75
45 IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM TERHADAP HAK TERSANGKA/TERDAKWA PADA KASUS KEKERASAN DALAM KELUARGA (KDRT) (Studi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT dan Hukum Islam) Oleh : M A R I S A PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1426 H / 2005 M

TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK MENJADI RESIDIVIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/8298/... · 2016. 6. 13. · MENJADI RESIDIVIS “ Studi Kasus Lembaga

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

45

IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM TERHADAP HAK

TERSANGKA/TERDAKWA PADA KASUS KEKERASAN DALAM

KELUARGA (KDRT)

(Studi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT

dan Hukum Islam)

Oleh :

M A R I S A

PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1426 H / 2005 M

46

TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK

MENJADI RESIDIVIS

“ Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tangerang “

SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salaah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh: MUHAMAD SAHLI NIM. 101045122234

Di Bawah Bimbingan

Drs. Noryamin Aini, MA NIP. 150 247 330

PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM -- JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

47

1427 H / 2006 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul ” TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK

MENJADI RESIDIVIS “ Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita

Tangerang “ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 14 Maret 2006.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana

Hukum Islam (SH.I) pada Jurusan Jinayah Siyasah.

Jakarta, 21 November 2005 Mengesahkan Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum,

Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA NIP. 150 050 917

Panitia Ujian Munaqasyah :

Ketua : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Y, MA ( ) NIP. 150 ....................... Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum ( ) NIP. 150 274 761 Penguji I : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA ( ) NIP. 150 .................. Penguji II : Drs. Abu Tamrin, SH.,M.Hum ( ) NIP. 150 274 761 Pembimbing I : Dedy Nursyamsi, SH., M.Hum ( ) NIP. 150 246 001 Pembimbing II: Euis Amalia, M.Ag ( )

NIP. 150 289 264

48

49

IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM TERHADAP HAK

TERSANGKA/TERDAKWA PADA KASUS KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA (KDRT) (Studi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT dan Hukum Islam)

SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salaah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I)

Oleh: M A R I S A NIM. 101045122231

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dedy Nursyamsi, SH., M. Hum Euis Amalia, M. Ag NIP. 150 264 001 NIP. 150 289 264

PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1426 H / 2005 M

50

Kata Pengantar

بسم االله الرحمن الرحيم

Segala puja dan puji serta syukur bagi Allah SWT. yang telah memberikan taufik, rahmat, dan

hidayah-Nya sehingga penulis diberi kesempatan menyelesaikan tugas skripsi ini. Shalawat dan salam

penulis hadiahkan kepada Nabi Muhmmad SAW. yang telah membawa Islam sebagai penerang jalan

hidup manusia. Skripsi ini berjudul ” TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK

MENJADI RESIDIVIS “Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tangerang”

sengaja diajukan untuk memenuhi dan melengkapi serta memperoleh gelar kesarjanaan strata satu

(S1), Program Studi Pidana Islam, Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam mengadakan penelitian skripsi ini, penulis

mendapatkan banyak kesulitan terutama dalam mencari referensi dan data-data untuk penyusunannya,

bantuan dari berbagai pihak sangat mendukung bagi kelengkapan penyelesaian skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah

banyak membantu penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Hasanudin AF, MA selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Afifi Fauzi Abbas, MA sebagai Pjs. Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas

Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan petunjuk dan saran kepada penulis dalam rangka

penyelesaian penulisan skripsi ini. Dan Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum selaku sekretaris

Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah rela dan bersedia

meluangkan waktu untuk mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan akademik.

3. Drs. Noryamin Aini, MA selaku pembimbing skripsi ini, yang telah banyak meluangkan

waktu, memberikan kontribusi pemikiran, dan mengarahkan serta membimbing penulis

dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

4. Kepala Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas

Syari’ah dan Hukum, serta para stafnya yang telah banyak membantu penulis dalam mencari

bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan skripsi ini.

51

5. Kepala Lapas Kelas II A Wanita Tangerang dan staf-stafnya yang telah membantu dan

mempermudah penulis dalam mengumpulkan data baik yang diperoleh dari perpustakaan

maupun wawancara. Tidak lupa pula warga binaan Lapas Kelas II A Wanita Tangerang yang

telah sangat membantu dalam memperoleh data yang valid dan akurat dalam rangka

penyusunan skripsi ini.

6. Ayahanda Mansur dan Ibunda Alisa tercinta yang telah melahirkan dan membesarkan penulis,

dan selalu memberikan motivasi dan dukungan baik moril maupun materil untuk

terselesaikannya skripsi ini.

7. Ayah Fahmi Ahmad yang telah membantu penulis baik moril maupun materil sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan.

8. Kakakku Rosita Dewi, dan adek-adekku Hari dan Kiki yang sangat penulis sayangi dan selalu

memberikan motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Anak-anak Uncles, yang selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini, serta

rekan-rekan seperjuangan di bawah naungan Karang Taruna yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

10. Teman-teman mahasiswa Jurusan Jinayah Siyasah, Proram Studi Pidana Islam angkatan

2001; Liza, Debi, Novi, Rita, Septi, Desi, Uwoh, Khoir, Udin, Lubis, Kholis, Ridwan, Azis,

Mu’min, Ayung, Aang Nur dan yang lain. Mereka selalu memberikan tantangan kepada

penulis dalam mengarungi dan menyelami perkuliahan. Dan tak lupa pula penulis ucapkan

terima kasih secara khusus teruntuk Dinda Nur Dahlia yang selalu memberikan dorongan dan

motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis hanya dapat berdo’a semoga Allah SWT. memberikan balasan dan pahala

yang setimpal kepada mereka atas jasa-jasa yang diberikan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat

menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta, 2 Maret 2006

Penulis

52

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................................. 6

D. Metode Penelitian................................................................................................... 7

E. Sistematika Penulisan............................................................................................. 10

BAB II LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RESIDIVIS

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM

POSITIF

A. Pengantar dan Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (Penjara)

di Indonesia dan dalam Islam

A.1. Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia .................................................................... 12

A.1. a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ............................................................ 12

A.1. b. Sekilas Sejarah Penjara (Lembaga Pemasyarakatan)

di Indonesia ................................................................................................. 13

A.1. c. Tujuan dan Fungsi diadakakannya Lembaga

Pemasyarakatan ........................................................................................... 19

A.2. Penjara dalam Islam...................................................................................................... 21

A.2. a. Pengertian Penajara dalam Hukum Islam ...................................................... 21

A.2. b. Sejarah Perkembangan Pejara dalam Islam ................................................... 22

A.2. c. Fungsi Penjara dalam Hukum Islam .............................................................. 25

B. Residivis dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

B. 1. Residivis (Pengulangan) dalam Perspektif Hukum Islam............................................ 27

B.1. a. Pengertian residivis (Pengulangan) ................................................................ 27

B.1. b. Bentuk-bentuk Residivis (Pengulangan) ........................................................ 29

B.1. c. Sistem Pemidanaan Terhadap Residivis......................................................... 30

B. 2. Residivis dalam Perspektif Hukum Positif .................................................................. 33

B.2.a. Pengertian Residivis............................................................................................ 33

B.2.b. Bentuk-bentuk Residivis..................................................................................... 37

53

B.2.c. Sistem Pemidanaan Terhadap Residivis ............................................................. 40

BAB III DESKRIPSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A

WANITA TANGERANG

A. Sejarah Berdiri dan Letak Geografis LP Kelas II A Wanita

Tangerang............................................................................................................... 45

B. Situasi dan Kegiatan Sehar-hari Narapidana di LP Kelas II A

Wanita Tangerang .................................................................................................. 48

C. Struktur Organisasi dan Peranan Petugas LP Kelas II A Wanita

Tangerang............................................................................................................... 54 BAB IV UPAYA LP KELAS II A WANITA TANGERANG

DALAM MENCEGAH NARAPIDANA RESIDIVIS

A. Program Pembinaan Narapida di Lembaga Pemasyarakatan……… 61

B. Analisis terhadap Pelaksanaan Agenda Pembinaan……………….. 70

C. Hasil Pembinaan LP Kelas II A Wanita Tangerang ............................................... 77

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................................ 83

B. Saran ...................................................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan merupakan suatu patogen sosial yang dari hari ke hari semakin meningkat, terutama di tanah air yang tercinta ini. Hal tersebut dapat kita ketahui melalui media massa baik elektronik maupun cetak. Tragisnya tindak kriminal tersebut terjadi bukan hanya di kota-kota besar bahkan di desa-desa terpencil sekali pun kian merajalela, baik dalam bentuk pembunuhan, perampokan, perkosaan, narkotika, dan lain sebagainya. Suatu hal yang lebih memprihatinkan lagi bagi bangsa kita, kejahatan-kejahatan tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa saja, akan tetapi oleh anak-anak di bawah umur bahkan banyak pula dilakukan oleh wanita.

Kita tentunya akan bertanya ”apa yang menyebabkan tindak kejahatan dari hari ke hari terus semakin meningkat?” Padahal aparat penegak hukum telah menerapkan pemberian sanksi pidana yang setimpal terhadap pelakunya akan tetapi pelaku masih juga belum jera. Bahkan ada indikasi statistik kejahatan malah meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.1 Dalam hal ini kita dapat berspekulasi, bahwa mungkin banyak faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan, di antaranya karena faktor lingkungan, sosial, ekonomi, politik, perfilman, bacaan-bacaan porno dan lain sebagainya.

Untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut negara kita mengadakan berbagai usaha baik dalam bentuk penanggulangan maupun pencegahan. Salah satu usaha tersebut adalah dengan menjatuhkan hukuman/sanksi bagi setiap pelakunya yang tujuannya agar si pelaku menjadi jera. Apabila ia kembali berintegrasi dengan masyarakat, dia tidak akan berbuat kejahatan lagi.2

Sedangkan mengenai salah satu hukuman yang berlaku di Indonesia adalah hukuman penjara. Sering dikritik bahwa sistem kepenjaraan dianggap tidak berprikemanusiaan dan tidak mengindahkan HAM. Dari sisi kritik ini, sistem tersebut perlu diubah dengan sistem yang lain yaitu diubah dengan sistem pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Asas yang dianut sistem pemasyarakatan dewasa ini menempatkan tahanan, narapidana, anak negara, dan klien pemasyarakatan sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa, maka dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Perbedaan kedua sistem tersebut memberi implikasi pada perbedaan dalam cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai.3

Tujuan utama dari sistem pemasyarakatan adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan membina narapidana agar tidak kembali melakukan kejahatan. Tetapi apakah memang demikian kenyataannya? Artinya apakah masyarakat sudah terlindungi dari kejahatan? Apakah para narapidana (mantan narapidana) yang sudah habis menjalani masa hukumannya

1 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Cet. ke-2, h. 9 2 A. Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, (Bandung: CV. Armico, 1988), Cet. ke-1, h. 42 3 Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, (Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1990), Cet. ke-1, h. 4

55

kemudian kembali lagi ke masyarakat, memang benar tidak akan melakukan kejahatan lagi? Singkatnya, apakah mereka dapat dijamin untuk tidak menjadi residivis?4

Perlu ditambahkan juga bahwa Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut LP) yang dulu disebut penjara sering menerima tuduhan sebagai sekolah sejahatan (school of crime). Adanya penilaian seperti itu mengakibatkan lembaga ini terpojok dan sulit untuk memperbaiki citranya. Sebutan sebagai sekolah kejahatan [sekolah tinggi kejahatan], akan semakin nyata terlihat manakala bekas narapidana melakukan kejahatan ulang setelah bebas, serta mereka masih dicurigai kalau kembali ke masyarakat. Hal ini pertanda bahwa masyarakat masih melihat Lembaga Pemasyarakatan (LP) sebagai pusat latihan untuk para penjahat agar terlatih melakukan kriminal. Melihat keadaan tersebut, apakah kita setuju bahwa LP sebagai sekolah kejahatan?5

Dalam konteks pemenjaraan, sistem hukuman dalam hukum pidana positif telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini dilatar belakangi karena kurang berhasilnya sistem hukuman yang diterapkan oleh hukum pidana positif, yang akhirnya dibentuklah sistem baru sebagai perubahan dari sistem kepenjaraan. Sistem baru tersebut adalah sistem pemasyarakatan yang kini masih berlaku di negara Indonesia dengan harapan agar lebih baik dan efektif dari sistem-sistem sebelumnya.

Berbeda dengan hukum pidana positif, dalam pidana Islam bahwa masalah hukuman tidak banyak permasalahan, apalagi perubahan-perubahan seperti dalam hukum pidana positif, karena setiap pelaku kejahatan mayoritas sudah ada ketetapannya dalam nash. Misalnya, hukuman bagi pencuri dikenai hukuman potong tangan, bagi pezina dikenai hukuman dera atau rajam, bagi pembunuh dikenai hukuman qisas, dan lain sebagainya. Dalam hukum pidana Islam, hukuman penjara merupakan hukuman alternatif yang didasarkan pada ijtihad hakim, sebagaimana halnya dengan ijtihad Khalifah Umar yang memenjarakan orang-orang yang tidak membayar hutang.6

Dengan memperhatikan fenomena yang telah diuraikan di atas, baik dalam hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dalam sebuah penelitian yang diajukan sebagai skripsi dengan judul “TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK MENJADI RESIDIVIS (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelasa II A Wanita Tangerang)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dan untuk memudahkan penyusunan skripsi

ini, maka penulis memberikan pembatasan dan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Pembatasan Masalah

a. Mendeskripsikan secara umum tempat atau lokasi penelitian, yaitu Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II A Wanita Tangerang.

4 Ibid., h. 43 5 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, op.cit., h. 43 6 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. ke-5, h. 260

56

b. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya residivis setelah keluar dari

Lembaga Pemasyarakatan, dari tahun 2000-2005.

c. Penelitian ini tidak difokuskan pada kejahatan tertentu, misalnya napza, tetapi kejahatan

secara umum yang ada di LP Kelas II A Wanita Tangerang, yaitu napza, aborsi, penelantaran

anak, dan pembunuhan.

2. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, pokok masalah yang akan diteliti adalah

apa saja upaya LP Kelas II A Wanita Tangrang dalam mencegah pengulangan

kejahatan (residivis). Berdasarkan batasan masalah di atas, untuk menghindari

ketidakjelasan arah pembahasan, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut:

a. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya residivis?

b. Apa saja Agenda Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

c. Langkah Preventif apa saja yang diupayakan LP Kelas II A Wanita Tangerang agar

narapidana tidak menjadi residivis? Dan bagaimana hasilnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui langkah preventif yang diupayakan LP Kelas II A Wanita

Tangerang agar narapidana tidak menjadi residivis. Sedangkan secara rincinya sesuai

dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah

mendeskripsikan secara empiris beberapa pemasalahan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui deskripsi umum LP Kelas II A Wanita Tangerang.

57

b. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang residivis, macam-macam bentuknya,

serta sistem pemidanaannya.

c. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pola pembinaan atau kerangka

teoritik pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, dan langkah

preventif yang diupayakan LP Kelas II A Wanita Tangerang agar narapidana

tidak menjadi residivis.

2. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat dalam penelitian ini, di antaranya:

1. Bagi penulis, penulisan ini akan berguna untuk memperluas dan menambah wawasan tentang

upaya preventif pengulangan kejahatan khususnya di LP Kelas II A Wanita Tangerang. Di

samping itu, berguna untuk menyelesaikan tugas akhir, yaitu skripsi Program Studi Pidana

Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bagi kalangan civitas akademika, penelitian ini diharapkan akan menambah khazanah tentang

upaya preventif lembaga pemasyarakatan dalam menangani narapidana agar tidak menjadi

residivis, khususnya LP Kelas II A Wanita Tangerang.

3. Bagi masyarakat umum, penulisan ini dapat menjadi informasi untuk memperluas wawasan

tentang LP Kelas II A Wanita Tangerang pada khususnya dan Lembaga Pemasyarakatan yang

ada di Indonesia pada umumnya dan upaya yang dilakukan dalam menangani pengulangan

kejahatan dalam hukum positif.

D. Metode Penelitian

Karena studi ini penelitian lapangan (field research), maka metode yang digunakan

adalah metode yang sesuai dengan penelitian lapangan. Untuk mengumpulkan data dalam

penulisan skripsi ini, di bawah ini akan dijelaskan metode tersebut:

D. 1. Jenis Data

58

Adapun jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara alamiah dan kualitatif mengenai upaya yang diusahakan LP Kelas II A Wanita Tangerang agar narapidana tidak menjadi residivis. Dalam penggalian data ini, penulis terjun langsung ke LP Kelas II A Wanita Tangerang yang bertujuan untuk memperoleh data yang valid dan akurat.

Penelitian ini juga termasuk penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan metode pengkupasan dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

D. 2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari wawancara atau interview secara

mendalam dengan responden narapidana dan pengurus LP.

b. Sumber data skunder, yakni bahan-bahan tambahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, yaitu data-data yang diperoleh dari Al-Qur’an, Sunnah, buku-buku

umum, buku-buku Islam, dan data-data tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan judul

skripsi ini.

