahkan pada tahun 1976, telah terjadi perkembangan

penting dalam perdagangan internasional sehingga aturan tahun

1976 itu harus direvisi. Ketigas, revisi UNCITRAL Arbitration

Rules 1976 diputuskan pada tahun 2006 guna memenuhi

perubahan-perubahan dalam praktik arbitrase dalam 30 tahun

terakhir. Revisi ditujukan untuk meningkatkan efisiensi

Page 46: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

36

arbitrase berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules yang telah

ada sebelumnya dan tidak bermaksud untuk mengubah struktur

teks yang asli atau format perancangannya.

UNCITRAL Arbitration Rules revisi 2010 mulai berlaku

pada 15 Agustus 2010. Revisi memasukkan antara lain

arbitrase yang para pihaknya lebih dari dua pihak dan tanggung

jawab, dan prosedur untuk mengajukan keberatan terhadapa

ahli yang ditunjuk oleh majelis arbitrase. Beberapa ketentuan

baru yang dimasukkan ke dalam UNCITRAL Arbitration Rules

ditujukan untuk meningkatkan efisiensi prosedural, termasuk

prosedur untuk mengganti arbiter, persyaratan kewajaran biaya

arbitrase, dan peninjauan terhadap mekanisme mengenai biaya

arbitrase. UNCITRAL Arbitration Rules 2010 memuat pula

ketentuan yang lebih lengkap mengenai tindakan sementara

(interim measures). UNCITRAL mengharapkan UNCITRAL

Arbitration Rules 2010 ini terus memberikan sumbangan agar

terciptanya suatu hubungan ekonomi internasional yang

harmonis.32

b) UNCITRAL Model Arbitration Law 1985

UNCITRAL Model Law dibuat untuk membantu negara-

negara dalam membuat perundang-undangan mengenai

prosedur arbitrase dengan memperhatikan bentuk-bentuk dan

ketentuan-ketentuan khusus dari arbitrase komersial

internasional. Aturan-aturan yang termuat di dalamnya

mencakup tahap-tahap proses arbitrase, yaitu dari perjanjian

arbitrase komposisi dan jurisdiksi majelis arbitrase, sampai

seberapa jauh pengadilan dapat intervensi dalam mengakui dan

32 http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/arbitration/1976-Arbitration_rules.html,diakses pada 20 Februari 2018.

Page 47: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

37

melaksanakan putusan arbitrase.33 Muatan UNCITRAL Model

Arbitration Law 1985 merupakan hasil dari konsensus

mengenai hal-hal penting dari praktik arbitrase internasional

yang telah diterima negara-negara di berbagai region dan

sistem hukum atau ekonomi yang berbeda-beda di dunia. 34

Pada tahun 2006, UNCITRAL Model Arbitration Law

mengalami revisi, yaitu terhadap Pasal 1 Ayat (2) yang memuat

ketentuan mengenai ruang lingkup berlakunya Model Law,

yaitu apabila tempat arbitrase dilangsungkan di wilayah negara

yang mengadopsi Model Law, Pasal 7 mengenai definisi dan

bentuk perjanjian arbitrase direvisi guna memodernisasi

persyaratan bentuk dari suatu perjanjian arbitrase untuk lebih

menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang lebih

komprehensif terkait dengan tindakan-tindakan sementara,

Pasal 35 Ayat (2) yang mengatur pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase asing terutama persyaratan dokumen-

dokumen yang harus disiapkan pemohon untuk mengajukan

permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing, satu bab baru

yaitu Bab IV A (Interim Measures and Preliminary Orders)

dibuat untuk menggantikan Pasal 17, dan Pasal 2A

(International origin and general principles) disahkan

UNCITRAL pada tanggal 7 Juni 2006.

Berdasarkan Resolusi PBB 61/33, Majelis Umum PBB

mengemukakan beberapa alasan direvisinya UNCITRAL

Model Arbitration Law antara lain UNCITRAL memandang

penting peran arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-

sengketa yang timbul di bidang hubungan ekonomi

33 Nigel Blackaby, dkk. Redfern and Hunter on International Arbitration. (New York:Oxford U.P., 2009). h. 75.

34 http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/arbitration/1985-Model_Arbitration.html,diakses pada 20 Februari 2018.

Page 48: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

38

internasional, UNCITRAL mengakui adanya kebutuhan untuk

merevisi UNCITRAL Model Arbitration Law sejalan dengan

perkembangan praktik perdagangan internasional modern dan

cara-cara modern untuk mengadakan perjanjian terkait dalam

bentuk perjanjian arbitrase dan pemberian tindakan sementara,

UNCITRAL memperhatikan bahwa persiapan revisi

pengaturan Model Law ini adalah hasil dari pembahasan dan

konsultasi secara ekstensif dengan pemerintah dan pihak-pihak

terkait dan aturan revisi ini dipandang akan dapat memberikan

sumbangan penting bagi pembentukan suatu kerangka hukum

yang harmonis untuk penyelesaian sengketa yang adil dan

efisien, serta UNCITRAL berkeyakinan bahwa sudah

waktunya untuk memodernkan aturan-aturan Model Law,

upaya untuk memajukan penafsiran dan penerapan yang

seragam dengan ketentuan-ketentuan Konvensi New York

1958.

Muatan UNCITRAL Model Arbitration Law 1985 terdiri

dari 36 pasal yang terbagi ke dalam 8 bab. Bab I mengenai

Ketentuan Umum yang terdiri dari ruang lingkup berlakunya

Model Law (Pasal 1), batasan dan aturan penafsiran (Pasal 2),

penerimaan dan komunikasi tertulis (Pasal 3), penanggalan hak

untuk keberatan (Pasal 4), ruang lingkup intervensi (Pasal 5),

dan kewenangan pengadilan atau pejabat lainnya terhadap

fungsi-fungsi tertentu untuk memberikan bantuan atau

pengawasan kepada arbitrase (Pasal 6). Bab II mengenai

Perjanjian Arbitrase yang terdiri dari batasan dan bentuk

perjanjian arbitrase (Pasal 7), arbitrase dan gugatan di hadapan

pengadilan (Pasal 8), dan perjanjian arbitrase dan tindakan

sementara oleh pengadilan (Pasal 9). Bab III mengenai jumlah

arbiter (Pasal 10), penunjukkan arbiter (Pasal 11), alasan untuk

menentang atau keberatan (Pasal 12), prosedur keberatan (Pasal

Page 49: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

39

13), kegagalan atau ketidakmungkinan untuk bertindak (Pasal

14), dan penunjukkan arbiter pengganti (Pasal 15). Bab IV

mengenai Jurisdiksi Majelis Arbitrase yang terdiri dari

kewenangan majelis arbitrase untuk menentukan jurisdiksinya

(Pasal 16) dan kewenangan majelis arbitrase untuk

memerintahkan tindakan sementara (Pasal 17). Bab V Tata

Cara Persidangan Arbitrase yang terdiri dari perlakuan yang

sama para pihak (Pasal 18), penentuan hukum acara (Pasal 19),

tempat arbitrase (Pasal 20), pemberlakuan persidangan

arbitrase (Pasal 21), bahasa (Pasal 22), gugatan pemohon dan

jawaban termohon (Pasal 23), acara mendengarkan para pihak

dan persidangan secara tertulis (Pasal 24), ketidakhadiran satu

pihak (Pasal 25), ahli yang ditunjuk oleh persidangan arbitrase

(Pasal 26), dan bantuan pengadilan dalam mendapatkan bukti

(Pasal 27). Bab VI mengenai Pembuatan Putusan dan

Pengakhiran Persidangan yang terdiri dari aturan yang berlaku

terhadap pokok sengketa (Pasal 28), putusan yang dilakukan

oleh arbiter panel (Pasal 29), penyelesaian (Pasal 30), bentuk

dan muatan putusan (Pasal 31), pengakhiran persidangan (Pasal

32), dan koreksi penafsiran putusan; putusan tambahan (Pasal

33). Bab VII mengenai Upaya terhadap Putusan yang terdiri

dari permohonan untuk mengesampingkan sebagai upaya

eksklusif terhadap putusan arbitrase (Pasal 34). Bab VIII

mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan (Pasal 35), dan alasan-

alasan untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan (Pasal 36).

d. Hukum Kebiasaan (Internasional)

Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum untuk arbitrase

adalah sumber hukum yang sebenarnya penting. Arbitrase lahir dan

berkembang karena kebutuhan pengusaha untuk menyelesaikan

sengketa dagangnya dari waktu ke waktu. Aturan-aturan normatif

arbitrase yang ada sekarang lahir karena adanya praktik yang berasal

Page 50: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

40

dari kebiasaan-kebiasaan di bidang arbitrase di berbagai tempat,

wilayah, atau negara-negara di dunia. Sayangnya, kebiasaan yang

berkembang dan kemudian dianggap ‘mengikat’ oleh masyarakat di

dunia hanya sedikit atau bahkan tidak tercatat atau tertulis di berbagai

literatur. Catatan yang ada mengenai ‘kebiasaan’ dalam arbitrase ini

adalah klaim-klaim dari sarjana. Mereka berpendapat bahwa arbitrase

adalah bagian dari Lex Mercatoria atau hukum para pedagang.

Pandangan atau klaim ini tepat karena pengertian arbitrase dalam

pengertian sempit ini, yaitu menyelesaikan sengketa di bidang

perdagangan, diciptakan oleh para pedagang. Alasan utama mengapa

kebiasaan ‘sulit diterima’ semata karena peristiwa-peristiwa hukum

yang terjadi di dalam wilayah negara bergantung seluruhnya kepada

hukum tertulis negara. Ketentuan hukum yang berlaku adalah aturan

hukum negara di bidang arbitrase (lex arbitri) adalah yang utama.

Barangkali peran hukum kebiasaan yang masih tampak dan relevan

adalah (prinsip) otonomi para pihak. Untuk beberapa hal, prinsip ini

berperan atau memegang peran penting. Misalnya, meskipun UU

mengatur jangka lamanya persidangan arbitrase, para pihak masih

dapat menyepakati jangka waktu yang lebih lama. Selain itu, otonomi

para pihak untuk menunjuk arbiternya, menentukan tempat

dilangsungkannya arbitrase, hukum yang akan diterapkan majelis

arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya, dan lain-lain.35

e. Prinsip-prinsip Hukum Umum

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum

umum belum ada pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum

ini biasanya diyakini lahir dari sistem hukum nasional di dunia.

Sumber hukum ini akan mulai berfungsi sebagai sumber hukum

tambahan manakala sumber-sumber hukum sebelumnya tidak memberi

jawaban atas sesuatu persoalan sehingga prinsip-prinsip hukum umum

35 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 132.

Page 51: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

41

ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya

mengembangkan hukum arbitrase. Beberapa contoh dari prinsip-

prinsip hukum umum ini antara lain prinsip itikad baik, prinsip pacta

sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. Prinsip lain yang esensial di

dalam hukum (acara) arbitrase adalah prinsip audi alteram partem.

Prinsip ini mewajibkan majelis arbitrase untuk mendengar keterangan

dari kedua pihak yang berperkara.36

f. Putusan-putusan Arbitrase

Putusan arbitrase sebagai sumber hukum dalam arbitrase

sangatlah lemah. Alasan utamanya adalah sifat dari arbitrase yang

persidangannya hingga putusannya yang bersifat konfidensial, tertutup,

atau rahasia. Memang sifat kerahasiaan ini seolah menjadikan putusan

arbitrase jarang atau tidak dimungkinkan menjadi sesuatu sumber

hukum dapat memperkaya hukum arbitrase. Meski suatu kelemahan

dari aspek sumber hukumnya, tetapi sifat kerahasiaan inilah yang

justru menjadi salah satu kekuatan dan alasan mengapa pengusaha atau

pedagang memilih arbitrase. Sifat kerahasiaan putusan arbitrase ini

tampaknya diperlonggar dalam putusan arbitrase penanaman modal

ICSID. Pendaftaran, nama pihak, status sengketa, argumen para pihak,

semua dapat diketahui dan diakses oleh publik. Bahank putusan

arbitrase, apabila para pihak sepakat, juga dapat dipublikasikan. Berkat

teknologi internet, smeua data ini dapat diakses oleh siapa saja di

seluruh dunia beberapa saat setelah putusan dikeluarkan.37

g. Doktrin atau Teori tentang Arbitrase

Doktrin, teori, atau pendapat para sarjana di bidang arbitrase

adalah sumber hukum tambahan. Sumber hukum ini relevan ketika

sumber hukum yang telah dijelaskan di atas, tidak dapat memberikan

jawaban yang memuaskan terhadap suatu masalah tertentu. Tidaklah

36 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 133.

37 Nigel Blackaby, dkk. Redfern and Hunter on International Arbitration... h. 140.

Page 52: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

42

semua pendapat sarjana dapat disebut sebagai teori apalagi doktrin.

Suatu pendapat sarjana digolongkan sebagai doktrin atau teori apabila

sarjana tersebut dianggap pakar di kalangan suatu ilmu tertentu. Salah

satu doktrin yang penting dan berpengaruh terhadap pengaturan atau

perkembangan arbitrase adalah doktrin Competenz-Competenz

(‘Competence-Competence’). Doktrin ini menyatakan bahwa para

majelis arbitrase sendiri yang menentukan apakah dirinya berwenang

atau tidak untuk menangani suatu sengketa.38

h. Peraturan Lembaga Arbitrase

Peraturan arbitrase merupakan seperangkat ketentuan standar untuk

mengadakan proses arbitrase yang secara umum disediakan oleh

lembaga arbitrase. Peraturan ini menjadi efektif ketika dipilih oleh para

pihak yang bersengketa secara tegas atau referensi yang diberikan oleh

lembaga arbitrase.39 Sebagai contoh, ICC Arbitration Rules Pasal 6

Ayat (1) menyatakan yang artinya:

Dimana para pihak telah sepakat untuk tunduk pada arbitrase di bawahperaturan arbitrase, mereka harus dianggap telah sepakat pada olehkenyataan itu sendiri dengan aturan yang berlaku pada tanggaldimulainya arbitrase, kecuali mereka telah sepakat untuk tunduk padaaturan yang berlaku pada tanggal perjanjian arbitrase mereka.

