184

The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

  • Upload
    vuthu

  • View
    279

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction
Page 2: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

Table of Content: Part 1 Titles and Authors Page

numbers1. ANALYSIS ACADEMIC SERVICE AT PROGRAM STUDY

MAGISTER EDUCATION MANAGEMENT PROGRAM PASCASARJANA STATE UNIVERSITY OF JAKARTA

Dwi Deswary1

1Lecturer Program Study Education Management Program Pascasarjana State University of Jakarta

1-12

2. MULTIDIMENSIONAL RELIABILITY OF INSTRUMENT FOR MEASURING ATTITUDES TOWARD PHYSICS USING SEMANTIC

DIFFERENTIAL SCALE

Gaguk Margono1 1Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pasca Sarjana

Universitas Negeri Jakarta, Kampus UNJ, Jl. Rawamangun Muka, Rawamangun, Jakarta 13220

13-20

3. ENGLISH LEARNING IN GRADE IV OF ELEMENTARY (Descriptive Study in Sekolah Dasar Laboratorium PGSD FIP

Universitas Negeri Jakarta)

Mohamad Syarif Sumantri1 1Primary educarion Program, Jakarta State University

21-28

4. THE COMPARISON OF ITEM INFORMATION FUNCTIONS IN PARALLEL LEST WITH THE MODEL OF L2P

Yuliatri Sastra Wijaya1

1Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

29-35

5. EVALUASI MANAJEMEN PROGRAM PRIMA PADA PENINGKATAN PRESTASI WUSHU INDONESIA

Moch. Asmawi1

1Universitas Negeri Jakarta

36-44

6. KETERAMPILAN SHOOTING SEPAKBOLA STUDI KORELASIONAL PANJANG TUNGKAI, DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI, PERCAYA DIRI DENGAN KETERAMPILAN SHOOTING

PERMAINAN SEPAKBOLA PADA KLUB SEPAKBOLA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2013

Muchtar Hendra Hasibuan, Sofyan Hanif

45-55

7. THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING (STAD) AND ENTRY BEHAVIOR TO THE STUDENTS’ MATHEMATICS LEARNING

RESULT

Nurdin Ibrahim1 1Jakarta State University

56-66

Page 3: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

8. THE EFFECT OF JOB CHARACTERISTICS, COMPENSATION AND JOB SATISFACTION TO THE ECONOMIC

TEACHERS COMMITMENT IN THE HIGH SCHOOL BALI PROVINCE

I Ketut R. Sudiarditha

Fakulty of Economic, Universitas Negeri Jakarta

67-82

9. PARENTING, AND CAREER SELECTION STUDENTS ACCELERATION OF SENIOR HIGH SCHOOL IN JAKARTA

Hartini Nara1

1Department of Special Education Faculty of Education University of Jakarta

83-93

10. MEASURING INTEREST OF TEACHING PROFESSION

Muchlas Suseno1 1Department of Primary Education, Postgraduate Program,

State University of Jakarta

94-99

11. KONTRIBUSI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI EMAS INDONESIA

Prof. Dr. Tuti Nuriah M.Pd. 1 1Universitas Negeri Jakarta

100-105

12. PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH: PENELITIAN PADA KEPALA SMPN

DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

Matin1

106-114

13. PENERAPAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM BERBAHASA

Ninuk Lustyantie1

115-123

14. KONSEP PENDIDIKAN YANG AKOMODATIF TERHADAP NILAI BUDAYA LOKAL DI INDONESIA

Prof. Dr. R. Madhakomala1 1Universitas Negeri Jakarta

124-134

15. EFEKTIVITAS PELATIHAN GURU MATA PELAJARAN

Burhanuddin Tola1 1Graduate School, State University of Jakarta

135-161

16. PARAMETER ESTIMATION AND EQUATING METHOD ON SMALL SAMPLE SIZE BASED ON

ITEM RESPONSE THEORY

Wardani Rahayu1 1Jakarta State University

162-167

Page 4: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

17. PERILAKU GREEN CONSUMERISM MAHASISWA DALAM KAITANNYA DENGAN PEMAHAMAN KONSEP

EKOPEDAGOGIK

Suwirman Nuryadin1 1Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup

(PKLH) Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

168-180

Page 5: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

1

ANALYSIS ACADEMIC SERVICE AT PROGRAM STUDY MAGISTER

EDUCATION MANAGEMENT PROGRAM PASCASARJANA

STATE UNIVERSITY OF JAKARTA

Dwi Deswary1

1Lecturer Program Study Education Management

Program Pascasarjana State University of Jakarta

[email protected]

Abstract

This Research purpose to know in descriptive about customer expectation to grads will

relate networked interest grads, interest what must sharpened according to workplace each

grad, and interest what must developed in academic service. Method that used by is method

survey customer, that is to describe customer expectations that obtained from questionnaire

how many they expect and feel something (derived satisfaction). Result of these research

explain be needed competence bases science area (professionalism), visionary leadership,

interdisciplinary knowledge broadness science, moral integrity in working, effective

communication ability, team cooperation that solid, ability uses Information Technology,

ability quiesently and also active, and ability to develop it-self. Prodi MP S2 must sharpen

core interest that related to professionality as the education organizer, that is ability in

plans, management, and control to good education management at institutional level, area

autonomy (Otda), and also at national level. Prodi MP S2 in academic service, that is give

service according to need stakeholders.

Keyword: Academic service, need stakeholders, Program Study Magister Education

Management.

PENDAHULUAN

Prodi MP S2 berupaya untuk mewujudkan pelayanan prima yang merupakan upaya besar

Program Pascasarjana UNJ sebagai Center of Excellent. Wujud yang dapat diberikan oleh Prodi adalah

melalui penyediaan layanan akademik dan administratif yang berkualitas, cepat, dan sesuai dengan

tuntutan atau kebutuhan stakeholders. Muara dari pelayanan prima ini adalah kepuasan stakeholders

Prodi MP S2 Program Pascasarjana UNJ yang meliputi mahasiswa, dosen, pegawai administratif (TU),

pengguna lulusan, serta pengguna hasil penelitian dan pengabdian masyarakat.

Kompetensi yang diharapkan program studi MP S2 UNJ memang sudah seharusnya dapat

menjawab kebutuhan yang diperlukan di dalam dunia kerja para lulusannya. Kompetensi para lulusan

ini akan berimbas pada keprofesionalan mereka yang sangat dibutuhkan demi mewujudkan kualitas

pendidikan dan daya saing sumber daya manusia (SDM) yang dapat memasuki era pasar bebas minimal

di tingkat ASEAN. SDM yang merupakan bagian dari instrumental input dalam sistem

penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu infrastruktur utama yang dapat mendukung lembaga

ke arah perwujudan mutu yang diharapkan dan daya saing tersebut. Melalui kualitas layanan yang

diberikan sebagai salah satu indikator kinerja SDM dapat diketahui apakah suatu lembaga pendidikan

akan dapat mencapai efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuannya. Untuk itu, dalam suatu lembaga

pendidikan diperlukan kemampuan SDM yang prima untuk mengaplikasikan fungsi-fungsi pokok

manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pembinaan. Kemampuan SDM dalam

proses manajemen perlu mengaplikasikan fungsi-fungsi pokok manajemen yang senantiasa berorientasi

mutu, yaitu perencanaan mutu, pengendalian mutu, dan peningkatan mutu. Pelaksanaan fungsi-fungsi

manajemen yang berorientasi mutu secara efisien dan efektif diarahkan pada peningkatan mutu

pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Dengan demikian kepuasan

pelanggan sebagai respons pelanggan terhadap upaya manajemen di dalam menyediakan produk

layanan jasa yang memenuhi harapan pelanggan akan dapat diwujudkan. Untuk memperjelas

permasalahan ini, maka penting bagi Prodi untuk mengkaji tentang “Analisis Layanan Akademik pada

Page 6: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

2

Program Studi Magister Manajemen Pendidikan (Prodi MP S2) Program Pascasarjana Universitas

Negeri Jakarta” guna mewujudkan mutu layanan yang diharapkan.

TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen dan Kinerja

Griffin (2004:7) menjelaskan manajemen merupakan rangkaian aktivitas termasuk perencanaan

dan pengambilan keputusan; pengorganisasian; kepemimpinan; dan pengendalian yang diarahkan pada

sumber daya organisasi (manusia, fisik, dan informasi) dengan maksud untuk mencapai tujuan

organisasi secara efektif dan efisien. Kepemimpinan pendidikan yang patut untuk dikaji ulang oleh para

pemimpin pendidikan di Indonesia adalah kemampuan di dalam menerapkan apa yang dikatakan tokoh

pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara dengan: (a) Ing ngarso sung tulodho,yaitu pemimpin tampil

di depan untuk memberikan contoh, keteladanan, mengarahkan, membina, menunjukkan; (b) Ing

madyo mangun karso, yaitu pemimpin bekerja bersama staf, dengan memberikan semangat kepada

staf/bawahan; dan (c) Tut wuri handayani, yaitu pemimpin memberikan dukungan kepada staf agar

dapat bertanggungjawab terhadap tugasnya. Pemimpin yang efektif akan berorientasi pada tugas dan

berorientasi pada orang. Blake dan Mouton dalam Griffin (2004:76) menggambarkan sosok seorang

pemimpin yang efektif adalah yang fokus pada tugas dan pada orang (9.9). Pada peta kepemimpinan

yang efektif, manajemen tim (9.9) dijelaskan bahwa pencapaian kerja didapatkan dari SDM yang

memiliki komitmen, saling ketergantungan yang memunculkan hubungan saling percaya dan saling

menghormati. Seorang pemimpin pendidikan harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja

SDM melalui proses manajemen yang berorientasi pada mutu. Manajemen pendidikan yang bermutu

dalam implementasinya memerlukan komunikasi, keterlibatan anggota, dan perencanaan strategik yang

berorientasi pada pelanggan.

Dalam perkembangan selanjutnya Robbins (2011:599) menjelaskan terdapat tiga tipe dalam

perilaku kerja seseorang yang penting diperhatikan seorang pemimpin, yaitu ”task performance,

citizenship, dan counterproductivity”. Demikian pula Colquitt (2011:36-47) menjelaskan yaitu ”two

categories are task performance and citizenship behavior, both of wich contributes positively to the

organization. The third category is counterproductive behavior, wich contributes negatively to the

organization”. Soedarmayanti (2001:50) menjelaskan kinerja menurut August W. Smith,” ...output

drive from processes, human or otherwise”. Kinerja dapat ditunjukkan pada seseorang, dapat juga pada

unit kerja tertentu atau organisasi. Pada pengertian ini kinerja lebih mengarah pada proses kegiatan yang

dilakukan SDM. Dalam hal ini Smith telah menggabungkan dua pengertian antara proses dan hasil

kerja. Gibson et al., (2009:327) mendefinisikan “job performance is the outcomes of jobs that relate to

the purposes of the organization such as quality, efficiency, and other criteria of effectiveness”. Kinerja

merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan dengan tujuan dari organisasi seperti kualitas, efisiensi,

dan kriteria lain demi efektivitas organisasi. Pendapat ini lebih menekankan bahwa kinerja sangat erat

kaitannya dengan tujuan sebuah organisasi. Pendapat yang sama disampaikan oleh Schermerhorn

(2005:386) yang mengemukakan, “job performance is measured as the quantity and quality of task

accomplished by an individual or group“. Kinerja diukur sebagai kuantitas dan kualitas tugas yang

dicapai oleh individu atau kelompok. Sementara itu, Jex (2008:114) menjelaskan “job performance is

a deceptively simple term. At the most general level, it can be defined simply as ‘‘all of the behaviors

employees engage in while at work’’. Kinerja merupakan keseluruhan perilaku karyawan yang terlibat

dalam pekerjaan di tempat kerja. Secara ringkas Ivancevich (2003:33) telah menjelaskan 5 hal yang

menurut peneliti penting diperhatikan untuk mengukur kinerja seseorang, yaitu berasal dari pribadi

pekerja yang bersangkutan, organisasi, perencanaan, strategi pelaksanaan, peningkatan keahlian dan

peluang yang diberikan. Demikian pula Scoth A Sneel dan Kenneth N. Wexley dalam Timpe

(2002:329) menjelaskan kinerja adalah kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu

keterampilan, tingkat upaya, dan keadaan eksternal. Untuk membina dan meningkatkan kinerja,

Luthans (2008:374) menekankan pada kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang

diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan. Hal ini diutarakan dalam pendapatnya bahwa,

“behavior performance management is not a good idea to be tried for a while and then cast aside for

some other good idea. It is a science that explains how people behave. It can not go away anymore tha

gravity can go away. In a changing world, the science of behavior must remain the bedrock, the starting

place for every new technology we apply, and every initiative we employee in our effort to bring out the

Page 7: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

3

best in people”. Ada beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan kinerja kelompok yang harus dimulai

dengan pengetahuan atas kerja kelompok bagian terbesar dari sebuah organisasi dan faktor strategi,

struktur penyeleksian dan sistem penghargaan serta pemberian hadiah bagi anggota kelompok

organisasi yang meraih pencapaian. Payaman J. Simanjuntak (2005:17) menjelaskan pembinaan kinerja

merupakan bagian dari aktivitas manajemen kinerja. Dijelaskan bahwa dalam manajemen kinerja

seluruh aktivitas merupakan proses berkelanjutan berbentuk siklus yang terdiri dari perencanaan,

pembinaan, dan evaluasi. Pengukuran kinerja dalam sistem manajemen kinerja menurut Vincent

(2006:212) merupakan alat manajemen untuk menilai keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan

strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Sedangkan Dale (2002:13), menjelaskan ukuran

kinerja yang efektif terdiri dari ukuran kuantitatif, mudah dipahami, seimbang, mudah dipantau, dan

dipublikasikan. Dengan demikian, melalui aplikasi pengukuran kinerja SDM yang tepat, upaya

manajemen di dalam menyediakan kualitas layanan jasa yang memenuhi harapan pelanggan akan dapat

diwujudkan dalam suatu penyelenggaraan pendidikan.

Kualitas Layanan (Quality Service)dan Kepuasan Pelanggan

Frank M. Gryna, et.al (2007:15) mendefinisikan mutu, sebagai “totality of characteristics of an

entity that bear on its ability to satisfy stated and implied needs.” Kualitas layanan dalam kajian ini

diidentikkan dengan konsep kualitas jasa (service quality) yang dijelaskan oleh Fandy Ciptono

(2005:160-162) sebagai suatu model yang terdiri atas tiga komponen, yaitu kualitas interaksi

(interaction quality), kualitas lingkungan fisik (physical environment quality), dan kualitas hasil

(outcome quality). Lebih lanjut dalam tulisan Tjiptono dijelaskan, dimensi kualitas interaksi meliputi

sikap, perilaku dan keahlian pegawai/karyawan jasa. Dimensi lingkungan fisik terdiri dari kondisi (non

visual, seperti temperatur, aroma, musik), desain fasilitas, dan faktor sosial. Disain fasilitas meliputi

layout lingkungan, praktikal, maupun estetis (menarik secara visual). Sedangkan faktor sosial berupa

jumlah dan perilaku orang dalam setting jasa. Dimensi kualitas hasil merupakan waktu tunggu

penyampaian jasa. Waktu tunggu yang diukur merupakan persepsi pelanggan terhadap lamanya waktu

menunggu penyampaian jasa. Bukti fisik (tangible evidence) mencerminkan fasilitas fisik yang relevan

dalam jasa dan valensi (valence) mengacu pada atribut yang mempengaruhi keyakinan pelanggan

bahwa hasil suatu jasa itu baik atau buruk. Dalam penyelenggaraan pendidikan, dimensi-dimensi

tersebut akan mewarnai suatu kondisi yang diharapkan oleh para pelanggan baik secara internal maupun

eksternal yang akan bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian, SDM dalam

penyelenggaraan pendidikan memerlukan berbagai kompetensi yang relevan dengan perilaku

manajerial mereka guna mewujudkan kualitas yang diharapkan.

Pandy Tjiptono (1996:100) menjelaskan, dalam pendekatan total quality management (TQM)

pelanggan eksternal adalah orang yang membeli dan menggunakan produk perusahaan. Dalam

pendekatan TQM, kualitas sangat ditentukan oleh pelanggan. Kotler (1994:40) menjelaskan, kepuasan

pelanggan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang ia

rasakan dibandingkan dengan harapannya. Beberapa cara/metode dalam pengukuran kepuasan

pelanggan antara lain dijelaskan oleh Kotler adalah survei kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan

merupakan sasaran dari suatu upaya manajemen yang dilakukan lembaga baik yang berorientasi pada

bisnis (profit) maupun lembaga/organisasi nirlaba (non profit) seperti lembaga pendidikan. Oleh karena

itu, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam lembaga pendidikan perlu diarahkan pada upaya

peningkatan kualitas layanan yang diharapkan pelanggannya. SDM suatu lembaga pendidikan perlu

menyediakan layanan jasa yang berorientasi pada mutu dan melakukan perubahan yang terus menerus

(continuous improvement) serta pembelajaran organisasi (learning organization) dalam perilaku kerja

mereka.

METODE DAN SAMPLING

Metode yang digunakan adalah metode survey pelanggan, yaitu mendeskripsikan harapan-

harapan pelanggan yang diperoleh dari sebaran angket. Metode survey kepuasan pelanggan dilakukan

antara lain dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden mengenai harapan mereka dan apa

yang dirasakan (derived satisfaction).

Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota

Wilayah Jakarta, Bogor, dan Bekasi yang stakeholders atau para pegawainya ada yang berasal dari

Page 8: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

4

lulusan Prodi MP S2 dengan teknik sampling bertujuan. Sumber data yang digunakan adalah para

pengguna (pimpinan/pemilik yayasan), para lulusan Prodi MP S2 Program Pascasarjana Universitas

Negeri Jakarta, dan pihak pengguna/konsumen di Lembaga-lembaga Diklat. Data dikumpulkan dengan:

(1) kuesioner/angket, dan (2) analisis dokumen, dilakukan untuk menentukan keberadaan alumni Prodi

MP S2 PPs UNJ dengan menggunakan data yang ada di bagian akademik dan data yang ada di lapangan

(Instansi/lembaga tempat penelitian). Analisis data dilakukan secara deskriptif dilanjutkan dengan

melakukan interpretasi dan pemaknaan pada setiap hasil informasi yang berhasil dijaring. Tahapan yang

dilakukan meliputi: (1) Data Collection, (2) Data Reduction, (3) Data Display, dan (4) Data Verifikasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Integritas (Etika dan Moral)

Integritas terkait dengan keutuhan atau totalitas yang dimiliki oleh seseorang baik dari segi etika

maupun moral. Sedangkan etika merupakan pola perilaku seseorang sebagai suatu kelaziman yang

dapat diterima umum dalam berinteraksi dengan lingkungannnya, etika terkait dengan ukuran baik dan

buruk. Sedangkan moral merujuk pada nilai-nilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri

seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Diperoleh hasil terkait integritas dapat dilihat

pada gambar berikut:

Gambar 1. Integritas lulusan Manajemen Pendidikan

Keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme)

Setiap lulusan diharapkan profesional di bidangnya. Dalam hal ini para lulusan manajemen

pendidikan dituntut untuk profesional dalam mengelola pendidikan. Diperoleh hasil terkait kemampuan

profesionalisme pada gambar berikut:

Gambar 2. Profesionalisme lulusan Manajemen Pendidikan

85%

15%

Integritas (Etika dan Moral)

Sangat Diperlukan

Cukup Diperlukan

98%

2%

Profesionalisme

Sangat

Diperlukan

Cukup

Diperlukan

Page 9: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

5

Keluasan Wawasan antar Disiplin Ilmu

Di samping dituntut untuk memiliki kemampuan dalam disiplin ilmunya, setiap lulusan juga

diharapkan memiliki keluasan wawasan di luar disiplin ilmu manajemen pendidikan sebagai penunjang

dalam berinteraksi dan bahkan dalam membantu mempercepat penyelesaian tugasnya. Diperoleh hasil

terkait kemampuan keluasan wawasan antar disiplin ilmu dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3. Keluasan wawasan antar disiplin ilmu lulusan Manajemen Pendidikan

Kepemimpinan

Sesuai dengan bidang studi yang digeluti, seorang lulusan manajemen pendidikan diharapkan

memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain ke arah

pencapaian tujuan dengan kemauan dan antusiasme yang tinggi. Diperoleh hasil terkait kemampuan

kepemimpinan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Kepemimpinan lulusan Manajemen Pendidikan

Kerjasama dalam tim

Kerjasama dalam tim terkait dengan kerjasama antara 2 orang atau lebih yang bersinergi secara

intensif untuk mencapai tujuan. Orang-orang yang berada di dalamnya harus saling melengkapi, saling

percaya, saling menghargai, serta saling mendorong dan membantu dalam semangat kebersamaan.

Diperoleh hasil terkait kemampuan di dalam kerjasama tim dapat dilihat pada gambar berikut:

87%

12%1%

Keluasan wawasan antar disiplin ilmu

Sangat Diperlukan

Cukup Diperlukan

Kurang Diperlukan

95%

3%2%

Kepemimpinan

Sangat Diperlukan

Cukup Diperlukan

Kurang Diperlukan

Page 10: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

6

Gambar 5. Kerjasama dalam tim lulusan Manajemen Pendidikan

Bahasa Asing

Kemampuan dalam berbahasa asing saat ini menjadi suatu kebutuhan, terutama dalam penguasaan

bahasa inggris yang sudah menjadi bahasa internasional. Dari hasil persentase, sebagian besar

kemampuan bahasa asing masih sangat diperlukan untuk mendukung lancarnya pekerjaan yang

dihadapi para lulusan. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 6. Kemampuan berbasahasa asing

Komunikasi

Komunikasi merupakan modal utama seseorang untuk dapat berinteraksi satu sama lain. Di dalam

komunikasi terjadi transfer informasi/pesan-pesan dari komunikator ke komunikan yang di dalam

prosesnya terjadi feedback agar terjadi saling pengertian di antara kedua belah pihak. Selanjutnya dapat

dilihat pada gambar berikut:

Gambar 7. Komunikasi lulusan Manajemen Pendidikan

71%

21%

7% 1%

Kerjasama dalam tim

Sangat Diperlukan

Cukup Diperlukan

Kurang Diperlukan

Tidak Diperlukan

68%

29%

3%

Bahasa Asing

Sangat Diperlukan

Cukup Diperlukan

Kurang Diperlukan

82%

18%

Komunikasi

Sangat Diperlukan

Cukup Diperlukan

Page 11: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

7

Penggunaan Teknologi Informasi (TI)

Sama halnya dengan kemampuan dalam berbahasa asing, penggunaan teknologi informasi saat

ini sudah menjadi tool yang sangat membantu mempermudah pekerjaan sehari-hari. Dalam

penyelenggaraan pendidikan TI dapat digunakan untuk meng-update pengetahuan terkait disiplin ilmu

yang digeluti yang senantiasa berkembang. Sebagian besar lulusan perlu dibekali dengan kemampuan

mengaplikasikan TI dalam mendukung pekerjaannya. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 8. Penggunaan Teknologi Informasi Lulusan Manajemen Pendidikan

Pengembangan diri

Pengembangan diri terkait dengan kemampuan lulusan untuk secara aktif meningkatkan

profesionalismenya melalui berbagai kegiatan, baik dengan mengikuti berbagai seminar, lokakarya,

mengikuti diklat, dan bergabung dalam forum-forum ilmiah sesuai dengan bidang tugasnya. Diperoleh

hasil terkait kemampuan pengembangan diri dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 9. Pengembangan diri lulusan Manajemen Pendidikan

Harapan Konsumen terkait Kompetensi yang Dimiliki Para Lulusan.

Para lulusan MP S2, misalnya mereka yang bergerak di bidang layanan seperti Staf Administrasi

Sekolah (TU) dapat melakukan layanan yang lebih baik lagi untuk dapat memuaskan pelanggan.

Keterampilan di bidang mengapilkasikan TI diharapkan lebih meningkat, demikian juga di bidang

komunikasi, kerjasama, integritas, dan kemampuan lainnya yang diperlukan untuk melakukan

dukungan layanan akademik.

Pada kompetensi layanan seperti untuk bidang tupoksi guru, diharapkan para guru akan lebih

banyak memiliki kepekaan yang tinggi di dalam tugas-tugasnya yang terkait dengan penguasaan

komunikasi yang lebih baik sehingga pembelajaran yang dilakukannya lebih bermakna. Seorang guru

perlu memiliki kepemimpinan yang patut “digugu” dan “ditiru”, melakukan kerjasama dengan

stakeholders yang transparan, etika dan moral yang tinggi, dan menguasai TI untuk menghadapi era

global demi menghasilkan para lulusan yang siap bersaing di lapangan kerja terutama untuk siswa-

siswa SLTA.

70%

20%

9% 1%

Penggunaan Teknologi Informasi

sangat

Diperlukan

Cukup

Diperlukan

Kurang

Diperlukan

Tidak

Diperlukan

65%

30%

3% 2%

Pengembangan Diri

Sangat

DiperlukanCukup

DiperlukanKurang

DiperlukanTidak

Diperlukan

Page 12: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

8

Pada kompetensi layanan seperti kepala sekolah, diharapkan terwujud pemimpin-pemimpin yang

amanah karena mereka telah memiliki etika dan moral yang tinggi yang memahami tugas pokok dan

fungsinya sebagai pelayan masyarakat di bidang pendidikan dan bukan sebagai orang yang harus

dilayani. Fungsi layanan yang dapat memuaskan pelanggan baik secara internal maupun eksternal

sangat diharapkan muncul dari pemimpin-pemimpin pendidikan di era persaingan yang semakin ketat

ini. Para kepala sekolah selaku pemimpin dalam suatu sistem penyelenggaraan pendidikan harus

memiliki kemampuan komunikasi yang prima, menguasai bahasa asing, kepemimpinan yang dapat

menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi, kerjasama tim yang sangat baik, selalu siap untuk

mengembangkan diri dalam bentuk learning organization bersama rekan kerjanya, dan tentu saja

memiliki kemampuan TI yang memadai sebagai seorang pemimpin yang profesional di bidangnya.

Sedangkan pada kompetensi kepengawasan, bagi lulusan MP S2 yang akan berkiprah sebagai

seorang calon atau sudah menjadi pengawas di lembaga satuan pendidikan, maka diharapkan para

lulusan ini lebih memiliki kompetensi yang memadai di bidang layanan kepengawasan seperti mampu

melakukan penilaian yang objektif, mampu melakukan umpan balik sesuai dengan hasil temuannya dan

mampu melakukan pembinaan yang sifatnya continuous improvement. Di samping itu, bagi para calon

pengawas dan para pengawas, diharapkan mereka lebih menguasai keilmuan yang inter dan antar

disiplin sehingga perilaku mereka di dalam bekerja akan lebih profesional, menguasai kepemimpinan

yang egaliter, memiliki tanggung jawab moral yang tinggi akan tugas-tugasnya, dan memiliki

kemampuan yang tinggi di dalam TIK untuk dapat menjawab kebutuhan stakeholders yang ada di

bawah binaannya. Kemampuan TIK sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendasar terutama bagi

para pemimpin pendidikan di era global ini. Komunikasi tidak harus lagi dilakukan dengan komunikasi

yang sifatnya langsung, tetapi bisa dengan berbasis TIK. Dengan demikian, para pemimpin pendidikan

ini akan siap berdialog dengan mitra kerjanya di mana pun dan kapan pun sesuai kebutuhan stakeholders

yang memerlukannya.

Pada kompetensi layanan yang terkait dengan lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat),

diharapkan para lulusan MP S2 yang berada pada bidang ini lebih dapat melayani dengan baik

kebutuhan peserta diklat sehingga lebih memberikan kepuasan layanan baik secara internal maupun

eksternal lembaga. Instruktur maupun para staf administrasi yang bekerja pada lembaga Diklat lebih

memiliki kemampuan di bidang komunikasi, siap melakukan perubahan dengan melakukan

pembelajaran dan pengembangan diri secara terus menerus, integritas dan kejujuran yang tinggi,

objektif dalam penilaian, menjadi pemimpin yang dapat dijadikan panutan, dan menguasai TIK dengan

baik.

Pada kompetensi layanan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi para pengelola pendidikan

di lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta seperti di Dinas Pendidikan, Yayasan-

yayasan pendidikan dan lembaga swasta non kependidikan, diharapkan para lulusannya memiliki

kemampuan yang prima di dalam memberikan pelayanan kepada stakeholders-nya. Para lulusan MP

S2 diharapkan memiliki integritas, kejujuran, dan komitmen yang tinggi di dalam memberikan layanan,

kemampuan komunikasi seperti mampu berbahasa asing yang lebih baik, kemauan untuk selalu

mengembangkan diri, kepemimpinan yang visioner, mampu bekerjasama dalam tim yang solid, dan

kemampuan TIK yang lebih baik.

Kompetensi yang perlu dipertajam dari para lulusan di tempat kerjanya masing-masing.

Beberapa kompetensi yang perlu dipertajam dari para lulusan MP S2 diurutkan sesuai masukan

stakeholders sebagai berikut: (1) Kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai

pengelola pendidikan, yaitu para lulusan MP S2 benar-benar memiliki kemampuan di dalam

merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik pada

level nasional maupun pada level otonomi daerah (Otda). (2) Kompetensi yang terkait dengan

kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 benar-benar memiliki kemampuan di dalam

mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK, kemampuan berbahasa asing seperti

berbahasa Inggris, dan kemampuan terkait dengan kompetensi moral dan karakter, yaitu kemampuan

kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan komitmen serta perhatian yang tinggi.

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi), para lulusan MP S2 diharapkan: (1) Bagi Kepala

Sekolah, yaitu memiliki kompetensi manajerial, supervisi akademik, kompetensi pengawas dan

kepengawasan, kompetensi riset tindakan sekolah untuk memperbaiki kinerja, kompetensi

kewirausahaan, analisis kohor untuk memahami koefisien efisiensi internal penyelenggaraan

Page 13: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

9

pendidikan di sekolahnya, penyusunan rencana strategik sekolah (Renstra sekolah), kompetensi

penyusunan RAPBS, kompetensi pengelolaan, dan pengembangan SDM. (2) Bagi Pengawas Sekolah,

yaitu memiliki kompetensi supervisi dan evaluasi, kompetensi pengawas dan kepengawasan,

kompetensi riset kepengawasan untuk perbaikan kinerja, kompetensi kewirausahaan, kompetensi

analisis kohor, kompetensi mengelola dan mengembangkan SDM pendidikan. (3) Bagi para Guru, yaitu

memiliki kompetensi kewirausahaan, analisis kohor pendidikan untuk memahami koefisien efisiensi

internal penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya, kompetensi penyusunan RAPBS, kompetensi

mengelola dan mengembangkan SDM pendidikan. (4) Bagi para tenaga struktural, yaitu kompetensi

pengembangan sumber daya pendidikan.

Dalam layanan akademik di Prodi MP S2 yang perlu diperhatikan, yaitu terkait dengan

keprofesionalan para pengajarnya. Para dosen di Prodi MP S2 khususnya yang mengajarkan kompetensi

utama diharapkan linear dalam keilmuan di bidang manajemen pendidikan mulai S1 hingga S3. Dengan

demikian, ada jaminan tidak terjadi kekeliruan dalam menjelaskan suatu konsep di dalam keilmuan

manajemen pendidikan dan dalam memberikan ilustrasi atau gambaran yang terjadi di lapangan secara

jelas. Kematangan konsep dan pengalaman empiris dari para dosen akan membantu para mahasiswa

terlatih di dalam menyelesaikan suatu masalah sesuai keilmuan yang didapatnya secara proporsional.

Pembahasan

Beberapa kompetensi yang sangat diperlukan, yakni kompetensi keahlian berdasarkan bidang

ilmu (profesionalisme), kepemimpinan visoner, keluasan wawasan antar disiplin ilmu, integritas/moral

dalam bekerja, kemampuan komunikasi yang efektif, kerjasama tim yang solid, kemampuan

menggunakan teknologi informasi, kemampuan berbahasa asing secara pasif maupun aktif, dan

kemampuan untuk mengembangkan diri. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan profesional sangat

diperlukan di dalam melakukan tugas pokok dan fungsi sesuai bidang pekerjaan mereka. Hal ini sudah

menjadi tuntutan bagi peningkatan profesionalisme mereka yakni harus senantiasa mampu memimpin

dengan kepemimpinan yang visioner yang siap melakukan perubahan. Dengan kepemimpinan yang

visioner, maka mereka akan selalu melakukan pembelajaran untuk keluasan wawasan antar disiplin

ilmu yang diiringi dengan integritas moral dalam bekerja yang juga tinggi. Di samping itu para

pengelola pendidikan juga diharapkan memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga

kerjasama dalam tim pun akan berjalan sangat baik dan solid di dalam mewujudkan tujuan organisasi

di mana mereka bekerja. Demikian pula untuk kemampuan di dalam menggunakan teknologi informasi,

kemampuan berbahasa asing, dan melakukan pengembangan diri yang perlu terus dilakukan di dalam

mewujudkan pribadi-pribadi profesional yang dapat dijadikan sebagai asset lembaga. Kesadaran dalam

diri individu untuk senantiasa mengembangkan diri, hal ini agar mereka tidak tertinggal oleh

perkembangan zaman yang senantiasa menuntut untuk memperbaharui diri. Untuk itu Prodi MP S2

perlu untuk melakukan penjabaran yang lebih proporsional di dalam setiap deskripsi dari mata kuliah

yang diberikan. Strategi pembelajaran yang telah baik perlu dipertahankan dan dikembangkan dengan

komitmen memberikan layanan yang prima untuk kepuasan pelanggan secara eksternal. Demikian pula

dalam layanan yang diberikan secara internal, perlu lebih memperhatikan kebutuhan sarana pendukung

pembelajaran dalam bentuk keberadaan sumber kepustakaan yang relevan dengan Prodi MP S2,

sumber-sumber kepustakaan yang menunjang, fasilitas pembelajaran yang memadai dan siap pakai

dengan kondisi prima, ruangan kelas yang nyaman, dan strategi pembelajaran yang lebih variatif yang

dilakukan oleh setiap pendidik sesuai kebutuhan pembelajaran yang akan diberikan.

Untuk kompetensi kerjasama tim yang solid dan penggunaan teknologi informasi, Prodi MP S2

masih perlu meningkatkan layanan pada pencapaian kompetensi ini yang terintegrasi di dalam setiap

deskripsi kompetensi mata kuliah yang diberikan. Kompetensi ini merupakan softskill yang harus

dimiliki oleh setiap lulusan di dunia kerja. Organisasi yang berhasil lebih disebabkan adanya kerjasama

tim yang berjalan efektif. Kedua kompetensi tersebut memegang peran penting bagi kesempurnaan

penyelesaian pekerjaan apalagi dalam menghadapi era pasar bebas yang mengindikasikan akan terjadi

persaingan yang sangat ketat dalam memperoleh pasar kerja. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu yang

diperoleh selama kuliah perlu didesain untuk dapat menjawab kebutuhan dunia kerja dan sesuai dengan

bidang kerja yang mereka masuki (aplicable).

Usaha meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris dan kemampuan untuk selalu

mengembangkan diri diintegrasikan dalam setiap deskripsi pada mata kuliah yang diberikan.

Kemampuan berbahasa Inggris baik secara pasif maupun aktif, dibiasakan sejak di bangku kuliah.

Page 14: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

10

Sedangkan pada kemampuan untuk selalu mengembangkan diri, kompetensi ini terus dirangsang

melalui strategi pembelajaran yang lebih variatif yang diberikan oleh para pendidik sehingga cara

pembelajaran yang mereka alami akan membangkitkan motivasi pada diri mahasiswa untuk menggali

lebih dalam secara mandiri maupun di bawah pengawasan para pendidiknya dalam bentuk pemberian

tugas yang lebih merangsang berpikir kreatif dan imaginatif.

Untuk harapan konsumen terhadap para lulusan terkait kompetensi yang dimiliki para lulusan,

maka Prodi MP S2 perlu memperhatikan masing-masing tugas pokok dan fungsi para stakeholders

seperti kepala sekolah, guru, pengawas, tata usaha, Lembaga Diklat, Lembaga Dinas Pendidikan, dan

Yayasan-yayasan pendidikan. Demikian pula pada kompetensi yang perlu dipertajam, akan sangat

disesuaikan dengan tupoksi stakeholders. Kompetensi yang paling menarik untuk dipertajam misalnya

kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai pengelola pendidikan, yaitu para lulusan

MP S2 memiliki kemampuan di dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi manajemen seperti

merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik pada

level institusional, otonomi daerah (Otda) maupun level nasional. Seperti yang dijelaskan oleh Hoy

(2001:25),”management is the process of planning, organizing, leading, and controlling that

encompasses human, material, financial and information resources is an organizational

envirounment”. Demikian pula Griffin (2004:7) menambahkan, manajemen merupakan rangkaian

aktivitas perencanaan dan pengambilan keputusan; pengorganisasian; kepemimpinan; dan

pengendalian yang diarahkan pada sumber daya organisasi (manusia, fisik, dan informasi) dengan

maksud untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Peningkatan mutu pendidikan

sebagai salah satu upaya manajemen perlu direncanakan, dikelola, dan dikendalikan secara profesional

dengan strategi yang tepat.

Kompetensi yang terkait dengan kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 perlu

memiliki kemampuan di dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK;

kemampuan berbahasa asing seperti berbahasa Inggris; dan kemampuan terkait dengan kompetensi

moral dan karakter, yaitu kemampuan kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan

komitmen serta perhatian yang tinggi. Sedangkan kompetensi yang perlu dikembangkan dalam layanan

akademik, yaitu memperkaya kemampuan sesuai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) bagi para kepala

sekolah, pengawas, guru dan tenaga struktural pendidikan. Kualitas layanan dalam kajian ini

diidentikkan dengan konsep kualitas jasa (service quality) yang dijelaskan oleh Fandy Ciptono

(2005:160-162) sebagai suatu model yang terdiri atas tiga komponen, yaitu kualitas interaksi

(interaction quality), kualitas lingkungan fisik (physical environment quality), dan kualitas hasil

(outcome quality). Selanjutnya Rust & Oliver (1994) dalam tulisan yang sama juga menjelaskan

konseptualisasi model ini didasarkan pada tiga komponen model “service product, service delivery, dan

service environment”. Lebih lanjut dalam tuisan Tjiptono dijelaskan, dimensi kualitas interaksi

meliputi sikap, perilaku dan keahlian pegawai/karyawan jasa. Dimensi lingkungan fisik terdiri dari

kondisi (non visual, seperti temperatur, aroma, musik), desain fasilitas, dan faktor sosial. Dimensi

fasilitas meliputi layout lingkungan, praktikal, maupun estetis (menarik secara visual). Sedangkan

faktor sosial berupa jumlah dan perilaku orang dalam setting jasa. Dimensi kualitas hasil merupakan

waktu tunggu penyampaian jasa. Waktu tunggu yang diukur merupakan persepsi pelanggan terhadap

lamanya waktu menunggu penyampaian jasa. Bukti fisik (tangible evidence) mencerminkan fasilitas

fisik yang relevan dalam jasa dan valensi (valence) mengacu pada atribut yang mempengaruhi

keyakinan pelanggan bahwa hasil suatu jasa itu baik atau buruk.

Dengan demikian, penting bagi Prodi MP S2 untuk memberikan kualitas layanan yang

diharapkan pelanggan (stakeholders). Kompetensi lulusan tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan

atau harapan pelanggan (stakeholders) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi mereka sesuai

bidang kerjanya masing-masing.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Beberapa kompetensi yang sangat diperlukan diurutkan sesuai jumlah persentase jawaban

stakeholders, yakni keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme), kepemimpinan visoner,

keluasan wawasan antar disiplin ilmu, integritas moral dalam bekerja, kemampuan komunikasi yang

efektif, kerjasama tim yang solid, kemampuan menggunakan teknologi informasi, kemampuan

Page 15: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

11

berbahasa asing secara pasif maupun aktif, dan kemampuan untuk mengembangkan diri. Untuk

kompetensi kerjasama tim yang solid dan penggunaan teknologi informasi sangat diperlukan oleh para

stakeholders, Prodi MP S2 perlu meningkatkan layanan pada pencapaian kompetensi ini yang

terintegrasi di dalam setiap deskripsi kompetensi mata kuliah yang diberikan. Selain itu pada

kompetensi kerjasama dalam tim yang solid merupakan softskill yang harus dimiliki oleh setiap lulusan.

Usaha meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris dan kemampuan untuk selalu

mengembangkan diri tetap menjadi kompetensi yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam

setiap deskripsi pada mata kuliah yang diberikan. Kemampuan berbahasa Inggris baik secara pasif

maupun aktif, perlu dibiasakan sejak di bangku kuliah. Sedangkan pada kemampuan untuk selalu

mengembangkan diri, kompetensi ini perlu terus dirangsang melalui strategi pembelajaran yang lebih

variatif yang lebih merangsang berpikir kreatif dan imaginatif. Untuk harapan konsumen terhadap para

lulusan terkait kompetensi yang dimiliki para lulusan, maka Prodi MP S2 perlu memperhatikan masing-

masing tugas pokok dan fungsi kepala sekolah, guru, pengawas, Tenaga Administrasi (TU), Lembaga

Dilklat, Lembaga Dinas Pendidikan, dan Yayasan-yayasan pendidikan. Demikian pula pada kompetensi

yang perlu dipertajam, disesuaikan dengan tupoksi stakeholders. Kompetensi yang paling menarik

untuk dipertajam misalnya kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai pengelola

pendidikan, yaitu para lulusan MP S2 memiliki kemampuan di dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi

manajemen seperti merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan

pendidikan baik pada level institusional, otonomi daerah (Otda), maupun level nasional. Kompetensi

yang terkait dengan kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 memiliki kemampuan di dalam

mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK; kemampuan berbahasa asing seperti

berbahasa Inggris; dan kemampuan terkait dengan kompetensi moral dan karakter, yaitu kemampuan

kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan komitmen serta perhatian yang tinggi.

Dalam layanan akademik di Prodi MP S2 perlu memperhatikan keberadaan dosen yang diharapkan

memiliki kemampuan konsep dan pengalaman empiris yang linear dengan bidang keilmuan manajemen

pendidikan khususnya pada pencapaian kompetensi utama dari para lulusan.

Rekomendasi

Dalam proses perkuliahan, para mahasiswa yang akan menjadi lulusan perlu diberikan

pemahaman dan pengalaman empiris akan pentingnya meningkatkan keprofesionalan mereka untuk

masuk dalam dunia kerja. Lembaga PPs dan Prodi MP S2 perlu menyediakan dosen-dosen yang linear

dengan keilmuan di bidang manajemen pendidikan dan fasilitas pembelajaran yang memadai seperti

perpustakaan dengan referensi yang relevan dan menunjang, menyediakan hotspot area yang memadai,

dan mengadakan kuliah umum/terbuka melalui strategi visiting professor dari Perguruan Tinggi lain

atau memanggil nara sumber sesuai bidang keahliannya minimal satu kali dalam satu semester. Untuk

meningkatkan kompetensi inti dapat dilakukan dengan cara para lulusan sering meng-update informasi

melalui berbagai media yang tersedia, baik cetak maupun elektronik dalam bentuk jurnal ilmiah hasil

penelitian, kajian teoretik, dan meng-upgrade kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan

wawasan melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta melakukan riset-riset

yang relevan terkait implementasi keilmuan Manajemen Pendidikan secara mandiri atau berkolaborasi

dengan para dosennya. Untuk meningkatkan kompetensi baik kompetensi inti maupun pendukung, para

mahasiswa, pendidik/dosen, dan pengelola Prodi MP S2 serta PPs UNJ, perlu berkolaborasi dengan

mitra kerja terkait di dalam pengembangan keterampilan yang dibutuhkan melalui sistem pelatihan atau

workshop dengan sekolah/lembaga-lembaga yang menjadi binaan Prodi MP S2 dan lembaga PPs UNJ.

DAFTAR PUSTAKA

Dale A. Timpe, (2002), Kinerja Seri Ilmu dan Seri Manajemen Bisnis, terjemahan Budidharma, Jakarta:

PT. Alex Media Komputindo,

Fandy Tjiptono, Anastasia Diana, (1996), Total Quality Management, Yogyakarta: Andi Offset,

Fandy Tjiptono, Gregorius Chandra, (2005), Service, Quality, Satisfaction, Yogyakarta: Andi Offset,

Fred Luthans. (2008), Organizational Behavior, New York: McGraw-Haill,

Gibson et al., (2009), Organization: Behaviour, Structure, Processes, England: Pearson education

limited,

Page 16: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

12

Gryna Frank M., et.al., (2007), Juran’s Quality Planning and Analysis For Enterprise Quality 5th ed.,

Singapore: McGraw-Hill,

Griffin, Ricky Manajemen, (2004), alih bahasa Gina Gania, Wisnu Chandra Kristiaji, Jakarta, Erlangga,

Ivanceivich, John M., James H. Deadly, Jr. L. James Gibson, (2003), Management India: ALTBS

Publisher,

Jason A. Colquitt, Jeffery A. LePine, dan Michael J. Wesson, (2011), Organizational Behavior:

Improving Performance and Commitment in the Workplace, Second Edition, New York:

McGraw-Hill,

Jex, M. Steve, Thomas W. Britt, (2008), Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner

Approach, New York: John Wiley & Sons, Jhon R. Schermerhorn, (2005), Management, USA:

Jhon Wiley and Sons Inc.,

Kotler, P., (1994), Marketing Management: Analysis,Planning, Implementation, and Control, N.J.:

Prentice Hall International, Inc.,

Robbins,Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education, Inc., Prentice Hall, 2011

Simanjuntak J. Payaman, (2005), Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Jakarta: Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia,

Soedarmayanti, (2001), SDMatau ProduktIvitas Kerja, Bandung: Mandar Maju,

Vincent Gaspersz, (2006), Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six

Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, Jakarta: PT. Gramedia,

Page 17: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

13

MULTIDIMENSIONAL RELIABILITY OF INSTRUMENT FOR MEASURING

ATTITUDES TOWARD PHYSICS USING SEMANTIC DIFFERENTIAL SCALE

Gaguk Margono1

1Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pasca Sarjana

Universitas Negeri Jakarta, Kampus UNJ, Jl. Rawamangun Muka, Rawamangun, Jakarta 13220

[email protected]

Abstract

The purpose of this paper is to compare multidimensional and unidimensional

reliability on instrument for measuring attitude toward physics using semantic

differential scale. Multidimensional reliability measurement is rarely used in the

field of research. Multidimensional reliability is estimated by using Confirmatory

Factor Analysis (CFA) on the Structural Equation Model (SEM). Measurements and

calculations are described in this article using instrument of attitude toward physics

with used semantic differential scale. Survey method used in this study and sampling

used simple random sampling. This instrument has been tried out to 116 students.

The result of the calculation is concluded that the measuring instrument of attitude

toward physics using semantic differential scale by used multidimensional reliability

coefficient has higher accuracy when compared with a unidimensional reliability

coefficient. Expected in advanced research using another formula multidimensional

reliability, including when using SEM.

Keywords: multidimensional reliability, attitudes toward physics using semantic

differential scale, confirmatory factor analysis

INTRODUCTION

In education and psychology, good judgment requires reliable or trustworthy measurement.

According to Naga (1992), educational and psychological measurements include several things. First,

measure the latent trait which is invisible to the respondent. Secondly, measure the characteristics of

the latent form of the respondents’ questionnaire that given stimulus or appropriate measuring

instruments. Third, stimulus responded by respondents with expectations correctly reflects the response

of latent trait. Fourth, the response can be scored and interpreted adequately. Then, some questions rise

up such as which scores accurately reflect the latent trait? Did the instrument reveal unseen latent traits

properly? The next question regards to validity. In associate to reliability, can responses given by the

participants be believed to be used as material for scoring psychological attributes?

According to Wiersma (1986) reliability is the consistency of an instrument to measure

something to be measured. Reliability indicates the extent to which the results of measurements with

the device can be trusted. Therefore, reliability is an index that indicates the extent to which a measure

can be reliable or unreliable. When an instrument is used repeatedly to measure the same symptoms

and the results obtained are relatively stable or consistent, then the reliable the instrument is. In other

words, the measurement results are expected to be the same if the measurements are repeated.

By operating variance approach, Kerlinger (2000) developed two definitions of reliability: (1)

it is the proportion of "true" variance to the total variance obtained from the data. The equation

tt tr v v can be explained as follows: v is pure variance and tv is the total variance, and (2) it is

the proportion of variance erroneously generated by a measuring instrument that is deductible at 1.00,

with an index of 1.00 indicates perfect reliability coefficients. It can be written with equation:

1tt e tr v v where ev is error variance and tv is the total variance. Therefore, reliability is an index

that indicates the extent to which a measure can be reliable or unreliable.

Generally, there are three major categories of measurement reliability: (1) type of stability (e.g.

retest, parallel forms, and alternate forms), (2) type of homogeneity or internal consistency (e.g. split

half, Kuder-Richardson, Cronbach's alpha, theta and omega), and (3) type equivalent (e.g. parallel to

Page 18: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

14

the item of alternate forms and inter-rater reliability. The instrument was given to one group of subjects

and in a certain way is calculated to estimate reliability. This once application measurement approach

generates information about the internal consistency of the instrument. Internal consistency used to

measure statements or to reflect the same aspect of item homogeneity statement. Furthermore, how the

test can be a good instrument shown by the following scheme in

Figure 1: Scheme of Instruments and Testing Methods of Validity and Reliability.

Adapted from Sugiyono (2010), Metode penelitian pendidikan (Bandung: Alfabeta).

The higher the reliability coefficient, the closer the value of observation scores with actual

scores, so a score of observation can be used as a substitute for the real component of the score. Size of

high or low reliability coefficient is not only determined by the value of the coefficient. The

interpretation of high and low coefficient value obtained through computation is also determined by the

standard disciplines involved in the measurement. The higher the coefficient of reliability of an

instrument, the possibility of errors which occur will be smaller

Commonly, measurement of affective characteristics provide lower reliability coefficient than

measurement of cognitive, because cognitive characteristics tend to be more stable than affective

characteristics. According to Gable (1986) cognitive reliability coefficient of the instrument is usually

about 0.90 or more, whereas affective instrument reliability coefficient is less than 0.70. Level of

reliability coefficient of 0.70 or more is generally accepted as a good reliability (Litwin, 1995).

However, Naga (1992) says that adequate reliability coefficient should be above of 0.75.

Page 19: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

15

LITERATURE REVIEW

Psychological measurement always applies test validity and reliability. But in field of

psychometrics, still there is not agreement among experts about reliability coefficient or formula used

by researchers for gaining reliability. It is caused by some issues: first, many researchers who considered

as quite competent researchers still give less precise report of reliability of their measurements result

(Thompson, 1994).

Second, reliability coefficients used by researchers are considered as monotonous calculation

without having assumptions underlie the coefficient. The researchers do not acknowledge well the use

of alpha coefficients. In addition, they also do not realize that this coefficient requires assumptions

which are difficult to fulfill. If the assumptions are not met then the result of alpha coefficient estimates

the lowest limit value. Many researchers only focus on use of coefficient alpha to estimate reliability.

Cronbach 's alpha coefficient is famous because of some factors: 1) computational technique used is

relatively easy, as it only requires information such as total score variance, and 2) the sampling

distribution is already known that the determination of confidence intervals on the population is

exceedingly possible (Feld et al., 1987).

Third, the problem associated with assumption in estimating reliability. In empirical realm that

requires nature of parallel, the use of tau-equivalent term becomes a tough challenge for researchers in

developing measurement instruments. This is supported by Kamata et al (2003) who found that the

assumption of equality, the power of discrimination between test components, and unidimensionality

measurement are relatively difficult to achieve. If the assumption of tau-equivalent essentially cannot

be met, then the coefficient alpha reliability values which produced are very small, so it is below the

estimated coefficients.

Fourth, discourse of unidimensiononality measurement becomes measurement problem.

Unidimensionality is an important aspect in estimating reliability. In psychological measurement,

unidimension results are very difficult to achieve, especially in context of personality domain that

contains broad area variances traits. Socan (2000) writes that factor analysis of several studies

conducted many cases of multidimensional rather than unidimensional.

According to the Latan (2012) Structural Equation Modeling (SEM) is a second-generation

multivariate analysis technique that combines factor analysis and path analysis. This technique allows

researchers to simultaneously test and estimate the relationship between exogenous and endogenous

multiple variables with many indicators. In 1970s Joreskog’ research discovered statistical theory of

linear structural analysis which is better known as structural equation modeling or SEM. This modeling

uses analysis of covariance structure. So this approach sometimes called as covariant structure model

(CSM).

The model includes immeasurable variables called latent constructs which created by a set of

measurable variables, namely construct measured. Measurement error reflects reliability scores which

are seen as unique construct. Being an important part of SEM analysis, measurement error is included

in SEM analysis, and it becomes the advantage of SEM analysis compared to other analytical techniques

(Capraro et al., 2001). SEM can estimate error variance in actual measurement outcome scores that

estimate reliability.

According to Geffen and colleagues (2001), SEM is a multivariate statistical technique that

combines multiple regressions to identify relationships between constructs and factor analysis. SEM

identifies concept measured with several indicators which manifest both analysis simultaneously.

Approaches for this calculation are correlation correction attenuation caused by measurement error and

structural equation model in the context of confirmatory factor analysis. Lee and Song (2001) said that

SEM is one approach to confirm measurement model. SEM measurement model links latent constructs

with empirical construct. Empirical constructs are expressed by combination of latent constructs.

Instead handling generalizability and item response theory, SEM is also able to compare measurement

model and accuracy of investigation.

SEM has two basic components. First, the measurement model is defined as the relationship

between latent variables and group of explanatory variables that can be measured directly. Second, the

structural model is defined as the relationship between latent variables that cannot be measured directly.

These variables are also distinguished as independent variable and dependent variable. Geffen and

colleagues (2001) said that the measurement model is sub-models in SEM with latent constructs that

Page 20: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

16

identifies indicators. This model can determine reliability of each construct included in the model. SEM

can also identify constructs reliability which is visible through the result value of the items reliability

loading. Based on SEM construct reliability perspective, it can be calculated through the following

equation:

2

1

2

1 1

i

i

i

i i

i

i i

CR

Descriptions:

CR = Construct reliability

i = Factor loading of standardized indicators to-i

= Standard error of measurement

McDonald (1981) formulates reliability coefficient which later was named as McDonald

composite score reliability coefficients that also called omega ( ). Reliability coefficient is based on

confirmatory factor analysis that is part of SEM modeling menu. This McDonald composite score

reliability explains large proportion of indicators in measuring construct explained. Formula to obtain

construct reliability coefficients is as follows:

2

1

2

2

1 1

1

i

i

i

i i

i i

i i

Descriptions:

i = Factor loading of standardized indicators to-i

When constructs reliability and McDonald composite score reliability are compared it will give the

same result as 21 .

The following rule is a reliability coefficient of multidimensional construct reliability

coefficients developed by Hancock and Mueller (2000). It shows how well indicator could reflect

construct to be measured. This coefficient is modification of McDonald construct reliability coefficient

which cannot accommodate different weights of interdimensions. The modified construct is called

weighted reliability coefficients as follows:

2

21

2

21

(1 )

1(1 )

p

i

i iw p

i

i i

l

l

l

l

Descriptions:

il = Coefficient of the i-th standardized dimensions

Reliability coefficient can be interpreted as square of correlation between dimensions of

optimal linear composites, so some experts call it as maximum reliability.

Page 21: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

17

Developing a model of internal consistency is assumed not a major issue. But the problem is

the assessment of reliability. Research done by Vehkahlati (2000) concluded that the assumptions are

not realistic enough to score purely classical theory. The assumption of those pure scores of

unidimensional is practically difficult to be proved. So study of multidimensional becomes surface of

measurements because many cases also found that correlation between dimensions of items is

sometimes higher than correlation between items in the test.

Unidimensional measurement is used to calculate capability factors, personality, traits, and

attitudes. However, many studies have shown that the unidimension assumption is difficult for

discovering several new factors involved in the measurement. In other words, the instrument that is

often used in psychological research tends to be multidimensional.

Some important reasons for using multidimensional measurement reliability as suggested by

Widhiarso (2009) with the following descriptions: First, the general characteristics of the psychological

construct is multidimensional. Second, any involvements in the preparation of psychological

instruments aspects are usually preceded by a decrease in item of some theoretical aspects and the

tendency is multidimensional.

Third, the number of items in the instrument will affect the measurement. The number of items

that can add much additional error potential of variance in item will rise new dimensions of the original

defined dimensions. The total of the items and also forms the scale affect respondents' attitudes toward

the item and it will then affect their response to the instrument.

Fourth, item writing techniques. Spector and colleagues (1997) found that the technique of

writing item that have reversed direction between positive (favorable) and negative (unfavorable) form

new dimension. When measuring the data captured many psychological scales use different writing

techniques of items direction.

Fifth, different measurement units. Measurement in psychological tends to have different

measuring units between one item with other items. It has different capability measured as indicator of

construct. This condition will cause multidimensional result.

In Widhiarso and Mardapi research (2010), multidimensional model for measuring reliability

coefficient has high accuracy when compared to unidimension reliability. It can be concluded that in

psychological measurement, both cognitive and other form of constructs are highly susceptible to the

plurality of attributes measured (multidimensional). Furthermore, by understanding the trends over the

psychological measurement and by comparing multidimensional measurement with unidimensional

model, it is expected that the measurement process also involves psychometric analysis technique that

uses multidimensional model.

Therefore, in this study, researchers focused on multidimesional and unidimensional reliability.

This study aims to test the accuracy of multidimensional reliability coefficient compared to

unidimensional reliability coefficient. Based on the explanation above we could question about: What

is the internal consistency reliability of multidimensional instrument measuring student satisfaction as

an internal customer? How is the comparison between the multidimesional and unidimensional

reliability? Which is more accurate to measure reliability; multidimesional or unidimensional

measurement?

METHOD AND SAMPLING

The method used in this study was survey method. The survey is used in data collecting and

there was no treatment or conditioning of the variables studied, but only reveals the fact from students

or respondents symptoms. Variables in this study are area that is targeted, that is to measure attitudes

toward physics, namely the tendency of a person to Physics with all the evaluation, potency and activity

(EPA). Semantic differential scale is an instrument used in assessing the concept of stimulant on a set

of seven-step bipolar scale from one end to the other end of the continuum. It consists of three

dimensions of evaluation, potency and activity.

Type of response in this study is typical performance, therefore the expected response can be

obtained through habit instrument of respondents or what people can do or feel (what a person usually

does or feels) in specific situation of learning activities. It also commonly called sentiment expression.

Page 22: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

18

This type of response cannot be declared as true or false marking, or often it is said all correct responses

according to each reason. In accordance with the characteristics of type of response, then format of

measuring instrument chosen which presents the items of the instrument is limited. It has 7 possible

answers for each item with range 1 to 7 grading. There are 13 totals of items. Respondents have about

5-10 minutes to work. The quality or status of this instrument has two directions of tendencies; those

are positive or negative direction of attitude towards Physics. The quality of the ideal grade is to be in

neutral point, because it will provide conclusions on quality of attitude towards Physics.

FINDINGS AND DISCUSSIONS

This attitude towards physics instrument originally consisted of 15 statements. 13 statements

are the result of researcher's own research which was originally 15 items and 2 statements are drop. The

instrument consists of 13 items where: 5 items are dimensions of evaluation, 3 items are potential

dimension, and 5 items are activity dimension. First calculation used unidimension measurement.

Cronbach alpha reliability obtained 0.743 by operating SPSS 19.0 program.

Second, calculation for multidimensional measurement got McDonald omega composite

reliability used program of LISREL 8.8 and Excel programs. It was obtained:

1

6.990i

i

i

and 2

1

1 8.861i

i

i

, so

Third, estimation for multidimensional construct reliability, it was obtained the same results as

follows:

1

6.990i

i

i

and 1

8.860i

i

, so

Fourth, assessment for multidimensional maximum reliability, the result gained by using

LISREL 8.8 and Excel programs, that is:

2

21

9.408(1 )

p

i

i i

l

l

, so it can be calculated as follows:

9.4080.904.

1 9.408w

Table 1: Summary of Research Findings

CR

w

0.743 0.846 0.904

The calculation of the instrument for Cronbach alpha coefficient is much smaller when

compared to the construct reliability, composite scores McDonald reliability, and maximum reliability

with a difference of 0.103 and 0.161. What did the accuracy difference reflect to? There is no agreement

among psychometrics experts about this. But among researchers in Indonesia, after knowing this, there

should be an appropriate tool which is used correctly and adequately.

Indeed, most researchers among the faculty and students of both S2 and S3 do not know formula

for calculating construct reliability coefficient, omega or maximum reliability. So it is time to introduce

and use the formula. Most of psychological constructs, personality, education, and social research need

multidimensional measurement. All students and faculty researchers need to develop and grow

understanding about reliability coefficient in the measurement.

Interpretation of reliability coefficient is precision of evaluation test scores, it is not only

consistency matter. In interpreting high reliability coefficients, there are at least two things that need to

be understood, they are: (1) reliability is estimated using group of subjects in a given situation which

produce coefficient estimates. This estimation is not equal to the test on group of other subjects and (2)

reliability coefficient indicates the magnitude of the inconsistency score measurement results, the

causes of inconsistency are not stated directly.

2

2

(6.990)0.846.

(6.990) (8.861)

2

2

(6.990)0.846.

(6.990) (8.860)CR

Page 23: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

19

Measurement in education is something that is quite complicated. Various writings in journals

ranging from educational measurement method expected to provide results that are valid, reliable, and

accurate. It is not easy for experts to do this because sometimes they do not link suitable and high level

difficulties of mathematics into the research data calculation. Without mastering high difficulty level

and complicated mathematics, we cannot understand various measurements journals in education. We

still left behind in educational measurement. Only few science experts who are able to understand the

content of educational measurement journal studied high level difficulty of mathematics. Therefore,

number of science education research need to be increased in the field of educational measurement.

The first effort to do is by changing perception which saying that science education and

psychology do not require math. Now, dealing with educational measurement, we need to change our

perception of mathematics. Educators need to be aware that there is a part of science education which

hardly uses mathematics, but there is also a part of science education which importantly needs

mathematics, such as the example of multivariate statistics above which requires high mathematical

skills.

CONCLUSION

Based on the test results of this study it is concluded that multidimensional reliability coefficient

is more precise or accurate compared to reliability coefficient of unidimensional measurement.

Suggestions can be submitted as follows: first, estimating instrument needs to be tested further

by using another formula that is different from SEM analysis. Second, because this study used a five-

point scale, when necessary, it is suggested to use variety of different scales, such as semantic

differential scale, dichotomous scale, Thurstone scale, and so on.

Third, these instruments need to be tested using a larger sample population and wider setting

of research. The future research perhaps involves several provinces at the same time, as well as various

school levels and type of universities or colleges.

REFERENCES

Capraro, M. M., Capraro, R. M., & Herson, R. K. (2001). Measurement error of score on the

mathematics anxiety rating scale across sudies. Educational and Psychological Measurement,

61, 373–386.

Feld, I. S., Woodruff, D. J., & Salih, F. A. (1987). Statistical inference for coefficient alpha. Applied

Psychological Measurement, II, 93 – 103.

Gable, R. K. (1996). Instrument development in the affective domain. Amsterdam: Kluwer Nijhoff

Publishing.

Geffen, D., Straub, D. W., & Boudreau, M. D. (2001). structural equation modeling and regression:

Guidelines for research practice. Communications of AIS, 4, Article 7.

Hancock, G. R., & Mueller, R. O. (2000). Rethinking construct reliability within latent variable

systems.” In Stuctural equation modeling: Present and future, Cudek, R., duToit, S. H. C., &

Sorbom, D. F. (Eds.), Chicagp: Scientific Software International, 2000.

Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E. (April 2003). “Estimating reliability for multidimensional

composite scales scores.” Paper presented in Annual Meeting of American Educational

Research Association at Chicago.

Kerlinger, F. N. (2000). Asas-asas penelitian behavioral, translated by Landung Simatupang.

Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Latan, Hengky. (2012). Structural equation modeling konsep dan aplikasi menggunakan program lisrel

8.80. Bandung: Alfabeta.

Lee, S. Y., & Song. X. Y. (January 2001). Hyphotesis testing and model comparison in two-level

structural equation model. Multivariate Behavioral Research, 36 (4), 639–655.

Litwin, M. S. (1995). How to measure survey reliabity and validity. London: Sage Publications.

McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of test and items. British Journal of Mathematical and

Statistical Psychology, 34, 100 – 117.

Naga, D. S. (1992). Teori sekor. Jakarta: Gunadarma Press.

Page 24: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

20

Socan, G. (2000). Assessment of reliability when test items are not essentially t-equivalent. In

Development in survey methodology, Feligoj, A., & Mrvar, A. (Eds.), Ljubljana: FDV.

Spector, P., Brannick, P., & Chen, P. (1997). When two factors don’t reflect two constructs: How item

characteristics can produce artifictual factors.” Journal of Management, 23 (5), 659 – 668.

Sugiyono. (2010). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Thompson, B. (1994). Guidelines for author. Educational and Psychological Measurement, 54, 837 –

847.

Vehkalahti, K. (2000). Reliability of measurement scales tarkkonnen’s general method supersedes

cronbach’s alpha. Academic Dissertation, University of Helsinki, Finland.

Widhiarso, W., & Djemari Mardapi. (2010). Komparasi ketepatan estimasi koefisien reliabilitas teori

skor murni klasik.” Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 14 (1), 1 – 19.

Widhiarso, Wahyu. (2009). Koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat

multidimensi. Psikobuana, 1 (1), 39 – 48.

Wiersma, W. (1986). Research methods in education: An introduction. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Page 25: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

21

ENGLISH LEARNING IN GRADE IV OF ELEMENTARY

(Descriptive Study in Sekolah Dasar Laboratorium PGSD FIP Universitas Negeri Jakarta)

Mohamad Syarif Sumantri1

1Primary educarion Program, Jakarta State University

[email protected]

Abstract

The objective of this research was to get and understand a description of in English

language learning at elementary school in Jakarta related to the following activities: (1)

the goal of English subject; (2) the lesson plans of English subject; (3) the English learning

materials; (4) the English learning methods; (5) the English learning evaluation; (6) the

teacher’s activities; and (7) the students’ activities in English learning and teaching. It

was a qualitative research conducted in grade IV in Sekolah Dasar Lab PGSD FIP

Universitas Negeri Jakarta The data were collected through observation, interview, and

document study. The data analysis and interpretation indicates that (1) the goal of English

subject is to activate students speaking skills; (2) the plans of conducting the English

subject consist of syllabus and RPP; (3) the materials used are varied; (4) the learning

method is not fully teacher centeredness; (5) the evaluation consists of process and result

orientation; (6) teacher’s participation is as controller, facilitator, informant, instructor,

observer, evaluator, guide, and learner; (7) students participate in preparing themselves

in English learning, doing the tasks individually or group, listening to the teacher’s

instruction/explanation, asking questions, and writing some important information.

Keywords: The English learning, the teacher’s activities, the students’ activities

INTRODUCTION

English language learning has become a big issue in Indonesia. The Government is trying to teach

English to increase by providing various kinds of training for teachers. The curriculum has also prepared

to comply with the needs of the society. In addition, providing a source of learning has also given to

support education and teaching English in schools, but, the obstacles in teaching and learning English

often happened and experienced by the students and teachers in the Primary School teachers and fields

of study English.

English language learning in the Primary School refers to The curriculum as part of the Local

primary schools. Based on the curriculum English lessons, the scope in primary encompasses verbal

communication within the scope of schools. English language learning in the Primary School stressed

in the communication orally that written. Although there are aspects writing abilities and its main

objective is to read, to support verbal communication.

Teaching English has been running more than 7 years in the primary school Lab FIP UNJ. This

school also has many produce graduates who are qualified, in its implementation, of course there are

many challenges must be dealt with by schools, especially the teachers who interact directly with the

students who have intelligence the diverse and different characters the students at in general. Thus, it's

necessary good cooperation between the school, the students, teachers, and their parents.

The purpose of this research is to get the picture about the purpose, planning, materials, methods,

evaluation, the involvement/teachers activities, and learners in English language learning especially in

grade school in Jakarta State University Laboratory FIP.

Page 26: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

22

English language lessons

Learning language is the process the learners interact with educators and learning resources in

language mastery that be realized with the teaching and learning method the language. English is the

language first foreign given or taught in Indonesia. By learning English is, the students are expected to

be able to communicate in the sense that the learners intact, they are able to understand and/or produce

the text verbal and/or paper may have been realized in the four language skills, the hearing, talking

to,reading and writing (make a discourse).

The four skills are used to respond to or to create in community life discourse. Thus, the eyes

English lessons are directed to develop skills so that graduates able to communicate and make a

discourse in English in a certain level literacy rate.

Foreign language that will learn the students started from vocabulary and discourse

or discourse. These two aspects language provided an opportunity to a large number of learners to seek

and find the meaning. Vocabulary was chosen because the words to the concept and can continue with

the explanation theory and skemata so providing learning experiences to the world, while the discourse

learn because is part of social interaction.

Teaching English as a foreign language in Indonesia in general is centered on teachers. Interaction

is dominated by teachers, such as providing an explanation that long, repetition several times, and asked

several questions. However, there are also teaching English that is centered on students where students

to interact teachers made in English. Thus, it needs a good way in preparing for teaching English in

class and it needs the students also considering readiness learning materials that is in accordance with

the principles of the learning English as a foreign language.

Brown explained three principles language teaching in his book Teaching by Principles, namely:

(1) cognitive principles, (2) affective principles, and (3) for arabic linguistic thesis principles. These

principles can be made as the basis when applying learning foreign languages. First, the principle

cognitive problems. This principle is related to the mental and intellectual property rights. Second, the

principle socio-affectivef. This principle on the emotional, such as feeling, the relationship to the

students in the community, and about emotional ties between language and culture. The principle that

the third is for arabic linguistic thesis principles.

Research is aimed at the picture about learning English especially in the class IV that related to: (1)

The purpose of the lesson. English, (2) Planning English language lessons, (3) learning materials, (4) A

method learning, (5) Evaluation learning, (5) involvement teachers, and participants involvement (6)

students in English language learning.

Teaching English in the classroom requires a good way the students, Directors readiness, and

learning materials in accordance with the principles of the learning English as a foreign language. The

Principles - this principle is very important in teaching and learning English. Through these principles,

a teacher language can evaluate a lesson, text books, the students study group, and other educational

context. learning goals, planning lessons, materials, methods, evaluate the students, teachers and is an

important elements in the process of learning in schools. Thus, key elements was to become the basis

so that can support hits the research.

METHOD

This research will be done with this approach qualitative research. But the methods used in this

research is the method ethnography, which was held at SD lab FIP UNJ Setiabudi Jakarta Selatan.

Technique that is used researcher in collecting the data that is (1) observation, (2) an interview, and (3)

documents. research data is in the form the notes field, acquired through teaching and learning process

or events, the record interviews and discussions with school principals, teachers, parents of a grade

English teacher, and learners, as well as documents related research. While testing technical data to be

made is validity: (1) Triangulation, (2) endurance observation, and (3) extension observation.

Page 27: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

23

DISCUSSION

A. English teaching purpose

English to be one of the subjects that is obligatory learned by learners in school. It is often found

in English to a must for many schools/institutions, policy makers, and parents who think that this lesson

is so important that various efforts done so that the students are able to use of English in order to

communicate. In essence, English teaching in the primary school is only a additional. Thus, the eyes

English lessons (including learning) must be placed in the number of or portion, according to the age

of child elementary school students and not burden.

A basic thing in execution of activity learning is learning. the goals Purpose was to follow national

standards set by the government through the curriculum as part of the local primary school, but only in

its application is a combination learning goals teachers have created. In general, the purpose of the

lesson. more of this refers to the students to achieve ability to talk. There are two key words in this

purpose is to develop basic communication and a consciousness about the fact and in the importance of

English.

This Formulation learning goals in accordance with the principles learning language that submited

by Smart that one of the research and teaching English programs goal in the primary school is to develop

basic communication skills in English.

B. Lesson subjects English

With the objective process English language learning needs effort that great and good cooperation

from various parties such as the principal, English teachers, parents the students, including itself. One

of the efforts done by teachers in order to support the success English language learning is to make

lesson. Based on their observations and interviews with English teachers, planning lessons to be

implemented in grade consisted of a syllabus plan learning and teaching (RPP).

English lessons on syllabus and plan their learning (RPP) in this school ordered independently by

English teacher who taught in class IV. In making lesson, teacher was continue to refer to a standard

national education curriculum that is enshrined in. In addition,, an English teacher also did needs

analysis of the students to take account conditions and learning goals. This was as was supported by

Nunan that learning program must be designed with the needs learners and have a common goal was

formulated with clear.

C. Learning materials English

Learning materials are all things that are used in the process of learning that function to teach the

students. Types of learning materials are varied either written or not written, Based onobservation in

the field, learning materials used in grade quite varied. Besides using manual and learners teachers

(Backpack), learning materials can also be the songs. Learning materials prepared by the teachers have

attractively as possible so that it could encourage the students to learn and motivation during their study

of English.

