Upload
vuthu
View
279
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
Table of Content: Part 1 Titles and Authors Page
numbers1. ANALYSIS ACADEMIC SERVICE AT PROGRAM STUDY
MAGISTER EDUCATION MANAGEMENT PROGRAM PASCASARJANA STATE UNIVERSITY OF JAKARTA
Dwi Deswary1
1Lecturer Program Study Education Management Program Pascasarjana State University of Jakarta
1-12
2. MULTIDIMENSIONAL RELIABILITY OF INSTRUMENT FOR MEASURING ATTITUDES TOWARD PHYSICS USING SEMANTIC
DIFFERENTIAL SCALE
Gaguk Margono1 1Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Jakarta, Kampus UNJ, Jl. Rawamangun Muka, Rawamangun, Jakarta 13220
13-20
3. ENGLISH LEARNING IN GRADE IV OF ELEMENTARY (Descriptive Study in Sekolah Dasar Laboratorium PGSD FIP
Universitas Negeri Jakarta)
Mohamad Syarif Sumantri1 1Primary educarion Program, Jakarta State University
21-28
4. THE COMPARISON OF ITEM INFORMATION FUNCTIONS IN PARALLEL LEST WITH THE MODEL OF L2P
Yuliatri Sastra Wijaya1
1Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
29-35
5. EVALUASI MANAJEMEN PROGRAM PRIMA PADA PENINGKATAN PRESTASI WUSHU INDONESIA
Moch. Asmawi1
1Universitas Negeri Jakarta
36-44
6. KETERAMPILAN SHOOTING SEPAKBOLA STUDI KORELASIONAL PANJANG TUNGKAI, DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI, PERCAYA DIRI DENGAN KETERAMPILAN SHOOTING
PERMAINAN SEPAKBOLA PADA KLUB SEPAKBOLA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2013
Muchtar Hendra Hasibuan, Sofyan Hanif
45-55
7. THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING (STAD) AND ENTRY BEHAVIOR TO THE STUDENTS’ MATHEMATICS LEARNING
RESULT
Nurdin Ibrahim1 1Jakarta State University
56-66
8. THE EFFECT OF JOB CHARACTERISTICS, COMPENSATION AND JOB SATISFACTION TO THE ECONOMIC
TEACHERS COMMITMENT IN THE HIGH SCHOOL BALI PROVINCE
I Ketut R. Sudiarditha
Fakulty of Economic, Universitas Negeri Jakarta
67-82
9. PARENTING, AND CAREER SELECTION STUDENTS ACCELERATION OF SENIOR HIGH SCHOOL IN JAKARTA
Hartini Nara1
1Department of Special Education Faculty of Education University of Jakarta
83-93
10. MEASURING INTEREST OF TEACHING PROFESSION
Muchlas Suseno1 1Department of Primary Education, Postgraduate Program,
State University of Jakarta
94-99
11. KONTRIBUSI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI EMAS INDONESIA
Prof. Dr. Tuti Nuriah M.Pd. 1 1Universitas Negeri Jakarta
100-105
12. PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH: PENELITIAN PADA KEPALA SMPN
DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR
Matin1
106-114
13. PENERAPAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM BERBAHASA
Ninuk Lustyantie1
115-123
14. KONSEP PENDIDIKAN YANG AKOMODATIF TERHADAP NILAI BUDAYA LOKAL DI INDONESIA
Prof. Dr. R. Madhakomala1 1Universitas Negeri Jakarta
124-134
15. EFEKTIVITAS PELATIHAN GURU MATA PELAJARAN
Burhanuddin Tola1 1Graduate School, State University of Jakarta
135-161
16. PARAMETER ESTIMATION AND EQUATING METHOD ON SMALL SAMPLE SIZE BASED ON
ITEM RESPONSE THEORY
Wardani Rahayu1 1Jakarta State University
162-167
17. PERILAKU GREEN CONSUMERISM MAHASISWA DALAM KAITANNYA DENGAN PEMAHAMAN KONSEP
EKOPEDAGOGIK
Suwirman Nuryadin1 1Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(PKLH) Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
168-180
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
1
ANALYSIS ACADEMIC SERVICE AT PROGRAM STUDY MAGISTER
EDUCATION MANAGEMENT PROGRAM PASCASARJANA
STATE UNIVERSITY OF JAKARTA
Dwi Deswary1
1Lecturer Program Study Education Management
Program Pascasarjana State University of Jakarta
Abstract
This Research purpose to know in descriptive about customer expectation to grads will
relate networked interest grads, interest what must sharpened according to workplace each
grad, and interest what must developed in academic service. Method that used by is method
survey customer, that is to describe customer expectations that obtained from questionnaire
how many they expect and feel something (derived satisfaction). Result of these research
explain be needed competence bases science area (professionalism), visionary leadership,
interdisciplinary knowledge broadness science, moral integrity in working, effective
communication ability, team cooperation that solid, ability uses Information Technology,
ability quiesently and also active, and ability to develop it-self. Prodi MP S2 must sharpen
core interest that related to professionality as the education organizer, that is ability in
plans, management, and control to good education management at institutional level, area
autonomy (Otda), and also at national level. Prodi MP S2 in academic service, that is give
service according to need stakeholders.
Keyword: Academic service, need stakeholders, Program Study Magister Education
Management.
PENDAHULUAN
Prodi MP S2 berupaya untuk mewujudkan pelayanan prima yang merupakan upaya besar
Program Pascasarjana UNJ sebagai Center of Excellent. Wujud yang dapat diberikan oleh Prodi adalah
melalui penyediaan layanan akademik dan administratif yang berkualitas, cepat, dan sesuai dengan
tuntutan atau kebutuhan stakeholders. Muara dari pelayanan prima ini adalah kepuasan stakeholders
Prodi MP S2 Program Pascasarjana UNJ yang meliputi mahasiswa, dosen, pegawai administratif (TU),
pengguna lulusan, serta pengguna hasil penelitian dan pengabdian masyarakat.
Kompetensi yang diharapkan program studi MP S2 UNJ memang sudah seharusnya dapat
menjawab kebutuhan yang diperlukan di dalam dunia kerja para lulusannya. Kompetensi para lulusan
ini akan berimbas pada keprofesionalan mereka yang sangat dibutuhkan demi mewujudkan kualitas
pendidikan dan daya saing sumber daya manusia (SDM) yang dapat memasuki era pasar bebas minimal
di tingkat ASEAN. SDM yang merupakan bagian dari instrumental input dalam sistem
penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu infrastruktur utama yang dapat mendukung lembaga
ke arah perwujudan mutu yang diharapkan dan daya saing tersebut. Melalui kualitas layanan yang
diberikan sebagai salah satu indikator kinerja SDM dapat diketahui apakah suatu lembaga pendidikan
akan dapat mencapai efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuannya. Untuk itu, dalam suatu lembaga
pendidikan diperlukan kemampuan SDM yang prima untuk mengaplikasikan fungsi-fungsi pokok
manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pembinaan. Kemampuan SDM dalam
proses manajemen perlu mengaplikasikan fungsi-fungsi pokok manajemen yang senantiasa berorientasi
mutu, yaitu perencanaan mutu, pengendalian mutu, dan peningkatan mutu. Pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen yang berorientasi mutu secara efisien dan efektif diarahkan pada peningkatan mutu
pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Dengan demikian kepuasan
pelanggan sebagai respons pelanggan terhadap upaya manajemen di dalam menyediakan produk
layanan jasa yang memenuhi harapan pelanggan akan dapat diwujudkan. Untuk memperjelas
permasalahan ini, maka penting bagi Prodi untuk mengkaji tentang “Analisis Layanan Akademik pada
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
2
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan (Prodi MP S2) Program Pascasarjana Universitas
Negeri Jakarta” guna mewujudkan mutu layanan yang diharapkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen dan Kinerja
Griffin (2004:7) menjelaskan manajemen merupakan rangkaian aktivitas termasuk perencanaan
dan pengambilan keputusan; pengorganisasian; kepemimpinan; dan pengendalian yang diarahkan pada
sumber daya organisasi (manusia, fisik, dan informasi) dengan maksud untuk mencapai tujuan
organisasi secara efektif dan efisien. Kepemimpinan pendidikan yang patut untuk dikaji ulang oleh para
pemimpin pendidikan di Indonesia adalah kemampuan di dalam menerapkan apa yang dikatakan tokoh
pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara dengan: (a) Ing ngarso sung tulodho,yaitu pemimpin tampil
di depan untuk memberikan contoh, keteladanan, mengarahkan, membina, menunjukkan; (b) Ing
madyo mangun karso, yaitu pemimpin bekerja bersama staf, dengan memberikan semangat kepada
staf/bawahan; dan (c) Tut wuri handayani, yaitu pemimpin memberikan dukungan kepada staf agar
dapat bertanggungjawab terhadap tugasnya. Pemimpin yang efektif akan berorientasi pada tugas dan
berorientasi pada orang. Blake dan Mouton dalam Griffin (2004:76) menggambarkan sosok seorang
pemimpin yang efektif adalah yang fokus pada tugas dan pada orang (9.9). Pada peta kepemimpinan
yang efektif, manajemen tim (9.9) dijelaskan bahwa pencapaian kerja didapatkan dari SDM yang
memiliki komitmen, saling ketergantungan yang memunculkan hubungan saling percaya dan saling
menghormati. Seorang pemimpin pendidikan harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja
SDM melalui proses manajemen yang berorientasi pada mutu. Manajemen pendidikan yang bermutu
dalam implementasinya memerlukan komunikasi, keterlibatan anggota, dan perencanaan strategik yang
berorientasi pada pelanggan.
Dalam perkembangan selanjutnya Robbins (2011:599) menjelaskan terdapat tiga tipe dalam
perilaku kerja seseorang yang penting diperhatikan seorang pemimpin, yaitu ”task performance,
citizenship, dan counterproductivity”. Demikian pula Colquitt (2011:36-47) menjelaskan yaitu ”two
categories are task performance and citizenship behavior, both of wich contributes positively to the
organization. The third category is counterproductive behavior, wich contributes negatively to the
organization”. Soedarmayanti (2001:50) menjelaskan kinerja menurut August W. Smith,” ...output
drive from processes, human or otherwise”. Kinerja dapat ditunjukkan pada seseorang, dapat juga pada
unit kerja tertentu atau organisasi. Pada pengertian ini kinerja lebih mengarah pada proses kegiatan yang
dilakukan SDM. Dalam hal ini Smith telah menggabungkan dua pengertian antara proses dan hasil
kerja. Gibson et al., (2009:327) mendefinisikan “job performance is the outcomes of jobs that relate to
the purposes of the organization such as quality, efficiency, and other criteria of effectiveness”. Kinerja
merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan dengan tujuan dari organisasi seperti kualitas, efisiensi,
dan kriteria lain demi efektivitas organisasi. Pendapat ini lebih menekankan bahwa kinerja sangat erat
kaitannya dengan tujuan sebuah organisasi. Pendapat yang sama disampaikan oleh Schermerhorn
(2005:386) yang mengemukakan, “job performance is measured as the quantity and quality of task
accomplished by an individual or group“. Kinerja diukur sebagai kuantitas dan kualitas tugas yang
dicapai oleh individu atau kelompok. Sementara itu, Jex (2008:114) menjelaskan “job performance is
a deceptively simple term. At the most general level, it can be defined simply as ‘‘all of the behaviors
employees engage in while at work’’. Kinerja merupakan keseluruhan perilaku karyawan yang terlibat
dalam pekerjaan di tempat kerja. Secara ringkas Ivancevich (2003:33) telah menjelaskan 5 hal yang
menurut peneliti penting diperhatikan untuk mengukur kinerja seseorang, yaitu berasal dari pribadi
pekerja yang bersangkutan, organisasi, perencanaan, strategi pelaksanaan, peningkatan keahlian dan
peluang yang diberikan. Demikian pula Scoth A Sneel dan Kenneth N. Wexley dalam Timpe
(2002:329) menjelaskan kinerja adalah kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu
keterampilan, tingkat upaya, dan keadaan eksternal. Untuk membina dan meningkatkan kinerja,
Luthans (2008:374) menekankan pada kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang
diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan. Hal ini diutarakan dalam pendapatnya bahwa,
“behavior performance management is not a good idea to be tried for a while and then cast aside for
some other good idea. It is a science that explains how people behave. It can not go away anymore tha
gravity can go away. In a changing world, the science of behavior must remain the bedrock, the starting
place for every new technology we apply, and every initiative we employee in our effort to bring out the
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
3
best in people”. Ada beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan kinerja kelompok yang harus dimulai
dengan pengetahuan atas kerja kelompok bagian terbesar dari sebuah organisasi dan faktor strategi,
struktur penyeleksian dan sistem penghargaan serta pemberian hadiah bagi anggota kelompok
organisasi yang meraih pencapaian. Payaman J. Simanjuntak (2005:17) menjelaskan pembinaan kinerja
merupakan bagian dari aktivitas manajemen kinerja. Dijelaskan bahwa dalam manajemen kinerja
seluruh aktivitas merupakan proses berkelanjutan berbentuk siklus yang terdiri dari perencanaan,
pembinaan, dan evaluasi. Pengukuran kinerja dalam sistem manajemen kinerja menurut Vincent
(2006:212) merupakan alat manajemen untuk menilai keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan
strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Sedangkan Dale (2002:13), menjelaskan ukuran
kinerja yang efektif terdiri dari ukuran kuantitatif, mudah dipahami, seimbang, mudah dipantau, dan
dipublikasikan. Dengan demikian, melalui aplikasi pengukuran kinerja SDM yang tepat, upaya
manajemen di dalam menyediakan kualitas layanan jasa yang memenuhi harapan pelanggan akan dapat
diwujudkan dalam suatu penyelenggaraan pendidikan.
Kualitas Layanan (Quality Service)dan Kepuasan Pelanggan
Frank M. Gryna, et.al (2007:15) mendefinisikan mutu, sebagai “totality of characteristics of an
entity that bear on its ability to satisfy stated and implied needs.” Kualitas layanan dalam kajian ini
diidentikkan dengan konsep kualitas jasa (service quality) yang dijelaskan oleh Fandy Ciptono
(2005:160-162) sebagai suatu model yang terdiri atas tiga komponen, yaitu kualitas interaksi
(interaction quality), kualitas lingkungan fisik (physical environment quality), dan kualitas hasil
(outcome quality). Lebih lanjut dalam tulisan Tjiptono dijelaskan, dimensi kualitas interaksi meliputi
sikap, perilaku dan keahlian pegawai/karyawan jasa. Dimensi lingkungan fisik terdiri dari kondisi (non
visual, seperti temperatur, aroma, musik), desain fasilitas, dan faktor sosial. Disain fasilitas meliputi
layout lingkungan, praktikal, maupun estetis (menarik secara visual). Sedangkan faktor sosial berupa
jumlah dan perilaku orang dalam setting jasa. Dimensi kualitas hasil merupakan waktu tunggu
penyampaian jasa. Waktu tunggu yang diukur merupakan persepsi pelanggan terhadap lamanya waktu
menunggu penyampaian jasa. Bukti fisik (tangible evidence) mencerminkan fasilitas fisik yang relevan
dalam jasa dan valensi (valence) mengacu pada atribut yang mempengaruhi keyakinan pelanggan
bahwa hasil suatu jasa itu baik atau buruk. Dalam penyelenggaraan pendidikan, dimensi-dimensi
tersebut akan mewarnai suatu kondisi yang diharapkan oleh para pelanggan baik secara internal maupun
eksternal yang akan bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian, SDM dalam
penyelenggaraan pendidikan memerlukan berbagai kompetensi yang relevan dengan perilaku
manajerial mereka guna mewujudkan kualitas yang diharapkan.
Pandy Tjiptono (1996:100) menjelaskan, dalam pendekatan total quality management (TQM)
pelanggan eksternal adalah orang yang membeli dan menggunakan produk perusahaan. Dalam
pendekatan TQM, kualitas sangat ditentukan oleh pelanggan. Kotler (1994:40) menjelaskan, kepuasan
pelanggan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang ia
rasakan dibandingkan dengan harapannya. Beberapa cara/metode dalam pengukuran kepuasan
pelanggan antara lain dijelaskan oleh Kotler adalah survei kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan
merupakan sasaran dari suatu upaya manajemen yang dilakukan lembaga baik yang berorientasi pada
bisnis (profit) maupun lembaga/organisasi nirlaba (non profit) seperti lembaga pendidikan. Oleh karena
itu, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam lembaga pendidikan perlu diarahkan pada upaya
peningkatan kualitas layanan yang diharapkan pelanggannya. SDM suatu lembaga pendidikan perlu
menyediakan layanan jasa yang berorientasi pada mutu dan melakukan perubahan yang terus menerus
(continuous improvement) serta pembelajaran organisasi (learning organization) dalam perilaku kerja
mereka.
METODE DAN SAMPLING
Metode yang digunakan adalah metode survey pelanggan, yaitu mendeskripsikan harapan-
harapan pelanggan yang diperoleh dari sebaran angket. Metode survey kepuasan pelanggan dilakukan
antara lain dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden mengenai harapan mereka dan apa
yang dirasakan (derived satisfaction).
Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Wilayah Jakarta, Bogor, dan Bekasi yang stakeholders atau para pegawainya ada yang berasal dari
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
4
lulusan Prodi MP S2 dengan teknik sampling bertujuan. Sumber data yang digunakan adalah para
pengguna (pimpinan/pemilik yayasan), para lulusan Prodi MP S2 Program Pascasarjana Universitas
Negeri Jakarta, dan pihak pengguna/konsumen di Lembaga-lembaga Diklat. Data dikumpulkan dengan:
(1) kuesioner/angket, dan (2) analisis dokumen, dilakukan untuk menentukan keberadaan alumni Prodi
MP S2 PPs UNJ dengan menggunakan data yang ada di bagian akademik dan data yang ada di lapangan
(Instansi/lembaga tempat penelitian). Analisis data dilakukan secara deskriptif dilanjutkan dengan
melakukan interpretasi dan pemaknaan pada setiap hasil informasi yang berhasil dijaring. Tahapan yang
dilakukan meliputi: (1) Data Collection, (2) Data Reduction, (3) Data Display, dan (4) Data Verifikasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Integritas (Etika dan Moral)
Integritas terkait dengan keutuhan atau totalitas yang dimiliki oleh seseorang baik dari segi etika
maupun moral. Sedangkan etika merupakan pola perilaku seseorang sebagai suatu kelaziman yang
dapat diterima umum dalam berinteraksi dengan lingkungannnya, etika terkait dengan ukuran baik dan
buruk. Sedangkan moral merujuk pada nilai-nilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Diperoleh hasil terkait integritas dapat dilihat
pada gambar berikut:
Gambar 1. Integritas lulusan Manajemen Pendidikan
Keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme)
Setiap lulusan diharapkan profesional di bidangnya. Dalam hal ini para lulusan manajemen
pendidikan dituntut untuk profesional dalam mengelola pendidikan. Diperoleh hasil terkait kemampuan
profesionalisme pada gambar berikut:
Gambar 2. Profesionalisme lulusan Manajemen Pendidikan
85%
15%
Integritas (Etika dan Moral)
Sangat Diperlukan
Cukup Diperlukan
98%
2%
Profesionalisme
Sangat
Diperlukan
Cukup
Diperlukan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
5
Keluasan Wawasan antar Disiplin Ilmu
Di samping dituntut untuk memiliki kemampuan dalam disiplin ilmunya, setiap lulusan juga
diharapkan memiliki keluasan wawasan di luar disiplin ilmu manajemen pendidikan sebagai penunjang
dalam berinteraksi dan bahkan dalam membantu mempercepat penyelesaian tugasnya. Diperoleh hasil
terkait kemampuan keluasan wawasan antar disiplin ilmu dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3. Keluasan wawasan antar disiplin ilmu lulusan Manajemen Pendidikan
Kepemimpinan
Sesuai dengan bidang studi yang digeluti, seorang lulusan manajemen pendidikan diharapkan
memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain ke arah
pencapaian tujuan dengan kemauan dan antusiasme yang tinggi. Diperoleh hasil terkait kemampuan
kepemimpinan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Kepemimpinan lulusan Manajemen Pendidikan
Kerjasama dalam tim
Kerjasama dalam tim terkait dengan kerjasama antara 2 orang atau lebih yang bersinergi secara
intensif untuk mencapai tujuan. Orang-orang yang berada di dalamnya harus saling melengkapi, saling
percaya, saling menghargai, serta saling mendorong dan membantu dalam semangat kebersamaan.
Diperoleh hasil terkait kemampuan di dalam kerjasama tim dapat dilihat pada gambar berikut:
87%
12%1%
Keluasan wawasan antar disiplin ilmu
Sangat Diperlukan
Cukup Diperlukan
Kurang Diperlukan
95%
3%2%
Kepemimpinan
Sangat Diperlukan
Cukup Diperlukan
Kurang Diperlukan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
6
Gambar 5. Kerjasama dalam tim lulusan Manajemen Pendidikan
Bahasa Asing
Kemampuan dalam berbahasa asing saat ini menjadi suatu kebutuhan, terutama dalam penguasaan
bahasa inggris yang sudah menjadi bahasa internasional. Dari hasil persentase, sebagian besar
kemampuan bahasa asing masih sangat diperlukan untuk mendukung lancarnya pekerjaan yang
dihadapi para lulusan. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 6. Kemampuan berbasahasa asing
Komunikasi
Komunikasi merupakan modal utama seseorang untuk dapat berinteraksi satu sama lain. Di dalam
komunikasi terjadi transfer informasi/pesan-pesan dari komunikator ke komunikan yang di dalam
prosesnya terjadi feedback agar terjadi saling pengertian di antara kedua belah pihak. Selanjutnya dapat
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 7. Komunikasi lulusan Manajemen Pendidikan
71%
21%
7% 1%
Kerjasama dalam tim
Sangat Diperlukan
Cukup Diperlukan
Kurang Diperlukan
Tidak Diperlukan
68%
29%
3%
Bahasa Asing
Sangat Diperlukan
Cukup Diperlukan
Kurang Diperlukan
82%
18%
Komunikasi
Sangat Diperlukan
Cukup Diperlukan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
7
Penggunaan Teknologi Informasi (TI)
Sama halnya dengan kemampuan dalam berbahasa asing, penggunaan teknologi informasi saat
ini sudah menjadi tool yang sangat membantu mempermudah pekerjaan sehari-hari. Dalam
penyelenggaraan pendidikan TI dapat digunakan untuk meng-update pengetahuan terkait disiplin ilmu
yang digeluti yang senantiasa berkembang. Sebagian besar lulusan perlu dibekali dengan kemampuan
mengaplikasikan TI dalam mendukung pekerjaannya. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 8. Penggunaan Teknologi Informasi Lulusan Manajemen Pendidikan
Pengembangan diri
Pengembangan diri terkait dengan kemampuan lulusan untuk secara aktif meningkatkan
profesionalismenya melalui berbagai kegiatan, baik dengan mengikuti berbagai seminar, lokakarya,
mengikuti diklat, dan bergabung dalam forum-forum ilmiah sesuai dengan bidang tugasnya. Diperoleh
hasil terkait kemampuan pengembangan diri dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 9. Pengembangan diri lulusan Manajemen Pendidikan
Harapan Konsumen terkait Kompetensi yang Dimiliki Para Lulusan.
Para lulusan MP S2, misalnya mereka yang bergerak di bidang layanan seperti Staf Administrasi
Sekolah (TU) dapat melakukan layanan yang lebih baik lagi untuk dapat memuaskan pelanggan.
Keterampilan di bidang mengapilkasikan TI diharapkan lebih meningkat, demikian juga di bidang
komunikasi, kerjasama, integritas, dan kemampuan lainnya yang diperlukan untuk melakukan
dukungan layanan akademik.
Pada kompetensi layanan seperti untuk bidang tupoksi guru, diharapkan para guru akan lebih
banyak memiliki kepekaan yang tinggi di dalam tugas-tugasnya yang terkait dengan penguasaan
komunikasi yang lebih baik sehingga pembelajaran yang dilakukannya lebih bermakna. Seorang guru
perlu memiliki kepemimpinan yang patut “digugu” dan “ditiru”, melakukan kerjasama dengan
stakeholders yang transparan, etika dan moral yang tinggi, dan menguasai TI untuk menghadapi era
global demi menghasilkan para lulusan yang siap bersaing di lapangan kerja terutama untuk siswa-
siswa SLTA.
70%
20%
9% 1%
Penggunaan Teknologi Informasi
sangat
Diperlukan
Cukup
Diperlukan
Kurang
Diperlukan
Tidak
Diperlukan
65%
30%
3% 2%
Pengembangan Diri
Sangat
DiperlukanCukup
DiperlukanKurang
DiperlukanTidak
Diperlukan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
8
Pada kompetensi layanan seperti kepala sekolah, diharapkan terwujud pemimpin-pemimpin yang
amanah karena mereka telah memiliki etika dan moral yang tinggi yang memahami tugas pokok dan
fungsinya sebagai pelayan masyarakat di bidang pendidikan dan bukan sebagai orang yang harus
dilayani. Fungsi layanan yang dapat memuaskan pelanggan baik secara internal maupun eksternal
sangat diharapkan muncul dari pemimpin-pemimpin pendidikan di era persaingan yang semakin ketat
ini. Para kepala sekolah selaku pemimpin dalam suatu sistem penyelenggaraan pendidikan harus
memiliki kemampuan komunikasi yang prima, menguasai bahasa asing, kepemimpinan yang dapat
menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi, kerjasama tim yang sangat baik, selalu siap untuk
mengembangkan diri dalam bentuk learning organization bersama rekan kerjanya, dan tentu saja
memiliki kemampuan TI yang memadai sebagai seorang pemimpin yang profesional di bidangnya.
Sedangkan pada kompetensi kepengawasan, bagi lulusan MP S2 yang akan berkiprah sebagai
seorang calon atau sudah menjadi pengawas di lembaga satuan pendidikan, maka diharapkan para
lulusan ini lebih memiliki kompetensi yang memadai di bidang layanan kepengawasan seperti mampu
melakukan penilaian yang objektif, mampu melakukan umpan balik sesuai dengan hasil temuannya dan
mampu melakukan pembinaan yang sifatnya continuous improvement. Di samping itu, bagi para calon
pengawas dan para pengawas, diharapkan mereka lebih menguasai keilmuan yang inter dan antar
disiplin sehingga perilaku mereka di dalam bekerja akan lebih profesional, menguasai kepemimpinan
yang egaliter, memiliki tanggung jawab moral yang tinggi akan tugas-tugasnya, dan memiliki
kemampuan yang tinggi di dalam TIK untuk dapat menjawab kebutuhan stakeholders yang ada di
bawah binaannya. Kemampuan TIK sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendasar terutama bagi
para pemimpin pendidikan di era global ini. Komunikasi tidak harus lagi dilakukan dengan komunikasi
yang sifatnya langsung, tetapi bisa dengan berbasis TIK. Dengan demikian, para pemimpin pendidikan
ini akan siap berdialog dengan mitra kerjanya di mana pun dan kapan pun sesuai kebutuhan stakeholders
yang memerlukannya.
Pada kompetensi layanan yang terkait dengan lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat),
diharapkan para lulusan MP S2 yang berada pada bidang ini lebih dapat melayani dengan baik
kebutuhan peserta diklat sehingga lebih memberikan kepuasan layanan baik secara internal maupun
eksternal lembaga. Instruktur maupun para staf administrasi yang bekerja pada lembaga Diklat lebih
memiliki kemampuan di bidang komunikasi, siap melakukan perubahan dengan melakukan
pembelajaran dan pengembangan diri secara terus menerus, integritas dan kejujuran yang tinggi,
objektif dalam penilaian, menjadi pemimpin yang dapat dijadikan panutan, dan menguasai TIK dengan
baik.
Pada kompetensi layanan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi para pengelola pendidikan
di lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta seperti di Dinas Pendidikan, Yayasan-
yayasan pendidikan dan lembaga swasta non kependidikan, diharapkan para lulusannya memiliki
kemampuan yang prima di dalam memberikan pelayanan kepada stakeholders-nya. Para lulusan MP
S2 diharapkan memiliki integritas, kejujuran, dan komitmen yang tinggi di dalam memberikan layanan,
kemampuan komunikasi seperti mampu berbahasa asing yang lebih baik, kemauan untuk selalu
mengembangkan diri, kepemimpinan yang visioner, mampu bekerjasama dalam tim yang solid, dan
kemampuan TIK yang lebih baik.
Kompetensi yang perlu dipertajam dari para lulusan di tempat kerjanya masing-masing.
Beberapa kompetensi yang perlu dipertajam dari para lulusan MP S2 diurutkan sesuai masukan
stakeholders sebagai berikut: (1) Kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai
pengelola pendidikan, yaitu para lulusan MP S2 benar-benar memiliki kemampuan di dalam
merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik pada
level nasional maupun pada level otonomi daerah (Otda). (2) Kompetensi yang terkait dengan
kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 benar-benar memiliki kemampuan di dalam
mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK, kemampuan berbahasa asing seperti
berbahasa Inggris, dan kemampuan terkait dengan kompetensi moral dan karakter, yaitu kemampuan
kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan komitmen serta perhatian yang tinggi.
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi), para lulusan MP S2 diharapkan: (1) Bagi Kepala
Sekolah, yaitu memiliki kompetensi manajerial, supervisi akademik, kompetensi pengawas dan
kepengawasan, kompetensi riset tindakan sekolah untuk memperbaiki kinerja, kompetensi
kewirausahaan, analisis kohor untuk memahami koefisien efisiensi internal penyelenggaraan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
9
pendidikan di sekolahnya, penyusunan rencana strategik sekolah (Renstra sekolah), kompetensi
penyusunan RAPBS, kompetensi pengelolaan, dan pengembangan SDM. (2) Bagi Pengawas Sekolah,
yaitu memiliki kompetensi supervisi dan evaluasi, kompetensi pengawas dan kepengawasan,
kompetensi riset kepengawasan untuk perbaikan kinerja, kompetensi kewirausahaan, kompetensi
analisis kohor, kompetensi mengelola dan mengembangkan SDM pendidikan. (3) Bagi para Guru, yaitu
memiliki kompetensi kewirausahaan, analisis kohor pendidikan untuk memahami koefisien efisiensi
internal penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya, kompetensi penyusunan RAPBS, kompetensi
mengelola dan mengembangkan SDM pendidikan. (4) Bagi para tenaga struktural, yaitu kompetensi
pengembangan sumber daya pendidikan.
Dalam layanan akademik di Prodi MP S2 yang perlu diperhatikan, yaitu terkait dengan
keprofesionalan para pengajarnya. Para dosen di Prodi MP S2 khususnya yang mengajarkan kompetensi
utama diharapkan linear dalam keilmuan di bidang manajemen pendidikan mulai S1 hingga S3. Dengan
demikian, ada jaminan tidak terjadi kekeliruan dalam menjelaskan suatu konsep di dalam keilmuan
manajemen pendidikan dan dalam memberikan ilustrasi atau gambaran yang terjadi di lapangan secara
jelas. Kematangan konsep dan pengalaman empiris dari para dosen akan membantu para mahasiswa
terlatih di dalam menyelesaikan suatu masalah sesuai keilmuan yang didapatnya secara proporsional.
Pembahasan
Beberapa kompetensi yang sangat diperlukan, yakni kompetensi keahlian berdasarkan bidang
ilmu (profesionalisme), kepemimpinan visoner, keluasan wawasan antar disiplin ilmu, integritas/moral
dalam bekerja, kemampuan komunikasi yang efektif, kerjasama tim yang solid, kemampuan
menggunakan teknologi informasi, kemampuan berbahasa asing secara pasif maupun aktif, dan
kemampuan untuk mengembangkan diri. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan profesional sangat
diperlukan di dalam melakukan tugas pokok dan fungsi sesuai bidang pekerjaan mereka. Hal ini sudah
menjadi tuntutan bagi peningkatan profesionalisme mereka yakni harus senantiasa mampu memimpin
dengan kepemimpinan yang visioner yang siap melakukan perubahan. Dengan kepemimpinan yang
visioner, maka mereka akan selalu melakukan pembelajaran untuk keluasan wawasan antar disiplin
ilmu yang diiringi dengan integritas moral dalam bekerja yang juga tinggi. Di samping itu para
pengelola pendidikan juga diharapkan memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga
kerjasama dalam tim pun akan berjalan sangat baik dan solid di dalam mewujudkan tujuan organisasi
di mana mereka bekerja. Demikian pula untuk kemampuan di dalam menggunakan teknologi informasi,
kemampuan berbahasa asing, dan melakukan pengembangan diri yang perlu terus dilakukan di dalam
mewujudkan pribadi-pribadi profesional yang dapat dijadikan sebagai asset lembaga. Kesadaran dalam
diri individu untuk senantiasa mengembangkan diri, hal ini agar mereka tidak tertinggal oleh
perkembangan zaman yang senantiasa menuntut untuk memperbaharui diri. Untuk itu Prodi MP S2
perlu untuk melakukan penjabaran yang lebih proporsional di dalam setiap deskripsi dari mata kuliah
yang diberikan. Strategi pembelajaran yang telah baik perlu dipertahankan dan dikembangkan dengan
komitmen memberikan layanan yang prima untuk kepuasan pelanggan secara eksternal. Demikian pula
dalam layanan yang diberikan secara internal, perlu lebih memperhatikan kebutuhan sarana pendukung
pembelajaran dalam bentuk keberadaan sumber kepustakaan yang relevan dengan Prodi MP S2,
sumber-sumber kepustakaan yang menunjang, fasilitas pembelajaran yang memadai dan siap pakai
dengan kondisi prima, ruangan kelas yang nyaman, dan strategi pembelajaran yang lebih variatif yang
dilakukan oleh setiap pendidik sesuai kebutuhan pembelajaran yang akan diberikan.
Untuk kompetensi kerjasama tim yang solid dan penggunaan teknologi informasi, Prodi MP S2
masih perlu meningkatkan layanan pada pencapaian kompetensi ini yang terintegrasi di dalam setiap
deskripsi kompetensi mata kuliah yang diberikan. Kompetensi ini merupakan softskill yang harus
dimiliki oleh setiap lulusan di dunia kerja. Organisasi yang berhasil lebih disebabkan adanya kerjasama
tim yang berjalan efektif. Kedua kompetensi tersebut memegang peran penting bagi kesempurnaan
penyelesaian pekerjaan apalagi dalam menghadapi era pasar bebas yang mengindikasikan akan terjadi
persaingan yang sangat ketat dalam memperoleh pasar kerja. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu yang
diperoleh selama kuliah perlu didesain untuk dapat menjawab kebutuhan dunia kerja dan sesuai dengan
bidang kerja yang mereka masuki (aplicable).
Usaha meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris dan kemampuan untuk selalu
mengembangkan diri diintegrasikan dalam setiap deskripsi pada mata kuliah yang diberikan.
Kemampuan berbahasa Inggris baik secara pasif maupun aktif, dibiasakan sejak di bangku kuliah.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
10
Sedangkan pada kemampuan untuk selalu mengembangkan diri, kompetensi ini terus dirangsang
melalui strategi pembelajaran yang lebih variatif yang diberikan oleh para pendidik sehingga cara
pembelajaran yang mereka alami akan membangkitkan motivasi pada diri mahasiswa untuk menggali
lebih dalam secara mandiri maupun di bawah pengawasan para pendidiknya dalam bentuk pemberian
tugas yang lebih merangsang berpikir kreatif dan imaginatif.
Untuk harapan konsumen terhadap para lulusan terkait kompetensi yang dimiliki para lulusan,
maka Prodi MP S2 perlu memperhatikan masing-masing tugas pokok dan fungsi para stakeholders
seperti kepala sekolah, guru, pengawas, tata usaha, Lembaga Diklat, Lembaga Dinas Pendidikan, dan
Yayasan-yayasan pendidikan. Demikian pula pada kompetensi yang perlu dipertajam, akan sangat
disesuaikan dengan tupoksi stakeholders. Kompetensi yang paling menarik untuk dipertajam misalnya
kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai pengelola pendidikan, yaitu para lulusan
MP S2 memiliki kemampuan di dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi manajemen seperti
merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik pada
level institusional, otonomi daerah (Otda) maupun level nasional. Seperti yang dijelaskan oleh Hoy
(2001:25),”management is the process of planning, organizing, leading, and controlling that
encompasses human, material, financial and information resources is an organizational
envirounment”. Demikian pula Griffin (2004:7) menambahkan, manajemen merupakan rangkaian
aktivitas perencanaan dan pengambilan keputusan; pengorganisasian; kepemimpinan; dan
pengendalian yang diarahkan pada sumber daya organisasi (manusia, fisik, dan informasi) dengan
maksud untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Peningkatan mutu pendidikan
sebagai salah satu upaya manajemen perlu direncanakan, dikelola, dan dikendalikan secara profesional
dengan strategi yang tepat.
Kompetensi yang terkait dengan kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 perlu
memiliki kemampuan di dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK;
kemampuan berbahasa asing seperti berbahasa Inggris; dan kemampuan terkait dengan kompetensi
moral dan karakter, yaitu kemampuan kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan
komitmen serta perhatian yang tinggi. Sedangkan kompetensi yang perlu dikembangkan dalam layanan
akademik, yaitu memperkaya kemampuan sesuai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) bagi para kepala
sekolah, pengawas, guru dan tenaga struktural pendidikan. Kualitas layanan dalam kajian ini
diidentikkan dengan konsep kualitas jasa (service quality) yang dijelaskan oleh Fandy Ciptono
(2005:160-162) sebagai suatu model yang terdiri atas tiga komponen, yaitu kualitas interaksi
(interaction quality), kualitas lingkungan fisik (physical environment quality), dan kualitas hasil
(outcome quality). Selanjutnya Rust & Oliver (1994) dalam tulisan yang sama juga menjelaskan
konseptualisasi model ini didasarkan pada tiga komponen model “service product, service delivery, dan
service environment”. Lebih lanjut dalam tuisan Tjiptono dijelaskan, dimensi kualitas interaksi
meliputi sikap, perilaku dan keahlian pegawai/karyawan jasa. Dimensi lingkungan fisik terdiri dari
kondisi (non visual, seperti temperatur, aroma, musik), desain fasilitas, dan faktor sosial. Dimensi
fasilitas meliputi layout lingkungan, praktikal, maupun estetis (menarik secara visual). Sedangkan
faktor sosial berupa jumlah dan perilaku orang dalam setting jasa. Dimensi kualitas hasil merupakan
waktu tunggu penyampaian jasa. Waktu tunggu yang diukur merupakan persepsi pelanggan terhadap
lamanya waktu menunggu penyampaian jasa. Bukti fisik (tangible evidence) mencerminkan fasilitas
fisik yang relevan dalam jasa dan valensi (valence) mengacu pada atribut yang mempengaruhi
keyakinan pelanggan bahwa hasil suatu jasa itu baik atau buruk.
Dengan demikian, penting bagi Prodi MP S2 untuk memberikan kualitas layanan yang
diharapkan pelanggan (stakeholders). Kompetensi lulusan tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan
atau harapan pelanggan (stakeholders) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi mereka sesuai
bidang kerjanya masing-masing.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Beberapa kompetensi yang sangat diperlukan diurutkan sesuai jumlah persentase jawaban
stakeholders, yakni keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme), kepemimpinan visoner,
keluasan wawasan antar disiplin ilmu, integritas moral dalam bekerja, kemampuan komunikasi yang
efektif, kerjasama tim yang solid, kemampuan menggunakan teknologi informasi, kemampuan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
11
berbahasa asing secara pasif maupun aktif, dan kemampuan untuk mengembangkan diri. Untuk
kompetensi kerjasama tim yang solid dan penggunaan teknologi informasi sangat diperlukan oleh para
stakeholders, Prodi MP S2 perlu meningkatkan layanan pada pencapaian kompetensi ini yang
terintegrasi di dalam setiap deskripsi kompetensi mata kuliah yang diberikan. Selain itu pada
kompetensi kerjasama dalam tim yang solid merupakan softskill yang harus dimiliki oleh setiap lulusan.
Usaha meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris dan kemampuan untuk selalu
mengembangkan diri tetap menjadi kompetensi yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam
setiap deskripsi pada mata kuliah yang diberikan. Kemampuan berbahasa Inggris baik secara pasif
maupun aktif, perlu dibiasakan sejak di bangku kuliah. Sedangkan pada kemampuan untuk selalu
mengembangkan diri, kompetensi ini perlu terus dirangsang melalui strategi pembelajaran yang lebih
variatif yang lebih merangsang berpikir kreatif dan imaginatif. Untuk harapan konsumen terhadap para
lulusan terkait kompetensi yang dimiliki para lulusan, maka Prodi MP S2 perlu memperhatikan masing-
masing tugas pokok dan fungsi kepala sekolah, guru, pengawas, Tenaga Administrasi (TU), Lembaga
Dilklat, Lembaga Dinas Pendidikan, dan Yayasan-yayasan pendidikan. Demikian pula pada kompetensi
yang perlu dipertajam, disesuaikan dengan tupoksi stakeholders. Kompetensi yang paling menarik
untuk dipertajam misalnya kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai pengelola
pendidikan, yaitu para lulusan MP S2 memiliki kemampuan di dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi
manajemen seperti merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan
pendidikan baik pada level institusional, otonomi daerah (Otda), maupun level nasional. Kompetensi
yang terkait dengan kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 memiliki kemampuan di dalam
mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK; kemampuan berbahasa asing seperti
berbahasa Inggris; dan kemampuan terkait dengan kompetensi moral dan karakter, yaitu kemampuan
kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan komitmen serta perhatian yang tinggi.
Dalam layanan akademik di Prodi MP S2 perlu memperhatikan keberadaan dosen yang diharapkan
memiliki kemampuan konsep dan pengalaman empiris yang linear dengan bidang keilmuan manajemen
pendidikan khususnya pada pencapaian kompetensi utama dari para lulusan.
Rekomendasi
Dalam proses perkuliahan, para mahasiswa yang akan menjadi lulusan perlu diberikan
pemahaman dan pengalaman empiris akan pentingnya meningkatkan keprofesionalan mereka untuk
masuk dalam dunia kerja. Lembaga PPs dan Prodi MP S2 perlu menyediakan dosen-dosen yang linear
dengan keilmuan di bidang manajemen pendidikan dan fasilitas pembelajaran yang memadai seperti
perpustakaan dengan referensi yang relevan dan menunjang, menyediakan hotspot area yang memadai,
dan mengadakan kuliah umum/terbuka melalui strategi visiting professor dari Perguruan Tinggi lain
atau memanggil nara sumber sesuai bidang keahliannya minimal satu kali dalam satu semester. Untuk
meningkatkan kompetensi inti dapat dilakukan dengan cara para lulusan sering meng-update informasi
melalui berbagai media yang tersedia, baik cetak maupun elektronik dalam bentuk jurnal ilmiah hasil
penelitian, kajian teoretik, dan meng-upgrade kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan
wawasan melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta melakukan riset-riset
yang relevan terkait implementasi keilmuan Manajemen Pendidikan secara mandiri atau berkolaborasi
dengan para dosennya. Untuk meningkatkan kompetensi baik kompetensi inti maupun pendukung, para
mahasiswa, pendidik/dosen, dan pengelola Prodi MP S2 serta PPs UNJ, perlu berkolaborasi dengan
mitra kerja terkait di dalam pengembangan keterampilan yang dibutuhkan melalui sistem pelatihan atau
workshop dengan sekolah/lembaga-lembaga yang menjadi binaan Prodi MP S2 dan lembaga PPs UNJ.
DAFTAR PUSTAKA
Dale A. Timpe, (2002), Kinerja Seri Ilmu dan Seri Manajemen Bisnis, terjemahan Budidharma, Jakarta:
PT. Alex Media Komputindo,
Fandy Tjiptono, Anastasia Diana, (1996), Total Quality Management, Yogyakarta: Andi Offset,
Fandy Tjiptono, Gregorius Chandra, (2005), Service, Quality, Satisfaction, Yogyakarta: Andi Offset,
Fred Luthans. (2008), Organizational Behavior, New York: McGraw-Haill,
Gibson et al., (2009), Organization: Behaviour, Structure, Processes, England: Pearson education
limited,
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
12
Gryna Frank M., et.al., (2007), Juran’s Quality Planning and Analysis For Enterprise Quality 5th ed.,
Singapore: McGraw-Hill,
Griffin, Ricky Manajemen, (2004), alih bahasa Gina Gania, Wisnu Chandra Kristiaji, Jakarta, Erlangga,
Ivanceivich, John M., James H. Deadly, Jr. L. James Gibson, (2003), Management India: ALTBS
Publisher,
Jason A. Colquitt, Jeffery A. LePine, dan Michael J. Wesson, (2011), Organizational Behavior:
Improving Performance and Commitment in the Workplace, Second Edition, New York:
McGraw-Hill,
Jex, M. Steve, Thomas W. Britt, (2008), Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner
Approach, New York: John Wiley & Sons, Jhon R. Schermerhorn, (2005), Management, USA:
Jhon Wiley and Sons Inc.,
Kotler, P., (1994), Marketing Management: Analysis,Planning, Implementation, and Control, N.J.:
Prentice Hall International, Inc.,
Robbins,Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education, Inc., Prentice Hall, 2011
Simanjuntak J. Payaman, (2005), Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia,
Soedarmayanti, (2001), SDMatau ProduktIvitas Kerja, Bandung: Mandar Maju,
Vincent Gaspersz, (2006), Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six
Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, Jakarta: PT. Gramedia,
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
13
MULTIDIMENSIONAL RELIABILITY OF INSTRUMENT FOR MEASURING
ATTITUDES TOWARD PHYSICS USING SEMANTIC DIFFERENTIAL SCALE
Gaguk Margono1
1Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Jakarta, Kampus UNJ, Jl. Rawamangun Muka, Rawamangun, Jakarta 13220
Abstract
The purpose of this paper is to compare multidimensional and unidimensional
reliability on instrument for measuring attitude toward physics using semantic
differential scale. Multidimensional reliability measurement is rarely used in the
field of research. Multidimensional reliability is estimated by using Confirmatory
Factor Analysis (CFA) on the Structural Equation Model (SEM). Measurements and
calculations are described in this article using instrument of attitude toward physics
with used semantic differential scale. Survey method used in this study and sampling
used simple random sampling. This instrument has been tried out to 116 students.
The result of the calculation is concluded that the measuring instrument of attitude
toward physics using semantic differential scale by used multidimensional reliability
coefficient has higher accuracy when compared with a unidimensional reliability
coefficient. Expected in advanced research using another formula multidimensional
reliability, including when using SEM.
Keywords: multidimensional reliability, attitudes toward physics using semantic
differential scale, confirmatory factor analysis
INTRODUCTION
In education and psychology, good judgment requires reliable or trustworthy measurement.
According to Naga (1992), educational and psychological measurements include several things. First,
measure the latent trait which is invisible to the respondent. Secondly, measure the characteristics of
the latent form of the respondents’ questionnaire that given stimulus or appropriate measuring
instruments. Third, stimulus responded by respondents with expectations correctly reflects the response
of latent trait. Fourth, the response can be scored and interpreted adequately. Then, some questions rise
up such as which scores accurately reflect the latent trait? Did the instrument reveal unseen latent traits
properly? The next question regards to validity. In associate to reliability, can responses given by the
participants be believed to be used as material for scoring psychological attributes?
According to Wiersma (1986) reliability is the consistency of an instrument to measure
something to be measured. Reliability indicates the extent to which the results of measurements with
the device can be trusted. Therefore, reliability is an index that indicates the extent to which a measure
can be reliable or unreliable. When an instrument is used repeatedly to measure the same symptoms
and the results obtained are relatively stable or consistent, then the reliable the instrument is. In other
words, the measurement results are expected to be the same if the measurements are repeated.
By operating variance approach, Kerlinger (2000) developed two definitions of reliability: (1)
it is the proportion of "true" variance to the total variance obtained from the data. The equation
tt tr v v can be explained as follows: v is pure variance and tv is the total variance, and (2) it is
the proportion of variance erroneously generated by a measuring instrument that is deductible at 1.00,
with an index of 1.00 indicates perfect reliability coefficients. It can be written with equation:
1tt e tr v v where ev is error variance and tv is the total variance. Therefore, reliability is an index
that indicates the extent to which a measure can be reliable or unreliable.
Generally, there are three major categories of measurement reliability: (1) type of stability (e.g.
retest, parallel forms, and alternate forms), (2) type of homogeneity or internal consistency (e.g. split
half, Kuder-Richardson, Cronbach's alpha, theta and omega), and (3) type equivalent (e.g. parallel to
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
14
the item of alternate forms and inter-rater reliability. The instrument was given to one group of subjects
and in a certain way is calculated to estimate reliability. This once application measurement approach
generates information about the internal consistency of the instrument. Internal consistency used to
measure statements or to reflect the same aspect of item homogeneity statement. Furthermore, how the
test can be a good instrument shown by the following scheme in
Figure 1: Scheme of Instruments and Testing Methods of Validity and Reliability.
Adapted from Sugiyono (2010), Metode penelitian pendidikan (Bandung: Alfabeta).
The higher the reliability coefficient, the closer the value of observation scores with actual
scores, so a score of observation can be used as a substitute for the real component of the score. Size of
high or low reliability coefficient is not only determined by the value of the coefficient. The
interpretation of high and low coefficient value obtained through computation is also determined by the
standard disciplines involved in the measurement. The higher the coefficient of reliability of an
instrument, the possibility of errors which occur will be smaller
Commonly, measurement of affective characteristics provide lower reliability coefficient than
measurement of cognitive, because cognitive characteristics tend to be more stable than affective
characteristics. According to Gable (1986) cognitive reliability coefficient of the instrument is usually
about 0.90 or more, whereas affective instrument reliability coefficient is less than 0.70. Level of
reliability coefficient of 0.70 or more is generally accepted as a good reliability (Litwin, 1995).
However, Naga (1992) says that adequate reliability coefficient should be above of 0.75.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
15
LITERATURE REVIEW
Psychological measurement always applies test validity and reliability. But in field of
psychometrics, still there is not agreement among experts about reliability coefficient or formula used
by researchers for gaining reliability. It is caused by some issues: first, many researchers who considered
as quite competent researchers still give less precise report of reliability of their measurements result
(Thompson, 1994).
Second, reliability coefficients used by researchers are considered as monotonous calculation
without having assumptions underlie the coefficient. The researchers do not acknowledge well the use
of alpha coefficients. In addition, they also do not realize that this coefficient requires assumptions
which are difficult to fulfill. If the assumptions are not met then the result of alpha coefficient estimates
the lowest limit value. Many researchers only focus on use of coefficient alpha to estimate reliability.
Cronbach 's alpha coefficient is famous because of some factors: 1) computational technique used is
relatively easy, as it only requires information such as total score variance, and 2) the sampling
distribution is already known that the determination of confidence intervals on the population is
exceedingly possible (Feld et al., 1987).
Third, the problem associated with assumption in estimating reliability. In empirical realm that
requires nature of parallel, the use of tau-equivalent term becomes a tough challenge for researchers in
developing measurement instruments. This is supported by Kamata et al (2003) who found that the
assumption of equality, the power of discrimination between test components, and unidimensionality
measurement are relatively difficult to achieve. If the assumption of tau-equivalent essentially cannot
be met, then the coefficient alpha reliability values which produced are very small, so it is below the
estimated coefficients.
Fourth, discourse of unidimensiononality measurement becomes measurement problem.
Unidimensionality is an important aspect in estimating reliability. In psychological measurement,
unidimension results are very difficult to achieve, especially in context of personality domain that
contains broad area variances traits. Socan (2000) writes that factor analysis of several studies
conducted many cases of multidimensional rather than unidimensional.
According to the Latan (2012) Structural Equation Modeling (SEM) is a second-generation
multivariate analysis technique that combines factor analysis and path analysis. This technique allows
researchers to simultaneously test and estimate the relationship between exogenous and endogenous
multiple variables with many indicators. In 1970s Joreskog’ research discovered statistical theory of
linear structural analysis which is better known as structural equation modeling or SEM. This modeling
uses analysis of covariance structure. So this approach sometimes called as covariant structure model
(CSM).
The model includes immeasurable variables called latent constructs which created by a set of
measurable variables, namely construct measured. Measurement error reflects reliability scores which
are seen as unique construct. Being an important part of SEM analysis, measurement error is included
in SEM analysis, and it becomes the advantage of SEM analysis compared to other analytical techniques
(Capraro et al., 2001). SEM can estimate error variance in actual measurement outcome scores that
estimate reliability.
According to Geffen and colleagues (2001), SEM is a multivariate statistical technique that
combines multiple regressions to identify relationships between constructs and factor analysis. SEM
identifies concept measured with several indicators which manifest both analysis simultaneously.
Approaches for this calculation are correlation correction attenuation caused by measurement error and
structural equation model in the context of confirmatory factor analysis. Lee and Song (2001) said that
SEM is one approach to confirm measurement model. SEM measurement model links latent constructs
with empirical construct. Empirical constructs are expressed by combination of latent constructs.
Instead handling generalizability and item response theory, SEM is also able to compare measurement
model and accuracy of investigation.
SEM has two basic components. First, the measurement model is defined as the relationship
between latent variables and group of explanatory variables that can be measured directly. Second, the
structural model is defined as the relationship between latent variables that cannot be measured directly.
These variables are also distinguished as independent variable and dependent variable. Geffen and
colleagues (2001) said that the measurement model is sub-models in SEM with latent constructs that
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
16
identifies indicators. This model can determine reliability of each construct included in the model. SEM
can also identify constructs reliability which is visible through the result value of the items reliability
loading. Based on SEM construct reliability perspective, it can be calculated through the following
equation:
2
1
2
1 1
i
i
i
i i
i
i i
CR
Descriptions:
CR = Construct reliability
i = Factor loading of standardized indicators to-i
= Standard error of measurement
McDonald (1981) formulates reliability coefficient which later was named as McDonald
composite score reliability coefficients that also called omega ( ). Reliability coefficient is based on
confirmatory factor analysis that is part of SEM modeling menu. This McDonald composite score
reliability explains large proportion of indicators in measuring construct explained. Formula to obtain
construct reliability coefficients is as follows:
2
1
2
2
1 1
1
i
i
i
i i
i i
i i
Descriptions:
i = Factor loading of standardized indicators to-i
When constructs reliability and McDonald composite score reliability are compared it will give the
same result as 21 .
The following rule is a reliability coefficient of multidimensional construct reliability
coefficients developed by Hancock and Mueller (2000). It shows how well indicator could reflect
construct to be measured. This coefficient is modification of McDonald construct reliability coefficient
which cannot accommodate different weights of interdimensions. The modified construct is called
weighted reliability coefficients as follows:
2
21
2
21
(1 )
1(1 )
p
i
i iw p
i
i i
l
l
l
l
Descriptions:
il = Coefficient of the i-th standardized dimensions
Reliability coefficient can be interpreted as square of correlation between dimensions of
optimal linear composites, so some experts call it as maximum reliability.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
17
Developing a model of internal consistency is assumed not a major issue. But the problem is
the assessment of reliability. Research done by Vehkahlati (2000) concluded that the assumptions are
not realistic enough to score purely classical theory. The assumption of those pure scores of
unidimensional is practically difficult to be proved. So study of multidimensional becomes surface of
measurements because many cases also found that correlation between dimensions of items is
sometimes higher than correlation between items in the test.
Unidimensional measurement is used to calculate capability factors, personality, traits, and
attitudes. However, many studies have shown that the unidimension assumption is difficult for
discovering several new factors involved in the measurement. In other words, the instrument that is
often used in psychological research tends to be multidimensional.
Some important reasons for using multidimensional measurement reliability as suggested by
Widhiarso (2009) with the following descriptions: First, the general characteristics of the psychological
construct is multidimensional. Second, any involvements in the preparation of psychological
instruments aspects are usually preceded by a decrease in item of some theoretical aspects and the
tendency is multidimensional.
Third, the number of items in the instrument will affect the measurement. The number of items
that can add much additional error potential of variance in item will rise new dimensions of the original
defined dimensions. The total of the items and also forms the scale affect respondents' attitudes toward
the item and it will then affect their response to the instrument.
Fourth, item writing techniques. Spector and colleagues (1997) found that the technique of
writing item that have reversed direction between positive (favorable) and negative (unfavorable) form
new dimension. When measuring the data captured many psychological scales use different writing
techniques of items direction.
Fifth, different measurement units. Measurement in psychological tends to have different
measuring units between one item with other items. It has different capability measured as indicator of
construct. This condition will cause multidimensional result.
In Widhiarso and Mardapi research (2010), multidimensional model for measuring reliability
coefficient has high accuracy when compared to unidimension reliability. It can be concluded that in
psychological measurement, both cognitive and other form of constructs are highly susceptible to the
plurality of attributes measured (multidimensional). Furthermore, by understanding the trends over the
psychological measurement and by comparing multidimensional measurement with unidimensional
model, it is expected that the measurement process also involves psychometric analysis technique that
uses multidimensional model.
Therefore, in this study, researchers focused on multidimesional and unidimensional reliability.
This study aims to test the accuracy of multidimensional reliability coefficient compared to
unidimensional reliability coefficient. Based on the explanation above we could question about: What
is the internal consistency reliability of multidimensional instrument measuring student satisfaction as
an internal customer? How is the comparison between the multidimesional and unidimensional
reliability? Which is more accurate to measure reliability; multidimesional or unidimensional
measurement?
METHOD AND SAMPLING
The method used in this study was survey method. The survey is used in data collecting and
there was no treatment or conditioning of the variables studied, but only reveals the fact from students
or respondents symptoms. Variables in this study are area that is targeted, that is to measure attitudes
toward physics, namely the tendency of a person to Physics with all the evaluation, potency and activity
(EPA). Semantic differential scale is an instrument used in assessing the concept of stimulant on a set
of seven-step bipolar scale from one end to the other end of the continuum. It consists of three
dimensions of evaluation, potency and activity.
Type of response in this study is typical performance, therefore the expected response can be
obtained through habit instrument of respondents or what people can do or feel (what a person usually
does or feels) in specific situation of learning activities. It also commonly called sentiment expression.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
18
This type of response cannot be declared as true or false marking, or often it is said all correct responses
according to each reason. In accordance with the characteristics of type of response, then format of
measuring instrument chosen which presents the items of the instrument is limited. It has 7 possible
answers for each item with range 1 to 7 grading. There are 13 totals of items. Respondents have about
5-10 minutes to work. The quality or status of this instrument has two directions of tendencies; those
are positive or negative direction of attitude towards Physics. The quality of the ideal grade is to be in
neutral point, because it will provide conclusions on quality of attitude towards Physics.
FINDINGS AND DISCUSSIONS
This attitude towards physics instrument originally consisted of 15 statements. 13 statements
are the result of researcher's own research which was originally 15 items and 2 statements are drop. The
instrument consists of 13 items where: 5 items are dimensions of evaluation, 3 items are potential
dimension, and 5 items are activity dimension. First calculation used unidimension measurement.
Cronbach alpha reliability obtained 0.743 by operating SPSS 19.0 program.
Second, calculation for multidimensional measurement got McDonald omega composite
reliability used program of LISREL 8.8 and Excel programs. It was obtained:
1
6.990i
i
i
and 2
1
1 8.861i
i
i
, so
Third, estimation for multidimensional construct reliability, it was obtained the same results as
follows:
1
6.990i
i
i
and 1
8.860i
i
, so
Fourth, assessment for multidimensional maximum reliability, the result gained by using
LISREL 8.8 and Excel programs, that is:
2
21
9.408(1 )
p
i
i i
l
l
, so it can be calculated as follows:
9.4080.904.
1 9.408w
Table 1: Summary of Research Findings
CR
w
0.743 0.846 0.904
The calculation of the instrument for Cronbach alpha coefficient is much smaller when
compared to the construct reliability, composite scores McDonald reliability, and maximum reliability
with a difference of 0.103 and 0.161. What did the accuracy difference reflect to? There is no agreement
among psychometrics experts about this. But among researchers in Indonesia, after knowing this, there
should be an appropriate tool which is used correctly and adequately.
Indeed, most researchers among the faculty and students of both S2 and S3 do not know formula
for calculating construct reliability coefficient, omega or maximum reliability. So it is time to introduce
and use the formula. Most of psychological constructs, personality, education, and social research need
multidimensional measurement. All students and faculty researchers need to develop and grow
understanding about reliability coefficient in the measurement.
Interpretation of reliability coefficient is precision of evaluation test scores, it is not only
consistency matter. In interpreting high reliability coefficients, there are at least two things that need to
be understood, they are: (1) reliability is estimated using group of subjects in a given situation which
produce coefficient estimates. This estimation is not equal to the test on group of other subjects and (2)
reliability coefficient indicates the magnitude of the inconsistency score measurement results, the
causes of inconsistency are not stated directly.
2
2
(6.990)0.846.
(6.990) (8.861)
2
2
(6.990)0.846.
(6.990) (8.860)CR
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
19
Measurement in education is something that is quite complicated. Various writings in journals
ranging from educational measurement method expected to provide results that are valid, reliable, and
accurate. It is not easy for experts to do this because sometimes they do not link suitable and high level
difficulties of mathematics into the research data calculation. Without mastering high difficulty level
and complicated mathematics, we cannot understand various measurements journals in education. We
still left behind in educational measurement. Only few science experts who are able to understand the
content of educational measurement journal studied high level difficulty of mathematics. Therefore,
number of science education research need to be increased in the field of educational measurement.
The first effort to do is by changing perception which saying that science education and
psychology do not require math. Now, dealing with educational measurement, we need to change our
perception of mathematics. Educators need to be aware that there is a part of science education which
hardly uses mathematics, but there is also a part of science education which importantly needs
mathematics, such as the example of multivariate statistics above which requires high mathematical
skills.
CONCLUSION
Based on the test results of this study it is concluded that multidimensional reliability coefficient
is more precise or accurate compared to reliability coefficient of unidimensional measurement.
Suggestions can be submitted as follows: first, estimating instrument needs to be tested further
by using another formula that is different from SEM analysis. Second, because this study used a five-
point scale, when necessary, it is suggested to use variety of different scales, such as semantic
differential scale, dichotomous scale, Thurstone scale, and so on.
Third, these instruments need to be tested using a larger sample population and wider setting
of research. The future research perhaps involves several provinces at the same time, as well as various
school levels and type of universities or colleges.
REFERENCES
Capraro, M. M., Capraro, R. M., & Herson, R. K. (2001). Measurement error of score on the
mathematics anxiety rating scale across sudies. Educational and Psychological Measurement,
61, 373–386.
Feld, I. S., Woodruff, D. J., & Salih, F. A. (1987). Statistical inference for coefficient alpha. Applied
Psychological Measurement, II, 93 – 103.
Gable, R. K. (1996). Instrument development in the affective domain. Amsterdam: Kluwer Nijhoff
Publishing.
Geffen, D., Straub, D. W., & Boudreau, M. D. (2001). structural equation modeling and regression:
Guidelines for research practice. Communications of AIS, 4, Article 7.
Hancock, G. R., & Mueller, R. O. (2000). Rethinking construct reliability within latent variable
systems.” In Stuctural equation modeling: Present and future, Cudek, R., duToit, S. H. C., &
Sorbom, D. F. (Eds.), Chicagp: Scientific Software International, 2000.
Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E. (April 2003). “Estimating reliability for multidimensional
composite scales scores.” Paper presented in Annual Meeting of American Educational
Research Association at Chicago.
Kerlinger, F. N. (2000). Asas-asas penelitian behavioral, translated by Landung Simatupang.
Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Latan, Hengky. (2012). Structural equation modeling konsep dan aplikasi menggunakan program lisrel
8.80. Bandung: Alfabeta.
Lee, S. Y., & Song. X. Y. (January 2001). Hyphotesis testing and model comparison in two-level
structural equation model. Multivariate Behavioral Research, 36 (4), 639–655.
Litwin, M. S. (1995). How to measure survey reliabity and validity. London: Sage Publications.
McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of test and items. British Journal of Mathematical and
Statistical Psychology, 34, 100 – 117.
Naga, D. S. (1992). Teori sekor. Jakarta: Gunadarma Press.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
20
Socan, G. (2000). Assessment of reliability when test items are not essentially t-equivalent. In
Development in survey methodology, Feligoj, A., & Mrvar, A. (Eds.), Ljubljana: FDV.
Spector, P., Brannick, P., & Chen, P. (1997). When two factors don’t reflect two constructs: How item
characteristics can produce artifictual factors.” Journal of Management, 23 (5), 659 – 668.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Thompson, B. (1994). Guidelines for author. Educational and Psychological Measurement, 54, 837 –
847.
Vehkalahti, K. (2000). Reliability of measurement scales tarkkonnen’s general method supersedes
cronbach’s alpha. Academic Dissertation, University of Helsinki, Finland.
Widhiarso, W., & Djemari Mardapi. (2010). Komparasi ketepatan estimasi koefisien reliabilitas teori
skor murni klasik.” Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 14 (1), 1 – 19.
Widhiarso, Wahyu. (2009). Koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat
multidimensi. Psikobuana, 1 (1), 39 – 48.
Wiersma, W. (1986). Research methods in education: An introduction. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
21
ENGLISH LEARNING IN GRADE IV OF ELEMENTARY
(Descriptive Study in Sekolah Dasar Laboratorium PGSD FIP Universitas Negeri Jakarta)
Mohamad Syarif Sumantri1
1Primary educarion Program, Jakarta State University
Abstract
The objective of this research was to get and understand a description of in English
language learning at elementary school in Jakarta related to the following activities: (1)
the goal of English subject; (2) the lesson plans of English subject; (3) the English learning
materials; (4) the English learning methods; (5) the English learning evaluation; (6) the
teacher’s activities; and (7) the students’ activities in English learning and teaching. It
was a qualitative research conducted in grade IV in Sekolah Dasar Lab PGSD FIP
Universitas Negeri Jakarta The data were collected through observation, interview, and
document study. The data analysis and interpretation indicates that (1) the goal of English
subject is to activate students speaking skills; (2) the plans of conducting the English
subject consist of syllabus and RPP; (3) the materials used are varied; (4) the learning
method is not fully teacher centeredness; (5) the evaluation consists of process and result
orientation; (6) teacher’s participation is as controller, facilitator, informant, instructor,
observer, evaluator, guide, and learner; (7) students participate in preparing themselves
in English learning, doing the tasks individually or group, listening to the teacher’s
instruction/explanation, asking questions, and writing some important information.
Keywords: The English learning, the teacher’s activities, the students’ activities
INTRODUCTION
English language learning has become a big issue in Indonesia. The Government is trying to teach
English to increase by providing various kinds of training for teachers. The curriculum has also prepared
to comply with the needs of the society. In addition, providing a source of learning has also given to
support education and teaching English in schools, but, the obstacles in teaching and learning English
often happened and experienced by the students and teachers in the Primary School teachers and fields
of study English.
English language learning in the Primary School refers to The curriculum as part of the Local
primary schools. Based on the curriculum English lessons, the scope in primary encompasses verbal
communication within the scope of schools. English language learning in the Primary School stressed
in the communication orally that written. Although there are aspects writing abilities and its main
objective is to read, to support verbal communication.
Teaching English has been running more than 7 years in the primary school Lab FIP UNJ. This
school also has many produce graduates who are qualified, in its implementation, of course there are
many challenges must be dealt with by schools, especially the teachers who interact directly with the
students who have intelligence the diverse and different characters the students at in general. Thus, it's
necessary good cooperation between the school, the students, teachers, and their parents.
The purpose of this research is to get the picture about the purpose, planning, materials, methods,
evaluation, the involvement/teachers activities, and learners in English language learning especially in
grade school in Jakarta State University Laboratory FIP.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
22
English language lessons
Learning language is the process the learners interact with educators and learning resources in
language mastery that be realized with the teaching and learning method the language. English is the
language first foreign given or taught in Indonesia. By learning English is, the students are expected to
be able to communicate in the sense that the learners intact, they are able to understand and/or produce
the text verbal and/or paper may have been realized in the four language skills, the hearing, talking
to,reading and writing (make a discourse).
The four skills are used to respond to or to create in community life discourse. Thus, the eyes
English lessons are directed to develop skills so that graduates able to communicate and make a
discourse in English in a certain level literacy rate.
Foreign language that will learn the students started from vocabulary and discourse
or discourse. These two aspects language provided an opportunity to a large number of learners to seek
and find the meaning. Vocabulary was chosen because the words to the concept and can continue with
the explanation theory and skemata so providing learning experiences to the world, while the discourse
learn because is part of social interaction.
Teaching English as a foreign language in Indonesia in general is centered on teachers. Interaction
is dominated by teachers, such as providing an explanation that long, repetition several times, and asked
several questions. However, there are also teaching English that is centered on students where students
to interact teachers made in English. Thus, it needs a good way in preparing for teaching English in
class and it needs the students also considering readiness learning materials that is in accordance with
the principles of the learning English as a foreign language.
Brown explained three principles language teaching in his book Teaching by Principles, namely:
(1) cognitive principles, (2) affective principles, and (3) for arabic linguistic thesis principles. These
principles can be made as the basis when applying learning foreign languages. First, the principle
cognitive problems. This principle is related to the mental and intellectual property rights. Second, the
principle socio-affectivef. This principle on the emotional, such as feeling, the relationship to the
students in the community, and about emotional ties between language and culture. The principle that
the third is for arabic linguistic thesis principles.
Research is aimed at the picture about learning English especially in the class IV that related to: (1)
The purpose of the lesson. English, (2) Planning English language lessons, (3) learning materials, (4) A
method learning, (5) Evaluation learning, (5) involvement teachers, and participants involvement (6)
students in English language learning.
Teaching English in the classroom requires a good way the students, Directors readiness, and
learning materials in accordance with the principles of the learning English as a foreign language. The
Principles - this principle is very important in teaching and learning English. Through these principles,
a teacher language can evaluate a lesson, text books, the students study group, and other educational
context. learning goals, planning lessons, materials, methods, evaluate the students, teachers and is an
important elements in the process of learning in schools. Thus, key elements was to become the basis
so that can support hits the research.
METHOD
This research will be done with this approach qualitative research. But the methods used in this
research is the method ethnography, which was held at SD lab FIP UNJ Setiabudi Jakarta Selatan.
Technique that is used researcher in collecting the data that is (1) observation, (2) an interview, and (3)
documents. research data is in the form the notes field, acquired through teaching and learning process
or events, the record interviews and discussions with school principals, teachers, parents of a grade
English teacher, and learners, as well as documents related research. While testing technical data to be
made is validity: (1) Triangulation, (2) endurance observation, and (3) extension observation.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
23
DISCUSSION
A. English teaching purpose
English to be one of the subjects that is obligatory learned by learners in school. It is often found
in English to a must for many schools/institutions, policy makers, and parents who think that this lesson
is so important that various efforts done so that the students are able to use of English in order to
communicate. In essence, English teaching in the primary school is only a additional. Thus, the eyes
English lessons (including learning) must be placed in the number of or portion, according to the age
of child elementary school students and not burden.
A basic thing in execution of activity learning is learning. the goals Purpose was to follow national
standards set by the government through the curriculum as part of the local primary school, but only in
its application is a combination learning goals teachers have created. In general, the purpose of the
lesson. more of this refers to the students to achieve ability to talk. There are two key words in this
purpose is to develop basic communication and a consciousness about the fact and in the importance of
English.
This Formulation learning goals in accordance with the principles learning language that submited
by Smart that one of the research and teaching English programs goal in the primary school is to develop
basic communication skills in English.
B. Lesson subjects English
With the objective process English language learning needs effort that great and good cooperation
from various parties such as the principal, English teachers, parents the students, including itself. One
of the efforts done by teachers in order to support the success English language learning is to make
lesson. Based on their observations and interviews with English teachers, planning lessons to be
implemented in grade consisted of a syllabus plan learning and teaching (RPP).
English lessons on syllabus and plan their learning (RPP) in this school ordered independently by
English teacher who taught in class IV. In making lesson, teacher was continue to refer to a standard
national education curriculum that is enshrined in. In addition,, an English teacher also did needs
analysis of the students to take account conditions and learning goals. This was as was supported by
Nunan that learning program must be designed with the needs learners and have a common goal was
formulated with clear.
C. Learning materials English
Learning materials are all things that are used in the process of learning that function to teach the
students. Types of learning materials are varied either written or not written, Based onobservation in
the field, learning materials used in grade quite varied. Besides using manual and learners teachers
(Backpack), learning materials can also be the songs. Learning materials prepared by the teachers have
attractively as possible so that it could encourage the students to learn and motivation during their study
of English.