3. Jurisdiksi Arbitrase

a. Pengertian Jurisdiksi Arbitrase

Jurisdiksi atau kewenangan hukum adalah isu yang penting di

dalam arbitrase. 40 Isu inilah yang pertama-tama akan diangkat oleh

lembaga arbitrase, mahkamah arbitrase, atau majelis arbitrase sebelum

memeriksa dan memutus suatu sengketa. 41 Suatu lembaga arbitrase

38 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 136.

39 Mauro Rubino-Sammartano. International Arbitration Law... h. 34.

40 Hillary Heilborn. A Practical Guide to International Arbitration, Ed.2. (London:Informa Law, 2008). h. 79.

41 Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale. Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice. (Oxford: Oxford U.P., 2007). h. 168.

Page 53: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

43

yang memutuskan bahwa ia memiliki jurisdiksi, akan menentukan

kelanjutan dari suatu sengketa. Sebaliknya, ketika lembaga arbitrase

memutuskan bahwa ia tidak memiliki kewenangan, ia akan segera

menolak untuk memeriksa sengketa. Di samping itu, jurisdiksi

membatasi kewenangan hukum suatu lembaga arbitrase. Dengan

adanya jurisdiksi, suatu lembaga arbitrase telah dengan tegas

mengetahui hal-hal apa saja yang dapat atau berwenang ia lakukan. Di

dalam pengertian jurisdiksi ini terdapat konsekuensi lain yang juga

penting. Dengan adanya jurisdiksi, suatu lembaga arbitrase tidak dapat

melaksanakan tugasnya melebihi dari jurisdiksi yang dimilikinya.42

Apabila suatu lembaga arbitrase ternyata tidak memiliki jurisdiksi

tetapi melanjutkan pemeriksaan sengketa dan membuat putusannya,

suatu pihak dapat mengajukan permohonan untuk melawan putusan

arbitrase. Dari perlawanan tersebut, putusan arbitrase dapat berakibat

batal demi hukum, yaitu sebagai konsekuensi hukum putusan tersebut

dianggap sejak semula tidak ada. Untuk putusan arbitrase internasional,

ketiadaan jurisdiksi dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya

putusan atau suatu negara dapat menolak atau mengenyampingkan

putusan arbitrase internasional tersebut. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa jurisdiksi arbitrase adalah kekuasaan atau

kewenangan arbitrase untuk memutus suatu sengketa yang diserahkan

para pihak.43

b. Lahirnya Jurisdiksi Arbitrase

Jurisdiksi atau kewenangan hukum suatu lembaga arbitrase lahir

dari:

1) Instrumen hukum, yaitu instrumen yang melandasi lahirnya

lembaga arbitrase atau instrumen hukum yang memberi dasar

hukum mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan

hukumnya untuk memutus suatu sengketa dan kesepakatan para

42 Nigel Blackaby. Redfern and Hunter on International Arbitration... h. 342.

43 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 141.

Page 54: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

44

pihak. Instrumen hukum, baik hukum internasional atau nasional

adalah syarat utama lahirnya jurisdiksi lembaga arbitrase. Adanya

instrumen hukum ini menunjukkan bahwa kewenangan arbitrase

untuk memutus suatu sengketa adalah sifatnya terbatas. Untuk

instrumen hukum internasional, batas-batas jurisdiksi lembaga

arbitrase internasional ditentukan oleh hasil kesepakatan negara-

negara atau anggota-anggota dari suatu lembaga internasional yang

merumuskan berdirinya suatu lembaga arbitrase. Sebagai contoh,

instrumen hukum konvensi (International Centre for The

Settlement of Investment Disputes (ICSID) 1965 membatasi

kewenangan lembaga arbitrase ICSID untuk menyelesaikan hanya

sengketa-sengketa di bidang penanaman modal. Untuk instrumen

hukum nasional, batas-batas jurisdiksi suatu lembaga arbitrase

ditentukan oleh keputusan badan legislatif yang membuat peraturan

perundang-undangan di bidang arbitrase. Sebagai contoh, Pasal 5

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menegaskan bahwa

sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase adalah

sengketa-sengketa di bidang perdagangan.44

2) Kesepakatan para pihak, yaitu suatu syarat tambahan, pelengkap,

atau subsider untuk lahirnya kewenangan hukum atau jurisdiksi

lembaga arbitrase. Redfern dan Hunter menggambarkan

kesepakatan para pihak sebagai asal muasal jurisdiksi lembaga

arbitrase dengan kalimat yang artinya:

Mahkamah arbitrase secara sah hanya dapat menyelesaikansengketa yang telah disepakati para pihak untuk diselesaikan.Aturan ini tidak dapat dihindari dan merupakan konsekuensi yangwajar atas sifat sukarela dari arbitrase. Dalam konsensual arbitrase,kewenangan atau kompetensi dari mahkamah arbitrase berasal dariperjanjian para pihak; sesungguhnya tidak ada sumber lainnyakewenangan tersebut berasal.

44 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 143.

Page 55: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

45

Dalam kajian David A. Soley mengenai jurisdiksi lembaga

arbitrase ICSID, ia melihat kata sepakat sebagai tonggak (corner

stone) bagi jurisdiksi lembaga arbitrase ICSID. Para pihak

sebelumnya harus mencapai kata sepakat bersama untuk

menyerahkan sengketanya kepada lembaga arbitrase ICSID.

Kovensi ICSID mensyaratkan adanya suatuu kata sepakat tertulis

yang menunjuk pemakaian lembaga arbitrase ICSID. Penunjukkan

lembaga arbitrase ICSID tercantum dalam suatu klausula perjanjian

penanaman modal yang menetapkan penyerahan suatu sengketa

yang akan timbul dari perjanjian tersebut.45

c. Bentuk Jurisdiksi Arbitrase

Jurisdiksi lembaga arbitrase dapat dikelompokkan ke dalam dua

pengertian, yaitu jurisdiksi atas pokok sengketa (jurisdictionae

materiae) dan jurisdiksi atas para pihak (jurisdictionae personae).

1) Jurisdiksi atas Pokok Sengketa

Jurisdiksi lembaga arbitrase untuk menyelesaikan

sengketa apabila mengacu kepada pengertian dalam arti

sempit, lembaga arbitrase memiliki jurisdiksi atas sengketa

di bidang perdagangan. Seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya bahwa Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa menegaskan bahwa sengketa-sengketa yang dapat

diselesaikan oleh arbitrase adalah sengketa-sengketa yang

termasuk ke dalam bidang perdagangan. Sementara itu,

Pasal 1 Ayat (1) UNCITRAL Model Law 1985 (revisi 2006)

menegaskan bahwa ketentuan Model Law ini mengatur

arbitrase komersial internasional (dagang) dalam arti luas.

Catatan kaki ketentuan Pasal 1 tersebut menjelaskan bahwa

45 David A. Soley, “ICSID Implementation: An Effective Alternative to InternationalConflict, dalam International Lawyer, Vol.19 No. 2, 1985, h. 524., dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase, h. 145.

Page 56: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

46

pengertian komersial (dagang) harus ditafsirkan secara luas.

Ketentuan Pasal1 tersebut mengenai ruang lingkup Model

Law, memberikan contoh sengketa-sengketa komersial

yang dapat diselesaikan oleh arbitrase. Sengketa-sengketa

yang berasal dari hubungan kontraktual atau bukan

kontraktual yang di dalamnya mencakup transaksi-transaksi

antara lain di bidang jual beli barang dan jasa, perjanjian

distribusi, enjinering, keagenan, factoring, leasing,

konstruksi bangunan, konsultasi, lisensi, penanaman modal,

pembiayaan, perbankan, asuransi, eksploitasi sumber daya

alam, kerjasama patungan, dan bentuk-bentuk kerjasama

lainnya di bidang industri, pengangkutan penumpang atau

barang melalui udara, air, kereta api, dan jalan raya.46

2) Jurisdiksi atas Para Pihak

Jurisdiksi atas para pihak mencakup siapa saja atau subjek

hukum apa saja yang dapat hadir, mempertahankan hak dan

kewajibannya, atau mengajukan klaimnya di hadapan arbitrase.

Instrumen hukum umumnya seperti UNCITRAL Model Law atau

UNCITRAL Arbitration Rules atau bahkan instrumen hukum

nasional RI, UU No. 30 Tahun 1999 tidak secara spesifik siapa saja

atau subjek hukum apa saja yang dapat hadir di hadapan lembaga

arbitrase. Ketiadaan penegasan mengenai siapa atau subjek hukum

apa saya yang dapat hadir di hadapan lembaga arbitrase dapat

disimpulkan secara tersirat bahwa siapa saja boleh maju ke

hadapan arbitrase. Kesimpulan tersebut secara luas selalu ada

pengecualian. Ada konvensi atau perjanjian internasional yang

secara spesifik menyebut siapa saja yang menjadi para pihak dalam

berarbitrase. Sebagai contoh, Konvensi ICSID 1965 mensyaratkan

hanya warga negara (investor) suatu negara dan negara penerima

46 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 149.

Page 57: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

47

modal sajalah yang dapat menyerahkan sengketanya ke hadapan

lembaga arbitrase ICSID.47

Dari statusnya sebagai subjek hukum, para pihak yang dapat

mengajukan sengketanya di hadapan arbitrase antara lain:

a) Orang Perorangan

Orang perorangan sebagai individu atau pribadi dalam

statusnya sebagai pihak dalam sengketa di arbitrase jarang

muncul. Kalaupun ada sebagai status sebagai individu,

sengketa-sengketa yang menyangkut mereka nilai klaimnya

relatif kecil. Orang perorangan sebagai individu atau pribadi

dalam arti pelaku usaha, juga relatif sedikit dibanding dengan

badan usaha. Hal tersebut lebih disebabkan orang perorangan

dalam kapasitasnya sebagai individu jarang menggunakan atau

mencantumkan kesepakatannya secara tertulis. Alasan lainnya,

orang perorangan sebagai individu relatif kurang memahami

dengan mendalam mengenai arbitrase. Alasan yang juga dapat

dipahami adalah nilai klaim yang kecil jarang diserahkan

kepada arbitrase. Sengketa cukup diselesaikan secara

musyawarah. Orang perorangan yang bersengketa di arbitrase

minimal dan sedikit banyak perlu memahami aturan-aturan

hukum beracara di arbitrase.48

b) Badan Hukum Privat

Badan hukum privat dalam statusnya sebagai perusahaan

adalah subjek hukum utama dalam arbitrase. Perjanjian dagang

umumnya dilakukan antara badan hukum privat ini dengan

subjek hukum lainnya. Badan hukum privat berperan penting

dalam arbitrase karena dalam perspektif sejarah, mereka adalah

pelaku usaha utama yang membentuk dan sekaligus secara

47 Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal. (Bandung: KeniMedia, 2015). h. 90.

48 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 151.

Page 58: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

48

langsung memanfaatkan arbitrase untuk menyelesaikan

sengketa dagang mereka.49

c) Badan Hukum Publik (BUMN)

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah subjek hukum

yang juga penting dalam arbitrase. Tidak sedikit pihak yang

terkait dalam sengketa arbitrase adalah BUMN. Namun, dalam

pelaksanaannya badan hukum ini sedikit kontroversial,

terutama karena pada negara berkembang khususnya Indonesia,

BUMN cukup banyak digugat oleh rekanan dagangnya di luar

negeri. Pihak atau pengusaha asing biasanya memasukkan

klausul arbitrase di luar negeri. Masalahnya, klausul arbitrase

demikian yang merupakan bagian dan kesatuan dari kontrak

(induk) justru disepakati atau ditandatangani. BUMN sebagai

perusahaan milik negara biasanya memiliki hak-hak istimewa

tertentu (privileges), seperti hak atas monopoli sesuatu kegiatan

usaha atau sektor bisnis tertentu yang biasanya penting,

strategis, serta menyangkut hajat hidup orang banyak seperti

listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sebagainya. BUMN juga

biasanya didukung oleh sumber keuangan pemerintah. Bila

perusahaan ini mengalami kesulitan keuangan, tangan

pemerintah setiap saat dapat memberi talangan keuangan atau

bantuan fasilitas lainnya.50

Dengan statusnya yang istimewa ini, perusahaan BUMN

biasanya berada dalam perlindungan negara. Bidang-bidang

usaha yang mereka tangani sangat strategis dan menyangkut

kepentingan rakyat. Namun demikian, dengan statusnya ini

dapat terjadi dua kemungkinan berikut. Pertama, ia akan

semakin kuat karena adanya tangan pemerintah di dalamnya.

Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelola perusahaan

49 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 151.

50 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 152.

Page 59: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

49

negara ini merasa bahwa pekerjaannya untuk negara dan untuk

kepentingan rakyat banyak. Mereka akan bekerja, mengabdi

dengan tulus, bukan semata-mata untuk kepentingan

perusahaan, tetapi untuk kepentingan rakyat dan negara.

Konsekuensinya pengelola BUMN akan bersikap profesional

dalam menjalankan perusahaan. Dengan sikap ini, upaya-upaya

kerjasama dagang dengan perusahaan (swasta) lain dilakukan

dengan profesional dan potensi sengketa dagang dapat

diminimalisir. Kedua, dengan posisi atau statusnya yang

ditopang atau didukung oleh tangan negara SDM pengelola

perusahaan ini merasa terlalu percaya diri (over-confident). 51

Alasannya, BUMN, bagaimana pun pengelolaan perusahaan

menggunakan bendera merah putih. Bila ada kesulitan

keuangan, dukungan pemerintah selalu ada. Akibat dari sikap

over-confident tersebut, sadar atau tidak sadar menjadi

bumerang dalam dunia bisnis. Pengelola BUMN menjadi

kurang ditantang, kurang diterpa kesulitan-kesulitan, menjadi

tidak profesional. Sikap ini terbawa ke dalam mengelola

perusahaan, dalam berdagang, termasuk dalam merundingkan

isi-isi atau klausul-klausul dalam perjanjian atau kontrak.