Learning materials to one of the important factor in reached the purpose of the lesson. English.

Planning, the election and organising learning materials that could allow the corporate to students in

English lessons and able to communicate with the language. The materials learning and arranged the

students according to the age and learning goals. This was as was supported by Nation and Macalister

that learning materials need ordered based on the sequence simple - complicated and based on demand.

D. The learning method subjects English

Teaching methods are designed to provide learning experiences involving physical and mental

processes through the learners interaction between the students and teachers,, the environment, and

other learning resources to achieve the company's kompotensi basis. Based on the result observation

and interview, teaching methods used in grade not monotonous and does not always centerd on teachers.

The students were involved in active and creative in learning activities.

Such is supported by Scott and Ytreberg which stated that there should be learning English is not

only related to learning materials that form the words or language verbal, but involves the movement

and sense. will be needed for many objects and images or even environment around when learn English.

Page 28: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

24

Based on the explanation above can be using the methods it has been concluded that English

language learning in grade is very varied in accordance with material and the participants his students.

The method - this method is applied with the aim of helping the students learn and active participation

in the subject English language skills and be able to control, especially skills speak.

E. English language teaching evaluation

Learning Evaluation is a collection process and translation information obtained from activities as

well as the process of learning English. Based on the result interviews and documents English lessons,

evaluation in grade done from the bottom or result in written form (such as: formative role/daily, last

week, and deuteronomy the end of the first semester) and the approach process or in the form has not

been written (such as: speaking test, portfolio).

Evaluation is very useful in the process of learning because it can provide valuable information to

improve teaching activities, planning lessons, and set up the students learning materials as well. This

was as was supported by Nunan that states that evaluation learning is a matter that relate to the students

learn how well contributed and how effective learning goals is different with their needs.

Evaluation of the results and the process is similar to the Scriven in Sanjaya that distinguishes

evaluation based on their function, namely summative and formative evaluation. Summative evaluation

used to see the success a program that has been planned, while evaluation formative role is used to see

progress students' learning during the learning process took place. Thus, the implementation evaluation

in class IV could be considered good enough and can measure the success of the program, the teachers,

students and in the process of learning English.

F. Involvement/teachers activities in English language learning

Teachers were on duty teaching and learning process planning how to take place, how to apply the

curriculum, teaching materials, learning media and other so that students can carry out learning and

teaching and learning goals In teaching and taught English at class IV in SD Lab PGSD FIP UNJ,

teachers have a role as controller, facilitators, source, teachers, the observer, judge, guide, and learning.

Teachers have a role that is so important in English language learning in class IV. When teachers

are able to put its role and create a good lessons will have a positive impact on learning outcomes. Thus,

the aim in teaching and learning program a success can be achieved with optimum.

G. Involvement/student activities in English language learning

The characteristics children is the important thing and it is worth noting by their teachers and parents

at the time to teach and educate them. Children as young learners have the desire to learn something,

including in English language learning. Although the students are classified as varied, in grade is, it still

served as the students in general. This means that they still have the right to play, socialize, and not

always required to learn all the time.

The students and the involvement role in grade this was done as opinion Scott and Ytreberg in his

book Teaching English to Children that the students in the ages eight to ten declared children mature

and there are the maturity and childish. This means that, in his age was basic concept children have

been formed and are able to distinguish a fact from fiction. They also often ask for a long time and use

the language verbal and physical body/to speak or understand the meaning. In addition, they are also

able to work together and learn from the other in groups. In the development their language,

students will have their readiness and awareness in using foreign languages, and bringing them from

their mother tongue or his first language.

Based on the explanation above can be known that involve students in teaching participants

involvement is crucial. students is such or process their responsibilities in English language learning in

class IV. In their learning, the teachers are also plays an important role in creating a state can encourage

the students active engagement and so they are learning that critical.

Page 29: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

25

RESULTS OF RESEARCH

After all the data collected, the data was then analyzed by using a model data analysis Spradley,

which consists of four stages, namely: (1) analysis of domain, (2) analysis of taxonomy, (3) analysis

of components, and (4) analysis of themes. After analyzed, found a few minutes or as an explanation

following this.

1. English teaching purpose

In essence, English language teaching the students are given to prepare to be able to communicate

in English language skills and to have a on skills to speak, to pay attention to, reading and writing.

English teaching purpose in grade SDL at Unnes FIP UNJ essentially exactly the purpose English

teaching elementary school in general. The reason the learners to have the capacity as follows: (1)

develop competencies to communicate orally a limited in the form to accompany action (language

accompanying action) in the context schools, and (2) have awareness about the fact English language

and its importance to improve their competitive nation in global community. English is used for

interaction, and is "here and now" and topics talk about in those things that are in the context situation.

In addition, there are also hope that their parents, schools, and teachers the students that English-

language is expected to be able to active, both in schools and outside the school. specific purpose in

essence, English students can produce language or in other words to be able to speak with English

2. Lesson English teaching.

Planning lessons plans that will be implemented in the process of learning. In general, the planning

learning it in schools is a yearly program, the first, a syllabus, and plan their learning (RPP)..

There are two types of planning lessons that are made by the teacher English. First, a syllabus

learning. Syllabus was made by teachers learning English class IV independently (there is no

cooperation with other teachers/cluster) and a syllabus made in cooperation with class teachers in an

integrated way. Syllabus formulated based on making it a class, namely class IV first I and the first half

II. Syllabus component consists of competency standard, basic competency, indicators, materials,

teaching activities, means/source, assessment, and time. The purpose of this is a syllabus reported and

teaching English language skills in which consists of reading ability, to pay attention to, talk and write.

Second, the plan teaching (RPP).RPP English teachers made by before teaching subjects dimulai.rpp

English written in English. In English teaching RPP in grade (Lesson Plans are subject identity RPP

such as: (subjects), grade/first (grade/first), topics (topics learning), No. of Hours (time allocation),

and day/date ( day/date teaching). And then continued with an elaboration competence

standard (competency standard), basic competences (basic competency), indicators (indicators),

(learning outcomes) learning goals, learning methods (method of learning, learning

experiences (in/learning experience, aids and resources (media and learning resources, and evaluation

( evaluation).

3. Learning materials English.

Learning materials that are to be used in English teaching in grade varied, such as the textbooks,

English-language dictionary, magazine includes writing in English, a CD/cassette, the songs, the article,

and figures obtained from various sources such as books or internet.

The text book position the students and teachers' position often used by teachers in determining

learning materials. Text Books was derived from Singapore (Parade English Book 4 and Backpack

English Book 4, the publisher Longman). Now learning materials/topics learned in this class

includes: introduction, the songs, script of conversation, grammar, story "Special Days ", "My Trip to

Cartagena", " Festival lights in some countries", and " City Mouse and Country Mouse". There are also

topics of the other learning about Days and Dates, Ordinal Numbers Instead Numbers, Hobbies and

Sports and others. Matter - learning materials was delivered in an integrated manner and packed in

learning materials that whole separate settlements, not.

Teachers to set the learners and direct in learning more about a learning materials. In choosing,

designed, and to set a learning materials, an English teacher refers to a standard national or curriculum

through Standard and Basic Competencies. In addition,, an English teacher also adopted from a variety

of sources that learning materials more varied, interesting, and is related to the students about life. Thus,

Page 30: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

26

learning materials packed in the form in such a manner so that their learning English in grade can run

well. With varied learning materials used, then the students learning experience will be more rich.

4. The learning English teaching.

The learning is one way or efforts to learning materials can be delivered to a large number of

learners. In grade teaching methods are concentrated on teachers are not. The students also are required

to play an active role in teaching and learning at school. The Election method of learning in this class

are varied and not monotonous one method, the students adjusted in the background and learning

materials.

There are times when teachers lecturing, questions and answers, role-playing, gave the task or

exercise, and to model in teaching and learning and teaching. But, on the other hand the students also

trained to use English during the lesson English in schools. The students will be given activity which

could make them happy, courageous and active in English. The students also invited to interactive

learning and teaching so that the process can go on two-way, it is not solely teachers who held the reins.

Other teaching methods that can train writing, and thinking ability students are at the time the

students learn vocabulary, given the opportunity to make their own dictionary based on the text that

being studied. The students will make the list vocabulary that is difficult to according to them, then they

will find on their own terjemah said through aids dictionary or other such as the internet, alfalink,

teachers, friends, including parents when learning at home. Next, the learning the learners can train in

hearing/listening is listening to recorded a conversation that will be done by the foreign language in the

laboratory or if lab in the repair and English teachers alone is the students to talk, and listening. In

addition the conversation, can also be the story, the song, and the material other interesting for learners.

5. English language teaching Evaluation.

Evaluation done the learners to measure the success Evaluation in the teaching. English language

learning in grade carried out by means a diverse, namely in the form written and with the approach both

processes and hacyl. As a model that was used by the teacher in order to carry out the evaluation

curriculum and syllabus that has been made. Through a benchmark for teachers and evaluate their

lessons in accordance with the topic or learning materials.

Type of evaluation carried out in teaching and learning in SD Lab PGSD FIP UNJ Setiabudi -

South Jakarta : (1) Deuteronomy Formative Role/Daily; (2) last Week Deuteronomy; and (3)

Deuteronomy the End of the first semester. In addition the evaluation, as we explained in The targeting

SD Lab PGSD FIP UNJ, that implementation evaluation in learning activities in schools is starting to

capitalize on authentic assessment. This means that, other than through result (in numerical terms),

evaluation is done with the approach process (in qualitative). Evaluation process will be done for the

learners observe progress in the process of learning. A teacher sees and considered directly being active

involvement, the students, and accuracy in answering the question or explain things.

6. Involvement/teachers activities in English language learning.

In teaching and teaching, teachers have a role as controller, facilitators, the observer, judge, teachers,

guide, and learning. Played a big Teachers, to be involved directly in learning English in the classroom.

Based on the result interview to English teachers, he argues that the students have to be involved

actively in learning English. Teachers is working actively in use of English in learning and teaching so

that the students are motivated to use it as well. In addition, teachers try to build the learners self-

reliance and creativity in English language learning and outside the classroom.

7. The students/activities involvement in English language learning.

The students In general in grade actively involved in learning English in the classroom. Based on

observation and interview to students, they have a good pleasure subjects to English. This can be seen

at the time English language learning in their classes enthusiastic and active. English lessons They

memposisiskan as a lesson and useful because through English lessons they can learn to communicate

using English with the stranger, and can continue their education to foreign countries.

The students involvement in English language learning including: they prepare for their learning

English, doing exercises or tasks that are given from the teacher both individuals and groups, answer

Page 31: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

27

questions teachers, to a good listener in understanding description teachers and try to clarify with asked,

and recorded the matters that important about the materials that are being taught.

The students have to go and each one strategy in learning English and face difficulties. Some of

them there are some who tries to find in the dictionary, asked to teachers directly, asked to parents, and

fellow that they can.adopt new knowledge they directly and motivated again in studying.

8. Culture theme

Values, attitudes, and culture in principle to the part that can affect learning activities in SD Lab

FIP UNJ. These themes culture that researchers have acquired during research in SD Lab FIP UNJ -

Jakarta schools including :

a. Culture -oriented vision and mission and the school.

b. Culture character education

c. A hearty Culture and lead a in English at class

d. Learning Culture and active learning materials and varied.

e. Culture quiz in learning methods are to increase their knowledge so the students.

f. English-language Culture active learning activities in English teachers and the participants were

students.

g. One another culture help each other teachers

CONCLUSION

Based on the result of analyzes, by some conclusions. First, the objectives of English at grade SD

Lab UNJ is to be able to develop their skills speak (communicative). Second, planning learning English

teaching in grade SD Lab at FIP UNJ on syllabus and lesson plans. Third, learning materials that are

to be used in English teaching in grade varies. The four, the method lessons in class IV not focused on

teachers simply Fifth, evaluation. English language learning in grade results-orientated done with

written and its commitment in the form in the process in the form has not been written. The Sixth, nature

in learning and teaching English in grade school in SD Lab at FIP UNJ, teachers have a role as

controller, facilitators, source, teachers, the observer, judge, guide, Seventh and learning. the students,

involvement in English language learning including: they prepare for their learning English, doing

exercises or tasks that are given from the teacher both individuals and groups, to a good listener in

understanding description teachers and try to clarify with asked, and recorded the matters that important

about the materials that are being taught.

Based on the results of research is, then, some of the recommendations.

For SDL at FIP and English teacher UNJ: (1) can maintain and improve implementation of the

program teaching English, (2) can fix it in this administration lessons (such as complete documents

planning lessons, and others), (3) can provide ideas or input for English teachers to be able to develop

learning materials and teaching methods based on the results of research that is, and (4) weaknesses and

strengths can use learning that had been implemented through these research results. The researchers:

(1) can be a lesson that is very useful, and (2) advanced researchers can do research more about the

students learning language to which have characteristics were mixed.

BIBLIOGRAPHY

Brown, H. Douglas. Principles of language learning and Teaching, Fifth Edition.USA: Pearson

Education, 2006.

______ . Teaching By Principles an Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Pearson

Education, Inc Longman, 2007.

Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Cerdas

Istimewa .Jakarta, 2009.

Nation, I.S.P. dan Macalister, John. Language Curriculum Design. New York: Routledge, 2010.

Nunan, David. Practical English Language Teaching. New York: Mc. Graw Hill, 2003.

Nunan, David. The Learner-Centered Curriculum. UK: Cambridge, 1994.

Page 32: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

28

Pinter, Annamaria. Teaching Young Language Learners. Oxford: Oxford University Press, 2006.

Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana,

2010.

Scott, Wendy A danYtreberg, Lisbeth H. Teaching English to Children. London: Longman, 1995.

Spradley, James P. The Ethnographic Interview. Amerika: Holt, Rinehart, and Winston, 1979.

Standard Isi Kurikulum Muatan Lokal Provinsi DKI Jakarta. Diknas, 2007.

Page 33: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

29

THE COMPARISON OF ITEM INFORMATION FUNCTIONS IN PARALLEL LEST WITH

THE MODEL OF L2P

Yuliatri Sastra Wijaya1

1Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

[email protected]

Abstract

Test instrument is utilized to evaluate the learning outcomes in the cognitive field. A

good test is an exam that delivers a high reliability coefficient. In item response theory

reliability coefficient is identical to the test information function. The affair of the

accuracy of the information is difficult to quantify the degree of item with the ability

of the answerer. If the extent is difficult to match the item and the ability of the

respondents, it will create the maximum item information function. This paper aims to

look at the accuracy of the test information function on five parallel test devices. This

study used a quasi-experimental method. Data from the field in the form of student

responses were processed using L2P model of item response theory, followed by

calibration item parameters. Data processing use one-way ANOVA. The results of this

study are no differences in the item information function tests five devices that are

parallel.

Keywords: item information function, reliability, item difficulty, irt

INTRODUCTION.

Test instrument is utilized to evaluate the learning outcomes in the cognitive field. A good test

is an exam that delivers a high reliability coefficient. In item response theory reliability coefficient is

identical to the test information function. Information function is a measure of compatibility between

hard grains and ability level of the respondents. Information function will reach its maximum value if

the same level of difficulty points to the ability of respondents. In such a large -scale test of the National

Examination , Examination Schools , tests were made not just one device , but more than one . One

reason is if there is a leak, the organizers have backup test to replace the test . Another reason is that in

single test class no communication among examinees.

If we advert to the principles of appraisal, which should be a fair assessment, then every test

taker should receive the same tests , or better known parallel tests . The definition of equivalent other

than the same amount of item , equivalent levels of difficulty item . Practically not possible to make

parallel tests , it reinforced the opinion of Grounlund (1985 : 169 ) is empirically make two parallel

tests , never completely , reliable or unidimension , so that the resulting scores can not be compared .

This means that the score generated by the test participants as long as they work on different tests can

not be compared because they are on different scales . To compare the item information function

between a package with other packages , previously done equalization parameters that one item among

a package with other packages .

LITERATURE REVIEW

Item Response Theory

Item Response Theory (IRT) trying to improve the measurement accuracy through the difficult

stage of the separation point of the ability of respondent. This means that the value of hard item stage

apart from the value of the ability of the respondent. Any value of the respondent, the value of item

difficulty level does not change ( Dali , 2012) . Item Response Theory using item characteristic curve (

ICC ) . The item characteristic curve is the relation between the parameters of the respondents with item

parameters through a probability correct answer. There are various models of item response theory ,

Page 34: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

30

one of which is the ICC L2P (Logistic 2 Parameter) models . L2P models have two parameters is

difficulty item use the symbol b and discriminant item use the symbol a. The rule is simple IRT is

someone who possesses the ability (abilities) will suffer a high probability, high for points with the right

answer and the same as one of the questions will be answered more difficult for somebody who owns a

low power ( Rasch in Trevor G. Bond and Christine M. Fox , 2007) . L2P model formula (Charles L.

Hulin, Pritsz Drasgow, and Charles K. Parsons, 1983:36).

( )

1( )

1 exp i ii Da b

P

Criteria extent is difficult to point P ( Ѳ ) = 0.5 , 0 ≤ P boundary ( Ѳ ) ≤ 1 . The criteria is the

suitability of the parameters between the Ѳ ability level parameters difficult point b . In theory , the

value of item difficulty level is from minus infinite to plus infinite. But empirically, the value of hard

item level parameters ranging from -2 to 2 in units of the logit ( log odds units ) . The items have a

grade of difficulty (bi) located near or below the scale of -2.00 indicates that the test item is categorized

well. The items have a grade of difficulty (bi) located near or at the summit of the plate of +2.00

indicates that the test item is categorized as difficult.. The items stated are grains that have a good level

of difficulty ( bi ) ≤ bi ≤ -2 ranged +2. Parameters discriminant item is the item that can be distinguished

in the high ability group and low ability groups. Empirically discriminant item values are at a> 2. (

Hambleton , Swaminathan , & Rogers , 1991: 13 ). Information Function is the relationship between

the parameters of the ability of respondents to the item parameters. Compatibility between the ability

of respondents to the difficulty level of item yield high accuracy measurements . At one point the

difficulty level b , the function of information will differ among the various capabilities q value , the

maximum information contained in = b . If the extent is difficult to match the grain and the ability of

the respondent, it will produce the maximum test information function. Information on the response

function theory of grain is equivalent to the role of reliability, level of difficulty, and different power

point of the classical theory. There are a number of information function, item information includes

function I ( , X ) , is Information provided by the item of the respondents with a variety of capabilities

. Item information function I ( ) , information provided by a test ( containing some items ) by summing

the item information function . An information function based on two criteria, namely changes and

deployment. Information relating to the change, without any change, no information, changes occur in

P () when changes, the faster and higher the greater the change in information. In figure 1 ( a) changes

occur in low and high so that the function of information on the area high . But the q region was

virtually no change to the function of information is low . In figure 1 ( b ) changes hardly occur in low

and high , so that the function of information in both areas is low, but the is going to change the

function of height information . This means that the function is determined by the steepness of the

curvature information, the steep curvature of the higher functions of the information . L2P models slope

formula (Ronald K. hambelton, H.Swaminathan, H. Jane Roger, 1991:97)

Each point on the characteristics of the grains have a slope are usually different, the slope of the biggest

occurred in Pi (Ѳ) = 0.5 or Ѳ = b, farther away from Ѳ = b, the smaller slope. Slope can be used as a

measure of compatibility between ability and item difficulty .

)().()(

ii

i QDaiPd

dP

Page 35: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

31

Figure 1: Information on the function Ѳ

Function is determined by the spread of information, the greater the smaller the spread the lower the

accuracy of the information function. In figure 1 (a) is located on the largest spread information function

q being so low, otherwise high-functioning information on low and high q. This means that the function

is inversely proportional to the spread of information or the standard deviation. The purpose of these

two criteria items information directly proportional to the steepness and inversely proportional to the

standard deviation. So there are no negative values are squared and then obtain the following formula:

(Hambleton and Swaminathan, 1985: 104)

j2 Da2

j

j 2

I θ,X

1

a ej

j j

b

Da b

D

e

Test information function is a combination of all the functions of the items of information on

the test. To test the N grains, the test information function is (Dali, 2012:567)

Equating

Equating is a statistical process used to adjust scores on test formats so that scores can be

compared to that format ( Michael J.Kolen, & Brennan , 1995 : 2 ; Yin , Brennan , and Kolen , 2004:

275). Objective is to equalize the score to score comparable. A score can be compared with the scores

of other , if both are measuring the same characteristics and expressed in the same metric ( Dorans ,

2004: 228 ) . According to Lord ( Hambleton & Swaminathan , 1985 : 199 ) , says that an equivalence

test satisfies the equivalent , if the second test is fair to all participants , meaning that equalization does

not know the difference for the participants on the level of ability if they took the test one or the other.

Equalization is symmetric, meaning equivalence test does not depend on which test is used as a

reference test (Ronald K. Hambleton, Swaminathan, & Rogers , 1991: 125 ) . Functions that are used

to transfer test scores on a scale of 1 to test 2 , together with the functions that are used to transfer test

scores on the test scale 2 to 1 . Equalization is group invariant, meaning that the sample is free

equalization procedure. Relation to the equalization should be the same regardless of the group

participants used to perform equalization (Petersen, Kolen, & Hoover, 1989). At IRT activities test

must satisfy two basic assumption, namely unidimensional and local independence (Kollen and

2

11

)(

)()(

1),()(

i

N

i ii

N

i

i

P

QPXII

Page 36: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

32

Brennan, 2004). There are three models of the design of equalization is a single group design , design

group equivalent , and grain trailer design ( Ronald K Hambleton & Swaminathan , 1985: 198 ). The

selection of the design used in the equalization is highly dependent on the implementation situation. In

this study, using a test design anchors in this design, when used two test devices, namely X and Y and

two groups of participants that K1 and K2 , then test each device added anchor test items so that both

the tests Z to X + Z items and Y + Z items . The group working on the test participants K1 X + Z and

Y + K2 group working on Z so that the anchor test items Z done by two groups of test participants

(common items ) . Match equivalen scale calibration is done with the parameters or parameter

capabilities anchor test items . If the design of the calibration parameters of the test anchor point , then

the parameters of the two groups has been the ability of the participants are on the same scale

IRT functions according to the equalization method for determining the conversion constants .

It is given that the equivalence between two or more tests can be done if the conversion constants are

known. The resulting converted value in substitution in the design of equalization scale equations is

used. Equalization used is linear , so that the constants α and β equalization can be calculated by various

methods . In IRT , there are four methods of equivalency tests , namely : regression , the mean sigma ,

mean and sigma tough , and the characteristic curve ( Angoff , 1982) . Equalization method in this

study uses the average sigma. In the L2P model of item difficulty calibrations to degree are : ( Dali ,

2012:535 )

bZY = k bZX + d

azy = azx / k

so bZY =k bZX + d

bZY = k bZX

from this equation

b*Y = k bX + d

a*Y = aX / k

Calibration L2P model at parameters bx the results the calibration parameters b * Y., ax with the results

of the calibration parameters a * Y.

Fit Model Characteristics

Matching the model is to examine the characteristics of item characteristics model fit to the data item

selected from the field. Test of model fit is done item by item , chances are there is no matching item

and the item does not fit . Procedure matching models include the matching procedure PROX Rasch

model and 1P . Other procedures are the way to the Prediction Model Accuracy by comparing actual

scores predicted scores on the simulation results or the mathematical expectation . Their difference is

expressed in the residual value of the residual raw. Raw residue tested through a number of ways, such

as chi -square statistics.If a data field has been matched with a selection of the grain characteristics

model parameter estimation can be done more accurately. If the data field is matched with curvature

grain characteristics of the model chosen, by itself un-dimensional requirements are met and the

invariance group .

METHODOLOGY AND SAMPLING

The purpose of this study was to determine the function of the test information on the package

used on the national exam. This study was included in the research experiment consisting of dependent

variable and independent variables. The dependent variable of this study is the item information

ZXZY

ZX

ZY

bb

b

b

kd

k

Page 37: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

33

function, while the independent variable is the level of difficulty item parameters. The data used in this

study were student responses in the national exam test subjects Mathematics High School area of

Lampung province. The data obtained from the Assessment and Testing Center of Education, Ministry

of National Education. The data consisted of students answer ABCDE shaped with 40 item (including

5 anchor items are points 5, 13, 31, 39, 40) with the package that they use as much as 5 pieces (package

A, B, C, D, E) with respondents as many as 3500 people.

Steps taken in this study is the estimation of parameters and test item model fit using the

program MICROCAT ASCAL. In the ASCAL program, respondents are prepared based on the rules

that have been set by using the notepad application. If there are items that do not fit the model of those

items are issued, are not included in the calculation. The next step is the calibration of item difficulty

by using the mean and sigma method. A calibration using the basic package, this means that the package

A, C, D, E in the calibration to the standard package is a package B, Then calculated the maximum

item information function of each item for each packet.

Data Analysis Techniques

Test Requirements Analysis, which is a test of homogeneity of variance in maximum item

information function between Package A, B, C, D and E by using the Bartlett test. Bartlett Test results

obtained that the value of the item information function, which is used 5 packets homogeneous sig

0.369.

Table 1. Test of homogeneity of variances Item information function

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.079 4 161 .369

Mean difference test and multiple comparison test. Mean difference test through one-way ANOVA, if

the test results accept the null hypothesis of multiple comparison test was discontinued, but if the

hypothesis reject the null hypothesis then followed by a multiple comparison test

RESULTS AND DISCUSSION

The results of the fit model can be seen in Table 2 as follows

Table 2: Item not Fit Model

Packets Item not fit models sum

A 3, 7,12, 17, 25 27, 33, 38 8

B 3, 8, 12, 25,33,38 6

C 7,8,12,17,27,33,38 7

D 3,8,12,17,25,27,33 7

E 3, 8, 12, 25,33, 5

Among the items that do not fit the model, there is no anchor point. The next step is to check the results

difficult item to estimate . The results of the estimation item difficulty, the lowest point has a value of

b = -1.651 A package is on the highest point and has a value of b = 2.149 contained in E. In the

descriptive package A package is a package with a number of items that do not fit most models, while

the package E is a package that is at least the number of items does not fit the model. Five packets

sampled in this study, not all items fit the models, the results of descriptive analysis that makes the item

does not fit the models is negative discriminant . The negative discriminant is worth the high ability

Page 38: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

34

group interpretation cannot answer, whereas lower ability group can answer. This means the need to

study the material or language expert guesses that occur in lower ability groups.

The next step is to remove items that do not fit the model, then proceed back to the item

parameter estimation using NCSS program. The next step performs equalization scale (equating) the

base is Package B, meaning that all packets for parameters and power level of difficulty depending on

the item scale equate to Match scale package B. This is done by using an excel program. Linear equation

for equating listed in Table 3.

Table 3. Equation equating to Level of Difficult and Discrimination of item

Packet Difficulty of item Discrimination of item

A ke B b*y=0,7099 bx+1,373 A*y = 1,1839 ax + 0,2147

C ke B b*y=0,7882 bx+0.0318 A*y = 1,4429 ax – 0,0858

D ke B b*y=0,8529 bx – 0,1519 A*y = 1,3060 ax - 0,2203

E ke B b*y=0,7250 bx – 0,0474 A*y = 1,4429 ax – 0,0268

The results of the calculation items information function for all package, then processed using one-way

ANOVA SPPS program to see if there is a difference between Package. The results of the calculations

are presented in Table 4.

Table 4: Calculation of Anova 5 Package Item Information Function Data

Item information function

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1.483 4 .371 .223 .925

Within Groups 267.417 161 1.661

Total 268.900 165

Based on the calculation of ANOVA sig 0.925> 0.05 then the null hypothesis is accepted, this means

that the fifth test package has the same statistical accuracy.

CONCLUSION

In the group of packages that are otherwise equivalent , at the beginning of the analysis found

some items that do not fit the model , the detection results are descriptive items that do not fit the model

may be due to different parameter values negative power . This means that packets are processed has a

number of different item. The difference of course affect the amount of item equation is used to equalize

the role. The test results conclude that there was no difference between the item information function

packages. The results of this new study conclude that the function of the five packets of information is

the same, yet concluded whether the function of the information contained quite high. Higher

information function if the item fits with the respondent. For that we need further research how many

items are matched with the respondents in order to produce maximum information function.

REFERENCES

Charles L. Hulin, Fritz Drasgow, and Charles K. Parsons (1983). Item Response Theory: Application

to Psychological Measurement.

Dali S Naga (2012) Teori Sekor Pada Pengukuran Mental.

Hulin, Charles L., Fritz Drasgow, and Charles K. Parsons. (1983)Item Response Theory: Application

to Psychological Measurement. Homewood, IL: Dow Jones-Irwin.

Page 39: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

35

Michael J. Kolen, and Robert L. Brennan. (1995) Test Equating: Methodes and Practices.

Norman E. Gronlund. (1993) How to Make Achievement Test and Assessment.

Ronald KHambleton, , H. Swaminathan, and Jane Rogers.(1991) Fundamentals of Item Response

Theory.

Trevor G. Bond and Christime M. Fox (2007) Applying The Rasch Model Fundamental Measurement

in the Human Scince.

Page 40: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

36

EVALUASI MANAJEMEN PROGRAM PRIMA PADA PENINGKATAN PRESTASI

WUSHU INDONESIA

Moch. Asmawi1

1Universitas Negeri Jakarta

[email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada

Peningkatkan prestasi Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar

belakang dan tujuan program), Input evaluation (perencanaan program), process

evaluation (pelaksanaan program) dan product evaluation (evaluasi produk). Dimana

Penelitian ini dilaksanakan di PRIMA dan Pelatnas PB Wushu Indonesia, adapun metode

penelitian ini adalah penelitian evaluative dengan menggunakan pendekatan survey

dengan model Context, Input, Process, Product (CIPP). Hasil dan kesimpulan dari

penelitian evaluasi ini adalah dimana evaluasi manajemen program prima cabang wushu

harus dilakukan setiap tahun dengan tujuan untuk mengetahui kendala serta kekurang yang

ada dalam sebuah tim (atlet dan pelatih) dalam proses ini, komisi teknik wushu harus

berperan aktif untuk mencapai target yang telah dibebankan oleh KONI Pusat. Proses

pembinaan yang telah dilakukan cabang wushu mengacu pada program jangka pendek dan

jangka panjang, dalam hal ini pemusatan latihan yang dilaksanakan didaerah dengan

bertujuan mencari bibit atlet yang nantinya bisa menggantikan atlet yang senior, sementara

di pusat diperioritaskan untuk pembinaan dalam pemusatan latihan (Pelatnas). Kendala

yang dialami oleh cabang wushu adalah belum adanya kerjasama yang dijalin oleh

pengurus serta minimnya bantuan dana dalam proses pembinaan.

Kata Kunci: Evaluasi Manajemen, Program Prima, Prestasi Wushu Indonesia

Abstract

The purpose of this study was to determine the effectiveness of program management

Prima, increasing the achievement of Wushu Indonesia in terms of evaluation context

(background and objectives of the program), input evaluation (program planning), process

evaluation (program execution) and product evaluation (product evaluation). Where the

research was conducted at PRIMA and Pelatnas PB Wushu Indonesia, while the method

of this study was evaluative research using a survey approach with a model of Context,

Input, Process, Product (CIPP). The results and conclusions of this evaluation study was

where the prime program management evaluation Wushu branches should be done every

year with the aim to determine the obstacles and deficiencies that exist within a team

(athletes and coaches) in this process, the commission of Wushu should be active to

achieve targets has been charged by the Central Sports Committee (KONI). Coaching

process that has been carried Wushu branch refers to short-term programs and long-term,

in this case the training camp held on many locals area to look for the next junior athletes

that will replace senior athletes, while at the center prioritized for development in training

camp (National Team/PELATNAS). The problem faced by the branch of wushu is the

absence of cooperation forged by the board and the lack of funding in the coaching process.

Keywords: Evaluation Management, Program Prima, achievements Indonesian Wushu.

Page 41: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

37

PENDAHULUAN

Manajemen olahraga merupakan ilmu manajemen yang berkembang pesat di negara besar

seperti Amerika Serikat dan Australia, begitu pula dengan negara–negara maju yang mulai memakai

manajemen sebagai mata pencaharian dalam bisnis olahraga, industri olahraga, jasa olahraga, rekreasi

olahraga dan pariwisata olahraga. Bahkan dalam tingkat profesional, manajemen olahraga merupakan

ujung tombak prestasi olahraga nasional suatu negara. Ilmu ini dipakai oleh tiap negara untuk meraih

pencapaian prestasi yang maksimal dan Indonesia mencoba menerapkan serta mengembangkannya.

Sejak Thailand menggeser posisi Indonesia pada SEA Games XX tahun 1999, Indonesia tidak

beranjak dari posisi 3 yang diikuti Vietnam pada posisi 4. Lalu pada Sea Games XXII tahun 2003

Vietnam yang berada di posisi 4 menjadi juara umum pada tahun 2001. Indonesia semakin tergeser

pada SEA Games 2005 dengan menempati peringkat 5. Pada SEA Games 2007 peringkat Indonesia

naik satu peringkat menjadi peringkat 4. Dan baru pada SEA Games 2011 Indonesia bisa menjadi juara

umum kembali. Namun, keberhasilan ini tidak dapat dibandingkan dengan masa kejayaan Indonesia

pada SEA Games tahun 1977 hingga 1999 dimana Indonesia selalu berada di peringkat pertama, hal ini

merupakan tugas bersama untuk mengembalikan kejayaan olahraga pada tingkat Asia Tenggara

khususnya dan internasional pada umumnya.

Pada kenyataannya kepengurusan badan, lembaga dan organisasi olahraga diduduki oleh

kepentingan–kepentingan politik. Sehingga pengetahuan akan olahraga mulai dari fondasi dasar hingga

tingkat prestasi nasional sangatlah terbatas. Pengetahuan manajemen yang terbatas tersebut

menyebabkan banyak hal dasar yang terlupakan untuk mengejar ketertinggalan prestasi nasional, yang

salah satunya adalah pembangunan olahraga jangka panjang. Prestasi olahraga merupakan tuntutan

yang harus dimiliki oleh suatu bangsa. Dengan prestasi olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat

manusia baik secara individu, kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara.

Melihat keadaan diatas pemerintah senantiasa membuat berbagai strategi dan upaya yang

sistematik untuk meningkatkan prestasi olahraga. mulai dari upaya pemassalan olahraga, pembibitan

dan pemanduan bakat, sampai pada penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (IPTEK) yang

menunjang kemajuan olahraga. upaya tersebut secara relatif telah menunjang kontribusi bagi kemajuan

prestasi olahraga nasional. Prestasi olahraga Indonesia juga selalu mengalami pasang surut, hal ini juga

dibutuhkan kesiapan dari segala bidang diantaranya Sumber Daya Manusia yang dimiliki, fasilitas

olahraga yang mendukung serta motivasi yang senantiasa memberikan dorongan terhadap atlet untuk

mencapai tujuannya.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, peneliti memberikan pemahaman

tentang betapa pentingnya peranan prestasi dalam memajukan olahraga di Indonesia, sehingga

memerlukan kajian yang lebih serius yang didasari oleh: (a) Sumber daya manusia yang terdiri dari

pengurus dan pelatih yang berkualitas dan mempunyai lisensi kepelatihan sesuai dengan cabang

olahraga baik nasional dan internasional, serta memiliki peran yang strategis baik dalam upaya

menumbuhkan budaya olahraga, pembinaan prestasi, serta kemampuan dalam berorganisasi. (b)

Fasilitas: yang memadai serta berkualitas sehingga dapat memotivasi atlet untuk menggunakan fasilitas

tersebut secara baik dan bertanggung jawab. (c) Motivasi: memberikan sebuah dorongan kepada para

atlet untuk lebih giat berlatih meskipun didalam situasi tekanan dan serba kekurangan.

Pencanangan pola program pembinaan prima yang berjenjang periodik, sistematis, dan

berkelanjutan memiliki target pencapaian sasaran yang menyatakan bahwa dengan pembinaan yang

baik maka akan melahirkan ‘Golden Boy’ dan ‘Golden Girl’ yang akan mampu menjadi atlet Muda dan

Utama untuk menuju prestasi internasional.

Evaluasi berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian yang pada umumnya diartikan tidak

berbeda (indifferent), walaupun pada hakekatnya berbeda satu dengan yang lain. Pengukuran

(measurement) adalah proses membandingkan sesuatu melalui suatu kriteria baku (meter, kilogram,

takaran dan sebagainya), pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian adalah suatu proses transformasi

dari hasil pengukuran menjadi suatu nilai.

Dari permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi di atas maka untuk mendapatkan

temuan yang mendalam perlu dilakukan pambatasan masalah. Karena fokus utama dari penelitian

evaluasi ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada Peningkatkan prestasi

Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar belakang dan tujuan program), Input

Page 42: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

38

evaluation (perencanaan program), process evaluation (pelaksanaan program) dan product evaluation

(evaluasi produk).

KAJIAN TEORITIK

Konsep Evaluasi Program

1. Evaluasi Program

Popham yang mendefinisikan evaluasi program sebagai proses pencarian, pengumpulan dan

pemberian data (informasi) kepada pengambil keputusan yang diperlukan untuk memberikan

pertimbangan apakah program perlu diperbaiki, dihentikan, atau diteruskan (Popham, 1981: 7).

Pengertian evaluasi program ini lebih mengarah sampai pada pengambilan keputusan untuk

melanjutkan atau menghentikan program yang dievaluasi.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi program adalah proses

penerapan prosedur ilmiah yang berurutan yang diawali dengan pengumpulan data, pengolahan serta

penyajian data seluas-luasnya mengenai program pelatihan untuk dijadikan bahan dasar dalam

membuat keputusan atau kebijakan yang akan dilakukan dikemudian hari.

2. Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis Dan Pengorganisasian Prima

Program Indonesia Emas (PRIMA) adalah program pemerintah untuk menciptakan Atlet

Andalan Nasional yang mampu berprestasi ditingkat internasional, memiliki visi, misi, tujuan, sasaran

strategis dan pengorganisasian PRIMA sebagai berikut:

Visi

“Menghasilkan atlet yang mampu berprestasi di tingkat internasional”

Misi

Mengembangkan bakat calon Atlet Andalan Nasional

Melaksanakan seleksi dan menetapkan calon atlet dan pelatih Atlet Andalan Nasional

Membuka akses ketersediaan prasarana san sarana PRIMA yang berstandar internasional

Memberikan penguatan induk organisasi cabang olahraga yang berkaitan dengan PRIMA

Tujuan

Menyiapkan Atlet Andalan Nasional yang mampu berprestasi pada pecan olahraga dan

kejuaraan olahraga di tingkat internasional.

Mengembangkan pembinaan atlet secara berjenjang yang didasarkan pada prinsip pembinaan

atlet jangka panjang.

Menetapkan atlet dan pelatih Andalan Nasional.

Menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelatihan dan penelusuran bakat

Mengembangkan pembinaan kehidupan social dan pola hidup Atlet Andalan Nasional.

Mencari peluang ketersediaan prasarana dan sarana latihan PRIMA yang sesuai dengan standar

internasional

Memberikan penguatan induk organisasi cabang olahraga.

Sasaran Srategis 2010-2014

Meningkatkan perolehan medali pada Asian Games tahun 2010

Tercapainya posisi papan aatas pada SEA Games tahun 201

Meningkatkan perolehan medali pada Olympic games tahun 2012

Mempertahankan posisi papan atas pada SEA Games tahun 2013

Meningkatkan perolehan medali pada Asean Youth Games tahun 2013

Meningkatkan perolehan medali pada Asean Games tahun 2014

Meningkatkan perolehan medali pada Youth Olimpic Games tahun 2014

Meningkatkan perolehan medali pada berbagai jenjang Paralympic Games

Terlaksananya pembinaan Atlet Andalan Nasional secara berjenjang

Terlaksananya penguatan induk organisasi cabang olahraga unggulan nasional.

Page 43: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

39

Pengorganisasian

Dalam penyelenggaraan PRIMA dibentuk suatu lembaga non structural yang disebut sebagai

Dewan Nasional PRIMA yang akan bertugas membina dan mengendalikan seuruh kegiatan melalui

pemantauan dan evaluasi selama pelaksanaan kegiatan PRIMA. Dewan Nasional PRIMA terdiri dari

dewan pengarah dan dewan pelaksana yang dilengkapi dengan komponen-komponen pendukung

organisasi sesuai kebutuhan PRIMA. Bagan stuktur organisasi PRIMA secara lengkap dapat dilihat

pada gambar sebagai berikut:

Grafik 1. Struktur Organisasi Dewan Pelaksana Prima

Penguatan Induk Organisasi Cabang Olahraga Yang Berkaitan Dengan Program Indonesia Emas

Untuk mencapai prestasi olahraga yang optimal di even internasional diperlukan pembinaan

dan pelatihan yang strategis, berkesinambungan dan berjenjang sejak dari usia muda sampai ke tingkat

elit atlet. Untuk mewujudkan pola pembinaan yang sistematis, berjenjang dan berkesinambungan

diperlukan system pembinaan yang mantap dengan didukung wadah organisasi olahraga yang memiliki

komitmen tinggi dalam melakukan pembinaannya. PRIMA yang merupakan sistem pola pembinaan

Atlet Andalan Nasional yang sistematis, berjenjang, dan berkesinambungan, memerlukan dukungan

wadah organisasi yang memiliki sistem manajemen pengelolaan yang mantap dan SDM yang

berkualitas.

Induk organisasi cabang olahraga merupakan wadah organisasi yang starategis dalam

mendukung PRIMA, sehingga mutlak harus memiliki sistem manajemen pengelolaan yang baik yaitu

harus mampu merencanakan, mengorganisir, mengelola, dan mampu melakukan pengawasan serta

mengevaluasi pelaksanaan pembinaan atlet nasional. Selain itu harus didukung oleh SDM yaitu para

pengurus, pembina, dan pelatih yang memiliki komitmen, dedikasi, dan loyalitas yang tinggi terhadap

kemajuan olahraga nasional.

Menyadari bahwa induk organisasi cabang olahraga merupakan wadah yang strategis dalam

melakukan pembinaan para Atlet Andalan Nasional untuk mencapai prestasi tertinggi, maka diperlukan

upaya penguatan sistem manajemen dan tatalola organisasi di berbagai aspek bidang pembinaan yang

ada.

Prestasi Wushu Indonesia

Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang

mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar, serta Prestasi merupakan

kemampuan nyata (actual ability) yang dicapai individu dari satu kegiatan atau usaha. Sehingga

disimpulkan bahwa prestasi adalah suatu hasil yang telah dicapai sebagai bukti usaha yang telah

dilakukan.

Page 44: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

40

Jadi untuk mencapai prestasi dan tujuan, maka atlet juga harus giat berlatih, karena melalui

latihan-latihan yang teratur pola hidupnya secara menyeluruh akan terbentuk. Oleh karena itu kata kunci

untuk mencapai prestasi dan keunggulan dalam olahraga adalah “berlatih dan berlatih”.

Prestasi wushu Indonesia diawali oleh Jainab atlet asal Sumatera Utara, yang meraih prestasi

medali perak di kejuaraan dunia 1995 di Baltimore, Amerika Serikat dan merebut medali perunggu di

Asian Games Bangkok Tahun 1998. Prestasi lainnya yang berkaliber internasional seperti Lindswell,

Aldy Lukman, dan Heryanto yang menyuguhkan medali emas di SEA Games XXVI Jakarta dan

prestasi internasional lainnya. Altlet wushu ini tidak terlepas dari peranan pelatih Supandi Kusuma yang

sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PB. Wushu Indonesia. Tentu saja itu merupakan prestasi yang

luar biasa, karena ketika itu wushu berstandar International baru berkiprah 3 tahun di bumi Indonesia.

Di Indonesia, Wushu kini juga mendapat perhatian yang istimewa dari masyarakat, wushu yang

dulu hanya dimainkan oleh orang-orang tua, dan itupun hanya golongan tertentu kini telah

memasyarakat. Tidak ada data resmi yang mencatat sejak kapan wushu mulai masuk ke Indonesia,

tetapi sejak puluhan tahun silam telah di mainkan oleh banyak orang dari berbagai kota besar maupun

kecil di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Semarang dan masih banyak lagi daerah lain, tetapi

wushu yang berstandar Internasional baru di kenal dan di populerkan di Indonesia pada akhir Oktober

1992 yang di prakarsai oleh tokoh olahraga IGK Manila yang kemudian menjadi Ketua Umum PBWI

yang pertama. Manila berhasil membawa wushu Indonesia ke forum Internasional.

Kata Wushu (Wikipedia) berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu”

adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai

seni untuk berperang atau seni beladiri. Di dalam wushu, kita juga mempelajari seni, olahraga,

kesehatan, beladiri dan mental.

Pendapat serta teori yang telah dikemukan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kita harus

membangkitkan kesadaran baru bahwa prestasi sejati bukanlah sesuatu yang instan, ia merupakan

konsukensi dari dari sebuah proses panjang yang terencana untuk menggapai tujuan tertinggi. Prestasi

tinggi juga harus dibangun diatas fundamental yang kokoh, yaitu masyarakat yang sehat dan hidup aktif

sepanjang hayat. Karena itu, upaya pembinaan olahraga “jalan pintas” yang hanya akan menginginkan

prestasi tinggi dalam waktu singkat harus lebih ditingkatkan, antara lain: 1) Pembinaan, 2) Psikologis,

3) Rutinitas latihan dalam latihan, 4) Keadaan fisik, 5) Teknik dan skill.

Sumber Daya Manusia

M. Ngalim (2000:33) Manusia sebagai mahluk individu yang hidup dalam suatu dunia yang

bukan dirinya sendiri, tetapi mutlak diperlukan untuk hidupnya, melangsungkan dan

mengembangkannya, manusia membutuhkan makanan, udara, juga persahabatan, ilmu pengetahuan,

persekutuan dan kesesuaian. Manusia menurut Ngalim bahwa pada prinsipnya manusia adalah mahluk

yang berkesadaran dan berkat aktivitas-aktivitas kesadarannya manusia mampu mengatasi dirinya dan

penciptakannya dunia yang khas bagi diirnya.

Menurut Dahlan dalam setiadi (1996:6) Pengertian kualitas sumber daya manusia Indonesia

menjadi: (1) kualitas fisik, yaitu cirri-ciri kualitas bersifat lahiriah atau badaniah. (2) kualitas non fisik,

yaitu cirri-ciri kualitas yang bersifat batiniah yang mencakup kualitas-kualitas: pribadi, keserasian

dengan lingkungan, bermasyarakat, berbangsa dan kekayaan.

Dimensi SDM keolahragaan (Permen RI, 2007:73) dapat dipahami sebagai sesuatu yang sangat

luas. Deskripsi SDM keolahragaan setidak-tidaknya dapat dikelompokkan kedalam: a) pelaku olahraga,

menunjukkan pada orang dan/atau kelompok orang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan

olahraga, b) pembinaan olahraga, menunjukkan pada orang yang memiliki minat dan pengetahuan,

kepemimpinan, kemampuan manajerial, dan/atau pendanaan yang didefikasikan untuk kepentingan

pembinaan dan pengembangan olahraga, c) tenaga keolahragaan, menunjuk pada setiap orang yang

memiliki kualifikasi dan sertifikasi kompetensi dalam bidang olahraga, dan d) olahragawan.

Dari pendapat para ahli diatas hakikat dari adanya SDM keloahragaan adalah menjamin bahwa

semua penyelenggaraan kegiatan olahraga didukung oleh tenaga keolahragaan yang memiliki

kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik propesional dengan ditambah landasan

pengetahuan akademik.

Page 45: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

41

Fasilitas

Fasilitas olahraga merupakan sebuah wadah untuk melakukan setiap kegiatan olahraga, dengan

menyongsong Hari Depan Olahraga Indonesia sehingga seluruh masyarakat dapat memeperoleh

kesempatan yang sama untuk berolahraga serta mendapatkan kebugaran dan kesehatan yang sesuai

dengan konsep “Sport For All” dengan semboyan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan

masyarakat.

Fasilitas olahraga adalah sumber daya pendukung yang terdiri dari segala bentuk jenis

bangunan/tanpa bangunan yang digunakan untuk perlengkapan olahraga. Sarana prasarana olahraga

yang baik mendorong masyarakat untuk melaksanakan olahraga secara kelompok atau secara bersama-

sama, sehingga nilai-nilai sosial yang fositif dari kegiatan olahraga dapat dirasakan.

Program Latihan

Program latihan adalah suatu kegiatan perencanaan latihan secara tertulis baik jangka panjang

maupun pendek yang disusun secara sistematis dan dalam pelaksanaannya berlangsung dalam proses

yang berkesinambungan dengan cara yang efektif dan efisien serta usaha-usaha untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan, yang tergambar dalam pendidikan pelatih, lisensi pelatih, pengalaman

pelatih, perencanaan, prinsip-prinsip latihan, metode latihan, periodisasi, dan penerapan materi.

Kriteria Evaluasi

Menurut Riney (1997:127), efektivitas penyelenggaraan program pendidikan dapat dilihat dari

dimensi berikut; (1) kepuasan peserta program, (2) perkembangan kemampuan akademik peserta, (3)

perkembangan karir dan individu peserta program, (4) kepuasan penyelenggara program, (5)

perkembangan professional dan kualitas penyelenggara program, (6) keterbukaan sistem dan interaksi

komunitas, dan (7) kemampuan lembaga penyelenggara untuk mendapatkan sumberdaya, dan

kesehatan organisasi penyelenggara program.

Dalam terang model evaluasi CIPP, dapat dipahami bahwa kriteria efektivitas pelaksanaan

manajemen program prima ditentukan oleh efektivitas dari komponen-komponen program yang

dievaluasi, meliputi komponen konteks, masukan, proses dan produk. Secara umum efektivitas program

prima dapat dinilai dari kualitas keluaran yang dihasilkan terutama output atau hasil langsung program.

Secara khusus, efektivitas program prima ditentukan oleh efektivitas dari masing-masing komponen

yang ada di dalamnya, meliputi efektivitas komponen konteks, efektivitas komponen masukan,

efektivitas komponen proses dan efektivitas komponen produk.

Tabel 1. Kriteria Peningkatan Program Prima Wushu Indonesia

Komponen Aspek Indikator Kriteria

Konteks

Tujuan dan

relevansi program

Rumusan tujuan dan

relevansi program

Tujuan program sesuai/relevan dengan

kebutuhan dan masalah dari hasil identifikasi

Deskripsi

kebutuhan dan

masalah

Rumusan kebutuhan dan masalah program

Prima sesuai/relevan dengan kebutuhan dan

masalah hasil identifikasi atau yang dirasakan

dan dihadapi atlet

Dukungan sumber

daya manusia

Tersedia dukungan sumber daya manusia

secara memadai untuk penyelenggaraan

program prima: man, money, material, serta

dukungan kebijakan

Masukan

Karakteristik atlet

- Minat Memiliki minat yang tinggi untuk mengikuti

program Prima

- Pengetahuan dan

Kemampuan

Memiliki keterbatasan pengetahuan dan

keterampilan yang relevan dengan program

Prima

Rancangan disain

program latihan

Mutu program

latihan

Program latihan relevan dengan kebutuhan

dan masalah pad atlet

Page 46: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

42

Komponen Aspek Indikator Kriteria

Kapabilitas pelatih

Memiliki kompetensi yang relevan dengan

syarat yang ditentukan

Kapabilitas

lembaga

penyeleng-gara

Kapabilitas lembaga

penyelenggara

Memiliki kewenangan, kemampuan, dan

reputasi dan pengalaman memadai dalam

penyelenggaraan program Prima

Proses Pelaksanaan Jadwal latihan Penentuan yang jelas dalam pelaksanna

program prima

Pelaksanaan

Program

Pembagian tugas yang jelas

Metode dan Proses Pertemuan atau rapat resmi dengan pihak–

pihak program kerja di Prima.

Produk Pengawasan Komunikasi sesama

pengurus

Sistem pengawasan yang selama ini

diterapkan

ditetapkan standart kegiatan (berdasarkan

peraturan)

Pemberian sanksi Penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang

dilakukan pihak–pihak yang terkait

Motivasi Pemberian arahan Pengarahan yang dilakukan oleh komtek

terhadap Atlet pelatnas Wushu Indonesia

Pemberian Bonus kepada Atlet Berprestasi

METODOLOGI PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada

Peningkatkan prestasi Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar belakang dan tujuan

program), Input evaluation (perencanaan program), process evaluation (pelaksanaan program) dan

product evaluation (evaluasi produk). Dimana Penelitian ini dilaksanakan di PRIMA dan Pelatnas PB

Wushu Indonesia, adapun metode penelitian ini adalah penelitian evaluative dengan menggunakan

pendekatan survey dengan model Context, Input, Process, Product (CIPP).

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan maka perlu menyusun pedoman wawancara yang

berisikan pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. teknik yang

digunakan meliputi wawancara tidak terstruktur dan studi dokumentasi.

HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini, informasi akan dikumpulkan dari pihak-pihak yang berkopeten dalam

menentukan suatu kebijakan serta pihak-pihak yang terkait dalam manajemen program prima pada

peningkatan prestasi Wushu Indonesia di PB WI, antara lain:

1. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi

2. Ketua Komisi Teknik Wushu

3. Pelatih Pelatnas

4. Atlet Pelatnas

Manajemen program prima yang telah diterapkan PB Wushu Indonesia dalam pengorganisasian

sangat dibutuhkan dan diperlukan dengan mencapai tujuan, menjaga keseimbangan diantara tujuan-

tujuan yang saling bertentang serta mencapai efesiensi dan efektifitas.

Proses evaluasi manajemen program proma harus dilaksanakan oleh PB Wushu Indonesia

secara komprehensif agar hasilnya benar–benar dapat dijadikan dasar dalam menentukan kualitas dari

suatu program. Hal ini berarti evaluasi dilakukan secara menyeluruh untuk menilai unsur–unsur yang

mendukung suatu program. Agar hasil evaluasi cabang olahraga wushu berlangsung secara baik, maka

ada beberapa fungsi yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan evaluasi.

PB Wushu Indonesia khususnya cabang olahraga Taulo dan Sanshou hendaknya selalu

berbenah dan selalu melakukan evaluasi. Evaluasi sangat penting dan wajib dilakukan demi target yang

ingin dicapai dan raih, tujuan dari fungsi evaluasi meliputi : eksplanasi, kepatuhan, auditing, akunting.

Page 47: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

43

Evaluasi manajemen yang dilakukan pada cabang Wushu ini menggunakan pendekatan CIPP

(Context, Input, Process, Product). Analisis manajemen program prima ini dilakukan dengan tujuan

untuk meningkatkan dan mencapai akuntabilitas dan meningkatkan proses pembinaan, latihan,

menjalankan program-program yang telah direncanakan untuk mencapai target yang telah diharapkan.

Tim Wushu Indonesia berhasil mendapatkan 7 medali emas, dua perak, dan satu perunggu

dalam ajang Islamic Solidarity Games III di Palembang. Dimana peraih medali emas diraih oleh

pewushu yang turun dalam kelas Taiji Jian putra, Taiji Jian putri, Nan Dao dan Nan Gun putri, Daoshu

dan Gonshu putra serta Jianshu dan Qiangshu putri.

Pencapaian prestasi Wushu Indonesia yang mendapat medali emas tersebut di luar prediksi.

Pasalnya dalam ajang pesta olahraga negara-negara Organisasi Kerja sama Islam (OKI) ini pihaknya

tidak menargetkan medali apapun. Karena itu Indonesia hanya menganggap ISG sebagai ajang

pemanasan sebelum ke SEA Games Myanmar.

Keempat atlet yang meraih emas tersebut meliputi Marten Mardan Tangdilallo yang turun

dalam kelas Taiji Jian putra. Dia berhasil mencatatkan poin tertinggi 9.65. Sementara medali perak

diraih oleh Freddy dengan poin 9.64. Medali perunggu diraih oleh Loh Choon How dari Malaysia

dengan poin 9.63.

Lindswell, pewushu juara dunia asal Indonesia yang turun di nomor Taiji Jian putri kembali

menyumbang satu emas dengan raihan poin tertinggi 9.68. Sementara itu medali diraih oleh Chan Lu

Yi (Malaysia) dan perunggu oleh Hamideh Barkhor (Iraq).

Persaingan ketat antar pewushu nasional juga terjadi pada nomor Nan dao dan Nan Gun putri.

Ivana Ardelia Irmanto berhasil meraih emas dengan skor akhir 19.27. Skor tersebut berbeda tipis dengan

capaian rekannya Juwita Niza Wasni dengan skor akhir 18.97. Sementara untuk perunggu berhasil

didapat Tan Cheong Min (Malaysia) dengan skor 18.92.

Begitu juga atlet yang berhasil sukses meraih meraih emas pada nomor Daoshu dan Gunshu

putra. Medali emas diraih oleh Ahmad Hulaifi dengan skor total 19.33. Pewushu Malaysia mendapat

perak dengan skor total 19.27. Sementara perunggu berhasil diraih oleh atlet nasional Aldy Kurniawan

dengan skor 19.05.

Sementara itu di event olahraga Asia tenggara kontingen wushu berhasil memenuhi target

dengan meraih 4 medali emas, 3 perak, dan 6 perunggu pada SEA GAMES XXVII 2013 di Myanmar.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan negara-negara tetangga.

Kontingen Wushu Indonesia di SEA Games XXVII/2013 Myanmar memberikan hasil

maksimal. Dari perolehan medali Indonesia di ajang multievent olahraga dua tahunan itu, empat medali

emas, tiga perak dan enam perunggu dipersembahkan atlet Wushu, diantaranya Lindswell Kwok, Niza

Juwita Wazni, Achmad Hulaefi mempersembahkan medali emas di cabang olahraga cabor wushu.

Medali perak diraih Dasmantua. Sedangkan, medali perunggu masing-masing didapat Niza Juwita

Wazni dan Arba Sibuea wushu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Evaluasi manajemen program prima cabang wushu harus dilakukan setiap tahun dengan tujuan

untuk mengetahui kendala serta kekurang yang ada dalam sebuah tim (atlet dan pelatih) dalam proses

ini, komisi teknik wushu harus berperan aktif untuk mencapai target yang telah dibebankan oleh KONI

Pusat

Proses pembinaan yang telah dilakukan cabang wushu mengacu pada program jangka pendek

dan jangka panjang, dalam hal ini pemusatan latihan yang dilaksanakan didaerah dengan bertujuan

mencari bibit atlet yang nantinya bisa menggantikan atlet yang senior, sementara di pusat

diperioritaskan untuk pembinaan dalam pemusatan latihan (Pelatnas).

Kendala yang dialami oleh cabang wushu adalah belum adanya kerjasama yang dijalin oleh

pengurus serta minimnya bantuan dana dalam proses pembinaan.

Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, dapat diajukan beberapa saran untuk kemajuan

manajemen program prima pada peningkatan prestasi wushu di PB WI antara lain:

1. Pengurus PB WI

Kepada pengurus PB WI hendaknya selalu mengawasi dan memonitoring jalannya proses

pembinaan dan terhadap kinerja komtek, manajer, pelatih dan atlet. Evaluasi harus selalu dilakukan

oleh PB WI dengan tujuan supaya mengetahui kendala dan kekurang yang ada selama ini.

Page 48: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

44

2. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi

Kepada ketua Bidang Pembinaan Prestasi hendaknya merencanakan kejuaraan yang lebih

banyak dengan tujuan untuk menjaring bibit-bibit atlet dengan proses pembinaan yang

berkesinambungan dan juga selalu mengawasi program latihan yang diterapkan.

3. Ketua Komisi Teknik Wushu

Kepada Ketua Komisi Teknik harus lebih meningkatkan program kerja yang telah dicanangkan

supaya kegiatan yang telah disusun dapat terlaksana sesuai yang telah diharapkan. Keterbatasan dana

harus bisa dijadikan sebuah motivasi dalam meraih prestasi yang telah ditargetkan.

4. Pelatih Pelatnas dan Atlet Pelatnas

Kepada pelatih dan atlet hendaknya lebih memfokuskan latihan supaya target yang telah

dicanangkan dapat diraih dalam memperoleh medali, pelatih juga harus selalu berkoordinasi kepada

atlet supaya program latihan yang telah disusun dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Atlet

juga jangan merasa tertekan dengan program-program latihan telah diberikan supaya target dapat diraih.

Peningkatan kualitas serta prestasi yang diharapkan dalam manajemen cabang olahraga wushu

harus menekankan pembinaan atlet dan juga pelatih, rasa kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi harus

juga dijalin terhadap semua pelatih, atlet dan pengurus.

DAFTAR PUSTAKA

Arulhudabk.blogspot.com/2011/06/pengertian-prestasi-adalah.html

Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Fernandes, H.J.X., Evaluation of Educational Programs. Jakarta: National Education Planning,

Evaluation and Curriculum Development, 1984.

Harsuki. Pengantar Manajemen Olahraga. Jakarta: Raja Wali Pres, 2012

http://id.wikipedia.org/wiki/Wushu

Kirkpatrick, Donald L, Evaluating Training Programs, The Four Levels, San Francisco: Berrett-

Koehler Publisher, Inc., 1996.

Leonora, et al., Evaluating Educational Outcomes, Manila: Rex Book Store, 1998.

Metcalf, Kim K, Evaluation of the Cleveland Scholarship and Tutoring Program: Student

Characteristics and Academic Achievement, Indiana University School of Education, 2003.

Musa, Sabari, Evaluasi Program Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Y-

Pin,2005.

Laporan Nasional Sport Development Index Indonesia 2006. Jakarta: Kementerian Negara Pemuda

Dan Olahraga Rebuplik Indonesia, 2006

R. Matindas. Manajemen Sumber daya manusia Lewat Konsep A.K.U. Jakarta: PT Pustaka Utama

Grafiti, 1997

Robbins, Stephen P., Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi terjemahan Jusuf Udaya, Jakarta:

Arcan, 1994.

Robbins, Stephen P. & Mary Coulter. Manajemen Edisi Ke Sepuluh Terjemahan Bob Sabran & Devri

Banardi Putra, Jakarta: Erlangga.2010.

Robert O. Brinkerhoff, et al, Program Evaluation ( A Prectitioner’s Guide for Trainers and Educators,

Boston: Kluwer –Nijhoff Pubhlising, 1986.

Robert O. Brinkerhoff, et al, Program Evaluation (A Prectitioner’s Guide for Trainers and Educators,

Boston: Kluwer–Nijhoff Pubhlising, 1986.

R. Sanders James, et al., The Program Evaluation Standards, California: Sage Publication Inc., 1994.

Rutman, Leonard, Evaluation Research Methodology, New Delhi: Sage Publication, 1984.

Sudibyo. Mental Training. Jakarta: Percetakan Solo, 2011

Sudjana, Metode Statistik. Bandung. Tarsito 1996

Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung. Alfa Beta. 2007

Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2005. Sistim Keolahragaan Nasional. Jakarta:

Kemenegpora 2008

Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Jakarta: Biro

Humas Dan Hokum Kementerian Negara Pemuda Dan Olahraga Ri, 2007.

Page 49: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

45

KETERAMPILAN SHOOTING SEPAKBOLA

STUDI KORELASIONAL PANJANG TUNGKAI, DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI,

PERCAYA DIRI DENGAN KETERAMPILAN SHOOTING PERMAINAN SEPAKBOLA

PADA KLUB SEPAKBOLA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2013

Muchtar Hendra Hasibuan, Sofyan Hanif

[email protected]

Abstract

The objective of the research is a determine the relationship between limb length,

leg power, and self confidence with shooting soccer skill. This research was conducted at

state university of jakarta soccer club 2013, with samples 0f 40 respondents selected by

purposive sampling.

The results of this research are as follows. First, there is a positive corelation

between limb length toward shooting soccer skill. The linear regression is express through

Y = 25.37 + 0.49 X1. The corelation coefficient 0.608. It’s mean the limb length toward

shooting soccer sklill is 36%

Second, there is a positive corelation between limb length toward shooting soccer

skill. The linear regression is express through Y = 23.2 + 0.54 X2. The corelation

coefficient 0.622. It’s mean the leg power toward shooting soccer sklill is 38.6%.

Third, there is a positive corelation between limb length toward shooting soccer

skill. The linear regression is express through Y = 28.14 + 0.44 X3. The corelation

coefficient 0.539. It’s mean the limb length toward shooting soccer sklill is 29%.

Fourth, there is a positive corelation between limb length, leg power, and self

confidence toward shooting soccer skill. The linear regression is express through �� =14.4 + 0.239 𝑋1 + 0.277 𝑋2 + 0.236 𝑋3.The corelation coefficient 0.583. It’s mean the

limb length toward shooting soccer sklill is 28.9%.

Keywords: Limb length, Leg power, Self Confidence, Shooting

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari hubungan antara panjang tungkai, daya ledak otot

tungkai dan percaya diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Penelitian ini dilakukan di

klub sepakbola Universitas Negeri Jakarta tahun 2013, dengan 40 orang sampel dengan metode

pengambilan sampel mengunakan metode purposive sampling.

Hasil penelitian adalah sebagai berikut, pertama, terdapat hubungan yang positif antara

panjang tungkai dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y = 25.37 +0.49 X1. Dengan koefisien korelasi sebesar 0.608. hasil itu menandakan panjang tungkai

mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 36%.

Kedua, terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai dengan

keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y = 23.2 + 0.54 X2 Dengan koefisien

korelasi sebesar 0.622. Hasil itu menandakan daya ledak otot tungkai mempengaruhi

keterampilan shooting sepakbola sebesar 38.6%. Ketiga, terdapat hubungan yang positif antara

percaya diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y = 28.14 +0.44 X3. Dengan koefisien korelasi sebesar 0.539. Hasil itu menandakan percaya diri

mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 29%.

Page 50: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

46

Keempat, terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai, kelincahan dan percaya

diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi �� = 14.4 + 0.239 𝑋1 + 0.277 𝑋2 + 0.236 𝑋3. Dengan koefisien korelasi sebesar 0.583. Hasil itu menandakan panjang

tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri mempengaruhi keterampilan shooting

sepakbola sebesar 28.9%

Kata Kunci: Panjang tungkai, Daya ledak otot tungkai, Percaya Diri Dan Shooting

PENDAHULUAN

Permainan sepakbola merupakan olahraga yang sangat populer dan tidak asing lagi di

Indonesia, begitupun di dunia. Setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, tua maupun muda

mengetahui permainan sepakbola. Saat ini permainan sepak bola dimulai dari proses pembelajaran serta

sebagai suatu profesi sebagai seorang atlet/pemain. Walaupun bagi sebagian dari mereka hanya sekedar

mengetahui saja dan tidak bisa untuk memainkannya, tapi hal tersebut sudah cukup untuk membuktikan

bahwa sepakbola merupakan olahraga yang paling populer di dunia.

Pada dunia olahraga, prestasi merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai

prestasi tersebut atlet, harus bekerja keras dengan melakukan latihan secara teratur sesuai program

latihan yang diberikan sebagai menu dari pelatih. Dengan latihan yang maksimal secara berulang-ulang,

maka akan mendapatkan hasil yang baik juga. “Training adalah proses yang sistematis dari berlatih atau

bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari kian bertambah jumlah beban latihan

atau pekerjaannya. (Harsono : 2008, 101)

Gerak merupakan kebutuhan yang hakiki seperti layaknya kebutuhan hidup lainnya, Karena

bergerak merupakan inti dari kehidupan. Ada istilah yang sering kita dengar cogito ergo sum artinya

saya berpikir karena itu saya ada. Kalau dipinjam untuk diubah kata-kata tersebut menjadi moveto ergo

sum artinya menjadi saya bergerak karena itu saya ada. Tidak semua gerakan yang diperlukan manusia

itu dibawa sejak lahir. Banyak sekali jenis dan bentuk gerakan yang perlu dipelajari, dibina, dan

disesuaikan dengan kebutuhan diri, perkembangan gerak, dan bahkan norma sosialnya.

Adapun langkah-langkah awal didapatnya ketrampilan belajar gerak yang terjadi menurut Fitts

and Posner’s Three-Stage Model adalah sebagai berikut: A. Cognitive stage: The beginner stage of

learning in Fitts and Posner's model. B. Associative stage: The intermediate stage of learning in Fitts

and Posner's model. C. Autonomous stage: The advanced or final stage of learning in Fitts and Posner's

model. (Cheryl A. Coker: 2004, 98-99)

Harsono menerangkan: “Ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secara

seksama oleh atlet yaitu, latihan fisik, teknik, taktik, dan latihan mental”. (Harsono : 2008, 100) Untuk

membuat atau membentuk atlet sepakbola yang baik seorang pelatih harus memperhatikan kondisi fisik

yang dimiliki atlet sesuai dengan kemampuan individu yang perlu dilatih. Seperti yang dijelaskan oleh

Remmy Muchtar physical fitness mengandung berbagai unsur yang merupakan kualitas fisik (physical

qualities) yang menentukan dalam kegiatan olahraga, pada umumnya unsur-unsur tersebut terdiri atas:

speed/kecepatan, strenght/kekuatan, endurance/daya tahan, flexibility/kelenturan, dan

agility/kelincahan. (Remmy Muchtar : 1992, 82)

Page 51: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

47

Adapun mengenai teknik dasar sepakbola menurut Joseph A. Luxbacher,

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Teknik tanpa bola, yaitu semua gerakan-gerakan tanpa bola terdiri dari:

1) Lari cepat dan mengubah arah

2) Melompat dan meloncat

3) Gerak tipu tanpa bola yaitu gerak tipu dengan badan

4) Gerakan-gerakan khusus untuk penjaga gawang

b) Teknik dengan bola, yaitu semua gerakan-gerakan yang bersentuhan langsung dengan bola

terdiri dari:

1) Mengenal bola (ball feeling)

2) Menendang bola (kicking)

3) Menerima bola : menghentikan bola dan mengontrol bola (controlling)

4) Menggiring bola (dribbling)

5) Menyundul bola (heading)

6) Melempar bola (throwing)

7) Gerak tipu dengan bola (feinting)

8) Merampas atau merebut bola (tackling)

9) Teknik-teknik khusus untuk penjaga gawang. (Joseph A Luxbacher : 2004, 89)

Menendang kearah gawang atau yang lebih dikenal dengan istilah shooting mempunyai

manfaat bagi seorang striker atau pemain lainnya, yaitu dapat secara taktis menendang bola kearah

gawang yang dianggapnya dapat membahayakan gawang. Keahlian dalam melakukan tendaangan

kearah gawang atau shooting sangat menguntungkan bagi klub yang memiliki permainan bagus.

Sebagai contoh kemampuan Christiano Ronaldo tendangan kearah gawangnya kerap kali dimanfaatkan

untuk mencetak gol, efek positif lainnya dari tendangan ke arah gawang atau shooting terutama di

daerah pertahanan lawan sering dimanfaatkan oleh para pemain handal untuk menciptakan gol, Kondisi

tersebut bisa terjadi akibat situasi yang memungkinkan untuk menciptakan gol dan penjaga gawang

tidak dapat mengantisipasi datangnya bola dengan keras.

Remmy muchtar menyebutkan ada empat cara utama dalam menendang bola, yaitu : 1). Dengan

kaki bagian dalam (inside foot), 2). Dengan punggung kaki (instep foot), 3). Dengan punggung kaki

bagian dalam (inside instep), 4). Dengan punggung kaki bagian luar (outside instep). Pada proses latihan

menendang ini perlu diperhatikan hal-hal penting berikut, a) sikap tubuh keseluruhan, (posisi kaki

tumpu, gerakan kaki), b) ayun, (posisi togog dan sikap tangan), c). Kontak antara bagian kaki dan bagian

bola, d) pandangan mata, dan e) Follow through. (Remmy Muchtar : 1992, 82)

Dilihat dari tujuannya menendang terdiri dari dua macam,yaitu menendang kegawang dan

menendang untuk mengoper.Tendangan mengoper dalam sepakbola terdiri dari tendangan datar dan

tendangan jarak jauh. Tendangan ke arah gawang adalah kemampuan pemain sepakbola

untuk menendang bola kearah gawang dengan cepat dan tepat. Untuk menciptakan tendangan ke arah

gawang (shooting) yang baik dan terarah dapat dilakukan seorang atlet dengan memperhatikan keadaan

atau kondisi fisik yang baik pula, dalam hal ini yang diperlukan adalah power/daya ledak otot tungkai.

Untuk lebih jelas mengenai power itu sendiri “Power adalah kemampuan otot untuk

mengarahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang cepat”. (Harsono : 2008, 200) Ada beberapa faktor

yang mempengaruhi muscle power adalah kekuatan dan kecepatan yang telah dimiliki oleh pemain

sepakbola itu sendiri. Gabungan antara kekuaan dan kecepatan yang baik akan menghasilkan power

yang baik.