D. 3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Penggunaan bahan dokumen, berupa perundang-undangan, keputusan Menteri Kehakiman,

dan bahan-bahan yang didapat dari sumber data primer dan sekunder.

b. Wawancara atau Interview: Untuk mendapatkan bahan-bahan yang berupa langkah-langkah

yang diusahakan dalam upaya pencegahan agar narapidana tidak menjadi residivis dan untuk

melengkapi data-data yang obyektif mengenai prakteknya di lapangan, maka penulis

mengadakan wawancara dengan: Kepala LP Kelas II A Wanita Tangerang, Kepala Seksi

Bimbingan Narapidana, Kepala Sub Seksi Urusan Umum, Kepala Sub Seksi Bimbingan

Masyarakat dan Perawatan, Kepala Sub Seksi Registrasi, Kepala Seksi Kegiatan dan Kerja,

Kepala Kesatuan Keamanan LP, dan wawancara dengan enam narapidana yang berada dalam

lembaga tersebut untuk dijadikan responden sebagai modal dasar untuk memperoleh data-data

yang kongkrit dan obyektif. Dalam wawancara dengan narapidana tersebut, penulis

59

mewawancari tiga orang residivis dan mengambil satu orang narapidana dari setiap jenis

kejahatan. Dengan pertimbangan, sebagai perwakilan dari setiap jenis kejahatan yang ada di

LP Kelas II A Wanita Tangerang.

D. 4. Teknik Analisis Data

Karena jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, maka pengolahan datanya melalui beberapa tahapan. Pertama, dilakukan transkripsi hasil wawancara. Kedua, dilakukan pengeditan data hasil wawancara dan bahan-bahan tertulis. Ketiga, dilakukan analisis terhadap data sekaligus pemaknaan atas data. Selain itu, sifat analisis data dalam penelitian ini juga bersifat deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam dan apa adanya.

D. 5. Teknik Penulisan

Teknik Penulisan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku

di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini

maka buku penentuan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Cetakan ke-1, 2005.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi hasil penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab dalam sistematika sebagai

berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan

terakhir sistematika penulisan laporan.

Bab kedua dideskripsikan tentang Lembaga Pemasyarakatan dan Residivis dalam

Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Di dalamnya dijelaskan tentang Pengantar dan

60

Sekilas Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) di Indonesia; dan Residivis dalam Perspektif

Hukum Islam dan Hukum Positif.

Bab ketiga dijelaskan tentang Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tangerang.

Di dalamnya dideskripsikan tentang Sejarah Berdiri dan Letak Geografis LP Kelas II A Wanita

Tangerang; Situasi dan Kegiatan Sehari-hari di LP Kelas II A Wanita Tangerang; dan Struktur

Organisasi dan Peranan Petugas LP Kelas II A Wanita Tangerang.

Bab keempat upaya LP Kelas II A Wainta Tangerang dalam mencegah pengulangan

kejahatan (residivis) yang berisikan antara lain: Agenda Pembinaan Narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan; Analisis terhadap Pelaksanaan Agenda Pembinaan, dan Hasil Pembinaan Lapas

Kelas II A Wanita Tangerang.

Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan terhadap keseluruhan isi

skripsi hasil penelitian dan diakhiri dengan beberapa saran dalam rangka perbaikan dan upaya

yang lebih maksimal lagi dalam mencegah pengulangan kejahatan yang diupayakan LP Kelas II A

Wanita Tangerang.

61

BAB II

LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RESIDIVIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Pengantar dan Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) di Indonesia dan Islam

A.1.Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia

A.1.a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia

Untuk memahami definisi atau pengertian Lembaga Pemasyarakatan (LP atau Lapas)

secara komprehensif, maka perlu dibahas mulai dari segi etimologi baru kemudian dari segi

terminologi.

Secara etimologi, Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari dua kata, yaitu kata lembaga dan

pemasyarakatan. Lembaga berarti badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu

penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.7 Sedang pemasyarakatan berasal dari kata

masyarakat, yang mendapat awalan pe dan akhiran an, yang berarti menjadikan orang diterima

kembali dalam masyarakat.8

Pengertian Lembaga Pemasyarakatan secara terminologi dapat kita ketahui dalam surat

keputusan kepala direktur pemasayarakatan No. K. P.10/3/ 1, Jakarta 8 Februari 1985 sebagai

berikut :

Pemasyarakatan adalah suatu proses terapeutik, di mana narapidana pada waktu masuk lembaga pemasyarakatan berada dalam keadaan tidaklah harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan berbagai unsur masyarakat, lalu narapidana menjalani pembinaan yang tidak lepas dari dan bersama unsur-unsur lain dalam masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan (negatif). Tegasnya pemasyarakatan adalah proses kehidupan negatif antara narapidana dengan (unsur-unsur dari) masyarakat yang menjalani pembinaan-pembinaan, mengalami perubahan-perubahan yang menjurus

7 Team Penyusun Kamus (ed.) (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya,

Balai Pustaka), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. ke-4, h. 582 8 Ibid., h. 741

62

dan menjelma sembuh menjadi kehidupan yang positif antara narapidana dengan unsur-unsur masyarakat. 9

Dari pengertian di atas dapat dirumuskan, bahwa lembaga pemasyarakatan adalah suatu

badan atau instansi yang mengelola dan membina para narapidana pada waktu masuk lembaga

pemasyarakatan dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat, karena akibat dari ulah

perbuatannya, akhirnya dengan pembinaan dan pengelolaan tersebut agar dapat diterima kembali

oleh masyarakat.

A .1.b. Sekilas Sejarah Penjara (Lembaga Pemasyarakatan) di Indonesia

Menurut R.A. Koesnoen, sejarah penjara (boei) di Indonesia, untuk pertama kali

dibangun pada tahun 1602 yang berdomisili di Batavia.10

Namun, menurut Bambang Poernomo, SH. yang berdasarkan hasil penelitiannya di

musium Fatahillah yang dibangun pada tahun 1626 disebutkan, bahwa rumah boei baru dibangun

sesudah tahun 1621, ketika Belanda sudah mempunyai kekuatan di pusat pemerintahan Batavia.

Hal tersebut beralasan, bahwa pada tahun 1602 VOC baru didirikan, dan Belanda belum

mempunyai kekuatan yang tetap, karena mereka masih berperang dan berjuang merebut daerah

Pasai, melawan pasukan pedagang-pedagang Inggris dan Portugis serta Spanyol di sepanjang

pantai kota-kota Banten, Gresik, Ambon, Ternate dan lain-lain. Pada tahun 1609 Jenderal Pieter

Both baru datang ke Indonesia untuk berunding dengan Pangeran Wijaya Kusuma tentang usaha

mendirikan kantor dagang di sebelah Timur Ciliwung, setelah kekuatan Inggris di Bandar Jakarta

dapat disingkirkan oleh Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1618. Setelah itu dengan bantuan

Pangeran Wijaya Kusuma, pada tahun 1621 baru didirikan kota Benteng Batavia tahun 1621.

Sehingga kemungkinan besar boei baru didirikan sesudah tahun 1621.11

9 Romli Atmasasmita, Dari Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), Cet. ke-1, h. 159 10 R.A. Koesnoen, Politik Penjara Nasional, (Bandung; Sumur Bandung, 1987), Cet. ke-4, h. 53 11 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1989), Cet. ke-3, h. 127

63

Sedangkan mengenai hukuman di Indonesia, pada akhir abad XVI sudah dikenal beberapa jenis hukuman (pidana) di antaranya; pidana mati, siksaan badan, denda, peringatan, pembuangan, dikeluarkan dari lingkungan adat masyarakatnya, penyitaan barang, dikurung, penghinaan kehormatan, dijadikan budak dan kerja paksa. Kemudian pada zaman VOC pada tahun 1602-1800, zaman peralihan (1800-1811), zaman Prancis – Belanda, yakni zaman Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) dikenal adanya pidana kurungan (mengerjakan pembersihan bui) dan pidana rantai (kerja berat).12

Pada zaman pemerintahan Inggris (1811-1816) oleh Raffles dihapuskan pidana-pidana yang dapat membuat cacat badan, juga diperintahkan supaya diadakan pembagian narapidana berdasarkan jenis kejahatan serta direncanakan pembangunan gedung-gedung penjara. Akan tetapi sayang usaha-usaha dan rancangan-rancangan Raffles yang cukup baik itu tidak dapat diwujudkan karena tidak dituruti (dipatuhi) oleh para pejabat eselon bawahannya. Sedangkan pada zaman Hindia Belanda (1816-1842), berdasarkan Ordonasi tanggal 6 Mei 1872) (IS. 1872, No. 85) diumumkan Wetboek van Strafrecht (WvS) untuk golongan bangsa Indonesia yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1876. WvS ini berdasarkan WvS tahun 1866 yang berlaku khusus bagi golongan bangsa Eropa, hanya susunan pidananya saja yang berbeda. Bagi golongan bangsa Indonesia masih tetap berlaku pidana mati, kerja paksa dengan rantai atau tidak, pidana penjara paling sedikit delapan hari dan denda.13

Kemudian pada tahun 1915 dengan Koninklijk Besluit (KB) tanggal 5 Oktober 1915 No. 33 (IS. 1915 No. 732) dimasukkan WvS baru ke Indonesia dan dengan KB tanggal 4 Maret 1917 No. 46 (IS.1947 No. 497) dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1917. WvS ini berlaku umum dengan susunan jenis pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 10-nya (KUHP sekarang) di mana pidana penjara menjadi salah satu jenis hukuman pokok di samping pidana mati, kurungan, dan denda.14

Pidana penjara yang dimaksudkan itu adalah pidana hilang kemerdekaan di mana pelaksanaannya dilakukan dalam penjara. Sejak itu bangunan-bangunan penjara dalam arti yang sebenarnya telah ada. Sejak itu pula penjara dengan ”Sistem Kepenjaraan”–nya mulai memainkan peranan penting, yaitu perlakuan terhadap narapidana dan anak didik yang berada di bawah spektrum pencegahan kejahatan, khususnya pencegahan pengulangan kejahatan dengan melalui jalur ajaran yang menganggap tujuan pidana sebagai pembalasan.15

Sistem kepenjaraan adalah sistem perlakuan terhadap narapidana, di mana sistem ini adalah merupakan tujuan dari pidana penjara. Bagi mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh Pengadilan dijatuhi hukuman (pidana) penjara dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka oleh Pengadilan orang yang sudah dijatuhi hukuman tadi itu kemudian dikirim ke penjara untuk melaksanakan dan menjalani hukumannya sampai habis masa pidananya. Di tempat ini orang yang bersalah tadi diperlakukan sedemikian rupa dengan menggunakan sistem perlakuan tertentu (berupa penyiksaan dan hukuman badan lainnya) dengan harapan agar si narapidana betul-betul merasa tobat dan jera sehinga kemudian tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan ia masuk penjara. Dengan perlakuan sebagaimana digambarkan di atas tidak lain adalah merupakan tujuan dari pidana penjara yang pelaksanaannya dilakukan pada suatu tempat yang berupa bangunan yang khusus dirancang untuk itu kemudian diberi nama dengan ”bangunan penjara”.

12 Ibid., h. 23 13 A. Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, (Bandung: CV. Armico, 1988), Cet. ke-1, h. 25 14 Ibid., h. 25 15 Ibid., h. 26

64

Setelah Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pelaksanaan pidana

penjara masih belum banyak memperoleh kesempatan untuk diperbaiki, dan reglemen penjara

(Gestichten Reglement) 1917 masih tetap berlaku. Hal ini didasarkan pada pasal 2 Aturan

Peralihan UUD 1945 dan pasal 1 Peraturan Persiden Republik Indonesia No. 2, tanggal 10

Oktober 1945.16

Pada masa-masa berikutnya para jawatan kepenjaraan berusaha meningkatkan realisasi

pembaharuan pidana penjara dan penetapkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam reglemen

1917, melalui konferensi-konferensi dinas. Di antara konferensi-konferensi yang pernah

dilaksanakan antara lain:17

1. Konferensi Dinas Kepenjaraan yang dilaksanakan di Nusa Kambangan pada tanggal 12-15

Nopember 1951: dari konferensi tersebut menghasilkan antara lain mengenai perawatan sosial

narapidana dan peningkatan pendidikan pegawai.

2. Konferensi Dinas Kepenjaraan berikutnya pada tanggal 21-25 Juli 1956 di Sarangan, yang

menghasilkan ketetapan tentang upaya kepenjaraan, yang pada prinsipnya pidana penjara

berupaya mengembalikan seorang narapidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik,

sehingga perlu ditingkatkan usaha-usaha ke arah pendidikan, pekerjaan narapidana, kegiatan

rekreasi, urusan pidana bersyarat dan proses pelepasan bersyarat harus ditingkatkan.

Dan pada tahun 1964, ada perubahan sistem kepenjaraan di Indonesia. Hal ini didasarkan

pada hasil konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang pertama pada tanggal 27 April – 7

Mei 1964 yang bertempat di Lembang, Bandung dan menghasilkan rumusan tentang dasar-dasar

usaha pemasyarakatan terhadap narapidana. Bahkan hasil rumusan-rumusan dari konferensi

terakhir ini dijadikan landasan untuk pembinaan sistem pemasyarakatan di Indonesia, hingga

16 Departemen Penerangan, Himpunan Perundang-undangan RI 1945, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, t.th.), h. 37 17 Bambang Poernomo, op. cit., h. 139

65

kini.18 Hal ini bertitik tolak dari pandangan Dr. Sahardjo, SH19 bahwa tujuan dari pidana penjara

di samping menimbulkan rasa derita pada narapidana yang dihilangkan kemerdekaannya bergerak,

juga untuk membimbing narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota

masyarakat Indonesia yang berguna.20 Singkatnya tujuan dari pidana penjara adalah

pemasyarakatan.

Adapun rumusan-rumusan yang dihasilkan oleh konferensi Lembang tahun 1964 terdiri

atas sepuluh rumusan, yaitu: 21

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga

yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balasan dendam dari Negara.

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat sebelum ia

masuk lembaga.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat

dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya

diperuntukan bagi kepentinggan lembaga atau Negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus

ditunjukan untuk pembangunan Negara.

7. Bimbingan dan pendidikan harus berdasarkan azas Pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah

tersesat.

9. Tidak boleh ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.

10. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. Sarana fisik bangunan lembaga,

dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

18 Achmad S. Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Jakarta: BPHN, 1979), Cet. ke-1, h. 12-13

19 Pada tanggal 5 Juli 1963, oleh Universitas Indonesia dianugrahkan gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum kepada Sahardjo,SH yang pada kesempatan itu, beliau mengemukakan pidato dengan judul ” Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila – Manipol/Usdek ”, di mana selain dikemukakan konsepsi tentang hukum nasional, yang digambarkan dengan sebuah pohon beringan yang melambangkan pengayoman, juga dikemukakan pandangannya tentang pohon beringin itu, sebagai penyuluh bagi para petugas dalam memperlakukan narapidana. Lihat, R. Achmad S. Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita, op. cit., h. 13 20 Achmad S. Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita, ibid.,h. 13 21 Bambang Poernomo, op.cit., h. 140

66

Sepuluh prinsip di atas merupakan pokok aturan dan metode untuk pelaksanaan pidana

penjara di Indonesia. Demikian sekilas sejarah pidana penjara di Indonesia, sampai pada sistem

pemasyarakatan yang masih berjalan sampai saat ini.

A .1.c .Fungsi dan Tujuan Lembaga Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan berbeda dengan sistem kepenjaraan, yang mana dalam sistem

kepenjaraan tersebut, cara pemidanaan masih menitikberatkan kepada pengenaan unsur badan.

Oleh karena itu sistem tersebut banyak mendapat kecaman dari masyarakat, karena dianggap tidak

manusiawi. Akhirnya pemerintah mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan

yang mempunyai fungsi berbeda dengan sistem kepenjaraan.

Adapun fungsi Lembaga Pemasyarakatan antara lain:22

1. Sebagai tempat penampungan para narapidana dan tahanan

Maksudnya adalah untuk memisahkan mereka dari masyarakat agar tidak terjadi

penularan kejahatan yang disebabkan oleh pengaruh mereka.

2. Sebagai tempat pendidikan dan pemidanaan

Maksudnya adalah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami

konflik/anti sosial, yaitu dengan pembinaan mental, pembinaan sosial, pendidikan

keterampilan dan lainnya. Bimbingan dan pembinaan tersebut tentunya disesuaikan dengan

kemampuan para pembimbing juga kemampuan serta kebutuhan narapidana.23

Mengenai tujuan diadakannya LP/Lapas pada dasarnya adalah sama dengan tujuan

pemidanaan, dengan alasan bahwa tujuan yang dikemukakan oleh Lembaga Pemasyarakatan

berpijak dari tujuan pemidanaan. Dengan demikian hukum pidana sebagai pengayom yang

bersifat mendidik, membimbing dan memperlakukan narapidana sesuai dengan harkat

kemanusiaan yang dilaksanakan dengan sistem kemasyarakatan yang dilengkapi dengan

tujuan yang beraspek membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana. 22 A. Widiada Gunakaya, op.cit., h. 60 23 Bambang Poernomo, op.cit., h. 188

67

A.2. Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) Dalam Islam

A.2.a. Pengertian Penjara dalam Hukum Islam

Para fuqaha (Pakar Hukum Islam) tampaknya tidak ada kesepakatan dalam memberikan

istilah tempat yang diperuntukan bagi para pelanggar hukum. Ada yang menggunakan istilah

.tempat tahanan الحبس yakni penjara, dan ada pula yang menggunakan istilah kata السجن

Menurut penulis penggunaan dua istilah tersebut (penjara dan tahanan) pada hakikatnya adalah

sama, yaitu mematikan aktivitas dan kreativitas seseorang yang melakukan tindak pidana.24

Adapun mengenai pengertian penjara, penulis akan membahasnya secara etimologi dan

terminologi.