Permasalahan yang sering terjadi kemudian adalah ketika

kontrak masih berlangsung, pihak BUMN sadar bahwa isi atau

klausul kontrak ternyata merugikan kedudukannya atau ketika

kontrak berjalan, pengelola BUMN kemudian melakukan

tindakan-tindakan yang bertentangan dengan isi kontrak baik

sebagian atau seluruhnya. Kemungkinan lainnya adalah

tindakan-tindakan pengelola BUMN ternyata merugikan

rekanan atau mitra usahanya baik secara sadar maupun tidak

sadar, baik karena adanya perubahan kebijakan dalam

perusahaan, misalnya karena adanya pergantian direksi baru

51 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 152.

Page 60: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

50

atau karena pemerintah pusat, misalnya Kementerian Keuangan

mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi keuangan atau

bisnis BUMN.52

Dalam situasi demikian, perusahaan lain (swasta) yang

merasa dirugikan oleh adanya kebijakan pengelola BUMN atau

pemerintah pusat, kemudian mendorongnya untuk mengajukan

gugatan. Sebelum gugatan tersebut dilayangkan, pihak yang

dirugikan biasanya memeriksa terdahulu isi atau muatan

kontrak. Dalam kontrak klausul penyelesaian sengketa biasanya

memilih forum arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa melalui

arbitrase diselesaikan oleh arbiter, yaitu seorang yang ahli

dalam bidangnya, statusnya sebagai penengah independen,

tidak boleh memihak kepada salah satu pihak, dan

menyelesaikan sengketanya dengan menerapkan hukum

terhadap fakta-fakta yang melatarbelakangi timbulnya sengketa.

Arbiter melaksanakan tugasnya dengan berpegang pada kode

etik berperilaku sebagai seorang arbiter secara ketat.53

d) Negara

Negara sebagai subjek hukum adalah pihak yang dapat

memohon dan sebaliknya, dapat pula diajukan sebagai

termohon di dalam arbitrase. Negara adalah subjek hukum

terpenting dan memiliki keadaulatan atau kekuasaan tertinggi

yang di atasnya tidak ada kekuasaan subjek hukum lain,

termasuk negara lain. Negara dapat membuat hukum yang

mengikat setiap orang atau benda yang berada dalam

wilayahnya, merubahnya, atau membatalkannya. Negara dapat

pula membuat kebijakan perdagangan, merubah kebijakan

perdagangan, dan bahkan membatalkan suatu kebijakan

perdagangannya. Pada sisi lain, negara pun adalah subjek

52 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 153.

53 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 154.

Page 61: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

51

hukum yang mengatur status kebendaan dan pelaksanaan

arbitrase di negaranya. Dengan statusnya ini, negara memiliki

kekuatan, kedudukan, dan otoritas tertinggi di dalam

wilayahnya. Dengan asumsi demikian, jawaban terhadap

kesimpulan demikian adalah benar. Negara dengan atribut

kedaulatannya memiliki kekebalan (imunitas) terhadap gugatan

hukum, baik yang dilakukan oleh warganya, perusahaan asing,

atau negara asing. Namun, status atau atribut ini tidak berlaku

ketika negara-negara melakukan tindakan-tindakan di bidang

perdagangan atau di bidang transaksi bisnis. Dalam

tindakannya di bidang ini, ‘baju’ kedaulatan negara atau

imunitas ditanggalkan agar kedudukannya di bidang privat atau

dagang statusnya menjadi sama dengan pihak lainnya. Dengan

demikian, tindakan-tindakan negara di bidang privat atau

dagang yang merugikan pihak lain, negara dapat digugat.

Konsepsi penanggalan imunitas negara ini digambarkan oleh

Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale sebagai berikut yang

artinya:54

Selama dalam arah arbitrase, persoalan imunitas negarasebagian besar akan menjadi tidak relevan. Sekali sebuahnegara telah memasuki perjanjian arbitrase, secara umumnegara tersebut menerima bahwa negara tersebut telahmelepaskan imunitas mengenai jurisdiksi.

Sebaliknya, tindakan-tindakan antara negara dengan pihak

lainnya di bidang privat yang mana pihak lainnya merugikan

negara, negara pun dapat menggugatnya di arbitrase

(internasional). Langkah tersebut hanya dapat dilakukan

apabila sebelumnya negara telah membuat perjanjian arbitrase.

Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa, kemungkinan

suatu negara menggugat atau digugat, telah diatur dalam

54 Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale. Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice... h. 134.

Page 62: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

52

Konvensi ICSID atau Konvensi Washington 1965 atau

Convention on the Settlement of Investment Disputes between

States and National of Other Contracting States. Dengan

adanya konvensi internasional seperti ICSID dan praktik yang

berkembang dan mendorong negara untuk mau tidak mau

menandatangani perjanjian arbitrase, telah semakin

meneguhkan pendapat bahwa negara pun tunduk kepada

arbitrase.55

d. Competence-Competence

Salah satu doktrin yang kemudian menjadi prinsip arbitrase

mengenai jurisdiksi lembaga arbitrase adalah doktrin prinsip

competence-competence (bahasa Inggris), kompetenz-kompetenz

(bahasa Jerman), atau competénce de la competénce (bahasa

Perancis). 56 Prinsip ini telah diterima umum sebagai suatu prinsip

dalam arbitrase komersial internasional. Berdasarkan prinsip ini,

lembaga arbitrase memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri

apakah dirinya memiliki jurisdiksi untuk mendengar dan memutus

sengketa. Yang dimaksud dengan penentuan jurisdiksinya adalah

terkait dengan keabsahan suatu perjanjian atau klausul arbitrase.

Ketika para pihak mempersoalkan keabsahan suatu klausul atau

perjanjian arbitrase, majelis arbitrase berwenang untuk menilai dan

menentukan keabsahan klausul atau perjanjian arbitrase.57

Prinsip ini terdapat dalam setiap aturan-aturan arbitrase

internasional seperti pada Pasal 16 Ayat (1) UNCITRAL Model Law

on International Commercial Arbitration, yang artinya:

55 Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale. Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice... h. 135.

56 Margaret L. Moses. The Principles and Practice of International CommercialArbitration... h. 169.

57 Margaret L. Moses. The Principles and Practice of International CommercialArbitration... h. 92.

Page 63: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

53

Mahkamah arbitrase dapat memutuskan dengan jurisdiksinya,termasuk segala keberatan dengan rasa hormat terhadap keberadaandan keabsahan dari perjanjian arbitrase. Untuk tujuan tersebut, klausularbitrase yang merupakan bagian dari suatu kontrak harus dianggapsebagai sebuah perjanjian yang independen dari segala yangberhubungan dengan kontrak. Putusan mahkamah arbitrase bahwakontrak batal demi hukum tidak harus memerlukan ketidakabsahandari klausul arbitrase.

Berdasarkan rumusan di atas, tampak kewenangan mahkamah arbitrase

untuk menentukan kewenangannya, termasuk apabila ada keberatan

mengenai keabsahan perjanjian dan klausul arbitrase di dalamnya.

Untuk maksud itu, suatu klausul arbitrase yang menjadi bagian dari

suatu kontrak harus diberlakukan suatu perjanjian yang berdiri sendiri

(independen) dari persyaratan-persyaratan lainya dari kontrak. Putusan

mahkamah arbitrase bahwa kontrak atau perjanjian batal (null and void)

tidak secara otomatis berarti pula ketidakabsahan klausul arbitrase.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak secara eksplisit mengatur atau

memuat prinsip competence-competence. Ketentuan yang terkait

dengan kewenangan arbitrase atau majelis arbitrase dalam menentukan

kewenangannya, tidak menyangkut secara langsung kewenangan

arbitrase dengan jurisdiksi.58 Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 menyatakan “Dalam hal para pihak telah menyetujui

bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase

dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang

menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para

pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.” Pasal 4 Ayat

(1) tersebut seolah memuat prinsip competence-competence. Seperti

termuat dalam kalimat dari pasal tersebut yang menyatakan bahwa

kewenangan arbitrase bukan untuk menentukan jurisdiksi, tetapi

mengenai hak dan kewajiban para pihak (dalam hal perjanjian atau

kesepakatan para pihak tidak mengatur hak dan kewajiban para pihak).

58 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 165.

Page 64: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

54

Kekosongan ketentuan mengenai prinsip competence-competence di

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berdampak cukup

penting dalam praktik terutama untuk menentukan keabsahan klausul

atau perjanjian arbitrase.59

4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Keunggulan Kelemahan

a. Kerahasiaan para pihak dijamin

(confidential).

a. Hanya untuk para pihak

bonafide.

b. Kecepatan dalam proses. b. Ketergantungan mutlak pada

arbiter.

c. Waktu pasti, artinya dapat

dihindari keterlambatan akibat

hal prosedural dan administratif.

c. Tidak ada preseden putusan

terdahulu.

d. Arbiter adalah seorang ahli di

bidangnya.

d. Masalah dalam pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase

asing.

e. Para pihak dapat memilih arbiter

yang menurut keyakinannya

memiliki pengetahuan,

pengalaman, serta latar belakang

yang cukup mengenai masalah

yang disengketakan, jujur, dan

adil.

e. Tidak mudah mempertemukan

kehendak para pihak yang

bersengketa dan membawanya

ke badan arbitrase.

f. Para pihak dapat menentukan

pilihan hukum untuk

menyelesaikan masalahnya, serta

proses dan tempat

penyelenggaraan arbitrase.

f. Arbitrase tidak mampu

memberikan jawaban yang

definitif terhadap semua

sengketa hukum karena

konsep dan sistem hukum

di setiap negara berbeda.

59 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 166.

Page 65: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

55

g. Hukum acara arbitrase bersifat

fleksibel.

g. Mungkin tidak cocok untuk

tuntutan yang terdiri dari

berbagai pihak.

h. Tidak ada kemungkinan akan

terjadi keberpihakan.

h. Perlu mendapat perintah

pengadilan untuk

melaksanakannya, jika ada

pihak, terutama yang kalah

tidak mau melaksanakan

putusan arbitrase tersebut.

i. Tidak konfrontatif. i. Klausula dan putusan

arbitrase dijadikan sebagai

subjek litigasi.

j. Proses arbitrase dilakukan

dalam bentuk sederhana dan

tidak terlalu formal.

k. Lebih murah dibandingkan

dengan litigasi.

l. Pengadilan tidak berwenang

mengadili sengketa yang para

pihaknya telah terikat dalam

perjanjian maupun klausula

arbitrase.

m. Putusan arbiter merupakan

putusan yang mengikat para

pihak dengan melalui tata cara

(prosedur) sederhana atau pun

langsung dapat dilaksanakan.

Page 66: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

56

B. Expedited Procedure

1. Teknik Beracara

Arbitrase secara tradisi telah menjadi metode penyelesaian

sengketa yang lebih murah dan lebih cepat. Walau demikian, masalah

kelambatan dan meningkatnya biaya telah lama diakui oleh para praktisi

dan akademisi. 60 Persepsi ini menimbulkan dorongan bagi lembaga

arbitrase untuk mempercepat proses arbitrase dan secara otomatis akan

menghemat biaya sehingga aturan lembaga arbitrase tertentunya akan

menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Terlepas dari waktu dan biaya,

keterlambatan proses arbitrase memiliki sisi buruk yang sama dengan

keterlambatan dalam mekanisme penyelesaian sengketa lainnya, yaitu para

pihak tidak dapat melanjutkan kehidupan komersialnya ketika hak hukum

dan kewajibannya itu menunda hasil dari segala proses penyelesaian

sengketa secara tidak pasti.61

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, lembaga arbitrase

memunculkan sebuah solusi, yaitu penyelesaian cepat atau yang disebut

expedited procedure. Menurut Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, yang

dimaksud dengan expedited procedure adalah sebuah proses dalam

arbitrase yang dilakukan dalam waktu yang singkat, yaitu waktu yang

ditentukan sudah tetap (fix), proses arbitrase tersebut tidak boleh melebihi

jangka waktu yang telah ditentukan, kecuali para pihak menghendaki

penguluran waktu baru dapat diberikan kelonggaran. Ketetapan waktu pada

setiap forum berbeda karena setiap forum memiliki ketentuannya tersendiri.

Pada dasarnya, expedited procedure sudah lama diaplikasikan, hanya saja

60 Justice Kerr, “The Macao Sardine Case”, Arbitration v. Litigation, III, 79 (Januari,1987), h. 79.

61 Chan Leng Sun S.C. dan Tan Weiyi, “Making Arbitration Effective: ExpeditedProcedures, Emergency Arbitrators and Interim Relief”, VI, 2 (November, 2013), h. 351.

Page 67: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

57

belum diformalisasikan dalam bentuk aturan. 62 Lembaga arbitrase ICC,

sebuah lembaga arbitrase yang paling terkemuka di dunia sejak berdiri

hingga sekarang,63 pada 1 Maret 2017 mengeluarkan aturan arbitrase baru,

yaitu ICC Arbitration Rules 2017. Perubahan signifikan pada ICC

Arbitration Rules 2017 adalah penetapan ketentuan yang mengatur

mengenai expedited procedure. Berikut adalah ketentuan expedited

procedure dalam ICC Arbitration Rules 2017. Pertama, dalam Pasal 30

Ayat (2) Huruf a dan Lampiran VI Pasal 1 Ayat (2) ICC Rules disebutkan

bahwa ketentuan expedited procedure secara otomatis diterapkan pada

sengketa yang jumlahnya tidak melebihi US$ 2.000.000. Kedua, para

pihak yang telah menyetujui untuk mengikuti proses arbitrase di bawah

ICC Rules, maka secara otomatis para pihak juga menyetujui bahwa Pasal

30 dan Lampiran VI yang mengatur mengenai expedited procedure harus

didahulukan dari hal-hal yang bertentangan dalam perjanjian arbitrase.

Ketiga, Mahkamah ICC memiliki kewenangan untuk tidak menerapkan

expedited procedure pada sengketa berdasarkan Pasal 30 Ayat (3) Huruf C

ICC Rules bahwa Mahkamah ICC, berdasarkan permohonan pihak sebelum

pembentukan majelis arbitrase, dapat memutuskan bahwa sengketa tidak

tepat dilakukan dengan expedited procedure. Keempat, dalam Pasal 2 Ayat

(1) Lampiran VI ICC Rules menentukan bahwa sengketa di bawah

expedited procedure, arbiter tunggal akan ditunjuk bahkan jika para pihak

telah menyetujui sebaliknya. Kelima, ICC Rules menentukan adanya

penunjukkan arbiter yang dipercepat, yaitu terdapat pada Lampiran VI

Pasal 2 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa para pihak dapat menunjuk

arbiter tunggal dalam batas waktu yang ditetapkan oleh sekretariat dan

ketiadaan penunjukkan tersebut, maka Mahkamah akan menunjuk arbiter

dalam waktu sesingkat mungkin. Keenam, dalam ICC Rules tidak

diharuskan menerapkan expedited procedure pada kasus-kasus yang

mendesak. Ketujuh, ICC tidak menyediakan klausa rekomendasi

62 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

63 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 180.