Learning materials to one of the important factor in reached the purpose of the lesson. English.
Planning, the election and organising learning materials that could allow the corporate to students in
English lessons and able to communicate with the language. The materials learning and arranged the
students according to the age and learning goals. This was as was supported by Nation and Macalister
that learning materials need ordered based on the sequence simple - complicated and based on demand.
D. The learning method subjects English
Teaching methods are designed to provide learning experiences involving physical and mental
processes through the learners interaction between the students and teachers,, the environment, and
other learning resources to achieve the company's kompotensi basis. Based on the result observation
and interview, teaching methods used in grade not monotonous and does not always centerd on teachers.
The students were involved in active and creative in learning activities.
Such is supported by Scott and Ytreberg which stated that there should be learning English is not
only related to learning materials that form the words or language verbal, but involves the movement
and sense. will be needed for many objects and images or even environment around when learn English.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
24
Based on the explanation above can be using the methods it has been concluded that English
language learning in grade is very varied in accordance with material and the participants his students.
The method - this method is applied with the aim of helping the students learn and active participation
in the subject English language skills and be able to control, especially skills speak.
E. English language teaching evaluation
Learning Evaluation is a collection process and translation information obtained from activities as
well as the process of learning English. Based on the result interviews and documents English lessons,
evaluation in grade done from the bottom or result in written form (such as: formative role/daily, last
week, and deuteronomy the end of the first semester) and the approach process or in the form has not
been written (such as: speaking test, portfolio).
Evaluation is very useful in the process of learning because it can provide valuable information to
improve teaching activities, planning lessons, and set up the students learning materials as well. This
was as was supported by Nunan that states that evaluation learning is a matter that relate to the students
learn how well contributed and how effective learning goals is different with their needs.
Evaluation of the results and the process is similar to the Scriven in Sanjaya that distinguishes
evaluation based on their function, namely summative and formative evaluation. Summative evaluation
used to see the success a program that has been planned, while evaluation formative role is used to see
progress students' learning during the learning process took place. Thus, the implementation evaluation
in class IV could be considered good enough and can measure the success of the program, the teachers,
students and in the process of learning English.
F. Involvement/teachers activities in English language learning
Teachers were on duty teaching and learning process planning how to take place, how to apply the
curriculum, teaching materials, learning media and other so that students can carry out learning and
teaching and learning goals In teaching and taught English at class IV in SD Lab PGSD FIP UNJ,
teachers have a role as controller, facilitators, source, teachers, the observer, judge, guide, and learning.
Teachers have a role that is so important in English language learning in class IV. When teachers
are able to put its role and create a good lessons will have a positive impact on learning outcomes. Thus,
the aim in teaching and learning program a success can be achieved with optimum.
G. Involvement/student activities in English language learning
The characteristics children is the important thing and it is worth noting by their teachers and parents
at the time to teach and educate them. Children as young learners have the desire to learn something,
including in English language learning. Although the students are classified as varied, in grade is, it still
served as the students in general. This means that they still have the right to play, socialize, and not
always required to learn all the time.
The students and the involvement role in grade this was done as opinion Scott and Ytreberg in his
book Teaching English to Children that the students in the ages eight to ten declared children mature
and there are the maturity and childish. This means that, in his age was basic concept children have
been formed and are able to distinguish a fact from fiction. They also often ask for a long time and use
the language verbal and physical body/to speak or understand the meaning. In addition, they are also
able to work together and learn from the other in groups. In the development their language,
students will have their readiness and awareness in using foreign languages, and bringing them from
their mother tongue or his first language.
Based on the explanation above can be known that involve students in teaching participants
involvement is crucial. students is such or process their responsibilities in English language learning in
class IV. In their learning, the teachers are also plays an important role in creating a state can encourage
the students active engagement and so they are learning that critical.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
25
RESULTS OF RESEARCH
After all the data collected, the data was then analyzed by using a model data analysis Spradley,
which consists of four stages, namely: (1) analysis of domain, (2) analysis of taxonomy, (3) analysis
of components, and (4) analysis of themes. After analyzed, found a few minutes or as an explanation
following this.
1. English teaching purpose
In essence, English language teaching the students are given to prepare to be able to communicate
in English language skills and to have a on skills to speak, to pay attention to, reading and writing.
English teaching purpose in grade SDL at Unnes FIP UNJ essentially exactly the purpose English
teaching elementary school in general. The reason the learners to have the capacity as follows: (1)
develop competencies to communicate orally a limited in the form to accompany action (language
accompanying action) in the context schools, and (2) have awareness about the fact English language
and its importance to improve their competitive nation in global community. English is used for
interaction, and is "here and now" and topics talk about in those things that are in the context situation.
In addition, there are also hope that their parents, schools, and teachers the students that English-
language is expected to be able to active, both in schools and outside the school. specific purpose in
essence, English students can produce language or in other words to be able to speak with English
2. Lesson English teaching.
Planning lessons plans that will be implemented in the process of learning. In general, the planning
learning it in schools is a yearly program, the first, a syllabus, and plan their learning (RPP)..
There are two types of planning lessons that are made by the teacher English. First, a syllabus
learning. Syllabus was made by teachers learning English class IV independently (there is no
cooperation with other teachers/cluster) and a syllabus made in cooperation with class teachers in an
integrated way. Syllabus formulated based on making it a class, namely class IV first I and the first half
II. Syllabus component consists of competency standard, basic competency, indicators, materials,
teaching activities, means/source, assessment, and time. The purpose of this is a syllabus reported and
teaching English language skills in which consists of reading ability, to pay attention to, talk and write.
Second, the plan teaching (RPP).RPP English teachers made by before teaching subjects dimulai.rpp
English written in English. In English teaching RPP in grade (Lesson Plans are subject identity RPP
such as: (subjects), grade/first (grade/first), topics (topics learning), No. of Hours (time allocation),
and day/date ( day/date teaching). And then continued with an elaboration competence
standard (competency standard), basic competences (basic competency), indicators (indicators),
(learning outcomes) learning goals, learning methods (method of learning, learning
experiences (in/learning experience, aids and resources (media and learning resources, and evaluation
( evaluation).
3. Learning materials English.
Learning materials that are to be used in English teaching in grade varied, such as the textbooks,
English-language dictionary, magazine includes writing in English, a CD/cassette, the songs, the article,
and figures obtained from various sources such as books or internet.
The text book position the students and teachers' position often used by teachers in determining
learning materials. Text Books was derived from Singapore (Parade English Book 4 and Backpack
English Book 4, the publisher Longman). Now learning materials/topics learned in this class
includes: introduction, the songs, script of conversation, grammar, story "Special Days ", "My Trip to
Cartagena", " Festival lights in some countries", and " City Mouse and Country Mouse". There are also
topics of the other learning about Days and Dates, Ordinal Numbers Instead Numbers, Hobbies and
Sports and others. Matter - learning materials was delivered in an integrated manner and packed in
learning materials that whole separate settlements, not.
Teachers to set the learners and direct in learning more about a learning materials. In choosing,
designed, and to set a learning materials, an English teacher refers to a standard national or curriculum
through Standard and Basic Competencies. In addition,, an English teacher also adopted from a variety
of sources that learning materials more varied, interesting, and is related to the students about life. Thus,
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
26
learning materials packed in the form in such a manner so that their learning English in grade can run
well. With varied learning materials used, then the students learning experience will be more rich.
4. The learning English teaching.
The learning is one way or efforts to learning materials can be delivered to a large number of
learners. In grade teaching methods are concentrated on teachers are not. The students also are required
to play an active role in teaching and learning at school. The Election method of learning in this class
are varied and not monotonous one method, the students adjusted in the background and learning
materials.
There are times when teachers lecturing, questions and answers, role-playing, gave the task or
exercise, and to model in teaching and learning and teaching. But, on the other hand the students also
trained to use English during the lesson English in schools. The students will be given activity which
could make them happy, courageous and active in English. The students also invited to interactive
learning and teaching so that the process can go on two-way, it is not solely teachers who held the reins.
Other teaching methods that can train writing, and thinking ability students are at the time the
students learn vocabulary, given the opportunity to make their own dictionary based on the text that
being studied. The students will make the list vocabulary that is difficult to according to them, then they
will find on their own terjemah said through aids dictionary or other such as the internet, alfalink,
teachers, friends, including parents when learning at home. Next, the learning the learners can train in
hearing/listening is listening to recorded a conversation that will be done by the foreign language in the
laboratory or if lab in the repair and English teachers alone is the students to talk, and listening. In
addition the conversation, can also be the story, the song, and the material other interesting for learners.
5. English language teaching Evaluation.
Evaluation done the learners to measure the success Evaluation in the teaching. English language
learning in grade carried out by means a diverse, namely in the form written and with the approach both
processes and hacyl. As a model that was used by the teacher in order to carry out the evaluation
curriculum and syllabus that has been made. Through a benchmark for teachers and evaluate their
lessons in accordance with the topic or learning materials.
Type of evaluation carried out in teaching and learning in SD Lab PGSD FIP UNJ Setiabudi -
South Jakarta : (1) Deuteronomy Formative Role/Daily; (2) last Week Deuteronomy; and (3)
Deuteronomy the End of the first semester. In addition the evaluation, as we explained in The targeting
SD Lab PGSD FIP UNJ, that implementation evaluation in learning activities in schools is starting to
capitalize on authentic assessment. This means that, other than through result (in numerical terms),
evaluation is done with the approach process (in qualitative). Evaluation process will be done for the
learners observe progress in the process of learning. A teacher sees and considered directly being active
involvement, the students, and accuracy in answering the question or explain things.
6. Involvement/teachers activities in English language learning.
In teaching and teaching, teachers have a role as controller, facilitators, the observer, judge, teachers,
guide, and learning. Played a big Teachers, to be involved directly in learning English in the classroom.
Based on the result interview to English teachers, he argues that the students have to be involved
actively in learning English. Teachers is working actively in use of English in learning and teaching so
that the students are motivated to use it as well. In addition, teachers try to build the learners self-
reliance and creativity in English language learning and outside the classroom.
7. The students/activities involvement in English language learning.
The students In general in grade actively involved in learning English in the classroom. Based on
observation and interview to students, they have a good pleasure subjects to English. This can be seen
at the time English language learning in their classes enthusiastic and active. English lessons They
memposisiskan as a lesson and useful because through English lessons they can learn to communicate
using English with the stranger, and can continue their education to foreign countries.
The students involvement in English language learning including: they prepare for their learning
English, doing exercises or tasks that are given from the teacher both individuals and groups, answer
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
27
questions teachers, to a good listener in understanding description teachers and try to clarify with asked,
and recorded the matters that important about the materials that are being taught.
The students have to go and each one strategy in learning English and face difficulties. Some of
them there are some who tries to find in the dictionary, asked to teachers directly, asked to parents, and
fellow that they can.adopt new knowledge they directly and motivated again in studying.
8. Culture theme
Values, attitudes, and culture in principle to the part that can affect learning activities in SD Lab
FIP UNJ. These themes culture that researchers have acquired during research in SD Lab FIP UNJ -
Jakarta schools including :
a. Culture -oriented vision and mission and the school.
b. Culture character education
c. A hearty Culture and lead a in English at class
d. Learning Culture and active learning materials and varied.
e. Culture quiz in learning methods are to increase their knowledge so the students.
f. English-language Culture active learning activities in English teachers and the participants were
students.
g. One another culture help each other teachers
CONCLUSION
Based on the result of analyzes, by some conclusions. First, the objectives of English at grade SD
Lab UNJ is to be able to develop their skills speak (communicative). Second, planning learning English
teaching in grade SD Lab at FIP UNJ on syllabus and lesson plans. Third, learning materials that are
to be used in English teaching in grade varies. The four, the method lessons in class IV not focused on
teachers simply Fifth, evaluation. English language learning in grade results-orientated done with
written and its commitment in the form in the process in the form has not been written. The Sixth, nature
in learning and teaching English in grade school in SD Lab at FIP UNJ, teachers have a role as
controller, facilitators, source, teachers, the observer, judge, guide, Seventh and learning. the students,
involvement in English language learning including: they prepare for their learning English, doing
exercises or tasks that are given from the teacher both individuals and groups, to a good listener in
understanding description teachers and try to clarify with asked, and recorded the matters that important
about the materials that are being taught.
Based on the results of research is, then, some of the recommendations.
For SDL at FIP and English teacher UNJ: (1) can maintain and improve implementation of the
program teaching English, (2) can fix it in this administration lessons (such as complete documents
planning lessons, and others), (3) can provide ideas or input for English teachers to be able to develop
learning materials and teaching methods based on the results of research that is, and (4) weaknesses and
strengths can use learning that had been implemented through these research results. The researchers:
(1) can be a lesson that is very useful, and (2) advanced researchers can do research more about the
students learning language to which have characteristics were mixed.
BIBLIOGRAPHY
Brown, H. Douglas. Principles of language learning and Teaching, Fifth Edition.USA: Pearson
Education, 2006.
______ . Teaching By Principles an Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Pearson
Education, Inc Longman, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Cerdas
Istimewa .Jakarta, 2009.
Nation, I.S.P. dan Macalister, John. Language Curriculum Design. New York: Routledge, 2010.
Nunan, David. Practical English Language Teaching. New York: Mc. Graw Hill, 2003.
Nunan, David. The Learner-Centered Curriculum. UK: Cambridge, 1994.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
28
Pinter, Annamaria. Teaching Young Language Learners. Oxford: Oxford University Press, 2006.
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana,
2010.
Scott, Wendy A danYtreberg, Lisbeth H. Teaching English to Children. London: Longman, 1995.
Spradley, James P. The Ethnographic Interview. Amerika: Holt, Rinehart, and Winston, 1979.
Standard Isi Kurikulum Muatan Lokal Provinsi DKI Jakarta. Diknas, 2007.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
29
THE COMPARISON OF ITEM INFORMATION FUNCTIONS IN PARALLEL LEST WITH
THE MODEL OF L2P
Yuliatri Sastra Wijaya1
1Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Abstract
Test instrument is utilized to evaluate the learning outcomes in the cognitive field. A
good test is an exam that delivers a high reliability coefficient. In item response theory
reliability coefficient is identical to the test information function. The affair of the
accuracy of the information is difficult to quantify the degree of item with the ability
of the answerer. If the extent is difficult to match the item and the ability of the
respondents, it will create the maximum item information function. This paper aims to
look at the accuracy of the test information function on five parallel test devices. This
study used a quasi-experimental method. Data from the field in the form of student
responses were processed using L2P model of item response theory, followed by
calibration item parameters. Data processing use one-way ANOVA. The results of this
study are no differences in the item information function tests five devices that are
parallel.
Keywords: item information function, reliability, item difficulty, irt
INTRODUCTION.
Test instrument is utilized to evaluate the learning outcomes in the cognitive field. A good test
is an exam that delivers a high reliability coefficient. In item response theory reliability coefficient is
identical to the test information function. Information function is a measure of compatibility between
hard grains and ability level of the respondents. Information function will reach its maximum value if
the same level of difficulty points to the ability of respondents. In such a large -scale test of the National
Examination , Examination Schools , tests were made not just one device , but more than one . One
reason is if there is a leak, the organizers have backup test to replace the test . Another reason is that in
single test class no communication among examinees.
If we advert to the principles of appraisal, which should be a fair assessment, then every test
taker should receive the same tests , or better known parallel tests . The definition of equivalent other
than the same amount of item , equivalent levels of difficulty item . Practically not possible to make
parallel tests , it reinforced the opinion of Grounlund (1985 : 169 ) is empirically make two parallel
tests , never completely , reliable or unidimension , so that the resulting scores can not be compared .
This means that the score generated by the test participants as long as they work on different tests can
not be compared because they are on different scales . To compare the item information function
between a package with other packages , previously done equalization parameters that one item among
a package with other packages .
LITERATURE REVIEW
Item Response Theory
Item Response Theory (IRT) trying to improve the measurement accuracy through the difficult
stage of the separation point of the ability of respondent. This means that the value of hard item stage
apart from the value of the ability of the respondent. Any value of the respondent, the value of item
difficulty level does not change ( Dali , 2012) . Item Response Theory using item characteristic curve (
ICC ) . The item characteristic curve is the relation between the parameters of the respondents with item
parameters through a probability correct answer. There are various models of item response theory ,
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
30
one of which is the ICC L2P (Logistic 2 Parameter) models . L2P models have two parameters is
difficulty item use the symbol b and discriminant item use the symbol a. The rule is simple IRT is
someone who possesses the ability (abilities) will suffer a high probability, high for points with the right
answer and the same as one of the questions will be answered more difficult for somebody who owns a
low power ( Rasch in Trevor G. Bond and Christine M. Fox , 2007) . L2P model formula (Charles L.
Hulin, Pritsz Drasgow, and Charles K. Parsons, 1983:36).
( )
1( )
1 exp i ii Da b
P
Criteria extent is difficult to point P ( Ѳ ) = 0.5 , 0 ≤ P boundary ( Ѳ ) ≤ 1 . The criteria is the
suitability of the parameters between the Ѳ ability level parameters difficult point b . In theory , the
value of item difficulty level is from minus infinite to plus infinite. But empirically, the value of hard
item level parameters ranging from -2 to 2 in units of the logit ( log odds units ) . The items have a
grade of difficulty (bi) located near or below the scale of -2.00 indicates that the test item is categorized
well. The items have a grade of difficulty (bi) located near or at the summit of the plate of +2.00
indicates that the test item is categorized as difficult.. The items stated are grains that have a good level
of difficulty ( bi ) ≤ bi ≤ -2 ranged +2. Parameters discriminant item is the item that can be distinguished
in the high ability group and low ability groups. Empirically discriminant item values are at a> 2. (
Hambleton , Swaminathan , & Rogers , 1991: 13 ). Information Function is the relationship between
the parameters of the ability of respondents to the item parameters. Compatibility between the ability
of respondents to the difficulty level of item yield high accuracy measurements . At one point the
difficulty level b , the function of information will differ among the various capabilities q value , the
maximum information contained in = b . If the extent is difficult to match the grain and the ability of
the respondent, it will produce the maximum test information function. Information on the response
function theory of grain is equivalent to the role of reliability, level of difficulty, and different power
point of the classical theory. There are a number of information function, item information includes
function I ( , X ) , is Information provided by the item of the respondents with a variety of capabilities
. Item information function I ( ) , information provided by a test ( containing some items ) by summing
the item information function . An information function based on two criteria, namely changes and
deployment. Information relating to the change, without any change, no information, changes occur in
P () when changes, the faster and higher the greater the change in information. In figure 1 ( a) changes
occur in low and high so that the function of information on the area high . But the q region was
virtually no change to the function of information is low . In figure 1 ( b ) changes hardly occur in low
and high , so that the function of information in both areas is low, but the is going to change the
function of height information . This means that the function is determined by the steepness of the
curvature information, the steep curvature of the higher functions of the information . L2P models slope
formula (Ronald K. hambelton, H.Swaminathan, H. Jane Roger, 1991:97)
Each point on the characteristics of the grains have a slope are usually different, the slope of the biggest
occurred in Pi (Ѳ) = 0.5 or Ѳ = b, farther away from Ѳ = b, the smaller slope. Slope can be used as a
measure of compatibility between ability and item difficulty .
)().()(
ii
i QDaiPd
dP
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
31
Figure 1: Information on the function Ѳ
Function is determined by the spread of information, the greater the smaller the spread the lower the
accuracy of the information function. In figure 1 (a) is located on the largest spread information function
q being so low, otherwise high-functioning information on low and high q. This means that the function
is inversely proportional to the spread of information or the standard deviation. The purpose of these
two criteria items information directly proportional to the steepness and inversely proportional to the
standard deviation. So there are no negative values are squared and then obtain the following formula:
(Hambleton and Swaminathan, 1985: 104)
j2 Da2
j
j 2
I θ,X
1
a ej
j j
b
Da b
D
e
Test information function is a combination of all the functions of the items of information on
the test. To test the N grains, the test information function is (Dali, 2012:567)
Equating
Equating is a statistical process used to adjust scores on test formats so that scores can be
compared to that format ( Michael J.Kolen, & Brennan , 1995 : 2 ; Yin , Brennan , and Kolen , 2004:
275). Objective is to equalize the score to score comparable. A score can be compared with the scores
of other , if both are measuring the same characteristics and expressed in the same metric ( Dorans ,
2004: 228 ) . According to Lord ( Hambleton & Swaminathan , 1985 : 199 ) , says that an equivalence
test satisfies the equivalent , if the second test is fair to all participants , meaning that equalization does
not know the difference for the participants on the level of ability if they took the test one or the other.
Equalization is symmetric, meaning equivalence test does not depend on which test is used as a
reference test (Ronald K. Hambleton, Swaminathan, & Rogers , 1991: 125 ) . Functions that are used
to transfer test scores on a scale of 1 to test 2 , together with the functions that are used to transfer test
scores on the test scale 2 to 1 . Equalization is group invariant, meaning that the sample is free
equalization procedure. Relation to the equalization should be the same regardless of the group
participants used to perform equalization (Petersen, Kolen, & Hoover, 1989). At IRT activities test
must satisfy two basic assumption, namely unidimensional and local independence (Kollen and
2
11
)(
)()(
1),()(
i
N
i ii
N
i
i
P
QPXII
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
32
Brennan, 2004). There are three models of the design of equalization is a single group design , design
group equivalent , and grain trailer design ( Ronald K Hambleton & Swaminathan , 1985: 198 ). The
selection of the design used in the equalization is highly dependent on the implementation situation. In
this study, using a test design anchors in this design, when used two test devices, namely X and Y and
two groups of participants that K1 and K2 , then test each device added anchor test items so that both
the tests Z to X + Z items and Y + Z items . The group working on the test participants K1 X + Z and
Y + K2 group working on Z so that the anchor test items Z done by two groups of test participants
(common items ) . Match equivalen scale calibration is done with the parameters or parameter
capabilities anchor test items . If the design of the calibration parameters of the test anchor point , then
the parameters of the two groups has been the ability of the participants are on the same scale
IRT functions according to the equalization method for determining the conversion constants .
It is given that the equivalence between two or more tests can be done if the conversion constants are
known. The resulting converted value in substitution in the design of equalization scale equations is
used. Equalization used is linear , so that the constants α and β equalization can be calculated by various
methods . In IRT , there are four methods of equivalency tests , namely : regression , the mean sigma ,
mean and sigma tough , and the characteristic curve ( Angoff , 1982) . Equalization method in this
study uses the average sigma. In the L2P model of item difficulty calibrations to degree are : ( Dali ,
2012:535 )
bZY = k bZX + d
azy = azx / k
so bZY =k bZX + d
bZY = k bZX
from this equation
b*Y = k bX + d
a*Y = aX / k
Calibration L2P model at parameters bx the results the calibration parameters b * Y., ax with the results
of the calibration parameters a * Y.
Fit Model Characteristics
Matching the model is to examine the characteristics of item characteristics model fit to the data item
selected from the field. Test of model fit is done item by item , chances are there is no matching item
and the item does not fit . Procedure matching models include the matching procedure PROX Rasch
model and 1P . Other procedures are the way to the Prediction Model Accuracy by comparing actual
scores predicted scores on the simulation results or the mathematical expectation . Their difference is
expressed in the residual value of the residual raw. Raw residue tested through a number of ways, such
as chi -square statistics.If a data field has been matched with a selection of the grain characteristics
model parameter estimation can be done more accurately. If the data field is matched with curvature
grain characteristics of the model chosen, by itself un-dimensional requirements are met and the
invariance group .
METHODOLOGY AND SAMPLING
The purpose of this study was to determine the function of the test information on the package
used on the national exam. This study was included in the research experiment consisting of dependent
variable and independent variables. The dependent variable of this study is the item information
ZXZY
ZX
ZY
bb
b
b
kd
k
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
33
function, while the independent variable is the level of difficulty item parameters. The data used in this
study were student responses in the national exam test subjects Mathematics High School area of
Lampung province. The data obtained from the Assessment and Testing Center of Education, Ministry
of National Education. The data consisted of students answer ABCDE shaped with 40 item (including
5 anchor items are points 5, 13, 31, 39, 40) with the package that they use as much as 5 pieces (package
A, B, C, D, E) with respondents as many as 3500 people.
Steps taken in this study is the estimation of parameters and test item model fit using the
program MICROCAT ASCAL. In the ASCAL program, respondents are prepared based on the rules
that have been set by using the notepad application. If there are items that do not fit the model of those
items are issued, are not included in the calculation. The next step is the calibration of item difficulty
by using the mean and sigma method. A calibration using the basic package, this means that the package
A, C, D, E in the calibration to the standard package is a package B, Then calculated the maximum
item information function of each item for each packet.
Data Analysis Techniques
Test Requirements Analysis, which is a test of homogeneity of variance in maximum item
information function between Package A, B, C, D and E by using the Bartlett test. Bartlett Test results
obtained that the value of the item information function, which is used 5 packets homogeneous sig
0.369.
Table 1. Test of homogeneity of variances Item information function
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.079 4 161 .369
Mean difference test and multiple comparison test. Mean difference test through one-way ANOVA, if
the test results accept the null hypothesis of multiple comparison test was discontinued, but if the
hypothesis reject the null hypothesis then followed by a multiple comparison test
RESULTS AND DISCUSSION
The results of the fit model can be seen in Table 2 as follows
Table 2: Item not Fit Model
Packets Item not fit models sum
A 3, 7,12, 17, 25 27, 33, 38 8
B 3, 8, 12, 25,33,38 6
C 7,8,12,17,27,33,38 7
D 3,8,12,17,25,27,33 7
E 3, 8, 12, 25,33, 5
Among the items that do not fit the model, there is no anchor point. The next step is to check the results
difficult item to estimate . The results of the estimation item difficulty, the lowest point has a value of
b = -1.651 A package is on the highest point and has a value of b = 2.149 contained in E. In the
descriptive package A package is a package with a number of items that do not fit most models, while
the package E is a package that is at least the number of items does not fit the model. Five packets
sampled in this study, not all items fit the models, the results of descriptive analysis that makes the item
does not fit the models is negative discriminant . The negative discriminant is worth the high ability
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
34
group interpretation cannot answer, whereas lower ability group can answer. This means the need to
study the material or language expert guesses that occur in lower ability groups.
The next step is to remove items that do not fit the model, then proceed back to the item
parameter estimation using NCSS program. The next step performs equalization scale (equating) the
base is Package B, meaning that all packets for parameters and power level of difficulty depending on
the item scale equate to Match scale package B. This is done by using an excel program. Linear equation
for equating listed in Table 3.
Table 3. Equation equating to Level of Difficult and Discrimination of item
Packet Difficulty of item Discrimination of item
A ke B b*y=0,7099 bx+1,373 A*y = 1,1839 ax + 0,2147
C ke B b*y=0,7882 bx+0.0318 A*y = 1,4429 ax – 0,0858
D ke B b*y=0,8529 bx – 0,1519 A*y = 1,3060 ax - 0,2203
E ke B b*y=0,7250 bx – 0,0474 A*y = 1,4429 ax – 0,0268
The results of the calculation items information function for all package, then processed using one-way
ANOVA SPPS program to see if there is a difference between Package. The results of the calculations
are presented in Table 4.
Table 4: Calculation of Anova 5 Package Item Information Function Data
Item information function
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.483 4 .371 .223 .925
Within Groups 267.417 161 1.661
Total 268.900 165
Based on the calculation of ANOVA sig 0.925> 0.05 then the null hypothesis is accepted, this means
that the fifth test package has the same statistical accuracy.
CONCLUSION
In the group of packages that are otherwise equivalent , at the beginning of the analysis found
some items that do not fit the model , the detection results are descriptive items that do not fit the model
may be due to different parameter values negative power . This means that packets are processed has a
number of different item. The difference of course affect the amount of item equation is used to equalize
the role. The test results conclude that there was no difference between the item information function
packages. The results of this new study conclude that the function of the five packets of information is
the same, yet concluded whether the function of the information contained quite high. Higher
information function if the item fits with the respondent. For that we need further research how many
items are matched with the respondents in order to produce maximum information function.
REFERENCES
Charles L. Hulin, Fritz Drasgow, and Charles K. Parsons (1983). Item Response Theory: Application
to Psychological Measurement.
Dali S Naga (2012) Teori Sekor Pada Pengukuran Mental.
Hulin, Charles L., Fritz Drasgow, and Charles K. Parsons. (1983)Item Response Theory: Application
to Psychological Measurement. Homewood, IL: Dow Jones-Irwin.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
35
Michael J. Kolen, and Robert L. Brennan. (1995) Test Equating: Methodes and Practices.
Norman E. Gronlund. (1993) How to Make Achievement Test and Assessment.
Ronald KHambleton, , H. Swaminathan, and Jane Rogers.(1991) Fundamentals of Item Response
Theory.
Trevor G. Bond and Christime M. Fox (2007) Applying The Rasch Model Fundamental Measurement
in the Human Scince.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
36
EVALUASI MANAJEMEN PROGRAM PRIMA PADA PENINGKATAN PRESTASI
WUSHU INDONESIA
Moch. Asmawi1
1Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada
Peningkatkan prestasi Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar
belakang dan tujuan program), Input evaluation (perencanaan program), process
evaluation (pelaksanaan program) dan product evaluation (evaluasi produk). Dimana
Penelitian ini dilaksanakan di PRIMA dan Pelatnas PB Wushu Indonesia, adapun metode
penelitian ini adalah penelitian evaluative dengan menggunakan pendekatan survey
dengan model Context, Input, Process, Product (CIPP). Hasil dan kesimpulan dari
penelitian evaluasi ini adalah dimana evaluasi manajemen program prima cabang wushu
harus dilakukan setiap tahun dengan tujuan untuk mengetahui kendala serta kekurang yang
ada dalam sebuah tim (atlet dan pelatih) dalam proses ini, komisi teknik wushu harus
berperan aktif untuk mencapai target yang telah dibebankan oleh KONI Pusat. Proses
pembinaan yang telah dilakukan cabang wushu mengacu pada program jangka pendek dan
jangka panjang, dalam hal ini pemusatan latihan yang dilaksanakan didaerah dengan
bertujuan mencari bibit atlet yang nantinya bisa menggantikan atlet yang senior, sementara
di pusat diperioritaskan untuk pembinaan dalam pemusatan latihan (Pelatnas). Kendala
yang dialami oleh cabang wushu adalah belum adanya kerjasama yang dijalin oleh
pengurus serta minimnya bantuan dana dalam proses pembinaan.
Kata Kunci: Evaluasi Manajemen, Program Prima, Prestasi Wushu Indonesia
Abstract
The purpose of this study was to determine the effectiveness of program management
Prima, increasing the achievement of Wushu Indonesia in terms of evaluation context
(background and objectives of the program), input evaluation (program planning), process
evaluation (program execution) and product evaluation (product evaluation). Where the
research was conducted at PRIMA and Pelatnas PB Wushu Indonesia, while the method
of this study was evaluative research using a survey approach with a model of Context,
Input, Process, Product (CIPP). The results and conclusions of this evaluation study was
where the prime program management evaluation Wushu branches should be done every
year with the aim to determine the obstacles and deficiencies that exist within a team
(athletes and coaches) in this process, the commission of Wushu should be active to
achieve targets has been charged by the Central Sports Committee (KONI). Coaching
process that has been carried Wushu branch refers to short-term programs and long-term,
in this case the training camp held on many locals area to look for the next junior athletes
that will replace senior athletes, while at the center prioritized for development in training
camp (National Team/PELATNAS). The problem faced by the branch of wushu is the
absence of cooperation forged by the board and the lack of funding in the coaching process.
Keywords: Evaluation Management, Program Prima, achievements Indonesian Wushu.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
37
PENDAHULUAN
Manajemen olahraga merupakan ilmu manajemen yang berkembang pesat di negara besar
seperti Amerika Serikat dan Australia, begitu pula dengan negara–negara maju yang mulai memakai
manajemen sebagai mata pencaharian dalam bisnis olahraga, industri olahraga, jasa olahraga, rekreasi
olahraga dan pariwisata olahraga. Bahkan dalam tingkat profesional, manajemen olahraga merupakan
ujung tombak prestasi olahraga nasional suatu negara. Ilmu ini dipakai oleh tiap negara untuk meraih
pencapaian prestasi yang maksimal dan Indonesia mencoba menerapkan serta mengembangkannya.
Sejak Thailand menggeser posisi Indonesia pada SEA Games XX tahun 1999, Indonesia tidak
beranjak dari posisi 3 yang diikuti Vietnam pada posisi 4. Lalu pada Sea Games XXII tahun 2003
Vietnam yang berada di posisi 4 menjadi juara umum pada tahun 2001. Indonesia semakin tergeser
pada SEA Games 2005 dengan menempati peringkat 5. Pada SEA Games 2007 peringkat Indonesia
naik satu peringkat menjadi peringkat 4. Dan baru pada SEA Games 2011 Indonesia bisa menjadi juara
umum kembali. Namun, keberhasilan ini tidak dapat dibandingkan dengan masa kejayaan Indonesia
pada SEA Games tahun 1977 hingga 1999 dimana Indonesia selalu berada di peringkat pertama, hal ini
merupakan tugas bersama untuk mengembalikan kejayaan olahraga pada tingkat Asia Tenggara
khususnya dan internasional pada umumnya.
Pada kenyataannya kepengurusan badan, lembaga dan organisasi olahraga diduduki oleh
kepentingan–kepentingan politik. Sehingga pengetahuan akan olahraga mulai dari fondasi dasar hingga
tingkat prestasi nasional sangatlah terbatas. Pengetahuan manajemen yang terbatas tersebut
menyebabkan banyak hal dasar yang terlupakan untuk mengejar ketertinggalan prestasi nasional, yang
salah satunya adalah pembangunan olahraga jangka panjang. Prestasi olahraga merupakan tuntutan
yang harus dimiliki oleh suatu bangsa. Dengan prestasi olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat
manusia baik secara individu, kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara.
Melihat keadaan diatas pemerintah senantiasa membuat berbagai strategi dan upaya yang
sistematik untuk meningkatkan prestasi olahraga. mulai dari upaya pemassalan olahraga, pembibitan
dan pemanduan bakat, sampai pada penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (IPTEK) yang
menunjang kemajuan olahraga. upaya tersebut secara relatif telah menunjang kontribusi bagi kemajuan
prestasi olahraga nasional. Prestasi olahraga Indonesia juga selalu mengalami pasang surut, hal ini juga
dibutuhkan kesiapan dari segala bidang diantaranya Sumber Daya Manusia yang dimiliki, fasilitas
olahraga yang mendukung serta motivasi yang senantiasa memberikan dorongan terhadap atlet untuk
mencapai tujuannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, peneliti memberikan pemahaman
tentang betapa pentingnya peranan prestasi dalam memajukan olahraga di Indonesia, sehingga
memerlukan kajian yang lebih serius yang didasari oleh: (a) Sumber daya manusia yang terdiri dari
pengurus dan pelatih yang berkualitas dan mempunyai lisensi kepelatihan sesuai dengan cabang
olahraga baik nasional dan internasional, serta memiliki peran yang strategis baik dalam upaya
menumbuhkan budaya olahraga, pembinaan prestasi, serta kemampuan dalam berorganisasi. (b)
Fasilitas: yang memadai serta berkualitas sehingga dapat memotivasi atlet untuk menggunakan fasilitas
tersebut secara baik dan bertanggung jawab. (c) Motivasi: memberikan sebuah dorongan kepada para
atlet untuk lebih giat berlatih meskipun didalam situasi tekanan dan serba kekurangan.
Pencanangan pola program pembinaan prima yang berjenjang periodik, sistematis, dan
berkelanjutan memiliki target pencapaian sasaran yang menyatakan bahwa dengan pembinaan yang
baik maka akan melahirkan ‘Golden Boy’ dan ‘Golden Girl’ yang akan mampu menjadi atlet Muda dan
Utama untuk menuju prestasi internasional.
Evaluasi berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian yang pada umumnya diartikan tidak
berbeda (indifferent), walaupun pada hakekatnya berbeda satu dengan yang lain. Pengukuran
(measurement) adalah proses membandingkan sesuatu melalui suatu kriteria baku (meter, kilogram,
takaran dan sebagainya), pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian adalah suatu proses transformasi
dari hasil pengukuran menjadi suatu nilai.
Dari permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi di atas maka untuk mendapatkan
temuan yang mendalam perlu dilakukan pambatasan masalah. Karena fokus utama dari penelitian
evaluasi ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada Peningkatkan prestasi
Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar belakang dan tujuan program), Input
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
38
evaluation (perencanaan program), process evaluation (pelaksanaan program) dan product evaluation
(evaluasi produk).
KAJIAN TEORITIK
Konsep Evaluasi Program
1. Evaluasi Program
Popham yang mendefinisikan evaluasi program sebagai proses pencarian, pengumpulan dan
pemberian data (informasi) kepada pengambil keputusan yang diperlukan untuk memberikan
pertimbangan apakah program perlu diperbaiki, dihentikan, atau diteruskan (Popham, 1981: 7).
Pengertian evaluasi program ini lebih mengarah sampai pada pengambilan keputusan untuk
melanjutkan atau menghentikan program yang dievaluasi.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi program adalah proses
penerapan prosedur ilmiah yang berurutan yang diawali dengan pengumpulan data, pengolahan serta
penyajian data seluas-luasnya mengenai program pelatihan untuk dijadikan bahan dasar dalam
membuat keputusan atau kebijakan yang akan dilakukan dikemudian hari.
2. Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis Dan Pengorganisasian Prima
Program Indonesia Emas (PRIMA) adalah program pemerintah untuk menciptakan Atlet
Andalan Nasional yang mampu berprestasi ditingkat internasional, memiliki visi, misi, tujuan, sasaran
strategis dan pengorganisasian PRIMA sebagai berikut:
Visi
“Menghasilkan atlet yang mampu berprestasi di tingkat internasional”
Misi
Mengembangkan bakat calon Atlet Andalan Nasional
Melaksanakan seleksi dan menetapkan calon atlet dan pelatih Atlet Andalan Nasional
Membuka akses ketersediaan prasarana san sarana PRIMA yang berstandar internasional
Memberikan penguatan induk organisasi cabang olahraga yang berkaitan dengan PRIMA
Tujuan
Menyiapkan Atlet Andalan Nasional yang mampu berprestasi pada pecan olahraga dan
kejuaraan olahraga di tingkat internasional.
Mengembangkan pembinaan atlet secara berjenjang yang didasarkan pada prinsip pembinaan
atlet jangka panjang.
Menetapkan atlet dan pelatih Andalan Nasional.
Menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelatihan dan penelusuran bakat
Mengembangkan pembinaan kehidupan social dan pola hidup Atlet Andalan Nasional.
Mencari peluang ketersediaan prasarana dan sarana latihan PRIMA yang sesuai dengan standar
internasional
Memberikan penguatan induk organisasi cabang olahraga.
Sasaran Srategis 2010-2014
Meningkatkan perolehan medali pada Asian Games tahun 2010
Tercapainya posisi papan aatas pada SEA Games tahun 201
Meningkatkan perolehan medali pada Olympic games tahun 2012
Mempertahankan posisi papan atas pada SEA Games tahun 2013
Meningkatkan perolehan medali pada Asean Youth Games tahun 2013
Meningkatkan perolehan medali pada Asean Games tahun 2014
Meningkatkan perolehan medali pada Youth Olimpic Games tahun 2014
Meningkatkan perolehan medali pada berbagai jenjang Paralympic Games
Terlaksananya pembinaan Atlet Andalan Nasional secara berjenjang
Terlaksananya penguatan induk organisasi cabang olahraga unggulan nasional.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
39
Pengorganisasian
Dalam penyelenggaraan PRIMA dibentuk suatu lembaga non structural yang disebut sebagai
Dewan Nasional PRIMA yang akan bertugas membina dan mengendalikan seuruh kegiatan melalui
pemantauan dan evaluasi selama pelaksanaan kegiatan PRIMA. Dewan Nasional PRIMA terdiri dari
dewan pengarah dan dewan pelaksana yang dilengkapi dengan komponen-komponen pendukung
organisasi sesuai kebutuhan PRIMA. Bagan stuktur organisasi PRIMA secara lengkap dapat dilihat
pada gambar sebagai berikut:
Grafik 1. Struktur Organisasi Dewan Pelaksana Prima
Penguatan Induk Organisasi Cabang Olahraga Yang Berkaitan Dengan Program Indonesia Emas
Untuk mencapai prestasi olahraga yang optimal di even internasional diperlukan pembinaan
dan pelatihan yang strategis, berkesinambungan dan berjenjang sejak dari usia muda sampai ke tingkat
elit atlet. Untuk mewujudkan pola pembinaan yang sistematis, berjenjang dan berkesinambungan
diperlukan system pembinaan yang mantap dengan didukung wadah organisasi olahraga yang memiliki
komitmen tinggi dalam melakukan pembinaannya. PRIMA yang merupakan sistem pola pembinaan
Atlet Andalan Nasional yang sistematis, berjenjang, dan berkesinambungan, memerlukan dukungan
wadah organisasi yang memiliki sistem manajemen pengelolaan yang mantap dan SDM yang
berkualitas.
Induk organisasi cabang olahraga merupakan wadah organisasi yang starategis dalam
mendukung PRIMA, sehingga mutlak harus memiliki sistem manajemen pengelolaan yang baik yaitu
harus mampu merencanakan, mengorganisir, mengelola, dan mampu melakukan pengawasan serta
mengevaluasi pelaksanaan pembinaan atlet nasional. Selain itu harus didukung oleh SDM yaitu para
pengurus, pembina, dan pelatih yang memiliki komitmen, dedikasi, dan loyalitas yang tinggi terhadap
kemajuan olahraga nasional.
Menyadari bahwa induk organisasi cabang olahraga merupakan wadah yang strategis dalam
melakukan pembinaan para Atlet Andalan Nasional untuk mencapai prestasi tertinggi, maka diperlukan
upaya penguatan sistem manajemen dan tatalola organisasi di berbagai aspek bidang pembinaan yang
ada.
Prestasi Wushu Indonesia
Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang
mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar, serta Prestasi merupakan
kemampuan nyata (actual ability) yang dicapai individu dari satu kegiatan atau usaha. Sehingga
disimpulkan bahwa prestasi adalah suatu hasil yang telah dicapai sebagai bukti usaha yang telah
dilakukan.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
40
Jadi untuk mencapai prestasi dan tujuan, maka atlet juga harus giat berlatih, karena melalui
latihan-latihan yang teratur pola hidupnya secara menyeluruh akan terbentuk. Oleh karena itu kata kunci
untuk mencapai prestasi dan keunggulan dalam olahraga adalah “berlatih dan berlatih”.
Prestasi wushu Indonesia diawali oleh Jainab atlet asal Sumatera Utara, yang meraih prestasi
medali perak di kejuaraan dunia 1995 di Baltimore, Amerika Serikat dan merebut medali perunggu di
Asian Games Bangkok Tahun 1998. Prestasi lainnya yang berkaliber internasional seperti Lindswell,
Aldy Lukman, dan Heryanto yang menyuguhkan medali emas di SEA Games XXVI Jakarta dan
prestasi internasional lainnya. Altlet wushu ini tidak terlepas dari peranan pelatih Supandi Kusuma yang
sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PB. Wushu Indonesia. Tentu saja itu merupakan prestasi yang
luar biasa, karena ketika itu wushu berstandar International baru berkiprah 3 tahun di bumi Indonesia.
Di Indonesia, Wushu kini juga mendapat perhatian yang istimewa dari masyarakat, wushu yang
dulu hanya dimainkan oleh orang-orang tua, dan itupun hanya golongan tertentu kini telah
memasyarakat. Tidak ada data resmi yang mencatat sejak kapan wushu mulai masuk ke Indonesia,
tetapi sejak puluhan tahun silam telah di mainkan oleh banyak orang dari berbagai kota besar maupun
kecil di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Semarang dan masih banyak lagi daerah lain, tetapi
wushu yang berstandar Internasional baru di kenal dan di populerkan di Indonesia pada akhir Oktober
1992 yang di prakarsai oleh tokoh olahraga IGK Manila yang kemudian menjadi Ketua Umum PBWI
yang pertama. Manila berhasil membawa wushu Indonesia ke forum Internasional.
Kata Wushu (Wikipedia) berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu”
adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai
seni untuk berperang atau seni beladiri. Di dalam wushu, kita juga mempelajari seni, olahraga,
kesehatan, beladiri dan mental.
Pendapat serta teori yang telah dikemukan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kita harus
membangkitkan kesadaran baru bahwa prestasi sejati bukanlah sesuatu yang instan, ia merupakan
konsukensi dari dari sebuah proses panjang yang terencana untuk menggapai tujuan tertinggi. Prestasi
tinggi juga harus dibangun diatas fundamental yang kokoh, yaitu masyarakat yang sehat dan hidup aktif
sepanjang hayat. Karena itu, upaya pembinaan olahraga “jalan pintas” yang hanya akan menginginkan
prestasi tinggi dalam waktu singkat harus lebih ditingkatkan, antara lain: 1) Pembinaan, 2) Psikologis,
3) Rutinitas latihan dalam latihan, 4) Keadaan fisik, 5) Teknik dan skill.
Sumber Daya Manusia
M. Ngalim (2000:33) Manusia sebagai mahluk individu yang hidup dalam suatu dunia yang
bukan dirinya sendiri, tetapi mutlak diperlukan untuk hidupnya, melangsungkan dan
mengembangkannya, manusia membutuhkan makanan, udara, juga persahabatan, ilmu pengetahuan,
persekutuan dan kesesuaian. Manusia menurut Ngalim bahwa pada prinsipnya manusia adalah mahluk
yang berkesadaran dan berkat aktivitas-aktivitas kesadarannya manusia mampu mengatasi dirinya dan
penciptakannya dunia yang khas bagi diirnya.
Menurut Dahlan dalam setiadi (1996:6) Pengertian kualitas sumber daya manusia Indonesia
menjadi: (1) kualitas fisik, yaitu cirri-ciri kualitas bersifat lahiriah atau badaniah. (2) kualitas non fisik,
yaitu cirri-ciri kualitas yang bersifat batiniah yang mencakup kualitas-kualitas: pribadi, keserasian
dengan lingkungan, bermasyarakat, berbangsa dan kekayaan.
Dimensi SDM keolahragaan (Permen RI, 2007:73) dapat dipahami sebagai sesuatu yang sangat
luas. Deskripsi SDM keolahragaan setidak-tidaknya dapat dikelompokkan kedalam: a) pelaku olahraga,
menunjukkan pada orang dan/atau kelompok orang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan
olahraga, b) pembinaan olahraga, menunjukkan pada orang yang memiliki minat dan pengetahuan,
kepemimpinan, kemampuan manajerial, dan/atau pendanaan yang didefikasikan untuk kepentingan
pembinaan dan pengembangan olahraga, c) tenaga keolahragaan, menunjuk pada setiap orang yang
memiliki kualifikasi dan sertifikasi kompetensi dalam bidang olahraga, dan d) olahragawan.
Dari pendapat para ahli diatas hakikat dari adanya SDM keloahragaan adalah menjamin bahwa
semua penyelenggaraan kegiatan olahraga didukung oleh tenaga keolahragaan yang memiliki
kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik propesional dengan ditambah landasan
pengetahuan akademik.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
41
Fasilitas
Fasilitas olahraga merupakan sebuah wadah untuk melakukan setiap kegiatan olahraga, dengan
menyongsong Hari Depan Olahraga Indonesia sehingga seluruh masyarakat dapat memeperoleh
kesempatan yang sama untuk berolahraga serta mendapatkan kebugaran dan kesehatan yang sesuai
dengan konsep “Sport For All” dengan semboyan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat.
Fasilitas olahraga adalah sumber daya pendukung yang terdiri dari segala bentuk jenis
bangunan/tanpa bangunan yang digunakan untuk perlengkapan olahraga. Sarana prasarana olahraga
yang baik mendorong masyarakat untuk melaksanakan olahraga secara kelompok atau secara bersama-
sama, sehingga nilai-nilai sosial yang fositif dari kegiatan olahraga dapat dirasakan.
Program Latihan
Program latihan adalah suatu kegiatan perencanaan latihan secara tertulis baik jangka panjang
maupun pendek yang disusun secara sistematis dan dalam pelaksanaannya berlangsung dalam proses
yang berkesinambungan dengan cara yang efektif dan efisien serta usaha-usaha untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, yang tergambar dalam pendidikan pelatih, lisensi pelatih, pengalaman
pelatih, perencanaan, prinsip-prinsip latihan, metode latihan, periodisasi, dan penerapan materi.
Kriteria Evaluasi
Menurut Riney (1997:127), efektivitas penyelenggaraan program pendidikan dapat dilihat dari
dimensi berikut; (1) kepuasan peserta program, (2) perkembangan kemampuan akademik peserta, (3)
perkembangan karir dan individu peserta program, (4) kepuasan penyelenggara program, (5)
perkembangan professional dan kualitas penyelenggara program, (6) keterbukaan sistem dan interaksi
komunitas, dan (7) kemampuan lembaga penyelenggara untuk mendapatkan sumberdaya, dan
kesehatan organisasi penyelenggara program.
Dalam terang model evaluasi CIPP, dapat dipahami bahwa kriteria efektivitas pelaksanaan
manajemen program prima ditentukan oleh efektivitas dari komponen-komponen program yang
dievaluasi, meliputi komponen konteks, masukan, proses dan produk. Secara umum efektivitas program
prima dapat dinilai dari kualitas keluaran yang dihasilkan terutama output atau hasil langsung program.
Secara khusus, efektivitas program prima ditentukan oleh efektivitas dari masing-masing komponen
yang ada di dalamnya, meliputi efektivitas komponen konteks, efektivitas komponen masukan,
efektivitas komponen proses dan efektivitas komponen produk.
Tabel 1. Kriteria Peningkatan Program Prima Wushu Indonesia
Komponen Aspek Indikator Kriteria
Konteks
Tujuan dan
relevansi program
Rumusan tujuan dan
relevansi program
Tujuan program sesuai/relevan dengan
kebutuhan dan masalah dari hasil identifikasi
Deskripsi
kebutuhan dan
masalah
Rumusan kebutuhan dan masalah program
Prima sesuai/relevan dengan kebutuhan dan
masalah hasil identifikasi atau yang dirasakan
dan dihadapi atlet
Dukungan sumber
daya manusia
Tersedia dukungan sumber daya manusia
secara memadai untuk penyelenggaraan
program prima: man, money, material, serta
dukungan kebijakan
Masukan
Karakteristik atlet
- Minat Memiliki minat yang tinggi untuk mengikuti
program Prima
- Pengetahuan dan
Kemampuan
Memiliki keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan yang relevan dengan program
Prima
Rancangan disain
program latihan
Mutu program
latihan
Program latihan relevan dengan kebutuhan
dan masalah pad atlet
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
42
Komponen Aspek Indikator Kriteria
Kapabilitas pelatih
Memiliki kompetensi yang relevan dengan
syarat yang ditentukan
Kapabilitas
lembaga
penyeleng-gara
Kapabilitas lembaga
penyelenggara
Memiliki kewenangan, kemampuan, dan
reputasi dan pengalaman memadai dalam
penyelenggaraan program Prima
Proses Pelaksanaan Jadwal latihan Penentuan yang jelas dalam pelaksanna
program prima
Pelaksanaan
Program
Pembagian tugas yang jelas
Metode dan Proses Pertemuan atau rapat resmi dengan pihak–
pihak program kerja di Prima.
Produk Pengawasan Komunikasi sesama
pengurus
Sistem pengawasan yang selama ini
diterapkan
ditetapkan standart kegiatan (berdasarkan
peraturan)
Pemberian sanksi Penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang
dilakukan pihak–pihak yang terkait
Motivasi Pemberian arahan Pengarahan yang dilakukan oleh komtek
terhadap Atlet pelatnas Wushu Indonesia
Pemberian Bonus kepada Atlet Berprestasi
METODOLOGI PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada
Peningkatkan prestasi Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar belakang dan tujuan
program), Input evaluation (perencanaan program), process evaluation (pelaksanaan program) dan
product evaluation (evaluasi produk). Dimana Penelitian ini dilaksanakan di PRIMA dan Pelatnas PB
Wushu Indonesia, adapun metode penelitian ini adalah penelitian evaluative dengan menggunakan
pendekatan survey dengan model Context, Input, Process, Product (CIPP).
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan maka perlu menyusun pedoman wawancara yang
berisikan pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. teknik yang
digunakan meliputi wawancara tidak terstruktur dan studi dokumentasi.
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini, informasi akan dikumpulkan dari pihak-pihak yang berkopeten dalam
menentukan suatu kebijakan serta pihak-pihak yang terkait dalam manajemen program prima pada
peningkatan prestasi Wushu Indonesia di PB WI, antara lain:
1. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi
2. Ketua Komisi Teknik Wushu
3. Pelatih Pelatnas
4. Atlet Pelatnas
Manajemen program prima yang telah diterapkan PB Wushu Indonesia dalam pengorganisasian
sangat dibutuhkan dan diperlukan dengan mencapai tujuan, menjaga keseimbangan diantara tujuan-
tujuan yang saling bertentang serta mencapai efesiensi dan efektifitas.
Proses evaluasi manajemen program proma harus dilaksanakan oleh PB Wushu Indonesia
secara komprehensif agar hasilnya benar–benar dapat dijadikan dasar dalam menentukan kualitas dari
suatu program. Hal ini berarti evaluasi dilakukan secara menyeluruh untuk menilai unsur–unsur yang
mendukung suatu program. Agar hasil evaluasi cabang olahraga wushu berlangsung secara baik, maka
ada beberapa fungsi yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan evaluasi.
PB Wushu Indonesia khususnya cabang olahraga Taulo dan Sanshou hendaknya selalu
berbenah dan selalu melakukan evaluasi. Evaluasi sangat penting dan wajib dilakukan demi target yang
ingin dicapai dan raih, tujuan dari fungsi evaluasi meliputi : eksplanasi, kepatuhan, auditing, akunting.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
43
Evaluasi manajemen yang dilakukan pada cabang Wushu ini menggunakan pendekatan CIPP
(Context, Input, Process, Product). Analisis manajemen program prima ini dilakukan dengan tujuan
untuk meningkatkan dan mencapai akuntabilitas dan meningkatkan proses pembinaan, latihan,
menjalankan program-program yang telah direncanakan untuk mencapai target yang telah diharapkan.
Tim Wushu Indonesia berhasil mendapatkan 7 medali emas, dua perak, dan satu perunggu
dalam ajang Islamic Solidarity Games III di Palembang. Dimana peraih medali emas diraih oleh
pewushu yang turun dalam kelas Taiji Jian putra, Taiji Jian putri, Nan Dao dan Nan Gun putri, Daoshu
dan Gonshu putra serta Jianshu dan Qiangshu putri.
Pencapaian prestasi Wushu Indonesia yang mendapat medali emas tersebut di luar prediksi.
Pasalnya dalam ajang pesta olahraga negara-negara Organisasi Kerja sama Islam (OKI) ini pihaknya
tidak menargetkan medali apapun. Karena itu Indonesia hanya menganggap ISG sebagai ajang
pemanasan sebelum ke SEA Games Myanmar.
Keempat atlet yang meraih emas tersebut meliputi Marten Mardan Tangdilallo yang turun
dalam kelas Taiji Jian putra. Dia berhasil mencatatkan poin tertinggi 9.65. Sementara medali perak
diraih oleh Freddy dengan poin 9.64. Medali perunggu diraih oleh Loh Choon How dari Malaysia
dengan poin 9.63.
Lindswell, pewushu juara dunia asal Indonesia yang turun di nomor Taiji Jian putri kembali
menyumbang satu emas dengan raihan poin tertinggi 9.68. Sementara itu medali diraih oleh Chan Lu
Yi (Malaysia) dan perunggu oleh Hamideh Barkhor (Iraq).
Persaingan ketat antar pewushu nasional juga terjadi pada nomor Nan dao dan Nan Gun putri.
Ivana Ardelia Irmanto berhasil meraih emas dengan skor akhir 19.27. Skor tersebut berbeda tipis dengan
capaian rekannya Juwita Niza Wasni dengan skor akhir 18.97. Sementara untuk perunggu berhasil
didapat Tan Cheong Min (Malaysia) dengan skor 18.92.
Begitu juga atlet yang berhasil sukses meraih meraih emas pada nomor Daoshu dan Gunshu
putra. Medali emas diraih oleh Ahmad Hulaifi dengan skor total 19.33. Pewushu Malaysia mendapat
perak dengan skor total 19.27. Sementara perunggu berhasil diraih oleh atlet nasional Aldy Kurniawan
dengan skor 19.05.
Sementara itu di event olahraga Asia tenggara kontingen wushu berhasil memenuhi target
dengan meraih 4 medali emas, 3 perak, dan 6 perunggu pada SEA GAMES XXVII 2013 di Myanmar.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan negara-negara tetangga.
Kontingen Wushu Indonesia di SEA Games XXVII/2013 Myanmar memberikan hasil
maksimal. Dari perolehan medali Indonesia di ajang multievent olahraga dua tahunan itu, empat medali
emas, tiga perak dan enam perunggu dipersembahkan atlet Wushu, diantaranya Lindswell Kwok, Niza
Juwita Wazni, Achmad Hulaefi mempersembahkan medali emas di cabang olahraga cabor wushu.
Medali perak diraih Dasmantua. Sedangkan, medali perunggu masing-masing didapat Niza Juwita
Wazni dan Arba Sibuea wushu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Evaluasi manajemen program prima cabang wushu harus dilakukan setiap tahun dengan tujuan
untuk mengetahui kendala serta kekurang yang ada dalam sebuah tim (atlet dan pelatih) dalam proses
ini, komisi teknik wushu harus berperan aktif untuk mencapai target yang telah dibebankan oleh KONI
Pusat
Proses pembinaan yang telah dilakukan cabang wushu mengacu pada program jangka pendek
dan jangka panjang, dalam hal ini pemusatan latihan yang dilaksanakan didaerah dengan bertujuan
mencari bibit atlet yang nantinya bisa menggantikan atlet yang senior, sementara di pusat
diperioritaskan untuk pembinaan dalam pemusatan latihan (Pelatnas).
Kendala yang dialami oleh cabang wushu adalah belum adanya kerjasama yang dijalin oleh
pengurus serta minimnya bantuan dana dalam proses pembinaan.
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, dapat diajukan beberapa saran untuk kemajuan
manajemen program prima pada peningkatan prestasi wushu di PB WI antara lain:
1. Pengurus PB WI
Kepada pengurus PB WI hendaknya selalu mengawasi dan memonitoring jalannya proses
pembinaan dan terhadap kinerja komtek, manajer, pelatih dan atlet. Evaluasi harus selalu dilakukan
oleh PB WI dengan tujuan supaya mengetahui kendala dan kekurang yang ada selama ini.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
44
2. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi
Kepada ketua Bidang Pembinaan Prestasi hendaknya merencanakan kejuaraan yang lebih
banyak dengan tujuan untuk menjaring bibit-bibit atlet dengan proses pembinaan yang
berkesinambungan dan juga selalu mengawasi program latihan yang diterapkan.
3. Ketua Komisi Teknik Wushu
Kepada Ketua Komisi Teknik harus lebih meningkatkan program kerja yang telah dicanangkan
supaya kegiatan yang telah disusun dapat terlaksana sesuai yang telah diharapkan. Keterbatasan dana
harus bisa dijadikan sebuah motivasi dalam meraih prestasi yang telah ditargetkan.
4. Pelatih Pelatnas dan Atlet Pelatnas
Kepada pelatih dan atlet hendaknya lebih memfokuskan latihan supaya target yang telah
dicanangkan dapat diraih dalam memperoleh medali, pelatih juga harus selalu berkoordinasi kepada
atlet supaya program latihan yang telah disusun dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Atlet
juga jangan merasa tertekan dengan program-program latihan telah diberikan supaya target dapat diraih.
Peningkatan kualitas serta prestasi yang diharapkan dalam manajemen cabang olahraga wushu
harus menekankan pembinaan atlet dan juga pelatih, rasa kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi harus
juga dijalin terhadap semua pelatih, atlet dan pengurus.
DAFTAR PUSTAKA
Arulhudabk.blogspot.com/2011/06/pengertian-prestasi-adalah.html
Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Fernandes, H.J.X., Evaluation of Educational Programs. Jakarta: National Education Planning,
Evaluation and Curriculum Development, 1984.
Harsuki. Pengantar Manajemen Olahraga. Jakarta: Raja Wali Pres, 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Wushu
Kirkpatrick, Donald L, Evaluating Training Programs, The Four Levels, San Francisco: Berrett-
Koehler Publisher, Inc., 1996.
Leonora, et al., Evaluating Educational Outcomes, Manila: Rex Book Store, 1998.
Metcalf, Kim K, Evaluation of the Cleveland Scholarship and Tutoring Program: Student
Characteristics and Academic Achievement, Indiana University School of Education, 2003.
Musa, Sabari, Evaluasi Program Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Y-
Pin,2005.
Laporan Nasional Sport Development Index Indonesia 2006. Jakarta: Kementerian Negara Pemuda
Dan Olahraga Rebuplik Indonesia, 2006
R. Matindas. Manajemen Sumber daya manusia Lewat Konsep A.K.U. Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti, 1997
Robbins, Stephen P., Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi terjemahan Jusuf Udaya, Jakarta:
Arcan, 1994.
Robbins, Stephen P. & Mary Coulter. Manajemen Edisi Ke Sepuluh Terjemahan Bob Sabran & Devri
Banardi Putra, Jakarta: Erlangga.2010.
Robert O. Brinkerhoff, et al, Program Evaluation ( A Prectitioner’s Guide for Trainers and Educators,
Boston: Kluwer –Nijhoff Pubhlising, 1986.
Robert O. Brinkerhoff, et al, Program Evaluation (A Prectitioner’s Guide for Trainers and Educators,
Boston: Kluwer–Nijhoff Pubhlising, 1986.
R. Sanders James, et al., The Program Evaluation Standards, California: Sage Publication Inc., 1994.
Rutman, Leonard, Evaluation Research Methodology, New Delhi: Sage Publication, 1984.
Sudibyo. Mental Training. Jakarta: Percetakan Solo, 2011
Sudjana, Metode Statistik. Bandung. Tarsito 1996
Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung. Alfa Beta. 2007
Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2005. Sistim Keolahragaan Nasional. Jakarta:
Kemenegpora 2008
Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Jakarta: Biro
Humas Dan Hokum Kementerian Negara Pemuda Dan Olahraga Ri, 2007.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
45
KETERAMPILAN SHOOTING SEPAKBOLA
STUDI KORELASIONAL PANJANG TUNGKAI, DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI,
PERCAYA DIRI DENGAN KETERAMPILAN SHOOTING PERMAINAN SEPAKBOLA
PADA KLUB SEPAKBOLA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2013
Muchtar Hendra Hasibuan, Sofyan Hanif
Abstract
The objective of the research is a determine the relationship between limb length,
leg power, and self confidence with shooting soccer skill. This research was conducted at
state university of jakarta soccer club 2013, with samples 0f 40 respondents selected by
purposive sampling.
The results of this research are as follows. First, there is a positive corelation
between limb length toward shooting soccer skill. The linear regression is express through
Y = 25.37 + 0.49 X1. The corelation coefficient 0.608. It’s mean the limb length toward
shooting soccer sklill is 36%
Second, there is a positive corelation between limb length toward shooting soccer
skill. The linear regression is express through Y = 23.2 + 0.54 X2. The corelation
coefficient 0.622. It’s mean the leg power toward shooting soccer sklill is 38.6%.
Third, there is a positive corelation between limb length toward shooting soccer
skill. The linear regression is express through Y = 28.14 + 0.44 X3. The corelation
coefficient 0.539. It’s mean the limb length toward shooting soccer sklill is 29%.
Fourth, there is a positive corelation between limb length, leg power, and self
confidence toward shooting soccer skill. The linear regression is express through �� =14.4 + 0.239 𝑋1 + 0.277 𝑋2 + 0.236 𝑋3.The corelation coefficient 0.583. It’s mean the
limb length toward shooting soccer sklill is 28.9%.
Keywords: Limb length, Leg power, Self Confidence, Shooting
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah mencari hubungan antara panjang tungkai, daya ledak otot
tungkai dan percaya diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Penelitian ini dilakukan di
klub sepakbola Universitas Negeri Jakarta tahun 2013, dengan 40 orang sampel dengan metode
pengambilan sampel mengunakan metode purposive sampling.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut, pertama, terdapat hubungan yang positif antara
panjang tungkai dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y = 25.37 +0.49 X1. Dengan koefisien korelasi sebesar 0.608. hasil itu menandakan panjang tungkai
mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 36%.
Kedua, terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai dengan
keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y = 23.2 + 0.54 X2 Dengan koefisien
korelasi sebesar 0.622. Hasil itu menandakan daya ledak otot tungkai mempengaruhi
keterampilan shooting sepakbola sebesar 38.6%. Ketiga, terdapat hubungan yang positif antara
percaya diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y = 28.14 +0.44 X3. Dengan koefisien korelasi sebesar 0.539. Hasil itu menandakan percaya diri
mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 29%.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
46
Keempat, terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai, kelincahan dan percaya
diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi �� = 14.4 + 0.239 𝑋1 + 0.277 𝑋2 + 0.236 𝑋3. Dengan koefisien korelasi sebesar 0.583. Hasil itu menandakan panjang
tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri mempengaruhi keterampilan shooting
sepakbola sebesar 28.9%
Kata Kunci: Panjang tungkai, Daya ledak otot tungkai, Percaya Diri Dan Shooting
PENDAHULUAN
Permainan sepakbola merupakan olahraga yang sangat populer dan tidak asing lagi di
Indonesia, begitupun di dunia. Setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, tua maupun muda
mengetahui permainan sepakbola. Saat ini permainan sepak bola dimulai dari proses pembelajaran serta
sebagai suatu profesi sebagai seorang atlet/pemain. Walaupun bagi sebagian dari mereka hanya sekedar
mengetahui saja dan tidak bisa untuk memainkannya, tapi hal tersebut sudah cukup untuk membuktikan
bahwa sepakbola merupakan olahraga yang paling populer di dunia.
Pada dunia olahraga, prestasi merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai
prestasi tersebut atlet, harus bekerja keras dengan melakukan latihan secara teratur sesuai program
latihan yang diberikan sebagai menu dari pelatih. Dengan latihan yang maksimal secara berulang-ulang,
maka akan mendapatkan hasil yang baik juga. “Training adalah proses yang sistematis dari berlatih atau
bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari kian bertambah jumlah beban latihan
atau pekerjaannya. (Harsono : 2008, 101)
Gerak merupakan kebutuhan yang hakiki seperti layaknya kebutuhan hidup lainnya, Karena
bergerak merupakan inti dari kehidupan. Ada istilah yang sering kita dengar cogito ergo sum artinya
saya berpikir karena itu saya ada. Kalau dipinjam untuk diubah kata-kata tersebut menjadi moveto ergo
sum artinya menjadi saya bergerak karena itu saya ada. Tidak semua gerakan yang diperlukan manusia
itu dibawa sejak lahir. Banyak sekali jenis dan bentuk gerakan yang perlu dipelajari, dibina, dan
disesuaikan dengan kebutuhan diri, perkembangan gerak, dan bahkan norma sosialnya.
Adapun langkah-langkah awal didapatnya ketrampilan belajar gerak yang terjadi menurut Fitts
and Posner’s Three-Stage Model adalah sebagai berikut: A. Cognitive stage: The beginner stage of
learning in Fitts and Posner's model. B. Associative stage: The intermediate stage of learning in Fitts
and Posner's model. C. Autonomous stage: The advanced or final stage of learning in Fitts and Posner's
model. (Cheryl A. Coker: 2004, 98-99)
Harsono menerangkan: “Ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secara
seksama oleh atlet yaitu, latihan fisik, teknik, taktik, dan latihan mental”. (Harsono : 2008, 100) Untuk
membuat atau membentuk atlet sepakbola yang baik seorang pelatih harus memperhatikan kondisi fisik
yang dimiliki atlet sesuai dengan kemampuan individu yang perlu dilatih. Seperti yang dijelaskan oleh
Remmy Muchtar physical fitness mengandung berbagai unsur yang merupakan kualitas fisik (physical
qualities) yang menentukan dalam kegiatan olahraga, pada umumnya unsur-unsur tersebut terdiri atas:
speed/kecepatan, strenght/kekuatan, endurance/daya tahan, flexibility/kelenturan, dan
agility/kelincahan. (Remmy Muchtar : 1992, 82)
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
47
Adapun mengenai teknik dasar sepakbola menurut Joseph A. Luxbacher,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Teknik tanpa bola, yaitu semua gerakan-gerakan tanpa bola terdiri dari:
1) Lari cepat dan mengubah arah
2) Melompat dan meloncat
3) Gerak tipu tanpa bola yaitu gerak tipu dengan badan
4) Gerakan-gerakan khusus untuk penjaga gawang
b) Teknik dengan bola, yaitu semua gerakan-gerakan yang bersentuhan langsung dengan bola
terdiri dari:
1) Mengenal bola (ball feeling)
2) Menendang bola (kicking)
3) Menerima bola : menghentikan bola dan mengontrol bola (controlling)
4) Menggiring bola (dribbling)
5) Menyundul bola (heading)
6) Melempar bola (throwing)
7) Gerak tipu dengan bola (feinting)
8) Merampas atau merebut bola (tackling)
9) Teknik-teknik khusus untuk penjaga gawang. (Joseph A Luxbacher : 2004, 89)
Menendang kearah gawang atau yang lebih dikenal dengan istilah shooting mempunyai
manfaat bagi seorang striker atau pemain lainnya, yaitu dapat secara taktis menendang bola kearah
gawang yang dianggapnya dapat membahayakan gawang. Keahlian dalam melakukan tendaangan
kearah gawang atau shooting sangat menguntungkan bagi klub yang memiliki permainan bagus.
Sebagai contoh kemampuan Christiano Ronaldo tendangan kearah gawangnya kerap kali dimanfaatkan
untuk mencetak gol, efek positif lainnya dari tendangan ke arah gawang atau shooting terutama di
daerah pertahanan lawan sering dimanfaatkan oleh para pemain handal untuk menciptakan gol, Kondisi
tersebut bisa terjadi akibat situasi yang memungkinkan untuk menciptakan gol dan penjaga gawang
tidak dapat mengantisipasi datangnya bola dengan keras.
Remmy muchtar menyebutkan ada empat cara utama dalam menendang bola, yaitu : 1). Dengan
kaki bagian dalam (inside foot), 2). Dengan punggung kaki (instep foot), 3). Dengan punggung kaki
bagian dalam (inside instep), 4). Dengan punggung kaki bagian luar (outside instep). Pada proses latihan
menendang ini perlu diperhatikan hal-hal penting berikut, a) sikap tubuh keseluruhan, (posisi kaki
tumpu, gerakan kaki), b) ayun, (posisi togog dan sikap tangan), c). Kontak antara bagian kaki dan bagian
bola, d) pandangan mata, dan e) Follow through. (Remmy Muchtar : 1992, 82)
Dilihat dari tujuannya menendang terdiri dari dua macam,yaitu menendang kegawang dan
menendang untuk mengoper.Tendangan mengoper dalam sepakbola terdiri dari tendangan datar dan
tendangan jarak jauh. Tendangan ke arah gawang adalah kemampuan pemain sepakbola
untuk menendang bola kearah gawang dengan cepat dan tepat. Untuk menciptakan tendangan ke arah
gawang (shooting) yang baik dan terarah dapat dilakukan seorang atlet dengan memperhatikan keadaan
atau kondisi fisik yang baik pula, dalam hal ini yang diperlukan adalah power/daya ledak otot tungkai.
Untuk lebih jelas mengenai power itu sendiri “Power adalah kemampuan otot untuk
mengarahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang cepat”. (Harsono : 2008, 200) Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi muscle power adalah kekuatan dan kecepatan yang telah dimiliki oleh pemain
sepakbola itu sendiri. Gabungan antara kekuaan dan kecepatan yang baik akan menghasilkan power
yang baik.