Secara etimologi penjara dikenal dengan السجن yang bentuk jamaknya

yang artinya tempat penahanan. 25 المحبس berarti سجون

Sedangkan secara terminologi atau istilah syara' penjara ialah seperti dikutip oleh Abdul

Aziz Amir sebagai berikut: " Tahanan ialah bukan menahan seseorang pada tempat yang sempit,

tetapi yang dimaksud tahanan tersebut ialah merintangi dan menghalangi tindakan itu sendiri,

tempat penahanan tersebut, baik di rumah, di masjid ataupun tempat lainnya."26 Definisi ini, sesuai

dengan penjara yang terjadi pada masa Nabi SAW. dan Abu Bakar karena penyebaran Islam pada

waktu itu belum begitu luas. Sedangkan setelah Islam tersebar secara luas, maka definisi penjara

adalah suatu tempat yang membatasi kemerdekaan seseorang dan menyakiti jiwanya.27 Senada

dengan definisi itu adalah meletakkan terpidana/narapidana pada salah satu rumah penjara umum

yang dipekerjakan di dalam rumah penjara tersebut atau di luarnya menurut tempat-tempat yang

ditentukan oleh pemerintah.28

24 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri al-Jina’i al-Islami,(Kairo : Dar Al-Fikr, 1994), Jilid II, h.

891 25 Lois Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut: Dar Al-Masyruq, t.th.), h. 322

26 Abdul Aziz Amir, At-Ta’zir fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, (Libanon: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, 1980), h. 361

27 Ibid., h. 362 28 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. ke-5,

h. 324

68

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa penjara dalam Islam adalah suatu

tempat yang dimaksudkan untuk menahan seseorang yang telah melakukan tindak pidana agar ia

tidak mengulangi perbuatannya lagi, dan penahanan tersebut dimaksudkan untuk mendidik si

pelaku untuk mampu memperbaiki diri dari hal-hal yang dilarang syara’.

A.2.b.Sejarah Perkembangan Penjara dalam Islam

Masalah penjara sebetulnya sudah ada semenjak dahulu, di antaranya adalah pada masa

Nabi Yusuf, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an dalam surat Yusuf ayat 33 sebagai berikut :

Yusuf berkata: “ Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka ( Julaiha ) kepadaku.” (Q.S. Yusuf: 33)

Memang pada awal masa pemerintahan Islam, terutama pada masa Nabi dan Khulafa

Ar-Rasyidin, menurut pendapat yang rajih [yang dapat dipercaya] masalah penjara belum dikenal

pada masa itu. Namun jika pengertian penjara yang dikenal dengan istilah الحبس maka penjara

yang demikian itu sudah dikenal pada masa itu, dan Nabi menyebut tahanan itu sebagai tawanan.29

Fuqaha berbeda pendapat mengenai, apakah Nabi dan Abu Bakar mempunyai penjara

dan pernah menahan seseorang. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa baik Nabi maupun Abu

Bakar tidak pernah membangun penjara dan juga tidak pernah memenjarakan seseorang.

Sementara pendapat yang lain mengatakan, bahwa Nabi pernah memenjarakan seseorang yang

dicurigai membunuh ketika beliau berada di Madinah, dan beliau juga pernah memenjarakan

seseorang yang dicurigai melakukan tindak pidana lainnya. Namun pemenjaraan tersebut hanya

berlangsung beberapa saat, tetapi tidak ada petunjuk yang memberikan keterangan bahwa Nabi

mempunyai tempat penjara khusus.30

29 Abdul Aziz Amir, op.cit., h. 362

30 Ibid.

69

Pada masa pemerintahan Umar, ketika masyarakat sudah mulai meluas, beliau membeli

rumah Sofwan bin Umayah di Mekah seharga 4000 dirham. Rumah ini diperuntukan khusus buat

penjara. Itulah penjara yang pertama kali dalam Islam dan Umar mulai memanfaatkan penjara

tersebut, yaitu dengan memenjarakan Hutai’ah, seorang penyebar fitnah. Sedangkan pada masa

Utsman bin Affan, beliau pernah memenjarakan Dhoby Abi Al-Harits, seorang pencuri dari Bani

Tamim. Adapun biaya hidup mereka (para tahanan) ditanggung sendiri oleh mereka atau dengan

cara mengumpulkan dana dari para dermawan. Namun setelah Ali berkuasa, beliau merombak

sistem ini, dan biaya hidup mereka diambil dari Baitul Mal.31

Pada masa pemerintah Umar bin Abdul Azis, beliau adalah orang yang sangat sayang

terhadap narapidana. Bahkan ia memerintahkan kepada pengawalnya agar jangan sekali-kali orang

yang berada dalam penjara dalam keadaan terikat sehingga mereka tidak mampu sholat sambil

berdiri, kecuali orang yang memang tertuduh sebagai pembunuh, walaupun mereka memang

hanya diberi biaya sesuai dengan kemaslahatannya.32

Pada masa Abbasiyah, orang yang terpidana terkadang dikurung di rumah mereka

masing-masing atau di rumah seseorang yang dipercaya, atas izin pemerintah. Khalifah Harun Al-

Rasyid pernah memenjarakan rival politiknya di rumah Fadhol bin Robi’. Namun ia diperlakukan

sebaik mungkin, dengan makanan yang cukup, tercatat juga bahwa Harun Al-Rasyid mempunyai

satu rumah penjara untuk orang-orang tertentu. Rumah penjara ini dikenal dengan Dar As-Sindi

bin Sahiq. Penjara ini khusus dipakai untuk memenjarakan para tahanan politik dan para terpidana

yang diharapkan dapat kembali ke jalan kebaikan. Harun Al-Rasyid juga pernah meminta kepada

Qadi Abu Yusuf untuk menyusun suatu peraturan tertentu yang berisi tentang cara-cara

memperlakukan narapidana. Kemudian disusunlah kitab peraturan-peraturan mengenai hal itu.

Peristiwa dan sistem ini mendahului cara-cara yang dipergunakan orang Eropa sekitar 10 abad.33

31 Ibid., h. 363

32 Ibid., h. 364 33 Ahmad Fathiy Bahansi, Al-Uqubah fi Al-Fiqh Al-Islami, ,(Kairo : Maktabah Darul Urubah, t.th.), h. 208-209

70

A.2.c. Fungsi Penjara dalam Hukum Islam

Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan tentang fungsi Lembaga

Pemasyarakatan. Dari uraian tersebut diperoleh suatu gambaran bahwa fungsi lembaga

pemasyarakatan yang sampai saat ini masih berjalan di Indonesia antara lain sebagai tempat

penahanan, sebagai tempat pembinaan dan pendidikan, dan sebagai lembaga pemasyarakatan

sesuai dengan namanya.

Adapun fungsi penjara dalam hukum Islam hampir sama dengan fungsi penjara yang

dikemukakan hukum positif, yaitu :

1. Sebagai Tempat Penahanan

Sesuai dengan yang telah diuraikan di atas tentang pengertian penjara dalam Islam,

bahwa penjara adalah sebagai tempat penahanan, penahanan yang dimaksud hanya untuk

merintangi dan menghalangi tindakan seseorang untuk melakukan sesutu yang dilarang oleh

syara’.34

2. Sebagai Lembaga Pembinaan dan Pendidikan

Seseorang yang dimasukan ke dalam penjara, bukan berarti dibiarkan begitu saja, namun

mereka diberikan berbagai pendidikan dan pembinaan, terutama pendidikan yang bersifat

keagamaan, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi narapidana serta mencegah mereka

agar tidak berbuat kejahatan kembali, dan juga untuk mengarahkan mereka agar menjadi

manusia yang taat kepada Allah SWT., sehingga mereka takut untuk melakukan kejahatan.35

3. Sebagai Lembaga Pemasyarakatan

Hukum Islam dalam memperlakukan narapidana tidak semata-mata sebagai tahanan,

namun diperhatikan pula hak-hak kemanusiaannya, bahwa manusia adalah sebagai makhluk

34 Ibid., h. 322 35 Abdul Qadir Audah, op .cit., h. 609

71

sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya unsur lain. Hal ini sesuai dengan firman

Allah sebagai berikut :

Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah ciptakan kamu dari seorang pria dan wanita, lalu kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling berhubungan dengan baik. Sesungguhnya yang palin mulia di sisi Allah ialah yang paling taqwa di antaramu.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)

Dari ayat di atas jelaslah, bahwa kehidupan bermasyarakat dalam hukum Islam betul-

betul sangat dibutuhkan. Meskipun seseorang itu telah ditahan, tetapi apabila ia telah bertobat atas

segala kesalahan yang dilakukannya dan berjanji tidak mengulangi tindak pidananya tersebut,

maka ia diberi kebebasan untuk kembali kemasyarakat.

B.Residivis dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

B.1.Residivis dalam Perspektif Hukum Islam

B.1.a.Pengertian Residivis

Pada prinsipnya dasar-dasar hukum pengulangan jarimah (tindak pidana) dalam hukum

Islam telah ada sejak 14 abad yang lalu. Namun sangat disayangkan banyak orang tidak

mengetahuinya.36 Mengenai pengertian residivis, pengulangan, secara bahasa Arab berasal dari

kata: اد ود –ع ود– يع yang mempunyai makna kembali atau mengulangi. Jika ع

dirangkaikan dengan kata al-jarimah atau al-jinayah maka akan mempunyai arti pengulangan

jarimah/residivis (pengulangan tindak pidana).37 Sedangkan kata pengulangan jarimah menurut

36 Ibid., h. 768 37 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,

(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), Cet. ke-1, h. 1331

72

istilah adalah seseorang yang melakukan jarimah yang telah mendapatkan hukuman pada jarimah

yang pertama. Dalam hal ini pengulangan jarimah/residivis terjadi dari seseorang yang melakukan

jarimah secara berulang kali pada seseorang. Setelah menjalankan hukuman secara tuntas atau

sebagian.

Pengulangan jarimah dengan penggabungan jarimah berbeda. Adapun letak

perbedaannya adalah di mana dalam penggabungan jarimah si pelaku jarimah pada kejahatan

pertama belum dijatuhkan hukuman. Sedangkan dalam pengulangan jarimah ini, kejahatan

pertama yang telah dilakukan oleh pelaku telah dijatuhkan hukuman. Dalam pengulangan jarimah

untuk kejahatan yang telah dijatuhkan hukuman, sebenarnya jarimah itu mengikat pelaku jarimah

dan juga hukuman yang dijatuhkan terhadap tindak pidana yang pertama tidak membuat pelaku

jera. Para ulama berpendapat bahwasanya dalam membuat jera pelaku jarimah, bagi setiap pelaku

yang mengulangi kembali perbuatan kejahatannya maka dihukum dengan memperberat hukuman,

di mana dalam hal ini bertujuan untuk membuat pelaku jera.38

Pemberatan hukuman dalam pengulangan jarimah terdapat dua ketetapan yaitu : 39

1. Pada dasarnya hukuman hadd itu merupakan hukuman yang telah ditentukan jumlahnya,

sehingga tidak terdapat ruang untuk ditambah ataupun dikurangi.

2. Sesungguhnya hukuman hadd dijatuhkan untuk menghalangi masyarakat dalam melakukan

jarimah seperti yang telah dilakukan oleh seseorang yang pernah dijatuhkan hukuman.

Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku jarimah tidak semata-mata untuk menghukum

pelaku jarimah dan menjatuhkan tuduhan saja. Pada dasarnya tujuan hukuman adalah untuk

mendidik dan mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya dan menjadi contoh bagi

masyarakat agar tidak meniru perbuatan tersebut.

38 Abdul Qodir Audah , op. cit, h. 766 39 Muhammad Abu Zahroh, al-Uqubah: al-Jarimah Wal Uqubah fil Fiqh al-Islami, (Kairo:

Darul Fikr, 1978), h. 212

73

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian residivis atau pengulangan

dalam hukum Islam adalah sama dengan pengertian yang dikemukakan dalam hukum positif,

yaitu melakukan jarimah (tindak pidana) yang telah mendapatkan hukuman pada jarimah yang

pertama.

B. 1. b. Bentuk-bentuk Residivis

Penghukuman jarimah telah ditetapkan dalam hukum Islam baik dalam Al-Qur’an,

Sunnah, maupun Ijma’. Hanya saja, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam penetapan

dasar penegakan hukuman residivis.

Berdasarkan perbedaan tersebut, seperti dikutip oleh Abdul Qadir Audah bahwa

pengulangan jarimah dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 40

1. Pengulangan Khusus

Suatu jarimah tidak dianggap sebagai pengulangan jarimah kecuali apabila kejahatan

yang dilakukan kedua kalinya oleh pelaku jarimah yang sama atau sejenis dengan jarimah

yang pertama. Apabila terjadi jarimah yang kedua kalinya dan jarimah tersebut tidak sama

dengan jarimah yang pertama (tidak sejenis), maka pelaku jarimah tersebut tidak dianggap

sebagai pelaku pengulangan jarimah.

2. Pengulangan Umum

Adalah dianggap sebagai pengulangan jarimah, apabila jenis kejahatan yang dilakukan

pada jarimah yang kedua kalinya tidak sama atau harus berbeda dengan jarimah yang

pertama.

Dalam hal mengenai waktu dalam pengulangan jarimah ini fuqaha tidak menentukan

batas waktu antara jarimah yang pertama dengan jarimah yang kedua.41

B. 1. c. Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Residivis

Dalam hukum Islam sistem penghukuman terhadap pelaku yang mengulangi kembali

kejahatannya, kemungkinan dapat diperberatnya hukuman bagi pelakunya.42

40 Abdul Qodir Audah , op. cit., h. 766 dan Abdul Aziz Amir, op.cit., h. 505

41 Abdul Qadir Audah, op.cit., h. 767

74

Mengenai penambahan hukuman karena pengulangan, tidak terdapat keseragaman bagi

semua jarimah. Sehingga setiap jarimah terdapat ketentuannya masing-masing.

Dari ketentuan tersebut di atas, sebagai contoh pada pelaku peminum khamr apabila

terjadi pengulangan setelah dijatuhkan hukuman pada perbuatan yang terdahulu. Dia dapat

dikenakan pemberatan hukuman apabila ia melakukan kembali perbuatan tersebut, sebagaimana

dijelaskan dalam sebuah hadits:

ى صلى االله تعالى عليه وسلم أتي بالنعمان قد شرب وقد ورد ان النبرواه (ه و الرابعة امر به فجلد فىفلما آان, فامر به فضربه, ثلاثاالخمر 43)البزار

Artinya:

Dan telah datang seseorang menghadap kepada Nabi Muhammad bersama dengan Nu’man yang telah meminum khamer sebanyak tiga kali, maka Nabi memerintahkan untuk dipukul, maka ketika ia meminum yang keempat kalinya Nabi memerintahkan untuk mencambuknya.(H.R. Al-Bazzar)

Hadits ini menunjukan bahwa pengulangan jarimah mewajibkan ta’zir. Hal ini juga

menunjukan adanya pemberatan dalam penghukuman, karena sesungguhnya pemukulan itu lebih

ringan dari pada jilid, tiga kali minum satu kali pukulan, yang keempat kalinya dijatuhi hukuman

cambuk. Pemberatan hukuman itu karena adanya pengulangan, di mana terdapat pemberatannya

pada alat pemukulnya.

Dalam hadist lain juga disebutkan mengenai pemberatan pada pelaku peminum khamr

yang telah berulang kali melakukan pengulangan jarimah tersebut. Dari Abdullah bin Umar

menerangkan:

: ليه وأله وسلمقال رسول االله صلى االله ع: قال بد االله بن عمرعن عفال عبد . عاد فا قتلوهه فانوجلدوه فان عاد فاجلدب الخمر فارمن ش

42 Ibid. 43 Muhammad Abu Zahroh, al-Uqubah, op.cit., h. 216

75

. لهالخمر فى الرابعة فلكم على أن أقتتونى برجل قد شرب يا: االله 44 )رواه أحمد(

Artinya:

Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang meminum arak cambuklah dia, jika ia mengulanginya, cambuklah, jika ia tetap mengulanginya, maka bunuhlah, Abdulah berkata: hadapkanlah kepadaku seorang peminum arak yang mengulangi perbuatannya untuk yang keempat kali, aku akan membunuhnya. (H.R Ahmad)

Hadits tersebut di atas menunjukan pemberatan hukuman bagi pelaku jarimah yang

mengulangi perbuatannya, dan dalam pemberatan sanksi hukuman dapat juga dalam bentuk

hukuman mati.