Dalam cabang sepakbola, otot tungkai merupakan salah satu otot yang memberikan sumbangan

yang besar untuk pergerakan, seperti dalam pelaksanaan menendang. Tentunya dalam pelaksanaannya

Page 52: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

48

sangat memerlukan unsur kekuatan dan kecepatan yang tinggi. Oleh sebab itu dalam permainan

sepakbola power sangat diperlukan. F.G.E Rorimpoday mengemukakan bahwa: orang yang tungkainya

panjang, otot-otot tungkainya juga panjang yang memungkinkan gerak yang lebih besar yang

memungkinkan pula pekerjaan yang efektif dan efisien. (F.G.E Rorimponday : 1960,146)

Selain dari kondisi fisik diatas faktor secara anatomis tubuh yaitu panjang tungkai setiap atlet

berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi kecepatan dalam menyentuh bola, baik dalam adu

rebutan/duel bola ataupun raihan dan jangkauan yang lebih maksimal. Latihan yang diberikan juga akan

berdampak kepada atlet yang memiliki kondisi anatomis panjang tungkai berbeda.

Suatu hal yang tidak mudah dilakukan oleh atlet untuk mampu mengeluarkan kemampuan dari

dalam diri (instrinsik) yaitu rasa percaya diri. Percaya diri adalah kemampuan dari dalam diri berupa

sikap dan ekspresi positif. Kepercayaan diri adalah salah satu faktor yang dapat membantu atlet untuk

mampu mengeluarkan setiap kemampuan yang telah dimiliki. Peter Lauser dalam bukunya yang

berjudul Personality test yang diterjemahkan oleh D.H Gulobahwa: beberapa aspek psikis yang dapat

digunakan untuk membantu pembentukan pribadi, ataupun meningkatkan kepribadian salah satunya

adalah kepercayaan diri. (Agus Sujanto Et All : 1982, 159)

Situasi pertandingan akan membuat tekanan atmosfer penonton dan pelatih akan lebih besar

daripada pada saat latihan sehingga dibutuhkan kemampuan mental psikologis yang kuat untuk mampu

menimbulkan rasa kepercayaan diri. Percaya diri juga harus dikelola atau dikontrol oleh diri pemain

sendiri apabila berlebihan akan menghasilkan kegagalan tetapi sebaliknya jika percaya diri terkontrol

dengan baik akan menjadi pendorong untuk meraih keberhasilan dalam gerak.

Weinberg dan Gould menyatakan bahwa:rasa kepercayaan diri atlet (sport-confidence)

memberi dampak positif pada hal-hal sebagai berikut :1. Emosi, 2. Konsentrasi, 3. Sasaran, 4. Usaha,

5. Strategi, 6. Momentum. (Monty. P. Satiadarma : 2000, 36)

Berdasarkan uraian diatas maka penelitian tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:

Studi Korelasional Panjang Tungkai, Daya Ledak Otot Tungkai dan Percaya Diri dengan Keterampilan

Shooting Permainan Sepak Bola pada Klub Sepak Bola Universitas Negeri Jakarta Tahun 2013

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang menggambarkan pengaruh variabel-variabel

yang akan diteliti menggunakan metode survey dengan teknik kausal. Adapun konstelasi masalahnya

sebagai berikut :

Gambar 1 : Rancangan Penelitian

X1

X3

Y X2

Page 53: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

49

Keterangan :

X1 : Panjang Tungkai

X2 : Daya Ledak Otot Tungkai

X3 : Percaya Diri

Y : Keterampilan Shooting bola

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dalam penelitian

ini karena peneliti tidak memberikan perlakuan dan hanya mengambil data di lapangan. Adapun teknik

statistik yang dipergunakan adalah analisis korelasional yaitu menghubungkan variabel antara variabel

bebas dengan variabel terikat, sehingga dalam penelitian ini tidak ada pengendalian terhadap perlakuan

juga tidak ada perubahan penelitian. Variabel bebas terdiri dari 3 variabel yaitu: panjang tungkai (X1),

daya ledak otot tungkai (X2) dan percaya diri (X3), sedangkan variabel terikat yaitu: ketrampilan

shooting bola (Y).

Populasi adalah seluruh anggota Kuliah Olahraga Prestasi sepakbola FIK UNJ sebanyak 80

orang siswa sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil sebanyak 40 orang siswa

dengan cara purposive sampling, yang dimaksud dengan purposive sampling adalah teknik

pengambilan sampel secara sengaja berdasarkan ciri dan karakteristik yang sudah diketahui sebelumnya

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengukuran panjang tungkai dengan menggunakan alat ukur meteran. Pengukuran panjang

tungkai adalah antara trakhater mayor yang terdapat pada tulang femur sampai telapak kaki.

Hal ini sesuai dengan pendapat dari James G Hay, bahwa panjang tungkai seseorang diukur

dari trakhanter mayor bagian atas sampai telapak kaki. (James G Hay : 1988, 202)

2. Pengukuran daya ledak otot dengan menggunakan 3-hop jump melakukan 3x lompatan dengan

satu kaki sejauh mungkin yang diukur dengan meteran

3. Angket atau kuisioner percaya diri yang berjumlah 20 pertanyaan dengan pertanyaan yang

positif dan negative untuk menilai kepercayaan diri atlet mengenai keterampilan shooting yang

telah dimiliki.

4. Pengukuran ketepatan shooting menggunakan target sasaran gawang. data keterampilan

shooting diambil oleh 1 orang pencatat waktu, 2 orang (pengambil waktu dribbling dan

kecepatan bola shooting) dan 1 orang sebagai starter.

Teknik analisa data penelitian ini adalah dengan pengujian persyaratan analisis yang

menggunakan uji normalitas data. Uji normalitas yang digunakan adalah uji Liliefors. Data dapat

dikategorikan normal apabila harga L hitung < L tabel, dan di uji dengan taraf signifikasi α = 0.05 dan

uji linearitas untuk menguji keberartian data (Sudjana : 2005,466)

Pengujian hipotesis mengunakan regresi linear sederhana dinyatakan berarti bila harga Fhitung >

Ftabel dan dapat dikatakan linear dengan menyatakan harga Fhitung < Ftabel. Korelasi sederhana dikatakan

berarti setelah uji t apabila harga thitung > ttabel, Koefisien regresi linear ganda secara bersama-sama

dinyatakan berarti bila hasil uji F harga Fhitung > Ftabel. Korelasi ganda dihitung menggunakan statistik

(r2). Korelasi determinasi mengalikan hasil r dengan 100% mengalikan hasil r dengan 100% dan

korelasi parsial dihitung dengan menggunakan statistik r2y12.

Page 54: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

50

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Rangkuman Statistik Deskiptif Data Penelitian

Analisa Data Y X1 X2 X3

N 40 40 40 40

Mean/Rata-rata 50 50 50 50

Modus 55 47 56 52

Median 49.9 48.9 54.0 48.2

Standar Deviasi 8.10 10.00 9.45 10.00

Varians 65.69 100.00 89.28 100.00

Skor max 72 70 64 70

Skor Min 37 33 29 27

Range 35 37 34 43

Banyak Kelas 6 6 6 6

Panjang Kelas 5.547 6 5 7

Tabel 2.Distribusi Frekuensi Skor Keterampilan shooting

No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas Nilai Tengah

Frek.

Absolut

Frek.

Relatif

1 37 - 42 36.5 42.5 39.5 8 20%

2 43 - 48 42.5 48.5 45.5 11 28%

3 49 - 54 48.5 54.5 51.5 9 23%

4 55 - 60 54.5 60.5 57.5 8 20%

5 61 - 66 60.5 66.5 63.5 3 8%

6 67 - 72 66.5 72.5 69.5 1 3%

JUMLAH 40 100%

Page 55: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

51

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Skor Panjang tungkai

No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas Nilai Tengah Frek. Absolut Frek. Relatif

1 33 - 38 32.5 38.5 35.5 6 15%

2 39 - 44 38.5 44.5 41.5 6 15%

3 45 - 50 44.5 50.5 47.5 9 23%

4 51 - 56 50.5 56.5 53.5 7 18%

5 57 - 62 56.5 62.5 59.5 7 18%

6 63 - 68 62.5 68.5 65.5 5 13%

JUMLAH 40 100%

Page 56: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

52

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Skor Daya ledak otot tungkai

No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas

Nilai

Tengah Frek. Absolut Frek. Relatif

1 29 - 33 28.5 33.5 31 2 5%

2 34 - 38 33.5 38.5 36 3 8%

3 39 - 43 38.5 43.5 41 8 20%

4 44 - 48 43.5 48.5 46 2 5%

5 49 - 53 48.5 53.5 51 4 10%

6 54 - 58 53.5 58.5 56 21 53%

JUMLAH 40 100%

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Skor Percaya Diri

No Kelas Interval Batas Bawah Batas Atas Nilai Tengah Frek. Absolut

Frek.

Relatif

1 27 - 33 26.5 33.5 30 1 3%

2 34 - 40 33.5 40.5 37 4 10%

3 41 - 47 40.5 47.5 44 10 25%

4 48 - 54 47.5 54.5 51 12 30%

5 55 - 61 54.5 61.5 58 6 15%

6 62 - 68 61.5 68.5 65 7 18%

JUMLAH 40 100%

Page 57: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

53

Pengajuan hipotesis yang diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan positif antara panjang tungkai dengan keterampilan shooting

Hasil pengujian hipotesis pertama menyatakan bahwa (ry1) sebesar 0.608 dengan persamaan

regresi Y = 25.37 + 0.49 X1 Sumbangan variabel panjang tungkai (X1) yang dimiliki seorang pemain

futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y1) =

0.369. Hal ini berarti variabel panjang tungkai memberikan sumbangan atau kontribusi sebesar 36.9%

dengan peningkatan keterampilan shooting.

2. Terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai (X2) dengan keterampilan

shooting (Y)

Hasil pengujian hipotesis kedua menyatakan bahwa (ry2) sebesar 0.622 dengan persamaan

regresi Y = 23.2 + 0.54 X2. Sumbangan variabel daya ledak otot tungkai (X2) yang dimiliki seorang

pemain futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi

(r2y2) = 0.386. Hal ini berarti variabel daya ledak otot tungkai memberikan sumbangan sebesar 38.6%

dengan peningkatan keterampilan shooting.

3. Terdapat hubungan yang positif antara percaya diri (X3) dengan keterampilan shooting

(Y)

Hasil pengujian hipotesis ketiga menyatakan bahwa (ry3) sebesar 0.539 dengan persamaan regresi

Y = 28.14 + 0.44 X3 Sumbangan variabel percaya diri (X3) yang dimiliki seorang pemain futsal

dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y3) = 0.29. Hal

ini berarti variabel percaya diri memberikan sumbangan sebesar 29% dengan peningkatan keterampilan

shooting.

4. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1), daya ledak otot tungkai (X2),

dan percaya diri (X3) secara bersama-sama dengan keterampilan shooting (Y)

Hasil pengujian hipotesis keempat menyatakan bahwa (ry123) sebesar 0.498 dengan persamaan

regresi Y = 12.4 + 0.239 X1 + 0.28.147 X2 + 0.238.6 X3 Sumbangan variabel panjang tungkai (X1),

daya ledak otot tungkai (X2), dan percaya diri (X3) secara bersama-sama yang dimiliki seorang pemain

futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y123) =

0.289. Hal ini berarti panjang tungkai, daya ledak otot tungkai, dan percaya diri secara bersama-sama

memberikan sumbangan sebesar 28.9% dengan peningkatan keterampilan shooting.

Page 58: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

54

1. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur panjang tungkai

Pada saat melakukan keterampilan shooting agar dapat menjauhkan bola dari gangguan lawan

pemain harus memiliki panjang tungkai agar bola tidak mudah direbut lawan. Panjang tungkai

merupakan unsur biomotorik seseorang yang sudah dimiliki seorang atlet sejak lahir, tapi bukan berarti

kita tidak perlu melatih kemampuan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan panjang tungkai memiliki hubungan positif dan sangat signifikan

dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kemampuan panjang tungkai

seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. Sebagai upaya peningkatan

keterampilan shooting melalui panjang tungkai adalah memberikan latihan panjang tungkai secara

khusus dan sistematis sesuai dengan kebutuhan teknik cabang olahraga sepakbola. Kesimpulan ini

mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting selain faktor teknik diperlukan juga

meningkatkan kemampuan panjang tungkai atlet sepakbola tersebut.

2. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur daya ledak otot

tungkai

Permainan sepakbola adalah olahraga yang dinamis yang membutuhkan banyak keterampilan

teknik dasar yang baik serta kemampuan biomotorik yang prima. Daya ledak otot tungkai adalah salah

satu bagian dari kemampuan biomotorik seseorang yang membantu pemain sepakbola mengambil

keputusan untuk bergerak ke pelbagai arah tanpa kehilangan keseimbangan walaupun dalam

penguasaan bola atau pun tanpa bola.

Hasil penelitian menunjukkan daya ledak otot tungkai memiliki hubungan positif dan sangat

signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kemampuan daya

ledak otot tungkai seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. Sebagai upaya

peningkatan keterampilan shooting melalui daya ledak otot tungkai adalah memberikan latihan daya

ledak otot tungkai secara khusus sesuai dengan kebutuhan teknik cabang olahraga sepakbola.

Kesimpulan ini mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga

meningkatkan kemampuan daya ledak otot tungkai atlet sepakbola tersebut.

3. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur percaya diri

Seorang pemain sepakbola harus memiliki kondisi fisik yang baik dan penguasaan teknik yang

juga harus baik, tetapi banyak pemain sepakbola yang melupakan ada faktor penting lain dari menjadi

penunjang untuk menjadi pemain sepakbola yang hebat yaitu faktor psikologis. Faktor psikis ini yang

menjadi penentu keberhasilan atau percepatan pencapaian prestasi seorang pemain sepakbola. Banyak

faktor psiklogis yang berpengaruh tapi peneliti menganggap faktor kepercayaan akan kemampuan diri

sendiri yang dapat menjadi penentu dalam keberhasilan shooting.

Hasil penelitian menunjukkan percaya diri memiliki hubungan positif dan sangat signifikan

dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kepercayaan diri seorang

pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting.

Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui rasa percaya diri adalah memberikan

masukan dan evaluasi positif yang dapat membangun rasa percaya diri atlet tersebut serta membiasakan

memberikan tekanan-tekanan dalam latihan yang nantinya akan membuat atlet terbiasa dan rasa percaya

diri akan muncul dalam pertandingan yang sesungguhnya. Kesimpulan ini mengandung implikasi

untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga meningkatkan percaya diri atlet sepakbola

tersebut agar yakin dengan kemampuan yang dimiliki.

4. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur panjang tungkai, daya

ledak otot tungkai dan percaya diri secara bersama-sama

Dalam proses latihan pelatih harus mengerti setiap kompenen yang harus dilatih dan

dikembangkan secara maksimal. Komponen-kompenen kecil yang dapat meningkatkan performa atlet

dilapangan akan menjadi factor penentu keberhasilan menampilkan keterampilan secara tepat.

Hasil penelitian menunjukkan panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri

memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik

dan berkembang panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan kepercayaan diri seorang pemain

sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting.

Page 59: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

55

Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan rasa

percaya diri adalah memberikan proses latihan yang membentuk karakter permainan sepakbola itu

sendiri pada saat pertandingan serta memberikan motivasi positif yang dapat membangun dan

meningkatkan rasa percaya diri atlet tersebut. Karakter permainan sepakbola yang cepat dan penuh

tekanan dalam situasi sempit yang akan membuat pemain tebiasa. Kesimpulan ini mengandung

implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga meningkatkan panjang tungkai,

daya ledak otot tungkai dan percaya diri atlet sepakbola tersebut agar keterampilan yang sudah dimiliki

berkembang.

KESIMPULAN

1. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1) dengan keterampilan shooting (Y).

2. Terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai (X2) dengan keterampilan

shooting (Y).

3. Terdapat hubungan yang positif antara percaya diri (X3) dengan keterampilan shooting (Y).

4. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1), daya leda otot tungkai (X2), dan

percaya diri (X3) secara bersama-sama dengan keterampilan shooting (Y).

Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian diatas, ada beberapa saran yang mudah-

mudahan dapat membantu untuk meningkatkan keterampilan shooting yaitu sebagai berikut :

1. Pengembangan metode latihan , program latihan dan evaluasi secara sistematis sehingga

keterampilan shooting bola khususnya dapat meningkat

2. Peneliti menyarankan untuk dapat memperhatikan setiap aspek yang dapat meningkatkan

keterampilan shooting bola seperti faktor kondisi fisik atau biomotorik seperti daya ledak otot

tungkai yang dapat menunjang siswa atau atlet bermain sepakbola serta faktor psikologis

percaya diri atlet yang dapat menjadi dorongan atau motivasi dari dalam diri.

3. Untuk dapat lebih mengoptimalkan keterampilan shooting bola peneliti menyarankan untuk

mengembangkan penelitian-penelitian lain dengan faktor-faktor lain pula yang dapat

membantu peningkatan penguasaan teknik bermain sepakbola dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

Coker, Cheryl A. Motor Learning and Control for Practitioners. New Mexico State University, 2004.

Harsono. Coaching dan Aspek-aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta : CV. Tambak Kusuma, 2008

Hay, James G. The Biomechanics of Sport Technique diterjemahkan I Wayan Rampai. Denpasar, 1988.

Luxbacher, Joseph A. Sepakbola, Edisi Kedua, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Monty. P. Satiadarma, Dasar-Dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000..

Muchtar, Remmy. Olahraga Pilihan Sepak Bola. Jakarta: Deppen dan Keb Dirjenpenti PPTK, 1992.

Rorimponday, F.G.E, Lari,Lompat,Lempar. Jakarta: PT. Pemabangunan, 1960.

Sujanto, Agus. Et All, Psikologi Kepribadian. Jakarta: Aksara Baru, 1982.

Page 60: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

56

THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING (STAD) AND ENTRY BEHAVIOR TO THE

STUDENTS’ MATHEMATICS LEARNING RESULT

(An Experimental Study at Social Science Program of Senior High School)

Nurdin Ibrahim1

1Jakarta State University

[email protected]

Abstract

The objectives of the research is to determine the effect of cooperative learning typed STAD

to the student’s mathematic learning result in terms of student’s entry behavior. This

research was a quantitative research using an quasi experimental method with 2x2 factor

design The primary data obtained through the test results of student learning. The research

sample consists of 40 students which is taken from class XI IPS SMAN 29 consisiting of 20

students high-low entry behavior as the experimental group and of 20 students high-low

entry behavior as control group, and it was determined using random sampling techniques.

The data analyzed using two way analysis of varians (ANAVA 2x2) with a significance level

of 5%. The results show that: (1) the students learning result who were given cooperative

learning typed STAD ( =72,45) higher than the group of students who were given direct

instruction ( =68,15); (2) for groups of students with high entry behavior, cooperative

learning typed STAD ( =77,70) gives higher impact than the direct instruction ( =67,20).

(3) for groups of students with low entry behavior, cooperative learning typed STAD (

=67,72) gives lower impact than direct instruction ( =70,60). So, it can be concluded that

cooperative learning typed STAD can be used for students with high and low entry behavior

in Mathematics subject. The results of this research are expected to contribute to the

teachers and students in improving Mathematics learning achievement.

Keywords: cooperative learning, students team achievement division, mathematic learning

result, entry behavior, direct instruction/learning

PENDAHULUAN

Peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan merupakan masalah yang selalu menuntut

perhatian. Perbedaan tingkat serap antara siswa yang satu dengan yang lainnya terhadap materi

pelajaran menuntut seorang guru melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran, termasuk dalam

pembelajaran Matematika. Dalam pembelajaran Matematia, di sekolah guru tidak hanya sekedar

menyajikan angka-angka, aritmatika, aljabar, geometri (PISA:2009:93-940) tetapi perlu menggunakan

metode yang sesuai, disukai, dan mempermudah pemahaman siswa. Hal tersebut diharapkan akan

mengubah anggapan siswa terhadap materi pelajaran Matematika dari yang sulit menjadi lebih mudah,

dari yang dianggap kurang penting menjadi penting untuk dipelajari.

Konsep Matematika tergolong abstrak dan luas, karena itu guru dan siswa harus mempunyai

kemampuan matematika literasihal, yaitu kemampuan mengidentifikasi, merumuskan, menafsirkan

masalah-masalah di kehidupan sehar-hari (Cowan, 2006:50). Hal ini penyebab Matematika “dipandang

sulit” untuk dipahami karena untuk memahami yang abstrak, tahap awal biasanya perlu ungkapan yang

konkrit dan kontekstual (ilustrasi). Namun kenyataan yang ada, tidak setiap konsep di Matematika

diikuti dengan ilustrasi konkrit; contoh-contoh memang diberikan, namun hanya contoh tentang

pembatasan konsep yang dimaksud.

Strategi pembelajaran yang sering digunakan oleh guru mata pelajaran Matematika umumnya

strategi pembelajaran langsung (direct learning/instruction). Reigeluth dan Chellman (2009:79)

menyatakan ciri-ciri umum dari belajar/pembelajaran langsung, guru mengajarkan materi pembelajaran

kepada siswa melalui presentasi informasi yang aktif. Selanjutnya Reigeluth (2009:80) mengutip

Page 61: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

57

pendapat (Rosenshine:1995) dan (Fisher:1978) bahwa belajar dan pembelajaran langsung lebih dari

50% pembelajaran disampaikan oleh guru dan kurang dari 50% siswa belajar mandiri. Ini berarti pada

saat pembelajaran di kelas dengan strategi pembelajaran langsung, guru lebih banyak menggunakan

metode ceramah, drill, dan tanya jawab. Pembelajaran dengan menggunakan strategi ini berlangsung

umumnya satu arah karena kegiatan masih terpusat pada guru. Guru menjelaskan materi pelajaran

disertai contoh soal, sedangkan siswa mendengarkan, memperhatikan dan mencatat.

Strategi pembelajaran langsung (Direct Instruction) yang sering digunakan oleh guru yang

menganut pendekatan behavioristik yaitu melakukan pengkondisian klasik terhadap siswa dengan

harapan siswa memberikan respon sesuai yang diharapkan (Gredler, 2009:41-42). Penekanan ada pada

cara menyampaikan pengetahuan oleh guru kepada siswa bukan dilihat dari sisi siswa sebagai subjek

yang belajar. Materi pelajaran yang disampaikan terbatas pada apa yang diberikan di depan kelas dan

siswa akan menyerap pada saat itu saja secara pasif dan tidak mengembangkan sendiri pengetahuan

tersebut. Pembelajaran langsung menganut paradigma teacher-centered dimana guru menjadi pemberi

informasi yang utama. Peran guru adalah sebagai pemberi fakta/pengetahuan, peraturan, atau urutan

tindakan pada siswa dengan cara yang langsung. Biasanya guru menggunakan presentasi dengan format

penjelasan (ceramah termodifikasi), contoh, pemberian latihan/praktek, dan feedback.

Fakta menunjukkan bahwa kebanyakan dari siswa tidak menyukai pelajaran Matematika.

Banyak hal yang ditemukan pada siswa, misalnya siswa tidak dapat memunculkan/mengutarakan

tentang apa yang tidak dimengerti, siswa merasa belum siap untuk bertanya karena bingung tentang apa

yang akan ditanyakan, dan siswa merasa segan untuk bertanya pada guru. Kemampuan siswa yang

variatif tersebut, memang tidak dapat dipungkiri dialami oleh sebagian besar dunia pendidikan, dan hal

tersebut dapat disebabkan inputnya yang heterogen. Kondisi yang tidak kondusif dalam proses

pembelajaran tersebut, dapat merugikan proses pembelajaran selanjutnya. Untuk mengatasi masalah

tersebut diperlukan pendekatan pembelajaran yang tepat, di mana dalam proses belajar mengajar

Matematika guru hendaknya memberikan kesempatan yang cukup kepada siswa untuk terlibat aktif

dalam pembelajaran, karena dengan keaktifan ini siswa akan mengalami, menghayati dan mengambil

pelajaran dari pengalamannya.

Agar siswa aktif terlibat dalam pembelajaran, guru harus merubah pendekatan pembelajaran

dari behavioristik menjadi konstruktivistik yang memungkinkan membuat siswa lebih banyak

melakukan sesuatu daripada hanya sekedar mendengarkan. Pendekatan konstruktivistik melibatkan

siswa dalam proses pemahaman konsep-konsep, guru bukan lagi satu-satunya yang membuat siswa

mengerti akan konsep tersebut. Peran guru dalam pendekatan konstruktivistik berbeda dengan

pendekatan behavioristik. Menurut Jamaris (2010:219) dalam pendekatan konstruktivis guru berperan

sebagai (a) fasilitator; yaitu menyediakan berbagai sumber belajar untuk memecahkan masalah dan

kegiatan pembelajaran; (b) mediator; mengatur dan mengelola lingkungan belajar yang bersifat problem

based learning, yang dihadapi siswa sehingga mereka mampu menformulasikan dan mengevaluasi ide-

ide mereka, (c) motivator; guru senantiasa mendorong siswa untuk melaksanakan brain storming atau

bertukar pikiran, berdiskusi dengan teman-teman. Dengan demikian konstruktivistik mengharapkan

siswa menemukan dan membangun sendiri struktur pengetahuannya dengan cara melibatkan diri secara

aktif dalam kegiatan belajar baik secara personal maupun sosial. Keterlibatan aktif siswa secara sosial

sangat dipengaruhi oleh interaksi dan transaksi. Interaksi dan transaksi memberikan kontribusi paling

besar dalam membangun struktur kognitif antara siswa dengan siswa. Hal ini didasari pemikiran bahwa

sesama siswa memiliki kesamaan bahasa, tingkat perkembangan intelektual, dan pengalaman kedekatan

sehingga lebih mudah menemukan konsep, aturan atau pun yang lain.

Salah satu bentuk pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan konstruktivistik adalah

belajar kooperatif. Belajar kooperatif berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa bekerjasama

dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kelompok belajar kooperatif

merupakan perbaikan dari kelompok belajar konvensional. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif

adalah STAD (Student Teams Achievement Division). Belajar kooperatif tipe STAD merupakan strategi

yang sangat menarik karena merupakan gabungan antara dua hal, belajar dengan kemampuan masing-

masing individu dan belajar kelompok sehingga siswa dapat saling bertukar pengetahuan yang dimiliki

untuk menyelesaikan masalah. STAD adalah salah satu dari metode belajar kooperatif yang sederhana,

dan cocok bagi guru pemula yang baru menggunakan strategi belajar kooperatif. Dalam STAD siswa

ditempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen

menurut prestasi, jenis kelamin dan suku. Dalam belajar STAD, siswa bekerja sebagai sebuah tim untuk

Page 62: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

58

menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai

tujuan bersama. Siswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri tetapi juga kelompoknya

(Sharan, 2012:4-5).

Slavin (1995) seperti yang dikutip oleh Sanjaya mengemukakan dua alasan mengapa belajar

kooperatif dianjurkan untuk digunakan dalam kelas. Alasan pertama yakni, beberapa hasil penelitian

membuktikan bahwa penggunaan belajar kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar (Slavin 1990

dalam Sharan, 2012:7-8), sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan

sikap menerima kekurangan diri, dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Alasan kedua,

belajar kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah

dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan (Sanjaya, 2000: 242). Roger dan David

Johnson seperti yang dikutip oleh Anita Lie (2002:31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok

dapat dianggap sebagai cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model

pembelajaran, gotong royong harus diterapkan, yakni: saling ketergantungan positif, tanggung jawab

perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok.

Penggunaan belajar kooperatif khususnya tipe STAD memiliki keuntungan dapat memotivasi

siswa dalam berkelompok agar mereka saling membantu satu sama lain dalam menguasai materi yang

disajikan, selain itu belajar kooperatif STAD juga dapat menumbuhkan suatu kesadaran bahwa belajar

itu penting, bermakna dan menyenangkan, siswa lebih bertanggungjawab dalam proses pembelajaran,

serta timbulnya sikap positif siswa dalam mempelajari materi yang di sajikan.

Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa belajar kooperatif tipe STAD diperlukan terhadap

peningkatan kualitas belajar matematika siswa yang berdasarkan pada kemampuan siswa yang variatif.

Disini, siswa belajar dalam kelompok yang terdiri dari anggota kelompok dengan motivasi berprestasi

yang berbeda, etnis, dan jenis kelamin. Kualitas belajar siswa diharapkan dapat berkembang dengan

adanya saling kerjasama dan tukar menukar pengalaman dan pemahaman.

Faktor lain yang menjadi pertimbangan menurunnya hasil belajar Matematika adalah motivasi

berprestasi. Motivasi berprestasi sebagai kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)

merupakan keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, menguji kekuatan, sekuat tenaga

melakukan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin (Beck et al, 1983). Selanjutnya dikatakan,

motivasi berprestasi merupakan produk dari dua kebutuhan yang bertentangan, yaitu: kebutuhan untuk

mencapai kesuksesan dan kebutuhan untuk menghindari kegagalan. Hal ini menunjukkan bahwa

motivasi berprestasi adalah keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, menguji

kekuatan, sekuat tenaga melakukan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin untuk mencapai

tujuan.

Berdasarkan definisi yang dikembangkan Elliot dan Church (2001) motivasi berprestasi sebagai

usaha keras untuk mendapatkan kemampuan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari pada tempat

kerja, sekolah atau perlombaan, serta mengembangkan suatu model yang disebut Hierarchical Model

of Approach and Avoidance Achievement Motivation.

Konsep yang lebih komprehensif tentang motivasi berprestasi selanjutnya dikembangkan oleh

Atkinson sebagaimana dikutip Good dan Brophy dengan Teori Motivasi Berprestasi. Teori ini

menyatakan bahwa kecenderungan mendekati tujuan (Ts) adalah hasil dari tiga faktor, yaitu: hasrat

untuk berprestasi atau motivasi sukses (Ms); kemungkinan untuk sukses (Ps) dan nilai kemudahan untuk

sukses (Is) (Good & Brophy, 1990). Di sisi lain Glredler (2009:402) berdasarkan teori Atributsi dari

Wainer menyatakan bahwa, atributsi motivasi berprestasi meliputi (a) kemampuan, (b) upaya, (c)

keberuntungan, (d) kesulitan tugas, dan (e) lainnya. Atributsi kemampuan dan upaya masuk dimensi

internal, sedangkan keberuntungan, kesulitan tugas, dan lainnya masuk dimensi eksternal. Sejalan

dengan Gredler, Mayer (2008:511) membagi atributsi motivasi berprestasi menjadi empat, yaitu (a)

kemampuan, (b) upaya, (c) kesulitan tugas, dan (d) keberuntungan. Motivasi berprestasi adalah upaya

keras untuk mendapatkan kemampuan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat

dari faktor-faktor, seperti: kegigihan, realistis dalam memilih dan mengutamakan tindakan. Kegigihan

meliputi: kepatuhan dalam etika kerja, kejelasan dalam status aspirasi dan kegigihan dalam upaya;

realistis dalam memilih meliputi: kegunaan hasil untuk orang lain dan penguasaan pekerjaan;

mengutamakan tindakan meliputi keunggulan dalam kemampuan dan kemampuan berkompetisi.

Berdasarkan uaraian di atas, ada dugaan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD (student

teams achievement division) dan motivasi berprestasi dapat berpengaruh terhadap hasil belajar

Matematika. Oleh karena itu permasalahan yang diteleti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 63: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

59

1. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang dibelajarkan

menggunakan metode belajar kooperatif tipe STAD dibandingkan dengan siswa yang

dibelajarkan menggunakan pembelajaran langsung?

2. Apakah hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan kooperatif tipe STAD lebih

tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan stategi pembelajaran langsung, pada kelompok

siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi?

3. Apakah hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan kooperatif tipe STAD lebih

rendah dibandingkan dengan yang menggunakan strategi pembelajaran langsung, pada siswa

yang memiliki motivasi berprestasi rendah?

METODE

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan Experimental Design by

level 2x2 (Experimental Design 2x2 (Issac and Michael. 1981:77) yang dilaksanakan untuk menguji

pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Penelitian experimental adalah jenis penelitian yang

dianggap sudah baik karena sudah memenuhi persyaratan, adanya kelompok pembanding atau

kelompok kontrol. Dengan adanya kelompok kontrol ini, akibat dari treatment dapat diketahui secara

pasti karena dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat treatment. Penelitian dilaksanakan

di SMAN 29 Jakarta pada semester I tahun ajaran 2011/2012. Sampel dari penelitian yang diambil

secara acak adalah kelas XI IPS 2 sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 36 siswa dan kelas XI IPS 3

yang terdiri dari 36 siswa sebagai kelas eksperimen. Setiap kelas ditetapkan 27% (10 siswa) kelompok

berprestasi tinggi dan 27% (10 siswa) yang berprestasi.

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan instrumen tes hasil belajar Matematika dan data

motibvasi berprestasi melalui kuesioner. Untuk memperoleh data mengenai motivasi berprestasi siswa

dilakukan dengan kuesioner motivasi berprestasi, sedangkan untuk mengukur hasil belajar Matematika

dilakukan post test. Materi yang digunakan untuk menyusun tes ini adalah sub pokok bahasan Ruang

Sampel dan Peluang.

Setelah instrumen disusun, kemudian diujicobakan di lapangan untuk mengetahui validitas, dan

reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kevalidan tes. Tes dikatakan valid

manakala benar-benar mampu menilai apa yang harus dinilai. Untuk mengukur validitas instrumen tes

digunakan rumus biserial. Hasil perhitungan uji validitas dari setiap butir soal tes dikonsultasikan

dengan r tabel pada taraf signifikan 0.05 = 0,349 (Popham & Sirotnik;1973:382). Dari 20 butir soal tes

terdapat 3 soal yang tidak valid dan 17 soal yang valid. Soal yang dinyatakan valid tersebut, selanjutnya

dihitung tingkat reliabel, atau taraf kepercayaan. Untuk menghitung taraf reliabilitas tes digunakan

rumus KR 20. Dari hasil perhitungan diperoleh reliabel tes Matematika sebesar 0,785. sehingga soal

dinyatakan reliabel.

Teknik analisis data dilakukan dengan: uji persyaratan analisis, uji normalitas. Uji normalitas

dilakukan untuk membuktikan pengujian terhadap normal tidaknya sebaran data dengan menggunakan

rumus uji chi kuadrat. Hasil uji normalitas data menunjukkan

bahwa nilai hitung (L0) dari keenam kelompok data lebih kecil dari nilai tabel (L0 < Lt α=0,05). Nilai-nilai

hitung adalah sebagai berikut: (1) Lo A1 = 0,0709 < Lt = 0,1900; (2) Lo A2 = 0,0868 < Lt = 0,1900; (3)

Lo B1= 0,1067 < Lt = 0,1900; (4) Lo B2= 0,940 < Lt = 0,1900; (5) Lo A1B1= 0,0844 < Lt = 0,2580; (6)

Lo A1B2= 0,0132 < Lt = 0,2580; (7) Lo A2B1= 0,0990 < Lt = 0,2580; (8) Lo A2B2= 0,0824 < Lt = 0,2580.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data-data penelitian ini berdistribusi normal sehingga

memenuhi syarat untuk menggunakan statistik parametrik dalam pengujian hipotesis penelitian.

Selanjutnya dilakukan uji homogenitas, bertujuan untuk melihat apakah data dari setiap

variabel mempunyai varians yang homogen. Uji homogenitas yang digunakan adalah uji Barlett. Ada

tiga kelompok data yang diuji yaitu: (1) kelompok data antar kolom A1A2; (2) kelompok data antar baris

B1B2, dan kelompok data dalam sel rancangan eksperimen, yaitu A1B1, A1B2, A2B1, dan A2B2. Hasil

pengujian menunjukkan bahwa koefisien 2 hitung lebih kecil dari nilai

2 tabel dengan perincian sebagai

berikut: (1) 2 hitung A1A2 = 4,470 <

2 tabel = 5,990; (2) 2 hitung B1B2 = 4,531 <

2 tabel = 5,990; (3)

2 hitung A1B1, A1B2, A2B1, dan A2B2. = 1,672 < 2 tabel = 4,760. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa kelompok-kelompok data hasil penelitian tidak memiliki perbedaan varians (homogen).

Page 64: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

60

Untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan, digunakan Analisis Varians dua jalan (Two

way Anova). Uji tersebut sesuai dengan desain penelitian yang digunakan yakni desain faktorial 2x2

model post test control group design. Selanjutnya, dilanjutkan dengan uji Tuckey untuk menguji

hipotesis penelitian lebih lanjut. Uji ini dilakukan karena terdapat pengaruh interaksi dalam pengujian

hipotesis antara strategi pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika siswa.

Uji ini guna mengetahui variabel mana yang memberikan sumbangan yang lebih besar.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berdasarkan data yang diperoleh melalui post tes hasil belajar matematika, maka data penelitian

ini dapat dideskripsikan seperti tabel 1. berikut dan penjelasannya.

Tabel 1. Deskripsi Hasil Penelitian

Motivasi

Berprestasi

( B)

Pembelajaran (A) ∑Yj

Cooperative Learning

( A=1)

Direct Learning

(A=2)

Tinggi

( B=1)

N = 10

X = 77,70

S = 3,093

N = 10

X = 67,20

S = 2,908

N = 20

X = 71,70

S = 6,814

Rendah

( B=2)

N = 10

X = 67,20

S = 4,29

N = 10

X = 70,60

S = 3,373

N = 20

X = 68,90

S = 4,141

∑Yi N = 20

X = 72,450

S = 6,501

N = 20

X = 68,150

S = 3,964

Np. = 40

X = 70,3

S = 5,232

1. Data Hasil Belajar Matematika Siswa yang Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1)

Nilai hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning diperoleh

dari 20 responden (n). Nilai tertinggi (max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 82, dan nilai

terendah (min) adalah 60. Nilai rerata ( X ) mencapai 72,450 dengan simpangan baku (S) 6,501

Dari hasil perhitungan diperoleh harga modus (Mo) 76,83 dan median (Me) 67. Dari data penelitian

menunjukkan bahwa sejumlah 10 orang siswa (50%) memperoleh nilai di bawah kelas interval

yang memuat nilai rerata, 4 orang (20%) berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata dan

6 orang (30%) memperoleh nilai di atas kelas interval nilai rerata. Jika nilai yang berada pada

keenam kelas interval tersebut dibagi dalam tiga kategori, maka nilai pada kelas interval 1, 2, 3, 4,

dan 5 tergolong sedang, dan kelas ineterval 6 tergolong tinggi. Dengan demikian, maka terdapat

17 orang (85%) memperoleh nilai kategori sedang, dan 3 orang (15%) memperoleh nilai kategori

tinggi.

2. Data Hasil belajar Matematika Siswa yang Dibelajarkan dengan Direct Learning (A2) Nilai tertinggi (Max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 76, dan nilai terendah (Min)

adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 68,150 dengan simpangan baku (S) 3,964. Dari hasil

perhitungan diperoleh pula harga modus (Mo) 67,82 dan median (Me) 69. Berdasarkan data terdapat

7 siswa (35%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata, 6 siswa (30%)

berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 7 siswa (35%) memperoleh nilai di atas

kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval nilai ini dibagi menjadi kategori

rendah, sedang, dan tinggi maka kelas interval 1 – 6 masuk pada kategori sedang. Dengan demikian,

maka terdapat 20 siswa (100%) kategori sedang.

Page 65: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

61

3. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi (B1)

Nilai tertinggi (Max) yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi tinggi adalah

82, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 71,700 dengan simpangan baku

(S) 6,814, modus (Mo) 71,50 dan median (Me) 71,66. Data menunjukkan bahwa 6 siswa (30%)

memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 4 siswa (20%) mencapai nilai

yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 10 siswa (50%) memperoleh nilai di

atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika merujuk pada skala pembagian kategori rendah,

sedang dan tinggi maka kelas interval nilai 1 tergolong rendah; kelas interval 2, 3, 4 dan 5 tergolong

sedang; dan kelas interval 6 tergolong tinggi. Dengan demikian maka terdapat 3 siswa (15%)

memperoleh nilai kategori rendah; 15 siswa (75%) memperoleh nilai dengan kategori sedang, dan 2

siswa (10%) kategori tinggi.

4. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Rendah (B2)

Nilai tertinggi (Max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 76 dan nilai terendah (Min) 60.

Nilai rerata ( X ) mencapai 68,90 dengan simpangan baku (S) 4,141; harga modus (Mo) 71,50 dan

harga median (Me) 70,33. menunjukkan bahwa 5 siswa (25%) memperoleh nilai di bawah kelas

interval yang memuat nilai rerata; 3 siswa (15%) mencapai nilai yang berada pada kelas interval

yang memuat nilai rerata, dan 12 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang

memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi

maka kelas interval 1 tergolong rendah; kelas interval 2, 3, 4, dan 5 tergolong sedang; dan tidak

terdapat kelas interval yang tergolong tinggi. Dengan demikian maka terdapat 2 siswa (10%)

memperoleh nilai kategori rendah; 18 siswa (90%) memperoleh nilai kategori sedang; dan tidak

ada siswa (0%) yang mencapai nilai kategori tinggi.

5. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi yang Dibelajarkan

dengan Cooperative Learning (A1B1)

Nilai hasil belajar Matematika siswa siswa dengan motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan

dengan Cooperative Learning diperoleh dari 10 responden. Nilai tertinggi (Max) yang dicapai

kelompok ini adalah 82, dan nilai terendah (Min) adalah 72. Nilai rerata ( X ) mencapai 77,70

dengan simpangan baku (S) sebesar 3,093. Selanjutnya, diperoleh harga modus (Mo) 79 dan median

(Me) 78,75. menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang

memuat nilai rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat

nilai rerata, dan 6 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika

keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1, 2

dan 3 tergolong sedang; kelas interval 4 masuk pada kategori tinggi. Dengan demikian maka

terdapat 8 siswa (80%) memperoleh nilai kategori sedang dan 2 siswa (20%) memperoleh nilai

kategori tinggi.

6. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Rendah yang Dibelajarkan

dengan Cooperative Learning (A1B2)

Nilai tertinggi (Max) yang dicapai adalah 72, dan nilai terendah (Min) adalah 60. Nilai

rerata ( X ) mencapai 67,20 dengan simpangan baku (S) 4,29; harga modus (Mo) 70 dan median (Me)

69. menunjukkan bahwa 3 siswa (30%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai

rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata,

dan 5 siswa (50%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika kelima

kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1 tergolong

rendah; kelas interval 2, 3, 4 dan 5 tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 1 siswa (10%)

memperoleh nilai kategori rendah; dan terdapat 9 siswa (90%) siswa yang mencapai kategori nilai

sedang.

7. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi yang Dibelajarkan dengan

Direct Learning (A2B1)

Nilai tertinggi (Max) yang dicapai kelompok ini adalah 70, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai

rerata ( X ) mencapai 67,20 dengan simpangan baku (S) sebesar 2,908. Selanjutnya, diperoleh harga

modus (Mo) 65,48 dan median (Me) 66,25. menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di

bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 4 siswa (40%) mendapatkan nilai yang berada pada

Page 66: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

62

kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 4 siswa (40%) memperoleh nilai di atas kelas interval

yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan

tinggi maka kelas interval 1, 2, 3, dan 4 tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 10 siswa

(100%) memperoleh nilai kategori sedang.

8. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestsi Rendahyang Dibelajarkan dengan

Direct Learning (A2B2)

Nilai tertinggi (Max) yang mencapai 77, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X )

mencapai 70,60 dengan simpangan baku (S) 3,373; harga modus (Mo) 62 dan median (Me) 71,75.

menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai

rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata,

dan 6 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika kelima

kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1, 2, 3, dan 4

tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 10 siswa (100%) memperoleh nilai kategori

sedang.

Hasil Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis varians 2 jalur (ANAVA

2X2). Teknik statistik parametrik ini bertujuan untuk menyelidiki dua pengaruh utama (main effect)

yaitu : (1) pengaruh pembelajaran Cooperative Learning dan Direct Learning terhadap hasil belajar

Matematika; dan (2) untuk menguji pengaruh interaksi (interaction effect) dari kombinasi perlakuan

dalam sel rancangan eksperimen terhadap hasil belajar Matematika. Kriteria pengujian hipotesis: (1)

tolak H0 jika nilai F-hitung lebih besar dari niai F-tabel (F-hitung > F-tabel); dan (2) terima H0 jika nilai F-

hitung lebih kecil dan atau sama dengan nilai F-tabel (F-hitung < F-tabel).

Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat signifikansi perbedaan rerata dari tiap kelompok nilai

yang dibandingkan, dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Tukey (α=0,05). Kriteria pengujian:

(1) tolak H0 jika nilai Q-hitung lebih besar dari niai Q-tabel (Q-hitung > Q-tabel); dan (2) terima H0 jika nilai

Q-hitung lebih kecil dari nilai Q-tabel (Q-hitung < Q-tabel). Uji ANAVA dan Uji Tukey dilakukan dengan

menggunakan program Microsoft Excel. Tabel 2 berikut menyajikan ringkasan hasil uji ANAVA data

hasil belajar Matematika pada taraf keterpercayaan 95%.

Tabel 2. Ringkasan Hasil Perhitungan ANAVA 2x2

Sumber Varians db JK RJK F-hitung F-tabel (α = 0,05)

Kolom (A) 1

184,900 184,900 15,473 4,110

Baris (B) 1 78,400 78,400 6,561 4,110

Interaksi (AB) 1 592,900 592,900 49,615 4,110

Kekeliruan 36 430,200 11,950

Total 39

Hasil uji hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perbedaan Hasil Belajar Matematika antara Kelompok Siswa yang Dibelajarkan dengan

Cooperative Learning (A1) dibandingkan dengan Direct Learning (A2).

Hasil analisis varian antar kolom (kolom A1 dan kolom A2) diperoleh nilai F-hitung 15,473. Nilai

ini lebih besar dari nilai F-tabel (α = 0,05), yaitu 4,110 (15,473 > 4,110). Dengan demikian maka terdapat

bukti yang signifikan untuk menolak Ho: μA1 = μA2 dan menerima H1: μA1 > μA2; artinya terdapat

perbedaan yang signifikan antara hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative

Learning dibandingkan dengan yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Jika kedua rerata nilai itu

dibandingkan maka rerata nilai hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative

Learning lebih besar daripada rerata hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Direct

Learning ( X A1=72,450 > X A2=68,150). Berarti dapat disimpulkan bahwa hasil belajar Matematika

Page 67: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

63

siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning lebih tinggi daripada hasil belajar Matematika

siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning.

2. Pengaruh Interaksi antara Model Pembelajaran dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil belajar

Matematika (AxB).

Hasil analisis varians dua jalur antar kolom dan baris diperoleh harga F-hitung 49,615 yang

melebihi harga F-tabel (α = 0,05) 4,110 (49,615 > 4,110). Hal ini berarti bahwa terdapat bukti yang

signifikan untuk menolak H0 dan menerima H1. Artinya, terdapat pengaruh interaksi antara pemberian

tugas dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa kedua faktor (pendekatan pembelajaran dan motivasi berprestasi) memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap hasil belajar Matematika. Akan tetapi, pengaruh itu berbeda bagi tiap kombinasi

perlakuan. Oleh karena adanya interaksi antara variabel teruji secara signifikan, maka langkah

selanjutnya melakukan pengujian perbedaan rerata nilai absolut. Karena sampel pada setiap kelompok

memiliki jumlah yang sama maka uji lanjut ini menggunakan ujiTukey.

Pengujian ini dilakukan terhadap dua pasangan data rerata nilai yang terdapat dalam tiap sel

rancangan eksperimen. Kedua pasangan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Kelompok siswa bermotivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning

dan Direct Learning (A1B1 dan A2B1).

b. Kelompok siswa bermotivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning

dan Direct Learning (A1B2 dan A2B2).

Hasil pengujian dirangkum pada Tabel 3 berikut. Berdasarkan hasil uji Tukey, selanjutnya,

hasil uji hipotesis dapat dijelaskan secara berturut-turut pada bagian berikut.

Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Tukey

H

Hipotesis Q-hitung (Qh) Q-tabel(∂=0,05) Kesimpulan

3. Ho : μA1B1 = μA2 B1

H1 : μA1B1 > μA2 B1 6,495 4,110 Signifikan

4. Ho : μA1 B2 = μA2 B2

H1 : μA1 B2 < μA2 B2 4,482 4,110 Signifikan

3. Perbedaan Hasil belajar Matematika Siswa Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1B1)

dibandingkan dengan Direct Learning (A2B1) yang bermotivasi berprestasi tinggi

Dari hasil pengujian diperoleh nilai Qhitung 6,495. Nilai ini cenderung lebih besar dari dari nilai

Qtabel (α=0,05), yaitu 4,110. Dengan merujuk pada kriteria pengujian, hasil ini menunjukkan adanya

bukti yang signifikan untuk menolak H0: μA1B1 = μA2B1 dan menerima H1: μA1B1 > μA2 B1.

Sehingga μA1B1 (77,700) yang secara kasat mata lebih besar dari nilai rerata A2B1 (67,200)

perbedaannya teruji secara signifikan. Oleh karena nilai rerata A1B1 lebih besar dari pada nilai rerata

A2B1 maka berarti bahwa untuk siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning, hasil

belajar Matematika lebih tinggi daripada yang dibelajarkan dengan Direct Learning pada siswa

yang bermotivasi berprestasi tinggi.

4. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Dibelajarkan dengan Cooperatif Learning (A1B2)

dibandingkan dengan Direct Learning (A2B2) yang Bermotivasi Berprestasi rendah

Hasil pengujian perbedaan antara rerata nilai hasil belajar Matematika siswa yang

bermotivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperatif Learning (A1B2) dibandingkan

dengan Direct Learning (A2B2) diperoleh nilai Qhitung 4,482. Nilai hitung ini cenderung lebih besar

dari nilaii Qtabel (α=0,05), yaitu 4,110. Sesuai dengan kriteria pengujian, maka terdapat bukti yang

signifikan untuk menolak H0: μA1B2 = μA2B2 dan menerima H1: μA1B2 < μA2B2. Dengan demikian

maka rerata nilai A1B2 yang secara kasat mata lebih kecil dari nilai rerata A2B2 (67,200 < 70,60)

teruji secara signifikan. Artinya, untuk siswa yang dibelajarkan dengan Cooperatif Learning hasil

belajar Matematika lebih rendah daripada yang dibelajarkan dengan Direct Learning, pada siswa

yang bermotivasi berprestasi rendah.

Page 68: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

64

PEMBAHASAN Hipotesis pertama yang menguji perbedaan hasil belajar Matematika antara siswa yang

dibelajarkan dengan Cooperative Learning (STAD) dibandingkang dengan siswa yang dibelajarkan

dengan Direct Learning menunjukkan bahwa, hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan

Cooperative Learning (STAD) secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar Matematika siswa

yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Sebagai bukti rerata nilai hasil belajar Matematika

kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning (STAD) melebihi rerata nilai hasil

belajar Matematika kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Terujinya hipotesis ini

membuktikan bahwa Cooperative Learning (STAD) secara langsung memberikan kesempatan kepada

siswa untuk bertukar pikiran dan bekerja sama dengan sesama rekannya memungkinkan siswa untuk

belajar dari rekan sejawatnya yang berimbas pada meningkatkan hasil belajar Matematika mereka

secara bersama-sama. Hal ini didukung pula oleh penelitian sebelumnya (Slavin dan Karweit: 1984)

sebagaimana dikutip oleh Sharan (2012:8), yang meningkat lebih besar daripada yang ada dalam

kelompok belajar sebagai kelompok kontrol yang menggunakan materi yang sama. Perbedaan besar

hasil belajar dengan menggunakan STAD ditemukan dalam berbagai macam subjek seperti ilmu

pengetahuan sosial (Allen dan Vanscikle: 1981), Sains (Okebukola: 1985), dan matematika (Sherman

dan Thomas:1986).Pengaruh pendekatan ini positif bagi siswa yang pintar, sedang, dan kurang.

Di sisi lain, pendekatan pembelajaran direct learning sebagaimana diuraikan di atas, , waktu

pembelajaran lebih banyak digunakan guru. Ini sama dengan pendekatan pembelajaran konvesional.

Menurut Yudhawati dan Haryanto (2011:55-58) pendekatan pembelajaran konvensional mempunyai

ciri-ciri, di antaranya sebagai berikut; (1) mengutamaakan pada hafalan; (2) siswa pasif menerima

informasi terutama dari gurul (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoritis; (4) waktu belajar siswa

sebagian besar dipergunakaan untuk mengerjakan tugas-tugas dalam buku, mendengar ceramah,

mengisi latihan kerja individu. Dengan pendekatan pembelajaran seperti seperti ini, agak sulit bagi

siswa menguasai konsep-konsep matematika yang memerlukan contoh konkrit, perlu banyak contoh

pemecahan soal dan latihan, baik secara individu maupun kelompok.

Hipotesis kedua yang menguji adanya pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan

motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika membuktikan adanya kondisi dimana

penggunaan pendekatan pembelajaran (cooperative learning dan direct learning) dan motivasi

berprestasi (motivasi berprestrasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah) berpengaruh terhadap hasil

belajar Matematika akan tetapi pengaruh ini tergantung pada kombinasi perlakuan. Secara umum, hasil

dari kombinasi perlakuan dalam penelitian ini adalah 1). siswa dengan motivasi berprestasi tinggi lebih

cocok dengan Cooperative Learning 2); siswa dengan motivasi berprestasi rendah lebih cocok

dibelajarkan dengan Direct Learning. Selanjutnya, hasil pengujian hipotesis kombinasi perlakuan (H03

dan H04) dapat dipaparkan pada bagian berikut.

Hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa untuk siswa dengan motivasi berprestasi tinggi, hasil

belajar Matematika yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning tipe STAD lebih tinggi daripada

hasil belajar Matematika yang dibelajarkan dengan Direct Learning, teruji secara signifikan. Rerata

nilai yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan

Cooperative Learning secara signifikan lebih besar dari rerata nilai yang dicapai kelompok siswa yang

dibelajarkan dengan Direct Learning. Terujinya hipotesis ini didukung oleh alasan bahwa siswa dengan

motivasi berprestasi tinggi merupakan pembelajar yang aktif yang suka mencari pemecahan masalah

dan solusi dengan cara bertukar pikiran (diskusi) dan bekerja sama dengan siapapun termasuk rekan

sejawat. Melalui Cooperative Learning maka siswa dapat mempelajari hal-hal baru dan saling bertukar

pikiran dengan sesama rekannya sehingga kesulitan-kesulitan pembelajaran dapat teratasi dengan cara

saling memberi informasi. Segaimana diuraikan pada pembahasan hipotesi pertama, bahwa

berdasarkan hasil penelitian hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial, Sains, dan Matematika, hasil belajar

siswa yang dibelajarkan dengan Cooperativ Learning tipe STAD, secara signifikan lebih baik dengan

hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan belajar Direct Learning. Tentu

kondisi yang demikian tersebut didukung pula dengan kelompok siswa yang bermotivasi berprestasi

.tinggi. Berdasrkan hasil penelitian Steers dan Porter (1991:39), bahwa orang berkebutuhan

(bermotivasi) berprestasi tinggi berhasrat kuat memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas

atau menemukan pemecahan masalah, mereka cenderung bekerja sendiri (dalam kelompok). Dengan

demikian pembelajaran melalui Cooperativ Learning, pada kelompok motivasi berprestasi tinggi,

mereka selalu berusaha memecahkan masalah matematika dalam kelompoknya. Mereka mempunyai

Page 69: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

65

kesempatan yang baik, karena mereka diberi tanggung jawab setiap kelompok dalam memecahkan

masalah matematika yang dihadapinya. Bila ada kesulitan mereka umumnya cenderung dihadapi

sendiri, yang pada akhirnya mengalami kegagalan. Cenderung bekerja sendiri merupakan salah satu

ciri orang atau siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi (Steers dan Porter (1991:40). Hal ini

berbeda dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning, yang setting kelasnya

selalu dikontrol oleh guru, mereka kurang diberi tanggung jawab untuk memecahkan sendiri

permasalahan matematika yang dihadapinya. Dalam kondisi yang demikian, siswa yang mempunyai

motivasi berprestasi tinggi, mereka merasa ketegangan sehingga muncul kecemasan yang berakibat

pada legagalan (Davies, 1981:275)..

Hipotesis keempat yang menyatakan bahwa siswa yang bermotivasi berprestasi rendah, yang

dibelajarkan dengan Direct Learning, hasil belajar Matematika lebih tinggi daripada hasil belajar

Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning tipe STAD, teruji secara signifikan.

Rerata nilai yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan

dengan Direct Learning secara signifikan lebih besar dari rerata nilai yang dicapai kelompok siswa

dengan motivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning. Terujinya

hipotesis ini didukung oleh alasan bahwa siswa dengan motivasi berprestasi rendah sebagai pembelajar

yang cenderung dipandu secara bertahap dalam belajar, yaitu mengandalkan petunjuk, arahan dan

bimbingan dari guru. Selain itu, ketika guru mengarahkan dan menyampaikan isi pembelajaran, guru

dapat mengajukan pertanyaan atau mendatangi siswa yang kelihatan pasif (malu untuk bertanya)

sebagai upaya meningkatkan motivasi berprestasi mereka (motivasi ekstrinsik). Lama kelamaan siswa

yang bermotivasi berprestasi tinggi, akan terdorong untuk aktif, memperhatikan dengan serius apa yang

disampaikan oleh guru, dan sudah berani bertanya untuk menghindari selalu ditanya.

Sebaliknya siswa yang bermotivasi berprestasi rendah cenderung minder dan pendiam dihadapan

teman kelompok, mereka sulit untuk menyampaikan pendapat ke teman satu kelompoknya, walaupun

menglami keulitan. Akibatnya semakin minggu, kesulitannya semakin banyak dan tidak sempat

terpecahkan sampai menjelang ulangan tengah semester atau akhir semester

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Secara keseluruhan, hasil belajar Matematika siswa yang diajarkan dengan Cooperative

Learning STAD terdapat perbedaan yang signifikan dengan hasil belajar Matematika siswa yang

diajarkan dengan Direct Learning. Strategi pembelajaran berpengaruh dan berinteraksi dengan

motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika. Bagi siswa dengan motivasi berprestasi tinggi,

hasil belajar Matematika mereka yang diajarkan dengan Cooperative Learning STAD lebih tinggi

daripada yang diajarkan dengan Direct Learning. Bagi siswa dengan motivasi berprestasi rendah,

hasil belajar Matematika mereka yang diajarkan dengan Direct Learning lebih tinggi daripada yang

diajarkan dengan Cooperative Learning STAD.

Implikasi Dengan mengacu pada kesimpulan menyatakan bahwa hasil belajar Matematika siswa yang

dibelajarkan dengan Cooperative Learning lebih tinggi dari yang dibelajarkan dengan Direct Learning

memberikan implikasi bahwa untuk mengajarkan mata pelajaran Matematika akan lebih efektif dan

memberikan hasil yang lebih baik jika menggunakan strategi pembelajaran Cooperative Learning

daripada Direct Learning.

Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan

motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika yang berarti bahwa tingkat motivasi berprestasi

(tinggi dan rendah) memiliki kecocokan dengan jenis pendekatan pembelajaran (STAD dan

konvensional) tertentu dalam pembelajaran Matematika sehingga memberikan implikasi yaitu siswa

dengan motivasi berprestasi tinggi lebih cocok dengan strategi pembelajaran Cooperative Learning tipe

STAD dan siswa dengan motivasi berprestasi rendah lebih sesuai dengan pendekatan pembelajaran

Direct Learning. Oleh karena itu guru perlu menggunakan metode yang sesuai dengan motivasi

berpresasi siswa untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika. Pada seting

kelas yang mencampurkan siswa yangg bermotivasi berprestasi tinggi dan rendah, guru selayaknya

menggunakan dua pendekatan belajar dan pembelajaran Cooperativ Learning tipe STAD

Page 70: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

66

dikombinasikan dengan pendekatan Direct Learning secara bergantian dan terintegrasi dalam

pembelajaran Matematika.

Saran Dengan terujinya bahwa pendekatan pembelajaran Cooperative Learning lebih efektif dalam

meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika maka kepada guru-guru

Matematika, pada khususnya dan guru-guru mata pelajaran lain pada umumnya, untuk memanfaatkan

temuan ini sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan hasil belajar Matematika dan hasil belajar

mata pekajaran lain. Dengan terujinya hipotesis tentang adanya interaksi antara penggunaan pendekatan

pembelajaran dan motivasi berpresrasi terhadap hasil belajar Matematika maka para guru disarankan

untuk memilih penggunaan pendekatan pembelajaran sesuai dengan motivasi berprestasi yang dimiliki

siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan pula untuk dilakukan penelitian ulang dengan durasi

waktu yang lebih lama lagi dibandingkan dengan penelitian ini yang hanya dilakukan delapan kali

pertemuan. Selain itu penelitian seperti ini bisa dilanjutkan ke sekolah-sekolah lain dan pada mata

pelajaran-mata pelajaran lain.

DAFTAR PUSTAKA

Beck, Robert C., (1983). Motivation: Theories and Principles, New Jersey: Prentice-Hall.

Cowan, Pamela, (2006). Teaching Matematics: A Handbook For Primary and Secondary school

Teacher. London, Tailer & Francis Group.

Davies, Ivor K., (1974). Instructional Technique, New York; McGraw-Hill Book Coompany.

Elliot, A.J. and Church, M. A. A, (2001). Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement

Motivation, dalam "Motivating Humans-Psychology Group Web-Site", (http://wabakimi.

carleton.ca/~jlalonde/Group/ socialanxiety.html)(diunduh, 3 Januari 2011.

Good Thomas L. & Jere E. Brophy, (1990). Educational Psychology, New York: Longman.

Gredler, Margaret (ed.). (2009). Learning and Instruction Theory Into Practice. Sixth Edition. Upper

Saddle River, New Jersey. Pearson.

Issac, Stephen and Michael, Wiliam B. (1981). Handbook in Research and Evaluation, sec. ed.

California< USA, Edits Publisher

Jamaris, Martini. (2010). Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta, Yayasan Penamas

Murni.

Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang

Kelas. Jakarta: Grasindo.

Mayer, Richard E. (2008). Learning and Instruction, Upper Saddle River, New Jersey, Pearson.

PISA, (2009). Assesment Framework; Key Competencies in Reading Matematics and Scienc. USA

OECD.

Popham, W. James & Sirotnik, Kenneth A,, (1973). Educational Statistics Use and Interpretation

(secon edition), New York, Harper & Row, Publishing.

Reigeluth, Charles M. And Chellman Allison A. (2009). Instructional-Designn Theories and Models,

volume III. New York and London, Routledge.

Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:

Kencana, 2009.

Sharan, Shlomo. (2012). The Handbook of Cooperative Learning; Inovasi Pengajaran dan

Pembelajaran Untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas. (Alih Bahasa, Sigit Prawoto)

Yogyakarta, Penerbit Familla Group Relasi Inti Media.

Slavin, Robert E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice 2nd Ed. London:

Allymand Bacon.

Steers, Richard M. And Porter, Lyman W., (1991). Motivation and Work Behavior; New York,

McGrew-Hill Inc.

Yudhiwati, Ratna dan Dany Haryanto, (2011). Teori-Teori Dasar Psykologi Pendidikan, Jakarta,

Prestasi Pustaka.

Page 71: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

67

THE EFFECT OF JOB CHARACTERISTICS, COMPENSATION AND JOB

SATISFACTION TO THE ECONOMIC TEACHERS COMMITMENT

IN THE HIGH SCHOOL BALI PROVINCE

I Ketut R. Sudiarditha

Fakulty of Economic, Universitas Negeri Jakarta

[email protected]

ABSTRACT

In particular objectives of this study were: (1) To determine the direct effect of job characteristics on

commitment. (2) To determine the effect of direct compensation for the commitment. (3) To determine

the direct effect of job satisfaction on commitment. (4) To determine the direct effect of job

characteristics on job satisfaction of teachers. (5) To determine the direct effect of compensation on job

satisfaction. Time research for eighteen months from 2010, March until 2012, September. The method

used was survey method with causal techniques. Entire population economic teachers who has passed

the certification of the profession. Sampling, the method used is simple random; number of samples

suggested by Solimun and Hair, et al. in the analysis of Structural Equation Modeling (SEM) of 400.

Analysis techniques and interpretation of data using qualitative and quantitative methods. The results

of this reseach indicate that: (1) There is a positive direct effect on job characteristics to commitment;

means to increase job characteristics will result in an increase in commitment. (2) There is a positive

direct effect on compensation to commitment; means to increase compensation will result in an increase

in commitment. (3) There is a positive direct influence on job satisfaction to commitment; means to

increase job satisfaction will result in an increase in commitment. (4) There is a positive direct influence

on job characteristics to job satisfaction; means to increase job characteristics will obtain a job

satisfaction. (5) There is a direct positive effect on compensation to job satisfaction; means to increase

compensation will get a job satisfaction.

Keywords: Characteristics of work, compensation, job satisfaction, commitment.

Abstrak. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pengaruh langsung

karakteristik pekerjaan terhadap komitmen. (2) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi

terhadap komitmen. (3) Untuk mengetahui pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen. (4)

Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja guru. (5) Untuk

mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja. Penelitian dilakukan di Sekolah

Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Waktu penelitian selama delapan belas bulan mulai Maret

2010 sampai September 2012. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan teknik kausal.

Populasi seluruh guru ekonomi yang telah lulus sertifikasi profesi. Penarikan sampel, metode yang

digunakan adalah acak sederhana; jumlah sampel yang disarankan oleh Solimun maupun Hair, et al.

dalam analisis Structural Equation Modelling (SEM) sebesar 400. Teknik analisis dan interpretasi data

menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif berupa deskriptif data dengan cara

dikelompokkan dan ditabulasi disertai penjelasan. Sedangkan metode kuantitatif berupa analisis

hubungan antar variabel menggunakan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM).

Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik

pekerjaan terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan

mengakibatkan peningkatan komitmen. (2) Terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap

komitmen; artinya dengan peningkatan kompensasi akan mengakibatkan peningkatan komitmen. (3)

Terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan

kepuasan kerja akan mengakibatkan peningkatan komitmen. (4) Terdapat pengaruh langsung positif

karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik

Page 72: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

68

pekerjaan akan mengakibatkan peningkatan kepuasan kerja. (5) Terdapat pengaruh langsung positif

kompensasi terhadap kepuasan kerja; artinya dengan peningkatan kompensasi akan mengakibatkan

peningkatan kepuasan kerja.

Katakunci: Karakteristik pekerjaan, kompensasi, kepuasan kerja, komitmen.

PENDAHULUAN

Guru sebagai profesi kunci keberhasilan peserta didik di sekolah, diharapkan makin

professional yang memiliki kompetensi pengetahuan keguruan, sikap serta ketrampilan mengajar secara

berkualitas dalam menjalankan tugas serta kewajiban profesinya. Sebagai guru professional harus terus

berubah mensikapi tuntutan zaman; hal ini agaknya sekarang belum terpenuhi. Banyak faktor yang

mempengaruhi, di antaranya motivasi belajar guru yang rendah sehingga kurang meningkat

kapasitasnya. Kalaupun guru belajar dan diberikan kesempatan belajar, orientasinya hanya untuk

mengejar pangkat, bukan prioritas peningkatan kualitas diri.

Melihat realitas rendahnya kualitas guru, pemerintah selayaknya melakukan kajian mendalam

untuk mengidentifikasi masalah-masalah guru dalam kaitannya dengan pengembangan kapasitas

tersebut. Pasti ada yang keliru dalam menangani guru selama ini; pemerintah harus membenahi secara

total. Pertama, mulai penyiapan yaitu input yang akan dicetak menjadi tenaga kependidikan di

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), hingga proses rekruitmen sebagai pegawai (guru)

yang benar-benar berkualitas. Kenyataanya saat ini pemerintah sangat longgar memberikan izin kepada

LPTK untuk mencetak tenaga kependidikan. Kenyataannya juga, banyak LPTK yang tidak berkualitas

mencetak tenaga guru. Sementara, badan pengawasan mutu LPTK yang dapat memandu dan

mengontrol kualitas LPTK tidak tersedia.

Kedua, Departemen Pendidikan dan jajarannya, selama ini masih belum serius dan belum sepenuh hati

meningkatkan kualitas guru. Apalagi para pejabat di Dinas Pendidikan sendiri memiliki sumberdaya

yang rendah kualitasnya dan tidak peka terhadap persoalan pendidikan. Kenyataannya, sampai sekarang

belum melihat hasil optimal yang diperoleh dari kegiatan penataran guru yang sudah menghabiskan

dana begitu besar. Upaya membangun kapasitas sangat dibutuhkan untuk melahirkan guru yang

professional.

Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas

guru. Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas

guru. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah.

Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Berdasarkan data

Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat

991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal.

Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut:

Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 119.470 (78,1%) dengan

sebagian besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi

pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan

sebanyak 12.767 orang berijazah D1. Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi

pendidikan minimal sebesar 317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788

orang berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang belum memiliki

kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang berijazah D1, 15.589 orang berijazah D2,

dan 71.380 orang berijazah D3.

Kepuasan kerja yang masih relatif rendah memungkinkan guru tidak komit terhadap organisasi.

Untuk mewujudkan komitmen guru, faktor-faktor penyebab seperti tersebut selayaknya tidak lagi

terjadi agar komitmen guru dapat tercipta. Tentunya setelah kepuasan kerja terpenuhi, komitmen guru

dituntut untuk memiliki kebulatan tekad dalam mencapai sebuah tujuan, tanpa dapat dipengaruhi oleh

keadaan apapun juga, hingga tujuan tersebut tercapai. Laporan Tahunan Pemda Bali menyatakan

bahwa: Rata-rata tingkat absensi per bulan pegawai Pemda Kabupaten Provinsi Bali mencapai 15%;

dengan rentang tingkat absensi tertinggi 17% untuk Kabupaten Buleleng dan terendah 9% Kabupaten

Tabanan (Pemda Bali, Laporan Tahunan 2002:39).

Page 73: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

69

Fakta tersebut menunjukkan bahwa pegawai termasuk di dalamnya adalah guru Sekolah

Menengah Atas (SMA) Negeri Pemda Kabupaten Provinsi Bali mengindikasikan komitmen masih

rendah yang dapat dilihat dari segi tingkat absensi. Komitmen guru terhadap organisasi dapat

memberikan kontribusi yang positif baik bagi diri guru maupun organisasi. Guru yang berkomitmen

akan melakukan apapun yang menjadi tugasnya, serta mengindari absen yang tidak berhalasan atau ijin

dari atasannya. Hal ini dipertegas dalam Bali Cruser Report bahwa: “17,3% pekerja di kapal pesiar

berasal dari latar belakang kependidikan” (Bali Cruser Report, 2002). Karyawan kapal pesiar dengan

mendapatkan reward yang jauh lebih layak dibandingkan di sektor pendidikan; mereka meninggalkan

profesi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendidik; hal ini berarti mereka yang memiliki latar belakang

kependidikan mengindikasikan tidak komit terhadap profesinya semata mengejar imbalan yang lebih

layak.

Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik

pekerjaan terhadap komitmen. (2) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap

komitmen. (3) Untuk mengetahui pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen. (4) Untuk

mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja. (5) Untuk mengetahui

pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja.

TINJAUAN PUSTAKA

Komitmen.

Komitmen membuat seseorang untuk tetap berada pada suatu organisasi; oleh karenanya sangat

dibutuhkan agar memiliki dedikasi terhadap organisasi untuk tetap bekerja dan menjalankan

kewajibannya secara baik dan benar. Pengertian komitmen menurut Jacobsen (2000:187) adalah:

“something that causes a person is able to survive working in a company and it is done with sincerity

and happy”. Senada halnya seperti dikatakan Long (2000:214) adalah: “commitment is the image/shape

that is often associated with a pledge or bond for a particular action”. Kedua pengertian ini

memberikan makna bahwa seseorang memiliki ikatan untuk bertahan dalam suatu organisasi dengan

ketulusan.

Dilihat dari maknanya “komitmen sangat dekat dengan deskripsi sebagai fidelity (kesetiaan);

komitmen pekerjaan adalah keputusan tentang peran-peran dalam dunia kerja dan perilaku yang

berkaitan dengan peran itu” (Handoko, 2002:57). Seseorang yang telah komit terhadap organisasi akan

menunjukkan perannya dalam wujud perilaku. Sedangkan Alwi (2001:49) mengatakan “komitmen

adalah sikap karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya mencapai

misi, nilai-nilai dan tujuan dalam perusahaan”. Karyawan diharapkan memiliki kontribusi dalam

meningkatkan komitmen dan kompetensinya seperti dikatakan oleh Ulrich (1997:29) bahwa: The

deliverable from management employee contribution is increased employee commitment and

competence. HR practices should help employees to contribute through both their competence to do

work and their comitment to work diligently. Oleh karena itu pihak manajemen dapat membantu

karyawan untuk memiliki kompetensi agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Komponen kunci yang diperlukan untuk membangun komitmen karyawan menurut Strauss

(1992:23) adalah: participation, flexibility, performance-based compensation and guarantee. There are

five ways to build loyalty on the basis of commitments: (1) creates a clear purpose and a commitment

to make it happen, (2) clear communication, visionary, and a constant, (3) train and retrain employees,

(4) give confidence to employees, and (5) share the profits. Karyawan yang telah menyatakan dirinya

komit terhadap organisasi perlu adanya pengembangan; untuk itu pengembangan sumber daya manusia

diperlukan setidaknya tujuh hal: (1) Control is overseeing employees in the decision making process

when they do the job. (2) Strategy or vision that is offered to the employee's vision and direction that

makes them willing to work hard. (3) Challenging work is to provide a challenging work and

simulations to enhance the capabilities of employees. (4) Collaboration and teamwork that is forming

a team to complete the work. (5) Work culture is to maintain a pleasant working environment. (6)

Shared gains which provide appropriate compensation to employees who are able to finish the job

properly. (7) Communication is sharing information to employees (Ulrich, 1997:35).