Dalam cabang sepakbola, otot tungkai merupakan salah satu otot yang memberikan sumbangan
yang besar untuk pergerakan, seperti dalam pelaksanaan menendang. Tentunya dalam pelaksanaannya
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
48
sangat memerlukan unsur kekuatan dan kecepatan yang tinggi. Oleh sebab itu dalam permainan
sepakbola power sangat diperlukan. F.G.E Rorimpoday mengemukakan bahwa: orang yang tungkainya
panjang, otot-otot tungkainya juga panjang yang memungkinkan gerak yang lebih besar yang
memungkinkan pula pekerjaan yang efektif dan efisien. (F.G.E Rorimponday : 1960,146)
Selain dari kondisi fisik diatas faktor secara anatomis tubuh yaitu panjang tungkai setiap atlet
berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi kecepatan dalam menyentuh bola, baik dalam adu
rebutan/duel bola ataupun raihan dan jangkauan yang lebih maksimal. Latihan yang diberikan juga akan
berdampak kepada atlet yang memiliki kondisi anatomis panjang tungkai berbeda.
Suatu hal yang tidak mudah dilakukan oleh atlet untuk mampu mengeluarkan kemampuan dari
dalam diri (instrinsik) yaitu rasa percaya diri. Percaya diri adalah kemampuan dari dalam diri berupa
sikap dan ekspresi positif. Kepercayaan diri adalah salah satu faktor yang dapat membantu atlet untuk
mampu mengeluarkan setiap kemampuan yang telah dimiliki. Peter Lauser dalam bukunya yang
berjudul Personality test yang diterjemahkan oleh D.H Gulobahwa: beberapa aspek psikis yang dapat
digunakan untuk membantu pembentukan pribadi, ataupun meningkatkan kepribadian salah satunya
adalah kepercayaan diri. (Agus Sujanto Et All : 1982, 159)
Situasi pertandingan akan membuat tekanan atmosfer penonton dan pelatih akan lebih besar
daripada pada saat latihan sehingga dibutuhkan kemampuan mental psikologis yang kuat untuk mampu
menimbulkan rasa kepercayaan diri. Percaya diri juga harus dikelola atau dikontrol oleh diri pemain
sendiri apabila berlebihan akan menghasilkan kegagalan tetapi sebaliknya jika percaya diri terkontrol
dengan baik akan menjadi pendorong untuk meraih keberhasilan dalam gerak.
Weinberg dan Gould menyatakan bahwa:rasa kepercayaan diri atlet (sport-confidence)
memberi dampak positif pada hal-hal sebagai berikut :1. Emosi, 2. Konsentrasi, 3. Sasaran, 4. Usaha,
5. Strategi, 6. Momentum. (Monty. P. Satiadarma : 2000, 36)
Berdasarkan uraian diatas maka penelitian tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:
Studi Korelasional Panjang Tungkai, Daya Ledak Otot Tungkai dan Percaya Diri dengan Keterampilan
Shooting Permainan Sepak Bola pada Klub Sepak Bola Universitas Negeri Jakarta Tahun 2013
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang menggambarkan pengaruh variabel-variabel
yang akan diteliti menggunakan metode survey dengan teknik kausal. Adapun konstelasi masalahnya
sebagai berikut :
Gambar 1 : Rancangan Penelitian
X1
X3
Y X2
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
49
Keterangan :
X1 : Panjang Tungkai
X2 : Daya Ledak Otot Tungkai
X3 : Percaya Diri
Y : Keterampilan Shooting bola
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dalam penelitian
ini karena peneliti tidak memberikan perlakuan dan hanya mengambil data di lapangan. Adapun teknik
statistik yang dipergunakan adalah analisis korelasional yaitu menghubungkan variabel antara variabel
bebas dengan variabel terikat, sehingga dalam penelitian ini tidak ada pengendalian terhadap perlakuan
juga tidak ada perubahan penelitian. Variabel bebas terdiri dari 3 variabel yaitu: panjang tungkai (X1),
daya ledak otot tungkai (X2) dan percaya diri (X3), sedangkan variabel terikat yaitu: ketrampilan
shooting bola (Y).
Populasi adalah seluruh anggota Kuliah Olahraga Prestasi sepakbola FIK UNJ sebanyak 80
orang siswa sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil sebanyak 40 orang siswa
dengan cara purposive sampling, yang dimaksud dengan purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel secara sengaja berdasarkan ciri dan karakteristik yang sudah diketahui sebelumnya
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Pengukuran panjang tungkai dengan menggunakan alat ukur meteran. Pengukuran panjang
tungkai adalah antara trakhater mayor yang terdapat pada tulang femur sampai telapak kaki.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari James G Hay, bahwa panjang tungkai seseorang diukur
dari trakhanter mayor bagian atas sampai telapak kaki. (James G Hay : 1988, 202)
2. Pengukuran daya ledak otot dengan menggunakan 3-hop jump melakukan 3x lompatan dengan
satu kaki sejauh mungkin yang diukur dengan meteran
3. Angket atau kuisioner percaya diri yang berjumlah 20 pertanyaan dengan pertanyaan yang
positif dan negative untuk menilai kepercayaan diri atlet mengenai keterampilan shooting yang
telah dimiliki.
4. Pengukuran ketepatan shooting menggunakan target sasaran gawang. data keterampilan
shooting diambil oleh 1 orang pencatat waktu, 2 orang (pengambil waktu dribbling dan
kecepatan bola shooting) dan 1 orang sebagai starter.
Teknik analisa data penelitian ini adalah dengan pengujian persyaratan analisis yang
menggunakan uji normalitas data. Uji normalitas yang digunakan adalah uji Liliefors. Data dapat
dikategorikan normal apabila harga L hitung < L tabel, dan di uji dengan taraf signifikasi α = 0.05 dan
uji linearitas untuk menguji keberartian data (Sudjana : 2005,466)
Pengujian hipotesis mengunakan regresi linear sederhana dinyatakan berarti bila harga Fhitung >
Ftabel dan dapat dikatakan linear dengan menyatakan harga Fhitung < Ftabel. Korelasi sederhana dikatakan
berarti setelah uji t apabila harga thitung > ttabel, Koefisien regresi linear ganda secara bersama-sama
dinyatakan berarti bila hasil uji F harga Fhitung > Ftabel. Korelasi ganda dihitung menggunakan statistik
(r2). Korelasi determinasi mengalikan hasil r dengan 100% mengalikan hasil r dengan 100% dan
korelasi parsial dihitung dengan menggunakan statistik r2y12.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
50
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Rangkuman Statistik Deskiptif Data Penelitian
Analisa Data Y X1 X2 X3
N 40 40 40 40
Mean/Rata-rata 50 50 50 50
Modus 55 47 56 52
Median 49.9 48.9 54.0 48.2
Standar Deviasi 8.10 10.00 9.45 10.00
Varians 65.69 100.00 89.28 100.00
Skor max 72 70 64 70
Skor Min 37 33 29 27
Range 35 37 34 43
Banyak Kelas 6 6 6 6
Panjang Kelas 5.547 6 5 7
Tabel 2.Distribusi Frekuensi Skor Keterampilan shooting
No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas Nilai Tengah
Frek.
Absolut
Frek.
Relatif
1 37 - 42 36.5 42.5 39.5 8 20%
2 43 - 48 42.5 48.5 45.5 11 28%
3 49 - 54 48.5 54.5 51.5 9 23%
4 55 - 60 54.5 60.5 57.5 8 20%
5 61 - 66 60.5 66.5 63.5 3 8%
6 67 - 72 66.5 72.5 69.5 1 3%
JUMLAH 40 100%
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
51
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Skor Panjang tungkai
No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas Nilai Tengah Frek. Absolut Frek. Relatif
1 33 - 38 32.5 38.5 35.5 6 15%
2 39 - 44 38.5 44.5 41.5 6 15%
3 45 - 50 44.5 50.5 47.5 9 23%
4 51 - 56 50.5 56.5 53.5 7 18%
5 57 - 62 56.5 62.5 59.5 7 18%
6 63 - 68 62.5 68.5 65.5 5 13%
JUMLAH 40 100%
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
52
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Skor Daya ledak otot tungkai
No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas
Nilai
Tengah Frek. Absolut Frek. Relatif
1 29 - 33 28.5 33.5 31 2 5%
2 34 - 38 33.5 38.5 36 3 8%
3 39 - 43 38.5 43.5 41 8 20%
4 44 - 48 43.5 48.5 46 2 5%
5 49 - 53 48.5 53.5 51 4 10%
6 54 - 58 53.5 58.5 56 21 53%
JUMLAH 40 100%
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Skor Percaya Diri
No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas Nilai Tengah Frek. Absolut
Frek.
Relatif
1 27 - 33 26.5 33.5 30 1 3%
2 34 - 40 33.5 40.5 37 4 10%
3 41 - 47 40.5 47.5 44 10 25%
4 48 - 54 47.5 54.5 51 12 30%
5 55 - 61 54.5 61.5 58 6 15%
6 62 - 68 61.5 68.5 65 7 18%
JUMLAH 40 100%
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
53
Pengajuan hipotesis yang diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan positif antara panjang tungkai dengan keterampilan shooting
Hasil pengujian hipotesis pertama menyatakan bahwa (ry1) sebesar 0.608 dengan persamaan
regresi Y = 25.37 + 0.49 X1 Sumbangan variabel panjang tungkai (X1) yang dimiliki seorang pemain
futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y1) =
0.369. Hal ini berarti variabel panjang tungkai memberikan sumbangan atau kontribusi sebesar 36.9%
dengan peningkatan keterampilan shooting.
2. Terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai (X2) dengan keterampilan
shooting (Y)
Hasil pengujian hipotesis kedua menyatakan bahwa (ry2) sebesar 0.622 dengan persamaan
regresi Y = 23.2 + 0.54 X2. Sumbangan variabel daya ledak otot tungkai (X2) yang dimiliki seorang
pemain futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi
(r2y2) = 0.386. Hal ini berarti variabel daya ledak otot tungkai memberikan sumbangan sebesar 38.6%
dengan peningkatan keterampilan shooting.
3. Terdapat hubungan yang positif antara percaya diri (X3) dengan keterampilan shooting
(Y)
Hasil pengujian hipotesis ketiga menyatakan bahwa (ry3) sebesar 0.539 dengan persamaan regresi
Y = 28.14 + 0.44 X3 Sumbangan variabel percaya diri (X3) yang dimiliki seorang pemain futsal
dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y3) = 0.29. Hal
ini berarti variabel percaya diri memberikan sumbangan sebesar 29% dengan peningkatan keterampilan
shooting.
4. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1), daya ledak otot tungkai (X2),
dan percaya diri (X3) secara bersama-sama dengan keterampilan shooting (Y)
Hasil pengujian hipotesis keempat menyatakan bahwa (ry123) sebesar 0.498 dengan persamaan
regresi Y = 12.4 + 0.239 X1 + 0.28.147 X2 + 0.238.6 X3 Sumbangan variabel panjang tungkai (X1),
daya ledak otot tungkai (X2), dan percaya diri (X3) secara bersama-sama yang dimiliki seorang pemain
futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y123) =
0.289. Hal ini berarti panjang tungkai, daya ledak otot tungkai, dan percaya diri secara bersama-sama
memberikan sumbangan sebesar 28.9% dengan peningkatan keterampilan shooting.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
54
1. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur panjang tungkai
Pada saat melakukan keterampilan shooting agar dapat menjauhkan bola dari gangguan lawan
pemain harus memiliki panjang tungkai agar bola tidak mudah direbut lawan. Panjang tungkai
merupakan unsur biomotorik seseorang yang sudah dimiliki seorang atlet sejak lahir, tapi bukan berarti
kita tidak perlu melatih kemampuan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan panjang tungkai memiliki hubungan positif dan sangat signifikan
dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kemampuan panjang tungkai
seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. Sebagai upaya peningkatan
keterampilan shooting melalui panjang tungkai adalah memberikan latihan panjang tungkai secara
khusus dan sistematis sesuai dengan kebutuhan teknik cabang olahraga sepakbola. Kesimpulan ini
mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting selain faktor teknik diperlukan juga
meningkatkan kemampuan panjang tungkai atlet sepakbola tersebut.
2. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur daya ledak otot
tungkai
Permainan sepakbola adalah olahraga yang dinamis yang membutuhkan banyak keterampilan
teknik dasar yang baik serta kemampuan biomotorik yang prima. Daya ledak otot tungkai adalah salah
satu bagian dari kemampuan biomotorik seseorang yang membantu pemain sepakbola mengambil
keputusan untuk bergerak ke pelbagai arah tanpa kehilangan keseimbangan walaupun dalam
penguasaan bola atau pun tanpa bola.
Hasil penelitian menunjukkan daya ledak otot tungkai memiliki hubungan positif dan sangat
signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kemampuan daya
ledak otot tungkai seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. Sebagai upaya
peningkatan keterampilan shooting melalui daya ledak otot tungkai adalah memberikan latihan daya
ledak otot tungkai secara khusus sesuai dengan kebutuhan teknik cabang olahraga sepakbola.
Kesimpulan ini mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga
meningkatkan kemampuan daya ledak otot tungkai atlet sepakbola tersebut.
3. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur percaya diri
Seorang pemain sepakbola harus memiliki kondisi fisik yang baik dan penguasaan teknik yang
juga harus baik, tetapi banyak pemain sepakbola yang melupakan ada faktor penting lain dari menjadi
penunjang untuk menjadi pemain sepakbola yang hebat yaitu faktor psikologis. Faktor psikis ini yang
menjadi penentu keberhasilan atau percepatan pencapaian prestasi seorang pemain sepakbola. Banyak
faktor psiklogis yang berpengaruh tapi peneliti menganggap faktor kepercayaan akan kemampuan diri
sendiri yang dapat menjadi penentu dalam keberhasilan shooting.
Hasil penelitian menunjukkan percaya diri memiliki hubungan positif dan sangat signifikan
dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kepercayaan diri seorang
pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting.
Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui rasa percaya diri adalah memberikan
masukan dan evaluasi positif yang dapat membangun rasa percaya diri atlet tersebut serta membiasakan
memberikan tekanan-tekanan dalam latihan yang nantinya akan membuat atlet terbiasa dan rasa percaya
diri akan muncul dalam pertandingan yang sesungguhnya. Kesimpulan ini mengandung implikasi
untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga meningkatkan percaya diri atlet sepakbola
tersebut agar yakin dengan kemampuan yang dimiliki.
4. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur panjang tungkai, daya
ledak otot tungkai dan percaya diri secara bersama-sama
Dalam proses latihan pelatih harus mengerti setiap kompenen yang harus dilatih dan
dikembangkan secara maksimal. Komponen-kompenen kecil yang dapat meningkatkan performa atlet
dilapangan akan menjadi factor penentu keberhasilan menampilkan keterampilan secara tepat.
Hasil penelitian menunjukkan panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri
memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik
dan berkembang panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan kepercayaan diri seorang pemain
sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
55
Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan rasa
percaya diri adalah memberikan proses latihan yang membentuk karakter permainan sepakbola itu
sendiri pada saat pertandingan serta memberikan motivasi positif yang dapat membangun dan
meningkatkan rasa percaya diri atlet tersebut. Karakter permainan sepakbola yang cepat dan penuh
tekanan dalam situasi sempit yang akan membuat pemain tebiasa. Kesimpulan ini mengandung
implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga meningkatkan panjang tungkai,
daya ledak otot tungkai dan percaya diri atlet sepakbola tersebut agar keterampilan yang sudah dimiliki
berkembang.
KESIMPULAN
1. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1) dengan keterampilan shooting (Y).
2. Terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai (X2) dengan keterampilan
shooting (Y).
3. Terdapat hubungan yang positif antara percaya diri (X3) dengan keterampilan shooting (Y).
4. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1), daya leda otot tungkai (X2), dan
percaya diri (X3) secara bersama-sama dengan keterampilan shooting (Y).
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian diatas, ada beberapa saran yang mudah-
mudahan dapat membantu untuk meningkatkan keterampilan shooting yaitu sebagai berikut :
1. Pengembangan metode latihan , program latihan dan evaluasi secara sistematis sehingga
keterampilan shooting bola khususnya dapat meningkat
2. Peneliti menyarankan untuk dapat memperhatikan setiap aspek yang dapat meningkatkan
keterampilan shooting bola seperti faktor kondisi fisik atau biomotorik seperti daya ledak otot
tungkai yang dapat menunjang siswa atau atlet bermain sepakbola serta faktor psikologis
percaya diri atlet yang dapat menjadi dorongan atau motivasi dari dalam diri.
3. Untuk dapat lebih mengoptimalkan keterampilan shooting bola peneliti menyarankan untuk
mengembangkan penelitian-penelitian lain dengan faktor-faktor lain pula yang dapat
membantu peningkatan penguasaan teknik bermain sepakbola dengan baik
DAFTAR PUSTAKA
Coker, Cheryl A. Motor Learning and Control for Practitioners. New Mexico State University, 2004.
Harsono. Coaching dan Aspek-aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta : CV. Tambak Kusuma, 2008
Hay, James G. The Biomechanics of Sport Technique diterjemahkan I Wayan Rampai. Denpasar, 1988.
Luxbacher, Joseph A. Sepakbola, Edisi Kedua, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Monty. P. Satiadarma, Dasar-Dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000..
Muchtar, Remmy. Olahraga Pilihan Sepak Bola. Jakarta: Deppen dan Keb Dirjenpenti PPTK, 1992.
Rorimponday, F.G.E, Lari,Lompat,Lempar. Jakarta: PT. Pemabangunan, 1960.
Sujanto, Agus. Et All, Psikologi Kepribadian. Jakarta: Aksara Baru, 1982.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
56
THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING (STAD) AND ENTRY BEHAVIOR TO THE
STUDENTS’ MATHEMATICS LEARNING RESULT
(An Experimental Study at Social Science Program of Senior High School)
Nurdin Ibrahim1
1Jakarta State University
Abstract
The objectives of the research is to determine the effect of cooperative learning typed STAD
to the student’s mathematic learning result in terms of student’s entry behavior. This
research was a quantitative research using an quasi experimental method with 2x2 factor
design The primary data obtained through the test results of student learning. The research
sample consists of 40 students which is taken from class XI IPS SMAN 29 consisiting of 20
students high-low entry behavior as the experimental group and of 20 students high-low
entry behavior as control group, and it was determined using random sampling techniques.
The data analyzed using two way analysis of varians (ANAVA 2x2) with a significance level
of 5%. The results show that: (1) the students learning result who were given cooperative
learning typed STAD ( =72,45) higher than the group of students who were given direct
instruction ( =68,15); (2) for groups of students with high entry behavior, cooperative
learning typed STAD ( =77,70) gives higher impact than the direct instruction ( =67,20).
(3) for groups of students with low entry behavior, cooperative learning typed STAD (
=67,72) gives lower impact than direct instruction ( =70,60). So, it can be concluded that
cooperative learning typed STAD can be used for students with high and low entry behavior
in Mathematics subject. The results of this research are expected to contribute to the
teachers and students in improving Mathematics learning achievement.
Keywords: cooperative learning, students team achievement division, mathematic learning
result, entry behavior, direct instruction/learning
PENDAHULUAN
Peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan merupakan masalah yang selalu menuntut
perhatian. Perbedaan tingkat serap antara siswa yang satu dengan yang lainnya terhadap materi
pelajaran menuntut seorang guru melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran, termasuk dalam
pembelajaran Matematika. Dalam pembelajaran Matematia, di sekolah guru tidak hanya sekedar
menyajikan angka-angka, aritmatika, aljabar, geometri (PISA:2009:93-940) tetapi perlu menggunakan
metode yang sesuai, disukai, dan mempermudah pemahaman siswa. Hal tersebut diharapkan akan
mengubah anggapan siswa terhadap materi pelajaran Matematika dari yang sulit menjadi lebih mudah,
dari yang dianggap kurang penting menjadi penting untuk dipelajari.
Konsep Matematika tergolong abstrak dan luas, karena itu guru dan siswa harus mempunyai
kemampuan matematika literasihal, yaitu kemampuan mengidentifikasi, merumuskan, menafsirkan
masalah-masalah di kehidupan sehar-hari (Cowan, 2006:50). Hal ini penyebab Matematika “dipandang
sulit” untuk dipahami karena untuk memahami yang abstrak, tahap awal biasanya perlu ungkapan yang
konkrit dan kontekstual (ilustrasi). Namun kenyataan yang ada, tidak setiap konsep di Matematika
diikuti dengan ilustrasi konkrit; contoh-contoh memang diberikan, namun hanya contoh tentang
pembatasan konsep yang dimaksud.
Strategi pembelajaran yang sering digunakan oleh guru mata pelajaran Matematika umumnya
strategi pembelajaran langsung (direct learning/instruction). Reigeluth dan Chellman (2009:79)
menyatakan ciri-ciri umum dari belajar/pembelajaran langsung, guru mengajarkan materi pembelajaran
kepada siswa melalui presentasi informasi yang aktif. Selanjutnya Reigeluth (2009:80) mengutip
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
57
pendapat (Rosenshine:1995) dan (Fisher:1978) bahwa belajar dan pembelajaran langsung lebih dari
50% pembelajaran disampaikan oleh guru dan kurang dari 50% siswa belajar mandiri. Ini berarti pada
saat pembelajaran di kelas dengan strategi pembelajaran langsung, guru lebih banyak menggunakan
metode ceramah, drill, dan tanya jawab. Pembelajaran dengan menggunakan strategi ini berlangsung
umumnya satu arah karena kegiatan masih terpusat pada guru. Guru menjelaskan materi pelajaran
disertai contoh soal, sedangkan siswa mendengarkan, memperhatikan dan mencatat.
Strategi pembelajaran langsung (Direct Instruction) yang sering digunakan oleh guru yang
menganut pendekatan behavioristik yaitu melakukan pengkondisian klasik terhadap siswa dengan
harapan siswa memberikan respon sesuai yang diharapkan (Gredler, 2009:41-42). Penekanan ada pada
cara menyampaikan pengetahuan oleh guru kepada siswa bukan dilihat dari sisi siswa sebagai subjek
yang belajar. Materi pelajaran yang disampaikan terbatas pada apa yang diberikan di depan kelas dan
siswa akan menyerap pada saat itu saja secara pasif dan tidak mengembangkan sendiri pengetahuan
tersebut. Pembelajaran langsung menganut paradigma teacher-centered dimana guru menjadi pemberi
informasi yang utama. Peran guru adalah sebagai pemberi fakta/pengetahuan, peraturan, atau urutan
tindakan pada siswa dengan cara yang langsung. Biasanya guru menggunakan presentasi dengan format
penjelasan (ceramah termodifikasi), contoh, pemberian latihan/praktek, dan feedback.
Fakta menunjukkan bahwa kebanyakan dari siswa tidak menyukai pelajaran Matematika.
Banyak hal yang ditemukan pada siswa, misalnya siswa tidak dapat memunculkan/mengutarakan
tentang apa yang tidak dimengerti, siswa merasa belum siap untuk bertanya karena bingung tentang apa
yang akan ditanyakan, dan siswa merasa segan untuk bertanya pada guru. Kemampuan siswa yang
variatif tersebut, memang tidak dapat dipungkiri dialami oleh sebagian besar dunia pendidikan, dan hal
tersebut dapat disebabkan inputnya yang heterogen. Kondisi yang tidak kondusif dalam proses
pembelajaran tersebut, dapat merugikan proses pembelajaran selanjutnya. Untuk mengatasi masalah
tersebut diperlukan pendekatan pembelajaran yang tepat, di mana dalam proses belajar mengajar
Matematika guru hendaknya memberikan kesempatan yang cukup kepada siswa untuk terlibat aktif
dalam pembelajaran, karena dengan keaktifan ini siswa akan mengalami, menghayati dan mengambil
pelajaran dari pengalamannya.
Agar siswa aktif terlibat dalam pembelajaran, guru harus merubah pendekatan pembelajaran
dari behavioristik menjadi konstruktivistik yang memungkinkan membuat siswa lebih banyak
melakukan sesuatu daripada hanya sekedar mendengarkan. Pendekatan konstruktivistik melibatkan
siswa dalam proses pemahaman konsep-konsep, guru bukan lagi satu-satunya yang membuat siswa
mengerti akan konsep tersebut. Peran guru dalam pendekatan konstruktivistik berbeda dengan
pendekatan behavioristik. Menurut Jamaris (2010:219) dalam pendekatan konstruktivis guru berperan
sebagai (a) fasilitator; yaitu menyediakan berbagai sumber belajar untuk memecahkan masalah dan
kegiatan pembelajaran; (b) mediator; mengatur dan mengelola lingkungan belajar yang bersifat problem
based learning, yang dihadapi siswa sehingga mereka mampu menformulasikan dan mengevaluasi ide-
ide mereka, (c) motivator; guru senantiasa mendorong siswa untuk melaksanakan brain storming atau
bertukar pikiran, berdiskusi dengan teman-teman. Dengan demikian konstruktivistik mengharapkan
siswa menemukan dan membangun sendiri struktur pengetahuannya dengan cara melibatkan diri secara
aktif dalam kegiatan belajar baik secara personal maupun sosial. Keterlibatan aktif siswa secara sosial
sangat dipengaruhi oleh interaksi dan transaksi. Interaksi dan transaksi memberikan kontribusi paling
besar dalam membangun struktur kognitif antara siswa dengan siswa. Hal ini didasari pemikiran bahwa
sesama siswa memiliki kesamaan bahasa, tingkat perkembangan intelektual, dan pengalaman kedekatan
sehingga lebih mudah menemukan konsep, aturan atau pun yang lain.
Salah satu bentuk pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan konstruktivistik adalah
belajar kooperatif. Belajar kooperatif berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa bekerjasama
dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kelompok belajar kooperatif
merupakan perbaikan dari kelompok belajar konvensional. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif
adalah STAD (Student Teams Achievement Division). Belajar kooperatif tipe STAD merupakan strategi
yang sangat menarik karena merupakan gabungan antara dua hal, belajar dengan kemampuan masing-
masing individu dan belajar kelompok sehingga siswa dapat saling bertukar pengetahuan yang dimiliki
untuk menyelesaikan masalah. STAD adalah salah satu dari metode belajar kooperatif yang sederhana,
dan cocok bagi guru pemula yang baru menggunakan strategi belajar kooperatif. Dalam STAD siswa
ditempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen
menurut prestasi, jenis kelamin dan suku. Dalam belajar STAD, siswa bekerja sebagai sebuah tim untuk
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
58
menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai
tujuan bersama. Siswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri tetapi juga kelompoknya
(Sharan, 2012:4-5).
Slavin (1995) seperti yang dikutip oleh Sanjaya mengemukakan dua alasan mengapa belajar
kooperatif dianjurkan untuk digunakan dalam kelas. Alasan pertama yakni, beberapa hasil penelitian
membuktikan bahwa penggunaan belajar kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar (Slavin 1990
dalam Sharan, 2012:7-8), sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan
sikap menerima kekurangan diri, dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Alasan kedua,
belajar kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah
dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan (Sanjaya, 2000: 242). Roger dan David
Johnson seperti yang dikutip oleh Anita Lie (2002:31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok
dapat dianggap sebagai cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model
pembelajaran, gotong royong harus diterapkan, yakni: saling ketergantungan positif, tanggung jawab
perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok.
Penggunaan belajar kooperatif khususnya tipe STAD memiliki keuntungan dapat memotivasi
siswa dalam berkelompok agar mereka saling membantu satu sama lain dalam menguasai materi yang
disajikan, selain itu belajar kooperatif STAD juga dapat menumbuhkan suatu kesadaran bahwa belajar
itu penting, bermakna dan menyenangkan, siswa lebih bertanggungjawab dalam proses pembelajaran,
serta timbulnya sikap positif siswa dalam mempelajari materi yang di sajikan.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa belajar kooperatif tipe STAD diperlukan terhadap
peningkatan kualitas belajar matematika siswa yang berdasarkan pada kemampuan siswa yang variatif.
Disini, siswa belajar dalam kelompok yang terdiri dari anggota kelompok dengan motivasi berprestasi
yang berbeda, etnis, dan jenis kelamin. Kualitas belajar siswa diharapkan dapat berkembang dengan
adanya saling kerjasama dan tukar menukar pengalaman dan pemahaman.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan menurunnya hasil belajar Matematika adalah motivasi
berprestasi. Motivasi berprestasi sebagai kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)
merupakan keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, menguji kekuatan, sekuat tenaga
melakukan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin (Beck et al, 1983). Selanjutnya dikatakan,
motivasi berprestasi merupakan produk dari dua kebutuhan yang bertentangan, yaitu: kebutuhan untuk
mencapai kesuksesan dan kebutuhan untuk menghindari kegagalan. Hal ini menunjukkan bahwa
motivasi berprestasi adalah keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, menguji
kekuatan, sekuat tenaga melakukan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin untuk mencapai
tujuan.
Berdasarkan definisi yang dikembangkan Elliot dan Church (2001) motivasi berprestasi sebagai
usaha keras untuk mendapatkan kemampuan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari pada tempat
kerja, sekolah atau perlombaan, serta mengembangkan suatu model yang disebut Hierarchical Model
of Approach and Avoidance Achievement Motivation.
Konsep yang lebih komprehensif tentang motivasi berprestasi selanjutnya dikembangkan oleh
Atkinson sebagaimana dikutip Good dan Brophy dengan Teori Motivasi Berprestasi. Teori ini
menyatakan bahwa kecenderungan mendekati tujuan (Ts) adalah hasil dari tiga faktor, yaitu: hasrat
untuk berprestasi atau motivasi sukses (Ms); kemungkinan untuk sukses (Ps) dan nilai kemudahan untuk
sukses (Is) (Good & Brophy, 1990). Di sisi lain Glredler (2009:402) berdasarkan teori Atributsi dari
Wainer menyatakan bahwa, atributsi motivasi berprestasi meliputi (a) kemampuan, (b) upaya, (c)
keberuntungan, (d) kesulitan tugas, dan (e) lainnya. Atributsi kemampuan dan upaya masuk dimensi
internal, sedangkan keberuntungan, kesulitan tugas, dan lainnya masuk dimensi eksternal. Sejalan
dengan Gredler, Mayer (2008:511) membagi atributsi motivasi berprestasi menjadi empat, yaitu (a)
kemampuan, (b) upaya, (c) kesulitan tugas, dan (d) keberuntungan. Motivasi berprestasi adalah upaya
keras untuk mendapatkan kemampuan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat
dari faktor-faktor, seperti: kegigihan, realistis dalam memilih dan mengutamakan tindakan. Kegigihan
meliputi: kepatuhan dalam etika kerja, kejelasan dalam status aspirasi dan kegigihan dalam upaya;
realistis dalam memilih meliputi: kegunaan hasil untuk orang lain dan penguasaan pekerjaan;
mengutamakan tindakan meliputi keunggulan dalam kemampuan dan kemampuan berkompetisi.
Berdasarkan uaraian di atas, ada dugaan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD (student
teams achievement division) dan motivasi berprestasi dapat berpengaruh terhadap hasil belajar
Matematika. Oleh karena itu permasalahan yang diteleti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
59
1. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang dibelajarkan
menggunakan metode belajar kooperatif tipe STAD dibandingkan dengan siswa yang
dibelajarkan menggunakan pembelajaran langsung?
2. Apakah hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan kooperatif tipe STAD lebih
tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan stategi pembelajaran langsung, pada kelompok
siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi?
3. Apakah hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan kooperatif tipe STAD lebih
rendah dibandingkan dengan yang menggunakan strategi pembelajaran langsung, pada siswa
yang memiliki motivasi berprestasi rendah?
METODE
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan Experimental Design by
level 2x2 (Experimental Design 2x2 (Issac and Michael. 1981:77) yang dilaksanakan untuk menguji
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Penelitian experimental adalah jenis penelitian yang
dianggap sudah baik karena sudah memenuhi persyaratan, adanya kelompok pembanding atau
kelompok kontrol. Dengan adanya kelompok kontrol ini, akibat dari treatment dapat diketahui secara
pasti karena dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat treatment. Penelitian dilaksanakan
di SMAN 29 Jakarta pada semester I tahun ajaran 2011/2012. Sampel dari penelitian yang diambil
secara acak adalah kelas XI IPS 2 sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 36 siswa dan kelas XI IPS 3
yang terdiri dari 36 siswa sebagai kelas eksperimen. Setiap kelas ditetapkan 27% (10 siswa) kelompok
berprestasi tinggi dan 27% (10 siswa) yang berprestasi.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan instrumen tes hasil belajar Matematika dan data
motibvasi berprestasi melalui kuesioner. Untuk memperoleh data mengenai motivasi berprestasi siswa
dilakukan dengan kuesioner motivasi berprestasi, sedangkan untuk mengukur hasil belajar Matematika
dilakukan post test. Materi yang digunakan untuk menyusun tes ini adalah sub pokok bahasan Ruang
Sampel dan Peluang.
Setelah instrumen disusun, kemudian diujicobakan di lapangan untuk mengetahui validitas, dan
reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kevalidan tes. Tes dikatakan valid
manakala benar-benar mampu menilai apa yang harus dinilai. Untuk mengukur validitas instrumen tes
digunakan rumus biserial. Hasil perhitungan uji validitas dari setiap butir soal tes dikonsultasikan
dengan r tabel pada taraf signifikan 0.05 = 0,349 (Popham & Sirotnik;1973:382). Dari 20 butir soal tes
terdapat 3 soal yang tidak valid dan 17 soal yang valid. Soal yang dinyatakan valid tersebut, selanjutnya
dihitung tingkat reliabel, atau taraf kepercayaan. Untuk menghitung taraf reliabilitas tes digunakan
rumus KR 20. Dari hasil perhitungan diperoleh reliabel tes Matematika sebesar 0,785. sehingga soal
dinyatakan reliabel.
Teknik analisis data dilakukan dengan: uji persyaratan analisis, uji normalitas. Uji normalitas
dilakukan untuk membuktikan pengujian terhadap normal tidaknya sebaran data dengan menggunakan
rumus uji chi kuadrat. Hasil uji normalitas data menunjukkan
bahwa nilai hitung (L0) dari keenam kelompok data lebih kecil dari nilai tabel (L0 < Lt α=0,05). Nilai-nilai
hitung adalah sebagai berikut: (1) Lo A1 = 0,0709 < Lt = 0,1900; (2) Lo A2 = 0,0868 < Lt = 0,1900; (3)
Lo B1= 0,1067 < Lt = 0,1900; (4) Lo B2= 0,940 < Lt = 0,1900; (5) Lo A1B1= 0,0844 < Lt = 0,2580; (6)
Lo A1B2= 0,0132 < Lt = 0,2580; (7) Lo A2B1= 0,0990 < Lt = 0,2580; (8) Lo A2B2= 0,0824 < Lt = 0,2580.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data-data penelitian ini berdistribusi normal sehingga
memenuhi syarat untuk menggunakan statistik parametrik dalam pengujian hipotesis penelitian.
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas, bertujuan untuk melihat apakah data dari setiap
variabel mempunyai varians yang homogen. Uji homogenitas yang digunakan adalah uji Barlett. Ada
tiga kelompok data yang diuji yaitu: (1) kelompok data antar kolom A1A2; (2) kelompok data antar baris
B1B2, dan kelompok data dalam sel rancangan eksperimen, yaitu A1B1, A1B2, A2B1, dan A2B2. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa koefisien 2 hitung lebih kecil dari nilai
2 tabel dengan perincian sebagai
berikut: (1) 2 hitung A1A2 = 4,470 <
2 tabel = 5,990; (2) 2 hitung B1B2 = 4,531 <
2 tabel = 5,990; (3)
2 hitung A1B1, A1B2, A2B1, dan A2B2. = 1,672 < 2 tabel = 4,760. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kelompok-kelompok data hasil penelitian tidak memiliki perbedaan varians (homogen).
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
60
Untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan, digunakan Analisis Varians dua jalan (Two
way Anova). Uji tersebut sesuai dengan desain penelitian yang digunakan yakni desain faktorial 2x2
model post test control group design. Selanjutnya, dilanjutkan dengan uji Tuckey untuk menguji
hipotesis penelitian lebih lanjut. Uji ini dilakukan karena terdapat pengaruh interaksi dalam pengujian
hipotesis antara strategi pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika siswa.
Uji ini guna mengetahui variabel mana yang memberikan sumbangan yang lebih besar.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan data yang diperoleh melalui post tes hasil belajar matematika, maka data penelitian
ini dapat dideskripsikan seperti tabel 1. berikut dan penjelasannya.
Tabel 1. Deskripsi Hasil Penelitian
Motivasi
Berprestasi
( B)
Pembelajaran (A) ∑Yj
Cooperative Learning
( A=1)
Direct Learning
(A=2)
Tinggi
( B=1)
N = 10
X = 77,70
S = 3,093
N = 10
X = 67,20
S = 2,908
N = 20
X = 71,70
S = 6,814
Rendah
( B=2)
N = 10
X = 67,20
S = 4,29
N = 10
X = 70,60
S = 3,373
N = 20
X = 68,90
S = 4,141
∑Yi N = 20
X = 72,450
S = 6,501
N = 20
X = 68,150
S = 3,964
Np. = 40
X = 70,3
S = 5,232
1. Data Hasil Belajar Matematika Siswa yang Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1)
Nilai hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning diperoleh
dari 20 responden (n). Nilai tertinggi (max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 82, dan nilai
terendah (min) adalah 60. Nilai rerata ( X ) mencapai 72,450 dengan simpangan baku (S) 6,501
Dari hasil perhitungan diperoleh harga modus (Mo) 76,83 dan median (Me) 67. Dari data penelitian
menunjukkan bahwa sejumlah 10 orang siswa (50%) memperoleh nilai di bawah kelas interval
yang memuat nilai rerata, 4 orang (20%) berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata dan
6 orang (30%) memperoleh nilai di atas kelas interval nilai rerata. Jika nilai yang berada pada
keenam kelas interval tersebut dibagi dalam tiga kategori, maka nilai pada kelas interval 1, 2, 3, 4,
dan 5 tergolong sedang, dan kelas ineterval 6 tergolong tinggi. Dengan demikian, maka terdapat
17 orang (85%) memperoleh nilai kategori sedang, dan 3 orang (15%) memperoleh nilai kategori
tinggi.
2. Data Hasil belajar Matematika Siswa yang Dibelajarkan dengan Direct Learning (A2) Nilai tertinggi (Max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 76, dan nilai terendah (Min)
adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 68,150 dengan simpangan baku (S) 3,964. Dari hasil
perhitungan diperoleh pula harga modus (Mo) 67,82 dan median (Me) 69. Berdasarkan data terdapat
7 siswa (35%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata, 6 siswa (30%)
berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 7 siswa (35%) memperoleh nilai di atas
kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval nilai ini dibagi menjadi kategori
rendah, sedang, dan tinggi maka kelas interval 1 – 6 masuk pada kategori sedang. Dengan demikian,
maka terdapat 20 siswa (100%) kategori sedang.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
61
3. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi (B1)
Nilai tertinggi (Max) yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi tinggi adalah
82, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 71,700 dengan simpangan baku
(S) 6,814, modus (Mo) 71,50 dan median (Me) 71,66. Data menunjukkan bahwa 6 siswa (30%)
memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 4 siswa (20%) mencapai nilai
yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 10 siswa (50%) memperoleh nilai di
atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika merujuk pada skala pembagian kategori rendah,
sedang dan tinggi maka kelas interval nilai 1 tergolong rendah; kelas interval 2, 3, 4 dan 5 tergolong
sedang; dan kelas interval 6 tergolong tinggi. Dengan demikian maka terdapat 3 siswa (15%)
memperoleh nilai kategori rendah; 15 siswa (75%) memperoleh nilai dengan kategori sedang, dan 2
siswa (10%) kategori tinggi.
4. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Rendah (B2)
Nilai tertinggi (Max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 76 dan nilai terendah (Min) 60.
Nilai rerata ( X ) mencapai 68,90 dengan simpangan baku (S) 4,141; harga modus (Mo) 71,50 dan
harga median (Me) 70,33. menunjukkan bahwa 5 siswa (25%) memperoleh nilai di bawah kelas
interval yang memuat nilai rerata; 3 siswa (15%) mencapai nilai yang berada pada kelas interval
yang memuat nilai rerata, dan 12 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang
memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi
maka kelas interval 1 tergolong rendah; kelas interval 2, 3, 4, dan 5 tergolong sedang; dan tidak
terdapat kelas interval yang tergolong tinggi. Dengan demikian maka terdapat 2 siswa (10%)
memperoleh nilai kategori rendah; 18 siswa (90%) memperoleh nilai kategori sedang; dan tidak
ada siswa (0%) yang mencapai nilai kategori tinggi.
5. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi yang Dibelajarkan
dengan Cooperative Learning (A1B1)
Nilai hasil belajar Matematika siswa siswa dengan motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan
dengan Cooperative Learning diperoleh dari 10 responden. Nilai tertinggi (Max) yang dicapai
kelompok ini adalah 82, dan nilai terendah (Min) adalah 72. Nilai rerata ( X ) mencapai 77,70
dengan simpangan baku (S) sebesar 3,093. Selanjutnya, diperoleh harga modus (Mo) 79 dan median
(Me) 78,75. menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang
memuat nilai rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat
nilai rerata, dan 6 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika
keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1, 2
dan 3 tergolong sedang; kelas interval 4 masuk pada kategori tinggi. Dengan demikian maka
terdapat 8 siswa (80%) memperoleh nilai kategori sedang dan 2 siswa (20%) memperoleh nilai
kategori tinggi.
6. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Rendah yang Dibelajarkan
dengan Cooperative Learning (A1B2)
Nilai tertinggi (Max) yang dicapai adalah 72, dan nilai terendah (Min) adalah 60. Nilai
rerata ( X ) mencapai 67,20 dengan simpangan baku (S) 4,29; harga modus (Mo) 70 dan median (Me)
69. menunjukkan bahwa 3 siswa (30%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai
rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata,
dan 5 siswa (50%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika kelima
kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1 tergolong
rendah; kelas interval 2, 3, 4 dan 5 tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 1 siswa (10%)
memperoleh nilai kategori rendah; dan terdapat 9 siswa (90%) siswa yang mencapai kategori nilai
sedang.
7. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi yang Dibelajarkan dengan
Direct Learning (A2B1)
Nilai tertinggi (Max) yang dicapai kelompok ini adalah 70, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai
rerata ( X ) mencapai 67,20 dengan simpangan baku (S) sebesar 2,908. Selanjutnya, diperoleh harga
modus (Mo) 65,48 dan median (Me) 66,25. menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di
bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 4 siswa (40%) mendapatkan nilai yang berada pada
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
62
kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 4 siswa (40%) memperoleh nilai di atas kelas interval
yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan
tinggi maka kelas interval 1, 2, 3, dan 4 tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 10 siswa
(100%) memperoleh nilai kategori sedang.
8. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestsi Rendahyang Dibelajarkan dengan
Direct Learning (A2B2)
Nilai tertinggi (Max) yang mencapai 77, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X )
mencapai 70,60 dengan simpangan baku (S) 3,373; harga modus (Mo) 62 dan median (Me) 71,75.
menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai
rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata,
dan 6 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika kelima
kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1, 2, 3, dan 4
tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 10 siswa (100%) memperoleh nilai kategori
sedang.
Hasil Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis varians 2 jalur (ANAVA
2X2). Teknik statistik parametrik ini bertujuan untuk menyelidiki dua pengaruh utama (main effect)
yaitu : (1) pengaruh pembelajaran Cooperative Learning dan Direct Learning terhadap hasil belajar
Matematika; dan (2) untuk menguji pengaruh interaksi (interaction effect) dari kombinasi perlakuan
dalam sel rancangan eksperimen terhadap hasil belajar Matematika. Kriteria pengujian hipotesis: (1)
tolak H0 jika nilai F-hitung lebih besar dari niai F-tabel (F-hitung > F-tabel); dan (2) terima H0 jika nilai F-
hitung lebih kecil dan atau sama dengan nilai F-tabel (F-hitung < F-tabel).
Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat signifikansi perbedaan rerata dari tiap kelompok nilai
yang dibandingkan, dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Tukey (α=0,05). Kriteria pengujian:
(1) tolak H0 jika nilai Q-hitung lebih besar dari niai Q-tabel (Q-hitung > Q-tabel); dan (2) terima H0 jika nilai
Q-hitung lebih kecil dari nilai Q-tabel (Q-hitung < Q-tabel). Uji ANAVA dan Uji Tukey dilakukan dengan
menggunakan program Microsoft Excel. Tabel 2 berikut menyajikan ringkasan hasil uji ANAVA data
hasil belajar Matematika pada taraf keterpercayaan 95%.
Tabel 2. Ringkasan Hasil Perhitungan ANAVA 2x2
Sumber Varians db JK RJK F-hitung F-tabel (α = 0,05)
Kolom (A) 1
184,900 184,900 15,473 4,110
Baris (B) 1 78,400 78,400 6,561 4,110
Interaksi (AB) 1 592,900 592,900 49,615 4,110
Kekeliruan 36 430,200 11,950
Total 39
Hasil uji hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perbedaan Hasil Belajar Matematika antara Kelompok Siswa yang Dibelajarkan dengan
Cooperative Learning (A1) dibandingkan dengan Direct Learning (A2).
Hasil analisis varian antar kolom (kolom A1 dan kolom A2) diperoleh nilai F-hitung 15,473. Nilai
ini lebih besar dari nilai F-tabel (α = 0,05), yaitu 4,110 (15,473 > 4,110). Dengan demikian maka terdapat
bukti yang signifikan untuk menolak Ho: μA1 = μA2 dan menerima H1: μA1 > μA2; artinya terdapat
perbedaan yang signifikan antara hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative
Learning dibandingkan dengan yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Jika kedua rerata nilai itu
dibandingkan maka rerata nilai hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative
Learning lebih besar daripada rerata hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Direct
Learning ( X A1=72,450 > X A2=68,150). Berarti dapat disimpulkan bahwa hasil belajar Matematika
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
63
siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning lebih tinggi daripada hasil belajar Matematika
siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning.
2. Pengaruh Interaksi antara Model Pembelajaran dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil belajar
Matematika (AxB).
Hasil analisis varians dua jalur antar kolom dan baris diperoleh harga F-hitung 49,615 yang
melebihi harga F-tabel (α = 0,05) 4,110 (49,615 > 4,110). Hal ini berarti bahwa terdapat bukti yang
signifikan untuk menolak H0 dan menerima H1. Artinya, terdapat pengaruh interaksi antara pemberian
tugas dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kedua faktor (pendekatan pembelajaran dan motivasi berprestasi) memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap hasil belajar Matematika. Akan tetapi, pengaruh itu berbeda bagi tiap kombinasi
perlakuan. Oleh karena adanya interaksi antara variabel teruji secara signifikan, maka langkah
selanjutnya melakukan pengujian perbedaan rerata nilai absolut. Karena sampel pada setiap kelompok
memiliki jumlah yang sama maka uji lanjut ini menggunakan ujiTukey.
Pengujian ini dilakukan terhadap dua pasangan data rerata nilai yang terdapat dalam tiap sel
rancangan eksperimen. Kedua pasangan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Kelompok siswa bermotivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning
dan Direct Learning (A1B1 dan A2B1).
b. Kelompok siswa bermotivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning
dan Direct Learning (A1B2 dan A2B2).
Hasil pengujian dirangkum pada Tabel 3 berikut. Berdasarkan hasil uji Tukey, selanjutnya,
hasil uji hipotesis dapat dijelaskan secara berturut-turut pada bagian berikut.
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Tukey
H
Hipotesis Q-hitung (Qh) Q-tabel(∂=0,05) Kesimpulan
3. Ho : μA1B1 = μA2 B1
H1 : μA1B1 > μA2 B1 6,495 4,110 Signifikan
4. Ho : μA1 B2 = μA2 B2
H1 : μA1 B2 < μA2 B2 4,482 4,110 Signifikan
3. Perbedaan Hasil belajar Matematika Siswa Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1B1)
dibandingkan dengan Direct Learning (A2B1) yang bermotivasi berprestasi tinggi
Dari hasil pengujian diperoleh nilai Qhitung 6,495. Nilai ini cenderung lebih besar dari dari nilai
Qtabel (α=0,05), yaitu 4,110. Dengan merujuk pada kriteria pengujian, hasil ini menunjukkan adanya
bukti yang signifikan untuk menolak H0: μA1B1 = μA2B1 dan menerima H1: μA1B1 > μA2 B1.
Sehingga μA1B1 (77,700) yang secara kasat mata lebih besar dari nilai rerata A2B1 (67,200)
perbedaannya teruji secara signifikan. Oleh karena nilai rerata A1B1 lebih besar dari pada nilai rerata
A2B1 maka berarti bahwa untuk siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning, hasil
belajar Matematika lebih tinggi daripada yang dibelajarkan dengan Direct Learning pada siswa
yang bermotivasi berprestasi tinggi.
4. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Dibelajarkan dengan Cooperatif Learning (A1B2)
dibandingkan dengan Direct Learning (A2B2) yang Bermotivasi Berprestasi rendah
Hasil pengujian perbedaan antara rerata nilai hasil belajar Matematika siswa yang
bermotivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperatif Learning (A1B2) dibandingkan
dengan Direct Learning (A2B2) diperoleh nilai Qhitung 4,482. Nilai hitung ini cenderung lebih besar
dari nilaii Qtabel (α=0,05), yaitu 4,110. Sesuai dengan kriteria pengujian, maka terdapat bukti yang
signifikan untuk menolak H0: μA1B2 = μA2B2 dan menerima H1: μA1B2 < μA2B2. Dengan demikian
maka rerata nilai A1B2 yang secara kasat mata lebih kecil dari nilai rerata A2B2 (67,200 < 70,60)
teruji secara signifikan. Artinya, untuk siswa yang dibelajarkan dengan Cooperatif Learning hasil
belajar Matematika lebih rendah daripada yang dibelajarkan dengan Direct Learning, pada siswa
yang bermotivasi berprestasi rendah.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
64
PEMBAHASAN Hipotesis pertama yang menguji perbedaan hasil belajar Matematika antara siswa yang
dibelajarkan dengan Cooperative Learning (STAD) dibandingkang dengan siswa yang dibelajarkan
dengan Direct Learning menunjukkan bahwa, hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan
Cooperative Learning (STAD) secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar Matematika siswa
yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Sebagai bukti rerata nilai hasil belajar Matematika
kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning (STAD) melebihi rerata nilai hasil
belajar Matematika kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Terujinya hipotesis ini
membuktikan bahwa Cooperative Learning (STAD) secara langsung memberikan kesempatan kepada
siswa untuk bertukar pikiran dan bekerja sama dengan sesama rekannya memungkinkan siswa untuk
belajar dari rekan sejawatnya yang berimbas pada meningkatkan hasil belajar Matematika mereka
secara bersama-sama. Hal ini didukung pula oleh penelitian sebelumnya (Slavin dan Karweit: 1984)
sebagaimana dikutip oleh Sharan (2012:8), yang meningkat lebih besar daripada yang ada dalam
kelompok belajar sebagai kelompok kontrol yang menggunakan materi yang sama. Perbedaan besar
hasil belajar dengan menggunakan STAD ditemukan dalam berbagai macam subjek seperti ilmu
pengetahuan sosial (Allen dan Vanscikle: 1981), Sains (Okebukola: 1985), dan matematika (Sherman
dan Thomas:1986).Pengaruh pendekatan ini positif bagi siswa yang pintar, sedang, dan kurang.
Di sisi lain, pendekatan pembelajaran direct learning sebagaimana diuraikan di atas, , waktu
pembelajaran lebih banyak digunakan guru. Ini sama dengan pendekatan pembelajaran konvesional.
Menurut Yudhawati dan Haryanto (2011:55-58) pendekatan pembelajaran konvensional mempunyai
ciri-ciri, di antaranya sebagai berikut; (1) mengutamaakan pada hafalan; (2) siswa pasif menerima
informasi terutama dari gurul (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoritis; (4) waktu belajar siswa
sebagian besar dipergunakaan untuk mengerjakan tugas-tugas dalam buku, mendengar ceramah,
mengisi latihan kerja individu. Dengan pendekatan pembelajaran seperti seperti ini, agak sulit bagi
siswa menguasai konsep-konsep matematika yang memerlukan contoh konkrit, perlu banyak contoh
pemecahan soal dan latihan, baik secara individu maupun kelompok.
Hipotesis kedua yang menguji adanya pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika membuktikan adanya kondisi dimana
penggunaan pendekatan pembelajaran (cooperative learning dan direct learning) dan motivasi
berprestasi (motivasi berprestrasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah) berpengaruh terhadap hasil
belajar Matematika akan tetapi pengaruh ini tergantung pada kombinasi perlakuan. Secara umum, hasil
dari kombinasi perlakuan dalam penelitian ini adalah 1). siswa dengan motivasi berprestasi tinggi lebih
cocok dengan Cooperative Learning 2); siswa dengan motivasi berprestasi rendah lebih cocok
dibelajarkan dengan Direct Learning. Selanjutnya, hasil pengujian hipotesis kombinasi perlakuan (H03
dan H04) dapat dipaparkan pada bagian berikut.
Hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa untuk siswa dengan motivasi berprestasi tinggi, hasil
belajar Matematika yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning tipe STAD lebih tinggi daripada
hasil belajar Matematika yang dibelajarkan dengan Direct Learning, teruji secara signifikan. Rerata
nilai yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan
Cooperative Learning secara signifikan lebih besar dari rerata nilai yang dicapai kelompok siswa yang
dibelajarkan dengan Direct Learning. Terujinya hipotesis ini didukung oleh alasan bahwa siswa dengan
motivasi berprestasi tinggi merupakan pembelajar yang aktif yang suka mencari pemecahan masalah
dan solusi dengan cara bertukar pikiran (diskusi) dan bekerja sama dengan siapapun termasuk rekan
sejawat. Melalui Cooperative Learning maka siswa dapat mempelajari hal-hal baru dan saling bertukar
pikiran dengan sesama rekannya sehingga kesulitan-kesulitan pembelajaran dapat teratasi dengan cara
saling memberi informasi. Segaimana diuraikan pada pembahasan hipotesi pertama, bahwa
berdasarkan hasil penelitian hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial, Sains, dan Matematika, hasil belajar
siswa yang dibelajarkan dengan Cooperativ Learning tipe STAD, secara signifikan lebih baik dengan
hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan belajar Direct Learning. Tentu
kondisi yang demikian tersebut didukung pula dengan kelompok siswa yang bermotivasi berprestasi
.tinggi. Berdasrkan hasil penelitian Steers dan Porter (1991:39), bahwa orang berkebutuhan
(bermotivasi) berprestasi tinggi berhasrat kuat memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas
atau menemukan pemecahan masalah, mereka cenderung bekerja sendiri (dalam kelompok). Dengan
demikian pembelajaran melalui Cooperativ Learning, pada kelompok motivasi berprestasi tinggi,
mereka selalu berusaha memecahkan masalah matematika dalam kelompoknya. Mereka mempunyai
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
65
kesempatan yang baik, karena mereka diberi tanggung jawab setiap kelompok dalam memecahkan
masalah matematika yang dihadapinya. Bila ada kesulitan mereka umumnya cenderung dihadapi
sendiri, yang pada akhirnya mengalami kegagalan. Cenderung bekerja sendiri merupakan salah satu
ciri orang atau siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi (Steers dan Porter (1991:40). Hal ini
berbeda dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning, yang setting kelasnya
selalu dikontrol oleh guru, mereka kurang diberi tanggung jawab untuk memecahkan sendiri
permasalahan matematika yang dihadapinya. Dalam kondisi yang demikian, siswa yang mempunyai
motivasi berprestasi tinggi, mereka merasa ketegangan sehingga muncul kecemasan yang berakibat
pada legagalan (Davies, 1981:275)..
Hipotesis keempat yang menyatakan bahwa siswa yang bermotivasi berprestasi rendah, yang
dibelajarkan dengan Direct Learning, hasil belajar Matematika lebih tinggi daripada hasil belajar
Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning tipe STAD, teruji secara signifikan.
Rerata nilai yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan
dengan Direct Learning secara signifikan lebih besar dari rerata nilai yang dicapai kelompok siswa
dengan motivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning. Terujinya
hipotesis ini didukung oleh alasan bahwa siswa dengan motivasi berprestasi rendah sebagai pembelajar
yang cenderung dipandu secara bertahap dalam belajar, yaitu mengandalkan petunjuk, arahan dan
bimbingan dari guru. Selain itu, ketika guru mengarahkan dan menyampaikan isi pembelajaran, guru
dapat mengajukan pertanyaan atau mendatangi siswa yang kelihatan pasif (malu untuk bertanya)
sebagai upaya meningkatkan motivasi berprestasi mereka (motivasi ekstrinsik). Lama kelamaan siswa
yang bermotivasi berprestasi tinggi, akan terdorong untuk aktif, memperhatikan dengan serius apa yang
disampaikan oleh guru, dan sudah berani bertanya untuk menghindari selalu ditanya.
Sebaliknya siswa yang bermotivasi berprestasi rendah cenderung minder dan pendiam dihadapan
teman kelompok, mereka sulit untuk menyampaikan pendapat ke teman satu kelompoknya, walaupun
menglami keulitan. Akibatnya semakin minggu, kesulitannya semakin banyak dan tidak sempat
terpecahkan sampai menjelang ulangan tengah semester atau akhir semester
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Secara keseluruhan, hasil belajar Matematika siswa yang diajarkan dengan Cooperative
Learning STAD terdapat perbedaan yang signifikan dengan hasil belajar Matematika siswa yang
diajarkan dengan Direct Learning. Strategi pembelajaran berpengaruh dan berinteraksi dengan
motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika. Bagi siswa dengan motivasi berprestasi tinggi,
hasil belajar Matematika mereka yang diajarkan dengan Cooperative Learning STAD lebih tinggi
daripada yang diajarkan dengan Direct Learning. Bagi siswa dengan motivasi berprestasi rendah,
hasil belajar Matematika mereka yang diajarkan dengan Direct Learning lebih tinggi daripada yang
diajarkan dengan Cooperative Learning STAD.
Implikasi Dengan mengacu pada kesimpulan menyatakan bahwa hasil belajar Matematika siswa yang
dibelajarkan dengan Cooperative Learning lebih tinggi dari yang dibelajarkan dengan Direct Learning
memberikan implikasi bahwa untuk mengajarkan mata pelajaran Matematika akan lebih efektif dan
memberikan hasil yang lebih baik jika menggunakan strategi pembelajaran Cooperative Learning
daripada Direct Learning.
Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan
motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika yang berarti bahwa tingkat motivasi berprestasi
(tinggi dan rendah) memiliki kecocokan dengan jenis pendekatan pembelajaran (STAD dan
konvensional) tertentu dalam pembelajaran Matematika sehingga memberikan implikasi yaitu siswa
dengan motivasi berprestasi tinggi lebih cocok dengan strategi pembelajaran Cooperative Learning tipe
STAD dan siswa dengan motivasi berprestasi rendah lebih sesuai dengan pendekatan pembelajaran
Direct Learning. Oleh karena itu guru perlu menggunakan metode yang sesuai dengan motivasi
berpresasi siswa untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika. Pada seting
kelas yang mencampurkan siswa yangg bermotivasi berprestasi tinggi dan rendah, guru selayaknya
menggunakan dua pendekatan belajar dan pembelajaran Cooperativ Learning tipe STAD
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
66
dikombinasikan dengan pendekatan Direct Learning secara bergantian dan terintegrasi dalam
pembelajaran Matematika.
Saran Dengan terujinya bahwa pendekatan pembelajaran Cooperative Learning lebih efektif dalam
meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika maka kepada guru-guru
Matematika, pada khususnya dan guru-guru mata pelajaran lain pada umumnya, untuk memanfaatkan
temuan ini sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan hasil belajar Matematika dan hasil belajar
mata pekajaran lain. Dengan terujinya hipotesis tentang adanya interaksi antara penggunaan pendekatan
pembelajaran dan motivasi berpresrasi terhadap hasil belajar Matematika maka para guru disarankan
untuk memilih penggunaan pendekatan pembelajaran sesuai dengan motivasi berprestasi yang dimiliki
siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan pula untuk dilakukan penelitian ulang dengan durasi
waktu yang lebih lama lagi dibandingkan dengan penelitian ini yang hanya dilakukan delapan kali
pertemuan. Selain itu penelitian seperti ini bisa dilanjutkan ke sekolah-sekolah lain dan pada mata
pelajaran-mata pelajaran lain.
DAFTAR PUSTAKA
Beck, Robert C., (1983). Motivation: Theories and Principles, New Jersey: Prentice-Hall.
Cowan, Pamela, (2006). Teaching Matematics: A Handbook For Primary and Secondary school
Teacher. London, Tailer & Francis Group.
Davies, Ivor K., (1974). Instructional Technique, New York; McGraw-Hill Book Coompany.
Elliot, A.J. and Church, M. A. A, (2001). Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement
Motivation, dalam "Motivating Humans-Psychology Group Web-Site", (http://wabakimi.
carleton.ca/~jlalonde/Group/ socialanxiety.html)(diunduh, 3 Januari 2011.
Good Thomas L. & Jere E. Brophy, (1990). Educational Psychology, New York: Longman.
Gredler, Margaret (ed.). (2009). Learning and Instruction Theory Into Practice. Sixth Edition. Upper
Saddle River, New Jersey. Pearson.
Issac, Stephen and Michael, Wiliam B. (1981). Handbook in Research and Evaluation, sec. ed.
California< USA, Edits Publisher
Jamaris, Martini. (2010). Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta, Yayasan Penamas
Murni.
Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. Jakarta: Grasindo.
Mayer, Richard E. (2008). Learning and Instruction, Upper Saddle River, New Jersey, Pearson.
PISA, (2009). Assesment Framework; Key Competencies in Reading Matematics and Scienc. USA
OECD.
Popham, W. James & Sirotnik, Kenneth A,, (1973). Educational Statistics Use and Interpretation
(secon edition), New York, Harper & Row, Publishing.
Reigeluth, Charles M. And Chellman Allison A. (2009). Instructional-Designn Theories and Models,
volume III. New York and London, Routledge.
Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana, 2009.
Sharan, Shlomo. (2012). The Handbook of Cooperative Learning; Inovasi Pengajaran dan
Pembelajaran Untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas. (Alih Bahasa, Sigit Prawoto)
Yogyakarta, Penerbit Familla Group Relasi Inti Media.
Slavin, Robert E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice 2nd Ed. London:
Allymand Bacon.
Steers, Richard M. And Porter, Lyman W., (1991). Motivation and Work Behavior; New York,
McGrew-Hill Inc.
Yudhiwati, Ratna dan Dany Haryanto, (2011). Teori-Teori Dasar Psykologi Pendidikan, Jakarta,
Prestasi Pustaka.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
67
THE EFFECT OF JOB CHARACTERISTICS, COMPENSATION AND JOB
SATISFACTION TO THE ECONOMIC TEACHERS COMMITMENT
IN THE HIGH SCHOOL BALI PROVINCE
I Ketut R. Sudiarditha
Fakulty of Economic, Universitas Negeri Jakarta
ABSTRACT
In particular objectives of this study were: (1) To determine the direct effect of job characteristics on
commitment. (2) To determine the effect of direct compensation for the commitment. (3) To determine
the direct effect of job satisfaction on commitment. (4) To determine the direct effect of job
characteristics on job satisfaction of teachers. (5) To determine the direct effect of compensation on job
satisfaction. Time research for eighteen months from 2010, March until 2012, September. The method
used was survey method with causal techniques. Entire population economic teachers who has passed
the certification of the profession. Sampling, the method used is simple random; number of samples
suggested by Solimun and Hair, et al. in the analysis of Structural Equation Modeling (SEM) of 400.
Analysis techniques and interpretation of data using qualitative and quantitative methods. The results
of this reseach indicate that: (1) There is a positive direct effect on job characteristics to commitment;
means to increase job characteristics will result in an increase in commitment. (2) There is a positive
direct effect on compensation to commitment; means to increase compensation will result in an increase
in commitment. (3) There is a positive direct influence on job satisfaction to commitment; means to
increase job satisfaction will result in an increase in commitment. (4) There is a positive direct influence
on job characteristics to job satisfaction; means to increase job characteristics will obtain a job
satisfaction. (5) There is a direct positive effect on compensation to job satisfaction; means to increase
compensation will get a job satisfaction.
Keywords: Characteristics of work, compensation, job satisfaction, commitment.
Abstrak. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pengaruh langsung
karakteristik pekerjaan terhadap komitmen. (2) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi
terhadap komitmen. (3) Untuk mengetahui pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen. (4)
Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja guru. (5) Untuk
mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja. Penelitian dilakukan di Sekolah
Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Waktu penelitian selama delapan belas bulan mulai Maret
2010 sampai September 2012. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan teknik kausal.
Populasi seluruh guru ekonomi yang telah lulus sertifikasi profesi. Penarikan sampel, metode yang
digunakan adalah acak sederhana; jumlah sampel yang disarankan oleh Solimun maupun Hair, et al.
dalam analisis Structural Equation Modelling (SEM) sebesar 400. Teknik analisis dan interpretasi data
menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif berupa deskriptif data dengan cara
dikelompokkan dan ditabulasi disertai penjelasan. Sedangkan metode kuantitatif berupa analisis
hubungan antar variabel menggunakan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM).
Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik
pekerjaan terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan
mengakibatkan peningkatan komitmen. (2) Terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap
komitmen; artinya dengan peningkatan kompensasi akan mengakibatkan peningkatan komitmen. (3)
Terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan
kepuasan kerja akan mengakibatkan peningkatan komitmen. (4) Terdapat pengaruh langsung positif
karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
68
pekerjaan akan mengakibatkan peningkatan kepuasan kerja. (5) Terdapat pengaruh langsung positif
kompensasi terhadap kepuasan kerja; artinya dengan peningkatan kompensasi akan mengakibatkan
peningkatan kepuasan kerja.
Katakunci: Karakteristik pekerjaan, kompensasi, kepuasan kerja, komitmen.
PENDAHULUAN
Guru sebagai profesi kunci keberhasilan peserta didik di sekolah, diharapkan makin
professional yang memiliki kompetensi pengetahuan keguruan, sikap serta ketrampilan mengajar secara
berkualitas dalam menjalankan tugas serta kewajiban profesinya. Sebagai guru professional harus terus
berubah mensikapi tuntutan zaman; hal ini agaknya sekarang belum terpenuhi. Banyak faktor yang
mempengaruhi, di antaranya motivasi belajar guru yang rendah sehingga kurang meningkat
kapasitasnya. Kalaupun guru belajar dan diberikan kesempatan belajar, orientasinya hanya untuk
mengejar pangkat, bukan prioritas peningkatan kualitas diri.
Melihat realitas rendahnya kualitas guru, pemerintah selayaknya melakukan kajian mendalam
untuk mengidentifikasi masalah-masalah guru dalam kaitannya dengan pengembangan kapasitas
tersebut. Pasti ada yang keliru dalam menangani guru selama ini; pemerintah harus membenahi secara
total. Pertama, mulai penyiapan yaitu input yang akan dicetak menjadi tenaga kependidikan di
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), hingga proses rekruitmen sebagai pegawai (guru)
yang benar-benar berkualitas. Kenyataanya saat ini pemerintah sangat longgar memberikan izin kepada
LPTK untuk mencetak tenaga kependidikan. Kenyataannya juga, banyak LPTK yang tidak berkualitas
mencetak tenaga guru. Sementara, badan pengawasan mutu LPTK yang dapat memandu dan
mengontrol kualitas LPTK tidak tersedia.
Kedua, Departemen Pendidikan dan jajarannya, selama ini masih belum serius dan belum sepenuh hati
meningkatkan kualitas guru. Apalagi para pejabat di Dinas Pendidikan sendiri memiliki sumberdaya
yang rendah kualitasnya dan tidak peka terhadap persoalan pendidikan. Kenyataannya, sampai sekarang
belum melihat hasil optimal yang diperoleh dari kegiatan penataran guru yang sudah menghabiskan
dana begitu besar. Upaya membangun kapasitas sangat dibutuhkan untuk melahirkan guru yang
professional.
Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas
guru. Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas
guru. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah.
Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Berdasarkan data
Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat
991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.
Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut:
Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 119.470 (78,1%) dengan
sebagian besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan
sebanyak 12.767 orang berijazah D1. Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal sebesar 317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788
orang berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang belum memiliki
kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang berijazah D1, 15.589 orang berijazah D2,
dan 71.380 orang berijazah D3.
Kepuasan kerja yang masih relatif rendah memungkinkan guru tidak komit terhadap organisasi.
Untuk mewujudkan komitmen guru, faktor-faktor penyebab seperti tersebut selayaknya tidak lagi
terjadi agar komitmen guru dapat tercipta. Tentunya setelah kepuasan kerja terpenuhi, komitmen guru
dituntut untuk memiliki kebulatan tekad dalam mencapai sebuah tujuan, tanpa dapat dipengaruhi oleh
keadaan apapun juga, hingga tujuan tersebut tercapai. Laporan Tahunan Pemda Bali menyatakan
bahwa: Rata-rata tingkat absensi per bulan pegawai Pemda Kabupaten Provinsi Bali mencapai 15%;
dengan rentang tingkat absensi tertinggi 17% untuk Kabupaten Buleleng dan terendah 9% Kabupaten
Tabanan (Pemda Bali, Laporan Tahunan 2002:39).
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
69
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pegawai termasuk di dalamnya adalah guru Sekolah
Menengah Atas (SMA) Negeri Pemda Kabupaten Provinsi Bali mengindikasikan komitmen masih
rendah yang dapat dilihat dari segi tingkat absensi. Komitmen guru terhadap organisasi dapat
memberikan kontribusi yang positif baik bagi diri guru maupun organisasi. Guru yang berkomitmen
akan melakukan apapun yang menjadi tugasnya, serta mengindari absen yang tidak berhalasan atau ijin
dari atasannya. Hal ini dipertegas dalam Bali Cruser Report bahwa: “17,3% pekerja di kapal pesiar
berasal dari latar belakang kependidikan” (Bali Cruser Report, 2002). Karyawan kapal pesiar dengan
mendapatkan reward yang jauh lebih layak dibandingkan di sektor pendidikan; mereka meninggalkan
profesi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendidik; hal ini berarti mereka yang memiliki latar belakang
kependidikan mengindikasikan tidak komit terhadap profesinya semata mengejar imbalan yang lebih
layak.
Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik
pekerjaan terhadap komitmen. (2) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap
komitmen. (3) Untuk mengetahui pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen. (4) Untuk
mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja. (5) Untuk mengetahui
pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja.
TINJAUAN PUSTAKA
Komitmen.
Komitmen membuat seseorang untuk tetap berada pada suatu organisasi; oleh karenanya sangat
dibutuhkan agar memiliki dedikasi terhadap organisasi untuk tetap bekerja dan menjalankan
kewajibannya secara baik dan benar. Pengertian komitmen menurut Jacobsen (2000:187) adalah:
“something that causes a person is able to survive working in a company and it is done with sincerity
and happy”. Senada halnya seperti dikatakan Long (2000:214) adalah: “commitment is the image/shape
that is often associated with a pledge or bond for a particular action”. Kedua pengertian ini
memberikan makna bahwa seseorang memiliki ikatan untuk bertahan dalam suatu organisasi dengan
ketulusan.
Dilihat dari maknanya “komitmen sangat dekat dengan deskripsi sebagai fidelity (kesetiaan);
komitmen pekerjaan adalah keputusan tentang peran-peran dalam dunia kerja dan perilaku yang
berkaitan dengan peran itu” (Handoko, 2002:57). Seseorang yang telah komit terhadap organisasi akan
menunjukkan perannya dalam wujud perilaku. Sedangkan Alwi (2001:49) mengatakan “komitmen
adalah sikap karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya mencapai
misi, nilai-nilai dan tujuan dalam perusahaan”. Karyawan diharapkan memiliki kontribusi dalam
meningkatkan komitmen dan kompetensinya seperti dikatakan oleh Ulrich (1997:29) bahwa: The
deliverable from management employee contribution is increased employee commitment and
competence. HR practices should help employees to contribute through both their competence to do
work and their comitment to work diligently. Oleh karena itu pihak manajemen dapat membantu
karyawan untuk memiliki kompetensi agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Komponen kunci yang diperlukan untuk membangun komitmen karyawan menurut Strauss
(1992:23) adalah: participation, flexibility, performance-based compensation and guarantee. There are
five ways to build loyalty on the basis of commitments: (1) creates a clear purpose and a commitment
to make it happen, (2) clear communication, visionary, and a constant, (3) train and retrain employees,
(4) give confidence to employees, and (5) share the profits. Karyawan yang telah menyatakan dirinya
komit terhadap organisasi perlu adanya pengembangan; untuk itu pengembangan sumber daya manusia
diperlukan setidaknya tujuh hal: (1) Control is overseeing employees in the decision making process
when they do the job. (2) Strategy or vision that is offered to the employee's vision and direction that
makes them willing to work hard. (3) Challenging work is to provide a challenging work and
simulations to enhance the capabilities of employees. (4) Collaboration and teamwork that is forming
a team to complete the work. (5) Work culture is to maintain a pleasant working environment. (6)
Shared gains which provide appropriate compensation to employees who are able to finish the job
properly. (7) Communication is sharing information to employees (Ulrich, 1997:35).
Dalam mengukur derajat komitmen, kriteria yang digunakan adalah: (1) Knowledge ability,
namely the ability to know the various types of jobs that have been selected according to the initial
decision itself. (2) Activity directed toward implementing the chosen identity elements, namely the initial
decision to implement activities focused on work that has been selected. (3) Emotional tone, the
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
70
emotional involvement related to commitment. (4) Identification with significant others, which attempts
to give an indication of himself against those who have worked in the fields of the selected job on the
basis of interest in him. (5) Projecting one's personal future, that the employee has had a more clear
direction about the future relating to the work that has been selected. (6) Resistance to being swayed,
that is try to stay on the job that you have chosen is not easily shaken or replace option even though
there is negative information about the selected job or any other area that is more interesting (Marcia,
1993:208).
Dalam persaingan yang semakin kompleks disadari bahwa seluruh sumber daya manusia dapat
diakses oleh siapapun yang berakibat terjadi pembajakan sumber daya manusia yang potensial oleh
pesaing dan ini tergantung dari komitmen mereka terhadap perusahaan di mana mereka bekerja. Kondisi
demikian menurut Lapierre (2000:122) mengatakan bahwa: “can only occur in human resources who
are committed to the company”. Mereka mau bertahan bilamana memiliki komitmen yang tinggi dan
berserah diri pada perusahaan yang diyakini akan memberikan terbaik baginya. Untuk itu diperlukan
motivator dari manajemen bahwa: That all human resources within the company have a strong
commitment to the job, then all parties in the organization should always be motivated and to be able
to motivate the necessary commitment from top management for the company's expected performance
(Hill, 1996:13).
Karyawan yang memiliki komitmen tinggi seluruh pihak yang ada dalam organisasi hendaknya
mampu memotivasi. Pimpinan puncak sebagai penanggung jawab terhadap seluruh aktivitas, berbagai
unit menjadikan suatu kesatuan yang terintegrasi dalam menciptakan, mengembangkan dan
memotivasi karyawan untuk menjadikan suatu semangat menjunjung tinggi keberhasilan suatu
organisasi untuk menghasilkan kinerja. Berdasarkan bentuk suatu komitmen membagi komitmen ke
dalam dua bagian yaitu: “(1) affective commitment and (2) calculative commitment” (Wetzels,
1998:406). Sementara itu, Jacobsen (2000:188) membagi komitmen ke dalam dua bagian yang sedikit
berbeda yaitu: Affective commitmen or attitudinal commitmnet and behavioural commitment or
continuance commitment. Organization commitment as the result of three factors: (a) acceptance of
organization’s goals and value (b) willingness to help the organization achieve its goals, and (c) the
desire to remain within the organization.
Dalam pengertian komitmen organisasional hal menarik bahwa: “organizational commitment
is a strong feeling of someone close to the goals and values of an organization in relation to their role
towards the achievement of goals and are values” (Durkin, 1999:124-134). Ketika seseorang memiliki
perasaan yang kuat dan erat untuk mengikat dirinya dalam suatu organisasi, maka peran mereka menjadi
penting. Gambaran yang lebih jelas mengenai definisi komitmen organisasional adalah yang
dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1993:49) yang mengemukakan bahwa: Commitment
organizational is identified three types of commitment; affective commitment, continuance commitment,
and normative commitment as a psychological state that either characterizes the employee’s
relationship with the organization or has the implications to affect whether the employee will continue
with the organization.
Karakteristik Pekerjaan.
Dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, pekerjaan yang dirancang dengan baik
akan mampu menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang kompeten serta memberikan motivasi
untuk menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas. Tugas-tugas dikombinasikan untuk menciptakan
pekerjaan individu disebut sebagai disain pekerjaan, seperti yang dinyatakan oleh Cascio (2003:429)
bahwa: "Job design is the process of organizing work into the task sat at are required to perform a
specific job".
Dewasa ini telah dikembangkan Task Characteristics Theories yang berusaha
mengidentifikasikan karakteristik tugas pada pekerjaan dimana karakteristik-karakteristik ini
dikombinasikan untuk membentuk pekerjaan-pekerjaan yang berbeda dan hubungannya tugas tersebut
terhadap motivasi, kepuasan, dan kinerja karyawan. Teori karakteristik yang dikemukakan oleh Cascio
(2003:430) mengatakan bahwa: "Job characteristic theory identifies five cores job characteristic (skill
variety, task identity, task significance, autonomy, and feedback) as having special important to job
design". Artinya, karakteristik pekerjaan diidentifikasikan sebagai atribut tugas yang penting dan
bersifat khusus pada disain pekerjaan. Hal ini sejalan dikatakan oleh Wood (2001:24) membagi
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
71
karakteristik pekerjaan menjadi lima yaitu: “skill variety, task identity, task significance, autonomy, and
feedback”.
Salah satu pendekatan yang paling dominan dalam disain pekerjaan adalah Teori Karakteristik
Pekerjaan, menurut Cascio (2003:430) "The dominant approach to job design for individuals over the
last decade has been the Job Characteristics Theory of Hacloman and Oldham". Sekarang bentuk kerja
yang dominan untuk mendefinisikan karakteristik tugas dan hubungan dengan motivasi karyawan,
performance karyawan, dan kepuasan karyawan adalah model Job Characteristics dari Hacloman dan
Oldham. Selanjutnya model karakteristik dijelaskan bahwa: "Job Characteristics Model (JCM)
identifies five job characteristics and their relationship to personal and work outcome" (Cascio,
2003:430). Karakteristik pekerjaan ini mencerminkan berbagai identitas yang memiliki hubungan
antara individu dengan hasil kerja. Lebih lanjut dijelaskan oleh Robbins (2002:598) pekerjaan dapat
digambarkan dalam 5 (lima) dimensi pekerjaan inti, yaitu: (1) Skill variety is the degree to which the
job require variety of different activities so the worker can use a number of different skills and talents.
(2) Task identity is the degree to which the job requires completion of a wholea nd identifiable piece of
work. (3) Task significance is the extent to which a job has an impact on the flues or work of other
people in or out the organization. (4) Autonomy is the degree to which a job allows a worker the freedom
and independence to schedule work and decide how to carry it out. (5) Feedback is the extent to which
performing a job provides a worker with clear information about his or her effectiviteness. Sejalan
dikatakan William (1996: 198) bahwa: According to the job characteristics model, when managers
consider the five core dimensions of a job, it is important for them to realize that workers' perceptions
to the core dimensions (not actual reality or manager's perceptions) are the key determinants of'
intrinsic motivation”.
Kompensasi.
Sebagai balas jasa atas kontribusinya terhadap pencapaian tujuan organisasi, maka diberikan
kompensasi untuk memenuhi harapan, tujuan dan kebutuhannya tersebut. Menurut Hasibuan
(2002:117) mengatakan bahwa: “besarnya kompensasi yang diterima mencerminkan status, pengakuan,
dan tingkat pemenuhan kebutuhan; artinya bila kompensasi yang diterimanya semakin besar berarti
jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik; demikian pula dalam memenuhi kebutuhan yang
dinikmatinya semakin baik pula”. Hal ini sejalan dikatakan Nawawi (2001:316) bahwa: “Kompensasi
adalah apa yang diterima pegawai sebagai imbalan dari kerjanya berupa upah atau gaji tetap yang
diterima setiap bulan atau mingguan atau upah setiap jam dalam bekerja (hourly wage)”.
Pengaturan kegiatan kompensasi merupakan kunci untuk membantu organisasi memperoleh,
mempertahankan, dan memelihara suatu tenaga kerja yang produktif. Werther dan Davis (1996:268)
mengatakan bahwa: without adequate remuneration, the employee may be many left and look for
another job of dissatisfaction with the remuneration received. As a result of dissatisfaction with the
rewards it receives can reduce the quality of organizational productivity and lower morale. Kompensasi
yang diterima karyawan dapat berupa kompensasi finansial (langsung dan tidak langsung) dan
kompensasi non finansial (kepuasan yang bersumber dari pekerjaan dan lingkungan kerja). Dalam
pemberian kompensasi selayaknya sesuai kompetensi yang telah disumbangkan karyawan kepada
perusahaan agar karyawan dapat lebih berkonsentrasi dalam bekerja. Marwansyah dan Mukaram
(1999:129) mengatakan bahwa: Karyawan akan merasa puas dan termotivasi untuk meningkatkan
kinerja mereka apabila kompensasi yang diterima dari organisasi lebih besar atau sama dengan
kompensasi yang diharapkan dan sebaliknya apabila kompensasi yang diterima lebih kecil dari yang
diharapkan, tidak adil, dan tidak layak, maka karyawan akan tidak puas, sering absen dan meninggalkan
organisasi”.
Dalam pemberian kompensasi diharapkan mencerminkan keadilan dan kelayakan; hal ini
dipertegas oleh Sedarmayanti (2005:9) bahwa: Prinsip kompensasi harus adil dan layak. Adil diartikan
sesuai dengan prestasi kerja, sedangkan layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan primer serta
berpedoman pada batas upah minimum pemerintah dan berdasarkan internal dan eksternal konsistensi.
Kesemuanya ini akan membuat karyawan bekerja produktif, loyal, dan berdedikasi tinggi sehingga
pelaksanaan fungsi program dalam organisasi akan mudah dilaksanakan dan mendapatkan dukungan
yang sepenuhnya dari pihak karyawan”.
Jenis kompensasi berikut pendapat beberapa pakar di antaranya yang dikemukakan oleh
Werther dan Davis (1996:431) membagi menjadi dua bentuk kompensasi yaitu: “Direct compensation:
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
72
based on critical job factors and performance; and Indirect compensation: they are usually extended
as a condition of employment and are not directly related to performance”. Sejalan dikatakan Bernadin,
Russel dan Joyce (1998: 275) kompensasi dibedakan menjadi dua yaitu: Direct compensation and
indirect compensation. Direct compensation is further dividend into two components: (1) the wage and
salary program (base salary, overtime, etc), and (2) pay that is contingent on performance (commission
bonuses, etc). Lebih lanjut, bila ditelusuri dengan seksama bahwa kompensasi menurut Soekidjo
(1998:151) membagi jenis-jenis pemberian kompensasi hampir sama halnya; yaitu: (1) Kompensasi
langsung (direct compensation) yang berbentuk upah atau gaji yang dikaitkan dengan prestasi dan hasil
kerja. (2) Kompensasi tidak langsung (indirect compensation) yang disebut kompensasi pelengkap dan
tidak dikaitkan langsung dengan prestasi kerja karyawan. Selanjutnya dikatakan bahwa pemberian
kompensasi pelengkap: (1) Upah untuk waktu tidak bekerja (time of benefit): Istilah periode makan
dan periode ganti pakaian, tetap memperoleh kompensasi dengan tidak memotong upah/gaji mereka,
Hari-hari sakit, Liburan dan cuti sakit, Tidak masuk kerja karena musibah, keperluan keluarga yang
tidak dapat ditinggalkan. (2) Perlindungan terhadap bahaya. (3) Program pelayanan: rekreasi, kafetaria,
perumahan, beasiswa pendidikan, pelayanan konseling, pelayanan-pelayanan yang belum termasuk
dalam pelayanan di atas misalnya pakaian seragam dan bonus. (4) Pembayaran kompensasi berdasarkan
peraturan yang berlaku.
Kepuasan Kerja.
Kepuasan kerja merupakan sikap pernyataan evaluatif mengenai perasaan suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya. Greenberg dan Baron (2003:143) menyebutkan ada
tiga komponen dalam membentuk sikap seseorang, yaitu: “evaluative component, cognitive component,
and behavioral component”. Menurut Robbin dan Judge (2008:73) mengatakan bahwa: Setiap individu
bisa memiliki ribuan sikap; tetapi kaitannya dengan sikap dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis:
kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional; setiap pekerjaan mempunyai
karakteristik dan keunikan masing-masing.
Menurut Mullins (2005:704) faktor pendukung tersebut akan menghasilkan dua outcome
yaitu “Job Satisfaction dan Work Performance”. Kepuasan kerja meliputi: Individual factors, Social
factors, Cultural factors, Organizational factors, dan Environmental factors. Tingkat kepuasan kerja
yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah yang bersifat destruktif terhadap organisasi, karena
itu kepuasan kerja perlu diperhatikan sehubungan dengan kelangsungan hidup organisasi maupun
individu. Definisi kepuasan kerja menurut Luthans (1999:126) adalah: "A pleasurable or positive
emotional state resulting from he appraisal of one's job or experience". Kepuasan kerja merupakan
perasaan positif yang terbentuk dari penilaian seseorang terhadap pekerjaannya. Sementara kepuasan
kerja menurut Werther dan Davis (1996:534) adalah: "Job satisfaction is the favorableness or
unfavorableness with which employees viand their work". Artinya kepuasan kerja merupakan keadaan
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang timbul dari cara karyawan memandang pekerjaan
mereka. Penilaian karyawan terhadap pekerjaannya bila mendukung yang diharapkan cenderung
mendapatkan kepuasan; pendapat ini didukung oleh Luthans (1999:126) yang mengatakan bahwa: "Job
satisfaction is a result of employees perceptions of how well theory or provident hose things which are
viewed as important". Pada dasarya kepuasan kerja adalah hasil persepsi karyawan terhadap
pekerjaannya yang memberikan hal-hal berarti bagi karyawan itu sendiri. Kepuasan kerja tidak dapat
dilihat secara langsung, sehingga harus diukur melalui aspek-aspek pekerjaan; hal ini sesuai pengertian
kepuasan kerja menurut Werther dan Davis (1996:111) mengatakan bahwa: "Job satisfaction can be
defined as a person's emotional response to aspects of work such as pay, supervision, and benefit or to
the work itself”. Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu respon emosional seseorang terhadap
aspek-aspek dari pekerjaan, seperti upah, penyeliaan dan keuntungan atau pekerjaan itu sendiri. Lebih
lanjut dikatakan bahwa: “JDI is the one of them cost widely known and commonly used devices for
measuring job satisfaction. The Job Descriptive Index, or JDI, offers a number of job facets, that are:
work it self, pay, promotion opportunities, working conditions and co-workers".
METODE DAN SAMPLING
Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Waktu penelitian
selama setahun terhitung sejak bulan Maret 2010 sampai dengan Maret 2011. Metode yang digunakan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
73
adalah metode survei dengan teknik kausal. Populasinya adalah seluruh guru ekonomi yang telah lulus
sertifikasi profesi pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Dalam melakukan
penarikan sampel, metode yang digunakan adalah metode acak sederhana (Simple Random Sampling),
ukuran sampel yang disarankan oleh Solimun (2002:84) “dalam analisis Structural Equation Modelling
(SEM) sebesar 400” Solimun (2002) maupun Hair, et al. (1998:605). Teknik analisis dan interpretasi
data menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sebagai alat bantu statistik. Metode kualitatif
berupa deskriptif data yang masuk dengan cara dikelompokkan dan ditabulasi kemudian diberi
penjelasan. Sedangkan metode kuantitatif berupa analisis hubungan antar variabel yang diteliti
menggunakan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM).
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan analisis model penelitian dengan kesimpulan bahwa setiap dimensi valid dan
reliabel dalam merefleksikan variabelnya masing-masing, selanjutnya analisis diteruskan untuk melihat
signifikansi pengaruh dan seberapa besar pengaruh dari variabel yang dihipotesiskan. Terdapat dua
substruktur yang diuji; berikut jabarannya.
Analisis Model Pengaruh Karakteristik Kerja dan Kompensasi terhadap Kepuasan kerja
Untuk substruktur pertama adalah untuk mengetahui pengaruh karakteristik kerja dan kompensasi
terhadap kepuasan kerja.
Tabel 1: Hasil Perhitungan Model Struktural Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) dan Kompensasi (X2)
terhadap Kepuasan Kerja (X3)
Variabel
Laten Endogen
Variabel
Laten Eksogen
Koefisien
Jalur thitung R2
Error
Variance
Kepuasan Kerja (X3)
Karakteristik Pekerjaan (X1) 0,334 6,988 0,508 0,492
Kompensasi (X2)
0,509 5,393
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Model di atas menunjukkan koefisien pengaruh dari karakteristik kerja (X1) terhadap kepuasan
kerja (X3) sebesar 0,334 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 6,988 dan koefisien pengaruh dari
kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) sebesar 0,509 dengan nilai thitung untuk uji statistik 5,393.
Untuk menguji pengaruh variabel yang dihipotesiskan digunakan uji-t dengan kriteria uji untuk
penelitian sebesar 0,05 nilai untuk batas dinyatakan uji signifikan adalah 1,96. Hasil perbandingan
antara thitung dengan ttabel untuk uji parsial dapat dilihat pada tabel berikut.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
74
Tabel 2: Uji Hipotesis Pengaruh secara Parsial Karakteristik Pekerjaan (X1) dan Kompensasi (X2) Terhadap
Kepuasan Kerja (X3)
NN
o Hipotesis
Koefisien
Jalur tthitung Hasil
Kesimpulan
11. Karakteristik
Pekerjaan (X1)
berpengaruh terhadap
Kepuasan Kerja (X3)
0,334
66,98
8
Uji
Signifikan
H0 ditolak, terdapat pengaruh
Karakteristik Pekerjaan (X1)
terhadap Kepuasan Kerja (X3)
22. Kompensasi (X2)
berpengaruh terhadap
Kepuasan Kerja (X3)
0,509
55,39
3
Uji
Signifikan
H0 ditolak, terdapat pengaruh
Kompensasi (X2) terhadap
Kepuasan Kerja (X3)
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Analisis Model Pengaruh Karakteristik Pekerjaan, Kompensasi dan Kepuasan Kerja terhadap
Komitmen
Untuk substruktur kedua adalah mengetahui pengaruh karakteristik pekerjaan, kompensasi dan
kepuasan kerja terhadap komitmen.
Tabel 3: Hasil Perhitungan Model Struktural Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1), Kompensasi (2) dan
Kepuasan Kerja (1) terhadap Komitmen (2)
Variabel
Laten Endogen
Variabel
Laten Eksogen
Koefisien
Jalur thitung R2
Error
Variance
Komitmen
(Y)
Karakteristik Pekerjaan (X1) 0,239 5,393 0,649 0,351
Kompensasi (X2) 0,106 2,207
Kepuasan Kerja (X3)
0,577 10,090
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Koefisien pengaruh dari karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar
0,239 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 5,393; koefisien pengaruh variabel kompensasi (X2)
terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar 0,106 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 2,207; dan
koefisien pengaruh variabel kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar 0,577 dengan
nilai thitung untuk uji statistik sebesar 10,090.
Untuk menguji pengaruh variabel yang dihipotesiskan digunakan uji-t dengan kriteria uji untuk
penelitian sebesar 0,05, nilai untuk batas dinyatakan uji signifikan adalah 1,96. Hasil perbandingan
antara thitung dengan ttabel untuk uji parsial dapat dilihat pada tabel berikut.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
75
Tabel 4: Uji Hipotesis Pengaruh secara Parsial Karakteristik Pekerjaan (X1), Kompensasi (X2) dan Kepuasan
Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)
NN
o. Hipotesis
Koefisien
Jalur thitung Hasil Kesimpulan
11. Karakteristik
Pekerjaan (X1)
berpengaruh
terhadap Komitmen
(Y)
0,239
5,393
Uji
Signifikan
H0 ditolak, terdapat
pengaruh Karakteristik
Pekerjaan (X1) terhadap
Komitmen (Y)
22. Kompensasi (X2)
berpengaruh
terhadap Komitmen
(Y)
0,106
2,207
Uji
Signifikan
H0 ditolak, terdapat
pengaruh Kompensasi
(X2) terhadap
Komitmen (Y)
33. Kepuasan kerja (X3)
berpengaruh
terhadap Komitmen
(Y)
0,577
10,090
Uji
Signifikan
H0 ditolak, terdapat
pengaruh Kepuasan
Kerja (X3) terhadap
Komitmen (Y)
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Pengujian Hipotesis
1. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Komitmen (Y)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel karakteristik pekerjaan (X1) diperoleh
5,393 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh karakteristik pekerjaan (X1) terhadap
komitmen (Y) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif karakteristik kerja
terhadap komitmen.
2. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Komitmen (Y)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kompensasi (X2) diperoleh 2,207 lebih
besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kompensasi (X1) terhadap komitmen (Y)
signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap komitmen.
3. Pengaruh Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kepuasan kerja (X1) diperoleh 10,090
lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y)
signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen.
4. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (X3)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel karakteristik pekerjaan (X1) sebesar
6,988 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh karakteristik pekerjaan (X1) terhadap
kepuasan kerja (X3) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif karakteristik kerja
terhadap kepuasan kerja.
5. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kompensasi (X2) sebesar 5,393 lebih
besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3)
signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap kepuasan kerja.
Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Antar Variabel
Secara lebih rinci dapat diketahui total pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik pekerjaan
(X1), kompensasi (X2) dan kepuasan kerja (X3) terhadap Komitmen (Y) sebagai berikut.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
76
1. Pengaruh Karakteristik Kerja (X1) terhadap Komitmen (Y)
Pengaruh langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) = 0,2392 100% = 5,7%. Nilai
5,7% menyatakan secara langsung sebesar 5,7% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh
karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y)
yang melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,239 x 0,404 x 0,106) x 100 % = 1,1%. Nilai
ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen melalui
kompensasi. Adanya keterkaitan antara karakteristik pekerjaan dengan kompensasi memperbesar
pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen sebesar 1,1%. Pengaruh tidak langsung
karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kepuasan kerja
(X3) = (0,239 x 0,539 x 0,577) x 100 % = 7,4%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung
pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen melalui kepuasan kerja. Adanya keterkaitan antara
karakteristik kerja dengan kepuasan kerja memperbesar pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap
komitmen sebesar 7,4%. Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen sebesar 5,7% +
1,1% + 7,4% = 14,2%.
2. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Komitmen (Y)
Pengaruh langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) = 0,1062 x 100% = 1,1%, Nilai 1,1%
menyatakan secara langsung sebesar 1,1% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh kompensasi.
Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan
karakteristik pekerjaan (X1) = (0,106 x 0,404 x 0,239) x 100% = 1,1%. Nilai ini menunjukkan pengaruh
tidak langsung pengaruh kompensasi terhadap komitmen melalui karakteristik pekerjaan. Adanya
keterkaitan antara kompensasi dengan karakteristik pekerjaan memperbesar pengaruh kompensasi
terhadap komitmen sebesar 1,1%. Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y)
yang melalui hubungannya dengan kepuasan kerja (X3) = (0,106 x 0,644 x 0,577) x 100% = 3,9%. Nilai
ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kompensasi terhadap komitmen melalui kepuasan
kerja. Adanya keterkaitan antara kompensasi dengan kepuasan kerja memperbesar pengaruh
kompensasi terhadap komitmen sebesar 3,9%. Total pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen
sebesar 1,1% + 1,1% + 3,9% = 6,1%.
3. Pengaruh Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)
Pengaruh langsung kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) = 0,5772 x 100% = 33,3%. Nilai 33,3%
menyatakan secara langsung sebesar 33,3% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh kepuasan
kerja. Pengaruh tidak langsung kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya
dengan karakteristik pekerjaan (X1) = (0,577 x 0,539 x 0,239) x 100% = 7,4%. Nilai ini menunjukkan
pengaruh tidak langsung pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen melalui karakteristik pekerjaan.
Adanya keterkaitan antara kepuasan kerja dengan karakteristik pekerjaan memperbesar pengaruh
kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 7,4%. Pengaruh tidak langsung kepuasan kerja (X3) terhadap
komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,577 x 0,644 x 0,106) x 100%
= 3,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen
melalui kompensasi. Adanya keterkaitan antara kepuasan kerja dengan kompensasi memperbesar
pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 3,9%. Total pengaruh kepuasan kerja terhadap
komitmen sebesar 33,3%+ 7,4% + 3,9% = 44,6%.
Secara total diperoleh 64,9% perubahan komitmen dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan,
kompensasi, dan kepuasan kerja. Secara parsial diperoleh pengaruh dari kepuasan kerja terhadap
komitmen (44,6%) lebih besar dari pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen (14,2%) dan
pengaruh dari kompensasi terhadap komitmen (6,1%) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang
paling berperan dalam komitmen adalah kepuasan kerja, diikuti karakteristik pekerjaan dan
kompensasi.
4. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (X3)
Pengaruh langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap kepuasan kerja (X3) = 0,3342 x 100% = 11,1%.
Nilai sebesar 11,1% menyatakan secara langsung sebesar 11,1% keragaman dari kepuasan kerja dapat
dijelaskan oleh karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap
kepuasan kerja (X3) melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,334 x 0,404 x 0,509) x 100%
= 6,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja
melalui kompensasi. Adanya keterkaitan antara karakteristik pekerjaan dengan kompensasi
memperbesar pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar 6,9%.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
77
Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar: 11,1% + 6,9% = 18,0%. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa besar pengaruh dari karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja
mencapai 18,0%. Sehingga perubahan dalam karakteristik pekerjaan akan berdampak terhadap
kepuasan kerja mencapai 18,0%.
5. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3)
Pengaruh langsung kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) = 0,5092 x 100 % = 25,9%. Nilai
25,9% menyatakan secara langsung sebesar 25,9% keragaman dari kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh
karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) melalui
hubungannya dengan karakteristik pekerjaan (X1) = (0,509 x 0,404 x 0,334) x 100% = 6,9%. Nilai ini
menunjukkan pengaruh tidak langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja melalui karakteristik
pekerjaan. Adanya keterkaitan antara kompensasi dengan karakteristik pekerjaan memperbesar
pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja sebesar 6,9%.
Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar: 25,9% + 6,9% = 32,8%. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa besar pengaruh dari karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja
mencapai 32,8%. Sehingga perubahan dalam karakteristik pekerjaan akan berdampak terhadap
kepuasan kerja mencapai 32,8%.
Secara total diperoleh 50,8% perubahan kepuasan kerja dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan dan
kompensasi. Secara parsial diperoleh pengaruh dari kompensasi terhadap kepuasan kerja (32,8%) lebih
besar dari pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja (18,0%) sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel yang lebih berperan dalam kepuasan kerja adalah kompensasi.
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan terhadap Komitmen
Pekerjaan guru merupakan pekerjaan yang sangat dinamis, artinya guru dapat menyesuaikan
dirinya dengan perkembangan siswanya; guru dapat melakukan perubahan terhadap anak didik.
Kadangkala guru menyenangi pekerjaan yang lebih kompleks dan menantang; hal ini dapat
menghasilkan absensi yang rendah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh langsung positif
terhadap komitmen. Hal ini berarti bahwa semakin sesuai karakteristik pekerjaan, maka semakin tinggi
komitmen. Terwujudnya komitmen merupakan harapan setiap guru maupun organisasi agar tetap eksis
dalam kelangsungan organisasi. Guru memperoleh tugas sesuai karakteristik mereka akan tercipta rasa
senang dalam bekerja, sehingga dapat bekerja dengan baik karena secara fisik dan psikisnya dapat
terakomodir dalam membangun komitmen.
Karakteristik pekerjaan seperti: ragam keterampilan, identitas tugas, pentingnya tugas,
otonomi, dan umpan balik sangat diperlukan bagi seseorang baik sebagai motivasi, meningkatkan
kinerja maupun kepuasan kerja yang akhirnya dapat menciptakan komitmen. Variasi keterampilan yang
berbeda yang dapat mengurangi kebosanan dalam menjalankan tugas sebagai guru dapat menunjang
kepuasan dan komitmenpun tercipta untuk tetap bekerja pada organisasi yang bersangkutan.
Sementara dimensi lainnya yang penting bagi komitmen adalah signifikansi tugas. Hal ini akan
memberikan dorongan bagi guru untuk bekerja lebih giat apabila tugas-tugas yang dikerjakan dirasakan
memberikan manfaat bagi orang lain atau organaisasi. Signifikansi tugas mengacu pada kadar dampak
pekerjaan terhadap orang lain atau organisasi; misalnya pada saat melakukan langkah pokok dalam
proses kerja. Sementara identitas tugas pekerjaan membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh; untuk
itu diharapkan dapat teridentifikasi secara rinci tentang bagian-bagian terkecil agar diketahui dan
diselesaikan secara baik dan benar. Dimensi variasi keahlian, signifikansi tugas, dan identitas tugas
secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. Artinya jika ketiga karakteristik pekerjaan itu
ada pada suatu pekerjaan, maka dapat diramal bahwa pemangku pekerjaan itu akan memandang
pekerjaan itu penting, berharga, dan ada gunanya untuk dikerjakan.
Atribut otonomi misalnya, merupakan atribut yang dapat berpengaruh terhadap semangat guru
dalam bekerja. Pada dasarnya setiap orang menginginkan kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaan
dan kurang menginginkan aturan-aturan baku yang dapat mengganggu kreativitasnya. Dimensi ini
merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan rasa tanggung jawab dalam diri guru; oleh
karenanya akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya.
Demikian pula umpan balik mengenai informasi yang diterima guru mengenai efektivitas dan kualitas
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
78
pekerjaan mereka; hal ini dapat berfungsi sebagai instruksi yaitu berfunsgi ketika menjelaskan peran
atau mengajarkan perilaku baru, sementara fungsi motivasi ketika berfungsi sebagai imbalan atau
menjanjikan imbalan yang akan diberikan organisasi.
Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi karakteristik pekerjaan
dalam kaitannya dengan komitmen. Temuan hasil penelitian ini didukung hasil temuan penelitian
Sudjana menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara karakteristik pekerjaan dengan
komitmen karyawan pada organisasi; artinya makin tinggi taraf karakteristik pekerjaan, makin tinggi
komitmen karyawan pada organisasi. Di samping itu, hasil penelitian Chang dan Lee menunjukkan
bahwa karakteristik pekerjaan memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap komitmen
organisasional.
2. Pengaruh Langsung Kompensasi terhadap Komitmen
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya komitmen di antaranya
dipengaruhi oleh baik buruknya sistem kompensasi yang diimplementasikan bagi para guru untuk
memenuhi harapan-harapannya; oleh karenanya kondisi itu akan memberikan kontribusi yang
signifikan bagi peningkatan komitmen; dengan demikian komitmen akan dapat tercipta. Hal ini dapat
dipahami mengingat motif utama orang bekerja adalah memperoleh imbalan untuk memenuhi
kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Imbalan yang diterima guru dalam bentuk gaji, tunjangan,
insentif, dan lain-lain; maka segala kebutuhan diri dan keluarganya diharapkan dapat terpenuhi. Setelah
kebutuhan pokok terpenuhi, tentunya seseorang akan beranjak pada kebutuhan yang lebih tinggi sampai
aktualisasi diri. Berdasarkan besarnya kompensasi yang diterima mencerminkan status, pengakuan, dan
tingkat pemenuhan kebutuhan; artinya bila kompensasi yang diterimanya semakin besar berarti
jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik; demikian pula dalam memenuhi kebutuhan yang
dinikmatinya semakin baik pula (Hasibuan).
Dalam menjalankan tugas sebagai guru, terjadinya komitmen merupakan hal yang sangat
diharapkan oleh setiap guru maupun organisasi yang bersangkutan. Komitmen sudah menjadi
kebutuhan bagi setiap guru untuk dapat memenuhi kelangsungan hidup diri dan keluarganya, bahkan
siapa saja yang melakukan kegiatan komitmen menjadi idaman agar dapat menjalankan tugas dengan
senang hati. Guru yang kurang komit biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan negatif yang
berakibat merugikan organisasi, seperti malas bekerja, sering absen, terlambat datang, pindah kerja
maupun tidak taat terhadap aturan organisasi yang akhirnya hasil kerja di bawah standar.
Dalam mencapai komitmen tentunya beberapa faktor yang diharapkan antara lain terkait
dengan kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, komunikasi, promosi, maupun kompensasi. Bila faktor-
faktor tersebut dipersepsikan tidak sesuai dengan harapan guru, maka guru akan muncul kurang komit.
Guru yang komit dalam bekerja cenderung rajin bekerja, tertib terhadap aturan; selain itu komitmen
dapat mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan untuk berpindah kerja mengingat
yang diharapkan telah terpenuhi. Sikap seperti ini merupakan cermin bahwa guru mengharapkan
keberpihakan yang dapat memenuhi harapan hidup diri dan keluarga guru maupun organisasi.
Hasil penelitian sebelumnya mendukung temuan hasil penelitian ini di antaranya yang
dilakukan oleh Siregar menunjukkan bahwa kompensasi berpengaruh langsung terhadap komitmen
organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan pada variabel komitmen organisasi
disebabkan oleh kompensasi, sehingga perubahan kompensasi akan menyebabkan peningkatan
komitmen organisasi. Selain itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Daniel dan Caryl
menunjukkan bahwa kombinasi imbalan, nilai-nilai biaya, dan ukuran investasi merupakan prediktor
terbaik bagi komitmen kerja.
3. Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja terhadap Komitmen
Temuan ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang dapat
digunakan sebagai prediktor komitmen organisasi guru. Hal ini berarti menurunnya kepuasan kerja guru
dapat dipastikan secara signifikan berimplikasi terhadap menurunnya komitmen.
Dalam menjalankan tugas sebagai guru, terjadinya kepuasan kerja merupakan hal yang sangat
diharapkan oleh setiap guru. Kepuasan kerja sudah menjadi kebutuhan bagi setiap guru, bahkan siapa
saja yang melakukan kegiatan; kepuasan kerja menjadi idaman agar dapat menjalankan tugas dengan
senang hati. Guru yang kurang puas biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan negatif yang
berakibat merugikan organisasi, seperti malas bekerja, sering absen, terlambat datang, pindah kerja
maupun tidak taat terhadap aturan organisasi yang akhirnya hasil kerja di bawah standar.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
79
Dalam mencapai kepuasan kerja tentunya beberapa faktor yang diharapkan antara lain terkait
dengan kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, komunikasi, promosi, maupun kompensasi. Bila faktor-
faktor tersebut dipersepsikan tidak sesuai dengan harapan guru, maka ketidakpuasan kerja akan muncul.
Guru yang puas dalam bekerja cenderung rajin bekerja, tertib terhadap aturan; selain itu kepuasan kerja
dapat mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan untuk berpindah kerja mengingat
yang diharapkan telah terpenuhi. Sikap seperti ini merupakan cermin bahwa guru memiliki komitmen
yang tinggi terhadap organisasi sekolah.
Apabila peran guru telah menyatakan komitmennya maka dapat dipastikan bahwa sekolah akan
mampu meningkatkan kepuasan kerja guru, meningkatkan kinerja dan menekan tingkat perputaran guru
yang pada akhirnya mampu memfasilitasi proses interaksi yang ada. Lebih lanjut, Belcher menyatakan
bahwa: to obtain a commitment from all employees, shall be the principal purpose of the organization,
among others, by involving all employees and increase the sense of organization. Dari rasa memiliki
inilah yang akan mampu menggerakkan pegawai untuk memberikan pelayanan terbaik kepada
pelanggan tanpa harus diperintah terlebih dahulu dalam menjalankan tugasnya.
Dalam penelitian terdahulu memperkuat temuan ini bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap
komitmen; beberapa di antaranya yaitu hasil penelitian Salak menunjukkan bahwa kepuasan kerja
berpengaruh langsung positif terhadap komitmen pegawai. Dampak yang terjadi jika pegawai
merasakan kepuasan akan lebih komit dalam menjalankan tugasnya. Selain itu juga Soekotjo dalam
temuan penelitiannya bahwa kepuasan kerja berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.
Demikian pula hasil penelitian Siregar dalam temuan penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan kerja
berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.
4. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan terhadap Kepuasan Kerja
Temuan ini dapat dipahami karena suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki ciri-ciri khusus yang
berbeda antar jenis pekerjaan. Ciri-ciri pekerjaan atau disebut pula karakteristik pekerjaan merupakan
faktor penting yang menentukan perilaku guru dalam bekerja. Faktor-faktor yang terdapat dalam
karakteristik pekerjaan antara lain: variasi keterampilan (skill variety), identitas tugas (task identity),
signifikansi tugas (task significance), otonomi (autonomy), dan umpan balik (feedback). Dalam dimensi
variasi keterampilan memungkinkan guru untuk melaksanakan bidang tugas yang berbeda dan
seringkali mengharuskan adanya keterampilan yang berbeda pula. Pekerjaan yang beragam dipandang
guru lebih menantang karena mencakup beberapa jenis keterampilan. Keragaman juga menimbulkan
parasaan kompeten bagi guru karena dapat melakukan jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara
berbeda.
Sementara dimensi lainnya yang penting bagi kepuasan kerja guru adalah signifikansi tugas. Hal
ini akan memberikan dorongan bagi guru untuk bekerja lebih giat apabila tugas-tugas yang dikerjakan
dirasakan memberikan manfaat bagi orang lain atau organaisasi. Signifikansi tugas mengacu pada kadar
dampak pekerjaan terhadap orang lain atau organisasi; misalnya pada saat melakukan langkah pokok
dalam proses kerja. Bagi guru bisa lebih percaya diri dapat melakukan sesuatu yang penting bagi
organisasi; perasaan seperti ini akan mampu menimbulkan rasa puas dalam diri guru itu sendiri.
Sementara identitas tugas pekerjaan membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh; untuk itu
diharapkan dapat teridentifikasi secara rinci tentang bagian-bagian terkecil agar diketahui dan
diselesaikan secara baik dan benar. Dimensi variasi keahlian, signifikansi tugas, dan identitas tugas
secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. Artinya jika ketiga karakteristik pekerjaan itu
ada pada suatu pekerjaan, maka dapat diramal bahwa pemangku pekerjaan itu akan memandang
pekerjaan itu penting, berharga, dan ada gunanya untuk dikerjakan.
Demikian juga pekerjaan yang memiliki otonomi akan memberikan kepada pemangku pekerjaan
itu suatu perasaan tanggung jawab pribadi untuk hasil-hasilnya dan jika suatu pekerjaan memberikan
umpan balik maka guru akan mengetahui seberapa efektif ia bekerja. Jika keadaan psikologis guru
seperti makna yang dialami dari pekerjaan, tanggung jawab yang dialami untuk hasil kerja, dan
pengetahuan hasil aktual dari kegiatan kerja yang ada dalam melakukan pekerjaan maka motivasi,
kepuasan kerja dan kinerja karyawan akan dapat ditingkatkan dan bahkan low absenteeisn dan turnover.
Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh langsung positif terhadap
kepuasan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin sesuai karakteristik pekerjaan, maka semakin tinggi
kepuasan kerja guru. Terwujudnya kepuasan kerja merupakan harapan setiap guru. Guru memperoleh
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
80
tugas sesuai karakteristik mereka akan tercipta rasa senang dalam bekerja, sehingga dapat bekerja
dengan baik karena secara fisik dan psikisnya dapat terakomodir.
Dalam kepuasan kerja guru cukup banyak memberikan implikasi terhadap sikap dan
prilakunya. Mereka yang tidak puas cenderung akan melakukan tindakan-tindakan negatif yang dapat
merugikan organisasi sekolah seperti: malas bekerja, sering absen, pindah bekerja, tidak taat terhadap
aturan organisasi, serta ada kecenderungan bekerja di bawah standar yang ditentukan. Hal tersebut
terjadi disebabkan harapan mereka tidak sesuai dengan karakteristik pekerjaan yang ditanganinya,
kenyataan yang diterimanya berupa pembayaran, dan lain sebagainya.
Guru yang puas dalam menjalankan tugasnya akan cenderung bekerja rajin, disiplin dalam
menjalankan tugas, serta tertib terhadap aturan organisasi sekolah. Di samping itu, kepuasan kerja akan
mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan pindah bekerja kendatipun di tempat
lain memberikan kompensasi yang lebih tinggi. Sikap guru seperti ini merupakan cermin bahwa guru
harus memiliki karakteristik yang sesuai seperti: ragam keterampilan, identitas tugas, pentingnya tugas,
otonomi, dan umpan balik memerlukan keterampilan berbeda yang dapat mengurangi kebosanan.
Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi karakteristik pekerjaan
dalam kaitannya dengan kepuasan kerja. Temuan hasil penelitian Zunaidah mendukung hasil penelitian
ini yang menyimpulkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan kerja pegawai. Hal ini juga sama seperti temuan hasil penelitian Bangun bahwa karakteristik
pekerjaan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.
5. Pengaruh Langsung Kompensasi terhadap Kepuasan Kerja
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kepuasan kerja di antaranya
dipengaruhi oleh baik buruknya sistem kompensasi yang berlaku dalam organisasi. Jika sistem
kompensasi yang diimplementasikan bagi para guru mampu memenuhi harapan-harapannya, maka
kondisi itu akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kepuasan kerja guru. Hal ini
dapat dipahami mengingat motif utama orang bekerja adalah memperoleh imbalan untuk memenuhi
kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Imbalan yang diterima guru dalam bentuk gaji, tunjangan,
insentif, dan lain-lain; maka segala kebutuhan diri dan keluarganya diharapkan dapat terpenuhi. Setelah
kebutuhan pokok terpenuhi, tentunya seseorang akan beranjak pada kebutuhan yang lebih tinggi sampai
aktualisasi diri.
Kompensasi yang diberikan baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar maupun kebutuhan
lainnya, jika dirasakan mencukupi oleh guru akan mendatangkan perasaan puas. Hal ini terjadi jika
yang didapatkan guru dari kompensasi sesuai atau melebihi harapannya. Kompensasi dalam bentuk
gaji, tunjangan, intensif merupakan faktor yang seringkali dihubungkan dengan tingkat kepuasan
seseorang dalam bekerja. Bagi seseorang yang bekerja dengan gaji tinggi, intensif yang memadai dan
penghasilan tambahan yang cukup; mengindikasikan kepuasan kerja lebih tinggi jika dibandingkan
seorang guru yang memiliki gaji rendah, minim intensifnya dan tidak adanya penghasilan tambahan.
Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi kompensasi dalam
kaitannya dengan kepuasan kerja. Beberapa temuan hasil penelitian di antaranya oleh Siregar
menunjukkan kompensasi berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai. Di samping itu
temuan hasil penelitian Nulhakim menunjukkan bahwa kompensasi mempunyai pengaruh langsung
terhadap kepuasan kerja dosen sebesar 7,81%. Bahkan hasil penelitian Zunaidah menyimpulkan bahwa
kompensasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai sebesar 9,32%. Ketiga
peneliti tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja sama-
sama berperan dalam besaran pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap komitmen; artinya dengan
peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan mengakibatkan peningkatan komitmen.
2. Terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan
kelayakan kompensasi akan mengakibatkan peningkatkan komitmen.
3. Terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan
kepuasan kerja akan mengakibatkan peningkatkan komitmen.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
81
4. Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja guru; artinya
dengan peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan mengakibatkan peningkatkan
kepuasan kerja guru.
5. Terdapat pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja guru; artinya dengan peningkatan
kelayakan kompensasi akan mengakibatkan peningkatkan kepuasan kerja guru.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, N.J. dan Meyer, J. P. (1993). “Organizational Commitment: Evidence of Career Stage Effects?”
Journal of Business Research. Vol. 26.
Alwi, Syafaruddin. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Strategi Keunggulan Kompetitif. Edisi
Pertama. Yogyakarta: BPFE.
Bernadin, John, Russel dan Joyce E.A. (1998). Human Resource Management. Second Edition. New
York: McGraw-Hill.
Cascio, Wayne. (2003). Managing Human Resources Productivity, Quality of Work Life, Profits. Fourth
Edition. New York: McGraw-Hill Inc.
Durkin, Mark. (1999). “Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and Exploring Hidden
Dangers”. International Journal of Bank Marketing. Vol. 17. No. 3.
Greenberg, Jerald dan Robert A. Baron. (2003). Behavior in Organization. 8th Edition. New Jessey:
Person Education.
Hair, J.F., at al. (1998). Multivariate Data Analysis. 5th Edition. London: Prentice Hall International
Inc.
Handoko, Hani. (2002). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE.
Hasibuan, Malayu S.P. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Hill, Nigel. 1996. Handbook of Customer Satisfaction Measurement. Gower Publishing Limited.
Jacobsen, Dag Ingvar. (2000). “Managing Increased Part-Time: Does Part-Time Work Imply Part-
Time Commitment”? Managing Service Quality. Vol. 10. No. 3.
Lapierre, Jozee. (2000). “Customer-Perceives Value in Industrial Contexts”. Journal of Business and
Industrial Marketing. Vol. 15. No. 2/3.
Long, Mary L. (2000). “Consumption Values and Relationship: Segmenting The Market for Frequency
Programs”. Journal of Consumer Marketing. Vol. 17. No. 3.
Luthans, Fred. (1999). Organizational Behaviour. 3rd Edition. New York: McGraw-Hill.
Marcia, J.E. (1993). Ego Identity: A Handbook for Psychosocial Research. New York: Springer-
Verlag.
Mullins, Laurie L. (2005). Management and Organizational Behavior. Seventh Edition. London:
Prentise Hall.
Nawawi, Hadari. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Untuk Bisnis Yang Kompetitif. Cetakan
Keempat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. (2008). Perilaku Organisasi. Saduran: Diana Angelica,
Ria Cahyani dan Abdul Rosyid. Jakarta: Salemba Empat.
Salak, Ajriani Munthe. (2010). Pengaruh Nilai Budaya Pegawai, Struktur Organisasi, Penggunaan
Kekuasaan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Pegawai: Studi Kausal
pada Pegawai di Lembaga Administrasi Negara. Disertasi Universitas Negeri Jakarta.
Sedarmayanti. (2005). Membangun Kebudayaan dan Pariwisata: Bunga Rampai Tulisan Pariwisata.
Cetakan I. Jakarta: CV. Mandar Maju.
Siregar, Yanto. (2010). Pengaruh Kompensasi, Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Terhadap
Komitmen Organisasi Pegawai Kantor Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Disertasi
Universitas Negeri Jakarta.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
82
Setiawan, Bambang. (2008). The Effect of Compensation on Employee Job Satisfaction: Study on
Cigarette Manufacturing Production Employees Section Aprivera Tulungagung. University of
Muhammadiyah Malang.
Soekidjo, Notoatmojo. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekotjo, Sundari. (2009). Pengaruh Budaya Organisasi, Perilaku Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja
Terhadap Komitmen Organaisasi Karyawan PT. Pembangunan Perumahan (Persero). Disertasi
Universitas Negeri Jakarta.
Solimun. (2002). Multivarite Analysis, Structural Equation Modelling (SEM), Lisrel dan Amos:
Aplikasi di Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Psikologi, Sosial, Kedokteran dan
Agrokompleks. Malang: FMIPA Universitas Brawijaya.
Strauss, George. (1992). Workers Participation in Management: The Psychology of Influence and
Control at Work. Oxford: Blackwell.
Sudjana, Rusman. (2006). Studi Korelasi antara Budaya Organisasi, Motivasi Kerja, serta
Karakteristik Kerja dan Komitmen Karyawan di CV. Angkasa Bandung. Disertasi Universitas
Negeri Jakarta.
Ulrich, Dave. (1997). Human Resources Champions. Boston: Harvard Business School Press.
Werther, Jr. William B. dan Keith Davis. (1996). Human Resources an Personnel Management. Third
Edition. New York: McGraw-Hill Inc.
Wetzels, Martin. (1998). “Marketing Service Relationship: The Role of Commitment”. Journal of
Business and Industrial Marketing. Vol. 13. No. 4/5.
William, George R. (1996). “International Marketing and Organizational Behavior: A Partnership in
Developing Customer Conscious Employees at Every Level”. Journal of Business Research.
January 20th.
Wood, Wallace. (2001). Organization Behavior A Global Perspective. 2th Edition. Australia: John
Wiley & Sons Ltd.
Zunaidah. (2006). Pengaruh Kompensasi, Karakteristik Pekerjaan dan Kepemimpinan Terhadap
Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai: Studi Empirik Terhadap Pegawai Tetap dan Kontrak
pada Perusahaan Menengah dan Besar di Kota Palembang. Disertasi Universitas Padjadjaran
Bandung.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
83
PARENTING, AND CAREER SELECTION
STUDENTS ACCELERATION OF SENIOR HIGH SCHOOL IN JAKARTA
Hartini Nara1
1Department of Special Education Faculty of Education University of Jakarta
nara.tinut @ gmail.com
Abstract
This study aims to determine the relationship between each model parenting (authoritarian,
authoritative and permissive) and career selection students acceleration of senior high
school in Jakarta. This study sampling done by purposive sampling, and convenience
sampling. Sampling in this study were 47 students acceleration from four senior high
school in Jakarta. Students acceleration involved in this study had an age range 14-17
years. The study found three things: First, there is no significant positive relationship
between authoritarian parenting with career choice student acceleration. Second, there is a
positive and significant relationship between authoritative parenting with career choice.
Thirdly there is no positive and significant correlation between permissive parenting with
career choice.
Keywords: parenting, career choice, accelerated program
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing model pola
asuh (otoriter, otoritatif dan permisif) dengan pemilihan karir siswa program akselerasi
SMA di Jakarta. Penelitian korelasi ini pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling, dan convenience sampling. Sampling dalam penelitian ini adalah 47 siswa kelas
akselerasi yang berasal dari 4 SMA di Jakarta. Siswa program akslerasi yang terlibat dalam
penelitian ini memiliki rentang usia 14 – 17 tahun. Penelitian ini menemukan tiga hal:
Pertama, tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan
pemilihan karir siswa akselerasi . Kedua, terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir. Ketiga tidak ada hubungan yang positif
dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir.
Kata kunci: Pola asuh, pemilihan karir, program akselerasi
PENDAHULUAN
Menentukan karir bagi siswa akselerasi ternyata bukan perkara yang mudah. Banyaknya kemampuan
yang dimiliki, yang seharusnya bisa menjadi bekal mereka dalam pemilihan karir, pada kenyataannya
tidak menjamin bahwa mereka tidak akan bersikap bimbang dan ragu. Moesono (dalam Hawadi 2004)
menyatakan bahwa: bagi seseorang yang disebut multi talented ternyata banyaknya pilihan sama
sulitnya dengan “tidak ada pilihan”. Sering terjadi pada siswa akselerasi karena dihadapkan pada
banyak pilihan, mereka asal memilih saja, sekedar terlepas dari konflik pilihan yang terus
menghimpitnya, tanpa berfikir panjang tentang kesesuaian dengan kepribadiannya.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
84
Southen dan Jones (dalam Mayangsari, 2001), mengemukakan bahwa singkatnya waktu belajar
menyebabkan siswa dari program akselerasi akan menghadapi pengambilan keputusan untuk
menentukan bidang pekerjaan atau karir yang akan ditekuninya lebih cepat daripada teman-teman
sebaya. Selanjutnya penelitian Post-Kommer dan Perrone (dalam Isaacson, 1996), diketahui bahwa 30
% dari siswa berbakat di SMU yang menjadi responden penelitian merasa tidak siap dalam membuat
keputusan mengenai karir mereka. Situasi ini tidak jauh berbeda dengan sekolah yang
menyelenggarakan program akselerasi di Indonesia. Bila melihat waktu belajar yang singkat dengan
materi yang padat. Secara otomatis mengakibatkan sebagian besar waktu mereka digunakan untuk
belajar. Waktu belajar siswa program akselerasi yang hanya ditempuh selama dua tahun, memiliki
konsekuensi siswa program akselerasi akan melaksanakan tiga kali ujian semester dalam waktu satu
tahun. Berbeda dengan siswa reguler yang melaksanakan dua kali ujian semester dalam waktu satu
tahun, hampir sepanjang tahun siswa akselerasi belajar untuk mempersiapkan ujian semester. Padahal
di sisi lain siswa pogram akselerasi di SMA juga dituntut untuk mulai melakukan pemilihan karir.
Peranan keluarga dalam pemilihan karir khususnya, orangtua dan teman sebaya memiliki
pengaruh yang sangat kuat pada pemilihan karir remaja (Santrock, 2003); Farmer (dalam
Seligman,1994), menyatakan bahwa dukungan orang tua dalam hal aspirasi karir memiliki pengaruh
yang lebih kuat dari pada teman, guru, dan status sosial. Demikian juga, dengan kualitas hubungan
orangtua dan anak, pola interaksi dalam keluarga, minat dan harapan-harapan orangtua pada anak
mereka di masa depan merupakan komponen yang penting pada perkembangan karir anak Whiston
(dalam Seligman, 1994). Penelitian Mayangsari (1997), mengenai pengaruh orangtua terhadap
penentuan karir dan pendidikan yang diinginkan siswa ditemukan bahwa dalam menentukan karir dan
pendidikan yang diinginkan, 69,44 % siswa SMU yang menjadi responden lebih memperhatikan
masukan yang diberikan oleh orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki
pengaruh yang signifikan dalam pemilihan karir remaja. Pengaruh yang sangat kuat dari orangtua
terhadap pemilihan karir tidak bisa dilepaskan dari cara atau pola asuh yang dominan digunakan mereka
dalam mendidik anak. Lebih jauh Young (dalam Santrock, 2003), mengungkapkan bahwa banyak
faktor yang mempengaruhi peran orangtua dalam perkembangan karir remaja. Misalnya ibu yang
bekerja di luar rumah dan memperlihatkan usaha dalam bekerja serta menghargai pekerjaannya akan
memberikan pengaruh yang kuat bagi pemilihan karir remaja. Kesimpulan yang masuk akal adalah jika
kedua orangtuanya bekerja dan menikmatinya, anak akan belajar menghargai pekerjaan dari kedua
orangtuanya. Dengan kata lain orangtua dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam
pemilihan karir. Semua ini tergantung cara orangtua menggambarkan pekerjaannya kepada anak
mereka, dan terkait erat dengan pola asuh orangtua yang berlaku sehari-hari apakah otoriter
(Authoritarian), permisif (Permissive) atau otoritatif (Authoritative) (Baumrind dalam Santrock, 2003).
TINJAUAN PUSTAKA
Pola Asuh
Pola asuh pada dasarnya merupakan sikap dan kebiasaan orangtua yang diterapkan saat
mengasuh dan membesarkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Berns (1985), memandang pengasuhan
sebagai proses interaksi yang terus menerus dan mempengaruhi orangtua dan anak. Dalam berinteraksi
dengan anak orangtua perlu menyesuaikan diri secara berkesinambungan dengan berbagai perubahan
kemampuan yang dialami anaknya. Tarmudji (2003), berpendapat pola asuh orangtua merupakan
interaksi antara orangtua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Sebagai pengasuh dan
pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku bagi
anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya.
Semua kejadian itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi
anak-anaknya. Hal demikian terjadi dikarenakan anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya
sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Bonner, dalam Tarmudji, 2004). Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang mempunyai peranan dalam pembentukan
kepribadian adalah praktik pengasuhan orangtua kepada anaknya. Jerome Kagan (dalam Berns,1985),
mengemukakan bahwa pengasuhan (parenting) adalah implementasi dari sederetan keputusan
orangtua tentang sosialisasi anaknya, misalnya apa yang akan dilakukan orangtua jika anaknya
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
85
bertingkah laku agresif (mendorong, memukul, menendang). Dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan anak, pola asuh orangtua memiliki peran penting sebagaimana didukung oleh pendapat
Hurlock (1980), yang menyatakan bahwa hubungan antar keluarga mempunyai peran yang penting
dalam menentukan pola sikap-sikap dan perilakunya kelak dalam hubungannya dengan orang lain. Hal
ini dikarenakan pola asuh yang diterapkan orangtua akan mempengaruhi perilaku anaknya.
Klasifikasi Pola Asuh
Baumrind (dalam Santrock, 2002), menekankan tiga jenis cara menjadi orangtua, yang
berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial: otoriter (Authoritarian), atau
otoritatif (Authoritative) permisif (Permissive). Baru-baru ini para ahli perkembangan berpendapat
bahwa pengasuhan permisif terdiri dari dua macam neglectful dan indulgent.
Pola Asuh otoriter (Authoritarian)
Pola asuh otoriter (Authoritarian) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang
menuntut anak untuk mengikuti petunjuk atau perintah orangtua dan untuk menghargai kerja dan usaha.
Orangtua yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas dan hanya melakukan sedikit
komunikasi verbal (Santrock, 2002). Pola asuh otoriter berkaitan dengan perilaku sosial yang tidak
cakap. Anak yang orangtuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu
memulai suatu pekerjaan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah (Santrock, 2002).
Menurut Barnadib (1986), orangtua yang otoriter tidak memberikan hak kepada anaknya untuk
mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya. Sedangkan menurut Stewart dan
Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: kaku, tegas,
suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta kurang simpatik. Orangtua memaksa anak untuk patuh
pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta
cenderung mengekang keinginan anak. Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan untuk
mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut bertanggung jawab seperti orang
dewasa.
Pola Asuh otoritatif (Authoritative) Dalam pola asuh ini orangtua mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan
dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung
dengan bebas, orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati. Pengasuhan otoritatif
mendorong perilaku anak menjadi kompeten. Anak yang memiliki orangtua dengan pola asuh otoritatif
akan sadar diri dan dapat bertanggungjawab secara sosial (Santrock, 2002). Penelitian Lutfi
(Nurhidayah, Nurhidayah, dkk, dalam Shochib,1998), mengindikasikan bahwa dalam pola asuh dan
sikap orangtua yang demokratis (otoritatif) ada komunikasi yang dialogis antara anak dan ada
kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan.
Pola Asuh Permisif (Permissive) Ada dua macam pengasuhan permisif: pertama permisif bersifat memanjakan dan kedua
permisif bersifat tidak peduli (Macoby & Martin, 1984). Pola asuh permisif bersifat tidak peduli adalah
suatu pola di mana orangtua sangat tidak mencampuri kehidupan anaknya. Hal ini berkaitan dengan
perilaku sosial anak yang tidak cakap, terutama karena kurangnya pengendalian diri. Anak sangat
membutuhkan perhatian dari orangtua mereka. Anak yang memiliki orangtua menganut pola asuh
permisif tidak peduli memperoleh kesan bahwa aspek lain dari kehidupan orangtua lebih penting bila
dibandingkan dirinya. Anak yang orangtuanya permisif-tidak peduli biasanya tidak memiliki
kecakapan sosial dan menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan diri, serta tidak dapat menangani
kebebasan dengan baik (Santrock, 2002). Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola di mana
orangtua sangat terlibat dalam kehidupan remaja, tetapi sedikit sekali menuntut dan mengendalikan
mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial anak terutama
karena kurangnya pengendalian diri. Orangtua yang bersifat permisif memanjakan mengijinkan anak
melakukan apa saja yang mereka inginkan. Akibatnya anak tidak pernah belajar mengendalikan
perilaku dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya. Orangtua yang menganut pola
asuh permisif memanjakan biasanya percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
86
batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri (Santrock, 2003). Barnadib (1986),
menyatakan bahwa orang tua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang
ada, dan anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya.
Menurut Spock (1982), orang tua permisif memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat
sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin
Pemilihan Karir Menurut kamus besar bahasa Indonesia pemilihan berarti proses, perbuatan atau cara
memilih. Tujuan dari persiapan pemilihan karir adalah mempersiapkan diri untuk memilih bidang
pekerjaan yang nantinya akan mereka tekuni. Masalah pilihan karir adalah masalah yang penting, sebab
karir atau pekerjaan seseorang menentukan berbagai segi dari kehidupan, atau dengan kata lain,
mempengaruhi gaya hidupnya (Sukadji, 2000). Namun masih banyak remaja yang kurang
menyadarinya, pada umumnya remaja masih pada fase fantasi, yaitu memilih pekerjaan bukan berdasar
minat dan kompetensi tetapi berdasar fantasi, fasilitas, dan kekayaan yang dimiliki seseorang yang
menduduki jabatan itu (Sukadji, 2000). Pemilihan karir di sekolah, untuk menentukan jurusan atau
program pendidikan, fakultas maupun jurusan merupakan pemilihan pendahuluan. Meskipun demikian
pemilihan ini penting sebab mempengaruhi penyesuaian diri siswa terhadap tuntutan pendidikan yang
akan dihadapi, dan kemungkinan kegagalan maupun keberhasilan dalam jurusan yang dipilihnya.
Merumuskan pilihan karir di usia remaja adalah suatu proses yang tidak mudah. Remaja yang
mengalami kebingungan tentang identitas dirinya sendiri, bisa jadi menemui kesukaran untuk
menerjemahkan bayangan dirinya dalam pemilihan karir. Konsekuensinya mereka menolak membuat
keputusan, sehingga pada saat mereka lulus kurang memiliki waktu untuk merencanakan dengan bijak,
saat keputusan akhirnya harus mereka buat (Seligman,1994). Pada akhirnya pemilihan karir bukanlah
sekedar memilih satu dari sekian minat saja. Remaja perlu mempunyai kesadaran akan dirinya,
mengenali ciri-ciri kepribadian yang menonjol pada dirinya, mengenali potensi intelektualnya,
mengetahui kelemahan dan kekuatan kognitifnya, mengenali bidang-bidang keterampilannya,
mengetahui nilai-nilai hidupnya, dan mengerti apa perbedaan antara dirinya dan remaja lainnya
(Moesono dalam Hawadi, 2004). Semua ini sangat bermanfaat untuk menunjang dalam pemilihan
karirnya.
Trait Factor
Parsons (dalam Seligman, 1994), dinyatakan bahwa dalam pemilihan karir yang bijaksana
terdapat tiga faktor umum yang perlu dipertimbangkan yaitu:
1. Pemahaman terhadap diri sendiri, bakat, kemampuan, minat, keterbatasan dan
kualitas-kualitas yang ia miliki.
2. Pengetahuan mengenai persyaratan dan tuntutan untuk dapat sukses, keuntungan dan
kerugian, imbalan, kesempatan, dan masa depan dari suatu pekerjaan.
3. Menghubungkan kedua hal di atas secara rasional.
Pandangan trait factor terutama menyoroti bagaimana seseorang akan membuat pilihan karir
(vocational choice) yang dapat dipertanggungjawabkan (Winkel,1997). Pandangan trait and factor
sebagaimana terungkapkan dalam karya-karya tulis Parsons menunjukkan tiga langkah yang harus
diikuti dalam memilih suatu pekerjaan yang sesuai, yaitu: Pertama, pemahaman diri yang jelas
mengenai kemampuan otak, bakat, minat, berbagai kelebihan dan kelemahan, serta ciri-ciri yang lain.
Kedua, pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi supaya dapat mencapai
sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, serta tentang balas jasa dan kesempatan untuk maju dalam
semua bidang pekerjaan. Ketiga, berfikir secara rasional mengenai hubungan antara kedua kelompok
fakta di atas. Jadi langkah yang pertama. menggunakan analisis diri; langkah kedua memanfaatkan
informasi pekerjaan (vocational information); langkah yang ketiga menerapkan kemampuan untuk
berfikir rasional guna menemukan kecocokan antara ciri-ciri kepribadian, yang mempunyai relevansi
terhadap kesuksesan atau kegagalan dalam suatu pekerjaan, dengan tuntutan kualifikasi dan
kesempatan yang terkandung dalam suatu pekerjaan. Seseorang dapat menemukan pekerjaan yang
cocok baginya dengan cara mengkorelasikan kemampuan, potensi dan wujud minat yang dimilikinya
dengan kualitas-kualitas yang secara objektif dituntut bila akan memegang jabatan tertentu
(Winkel,1997).
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
87
Program Akselerasi
Program akselerasi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat
akademik. Secara konseptual, pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey (dalam Armstrong &
Savage, 1983), adalah suatu kemajuan yang diperoleh melalui program pendidikan, pada waktu yang
lebih cepat dari rata-rata, atau umur yang lebih muda dibandingkan yang konvensional. Dari definisi
di atas terdapat tiga catatan. Pertama perlu adanya kemantapan eksistensi dari satu kumpulan materi,
tugas, keterampilan dan persyaratan pengetahuan dari setiap jenjang pengajaran. Kedua
mempersyaratkan adanya kecepatan dari kemajuan yang diinginkan dan spesifik, melalui kurikulum
yang cocok untuk semua siswa. Ketiga adanya dugaan bila dibandingkan dengan usia teman sebaya,
siswa yang cerdas akan mampu lebih cepat melaju melalui suatu program pengajaran yang standar
(Hawadi, 2004).
Program akselerasi menurut pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar Depdiknas
(2002), yaitu pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberi
kesempatan mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat
dibanding teman-temannya. Dalam hal belajar dapat diorganisasikan dalam banyak cara untuk
memberikan hal terbaik bagi anak berbakat untuk mengekspresikan aktivitas intelektual dan bakat
secara utuh dan lebih cepat (Khatena,1992). Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
anak berbakat adalah melalui program akselerasi.
Feldhusen, Proctor, dan Black (dalam Hawadi, 2004), mengemukakan bahwa akselerasi
diberikan untuk memelihara minat siswa terhadap sekolah, mendorong siswa agar mencapai prestasi
akademis yang baik dan untuk menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi demi
keuntungan dirinya sendiri dan masyarakat. Oleh karena masyarakat membutuhkan orang-orang yang
berkemampuan luar biasa ini untuk menghadapi tuntutan masa depan secara inovatif (Clark, 1983).
METODE DAN SAMPLING
Penelitian ini adalah jenis penelitian korelasi (correlation study).
Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah siswa kelas 2 program akselerasi dari empat SMA yaitu:SMA
Labschool Komplek UNJ Jakarta Timur, SMA Labschool Kebayoran, SMA Islam Al-Ashar Syifa Budi
Kemang, dan SMAN 8 Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan. Teknik Penarikan Sampel dan Jumlah
Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, dan convenience sampling.
Penggunaan kedua teknik sampling ini didasari oleh fakta bahwa dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan
perilaku dapat menggunakan kombinasi yang paling sesuai untuk suatu penelitian (Tashakkori &
Teddlie, 1998). Purposive sampling, ciri dari sampling ini adalah penilaian dan upaya cermat untuk
memperoleh sampel representatif dengan cara meliputi wilayah-wilayah atau kelompok-kelompok
yang diduga sebagai anggota sampelnya (Kerlinger, 2000). Sedangkan convenience sampling cirinya
adalah ketersediaan dan kemudahan pengumpulan data. Mengenai besarnya sampel yang dapat
diterima dalam penelitian korelasional minimal 30 subyek. (Sukadji, 2000).
Alat Ukur yang Digunakan
Alat ukur yang digunakan untuk menjawab hipotesis dalam penelitian ini adalah dua instrumen
penelitian yaitu
1.Skala Pola Asuh
Alat untuk mengukur pola asuh dibuat berdasarkan pandangan Baumrind (Santrock, 2003), yang
terdiri dari tiga aspek pola asuh yaitu: otoriter, otoritatif, dan permisif yang terbagi menjadi
permisif neglectful dan permisif indulgent. Alat ukur ini biasanya dikembangkan sendiri oleh
peneliti dan disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan masing-masing penelitian, Biasanya skala
yang dikembangkan mengikuti model summated rating scale atau model skala Likert.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
88
Tabel1. Butir Skala Pola Asuh
No. Aspek Indikator
Nomor Butir
Pernyataan
Total
1 Otoriter 1. Orang tua berkuasa penuh
2. Bersifat membatasi dan
menggunakan hukuman
3. Memaksakan kehendak
4. Melakukan sedikit
komunikasi verbal.
15, 18, 41, 42.
21, 22, 25.
6, 28, 30, 46.
12, 24, 33, 35.
15
2 Otoritatif 1. Orangtua dan anak memiliki
kekuasaan seimbang
2. Mendorong untuk bebas
tapi tetap ada batasan.
3. Komunikasi dua arah
4. Sikap orangtua hangat dan
membesarkan hati
1, 16, 19, 32.
26, 27, 29, 34,
40.
4, 13, 31, 39.
14, 17, 37, 45.
17
3 Permisif 1. Anak berkuasa penuh
2. Bersifat tidak membatasi
dan tidak menggunakan
hukuman
3. Orangtua selalu memenuhi
keinginan anak
(memanjakan)
4. Orangtua tidak peduli
dengan apa yang dilakukan
anak
7, 8, 36.
3, 9, 20, 44.
10, 43.
2, 5, 11, 23,
38
14
Jumlah 46
2. Skala Pemilihan Karir Pembuatan alat ukur pemilihan berdasarkan pandangan trait and factor yang diungkap
Parsons dan Wiliamson bahwa, seseorang dapat menemukan pekerjaan yang cocok dengan
mengkorelasikan kemampuan, potensi, dan wujud minat yang dimilikinya dengan kualitas-kualitas
yang secara obyektif menjadi tuntutan dunia kerja. Pandangan ini menyoroti bagaimana seseorang
akan membuat pilihan karir yang dapat dipertanggungjawabkan (Winkel, 1997). Alat untuk
mengukur pemilihan karir dibuat berdasarkan aspek-aspek pemahaman diri, pengetahuan dan
persyaratan/kualifikasi karir, dan menghubungkan kedua faktor sebelumnya secara rasional.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
89
Tabel. 2. Butir Skala Pemilihan Karir
No. Aspek Indikator Nomor Butir
Pernyataan
Total
1. Pemahaman diri a. Informasi tentang diri
- bakat khusus
- minat
- kreativitas
- kemampuan intelektual
b. Sifat kepribadian
- rajin dan kerja keras
- berani bicara
- dapat diandalkan
- potensi kepemimpinan
- tahan dalam situasi
penuh ketegangan
- senang bekerjasama
c. Kemampuan kognitif
- mampu menguraikan
pikiran secara lisan dan
tulisan
- mampu mengatur
waktu
- mampu berkomunikasi
dalam bahasa asing
d. Nilai hidup dan cita-cita
e. Keterbatasan diri
20
27, 29
13, 18
43
7, 16,
28
4
6, 38
5, 33
26*
35
9, 39
25, 42
23
21
22
2. Pengetahuan
kualifikasi karir
Mengumpulkan informasi
- informasi pendidikan
- informasi dunia kerja
- imbalan
- keuntungan dan
Kerugian
2, 19, 31
1, 11,14, 30
32*
8, 12.
17, 36, 41
13
3. Menghubungkan
kedua hal di atas
secara rasional
a. Kecocokan antara
kapasitas dan pilihan karir
b. Kesesuaian antara
pertimbangan rasional
dengan tuntutan dunia
kerja
3, 15, 22, 37*
10, 24, 34, 40.
8
Jumlah Butir 43
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
90
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 47 siswa. Pada tabel., jumlah subyek penelitian
yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dengan perbandingan 53.2 % siswa
perempuan dan 46.8 % siswa laki-laki (25: 22), akan tetapi perbandingannya dapat dikatakan cukup
seimbang.
Tabel 3. Gambaran Subyek Berdasarkan Sekolah dan Jenis Kelamin
No
Nama SMA
Perempuan Laki-laki
Frekuensi
∑
Frekuensi % Frekuensi % %
1 SMA
Labschool
Jakarta
6 12.8 8 17.0 14 29.8
2 SMA
Labschool
Kebayoran
7 14.8 4 8.5 11 23.3
3 SMA Al-
Azhar Syifa
Budi
6 12.8 3 6.4 9 19.2
4 SMAN 8 6 12.8 7 14.9 13 27.7
Total 25 53.2 22 46,8 47 100
Analisis Hasil Penelitian
Dari data hasil penelitian yang dianalisa dengan penghitungan aplikasi program komputer SPSS 11.5,
diperoleh hasil analisis sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh otoriter
dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil
penghitungan menunjukkan tidak adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = - 0,025 dengan
nilai signifikansi 0,866 (p < 0,05).
2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh otoritatif
dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil
penghitungan menunjukkan adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = 0,355 dengan nilai
signifikansi 0,014 (p < 0,05).
3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh permisif
dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil
penghitungan menunjukkan tidak adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = - 0,138 dengan
nilai signifikansi 0,356 (p < 0,05).
Hasil pengujian hipotesis yang pertama menunjukkan bahwa pola asuh otoriter tidak
memiliki korelasi positif secara signifikan dengan pemilihan karir. Merujuk pada teori pola asuh
Baumrind, pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang
menuntut anak untuk mengikuti petunjuk atau perintah orangtua dan sangat menghargai kerja dan
usaha. Orangtua yang menganut pola asuh otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap
remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal (Santrock, 2002). Anak yang tumbuh dalam
keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter secara langsung maupun tidak langsung, biasanya kurang
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
91
berani dan ragu dalam membuat suatu keputusan, karena sudah dibiasakan mengikuti apa yang telah
ditetapkan orangtua. Semakin dominan orangtua menerapkan pola asuh otoriter di rumah maka anak
cenderung semakin tergantung dan tidak terampil dalam pemilihan karir. Secara singkat dapat dikatakan
hubungan negatif dan tidak signifikan ini terjadi, karena dalam keluarga yang menerapkan pola asuh
otoriter orangtualah yang menjadi pusat kekuasaan, sementara anak hanya mengikuti dan melaksanakan
apa yang menjadi keputusan orangtua. Sesuai dengan pendapat Barnadib (1986), orang tua yang
otoriter tidak memberikan hak kepada anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan
perasaan-perasaannya. Padahal dalam pemilihan karir dituntut suatu sikap dan tindakan yang aktif dari
anak untuk mengumpulkan sejumlah informasi, tentang dirinya sendiri, maupun pengetahuan
persyaratan karir dan mencoba menghubungkan kedua faktor tersebut secara rasional, tanpa harus
menunggu perintah dari orangtua. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock (2002), remaja yang
orangtuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu
pekerjaan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah. Sehingga tidak mengherankan jika
remaja yang berasal dari keluarga yang orangtuanya menerapkan pola asuh otoriter memiliki
kecendrungan tidak mampu untuk mengungkapkan diri, mengungkapkan perasaan dan keinginan
dengan baik, karena khawatir akan disalahkan dan di hukum oleh orangtua. Biasanya orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter memaksa anak untuk mematuhi nilai-nilai yang mereka anut, dan
mencoba membentuk lingkah laku anak sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang
keinginan anak (Stewart & Koch, 1983). Kemungkinan anak untuk terlibat secara aktif dalam
pemilihan karir sangat kecil, jadi logis jika pola asuh otoriter tidak memiliki korelasi yang positif dan
signifikan terhadap pemilihan karir
Pengujian hipotesis ke dua diperoleh hasil bahwa pola asuh otoritatif memiliki korelasi
yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir. Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif
memiliki sumbangan yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir, karena dalam pola asuh
otoritatif anak didorong untuk bebas mencari dan mengumpulkan informasi bahkan mengambil suatu
keputusan. Orangtua hanya bersifat mengarahkan dan memberikan bimbingan, sehingga anak tumbuh
menjadi pribadi yang berani dan bertanggungjawab serta terampil dalam berkomunikasi. Semua ini
sangat dibutuhkan anak dalam mempersiapkan karirnya. Sesuai hasil penelitian Lutfi (Nurhidayah,
Nurhidayah, dkk, dalam Shochib,1998), mengindikasikan bahwa dalam pola asuh dan sikap orangtua
yang demokratis (otoritatif) ada komunikasi yang dialogis antara anak dan orangtua, dan ada
kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan.
Komunikasi verbal timbal balik yang berlangsung dengan bebas, orangtua bersikap hangat dan bersifat
membesarkan hati, membuat anak berani menghadapi resiko dan tidak ragu untuk mengeksplorasi
berbagai kemampuan yang dimilikinya. Mereka berusaha menambah pengetahuan dari waktu ke waktu
dan berani membuat keputusan mengenai karir. Selain itu anak percaya bahwa orangtua selalu siap
membantu dan membimbing mereka. Semakin dominan orangtua menerapkan pola asuh otoritatif di
rumah maka anak cenderung semakin terampil dalam pemilihan karir.
Hasil pengujian hipotesis ke tiga menunjukkan bahwa pola asuh permisif tidak memiliki
korelasi yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir. Secara teoritis ini sesuai, karena
kebebasan yang luas tanpa kendali dari orangtua, membuat anak bebas melakukan apapun tanpa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada orangtua. Sehingga anak tumbuh menjadi pribadi
yang kurang bertanggungjawab. Terlebih jika kendali sepenuhnya diberikan kepada anak Secara tidak
langsung dapat mengakibatkan anak juga kurang terlalu memperhatikan hal-hal yang berhubungan
dirinya termasuk mengupayakan untuk mempersiapkan diri dan berusaha mencari tahu tentang sesuatu
hal yang berhubungan dengan pemilihan karir. Menurut Spock (1982), orangtua permisif memberikan
kebebasan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin.
Jadi logis jika pola asuh permisif tidak memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan
pemilihan karir. Semakin dominan pola asuh permisif maka semakin rendah pemilihan karir siswa.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan antara lain:
1. Sampel penelitian berasal dari empat kelas akselerasi dari sekolah yang berbeda. Ada kemungkinan
masing-masing sekolah mungkin memiliki perbedaan dalam budaya dan suasana belajarnya, sehingga
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
92
sebaiknya berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki kondisi belajar yang homogen. Perbedaan asal
sekolah ini mungkin saja dapat mempengaruhi hasil penelitian, meskipun ini semua dilakukan karena
keterbatasan populasi kelompok ini, dan tidak semua sekolah menyediakan layanan program akselerasi.
2. Jumlah sampel yang tidak terlalu besar, dan terbatas hanya pada anak kelas 2 (dua) program
akselerasi, kemungkinan akan mempengaruhi hasil dari penelitian ini. Selain itu penelitian ini
dilakukan di wilayah perkotaan di mana akses informasi sangat terbuka dan mudah diperoleh, sehingga
perlu berhati-hati jika ingin melakukan generalisasi pada setting yang berbeda.
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir
pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis pertama yang menyatakan ada
hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir siswa
program akselerasi. Ditolak. Jadi pola asuh otoriter orangtua tidak berhubungan dengan pemilihan
karir siswa.
2. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir
pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis ke dua yang menyatakan ada hubungan
yang positif dan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir siswa program
akselerasi. Diterima. Jadi pola asuh otoritatif orangtua berhubungan dengan pemilihan karir siswa
3. Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan
karir pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis ke tiga yang menyatakan ada
hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir siswa
program akselerasi. Ditolak. Jadi pola asuh permisif orangtua tidak berhubungan dengan
pemilihan karir siswa.
REFERENSI
Aiken, L. R. (2000). Psychological testing and assessment. (10th.ed). Boston: Allyn & Bacon
Amstrong, D.G.,& Savage, T.V.(1983). Secondary education an introduction. USA: Macmillan
Publishing
Barnadib, S. I. (1986). Pengantar pendidikan sistematis. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta
Berns, R.M. (1985). Child, family and community. New York. Holt Rinehart & Winston
Berger, E.H.(1995). Parents as partners in education. (4th.ed). New Jersey: Prentice Hall.Inc
Clark, B. (1983). Growing up gifted. Ohio: Charles E. Merril Publishing Company A Bell & Howell
Company
Cronbach, L. J. (1991). Essentials of psychological testing. New York: Harper & Row
Publisher
Depdiknas. (2002). Pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar (SD, SLTP, dan SMU)
Satu model pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pendidikan Luar Biasa
Duval, E.M., & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development. (6 th.ed) New
York: Harper & Row Publisher Inc
Gibson, Ivancevich, & Donelly. (1995). Organizations. (8th.ed). Richard D. Irwin, Inc.
Gilbert, L.A. (1993). Two career/one family: the promise of gender equality. Newbury Park: Sage
Publication.Inc
Guilford J.P., & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistics in psychology and education. (6th.ed). New
York: McGraw Hill-Inc
Hawadi, L. F., (2004). Akselerasi. Jakarta:Grasindo
Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. (5 th
.ed). Jakarta: Penerbit Erlangga
Isaacson, L.E., & Brown, D. (1996). Career information, career testing principles
applications, and issues. (3rd.ed). California: Brooks Cole Publishing
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
93
Kerlinger, F. N. (2000). Foundations of behavioral research. (3th.ed). Orlando Florida:
Harcourt Brace College Publishers
Khatena, J. (1992). Challenge and response for education. Itaca Illinois: FE Peacock
Publishing Inc.
Kitano, M. K., & Kirby, D. F. (1986). Gifted educations: a comprehensive view. Boston: Little Brown
and Company.
Mayangsari A.R. (2001). Hubungan antara tingkat kematangan karir dengan persepsi terhadap peran
guru BK dalam perencanaan pendidikan dan karir pada siswa program percepatan belajar dan
program reguler. Skripsi (Tidak Diterbitkan) Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Mayo, A. (1991). Managing careers, strategies for organizations. London: Institute Personal of
Managemen
Pedhazur, E.J., & Pedhazur Schmelkin, L. (1991). Measurement design and analysis: an integrated
approach. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates
Perino, S.C., & Perino, J. (1981). Parenting the gifted developing the promise. USA: R.R Bowker
Company
Robbins, S.P. (1998). Essential of organizational behavior. (2nd.ed). New Jersey: Prentice Hall
Santrock, J. W. (2002). Life – span development. (5th.ed). Madison: Brown & Benchmark, Times Mirror
International Publisher Ltd.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence. (7th.ed). USA: McGraw-Hill Companies
Seligman, L. (1994). Development career counseling and assessment.
(2 nd.ed). Thousand: Sage Publications, Inc
Semiawan, C. R. (1997). Perspektif pendidikan anak berbakat. Jakarta: PT. Grasindo
Semiawan, C. R. (2002). Pendidikan keluarga dalam era global. Jakarta: PT. Prenhallindo
Shochib, M. (1998). Pola asuh orangtua dalam membantu anak mengembangkan disiplin diri. Jakarta:
PT. Rineka Cipta
Spock, B. (1982). Membina watak anak. Terjemahan Wunan JK. Jakarta: Penerbit Gunung Jati.
Stewart & Koch. (1983). Chidren development throught adolescence, Canada: JohnWiley and Sons,
Inc
Sukadji, S. (2000). Menyusun dan mengevaluasi laporan penelitian. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sukadji, S. (2001). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (L.P.S.P3.). Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Tashakori, A., & Teddlie, C. (1998). Mixed methodology combining qualitative and
quantitative approaches. USA: Sage Publication, Inc.
Tarmudji, T. (2003). Hubungan pola asuh orangtua dengan agresivitas remaja. Jurnal
Pendidikan. http://www.Depdiknas.Go.Id
Utami Munandar, S. C. (1999). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi kreatif dan
bakat. Jakarta: Pustaka Utama
Winkel, W.S. (1997). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Jakarta: Grasindo
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
94
MEASURING INTEREST OF TEACHING PROFESSION
Muchlas Suseno1
1Department of Primary Education, Postgraduate Program,
State University of Jakarta
[email protected]; and [email protected]
Abstract
The research was conducted to standardize an instrument to measure interest towards teaching
profession, involving 520 students of the department of primary education in Universitas Negeri
Jakarta. Data were analyzed using factor analysis. Using Exploratory Factor Analysis (EFA) six basic
attributes to grow interest towards teaching profession were identified, including (1) family background,
(2) working condition, (3) job requirement, (4) reward and remuneration, (5) responsibility, (6) idol.
These attributes were, then, elaborated to yield 13 components and used to develop an instrument to
measure interest toward teaching profession. In the empirical process of validation, using Confirmatory
Factor Analysis (CFA), 68 items, out of 130, were claimed to be significantly valid and reliable. The
research reveals that all valid and reliable items were extracted from the attributive variables except the
ones developed from the last attribute - idol. The findings might be useful to identify and classify
students in teaching colleges based on their interest toward teaching profession so that expectedly they
might become professional teachers. Other stake holders might also take benefits from these research
findings.
Keywords: Measuring interest, teaching profession
INTRODUCTION
People in general put high expectation that teachers should play the ultimate role to educate
their students. Such expected responsibility covers all the three domains, such as cognition,
psychomotor, and affection. In respect to the last domain, affection, teachers should teach moral virtue
and, more that they should also perform it in a daily basis. This means that they are expected to be
morally upright individuals who display good character (Lumpkin, 2008). However, unfortunately, the
high expectation is not accompanied by sufficient rewards and recognition. Teaching profession is not
placed in a parallel line with other professions, such as medical doctors, and engineers. Therefore, it is
not surprising if teaching profession is not attractive, in the sense that it fails to catch the attention of
many people to pursue.
The low attractiveness of teaching profession has become burning issues for decades and has
got serious attention from many experts. Their arguments have been published out in various medias,
such as articles posted in newspapers and scholar text books. One of the ‘vocalists’, in Indonesian
contexts, who vows such a discourse is Tilaar (1998) saying that teaching profession, recently, is about
to extinct because of two reasons, (1) it fails to attract attention and interest of best candidates, that is
the best graduates of secondary schools (SS), and (2) people in general, do not support the teaching
profession with recognition and adequate reception. This is to say that a profession will survive,
flourish, and last lifelong when people give adequate recognition and reception indicated by high
interest of young generation to pursue it.
It is admitted that within a few years recently, there is an increasing enrolment of SS graduates
to study in various teaching institutions all over the country in Indonesia. However, such an increase
might not automatically show and relate to the interest toward teaching profession. This is possible
because decision made by SS graduates to choose departments and educational institutions for their
further study might be influenced by many factors in addition to interest. One, among other things, is
motivation which is divided in two kinds; motivation toward success (MS) and motivation to avoid
failure (MAF ) (Rosser and Nicholson (1984: 404). People whose MS is higher than their MAF will choose
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
95
work activities, including major study, with mediocre level of difficulty, whereas those with higher
MAF than MS will choose activities with lower level of difficulty. When matched with interest toward
work profession, the first characteristic tends to be realistic to choose preferred profession, whereas the
latter not realistic, in the sense that they prefer jobs with qualifications above or below their standard
competence (Mahone as cited by Rosser and Nicholson, 1984: 406). Such is significant to summarize
that the high enrolment of students in educational programs of teaching institutions might not
automatically show high interest of teaching profession.
It is also worth mentioning that within the recent years, the Government of Republic of
Indonesia (GoI) has made significant efforts to continuously develop and improve existing teachers
through various interventions. The most significant effort is to give more remuneration as mandated by
Law no 14 / 2005. Whether or not such remuneration contributes positive impact to improve quality
teaching and school effectiveness needs a thorough discussion, for it will, in turn, relate to the adequacy
of recognition and social reward paid by people in general. In this respect, however, Wirawan, et al.
(1997: 76) reported that financial incentives have little impact to improve teaching effectiveness
although, in addition, teaching profession is said to be prestigious but gets less recognition socially.
The above description on the burden of the expected moral virtue and teaching responsibilities
that teachers take, in contrast with reward and social recognition they get, will clearly explain why
interest toward teaching profession is lacking. When such is true, there rises some questions, ‘Do they
who study in various teaching colleges, whose number is increasing every year, possess high and true
interest toward teaching profession? Will they love the profession and share high commitment on the
teaching practices? These two questions are very basic and fundamental to respond to the demand of
quality teaching that people expected as far as quality education is concerned. Other rising questions
are significant to discuss, such as, ‘Is it positively true that interest toward teaching profession is
decreasing? ‘How to measure interest toward teaching profession? To cope with these questions,
particularly the last one, hence this research is conducted.
LITERATURE REVIEW
Basic concept of interest toward teaching profession
Interest, in general, grows in line with child development based on two underlying factors;
genetics and environment. The latter is said to be more dominant than the first factor (Carson, 2002:2).
Interest consists of two dimensions; cognitive and affective, and grows in line with maturity of thought
related to life experiences (Hurlock, 1978:422). There are seven ways applicable to identify children’s
interest within their early ages; (1) children’s play activities, (2) questions frequently raised, (3)
everyday’s topics of talk, (4) preferences of reading books, (5) kinds of spontaneous drawing, (6) wants
and hopes, (7) direct statement of interests. Above all, it is important to note that such identification is
not final because children’s interest changes in line with their developmental growth (Sprinthall and
Collins, 1984: 444). From the other angel, Hurlock (1978: 446) identified eight factors to influence
growth of interest toward job and work preference; (1) attitude of parents, (2) job’s prestige and
reputation, (3) idols, (4) self competence, (5) gender, (6) opportunity of freedom in the workplace, (7)
cultural stereotypes, (8) life experiences. To simplify the above description, Rosenberg, as cited by
Kretch, Crutchfield and Ballachey (1962: 130) claimed that interest and job preferences are mostly
determined by psychological conditions, such as (1) cognition, (2) hopes and values, (3) interpersonal
traits. Cognition refers to the job seeker’s basic comprehension about the jobs and profession they are
interested in, consisting of (a) detail information about such profession, (b) required training and
education, (c) required practical skills, (d) job description and remuneration, (e) job’s prestige. Hopes
and values relates to the degrees of satisfaction, comfort, and safety. This factor, in particular, is said to
be the key determinant, as far as interest toward job and profession is concerned. In respect to job
satisfaction, Rosenberg identified ten indicators related to what a profession can offer to its job doers
such as (1) adequate opportunities to develop, (2) physical reward and remuneration, (3) opportunities
to express creativities, (4) prestige and social status, (5) access to work in a team and make social,
interpersonal relation, (6) safety and comfort, (7) free supervision and control from others, (8) develop
leadership practices, (9) opportunities to set up travels and journeys during vacations, and (10) access
to assist others for social reasons.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
96
With regard to teaching profession, in particular, Lortie as cited by Srping (1996: 35) claimed
that psychological factors such as, work satisfaction and job usefulness are of prime factors for teachers
to love their profession. This is possible because of the ample accessibility to interact with their students.
In a broader context they argue there are three kinds of reward, such as extrinsic, psychic, and ancillary,
but the second reward is considered primary as far as satisfaction in teaching is concerned. To
exemplify they mention that salary and social recognition are extrinsic rewards, teachers’ autonomy
and creativity are psychic rewards, and job security as well as opportunity for summer time vacation
are ancillary. In line with such a proposition, Ellis, Cogan, and Howey (1981:5) synthesize that people
are interested in teaching profession because of four reasons, (1) they have access to assist children in
learning,( 2) they have ample time for summer off, (3) they are respected in a social life, and (4) they
feel that teaching is challenging. These four motives flourish and prosper the psychological satisfaction
that adds teachers’ affection as far as teaching profession is concerned.
To support this, Centra (1993:12) in particular argued that psychological satisfaction might
drive and generate internal motivation which, in turn, would influence teachers in performing their roles
and responsibilities. Teachers with high level of internal motivation manage to set themselves free from
external pressures, including demand of remuneration and related things. They feel secured and
convinced that the true rewards of their profession are found in their activities of teaching. There are
three features of internal motivation, according to Centra, such as (1) meaningfulness of teaching
activities, (2) accountability of teaching activities (3) comprehensibility of teaching output and
outcomes. The first feature consists of three propositions; (a) teachers find meaning in their teaching
activities and are challenged to do their best, (b) they feel convinced that their teaching activities yield
broader outcomes, (c) they feel convinced they possess proper competence to respond to the challenges.
The second feature deals with teachers’ responsibility and autonomy. It is to say that they are fully
responsible with the teaching outcome and, therefore, they’d work independently. The third feature
refers to the feedbacks they are continuously expecting related to their teaching activities.
The above description is significant to synthesize that interest towards teaching profession
consists of six attributes and can be elaborated to make 13 components, covering both cognitive and
affective dimensions respectively. Such components are presented below.
Table 1. Components of interest toward teaching profession
No Attribute Component
1 Family Background Parents’ attitude towards teaching profession
2 Working Condition Job’s prestige
Availability of work autonomy
Availability of career path planning
Availability of peer socialization
Availability of summer off
Job security
Availability of altruism
3 Job Requirement Clarity of required education and training
Clarity of required skills and competence
4 Reward & Remuneration Salary and recognition
5 Responsibility Clarity of Job responsibilities
6 Idol Existence of idols
Based on the components above, hence, a table of specification could be developed. Such is
urgent to construct indicators of the questionnaire to measure interest toward teaching profession. The
specification is presented below.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
97
Table 2. Specification of the instrument
Dimention Component Indicator
Note: Cognitive refers to respondents‘ comprehension about description stated in the indicators.
Affective refers to their satisfaction and pride about description stated in the indicators.
Coginitive Parents‘ attitude Support children’s preferences of teaching profession
Job’s prestige Teaching profession is superb and respected
Work autonomy Ample opportunity for work autonomy
Career panning Ample opportunity for creativy and career development
Peer socialization Ample opportunity for peer socialization
Summer off Ample opportunity to set up vacation with family
Job security Assurance of retirement allowance and free from lay off
Altruisme Ample opportunity to facilitate and help other people
Education & training Graduate from a teaching institution and completing
continuous training
Skills & competence Mastering the content subjects, paedagogy, classroom
management, motivational skills
Reward & remuneration Receive material and non materarial rewards
Job responsibility Delivering acqired subject, and building students‘
personality
and character
Idols Having idols of teaching profession
Affective Parents‘ attitude Support children’s preferences of teaching profession
Job’s prestige Teaching profession is superb and respected
Work autonomy Ample opportunity for work autonomy
Career panning Ample opportunity for creativy and career development
Peer socialization Ample opportunity for peer socialization
Summer off Ample opportunity to set up vacation with family
Job security Assurance of retirement allowance and free from lay off
Altruisme Ample opportunity to facilitate and help other people
Education & training Graduate from a teaching institution and completing
continuous training
Skills & competence Mastering the content subjects, paedagogy, classroom
management, motivational skills
Reward & remuneration Receive material and non materarial rewards
Job responsibility Delivering acqired subject, and building students‘
personality
and character
Idols Having idols of teaching profession
METHOD AND SAMPLING
This descriptive research was conducted in two phases to survey students’ interest and
preferences toward teaching profession. The first phase was carried out to develop model of instrument
to measure interest toward teaching profession, and the second phase was to validate such an instrument
based on both theoretical and empirical evidences. For theoretical validation, six experts, working as a
panel of judges, were asked to thoroughly and profoundly review the items in the instrument. They
were, in particular, requested to (1) determine level of appropriateness between identified components
of interest toward teaching profession and their theoretical constructs, (2) determine level of
appropriateness between items developed in the instrument and the identified components of interest
toward teaching profession, (3) review the clarity of sentences in all items of the instrument.
The empirical validation was carried out twice involving 200 respondents for first validation
and 520 students for second validation. The second empirical validation was conducted because 200
respondents involved in the first validation is below minimum requirement to fulfill, as far as validation
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
98
of instrument of affective domain is concerned. With respect to such a validation, according to Gable
(1986:175), the minimum number of respondent must be six times as many as total number of items in
the questionnaire. In the validations the respondents were instructed to give their responses related to
what is requested in the questionnaire. Data were analyzed using factor analysis in which the following
steps were made, such as (1) verifying the items of questionnaire using Barlett’s test and Measure
Sampling Adequacy (MSA, (2) extracting the selected items using statistical computation, Principle
Component (PC) and Maximum Likelihood, to sort such items in groups called factors, (3) rotating the
extracted items or factors. All the statistical computation above could be definitely done using SPSS
program available in the computer.
FINDINGS
Based on theoretical validation, 42 items, out of 130, were rejected and the remaining items
were taken to be verified empirically. Prior to such a validation, an inter-rater reliability was conducted
to see the agreement among raters or judges on (1) appropriateness of components of interest toward
teaching profession with the underlying theoretical construct by which such components were
developed and (2) appropriateness of items with the related components of interest. The first
computation gave rkk = 0,83 and the latter gave rkk = 0,95 which are higher than 0,7, meaning all
panelists agreed that the instrument of interest toward teaching profession has been developed
appropriately based on the related theories (Nunnally, 1978: 239).
The first empirical validation, verifying 88 items of questionnaire, reveals the following results
(1) 20 items possess MSA factor loading below 0.50, therefore to be deleted, (2) based on PC analysis
19 factors were extracted. This is to say that all 68 items in the questionnaire are valid to measure
interest toward teaching profession and they are classified in 19 groups. All valid and reliable items
were extracted from the attributive variables except the ones developed from the last attribute - idol.
The reliability test to verify the valid questionnaire was carried out using Alpha Cronbach formula and
gave coefficient correlation 0.926.
The second empirical validation, verifying 88 items of questionnaire, reveals the following
results (1) all 68 items possess MSA factor loading greater than 0.50, therefore no item to be deleted,
(2) based on PC analysis 20 factors were extracted which is indicated by variance total eigen value
greater than 1.0. In other words all 68 items in the questionnaire are valid to measure interest toward
teaching profession and they are classified in 20 groups. The last step in the validation was matrix
rotation in which 42 iteration was made and gave greatest factor loading (= 0.826) and the smallest (=
0.305). Figure below represents such an iteration.
Figure 1: Component Plot in rotated space with 42 iteration
DISCUSSION
It is worth to mention that the items of questionnaire developed from the last component - idol
– gets factor loading lower than 0.50, therefore, they must be deleted. This possibly means there is only
a few respondents, students of teaching institution, having idols and being proud of them. In other
words, it is very possible that those who are working as teachers are not performing their best endeavor;
therefore their students do not consider them as role models, as far as idols are concerned.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
99
With respect to the above statement, it is possible to hypothesize that teachers who are not performing
best endeavor might not love their profession which is presumably caused by their low interest toward
teaching profession. When such a circumstance happens, quality teaching might be lacking. Therefore,
it is best to recommend that teaching profession should only be awarded for those who possess high
interest. From the other angle it is to say that measuring interest toward teaching profession is a footstep
to improve quality teaching.
CONCLUSION
In conclusion, this research reveals the followings:
1. The instrument is said to be significantly valid and reliable to measure interest toward teaching
profession.
2. There are six attributes to induce interest toward teaching profession, such as (1) family
background, (2) working condition, (3) job requirement, (4) reward and remuneration, (5)
responsibility, (6) idol.
3. It is a must, rather than a need, to measure students’ interest toward teaching profession when
selection of teacher candidates is concerned.
4. When such is applicable, it is very possible that quality teaching might be assured.
REFERENCES
Carson, Andrew D., Retrieved from Vocational Psychology.com,
(http://www.vocationalpsychology.com/essay6interest.htm).
Centra, John A., Reflective Faculty Evaluation. (1993), San Francisco: Jossy-Bass Inc.
Ellis, Arthur K., John J. Cogan, and Kenneth R. Howey, .,(1981), The Foundation of Education.
Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall, Inc.
Gable, Robert, K., (1986), Instrument Development in the Affective Domain. Boston: Kluwer-Nijhoff
Publishing.
Hurlock, Elizabeth B., (1978), Developmental Psychology. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd.
Krech, David, Richard S. Crutchfield, and Egerton L. Ballachey, Individual in Society. New York:
McGraw-Hill Book Company, Inc., 1962.
Lampkin, Angela. (2008). Teachers as Role Models Teaching Character and Moral Virtues. JOPERD,
Volume 79 No. 2. Retrieved from http://eapp-
www.csuchico.edu/kine/documents/teachersasrolemodels.pdf
Nunnally, Jum C., Psychomatric Theory, 2nd edition. (1978)’ New York: McGraw Hill Book Company.
Rosser, A. Rosemary dan Glen I. Nicholson. (1984). .Educational Psychology: Principles in Practice
Boston: Little, Brown & Company Limited.
Spring, Joel, American Education, (1996), New York: McGraw Hill, Inc.
Sprinthall, A. Norman dan W. Andrew Collins, (1984) .Adolescent Psychology: A Developmental View
New York: Newbery Award Records, Inc.
Tilaar H.A.R., Membina Profesi Guru Indonesia Abad 21. (1998). Jakarta: Lembaga Pengembangan
Manajemen Pendidikan.
Wirawan, Yapsir Gandhi, dkk. (1997) Insentif bagi Guru Sekolah Dasar, Laporan Penelitian.
Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
100
KONTRIBUSI PENDIDIKAN SEJARAH
DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI EMAS INDONESIA
Prof. Dr. Tuti Nuriah M.Pd. 1
1Universitas Negeri Jakarta
Abstrak: Makalah ini ditulis untuk mengkaji peran pendidikan sejarah dalam pembentukan
karakter anak bangsa ini, terutama karakter generasi muda yang akan datang. Paradigma
pendidikan sejarah harus dapat dirubah tidak hanya sekedar mengajarkan tentang fakta sejarah,
tetapi lebih dari itu harus dapat mentransformasi nilai-nilai luhur tentang hidup dan kehidupan
melalui makna sejarah kepada siswa melalui pembelajaran pada aspek kausalitas antara satu
kejadian dengan kejadian lainnya, kemampuan berfikir yaitu kronologis, kritis, kreatif dan
aplikatif, kepemimpinan dan inisiatif, nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja keras, mengambil
resiko untuk tanggung jawab, dan bersikap menghargai prestasi berani berbuat, disiplin, cinta
tanah air dan bangsa, berani berkorban, untuk kepentingan dan nama baik bangsa dan negara
tanpa pamrih. Maka dari itu sangat dibutuhkan keberanian yang luar biasa seperti para pahlawan
bangsa yang melawan penjajah, untuk merumuskan visi dan melaksanakan misi pendidikan
sejarah yang lebih humanis dan universal dalam membentuk karakter generasi emas Indonesia
mendatang.
Kata kunci: Pendidikan sejarah, karakter.
Abstract: This paper was written to examine the role of education in shaping the history of the
nation 's character, particularly the character of the younger generation to come . The paradigm
of the educational history must be changed not just teaching about historical facts, but rather
than it should be able to transform the noble values of life and the meaning of life through the
learning aspect of the causality between events with other events, the ability to think
chronological, critical, creative and applicative, leadership and initiative, the value of honesty,
truth, hard work, taking responsibility for the risk, and be dare do appreciate the achievement,
discipline, love of homeland and nation, willing to sacrifice for the interests and good name of
the nation and country selflessly. Therefore, it is required extraordinary courage like the hero of
the nation against the invader, to formulate a vision and mission that educational history is more
humane and universal in shaping the character of the next generation of Indonesian gold.
Keywords: educational history, character.
PENDAHULUAN
Pendidikan karakter anak bangsa, empat suku kata yang akhir-akhir ini senantiasa terdengar,
berkumandang, dan sering diucapkan bahkan dijadikan slogan oleh berbagai pihak di negeri tercinta
ini. Pendidikan karakter dalam program pemerintah seringkali dipadankan dengan kata pendidikan
budaya. Budaya dan karakter sesungguhnya merupakan dua hal yang maknanya berbeda namun
memiliki keterkaitan yang erat.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang
dihasilkan oleh masyarakat melalui proses belajar. Proses belajar ini terbentuk dari interaksi antara
manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan sekitar. Sedangkan karakter dimaknai
sebagai watak, tabiat, akhlak, dan kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi kebaikan
yang diyakini dan kemudian digunakan sebagai landasan dalam berpikir, cara pandang, bersikap, dan
bertindak.
Konsep budaya dan karakter dikombinasikan dan tertuang utuh dalam Undang-undang nomor
20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan budaya dan karakter bangsa
diartikan sebagai proses internalisasi serta penghayatan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
101
dilakukan siswa secara aktif dibawah bimbingan guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan serta
diwujudkan dalam kehidupannya di kelas, sekolah, dan masyarakat.
Pertanyaannya, bagaimana peran dunia pendidikan utamanya pendidikan sejarah dalam
pembentukan karakter anak bangsa ini, terutama karakter generasi muda yang akan datang.
Pendidikan merupakan sistem yang seluruh komponennya terintegrasi dan saling mempengaruhi.
Pembicaraan, diskusi dan solusi tentang pembentukan karakter harus berpijak di bumi, tidak hanya
sekedar di atas kertas dan diruangan seminar saja.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sartono (1997), fungsi pelajaran sejarah antara lain
adalah untuk mengenal siapa diri kita sebagai sebuah bangsa. Hal ini diperkuat oleh Cartwright (1994)
yang menyatakan “our personal identity is the most important thing we possess”, kehilangan jatidiri
berarti kehilangan eksistensi bangsa.
Pendidikan, khususnya pendidikan sejarah hendaknya dapat memberikan kesadaran primordial,
khususnya kepada generasi muda bahwa memperbaiki kondisi kini menjadi tanggung jawab bersama
seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Primordial sendiri memiliki makna watak yang
melekat semenjak lahir, yang artinya kesadaran akan nilai-nilai positif dan nilai-nilai karakter sebuah
bangsa sudah seharusnya tumbuh didiri kita semenjak dini sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Makalah ini akan membahas tentang “Kontribusi Pendidikan Sejarah dalam Pembentukan Karakter
Generasi Muda”.
Kurikulum yang dirancang sebagai sistem dalam rangka mengembangkan kualitas baik
intelektual maupun moral siswa idealnya harus dapat menggerakkan peran vital setiap disiplin ilmu
pengetahuan pada ranah kebudayaan. Carr, seperti dikutip Gardner mempertanyakan hakikat sejarah.
“What is history?...”. “... history as a unending dialogue between the present and the past. Dialog antar
masa depan dan masa lampau mengandung dua pengertian: pertama apa yang terjadi di masa lampau
dan kedua mengapa peristiwa itu terjadi? Mengapa harus ada dialog antara masa sekarang dan masa
lampau? Jawabannya adalah agar orang mendapatkan manfaat dari berbagai peristiwa yang terjadi di
masa lampau tersebut. Sejarah sebagai ilmu harus merupakan pengetahuan yang mendatangkan manfaat
bagi orang yang mempelajarinya. Manfaat suatu kejadian tidak akan diperoleh hanya dengan
mengetahui rentetan kejadian di masa lampau.
Studi sejarah bertolak dari kebutuhan dan kepribadian intelektual hari ini. Misalnya
kebutuhan suatu bangsa adalah mengembangkan pengetahuan ilmu dan teknologi, misalnya, maka
peristiwa sejarah yang dipelajari adalah peristiwa sejarah yang menyangkut perkembangan ilmu dan
teknologi di berbagai negara.
Para ilmuwan terkenal seperti Montesquieu, Foltaire, Smith, Khaldun, Spengler, Maltus,
Toynbee, dan sebagainya menulis sejarah tidak hanya berisikan kumpulan peristiwa berikut angka
tahunnya. Montesquieu menulis monografi sejarah tentang kejatuhan kerajaan Romawi berdasarkan
pendekatan. Maltus menulis sejarah perekonomian berdasarkan teori ekonomi tertentu yaitu
kapitalisme. Khaldun menulis sejarah melalui pendekatan sosiologis. Toynbee menulis sejarah
berdasarkan pendekatan antropologi.
Pendidikan sejarah dalam hal ini, bukan hanya sebagai rutinitas dan formalitas kegiatan
pembelajaran belaka, dimana terdapat guru sebagai pentransfer ilmu dan siswa sebagai penerima
transfer ilmu. Pendidikan sejarah harus secara kontinyu melakukan transformasi nilai-nilai luhur
dalam peristiwa sejarah kepada siswa.
Transformasi Pelajaran Sejarah
Dewasa ini, pendidikan sejarah masih bersifat fakta oriented yakni pembelajaran sejarah yang
menekankan kepada siswa untuk menghafal sejumlah fakta yang terjadi dalam peristiwa sejarah. Fakta
sejarah tersebut antara lain nama pelaku, tahun peristiwa, tempat dan jalannya peristiwa. Akibatnya
siswa seperti sekumpulan manusia yang gemar menghafal tetapi tidak dapat melakukan transformasi
diri atas apa yang dipelajari dari peristiwa sejarah.
Menurut Hasan (2012:92) dalam setiap peristiwa sejarah terdapat beberapa hal yang perlu
dipelajari yakni : (1), Fakta yaitu nama pelaku, tahun peristiwa, tempat dan jalannya peristiwa, (2).
Kausalitas antara satu kejadian dengan kejadian lainnya, (3). Kemampuan berfikir yaitu kronologis,
kritis, kreatif dan aplikatif, (4). Kepemimpinan dan inisiatif, (5). Nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja
keras, risk taking dan tanggung jawab, dan (6). Sikap yakni, menghargai prestasi atau kemampuan,
keberanian bertindak, disiplin, cinta tanah air dan bangsa, berani berkorban.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
102
Titik berat materi sejarah yang selama ini diajarkan hanya pada hafalan fakta-fakta sejarah telah
mengkerdilkan potensi lain yang terdapat dalam materi sejarah, Pengkerdilan ini tentu berakibat fatal
bagi siswa dimana tidak akan terjadi transformasi diri siswa. Pendidikan sejarah tidak memberikan
ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensi-potensi yang dalam dirinya, Siswa hanya dapat
mengembangkan daya ingat, yang pada akhirnya akan hilang seiring perkembangan waktu dan peristiwa
baru yang dialaminya.
Paradigma pendidikan sejarah harus dapat dirubah tidak hanya sekedar mengajarkan tentang
fakta sejarah, tetapi lebih dari itu harus dapat mentransformasi nilai-nilai luhur tentang hidup dan
kehidupan melalui makna sejarah kepada siswa melalui pembelajaran pada aspek kausalitas antara satu
kejadian dengan kejadian lainnya, kemampuan berfikir yaitu kronologis, kritis, kreatif dan aplikatif,
kepemimpinan dan inisiatif, nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja keras, mengambil resiko untuk
tanggung jawab, dan bersikap menghargai prestasi berani berbuat, disiplin, cinta tanah air dan bangsa,
berani berkorban, untuk kepentingan dan nama baik bangsa dan negara tanpa pamrih.
Pembelajaran sejarah yang baik dapat melakukan transformasi karakter dalam diri siswa,
karena sejarah sebagai disiplin ilmu tidak hanya melibatkan aspek kognitif tetapi justru mengutamakan
afektif siswa. Pembelajaran sejarah yang benar akan memberikan kontribusi terhadap pembentukan
manusia seutuhnya, karena melalui pendidikan sejarah yang di dalamnya sudah termasuk pendidikan
karakter. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasan (2012) yang menyebut pembentukan karakter meliputi:
pengembangan kemampuan kritis, pengembangan rasa ingin tahu, pengembangan kemampuan berfikir
kreatif, pengembangan sikap kepahlawanan dan kepemimpinan, membangun dan mengembangkan sikap
kebangsaan, pengembangan kepedulian sosial, pengembangan kemampuan berkomunikasi,
pengembangan kemampuan mencari, mengolah, mengemas, dan mengkomunikasikan informasi. Dapat
disimpulkan setidaknya ada tiga hal yang dapat ditransformasikan seorang guru kepada siswa dalam
pembelajaran sejarah, diantaranya :
1. Sejarah sebagai wahana pengenalan diri seseorang
Sejarah sebagai wahana pengenalan diri, adalah sejarah sebagai refleksi diri akan pengenalan
diri secara utuh, dengan menggunakan tiga dimensi sekaligus yaitu masa lalu, masa depan, dan masa
yang akan datang. Kemudian dengan menggunakan analisis teknik kreasi dan inovasi maka sejarah ini
dapat berperan besar dalam menentukan pengenalan diri seseorang secara utuh baik pengenalan secara
individu, kelompok, kenegaraan, fisik maupun psikis dalam memperkenalkan nilai-nilai luhur.
2. Sejarah sebagai wahana pemahaman peran
Sejarah sebagai wahana pemahaman peran seseorang, setelah seseorang tersebut mengenali
dirinya secara utuh melalui sejarah, maka akan mengerti peran apa yang harus dilakukan terkait dengan
posisinya. Selain itu berawal dari pengenalan diri tersebut akan dengan sadar diri mengetahui
kelemahan dan kelebihannya secara utuh sehingga mampu menerima segenap kelebihan dan
kekurangannya secara utuh juga. Siswa akan mengerti apa yang harus dilakukan dalam berbagai
kondisi. Misalkan sebagai mahasiswa melalui intelektualitas dan moralitas yang dimiliki akan
memperbaiki bangsa ini dengan jalan diskusi dan orasi di kalangan kampus, mengkritisi sesuai
kompetensi yang dimiliki, sebagai contoh lain adalah seorang anak yang sedang sekolah dan mengikuti
pelajaran, dengan bimbingan orang tua dan sekolah, sebenarnya anak tersebut sedang berjuang
membangun negeri ini sesuai dengan proporsi serta kompetensi yang dimilikinya.
3. Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap
Karakter seseorang antara lain dipengaruhi latar belakang budaya, sebut saja budaya Jawa
sebagai salah satu kearifan lokal sebagai satu budaya di Indonesia yang tidak hanya mampu
mempertahankan eksistensi dirinya. Budaya Jawa khususnya budaya keraton Jawa terus melestarikan
keunikan yang dimiliki menjadi budaya yang menarik, berwibawa, dianut pengikut setianya, tidak
hanya keluarga keraton tetapi juga dihormati masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan oleh
masyarakat mancanegara. Di sinilah antara lain pendidikan sejarah berperan sangat aktif dalam
melestarikan budaya bangsa. Melalui pengalaman sejarah masa lalu dan kini rakyat Jawa melestarikan
dan membangun budayanya yang unik menarik. Budaya Bali, Padang, Batak, Dayak, Papua dan lain-
lain merupakan citra primitif pada pembentukan karakter bangsa yang otomatis membentuk manusia
seutuhnya karena manusia yang berkarakter baik, membentuk dirinya menjadi manusia seutuhnya.
Kehidupan bermasyarakat Jawa menekankan kepada hal-hal yang baik dan luhur, santun dalam
bersikap dan bericara, rendah hati dan luwes dalam bergaul. Greertz dalam Suseno (1996) menyebut
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
103
dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Pertama, dalam setiap
situasi manusia hendaknya bersikap hati-hati hingga tidak menimbulkan konflik. Kedua, agar manusia
dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dan dapat
menempatkan diri sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Menurut Mulder (1986) bagi orang Jawa selalu rukun, damai, nyaman, terang, aman dan
harmonis dalam kelompok lazimnya dianggap sebagai keberhasilan sistem gotong royong. Secara sadar
sistem ini dianggap berlaku bagi hidup berkeluarga, bertetangga dan bagi kehidupan desa, kota dan
secara ideologis sekarang mulai tampak pada kehidupan berbangsa secara nasional.
Menurut falsafah Jawa, orang harus menyesuaikan diri, bekerja sama, memainkan peranan
dengan selalu menjaga sopan santun. Selain itu juga harus patuh pada aturan dan bersikap menerima
(nrimo). Hal-hal tersebut merupakan ketentuan yang harus dipatuhi. Jika ada kepentingan-kepentingan
yang saling bertentangan selalu diperhalus dengan teknik kompromi yang bersifat tradisional dan
diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, baik individu
maupun kelompok. Masyarakat Jawa berusaha mengenyampingkan ambisi pribadi untuk kepentingan
bersama. Budaya ini melekat pada orang Jawa yang kadang-kadang dianggap terlalu lemah dan dapat
diperlakukan semena-mena.
Orang Jawa diajarkan leluhurnya harus mendahulukan komunitas, baru kepentingan pribadi.
Orang harus menerima dengan keadaan yang ditakdirkan Sang Pencipta dan tidak boleh banyak protes
dan memiliki ambisi terlampau besar. Komunitas bertindak sebagai “pagar” terhadap perilaku yang
menyimpang, demi mempertahankan nama baik dan kesusilaan. Sopan santun melekat erat dan menjadi
keyakinan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sisi lain falsafah Jawa pentingnya mawas diri
bagi yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena hal itu merupakan
ujian dari Sang Khalik. Ojo dumeh merupakan peringatan agar seseorang selalu ingat kepada
kepentingan sesama, karena itu masyarakat Jawa mengutamakan gotong royong. Aji mumpung adalah
salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah manusia pada umumnya. Ambisi,
persaingan, urakan, keinginan untuk mencapai keuntukan pribadi dan kekuasaan merupakan sumber
bagi segala perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan ditindas
(Suseno, 1996). Orang Jawa pada umumnya menghindari hal-hal yang bersifat frontal dan kekerasan.
Banyak mengalah untuk kerukunan.
Kondisi lestarinya budaya juga terjadi di Bali yang keanekaragaman budayanya sangat populer
di kalangan turis domestik dan mancanegara. Budaya Bali merupakan salah satu aset bangsa Indonesia
yang patut dibanggakan. Bahkan kadang-kadang nama Bali lebih populer di telinga orang asing
daripada nama Indonesia.
Di Bali, adat, budaya dan kepercayaan bersatu padu menjadi bunga rampai yang indah dan
dapat dirasakan masyarakat umum di luar masyarakat Bali. Budaya ramah, selalu ingin membantu,
menyenangkan pihak lain, santun terhadap tamu seperti melekat di sanubari orang Bali. Keindahan alam
dan kemahiran orang Bali memelihara limpahan kenikmatanNya menjadikan pulau Bali dan
masyarakatnya sebagai sesuatu yang unik dan menarik. Budaya Bali menekankan pada hubungan antara
manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan penciptanya. Kebudayaan Jawa dan Bali
sungguh merupakan fakta sejarah yang mendidik masyarakat untuk selalu berbuat baik terhadap sesama
dan menjadi bermakna buat sesama sambil tetap patuh pada Tuhan yang Maha kuasa. Dua kebudayaan
tersebut merupakan contoh yang baik di samping budaya-budaya dari daerah lain di Indonesia.
Keanekaragaman budaya Indonesia sungguh merupakan kekayaan tiada tara bagi bangsa Indonesia.
Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap maksudnya
adalah: ketika seseorang mengenali dirinya secara utuh kemudian memahami perannya secara utuh
juga. Maka orang tersebut tengah mempunyai sesuatu yang khas, berbeda dengan bangsa lain, secara
historik mempunyai pemahaman yang baik tentang pengenalan diri dan perannya dalam kehidupan
pribadi, kelompok, maupun bernegara, sehingga dengan berbekal nilai-nilai luhur sejarah diadobsi
dengan kreasi dan inovasi jadilah karakter dan jati orang tersebut yang terus mengusung pada arah
perbaikan bagi dirinya sendiri, bangsa, negara, maupun agamanya. Berbekal sejarah juga seseorang
akan mempunyai jiwa nasionalisme, cinta tanah air, sehingga dalam bertindak, berucap, ataupun
mengambil keputusan melandaskan pada jati diri dan karakter bangsa yang telah tertanam secara baik
dalam diri pribadi tersebut. Disinilah letak pendidikan sejarah dalam pembentukan manusia seutuhnya,
karena manusia yang berkarakter adalah manusia seutuhnya.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
104
Landasan Filosofis Pendidikan Sejarah
Landasan filosofis pendidikan sejarah didasarkan pada landasan filosofis kurikulum. Landasan
ini menjadi sangat penting agar secara sistemik dan sistematik pendidikan sejarah dapat dijalankan
secara berkesinambungan dengan berpijak pada filosofi yang ada. Tanner dan Tanner (1980)
mengemukakan empat landasan filosofis dalam mengembangkan pendidikan sejarah yaitu:
1) Perrenialisme, pendidikan sejarah harus mengembangkan rasa bangga terhadap prestasi, prestise
dan kejayaan bangsa dimasa lampau. Kisah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya, kemashuran
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dalam menjalin perdagangan dan hubungan diplomasi dengan
negara lain sudah sepatutnya diceritakan dan diwariskan.
2) Essentialisme, pendidikan sejarah sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual
generasi muda. Sejarah sebagai mata pelajaran harus diberikan secara rutin dan continue dalam
proses pembelajaran didalam kelas. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis, berfikir historis dan
berpikir solutif atas permasalahan yang terjadi dengan berpijak pada peristiwa masa lampau dalam
mengalami masa kini dan masa depan.
3) Humanisme, pendidikan sejarah harus mengandung nilai-nilai afektif, memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan pikiran, tindakan, dan gagasan-gagasan
positif dalam hubungannya dengan masyarakat.
4) Reconstructionisme, pendidikan sejarah harus ditekankan pada pola pikir yang bersifat progress,
berorientasi ke masa sekarang dan masa yang akan datang. Pendidikan sejarah seharusnya tidak
hanya terpaku pada masa lampau, tetapi juga harus memberikan perhatian mengenai apa yang kini
terjadi bahkan pada masa yang akan datang.
PENUTUP
Menyadari sepenuhnya bahwa perubahan yang diinginkan tidak semudah membalikkan telapak
tangan, apa lagi yang akan dirubah adalah pendidikan sejarah yang dalam rentang sejarah perjalanan
bangsa pendidikan sejarah selalu dikaitkan dengan politik kekuasaan.
Sebut saja pada masa pemerintahan Orde Lama pendidikan sejarah justru sebagai alat legitimasi
penguasa untuk menggerakkan revolusi dan pada saat yang sama juga menghakimi kelompok yang
dianggap anti revolusi, saat itu dikenal istilah Manipol Usdek. Saat pergantian rezim Ode Baru,
perubahan pendidikan sejarah pun mengalami politisasi kekuasaan, unsur-unsur Orde Lama dibasmi
secara sistemik dalam pendidikan sejarah. Pada saat yang sama peran penguasa Orde Baru mendapat
posisi istimewa dalam pendidikan sejarah.
Terlepas dari perdebatan bahwa sejarah seringkali dijadikan sebagai alat legitimasi oleh
penguasa, pendidikan sejarah tetap harus berlandaskan pertimbangan akademik didalam penyajian dan
penyampaiannya. Sebagaimana disampaikan Wineburg (2001), historical knowledge should serve as a
bank of contemplating present problems. Cerita sejarah merupakan cerita yang iluminatif mengenai
upaya manusia menjawab tantangan yang dihadapi, serta sebagai media yang sangat baik dalam
mengembangkan kreatifitas, inspirasi, inisiatif, dan kemampuan berpikir antisipatif. sejarah merupakan
sebuah peristiwa yang terjadi dimasa lampau, yang keberadaannya terus berlanjut ke masa kini dan
masa yang akan datang. Ibarat kaca spion, sejarah adalah sebagai “cermin masa lalu, pijakan dimasa
depan”.
Akhirnya penulis berkesimpulan sangat dibutuhkan keberanian yang luar biasa seperti para
pahlawan bangsa yang melawan penjajah, untuk merumuskan visi dan melaksanakan misi pendidikan
sejarah yang lebih humanis dan universal dalam membentuk karakter generasi emas Indonesia
mendatang, Insya Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Bigge, Morris L. Learning Theories for Teachers. New York: Harper And Row, Publisher, Inc, 1982
Carr, E. H. The Use of History. London: Penguin Books, 1961.
Dahlan, M.D. (Penyunting). Model-model Mengajar. Bandung: C.V. Diponegoro, 1990.
Gagne, Robert M., Kondisi Belajar dan Teori Pembelajaran, terjemahan Munandir MA, Jakarta:
Depdikbud, 2003.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
105
Hasan, Hamid. Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung: Rizqi
Press, 2012.
Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif dan Jati Diri
Bangsa.Tulisan sebagai apresiasi untuk Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, 2012.
Hilgard, Ernest R., dan Gordon H. Bower. Theories of Learning. Englewood Cliffs New Jersey:
Prentice-Hall, Inc., 1975.
Kartodirdjo, Kartono. Pembangunan Bangsa Tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan Kebudayaan
Nasional. Yogyakarta: Aditya Media, 1993.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yayasan Bentang Budaya. Yogjakarta. 2001
Penjelasan Sejarah. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.
Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia; Mitos, Ideologi, dan Ilmu.
Yayasan Bentang Budaya. Yogyakarta. 2008
Koesoema, D. A. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo,
2007.
Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Gunung Agung, 1981.
Prasetyo, J. Reza, dan Andriani, Yeni, Multiply Your Multiple Intelligences Melatih Kecerdasan
Majemuk pada Anak dan Dewasa, Yogyakarta: 2009.
Sangkanparan, Hartono, Dahsyatnya Otak Tengah Jadikan Anak Anda Cerdas Saat Ini Juga, Jakarta:
Visimedia, 2010.
Wineburg, Sam. Making Historical Sense, dalam Knowing Teaching and Learning History: National
and International Perspectives. New York: New York University Press, 2000.
Wineburg, Sam. Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the
Past. Philadelphia: Temple University Press, 2001.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
106
PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP
KINERJA KEPALA SEKOLAH:
PENELITIAN PADA KEPALA SMPN DI KOTA ADMINISTRASI
JAKARTA TIMUR
Matin1
ABSTRACT
The objective of the research is to obtain information concerning with the effect of
organizational culture, on the headmasters’ performance. This research was conducted in
East Jakarta City Administration in 2011 by using a survey method with path analysis
applied in testing hypothesis and 77 State Junior High School Headmaster in East Jakarta
City Administration as samples selected randomly. The finding of the research are: there is
a direct effect of organizational culture toward headmaster’ performance; Based on these
finding, it could be concluded that any change or variation occurred at headmasters’
performance might have been directly effected by organizational culture, When we want to
minimize the variation which occurred in headmasters’ performance, these factor such as
organizational culture are necessary to be taken into account.
Keywords: organizational culture, headmasters’ performance, High School.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pentingnya peran kepala sekolah dalam pendidikan sangat nyata terlihat ketika pemerintah
menggulirkan suatu kebijakan desentralisasi dan otonomi sekolah yang dikenal sebagai manajemen
berbasis sekolah. Pada sistem ini, kepala sekolah tidak hanya sebagai seorang manajer yang lebih
banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan administrasi sekolah, tetapi lebih jauh dari itu
adalah bahwa kepala sekolah dituntut untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu menciptakan
visi dan misi sekolah serta mengilhami semua guru dan personil lainnya untuk mewujudkan visi dan
misi tersebut.
Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pentingnya kepala sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan juga dapat dilihat dari Permen Diknas No. 13 Tahun 2007 tentang standar
kepala sekolah. Pada dokumen tersebut dijelaskan bahwa untuk menjadi kepala sekolah yang
profesional maka yang bersangkutan harus memiliki kompetensi dalam: 1) menyusun perencanaan
pengembangan sekolah secara sistemik, 2) mengkoordinasikan semua komponen sistem sehingga
secara terpadu dapat membentuk sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif, 3) mengerahkan
seluruh personil sekolah sehingga mereka secara tulus bekerja keras demi pencapaian tujuan
instruksional sekolah, 4) memberikan pembinaan kemampuan profesional kepada guru sehingga
mereka semakin terampil dalam mengelola proses pembelajajaran, dan 5) mampu melakukan
monitoring dan evaluasi sehingga tidak ada satupun komponen sekolah yang tidak berfungsi secara
optimal. Dengan demikian jelas bahwa sekolah membutuhkan kepala sekolah yang memiliki
kompetensi tinggi untuk membangun sekolah yang berkualitas. Kepala sekolah merupakan pemegang
otoritas dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga perlu memahami proses pendidikan
dan mampu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
Hasil Pengamatan Peneliti tahun 2010 menyimpulkan bahwa banyak kepala sekolah belum
memperlihatkan kinerja yang tinggi sesuai harapan masyarakat: (1) kepala sekolah belum memiliki
rencana pengembangan sekolah secara sistematis, (2) kepala sekolah belum mampu mengerahkan
seluruh sumber daya sekolah guna memberikan konstribusi positif terhadap pencapaian tujuan sekolah,
dan (3) kepala sekolah belum mampu melakukan pembinaan kepada guru dan tenaga administrasi yang
memiliki masalah pekerjaan.
Pandangan beberapa anggota masyarakat tentang masalah sekolah seperti dikutip oleh Tilaar
(2011: h.161) ialah: (1) masih ada kepemimpinan kepala sekolah yang belum efektif, (2) kinerja
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
107
sekolah yang masih jauh dari harapan, (3) budaya sekolah yang belum kondusif, (4) pengaturan sekolah
yang belum efektif, (5) disiplin warga sekolah yang relatif rendah, (6) tidak ada perubahan yang
signifikan terhadap perbaikan proses belajar mengajar, kuantitas dan kualitas guru, sarana belajar, dan
kesejahteraan warga sekolah, dan bahkan kemampuan kepala sekolah masih jauh dari yang diharapkan
masyarakat.
Hal-hal di atas diduga disebabkan oleh (1) rekruitmen kepala sekolah yang tidak mengikuti
peraturan sehingga mengakibatkan terjaringnya kepala sekolah yang memiliki mental rendah, kurang
memiliki motivasi kerja, tidak punya semangat kerja dan semangat team, tidak punya visi dan misi
organisasi, dan tidak memiliki integritas, (2) monitoring dan evaluasi terhadap sekolah tidak berjalan
sebagaimana mestinya dari pihak terkait, (3) budaya organisasi yang tidak kondusif seperti
memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan buruk pada masyarakat yaitu komunikasi antar warga sekolah
yang tersumbat, pengambilan keputusan yang ragu-ragu, pengawasan yang tidak jalan, koordinasi yang
tidak ada, serta kepemimpinan yang lemah, (4) kebijakan pemerintah yang tidak tersosialisasikan
dengan baik, (5) kepemimpinan para pengelola organisasi pendidikan yang kurang efektif, (6)
perubahan pola manajemen sekolah yang dalam prosesnya relatif mendadak, dan (7) munculnya
persaingan antar sekolah sebagai akibat dari adanya desentralisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Rumusan Masalah
Apakah budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja kepala sekolah?
KAJIAN TEORETIK
Deskripsi Konseptual Kinerja didefinisikan Colquitt, LePine, dan Wesson (2009 h.37) sebagai nilai perilaku
karyawan yang berkontribusi secara positif atau negatif terhadap pemenuhan tujuan organisasi. Judith
A. Hale (2004;h.2) mendefinisikan kinerja sebagai pekerjaan yang penuh arti dilakukan dengan cara
efektif dan efisien Slocum dan Hellriegel (2009;h.127) mengartikan kinerja sebagai tingkat
kemampuan dan motivasi seseorang yang mengindikasikan bahwa semakin mampu dan termotivasi
seorang pegawai dalam bekerja bisa jadi semakin baik kinerjanya. Nelson dan Quick (2006;h.191)
mendefinisikan kinerja sebagai ketuntasan kerja yang terlihat dari hasil-hasil yang ada dan usaha
sebagai kinerja yang baik. Sedangkan Sabine Sonnentag (2002;h.156) mengartikan kinerja sebagai aksi
yang sesuai dengan tujuan organisasi, kinerja juga diartikan sebagai apa yang pemilik harus korbankan
untuk bekerja.
Kinerja menurut Colquitt, LePine, dan Wesson memiliki tiga dimensi yaitu (1) kinerja tugas,
(2) perilaku kesukarelaan, dan (3) perilaku kontra produktif. Kinerja tugas dan perilaku kesukarelaan
merupakan kontribusi perilaku positif, sedangkan perilaku kontra produktif merupakan kontribusi
perilaku negatif. Kinerja tugas adalah serangkaian kewajiban yang nyata dan harus dipenuhi oleh setiap
pegawai untuk mendapatkan kompensasi dari pekerjaan yang berkelanjutan yang meliputi tugas-tugas
rutin dan tugas-tugas yang bersifat khusus. Tugas rutin meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tugas yang bersifat khusus membutuhkan kemampuan adaptasi
seperti penanganan kondisi darurat, ketegangan dalam bekerja, kreatifitas menyelesaikan masalah,
mempelajari teknologi dan tugas-tugas baru, adaptasi interpersonal terhadap pekerjaan, dan adaptasi
terhadap budaya sekitar. Perilaku kesukarelaan merupakan aktivitas sukarela pegawai yang
kemungkinan dihargai atau tidak tetapi memberikan kontribusi pada organisasi untuk memperbaiki
kualitas lingkungan pekerjaan seperti kesediaan untuk membantu, kesediaan menginformasikan hal-hal
yang relevan, kemampuan menjaga perilaku yang baik, membicarakan perbaikan organisasi, kerelaan
melakukan tugas lebih dari standar yang ditentukan, kerelaan mengikuti perkembangan organisasi, dan
mewakili organisasi dengan cara positif jika keadaannya jauh dari tempat kerja. Perilaku kontra
produktif adalah perilaku pegawai yang bersifat negatif pada pencapaian tujuan organisasi, meliputi
penyimpangan kepemilikan seperti sabotase dan pencurian, penyimpangan produksi seperti
pemborosan sumber daya dan penyalahgunaan material, penyimpangan politik seperti gossip dan
ketidak sopanan, dan penyimpangan individual seperti gangguan dan penyerangan. Menurut Colquit,
Lepine dan Wesson, kinerja merupakan produk akhir pada model integrative perilaku organisasi
bersama-sama dengan komitmen organisasi yang merupakan hasil individu dalam organisasi.
5
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
108
Definisi Hale tentang kinerja memberikan tekanan pada keberartian pekerjaan yang dilakukan
secara efektif dan efisien. Keberartian pekerjaan dapat diartikan sebagai bekerja dengan sungguh-
sungguh menghasilkan produk yang berkualitas, dikerjakan tepat sasaran dan hemat dalam penggunaan
sumber daya. Meskipun definisi Hale berbeda penekanan dari pendapat Colquit dkk., namun disepakati
bahwa ketepatan waktu dalam pencapaian tujuan dan efisien dalam penggunaan sumber daya dapat
merupakan ukuran kinerja seseorang sebagaimana hasil pekerjaan yang diinginkan oleh pimpinan suatu
organisasi.
Nelson dan Quick menjelaskan bahwa kinerja berkaitan dengan perilaku seseorang dalam
mengemban tugas dengan tanggung jawab sesuai keahlian yang dimilikinya. Ketuntasan bekerja
mengindikasikan bahwa hasil yang berkualitas sebagai bagian dari ketelitian, kecermatan dan
kemampuan dalam melakukan pekerjaan, dan berhubungan erat dengan usaha-usaha mewujudkan
tanggung jawab untuk memperlihatkan kinerja yang baik. Seseorang yang mampu menuntaskan
pekerjaan tepat waktu dengan kualitas yang baik dapat dikatakan bahwa ia memiliki kinerja baik, karena
untuk itu yang bersangkutan harus melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan tuntutan
ketuntasan tugas dalam rangka mencapai kinerja terbaik.
Menurut Sabine Sonnentag, kinerja merupakan perilaku aksi bukan reaksi dan merupakan unsur
aktif pegawai yang perlu memiliki dorongan yang kuat dari dalam dan dari luar diri pegawai. Dorongan
aktif ini sesuai dengan tujuan organisasi sehingga selaras antara tujuan individu dengan tujuan
organisasi yang mengakibatkan munculnya seperangkat tindakan.
Dari beberapa definisi di atas, peneliti menganalisis dan mendefinisikan kinerja sebagai
seperangkat perilaku seseorang dalam melakukan tugas yang memberikan konstribusi positif maupun
negatif pada pencapaian tujuan organisasi. Secara konseptual, yang dimaksud kinerja kepala sekolah
adalah hasil kerja kepala sekolah sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya sebagai administrator,
manajer, leader, motivator, dan supervisor sekolah yang meliputi sikap mental dan kemampuan dalam
melaksanakan tugas sehingga menghasilkan pekerjaan yang efektif dan berkualitas dengan
menggunakan masukan secara efisien dalam usaha menampilkan mutu pekerjaan yang baik.
Budaya organisasi didefinisikan Colquitt, LePine dan Wesson (2009;h. 546) sebagai upaya
berbagi pengetahuan sosial melalui penghormatan organisasi terhadap aturan, norma dan nilai-nilai
yang membentuk sikap dan perilaku setiap anggota organisasi. Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge
(2009;h. 585) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem nilai yang dipegang dan dilakukan oleh
setiap anggota organisasi, sehingga dengan demikian suatu organisasi dapat dibedakan dari organisasi
lainnya. Kinicki dan Kreitner (2008;h. 41) mengartikan budaya organisasi sebagai himpunan asumsi-
asumsi yang dibagi bersama kepada setiap anggota organisasi, dan di dalamnya terkandung bahwa suatu
kelompok menentukan bagaimana mereka merasa, memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungannya.
James L. Gibson, et,al., (2009;h. 30) mendefinisikan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan
para pegawai terhadap organisasi dan bagaimana mereka menciptakan suatu pola tentang keyakinan,
nilai-nilai, dan harapan-harapan. Sedangkan Edward H. Schein (2004;h.17) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh suatu
kelompok karena berhadapan dengan penyesuaian lingkungan eksternal dan integrasi lingkungan
internal yang telah berjalan cukup baik dan dianggap tepat sehingga dapat diajarkan kepada anggota
baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan ketika berhadapan dengan
berbagai masalah.
Menurut Colquitt, LePine dan Wesson, budaya organisasi terdiri atas tiga komponen yaitu: (1)
artefak yang dapat diobservasi, (2) nilai-nilai yang tersiarkan, dan (3) asumsi yang sangat mendasar,
Menurut Robbins dan Judge, budaya organisasi memiliki karakteristik yaitu: (1) ada inovasi dan
keberanian mengambil resiko, (2) perhatian terhadap yang kecil-kecil, (3) berorientasi pada hasil, (4)
berorientasi kepada manusia, (5) berorientasi pada tim, (6) terciptanya agresifitas, dan (7) terciptanya
stabilitas. Menurut Schein, budaya organisasi harus menjadi dasar bagi anggota organisasi dalam
melihat pesoalan, berpikir, dan bertindak. Budaya harus dilihat sebagai suatu yang bersifat informal
yaitu cara hidup dan keunggulan dalam suatu organisasi yang mengikat bersama dan mempengaruhi
apa yang mereka pikirkan tentang dirinya dan pekerjaannya. Menurut Ricard L. Daft (2005;h.558),
budaya memiliki dua fungsi utama yaitu (1) membantu organisasi agar setiap anggotanya mampu
berinteraksi secara terintegrasi dalam membangun suatu identitas bersama dan mengetahui bagaimana
bekerja sama secara efektif, (2) organisasi mampu beradaptasi dengan dunia luar terutama dalam
menentukan bagaimana organisasi mempertemukan tujuan-tujuan dengan pihak luar yaitu dalam
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
109
merespon secara cepat kebutuhan pelanggan, termasuk bagaimana dapat bergerak di antara para
kompetitor. Sedangkan menurut Kinichi dan Kreitner, budaya organisasi dipandang sebagai suatu
kekuatan yang lembut tapi mudah disebarluaskan, kehadirannya tidak disadari oleh setiap anggota
organisasi tetapi mereka mematuhinya, umumnya berada di bawah ambang kesadaran karena budaya
melibatkan asumsi yang menjadi jaminan tentang bagaimana seseorang dapat melihat, berpikir,
bertindak, merasakan dan bereaksi terhadap lingkungannya. Budaya organisasi merupakan norma
dalam organisasi, bersifat informal, tidak tertulis, jarang diperbincangkan tetapi diyakini kebenarannya,
tidak dapat dinegosiasi tetapi secara nyata besar pengaruhnya dalam membentuk perilaku anggota
organisasi, dan timbul secara langsung dari berbagai asumsi.
Robbins dan Judge menjelaskan bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung
kepada kinerja dan kepuasan pegawai. Pengaruh langsung budaya terhadap kinerja juga dikemukakan
oleh Steven L. McShane dan Mary Ann Von Glinow (2008;h. 467). Sedangkan Colquitt, Lepine dan
Wesson, menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh tidak langsung pada kinerja pegawai.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa budaya organisasi (budaya sekolah) merupakan suatu
sistem makna bersama yang dianut oleh setiap warga sekolah yang membedakan sekolah tersebut dari
sekolah yang lain, mencakup tentang apa yang dipahami oleh setiap warga sekolah sebagai pola
kepercayaan, nilai, dan harapan yang mengarahkan perilaku dan praktek kerja dalam sekolah.
Deskripsi Teoretik
Colquitt, LePine dan Wesson menjelaskan bahwa kinerja secara langsung dipengaruhi oleh
mekanisme individual di antaranya (1) kepuasan kerja, (2) motivasi, (3) tekanan (stress), (4)
kepercayaan, keadilan dan etika, dan (5) pembelajaran dan pengambilan keputusan. Kinerja secara tidak
langsung dipengaruhi oleh (1) mekanisme organisasi, yaitu budaya organisasi dan struktur organisasi,
(2) mekanisme kelompok yaitu kepemimpinan, kerja tim dan karakteristik tim, dan (3) karakteristik
individu yaitu kepribadian dan nilai budaya, dan kecakapan. Menurut hasil survey di Britain
(2003;h.58), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ialah (1) faktor fisik, lokasi, dan teknologi, (2)
faktor nilai keyakinan dan budaya, sikap individu, motivasi dan kepribadian, (3) pengaruh internasional,
(4) lingkungan organisasi seperti lingkungan manajerial, politik dan ekonomi, (5) tingkat fleksibilitas
organisasi baik di tingkat pekerja maupun pada aktivitas pekerjaan, dan (6) sistem penggajian dan
hadiah.
Tarwaka dkk. dalam Sedarmayanti (2009;h.198) menjelaskan bahwa kinerja dipengaruhi oleh
(1) Kapasitas individu pegawai yang terdiri atas pendidikan, keterampilan, motivasi, kedisiplinan, etos
kerja, jaminan sosial, umur, jenis kelamin, pengalaman, agama, kesehatan, kebugaran, daya tahan otot
dan panca indera, kemampuan psikologis meliputi mental, adaptasi, stabilitas emosi, kemampuan
biomekanik yaitu daya tahan sendi dan persendian, dan (2) kapasitas pekerjaan yang terdiri atas tugas-
tugas pekerjaan termasuk alat, bahan dan teknologi, organisasi kerja, lingkungan kerja, beban kerja,
ketidaknyamanan kerja, stress akibat kerja, penyakit akibat kerja, dan cidera atau kecelakaan akibat
kerja. Menurut Mulyasa (2004;h.139), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ialah: (1) sikap mental
berupa motivasi, disiplin, kreatifitas dan etika kerja, (2) pendidikan, (3) keterampilan, (4) manajemen
dan kepemimpinan, (5) hubungan industrial, (6) kesejahteraan, (7) gizi dan kesehatan, (8) jaminan
sosial, (9) suasana kerja, (10) sarana kerja, (11) teknologi kerja, dan (12) kesempatan berprestasi.
Michael Amstrong (2006;h.1) mengatakan bahwa untuk meningkatkan kinerja organisasi, suatu
organisasi perlu mengembangkan kinerja individu dan kinerja kelompok. Sementara menurut Nelson
dan Quick harus dilakukan sejumlah tindakan manajemen yaitu melakukan identifikasi, mengukur,
menilai, dan umpan balik atas semua kegiatan yang dilaksanakan. Sedangkan menurut John W.
Newstrom dan Keith Davis (2000;h.139), untuk merancang suatu sistem yang mendukung perbaikan
kinerja adalah melalui (1) perumusan tujuan, (2) perencanaan tindakan, (3) review secara periodik, dan
(4) evaluasi berkala.
Menurut Castetter dalam Mulyasa (2004;h.139) untuk mengukur kinerja dilakukan melalui
karakteristik personil, proses kerja, hasil kerja, dan kombinasi ketiganya. Menurut Arouf dalam
Sedarmayanti (2002;h.202), alat pengukur kinerja ialah input, proses produksi, efisiensi kerja, kualitas
kerja, dan efektivitas kerja. Menurut Edy Sutrisno (2009;h.111-112) indikator kinerja yaitu:
kemampuan untuk melaksanakan tugas, efektivitas kerja, semangat kerja, pengembangan diri, kualitas
kerja, dan efisiensi kerja. Menurut Sedarmayanti (2009;h.79) ialah: (1) tindakan yang konstruktif, (2)
percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) mencintai pekerjaan, (5) mempunyai pandangan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
110
ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungan (kreatif, imajinatif dan inovatif),
dan (8) memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Sedangkan menurut John V. Gilmore
(1974:h. 7), yaitu mereka yang memberi kontribusi positif pada lingkungan tempat mereka berada
karena yang bersangkutan melakukan tindakan yang kontruktif, imajinatif, kreatif, dan inovatif.
Jason A. Colquit dkk., (2009) mengatakan bahwa budaya organisasi, struktur organisasi, gaya
kepemimpinan, kekuatan dan pengaruh kepemimpinan, kerja tim, karakteristik tim, kepribadian dan
nilai-nilai budaya, serta kecakapan individu memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja
pegawai. Sementara, menurut Robbins dan Judge, dan menurut Steven L McShane dan Mary Ann
Glinow (2008: h.467) bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung kepada kinerja.
Kerangka Berpikir Budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang dianut anggota organisasi menyediakan anggotanya
untuk berinovasi, tetap stabil, respek kepada semua orang, berorientasi kepada hasil dan tim kerja, serta
bersikap agresif. Sementara, kinerja kepala sekolah yang dimaksudkan sebagai nilai-nilai kontribusi
positif yang diberikan kepala sekolah untuk mencapai tujuan sekolah akan mudah direalisasikan jika
memiliki daya dukung dari beragam kemampuan yang disediakan oleh budaya organisasi sekolah.
Kemampuan yang beragam ini memberi kontribusi positif dan memiliki pengaruh yang kuat pada
pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian diduga bahwa budaya sekolah berpengaruh langsung
positif terhadap kinerja kepala sekolah.
Hipotesis
Budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang ada tidaknya pengaruh langsung
budaya sekolah terhadap kinerja kepala sekolah. Peneltian dilaksanakan di SMP Negeri Kota
Administrasi Jakarta Timur DKI Jakarta pada tahun 2011. Penelitian ini termasuk penelitian survey
dengan teknik kausal. Data dikumpul dengan menggunakan angket dan dianalisis dengan statistika
deskriptif dan inferensial. Populasi penelitian ialah seluruh Kepala SMP Negeri di lingkungan Kota
Administrasi Jakarta Timur DKI Jakarta berjumlah 95 kepala sekolah. Sampelnya 77 kepala sekolah
yang diambil secara acak sederhana dengan berpedoman pada rumus Slovin. Respondennya adalah
seluruh kepala sekolah yang dijadikan sampel.
HASIL PENELITIAN
Karakteistik Sampel: Sampel dikelompokan berdasarkan jenis kelamin, masa kerja, dan pangkat atau
golongan. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 55 atau 71,43% laki-laki dan 22 atau 28,57% perempuan,
berdasarkan masa kerja, tebanyak memiliki masa kerja 21-30 tahun yaitu 45 orang atau 58,44%, dan
terendah memiliki masa kerja 11-20 tahun yaitu 5 orang atau 6,49%. Berdasarkan pangkat/golongan,
terbanyak memiliki pangkat/golongan IV/a yaitu 52 orang atau 67,53% dan terendah pangkat/golongan
IV/c yaitu 3 orang atau 3,9%. Tidak ada sampel yang memiliki pangkat/golongan di bawah IV/a dan di
atas IV/c.
Deskripsi Data: Variabel kinerja kepala sekolah: skor minimum 110, skor maksimum 214, rerata
198,44, median 202, modus 211, simpangan baku 12,78, rentang skor 54, varians 163,28, kelas interval
8, 50 atau 64,9% skor di ata rerata, dan 23 atau 29,9% di bawah rerata. Variabel budaya organisasi:
skor minimum 148, skor maksimum 205, rerata 185,05, median 189, modus 187, simpangan baku
15,01, rentang skor 57, varians 225,21, kelas interval 8, 40 atau 51,9% skor di atas rerata, dan 26 atau
33,8% di bawah rerata.
13
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
111
Pengujian Persyaratan Analisis : (1) Uji Normalitas Galat Taksiran: Hasil uji Liliefors untuk menilai
normalitas galat taksiran menyatakan bahwa data penelitian berdistribusi normal. Hasil perhitungannya
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Galat Taksiran
Galat
Taksiran
L0 Lt
α=0,05
Keterangan
Y atas X 0.096 0.101 Normal
(2) Uji Signifikansi Persamaan Regresi: Hasil ANOVA untuk menilai signifikansi persamaan regresi
menyatakan bahwa persamaan regresi adalah sangat signifikan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada
tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Signifikansi Persamaan Regresi
Variabe
l
Persamaan Regresi Signifikansi
Fhitung Ftabel α 0,05 Ftabel α 0,01 Keterangan
Y – X Ŷ=81,510+0,632X 91,94** 3,97 6,99 Sangat Signifikan
(3) Uji Linearitas Persamaan Regresi: Hasil ANOVA untuk menilai linearitas persamaan regresi
menyatakan bahwa persamaan regresi adalah linear. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 4 di
bawah ini:
Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji Linearitas Persamaan Regresi
Variabel Persamaan Regresi Signifikansi
Fhitung Ftabel α 0,05 Ftabel α 0,01 Keterangan
Y – X Ŷ=81,510+0,632X 1,61ns 1,72 2,16 Linear
(4) Uji Signifikansi Koefisien Korelasi: Perhitungan koefisien korelasi sederhana menggunakan
Pearson Product Moment Correlations dan pengujian signifikansi koefisien korelasi menggunakan t-
student. Hasil pengujian menyatakan bahwa koefisien korelasi sangat signifikan. Hasil perhitungan
dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5. Matriks Koefisien Korelasi Sederhana Antar Variabel
Variabel Budaya Organisasi (X) Kinerja Kepala Sekolah
(Y)
Budaya Organisasi
(X1) 1,000** 0,742**
Kinerja
Kepala Sekolah (Y) 0,742** 1,000**
**Sangat Signifikan pada. α 0,01 (rtab 0,266 N=77)
Sementara hasil perhitungan signifikansi koefisien korelasi dengan uji t-student dapat dilihat pada tabel
6 di bawah ini
Tabel 6. Rangkuman Hasil Pengujian Signifikansi Koefisien Korelasi
No Variabel Koefisien Korelasi thitung ttabel α 0,05 ttabel α o,01
1 X – Y 0,742 9,588*
*
1,992 2,643
**Koefisien korelasi sangat signifikan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
112
Perhitungan Koefisien Jalur: dilakukan berdasarkan model teoritis sebagai berikut:
pYx
Gambar 2. Model Hubungan Struktural Variabel Penelitian
Berdasarkan diagram jalur pada gambar 2 di atas, terdapat sebuah koefisien jalur yaitu: pYx.
Rangkuman hasil analisis jalur dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Rangkuman Hasil Perhitungan Signifikansi Koefisien Jalur
Koefisien Jalur thitung ttabel Keterangan
α =0.05 α =0.01
pYX = 0,47 7,07 1,99 2,64 Sangat Signifikan
Dari data pada tabel di atas diketahui bahwa jalur memiliki koefisien jalur sangat signifikan.
Model akhir hasil analisis jalur dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.
0,47
Gambar 3. Model Akhir Diagram Jalur
Pengujian Hipotesis: dilakukan dengan cara menguji koefisien jalur melalui penggunaan uji-t dengan
kriteria tolak hipotesis nihil jika thitung ˃ ttabel, dan sebagai konsekuensinya hipotesis alternatif diterima.
Dengan demikian maka koefisien jalur dinyatakan signifikan. Hipotesis yang diajukan adalah budaya
organisasi (X) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah (Y). Hasil pengujian
hipotesis terhadap pYX = 0,47 diperoleh thitung = 7,07 ˃ ttabel = 1,99 (α 0,05) dan 2,64 (α 0,01). Dengan
demikian disimpulkan bahwa budaya sekolah secara langsung, positif dan sangat signifikan
berpengaruh terhadap kinerja kepala sekolah
Pembahasan Hasil Penelitian: Penelitian ini telah berhasil menguji hipotesis yang diajukan yaitu
budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah. Budaya sekolah
mempunyai pengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah terutama kinerja kepala SMP
Negeri di Kota Administrasi Jakarta Timur. Kesimpulan ini didukung oleh pendapat Stephen P. Robbins
dan Thimoty Judge serta pendapat Steven L McShane dan Mary Ann Glinow (2008: h.467) yang
mengatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja, dimana semakin
kuat budaya organisasi maka akan semakin baik kinerja yang dihasilkan. Budaya sekolah di lingkup
SMP Negeri di Kota Administrasi Jakarta Timur pada umumnya menjunjung tinggi perhatian pada
manusia, bekerja keras, disiplin, tanggung jawab, dan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Disimpulkan bahwa budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah.
Kesimpulan ini dapat digunakan sebagai variabel yang mendukung model teori kinerja yang
dikemukakan Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge serta pendapat Steven L McShane dan Mary Ann
Glinow (2008: h.467). Implikasi hasil penelitian menyiratkan bahwa untuk meningkatkan kinerja
kepala sekolah dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan kualitas budaya sekolah.
Budaya Organisasi
(X) Kinerja Kepala Sekolah
(Y)
Budaya
Organisasi (X)
Kinerja Kepala
Sekolah (Y)
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
113
Keterbatasan Penelitian: Penelitian ini dilakukan terbatas pada satu variabel saja yang mempengaruhi
kinerja kepala sekolah yaitu budaya sekolah, padahal yang mempengaruhi kinerja kepala sekolah sangat
banyak, sehingga hasil penelitian ini tidak mampu memberikan iformasi yang cukup tentang penentu
utama tinggi rendahnya kinerja kepala sekolah. Dimungkinkan muncul keraguan ketepatan informasi
dari kesimpulan penelitian ini oleh karena data dikumpulkan dengan angket yang diisi oleh responden
sekaligus obyek penelitian. Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan dalam lingkup yang cukup
luas karena wilayah penelitianya hanya di Kota Administrasi Jakarta Timur, kecuali kalau di wilayah
lain memiliki kesamaan karakteristik dengan sampel penelitian ini.
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Hasil Penelitian: Budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala
sekolah
Implikasi Hasil Penelitian: Untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dapat dilakukan dengan
meningkatkan kualitas budaya sekolah.
Rekomendasi: Bagi Pengelola Pendidikan (Dinas Pendidikan dan Instansi terkait) agar memerankan
kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro ketika memimpin kepala sekolah guna meningkatkan kualitas
budaya sekolah. Pengawas sekolah agar melakukan monitoring dan evaluasi serta melakukan
pembinaan yang teratur terhadap kepala sekolah agar kinerja kepala sekolah meningkat. Kepala
sekolah agar paham berbagai faktor yang mempengaruhi kinerjanya dan berusaha mawas diri dan selalu
meningkatkan kualitas sikap dan kompetensi lainnya sebagai kepala sekolah guna mengejar kinerja
yang tinggi. Peneliti lain agar melakukan penelitian lanjutan tentang kinerja kepala sekolah dengan
sudut pandang yang lain di luar budaya organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Britain, Manufacturing In, A Survey of Factors Affecting Growth & Performance, ISR/Google Books,
Revised 3th Edition, 2003.
Colquitt, Jason A., Jeffrey A. LePine & Michael J. Wesson, Organizational Behavior Improving
Performance and Commitment in the Workplace, New York: McGraw Hill, 2009.
Depdiknas, Permen Diknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah.
George , Jennifer M., Gareth R. Jones, Understanding and Managing: Organizational Behavior, USA:
by Pearson Education, Inc., 2005.
Gibson, james L., et.al., Organization, Behavior, Structure, Processes, Singapore: McGraw-Hill
Education, 2009.
Greenberg, Jerald, Managing Behavior in Organization, 5th Edition, New Jersey: Pearson education,
Inc., 2010.
Hale, Judith A., Performance Based Management: What Every Manager Should Do To Get Result, San
Prancisco: John Wiley & Sons, Inc., 2004.
http//www:poskotaco.id/berita-terkini/gubernur-evaluasi (Jakarta: Koran Poskota, 21 September
2011).Diakses tanggal 25 September 2011.
http//www:tempointeraktif, 70 Persen Kepala Sekolah Tak Kompeten, (Jakarta: Koran Tempo, 12
Agustus 2008). Diakses tanggal 18 April 2011.
Kinicki, Angelo, Robert Kreitner, Organizational Behavior, Key Concepts, Skills & Best Practices 3th
Ed., New York: McGraw-Hill, 2008.
Luthans, Fred, Organizational Behavior, 11th Edition, Singapore: McGraw-Hill/Irwin, 2008.
McShane, Steven L., Mary Ann Von Glinow, Organizational Behavior, Fourth Edition, New York:
McGraw-Hill Companies, Inc., 2008.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
114
Mulyasa, E., Menjadi Kepala sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Mullins, Laurie J., Management and Organizational Behavior, Edinburg Gate harlow: prentice Hall,
2006.
Newstrom, John W., Keith Davis, Organizationl Behavior, Human Behavior at Work, New York:
McGraw-Hill/Irwin, 2000.
Robbins, Stephen P., Thimoty Judge, Organization Behavior, New Jersey: Perason Education, Inc.,
Upper Saddle River, 2009.
Schein, Edward H., Organizational Culture and Leadership, 3th Edition, San Prancisco: Jossey-Bass
Publisher, 2004.
Sedarmayanti, Tata Kerja dan Produktivitas Kerja: Suatu Tinjauan dari Aspek Ekonomi atau Kaitan
Antar Manusia dengan Lingkungan Kerjanya, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2009.
Sevilla, Consuelo G., et.al., Pengantar Metode Penelitian, terjemahan Alimudin Tuwu, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia Press, 1993.
Slocum, John W., Don Hellriegel, Principles of Organization Behavior 11th Edition, Toronto: Nelson
Education, Ltd., 2009.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II
Pasal 3 Halaman 7, Penerbit Citra Umbara , Bandung.
Vecchio, Robert P., Organizational Behavior: Core Concepts, 6th Edition, USA: by Thomson
Corporation, 2006.
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo Persada, 2002.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
115
PENERAPAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM BERBAHASA
Ninuk Lustyantie1
1Jurusan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni dan Program Studi Pendidikan
Bahasa/Linguistik Terapan Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Abstrak
Language is a system that is primarily used by humans to interact with each other.
Language can be observed from the substance (form, meaning, and the rules that govern
them) and of the function (as a means of communication). Ferdinand de Saussure states
that language is a system, has its own arrangement, and everything pertaining to the
system and the rules are internal. In terms of function, language is a tool of
communication. With respect to the language as "himself" and function as a tool of
communication, language has to do with society, culture, and the mind of native speakers,
even with the world in general, the presence of between language, society, culture, and the
human mind (speakers). Thus language is the main tool for us to carry out a social
relationship. The words were spoken people refer to a common experience. These article
express facts, ideas or events that can be communicated as they refer to the knowledge of
the world which is also known by others.
In politeness, Brown and Levinson (1987) distinguishes two types of 'face', ie
positive face, which means showing solidarity, and negative face, which indicates a desire
not to be disturbed in his actions. In addition, there are two types of politeness concern
when we interact with others, ie positive politeness, which is characterized by the use of
informal language and offer friendship. Politeness itself depends on the socio-cultural,
norms, and rules somewhere, so the study of linguistic politeness selecting either of the
verbal and nonverbal be used by the people of Indonesia in communicating very diverse.
Abstrak Bahasa adalah satu sistem yang terutama sekali digunakan oleh manusia untuk
berinteraksi satu sama lain. Bahasa dapat dicermati dari substansinya (bentuk, makna, dan
kaidah yang mengaturnya) dan dari fungsinya (sebagai alat komunikasi). Sebagai
substansi, Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem,
mempunyai susunan sendiri, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan sistem dan kaidah
tersebut bersifat internal. Dari segi fungsinya, bahasa adalah alat komunikasi. Sehubungan
dengan bahasa sebagai “dirinya sendiri” dan fungsinya sebagai alat komunikasi, bahasa
mempunyai kaitan dengan masyarakat, kebudayaan, dan pikiran penuturnya, bahkan
dengan dunia secara umum maka timbul adanya keberhubungan antara bahasa,
masyarakat, budaya, dan pikiran manusia (penuturnya). Dengan demikian bahasa adalah
alat utama bagi kita untuk melakukan sebuah hubungan sosial. Kata-kata yang diucapkan
orang mengacu pada sebuah pengalaman umum. Kata-kata tersebut mengungkapkan fakta,
ide atau peristiwa yang dapat dikomunikasikan karena mereka mengacu pada pengetahuan
tentang dunia yang juga diketahui oleh orang lain.
Dalam kesantunan, Brown dan Levinson (1987) membedakan dua jenis ‘muka’,
yaitu positive face, yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang
menunjukkan hasrat untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis
kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive
politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan
pertemanan. Kesantunan berbahasa sendiri bergantung pada sosial budaya, norma, dan
aturan suatu tempat, sehingga kajian pemilihan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal
maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi sangat
beragam.
Kata kunci: kesantunan berbahasa, verbal, nonverbal.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
116
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Koentjaraningrat (1976) menyatakan bahwa bahasa digunakan dalam konteks budaya tertentu,
baik dalam konteks yang abstrak maupun yang konkret. Disebut memiliki konteks abstrak karena
bahasa berada dalam lingkungan sistem nilai tertentu, setidak-tidaknya dalam sistem nilai yang dianut
oleh pemakai bahasa itu. Disebut memiliki konteks konkret karena bahasa pada umumnya digunakan
dalam lingkungan manusia, bahkan di dalam lingkungan hasil karya manusia. Dengan demikian, nilai
suatu masyarakat, termasuk nilai budaya patriarkal terkemas di dalam bahasa. Hal itu diperkuat oleh
pendapat Burman dan Parker yang menyatakan bahwa bahasa berisi sebagian besar kategori dasar yang
kita gunakan untuk memahami diri kita sendiri; bahasa mempengaruhi cara kita bertindak sebagai
wanita atau pria dalam masyarakat; bahasa juga memproduksi cara kita menentukan identitas budaya
kita. Dengan demikian, jika bahasa sendiri sudah seksis, hal itu pun akan membentuk pemikiran
pemakainya untuk berprilaku tersebut.
Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu,
pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan
yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan
berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya "tidak
terus terang" dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur
tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang
dimaksudkannya.
Dalam artikel berikut diuraikan bagaimana prinsip-prinsip kesantunan berbahasa perlu
diterapkan baik dari sisi verbal maupun nonverbal sekaligus dianalisis dari sisi budaya masyarakat
Indonesia yang sangat beragam.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan penjelasan latar belakang, masalah penelitian ini adalah bagaimanakah prinsip-
prinsip kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat
Indonesia dalam berkomunikasi?
C. Tujuan Penelitian
Merujuk masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui realitas
potret penggunaan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal dalam berkomunikasi.
D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya kajian ini, diharapakan akan bermanfaat bagi:
a) Dosen - sebagai pengajar sebagai bahan informasi dan referensi mengenai fenomena dan realitas
mengenai potret kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh
masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi.
b) Mahasiswa - hasil penelitian ini juga sebagai informasi untuk memperkaya wawasan tentang kajian
sosiolinguistik khususnya realitas pemilihan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun
nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi.
c) Bagi peneliti lain - penelitian ini juga sebagai informasi awal untuk mengkaji sub-sub kajian
sosiolinguistik yang lain.
d) Secara umum, hasil penelitian ini memberikan sumbangan yang positif terhadap kajian
sosiolinguistik secara umum untuk mengembangkan body of knowledge tentang sosiolinguistik.
KAJIAN TEORI
1 . Kesantunan
Kesantunan (politeness) adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat
tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh
karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
117
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam
pergaulan sehari-hari.
a. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai santun atau etiket dalam pergaulan
sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai santun
atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian
sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik
penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang,
memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih
mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
b. Kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi
belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan
teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu
tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau
mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang
banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di
rumah.
c. Kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua,
antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria
dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
d. Kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur
(berbahasa).
2. Jenis Kesantunan Kesantunan secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan
berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci
karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunan itu. Di dalam
kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain
terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (lejas), menampakkan bagian badan yang pada
umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang
rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi
santai, berpakaian renang pada waktu renang.
Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu
atau dalam situasi tertentu. Misalnya, ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang
kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan
bersama di tempat umum. Masing-masing situasi tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada
waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan,
cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara
memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya kurang santun
apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan kaki di atas bangku ketika
mengikuti kuliah, bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan
bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, menyela antrean atau memotong
giliran orang, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan
mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara
berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar
menyampaikan ide yang dipikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang
ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila
tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka akan mendapatkan nilai
negatif, misalnya dijuluki sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, bahkan tidak
berbudaya.
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan
komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus
mendapatkan perhatian. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih dapat
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
118
memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur
serangkaian hal yaitu:
(1) Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu,
(2) Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu,
(3) Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan,
(4) Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara,
(5) Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara, dan (6) Kapan harus diam dan mengakhiri
pembicaraan.
Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok
masyarakat tertentu. Misalnya, tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa
orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang
Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa
Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang
berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya perlu dipelajari atau dipahami norma-norma
budaya. Tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan
berbahasa. Sebagai contoh, dalam budaya Melayu kata ganti diri ”aku” tidak boleh digunakan karena
memiliki arti yang sangat kasar. Untuk menyebutkan diri, dapat digunakan kata saya, menyebutkan
nama sendiri, atau dengan patik.
3. Kesantunan Berbahasa
Kesantunan menurut Searle (1969) merupakan bentuk tindak tutur yang tidak langsung:
In the field of indirect illocutionary act, the area of directives is the most useful to study because
ordinary conversational requirements of politeness normally make it awkward to issue flat
imperative statements or explicit performatives, and we therefore seek to find indirect means
to our illocutionary ends. In directives, politeness is the chief motivation for indirectness.
Untuk pertama kalinya, konsep ini diperkenalkan oleh Erving Goffman (1967) melalui istilah
‘muka’ (face). Dua puluh tahun kemudian, Brown dan Levinson (1987) memberikan definisi mengenai
‘muka’, yaitu sebagai ‘the public self-image that every member wants to claim for himself’. Terminologi
tentang kesantunan (politeness) sendiri banyak mengandung arti. Menurut Thomas, untuk
memahaminya perlu melihat lima fenomena yang saling berhubungan, yakni:
a. Kesantunan sebagai tujuan dunia nyata
Fenomena yang muncul dari kesantunan sebagai dunia nyata dilihat dari istilah ‘kesantunan’ yang
diinterpretasikan sebagai hasrat untuk dihargai orang lain atau sebuah motivasi terpendam dari sikap
kebahasaan seseorang. Hasrat dan motivasi ini hanya dapat diperoleh melalui apa yang diucapkan
oleh seseorang yang kemudian direspon oleh pendengarnya. Kita bisa mengobservasi seseorang
lebih santun dari yang lain, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar kesamaan dengan
komunitas yang lainnya.
b. Rasa hormat vs. Kesantunan
Rasa hormat sering dihubungkan dengan kesantunan, meskipun merupakan fenomena berbeda. Rasa
hormat mengacu pada rasa segan yang kita tunjukkan pada orang lain melalui nilai yang mereka
miliki, seperti status, usia, dsb. Kesantunan merupakan hal yang umum untuk menunjukkan
perhatian pada orang lain. Antara rasa hormat dan kesantunan dapat dimanifestasikan melalui
tingkah laku sosial maupun cara-cara kebahasaan, misalnya saja kita dapat mengungkapkan rasa
hormat kita dengan berdiri saat seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi masuk ruangan,
atau dengan menunjukkan kesantunan dengan memegang pintu tetap terbuka saat seseorang akan
keluar ruangan.
c. Ragam Bahasa
Istilah ragam bahasa (register) mengacu pada variasi sistematik dalam hubungannya dengan konteks
sosial, atau cara bahasa yang digunakan untuk berbicara maupun menulis disesuaikan dengan situasi.
Situasi tertentu atau jenis bahasa yang digunakan maupun hubungan sosial tertentu menuntut
penggunaan bahasa yang formal. Keformalan bahasa yang digunakan dapat bermanifestasi dengan
pilihan bentuk bahasa yang formal, penghindaran interupsi, dan lain-lain. Seperti halnya dengan rasa
hormat, register hanya memiliki hubungan yang sedikit dengan kesantunan. Register sendiri
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
119
merupakan fenomena nyata dari sosiolinguistik, yaitu penjelasan bentuk-bentuk kebahasaan yang
biasanya muncul pada situasi tertentu.
d. Kesantunan sebagai fenomena ujaran
Banyak studi mengenai kesantunan difokuskan pada level realisasi ujaran. Walter (1979)
mendefinisikan fenomena ini sebagai cara menginvestigasi seberapa banyak kesantunan ditekan dari
strategi tindak tutur. Fenomena ini melihat kesantunan dalam tingkat permukaan, yakni menekankan
pada penggunaan bentuk bahasa dari tindak tutur itu sendiri.
e. Kesantunan sebagai fenomena pragmatik
Pada tingkat ini, kesantunan dianggap sebagai sebuah strategi yang digunakan oleh pembicara untuk
dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain, penggunaan bentuk bahasa tertentu secara
kontekstual untuk mencapai tujuan si pembicara.
Selanjutnya, konsep kesantunan ini kemudian berkembang menjadi lima teori kesantunan
berbahasa, yaitu:
1. Teori Relevansi/Prinsip Teori
Teori ini dikembangkan oleh Sperber dan Wilson (1989). Teori ini mempunyai satu bidal (maksim),
yaitu prinsip relevansi, antara pembicara dan mitra bicara agar dapat terjalin komunikatif otensif.
Teori ini berkaitan erat dengan proses kognitif seseorang dalam penerimaan pesan serta bagaimana
manusia dapat dengan mudah dimengerti, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang ada
dalam pesan. Di dalam setiap komunikasi tidak boleh ada paksaan bagi kedua pihak untuk memberi
info secukupnya saja atau harus mengerti perbedaan makna yang dikatakan dengan maksud
pembicara.
2. Prinsip Sopan Santun Teori ini dikembangkan oleh Leech yang memperkenalkan sejumlah bidal (maksim) yang memiliki
kesamaan dengan prinsip-prinsip kerja sama (cooperative principle) yang dikemukakan oleh Grice.
Lima maksim ini disebut Principle Politeness (Prinsip Kesantunan). Maksim-maksim yang
dikemukakan oleh Leech adalah: (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), yang menekankan pada
‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekpresi kepercayaan yang memberikan
keutungan untuk orang lain; (2) maksim kemurahan hati (The Generosity Maxim), yang menyatakan
bahwa kita harus mengurangi ekpresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan
ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain; (3) maksim penerimaan (The Approbation Maxim),
yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan
memaksimalkan ekpresi persetujuan terhadap orang lain; (4) maksim kesederhanaan (The Modesty
Maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri; (5) maksim persetujuan
(The Agreement Maxim), maksim ini menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri
sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dan orang lain.
3. Prinsip Kesantunan Rasional dan Muka Brown dan Levinson (dikutip oleh Wardhaugh, 1997) membedakan dua jenis ‘muka’, yaitu positive
face yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang menunjukkan hasrat untuk tidak
diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita
berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa
yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh
penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan. Konsep ‘muka’
sendiri digunakan pertama kali tahun 1876 sebagai terjemahan dari bahasa Cina ‘dui lian’. ‘Muka’
di sini memiliki makna ‘reputasi’ atau ‘nama baik’. Goffman, yang mempopulerkan konsep ‘muka’
pada tahun 1967, memberikan definisi ‘muka’ sebagai:
“.....the positive social value a person effectively claims for himself by the line others assume
he has taken during a particular contact. Face in an image of self delineated In terms of
approved social attributes—albeit an image that others may share, a when a person makes a
good showing for his profession or religion by making a good showing for himself”.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
120
Menurut Brown dan Levinson, ada beberapa tindak ilokusi tertentu yang berpotensi
mengancam atau merusak ‘muka’ orang lain. Tindakan ini disebut ‘face- threatening acts’ (FTAs).
Untuk mengurangi FTAs ini, perlu strategi yang berbasis pada kekuasaan (power), jarak (distance),
ukuran beban (rating of imposition).
4. Prinsip Kerjasama (Cooperative Principle)
Dalam prinsip kerjasama, seseorang harus mengikuti beberapa maksim agar tujuan komunikasi
tercapai, dan prinsip ini tidak berlaku jika percakapan dilakukan seorang diri. Hal ini dinyatakan
oleh Grice:
“it may be worth noting that specific expectations or presumptions connected with at least some
of the foregoing maxims have their analogues in the sphere of transactions that are not talk
exchanges. I list briefly one such analog for each conversational category.”
Prinsip kerjasama yang diperkenalkan oleh Grice pada tahun 1975, memuat empat maksim, yaitu:
a. Maksim Kualitas. Maksim ini menuntut pembicara untuk memberikan kontribusi seinformatif yang
dibutuhkan. Misalnya, jika seseorang membutuhkan empat kursi, maka jangan memberinya tiga,
dua atau satu kursi.
b. Maksim Kuantitas. Maksim ini menuntut agar pembicara tidak mengatakan hal yang palsu atau tidak
memiliki bukti yang cukup. Misalnya, jika seseorang membutuhkan gula untuk adonan kuenya,
maka jangan diberi garam.
c. Maksim Hubungan. Maksim ini menuntut pembicara untuk relevan dengan hal yang dibutuhkan.
Misalnya jika seseorang tengah sibuk membuat adonan kue, maka jangan diberikan buku petunjuk
yang benar untuk mengadoni kue.
d. Maksim Cara. Maksim ini menuntut pembicara memberikan informasi yang jelas dan akurat.
Janganlah memberikan informasi yang ambigu, sehingga akan membingungkan lawan bicara.
Sementara itu, Leech memandang prinsip kesantunan sebagai “piranti” untuk menjelaskan
mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan maksudnya.
Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran terdengar santun. Penutur
biasanya menggunakan implikatur. Implikatur adalah apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika kita
bedakan “apa yang dikatakan” (what is said) dan “apa yang dikomunikasikan” (what is communicated),
implikatur termasuk apa yang dikomunikasikan.
Leech (1983) dalam bukunya Principles of Pragmatics mengajukan tujuh maksim kesantunan,
yaitu
a. maksim kebijaksanaan “tact maxim” (berilah keuntungan bagi mitra tutur),
b. maksim kedermawanan “generosity maxim” (maksimalkan kerugian pada diri sendiri),
c. maksim pujian “praise maxim” (maksimalkan pujian kepada mitra tutur),
d. maksim kerendahan hati (minimalkan pujian kepada diri sendiri),
e. maksim kesetujuan (maksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur),
f. maksim simpati “sympathy maxim” (maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur), dan
g. maksim pertimbangan “consideration maxim” (minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur’ dan
maksimalkan rasa senang pada mitra tutur).
Prinsip kesantunan Leech ini oleh beberapa ahli pragmatik dipandang sebagai usaha
“menyelamatkan teori Grice, karena prinsip kesantunan Grice sering tidak dipatuhi daripada diikuti
dalam praktik penggunaan bahasa yang sebenarnya” (Thomas, 1995:15). Suatu tuturan dikatakan
santun bila dapat meminimalkan pengungkapan pendapat yang tidak santun (Leech, 1983: 81).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pembentukan kesantunan berbahasa dianalisis menurut teori Leech
(1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip sebagai berikut.
1. Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa
Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau
rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan (bersamaan dengan itu)
meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
121
Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle)
dengan keempat maksim (aturan) percakapannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnya, yaitu (1)
maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang mengutamakan
keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang
mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4)
maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri
sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim
kesimpatisan yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan
ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga
komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
Perhatikan contoh berikut.
A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal!
B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaude.
Pada contoh di atas terlihat bahwa si A memenuhi prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian
kepada temannya yang baru saja lulus doktor dengan predikat cumlaude dan tepat waktu, tetapi si B
tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri.
2. Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo)
Kata-kata yang berbau seks, pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang merujuk pada organ-
organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan,
dan kata-kata "kotor" dan "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupakan kalimat
yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oleh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan
berlangsung.
- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!
- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!
Kata berak pada kalimat pertama dan kata kencing pada kalimat kedua tergolong ke dalam kata
tabu karena bernilai “kasar” atau ”kotor” tadi. Pada konteks perkuliahan kata yang lebih baik digunakan
adalah ”ke belakang” saja yang mancakupi kedua makna tadi.
3. Penggunaan Eufemisme (Ungkapan Penghalus)
Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Misalnya, ketika
kita bertamu ke rumah seseorang dan kita ingin buang air, maka percakapan yang kemungkinan
berlangsung adalah:
- Pak, permisi, ada orang di kamar kecil? Atau, yang lebih halus lagi:
- Pak, permisi, saya mau ke kamar kecil. Atau, yang paling halus:
- Pak, permisi, saya mau ke belakang.
Ungkapan pertama di atas menunjukkan bentuk yang halus dari maksud buang air meskipun dengan
menanyakan keberadaan orang lain di kamar kecil. Ungkapan kedua lebih halus karena hanya dengan
menyatakan maksudnya ke kamar kecil tanpa perlu menanyakan siapa pun yang berada di kamar kecil.
Ungkapan ketiga paling halus karena bentuk makna tak langsung yang digunakan adalah ’ke belakang’
4. Penggunaan pilihan kata honorifik (ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang
lain)
Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan
(undha-usuk dalam bahasa Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal
tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah
ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa Jawa krama
inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya
lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, pronominal persona engkau, Anda,
saudara, bapak/ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika dipakai untuk menyapa orang.
Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan
seorang pria yang lebih tua.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
122
(1) Engkau mau ke mana?
(2) Saudara mau ke mana?
(3) Anda mau ke mana?
(4) Bapak mau ke mana?
Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan diucapkan oleh orang yang lebih
muda, tetapi kalimat (4) yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan.
Kalimat (3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun
lebih patut penggunaan kalimat (4).
5. Uusur Verbal dan Nonverbal dalam Kesantunan
Di samping empat prinsip penerapan kesantunan dalam berbahasa, berikut dibahas pula aspek-
aspek nonlinguistik yang mempengaruhi kesantunan berbahasa. Selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur
nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal
yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinesik, dan proksemik. Perhatian terhadap unsur-
unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa.
Paralinguistik berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara
rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam
berbahasa. Penutur harus memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang
lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu
seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara kepada temannya, adalah santun dengan cara berbisik
agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya
dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada
peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya
bisa dianggap kurang santun, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang
yang kurang pendengarannya.
Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti
murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang
juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal
dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak
ibunya ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala
(kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur
verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil
temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti
ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!". Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah
dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan,
cukup dengan mengedipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu
maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut
agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah
Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinesik ini.
Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinesik atau gerak isyarat (gesture) dapat
dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk
menciptakan ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan
menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan
tamunya dianggap kurang santun.
Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah
proksemik, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan
komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak
pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama,
setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling
bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun
sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil berjabat tangan dengan kedua tangannya.
Mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang
bersangkutan. Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan
penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertukarkan,maka akan terlihat janggal,
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
123
bahkan dinilai tidak sopan. Masih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemik ini, misalnya
sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan
pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya,
dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan
memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinesik, dan
prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa.
Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi.
PENUTUP
Untuk mengungkap kesantunan biasanya dilakukan dengan unsur verbal. Bahasa yang santun
dapat ditandai juga dengan pemakaian kata-kata tertentu, seperti: (a) perkataan tolong pada waktu
menyuruh orang lain, (b) ucapan terima kasih setelah orang lain memberi sesuatu atau melakukan
tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur, (c) penyebutan kata bapak, Ibu daripada kata Anda, (d)
penyebutan kata beliau daripada kata dia untuk orang yang lebih dihormati, (e) pergunakan perkataan
minta maaf untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur. Selain bentuk verbal,
pemakaian bahasa santun (dalam ragam bahasa lisan) dapat ditambah dengan pemakaian bahasa
nonverbal, seperti: (a) memperlihatkan wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum ketika
berbicara, (c) sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, dan (d) posisi tangan yang selalu
merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang). Pemakaian bahasa nonverbal seperti itu akan dapat
menimbulkan ”aura santun” bagi mitra tutur. Meskipun belum didukung dengan data yang cukup valid,
beberapa penanda pemakaian bahasa yang tidak santun dapat diidentifikasi sebagai berikut. 1) penutur
menyatakan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dan dengan kata-kata kasar, 2) penutur
didorong rasa emosi ketika bertutur, 3) penutur protektif terhadap pendapatnya, 4) penutur sengaja ingin
memojokkan mitra tutur dalam bertutur, dan 5) penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan
terhadap mitra tutur.
DAFTAR PUSTAKA
Edward, John. 1985. Language, Society, and Identity. New York: Basil Blackwell.
Goody, Esther N (Ed.). 1985. Questions and Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge.
Gordon, George N. 1969. The Languages of Communication. New York: Hasting House.
Hudson, Richard A. 1996. Sociolinguistics Second Edition. New York:
Cambridge University Press.
Hymes, Dell. 1966. Culture and Society: A Reader in Linguisitics and Anthropology. New York:
Harper & Row.
Koentjoroningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Salam, H. Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics Fifth Edition. New York: Basil
Blackwell.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
124
KONSEP PENDIDIKAN YANG AKOMODATIF TERHADAP NILAI BUDAYA LOKAL DI
INDONESIA
Prof. Dr. R. Madhakomala1
1Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Pembangunan pendidikan harus didasari dengan budaya , khususnya budaya lokal.
Budaya lokal berkaitan dengan karya, nilai, kebiasaan, kerja sama, proses pembelajaran,
kebutuhan hidup dan pemecahan masalah yang dihadapi oleh kelompok, termasuk
masyarakat lokal. Budaya lokal menuntut perancangan pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan idealistik dan materialistik dalam kehidupan nyata masyarakat. Perencanaan
pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya, dan pendidikan harus mampu
mengakomodasikan budaya lokal (memberdayakan kearifan budaya masyaarakat
setempat), sehingga hasil pendidikan akan sesuai dengan kebutuhan dan haraapan
kehidupan masyarakat dilingkungannya (lokal).
Budaya lokal menjadi kepribadian menyeluruh yang membedakan kehidupan
masyarakatnya pada suatu daerah dengan daerah lain, premis ini sangat relevan dengan
kebutuhan perencanaan pendidikan di Indonesia yang memiliki keragaman budaya dari
berbagai daerah, aplikasi aneka budaya lokal bagi kepentingan nasional sangat penting
sebagai wawasan multikutural. Pemahaman budaya lokal perlu diakomondir berdasarkan
perilaku dan kebiasaan sikap khusus masyarakat daerah dalam rangka mengantisipasi
terjadi pergeseran pengembangan dan pengelolaan wilayahnya yang rawan terhadap
budaya asing yang dapat merusak nilai-nilai budaya lokal yang berdampak buruk terhadap
pendidikan. Sehingga pemahaman tentang budaya lokal sangat dibutuhkan untuk
menunjang program pembangunan pendidikan, agar masyarakat benar-benar dapat
membangun pendidikan yang tumbuh secara berakar dan implikasinya Perencanaan
Pendidikan Berbasis Budaya Lokal.
Kata Kunci: Budaya , budaya lokal, Masyarakat, pendidikan dan perencanaan pendidikan
Abstract Educational development should be based on the culture, especially the local
culture. The local culture is related to creation, values, habit, cooperation, learning
process, living needs and problems solving faced by the group, including local
communities. Local culture required an educational design that fits the needs idealistic
and materialistic society in real life. Educational planning can not be separated by culture
and the role of education should be able to accommodate the local culture (empowering
the wisdom of the local cultural communities), so that the aim of education will fit the
needs of community life in their environment.
Local culture become a whole personality that distinguishes the way of live in a
region to the other, the premise is very relevant to the needs of educational planning in
Indonesia, which has a diversity of cultures from various regions, various applications of
local culture is very important for the national interest as multicultural insights. The
understanding of the local culture needs to be accommodate by the behavior and habits of
specific attitudes from the local communities. It is to anticipate a shift in the development
and the region management that is vulnerable to a foreign culture which could undermine
local cultural values and will have a negative impact on education. So an understanding of
the local culture is needed to support the development of education programs so that people
can build educational implications strongly and The implication of Culture-Based
Education Local Planning.
Keywords : Culture, Local culture, Community, Education and Educational planning
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
125
INTRODUCTION
A. Back Ground
According to Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, education is a a conscious way and
planned to create a learning view and process for learners actively to develop student’s potential to be
religious, having a spiritual strength restraint, personality, intelligence, good behaviour and also skills
required that support their competence as a citizen of their country. This is proved how important the
role of education in our state.
The UNESCO has stated a program about developing culture which dictates message to the
world that any kinds of developing country is about welfare and culture. Therefore, the educational
development shoud be based on the culture and also the local culture itself. The point is to required
the local culture in the development planning. Especially the educational planning which is concerned
on the local culture. In other words, Educational planning based on the local culture.
Local Culture is related to some other things like a creation, value, custom and cooperation
activity, learning process, problems solving faced by groups in the local culture. The further discussion
about culture and the cultural debates influenced the behaviour of the local people.
The local citizen is a social local unity which is signed by local culture. So, we can say that
the educational function in the community is to ensure the cultural needs and communities which has
relationship each other in order to keep a good circumstances. The above statement compliances to the
value of social educational in consideration. Furthermore, a good organizing culture shown there is a
cultural needs.
The good function of education going well in the society if the substance embeded a number of
integrated values. Vice versa, education failed and did not work properly if the teachings and values
has conflict one another. The cultural values apply into attitudes and views of ethics and morals
and have to be taught to the next generation.
Local culture required an education planning which is suitable to the needs of idealistic and
materialistic society in real life. Basicly, a plan is an action in the right time, it is of course highly
depent on the implementation of the review process which is relatively to the goals to be achieved.
Some factors affected the achievement of education planning goals both internally and externally. It is
consider to the consistency of educational planning concerned. The more consistent implementation,
the greater the likelihood of success.
All mankind were born into a culture and live in a culture wading activities. If we argued that
a culture in a society , it will affected the kind of people who live in their environment, aspirations,
educational background, and status in society, thus educational planning can not be separated from the
culture itself. Then the education should be able to accommodate local cultures , so that the results of
education will suit the needs of local people's lives.
B. Research Question
Based on the above background, the following problems can be formulated:
a) What and how the role of local culture in education?
b) How does the concept of education in order to accommodate the local culture?
C. Objectives
To provide a knowledge in the development and planning of education in the area-based local culture
D. Benefits
As a feedback to decide in the area of educational planning based on local culture.
LITERATURE
The education system in accommodating the local culture has to define previously about society,
culture and education in general so that a comprehensive system of education in relation to
accommodate the local culture can be understood in depth.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
126
A. The Culture and Society
The existence of a culture is because of the people and communities who act as cultural actors.
Some experts argued the society is an abstract picture which can't be determined about it's time and
place. According to Shadily (1984: 47), the community is large or small groups, consists of a few people
who are concerned with or as groups which influence each other, in other word about community is a
group of people who have similar feelings, and desires for interdependent and need to do something
with the activities in an effort to achieve a common goal, according to Mannheim (1987:32), the
community is a group of people who live, living next to door, interacting and communicating in a
specified area. Cuber and Haper (1988:317) said that human society is a collection of both the ethnic
and the majority are bound together in a culture of life in a particular environment.
The above description, explaining that the community is a group of people who interact to form
the culture in order to maintain his life. The implication, that the people in the environment of an area
or island is a man or a people who lives in the region / area / island and having an interaction between
fellow citizens then make lives of many different cultures, customs, traditions and has a special
characteristic, which is different from the other community. Because of people are always bound with
culture, I will explain about The society and culture.
Malinowski (2000:17-19) argued that everything in the society is determined it's culture . It is
known as a Cultural-Determinism. According to Herskovits (1999:72), looking at the culture as
something handed down from one generation to another, which is then referred to as super organic.
Thus culture is closely connected with the community.
The Indonesian cultures are very much to be understood, studied, and preserved for the sake of
self-introduction. Jonah Melalatoa (1995:34) in (EDS, Tiassinurat 2005) is a pioneer who write an
Encyclopedia of Ethnic Groups in Indonesia. The information contained is to realize the diversity of
cultural heritage in Indonesian as a nation which often surprised if their own ethnic customs
misunderstood by his fellow citizens by other nations and tribes (Sedyawati, 2002: 209).
It has to be realized that in a tribe with several sub-tribes shown the variation differences in
customs each other (Koentjaraningkrat. 1981:228), a nation which is based on the unity such as the
Indonesian nation, has been try to strengthen the unity itself, it is necessary to grow united feelings of
each other based on the appreciation of the nation, which is basically to create what is called a "culture
of peace and tolerance" (Sedyawati, 2002: 211).
The concept of culture has been talk for over the years, especially when talking about and trying
to change society. The efforts to change society is seems to be failed. The failure usually occured
because of the lack of understanding the powerful role of culture, and the role that is being played in
society. As a result, such as strategic planner of education planning often gives emphasis previously to
identify the strategic values, when talking about the vision and mission of education in the community.
Andreas Eppink (2001: 315), argued that, a culture contains of the entire understanding of the
culture, values, norms, knowledge and overall social structures, religious, etc., all the intellectual and
artistic expression that characterizes a society. According to Edward B. Taylor (2003, 11), culture is a
complex whole, in which there are knowledge, belief, art, morals, law, customs, and other capabilities
from any person as a member of society, and according to Soemardjan (1985; 33) and Soemardi, culture
is a means of product, taste, and people idea.
A Culture is a complete system and become a marking of a people that make up the community
in a variety of scales (Soekanto, 1976; 365). Based on each historical development , there are supported
by communities of small-scale, middle scale, and some up to form an empire. Awareness and
understanding of cultural history is very important to be grown inside all the citizens' life, so that the
legacy of the past expressed by wisdom and the future can be designed with a great soul (Alfian, 1986:
127). In fact that both vanity and smallness of soul will not provide any positive contribution for
developing the nation power.
Thus culture is a system of knowledge covering systems or ideas contained in the human mind,
so in daily life, the culture is abstract. The form of cultural objects are humans creation as cultural
beings, in the form of behaviors and objects that are real, for example, patterns of behavior, language,
equipment life, social organization, religion, art, etc., all of which intended to help people in the hold
of the life of society.
Words in Indonesia language is similar meaning with culture. According Koentjaraningrat
(1995:4) "Culture is the whole idea and work of the man who should be as a daily to learn as well as
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
127
the overall results of mind and character". Meanwhile, according to Elashmawi and Harris (1993:113),
a culture is "All human behavior in the run-influenced social life on the belief system; life, death,
religion, nature, and the values that are rewarded. That trust is taken by humans as an accepted norm,
and attempts to change it would certainly bring a big crisis. This relates to the performance of a person
or group of persons (organization) ".
Culture is operationally defined by Schein (1990:25-29); The culture is a pattern of sharper Basic
Assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal
integration, that has worked well enough to be Considered invalid and, therefore, to be thought to new
members as the correct way to practice , think, and feel in relation to these problems. Its significance as
a cultural assumption that the basic pattern is sharper, which the group learned to solve the problems
faced by adapting elements of external and internal integrate into, and then they work well enough to
consider carefully, therefore the culture in has been thought the new members should be in a way that
is really good in practice, thinking, and feeling associated with these problems.
In line with the above description, Kreitner and Kinicki (1992:693), revealed that the culture is
the basic pattern of assumptions to create, find, or the development of the group by learning to adapt
from outside as well as integrating it into the organization, what will be done consistently well and valid
as well as a reference for new community members to correct acceptance, thoughts, and feelings in
relation to all the issues in detail.
Dewantara (1960:74), defined culture as the result of human mind, and the results of human
struggle against two strong influence, ie nature and society which is a testament to the triumph of human
life to overcome various obstacles and hardships in life and livelihood in order to achieve salvation and
happiness "According to Morgan (1986:120-121), the influence of a culture of 'host' or local nature
rarely has the same form . As individuals in a person's culture could have different personalities.
A Culture is a phenomenon in which every individual has different personal as they should
cooperate with each other in many ways. The group is a small community that has a form of culture and
sub-culture that is clearly defined. Thus a society can be seen as a team or a big family bound by a
strong belief to cooperate (Kreitner and Kinicki, 1992:695). Patterns of trust or sense of togetherness,
both fragmented, integrated, and supported by a range of values, norms and rituals, so as to urge and
determine the ability of a group to the challenges faced.
One of the easiest ways to give an appreciation to the nature of culture and sub-culture is by
observing the daily functions of a group, which acts as an outsider (Kreitner and Kinicki, 1992:697).
The distinctive feature of the observed culture will slowly become evident, through the language,
imagery and themes that can be extracted from the conversation, as well as of the ritual is done on a
regular basis. Having investigated the basics ideas of cultural aspects, it will be easily found historical
explanation of how members of the group completed its work (Morgan (1986:121).
The concept of culture in general is very important when we try to manage changes of society on
a large scale. Mondy and Premeaux (1993; 455), states that there are three classifications of culture,
namely; (1) the dominant culture (the dominant culture), (2) sub-culture (sub-culture), and (3) a strong
culture (strong culture). The dominant culture is a culture that dominate other cultures, so that it comes
into the values and norms prevailing in society major, so it becomes a culture that values a major
determinant (core values) is the dominant culture of the whole culture of the community members,
absorbed from the majority of members of the community. The main value is the first value received
or dominant in society. This illustrates the resulting macro-cultural society, specifically describes a
personality (personality) that exist in society. Part of this culture can develop into a big community
culture, in term of anticipation general overview of the issues, situations and experiences faced by its
members. Sub-cultures are part of the dominant culture that are part of the values and norms recognized
by the smaller communities, while strong culture is a culture traits that are difficult to change and
become a mainstay of community strength in showing his true identity, a culture sample in Balinese
cremation ceremony, tahlilan event for Muslims in Indonesia.
Jary is through Kotter and Heskett (1997:4), asserted that the widespread of culture in terms of
social organization is a manifestation of behaviors and experiences throughout the layers of people who
are in an organization community, It can be a unifier in the society. The Important issues in the local
culture in community is about the local cultural groups in society which is describing the behavior of a
local group in society that make the new members are automatically need to follow the behavior of their
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
128
peers. Each level has a natural tendency that culture affects levels of other cultures. The attitude of peers
who are able to influence the behavior of people in group.
The real phenomenon is all humans were born into a culture and live in a culture wading
activities. An often emphasized is that a culture in a society or in a local community organization will
affect the type of people who live in the neighborhood, aspirations, educational background, status, and
so forth in the society so that life can not be separated with local cultural communities that are part of
an integral system in the internal environment of society, because of the cultural diversity that exists in
a society, then the same amount by the number of individuals and groups in society. Generally a local
society culture is strongly influenced by the environmental community, both internally and externally.
Each member of society has the characteristics of each culture, so it is possible if there is a people who
does not like it and vice versa so it is necessary to unify of all members of the public perception that
reflected local cultural community.
The concept and theory of local culture that it is contained the activities examined by various
experts from the opinion of Randolph and Blackburn (1989:634), which states; Local culture is a set of
key values that trust, and understanding of the characteristics given to members of the local community.
Local cultural is the basic orientation for community members to consider the interests of all its
members. In definition, Culture is a group of personalities culture of the local community member,
which is gather into a single unit that describes the local culture of a local community
(Koentjaraningkrat, 1970, 6). With the unity of the local culture, the community members will create a
balance between their own culture adapted to the culture of the larger society, and become a cultural
unity of society in general.
Psychologically, The Local culture could be a motivation for the community members in the
activities of life because the local cultural environment is appropriate to its culture. Based on this theory
a person can actualize the local culture into the culture of the community in order to avoid any suspicion
about the local culture which is necessary to be observe (Beilharz, 1993:332).
Local culture is a basic philosophy of an organizational sociology that is the basic value used
as a norm in the local community and become the guiding norms of behavior member, as well as giving
recognition to the status of each individual, and the norm is the formal and informal rules for developing
and having an activity into units of orientation for each member and become a benefit for all members
(Beilharz,1993:333-334).
Local culture is the existing rules in the organization as a guidance for the entire human resources,
which has the obligation and uphold the values behave in the local community. A society is an
integrated pattern of human behavior within the group including thoughts, actions, conversations that
can be learned and taught to the next generation through education (Sedyawati, 2007; 27). Therefore it
is necessary to understand about the local culture definedly, because it could give a sense of pride on
its member, and it could be said it is dominant when the value point can be believed by the majority of
its member. The characteristics of the local culture by Huky (1982:71) are always developing and
prehistoric cultural heritage that has been modified and upgrade across a number of processes of
excecuted acculturation.
This kind of local culture become a whole personality that distinguishes for example people in
Jakarta with local culture community, as well as the local community with others as well as a personality
guidance that exist in the local communities life (Atmosuprapto (1993:69-71).
This concept is highly relevant to the needs of educational planning because the understanding
of local cultures need to be accommodate by the behavior and habits of specific attitudes exist in that
area, in order anticipating a changes in the development and management of vulnerable areas that could
easily change by other foreign culture.
The application of various local cultures is very important for the national interest as multicultural
insights, in the last decade there were some features in a variety of forums in the relation to the
education culture (Tilaar, 2006:182), the local culture has a particular meaning in human life, the
essence of local culture in the form of value asystem and the basic concept is the idea of integrated
thinking, which became a director for human behavior in the local community (Sedyawati, 2007:130).
By this reason, the culture has to be seen as a gift of God Almighty, what the people were given
the opportunity to direct the actions included in the education sector and give a meaning for their life.
Furthermore, Sedyawati also explained that culture is the content and also the boundaries of a
community. By this lines throughout history of society, which constantly move and shift flexibly, as
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
129
always happens in local communities. The development of industry and trading in the city, the
surround community will become more consumptive than saving money. Local Culture society moves
across the space and interact each other physically and mentally, in a faster rhythm, so that the local
cultural lines could shift and even overlap, as people who are familiar with the local culture for example
Discotique (who was still very traditional on 1970).
In the history of the local culture a great urbanization while the tourism industry was built with
the huge population explosion in that area. This is effected in suppression of local culture by the good
economic of the weak economic so the meaning of development in the area will destroyed by the local
culture.
UNESCO Program (1998:312), in the decade of cultural development around 1988-1997, entrust
a message to the world that any development goal is for the sake of human welfare and should be
culture minded. The developing of education in a particular area is definitely close to its program. The
next bravely question is how the message could be translated into real action. The message is directed
to both executives who hold the reins of government (Local Government Local), local culture and the
people who run the economic life. The implicit message is to affix local culture concept in the
development planning, including educational planning, implications of cultural knowledge-based
education, in other words an educational planning based on the local culture.
Mono-disciplinary study which studied a specific aspect of the local culture, such as a particular
culture, could remind the depth of the local culture usefully so there is always a reason to include local
culture in a follow-development (Alfian. 1989: 265), an analysis of: text, artifacts, behaviors related to
the cultural community is a cultivated area should be given special attention. The units of analysis
spesifically could be seen in cross-cultural, a comparative study where cross-cultural comparative
studies among others, the lines between cultures, a typology of cultural diversity, as well as on the
relationship between culture with the development plan (Sedyawati; 2007:132).
The wisdom of the local cultural relation ship, in turn can support decision-making on the
implementation of strategies to determine educational programs related to local culture and population
(demographics). In fact, a total understanding of the local culture, should be required to support the
development of educational programs, In case local culture educational growing.
To realize this requirement, it is necessary to understand the cultural elements which associated
with the planning of education. Where there are 4 elements of culture, namely: 1) a system of norms
that enable collaboration among the members of local communities to adapt to the natural surroundings,
2) economic and technological systems , 3) the agencies or officers for education (the family is the
primary institution), and 4) the organization of political power, so the ideal embodiment of the culture
include; a) a bundle of thought, idea , values, norms, rules, and so on that are abstractly; or anything
that can not be felt or touched. The form of culture is located in the citizens thought or mind. If they
express their ideas in the form of writing, the ideal location of culture was in essays and books, the
works of writers such citizens, b) the activity is a form of culture as a pattern of human action in the
community. It is known as a social system. The social system is composed of human activities
interacting, made contact, and get along with other human beings according to certain patterns of
behavior which based on indigenous governance. Concrete, naturally, occurring in everyday life, and
can be observed and documented, and c) cultural artifact is a physical manifestation in the form of the
results of the activities, actions, and the work of all people in the community in the form of objects or
things that can be touched, seen, and documented. Trully nature among the three concrete manifestation
of culture. The implication in public life, cultural form can not be separated from other . For example:
ideal culture form set and give direction to activity (activity) and work (artifacts) in humans, for
example; in the planning of the education system (ideas and concepts) can not release the activity
(learning process) and artifacts (educational outcomes).
In its development, culture has two solid components 1) material, and 2) non-material. The form
of material culture community creation real is a finding result from an archaeological excavation: clay
bowls, jewelry, guns, and the like. Material culture also includes items, such as school buildings,
television, airplanes, sports stadiums, clothes, skyscrapers, sub-way, High way and etc. While the non-
material culture, namely; abstract creations are passed down from generation to generation such as :
fairy tales, folklore, and traditional Malay song or dance, science, rhymes and so forth.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
130
B. The Function of Education in the Local Culture
The understanding about society is a social entity that is characterized by a distinctive culture, it
could be said that the function of education in society is to ensure the needs and culture of the peoples
concerned in such a way, so that the continued of community existence is maintained, defined by
(Nasution, 1987:8) in his book sociology of education, outlining the indications and cultural needs is
the un-existence values in it. A well education means if the substance indicates an integrated values. In
contrast, education failed and doesn't fix properly if the contains and value are against each other.
(O'Dea: 235) revealed; cultural values defined into the attitudes and views of ethics and morals.
The main function of education is abstract but it can be recognized from the actual set of
indicators if it is running properly. More concrete part of the education is coaching and teaching which
is an attempt to explore the potential and transferring knowledge (Madhakomala, 2002: 18). The
success measurement from coaching and teaching more clearly than giving value. In general, people
assume that the results of coaching and teaching is what really need to be used the world of work.
Mostly true, but not entirely because to get a certain types of work standard by certain psychological
tests, which aims to assess the specific attitudes of job applicants. The benefit of positive cultural value
is greater as a personal shaper (on a scale of individuals) and as a shaper of national identity (on a
national scale) rather than as a provision seeking employment (especially of a technical nature only).
C. The Substance of the Local Culture in Education
The substance of education always in line to the needs of the community. Prosperous society
required a smart citizens , have skills and proficient, highly moral, and having a special competence in
various fields of activities, and to get people who have the necessary quality of education (Tilaar,
2006:186). The community needs of education sorted based on the basic range of intended target.
Firtsly, there is a need to meet the employment oppurtunities needed, secondly the need to meet the
preservation process of education, both formal and non-formal, such as ; by providing personnel
developer and builder in the education system, thirdly, the people who can create new jobs or
entrepreneurship, so that people were able to carry out the required activities in the community, although
he is not as salaried workers (Madhakomala, 2003:17).
The allocation of this educational package directed to the needs of the community development
and self-reliance. The largest part of the education program is aligned with market needs, specifically
in relation to various types of industry and trade in the area around of the local culture. The relationship
between educational programs the market will have a real influence in the economic development of
society (Galbraith, 1991:17), and specifically in the Local Government mezzocopeis of the local
culture. he educational process is a process of acculturation so that the inforcement of cultural values
should not be ignored. Education has to accompany the process of transfer knowledge and skills, as
well as the form of concept so that education can produce something, the people who behave, capacity
managerial, leadership abilities, knowledge capacity, which is enough to adapt needs to solve the
problems of life (Fakry Gaffar; 2005: 5). Therefore the substance of education, for each program should
be aimed to meet the needs of special abilities, and at the same time, it has to meet the demands of life,
can shape attitudes, morals, ethics and all citizens in accordance with local cultural values that guided
by the local community culture.
D. Local Culture in The Educational Process
To ensure the achievement of educational goals, both common and which associated with a
number of courses, it is not enough determining the substance of education alone . Therefore, it is also
necessary to recognize the careful design of educational methods, and the right model and the education
system which considered to be the most profitable.
If a goal of culture has been proclaimed in the educational process, for example embeding a
high respect to: creativity, honesty, resistence and mastery, the educational process should provide
enough spaces to cultivate and train the education quality assurance. Qualitative Quality could not be
processed in an empty space but must be shared simultaneously by giving a good ide to increase
knowledge, it is in accordance with the understanding of Kaizen in Bill Greech (1996:43), which needs
continuous improvement and continuous quality to gain something. The expert in education has been
invited to perform creativity and sensitivity to manage the local culture environment. A demand to
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
131
increase a feeling of national identity at the same time on to the development a global scale make it
seems to be more interest to know if the executive education could be guaranteed for a better life.
E. The local culture in educational planning
Extremely, The theories of culture movement is between two poles, they are idealistic and
materialistic poles. In polar idealistic explained that the essence of culture is composed of concepts and
values which are tagging the underlying culture of a society living of the people, the results is the
important changes happening in the culture driven by stimuli that tend to alter the basic concepts and
cultural values (Collinicos, 1999:148), Pole materialistic theory which are considers as a core or culture
point is the culture of the things that must be done mechanistically, who has a responsibility to the
physical condition of the material in the public life, so that technology and economic patterns of action
is formed a thought related to the needs in a real life.
The local culture required an educational design that fits the needs of idealistic and materialistic
society in real life. In pincipt, an action planning in a timely manner, it is of course highly dependent
on the implementation of the review process which very relative to the goals to be achieved. Many
factors influenced an education planning purposes, that is internal or external to the consistency of
educational planning concerned, certainly, the more consistent implementation of the education
planning the greater the likelihood of success. The basic design of educational planning consists of 3
approaches, namely; 1) macro approach, 2) a workforce planning approach and 3) social demand
approach (Davis, 1980:41). This study is tend to the social needs of the community in which the demand
for education is a priority territory.
In fact there is often differences between central educational planning and the local education
planning. The central educational planning took a problem in aggregated such as per student cost, the
average of teacher and pupil ratio, qualification of teachers, each student for each textbooks, etc., while
at the local level planning faced with the reality of quantitative certain schools, certain teachers, and the
number and quality of certain materials. These differences indicate that educational planning needs
to consider the micro-level in the study of level and the type of education. This is due to the entire
educational outcomes, regardless of macro success in the education system, which is absolutely
determined by teacher herself, students, and families who also ruin the system. Students are more
influenced by parents and teachers rather than administrators, and local education planning more
influenced by local administrators rather than bureaucratic central of education planning (Tilaar,
1989:51).
Raharjo (1989:52), in the educational crisis said that the government's lack of educational
planning with the local culture-based considers the social and economic sectors of society sharpen the
differences with local planning. Local educational planning, parents have to conduct their children
education with work and its effects, including the possibility of future results. Therefore, the local
education planning needs to take other alternatives and uncentralize so make it more valuable for local
educational planner.
A good education planners have to comprehend the condition so that the decision-made is
accurate and consist of relevant information but in fact the central planners do not understand the
education field conditions associated with idealism and mechanisms which are need of local culture and
consider the appropriate decision-making, so that the results of a central policy does not achieve the
expected results to accommodate the interests of local public consumption that have the characteristics
of the local culture in the certain values and norms of life. Therefore, the local education planning
should be able to accommodate the local culture, so that the results of education will answer the needs
of the local population.
F. The Potential of Local Cultural Factors in The Educational Planning
Based on Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 education is a conscious and deliberate
effort to create an atmosphere of learning and the learning process so that learners are actively
developing his potential to have a spiritual strength of religious, self-control, personality, intelligence,
good character, and skills needed for himself, society, nation and state.
The statement imply that education is an effort or activity to built an intelligent human beings in
various aspects both the intellectual, social, emotional and spiritual, as well as the skilled personality
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
132
with great character. Thus education is expected to be realized in order to explore the potential of a
quality human being who is able to create his life productively as ta benefit of themselves and society.
Related to the role of education, the local cultural potential factors have a significant influence
(significant) in education, because the basic value used as the norm in the local community, as a guide
behavior and rules of formal and non-formal education to develop an activity into a unified educational
for the benefit of all members of society. Local culture become rules existing in the educational activity,
so the potential of all human resources educated have to uphold the values of the local behavior in the
community, so that the local identity still maintaining .
Local community culture built a systemic pattern of behavior, thought, activity, feeling which is
delivered to generation through education. Therefore, the potential of local cultural factors need to be
understood in the educational planning. The local culture is able to provide a sense of pride on its
members, and it dominates the core values embraced by the majority of its members. Its characteristics
evolved from prehistoric cultural heritage that has been modified and upgrade across a number of
processes of acculturation that has been run through the educational process.
There is often conflict between different local cultures and the national culture in Indonesia. For
example, a local culture that does not allow certain ethnic girls married with indigenous men, as a result
there is the collision process of assimilation and national unity with the local ethnic culture. Another
example given, more priority to local ethnic and pay dearly for their own ethnically from other ethnic
workers which can be appearing jealousy so it will crack a sense of nationalism and so forth. On the
other hand, the local culture was left because of admiring the other nation's culture of other nations such
as like Taekwondo than Pencak silat. Questionably asking , which local cultural factors that need to
be maintained in educational planning? This is a big question that needs to be answered correctly.
How great the global influence of the national culture and local culture, so it is often appear
adaptation of educational planning uncontrolled shifting cultural values impact on local / national to
international cultural direction which is not clearly have a purpose for our life.
Appearing the concept of educational planning models which equals to the design model of
education from other countries without going through the proper adaptation of the local culture, often
to see the failure. That why it is the important thing to accommodate the local culture in educational
planning as directional control community objectives to be achieved.
G. Accomodating Local Culture as a Directional of Educational Goals
As mentioned before the local culture give a sense of pride in his community, however keep
up zennoism away (feeling better than anything else), so that people always have feelings to continue
learning and keeping pace with the progress of others. Local culture has to be aware of changing
process, so it is able to adapt themselves to a better direction, but the local culture should also be able
to maintain its existence if it implies values and norm swhich relevant to the needs of the community.
Here is, the role of local culture as a controller for the changes that needs to be accomodate.
The role of the local culture does not stop there, the local culture in an ideal planning, activity
and artifacts associated with educational planning and have to choose, finding an educational planning
which is believe able to develop a better education.
The involvement of the local culture and education experts, a community leader and the
intellectuals to work together supporting each other so that local culture could really give you a sense
of pride in the concept of education offered.
CONCLUSION
A. Culture and Community
The existence of a culture because of the people and communities who act as cultural actors.
Society is a group of people who interact culture in order to maintain their life.
Cultural-determinism is related to everything contains in the society determined by the culture
owned by the community itself.
Super organic is the way how looking at the culture as something handed down from one
generation to another, so the culture is closely connected with the community.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
133
Culture is a complete system which is as a marking of a people which built a community in a
variety of scales.
Three classifications of culture, namely; (1) the dominant culture , (2) sub-culture , and (3) a
strong culture
Local culture is a key set of values that is believed, and an understanding of the characteristics
given to a member of the local community.
The local culture has a particular meaning in human life, Its point is a value system and the
basic concept of integrated thinking which become director for human behavior in the local
community.
UNESCO program during decade on cultural development mandates a message to the world
that any development goals for the sake of human welfare should be cultural minded.
Four elements of culture are: 1) a system of norms, 2) economic and technological systems, 3)
devices for educational institutions (the family is the primary institution), and 4) the
organization of political forces
The form of culture consists of; a) a collection of ideas, ideas, values, norms, b) Activity is a
form of culture as a pattern of human action in the community, and c) cultural artifact is a
physical manifestation in the form of the results of the activities, actions, and works of all men
in society in the form of objects or things that can be touched, seen, and documented.
Component culture shaped 1) material, and 2) non matarial.
B. The function of education in the local culture
The role of education is going well if the substance can embed a number of integrated values
that are coaching and teaching. This is an attempt to explore the potential and transferring
knowledge.
C. The Substance of the Local Culture and Education
• Educational-substance related to the needs of a prosperous inteligent society, skill and
proficient, highly moral and quality. So here is the education is needed.
The basic need of education for human life are : 1) fulfill an employment opportunities, 2) the
preservation of the educational process itself 3) creating an entrepreneurial citizens.
Education can produce, managerial capacity, leadership abilities, an enough knowledge
capacity to adapt to the necessities of life to overcome the problems of life.
D. Local Culture in the Process of Education
• The educational expert are gained to perform creativity and sensitivity to take advantage of
the local communities that faces in the work field.
E. The local culture in educational planning
Theories of culture moves between two poles, the idealistic and materialistic. Idealistic explains
the cultural core of the concept and value of life, so that a change in culture that is driven by stimuli
that tend to alter the basic concepts and cultural values.
Materialistic, as the core culture should be done mechanistically by humans, responding to the
physical condition of the material, so that the technological and economic patterns is a core culture
to build a thought according to the real needs.
F. The potential of local cultural factors in the educational planning
The potential of local cultural factors have a significant influence on education, because the
basic value is used as the norm in the local community, as a guidance behavior and rules of
formal and non-formal education to develop into a unity of interests of all members of society.
Local culture become the rules in educational activities, so that the potential of all human
resources educated have to uphold the values of the local behavior in the community, in order
to keep the local identity maintained.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
134
Local cultural community in the formed of an integrated patterns of behavior, thought, attitude
measurement, callous nature taught to generations through education and local culture have to
be understood both in the educational planning.
The similar model of education planning with educational design models from other countries
have to go through the proper adaptation of the local culture, so there is no successive failures.
G. Accomodating Local Culture as a Directional of Educational Goals
Local culture give a sense of pride to the community members, but has to continue to learn in
order to keep pace with the progress of other areas / other cultures.
Local culture should be aware to the process of changes, and the local culture should also be
able to maintain its existence and must contain the values and norms that are relevant to the
needs of the community.
It is necessary needs an involvement of the local culture and education experts, community
leaders and local leaders intellectuals to work together to support each other so that local culture
can really give you a sense of pride in education.
REFERENCE
Admosuprapto, Teori-teori Sosial dan konsep Kemayarakatan. Jakarta: Gramedia, 1993.
Ananda, Candra Fajri. Peran Partisipasi Masyarakat Pada Otonomi Daerah.
http://www.otoda.or.id/Artikel/Candra%20Fajri.htm (dk. 10 Jan 01)
Bowder, Randall & Annettr Grraven. The Art in the Art and Science of Organizational Development.
Jakarta: Data Base UHAMKA, 2001.
Cairns, Robert D. Reconciling the green Area in Amazon. New York: McGraw-Hill Bppks, Company,
2003
Dorfman, William B. Art of Art. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1977.
Koentjaraningrat , Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Kotter, John P. and James L. Heskett, Dampak Budaya Organisasi Terhadap Kinerja diterjemalikan
Benyamin Molan. Jakarta: PT Prehallindo, 1997.
McNamara, Carter. Organizational Culture, St Paul Minnesota-Amazon Com., MAP Homepage,
Library Homepage, 1999
Miller, James C. Human, Art and Intelligentsia. North-Holland, Amsterdam: Elsevier Science
Publisher B.V., 1986.
O‘Dea, Thomas F. Sociology of Art: Religion and Art Relationship. Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc., 1987
Pospilsi, Leopold. Art Quality for Most Beauty Performance. New York: Holt, Rinehart and Winston,
Inc., 1982.
Sadeli, Moch. Sosiologi Masyarakat Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999.
Sax, Robert N. Social Attitude, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1997.
Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadershihal. San Fransisco : Josey-Bass Publishers,
1990
Slamet, Soekarno. Budaya Organisasi Masyarakat, Jakarta: IPWIJA, 1998.
Soekanto, Soerjono Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982
Soemardjan, Selo Bunga Rampai Sosiologi Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985
Spear, Kent B. Public Community: The Culture Role and Art Activity. Philadelphia: Soutland and Sons,
Inc., 1989.
Sumardjo, Jakob. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB, 2000
Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
135
EFEKTIVITAS PELATIHAN GURU MATA PELAJARAN
Burhanuddin Tola1
1Graduate School, State University of Jakarta
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sejauhmana efektifitas pelatihan guru
mata pelajaran yang dilaksanakan oleh P4TK. Populasi penelitian ini adalah guru-guru
SMP pada bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris,
yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh (P4TK) Matematika, IPA dan
Bahasa, serta KKG/MGMP. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelatihan
KKG/MGMP, terjadi peningkatan signifikan pada kompetensi Akademik Matematika,
kompetensi Kepribadian, dan teaching Efficacy. Pelatihan yang dilaksanakan oleh
P4TK, terjadi pada kompetensi Akademik Matematika, sikap terhadap mengajar, dan
Teaching Efficacy. Penurunan skor secara signifikan terjadi pada beberapa aspek dan
hanya terjadi pada pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK, yaitu pada aspek:
Kompetensi Akademik Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial,
Kompetensi Pedagogik. Sedangkan dari data baseline ketika pretes, pada kedua
kelompok, ada beberapa aspek yang berbeda secara signifikan, yaitu pada Matematika,
Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kepuasan Kerja, Sikap
Mengajar, Teaching Efficacy.
Kata Kunci: P4TK, kompetensi akademik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, kompetensi pedagogik, dan teaching efficacy.
PENDAHULUAN
Suatu penelitian yang mempelajari kekuatan dan kelemahan pendidikan di Jepang menemukan
empat hal yang menyebabkan keberhasilan pendidikan bangsa Jepang (Follows, 1991). Pertama, Jepang
memberikan penekanan pada usaha dimana belajar dipandang sebagai suatu proses yang tidak
berkesudahan dan proses memupuk usaha siswa juga merupakan proses terus menerus. Kedua, Jepang
menilai tinggi pendidikan, karena menurut mereka pendidikan merupakan social survival, economic
investment, dan merupakan suatu bentuk national defense. Ketiga, diantara para siswa ada usaha untuk
saling membantu, karena apabila satu anak berhasil, maka semua anak dalam kelompok pun akan
berhasil, sedangkan apabila satu anak gagal, maka semua anak dalam kelompok pun akan gagal.
Keempat, adanya prinsip keadilan dalam pemerataan pendidikan. Guru dan kepala sekolah selalu
dirotasi ke daerah-daerah berbeda setiap beberapa tahun, sehingga prestasi setiap propinsi dapat merata.
Dengan cara seperti ini, tidak ada daerah yang tertinggal bila dibandingkan dengan kota-kota besar.
Payne (dalam Ahmadi, 2004) menekankan bahwa pendidikan memiliki fungsi asimilasi dari
berbagai macam tradisi, pengembangan pola-pola sosial yang baru, serta mengembangkan kreativitas
siswa untuk mengubah manusia menjadi mandiri dan bersifat komersial (Drost, 2005; Payne, 2004;
Ahmadi, 2004). Kemudian, anak belajar mengenai norma, nilai dan ketrampilan-ketrampilan yang
spesifik (Bennet & LeCompte, 1990). Di sekolah, para siswa belajar untuk mengembangkan dirinya,
sehingga mereka dapat mengembangkan diri secara akademis, vokasional, sosial, serta berkembang
secara pribadi (Goodlad, dalam Sadker & Sadker, 1991).
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
136
Guru merupakan ujung tombak yang perlu memiliki profesionalisme ketika menjalankan
pekerjaannya. Namun, guru dirasakan kurang memadai ditinjau dari sudut kuantitatif maupun kualitatif.
Kekurangan ini dirasakan dari keragaman dan kompetensi ilmu mengajarnya, dan menunjukkan bahwa
ternyata persentase guru yang tidak layak dan tidak sesuai dalam pengajaran cukup besar, dan telah
dipertanyakan (Mastuhu, 2004; Adningsih, 2002; 2002; Balitbang, 2000). Hal ini dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel 1. Jumlah guru ditinjau dari kelayakan dan kesesuaian mengajar
(dalam Mastuhu, 2004) Sesuai Tidak Sesuai TOTAL
Juml % Juml % Juml %
Layak 139.596 49,2 30.325 10,7 169.221 59.9
Tidak Layak 88,223 31,1 25.571 9,0 113.794 40,1
TOTAL 227.819 80,3 55.896 19,7 283.715 100,0
Pada dasarnya, guru yang efektif menurut Ryan dan Cooper (1984) memiliki empat karakteristik
yaitu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, terhadap anak didik, terhadap sejawat dan orangtua,
serta terhadap materi yang diajarkan. Hal yang kurang lebih sama mengenai guru yang efektif
dikemukakan oleh Cruickshank, Jenkins dan Metcalf (2003), yaitu memiliki perhatian (caring),
bersikap mendukung, memperhatikan kesejahteraan siswa, memiliki pengetahuan mengenai materi
yang diajarkan, dapat bekerjasama dengan orangtua dan memiliki ketertarikan yang besar pada apa
yang dilakukannya. Pada intinya, guru yang efektif mampu membantu siswanya belajar.
Sebagaimana profesi lain, guru juga dituntut untuk bertindak secara profesional. Walaupun guru
seringkali merasa dirinya sebagai tenaga profesional, namun kurang mendapatkan penghargaan, reward
atau pengakuan dibandingkan pekerjaan lain (Blackwell, Futrell, & Imig 2003; Cheers 2001; dalam
Helterbran, 2008). Ditinjau dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 mengenai
Guru dan Dosen, dikemukakan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip antara lain memiliki bakat, minat, memiliki komitmen,
memiliki kualifikasi akademik, tanggung jawab, kompetensi dan sebagainya. Tugas dan fungsi gurupun
cukup berat, menyebabkan para guru perlu untuk terus mengembangkan dirinya agar dapat
menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan yang diembannya.
Menurut Kennedy (2006), menjadi guru bukanlah pekerjaan yang didasarkan pada bakat semata,
akan tetapi dapat dilatihkan dan diajarkan, melalui program pendidikan tinggi, dimana para guru
mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan materi serta mempelajari hal-hal yang bersifat
pedagogis. Mengacu pada pendapat ini, maka memberikan pelatihan pada guru merupakan langkah
yang cukup tepat, agar guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Pelatihan menurut Wong
(2005) adalah bentuk pengembangan staf yang terorganisir dan komprehensif, melibatkan banyak orang
dan komponen. Selanjutnya dikatakan bahwa pelatihan guru ini seharusnya bersifat konsisten,
berkelanjutan dan berfokus pada belajar siswa, serta dapat mendukung karir guru. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Ross dan Bruce (2000), pelatihan ternyata juga meningkatkan self efficacy yang dimiliki
guru. Self efficacy yaitu harapan yang dimiliki guru sehubungan dengan mampu/ tidak mampunya untuk
membuat siswa belajar atau dengan perkataan lain sejauh mana para guru dapat mengajar. Menurut
Bandura (1997), self efficacy adalah belief mengenai kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan
melaksanakan sejumlah perilaku untuk menghasilkan prestasi tertentu. Ross dan Bruce (2000) dalam
penelitiannya mengenai efek pengembangan profesionalitas guru matematika menemukan bahwa
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
137
ternyata pelatihan dapat membantu guru meningkatkan self efficacy nya dalam mengajar pelajaran
matematika.
Untuk membantu para guru mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya, dilakukan
berbagai kegiatan antara lain workshop dan pelatihan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Neville
dan Robinson (2005), yang mengemukakan bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat dilakukan
melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan
dikatakan lebih jauh bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat meningkatkan prestasi siswa
serta merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuan guru akan materi pengajaran serta
mengembangkan penerapan metode pengajaran. Jadi, peningkatan belajar siswa dilakukan dengan cara
meningkatkan belajar guru terlebih dahulu.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, pelatihan untuk guru tetap menjadi sendi utama, karena
selain untuk penyamaan persepsi terhadap visi dan misi sekolah, pelatihan juga akan membantu
mempertajam guru agar lebih optimal dalam menjalankan profesi keguruannya (Analisis Pendidikan,
Pelatihan Guru, Harian Pelita, 13 April 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Abidah (2008) mengenai
pengaruh pelatihan guru agama di Surabaya menunjukkan bahwa ternyata pelatihan berdampak positif
terhadap kompetensi guru, terutama dalam kompetensi mengajarnya.
Adapun unit analisis penelitian ini adalah guru-guru yang mengajar pada jenjang SMP dan
mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh P4TK dan KKG/MGMP. Hal ini dirasakan perlu karena pada
tahun-tahun mendatang, Departemen Pendidiikan Nasional melalui Direktorat Jenderal PMPTK akan
meluncurkan program Better Education through Reformed Management and Universal Teacher
Upgrading (BERMUTU. Block grant akan dikucurkan bagi KKG dan MGMP di seluruh kecamatan
dan kabupaten/kota di Indonesia. Untuk itu diperlukan data baseline yang dapat menggambarkan
keadaan pelatihan yang saat ini dilaksanakan untuk dapat memberikan masukan yang dapat bermanfaat
bagi pengembangan para guru.
Dituntutnya profesionalitas guru dan peningkatan mutu pendidikan secara umum, maka
dilakukan berbagai pelatihan oleh berbagai institusi seperti P4TK, Sudin Pendidikan dan KKG/MGMP.
Pelatihan ini juga dilakukan terhadap guru bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi),
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pelatihan-pelatihan semacam ini diharapkan dapat meningkatkan
kompetensi guru serta secara tidak langsung akan membantu meningkatkan prestasi siswa. Meskipun
demikian, keberhasilan pelatihan tersebut perlu diukur sehingga dapat diketahui efektivitasnya. Oleh
karena itu, dilakukan penelitian untuk melihat efektivitas pelatihan dalam empat bidang penelitian yaitu
Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah
pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (P4TK), dan KKG/MGMP dalam bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan
Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris cukup efektif ditinjau dari segi akademik maupun non
akademiknya? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pelatihan-
pelatihan yang telah dilaksanakan serta rekomendasi-rekomendasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi/ data baseline tentang pelatihan yang
dilakukan oleh P4TK, KKG/MGMP serta efektivitasnya. Hal ini berkaitan dengan Program
BERMUTU yang akan membantu kegiatan pelatihan yang diadakan oleh KKG/MGMP. Pelatihan yang
akan disoroti adalah pelatihan guru empat bidang penelitian (Matematika, IPA, yang termasuk
didalamnya Fisika dan Biologi, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) yang dilakukan oleh P4TK serta
KKG/MGMP. Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan guru dalam mengajar.
Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menguji pengaruh pelatihan yang dilakukan oleh
P4TK dan KKG/MGMP terhadap kinerja akademik guru bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika
dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; (2) Menguji perbedaan antara guru bidang
penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dari segi non
akademik. Apabila pelatihan dapat dilaksanakan baik, maka diharapkan akan memberikan dampak
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
138
positif terhadap hasil kinerja siswa, pengembangan bagi guru itu sendiri serta membantu peningkatan
program yang dievaluasi.
Pada bagian ini, akan dibahas mengenai pentingnya guru yang efektif dalam proses pemelajaran
siswa. Selanjutnya, akan dibahas mengenai pelatihan untuk mengembangkan profesionalitas guru, yang
di dalamnya akan dibahas mengenai pengertian, metode yang digunakan serta cara evaluasi program
pelatihan.
Sekolah yang Efektif dan Guru yang Efektif
Belajar di sekolah bagi siswa merupakan pengalaman yang sangat berharga. Namun demikian,
seringkali belajar di sekolah dipersepsi sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan karena banyaknya
faktor yang berpengaruh. Secara konseptual Edmonds (1979) mengemukakan lima faktor yang dapat
menjadikan sekolah yang efektif, yaitu: (1) kepemimpinan yang kuat dari kepala sekolah; (2) penekanan
pada penguasaan keterampilan dasar; (3) lingkungan sekolah yang bersih, teratur dan aman; (4) harapan
guru yang tinggi terhadap prestasi siswa; dan (5) pemantauan terhadap kemajuan siswa.
Sammons, Hillman dan Mortimor (1995) menggambarkan satu model sekolah yang efektif.
Dalam sekolah yang efektif, dibutuhkan guru-guru yang efektif. Penelitian mengenai guru yang efektif
telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Menurut Ryan dan Cooper (1984), guru yang efektif memiliki
sikap positif terhadap diri sendiri, terhadap anak, terhadap sejawat dan orangtua, serta terhadap materi
yang diajarkan. Penelitian yang terkenal mengenai guru yang efektif adalah penelitian yang dilakukan
oleh Combs pada tahun 1960an dan terus dikembangkan oleh para ahli lain, seperti Usher (2002) yang
mengajukan lima disposisi guru yang efektif, yaitu dimilikinya empati, pandangan yang positif terhadap
orang lain, pandangan yang positif terhadap diri sendiri, bersikap otentik serta memiliki visi atau tujuan
yang bermakna. Guru dikatakan memiliki empati apabila ia mampu memahami dan sensitif terhadap
dunia pribadi anak serta memiliki prioritas untuk membantu orang lain agar dapat belajar. Ciri kedua,
guru memiliki pandangan yang positif terhadap orang lain, ketika ia mampu menunjukkan pandangan
yang positif mengenai keberadaan, kemampuan dan potensialitas orang lain. Para guru menghargai
keberadaan dan integritas anak serta memiliki harapan positif yang realistik untuk pertumbuhan dan
keberhasilan anak. Selain pandangan yang positif terhadap orang lain, ia perlu memiliki pandangan
yang positif terhadap diri, yaitu mengenai keberadaan, kemampuan dan potensialitas diri sendiri.
Mereka menghargai keberadaan dan integritas anak serta memiliki harapan positif yang realistik untuk
pertumbuhan dan keberhasilan anak.
Usher (2002) mengatakan, guru yang efektif dapat bersikap apa adanya, terbuka dan jujur
terhadap orang lain. Mereka mengembangkan dan menunjukkan pendekatan yang unik dalam mengajar
serta tidak berpura-pura. Selain itu, guru yang efektif memiliki visi atau tujuan yang bermakna, yaitu
mampu mengarahkan diri pada sasaran, sikap dan nilai yang luas dan mendalam serta berpusat pada
pribadi. Mereka adalah orang-orang reflektif dan visioner dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai
demokratis. Dalam bertingkah laku, mereka selalu didorong oleh tujuan yang dimilikinya.
Pada intinya Borich (2000) menekankan bahwa guru yang efektif adalah guru yang dapat
menggunakan pujian verbal yang bermakna untuk membuat serta menjaga siswa berpartisipasi secara
aktif dalam proses pemelajaran. Cruickshank, Jenkins dan Metcalf (2003) mengatakan bahwa guru
yang efektif merupakan individu yang berpikiran positif yang percaya akan keberhasilan siswanya dan
kemampuannya untuk membantu siswa berhasil. Secara ringkas, seorang guru yang efektif patut
memiliki pengetahuan profesional, keterlibatan profesional dan praktek secara profesional.
Sedangkan ditinjau dari sudut kompetensi, guru-guru Indonesia perlu menguasai kompetensi-
kompetensi tertentu. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan
Nasional menentukan Standar Kompetensi Guru yang meliputi tiga komponen yaitu : (1) Komponen
Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran dan Wawasan Kependidikan; (2) Komponen Kompetensi
Akademik/Vokasional sesuai materi pembelajaran; (3) Pengembangan Profesi. Masing-masing
komponen kompetensi mencakup seperangkat kompetensi. Selain ketiga komponen kompetensi
tersebut, (4) Guru sebagai pribadi yang utuh harus juga memiliki sikap dan kepribadian yang positif,
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
139
dimana sikap dan kepribadian tersebut senantiasa melingkupi dan melekat pada setiap komponen
kompetensi yang menunjang profesi guru.
Gambar 1. Diagram Guru yang Efektif
Peningkatan kualitas guru dan kondisi mengajar merupakan satu upaya yang harus dilakukan untuk
meningkatkan kualitas pengajaran (Kennedy, 2006). Untuk itu dibutuhkan pelatihan yang dapat
membantu guru mengembangkan kompetensi guru bukan hanya dari segi kognitif, namun juga dari segi
non kognitifnya, karena selama ini keterampilan guru, sikap dan perilaku yang nonkognitif jarang
dijelaskan atau bahkan diajarkan secara eksplisit (Weissmann, dalam Ursano, 2007). Untuk itu, adalah
penting bagi guru untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam profesinya dan sebagai pribadi, agar
profesionalitasnya dapat lebih meningkat (Helterbran, 2008).
Pelatihan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga
Kependidikan (P4TK) dan KKG/MGMP
PPPG telah berubah bentuk menjadi menjadi PPPPTK oleh Kepmenpan dengan No.
B/243/M.Pan/1/2007, Tanggal 31 Januari 2007 maka struktur organisasi PPPPTK yang tertuang dalam
SK Mendikbud No.0529/O/1990 akan mengalami perubahan dan tugas pokok fungsi PPPPTK juga
akan mengalami penyesuaian. Adapun kedudukan P4 TK adalah sebagai pusat pengembangan dan
pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut
PPPPTK adalah unit pelaksana teknis dilingkungan Departemen PendidikanNasional di bidang
pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan. PPPPTK dipimpin oleh seorang
kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada direktur jendral peningkatan mutu
pendidik dan tenaga kependidikan. Secara umum, fungsi P4TK adalah (1) merencanakan program
pengembangan penataran guru; (2) melaksanakan teknis pendidikan untuk meningkatkan mutu
kompetensi guru; (3) melaksanakan pengembangan penataran guru; (4) melaksanakan peningkatan cara
penyajian dan materi penataran; dan (5) melaksanakan pengendalian dan evaluasi penataran guru.
Selain P4TK, yang menyelenggarakan pelatihan oleh Sudin Pendidikan, Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) masing-masing kota. KKG/MGMP selama ini
dianggap sebagai kelompok yang paling langsung berhadapan dengan guru di lapangan dan sangat
mengetahui apa-apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak guna memajukan sektor pendidikan ini. Dalam
hal ini KKG/MGMP menyelenggarakan pelatihan bagi guru-guru sekolah yang berada di dalam wilayah
kotanya. Biasanya pelatihan dilakukan untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan
dilaksanakan secara berkala.
Bentuk-bentuk pembinaan guru seperti MGMP telah muncul sejak tahun 1980-an. Lembaga ini
memang didirikan dengan tujuan mengembangkan Sistem Pembinaan Profesional (SPP) guru di
Indonesia. KKG pun merupakan lembaga yang banyak membantu pengembangan guru dan menurut
Botung (2008), tujuan KKG adalah untuk: (1) Meningkatkan pengetahuan umum guru mengenai isu-
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
140
isu, kejadian sosial, kemajuan dan penemuan-penemuan baru. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk
diskusi, pelatihan dan seminar; (2) Meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun Administrasi
Pembelajaran; (3) Meningkatkan pengetahuan guru dalam pelaksanaan manajemen kelas, sehingga
guru dapat mengatur kegiatan belajar agar dapat berjalan secara kondusif dan bernilai guna; (4)
Meningkatkan keterampilan guru dalam merancang, membuat alat-alat atau media yang dipergunakan
dalam pembelajaran; dan (5) Meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri guru.
Pengembangan Profesionalitas Guru melalui Pelatihan
Riley (dalam Helterlbran, 2008) mengatakan bahwa sebuah profesi akan disebut sebagai profesi
apabila profesi tersebut memiliki tujuan dan tanggung jawab terhadap masyarakat, memiliki dasar etis,
memiliki tingkat regulasi, memiliki peningkatan pengetahuan dan mengikuti standar profesi secara
umum. Artinya untuk menjadi profesional, maka seseorang harus mampu secara efektif menyelesaikan
tantangan dan tugas-tugas yang ada dalam mengajar, mampu memanfaatkan keterampilan, pengalaman
pribadi dan pengalaman profesional serta ahli dalam profesi tertentu (Baggini, dalam Helterlbran,
2008). Profesi guru juga dituntut profesionalitasnya, sehingga para guru perlu membenahi dirinya.
Menurut Rice (2003), secara umum, guru akan semakin berkualitas apabila ia memiliki
pengalaman, mengikuti program persiapan atau mencapai jenjang pendidikan tertentu, memperoleh
sertifikat, mengikuti kuliah untuk mempersiapkan diri dalam profesi dan memiliki skor tes yang baik.
Dengan mengikuti pelatihan yang berkualitas, baik yang dilakukan di sekolah maupun pelatihan dalam
pekerjaannya, maka hal ini akan memperbaiki kualitas guru, membantu mengubah perilaku guru dan
budaya sekolah, serta meningkatkan prestasi siswa (Baron & Thompson-Grove, 2008).
Keterampilan mengajar tidak secara otomatis dikuasai seseorang (Kay, dalam Ursano, 2007),
karena ada banyak kendala agar seseorang dapat dikatakan baik ketika mengajar. Meskipun demikian,
mengajar membutuhkan serangkaian keterampilan, sikap dan perilaku yang saling berkaitan. Untuk
menjadi guru yang efektif maka perlu dilakukan identifikasi terhadap sasaran yang baru dan sikap serta
perilaku yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaan (Ursano, 2007) dan hal ini dapat dilakukan
melalui pelatihan. Oleh karena itu, pengajaran dan pendampingan guru melalui pelatihan perlu untuk
memperbaiki atau mengubah keterampilan guru. Pengembangan guru menurut Neville dan Robinson
(2005), dapat dilakukan melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
Dampak pelatihan guru dilaporkan cukup positif. Dengan dilaksanakan pelatihan, maka
pengetahuan guru akan semakin dalam dan metode pengajaran guru akan semakin baik dan secara
perlahan-lahan dapat membantu meningkatkan prestasi siswa. Abidah (2008) yang meneliti tentang
pengaruh pelatihan guru Agama di Surabaya menunjukkan bahwa ternyata pelatihan berdampak positif
terhadap kompetensi guru, terutama dalam kompetensi mengajarnya.
Meskipun demikian, dalam melaksanakan pelatihan, Dagenais (dalam Trenta, dkk, 2004)
mengemukakan bahwa terdapat lima karakteristik yang mencirikan program pelatihan yang baik, yaitu:
(1) menyediakan informasi mengenai lingkup program yang jelas; (2) adanya metode pemilihan pelatih
yang baik dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan; (3) menyediakan penguat intrinsik dan ekstrinsik
untuk mempertahankan pelatih; (4) menyediakan pelatihan untuk mentor; dan (5) melakukan evaluasi
keberhasilan program. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan apakah pelatihan yang diberikan
kepada guru selama ini merupakan pelatihan yang memang cukup baik.
Pengertian Pelatihan
Pelatihan sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya dan pengajaran. Pendidikan secara
umum adalah perolehan pengetahuan yang mempersiapkan pemelajar untuk pekerjaannya selanjutnya.
Pendidikan sering disamakan dengan sekolah formal. Pelatihan adalah perolehan pengetahuan dan
keterampilan yang dihasilkan dalam performansi spesifik. Pelatihan sering digunakan untuk membantu
pemelajar melakukan tugas tertentu dalam pekerjaannya atau untuk melaksanakan pekerjaannya secara
berbeda atau secara lebih baik. Tan dan Torrington (2004) mengemukakan bahwa pelatihan merupakan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
141
suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang. Dalam dunia pendidikan,
pelatihan diberikan untuk meningkatkan pemahaman guru dalam bidang pelajaran tertentu,
meningkatkan keterampilan guru dalam mengajar maupun kegiatan belajar mengajar, serta membentuk
dan mengubah sikap guru terhadap suatu hal yang berkaitan dengan pendidikan. Melalui pelatihan,
diharapkan guru dapat bekerja lebih efektif dan profesional dalam kegiatan belajar mengajar. Agar
pelatihan berhasil maka perlu diketahui terlebih dahulu: tujuan pelatihan, karakteristik peserta
pelatihan, bagaimana merancang dan mengembangkan pelatihan menggunakan serangkaian metode
dan teknik tertentu.
Metode yang Digunakan dalam Pelatihan
Menurut Laird (2003), metode instruksional yang digunakan dapat dikatakan baik asalkan
membantu pencapaian sasaran belajar. Untuk mencapai sasaran belajar, ada beberapa cara yang dapat
ditempuh, yaitu dengan melakukan (doing), berpikir (thinking), mencoba (trying) dan mengamati
(watching). Gaya belajar ini perlu diperhatikan karena setiap orang memiliki pendekatan yang berbeda
dalam belajar. Ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam pelatihan, yaitu ceramah, membaca
bacaan tertentu, demonstrasi, dan sebagainya. Pada bagian berikut ini akan dibahas mengenai metode-
metode tersebut satu persatu. Ceramah. Ceramah adalah satu metode yang paling mudah dan
sederhana, karena instruktur menyampaikan informasi secara lisan dan hanya membuat peserta pasif
dan tidak terstimulasi. Namun demikian, dapat pula ceramah menjadi menarik, ketika pembicaranya
cukup memiliki bakat untuk berbicara secara menarik. Instruktur perlu memberikan contoh-contoh yang
baik untuk menjelaskan teori, serta menggunakan bahasa serta nada suara yang menyenangkan. Tugas
Membaca. Tugas membaca juga tidak merangsang peserta, karena peserta hanya berkonsentrasi pada
bacaan yang dibacanya. Tentu saja tugas membaca ini dapat memberikan informasi yang cukup banyak.
Tugas membaca perlu diikuti dengan umpan balik sehingga dapat lebih bermakna. Demonstrasi.
Demonstrasi sebenarnya hanya membantu menggambarkan ketika ceramah dilakukan. Demonstrasi ini
lebih cocok untuk tugas-tugas psikomotor, karena peserta dapat meniru (modeling) apa yang dilakukan
oleh instruktur. Sebagai contoh, demonstrasi dapat dilakukan untuk mencontohkan keterampilan
interpersonal, bagaimana cara berkomunikasi atau bagaimana mengoperasikan mesin tertentu.
Demonstrasi interaktif. Demonstrasi interaktif sebenarnya mirip dengan demonstrasi biasa, akan
tetapi, ketika instruktur memberikan contoh, pemelajar dapat mengikutinya langsung dan tidak hanya
melihat. Dalam hal ini pemelajar perlu memiliki peralatan yang sama yang dimiliki oleh instruktur
sehingga dapat langsung mengikutinya. Pemelajar juga boleh langsung menanyakan bila ada ketidak
jelasan, sehingga terjadi interaksi.
a) Field trip. Field trip, ekskursi, melakukan observasi atau tur akan dapat memberikan manfaat
apabila peserta berpartisipasi. Untuk itu, instruktur perlu menentukan harapan dan sasaran yang ingin
dicapai sebelum melakukan perjalanan, serta memastikan bahwa ada kesempatan untuk belajar tersebut
terjadi. Pengalaman di lapangan ini memungkinkan peserta mengalami langsung kejadian di lapangan,
sehingga peserta dapat merasakan bahwa apa yang dipelajari di dalam kelas digeneralisasikan ke
lapangan.
b) Diskusi panel. Diskusi panel sering disebut sebagai simposia, dimulai dengan ceramah singkat
oleh beberapa orang. Setiap pembicara menekankan satu topik, memberikan pandangan yang berbeda
dari pembicara yang lain dan menghubungkan topik yang dimiliki dengan topik yang dimiliki oleh
pembicara lain. Masalah yang dihadapi dengan model ini adalah partisipasi peserta menjadi terbatas,
karena yang banyak berbicara adalah pembicara.
c) Diskusi kelompok. Diskusi kelompok adalah percakapan mengenai sebuah topik yang
dilakukan oleh satu atau lebih peserta yang difasilitasi oleh instruktur atau pemimpin diskusi. Diskusi
ini akan bermanfaat bila ada kondisi-kondisi tertentu terpenuhi. Misalnya, di dalam kelompok ada
seseorang yang memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai topik yang dibicarakan. Diskusi juga
dapat membantu kelompok menemukan ide baru, menangkap kebutuhan kelompok, memahami ide-ide
kompleks untuk kemudian mengambil keputusan. Tujuan diskusi adalah untuk membantu kelompok
melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Pemimpin diskusi berfungsi untuk membantu agar
diskusi berlangsung dengan baik, mendorong setiap peserta terlibat serta membantu kelompok agar
dapat mendekati masalah secara sistematik.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
142
d) Panel tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab, instruktur mengumumkan topik atau tugas membaca
yang dituntut serta memberikan daftar pertanyaan kunci yang harus dipikirkan untuk sesi tersebut.
Ketika fase tanya jawab terjadi, instruktur meminta peserta untuk bertanya. Jawaban dapat muncul dari
para peserta, maupun dari instruktur. Meskipun demikian, lebih baik apabila jawaban datang dari
peserta dan instruktur hanya berpartisipasi ketika jawaban kurang tepat atau kurang lengkap. Cara ini
akan membuat peserta menjadi semakin terlibat.
e) Penelitian Kasus. Penelitian kasus sangat baik untuk membuat diskusi menjadi lebih konkret.
Biasanya dalam penelitian kasus, peserta menerima persoalan yang telah disiapkan dengan situasi
masalahnya. Penjelasan yang diberikan berisi detil-detil yang cukup sehingga pemelajar dapat
merekomendasikan tindakan yang sesuai. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian kasus adalah: detil
permasalahan yang tersedia, waktu yang tersedia untuk menyelesaikan, penjelasan mengenai
bagaimana tugas tersebut harus diselesaikan (berupa rekomendasi, keputusan, rencana tindakan). Selain
itu, penugasan dapat berupa serangkaian pertanyaan yang perlu dijawab kelompok untuk penyelesaian
tugas diskusi tersebut.
f) Tugas kelompok kecil. Tugas kelompok kecil juga bisa menghasilkan keputusan atau rekomendasi
yang kemudian dikomunikasikan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelas. Diskusi dalam
kelompok-kelompok kecil dapat menghasilkan pro dan kontra, yang kemudian dapat didiskusikan
bersama dalam kelompok besar.
g) Bermain peran. Bermain peran dapat digunakan untuk mempelajari persoalan yang bersifat sensitif
atau untuk menjajagi solusi serta memberikan insight kepada partisipan yang memiliki sikap yang
berbeda. Dalam bermain peran peserta berpartisipasi tanpa skrip dan berakting di depan anggota
kelompok yang lain. Agar peserta dapat memainkan perannya dengan baik, tahu apa yang harus
dikatakan dan dilakukan dalam bermain peran, maka peserta dibekali dengan situasi yang dijelaskan
secara detil serta perannya dalam permainan. Pemain peran dan penonton sadar akan situasi umumnya,
tetapi individu yang memainkan peranlah yang betul-betul mengetahui tentang perannya secara detil.
Agar jelas, detil peran ini perlu dijelaskan secara individual kepada pemerannya. Setelah bermain peran
selesai, diskusi dengan seluruh anggota kelompok perlu dilakukan.
2. Evaluasi Program Pelatihan
Evaluasi program merupakan langkah terakhir dari suatu pelatihan, yang seringkali tidak
dilakukan. Beberapa alasan tidak dilaksanakannya evaluasi program adalah karena keterbatasan alokasi
biaya, kurangnya waktu, keterbatasan keahlian, menganggap bahwa pelatihan pasti akan berhasil atau
karena kurangnya metode dan alat ukur (McEvoy & Buller, dalam Eseryel, 2002). Padahal, evaluasi
efektivitas program pelatihan merupakan hal yang penting dilakukan, karena tanpa evaluasi maka tidak
diketahui apakah program pelatihan yang dilaksanakan memang benar-benar memiliki manfaat.
Apabila evaluasi program dilakukan, maka dapat diketahui secara tepat masalah-masalah yang
dihadapi, sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan.
Phillips (1991) mendefinisikan evaluasi sebagai proses sistematik untuk menentukan
kepentingan, nilai dan makna dari sesuatu, sedangkan Holli dan Calabrese (1998) mendefinisikan
evaluai sebagai pembandingan antara nilai atau kualitas yang diobservasi dengan kriteria standar
tertentu. Evaluasi merupakan proses membentuk penilaian mengenai kualitas program, kualitas produk
dan sasaran. Shalock (2001) mendefinisikan evaluasi efektivitas sebagai penentu apakah program telah
memenuhi sasaran dan tujuan performansi yang diinginkan. Dengan demikian, evaluasi program
pelatihan dapat disimpulkan sebagai upaya sistematik untuk menilai apakah program pelatihan yang
dilaksanakan telah memenuhi sasaran yang diinginkan, serta menilai apakah program pelatihan yang
dilaksanakan memiliki kualitas yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk dapat melakukan evaluasi yang tepat terhadap pelatihan, Dessler dan Tan (2005)
menyatakan bahwa perlu dirancang desain pelatihan yang berbentuk “time series”. Dengan desain ini,
dapat dilihat perubahan pencapaian dari sebelum dan sesudah pelatihan diberikan. Cara kedua adalah
menerapkan desain penelitian eksperimental dengan menggunakan kelompok kontrol. Hal ini
merupakan cara yang lebih baik daripada sekedar ‘time series design’. Dengan adanya kelompok
kontrol dapat dipastikan apakah peningkatan pengetahuan, peningkatan keterampilan, perubahan
tingkah laku, dan perubahan sikap memang disebabkan oleh pelatihan dan bukan hal-hal lain. Ada dua
cara mengevaluasi program pelatihan, yaitu:
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
143
post-course questionnaires
yaitu memberikan kuesioner kepada peserta training hanya pada hari terakhir pelatihan dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pemberian pelatihan. Metode ini memiliki
beberapa kelemahan. Pertama, adanya halo effect. Bagi sebagian peserta pelatihan, mengikuti pelatihan
dapat merupakan salah satu kegiatan untuk keluar dari rutinitas. Kedua, kuesioner cenderung hanya
mengevaluasi pemberian pelatihan bukan pembelajaran yang terjadi pada peserta. Ini berarti, peserta
pelatihan lebih menilai kualitas dari pelatih dan media pembelajaran yang ada selama pelatihan, dan
bukan mengevaluasi apakah diri mereka sudah mempelajari sesuatu yang meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan atau menyadari adanya perubahan sikap dan tingkah laku dalam diri mereka sendiri.
pre-course and post-course questionnaires
Metode yang efektif adalah memberikan kuesioner pendek pada peserta di awal pelatihan untuk melihat
apa yang mereka harapkan akan diperoleh dari pelatihan. Kemudian pada akhir pelatihan peserta
diberikan kuesioner lain mengenai pembelajaran dan apa yang dapat mereka aplikasikan dari hasil
pelatihan pada pekerjaan mereka sehari-hari. Selain itu, peserta melengkapi kuesioner lain yang
mereviu efek pelatihan terhadap performa kerja mereka. Hal ini dilakukan untuk lebih menekankan
pada apa yang peserta pelajari dan bukan menilai kualitas pelatihan yang diberikan.
Ada beberapa model untuk mengevaluasi program pelatihan, namun yang cukup luas digunakan
adalah model yang diajukan oleh Kirkpatrick pada tahun 1959 (dalam Bates, 2004). Menurut Model
Kirkpatrick, ada empat level dalam evaluasi program yaitu:
Tabel 2. Model Kirkpatrick untuk mengevaluasi Efektivitas Program Pelatihan
Level Pertanyaan Tujuan Caranya
1 – Reaksi/
Reaction
Bagaimana reaksi
partisipan terhadap
program?
Untuk mengumpulkan data
mengenai reaksi peserta di
akhir programpelatihan
Mengisi kuesioner
umpan balik peserta
Komentar informal dari
peserta
FGD peserta
2 – Belajar/
Learning
Seberapa jauh
peningkatan
pengetahuan dan
keterampilan
peserta setelah
pelatihan?
Untuk mengetahui apakah
sasaran belajar program
pelatihan tercapai
Sekor tes prauji dan
pascauji
on-the-job assessments
laporan dari atasan/
supervisor
3 – Perilaku/
Behaviour
Seberapa jauh
peserta mengubah
perilakunya dalam
pekerjaan sebagai
hasil dari
pelatihan?
Untuk mengukur apakan
perubahan performansi dalam
pekerjaan berubah setelah
pelatihan
mengisi kuesioner self
assessment
on-the-job observation
laporan dari siswa
4 – Hasil/
Result
Apa manfaatnya
bagi organisasi?
Untuk mengetahui ciaya dan
manfaat program pelatihan,
misalnya berkaitan dengan
peningkatan kualitas kerja,
peningkatan kuantitas kerja.
Hasil kinerja
Wawancara dengan
kepala sekolah
Jadi, evaluasi yang dilakukan di atas pada prinsipnya mencoba 1) mengumpulkan reaksi peserta
terhadap pengalaman mereka ketika menjalankan pelatihan, 2) mengukur pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh peserta dari pelatihan, 3) mengukur sejauh apa peserta menggunakan
pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dan 4) mengukur dampak peningkatan pengetahuan
dan keterampilan terhadap belajar siswa.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
144
Selain itu tingkat evaluasi menurut Kirkpatrick di atas, pertanyaan lain berkenaan dengan
evaluasi program pelatihan menurut Eseryel (2002) berkenaan dengan: Tujuan evaluasi (formatif atau
sumatif), Sasaran evaluasi (kognitif, afektif, perilaku, dampak), Tipe sasaran instruksional
(pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, sikap), Tipe penyampaian (classroom-based,
technology-based, campuran), Besar dan tipe kelompok peserta (individual, kelompok kecil, kelompok
besar). Dalam kesempatan ini, evaluasi yang dilakukan lebih berkenaan pada pengetahuan dan
keterampilan guru setelah mengikuti pelatihan serta reaksi peserta pelatihan terhadap pengalaman
mereka ketika menjalankan pelatihan. Selain efektivitas pelatihan dari segi kompetensi akademik, yang
akan diteliti dalam penelitian ini juga mengenai kompetensi yang dimiliki guru, meliputi kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan kerja, sikap guru terhadap pengajaran
(teaching attitude) dan teaching efficacy guru. Oleh karena itu pada bagian berikut akan dibahas
mengenai kompetensi, kepuasan kerja, teaching attitude dan teaching efficacy guru.
Kompetensi Guru
Seorang guru yang kompeten diharapkan dapat mengajar dengan baik. Kompetensi merupakan
hal yang esensial dimiliki oleh guru. Dalam penelitian ini yang akan disoroti adalah kompetensi
akademik dan kompetensi non akademik. Berdasarkan UU no 14, tahun 2205, pasal 8 dan 10, dikatakan
bahwa seorang guru selayaknya memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya dikatakan bahwa kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Semua ini dapat diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi ini, berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga
memberikan contoh hidup kepada siswa.
Pengertian Kompetensi
Kompetensi merupakan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu
aktivitas. Hal ini dibutuhkan karena agar seseorang dapat bekerja dengan baik, maka ia harus
mempunyai bekal, baik berupa pengetahuan, sikap maupun ketrampilan, sehingga ia dapat menjalankan
tugas-tugasnya. Pengetahuan, sukap maupun ketrampilan ini harus dapat diterapkan dalam
pekerjaannya. Dalam pekerjaan, kompetensi ini seharusnya dapat dituangkan dalam bentuk
pernyataan-pernyataan yang dapat diamati, sehingga menggambarkan pengetahuan, sikap dan
ketrampilan yang ingin diukur. Menurut American Heritage Dictionary, kompetensi adalah keadaan
atau kualitas yang menunjukkan kualifikasi tertentu, atau sering disebut sebagai kemampuan. Selain itu
kompetensi diartikan sebagai serangkaian keterampilan, pengetahuan atau kemampuan. Sedangkan
Erraut (1998) mengartikan kompetensi sebagai kemampuan untuk menampilkan tugas dan peran yang
dibutuhkan dengan standar tertentu.
1. Kompetensi Akademik. DiPerna dan Elliot (2000) mendefinisikan kompetensi akademik sebagai
keterampilan akademik dan hal-hal yang memudahkan belajar dan mendukung prestasi.
Kompetensi akademik dapat berbeda-beda dalam komponennya, tergantung pada pengguna dan
institusinya. Selanjutnya dikatakan pula oleh DiPerna dan Elliot (2001), keterampilan akademik
ini perlu terus menjadi fokus utama dalam pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, guru perlu
memiliki kompetensi akademik yang baik, agar ia dapat mengajar dengan baik.
2. Kompetensi Kepribadian. Faktor kepribadian merupakan faktor yang penting dimiliki oleh
seorang guru. Seorang guru sepatutnya memiliki kepribadian yang sehat agar dapat mengajar
dengan baik. Guru yang baik dicirikan oleh kepercayaan diri, jujur, matang dan mantap secara
pribadi.
3. Kompetensi Sosial. Kompetensi sosial merupakan konstruk yang menggambarkan interaksi
antara faktor individu dengan faktor lingkungan atau faktor yang mengarah pada interaksi sosial.
Dibutuhkan keterampilan sosial, emosional, intelektual dan perilaku agar seseorang dapat berhasil
dalam masyarakat.
4. Kompetensi Pedagogik. Seorang guru sebaiknya memiliki kesadaran untuk melakukan metode
atau strategi pengajaran. Keterampilan ini mengacu pula pada pengetahuan dan penerapan metode
instruksional yang paling efektif untuk membantu siswa mencapai sasaran belajar. Artinya
memiliki kompetensi akademik saja tidaklah cuku bagi seorang guru. Ia juga hars memiliki
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
145
pengetahuan dan keterampilan pedagogis yang mencakup penyampaian sasaran, pemilihan
metode instruksional yang paling sesuai, penyediaan kesempatan untuk praktik dan umpan balik
yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya.
Untuk mempertahankan kompetensi pedagogik, guru perlu terus membenahi diri dan memperkaya
dirinya dengan pengetahuan yang relevan serta keteraampilan yang memang dibutuhkan. Hal ini dapat
dilakukan melalui membaca buku-buku umum maupun yang spesifik membahas mengenai
keterampilan tersebut, namun juga dapat diperoleh melalui pelatihan, konferensi dan workshop yang
disediakan oleh institusi-institusi terkait. Kompetensi pedagogik ini bagi seorang guru merupakan
kompetensi profesional, karena spesifik terdapat dalam bidang pendidikan. Seorang guru yang
profesional diharapkan dapat mengintegrasikan sejumlah pengetahuan dan keterampilannya dan
menerapkannya dalam berbagai situasi yang sesuai.
Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja seseorang sangat tergantung pada situasi kerja yang dihadapi. Menurut French (1982)
dan Tziner dan Vardi (1984) kepuasan kerja merupakan respon afektif terhadap sejumlah besar kondisi
atau aspek pekerjaan yang dihadapi seseorang. Seperti gaji yang diterima, supervisi yang dilakukan,
kondisi kerja dan atau pekerjaan itu sendiri dan semua itu dituangkan dalam bentuk perasaan orang
tersebut mengenai pekerjaannya (Arches, 1991). Balzer dkk (1997) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai perasaan pekerja mengenai pengalaman kerjanya dalam relasinya dengan pengalaman
sebelumnya, harapan saat ini dan alternatif yang tersedia.
B. Teaching Attitude
Sikap dapat didefinisikan sebagai kecenderungan yang konsisten untuk bereaksi dalam suatu cara
tertentu – positif maupun negatif – terhadap suatu masalah. Fazio dan Roskes (dalam Adediwura &
Tayo, 2007) mengatakan bahwa “sikap sangatlah penting dalam psikologi pendidikan karena sikap
sangat mempengaruhi pemikiran sosial, terutama mengenai cara berpikir seorang individu dan proses
informasi sosial. Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Adediwura & Tayo, 2007), sikap guru yang
positif sangat penting dalam pengajaran yang efektif. Kedua tokoh tersebut mengidentifikasikan
sejumlah sikap guru yang memfasilitasi terciptanya suasana kelas yang perhatian dan mendukung.
Sikap-sikap tersebut adalah antusiasme, perhatian, teguh, praktek demokratis untuk meningkatkan
tanggung jawab siswa, menggunakan waktu pengajaran secara efektif, menciptakan rutinitas yang
efisien, dan berinteraksi secara bebas dengan siswa dan memprovide motivasi bagi siswa. Hasil
penelitian terhadap perilaku guru menunjukkan bahwa karakteristik-karakteristik guru seperti efficacy
guru, modeling dan antusiasme, perhatian dan pengharapan yang tinggi dapat meningkatkan motivasi
pelajar. Karakteristik-karakteristik yang sama juga diasosiasikan dengan meningkatnya prestasi
akademik siswa. Tingkat yang tinggi dalam belajar dapat terjadi sejalan dengan adanya perasaan yang
baik terhadap diri mereka sendiri dan materi yang mereka pelajari ketika guru menggunakan waktu
instruksional secara efisien. Belajar akan menjadi lebih mudah dan cepat di bawah pengajaran guru
yang well-organized.
Bagaimana guru berinteraksi dengan siswa mempengaruhi motivasi siswa dan sikap terhadap
sekolah. Bagaimana siswa menerima sikap guru mereka di sebuah SMP di Nigeria akan diukur
berdasarkan beberapa poin-poin yang sudah disampaikan. Untuk meningkatkan keteraturan dan belajar
di dalam kelas, tiap guru harus memiliki keterampilan pengajaran yang esensial. Tidak ada seorang pun
yang dapat mengajarkan sesuatu kepada orang lain tanpa melakukannya dalam cara-cara tertentu, dan
cara pengajaran yang demikian memiliki efek yang penting dalam keseluruhan situasi pengajaran dan
belajar. Ehindero and Ajibade (dalam Adediwura & Tayo, 2007) mengemukakan bahwa pengajaran
adalah proses pengembangan pribadi yang berkelanjutan dan penemuan diri professional sepanjang
pemahaman yang muncul dalam proses pengajaran dan belajar. Jika ada teknik yang penting dalam
pengajaran yang baik, itu adalah komunikasi. Hal ini sangatlah penting karena mengajar tidak dapat
terjadi tanpa penggunaan komunikasi bahasa verbal atau penggunaan tanda. Hal ini menyiratkan bahwa
guru harus memonitor perkataan mereka untuk meyakinkan bahwa presentasi mereka jelas dan logis.
Eggen dan Kauchack (dalam Adediwura & Tayo, 2007) menekankan empat aspek komunikasi yang
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
146
efektif yang sangat penting dalam belajar dan memotivasi, yaitu terminology yang tepat, diskusi yang
berhubungan, transisi signals dan penekanan.
Dalam lingkup pendidikan, terdapat guru yang menunjukkan sikap yang positif dalam
memberikan pembelajaran di suatu situasi belajar mengajar. Berbagai pengetahuan (berupa seperangkat
fakta, hukum dan data) di transfer oleh guru kepada siswanya. Berdasarkan penelitian di bidang
pendidikan dan pembelajaran bidang fisika (Barros & Elia, 1987) ditemukan bahwa hasil yang
memuaskan terjadi jika ada keterkaitan antara sekolah sebagai institusi dan masyarakat (budaya,
Negara). Dijelaskan pula bahwa keberagaman dari model pembelajaran guru merupakan hasil dari
interaksi antara teaching attitudes dan kompetensi guru, sekolah dan masyarakat. Melalui suatu training
diharapkan semua aspek ini dapat berpengaruh.
Gambar 2. Hubungan antara pelatihan dengan kompetensi guru dan teacher attitude
Sikap menunjukkan pada apa yang dilihat, didengar, dipikirkan dan dilakukan oleh setiap
individu. Sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk bereaksi secara favorable atau
unfavorable pada suatu obyek (orang lain atau sekelompok orang, institusi atau kejadian). Sikap bisa
positif (nilai) atau negatif (prasangka). Ahli psikologi social membedakan 3 komponen dari respon
yaitu: komponen kognitif, yang mengacu pada pengetahuan mengenai obyek dari sikap, tepat atau tidak;
komponen afektif menunjukkan perasaan pada obyek; dan komponen konatif menunjukkan aksi
terhadap obyek. Ketiga komponen tersebut muncul membentuk sikap guru di kelas melalui interaksi
langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat, guru lain dan sekolah. Barros dan Elia (1987)
dalam penelitiannya mengenai sikap guru fisika menunjukkan adanya tujuh tipe dari teaching attitudes
yang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dapat menunjukkan trait guru. Pengelompokan
ini disejajarkan dengan kompetensi guru yang dapat menggambarkan bagaimana perilaku guru di kelas.
Dalam penelitian ini, alat ukur teaching attitude akan disusun berdasarkan pendapat dari Barros dan
Elia (1987).
C. Teaching Efficacy Guru
Bandura (dalam Erdem & Demirel, 2007; Skaalvik & Skaalvik, 2007) mengemukakan bahwa self
efficacy adalah penilaian individu mengenai kapabilitasnya untuk mengorganisasi dan melakukan
sejumlah aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu self efficacy merupakan
konsep yang multidimensioal dan spesifik tergantung konteksnya.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
147
Berdasarkan definisi tersebut teaching efficacy guru dapat didefinisikan sebagai keyakinan guru
terhadap terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan aktivitas
yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan (Skaalvik & Skaalvik, 2007).
Erdem dan Demirel (2007) menambahkan bahwa guru dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa
mereka dapat mengontrol, mempengaruhi dorongan berprestasi siswa dan juga motivasi mereka. Teori
self-efficacy memprediksikan bahwa guru dengan efficacy yang tinggi bekerja lebih giat dan mampu
bertahan lebih lama ketika menghadapi siswa yang sulit untuk dididik, karena mereka percaya diri dan
juga percaya pada siswanya.
Skaalvik dan Skaalvik (2007) menyusun kuesioner teaching efficacy guru yang dalam pembuatan
skalanya didasarkan pada rekomendasi/aturan konstruksi item yang dikemukakan oleh Bandura (1997),
yaitu : (1) subyek dalam setiap pernyataan adalah “saya” karena tujuannya adalah untuk menilai
keyakinan subyektif guru tentang kapabilitas dirinya; (2) pernyataan-pernyataan terdiri kata kerja
“dapat melakukan” (can or be able to) supaya pernyataan yang ada benar-benar menanyakan tentang
kemampuan personal; (3) selain itu, setiap pernyataan hendaknya mengandung hambatan (barrier)
sebagai contoh berhasil mengajar siswa termasuk siswa yang paling sulit sekalipun. Bila tanpa unsure
hambatan, aktivitasnya akan mudah untuk dilakukan sehingga tidak dapat membedakan self efficacy
dari guru-guru.
Skala yang disusun oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) terdiri dari enam dimensi yaitu 1)
Instruksi (instruction): fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya menjelaskan pelajaran
kepada siswa, menjelaskan pokok-pokok bahasan, membimbing siswa dalam tugas-tugasnya, dan
menjawab pertanyaan agar siswa lebih memahami pelajaran yang disampaikan; (2) Menyesuaikan
pengajaran berdasarkan kebutuhan individual siswa (adapting education to individual students’ needs);
(3) Memotivasi siswa (motivating students) : fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya
dalam memotivasi siswa supaya mereka dapat belajar secara optimal; (4) Penerapan disiplin (keeping
discipline) : fokus pada kemampuan guru untuk mempertahankan keteraturan dan disiplin di daam kelas
mengingat sering kali situasi kelas tampak sangat ramai; (5) Bekerjasama dengan kolega dan orangtua
(cooperating with colleagues and parents): di kebanyakan sekolah, guru bekerja dalam tim dan berbagi
tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang ada. Guru juga diharapkan dapat bekerjasama dengan
orangtua termasuk memberikan informasi tentang kegiatan dari siswa.; (6) Menghadapi perubahan dan
tantangan (coping with changes and challenges): menekankan pada kemampuan guru dalam mengatasi
perubahan-perubahan yang terjadi dan tantangan termasuk mengatasi perubahan dalam kebijakan
pemerintah atau kebijakan sekolah.
Berdasarkan skala yang dibuat oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) dibuatlah skala self efficacy
guru yang akan dipakai untuk penelitian efektivitas program pelatihan guru SMP di Indonesia. Skala
ini dijadikan acuan karena berdasarkan pertimbangan dimensi-dimensinya yang komprehensif dan
mencakup area yang dihadapi guru shari-hari dalam melakukan pengajarannya. Selain itu juga
ditambah beberapa item yang diperoleh dari skala yang dibuat oleh Erdem dan Darmiel (2007), dengan
penambahan faktor hambatan (barrier) yang kurang ditekankan dalam penelitian mereka. Dalam
rangka menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia, juga dilakukan sejumlah modifikasi terhadap skala
yang ada.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diajukan maka diajukan pertanyaan penelitian:
Apakah ada dampak pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (P4TK) dan KKG/MGMP dalam bidang penelitian Matematika, IPA,
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selain itu juga dilihat dampaknya terhadap kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan guru dan sikap guru, serta teaching
efficacy. Lebih jauh, hipotesis yang diajukan dalam hubungannya dengan permasalahan penelitian ini
adalah: (1) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi akademik guru dalam pelajaran yang
diajarnya antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan masing-masing dalam bidang penelitian
Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris; (2) Ada perbedaan yang signifikan
dalam kompetensi kepribadian guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (3) Ada perbedaan yang
signifikan dalam kompetensi sosial guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (4) Ada perbedaan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
148
yang signifikan dalam kompetensi pedagogik guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (5) Ada
perbedaan yang signifikan dalam kepuasan kerja guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan: (6)
Ada perbedaan yang signifikan dalam sikap guru terhadap mengajar sebelum dan sesudah mengikuti
pelatihan; dan (7) Ada perbedaan yang signifikan dalam teaching efficacy guru sebelum dan sesudah
mengikuti pelatihan.
METODE
Populasi penelitian ini adalah guru-guru SMP pada bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris, yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh (P4TK) Matematika,
IPA dan Bahasa, serta KKG/MGMP. Direncanakan dari masing-masing bidang penelitian akan dipilih
dua pelatihan yang waktu-waktu pelaksanaannya sangat tergantung pada jadwal yang disusun oleh
masing-masing P4TK. Akan tetapi karena beberapa pelatihan tidak dilaksanakan sehubungan dengan
adanya perubahan kebijakan, maka hanya diperoleh data dari pelatihan Matematika dan IPA yang
dilaksanakan oleh P4TK dan tidak diperoleh data dari pelatihan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Selain pengambilan data diambil dari P4TK, juga dilakukan pengambilan data dari guru-guru
yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP. Dalam hal ini, berhasil diambil data
dari empat bidang penelitian, yaitu Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengambilan sampel penelitian ini adalah sifatnya accidental,
yaitu berdasarkan ketersediaan dari data yang ada saja.
Variabel yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah: (1) Kompetensi guru di bidang pelajaran
yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hal
ini diukur dengan alat ukur kompetensi akademik; (2) Kompetensi kepribadian, mencakup kepercayaan
diri, sifat-sifat positif serta kematangan pribadi dan hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi
kepribadian; (3) Kompetensi sosial, yaitu kemampuan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan
atau kemampuan individu untuk mengarah pada interaksi sosial. Hal ini diukur dengan alat ukur
kompetensi social; (4) Kompetensi pedagogik, kemampuan untuk menyampaikan sasaran pengajaran,
memilih metode instruksional yang paling sesuai, kemampuan menyediakan kesempatan untuk praktik
dan umpan balik yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya. Hal ini diukur
dengan alat ukur kompetensi pedagogic: (1) Kepuasan kerja, yang diukur dari kepuasan terhadap
pekerjaan, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja.; (2) Sikap guru terhadap mengajar yaitu
sikap guru terhadap materi pelajaran, sebagai pemberi informasi, dalam memberikan memberikan teori
dan melaksanakan praktik, inovator, mengembangkan metode interaksi, kepercayaan guru terhadap
siswa dan ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi lain; dan (3) Teaching efficacy guru yaitu
keyakinan guru terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan
aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan.
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kompetensi guru, baik kompetensi di bidang
pelajarannya atau disebut sebagai kompetensi akademik, serta kompetensi non akademik yang terdiri
dari kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik. Selain itu juga dilihat dampak
pelatihan terhadap kepuasan kerja, sikap guru terhadap mengajar dan teaching efficacy. Oleh karena
itu, alat ukur yang digunakan adalah alat ukur untuk mengukur: (1) 1. Kompetensi akademik guru di
bidang pelajaran yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris; (2) Kompetensi kepribadian; (3) Kompetensi sosial,; (4) Kompetensi pedagogik; (5)
Kepuasan kerja; (6) Sikap guru terhadap mengajar; dan (7) Teaching efficacy. Instrumen dikembangkan
berdasarkan validitas isi (content validity), sedangkan perhitungan reliabilitasnya dengan menggunakan
koefisien α.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
149
Tabel 4. Reliabilitas masing-masing alat ukur
No. Instrumen Reliabilitas
1. Kompetensi Akademik dalam Matematika α = 0,602
2. Kompetensi Akademik dalam Fisika α = 0,657
3. Kompetensi Akademik dalam Biologi α = 0,597
4. Kompetensi Akademik dalam Bahasa Indonesia α = 0,624
5. Kompetensi Akademik dalam Bahasa Inggris α = 0,729
6. Kompetensi Kepribadian α = 0,736
7. Kompetensi Sosial α = 0,782
8. Kompetensi Pedagogik α = 0,949
9. Kepuasan Kerja α = 0,902
10. Sikap Mengajar α =0,844
11. Teaching Efficacy α = 0,859
Untuk menguji efektivitas pelatihan, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan desain
eksperimental yaitu: Pretest-Posttest Group Design. Pengukuran terhadap efektivitas pelatihan
dilakukan dua kali yaitu dengan memberikan kuesioner sebelum dan sesudah pelatihan. Data penelitian
yang diperoleh tergantung pada pelaksanaan pelatihan yang ada. Oleh sebab itu, tidak dapat dibuat
jadwal yang tetap oleh peneliti, karena jadwal pelatihan telah ditentukan oleh KKG/MGMP maupun
P4TK. Pengumpulan data dilakukan pada sebelum pelaksanaan pelatihan dimulai dan setelah
pelaksanaan pelatihan selesai. Hal ini dimaksudkan agar data pretes dan postes dapat diambil secara
murni. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji efektivitas pelatihan adalah t-test independent
sample dengan menguji perbedaan gain score, yaitu selisih skor rata-rata antara sebelum dan sesudah
pelatihan. Selain itu juga dibandingkan sekor pretes antar kelompok KKG/MGMP dengan P4TK.
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS Versi 11.
HASIL
Hasil penelitian ini akan disajikan secara berurutan, dari gambaran sampel serta gambaran pengambilan
data pelatihan, kemudian disajikan mengenai perbandingan pretes dan postes pelatihan yang
dilaksanakan oleh P4TK dan KKG/MGMP, dimulai dari segi akademik kemudian non akademik.
Jumlah peserta pelatihan guru yang mengikuti penelitian ini keseluruhannya berjumlah 272 orang, Akan
tetapi, data yang dapat terolah untuk masing-masing aspek yang diteliti sangat bervariasi, mengingat
pengolahan lengkap hanya dapat dilakukan apabila responden mengisi lengkap kuesioner serta
mengikuti pengisian pada pretes dan postes. Apabila responden tidak mengisi lengkap atau hanya
mengikuti pretes atau postesnya saja, maka data tidak dapat diolah.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
150
Pengambilan data diambil di beberapa kota di Indonesia, sesuai dengan pelatihan yang
dilaksanakan oleh P4TK yaitu di Yogyakarta, Bandung, Gorontalo dan Makassar, serta oleh
KKG/MGMP Jakarta yang melaksanakan pelatihan mengenai pembuatan silabus dan rencana
pembelajaran menurut KTSP. Peserta pelatihan yang mengikuti pelatihan baik di P4TK maupun
KKG/MGMP yang terlibat dalam penelitian ini paling banyak berasal dari pelatihan guru Matematika
yaitu 162 orang, sedangkan yang paling sedikit adalah Bahasa Inggris yaitu 16 orang. Responden paling
banyak berasal dari kota Jakarta dan disusul dengan responden yang berasal dari kota Yogyakarta.
Sedangkan responden yang paling sedikit adalah dari Makassar, yaitu 25 orang. Dari tabel di atas dapat
dilihat bahwa peserta pelatihan yang terlibat dalam penelitian ini memiliki pengalaman mengajar yang
bervariasi, dari hanya satu tahun hingga 35 tahun. Apabila digambarkan lama rata-rata mengajar, maka
rata-rata mengajar para guru selama 16,9 tahun. Dari segi usia, peserta berkisar dari 23 tahun hingga 64
tahun, dengan rata-rata usia 42,24 tahun. Dari gambaran di atas, tampak bahwa responden terbesar
berasal dari Yogyakarta yang berasal dari mata pelajaran Matematika. Sedangkan yang paling sedikit
adalah berasal dari Jakarta untuk mata pelajaran Biologi. Pelaksanaan pelatihan dilakukan dari bulan
Juli sampai dengan November 2008. Lamanya pelatihan cukup bervariasi, dari dua hari pada pelatihan
yang diadakan oleh KKG/MGMP, sampai 1 minggu atau 2 minggu pada pelatihan yang diadakan oleh
P4TK. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Pada bagian berikut ini akan dibahas mengenai
kompetensi akademik dan kompetensi non akademiknya guru-guru yang mengikuti pelatihan P4TK
dan KKG/MGMP.
Tabel 11. Perbedaan pretes dan postes Matematika antara guru-guru yang mengikuti pelatihan
KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan
Pretes Postes t-test Sign N
KKG/MGMP 11,59 13,52 4,273 0,000* 29
P4TK 10,59 12,02 4,771 0,000* 143
t-test 2,395 2,787
sign 0,019* 0,007*
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal kompetensi profesi matematika adalah 20, sehingga dapat disimpulkan bahwa
kompetensi guru matematik adalah rata-rata (baik pada guru yang terlibat dalam pelatihan KKG/MGMP
maupun P4TK). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam
kompetensi profesi matematika para guru antara sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan, baik
pada guru yang mendapatkan pelatihan KKG/MGMP maupun P4TK. Selain itu pula, terdapat
peningkatan kompetensi guru setelah mendapatkan pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
skor pretes-postes. Dari tabel sebelumnya juga tampak ada perbedaan yang signifikan dalam
kompetensi profesi matematika antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dengan P4TK,
dimana guru yang mengikuti KKG/MGMP memiliki kompetensi yang lebih tinggi daripada guru yang
mengikuti P4TK (perbandingan pretes maupun perbandingan postes antara KKG/MGMP dan P4TK)
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
151
Tabel 12. Perbedaan pretes dan postes Biologi antara guru yang mengikuti pelatihan
KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing
pelatihan
Pretes Postes t-test Sign N
KKG/MGMP 4,33 15,75 7,063 0,000* 12
P4TK 14,71 14,41 0,468 0,646 17
t-test 11,988 1,147
sign 0,000 0,261
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal kompetensi profesi Biologi adalah 25, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi
profesi guru biologi P4TK adalah sedikit di atas rata-rata (skor pretest). Nilai pretes guru pelatihan
KKG/MGMP tidak bisa diolah karena kemungkinan ada kesalahan dalam pengisian sehingga skor
pretes antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK Jakarta tidak bisa
diperbandingkan.
Tabel 13. Perbedaan pretes dan postes Fisika antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan
P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan
Pretes Postes t-test Sign N
KKG/MGMP 13,25 12,38 0,835 0,417 16
P4TK 15,19 10,67 4,583 0,000* 21
t-test 2,386 1,046
sign 0,023* 0,300
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal kompetensi profesi fisika adalah 25, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesi
guru fisika adalah sedikit di atas rata-rata, baik pada guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP
maupun P4TK.
Tampak bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi profesi fisika para guru antara
sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan pada KKG/MGMP. Namun hal ini tidak dapat
diinterpretasikan begitu saja karena justru terjadi penurunan setelah pelatihan. Kemungkinan ada
kesalahan dalam pengisian atau kurangnya waktu untuk menjawab pertanyaan, ketika postes. Selain itu,
ada perbedaan kompetensi fisika antara guru fisika KKG/MGMP dengan P4TK, dimana guru-guru
yang mengikuti pelatihan P4TK memiliki skor kompetensi yang lebih tinggi secara signifikan daripada
guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP (perbandingan pretes KKG/MGMP dan P4TK)
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, data yang diperoleh hanya data dari pelatihan
KKG/MGMP karena pelatihan Bahasa Indonesia yang dikelola oleh P4TK tidak dilangsungkan/
dibatalkan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
152
Tabel 14. Perbedaan pretes postes Bahasa Indonesia guru yang mengikuti pelatihan
KKG/MGMP
Pretes Postes t Sig N
KKG/ MGMP 15.84 15.58 0.397 0.695 31
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal adalah 30 soal, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para guru memiliki
kompetensi rata-rata. Dari hasil uji statistik, tampak bahwa terjadi sedikit penurunan pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia, namun demikian tidak terjadi penurunan yang signifikan. Kemungkinan
hal ini dikarenakan waktu pelatihan yang sangat sempit yaitu dua hari dan konten pelatihan yang tidak
memberikan materi yang cukup membekali guru dalam segi akademik.
Sama halnya dengan Bahasa Indonesia, data yang diperoleh dalam Bahasa Inggris juga hanya
data dari pelatihan KKG/MGMP karena pelatihan Bahasa Inggris yang dikelola oleh P4TK tidak
dilangsungkan/ dibatalkan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 15. Perbedaan pretes postes Bahasa Inggris guru yang mengikuti pelatihan
KKG/MGMP
Mata Pelajaran Pretes Postes t Sig N
KKG/MGMP 14.32 8.82 3.507 0.002* 28
*signifikan pada l.o.s 0.05
Kompetensi para guru Bahasa Inggris secara umum tergolong di bawah rata-rata, karena jumlah
soal adalah 35. Pada pretes dan postes rata-rata guru hanya 14,32 dan 8,82; artinya di bawah 17,5 yang
merupakan rata-rata tengahnya. Pada hasil pelatihan pelajaran Bahasa Inggris juga tidak terjadi
peningkatan, yang terjadi adalah penurunan. Hal ini kemungkinan juga berkaitan dengan terbatasnya
waktu penyelenggarakan, yaitu hanya dua hari.
Tabel 16. Perbedaan pretes dan postes kompetensi kepribadian antara guru-guru yang
mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes
masing-masing pelatihan
Pretes Postes t-test Sign N
KKG/MGMP 81,88 86,28 6,071 0,000* 67
P4TK 83,93 74,80 11,60 0,000* 181
t-test 2,208 10,927
sign 0,028* 0,000*
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi kepribadian adalah 20 dengan rentang skor antara
1–5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai rata-
rata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepribadian guru tergolong di atas rata-rata.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
153
Kompetensi kepribadian ini menyoroti karakteristik yang mantap, jujur, percaya diri dan memegang
etos kerja, tanggung jawab dan kode etik guru.
Dari tabel di atas, terlihat adanya perbedaan yang signifikan dalam kompetensi kepribadian para
guru antara sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan, baik pada guru yang mengikuti KKG/MGMP
dan P4TK. Pada guru yang mengikuti KKG/MGMP ternyata terjadi peningkatan kompetensi
kepribadian setelah mendapatkan pelatihan, tetapi pada guru P4TK justru terjadi penurunan. Padahal
apabila ditelaah dari perbedaan kompetensi kedua kelompok dari angka pretesnya, maka guru-guru
P4TK memiliki kompetensi kepribadian yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru
KKG/MGMP. Adanya penurunan skor pretes dan postes kelompok guru yang mengikuti pelatihan yang
dilaksanakan P4TK disebabkan karena pelatihan yang dilakukan semata-mata menekankan pada aspek
akademik, dalam hal ini mata pelajaran yang diajarnya, dan bukan pada aspek non akademik, seperti
faktor kepribadian.
Tabel 17. Perbedaan pretes dan postes kompetensi sosial antara guru-guru yang mengikuti
pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan
Pretest Posttest t-test Sign N
KKG/MGMP 77,07 78,58 1,737 0,087 67
P4TK 85,74 78,76 6,733 0,000* 181
t-test 8,495 0,143
sign 0,000* 0,887
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi sosial adalah 20 dengan rentang skor antara 1–
5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai rata-
rata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam
kuesioner kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan untuk membina hubungan sosial dengan
rekan guru, orang tua, dan siswa.
Dari hasil analisis statistik, ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi sosial antara guru
yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, dimana guru yang mengikuti pelatihan P4TK
memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP.
Tabel 18. Perbedaan pretes dan postes kompetensi pedagogi antara guru-guru yang
mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes
masing-masing pelatihan
Pretest Posttest t-test Sign N
KKG/MGMP 85,79 86,54 0,886 0,379 67
P4TK 83,67 80,17 4,056 0,000* 181
t-test 1,869 4,950
sign 0,063 0,000*
*signifikan pada l.o.s 0.05
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
154
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi pedagogi adalah 20 dengan rentang skor antara
1–5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai rata-
rata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogi guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan
dalam kuesioner kompetensi pedagogi berkaitan dengan kemampuan untuk menyiapkan dan
menyelenggarakan pembelajaran di kelas.
Hasil yang diperoleh dari kompetensi pedagogi menunjukkan ketidak konsistenan, karena pada
kelompok guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP, mereka mengalami peningkatan dalam skor
kompetensi pedagogi dan pada kelompok guru yang mengikuti P4TK mengalami penurunan. Apabila
ditelaah berdasarkan materi yang diberikan pada pelatihan, memang pada pelatihan KKG/MGMP guru
diajarkan agar menguasai persiapan pembelajaran di kelas, yaitu bagaimana menyusun silabus KTSP.
Sedangkan pada pelatihan P4TK penekanan lebih pada materi pengajarannya.
Tabel 19. Perbedaan pretes dan postes kepuasan kerja antara guru-guru yang mengikuti pelatihan
KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan
Pretest Posttest t-test Sign N
KKG/MGMP 4,1727 4,2108 0,933 0,353 97
P4TK 4,3460 4,3923 1,866 0,064 175
t-test 3,257 3,260
sign 0,001* 0,001*
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kepuasan kerja adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5
sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa kepuasan
guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner kepuasan kerja berkaitan dengan kepuasan
kerja secara intrinsik dan ekstrinsik.
Ada perbedaan kepuasan kerja antara guru KKG/MGMP dan P4TK, dimana kepuasan kerja guru
pelatihan P4TK lebih tinggi secara signifikan daripada guru KKG/MGMP. Namun demikian, tidak ada
perbedaan kepuasan kerja guru antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan pada kedua kelompok.
Ini berarti pelatihan yang diberikan memang tidak berpengaruh dengan kepuasan kerja guru. Hal ini
dapat terjadi karena faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja guru berkaitan dengan kondisi
atau aspek pekerjaan yang dihadapi, sehingga kemungkinan tidak dapat berubah hanya karena
pelatihan.
Tabel 20. Perbedaan pretes dan postes sikap mengajar antara guru-guru yang mengikuti pelatihan
KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan
Pretest Posttest t-test Sign N
KKG/MGMP 5,1108 5,0887 0,249 0,804 97
P4TK 5,2483 5,3660 4,179 0,000* 175
t-test 2,204 3,816
sign 0,028* 0,000*
*signifikan pada l.o.s 0.05
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
155
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi pedagogi adalah 20 dengan rentang skor antara
1–5 sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa
kompetensi pedagogi guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner sikap mengajar
berkaitan dengan pemahaman konseptual yang dimiliki, sikap sebagai pemberi informasi, sikap
terhadap teori dan praktek yang diajarnya, kepercayaan guru dan kepuasan terhadap profesi.
Adanya perbedaan skor sikap mengajar antara kedua kelompok menunjukkan bahwa guru yang
terlibat dalam pelatihan P4TK memiliki skor sikap mengajar yang lebih tinggi secara signifikan
daripada guru-guru yang terlibat dalam pelatihan KKG/MGMP. Selain itu, juga ada perbedaan skor
sikap mengajar pada guru P4TK antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan. Terjadinya
peningkatan skor sikap mengajar pada guru setelah diberikan pelatihan, dapat terjadi karena pelatihan
ini melatihkan materi pelajaran yang diajarnya sehingga dapat meningkatkan pemahaman konseptual,
teori praktek dan kepercayaan dirinya terhadap pelajaran yang diajarnya.
Tabel 21. Perbedaan pretes dan postes teaching efficacy antara guru-guru yang mengikuti
pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-
masing pelatihan
Pretest Posttest t-test Sign N
KKG/MGMP 4,8840 5,0892 2,197 0,030* 97
P4TK 5,1469 5,2874 3,312 0,001* 175
t-test 3,931 2,456
sign 0,000* 0,015*
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah pernyataan dalam kuesioner teaching efficacy adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5
sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa teaching
efficacy guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner teaching efficacy berkaitan dengan
instruksi pembelajaran, penyesuaian terhadap pengajaran, cara-cara memotivasi siswa, penerapan
disiplin, kerjasama dengan kolega, orangtua serta kemampuan menghadapi perubahan dan tantangan.
Ada perbedaan skor teaching efficacy antara guru KKG/MGMP dan P4TK dimana skor teaching
efficacy guru P4TK secara signifikan lebih tinggi daripada guru KKG/MGMP. Selain itu, ada perbedaan
skor teaching efficacy pada guru antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan, pada kedua
kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan yang diberikan berdampak positif, yaitu secara umum
meningkatkan kepercayaan diri guru
PEMBAHASAN
Keterampilan untuk menjadi guru bukanlah merupakan sesuatu yang terberi sejak lahir, tetapi dapat
dilatihkan dan diajarkan melalui program pendidikan (Kennedy, 2006). Pelatihan merupakan satu
bentuk untuk melatih seseorang untuk menjadi guru yang baik. Dalam penelitian ini terbukti bahwa
pelatihan membantu mengembangkan keterampilan guru agar guru menjadi lebih profesional dalam
menjalankan tugasnya, halmana tertuang dalam tujuan pembentukan P4TK, KKG maupun MGMP.
Neville dan Robinson (2005), mengemukakan bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat
dilakukan melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Selanjutnya mereka mengatakan pengembangan profesionalitas guru dapat membantu
meningkatkan prestasi siswa serta merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuan guru akan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
156
materi pengajaran serta mengembangkan penerapan metode pengajaran. Jadi, peningkatan belajar siswa
dapat dilakukan dengan cara meningkatkan belajar guru terlebih dahulu.
Menurut Wong (2005), pelatihan adalah bentuk pengembangan staf yang terorganisir dan
komprehensif, melibatkan banyak orang dan komponen. Dari hasil penelitian ini tampak bahwa
pelatihan memilki dampak yang cukup signifikan, baik terhadap kompetensi akademik, maupun
kompetensi non akademik. Pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP meningkatkan kompetensi
akademik Matematika dan pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK meningkatkan kompetensi
akademik Fisika. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tan dan Torrington (2004) yang mengemukakan
bahwa pelatihan merupakan suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
seseorang.
Melalui pelatihan, guru mengembangkan pengetahuan yang berkaitan dengan materi serta
mempelajari hal-hal yang bersifat pedagogis sehingga dapat mengembangkan profesionalitasnya
(Kennedy, 2006). Hal ini tampak pula dari peningkatan kompetensi kepribadian, sikap terhadap
mengajar dan teaching efficacy. Sebagaimana Ross dan Bruce (2000) dalam penelitiannya mengenai
efek pengembangan profesionalitas guru matematika, juga menemukan bahwa ternyata pelatihan dapat
membantu guru meningkatkan self efficacy nya dalam mengajar pelajaran matematika. Hal yang sama
tampak pula dalam penelitian ini, baik dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP maupun
yang dilaksanakan oleh P4TK. Melalui pelatihan guru akan lebih meningkat teaching efficacy nya,
karena ia merasa lebih yakin dan lebih menguasai mengenai materi yang diajarkannya. Menurut
Bandura (1997), self efficacy adalah belief mengenai kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan
melaksanakan sejumlah perilaku untuk menghasilkan prestasi tertentu.
Menurut Weissmann (dalam Ursano, 2007), selama ini dalam pelatihan-pelatihan guru, lebih
banyak menekankan pada pengembangan keterampilan akademik, yaitu mata pelajaran yang
diajarkannya. Keterampilan guru yang bersifat non akademik seperti kompetensi kepribadian,
kompetensi pedagogik dan kompetensi sosial serta sikap dan perilaku yang nonkognitif jarang
dijelaskan atau kurang diajarkan secara eksplisit dalam pelatihan-pelatihan guru. Hal yang kurang lebih
sama terjadi pula dalam pelatihan-pelatihan yang selama ini dilakukan di Indonesia.
Dari penelitian ini, tampak ada beberapa aspek yang menunjukkan peningkatan setelah guru
mengikuti pelatihan, bahkan pada pelatihan yang hanya berlangsung selama dua hari sekalipun.
Peningkatan ini tentu saja menggembirakan, karena menunjukkan bahwa pelatihan memberikan
perubahan. Meskipun dalam penelitian menunjukkan adanya peningkatan beberapa aspek akademik
dan non akademik, namun tampak pula penurunan. Hal ini tentu saja tidak dapat diabaikan, mengingat
untuk menjadi guru yang efektif, dituntut pula penguasaan kompetensi akademik, selain tentu saja
kompetensi non akademik. Hasil yang kurang konsisten ini patut disikapi secara serius karena
menunjukkan beberapa hal yang patut digali secara serius.
Temuan yang kurang menggembirakan antara lain, terjadinya penurunan dalam skor
kompetensi akademik Fisika, kompetensi sosial, pedagogik dan sosial. Ada beberapa kemungkinan
yang dapat menjadi penyebab. Kemungkinan pertama, hal ini berkaitan dengan perencanaan dan
pelaksanaan pelatihan yang kurang dilakukan secara sistematis, sebagaimana dikemukakan dalam
pendapat responden yang mengatakan bahwa mereka kurang mengetahui tujuan dari pelatihan,
penyajian materi pelatihan yang terlampau banyak, sehingga tidak memberikan hasil yang sesuai
dengan yang diharapkan. Kemungkinan kedua adalah karena ketika guru mengisi kuesioner, waktu
yang tersedia kurang, sehingga mereka mengerjakannya kurang optimal. Sedangkan kemungkinan
ketiga adalah kurang tepatnya alat ukur yang digunakan sehingga hasilnya pun menjadi kurang dapat
dipercaya. Pelatihan yang dilakukan biasanya melatihkan satu hal tertentu dari segi akademik,
sedangkan alat ukur yang disajikan mengukur hal umum. Hal ini tentu saja tidak dapat memberikan
gambaran mengenai dampak dari pelatihan.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
157
Dari penelitian ini, juga tampak adanya keinginan yang besar dari para guru untuk
mengembangkan kompetensinya melalui pelatihan, terutama dari guru-guru yang berada di daerah,
dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK. Hal ini sangat penting mengingat kompetensi adalah
kemampuan untuk menampilkan tugas dan peran yang dibutuhkan dengan standar tertentu (Erraut,
1998). Melalui pelatihan diharapkan standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh seorang guru
dapat dicapai. Apabila standar minimal ini tercapai, maka diharapkan guru dapat mengajar dengan baik.
Dari jawaban responden, ada kesan pelatihan yang diberikan tidak bekesinambungan, sehingga
peserta mengalami sedikit kebingungan. Pelatihan guru seharusnya bersifat konsisten, berkelanjutan
dan berfokus pada belajar siswa, serta dapat mendukung karir guru (Wong, 2005). Kemungkinan besar,
peserta pelatihan yang mengikuti modul-modul yang disajikan tidak mengikuti modul-modul tersebut
secara berurutan. Namun demikian, secara umum mereka mengungkapkan kepuasan mereka terhadap
pelaksanaan pelatihan yang ada. Akan tetapi, program pelatihan yang baik perlu memperhatikan
beberapa hal, sebagaimana dikemukakan oleh Dagenais (dalam Trenta, dkk, 2004) yaitu harus
menyediakan informasi mengenai lingkup program yang jelas, pemilihan pelatih yang baik dan sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan, menyediakan penguat intrinsik dan ekstrinsik untuk mempertahankan
pelatih, menyediakan pelatihan untuk mentor dan melakukan evaluasi keberhasilan program. dari
pelatihan yang ada, beberapa pelatih merupakan guru yang senior yang mungkin sudah mendapatkan
pelatihan yang memadai untuk menjadi pelatih, namun mungkin juga belum mendapatkan pelatihan
yang memadai. Untuk itu memang faktor pelatih juga patut menjadi perhatian.
Dari poin-poin di atas, tampak adanya keinginan yang besar dari para guru untuk
mengembangkan kompetensinya, terutama dari guru-guru yang berada di daerah. Meskipun demikian
perlu pula dilakukan peningkatan terutama dari segi pelaksanaannya, misalnya berkaitan dengan
pengungkapan tujuan pelatihan yang lebih jelas serta materi ajar yang lebih mendalam dalam
pembahasan.
Dari observasi ketika mengambil data, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan karena
dapat berdampak pada hasil penelitian secara keseluruhan, antara lain: Waktu pengisian kuesioner yang
terbatas, membuat beberapa peserta tergesa-gesa ketika mengisinya. Materi yang diujikan untuk mata
pelajaran tidak sesuai dengan apa yang dilatihkan. Materi yang diujikan dari segi akademik, lebih
bersifat umum. Waktu yang tersedia untuk mengisi kuesioner terkadang kurang tepat, misalnya ketika
peserta ingin pulang lebih cepat, karena jadwal pelatihan telah selesai. Tempat pengambilan data yang
kurang ideal, sehingga banyak responden yang menyontek.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan mengenai pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP dan P4TK,
dapat disimpulkan bahwa pelatihan KKG/MGMP, terjadi peningkatan signifikan pada potetensi
Akademik Matematika, kompetensi Kepribadian, dan teaching Etfficacy. Pelatihan yang dilaksanakan
oleh P4TK, terjadi pada kompetensi Akademik Matematika, sikap terhadap mengajar, dan Teaching
Efficacy. Penurunan skor secara signifikan terjadi pada beberapa aspek dan hanya terjadi pada pelatihan
yang dilaksanakan oleh P4TK, yaitu pada aspek: Kompetensi Akademik Fisika, Kompetensi
Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Pedagogik. Sedangkan dari data baseline ketika pretes,
pada kedua kelompok, ada beberapa aspek yang berbeda secara signifikan, yaitu pada Matematika,
Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kepuasan Kerja, Sikap Mengajar, Teaching
Efficacy.
Sedangkan apabila dilihat dari lamanya dan bentuk materi yang diberikan terdapat perbedaan,
dimana pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP lamanya hanya 2 hari sedangkan pelatihan yang
dilaksanakan oleh P4TK lamanya satu minggu hingga dua minggu. Di samping itu, program pendidikan
dan latihan yang diberikan oleh P4TK di pusat maupun di daerah berbeda-beda. Hal ini dikarenakan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
158
pelatihan yang diberikan di daerah memanfaatkan prinsip kerjasama atau kemitraan, sehingga ada
beberapa hal yang diubah, disesuaikan dengan mitra yang diajak kerjasama. Dilihat dari materi
pelatihan yang diberikan pun terdapat perbedaan yang mencolok, dimana pelatihan yang diberikan oleh
P4TK dilakukan pendalaman materi yang cukup banyak, sedangkan pada pelatihan yang diberikan oleh
KKG/MGMP, hanya diberikan satu materi yang sangat fokus yaitu cara pembuatan silabus KTSP.
Mengenai pelatih, peneliti kurang mendapatkan informasi yang jelas, akan tetapi beberapa sesi
diberikan oleh guru yang senior.
DAFTAR PUSTAKA
Abidah, L. (2008). Pengaruh intensitas pelatihan guru terhadap peningkatan kompetensi mengajar di
kelompok kerja guru pendidikan agama islam kecamatan Rungkut Surabaya. (Skripsi). Surabaya:
IAIN Tarbiyah
Adediwura, A. A., & Tayo, B. (2007). Perception of teachers’ knowledge, attitude and teaching skills
as predictor of academic performance in Nigerian secondary schools. Educational Research and
Review. 2 (7), pp. 165-171
Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionlisme Guru, Pikiran Rakyat (Online) Oktober, 2002, dalam
http://www.pikiranrakyat.com, diambil pada 6 Maret 2008.
Ahmadi, A. (2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Arches, J. (1991). Social structure, burnout, and job satisfaction. Social Work, 36 (3), 202-206
Balzer, W. K., Kihm, J. A., Smith, P. C., Irwin, J. L., Bachiochi, P. D., & Robie, C., et al. (1997).
User’s manual for the job descriptive index and the job general scales. Bowling Green, OH:
Bowling Green State University.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.
Baron, D. & Thompson-Grove, G. (2008). Imagine: Professional Development That Changes Practice.
Principal Leadership. 8 (5). 56-58
Barros, S. d. S., & Elia, M. F. (1987). Physics teacher's attitudes: how do they affect the reality of the
classroom and models for change?. Dalam www. Physics.ohio-state.edu/joussem/ICPE/D2.html.
Diambil pada 6 Maret 2008.
Bates, R. (2004). A critical analysis of evaluation practice: the Kirkpatrick model and the principle of
beneficence. Evaluation and Program Planning. 27. 341–347
Bennett, K. P. & LeCompte, M.D.(1990). The Way Schools Work. New York: Longman Press.
Borich, G. (2000). Effective Teaching Methods, (4 th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall, Inc.
Botung, H,S,H. (2008) Tujuan, manfaat, dan kewenangan kelompok kerja guru (kkg), dalam
http://ucokhsb.blogspot.com/2008/04/tujuan-manfaat-dan-kewenangan-kkg.html
Bowman, R.F. (2005). Teacher as Servant Leader. The Clearing House. Vol. 78 (6). 257-259
Cruickshank, D. R., Jenkins, D. B., & Metcalf, K. K. (2003). The act of teaching. New York, NY:
McGraw-Hill.
Dessler, G. & Tan, Chwee Huat. (2005). Human Resource Management: An Asian Perspective.
Singapore: Pearson-Prentice Hall.
Di Perna, J. C., & Elliot, S. N. (2000). Academic Competence Evaluation Scales. San Antonio, TX:
The Psychological Corporation
Di Perna, J. C., & Elliot, , S. N. (2001). Academic Intervention Monitoring System. San Antonio, TX:
The Psychological Corporation
Drost, J.I.G.M. (2005). Dari KBK (kurikulum bertujuan kompetensi) sampai MBS (manajemen berbasis
sekolah) : esai-esai pendidikan. Jakarta: Penerbit KOMPAS
Edmonds, R.R. (1979). Effective schools for the urban poor. Educational Leadership. 37(1), 20-24
Erdem, E., & Demirel, O. (2007). Teacher self efficacy belief. Social Behavior and Personality, 35(5),
573-586. retrieved March 27, 2008 from APA journal online.
Epstein, RM & Hundert, EM; Defining and assessing professional competence. JAMA; 287(2): 226-
235.
Eraut, M. (1998). Concepts of competence. Journal of Interprofessional Care, 12(2):127-139.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
159
Eseryel, D. (2002). Approaches to evaluation of training: Theory and practice. Educational Technology
& Society 5 (2).
Follows, J. (1991). Strength, weaknesses and lesssons of Japanese education. The Educational Digest.
57 (2). 55-59.
French, W. L. (1982). The personnel management process: Human resources adminis-
tration and management. Boston: Houghton Mifflin Company
Helterbran, V.R. (2008). The professionalism: Teachers taking the reins. The Clearing House. 81 (3).
123-127.
Holli, B., & Calabrese, R. (1998). Communication and education skills for dietetics professionals (3rd
ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Houghton & Mifflin, American Heritage Dictionary, 4th ed
Kennedy, M. M. (2006). From Teacher Quality to Quality Teaching. Educational Leadership, 63 (6).
14-19.
Laird, D. (2003). Approaches to training and development. New York: Basic Books.
Mastuhu (2004). Menata Ulang Pemikiran, sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21. Yogyakarta:
Magister Penelitian Islam UII dengan Safiria Insania Press.
Phillips, J. (1991). Handbook of training evaluation and measurement methods (2nd ed.). Houston:
Gulf Publishing Company.
Rice, J. K. (2003). Teacher quality: Understanding the effectiveness of teacher attributes. Washington,
D.C.: Economic Policy Institute.
Ryan, K., & Cooper, J.M. (1984). Those who can teach. Boston: Houghton Mifflin Co.
Sadker, M., & Sadker, D. (1991). Teachers, Schools and Society. New York: Mc Graw Hills Co.
Sammons, P., Hillman, J. & Mortimore, P. (1995) Key characteristics of effective schools: A review of
school effectiveness research. Laporan oleh The Institute of Education for the Office for Standards
in Education
Skaalvik, E.M., & Skaalvik, S. (2007). Dimensions of teacher self efficacy and relations with strain
factors, perceived collective teacher efficacy, and teacher burnout. Journal of Educational
Psychology, 90(3), 611-625.
Schalock, R. (2001). Outcome based evaluations (2nd ed.). Boston: Kluwer Academic/Plenum.
Tan, Chwee Huat dan Torrington, D. (2004). Human Resource Management in Asia (3rd Ed.).
Singapore: Pearson-Prentice Hall.
Trenta, L., Newman, I., Newman, C., Salzman, J., Lenigan, D., & Newman, D. (2005). Integrating
Mixed Methods and Stakeholders Participation in the Evaluation of a Teacher Induction Program.
International Electronic Journal For Leadership in Learning. 8 (3)
Tziner, A. E., & Vardi Y. (1984). Work satisfaction and absenteeism among social workers: The role
of altruistic values. Work and Occupations, 11 (4), 461-470
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen
Ursano, A.M., Kartheiser. P.H., Ursano, R. J. (2007) The Teaching Alliance: A Perspective on the
Good Teacher and Effective Learning. Psychiatry. New York. 70(3). 187-194.
Wong, H., Britton, T., & Ganser, T. (2005). What the world can teach us about new teacher induction.,
diambil 6 Maret 2008 dari www.herdsa.org.au/branches,.
Wong, H. (2005). New teacher induction: The foundation for comprehensive, coherent, and sustained
professional development. Diambil 6 Maret 2008, dari www.herdsa.org.au/branches
Wong, K., Britton, T., & Gasner, T. (2005). What the world can teach us about new teacher induction.
Diambil 6 Maret 2008 dari www.newteacher.com/ppapers
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
160
Tabel 3. Kisi-kisi masing-masing alat ukur
No. Variabel Indikator
1 Kompetensi Akademik Sesuai mata pelajarannya
2 Kompetensi Kepribadian Bertindak sesuai norma agama, hukum
Menampilkan sebagai pribadi yang jujur
Menampilkan sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa
Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab, percaya diri
Menjunjung tinggi kode etik profesi guru
3 Kompetensi Sosial Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun
Beradaptasi di tempat tugas
Dapat berkomunikasi dengan komunitas profesi dan profesi lain
4 Kompetensi Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral,
spiritual, sosial, kultural, emosional dan intelektual
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran
yang diampu
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
kepentingan pembelajaran
Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki
Berkomunikasi secara efektif, dan santun dengan peserta didik
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil
belajar
Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran
Melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran
5 Kepuasan Kerja Kepuasan terhadap pekerjaan
Kepuasan terhadap gaji
Kepuasan terhadap kesempatan promosi
Kepuasan terhadap supervise
Kepuasan terhadap rekan kerja
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
161
6 Sikap Mengajar Pemahaman Konseptual
Pemberi Informasi
Teori dan Praktek
Inovasi dan pembelajarannya
Metode interaksi
Kondisi lain
Kepercayaan guru
7 Teaching Efficacy Instruksi
Menyesuaikan pengajaran
Memotivasi siswa
Penerapan disiplin
Bekerjasama dengan kolega dan orangtua
Menghadapi perubahan dan tantangan
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
162
PARAMETER ESTIMATION AND EQUATING METHOD
ON SMALL SAMPLE SIZE BASED ON ITEM RESPONSE THEORY
Wardani Rahayu1
1Jakarta State University
Abstract
The purpose of this study is to determine the accuracy of parameter estimation method
of item parameter and equating method on small sample size based on Item Response
Theory. Parameter estimation methods used are Joint Maximum Likelihood estimation
and Bayesian estimation method, equating method using Mean and Sigma and Robust
Mean and Sigma method. Estimated parameter using two parameter logistic model on
small sample size of 300. Data Source using junior high school National Math Exam
in 2011 data. Accuracy of parameter estimation and equating method can be seen from
Root Mean Square Error (RMSE). The results of this study is the same equating method
generate the same accuracy between Joint Maximum Likelihood and Bayesian method,
while at the same parameter estimation method, resulting different accuracy between
and Mean and Sigma and Robust Mean and Sigma methods.
Keywords: parameter estimation method, equating method, small sample size, RMSE
INTRODUCTION
The National Exam is competence achievement measurement activity of students that performed
at the end of a national education unit. Preparation of the test items were performed by Central
Government and Local Government based on exam outline developed by Ministry of Education and
Culture of Indonesia. The exam outline is drafted based on standard of education graduate competency
as per educational unit level.
National Exam of mathematics subject in 2011 using five-packets and in 2013 using different
twenty packages containing different exam items with several items coupled. These items is created
based on the same exam outline to produce about five different packages for one class in 2012 and about
twenty different exam item package in 2013. Items on National Exam only measure the cognitive
abilities of students and do not measure psychomotor and affective abilities.
Question package developed by Ministry of Education and Culture of Indonesia. for National
Examination on Mathematics expected equal. The Equality is item difficulty between each item on the
same package. Therefore it is important to validate the contents of the National Examination by
mathematics material and mathematics education experts to determine the suitability of items with
indicator, language, item construction, the truth of material and item equality.
The equality according to judgment of mathematics material and mathematics education expert
can not directly be used when comparing the results of national exam between group of students from
two different packages. Therefore, it is necessary to equalize the score of student’s response. There are
three kinds of score equivalency are equating, concordance and pediction (Doran, 2004: 207). Equating
is used to equalize the score between different packages that measure about the same constructs.
Equating can be used with the approach of classical test theory and response item theory. Equalization
using classical test theory include linear, parallel linear and chi-percentile methods (Brennan and Kolen,
2004), whereas the items response theory are Mean and Sigma, Robust Mean and Sigma, characteristic
curve and chi-square minimum method (Seock and Kim, 1992).
Equating based on item response theory using Mean and Sigma, and Robust Mean and Sigma
involves difficult items level. Lord provide linear transformation equations to respondent's ability
parameters. Respondent's ability parameters of the two groups likened the scale with two parameter
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
163
logistic model (L2P) using formula *
2 2j jA K (Kolen and Brenan, 1995), the A coefficient
obtained from the comparison between the standard deviation of difficult items of first group and second
group, K coefficient is obtained from difference between average level of item difficulty of the first
group and multiplying A with the average item difficulty of second group. The results of respondent's
parameter equating is influenced by A and K value, while A and K value influenced by item difficulty
value of the two groups.
Determination of respondent’s ability parameter value and level of item difficulty in the
estimation of measurement is called parameter estimation. There are three methods to estimate the
respondent’s parameter are Joint Likelihood maksimum (Ayalo, 2009: 39-40, Naga, 2012: 480,
Hambleton and Swaminathan, 1990: 129-132) dan metode Bayesian (Hambleton and Swaminathan,
1990: 91-95; Naga, 2012: 480). The estimation results of the respondent’s ability is also influenced by
the size of sample. The larger sample size the more accurate respondent’s ability estimation. In the
study will be limited to a small sample size and the problems that arise if the item parameter estimation
is done by a different estimation methods and the types of equating methods and items estimation
method is most accurate at small sample size.
LITERATURE REVIEW
1. Equating
Item parameters of second group is equated in scale with the item parameter of first group through
a linear transformation with two-parameter logistic model (L2P). Linear transformation formula for the
ability of the respondent (Cohen and Seock Kim, 1998:132) is *
2 1j jA K ………………(1)
* stated value of transformation, so the parameter estimation of respondent’s ability to-j from first group
to second group
a. Mean and Sigma Method
Marco stated the mean and sigma method (RS) for the test in the form of dichotomy (Kolen and Brenan,
1995:168). This method uses the mean and standard deviation of the estimated degree of item difficulty
to two groups of respondent. Determine the A and K coefficients on equation (1) using the formula
2 1b bK A and 1
2
b
b
A
(Hambleton and Swaminathan, 1990: 207).
b. Robust Mean and Sigma Method
This method using mean and standard deviation of the estimated item item difficulty of the two groups
of respondent. Determine A and K coefficient in equation (1) using formula
w wR Fb b
K A , and wR
wF
b
b
A
with * w
jF j jFb w b and * w
jR j jRb w b , *
1
j
j n
i
i
ww
w
,
1 2
2 2 1[ { , }]j jj b bw maks (Hambleton and Swaminathan, 1990: 209)
2. Parameter Estimation Method
a. Joint Maximum Likelihood Estimation
Likelihood maximum estimation with respondent’s ability Likelihood function is needed.
Likelihood function for respondent with ability is
1 2 3( , , ,..., | )nL X X X X = 1
1
( ) ( )j j
nX X
j j
j
P Q
…………(2)
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
164
Logarithm of the likelihood function (2) is
ln 1 2 3( , , ,..., | )nL X X X X = ln 1
1
( ) ( )j j
nX X
j j
j
P Q
ln 1 2 3( , , ,..., | )nL X X X X = 1
ln ( ) (1 )ln ( )n
j j j j
j
X P X Q
Maximum likelihood can be obtained by
1 2 3ln ( , , ,..., | ) 0n
dL X X X X
d
b. Bayesian Estimation
In Bayesian procedure it can be assumed that the distribution of the respondent' ability standard
normal distribution is (0,1)N or density function21
2( )f e
.
If the initial respondent’s ability is independent then the posterior distribution is
2
1 2
1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 2 3 1 2 3
1 1
2 21 2 3
( , , ,..., | ) ( | , , ,..., ) ( , , ,..., )
( | , , ,..., ). ( ). ( ). ( )... ( )
( | , , ,..., ). .
N N N
N N
N
f X L X f
L X f f f f
L X e e
2 2 2
3
2
1
1 1
2 2
1
2
1 2 3
. ....
( | , , ,..., ). ........................(3)
N
N
j
j
N
e e
L X e
Logarithm of the likelihood function (3) is
2
1 2 3 1 2 3
1
1ln ( , , ,..., | ) ln ( | , , ,..., )
2
N
N N j
j
f X C L X
, C Constanta ….. (4)
Solution of equation (4) is bayes’s modal estimation 1 2 3, , ,..., N can be obtained by
1 2 3ln ( , , ,..., | ) 0 , 1, 2, ...,N
j
f X j N
…………………………… (5)
3. Root Standard Measurement Error (RSME)
The accuracy of equating method and estimation method can be seen from RMSE, the smaller RMSE,
the more accurate tested equating method and estimation method. RSME or RMSD is determined by
using the following formula
2
1( )
n
i i
jRMSE
n
with N = sample size
i = respondent’s ability to-i after synchronized
i = respondent’s ability to-i before synchronized
RESEARCH METHOD
The method used is experimental method. The data used in this research is score of National
Math Exam for Junior High School in 2011 on A17 and B29 package for Jakarta area. Score of student’s
work in the form of option A, B, C, D, and E. The length of test device mathematics for Junior High
School is 40. Dimension of samples used in this study is 300 and named the small sample size. Equating
method used is Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma method. The estimation method
used is Joint Maximum Likelihood and Bayesian
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
165
Table 1. Design of Estimation Parameter Research and Equating Method
on Small Sample Size
Joint Maximum Likelihood Estimation
(A1)
Bayesian Estimation
(A2)
Mean and Sigma
(B1)
Robust Mean and
Sigma (B2)
Mean and Sigma
(B1)
Robust Mean and
Sigma (B2)
Y 1.1.1
Y 1.1.1
.
.
.
Y1.1.30
Y 1.2.1
Y 1.2.1
.
.
.
Y1.2.30
Y 2.1.1
Y 2.1.1
.
.
.
Y2.1.30
Y 2.2.1
Y 2.2.1
.
.
.
Y2.2.30
A1B1: equating group with Mean and Sigma method using Joint Maximum Likelihood method
A1B2: equating group with Mean and Sigma method using Bayesian method
A2B1: equating group with Robust Mean and Sigma method using Joint Maximum Likelihood
method
A2B2: equating group with Robust Mean and Sigma method using Bayesian method
The procedures of this study are:
1) determine the fit model items to the two-parameter logistic model (L2P),
2) randomized take scores of 300 respondent for the first group and second group, each performed 30
times replication
3) to estimate respondent’s ability and item difficulty and item discrimination index using Joint
Maximum Likelihood and Bayesian Estimation.
4) determining A and K value using RS and TRS
5) perform item parameters equating
6) calculate RSME and RSME average value of each replication
7) hypothesis testing
The analysis were conducted in this study are (1) comparing RSME in A1B1 and A1B2, (2)
comparing RSME in group A2B1 and A2B2, (3) comparing RSME in group A1B1 and A2B1 and (4)
comparing RSME in group A1B2 and A2B2.
RESULTS 1. Data Description
Figure 1 shows the distribution of RMSE average from 30 replication in group A2B2 is more
homogenous than group A1B1, A1B2 and A2B1.Distribution of RMSE average of A2B1is more
homogeneous than A1B1 and A1B2. Distribution of RMSE average of A1B2 is more homogeneous than
A1B1. Distribution of A1B1 and A1B2 is positive. This means that RMSE average of group A1B1 and
A2B1 group assembled at low value. Based on exploration data from Figure 1, its shown that the A1B1
RMSE average is not different with A1B2, A2B1 RMSE average is not different with A2B2, while A1B1
RMSE average is greater than A2B1, A1B2 RMSE average is greater than A2B2.
Figure 1. Boxplot of RSME Average from 30 replication
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
166
Research Result
Variance homogeneity test results obtained by the variance of RMSE average of A1B1 and A1B2
is not different, variants of RMSE average of A2B1 and A2B2 is not different, while variants of RMSE
average of A1B1 and A2B1, variants of RMSE average of A1B2 and A2B2 is different then testing
comparison of RSME average of A1B1 and A1B2, A2B1 and A2B2 using the t test, while testing
comparison of RSME average of A1B1 and A2B1, RMSE average of A1B2 and A2B2 using non-
parametric statistics.
Testing result of RMSE average of A1B1 and A1B2 is obtained sig. Value of 0.344 > 0.05, A2B1
and A2B2 RMSE average is obtained sig. Value of 0.2545 > 0.05 then concluded RMSE of A1B1 and
A1B2 is not different and RMSE of A2B1 and A2B2 is not different too. Th Testing result of RMSE
average of A1B1 and A2B1 as well as A1B2 and A2B2 obtained sig. 0.00 > 0.05. By comparing the average
values in Table 1 it may concluded RSME of A1B1 is lower than RMSE of A1B2 and RMSE of A2B2 is
lower than RMSE of A2B1.
Table 2. RSME Average of Group A1B1, A2B1 A2B1 and A2B2
Group RMSE Average
A1B1 0,03450
A1B2 0,03740
A2B1 0,00956
A2B2 0,00844
DISCUSSION
The accuracy of equating method and estimation method can be seen by RMSE, the smaller the
RMSE, the more accurate equating and estimation method that became the independent variables in
this study. The test results using the t test states RSME of group A1B1 is not different with RSME of
group A1B2 and RSME of group A2B1 is not different with RSME of group A2B2, so it can be stated
that (1) on the small sample size and Mean and Sigma equating method, the accuracy of parameter
estimation using joint maximum likelihood method similar to the Bayesian method, (2) on the small
sample size and Robust Mean and Sigma equating method, the accuracy of parameter estimation using
joint maximum likelihood method similar to the Bayesian method.
Test results using a non-parametric statistics obtained lower RSME of A1B1 and A2B1 RMSE RMSE
a2b2 lower than RMSE A2B1, we conclude (1) the small sample size and parameter estimation using
joint maximum likelihood method, method of equating Robust Mean and Sigma is more accurate than
Mean and Sigma method, (2) the small sample size and parameter estimation using Bayesian methods,
equating method Robust Mean and Sigma is more accurate than the mean and sigma method.
The test results using non-parametric statistics obtained that RSME of A1B1 is lower than RMSE
of A2B1 and RMSE of A2B2 is lower than RMSE of A2B1 we may conclude (1) on small sample size
and parameter estimation using joint maximum likelihood method, equating method of Robust Mean
and Sigma is more accurate than Mean and Sigma method, (2) on small sample size and parameter
estimation using Bayesian method, equating method of Robust Mean and Sigma is more accurate than
Mean and Sigma method.
This result indicate in the same equating method produce the same accuracy between the joint
maximum likelihood method and Bayesian method, while at the same parameter estimation method,
which produces a different accuracy Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and
Sigma. RSME difference depends on the accuracy of the equating method due to the RSME calculation
using estimation of respondent’s ability after and before synchronized using joint maximum likelihood
and Bayesian method.
In the Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma method uses mean and standard
deviation of the estimation of item difficulty to two groups of respondent. Equating difference between
Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma lies in the A and K coefficient. In the Mean and
Sigma method, the A coefficient is obtained from the comparison between the standard deviation of
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
167
item difficulty of the two groups, while K coefficient is obtained from the difference in the mean of
item difficulty of second group, and multiplication A with mean of item difficulty of first group.
On Robust Mean and Sigma method A coefficients is obtained from the comparison between standard
deviation of scored item difficulty of the two groups, while K coefficient is obtained from mean
difference of scored item difficulty of the second group and multiplication A by scored item difficulty
of first group. weighted item difficulty of first group and second group in item to-j obtained from the
multiplication difficulty with the score scale. The score scale item to-j *
1
j
j n
i
i
ww
w
with wj is inverse
value of the largest variance of item difficulty to-j to the first and second group.
Thus the score scale to-j has a value between 0 and 1 so that scored item difficulty less than
value of non-scored item difficulty. Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and
Sigma method, when item difficulty is estimated by Bayesian and joint maximum likelihood method
because the problems found in Mean and Sigma method does not consider the estimation of item
parameter with different accuracy degree (Hambleton, Swaminathan and Rogers, 1991: 132).
CONCLUSION
At the same equating method generate the same accuracy between joint maximum likelihood
method and Bayesian method and at the same parameter estimation method generate, equating with
Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and Sigma method.
REFERENCES
Ayalo, R. J. De, The Theory and Practice of Item Response Theory. New York, The Guilford Press,
2009
Cohen, Allan S. dan Seock-Ho Kim. Comparison of Linking and Concurenrent Calibration Under Item
Rersponse Theory. Journal Applied Psychological Measurement. Vol 22 No 2 Juni 1998.
Hambleton, Ronald K and Hariharan Swaminathan, Item Response Theory Principles and Aplication.
Boston: Kluwer.Nijhooff Publishing, 1990
Hambleton, Ronald K, H Swaminathan,dan H Jane Rogers. Fundamentals of Item Response Theory.
London : Sage Publications, 1991
Kolen, Michael and Robert L Brenan, Test Equating. New York: Springer, 1995.
Naga, Dali Santun. Teori Sekor Pada Pengukuran Mental. Jakarta, Nagarani Citrayasa, 2012.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
168
PERILAKU GREEN CONSUMERISM MAHASISWA DALAM KAITANNYA DENGAN
PEMAHAMAN KONSEP EKOPEDAGOGIK
Suwirman Nuryadin1
1Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) Program
Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Abstrak
Penelitian ini mencoba mengungkapkan apakah melalui kurikulum yang ada, sudah
terbentuk konsep ekopedagogik pada alumni dan mahasiswa, sehingga mereka memiliki
perilaku yang berbasis “green consumerism”. Dan apakah terdapat hubungan antara
pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku “green consumerism”.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah survey.
Educational for Sustainable Development (ESD) adalah merupakan suatu konsep
yang sejalan dengan konsep ekopedagogik. Bila ESD dipandang sebagai suatu sasaran atau
tujuan, maka ekopedagogik bisa dipandang sebagai suatu pendekatan dalam mencapai
sasaran tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa terhadap tiga aspek
konsep ekopedagogik adalah sebagai berikut: 57% mahasiswa memahami konsep
ekoliterasi teknis, 39% memahami kosep ekoliterasi budaya dan 27% memamami konsep
ekoliterasi kritis. Perilaku “green consumerism”, lebih ditandai oleh indikator “menilai”
terhadap proses pembuatan barang (produk) dan agent-agent penyalur (distributor) barang
tersebut. Sedangkan perilaku “green consumerism” terhadap jenis produk dan produsen
lebih ditandai oleh indicator “menerima”. Dan tidak terdapat hubungan yang siknifikan
antara pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku “green consumerism”.
Kata Kunci: ekopedagogik, green consumerism; educational for sustainable development
Abstract
This research tries to reveal if through aught curriculum, was formed
ecopedagogic's concept on collegiate and college student, so they have behavior that get
basis green consumerism. And what exists relationship among understanding to
ecopedagogic's concept with green consumerism behavioral. Observational methodology
that is utilized is survey.
Educational for Sustainable Development (ESD) are constitute an in line with
concept ecopedagogic's concept. If ESD is viewed as a target or to the effect, therefore
ecopedagogic can be viewed as an approaching in achieving that target.
Result observation link to point out that college student grasp to three
ecopedagogic's concept aspect is as follows: 57% college student understands ecoliterasi's
technical concepts, 39% understands ecoliterasi's cultures concept and 27% understand
ecoliterasi's critical concepts. Green consumerism behavior more marked by indicator to
assesses to process goods makings and dealer agent (distributor) those goods. Meanwhile
green consumerism behavior to product type and producers to be marked by indicator to
accepts. And there is no relationship that significant among understanding to
ecopedagogic's concept with green consumerism behavior.
Keywords: eco pedagogic; green consumerism; educational for sustainable development
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
169
PENDAHULUAN
Misi program studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) antara lain
adalah: 1) melakukan pembinaan dalam rangka menghasilkan tenaga kependidikan yang memiliki ciri
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, bermoral luhur, menunjang
kode etik profesi serta kebanggaan dan kecintaan kepada almamaternya dan 2) menyelenggarakan
kegiatan pendidikan yang dapat menghasilkan kemampuan dalam mengembangkan konsep baru di
dalam bidang ilmu dan profesi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, melalui pendidikan,
penelitian, dan pendekatan interdisipliner.
Dari visi dan misi sedemikian maka ada empat profil lulusan Program Studi PKLH yaitu: profil
dasar, profil pendidik, profil peneliti dan profil peneliti. Khusus dari profil pendidik, maka alumni
program studi PKLH diharapkan bisa diwujudkan menjadi seorang pendidik yang perilakunya
(pengetahuan, sikap dan keterampilan) selalu berorientasi kepada nilai-nilai dan masalah-masalah
kependudukan dan lingkungan hidup atau pendidik yang memiliki prilaku ekopedagogik. Perilaku
ekopedagogik hanya dapat terbentuk jika materi perkuliahan yang disusun dan disampaikan sesuai
dengan tujuan tersebut.
Menurut Stefan Krasimirov Grigonov dan Reinaldo Martias Fleuri (2012) ecopedagogik adalah
suatu pendidikan dalam perpektif interkultural guna membentuk eko-sosial yang baru. Menurut mereka
ekopedagogik bertujuan mencari dan menemukan kemungkinan untuk menciptakan masyarakat yang
berkelanjutan yang baru secara ekologis (new ecologically sustainable civilization atau new eco-social
civilization) dan menjadikannya sebagai dasar rekonstruksi sistem pendidikan dunia yang democratis.
Marcus (19680) melansir satu konsep “one-dimensional man” (manusia satu dimensi), yang
hidup mereka diorganisir oleh mass media sehingga mereka hidup di atas kebutuhan yang salah (false
needs). Kebutuhan-kebutuhan itu adalah kebutuhan yang dibuat oleh mass media, yang diciptakan oleh
informasi mass media, agar mereka membeli produk-produk yang sebenarnya tidak akan pernah mereka
beli jika tidak diinformasikan kepada mereka. Lebih jauh lagi, dalam era globalisasi sekarang kita
melihat fenomena tersebut, masyarakat satu-dimensi hidup dengan pola over konsumsi (over-
consumerism); yakni masyarakat yang hidup dalam dunia penuh resiko yang diciptakan pasar tanpa
tanggungjawab dan tanpa hukum (market irresponsibility and impunity). Masyarakat hidup dimana
profit menjadi lebih penting bagi masyarakat kelas ekonomi atas, sedang resiko lingkungan menjadi
bagian masyarakat kelas ekonomi bawah.
Perilaku konsumeris hijau (green consumerism), adalah merupakan pola tingkah laku yang ingin
diciptakan kembali sebagai upaya membalikkan keadaan yang telah terlanjur buruk, yaitu perilaku over-
consumerism yang sangat beresiko.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka masalah penelitian sebagai berikut: apakah kurikulum
Program Studi PKLH PPs UNJ, telah berhasi berhasil membentuk perilaku “green consumerism” pada
mahasiswanya atau lulusannya.? Apakah kurikulum PKLH telah mempertimbangkan konsep
ekopedagogik dalam kegiatan atau proses pembelajarannya, sehingga berdampak pada perilaku
mahasiswa atau lulusannya. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.Untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep ekopedagogik.
b. Untuk mengetahui perilaku ”green consumerism” mahasiswa program studi PKLH
UNJ dalam kaitannya dengan konsep ekopedagogik.
Manfaat penelitian ini adalah agar dosen yang mengajar mata kuliah PKLH dapat
mengembangkan materi pembelajaran yang lebih sesuai dengan konsep ekopedagogik. Selain itu agar
para berbagai kalangan yang mempunyai perhatian terhadap pendidikan kependudukan dan lingkungan
hidup memperoleh gambaran bagaimana kesiapan mahasiswa dalam mengantisipasi pembentukan
perilaku “green consumerism”
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan lingkungan
Menurut William B. Stapp, et al., pendidikan lingkungan di arahkan untuk menghasilkan warga atau
penduduk yang dapat memahami lingkungan biofisik dan masalah-masalah yang timbul yang
dihubungkan dengan lingkungan biofisik tersebut, sadar bagaimana caranya menolong atau
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
170
menyelesaikan masalah tersebut, dan termotivasi untuk bekerja atau bertindak ke arah solusi yang
mereka pilih. (Environmental education is aimed at producing a citizenry that is knowledgeable
concerning the biophysical environment and its associated problems, aware of how to help solve these
problems, and motivated to work toward their solution).
Secara umum tujuan pendidikan lingkungan yang pertama adalah untuk membantu setiap
individu: Memahami secara jelas bahwa manusia adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
suatu system; yaitu suatu system yang terdiri dari manusia, budaya, dan lingkungan biofisik; dan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk mengubah hubungan timbal-balik (interrelationships) dari sistem
tersebut. Manusia adalah bahagian yang tidak terpisahkan (bahagian yang integral) dari system. Oleh
sebab itulah maka system disebut terdiri dari komponen-komponen manusia, budaya dan lingkungan
biofisik.
Budaya (culture) dalam kontek ini adalah merupakan: gabungan organisasional yang strategis,
proses-proses teknologik dan pengaturan-pengaturan social (missal politik, hokum, manajerial,
pendidikan dll), dimana melalui hal-hal tersebut berinteraksi dengan lingkungan biofisik. Sedangkan
lingkungan biofisik dapat berupa sumber daya lam yang natural dan komponen-komponen yang
merupakan buatan manusia.
Tujuan yang kedua adalah untuk memahami secara luas lingkungan biofisik, alam dan buatan
manusia, dan perannya dalam masyarakat kontemporer. Setiap masyarakat sangat tergantung pada
sumber daya alam. Sumber daya alam mencakup karakteristiknya, distribusi, status, interrelasi, dan
ketersediaan serta potensi penggunaannya. Pemahaman terhadap sumber daya alam, bagaimana sumber
tersebut digunakan menuntut pengetahuan social, politik, ekonomi, proses teknologi, pengaturan secara
institusional dan bahan pertimbangan estetik antara pemerintah dan masyarakat.
Problema lingkungan biofisik adalah akibat interaksi antara mansuia, budaya dan lingkungan biofisi.
Oleh sebab itu tujuan ketiga pendidikan lingkungan adalah, agar setiap warga memiliki pemahaman
yang mendasar terhadap problema lingkungan biofisik, sehingga menjadi tugas mereka untuk mencari
cara-cara pemecahannya, akhirnya menjadi tanggungjawab setiap warga dan pemerintah untuk
mengerjakan cara-cara pemecahan tersebut.
Tujuan yang keempat adalah agar terbentuk sikap kepedulian setiap warga terhadap kualitas
lingkungan biofisik, sehingga memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam mencari dan melakukan
pemecahanan masalah lingkungan hidup. Salah satu yang terpenting yang selalu melekat pada setiap
individu adalah adanya atau terbentuknya sikap dan perilaku green consumerism.
B. Perilaku Green Consumerism
Green Consumerism secara definisi adalah: “the situation in which consumers want to buy things that
haven produced in away that protects the natural environment”. Secara bebas terjemahannya adalah
“keadaan dimana konsumen atau pembeli hanya membeli barang-barang yang diproduksi sedemikian
rupa sehingga barang tersebut atau sisa barang tersebut tidak menjadi pencemar lingkungan alamiah.
Secara konseptual istilah “green consumeris” adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat terhadap penggunaan produk-produk pabrik
dan aktivitas-aktivitas mereka sehari-hari, sehingga dapat dipandang sebagai memilki sikap dan
perilaku yang bertanggungjawab terhadap pelestarian lingkungan hidup. Kata “bertanggung jawab”
pada definisi konseptual di atas mengandung makna bahwa para konsumer atau masyarakat pengguna
produk tertentu berupaya untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan
produksi, distribusi, dan penggunaannya, serta sampah yang ditimbulkannya.
Perilaku atau sikap “green consumerism” menunjukkan kepada siapa yang memiliki perilaku
atau sikap sadar lingkungan sehubungan dengan isu-isu lingkungan dan merasa memilliki kewajiban
terhadap lingkungan, serta yang mendukung tindakan tertentu lantaran lingkungan, misalnya beralih
dari satu produk atau penyalur tertentu ke produk atau penyalur lain, jika yang pertama memerlukan
biaya lingkungan lebih tinggi
Mendidik atau membentuk masyarakat agar memiliki sikap dan perilaku “green consumerism”
secara efektif, dapat dilakukan melalui pendidikan dan pembelajaran, baik pendidikan formal, non
formal atau informal. Upaya pembentukan perilaku atau sikap masyarakat agar memiliki cir-ciri paham
green consumerism melalui pendidikan formal adalah dengan memasukan pengetahuan tentang
lingkungan dan isu-isu lingkungan ke dalam kurikulum atau ke dalam setiap materi ajar secara
terintegratif.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
171
Berdasarkan uraian di atas maka didefinisikan perilaku atau sikap green consumerism dalam
penelitian ini adalah: perilaku atau kecenderungan seseorang dalam memilih produk ketika berbelanja
atau ketika mengamati produk tersebut, yang dipengaruhi oleh pemahamannya tentang dampak
lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh produk tersebut.
C. Konsep Ekopedagogik
Istilah ekopedagogik merupakan gabungan dari dua istilah. Yang pertama adalah ekologi (ecology)
yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Dan yang kedua adalah pedagogi (pedagogy) yang berarti ilmu mendidik. Dalam arti
yang lebih luas, istilah ekopedagogik merupakan istilah yang lahir dari perkembangan pedagogik kritis
yang diprakarsai oleh Paolo Freire. Dalam konteks ini, ekopedagogik merupakan sebuah gerakan yang
berorientasi ke masa depan “untuk mengembangkan apresiasi yang kuat tentang potensi kolektif
manusia yang mampu mendorong terciptanya keadilan sosial di seluruh dunia, agar kemudian lahir
kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya ekoliterasi kritis (melek lingkungan secara kritis) bagi
setiap warga dunia”
Ekopedagogik sebagai suatu pemikiran, gerakan, atau suatu pendekatan dalam pendidikan
(seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire, Moacir Gadotti dan Leonardo Boff) mengawali
gagasannya dengan pertanyaan “bagaimana mere-edukasi “warga bumi" agar mereka menjadi lebih
peduli, menghargai dan lebih berupaya melakukan upaya-upaya baru bagi pelestarian lingkungan hidup,
guna kesejahteraan hidup dan kehidupan di muka bumi. Dari konsep ekopedagogik selanjutnya muncul
sejumlah kritik dan pertanyaan terhadap pendidikan dan sistem pendidikan, sebagai berikut:
1) Bagaimana caranya agar kita semua sebagai warga planet ini mampu berpartisipasi dalam
menciptakan satu dunia yang kita inginkan?
2) Seperti apa bentuk pendidikan yang dapat mendorong semua orang sehingga mereka mampu
menghadapi apa yang sedang terjadi di lingkungan?
3) Pendidikan semacam apa yang sungguh-sungguh relevan dengan keadaan pada hari ini, sesuai
dengan keadaan kemasyarakatan kita saat ini dan sesuai dengan kerawanan ekologis yang terjadi?
4) Dan bagaimana bentuk pendidikan lingkungan tradisional yang ternyata tidak relevan lagi dengan
keadaan saat ini?
Itulah beberapa pertanyaan yang muncul dalam konsep ecopedagogy, yang ingin diupayakan
jawabannya?
Seiring ecopedagogy dikenal istilah Ecoliteracy, yaitu istilah yang berasal dari kata ecological
dan literacy. Istilah ecoliteracy bertujuan untuk menjelaskan proses peningkatan pemahaman individu
atau masyarakat terhadap hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Istilah ecoliteracy merupakan suatu
paradigma baru yang bertujuan meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat. Melalui ecoliteracy
diperkenalkan dan diperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna
menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya.
Terkait dengan ekopedagogik sebagai suatu konsep, sedikitnya dibahas tiga konsep ekoliterasi. penting
lainnya, yaitu :
1. Konsep ekoliterasi teknis (fungsional) yaitu bertujuan untuk memahami dasar-dasar sains,
konsep ekologi dan biologi, serta dampak positif dan negatif kegiatan manusia terhadap sistem
ekologi.
2. Konsep ekoliterasi budaya yaitu bertujuan untuk meningkatkan wawasan, kesadaran dan
pemahaman tentang berbagai perspektif budaya dalam hubungan antara manusia dan lingkungan
yang menghasilkan keberlanjutan kehidupan.
3. Konsep ekoliterasi kritis yaitu bertujuan untuk melibatkan siswa atau mahasiswa terhadap politik
ekologi, kemajuan teknologi dan komunikasi melalui dialog yang kritis dan konstruktif.
Berdasarkan dimensinya tersebut, maka konsep ekopedagogik terkait dengan isu-isu kritis
lingkungan dalam setiap proses pendidikan. Proses pendidikan dan pembelajaran hendaknya tidak
hanya mempelajari materi ajar semata terlepas dari isu-isu lingkungan, tetapi juga mempelajari materi
ajar tersebut dalam kaitannya dengan interaksi manusia dengan lingkungannya dan dengan isu-isu
lingkungan. Keterlaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran yang berbasis konsep ekopedagogik
hanya bisa dilakukan jika para guru dan pengajar lainnya memiliki pengetahuan yang terkait dengan
lingkungan hidup dan isu-isu lingkungan hidup tersebut.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
172
Ada sejumlah alasan mengapa konsep ekopedagogik penting dipelajari, yaitu sebagai berikut:
1. Konsep ekopedagogik dapat membangun kesadaran kolektif untuk berperan aktif dalam menjaga
dan merawat planet bumi.
2. Dengan konsep ekopedagogik, maka alam tidak dipandang sebagai lingkungan hidup
(environment) semata, tetapi sebagai ruang pemberi dan pemakna kehidupan (lebenstraum).
3. Dengan ekopedagogik, pendidikan menjadi sesuatu yang dapat mengubah paradigma ilmu yang
bersifat mekanistik, reduksionis, parsial dan bebas nilai menjadi lebih ekologis, holistik dan
terikat nilai-nilai sehingga dapat menumbuhkan kearifan lingkungan (environmental wisdom).
Misalnya dapat membangun watak manusia yang menghargai hak hidup makhluk hidup lainnya.
4. Pendidikan ekopedagogik lebih menekankan pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme, bukan
lagi antroposentrisme. Antroposentrisme merupakan suatu etika yang memandang manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia
mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting diantara mahkluk hidup lainnya. Sedangkan
biosentrisme, merupakan suatu paradigma yang memandang bahwa setiap kehidupan dan
mahkluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sehingga pantas mendapat
pertimbangan dan kepedulian moral. Pada paham ekosentrisme, justru memusatkan perhatian
pada fakta bahwa ada saling keterkaitan dan ketergantungan seluruh komunitas ekologis dalam
suatu ekosistem, baik yang hidup maupun yang tidak hidup.
5. Ekopedagogik merupakan pendidikan untuk mengenali alam, sehingga tumbuh rasa cinta
terhadap alam beserta isinya.
Jika pada setiap kegiatan pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan dengan berbasis
ekopedagogik, maka semua peserta didik akan mengalami dan memiliki peningkatan literasi tentang
lingkungan (melek lingkungan), dari waktu ke waktu, sehingga timbul rasa tanggungjawab untuk
menjaga dan merawatnya.
Di dalam praktek belajar mengajar, untuk dapat menampung atau menerima konsep
ecopedagogy, maka pandangan pribadi masing-masing guru dalam bidang pendidikan dan pandangan
mereka mengenai dunia akan dipengaruhi oleh filsafat pribadi mereka dan pandangan politik mereka.
Mungkin guru kita masih memiliki asumsi populer yang menyatakan bahwa sebagai manusia kita
unggul dan memiliki hak untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam (paham Antrophosentrism).
Ada lima tujuan pendidikan lingkungan yang disepakati usai pertemuan di Tbilisi 1977 oleh dunia
internasional. Fien dalam Miyake, dkk. (2003) mengemukakan kelima tujuan yaitu sebagai berikut:
1. Di bidang pengetahuan, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan
berbagai pengalaman dan mendapat pengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk
menciptakan dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan.
2. Di bidang kesadaran, membantu kelompok sosial dan individu untuk mendapatkan kesadaran dan
kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan beserta isu-isu yang menyertainya,
pertanyaan, dan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan dan pembangunan.
3. Di bidang perilaku, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk memperoleh
serangkaian nilai perasaan peduli terhadap lingkungan dan motivasi untuk berpartisipasi aktif
dalam perbaikan dan perlindungan lingkungan.
4. Di bidang ketrampilan, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan
ketrampilan untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memecahkan permasalahan
lingkungan.
5. Di bidang partisipasi, memberikan kesempatan dan motivasi terhadap individu, kelompok dan
masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.
Universitas Negeri Jakarta memiliki Program Studi Pendidikan Lingkungan Hidup (PKLH)
untuk jenjang S2 dan S3, bahkan merupakan merupakan program studi yang awal dalam gerakan
pendidikan tentang lingkungan hidup dan masalah kependudukan. Program studi ini telah meluluskan
banyak magister dan doctor dalam bidang PKLH. Sehubungan dengan konsep ekopedagogik, maka
adalah mereka dapat diharapkan memberikan konstribusi dalam kegiatan pendidikan yang berdasarkan
pembangunan yang berkelanjutan (EfSD = educational for sustainable development)
EfSD adalah merupakan suatu konsep yang sejalan dengan konsep ekopedagogik. Bila EfSD
dipandang sebagai suatu sasaran atau tujuan, maka ekopedagogik bisa dipandang sebagai suatu
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
173
pendekatan dalam mencapai sasaran tersebut. EfSD bukanlah suatu program atau project, melainkan
suatu payung untuk berbagai macam bentuk pendidikan yang telah ada. EfSD merupakan sesuatu yang
harus diciptakan sehingga ia bisa memayungi kegiatan-kegiatan pendidikan agar kegiatan
pembangunan tepat sasaran yaitu “sustainable development”. EfSD mempromosikan berbagai upaya
untuk berpikir ulang tentang program-program dan sistem-sistem pendidikan baik method maupun
kontennya. Konsep EfSD seharusnya mempengaruhi semua komponen dalam pendidkan, yakni
mempengaruhi tataran legislasi (legialation), kebijakan (policy), pendanaan (finance), kurikulum
(curriculum), pembelajaran (instruction), penilaian (assessment) dan lain-lain.
EfSD mempunyai beberapa karakteristik utama yang dapat diimplementasikan dalam berbagai
bentuk yang sesuai secara kultural, antara lain sebagai berikut:
1. EfSD didasari oleh prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang penting untuk pembangunan
berkelanjutan
2. EfSD sesuai dengan perilaku baik (well-being) untuk keempat dimensi sustainability, yaitu:
lingkungan (environment), masyarakat (society), budaya (culture), dan ekonomi (economy).
3. EfSD menggunakan bermacam-macam teknik mendidik, yang mendukung belajar partisipatif
dan keahlian berpikir yang lebih tinggi (higher-order thinking skills).
4. EfSD didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan, persepsi dan kondisi lokal, namun pemenuhan
kebutuhan local mempunyai dampak dan konsekwensi internasional
5. EfSD adalah bidang interdisiplinaritas, artinya setiap disiplin ilmu memberikan konstribusi
dalam gerakan EfSD; lebih jauh lagi EfSD menuntut pemikiran yang menyatu secara
transdisiplinaritas.
Melalui kegiatan pendidikan berbasis konsep ekopedagogik, berbagai permasalahan lingkungan
seperti: pengelolaan tata ruang, penangulangan pencemaran lingkungan, pola dan gaya hidup yang
tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem, serta upaya konservasi berbagai sumber daya alam bisa
terwujud dapat ditanggulangi.
Perilaku ekopedagogik bisa terbentuk pada mahasiswa sebagai suatu kompetensi, jika peserta
didik diberikan materi atau bahan perkuliahan yang sesuai dengan konsep tersebut. Tingkat kesadaran
dan kepekaan mahasiswa PKLH untuk tidak menggunakan plastik saat mereka melakukan kegiatan
berbelanja misalnya, dapat dipandang sebagai perilaku green consumerism. Di lain pihak jika peserta
didik tidak sembarangan dalam membuang sampah, itu adalah merupakan kegiatan mendidik yang
sesuai dengan konsep ekopedagogik.
Lebih jauh lagi jika masyarakat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam, kemudian
menghasilkan produk yang bernilai ekonomi, kemudian menumbuhkan kreatifitas dan kepedulian
terhadap lingkungan, kemudian selanjutnya menjaga kelestarian lingkungan, maka itu adalah contoh
lain dari ekopedagogik yang berhasil.
Berdasarkan uraian di atas maka pembelajaran berbasis ekopedagogik adalah merupakan suatu
proses belajar dan upaya mendidik untuk mengubah perilaku dan sikap peserta didik atau elemen
masyarakat sehinga dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran mereka tentang
nilai-nilai lingkungan dan permasalahan lingkungan. Dengan perilaku eko pedagogik peserta didik dan
masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam kegiatan pembangun sesuai konsep pembangunan
berkelanjutan.
Secara operasional pemahaman mahasiswa terhadap konsep ekopedagogik adalah pengetahuan
mahasiswa tentang proses belajar dan upaya mendidik yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan
sikap peserta didik dalam aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis, yang
berkaitan dengan perilaku “green consumerism” dengan indikator mengiterpretasikan,
membandingkan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, dan menjelaskan.
Kerangka Teoretik
Ada empat pilar yang dapat mengubah perilaku manusia, yaitu values atau norm, attitude,
persepsi dan learning. Proses pendidikan pembelajaran adalah bagian penting dalam pembentukan
perilaku manusia. Program studi yang fokus pada pendidikan lingkungan cenderung menganut
pendidikan berbasis ekopedagogik dalam kurikulumnya. Oleh sebab itu secara teoretik maka
pemahaman mahasiswa tentang konsep ekopedagogik diduga berhugungan dengan perilaku green
consumerism. Berdasarkan dugaan ini maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
174
”terdapat hubungan positif antara pemahaman konsep ekopedagogik dengan perilaku green
consumeris.”
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metoda penelitian yang digunakan adalah survey, dan tempat penelitian adalah Program Studi
Pendidikan LIngkungan Hidup (PKLH) Program Pascasarjana, Universitas Negari Jakarta mulai dari
bulan Oktober 2013 sampai dengan bulan Februari 2014.
B. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah mahasiswa program studi PKLH PPs UNJ. Sedangkan sampel penelitian
secara purposive ditetapkan mahasiswa angkatan 2012 dan 2013, yaitu mahasiswa yang telah dan
sedang mengikuti perkuliahan mata kuliah Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH).
C. Teknik Pengumpulan data
a. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian terdiri dari dua, yaitu: 1) perilaku green consumerism mahasiswa Program Studi
PKLH PPs UNJ dan 2) pemahaman tentang konsep ekopedagogik.
Instrumen perilaku green consumerism dikembangkan berdasarkan definisi konseptual sebagai berikut:
b. Definisi konseptual Perilaku green consumerism
“Perilaku atau sikap green consumerism adalah kecenderungan mahasiswa yang dipengaruhi oleh
pemahaman mereka tentang suatu barang kebutuhan ketika berbelanja, yang berhubungan dengan
produk, proses, produsen, dan penyalur produk tersebut, sehingga mereka “menerima” dan “menilai”
barang kebutuhan itu, yang mencerminkan perilaku peduli lingkungan.
c. Definisi konseptual Pemahaman tentang Konsep ekopedagogik:
Instrument pemahaman tentang konsep ekopedagogik dikembangkan berdasarkan definisi konseptual
sebagai berikut: “Pemahaman mahasiswa terhadap konsep ekopedagogik adalah pengetahuan
mahasiswa tentang proses belajar dan upaya mendidik yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan
sikap peserta didik dalam aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis, yang
berkaitan dengan perilaku “green consumerism” dengan indikator mengiterpretasikan,
membandingkan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, dan menjelaskan”.
d. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif berdasarkan data yang diperoleh dari
sampel penelitian. Data disajikan dalam bentuk bentuk grafik atau histogram. Diharapkan melalui
pendekatan analisis tersebut dapat diperoleh temuan tentang perilaku green consumerism mahasiswa
Program Studi PKLH dalam kaitannya dengan konsep ekopedagogik.
HASIL PENELITIAN
A. Statistika Deskriptif
1. Pemahaman Mahasiswa terhadap Konsep Ekopedagogik
Data mengenai pemahaman mahasiswa S2 dan S3 Program Studi PKLH PPs UNJ terhadap konsep
ekopedagogik dalam kaitannya dengan perilaku green consumerism diperoleh melalui instrument
dengan 15 butir pertanyaan, dengan rentang skor teoritik 1-15 dan rentang skor empiris yang diperoleh
antara 3-11.
Tabel 1. Statistika deskriptif Pemahaman tentang Ekopedagogik dan perilaku Green Consumerism
N Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance
Pemahaman
Ekopedagogik 30 3.00 11.00 178.00 5.9333 1.92861 3.720
Perilaku green
consumerism 30 34.00 78.00 1594.00 53.1333 9.08099 82.464
(listwise) 30
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
175
Tabel 1. Statistika deskriptif Pemahaman tentang Ekopedagogik dan perilaku Green Consumerism
N Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance
Pemahaman
Ekopedagogik 30 3.00 11.00 178.00 5.9333 1.92861 3.720
Perilaku green
consumerism 30 34.00 78.00 1594.00 53.1333 9.08099 82.464
Tabel 2. Distribusi Frekwensi Kelas interval Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik
No. Kelas
Frekwensi
absolut
Frekwensi Relatif
(%)
Frekwensi
Kumulatif (%)
1. 3-4 9 30 30
2. 5-6 11 36.7 66.7
3. 7-8 7 23.3 90
4. 9-10 2 6.7 96.7
5. 11-12 1 3.3 100
Bentuk Histogram table distribusi frekwensi Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik sebagai berikut:
Gambar 1. Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik
Dari table dan bentuk Histogram di atas dapat diketahui bahwa 30% responden berada di bawah
kelompok rata-rata 36.7% dan di atas rata-rata sebanyak 33.3%. Jumlah mahasiswa yang memahami
konsep ekopedagogik di bawah rata-rata sebesar 30% dinilai terlalu besar. Jumlah sebesar itu mungkin
disebabkan beberapa factor, perlu penelitian lebih lanjut.
2. Perilaku Green Consumerism
Data mengenai perilaku green consumerism diperoleh dari instrument penelitian dengan 16 butir
pernyataan, dengan rentang skor teoretik 5-90 dan rentang skor empiris 34-78. Hasil pengolahan data
mentah variable penelitian, perilaku green konsumerism dapat dilihat pada table 3 berikut ini.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
176
Tabel 3. Distribusi Frekwensi Perilaku Green Consumerism
No.
Kelas
Frekwensi
absolut
Frekwensi Relatif (%) Frekwensi Kumulatif
(%)
1. 34-40 2 6.67 6.67
2. 41-47 5 16.67 23.34
3. 48-54 12 40.00 63.34
4. 55-61 5 16.67 80.01
5. 62-68 5 16.67 96.68
6. 69-75 0 0 96.68
7. 76-82 1 3.32 100
Bentuk histogram perilaku green consumerism dapat ditunjukkan gambar berikut:
Gambar 2. Histogram Perilaku Green Consumerism
3. Pembahasan Pemahaman Mahasiswa tentang Konsep Ekopedagogik menurut Indikator
Pemahaman
Kepada mahasiswa telah diminta pendapatnya yaitu pemahaman mereka tentang konsep ekopedagogik.
Indikator pemahaman yang digunakan adalah: menginterprestasi, membandingkan, menyimpulkan,
mengklasifikasikan dan menjelaskan, terhadap aspek-aspek ekoliterasi teknis, ekolitrasi budaya dan
ekoliterasi kristis dari konsep ekopedagogik. Selanjutnya akan ditunjukkan hasil pengukuran tentang
pemahaman mahasiswa PKLH UNJ, (untuk kelima indikator pemahaman) terhadap setiap aspek
konsep ekopedagogik, yaitu aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis.
a. Pemahaman Aspek Ekoliterasi Teknis dari Konsep Ekopedagogik
Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek ekoliterasi teknis
dari konsep ekopedagogik dengan lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan oleh tabel 4 berikut:
Tabel 4. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterassi Teknis berdasarkan indikator
.
Indikator Pemahaman Frekwensi Persentase
Menginterpretasikan (MI) 15 10%
Membandingkan (MB) 23 15%
Menyimpulkan (MP) 20 13%
Mengklasifikasikan (MK) 5 3%
Menjelaskan (MJ) 16 11%
Total 79 52%
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
177
Sedangkan pemahaman mahasiswa dalam bentuk gambar dapat ditunjukkan oleh histogram berikut ini:
Gambar 3. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Teknis
Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman
“mengklasifikasikan”, yaitu sebesar 3%. Dari seluruh indikator, maka baru 52% mahasiswa yang
memahami konsep ekoliterasi teknis yang ditanyakan kepada mereka.
b. Pemahaman Aspek Ekoliterasi Budaya dari Konsep Ekopedagogik
Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek
ekoliterasi budaya dari konsep ekopedagogik dalam lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan
oleh tabel 5 berikut:
Tabel 5. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterassi Budaya berdasarkan
indikator
Indikator Pemahaman Frekwensi Persentase
Menginterpretasikan (MI) 16 11%
Membandingkan (MB) 15 10%
Menyimpulkan (MP) 2 1%
Mengklasifikasikan (MK) 12 8%
Menjelaskan (MJ) 13 9%
Total 58 39%
Gambar 4. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Budaya
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
178
Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman “menyimpulkan”,
yaitu sebesar 1%. Berdasarkan seluruh indikator, maka baru 39% mahasiswa yang memahami konsep
ekoliterasi budaya yang ditanyakan kepada mereka.
c. Pemahaman Terhadap Aspek Ekoliterasi Kritis dari Konsep Ekopedagogik
Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek ekoliterasi kritis
dari konsep ekopedagogik dalam lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan oleh tabel 6 berikut:
Tabel 6. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterasi Kritis berdasarkan indikator
Indikator Pemahaman Frekwensi Persentase
Menginterpretasikan (MI) 5 3%
Membandingkan (MB) 4 3%
Menyimpulkan (MP) 5 3%
Mengklasifikasikan (MK) 23 15%
Menjelaskan (MJ) 4 3%
Total 41 27%
Skor teoretik maksimum 150
Gambar 5. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Kritis
Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman pada empat
indikator, yaitu: “menginterpretasikan, membandingkan, menyimpulkkan, dan menjelaskan”, yaitu
sebesar 3%.
4. Interprestasi Perilaku Green Consumeris berdasarkan Indikator Hasil pengolahan data perilaku green consumerism berdasarkan indikator menerima dan menilai, dapat
ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Gambar 6. Indikator Perilaku Green Consumerism
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
179
Histogram menggambarkan bahwa perilaku green consumerism mahasiswa PKLH PPs UNJ, lebih
ditandai oleh indikator “menilai” terhadap proses pembuatan barang yang akan dikonsumsi dan agent-
agent penyalur atau distributor barang tersebut. Sedangkan perilaku green consumerism terhadap jenis
atau macam produk (barang) kebutuhan tersebut dan produsen yang menghasilkan barang tersebut lebih
ditandai oleh indicator “menerima”.
B. Hubungan Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik dan Perilaku Green Consumerism
Dari hasil pengolahan data didapat koefisien korelasi yang menunjukkan kekuatan hubungan
pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dan perilaku green consumerism adalah sebesar: r = 0.026.
Uji Koefisien korelasi yang diperoleh dilakukan melalui uji keberartian melalui uji-t, dengan
menggunakan rumus: t = rxy [n-2/1-(rxy)2]. Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : yx = 0
H1 : yx > 0
Kriteria pengujian, pada = 0,05, terima H0 jika thitung ttabel, dan tolak H0 jika thitung > ttabel.
Secara manual t hitung dicari dari rumus :
t = rxy [n-2/1-(rxy)2].
thitung = 0.026 [30-2/1-(0.026)2] = 0.026 [28/1-(0.000676)]
= 0.026 [5.292: 0.999] =0.026 x 5.297 = 0.138. didapat thitung = 0.138, ttabel = t(0.05)(28) = 1.70.
Hasil pengujian menunjukkan thitung < ttabel = 0.138 < 1.70.
Hasil pengujian menunjukkan koefisien korelasi yang diperoleh tidak berarti atau tidak siknifikan.
Artinya tidak terdapat hubungan yang berarti antara pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan
perilaku green consumerism.
Berdasarkan temuan ini, maka perubahan perilaku green consumerism tidak bisa diestimasi dari
perubahan pemahaman terhadap konsep ekopedagogik. Untuk mengetahui apakah pemahaman
terhadap konsep ekopedagogik berpengaruh langsung terhadap perilaku green consumerism, perlu
dilakukan pengetahuan lebih lanjut.
PEMBAHASAN
Berdasarkan temuan di atas dimana model persamaan regresi yang diperoleh tidak siknifikan
(berarti) dan tidak terdapat korelasi positif antara pemahaman mahasiswa PKLH terhadap konsep
ekopedagogik dengan perilaku green consumerism, sehingga perilaku green consumerism mahasiswa
PKLH tidak dapat diestimasi dari pemahaman mereka terhadap konsep ekopedagogik. Maka
terbentuknya perilaku green consumerism mungkin bisa diestimasi dari variable lain.
Penelitian ini gagal menolak hipotesis nol, mungkin disebabkan terdapatnya kelemahan dan
keterbatasan dalam penelitian ini, misalnya instrument penelitian yang digunakan sebagai pengumpul
data masih memilki kelemahan.
Konsep ekopedagogik di dalam kurikuum PKLH belum secara sepesifik menjadi mata kuliah yang
berdiri sendiri. Konsep ini disampaikan secara terintegrasi di dalam mata-kuliah lain. Oleh sebab itu
perilaku green consumerism mungkin terbentuk pada mahasiswa melalui konsep-konsep lingkungan
yang lain.
International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia
Official Conference Proceedings
180
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa tidak terdapat hubungan positif antara
pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku green
consumerism. Perilaku green consumerism pada mahasiswa diduga tidak terbentuk karena materi
perkuliahan pada program studi PKLH. Perilaku green consumerism pada diri mahasiswa PKLH,
mungkin terbentuk dari pengetahuan di luar pendidikan formal atau sumber informasi lain yang
mengarah ke perilaku green consumerism. Program studi PKLH belum berhasil memperkuat perilaku
tersebut melalui kurikulum yang ada. Informasi-informasi dari berbagai media seperti televisI, radio,
surat kabar dan internet, telah berperan penting pada pemebentukan perilaku green consumerism
masyarakat.
Perilaku “green consumerism” pada diri mahasiswa lebih ditandai oleh indicator “menilai”
terhadap proses dan penyalur, ditandai oleh indicator “menerima” terhadap produk dan produsen yang
memenuhi criteria ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bennet, DE, Evaluate of Environmental Educational Program, (New York: John Willey & Son), 1997.
Grigorov, Stefan Krasimirov and Fleuri, Reinaldo Matias, Eco pedagogy: educating for new eco-social
intercultural perspective, visao Global, Joacaba, v. 15, n. 1-2, jan./dez. 2012.
Pettit, Dean and Jerry Paul Sheppard, “It’s not Easy Being Green: The Limits of Green Consumerism
in Light of the Logic of Collective Action”, Queens Quarterly, 99 (3): 1992.
Yates, Lucy, Green Expectations. Consumers’ Understanding of Green Claims in Advertising,
Consumer Focus. A Campaigning for fair deal, 2008.
12 Crucial Consumer Trends for 2012, Trend Watching.com
Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Lanham, MD: Rowman
& Littlefield.
Gadotti, M. (2008). Education for sustainability: A critical contribution to the decade of education for
sustainable development. Green Theory and Praxis: The Journal of Ecopedagogy, 4(1), 50.
Gadotti, M. (2009). Education for sustainability: A contribution to the decade of education for
sustainable development. Saõ Paulo: Editora e Livraria Instituto Paulo Freire.
Giroux, H. A. (2001). Theory and resistance in education: Towards a pedagogy for the opposition (Rev.
ed.). Westport, CT: Bergin & Garvey.
Harding, S. (2006). Science and social inequality: Feminist and postcolonial issues. Urbana: University
of Illinois Press.
Harding, S. G. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women's lives. Ithaca, NY:
Cornell University Press.
Harding, S. G. (1998). Is science multicultural? Postcolonialisms, feminisms, and epistemologies.
Bloomington: Indiana University Press.
Morrow, R. A., & Torres, C. A. (2002). Reading Freire and Habermas. New York: Teachers College
Press.
Richard Kahn Critical Pedagogy, Ecoliteracy, & Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement (New
York: Peter Lang, 2010), pp 186. ISBN 978-1-4331-0545-6.