Dari penjelasan contoh tersebut di atas, pelaku pengulangan peminum khamr

menyebabkan pemberatan pada hukuman dan hal ini membuka dua pendapat: 45

1. Pemberatan pada alat pemukulnya. Di sini hakim dapat memilihnya dalam menjatuhkan

hukuman, apakah diperberat ataukah diperingan, sementara jumlahnya tetap sama.

Perbedaanya hanya penukaran pada alat eksekusi hukuman.

2. Penambahan hukuman ta’zir, maka hakim dapat menambahkan hukuman karena

pengulangannya itu.

Sebagai contoh yang lain:

Dalam perzinaan jika si pelaku perzinaannya mendapatkan hukuman dera atau jilid. Jika

perbuatan tersebut oleh si pelaku dilakukan kembali, maka dia dapat diperberat hukumannya

dengan alat pemukul.

Jadi, cara pemberatan hukuman pada pelaku jarimah yang melakukan kembali

kejahatannya adalah dengan cara: 46

1. Pemberatan pada alat pemukulnya.

2. Penambahan pada hukuman ta’zir (ditambah dengan hukuman penjara).

44 T. M. Hasbi Asshiddiqie, Koleksi Hadist-Hadist Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki

Putra, 2001), Cet. ke-3, JIlid IX, h. 193 45 Muhammad Abu Zahroh, op.cit., h. 217 46 Ibid, h. 220

76

Demikianlah salah satu contoh sistem penghukuman dalam Islam dan masih banyak lagi

kasus-kasus yang menunjukan pemberatan hukuman terhadap pelaku pengulangan jarimah, yang

tidak dapat diuraikan secara keseluruhan oleh penulis. Hal yang menjadi titik fokus dalam

pengulangan jarimah ini adalah jika seandainya suatu jarimah yang pertama telah dijatuhkan

hukuman dan dia mengulangi kembali jarimah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan untuk

diperberatnya suatu hukuman. Jika si pelaku kembali lagi melakukan kejahatan setelah

diperberatnya hukuman, maka ia dapat dikenakan sanksi hukuman mati atau dapat pula dijatuhkan

hukuman penjara seumur hidup.47

B.1. Residivis dalam Perspektif Hukum Positif

B.1.a. Pengertian Residivis

Residivis adalah seseorang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan telah

dijatuhi hukuman (vonis) dan hukuman itu telah dijalankan, kemudian ia melakukan kejahatan

kembali.48

Menurut Adeng H. Suadarsa, seperti dikutip Ninik Widianti dan Pujanuraga residivis

ialah orang yang pernah melakukan suatu perbuatan kriminal atau tindak pidana, kemudian

dijatuhkan hukuman dan setelah selesai menjalankan hukumannya itu ia masih juga melakukan

tindak pidana ulangan.49

Sementara S.R Sianturi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan residivis secara umum

adalah apabila seseorang melakukan tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan

tetapi pada jangka waktu tertentu (mis, 5 tahun):

a. Sejak setelah tindak pidana tersebut dilakukan seluruhnya atau sebagian atau

b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan atau

47 Abdul Qodir Audah, op.cit, h. 768 48 Samidjo, Pengantar Pengulangan Indonesia, (Bandung : Armico, 1985), h. 166 49 Ninik Widianti dan Pujanuraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalah Kejahatan

ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, (Jakarta : PT. Pradnya Pramita, 1989), Cet. ke-1, h. 82

77

c. Apabila kewajiban menjalankan pidana itu belum kadaluarsa.

Pelaku yang sama itu kemudian melakukan tindak pidana lagi.50

Hal residivis ini diatur dalam KUHP buku II titel XXXI.

Pasal.486 :

(stbld. 26/359. 429-34/172, 337). Hukuman penjara yang ditentukan pada pasal 127, 204 – ayat

pertama, 244-248, 253-260 bis. 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan

ketiga, 368 ayat pertama dan kedua, sekedar ditunjukan di situ pada ayat kedua dan ketiga, pasal

365, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425,

432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitu juga hukuman penjara sementara yang akan

dijatuhkan menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sekedar

ditunjukan di situ kepada ayat keempat. Pasal 365, dapat ditambah sepertiganya, jika yang

bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat lima tahun sejak ia lepas dari menjalani seluruh

atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang

diterangkan pada pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Pada salah satu pasal 140-143 dan 145-149 atau

sejak ia dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau bila pada waktu membuat kejahatan itu hak

menjalankan hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya.

Pasal.487 :

Hukuman penjara ditentukan pada pasal 131, 140, ayat pertama, 141, 170, 213, 214,338, 341, 342,

344, 347, 348, 351, 353, 355, 438-443, 459 dan 460 begitu pula hukuman penjara sementara yang

akan dijatuhkan menurut pasal 104, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga,

339, 340, 344 dapat sepertiganya, jika pada waktu bersalah itu belum lewat waktu lima tahun

sejak ia lepas dari menjalani seluruh atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan padanya baik

pada salah satu kejahatan maupun yang diterangkan pada pasal-pasal itu karena salah satu

kejahatan yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer pada salah satu

pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109 sekedar

kejahatan yang dibuat itu atau perbuatan yang beserta dilakukan pada waktu itu menyebabkan

suatu luka atau menyebabkan matinya orang, 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 atau sejak ia

dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau pada waktu melakukan kejahatan, hak menjalankan

hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya.

Pasal 488 :

50 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya I, (Jakarta : Alumni

Ahaem, 1996), h.401

78

Hukuman yang ditentukan pada pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321 dan 484 dapat

ditambah sepertiganya, jika pada waktu yang bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat waktu

lima tahun, sejak ia lepas dari menjalani sama sekali atau sebagian hukuman penjara yang

dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak

pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan,

kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.51

Contoh :

A melakukan pencurian, maka dari itu ia diadili untuk diberi keputusan dan hakim

menjatuhkan hukuman misalnya 5 tahun. Setelah A menjalankan hukuman dan dibebaskan

kemudian ia mengulangi perbuatannya lagi dan melakukan pencurian untuk yang kedua kalinya.

Pencurian yang kedua kalinya dilakukan di dalam jangka 5 tahun, setelah ia menjalani

hukuman dan kembali lagi ke dalam masyarakat. Untuk perbuatan pencurian yang kedua kalinya

hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 5 tahun + 1/3 x 5 tahun = 6 tahun 8 bulan, walaupun

ternyata dalam prakteknya hakim jarang sekali menjatuhkan hukuman yang berat.

Adapun yang menjadi dasar diperberatnya hukuman bagi residivis adalah bahwa orang

yang demikian itu membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat dan oleh sebab itu dianggap

merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi residivis/pengulangan

jarimah dalam hukum Islam pada kenyataannya adalah sama dengan definisi residivis yang

dikemukakan hukum positif, yaitu melakukan kejahatan dan telah dijatuhi hukuman dan hukuman

tersebut sudah dijalankan baik setengah maupun seluruhnya.

B.1.b. Bentuk-bentuk Residivis/Pengulangan Tindak Pidana

Mengenai bentuk-bentuk pengulangan tindak pidana, menurut doktrin, dari sudut

sifatnya, sistem residivis itu dapat dibagi dalam dua bagian :

a. Residive Umum (Generale Residive)

51 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), Cet. ke-10, h. 193-194

79

Adalah apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi

hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk

kejahatan apapun, kejahatan tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk memperberat

hukuman.

Contoh :

A melakukan kejahatan pencurian, karena itu, ia dijatuhi hukuman. Setelah A menjalani

hukuman, ia kembali dalam masyarakat itu. Akan tetapi A kemudian melakukan kejahatan

penganiayaan terhadap B.

Berdasarkan residive ini, maka perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan

untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.

b. Residive Khusus (Speciale Residive)

Jenis residive ini terdapat bila :

Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan hukuman oleh hakim.

Kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama,

maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk meperberatkan

hukuman.52

Contoh :

1. Kejahatan terhadap keamanan negara : makar, untuk membunuh presiden, dan

menggulingkan pemerintahan, pemberontakan dan lain sebagainya.

2. Kejahatan terhadap tubuh atau nyawa orang :

Penganiayaan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa dan lain sebagainya.

3. Kejahatan terhadap harta benda : perampasan, pencurian, penggelapan dan penipuan dan

lain sebagainya.53

52 Ibid, h. 186-187 53 S.R. Sianturi, op.cit, h. 402

80

Menurut sistem yang pertama, pengulangan dari pada suatu kejahatan yang manapun,

sudah dilakukan kejahatan itu menyebabkan ditambahnya pidana, sedangkan menurut sistem

kedua hanya pengulangan dari pada kejahatan yang sejenis menyebabkan ditambahnya pidana.54

Mengenai pengulangan tindak pidana ini seperti yang telah diterangkan sebelumnya

diatur dalam KUHP buku ke-II titel ke-31 (pasal 486, 487 dan 488). Maka maksimal pidana

ditambah sepertiganya, akan tetapi dalam hal ini ditentukan beberapa syarat tentang seseorang

dapat dikategorikan sebagai residivis :55

1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus sudah ada keputusan hakim

yang mengandung hukuman.

2. Keputusan hakim tersebut, harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi,

artinya yang mempunyai kekuatan hukum tetap, ini tidak berarti bahwa hukuman itu

harus sudah dijalani.

3. Di dalam pasal 486 dan 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan

dengan perbuatan yang pertama harus merupakan penjara, sedang di dalam pasal 488

tidak ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama.

4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian dan hukuman yang dijatuhkan

terhadap perbuatan yang pertama, jangka waktunya adalah lima tahun.

Contoh:

A melakukan tindak pidana pencurian pada tanggal 2 januari 2000, kemudian A

dijatuhi hukuman penjara 1 tahun, yang dijalani saat itu juga. Pada tanggal 2 januari 2001

setelah ia menjalankan hukuman seluruhnya, A dibebaskan. Kemudian pada tanggal 1 januari

2002, A melakukan perbuatan penggelapan, dengan demikian jangka waktu antara tanggal 1

januari 2001 dan saat perbuatan masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal

486 hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatannya yang kedua tadi, dapat ditambah

dengan sepertiganya.

54 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara baru, 1978), Cet. ke-3, h. 11 55 Ibid.

81

Akan tetapi, apabila setelah dibebaskan pada tanggal 2 januari 2001, pada tanggal 10

januari 2006 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh dijatuhkan hukuman yang

terberat, karena pada saat dilakukannya perbuatan yang kedua itu telah terletak di luar jangka

waktu.

Mengenai hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertama dilakukan,

dapat diterangkan bahwa apakah hukuman itu telah dijalani seluruhnya atau sebagian atau

walaupun si terhukum mendapatkan ampunan (grasi), hal ini tetap merupakan dasar

pemberatan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap perbuatan yang kemudian dilakukan.56

B. 2. c. Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Residivis.

Sistem penghukuman untuk residivis pada prinsipnya termasuk salah satu pemberatan

maksimum ancaman pidana, atau setidaknya penambahan suatu ketentuan untuk membolehkan

menjatuhkan pidana tambahan.57

Pemberatan hukuman karena pengulangan adalah wajib, yaitu sepertiga. Pasal-pasal 486

dan 487 KUHP menentukan hanya hukuman penjara yang terkena ancaman terhadap delik

diperberat sepertiga, sedangkan pasal 488 KUHP menentukan bahwa hukuman yang diancamkan

terhadap delik-delik yang tercantum dalam pasal ini, termasuk pula hukuman kurungan dan

hukuman denda, dapat juga diperberat sepertiga.58

Pemberatan maksimum ancaman pengulangan tindak pidana ditentukan dalam:

a. pasal 486, (kejahatan yang umumnya mencari keuntungan yang tidak halal), yaitu dapat

menambah maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya apabila terdakwa

mengulangi salah satu delik mengenai:

1. Penyerahan barang (pasal ; 127, 204 ayat 1)

2. Pemalsuan uang (pasal 224-274)

3. Pemalsuan matrai/merek (pasal 253-260 bis)

56 Satochid Kartanegara, op. cit.,h. 188-189 57 S.R. Sianturi, op. cit., h. 404 58 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Tinta Mas, 1986), h. 203

82

4. Pemalsuan surat/ akta (pasal 263, 264,266,274)

5. Pencurian (pasal: 362,363,365, ayat 1,2 dan 3)

6. Pemerasan/ cahantage (pasal; 368 jo 365, 369)

7. Penggelapan (pasal: 372, 374, 375)

8. Penipuan (pasal: 378, 380, 381, 383, 385, 388)

9. Merugikan pemiutang (pasal: 397, 399, 400, 402)

10. Kejahatan jabatan (pasal: 415, 417, 425, 432, ayat 2)

11. Kejahatan pelayaran (pasal: 452, 466, 480, 481) KUHP.

Sedangkan sebelumnya pelaku yang sama telah melakukan salah satu delik tersebut

no.(1) sampai dengan (11) atau salah satu delik pencurian, penadahan atau perusakan

barang (140-143, 145-149) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Militer (KUHPM), yang mana ia telah dijatuhkan hukuman pidana yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Pasal 487 (umumnya kejahatan terhadap tubuh/jiwa orang) yaitu dapat menambah

maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya, apabila terdakwa (yang bersalah)

mengulangi salah satu delik mengenai:

1. Kejahatan terhadap keamanan Negara (pasal 140)

2. Kejahatan terhadap martabat Presiden atau Kepala Negara sahabat (pasal 313, 140,

141)

3. Kejahatan terhadap ketertiban umum (pasal 170)

4. Kejahatan terhadap penguasa umum (pasal 213, 214)

5. Kejahatan terhadap jiwa (pasal 338, 339, 340, 341, 342, 344, 347, 348)

6. Penganiayaan (pasal 351, 353, 355 )

7. Kejahatan pelayaran (pasal 438, 443, 459, 460)

Sedangkan sebelumnya telah melakukan salah satu delik di atas dari poin (1) sampai

dengan (7) atau salah satu delik insubordinasi (106, 107), muiterij (108), pemukulan pada

karyawan (pasal 131) atau penggunaan kekerasan pada orang (pasal 137, 138) KUHPM

yang mana ia telah dijatuhkan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

83

c. Pasal 488 (umumnya kejahatan penghinaan ), yaitu dapat menambah ancaman pidana

dengan sepertiganya apabila terdakwa (yang bersalah) mengulangi salah satu delik

mengenai:

1. Penghinaan terhadap Presiden atau wakil Presiden (pasal 134, 136 bis, 137)

2. Penghinaan terhadap Kepala Negara (Raja yang memerintah) dan Negara sahabat

atau yang mewakilinya (pasal 142, 143, 144)

3. Penghinaan terhadap bangsa Negara sahabat (pasal 142a)

4. Penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia (pasal 207,

208)

5. Penghinaan (pasal 310-321)

6. Kejahatan penerbitan atau percetakan (pasal 483, 484)

Sedangkan sebelumnya pernah melakukan salah satu delik tersebut dari poin 1 sampai

dengan poin 6 di atas, di mana ia telah dijatuhkan hukuman pidana yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.59

Sedangkan jangka waktu yang ditentukan untuk pengulangan tersebut pasal 486, 487,

488 adalah:

a. Ketika ia melakukan kejahatan (ulang) itu, belum lewat lima tahun :

1) Sejak ia menjalani seluruh atau sebagian pidana yang dijatuhkan kepadanya, atau

2) Sejak pidana yang dijatuhkan tersebut baginya sudah dihapuskan ataupun

b. Ketika ia melakukan kejahatan (ulangan) itu, kewenangan menjalankan pidana (yang

dijatuhkan) tersebut belum kadaluarsa.

Jangka waktu pengulangan yang ditentukan pada pasal 137, 144, 208, 216 dan 303 bis

adalah dua tahun sedangkan untuk pasal-pasal: 155, 147, 161, 163 dan 393 adalah lima tahun.

Perhitungan di mulai sejak putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam

59 S.R. Sianturi, op.cit, h. 402-404

84

penerapan ketentuan-ketentuan pasal-pasal: 137, 144, 155, 157, 161, 163, dan 208, yang

ditentukan bukan tambahan pidana pokok, melainkan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa

larangan menjalankan pencaharian tertentu. Untuk penerapan ketentuan pada pasal 216 ancaman

pidana diperberat dengan ditambah sepertiganya: untuk pasal 303 bis dari empat tahun pidana

penjara menjadi enam tahun penjara atau dari denda sepuluh juta rupiah menjadi lima belas juta

rupiah. Untuk pasal 393 juga diperberat dengan setengahnya. Jangka waktu untuk pengulangan

berkisar pada satu tahun atau dua tahun, sedangkan mengenai ancaman pidananya diperberat.60

Apabila si pelaku tindak pidana sudah dijatuhkan hukuman dan mempunyai kekuatan

hukum tetap, maka statusnya berubah menjadi terpidana/narapidana dan selanjutnya dikirim ke

Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas) untuk dididik dan dibina agar tidak mengulangi kembali

kejahatan. Salah satu Lapas yang menjadi tempat pembinaan narapidana adalah Lapas Kelas II A

Wanita Tangerang.

60 Ibid., h. 405

85

BAB III

DESKRIPSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A WANITA TANGERANG

A. Sejarah Berdiri dan Letak Geografis LP Kelas II A Wanita Tangerang

Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita Tangerang merupakan pindahan dari Bukit

Duri yang berada di kawasan Jatinegara Jakarta Timur. Pada zaman penjajahan Belanda rumah

penjara Bukit Duri dijadikan tempat untuk mengeksekusi narapidana yang telah divonis hukuman

mati. Rumah penjara Bukit Duri didirikan pada tahun 1925 di masa penjajahan Belanda. Setelah

Indonesia merdeka, rumah penjara Bukit Duri digunakan pemerintah sebagai asrama polisi seksi

VII. Rumah penjara Bukit Duri ini kemudian diminta untuk dijadikan rumah penjara wanita

karena pada waktu itu penjara yang khusus untuk wanita belum ada, dan pada saat itu LP Wanita

masih disatukan dengan penjara pria di Salemba.61

Karena rumah penjara Bukit Duri keadaan fisik bangunannya sudah tidak memadai dan

tidak memenuhi syarat sebagai bangunan LP, dan di samping itu, tempatnya terlalu ramai dan

berada di tengah kota dan keadaannya kurang terjamin, maka pada tanggal 5 Februari 1981

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Bukit Duri dipindahkan ke daerah Kotif (sekarang Kota

Madya) Tangerang.

Lapas kelas II A Wanita Tengerang merupakan salah satu dari 4 (empat) LP Wanita

yang ada di Indonesia, yakni:

1. LP Wanita Medan

2. LP Wanita Semarang

3. LP Wanita Malang, dan

4. LP Wanita Tangerang

61 Suparsi, Kepala Sub Seksi Urusan Umum LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara

Pribadi, Tangerang, 19 September 2005

86

Lapas kelas II A Wanita Tangerang didirikan pada tahun 1977 dan mulai difungsikan

pada tanggal 5 Februari 1981. Luas tanah LP Wanita Tangerang seluruhnya 78.200 M2, dan tanah

yang telah dipergunakan lapas seluas 16.900 M2 dengan luas bangunan 6.065 M2. Pada tahun

1981 terdapat 13 (tiga belas) unit gedung. Karena dirasakan kurang memadai dan masih

memerlukan bangunan lagi, maka pada tahun 1982/1983 lapas Wanita Tangerang membangun

ruang dapur dan aula. Pada tahun 1987-1988 dibangun laboratium bunga kering. Akhirnya pada

tahun 1990 ditambah lagi 1 ruangan untuk gudang. Maka pada tahun 1990 hingga sekarang lapas

Wanita Tangerang sudah memiliki 17 unit bangunan. Bangunan LP ini berbentuk cottage system

(pavilium system), yang terdiri dari: 62

1. 7 buah bangunan blok (Pavilium) untuk penghuni LP, yakni:

a. Pavilium Kenanga

b. Pavilium Dahlia

c. Pavilium Anggrek

d. Pavilium Anyelin

e. Pavilium Melati

f. Pavilium Mawar

2. 5 buah bangunan untuk kantor

3. 1 buah aula seluas 300 M2

4. 1 buah dapur seluas 200 M2

5. 1 buah gudang seluas 86 M2

6. 1 buah laboratorium bunga kering seluas 84 M2

Fasilitas lain yang ada di LP Wanita Tangerang adalah:

1. Ruang perpustakaan

2. Ruang bimker (bimbingan kerja)

3. Ruang Musholla bagi Islam dan terdapat beberapa ruang ibadah bagi penganut agama lainnya.

62 Ibid.

87

Di antara bangunan-bangunan tersebut terdapat beberapa taman yang yang cukup

terawat. Setiap penghuni blok (pavilium) memiliki kewajiban menjaga kebersihan blok dan kamar

mereka masing-masing, sehingga kondisi blok tersebut terlihat bersih dan rapih.

Sedangkan letak geografis LP Wanita Tangerang, adalah sebagai berikut: Belakang LP

(sebelah Barat) dibatasi oleh jalan Raya Jendral Sudirman, depan LP (sebelah Timur) dibatasi oleh

Jalan Moh. Ahmad Yani, samping kanan (sebelah Utara) dibatasi oleh Kompleks Pegawai LP

Wanita Tangerang, dan samping kiri (sebelah Selatan) LP Laki-laki Dewasa Tangerang.63

B. Situasi dan Kegiatan Sehari-hari Narapidana di LP Kelas II Wanita Tangerang

LP Wanita Tangerang mempunyai kapasitas 250 orang. Posisi penghuni sampai tanggal

2 – 10 – 2005 berjumlah 380 orang (over kapasitas) dengan penilaian sebagai berikut: 64

1. Narapidana : 323 orang

2. Tahanan : 55 orang

3. Anak tahanan : 2 orang

Sudah disinggung di depan bahwa blok-blok yang dihuni narapidana ini dinamai dengan

menggunakan nama-nama bunga seperti blok Melati, blok Mawar, dan lain-lain. Setiap blok

dihuni oleh narapidana dengan kasus tindak pidana yang serupa, misalnya untuk tindak pidana

(kriminal) non narkoba, seperti pembunuhan dan penipuan menempati blok Mawar. Meskipun

demikian antara penghuni blok yang satu dengan penghuni blok yang lain masih dapat

berinteraksi pagi hari. Sekitar jam enam pagi, pintu kamar di dalam blok dibukakan petugas, dan

penghuni boleh melakukan akivitas di luar kamar maupun di luar blok. Sore hari, sekitar jam

enam sore mereka kembali ke kamar di blok mereka masing-masing. Pada hari-hari libur, mereka

diijinkan nonton acara TV di blok masing-masing dengan diawasi petugas.

63 Suparsi, op.cit., 19 September 2005 64 Suryati AR, Kepala Seksi Bimbingan Narapidana (Binapi) LP Kelas II A Wanita

Tangerang, Wawancara Pribadii, Tangerang, 26 September 2005

88

Setiap blok memiliki seorang ketua, yakni semacam ketua blok. Ketua inilah yang

didelegasikan untuk turut serta membantu petugas dalam menjalankan ketertiban aturan-aturan

yang harus dijalankan penghuni.

Lembaga Pemasyarakatan ini memiliki dapur yang cukup luas. Dapur tersebut selain

berfungsi untuk memasak makanan sehari-hari, sesuai dengan menu yang telah ada, juga

dipergunakan untuk memasak makanan sesuai dengan keinginan penghuni lapas. Untuk memasak

makanan tersebut, penghuni memesan bahan-bahan makanan yang diperlukan pada petugas.

Dalam memesan makanan tersebut penghuni dikenai biaya tambahan, biaya tersebut digunakan

untuk pengadaan dan pemeliharaan perlengkapan dapur. Selain itu, bagi penghuni yang berniat

belajar membuat kue-kue, mereka mempraktekan membuat kue dan hasil prakteknya tersebut

dijual pada penghuni lain.

Dalam LP narapidana disediakan berbagai kegiatan yang merupakan bagian dari

pembinaan yang diberikan kepada napi sebagai bekal setelah ia bebas nanti. Adapun aktivitas dan

kegiatan yang dilakukan setiap hari yaitu: membersihkan lingkungan, senam pagi, bengkel kerja,

berkebun, pada hari kamis dan jum’at diperbolehkan menonton televisi, sedangkan pada hari

jum’at sore narapidana belajar karaoke/vocal. Selain itu masih banyak aktivitas narapidana

lainnya baik yang dilaksanakan pada pagi, siang, maupun malam hari.

Berbagai macam aktivitas narapidana serta tempat pelaksanaannya yang ada di LP

Wanita Tangerang, yaitu: 65

1. Aktivitas kegiatan yang berada di ruang kegiatan kerja yaitu: kursus menjahit, menyulam,

salon/tata rias kecantikan, membuat keset, kipas dan bunga kering.

2. Kegiatan/aktivitas yang berada di aula, yaitu: kesenian yang terdiri dari; Kulintang, Gamelan,

Karaoke/vocal group, Qasidah, dan belajar tari.

3. Kegiatan/aktivitas yang dilakukan di luar aula, yaitu di bidang olahraga seperti, bulu tangkis,

tenis meja, senam pagi, dan bola voli.

65 Ibid.

89

4. Aktivitas/kegiatan yang dilakukan di ruang bimbingan kemasyarakatan dan perawatan

(bimaswat) yaitu: keterampilan memasak dan menjahit, sedangkan berkebun dilakukan di

lingkungan LP.

• Bidang pendidikan, yaitu: kursus bahasa Inggris, dan belajar baca hitung

• Bidang kerohanian agama Islam, antara lain; pengajian, baca tulis Al-Qur’an, ceramah

keagamaan.

• Bidang kerohanian agama Kristen, antara lain: kebaktian dan santapan rohani.

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada jadwal kegiatan warga binaan LP Wanita Tangerang, yaitu:

Tabel I : Jadwal Kegiatan Warga Binaan LP Wanita Tangerang

No Kegiatan Senin

Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Kegiatan

ekstra

1 Kerja lingkungan

07.00–08.30 07.00 –08.30 07.00 – 08.30 07.00 – 08.30 07.00 – 08.30 07.00 – 08.30

2 Bengkel kerja 08.00 –14.00 08.00 – 14.00 08.00 – 14.00 08.00 – 14.00 08.00 – 14.00 08.00 – 13.00

3 Berkebun 08.00 –16.00 08.00 –16.00 08.00 – 6.00 08.00 – 16.00 08.00 – 16.00 08.00 – 16.00

4 Agama Islam 09.00 –12.00 09.00 –12.00 09.00 – 2.00 09.00 – 12.00 - 09.00 – 12.00

5 Agama Kristen 09.00 –12.00 09.00 –12.00 09.00 – 2.00 09.00 – 12.00 - 09.00 – 12.00

6 Perpustakaan 12.00 –14.00 12.00 –14.00 12.00 – 4.00 12.00 – 14.00 12.00 – 14.00 12.00 – 14.00

7 Kursus Bahasa Inggris

- 13.30 – 16.30 - - - 13.30 – 16.30

8 Kursus menjahit 08.00– 16.00 08.00 –16.00 08.00 – 6.00 08.00 – 16.00 08.00 – 16.00 -

9 Keterampilan memasak

09.00 –15.00 09.00 –15.00 09.00 – 5.00 09.00 – 15.00 09.00 – 15.00 09.00 – 15.00

10 Belajar baca hitung

14.00 –15.00 - 14.00 – 5.00 - 14.00 – 15.00 -

11 Kulintang 08.00 –10.00 - - - - -

12 Karaoke/vokal - - - - 09.00 – 11.00 -

13 Senam pagi 06.15 –07.00 06.15 –07.00 06.15 – 07.00 06.15 – 07.00 08.00 – 09.00 06.15 – 07.00

14 Belajar menyulam, membuat keset

09.00 –14.00 09.00 – 14.00 09.00 – 14.00 09.00 – 14.00 09.00 – 11.00 09.00 – 12.00

1. Belajar tari 3 x

seminggu jam

menyesuaikan,

peserta 12

orang

2. Balajar

qosidah 2

minggu jam

menyesuaikan,

peserta 10

orang.

3. Volly, senin

s/d jum’at jam

14.30 – 10.30

4. Bulu tangkis,

jum’at jam

09.00 – 10.30

Sumber : Diolah dari Agenda Pembinaan Narapidana yang disusun oleh Seksi BINAPI LP Kelas II A Wanita Tangerang.

Sedangkan hak-hak narapidana, yaitu:

• Mendapatkan pelayanan kesehatan

• Mendapatkan makan 3 x sehari hal ini dapat dilihat jadwal menu makan LP Wanita

Tangerang sebagai berikut:66

Tabel 2: Klasifikasi Menu Makanan Warga Binaan LP Wanita Tangerang

Klasifikasi Menu No Nama hari Pagi Siang Sore 1. Senin Nasi

Oseng-oseng Tempe, labu siem, bubur kacang ijo

Ubi rebus, Nasi Sayur sop, Rendang daging

Sama dengan siang

2. Selasa Nasi Oseng-oseng kangkung Tempe

Ubi rebus, Nasi, Sayur asem Ikan asin goreng

Sama dengan siang

3. Rabu Nasi, Oseng-oseng Tempe kangkung

Ubi rebus, Nasi, Gado-gado, Telor asin, Pisang

Sama dengan siang

4. Kamis Nasi, Oseng-oseng Tempe buncis, Bubur kacang ijo

Ubi rebus, Nasi, Sayur sop, Rendang daging

Sama dengan siang

5. Jum’at Nasi, Oseng-oseng, Tempe Kangkung, Kacang panjang

Ubi rebus, Nasi, Sayur lodeh, Telor asin, Pisang.

Sama dengan siang

6. Sabtu Nasi, Oseng-oseng Tempe toge

Nasi, Urap, Ikan asin goreng

Sama dengan siang

7. Minggu Nasi, Oseng-oseng Tempe, Labu siem

Ubi rebus, Nasi, Sayur asem, Tempe goreng

Sama dengan siang

Keterangan: Telor asin siang ½ sore ½ gizi Sumber : Diolah dari Agenda Tata Usaha bagian Urusan Umum LP Kelas II A Wanita Tangerang

• Mendapatkan remisi, asimilasi dan intergrasi

66 Suparsi, Ibid., Tangerang, 19 September 2005

Remisi berupa potongan masa penahanan. Remisi ini diberikan 2 x dalam setahun, yakni

hari raya keagamaan, sesuai agama dianut narapidana. Pengurangan masa hukuman dari agama

dilaksanakan oleh Departemen Hukum dan HAM.

Dalam rangka persiapan pembauran dengan masyarakat, warga binaan/narapidana

diberikan fasilitas asimilasi melalui program:

• Bekerja dengan perusahaan atau pihak ke-3

• Kerja bakti di luar LP

• Ikut mengunjungi keluarga selama 2 x 24 jam setiap setahun sekali.

Dalam rangka pembinaan intergritas, penghuni LP diberikan program bimbingan

penyatuan hubungan dengan masyarakat berupa: pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

Selain itu narapidana juga mempunyai kewajiban, yaitu: 67

a) Setiap narapidana harus selalu membersihkan pakaian dan merawat alat-alat tidurnya

yang diserahkan padanya.

b) Setiap narapidana diwajibkan memakai seragam yang diberikan oleh Negara dan tidak

boleh membuat sendiri.

c) Setiap narapidana dilarang mengubah potongan pakaian tersebut atau memberikan dan

menukarkan pakaian pada orang lain.

d) Setiap narapidana dilarang membawa perlengkapan tidur maupun perlengkapan makan

sendiri.

e) Setiap narapidana dilarang masuk ke dapur, kecuali yang bertugas piket.

f) Setiap narapidana diwajibkan menjaga kebersihan kamar maupun lingkungannya serta

wajib menjaga kerukunan antara sesamanya, dan saling meghormati baik terhadap

petugas maupun sesamanya.

g) Setiap narapidana yang mendapatkan kunjungan keluarganya dilarang memberi suguhan

(makanan, minuman) kepada pengunjung.

67 Suryati AR., Ibid., Tangerang, 26 Oktober 2005

Dalam kegiatan sehari-hari, narapidana mempunyai hubungan baik dengan petugas

karena ia menyadari bahwa ia dalam LP selalu dalam pengawasan dan pembinaan para petugas.

Hubungan antara narapidana dengan petugas didasari atas prinsip-prinsip pemasyarakatan,

sebagai manusia narapidana juga membutuhkan komunikasi satu dengan yang lainnya yang

merupakan suatu rangkaian dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan hubungan antara

narapidana dengan petugas diperlukan adanya saling pengertian, di mana narapidana merupakan

bagian dari masyarakat yang perlu diayomi, maka petugas harus memperlakukan narapidana

dengan baik.

C. Struktur Organisasi dan Peranan Petugas LP Kelas II A Wanita Tangerang

Lapas Kelas II A Wanita Tangerang mempunyai fungsi yaitu: 68

1. Memberikan bimbingan dan latihan keterampilan kerja bagi para narapidana.

2. Mengembalikan kesehatan dan memberikan perawatan kepada narapidana.

3. Menjaga keamanan dan ketertiban LP beserta isinya.

Lapas Wanita Tangerang mempunyai tujuan, yaitu:

1. Memberikan pengayoman dan bekal hidup agar narapidana dapat menjalankan hidupnya

dengan baik setelah menjalani hukuman dan kembali berintergrasi dengan masyarakat dan

dapat hidup mandiri.

2. Mengembalikan fungsi sosial narapidana sebagai manusia yang bermasyarakat.

3. Memberikan bimbingan dan pembinaan kepada narapidana.

4. Menanamkan saling pengertian dan kesadaran diri bagi narapidana.

5. Menanamkan kedisiplinan melalui beberapa kegiatan yang positif.

Lapas Kelas II A Wanita Tangerang juga mempunnyai tugas yaitu:

1. Melaksanakan pelayanan terhadap narapidana.

2. Melaksanakan ketatausahaan Negara.

68 Suparsi, Ibid., Tangerang, 10 Oktober 2005

3. Memulihkan keamanan dan ketertiban.

4. Melindungi dan menyayangi narapidana.

Jumlah pengawas Lapas Wanita Tangerang adalah 114 orang yang terdiri dari:

1. 14 orang pejabat struktural.

2. 4 orang petugas fungsional (1 orang dokter dan 3 orang perawat).

3. 67 orang petugas keamanan.

4. 28 orang petugas pembinaan dan staf.

Adapun tugas masing-masing seksi (bagian) dari ke 14 pejabat struktural adalah sebagai

berikut:69

1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS). Kalapas kelas II A Wanita Tangerang saat ini

dijabat oleh ibu Asti Wirastuti Bc IP, SH. Ia mempunyai tugas, yaitu:

a) Menentukan dan mengarahkan pegawainya dalam tata pembagian dan hubungan kerja

sesuai dengan ketetapan struktur organisasi yang berlaku.

b) Mengambil langkah-langkah yang diperlukan apabila terjadi penyimpangan sesuai

birokrasi.

c) Melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan bawahan.

d) Bertanggung jawab atas berlangsungnya birokrasi yang berkaitan dengan anak didik

pemasyarakatan/narapidana.

2. Sub. Bagian Tata Usaha. Kepala Sub. TU saat ini dijabat oleh Ibu Rachaini, Bc IP. Ia

bertugas menangani masalah kepegawaian dan keuangan serta masalah rumah tangga Lapas.

Tugas kepala Subag tata usaha adalah membantu sebagian tugas kepala lapas di antaranya: 70

a) Mencatat data pegawai.

b) Mengusulkan kenaikan pangkat.

c) Mengusulkan cuti pegawai.

d) Membuat daftar penerimaan gaji dan pemberian kesejahteraan para pegawai.

69 Suparsi, ibid., Tangerang, 10 Oktober 2005 70 Ibid.

Sub ini membawahi 2 bidang yakni, urusan kepegawaian dan keuangan, dan urusan

umum.71

a. Urusan kepegawaian dan keuangan (URPEGKU). Kepala URPEGKU saat ini dijabat oleh

Ibu Komariah.

b. Urusan umum (URUM. Kepala URUM saat ini dijabat oleh Ibu Suparsi.

3. Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik (BINAPI)72

Kepala seksi Binapi saat ini dijabat oleh Ibu Suryati AR, SH. Seksi ini bertanggung

jawab penuh terhadap pelaksanaan program pembinaan terhadap narapidana, berupa

pembinaan intelektual, mental, dan spiritual. Seksi Binapi ini membawahi 2 sub seksi, yakni

Sub. Seksi Registrasi dan Sub. Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan

(BIMASWAT)

a. Sub Seksi Registrasi

Kepala Sub Seksi registrasi saat ini dijabat oleh Ibu Ngadirah, SH. Sub seksi ini mempunyai

tugas, yakni melakukan pencatatan dalam proses penerimaan napi atau tahanan masuk

maupun yang keluar, membuat statistik penghuni Lapas baik yang masuk maupun yang,

melakukan pencatatan barang/uang yang dibawa atau dimiliki napi ke dalam buku register,

melakukan penghitungan serta penataan bagi narapidana yang mendapat pembebasan

bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas dan tanggal bebas narapiadana,

membuat sidik jari dan pas photo napi, dan membuat usulan remisi bagi napi..

b. Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan (BIMASWAT).

Kepala Sub Seksi BIMASWAT saat ini dijabat oleh Ibu Endang Marlina, Bc IP. Sub

seksi ini di bagi menjadi tiga tugas, yaitu: 73

71 Suparsi, ibid. 72 Suryati AR., op.cit.,Tangerang, 26 September 2005 73 Endang Marlina, Kepala Sub Seksi BIMASWAT LP Kelas II A Wanita Tangerang,

Wawancara Pribadi, Tangerang, 10 Oktober 2005, dan Ngadirah, Kepala Seksi Registrasi LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, Tangerang, 10 Oktober 2005

1) Tugas BIMASWAT yaitu mengisi kartu pembinaan, menyelenggarakan pendidikan

agama, menyelenggarakan kursus keterampilan, membuat social study atau

menginterview narapidana yang masuk, dan membukukan surat-surat narapidana

baik yang masuk maupun yang keluar.

2) Tugas perawatan, yaitu membuat pesanan untuk narapidana makan, memeriksa

makanan napi, dan membuat laporan bulanan perawatan napi.

3) Tugas poliklinik, yaitu memeriksa napi yang baru masuk LP, memberi penyuluhan

kesehatan, mengatur obat-obatan, memeriksa napi dan merawat napi yang sakit dan

pertanggung jawab administrasi kesehatan.

4) Seksi kegiatan atau kerja (GIATJA)

Kepala seksi GIATJA saat ini dijabat oleh Ibu Cut Heny Andriani, Bc IP. Seksi ini

bertanggung jawab untuk menyalurkan keahlian dan keterampilan narapidana dan

merencanakan kegiatan-kegiatan akan dilakukan narapidana. Seksi ini membawahi 2 Sub

Seksi yaitu Sub Seksi bimbingan kerja dan pengelolahan hasil kerja dan Sub Seksi sarana

kerja

a. Sub seksi bimbingan kerja dan pengelolahan hasil kerja mempunyai tugas yaitu

memberikan bimbingan keterampilan kepada narapidana, mengadakan pameran bagi

tamu yang berkunjung ke LP, dan menyetorkan hasil penjualan ke kas Negara melalui

bendahara.

b. Sub seksi sarana kerja, kepala sub seksi ini mempunyai tugas membuat program kerja

setiap bulan, merencanakan pembelian bahan-bahan keterampilan, membagi tugas

pekerjaan dan menerima hasil kerja yang telah selesai, dan merencanakan harga jual beli

dari tiap-tiap unit lebih murah dari harga luar.

5. Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib

Kepala seksi administrasi keamanan dan tata tertib saat ini dijabat oleh Ibu Retno

Yanihardianingsih, Bc IP. Seksi ini bertanggung jawab atas segala masalah yang berkaitan

dengan administrasi keamanan dan pelaporan dari tata tertib. Seksi ini membawahi dua sub

seksi, yaitu sub seksi keamanan dan sub seksi pelaporan dan tata tertib. 74

a) Sub Seksi Keamanan; kepala sub seksi ini dijabat oleh Ibu Sa’adah. Sub seksi ini

mempunyai tugas yaitu menjaga ketertiban kantor, menyediakan alat-alat keamanan,

membuat daftar jaga ragu KPLP (kesatuan pengamanan LP), membuat daftar piket

petugas, meneliti absensi petugas dinas siang dan malam, dan setiap sebulan sekali

bersama KPLP mengadakan penggeledahan ke blok-blok napi.

b) Sub seksi pelaporan dan tata tertib. Kepala seksi ini saat ini dijabat oleh Bapak Jaenudin.

Sub seksi ini mempunyai tugas, yaitu membuat laporan serah terima dari satuan

pengaman yang bertugas, menerima dan meneliti surat izin berkunjung dari keluarga

napi atau tahanan, menerima surat-surat yang akan dikirim kepada keluarga napi.

6. Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) 75

Kepala KPLP saat ini di jabat oleh Rafni T. Irianto, Bc IP yang mempunyai tugas, yaitu

melaksanakan pengawasan, penjagaan terhadap narapidana, melaksanakan pemeliharaan dan

tata tertib, melaksanakan pemeliharaan penempatan dan pengeluaran napi dan tahanan,

melakukan pembinaan terhadap narapidana, memberikan bimbingan dan latihan keterampilan

kerja serta mempersiapkan sarana pengelolahan hasil kerja. KPLP membawahi langsung regu

atau satuan pengaman (RUPAM). RUPAM mempunyai tugas menjaga keamanan lapas dan

narapidana.

Lampiran I

BAGAN STRUKTUR ORGANISASI LAPAS KELAS II A WANITA TANGERANG

74 Retno Yanihardianingsih, Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib LP Kelas

II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, Tangerang, 10 Oktober 2005 75 Rafni T. Irianto, Kepala KPLP LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, Tangerang, 10 Oktober 2005

KEPALA Anti Wirastuti, Bc Ip, SH

KPLP Rafni T. Irianto, Bc Ip

SUBAG TU Raeheni, Bc Ip

RUPAM

BAB IV

UPAYA LP KELAS II A WANITA TANGERANG DALAM MENCEGAH NARAPIDANA

MENJADI RESIDIVIS

A. Program Pembinaan Narapidana di LP Kelas II A Wanita Tangerang

Tindak pidana itu tidak hanya dilakukan pria dan wanita dewasa saja, namun banyak pula

yang dilakukan oleh pria dan wanita yang masih di bawah umur (anak-anak). Oleh karena itu

pemerintah membentuk beberapa macam LP yang disesuaikan dengan jenis golongan narapidana

guna menghindari terjadinya kejahatan baru dan untuk mempermudah dalam pembinaan dan

perawatan.

Adapun macam-macam LP di Indonesia adalah sebagai berikut:76

1. LP anak pria (usia 18 tahun ke bawah). LP ini salah satunya terdapat di Tangerang.

2. LP anak wanita (usia 18 ke bawah). LP ini salah satunya terdapat di Tangerang.

3. LP pemuda (usia 18 – 21 tahun). LP ini salah satunya terdapat di Tangerang.

4. LP pria dewasa (usia 21 tahun ke atas). LP ini hampir ada di setiap pemerintahan daerah.

5. LP wanita (usia 18 tahun ke atas). LP ini salah satunya terdapat di Tangerang.

Dengan demikian, penempatan narapidana di suatu LP didasarkan pada jenis kelamin dan

usia narapidana. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya kejahatan baru dan untuk

mempermudah dalam pembinaan dan perawatan narapidana. Selain itu, program pembinaan

narapidana itu juga berbeda-beda sesuai jenis kelamin. Memang pada prinsipnya program LP pria

dan wanita itu sama saja, yaitu pembinaan keagamaan dan keterampilan. Namun, dalam

pembinaan keterampilan narapidana pria dewasa lebih dititikberatkan pada hal-hal yang

memerlukan tenaga lebih, misalnya montir, las, berkebun, beternak dan lain sebagainya.

Sedangkan bagi narapidana anak-anak lebih dititikberatkan pada pendidikan baik secara formal

maupu non formal. Demikian juga, terdapat perbedaan penempatan narapidana berdasarkan jenis

76 Suparsi, Kepala Sub Seksi Urusan Umum LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara

Pribadi, Tangerang, 19 September 2005

kejahatan yang dilakukan narapidana tersebut. Narapidana yang melakukan kejahatan ringan

ditempatkan di LP biasa, misalnya LP Pria atau Wanita Tangerang, sedangkan yang melakukan

kejahatan berat, seperti korupsi atau pembunuhan berantai ditempatkan di Nusa Kambangan.

Walaupun penempatannya berbeda-beda dan kelihatannya menakutkan, namun pada hakikatnya

adalah sama yaitu menghilangkan kebebasan untuk sementara.

Mengenai program pembinaan, pada dasarnya arah pelayanan pembinaan dan bimbingan

yang perlu dilakukan oleh petugas LP secara umum ialah memperbaiki tingkah laku narapidana

agar tujuan pembinaan dapat dicapai. Di mana ruang lingkup pembinaan narapidana di LP secara

umum dapat dibagi ke dalam dua bidang yaitu:77

1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi:

a. Pembinaan kesadaran keagamaan

Usaha ini diperlukan agar diteguhkan imannya terutama memberi pengertian agar

narapidana dapat menyadari akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar dan

perbuatan-perbuatan yang salah.

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara

Usaha ini bertujuan menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga Negara yang baik

yang dapat berbakti bagi bangsa dan Negara.

c. Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)

Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berfikir narapidana semakin

meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama

masa pembinaan. Pembinaan intelektual (kecerdasan) dapat dilakukan baik melalui

pendidikan formal maupun melalui pendidikan non formal

Pendidikan formal diselenggarakan, disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang telah

ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan semua narapidana. Pendidikan

non formal diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan melalui kursus-

77 Ibid., h. 25-30

kursus, latihan keterampilan dan sebagainya. Bentuk pendidikan non formal yang paling

mudah dan paling murah ialah kegiatan-kegiatan ceramah umum dan membuka kesempatan

yang seluas-luasnya untuk memperoleh informasi dari luar, misalnya membaca

koran/majalah, menonton TV, mendengarkan radio dan sebagainya.

Untuk mengejar ketinggalan di bidang pendidikan baik formal maupun non formal agar

diupayakan cara belajar melalui program kejar praktek A dan kejar usaha.

d. Pembinaan kesadaran hukum

Pembinaan kesadaran hukum narapidana dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan

hukum yang bertujuan untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai

anggota masyarakat, mereka menyadari hal dan kewajibannya dalam rangka turut

menegakkan hukum dan keadilan, pelindungan terhadap harkat dan martabat manusia,

ketertiban, ketenteraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap warga megara

Indonesia yang taat kepada hukum. Penyuluhan hukum diselenggarakan secara langsung

yakni penyuluh berhadapan langsung dengan sasaran yang disuluh, sehingga dapat bertatap

muka langsung, misalnya melalui ceramah, diskusi, sarasehan, temu wicara, peragaan dan

simulasi hukum. Metode pendekatan yang diutamakan ialah metode persuasif, edukatif,

komunikatif, dan akomodatif.

e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat pembinaan di bidang ini dapat

dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan yang bertujuan pokok agar

bekas narapidana mudah diterima kembali oleh masyarakat lingkunganya. Untuk mencapai

ini, kepada mereka selama dalam Lapas dibina terus untuk patuh beribadah dan dapat

melakukan usaha-usaha sosial secara gotong royong, sehingga pada waktu mereka kembali

ke masyarakat mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam

pembangunan masyarakat di lingkungannya.

2. Pembinaan Keterampilan

Pembinaan Keterampilan diberikan melalui program-program:78

a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya kerajinan tangan, industri

rumah tangga, raparasi mesin dan alat-alat elektronika dan sebagainya.

b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha insdustri kecil misalnya pengelolaan bahan

mentah dari sektor pertanian dan bahan alam, menjadi bahan setengah jadi dan jadi,

misalnya pengolahan rotan menjadi perabotan rumah tangga, pengolahan makanan ringan

berikut pengawetannya dan pembuatan batu bata, genteng, batako.

c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing. Dalam hal ini

bagi mereka yang memiliki bakat tertentu diusahakan pengembangan kemampuannya itu.

Misalnya memiliki kemampuan di bidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke

perkumpulan-perkumpulan seniman untuk dapat mengembangkan bakatnya sekaligus

mendapatkan nafkah.

d. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian

(perkebunan) dengan menggunakan teknologi madya atau teknologi tinggi, misalnya

industri kulit, industri pembuatan sepatu, pabrik tekstil, industri minyak sayur dan usaha

tambak udang.

Secara umum pembinaan narapidana bertujuan agar mereka menjadi manusia seutuhnya

sebagaimana yang telah menjadi arah pembangunan nasional melalui jalur pendekatan:79

a. Memantapkan mental (ketahanan mental) mereka.

b. Membina mereka agar mampu berinteraksi secara wajar di dalam kehidupan berkelompok

selama dalam Lapas dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidana

yang secara khusus pembinaan narapidana ditujukan agar selama masa pembinaan dan

sesudah seksi menjalankan masa pidananya:

78 Ibid., h. 31-35 dan A. Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan,

(Bandung: CV. Armico, 1988), Cet. ke-1, h. 60 79 Ibid., h. 10-11

a) Berhasil memantapkan kembali harga diri kepercayaan dirinya serta bersikap optimis

akan masa depannya.

b) Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup

mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

c) Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum tercermin pada sikap perilakunya yang

tertib disiplin serta mampu menggalang rasa kesetiakawanan sosial .

d) Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara.

LP Kelas II A Wanita Tangerang memiliki program umum yaitu peningkatan kerja sama

dengan pihak ke-3 dalam pelaksanaan pembinaan peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik

petugas LP maupun narapidana, terutama yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan, dan

peningkatan kualitas keagamaan.

Sedangkan program pembinaan yang secara khusus diusahakan Lapas kelas II A Wanita

Tangerang adalah sebagai berikut: 80

1. Pendidikan Umum

Pendidikan umum ini berupa kelompok belajar pendidikan dasar (KBPD). Pendidikan ini

dititik beratkan kepada narapidana yang terkena penyakit buta (buta aksara, buta angka, dan buta

bahasa) dengan tujuan agar mereka dapat membaca dan menulis dan disediakan kursus bahasa

Inggris.

2. Pendidikan Keterampilan

Pendidikan keterampilan ini merupakan pembinaan kemandirian yang diarahkan pada

pembinaan bakat dan keterampilan yang diberikan ialah menjahit, menyulam, memasak, membuat

bunga kering, membuat tas mutte, handuk, taplak meja, merias/salon, berkebun, dan bertanam.

Hasil dari keterampilan mereka dijual baik dalam LP ataupun saat mengadakan

pameran-pameran. Demikian juga dengan keterampilan memasak, LP menerima pesanan nasi

80 Suryati AR, Kepala Seksi Bimbingan Narapidana (Binapi) LP Kelas II A Wanita

Tangerang, Wawancara Pribadii, Tangerang, 1 September 2005

kotak dari luar atau untuk keperluan kantin lapas. Pembinaan ini bertujuan agar narapidana yang

telah bebas dapat mencari nafkah bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya.

3. Pendidikan Jasmani

Pendidikan jasmani ini bertujuan agar narapidana sehat jasmaninya. Pendidikan ini

berbentuk olah raga, olah raga senam dilakukan setiap hari, sedangkan olah raga tenis meja, bulu

tangkis, kasti, volley ball dilakukan hanya pada hari jum’at saja.

4. Pendidikan Rohani

Pendidikan ini bertujuan agar narapidana mampu menyadari arti keberadaannya sebagai

mahluk ciptaan Tuhan di muka bumi ini sebagai anggota masyarakat dalam lingkungannya.

Dalam pelaksanaannya, lapas mengadakan kerjasama di Departemen Agama Kanwil Tangerang,

Yayasan Al-Azhar, Yayasan Al-Ummah, LKBHPK (lembaga konsultasi bantuan hukum wanita

dan keluarga), dan forum ukhwah Islamiyah Tangerang, bagi mereka yang beragama Islam. Bagi

narapidana yang beragama Kristen/Katolik, Lapas bekerja sama dengan gereja Apostolos

Pantekosta, Samaria, gereja Katolik Tangerang dan Jasindo.

5. Pendidikan Kesenian

Pendidikan kesenian yang diberikan lapas untuk narapidana bertujuan sebagai

hiburan sebagai wahana/tempat untuk mengembangkan kreativitas dan bakat yang ada pada diri

narapidana, dan sebagai bekal pengetahuan dan pengalaman yang baru bagi napi yang belum

didapat ketika diluar LP. Pendidikan kesenian ini berupa pelatihan tari, vocal, kulintang, qasidah,

dan permainan alat-alat musik lain.

6. Pendidikan Rekreasi

Pendidikan ini bertujuan agar narapidana mendapatkan kesegaran jasmani dan

rohani. Wujud pendidikan ini dilaksanakan oleh petugas yang bersangkutan dan dinilai sebagai

bahan pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam membentuk proses pembinaan

selanjutnya.

Semua program yang dirancang LP Wanita Tangerang mempunyai tujuan sebagai

berikut: 81

6. Memberikan pengayoman dan bekal hidup agar narapidana dapat menjalankan hidupnya

dengan baik setelah menjalani hukuman dan kembali berintergrasi dengan masyarakat dan

dapat hidup mandiri.

7. Mengembalikan fungsi sosial narapidana sebagai manusia yang bermasyarakat.

8. Memberikan bimbingan dan pembinaan kepada narapidana.

9. Menanamkan saling pengertian dan kesadaran diri bagi narapidana.

10. Menanamkan kedisiplinan melalui beberapa kegiatan yang positif.

Demikianlah beberapa upaya LP kelas II A Wanita Tangerang dalam menangani masalah

residivis pada khususnya dan narapidana pada umumnya. Memang disadari bahwa LP Wanita

Tangerang ini tidak mengagendakan secara khusus mengenai pembinaan narapidana residivis,

karena pengurus LP menganggap baik narapidana biasa maupun residivis adalah sama-sama

narapidana yang membutuhkan pembinaan dan bimbingan. Upaya ini dilakukan agar narapidana

dapat berlaku baik sehingga dapat diterima kembali menjadi anggota masyarakat dengan kata lain,

bahwa narapidana walaupun sebagai orang dihukum dan dibatasi kebebasanya, namun ia tetap

diakui sebagai masyarakat. Oleh karena itu dalam pembinaan narapidana ini, pihak masyarakat

diikut sertakan disamping para petugas LP itu sendiri. Dalam artian pihak masyarakat ikut

bertanggung jawab atas pembinaan narapidana disamping para petugas LP.

B. Analisis terhadap Pelaksanaan Agenda Pembinaan LP Kelas II A Wanita Tangerang

LP Wanita Tangerang telah hampir 26 tahun dijadikan sebagai tempat pembinaan bagi

narapidana. Setelah penulis mengadakan pengamatan selama beberapa hari di Lapas Wanita

Tangerang, kalau dilihat dari bentuk bangunannya, Lapas Wanita Tangerang sudah dianggap ideal

sesuai dengan standar Lapas yang dicita-citakan oleh pemerintah dengan pertimbangan; pertama,

81 Suparsi, Ibid., Tangerang, 10 Oktober 2005

Lapas Wanita Tangerang terletak di tengah-tengah Kota Tangerang dan bebas dari kemungkinan

tertimpa dari bencana alam, seperti gempa, banjir dan longsor; kedua, Lapas LP Tangerang dekat

kejaksaan dan pengadilan; dan yang ketiga, bangunannya masih kokoh dan layak untuk dihuni

oleh narapidana. Hal ini sudah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Departemen Hukum

dan HAM tentang letak tanah atau lahan dan luas gedung atau bangunan LP.

Lapas harus bebas atau jauh dari kemungkinan tertimpa bencana alam (gempa, banjir, longsor) dan lancer pembuangan air limabh dengan tidak merusak atau mengotori lingkungan. Sedapat-dapatnya dekat dengan markas kepolisian kejaksaan dan pengadilan.82 Sedangkan mengenai fasilitas bangunan LP Kelas II A Wanita Tangerang dapat disimak

dari penjelasan yang dikemukakan oleh Kepala Tata Usaha bagian Urusan Umum.

Dalam pandangan, bangunan LP ini masih sangat layak untuk dihuni sebagai tempat penampungan, pembinaan, dan perawatan narapidana. Memang kalau dilihat dari segi kapasitas penghuni LP ini sudah terlalu penuh, yang mana sebaiknya LP ini hanya dihuni oleh sekitar 250 orangan, tetapi sampai sekarang ini sudah 300 lebih. Hal ini terjadi karena penguni LP yang dari tahun ke tahun terus bertambah, sedangkan bangunannya masih itu-itu juga belum ada penambahan bangunan lagi, terus kan yang masuk ke LP lebih banyak daripada yang bebas. Ya, mungkin inilah kekurangan/kelemahan atau apapun istilahnya dari bangunan LP ini. Memang hal ini sedang dipikirkan oleh jajaran pengurus LP, yang rencananya akan dibangun beberapa unit bangunan lagi, tetapi belum terlalu serius. Ya, secara umum saya sudah katakan tadi, bahwa LP ini masih sangat layak dihuni bagi narapidana.83 Hal senada juga diungkapkan seorang penghuni LP. ”Fasilitas di sini bagus dan cukup

nyaman, tapi yang namanya di penjara, walaupun tempatnya bagus tetap aja kadang-kadang jenuh

banget dan kadang-kadang enak juga.”84

Sedangkan kalau kita lihat dari segi komponen gedung/ banguanan LP Wanita

Tangerang cukup ideal. Hal ini dapat kita lihat pada LP Wanita Tangerang ini sudah terdapat

komponen-komponen bangunan seperti adanya ruang atau kantor untuk unit administrasi

82 Departemen Kehakiman RI, op.cit., h. 67

83 Suparsi, Kepala Sub Seksi Urusan Umum LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, Tangerang, 17 Februari 2006. 84 Dina, Warga Binaan LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, Tangerang, 17 Februari 2006.

kepegawaian, ruang untuk unit administrasi keuangan, ruang untuk unit urusan umum dan kantor

unit-unit yang lainnya.

Fasilitas yang ada sering dikeluhkan, namun kekurangan itu tidak terlalu mempengaruhi

proses pembinaan narapidana. Hal ini diakui Sub Seksi Urusan Umum.

Karena LP ini sudah hampir 26 tahun dijadikan tempat pembinaan narapidana, ya komponen-komponen seperti sudah pasti ada, memang belum terlalu komplit sesuai dengan standar yang dipersyaratkan Departemen Hukum dan HAM, lagi-lagi kita terbentur dengan anggaran keuangan. Kalau anggarannya ada sih kita bangun beberapa unit lagi, bahkan kita bangun sekomplit mungkin, tapi anggarannya ngga ada. Misalnya, unit pendidikan umum/akademik/rekreasi, oleh raga dan keterampilan yang terdiri dari: ruang/kantor kepala unit pendidikan umum/akademik, kantor staf unit pendidikan umum/akademik, ruangan-ruangan kelas belajar, rekreasi dan oleh raga (indoor) dan ruangan arsip, tapi tidak ada anggaranya, ya kita juga ingin sekali seperti itu.Terlepas dari semua, kalau menurut saya sih tidak adanya komponen-komponen tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap proses pembinaan narapidana.85

Dalam pelaksanaan agenda-agenda yang sudah diprogramkan. LP mengadakan kerjasama

dengan pihak-pihak yang terkait dengan pembinaan narapidana. Dalam bidang pembinaan

kerohanian dan pendidikan umum LP mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga

keagamaan, baik pemerintah maupun swasta, misalnya Departemen Agama Kanwil Tangerang

dan Yayasan-yayasan Islam, bagi narapidana yang beragama Islam. Sedangkan bagi narapidana

yang beragama Kristen/Katolik, Lapas bekerjasama dengan gereja-gereja yang ada di Tangerang.

Hal ini dapat disimak dari penjelasan Kepala Sub Seksi Urusan Umum.

Dalam pembinaan narapidana kami mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga yang berkaitan dengan pembinaan narapidana, terutama tenaga pengajar dalam bidang kerohanian. Namun tidak berarti kami kekurangan tenaga pengajar,hal itu kami lakukan untuk menghilangkan kejenuhan narapidana dengan tenaga pengajar yang itu-itu juga. Misalnya, kami mengadakan kerjasama dengan Departemen Agama Kanwil Tangerang, Yayasan Al-Azhar, Yayasan Al-Ummah, LKBHPK (lembaga konsultasi bantuan hukum wanita dan keluarga), dan forum ukhwah Islamiyah Tangerang, bagi mereka yang beragama Islam. Bagi narapidana yang beragama Kristen/Katolik, Lapas bekerja sama dengan gereja Apostolos Pantekosta, Samaria dan gereja Katolik Tangerang.86

85 Suparsi, Ibid., 17 Februari 2006. 86 Suparsi, ibid., 17 Februari 2006.

Hal ini juga diakui seorang narapidana. ” Pembinaan yang disediakan LP ini semuanya

bermanfaat, kaya ngaji (pengajian) dan nyulam (menyulam), para pengajarnya juga bagus-bagus

dan profesional. Tapi, saya ngga tahu dari mana.”87

Sedangkan bidang pembinaan keterampilan LP tidak mengadakan kerjasama dengan

pihak mana pun, karena LP sendiri sudah menyediakan tenaga pengajarnya. Tenaga pengajar

tersebut ada dari pengurus LP, tenaga panggilan, dan dari narapidana yang sudah ahli dalam suatu

keterampilan. Misalnya, narapidana yang memiliki keterampilan salon seperti rias pengantin dan

cukur rambut, dia didelegasikan untuk mengajar narapidana yang baru masuk.

Selain itu, dalam LP juga terdapat Seksi BIMASWAT (Bimbingan Kemasyarakatan dan

Perawatan). Semua narapidana mengikuti kegiatan yang disediakan BIMASWAT, misalnya

kegiatan menyulam. Dari BIMASWAT ini keahlian setiap narapidana terlihat, kemudian dari

BIMASWAT narapidana yang mempunyai keahlian tertentu disalurkan ke GIATJA (Kegiatan

atau Kerja). Dalam naungan GIATJA ini narapidana dapat menciptakan sesuatu yang dapat

dipasarkan. Hasil produksi GIATJA dipasarkan dalam setiap kesempatan pameran baik di dalam

maupun di luar LP, seperti pada tanggal 17 Agustusan yang mana LP mengadakan acara

kunjungan keluarga secara besar-besaran dalam kesempatan tersebut LP memasarkan hasil-hasil

keterampilan tersebut. Dengan demikian, tidak setiap narapidana dapat masuk GIATJA hanya

narapidana yang mempunyai keahlian tertentu saja. Hasil dari pemasaran tersebut dibagi dua

antara narapidana dan LP. Kegiatan ini dilaksanakan di ruang GIATJA dan BIMASWAT.

Agenda pembinaan pendidikan umum, LP sudah menyediakan tenaga pengajarnya yang

dipanggil secara khusus dari Dinas Pendidikan Nasional Kab. Tangerang. Kegiatan ini

dilaksanakan di aula.

Adapun program pembinaan pendidikan jasmani, LP hanya menyediakan fasilitas, tetapi

tidak menyediakan tenaga pengajar, karena kegiatan ini sifatnya hanya pengisi waktu dan

87 Irene, Warga Binaan LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, Tangerang, 17 Februari 2006.

menghilangkan rasa jenuh, dengan tujuan agar narapidana sehat jasmaninya. Kegiatan ini

dilaksanakan di luar ruangan, seperti lapangan bulu tangkis, kasti, dan volley ball.

Program pembinaan kesenian, LP menyediakan tenaga pengajar baik yang dipanggil

secara khusus atau dari pengurus sendiri. Kesenian vokal, tidak ada pengajarnya, sehingga

narapidana latihan sendiri. Sedangkan kulintang dan qasidah dilatih oleh pengajar yang dipanggil

secara khusus. Kegiatan ini dilaksanakan di aula.

Sedangkan pendidikan rekreasi, LP hanya dapat memprogramkan saja, namun tidak dapat

dilaksanakan. Hal ini tidak mungkin terlaksana disebabkan minimnya anggaran dan sedikitnya

petugas LP.

Semua program pembinaan yang sudah dijadwalkan dilaksanakan dengan baik. Bagi

narapidana yang tidak mengikuti kegiatan diberikan sanksi berupa teguran dari ibu asuh. Hal ini

diungkapkan oleh seorang narapidana. ”Wajib mengikuti setiap kegiatan yang ada di sini dan yang

tidak mengikutinya diberikan sanksi berupa teguran dari ibu asuh.”88

Terdapat program pembinaan narapidana yang disediakan LP dengan tujuan agar

narapidana menjadi manusia yang mandiri setelah bebas dari LP. Namun, oleh narapidana,

program tersebut dianggap sebagai pengisi waktu dan menghilangkan rasa jenuh saja. Hal ini

diakui oleh salah seorang narapidana. ”Gua mah ngikutin kegiatan ini (sedang menyulam) cuma

ngilangin jenuh ama ngisi waktu aja daripada diomelin (dimarahi) ama ibu asuh.”89

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa program pembinaan narapidana yang sudah

diagendakan Departemen Hukum dan HAM belum tentu dapat dilaksanakan oleh LP, misalnya

bagi napi yang memiliki keahlian di bidang seni tarik suara, maka diusahakan untuk disalurkan ke

perkumpulan-perkumpulan seniman untuk dapat mengembangkan bakatnya, namun hal ini tidak

dapat dilaksanakan karena tidak mungkin petugas LP mengawasi terus-menerus setiap

langkahnya. Demikan juga, program yang sudah diagendakan LP belum tentu dapat

88 Dina, op.cit. 89 Irene, op.cit.

dilaksanakannya, misalnya pendidikan rekreasi, karena hal ini tidak mungkin terlaksana

disebabkan minimnya anggaran dan sedikitnya petugas LP.

C. Hasil Pembinaan LP Kelas II A Wanita Tangerang

Kalau kita lihat dari segi komponen gedung/ banguanan, LP Wanita Tangerang, dapat

dikatakan cukup ideal. Hal ini dapat kita lihat pada LP Wanita Tangerang ini sudah terdapat

komponen-komponen bangunan seperti adanya ruang atau kantor untuk unit administrasi

kepegawaian, ruang untuk unit administrasi keuangan, ruang untuk unit urusan umum dan kantor

unit-unit yang lainnya.

Semua pembinaan yang disediakan LP banyak mengandung manfaat, misalnya

pendidikan umum dan pendidikan kerohanian, di mana napi yang terkena penyakit ”buta” (buta

aksara, buta angka, dan buta bahasa) dapat belajar dengan tujuan agar mereka dapat membaca dan

menulis, dan mengintrospeksi diri. Hal ini diakui oleh salah seorang narapidana. ”Yang saya

rasain, pembinaan yang ada di sini banyak manfaatnya, misalnya pengajian atau ceramah, saya

merasa apa yang sudah saya lakukan dulu itu salah dan melanggar norma yang ada dalam

masyarakat. Saya juga udah kapok dan tobat melakukan perbuatan itu lagi dan saya berjanji tidak

akan mengulangi perbuatan tersebut." 90

Di Lapas Wanita Tangerang terdapat napi dengan latar belakang berbagai jenis kejahatan,

di antaranya nakoba, pencurian, menyembunyikan kejahatan, pembunuhan, dan menelantarkan

anak, serta aborsi. Dan terdapat dua jenis napi, yaitu (1) napi biasa, artinya napi yang baru pertama

kali melakukan kejahatan dan pertama kali masuk penjara, dan (2) napi residivis, yaitu napi yang

melakukan pengulangan kejahatan dan masuk penjara yang kedua kali.

90 Oktaviani, warga binaan LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, 15

Desember 2005.

Dalam pembinaannya baik napi yang biasa maupun yang residivis tidak ada perbedaan

dalam arti semua napi mendapatkan pembinaan dan perlakukan yanga sama, bahkan dari segi

penempatan juga tidak ada perbedaan dalam arti digabungkan dengan jenis napi-napi yang lain.91

Menurut penulis, hal ini sangat disayangkan dari perlakuan atau pembinaan Lapas Wanita

Tangerang karena seharusnya napi biasa dengan napi residivis dipisahkan penempatanya, bahkan

pembinaannya pun harus dibedakan dalam arti napi biasa harus mendapatkan pembinaan yang

lebih ringan (tidak terlalu khusus), sedangkan napi residivis harus mendapatkan pembinaan yang

lebih intensif dan khusus. Apabila digabungkan dalam satu kamar dikhawatirkan akan terjadi

penularan kejahatan, karena terjadinya interaksi yang intim, sebagaimana dikatakan oleh E.

Sutherland dengan teorinya Differential Association yang menyatakan tingkah laku kriminal dapat

dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.92

Mengenai hal ini dibantah oleh Kepala BINAPI.

Ah, kata siapa? kenyataanya walaupun digabungkan dalam satu kamar hanya ada beberapa napi saja yang jadi residivis. Mana mungkin terjadi penularan kejahatan, karena mereka berada dalam satu kamar hanya pada waktu malam hari saja, pagi-pagi mereka sudah harus keluar dari kamar masing. Jadi mana mungkin terjadi penularan?.93

Memang jumlah residivis dari tahun 2000-2005 hanya terdapat lima orang, dan semuanya

bukan berasal dari LP Kelas II A Wanita Tangerang. Pada tahun 2001 residivis di Lapas Wanita

Tangerang ada 2 orang, yaitu Rustam Nababan dan Nuraini. Pada tahun 2002 ada 1 orang, yaitu

Sugiani. Pada tahun 2003 ada 3 orang, yaitu Oktaviani, Deborah Miciko, dan Sarani Sevi Kartika.

Pada tahun 2004 dan 2005 tidak ada residivis yang masuk. Jadi jumlah residivis mulai dari tahu

2001-2005 ada 6 orang, yaitu Rustam Nababan, Oktaviani, Nuraini, Debora Miciko, Sarani Sevi

91 Nuraini, Warga Binaan LP Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi, Tangerang,

15 Desember 2005 92 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam

Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Cet. ke-2, h. 45 93 Suryati AR, op.cit, 17 Februari 2006.

Kartika dan Sugiani. Mereka adalah narapidana karena kasus narkoba, baik sebagai pemakai,

pengedar, kurir, maupun penjual94

Pembinaan narapidana di sini dapat dikatakan berhasil, sudah saya katakan tadi, toh buktinya hanya sedikit sekali yang menjadi residivis daripada yang tidak menjadi residivis. Dan saya kira tidak ada LP di dunia ini yang berhasil 100% pasti ada aja yang residivis dan itu wajar-wajar aja.95

Yang dikatakan Ibu Suryati AR ada benarnya, karena hanya beberapa orang saja yang

menjadi residivis. Selain itu, ada beberapa alumni narapidana yang datang atau berkunjung ke LP

dan bercerita tentang kehidupannya setelah bebas dari LP. Selain mereka telah tobat atau jera

melakukan kejahatan, bahkan ada yang menjadi guru pengajian di LP tersebut yang sifatnya

pengabdian. Hal ini dapat disimak dari penuturan Kepala BINAPI.

Ada beberapa orang yang datang kepada saya dan mereka bercerita: ”Pembinaan yang disediakan LP bermanfaat sekali bagi saya, misalnya pembinaan menjahit. Ketika mengikuti kegiatan tersebut, saya serius mengikutinya bukan sekedar mengikuti aja, sehingga setelah bebas dari LP ini saya bisa membuka jahitan kecil-kecilan, seperti pasang seleting.” Itu, salah seorang alumni narapidana yang berhasil dibina di sini. Bahkan, ada juga almuni narapidana yang sekarang sudah menjadi guru ngaji di LP sini sampai saat ini. Ia benar-benar mengabdi di sini. Waktu saya tanya kenapa kamu mau mengajar di sini dan kamu tidak diberi gaji? Jawabnya: Saya senang ada di sini, dan susah melupakan apa-apa yang pernah saya terima dari sini dan saya ngga bisa membalasnya, jadi ya saya cuma ingin mengabdi dan membalas budi pada LP ini.96

Keberhasilan ini merupakan upaya kerja keras dari faktor pelaksaannya, yaitu orang-

orang yang diberi tugas untuk membina para napi, kemudian narapidananya dan terakhir adalah

unsur dari masyarakatnya. Oleh karena itu ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Memang sangat disadari bahwa untuk keberhasilan pembinaan narapidana diperlukan

perlengkapan terutama bermacam-macam bentuk Lapas yang sesuai dengan tingkat

pengembangan segi kehidupan narapidana dan tenaga pembina yang cukup dan cakap dalam

menjalankan tugasnya dan penuh rasa pengabdian. Usaha pembinaan narapidana dimulai sejak

94 Suryati AR, ibid. 95 Suryati AR, ibid. 96 Suryati AR, Ibid.

hari pertama ia masuk ke dalam Lapas. Sistem pemasyarakatan sebagai proses pembinaan

terhadap narapidana agar mereka kelak tidak mengulangi kejahatannya kembali dari suatu proses

pembinaan baru akan sempurna jika di dalam Lapas ditunjang oleh fasiltas-fasilitas pembinaan

yang betul-betul memenuhi persyaratan. Hal yang dimaksud fasilitas pembinaan di sini adalah

fasilitas yang disedikan oleh Lapas dalam usaha mengembalikan narapidana menjadi anggota

masyrakat yang baik dan menjadi manusia seutuhnya. Adapun fasilitas tersebut adalah pembinaan

fisik napi, sehingga pada saat mereka selesai menjalani masa pidana sudah betul-betul siap terjun

ke dalam masyarakat, dan fasiltas lainnya, yaitu dalam pembinaan mental yang ditujukan kepada

narapidana sebagai bekal untuk hidup kemasyarakat dalam hal menciptakan daya karsa, cipta,

kejujuran, dan sopan santun.97

Adapun yang menyebabkan narapidana menjadi residivis. Hal ini dapat simak dari

penuturan salah seorang narapidana. ” Enak aja, karena bisnis narkoba itu mudah dan banyak

menghasilkan duit (uang), gampang gaul, ngga usah cape-cape.”98 Dari ungkapan tersebut, dapat

ditarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi (uang) dapat menyebabkan seseorang melakukan tindak

pidana, bahkan menjadi residivis.

Sedangkan menurut penjelasan Kepala BINAPI, terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan seorang narapidana menjadi residivis, yaitu: 99

Pertama, kurang berhasilnya pembinaan narapidana.

Kedua, faktor sosial dan psikologis.

Ketiga, faktor ekonomi.

Keempat, kurangnya kesadaran jiwa keagamaan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pembinaan LP Kelas II A Wanita

Tangerang cukup berhasil. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya narapidana yang menjadi residivis,

bahkan terdapat beberapa alumni yang sudah mandiri. Hanya satu program yang direncanakan

97 Suparsi, op.cit.,26 September 2005. 98 Sugiani, Warga Binaan LP Wanita Kelas II A Wanita Tangerang, Wawancara Pribadi,

Tangerang, 17 Februari 2006. 99 Suryati AR, op.cit., 1 September 2005.

tetapi tidak dapat dilaksanakan, yaitu pendidikan rekreasi karena terbentur dengan anggaran dan

personel LP.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bagian terakhir, ada beberapa butir kesimpulan yang dapat dirumuskan sebagai hasil

penelitian ini. Adapun beberapa kesimpulan tersebut adalah :

1. Lapas Kelas II A Wanita Tangerang merupakan salah satu Lapas dari beberapa Lapas wanita

yang ada di Indonesia. Lapas ini terletak di tengah Kota Madya Tangerang dan dekat

Pengadilan Negeri Tangerang, sehingga Lapas ini dapat dikatakan strategis untuk dijadikan

tempat penampungan, perawatan dan pembinaan narapidana.

2. Dari penelitian di lapangan ada beberapa faktor yang menyebabkan narapidana menjadi

residivis, di antaranya karena pembinaan Lapas yang kurang berhasil, ekonomi, sosial dan

psikologis, dan kurangnya kesadaran jiwa agama. Dari faktor-faktor tersebut penulis

simpulkan bahwa seorang napi dapat menjadi residivis, karena dipengaruhi oleh keinginan

dirinya sendirinya, ekonomi, dan sosial masyrakat.

3. Upaya pencegahan napi menjadi residivis yang dilakukan oleh LP Wanita Tangerang dengan

program pembinaan kepribadian dan keterampilan/kemandirian. Pembinaan tersebut meliputi

pendidikan umum, jasmani, rohani, kesenian, keterampilan, dan rekreasi.

4. Dalam pelaksaan pogram yang diagendakan, LP bekerjasama dengan pihak-pihak terkait

terutama yang berakitan dengan kerohanian. Program-program tersebut terlaksana dengan

baik, misalnya tenaga pengajar kursus pendidikan umum, LP menyediakan tenaga pengajar

yang dipanggil dari Dinas Pendidikan Kab. Tangerang.

5. Upaya yang diusahakan Lapas Wanita Tangerang sudah berhasil, hal ini terbukti sejak tahun

2000-2005 hanya terdapat 6 (enam) residivis yang masuk Lapas Wanita Tangerang dan

mereka semua bukan alumni dari LP Kelas II A Wanita Tangerang.

B. Saran

Berkenaan dengan permasalahan upaya pencegahan narapidana menjadi residivis

(studi khusus LP Wanita Tangerang) ini, penulis perlu menyampaikan beberapa saran yaitu

sebagai berikut:

1. Secara fisik bangunan LP Wanita Tangerang masih sangat layak dijadikan tempat

penampungan, perawatan dan pembinaan napi, tetapi dengan jumlah napi yang terlalu banyak

(over kapasitas), sehingga penempatannya menjadi kurang maksimal, disarankan agar Lapas

ini membangun beberapa unit bangunan lagi karena masih luas lahan yang belum

dimanfaatkan secara maksimal.

2. Disarankan kepada LP Wanita Tangerang agar penempatan narapidana yang biasa dengan

narapidana yang residivis dipisahkan, tidak disatukan dalam satu kamar.

3. Upaya pembinaan yang sudah diusahakan LP Wanita Tangerang sudah cukup baik dan

bermanfaat, tetapi disarankan agar program yang sudah ada dipertahankan dan ditambah lagi

dengan program-program keterampilan yang ada di masyrakat dan dapat dikembangkan di

masyrakat ketika sudah bebas dari LP.

4. Departemen Hukum dan HAM khususnya Dir.Jen Pemasyarakatan disarankan agar lebih

memperhatikan lagi dalam menganggarkan dana untuk pembinaan LP dan pegawainya.

5. Masyarakat umum, jangan melihat dengan sebelah mata terhadap mantan napi, karena ia juga

dapat menjadi manusia yang baik, apabila masyarakat di lingkungannya memberikan

kesempatan padanya, sehingga menumbuhkan rasa kepercayan pada dirinya dan akhirnya

menjadikan ia sebagai anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri An-Jina’i Al-Islami, Beirut: Muasassah Ar-Risalah, 1994

Atmasasmita, Romli, Dari Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana, Bandung: Penerbit Alumni,

1975, Cet. ke-1

Amir, Abdul Aziz, At-Ta’zir fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Libanon: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, 1980

Asshiddiqie, T. M. Hasbi, Koleksi Hadist-Hadist Hukum, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001,

Cet. Ke-3, JIlid IX

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh, Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989, Juz ke-8

Bahansi, Ahmad Fathiy, Al-Uqubah fi Al-Fiqh Al-Islami, Kairo : Maktabah Darul Urubah, t.th.

Barnes, H. E dan Teeters, Dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana,(disadur) oleh Romli

Atmasasmita, SH dari judul asli New Horizon Criminology, Bandung: Alumni, 1975, cet.

ke-2

Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Jakarta: Depkeh RI, 1990, Cet.

ke-1

Di Praja, R. Achamad S. Soema dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia,

Jakarta: BPHN, 1979, Cet. ke-1

Djazuli, H.A., Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, cet.ke-2

Gunakaya, A. Widiada, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung: CV.

Armico, 1988, Cet. ke-1 Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. ke-5

Howard, John, Kisah Penjara-penjara di Berbagai Negara, (disadur) oleh Soedjono D, SH dari judul

asli An Account of Foreignn Prison, Bandung: Alumni, 1972

Kertanegara, Satochid, Hukum Pidana, Jakarta: Lektur Mahasiswa, t.th., bagian ke-1

Panjaitan, Petrus Irwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif

Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, Cet. ke-2

Departemen Penerangan, Himpunan Perundang-Undangan RI 1945, (Jakarta: Departemen Penerangan

RI, t.th.

Hamzah, Andi, KUHP & KUHAP, Jakarta : Rineka Cipta, 2003, Cet. ke-10

Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta:

Liberty, 1989, Cet. ke-3

Koesnoen, R.A., Politik Penjara Nasional, Bandung: Sumur Bandung, 1987, Cet. ke-4

Ma’luf, Lois, Kamus Al-Munjid, Beirut: Dar Al-Masyruq, t.th.

Muhdlor, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan

Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996, Cet. ke-1

Samidjo, Pengantar Pengulangan Indonesia, Bandung : Armico, 1985

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara baru, 1978, Cet. ke-3

Sujatno, Ahmad Fauzie, Pembahasan Perkembangan Hukum Nasional tentang Aspek Hukum

Pembinaan Pemasyarakatan,Jakarta: BPHN, 1995

Sianturi, S.R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya I, (Jakarta : Alumni Ahaem,

1996

Team Penyusun Kamus (ed.) (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya, Balai

Pustaka), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, Cet. Ke-4

Utrecht,Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Tinta Mas, 1986

Widianti, Ninik dan Pujanuraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalah ditinjau dari Segi

Kriminologi dan Sosial, Jakarta : PT. Pradnya Pramita, 1989

Zahroh, Muhammad Abu, al-Uqubah: al-Jarimah Wal Uqubah fil Fiqh al-Islami, Kairo: Darul Fikr,

1978

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada jadwal kegiatan warga binaan LP Wanita Tangerang, yaitu:

Tabel 1 : Jadwal Kegiatan Warga binaan LP Wanita Tangerang

No Kegiatan Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Kegiatan

ekstra

1 Kerja lingkungan

07.0–08.30 07.00 – 08.30 07.00 – 08.30 07.00 – 08.30 07.00 – 08.30 07.00 –08.30

2 Bengkel kerja 08.0– 14.00 08.00 – 14.00 08.00 – 14.00 08.00 – 14.00 08.00 – 14.00 08.00 –13.00

3 Berkebun 08. -16.00 08.00 – 16.00 08.00 – 6.00 08.00 – 16.00 08.00 – 16.00 08.00 –16.00

4 Agama Islam 09.0–12.00 09.00 – 12.00 09.00 – 2.00 09.00 – 12.00 - 09.00 –12.00

5 Agama Kristen 09.0–12.00 09.00 – 12.00 09.00 – 2.00 09.00 – 12.00 - 09.00 –12.00

6 Perpustakaan 12.0–14.00 12.00 – 14.00 12.00 – 4.00 12.00 – 14.00 12.00 – 14.00 12.00 –14.00

7 Kursus Bahasa Inggris

- 13.30 – 16.30 - - - 13.30 –16.30

8 Kursus menjahit 08.0–16.00 08.00 – 16.00 08.00 – 6.00 08.00 – 16.00 08.00 – 16.00 -

9 Keterampilan memasak

09.0–15.00 09.00 – 15.00 09.00 – 5.00 09.00 – 15.00 09.00 – 15.00 09.00 –15.00

10 Belajar baca hitung

14.0–15.00 - 14.00 – 5.00 - 14.00 – 15.00 -

11 Kulintang 08.00-10.00 - - - - -

12 Karaoke/vokal - - - - 09.00 – 11.00 -

13 Senam pagi 06.1–07.00 06.15 – 07.00 06.15 – 07.00 06.15 – 07.00 08.00 – 09.00 06.15 –07.00

14 Belajar menyulam, membuat keset

09.0– 14.00 09.00 – 14.00 09.00 – 14.00 09.00 – 14.00 09.00 – 11.00 09.00 –2.00

5. Belajar tari 3 x

seminggu jam

menyesuaikan,

peserta 12

orang

6. Balajar

qosidah 2

minggu jam

menyesuaikan,

peserta 10

orang.

7. Volly, senin

s/d jum’at jam

14.30 – 10.30

8. Bulu tangkis,

jum’at jam

09.00 – 10.30

Sumber : AgendaSeksi BINAPI LP Kelas II A Wanita Tangerang