Page 68: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

58

(recommended clause) secara spesifik untuk proses arbitrase dilakukan di

bawah expedited procedure. Kedelapan, dalam Lampiran VI Pasal 4 Ayat

(1) ICC Rules ditentukan bahwa batas akhir pemberian putusan akhir oleh

arbiter adalah enam bulan sejak konferensi penyelenggaraan (management

conference). Kesembilan, berdasarkan Pasal 32 (2) dan Lampiran VI Pasal

1 Ayat (1) ICC Rules mengharuskan putusan akhir harus disertai alasan.

Kesepuluh, ICC memberikan keleluasaan kepada mahkamah untuk

meniadakan pemeriksaan lisan dan memutuskan sengketa hanya

berdasarkan pada dokumen, serta mewajibkan dilaksanakannya konferensi

penyelenggaraan (management conference) untuk kasus atau sengketa yang

dipercepat (expedited cases). Kesebelas, Terms of Reference dalam

expedited procedure ditiadakan sehingga para pihak diharuskan untuk

mempersempit pokok persoalan dalam sengketanya.64

2. Peran dan Fungsi Arbiter

Secara umum, terdapat dua model yang diaplikasikan dalam istilah

arbiter. Sengketa dapat diputuskan oleh majelis arbiter yang terdiri dari tiga

arbiter ataupun oleh arbiter tunggal. Para pihak harus setuju dengan

perjanjian arbitrase, baik sengketa akan diputuskan oleh majelis arbitrase

maupun arbiter tunggal.65 Hubungan para pihak dan arbiter secara umum

ditafsirkan sebagai sebuah kontrak, yaitu ‘konsensus pemikiran’ atas satu

sisi dari penunjukkan arbiter dan satu sisi lain dari penerimaan terakhir.

Dalam arbitrase ad hoc, penunjukkan arbiter kadang kala di awal saat

penunjukkan. Sedangkan, penunjukkan arbiter di lembaga arbitrase

(institusi) sering kali diserahkan kepada badan institusi yang membuat

keputusan dengan menerapkan aturannya.66 Peran dan fungsi arbiter dalam

64 Latham and Watkins International Arbitration Practice,https://m.lw.com/thoughtLeadership/ICC-launches-new-expedited-procedure-rules, diakses pada24 Februari 2018.

65 Lukas Slampa, “International Arbitration Procedure in Theory and Practice” (Brno:Skripsi Mendel University in Brno, 2010), h., 30, t.d.

66 Mauro Rubino-Sammartano. International Arbitration Law... h. 193.

Page 69: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

59

expedited procedure pada hakikatnya adalah menjalankan tugas untuk

kepentingan para pihak yang kepentingan tersebut dipedomani oleh

ketentuan atau rules yang mengatur, yaitu terdapat ketentuan waktu. Jika

para pihak menghendaki penguluran waktu dan alasan para pihak tersebut

dapat diterima oleh arbiter, maka arbiter akan menyerahkannya kepada para

pihak tersebut.67

3. Keunggulan dan Kelemahan Expedited Procedure

Keunggulan expedited procedure antara lain berkaitan dengan

waktu dan biaya. Dalam hal yang berkaitan dengan waktu, expedited

procedure memberikan waktu yang singkat dan jelas karena adanya

ketentuan yang sudah tetap (fix).68 Selain itu, proses arbitrase menjadi lebih

cepat dikarenakan majelis arbiter atau arbiter diberikan batas waktu untuk

memberikan putusan akhir. Sebagai contoh, dalam Pasal 4 (1) Lampiran VI

ICC Arbitration Rules 2017 menyatakan bahwa batas waktu majelis arbiter

untuk memberikan putusan akhir adalah enam bulan sejak tanggal

pertemuan penyelenggaraan perkara. SIAC Rules dalam Pasal 5 (2) (d) juga

memberikan batas waktu yang sama, hanya berbeda sejak pembentukan

majelis arbiter. Dalam hal yang berkaitan dengan biaya, expedited

procedure dengan proses cepatnya dapat menghemat biaya yang

dikeluarkan para pihak yang bersengketa. Sebagai contoh dalam Pasal 30 (3)

(b) ICC Arbitration Rules 2017, expedited procedure juga berlaku untuk

sengketa yang nilainya lebih besar dari US$ dua juta, jika para pihak

sepakat untuk menggunakan expedited procedure.

Adapun kelemahan dari expedited procedure adalah kebebasan

para pihak (party’s autonomy) menjadi terbatas karena para pihak tidak

dapat memilih arbiternya sendiri. Pasal 2 (1) Lampiran VI ICC Arbitration

Rules 2017 menyatakan yang artinya:

67 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

68 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

Page 70: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

60

Mahkamah dapat, terlepas dari segala ketentuan dari perjanjian arbitraseyang bertentangan, mengangkat arbiter tunggal.

Mahkamah ICC berwenang untuk menunjuk arbiter tunggal,

walaupun dalam perjanjian arbitrase para pihak telah sepakat untuk

menunjuk tiga arbiter (majelis). Selain itu, kelemahan expedited procedure

lainnya adalah bagi para pihak yang mengulur waktu, mengakibatkan

bertambahnya biaya yang dikeluarkan.69

C. Kebebasan Berkontrak dalam Arbitrase

Asas kebebasan berkontrak di dalam literatur-literatur berbahasa

Inggris dituangkan dalam istilah “Freedom of Contract” atau “Liberty of

Contract” atau “Party Autonomy”. Asas kebebasan berkontrak merupakan

asas yang bersifat universal, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua

negara pada umumnya. 70 Kebebasan berkontrak berarti kebebasan untuk

memilih dan membuat kontrak, kebebasan untuk membuat dan tidak membuat

kontrak, dan kebebasan para pihak untuk membuat isi dari janji mereka, dan

kebebasan untuk memilih subjek perjanjian.71

Dalam kebebasan berkontrak, kontrak didasarkan pada kehendak bebas

para pihak dalam kontrak. Dalam doktrin klasik hukum kontrak Perancis

dianut paham bahwa kontrak berkaitan dengan kehendak bebas (free will).

Kontrak merupakan penjelmaan kemauan bebas para pihak. Para pihak

memiliki otonomi kehendak, yakni kehendak untuk menentukan hukumnya

sendiri. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Kehendak

para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan merupakan dasar

mengikatnya suatu perjanjian dalam Code Civil Perancis. Kehendak itu dapat

dinyatakan dengan berbagai cara, baik lisan maupun tertulis dan mengikat

para pihak dengan segala akibat hukumnya. Sebagaimana diketahui, Code

69 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

70 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagiPara Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. (Jakarta: Grafiti, 2009). h. 22.

71 Konrad Zweight dan Hein Kotz. Introduction to Comparative Law: The Institution ofPrivate Law. (Oxford: Clarendon Press, 1987). h. 8-9.

Page 71: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

61

Civil Perancis mempengaruhi Burgerlijk Wetboek Belanda, yang diadopsi

dalam KUHPerdata Indonesia.72

Dalam hukum perdata barat (Belanda) yang berlaku di Indonesia

sekarang ini, kebebasan berkontrak dapat dikatakan terkandung di dalam

ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata Indonesia, yaitu suatu perjanjian

yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya. Kebebasan berkontrak ini bersumber dari kebebasan individu

(individualisme) sehingga yang menjadi titik tolaknya adalah kepentingan

individu pula. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa kebebasan individu

memberikan kepada kebebasan berkontrak.73

Tidak seperti pengadilan dimana para pihak yang bersengketa terikat

pada hukum dan peraturan pengadilan nasional, para pihak yang telah sepakat

untuk menyelesaikan sengketanya di arbitrase memiliki kebebasan utama

dalam hal memilih metode atau cara untuk menyelesaikan sengketanya dan

lebih dari itu untuk menuntut hak untuk mengatur atau menentukan ‘panggung’

untuk menyelesaikan sengketanya. 74 Salah satu aspek dari kebebasan para

pihak dalam arbitrase adalah dalam hal penunjukkan arbiter.75 Konvensi New

York 1958 dan perundang-undangan arbitrase nasional menjamin kebebasan

berkontrak (party autonomy) atau yang disebut juga kebebasan para pihak

untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan. Pasal 5 Ayat

(1) Huruf (d) Konvensi New York 1958 memberikan pengakuan sebuah

putusan dapat ditolak jika komposisi arbitrase atau prosedur arbitrase tidak

sesuai dengan kesepakatan para pihak, atau tidak sesuai dengan ketentuan

hukum negara di mana arbitrase berlangsung. Pasal tersebut mewajibkan

72 Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Cet. 6. (Jakarta: Kencana,2009). h. 3-4.

73 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagiPara Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia... h. 51-54.

74 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore.(Singapore: Lexis Nexis, 2010). h. 37.

75 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice. (The Netherlands: KluwerLaw International, 2012). h. 121.

Page 72: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

62

pengakuan atas kesepakatan para pihak atas komposisi atau susunan majelis.

Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka hukum dari tempat

pelaksanaan arbitrase akan diterapkan. Pasal tersebut juga memberikan

pengaruh, dalam konteks pengakuan putusan, kepada kebebasan para pihak

dalam menunjuk arbiter. Pasal tersebut serupa dengan Pasal 2 Konvensi New

York 1958 yang mengharuskan setiap negara anggota mengakui kesepakatan

untuk diselesaikan oleh arbitrase, termasuk ketentuan dari klausa arbitrase

yang berhubungan dengan penunjukkan arbiter.76

Selaras dengan Konvensi New York 1958, kebanyakan perundang-

undangan arbitrase menegaskan kebebasan para pihak untuk menunjuk arbiter

mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 11 (2)

UNCITRAL Model Law merupakan representatif dan menyatakan bahwa para

pihak bebas untuk setuju atas prosedur penunjukkan arbiter atau majelis.

Dalam Explanatory Note on the Model Law, Pasal tersebut menyatakan

bahwa pengakuan kebebasan para pihak untuk dipastikan, dengan merujuk

pada aturan arbitrase yang sudah ada atau dengan perjanjian ad hoc, prosedur

untuk diikuti, berpokok pada syarat fundamental dari keadilan.77Aspek lain

dari kebebasan para pihak adalah hak atau wewenang para pihak arbitrase

untuk menetapkan kecepatan proses arbitrase. Hal ini merupakan ciri penting

dari arbitrase. Banyak wilayah hukum (jurisdiksi) sekarang kecewa dengan

waktu atau penundaan yang lama di pengadilan yang berdampak pula pada

biaya yang mahal dikarenakan proses yang lama tersebut, telah meletakkan

beberapa bentuk ‘case management’ untuk pengadilan tidak tertunda atau

berlarut-larut.78

76 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.

77 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.

78 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore... h. 38.

Page 73: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

63

BAB III

PROFIL ICC DAN SIAC

A. International Chamber of Commerce (ICC)

1. Sejarah Berdiri ICC

International Chamber of Commerce (ICC) didirikan ketika Perang

Dunia I berakhir, yaitu pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris.

Tujuannya pada waktu itu dan sampai sekarang masih terus berlaku adalah

melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman

modal, membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran

modal (to serve the world business by promoting trade and investment,

open markets for goods and services, and the free flow of capital) yang di

dalamnya juga berfungsi menyelesaikan sengketa dagang tanpa

menggunakan formalitas hukum.1Satu hal yang menarik ketika organisasi

internasional ini dibentuk adalah telah adanya kesadaran bahwa perlu

adanya harmonisasi praktik dan peraturan internasional yang mengatur

perdagangan di dunia. Harmonisasi praktik perdagangan termasuk di

dalamnya mekanisme untuk penyelesaian sengketa perdagangan.

Pertimbangan terakhir inilah yang kemudian mendorong terbentuknya

ICC.2

Selama ini ICC dipandang sebagai corong dunia usaha (pengusaha)

untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan

kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan

dunia saat ini. Negara-negara di dunia kerap membuat kebijakan atau

keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi perdagangan.3 Peran atau

1 http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp, diakses pada 22 Februari 2018.

2 Yves Derains dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration. (TheHague: Kluwer Law International, 2005). h. 1.

3 Eric Schafer. ICC Arbitration and Practice. (The Hague: Kluwer Law International,2005). h. 1.

Page 74: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

64

adanya suatu badan dunia yang menyuarakan suara para pedagang yang

terkena oleh kebijakan atau keputusan suatu negara menjadi sangat

penting. Untuk itu, ICC memiliki akses langsung kepada pemerintah

negara-negara di dunia melalui national committee ICC (KADIN

Nasional) yang terdapat hampir di setiap negara di dunia.4

Peran penting ICC lainnya adalah sebagai forum penyelesaian

sengketa melalui arbitrase. Sejak ICC didirikan hingga saat ini, badan

arbitrase ICC menjadi lembaga arbitrase yang paling terkemuka di dunia.

Badan arbitrase ICC telah menyelenggarakan lebih dari seribu sembilan

ratus sengketa. Pihak yang bersengketa berkewarganegaraan dari sekitar

seratus delapan puluh negara di dunia. 5 Banyaknya sengketa yang

diselesaikan badan arbitrase ICC menunjukkan kepercayaan yang besar

dari pedagang terhadap badan arbitrase ini. Salah satu indikatornya adalah

jarangnya berita yang memaparkan masalah pelaksanaan putusan arbitrase

ICC.

2. Hukum Acara ICC

Badan arbitrase ICC memiliki aturan hukum acara, yaitu the ICC

Rules of Arbitration. Hukum acara arbitrase ICC telah digunakan secara

luas. Penggunaan hukum acara ini sejalan dengan banyaknya sengketa

yang diselesaikan oleh badan arbitrase ICC. Di samping itu, untuk

meningkatkan efisiensi dan mengakomodir kebutuhan yang berkembang

dalam praktik, hukum acara arbitrase ICC terus mengalami perubahan.