Dalam mengukur derajat komitmen, kriteria yang digunakan adalah: (1) Knowledge ability,

namely the ability to know the various types of jobs that have been selected according to the initial

decision itself. (2) Activity directed toward implementing the chosen identity elements, namely the initial

decision to implement activities focused on work that has been selected. (3) Emotional tone, the

Page 74: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

70

emotional involvement related to commitment. (4) Identification with significant others, which attempts

to give an indication of himself against those who have worked in the fields of the selected job on the

basis of interest in him. (5) Projecting one's personal future, that the employee has had a more clear

direction about the future relating to the work that has been selected. (6) Resistance to being swayed,

that is try to stay on the job that you have chosen is not easily shaken or replace option even though

there is negative information about the selected job or any other area that is more interesting (Marcia,

1993:208).

Dalam persaingan yang semakin kompleks disadari bahwa seluruh sumber daya manusia dapat

diakses oleh siapapun yang berakibat terjadi pembajakan sumber daya manusia yang potensial oleh

pesaing dan ini tergantung dari komitmen mereka terhadap perusahaan di mana mereka bekerja. Kondisi

demikian menurut Lapierre (2000:122) mengatakan bahwa: “can only occur in human resources who

are committed to the company”. Mereka mau bertahan bilamana memiliki komitmen yang tinggi dan

berserah diri pada perusahaan yang diyakini akan memberikan terbaik baginya. Untuk itu diperlukan

motivator dari manajemen bahwa: That all human resources within the company have a strong

commitment to the job, then all parties in the organization should always be motivated and to be able

to motivate the necessary commitment from top management for the company's expected performance

(Hill, 1996:13).

Karyawan yang memiliki komitmen tinggi seluruh pihak yang ada dalam organisasi hendaknya

mampu memotivasi. Pimpinan puncak sebagai penanggung jawab terhadap seluruh aktivitas, berbagai

unit menjadikan suatu kesatuan yang terintegrasi dalam menciptakan, mengembangkan dan

memotivasi karyawan untuk menjadikan suatu semangat menjunjung tinggi keberhasilan suatu

organisasi untuk menghasilkan kinerja. Berdasarkan bentuk suatu komitmen membagi komitmen ke

dalam dua bagian yaitu: “(1) affective commitment and (2) calculative commitment” (Wetzels,

1998:406). Sementara itu, Jacobsen (2000:188) membagi komitmen ke dalam dua bagian yang sedikit

berbeda yaitu: Affective commitmen or attitudinal commitmnet and behavioural commitment or

continuance commitment. Organization commitment as the result of three factors: (a) acceptance of

organization’s goals and value (b) willingness to help the organization achieve its goals, and (c) the

desire to remain within the organization.

Dalam pengertian komitmen organisasional hal menarik bahwa: “organizational commitment

is a strong feeling of someone close to the goals and values of an organization in relation to their role

towards the achievement of goals and are values” (Durkin, 1999:124-134). Ketika seseorang memiliki

perasaan yang kuat dan erat untuk mengikat dirinya dalam suatu organisasi, maka peran mereka menjadi

penting. Gambaran yang lebih jelas mengenai definisi komitmen organisasional adalah yang

dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1993:49) yang mengemukakan bahwa: Commitment

organizational is identified three types of commitment; affective commitment, continuance commitment,

and normative commitment as a psychological state that either characterizes the employee’s

relationship with the organization or has the implications to affect whether the employee will continue

with the organization.

Karakteristik Pekerjaan.

Dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, pekerjaan yang dirancang dengan baik

akan mampu menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang kompeten serta memberikan motivasi

untuk menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas. Tugas-tugas dikombinasikan untuk menciptakan

pekerjaan individu disebut sebagai disain pekerjaan, seperti yang dinyatakan oleh Cascio (2003:429)

bahwa: "Job design is the process of organizing work into the task sat at are required to perform a

specific job".

Dewasa ini telah dikembangkan Task Characteristics Theories yang berusaha

mengidentifikasikan karakteristik tugas pada pekerjaan dimana karakteristik-karakteristik ini

dikombinasikan untuk membentuk pekerjaan-pekerjaan yang berbeda dan hubungannya tugas tersebut

terhadap motivasi, kepuasan, dan kinerja karyawan. Teori karakteristik yang dikemukakan oleh Cascio

(2003:430) mengatakan bahwa: "Job characteristic theory identifies five cores job characteristic (skill

variety, task identity, task significance, autonomy, and feedback) as having special important to job

design". Artinya, karakteristik pekerjaan diidentifikasikan sebagai atribut tugas yang penting dan

bersifat khusus pada disain pekerjaan. Hal ini sejalan dikatakan oleh Wood (2001:24) membagi

Page 75: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

71

karakteristik pekerjaan menjadi lima yaitu: “skill variety, task identity, task significance, autonomy, and

feedback”.

Salah satu pendekatan yang paling dominan dalam disain pekerjaan adalah Teori Karakteristik

Pekerjaan, menurut Cascio (2003:430) "The dominant approach to job design for individuals over the

last decade has been the Job Characteristics Theory of Hacloman and Oldham". Sekarang bentuk kerja

yang dominan untuk mendefinisikan karakteristik tugas dan hubungan dengan motivasi karyawan,

performance karyawan, dan kepuasan karyawan adalah model Job Characteristics dari Hacloman dan

Oldham. Selanjutnya model karakteristik dijelaskan bahwa: "Job Characteristics Model (JCM)

identifies five job characteristics and their relationship to personal and work outcome" (Cascio,

2003:430). Karakteristik pekerjaan ini mencerminkan berbagai identitas yang memiliki hubungan

antara individu dengan hasil kerja. Lebih lanjut dijelaskan oleh Robbins (2002:598) pekerjaan dapat

digambarkan dalam 5 (lima) dimensi pekerjaan inti, yaitu: (1) Skill variety is the degree to which the

job require variety of different activities so the worker can use a number of different skills and talents.

(2) Task identity is the degree to which the job requires completion of a wholea nd identifiable piece of

work. (3) Task significance is the extent to which a job has an impact on the flues or work of other

people in or out the organization. (4) Autonomy is the degree to which a job allows a worker the freedom

and independence to schedule work and decide how to carry it out. (5) Feedback is the extent to which

performing a job provides a worker with clear information about his or her effectiviteness. Sejalan

dikatakan William (1996: 198) bahwa: According to the job characteristics model, when managers

consider the five core dimensions of a job, it is important for them to realize that workers' perceptions

to the core dimensions (not actual reality or manager's perceptions) are the key determinants of'

intrinsic motivation”.

Kompensasi.

Sebagai balas jasa atas kontribusinya terhadap pencapaian tujuan organisasi, maka diberikan

kompensasi untuk memenuhi harapan, tujuan dan kebutuhannya tersebut. Menurut Hasibuan

(2002:117) mengatakan bahwa: “besarnya kompensasi yang diterima mencerminkan status, pengakuan,

dan tingkat pemenuhan kebutuhan; artinya bila kompensasi yang diterimanya semakin besar berarti

jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik; demikian pula dalam memenuhi kebutuhan yang

dinikmatinya semakin baik pula”. Hal ini sejalan dikatakan Nawawi (2001:316) bahwa: “Kompensasi

adalah apa yang diterima pegawai sebagai imbalan dari kerjanya berupa upah atau gaji tetap yang

diterima setiap bulan atau mingguan atau upah setiap jam dalam bekerja (hourly wage)”.

Pengaturan kegiatan kompensasi merupakan kunci untuk membantu organisasi memperoleh,

mempertahankan, dan memelihara suatu tenaga kerja yang produktif. Werther dan Davis (1996:268)

mengatakan bahwa: without adequate remuneration, the employee may be many left and look for

another job of dissatisfaction with the remuneration received. As a result of dissatisfaction with the

rewards it receives can reduce the quality of organizational productivity and lower morale. Kompensasi

yang diterima karyawan dapat berupa kompensasi finansial (langsung dan tidak langsung) dan

kompensasi non finansial (kepuasan yang bersumber dari pekerjaan dan lingkungan kerja). Dalam

pemberian kompensasi selayaknya sesuai kompetensi yang telah disumbangkan karyawan kepada

perusahaan agar karyawan dapat lebih berkonsentrasi dalam bekerja. Marwansyah dan Mukaram

(1999:129) mengatakan bahwa: Karyawan akan merasa puas dan termotivasi untuk meningkatkan

kinerja mereka apabila kompensasi yang diterima dari organisasi lebih besar atau sama dengan

kompensasi yang diharapkan dan sebaliknya apabila kompensasi yang diterima lebih kecil dari yang

diharapkan, tidak adil, dan tidak layak, maka karyawan akan tidak puas, sering absen dan meninggalkan

organisasi”.

Dalam pemberian kompensasi diharapkan mencerminkan keadilan dan kelayakan; hal ini

dipertegas oleh Sedarmayanti (2005:9) bahwa: Prinsip kompensasi harus adil dan layak. Adil diartikan

sesuai dengan prestasi kerja, sedangkan layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan primer serta

berpedoman pada batas upah minimum pemerintah dan berdasarkan internal dan eksternal konsistensi.

Kesemuanya ini akan membuat karyawan bekerja produktif, loyal, dan berdedikasi tinggi sehingga

pelaksanaan fungsi program dalam organisasi akan mudah dilaksanakan dan mendapatkan dukungan

yang sepenuhnya dari pihak karyawan”.

Jenis kompensasi berikut pendapat beberapa pakar di antaranya yang dikemukakan oleh

Werther dan Davis (1996:431) membagi menjadi dua bentuk kompensasi yaitu: “Direct compensation:

Page 76: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

72

based on critical job factors and performance; and Indirect compensation: they are usually extended

as a condition of employment and are not directly related to performance”. Sejalan dikatakan Bernadin,

Russel dan Joyce (1998: 275) kompensasi dibedakan menjadi dua yaitu: Direct compensation and

indirect compensation. Direct compensation is further dividend into two components: (1) the wage and

salary program (base salary, overtime, etc), and (2) pay that is contingent on performance (commission

bonuses, etc). Lebih lanjut, bila ditelusuri dengan seksama bahwa kompensasi menurut Soekidjo

(1998:151) membagi jenis-jenis pemberian kompensasi hampir sama halnya; yaitu: (1) Kompensasi

langsung (direct compensation) yang berbentuk upah atau gaji yang dikaitkan dengan prestasi dan hasil

kerja. (2) Kompensasi tidak langsung (indirect compensation) yang disebut kompensasi pelengkap dan

tidak dikaitkan langsung dengan prestasi kerja karyawan. Selanjutnya dikatakan bahwa pemberian

kompensasi pelengkap: (1) Upah untuk waktu tidak bekerja (time of benefit): Istilah periode makan

dan periode ganti pakaian, tetap memperoleh kompensasi dengan tidak memotong upah/gaji mereka,

Hari-hari sakit, Liburan dan cuti sakit, Tidak masuk kerja karena musibah, keperluan keluarga yang

tidak dapat ditinggalkan. (2) Perlindungan terhadap bahaya. (3) Program pelayanan: rekreasi, kafetaria,

perumahan, beasiswa pendidikan, pelayanan konseling, pelayanan-pelayanan yang belum termasuk

dalam pelayanan di atas misalnya pakaian seragam dan bonus. (4) Pembayaran kompensasi berdasarkan

peraturan yang berlaku.

Kepuasan Kerja.

Kepuasan kerja merupakan sikap pernyataan evaluatif mengenai perasaan suka atau tidak suka,

senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya. Greenberg dan Baron (2003:143) menyebutkan ada

tiga komponen dalam membentuk sikap seseorang, yaitu: “evaluative component, cognitive component,

and behavioral component”. Menurut Robbin dan Judge (2008:73) mengatakan bahwa: Setiap individu

bisa memiliki ribuan sikap; tetapi kaitannya dengan sikap dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis:

kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional; setiap pekerjaan mempunyai

karakteristik dan keunikan masing-masing.

Menurut Mullins (2005:704) faktor pendukung tersebut akan menghasilkan dua outcome

yaitu “Job Satisfaction dan Work Performance”. Kepuasan kerja meliputi: Individual factors, Social

factors, Cultural factors, Organizational factors, dan Environmental factors. Tingkat kepuasan kerja

yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah yang bersifat destruktif terhadap organisasi, karena

itu kepuasan kerja perlu diperhatikan sehubungan dengan kelangsungan hidup organisasi maupun

individu. Definisi kepuasan kerja menurut Luthans (1999:126) adalah: "A pleasurable or positive

emotional state resulting from he appraisal of one's job or experience". Kepuasan kerja merupakan

perasaan positif yang terbentuk dari penilaian seseorang terhadap pekerjaannya. Sementara kepuasan

kerja menurut Werther dan Davis (1996:534) adalah: "Job satisfaction is the favorableness or

unfavorableness with which employees viand their work". Artinya kepuasan kerja merupakan keadaan

yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang timbul dari cara karyawan memandang pekerjaan

mereka. Penilaian karyawan terhadap pekerjaannya bila mendukung yang diharapkan cenderung

mendapatkan kepuasan; pendapat ini didukung oleh Luthans (1999:126) yang mengatakan bahwa: "Job

satisfaction is a result of employees perceptions of how well theory or provident hose things which are

viewed as important". Pada dasarya kepuasan kerja adalah hasil persepsi karyawan terhadap

pekerjaannya yang memberikan hal-hal berarti bagi karyawan itu sendiri. Kepuasan kerja tidak dapat

dilihat secara langsung, sehingga harus diukur melalui aspek-aspek pekerjaan; hal ini sesuai pengertian

kepuasan kerja menurut Werther dan Davis (1996:111) mengatakan bahwa: "Job satisfaction can be

defined as a person's emotional response to aspects of work such as pay, supervision, and benefit or to

the work itself”. Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu respon emosional seseorang terhadap

aspek-aspek dari pekerjaan, seperti upah, penyeliaan dan keuntungan atau pekerjaan itu sendiri. Lebih

lanjut dikatakan bahwa: “JDI is the one of them cost widely known and commonly used devices for

measuring job satisfaction. The Job Descriptive Index, or JDI, offers a number of job facets, that are:

work it self, pay, promotion opportunities, working conditions and co-workers".

METODE DAN SAMPLING

Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Waktu penelitian

selama setahun terhitung sejak bulan Maret 2010 sampai dengan Maret 2011. Metode yang digunakan

Page 77: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

73

adalah metode survei dengan teknik kausal. Populasinya adalah seluruh guru ekonomi yang telah lulus

sertifikasi profesi pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Dalam melakukan

penarikan sampel, metode yang digunakan adalah metode acak sederhana (Simple Random Sampling),

ukuran sampel yang disarankan oleh Solimun (2002:84) “dalam analisis Structural Equation Modelling

(SEM) sebesar 400” Solimun (2002) maupun Hair, et al. (1998:605). Teknik analisis dan interpretasi

data menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sebagai alat bantu statistik. Metode kualitatif

berupa deskriptif data yang masuk dengan cara dikelompokkan dan ditabulasi kemudian diberi

penjelasan. Sedangkan metode kuantitatif berupa analisis hubungan antar variabel yang diteliti

menggunakan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM).

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan analisis model penelitian dengan kesimpulan bahwa setiap dimensi valid dan

reliabel dalam merefleksikan variabelnya masing-masing, selanjutnya analisis diteruskan untuk melihat

signifikansi pengaruh dan seberapa besar pengaruh dari variabel yang dihipotesiskan. Terdapat dua

substruktur yang diuji; berikut jabarannya.

Analisis Model Pengaruh Karakteristik Kerja dan Kompensasi terhadap Kepuasan kerja

Untuk substruktur pertama adalah untuk mengetahui pengaruh karakteristik kerja dan kompensasi

terhadap kepuasan kerja.

Tabel 1: Hasil Perhitungan Model Struktural Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) dan Kompensasi (X2)

terhadap Kepuasan Kerja (X3)

Variabel

Laten Endogen

Variabel

Laten Eksogen

Koefisien

Jalur thitung R2

Error

Variance

Kepuasan Kerja (X3)

Karakteristik Pekerjaan (X1) 0,334 6,988 0,508 0,492

Kompensasi (X2)

0,509 5,393

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011

Model di atas menunjukkan koefisien pengaruh dari karakteristik kerja (X1) terhadap kepuasan

kerja (X3) sebesar 0,334 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 6,988 dan koefisien pengaruh dari

kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) sebesar 0,509 dengan nilai thitung untuk uji statistik 5,393.

Untuk menguji pengaruh variabel yang dihipotesiskan digunakan uji-t dengan kriteria uji untuk

penelitian sebesar 0,05 nilai untuk batas dinyatakan uji signifikan adalah 1,96. Hasil perbandingan

antara thitung dengan ttabel untuk uji parsial dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 78: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

74

Tabel 2: Uji Hipotesis Pengaruh secara Parsial Karakteristik Pekerjaan (X1) dan Kompensasi (X2) Terhadap

Kepuasan Kerja (X3)

NN

o Hipotesis

Koefisien

Jalur tthitung Hasil

Kesimpulan

11. Karakteristik

Pekerjaan (X1)

berpengaruh terhadap

Kepuasan Kerja (X3)

0,334

66,98

8

Uji

Signifikan

H0 ditolak, terdapat pengaruh

Karakteristik Pekerjaan (X1)

terhadap Kepuasan Kerja (X3)

22. Kompensasi (X2)

berpengaruh terhadap

Kepuasan Kerja (X3)

0,509

55,39

3

Uji

Signifikan

H0 ditolak, terdapat pengaruh

Kompensasi (X2) terhadap

Kepuasan Kerja (X3)

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011

Analisis Model Pengaruh Karakteristik Pekerjaan, Kompensasi dan Kepuasan Kerja terhadap

Komitmen

Untuk substruktur kedua adalah mengetahui pengaruh karakteristik pekerjaan, kompensasi dan

kepuasan kerja terhadap komitmen.

Tabel 3: Hasil Perhitungan Model Struktural Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1), Kompensasi (2) dan

Kepuasan Kerja (1) terhadap Komitmen (2)

Variabel

Laten Endogen

Variabel

Laten Eksogen

Koefisien

Jalur thitung R2

Error

Variance

Komitmen

(Y)

Karakteristik Pekerjaan (X1) 0,239 5,393 0,649 0,351

Kompensasi (X2) 0,106 2,207

Kepuasan Kerja (X3)

0,577 10,090

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011

Koefisien pengaruh dari karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar

0,239 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 5,393; koefisien pengaruh variabel kompensasi (X2)

terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar 0,106 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 2,207; dan

koefisien pengaruh variabel kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar 0,577 dengan

nilai thitung untuk uji statistik sebesar 10,090.

Untuk menguji pengaruh variabel yang dihipotesiskan digunakan uji-t dengan kriteria uji untuk

penelitian sebesar 0,05, nilai untuk batas dinyatakan uji signifikan adalah 1,96. Hasil perbandingan

antara thitung dengan ttabel untuk uji parsial dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 79: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

75

Tabel 4: Uji Hipotesis Pengaruh secara Parsial Karakteristik Pekerjaan (X1), Kompensasi (X2) dan Kepuasan

Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)

NN

o. Hipotesis

Koefisien

Jalur thitung Hasil Kesimpulan

11. Karakteristik

Pekerjaan (X1)

berpengaruh

terhadap Komitmen

(Y)

0,239

5,393

Uji

Signifikan

H0 ditolak, terdapat

pengaruh Karakteristik

Pekerjaan (X1) terhadap

Komitmen (Y)

22. Kompensasi (X2)

berpengaruh

terhadap Komitmen

(Y)

0,106

2,207

Uji

Signifikan

H0 ditolak, terdapat

pengaruh Kompensasi

(X2) terhadap

Komitmen (Y)

33. Kepuasan kerja (X3)

berpengaruh

terhadap Komitmen

(Y)

0,577

10,090

Uji

Signifikan

H0 ditolak, terdapat

pengaruh Kepuasan

Kerja (X3) terhadap

Komitmen (Y)

Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011

Pengujian Hipotesis

1. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Komitmen (Y)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel karakteristik pekerjaan (X1) diperoleh

5,393 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh karakteristik pekerjaan (X1) terhadap

komitmen (Y) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif karakteristik kerja

terhadap komitmen.

2. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Komitmen (Y)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kompensasi (X2) diperoleh 2,207 lebih

besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kompensasi (X1) terhadap komitmen (Y)

signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap komitmen.

3. Pengaruh Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kepuasan kerja (X1) diperoleh 10,090

lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y)

signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen.

4. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (X3)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel karakteristik pekerjaan (X1) sebesar

6,988 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh karakteristik pekerjaan (X1) terhadap

kepuasan kerja (X3) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif karakteristik kerja

terhadap kepuasan kerja.

5. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kompensasi (X2) sebesar 5,393 lebih

besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3)

signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap kepuasan kerja.

Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Antar Variabel

Secara lebih rinci dapat diketahui total pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik pekerjaan

(X1), kompensasi (X2) dan kepuasan kerja (X3) terhadap Komitmen (Y) sebagai berikut.

Page 80: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

76

1. Pengaruh Karakteristik Kerja (X1) terhadap Komitmen (Y)

Pengaruh langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) = 0,2392 100% = 5,7%. Nilai

5,7% menyatakan secara langsung sebesar 5,7% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh

karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y)

yang melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,239 x 0,404 x 0,106) x 100 % = 1,1%. Nilai

ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen melalui

kompensasi. Adanya keterkaitan antara karakteristik pekerjaan dengan kompensasi memperbesar

pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen sebesar 1,1%. Pengaruh tidak langsung

karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kepuasan kerja

(X3) = (0,239 x 0,539 x 0,577) x 100 % = 7,4%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung

pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen melalui kepuasan kerja. Adanya keterkaitan antara

karakteristik kerja dengan kepuasan kerja memperbesar pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap

komitmen sebesar 7,4%. Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen sebesar 5,7% +

1,1% + 7,4% = 14,2%.

2. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Komitmen (Y)

Pengaruh langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) = 0,1062 x 100% = 1,1%, Nilai 1,1%

menyatakan secara langsung sebesar 1,1% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh kompensasi.

Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan

karakteristik pekerjaan (X1) = (0,106 x 0,404 x 0,239) x 100% = 1,1%. Nilai ini menunjukkan pengaruh

tidak langsung pengaruh kompensasi terhadap komitmen melalui karakteristik pekerjaan. Adanya

keterkaitan antara kompensasi dengan karakteristik pekerjaan memperbesar pengaruh kompensasi

terhadap komitmen sebesar 1,1%. Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y)

yang melalui hubungannya dengan kepuasan kerja (X3) = (0,106 x 0,644 x 0,577) x 100% = 3,9%. Nilai

ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kompensasi terhadap komitmen melalui kepuasan

kerja. Adanya keterkaitan antara kompensasi dengan kepuasan kerja memperbesar pengaruh

kompensasi terhadap komitmen sebesar 3,9%. Total pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen

sebesar 1,1% + 1,1% + 3,9% = 6,1%.

3. Pengaruh Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)

Pengaruh langsung kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) = 0,5772 x 100% = 33,3%. Nilai 33,3%

menyatakan secara langsung sebesar 33,3% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh kepuasan

kerja. Pengaruh tidak langsung kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya

dengan karakteristik pekerjaan (X1) = (0,577 x 0,539 x 0,239) x 100% = 7,4%. Nilai ini menunjukkan

pengaruh tidak langsung pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen melalui karakteristik pekerjaan.

Adanya keterkaitan antara kepuasan kerja dengan karakteristik pekerjaan memperbesar pengaruh

kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 7,4%. Pengaruh tidak langsung kepuasan kerja (X3) terhadap

komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,577 x 0,644 x 0,106) x 100%

= 3,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen

melalui kompensasi. Adanya keterkaitan antara kepuasan kerja dengan kompensasi memperbesar

pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 3,9%. Total pengaruh kepuasan kerja terhadap

komitmen sebesar 33,3%+ 7,4% + 3,9% = 44,6%.

Secara total diperoleh 64,9% perubahan komitmen dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan,

kompensasi, dan kepuasan kerja. Secara parsial diperoleh pengaruh dari kepuasan kerja terhadap

komitmen (44,6%) lebih besar dari pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen (14,2%) dan

pengaruh dari kompensasi terhadap komitmen (6,1%) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang

paling berperan dalam komitmen adalah kepuasan kerja, diikuti karakteristik pekerjaan dan

kompensasi.

4. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (X3)

Pengaruh langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap kepuasan kerja (X3) = 0,3342 x 100% = 11,1%.

Nilai sebesar 11,1% menyatakan secara langsung sebesar 11,1% keragaman dari kepuasan kerja dapat

dijelaskan oleh karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap

kepuasan kerja (X3) melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,334 x 0,404 x 0,509) x 100%

= 6,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja

melalui kompensasi. Adanya keterkaitan antara karakteristik pekerjaan dengan kompensasi

memperbesar pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar 6,9%.

Page 81: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

77

Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar: 11,1% + 6,9% = 18,0%. Hasil

perhitungan menunjukkan bahwa besar pengaruh dari karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja

mencapai 18,0%. Sehingga perubahan dalam karakteristik pekerjaan akan berdampak terhadap

kepuasan kerja mencapai 18,0%.

5. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3)

Pengaruh langsung kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) = 0,5092 x 100 % = 25,9%. Nilai

25,9% menyatakan secara langsung sebesar 25,9% keragaman dari kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh

karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) melalui

hubungannya dengan karakteristik pekerjaan (X1) = (0,509 x 0,404 x 0,334) x 100% = 6,9%. Nilai ini

menunjukkan pengaruh tidak langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja melalui karakteristik

pekerjaan. Adanya keterkaitan antara kompensasi dengan karakteristik pekerjaan memperbesar

pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja sebesar 6,9%.

Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar: 25,9% + 6,9% = 32,8%. Hasil

perhitungan menunjukkan bahwa besar pengaruh dari karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja

mencapai 32,8%. Sehingga perubahan dalam karakteristik pekerjaan akan berdampak terhadap

kepuasan kerja mencapai 32,8%.

Secara total diperoleh 50,8% perubahan kepuasan kerja dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan dan

kompensasi. Secara parsial diperoleh pengaruh dari kompensasi terhadap kepuasan kerja (32,8%) lebih

besar dari pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja (18,0%) sehingga dapat

disimpulkan bahwa variabel yang lebih berperan dalam kepuasan kerja adalah kompensasi.

Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan terhadap Komitmen

Pekerjaan guru merupakan pekerjaan yang sangat dinamis, artinya guru dapat menyesuaikan

dirinya dengan perkembangan siswanya; guru dapat melakukan perubahan terhadap anak didik.

Kadangkala guru menyenangi pekerjaan yang lebih kompleks dan menantang; hal ini dapat

menghasilkan absensi yang rendah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh langsung positif

terhadap komitmen. Hal ini berarti bahwa semakin sesuai karakteristik pekerjaan, maka semakin tinggi

komitmen. Terwujudnya komitmen merupakan harapan setiap guru maupun organisasi agar tetap eksis

dalam kelangsungan organisasi. Guru memperoleh tugas sesuai karakteristik mereka akan tercipta rasa

senang dalam bekerja, sehingga dapat bekerja dengan baik karena secara fisik dan psikisnya dapat

terakomodir dalam membangun komitmen.

Karakteristik pekerjaan seperti: ragam keterampilan, identitas tugas, pentingnya tugas,

otonomi, dan umpan balik sangat diperlukan bagi seseorang baik sebagai motivasi, meningkatkan

kinerja maupun kepuasan kerja yang akhirnya dapat menciptakan komitmen. Variasi keterampilan yang

berbeda yang dapat mengurangi kebosanan dalam menjalankan tugas sebagai guru dapat menunjang

kepuasan dan komitmenpun tercipta untuk tetap bekerja pada organisasi yang bersangkutan.

Sementara dimensi lainnya yang penting bagi komitmen adalah signifikansi tugas. Hal ini akan

memberikan dorongan bagi guru untuk bekerja lebih giat apabila tugas-tugas yang dikerjakan dirasakan

memberikan manfaat bagi orang lain atau organaisasi. Signifikansi tugas mengacu pada kadar dampak

pekerjaan terhadap orang lain atau organisasi; misalnya pada saat melakukan langkah pokok dalam

proses kerja. Sementara identitas tugas pekerjaan membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh; untuk

itu diharapkan dapat teridentifikasi secara rinci tentang bagian-bagian terkecil agar diketahui dan

diselesaikan secara baik dan benar. Dimensi variasi keahlian, signifikansi tugas, dan identitas tugas

secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. Artinya jika ketiga karakteristik pekerjaan itu

ada pada suatu pekerjaan, maka dapat diramal bahwa pemangku pekerjaan itu akan memandang

pekerjaan itu penting, berharga, dan ada gunanya untuk dikerjakan.

Atribut otonomi misalnya, merupakan atribut yang dapat berpengaruh terhadap semangat guru

dalam bekerja. Pada dasarnya setiap orang menginginkan kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaan

dan kurang menginginkan aturan-aturan baku yang dapat mengganggu kreativitasnya. Dimensi ini

merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan rasa tanggung jawab dalam diri guru; oleh

karenanya akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya.

Demikian pula umpan balik mengenai informasi yang diterima guru mengenai efektivitas dan kualitas

Page 82: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

78

pekerjaan mereka; hal ini dapat berfungsi sebagai instruksi yaitu berfunsgi ketika menjelaskan peran

atau mengajarkan perilaku baru, sementara fungsi motivasi ketika berfungsi sebagai imbalan atau

menjanjikan imbalan yang akan diberikan organisasi.

Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi karakteristik pekerjaan

dalam kaitannya dengan komitmen. Temuan hasil penelitian ini didukung hasil temuan penelitian

Sudjana menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara karakteristik pekerjaan dengan

komitmen karyawan pada organisasi; artinya makin tinggi taraf karakteristik pekerjaan, makin tinggi

komitmen karyawan pada organisasi. Di samping itu, hasil penelitian Chang dan Lee menunjukkan

bahwa karakteristik pekerjaan memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap komitmen

organisasional.

2. Pengaruh Langsung Kompensasi terhadap Komitmen

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya komitmen di antaranya

dipengaruhi oleh baik buruknya sistem kompensasi yang diimplementasikan bagi para guru untuk

memenuhi harapan-harapannya; oleh karenanya kondisi itu akan memberikan kontribusi yang

signifikan bagi peningkatan komitmen; dengan demikian komitmen akan dapat tercipta. Hal ini dapat

dipahami mengingat motif utama orang bekerja adalah memperoleh imbalan untuk memenuhi

kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Imbalan yang diterima guru dalam bentuk gaji, tunjangan,

insentif, dan lain-lain; maka segala kebutuhan diri dan keluarganya diharapkan dapat terpenuhi. Setelah

kebutuhan pokok terpenuhi, tentunya seseorang akan beranjak pada kebutuhan yang lebih tinggi sampai

aktualisasi diri. Berdasarkan besarnya kompensasi yang diterima mencerminkan status, pengakuan, dan

tingkat pemenuhan kebutuhan; artinya bila kompensasi yang diterimanya semakin besar berarti

jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik; demikian pula dalam memenuhi kebutuhan yang

dinikmatinya semakin baik pula (Hasibuan).

Dalam menjalankan tugas sebagai guru, terjadinya komitmen merupakan hal yang sangat

diharapkan oleh setiap guru maupun organisasi yang bersangkutan. Komitmen sudah menjadi

kebutuhan bagi setiap guru untuk dapat memenuhi kelangsungan hidup diri dan keluarganya, bahkan

siapa saja yang melakukan kegiatan komitmen menjadi idaman agar dapat menjalankan tugas dengan

senang hati. Guru yang kurang komit biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan negatif yang

berakibat merugikan organisasi, seperti malas bekerja, sering absen, terlambat datang, pindah kerja

maupun tidak taat terhadap aturan organisasi yang akhirnya hasil kerja di bawah standar.

Dalam mencapai komitmen tentunya beberapa faktor yang diharapkan antara lain terkait

dengan kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, komunikasi, promosi, maupun kompensasi. Bila faktor-

faktor tersebut dipersepsikan tidak sesuai dengan harapan guru, maka guru akan muncul kurang komit.

Guru yang komit dalam bekerja cenderung rajin bekerja, tertib terhadap aturan; selain itu komitmen

dapat mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan untuk berpindah kerja mengingat

yang diharapkan telah terpenuhi. Sikap seperti ini merupakan cermin bahwa guru mengharapkan

keberpihakan yang dapat memenuhi harapan hidup diri dan keluarga guru maupun organisasi.

Hasil penelitian sebelumnya mendukung temuan hasil penelitian ini di antaranya yang

dilakukan oleh Siregar menunjukkan bahwa kompensasi berpengaruh langsung terhadap komitmen

organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan pada variabel komitmen organisasi

disebabkan oleh kompensasi, sehingga perubahan kompensasi akan menyebabkan peningkatan

komitmen organisasi. Selain itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Daniel dan Caryl

menunjukkan bahwa kombinasi imbalan, nilai-nilai biaya, dan ukuran investasi merupakan prediktor

terbaik bagi komitmen kerja.

3. Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja terhadap Komitmen

Temuan ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang dapat

digunakan sebagai prediktor komitmen organisasi guru. Hal ini berarti menurunnya kepuasan kerja guru

dapat dipastikan secara signifikan berimplikasi terhadap menurunnya komitmen.

Dalam menjalankan tugas sebagai guru, terjadinya kepuasan kerja merupakan hal yang sangat

diharapkan oleh setiap guru. Kepuasan kerja sudah menjadi kebutuhan bagi setiap guru, bahkan siapa

saja yang melakukan kegiatan; kepuasan kerja menjadi idaman agar dapat menjalankan tugas dengan

senang hati. Guru yang kurang puas biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan negatif yang

berakibat merugikan organisasi, seperti malas bekerja, sering absen, terlambat datang, pindah kerja

maupun tidak taat terhadap aturan organisasi yang akhirnya hasil kerja di bawah standar.

Page 83: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

79

Dalam mencapai kepuasan kerja tentunya beberapa faktor yang diharapkan antara lain terkait

dengan kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, komunikasi, promosi, maupun kompensasi. Bila faktor-

faktor tersebut dipersepsikan tidak sesuai dengan harapan guru, maka ketidakpuasan kerja akan muncul.

Guru yang puas dalam bekerja cenderung rajin bekerja, tertib terhadap aturan; selain itu kepuasan kerja

dapat mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan untuk berpindah kerja mengingat

yang diharapkan telah terpenuhi. Sikap seperti ini merupakan cermin bahwa guru memiliki komitmen

yang tinggi terhadap organisasi sekolah.

Apabila peran guru telah menyatakan komitmennya maka dapat dipastikan bahwa sekolah akan

mampu meningkatkan kepuasan kerja guru, meningkatkan kinerja dan menekan tingkat perputaran guru

yang pada akhirnya mampu memfasilitasi proses interaksi yang ada. Lebih lanjut, Belcher menyatakan

bahwa: to obtain a commitment from all employees, shall be the principal purpose of the organization,

among others, by involving all employees and increase the sense of organization. Dari rasa memiliki

inilah yang akan mampu menggerakkan pegawai untuk memberikan pelayanan terbaik kepada

pelanggan tanpa harus diperintah terlebih dahulu dalam menjalankan tugasnya.

Dalam penelitian terdahulu memperkuat temuan ini bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap

komitmen; beberapa di antaranya yaitu hasil penelitian Salak menunjukkan bahwa kepuasan kerja

berpengaruh langsung positif terhadap komitmen pegawai. Dampak yang terjadi jika pegawai

merasakan kepuasan akan lebih komit dalam menjalankan tugasnya. Selain itu juga Soekotjo dalam

temuan penelitiannya bahwa kepuasan kerja berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.

Demikian pula hasil penelitian Siregar dalam temuan penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan kerja

berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.

4. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan terhadap Kepuasan Kerja

Temuan ini dapat dipahami karena suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki ciri-ciri khusus yang

berbeda antar jenis pekerjaan. Ciri-ciri pekerjaan atau disebut pula karakteristik pekerjaan merupakan

faktor penting yang menentukan perilaku guru dalam bekerja. Faktor-faktor yang terdapat dalam

karakteristik pekerjaan antara lain: variasi keterampilan (skill variety), identitas tugas (task identity),

signifikansi tugas (task significance), otonomi (autonomy), dan umpan balik (feedback). Dalam dimensi

variasi keterampilan memungkinkan guru untuk melaksanakan bidang tugas yang berbeda dan

seringkali mengharuskan adanya keterampilan yang berbeda pula. Pekerjaan yang beragam dipandang

guru lebih menantang karena mencakup beberapa jenis keterampilan. Keragaman juga menimbulkan

parasaan kompeten bagi guru karena dapat melakukan jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara

berbeda.

Sementara dimensi lainnya yang penting bagi kepuasan kerja guru adalah signifikansi tugas. Hal

ini akan memberikan dorongan bagi guru untuk bekerja lebih giat apabila tugas-tugas yang dikerjakan

dirasakan memberikan manfaat bagi orang lain atau organaisasi. Signifikansi tugas mengacu pada kadar

dampak pekerjaan terhadap orang lain atau organisasi; misalnya pada saat melakukan langkah pokok

dalam proses kerja. Bagi guru bisa lebih percaya diri dapat melakukan sesuatu yang penting bagi

organisasi; perasaan seperti ini akan mampu menimbulkan rasa puas dalam diri guru itu sendiri.

Sementara identitas tugas pekerjaan membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh; untuk itu

diharapkan dapat teridentifikasi secara rinci tentang bagian-bagian terkecil agar diketahui dan

diselesaikan secara baik dan benar. Dimensi variasi keahlian, signifikansi tugas, dan identitas tugas

secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. Artinya jika ketiga karakteristik pekerjaan itu

ada pada suatu pekerjaan, maka dapat diramal bahwa pemangku pekerjaan itu akan memandang

pekerjaan itu penting, berharga, dan ada gunanya untuk dikerjakan.

Demikian juga pekerjaan yang memiliki otonomi akan memberikan kepada pemangku pekerjaan

itu suatu perasaan tanggung jawab pribadi untuk hasil-hasilnya dan jika suatu pekerjaan memberikan

umpan balik maka guru akan mengetahui seberapa efektif ia bekerja. Jika keadaan psikologis guru

seperti makna yang dialami dari pekerjaan, tanggung jawab yang dialami untuk hasil kerja, dan

pengetahuan hasil aktual dari kegiatan kerja yang ada dalam melakukan pekerjaan maka motivasi,

kepuasan kerja dan kinerja karyawan akan dapat ditingkatkan dan bahkan low absenteeisn dan turnover.

Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh langsung positif terhadap

kepuasan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin sesuai karakteristik pekerjaan, maka semakin tinggi

kepuasan kerja guru. Terwujudnya kepuasan kerja merupakan harapan setiap guru. Guru memperoleh

Page 84: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

80

tugas sesuai karakteristik mereka akan tercipta rasa senang dalam bekerja, sehingga dapat bekerja

dengan baik karena secara fisik dan psikisnya dapat terakomodir.

Dalam kepuasan kerja guru cukup banyak memberikan implikasi terhadap sikap dan

prilakunya. Mereka yang tidak puas cenderung akan melakukan tindakan-tindakan negatif yang dapat

merugikan organisasi sekolah seperti: malas bekerja, sering absen, pindah bekerja, tidak taat terhadap

aturan organisasi, serta ada kecenderungan bekerja di bawah standar yang ditentukan. Hal tersebut

terjadi disebabkan harapan mereka tidak sesuai dengan karakteristik pekerjaan yang ditanganinya,

kenyataan yang diterimanya berupa pembayaran, dan lain sebagainya.

Guru yang puas dalam menjalankan tugasnya akan cenderung bekerja rajin, disiplin dalam

menjalankan tugas, serta tertib terhadap aturan organisasi sekolah. Di samping itu, kepuasan kerja akan

mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan pindah bekerja kendatipun di tempat

lain memberikan kompensasi yang lebih tinggi. Sikap guru seperti ini merupakan cermin bahwa guru

harus memiliki karakteristik yang sesuai seperti: ragam keterampilan, identitas tugas, pentingnya tugas,

otonomi, dan umpan balik memerlukan keterampilan berbeda yang dapat mengurangi kebosanan.

Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi karakteristik pekerjaan

dalam kaitannya dengan kepuasan kerja. Temuan hasil penelitian Zunaidah mendukung hasil penelitian

ini yang menyimpulkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepuasan kerja pegawai. Hal ini juga sama seperti temuan hasil penelitian Bangun bahwa karakteristik

pekerjaan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.

5. Pengaruh Langsung Kompensasi terhadap Kepuasan Kerja

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kepuasan kerja di antaranya

dipengaruhi oleh baik buruknya sistem kompensasi yang berlaku dalam organisasi. Jika sistem

kompensasi yang diimplementasikan bagi para guru mampu memenuhi harapan-harapannya, maka

kondisi itu akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kepuasan kerja guru. Hal ini

dapat dipahami mengingat motif utama orang bekerja adalah memperoleh imbalan untuk memenuhi

kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Imbalan yang diterima guru dalam bentuk gaji, tunjangan,

insentif, dan lain-lain; maka segala kebutuhan diri dan keluarganya diharapkan dapat terpenuhi. Setelah

kebutuhan pokok terpenuhi, tentunya seseorang akan beranjak pada kebutuhan yang lebih tinggi sampai

aktualisasi diri.

Kompensasi yang diberikan baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar maupun kebutuhan

lainnya, jika dirasakan mencukupi oleh guru akan mendatangkan perasaan puas. Hal ini terjadi jika

yang didapatkan guru dari kompensasi sesuai atau melebihi harapannya. Kompensasi dalam bentuk

gaji, tunjangan, intensif merupakan faktor yang seringkali dihubungkan dengan tingkat kepuasan

seseorang dalam bekerja. Bagi seseorang yang bekerja dengan gaji tinggi, intensif yang memadai dan

penghasilan tambahan yang cukup; mengindikasikan kepuasan kerja lebih tinggi jika dibandingkan

seorang guru yang memiliki gaji rendah, minim intensifnya dan tidak adanya penghasilan tambahan.

Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi kompensasi dalam

kaitannya dengan kepuasan kerja. Beberapa temuan hasil penelitian di antaranya oleh Siregar

menunjukkan kompensasi berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai. Di samping itu

temuan hasil penelitian Nulhakim menunjukkan bahwa kompensasi mempunyai pengaruh langsung

terhadap kepuasan kerja dosen sebesar 7,81%. Bahkan hasil penelitian Zunaidah menyimpulkan bahwa

kompensasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai sebesar 9,32%. Ketiga

peneliti tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja sama-

sama berperan dalam besaran pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap komitmen; artinya dengan

peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan mengakibatkan peningkatan komitmen.

2. Terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan

kelayakan kompensasi akan mengakibatkan peningkatkan komitmen.

3. Terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan

kepuasan kerja akan mengakibatkan peningkatkan komitmen.

Page 85: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

81

4. Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja guru; artinya

dengan peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan mengakibatkan peningkatkan

kepuasan kerja guru.

5. Terdapat pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja guru; artinya dengan peningkatan

kelayakan kompensasi akan mengakibatkan peningkatkan kepuasan kerja guru.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, N.J. dan Meyer, J. P. (1993). “Organizational Commitment: Evidence of Career Stage Effects?”

Journal of Business Research. Vol. 26.

Alwi, Syafaruddin. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Strategi Keunggulan Kompetitif. Edisi

Pertama. Yogyakarta: BPFE.

Bernadin, John, Russel dan Joyce E.A. (1998). Human Resource Management. Second Edition. New

York: McGraw-Hill.

Cascio, Wayne. (2003). Managing Human Resources Productivity, Quality of Work Life, Profits. Fourth

Edition. New York: McGraw-Hill Inc.

Durkin, Mark. (1999). “Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and Exploring Hidden

Dangers”. International Journal of Bank Marketing. Vol. 17. No. 3.

Greenberg, Jerald dan Robert A. Baron. (2003). Behavior in Organization. 8th Edition. New Jessey:

Person Education.

Hair, J.F., at al. (1998). Multivariate Data Analysis. 5th Edition. London: Prentice Hall International

Inc.

Handoko, Hani. (2002). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE.

Hasibuan, Malayu S.P. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.

Hill, Nigel. 1996. Handbook of Customer Satisfaction Measurement. Gower Publishing Limited.

Jacobsen, Dag Ingvar. (2000). “Managing Increased Part-Time: Does Part-Time Work Imply Part-

Time Commitment”? Managing Service Quality. Vol. 10. No. 3.

Lapierre, Jozee. (2000). “Customer-Perceives Value in Industrial Contexts”. Journal of Business and

Industrial Marketing. Vol. 15. No. 2/3.

Long, Mary L. (2000). “Consumption Values and Relationship: Segmenting The Market for Frequency

Programs”. Journal of Consumer Marketing. Vol. 17. No. 3.

Luthans, Fred. (1999). Organizational Behaviour. 3rd Edition. New York: McGraw-Hill.

Marcia, J.E. (1993). Ego Identity: A Handbook for Psychosocial Research. New York: Springer-

Verlag.

Mullins, Laurie L. (2005). Management and Organizational Behavior. Seventh Edition. London:

Prentise Hall.

Nawawi, Hadari. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Untuk Bisnis Yang Kompetitif. Cetakan

Keempat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. (2008). Perilaku Organisasi. Saduran: Diana Angelica,

Ria Cahyani dan Abdul Rosyid. Jakarta: Salemba Empat.

Salak, Ajriani Munthe. (2010). Pengaruh Nilai Budaya Pegawai, Struktur Organisasi, Penggunaan

Kekuasaan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Pegawai: Studi Kausal

pada Pegawai di Lembaga Administrasi Negara. Disertasi Universitas Negeri Jakarta.

Sedarmayanti. (2005). Membangun Kebudayaan dan Pariwisata: Bunga Rampai Tulisan Pariwisata.

Cetakan I. Jakarta: CV. Mandar Maju.

Siregar, Yanto. (2010). Pengaruh Kompensasi, Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Terhadap

Komitmen Organisasi Pegawai Kantor Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Disertasi

Universitas Negeri Jakarta.

Page 86: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

82

Setiawan, Bambang. (2008). The Effect of Compensation on Employee Job Satisfaction: Study on

Cigarette Manufacturing Production Employees Section Aprivera Tulungagung. University of

Muhammadiyah Malang.

Soekidjo, Notoatmojo. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Soekotjo, Sundari. (2009). Pengaruh Budaya Organisasi, Perilaku Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja

Terhadap Komitmen Organaisasi Karyawan PT. Pembangunan Perumahan (Persero). Disertasi

Universitas Negeri Jakarta.

Solimun. (2002). Multivarite Analysis, Structural Equation Modelling (SEM), Lisrel dan Amos:

Aplikasi di Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Psikologi, Sosial, Kedokteran dan

Agrokompleks. Malang: FMIPA Universitas Brawijaya.

Strauss, George. (1992). Workers Participation in Management: The Psychology of Influence and

Control at Work. Oxford: Blackwell.

Sudjana, Rusman. (2006). Studi Korelasi antara Budaya Organisasi, Motivasi Kerja, serta

Karakteristik Kerja dan Komitmen Karyawan di CV. Angkasa Bandung. Disertasi Universitas

Negeri Jakarta.

Ulrich, Dave. (1997). Human Resources Champions. Boston: Harvard Business School Press.

Werther, Jr. William B. dan Keith Davis. (1996). Human Resources an Personnel Management. Third

Edition. New York: McGraw-Hill Inc.

Wetzels, Martin. (1998). “Marketing Service Relationship: The Role of Commitment”. Journal of

Business and Industrial Marketing. Vol. 13. No. 4/5.

William, George R. (1996). “International Marketing and Organizational Behavior: A Partnership in

Developing Customer Conscious Employees at Every Level”. Journal of Business Research.

January 20th.

Wood, Wallace. (2001). Organization Behavior A Global Perspective. 2th Edition. Australia: John

Wiley & Sons Ltd.

Zunaidah. (2006). Pengaruh Kompensasi, Karakteristik Pekerjaan dan Kepemimpinan Terhadap

Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai: Studi Empirik Terhadap Pegawai Tetap dan Kontrak

pada Perusahaan Menengah dan Besar di Kota Palembang. Disertasi Universitas Padjadjaran

Bandung.

Page 87: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

83

PARENTING, AND CAREER SELECTION

STUDENTS ACCELERATION OF SENIOR HIGH SCHOOL IN JAKARTA

Hartini Nara1

1Department of Special Education Faculty of Education University of Jakarta

nara.tinut @ gmail.com

Abstract

This study aims to determine the relationship between each model parenting (authoritarian,

authoritative and permissive) and career selection students acceleration of senior high

school in Jakarta. This study sampling done by purposive sampling, and convenience

sampling. Sampling in this study were 47 students acceleration from four senior high

school in Jakarta. Students acceleration involved in this study had an age range 14-17

years. The study found three things: First, there is no significant positive relationship

between authoritarian parenting with career choice student acceleration. Second, there is a

positive and significant relationship between authoritative parenting with career choice.

Thirdly there is no positive and significant correlation between permissive parenting with

career choice.

Keywords: parenting, career choice, accelerated program

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing model pola

asuh (otoriter, otoritatif dan permisif) dengan pemilihan karir siswa program akselerasi

SMA di Jakarta. Penelitian korelasi ini pengambilan sampel dilakukan secara purposive

sampling, dan convenience sampling. Sampling dalam penelitian ini adalah 47 siswa kelas

akselerasi yang berasal dari 4 SMA di Jakarta. Siswa program akslerasi yang terlibat dalam

penelitian ini memiliki rentang usia 14 – 17 tahun. Penelitian ini menemukan tiga hal:

Pertama, tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan

pemilihan karir siswa akselerasi . Kedua, terdapat hubungan yang positif dan signifikan

antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir. Ketiga tidak ada hubungan yang positif

dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir.

Kata kunci: Pola asuh, pemilihan karir, program akselerasi

PENDAHULUAN

Menentukan karir bagi siswa akselerasi ternyata bukan perkara yang mudah. Banyaknya kemampuan

yang dimiliki, yang seharusnya bisa menjadi bekal mereka dalam pemilihan karir, pada kenyataannya

tidak menjamin bahwa mereka tidak akan bersikap bimbang dan ragu. Moesono (dalam Hawadi 2004)

menyatakan bahwa: bagi seseorang yang disebut multi talented ternyata banyaknya pilihan sama

sulitnya dengan “tidak ada pilihan”. Sering terjadi pada siswa akselerasi karena dihadapkan pada

banyak pilihan, mereka asal memilih saja, sekedar terlepas dari konflik pilihan yang terus

menghimpitnya, tanpa berfikir panjang tentang kesesuaian dengan kepribadiannya.

Page 88: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

84

Southen dan Jones (dalam Mayangsari, 2001), mengemukakan bahwa singkatnya waktu belajar

menyebabkan siswa dari program akselerasi akan menghadapi pengambilan keputusan untuk

menentukan bidang pekerjaan atau karir yang akan ditekuninya lebih cepat daripada teman-teman

sebaya. Selanjutnya penelitian Post-Kommer dan Perrone (dalam Isaacson, 1996), diketahui bahwa 30

% dari siswa berbakat di SMU yang menjadi responden penelitian merasa tidak siap dalam membuat

keputusan mengenai karir mereka. Situasi ini tidak jauh berbeda dengan sekolah yang

menyelenggarakan program akselerasi di Indonesia. Bila melihat waktu belajar yang singkat dengan

materi yang padat. Secara otomatis mengakibatkan sebagian besar waktu mereka digunakan untuk

belajar. Waktu belajar siswa program akselerasi yang hanya ditempuh selama dua tahun, memiliki

konsekuensi siswa program akselerasi akan melaksanakan tiga kali ujian semester dalam waktu satu

tahun. Berbeda dengan siswa reguler yang melaksanakan dua kali ujian semester dalam waktu satu

tahun, hampir sepanjang tahun siswa akselerasi belajar untuk mempersiapkan ujian semester. Padahal

di sisi lain siswa pogram akselerasi di SMA juga dituntut untuk mulai melakukan pemilihan karir.

Peranan keluarga dalam pemilihan karir khususnya, orangtua dan teman sebaya memiliki

pengaruh yang sangat kuat pada pemilihan karir remaja (Santrock, 2003); Farmer (dalam

Seligman,1994), menyatakan bahwa dukungan orang tua dalam hal aspirasi karir memiliki pengaruh

yang lebih kuat dari pada teman, guru, dan status sosial. Demikian juga, dengan kualitas hubungan

orangtua dan anak, pola interaksi dalam keluarga, minat dan harapan-harapan orangtua pada anak

mereka di masa depan merupakan komponen yang penting pada perkembangan karir anak Whiston

(dalam Seligman, 1994). Penelitian Mayangsari (1997), mengenai pengaruh orangtua terhadap

penentuan karir dan pendidikan yang diinginkan siswa ditemukan bahwa dalam menentukan karir dan

pendidikan yang diinginkan, 69,44 % siswa SMU yang menjadi responden lebih memperhatikan

masukan yang diberikan oleh orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki

pengaruh yang signifikan dalam pemilihan karir remaja. Pengaruh yang sangat kuat dari orangtua

terhadap pemilihan karir tidak bisa dilepaskan dari cara atau pola asuh yang dominan digunakan mereka

dalam mendidik anak. Lebih jauh Young (dalam Santrock, 2003), mengungkapkan bahwa banyak

faktor yang mempengaruhi peran orangtua dalam perkembangan karir remaja. Misalnya ibu yang

bekerja di luar rumah dan memperlihatkan usaha dalam bekerja serta menghargai pekerjaannya akan

memberikan pengaruh yang kuat bagi pemilihan karir remaja. Kesimpulan yang masuk akal adalah jika

kedua orangtuanya bekerja dan menikmatinya, anak akan belajar menghargai pekerjaan dari kedua

orangtuanya. Dengan kata lain orangtua dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam

pemilihan karir. Semua ini tergantung cara orangtua menggambarkan pekerjaannya kepada anak

mereka, dan terkait erat dengan pola asuh orangtua yang berlaku sehari-hari apakah otoriter

(Authoritarian), permisif (Permissive) atau otoritatif (Authoritative) (Baumrind dalam Santrock, 2003).

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Asuh

Pola asuh pada dasarnya merupakan sikap dan kebiasaan orangtua yang diterapkan saat

mengasuh dan membesarkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Berns (1985), memandang pengasuhan

sebagai proses interaksi yang terus menerus dan mempengaruhi orangtua dan anak. Dalam berinteraksi

dengan anak orangtua perlu menyesuaikan diri secara berkesinambungan dengan berbagai perubahan

kemampuan yang dialami anaknya. Tarmudji (2003), berpendapat pola asuh orangtua merupakan

interaksi antara orangtua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Sebagai pengasuh dan

pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku bagi

anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya.

Semua kejadian itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi

anak-anaknya. Hal demikian terjadi dikarenakan anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya

sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Bonner, dalam Tarmudji, 2004). Seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang mempunyai peranan dalam pembentukan

kepribadian adalah praktik pengasuhan orangtua kepada anaknya. Jerome Kagan (dalam Berns,1985),

mengemukakan bahwa pengasuhan (parenting) adalah implementasi dari sederetan keputusan

orangtua tentang sosialisasi anaknya, misalnya apa yang akan dilakukan orangtua jika anaknya

Page 89: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

85

bertingkah laku agresif (mendorong, memukul, menendang). Dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan anak, pola asuh orangtua memiliki peran penting sebagaimana didukung oleh pendapat

Hurlock (1980), yang menyatakan bahwa hubungan antar keluarga mempunyai peran yang penting

dalam menentukan pola sikap-sikap dan perilakunya kelak dalam hubungannya dengan orang lain. Hal

ini dikarenakan pola asuh yang diterapkan orangtua akan mempengaruhi perilaku anaknya.

Klasifikasi Pola Asuh

Baumrind (dalam Santrock, 2002), menekankan tiga jenis cara menjadi orangtua, yang

berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial: otoriter (Authoritarian), atau

otoritatif (Authoritative) permisif (Permissive). Baru-baru ini para ahli perkembangan berpendapat

bahwa pengasuhan permisif terdiri dari dua macam neglectful dan indulgent.

Pola Asuh otoriter (Authoritarian)

Pola asuh otoriter (Authoritarian) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang

menuntut anak untuk mengikuti petunjuk atau perintah orangtua dan untuk menghargai kerja dan usaha.

Orangtua yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas dan hanya melakukan sedikit

komunikasi verbal (Santrock, 2002). Pola asuh otoriter berkaitan dengan perilaku sosial yang tidak

cakap. Anak yang orangtuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu

memulai suatu pekerjaan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah (Santrock, 2002).

Menurut Barnadib (1986), orangtua yang otoriter tidak memberikan hak kepada anaknya untuk

mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya. Sedangkan menurut Stewart dan

Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: kaku, tegas,

suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta kurang simpatik. Orangtua memaksa anak untuk patuh

pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta

cenderung mengekang keinginan anak. Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan untuk

mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut bertanggung jawab seperti orang

dewasa.

Pola Asuh otoritatif (Authoritative) Dalam pola asuh ini orangtua mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan

dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung

dengan bebas, orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati. Pengasuhan otoritatif

mendorong perilaku anak menjadi kompeten. Anak yang memiliki orangtua dengan pola asuh otoritatif

akan sadar diri dan dapat bertanggungjawab secara sosial (Santrock, 2002). Penelitian Lutfi

(Nurhidayah, Nurhidayah, dkk, dalam Shochib,1998), mengindikasikan bahwa dalam pola asuh dan

sikap orangtua yang demokratis (otoritatif) ada komunikasi yang dialogis antara anak dan ada

kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan.

Pola Asuh Permisif (Permissive) Ada dua macam pengasuhan permisif: pertama permisif bersifat memanjakan dan kedua

permisif bersifat tidak peduli (Macoby & Martin, 1984). Pola asuh permisif bersifat tidak peduli adalah

suatu pola di mana orangtua sangat tidak mencampuri kehidupan anaknya. Hal ini berkaitan dengan

perilaku sosial anak yang tidak cakap, terutama karena kurangnya pengendalian diri. Anak sangat

membutuhkan perhatian dari orangtua mereka. Anak yang memiliki orangtua menganut pola asuh

permisif tidak peduli memperoleh kesan bahwa aspek lain dari kehidupan orangtua lebih penting bila

dibandingkan dirinya. Anak yang orangtuanya permisif-tidak peduli biasanya tidak memiliki

kecakapan sosial dan menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan diri, serta tidak dapat menangani

kebebasan dengan baik (Santrock, 2002). Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola di mana

orangtua sangat terlibat dalam kehidupan remaja, tetapi sedikit sekali menuntut dan mengendalikan

mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial anak terutama

karena kurangnya pengendalian diri. Orangtua yang bersifat permisif memanjakan mengijinkan anak

melakukan apa saja yang mereka inginkan. Akibatnya anak tidak pernah belajar mengendalikan

perilaku dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya. Orangtua yang menganut pola

asuh permisif memanjakan biasanya percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit

Page 90: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

86

batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri (Santrock, 2003). Barnadib (1986),

menyatakan bahwa orang tua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang

ada, dan anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya.

Menurut Spock (1982), orang tua permisif memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat

sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin

Pemilihan Karir Menurut kamus besar bahasa Indonesia pemilihan berarti proses, perbuatan atau cara

memilih. Tujuan dari persiapan pemilihan karir adalah mempersiapkan diri untuk memilih bidang

pekerjaan yang nantinya akan mereka tekuni. Masalah pilihan karir adalah masalah yang penting, sebab

karir atau pekerjaan seseorang menentukan berbagai segi dari kehidupan, atau dengan kata lain,

mempengaruhi gaya hidupnya (Sukadji, 2000). Namun masih banyak remaja yang kurang

menyadarinya, pada umumnya remaja masih pada fase fantasi, yaitu memilih pekerjaan bukan berdasar

minat dan kompetensi tetapi berdasar fantasi, fasilitas, dan kekayaan yang dimiliki seseorang yang

menduduki jabatan itu (Sukadji, 2000). Pemilihan karir di sekolah, untuk menentukan jurusan atau

program pendidikan, fakultas maupun jurusan merupakan pemilihan pendahuluan. Meskipun demikian

pemilihan ini penting sebab mempengaruhi penyesuaian diri siswa terhadap tuntutan pendidikan yang

akan dihadapi, dan kemungkinan kegagalan maupun keberhasilan dalam jurusan yang dipilihnya.

Merumuskan pilihan karir di usia remaja adalah suatu proses yang tidak mudah. Remaja yang

mengalami kebingungan tentang identitas dirinya sendiri, bisa jadi menemui kesukaran untuk

menerjemahkan bayangan dirinya dalam pemilihan karir. Konsekuensinya mereka menolak membuat

keputusan, sehingga pada saat mereka lulus kurang memiliki waktu untuk merencanakan dengan bijak,

saat keputusan akhirnya harus mereka buat (Seligman,1994). Pada akhirnya pemilihan karir bukanlah

sekedar memilih satu dari sekian minat saja. Remaja perlu mempunyai kesadaran akan dirinya,

mengenali ciri-ciri kepribadian yang menonjol pada dirinya, mengenali potensi intelektualnya,

mengetahui kelemahan dan kekuatan kognitifnya, mengenali bidang-bidang keterampilannya,

mengetahui nilai-nilai hidupnya, dan mengerti apa perbedaan antara dirinya dan remaja lainnya

(Moesono dalam Hawadi, 2004). Semua ini sangat bermanfaat untuk menunjang dalam pemilihan

karirnya.

Trait Factor

Parsons (dalam Seligman, 1994), dinyatakan bahwa dalam pemilihan karir yang bijaksana

terdapat tiga faktor umum yang perlu dipertimbangkan yaitu:

1. Pemahaman terhadap diri sendiri, bakat, kemampuan, minat, keterbatasan dan

kualitas-kualitas yang ia miliki.

2. Pengetahuan mengenai persyaratan dan tuntutan untuk dapat sukses, keuntungan dan

kerugian, imbalan, kesempatan, dan masa depan dari suatu pekerjaan.

3. Menghubungkan kedua hal di atas secara rasional.

Pandangan trait factor terutama menyoroti bagaimana seseorang akan membuat pilihan karir

(vocational choice) yang dapat dipertanggungjawabkan (Winkel,1997). Pandangan trait and factor

sebagaimana terungkapkan dalam karya-karya tulis Parsons menunjukkan tiga langkah yang harus

diikuti dalam memilih suatu pekerjaan yang sesuai, yaitu: Pertama, pemahaman diri yang jelas

mengenai kemampuan otak, bakat, minat, berbagai kelebihan dan kelemahan, serta ciri-ciri yang lain.

Kedua, pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi supaya dapat mencapai

sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, serta tentang balas jasa dan kesempatan untuk maju dalam

semua bidang pekerjaan. Ketiga, berfikir secara rasional mengenai hubungan antara kedua kelompok

fakta di atas. Jadi langkah yang pertama. menggunakan analisis diri; langkah kedua memanfaatkan

informasi pekerjaan (vocational information); langkah yang ketiga menerapkan kemampuan untuk

berfikir rasional guna menemukan kecocokan antara ciri-ciri kepribadian, yang mempunyai relevansi

terhadap kesuksesan atau kegagalan dalam suatu pekerjaan, dengan tuntutan kualifikasi dan

kesempatan yang terkandung dalam suatu pekerjaan. Seseorang dapat menemukan pekerjaan yang

cocok baginya dengan cara mengkorelasikan kemampuan, potensi dan wujud minat yang dimilikinya

dengan kualitas-kualitas yang secara objektif dituntut bila akan memegang jabatan tertentu

(Winkel,1997).

Page 91: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

87

Program Akselerasi

Program akselerasi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat

akademik. Secara konseptual, pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey (dalam Armstrong &

Savage, 1983), adalah suatu kemajuan yang diperoleh melalui program pendidikan, pada waktu yang

lebih cepat dari rata-rata, atau umur yang lebih muda dibandingkan yang konvensional. Dari definisi

di atas terdapat tiga catatan. Pertama perlu adanya kemantapan eksistensi dari satu kumpulan materi,

tugas, keterampilan dan persyaratan pengetahuan dari setiap jenjang pengajaran. Kedua

mempersyaratkan adanya kecepatan dari kemajuan yang diinginkan dan spesifik, melalui kurikulum

yang cocok untuk semua siswa. Ketiga adanya dugaan bila dibandingkan dengan usia teman sebaya,

siswa yang cerdas akan mampu lebih cepat melaju melalui suatu program pengajaran yang standar

(Hawadi, 2004).

Program akselerasi menurut pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar Depdiknas

(2002), yaitu pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberi

kesempatan mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat

dibanding teman-temannya. Dalam hal belajar dapat diorganisasikan dalam banyak cara untuk

memberikan hal terbaik bagi anak berbakat untuk mengekspresikan aktivitas intelektual dan bakat

secara utuh dan lebih cepat (Khatena,1992). Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan

anak berbakat adalah melalui program akselerasi.

Feldhusen, Proctor, dan Black (dalam Hawadi, 2004), mengemukakan bahwa akselerasi

diberikan untuk memelihara minat siswa terhadap sekolah, mendorong siswa agar mencapai prestasi

akademis yang baik dan untuk menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi demi

keuntungan dirinya sendiri dan masyarakat. Oleh karena masyarakat membutuhkan orang-orang yang

berkemampuan luar biasa ini untuk menghadapi tuntutan masa depan secara inovatif (Clark, 1983).

METODE DAN SAMPLING

Penelitian ini adalah jenis penelitian korelasi (correlation study).

Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah siswa kelas 2 program akselerasi dari empat SMA yaitu:SMA

Labschool Komplek UNJ Jakarta Timur, SMA Labschool Kebayoran, SMA Islam Al-Ashar Syifa Budi

Kemang, dan SMAN 8 Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan. Teknik Penarikan Sampel dan Jumlah

Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, dan convenience sampling.

Penggunaan kedua teknik sampling ini didasari oleh fakta bahwa dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan

perilaku dapat menggunakan kombinasi yang paling sesuai untuk suatu penelitian (Tashakkori &

Teddlie, 1998). Purposive sampling, ciri dari sampling ini adalah penilaian dan upaya cermat untuk

memperoleh sampel representatif dengan cara meliputi wilayah-wilayah atau kelompok-kelompok

yang diduga sebagai anggota sampelnya (Kerlinger, 2000). Sedangkan convenience sampling cirinya

adalah ketersediaan dan kemudahan pengumpulan data. Mengenai besarnya sampel yang dapat

diterima dalam penelitian korelasional minimal 30 subyek. (Sukadji, 2000).

Alat Ukur yang Digunakan

Alat ukur yang digunakan untuk menjawab hipotesis dalam penelitian ini adalah dua instrumen

penelitian yaitu

1.Skala Pola Asuh

Alat untuk mengukur pola asuh dibuat berdasarkan pandangan Baumrind (Santrock, 2003), yang

terdiri dari tiga aspek pola asuh yaitu: otoriter, otoritatif, dan permisif yang terbagi menjadi

permisif neglectful dan permisif indulgent. Alat ukur ini biasanya dikembangkan sendiri oleh

peneliti dan disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan masing-masing penelitian, Biasanya skala

yang dikembangkan mengikuti model summated rating scale atau model skala Likert.

Page 92: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

88

Tabel1. Butir Skala Pola Asuh

No. Aspek Indikator

Nomor Butir

Pernyataan

Total

1 Otoriter 1. Orang tua berkuasa penuh

2. Bersifat membatasi dan

menggunakan hukuman

3. Memaksakan kehendak

4. Melakukan sedikit

komunikasi verbal.

15, 18, 41, 42.

21, 22, 25.

6, 28, 30, 46.

12, 24, 33, 35.

15

2 Otoritatif 1. Orangtua dan anak memiliki

kekuasaan seimbang

2. Mendorong untuk bebas

tapi tetap ada batasan.

3. Komunikasi dua arah

4. Sikap orangtua hangat dan

membesarkan hati

1, 16, 19, 32.

26, 27, 29, 34,

40.

4, 13, 31, 39.

14, 17, 37, 45.

17

3 Permisif 1. Anak berkuasa penuh

2. Bersifat tidak membatasi

dan tidak menggunakan

hukuman

3. Orangtua selalu memenuhi

keinginan anak

(memanjakan)

4. Orangtua tidak peduli

dengan apa yang dilakukan

anak

7, 8, 36.

3, 9, 20, 44.

10, 43.

2, 5, 11, 23,

38

14

Jumlah 46

2. Skala Pemilihan Karir Pembuatan alat ukur pemilihan berdasarkan pandangan trait and factor yang diungkap

Parsons dan Wiliamson bahwa, seseorang dapat menemukan pekerjaan yang cocok dengan

mengkorelasikan kemampuan, potensi, dan wujud minat yang dimilikinya dengan kualitas-kualitas

yang secara obyektif menjadi tuntutan dunia kerja. Pandangan ini menyoroti bagaimana seseorang

akan membuat pilihan karir yang dapat dipertanggungjawabkan (Winkel, 1997). Alat untuk

mengukur pemilihan karir dibuat berdasarkan aspek-aspek pemahaman diri, pengetahuan dan

persyaratan/kualifikasi karir, dan menghubungkan kedua faktor sebelumnya secara rasional.

Page 93: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

89

Tabel. 2. Butir Skala Pemilihan Karir

No. Aspek Indikator Nomor Butir

Pernyataan

Total

1. Pemahaman diri a. Informasi tentang diri

- bakat khusus

- minat

- kreativitas

- kemampuan intelektual

b. Sifat kepribadian

- rajin dan kerja keras

- berani bicara

- dapat diandalkan

- potensi kepemimpinan

- tahan dalam situasi

penuh ketegangan

- senang bekerjasama

c. Kemampuan kognitif

- mampu menguraikan

pikiran secara lisan dan

tulisan

- mampu mengatur

waktu

- mampu berkomunikasi

dalam bahasa asing

d. Nilai hidup dan cita-cita

e. Keterbatasan diri

20

27, 29

13, 18

43

7, 16,

28

4

6, 38

5, 33

26*

35

9, 39

25, 42

23

21

22

2. Pengetahuan

kualifikasi karir

Mengumpulkan informasi

- informasi pendidikan

- informasi dunia kerja

- imbalan

- keuntungan dan

Kerugian

2, 19, 31

1, 11,14, 30

32*

8, 12.

17, 36, 41

13

3. Menghubungkan

kedua hal di atas

secara rasional

a. Kecocokan antara

kapasitas dan pilihan karir

b. Kesesuaian antara

pertimbangan rasional

dengan tuntutan dunia

kerja

3, 15, 22, 37*

10, 24, 34, 40.

8

Jumlah Butir 43

Page 94: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

90

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 47 siswa. Pada tabel., jumlah subyek penelitian

yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dengan perbandingan 53.2 % siswa

perempuan dan 46.8 % siswa laki-laki (25: 22), akan tetapi perbandingannya dapat dikatakan cukup

seimbang.

Tabel 3. Gambaran Subyek Berdasarkan Sekolah dan Jenis Kelamin

No

Nama SMA

Perempuan Laki-laki

Frekuensi

Frekuensi % Frekuensi % %

1 SMA

Labschool

Jakarta

6 12.8 8 17.0 14 29.8

2 SMA

Labschool

Kebayoran

7 14.8 4 8.5 11 23.3

3 SMA Al-

Azhar Syifa

Budi

6 12.8 3 6.4 9 19.2

4 SMAN 8 6 12.8 7 14.9 13 27.7

Total 25 53.2 22 46,8 47 100

Analisis Hasil Penelitian

Dari data hasil penelitian yang dianalisa dengan penghitungan aplikasi program komputer SPSS 11.5,

diperoleh hasil analisis sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh otoriter

dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil

penghitungan menunjukkan tidak adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = - 0,025 dengan

nilai signifikansi 0,866 (p < 0,05).

2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh otoritatif

dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil

penghitungan menunjukkan adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = 0,355 dengan nilai

signifikansi 0,014 (p < 0,05).

3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh permisif

dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil

penghitungan menunjukkan tidak adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = - 0,138 dengan

nilai signifikansi 0,356 (p < 0,05).

Hasil pengujian hipotesis yang pertama menunjukkan bahwa pola asuh otoriter tidak

memiliki korelasi positif secara signifikan dengan pemilihan karir. Merujuk pada teori pola asuh

Baumrind, pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang

menuntut anak untuk mengikuti petunjuk atau perintah orangtua dan sangat menghargai kerja dan

usaha. Orangtua yang menganut pola asuh otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap

remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal (Santrock, 2002). Anak yang tumbuh dalam

keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter secara langsung maupun tidak langsung, biasanya kurang

Page 95: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

91

berani dan ragu dalam membuat suatu keputusan, karena sudah dibiasakan mengikuti apa yang telah

ditetapkan orangtua. Semakin dominan orangtua menerapkan pola asuh otoriter di rumah maka anak

cenderung semakin tergantung dan tidak terampil dalam pemilihan karir. Secara singkat dapat dikatakan

hubungan negatif dan tidak signifikan ini terjadi, karena dalam keluarga yang menerapkan pola asuh

otoriter orangtualah yang menjadi pusat kekuasaan, sementara anak hanya mengikuti dan melaksanakan

apa yang menjadi keputusan orangtua. Sesuai dengan pendapat Barnadib (1986), orang tua yang

otoriter tidak memberikan hak kepada anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan

perasaan-perasaannya. Padahal dalam pemilihan karir dituntut suatu sikap dan tindakan yang aktif dari

anak untuk mengumpulkan sejumlah informasi, tentang dirinya sendiri, maupun pengetahuan

persyaratan karir dan mencoba menghubungkan kedua faktor tersebut secara rasional, tanpa harus

menunggu perintah dari orangtua. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock (2002), remaja yang

orangtuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu

pekerjaan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah. Sehingga tidak mengherankan jika

remaja yang berasal dari keluarga yang orangtuanya menerapkan pola asuh otoriter memiliki

kecendrungan tidak mampu untuk mengungkapkan diri, mengungkapkan perasaan dan keinginan

dengan baik, karena khawatir akan disalahkan dan di hukum oleh orangtua. Biasanya orang tua yang

menerapkan pola asuh otoriter memaksa anak untuk mematuhi nilai-nilai yang mereka anut, dan

mencoba membentuk lingkah laku anak sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang

keinginan anak (Stewart & Koch, 1983). Kemungkinan anak untuk terlibat secara aktif dalam

pemilihan karir sangat kecil, jadi logis jika pola asuh otoriter tidak memiliki korelasi yang positif dan

signifikan terhadap pemilihan karir

Pengujian hipotesis ke dua diperoleh hasil bahwa pola asuh otoritatif memiliki korelasi

yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir. Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif

memiliki sumbangan yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir, karena dalam pola asuh

otoritatif anak didorong untuk bebas mencari dan mengumpulkan informasi bahkan mengambil suatu

keputusan. Orangtua hanya bersifat mengarahkan dan memberikan bimbingan, sehingga anak tumbuh

menjadi pribadi yang berani dan bertanggungjawab serta terampil dalam berkomunikasi. Semua ini

sangat dibutuhkan anak dalam mempersiapkan karirnya. Sesuai hasil penelitian Lutfi (Nurhidayah,

Nurhidayah, dkk, dalam Shochib,1998), mengindikasikan bahwa dalam pola asuh dan sikap orangtua

yang demokratis (otoritatif) ada komunikasi yang dialogis antara anak dan orangtua, dan ada

kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan.

Komunikasi verbal timbal balik yang berlangsung dengan bebas, orangtua bersikap hangat dan bersifat

membesarkan hati, membuat anak berani menghadapi resiko dan tidak ragu untuk mengeksplorasi

berbagai kemampuan yang dimilikinya. Mereka berusaha menambah pengetahuan dari waktu ke waktu

dan berani membuat keputusan mengenai karir. Selain itu anak percaya bahwa orangtua selalu siap

membantu dan membimbing mereka. Semakin dominan orangtua menerapkan pola asuh otoritatif di

rumah maka anak cenderung semakin terampil dalam pemilihan karir.

Hasil pengujian hipotesis ke tiga menunjukkan bahwa pola asuh permisif tidak memiliki

korelasi yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir. Secara teoritis ini sesuai, karena

kebebasan yang luas tanpa kendali dari orangtua, membuat anak bebas melakukan apapun tanpa harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada orangtua. Sehingga anak tumbuh menjadi pribadi

yang kurang bertanggungjawab. Terlebih jika kendali sepenuhnya diberikan kepada anak Secara tidak

langsung dapat mengakibatkan anak juga kurang terlalu memperhatikan hal-hal yang berhubungan

dirinya termasuk mengupayakan untuk mempersiapkan diri dan berusaha mencari tahu tentang sesuatu

hal yang berhubungan dengan pemilihan karir. Menurut Spock (1982), orangtua permisif memberikan

kebebasan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin.

Jadi logis jika pola asuh permisif tidak memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan

pemilihan karir. Semakin dominan pola asuh permisif maka semakin rendah pemilihan karir siswa.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan antara lain:

1. Sampel penelitian berasal dari empat kelas akselerasi dari sekolah yang berbeda. Ada kemungkinan

masing-masing sekolah mungkin memiliki perbedaan dalam budaya dan suasana belajarnya, sehingga

Page 96: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

92

sebaiknya berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki kondisi belajar yang homogen. Perbedaan asal

sekolah ini mungkin saja dapat mempengaruhi hasil penelitian, meskipun ini semua dilakukan karena

keterbatasan populasi kelompok ini, dan tidak semua sekolah menyediakan layanan program akselerasi.

2. Jumlah sampel yang tidak terlalu besar, dan terbatas hanya pada anak kelas 2 (dua) program

akselerasi, kemungkinan akan mempengaruhi hasil dari penelitian ini. Selain itu penelitian ini

dilakukan di wilayah perkotaan di mana akses informasi sangat terbuka dan mudah diperoleh, sehingga

perlu berhati-hati jika ingin melakukan generalisasi pada setting yang berbeda.

KESIMPULAN

Kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir

pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis pertama yang menyatakan ada

hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir siswa

program akselerasi. Ditolak. Jadi pola asuh otoriter orangtua tidak berhubungan dengan pemilihan

karir siswa.

2. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir

pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis ke dua yang menyatakan ada hubungan

yang positif dan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir siswa program

akselerasi. Diterima. Jadi pola asuh otoritatif orangtua berhubungan dengan pemilihan karir siswa

3. Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan

karir pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis ke tiga yang menyatakan ada

hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir siswa

program akselerasi. Ditolak. Jadi pola asuh permisif orangtua tidak berhubungan dengan

pemilihan karir siswa.

REFERENSI

Aiken, L. R. (2000). Psychological testing and assessment. (10th.ed). Boston: Allyn & Bacon

Amstrong, D.G.,& Savage, T.V.(1983). Secondary education an introduction. USA: Macmillan

Publishing

Barnadib, S. I. (1986). Pengantar pendidikan sistematis. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta

Berns, R.M. (1985). Child, family and community. New York. Holt Rinehart & Winston

Berger, E.H.(1995). Parents as partners in education. (4th.ed). New Jersey: Prentice Hall.Inc

Clark, B. (1983). Growing up gifted. Ohio: Charles E. Merril Publishing Company A Bell & Howell

Company

Cronbach, L. J. (1991). Essentials of psychological testing. New York: Harper & Row

Publisher

Depdiknas. (2002). Pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar (SD, SLTP, dan SMU)

Satu model pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah

Direktorat Pendidikan Luar Biasa

Duval, E.M., & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development. (6 th.ed) New

York: Harper & Row Publisher Inc

Gibson, Ivancevich, & Donelly. (1995). Organizations. (8th.ed). Richard D. Irwin, Inc.

Gilbert, L.A. (1993). Two career/one family: the promise of gender equality. Newbury Park: Sage

Publication.Inc

Guilford J.P., & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistics in psychology and education. (6th.ed). New

York: McGraw Hill-Inc

Hawadi, L. F., (2004). Akselerasi. Jakarta:Grasindo

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. (5 th

.ed). Jakarta: Penerbit Erlangga

Isaacson, L.E., & Brown, D. (1996). Career information, career testing principles

applications, and issues. (3rd.ed). California: Brooks Cole Publishing

Page 97: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

93

Kerlinger, F. N. (2000). Foundations of behavioral research. (3th.ed). Orlando Florida:

Harcourt Brace College Publishers

Khatena, J. (1992). Challenge and response for education. Itaca Illinois: FE Peacock

Publishing Inc.

Kitano, M. K., & Kirby, D. F. (1986). Gifted educations: a comprehensive view. Boston: Little Brown

and Company.

Mayangsari A.R. (2001). Hubungan antara tingkat kematangan karir dengan persepsi terhadap peran

guru BK dalam perencanaan pendidikan dan karir pada siswa program percepatan belajar dan

program reguler. Skripsi (Tidak Diterbitkan) Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Mayo, A. (1991). Managing careers, strategies for organizations. London: Institute Personal of

Managemen

Pedhazur, E.J., & Pedhazur Schmelkin, L. (1991). Measurement design and analysis: an integrated

approach. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates

Perino, S.C., & Perino, J. (1981). Parenting the gifted developing the promise. USA: R.R Bowker

Company

Robbins, S.P. (1998). Essential of organizational behavior. (2nd.ed). New Jersey: Prentice Hall

Santrock, J. W. (2002). Life – span development. (5th.ed). Madison: Brown & Benchmark, Times Mirror

International Publisher Ltd.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence. (7th.ed). USA: McGraw-Hill Companies

Seligman, L. (1994). Development career counseling and assessment.

(2 nd.ed). Thousand: Sage Publications, Inc

Semiawan, C. R. (1997). Perspektif pendidikan anak berbakat. Jakarta: PT. Grasindo

Semiawan, C. R. (2002). Pendidikan keluarga dalam era global. Jakarta: PT. Prenhallindo

Shochib, M. (1998). Pola asuh orangtua dalam membantu anak mengembangkan disiplin diri. Jakarta:

PT. Rineka Cipta

Spock, B. (1982). Membina watak anak. Terjemahan Wunan JK. Jakarta: Penerbit Gunung Jati.

Stewart & Koch. (1983). Chidren development throught adolescence, Canada: JohnWiley and Sons,

Inc

Sukadji, S. (2000). Menyusun dan mengevaluasi laporan penelitian. Jakarta: Universitas

Indonesia.

Sukadji, S. (2001). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga

Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (L.P.S.P3.). Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia.

Tashakori, A., & Teddlie, C. (1998). Mixed methodology combining qualitative and

quantitative approaches. USA: Sage Publication, Inc.

Tarmudji, T. (2003). Hubungan pola asuh orangtua dengan agresivitas remaja. Jurnal

Pendidikan. http://www.Depdiknas.Go.Id

Utami Munandar, S. C. (1999). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi kreatif dan

bakat. Jakarta: Pustaka Utama

Winkel, W.S. (1997). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Jakarta: Grasindo

Page 98: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

94

MEASURING INTEREST OF TEACHING PROFESSION

Muchlas Suseno1

1Department of Primary Education, Postgraduate Program,

State University of Jakarta

[email protected]; and [email protected]

Abstract

The research was conducted to standardize an instrument to measure interest towards teaching

profession, involving 520 students of the department of primary education in Universitas Negeri

Jakarta. Data were analyzed using factor analysis. Using Exploratory Factor Analysis (EFA) six basic

attributes to grow interest towards teaching profession were identified, including (1) family background,

(2) working condition, (3) job requirement, (4) reward and remuneration, (5) responsibility, (6) idol.

These attributes were, then, elaborated to yield 13 components and used to develop an instrument to

measure interest toward teaching profession. In the empirical process of validation, using Confirmatory

Factor Analysis (CFA), 68 items, out of 130, were claimed to be significantly valid and reliable. The

research reveals that all valid and reliable items were extracted from the attributive variables except the

ones developed from the last attribute - idol. The findings might be useful to identify and classify

students in teaching colleges based on their interest toward teaching profession so that expectedly they

might become professional teachers. Other stake holders might also take benefits from these research

findings.

Keywords: Measuring interest, teaching profession

INTRODUCTION

People in general put high expectation that teachers should play the ultimate role to educate

their students. Such expected responsibility covers all the three domains, such as cognition,

psychomotor, and affection. In respect to the last domain, affection, teachers should teach moral virtue

and, more that they should also perform it in a daily basis. This means that they are expected to be

morally upright individuals who display good character (Lumpkin, 2008). However, unfortunately, the

high expectation is not accompanied by sufficient rewards and recognition. Teaching profession is not

placed in a parallel line with other professions, such as medical doctors, and engineers. Therefore, it is

not surprising if teaching profession is not attractive, in the sense that it fails to catch the attention of

many people to pursue.

The low attractiveness of teaching profession has become burning issues for decades and has

got serious attention from many experts. Their arguments have been published out in various medias,

such as articles posted in newspapers and scholar text books. One of the ‘vocalists’, in Indonesian

contexts, who vows such a discourse is Tilaar (1998) saying that teaching profession, recently, is about

to extinct because of two reasons, (1) it fails to attract attention and interest of best candidates, that is

the best graduates of secondary schools (SS), and (2) people in general, do not support the teaching

profession with recognition and adequate reception. This is to say that a profession will survive,

flourish, and last lifelong when people give adequate recognition and reception indicated by high

interest of young generation to pursue it.

It is admitted that within a few years recently, there is an increasing enrolment of SS graduates

to study in various teaching institutions all over the country in Indonesia. However, such an increase

might not automatically show and relate to the interest toward teaching profession. This is possible

because decision made by SS graduates to choose departments and educational institutions for their

further study might be influenced by many factors in addition to interest. One, among other things, is

motivation which is divided in two kinds; motivation toward success (MS) and motivation to avoid

failure (MAF ) (Rosser and Nicholson (1984: 404). People whose MS is higher than their MAF will choose

Page 99: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

95

work activities, including major study, with mediocre level of difficulty, whereas those with higher

MAF than MS will choose activities with lower level of difficulty. When matched with interest toward

work profession, the first characteristic tends to be realistic to choose preferred profession, whereas the

latter not realistic, in the sense that they prefer jobs with qualifications above or below their standard

competence (Mahone as cited by Rosser and Nicholson, 1984: 406). Such is significant to summarize

that the high enrolment of students in educational programs of teaching institutions might not

automatically show high interest of teaching profession.

It is also worth mentioning that within the recent years, the Government of Republic of

Indonesia (GoI) has made significant efforts to continuously develop and improve existing teachers

through various interventions. The most significant effort is to give more remuneration as mandated by

Law no 14 / 2005. Whether or not such remuneration contributes positive impact to improve quality

teaching and school effectiveness needs a thorough discussion, for it will, in turn, relate to the adequacy

of recognition and social reward paid by people in general. In this respect, however, Wirawan, et al.

(1997: 76) reported that financial incentives have little impact to improve teaching effectiveness

although, in addition, teaching profession is said to be prestigious but gets less recognition socially.

The above description on the burden of the expected moral virtue and teaching responsibilities

that teachers take, in contrast with reward and social recognition they get, will clearly explain why

interest toward teaching profession is lacking. When such is true, there rises some questions, ‘Do they

who study in various teaching colleges, whose number is increasing every year, possess high and true

interest toward teaching profession? Will they love the profession and share high commitment on the

teaching practices? These two questions are very basic and fundamental to respond to the demand of

quality teaching that people expected as far as quality education is concerned. Other rising questions

are significant to discuss, such as, ‘Is it positively true that interest toward teaching profession is

decreasing? ‘How to measure interest toward teaching profession? To cope with these questions,

particularly the last one, hence this research is conducted.

LITERATURE REVIEW

Basic concept of interest toward teaching profession

Interest, in general, grows in line with child development based on two underlying factors;

genetics and environment. The latter is said to be more dominant than the first factor (Carson, 2002:2).

Interest consists of two dimensions; cognitive and affective, and grows in line with maturity of thought

related to life experiences (Hurlock, 1978:422). There are seven ways applicable to identify children’s

interest within their early ages; (1) children’s play activities, (2) questions frequently raised, (3)

everyday’s topics of talk, (4) preferences of reading books, (5) kinds of spontaneous drawing, (6) wants

and hopes, (7) direct statement of interests. Above all, it is important to note that such identification is

not final because children’s interest changes in line with their developmental growth (Sprinthall and

Collins, 1984: 444). From the other angel, Hurlock (1978: 446) identified eight factors to influence

growth of interest toward job and work preference; (1) attitude of parents, (2) job’s prestige and

reputation, (3) idols, (4) self competence, (5) gender, (6) opportunity of freedom in the workplace, (7)

cultural stereotypes, (8) life experiences. To simplify the above description, Rosenberg, as cited by

Kretch, Crutchfield and Ballachey (1962: 130) claimed that interest and job preferences are mostly

determined by psychological conditions, such as (1) cognition, (2) hopes and values, (3) interpersonal

traits. Cognition refers to the job seeker’s basic comprehension about the jobs and profession they are

interested in, consisting of (a) detail information about such profession, (b) required training and

education, (c) required practical skills, (d) job description and remuneration, (e) job’s prestige. Hopes

and values relates to the degrees of satisfaction, comfort, and safety. This factor, in particular, is said to

be the key determinant, as far as interest toward job and profession is concerned. In respect to job

satisfaction, Rosenberg identified ten indicators related to what a profession can offer to its job doers

such as (1) adequate opportunities to develop, (2) physical reward and remuneration, (3) opportunities

to express creativities, (4) prestige and social status, (5) access to work in a team and make social,

interpersonal relation, (6) safety and comfort, (7) free supervision and control from others, (8) develop

leadership practices, (9) opportunities to set up travels and journeys during vacations, and (10) access

to assist others for social reasons.

Page 100: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

96

With regard to teaching profession, in particular, Lortie as cited by Srping (1996: 35) claimed

that psychological factors such as, work satisfaction and job usefulness are of prime factors for teachers

to love their profession. This is possible because of the ample accessibility to interact with their students.

In a broader context they argue there are three kinds of reward, such as extrinsic, psychic, and ancillary,

but the second reward is considered primary as far as satisfaction in teaching is concerned. To

exemplify they mention that salary and social recognition are extrinsic rewards, teachers’ autonomy

and creativity are psychic rewards, and job security as well as opportunity for summer time vacation

are ancillary. In line with such a proposition, Ellis, Cogan, and Howey (1981:5) synthesize that people

are interested in teaching profession because of four reasons, (1) they have access to assist children in

learning,( 2) they have ample time for summer off, (3) they are respected in a social life, and (4) they

feel that teaching is challenging. These four motives flourish and prosper the psychological satisfaction

that adds teachers’ affection as far as teaching profession is concerned.

To support this, Centra (1993:12) in particular argued that psychological satisfaction might

drive and generate internal motivation which, in turn, would influence teachers in performing their roles

and responsibilities. Teachers with high level of internal motivation manage to set themselves free from

external pressures, including demand of remuneration and related things. They feel secured and

convinced that the true rewards of their profession are found in their activities of teaching. There are

three features of internal motivation, according to Centra, such as (1) meaningfulness of teaching

activities, (2) accountability of teaching activities (3) comprehensibility of teaching output and

outcomes. The first feature consists of three propositions; (a) teachers find meaning in their teaching

activities and are challenged to do their best, (b) they feel convinced that their teaching activities yield

broader outcomes, (c) they feel convinced they possess proper competence to respond to the challenges.

The second feature deals with teachers’ responsibility and autonomy. It is to say that they are fully

responsible with the teaching outcome and, therefore, they’d work independently. The third feature

refers to the feedbacks they are continuously expecting related to their teaching activities.

The above description is significant to synthesize that interest towards teaching profession

consists of six attributes and can be elaborated to make 13 components, covering both cognitive and

affective dimensions respectively. Such components are presented below.

Table 1. Components of interest toward teaching profession

No Attribute Component

1 Family Background Parents’ attitude towards teaching profession

2 Working Condition Job’s prestige

Availability of work autonomy

Availability of career path planning

Availability of peer socialization

Availability of summer off

Job security

Availability of altruism

3 Job Requirement Clarity of required education and training

Clarity of required skills and competence

4 Reward & Remuneration Salary and recognition

5 Responsibility Clarity of Job responsibilities

6 Idol Existence of idols

Based on the components above, hence, a table of specification could be developed. Such is

urgent to construct indicators of the questionnaire to measure interest toward teaching profession. The

specification is presented below.

Page 101: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

97

Table 2. Specification of the instrument

Dimention Component Indicator

Note: Cognitive refers to respondents‘ comprehension about description stated in the indicators.

Affective refers to their satisfaction and pride about description stated in the indicators.

Coginitive Parents‘ attitude Support children’s preferences of teaching profession

Job’s prestige Teaching profession is superb and respected

Work autonomy Ample opportunity for work autonomy

Career panning Ample opportunity for creativy and career development

Peer socialization Ample opportunity for peer socialization

Summer off Ample opportunity to set up vacation with family

Job security Assurance of retirement allowance and free from lay off

Altruisme Ample opportunity to facilitate and help other people

Education & training Graduate from a teaching institution and completing

continuous training

Skills & competence Mastering the content subjects, paedagogy, classroom

management, motivational skills

Reward & remuneration Receive material and non materarial rewards

Job responsibility Delivering acqired subject, and building students‘

personality

and character

Idols Having idols of teaching profession

Affective Parents‘ attitude Support children’s preferences of teaching profession

Job’s prestige Teaching profession is superb and respected

Work autonomy Ample opportunity for work autonomy

Career panning Ample opportunity for creativy and career development

Peer socialization Ample opportunity for peer socialization

Summer off Ample opportunity to set up vacation with family

Job security Assurance of retirement allowance and free from lay off

Altruisme Ample opportunity to facilitate and help other people

Education & training Graduate from a teaching institution and completing

continuous training

Skills & competence Mastering the content subjects, paedagogy, classroom

management, motivational skills

Reward & remuneration Receive material and non materarial rewards

Job responsibility Delivering acqired subject, and building students‘

personality

and character

Idols Having idols of teaching profession

METHOD AND SAMPLING

This descriptive research was conducted in two phases to survey students’ interest and

preferences toward teaching profession. The first phase was carried out to develop model of instrument

to measure interest toward teaching profession, and the second phase was to validate such an instrument

based on both theoretical and empirical evidences. For theoretical validation, six experts, working as a

panel of judges, were asked to thoroughly and profoundly review the items in the instrument. They

were, in particular, requested to (1) determine level of appropriateness between identified components

of interest toward teaching profession and their theoretical constructs, (2) determine level of

appropriateness between items developed in the instrument and the identified components of interest

toward teaching profession, (3) review the clarity of sentences in all items of the instrument.

The empirical validation was carried out twice involving 200 respondents for first validation

and 520 students for second validation. The second empirical validation was conducted because 200

respondents involved in the first validation is below minimum requirement to fulfill, as far as validation

Page 102: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

98

of instrument of affective domain is concerned. With respect to such a validation, according to Gable

(1986:175), the minimum number of respondent must be six times as many as total number of items in

the questionnaire. In the validations the respondents were instructed to give their responses related to

what is requested in the questionnaire. Data were analyzed using factor analysis in which the following

steps were made, such as (1) verifying the items of questionnaire using Barlett’s test and Measure

Sampling Adequacy (MSA, (2) extracting the selected items using statistical computation, Principle

Component (PC) and Maximum Likelihood, to sort such items in groups called factors, (3) rotating the

extracted items or factors. All the statistical computation above could be definitely done using SPSS

program available in the computer.

FINDINGS

Based on theoretical validation, 42 items, out of 130, were rejected and the remaining items

were taken to be verified empirically. Prior to such a validation, an inter-rater reliability was conducted

to see the agreement among raters or judges on (1) appropriateness of components of interest toward

teaching profession with the underlying theoretical construct by which such components were

developed and (2) appropriateness of items with the related components of interest. The first

computation gave rkk = 0,83 and the latter gave rkk = 0,95 which are higher than 0,7, meaning all

panelists agreed that the instrument of interest toward teaching profession has been developed

appropriately based on the related theories (Nunnally, 1978: 239).

The first empirical validation, verifying 88 items of questionnaire, reveals the following results

(1) 20 items possess MSA factor loading below 0.50, therefore to be deleted, (2) based on PC analysis

19 factors were extracted. This is to say that all 68 items in the questionnaire are valid to measure

interest toward teaching profession and they are classified in 19 groups. All valid and reliable items

were extracted from the attributive variables except the ones developed from the last attribute - idol.

The reliability test to verify the valid questionnaire was carried out using Alpha Cronbach formula and

gave coefficient correlation 0.926.

The second empirical validation, verifying 88 items of questionnaire, reveals the following

results (1) all 68 items possess MSA factor loading greater than 0.50, therefore no item to be deleted,

(2) based on PC analysis 20 factors were extracted which is indicated by variance total eigen value

greater than 1.0. In other words all 68 items in the questionnaire are valid to measure interest toward

teaching profession and they are classified in 20 groups. The last step in the validation was matrix

rotation in which 42 iteration was made and gave greatest factor loading (= 0.826) and the smallest (=

0.305). Figure below represents such an iteration.

Figure 1: Component Plot in rotated space with 42 iteration

DISCUSSION

It is worth to mention that the items of questionnaire developed from the last component - idol

– gets factor loading lower than 0.50, therefore, they must be deleted. This possibly means there is only

a few respondents, students of teaching institution, having idols and being proud of them. In other

words, it is very possible that those who are working as teachers are not performing their best endeavor;

therefore their students do not consider them as role models, as far as idols are concerned.

Page 103: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

99

With respect to the above statement, it is possible to hypothesize that teachers who are not performing

best endeavor might not love their profession which is presumably caused by their low interest toward

teaching profession. When such a circumstance happens, quality teaching might be lacking. Therefore,

it is best to recommend that teaching profession should only be awarded for those who possess high

interest. From the other angle it is to say that measuring interest toward teaching profession is a footstep

to improve quality teaching.

CONCLUSION

In conclusion, this research reveals the followings:

1. The instrument is said to be significantly valid and reliable to measure interest toward teaching

profession.

2. There are six attributes to induce interest toward teaching profession, such as (1) family

background, (2) working condition, (3) job requirement, (4) reward and remuneration, (5)

responsibility, (6) idol.

3. It is a must, rather than a need, to measure students’ interest toward teaching profession when

selection of teacher candidates is concerned.

4. When such is applicable, it is very possible that quality teaching might be assured.

REFERENCES

Carson, Andrew D., Retrieved from Vocational Psychology.com,

(http://www.vocationalpsychology.com/essay6interest.htm).

Centra, John A., Reflective Faculty Evaluation. (1993), San Francisco: Jossy-Bass Inc.

Ellis, Arthur K., John J. Cogan, and Kenneth R. Howey, .,(1981), The Foundation of Education.

Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall, Inc.

Gable, Robert, K., (1986), Instrument Development in the Affective Domain. Boston: Kluwer-Nijhoff

Publishing.

Hurlock, Elizabeth B., (1978), Developmental Psychology. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd.

Krech, David, Richard S. Crutchfield, and Egerton L. Ballachey, Individual in Society. New York:

McGraw-Hill Book Company, Inc., 1962.

Lampkin, Angela. (2008). Teachers as Role Models Teaching Character and Moral Virtues. JOPERD,

Volume 79 No. 2. Retrieved from http://eapp-

www.csuchico.edu/kine/documents/teachersasrolemodels.pdf

Nunnally, Jum C., Psychomatric Theory, 2nd edition. (1978)’ New York: McGraw Hill Book Company.

Rosser, A. Rosemary dan Glen I. Nicholson. (1984). .Educational Psychology: Principles in Practice

Boston: Little, Brown & Company Limited.

Spring, Joel, American Education, (1996), New York: McGraw Hill, Inc.

Sprinthall, A. Norman dan W. Andrew Collins, (1984) .Adolescent Psychology: A Developmental View

New York: Newbery Award Records, Inc.

Tilaar H.A.R., Membina Profesi Guru Indonesia Abad 21. (1998). Jakarta: Lembaga Pengembangan

Manajemen Pendidikan.

Wirawan, Yapsir Gandhi, dkk. (1997) Insentif bagi Guru Sekolah Dasar, Laporan Penelitian.

Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Page 104: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

100

KONTRIBUSI PENDIDIKAN SEJARAH

DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI EMAS INDONESIA

Prof. Dr. Tuti Nuriah M.Pd. 1

1Universitas Negeri Jakarta

[email protected]

Abstrak: Makalah ini ditulis untuk mengkaji peran pendidikan sejarah dalam pembentukan

karakter anak bangsa ini, terutama karakter generasi muda yang akan datang. Paradigma

pendidikan sejarah harus dapat dirubah tidak hanya sekedar mengajarkan tentang fakta sejarah,

tetapi lebih dari itu harus dapat mentransformasi nilai-nilai luhur tentang hidup dan kehidupan

melalui makna sejarah kepada siswa melalui pembelajaran pada aspek kausalitas antara satu

kejadian dengan kejadian lainnya, kemampuan berfikir yaitu kronologis, kritis, kreatif dan

aplikatif, kepemimpinan dan inisiatif, nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja keras, mengambil

resiko untuk tanggung jawab, dan bersikap menghargai prestasi berani berbuat, disiplin, cinta

tanah air dan bangsa, berani berkorban, untuk kepentingan dan nama baik bangsa dan negara

tanpa pamrih. Maka dari itu sangat dibutuhkan keberanian yang luar biasa seperti para pahlawan

bangsa yang melawan penjajah, untuk merumuskan visi dan melaksanakan misi pendidikan

sejarah yang lebih humanis dan universal dalam membentuk karakter generasi emas Indonesia

mendatang.

Kata kunci: Pendidikan sejarah, karakter.

Abstract: This paper was written to examine the role of education in shaping the history of the

nation 's character, particularly the character of the younger generation to come . The paradigm

of the educational history must be changed not just teaching about historical facts, but rather

than it should be able to transform the noble values of life and the meaning of life through the

learning aspect of the causality between events with other events, the ability to think

chronological, critical, creative and applicative, leadership and initiative, the value of honesty,

truth, hard work, taking responsibility for the risk, and be dare do appreciate the achievement,

discipline, love of homeland and nation, willing to sacrifice for the interests and good name of

the nation and country selflessly. Therefore, it is required extraordinary courage like the hero of

the nation against the invader, to formulate a vision and mission that educational history is more

humane and universal in shaping the character of the next generation of Indonesian gold.

Keywords: educational history, character.

PENDAHULUAN

Pendidikan karakter anak bangsa, empat suku kata yang akhir-akhir ini senantiasa terdengar,

berkumandang, dan sering diucapkan bahkan dijadikan slogan oleh berbagai pihak di negeri tercinta

ini. Pendidikan karakter dalam program pemerintah seringkali dipadankan dengan kata pendidikan

budaya. Budaya dan karakter sesungguhnya merupakan dua hal yang maknanya berbeda namun

memiliki keterkaitan yang erat.

Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang

dihasilkan oleh masyarakat melalui proses belajar. Proses belajar ini terbentuk dari interaksi antara

manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan sekitar. Sedangkan karakter dimaknai

sebagai watak, tabiat, akhlak, dan kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi kebaikan

yang diyakini dan kemudian digunakan sebagai landasan dalam berpikir, cara pandang, bersikap, dan

bertindak.

Konsep budaya dan karakter dikombinasikan dan tertuang utuh dalam Undang-undang nomor

20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan budaya dan karakter bangsa

diartikan sebagai proses internalisasi serta penghayatan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang

Page 105: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

101

dilakukan siswa secara aktif dibawah bimbingan guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan serta

diwujudkan dalam kehidupannya di kelas, sekolah, dan masyarakat.

Pertanyaannya, bagaimana peran dunia pendidikan utamanya pendidikan sejarah dalam

pembentukan karakter anak bangsa ini, terutama karakter generasi muda yang akan datang.

Pendidikan merupakan sistem yang seluruh komponennya terintegrasi dan saling mempengaruhi.

Pembicaraan, diskusi dan solusi tentang pembentukan karakter harus berpijak di bumi, tidak hanya

sekedar di atas kertas dan diruangan seminar saja.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sartono (1997), fungsi pelajaran sejarah antara lain

adalah untuk mengenal siapa diri kita sebagai sebuah bangsa. Hal ini diperkuat oleh Cartwright (1994)

yang menyatakan “our personal identity is the most important thing we possess”, kehilangan jatidiri

berarti kehilangan eksistensi bangsa.

Pendidikan, khususnya pendidikan sejarah hendaknya dapat memberikan kesadaran primordial,

khususnya kepada generasi muda bahwa memperbaiki kondisi kini menjadi tanggung jawab bersama

seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Primordial sendiri memiliki makna watak yang

melekat semenjak lahir, yang artinya kesadaran akan nilai-nilai positif dan nilai-nilai karakter sebuah

bangsa sudah seharusnya tumbuh didiri kita semenjak dini sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Makalah ini akan membahas tentang “Kontribusi Pendidikan Sejarah dalam Pembentukan Karakter

Generasi Muda”.

Kurikulum yang dirancang sebagai sistem dalam rangka mengembangkan kualitas baik

intelektual maupun moral siswa idealnya harus dapat menggerakkan peran vital setiap disiplin ilmu

pengetahuan pada ranah kebudayaan. Carr, seperti dikutip Gardner mempertanyakan hakikat sejarah.

“What is history?...”. “... history as a unending dialogue between the present and the past. Dialog antar

masa depan dan masa lampau mengandung dua pengertian: pertama apa yang terjadi di masa lampau

dan kedua mengapa peristiwa itu terjadi? Mengapa harus ada dialog antara masa sekarang dan masa

lampau? Jawabannya adalah agar orang mendapatkan manfaat dari berbagai peristiwa yang terjadi di

masa lampau tersebut. Sejarah sebagai ilmu harus merupakan pengetahuan yang mendatangkan manfaat

bagi orang yang mempelajarinya. Manfaat suatu kejadian tidak akan diperoleh hanya dengan

mengetahui rentetan kejadian di masa lampau.

Studi sejarah bertolak dari kebutuhan dan kepribadian intelektual hari ini. Misalnya

kebutuhan suatu bangsa adalah mengembangkan pengetahuan ilmu dan teknologi, misalnya, maka

peristiwa sejarah yang dipelajari adalah peristiwa sejarah yang menyangkut perkembangan ilmu dan

teknologi di berbagai negara.

Para ilmuwan terkenal seperti Montesquieu, Foltaire, Smith, Khaldun, Spengler, Maltus,

Toynbee, dan sebagainya menulis sejarah tidak hanya berisikan kumpulan peristiwa berikut angka

tahunnya. Montesquieu menulis monografi sejarah tentang kejatuhan kerajaan Romawi berdasarkan

pendekatan. Maltus menulis sejarah perekonomian berdasarkan teori ekonomi tertentu yaitu

kapitalisme. Khaldun menulis sejarah melalui pendekatan sosiologis. Toynbee menulis sejarah

berdasarkan pendekatan antropologi.

Pendidikan sejarah dalam hal ini, bukan hanya sebagai rutinitas dan formalitas kegiatan

pembelajaran belaka, dimana terdapat guru sebagai pentransfer ilmu dan siswa sebagai penerima

transfer ilmu. Pendidikan sejarah harus secara kontinyu melakukan transformasi nilai-nilai luhur

dalam peristiwa sejarah kepada siswa.

Transformasi Pelajaran Sejarah

Dewasa ini, pendidikan sejarah masih bersifat fakta oriented yakni pembelajaran sejarah yang

menekankan kepada siswa untuk menghafal sejumlah fakta yang terjadi dalam peristiwa sejarah. Fakta

sejarah tersebut antara lain nama pelaku, tahun peristiwa, tempat dan jalannya peristiwa. Akibatnya

siswa seperti sekumpulan manusia yang gemar menghafal tetapi tidak dapat melakukan transformasi

diri atas apa yang dipelajari dari peristiwa sejarah.

Menurut Hasan (2012:92) dalam setiap peristiwa sejarah terdapat beberapa hal yang perlu

dipelajari yakni : (1), Fakta yaitu nama pelaku, tahun peristiwa, tempat dan jalannya peristiwa, (2).

Kausalitas antara satu kejadian dengan kejadian lainnya, (3). Kemampuan berfikir yaitu kronologis,

kritis, kreatif dan aplikatif, (4). Kepemimpinan dan inisiatif, (5). Nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja

keras, risk taking dan tanggung jawab, dan (6). Sikap yakni, menghargai prestasi atau kemampuan,

keberanian bertindak, disiplin, cinta tanah air dan bangsa, berani berkorban.

Page 106: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

102

Titik berat materi sejarah yang selama ini diajarkan hanya pada hafalan fakta-fakta sejarah telah

mengkerdilkan potensi lain yang terdapat dalam materi sejarah, Pengkerdilan ini tentu berakibat fatal

bagi siswa dimana tidak akan terjadi transformasi diri siswa. Pendidikan sejarah tidak memberikan

ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensi-potensi yang dalam dirinya, Siswa hanya dapat

mengembangkan daya ingat, yang pada akhirnya akan hilang seiring perkembangan waktu dan peristiwa

baru yang dialaminya.

Paradigma pendidikan sejarah harus dapat dirubah tidak hanya sekedar mengajarkan tentang

fakta sejarah, tetapi lebih dari itu harus dapat mentransformasi nilai-nilai luhur tentang hidup dan

kehidupan melalui makna sejarah kepada siswa melalui pembelajaran pada aspek kausalitas antara satu

kejadian dengan kejadian lainnya, kemampuan berfikir yaitu kronologis, kritis, kreatif dan aplikatif,

kepemimpinan dan inisiatif, nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja keras, mengambil resiko untuk

tanggung jawab, dan bersikap menghargai prestasi berani berbuat, disiplin, cinta tanah air dan bangsa,

berani berkorban, untuk kepentingan dan nama baik bangsa dan negara tanpa pamrih.

Pembelajaran sejarah yang baik dapat melakukan transformasi karakter dalam diri siswa,

karena sejarah sebagai disiplin ilmu tidak hanya melibatkan aspek kognitif tetapi justru mengutamakan

afektif siswa. Pembelajaran sejarah yang benar akan memberikan kontribusi terhadap pembentukan

manusia seutuhnya, karena melalui pendidikan sejarah yang di dalamnya sudah termasuk pendidikan

karakter. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasan (2012) yang menyebut pembentukan karakter meliputi:

pengembangan kemampuan kritis, pengembangan rasa ingin tahu, pengembangan kemampuan berfikir

kreatif, pengembangan sikap kepahlawanan dan kepemimpinan, membangun dan mengembangkan sikap

kebangsaan, pengembangan kepedulian sosial, pengembangan kemampuan berkomunikasi,

pengembangan kemampuan mencari, mengolah, mengemas, dan mengkomunikasikan informasi. Dapat

disimpulkan setidaknya ada tiga hal yang dapat ditransformasikan seorang guru kepada siswa dalam

pembelajaran sejarah, diantaranya :

1. Sejarah sebagai wahana pengenalan diri seseorang

Sejarah sebagai wahana pengenalan diri, adalah sejarah sebagai refleksi diri akan pengenalan

diri secara utuh, dengan menggunakan tiga dimensi sekaligus yaitu masa lalu, masa depan, dan masa

yang akan datang. Kemudian dengan menggunakan analisis teknik kreasi dan inovasi maka sejarah ini

dapat berperan besar dalam menentukan pengenalan diri seseorang secara utuh baik pengenalan secara

individu, kelompok, kenegaraan, fisik maupun psikis dalam memperkenalkan nilai-nilai luhur.

2. Sejarah sebagai wahana pemahaman peran

Sejarah sebagai wahana pemahaman peran seseorang, setelah seseorang tersebut mengenali

dirinya secara utuh melalui sejarah, maka akan mengerti peran apa yang harus dilakukan terkait dengan

posisinya. Selain itu berawal dari pengenalan diri tersebut akan dengan sadar diri mengetahui

kelemahan dan kelebihannya secara utuh sehingga mampu menerima segenap kelebihan dan

kekurangannya secara utuh juga. Siswa akan mengerti apa yang harus dilakukan dalam berbagai

kondisi. Misalkan sebagai mahasiswa melalui intelektualitas dan moralitas yang dimiliki akan

memperbaiki bangsa ini dengan jalan diskusi dan orasi di kalangan kampus, mengkritisi sesuai

kompetensi yang dimiliki, sebagai contoh lain adalah seorang anak yang sedang sekolah dan mengikuti

pelajaran, dengan bimbingan orang tua dan sekolah, sebenarnya anak tersebut sedang berjuang

membangun negeri ini sesuai dengan proporsi serta kompetensi yang dimilikinya.

3. Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap

Karakter seseorang antara lain dipengaruhi latar belakang budaya, sebut saja budaya Jawa

sebagai salah satu kearifan lokal sebagai satu budaya di Indonesia yang tidak hanya mampu

mempertahankan eksistensi dirinya. Budaya Jawa khususnya budaya keraton Jawa terus melestarikan

keunikan yang dimiliki menjadi budaya yang menarik, berwibawa, dianut pengikut setianya, tidak

hanya keluarga keraton tetapi juga dihormati masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan oleh

masyarakat mancanegara. Di sinilah antara lain pendidikan sejarah berperan sangat aktif dalam

melestarikan budaya bangsa. Melalui pengalaman sejarah masa lalu dan kini rakyat Jawa melestarikan

dan membangun budayanya yang unik menarik. Budaya Bali, Padang, Batak, Dayak, Papua dan lain-

lain merupakan citra primitif pada pembentukan karakter bangsa yang otomatis membentuk manusia

seutuhnya karena manusia yang berkarakter baik, membentuk dirinya menjadi manusia seutuhnya.

Kehidupan bermasyarakat Jawa menekankan kepada hal-hal yang baik dan luhur, santun dalam

bersikap dan bericara, rendah hati dan luwes dalam bergaul. Greertz dalam Suseno (1996) menyebut

Page 107: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

103

dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Pertama, dalam setiap

situasi manusia hendaknya bersikap hati-hati hingga tidak menimbulkan konflik. Kedua, agar manusia

dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dan dapat

menempatkan diri sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

Menurut Mulder (1986) bagi orang Jawa selalu rukun, damai, nyaman, terang, aman dan

harmonis dalam kelompok lazimnya dianggap sebagai keberhasilan sistem gotong royong. Secara sadar

sistem ini dianggap berlaku bagi hidup berkeluarga, bertetangga dan bagi kehidupan desa, kota dan

secara ideologis sekarang mulai tampak pada kehidupan berbangsa secara nasional.

Menurut falsafah Jawa, orang harus menyesuaikan diri, bekerja sama, memainkan peranan

dengan selalu menjaga sopan santun. Selain itu juga harus patuh pada aturan dan bersikap menerima

(nrimo). Hal-hal tersebut merupakan ketentuan yang harus dipatuhi. Jika ada kepentingan-kepentingan

yang saling bertentangan selalu diperhalus dengan teknik kompromi yang bersifat tradisional dan

diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, baik individu

maupun kelompok. Masyarakat Jawa berusaha mengenyampingkan ambisi pribadi untuk kepentingan

bersama. Budaya ini melekat pada orang Jawa yang kadang-kadang dianggap terlalu lemah dan dapat

diperlakukan semena-mena.

Orang Jawa diajarkan leluhurnya harus mendahulukan komunitas, baru kepentingan pribadi.

Orang harus menerima dengan keadaan yang ditakdirkan Sang Pencipta dan tidak boleh banyak protes

dan memiliki ambisi terlampau besar. Komunitas bertindak sebagai “pagar” terhadap perilaku yang

menyimpang, demi mempertahankan nama baik dan kesusilaan. Sopan santun melekat erat dan menjadi

keyakinan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sisi lain falsafah Jawa pentingnya mawas diri

bagi yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena hal itu merupakan

ujian dari Sang Khalik. Ojo dumeh merupakan peringatan agar seseorang selalu ingat kepada

kepentingan sesama, karena itu masyarakat Jawa mengutamakan gotong royong. Aji mumpung adalah

salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah manusia pada umumnya. Ambisi,

persaingan, urakan, keinginan untuk mencapai keuntukan pribadi dan kekuasaan merupakan sumber

bagi segala perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan ditindas

(Suseno, 1996). Orang Jawa pada umumnya menghindari hal-hal yang bersifat frontal dan kekerasan.

Banyak mengalah untuk kerukunan.

Kondisi lestarinya budaya juga terjadi di Bali yang keanekaragaman budayanya sangat populer

di kalangan turis domestik dan mancanegara. Budaya Bali merupakan salah satu aset bangsa Indonesia

yang patut dibanggakan. Bahkan kadang-kadang nama Bali lebih populer di telinga orang asing

daripada nama Indonesia.

Di Bali, adat, budaya dan kepercayaan bersatu padu menjadi bunga rampai yang indah dan

dapat dirasakan masyarakat umum di luar masyarakat Bali. Budaya ramah, selalu ingin membantu,

menyenangkan pihak lain, santun terhadap tamu seperti melekat di sanubari orang Bali. Keindahan alam

dan kemahiran orang Bali memelihara limpahan kenikmatanNya menjadikan pulau Bali dan

masyarakatnya sebagai sesuatu yang unik dan menarik. Budaya Bali menekankan pada hubungan antara

manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan penciptanya. Kebudayaan Jawa dan Bali

sungguh merupakan fakta sejarah yang mendidik masyarakat untuk selalu berbuat baik terhadap sesama

dan menjadi bermakna buat sesama sambil tetap patuh pada Tuhan yang Maha kuasa. Dua kebudayaan

tersebut merupakan contoh yang baik di samping budaya-budaya dari daerah lain di Indonesia.

Keanekaragaman budaya Indonesia sungguh merupakan kekayaan tiada tara bagi bangsa Indonesia.

Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap maksudnya

adalah: ketika seseorang mengenali dirinya secara utuh kemudian memahami perannya secara utuh

juga. Maka orang tersebut tengah mempunyai sesuatu yang khas, berbeda dengan bangsa lain, secara

historik mempunyai pemahaman yang baik tentang pengenalan diri dan perannya dalam kehidupan

pribadi, kelompok, maupun bernegara, sehingga dengan berbekal nilai-nilai luhur sejarah diadobsi

dengan kreasi dan inovasi jadilah karakter dan jati orang tersebut yang terus mengusung pada arah

perbaikan bagi dirinya sendiri, bangsa, negara, maupun agamanya. Berbekal sejarah juga seseorang

akan mempunyai jiwa nasionalisme, cinta tanah air, sehingga dalam bertindak, berucap, ataupun

mengambil keputusan melandaskan pada jati diri dan karakter bangsa yang telah tertanam secara baik

dalam diri pribadi tersebut. Disinilah letak pendidikan sejarah dalam pembentukan manusia seutuhnya,

karena manusia yang berkarakter adalah manusia seutuhnya.

Page 108: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

104

Landasan Filosofis Pendidikan Sejarah

Landasan filosofis pendidikan sejarah didasarkan pada landasan filosofis kurikulum. Landasan

ini menjadi sangat penting agar secara sistemik dan sistematik pendidikan sejarah dapat dijalankan

secara berkesinambungan dengan berpijak pada filosofi yang ada. Tanner dan Tanner (1980)

mengemukakan empat landasan filosofis dalam mengembangkan pendidikan sejarah yaitu:

1) Perrenialisme, pendidikan sejarah harus mengembangkan rasa bangga terhadap prestasi, prestise

dan kejayaan bangsa dimasa lampau. Kisah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya, kemashuran

kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dalam menjalin perdagangan dan hubungan diplomasi dengan

negara lain sudah sepatutnya diceritakan dan diwariskan.

2) Essentialisme, pendidikan sejarah sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual

generasi muda. Sejarah sebagai mata pelajaran harus diberikan secara rutin dan continue dalam

proses pembelajaran didalam kelas. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis, berfikir historis dan

berpikir solutif atas permasalahan yang terjadi dengan berpijak pada peristiwa masa lampau dalam

mengalami masa kini dan masa depan.

3) Humanisme, pendidikan sejarah harus mengandung nilai-nilai afektif, memberikan kesempatan

yang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan pikiran, tindakan, dan gagasan-gagasan

positif dalam hubungannya dengan masyarakat.

4) Reconstructionisme, pendidikan sejarah harus ditekankan pada pola pikir yang bersifat progress,

berorientasi ke masa sekarang dan masa yang akan datang. Pendidikan sejarah seharusnya tidak

hanya terpaku pada masa lampau, tetapi juga harus memberikan perhatian mengenai apa yang kini

terjadi bahkan pada masa yang akan datang.

PENUTUP

Menyadari sepenuhnya bahwa perubahan yang diinginkan tidak semudah membalikkan telapak

tangan, apa lagi yang akan dirubah adalah pendidikan sejarah yang dalam rentang sejarah perjalanan

bangsa pendidikan sejarah selalu dikaitkan dengan politik kekuasaan.

Sebut saja pada masa pemerintahan Orde Lama pendidikan sejarah justru sebagai alat legitimasi

penguasa untuk menggerakkan revolusi dan pada saat yang sama juga menghakimi kelompok yang

dianggap anti revolusi, saat itu dikenal istilah Manipol Usdek. Saat pergantian rezim Ode Baru,

perubahan pendidikan sejarah pun mengalami politisasi kekuasaan, unsur-unsur Orde Lama dibasmi

secara sistemik dalam pendidikan sejarah. Pada saat yang sama peran penguasa Orde Baru mendapat

posisi istimewa dalam pendidikan sejarah.

Terlepas dari perdebatan bahwa sejarah seringkali dijadikan sebagai alat legitimasi oleh

penguasa, pendidikan sejarah tetap harus berlandaskan pertimbangan akademik didalam penyajian dan

penyampaiannya. Sebagaimana disampaikan Wineburg (2001), historical knowledge should serve as a

bank of contemplating present problems. Cerita sejarah merupakan cerita yang iluminatif mengenai

upaya manusia menjawab tantangan yang dihadapi, serta sebagai media yang sangat baik dalam

mengembangkan kreatifitas, inspirasi, inisiatif, dan kemampuan berpikir antisipatif. sejarah merupakan

sebuah peristiwa yang terjadi dimasa lampau, yang keberadaannya terus berlanjut ke masa kini dan

masa yang akan datang. Ibarat kaca spion, sejarah adalah sebagai “cermin masa lalu, pijakan dimasa

depan”.

Akhirnya penulis berkesimpulan sangat dibutuhkan keberanian yang luar biasa seperti para

pahlawan bangsa yang melawan penjajah, untuk merumuskan visi dan melaksanakan misi pendidikan

sejarah yang lebih humanis dan universal dalam membentuk karakter generasi emas Indonesia

mendatang, Insya Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Bigge, Morris L. Learning Theories for Teachers. New York: Harper And Row, Publisher, Inc, 1982

Carr, E. H. The Use of History. London: Penguin Books, 1961.

Dahlan, M.D. (Penyunting). Model-model Mengajar. Bandung: C.V. Diponegoro, 1990.

Gagne, Robert M., Kondisi Belajar dan Teori Pembelajaran, terjemahan Munandir MA, Jakarta:

Depdikbud, 2003.

Page 109: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

105

Hasan, Hamid. Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung: Rizqi

Press, 2012.

Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif dan Jati Diri

Bangsa.Tulisan sebagai apresiasi untuk Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, 2012.

Hilgard, Ernest R., dan Gordon H. Bower. Theories of Learning. Englewood Cliffs New Jersey:

Prentice-Hall, Inc., 1975.

Kartodirdjo, Kartono. Pembangunan Bangsa Tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan Kebudayaan

Nasional. Yogyakarta: Aditya Media, 1993.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yayasan Bentang Budaya. Yogjakarta. 2001

Penjelasan Sejarah. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.

Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia; Mitos, Ideologi, dan Ilmu.

Yayasan Bentang Budaya. Yogyakarta. 2008

Koesoema, D. A. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo,

2007.

Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Gunung Agung, 1981.

Prasetyo, J. Reza, dan Andriani, Yeni, Multiply Your Multiple Intelligences Melatih Kecerdasan

Majemuk pada Anak dan Dewasa, Yogyakarta: 2009.

Sangkanparan, Hartono, Dahsyatnya Otak Tengah Jadikan Anak Anda Cerdas Saat Ini Juga, Jakarta:

Visimedia, 2010.

Wineburg, Sam. Making Historical Sense, dalam Knowing Teaching and Learning History: National

and International Perspectives. New York: New York University Press, 2000.

Wineburg, Sam. Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the

Past. Philadelphia: Temple University Press, 2001.

Page 110: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

106

PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP

KINERJA KEPALA SEKOLAH:

PENELITIAN PADA KEPALA SMPN DI KOTA ADMINISTRASI

JAKARTA TIMUR

Matin1

[email protected]

ABSTRACT

The objective of the research is to obtain information concerning with the effect of

organizational culture, on the headmasters’ performance. This research was conducted in

East Jakarta City Administration in 2011 by using a survey method with path analysis

applied in testing hypothesis and 77 State Junior High School Headmaster in East Jakarta

City Administration as samples selected randomly. The finding of the research are: there is

a direct effect of organizational culture toward headmaster’ performance; Based on these

finding, it could be concluded that any change or variation occurred at headmasters’

performance might have been directly effected by organizational culture, When we want to

minimize the variation which occurred in headmasters’ performance, these factor such as

organizational culture are necessary to be taken into account.

Keywords: organizational culture, headmasters’ performance, High School.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pentingnya peran kepala sekolah dalam pendidikan sangat nyata terlihat ketika pemerintah

menggulirkan suatu kebijakan desentralisasi dan otonomi sekolah yang dikenal sebagai manajemen

berbasis sekolah. Pada sistem ini, kepala sekolah tidak hanya sebagai seorang manajer yang lebih

banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan administrasi sekolah, tetapi lebih jauh dari itu

adalah bahwa kepala sekolah dituntut untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu menciptakan

visi dan misi sekolah serta mengilhami semua guru dan personil lainnya untuk mewujudkan visi dan

misi tersebut.

Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pentingnya kepala sekolah dalam

penyelenggaraan pendidikan juga dapat dilihat dari Permen Diknas No. 13 Tahun 2007 tentang standar

kepala sekolah. Pada dokumen tersebut dijelaskan bahwa untuk menjadi kepala sekolah yang

profesional maka yang bersangkutan harus memiliki kompetensi dalam: 1) menyusun perencanaan

pengembangan sekolah secara sistemik, 2) mengkoordinasikan semua komponen sistem sehingga

secara terpadu dapat membentuk sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif, 3) mengerahkan

seluruh personil sekolah sehingga mereka secara tulus bekerja keras demi pencapaian tujuan

instruksional sekolah, 4) memberikan pembinaan kemampuan profesional kepada guru sehingga

mereka semakin terampil dalam mengelola proses pembelajajaran, dan 5) mampu melakukan

monitoring dan evaluasi sehingga tidak ada satupun komponen sekolah yang tidak berfungsi secara

optimal. Dengan demikian jelas bahwa sekolah membutuhkan kepala sekolah yang memiliki

kompetensi tinggi untuk membangun sekolah yang berkualitas. Kepala sekolah merupakan pemegang

otoritas dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga perlu memahami proses pendidikan

dan mampu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

Hasil Pengamatan Peneliti tahun 2010 menyimpulkan bahwa banyak kepala sekolah belum

memperlihatkan kinerja yang tinggi sesuai harapan masyarakat: (1) kepala sekolah belum memiliki

rencana pengembangan sekolah secara sistematis, (2) kepala sekolah belum mampu mengerahkan

seluruh sumber daya sekolah guna memberikan konstribusi positif terhadap pencapaian tujuan sekolah,

dan (3) kepala sekolah belum mampu melakukan pembinaan kepada guru dan tenaga administrasi yang

memiliki masalah pekerjaan.

Pandangan beberapa anggota masyarakat tentang masalah sekolah seperti dikutip oleh Tilaar

(2011: h.161) ialah: (1) masih ada kepemimpinan kepala sekolah yang belum efektif, (2) kinerja

Page 111: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

107

sekolah yang masih jauh dari harapan, (3) budaya sekolah yang belum kondusif, (4) pengaturan sekolah

yang belum efektif, (5) disiplin warga sekolah yang relatif rendah, (6) tidak ada perubahan yang

signifikan terhadap perbaikan proses belajar mengajar, kuantitas dan kualitas guru, sarana belajar, dan

kesejahteraan warga sekolah, dan bahkan kemampuan kepala sekolah masih jauh dari yang diharapkan

masyarakat.

Hal-hal di atas diduga disebabkan oleh (1) rekruitmen kepala sekolah yang tidak mengikuti

peraturan sehingga mengakibatkan terjaringnya kepala sekolah yang memiliki mental rendah, kurang

memiliki motivasi kerja, tidak punya semangat kerja dan semangat team, tidak punya visi dan misi

organisasi, dan tidak memiliki integritas, (2) monitoring dan evaluasi terhadap sekolah tidak berjalan

sebagaimana mestinya dari pihak terkait, (3) budaya organisasi yang tidak kondusif seperti

memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan buruk pada masyarakat yaitu komunikasi antar warga sekolah

yang tersumbat, pengambilan keputusan yang ragu-ragu, pengawasan yang tidak jalan, koordinasi yang

tidak ada, serta kepemimpinan yang lemah, (4) kebijakan pemerintah yang tidak tersosialisasikan

dengan baik, (5) kepemimpinan para pengelola organisasi pendidikan yang kurang efektif, (6)

perubahan pola manajemen sekolah yang dalam prosesnya relatif mendadak, dan (7) munculnya

persaingan antar sekolah sebagai akibat dari adanya desentralisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Rumusan Masalah

Apakah budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja kepala sekolah?

KAJIAN TEORETIK

Deskripsi Konseptual Kinerja didefinisikan Colquitt, LePine, dan Wesson (2009 h.37) sebagai nilai perilaku

karyawan yang berkontribusi secara positif atau negatif terhadap pemenuhan tujuan organisasi. Judith

A. Hale (2004;h.2) mendefinisikan kinerja sebagai pekerjaan yang penuh arti dilakukan dengan cara

efektif dan efisien Slocum dan Hellriegel (2009;h.127) mengartikan kinerja sebagai tingkat

kemampuan dan motivasi seseorang yang mengindikasikan bahwa semakin mampu dan termotivasi

seorang pegawai dalam bekerja bisa jadi semakin baik kinerjanya. Nelson dan Quick (2006;h.191)

mendefinisikan kinerja sebagai ketuntasan kerja yang terlihat dari hasil-hasil yang ada dan usaha

sebagai kinerja yang baik. Sedangkan Sabine Sonnentag (2002;h.156) mengartikan kinerja sebagai aksi

yang sesuai dengan tujuan organisasi, kinerja juga diartikan sebagai apa yang pemilik harus korbankan

untuk bekerja.

Kinerja menurut Colquitt, LePine, dan Wesson memiliki tiga dimensi yaitu (1) kinerja tugas,

(2) perilaku kesukarelaan, dan (3) perilaku kontra produktif. Kinerja tugas dan perilaku kesukarelaan

merupakan kontribusi perilaku positif, sedangkan perilaku kontra produktif merupakan kontribusi

perilaku negatif. Kinerja tugas adalah serangkaian kewajiban yang nyata dan harus dipenuhi oleh setiap

pegawai untuk mendapatkan kompensasi dari pekerjaan yang berkelanjutan yang meliputi tugas-tugas

rutin dan tugas-tugas yang bersifat khusus. Tugas rutin meliputi perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tugas yang bersifat khusus membutuhkan kemampuan adaptasi

seperti penanganan kondisi darurat, ketegangan dalam bekerja, kreatifitas menyelesaikan masalah,

mempelajari teknologi dan tugas-tugas baru, adaptasi interpersonal terhadap pekerjaan, dan adaptasi

terhadap budaya sekitar. Perilaku kesukarelaan merupakan aktivitas sukarela pegawai yang

kemungkinan dihargai atau tidak tetapi memberikan kontribusi pada organisasi untuk memperbaiki

kualitas lingkungan pekerjaan seperti kesediaan untuk membantu, kesediaan menginformasikan hal-hal

yang relevan, kemampuan menjaga perilaku yang baik, membicarakan perbaikan organisasi, kerelaan

melakukan tugas lebih dari standar yang ditentukan, kerelaan mengikuti perkembangan organisasi, dan

mewakili organisasi dengan cara positif jika keadaannya jauh dari tempat kerja. Perilaku kontra

produktif adalah perilaku pegawai yang bersifat negatif pada pencapaian tujuan organisasi, meliputi

penyimpangan kepemilikan seperti sabotase dan pencurian, penyimpangan produksi seperti

pemborosan sumber daya dan penyalahgunaan material, penyimpangan politik seperti gossip dan

ketidak sopanan, dan penyimpangan individual seperti gangguan dan penyerangan. Menurut Colquit,

Lepine dan Wesson, kinerja merupakan produk akhir pada model integrative perilaku organisasi

bersama-sama dengan komitmen organisasi yang merupakan hasil individu dalam organisasi.

5

Page 112: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

108

Definisi Hale tentang kinerja memberikan tekanan pada keberartian pekerjaan yang dilakukan

secara efektif dan efisien. Keberartian pekerjaan dapat diartikan sebagai bekerja dengan sungguh-

sungguh menghasilkan produk yang berkualitas, dikerjakan tepat sasaran dan hemat dalam penggunaan

sumber daya. Meskipun definisi Hale berbeda penekanan dari pendapat Colquit dkk., namun disepakati

bahwa ketepatan waktu dalam pencapaian tujuan dan efisien dalam penggunaan sumber daya dapat

merupakan ukuran kinerja seseorang sebagaimana hasil pekerjaan yang diinginkan oleh pimpinan suatu

organisasi.

Nelson dan Quick menjelaskan bahwa kinerja berkaitan dengan perilaku seseorang dalam

mengemban tugas dengan tanggung jawab sesuai keahlian yang dimilikinya. Ketuntasan bekerja

mengindikasikan bahwa hasil yang berkualitas sebagai bagian dari ketelitian, kecermatan dan

kemampuan dalam melakukan pekerjaan, dan berhubungan erat dengan usaha-usaha mewujudkan

tanggung jawab untuk memperlihatkan kinerja yang baik. Seseorang yang mampu menuntaskan

pekerjaan tepat waktu dengan kualitas yang baik dapat dikatakan bahwa ia memiliki kinerja baik, karena

untuk itu yang bersangkutan harus melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan tuntutan

ketuntasan tugas dalam rangka mencapai kinerja terbaik.

Menurut Sabine Sonnentag, kinerja merupakan perilaku aksi bukan reaksi dan merupakan unsur

aktif pegawai yang perlu memiliki dorongan yang kuat dari dalam dan dari luar diri pegawai. Dorongan

aktif ini sesuai dengan tujuan organisasi sehingga selaras antara tujuan individu dengan tujuan

organisasi yang mengakibatkan munculnya seperangkat tindakan.

Dari beberapa definisi di atas, peneliti menganalisis dan mendefinisikan kinerja sebagai

seperangkat perilaku seseorang dalam melakukan tugas yang memberikan konstribusi positif maupun

negatif pada pencapaian tujuan organisasi. Secara konseptual, yang dimaksud kinerja kepala sekolah

adalah hasil kerja kepala sekolah sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya sebagai administrator,

manajer, leader, motivator, dan supervisor sekolah yang meliputi sikap mental dan kemampuan dalam

melaksanakan tugas sehingga menghasilkan pekerjaan yang efektif dan berkualitas dengan

menggunakan masukan secara efisien dalam usaha menampilkan mutu pekerjaan yang baik.

Budaya organisasi didefinisikan Colquitt, LePine dan Wesson (2009;h. 546) sebagai upaya

berbagi pengetahuan sosial melalui penghormatan organisasi terhadap aturan, norma dan nilai-nilai

yang membentuk sikap dan perilaku setiap anggota organisasi. Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge

(2009;h. 585) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem nilai yang dipegang dan dilakukan oleh

setiap anggota organisasi, sehingga dengan demikian suatu organisasi dapat dibedakan dari organisasi

lainnya. Kinicki dan Kreitner (2008;h. 41) mengartikan budaya organisasi sebagai himpunan asumsi-

asumsi yang dibagi bersama kepada setiap anggota organisasi, dan di dalamnya terkandung bahwa suatu

kelompok menentukan bagaimana mereka merasa, memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungannya.

James L. Gibson, et,al., (2009;h. 30) mendefinisikan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan

para pegawai terhadap organisasi dan bagaimana mereka menciptakan suatu pola tentang keyakinan,

nilai-nilai, dan harapan-harapan. Sedangkan Edward H. Schein (2004;h.17) mendefinisikan budaya

organisasi sebagai pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh suatu

kelompok karena berhadapan dengan penyesuaian lingkungan eksternal dan integrasi lingkungan

internal yang telah berjalan cukup baik dan dianggap tepat sehingga dapat diajarkan kepada anggota

baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan ketika berhadapan dengan

berbagai masalah.

Menurut Colquitt, LePine dan Wesson, budaya organisasi terdiri atas tiga komponen yaitu: (1)

artefak yang dapat diobservasi, (2) nilai-nilai yang tersiarkan, dan (3) asumsi yang sangat mendasar,

Menurut Robbins dan Judge, budaya organisasi memiliki karakteristik yaitu: (1) ada inovasi dan

keberanian mengambil resiko, (2) perhatian terhadap yang kecil-kecil, (3) berorientasi pada hasil, (4)

berorientasi kepada manusia, (5) berorientasi pada tim, (6) terciptanya agresifitas, dan (7) terciptanya

stabilitas. Menurut Schein, budaya organisasi harus menjadi dasar bagi anggota organisasi dalam

melihat pesoalan, berpikir, dan bertindak. Budaya harus dilihat sebagai suatu yang bersifat informal

yaitu cara hidup dan keunggulan dalam suatu organisasi yang mengikat bersama dan mempengaruhi

apa yang mereka pikirkan tentang dirinya dan pekerjaannya. Menurut Ricard L. Daft (2005;h.558),

budaya memiliki dua fungsi utama yaitu (1) membantu organisasi agar setiap anggotanya mampu

berinteraksi secara terintegrasi dalam membangun suatu identitas bersama dan mengetahui bagaimana

bekerja sama secara efektif, (2) organisasi mampu beradaptasi dengan dunia luar terutama dalam

menentukan bagaimana organisasi mempertemukan tujuan-tujuan dengan pihak luar yaitu dalam

Page 113: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

109

merespon secara cepat kebutuhan pelanggan, termasuk bagaimana dapat bergerak di antara para

kompetitor. Sedangkan menurut Kinichi dan Kreitner, budaya organisasi dipandang sebagai suatu

kekuatan yang lembut tapi mudah disebarluaskan, kehadirannya tidak disadari oleh setiap anggota

organisasi tetapi mereka mematuhinya, umumnya berada di bawah ambang kesadaran karena budaya

melibatkan asumsi yang menjadi jaminan tentang bagaimana seseorang dapat melihat, berpikir,

bertindak, merasakan dan bereaksi terhadap lingkungannya. Budaya organisasi merupakan norma

dalam organisasi, bersifat informal, tidak tertulis, jarang diperbincangkan tetapi diyakini kebenarannya,

tidak dapat dinegosiasi tetapi secara nyata besar pengaruhnya dalam membentuk perilaku anggota

organisasi, dan timbul secara langsung dari berbagai asumsi.

Robbins dan Judge menjelaskan bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung

kepada kinerja dan kepuasan pegawai. Pengaruh langsung budaya terhadap kinerja juga dikemukakan

oleh Steven L. McShane dan Mary Ann Von Glinow (2008;h. 467). Sedangkan Colquitt, Lepine dan

Wesson, menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh tidak langsung pada kinerja pegawai.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa budaya organisasi (budaya sekolah) merupakan suatu

sistem makna bersama yang dianut oleh setiap warga sekolah yang membedakan sekolah tersebut dari

sekolah yang lain, mencakup tentang apa yang dipahami oleh setiap warga sekolah sebagai pola

kepercayaan, nilai, dan harapan yang mengarahkan perilaku dan praktek kerja dalam sekolah.

Deskripsi Teoretik

Colquitt, LePine dan Wesson menjelaskan bahwa kinerja secara langsung dipengaruhi oleh

mekanisme individual di antaranya (1) kepuasan kerja, (2) motivasi, (3) tekanan (stress), (4)

kepercayaan, keadilan dan etika, dan (5) pembelajaran dan pengambilan keputusan. Kinerja secara tidak

langsung dipengaruhi oleh (1) mekanisme organisasi, yaitu budaya organisasi dan struktur organisasi,

(2) mekanisme kelompok yaitu kepemimpinan, kerja tim dan karakteristik tim, dan (3) karakteristik

individu yaitu kepribadian dan nilai budaya, dan kecakapan. Menurut hasil survey di Britain

(2003;h.58), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ialah (1) faktor fisik, lokasi, dan teknologi, (2)

faktor nilai keyakinan dan budaya, sikap individu, motivasi dan kepribadian, (3) pengaruh internasional,

(4) lingkungan organisasi seperti lingkungan manajerial, politik dan ekonomi, (5) tingkat fleksibilitas

organisasi baik di tingkat pekerja maupun pada aktivitas pekerjaan, dan (6) sistem penggajian dan

hadiah.

Tarwaka dkk. dalam Sedarmayanti (2009;h.198) menjelaskan bahwa kinerja dipengaruhi oleh

(1) Kapasitas individu pegawai yang terdiri atas pendidikan, keterampilan, motivasi, kedisiplinan, etos

kerja, jaminan sosial, umur, jenis kelamin, pengalaman, agama, kesehatan, kebugaran, daya tahan otot

dan panca indera, kemampuan psikologis meliputi mental, adaptasi, stabilitas emosi, kemampuan

biomekanik yaitu daya tahan sendi dan persendian, dan (2) kapasitas pekerjaan yang terdiri atas tugas-

tugas pekerjaan termasuk alat, bahan dan teknologi, organisasi kerja, lingkungan kerja, beban kerja,

ketidaknyamanan kerja, stress akibat kerja, penyakit akibat kerja, dan cidera atau kecelakaan akibat

kerja. Menurut Mulyasa (2004;h.139), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ialah: (1) sikap mental

berupa motivasi, disiplin, kreatifitas dan etika kerja, (2) pendidikan, (3) keterampilan, (4) manajemen

dan kepemimpinan, (5) hubungan industrial, (6) kesejahteraan, (7) gizi dan kesehatan, (8) jaminan

sosial, (9) suasana kerja, (10) sarana kerja, (11) teknologi kerja, dan (12) kesempatan berprestasi.

Michael Amstrong (2006;h.1) mengatakan bahwa untuk meningkatkan kinerja organisasi, suatu

organisasi perlu mengembangkan kinerja individu dan kinerja kelompok. Sementara menurut Nelson

dan Quick harus dilakukan sejumlah tindakan manajemen yaitu melakukan identifikasi, mengukur,

menilai, dan umpan balik atas semua kegiatan yang dilaksanakan. Sedangkan menurut John W.

Newstrom dan Keith Davis (2000;h.139), untuk merancang suatu sistem yang mendukung perbaikan

kinerja adalah melalui (1) perumusan tujuan, (2) perencanaan tindakan, (3) review secara periodik, dan

(4) evaluasi berkala.

Menurut Castetter dalam Mulyasa (2004;h.139) untuk mengukur kinerja dilakukan melalui

karakteristik personil, proses kerja, hasil kerja, dan kombinasi ketiganya. Menurut Arouf dalam

Sedarmayanti (2002;h.202), alat pengukur kinerja ialah input, proses produksi, efisiensi kerja, kualitas

kerja, dan efektivitas kerja. Menurut Edy Sutrisno (2009;h.111-112) indikator kinerja yaitu:

kemampuan untuk melaksanakan tugas, efektivitas kerja, semangat kerja, pengembangan diri, kualitas

kerja, dan efisiensi kerja. Menurut Sedarmayanti (2009;h.79) ialah: (1) tindakan yang konstruktif, (2)

percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) mencintai pekerjaan, (5) mempunyai pandangan

Page 114: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

110

ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang

berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungan (kreatif, imajinatif dan inovatif),

dan (8) memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Sedangkan menurut John V. Gilmore

(1974:h. 7), yaitu mereka yang memberi kontribusi positif pada lingkungan tempat mereka berada

karena yang bersangkutan melakukan tindakan yang kontruktif, imajinatif, kreatif, dan inovatif.

Jason A. Colquit dkk., (2009) mengatakan bahwa budaya organisasi, struktur organisasi, gaya

kepemimpinan, kekuatan dan pengaruh kepemimpinan, kerja tim, karakteristik tim, kepribadian dan

nilai-nilai budaya, serta kecakapan individu memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja

pegawai. Sementara, menurut Robbins dan Judge, dan menurut Steven L McShane dan Mary Ann

Glinow (2008: h.467) bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung kepada kinerja.

Kerangka Berpikir Budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang dianut anggota organisasi menyediakan anggotanya

untuk berinovasi, tetap stabil, respek kepada semua orang, berorientasi kepada hasil dan tim kerja, serta

bersikap agresif. Sementara, kinerja kepala sekolah yang dimaksudkan sebagai nilai-nilai kontribusi

positif yang diberikan kepala sekolah untuk mencapai tujuan sekolah akan mudah direalisasikan jika

memiliki daya dukung dari beragam kemampuan yang disediakan oleh budaya organisasi sekolah.

