Tiga Tipikal Ahli Surga

Embed Size (px)

Citation preview

Tiga Tipikal Ahli Surga Ditulis Oleh Doni Saputra Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw pernah bersabda: "Ada tiga hal di antara akhlak ahli surga: memaafkan orang yang telah menganiayamu, memberi kepada orang yang kikir kepadamu, dan berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk kepadamu". Bulan Ramadan telah pergi, bulan Syawal pun akan segera berakhir. Bulan istimewa itu berlalu dengan sangat cepat, bagaikan seorang tamu yang bertolak meninggalkan persinggahannya. Selama Ramadan menyapa, kita selalu ditarbiyah, agar menjadi insan yang dekat dengan Sang Pencipta dan senantiasa berakhlak mulia dengan sesama makhluk-Nya. Kita berharap mudah-mudahan tarbiyah Ramadan yang berlalu, berbekas hendaknya sampai datangnya bulan Ramadan berikutnya. Kalau sekiranya hablumminallh dan hablumminanns kita lebih baik dibandingkan sebelum Ramadan, berarti tarbiyah Ramadan bisa dikatakan sukses. Tetapi kalau nyatanya semakin memburuk, maka kita termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi, karena tidak bisa mengapai harapan dan impian, yaitu predikat takwa. Menurut sebagian mufassir, takwa bermakna "Imtitslu awmirihi wajtinbu nawhhi". Kata imtitsl di sini bermakna lii muthwa'ah, yang artinya bekas dari suatu kegiatan yang kita lakukan secara terus menerus. Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana dengan tarbiyah Ramadan kita? Dulu, di bulan Ramadan kita selalu shalat di awal waktu dan berjama`ah di mesjid. Masihkah kebiasaan tersebut kita lakukan sampai sekarang? Bahkan kalau kita lihat, jamaah shalat Subuh itu sampai memenuhi aula mesjid. Tapi bagaimana dengan kondisi saat ini? Di bulan Ramadan kita selalu memperbanyak tilwah Al-Quran, bahkan Al-Quran itu selalu kita bawa kemana pergi. Maka bagaimana ketika Ramadan telah berlalu? Akankah Al-Quran itu hanya kita jadikan sebagai bahan pajangan dan hiasan? Masihkah berbekas pada diri kita tarbiyah Ramadan itu? Jawaban semuanya tentu pada diri kita masing-masing. Itu baru ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah Swt., lalu bagaimana mumalah kita terhadap sesama manusia? Di bulan Ramadan kita dituntut untuk saling memaafkan, membantu antar sesama dan saling berbuat baik. Masihkah sifat ini tertanam pada diri kita? Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda: "Ada tiga hal di antara akhlak ahli surga: memaafkan orang yang telah menzalimimu, memberi kepada orang yang kikir kepadamu, serta berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk kepadamu." 1. Memaafkan orang yang telah menzalimi kita Memberi maaf kepada orang yang telah berbuat zalim adalah sesuatu hal yang sangat sulit, tapi bukan berarti itu mustahil kita lakukan. Kalau kita sanggup berarti kita telah memiliki akhlak ahli surga itu sendiri. Allah Swt. berfirman: "Jadilah pemaaf dan serulah orang mengerjakan yang ma'ruf serta jangan pedulikan orang bodoh." (Q. AlA'raf: 199). Hal ini juga telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. ketika hijrah ke Madinah. Ketika itu seorang pemuda kafir Quraisy mengejar dan ingin menangkap Nabi Saw. hanya karena ingin mendapatkan hadiah dari pemuka-pemuka Quraisy masa itu. Ketika pemuda itu telah dekat dengan Nabi Saw., kuda yang dia tunggangi tiba-tiba oleng dan ia pun terjatuh. Hal ini terjadi berulang kali sampai akhirnya pemuda itu meminta maaf kepada Nabi Saw.. Kezaliman yamg dilakukan oleh pemuda Qurays itu akhirnya

dimaafkan oleh Rasulullah Saw.. Ini sebuah kisah yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. sangat pemaaf.