Perubahan pertama terjadi pada tahun 1927 diikuti selanjutnya pada tahun

1931, 1933, 1939, 1947, 1955, 1975, 1988, dan 1998. Perubahan terakhir

dilakukan pada tahun 2017.6

4 Yves Derains dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration... h. 1.

5 http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/, diaksespada 22 Februari 2018.

6 http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/icc-rules-of-arbitration/, diakses pada 22 Februari 2018.

Page 75: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

65

Hukum acara arbitrase ICC, sama halnya seperti pada hukum acara

arbitrase umumnya, terdiri dari dua tahap, yaitu pembentukan majelis

arbitrase dan persidangan arbitrase dari hukum acaranya, ketentuan hukum

acaranya, lebih detail mencakup tata cara arbitrase dari awal hingga akhir.

Hukum acara ini mengatur pengajuan, permohonan, dan jawaban atas

permohonan arbitrase, replik dan duplik (jika ada), pembuktian,

pembuatan putusan arbitrase, biaya arbitrase, hingga pengakuan dan

pelaksanaan arbitrase.7

3. Arbiter ICC

Tidak seperti badan arbitrase umumnya, misalnya BANI, badan

arbitrase ICC tidak memiliki daftar arbiter. Para pihak yang bersengketa

dibatasi untuk memilih arbiter yang akan menyelesaikan sengketanya.

Inilah keunikan dari arbitrase ICC. Aspek negatif ini bukan berarti

kelemahan. Tidak adanya daftar arbiter, para pihak memiliki keleluasaan

lebih untuk menentukan arbiternya. Badan arbitrase ICC hanya

mensyaratkan agar arbiter yang dipilih tetap indepen, tidak memihak, dan

bersedia untuk menjadi arbiter.8

B. Singapore International Arbitration Centre (SIAC)

1. Sejarah Berdiri SIAC

Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dirancang pada

tahun 1990 sebagai perusahaan publik oleh Economic Development Board

(EDB) atau Trade Development Board (TDB), tetapi sekarang menjadi

International Enterprise (IE) Singapore. Formasi SIAC pada awal

mulanya direkomendasikan oleh Economic Committee (EC) pada tahun

1986, hal ini digunakan untuk mempercepat penyelesaian sengketa bisnis.9

7 Yves Derains dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration... h. 1.

8 http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-adr/arbitration/introduction-to-ICC-arbitration/ten-good-reasons-to-choose-ICC-arbitration/, diakses pada 22 Februari 2018.

9 http://www.jurispub.com/cart.php?m=product_detail&p=6738, diakses pada 22 Februari2018.

Page 76: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

66

SIAC merupakan suatu organisasi yang independen dan bukan lembaga

yang mencari keuntungan. SIAC ini diharapkan dapat memenuhi

kebutuhan komunitas bisnis yang ada di dunia. Komunitas ini mencari

lembaga atau organisasi penyelesaian sengketa yang netral, efisien, dan

dapat diandalkan. Organisasi ini didirikan pada tahun 1991 dan telah

menangani seribu kasus termasuk di dalamnya berasal dari Amerika,

Eropa, Asia, dan negara-negara lainnya. Sebanyak delapan puluh persen

dari kasus tersebut merupakan kasus yang berasal dari luar negeri.10

Pada bulan Agustus 1999, The Singapore Academy of Law menjadi

pihak yang bertanggung jawab atas SIAC. Operasional SIAC diawasi oleh

dewan direksi yang terdiri atas perwakilan dari komunitas bisnis

profesional, baik lokal maupun internasional di Singapura. Dalam hal ini,

SIAC merupakan suatu organisasi yang terkenal dimana investor yang

sedang mengalami sengketa lebih memilih untuk menggunakan arbitrase

yang sudah dikenal oleh dunia internasional terutama oleh para pelaku

bisnis. Hal tersebut dikarenakan SIAC sebagai suatu institusi yang

menangani arbitrase, SIAC mengutamakan keadilan atau

ketidakberpihakan (impartiality) dan transparansi dalam setiap

penyelenggaraan arbitrase yang dilakukannya kepada para pihak.

SIAC mempunyai peraturan tersendiri dimana arbitrase dapat

digunakan apabila para pihak yang bersengketa sepakat untuk

menyelesaikan sengketa mereka di bawah peraturan arbitrase UNCITRAL.

UNCITRAL merupakan Rules of Arbitration yang lahir dari resolusi

sidang umum PBB pada tanggal 15 Desember 1976 yang berisikan

mengenai peraturan mengenai arbitrase yang dianggap dapat diterima oleh

segala pihak masyarakat internasional yang sistem hukum sosialnya

berbeda terutama untuk penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan

perdagangan internasional.11

10 http://www.aprag.org/scripts/view-member.asp?recordid=376, diakses pada 22Februari 2018.

11 M. Yahya Harahap. Arbitrase, Ed. 2, Cet. 4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). h. 108.

Page 77: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

67

2. Hukum Acara SIAC

Arbitrase di Singapura dapat dilaksanakan berdasarkan aturan ad

hoc atau diatur oleh suatu badan arbitrase. SIAC mengatur sebagian besar

perkaranya berdasarkan peraturan arbitrasenya sendiri yang diadopsi oleh

para pihak di dalam perjanjian arbitrase mereka. SIAC dapat pula

mengatur arbitrase berdasarkan aturan lainnya yang disetujui oleh para

pihak, misalnya Peraturan Arbitrase UNCITRAL Tahun 2010

(UNCITRAL Arbitration Rules 2010).12Para pihak yang bersengketa yang

telah sepakat untuk menggunakan arbitrase di SIAC, secara otomatis akan

mengikuti peraturan yang terdapat dalam SIAC Rules. SIAC telah

melakukan sejumlah pembaruan peraturan yang resmi diberlakukan sejak

1 Agustus 2016, yaitu SIAC Rules 2016. Peraturan tersebut memuat

beberapa ketentuan baru yang inovatif maupun pengembangan hukum

acara yang telah ada dalam rangka memastikan SIAC tetap memimpin

dalam kancah praktik arbitrase internasional.13

Sehubungan dengan kasus yang melibatkan beberapa kontrak,

Pasal 6 dan 8 SIAC Rules 2016 menawarkan dua alternatif kepada

penggugat, dimana penuntut dapat mengajukan pemberitahuan untuk

setiap kontrak bersama-sama dengan pemberitahuan lain untuk konsolidasi,

atau mengajukan hanya satu pemberitahuan dari arbitrase untuk semua

kontrak. Sebagai tambahan, konsolidasi dapat diminta sebelum konstitusi

majelis arbitrase. Selain itu, Pasal 7 SIAC 2016 memungkinkan pihak dan

pihak ketiga untuk mencari persekutuan atau intervensi ke arbitrase.

Mereka dapat melakukannya sebelum atau setelah konstitusi Majelis

Arbitrase, yang menawarkan fleksibilitas yang lebih besar pihak di

persidangan arbitrase. SIAC Rules 2016 juga mempromosikan efisiensi

dalam proses persidangan arbitrase. Sebagai contoh, Pasal 5

12 Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional... h. 163.

13 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt582d38404424c/simak--delapanperubahan-aturan-terbaru-dalam-siac-rules-2016, diakses pada 22 Februari 2018.

Page 78: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

68

memungkinkan pihak untuk meminta prosedur dipercepat jika mereka

ingin, dan pada kebijaksanaan Pengadilan yang, jika jumlah dalam

sengketa kurang dari SGD enam juta dan jika ada bukti urgensi yang luar

biasa. Sebagai tambahan, Pasal 28 menyatakan bahwa pihak dapat

meminta pemberhentian awal klaim atau pertahanan dianggap kurang

bermanfaat.14

3. Arbiter SIAC

SIAC memiliki suatu panel arbiter yang terakreditasi dan terdiri

dari panel regional serta panel internasional yang beranggotakan para

ahli.15 SIAC akan menunjuk pula arbiter untuk arbitrase dan ad hoc. Wakil

Ketua SIAC adalah pejabat yang berwenang untuk menunjuk arbiter

apabila para pihak tidak berhasil menunjuk arbiter berdasarkan IAA dan

Arbitration Act.16 Ketentuan mengenai jumlah dan penunjukkan arbiter

terdapat dalam Pasal 9 SIAC Rules 2016, yaitu arbiter tunggal akan

ditunjuk, kecuali para pihak telah menyepakati secara berbeda dalam

perjanjian arbitrase, maka perjanjian tersebut harus dianggap sebagai

sebagai perjanjian untuk mencalonkan arbiter. Presiden wajib menunjuk

seorang arbiter pada waktu segera mungkin dapat dilaksanakan dan setiap

keputusan oleh Presiden untuk menunjuk seorang arbiter bersifat final dan

tidak dapat diajukan banding.

14 https://m.lw.com/thoughtLeadership/ICC-launches-new-expedited-procedure-rules,diakses pada 22 Februari 2018.

15 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase. (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2000). h. 161.

16 Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional... h. 163.

Page 79: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

69

BAB IV

PENERAPAN EXPEDITED PROCEDURE DI ICC DAN SIAC

A. Model Expedited Procedure di SIAC

Expedited procedure pertama kali diperkenalkan oleh SIAC dalam Pasal

5 SIAC Rules 2010. Expedited procedure merupakan pilihan dalam menghemat

waktu dan biaya yang disediakan untuk sengketa yang sesuai dengan para

pihak yang sepakat untuk menyelesaikan sengketanya di bawah SIAC Rules.1

SIAC mengeluarkan aturan baru yang berlaku pada 1 Agustus 2016, yaitu

SIAC Rules Edisi Keenam (SIAC Rules 2016). expedited procedure terdapat

pada Pasal 5 SIAC Rules 2016. Dalam Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan bahwa

sebelum pembentukan Majelis, suatu pihak dapat mengajukan permohonan

kepada panitera agar proses arbitrase dilakukan sesuai dengan expedited

procedure jika salah satu kriteria berikut dipenuhi.

1. Jumlah yang dipersengketakan tidak melebihi jumlah yang setara dengan

S$ 6.000.000;

2. Atas kesepakatan para pihak;

3. Dalam hal-hal urgensi yang luar biasa.

Para pihak yang mengajukan proses arbitrase untuk dilakukan sesuai dengan

expedited procedure di bawah Pasal 5 Ayat (1) ini harus, pada saat yang sama

sebagaimana ia mengirimkan permohonan kepada Panitera untuk proses yang

akan dilakukan sesuai dengan expedited procedure, mengirimkan sebuah

salinan permohonan kepada pihak lain dan harus memberitahukan Panitera

bahwa ia telah melakukannya, dengan secara spesifik menjelaskan cara

pengiriman yang digunakan dan tanggal pengiriman.

Kemudian pada Pasal 5 Ayat (2) menjelaskan bahwa ketika suatu pihak

telah mengajukan permohonan kepada panitera sesuai Pasal 5 Ayat (1), dan

ketika Presiden menentukan, setelah mempertimbangkan pandangan-

1 SIAC, “The emergency arbitrator and expedited procedure in SIAC: a new direction forarbitration in Asia”, SIAC Special Report Dispute Resolution, XII, 5 (2015), h. 39.

Page 80: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

70

pandangan para pihak, dan setelah memperhatikan keadaan dari kasus, bahwa

proses arbitrase harus dilaksanakan dengan expedited procedure, prosedur

berikut ini harus berlaku:

1. Panitera dapat mempersingkat batas waktu apapun dalam peraturan ini;

2. Kasus akan dirujuk kepada arbiter tunggal, kecuali jika Presiden

menentukan sebaliknya;

3. Majelis dapat, berdasarkan konsultasi dengan para pihak, memutuskan

bilamana sengketa diputuskan berdasarkan pembuktian dokumen saja, atau

bilamana suatu pemeriksaan dibutuhkan untuk pemeriksaan saksi atau saksi

ahli sebagaimana juga untuk argumen lisan;

4. Putusan akhir harus dibuat dalam waktu enam bulan sejak tanggal Majelis

dibentuk kecuali, dalam kondisi-kondisi pengecualian, Panitera

memperpanjang waktu untuk membuat putusan akhir tersebut; dan

5. Majelis dapat menyatakan alasan-alasan yang menjadi dasar putusan akhir

tersebut dalam bentuk ringkasan, kecuali para pihak telah sepakat bahwa

tidak ada alasan yang akan diberikan.

Dalam Pasal 5 Ayat (3), para pihak yang menyetujui arbitrase di bawah

peraturan tersebut yang proses arbitrase dilakukan sesuai dengan expedited

procedure di bawah Pasal 5, peraturan dan prosedur yang ditetapkan dalam

Pasal 5 Ayat (2) harus berlaku bahkan dalam kasus di mana perjanjian arbitrase

mengandung hal yang bertentangan. Dalam Pasal 5 Ayat (4), atas permohonan

oleh suatu pihak, dan setelah memberikan kesempatan bagi para pihak untuk

didengar, Majelis dapat, dengan memperhatikan informasi lebih lanjut yang

mungkin kemudian menjadi tersedia, dan dengan berkonsultasi dengan panitera,

memerintahkan agar proses arbitrase tidak lagi dilakukan sesuai dengan

expedited procedure. Bilamana Majelis memutuskan untuk mengabulkan

permohonan di bawah Pasal 5 Ayat (4) ini, arbitrase harus dilanjutkan untuk

terus dilakukan oleh Majelis yang sama yang dibentuk untuk melakukan

arbitrase sesuai dengan expedited procedure.