Kemampuan yang beragam ini memberi kontribusi positif dan memiliki pengaruh yang kuat pada

pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian diduga bahwa budaya sekolah berpengaruh langsung

positif terhadap kinerja kepala sekolah.

Hipotesis

Budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang ada tidaknya pengaruh langsung

budaya sekolah terhadap kinerja kepala sekolah. Peneltian dilaksanakan di SMP Negeri Kota

Administrasi Jakarta Timur DKI Jakarta pada tahun 2011. Penelitian ini termasuk penelitian survey

dengan teknik kausal. Data dikumpul dengan menggunakan angket dan dianalisis dengan statistika

deskriptif dan inferensial. Populasi penelitian ialah seluruh Kepala SMP Negeri di lingkungan Kota

Administrasi Jakarta Timur DKI Jakarta berjumlah 95 kepala sekolah. Sampelnya 77 kepala sekolah

yang diambil secara acak sederhana dengan berpedoman pada rumus Slovin. Respondennya adalah

seluruh kepala sekolah yang dijadikan sampel.

HASIL PENELITIAN

Karakteistik Sampel: Sampel dikelompokan berdasarkan jenis kelamin, masa kerja, dan pangkat atau

golongan. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 55 atau 71,43% laki-laki dan 22 atau 28,57% perempuan,

berdasarkan masa kerja, tebanyak memiliki masa kerja 21-30 tahun yaitu 45 orang atau 58,44%, dan

terendah memiliki masa kerja 11-20 tahun yaitu 5 orang atau 6,49%. Berdasarkan pangkat/golongan,

terbanyak memiliki pangkat/golongan IV/a yaitu 52 orang atau 67,53% dan terendah pangkat/golongan

IV/c yaitu 3 orang atau 3,9%. Tidak ada sampel yang memiliki pangkat/golongan di bawah IV/a dan di

atas IV/c.

Deskripsi Data: Variabel kinerja kepala sekolah: skor minimum 110, skor maksimum 214, rerata

198,44, median 202, modus 211, simpangan baku 12,78, rentang skor 54, varians 163,28, kelas interval

8, 50 atau 64,9% skor di ata rerata, dan 23 atau 29,9% di bawah rerata. Variabel budaya organisasi:

skor minimum 148, skor maksimum 205, rerata 185,05, median 189, modus 187, simpangan baku

15,01, rentang skor 57, varians 225,21, kelas interval 8, 40 atau 51,9% skor di atas rerata, dan 26 atau

33,8% di bawah rerata.

13

Page 115: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

111

Pengujian Persyaratan Analisis : (1) Uji Normalitas Galat Taksiran: Hasil uji Liliefors untuk menilai

normalitas galat taksiran menyatakan bahwa data penelitian berdistribusi normal. Hasil perhitungannya

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Galat Taksiran

Galat

Taksiran

L0 Lt

α=0,05

Keterangan

Y atas X 0.096 0.101 Normal

(2) Uji Signifikansi Persamaan Regresi: Hasil ANOVA untuk menilai signifikansi persamaan regresi

menyatakan bahwa persamaan regresi adalah sangat signifikan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada

tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Signifikansi Persamaan Regresi

Variabe

l

Persamaan Regresi Signifikansi

Fhitung Ftabel α 0,05 Ftabel α 0,01 Keterangan

Y – X Ŷ=81,510+0,632X 91,94** 3,97 6,99 Sangat Signifikan

(3) Uji Linearitas Persamaan Regresi: Hasil ANOVA untuk menilai linearitas persamaan regresi

menyatakan bahwa persamaan regresi adalah linear. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 4 di

bawah ini:

Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji Linearitas Persamaan Regresi

Variabel Persamaan Regresi Signifikansi

Fhitung Ftabel α 0,05 Ftabel α 0,01 Keterangan

Y – X Ŷ=81,510+0,632X 1,61ns 1,72 2,16 Linear

(4) Uji Signifikansi Koefisien Korelasi: Perhitungan koefisien korelasi sederhana menggunakan

Pearson Product Moment Correlations dan pengujian signifikansi koefisien korelasi menggunakan t-

student. Hasil pengujian menyatakan bahwa koefisien korelasi sangat signifikan. Hasil perhitungan

dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini:

Tabel 5. Matriks Koefisien Korelasi Sederhana Antar Variabel

Variabel Budaya Organisasi (X) Kinerja Kepala Sekolah

(Y)

Budaya Organisasi

(X1) 1,000** 0,742**

Kinerja

Kepala Sekolah (Y) 0,742** 1,000**

**Sangat Signifikan pada. α 0,01 (rtab 0,266 N=77)

Sementara hasil perhitungan signifikansi koefisien korelasi dengan uji t-student dapat dilihat pada tabel

6 di bawah ini

Tabel 6. Rangkuman Hasil Pengujian Signifikansi Koefisien Korelasi

No Variabel Koefisien Korelasi thitung ttabel α 0,05 ttabel α o,01

1 X – Y 0,742 9,588*

*

1,992 2,643

**Koefisien korelasi sangat signifikan

Page 116: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

112

Perhitungan Koefisien Jalur: dilakukan berdasarkan model teoritis sebagai berikut:

pYx

Gambar 2. Model Hubungan Struktural Variabel Penelitian

Berdasarkan diagram jalur pada gambar 2 di atas, terdapat sebuah koefisien jalur yaitu: pYx.

Rangkuman hasil analisis jalur dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Rangkuman Hasil Perhitungan Signifikansi Koefisien Jalur

Koefisien Jalur thitung ttabel Keterangan

α =0.05 α =0.01

pYX = 0,47 7,07 1,99 2,64 Sangat Signifikan

Dari data pada tabel di atas diketahui bahwa jalur memiliki koefisien jalur sangat signifikan.

Model akhir hasil analisis jalur dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini.

0,47

Gambar 3. Model Akhir Diagram Jalur

Pengujian Hipotesis: dilakukan dengan cara menguji koefisien jalur melalui penggunaan uji-t dengan

kriteria tolak hipotesis nihil jika thitung ˃ ttabel, dan sebagai konsekuensinya hipotesis alternatif diterima.

Dengan demikian maka koefisien jalur dinyatakan signifikan. Hipotesis yang diajukan adalah budaya

organisasi (X) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah (Y). Hasil pengujian

hipotesis terhadap pYX = 0,47 diperoleh thitung = 7,07 ˃ ttabel = 1,99 (α 0,05) dan 2,64 (α 0,01). Dengan

demikian disimpulkan bahwa budaya sekolah secara langsung, positif dan sangat signifikan

berpengaruh terhadap kinerja kepala sekolah

Pembahasan Hasil Penelitian: Penelitian ini telah berhasil menguji hipotesis yang diajukan yaitu

budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah. Budaya sekolah

mempunyai pengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah terutama kinerja kepala SMP

Negeri di Kota Administrasi Jakarta Timur. Kesimpulan ini didukung oleh pendapat Stephen P. Robbins

dan Thimoty Judge serta pendapat Steven L McShane dan Mary Ann Glinow (2008: h.467) yang

mengatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja, dimana semakin

kuat budaya organisasi maka akan semakin baik kinerja yang dihasilkan. Budaya sekolah di lingkup

SMP Negeri di Kota Administrasi Jakarta Timur pada umumnya menjunjung tinggi perhatian pada

manusia, bekerja keras, disiplin, tanggung jawab, dan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.

Disimpulkan bahwa budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah.

Kesimpulan ini dapat digunakan sebagai variabel yang mendukung model teori kinerja yang

dikemukakan Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge serta pendapat Steven L McShane dan Mary Ann

Glinow (2008: h.467). Implikasi hasil penelitian menyiratkan bahwa untuk meningkatkan kinerja

kepala sekolah dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan kualitas budaya sekolah.

Budaya Organisasi

(X) Kinerja Kepala Sekolah

(Y)

Budaya

Organisasi (X)

Kinerja Kepala

Sekolah (Y)

Page 117: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

113

Keterbatasan Penelitian: Penelitian ini dilakukan terbatas pada satu variabel saja yang mempengaruhi

kinerja kepala sekolah yaitu budaya sekolah, padahal yang mempengaruhi kinerja kepala sekolah sangat

banyak, sehingga hasil penelitian ini tidak mampu memberikan iformasi yang cukup tentang penentu

utama tinggi rendahnya kinerja kepala sekolah. Dimungkinkan muncul keraguan ketepatan informasi

dari kesimpulan penelitian ini oleh karena data dikumpulkan dengan angket yang diisi oleh responden

sekaligus obyek penelitian. Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan dalam lingkup yang cukup

luas karena wilayah penelitianya hanya di Kota Administrasi Jakarta Timur, kecuali kalau di wilayah

lain memiliki kesamaan karakteristik dengan sampel penelitian ini.

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Kesimpulan Hasil Penelitian: Budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala

sekolah

Implikasi Hasil Penelitian: Untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dapat dilakukan dengan

meningkatkan kualitas budaya sekolah.

Rekomendasi: Bagi Pengelola Pendidikan (Dinas Pendidikan dan Instansi terkait) agar memerankan

kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro ketika memimpin kepala sekolah guna meningkatkan kualitas

budaya sekolah. Pengawas sekolah agar melakukan monitoring dan evaluasi serta melakukan

pembinaan yang teratur terhadap kepala sekolah agar kinerja kepala sekolah meningkat. Kepala

sekolah agar paham berbagai faktor yang mempengaruhi kinerjanya dan berusaha mawas diri dan selalu

meningkatkan kualitas sikap dan kompetensi lainnya sebagai kepala sekolah guna mengejar kinerja

yang tinggi. Peneliti lain agar melakukan penelitian lanjutan tentang kinerja kepala sekolah dengan

sudut pandang yang lain di luar budaya organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Britain, Manufacturing In, A Survey of Factors Affecting Growth & Performance, ISR/Google Books,

Revised 3th Edition, 2003.

Colquitt, Jason A., Jeffrey A. LePine & Michael J. Wesson, Organizational Behavior Improving

Performance and Commitment in the Workplace, New York: McGraw Hill, 2009.

Depdiknas, Permen Diknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah.

George , Jennifer M., Gareth R. Jones, Understanding and Managing: Organizational Behavior, USA:

by Pearson Education, Inc., 2005.

Gibson, james L., et.al., Organization, Behavior, Structure, Processes, Singapore: McGraw-Hill

Education, 2009.

Greenberg, Jerald, Managing Behavior in Organization, 5th Edition, New Jersey: Pearson education,

Inc., 2010.

Hale, Judith A., Performance Based Management: What Every Manager Should Do To Get Result, San

Prancisco: John Wiley & Sons, Inc., 2004.

http//www:poskotaco.id/berita-terkini/gubernur-evaluasi (Jakarta: Koran Poskota, 21 September

2011).Diakses tanggal 25 September 2011.

http//www:tempointeraktif, 70 Persen Kepala Sekolah Tak Kompeten, (Jakarta: Koran Tempo, 12

Agustus 2008). Diakses tanggal 18 April 2011.

Kinicki, Angelo, Robert Kreitner, Organizational Behavior, Key Concepts, Skills & Best Practices 3th

Ed., New York: McGraw-Hill, 2008.

Luthans, Fred, Organizational Behavior, 11th Edition, Singapore: McGraw-Hill/Irwin, 2008.

McShane, Steven L., Mary Ann Von Glinow, Organizational Behavior, Fourth Edition, New York:

McGraw-Hill Companies, Inc., 2008.

Page 118: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

114

Mulyasa, E., Menjadi Kepala sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK,

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Mullins, Laurie J., Management and Organizational Behavior, Edinburg Gate harlow: prentice Hall,

2006.

Newstrom, John W., Keith Davis, Organizationl Behavior, Human Behavior at Work, New York:

McGraw-Hill/Irwin, 2000.

Robbins, Stephen P., Thimoty Judge, Organization Behavior, New Jersey: Perason Education, Inc.,

Upper Saddle River, 2009.

Schein, Edward H., Organizational Culture and Leadership, 3th Edition, San Prancisco: Jossey-Bass

Publisher, 2004.

Sedarmayanti, Tata Kerja dan Produktivitas Kerja: Suatu Tinjauan dari Aspek Ekonomi atau Kaitan

Antar Manusia dengan Lingkungan Kerjanya, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2009.

Sevilla, Consuelo G., et.al., Pengantar Metode Penelitian, terjemahan Alimudin Tuwu, Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia Press, 1993.

Slocum, John W., Don Hellriegel, Principles of Organization Behavior 11th Edition, Toronto: Nelson

Education, Ltd., 2009.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II

Pasal 3 Halaman 7, Penerbit Citra Umbara , Bandung.

Vecchio, Robert P., Organizational Behavior: Core Concepts, 6th Edition, USA: by Thomson

Corporation, 2006.

Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo Persada, 2002.

Page 119: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

115

PENERAPAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM BERBAHASA

Ninuk Lustyantie1

1Jurusan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni dan Program Studi Pendidikan

Bahasa/Linguistik Terapan Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

[email protected]

Abstrak

Language is a system that is primarily used by humans to interact with each other.

Language can be observed from the substance (form, meaning, and the rules that govern

them) and of the function (as a means of communication). Ferdinand de Saussure states

that language is a system, has its own arrangement, and everything pertaining to the

system and the rules are internal. In terms of function, language is a tool of

communication. With respect to the language as "himself" and function as a tool of

communication, language has to do with society, culture, and the mind of native speakers,

even with the world in general, the presence of between language, society, culture, and the

human mind (speakers). Thus language is the main tool for us to carry out a social

relationship. The words were spoken people refer to a common experience. These article

express facts, ideas or events that can be communicated as they refer to the knowledge of

the world which is also known by others.

In politeness, Brown and Levinson (1987) distinguishes two types of 'face', ie

positive face, which means showing solidarity, and negative face, which indicates a desire

not to be disturbed in his actions. In addition, there are two types of politeness concern

when we interact with others, ie positive politeness, which is characterized by the use of

informal language and offer friendship. Politeness itself depends on the socio-cultural,

norms, and rules somewhere, so the study of linguistic politeness selecting either of the

verbal and nonverbal be used by the people of Indonesia in communicating very diverse.

Abstrak Bahasa adalah satu sistem yang terutama sekali digunakan oleh manusia untuk

berinteraksi satu sama lain. Bahasa dapat dicermati dari substansinya (bentuk, makna, dan

kaidah yang mengaturnya) dan dari fungsinya (sebagai alat komunikasi). Sebagai

substansi, Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem,

mempunyai susunan sendiri, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan sistem dan kaidah

tersebut bersifat internal. Dari segi fungsinya, bahasa adalah alat komunikasi. Sehubungan

dengan bahasa sebagai “dirinya sendiri” dan fungsinya sebagai alat komunikasi, bahasa

mempunyai kaitan dengan masyarakat, kebudayaan, dan pikiran penuturnya, bahkan

dengan dunia secara umum maka timbul adanya keberhubungan antara bahasa,

masyarakat, budaya, dan pikiran manusia (penuturnya). Dengan demikian bahasa adalah

alat utama bagi kita untuk melakukan sebuah hubungan sosial. Kata-kata yang diucapkan

orang mengacu pada sebuah pengalaman umum. Kata-kata tersebut mengungkapkan fakta,

ide atau peristiwa yang dapat dikomunikasikan karena mereka mengacu pada pengetahuan

tentang dunia yang juga diketahui oleh orang lain.

Dalam kesantunan, Brown dan Levinson (1987) membedakan dua jenis ‘muka’,

yaitu positive face, yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang

menunjukkan hasrat untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis

kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive

politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan

pertemanan. Kesantunan berbahasa sendiri bergantung pada sosial budaya, norma, dan

aturan suatu tempat, sehingga kajian pemilihan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal

maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi sangat

beragam.

Kata kunci: kesantunan berbahasa, verbal, nonverbal.

Page 120: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

116

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Koentjaraningrat (1976) menyatakan bahwa bahasa digunakan dalam konteks budaya tertentu,

baik dalam konteks yang abstrak maupun yang konkret. Disebut memiliki konteks abstrak karena

bahasa berada dalam lingkungan sistem nilai tertentu, setidak-tidaknya dalam sistem nilai yang dianut

oleh pemakai bahasa itu. Disebut memiliki konteks konkret karena bahasa pada umumnya digunakan

dalam lingkungan manusia, bahkan di dalam lingkungan hasil karya manusia. Dengan demikian, nilai

suatu masyarakat, termasuk nilai budaya patriarkal terkemas di dalam bahasa. Hal itu diperkuat oleh

pendapat Burman dan Parker yang menyatakan bahwa bahasa berisi sebagian besar kategori dasar yang

kita gunakan untuk memahami diri kita sendiri; bahasa mempengaruhi cara kita bertindak sebagai

wanita atau pria dalam masyarakat; bahasa juga memproduksi cara kita menentukan identitas budaya

kita. Dengan demikian, jika bahasa sendiri sudah seksis, hal itu pun akan membentuk pemikiran

pemakainya untuk berprilaku tersebut.

Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu,

pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan

yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan

berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya "tidak

terus terang" dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur

tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang

dimaksudkannya.

Dalam artikel berikut diuraikan bagaimana prinsip-prinsip kesantunan berbahasa perlu

diterapkan baik dari sisi verbal maupun nonverbal sekaligus dianalisis dari sisi budaya masyarakat

Indonesia yang sangat beragam.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan penjelasan latar belakang, masalah penelitian ini adalah bagaimanakah prinsip-

prinsip kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat

Indonesia dalam berkomunikasi?

C. Tujuan Penelitian

Merujuk masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui realitas

potret penggunaan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal dalam berkomunikasi.

D. Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya kajian ini, diharapakan akan bermanfaat bagi:

a) Dosen - sebagai pengajar sebagai bahan informasi dan referensi mengenai fenomena dan realitas

mengenai potret kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh

masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi.

b) Mahasiswa - hasil penelitian ini juga sebagai informasi untuk memperkaya wawasan tentang kajian

sosiolinguistik khususnya realitas pemilihan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun

nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi.

c) Bagi peneliti lain - penelitian ini juga sebagai informasi awal untuk mengkaji sub-sub kajian

sosiolinguistik yang lain.

d) Secara umum, hasil penelitian ini memberikan sumbangan yang positif terhadap kajian

sosiolinguistik secara umum untuk mengembangkan body of knowledge tentang sosiolinguistik.

KAJIAN TEORI

1 . Kesantunan

Kesantunan (politeness) adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat

tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh

karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".

Page 121: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

117

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam

pergaulan sehari-hari.

a. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai santun atau etiket dalam pergaulan

sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai santun

atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian

sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik

penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang,

memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih

mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.

b. Kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi

belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan

teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu

tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau

mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang

banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di

rumah.

c. Kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua,

antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria

dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

d. Kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur

(berbahasa).

2. Jenis Kesantunan Kesantunan secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan

berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci

karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunan itu. Di dalam

kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama,

berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain

terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (lejas), menampakkan bagian badan yang pada

umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang

rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi

santai, berpakaian renang pada waktu renang.

Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu

atau dalam situasi tertentu. Misalnya, ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang

kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan

bersama di tempat umum. Masing-masing situasi tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada

waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan,

cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara

memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya kurang santun

apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan kaki di atas bangku ketika

mengikuti kuliah, bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan

bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, menyela antrean atau memotong

giliran orang, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan

mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara

berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar

menyampaikan ide yang dipikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang

ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila

tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka akan mendapatkan nilai

negatif, misalnya dijuluki sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, bahkan tidak

berbudaya.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan

komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus

mendapatkan perhatian. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih dapat

Page 122: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

118

memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur

serangkaian hal yaitu:

(1) Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu,

(2) Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu,

(3) Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan,

(4) Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara,

(5) Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara, dan (6) Kapan harus diam dan mengakhiri

pembicaraan.

Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok

masyarakat tertentu. Misalnya, tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa

orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang

Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa

Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang

berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya perlu dipelajari atau dipahami norma-norma

budaya. Tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan

berbahasa. Sebagai contoh, dalam budaya Melayu kata ganti diri ”aku” tidak boleh digunakan karena

memiliki arti yang sangat kasar. Untuk menyebutkan diri, dapat digunakan kata saya, menyebutkan

nama sendiri, atau dengan patik.

3. Kesantunan Berbahasa

Kesantunan menurut Searle (1969) merupakan bentuk tindak tutur yang tidak langsung:

In the field of indirect illocutionary act, the area of directives is the most useful to study because

ordinary conversational requirements of politeness normally make it awkward to issue flat

imperative statements or explicit performatives, and we therefore seek to find indirect means

to our illocutionary ends. In directives, politeness is the chief motivation for indirectness.

Untuk pertama kalinya, konsep ini diperkenalkan oleh Erving Goffman (1967) melalui istilah

‘muka’ (face). Dua puluh tahun kemudian, Brown dan Levinson (1987) memberikan definisi mengenai

‘muka’, yaitu sebagai ‘the public self-image that every member wants to claim for himself’. Terminologi

tentang kesantunan (politeness) sendiri banyak mengandung arti. Menurut Thomas, untuk

memahaminya perlu melihat lima fenomena yang saling berhubungan, yakni:

a. Kesantunan sebagai tujuan dunia nyata

Fenomena yang muncul dari kesantunan sebagai dunia nyata dilihat dari istilah ‘kesantunan’ yang

diinterpretasikan sebagai hasrat untuk dihargai orang lain atau sebuah motivasi terpendam dari sikap

kebahasaan seseorang. Hasrat dan motivasi ini hanya dapat diperoleh melalui apa yang diucapkan

oleh seseorang yang kemudian direspon oleh pendengarnya. Kita bisa mengobservasi seseorang

lebih santun dari yang lain, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar kesamaan dengan

komunitas yang lainnya.

b. Rasa hormat vs. Kesantunan

Rasa hormat sering dihubungkan dengan kesantunan, meskipun merupakan fenomena berbeda. Rasa

hormat mengacu pada rasa segan yang kita tunjukkan pada orang lain melalui nilai yang mereka

miliki, seperti status, usia, dsb. Kesantunan merupakan hal yang umum untuk menunjukkan

perhatian pada orang lain. Antara rasa hormat dan kesantunan dapat dimanifestasikan melalui

tingkah laku sosial maupun cara-cara kebahasaan, misalnya saja kita dapat mengungkapkan rasa

hormat kita dengan berdiri saat seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi masuk ruangan,

atau dengan menunjukkan kesantunan dengan memegang pintu tetap terbuka saat seseorang akan

keluar ruangan.

c. Ragam Bahasa

Istilah ragam bahasa (register) mengacu pada variasi sistematik dalam hubungannya dengan konteks

sosial, atau cara bahasa yang digunakan untuk berbicara maupun menulis disesuaikan dengan situasi.

Situasi tertentu atau jenis bahasa yang digunakan maupun hubungan sosial tertentu menuntut

penggunaan bahasa yang formal. Keformalan bahasa yang digunakan dapat bermanifestasi dengan

pilihan bentuk bahasa yang formal, penghindaran interupsi, dan lain-lain. Seperti halnya dengan rasa

hormat, register hanya memiliki hubungan yang sedikit dengan kesantunan. Register sendiri

Page 123: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

119

merupakan fenomena nyata dari sosiolinguistik, yaitu penjelasan bentuk-bentuk kebahasaan yang

biasanya muncul pada situasi tertentu.

d. Kesantunan sebagai fenomena ujaran

Banyak studi mengenai kesantunan difokuskan pada level realisasi ujaran. Walter (1979)

mendefinisikan fenomena ini sebagai cara menginvestigasi seberapa banyak kesantunan ditekan dari

strategi tindak tutur. Fenomena ini melihat kesantunan dalam tingkat permukaan, yakni menekankan

pada penggunaan bentuk bahasa dari tindak tutur itu sendiri.

e. Kesantunan sebagai fenomena pragmatik

Pada tingkat ini, kesantunan dianggap sebagai sebuah strategi yang digunakan oleh pembicara untuk

dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain, penggunaan bentuk bahasa tertentu secara

kontekstual untuk mencapai tujuan si pembicara.

Selanjutnya, konsep kesantunan ini kemudian berkembang menjadi lima teori kesantunan

berbahasa, yaitu:

1. Teori Relevansi/Prinsip Teori

Teori ini dikembangkan oleh Sperber dan Wilson (1989). Teori ini mempunyai satu bidal (maksim),

yaitu prinsip relevansi, antara pembicara dan mitra bicara agar dapat terjalin komunikatif otensif.

Teori ini berkaitan erat dengan proses kognitif seseorang dalam penerimaan pesan serta bagaimana

manusia dapat dengan mudah dimengerti, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang ada

dalam pesan. Di dalam setiap komunikasi tidak boleh ada paksaan bagi kedua pihak untuk memberi

info secukupnya saja atau harus mengerti perbedaan makna yang dikatakan dengan maksud

pembicara.

2. Prinsip Sopan Santun Teori ini dikembangkan oleh Leech yang memperkenalkan sejumlah bidal (maksim) yang memiliki

kesamaan dengan prinsip-prinsip kerja sama (cooperative principle) yang dikemukakan oleh Grice.

Lima maksim ini disebut Principle Politeness (Prinsip Kesantunan). Maksim-maksim yang

dikemukakan oleh Leech adalah: (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), yang menekankan pada

‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekpresi kepercayaan yang memberikan

keutungan untuk orang lain; (2) maksim kemurahan hati (The Generosity Maxim), yang menyatakan

bahwa kita harus mengurangi ekpresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan

ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain; (3) maksim penerimaan (The Approbation Maxim),

yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan

memaksimalkan ekpresi persetujuan terhadap orang lain; (4) maksim kesederhanaan (The Modesty

Maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri; (5) maksim persetujuan

(The Agreement Maxim), maksim ini menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri

sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dan orang lain.

3. Prinsip Kesantunan Rasional dan Muka Brown dan Levinson (dikutip oleh Wardhaugh, 1997) membedakan dua jenis ‘muka’, yaitu positive

face yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang menunjukkan hasrat untuk tidak

diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita

berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa

yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh

penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan. Konsep ‘muka’

sendiri digunakan pertama kali tahun 1876 sebagai terjemahan dari bahasa Cina ‘dui lian’. ‘Muka’

di sini memiliki makna ‘reputasi’ atau ‘nama baik’. Goffman, yang mempopulerkan konsep ‘muka’

pada tahun 1967, memberikan definisi ‘muka’ sebagai:

“.....the positive social value a person effectively claims for himself by the line others assume

he has taken during a particular contact. Face in an image of self delineated In terms of

approved social attributes—albeit an image that others may share, a when a person makes a

good showing for his profession or religion by making a good showing for himself”.

Page 124: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

120

Menurut Brown dan Levinson, ada beberapa tindak ilokusi tertentu yang berpotensi

mengancam atau merusak ‘muka’ orang lain. Tindakan ini disebut ‘face- threatening acts’ (FTAs).

Untuk mengurangi FTAs ini, perlu strategi yang berbasis pada kekuasaan (power), jarak (distance),

ukuran beban (rating of imposition).

4. Prinsip Kerjasama (Cooperative Principle)

Dalam prinsip kerjasama, seseorang harus mengikuti beberapa maksim agar tujuan komunikasi

tercapai, dan prinsip ini tidak berlaku jika percakapan dilakukan seorang diri. Hal ini dinyatakan

oleh Grice:

“it may be worth noting that specific expectations or presumptions connected with at least some

of the foregoing maxims have their analogues in the sphere of transactions that are not talk

exchanges. I list briefly one such analog for each conversational category.”

Prinsip kerjasama yang diperkenalkan oleh Grice pada tahun 1975, memuat empat maksim, yaitu:

a. Maksim Kualitas. Maksim ini menuntut pembicara untuk memberikan kontribusi seinformatif yang

dibutuhkan. Misalnya, jika seseorang membutuhkan empat kursi, maka jangan memberinya tiga,

dua atau satu kursi.

b. Maksim Kuantitas. Maksim ini menuntut agar pembicara tidak mengatakan hal yang palsu atau tidak

memiliki bukti yang cukup. Misalnya, jika seseorang membutuhkan gula untuk adonan kuenya,

maka jangan diberi garam.

c. Maksim Hubungan. Maksim ini menuntut pembicara untuk relevan dengan hal yang dibutuhkan.

Misalnya jika seseorang tengah sibuk membuat adonan kue, maka jangan diberikan buku petunjuk

yang benar untuk mengadoni kue.

d. Maksim Cara. Maksim ini menuntut pembicara memberikan informasi yang jelas dan akurat.

Janganlah memberikan informasi yang ambigu, sehingga akan membingungkan lawan bicara.

Sementara itu, Leech memandang prinsip kesantunan sebagai “piranti” untuk menjelaskan

mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan maksudnya.

Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran terdengar santun. Penutur

biasanya menggunakan implikatur. Implikatur adalah apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika kita

bedakan “apa yang dikatakan” (what is said) dan “apa yang dikomunikasikan” (what is communicated),

implikatur termasuk apa yang dikomunikasikan.

Leech (1983) dalam bukunya Principles of Pragmatics mengajukan tujuh maksim kesantunan,

yaitu

a. maksim kebijaksanaan “tact maxim” (berilah keuntungan bagi mitra tutur),

b. maksim kedermawanan “generosity maxim” (maksimalkan kerugian pada diri sendiri),

c. maksim pujian “praise maxim” (maksimalkan pujian kepada mitra tutur),

d. maksim kerendahan hati (minimalkan pujian kepada diri sendiri),

e. maksim kesetujuan (maksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur),

f. maksim simpati “sympathy maxim” (maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur), dan

g. maksim pertimbangan “consideration maxim” (minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur’ dan

maksimalkan rasa senang pada mitra tutur).

Prinsip kesantunan Leech ini oleh beberapa ahli pragmatik dipandang sebagai usaha

“menyelamatkan teori Grice, karena prinsip kesantunan Grice sering tidak dipatuhi daripada diikuti

dalam praktik penggunaan bahasa yang sebenarnya” (Thomas, 1995:15). Suatu tuturan dikatakan

santun bila dapat meminimalkan pengungkapan pendapat yang tidak santun (Leech, 1983: 81).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pembentukan kesantunan berbahasa dianalisis menurut teori Leech

(1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip sebagai berikut.

1. Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa

Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau

rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan (bersamaan dengan itu)

meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri.

Page 125: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

121

Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle)

dengan keempat maksim (aturan) percakapannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim

relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnya, yaitu (1)

maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang mengutamakan

keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang

mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4)

maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri

sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim

kesimpatisan yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan

ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga

komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.

Perhatikan contoh berikut.

A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal!

B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaude.

Pada contoh di atas terlihat bahwa si A memenuhi prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian

kepada temannya yang baru saja lulus doktor dengan predikat cumlaude dan tepat waktu, tetapi si B

tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri.

2. Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo)

Kata-kata yang berbau seks, pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang merujuk pada organ-

organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan,

dan kata-kata "kotor" dan "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam

berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupakan kalimat

yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oleh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan

berlangsung.

- Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!

- Mohon izin, Bu, saya ingin kencing!

Kata berak pada kalimat pertama dan kata kencing pada kalimat kedua tergolong ke dalam kata

tabu karena bernilai “kasar” atau ”kotor” tadi. Pada konteks perkuliahan kata yang lebih baik digunakan

adalah ”ke belakang” saja yang mancakupi kedua makna tadi.

3. Penggunaan Eufemisme (Ungkapan Penghalus)

Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Misalnya, ketika

kita bertamu ke rumah seseorang dan kita ingin buang air, maka percakapan yang kemungkinan

berlangsung adalah:

- Pak, permisi, ada orang di kamar kecil? Atau, yang lebih halus lagi:

- Pak, permisi, saya mau ke kamar kecil. Atau, yang paling halus:

- Pak, permisi, saya mau ke belakang.

Ungkapan pertama di atas menunjukkan bentuk yang halus dari maksud buang air meskipun dengan

menanyakan keberadaan orang lain di kamar kecil. Ungkapan kedua lebih halus karena hanya dengan

menyatakan maksudnya ke kamar kecil tanpa perlu menanyakan siapa pun yang berada di kamar kecil.

Ungkapan ketiga paling halus karena bentuk makna tak langsung yang digunakan adalah ’ke belakang’

4. Penggunaan pilihan kata honorifik (ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang

lain)

Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan

(undha-usuk dalam bahasa Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal

tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah

ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa Jawa krama

inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya

lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.

Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, pronominal persona engkau, Anda,

saudara, bapak/ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika dipakai untuk menyapa orang.

Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan

seorang pria yang lebih tua.

Page 126: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

122

(1) Engkau mau ke mana?

(2) Saudara mau ke mana?

(3) Anda mau ke mana?

(4) Bapak mau ke mana?

Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan diucapkan oleh orang yang lebih

muda, tetapi kalimat (4) yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan.

Kalimat (3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun

lebih patut penggunaan kalimat (4).

5. Uusur Verbal dan Nonverbal dalam Kesantunan

Di samping empat prinsip penerapan kesantunan dalam berbahasa, berikut dibahas pula aspek-

aspek nonlinguistik yang mempengaruhi kesantunan berbahasa. Selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur

nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal

yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinesik, dan proksemik. Perhatian terhadap unsur-

unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa.

Paralinguistik berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara

rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam

berbahasa. Penutur harus memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang

lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu

seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara kepada temannya, adalah santun dengan cara berbisik

agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya

dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada

peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya

bisa dianggap kurang santun, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang

yang kurang pendengarannya.

Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti

murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang

juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal

dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak

ibunya ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala

(kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur

verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil

temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti

ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!". Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah

dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan,

cukup dengan mengedipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu

maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut

agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah

Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinesik ini.

Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinesik atau gerak isyarat (gesture) dapat

dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk

menciptakan ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan

menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan

tamunya dianggap kurang santun.

Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah

proksemik, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan

komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak

pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama,

setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling

bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun

sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil berjabat tangan dengan kedua tangannya.

Mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang

bersangkutan. Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan

penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertukarkan,maka akan terlihat janggal,

Page 127: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

123

bahkan dinilai tidak sopan. Masih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemik ini, misalnya

sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan

pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya,

dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan

memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinesik, dan

prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa.

Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi.

PENUTUP

Untuk mengungkap kesantunan biasanya dilakukan dengan unsur verbal. Bahasa yang santun

dapat ditandai juga dengan pemakaian kata-kata tertentu, seperti: (a) perkataan tolong pada waktu

menyuruh orang lain, (b) ucapan terima kasih setelah orang lain memberi sesuatu atau melakukan

tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur, (c) penyebutan kata bapak, Ibu daripada kata Anda, (d)

penyebutan kata beliau daripada kata dia untuk orang yang lebih dihormati, (e) pergunakan perkataan

minta maaf untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur. Selain bentuk verbal,

pemakaian bahasa santun (dalam ragam bahasa lisan) dapat ditambah dengan pemakaian bahasa

nonverbal, seperti: (a) memperlihatkan wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum ketika

berbicara, (c) sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, dan (d) posisi tangan yang selalu

merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang). Pemakaian bahasa nonverbal seperti itu akan dapat

menimbulkan ”aura santun” bagi mitra tutur. Meskipun belum didukung dengan data yang cukup valid,

beberapa penanda pemakaian bahasa yang tidak santun dapat diidentifikasi sebagai berikut. 1) penutur

menyatakan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dan dengan kata-kata kasar, 2) penutur

didorong rasa emosi ketika bertutur, 3) penutur protektif terhadap pendapatnya, 4) penutur sengaja ingin

memojokkan mitra tutur dalam bertutur, dan 5) penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan

terhadap mitra tutur.

DAFTAR PUSTAKA

Edward, John. 1985. Language, Society, and Identity. New York: Basil Blackwell.

Goody, Esther N (Ed.). 1985. Questions and Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge.

Gordon, George N. 1969. The Languages of Communication. New York: Hasting House.

Hudson, Richard A. 1996. Sociolinguistics Second Edition. New York:

Cambridge University Press.

Hymes, Dell. 1966. Culture and Society: A Reader in Linguisitics and Anthropology. New York:

Harper & Row.

Koentjoroningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Salam, H. Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka

Cipta.

Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics Fifth Edition. New York: Basil

Blackwell.

Page 128: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

124

KONSEP PENDIDIKAN YANG AKOMODATIF TERHADAP NILAI BUDAYA LOKAL DI

INDONESIA

Prof. Dr. R. Madhakomala1

1Universitas Negeri Jakarta

[email protected]

Abstrak

Pembangunan pendidikan harus didasari dengan budaya , khususnya budaya lokal.

Budaya lokal berkaitan dengan karya, nilai, kebiasaan, kerja sama, proses pembelajaran,

kebutuhan hidup dan pemecahan masalah yang dihadapi oleh kelompok, termasuk

masyarakat lokal. Budaya lokal menuntut perancangan pendidikan yang sesuai dengan

kebutuhan idealistik dan materialistik dalam kehidupan nyata masyarakat. Perencanaan

pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya, dan pendidikan harus mampu

mengakomodasikan budaya lokal (memberdayakan kearifan budaya masyaarakat

setempat), sehingga hasil pendidikan akan sesuai dengan kebutuhan dan haraapan

kehidupan masyarakat dilingkungannya (lokal).

Budaya lokal menjadi kepribadian menyeluruh yang membedakan kehidupan

masyarakatnya pada suatu daerah dengan daerah lain, premis ini sangat relevan dengan

kebutuhan perencanaan pendidikan di Indonesia yang memiliki keragaman budaya dari

berbagai daerah, aplikasi aneka budaya lokal bagi kepentingan nasional sangat penting

sebagai wawasan multikutural. Pemahaman budaya lokal perlu diakomondir berdasarkan

perilaku dan kebiasaan sikap khusus masyarakat daerah dalam rangka mengantisipasi

terjadi pergeseran pengembangan dan pengelolaan wilayahnya yang rawan terhadap

budaya asing yang dapat merusak nilai-nilai budaya lokal yang berdampak buruk terhadap

pendidikan. Sehingga pemahaman tentang budaya lokal sangat dibutuhkan untuk

menunjang program pembangunan pendidikan, agar masyarakat benar-benar dapat

membangun pendidikan yang tumbuh secara berakar dan implikasinya Perencanaan

Pendidikan Berbasis Budaya Lokal.

Kata Kunci: Budaya , budaya lokal, Masyarakat, pendidikan dan perencanaan pendidikan

Abstract Educational development should be based on the culture, especially the local

culture. The local culture is related to creation, values, habit, cooperation, learning

process, living needs and problems solving faced by the group, including local

communities. Local culture required an educational design that fits the needs idealistic

and materialistic society in real life. Educational planning can not be separated by culture

and the role of education should be able to accommodate the local culture (empowering

the wisdom of the local cultural communities), so that the aim of education will fit the

needs of community life in their environment.

Local culture become a whole personality that distinguishes the way of live in a

region to the other, the premise is very relevant to the needs of educational planning in

Indonesia, which has a diversity of cultures from various regions, various applications of

local culture is very important for the national interest as multicultural insights. The

understanding of the local culture needs to be accommodate by the behavior and habits of

specific attitudes from the local communities. It is to anticipate a shift in the development

and the region management that is vulnerable to a foreign culture which could undermine

local cultural values and will have a negative impact on education. So an understanding of

the local culture is needed to support the development of education programs so that people

can build educational implications strongly and The implication of Culture-Based

Education Local Planning.

Keywords : Culture, Local culture, Community, Education and Educational planning

Page 129: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

125

INTRODUCTION

A. Back Ground

According to Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, education is a a conscious way and

planned to create a learning view and process for learners actively to develop student’s potential to be

religious, having a spiritual strength restraint, personality, intelligence, good behaviour and also skills

required that support their competence as a citizen of their country. This is proved how important the

role of education in our state.

The UNESCO has stated a program about developing culture which dictates message to the

world that any kinds of developing country is about welfare and culture. Therefore, the educational

development shoud be based on the culture and also the local culture itself. The point is to required

the local culture in the development planning. Especially the educational planning which is concerned

on the local culture. In other words, Educational planning based on the local culture.

Local Culture is related to some other things like a creation, value, custom and cooperation

activity, learning process, problems solving faced by groups in the local culture. The further discussion

about culture and the cultural debates influenced the behaviour of the local people.

The local citizen is a social local unity which is signed by local culture. So, we can say that

the educational function in the community is to ensure the cultural needs and communities which has

relationship each other in order to keep a good circumstances. The above statement compliances to the

value of social educational in consideration. Furthermore, a good organizing culture shown there is a

cultural needs.

The good function of education going well in the society if the substance embeded a number of

integrated values. Vice versa, education failed and did not work properly if the teachings and values

has conflict one another. The cultural values apply into attitudes and views of ethics and morals

and have to be taught to the next generation.

Local culture required an education planning which is suitable to the needs of idealistic and

materialistic society in real life. Basicly, a plan is an action in the right time, it is of course highly

depent on the implementation of the review process which is relatively to the goals to be achieved.

Some factors affected the achievement of education planning goals both internally and externally. It is

consider to the consistency of educational planning concerned. The more consistent implementation,

the greater the likelihood of success.

All mankind were born into a culture and live in a culture wading activities. If we argued that

a culture in a society , it will affected the kind of people who live in their environment, aspirations,

educational background, and status in society, thus educational planning can not be separated from the

culture itself. Then the education should be able to accommodate local cultures , so that the results of

education will suit the needs of local people's lives.

B. Research Question

Based on the above background, the following problems can be formulated:

a) What and how the role of local culture in education?

b) How does the concept of education in order to accommodate the local culture?

C. Objectives

To provide a knowledge in the development and planning of education in the area-based local culture

D. Benefits

As a feedback to decide in the area of educational planning based on local culture.

LITERATURE

The education system in accommodating the local culture has to define previously about society,

culture and education in general so that a comprehensive system of education in relation to

accommodate the local culture can be understood in depth.

Page 130: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

126

A. The Culture and Society

The existence of a culture is because of the people and communities who act as cultural actors.

Some experts argued the society is an abstract picture which can't be determined about it's time and

place. According to Shadily (1984: 47), the community is large or small groups, consists of a few people

who are concerned with or as groups which influence each other, in other word about community is a

group of people who have similar feelings, and desires for interdependent and need to do something

with the activities in an effort to achieve a common goal, according to Mannheim (1987:32), the

community is a group of people who live, living next to door, interacting and communicating in a

specified area. Cuber and Haper (1988:317) said that human society is a collection of both the ethnic

and the majority are bound together in a culture of life in a particular environment.

The above description, explaining that the community is a group of people who interact to form

the culture in order to maintain his life. The implication, that the people in the environment of an area

or island is a man or a people who lives in the region / area / island and having an interaction between

fellow citizens then make lives of many different cultures, customs, traditions and has a special

characteristic, which is different from the other community. Because of people are always bound with

culture, I will explain about The society and culture.

Malinowski (2000:17-19) argued that everything in the society is determined it's culture . It is

known as a Cultural-Determinism. According to Herskovits (1999:72), looking at the culture as

something handed down from one generation to another, which is then referred to as super organic.

Thus culture is closely connected with the community.

The Indonesian cultures are very much to be understood, studied, and preserved for the sake of

self-introduction. Jonah Melalatoa (1995:34) in (EDS, Tiassinurat 2005) is a pioneer who write an

Encyclopedia of Ethnic Groups in Indonesia. The information contained is to realize the diversity of

cultural heritage in Indonesian as a nation which often surprised if their own ethnic customs

misunderstood by his fellow citizens by other nations and tribes (Sedyawati, 2002: 209).

It has to be realized that in a tribe with several sub-tribes shown the variation differences in

customs each other (Koentjaraningkrat. 1981:228), a nation which is based on the unity such as the

Indonesian nation, has been try to strengthen the unity itself, it is necessary to grow united feelings of

each other based on the appreciation of the nation, which is basically to create what is called a "culture

of peace and tolerance" (Sedyawati, 2002: 211).

The concept of culture has been talk for over the years, especially when talking about and trying

to change society. The efforts to change society is seems to be failed. The failure usually occured

because of the lack of understanding the powerful role of culture, and the role that is being played in

society. As a result, such as strategic planner of education planning often gives emphasis previously to

identify the strategic values, when talking about the vision and mission of education in the community.

Andreas Eppink (2001: 315), argued that, a culture contains of the entire understanding of the

culture, values, norms, knowledge and overall social structures, religious, etc., all the intellectual and

artistic expression that characterizes a society. According to Edward B. Taylor (2003, 11), culture is a

complex whole, in which there are knowledge, belief, art, morals, law, customs, and other capabilities

from any person as a member of society, and according to Soemardjan (1985; 33) and Soemardi, culture

is a means of product, taste, and people idea.

A Culture is a complete system and become a marking of a people that make up the community

in a variety of scales (Soekanto, 1976; 365). Based on each historical development , there are supported

by communities of small-scale, middle scale, and some up to form an empire. Awareness and

understanding of cultural history is very important to be grown inside all the citizens' life, so that the

legacy of the past expressed by wisdom and the future can be designed with a great soul (Alfian, 1986:

127). In fact that both vanity and smallness of soul will not provide any positive contribution for

developing the nation power.

Thus culture is a system of knowledge covering systems or ideas contained in the human mind,

so in daily life, the culture is abstract. The form of cultural objects are humans creation as cultural

beings, in the form of behaviors and objects that are real, for example, patterns of behavior, language,

equipment life, social organization, religion, art, etc., all of which intended to help people in the hold

of the life of society.

Words in Indonesia language is similar meaning with culture. According Koentjaraningrat

(1995:4) "Culture is the whole idea and work of the man who should be as a daily to learn as well as

Page 131: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

127

the overall results of mind and character". Meanwhile, according to Elashmawi and Harris (1993:113),

a culture is "All human behavior in the run-influenced social life on the belief system; life, death,

religion, nature, and the values that are rewarded. That trust is taken by humans as an accepted norm,

and attempts to change it would certainly bring a big crisis. This relates to the performance of a person

or group of persons (organization) ".

Culture is operationally defined by Schein (1990:25-29); The culture is a pattern of sharper Basic

Assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal

integration, that has worked well enough to be Considered invalid and, therefore, to be thought to new

members as the correct way to practice , think, and feel in relation to these problems. Its significance as

a cultural assumption that the basic pattern is sharper, which the group learned to solve the problems

faced by adapting elements of external and internal integrate into, and then they work well enough to

consider carefully, therefore the culture in has been thought the new members should be in a way that

is really good in practice, thinking, and feeling associated with these problems.

In line with the above description, Kreitner and Kinicki (1992:693), revealed that the culture is

the basic pattern of assumptions to create, find, or the development of the group by learning to adapt

from outside as well as integrating it into the organization, what will be done consistently well and valid

as well as a reference for new community members to correct acceptance, thoughts, and feelings in

relation to all the issues in detail.

Dewantara (1960:74), defined culture as the result of human mind, and the results of human

struggle against two strong influence, ie nature and society which is a testament to the triumph of human

life to overcome various obstacles and hardships in life and livelihood in order to achieve salvation and

happiness "According to Morgan (1986:120-121), the influence of a culture of 'host' or local nature

rarely has the same form . As individuals in a person's culture could have different personalities.

A Culture is a phenomenon in which every individual has different personal as they should

cooperate with each other in many ways. The group is a small community that has a form of culture and

sub-culture that is clearly defined. Thus a society can be seen as a team or a big family bound by a

strong belief to cooperate (Kreitner and Kinicki, 1992:695). Patterns of trust or sense of togetherness,

both fragmented, integrated, and supported by a range of values, norms and rituals, so as to urge and

determine the ability of a group to the challenges faced.

One of the easiest ways to give an appreciation to the nature of culture and sub-culture is by

observing the daily functions of a group, which acts as an outsider (Kreitner and Kinicki, 1992:697).

The distinctive feature of the observed culture will slowly become evident, through the language,

imagery and themes that can be extracted from the conversation, as well as of the ritual is done on a

regular basis. Having investigated the basics ideas of cultural aspects, it will be easily found historical

explanation of how members of the group completed its work (Morgan (1986:121).

The concept of culture in general is very important when we try to manage changes of society on

a large scale. Mondy and Premeaux (1993; 455), states that there are three classifications of culture,

namely; (1) the dominant culture (the dominant culture), (2) sub-culture (sub-culture), and (3) a strong

culture (strong culture). The dominant culture is a culture that dominate other cultures, so that it comes

into the values and norms prevailing in society major, so it becomes a culture that values a major

determinant (core values) is the dominant culture of the whole culture of the community members,

absorbed from the majority of members of the community. The main value is the first value received

or dominant in society. This illustrates the resulting macro-cultural society, specifically describes a

personality (personality) that exist in society. Part of this culture can develop into a big community

culture, in term of anticipation general overview of the issues, situations and experiences faced by its

members. Sub-cultures are part of the dominant culture that are part of the values and norms recognized

by the smaller communities, while strong culture is a culture traits that are difficult to change and

become a mainstay of community strength in showing his true identity, a culture sample in Balinese

cremation ceremony, tahlilan event for Muslims in Indonesia.

Jary is through Kotter and Heskett (1997:4), asserted that the widespread of culture in terms of

social organization is a manifestation of behaviors and experiences throughout the layers of people who

are in an organization community, It can be a unifier in the society. The Important issues in the local

culture in community is about the local cultural groups in society which is describing the behavior of a

local group in society that make the new members are automatically need to follow the behavior of their

Page 132: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

128

peers. Each level has a natural tendency that culture affects levels of other cultures. The attitude of peers

who are able to influence the behavior of people in group.

The real phenomenon is all humans were born into a culture and live in a culture wading

activities. An often emphasized is that a culture in a society or in a local community organization will

affect the type of people who live in the neighborhood, aspirations, educational background, status, and

so forth in the society so that life can not be separated with local cultural communities that are part of

an integral system in the internal environment of society, because of the cultural diversity that exists in

a society, then the same amount by the number of individuals and groups in society. Generally a local

society culture is strongly influenced by the environmental community, both internally and externally.

Each member of society has the characteristics of each culture, so it is possible if there is a people who

does not like it and vice versa so it is necessary to unify of all members of the public perception that

reflected local cultural community.

The concept and theory of local culture that it is contained the activities examined by various

experts from the opinion of Randolph and Blackburn (1989:634), which states; Local culture is a set of

key values that trust, and understanding of the characteristics given to members of the local community.

Local cultural is the basic orientation for community members to consider the interests of all its

members. In definition, Culture is a group of personalities culture of the local community member,

which is gather into a single unit that describes the local culture of a local community

(Koentjaraningkrat, 1970, 6). With the unity of the local culture, the community members will create a

balance between their own culture adapted to the culture of the larger society, and become a cultural

unity of society in general.

Psychologically, The Local culture could be a motivation for the community members in the

activities of life because the local cultural environment is appropriate to its culture. Based on this theory

a person can actualize the local culture into the culture of the community in order to avoid any suspicion

about the local culture which is necessary to be observe (Beilharz, 1993:332).

Local culture is a basic philosophy of an organizational sociology that is the basic value used

as a norm in the local community and become the guiding norms of behavior member, as well as giving

recognition to the status of each individual, and the norm is the formal and informal rules for developing

and having an activity into units of orientation for each member and become a benefit for all members

(Beilharz,1993:333-334).

Local culture is the existing rules in the organization as a guidance for the entire human resources,

which has the obligation and uphold the values behave in the local community. A society is an

integrated pattern of human behavior within the group including thoughts, actions, conversations that

can be learned and taught to the next generation through education (Sedyawati, 2007; 27). Therefore it

is necessary to understand about the local culture definedly, because it could give a sense of pride on

its member, and it could be said it is dominant when the value point can be believed by the majority of

its member. The characteristics of the local culture by Huky (1982:71) are always developing and

prehistoric cultural heritage that has been modified and upgrade across a number of processes of

excecuted acculturation.

This kind of local culture become a whole personality that distinguishes for example people in

Jakarta with local culture community, as well as the local community with others as well as a personality

guidance that exist in the local communities life (Atmosuprapto (1993:69-71).

This concept is highly relevant to the needs of educational planning because the understanding

of local cultures need to be accommodate by the behavior and habits of specific attitudes exist in that

area, in order anticipating a changes in the development and management of vulnerable areas that could

easily change by other foreign culture.

The application of various local cultures is very important for the national interest as multicultural

insights, in the last decade there were some features in a variety of forums in the relation to the

education culture (Tilaar, 2006:182), the local culture has a particular meaning in human life, the

essence of local culture in the form of value asystem and the basic concept is the idea of integrated

thinking, which became a director for human behavior in the local community (Sedyawati, 2007:130).

By this reason, the culture has to be seen as a gift of God Almighty, what the people were given

the opportunity to direct the actions included in the education sector and give a meaning for their life.

Furthermore, Sedyawati also explained that culture is the content and also the boundaries of a

community. By this lines throughout history of society, which constantly move and shift flexibly, as

Page 133: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

129

always happens in local communities. The development of industry and trading in the city, the

surround community will become more consumptive than saving money. Local Culture society moves

across the space and interact each other physically and mentally, in a faster rhythm, so that the local

cultural lines could shift and even overlap, as people who are familiar with the local culture for example

Discotique (who was still very traditional on 1970).

In the history of the local culture a great urbanization while the tourism industry was built with

the huge population explosion in that area. This is effected in suppression of local culture by the good

economic of the weak economic so the meaning of development in the area will destroyed by the local

culture.

UNESCO Program (1998:312), in the decade of cultural development around 1988-1997, entrust

a message to the world that any development goal is for the sake of human welfare and should be

culture minded. The developing of education in a particular area is definitely close to its program. The

next bravely question is how the message could be translated into real action. The message is directed

to both executives who hold the reins of government (Local Government Local), local culture and the

people who run the economic life. The implicit message is to affix local culture concept in the

development planning, including educational planning, implications of cultural knowledge-based

education, in other words an educational planning based on the local culture.

Mono-disciplinary study which studied a specific aspect of the local culture, such as a particular

culture, could remind the depth of the local culture usefully so there is always a reason to include local

culture in a follow-development (Alfian. 1989: 265), an analysis of: text, artifacts, behaviors related to

the cultural community is a cultivated area should be given special attention. The units of analysis

spesifically could be seen in cross-cultural, a comparative study where cross-cultural comparative

studies among others, the lines between cultures, a typology of cultural diversity, as well as on the

relationship between culture with the development plan (Sedyawati; 2007:132).

The wisdom of the local cultural relation ship, in turn can support decision-making on the

implementation of strategies to determine educational programs related to local culture and population

(demographics). In fact, a total understanding of the local culture, should be required to support the

development of educational programs, In case local culture educational growing.

To realize this requirement, it is necessary to understand the cultural elements which associated

with the planning of education. Where there are 4 elements of culture, namely: 1) a system of norms

that enable collaboration among the members of local communities to adapt to the natural surroundings,

2) economic and technological systems , 3) the agencies or officers for education (the family is the

primary institution), and 4) the organization of political power, so the ideal embodiment of the culture

include; a) a bundle of thought, idea , values, norms, rules, and so on that are abstractly; or anything

that can not be felt or touched. The form of culture is located in the citizens thought or mind. If they

express their ideas in the form of writing, the ideal location of culture was in essays and books, the

works of writers such citizens, b) the activity is a form of culture as a pattern of human action in the

community. It is known as a social system. The social system is composed of human activities

interacting, made contact, and get along with other human beings according to certain patterns of

behavior which based on indigenous governance. Concrete, naturally, occurring in everyday life, and

can be observed and documented, and c) cultural artifact is a physical manifestation in the form of the

results of the activities, actions, and the work of all people in the community in the form of objects or

things that can be touched, seen, and documented. Trully nature among the three concrete manifestation

of culture. The implication in public life, cultural form can not be separated from other . For example:

ideal culture form set and give direction to activity (activity) and work (artifacts) in humans, for

example; in the planning of the education system (ideas and concepts) can not release the activity

(learning process) and artifacts (educational outcomes).

In its development, culture has two solid components 1) material, and 2) non-material. The form

of material culture community creation real is a finding result from an archaeological excavation: clay

bowls, jewelry, guns, and the like. Material culture also includes items, such as school buildings,

television, airplanes, sports stadiums, clothes, skyscrapers, sub-way, High way and etc. While the non-

material culture, namely; abstract creations are passed down from generation to generation such as :

fairy tales, folklore, and traditional Malay song or dance, science, rhymes and so forth.

Page 134: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

130

B. The Function of Education in the Local Culture

The understanding about society is a social entity that is characterized by a distinctive culture, it

could be said that the function of education in society is to ensure the needs and culture of the peoples

concerned in such a way, so that the continued of community existence is maintained, defined by

(Nasution, 1987:8) in his book sociology of education, outlining the indications and cultural needs is

the un-existence values in it. A well education means if the substance indicates an integrated values. In

contrast, education failed and doesn't fix properly if the contains and value are against each other.

(O'Dea: 235) revealed; cultural values defined into the attitudes and views of ethics and morals.

The main function of education is abstract but it can be recognized from the actual set of

indicators if it is running properly. More concrete part of the education is coaching and teaching which

is an attempt to explore the potential and transferring knowledge (Madhakomala, 2002: 18). The

success measurement from coaching and teaching more clearly than giving value. In general, people

assume that the results of coaching and teaching is what really need to be used the world of work.

Mostly true, but not entirely because to get a certain types of work standard by certain psychological

tests, which aims to assess the specific attitudes of job applicants. The benefit of positive cultural value

is greater as a personal shaper (on a scale of individuals) and as a shaper of national identity (on a

national scale) rather than as a provision seeking employment (especially of a technical nature only).

C. The Substance of the Local Culture in Education

The substance of education always in line to the needs of the community. Prosperous society

required a smart citizens , have skills and proficient, highly moral, and having a special competence in

various fields of activities, and to get people who have the necessary quality of education (Tilaar,

2006:186). The community needs of education sorted based on the basic range of intended target.

Firtsly, there is a need to meet the employment oppurtunities needed, secondly the need to meet the

preservation process of education, both formal and non-formal, such as ; by providing personnel

developer and builder in the education system, thirdly, the people who can create new jobs or

entrepreneurship, so that people were able to carry out the required activities in the community, although

he is not as salaried workers (Madhakomala, 2003:17).

The allocation of this educational package directed to the needs of the community development

and self-reliance. The largest part of the education program is aligned with market needs, specifically

in relation to various types of industry and trade in the area around of the local culture. The relationship

between educational programs the market will have a real influence in the economic development of

society (Galbraith, 1991:17), and specifically in the Local Government mezzocopeis of the local

culture. he educational process is a process of acculturation so that the inforcement of cultural values

should not be ignored. Education has to accompany the process of transfer knowledge and skills, as

well as the form of concept so that education can produce something, the people who behave, capacity

managerial, leadership abilities, knowledge capacity, which is enough to adapt needs to solve the

problems of life (Fakry Gaffar; 2005: 5). Therefore the substance of education, for each program should

be aimed to meet the needs of special abilities, and at the same time, it has to meet the demands of life,

can shape attitudes, morals, ethics and all citizens in accordance with local cultural values that guided

by the local community culture.

D. Local Culture in The Educational Process

To ensure the achievement of educational goals, both common and which associated with a

number of courses, it is not enough determining the substance of education alone . Therefore, it is also

necessary to recognize the careful design of educational methods, and the right model and the education

system which considered to be the most profitable.

If a goal of culture has been proclaimed in the educational process, for example embeding a

high respect to: creativity, honesty, resistence and mastery, the educational process should provide

enough spaces to cultivate and train the education quality assurance. Qualitative Quality could not be

processed in an empty space but must be shared simultaneously by giving a good ide to increase

knowledge, it is in accordance with the understanding of Kaizen in Bill Greech (1996:43), which needs

continuous improvement and continuous quality to gain something. The expert in education has been

invited to perform creativity and sensitivity to manage the local culture environment. A demand to

Page 135: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

131

increase a feeling of national identity at the same time on to the development a global scale make it

seems to be more interest to know if the executive education could be guaranteed for a better life.

E. The local culture in educational planning

Extremely, The theories of culture movement is between two poles, they are idealistic and

materialistic poles. In polar idealistic explained that the essence of culture is composed of concepts and

values which are tagging the underlying culture of a society living of the people, the results is the

important changes happening in the culture driven by stimuli that tend to alter the basic concepts and

cultural values (Collinicos, 1999:148), Pole materialistic theory which are considers as a core or culture

point is the culture of the things that must be done mechanistically, who has a responsibility to the

physical condition of the material in the public life, so that technology and economic patterns of action

is formed a thought related to the needs in a real life.

The local culture required an educational design that fits the needs of idealistic and materialistic

society in real life. In pincipt, an action planning in a timely manner, it is of course highly dependent

on the implementation of the review process which very relative to the goals to be achieved. Many

factors influenced an education planning purposes, that is internal or external to the consistency of

educational planning concerned, certainly, the more consistent implementation of the education

planning the greater the likelihood of success. The basic design of educational planning consists of 3

approaches, namely; 1) macro approach, 2) a workforce planning approach and 3) social demand

approach (Davis, 1980:41). This study is tend to the social needs of the community in which the demand

for education is a priority territory.

In fact there is often differences between central educational planning and the local education

planning. The central educational planning took a problem in aggregated such as per student cost, the

average of teacher and pupil ratio, qualification of teachers, each student for each textbooks, etc., while

at the local level planning faced with the reality of quantitative certain schools, certain teachers, and the

number and quality of certain materials. These differences indicate that educational planning needs

to consider the micro-level in the study of level and the type of education. This is due to the entire

educational outcomes, regardless of macro success in the education system, which is absolutely

determined by teacher herself, students, and families who also ruin the system. Students are more

influenced by parents and teachers rather than administrators, and local education planning more

influenced by local administrators rather than bureaucratic central of education planning (Tilaar,

1989:51).

Raharjo (1989:52), in the educational crisis said that the government's lack of educational

planning with the local culture-based considers the social and economic sectors of society sharpen the

differences with local planning. Local educational planning, parents have to conduct their children

education with work and its effects, including the possibility of future results. Therefore, the local

education planning needs to take other alternatives and uncentralize so make it more valuable for local

educational planner.

A good education planners have to comprehend the condition so that the decision-made is

accurate and consist of relevant information but in fact the central planners do not understand the

education field conditions associated with idealism and mechanisms which are need of local culture and

consider the appropriate decision-making, so that the results of a central policy does not achieve the

expected results to accommodate the interests of local public consumption that have the characteristics

of the local culture in the certain values and norms of life. Therefore, the local education planning

should be able to accommodate the local culture, so that the results of education will answer the needs

of the local population.

F. The Potential of Local Cultural Factors in The Educational Planning

Based on Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 education is a conscious and deliberate

effort to create an atmosphere of learning and the learning process so that learners are actively

developing his potential to have a spiritual strength of religious, self-control, personality, intelligence,

good character, and skills needed for himself, society, nation and state.

The statement imply that education is an effort or activity to built an intelligent human beings in

various aspects both the intellectual, social, emotional and spiritual, as well as the skilled personality

Page 136: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

132

with great character. Thus education is expected to be realized in order to explore the potential of a

quality human being who is able to create his life productively as ta benefit of themselves and society.

Related to the role of education, the local cultural potential factors have a significant influence

(significant) in education, because the basic value used as the norm in the local community, as a guide

behavior and rules of formal and non-formal education to develop an activity into a unified educational

for the benefit of all members of society. Local culture become rules existing in the educational activity,

so the potential of all human resources educated have to uphold the values of the local behavior in the

community, so that the local identity still maintaining .

Local community culture built a systemic pattern of behavior, thought, activity, feeling which is

delivered to generation through education. Therefore, the potential of local cultural factors need to be

understood in the educational planning. The local culture is able to provide a sense of pride on its

members, and it dominates the core values embraced by the majority of its members. Its characteristics

evolved from prehistoric cultural heritage that has been modified and upgrade across a number of

processes of acculturation that has been run through the educational process.

There is often conflict between different local cultures and the national culture in Indonesia. For

example, a local culture that does not allow certain ethnic girls married with indigenous men, as a result

there is the collision process of assimilation and national unity with the local ethnic culture. Another

example given, more priority to local ethnic and pay dearly for their own ethnically from other ethnic

workers which can be appearing jealousy so it will crack a sense of nationalism and so forth. On the

other hand, the local culture was left because of admiring the other nation's culture of other nations such

as like Taekwondo than Pencak silat. Questionably asking , which local cultural factors that need to

be maintained in educational planning? This is a big question that needs to be answered correctly.

How great the global influence of the national culture and local culture, so it is often appear

adaptation of educational planning uncontrolled shifting cultural values impact on local / national to

international cultural direction which is not clearly have a purpose for our life.

Appearing the concept of educational planning models which equals to the design model of

education from other countries without going through the proper adaptation of the local culture, often

to see the failure. That why it is the important thing to accommodate the local culture in educational

planning as directional control community objectives to be achieved.

G. Accomodating Local Culture as a Directional of Educational Goals

As mentioned before the local culture give a sense of pride in his community, however keep

up zennoism away (feeling better than anything else), so that people always have feelings to continue

learning and keeping pace with the progress of others. Local culture has to be aware of changing

process, so it is able to adapt themselves to a better direction, but the local culture should also be able

to maintain its existence if it implies values and norm swhich relevant to the needs of the community.

Here is, the role of local culture as a controller for the changes that needs to be accomodate.

The role of the local culture does not stop there, the local culture in an ideal planning, activity

and artifacts associated with educational planning and have to choose, finding an educational planning

which is believe able to develop a better education.

The involvement of the local culture and education experts, a community leader and the

intellectuals to work together supporting each other so that local culture could really give you a sense

of pride in the concept of education offered.

CONCLUSION

A. Culture and Community

The existence of a culture because of the people and communities who act as cultural actors.

Society is a group of people who interact culture in order to maintain their life.

Cultural-determinism is related to everything contains in the society determined by the culture

owned by the community itself.

Super organic is the way how looking at the culture as something handed down from one

generation to another, so the culture is closely connected with the community.

Page 137: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

133

Culture is a complete system which is as a marking of a people which built a community in a

variety of scales.

Three classifications of culture, namely; (1) the dominant culture , (2) sub-culture , and (3) a

strong culture

Local culture is a key set of values that is believed, and an understanding of the characteristics

given to a member of the local community.

The local culture has a particular meaning in human life, Its point is a value system and the

basic concept of integrated thinking which become director for human behavior in the local

community.

UNESCO program during decade on cultural development mandates a message to the world

that any development goals for the sake of human welfare should be cultural minded.

Four elements of culture are: 1) a system of norms, 2) economic and technological systems, 3)

devices for educational institutions (the family is the primary institution), and 4) the

organization of political forces

The form of culture consists of; a) a collection of ideas, ideas, values, norms, b) Activity is a

form of culture as a pattern of human action in the community, and c) cultural artifact is a

physical manifestation in the form of the results of the activities, actions, and works of all men

in society in the form of objects or things that can be touched, seen, and documented.

Component culture shaped 1) material, and 2) non matarial.

B. The function of education in the local culture

The role of education is going well if the substance can embed a number of integrated values

that are coaching and teaching. This is an attempt to explore the potential and transferring

knowledge.

C. The Substance of the Local Culture and Education

• Educational-substance related to the needs of a prosperous inteligent society, skill and

proficient, highly moral and quality. So here is the education is needed.

The basic need of education for human life are : 1) fulfill an employment opportunities, 2) the

preservation of the educational process itself 3) creating an entrepreneurial citizens.

Education can produce, managerial capacity, leadership abilities, an enough knowledge

capacity to adapt to the necessities of life to overcome the problems of life.

D. Local Culture in the Process of Education

• The educational expert are gained to perform creativity and sensitivity to take advantage of

the local communities that faces in the work field.

E. The local culture in educational planning

Theories of culture moves between two poles, the idealistic and materialistic. Idealistic explains

the cultural core of the concept and value of life, so that a change in culture that is driven by stimuli

that tend to alter the basic concepts and cultural values.

Materialistic, as the core culture should be done mechanistically by humans, responding to the

physical condition of the material, so that the technological and economic patterns is a core culture

to build a thought according to the real needs.

F. The potential of local cultural factors in the educational planning

The potential of local cultural factors have a significant influence on education, because the

basic value is used as the norm in the local community, as a guidance behavior and rules of

formal and non-formal education to develop into a unity of interests of all members of society.

Local culture become the rules in educational activities, so that the potential of all human

resources educated have to uphold the values of the local behavior in the community, in order

to keep the local identity maintained.

Page 138: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

134

Local cultural community in the formed of an integrated patterns of behavior, thought, attitude

measurement, callous nature taught to generations through education and local culture have to

be understood both in the educational planning.

The similar model of education planning with educational design models from other countries

have to go through the proper adaptation of the local culture, so there is no successive failures.

G. Accomodating Local Culture as a Directional of Educational Goals

Local culture give a sense of pride to the community members, but has to continue to learn in

order to keep pace with the progress of other areas / other cultures.

Local culture should be aware to the process of changes, and the local culture should also be

able to maintain its existence and must contain the values and norms that are relevant to the

needs of the community.

It is necessary needs an involvement of the local culture and education experts, community

leaders and local leaders intellectuals to work together to support each other so that local culture

can really give you a sense of pride in education.

REFERENCE

Admosuprapto, Teori-teori Sosial dan konsep Kemayarakatan. Jakarta: Gramedia, 1993.

Ananda, Candra Fajri. Peran Partisipasi Masyarakat Pada Otonomi Daerah.

http://www.otoda.or.id/Artikel/Candra%20Fajri.htm (dk. 10 Jan 01)

Bowder, Randall & Annettr Grraven. The Art in the Art and Science of Organizational Development.

Jakarta: Data Base UHAMKA, 2001.

Cairns, Robert D. Reconciling the green Area in Amazon. New York: McGraw-Hill Bppks, Company,

2003

Dorfman, William B. Art of Art. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1977.

Koentjaraningrat , Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Kotter, John P. and James L. Heskett, Dampak Budaya Organisasi Terhadap Kinerja diterjemalikan

Benyamin Molan. Jakarta: PT Prehallindo, 1997.

McNamara, Carter. Organizational Culture, St Paul Minnesota-Amazon Com., MAP Homepage,

Library Homepage, 1999

Miller, James C. Human, Art and Intelligentsia. North-Holland, Amsterdam: Elsevier Science

Publisher B.V., 1986.

O‘Dea, Thomas F. Sociology of Art: Religion and Art Relationship. Englewood Cliffs, New Jersey:

Prentice-Hall, Inc., 1987

Pospilsi, Leopold. Art Quality for Most Beauty Performance. New York: Holt, Rinehart and Winston,

Inc., 1982.

Sadeli, Moch. Sosiologi Masyarakat Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999.

Sax, Robert N. Social Attitude, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1997.

Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadershihal. San Fransisco : Josey-Bass Publishers,

1990

Slamet, Soekarno. Budaya Organisasi Masyarakat, Jakarta: IPWIJA, 1998.

Soekanto, Soerjono Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982

Soemardjan, Selo Bunga Rampai Sosiologi Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985

Spear, Kent B. Public Community: The Culture Role and Art Activity. Philadelphia: Soutland and Sons,

Inc., 1989.

Sumardjo, Jakob. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB, 2000

Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

Page 139: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

135

EFEKTIVITAS PELATIHAN GURU MATA PELAJARAN

Burhanuddin Tola1

1Graduate School, State University of Jakarta

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sejauhmana efektifitas pelatihan guru

mata pelajaran yang dilaksanakan oleh P4TK. Populasi penelitian ini adalah guru-guru

SMP pada bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris,

yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh (P4TK) Matematika, IPA dan

Bahasa, serta KKG/MGMP. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelatihan

KKG/MGMP, terjadi peningkatan signifikan pada kompetensi Akademik Matematika,

kompetensi Kepribadian, dan teaching Efficacy. Pelatihan yang dilaksanakan oleh

P4TK, terjadi pada kompetensi Akademik Matematika, sikap terhadap mengajar, dan

Teaching Efficacy. Penurunan skor secara signifikan terjadi pada beberapa aspek dan

hanya terjadi pada pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK, yaitu pada aspek:

Kompetensi Akademik Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial,

Kompetensi Pedagogik. Sedangkan dari data baseline ketika pretes, pada kedua

kelompok, ada beberapa aspek yang berbeda secara signifikan, yaitu pada Matematika,

Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kepuasan Kerja, Sikap

Mengajar, Teaching Efficacy.

Kata Kunci: P4TK, kompetensi akademik, kompetensi kepribadian, kompetensi

sosial, kompetensi pedagogik, dan teaching efficacy.

PENDAHULUAN

Suatu penelitian yang mempelajari kekuatan dan kelemahan pendidikan di Jepang menemukan

empat hal yang menyebabkan keberhasilan pendidikan bangsa Jepang (Follows, 1991). Pertama, Jepang

memberikan penekanan pada usaha dimana belajar dipandang sebagai suatu proses yang tidak

berkesudahan dan proses memupuk usaha siswa juga merupakan proses terus menerus. Kedua, Jepang

menilai tinggi pendidikan, karena menurut mereka pendidikan merupakan social survival, economic

investment, dan merupakan suatu bentuk national defense. Ketiga, diantara para siswa ada usaha untuk

saling membantu, karena apabila satu anak berhasil, maka semua anak dalam kelompok pun akan

berhasil, sedangkan apabila satu anak gagal, maka semua anak dalam kelompok pun akan gagal.

