Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
THE COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE
BETWEEN INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE (ICC)
AND SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC)
(PERBANDINGAN PROSEDUR DIPERCEPAT ANTARA
KAMAR DAGANG INTERNASIONAL DAN PUSAT
ARBITRASE INTERNASIONAL SINGAPURA)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Dian Oktavia
11140480000015
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439H/2018M
ABSTRAK
Dian Oktavia. NIM 11140480000015. THE COMPARISON OF EXPEDITEDPROCEDURE BETWEEN INTERNATiONAL CHAMBER OF COMMERCE(ICC) AND SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC)(PERBANDINGAN PROSEDUR DIPERCEPAT ANTARA KAMAR DAGANGINTERNASIONAL DAN PUSAT ARBITRASE INTERNASIONALSINGAPURA). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, FakultasSyariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta1439H/2018M. lsi: ix + 87 halarnan + 8 ba1aman lampiran + 6 balaman daftarpustaka.
Penelitian ini membabas mengenai ketentuan prosedur dipercepat dalam ICC danSIAC. Ketentuan tersebut bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karenatelah mengenyampingkan perjanjian arbitrase yang merupakan sumber hukumyang utama dan terpenting dalam arbitrase. Penulis ingin membandingkanketentuan expedited procedure yang terdapat di ICC dengan ketentuan expeditedprocedure yang terdapat di SIAC karena ketentuan expedited procedure padakedua lembaga tersebut memiliki perbedaan yang kontras.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yang bersifat yuridis normatif sertapendekatan yang digunakan adalah pendekatan komparatif dan pendekatankonseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studikepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan expedited procedure tidakbertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena pada dasamya ketentuanexpeditedprocedure dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Perbandinganketentuan expedited procedure antara ICC dan SIAC menunjukkan persamaanmaupun perbedaan dalam beberapa aspek. Dalam hal persamaannya, yaitu keduaketentuan expedited procedure tersebut memberikan kewenangan kepadamahkamah arbitrase untuk meniadakan pemeriksaan lisan, memutus sengketahanya berdasarkan dokumen, dan mewajibkan pelaksanaan konferensimanajemen. Dalam hal perbedaannya, yaitu meliputi beberapa aspek diantaranyajumlah maksimal sengketa, penerapan ketentuan, kewenangan lembaga ataumahkamah untuk tidak menerapkan ketentuan, jumlah arbiter, percepatanpenunjukkan arbiter, urgensi luar biasa, klausula rekomendasi, batas waktupemberian putusan akhir, dan putusan akhir yang disertai alasan.
Kata Kunci : Arbitrase, Expedited Procedure, dan Asas Kebebasan Berkontrak.
Pembimbing : Hidayatulloh, M.B.
Daftar Putaka : Tahun 1979 Sampai Tahun 2016
lV
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, baik arbitrase yang bersifat
sementara (ad hoc) maupun sebuah badan permanen (institusi), merupakan
praktik yang sudah sangat lama dikenal dalam dunia perdagangan. Demikian
pula perbedaan referensi mengenai arbitrase ad hoc sebagai lawan arbitrase
institusi telah diterima menjadi bagian penting dalam kegiatan arbitrase
nasional maupun internasional.1 Pada umumnya, arbitrase ad hoc ditentukan
berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukkan majelis arbitrase serta
prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad
hoc pun perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Sedangkan, arbitrase
institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini
dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase,
baik yang bersifat nasional seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
maupun internasional seperti International Chamber of Commerce (ICC),
Singapore International Arbitration Centre (SIAC), dan sebagainya. Badan-
badan arbitrase nasional dan internasional tersebut memiliki peraturan dan
sistem arbitrase sendiri. Dengan demikian, dalam transaksi bisnis saat ini para
pihak tidak dapat dengan bebas, misalnya memilih arbiter yang akan
menangani sengketa karena mereka terikat pada lembaga yang bersifat
mengatur arbitrase tersebut.2
Dalam kegiatan bisnis, arbitrase merupakan praktik untuk mengatur
sendiri penyelesaian sengketa diantara pengusaha, atas dasar perjanjian yang
dilakukan secara tertulis, dengan menunjuk arbiter atau para arbiter. Para
1 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration. (London: Sweet and Maxwell, 1999). h. 13.
2 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 2006). h. 21.
2
pengusaha tersebut berjanji akan menaati putusan yang diambil oleh para
arbiter yang telah mereka pilih.3 Penunjukkan arbiter merupakan salah satu
alasan para pengusaha memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian
sengketa. Para pengusaha atau para pihak yang bersengketa tersebut diberikan
kesempatan untuk memilih arbiter yang mereka anggap dapat memenuhi
harapan mereka, baik dari segi keahlian atau pengetahuannya.
Kamar Dagang Internasional (ICC) mengeluarkan versi baru dari aturan
arbitrasenya yang berlaku efektif pada 1 Maret 2017, yaitu ICC Arbitration
Rules 2017 (ICC Rules). Aturan arbitrase baru ICC tersebut menggantikan
aturan lama, yaitu ICC Arbitration Rules 2012. Perubahan yang paling
signifikan dari ICC Rules 2017 adalah dimunculkannya ketentuan mengenai
prosedur dipercepat (expedited procedure). Ketentuan tersebut terdapat dalam
pasal 30 dan Lampiran VI ICC Rules 2017. Hal yang paling penting dan paling
utama dari ketentuan expedited procedure terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)
Lampiran VI yang menyebutkan bahwa ICC Court (Mahkamah ICC) diberikan
kewenangan untuk menunjuk arbiter tunggal yang memimpin semua proses
arbitrase, terlepas dari perjanjian arbitrase yang telah dibuat para pihak.
Ketentuan tersebut juga tidak memberikan para pihak untuk memilih lebih dari
satu arbiter. Di sisi lain, kewenangan Mahkamah ICC tersebut secara implisit
telah membatasi kebebasan para pihak untuk menentukan arbiter yang akan
menangani sengketanya. Hal itu tidak sesuai dengan asas kebebasan para pihak
dalam arbitrase. Padahal, dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak
memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka
netral dan ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.
Penerimaan, kepercayaan, dan apresiasi para pihak terhadap arbitrase
tampak dalam kesepakatan para pihak yang sejak awal memilih lembaga
arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya. Selain itu, hal tersebut juga
tercermin dari kehendak para pihak untuk memilih arbiternya. Dalam proses ini
sudah tentu para pihak telah melihat berbagai segi dari calon arbiternya, baik
3 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 21.
3
latar belakang keahliannya, integritasnya, pengalamannya dalam
menyelesaikan sengketa, dan lain-lain. Refleksi dari sifat dasar ini berbeda
dengan pengadilan nasional. Pengadilan memiliki kewenangan atau kekuasaan
(power) yang berasal dari kekuasaan negara di bidang judikatif. Kekuasaan
negara ini sesuai dengan sistem yang dikenal dalam ketatanegaraan, yaitu
adanya kekuasaan negara di bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif.4
Expedited procedure bukanlah pertama kali dimunculkan di ICC.
Beberapa lembaga arbitrase internasional telah memasukkan Expedited
Procedure dalam aturan arbitrasenya. Contohnya, Expedited Hong Kong
International Arbitration Centre Arbitration (Expedited HKIAC Arbitration)
(2008), (Swiss Rules of International Arbitration (Swiss Rules) (2012), ICDR
Rules for International Expedited Procedures (ICDR Expedited Procedures
Rules) (2014), Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration
Centre (SIAC Arbitration Rules) (2016), dan Rules for Expedited Arbitrations
of the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC
Expedited Arbitration Rules) (2017). Expedited procedure pada lembaga-
lembaga arbitrase internasional tersebut masing-masing memiliki perbedaan,
misalnya dari segi nilai maksimum sengketa, penerapan otomatis, kewenangan
untuk tidak menerapkan Expedited Procedure, prosedur berdasarkan
dokumen/tanpa mendengar, jangka waktu pengumuman putusan, dan lain-lain.
Lembaga arbitrase internasional terkemuka yang sering menjadi pilihan
forum penyelesaian sengketa oleh para pengusaha atau pebisnis di Indonesia
adalah ICC dan SIAC. ICC yang didirikan pada tahun 1923 di Paris, Perancis
merupakan forum arbitrase terkemuka dan tertua di dunia. Alasan ICC menjadi
pilihan forum penyelesaian sengketa karena di ICC dilakukan pendekatan yang
ketat, proses yang efisien, dan aturan praktis yang mencakup setiap masalah
kontrak yang merupakan nilai dan pendekatan yang selalu dipegang oleh
arbiter ICC dalam menangani perkara. Arbiter ICC berasal dari seluruh dunia
yang diakui dan dihormati keahliannya dalam menyelesaikan sengketa
4 Huala Adolf. Hukum Perdagangan Internasional. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). h. 59
4
internasional. Sementara itu, SIAC banyak dipilih oleh pengusaha atau pebisnis
di Indonesia sebagai forum penyelesaian sengketa dikarenakan lokasinya yang
cukup dekat dengan Indonesia. Salah satunya karena secara umum arbiter yang
ada di SIAC jauh lebih memahami seluk beluk masalah pengusaha atau
pebisnis di Indonesia. Selain itu, SIAC Rules kerap dinilai lebih efisien, hemat
biaya, dan fleksibel. Ditambah lagi arbiter SIAC dapat menggabungkan fitur
dari sistem hukum civil law dan common law. SIAC juga mencantumkan
ketentuan expedited procedure yang terdapat dalam SIAC Rules 2016, yakni
dalam Pasal 5 tentang Acara Cepat. Perbedaan ketentuan expedited procedure
yang terdapat dalam ICC Rules dan SIAC Rules memiliki perbedaan yang
paling kontras dibandingkan dengan lembaga arbitrase internasional lainnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih
dalam permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul “THE
COMPARISON OF EXPEDITED PROCEDURE BETWEEN
INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE (ICC) AND SINGAPORE
INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) (PERBANDINGAN
PROSEDUR DIPERCEPAT ANTARA KAMAR DAGANG
INTERNASIONAL DAN PUSAT ARBITRASE INTERNASIONAL
SINGAPURA).”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Pada 1 Maret 2017, Kamar Dagang Internasional (ICC)
mengeluarkan revisi aturan arbitrase baru, yaitu ICC Arbitration Rules 2017
(ICC Rules). Aturan baru tersebut menggantikan aturan lama, yaitu ICC
Arbitration Rules 2012. Tujuan dari ICC Rules adalah untuk meningkatkan
keefisienan biaya, transparansi, dan kecepatan prosedur. Dalam waktu yang
sama, ICC Rules juga memberikan Mahkamah ICC kewenangan lebih
dalam pembuatan keputusan seperti Mahkamah ICC berwenang mengangkat
arbiter tunggal, Mahkamah kemungkinan dapat memutuskan hanya
5
berdasarkan dokumen atau tanpa mendengarkan secara lisan, dan
Mahkamah tidak mengizinkan permintaan pengeluaran dokumen atau
membatasi waktu dan cakupan pendapat tertulis, pernyataan saksi, dan
pernyataan ahli.
Pada hari yang sama, ICC juga mengeluarkan “Note to Parties and
Arbitral Tribunals on the Conduct of the Arbitration under the ICC Rules of
Arbitration” (“Note to Parties”), yaitu panduan resmi untuk aturan baru
tersebut dan panduan resmi tersebut memiliki kepentingan istimewa bagi
Mahkamah ICC. Salah satu perubahan yang terpenting adalah
diperkenalkannya sebuah aturan baru yang mempercepat dan
menyederhanakan prosedur arbitrase dengan biaya yang lebih terjangkau,
yang diatur dalam Pasal 30 ICC Arbitration Rules 2017 dan Lampiran VI.
Aturan baru tersebut dikenal dengan Expedited Procedure.Perubahan baru
tersebut tidak sepenuhnya baru dalam dunia arbitrase internasional.
Expedited Procedur juga telah diperkenalkan oleh lembaga arbitrase
internasional lainnya seperti Expedited Hong Kong International Arbitration
Centre Arbitration (Expedited HKIAC Arbitration) (2008), (Swiss Rules of
International Arbitration (Swiss Rules) (2012), ICDR Rules for
International Expedited Procedures (ICDR Expedited Procedures Rules)
(2014), Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Centre
(SIAC Arbitration Rules) (2016), dan Rules for Expedited Arbitrations of the
Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC
Expedited Arbitration Rules) (2017).
Berdasarkan uraian di atas, maka identifikasi masalah dari
penelitian ini adalah:
a. Latar belakang penambahan expedited procedure dalam ICC Arbitration
Rules 2017.
b. Kewenangan the Court of International Chamber of Commerce
(Mahkamah ICC) yang diperluas dengan adanya ICC Arbitration Rules
2017.
6
c. Pengaruh expedited procedure terhadap asas kebebasan berkontrak para
pihak dalam arbitrase.
d. Posisi kelembagaan arbitrase menjadi pengadilan dengan adanya
expedited procedure.
e. Penerapan expedited procedure dalam ICC Arbitration Rules lebih
belakangan daripada lembaga arbitrase internasional lainnya.
f. Persamaan dan perbedaan expedited procedure pada lembaga-lembaga
arbitrase internasional.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum arbitrase,
maka peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan
peneliti. Di sini peneliti hanya akan membahas mengenai expedited
procedure yang dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak dan
perbandingan ketentuan expedited procedure di ICC dan SIAC.
3. Perumusan Masalah
Untuk lebih mengerucutkan pokok permasalahan yang akan diteliti,
maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan
uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini meliputi :
a. Bagaimana pengaruh asas kebebasan berkontrak para pihak dalam
arbitrase terhadap adanya expedited procedure?
b. Bagaimana persamaan dan perbedaan ketentuan expedited procedure di
ICC dan SIAC?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah.
Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
7
1. Untuk mengetahui pengaruh asas kebebasan berkontrak para pihak dalam
arbitrase terhadap adanya expedited procedure.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan ketentuan expedited
procedure di ICC dan SIAC.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
sumbangan pemikiran dan pengetahuan dalam ilmu hukum, khususnya
untuk memberikan analisis dan gambaran tentang expedited procedure
dalam ICC dan SIAC.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dan masukan kepada pembuat kebijakan atau prosedur arbitrase terkait
dengan hukum acara arbitrase khususnya mengenai prosedur dipercepat
dalam arbitrase.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, maka dilakukan
tinjauan kajian atau penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini,
diantaranya :
1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung Tahun 2017 yang ditulis
oleh Desia Rakhma Banjarani dengan judul “STUDI PERBANDINGAN
INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR THE FORMER
YUGOSLAVIA (ICTY), INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL
FOR RWANDA (ICTR) DAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT
(ICC)”. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian peneliti,
yaitu sama-sama membandingkan lembaga hukum internasional. Namun,
skripsi tersebut lebih fokus pada bidang hukum pidana internasional dan
fokus membandingkan tiga lembaga hukum internasional. Sedangkan,
8
penelitian peneliti fokus pada hukum arbitrase internasional dan fokus
membandingkan expedited procedure yang terdapat dalam ICC dan SIAC.
2. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau Tahun 2015 yang ditulis oleh Ari Wirliadi dengan
judul “ANALISIS KEDUDUKAN ARBITRASE NASIONAL DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA DAN
PERBANDINGAN DENGAN ARBITRASE INTERNASIONAL”.
Penelitian tersebut memiliki tema yang sama dengan penelitian peneliti,
yaitu sama-sama membahas mengenai arbitrase dan sama-sama
membandingkan beberapa lembaga arbitrase. Namun, skripsi tersebut
lebih membahas mengenai kedudukan arbitrase nasional dalam
penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia dan perbandingannya dengan
arbitrase Internasional serta membandingkan secara keseluruhan lembaga
arbitrase nasional (BANI) dengan arbitrase internasional. Sedangkan,
peneliti dalam penelitian ini fokus membahas ketentuan expedited
procedure yang terdapat dalam ICC dan SIAC.
3. Jurnal yang ditulis oleh Ahkhan Baharuddin Tenro, Alma Manuputty,
dan Irwansyah, Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Universitas Hasanuddin Tahun 2015 yang berjudul “EKSISTENSI THE
INTERNATIONAL CHAMBER OF COMMERCE DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS INTERNASIONAL”. Penelitian
tersebut membahas mengenai kedudukan the International Chamber of
Commerce (ICC) sebagai salah satu choice of forum dalam penyelesaian
sengketa bisnis internasional dan pelaksanaan putusan arbitrase ICC di
Indonesia. Sedangkan, penelitian peneliti fokus membahas mengenai
expedited procedure yang terdapat dalam ICC dan SIAC.
F. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.
9
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode
pengumpulan data sebagai berikut.
1. Pendekatan Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe
penelitian yuridis normatif (law in book). Penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, putusan pengadilan serta
norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. 5 Tipe penelitian yuridis normatif
disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu
penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law
as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim
melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial
process). 6 Berkaitan dengan tipe penelitian yuridis normatif, maka
pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan komparatif (comparative approach)
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan
ketentuan expedited procedure yang terdapat dalam ICC Arbitration Rules
dan SIAC Rules. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan merujuk pada pandangan-
pandangan sarjana hukum dan doktrin-doktrin hukum arbitrase.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian kualitatif, yaitu dengan mendalami pemahaman mengenai
ketentuan atau aturan yang terkait kemudian dijabarkan dalam bentuk
tulisan atau paragraf.
5 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan didalamPenelitian Hukum. (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979). h. 18.
6 Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana,2006). h. 118.
10
3. Sumber Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum normatif, tidak dikenal adanya istilah data.
Hal ini dikarenakan sumber penelitian hukum normatif diperoleh dari
kepustakaan, bukan dari lapangan sehingga istilah yang dikenal adalah
bahan hukum.7 Dalam penelitian hukum normatif, bahan hukum merupakan
bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut sebagai data
sekunder. Berikut adalah bahan-bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini adalah ICC Arbitration Rules 2017
dan SIAC Rules 2016.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak
mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang
merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang
mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan
petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, hasil penelitian,
hasil wawancara (interview), teori atau pendapat sarjana hukum, dan
artikel dalam media elektronik.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan
pemahaman dan pengertian serta penjelasan atas bahan hukum lainnya.
Bahan-bahan hukum tersier yang digunakan peneliti adalah kamus besar
Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia, dan lain-lain.
7 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum Edisi Revisi. (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2005). h. 181.
11
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) dan studi
lapangan (field research). Studi kepustakaan (library research) dilakukan
dengan mengumpulkan bahan hukum yang didasarkan pada literatur atau
pustaka dengan menghimpun bahan hukum dari telaah arsip atau studi
pustaka seperti aturan-aturan hukum, buku-buku, jurnal, dan artikel yang
berfungsi untuk menguraikan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dan studi lapangan (field research) dilakukan dengan wawancara
dengan pakar arbitrase guna memperoleh bahan hukum yang mendukung
penelitian ini.8
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yaitu suatu metode
analisis bahan hukum yang tidak menampilkan angka-angka sebagai hasil
penelitian, tetapi disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian
kalimat-kalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan. Hasil dari analisis
bahan hukum ini akan disimpulkan secara deduktif, yaitu cara berpikir yang
menarik suatu kesimpulan dari suatu pertanyaan yang bersifat umum
menjadi suatu pertanyaan yang bersifat khusus kemudian dari kesimpulan
dapat diajukan beberapa saran terhadap permasalahan.
6. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017.
8 Ronny Hanitijo Soemitro dan Jurimetri. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: GhaliaIndonesia, 2001). h. 107.
12
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi sekilas pengantar
untuk memahami garis besar dari seluruh pembahasan. Dalam bab
ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, identifikasi
masalah, pembatasan masalah yang akan dibahas, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan skripsi, tinjauan kajian terdahulu,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini merupakan tinjauan umum yang membahas mengenai teori-
teori dalam arbitrase, expedited procedure, dan asas kebebasan
berkontrak dalam arbitrase.
BAB III : Bab ini membahas mengenai profil ICC dan SIAC.
BAB IV : Bab ini menjelaskan tentang model expedited procedure di SIAC,
perbandingan expedited procedure yang terdapat di ICC dan SIAC,
penerapan expedited procedure di BANI, dan expedited procedure
VS asas kebebasan berkontrak.
BAB V : Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi.
13
BAB II
TEORI EXPEDITED PROCEDURE DAN TEORI KEBEBASAN
BERKONTRAK DALAM ARBITRASE
A. Arbitrase
1. Pengertian Arbitrase
Perkataan arbitrase berasal dari arbitrare (bahasa Latin) yang
berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.1
Menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan suatu tindakan hukum
di mana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat
antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada
seseorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan
memperoleh satu keputusan final dan mengikat, setelah mendengar pihak-
pihak tersebut berdasarkan aturan yang biasa diterapkan di pengadilan atau
ketentuan-ketentuan lainnya yang disepakati sebelumnya oleh pihak yang
bersengketa. 2 Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How
Arbitration Works memberikan pengertian arbitrase adalah suatu proses
yang mudah atau simple yang dipilih para pihak secara sukarela yang ingin
agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan
mereka, di mana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara
tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut
secara final dan mengikat.3
Menurut Black’s Law Dictionary, pengertian arbitrase adalah yang
artinya:
Sebuah proses penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga yang netral(arbiter) memberikan putusan setelah mendengarkan kedua pihak yang
1 Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013). h. 36.
2 Priyatna Abdurrasyid. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). (Jakarta:Fikahati Aneska, 2011). h. 61.
3 Rachmadi Usman. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cet. 2. (Jakarta:PT Citra Aditya Bakti, 2013). h. 137.