Page 81: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

71

B. Perbandingan Expedited Procedure di ICC dan SIAC

Ketentuan expedited procedure dalam ICC dan SIAC memiliki beberapa

perbedaan. Pertama, dalam Pasal 30 Ayat (2) Huruf a dan Lampiran VI Pasal 1

Ayat (2) ICC Rules disebutkan bahwa ketentuan expedited procedure secara

otomatis diterapkan pada sengketa yang jumlahnya tidak melebihi

US$ 2.000.000. Sedangkan, dalam Pasal 5 Ayat (1) SIAC Rules disebutkan

jumlah yang dipersengketakan tidak melebihi jumlah yang setara dengan

S$ 6.000.000 atau US$ 4.280.000. Kedua, para pihak yang telah menyetujui

untuk mengikuti proses arbitrase di bawah ICC Rules, maka secara otomatis

para pihak juga menyetujui bahwa Pasal 30 dan Lampiran VI yang mengatur

mengenai expedited procedure harus didahulukan dari hal-hal yang

bertentangan dalam perjanjian arbitrase. Sedangkan, dalam SIAC Rules, para

pihak dapat mengajukan permohonan kepada panitera, sebelum pembentukan

majelis, agar proses arbitrase dilakukan sesuai dengan expedited procedure.

Ketiga, Mahkamah ICC memiliki kewenangan untuk tidak menerapkan

expedited procedure pada sengketa berdasarkan Pasal 30 Ayat (3) Huruf C ICC

Rules bahwa Mahkamah ICC, berdasarkan permohonan pihak sebelum

pembentukan majelis arbitrase, dapat memutuskan bahwa sengketa tidak tepat

dilakukan dengan expedited procedure. Sedangkan, dalam SIAC Rules tidak

memberikan kewenangan kepada lembaga atau mahkamah arbitrase untuk

tidak menerapkan expedited procedure. Keempat, dalam Pasal 2 Ayat (1)

Lampiran VI ICC Rules menentukan bahwa sengketa di bawah expedited

procedure, arbiter tunggal akan ditunjuk bahkan jika para pihak telah

menyetujui sebaliknya atau tidak setuju dengan ketentuan tersebut. Sedangkan,

dalam Pasal 5 Ayat (2) SIAC Rules, sengketa akan dirujuk pada arbiter tunggal,

kecuali jika Presiden SIAC menentukan sebaliknya. Kelima, ICC Rules

menentukan adanya penunjukkan arbiter yang dipercepat, yaitu terdapat pada

Lampiran VI Pasal 2 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa para pihak dapat

menunjuk arbiter tunggal dalam batas waktu yang ditetapkan oleh sekretariat

dan ketiadaan penunjukkan tersebut, maka Mahkamah akan menunjuk arbiter

Page 82: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

72

dalam waktu sesingkat mungkin. Sedangkan, SIAC Rules tidak menetapkan

percepatan penunjukkan arbiter.

Keenam, dalam hal kebutuhan yang mendesak atau urgensi luar biasa

(exceptional urgency), dalam ICC Rules tidak ada ketentuan yang

mengharuskan untuk menerapkan expedited procedure. Sedangkan, dalam

Pasal 5 Ayat (1) SIAC Rules disebutkan bahwa expedited procedure dapat

diterapkan untuk kebutuhan mendesak atau urgensi luar biasa bahkan jika

jumlah sengketa melebihi jumlah sengketa yang diperuntukkan untuk kasus

yang dipercepat (expedited cases). Ketujuh, ICC tidak menyediakan klausa

rekomendasi (recommended clause). Sedangkan, SIAC menyediakan klausa

rekomendasi (recommended clause) atau yang juga disebut expedited

procedure model clause2 secara spesifik untuk proses arbitrase dilakukan di

bawah expedited procedure. Kedelapan, dalam Lampiran VI Pasal 4 Ayat (1)

ICC Rules ditentukan bahwa batas waktu pemberian putusan akhir oleh arbiter

adalah enam bulan sejak konferensi managemen (management conference).

Sedangkan, dalam Pasal 5 Ayat (2) SIAC Rules ditentukan bahwa putusan

akhir harus dibuat dalam waktu enam bulan sejak tanggal majelis dibentuk.

Kesembilan, berdasarkan Pasal 32 (2) dan Lampiran VI Pasal 1 Ayat (1) ICC

Rules mengharuskan putusan akhir harus disertai alasan. Sedangkan, dalam

Pasal 5 Ayat (2) SIAC Rules, majelis dapat menyatakan alasan-alasan yang

menjadi dasar putusan akhir dalam bentuk ringkasan, kecuali para pihak telah

sepakat bahwa tidak ada alasan yang akan diberikan.

Sementara itu, persamaan expedited procedure di ICC dan SIAC antara

lain memberikan keleluasaan kepada mahkamah untuk meniadakan

pemeriksaan lisan dan memutuskan sengketa hanya berdasarkan pada dokumen,

serta mewajibkan dilaksanakannya konferensi manajemen (management

conference) untuk kasus atau sengketa yang dipercepat (expedited cases).

2 http://www.siac.org.sg/model-clauses/expedited-procedure-model-clause, diakses pada1 April 2018.

Page 83: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

73

Berikut akan digambarkan perbandingan expedited procedure yang terdapat

dalam ICC Rules dan SIAC Rules.

No. Kategori ICC Rules SIAC Rules

1.

Jumlah

Maksimal

Sengketa

Tidak melebihi dari

US$ 2.000.000. (Pasal

30 Ayat (2) Huruf a dan

Pasal 1 Ayat (2)

Lampiran VI ICC

Rules)

Tidak melebihi jumlah

yang setara dengan

S$ 6.000.000 atau

US$ 4.280.000. (Pasal 5

Ayat (1) SIAC Rules)

2.

Penerapan

(Pengaplikasian)

Expedited

Procedure

Para pihak yang telah

menyetujui untuk

mengikuti proses

arbitrase di bawah ICC

Rules, secara otomatis

para pihak juga

menyetujui bahwa Pasal

30 dan Lampiran VI

yang mengatur

mengenai expedited

procedure harus

didahulukan dari hal-

hal yang bertentangan

dalam perjanjian

arbitrase (Opt-Out).

Para pihak dapat

mengajukan permohonan

kepada panitera, sebelum

pembentukan majelis,

agar proses arbitrase

dilakukan sesuai dengan

expedited procedure

(Opt-In).

3.

Kewenangan

Lembaga

(Mahkamah)

Arbitrase untuk

Tidak

Menerapkan

Mahkamah ICC

memiliki kewenangan

untuk tidak menerapkan

expedited procedure

pada sengketa. (Pasal

30 Ayat (3) Huruf C

SIAC Rules tidak

memberikan kewenangan

kepada lembaga atau

mahkamah arbitrase

untuk tidak menerapkan

expedited procedure.

Page 84: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

74

Expedited

Procedure

ICC Rules)

4. Jumlah Arbiter

Pada sengketa di bawah

expedited procedure

akan ditunjuk arbiter

tunggal, bahkan jika

para pihak telah

menyetujui sebaliknya

atau tidak setuju dengan

ketentuan tersebut.

(Pasal 2 Ayat (1)

Lampiran VI ICC

Rules)

Pada sengketa di bawah

SIAC Rules akan dirujuk

pada arbiter tunggal,

kecuali jika Presiden

SIAC menentukan

sebaliknya. (Pasal 5 Ayat

(2) SIAC Rules)

5.

Percepatan

Penunjukkan

Arbiter

ICC Rules menentukan

adanya penunjukkan

arbiter yang dipercepat.

Para pihak dapat

menunjuk arbiter

tunggal dalam batas

waktu yang ditetapkan

oleh sekretariat dan

ketiadaan penunjukkan

tersebut, maka

Mahkamah akan

menunjuk arbiter dalam

waktu sesingkat

mungkin. (Lampiran VI

Pasal 2 Ayat (2) ICC

Rules)

SIAC Rules tidak

menetapkan percepatan

penunjukkan arbiter.

6. Kebutuhan Dalam ICC Rules tidak Dalam SIAC Rules,

Page 85: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

75

Mendesak

(Urgensi Luar

Biasa)

ada ketentuan yang

mengharuskan untuk

menerapkan expedited

procedure pada

kebutuhan mendesak

atau urgensi luar biasa.

expedited procedure

dapat diterapkan untuk

kebutuhan mendesak

atau urgensi luar biasa,

bahkan jika jumlah

sengketa melebihi jumlah

sengketa yang

diperuntukkan untuk

kasus yang dipercepat

(expedited cases). (Pasal

5 Ayat (1) SIAC Rules)

7.Klausula

Rekomendasi

ICC tidak menyediakan

klausa rekomendasi

(recommended clause).

SIAC menyediakan

klausa rekomendasi

(recommended clause)

atau yang juga disebut

expedited procedure

model clause secara

spesifik.

8.

Batas Waktu

Pemberian

Putusan

Batas waktu pemberian

putusan akhir oleh

arbiter adalah enam

bulan sejak konferensi

manajemen

(management

conference). (Pasal 4

Ayat (1) Lampiran VI

ICC Rules)

Batas waktu pemberian

putusan akhir oleh arbiter

adalah enam bulan sejak

tanggal majelis dibentuk.

(Pasal 5 Ayat (2) SIAC

Rules)

9.Putusan yang

Disertai Alasan

ICC mengharuskan

putusan akhir harus

disertai alasan. (Pasal

Majelis dapat

menyatakan alasan-

alasan yang menjadi

Page 86: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

76

32 Ayat (2) dan Pasal 1

Ayat (1) Lampiran VI

ICC Rules)

dasar putusan akhir

dalam bentuk ringkasan,

kecuali para pihak telah

sepakat bahwa tidak ada

alasan yang akan

diberikan. (Pasal 5 Ayat

(2) Huruf E SIAC Rules)

10.

Ketiadaan

Pemeriksaan

Lisan

ICC memberikan

keleluasaan kepada

mahkamah untuk

meniadakan

pemeriksaan lisan dan

memutuskan sengketa

hanya berdasarkan pada

dokumen. (Pasal 3 Ayat

(5) Lampiran VI ICC

Rules)

SIAC memberikan

keleluasaan kepada

mahkamah untuk

meniadakan pemeriksaan

lisan dan memutuskan

sengketa hanya

berdasarkan pada

dokumen. (Pasal 5 Ayat

(2) Huruf C SIAC Rules)

11.Konferensi

Manajemen

Mewajibkan

pelaksanaan konferensi

manajemen

(management

conference) untuk kasus

atau sengketa yang

dipercepat (expedited

cases).

Mewajibkan pelaksanaan

konferensi manajemen

(management

conference) untuk kasus

atau sengketa yang

dipercepat (expedited

cases).

Page 87: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

77

C. Penerapan Expedited Procedure di BANI

Prosedur dipercepat (expedited procedure) di BANI dalam praktik sudah

diterapkan, yaitu sama dengan lembaga arbitrase lain pada umumnya. Setelah

adanya informasi dari para pihak bahwa semua pihak sudah menunjuk arbiter

masing-masing, kemudian disampaikan penunjukkan arbiter tersebut ke

sekretariat. Selanjutnya, para pihak akan diundang melalui sekretariat untuk

menentukan jadwal sidang. Sidang di BANI dilakukan dalam waktu singkat.

Pada sidang pertama, sudah terdapat jawaban, sudah ada jawab menjawab.

Tatap muka para pihak dengan arbiter hanya dilakukan pada sidang awal,

sidang saksi, dan sidang putusan. Prosedur selebihnya dilakukan melalui

sekretariat seperti penyerahan jawaban, replik, duplik, sampai verifikasi bukti.

Berbeda dengan sidang di pengadilan yang prosedur dan waktunya panjang.3

Sementara itu, dalam hal peraturan, BANI tidak atau belum menerapkan

expedited procedure dan Peraturan dan Prosedur BANI saat ini pun tidak

mengatur mengenai expedited procedure tersebut.4

D. Expedited Procedure VS Asas Kebebasan Berkontrak

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) suatu negara secara

umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan

perkara masih bisa terjadi dalam praktik. Penangguhan bisa terjadi karena

berbagai sebab. Belum lagi apabila terdapat kongesti atau tunggakan perkara

yang telah ada yang harus diselesaikan. Hal ini berarti semakin tertundanya

putusan yang hendak dikeluarkan. Dengan dikeluarkannya putusan pun, bukan

berarti putusannya final dan mengikat karena umumnya sistem hukum nasional

memberikan ‘pintu’ kepada para pihak untuk mengajukan banding. Sifat lama

untuk keluarnya putusan tidak kondusif bagi para pengusaha atau pedagang. Di

mata mereka, waktu sangatlah penting. Berlambat-lambat dalam usaha berarti

3 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

4 Lampiran Surat BANI No.: 18.1199/V/BANI/ED, 16 Mei 2018.

Page 88: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

78

kerugian secara finansial, terutama apabila mereka memiliki kewajiban

finansial kepada pihak debitor (bank atau lembaga keuangan lainnya).5

Salah satu alternatif bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa

melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi) adalah arbitrase. Penyelesaian

yang cepat oleh arbitrase adalah salah satu alasan terpenting mengapa para

pengusaha atau pedagang memilih arbitrase. Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menggunakan

kalimat “dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural

dan administratif.” Proses beracara penyelesaian sengketa melalui arbitrase

relatif lebih cepat dan dapat terukur waktu penyelesaian putusannya dibanding

proses litigasi. Mengingat ada ketentuan waktu yang harus dipatuhi oleh

majelis arbitrase dan para pihak, kecuali para pihak mempunyai alasan yang

dapat diterima. 6 Meskipun proses litigasi juga menerapkan asas cepat,

sederhana, dan biaya ringan yang ditegaskan dalam Undang-Undang No. 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana

terdapat dalam Pasal 4 Ayat (2) yang juga menghendaki agar pelaksanaan

penegakan hukum di Indonesia berpedoman pada asas cepat, tepat, sederhana,

dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan berbelit-belit, tetapi karena proses

litigasi memberikan peluang bagi pihak yang merasa tidak puas untuk

melakukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali sehingga

proses waktu berperkara tidak dapat diprediksi serta biaya yang dikeluarkan

pun menjadi tidak menentu, mengingat banyak komponen biaya yang harus

dikeluarkan selain membayar lawyer fee dan operational fee dan sebagainya.

Hal ini berbeda dengan keunggulan yang dimiliki proses arbitrase sebagai

alternatif penyelesaian sengketa di bidang perdagangan, dalam menerapkan

prinsip cepat dan hemat biaya, kebebasan menentukan prosedur beracaranya,

pengambilan keputusan didasarkan pada keadilan, kejujuran, dan kepatutan.

5 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 32.

6 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase, Cet. 2. (Bandung: PT Alumni, 2016). h. 56.