Keempat, adanya prinsip keadilan dalam pemerataan pendidikan. Guru dan kepala sekolah selalu

dirotasi ke daerah-daerah berbeda setiap beberapa tahun, sehingga prestasi setiap propinsi dapat merata.

Dengan cara seperti ini, tidak ada daerah yang tertinggal bila dibandingkan dengan kota-kota besar.

Payne (dalam Ahmadi, 2004) menekankan bahwa pendidikan memiliki fungsi asimilasi dari

berbagai macam tradisi, pengembangan pola-pola sosial yang baru, serta mengembangkan kreativitas

siswa untuk mengubah manusia menjadi mandiri dan bersifat komersial (Drost, 2005; Payne, 2004;

Ahmadi, 2004). Kemudian, anak belajar mengenai norma, nilai dan ketrampilan-ketrampilan yang

spesifik (Bennet & LeCompte, 1990). Di sekolah, para siswa belajar untuk mengembangkan dirinya,

sehingga mereka dapat mengembangkan diri secara akademis, vokasional, sosial, serta berkembang

secara pribadi (Goodlad, dalam Sadker & Sadker, 1991).

Page 140: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

136

Guru merupakan ujung tombak yang perlu memiliki profesionalisme ketika menjalankan

pekerjaannya. Namun, guru dirasakan kurang memadai ditinjau dari sudut kuantitatif maupun kualitatif.

Kekurangan ini dirasakan dari keragaman dan kompetensi ilmu mengajarnya, dan menunjukkan bahwa

ternyata persentase guru yang tidak layak dan tidak sesuai dalam pengajaran cukup besar, dan telah

dipertanyakan (Mastuhu, 2004; Adningsih, 2002; 2002; Balitbang, 2000). Hal ini dapat dilihat pada

tabel dibawah ini:

Tabel 1. Jumlah guru ditinjau dari kelayakan dan kesesuaian mengajar

(dalam Mastuhu, 2004) Sesuai Tidak Sesuai TOTAL

Juml % Juml % Juml %

Layak 139.596 49,2 30.325 10,7 169.221 59.9

Tidak Layak 88,223 31,1 25.571 9,0 113.794 40,1

TOTAL 227.819 80,3 55.896 19,7 283.715 100,0

Pada dasarnya, guru yang efektif menurut Ryan dan Cooper (1984) memiliki empat karakteristik

yaitu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, terhadap anak didik, terhadap sejawat dan orangtua,

serta terhadap materi yang diajarkan. Hal yang kurang lebih sama mengenai guru yang efektif

dikemukakan oleh Cruickshank, Jenkins dan Metcalf (2003), yaitu memiliki perhatian (caring),

bersikap mendukung, memperhatikan kesejahteraan siswa, memiliki pengetahuan mengenai materi

yang diajarkan, dapat bekerjasama dengan orangtua dan memiliki ketertarikan yang besar pada apa

yang dilakukannya. Pada intinya, guru yang efektif mampu membantu siswanya belajar.

Sebagaimana profesi lain, guru juga dituntut untuk bertindak secara profesional. Walaupun guru

seringkali merasa dirinya sebagai tenaga profesional, namun kurang mendapatkan penghargaan, reward

atau pengakuan dibandingkan pekerjaan lain (Blackwell, Futrell, & Imig 2003; Cheers 2001; dalam

Helterbran, 2008). Ditinjau dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 mengenai

Guru dan Dosen, dikemukakan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang

dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip antara lain memiliki bakat, minat, memiliki komitmen,

memiliki kualifikasi akademik, tanggung jawab, kompetensi dan sebagainya. Tugas dan fungsi gurupun

cukup berat, menyebabkan para guru perlu untuk terus mengembangkan dirinya agar dapat

menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan yang diembannya.

Menurut Kennedy (2006), menjadi guru bukanlah pekerjaan yang didasarkan pada bakat semata,

akan tetapi dapat dilatihkan dan diajarkan, melalui program pendidikan tinggi, dimana para guru

mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan materi serta mempelajari hal-hal yang bersifat

pedagogis. Mengacu pada pendapat ini, maka memberikan pelatihan pada guru merupakan langkah

yang cukup tepat, agar guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Pelatihan menurut Wong

(2005) adalah bentuk pengembangan staf yang terorganisir dan komprehensif, melibatkan banyak orang

dan komponen. Selanjutnya dikatakan bahwa pelatihan guru ini seharusnya bersifat konsisten,

berkelanjutan dan berfokus pada belajar siswa, serta dapat mendukung karir guru. Dari penelitian yang

dilakukan oleh Ross dan Bruce (2000), pelatihan ternyata juga meningkatkan self efficacy yang dimiliki

guru. Self efficacy yaitu harapan yang dimiliki guru sehubungan dengan mampu/ tidak mampunya untuk

membuat siswa belajar atau dengan perkataan lain sejauh mana para guru dapat mengajar. Menurut

Bandura (1997), self efficacy adalah belief mengenai kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan

melaksanakan sejumlah perilaku untuk menghasilkan prestasi tertentu. Ross dan Bruce (2000) dalam

penelitiannya mengenai efek pengembangan profesionalitas guru matematika menemukan bahwa

Page 141: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

137

ternyata pelatihan dapat membantu guru meningkatkan self efficacy nya dalam mengajar pelajaran

matematika.

Untuk membantu para guru mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya, dilakukan

berbagai kegiatan antara lain workshop dan pelatihan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Neville

dan Robinson (2005), yang mengemukakan bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat dilakukan

melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan

dikatakan lebih jauh bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat meningkatkan prestasi siswa

serta merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuan guru akan materi pengajaran serta

mengembangkan penerapan metode pengajaran. Jadi, peningkatan belajar siswa dilakukan dengan cara

meningkatkan belajar guru terlebih dahulu.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, pelatihan untuk guru tetap menjadi sendi utama, karena

selain untuk penyamaan persepsi terhadap visi dan misi sekolah, pelatihan juga akan membantu

mempertajam guru agar lebih optimal dalam menjalankan profesi keguruannya (Analisis Pendidikan,

Pelatihan Guru, Harian Pelita, 13 April 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Abidah (2008) mengenai

pengaruh pelatihan guru agama di Surabaya menunjukkan bahwa ternyata pelatihan berdampak positif

terhadap kompetensi guru, terutama dalam kompetensi mengajarnya.

Adapun unit analisis penelitian ini adalah guru-guru yang mengajar pada jenjang SMP dan

mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh P4TK dan KKG/MGMP. Hal ini dirasakan perlu karena pada

tahun-tahun mendatang, Departemen Pendidiikan Nasional melalui Direktorat Jenderal PMPTK akan

meluncurkan program Better Education through Reformed Management and Universal Teacher

Upgrading (BERMUTU. Block grant akan dikucurkan bagi KKG dan MGMP di seluruh kecamatan

dan kabupaten/kota di Indonesia. Untuk itu diperlukan data baseline yang dapat menggambarkan

keadaan pelatihan yang saat ini dilaksanakan untuk dapat memberikan masukan yang dapat bermanfaat

bagi pengembangan para guru.

Dituntutnya profesionalitas guru dan peningkatan mutu pendidikan secara umum, maka

dilakukan berbagai pelatihan oleh berbagai institusi seperti P4TK, Sudin Pendidikan dan KKG/MGMP.

Pelatihan ini juga dilakukan terhadap guru bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi),

Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pelatihan-pelatihan semacam ini diharapkan dapat meningkatkan

kompetensi guru serta secara tidak langsung akan membantu meningkatkan prestasi siswa. Meskipun

demikian, keberhasilan pelatihan tersebut perlu diukur sehingga dapat diketahui efektivitasnya. Oleh

karena itu, dilakukan penelitian untuk melihat efektivitas pelatihan dalam empat bidang penelitian yaitu

Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah

pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga

Kependidikan (P4TK), dan KKG/MGMP dalam bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan

Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris cukup efektif ditinjau dari segi akademik maupun non

akademiknya? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pelatihan-

pelatihan yang telah dilaksanakan serta rekomendasi-rekomendasinya.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi/ data baseline tentang pelatihan yang

dilakukan oleh P4TK, KKG/MGMP serta efektivitasnya. Hal ini berkaitan dengan Program

BERMUTU yang akan membantu kegiatan pelatihan yang diadakan oleh KKG/MGMP. Pelatihan yang

akan disoroti adalah pelatihan guru empat bidang penelitian (Matematika, IPA, yang termasuk

didalamnya Fisika dan Biologi, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) yang dilakukan oleh P4TK serta

KKG/MGMP. Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan guru dalam mengajar.

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menguji pengaruh pelatihan yang dilakukan oleh

P4TK dan KKG/MGMP terhadap kinerja akademik guru bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika

dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; (2) Menguji perbedaan antara guru bidang

penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dari segi non

akademik. Apabila pelatihan dapat dilaksanakan baik, maka diharapkan akan memberikan dampak

Page 142: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

138

positif terhadap hasil kinerja siswa, pengembangan bagi guru itu sendiri serta membantu peningkatan

program yang dievaluasi.

Pada bagian ini, akan dibahas mengenai pentingnya guru yang efektif dalam proses pemelajaran

siswa. Selanjutnya, akan dibahas mengenai pelatihan untuk mengembangkan profesionalitas guru, yang

di dalamnya akan dibahas mengenai pengertian, metode yang digunakan serta cara evaluasi program

pelatihan.

Sekolah yang Efektif dan Guru yang Efektif

Belajar di sekolah bagi siswa merupakan pengalaman yang sangat berharga. Namun demikian,

seringkali belajar di sekolah dipersepsi sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan karena banyaknya

faktor yang berpengaruh. Secara konseptual Edmonds (1979) mengemukakan lima faktor yang dapat

menjadikan sekolah yang efektif, yaitu: (1) kepemimpinan yang kuat dari kepala sekolah; (2) penekanan

pada penguasaan keterampilan dasar; (3) lingkungan sekolah yang bersih, teratur dan aman; (4) harapan

guru yang tinggi terhadap prestasi siswa; dan (5) pemantauan terhadap kemajuan siswa.

Sammons, Hillman dan Mortimor (1995) menggambarkan satu model sekolah yang efektif.

Dalam sekolah yang efektif, dibutuhkan guru-guru yang efektif. Penelitian mengenai guru yang efektif

telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Menurut Ryan dan Cooper (1984), guru yang efektif memiliki

sikap positif terhadap diri sendiri, terhadap anak, terhadap sejawat dan orangtua, serta terhadap materi

yang diajarkan. Penelitian yang terkenal mengenai guru yang efektif adalah penelitian yang dilakukan

oleh Combs pada tahun 1960an dan terus dikembangkan oleh para ahli lain, seperti Usher (2002) yang

mengajukan lima disposisi guru yang efektif, yaitu dimilikinya empati, pandangan yang positif terhadap

orang lain, pandangan yang positif terhadap diri sendiri, bersikap otentik serta memiliki visi atau tujuan

yang bermakna. Guru dikatakan memiliki empati apabila ia mampu memahami dan sensitif terhadap

dunia pribadi anak serta memiliki prioritas untuk membantu orang lain agar dapat belajar. Ciri kedua,

guru memiliki pandangan yang positif terhadap orang lain, ketika ia mampu menunjukkan pandangan

yang positif mengenai keberadaan, kemampuan dan potensialitas orang lain. Para guru menghargai

keberadaan dan integritas anak serta memiliki harapan positif yang realistik untuk pertumbuhan dan

keberhasilan anak. Selain pandangan yang positif terhadap orang lain, ia perlu memiliki pandangan

yang positif terhadap diri, yaitu mengenai keberadaan, kemampuan dan potensialitas diri sendiri.

Mereka menghargai keberadaan dan integritas anak serta memiliki harapan positif yang realistik untuk

pertumbuhan dan keberhasilan anak.

Usher (2002) mengatakan, guru yang efektif dapat bersikap apa adanya, terbuka dan jujur

terhadap orang lain. Mereka mengembangkan dan menunjukkan pendekatan yang unik dalam mengajar

serta tidak berpura-pura. Selain itu, guru yang efektif memiliki visi atau tujuan yang bermakna, yaitu

mampu mengarahkan diri pada sasaran, sikap dan nilai yang luas dan mendalam serta berpusat pada

pribadi. Mereka adalah orang-orang reflektif dan visioner dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai

demokratis. Dalam bertingkah laku, mereka selalu didorong oleh tujuan yang dimilikinya.

Pada intinya Borich (2000) menekankan bahwa guru yang efektif adalah guru yang dapat

menggunakan pujian verbal yang bermakna untuk membuat serta menjaga siswa berpartisipasi secara

aktif dalam proses pemelajaran. Cruickshank, Jenkins dan Metcalf (2003) mengatakan bahwa guru

yang efektif merupakan individu yang berpikiran positif yang percaya akan keberhasilan siswanya dan

kemampuannya untuk membantu siswa berhasil. Secara ringkas, seorang guru yang efektif patut

memiliki pengetahuan profesional, keterlibatan profesional dan praktek secara profesional.

Sedangkan ditinjau dari sudut kompetensi, guru-guru Indonesia perlu menguasai kompetensi-

kompetensi tertentu. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan

Nasional menentukan Standar Kompetensi Guru yang meliputi tiga komponen yaitu : (1) Komponen

Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran dan Wawasan Kependidikan; (2) Komponen Kompetensi

Akademik/Vokasional sesuai materi pembelajaran; (3) Pengembangan Profesi. Masing-masing

komponen kompetensi mencakup seperangkat kompetensi. Selain ketiga komponen kompetensi

tersebut, (4) Guru sebagai pribadi yang utuh harus juga memiliki sikap dan kepribadian yang positif,

Page 143: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

139

dimana sikap dan kepribadian tersebut senantiasa melingkupi dan melekat pada setiap komponen

kompetensi yang menunjang profesi guru.

Gambar 1. Diagram Guru yang Efektif

Peningkatan kualitas guru dan kondisi mengajar merupakan satu upaya yang harus dilakukan untuk

meningkatkan kualitas pengajaran (Kennedy, 2006). Untuk itu dibutuhkan pelatihan yang dapat

membantu guru mengembangkan kompetensi guru bukan hanya dari segi kognitif, namun juga dari segi

non kognitifnya, karena selama ini keterampilan guru, sikap dan perilaku yang nonkognitif jarang

dijelaskan atau bahkan diajarkan secara eksplisit (Weissmann, dalam Ursano, 2007). Untuk itu, adalah

penting bagi guru untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam profesinya dan sebagai pribadi, agar

profesionalitasnya dapat lebih meningkat (Helterbran, 2008).

Pelatihan Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga

Kependidikan (P4TK) dan KKG/MGMP

PPPG telah berubah bentuk menjadi menjadi PPPPTK oleh Kepmenpan dengan No.

B/243/M.Pan/1/2007, Tanggal 31 Januari 2007 maka struktur organisasi PPPPTK yang tertuang dalam

SK Mendikbud No.0529/O/1990 akan mengalami perubahan dan tugas pokok fungsi PPPPTK juga

akan mengalami penyesuaian. Adapun kedudukan P4 TK adalah sebagai pusat pengembangan dan

pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut

PPPPTK adalah unit pelaksana teknis dilingkungan Departemen PendidikanNasional di bidang

pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan. PPPPTK dipimpin oleh seorang

kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada direktur jendral peningkatan mutu

pendidik dan tenaga kependidikan. Secara umum, fungsi P4TK adalah (1) merencanakan program

pengembangan penataran guru; (2) melaksanakan teknis pendidikan untuk meningkatkan mutu

kompetensi guru; (3) melaksanakan pengembangan penataran guru; (4) melaksanakan peningkatan cara

penyajian dan materi penataran; dan (5) melaksanakan pengendalian dan evaluasi penataran guru.

Selain P4TK, yang menyelenggarakan pelatihan oleh Sudin Pendidikan, Musyawarah Guru Mata

Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) masing-masing kota. KKG/MGMP selama ini

dianggap sebagai kelompok yang paling langsung berhadapan dengan guru di lapangan dan sangat

mengetahui apa-apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak guna memajukan sektor pendidikan ini. Dalam

hal ini KKG/MGMP menyelenggarakan pelatihan bagi guru-guru sekolah yang berada di dalam wilayah

kotanya. Biasanya pelatihan dilakukan untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan

dilaksanakan secara berkala.

Bentuk-bentuk pembinaan guru seperti MGMP telah muncul sejak tahun 1980-an. Lembaga ini

memang didirikan dengan tujuan mengembangkan Sistem Pembinaan Profesional (SPP) guru di

Indonesia. KKG pun merupakan lembaga yang banyak membantu pengembangan guru dan menurut

Botung (2008), tujuan KKG adalah untuk: (1) Meningkatkan pengetahuan umum guru mengenai isu-

Page 144: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

140

isu, kejadian sosial, kemajuan dan penemuan-penemuan baru. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk

diskusi, pelatihan dan seminar; (2) Meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun Administrasi

Pembelajaran; (3) Meningkatkan pengetahuan guru dalam pelaksanaan manajemen kelas, sehingga

guru dapat mengatur kegiatan belajar agar dapat berjalan secara kondusif dan bernilai guna; (4)

Meningkatkan keterampilan guru dalam merancang, membuat alat-alat atau media yang dipergunakan

dalam pembelajaran; dan (5) Meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri guru.

Pengembangan Profesionalitas Guru melalui Pelatihan

Riley (dalam Helterlbran, 2008) mengatakan bahwa sebuah profesi akan disebut sebagai profesi

apabila profesi tersebut memiliki tujuan dan tanggung jawab terhadap masyarakat, memiliki dasar etis,

memiliki tingkat regulasi, memiliki peningkatan pengetahuan dan mengikuti standar profesi secara

umum. Artinya untuk menjadi profesional, maka seseorang harus mampu secara efektif menyelesaikan

tantangan dan tugas-tugas yang ada dalam mengajar, mampu memanfaatkan keterampilan, pengalaman

pribadi dan pengalaman profesional serta ahli dalam profesi tertentu (Baggini, dalam Helterlbran,

2008). Profesi guru juga dituntut profesionalitasnya, sehingga para guru perlu membenahi dirinya.

Menurut Rice (2003), secara umum, guru akan semakin berkualitas apabila ia memiliki

pengalaman, mengikuti program persiapan atau mencapai jenjang pendidikan tertentu, memperoleh

sertifikat, mengikuti kuliah untuk mempersiapkan diri dalam profesi dan memiliki skor tes yang baik.

Dengan mengikuti pelatihan yang berkualitas, baik yang dilakukan di sekolah maupun pelatihan dalam

pekerjaannya, maka hal ini akan memperbaiki kualitas guru, membantu mengubah perilaku guru dan

budaya sekolah, serta meningkatkan prestasi siswa (Baron & Thompson-Grove, 2008).

Keterampilan mengajar tidak secara otomatis dikuasai seseorang (Kay, dalam Ursano, 2007),

karena ada banyak kendala agar seseorang dapat dikatakan baik ketika mengajar. Meskipun demikian,

mengajar membutuhkan serangkaian keterampilan, sikap dan perilaku yang saling berkaitan. Untuk

menjadi guru yang efektif maka perlu dilakukan identifikasi terhadap sasaran yang baru dan sikap serta

perilaku yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaan (Ursano, 2007) dan hal ini dapat dilakukan

melalui pelatihan. Oleh karena itu, pengajaran dan pendampingan guru melalui pelatihan perlu untuk

memperbaiki atau mengubah keterampilan guru. Pengembangan guru menurut Neville dan Robinson

(2005), dapat dilakukan melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan

yang lebih tinggi.

Dampak pelatihan guru dilaporkan cukup positif. Dengan dilaksanakan pelatihan, maka

pengetahuan guru akan semakin dalam dan metode pengajaran guru akan semakin baik dan secara

perlahan-lahan dapat membantu meningkatkan prestasi siswa. Abidah (2008) yang meneliti tentang

pengaruh pelatihan guru Agama di Surabaya menunjukkan bahwa ternyata pelatihan berdampak positif

terhadap kompetensi guru, terutama dalam kompetensi mengajarnya.

Meskipun demikian, dalam melaksanakan pelatihan, Dagenais (dalam Trenta, dkk, 2004)

mengemukakan bahwa terdapat lima karakteristik yang mencirikan program pelatihan yang baik, yaitu:

(1) menyediakan informasi mengenai lingkup program yang jelas; (2) adanya metode pemilihan pelatih

yang baik dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan; (3) menyediakan penguat intrinsik dan ekstrinsik

untuk mempertahankan pelatih; (4) menyediakan pelatihan untuk mentor; dan (5) melakukan evaluasi

keberhasilan program. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan apakah pelatihan yang diberikan

kepada guru selama ini merupakan pelatihan yang memang cukup baik.

Pengertian Pelatihan

Pelatihan sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya dan pengajaran. Pendidikan secara

umum adalah perolehan pengetahuan yang mempersiapkan pemelajar untuk pekerjaannya selanjutnya.

Pendidikan sering disamakan dengan sekolah formal. Pelatihan adalah perolehan pengetahuan dan

keterampilan yang dihasilkan dalam performansi spesifik. Pelatihan sering digunakan untuk membantu

pemelajar melakukan tugas tertentu dalam pekerjaannya atau untuk melaksanakan pekerjaannya secara

berbeda atau secara lebih baik. Tan dan Torrington (2004) mengemukakan bahwa pelatihan merupakan

Page 145: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

141

suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang. Dalam dunia pendidikan,

pelatihan diberikan untuk meningkatkan pemahaman guru dalam bidang pelajaran tertentu,

meningkatkan keterampilan guru dalam mengajar maupun kegiatan belajar mengajar, serta membentuk

dan mengubah sikap guru terhadap suatu hal yang berkaitan dengan pendidikan. Melalui pelatihan,

diharapkan guru dapat bekerja lebih efektif dan profesional dalam kegiatan belajar mengajar. Agar

pelatihan berhasil maka perlu diketahui terlebih dahulu: tujuan pelatihan, karakteristik peserta

pelatihan, bagaimana merancang dan mengembangkan pelatihan menggunakan serangkaian metode

dan teknik tertentu.

Metode yang Digunakan dalam Pelatihan

Menurut Laird (2003), metode instruksional yang digunakan dapat dikatakan baik asalkan

membantu pencapaian sasaran belajar. Untuk mencapai sasaran belajar, ada beberapa cara yang dapat

ditempuh, yaitu dengan melakukan (doing), berpikir (thinking), mencoba (trying) dan mengamati

(watching). Gaya belajar ini perlu diperhatikan karena setiap orang memiliki pendekatan yang berbeda

dalam belajar. Ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam pelatihan, yaitu ceramah, membaca

bacaan tertentu, demonstrasi, dan sebagainya. Pada bagian berikut ini akan dibahas mengenai metode-

metode tersebut satu persatu. Ceramah. Ceramah adalah satu metode yang paling mudah dan

sederhana, karena instruktur menyampaikan informasi secara lisan dan hanya membuat peserta pasif

dan tidak terstimulasi. Namun demikian, dapat pula ceramah menjadi menarik, ketika pembicaranya

cukup memiliki bakat untuk berbicara secara menarik. Instruktur perlu memberikan contoh-contoh yang

baik untuk menjelaskan teori, serta menggunakan bahasa serta nada suara yang menyenangkan. Tugas

Membaca. Tugas membaca juga tidak merangsang peserta, karena peserta hanya berkonsentrasi pada

bacaan yang dibacanya. Tentu saja tugas membaca ini dapat memberikan informasi yang cukup banyak.

Tugas membaca perlu diikuti dengan umpan balik sehingga dapat lebih bermakna. Demonstrasi.

Demonstrasi sebenarnya hanya membantu menggambarkan ketika ceramah dilakukan. Demonstrasi ini

lebih cocok untuk tugas-tugas psikomotor, karena peserta dapat meniru (modeling) apa yang dilakukan

oleh instruktur. Sebagai contoh, demonstrasi dapat dilakukan untuk mencontohkan keterampilan

interpersonal, bagaimana cara berkomunikasi atau bagaimana mengoperasikan mesin tertentu.

Demonstrasi interaktif. Demonstrasi interaktif sebenarnya mirip dengan demonstrasi biasa, akan

tetapi, ketika instruktur memberikan contoh, pemelajar dapat mengikutinya langsung dan tidak hanya

melihat. Dalam hal ini pemelajar perlu memiliki peralatan yang sama yang dimiliki oleh instruktur

sehingga dapat langsung mengikutinya. Pemelajar juga boleh langsung menanyakan bila ada ketidak

jelasan, sehingga terjadi interaksi.

a) Field trip. Field trip, ekskursi, melakukan observasi atau tur akan dapat memberikan manfaat

apabila peserta berpartisipasi. Untuk itu, instruktur perlu menentukan harapan dan sasaran yang ingin

dicapai sebelum melakukan perjalanan, serta memastikan bahwa ada kesempatan untuk belajar tersebut

terjadi. Pengalaman di lapangan ini memungkinkan peserta mengalami langsung kejadian di lapangan,

sehingga peserta dapat merasakan bahwa apa yang dipelajari di dalam kelas digeneralisasikan ke

lapangan.

b) Diskusi panel. Diskusi panel sering disebut sebagai simposia, dimulai dengan ceramah singkat

oleh beberapa orang. Setiap pembicara menekankan satu topik, memberikan pandangan yang berbeda

dari pembicara yang lain dan menghubungkan topik yang dimiliki dengan topik yang dimiliki oleh

pembicara lain. Masalah yang dihadapi dengan model ini adalah partisipasi peserta menjadi terbatas,

karena yang banyak berbicara adalah pembicara.

c) Diskusi kelompok. Diskusi kelompok adalah percakapan mengenai sebuah topik yang

dilakukan oleh satu atau lebih peserta yang difasilitasi oleh instruktur atau pemimpin diskusi. Diskusi

ini akan bermanfaat bila ada kondisi-kondisi tertentu terpenuhi. Misalnya, di dalam kelompok ada

seseorang yang memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai topik yang dibicarakan. Diskusi juga

dapat membantu kelompok menemukan ide baru, menangkap kebutuhan kelompok, memahami ide-ide

kompleks untuk kemudian mengambil keputusan. Tujuan diskusi adalah untuk membantu kelompok

melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Pemimpin diskusi berfungsi untuk membantu agar

diskusi berlangsung dengan baik, mendorong setiap peserta terlibat serta membantu kelompok agar

dapat mendekati masalah secara sistematik.

Page 146: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

142

d) Panel tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab, instruktur mengumumkan topik atau tugas membaca

yang dituntut serta memberikan daftar pertanyaan kunci yang harus dipikirkan untuk sesi tersebut.

Ketika fase tanya jawab terjadi, instruktur meminta peserta untuk bertanya. Jawaban dapat muncul dari

para peserta, maupun dari instruktur. Meskipun demikian, lebih baik apabila jawaban datang dari

peserta dan instruktur hanya berpartisipasi ketika jawaban kurang tepat atau kurang lengkap. Cara ini

akan membuat peserta menjadi semakin terlibat.

e) Penelitian Kasus. Penelitian kasus sangat baik untuk membuat diskusi menjadi lebih konkret.

Biasanya dalam penelitian kasus, peserta menerima persoalan yang telah disiapkan dengan situasi

masalahnya. Penjelasan yang diberikan berisi detil-detil yang cukup sehingga pemelajar dapat

merekomendasikan tindakan yang sesuai. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian kasus adalah: detil

permasalahan yang tersedia, waktu yang tersedia untuk menyelesaikan, penjelasan mengenai

bagaimana tugas tersebut harus diselesaikan (berupa rekomendasi, keputusan, rencana tindakan). Selain

itu, penugasan dapat berupa serangkaian pertanyaan yang perlu dijawab kelompok untuk penyelesaian

tugas diskusi tersebut.

f) Tugas kelompok kecil. Tugas kelompok kecil juga bisa menghasilkan keputusan atau rekomendasi

yang kemudian dikomunikasikan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelas. Diskusi dalam

kelompok-kelompok kecil dapat menghasilkan pro dan kontra, yang kemudian dapat didiskusikan

bersama dalam kelompok besar.

g) Bermain peran. Bermain peran dapat digunakan untuk mempelajari persoalan yang bersifat sensitif

atau untuk menjajagi solusi serta memberikan insight kepada partisipan yang memiliki sikap yang

berbeda. Dalam bermain peran peserta berpartisipasi tanpa skrip dan berakting di depan anggota

kelompok yang lain. Agar peserta dapat memainkan perannya dengan baik, tahu apa yang harus

dikatakan dan dilakukan dalam bermain peran, maka peserta dibekali dengan situasi yang dijelaskan

secara detil serta perannya dalam permainan. Pemain peran dan penonton sadar akan situasi umumnya,

tetapi individu yang memainkan peranlah yang betul-betul mengetahui tentang perannya secara detil.

Agar jelas, detil peran ini perlu dijelaskan secara individual kepada pemerannya. Setelah bermain peran

selesai, diskusi dengan seluruh anggota kelompok perlu dilakukan.

2. Evaluasi Program Pelatihan

Evaluasi program merupakan langkah terakhir dari suatu pelatihan, yang seringkali tidak

dilakukan. Beberapa alasan tidak dilaksanakannya evaluasi program adalah karena keterbatasan alokasi

biaya, kurangnya waktu, keterbatasan keahlian, menganggap bahwa pelatihan pasti akan berhasil atau

karena kurangnya metode dan alat ukur (McEvoy & Buller, dalam Eseryel, 2002). Padahal, evaluasi

efektivitas program pelatihan merupakan hal yang penting dilakukan, karena tanpa evaluasi maka tidak

diketahui apakah program pelatihan yang dilaksanakan memang benar-benar memiliki manfaat.

Apabila evaluasi program dilakukan, maka dapat diketahui secara tepat masalah-masalah yang

dihadapi, sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan.

Phillips (1991) mendefinisikan evaluasi sebagai proses sistematik untuk menentukan

kepentingan, nilai dan makna dari sesuatu, sedangkan Holli dan Calabrese (1998) mendefinisikan

evaluai sebagai pembandingan antara nilai atau kualitas yang diobservasi dengan kriteria standar

tertentu. Evaluasi merupakan proses membentuk penilaian mengenai kualitas program, kualitas produk

dan sasaran. Shalock (2001) mendefinisikan evaluasi efektivitas sebagai penentu apakah program telah

memenuhi sasaran dan tujuan performansi yang diinginkan. Dengan demikian, evaluasi program

pelatihan dapat disimpulkan sebagai upaya sistematik untuk menilai apakah program pelatihan yang

dilaksanakan telah memenuhi sasaran yang diinginkan, serta menilai apakah program pelatihan yang

dilaksanakan memiliki kualitas yang telah ditetapkan sebelumnya.

Untuk dapat melakukan evaluasi yang tepat terhadap pelatihan, Dessler dan Tan (2005)

menyatakan bahwa perlu dirancang desain pelatihan yang berbentuk “time series”. Dengan desain ini,

dapat dilihat perubahan pencapaian dari sebelum dan sesudah pelatihan diberikan. Cara kedua adalah

menerapkan desain penelitian eksperimental dengan menggunakan kelompok kontrol. Hal ini

merupakan cara yang lebih baik daripada sekedar ‘time series design’. Dengan adanya kelompok

kontrol dapat dipastikan apakah peningkatan pengetahuan, peningkatan keterampilan, perubahan

tingkah laku, dan perubahan sikap memang disebabkan oleh pelatihan dan bukan hal-hal lain. Ada dua

cara mengevaluasi program pelatihan, yaitu:

Page 147: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

143

post-course questionnaires

yaitu memberikan kuesioner kepada peserta training hanya pada hari terakhir pelatihan dengan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pemberian pelatihan. Metode ini memiliki

beberapa kelemahan. Pertama, adanya halo effect. Bagi sebagian peserta pelatihan, mengikuti pelatihan

dapat merupakan salah satu kegiatan untuk keluar dari rutinitas. Kedua, kuesioner cenderung hanya

mengevaluasi pemberian pelatihan bukan pembelajaran yang terjadi pada peserta. Ini berarti, peserta

pelatihan lebih menilai kualitas dari pelatih dan media pembelajaran yang ada selama pelatihan, dan

bukan mengevaluasi apakah diri mereka sudah mempelajari sesuatu yang meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan atau menyadari adanya perubahan sikap dan tingkah laku dalam diri mereka sendiri.

pre-course and post-course questionnaires

Metode yang efektif adalah memberikan kuesioner pendek pada peserta di awal pelatihan untuk melihat

apa yang mereka harapkan akan diperoleh dari pelatihan. Kemudian pada akhir pelatihan peserta

diberikan kuesioner lain mengenai pembelajaran dan apa yang dapat mereka aplikasikan dari hasil

pelatihan pada pekerjaan mereka sehari-hari. Selain itu, peserta melengkapi kuesioner lain yang

mereviu efek pelatihan terhadap performa kerja mereka. Hal ini dilakukan untuk lebih menekankan

pada apa yang peserta pelajari dan bukan menilai kualitas pelatihan yang diberikan.

Ada beberapa model untuk mengevaluasi program pelatihan, namun yang cukup luas digunakan

adalah model yang diajukan oleh Kirkpatrick pada tahun 1959 (dalam Bates, 2004). Menurut Model

Kirkpatrick, ada empat level dalam evaluasi program yaitu:

Tabel 2. Model Kirkpatrick untuk mengevaluasi Efektivitas Program Pelatihan

Level Pertanyaan Tujuan Caranya

1 – Reaksi/

Reaction

Bagaimana reaksi

partisipan terhadap

program?

Untuk mengumpulkan data

mengenai reaksi peserta di

akhir programpelatihan

Mengisi kuesioner

umpan balik peserta

Komentar informal dari

peserta

FGD peserta

2 – Belajar/

Learning

Seberapa jauh

peningkatan

pengetahuan dan

keterampilan

peserta setelah

pelatihan?

Untuk mengetahui apakah

sasaran belajar program

pelatihan tercapai

Sekor tes prauji dan

pascauji

on-the-job assessments

laporan dari atasan/

supervisor

3 – Perilaku/

Behaviour

Seberapa jauh

peserta mengubah

perilakunya dalam

pekerjaan sebagai

hasil dari

pelatihan?

Untuk mengukur apakan

perubahan performansi dalam

pekerjaan berubah setelah

pelatihan

mengisi kuesioner self

assessment

on-the-job observation

laporan dari siswa

4 – Hasil/

Result

Apa manfaatnya

bagi organisasi?

Untuk mengetahui ciaya dan

manfaat program pelatihan,

misalnya berkaitan dengan

peningkatan kualitas kerja,

peningkatan kuantitas kerja.

Hasil kinerja

Wawancara dengan

kepala sekolah

Jadi, evaluasi yang dilakukan di atas pada prinsipnya mencoba 1) mengumpulkan reaksi peserta

terhadap pengalaman mereka ketika menjalankan pelatihan, 2) mengukur pengetahuan dan

keterampilan yang diperoleh peserta dari pelatihan, 3) mengukur sejauh apa peserta menggunakan

pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dan 4) mengukur dampak peningkatan pengetahuan

dan keterampilan terhadap belajar siswa.

Page 148: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

144

Selain itu tingkat evaluasi menurut Kirkpatrick di atas, pertanyaan lain berkenaan dengan

evaluasi program pelatihan menurut Eseryel (2002) berkenaan dengan: Tujuan evaluasi (formatif atau

sumatif), Sasaran evaluasi (kognitif, afektif, perilaku, dampak), Tipe sasaran instruksional

(pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, sikap), Tipe penyampaian (classroom-based,

technology-based, campuran), Besar dan tipe kelompok peserta (individual, kelompok kecil, kelompok

besar). Dalam kesempatan ini, evaluasi yang dilakukan lebih berkenaan pada pengetahuan dan

keterampilan guru setelah mengikuti pelatihan serta reaksi peserta pelatihan terhadap pengalaman

mereka ketika menjalankan pelatihan. Selain efektivitas pelatihan dari segi kompetensi akademik, yang

akan diteliti dalam penelitian ini juga mengenai kompetensi yang dimiliki guru, meliputi kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan kerja, sikap guru terhadap pengajaran

(teaching attitude) dan teaching efficacy guru. Oleh karena itu pada bagian berikut akan dibahas

mengenai kompetensi, kepuasan kerja, teaching attitude dan teaching efficacy guru.

Kompetensi Guru

Seorang guru yang kompeten diharapkan dapat mengajar dengan baik. Kompetensi merupakan

hal yang esensial dimiliki oleh guru. Dalam penelitian ini yang akan disoroti adalah kompetensi

akademik dan kompetensi non akademik. Berdasarkan UU no 14, tahun 2205, pasal 8 dan 10, dikatakan

bahwa seorang guru selayaknya memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat

jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Selanjutnya dikatakan bahwa kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi

pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Semua ini dapat diperoleh melalui pendidikan profesi.

Kompetensi ini, berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga

memberikan contoh hidup kepada siswa.

Pengertian Kompetensi

Kompetensi merupakan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu

aktivitas. Hal ini dibutuhkan karena agar seseorang dapat bekerja dengan baik, maka ia harus

mempunyai bekal, baik berupa pengetahuan, sikap maupun ketrampilan, sehingga ia dapat menjalankan

tugas-tugasnya. Pengetahuan, sukap maupun ketrampilan ini harus dapat diterapkan dalam

pekerjaannya. Dalam pekerjaan, kompetensi ini seharusnya dapat dituangkan dalam bentuk

pernyataan-pernyataan yang dapat diamati, sehingga menggambarkan pengetahuan, sikap dan

ketrampilan yang ingin diukur. Menurut American Heritage Dictionary, kompetensi adalah keadaan

atau kualitas yang menunjukkan kualifikasi tertentu, atau sering disebut sebagai kemampuan. Selain itu

kompetensi diartikan sebagai serangkaian keterampilan, pengetahuan atau kemampuan. Sedangkan

Erraut (1998) mengartikan kompetensi sebagai kemampuan untuk menampilkan tugas dan peran yang

dibutuhkan dengan standar tertentu.

1. Kompetensi Akademik. DiPerna dan Elliot (2000) mendefinisikan kompetensi akademik sebagai

keterampilan akademik dan hal-hal yang memudahkan belajar dan mendukung prestasi.

Kompetensi akademik dapat berbeda-beda dalam komponennya, tergantung pada pengguna dan

institusinya. Selanjutnya dikatakan pula oleh DiPerna dan Elliot (2001), keterampilan akademik

ini perlu terus menjadi fokus utama dalam pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, guru perlu

memiliki kompetensi akademik yang baik, agar ia dapat mengajar dengan baik.

2. Kompetensi Kepribadian. Faktor kepribadian merupakan faktor yang penting dimiliki oleh

seorang guru. Seorang guru sepatutnya memiliki kepribadian yang sehat agar dapat mengajar

dengan baik. Guru yang baik dicirikan oleh kepercayaan diri, jujur, matang dan mantap secara

pribadi.

3. Kompetensi Sosial. Kompetensi sosial merupakan konstruk yang menggambarkan interaksi

antara faktor individu dengan faktor lingkungan atau faktor yang mengarah pada interaksi sosial.

Dibutuhkan keterampilan sosial, emosional, intelektual dan perilaku agar seseorang dapat berhasil

dalam masyarakat.

4. Kompetensi Pedagogik. Seorang guru sebaiknya memiliki kesadaran untuk melakukan metode

atau strategi pengajaran. Keterampilan ini mengacu pula pada pengetahuan dan penerapan metode

instruksional yang paling efektif untuk membantu siswa mencapai sasaran belajar. Artinya

memiliki kompetensi akademik saja tidaklah cuku bagi seorang guru. Ia juga hars memiliki

Page 149: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

145

pengetahuan dan keterampilan pedagogis yang mencakup penyampaian sasaran, pemilihan

metode instruksional yang paling sesuai, penyediaan kesempatan untuk praktik dan umpan balik

yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya.

Untuk mempertahankan kompetensi pedagogik, guru perlu terus membenahi diri dan memperkaya

dirinya dengan pengetahuan yang relevan serta keteraampilan yang memang dibutuhkan. Hal ini dapat

dilakukan melalui membaca buku-buku umum maupun yang spesifik membahas mengenai

keterampilan tersebut, namun juga dapat diperoleh melalui pelatihan, konferensi dan workshop yang

disediakan oleh institusi-institusi terkait. Kompetensi pedagogik ini bagi seorang guru merupakan

kompetensi profesional, karena spesifik terdapat dalam bidang pendidikan. Seorang guru yang

profesional diharapkan dapat mengintegrasikan sejumlah pengetahuan dan keterampilannya dan

menerapkannya dalam berbagai situasi yang sesuai.

Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja seseorang sangat tergantung pada situasi kerja yang dihadapi. Menurut French (1982)

dan Tziner dan Vardi (1984) kepuasan kerja merupakan respon afektif terhadap sejumlah besar kondisi

atau aspek pekerjaan yang dihadapi seseorang. Seperti gaji yang diterima, supervisi yang dilakukan,

kondisi kerja dan atau pekerjaan itu sendiri dan semua itu dituangkan dalam bentuk perasaan orang

tersebut mengenai pekerjaannya (Arches, 1991). Balzer dkk (1997) mendefinisikan kepuasan kerja

sebagai perasaan pekerja mengenai pengalaman kerjanya dalam relasinya dengan pengalaman

sebelumnya, harapan saat ini dan alternatif yang tersedia.

B. Teaching Attitude

Sikap dapat didefinisikan sebagai kecenderungan yang konsisten untuk bereaksi dalam suatu cara

tertentu – positif maupun negatif – terhadap suatu masalah. Fazio dan Roskes (dalam Adediwura &

Tayo, 2007) mengatakan bahwa “sikap sangatlah penting dalam psikologi pendidikan karena sikap

sangat mempengaruhi pemikiran sosial, terutama mengenai cara berpikir seorang individu dan proses

informasi sosial. Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Adediwura & Tayo, 2007), sikap guru yang

positif sangat penting dalam pengajaran yang efektif. Kedua tokoh tersebut mengidentifikasikan

sejumlah sikap guru yang memfasilitasi terciptanya suasana kelas yang perhatian dan mendukung.

Sikap-sikap tersebut adalah antusiasme, perhatian, teguh, praktek demokratis untuk meningkatkan

tanggung jawab siswa, menggunakan waktu pengajaran secara efektif, menciptakan rutinitas yang

efisien, dan berinteraksi secara bebas dengan siswa dan memprovide motivasi bagi siswa. Hasil

penelitian terhadap perilaku guru menunjukkan bahwa karakteristik-karakteristik guru seperti efficacy

guru, modeling dan antusiasme, perhatian dan pengharapan yang tinggi dapat meningkatkan motivasi

pelajar. Karakteristik-karakteristik yang sama juga diasosiasikan dengan meningkatnya prestasi

akademik siswa. Tingkat yang tinggi dalam belajar dapat terjadi sejalan dengan adanya perasaan yang

baik terhadap diri mereka sendiri dan materi yang mereka pelajari ketika guru menggunakan waktu

instruksional secara efisien. Belajar akan menjadi lebih mudah dan cepat di bawah pengajaran guru

yang well-organized.

Bagaimana guru berinteraksi dengan siswa mempengaruhi motivasi siswa dan sikap terhadap

sekolah. Bagaimana siswa menerima sikap guru mereka di sebuah SMP di Nigeria akan diukur

berdasarkan beberapa poin-poin yang sudah disampaikan. Untuk meningkatkan keteraturan dan belajar

di dalam kelas, tiap guru harus memiliki keterampilan pengajaran yang esensial. Tidak ada seorang pun

yang dapat mengajarkan sesuatu kepada orang lain tanpa melakukannya dalam cara-cara tertentu, dan

cara pengajaran yang demikian memiliki efek yang penting dalam keseluruhan situasi pengajaran dan

belajar. Ehindero and Ajibade (dalam Adediwura & Tayo, 2007) mengemukakan bahwa pengajaran

adalah proses pengembangan pribadi yang berkelanjutan dan penemuan diri professional sepanjang

pemahaman yang muncul dalam proses pengajaran dan belajar. Jika ada teknik yang penting dalam

pengajaran yang baik, itu adalah komunikasi. Hal ini sangatlah penting karena mengajar tidak dapat

terjadi tanpa penggunaan komunikasi bahasa verbal atau penggunaan tanda. Hal ini menyiratkan bahwa

guru harus memonitor perkataan mereka untuk meyakinkan bahwa presentasi mereka jelas dan logis.

Eggen dan Kauchack (dalam Adediwura & Tayo, 2007) menekankan empat aspek komunikasi yang

Page 150: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

146

efektif yang sangat penting dalam belajar dan memotivasi, yaitu terminology yang tepat, diskusi yang

berhubungan, transisi signals dan penekanan.

Dalam lingkup pendidikan, terdapat guru yang menunjukkan sikap yang positif dalam

memberikan pembelajaran di suatu situasi belajar mengajar. Berbagai pengetahuan (berupa seperangkat

fakta, hukum dan data) di transfer oleh guru kepada siswanya. Berdasarkan penelitian di bidang

pendidikan dan pembelajaran bidang fisika (Barros & Elia, 1987) ditemukan bahwa hasil yang

memuaskan terjadi jika ada keterkaitan antara sekolah sebagai institusi dan masyarakat (budaya,

Negara). Dijelaskan pula bahwa keberagaman dari model pembelajaran guru merupakan hasil dari

interaksi antara teaching attitudes dan kompetensi guru, sekolah dan masyarakat. Melalui suatu training

diharapkan semua aspek ini dapat berpengaruh.

Gambar 2. Hubungan antara pelatihan dengan kompetensi guru dan teacher attitude

Sikap menunjukkan pada apa yang dilihat, didengar, dipikirkan dan dilakukan oleh setiap

individu. Sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk bereaksi secara favorable atau

unfavorable pada suatu obyek (orang lain atau sekelompok orang, institusi atau kejadian). Sikap bisa

positif (nilai) atau negatif (prasangka). Ahli psikologi social membedakan 3 komponen dari respon

yaitu: komponen kognitif, yang mengacu pada pengetahuan mengenai obyek dari sikap, tepat atau tidak;

komponen afektif menunjukkan perasaan pada obyek; dan komponen konatif menunjukkan aksi

terhadap obyek. Ketiga komponen tersebut muncul membentuk sikap guru di kelas melalui interaksi

langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat, guru lain dan sekolah. Barros dan Elia (1987)

dalam penelitiannya mengenai sikap guru fisika menunjukkan adanya tujuh tipe dari teaching attitudes

yang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dapat menunjukkan trait guru. Pengelompokan

ini disejajarkan dengan kompetensi guru yang dapat menggambarkan bagaimana perilaku guru di kelas.

Dalam penelitian ini, alat ukur teaching attitude akan disusun berdasarkan pendapat dari Barros dan

Elia (1987).

C. Teaching Efficacy Guru

Bandura (dalam Erdem & Demirel, 2007; Skaalvik & Skaalvik, 2007) mengemukakan bahwa self

efficacy adalah penilaian individu mengenai kapabilitasnya untuk mengorganisasi dan melakukan

sejumlah aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu self efficacy merupakan

konsep yang multidimensioal dan spesifik tergantung konteksnya.

Page 151: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

147

Berdasarkan definisi tersebut teaching efficacy guru dapat didefinisikan sebagai keyakinan guru

terhadap terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan aktivitas

yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan (Skaalvik & Skaalvik, 2007).

Erdem dan Demirel (2007) menambahkan bahwa guru dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa

mereka dapat mengontrol, mempengaruhi dorongan berprestasi siswa dan juga motivasi mereka. Teori

self-efficacy memprediksikan bahwa guru dengan efficacy yang tinggi bekerja lebih giat dan mampu

bertahan lebih lama ketika menghadapi siswa yang sulit untuk dididik, karena mereka percaya diri dan

juga percaya pada siswanya.

Skaalvik dan Skaalvik (2007) menyusun kuesioner teaching efficacy guru yang dalam pembuatan

skalanya didasarkan pada rekomendasi/aturan konstruksi item yang dikemukakan oleh Bandura (1997),

yaitu : (1) subyek dalam setiap pernyataan adalah “saya” karena tujuannya adalah untuk menilai

keyakinan subyektif guru tentang kapabilitas dirinya; (2) pernyataan-pernyataan terdiri kata kerja

“dapat melakukan” (can or be able to) supaya pernyataan yang ada benar-benar menanyakan tentang

kemampuan personal; (3) selain itu, setiap pernyataan hendaknya mengandung hambatan (barrier)

sebagai contoh berhasil mengajar siswa termasuk siswa yang paling sulit sekalipun. Bila tanpa unsure

hambatan, aktivitasnya akan mudah untuk dilakukan sehingga tidak dapat membedakan self efficacy

dari guru-guru.

Skala yang disusun oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) terdiri dari enam dimensi yaitu 1)

Instruksi (instruction): fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya menjelaskan pelajaran

kepada siswa, menjelaskan pokok-pokok bahasan, membimbing siswa dalam tugas-tugasnya, dan

menjawab pertanyaan agar siswa lebih memahami pelajaran yang disampaikan; (2) Menyesuaikan

pengajaran berdasarkan kebutuhan individual siswa (adapting education to individual students’ needs);

(3) Memotivasi siswa (motivating students) : fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya

dalam memotivasi siswa supaya mereka dapat belajar secara optimal; (4) Penerapan disiplin (keeping

discipline) : fokus pada kemampuan guru untuk mempertahankan keteraturan dan disiplin di daam kelas

mengingat sering kali situasi kelas tampak sangat ramai; (5) Bekerjasama dengan kolega dan orangtua

(cooperating with colleagues and parents): di kebanyakan sekolah, guru bekerja dalam tim dan berbagi

tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang ada. Guru juga diharapkan dapat bekerjasama dengan

orangtua termasuk memberikan informasi tentang kegiatan dari siswa.; (6) Menghadapi perubahan dan

tantangan (coping with changes and challenges): menekankan pada kemampuan guru dalam mengatasi

perubahan-perubahan yang terjadi dan tantangan termasuk mengatasi perubahan dalam kebijakan

pemerintah atau kebijakan sekolah.

Berdasarkan skala yang dibuat oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) dibuatlah skala self efficacy

guru yang akan dipakai untuk penelitian efektivitas program pelatihan guru SMP di Indonesia. Skala

ini dijadikan acuan karena berdasarkan pertimbangan dimensi-dimensinya yang komprehensif dan

mencakup area yang dihadapi guru shari-hari dalam melakukan pengajarannya. Selain itu juga

ditambah beberapa item yang diperoleh dari skala yang dibuat oleh Erdem dan Darmiel (2007), dengan

penambahan faktor hambatan (barrier) yang kurang ditekankan dalam penelitian mereka. Dalam

rangka menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia, juga dilakukan sejumlah modifikasi terhadap skala

yang ada.

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diajukan maka diajukan pertanyaan penelitian:

Apakah ada dampak pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik

dan Tenaga Kependidikan (P4TK) dan KKG/MGMP dalam bidang penelitian Matematika, IPA,

Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selain itu juga dilihat dampaknya terhadap kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan guru dan sikap guru, serta teaching

efficacy. Lebih jauh, hipotesis yang diajukan dalam hubungannya dengan permasalahan penelitian ini

adalah: (1) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi akademik guru dalam pelajaran yang

diajarnya antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan masing-masing dalam bidang penelitian

Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris; (2) Ada perbedaan yang signifikan

dalam kompetensi kepribadian guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (3) Ada perbedaan yang

signifikan dalam kompetensi sosial guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (4) Ada perbedaan

Page 152: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

148

yang signifikan dalam kompetensi pedagogik guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (5) Ada

perbedaan yang signifikan dalam kepuasan kerja guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan: (6)

Ada perbedaan yang signifikan dalam sikap guru terhadap mengajar sebelum dan sesudah mengikuti

pelatihan; dan (7) Ada perbedaan yang signifikan dalam teaching efficacy guru sebelum dan sesudah

mengikuti pelatihan.

METODE

Populasi penelitian ini adalah guru-guru SMP pada bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa

Indonesia dan Bahasa Inggris, yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh (P4TK) Matematika,

IPA dan Bahasa, serta KKG/MGMP. Direncanakan dari masing-masing bidang penelitian akan dipilih

dua pelatihan yang waktu-waktu pelaksanaannya sangat tergantung pada jadwal yang disusun oleh

masing-masing P4TK. Akan tetapi karena beberapa pelatihan tidak dilaksanakan sehubungan dengan

adanya perubahan kebijakan, maka hanya diperoleh data dari pelatihan Matematika dan IPA yang

dilaksanakan oleh P4TK dan tidak diperoleh data dari pelatihan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Selain pengambilan data diambil dari P4TK, juga dilakukan pengambilan data dari guru-guru

yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP. Dalam hal ini, berhasil diambil data

dari empat bidang penelitian, yaitu Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengambilan sampel penelitian ini adalah sifatnya accidental,

yaitu berdasarkan ketersediaan dari data yang ada saja.

Variabel yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah: (1) Kompetensi guru di bidang pelajaran

yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hal

ini diukur dengan alat ukur kompetensi akademik; (2) Kompetensi kepribadian, mencakup kepercayaan

diri, sifat-sifat positif serta kematangan pribadi dan hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi

kepribadian; (3) Kompetensi sosial, yaitu kemampuan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan

atau kemampuan individu untuk mengarah pada interaksi sosial. Hal ini diukur dengan alat ukur

kompetensi social; (4) Kompetensi pedagogik, kemampuan untuk menyampaikan sasaran pengajaran,

memilih metode instruksional yang paling sesuai, kemampuan menyediakan kesempatan untuk praktik

dan umpan balik yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya. Hal ini diukur

dengan alat ukur kompetensi pedagogic: (1) Kepuasan kerja, yang diukur dari kepuasan terhadap

pekerjaan, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja.; (2) Sikap guru terhadap mengajar yaitu

sikap guru terhadap materi pelajaran, sebagai pemberi informasi, dalam memberikan memberikan teori

dan melaksanakan praktik, inovator, mengembangkan metode interaksi, kepercayaan guru terhadap

siswa dan ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi lain; dan (3) Teaching efficacy guru yaitu

keyakinan guru terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan

aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan.

Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kompetensi guru, baik kompetensi di bidang

pelajarannya atau disebut sebagai kompetensi akademik, serta kompetensi non akademik yang terdiri

dari kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik. Selain itu juga dilihat dampak

pelatihan terhadap kepuasan kerja, sikap guru terhadap mengajar dan teaching efficacy. Oleh karena

itu, alat ukur yang digunakan adalah alat ukur untuk mengukur: (1) 1. Kompetensi akademik guru di

bidang pelajaran yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan

Bahasa Inggris; (2) Kompetensi kepribadian; (3) Kompetensi sosial,; (4) Kompetensi pedagogik; (5)

Kepuasan kerja; (6) Sikap guru terhadap mengajar; dan (7) Teaching efficacy. Instrumen dikembangkan

berdasarkan validitas isi (content validity), sedangkan perhitungan reliabilitasnya dengan menggunakan

koefisien α.

Page 153: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

149

Tabel 4. Reliabilitas masing-masing alat ukur

No. Instrumen Reliabilitas

1. Kompetensi Akademik dalam Matematika α = 0,602

2. Kompetensi Akademik dalam Fisika α = 0,657

3. Kompetensi Akademik dalam Biologi α = 0,597

4. Kompetensi Akademik dalam Bahasa Indonesia α = 0,624

5. Kompetensi Akademik dalam Bahasa Inggris α = 0,729

6. Kompetensi Kepribadian α = 0,736

7. Kompetensi Sosial α = 0,782

8. Kompetensi Pedagogik α = 0,949

9. Kepuasan Kerja α = 0,902

10. Sikap Mengajar α =0,844

11. Teaching Efficacy α = 0,859

Untuk menguji efektivitas pelatihan, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan desain

eksperimental yaitu: Pretest-Posttest Group Design. Pengukuran terhadap efektivitas pelatihan

dilakukan dua kali yaitu dengan memberikan kuesioner sebelum dan sesudah pelatihan. Data penelitian

yang diperoleh tergantung pada pelaksanaan pelatihan yang ada. Oleh sebab itu, tidak dapat dibuat

jadwal yang tetap oleh peneliti, karena jadwal pelatihan telah ditentukan oleh KKG/MGMP maupun

P4TK. Pengumpulan data dilakukan pada sebelum pelaksanaan pelatihan dimulai dan setelah

pelaksanaan pelatihan selesai. Hal ini dimaksudkan agar data pretes dan postes dapat diambil secara

murni. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji efektivitas pelatihan adalah t-test independent

sample dengan menguji perbedaan gain score, yaitu selisih skor rata-rata antara sebelum dan sesudah

pelatihan. Selain itu juga dibandingkan sekor pretes antar kelompok KKG/MGMP dengan P4TK.

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS Versi 11.

HASIL

Hasil penelitian ini akan disajikan secara berurutan, dari gambaran sampel serta gambaran pengambilan

data pelatihan, kemudian disajikan mengenai perbandingan pretes dan postes pelatihan yang

dilaksanakan oleh P4TK dan KKG/MGMP, dimulai dari segi akademik kemudian non akademik.

Jumlah peserta pelatihan guru yang mengikuti penelitian ini keseluruhannya berjumlah 272 orang, Akan

tetapi, data yang dapat terolah untuk masing-masing aspek yang diteliti sangat bervariasi, mengingat

pengolahan lengkap hanya dapat dilakukan apabila responden mengisi lengkap kuesioner serta

mengikuti pengisian pada pretes dan postes. Apabila responden tidak mengisi lengkap atau hanya

mengikuti pretes atau postesnya saja, maka data tidak dapat diolah.

Page 154: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

150

Pengambilan data diambil di beberapa kota di Indonesia, sesuai dengan pelatihan yang

dilaksanakan oleh P4TK yaitu di Yogyakarta, Bandung, Gorontalo dan Makassar, serta oleh

KKG/MGMP Jakarta yang melaksanakan pelatihan mengenai pembuatan silabus dan rencana

pembelajaran menurut KTSP. Peserta pelatihan yang mengikuti pelatihan baik di P4TK maupun

KKG/MGMP yang terlibat dalam penelitian ini paling banyak berasal dari pelatihan guru Matematika

yaitu 162 orang, sedangkan yang paling sedikit adalah Bahasa Inggris yaitu 16 orang. Responden paling

banyak berasal dari kota Jakarta dan disusul dengan responden yang berasal dari kota Yogyakarta.

Sedangkan responden yang paling sedikit adalah dari Makassar, yaitu 25 orang. Dari tabel di atas dapat

dilihat bahwa peserta pelatihan yang terlibat dalam penelitian ini memiliki pengalaman mengajar yang

bervariasi, dari hanya satu tahun hingga 35 tahun. Apabila digambarkan lama rata-rata mengajar, maka

rata-rata mengajar para guru selama 16,9 tahun. Dari segi usia, peserta berkisar dari 23 tahun hingga 64

tahun, dengan rata-rata usia 42,24 tahun. Dari gambaran di atas, tampak bahwa responden terbesar

berasal dari Yogyakarta yang berasal dari mata pelajaran Matematika. Sedangkan yang paling sedikit

adalah berasal dari Jakarta untuk mata pelajaran Biologi. Pelaksanaan pelatihan dilakukan dari bulan

Juli sampai dengan November 2008. Lamanya pelatihan cukup bervariasi, dari dua hari pada pelatihan

yang diadakan oleh KKG/MGMP, sampai 1 minggu atau 2 minggu pada pelatihan yang diadakan oleh

P4TK. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Pada bagian berikut ini akan dibahas mengenai

kompetensi akademik dan kompetensi non akademiknya guru-guru yang mengikuti pelatihan P4TK

dan KKG/MGMP.

Tabel 11. Perbedaan pretes dan postes Matematika antara guru-guru yang mengikuti pelatihan

KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan

Pretes Postes t-test Sign N

KKG/MGMP 11,59 13,52 4,273 0,000* 29

P4TK 10,59 12,02 4,771 0,000* 143

t-test 2,395 2,787

sign 0,019* 0,007*

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah soal kompetensi profesi matematika adalah 20, sehingga dapat disimpulkan bahwa

kompetensi guru matematik adalah rata-rata (baik pada guru yang terlibat dalam pelatihan KKG/MGMP

maupun P4TK). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam

kompetensi profesi matematika para guru antara sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan, baik

pada guru yang mendapatkan pelatihan KKG/MGMP maupun P4TK. Selain itu pula, terdapat

peningkatan kompetensi guru setelah mendapatkan pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan

skor pretes-postes. Dari tabel sebelumnya juga tampak ada perbedaan yang signifikan dalam

kompetensi profesi matematika antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dengan P4TK,

dimana guru yang mengikuti KKG/MGMP memiliki kompetensi yang lebih tinggi daripada guru yang

mengikuti P4TK (perbandingan pretes maupun perbandingan postes antara KKG/MGMP dan P4TK)

Page 155: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

151

Tabel 12. Perbedaan pretes dan postes Biologi antara guru yang mengikuti pelatihan

KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing

pelatihan

Pretes Postes t-test Sign N

KKG/MGMP 4,33 15,75 7,063 0,000* 12

P4TK 14,71 14,41 0,468 0,646 17

t-test 11,988 1,147

sign 0,000 0,261

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah soal kompetensi profesi Biologi adalah 25, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi

profesi guru biologi P4TK adalah sedikit di atas rata-rata (skor pretest). Nilai pretes guru pelatihan

KKG/MGMP tidak bisa diolah karena kemungkinan ada kesalahan dalam pengisian sehingga skor

pretes antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK Jakarta tidak bisa

diperbandingkan.

Tabel 13. Perbedaan pretes dan postes Fisika antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan

P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan

Pretes Postes t-test Sign N

KKG/MGMP 13,25 12,38 0,835 0,417 16

P4TK 15,19 10,67 4,583 0,000* 21

t-test 2,386 1,046

sign 0,023* 0,300

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah soal kompetensi profesi fisika adalah 25, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesi

guru fisika adalah sedikit di atas rata-rata, baik pada guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP

maupun P4TK.

Tampak bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi profesi fisika para guru antara

sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan pada KKG/MGMP. Namun hal ini tidak dapat

diinterpretasikan begitu saja karena justru terjadi penurunan setelah pelatihan. Kemungkinan ada

kesalahan dalam pengisian atau kurangnya waktu untuk menjawab pertanyaan, ketika postes. Selain itu,

ada perbedaan kompetensi fisika antara guru fisika KKG/MGMP dengan P4TK, dimana guru-guru

yang mengikuti pelatihan P4TK memiliki skor kompetensi yang lebih tinggi secara signifikan daripada

guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP (perbandingan pretes KKG/MGMP dan P4TK)

Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, data yang diperoleh hanya data dari pelatihan

KKG/MGMP karena pelatihan Bahasa Indonesia yang dikelola oleh P4TK tidak dilangsungkan/

dibatalkan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 156: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

152

Tabel 14. Perbedaan pretes postes Bahasa Indonesia guru yang mengikuti pelatihan

KKG/MGMP

Pretes Postes t Sig N

KKG/ MGMP 15.84 15.58 0.397 0.695 31

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah soal adalah 30 soal, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para guru memiliki

kompetensi rata-rata. Dari hasil uji statistik, tampak bahwa terjadi sedikit penurunan pada mata

pelajaran Bahasa Indonesia, namun demikian tidak terjadi penurunan yang signifikan. Kemungkinan

hal ini dikarenakan waktu pelatihan yang sangat sempit yaitu dua hari dan konten pelatihan yang tidak

memberikan materi yang cukup membekali guru dalam segi akademik.

Sama halnya dengan Bahasa Indonesia, data yang diperoleh dalam Bahasa Inggris juga hanya

data dari pelatihan KKG/MGMP karena pelatihan Bahasa Inggris yang dikelola oleh P4TK tidak

dilangsungkan/ dibatalkan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 15. Perbedaan pretes postes Bahasa Inggris guru yang mengikuti pelatihan

KKG/MGMP

Mata Pelajaran Pretes Postes t Sig N

KKG/MGMP 14.32 8.82 3.507 0.002* 28

*signifikan pada l.o.s 0.05

Kompetensi para guru Bahasa Inggris secara umum tergolong di bawah rata-rata, karena jumlah

soal adalah 35. Pada pretes dan postes rata-rata guru hanya 14,32 dan 8,82; artinya di bawah 17,5 yang

merupakan rata-rata tengahnya. Pada hasil pelatihan pelajaran Bahasa Inggris juga tidak terjadi

peningkatan, yang terjadi adalah penurunan. Hal ini kemungkinan juga berkaitan dengan terbatasnya

waktu penyelenggarakan, yaitu hanya dua hari.

Tabel 16. Perbedaan pretes dan postes kompetensi kepribadian antara guru-guru yang

mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes

masing-masing pelatihan

Pretes Postes t-test Sign N

KKG/MGMP 81,88 86,28 6,071 0,000* 67

P4TK 83,93 74,80 11,60 0,000* 181

t-test 2,208 10,927

sign 0,028* 0,000*

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi kepribadian adalah 20 dengan rentang skor antara

1–5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai rata-

rata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepribadian guru tergolong di atas rata-rata.

Page 157: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

153

Kompetensi kepribadian ini menyoroti karakteristik yang mantap, jujur, percaya diri dan memegang

etos kerja, tanggung jawab dan kode etik guru.

Dari tabel di atas, terlihat adanya perbedaan yang signifikan dalam kompetensi kepribadian para

guru antara sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan, baik pada guru yang mengikuti KKG/MGMP

dan P4TK. Pada guru yang mengikuti KKG/MGMP ternyata terjadi peningkatan kompetensi

kepribadian setelah mendapatkan pelatihan, tetapi pada guru P4TK justru terjadi penurunan. Padahal

apabila ditelaah dari perbedaan kompetensi kedua kelompok dari angka pretesnya, maka guru-guru

P4TK memiliki kompetensi kepribadian yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru

KKG/MGMP. Adanya penurunan skor pretes dan postes kelompok guru yang mengikuti pelatihan yang

dilaksanakan P4TK disebabkan karena pelatihan yang dilakukan semata-mata menekankan pada aspek

akademik, dalam hal ini mata pelajaran yang diajarnya, dan bukan pada aspek non akademik, seperti

faktor kepribadian.

Tabel 17. Perbedaan pretes dan postes kompetensi sosial antara guru-guru yang mengikuti

pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan

Pretest Posttest t-test Sign N

KKG/MGMP 77,07 78,58 1,737 0,087 67

P4TK 85,74 78,76 6,733 0,000* 181

t-test 8,495 0,143

sign 0,000* 0,887

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi sosial adalah 20 dengan rentang skor antara 1–

5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai rata-

rata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam

kuesioner kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan untuk membina hubungan sosial dengan

rekan guru, orang tua, dan siswa.

Dari hasil analisis statistik, ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi sosial antara guru

yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, dimana guru yang mengikuti pelatihan P4TK

memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP.

Tabel 18. Perbedaan pretes dan postes kompetensi pedagogi antara guru-guru yang

mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes

masing-masing pelatihan

Pretest Posttest t-test Sign N

KKG/MGMP 85,79 86,54 0,886 0,379 67

P4TK 83,67 80,17 4,056 0,000* 181

t-test 1,869 4,950

sign 0,063 0,000*

*signifikan pada l.o.s 0.05

Page 158: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

154

Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi pedagogi adalah 20 dengan rentang skor antara

1–5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai rata-

rata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogi guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan

dalam kuesioner kompetensi pedagogi berkaitan dengan kemampuan untuk menyiapkan dan

menyelenggarakan pembelajaran di kelas.

Hasil yang diperoleh dari kompetensi pedagogi menunjukkan ketidak konsistenan, karena pada

kelompok guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP, mereka mengalami peningkatan dalam skor

kompetensi pedagogi dan pada kelompok guru yang mengikuti P4TK mengalami penurunan. Apabila

ditelaah berdasarkan materi yang diberikan pada pelatihan, memang pada pelatihan KKG/MGMP guru

diajarkan agar menguasai persiapan pembelajaran di kelas, yaitu bagaimana menyusun silabus KTSP.

Sedangkan pada pelatihan P4TK penekanan lebih pada materi pengajarannya.

Tabel 19. Perbedaan pretes dan postes kepuasan kerja antara guru-guru yang mengikuti pelatihan

KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan

Pretest Posttest t-test Sign N

KKG/MGMP 4,1727 4,2108 0,933 0,353 97

P4TK 4,3460 4,3923 1,866 0,064 175

t-test 3,257 3,260

sign 0,001* 0,001*

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah pernyataan dalam kuesioner kepuasan kerja adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5

sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa kepuasan

guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner kepuasan kerja berkaitan dengan kepuasan

kerja secara intrinsik dan ekstrinsik.

Ada perbedaan kepuasan kerja antara guru KKG/MGMP dan P4TK, dimana kepuasan kerja guru

pelatihan P4TK lebih tinggi secara signifikan daripada guru KKG/MGMP. Namun demikian, tidak ada

perbedaan kepuasan kerja guru antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan pada kedua kelompok.

Ini berarti pelatihan yang diberikan memang tidak berpengaruh dengan kepuasan kerja guru. Hal ini

dapat terjadi karena faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja guru berkaitan dengan kondisi

atau aspek pekerjaan yang dihadapi, sehingga kemungkinan tidak dapat berubah hanya karena

pelatihan.

Tabel 20. Perbedaan pretes dan postes sikap mengajar antara guru-guru yang mengikuti pelatihan

KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan

Pretest Posttest t-test Sign N

KKG/MGMP 5,1108 5,0887 0,249 0,804 97

P4TK 5,2483 5,3660 4,179 0,000* 175

t-test 2,204 3,816

sign 0,028* 0,000*

*signifikan pada l.o.s 0.05

Page 159: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

155

Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi pedagogi adalah 20 dengan rentang skor antara

1–5 sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa

kompetensi pedagogi guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner sikap mengajar

berkaitan dengan pemahaman konseptual yang dimiliki, sikap sebagai pemberi informasi, sikap

terhadap teori dan praktek yang diajarnya, kepercayaan guru dan kepuasan terhadap profesi.

Adanya perbedaan skor sikap mengajar antara kedua kelompok menunjukkan bahwa guru yang

terlibat dalam pelatihan P4TK memiliki skor sikap mengajar yang lebih tinggi secara signifikan

daripada guru-guru yang terlibat dalam pelatihan KKG/MGMP. Selain itu, juga ada perbedaan skor

sikap mengajar pada guru P4TK antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan. Terjadinya

peningkatan skor sikap mengajar pada guru setelah diberikan pelatihan, dapat terjadi karena pelatihan

ini melatihkan materi pelajaran yang diajarnya sehingga dapat meningkatkan pemahaman konseptual,

teori praktek dan kepercayaan dirinya terhadap pelajaran yang diajarnya.

Tabel 21. Perbedaan pretes dan postes teaching efficacy antara guru-guru yang mengikuti

pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-

masing pelatihan

Pretest Posttest t-test Sign N

KKG/MGMP 4,8840 5,0892 2,197 0,030* 97

P4TK 5,1469 5,2874 3,312 0,001* 175

t-test 3,931 2,456

sign 0,000* 0,015*

*signifikan pada l.o.s 0.05

Jumlah pernyataan dalam kuesioner teaching efficacy adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5

sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa teaching

efficacy guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner teaching efficacy berkaitan dengan

instruksi pembelajaran, penyesuaian terhadap pengajaran, cara-cara memotivasi siswa, penerapan

disiplin, kerjasama dengan kolega, orangtua serta kemampuan menghadapi perubahan dan tantangan.

Ada perbedaan skor teaching efficacy antara guru KKG/MGMP dan P4TK dimana skor teaching

efficacy guru P4TK secara signifikan lebih tinggi daripada guru KKG/MGMP. Selain itu, ada perbedaan

skor teaching efficacy pada guru antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan, pada kedua

kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan yang diberikan berdampak positif, yaitu secara umum

meningkatkan kepercayaan diri guru

PEMBAHASAN

Keterampilan untuk menjadi guru bukanlah merupakan sesuatu yang terberi sejak lahir, tetapi dapat

dilatihkan dan diajarkan melalui program pendidikan (Kennedy, 2006). Pelatihan merupakan satu

bentuk untuk melatih seseorang untuk menjadi guru yang baik. Dalam penelitian ini terbukti bahwa

pelatihan membantu mengembangkan keterampilan guru agar guru menjadi lebih profesional dalam

menjalankan tugasnya, halmana tertuang dalam tujuan pembentukan P4TK, KKG maupun MGMP.

Neville dan Robinson (2005), mengemukakan bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat

dilakukan melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih

tinggi. Selanjutnya mereka mengatakan pengembangan profesionalitas guru dapat membantu

meningkatkan prestasi siswa serta merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuan guru akan

Page 160: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

156

materi pengajaran serta mengembangkan penerapan metode pengajaran. Jadi, peningkatan belajar siswa

dapat dilakukan dengan cara meningkatkan belajar guru terlebih dahulu.

Menurut Wong (2005), pelatihan adalah bentuk pengembangan staf yang terorganisir dan

komprehensif, melibatkan banyak orang dan komponen. Dari hasil penelitian ini tampak bahwa

pelatihan memilki dampak yang cukup signifikan, baik terhadap kompetensi akademik, maupun

kompetensi non akademik. Pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP meningkatkan kompetensi

akademik Matematika dan pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK meningkatkan kompetensi

akademik Fisika. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tan dan Torrington (2004) yang mengemukakan

bahwa pelatihan merupakan suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

seseorang.

Melalui pelatihan, guru mengembangkan pengetahuan yang berkaitan dengan materi serta

mempelajari hal-hal yang bersifat pedagogis sehingga dapat mengembangkan profesionalitasnya

(Kennedy, 2006). Hal ini tampak pula dari peningkatan kompetensi kepribadian, sikap terhadap

mengajar dan teaching efficacy. Sebagaimana Ross dan Bruce (2000) dalam penelitiannya mengenai

efek pengembangan profesionalitas guru matematika, juga menemukan bahwa ternyata pelatihan dapat

membantu guru meningkatkan self efficacy nya dalam mengajar pelajaran matematika. Hal yang sama

tampak pula dalam penelitian ini, baik dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP maupun

yang dilaksanakan oleh P4TK. Melalui pelatihan guru akan lebih meningkat teaching efficacy nya,

karena ia merasa lebih yakin dan lebih menguasai mengenai materi yang diajarkannya. Menurut

Bandura (1997), self efficacy adalah belief mengenai kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan

melaksanakan sejumlah perilaku untuk menghasilkan prestasi tertentu.

Menurut Weissmann (dalam Ursano, 2007), selama ini dalam pelatihan-pelatihan guru, lebih

banyak menekankan pada pengembangan keterampilan akademik, yaitu mata pelajaran yang

diajarkannya. Keterampilan guru yang bersifat non akademik seperti kompetensi kepribadian,

kompetensi pedagogik dan kompetensi sosial serta sikap dan perilaku yang nonkognitif jarang

dijelaskan atau kurang diajarkan secara eksplisit dalam pelatihan-pelatihan guru. Hal yang kurang lebih

sama terjadi pula dalam pelatihan-pelatihan yang selama ini dilakukan di Indonesia.

Dari penelitian ini, tampak ada beberapa aspek yang menunjukkan peningkatan setelah guru

mengikuti pelatihan, bahkan pada pelatihan yang hanya berlangsung selama dua hari sekalipun.

Peningkatan ini tentu saja menggembirakan, karena menunjukkan bahwa pelatihan memberikan

perubahan. Meskipun dalam penelitian menunjukkan adanya peningkatan beberapa aspek akademik

dan non akademik, namun tampak pula penurunan. Hal ini tentu saja tidak dapat diabaikan, mengingat

untuk menjadi guru yang efektif, dituntut pula penguasaan kompetensi akademik, selain tentu saja

kompetensi non akademik. Hasil yang kurang konsisten ini patut disikapi secara serius karena

menunjukkan beberapa hal yang patut digali secara serius.

Temuan yang kurang menggembirakan antara lain, terjadinya penurunan dalam skor

kompetensi akademik Fisika, kompetensi sosial, pedagogik dan sosial. Ada beberapa kemungkinan

yang dapat menjadi penyebab. Kemungkinan pertama, hal ini berkaitan dengan perencanaan dan

pelaksanaan pelatihan yang kurang dilakukan secara sistematis, sebagaimana dikemukakan dalam

pendapat responden yang mengatakan bahwa mereka kurang mengetahui tujuan dari pelatihan,

penyajian materi pelatihan yang terlampau banyak, sehingga tidak memberikan hasil yang sesuai

dengan yang diharapkan. Kemungkinan kedua adalah karena ketika guru mengisi kuesioner, waktu

yang tersedia kurang, sehingga mereka mengerjakannya kurang optimal. Sedangkan kemungkinan

ketiga adalah kurang tepatnya alat ukur yang digunakan sehingga hasilnya pun menjadi kurang dapat

dipercaya. Pelatihan yang dilakukan biasanya melatihkan satu hal tertentu dari segi akademik,

sedangkan alat ukur yang disajikan mengukur hal umum. Hal ini tentu saja tidak dapat memberikan

gambaran mengenai dampak dari pelatihan.

Page 161: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

157

Dari penelitian ini, juga tampak adanya keinginan yang besar dari para guru untuk

mengembangkan kompetensinya melalui pelatihan, terutama dari guru-guru yang berada di daerah,

dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK. Hal ini sangat penting mengingat kompetensi adalah

kemampuan untuk menampilkan tugas dan peran yang dibutuhkan dengan standar tertentu (Erraut,

1998). Melalui pelatihan diharapkan standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh seorang guru

dapat dicapai. Apabila standar minimal ini tercapai, maka diharapkan guru dapat mengajar dengan baik.

Dari jawaban responden, ada kesan pelatihan yang diberikan tidak bekesinambungan, sehingga

peserta mengalami sedikit kebingungan. Pelatihan guru seharusnya bersifat konsisten, berkelanjutan

dan berfokus pada belajar siswa, serta dapat mendukung karir guru (Wong, 2005). Kemungkinan besar,

peserta pelatihan yang mengikuti modul-modul yang disajikan tidak mengikuti modul-modul tersebut

secara berurutan. Namun demikian, secara umum mereka mengungkapkan kepuasan mereka terhadap

pelaksanaan pelatihan yang ada. Akan tetapi, program pelatihan yang baik perlu memperhatikan

beberapa hal, sebagaimana dikemukakan oleh Dagenais (dalam Trenta, dkk, 2004) yaitu harus

menyediakan informasi mengenai lingkup program yang jelas, pemilihan pelatih yang baik dan sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan, menyediakan penguat intrinsik dan ekstrinsik untuk mempertahankan

pelatih, menyediakan pelatihan untuk mentor dan melakukan evaluasi keberhasilan program. dari

pelatihan yang ada, beberapa pelatih merupakan guru yang senior yang mungkin sudah mendapatkan

pelatihan yang memadai untuk menjadi pelatih, namun mungkin juga belum mendapatkan pelatihan

yang memadai. Untuk itu memang faktor pelatih juga patut menjadi perhatian.

Dari poin-poin di atas, tampak adanya keinginan yang besar dari para guru untuk

mengembangkan kompetensinya, terutama dari guru-guru yang berada di daerah. Meskipun demikian

perlu pula dilakukan peningkatan terutama dari segi pelaksanaannya, misalnya berkaitan dengan

pengungkapan tujuan pelatihan yang lebih jelas serta materi ajar yang lebih mendalam dalam

pembahasan.

Dari observasi ketika mengambil data, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan karena

dapat berdampak pada hasil penelitian secara keseluruhan, antara lain: Waktu pengisian kuesioner yang

terbatas, membuat beberapa peserta tergesa-gesa ketika mengisinya. Materi yang diujikan untuk mata

pelajaran tidak sesuai dengan apa yang dilatihkan. Materi yang diujikan dari segi akademik, lebih

bersifat umum. Waktu yang tersedia untuk mengisi kuesioner terkadang kurang tepat, misalnya ketika

peserta ingin pulang lebih cepat, karena jadwal pelatihan telah selesai. Tempat pengambilan data yang

kurang ideal, sehingga banyak responden yang menyontek.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan mengenai pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP dan P4TK,

dapat disimpulkan bahwa pelatihan KKG/MGMP, terjadi peningkatan signifikan pada potetensi

Akademik Matematika, kompetensi Kepribadian, dan teaching Etfficacy. Pelatihan yang dilaksanakan

oleh P4TK, terjadi pada kompetensi Akademik Matematika, sikap terhadap mengajar, dan Teaching

Efficacy. Penurunan skor secara signifikan terjadi pada beberapa aspek dan hanya terjadi pada pelatihan

yang dilaksanakan oleh P4TK, yaitu pada aspek: Kompetensi Akademik Fisika, Kompetensi

Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Pedagogik. Sedangkan dari data baseline ketika pretes,

pada kedua kelompok, ada beberapa aspek yang berbeda secara signifikan, yaitu pada Matematika,

Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kepuasan Kerja, Sikap Mengajar, Teaching

Efficacy.

Sedangkan apabila dilihat dari lamanya dan bentuk materi yang diberikan terdapat perbedaan,

dimana pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP lamanya hanya 2 hari sedangkan pelatihan yang

dilaksanakan oleh P4TK lamanya satu minggu hingga dua minggu. Di samping itu, program pendidikan

dan latihan yang diberikan oleh P4TK di pusat maupun di daerah berbeda-beda. Hal ini dikarenakan

Page 162: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

158

pelatihan yang diberikan di daerah memanfaatkan prinsip kerjasama atau kemitraan, sehingga ada

beberapa hal yang diubah, disesuaikan dengan mitra yang diajak kerjasama. Dilihat dari materi

pelatihan yang diberikan pun terdapat perbedaan yang mencolok, dimana pelatihan yang diberikan oleh

P4TK dilakukan pendalaman materi yang cukup banyak, sedangkan pada pelatihan yang diberikan oleh

KKG/MGMP, hanya diberikan satu materi yang sangat fokus yaitu cara pembuatan silabus KTSP.

Mengenai pelatih, peneliti kurang mendapatkan informasi yang jelas, akan tetapi beberapa sesi

diberikan oleh guru yang senior.

DAFTAR PUSTAKA

Abidah, L. (2008). Pengaruh intensitas pelatihan guru terhadap peningkatan kompetensi mengajar di

kelompok kerja guru pendidikan agama islam kecamatan Rungkut Surabaya. (Skripsi). Surabaya:

IAIN Tarbiyah

Adediwura, A. A., & Tayo, B. (2007). Perception of teachers’ knowledge, attitude and teaching skills

as predictor of academic performance in Nigerian secondary schools. Educational Research and

Review. 2 (7), pp. 165-171

Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionlisme Guru, Pikiran Rakyat (Online) Oktober, 2002, dalam

http://www.pikiranrakyat.com, diambil pada 6 Maret 2008.

Ahmadi, A. (2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Arches, J. (1991). Social structure, burnout, and job satisfaction. Social Work, 36 (3), 202-206

Balzer, W. K., Kihm, J. A., Smith, P. C., Irwin, J. L., Bachiochi, P. D., & Robie, C., et al. (1997).

User’s manual for the job descriptive index and the job general scales. Bowling Green, OH:

Bowling Green State University.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.

Baron, D. & Thompson-Grove, G. (2008). Imagine: Professional Development That Changes Practice.

Principal Leadership. 8 (5). 56-58

Barros, S. d. S., & Elia, M. F. (1987). Physics teacher's attitudes: how do they affect the reality of the

classroom and models for change?. Dalam www. Physics.ohio-state.edu/joussem/ICPE/D2.html.

Diambil pada 6 Maret 2008.

Bates, R. (2004). A critical analysis of evaluation practice: the Kirkpatrick model and the principle of

beneficence. Evaluation and Program Planning. 27. 341–347

Bennett, K. P. & LeCompte, M.D.(1990). The Way Schools Work. New York: Longman Press.

Borich, G. (2000). Effective Teaching Methods, (4 th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall, Inc.

Botung, H,S,H. (2008) Tujuan, manfaat, dan kewenangan kelompok kerja guru (kkg), dalam

http://ucokhsb.blogspot.com/2008/04/tujuan-manfaat-dan-kewenangan-kkg.html

Bowman, R.F. (2005). Teacher as Servant Leader. The Clearing House. Vol. 78 (6). 257-259

Cruickshank, D. R., Jenkins, D. B., & Metcalf, K. K. (2003). The act of teaching. New York, NY:

McGraw-Hill.

Dessler, G. & Tan, Chwee Huat. (2005). Human Resource Management: An Asian Perspective.

Singapore: Pearson-Prentice Hall.

Di Perna, J. C., & Elliot, S. N. (2000). Academic Competence Evaluation Scales. San Antonio, TX:

The Psychological Corporation

Di Perna, J. C., & Elliot, , S. N. (2001). Academic Intervention Monitoring System. San Antonio, TX:

The Psychological Corporation

Drost, J.I.G.M. (2005). Dari KBK (kurikulum bertujuan kompetensi) sampai MBS (manajemen berbasis

sekolah) : esai-esai pendidikan. Jakarta: Penerbit KOMPAS

Edmonds, R.R. (1979). Effective schools for the urban poor. Educational Leadership. 37(1), 20-24

Erdem, E., & Demirel, O. (2007). Teacher self efficacy belief. Social Behavior and Personality, 35(5),

573-586. retrieved March 27, 2008 from APA journal online.

Epstein, RM & Hundert, EM; Defining and assessing professional competence. JAMA; 287(2): 226-

235.

Eraut, M. (1998). Concepts of competence. Journal of Interprofessional Care, 12(2):127-139.

Page 163: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

159

Eseryel, D. (2002). Approaches to evaluation of training: Theory and practice. Educational Technology

& Society 5 (2).

Follows, J. (1991). Strength, weaknesses and lesssons of Japanese education. The Educational Digest.

57 (2). 55-59.

French, W. L. (1982). The personnel management process: Human resources adminis-

tration and management. Boston: Houghton Mifflin Company

Helterbran, V.R. (2008). The professionalism: Teachers taking the reins. The Clearing House. 81 (3).

123-127.

Holli, B., & Calabrese, R. (1998). Communication and education skills for dietetics professionals (3rd

ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Houghton & Mifflin, American Heritage Dictionary, 4th ed

Kennedy, M. M. (2006). From Teacher Quality to Quality Teaching. Educational Leadership, 63 (6).

14-19.

Laird, D. (2003). Approaches to training and development. New York: Basic Books.

Mastuhu (2004). Menata Ulang Pemikiran, sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21. Yogyakarta:

Magister Penelitian Islam UII dengan Safiria Insania Press.

Phillips, J. (1991). Handbook of training evaluation and measurement methods (2nd ed.). Houston:

Gulf Publishing Company.

Rice, J. K. (2003). Teacher quality: Understanding the effectiveness of teacher attributes. Washington,

D.C.: Economic Policy Institute.

Ryan, K., & Cooper, J.M. (1984). Those who can teach. Boston: Houghton Mifflin Co.

Sadker, M., & Sadker, D. (1991). Teachers, Schools and Society. New York: Mc Graw Hills Co.

Sammons, P., Hillman, J. & Mortimore, P. (1995) Key characteristics of effective schools: A review of

school effectiveness research. Laporan oleh The Institute of Education for the Office for Standards

in Education

Skaalvik, E.M., & Skaalvik, S. (2007). Dimensions of teacher self efficacy and relations with strain

factors, perceived collective teacher efficacy, and teacher burnout. Journal of Educational

Psychology, 90(3), 611-625.

Schalock, R. (2001). Outcome based evaluations (2nd ed.). Boston: Kluwer Academic/Plenum.

Tan, Chwee Huat dan Torrington, D. (2004). Human Resource Management in Asia (3rd Ed.).

Singapore: Pearson-Prentice Hall.

Trenta, L., Newman, I., Newman, C., Salzman, J., Lenigan, D., & Newman, D. (2005). Integrating

Mixed Methods and Stakeholders Participation in the Evaluation of a Teacher Induction Program.

International Electronic Journal For Leadership in Learning. 8 (3)

Tziner, A. E., & Vardi Y. (1984). Work satisfaction and absenteeism among social workers: The role

of altruistic values. Work and Occupations, 11 (4), 461-470

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen

Ursano, A.M., Kartheiser. P.H., Ursano, R. J. (2007) The Teaching Alliance: A Perspective on the

Good Teacher and Effective Learning. Psychiatry. New York. 70(3). 187-194.

Wong, H., Britton, T., & Ganser, T. (2005). What the world can teach us about new teacher induction.,

diambil 6 Maret 2008 dari www.herdsa.org.au/branches,.

Wong, H. (2005). New teacher induction: The foundation for comprehensive, coherent, and sustained

professional development. Diambil 6 Maret 2008, dari www.herdsa.org.au/branches

Wong, K., Britton, T., & Gasner, T. (2005). What the world can teach us about new teacher induction.

Diambil 6 Maret 2008 dari www.newteacher.com/ppapers

Page 164: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

160

Tabel 3. Kisi-kisi masing-masing alat ukur

No. Variabel Indikator

1 Kompetensi Akademik Sesuai mata pelajarannya

2 Kompetensi Kepribadian Bertindak sesuai norma agama, hukum

Menampilkan sebagai pribadi yang jujur

Menampilkan sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa

Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab, percaya diri

Menjunjung tinggi kode etik profesi guru

3 Kompetensi Sosial Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif

Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun

Beradaptasi di tempat tugas

Dapat berkomunikasi dengan komunitas profesi dan profesi lain

4 Kompetensi Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral,

spiritual, sosial, kultural, emosional dan intelektual

Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang

mendidik

Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran

yang diampu

Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik

Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk

kepentingan pembelajaran

Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki

Berkomunikasi secara efektif, dan santun dengan peserta didik

Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil

belajar

Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

pembelajaran

Melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran

5 Kepuasan Kerja Kepuasan terhadap pekerjaan

Kepuasan terhadap gaji

Kepuasan terhadap kesempatan promosi

Kepuasan terhadap supervise

Kepuasan terhadap rekan kerja

Page 165: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

161

6 Sikap Mengajar Pemahaman Konseptual

Pemberi Informasi

Teori dan Praktek

Inovasi dan pembelajarannya

Metode interaksi

Kondisi lain

Kepercayaan guru

7 Teaching Efficacy Instruksi

Menyesuaikan pengajaran

Memotivasi siswa

Penerapan disiplin

Bekerjasama dengan kolega dan orangtua

Menghadapi perubahan dan tantangan

Page 166: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

162

PARAMETER ESTIMATION AND EQUATING METHOD

ON SMALL SAMPLE SIZE BASED ON ITEM RESPONSE THEORY

Wardani Rahayu1

1Jakarta State University

[email protected]

Abstract

The purpose of this study is to determine the accuracy of parameter estimation method

of item parameter and equating method on small sample size based on Item Response

Theory. Parameter estimation methods used are Joint Maximum Likelihood estimation

and Bayesian estimation method, equating method using Mean and Sigma and Robust

Mean and Sigma method. Estimated parameter using two parameter logistic model on

small sample size of 300. Data Source using junior high school National Math Exam

in 2011 data. Accuracy of parameter estimation and equating method can be seen from

Root Mean Square Error (RMSE). The results of this study is the same equating method

generate the same accuracy between Joint Maximum Likelihood and Bayesian method,

while at the same parameter estimation method, resulting different accuracy between

and Mean and Sigma and Robust Mean and Sigma methods.

Keywords: parameter estimation method, equating method, small sample size, RMSE

INTRODUCTION

The National Exam is competence achievement measurement activity of students that performed

at the end of a national education unit. Preparation of the test items were performed by Central

Government and Local Government based on exam outline developed by Ministry of Education and

Culture of Indonesia. The exam outline is drafted based on standard of education graduate competency

as per educational unit level.

National Exam of mathematics subject in 2011 using five-packets and in 2013 using different

twenty packages containing different exam items with several items coupled. These items is created

based on the same exam outline to produce about five different packages for one class in 2012 and about

twenty different exam item package in 2013. Items on National Exam only measure the cognitive

abilities of students and do not measure psychomotor and affective abilities.

Question package developed by Ministry of Education and Culture of Indonesia. for National

Examination on Mathematics expected equal. The Equality is item difficulty between each item on the

same package. Therefore it is important to validate the contents of the National Examination by

mathematics material and mathematics education experts to determine the suitability of items with

indicator, language, item construction, the truth of material and item equality.

The equality according to judgment of mathematics material and mathematics education expert

can not directly be used when comparing the results of national exam between group of students from

two different packages. Therefore, it is necessary to equalize the score of student’s response. There are

three kinds of score equivalency are equating, concordance and pediction (Doran, 2004: 207). Equating

is used to equalize the score between different packages that measure about the same constructs.

Equating can be used with the approach of classical test theory and response item theory. Equalization

using classical test theory include linear, parallel linear and chi-percentile methods (Brennan and Kolen,

2004), whereas the items response theory are Mean and Sigma, Robust Mean and Sigma, characteristic

curve and chi-square minimum method (Seock and Kim, 1992).

Equating based on item response theory using Mean and Sigma, and Robust Mean and Sigma

involves difficult items level. Lord provide linear transformation equations to respondent's ability

parameters. Respondent's ability parameters of the two groups likened the scale with two parameter

Page 167: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

163

logistic model (L2P) using formula *

2 2j jA K (Kolen and Brenan, 1995), the A coefficient

obtained from the comparison between the standard deviation of difficult items of first group and second

group, K coefficient is obtained from difference between average level of item difficulty of the first

group and multiplying A with the average item difficulty of second group. The results of respondent's

parameter equating is influenced by A and K value, while A and K value influenced by item difficulty

value of the two groups.

Determination of respondent’s ability parameter value and level of item difficulty in the

estimation of measurement is called parameter estimation. There are three methods to estimate the

respondent’s parameter are Joint Likelihood maksimum (Ayalo, 2009: 39-40, Naga, 2012: 480,

Hambleton and Swaminathan, 1990: 129-132) dan metode Bayesian (Hambleton and Swaminathan,

1990: 91-95; Naga, 2012: 480). The estimation results of the respondent’s ability is also influenced by

the size of sample. The larger sample size the more accurate respondent’s ability estimation. In the

study will be limited to a small sample size and the problems that arise if the item parameter estimation

is done by a different estimation methods and the types of equating methods and items estimation

method is most accurate at small sample size.

LITERATURE REVIEW

1. Equating

Item parameters of second group is equated in scale with the item parameter of first group through

a linear transformation with two-parameter logistic model (L2P). Linear transformation formula for the

ability of the respondent (Cohen and Seock Kim, 1998:132) is *

2 1j jA K ………………(1)

* stated value of transformation, so the parameter estimation of respondent’s ability to-j from first group

to second group

a. Mean and Sigma Method

Marco stated the mean and sigma method (RS) for the test in the form of dichotomy (Kolen and Brenan,

1995:168). This method uses the mean and standard deviation of the estimated degree of item difficulty

to two groups of respondent. Determine the A and K coefficients on equation (1) using the formula

2 1b bK A and 1

2

b

b

A

(Hambleton and Swaminathan, 1990: 207).

b. Robust Mean and Sigma Method

This method using mean and standard deviation of the estimated item item difficulty of the two groups

of respondent. Determine A and K coefficient in equation (1) using formula

w wR Fb b

K A , and wR

wF

b

b

A

with * w

jF j jFb w b and * w

jR j jRb w b , *

1

j

j n

i

i

ww

w

,

1 2

2 2 1[ { , }]j jj b bw maks (Hambleton and Swaminathan, 1990: 209)

2. Parameter Estimation Method

a. Joint Maximum Likelihood Estimation

Likelihood maximum estimation with respondent’s ability Likelihood function is needed.

Likelihood function for respondent with ability is

1 2 3( , , ,..., | )nL X X X X = 1

1

( ) ( )j j

nX X

j j

j

P Q

…………(2)

Page 168: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

164

Logarithm of the likelihood function (2) is

ln 1 2 3( , , ,..., | )nL X X X X = ln 1

1

( ) ( )j j

nX X

j j

j

P Q

ln 1 2 3( , , ,..., | )nL X X X X = 1

ln ( ) (1 )ln ( )n

j j j j

j

X P X Q

Maximum likelihood can be obtained by

1 2 3ln ( , , ,..., | ) 0n

dL X X X X

d

b. Bayesian Estimation

In Bayesian procedure it can be assumed that the distribution of the respondent' ability standard

normal distribution is (0,1)N or density function21

2( )f e

.

If the initial respondent’s ability is independent then the posterior distribution is

2

1 2

1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 2 3 1 2 3

1 1

2 21 2 3

( , , ,..., | ) ( | , , ,..., ) ( , , ,..., )

( | , , ,..., ). ( ). ( ). ( )... ( )

( | , , ,..., ). .

N N N

N N

N

f X L X f

L X f f f f

L X e e

2 2 2

3

2

1

1 1

2 2

1

2

1 2 3

. ....

( | , , ,..., ). ........................(3)

N

N

j

j

N

e e

L X e

Logarithm of the likelihood function (3) is

2

1 2 3 1 2 3

1

1ln ( , , ,..., | ) ln ( | , , ,..., )

2

N

N N j

j

f X C L X

, C Constanta ….. (4)

Solution of equation (4) is bayes’s modal estimation 1 2 3, , ,..., N can be obtained by

1 2 3ln ( , , ,..., | ) 0 , 1, 2, ...,N

j

f X j N

…………………………… (5)

3. Root Standard Measurement Error (RSME)

The accuracy of equating method and estimation method can be seen from RMSE, the smaller RMSE,

the more accurate tested equating method and estimation method. RSME or RMSD is determined by

using the following formula

2

1( )

n

i i

jRMSE

n

with N = sample size

i = respondent’s ability to-i after synchronized

i = respondent’s ability to-i before synchronized

RESEARCH METHOD

The method used is experimental method. The data used in this research is score of National

Math Exam for Junior High School in 2011 on A17 and B29 package for Jakarta area. Score of student’s

work in the form of option A, B, C, D, and E. The length of test device mathematics for Junior High

School is 40. Dimension of samples used in this study is 300 and named the small sample size. Equating

method used is Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma method. The estimation method

used is Joint Maximum Likelihood and Bayesian

Page 169: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

165

Table 1. Design of Estimation Parameter Research and Equating Method

on Small Sample Size

Joint Maximum Likelihood Estimation

(A1)

Bayesian Estimation

(A2)

Mean and Sigma

(B1)

Robust Mean and

Sigma (B2)

Mean and Sigma

(B1)

Robust Mean and

Sigma (B2)

Y 1.1.1

Y 1.1.1

.

.

.

Y1.1.30

Y 1.2.1

Y 1.2.1

.

.

.

Y1.2.30

Y 2.1.1

Y 2.1.1

.

.

.

Y2.1.30

Y 2.2.1

Y 2.2.1

.

.

.

Y2.2.30

A1B1: equating group with Mean and Sigma method using Joint Maximum Likelihood method

A1B2: equating group with Mean and Sigma method using Bayesian method

A2B1: equating group with Robust Mean and Sigma method using Joint Maximum Likelihood

method

A2B2: equating group with Robust Mean and Sigma method using Bayesian method

The procedures of this study are:

1) determine the fit model items to the two-parameter logistic model (L2P),

2) randomized take scores of 300 respondent for the first group and second group, each performed 30

times replication

3) to estimate respondent’s ability and item difficulty and item discrimination index using Joint

Maximum Likelihood and Bayesian Estimation.

4) determining A and K value using RS and TRS

5) perform item parameters equating

6) calculate RSME and RSME average value of each replication

7) hypothesis testing

The analysis were conducted in this study are (1) comparing RSME in A1B1 and A1B2, (2)

comparing RSME in group A2B1 and A2B2, (3) comparing RSME in group A1B1 and A2B1 and (4)

comparing RSME in group A1B2 and A2B2.

RESULTS 1. Data Description

Figure 1 shows the distribution of RMSE average from 30 replication in group A2B2 is more

homogenous than group A1B1, A1B2 and A2B1.Distribution of RMSE average of A2B1is more

homogeneous than A1B1 and A1B2. Distribution of RMSE average of A1B2 is more homogeneous than

A1B1. Distribution of A1B1 and A1B2 is positive. This means that RMSE average of group A1B1 and

A2B1 group assembled at low value. Based on exploration data from Figure 1, its shown that the A1B1

RMSE average is not different with A1B2, A2B1 RMSE average is not different with A2B2, while A1B1

RMSE average is greater than A2B1, A1B2 RMSE average is greater than A2B2.

Figure 1. Boxplot of RSME Average from 30 replication

Page 170: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

166

Research Result

Variance homogeneity test results obtained by the variance of RMSE average of A1B1 and A1B2

is not different, variants of RMSE average of A2B1 and A2B2 is not different, while variants of RMSE

average of A1B1 and A2B1, variants of RMSE average of A1B2 and A2B2 is different then testing

comparison of RSME average of A1B1 and A1B2, A2B1 and A2B2 using the t test, while testing

comparison of RSME average of A1B1 and A2B1, RMSE average of A1B2 and A2B2 using non-

parametric statistics.

Testing result of RMSE average of A1B1 and A1B2 is obtained sig. Value of 0.344 > 0.05, A2B1

and A2B2 RMSE average is obtained sig. Value of 0.2545 > 0.05 then concluded RMSE of A1B1 and

A1B2 is not different and RMSE of A2B1 and A2B2 is not different too. Th Testing result of RMSE

average of A1B1 and A2B1 as well as A1B2 and A2B2 obtained sig. 0.00 > 0.05. By comparing the average

values in Table 1 it may concluded RSME of A1B1 is lower than RMSE of A1B2 and RMSE of A2B2 is

lower than RMSE of A2B1.

Table 2. RSME Average of Group A1B1, A2B1 A2B1 and A2B2

Group RMSE Average

A1B1 0,03450

A1B2 0,03740

A2B1 0,00956

A2B2 0,00844

DISCUSSION

The accuracy of equating method and estimation method can be seen by RMSE, the smaller the

RMSE, the more accurate equating and estimation method that became the independent variables in

this study. The test results using the t test states RSME of group A1B1 is not different with RSME of

group A1B2 and RSME of group A2B1 is not different with RSME of group A2B2, so it can be stated

that (1) on the small sample size and Mean and Sigma equating method, the accuracy of parameter

estimation using joint maximum likelihood method similar to the Bayesian method, (2) on the small

sample size and Robust Mean and Sigma equating method, the accuracy of parameter estimation using

joint maximum likelihood method similar to the Bayesian method.

Test results using a non-parametric statistics obtained lower RSME of A1B1 and A2B1 RMSE RMSE

a2b2 lower than RMSE A2B1, we conclude (1) the small sample size and parameter estimation using

joint maximum likelihood method, method of equating Robust Mean and Sigma is more accurate than

Mean and Sigma method, (2) the small sample size and parameter estimation using Bayesian methods,

equating method Robust Mean and Sigma is more accurate than the mean and sigma method.

The test results using non-parametric statistics obtained that RSME of A1B1 is lower than RMSE

of A2B1 and RMSE of A2B2 is lower than RMSE of A2B1 we may conclude (1) on small sample size

and parameter estimation using joint maximum likelihood method, equating method of Robust Mean

and Sigma is more accurate than Mean and Sigma method, (2) on small sample size and parameter

estimation using Bayesian method, equating method of Robust Mean and Sigma is more accurate than

Mean and Sigma method.

This result indicate in the same equating method produce the same accuracy between the joint

maximum likelihood method and Bayesian method, while at the same parameter estimation method,

which produces a different accuracy Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and

Sigma. RSME difference depends on the accuracy of the equating method due to the RSME calculation

using estimation of respondent’s ability after and before synchronized using joint maximum likelihood

and Bayesian method.

In the Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma method uses mean and standard

deviation of the estimation of item difficulty to two groups of respondent. Equating difference between

Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma lies in the A and K coefficient. In the Mean and

Sigma method, the A coefficient is obtained from the comparison between the standard deviation of

Page 171: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

167

item difficulty of the two groups, while K coefficient is obtained from the difference in the mean of

item difficulty of second group, and multiplication A with mean of item difficulty of first group.

On Robust Mean and Sigma method A coefficients is obtained from the comparison between standard

deviation of scored item difficulty of the two groups, while K coefficient is obtained from mean

difference of scored item difficulty of the second group and multiplication A by scored item difficulty

of first group. weighted item difficulty of first group and second group in item to-j obtained from the

multiplication difficulty with the score scale. The score scale item to-j *

1

j

j n

i

i

ww

w

with wj is inverse

value of the largest variance of item difficulty to-j to the first and second group.

Thus the score scale to-j has a value between 0 and 1 so that scored item difficulty less than

value of non-scored item difficulty. Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and

Sigma method, when item difficulty is estimated by Bayesian and joint maximum likelihood method

because the problems found in Mean and Sigma method does not consider the estimation of item

parameter with different accuracy degree (Hambleton, Swaminathan and Rogers, 1991: 132).

CONCLUSION

At the same equating method generate the same accuracy between joint maximum likelihood

method and Bayesian method and at the same parameter estimation method generate, equating with

Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and Sigma method.

REFERENCES

Ayalo, R. J. De, The Theory and Practice of Item Response Theory. New York, The Guilford Press,

2009

Cohen, Allan S. dan Seock-Ho Kim. Comparison of Linking and Concurenrent Calibration Under Item

Rersponse Theory. Journal Applied Psychological Measurement. Vol 22 No 2 Juni 1998.

Hambleton, Ronald K and Hariharan Swaminathan, Item Response Theory Principles and Aplication.

Boston: Kluwer.Nijhooff Publishing, 1990

Hambleton, Ronald K, H Swaminathan,dan H Jane Rogers. Fundamentals of Item Response Theory.

London : Sage Publications, 1991

Kolen, Michael and Robert L Brenan, Test Equating. New York: Springer, 1995.

Naga, Dali Santun. Teori Sekor Pada Pengukuran Mental. Jakarta, Nagarani Citrayasa, 2012.

Page 172: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

168

PERILAKU GREEN CONSUMERISM MAHASISWA DALAM KAITANNYA DENGAN

PEMAHAMAN KONSEP EKOPEDAGOGIK

Suwirman Nuryadin1

1Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) Program

Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini mencoba mengungkapkan apakah melalui kurikulum yang ada, sudah

terbentuk konsep ekopedagogik pada alumni dan mahasiswa, sehingga mereka memiliki

perilaku yang berbasis “green consumerism”. Dan apakah terdapat hubungan antara

pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku “green consumerism”.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah survey.

Educational for Sustainable Development (ESD) adalah merupakan suatu konsep

yang sejalan dengan konsep ekopedagogik. Bila ESD dipandang sebagai suatu sasaran atau

tujuan, maka ekopedagogik bisa dipandang sebagai suatu pendekatan dalam mencapai

sasaran tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa terhadap tiga aspek

konsep ekopedagogik adalah sebagai berikut: 57% mahasiswa memahami konsep

ekoliterasi teknis, 39% memahami kosep ekoliterasi budaya dan 27% memamami konsep

ekoliterasi kritis. Perilaku “green consumerism”, lebih ditandai oleh indikator “menilai”

terhadap proses pembuatan barang (produk) dan agent-agent penyalur (distributor) barang

tersebut. Sedangkan perilaku “green consumerism” terhadap jenis produk dan produsen

lebih ditandai oleh indicator “menerima”. Dan tidak terdapat hubungan yang siknifikan

antara pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku “green consumerism”.

Kata Kunci: ekopedagogik, green consumerism; educational for sustainable development

Abstract

This research tries to reveal if through aught curriculum, was formed

ecopedagogic's concept on collegiate and college student, so they have behavior that get

basis green consumerism. And what exists relationship among understanding to

ecopedagogic's concept with green consumerism behavioral. Observational methodology

that is utilized is survey.

Educational for Sustainable Development (ESD) are constitute an in line with

concept ecopedagogic's concept. If ESD is viewed as a target or to the effect, therefore

ecopedagogic can be viewed as an approaching in achieving that target.

Result observation link to point out that college student grasp to three

ecopedagogic's concept aspect is as follows: 57% college student understands ecoliterasi's

technical concepts, 39% understands ecoliterasi's cultures concept and 27% understand

ecoliterasi's critical concepts. Green consumerism behavior more marked by indicator to

assesses to process goods makings and dealer agent (distributor) those goods. Meanwhile

green consumerism behavior to product type and producers to be marked by indicator to

accepts. And there is no relationship that significant among understanding to

ecopedagogic's concept with green consumerism behavior.

Keywords: eco pedagogic; green consumerism; educational for sustainable development

Page 173: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

169

PENDAHULUAN

Misi program studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) antara lain

adalah: 1) melakukan pembinaan dalam rangka menghasilkan tenaga kependidikan yang memiliki ciri

keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, bermoral luhur, menunjang

kode etik profesi serta kebanggaan dan kecintaan kepada almamaternya dan 2) menyelenggarakan

kegiatan pendidikan yang dapat menghasilkan kemampuan dalam mengembangkan konsep baru di

dalam bidang ilmu dan profesi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, melalui pendidikan,

penelitian, dan pendekatan interdisipliner.

Dari visi dan misi sedemikian maka ada empat profil lulusan Program Studi PKLH yaitu: profil

dasar, profil pendidik, profil peneliti dan profil peneliti. Khusus dari profil pendidik, maka alumni

program studi PKLH diharapkan bisa diwujudkan menjadi seorang pendidik yang perilakunya

(pengetahuan, sikap dan keterampilan) selalu berorientasi kepada nilai-nilai dan masalah-masalah

kependudukan dan lingkungan hidup atau pendidik yang memiliki prilaku ekopedagogik. Perilaku

ekopedagogik hanya dapat terbentuk jika materi perkuliahan yang disusun dan disampaikan sesuai

dengan tujuan tersebut.

Menurut Stefan Krasimirov Grigonov dan Reinaldo Martias Fleuri (2012) ecopedagogik adalah

suatu pendidikan dalam perpektif interkultural guna membentuk eko-sosial yang baru. Menurut mereka

ekopedagogik bertujuan mencari dan menemukan kemungkinan untuk menciptakan masyarakat yang

berkelanjutan yang baru secara ekologis (new ecologically sustainable civilization atau new eco-social

civilization) dan menjadikannya sebagai dasar rekonstruksi sistem pendidikan dunia yang democratis.

Marcus (19680) melansir satu konsep “one-dimensional man” (manusia satu dimensi), yang

hidup mereka diorganisir oleh mass media sehingga mereka hidup di atas kebutuhan yang salah (false

needs). Kebutuhan-kebutuhan itu adalah kebutuhan yang dibuat oleh mass media, yang diciptakan oleh

informasi mass media, agar mereka membeli produk-produk yang sebenarnya tidak akan pernah mereka

beli jika tidak diinformasikan kepada mereka. Lebih jauh lagi, dalam era globalisasi sekarang kita

melihat fenomena tersebut, masyarakat satu-dimensi hidup dengan pola over konsumsi (over-

consumerism); yakni masyarakat yang hidup dalam dunia penuh resiko yang diciptakan pasar tanpa

tanggungjawab dan tanpa hukum (market irresponsibility and impunity). Masyarakat hidup dimana

profit menjadi lebih penting bagi masyarakat kelas ekonomi atas, sedang resiko lingkungan menjadi

bagian masyarakat kelas ekonomi bawah.

Perilaku konsumeris hijau (green consumerism), adalah merupakan pola tingkah laku yang ingin

diciptakan kembali sebagai upaya membalikkan keadaan yang telah terlanjur buruk, yaitu perilaku over-

consumerism yang sangat beresiko.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka masalah penelitian sebagai berikut: apakah kurikulum

Program Studi PKLH PPs UNJ, telah berhasi berhasil membentuk perilaku “green consumerism” pada

mahasiswanya atau lulusannya.? Apakah kurikulum PKLH telah mempertimbangkan konsep

ekopedagogik dalam kegiatan atau proses pembelajarannya, sehingga berdampak pada perilaku

mahasiswa atau lulusannya. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a.Untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep ekopedagogik.

b. Untuk mengetahui perilaku ”green consumerism” mahasiswa program studi PKLH

UNJ dalam kaitannya dengan konsep ekopedagogik.

Manfaat penelitian ini adalah agar dosen yang mengajar mata kuliah PKLH dapat

mengembangkan materi pembelajaran yang lebih sesuai dengan konsep ekopedagogik. Selain itu agar

para berbagai kalangan yang mempunyai perhatian terhadap pendidikan kependudukan dan lingkungan

hidup memperoleh gambaran bagaimana kesiapan mahasiswa dalam mengantisipasi pembentukan

perilaku “green consumerism”

KAJIAN PUSTAKA

A. Pendidikan lingkungan

Menurut William B. Stapp, et al., pendidikan lingkungan di arahkan untuk menghasilkan warga atau

penduduk yang dapat memahami lingkungan biofisik dan masalah-masalah yang timbul yang

dihubungkan dengan lingkungan biofisik tersebut, sadar bagaimana caranya menolong atau

Page 174: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

170

menyelesaikan masalah tersebut, dan termotivasi untuk bekerja atau bertindak ke arah solusi yang

mereka pilih. (Environmental education is aimed at producing a citizenry that is knowledgeable

concerning the biophysical environment and its associated problems, aware of how to help solve these

problems, and motivated to work toward their solution).

Secara umum tujuan pendidikan lingkungan yang pertama adalah untuk membantu setiap

individu: Memahami secara jelas bahwa manusia adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

suatu system; yaitu suatu system yang terdiri dari manusia, budaya, dan lingkungan biofisik; dan bahwa

manusia memiliki kemampuan untuk mengubah hubungan timbal-balik (interrelationships) dari sistem

tersebut. Manusia adalah bahagian yang tidak terpisahkan (bahagian yang integral) dari system. Oleh

sebab itulah maka system disebut terdiri dari komponen-komponen manusia, budaya dan lingkungan

biofisik.

Budaya (culture) dalam kontek ini adalah merupakan: gabungan organisasional yang strategis,

proses-proses teknologik dan pengaturan-pengaturan social (missal politik, hokum, manajerial,

pendidikan dll), dimana melalui hal-hal tersebut berinteraksi dengan lingkungan biofisik. Sedangkan

lingkungan biofisik dapat berupa sumber daya lam yang natural dan komponen-komponen yang

merupakan buatan manusia.

Tujuan yang kedua adalah untuk memahami secara luas lingkungan biofisik, alam dan buatan

manusia, dan perannya dalam masyarakat kontemporer. Setiap masyarakat sangat tergantung pada

sumber daya alam. Sumber daya alam mencakup karakteristiknya, distribusi, status, interrelasi, dan

ketersediaan serta potensi penggunaannya. Pemahaman terhadap sumber daya alam, bagaimana sumber

tersebut digunakan menuntut pengetahuan social, politik, ekonomi, proses teknologi, pengaturan secara

institusional dan bahan pertimbangan estetik antara pemerintah dan masyarakat.

Problema lingkungan biofisik adalah akibat interaksi antara mansuia, budaya dan lingkungan biofisi.

Oleh sebab itu tujuan ketiga pendidikan lingkungan adalah, agar setiap warga memiliki pemahaman

yang mendasar terhadap problema lingkungan biofisik, sehingga menjadi tugas mereka untuk mencari

cara-cara pemecahannya, akhirnya menjadi tanggungjawab setiap warga dan pemerintah untuk

mengerjakan cara-cara pemecahan tersebut.

Tujuan yang keempat adalah agar terbentuk sikap kepedulian setiap warga terhadap kualitas

lingkungan biofisik, sehingga memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam mencari dan melakukan

pemecahanan masalah lingkungan hidup. Salah satu yang terpenting yang selalu melekat pada setiap

individu adalah adanya atau terbentuknya sikap dan perilaku green consumerism.

B. Perilaku Green Consumerism

Green Consumerism secara definisi adalah: “the situation in which consumers want to buy things that

haven produced in away that protects the natural environment”. Secara bebas terjemahannya adalah

“keadaan dimana konsumen atau pembeli hanya membeli barang-barang yang diproduksi sedemikian

rupa sehingga barang tersebut atau sisa barang tersebut tidak menjadi pencemar lingkungan alamiah.

Secara konseptual istilah “green consumeris” adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat terhadap penggunaan produk-produk pabrik

dan aktivitas-aktivitas mereka sehari-hari, sehingga dapat dipandang sebagai memilki sikap dan

perilaku yang bertanggungjawab terhadap pelestarian lingkungan hidup. Kata “bertanggung jawab”

pada definisi konseptual di atas mengandung makna bahwa para konsumer atau masyarakat pengguna

produk tertentu berupaya untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan

produksi, distribusi, dan penggunaannya, serta sampah yang ditimbulkannya.

Perilaku atau sikap “green consumerism” menunjukkan kepada siapa yang memiliki perilaku

atau sikap sadar lingkungan sehubungan dengan isu-isu lingkungan dan merasa memilliki kewajiban

terhadap lingkungan, serta yang mendukung tindakan tertentu lantaran lingkungan, misalnya beralih

dari satu produk atau penyalur tertentu ke produk atau penyalur lain, jika yang pertama memerlukan

biaya lingkungan lebih tinggi

Mendidik atau membentuk masyarakat agar memiliki sikap dan perilaku “green consumerism”

secara efektif, dapat dilakukan melalui pendidikan dan pembelajaran, baik pendidikan formal, non

formal atau informal. Upaya pembentukan perilaku atau sikap masyarakat agar memiliki cir-ciri paham

green consumerism melalui pendidikan formal adalah dengan memasukan pengetahuan tentang

lingkungan dan isu-isu lingkungan ke dalam kurikulum atau ke dalam setiap materi ajar secara

terintegratif.

Page 175: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

171

Berdasarkan uraian di atas maka didefinisikan perilaku atau sikap green consumerism dalam

penelitian ini adalah: perilaku atau kecenderungan seseorang dalam memilih produk ketika berbelanja

atau ketika mengamati produk tersebut, yang dipengaruhi oleh pemahamannya tentang dampak

lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh produk tersebut.

C. Konsep Ekopedagogik

Istilah ekopedagogik merupakan gabungan dari dua istilah. Yang pertama adalah ekologi (ecology)

yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan

lingkungannya. Dan yang kedua adalah pedagogi (pedagogy) yang berarti ilmu mendidik. Dalam arti

yang lebih luas, istilah ekopedagogik merupakan istilah yang lahir dari perkembangan pedagogik kritis

yang diprakarsai oleh Paolo Freire. Dalam konteks ini, ekopedagogik merupakan sebuah gerakan yang

berorientasi ke masa depan “untuk mengembangkan apresiasi yang kuat tentang potensi kolektif

manusia yang mampu mendorong terciptanya keadilan sosial di seluruh dunia, agar kemudian lahir

kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya ekoliterasi kritis (melek lingkungan secara kritis) bagi

setiap warga dunia”

Ekopedagogik sebagai suatu pemikiran, gerakan, atau suatu pendekatan dalam pendidikan

(seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire, Moacir Gadotti dan Leonardo Boff) mengawali

gagasannya dengan pertanyaan “bagaimana mere-edukasi “warga bumi" agar mereka menjadi lebih

peduli, menghargai dan lebih berupaya melakukan upaya-upaya baru bagi pelestarian lingkungan hidup,

guna kesejahteraan hidup dan kehidupan di muka bumi. Dari konsep ekopedagogik selanjutnya muncul

sejumlah kritik dan pertanyaan terhadap pendidikan dan sistem pendidikan, sebagai berikut:

1) Bagaimana caranya agar kita semua sebagai warga planet ini mampu berpartisipasi dalam

menciptakan satu dunia yang kita inginkan?

2) Seperti apa bentuk pendidikan yang dapat mendorong semua orang sehingga mereka mampu

menghadapi apa yang sedang terjadi di lingkungan?

3) Pendidikan semacam apa yang sungguh-sungguh relevan dengan keadaan pada hari ini, sesuai

dengan keadaan kemasyarakatan kita saat ini dan sesuai dengan kerawanan ekologis yang terjadi?

4) Dan bagaimana bentuk pendidikan lingkungan tradisional yang ternyata tidak relevan lagi dengan

keadaan saat ini?

Itulah beberapa pertanyaan yang muncul dalam konsep ecopedagogy, yang ingin diupayakan

jawabannya?

Seiring ecopedagogy dikenal istilah Ecoliteracy, yaitu istilah yang berasal dari kata ecological

dan literacy. Istilah ecoliteracy bertujuan untuk menjelaskan proses peningkatan pemahaman individu

atau masyarakat terhadap hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Istilah ecoliteracy merupakan suatu

paradigma baru yang bertujuan meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat. Melalui ecoliteracy

diperkenalkan dan diperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna

menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya.

Terkait dengan ekopedagogik sebagai suatu konsep, sedikitnya dibahas tiga konsep ekoliterasi. penting

lainnya, yaitu :

1. Konsep ekoliterasi teknis (fungsional) yaitu bertujuan untuk memahami dasar-dasar sains,

konsep ekologi dan biologi, serta dampak positif dan negatif kegiatan manusia terhadap sistem

ekologi.

2. Konsep ekoliterasi budaya yaitu bertujuan untuk meningkatkan wawasan, kesadaran dan

pemahaman tentang berbagai perspektif budaya dalam hubungan antara manusia dan lingkungan

yang menghasilkan keberlanjutan kehidupan.

3. Konsep ekoliterasi kritis yaitu bertujuan untuk melibatkan siswa atau mahasiswa terhadap politik

ekologi, kemajuan teknologi dan komunikasi melalui dialog yang kritis dan konstruktif.

Berdasarkan dimensinya tersebut, maka konsep ekopedagogik terkait dengan isu-isu kritis

lingkungan dalam setiap proses pendidikan. Proses pendidikan dan pembelajaran hendaknya tidak

hanya mempelajari materi ajar semata terlepas dari isu-isu lingkungan, tetapi juga mempelajari materi

ajar tersebut dalam kaitannya dengan interaksi manusia dengan lingkungannya dan dengan isu-isu

lingkungan. Keterlaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran yang berbasis konsep ekopedagogik

hanya bisa dilakukan jika para guru dan pengajar lainnya memiliki pengetahuan yang terkait dengan

lingkungan hidup dan isu-isu lingkungan hidup tersebut.

Page 176: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

172

Ada sejumlah alasan mengapa konsep ekopedagogik penting dipelajari, yaitu sebagai berikut:

1. Konsep ekopedagogik dapat membangun kesadaran kolektif untuk berperan aktif dalam menjaga

dan merawat planet bumi.

2. Dengan konsep ekopedagogik, maka alam tidak dipandang sebagai lingkungan hidup

(environment) semata, tetapi sebagai ruang pemberi dan pemakna kehidupan (lebenstraum).

3. Dengan ekopedagogik, pendidikan menjadi sesuatu yang dapat mengubah paradigma ilmu yang

bersifat mekanistik, reduksionis, parsial dan bebas nilai menjadi lebih ekologis, holistik dan

terikat nilai-nilai sehingga dapat menumbuhkan kearifan lingkungan (environmental wisdom).

Misalnya dapat membangun watak manusia yang menghargai hak hidup makhluk hidup lainnya.

4. Pendidikan ekopedagogik lebih menekankan pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme, bukan

lagi antroposentrisme. Antroposentrisme merupakan suatu etika yang memandang manusia

sebagai pusat dari sistem alam semesta dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia

mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting diantara mahkluk hidup lainnya. Sedangkan

biosentrisme, merupakan suatu paradigma yang memandang bahwa setiap kehidupan dan

mahkluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sehingga pantas mendapat

pertimbangan dan kepedulian moral. Pada paham ekosentrisme, justru memusatkan perhatian

pada fakta bahwa ada saling keterkaitan dan ketergantungan seluruh komunitas ekologis dalam

suatu ekosistem, baik yang hidup maupun yang tidak hidup.

5. Ekopedagogik merupakan pendidikan untuk mengenali alam, sehingga tumbuh rasa cinta

terhadap alam beserta isinya.

Jika pada setiap kegiatan pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan dengan berbasis

ekopedagogik, maka semua peserta didik akan mengalami dan memiliki peningkatan literasi tentang

lingkungan (melek lingkungan), dari waktu ke waktu, sehingga timbul rasa tanggungjawab untuk

menjaga dan merawatnya.

Di dalam praktek belajar mengajar, untuk dapat menampung atau menerima konsep

ecopedagogy, maka pandangan pribadi masing-masing guru dalam bidang pendidikan dan pandangan

mereka mengenai dunia akan dipengaruhi oleh filsafat pribadi mereka dan pandangan politik mereka.

Mungkin guru kita masih memiliki asumsi populer yang menyatakan bahwa sebagai manusia kita

unggul dan memiliki hak untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam (paham Antrophosentrism).

Ada lima tujuan pendidikan lingkungan yang disepakati usai pertemuan di Tbilisi 1977 oleh dunia

internasional. Fien dalam Miyake, dkk. (2003) mengemukakan kelima tujuan yaitu sebagai berikut:

1. Di bidang pengetahuan, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan

berbagai pengalaman dan mendapat pengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk

menciptakan dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan.

2. Di bidang kesadaran, membantu kelompok sosial dan individu untuk mendapatkan kesadaran dan

kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan beserta isu-isu yang menyertainya,

pertanyaan, dan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan dan pembangunan.

3. Di bidang perilaku, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk memperoleh

serangkaian nilai perasaan peduli terhadap lingkungan dan motivasi untuk berpartisipasi aktif

dalam perbaikan dan perlindungan lingkungan.

4. Di bidang ketrampilan, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan

ketrampilan untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memecahkan permasalahan

lingkungan.

5. Di bidang partisipasi, memberikan kesempatan dan motivasi terhadap individu, kelompok dan

masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.

Universitas Negeri Jakarta memiliki Program Studi Pendidikan Lingkungan Hidup (PKLH)

untuk jenjang S2 dan S3, bahkan merupakan merupakan program studi yang awal dalam gerakan

pendidikan tentang lingkungan hidup dan masalah kependudukan. Program studi ini telah meluluskan

banyak magister dan doctor dalam bidang PKLH. Sehubungan dengan konsep ekopedagogik, maka

adalah mereka dapat diharapkan memberikan konstribusi dalam kegiatan pendidikan yang berdasarkan

pembangunan yang berkelanjutan (EfSD = educational for sustainable development)

EfSD adalah merupakan suatu konsep yang sejalan dengan konsep ekopedagogik. Bila EfSD

dipandang sebagai suatu sasaran atau tujuan, maka ekopedagogik bisa dipandang sebagai suatu

Page 177: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

173

pendekatan dalam mencapai sasaran tersebut. EfSD bukanlah suatu program atau project, melainkan

suatu payung untuk berbagai macam bentuk pendidikan yang telah ada. EfSD merupakan sesuatu yang

harus diciptakan sehingga ia bisa memayungi kegiatan-kegiatan pendidikan agar kegiatan

pembangunan tepat sasaran yaitu “sustainable development”. EfSD mempromosikan berbagai upaya

untuk berpikir ulang tentang program-program dan sistem-sistem pendidikan baik method maupun

kontennya. Konsep EfSD seharusnya mempengaruhi semua komponen dalam pendidkan, yakni

mempengaruhi tataran legislasi (legialation), kebijakan (policy), pendanaan (finance), kurikulum

(curriculum), pembelajaran (instruction), penilaian (assessment) dan lain-lain.

EfSD mempunyai beberapa karakteristik utama yang dapat diimplementasikan dalam berbagai

bentuk yang sesuai secara kultural, antara lain sebagai berikut:

1. EfSD didasari oleh prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang penting untuk pembangunan

berkelanjutan

2. EfSD sesuai dengan perilaku baik (well-being) untuk keempat dimensi sustainability, yaitu:

lingkungan (environment), masyarakat (society), budaya (culture), dan ekonomi (economy).

3. EfSD menggunakan bermacam-macam teknik mendidik, yang mendukung belajar partisipatif

dan keahlian berpikir yang lebih tinggi (higher-order thinking skills).

4. EfSD didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan, persepsi dan kondisi lokal, namun pemenuhan

kebutuhan local mempunyai dampak dan konsekwensi internasional

5. EfSD adalah bidang interdisiplinaritas, artinya setiap disiplin ilmu memberikan konstribusi

dalam gerakan EfSD; lebih jauh lagi EfSD menuntut pemikiran yang menyatu secara

transdisiplinaritas.

Melalui kegiatan pendidikan berbasis konsep ekopedagogik, berbagai permasalahan lingkungan

seperti: pengelolaan tata ruang, penangulangan pencemaran lingkungan, pola dan gaya hidup yang

tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem, serta upaya konservasi berbagai sumber daya alam bisa

terwujud dapat ditanggulangi.

Perilaku ekopedagogik bisa terbentuk pada mahasiswa sebagai suatu kompetensi, jika peserta

didik diberikan materi atau bahan perkuliahan yang sesuai dengan konsep tersebut. Tingkat kesadaran

dan kepekaan mahasiswa PKLH untuk tidak menggunakan plastik saat mereka melakukan kegiatan

berbelanja misalnya, dapat dipandang sebagai perilaku green consumerism. Di lain pihak jika peserta

didik tidak sembarangan dalam membuang sampah, itu adalah merupakan kegiatan mendidik yang

sesuai dengan konsep ekopedagogik.

Lebih jauh lagi jika masyarakat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam, kemudian

menghasilkan produk yang bernilai ekonomi, kemudian menumbuhkan kreatifitas dan kepedulian

terhadap lingkungan, kemudian selanjutnya menjaga kelestarian lingkungan, maka itu adalah contoh

lain dari ekopedagogik yang berhasil.

Berdasarkan uraian di atas maka pembelajaran berbasis ekopedagogik adalah merupakan suatu

proses belajar dan upaya mendidik untuk mengubah perilaku dan sikap peserta didik atau elemen

masyarakat sehinga dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran mereka tentang

nilai-nilai lingkungan dan permasalahan lingkungan. Dengan perilaku eko pedagogik peserta didik dan

masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam kegiatan pembangun sesuai konsep pembangunan

berkelanjutan.

Secara operasional pemahaman mahasiswa terhadap konsep ekopedagogik adalah pengetahuan

mahasiswa tentang proses belajar dan upaya mendidik yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan

sikap peserta didik dalam aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis, yang

berkaitan dengan perilaku “green consumerism” dengan indikator mengiterpretasikan,

membandingkan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, dan menjelaskan.

Kerangka Teoretik

Ada empat pilar yang dapat mengubah perilaku manusia, yaitu values atau norm, attitude,

persepsi dan learning. Proses pendidikan pembelajaran adalah bagian penting dalam pembentukan

perilaku manusia. Program studi yang fokus pada pendidikan lingkungan cenderung menganut

pendidikan berbasis ekopedagogik dalam kurikulumnya. Oleh sebab itu secara teoretik maka

pemahaman mahasiswa tentang konsep ekopedagogik diduga berhugungan dengan perilaku green

consumerism. Berdasarkan dugaan ini maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

Page 178: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

174

”terdapat hubungan positif antara pemahaman konsep ekopedagogik dengan perilaku green

consumeris.”

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metoda penelitian yang digunakan adalah survey, dan tempat penelitian adalah Program Studi

Pendidikan LIngkungan Hidup (PKLH) Program Pascasarjana, Universitas Negari Jakarta mulai dari

bulan Oktober 2013 sampai dengan bulan Februari 2014.

B. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah mahasiswa program studi PKLH PPs UNJ. Sedangkan sampel penelitian

secara purposive ditetapkan mahasiswa angkatan 2012 dan 2013, yaitu mahasiswa yang telah dan

sedang mengikuti perkuliahan mata kuliah Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH).

C. Teknik Pengumpulan data

a. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian terdiri dari dua, yaitu: 1) perilaku green consumerism mahasiswa Program Studi

PKLH PPs UNJ dan 2) pemahaman tentang konsep ekopedagogik.

Instrumen perilaku green consumerism dikembangkan berdasarkan definisi konseptual sebagai berikut:

b. Definisi konseptual Perilaku green consumerism

“Perilaku atau sikap green consumerism adalah kecenderungan mahasiswa yang dipengaruhi oleh

pemahaman mereka tentang suatu barang kebutuhan ketika berbelanja, yang berhubungan dengan

produk, proses, produsen, dan penyalur produk tersebut, sehingga mereka “menerima” dan “menilai”

barang kebutuhan itu, yang mencerminkan perilaku peduli lingkungan.

c. Definisi konseptual Pemahaman tentang Konsep ekopedagogik:

Instrument pemahaman tentang konsep ekopedagogik dikembangkan berdasarkan definisi konseptual

sebagai berikut: “Pemahaman mahasiswa terhadap konsep ekopedagogik adalah pengetahuan

mahasiswa tentang proses belajar dan upaya mendidik yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan

sikap peserta didik dalam aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis, yang

berkaitan dengan perilaku “green consumerism” dengan indikator mengiterpretasikan,

membandingkan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, dan menjelaskan”.

d. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif berdasarkan data yang diperoleh dari

sampel penelitian. Data disajikan dalam bentuk bentuk grafik atau histogram. Diharapkan melalui

pendekatan analisis tersebut dapat diperoleh temuan tentang perilaku green consumerism mahasiswa

Program Studi PKLH dalam kaitannya dengan konsep ekopedagogik.

HASIL PENELITIAN

A. Statistika Deskriptif

1. Pemahaman Mahasiswa terhadap Konsep Ekopedagogik

Data mengenai pemahaman mahasiswa S2 dan S3 Program Studi PKLH PPs UNJ terhadap konsep

ekopedagogik dalam kaitannya dengan perilaku green consumerism diperoleh melalui instrument

dengan 15 butir pertanyaan, dengan rentang skor teoritik 1-15 dan rentang skor empiris yang diperoleh

antara 3-11.

Tabel 1. Statistika deskriptif Pemahaman tentang Ekopedagogik dan perilaku Green Consumerism

N Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance

Pemahaman

Ekopedagogik 30 3.00 11.00 178.00 5.9333 1.92861 3.720

Perilaku green

consumerism 30 34.00 78.00 1594.00 53.1333 9.08099 82.464

(listwise) 30

Page 179: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

175

Tabel 1. Statistika deskriptif Pemahaman tentang Ekopedagogik dan perilaku Green Consumerism

N Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance

Pemahaman

Ekopedagogik 30 3.00 11.00 178.00 5.9333 1.92861 3.720

Perilaku green

consumerism 30 34.00 78.00 1594.00 53.1333 9.08099 82.464

Tabel 2. Distribusi Frekwensi Kelas interval Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik

No. Kelas

Frekwensi

absolut

Frekwensi Relatif

(%)

Frekwensi

Kumulatif (%)

1. 3-4 9 30 30

2. 5-6 11 36.7 66.7

3. 7-8 7 23.3 90

4. 9-10 2 6.7 96.7

5. 11-12 1 3.3 100

Bentuk Histogram table distribusi frekwensi Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik sebagai berikut:

Gambar 1. Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik

Dari table dan bentuk Histogram di atas dapat diketahui bahwa 30% responden berada di bawah

kelompok rata-rata 36.7% dan di atas rata-rata sebanyak 33.3%. Jumlah mahasiswa yang memahami

konsep ekopedagogik di bawah rata-rata sebesar 30% dinilai terlalu besar. Jumlah sebesar itu mungkin

disebabkan beberapa factor, perlu penelitian lebih lanjut.

2. Perilaku Green Consumerism

Data mengenai perilaku green consumerism diperoleh dari instrument penelitian dengan 16 butir

pernyataan, dengan rentang skor teoretik 5-90 dan rentang skor empiris 34-78. Hasil pengolahan data

mentah variable penelitian, perilaku green konsumerism dapat dilihat pada table 3 berikut ini.

Page 180: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

176

Tabel 3. Distribusi Frekwensi Perilaku Green Consumerism

No.

Kelas

Frekwensi

absolut

Frekwensi Relatif (%) Frekwensi Kumulatif

(%)

1. 34-40 2 6.67 6.67

2. 41-47 5 16.67 23.34

3. 48-54 12 40.00 63.34

4. 55-61 5 16.67 80.01

5. 62-68 5 16.67 96.68

6. 69-75 0 0 96.68

7. 76-82 1 3.32 100

Bentuk histogram perilaku green consumerism dapat ditunjukkan gambar berikut:

Gambar 2. Histogram Perilaku Green Consumerism

3. Pembahasan Pemahaman Mahasiswa tentang Konsep Ekopedagogik menurut Indikator

Pemahaman

Kepada mahasiswa telah diminta pendapatnya yaitu pemahaman mereka tentang konsep ekopedagogik.

Indikator pemahaman yang digunakan adalah: menginterprestasi, membandingkan, menyimpulkan,

mengklasifikasikan dan menjelaskan, terhadap aspek-aspek ekoliterasi teknis, ekolitrasi budaya dan

ekoliterasi kristis dari konsep ekopedagogik. Selanjutnya akan ditunjukkan hasil pengukuran tentang

pemahaman mahasiswa PKLH UNJ, (untuk kelima indikator pemahaman) terhadap setiap aspek

konsep ekopedagogik, yaitu aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis.

a. Pemahaman Aspek Ekoliterasi Teknis dari Konsep Ekopedagogik

Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek ekoliterasi teknis

dari konsep ekopedagogik dengan lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan oleh tabel 4 berikut:

Tabel 4. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterassi Teknis berdasarkan indikator

.

Indikator Pemahaman Frekwensi Persentase

Menginterpretasikan (MI) 15 10%

Membandingkan (MB) 23 15%

Menyimpulkan (MP) 20 13%

Mengklasifikasikan (MK) 5 3%

Menjelaskan (MJ) 16 11%

Total 79 52%

Page 181: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

177

Sedangkan pemahaman mahasiswa dalam bentuk gambar dapat ditunjukkan oleh histogram berikut ini:

Gambar 3. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Teknis

Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman

“mengklasifikasikan”, yaitu sebesar 3%. Dari seluruh indikator, maka baru 52% mahasiswa yang

memahami konsep ekoliterasi teknis yang ditanyakan kepada mereka.

b. Pemahaman Aspek Ekoliterasi Budaya dari Konsep Ekopedagogik

Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek

ekoliterasi budaya dari konsep ekopedagogik dalam lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan

oleh tabel 5 berikut:

Tabel 5. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterassi Budaya berdasarkan

indikator

Indikator Pemahaman Frekwensi Persentase

Menginterpretasikan (MI) 16 11%

Membandingkan (MB) 15 10%

Menyimpulkan (MP) 2 1%

Mengklasifikasikan (MK) 12 8%

Menjelaskan (MJ) 13 9%

Total 58 39%

Gambar 4. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Budaya

Page 182: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

178

Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman “menyimpulkan”,

yaitu sebesar 1%. Berdasarkan seluruh indikator, maka baru 39% mahasiswa yang memahami konsep

ekoliterasi budaya yang ditanyakan kepada mereka.

c. Pemahaman Terhadap Aspek Ekoliterasi Kritis dari Konsep Ekopedagogik

Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek ekoliterasi kritis

dari konsep ekopedagogik dalam lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan oleh tabel 6 berikut:

Tabel 6. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterasi Kritis berdasarkan indikator

Indikator Pemahaman Frekwensi Persentase

Menginterpretasikan (MI) 5 3%

Membandingkan (MB) 4 3%

Menyimpulkan (MP) 5 3%

Mengklasifikasikan (MK) 23 15%

Menjelaskan (MJ) 4 3%

Total 41 27%

Skor teoretik maksimum 150

Gambar 5. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Kritis

Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman pada empat

indikator, yaitu: “menginterpretasikan, membandingkan, menyimpulkkan, dan menjelaskan”, yaitu

sebesar 3%.

4. Interprestasi Perilaku Green Consumeris berdasarkan Indikator Hasil pengolahan data perilaku green consumerism berdasarkan indikator menerima dan menilai, dapat

ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Gambar 6. Indikator Perilaku Green Consumerism

Page 183: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

179

Histogram menggambarkan bahwa perilaku green consumerism mahasiswa PKLH PPs UNJ, lebih

ditandai oleh indikator “menilai” terhadap proses pembuatan barang yang akan dikonsumsi dan agent-

agent penyalur atau distributor barang tersebut. Sedangkan perilaku green consumerism terhadap jenis

atau macam produk (barang) kebutuhan tersebut dan produsen yang menghasilkan barang tersebut lebih

ditandai oleh indicator “menerima”.

B. Hubungan Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik dan Perilaku Green Consumerism

Dari hasil pengolahan data didapat koefisien korelasi yang menunjukkan kekuatan hubungan

pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dan perilaku green consumerism adalah sebesar: r = 0.026.

Uji Koefisien korelasi yang diperoleh dilakukan melalui uji keberartian melalui uji-t, dengan

menggunakan rumus: t = rxy [n-2/1-(rxy)2]. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : yx = 0

H1 : yx > 0

Kriteria pengujian, pada = 0,05, terima H0 jika thitung ttabel, dan tolak H0 jika thitung > ttabel.

Secara manual t hitung dicari dari rumus :

t = rxy [n-2/1-(rxy)2].

thitung = 0.026 [30-2/1-(0.026)2] = 0.026 [28/1-(0.000676)]

= 0.026 [5.292: 0.999] =0.026 x 5.297 = 0.138. didapat thitung = 0.138, ttabel = t(0.05)(28) = 1.70.

Hasil pengujian menunjukkan thitung < ttabel = 0.138 < 1.70.

Hasil pengujian menunjukkan koefisien korelasi yang diperoleh tidak berarti atau tidak siknifikan.

Artinya tidak terdapat hubungan yang berarti antara pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan

perilaku green consumerism.

Berdasarkan temuan ini, maka perubahan perilaku green consumerism tidak bisa diestimasi dari

perubahan pemahaman terhadap konsep ekopedagogik. Untuk mengetahui apakah pemahaman

terhadap konsep ekopedagogik berpengaruh langsung terhadap perilaku green consumerism, perlu

dilakukan pengetahuan lebih lanjut.

PEMBAHASAN

Berdasarkan temuan di atas dimana model persamaan regresi yang diperoleh tidak siknifikan

(berarti) dan tidak terdapat korelasi positif antara pemahaman mahasiswa PKLH terhadap konsep

ekopedagogik dengan perilaku green consumerism, sehingga perilaku green consumerism mahasiswa

PKLH tidak dapat diestimasi dari pemahaman mereka terhadap konsep ekopedagogik. Maka

terbentuknya perilaku green consumerism mungkin bisa diestimasi dari variable lain.

Penelitian ini gagal menolak hipotesis nol, mungkin disebabkan terdapatnya kelemahan dan

keterbatasan dalam penelitian ini, misalnya instrument penelitian yang digunakan sebagai pengumpul

data masih memilki kelemahan.

Konsep ekopedagogik di dalam kurikuum PKLH belum secara sepesifik menjadi mata kuliah yang

berdiri sendiri. Konsep ini disampaikan secara terintegrasi di dalam mata-kuliah lain. Oleh sebab itu

perilaku green consumerism mungkin terbentuk pada mahasiswa melalui konsep-konsep lingkungan

yang lain.

Page 184: The Effect of Job Characteristics, Compesation and Job Satisfaction

International Conference on Education 2014 Sabah, Malaysia

Official Conference Proceedings

180

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa tidak terdapat hubungan positif antara

pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku green

consumerism. Perilaku green consumerism pada mahasiswa diduga tidak terbentuk karena materi

perkuliahan pada program studi PKLH. Perilaku green consumerism pada diri mahasiswa PKLH,

mungkin terbentuk dari pengetahuan di luar pendidikan formal atau sumber informasi lain yang

mengarah ke perilaku green consumerism. Program studi PKLH belum berhasil memperkuat perilaku

tersebut melalui kurikulum yang ada. Informasi-informasi dari berbagai media seperti televisI, radio,

surat kabar dan internet, telah berperan penting pada pemebentukan perilaku green consumerism

masyarakat.

Perilaku “green consumerism” pada diri mahasiswa lebih ditandai oleh indicator “menilai”

terhadap proses dan penyalur, ditandai oleh indicator “menerima” terhadap produk dan produsen yang

memenuhi criteria ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Bennet, DE, Evaluate of Environmental Educational Program, (New York: John Willey & Son), 1997.

Grigorov, Stefan Krasimirov and Fleuri, Reinaldo Matias, Eco pedagogy: educating for new eco-social

intercultural perspective, visao Global, Joacaba, v. 15, n. 1-2, jan./dez. 2012.

Pettit, Dean and Jerry Paul Sheppard, “It’s not Easy Being Green: The Limits of Green Consumerism

in Light of the Logic of Collective Action”, Queens Quarterly, 99 (3): 1992.

Yates, Lucy, Green Expectations. Consumers’ Understanding of Green Claims in Advertising,

Consumer Focus. A Campaigning for fair deal, 2008.

12 Crucial Consumer Trends for 2012, Trend Watching.com

Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Lanham, MD: Rowman

& Littlefield.

Gadotti, M. (2008). Education for sustainability: A critical contribution to the decade of education for

sustainable development. Green Theory and Praxis: The Journal of Ecopedagogy, 4(1), 50.

Gadotti, M. (2009). Education for sustainability: A contribution to the decade of education for

sustainable development. Saõ Paulo: Editora e Livraria Instituto Paulo Freire.

Giroux, H. A. (2001). Theory and resistance in education: Towards a pedagogy for the opposition (Rev.

ed.). Westport, CT: Bergin & Garvey.

Harding, S. (2006). Science and social inequality: Feminist and postcolonial issues. Urbana: University

of Illinois Press.

Harding, S. G. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women's lives. Ithaca, NY:

Cornell University Press.

Harding, S. G. (1998). Is science multicultural? Postcolonialisms, feminisms, and epistemologies.

Bloomington: Indiana University Press.

Morrow, R. A., & Torres, C. A. (2002). Reading Freire and Habermas. New York: Teachers College

Press.

Richard Kahn Critical Pedagogy, Ecoliteracy, & Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement (New

York: Peter Lang, 2010), pp 186. ISBN 978-1-4331-0545-6.