2. Memberi kepada orang yang kikir kepada kita Maksudnya adalah ketika ada seseorang yang mengatakan "Saya tidak akan pernah memberi bantuan kepada orang itu". Kata-kata ini ditujukan kepada kita dan kita mendengarnya secara langsung. Di lain kesempatan mampukah kita memberikan bantuan kepadanya, ketika kita mengetahui bahwa dia sangat membutuhkan bantuan? Kalau sanggup berarti kita telah punya sifat penghuni surga di dalam diri kita. Allah Swt. berfirman: "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan harta di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabatnya, orang-orang miskin dan orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka mamaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q. An-Nur: 22) 3. Berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk kepada kita Di tengah pergaulan kita dewasa ini acapkali terjadi hal-hal yang merusak hubungan antar sesama. Pemicunya terkadang hal yang sangat sepele, seperti perbedaan pendapat atau karena kesalahpahaman saja. Akibatnya, kita jadi tidak bertegur-sapa selama berharihari. Keburukan orang lain pun mengganjal di hati sehingga keharmonisan dalam berteman sangat jarang kita gapai. Padahal Rasulullah Saw. telah bersabda: "Lupakan dua perkara dan ingat dua perkara: ingat kebaikan orang lain kepada kita dan lupakan kebaikan kita kepada orang lain. Ingat keburukan kita kepada orang lain dan lupakan keburukan orang lain kepada kita." Akhirnya, kalau kita mampu menerapkan sifat-sifat di atas dalam kehidupan, maka ketenangan dan kebahagian hidup akan dapat kita raih dengan maksimal. Sehingga maghfirah dan rahmat-Nya dapat kita gapai serta digolongkan dalam ahli surga-Nya. Amn

Sunday, September 25, 2005 Rindu Ramadhan Rindu Ramadhan Tak terasa hari yang kita lalui mengantarkan kita kembali ke bulan sya'ban. Kemudian Ramadhan. Bulan yang sama seperti tahun lalu. Dimana banyak orang yang beramai ramai memenuhi masjid, berpuasa, ber zakat dan amalan lain. Akankan ramadhan - ramadhan saudara-saudaraku sama dengan yang telah lalu??? Mungkin bagi saudara yang saat ini memiliki keluarga baru, misal telah menikah, atau mempunyai anak, atau telah bekerja, suasana ramadhan itu takkan sama.. Bagaimana dengan yang di luar itu. :) Apakah ramadhan ini kita sambut dengan semangat yang sama, atau lebih atau tidak ada semangat karena seperti bulan ramadhan tahun- tahun yang lalu (naudzubillah). HArus kita tekadkan dalam hati, harus ada bekas ramadhan kita. Ramadhan bukanlah training dimana kita musti belajar berpuasa , belajar beramal.. Ramadhan adalah bulan perlombaan saudaraku, dimana pahala diobral di bulan ini, dimana maghfirah ALLAH, pengampunan ALLAH diberikan kepada hamba-hambaNYA. Akankah kita lewatkan kesempatan ini???. Yang mungkin ini kesempatan terakhir kita, dan esok kita tidak menemui syahrul mubarak ini????Karena jatah umur kita telah habis. Selama ramadhan,ghibah (ngerumpi) kita tahan, marah kita tahan, nafsu kita tahan, kepekaan sosial kita tingkatkan,tapi apakah setelah ramadhan semua akan kembali?? Kebiasaan rumpi akan berlanjut, marah berlanjut, majelis taklim mulai jarang pengunjung, masjid mulai sepi... Tidak, harus ada bekas setelah ramadhan, itulah artinya kita telah lulus dalam menjalani syahrul mubarak ini. Tenangnya hati dibulan ini, dimana melihat semua orang berdzikir, pemandangan yang indah melihat masjid kian penuh, pemandangan yang menentramkan karena banyak orang berbondong bondong ke majelis taklim, dan pendengaran dan penglihatan yang menyejukkan hati kala banyak orang membaca AL Quran. Semoga semua ini berbekas walau ramadhan telah lewat. Rindu kita akan ramadhan, Semoga ramdhan ini kita lalui dengan sebaik baik amalan.8 hari lagi ramadhan, semoga kita siap dalam menjalaninya :)

NB : "Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu,supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa." (S.al-Baqarah:183) Ayat puasa itu dimulai dengan firman Allah:"Wahai orang-orang yang beriman" dan disudahi dengan:" Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa."Jadi jelaslah bagi kita puasa Ramadhan berdasarkan keimanan dan ketaqwaan.