Page 89: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

79

Yang dimaksud dengan proses cepat karena putusannya berkekuatan hukum

tetap (inkracht), tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi, dan

peninjauan kembali sehingga prediksi waktu dapat ditentukan oleh para pihak.7

Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan cepat

dalam arbitrase. Pertama, karena diberikannya kebebasan kepada para pihak

untuk menentukan sendiri proses beracaranya, yang tentunya mereka akan

memilih prosedur yang singkat dan cepat sehingga jelas akan mendukung ke

arah penyelesaian sengketa cepat, efisien, serta hemat biaya. Kedua, pada

umumnya, pihak-pihak dalam arbitrase adalah subjek hukum yang memiliki

iktikad baik (good faith) untuk sama-sama menyelesaikan sengketa. Dengan

demikian, penyelesaian sengketanya menjadi lebih cepat karena adanya

dukungan dari semua pihak. Ketiga, berperkara melalui arbitrase berarti

berperkara di luar pengadilan. Keadaan ini secara langsung akan membawa ke

arah penyelesaian sengketa yang cepat, singkat, dan tepat. Hal ini karena

terpotongnya jalur birokrasi yang begitu panjang dan bertele-tele sebagaimana

biasanya terjadi pada lembaga pengadilan. Keempat, keistimewaan yang

dimiliki oleh putusan arbitrase ini sendiri, yaitu final dan binding.

Keistimewaan putusan arbitrase ini meniadakan upaya hukum dalam arbitrase

itu sendiri. Dengan kata lain, terhadap putusan arbitrase tersebut tertutup upaya

hukum, baik banding maupun kasasi.8

Sehubungan dengan putusan arbitrase tidak dapat dilakukan upaya hukum

banding ataupun kasasi serta tidak dapat dilakukan upaya hukum luar biasa,

yakni peninjauan kembali (PK), para pihak harus menaati putusan arbitrase.

Putusan arbitrase bagi para pihak adalah bersifat mengikat, final, dan

berkekuatan hukum tetap (final dan binding). Akibat tersebut ditegaskan Pasal

7 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase... h. 59.

8 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase... h. 60.

Page 90: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

80

32 Ayat (2) UNCITRAL Arbitration Rules 1976 dan Pasal 34 Ayat (2)

UNCITRAL Arbitration Rules 2010 yang menyatakan bahwa yang artinya:

Putusan ... harus final dan binding atas para pihak.

Maksud putusan bersifat final adalah putusan mahkamah arbitrase

langsung, merupakan putusan “tingkat pertama” dan “tingkat terakhir”.

Tegasnya, karena putusan Mahkamah Arbitrase yang diatur dalam UNCITRAL

Arbitration Rules ditetapkan bersifat final, putusan tidak dapat dibanding atau

dikasasi. Sifat final yang demikian sejalan dengan asas arbitrase yang

menghendaki proses penyelesaian yang cepat dan sederhana. Sementara itu,

maksud putusan yang bersifat binding adalah putusan tersebut sejak dijatuhkan

langsung “mengikat” kepada para pihak. Dampak lanjut dari sifat binding

menimbulkan akibat kekuatan eksekutorial, yaitu apabila putusan tidak

dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, putusan dapat

dijalankan pelaksanaannya secara paksa oleh badan kekuasaan resmi melalui

peradilan. Untuk apa ada putusan kalau tidak dapat dijalankan dengan paksa

apabila pihak yang kalah enggan memenuhi secara sukarela. Hal tersebut

sejalan dengan kalimat terakhir Pasal 32 Ayat (2) UNCITRAL Arbitration

Rules 1976 dan Pasal 34 Ayat (2) UNCITRAL Arbitration Rules 2010 yang

artinya:9

Para pihak harus segera melaksanakan putusan tanpa ditunda-tunda.

Proses beracara cepat sebagai salah satu pertimbangan para pihak dalam

memilih arbitrase sebagai salah satu penyelesaian sengketa dewasa ini telah

diformalisasikan ke dalam ketentuan di beberapa lembaga arbitrase, baik

nasional maupun internasional. Ketentuan beracara cepat tersebut disebut

dengan expedited procedure. Badan arbitrase ICC sebagai salah satu badan

arbitrase terkemuka di dunia, baru memformalisasikan expedited procedure ke

dalam Arbitration Rules-nya pada tahun 2017. ICC lebih belakangan

9 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase... h. 51.

Page 91: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

81

menerapkan expedited procedure dibandingkan dengan lembaga arbitrase

internasional lainnya karena setiap lembaga mempunyai aturan atau kebijakan

tersendiri di mana terdapat pertimbangan khusus, kadang kala tidak tertulis

pada aturan, namun sudah banyak dipraktikkan.10

Salah satu ketentuan expedited procedure dalam ICC Arbitration Rules,

yaitu Lampiran VI Pasal 2 Ayat (1) yang artinya:

Mahkamah dapat, dengan tidak memperhatikan segala ketentuan perjanjianarbitrase yang bertentangan (dengan ketentuan expedited procedure), menunjukarbiter tunggal.

Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa ICC Rules tidak memberikan para

pihak pilihan untuk memilih lebih dari satu arbiter. Sebaliknya, ICC Rules

menetapkan bahwa pada sengketa atau perkara di bawah expedited procedure,

akan ditunjuk arbiter tunggal meskipun para pihak telah menyepakati

sebaliknya. Padahal, para pihak memiliki kebebasan utama dalam hal memilih

metode atau cara untuk menyelesaikan sengketanya11 dan salah satu aspek dari

kebebasan para pihak dalam arbitrase adalah dalam hal penunjukkan arbiter.12

Konvensi New York 1958 menjamin kebebasan berkontrak atau yang disebut

juga kebebasan para pihak (party autonomy) untuk menunjuk arbiter yang akan

menyelesaikan persengketaan. Pasal 5 Ayat (1) Huruf d Konvensi New York

1958 memberikan pengakuan sebuah putusan dapat ditolak jika komposisi

arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak

atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum negara di mana arbitrase

berlangsung. Pasal tersebut mewajibkan pengakuan atas kesepakatan para

pihak atas komposisi atau susunan majelis. Jika para pihak tidak mencapai

kesepakatan, maka hukum dari tempat pelaksanaan arbitrase akan diterapkan.

Pasal tersebut juga memberikan pengaruh dalam konteks pengakuan putusan

10 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

11 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore.(Singapore: Lexis Nexis, 2010). h. 37.

12 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 121.

Page 92: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

82

terhadap kebebasan para pihak dalam menunjuk arbiter. Pasal tersebut sejalan

dengan Pasal 2 Konvensi New York 1958 yang mengharuskan setiap negara

anggota mengakui kesepakatan untuk diselesaikan oleh arbitrase, termasuk

ketentuan dari klausa arbitrase yang berhubungan dengan penunjukkan

arbiter. 13 Selaras dengan Konvensi New York 1958, Pasal 11 Ayat (2)

UNCITRAL Model Law yang menyatakan bahwa para pihak bebas untuk

setuju atas prosedur penunjukkan arbiter atau majelis.14

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan oleh seorang atau

beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak

yang berperkara, dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara

musyawarah menunjuk pihak ketiga dan dituangkan dalam salah satu bagian

dari kontrak.15 Arbitrase pada dasarnya menggunakan konsep musyawarah dan

dalam Islam sangat banyak dibahas mengenai musyawarah. Salah satunya

dalam firman Allah, yaitu Surat Ali Imran Ayat 159:

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah

lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,

tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah

mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah

dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah

13 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.

14 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.

15 Joni Emirzon. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001). h. 97.

Page 93: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

83

membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang bertawakkal.”

Sedangkan, landasan dalam Hadits Riwayat An-Nasa’i, tentang dialog Nabi

Muhammad dengan Abu Sjureich (sering juga dipanggil Abu Al Hakam):16

Nabi Muhammad : Sesungguhnya hakam itu adalah Allah dan kepada- Nyalah

dimintakan keputusan hukum. Mengapa kamu

dipanggil Abu Al Hakam?

Abu Sjureich : Sesungguhnya apabila kaumku bertengkar mereka

akan datang kepadaku meminta penyelesaian dan kedua

belah pihak rela dengan keputusanku itu.

Nabi Muhammad : Alangkah baiknya perbuatanmu itu! (HR. An-Nasa’i)

Meskipun demikian, pada Lampiran VI Pasal 2 Ayat (2) menyatakan

bahwa yang artinya:

Para pihak dapat mencalonkan arbiter tunggal dalam batas waktu yangditentukan oleh sekretariat. Ketiadaan pencalonan tersebut, arbiter tunggal akanditunjuk oleh mahkamah dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Pasal tersebut telah memberikan jangka waktu untuk para pihak memilih

arbiter tunggal. Jangka waktu tersebut merupakan penerapan dari asas

kebebasan berkontrak dan ditujukan untuk mencapai prinsip atau asas

penyelesaian cepat dalam arbitrase. Lain halnya jika para pihak telah melewati

jangka waktu yang diberikan dan tidak terima atau tidak setuju dengan arbiter

tunggal yang ditunjuk oleh mahkamah arbitrase, maka alasan para pihak

tersebut harus jelas. Apabila sudah lewat dari jangka waktu yang diberikan,

maka hal itu menjadi kewenangan institusi atau lembaga arbitrase yang dalam

hal ini adalah ICC. Selain itu, apabila dalam perjanjian arbitrase telah

ditentukan penyelesaian sengketa diselesaikan oleh majelis arbitrase,

16 Achmad Djauhari. Arbitrase Syariah di Indonesia. (Jakarta: Badan Arbitrase SyariahNasional, 2006). h. 30.

Page 94: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

84

sedangkan sengketa tersebut sesuai atau telah memenuhi ketentuan yang secara

otomatis masuk ruang lingkup expedited procedure, maka para pihak harus

mengikuti aturan expedited procedure, yaitu menggunakan arbiter tunggal.17

Sementara itu, ketentuan expedited procedure dalam SIAC Rules

menyatakan bahwa penunjukkan lebih dari satu arbiter, yaitu dengan

persetujuan Presiden SIAC. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 5 Ayat (2)

SIAC Rules yang artinya:

Kasus akan dirujuk kepada arbiter tunggal, kecuali jika Presiden menentukansebaliknya.

Dalam ketentuan tersebut, ketika Presiden SIAC menentukan, hal itu dilakukan

dengan mempertimbangkan pandangan-pandangan para pihak dan

memperhatikan keadaan dari kasus. Oleh karena itu, expedited procedure

dalam SIAC Rules juga masih memperhatikan asas kebebasan berkontrak para

pihak dalam arbitrase.

Pada lembaga arbitrase nasional, sebagai contoh Badan Arbitrase

Nasional Indonesia (BANI) juga telah menerapkan expedited procedure dalam

Peraturan dan Prosedur BANI yang berlaku tanggal 1 Januari 2018, yaitu Pasal

4 Ayat (5) tentang Penyelesaian Cepat. Penyelesaian Cepat tersebut telah

dipraktikkan sejak dulu, namun baru diformalisasikan akhir-akhir ini. Sengketa

yang masuk ke BANI, secara otomatis mengikuti ketentuan Penyelesaian Cepat

tersebut, namun semua kembali kepada para pihak karena dalam persidangan,

Majelis selalu menghimbau para pihak misalnya apakah para pihak ingin

melakukan mediasi sebelum persidangan atau dilakukan bersamaan dengan

jalannya persidangan, apakah para pihak ingin menggunakan arbiter dalam

mediasinya, dan sebagainya. Penyelesaian Cepat yang ada di BANI tersebut

sudah efektif, namun kadang kala para pihak sendiri yang memperlambat

prosesnya. Sepanjang demi kepentingan para pihak hal itu boleh saja

17 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

Page 95: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

85

dilakukan.18 Ketentuan Penyelesaian Cepat di BANI tersebut sesuai dengan

aspek lain dari kebebasan para pihak, yaitu hak atau wewenang para pihak

arbitrase untuk menetapkan kecepatan proses arbitrase.19

Dari analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara umum expedited

procedure tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena

expedited procedure merupakan ketentuan yang telah diterapkan pada semua

lembaga arbitrase, baik nasional maupun internasional. Walaupun dewasa ini,

ketentuan expedited procedure baru diformalisasikan ke dalam bentuk aturan,

dalam praktiknya expedited procedure telah dilakukan sejak dulu karena

expedited procedure merupakan perwujudan dari asas cepat atau proses

peradilan cepat dalam arbitrase. Selain itu, expedited procedure merupakan

salah satu pertimbangan atau alasan para pihak memilih arbitrase sebagai

bentuk penyelesaian sengketa dan expedited procedure merupakan salah satu

hal yang membedakan antara arbitrase dengan peradilan.

18 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.

19 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore... h. 38.

Page 96: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

86

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, maka diperoleh

kesimpulan sebagai berikut.

1. Pada hakikatnya, expedited procedure sudah sejak lama diterapkan pada

semua lembaga arbitrase, baik ad hoc maupun institusional karena

expedited procedure merupakan perwujudan dari asas cepat atau proses

peradilan cepat dalam arbitrase. Secara umum, expedited procedure tidak

bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena pada dasarnya

expedited procedure dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan

semuanya dikembalikan kepada para pihak. Expedited procedure juga

merupakan salah satu hal yang menjadi pembeda antara arbitrase dengan

peradilan karena dalam expedited procedure diatur suatu proses arbitrase

yang cepat dan singkat bahkan sampai putusannya berkekuatan hukum

tetap (inkracht).

2. Persamaan ketentuan expedited procedure di ICC dan SIAC antara lain

sama-sama memberikan keleluasaan kepada mahkamah untuk meniadakan

pemeriksaan lisan dan memutuskan sengketa hanya berdasarkan pada

dokumen dan mewajibkan pelaksanaan konferensi manajemen

(management conference) untuk kasus atau sengketa yang dipercepat

(expedited cases). Sedangkan, perbedaannya terletak pada jumlah

maksimal sengketa, penerapan (pengaplikasian) expedited procedure,

kewenangan lembaga (mahkamah) untuk tidak menerapkan expedited

procedure, jumlah arbiter, percepatan penunjukkan arbiter, kebutuhan

mendesak (urgensi luar biasa), klausa rekomendasi (recommended clause),

batas waktu pemberian putusan akhir, dan putusan akhir yang disertai

alasan.