14
keduanya memiliki kesempatan untuk didengarkan. Dikarenakan arbitrasebersifat sukarela, pihak yang bersengketa memilih arbiter yang memilikikekuatan untuk memutuskan sebuah keputusan yang mengikat.4Huala Adolf mengelompokkan arbitrase ke dalam dua arti, yaitu arbitrase
dalam arti sempit dan arbitrase dalam arti luas. Arbitrase dalam arti sempit
adalah arbitrase sebagai suatu lembaga dan penyelesaian sengketa yang
khusus menangani dan menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang
perdagangan. Arbitrase dalam arti ini adalah arbitrase yang pengaturannya
tunduk pada pengaturan di bawah United Nations Commission
International Trade Law (UNCITRAL). Aturan-aturan yang dibuat
UNCITRAL di bidang arbitrase adalah UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitraton (1985 dan 2006) atau UNCITRAL
Arbitration Rules (1976 dan 2010). Kedua instrumen hukum tersebut
menegaskan bahwa substansi atau objek pengaturan arbitrase adalah
pengaturan untuk sengketa-sengketa di bidang perdagangan. Kedua
instrumen ini sifatnya soft law, yakni tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat negara-negara atau para pihak. Kedua instrumen hukum tersebut
telah menjadi ‘standar’ pengaturan arbitrase, baik dari pengaturan materiil
maupun formil. Hal tersebut karena substansi di dalamnya dipandang
sebagai pengaturan yang mencerminkan perkembangan terkini dari praktik
arbitrase.5
Arbitrase dalam arti luas adalah arbitrase sebagai lembaga
penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan segala sengketa. Dalam
kategori ini, pengertian arbitrase dalam Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) merupakan arbitrase dalam pengertian luas. Pasal 33 Ayat
(1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan yang artinya:
Para pihak terhadap segala sengketa, kelangsungan yang memungkinkanakan membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamananinternasional, harus, pertama-tama, mencari solusi melalui negosiasi,
4 Henry Black. Black’s Law Dictionary 2nd Pocket Ed. (Bryan A. Garner, WestPublishing Co., 1996). h. 326.
5 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase, Cet. 2. (Bandung:Keni Media, 2015). h. 5.
15
penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian hukum, usahauntuk aparat daerah atau pengaturan, atau cara-cara damai lainnya daripilihan mereka sendiri.
Pasal tersebut menyatakan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa
antar negara. Sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase tampak pada
awal kalimat pasal ini, yaitu any dispute atau segala sengketa.
Pengertian arbitrase juga telah disebutkan dalam Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara suatu penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2. Sumber Hukum Arbitrase
a. Klausul atau Perjanjian Arbitrase
Sumber hukum arbitrase yang utama dan terpenting adalah klausul
atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Klausul arbitrase
atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak untuk
menyerahkan setiap sengketa kepada arbitrase merupakan dasar hukum
bagi eksistensi arbitrase. Arbitrase hanya akan ada bila ada perjanjian
atau klausul arbitrase. Klausul arbitrase (arbitration clause atau clause
compromissoire) adalah salah satu klausul dalam satu perjanjian atau
kontrak dagang. Klausul ini memuat kesepakatan para pihak untuk
menyerahkan sengketa dagangnya sebagai pelaksanaan dari kontrak
yang mungkin timbul di masa depan kepada suatu lembaga arbitrase.
Sedangkan, perjanjian arbitrase (submission agreement atau
compromis) adalah suatu perjanjian khusus yang memuat kesepakatan
untuk menyerahkan sengketanya yang telah timbul kepada suatu
lembaga arbitrase atau lembaga arbitrase ad hoc. 6 Sumber hukum
utama Prinsip bahwa kesepakatan para pihak melahirkan hukum,
berlaku pula terhadap kesepakatan para pihak yang tertuang dalam
6 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 82.
16
klausul atau perjanjian arbitrase sehingga klausul arbitrase yang
berasal dari kesepakatan para pihak adalah the law of the parties.
Kesepakatan ini melahirkan fungsi kewenangan suatu lembaga
arbitrase. Termasuk dalam lingkup hukum para pihak ini adalah
penentuan jumlah arbiter, bagaimana cara/prosedur penunjukan arbiter,
sampai berapa jauh kekuasaan yang dimilikinya, bagaimana hukum
acaranya, dan hukum yang berlaku yang akan diterapkan oleh suatu
lembaga arbitrase. Berikut uraian secara singkat karakteristik klausul
arbitrase.7
1) Syarat Tertulis
Karakteristik penting mengenai klausul atau perjanjian
arbitrase adalah syarat tertulis. Syarat ini tampaknya sudah menjadi
universal dalam arti instrumen hukum, baik nasional maupun
internasional, mensyaratkan syarat tertulis ini. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mensyaratkan para pihak untuk
mengadakan perjanjian tertulis sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang tersebut bahwa arbitrase adalah
cara suatu penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arti ‘perjanjian tertulis’
dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 3 mengenai ‘perjanjian arbitrase’,
yaitu ‘perjanjian arbitrase’ adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.
Dalam instrumen internasional, persyaratan tertulis terdapat
dalam Pasal 25 (1) Konvensi ICSID 1965. Menurut Pasal 25 Ayat
7 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 83.
17
(1) konvensi Washington ini, jurisdiksi ICSID mencakup sengketa-
sengketa yang oleh para pihak ‘sepakat untuk diserahkan kepada
Pusat secara tertulis’. Syarat yang sama diatur pula dalam Pasal 2
Ayat (1) Konvensi New York 1958. Sementara itu, Pasal 2 Ayat (2)
Konvensi New York 1958 memberi batasan arti ‘perjanjian secara
tertulis’ yang artinya:
Istilah ‘perjanjian secara tertulis’ mencakup klausul arbitrase dalamkontrak atau perjanjian arbitrase, yang ditandatangani oleh parapihak atau yang termuat dalam surat atau telegram.Pieter Sanders, bapak arbitrase terkemuka, menyimpulkan bahwa
ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Konvensi New York merupakan suatu
ketentuan yang sudah seragam. Ketentuan ini juga telah
mengalahkan hukum nasional dalam kaitannya dengan bentuk
perjanjian arbitrase dalam hal suatu perjanjian mengacu kepada
Konvensi New York. Perkembangan atau revolusi teknologi
komunikasi sejak Konvensi New York dibentuk tahun 1958.
Seiring dengan perkembangan teknologi ini, instrumen-instrumen
internasional dan perundang-undangan negara-negara sekarang
mengakui perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh alat-alat
telekomunikasi modern seperti tukar menukar surat melalui telex
dan komunikasi melalui mesin telecopy.8
2) Syarat Tanda Tangan
Pasal 2 Ayat (2) Konvensi New York yang artinya:
‘...suatu klausul arbitrase dalam kontrak atau dalam perjanjianarbitrase yang ditandatangani oleh para pihak...’menurut Alan Redfern dan Martin Hunter, bunyi ketentuan ini
menimbulkan kerancuan, yakni apakah kata ‘signed’
(ditandatangani) berlaku terhadap kontrak atau klausul arbitrasenya.
Dalam kontrak transaksi-transaksi komersial internasional modern
sekarang ini, tidak masuk akal untuk mensyaratkan tanda tangan
8 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 102.
18
karena kebutuhan praktik dan kebiasaan transaksi perdagangan
internasional, misalnya transaksi jual beli mensyaratkan kecepatan
dan kepraktisan, telah melahirkan kontrak-kontrak atau perjanjian-
perjanjian standar. Kontrak-kontrak tersebut timbul dari transaksi
yang berlangsung berulang-ulang sehingga standar (baku) kontrak
tidak dicantumkan syarat tanda tangan secara spesifik. Hal tersebut
dikarenakan salah satu pihak (penjual) telah membuatnya dan
pihak lain (pembeli) secara diam-diam telah menerimanya sebagai
suatu klausul kontrak. Penerimaan ini disebut juga sebagai
penerimaan terhadap klausul kontrak secara diam-diam. Misalnya,
dalam penerimaan kontrak secara internet cukup dilakukan oleh
pihak lainnya dengan mengklik tombol “I ACCEPT”. Menurut
Redfern dan Hunter, dalam merancang suatu klausul arbitrase,
syarat-syarat Konveksi New York harus diperhatikan dengan
seksama. Suatu perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis dan
jika dimungkinkan, dokumen perjanjian tersebut harus
ditandatangani oleh para pihak. Dalam merancang klausul, harus
pula diperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan hukum nasional
yang ditetapkan hukum nasional yang berlaku terhadap klausul
arbitrase tersebut. Hal ini penting jika syarat-syarat sebagaimana
yang ditetapkan Konvensi New York tidak dilakukan, maka untuk
menguji sah tidaknya klausul akan ditentukan dan ditetapkan oleh
hukum nasional yang meletakkan persyaratan sahnya suatu klausul
arbitrase.9
3) Sifat Otonomi (Separabilitas) Klausul Arbitrase
Karakteristik penting lain dari klausul arbitrase adalah sifat
otonomi (autonomy) dari klausul arbitrase. Istilah yang juga
digunakan adalah doktrin separabilitas (separability) dari klausul
arbitrase. Pengakuan terhadap doktrin separabilitas dari klausul
9 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 112.
19
arbitrase tergolong masih baru, namun tidak mengundang banyak
perdebatan. Artinya, meskipun klausul arbitrase adalah salah satu
klausul dalam kontrak, karakteristik klausul arbitrase bukan
merupakan bagian atau tambahan (asesor) dari kontrak. Batal atau
berakhirnya kontrak tidak serta merta membatalkan atau
mengakhiri klausu arbitrase. Huleat-James dan Gould juga
berpendapat bahwa doktrin separabilitas mengakui kesepakatan
para pihak yang menghendaki sengketanya diselesaikan oleh
lembaga arbitrase meskipun kontraknya tidak berlaku lagi. Doktrin
ini penting untuk memastikan agar kehendak para pihak untuk
menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase tidak menjadi hilang.
Karakteristik ini penting mengingat di tanah air, masih terdapat
pandangan yang menyatakan bahwa klausul arbitrase bersifat
tambahan atau asesor. Konsekuensinya, berakhir atau batalnya
suatu kontrak atau perjanjian pokok serta merta mengakhiri atau
membatalkan klausul arbitrase yang terdapat dalam kontrak
tersebut.10
Karakteristik separabilitas dari klausul arbitrase mempunyai
sifat khusus (sui generis), yaitu kontrak yang di dalamnya terdapat
klausul arbitrase, terdapat dua kontrak yang terpisah. Pertama,
kontrak yang memuat hak dan kewajiban para pihak di bidang
perdagangan. Kedua, kontrak yang memuat kewajiban para pihak
untuk menyelesaikan sengketanya yang timbul dari pelaksanaan
hak dan kewajiban para pihak dari kontrak. Kontrak pertama
bersifat otomatis berlaku sesuai dengan syarat-syarat yang
ditentukan dalam kontrak. Sedangkan, kontrak kedua hanya akan
berlaku atau berfungsi manakala timbul sengketa diantara para
10 Mark Huleatt-James dan Nocholas Gould. International Commercial Arbitration: AHandbook. (London: LLP, 1996). h. 13.
20
pihak sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak yang mereka
sepakati.11
4) Penanggalan Klausul Arbitrase
Ada beberapa fungsi penting dari perjanjian arbitrase. Pertama,
perjanjian arbitrase menunjukkan bahwa para pihak telah sepakat
untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase. Unsur
kesepakatan ini sangat penting karena tanpa unsur tersebut, suatu
arbitrase menjadi tidak sah. Kedua, apabila para pihak telah
sepakat untuk berarbitrase, kesepakatan ini tidak bisa ditarik oleh
salah satu pihak bahkan jika perjanjian arbitrase tersebut
merupakan bagian dari suatu kontrak dan kemudian kontrak
tersebut berakhir, kewajiban untuk berarbitrase masih tetap berlaku
karena kewajiban arbitrase sifatnya terpisah dengan kontrak.
Karena sifatnya ini, klausul arbitrase hanya dapat ditanggalkan atau
diakhiri hanya oleh kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut
harus dituangkan ke dalam perjanjian dan ditandatangani oleh para
pihak.12
b. Hukum Nasional tentang Arbitrase (Lex Arbitri)
Hukum nasional sebagai sumber hukum dalam hukum
arbitrase menjadi relevan karena peristiwa-peristiwa atau hubungan-
hubungan hukum terjadi dan berlangsung di wilayah suatu negara.
Prinsip utama mengenai wilayah negara adalah adanya kewenangan
negara mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalam wilayahnya,
termasuk peristiwa atau hubungan hukum mengenai arbitrase. Dalam
teori arbitrase, hukum yang mengatur arbitrase yang berlangsung di
dalam wilayah suatu negara disebut Lex Arbitri. Lex Arbitri mengatur
11 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 132.
12 Mauro Rubino-Sammartano. International Arbitration Law. (Kluwer: Kluwer Law andTaxation Publishers, 1990). h. 116.
21
bagaimana arbitrase dilangsungkan di dalam wilayah negaranya.
Biasanya Lex Arbitri mengatur pula aturan-aturan hukum yang
sifatnya memaksa, hukum acara arbitrase, dan lain-lain. Ketentuan Lex
Arbitri yang sifatnya memaksa biasanya mengikat untuk substansi
arbitrase yang sifatnya nasional (domestik). Aturan-aturan seperti ini
bersifat memaksa karena memang kehendak pembentuk perundang-
perundangan mengenai arbitrase memang penting dan perlu adanya
aturan-aturan hukum yang mengikat (memaksa). Hal ini bukanlah
sesuatu yang negatif. Ketentuan demikian biasanya diterapkan untuk
memastikan bahwa arbitrase berlangsung dengan lancar, cepat, atau
efektif. Perlu ditekankan bahwa hukum nasional tentang arbitrase (Lex
Arbitri) ini berbeda dengan hukum yang mengatur pokok perkara
(applicable law). Hukum yang terakhir ini adalah hukum yang akan
diterapkan oleh majelis arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang
dihadapkan padanya.13
Satu hal mendasar dari kewenangan negara mengatur arbitrase
di dalam wilayah negaranya adalah kemungkinan adanya hukum
nasional yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Substansi
pengaturan yang berbeda-beda ini wajar karena perbedaan sistem
hukum, nilai-nilai hukum, dan faktor-faktor lainnya (politis, ekonomis)
yang menjadi pertimbangan atau mempengaruhi masing-masing
negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah lama mengantisipasi
kemungkinan atau kecenderungan timbulnya perbedaan substansi lex
arbitri. Sejak tahun 1950-an, PBB telah melihat bahwa arbitrase
memiliki peran penting di dalam menyelesaikan sengketa dagang.
Sejak tahun 1950-an pula, PBB telah memandang perlu harmonisasi
atau bahkan unifikasi hukum arbitrase diantara negara-negara.14 Upaya
PBB untuk menciptakan suatu aturan hukum harmonis atau unifikasi
13 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 101.
14 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 103.
22
ini baru lahir pada tahun 1985 ketika PBB melalui lembaga khususnya
yang bertugas mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan
internasional (UNCITRAL), berhasil mengeluarkan UNCITRAL
Model Law on International Commercial Arbitration 1985.
UNCITRAL Model Law atau UU Model UNCITRAL bukanlah suatu
perjanjian internasional. Model Law tidak mengikat sehingga negara-
negara di dunia terutama negara-negara anggota PBB tidak
berkewajiban untuk menerapkan aturan-aturan Model Law ke dalam
hukum nasionalnya. Meskipun nilai hukumnya tidak memaksa,
Majelis Umum PBB ketika mengesahkan Model Law ini pada tahun
1985, menganjurkan negara-negara anggota PBB untuk
memperhatikan aturan-aturan Model Law ini bagi negara-negara yang
hendak membuat peraturan perundang-undangan arbitrasenya (Lex
Arbitri). Anjuran Majelis Umum PBB ini dilatarbelakangi oleh adanya
kebutuhan yang lebih besar dan penting, yaitu perlunya harmonisasi
ketentuan di bidang hukum arbitrase. Terciptanya aturan hukum yang
seragam akan sangat bermanfaat bagi kelancaran perdagangan
terutama penyelesaian sengketa perdagangan melalui arbitrase.
Perkembangan menarik dari Model Law ini adalah sejak tahun
1985 ketika Model Law ini disahkan, negara-negara memberi perhatian
yang cukup besar. Cukup banyak negara yang mengadopsi Model Law
ini. Penegasan pentingnya harmonisasi dan anjuran Majelis Umum
PBB agar negara-negara mengadopsi aturan-aturan Model Law ini
tertuang dalam paragraf 6 Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/72,
tertanggal 11 Desember 1985 yang artinya:
Merekomendasikan bahwa semua negara memberikan pertimbanganuntuk Hukum Model Arbitrase Komersial Internasional, dilihat darikeinginan untuk keseragaman hukum prosedur arbitrase dan praktikarbitrase komersial internasional.15
15 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 104
23
c. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah instrumen hukum yang tertulis
dalam urutan pertama sebagai sumber hukum internasional dalam
Pasal 33 Piagam PBB. Perjanjian internasional ditempuh untuk
menuangkan kesepakatan negara-negara di dunia untuk mengatur
berbagai hal, antara lain kesepakatan perekonomian, pinjam meminjam,
perjanjian perdamaian, hingga aturan-aturan penyelesaian sengketa,
termasuk arbitrase. Seperti halnya perjanjian internasional sebagai
sumber hukum internasional, perjanjian internasional di bidang
arbitrase juga merupakan sumber hukum yang terpenting. Perjanjian
internasional terbagi ke dalam dua sifat dilihat dari kekuatan
mengikatnya. Pertama, perjanjian internasional yang sifatnya mengikat
atau Hard-Law. Kedua, perjanjian internasional yang sifatnya Soft-
Law atau tidak mengikat. Kedua sifat perjanjian internasional ini
jumlahnya masih relatif sedikit. Perjanjian tersebut antara lain:
1) Perjanjian Internasional Hard-Law
a) Konvensi New York 1958
Bunyi teks asli Konvensi New York 1958 adalah Konvensi
mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan-putusan
Arbitrase Asing. Para ahli arbitrase, misalnya Alan Redfern dan
Martin Hunter, beranggapan bahwa Konvensi New York 1958
merupakan perjanjian komersial arbitrase internasional yang
paling penting diantara konvensi atau perjanjian arbitrase
internasional yang ada.16 Tujuan utama Konvensi New York
1958 adalah berupaya menyederhanakan masalah pengakuan
dan pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing, minimal
diantara negara-negara peserta konvensi ini. Indonesia
mengikatkan diri kepada konvensi ini dan memberlakukannya
dalam instrumen ratifikasi dalam bentuk Keputusan Presiden
16 Alan Redfern dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration... h. 46.
24
No. 34 Tahun 1981. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 7
Juni 1959. Ada 16 pasal yang terkandung di dalamnya. Pada
intinya ada dua pokok pengaturan dalam Konvensi New York
1958:17
(1) mengatur perjanjian arbitrase, terutama keabsahan
perjanjian arbitrase (validity of arbitral agreements);
(2) pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase (recognition
and enforcement of arbitral awards).
Konvensi New York 1958 mempunyai arti penting bagi
para pengusaha dan lembaga-lembaga hukum di Indonesia
yang mengadakan perjanjian bisnis dengan pihak-pihak luar
negeri dan memilih penyelesaian sengketa bisnis mereka
melalui arbitrase. Dengan demikian, pemahaman mengenai
ruang lingkup, prosedur, dan isi Konvensi New York 1958
merupakan suatu conditio sine qua non (keharusan yang mau
tidak mau harus dilakukan) untuk menghindari timbulnya
kerugian di kemudian hari.18
(1) Ruang Lingkup (Pasal I)
Pasal 1 Ayat (1) memberikan batasan mengenai ruang
lingkup berlakunya Konvensi New York 1958. Pasal
tersebut menyatakan bahwa konvensi berlaku atas putusan-
putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari
negara di mana permohonan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase bersangkutan diajukan. Arbitrase tersebut
harus mengenai sengketa antarorang (perseorangan) atau
lembaga hukum (“...between persons, whether physical or
legal.”). konvensi juga berlaku atas putusan-putusan
arbitrase yang tidak dianggap sebagai putusan-putusan
17 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 106.
18 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 80.
25
domestik di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan
arbitrase tersebut dimohon (“...arbitral awards not
considered as domestic awards...”).19
Dari bunyi ketentuan Pasal 1 ini tampak bahwa
Konvensi New York 1958 tidak menekankan pentingnya
nasionalitas pihak yang bersengketa. Hal yang ditekankan
adalah pemberlakuan konvensi jika terdapat suatu putusan
arbitrase yang dibuat di luar negeri. 20 Suatu negara juga
dapat membuat pernyataan reservasi (pensyaratan) bahwa
ia akan menerapkan konvensi hanya terhadap perselisihan
atau persengketaan yang timbul dari hubungan-hubungan
hukum, baik yang bersifat kontraktual atau bukan.
Hubungan-hubungan hukum dalam ruang lingkup hukum
dagang menurut tata hukum atau sistem hukum dan negara
yang membuat pernyataan. Maksud dari pernyataan terakhir
tersebut adalah untuk mengakomodasi kepentingan
beberapa negara yang memiliki Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Dagang yang terpisah dan memberikan
izin untuk menyelesaikan sengketa kepada lembaga
arbitrase yang berkenaan dengan sengketa-sengketa yang
diakui menurut UU Hukum Dagangnya.21
Pasal 1 Ayat (2) Konvensi New York 1958 dinyatakan
bahwa istilah putusan arbitrase yang digunakan dalam
konvensi itu tidak hanya meliputi putusan-putusan yang
dibuat oleh para arbiter yang diangkat untuk setiap kasus
saja (ad hoc), tetapi mencakup juga putusan-putusan dari
arbitrase permanen di mana para pihak telah
19 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 81.
20 Rene David. Arbitration in International Trade. (Netherlands: Kluwer, 1985). h. 151.
21 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 108.
26
menyerahkannya. Putusan arbitrase permanen tersebut
misalnya putusan-putusan yang menggunakan aturan-aturan
dari The Rules of Arbitration International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules London
Court of International Arbitration (LCIA) di London, dan
lain-lain.22
(2) Perjanjian Arbitrase Tertulis (Pasal II)
Pasal ini bermaksud memberikan suatu ketentuan
perjanjian yang layak mengenai adanya perjanjian untuk
berproses melalui arbitrase. Ayat (1) mensyaratkan bahwa
setiap negara peserta Konvensi New York 1958 harus
mengakui perjanjian-perjanjian arbitrase tertulis untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase, yaitu perjanjian-perjanjian untuk
menyerahkan sengketa-sengketa yang sedang ada (lahir
pada waktu itu) (“submission”) dan perjanjian-perjanjian
untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin
timbul pada masa yang akan datang (“compromissary
clauses”). 23 Ayat (2) pasal ini merupakan penjelasan
terhadap Ayat (1) bahwa perjanjian arbitrase harus tertulis.
Ketentuan Ayat ini mengakui adanya pensyaratan bahwa
kedua belah pihak harus menandatangani dokumen yang
sama yang akan berbeda dengan kebutuhan dan kebiasaan
perdagangan internasional.24
(3) Kekuatan Mengikat Putusan Arbitrase Asing (Pasal III)
22 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia... h. 81.
23 Huala Adolf. Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Cet. 3. (Jakarta: Rajawali Pers,2002). h. 1.
24 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 109.
27
Pasal III merupakan pasal utama Konvensi New York
1958. Pasal ini mensyaratkan setiap negara peserta
Konvensi New York 1958 untuk mengakui dan
melaksanakan putusan-putusan arbitrase (asing).
Pengakuan dan pelaksanaan putusan demikian harus sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum acara di negara tempat
putusan akan dilaksanakan dan menurut syarat-syarat
lainnya yang terdapat dalam pasal-pasal Konvensi New
York 1958.
(4) Syarat untuk Mendapatkan Pengakuan dan Pelaksanaan
(Pasal IV)
Pasal IV, Pasal V, dan Pasal VI merupakan satu
kesatuan yang menetapkan syarat-syarat mengenai
pemberian atau penolakan pelaksanaan suatu putusan
arbitrase. Pasal IV menetapkan tindakan-tindakan
persetujuan (affirmative action) yang harus dilaksanakan
oleh para pihak yang memohonkan pelaksanaan suatu
putusan arbitrase asing. Untuk melaksanakan suatu putusan,
persyaratan-persyaratan mengenai tindakan yang akan
diambil dibatasi sampai tingkat yang minimum. Pihak yang
menang hanya diwajibkan menyerahkan salinan putusan
arbitrase dan perjanjian arbitrasenya kepada pengadilan.
Bunyi ketentuan Pasal IV dirumuskan secara khusus untuk
menghindari persyaratan kepada pemohon untuk
menyerahkan bukti adanya suatu exequatur ganda (double
exequatur) atau peninjauan ganda (double review) terhadap
putusan. Pihak yang menang dalam suatu persidangan
arbitrase, menurut Pasal IV berhak untuk memohon
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing itu
tanpa harus terlebih dahulu membuktikan bahwa putusan
28
yang bersangkutan mengikat di negara tempat putusan
dibuat.
(5) Penolakan terhadap Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase (Pasal V – VI)
Pasal ini menetapkan lima alasan yang dapat
dimanfaatkan oleh suatu pihak untuk memberikan
perlawanan terhadap suatu putusan arbitrase. Dua alasan
lainnya diberikan pula untuk dapat diajukan oleh pihak atau
yang ditetapkan oleh pengadilan di negara pelaksanaan
diminta atas inisiatifnya. Ayat (1) menetapkan bahwa
pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase dapat
ditolak atas permohonan salah satu pihak terhadap putusan
yang ditetapkan jika pihak yang bersangkutan mengajukan
satu atau lebih pembelaan kepada pejabat yang berwenang
di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan
dimohonkan. Ayat (2) mengizinkan pejabat yang
berwenang di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan
putusan diminta untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan
putusan berdasarkan dua alasan, yaitu masalah sengketa
tersebut tidak dapat diselesaikan oleh arbitrase di negara
tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan dibuat dan
pengakuan dan pelaksanaan putusan itu bertentangan
dengan ketertiban umum (public policy) dari negara yang
bersangkutan.25
(6) Penundaan Putusan (Pasal VI)
Pasal VI memberikan kebebasan kepada suatu pejabat
negara memohon pelaksanaan suatu putusan asingnya
untuk ditunda jika pejabat tersebut merasa yakin bahwa
permohonan pembatalan atau penangguhan dibuat untuk
25 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 113.
29
suatu maksud yang baik di negara di mana putusan
diberikan.
(7) Status Konvensi terhadap Perjanjian Arbitrase Internasional
Lainnya (Pasal VII)
Ketentuan Pasal VII Ayat (1) dibuat untuk
menghormati hak-hak yang lahir menurut perjanjian
bilateral atau multilateral yang ada juga hak-hak yang
didapat menurut suatu hukum atau perjanjian-perjanjian
internasional di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan
putusan dimohonkan.
(8) Ketentuan Penutup (Pasal VIII – XVI)
Pasal VIII dan IX memuat ketentuan-ketentuan standar
mengenai ketentuan penutup suatu perjanjian internasional
terutama mengenai klausul penandatanganan, ratifikasi, dan
aksesi terhadap Konvensi New York 1958. Pasal lainnya
yang penting adalah Pasal XI yang mengakui adanya situasi
atau keadaan khusus mengenai jurisdiksi negara federal
atau negara bukan kesatuan dan berupaya untuk
mengakomodasi kepentingan (hukum) negara-negara
tersebut. Pasal XIV mengatur prinsip resiprositas. Alasan
pengusulan klausul resiprositas yang terdapat dalam pasal
ini adlaah meskipun beberapa pasal telah dibuat untuk
resiprositas dalam kalimat pertama Pasal I Ayat (3), tidak
ada hubungannya dengan kalimat kedua Pasal I Ayat (3),
dalam Pasal X atau dalam Pasal XIII Ayat (2).26
b) Konvensi ICSID 1965
Konvensi International Centre for the Settlement of
Investment Disputes (ICSID) atau Konvensi Washington 1965
lahir karena adanya kebutuhan investor dan negara penerima
26 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 115.
30
modal mengenai perlunya lembaga penyelesaian sengketa yang
menangani sengketa mereka. Latar belakang terbentuknya
Konvensi ICSID 1965 tampak dari Preambul-nya. Paragraf 1
dan 2 Preambul Konvensi ICSID 1965 menyatakan bahwa
kerjasama dan aktivitas penanaman modal tidak selalu berjalan
lancar. Setiap saat dapat saja timbul sengketa diantara penanam
modal (pihak swasta) dan penerima modal. Perancang
Konvensi ICSID 1965 menyadari bahwa sengketa yang
diselesaikan oleh lembaga peradilan nasional dapat tidak sesuai
untuk menyelesaikan sengketa antar negara. Dengan demikian,
Paragraf 3 Preambul Konvensi ICSID 1965 menyebutkan
alternatif penyelesaian melalui mekanisme internasional, dalam
hal ini arbitrase atau konsiliasi internasional dipandang lebih
tepat. Dengan latar belakang pemikiran tersebut, Bank Dunia
berinisiatif untuk membentuk lembaga arbitrase dan konsiliasi
ICSID pada tahun 1961. Upaya merancang suatu konvensi
akhirnya berhasil dan Konvensi ICSID disahkan pada tahun
1965. Konvensi mulai berlaku apabila dua puluh negara telah
meratifikasinya. Jumlah ratifikasi sebanyak dua puluh tersebut
terpenuhi pada tahun 1966.
Konvensi ICSID 1965 mengandung 10 bab yang terbagi ke
dalam 75 pasal. Konvensi ini dilengkapi dengan aturan-aturan
formil dan aturan administratif, yaitu the ICSID Regulations
and Rules yang dikeluarkan pada tahun 1967.27 Bab I (Pasal 1
sampai dengan Pasal 23) Konvensi ICSID 1965 mengatur
pembentukan organisasi arbitrase, yaitu pembentukan ICSID.
Bagian ini mengatur pula tempat kedudukan, badan
kelengkapan, dan lain-lain. Dari ke 24 pasalnya, pasal yang
terpenting adalah Pasal 18 mengenai status, imunitas, dan hak-
27 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 117.
31
hak keistimewaan ICSID. Pasal 18 menegaskan bahwa ICSID
memiliki personalitas hukum internasional penuh. ICSID
memiliki pula kemampuan hukum yang meliputi membuat
kontrak, memiliki harta bergerak dan tidak bergerak, dan
menyelenggarakan persidangan (hukum). Bab II (Pasal 25
sampai dengan Pasal 27) mengatur tentang jurisdiksi badan
arbitrase ICSID. Pasal 25 merupakan pasal inti dari bab ini,
menyatakan bahwa jurisdiksi ICSID mencakup setiap sengketa
hukum yang timbul dari penanaman modal antara negara
peserta dengan seorang warga negara dari negara anggota
konvensi lainnya (investor). Konvensi tidak memberikan
batasan tentang arti penanaman modal. Bab III (Pasal 28
sampai dengan Pasal 35) mengatur tentang konsiliasi.
Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga.
Seperti halnya arbitrase, konsiliasi ICSID tercakup pula dalam
kewenangan ICSID. Pasal 25 Konvensi tidak pula
membedakan kedua cara atau teknik penyelesaian sengketa
untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal. Meskipun
demikian, prinsip yang tetap berlaku adalah kesepakatan dan
pilihan cara apa yang disepakati para pihak. Bab IV (Pasal 36
sampai dengan Pasal 55) memuat aturan-aturan tentang
arbitrase, yaitu tentang permohonan, komposisi, putusan, serta
pengakuan arbitrase. Terdapat dua pasal penting dalam bab IV
ini mengenai arbitrase antara lain ketentuan mengenai doktrin
competence-competence dalam Pasal 41 Ayat (1) yang
menyatakan bahwa lembaga arbitrase ICSID adalah hakim
untuk menentukan kewenangannya, dan aturan aturan hukum
yang berlaku (applicable law) dalam Pasal 42 yang
menyatakan bahwa lembaga arbitrase ICSID harus
memutuskan sengketanya sesuai dengan aturan-aturan hukum
yang disepakati para pihak dan apabila kesepakatan tersebut
32
tidak ada, maka lembaga arbitrase ICSID harus menerapkan
hukum dari negara peserta Konvensi dan aturan-aturan hukum
internasional.
Bab V sampai dengan Bab VII memuat aturan-aturan
tambahan tentang arbitrase yang mencakup penggantian dan
pendiskualifikasian arbiter (dan konsiliator), biaya persidangan,
dan tempat persidangan. Ketentuan yang cukup menarik adalah
tempat diselenggarakannya arbitrase yang terdapat dalam Pasal
62, yaitu Konvensi ICSID 1965 ini memuat prinsip yang
dikenal umum dalam arbitrase, tempat diselenggarakannya
persidangan arbitrase adalah tempat kedudukan ICSID
(Washington). Pada Pasal 63 Konvensi menentukan bahwa
persidangan konsiliasi dan arbitrase dapat dilangsungkan di
tempat lain, hanya dengan kesepakatan para pihak. Pasal ini
merupakan sifat fleksibilitas persidangan arbitrase dan
menekankan pada efektivitas persidangan dengan tidak harus
terpaku pada satu tempat persidangan. Bab VIII (Pasal 64)
mengatur ketentuan mengenai sengketa-sengketa antar negara
peserta Konvensi seperti yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2)
Konvensi, lembaga arbitrase ICSID hanya akan menangani
sengketa penanaman modal apabila para pihak merupakan
negara penerima modal (anggota Konvensi) dan investor asing
yang negaranya juga merupakan anggota Konvensi. Bab ini
menegaskan kemungkinan sengketa timbul bukan antara negara
dengan investor, melainkan antara negara dengan negara yang
keduanya merupakan anggota konvensi. Dalam hal ini,
sengketa harus diselesaikan secara negosiasi terlebih dahulu.
Apabila negosiasi gagal, para pihak dapat menyerahkannya
kepada Mahkamah Internasional (International Court of
Justice). Para pihak dapat pula menempuh cara lainnya yang
mereka sepakati. Bab IX (Pasal 65 sampai dengan Pasal 66)
33
memuat ketentua amandemen terhadap Konvensi ICSID 1965.
Bab X (Pasal 67 sampai dengan Pasal 75) memuat ketentuan
akhir yang mengatur ratifikasi, kewajiban negara peratifikasi
untuk menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi ke dalam
hukum nasionalnya secara efektif.28
2) Perjanjian Internasional Soft-Law
a) UNCITRAL Arbitration Rules 1976
UNCITRAL Arbitration Rules adalah instrumen hukum
penting di bidang hukum acara arbitrase. UNCITRAL
mengesahkan UNCITRAL Arbitration Rules pada tanggal 28
April 1976. Sebagai instrumen hukum acara, UNCITRAL
Arbitration Rules memuat aturan komprehensif yang disepakati
para pihak untuk persidangan arbitrase yang lahir dari
hubungan-hubungan dagang. UNCITRAL Arbitration Rules
mencakup segala aspek proses acara arbitrase, memberikan
klausul arbitrase, meletakkan mengenai penunjukkan arbiter,
persidangan arbitrase, dan meletakkan aturan-aturan mengenai
bentuk, kekuatan mengikat, dan penafsiran (effect and
interpretation of the award).29 Ketika instrumen ini disahkan
pada tanggal 15 Desember 1976 melalui Resolusi 31/98,
Majelis Umum PBB menegaskan beberapa hal penting. 30
Pertama, PBB telah mengakui arti penting arbitrase sebagai
suatu metode penyelesaian sengketa yang timbul dari
hubungan-hubungan dagang internasional. Kedua, Majelis
Umum PBB menyadari bahwa terdapat suatu aturan (acara)
arbitrase, baik arbitrase ad hoc atau arbitrase terlembaga yang
28 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 120.
29 http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/arbitration/1976-Arbitration_rules.html,diakses pada 20 Februari 2018.
30 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 121.
34
diterima oleh berbagai sistem hukum, sosial, dan ekonomi akan
memberikan sumbangan penting bagi terciptanya hubungan
ekonomi internasional yang harmonis. Ketiga, substansi aturan
norma-norma yang termuat dalam UNCITRAL Arbitration
Rules adalah hasil pembahasan atau konsultasi ekstensif
dengan berbagai lembaga atau pusat arbitrase komersial
internasional. Keempat, menimbang bahwa Majelis Umum
PBB memandang perlu untuk merekomendasikan kepada siapa
pun untuk menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules ini
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang internasional.
UNCITRAL Arbitration Rules menurut UNCITRAL telah
digunakan secara luas dalam sidang arbitrase ad hoc dan
arbitrase terlembaga. Penggunaan atau refensi kepada
instrumen hukum ini sudah umum dicantumkan dalam berbagai
klausul arbitrase.31 UNCITRAL Arbitration Rules memuat 41
pasal yang seluruh pasal tersebut berada di bawah 4 bagian
(Sections). Bagian 1 berisi ketentuan-ketentuan awal
(introductory rules) yang terdiri atas ruang lingkup berlakunya
UNCITRAL Arbitration Rules antara lain dalam Pasal 1 Ayat
(1) mengenai model klausul arbitrase, Pasal 2 mengenai
perhitungan jangka waktu, Pasal 3 mengenai pemberitahuan
tentang adanya arbitrase, dan Pasal 4 mengenai bantuan hukum
atau perwakilan (para pihak). Bagian 2 mengenai komposisi
majelis arbitrase diantaranya jumlah arbiter dalam Pasal 5,
penunjukkan arbiter dalam Pasal 6 sampai dengan 8, keberatan
atas arbiter dalam Pasal 9 sampai dengan 12, dan penggantian
seorang arbiter dalam Pasal 13 sampai dan 14). Bagian 3
mengatur persidangan arbitrase yang terdiri atas ketentuan
umum dalam Pasal 15, tempat arbitrase dalam Pasal 16, bahasa
31 Margaret L. Moses. The Principles and Practice of International CommercialArbitration. (Cambridge: Cambridge U.P., 2012). h. 45.
35
yang digunakan dalam Pasal 17, gugatan pemohon dalam Pasal
18, jawaban termohon dalam Pasal 19, perubahan terhadap
permohonan dan jawaban dalam Pasal 20, pembelaan terhadap
kewenangan majelis arbitrase dalam Pasal 21, pernyataan
tertulis selanjutnya dalam Pasal 22, jangka waktu dalam Pasal
23, bukti-bukti dan persidangan dalam Pasal 24 sampai dengan
25, perlindungan sementara dalam Pasal 26, tenaga ahli dalam
Pasal 27, ketidakhadiran salah satu pihak dalam Pasal 28,
penutupan persidangan dalam Pasal 29, dan pengecualian
aturan arbitrase dalam Pasal 30. Bagian IV mengenai putusan
arbitrase yang terdiri atas putusan dalam Pasal 31, bentuk dan
akibat dari putusan dalam Pasal 32, hukum yang berlaku dalam
Pasal 33, penyelesaian atau alasan lain untuk pengakhiran
dalam Pasal 34, penafsiran putusan dalam Pasal 35, perbaikan
atau koreksi putusan dalam Pasal 36, putusan tambahan dalam
Pasal 37, biaya-biaya arbitrase dalam Pasal 38 sampai dengan
40, dan deposit biaya dalam Pasal 41.
UNCITRAL Arbitration Rules mengalami perubahan atau
penambahan aturan pada tahun 2010. Penambahan aturan pada
tahun 2010 dilakukan oleh UNCITRAL dengan pertimbangan.
Pertama, UNCITRAL Arbitration Rules sejak disahkan pada
tahun 1976 telah berhasil dan digunakan oleh berbagai arbitrase
(ad hoc dan terlembaga) di seluruh dunia menyangkut berbagai
macam sengketa yang para pihaknya mencakup pihak swasta,
negara dan investor asing, dan negara melawan negara. Kedua,
sejak disahkan pada tahun 1976, telah terjadi perkembangan
penting dalam perdagangan internasional sehingga aturan tahun
1976 itu harus direvisi. Ketigas, revisi UNCITRAL Arbitration
Rules 1976 diputuskan pada tahun 2006 guna memenuhi
perubahan-perubahan dalam praktik arbitrase dalam 30 tahun
terakhir. Revisi ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
36
arbitrase berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules yang telah
ada sebelumnya dan tidak bermaksud untuk mengubah struktur
teks yang asli atau format perancangannya.
UNCITRAL Arbitration Rules revisi 2010 mulai berlaku
pada 15 Agustus 2010. Revisi memasukkan antara lain
arbitrase yang para pihaknya lebih dari dua pihak dan tanggung
jawab, dan prosedur untuk mengajukan keberatan terhadapa
ahli yang ditunjuk oleh majelis arbitrase. Beberapa ketentuan
baru yang dimasukkan ke dalam UNCITRAL Arbitration Rules
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi prosedural, termasuk
prosedur untuk mengganti arbiter, persyaratan kewajaran biaya
arbitrase, dan peninjauan terhadap mekanisme mengenai biaya
arbitrase. UNCITRAL Arbitration Rules 2010 memuat pula
ketentuan yang lebih lengkap mengenai tindakan sementara
(interim measures). UNCITRAL mengharapkan UNCITRAL
Arbitration Rules 2010 ini terus memberikan sumbangan agar
terciptanya suatu hubungan ekonomi internasional yang
harmonis.32
b) UNCITRAL Model Arbitration Law 1985
UNCITRAL Model Law dibuat untuk membantu negara-
negara dalam membuat perundang-undangan mengenai
prosedur arbitrase dengan memperhatikan bentuk-bentuk dan
ketentuan-ketentuan khusus dari arbitrase komersial
internasional. Aturan-aturan yang termuat di dalamnya
mencakup tahap-tahap proses arbitrase, yaitu dari perjanjian
arbitrase komposisi dan jurisdiksi majelis arbitrase, sampai
seberapa jauh pengadilan dapat intervensi dalam mengakui dan
32 http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/arbitration/1976-Arbitration_rules.html,diakses pada 20 Februari 2018.
37
melaksanakan putusan arbitrase.33 Muatan UNCITRAL Model
Arbitration Law 1985 merupakan hasil dari konsensus
mengenai hal-hal penting dari praktik arbitrase internasional
yang telah diterima negara-negara di berbagai region dan
sistem hukum atau ekonomi yang berbeda-beda di dunia. 34
Pada tahun 2006, UNCITRAL Model Arbitration Law
mengalami revisi, yaitu terhadap Pasal 1 Ayat (2) yang memuat
ketentuan mengenai ruang lingkup berlakunya Model Law,
yaitu apabila tempat arbitrase dilangsungkan di wilayah negara
yang mengadopsi Model Law, Pasal 7 mengenai definisi dan
bentuk perjanjian arbitrase direvisi guna memodernisasi
persyaratan bentuk dari suatu perjanjian arbitrase untuk lebih
menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang lebih
komprehensif terkait dengan tindakan-tindakan sementara,
Pasal 35 Ayat (2) yang mengatur pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing terutama persyaratan dokumen-
dokumen yang harus disiapkan pemohon untuk mengajukan
permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing, satu bab baru
yaitu Bab IV A (Interim Measures and Preliminary Orders)
dibuat untuk menggantikan Pasal 17, dan Pasal 2A
(International origin and general principles) disahkan
UNCITRAL pada tanggal 7 Juni 2006.
Berdasarkan Resolusi PBB 61/33, Majelis Umum PBB
mengemukakan beberapa alasan direvisinya UNCITRAL
Model Arbitration Law antara lain UNCITRAL memandang
penting peran arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa yang timbul di bidang hubungan ekonomi
33 Nigel Blackaby, dkk. Redfern and Hunter on International Arbitration. (New York:Oxford U.P., 2009). h. 75.
34 http://www.uncitral.org/uncitral/uncitral_texts/arbitration/1985-Model_Arbitration.html,diakses pada 20 Februari 2018.
38
internasional, UNCITRAL mengakui adanya kebutuhan untuk
merevisi UNCITRAL Model Arbitration Law sejalan dengan
perkembangan praktik perdagangan internasional modern dan
cara-cara modern untuk mengadakan perjanjian terkait dalam
bentuk perjanjian arbitrase dan pemberian tindakan sementara,
UNCITRAL memperhatikan bahwa persiapan revisi
pengaturan Model Law ini adalah hasil dari pembahasan dan
konsultasi secara ekstensif dengan pemerintah dan pihak-pihak
terkait dan aturan revisi ini dipandang akan dapat memberikan
sumbangan penting bagi pembentukan suatu kerangka hukum
yang harmonis untuk penyelesaian sengketa yang adil dan
efisien, serta UNCITRAL berkeyakinan bahwa sudah
waktunya untuk memodernkan aturan-aturan Model Law,
upaya untuk memajukan penafsiran dan penerapan yang
seragam dengan ketentuan-ketentuan Konvensi New York
1958.
Muatan UNCITRAL Model Arbitration Law 1985 terdiri
dari 36 pasal yang terbagi ke dalam 8 bab. Bab I mengenai
Ketentuan Umum yang terdiri dari ruang lingkup berlakunya
Model Law (Pasal 1), batasan dan aturan penafsiran (Pasal 2),
penerimaan dan komunikasi tertulis (Pasal 3), penanggalan hak
untuk keberatan (Pasal 4), ruang lingkup intervensi (Pasal 5),
dan kewenangan pengadilan atau pejabat lainnya terhadap
fungsi-fungsi tertentu untuk memberikan bantuan atau
pengawasan kepada arbitrase (Pasal 6). Bab II mengenai
Perjanjian Arbitrase yang terdiri dari batasan dan bentuk
perjanjian arbitrase (Pasal 7), arbitrase dan gugatan di hadapan
pengadilan (Pasal 8), dan perjanjian arbitrase dan tindakan
sementara oleh pengadilan (Pasal 9). Bab III mengenai jumlah
arbiter (Pasal 10), penunjukkan arbiter (Pasal 11), alasan untuk
menentang atau keberatan (Pasal 12), prosedur keberatan (Pasal
39
13), kegagalan atau ketidakmungkinan untuk bertindak (Pasal
14), dan penunjukkan arbiter pengganti (Pasal 15). Bab IV
mengenai Jurisdiksi Majelis Arbitrase yang terdiri dari
kewenangan majelis arbitrase untuk menentukan jurisdiksinya
(Pasal 16) dan kewenangan majelis arbitrase untuk
memerintahkan tindakan sementara (Pasal 17). Bab V Tata
Cara Persidangan Arbitrase yang terdiri dari perlakuan yang
sama para pihak (Pasal 18), penentuan hukum acara (Pasal 19),
tempat arbitrase (Pasal 20), pemberlakuan persidangan
arbitrase (Pasal 21), bahasa (Pasal 22), gugatan pemohon dan
jawaban termohon (Pasal 23), acara mendengarkan para pihak
dan persidangan secara tertulis (Pasal 24), ketidakhadiran satu
pihak (Pasal 25), ahli yang ditunjuk oleh persidangan arbitrase
(Pasal 26), dan bantuan pengadilan dalam mendapatkan bukti
(Pasal 27). Bab VI mengenai Pembuatan Putusan dan
Pengakhiran Persidangan yang terdiri dari aturan yang berlaku
terhadap pokok sengketa (Pasal 28), putusan yang dilakukan
oleh arbiter panel (Pasal 29), penyelesaian (Pasal 30), bentuk
dan muatan putusan (Pasal 31), pengakhiran persidangan (Pasal
32), dan koreksi penafsiran putusan; putusan tambahan (Pasal
33). Bab VII mengenai Upaya terhadap Putusan yang terdiri
dari permohonan untuk mengesampingkan sebagai upaya
eksklusif terhadap putusan arbitrase (Pasal 34). Bab VIII
mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan (Pasal 35), dan alasan-
alasan untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan (Pasal 36).
d. Hukum Kebiasaan (Internasional)
Hukum kebiasaan sebagai sumber hukum untuk arbitrase
adalah sumber hukum yang sebenarnya penting. Arbitrase lahir dan
berkembang karena kebutuhan pengusaha untuk menyelesaikan
sengketa dagangnya dari waktu ke waktu. Aturan-aturan normatif
arbitrase yang ada sekarang lahir karena adanya praktik yang berasal
40
dari kebiasaan-kebiasaan di bidang arbitrase di berbagai tempat,
wilayah, atau negara-negara di dunia. Sayangnya, kebiasaan yang
berkembang dan kemudian dianggap ‘mengikat’ oleh masyarakat di
dunia hanya sedikit atau bahkan tidak tercatat atau tertulis di berbagai
literatur. Catatan yang ada mengenai ‘kebiasaan’ dalam arbitrase ini
adalah klaim-klaim dari sarjana. Mereka berpendapat bahwa arbitrase
adalah bagian dari Lex Mercatoria atau hukum para pedagang.
Pandangan atau klaim ini tepat karena pengertian arbitrase dalam
pengertian sempit ini, yaitu menyelesaikan sengketa di bidang
perdagangan, diciptakan oleh para pedagang. Alasan utama mengapa
kebiasaan ‘sulit diterima’ semata karena peristiwa-peristiwa hukum
yang terjadi di dalam wilayah negara bergantung seluruhnya kepada
hukum tertulis negara. Ketentuan hukum yang berlaku adalah aturan
hukum negara di bidang arbitrase (lex arbitri) adalah yang utama.
Barangkali peran hukum kebiasaan yang masih tampak dan relevan
adalah (prinsip) otonomi para pihak. Untuk beberapa hal, prinsip ini
berperan atau memegang peran penting. Misalnya, meskipun UU
mengatur jangka lamanya persidangan arbitrase, para pihak masih
dapat menyepakati jangka waktu yang lebih lama. Selain itu, otonomi
para pihak untuk menunjuk arbiternya, menentukan tempat
dilangsungkannya arbitrase, hukum yang akan diterapkan majelis
arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya, dan lain-lain.35
e. Prinsip-prinsip Hukum Umum
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum
umum belum ada pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum
ini biasanya diyakini lahir dari sistem hukum nasional di dunia.
Sumber hukum ini akan mulai berfungsi sebagai sumber hukum
tambahan manakala sumber-sumber hukum sebelumnya tidak memberi
jawaban atas sesuatu persoalan sehingga prinsip-prinsip hukum umum
35 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 132.
41
ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya
mengembangkan hukum arbitrase. Beberapa contoh dari prinsip-
prinsip hukum umum ini antara lain prinsip itikad baik, prinsip pacta
sunt servanda, dan prinsip ganti rugi. Prinsip lain yang esensial di
dalam hukum (acara) arbitrase adalah prinsip audi alteram partem.
Prinsip ini mewajibkan majelis arbitrase untuk mendengar keterangan
dari kedua pihak yang berperkara.36
f. Putusan-putusan Arbitrase
Putusan arbitrase sebagai sumber hukum dalam arbitrase
sangatlah lemah. Alasan utamanya adalah sifat dari arbitrase yang
persidangannya hingga putusannya yang bersifat konfidensial, tertutup,
atau rahasia. Memang sifat kerahasiaan ini seolah menjadikan putusan
arbitrase jarang atau tidak dimungkinkan menjadi sesuatu sumber
hukum dapat memperkaya hukum arbitrase. Meski suatu kelemahan
dari aspek sumber hukumnya, tetapi sifat kerahasiaan inilah yang
justru menjadi salah satu kekuatan dan alasan mengapa pengusaha atau
pedagang memilih arbitrase. Sifat kerahasiaan putusan arbitrase ini
tampaknya diperlonggar dalam putusan arbitrase penanaman modal
ICSID. Pendaftaran, nama pihak, status sengketa, argumen para pihak,
semua dapat diketahui dan diakses oleh publik. Bahank putusan
arbitrase, apabila para pihak sepakat, juga dapat dipublikasikan. Berkat
teknologi internet, smeua data ini dapat diakses oleh siapa saja di
seluruh dunia beberapa saat setelah putusan dikeluarkan.37
g. Doktrin atau Teori tentang Arbitrase
Doktrin, teori, atau pendapat para sarjana di bidang arbitrase
adalah sumber hukum tambahan. Sumber hukum ini relevan ketika
sumber hukum yang telah dijelaskan di atas, tidak dapat memberikan
jawaban yang memuaskan terhadap suatu masalah tertentu. Tidaklah
36 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 133.
37 Nigel Blackaby, dkk. Redfern and Hunter on International Arbitration... h. 140.
42
semua pendapat sarjana dapat disebut sebagai teori apalagi doktrin.
Suatu pendapat sarjana digolongkan sebagai doktrin atau teori apabila
sarjana tersebut dianggap pakar di kalangan suatu ilmu tertentu. Salah
satu doktrin yang penting dan berpengaruh terhadap pengaturan atau
perkembangan arbitrase adalah doktrin Competenz-Competenz
(‘Competence-Competence’). Doktrin ini menyatakan bahwa para
majelis arbitrase sendiri yang menentukan apakah dirinya berwenang
atau tidak untuk menangani suatu sengketa.38
h. Peraturan Lembaga Arbitrase
Peraturan arbitrase merupakan seperangkat ketentuan standar untuk
mengadakan proses arbitrase yang secara umum disediakan oleh
lembaga arbitrase. Peraturan ini menjadi efektif ketika dipilih oleh para
pihak yang bersengketa secara tegas atau referensi yang diberikan oleh
lembaga arbitrase.39 Sebagai contoh, ICC Arbitration Rules Pasal 6
Ayat (1) menyatakan yang artinya:
Dimana para pihak telah sepakat untuk tunduk pada arbitrase di bawahperaturan arbitrase, mereka harus dianggap telah sepakat pada olehkenyataan itu sendiri dengan aturan yang berlaku pada tanggaldimulainya arbitrase, kecuali mereka telah sepakat untuk tunduk padaaturan yang berlaku pada tanggal perjanjian arbitrase mereka.
3. Jurisdiksi Arbitrase
a. Pengertian Jurisdiksi Arbitrase
Jurisdiksi atau kewenangan hukum adalah isu yang penting di
dalam arbitrase. 40 Isu inilah yang pertama-tama akan diangkat oleh
lembaga arbitrase, mahkamah arbitrase, atau majelis arbitrase sebelum
memeriksa dan memutus suatu sengketa. 41 Suatu lembaga arbitrase
38 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 136.
39 Mauro Rubino-Sammartano. International Arbitration Law... h. 34.
40 Hillary Heilborn. A Practical Guide to International Arbitration, Ed.2. (London:Informa Law, 2008). h. 79.
41 Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale. Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice. (Oxford: Oxford U.P., 2007). h. 168.
43
yang memutuskan bahwa ia memiliki jurisdiksi, akan menentukan
kelanjutan dari suatu sengketa. Sebaliknya, ketika lembaga arbitrase
memutuskan bahwa ia tidak memiliki kewenangan, ia akan segera
menolak untuk memeriksa sengketa. Di samping itu, jurisdiksi
membatasi kewenangan hukum suatu lembaga arbitrase. Dengan
adanya jurisdiksi, suatu lembaga arbitrase telah dengan tegas
mengetahui hal-hal apa saja yang dapat atau berwenang ia lakukan. Di
dalam pengertian jurisdiksi ini terdapat konsekuensi lain yang juga
penting. Dengan adanya jurisdiksi, suatu lembaga arbitrase tidak dapat
melaksanakan tugasnya melebihi dari jurisdiksi yang dimilikinya.42
Apabila suatu lembaga arbitrase ternyata tidak memiliki jurisdiksi
tetapi melanjutkan pemeriksaan sengketa dan membuat putusannya,
suatu pihak dapat mengajukan permohonan untuk melawan putusan
arbitrase. Dari perlawanan tersebut, putusan arbitrase dapat berakibat
batal demi hukum, yaitu sebagai konsekuensi hukum putusan tersebut
dianggap sejak semula tidak ada. Untuk putusan arbitrase internasional,
ketiadaan jurisdiksi dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya
putusan atau suatu negara dapat menolak atau mengenyampingkan
putusan arbitrase internasional tersebut. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa jurisdiksi arbitrase adalah kekuasaan atau
kewenangan arbitrase untuk memutus suatu sengketa yang diserahkan
para pihak.43
b. Lahirnya Jurisdiksi Arbitrase
Jurisdiksi atau kewenangan hukum suatu lembaga arbitrase lahir
dari:
1) Instrumen hukum, yaitu instrumen yang melandasi lahirnya
lembaga arbitrase atau instrumen hukum yang memberi dasar
hukum mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan
hukumnya untuk memutus suatu sengketa dan kesepakatan para
42 Nigel Blackaby. Redfern and Hunter on International Arbitration... h. 342.
43 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 141.
44
pihak. Instrumen hukum, baik hukum internasional atau nasional
adalah syarat utama lahirnya jurisdiksi lembaga arbitrase. Adanya
instrumen hukum ini menunjukkan bahwa kewenangan arbitrase
untuk memutus suatu sengketa adalah sifatnya terbatas. Untuk
instrumen hukum internasional, batas-batas jurisdiksi lembaga
arbitrase internasional ditentukan oleh hasil kesepakatan negara-
negara atau anggota-anggota dari suatu lembaga internasional yang
merumuskan berdirinya suatu lembaga arbitrase. Sebagai contoh,
instrumen hukum konvensi (International Centre for The
Settlement of Investment Disputes (ICSID) 1965 membatasi
kewenangan lembaga arbitrase ICSID untuk menyelesaikan hanya
sengketa-sengketa di bidang penanaman modal. Untuk instrumen
hukum nasional, batas-batas jurisdiksi suatu lembaga arbitrase
ditentukan oleh keputusan badan legislatif yang membuat peraturan
perundang-undangan di bidang arbitrase. Sebagai contoh, Pasal 5
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menegaskan bahwa
sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase adalah
sengketa-sengketa di bidang perdagangan.44
2) Kesepakatan para pihak, yaitu suatu syarat tambahan, pelengkap,
atau subsider untuk lahirnya kewenangan hukum atau jurisdiksi
lembaga arbitrase. Redfern dan Hunter menggambarkan
kesepakatan para pihak sebagai asal muasal jurisdiksi lembaga
arbitrase dengan kalimat yang artinya:
Mahkamah arbitrase secara sah hanya dapat menyelesaikansengketa yang telah disepakati para pihak untuk diselesaikan.Aturan ini tidak dapat dihindari dan merupakan konsekuensi yangwajar atas sifat sukarela dari arbitrase. Dalam konsensual arbitrase,kewenangan atau kompetensi dari mahkamah arbitrase berasal dariperjanjian para pihak; sesungguhnya tidak ada sumber lainnyakewenangan tersebut berasal.
44 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 143.
45
Dalam kajian David A. Soley mengenai jurisdiksi lembaga
arbitrase ICSID, ia melihat kata sepakat sebagai tonggak (corner
stone) bagi jurisdiksi lembaga arbitrase ICSID. Para pihak
sebelumnya harus mencapai kata sepakat bersama untuk
menyerahkan sengketanya kepada lembaga arbitrase ICSID.
Kovensi ICSID mensyaratkan adanya suatuu kata sepakat tertulis
yang menunjuk pemakaian lembaga arbitrase ICSID. Penunjukkan
lembaga arbitrase ICSID tercantum dalam suatu klausula perjanjian
penanaman modal yang menetapkan penyerahan suatu sengketa
yang akan timbul dari perjanjian tersebut.45
c. Bentuk Jurisdiksi Arbitrase
Jurisdiksi lembaga arbitrase dapat dikelompokkan ke dalam dua
pengertian, yaitu jurisdiksi atas pokok sengketa (jurisdictionae
materiae) dan jurisdiksi atas para pihak (jurisdictionae personae).
1) Jurisdiksi atas Pokok Sengketa
Jurisdiksi lembaga arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa apabila mengacu kepada pengertian dalam arti
sempit, lembaga arbitrase memiliki jurisdiksi atas sengketa
di bidang perdagangan. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menegaskan bahwa sengketa-sengketa yang dapat
diselesaikan oleh arbitrase adalah sengketa-sengketa yang
termasuk ke dalam bidang perdagangan. Sementara itu,
Pasal 1 Ayat (1) UNCITRAL Model Law 1985 (revisi 2006)
menegaskan bahwa ketentuan Model Law ini mengatur
arbitrase komersial internasional (dagang) dalam arti luas.
Catatan kaki ketentuan Pasal 1 tersebut menjelaskan bahwa
45 David A. Soley, “ICSID Implementation: An Effective Alternative to InternationalConflict, dalam International Lawyer, Vol.19 No. 2, 1985, h. 524., dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase, h. 145.
46
pengertian komersial (dagang) harus ditafsirkan secara luas.
Ketentuan Pasal1 tersebut mengenai ruang lingkup Model
Law, memberikan contoh sengketa-sengketa komersial
yang dapat diselesaikan oleh arbitrase. Sengketa-sengketa
yang berasal dari hubungan kontraktual atau bukan
kontraktual yang di dalamnya mencakup transaksi-transaksi
antara lain di bidang jual beli barang dan jasa, perjanjian
distribusi, enjinering, keagenan, factoring, leasing,
konstruksi bangunan, konsultasi, lisensi, penanaman modal,
pembiayaan, perbankan, asuransi, eksploitasi sumber daya
alam, kerjasama patungan, dan bentuk-bentuk kerjasama
lainnya di bidang industri, pengangkutan penumpang atau
barang melalui udara, air, kereta api, dan jalan raya.46
2) Jurisdiksi atas Para Pihak
Jurisdiksi atas para pihak mencakup siapa saja atau subjek
hukum apa saja yang dapat hadir, mempertahankan hak dan
kewajibannya, atau mengajukan klaimnya di hadapan arbitrase.
Instrumen hukum umumnya seperti UNCITRAL Model Law atau
UNCITRAL Arbitration Rules atau bahkan instrumen hukum
nasional RI, UU No. 30 Tahun 1999 tidak secara spesifik siapa saja
atau subjek hukum apa saja yang dapat hadir di hadapan lembaga
arbitrase. Ketiadaan penegasan mengenai siapa atau subjek hukum
apa saya yang dapat hadir di hadapan lembaga arbitrase dapat
disimpulkan secara tersirat bahwa siapa saja boleh maju ke
hadapan arbitrase. Kesimpulan tersebut secara luas selalu ada
pengecualian. Ada konvensi atau perjanjian internasional yang
secara spesifik menyebut siapa saja yang menjadi para pihak dalam
berarbitrase. Sebagai contoh, Konvensi ICSID 1965 mensyaratkan
hanya warga negara (investor) suatu negara dan negara penerima
46 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 149.
47
modal sajalah yang dapat menyerahkan sengketanya ke hadapan
lembaga arbitrase ICSID.47
Dari statusnya sebagai subjek hukum, para pihak yang dapat
mengajukan sengketanya di hadapan arbitrase antara lain:
a) Orang Perorangan
Orang perorangan sebagai individu atau pribadi dalam
statusnya sebagai pihak dalam sengketa di arbitrase jarang
muncul. Kalaupun ada sebagai status sebagai individu,
sengketa-sengketa yang menyangkut mereka nilai klaimnya
relatif kecil. Orang perorangan sebagai individu atau pribadi
dalam arti pelaku usaha, juga relatif sedikit dibanding dengan
badan usaha. Hal tersebut lebih disebabkan orang perorangan
dalam kapasitasnya sebagai individu jarang menggunakan atau
mencantumkan kesepakatannya secara tertulis. Alasan lainnya,
orang perorangan sebagai individu relatif kurang memahami
dengan mendalam mengenai arbitrase. Alasan yang juga dapat
dipahami adalah nilai klaim yang kecil jarang diserahkan
kepada arbitrase. Sengketa cukup diselesaikan secara
musyawarah. Orang perorangan yang bersengketa di arbitrase
minimal dan sedikit banyak perlu memahami aturan-aturan
hukum beracara di arbitrase.48
b) Badan Hukum Privat
Badan hukum privat dalam statusnya sebagai perusahaan
adalah subjek hukum utama dalam arbitrase. Perjanjian dagang
umumnya dilakukan antara badan hukum privat ini dengan
subjek hukum lainnya. Badan hukum privat berperan penting
dalam arbitrase karena dalam perspektif sejarah, mereka adalah
pelaku usaha utama yang membentuk dan sekaligus secara
47 Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal. (Bandung: KeniMedia, 2015). h. 90.
48 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 151.
48
langsung memanfaatkan arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa dagang mereka.49
c) Badan Hukum Publik (BUMN)
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah subjek hukum
yang juga penting dalam arbitrase. Tidak sedikit pihak yang
terkait dalam sengketa arbitrase adalah BUMN. Namun, dalam
pelaksanaannya badan hukum ini sedikit kontroversial,
terutama karena pada negara berkembang khususnya Indonesia,
BUMN cukup banyak digugat oleh rekanan dagangnya di luar
negeri. Pihak atau pengusaha asing biasanya memasukkan
klausul arbitrase di luar negeri. Masalahnya, klausul arbitrase
demikian yang merupakan bagian dan kesatuan dari kontrak
(induk) justru disepakati atau ditandatangani. BUMN sebagai
perusahaan milik negara biasanya memiliki hak-hak istimewa
tertentu (privileges), seperti hak atas monopoli sesuatu kegiatan
usaha atau sektor bisnis tertentu yang biasanya penting,
strategis, serta menyangkut hajat hidup orang banyak seperti
listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sebagainya. BUMN juga
biasanya didukung oleh sumber keuangan pemerintah. Bila
perusahaan ini mengalami kesulitan keuangan, tangan
pemerintah setiap saat dapat memberi talangan keuangan atau
bantuan fasilitas lainnya.50
Dengan statusnya yang istimewa ini, perusahaan BUMN
biasanya berada dalam perlindungan negara. Bidang-bidang
usaha yang mereka tangani sangat strategis dan menyangkut
kepentingan rakyat. Namun demikian, dengan statusnya ini
dapat terjadi dua kemungkinan berikut. Pertama, ia akan
semakin kuat karena adanya tangan pemerintah di dalamnya.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelola perusahaan
49 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 151.
50 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 152.
49
negara ini merasa bahwa pekerjaannya untuk negara dan untuk
kepentingan rakyat banyak. Mereka akan bekerja, mengabdi
dengan tulus, bukan semata-mata untuk kepentingan
perusahaan, tetapi untuk kepentingan rakyat dan negara.
Konsekuensinya pengelola BUMN akan bersikap profesional
dalam menjalankan perusahaan. Dengan sikap ini, upaya-upaya
kerjasama dagang dengan perusahaan (swasta) lain dilakukan
dengan profesional dan potensi sengketa dagang dapat
diminimalisir. Kedua, dengan posisi atau statusnya yang
ditopang atau didukung oleh tangan negara SDM pengelola
perusahaan ini merasa terlalu percaya diri (over-confident). 51
Alasannya, BUMN, bagaimana pun pengelolaan perusahaan
menggunakan bendera merah putih. Bila ada kesulitan
keuangan, dukungan pemerintah selalu ada. Akibat dari sikap
over-confident tersebut, sadar atau tidak sadar menjadi
bumerang dalam dunia bisnis. Pengelola BUMN menjadi
kurang ditantang, kurang diterpa kesulitan-kesulitan, menjadi
tidak profesional. Sikap ini terbawa ke dalam mengelola
perusahaan, dalam berdagang, termasuk dalam merundingkan
isi-isi atau klausul-klausul dalam perjanjian atau kontrak.
Permasalahan yang sering terjadi kemudian adalah ketika
kontrak masih berlangsung, pihak BUMN sadar bahwa isi atau
klausul kontrak ternyata merugikan kedudukannya atau ketika
kontrak berjalan, pengelola BUMN kemudian melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan isi kontrak baik
sebagian atau seluruhnya. Kemungkinan lainnya adalah
tindakan-tindakan pengelola BUMN ternyata merugikan
rekanan atau mitra usahanya baik secara sadar maupun tidak
sadar, baik karena adanya perubahan kebijakan dalam
perusahaan, misalnya karena adanya pergantian direksi baru
51 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 152.
50
atau karena pemerintah pusat, misalnya Kementerian Keuangan
mengeluarkan kebijakan yang mempengaruhi keuangan atau
bisnis BUMN.52
Dalam situasi demikian, perusahaan lain (swasta) yang
merasa dirugikan oleh adanya kebijakan pengelola BUMN atau
pemerintah pusat, kemudian mendorongnya untuk mengajukan
gugatan. Sebelum gugatan tersebut dilayangkan, pihak yang
dirugikan biasanya memeriksa terdahulu isi atau muatan
kontrak. Dalam kontrak klausul penyelesaian sengketa biasanya
memilih forum arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa melalui
arbitrase diselesaikan oleh arbiter, yaitu seorang yang ahli
dalam bidangnya, statusnya sebagai penengah independen,
tidak boleh memihak kepada salah satu pihak, dan
menyelesaikan sengketanya dengan menerapkan hukum
terhadap fakta-fakta yang melatarbelakangi timbulnya sengketa.
Arbiter melaksanakan tugasnya dengan berpegang pada kode
etik berperilaku sebagai seorang arbiter secara ketat.53
d) Negara
Negara sebagai subjek hukum adalah pihak yang dapat
memohon dan sebaliknya, dapat pula diajukan sebagai
termohon di dalam arbitrase. Negara adalah subjek hukum
terpenting dan memiliki keadaulatan atau kekuasaan tertinggi
yang di atasnya tidak ada kekuasaan subjek hukum lain,
termasuk negara lain. Negara dapat membuat hukum yang
mengikat setiap orang atau benda yang berada dalam
wilayahnya, merubahnya, atau membatalkannya. Negara dapat
pula membuat kebijakan perdagangan, merubah kebijakan
perdagangan, dan bahkan membatalkan suatu kebijakan
perdagangannya. Pada sisi lain, negara pun adalah subjek
52 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 153.
53 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 154.
51
hukum yang mengatur status kebendaan dan pelaksanaan
arbitrase di negaranya. Dengan statusnya ini, negara memiliki
kekuatan, kedudukan, dan otoritas tertinggi di dalam
wilayahnya. Dengan asumsi demikian, jawaban terhadap
kesimpulan demikian adalah benar. Negara dengan atribut
kedaulatannya memiliki kekebalan (imunitas) terhadap gugatan
hukum, baik yang dilakukan oleh warganya, perusahaan asing,
atau negara asing. Namun, status atau atribut ini tidak berlaku
ketika negara-negara melakukan tindakan-tindakan di bidang
perdagangan atau di bidang transaksi bisnis. Dalam
tindakannya di bidang ini, ‘baju’ kedaulatan negara atau
imunitas ditanggalkan agar kedudukannya di bidang privat atau
dagang statusnya menjadi sama dengan pihak lainnya. Dengan
demikian, tindakan-tindakan negara di bidang privat atau
dagang yang merugikan pihak lain, negara dapat digugat.
Konsepsi penanggalan imunitas negara ini digambarkan oleh
Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale sebagai berikut yang
artinya:54
Selama dalam arah arbitrase, persoalan imunitas negarasebagian besar akan menjadi tidak relevan. Sekali sebuahnegara telah memasuki perjanjian arbitrase, secara umumnegara tersebut menerima bahwa negara tersebut telahmelepaskan imunitas mengenai jurisdiksi.
Sebaliknya, tindakan-tindakan antara negara dengan pihak
lainnya di bidang privat yang mana pihak lainnya merugikan
negara, negara pun dapat menggugatnya di arbitrase
(internasional). Langkah tersebut hanya dapat dilakukan
apabila sebelumnya negara telah membuat perjanjian arbitrase.
Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa, kemungkinan
suatu negara menggugat atau digugat, telah diatur dalam
54 Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale. Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice... h. 134.
52
Konvensi ICSID atau Konvensi Washington 1965 atau
Convention on the Settlement of Investment Disputes between
States and National of Other Contracting States. Dengan
adanya konvensi internasional seperti ICSID dan praktik yang
berkembang dan mendorong negara untuk mau tidak mau
menandatangani perjanjian arbitrase, telah semakin
meneguhkan pendapat bahwa negara pun tunduk kepada
arbitrase.55
d. Competence-Competence
Salah satu doktrin yang kemudian menjadi prinsip arbitrase
mengenai jurisdiksi lembaga arbitrase adalah doktrin prinsip
competence-competence (bahasa Inggris), kompetenz-kompetenz
(bahasa Jerman), atau competénce de la competénce (bahasa
Perancis). 56 Prinsip ini telah diterima umum sebagai suatu prinsip
dalam arbitrase komersial internasional. Berdasarkan prinsip ini,
lembaga arbitrase memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri
apakah dirinya memiliki jurisdiksi untuk mendengar dan memutus
sengketa. Yang dimaksud dengan penentuan jurisdiksinya adalah
terkait dengan keabsahan suatu perjanjian atau klausul arbitrase.
Ketika para pihak mempersoalkan keabsahan suatu klausul atau
perjanjian arbitrase, majelis arbitrase berwenang untuk menilai dan
menentukan keabsahan klausul atau perjanjian arbitrase.57
Prinsip ini terdapat dalam setiap aturan-aturan arbitrase
internasional seperti pada Pasal 16 Ayat (1) UNCITRAL Model Law
on International Commercial Arbitration, yang artinya:
55 Andrew Tweeddale dan Keren Tweeddale. Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice... h. 135.
56 Margaret L. Moses. The Principles and Practice of International CommercialArbitration... h. 169.
57 Margaret L. Moses. The Principles and Practice of International CommercialArbitration... h. 92.
53
Mahkamah arbitrase dapat memutuskan dengan jurisdiksinya,termasuk segala keberatan dengan rasa hormat terhadap keberadaandan keabsahan dari perjanjian arbitrase. Untuk tujuan tersebut, klausularbitrase yang merupakan bagian dari suatu kontrak harus dianggapsebagai sebuah perjanjian yang independen dari segala yangberhubungan dengan kontrak. Putusan mahkamah arbitrase bahwakontrak batal demi hukum tidak harus memerlukan ketidakabsahandari klausul arbitrase.
Berdasarkan rumusan di atas, tampak kewenangan mahkamah arbitrase
untuk menentukan kewenangannya, termasuk apabila ada keberatan
mengenai keabsahan perjanjian dan klausul arbitrase di dalamnya.
Untuk maksud itu, suatu klausul arbitrase yang menjadi bagian dari
suatu kontrak harus diberlakukan suatu perjanjian yang berdiri sendiri
(independen) dari persyaratan-persyaratan lainya dari kontrak. Putusan
mahkamah arbitrase bahwa kontrak atau perjanjian batal (null and void)
tidak secara otomatis berarti pula ketidakabsahan klausul arbitrase.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak secara eksplisit mengatur atau
memuat prinsip competence-competence. Ketentuan yang terkait
dengan kewenangan arbitrase atau majelis arbitrase dalam menentukan
kewenangannya, tidak menyangkut secara langsung kewenangan
arbitrase dengan jurisdiksi.58 Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 menyatakan “Dalam hal para pihak telah menyetujui
bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase
dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang
menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para
pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.” Pasal 4 Ayat
(1) tersebut seolah memuat prinsip competence-competence. Seperti
termuat dalam kalimat dari pasal tersebut yang menyatakan bahwa
kewenangan arbitrase bukan untuk menentukan jurisdiksi, tetapi
mengenai hak dan kewajiban para pihak (dalam hal perjanjian atau
kesepakatan para pihak tidak mengatur hak dan kewajiban para pihak).
58 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 165.
54
Kekosongan ketentuan mengenai prinsip competence-competence di
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berdampak cukup
penting dalam praktik terutama untuk menentukan keabsahan klausul
atau perjanjian arbitrase.59
4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan Kelemahan
a. Kerahasiaan para pihak dijamin
(confidential).
a. Hanya untuk para pihak
bonafide.
b. Kecepatan dalam proses. b. Ketergantungan mutlak pada
arbiter.
c. Waktu pasti, artinya dapat
dihindari keterlambatan akibat
hal prosedural dan administratif.
c. Tidak ada preseden putusan
terdahulu.
d. Arbiter adalah seorang ahli di
bidangnya.
d. Masalah dalam pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase
asing.
e. Para pihak dapat memilih arbiter
yang menurut keyakinannya
memiliki pengetahuan,
pengalaman, serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur, dan
adil.
e. Tidak mudah mempertemukan
kehendak para pihak yang
bersengketa dan membawanya
ke badan arbitrase.
f. Para pihak dapat menentukan
pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya, serta
proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase.
f. Arbitrase tidak mampu
memberikan jawaban yang
definitif terhadap semua
sengketa hukum karena
konsep dan sistem hukum
di setiap negara berbeda.
59 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 166.
55
g. Hukum acara arbitrase bersifat
fleksibel.
g. Mungkin tidak cocok untuk
tuntutan yang terdiri dari
berbagai pihak.
h. Tidak ada kemungkinan akan
terjadi keberpihakan.
h. Perlu mendapat perintah
pengadilan untuk
melaksanakannya, jika ada
pihak, terutama yang kalah
tidak mau melaksanakan
putusan arbitrase tersebut.
i. Tidak konfrontatif. i. Klausula dan putusan
arbitrase dijadikan sebagai
subjek litigasi.
j. Proses arbitrase dilakukan
dalam bentuk sederhana dan
tidak terlalu formal.
k. Lebih murah dibandingkan
dengan litigasi.
l. Pengadilan tidak berwenang
mengadili sengketa yang para
pihaknya telah terikat dalam
perjanjian maupun klausula
arbitrase.
m. Putusan arbiter merupakan
putusan yang mengikat para
pihak dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana atau pun
langsung dapat dilaksanakan.
56
B. Expedited Procedure
1. Teknik Beracara
Arbitrase secara tradisi telah menjadi metode penyelesaian
sengketa yang lebih murah dan lebih cepat. Walau demikian, masalah
kelambatan dan meningkatnya biaya telah lama diakui oleh para praktisi
dan akademisi. 60 Persepsi ini menimbulkan dorongan bagi lembaga
arbitrase untuk mempercepat proses arbitrase dan secara otomatis akan
menghemat biaya sehingga aturan lembaga arbitrase tertentunya akan
menjadi lebih efektif dan lebih efisien. Terlepas dari waktu dan biaya,
keterlambatan proses arbitrase memiliki sisi buruk yang sama dengan
keterlambatan dalam mekanisme penyelesaian sengketa lainnya, yaitu para
pihak tidak dapat melanjutkan kehidupan komersialnya ketika hak hukum
dan kewajibannya itu menunda hasil dari segala proses penyelesaian
sengketa secara tidak pasti.61
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, lembaga arbitrase
memunculkan sebuah solusi, yaitu penyelesaian cepat atau yang disebut
expedited procedure. Menurut Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, yang
dimaksud dengan expedited procedure adalah sebuah proses dalam
arbitrase yang dilakukan dalam waktu yang singkat, yaitu waktu yang
ditentukan sudah tetap (fix), proses arbitrase tersebut tidak boleh melebihi
jangka waktu yang telah ditentukan, kecuali para pihak menghendaki
penguluran waktu baru dapat diberikan kelonggaran. Ketetapan waktu pada
setiap forum berbeda karena setiap forum memiliki ketentuannya tersendiri.
Pada dasarnya, expedited procedure sudah lama diaplikasikan, hanya saja
60 Justice Kerr, “The Macao Sardine Case”, Arbitration v. Litigation, III, 79 (Januari,1987), h. 79.
61 Chan Leng Sun S.C. dan Tan Weiyi, “Making Arbitration Effective: ExpeditedProcedures, Emergency Arbitrators and Interim Relief”, VI, 2 (November, 2013), h. 351.
57
belum diformalisasikan dalam bentuk aturan. 62 Lembaga arbitrase ICC,
sebuah lembaga arbitrase yang paling terkemuka di dunia sejak berdiri
hingga sekarang,63 pada 1 Maret 2017 mengeluarkan aturan arbitrase baru,
yaitu ICC Arbitration Rules 2017. Perubahan signifikan pada ICC
Arbitration Rules 2017 adalah penetapan ketentuan yang mengatur
mengenai expedited procedure. Berikut adalah ketentuan expedited
procedure dalam ICC Arbitration Rules 2017. Pertama, dalam Pasal 30
Ayat (2) Huruf a dan Lampiran VI Pasal 1 Ayat (2) ICC Rules disebutkan
bahwa ketentuan expedited procedure secara otomatis diterapkan pada
sengketa yang jumlahnya tidak melebihi US$ 2.000.000. Kedua, para
pihak yang telah menyetujui untuk mengikuti proses arbitrase di bawah
ICC Rules, maka secara otomatis para pihak juga menyetujui bahwa Pasal
30 dan Lampiran VI yang mengatur mengenai expedited procedure harus
didahulukan dari hal-hal yang bertentangan dalam perjanjian arbitrase.
Ketiga, Mahkamah ICC memiliki kewenangan untuk tidak menerapkan
expedited procedure pada sengketa berdasarkan Pasal 30 Ayat (3) Huruf C
ICC Rules bahwa Mahkamah ICC, berdasarkan permohonan pihak sebelum
pembentukan majelis arbitrase, dapat memutuskan bahwa sengketa tidak
tepat dilakukan dengan expedited procedure. Keempat, dalam Pasal 2 Ayat
(1) Lampiran VI ICC Rules menentukan bahwa sengketa di bawah
expedited procedure, arbiter tunggal akan ditunjuk bahkan jika para pihak
telah menyetujui sebaliknya. Kelima, ICC Rules menentukan adanya
penunjukkan arbiter yang dipercepat, yaitu terdapat pada Lampiran VI
Pasal 2 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa para pihak dapat menunjuk
arbiter tunggal dalam batas waktu yang ditetapkan oleh sekretariat dan
ketiadaan penunjukkan tersebut, maka Mahkamah akan menunjuk arbiter
dalam waktu sesingkat mungkin. Keenam, dalam ICC Rules tidak
diharuskan menerapkan expedited procedure pada kasus-kasus yang
mendesak. Ketujuh, ICC tidak menyediakan klausa rekomendasi
62 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
63 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 180.
58
(recommended clause) secara spesifik untuk proses arbitrase dilakukan di
bawah expedited procedure. Kedelapan, dalam Lampiran VI Pasal 4 Ayat
(1) ICC Rules ditentukan bahwa batas akhir pemberian putusan akhir oleh
arbiter adalah enam bulan sejak konferensi penyelenggaraan (management
conference). Kesembilan, berdasarkan Pasal 32 (2) dan Lampiran VI Pasal
1 Ayat (1) ICC Rules mengharuskan putusan akhir harus disertai alasan.
Kesepuluh, ICC memberikan keleluasaan kepada mahkamah untuk
meniadakan pemeriksaan lisan dan memutuskan sengketa hanya
berdasarkan pada dokumen, serta mewajibkan dilaksanakannya konferensi
penyelenggaraan (management conference) untuk kasus atau sengketa yang
dipercepat (expedited cases). Kesebelas, Terms of Reference dalam
expedited procedure ditiadakan sehingga para pihak diharuskan untuk
mempersempit pokok persoalan dalam sengketanya.64
2. Peran dan Fungsi Arbiter
Secara umum, terdapat dua model yang diaplikasikan dalam istilah
arbiter. Sengketa dapat diputuskan oleh majelis arbiter yang terdiri dari tiga
arbiter ataupun oleh arbiter tunggal. Para pihak harus setuju dengan
perjanjian arbitrase, baik sengketa akan diputuskan oleh majelis arbitrase
maupun arbiter tunggal.65 Hubungan para pihak dan arbiter secara umum
ditafsirkan sebagai sebuah kontrak, yaitu ‘konsensus pemikiran’ atas satu
sisi dari penunjukkan arbiter dan satu sisi lain dari penerimaan terakhir.
Dalam arbitrase ad hoc, penunjukkan arbiter kadang kala di awal saat
penunjukkan. Sedangkan, penunjukkan arbiter di lembaga arbitrase
(institusi) sering kali diserahkan kepada badan institusi yang membuat
keputusan dengan menerapkan aturannya.66 Peran dan fungsi arbiter dalam
64 Latham and Watkins International Arbitration Practice,https://m.lw.com/thoughtLeadership/ICC-launches-new-expedited-procedure-rules, diakses pada24 Februari 2018.
65 Lukas Slampa, “International Arbitration Procedure in Theory and Practice” (Brno:Skripsi Mendel University in Brno, 2010), h., 30, t.d.
66 Mauro Rubino-Sammartano. International Arbitration Law... h. 193.
59
expedited procedure pada hakikatnya adalah menjalankan tugas untuk
kepentingan para pihak yang kepentingan tersebut dipedomani oleh
ketentuan atau rules yang mengatur, yaitu terdapat ketentuan waktu. Jika
para pihak menghendaki penguluran waktu dan alasan para pihak tersebut
dapat diterima oleh arbiter, maka arbiter akan menyerahkannya kepada para
pihak tersebut.67
3. Keunggulan dan Kelemahan Expedited Procedure
Keunggulan expedited procedure antara lain berkaitan dengan
waktu dan biaya. Dalam hal yang berkaitan dengan waktu, expedited
procedure memberikan waktu yang singkat dan jelas karena adanya
ketentuan yang sudah tetap (fix).68 Selain itu, proses arbitrase menjadi lebih
cepat dikarenakan majelis arbiter atau arbiter diberikan batas waktu untuk
memberikan putusan akhir. Sebagai contoh, dalam Pasal 4 (1) Lampiran VI
ICC Arbitration Rules 2017 menyatakan bahwa batas waktu majelis arbiter
untuk memberikan putusan akhir adalah enam bulan sejak tanggal
pertemuan penyelenggaraan perkara. SIAC Rules dalam Pasal 5 (2) (d) juga
memberikan batas waktu yang sama, hanya berbeda sejak pembentukan
majelis arbiter. Dalam hal yang berkaitan dengan biaya, expedited
procedure dengan proses cepatnya dapat menghemat biaya yang
dikeluarkan para pihak yang bersengketa. Sebagai contoh dalam Pasal 30 (3)
(b) ICC Arbitration Rules 2017, expedited procedure juga berlaku untuk
sengketa yang nilainya lebih besar dari US$ dua juta, jika para pihak
sepakat untuk menggunakan expedited procedure.
Adapun kelemahan dari expedited procedure adalah kebebasan
para pihak (party’s autonomy) menjadi terbatas karena para pihak tidak
dapat memilih arbiternya sendiri. Pasal 2 (1) Lampiran VI ICC Arbitration
Rules 2017 menyatakan yang artinya:
67 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
68 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
60
Mahkamah dapat, terlepas dari segala ketentuan dari perjanjian arbitraseyang bertentangan, mengangkat arbiter tunggal.
Mahkamah ICC berwenang untuk menunjuk arbiter tunggal,
walaupun dalam perjanjian arbitrase para pihak telah sepakat untuk
menunjuk tiga arbiter (majelis). Selain itu, kelemahan expedited procedure
lainnya adalah bagi para pihak yang mengulur waktu, mengakibatkan
bertambahnya biaya yang dikeluarkan.69
C. Kebebasan Berkontrak dalam Arbitrase
Asas kebebasan berkontrak di dalam literatur-literatur berbahasa
Inggris dituangkan dalam istilah “Freedom of Contract” atau “Liberty of
Contract” atau “Party Autonomy”. Asas kebebasan berkontrak merupakan
asas yang bersifat universal, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua
negara pada umumnya. 70 Kebebasan berkontrak berarti kebebasan untuk
memilih dan membuat kontrak, kebebasan untuk membuat dan tidak membuat
kontrak, dan kebebasan para pihak untuk membuat isi dari janji mereka, dan
kebebasan untuk memilih subjek perjanjian.71
Dalam kebebasan berkontrak, kontrak didasarkan pada kehendak bebas
para pihak dalam kontrak. Dalam doktrin klasik hukum kontrak Perancis
dianut paham bahwa kontrak berkaitan dengan kehendak bebas (free will).
Kontrak merupakan penjelmaan kemauan bebas para pihak. Para pihak
memiliki otonomi kehendak, yakni kehendak untuk menentukan hukumnya
sendiri. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Kehendak
para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan merupakan dasar
mengikatnya suatu perjanjian dalam Code Civil Perancis. Kehendak itu dapat
dinyatakan dengan berbagai cara, baik lisan maupun tertulis dan mengikat
para pihak dengan segala akibat hukumnya. Sebagaimana diketahui, Code
69 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
70 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagiPara Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. (Jakarta: Grafiti, 2009). h. 22.
71 Konrad Zweight dan Hein Kotz. Introduction to Comparative Law: The Institution ofPrivate Law. (Oxford: Clarendon Press, 1987). h. 8-9.
61
Civil Perancis mempengaruhi Burgerlijk Wetboek Belanda, yang diadopsi
dalam KUHPerdata Indonesia.72
Dalam hukum perdata barat (Belanda) yang berlaku di Indonesia
sekarang ini, kebebasan berkontrak dapat dikatakan terkandung di dalam
ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata Indonesia, yaitu suatu perjanjian
yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya. Kebebasan berkontrak ini bersumber dari kebebasan individu
(individualisme) sehingga yang menjadi titik tolaknya adalah kepentingan
individu pula. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa kebebasan individu
memberikan kepada kebebasan berkontrak.73
Tidak seperti pengadilan dimana para pihak yang bersengketa terikat
pada hukum dan peraturan pengadilan nasional, para pihak yang telah sepakat
untuk menyelesaikan sengketanya di arbitrase memiliki kebebasan utama
dalam hal memilih metode atau cara untuk menyelesaikan sengketanya dan
lebih dari itu untuk menuntut hak untuk mengatur atau menentukan ‘panggung’
untuk menyelesaikan sengketanya. 74 Salah satu aspek dari kebebasan para
pihak dalam arbitrase adalah dalam hal penunjukkan arbiter.75 Konvensi New
York 1958 dan perundang-undangan arbitrase nasional menjamin kebebasan
berkontrak (party autonomy) atau yang disebut juga kebebasan para pihak
untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan. Pasal 5 Ayat
(1) Huruf (d) Konvensi New York 1958 memberikan pengakuan sebuah
putusan dapat ditolak jika komposisi arbitrase atau prosedur arbitrase tidak
sesuai dengan kesepakatan para pihak, atau tidak sesuai dengan ketentuan
hukum negara di mana arbitrase berlangsung. Pasal tersebut mewajibkan
72 Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Cet. 6. (Jakarta: Kencana,2009). h. 3-4.
73 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagiPara Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia... h. 51-54.
74 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore.(Singapore: Lexis Nexis, 2010). h. 37.
75 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice. (The Netherlands: KluwerLaw International, 2012). h. 121.
62
pengakuan atas kesepakatan para pihak atas komposisi atau susunan majelis.
Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka hukum dari tempat
pelaksanaan arbitrase akan diterapkan. Pasal tersebut juga memberikan
pengaruh, dalam konteks pengakuan putusan, kepada kebebasan para pihak
dalam menunjuk arbiter. Pasal tersebut serupa dengan Pasal 2 Konvensi New
York 1958 yang mengharuskan setiap negara anggota mengakui kesepakatan
untuk diselesaikan oleh arbitrase, termasuk ketentuan dari klausa arbitrase
yang berhubungan dengan penunjukkan arbiter.76
Selaras dengan Konvensi New York 1958, kebanyakan perundang-
undangan arbitrase menegaskan kebebasan para pihak untuk menunjuk arbiter
mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 11 (2)
UNCITRAL Model Law merupakan representatif dan menyatakan bahwa para
pihak bebas untuk setuju atas prosedur penunjukkan arbiter atau majelis.
Dalam Explanatory Note on the Model Law, Pasal tersebut menyatakan
bahwa pengakuan kebebasan para pihak untuk dipastikan, dengan merujuk
pada aturan arbitrase yang sudah ada atau dengan perjanjian ad hoc, prosedur
untuk diikuti, berpokok pada syarat fundamental dari keadilan.77Aspek lain
dari kebebasan para pihak adalah hak atau wewenang para pihak arbitrase
untuk menetapkan kecepatan proses arbitrase. Hal ini merupakan ciri penting
dari arbitrase. Banyak wilayah hukum (jurisdiksi) sekarang kecewa dengan
waktu atau penundaan yang lama di pengadilan yang berdampak pula pada
biaya yang mahal dikarenakan proses yang lama tersebut, telah meletakkan
beberapa bentuk ‘case management’ untuk pengadilan tidak tertunda atau
berlarut-larut.78
76 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.
77 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.
78 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore... h. 38.
63
BAB III
PROFIL ICC DAN SIAC
A. International Chamber of Commerce (ICC)
1. Sejarah Berdiri ICC
International Chamber of Commerce (ICC) didirikan ketika Perang
Dunia I berakhir, yaitu pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris.
Tujuannya pada waktu itu dan sampai sekarang masih terus berlaku adalah
melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman
modal, membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran
modal (to serve the world business by promoting trade and investment,
open markets for goods and services, and the free flow of capital) yang di
dalamnya juga berfungsi menyelesaikan sengketa dagang tanpa
menggunakan formalitas hukum.1Satu hal yang menarik ketika organisasi
internasional ini dibentuk adalah telah adanya kesadaran bahwa perlu
adanya harmonisasi praktik dan peraturan internasional yang mengatur
perdagangan di dunia. Harmonisasi praktik perdagangan termasuk di
dalamnya mekanisme untuk penyelesaian sengketa perdagangan.
Pertimbangan terakhir inilah yang kemudian mendorong terbentuknya
ICC.2
Selama ini ICC dipandang sebagai corong dunia usaha (pengusaha)
untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan
kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan
dunia saat ini. Negara-negara di dunia kerap membuat kebijakan atau
keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi perdagangan.3 Peran atau
1 http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp, diakses pada 22 Februari 2018.
2 Yves Derains dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration. (TheHague: Kluwer Law International, 2005). h. 1.
3 Eric Schafer. ICC Arbitration and Practice. (The Hague: Kluwer Law International,2005). h. 1.
64
adanya suatu badan dunia yang menyuarakan suara para pedagang yang
terkena oleh kebijakan atau keputusan suatu negara menjadi sangat
penting. Untuk itu, ICC memiliki akses langsung kepada pemerintah
negara-negara di dunia melalui national committee ICC (KADIN
Nasional) yang terdapat hampir di setiap negara di dunia.4
Peran penting ICC lainnya adalah sebagai forum penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. Sejak ICC didirikan hingga saat ini, badan
arbitrase ICC menjadi lembaga arbitrase yang paling terkemuka di dunia.
Badan arbitrase ICC telah menyelenggarakan lebih dari seribu sembilan
ratus sengketa. Pihak yang bersengketa berkewarganegaraan dari sekitar
seratus delapan puluh negara di dunia. 5 Banyaknya sengketa yang
diselesaikan badan arbitrase ICC menunjukkan kepercayaan yang besar
dari pedagang terhadap badan arbitrase ini. Salah satu indikatornya adalah
jarangnya berita yang memaparkan masalah pelaksanaan putusan arbitrase
ICC.
2. Hukum Acara ICC
Badan arbitrase ICC memiliki aturan hukum acara, yaitu the ICC
Rules of Arbitration. Hukum acara arbitrase ICC telah digunakan secara
luas. Penggunaan hukum acara ini sejalan dengan banyaknya sengketa
yang diselesaikan oleh badan arbitrase ICC. Di samping itu, untuk
meningkatkan efisiensi dan mengakomodir kebutuhan yang berkembang
dalam praktik, hukum acara arbitrase ICC terus mengalami perubahan.
Perubahan pertama terjadi pada tahun 1927 diikuti selanjutnya pada tahun
1931, 1933, 1939, 1947, 1955, 1975, 1988, dan 1998. Perubahan terakhir
dilakukan pada tahun 2017.6
4 Yves Derains dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration... h. 1.
5 http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/, diaksespada 22 Februari 2018.
6 http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/icc-rules-of-arbitration/, diakses pada 22 Februari 2018.
65
Hukum acara arbitrase ICC, sama halnya seperti pada hukum acara
arbitrase umumnya, terdiri dari dua tahap, yaitu pembentukan majelis
arbitrase dan persidangan arbitrase dari hukum acaranya, ketentuan hukum
acaranya, lebih detail mencakup tata cara arbitrase dari awal hingga akhir.
Hukum acara ini mengatur pengajuan, permohonan, dan jawaban atas
permohonan arbitrase, replik dan duplik (jika ada), pembuktian,
pembuatan putusan arbitrase, biaya arbitrase, hingga pengakuan dan
pelaksanaan arbitrase.7
3. Arbiter ICC
Tidak seperti badan arbitrase umumnya, misalnya BANI, badan
arbitrase ICC tidak memiliki daftar arbiter. Para pihak yang bersengketa
dibatasi untuk memilih arbiter yang akan menyelesaikan sengketanya.
Inilah keunikan dari arbitrase ICC. Aspek negatif ini bukan berarti
kelemahan. Tidak adanya daftar arbiter, para pihak memiliki keleluasaan
lebih untuk menentukan arbiternya. Badan arbitrase ICC hanya
mensyaratkan agar arbiter yang dipilih tetap indepen, tidak memihak, dan
bersedia untuk menjadi arbiter.8
B. Singapore International Arbitration Centre (SIAC)
1. Sejarah Berdiri SIAC
Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dirancang pada
tahun 1990 sebagai perusahaan publik oleh Economic Development Board
(EDB) atau Trade Development Board (TDB), tetapi sekarang menjadi
International Enterprise (IE) Singapore. Formasi SIAC pada awal
mulanya direkomendasikan oleh Economic Committee (EC) pada tahun
1986, hal ini digunakan untuk mempercepat penyelesaian sengketa bisnis.9
7 Yves Derains dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration... h. 1.
8 http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-adr/arbitration/introduction-to-ICC-arbitration/ten-good-reasons-to-choose-ICC-arbitration/, diakses pada 22 Februari 2018.
9 http://www.jurispub.com/cart.php?m=product_detail&p=6738, diakses pada 22 Februari2018.
66
SIAC merupakan suatu organisasi yang independen dan bukan lembaga
yang mencari keuntungan. SIAC ini diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan komunitas bisnis yang ada di dunia. Komunitas ini mencari
lembaga atau organisasi penyelesaian sengketa yang netral, efisien, dan
dapat diandalkan. Organisasi ini didirikan pada tahun 1991 dan telah
menangani seribu kasus termasuk di dalamnya berasal dari Amerika,
Eropa, Asia, dan negara-negara lainnya. Sebanyak delapan puluh persen
dari kasus tersebut merupakan kasus yang berasal dari luar negeri.10
Pada bulan Agustus 1999, The Singapore Academy of Law menjadi
pihak yang bertanggung jawab atas SIAC. Operasional SIAC diawasi oleh
dewan direksi yang terdiri atas perwakilan dari komunitas bisnis
profesional, baik lokal maupun internasional di Singapura. Dalam hal ini,
SIAC merupakan suatu organisasi yang terkenal dimana investor yang
sedang mengalami sengketa lebih memilih untuk menggunakan arbitrase
yang sudah dikenal oleh dunia internasional terutama oleh para pelaku
bisnis. Hal tersebut dikarenakan SIAC sebagai suatu institusi yang
menangani arbitrase, SIAC mengutamakan keadilan atau
ketidakberpihakan (impartiality) dan transparansi dalam setiap
penyelenggaraan arbitrase yang dilakukannya kepada para pihak.
SIAC mempunyai peraturan tersendiri dimana arbitrase dapat
digunakan apabila para pihak yang bersengketa sepakat untuk
menyelesaikan sengketa mereka di bawah peraturan arbitrase UNCITRAL.
UNCITRAL merupakan Rules of Arbitration yang lahir dari resolusi
sidang umum PBB pada tanggal 15 Desember 1976 yang berisikan
mengenai peraturan mengenai arbitrase yang dianggap dapat diterima oleh
segala pihak masyarakat internasional yang sistem hukum sosialnya
berbeda terutama untuk penyelesaian sengketa yang berhubungan dengan
perdagangan internasional.11
10 http://www.aprag.org/scripts/view-member.asp?recordid=376, diakses pada 22Februari 2018.
11 M. Yahya Harahap. Arbitrase, Ed. 2, Cet. 4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). h. 108.
67
2. Hukum Acara SIAC
Arbitrase di Singapura dapat dilaksanakan berdasarkan aturan ad
hoc atau diatur oleh suatu badan arbitrase. SIAC mengatur sebagian besar
perkaranya berdasarkan peraturan arbitrasenya sendiri yang diadopsi oleh
para pihak di dalam perjanjian arbitrase mereka. SIAC dapat pula
mengatur arbitrase berdasarkan aturan lainnya yang disetujui oleh para
pihak, misalnya Peraturan Arbitrase UNCITRAL Tahun 2010
(UNCITRAL Arbitration Rules 2010).12Para pihak yang bersengketa yang
telah sepakat untuk menggunakan arbitrase di SIAC, secara otomatis akan
mengikuti peraturan yang terdapat dalam SIAC Rules. SIAC telah
melakukan sejumlah pembaruan peraturan yang resmi diberlakukan sejak
1 Agustus 2016, yaitu SIAC Rules 2016. Peraturan tersebut memuat
beberapa ketentuan baru yang inovatif maupun pengembangan hukum
acara yang telah ada dalam rangka memastikan SIAC tetap memimpin
dalam kancah praktik arbitrase internasional.13
Sehubungan dengan kasus yang melibatkan beberapa kontrak,
Pasal 6 dan 8 SIAC Rules 2016 menawarkan dua alternatif kepada
penggugat, dimana penuntut dapat mengajukan pemberitahuan untuk
setiap kontrak bersama-sama dengan pemberitahuan lain untuk konsolidasi,
atau mengajukan hanya satu pemberitahuan dari arbitrase untuk semua
kontrak. Sebagai tambahan, konsolidasi dapat diminta sebelum konstitusi
majelis arbitrase. Selain itu, Pasal 7 SIAC 2016 memungkinkan pihak dan
pihak ketiga untuk mencari persekutuan atau intervensi ke arbitrase.
Mereka dapat melakukannya sebelum atau setelah konstitusi Majelis
Arbitrase, yang menawarkan fleksibilitas yang lebih besar pihak di
persidangan arbitrase. SIAC Rules 2016 juga mempromosikan efisiensi
dalam proses persidangan arbitrase. Sebagai contoh, Pasal 5
12 Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional... h. 163.
13 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt582d38404424c/simak--delapanperubahan-aturan-terbaru-dalam-siac-rules-2016, diakses pada 22 Februari 2018.
68
memungkinkan pihak untuk meminta prosedur dipercepat jika mereka
ingin, dan pada kebijaksanaan Pengadilan yang, jika jumlah dalam
sengketa kurang dari SGD enam juta dan jika ada bukti urgensi yang luar
biasa. Sebagai tambahan, Pasal 28 menyatakan bahwa pihak dapat
meminta pemberhentian awal klaim atau pertahanan dianggap kurang
bermanfaat.14
3. Arbiter SIAC
SIAC memiliki suatu panel arbiter yang terakreditasi dan terdiri
dari panel regional serta panel internasional yang beranggotakan para
ahli.15 SIAC akan menunjuk pula arbiter untuk arbitrase dan ad hoc. Wakil
Ketua SIAC adalah pejabat yang berwenang untuk menunjuk arbiter
apabila para pihak tidak berhasil menunjuk arbiter berdasarkan IAA dan
Arbitration Act.16 Ketentuan mengenai jumlah dan penunjukkan arbiter
terdapat dalam Pasal 9 SIAC Rules 2016, yaitu arbiter tunggal akan
ditunjuk, kecuali para pihak telah menyepakati secara berbeda dalam
perjanjian arbitrase, maka perjanjian tersebut harus dianggap sebagai
sebagai perjanjian untuk mencalonkan arbiter. Presiden wajib menunjuk
seorang arbiter pada waktu segera mungkin dapat dilaksanakan dan setiap
keputusan oleh Presiden untuk menunjuk seorang arbiter bersifat final dan
tidak dapat diajukan banding.
14 https://m.lw.com/thoughtLeadership/ICC-launches-new-expedited-procedure-rules,diakses pada 22 Februari 2018.
15 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase. (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2000). h. 161.
16 Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional... h. 163.
69
BAB IV
PENERAPAN EXPEDITED PROCEDURE DI ICC DAN SIAC
A. Model Expedited Procedure di SIAC
Expedited procedure pertama kali diperkenalkan oleh SIAC dalam Pasal
5 SIAC Rules 2010. Expedited procedure merupakan pilihan dalam menghemat
waktu dan biaya yang disediakan untuk sengketa yang sesuai dengan para
pihak yang sepakat untuk menyelesaikan sengketanya di bawah SIAC Rules.1
SIAC mengeluarkan aturan baru yang berlaku pada 1 Agustus 2016, yaitu
SIAC Rules Edisi Keenam (SIAC Rules 2016). expedited procedure terdapat
pada Pasal 5 SIAC Rules 2016. Dalam Pasal 5 Ayat (1) menyebutkan bahwa
sebelum pembentukan Majelis, suatu pihak dapat mengajukan permohonan
kepada panitera agar proses arbitrase dilakukan sesuai dengan expedited
procedure jika salah satu kriteria berikut dipenuhi.
1. Jumlah yang dipersengketakan tidak melebihi jumlah yang setara dengan
S$ 6.000.000;
2. Atas kesepakatan para pihak;
3. Dalam hal-hal urgensi yang luar biasa.
Para pihak yang mengajukan proses arbitrase untuk dilakukan sesuai dengan
expedited procedure di bawah Pasal 5 Ayat (1) ini harus, pada saat yang sama
sebagaimana ia mengirimkan permohonan kepada Panitera untuk proses yang
akan dilakukan sesuai dengan expedited procedure, mengirimkan sebuah
salinan permohonan kepada pihak lain dan harus memberitahukan Panitera
bahwa ia telah melakukannya, dengan secara spesifik menjelaskan cara
pengiriman yang digunakan dan tanggal pengiriman.
Kemudian pada Pasal 5 Ayat (2) menjelaskan bahwa ketika suatu pihak
telah mengajukan permohonan kepada panitera sesuai Pasal 5 Ayat (1), dan
ketika Presiden menentukan, setelah mempertimbangkan pandangan-
1 SIAC, “The emergency arbitrator and expedited procedure in SIAC: a new direction forarbitration in Asia”, SIAC Special Report Dispute Resolution, XII, 5 (2015), h. 39.
70
pandangan para pihak, dan setelah memperhatikan keadaan dari kasus, bahwa
proses arbitrase harus dilaksanakan dengan expedited procedure, prosedur
berikut ini harus berlaku:
1. Panitera dapat mempersingkat batas waktu apapun dalam peraturan ini;
2. Kasus akan dirujuk kepada arbiter tunggal, kecuali jika Presiden
menentukan sebaliknya;
3. Majelis dapat, berdasarkan konsultasi dengan para pihak, memutuskan
bilamana sengketa diputuskan berdasarkan pembuktian dokumen saja, atau
bilamana suatu pemeriksaan dibutuhkan untuk pemeriksaan saksi atau saksi
ahli sebagaimana juga untuk argumen lisan;
4. Putusan akhir harus dibuat dalam waktu enam bulan sejak tanggal Majelis
dibentuk kecuali, dalam kondisi-kondisi pengecualian, Panitera
memperpanjang waktu untuk membuat putusan akhir tersebut; dan
5. Majelis dapat menyatakan alasan-alasan yang menjadi dasar putusan akhir
tersebut dalam bentuk ringkasan, kecuali para pihak telah sepakat bahwa
tidak ada alasan yang akan diberikan.
Dalam Pasal 5 Ayat (3), para pihak yang menyetujui arbitrase di bawah
peraturan tersebut yang proses arbitrase dilakukan sesuai dengan expedited
procedure di bawah Pasal 5, peraturan dan prosedur yang ditetapkan dalam
Pasal 5 Ayat (2) harus berlaku bahkan dalam kasus di mana perjanjian arbitrase
mengandung hal yang bertentangan. Dalam Pasal 5 Ayat (4), atas permohonan
oleh suatu pihak, dan setelah memberikan kesempatan bagi para pihak untuk
didengar, Majelis dapat, dengan memperhatikan informasi lebih lanjut yang
mungkin kemudian menjadi tersedia, dan dengan berkonsultasi dengan panitera,
memerintahkan agar proses arbitrase tidak lagi dilakukan sesuai dengan
expedited procedure. Bilamana Majelis memutuskan untuk mengabulkan
permohonan di bawah Pasal 5 Ayat (4) ini, arbitrase harus dilanjutkan untuk
terus dilakukan oleh Majelis yang sama yang dibentuk untuk melakukan
arbitrase sesuai dengan expedited procedure.
71
B. Perbandingan Expedited Procedure di ICC dan SIAC
Ketentuan expedited procedure dalam ICC dan SIAC memiliki beberapa
perbedaan. Pertama, dalam Pasal 30 Ayat (2) Huruf a dan Lampiran VI Pasal 1
Ayat (2) ICC Rules disebutkan bahwa ketentuan expedited procedure secara
otomatis diterapkan pada sengketa yang jumlahnya tidak melebihi
US$ 2.000.000. Sedangkan, dalam Pasal 5 Ayat (1) SIAC Rules disebutkan
jumlah yang dipersengketakan tidak melebihi jumlah yang setara dengan
S$ 6.000.000 atau US$ 4.280.000. Kedua, para pihak yang telah menyetujui
untuk mengikuti proses arbitrase di bawah ICC Rules, maka secara otomatis
para pihak juga menyetujui bahwa Pasal 30 dan Lampiran VI yang mengatur
mengenai expedited procedure harus didahulukan dari hal-hal yang
bertentangan dalam perjanjian arbitrase. Sedangkan, dalam SIAC Rules, para
pihak dapat mengajukan permohonan kepada panitera, sebelum pembentukan
majelis, agar proses arbitrase dilakukan sesuai dengan expedited procedure.
Ketiga, Mahkamah ICC memiliki kewenangan untuk tidak menerapkan
expedited procedure pada sengketa berdasarkan Pasal 30 Ayat (3) Huruf C ICC
Rules bahwa Mahkamah ICC, berdasarkan permohonan pihak sebelum
pembentukan majelis arbitrase, dapat memutuskan bahwa sengketa tidak tepat
dilakukan dengan expedited procedure. Sedangkan, dalam SIAC Rules tidak
memberikan kewenangan kepada lembaga atau mahkamah arbitrase untuk
tidak menerapkan expedited procedure. Keempat, dalam Pasal 2 Ayat (1)
Lampiran VI ICC Rules menentukan bahwa sengketa di bawah expedited
procedure, arbiter tunggal akan ditunjuk bahkan jika para pihak telah
menyetujui sebaliknya atau tidak setuju dengan ketentuan tersebut. Sedangkan,
dalam Pasal 5 Ayat (2) SIAC Rules, sengketa akan dirujuk pada arbiter tunggal,
kecuali jika Presiden SIAC menentukan sebaliknya. Kelima, ICC Rules
menentukan adanya penunjukkan arbiter yang dipercepat, yaitu terdapat pada
Lampiran VI Pasal 2 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa para pihak dapat
menunjuk arbiter tunggal dalam batas waktu yang ditetapkan oleh sekretariat
dan ketiadaan penunjukkan tersebut, maka Mahkamah akan menunjuk arbiter
72
dalam waktu sesingkat mungkin. Sedangkan, SIAC Rules tidak menetapkan
percepatan penunjukkan arbiter.
Keenam, dalam hal kebutuhan yang mendesak atau urgensi luar biasa
(exceptional urgency), dalam ICC Rules tidak ada ketentuan yang
mengharuskan untuk menerapkan expedited procedure. Sedangkan, dalam
Pasal 5 Ayat (1) SIAC Rules disebutkan bahwa expedited procedure dapat
diterapkan untuk kebutuhan mendesak atau urgensi luar biasa bahkan jika
jumlah sengketa melebihi jumlah sengketa yang diperuntukkan untuk kasus
yang dipercepat (expedited cases). Ketujuh, ICC tidak menyediakan klausa
rekomendasi (recommended clause). Sedangkan, SIAC menyediakan klausa
rekomendasi (recommended clause) atau yang juga disebut expedited
procedure model clause2 secara spesifik untuk proses arbitrase dilakukan di
bawah expedited procedure. Kedelapan, dalam Lampiran VI Pasal 4 Ayat (1)
ICC Rules ditentukan bahwa batas waktu pemberian putusan akhir oleh arbiter
adalah enam bulan sejak konferensi managemen (management conference).
Sedangkan, dalam Pasal 5 Ayat (2) SIAC Rules ditentukan bahwa putusan
akhir harus dibuat dalam waktu enam bulan sejak tanggal majelis dibentuk.
Kesembilan, berdasarkan Pasal 32 (2) dan Lampiran VI Pasal 1 Ayat (1) ICC
Rules mengharuskan putusan akhir harus disertai alasan. Sedangkan, dalam
Pasal 5 Ayat (2) SIAC Rules, majelis dapat menyatakan alasan-alasan yang
menjadi dasar putusan akhir dalam bentuk ringkasan, kecuali para pihak telah
sepakat bahwa tidak ada alasan yang akan diberikan.
Sementara itu, persamaan expedited procedure di ICC dan SIAC antara
lain memberikan keleluasaan kepada mahkamah untuk meniadakan
pemeriksaan lisan dan memutuskan sengketa hanya berdasarkan pada dokumen,
serta mewajibkan dilaksanakannya konferensi manajemen (management
conference) untuk kasus atau sengketa yang dipercepat (expedited cases).
2 http://www.siac.org.sg/model-clauses/expedited-procedure-model-clause, diakses pada1 April 2018.
73
Berikut akan digambarkan perbandingan expedited procedure yang terdapat
dalam ICC Rules dan SIAC Rules.
No. Kategori ICC Rules SIAC Rules
1.
Jumlah
Maksimal
Sengketa
Tidak melebihi dari
US$ 2.000.000. (Pasal
30 Ayat (2) Huruf a dan
Pasal 1 Ayat (2)
Lampiran VI ICC
Rules)
Tidak melebihi jumlah
yang setara dengan
S$ 6.000.000 atau
US$ 4.280.000. (Pasal 5
Ayat (1) SIAC Rules)
2.
Penerapan
(Pengaplikasian)
Expedited
Procedure
Para pihak yang telah
menyetujui untuk
mengikuti proses
arbitrase di bawah ICC
Rules, secara otomatis
para pihak juga
menyetujui bahwa Pasal
30 dan Lampiran VI
yang mengatur
mengenai expedited
procedure harus
didahulukan dari hal-
hal yang bertentangan
dalam perjanjian
arbitrase (Opt-Out).
Para pihak dapat
mengajukan permohonan
kepada panitera, sebelum
pembentukan majelis,
agar proses arbitrase
dilakukan sesuai dengan
expedited procedure
(Opt-In).
3.
Kewenangan
Lembaga
(Mahkamah)
Arbitrase untuk
Tidak
Menerapkan
Mahkamah ICC
memiliki kewenangan
untuk tidak menerapkan
expedited procedure
pada sengketa. (Pasal
30 Ayat (3) Huruf C
SIAC Rules tidak
memberikan kewenangan
kepada lembaga atau
mahkamah arbitrase
untuk tidak menerapkan
expedited procedure.
74
Expedited
Procedure
ICC Rules)
4. Jumlah Arbiter
Pada sengketa di bawah
expedited procedure
akan ditunjuk arbiter
tunggal, bahkan jika
para pihak telah
menyetujui sebaliknya
atau tidak setuju dengan
ketentuan tersebut.
(Pasal 2 Ayat (1)
Lampiran VI ICC
Rules)
Pada sengketa di bawah
SIAC Rules akan dirujuk
pada arbiter tunggal,
kecuali jika Presiden
SIAC menentukan
sebaliknya. (Pasal 5 Ayat
(2) SIAC Rules)
5.
Percepatan
Penunjukkan
Arbiter
ICC Rules menentukan
adanya penunjukkan
arbiter yang dipercepat.
Para pihak dapat
menunjuk arbiter
tunggal dalam batas
waktu yang ditetapkan
oleh sekretariat dan
ketiadaan penunjukkan
tersebut, maka
Mahkamah akan
menunjuk arbiter dalam
waktu sesingkat
mungkin. (Lampiran VI
Pasal 2 Ayat (2) ICC
Rules)
SIAC Rules tidak
menetapkan percepatan
penunjukkan arbiter.
6. Kebutuhan Dalam ICC Rules tidak Dalam SIAC Rules,
75
Mendesak
(Urgensi Luar
Biasa)
ada ketentuan yang
mengharuskan untuk
menerapkan expedited
procedure pada
kebutuhan mendesak
atau urgensi luar biasa.
expedited procedure
dapat diterapkan untuk
kebutuhan mendesak
atau urgensi luar biasa,
bahkan jika jumlah
sengketa melebihi jumlah
sengketa yang
diperuntukkan untuk
kasus yang dipercepat
(expedited cases). (Pasal
5 Ayat (1) SIAC Rules)
7.Klausula
Rekomendasi
ICC tidak menyediakan
klausa rekomendasi
(recommended clause).
SIAC menyediakan
klausa rekomendasi
(recommended clause)
atau yang juga disebut
expedited procedure
model clause secara
spesifik.
8.
Batas Waktu
Pemberian
Putusan
Batas waktu pemberian
putusan akhir oleh
arbiter adalah enam
bulan sejak konferensi
manajemen
(management
conference). (Pasal 4
Ayat (1) Lampiran VI
ICC Rules)
Batas waktu pemberian
putusan akhir oleh arbiter
adalah enam bulan sejak
tanggal majelis dibentuk.
(Pasal 5 Ayat (2) SIAC
Rules)
9.Putusan yang
Disertai Alasan
ICC mengharuskan
putusan akhir harus
disertai alasan. (Pasal
Majelis dapat
menyatakan alasan-
alasan yang menjadi
76
32 Ayat (2) dan Pasal 1
Ayat (1) Lampiran VI
ICC Rules)
dasar putusan akhir
dalam bentuk ringkasan,
kecuali para pihak telah
sepakat bahwa tidak ada
alasan yang akan
diberikan. (Pasal 5 Ayat
(2) Huruf E SIAC Rules)
10.
Ketiadaan
Pemeriksaan
Lisan
ICC memberikan
keleluasaan kepada
mahkamah untuk
meniadakan
pemeriksaan lisan dan
memutuskan sengketa
hanya berdasarkan pada
dokumen. (Pasal 3 Ayat
(5) Lampiran VI ICC
Rules)
SIAC memberikan
keleluasaan kepada
mahkamah untuk
meniadakan pemeriksaan
lisan dan memutuskan
sengketa hanya
berdasarkan pada
dokumen. (Pasal 5 Ayat
(2) Huruf C SIAC Rules)
11.Konferensi
Manajemen
Mewajibkan
pelaksanaan konferensi
manajemen
(management
conference) untuk kasus
atau sengketa yang
dipercepat (expedited
cases).
Mewajibkan pelaksanaan
konferensi manajemen
(management
conference) untuk kasus
atau sengketa yang
dipercepat (expedited
cases).
77
C. Penerapan Expedited Procedure di BANI
Prosedur dipercepat (expedited procedure) di BANI dalam praktik sudah
diterapkan, yaitu sama dengan lembaga arbitrase lain pada umumnya. Setelah
adanya informasi dari para pihak bahwa semua pihak sudah menunjuk arbiter
masing-masing, kemudian disampaikan penunjukkan arbiter tersebut ke
sekretariat. Selanjutnya, para pihak akan diundang melalui sekretariat untuk
menentukan jadwal sidang. Sidang di BANI dilakukan dalam waktu singkat.
Pada sidang pertama, sudah terdapat jawaban, sudah ada jawab menjawab.
Tatap muka para pihak dengan arbiter hanya dilakukan pada sidang awal,
sidang saksi, dan sidang putusan. Prosedur selebihnya dilakukan melalui
sekretariat seperti penyerahan jawaban, replik, duplik, sampai verifikasi bukti.
Berbeda dengan sidang di pengadilan yang prosedur dan waktunya panjang.3
Sementara itu, dalam hal peraturan, BANI tidak atau belum menerapkan
expedited procedure dan Peraturan dan Prosedur BANI saat ini pun tidak
mengatur mengenai expedited procedure tersebut.4
D. Expedited Procedure VS Asas Kebebasan Berkontrak
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) suatu negara secara
umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan
perkara masih bisa terjadi dalam praktik. Penangguhan bisa terjadi karena
berbagai sebab. Belum lagi apabila terdapat kongesti atau tunggakan perkara
yang telah ada yang harus diselesaikan. Hal ini berarti semakin tertundanya
putusan yang hendak dikeluarkan. Dengan dikeluarkannya putusan pun, bukan
berarti putusannya final dan mengikat karena umumnya sistem hukum nasional
memberikan ‘pintu’ kepada para pihak untuk mengajukan banding. Sifat lama
untuk keluarnya putusan tidak kondusif bagi para pengusaha atau pedagang. Di
mata mereka, waktu sangatlah penting. Berlambat-lambat dalam usaha berarti
3 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
4 Lampiran Surat BANI No.: 18.1199/V/BANI/ED, 16 Mei 2018.
78
kerugian secara finansial, terutama apabila mereka memiliki kewajiban
finansial kepada pihak debitor (bank atau lembaga keuangan lainnya).5
Salah satu alternatif bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa
melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi) adalah arbitrase. Penyelesaian
yang cepat oleh arbitrase adalah salah satu alasan terpenting mengapa para
pengusaha atau pedagang memilih arbitrase. Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menggunakan
kalimat “dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
dan administratif.” Proses beracara penyelesaian sengketa melalui arbitrase
relatif lebih cepat dan dapat terukur waktu penyelesaian putusannya dibanding
proses litigasi. Mengingat ada ketentuan waktu yang harus dipatuhi oleh
majelis arbitrase dan para pihak, kecuali para pihak mempunyai alasan yang
dapat diterima. 6 Meskipun proses litigasi juga menerapkan asas cepat,
sederhana, dan biaya ringan yang ditegaskan dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
terdapat dalam Pasal 4 Ayat (2) yang juga menghendaki agar pelaksanaan
penegakan hukum di Indonesia berpedoman pada asas cepat, tepat, sederhana,
dan biaya ringan serta tidak bertele-tele dan berbelit-belit, tetapi karena proses
litigasi memberikan peluang bagi pihak yang merasa tidak puas untuk
melakukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali sehingga
proses waktu berperkara tidak dapat diprediksi serta biaya yang dikeluarkan
pun menjadi tidak menentu, mengingat banyak komponen biaya yang harus
dikeluarkan selain membayar lawyer fee dan operational fee dan sebagainya.
Hal ini berbeda dengan keunggulan yang dimiliki proses arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa di bidang perdagangan, dalam menerapkan
prinsip cepat dan hemat biaya, kebebasan menentukan prosedur beracaranya,
pengambilan keputusan didasarkan pada keadilan, kejujuran, dan kepatutan.
5 Huala Adolf. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase... h. 32.
6 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase, Cet. 2. (Bandung: PT Alumni, 2016). h. 56.
79
Yang dimaksud dengan proses cepat karena putusannya berkekuatan hukum
tetap (inkracht), tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi, dan
peninjauan kembali sehingga prediksi waktu dapat ditentukan oleh para pihak.7
Ada beberapa faktor yang mendukung terciptanya proses peradilan cepat
dalam arbitrase. Pertama, karena diberikannya kebebasan kepada para pihak
untuk menentukan sendiri proses beracaranya, yang tentunya mereka akan
memilih prosedur yang singkat dan cepat sehingga jelas akan mendukung ke
arah penyelesaian sengketa cepat, efisien, serta hemat biaya. Kedua, pada
umumnya, pihak-pihak dalam arbitrase adalah subjek hukum yang memiliki
iktikad baik (good faith) untuk sama-sama menyelesaikan sengketa. Dengan
demikian, penyelesaian sengketanya menjadi lebih cepat karena adanya
dukungan dari semua pihak. Ketiga, berperkara melalui arbitrase berarti
berperkara di luar pengadilan. Keadaan ini secara langsung akan membawa ke
arah penyelesaian sengketa yang cepat, singkat, dan tepat. Hal ini karena
terpotongnya jalur birokrasi yang begitu panjang dan bertele-tele sebagaimana
biasanya terjadi pada lembaga pengadilan. Keempat, keistimewaan yang
dimiliki oleh putusan arbitrase ini sendiri, yaitu final dan binding.
Keistimewaan putusan arbitrase ini meniadakan upaya hukum dalam arbitrase
itu sendiri. Dengan kata lain, terhadap putusan arbitrase tersebut tertutup upaya
hukum, baik banding maupun kasasi.8
Sehubungan dengan putusan arbitrase tidak dapat dilakukan upaya hukum
banding ataupun kasasi serta tidak dapat dilakukan upaya hukum luar biasa,
yakni peninjauan kembali (PK), para pihak harus menaati putusan arbitrase.
Putusan arbitrase bagi para pihak adalah bersifat mengikat, final, dan
berkekuatan hukum tetap (final dan binding). Akibat tersebut ditegaskan Pasal
7 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase... h. 59.
8 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase... h. 60.
80
32 Ayat (2) UNCITRAL Arbitration Rules 1976 dan Pasal 34 Ayat (2)
UNCITRAL Arbitration Rules 2010 yang menyatakan bahwa yang artinya:
Putusan ... harus final dan binding atas para pihak.
Maksud putusan bersifat final adalah putusan mahkamah arbitrase
langsung, merupakan putusan “tingkat pertama” dan “tingkat terakhir”.
Tegasnya, karena putusan Mahkamah Arbitrase yang diatur dalam UNCITRAL
Arbitration Rules ditetapkan bersifat final, putusan tidak dapat dibanding atau
dikasasi. Sifat final yang demikian sejalan dengan asas arbitrase yang
menghendaki proses penyelesaian yang cepat dan sederhana. Sementara itu,
maksud putusan yang bersifat binding adalah putusan tersebut sejak dijatuhkan
langsung “mengikat” kepada para pihak. Dampak lanjut dari sifat binding
menimbulkan akibat kekuatan eksekutorial, yaitu apabila putusan tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, putusan dapat
dijalankan pelaksanaannya secara paksa oleh badan kekuasaan resmi melalui
peradilan. Untuk apa ada putusan kalau tidak dapat dijalankan dengan paksa
apabila pihak yang kalah enggan memenuhi secara sukarela. Hal tersebut
sejalan dengan kalimat terakhir Pasal 32 Ayat (2) UNCITRAL Arbitration
Rules 1976 dan Pasal 34 Ayat (2) UNCITRAL Arbitration Rules 2010 yang
artinya:9
Para pihak harus segera melaksanakan putusan tanpa ditunda-tunda.
Proses beracara cepat sebagai salah satu pertimbangan para pihak dalam
memilih arbitrase sebagai salah satu penyelesaian sengketa dewasa ini telah
diformalisasikan ke dalam ketentuan di beberapa lembaga arbitrase, baik
nasional maupun internasional. Ketentuan beracara cepat tersebut disebut
dengan expedited procedure. Badan arbitrase ICC sebagai salah satu badan
arbitrase terkemuka di dunia, baru memformalisasikan expedited procedure ke
dalam Arbitration Rules-nya pada tahun 2017. ICC lebih belakangan
9 Anita Dewi Anggraeni Kolopaking. Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian SengketaKontrak Melalui Arbitrase... h. 51.
81
menerapkan expedited procedure dibandingkan dengan lembaga arbitrase
internasional lainnya karena setiap lembaga mempunyai aturan atau kebijakan
tersendiri di mana terdapat pertimbangan khusus, kadang kala tidak tertulis
pada aturan, namun sudah banyak dipraktikkan.10
Salah satu ketentuan expedited procedure dalam ICC Arbitration Rules,
yaitu Lampiran VI Pasal 2 Ayat (1) yang artinya:
Mahkamah dapat, dengan tidak memperhatikan segala ketentuan perjanjianarbitrase yang bertentangan (dengan ketentuan expedited procedure), menunjukarbiter tunggal.
Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa ICC Rules tidak memberikan para
pihak pilihan untuk memilih lebih dari satu arbiter. Sebaliknya, ICC Rules
menetapkan bahwa pada sengketa atau perkara di bawah expedited procedure,
akan ditunjuk arbiter tunggal meskipun para pihak telah menyepakati
sebaliknya. Padahal, para pihak memiliki kebebasan utama dalam hal memilih
metode atau cara untuk menyelesaikan sengketanya11 dan salah satu aspek dari
kebebasan para pihak dalam arbitrase adalah dalam hal penunjukkan arbiter.12
Konvensi New York 1958 menjamin kebebasan berkontrak atau yang disebut
juga kebebasan para pihak (party autonomy) untuk menunjuk arbiter yang akan
menyelesaikan persengketaan. Pasal 5 Ayat (1) Huruf d Konvensi New York
1958 memberikan pengakuan sebuah putusan dapat ditolak jika komposisi
arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak
atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum negara di mana arbitrase
berlangsung. Pasal tersebut mewajibkan pengakuan atas kesepakatan para
pihak atas komposisi atau susunan majelis. Jika para pihak tidak mencapai
kesepakatan, maka hukum dari tempat pelaksanaan arbitrase akan diterapkan.
Pasal tersebut juga memberikan pengaruh dalam konteks pengakuan putusan
10 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
11 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore.(Singapore: Lexis Nexis, 2010). h. 37.
12 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 121.
82
terhadap kebebasan para pihak dalam menunjuk arbiter. Pasal tersebut sejalan
dengan Pasal 2 Konvensi New York 1958 yang mengharuskan setiap negara
anggota mengakui kesepakatan untuk diselesaikan oleh arbitrase, termasuk
ketentuan dari klausa arbitrase yang berhubungan dengan penunjukkan
arbiter. 13 Selaras dengan Konvensi New York 1958, Pasal 11 Ayat (2)
UNCITRAL Model Law yang menyatakan bahwa para pihak bebas untuk
setuju atas prosedur penunjukkan arbiter atau majelis.14
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan oleh seorang atau
beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak
yang berperkara, dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara
musyawarah menunjuk pihak ketiga dan dituangkan dalam salah satu bagian
dari kontrak.15 Arbitrase pada dasarnya menggunakan konsep musyawarah dan
dalam Islam sangat banyak dibahas mengenai musyawarah. Salah satunya
dalam firman Allah, yaitu Surat Ali Imran Ayat 159:
Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah
mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah
13 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.
14 Gary B. Born. International Arbitration: Law and Practice... h. 122.
15 Joni Emirzon. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001). h. 97.
83
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal.”
Sedangkan, landasan dalam Hadits Riwayat An-Nasa’i, tentang dialog Nabi
Muhammad dengan Abu Sjureich (sering juga dipanggil Abu Al Hakam):16
Nabi Muhammad : Sesungguhnya hakam itu adalah Allah dan kepada- Nyalah
dimintakan keputusan hukum. Mengapa kamu
dipanggil Abu Al Hakam?
Abu Sjureich : Sesungguhnya apabila kaumku bertengkar mereka
akan datang kepadaku meminta penyelesaian dan kedua
belah pihak rela dengan keputusanku itu.
Nabi Muhammad : Alangkah baiknya perbuatanmu itu! (HR. An-Nasa’i)
Meskipun demikian, pada Lampiran VI Pasal 2 Ayat (2) menyatakan
bahwa yang artinya:
Para pihak dapat mencalonkan arbiter tunggal dalam batas waktu yangditentukan oleh sekretariat. Ketiadaan pencalonan tersebut, arbiter tunggal akanditunjuk oleh mahkamah dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pasal tersebut telah memberikan jangka waktu untuk para pihak memilih
arbiter tunggal. Jangka waktu tersebut merupakan penerapan dari asas
kebebasan berkontrak dan ditujukan untuk mencapai prinsip atau asas
penyelesaian cepat dalam arbitrase. Lain halnya jika para pihak telah melewati
jangka waktu yang diberikan dan tidak terima atau tidak setuju dengan arbiter
tunggal yang ditunjuk oleh mahkamah arbitrase, maka alasan para pihak
tersebut harus jelas. Apabila sudah lewat dari jangka waktu yang diberikan,
maka hal itu menjadi kewenangan institusi atau lembaga arbitrase yang dalam
hal ini adalah ICC. Selain itu, apabila dalam perjanjian arbitrase telah
ditentukan penyelesaian sengketa diselesaikan oleh majelis arbitrase,
16 Achmad Djauhari. Arbitrase Syariah di Indonesia. (Jakarta: Badan Arbitrase SyariahNasional, 2006). h. 30.
84
sedangkan sengketa tersebut sesuai atau telah memenuhi ketentuan yang secara
otomatis masuk ruang lingkup expedited procedure, maka para pihak harus
mengikuti aturan expedited procedure, yaitu menggunakan arbiter tunggal.17
Sementara itu, ketentuan expedited procedure dalam SIAC Rules
menyatakan bahwa penunjukkan lebih dari satu arbiter, yaitu dengan
persetujuan Presiden SIAC. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 5 Ayat (2)
SIAC Rules yang artinya:
Kasus akan dirujuk kepada arbiter tunggal, kecuali jika Presiden menentukansebaliknya.
Dalam ketentuan tersebut, ketika Presiden SIAC menentukan, hal itu dilakukan
dengan mempertimbangkan pandangan-pandangan para pihak dan
memperhatikan keadaan dari kasus. Oleh karena itu, expedited procedure
dalam SIAC Rules juga masih memperhatikan asas kebebasan berkontrak para
pihak dalam arbitrase.
Pada lembaga arbitrase nasional, sebagai contoh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) juga telah menerapkan expedited procedure dalam
Peraturan dan Prosedur BANI yang berlaku tanggal 1 Januari 2018, yaitu Pasal
4 Ayat (5) tentang Penyelesaian Cepat. Penyelesaian Cepat tersebut telah
dipraktikkan sejak dulu, namun baru diformalisasikan akhir-akhir ini. Sengketa
yang masuk ke BANI, secara otomatis mengikuti ketentuan Penyelesaian Cepat
tersebut, namun semua kembali kepada para pihak karena dalam persidangan,
Majelis selalu menghimbau para pihak misalnya apakah para pihak ingin
melakukan mediasi sebelum persidangan atau dilakukan bersamaan dengan
jalannya persidangan, apakah para pihak ingin menggunakan arbiter dalam
mediasinya, dan sebagainya. Penyelesaian Cepat yang ada di BANI tersebut
sudah efektif, namun kadang kala para pihak sendiri yang memperlambat
prosesnya. Sepanjang demi kepentingan para pihak hal itu boleh saja
17 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
85
dilakukan.18 Ketentuan Penyelesaian Cepat di BANI tersebut sesuai dengan
aspek lain dari kebebasan para pihak, yaitu hak atau wewenang para pihak
arbitrase untuk menetapkan kecepatan proses arbitrase.19
Dari analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara umum expedited
procedure tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena
expedited procedure merupakan ketentuan yang telah diterapkan pada semua
lembaga arbitrase, baik nasional maupun internasional. Walaupun dewasa ini,
ketentuan expedited procedure baru diformalisasikan ke dalam bentuk aturan,
dalam praktiknya expedited procedure telah dilakukan sejak dulu karena
expedited procedure merupakan perwujudan dari asas cepat atau proses
peradilan cepat dalam arbitrase. Selain itu, expedited procedure merupakan
salah satu pertimbangan atau alasan para pihak memilih arbitrase sebagai
bentuk penyelesaian sengketa dan expedited procedure merupakan salah satu
hal yang membedakan antara arbitrase dengan peradilan.
18 Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, 17 April 2018.
19 Leslie Chew. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore... h. 38.
86
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut.
1. Pada hakikatnya, expedited procedure sudah sejak lama diterapkan pada
semua lembaga arbitrase, baik ad hoc maupun institusional karena
expedited procedure merupakan perwujudan dari asas cepat atau proses
peradilan cepat dalam arbitrase. Secara umum, expedited procedure tidak
bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena pada dasarnya
expedited procedure dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan
semuanya dikembalikan kepada para pihak. Expedited procedure juga
merupakan salah satu hal yang menjadi pembeda antara arbitrase dengan
peradilan karena dalam expedited procedure diatur suatu proses arbitrase
yang cepat dan singkat bahkan sampai putusannya berkekuatan hukum
tetap (inkracht).
2. Persamaan ketentuan expedited procedure di ICC dan SIAC antara lain
sama-sama memberikan keleluasaan kepada mahkamah untuk meniadakan
pemeriksaan lisan dan memutuskan sengketa hanya berdasarkan pada
dokumen dan mewajibkan pelaksanaan konferensi manajemen
(management conference) untuk kasus atau sengketa yang dipercepat
(expedited cases). Sedangkan, perbedaannya terletak pada jumlah
maksimal sengketa, penerapan (pengaplikasian) expedited procedure,
kewenangan lembaga (mahkamah) untuk tidak menerapkan expedited
procedure, jumlah arbiter, percepatan penunjukkan arbiter, kebutuhan
mendesak (urgensi luar biasa), klausa rekomendasi (recommended clause),
batas waktu pemberian putusan akhir, dan putusan akhir yang disertai
alasan.
87
B. REKOMENDASI
1. Secara teori, expedited procedure tidak bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak. Namun, ketentuan expedited procedure khususnya
dalam ICC Rules telah mengenyampingkan perjanjian arbitrase di mana
perjanjian arbitrase merupakan sumber utama arbitrase yang terdapat pada
Lampiran VI Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan bahwa mahkamah dapat
menunjuk arbiter tunggal, tanpa memperhatikan ketentuan yang
bertentangan pada perjanjian arbitrase. Oleh karena itu, perjanjian
arbitrase harus lebih diutamakan daripada peraturan lembaga atau institusi
arbitrase.
2. Diperlukan adanya komunikasi antara para pihak dan lembaga arbitrase
yang dalam hal ini adalah ICC apabila perjanjian arbitrase bertentangan
dengan ketentuan expedited procedure dalam ICC Rules. ICC perlu
memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
88
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).Jakarta: Fikahati Aneska, 2011.
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Adolf, Huala. Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase. cet. 2.Bandung: Keni Media, 2015.
Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal. Bandung: KeniMedia, 2015.
Adolf, Huala. Hukum Arbitrase Komersial Internasional. cet. 3. Jakarta: RajawaliPers, 2002.
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana, 2006.
Black, Henry. Black’s Law Dictionary 2nd Pocket Ed. Bryan A. Garner, WestPublishing Co. 1996.
Blackaby, Nigel dkk. Redfern and Hunter on International Arbitration. New York:Oxford U.P., 2009.
Born, Gary B. International Arbitration: Law and Practice. The Netherlands:Kluwer Law International, 2012.
Chew, Leslie. Introduction to the Law and Practice of Arbitration in Singapore.Singapore: Lexis Nexis, 2010.
David, Rene. Arbitration in International Trade. Netherlands: Kluwer, 1985.
89
Derains, Yves dan Eric A. Schwartz. A Guide to the ICC Rules of Arbitration. TheHague: Kluwer Law International, 2005.
Djauhari, Achmad. Arbitrase Syariah di Indonesia. Jakarta: Badan ArbitraseSyariah Nasional, 2006.
Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,Mediasi, Konsolidasi, dan Arbitrase). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2001.
Heilborn, Hillary. A Practical Guide to International Arbitration, ed.2. London:Informa Law, 2008.
Huleatt-James, Mark dan Nocholas Gould. International Commercial Arbitration:A Handbook. London: LLP, 1996.
Kolopaking, Anita Dewi Anggraeni. Asas Itikad Baik dalam PenyelesaianSengketa Kontrak Melalui Arbitrase. cet. 2. Bandung: PT Alumni, 2016.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2005.
Moses, Margaret L. The Principles and Practice of International CommercialArbitration. Cambridge: Cambridge U.P., 2012.
Redfern, Alan dan Martin Hunter. Law and Practice of International CommercialArbitration. London: Sweet and Maxwell, 1986.
Rubino-Sammartano, Mauro. International Arbitration Law. Kluwer: Kluwer Lawand Taxation Publishers, 1990.
Schafer, Eric. ICC Arbitration and Practice. The Hague: Kluwer LawInternational, 2005.
90
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbangbagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Grafiti,2009.
Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. cet. 6. Jakarta: Kencana,2009.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaandidalam Penelitian Hukum. Jakarta:Pusat Dokumen Universitas Indonesia,1979.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2006.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia,2001.
Tweeddale, Andrew dan Keren Tweeddale, Arbitration of Commercial Disputes:International and English Law and Practice. Oxford: Oxford U.P., 2007.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. cet. 2.Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2013.
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional danInternasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2000.
Yahya, M. Harahap. Arbitrase, Ed. 2. cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Zweight, Konrad dan Hein Kotz. Introduction to Comparative Law: TheInstitution of Private Law. Oxford: Clarendon Press, 1987.
91
Perundang-Undangan
ICC Arbitration Rules 2017
SIAC Arbitration Rules 2016
Jurnal
Kerr, Justice. “The Macao Sardine Case”. Arbitration v. Litigation, Vol. 1987, 3,(1987).
S. C. Chan Leng Sun dan Tan Weiyi, “Making Arbitration Effective: ExpeditedProcedures, Emergency Arbitrators and Interim Relief”. Vol. 2013, 2, (2013).
SIAC, “The emergency arbitrator and expedited procedure in SIAC: a newdirection for arbitration in Asia”, SIAC Special Report Dispute Resolution,XII, 5 (2015).
Soley, A. David. “ICSID Implementation: An Effective Alternative toInternational Conflict, dalam International Lawyer, Vol.19 No. 2, (1985).
Interview
Interview Pribadi dengan Dr. Ir. Dewi Anggraeni Kolopaking, Arbiter dan KetuaDewan Pengawas BANI, Jakarta, 17 April 2018.
Lampiran Surat BANI No.: 18.1199/V/BANI/ED, 16 Mei 2018.
Skripsi
Slampa, Lukas. “International Arbitration Procedure in Theory and Practice.”Skripsi Mendel University in Brno, 2010.
Internet
Asia Pasific Regional Arbitration Group, Data. Diakses dihttp://www.aprag.org/scripts/view-member.asp?recordid=376, pada 22Februari 2018.
92
Arbitrase Internasional Jaksa Jaringan, 2016 SIAC Rules Arbitrase. Diakses dihttps://www.international-arbitration-attorney.com/id/2016-siac-arbitration-rules/, pada 22 Februari 2018.
BANI, Peraturan dan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia.Diakses di http://www.baniarbitration.org/ina/procedures.php, pada 18 April2018.
Hukum Online, Perubahan Aturan SIAC. Diakses dihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt582d38404424c/simak--delapan-perubahan-aturan-terbaru-dalam-siac-rules-2016, pada 22 Februari 2018.
ICC, Profil ICC. Diakses di http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/icc-rules-of-arbitration/, pada 22Februari 2018.
ICC, Products and Services. Diakses di http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/, pada 22 Februari 2018.
ICC, Introduction of ICC. Diakses di http://www.iccwbo.org/products-and-services/arbitration-and-adr/arbitration/introduction-to-ICC-arbitration/ten-good-reasons-to-choose-ICC-arbitration/, pada 22 Februari 2018.
Juris Legal Information, SIAC-World Arbitration Reporter (WAR). Diakses dihttp://www.jurispub.com/cart.php?m=product_detail&p=6738, pada 22Februari 2018.
Latham & Watkins International Arbitration Practice, ICC Expedited ProcedureRules. Diakses di https://m.lw.com/thoughtLeadership/ICC-launches-new-expedited-procedure-rules, diakses pada 22 Februari 2018.
SIAC, Expedited Procedure Model Clause. Diakses dihttp://www.siac.org.sg/model-clauses/expedited-procedure-model-clause,pada 1 April 2018.
93
UNCITRAL, UNCITRAL Arbitration Rules 1976. Diakses dihttp://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/1976-Arbitration_rules, pada 20 Februari 2018.
UNCITRAL, UNCITRAL Model Arbitration Law 1985. Diakses dihttp://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/1985Model_Arbitration.html, diakses pada 20 Februari 2018.
94
Transkrip Wawancara dengan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking
17 April 2018
1. Apakah yang dimaksud dengan expedited procedure?
Jawaban:
Proses waktu yang singkat dalam arbitrase. Yang dimaksud singkat adalah
setiap forum mempunyai ketentuan masing-masing, tidak boleh melebihi
jangka waktu, kecuali disepakati oleh para pihak. Hasil putusan tersebut
dianggap cepat adalah tidak melalui proses upaya banding, kasasi, dan
seterusnya. Jadi, putusan tersebut inkracht atau berkekuatan hukum tetap yang
langsung dapat dijalankan. Hal tersebut yang dikatakan cepat, yaitu dalam
waktu yang dianggap singkat atau waktu yang sudah fix, kecuali para pihak
menghendaki penguluran waktu, hal tersebut baru dapat diberikan
kelonggaran. Tetapi, kalau dari peraturan sudah jelas ketentuan waktunya.
2. Bagaimanakah peran dan fungsi (tugas) arbiter dalam expedited procedure?
Jawaban:
Arbiter menjalankan tugas untuk kepentingan para pihak di mana kepentingan
para pihak itu juga dipedomani dengan rules yang mengatur ketentuan waktu.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kalau ada penguluran waktu yang
dikehendaki oleh para pihak karena sesuatu hal yang dapat diterima oleh
arbiter, maka arbiter akan menyerahkannya kepada para pihak.
3. Apakah BANI menerapkan expedited procedure?
Jawaban:
Ya, di BANI sudah menerapkan ketentuan expedited procedure.
4. Apa sajakah keunggulan dan kelemahan expedited procedure?
Jawaban:
Keunggulannya adalah dengan waktu yang singkat dan jelas, sudah
memberikan ketentuan yang fix. Kalau saya lihat dari sisi kelemahannya
belum ada, namun mungkin bagi orang yang suka menunda-nunda waktu hal
itu merupakan suatu kelemahan karena semakin melonggarkan waktu, pasti
ada biaya yang dikorbankan.
95
5. Bagaimanakah penerapan atau teknik expedited procedure di BANI?
Jawaban:
Pada dasarnya semua arbitrase prosedurnya sama, yaitu sama-sama mengikuti
rules-nya. Setelah ada konfirmasi dari para pihak bahwa semua pihak sudah
menunjuk arbiter yang dimaksud lalu disampaikan ke sekretariat, kemudian
sekretariat menyampaikan kepada para pihak. Saat para pihak sudah jelas dan
sudah menunjuk arbiternya, sekretariat akan mengundang para pihak untuk
menentukan jadwal sidang. Sidang di arbitrase seperti biasa, yaitu sidang
pertama atau sidang awal sudah dianjurkan ada jawaban, para pihak sudah
menerima permohonan dengan jawaban makanya dikatakan lebih cepat atau
singkat. Selain itu, dalam persidangan, jika ingin fix time, tatap muka para
pihak dengan majelis arbitrase atau arbiter hanya dilakukan pada saat sidang
awal, sidang saksi, dan sidang putusan dan prosedur selebihnya dilakukan
melalui sekretariat seperti penyerahan jawaban, replik, duplik, sampai
verifikasi bukti. Berbeda dengan pengadilan yang membutuhkan waktu dan
proses yang panjang misalnya harus menunggu waktu setelah mediasi selama
empat puluh hari, menunggu jawaban, dan lain-lain.
6. Apakah perkara di BANI secara otomatis masuk atau mengikuti expedited
procedure yang ada di BANI?
Jawaban:
Sudah otomatis, tapi semua kembali kepada para pihak. Majelis juga akan
menghimbau para pihak untuk mediasi, bahkan himbauan tersebut sering
diucapkan dalam persidangan. Bisa paralel juga, persidangan berjalan, mereka
(para pihak) bermediasi. Bisa juga majelis menawarkan untuk menunjuk
arbiter dalam membantu proses mediasi atau mediasi dijalankan sendiri. Tapi
hal itu tidak mengapa karena demi kepentingan para pihak. Sepanjang demi
kepentingan para pihak, maka boleh-boleh saja.
96
7. Apakah penerapan expedited procedure yang dilakukan di BANI sudah efektif?
Jawaban:
Ya, sudah efektif. Memang dari dulu sudah begitu. Dalam praktiknya
expedited procedure sudah dijalankan, hanya saja baru diformalisasikan dalam
bentuk aturan sekarang ini.
8. ICC juga baru mengeluarkan expedited procedure yang berlaku pada Maret
2017. Sedangkan, banyak lembaga arbitrase nasional maupun internasional
lain yang sudah menerapkan Expedited Procedure terlebih dahulu seperti
Hong Kong International Arbitration Centre Arbitration (HKIAC) pada tahun
2008, Swiss Rules pada tahun 2012, ICDR Expedited Procedures Rules pada
tahun 2014, dan sebagainya. Mengapa ICC lebih belakangan menerapkan
expedited procedure?
Jawaban:
Tiap lembaga arbitrase mempunyai kebijakan atau aturan sendiri yang
pastinya ada pertimbangan-pertimbangan khusus. Seharusnya ICC sama
dengan lembaga arbitrase lainnya, namun terkadang tidak fix disampaikan
pada rules karena ICC banyak dilakukan dalam ad hoc (prosedur ad hoc). Jadi,
digunakan rules ICC, tapi persidangannya ad hoc.
9. Dalam ICC Rules 2017, terdapat ketentuan di Lampiran VI Pasal 2 yang
menyatakan bahwa Mahkamah Arbitrase dapat menunjuk arbiter tunggal
dengan tanpa memperhatikan perjanjian arbitrase. Apakah ketentuan tersebut
bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak?
Jawaban:
Jika dalam rules telah ditentukan untuk menunjuk arbiter tunggal, maka harus
tunduk dan mengikuti rules tersebut. Namun, jika dalam perjanjian arbitrase
para pihak telah sepakat untuk menunjuk majelis arbitrase, para pihak harus
mengikuti rules untuk menunjuk arbiter tunggal. Sebenarnya, kalau dilihat
dari perjanjian arbitrase, maka harus ikut perjanjian. Namun, kalau perjanjian
berbenturan dengan rules dari suatu institusi atau lembaga arbitrase, maka
seharusnya ada komunikasi dan harus mencari solusi supaya tidak saling
97
bertentangan. Biasanya para pihak akan menanyakan kepada lembaga
arbitrase dan lembaga arbitrase tersebut akan memberikan solusi. Kalau
memang dalam rules ternyata ketentuannya mengenyampingkan perjanjian,
seharusnya yang dipakai adalah perjanjian tersebut. Jadi, perjanjian
tersebutlah yang menjadi pegangan atau pedoman, jika tidak ada rules yang
mengatur.
10. Apakah secara umum dan pada hakikatnya expedited procedure bertentangan
dengan asas kebebasan berkontrak?
Jawaban:
Secara umum, expedited procedure tidak bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak karena expedited procedure memang diterapkan di semua lembaga
arbitrase untuk mencapai asas cepat tersebut. Berbeda dengan peradilan umum.
Justru, expedited procedure yang membedakan arbitrase dengan lembaga
peradilan umum atau publik karena expedited procedure mengatur proses
yang cepat bahkan sampai putusannya inkracht.