Copyright 2003 Lampung Post. All rights reserved. Jum'at, 11 September 2009

Puasa dalam Kajian Semiotika Asarpin Penulis lepas, peminat kajian budaya Menyimak fenomena orang-orang yang sedang menjalankan puasa di ruang-ruang publik, ternyata tak ubahnya sebuah karnaval. Hiruk-pikuk dengan berbagai ucapan dan atribut yang sepintas mengesankan kekompakan dan kesungguhan. Namun, di balik simbolitas dangkal dan pamer macam itu, menyeruak wajah yang kita warisi: wajah muram dan buram, lesu, dan gemulai. Sebuah karnaval adalah sebuah pertunjukan sekaligus tontotan yang pada awalnya menyita perhatian, tapi lama-kelamaan ditinggalkan orang. Hal ini dengan konkret terlihat dalam ritual tarawih setiap malam. Memasuki pertengahan puasa, karnaval Ramadan itu kian tampak. Barisan salat tarawih penuh dengan kerumunan. Masyarakat kita seolah-olah memiliki empati dan kepekaan sosial yang dalam. Setiap orang tampak merindukan bulan suci dan setelah itu akan ada semacam karnaval lanjutan bagi "penebusan dosa" kembali. Inilah permulaan di mana masyarakat kita telah mengalami suatu transformasi privat ke sosial. Tapi, benarkah ada transformasi dari privat ke publik? Jangan-jangan itu hanya simbol yang tampak wah di permukaan. Setelah melalui bulan yang suci, lantas apakah wajah masyarakat kita berubah atau kembali ke wujud aslinya yang munafik dan a-sosial itu? Akankah masyarakat kita mengalami perubahan sosial menuju tahap yang lebih peduli dengan sesama tanpa melihat warna kulit, agama, dan stratafikasi sosial? Jawabannya bisa diduga: selagi simbolitas Ramadan lebih dikedepankan di ruang publik ketimbang wirid sosial dan keshalehan sosial, hasilnya akan sama saja dari tahun ke tahun. Ramadan hanya atraksi dari rutinitas yang jemu dan lesu. Tak ada gairah baru. Tak ada momen baru. Tak ada kreasi baru. Tengoklah tayangan televisi seputar siaran Ramadan, nyaris tak ada perubahan dari tahun ke tahun dan terus-menerus melanggengkan kesalehan instan dengan ramai-ramai menampilkan lawak yang tidak menghibur. Ketika saya membuka televisi pukul tiga pagi, hampir semua menampilkan komedi yang minus sentuhan tangan-tangan seniman. Kering, dangkal. Dan entah apalagi. Seperti puasa tahun-tahun sebelumnya, puluhan artis yang sebelumnya tak pernah kita lihat memakai jilbab dan memegang tasbih, kini tampil dengan busana "muslim" lengkap

dengan asesorinya yang penuh warna menggoda mata. Citraan yang ditampilkan begitu lekat dengan simbol-simbol keislaman yang menutupi wajah erotis yang selama ini sering melekat-erat pada dunia hiburan. Hingga jurnalisme entertainment pun, yang selama ini terkesan begitu hot menampilkan tubuh artis, sekarang beramai-ramai menampilkan tubuh yang tertutup rapat oleh busana. Kita menyaksikan karnaval dan ajang unjuk busana yang rutin yang seakan-akan masyarakat kita memang penuh kekhusyukan. Kita melihat sendiri ritualitas masyarakat kita yang seakan-akan hendak menguras-habis seluruh energi ritualnya, dan memaksimalkan potensi spiritualitas dalam dirinya untuk memuliakan bulan Ramadan. Tetapi, luapan kegembiraan itu hanya sebentar, di permukaan, untuk kemudian lenyap tak berbekas. Gegap-gempita masyarakat dalam menyambut puasa terkesan hanya seremonial dari suatu peristiwa datar yang rutin, bahkan telah mendekati suatu upacara yang membosankan. Orang-orang yang berpuasa senantiasa masih minta dihargai, dihormati. Inilah kesalehan tahunan itu? Ramadan telah menjadi sekadar tontonan. Menjadi sesuatu yang kita lihat dari dekat, tapi sebenarnya jauh. Seperti kalau kita sedang menonton sinetron yang disuguhkan oleh stasiun televisi swasta selama bulan Ramadan, kita digiring pada suatu perasaan bahwa bulan ini sepertinya milik bersama dan bukan milik eksklusif kita lagi. Yang diutamakan pada gambar sinetron bertema Ramadan adalah efeknya yang instan, dalam menggelitik dan membangkitkan keinginan masyarakat, ketimbang menawarkan pengalaman religiositas yang lebih tinggi dan sublim. Namun jarang sekali ada produsen media yang mau mengakui kenyataan ini. Muatan sinetron yang berselara dangkal sering disembunyikan di balik argumen-argumen seni dan mistifikasi. Tayangan televisi seputar Ramadan tak lebih dari apa yang disebut oleh Theodor Adorno sebagai masuknya industri kebudayaan dalam puasa. Sejenis industri pop yang menjelma sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai medan semiotik. Gambar dan tontotan kini menjadi seperangkat penanda dan petanda yang menyerupai lipstik. Dan setiap lipstik, kita tahu: mudah luntur. Prinsip semiotika adalah: setiap artis boleh saja mengatakan gambaran dirinya pada sebuah sinetron mengandung makna keagungan religius. Akan tetapi, disebabkan gambaran dirinya tersebut dijual sebagai komoditas dan tontotan di dalam sebuah masyarakat, maka ia telah terikat dengan kode semiotika dan konvensi sosial yang berlaku di dalam masyarakat tersebut; yang mengatur lalu lintas makna yang dapat atau tidak dapat diterima secara masyarakat pula. Jika kita mau berefleksi lebih jauh lagi tentang duduk perkara puasa tahun ini, tengoklah bahwa sebenarnya diam-diam, tanpa kita sadari, kita telah memperlakukan Ramadan sebagai ajang hiburan dan komoditas di dalam masyarakat untuk mengeruk keuntungan. Sementara substansi yang ada dibaliknya luput ditampilkan. Tapi, ada yang unik dalam pertunjukan kolosal di bulan Ramadhan tahun ini. Di sana "api

sosial" dinyalakan dengan harapan mampu mengubah struktur masyarakat kita ke arah yang dikehendaki oleh Islam sendiri. Ritual Ramadan tidak lagi terpisah dari kehidupan masyarakat ramai yang kini membutuhkan empati dan tindakan sosial kita yang konkret setelah diimpit oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. Hmm, adakah saya yakin api sosial itu memang telah dinyalakankaum muslim? Mengapa saya masih menyaksikan karnaval dangkal dan budaya pop yang menyajikan religiositas umat Islam serbasesaat dan instan di ruang-ruang publik?

Bulan Ramadhan ini adalah bulan penuh hikmah, dimana Allah tebarkan rahmatNya di dunia ini. Allah berkuasa untuk memberikan hidayah dan cahaya-Nya kepada setiap orang yang Dia kehendaki dan berkuasa pula untuk mengambil-Nya kembali. Bulan Ramadhan adalah bulan dimana Allah SWT mendidik kita agar menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Banyak cara Allah SWT dalam mendidik kita salah satunya dengan Bulan

Ramadhan ini kita belajar untuk menguasai nafsu dan emosi. "Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. . .Maka kalahkanlah diri sendiri" Nabi Muhammad SAW bersabda :"Barangsiapa berusaha untuk melawan hawa nafsu maka ia sedang berjihad di jalan Allah SWT" Akankah kita biarkan bulan penuh berkah ini berlalu begitu saja...??? ...ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! LA ILAHA ILLAHU ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR WA LILA ILHAM!... Kala takbir berkumandang, kita serukan nama kebesaran-Nya. Bulan Ramadhan telah berakhir..Segala duka dan lara menghiasi 11 bulan yang lalu.. Maka sadarilah indahnya lebaran karena saling memaafkan.. Jika seorang manusia telah berusaha semaksimal mungkin dan ia tetap melakukan kesalahan.. Kembali lagi bahwa yang sempurna hanyalah Allah SWT..

Maka, , ,seorang muslim tidak berhak untuk membesar-besarkan kesalahan muslim lainnya.. Hari kemenangan tiba, , ,marilah kita menyongsongnya dengan hati yang damai.. Agar kenikmatan hari lebaran dapat merasuk hingga ke dalam qolbu dan kehidupan sehari-hari..

Diposkan oleh rennidevil di 01:11 0 komentar: Poskan Komentar Halaman Muka Langgan: Poskan Komentar (Atom)

Ramadhan Bulan Penuh HikmahBagaimana kesan Anda setelah melihat blog saya? Arsip Blog

2008 (1)o

Oktober (1)

Hikmah, , ,Ramadhan. . .

. . .About me ? . . .

Nuraini Oktaviani Me? Hmm...I learned how to be strong. I want to be a better person. Life is never flat! Lihat profil lengkapku