Page 97: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

87

B. REKOMENDASI

1. Secara teori, expedited procedure tidak bertentangan dengan asas

kebebasan berkontrak. Namun, ketentuan expedited procedure khususnya

dalam ICC Rules telah mengenyampingkan perjanjian arbitrase di mana

perjanjian arbitrase merupakan sumber utama arbitrase yang terdapat pada

Lampiran VI Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan bahwa mahkamah dapat

menunjuk arbiter tunggal, tanpa memperhatikan ketentuan yang

bertentangan pada perjanjian arbitrase. Oleh karena itu, perjanjian

arbitrase harus lebih diutamakan daripada peraturan lembaga atau institusi

arbitrase.

2. Diperlukan adanya komunikasi antara para pihak dan lembaga arbitrase

yang dalam hal ini adalah ICC apabila perjanjian arbitrase bertentangan

dengan ketentuan expedited procedure dalam ICC Rules. ICC perlu

memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.

Page 98: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

88

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).Jakarta: Fikahati Aneska, 2011.

Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Adolf, Huala. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase. cet. 2.Bandung: Keni Media, 2015.

Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal. Bandung: KeniMedia, 2015.

Adolf, Huala. Hukum Arbitrase Komersial Internasional. cet. 3. Jakarta: RajawaliPers, 2002.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana, 2006.

Black, Henry. Black’s Law Dictionary 2nd Pocket Ed. Bryan A. Garner, WestPublishing Co. 1996.

Blackaby, Nigel dkk. Redfern and Hunter on International Arbitration. New York:Oxford U.P., 2009.

Born, Gary B. International Arbitration: Law and Practice. The Netherlands:Kluwer Law International, 2012.

Chew, Leslie. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore.Singapore: Lexis Nexis, 2010.

David, Rene. Arbitration in International Trade. Netherlands: Kluwer, 1985.

Page 99: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

89

Derains, Yves dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration. TheHague: Kluwer Law International, 2005.

Djauhari, Achmad. Arbitrase Syariah di Indonesia. Jakarta: Badan ArbitraseSyariah Nasional, 2006.

Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2001.

Heilborn, Hillary. A Practical Guide to International Arbitration, ed.2. London:Informa Law, 2008.

Huleatt-James, Mark dan Nocholas Gould. International Commercial Arbitration:A Handbook. London: LLP, 1996.

Kolopaking, Anita Dewi Anggraeni. Asas Itikad Baik dalam PenyelesaianSengketa Kontrak Melalui Arbitrase. cet. 2. Bandung: PT Alumni, 2016.

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2005.

Moses, Margaret L. The Principles and Practice of International CommercialArbitration. Cambridge: Cambridge U.P., 2012.

Redfern, Alan dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration. London: Sweet and Maxwell, 1986.

Rubino-Sammartano, Mauro. International Arbitration Law. Kluwer: Kluwer Lawand Taxation Publishers, 1990.

Schafer, Eric. ICC Arbitration and Practice. The Hague: Kluwer LawInternational, 2005.

Page 100: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

90

Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbangbagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Grafiti,2009.

Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. cet. 6. Jakarta: Kencana,2009.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaandidalam Penelitian Hukum. Jakarta:Pusat Dokumen Universitas Indonesia,1979.

Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2006.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia,2001.

Tweeddale, Andrew dan Keren Tweeddale, Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice. Oxford: Oxford U.P., 2007.

Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. cet. 2.Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2013.

Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2000.

Yahya, M. Harahap. Arbitrase, Ed. 2. cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Zweight, Konrad dan Hein Kotz. Introduction to Comparative Law: TheInstitution of Private Law. Oxford: Clarendon Press, 1987.

Page 101: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

91

Perundang-Undangan

ICC Arbitration Rules 2017

SIAC Arbitration Rules 2016

Jurnal

Kerr, Justice. “The Macao Sardine Case”. Arbitration v. Litigation, Vol. 1987, 3,(1987).

S. C. Chan Leng Sun dan Tan Weiyi, “Making Arbitration Effective: ExpeditedProcedures, Emergency Arbitrators and Interim Relief”. Vol. 2013, 2, (2013).

SIAC, “The emergency arbitrator and expedited procedure in SIAC: a newdirection for arbitration in Asia”, SIAC Special Report Dispute Resolution,XII, 5 (2015).

Soley, A. David. “ICSID Implementation: An Effective Alternative toInternational Conflict, dalam International Lawyer, Vol.19 No. 2, (1985).

Interview

Interview Pribadi dengan Dr. Ir. Dewi Anggraeni Kolopaking, Arbiter dan KetuaDewan Pengawas BANI, Jakarta, 17 April 2018.

Lampiran Surat BANI No.: 18.1199/V/BANI/ED, 16 Mei 2018.

Skripsi

Slampa, Lukas. “International Arbitration Procedure in Theory and Practice.”Skripsi Mendel University in Brno, 2010.

Internet

Asia Pasific Regional Arbitration Group, Data. Diakses dihttp://www.aprag.org/scripts/view-member.asp?recordid=376, pada 22Februari 2018.

Page 102: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

92

Arbitrase Internasional Jaksa Jaringan, 2016 SIAC Rules Arbitrase. Diakses dihttps://www.international-arbitration-attorney.com/id/2016-siac-arbitration-rules/, pada 22 Februari 2018.

BANI, Peraturan dan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia.Diakses di http://www.baniarbitration.org/ina/procedures.php, pada 18 April2018.

Hukum Online, Perubahan Aturan SIAC. Diakses dihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt582d38404424c/simak--delapan-perubahan-aturan-terbaru-dalam-siac-rules-2016, pada 22 Februari 2018.

ICC, Profil ICC. Diakses di http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/icc-rules-of-arbitration/, pada 22Februari 2018.

ICC, Products and Services. Diakses di http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/, pada 22 Februari 2018.

ICC, Introduction of ICC. Diakses di http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/introduction-to-ICC-arbitration/ten-good-reasons-to-choose-ICC-arbitration/, pada 22 Februari 2018.

Juris Legal Information, SIAC-World Arbitration Reporter (WAR). Diakses dihttp://www.jurispub.com/cart.php?m=product_detail&p=6738, pada 22Februari 2018.

Latham & Watkins International Arbitration Practice, ICC Expedited ProcedureRules. Diakses di https://m.lw.com/thoughtLeadership/ICC-launches-new-expedited-procedure-rules, diakses pada 22 Februari 2018.

SIAC, Expedited Procedure Model Clause. Diakses dihttp://www.siac.org.sg/model-clauses/expedited-procedure-model-clause,pada 1 April 2018.

Page 103: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

93

UNCITRAL, UNCITRAL Arbitration Rules 1976. Diakses dihttp://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/1976-Arbitration_rules, pada 20 Februari 2018.

UNCITRAL, UNCITRAL Model Arbitration Law 1985. Diakses dihttp://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/1985Model_Arbitration.html, diakses pada 20 Februari 2018.

Page 104: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

94

Transkrip Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking

17 April 2018

1. Apakah yang dimaksud dengan expedited procedure?

Jawaban:

Proses waktu yang singkat dalam arbitrase. Yang dimaksud singkat adalah

setiap forum mempunyai ketentuan masing-masing, tidak boleh melebihi

jangka waktu, kecuali disepakati oleh para pihak. Hasil putusan tersebut

dianggap cepat adalah tidak melalui proses upaya banding, kasasi, dan

seterusnya. Jadi, putusan tersebut inkracht atau berkekuatan hukum tetap yang

langsung dapat dijalankan. Hal tersebut yang dikatakan cepat, yaitu dalam

waktu yang dianggap singkat atau waktu yang sudah fix, kecuali para pihak

menghendaki penguluran waktu, hal tersebut baru dapat diberikan

kelonggaran. Tetapi, kalau dari peraturan sudah jelas ketentuan waktunya.

2. Bagaimanakah peran dan fungsi (tugas) arbiter dalam expedited procedure?

Jawaban:

Arbiter menjalankan tugas untuk kepentingan para pihak di mana kepentingan

para pihak itu juga dipedomani dengan rules yang mengatur ketentuan waktu.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kalau ada penguluran waktu yang

dikehendaki oleh para pihak karena sesuatu hal yang dapat diterima oleh

arbiter, maka arbiter akan menyerahkannya kepada para pihak.

3. Apakah BANI menerapkan expedited procedure?

Jawaban:

Ya, di BANI sudah menerapkan ketentuan expedited procedure.

4. Apa sajakah keunggulan dan kelemahan expedited procedure?

Jawaban:

Keunggulannya adalah dengan waktu yang singkat dan jelas, sudah

memberikan ketentuan yang fix. Kalau saya lihat dari sisi kelemahannya

belum ada, namun mungkin bagi orang yang suka menunda-nunda waktu hal

itu merupakan suatu kelemahan karena semakin melonggarkan waktu, pasti

ada biaya yang dikorbankan.

Page 105: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

95

5. Bagaimanakah penerapan atau teknik expedited procedure di BANI?

Jawaban:

Pada dasarnya semua arbitrase prosedurnya sama, yaitu sama-sama mengikuti

rules-nya. Setelah ada konfirmasi dari para pihak bahwa semua pihak sudah

menunjuk arbiter yang dimaksud lalu disampaikan ke sekretariat, kemudian

sekretariat menyampaikan kepada para pihak. Saat para pihak sudah jelas dan

sudah menunjuk arbiternya, sekretariat akan mengundang para pihak untuk

menentukan jadwal sidang. Sidang di arbitrase seperti biasa, yaitu sidang

pertama atau sidang awal sudah dianjurkan ada jawaban, para pihak sudah

menerima permohonan dengan jawaban makanya dikatakan lebih cepat atau

singkat. Selain itu, dalam persidangan, jika ingin fix time, tatap muka para

pihak dengan majelis arbitrase atau arbiter hanya dilakukan pada saat sidang

awal, sidang saksi, dan sidang putusan dan prosedur selebihnya dilakukan

melalui sekretariat seperti penyerahan jawaban, replik, duplik, sampai

verifikasi bukti. Berbeda dengan pengadilan yang membutuhkan waktu dan

proses yang panjang misalnya harus menunggu waktu setelah mediasi selama

empat puluh hari, menunggu jawaban, dan lain-lain.

6. Apakah perkara di BANI secara otomatis masuk atau mengikuti expedited

procedure yang ada di BANI?

Jawaban:

Sudah otomatis, tapi semua kembali kepada para pihak. Majelis juga akan

menghimbau para pihak untuk mediasi, bahkan himbauan tersebut sering

diucapkan dalam persidangan. Bisa paralel juga, persidangan berjalan, mereka

(para pihak) bermediasi. Bisa juga majelis menawarkan untuk menunjuk

arbiter dalam membantu proses mediasi atau mediasi dijalankan sendiri. Tapi

hal itu tidak mengapa karena demi kepentingan para pihak. Sepanjang demi

kepentingan para pihak, maka boleh-boleh saja.

Page 106: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

96

7. Apakah penerapan expedited procedure yang dilakukan di BANI sudah efektif?

Jawaban:

Ya, sudah efektif. Memang dari dulu sudah begitu. Dalam praktiknya

expedited procedure sudah dijalankan, hanya saja baru diformalisasikan dalam

bentuk aturan sekarang ini.

8. ICC juga baru mengeluarkan expedited procedure yang berlaku pada Maret

2017. Sedangkan, banyak lembaga arbitrase nasional maupun internasional

lain yang sudah menerapkan Expedited Procedure terlebih dahulu seperti

Hong Kong International Arbitration Centre Arbitration (HKIAC) pada tahun

2008, Swiss Rules pada tahun 2012, ICDR Expedited Procedures Rules pada

tahun 2014, dan sebagainya. Mengapa ICC lebih belakangan menerapkan

expedited procedure?

Jawaban:

Tiap lembaga arbitrase mempunyai kebijakan atau aturan sendiri yang

pastinya ada pertimbangan-pertimbangan khusus. Seharusnya ICC sama

dengan lembaga arbitrase lainnya, namun terkadang tidak fix disampaikan

pada rules karena ICC banyak dilakukan dalam ad hoc (prosedur ad hoc). Jadi,

digunakan rules ICC, tapi persidangannya ad hoc.

9. Dalam ICC Rules 2017, terdapat ketentuan di Lampiran VI Pasal 2 yang

menyatakan bahwa Mahkamah Arbitrase dapat menunjuk arbiter tunggal

dengan tanpa memperhatikan perjanjian arbitrase. Apakah ketentuan tersebut

bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak?

Jawaban:

Jika dalam rules telah ditentukan untuk menunjuk arbiter tunggal, maka harus

tunduk dan mengikuti rules tersebut. Namun, jika dalam perjanjian arbitrase

para pihak telah sepakat untuk menunjuk majelis arbitrase, para pihak harus

mengikuti rules untuk menunjuk arbiter tunggal. Sebenarnya, kalau dilihat

dari perjanjian arbitrase, maka harus ikut perjanjian. Namun, kalau perjanjian

berbenturan dengan rules dari suatu institusi atau lembaga arbitrase, maka

seharusnya ada komunikasi dan harus mencari solusi supaya tidak saling

Page 107: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN

97

bertentangan. Biasanya para pihak akan menanyakan kepada lembaga

arbitrase dan lembaga arbitrase tersebut akan memberikan solusi. Kalau

memang dalam rules ternyata ketentuannya mengenyampingkan perjanjian,

seharusnya yang dipakai adalah perjanjian tersebut. Jadi, perjanjian

tersebutlah yang menjadi pegangan atau pedoman, jika tidak ada rules yang

mengatur.

10. Apakah secara umum dan pada hakikatnya expedited procedure bertentangan

dengan asas kebebasan berkontrak?

Jawaban:

Secara umum, expedited procedure tidak bertentangan dengan asas kebebasan

berkontrak karena expedited procedure memang diterapkan di semua lembaga

arbitrase untuk mencapai asas cepat tersebut. Berbeda dengan peradilan umum.

Justru, expedited procedure yang membedakan arbitrase dengan lembaga

peradilan umum atau publik karena expedited procedure mengatur proses

yang cepat bahkan sampai putusannya inkracht.

Page 108: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 109: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 110: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
Page 111: THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN